Pencarian

Mimpi Buruk 3

Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams Bagian 3


bahunya. "Jangan pura-pura!" jerit Maggie. "Kau tidak tidur! Aku tahu kau tidak tidur!"
Andrea menguap, pelan-pelan memutar badannya sambil
menudungi matanya. "Apa...?"
Mrs. Travers cepat-cepat masuk ke kamar itu. "Maggie, biarkan
adikmu. Mom serius."
"Membiarkan dia?" Maggie tertawa histeris. "Membiarkan dia"
Dia menikamkan pisau ke ranjangku, Mom! Dia... dia... dia ingin
membuatku gila!" Sekujur tubuh Maggie bergetar karena marah tak terkendali.
Dia melompat maju, mencengkeram pundak Andrea, lalu
mengguncang-guncangnya dengan keras.
"Mana pisaunya, Andrea" Mana" Kausembunyikan di mana" Di
bawah sini?" Dilepaskannya Andrea dan ditariknya bantal adiknya dari ranjang.
"Lepaskan!" kata Andrea sambil mengantuk. "Kau ini apa-apaan sih?"
Mrs. Travers mencengkeram pundak Maggie dan mencoba
menariknya menjauhi ranjang Andrea.
Tapi Maggie memutar badannya. "Lampu kamarnya menyala
sampai dua detik yang lalu!" teriaknya. "Lampu kamarnya menyala.
Dia tidak tidur, Mom! Dia pura-pura! Dia menikamkan pisau ke
bantalku! Sumpah aku tak bohong!"
"Pisau apaan?" Andrea menuntut jawab sambil menarik
bantalnya dari cengkeraman Maggie. "Dari mana aku dapat pisau?"
Dia berpaling kepada ibunya. "Maggie ngomong apaan sih?"
"Mom juga tak tahu," Mrs. Travers menjawab dengan suara
letih. "Dengar kata Mom, Maggie," katanya lembut. "Kita bicarakan ini besok
pagi, oke" Kalau kau sudah lebih tenang."
"Aku takkan pernah tenang!" Maggie berkeras. Namun
dibiarkannya ibunya membimbingnya keluar dari kamar.
"Kau gila, Maggie," dia mendengar Andrea menggumam dari
ranjangnya. "Kau benar-benar gila."
********** Peluit melengking. Coach Randall melihat arlojinya. "Nah,
anak-anak, dengarkan baik-baik."
Hari itu Selasa sore, setelah latihan yang lama dan melelahkan.
Maggie bergantung di tepi kolam, di samping rekan-rekan satu
timnya, menyimak kata-kata pelatih mereka. Dia mendongak
memandang Dawn, yang menonton dari deretan bangku paling atas
seperti biasa. Coach Randall mondar-mandir di tepi kolam. "Kalian sudah
tahu," lanjutnya, "Jumat ini Kejuaraan Renang Negara Bagian berlangsung. Bagi
kalian yang akan bertanding, hanya ada sedikit
waktu untuk menjaga agar kondisi tetap prima. Bagaimana kalian"
Lima lap lagi?" Terdengar erangan-erangan dari kolam renang. Wajah Coach
Randall berkerut, pura-pura kaget. "Oh, kalian kecewa karena hanya disuruh
berenang lima lap lagi" Kalian benar. Kalau begitu, sepuluh lap."
Lebih banyak erangan lagi. Tetapi Coach Randall bertepuk
tangan. "Jangan bercanda saja. Semua siap di papan start. Lima lap, gaya bebas.
Maggie... Tiffany... buktikan kalian memang pantas
bertanding di dua ratus meter Gaya Ganti mewakili kita."
Maggie memilih jalur di antara Andrea dan Tiffany.
"Kau akan kalah," desis Andrea sambil mengenakan kacamata renangnya.
"Terima kasih atas dorongan semangatnya," kata Maggie sambil tersenyum pahit.
Dia membungkuk, mengambil posisi siaga. Tanpa
sengaja Andrea justru memacu semangatnya. Komentarnya
mengingatkan Maggie bahwa dia tidak sudi dikalahkan.
Peluit melengking, Maggie meloncat sejauh-jauhnya, langsung
terjun ke dalam air biru yang dingin.
Kayuhan pertamanya sangat kuat, tetapi tiba-tiba saja energinya
seperti terkuras habis. Tubuhnya ingat betapa letihnya dia, bahkan
ketika pikirannya sudah tidak ingat lagi. Setiap kali memalingkan
wajah untuk mengambil napas, dia melihat Tiffany menjajarinya, satu kayuhan
disusul kayuhan berikutnya.
Maggie mengayuh lebih keras, lebih cepat. Namun ketika
memalingkan kepala untuk mengambil napas lagi, dia melihat Tiffany
sudah sampai di tengah lintasan. Maggie tertinggal!
Satu lap, hanya itu. Tapi rasanya seperti berenang satu mil.
Tangannya menyentuh pelampung yang membatasi jalur lintasan.
Lengannya langsung sakit seperti tersengat.
Dia sadar, dia melenceng terlalu dekat dengan Andrea. Dia
mencoba meluruskan arah, tapi dengan begitu dia kehilangan waktu.
Minggu ini dia sudah satu kali kalah dari Tiffany. Itu sudah
cukup menyakitkan. Tapi kalah dari Andrea" Seumur hidup dia belum
pernah dikalahkan adiknya.
Sambil mengerang lirih, Maggie menambah kecepatan,
memaksa otot-ototnya yang letih bekerja lebih keras.
Tiffany yang pertama mencapai finish. Andrea dan Maggie
bersaing ketat. Maggie bisa mendengar Andrea mendengus marah dan
frustrasi. Maggie menggeram keras-keras dan mengulurkan tangannya
untuk menyentuh dinding. Ujung jarinya menyentuh dinding.
Kemudian Andrea menyusul.
Maggie terengah-engah, napasnya terdengar keras. Mulutnya
megap-megap. Dia mengibas-ngibaskan kepala, menyingkirkan air dari
telinganya, menyimak ketika Coach Randall mengumumkan tiga
pemenang pertama. Tiffany. Maggie. Andrea.
Tanpa memalingkan kepala, Maggie bisa m-rasakan Andrea
menabrak dinding. Kemudian Coach Randall meniup peluitnya lagi
dan memerintahkan semuanya untuk segera pergi ke kamar bilas.
Maggie butuh waktu beberapa menit sebelum merasa cukup
kuat untuk menarik dirinya keluar dari kolam renang. Dia yang
terakhir keluar. "Kau lemas sekali," kata Coach Randall, dahinya berkerut.
"Masa?" tanya Maggie.
"Pastikan kau cukup istirahat, dari sekarang sampai Jumat,"
kata pelatih itu sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Pasti. Harus banyak istirahat. Mudah diucapkan. Maggie tahu,
Coach Randall pasti tidak pernah mimpi buruk tentang gadis yang
mati ditikam, atau menemukan sebilah pisau ditikamkan di bantalnya.
Dia berjalan ke kamar ganti, lalu dengan lemas menjatuhkan
diri ke bangku di depan lokernya. Sebagian besar anggota tim sudah
masuk ke kamar bilas, percakapan dan tawa mereka terdengar sampai
ke tempat ganti pakaian. Sebuah pintu loker dibanting. Maggie tahu, itu Andrea. Andrea
tak pernah pandai menyembunyikan perasaannya.
"Aku mengalahkanmu lagi," teriak Tiffany kepada Maggie.
"Dua kali berturut-turut. Prestasimu merosot, Travers." Tiffany berdiri beberapa
loker dari Maggie, sedang mengancingkan blusnya.
Maggie mengangguk. "Yah. Hmm..." Dia berpaling kepada
Andrea. "Pertandingan yang bagus."
Andrea sedang membungkuk, berusaha membuka simpul tali
sepatu ketsnya. Dia menekan sepatu kets itu keras-keras dengan
frustrasi. "Tolong! Jangan ganggu aku," gumamnya.
Setelah berpakaian lengkap, Tiffany datang mendekat lalu
duduk di samping Maggie. Sikapnya terlalu ramah, pikir Maggie. Dia
belum pernah melihat Tiffany segembira itu.
"Menurutmu, bagaimana kesempatan kita Jumat nanti?" tanya Tiffany.
"Kita akan hajar mereka," Maggie berjanji.
"Kita pasti hebat, ya?" kata Tiffany. "Menjadi juara se-Negara Bagian?"
"Hebat," ulang Maggie tanpa semangat. Dia melihat cemooh di wajah Andrea.
"Sampai ketemu," kata Tiffany sambil berdiri. "Tinggal tiga hari lagi." Dia
menyandangkan tas kanvasnya ke punggung lalu
berjalan ke pintu keluar kolam renang.
"Maggie?" Coach Randall memanggil dari ambang pintu
kantornya. "Bisa bicara sebentar?"
"Uh-oh," desis Andrea. "Maggie dapat masalah."
"Jangan kayak anak kecil," kata Maggie tajam. Dia
membungkus tubuhnya dengan handuk lebar, menyematkan ujungnya
kuat-kuat untuk menutupi dadanya.
Coach Randall sedang duduk di balik mejanya ketika Maggie
masuk. Pelatih itu tersenyum hangat. "Bagaimana perasaanmu?"
"Letih dan bersemangat, campur aduk," jawab Maggie.
Coach Randall mengangguk. "Gaya punggungmu hari ini lebih
baik. Gerakan melencengmu jauh berkurang."
"Ya, rasanya memang lebih baik," kata Maggie. Apa yang ingin dikatakannya"
Maggie menebak-nebak. Sejak kapan pelatihnya suka
mengobrol" "Bagaimana hal-hal lainnya?" pelatih itu bertanya sambil lalu.
"Hal-hal lain?"
"Ya," balas Coach Randall. "Kehidupanmu, rumahmu,
cowokmu, yang seperti itulah."
Wah, pikir Maggie. Apa maunya Coach Randall" Mengapa dia
menanyaiku tentang ini semua"
Apa yang diharapkan darinya" Mengungkapkan isi hatinya"
Ayahku meninggal, pacarku mengabaikanku sejak aku menceritakan
mimpi buruk yang aneh itu, aku menemukan pisau ditikamkan ke
bantalku, dan aku merasa di ranjangku ada hantunya.
Tidak, kedengarannya pasti mengada-ada. "Semua baik-baik
saja," kata Maggie. Coach Randall menatapnya berlama-lama, mengamati mata
Maggie. "Akhir-akhir ini aku menguatirkanmu, Maggie. Kau agak
berubah, tak seperti biasanya."
"Saya baik-baik saja," kata Maggie berkeras. "Sungguh."
"Kuharap kau dan Andrea sudah berbaikan," kata pelatih itu sambil mencondongkan
badannya di atas mejanya yang penuh kertas
berserakan. "Ya. Tak ada masalah," Maggie berbohong.
Mereka bicara beberapa lama lagi. Akhirnya Coach Randall
mengulangi instruksinya agar Maggie banyak beristirahat, lalu
mengizinkannya pergi. Ketika meninggalkan kantor itu, Maggie melewati pintu yang
terbentang lebar ke arah kolam renang dan memandang ke sana.
Apa itu" "Oh!" Dia memekik tertahan, tidak mempercayai apa yang
dilihatnya. Dia bergegas melewati pintu.
Kemudian langkahnya terhenti.
Dia menjerit ngeri saat melihat Tiffany tertelungkup, darah
merah menggenang di sekitarnya, membasahi lantai.
Chapter 16 TIFFANY!" jerit Maggie.
Tiffany tak bergerak. Maggie membungkuk di atasnya.
Dan melihat pisau berdarah.
Kemudian luka tikaman di pinggang Tiffany. "Oh oh oh..."
gumam Maggie ngeri. Tangannya terulur, mengambil pisau itu....
Tepat saat itu Coach Randall datang berlari dari arah ruang
ganti, dua guru lainnya masuk dari pintu depan.
Maggie mendongak, tubuhnya membeku karena ngeri yang
amat sangat. Tangannya bersimbah darah hangat yang lengket. Pisau
itu terlepas... jatuh. Guru-guru itu, dengan wajah pucat pasi, berlari ke arahnya.
Maggie melompat berdiri. "Bukan aku yang melakukannya!"
jeritnya. "Sungguh! Bukan aku!"
************* Maggie berbaring di sofa di ruang tamu, memandang langit-
langit. "Tak seorang pun mencurigaimu, Sayang," kata Mrs. Travers.
Dia duduk di dekat kaki Maggie. "Tak ada alasan mereka
mencurigaimu. Kau tak punya alasan untuk menikam Tiffany. Kau
takkan mampu melakukannya, bahkan seandainya kau punya alasan!"
"Polisi - mereka menanyaiku macam-macam," keluh Maggie.
"Mereka cuma melakukan tugas," jawab ibunya. "Tapi mereka tak pernah berpikir
kau yang menikam Tiffany."
"Aku lega karena dia akan segera sembuh," kata Maggie.
"Ibunya bilang dia masih sakit, tapi kondisinya akan membaik,"
kata Mrs. Travers. Dia menggigit bibir bawahnya. "Sayang, Tiffany tak melihat
penyerangnya. Kepada dokter-dokter dia bilang ada orang yang menyerangnya dari
belakang." Maggie merasa ada sesuatu yang basah dan hangat mengenai
tangannya. Dia melirik ke bawah dan melihat Gus menjilati tangannya yang
terkulai di pinggir sofa. Anjing itu menepuk-nepuk lengannya
dengan satu kaki depannya.
"Anjing baik," kata Maggie sambil mengusap-usap kepala Gus.
"Anjing baik dan manis." Itu salah satu kehebatan anjing. Anjing selalu
mencintai majikannya, tak peduli apa pun yang terjadi.
Andrea sedang di dapur, bicara dengan Tiffany di telepon.
Maggie bisa mendengar sebagian kata-kata Andrea. "Sungguh, kau harus
istirahat.... Masih banyak pertandingan lain... Syukurlah kau tak apa-apa...
Bisa saja lebih parah dari itu."
Hmm, pikir Maggie, syukurlah Tiffany selamat. Namun tak
mungkin Tiffany bertanding hari Jumat nanti.
Mula-mula Dawn, lalu Tiffany.
Sekarang hanya tinggal dua perenang. Maggie dan...
Maggie duduk tegak ketika Andrea masuk ruangan itu. Wajah
Andrea tersenyum senang. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa
senangnya. Andrea pasti masuk tim renang sekarang, Maggie menyadari
itu. Dia akan berenang di dua ratus meter Gaya Ganti, menggantikan
Tiffany. "Tiffany akan sembuh," Andrea meyakinkan Maggie dan
ibunya. Sepertinya itu yang membuatnya senang! pikir Maggie pahit.
"Itu sangat melegakan, Andrea," kata Mrs. Travers. "Kau dengar sendiri, Maggie"
Semua akan beres." Dia berdiri. "Sebaiknya Mom siapkan makan malam. Bagaimana
kalau hot dog dan buncis panggang?" Mom pasti cemas sekali memikirkanku, pikir Maggie. Terakhir
kali Mom memperbolehkan kami makan hot dog adalah seminggu
setelah Dad dimakamkan. Waktu itu Maggie dan Andrea yang memasak. Mereka
membuat hot dog setiap malam sampai tak ada lagi sosis yang tersisa di freezer.
"Kau tahu apa artinya ini, Mags?" tanya Andrea. "Artinya, aku ikut Kejuaraan
Negara Bagian." Maggie mengangguk, tetapi tidak sungguh-sungguh
memperhatikan. Pikirannya melayang-layang, memikirkan sesuatu
yang membuatnya sangat cemas.
Tiffany ditikam. Gadis dalam mimpinya itu juga ditikam.
Adakah hubungannya" Pikiran gila, Maggie mengingatkan d irinya sendiri. Pikiran gila.
Namun dia tidak dapat mengenyahkan pikiran itu.
Andrea mondar-mandir di depannya, tangannya tenggelam
dalam saku celana jinsnya. "Aku tak percaya pada keberuntunganku ini. Menurutmu,
berapa yang akan ikut bertanding Jumat nanti" Aku
gugup sekali. Bisa-bisa aku pingsan atau terkencing-kencing nanti.
Apa pernah ada yang terkencing-kencing di kolam ketika sedang
bertanding?"

Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tiffany ditikam," gumam Maggie, seperti tidak mendengar
kata-kata adiknya. "Apakah mimpi itu mencoba memperingatkanku?"
"Oh, jangan bicara tentang mimpimu lagi!" Andrea memohon.
"Kaubuat dirimu jadi gila, Maggie."
Dia mondar-mandir lagi. "Aku lebih baik dari Tiffany. Jadi,
menurutku, apa yang terjadi ada untungnya juga."
"Ada untungnya?" Kata-kata Andrea membuyarkan pikiran
Maggie yang sedang kacau. Mulutnya ternganga. "Ada untungnya
Tiffany ditikam?" "Aku tahu. Kedengarannya memang mengerikan," Andrea
menjawab tanpa emosi. "Tapi aku harus bagaimana" Pura-pura
tertekan karena terpaksa ikut bertanding?"
Maggie melompat duduk. Dia marah sekali kepada Andrea
hingga tak sanggup bicara apa pun. "Jaga mulutmu, orang bisa saja mengira kau
yang menikam Tiffany!" akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulut Maggie.
Andrea tertawa kesal. "Gagasan hebat!" serunya. "Gagasan hebat!"
************* "Tolong... tolong aku!"
Maggie bergerak gelisah di ranjangnya, tenggelam dalam
mimpi buruk. Tapi mimpinya sudah berubah.
Gadis berambut pirang kelabu itu tidak lagi tidur di ranjang.
Sekarang gadis itu lari, lari kencang untuk menyelamatkan diri.
Dan Maggie berlari bersamanya.
"Miranda!" panggil Maggie. "Miranda... tunggu aku!"
Dia mengikuti Miranda masuk ke lorong yang panjang dan
gelap. Dinding lorong itu basah, licin berlendir. Atap lorong itu
rendah sekali, Miranda dan Maggie terpaksa merunduk.
Miranda terpeleset-peleset dan berkali-kali jatuh karena batu-
batu yang berserakan di lantai lorong. Setiap kali jatuh, dia segera bangkit dan
berlari lagi. Maggie mengikutinya. Dia tahu ini hanya mimpi. Tetapi
rasanya nyata sekali. "Miranda! Miranda!" panggilnya.
Kalau saja gadis dalam mimpinya itu bisa mendengar suaranya!
Lorong gelap itu menyempit, makin sempit dan makin sempit,
seolah dinding batu itu pelan-pelan merapat.
Miranda terus berlari. Lorong itu berkelok-kelok.
Maggie hanya dapat melihat punggung gadis itu, rambutnya
berkibar-kibar ketika dia berlari.
"Biarkan aku melihat wajahmu! Miranda... tolong, izinkan aku
melihat wajahmu!" Tetapi dia tidak perlu melihat wajah Miranda untuk tahu gadis
itu sangat ketakutan dan putus asa.
Tiba-tiba, Maggie menyadari penyebabnya.
Seseorang mengejar-ngejar Miranda di sepanjang lorong itu,
mengejarnya dengan pisau teracung.
Semakin dekat. Semakin dekat.
Bilah pisau berkilat dalam cahaya lorong yang keabu-abuan.
Maggie menahan napas ketika Miranda terpeleset dan jatuh
lagi. Kali ini Maggie ikut jatuh. Jatuh menembus kabut merah jambu
yang seakan tak ada habisnya.
Di bawahnya, samar-samar dia melihat kanopi merah jambu.
Jantung Maggie membeku. Dia jatuh ke arah kanopi itu.
Sekarang Miranda ada lagi di ranjang itu, kepalanya terpaling.
Jadi lorong itu awal mimpi buruknya! Maggie menyadari.
Selama ini, aku masuk ke mimpi itu di tengah-tengahnya!
Kemudian mimpi itu terulang persis seperti sebelumnya.
Namun kali ini, dengan pelan, sangat pelan, gadis itu berpaling.
Akhirnya Maggie bisa melihat wajahnya. Wajah manis. Wajah
yang memancarkan kengerian.
Ketika terpana menatap wajah itu, Maggie melihat tangan si
penyerang. Sosok gelap itu merangsek maju hendak menikam Miranda.
Kemudian Maggie terbangun.
Dia terjaga. Kantuknya lenyap sama sekali.
Matanya terbuka. Jantungnya berdegup kencang.
Dia menghela napas panjang, kemudian sekali lagi.
Aku bangun. Aku selamat. Aku melihat wajahnya.
Sekarang aku benar-benar bangun.
Maggie tidak punya kesempatan menjerit sebelum tangan
dingin itu membekap mulutnya.
Ini bukan mimpi! dia sadar. Ini terjadi sekarang... padaku!
Andrea" Apakah ini Andrea lagi"
Bukan. Ketika tangan dingin itu semakiri kuat menekan mulutnya,
Maggie melotot memandang kegelapan.
Dan dia melihat Miranda. Tidak! Tak mungkin! Maggie mengangkat kedua tangannya untuk menyingkirkan
tangan yang membekapnya. Miranda menatapnya penuh amarah, rambut pirang pucat
terjurai menutupi keningnya.
"Kau... hantu?" Maggie berhasil menggumamkan kata itu.
Suaranya hanya bisikan lirih, seperti tercekik.
Miranda mengangguk. "Kau... kau benar-benar hantu?"
Miranda mengangguk lagi dan mengangkat pisau itu.
Chapter 17 BILAH pisau itu berkilat dalam cahaya samar yang masuk
lewat jendela. Maggie mati-matian berusaha lepas dan menjatuhkan diri ke
lantai. Dia membentur lantai yang keras. Sekujur tubuhnya nyeri.
"Miranda... jangan!" dia memohon.
Hantu itu memelototinya, sepasang mata warna gelap menyorot
dari balik rambut yang terburai menutupi wajah.
Pisau itu berkilat-kilat.
"Miranda... jangan!"
"Maggie?" Suara Mrs. Travers yang cemas menggema di
lorong. Maggie mendengar langkah ibunya mendekat dengan cepat.
Hantu itu melangkah mundur tanpa suara. "Maggie... kau tak
apa-apa?" panggil Mrs. Travers.
Maggie memandang dengan penuh ketakutan ketika Miranda
membuka jendela - lalu menghilang.
Maggie bangkit dari lantai. Tubuhnya gemetar karena kengerian
yang luar biasa. Pintu kamar tidurnya dibuka. Lampu dinyalakan. "Maggie..."
Langkah Mrs. Travers terhenti, dia melihat kengerian di wajah
Maggie. "Mom... hantu itu!" pekik Maggie.
"Hah?" "Hantu itu! Cewek dalam mimpiku itu... tadi dia di sini! Cepat...
lihat!" Dia mencengkeram lengan ibunya dan menariknya ke jendela.
"Lihat, Mom! Cewek itu..."
Mrs. Travers mencondongkan badannya ke luar jendela yang
terbuka. Angin mempermainkan baju tidurnya. Beberapa detik
kemudian dia berbalik menghadap ke dalam.
"Tak ada siapa-siapa di luar, Maggie, " wajahnya bersungguh-sungguh.
"Mom... dia tadi di sini, di kamarku! Dia melayang keluar lewat jendela. Dia...
dia membawa pisau dan..."
Mrs. Travers menjerit kecil, lalu melangkah maju dengan cepat,
dan merengkuh Maggie ke dalam pelukannya. "Oh, Maggie, " dia menangis. Suaranya
bergetar. "Jangan cemas. Mom akan mencari
bantuan. Mom akan segera mencari pertolongan untukmu, Sayang.
Kita cari dokter yang baik. Kau akan sembuh. Mom yakin kau pasti
sembuh." **************** "Tentang proyek kalian minggu depan, kalian harus membuat
stalaktit dan stalagmit sendiri," kata Mrs. Harrison kepada mereka.
Dia mengarahkan senternya ke langit-langit gua, tempat bentuk-
bentuk runcing menggantung lurus ke bawah seperti bilah-bilah pisau yang
runcing. "Kelihatannya seperti es beku," kata Carly Pedersen, suaranya menggema di dalam
gua. "Tepat sekali," Mrs. Harrison sependapat. "Cara terbentuknya juga sama, tapi
jauh lebih lambat. Kata 'stalaktit' berasal dari bahasa Yunani yang berarti
'menetes'." Rabu sore. Di luar cuaca dingin, gelap, dan berawan - lebih
mirip hari di musim dingin, bukan musim semi. Itu di luar. Di dalam gua, suhu
sekurang-kurangnya sepuluh derajat lebih rendah.
Maggie melingkarkan lengan ke badannya. Mengapa dia tidak
membawa jaket seperti kawan-kawannya" Mungkin karena dia tidak
bisa berpikir jernih. Pikirannya kacau. Yang ada dalam pikirannya
hanyalah wajah gadis yang terbunuh itu dan fakta bahwa dia melihat
hantunya. Hantu itu mencoba membunuhnya.
Maggie mencari-cari Dawn di antara siswa-siswa yang
mengerumuni Mrs. Harrison. Dia melihat Dawn sedang
mengawasinya. Matanya berapi-api.
Apa salahku" tanya Maggie pada diri sendiri. Apa masalah
Dawn" "Baiklah," kata Mrs. Harrison. "Seperti kalian lihat, ada tiga terowongan
berbeda yang bercabang dari mulut gua. Jangan cemas,
terowongan-terowongan itu berhubungan. Tapi di belakang sana
kalian bisa tersesat berputar-putar. Jadi sebaiknya jangan berpencaran.
Oke, sekarang kalian berkumpul menurut kelompok masing-masing,
satu kelompok empat orang. Selamat menyusuri lorong-lorong gua.
Kita bertemu di luar setengah jam lagi."
Sekelompok empat orang" Maggie memandang berkeliling.
Rasa panik tiba-tiba menyerangnya.
Kapan kelompok itu ditentukan" Pasti Jumat minggu lalu.
"Kau ikut kami," Deena Martinson memberitahunya.
"Oh, terima kasih," kata Maggie lega.
"Lewat sini," seru Deena, mengajaknya masuk ke kegelapan
yang merupakan bagian belakang gua yang luas itu. Maggie
mengikutinya dengan patuh.
Di depan, seorang anggota kelompok mereka, kawan Deena
yang bernama Jade Smith, berseru, "Wah! Dindingnya licin dan
berlendir!" Maggie harus membungkuk agar kepalanya tidak membentur
atap lorong yang basah dan permukaannya kasar.
Dinas Pertamanan telah memasang beberapa lampu untuk
menerangi lorong. Anggota lain kelompok itu membawa senter.
Hanya Maggie yang lupa tidak membawa.
Namun, bahkan dengan senter pun suasananya tetap
menyeramkan. Semakin jauh ke dalam, udara semakin dingin.
"Ingatkan aku untuk tidak jadi ahli geologi," gumam Maggie.
"Moga-moga tak ada kelelawar," kata Deena.
Akhirnya lorong itu membelok ke ruang yang lebih luas.
Maggie menghentikan langkahnya. Suara apa itu yang bergetar seperti kepak sayap"
"Kelelawar diharap bersikap sopan," bisik Jade.
"Ada yang sudah mengingatkan mereka?" balas Deena.
"Lihat!" Deena menunjuk. "Ada puluhan lorong yang keluar dari ruang ini."
Maggie terpeleset, nyaris jatuh. Tiba-tiba kepalanya pening. Dia
menyandarkan badannya ke dinding, hanya sebentar, sambil
memegangi kepala sampai rasa peningnya hilang.
Ketika mengangkat matanya lagi, dia melihat relung gua itu
sudah kosong. Kawan-kawannya sudah melanjutkan perjalanan tanpa
dia. Mendengar suara-suara mereka di depan sana, dia langsung
masuk ke mulut lorong terdekat.
Dia bergerak secepat mungkin, merunduk rendah-rendah,
melangkah hati-hati di atas batu-batu yang berserakan. Lorong itu
bercabang-cabang. Dia mencoba mengikuti suara kawan-kawannya
sekelompok. Tetapi, tak lama kemudian Maggie sadar bahwa dia tidak
mendengar lagi suara-suara di depannya. Dia juga tidak mendengar
suara di belakangnya. Dia membelalak memandang lorong yang gelap dan sempit itu.
Oke, kata Maggie pada diri sendiri, tenang... tenang...
Ikuti saja lorong ini. Kau pasti akan sampai ke ujungnya dan...
"Oh!" Dia tersentak ketika rasanya melihat dinding lorong bergerak menyempit.
"Tidak!" Persis seperti dalam mimpinya.
Miranda di lorong yang gelap. Berlari. Berlari.
Tidak. Tidak. Ini bukan mimpi.
Mimpi itu tak mungkin menjadi kenyataan, dia meyakinkan
dirinya sendiri. Ambil napas dalam-dalam. Kemudian, berbalik dan kembali ke
arah datangmu tadi. Tapi, dari lorong yang mana tadi"
Dia kehilangan arah. Lorong yang mana" Yang mana" Yang mana" Dia tidak bisa
melihat apa-apa, sekelilingnya gelap gulita.
Kemudian dia mendengar langkah kaki. Di belakangnya.
Maggie maju beberapa langkah ke arah detak langkah itu.
Kemudian dia berhenti. Detak langkah itu terus mendekat.
Ini bukan mimpi, katanya pada diri sendiri.
Ini bukan mimpi. Detak langkah itu semakin dekat. Semakin dekat.
"Siapa... siapa ya?" tanya Maggie dengan suara bergetar.
Chapter 18 TAK ada jawaban. Maggie bisa mendengar bunyi napas lirih, bunyi itu dipantulkan
dinding-dinding lorong yang sempit.
Semakin dekat. "Siapa?" ulang Maggie, rasa ngeri membuat suaranya tinggi melengking.
Tetap tak ada jawaban. Dengus napas itu semakin keras. Detak langkah menginjak
bebatuan. Semakin dekat. Semakin dekat.
Tercekik oleh rasa takutnya, Maggie berbalik, cepat-cepat
menjauhi suara itu dan memaksa dirinya berlari.
Di sela detak sepatunya sendiri, dia bisa mendengar
pengejarnya juga mulai berlari. Dia tidak bisa menghindarinya lagi.
Dia dikejar! Persis seperti Miranda. Persis seperti dalam mimpinya.
"Aduh!" Lututnya tergores pada sesuatu yang menonjol di
dinding lorong. Rasa sakit menyebar ke sekujur tubuhnya, tetapi dia terus
berlari. Kemudian, sebelum menyadarinya, dia sudah berteriak-teriak
minta tolong. Suaranya penuh kengerian.
Dia berlari menembus kegelapan. Mimpi itu menjadi nyata.
Hidupnya telah berubah menjadi mimpi.
Belum jauh dia berlari. Kakinya terantuk batu, dan dia jatuh
terjungkal. Dia bisa mendengar langkah kaki itu memburu semakin dekat.
Ketika dia berusaha berdiri, lulutnya gemetar karena sakit.
Dia membelok di tikungan dan langsung menabrak dinding.
Tangannya menyentuh sesuatu yang basah dan berlendir.
Kemudian dia mendengar bunyi kepak sayap di atasnya, seperti


Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ratusan payung mungil yang serentak dibuka.
Sesuatu menerpa wajahnya. Sesuatu yang berbulu. Dia
menjerit! "Tolong! Oh, tolong! Keluarkan aku dari sini! Keluarkan aku!"
Lorong itu bergema oleh bunyi ribuan sayap yang dikepak-
kepakkan. Detak langkah itu terus mendekat.
Sambil menjerit minta tolong, Maggie lari ke arah lain, kembali
membentur dinding lain yang basah dan dingin.
Lorong itu buntu. Dia sadar, dia terjebak. Chapter 19 MAGGIE menekankan punggungnya ke dinding, seakan
berharap bisa menembus dinding batu itu.
Langkah-langkah itu terus mendekat.
Karena ngeri luar biasa, Maggie jatuh berlutut.
Dia menyimak baik-baik, terlalu takut bergerak. Setiap saat, dia
tahu penyerangnya akan muncul dan pisau itu akan menghunjamnya
dari balik kegelapan. Sekarang! Atau... Sekarang! Tapi tak terjadi apa-apa.
Sambil menghela napas berat, dan dengan pinggang kesakitan,
dia berdiri kembali. Mimpi itu menjadi kenyataan, pikirnya lagi. Dan aku hidup di
dalam mimpi. Kemudian dia mendengar detak langkah lagi, sangat dekat. Dia
menekankan punggungnya ke dinding, tak berdaya.
Langkah itu berhenti. Seberkas cahaya.
Pisau itu" Bukan. Cahaya senter menerangi wajahnya. "Mags?" suara
seorang pemuda, tidak jelas, terbungkus udara yang pekat dan lembap.
Cahaya senter mengenai matanya.
"Hei, kau baik-baik saja?"
Maggie merasa ada tangan kuat meraih lengannya, menariknya
berdiri. "Justin?" "Maggie, mengapa kau lari?" dia bertanya sambil terengah-
engah, masih memegangi lengan gadis itu. "Aku mencarimu. Aku
memanggil-manggilmu."
"Aku nggak dengar. Aku cuma dengar langkahmu," kata
Maggie, masih gemetaran. "Semua sudah di luar, menunggu di bus," kata Justin. "Kau tak ada, jadi..."
"Aku tersesat," kata Maggie sambil menyandarkan badannya ke tubuh pemuda itu.
"Semua mencemaskanmu," kata Justin. "Ayo kita keluar."
Maggie memegang lengan Justin erat-erat sementara pemuda
itu membimbingnya keluar dari lorong-lorong gua. Maggie
mendengar kepak sayap-sayap kelelawar. Dia menahan napas, terus
melangkah. "Ku... kupikir kau pembunuh itu," gagapnya.
"Pembunuh apa?"
"Dalam mimpiku itu."
Begitu mengucapkannya, Maggie langsung menyesal. Dia bisa
merasakan otot-otot Justin menegang.
Raut wajah Justin mengeras. "Maggie, jangan bicarakan
mimpimu lagi," gumamnya.
Maggie berhenti di dekat salah satu lampu yang dipasang pada
dinding gua yang licin berlendir. Cahaya menyeramkan yang
dipancarkan bola lampu telanjang itu membuat wajah Justin yang
biasanya tampan tampak seperti tengkorak. "Sori," bisik Maggie.
Mereka menyusuri lorong-lorong gua tanpa berkata-kata.
*************** Maggie melangkah cepat di trotoar. Dia tidak sadar mengapa
merasa seperti diburu-buru. Tak ada alasan untuk cepat-cepat sampai ke rumah.
Satu hari sudah lewat. Dia tidak melihat hantu itu lagi, dan
sudah tidak mendapat mimpi itu. Tetapi rasa takut selalu
mengusiknya, di dalam rumah tuanya yang seram, malam hari di
ranjangnya yang berkanopi. Dia tidak ingin bicara dengan siapa pun, tidak ingin
bertemu siapa pun. "Maggie!" seseorang memanggilnya dari belakang.
Maggie mempercepat jalannya, pura-pura tidak mendengar.
"Hei, Mags! Pelan dikit dong!" Justin menyusul di sampingnya, berlari-lari kecil
menjajarinya. "Pelan dikit dong! Ada apa sih?"
Mengapa Justin berpura-pura tak ada masalah di antara mereka"
Justin sama sekali tidak bicara dengannya sejak peristiwa di gua
kemarin. "Tak ada apa-apa," gumam Maggie sambil mempercepat
langkahnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Justin.
"Maksudmu aku gila?" tanya Maggie tajam.
Justin seperti tersengat. Dia meraih bahu Maggie dan
memaksanya berhenti berjalan. "Aku mencarimu di sekolah tadi, tapi kau tak ada.
Aku jadi kuatir." "Aku ke dokter," kata Maggie.
"Ke dokter" Kau sakit?"
"Sakit di kepala," gumam Maggie pahit.
"Kau pergi ke psikiater?"
Maggie mengangguk. Dr. Brenda Marsh seorang psikiater yang bicaranya lembut,
usianya empat puluh tahunan. Mrs. Travers beberapa kali
berkonsultasi dengannya setelah suaminya meninggal. Ia mengatakan
dokter itu sangat banyak membantu. Tetapi sejauh yang diketahui
Maggie dan Andrea, yang dilakukan psikiater itu hanyalah
mengatakan kepada ibu mereka bahwa wajar jika Mrs. Travers merasa
tertekan dan memberinya obat penenang berkadar ringan untuk
membuatnya bisa tidur. Maggie heran ketika merasakan sendiri betapa melegakannya
bisa bicara dengannya. Brenda memiliki senyum yang ramah dan mata
yang penuh simpati. Dia tidak kaget mendengar apa pun yang
diceritakan Maggie. Bahkan ketika Maggie mengatakan bahwa dia
menganggap gadis yang dibunuh itu, Miranda, mengejar-ngejarnya
untuk membalas dendam. "Saya tahu, kedengarannya ini sinting," cetus Maggie
menjelang akhir kunjungannya, "tapi saya pikir itu karena Miranda sudah mati.
Sekarang dia ingin agar saya juga mati."
"Mimpi bisa membuat kita sangat kesal," kata Dr. Marsh
lembut. "Mimpi juga menjadi kunci penting yang bisa menunjukkan apa yang
sebenarnya kita pikirkan. Aku ingin kau datang lagi dan
bicara denganku minggu depan. Setuju?"
Maggie mengangguk. "Tentu, saya akan da?tang lagi."
"Apakah psikiater itu berhasil menemukan masalahmu?" tanya Justin ketika mereka
melewati The Corner, tempat mangkal anak-anak
sekolah yang saat itu penuh dengan siswa-siswa Shadyside.
Maggie menggeleng. "Menurut dia, mimpi itu tentang sesuatu
yang lain, sesuatu yang mengganggu pikiranku."
"Oh," kata Justin.
Maggie tahu masalah itu membuat Justin merasa tidak enak.
Dia juga tahu masalah itu merenggangkan hubungan mereka. "Apakah aku masih akan
bertemu denganmu lagi?" tanyanya mendesak.
Justin menjawab tanpa ragu, "Bagaimana kalau besok malam?"
Dia tersenyum kepada Maggie, dan merapatkan badannya. "Pertama-tama, kau harus
memenangkan pertandingan dua ratus meter itu.
Setelah itu, kau dan aku akan merayakannya."
"Pertama-tama, aku harus menang," kata Maggie, keningnya
berkerut. "Kau pasti menang," Justin meyakinkan. "Aku yakin." Dia melingkarkan lengannya
di pinggang Maggie dan memeluknya.
Sungguh menyenangkan berada dalam pelukannya lagi. Maggie
meletakkan kepalanya di bahu Justin. Sesaat, dia lupa akan segala
masalahnya. Sesaat, sepertinya tak sesuatu pun bisa mencelakakannya.
Hanya sesaat. Kemudian, matanya beralih ke balik punggung Justin, dan ada
yang membuatnya tersentak.
Berdiri di seberang jalan. Di trotoar, di depan pagar tanaman.
Miranda. Miranda. Hantu itu. Berdiri di sana. Mengawasi mereka.
Justin pasti merasakan badannya menegang, karena dia
melepaskan pelukannya. Maggie tidak bisa memutuskan apa yang akan dilakukannya.
Dia ingin berteriak, menunjukkan kepada Justin bahwa Miranda
benar-benar ada. Dia ingin lari mengejar Miranda. Menariknya. Memegangnya.
Menunjukkan kepada siapa saja bahwa dia, Maggie, tidak gila.
Tetapi apa yang akan terjadi kalau dia mengatakan itu kepada
Justin" Satu lagi episode "gila" - dan Justin pasti akan memutuskan hubungan.
Dia memandang hantu berambut pirang pucat yang kemilau
disinari matahari sore. Dia harus menceritakannya kepada Justin. Dia harus
menunjukkannya kepada Justin.
"Justin!" seru Maggie. "Lihat! Di seberang jalan! Itu dia! Itu hantunya! Gadis
dari mimpiku! Lihat!"
"Hah?" Justin berbalik, mengikuti mata Maggie yang
memandang pagar tanaman di seberang jalan.
Tak ada siapa-siapa di sana.
Chapter 20 MAGGIE menjerit karena frustrasi dan berlari cepat ke
seberang jalan. Tak ada jejak Miranda. Dia mencari-cari di balik pagar tanaman. Dia berlari sampai
setengah blok berikutnya.
Miranda sudah menghilang. Menghilang seperti hantu.
"Maggie!" Justin mengejarnya, wajahnya mengeras.
"Nanti saja!" seru Maggie sambil melambaikan tangan,
memberi isyarat agar Justin tidak menyusulnya. Dia tidak berniat
bertengkar dengan Justin di situ, saat itu. Dia tak sanggup. Sungguh dia tak
sanggup. Dia tak tahan berada bersama orang yang menganggapnya gila.
Tak peduli apa kata Justin, Maggie tahu apa yang dipikirkan pacarnya itu.
Dia berputar-putar di kawasan dekat sekolahnya dengan kepala
tertunduk, nyaris tidak memperhatikan lalu lintas ketika menyeberang jalan
beberapa kali. Setiap beberapa blok dia mengangkat kepalanya, berharap bisa
melihat hantu itu lagi. Tetapi Miranda tidak ada.
Setelah berputar-putar tanpa tujuan, pukul lima lewat barulah
Maggie sampai di rumah. Ketika dia masuk ke ruang tamu, Andrea
sedang keluar dari dapur, membawa kentang goreng yang panas
mengepul. "Hei, Maggie!" sapanya santai. Andrea mengenakan celana
superpendek warna hijau dan kaus ketat warna jingga. Telinganya
mengenakan sepasang anting-anting gipsi dari emas. Itu anting-anting Maggie.
"Kau tak keberatan, kan?" kata Andrea riang sambil
menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, membuat anting-anting
itu bergoyang-goyang. "Sore ini aku merasa harus dandan sedikit."
Maggie tidak berminat bertengkar denga?nya. "Mana Mom?"
tanyanya datar. "Di kebun belakang. Keluarga Avery mengundang kita makan-
makan di luar." "Asyik," gumam Maggie tanpa semangat.
Setelah meletakkan tas punggungnya di meja di lorong, dia
menyusul Andrea ke kebun belakang. Tepat di balik pagar tanaman,
dia melihat topi oranye yang sudah dikenalnya. Mr. Avery sedang
berdiri di depan pemanggang. Dengan cekatan dia membalik-balik
burger dengan spatula dari metal. Ketika melihat Maggie, dia
melambaikan spatula-nya. Gus diikatkan ke pohon birch milik keluarga Avery dengan tali
panjang. Anjing itu menyalak-nyalak penuh semangat begitu melihat
Maggie. Dengan segelas es teh di tangannya dan topi jerami di
kepalanya, Mrs. Travers berdiri sambil mengobrol dengan Mrs.
Avery. Dia melingkarkan sebelah lengannya ke bahu Maggie, ketika
gadis itu berdiri di sampingnya. Mrs. Travers meremas bahunya.
"Telingamu bisa gatal," kata ibunya, "jika kaudengar pujian-pujian yang
dikatakan Mrs. Avery tentang kau."
Wajah Mrs. Avery menjadi cerah.
"Kau," lanjut Mrs. Travers, "yang memperkenalkan kita ke tetangga kita yang
baru. Maggie memang yang paling ramah di
keluarga kami," katanya kepada tetangganya. "Entah dari mana dipelajarinya itu.
Saya membutuhkan waktu lama sebelum bisa benar-benar berkawan..." Kata-katanya
terputus. Dari sorot matanya, Maggie tahu, ibunya merindukan ayahnya.
Andrea dan Mr. Avery tertawa keras. Maggie memandang
mereka. Mereka seperti dua sahabat lama. "Makanan sudah siap," kata Mr. Avery
sambil mengulurkan sepiring burger kepada Andrea.
"Ini cukup untuk saya," Andrea bercanda sambil menerima
piring berat itu, "tapi yang lain-lain mau makan tidak?"
Semua tertawa kecuali Maggie.
Mereka duduk di sekeliling meja piknik di kebun belakang lalu
mulai makan. Mrs. Avery telah menyiapkan satu karaf limun merah
jambu yang kelihatannya segar sekali, sayang rasanya terlalu asam.
Dia pasti lupa menambahkan gula.
Andrea memimpin pembicaraan. Dengan riang dia bercerita
tentang sekolahnya, pertandingan renang besok, dan film yang ingin
ditontonnya. Mrs. Travers berusaha melibatkan Maggie dalam obrolan
mereka. Tetapi Maggie menjawab semua pertanyaan dengan jawaban
satu kata. Bahkan itu pun sulit dilakukannya. Satu-satunya yang terus-
menerus dilakukannya adalah menepuk-nepuk Gus yang duduk di
bawah meja, dekat kakinya.
"Maggie, sore ini kau pendiam sekali," kata Mrs. Avery sambil memandangnya penuh
tanya. "Maaf," sahut Maggie, berusaha keras tersenyum. "Saya hanya..." Dia tidak bisa
menemukan alasan yang bagus.
"Dia sangat cemas, takut saya kalahkan di pertandingan besok,"
kata Andrea menyombong, tangannya terulur ke seberang meja,
mengambil kentang goreng. "Cobalah, Mr. Avery," katanya, "kentang goreng buatan
saya pasti lezat sekali!"
Semua tertawa. Maggie belum pernah melihat Andrea seriang
itu. Seolah-olah, semakin sedih dan kesal Maggie, semakin senanglah Andrea.
Seakan-akan di rumah mereka kebahagiaan hanya cukup
untuk satu orang. Ibunya berkali-kali meliriknya. Maggie tahu apa yang
dipikirkan ibunya. Kunjungan sekali kepada Dr. Marsh pasti tidak
cukup. Mom pikir aku gila. Andrea pikir aku gila. Pacarku pikir aku
gila. Tak mungkin mereka semua salah, Maggie menyimpulkan
dengan murung. Mungkin aku memang gila!


Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia hampir tidak mendengar percakapan mereka.
Dia terus-menerus membayangkan Miranda, berdiri seperti
hantu, memandangi Maggie dan Justin dari dekat pagar tanaman. Lalu
menghilang begitu saja. Dia membayangkan ranjang berkanopi itu. Ranjang berkanopi
yang cantik, yang hanya memberinya kengerian.
Kengerian yang melumpuhkan saraf.
Kengerian itu dan... jawabannya"
Apakah ranjang itu menyimpan jawaban untuk semua ini"
Apakah ada sesuatu di balik mimpi itu" Maggie menduga-duga.
Jika aku bisa menyelesaikan mimpi yang mengerikan itu... jika aku
bisa melihat wajah si penyerang, seperti aku melihat wajah Miranda...
apakah semuanya akan menjadi jelas bagiku"
Aku cukup letih untuk tidur sekarang, Maggie memutuskan.
Aku harus menyelesaikan mimpi itu. Aku harus mengenyahkan
mimpi itu untuk selamanya
"Aku mau ambil minuman lagi," dia berbohong sambil bangkit berdiri.
Semua memandangnya. Ibunya berdiri dengan wajah cemas.
"Aku hanya mau ke kulkas, Mom," kata Maggie. "Tenang saja."
Dia tersenyum kepada mereka, tetapi senyumnya aneh dan
dipaksakan... Dia benar-benar merasa dirinya sudah gila.
Kemudian dia membungkuk dan berbisik ke telinga ibunya.
"Aku ingin berbaring, aku letih sekali. Dr. Marsh menasihatiku agar banyak
tidur. Mom, tolong aku, ya?"
Dia menepuk lengan ibunya lalu bergegas pergi.
Di dapur, dia minum susu banyak-banyak, langsung dari kotak
pembungkusnya. Susu selalu membuatnya tenang, bahkan susu dingin
sekalipun. Dia menaiki tangga, dua anak tangga sekaligus, menuju ke
kamar tidurnya. Aku akan tidur. Aku akan bermimpi, katanya pada diri sendiri.
Aku takkan bangun sebelum tahu jawaban misteri ini.
Aku takkan bangun sebelum mimpiku selesai. Dengan begitu
mungkin... mungkin... mimpi buruk yang nyata sekali ini mungkin
akan berakhir juga. Dengan penuh tekad Maggie menyeberangi lorong ke
kamarnya, lalu mendorong pintunya hingga membuka....
Dia melihat ranjang berkanopi itu sudah lenyap.
Chapter 21 "HAH?" Maggie ternganga kaget.
Hilang. Lenyap. Ranjang itu tak ada. Sebagai gantinya, ada ranjang biasa dengan kerangka metal dan
kasur berpegas, dengan seprai merah jambu dan kain afghan putih
sebagai penutupnya. Masih di ambang pintu kamarnya, dia mendengar pintu
belakang dibanting menutup. Disusul detak langkah menaiki tangga
depan. Andrea muncul di lorong, wajahnya nyengir menyembunyikan
sesuatu. "Mom belum bilang padamu?" tanyanya. "Kata Dr. Marsh, ranjang itu tak
baik untukmu, membuatmu terobsesi."
"Tapi aku membutuhkannya!" jerit Maggie, merasa dirinya
kehilangan kendali. Dia mencengkeram bahu Andrea. "Di mana
ranjang itu" Mom apakan ranjang itu?"
Dia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika sedang
mengucapkan pertanyaannya. Maggie menerjang Andrea, lalu masuk
ke kamar adiknya. Dia yakin akan menemukan ranjang itu di sana.
Tetapi di kamar itu hanya ada ranjang Andrea yang sudah tua
dan teddy bear-nya yang dibaringkan di bantal. Seperti biasa.
"Mana ranjang itu?" pekik Maggie. "Mana ranjang itu"
Kauapakan ranjang itu"!"
"Aku tak menyentuh ranjang konyolmu itu," jawab Andrea
sinis. "Mom memindahkannya ke loteng. Mom memanggil tukang
angkut barang. Mr. Avery membantunya."
Loteng" Maggie tahu rumah itu ada lotengnya, tetapi dia belum pernah
naik ke sana. Dia mendorong Andrea ke samping dan melewatinya, bergegas
menyusuri lorong. "Mana pintu ke loteng?" tanyanya ketus.
Andrea menunjuk ke langit-langit. "Itu yang kaucari," katanya.
Maggie memandang langit-langit. Untuk pertama kalinya dia
melihat seutas tali pendek terjurai dari kaitan logam. Ada pula celah berbentuk
segiempat di langit-langit itu. Pintunya.
"Tangganya harus ditarik ke bawah," kata Andrea. "Tapi, kau tak boleh naik ke
sana. Mom pasti akan marah sekali."
"Aku tak peduli Mom marah atau tidak," bentak Maggie.
"Dengar, Maggie," kata Andrea. "Mom menyuruhku
memanggilmu. Mrs. Avery membuat chocolate pie, karena Mom
bilang itu kue kesukaanmu. Kau harus kembali ke sana, meskipun
cuma sebentar." Maggie bersandar ke dinding sambil mendengus.
Ranjang itu harus menunggu.
Andrea mencolek lengan kakaknya. "Ayo, Maggie. Mom pasti
cemas." Gula yang tidak ditambahkan ke dalam limun oleh Mrs. Avery
dicampurkan ke dalam chocolate pie itu. Kuenya manis sekali. Gigi
Maggie ngilu karenanya! Namun dia tetap tersenyum dan berhasil menghabiskan kue itu.
************** Begitu membaringkan diri di ranjang baru itu, Maggie langsung
tertidur - atau, begitulah kelihatannya.
Ketika dia membuka matanya lagi, ruangan itu gelap dan sunyi.
Dia menyipitkan mata, melihat weker. Ketika dia mengamati weker
itu, angkanya berubah tanpa bunyi: 03.21.
Dia menurunkan kakinya ke lantai.
Seisi rumah pasti tidur, dia yakin.
Suasana aman. Maggie bisa naik ke loteng diam-diam, naik ke
ranjang berkanopi itu, dan mencoba menyelesaikan mimpinya.
Siapa yang membunuh Miranda" Siapa" tanyanya pada diri
sendiri sambil berjingkat-jingkat ke pintu kamarnya.
Diam-diam dia keluar dari kamarnya, ke lorong, selangkah
demi selangkah, dengan sangat hati-hati menginjak lantai kayu agar
tidak berderik. Barulah ketika sampai di ujung lorong, Maggie menyadari
kesalahannya. Meskipun tubuhnya jangkung, dia tak bisa meraih tali
yang terjurai dari langit-langit itu.
Dia harus mencari kursi. Oh, jangan sampai mereka terbangun! dia berdoa dalam hati.
Beberapa detik kemudian, dengan hati-hati dia meletakkan kursi
itu lalu menaikinya. Moga-moga saja Gus tidak bangun dan
mengendus-endus. Kalau Gus menyalak, ibunya dan Andrea pasti
akan terbangun. Pintu di langit-langit itu cukup lebar, tangga kayu lipat pelan-
pelan membuka ke bawah ketika dia menarik talinya. Meskipun dia
sudah berhati-hati, sambungan-sambungan tangga tetap saja berderik
ribut. Maggie mengusap keringat dari keningnya. Setiap beberapa
tarikan, dia berhenti dan menyimak kalau-kalau ada suara dari kamar ibunya.
Akhirnya tangga loteng itu menyentuh lantai. Sambil
membungkuk dia memanjat, satu anak tangga... satu derik nyaring...
Satu per satu. Dia masuk ke ruang mungil yang dindingnya miring mengikuti
bentuk atap rumah. Kasau-kasaunya rendah sekali. Maggie terpaksa
merunduk. Satu-satunya jendela di situ kecil dan tertutup debu tebal, sehingga
cahaya bulan tampak samar-samar.
Tapi dia bisa melihat dengan jelas - ranjang itu, dirapatkan ke
dinding di ujung ruangan. Kanopinya menyentuh langit-langit yang
rendah. Jantung Maggie berdegup kencang ketika dia melangkah
mendekatinya. Apakah aku nanti bisa tidur" dia menduga-duga sambil
mendekat. Apakah aku bisa kembali ke dalam mimpi itu"
Apakah aku bisa memecahkan misteri mengerikan ini untuk
selamanya" Maggie berhenti beberapa langkah dari ranjang itu... dan
tercengang ketika melihat seseorang tidur di sana.
Chapter 22 MAGGIE mendekat dengan kaki gemetar.
Bayang-bayang lebih gelap di sekeliling ranjang itu. Kanopinya
mengakibatkan ranjang itu lebih gelap lagi.
Namun Maggie langsung mengenali gadis yang sedang tidur
itu. Miranda! Aku memandang hantu! Maggie sadar.
Dia bisa mendengar napas Miranda yang lembut dan teratur.
Maggie melangkah maju, semakin dekat, lalu mengulurkan
tangannya. Aku cukup dekat untuk menyentuhnya. Aku akan menyentuh
hantu. Apakah aku akan bisa merasakan sesuatu"
Tangannya menyentuh bahu Miranda. Maggie merasakan
kulitnya yang hangat di balik T-shirt tipis.
"Hei..." Miranda langsung terduduk; matanya melotot marah.
Dia turun dari ranjang. Maggie menjerit kaget dan terlompat mundur.
Dada Miranda yang rata naik-turun seirama dengan napasnya
yang memburu, matanya menatap Maggie dengan marah, menembus
kegelapan. Mata itu liar dan membara.
Dia maju selangkah mendekati Maggie. Maggie mundur. Tapi
dia terpojok. Punggungnya menyentuh dinding miring yang rendah.
"Kau... kau benar-benar hantu?" tanya Maggie dengan suara tercekik.
Miranda tidak menjawab. Dia malah membungkuk dan
mengambil sesuatu dari bawah ranjang.
Pisau itu! Bilahnya berkilat di bawah cahaya bulan pucat yang menembus
lewat jendela berdebu. Persis seperti dalam mimpi, pikir Maggie.
Miranda mengangkat pisau itu.
Sambil menjerit putus asa, Maggie menerjang ke depan. Dia
mencengkeram lengan gadis itu. Mereka bergumul.
"Kau... kau nyata!" seru Maggie. "Kau bukan hantu!"
Miranda melepaskan diri dari cengkeraman Maggie. Napasnya
terengah, dia mundur selangkah.
Dengan gugup Miranda mencari jalan keluar. Tapi Miranda
berdiri di antara Maggie dan tangga ke bawah. Maggie terjebak. Tak
bisa melepaskan diri. "Aku mimpi tentang kau, Miranda!" seru Maggie.
Mata gadis itu terbelalak kaget.
"Aku mimpi tentang kau. Setiap malam. Di ranjang ini,"
Maggie melanjutkan. "Ada orang menikammu. Mengerikan sekali.
Aku..." Gadis itu tertawa. Tawanya aneh, hampa, mengerikan. "Ada
orang menikam Miranda," katanya. "Miranda yang malang."
"Hah?" Maggie ternganga tidak mengerti. "Apa katamu" Kau bukan Miranda?"
Gadis itu menggeleng. Rambut panjangnya bergerak-gerak
menutupi wajahnya. "Tapi dalam mimpi itu...," kata Maggie.
"Miranda harus mati," potong gadis itu. "Miranda kejam...
seperti kau!" "Seperti aku" Aku... aku tak mengerti," Maggie tergagap-
gagap., "Siapa yang membunuh Miranda" Kau?"
Gadis itu mengangguk. "Mungkin," sahutnya lirih, matanya
menatap mata Maggie dengan sengit. "Mungkin aku harus membunuh Miranda karena
Miranda kejam." "Tapi siapa kau?" desak Maggie.
"Gena," jawab gadis itu. "Apakah aku ada dalam mimpi itu?"
"Aku... aku tak tahu," jawab Maggie. Dia beringsut-ingsut mendekati tangga ke
bawah. "Aku adik Miranda," geram gadis itu dengan marah. "Mengapa aku tak ada dalam
mimpi itu?" "Aku tak tahu. Sungguh!" ulang Maggie sambil menelan ludah dengan susah payah.
Tenggorokannya kering dan kasar seperti debu loteng. "Aku tak
mengerti arti mimpi itu, Gena."
"Aku mengerti," sahut gadis itu ketus. "Miranda selalu bilang dia punya kekuatan
gaib. Miranda membuatmu mendapat mimpi itu.
Miranda ingin memperingatkanmu tentang aku. Miranda sangat
kejam." Maggie beringsut semakin dekat ke tangga. "Kau
membunuhnya, Gena" Kau menikam kakakmu?"
Gena mengangkat pisau itu. "Aku harus membunuhnya. Aku
sudah bilang. Miranda itu kejam... seperti kau."
"Tapi aku tak kejam, Gena. Sungguh!" seru Maggie karena
melihat amarah membara di mata gadis itu.
"Kau akan mengunci dan mengurungku lagi, ya kan?" tuduh
Gena. "Kau akan mengurungku di rumah sakit abu-abu itu. Tapi kau tak bisa,
Maggie. Tak bisa! Aku kabur. Aku tak mau balik ke sana!"
"Kapan?" tanya Maggie, berusaha keras membuat gadis itu
terus bicara. "Kapan kau keluar dari sana?"
"Tepat sebelum kau pindah ke sini," sahut Gena. "Aku pulang ke rumahku. Tapi
semua sudah pergi. Jadi aku terpaksa tinggal di
sini." "Di loteng ini?"
Gena mengangguk. "Selama ini kau tinggal di sini?"
Gena mengangguk lagi. "Sepanjang hari rumahmu kosong. Aku
sendirian di sini. Makanku tak banyak, tak ada yang merasa
kehilangan jika aku mengambil makanan dari kulkas. Lagi pula kalian meletakkan
kunci-kunci sembarangan - jadi gampang sekali membuat
tiruannya. Aku bisa keluar-masuk sesukaku."
Mendadak dia menerjang maju.
Dia menjambak rambut Maggie dan menariknya kuat-kuat,
tenaganya luar biasa. "Aduh! Lepaskan!" jerit Maggie, mencoba membebaskan diri.
Tetapi Gena membuatnya kehilangan keseimbangan.
Maggie jatuh terjengkang.
Masih menjambak rambut Maggie, Gena menarik kepala gadis
itu ke belakang, membuat leher Maggie tak terlindung.
Gena mengangkat pisau. Gadis itu sedang mengangkat pisaunya tinggi-tinggi saat
mereka mendengar langkah-langkah bergegas menaiki tangga loteng.
"Hei!" Wajah Andrea yang kaget muncul dari lubang pintu.
"Hai, Andrea," kata Gena santai, seakan mereka sudah lama saling kenal. "Aku
akan membunuh kakakmu demi kau sekarang."
Chapter 23 GENA menarik rambut Maggie kuat-kuat, ke belakang, sampai
kepala Maggie tersandar ke pinggir ranjang. "Aku siap, Andrea,"
katanya mengumumkan. "Andrea!" jerit Maggie ngeri. "Kau... kau merencanakan ini dengannya?"
Andrea masuk ke kamar itu. "Tunggu...," katanya lirih.
"Benarkah kau sedemikian membenciku?" jerit Maggie.
"Tunggu!" bentak Andrea lebih keras sambil mendekati mereka.
Langkahnya membuat lantai kayu berderak. "Siapa kau?" tanya Andrea kepada Gena.
"Lepaskan dia!"


Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi aku melakukannya demi kau, Andrea," kata Gena,
suaranya terluka. "Dia kejam padamu. Dia kejam... seperti Miranda."
"Demi aku?" jerit Andrea. "Apa yang kaulakukan demi aku?"
"Aku melakukan semuanya demi kau," jawab Gena lirih.
"Maggie... aku belum pernah melihat dia!" kata Andrea keras.
"Tidak pernah! Kau harus mempercayaiku!"
"Hentikan dia!" Suara Maggie tercekat, matanya nanar menatap pisau itu.
Gena menjambak rambutnya lebih kuat, membuat kepala
Maggie terantuk ke ranjang. Rasa sakit menyebar ke sekujur tubuh
Maggie, melumpuhkannya. "Hentikan dia, Andrea! Jangan biarkan dia membunuhku!"
Maggie memohon. "Aku melakukan semuanya demi kau, Andrea," Gena
melanjutkan, tidak memedulikan jeritan Maggie yang penuh
ketakutan. "Kulukai kedua gadis itu demi kau, supaya kau bisa masuk tim renang."
"Kau apa?" pekik Andrea.
"Oh, ya ampun," Maggie tergagap. "Dialah yang mencelakakan Dawn dan Tiffany. Aku
tak percaya." "Aku yang menikamkan pisau ke bantal kakakmu, Andrea,"
Gena mengakui dengan bangga. "Yah, untuk menakut-nakutinya.
Untuk menyiapkan dia menghadapi malam ini."
"Tapi aku tak ingin membunuhnya!" jerit Andrea sambil
menangis. "Siapa kau" Apa yang terjadi" Bagaimana kau bisa masuk ke rumah kami?"
"Diam, Andrea," kata Gena lirih.
Dia mengalihkan matanya kepada Maggie.
"Saatnya sudah tiba," desisnya. "Saatnya sudah tiba. Kakak yang kejam harus
mati." Sambil menjerit putus asa, Maggie mengulurkan tangannya dan
mencengkeram tangan Gena, tangan yang menjambak rambutnya.
"Aduh!" teriak Gena ketika Maggie membenamkan kuku ke
pergelangan tangannya. Gena menarik tangannya, melepaskan rambut Maggie.
Dia mengayunkan pisau itu ke bawah... dengan kencang dan
dengan sekuat tenaga. Maggie berguling menghindar.
Pisau itu menancap di kasur, satu inci dari pinggang Maggie.
Maggie berjuang menjauh dari ranjang itu.
Tapi Gena menindihnya, menghantamnya dengan tenaga yang
luar biasa hingga kepala Maggie membentur kepala ranjang.
Persis kejadian dalam mimpi itu!
Pikiran itu terlintas di benak Maggie.
Mimpi seram itu... sekarang jadi kenyataan. Mereka bergumul
di kasur. Gena terlalu kuat, terlalu nekat.
Dia mengayunkan pisaunya lagi.
Maggie menjerit ngeri ketika tiba-tiba semua jadi gelap.
Chapter 24 SEMUA jadi gelap. Tapi Maggie sadar, dia masih hidup, masih bergumul dalam
gelap. Pisau itu luput. Tidak mengenainya.
Dia berhasil terbebaskan dari cengkeraman Gena. Lalu
berguling turun dari ranjang.
Kini Maggie tahu mengapa semua menjadi gelap.
Andrea menarik lepas kanopi itu untuk menutupi mereka.
"Cepat!" kata Andrea. "Maggie... cepat!"
Andrea memegangi satu sisi kanopi dan memberi isyarat kepada
Maggie dengan gugup. Maggie bereaksi cepat. Dia meraih sisi kanopi yang lain... lalu
mereka memerangkap Gena dengannya.
Gena menendang-nendang, mencoba membebaskan diri.
Tangan yang memegang pisau itu terjulur ke luar.
Andrea mencengkeram pergelangannya, memaksa jari-jari itu
membuka. Pisau itu terlempar ke lantai.
"Bungkus dia!" seru Maggie.
Berdua, kakak-beradik itu membungkus gadis yang meronta-
ronta itu dengan kanopi. "Apa-apaan...," seru Mrs. Travers dari tangga.
"Cepat panggil polisi! Cepat, Mom!" seru Maggie.
Mereka mendengar Mrs. Travers berlari ke telepon untuk
menghubungi polisi. Gena terbungkus rapat di dalam kanopi. Dia berhenti meronta-
ronta dan berbaring diam di ranjang.
"Aku... kuharap kau bisa menjelaskan semuanya ini padaku,"
kata Andrea terengah-engah sambil menindih gadis itu.
"Kurasa aku bisa," kata Maggie, memaksa diri tersenyum.
"Baru kali ini kupikir aku bisa menjelaskannya."
**************** "Mom pikir kakak Gena membuatku mendapatkan mimpi itu"
Mom pikir dia mencoba memperingatkanku tentang Gena?" tanya
Maggie. Mrs. Travers meneguk kopinya. "Itu penjelasan yang masuk
akal," jawabnya sambil merenung.
Maggie, Andrea, dan ibu mereka duduk mengelilingi meja
dapur, menikmati kopi panas dalam mug putih. Polisi baru saja pergi dan menahan
Gena. Dari jendela dapur mereka bisa melihat matahari
pagi yang merah bulat mendaki cabang-cabang pepohonan.
"Gus benar-benar melindungi kita, ya?" kata Maggie sambil memutar-mutar bola
matanya. Mendengar namanya disebut, Gus masuk dari ruang tamu. Dia
meletakkan kepalanya di paha Maggie.
Maggie menepuk-nepuk kepalanya yang hangat. "Kau anjing
penjaga yang hebat, Gussie. Ya. Kau pembunuh sejati. Terima kasih
telah memperingatkan kami ada orang yang diam-diam tinggal di sini
selama ini!" Gus memandangnya dengan tatapan penuh sayang, seakan dia
mengerti pujian tertinggi itu ditujukan kepadanya.
Maggie tersenyum kepada Andrea. "Kau menyelamatkan
nyawaku." Andrea mengangkat bahu. "Yah... hanya itu yang bisa
kulakukan." "Kau boleh memiliki ranjang berkanopi itu sekarang," Maggie menawarkan, sambil
tersenyum. "Tidak, terima kasih. Kau yang punya," sahut Andrea.
"Tidak. Sungguh," Maggie berkeras. "Kau boleh memilikinya."
"Aku tak mau!" seru Andrea.
"Mungkin sebaiknya kita berikan pada Gus," usul Mrs. Travers.
"Dia pantas mendapat mimpi buruk!"
"Boleh aku minta kasur air?" Andrea tiba-tiba bertanya kepada ibunya.
"Wah, kau bisa berlatih gaya dada sambil tidur!" goda Maggie.
"Gaya dadaku sudah sempurna," tukas Andrea tajam. "Cukup untuk mengalahkanmu!"
"Kejuaraan renang!" seru Maggie kaget. "Hari ini... padahal semalaman kita tak
tidur!" "Wah, mimpi buruk ini namanya!" seru Andrea.
"Tolong..." Maggie meletakkan tangannya di atas tangan
adiknya. "Jangan pernah menyebut kata itu lagi di rumah ini."
"Mimpi buruk! Mimpi buruk! Mimpi buruk!" Andrea
menyanyi-nyanyi. "Dasar anak-anak," gumam Mrs. Travers sambil menggeleng-
geleng. Gus mengangguk, seakan setuju seratus persen.
"Selamat malam, semua," kata Maggie. Dia menaiki tangga dan menuju ke kamarnya.
"Selamat malam... semoga mimpi indah." END
Tiga Dara Pendekar 30 Siluman Ular Putih 06 Lembah Kodok Perak Pedang Asmara 14
^