Pencarian

Ciuman Maut 1

Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss Bagian 1


Chapter 1 "ASTAGA!" Vincent Milano bersandar lagi ke bantal-bantal di sofa itu. Ia
masih merasakan sentuhan bibir Delia Easton di pipinya.
Ia memperhatikan Delia mengoleskan lipstik dari tabung
berwarna perak ke bibirnya.
Delia mengoleskan lipstik itu ke bibir bawahnya yang penuh.
Lalu ke bibir atasnya. Digarisnya tepi bibirnya dengan hati-hati.
Perasaannya pasti mengatakan bahwa polesannya sudah
sempurna. Ia mengecapkan bibir dan mengeringkannya dengan sehelai
tisu. Kemudian ia melemparkan tisu itu ke atas meja di depan sofa.
Sebuah cetak bibir yang sempurna menodai tisu putih itu. Cetak
bibir warna ungu gelap. Cetak bibir itu tersenyum kepada Vincent,
sama seperti Delia tersenyum kepadanya dari tempatnya di sofa.
Vincent mengusap rambutnya yang hitam berombak dengan
tangan kiri. Ia mengulurkan tangannya ke Delia dan menarik selembar
tisu dari tas gadis itu. Kemudian ia mengusap corengan lipstik ungu
itu dari pipinya. "Sekarang apa yang akan kita bicarakan?" tanyanya. Ia
memberi Delia salah satu senyuman khas Vincent Milano-nya.
"Kita perlu merencanakan pesta ulang tahunmu," sahut Delia. Ia
melihat arlojinya. "Tapi mungkin kita bicara lain waktu saja. Sudah
terlalu malam. Aku harus pulang."
Vincent cepat-cepat mendekat. ''Belum terlalu malam. Kau
tidak harus pergi sekarang." Ia mengusapkan sebuah jarinya di bawah
telinga kiri Delia. Delia tertawa genit. Kemudian ia memandang ke jendela depan
sekilas. "Mungkin orangtuamu akan segera pulang," katanya.
"Tapi mereka belum pulang." Vincent menoleh ke jendela. Ia
tidak bisa melihat banyak"hanya Jetta kecil warna merah milik Delia
yang diparkir di jalan masuk. Jalanan di depan rumah itu kosong.
"Mereka masih agak lama baru pulang." Sebenarnya orangtua
Vincent memang baru akan pulang beberapa jam lagi. Tapi Vincent
mengharapkan kedatangan seseorang pada jam sembilan. Seseorang
yang tidak diinginkan Vincent untuk dilihat Delia.
Ia melihat jam di rak di atas tungku.
Baru jam delapan tiga puluh. Masih banyak waktu sebelum
Karina tiba. Mungkin sebaiknya ia menikmati suasana saat ini
sementara menunggu Karina.
Vincent mencium Delia lagi. Delia tidak akan pernah mengira
bahwa senyumannya yang lebar juga ditujukan untuk Karina Frye.
"Mmmm." Delia menatapnya. Matanya yang cokelat berbinarbinar. "Aku pergi belanja untuk beli pakaian baru hari ini," katanya
pada Vincent. "Aku ingin sesuatu yang istimewa untuk kukenakan di
ulang tahunmu. Aku mencoba rok vinyl ungu, tapi aku tidak yakin..."
Oh, bagus, pikir Vincent. Karina dan Delia ingin merayakan
ulang tahunku bersamaku. Vincent tertawa. "Kau pasti cantik sekali mengenakan vinyl
ungu!" Wajah Delia memerah. Memang benar, kok, kata Vincent pada dirinya sendiri. Dan itu
yang ingin didengar Delia. Apa salahnya mengucapkan kata-kata itu"
Delia tidak cantik"tidak seperti Karina. Tapi orang akan
memperhatikannya ke mana pun ia pergi.
"Rambutmu indah," bisik Vincent. Tangannya membelai
rambut Delia yang hitam keriting dan panjang. "Dan kau tahu, lipstik
ungu itu membuatku tergila-gila," ia menambahkan.
Ya! Ia benar-benar menemukan sesuatu yang tepat untuk
diucapkan. Delia mendaratkan sebuah ciuman di bibir Vincent.
Vincent mencoba tidak memikirkan Karina sementara mencium Delia.
Ia tidak akan pernah dapat memilih di antara kedua cewek ini.
Mereka begitu berbeda. Ia tidak bisa membandingkan mereka.
Karina memiliki rambut pirang yang amat lembut dan mata biru
cerah. Ia lebih cantik daripada gadis lain yang pernah dilihat Vincent.
Cewek itu mengingatkannya pada Michelle Pfeiffer.
Delia ramah dan terbuka. Karina manis dan cerdas. Ia menyukai
mereka berdua"amat sangat.
Andai keberuntungan berpihak padanya, ia bisa tetap berkencan
dengan mereka berdua. Delia menghela napas. "Aku tak percaya, aku pernah punya
pikiran tolol bahwa kau menyukai Karina. Kau tidak marah tentang
itu, kan?" Vincent mengabaikan perasaan mual yang menembak perutnya.
Kenapa Delia menyebut-nyebut Karina pada saat ini"
Delia sama sekali tidak tahu bahwa ia kencan dengan Karina.
Dan Karina tidak tahu tentang Delia. Kalau Karina tahu, ia tidak akan
mau datang kemari. "Aku tidak marah." Vincent mencoba menjaga suaranya tetap
mantap. "Kau dan Karina bersaing dalam segala hal. Tidak heran
kalau kalian berdua juga menginginkan cowok yang sama."
"Yeah, tidak heran juga kalau Karina menginginkan pacarku."
Delia melepaskan diri dari Vincent, lalu duduk. "Dia iri padaku sejak
kami kanak-kanak! Pakaianku. Nilaiku. Teman-temanku."
Delia menghela napas. "Karina selalu pura-pura jadi orang baik.
Tapi begitu mendengar kita berkencan, dia langsung mengejarngejarmu."
Vincent memutar bola matanya. Ia tidak pernah merasa bersalah
dalam segala hal, dan ia tidak mau mulai merasa bersalah sekarang.
Tapi mendengar Delia bicara tentang Karina membuatnya gugup.
Diliriknya jam di rak di atas tungku.
Delapan tiga puluh. Astaga! Bagaimana bisa masih jam delapan tiga puluh"
Vincent tercekat. Ia melompat dari sofa.
"Vincent" Ada apa?" teriak Delia.
"Uh... tak apa-apa." Sambil berusaha bersikap biasa, Vincent
berjalan mendekati perapian. Ia menundukkan kepalanya ke dekat jam
itu. Tidak berdetak. Jam itu mati.
Dan ia tidak tahu sudah berapa lama jam itu mati. Bisa saja
sekarang sudah jam sembilan tepat!
Jantung Vincent memukul-mukul di tulang rusuknya. Ia
menoleh lagi ke Delia. Delia mulai menambahkan lapisan lipstik ungu
lagi di bibirnya. "Kau... kau benar soal orangtuaku," Vincent tergagap. Ia buruburu menyeberangi ruangan itu. Disambarnya tangan Delia dan
ditariknya dari sofa. "Mereka akan segera pulang. Lebih baik kau
pergi." "Maaf" Semenit yang lalu kaukatakan..."
"Aku tahu, tapi aku tidak tahu sekarang sudah malam." Vincent
menoleh ke jendela. Masih tidak ada tanda-tanda kehadiran Karina.
Tapi ia bisa tiba di sini sebentar lagi.
"Pikir Mom, aku sedang belajar kalkulus," katanya pada Delia.
"Aku berjanji akan belajar." Vincent menyerahkan parka warna hijau
dan ungu milik Delia dan menggandengnya ke pintu. "Dia akan sangat
marah kalau menemukan kau ada di sini."
Ia menyalakan lampu dekat pintu dan mengintip ke luar.
Tidak ada Karina. Ia merenggut pintu depan. "Aku akan menemuimu di sekolah
besok pagi," katanya pada Delia. "Ya, kan?"
"Ya," sahut Delia. Ia mengecek lipstiknya di kaca yang
tergantung di gang depan. Kemudian ia memberi Vincent sebuah
ciuman kilat di pipi. "Besok pagi," katanya, lalu berjalan ke luar pintu.
Begitu Delia pergi, Vincent lari ke ruang keluarga. Ia
menggembungkan bantal-bantal di sofa. Disambarnya tisu-tisu yang
tadi digunakan Delia untuk mengeringkan lipstiknya dan
dijejalkannya ke sakunya.
Ketika mendengar mobil Delia distarter, ia menghambur ke
jendela untuk mengucapkan selamat jalan dengan melambaikan
tangan. Ia mengawasi lampu belakang Jetta merah Delia menghilang
di tikungan"tepat ketika lampu besar sebuah mobil lain muncul.
Karina! Jantung Vincent mulai memukul-mukul lagi"dengan
bergairah. Ia menunggu dekat jendela, mengawasi Karina memarkir
Eclipse peraknya, lalu keluar.
Dalam cahaya bulan, rambut pirang Karina yang panjang
tampak keperakan seperti mobilnya. Rambut itu diikat ke belakang,
membentuk ekor kuda yang mengilap dan menyapu bahunya ketika ia
berjalan ke pintu depan. Vincent tersenyum pada dirinya sendiri ketika ia mengawasi
Karina dalam cahaya lampu teras. Karina mengenakan rok hitam mini
dan stoking hitam yang memamerkan tungkainya yang panjang.
Meskipun waktu itu masih bulan Februari, ia tidak memakai mantel.
Sweater-nya cocok sekali dengan matanya yang biru.
Vincent membuka pintu sebelum Karina membunyikan bel. Ia
melangkah ke teras depan dan melihat ke jalanan yang kosong.
Aduh, nyaris celaka, pikirnya.
"Karina!" Ia tersenyum. Senyuman khas Vincent Milano.
"Lama sekali kau tiba di sini! Aku tak sabar menunggu sepanjang
malam." "Sori, aku terlambat," sahut Karina. "Tapi coba tebak! Dalam
perjalanan ke sini, aku memikirkan tema yang sempurna untuk pesta
ulang tahunmu!" "Ayo kita bicarakan soal itu nanti." Vincent menyelipkan
lengannya memeluk Karina dan menariknya mendekat. Ia mencium
gadis itu, ciuman pelan dan lama.
"Ayo masuk," bisiknya sambil menarik Karina melewati pintu.
Begitu mereka melangkah ke cahaya terang di gang, wajah
Karina pucat pasi. Mulutnya ternganga.
"Oh, tidak!" Karina terkesiap. "Aku tak percaya!"
Chapter 2 "HAH" Ada apa?"
Vincent berputar mengecek gang di belakangnya. Tak ada apaapa di sana.
Ia berbalik menghadap Karina. "Apa yang tidak beres?"
"Apa yang tidak beres?" Warna kembali membanjiri wajah
Karina yang cantik. Percikan merah muncul di puncak tulang pipinya.
"Apa yang tidak beres?" Karina mengulangi dengan marah. Ia
menarik tangannya dari genggaman Vincent dan berjalan ke ruang
keluarga. Apa sih masalahnya" tanya Vincent dalam hati.
Karina kembali sambil membawa selembar tisu. Ia menyeka
pipi Vincent dengan keras.
"Itulah yang tidak beres," katanya dengan geram. Ia
mengulurkan tisu itu pada Vincent untuk dilihat.
"Hah?" Vincent menatap corengan ungu gelap di kertas tisu itu.
"Aku kenal betul warna itu!" Karina meremas-remas tisu itu
menjadi bola dan melemparkannya ke lantai.
"Karina"astaga!" Vincent memulai. "Aku..."
"Delia! Dia ke sini, kan" Dia tahu kau dan aku pacaran,. dan dia
datang kemari untuk mencoba mencurimu dariku. Dan kau! Kau
mencium dia!" Vincent tidak pernah melihat Karina begitu marah. Karina
benar-benar gemetar. Tidak akan apa-apa, katanya pada diri sendiri. Karina akan
tenang dalam semenit. Asalkan aku bisa mengarang cerita yang masuk akal....
Vincent menjaga agar suaranya tetap lembut. Ia mencoba
bersuara tenang. Tidak bersalah. "Kejadiannya tidak seperti yang
kaupikirkan," katanya pada Karina.
"Oh, sungguh?" Karina memutar bola matanya.
"Delia muncul mendadak di sini. Dia perlu bantuan soal PRnya. Paling tidak, itulah yang dia katakan."
Karina menatapnya, mata birunya dingin. "Itu tidak
menjelaskan soal ciuman itu."
"Kau tahu sifat Delia." Vincent memasukkan tangannya ke saku
jeans-nya. "Dia melakukan apa yang dia inginkan"tidak peduli apa
itu. Ketika akan pergi, dia mencium pipiku. Itu bukan masalah besar.
Sungguh." Karina menghela napas dan berjalan ke jendela. Dia sudah
luluh, pikir Vincent gembira.
Untung saja dia tidak pernah bisa terus-terusan marah padaku
untuk waktu lama. Vincent mengikutinya. "Aku tidak membalas ciumannya atau
melakukan apa-apa. Itu hanya ciuman sekilas di pipi. Sungguh."
Karina seharusnya siap kupeluk, pikirnya. Siap memaafkan aku.
Dipeluknya bahu Karina. Dengan mengerang marah, Karina melepaskan diri. "Delia
menyukaimu karena dia tahu kau milikku. Dia menginginkan segala
yang kumiliki. Nilaiku. Bajuku. Teman-temanku. Dia bahkan
menginginkanmu." Vincent kaget ketika melihat mata Karina penuh air mata. Ia
merengkuhnya lagi. Karina mendorongnya.
"Aku muak dengan Delia!" teriak Karina. "Aku benci dia! Aku
tidak ingin membiarkan dia menang kali ini!" Karina menarik pintu
depan hingga terbuka, lalu lari keluar.
Mulut Vincent jadi kering. Ia menatap punggung Karina ketika
cewek itu lari keluar menuju mobilnya.
Pintu mobil itu dibanting keras. Lampu besar mobil dinyalakan.
Mesinnya meraung hidup. "Hei! Karina!" Vincent akhirnya memanggil. "Tunggu!"
Ia lari sambil melambai-lambaikan tangan kepada Karina.
Mobil itu mundur dari jalan masuk dengan kecepatan tinggi.
Roda-rodanya mencicit di aspal.
Vincent lari melintasi halaman rumput depan. "Karina!
Berhenti!" panggilnya.
Mobil itu tidak menjadi pelan. Sepintas Vincent menangkap
wajah Karina yang sangat marah ketika ia berlalu.
Roda-roda mobil itu mencicit lagi ketika Karina memacu
mobilnya melewati tikungan. Vincent tidak dapat berhenti
memikirkan wajah Karina. Begitu marah. Begitu lepas kendali. Apa yang sedang ia rencanakan"
Chapter 3 "DIKATAKAN di sini bahwa pemenang Conklin Award harus
menunjukkan te... te..."
Delia memandang sahabatnya sekilas, Britty Myers. Britty
menggigiti sehelai rambut panjangnya yang berwarna madu sambil
mencoba memahami kata dalam brosur itu. "Pemenangnya harus
memperlihatkan te..."
"Semangat belajar teladan," Gabe Denver membaca lewat bahu
Britty. "Juga dikatakan bahwa pemenangnya harus murid serbabisa
yang menonjol, pemain sandiwara ulung, dan artis berbakat."
Ia mengangkat matanya dari brosur dan menatap Delia. Pipinya
berubah merah. "Kedengarannya kau memenuhi syarat itu, Delia,"
ujarnya. "Ah, yang benar," gumam Delia sambil memutar bola matanya.
Ia dan teman-temannya sedang nongkrong di deretan paling
tinggi tempat-tempat duduk terbuka di ruang olah raga, melihat
pertandingan basket di dalam gedung. Boleh dikatakan tidak ada
orang lain lagi di bagian itu.
Delia tidak banyak memberi perhatian pada pertandingan
tersebut. Ia tidak ingin memikirkan apa-apa kecuali Vincent. Ia ingat
sentuhan dan ciuman cowok itu. Membayangkan lengan Vincent yang


Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memeluknya saja membuatnya merasa seperti hampir meleleh terkena
nuklir. Aku heran kenapa dia mengusirku begitu cepat tadi malam,
pikirnya. Sebelumnya dia memohon aku untuk tinggal. Selanjutnya
dia mendorong aku keluar pintunya.
Delia menggelengkan kepala sambil mengibaskan rambut
hitamnya yang keriting dan panjang. Ia melicinkan roknya yang
berwarna oranye gelap, yang ia temukan di toko obral setempat. Rok
itu bermotif bunga-bunga besar warna kuning cerah yang disulam
mengelilingi kelimannya. Ia sangat menyukainya.
Barangkali aku satu-satunya cewek di Shadyside High yang
memakai corak seperti ini, pikirnya.
Dan itulah sebabnya ia membeli rok itu. Ia tidak ingin
berpenampilan sama dengan orang orang lain.
Delia memperhatikan Gabe sedang menatapnya. Cowok itu
mengingatkannya pada seekor anak anjing yang sedang menunggu
diberi biskuit anjing. Ia menahan keinginannya untuk menepuk kepala
Gabe. Ia tahu Gabe tertarik padanya. Tapi ia berharap Gabe akan
mengajak cewek-cewek lain kencan. Ia bertaruh banyak cewek di
Shadyside High yang akan suka berkencan dengan Gabe.
Bahkan mungkin Britty" Delia menatap kedua temannya
bergantian. Mereka akan menjadi pasangan yang imut.
Tapi aku ragu Gabe akan menghargai usahaku untuk
menjodohkan dia, pikir Delia. Tapi aku harus melakukan sesuatu yang
manis padanya. Dia cowok yang hebat.
Siapa lagi yang punya cukup kesabaran untuk membantu Delia
mengerjakan PR-nya hampir setiap malam dalam seminggu" Siapa
lagi yang bersedia mendengarkan ia bicara tentang Vincent selama
berjam-jam" Gabe memang manis. Terutama sejak Delia tahu Gabe tidak
menyukai Vincent. Tidak perlu memanggil ilmuwan roket untuk
memahami sebabnya. Gabe cemburu.
"Hei! Sadar dong, Delia!" Britty meloncat-loncat di samping
Delia. Ia melambai-lambaikan kedua tangannya di depan wajah Delia.
Britty bertubuh pendek dan atletis"pesenam terbaik di
Shadyside High. Ia tak bisa duduk diam lebih dari semenit.
"Duduklah," pinta Delia. "Aku ingin membetulkan lipstikku." Ia
meraih tabung lipstik Midnight Wine-nya dan memoleskannya di
bibirnya. Kemudian ia melemparkan tabung itu ke dalam dompetnya
lagi dan melihat ke sekeliling, sambil mencari-cari kertas pengering.
Buku catatan Britty tergeletak di bangku di dekatnya. Delia
merobek selembar buku catatan itu dan mengeringkan bibirnya
dengan kertas itu. "Delia!" Britty memprotes. Ia berdiri lagi. "Aku harus membeli
buku catatan baru setiap minggu gara-gara kau."
"Uups. Aku tahu ini kebiasaan buruk. Nanti, kalau kau beli
buku catatan lagi, aku yang bayar," kata Delia. Ia menunduk menatap
cetak bibir ungu gelap yang menempel di lembaran kertas itu"cetak
bibir yang sedang tersenyum. Tersenyum karena aku sedang
memikirkan Vincent, ia memutuskan.
Britty duduk di bangku. "Pikiranmu melayang ke mana-mana
sejak kita sampai di sini. Ada apa, sih" Kita sedang membicarakan
soal Conklin Award. Aku tahu kau tertarik itu."
Lamunan tentang Vincent lenyap. "Maaf, Britty. Memikirkan
soal Conklin Award membuatku gugup sekali, hingga aku hampir
tidak tahan." Orangtua Delia tidak punya uang untuk mengirimnya ke
universitas. Kalau Delia tidak memenangkan Conklin Award, ia harus
melanjutkan ke Waynesbridge Junior College.
Tapi kalau ia memenangkan Conklin Award, ia bisa
melanjutkan ke akademi mode paling keren dan mahal di New York.
Ketika umur dua belas tahun, ia memutuskan ingin melanjutkan ke
sana, dan ia tidak pernah mengubah pikirannya.
Delia cemberut. Conklin bukan sekadar award. Conklin adalah
tiket menuju semua impiannya. Sesuatu yang paling penting di
seantero jagat ini. Well, kecuali Vincent. "Bagaimana menurutmu?" Delia mengawasi kedua temannya.
Ia tidak ingin mereka bohong padanya. Tapi ia tidak yakin ingin
mendengar kebenarannya juga. "Apa aku punya kesempatan di
Conklin?" "Pasti," sahut Gabe. Bel tanda pertandingan berakhir berbunyi,
dan ia menyoraki tim senior. Anak-anak mengumpulkan buku-buku
dan ransel mereka, kemudian berjalan keluar dari ruang olahraga itu.
"Akan mudah sekali bagimu, Delia," Gabe melanjutkan. "Tak
ada yang punya kesempatan lebih baik untuk memperoleh Conklin
Award daripada kau."
Delia tidak tahan untuk tidak tersenyum. "Aku senang kau
berpikir begitu," katanya pada Gabe. "Tapi kupikir para juri tidak
bakal memenangkan aku begitu saja. Tujuh anak melamar untuk
award itu tahun ini."
Ia membayangkan calon-calon lain di benaknya. Kebanyakan di
antara mereka tidak merupakan ancaman, tapi ada beberapa yang
punya harapan. Harapan bagus.
"Stewart Andrews adalah problem utama," katanya. "Dia artis
terbaik di kelas." "Dia bilang padaku akan melakukan pertunjukan sulap untuk
bagian bakat di kompetisi itu," Britty menyela. "Ingat ketika dia
membuat Mr. Marsden lenyap" Itu hebat."
Gabe angkat bahu. "Itu tipuan murahan."
Delia masih mendaftar para kandidat. "Dan kemudian ada
Karina. Dia punya kesempatan bagus juga."
Delia mencoba membuat suaranya terdengar biasa-biasa saja. Ia
ingin berpura-pura bahwa kompetisi melawan Karina tidak
mengganggunya. Tapi rasanya teman-temannya tidak percaya.
"Jangan cemas soal Karina," kata Britty kepadanya.
Mudah bagi Britty berkata begitu, pikir Delia. Dia tidak harus
mengalahkan Miss Sempurna kecil itu.
"Karina memiliki suara yang bagus. Tapi diperlukan bakat lebih
banyak lagi untuk memenangkan Conklin," Britty melanjutkan.
"Nilai-nilai juga penting."
"Yeah," Gabe menambahkan. "Dan nilaimu lebih baik daripada
orang lain." "Berkat kau," kata Delia pelan.
Britty memutar bola matanya. "Yeah, nilai-nilainya lebih baik
daripada nilaimu, Gabe."
Kemudian ekspresinya berubah serius. "Delia, jangan jadi stres
soal ini," katanya. "Nilai-nilaimu lebih baik daripada sebelumnya
tahun ini. Dan kau menjadi manajer tim bola voli putri selama dua
tahun. Ditambah, kau yang pegang pimpinan acara pesta dansa
homecoming." "Dan editor halaman depan koran sekolah," Gabe
menambahkan. "Dan ketua komite program daur ulang, dan..."
"Baik, baik," teriak Delia. "Tapi bukan itu masalahnya. Sama
sekali bukan itu." Ia membenci dirinya sendiri karena suaranya begitu
cengeng, tapi ia tidak tahan untuk tidak berkata begitu.
"Aku editor halaman depan, tapi Karina adalah editor dari
seluruh koran itu," Delia mengingatkan teman-temannya. "Aku
memimpin tim bola voli. Tapi Karina bintang lapangannya. Aku yang
mengelola acara pesta dansa. Tapi Karina..."
"Bukan masalah!" Gabe menyela. "Oke, Karina adalah ratu
pesta dansa tahunan. Lalu kenapa" Tentu, Karina adalah ketua kelas
senior. Dan mungkin suara Karina akan memikat para juri dalam
kompetisi bakat. Lalu kenapa?"
Gabe angkat bahu. "Semua orang menganggap dia gadis paling
cantik yang pernah mereka lihat," ia melanjutkan. "Para juri akan
jatuh cinta padanya. Orang lain tidak perlu susah payah berusaha
menang, deh" Gabe berpaling pada Delia. "Itukah yang ingin kaudengar?"
Britty tertawa cekikikan. Delia tidak. Ia tahu Gabe benar.
"Yakinlah," Gabe membentak. "Kapan kau akan sadar bahwa
kau jauh lebih hebat daripada Karina" Memangnya kenapa kalau dia
cantik dan manis" Manis itu membosankan. Manis itu mudah
dilupakan. Aku benci manis!"
Kali ini Delia tertawa. Britty menggelengkan kepala. "Kau tahu?" tanyanya. "Aku
capek dengan semuanya."
Ia melompat berdiri dari bangku. "Sebenarnya kenapa sih kalian
berdua ini" Kau dan Karina. Kenapa kalian begitu saling membenci"
Dulu kalian berteman."
Delia menyipitkan mata, memandang sahabat baiknya.
Bagaimana Britty bisa bertanya begitu" Ia tahu apa yang dirasakan
Delia. "Aku telah mencoba berteman dengan Karina," Delia
mengemukakan. "Kau kan tahu itu, Britty."
"Yeah, dan dia mencoba bersikap baik padamu." Britty
meletakkan salah satu tangannya di bahu Delia. "Kau tahu aku akan
melakukan apa pun untukmu. Kau sahabat baikku. Tapi Karina juga
temanku. Kupikir tidak baik bagi kalian untuk berantem sepanjang
waktu. Kau akan kesal terus kalau memikirkan dia. Begitu juga dia."
"Aku tak percaya kau membelanya!" Delia meledak. Ia
berpaling pada Gabe untuk minta dukungan.
Cowok itu cemberut. "Kau dan Karina gencatan senjata tahun
lalu," Gabe mengingatkannya. "Kalian saling bertenggang rasa selama
hampir sepanjang tahun. Dan sebelum itu, kompetisi di antara kalian
bersifat bersahabat, benar, kan?"
"Yeah, tapi tahun ini aku memergoki dia mendekati Vincent!"
Delia menjawab dengan benci. "Aku tidak mempercayai dia! Dia
berlagak manis dan tidak bersalah, tapi dia mencoba mencuri pacarku.
Dia melakukannya hanya karena tidak tahan dengan kenyataan bahwa
aku punya sesuatu yang tidak dipunyainya. Menjijikkan sekali."
Pintu ruang olahraga itu berayun terbuka dan menghantam
dinding. Sebuah jeritan tajam menggema di ruang olahraga itu.
Tangan Delia terbang ke mulutnya. Ia terlalu kaget, sehingga
tak bisa mengatakan apa-apa. Ia hanya bisa menatap.
Sama seperti Gabe dan Britty.
Menatap Karina Frye. Chapter 4 "ADA apa dengan Karina?" seru Delia.
Karina berjalan sempoyongan ke dalam ruang olahraga itu.
Rambutnya yang biasanya sempurna sekarang kusut dan awut-awutan.
Corengan maskara hitam memanjang di pipinya. Dan matanya
merah"karena menangis"
"Kau!" suara Karina yang parau memantul dari dinding-dinding
ruang olahraga itu. Ia menunjuk Delia dengan jari gemetar. "Delia,
kau tukang sihir! Aku benci kau!"
Delia tak bisa bernapas ketika Karina berjalan sempoyongan
melintasi ruang olahraga itu, menghampirinya. Sambil bernapas
terengah-engah, Karina berjalan berdebam-debam di arena bangku
terbuka itu. Sebelum Delia bisa bergerak, tangan-tangan Karina telah
mencekik lehernya. "Hei!" Delia mendengar teriakan Britty. Tapi suaranya
terdengar jauh. "Kau tidak akan menang kali ini, Delia!" jerit Karina. Napasnya
yang panas mengembus wajah Delia.
Kuku-kuku Karina menusuk tenggorokan Delia.
"Hei!" Delia tercekik. Bintik-bintik merah meledak di depan
matanya. Ia melengkungkan punggung ke belakang, berontak untuk
melepaskan diri. Karina melepaskannya. Delia terjengkang ke belakang. Kepalanya menghantam bangku
di belakangnya dengan keras.
Karina membungkuk di atasnya, terengah-engah bak binatang
buas. Ia menangkap tenggorokan Delia lagi.
"Lepaskan! Karina, hentikan!" Gabe memekik.
Delia berontak untuk melepaskan diri.
Tangan-tangan Karina memutar tenggorokannya lebih erat.
"Kau tidak akan menang! Kau tidak akan mengambil apa pun yang
menjadi milikku!" Karina berteriak dengan parau.
Aku tak bisa bernapas, Delia sadar. Aku tak bisa bernapas!
Kegelapan mengurangi pandangannya.
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Delia mengulurkan tangannya
dan menarik ekor kuda Karina.
Menariknya sekuat tenaga.
Karina kaget. Ia menjerit kesakitan. Tangannya lepas dari
tenggorokan Delia. Delia sempoyongan di gang, menghirup napas. "Jauhkan dia
dariku!" ia megap-megap.
Gabe menghampiri Karina, tapi Karina terlalu cepat baginya. Ia
menyambar salah satu anting-anting Delia yang terjuntai panjang dan
menariknya. Delia menjerit ketika rasa sakit menyengat telinganya. Tetesan
darah panas keluar dari lubang telinganya yang sobek.
Jantungnya seakan terbakar. Ruang olahraga itu tampak kabur
di depannya. Satu-satunya yang bisa dilihatnya dengan jelas adalah wajah
Karina. Wajah cantik Karina. Cemberut penuh kemarahan.
Bibir Karina ditarik ke belakang, di atas giginya, membentuk
seringai. Ia mengangkat tangannya dan membengkokkannya seperti
cakar. Kemudian ia melemparkan dirinya menerkam Delia.
"Aku akan membunuhmu!" jeritnya.
Chapter 5 MULUT Delia terasa asam. Ia menarik sweater mahal Karina
dan mendorong gadis itu. Karina berdiri sambil menyeimbangkan badannya pada salah
satu tangga bangku itu. Kemudian Gabe memeluknya.
Ia limbung. Gabe membiarkan ia jatuh ke lantai ruang olahraga itu.
Karina menengadah menatap Delia. Ia mulai gemetar. "Kau
tidak akan menang!" Karina terisak. "Tidak kali ini, Delia. Kau tidak
akan menang! Aku bersumpah!"
Delia membungkuk di atas bangku-bangku itu, sambil berusaha
mengatur napasnya lagi. Ia hampir tidak memperhatikan lengan Britty
melingkari bahunya. "Apa katanya" Apa maksudnya" Kenapa dia bersikap gila
begitu" Aku tidak melakukan apa-apa padanya," Delia berbisik pada
dirinya sendiri. Ia tetap menatap Karina. Karina mengusap pipinya dengan lengannya"sweater-nya
berlepotan terkena rias wajahnya. "Kau tidak akan memenangkan
Conklin," ancamnya. "Dan kau tidak akan pernah, tidak akan pernah,
tidak pernah mendapatkan Vincent. Dia milikku, Delia. Milikku."
"V-Vincent?" Delia tergagap.
Ia merasa pusing. Telinganya berdenyut-denyut. Kepalanya
sakit. Darah membasahi lengan gaun oranyenya.


Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Delia menggelengkan kepalanya berulang-ulang dengan pelan.
Ia mati-matian berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.
Apa yang dikatakan Karina tidak ada yang masuk akal.
"Vincent?" Dengan bantuan Britty, Delia mengangkat dirinya berdiri. "Kau
sedang membicarakan apa, Karina" Apa maksudmu?"
Delia menunduk menatap Karina, mencoba memahami semua
yang terjadi. Dia gila, Delia sadar. Karina gila. Gila.
"Kau butuh pertolongan, Karina," kata Delia gemetar. "Kau
sakit." "Aku tidak sakit!" teriak Karina. "Kau enyahlah darinya!"
"Anak-anak! Apa yang sedang terjadi di sini?" Ms. Bates, guru
senam, lari menghampiri mereka.
"Karina menyerang Delia," kata Gabe menjelaskan.
"Itu gara-gara dia...," Karina menjerit.
"Ikut aku dan kau bisa menceritakan semuanya padaku," kata
Ms. Bates. Lalu ia menggandeng Karina melintasi ruang olahraga.
"Delia, pergilah cari perawat untuk mengobati lubang
telingamu," guru itu berseru sambil menoleh. "Aku akan mengecekmu
sebentar lagi." Delia ambruk ke belakang, bersandar pada Britty.
Gabe bangkit dari bangku dan memegang tangannya. "Apa kau
baik-baik saja?" tanyanya.
"Aku... kukira begitu." Delia bertanya dalam hati, apakah
suaranya terdengar sama gemetarnya di telinga teman-temannya,
seperti yang didengarnya sendiri. "Dia tidak menarik antingku sampai
putus. Tapi mengapa dia melakukan ini padaku?"
Gabe melirik ke pintu ruang olahraga sekilas. "Kukira salah
satu di antara kita harus mengikuti Karina. Biar aku saja," katanya
terburu-buru. Ia berbalik, kemudian lari mengikuti Karina dan Ms.
Bates. "Kukira sebaiknya kau istirahat sebelum kita ke perawat," kata
Britty. "Aku takut," Delia mengakui. "Aku khawatir terhadap Karina.
Apa kaulihat wajahnya yang menakutkan" Apa kaulihat semua
kebencian itu?" Britty pucat, matanya terbelalak. Ia menggigit sehelai
rambutnya dengan tegang. "Aku tak pernah melihat Karina seperti itu.
Tidak pernah. Aku tak pernah melihat seseorang seperti itu."
"Apa kaudengar apa yang dia katakan tentang Vincent" Dia
benar-benar mempercayai itu. Dia benar-benar percaya bahwa Vincent
pacarnya. Dia gila. Dia benar-benar gila. Itulah satu-satunya
penjelasan," gumam Delia.
"Aku akan bicara dengannya nanti," Britty berjanji. "Aku akan
mencoba... aku akan mencoba menenangkan dia. Aku akan mencari
jawaban, apa yang telah terjadi. Pasti ada sesuatu yang membuatnya
marah." Delia mengangguk. "Aku benar-benar takut padanya. Aku tak
pernah melihat orang yang begitu tidak bisa mengendalikan diri!
Bagaimana kalau dia melakukan sesuatu yang mengerikan?"
"Jangan khawatir," Britty menenangkannya. "Kau selamat
sekarang. Ms. Bates akan bicara dengan orangtuanya. Dan Gabe
sedang mengawasi dia. Ayo kita bereskan barang-barang kita dan
pergi ke perawat. Lalu kita bisa keluar dari sini."
"Ide bagus," kata Delia. "Tapi beri aku semenit. Aku pasti
kelihatan mengerikan."
Britty tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Lihat" Kau
sudah mulai pulih," jawabnya.
Delia tertawa juga. "Owww, sakit sekali," keluhnya.
Ia mengusap rambutnya yang kusut dengan jari-jari tangannya
dan melicinkan roknya. Meskipun tangan-tangannya gemetar, ia bisa
membubuhkan lipstiknya dengan sempurna.
Ia melihat selembar lap kertas di bangku. Kertas tipis yang
biasa menyertai kotak-kotak popcorn di stan. Delia menyambarnya
dan mengeringkan bibirnya, lalu membuangnya ke bangku di
sampingnya. Kali ini cetak bibir itu tidak sedang tersenyum.
********************************************
"Menurutku hasil karyaku oke," kata Delia kepada Vincent
besok malamnya. Ia memiringkan kepalanya ke satu sisi dan
mempelajari gambar-gambar yang digantung di dinding ruang
tamunya. "Tapi semua itu tidak ada apa-apanya dibandingkan karya
Stewart," ia menambahkan. Perutnya terasa agak mulas memikirkan
itu. Vincent tidak menyahut. "Stewart bisa melukis sampai ke detail-detailnya," ia
melanjutkan. Rasa mulasnya bertambah sedikit. "Lukisan-lukisannya
realistis, sempurna sampai detail terakhir. Punyaku lebih... lebih
imajinatif, kupikir."
Ia memiringkan kepalanya ke arah lain dan tersenyum.
"Mungkin gambarku kelihatan lebih bagus dari samping!"
Ia membuat gambar-gambarnya yang besar dan ditebalkan
dengan spidol"dalam warna-warna paling tajam dan paling cerah
yang ia temukan. Beberapa gambar itu adalah desain fashion Delia
sendiri. Corak-corak ramai. Warna-warna hebat.
Beberapa hasil karyanya menggambarkan teman-temannya.
Britty yang sedang berputar di ruang senam dalam latihan senam
lantai, sosok kabur dalam warna cerah. Gabe yang sedang tersenyum
lebar, rambutnya berwarna merah manyala.
Ia bahkan membuat potret dirinya. Dalam gambar itu, Delia
mengenakan rok mini hitam favoritnya dan baju ungu dengan nuansa
lebih ringan daripada lipstik Midnight Wine-nya. Rambutnya terurai
lepas di seputar pundak. Di atas kepalanya ada lingkaran cahaya yang
hitam liar. Tidak ada gambar diri Vincent.
Delia menatap Vincent yang sedang duduk di sampingnya, di
sofa ruang tamunya. Ia artis yang cukup baik. Cukup baik untuk
mencapai final Conklin. Tapi ia tidak akan pernah cukup berbakat di
mata Vincent. Tak ada seorang pun yang sempurna.
"Vincent?" desak Delia. "Apa kaupikir hasil karyaku oke?"
Vincent tetap terpaku pada pertandingan basket di TV. Ia
meregangkan tubuhnya dan menguap. "Tentu," gumamnya. "Kau
tidak akan sampai ke final kalau gambar-gambarmu jelek, kan?"
Delia mengawasi ketika Vincent bicara. Vincent tampak bosan.
Tidak, ia memutuskan. Tidak bosan. Vincent capek dan cemas.
Kami berdua masih cemas soal Karina.
Karina tidak muncul di sekolah hari ini. Seluruh sekolah
membicarakannya. Betapa aneh tampaknya ketika ia menyerang
Delia. Betapa histerisnya dia. Betapa berbeda dengan sikapnya seharihari yang bertanggung jawab dan manis.
Tentu saja Vincent juga bingung. Semua orang di sekolah
bingung. Mereka teman-temannya. Aku juga temannya, pikir Delia.
"Atau paling tidak, aku dulu temannya," Delia tidak menyadari
ia telah mengucapkan kata-kata itu dengan keras, sampai Vincent
menoleh dan menatapnya. "Aku hanya memikirkan Karina," ia menjelaskan. Delia
mengusapkan tangan kanannya dengan lembut di telinganya yang
sakit. "Kami dulu sahabat baik. Tapi sepertinya itu dulu sekali." Delia
menghela napas. "Aku cemas, Vincent. Kemarin Karina tidak hanya
marah"dia gila! Kalau saja kau melihatnya. Dia mengatakan semua
hal gila, bahwa kau adalah pacarnya. Tentang bagaimana dia tidak
akan membiarkan aku memilikimu. Itu aneh sekali."
Vincent tidak menyahut. "Vincent?" Delia mendesak.
"Hah" Oh, yeah. Aneh." Vincent merapat lebih dekat ke Delia.
Ia memadamkan lampu di tepi meja dan merangkulkan tangannya di
sekeliling pundak Delia. Dalam keadaan lain, Delia pasti ingin sekali menenggelamkan
dirinya dalam kehangatan lengan-lengan Vincent. Tapi sekarang itu
tidak mudah. Perasaannya amat tidak menentu, amat ketakutan.
Delia menatap mata Vincent yang cokelat gelap. "Kupikir
Karina benar-benar percaya kau pacarnya. Dia telah meyakinkan
dirinya sendiri bahwa aku sedang berusaha merebutmu darinya."
Vincent menggelengkan kepala. "Jangan khawatir soal Karina.
Pada dasarnya dia baik-baik saja."
Tubuh Delia menjadi kaku. Dia pikir Karina baik-baik saja
setelah apa yang dia lakukan padaku" Memar-memar itu masih
tampak di sekeliling tenggorokannya"begitu pula perban di
telinganya yang sobek! Omong-omong, bagaimana Vincent tahu begitu banyak tentang
Karina" Apa dia merasa kasihan pada Karina"
Jangan konyol, kata Delia pada dirinya. Vincent tidak peduli
pada Karina. Dia hanya peduli padaku.
Ia mengalungkan lengannya di leher Vincent dan
menggosokkan pipinya ke pipi Vincent. "Kau tidak akan membiarkan
urusan Karina ini memisahkan kita, kan?"
"Lupakan soal Karina!" Vincent membentak. Ia menoleh dan
mencium Delia. Bibirnya terasa keras. Tegang.
Delia mengusap rambut Vincent dengan jari-jarinya. Ia merasa
lipstiknya berlepotan, tapi ia tidak peduli. Ia tidak peduli segalanya.
Kecuali Vincent. Dan Conklin Award. "Vincent..." Delia mendorongnya dan mempelajari wajahnya.
"Kau akan mengunjungiku kalau aku melanjutkan ke college di New
York, kan?" tanyanya. "Kau..."
Kata-kata Delia tersangkut di kerongkongannya.
Ia melihat lewat bahu Vincent.
Dan terkesiap. "Vincent! Seseorang sedang mengawasi kita!"
Chapter 6 "OH, Vincent!" teriak sebuah suara melengking tinggi.
Karina" Dalam rumahku" tanya Delia dalam hati.
Lampu di ujung meja itu menyala. Sarah, adik perempuan Delia
yang berumur lima belas tahun, berdiri di belakangnya.
"Oh, Vincent!" Sarah menirukan dengan suara lemas
melengking. "Karina akan muncul di antara kita. Vincent, berjanjilah
padaku dia tidak akan memisahkan kita!"
"Sarah! Kau bajingan kecil!"
Delia melompat dari sofa dan menyambar lengan adiknya. "Kau
tidak lucu, tahu! Kau benar-benar tidak lucu sama sekali! Apa yang
kaulakukan di sini?"
Sarah mendorong Delia. "Ini rumahku juga," ia membentak.
"Aku tak perlu izinmu untuk berada di sini."
Delia menyipitkan mata memandang adiknya. Terkadang ia
bahkan tidak percaya bahwa mereka masih bersaudara. Tubuh mereka
kira-kira sama tingginya, dengan rambut hitam dan mata cokelat yang
sama. Tapi Sarah tidak tahu tentang bagaimana ber-make-up atau
bagaimana harus berpakaian. Malam ini ia memakai jeans longgar dan
T-shirt pramuka putri kuno yang bertuliskan "Carilah teman-teman
baru, tapi pertahankanlah yang lama", terpampang di depan dalam
huruf-huruf hijau besar-besar.
Delia memutar bola matanya. Kenapa sih si Sarah ini"
"Kukira kau sedang latihan berenang," katanya kepada adiknya.
"Ngapain kau di rumah" Kenapa kau tidak pergi bersenang-senang,
daripada memata-matai kami?"
Sarah menjulurkan lidahnya pada Delia.
"Oh, benar-benar dewasa, ya!" Delia membentak. "Kau ini
umur lima belas atau lima tahun?"
"Lima," Sarah menembak balik. "Seperti IQ-mu."
"Ayolah, guys," Vincent menyela. Ia berdiri. "Beri kami
kesempatan, Sarah. Kami sedang mencoba bicara."
"Bagaimana kalian bisa bicara dengan bibir saling menekan?"
jawab Sarah dengan jahat. Ia tertawa mendengar ucapannya sendiri.
"Kau hanya iri," Delia membentak. "Karena kau tidak kencan
dengan seorang cowok pun sepanjang tahun!"
Sarah terkesiap. Delia langsung menyesali kata-katanya.
Aku tidak seharusnya mengatakan itu, ia menghardik dirinya
sendiri. Sarah sangat sensitif dengan keadaannya, bahwa cowokcowok di Shadyside tidak tertarik padanya.
"Puas?" Sarah membentak Delia. "Kau puas sekarang, telah
mempermalukan aku habis-habisan di depan Vincent" Apa kau senang
sekarang?" "Maaf...," Delia memulai.
Tapi adiknya tidak membiarkan ia menyelesaikan kata-katanya.
"Aku benci kau!" Sarah menjerit.
Sambil berteriak marah, Sarah menyepak potret Gabe. Gambar
itu jatuh tertelungkup. Gambar Britty jatuh ke lantai.
"Jangan sentuh itu!" teriak Delia. "Aku memerlukan lukisanlukisan itu untuk Conklin Award!"
Sambil berteriak marah lagi, Sarah mengambil potret diri Delia,
lalu lari keluar ruangan.
"He... kembali!" Delia dan Vincent bangkit mengejar Sarah.
Ketika mereka sampai di gang, Sarah sudah di tengah tangga.
Delia berhenti di dasar tangga dan memukul pegangan tangga
dengan kepalan tangannya. "Sarah, ayolah!" teriaknya. "Kembalikan
itu padaku. Kau tahu aku tidak bermaksud..."
"Tidak!" Sarah tidak berpaling. Ia mengentakkan kaki di anak tangga
terakhir ke lantai atas. "Bagus," bentak Delia. "Bawa saja semaumu. Hanya saja
jangan memata-matai kami lagi."
Sarah berhenti di lantai atas dan berputar. Ia memandang ke
bawah dengan marah kepada Delia.
"Oh, aku tidak ingin," hardiknya. Matanya menyipit ketika
pandangannya beralih dari Delia ke Vincent. "Aku akan melakukan
sesuatu yang jauh lebih baik daripada mematai-matai," Sarah
melanjutkan. "Lihat saja nanti."
Rasa dingin membuat leher belakang Delia kaku.
"Sarah... apa yang kaukatakan?" teriaknya. "Apa maksudmu"
Apa yang akan kaulakukan?"
Chapter 7 Di sekolah keesokan harinya, Delia memikirkan Sarah ketika ia
sedang mencari-cari buku catatan geologinya di lokernya.
Aku tidak seharusnya mempermalukan dia di depan Vincent
seperti itu, Delia sadar. Aku tidak pernah melihat Sarah begitu marah.
Begitu marah, sehingga ia tidak bicara dengan Delia sejak saat
itu. Dan tidak mengembalikan gambarnya.
Delia punya lukisan-lukisan lain yang bisa ia pakai untuk
menggantikan potret dirinya"tapi ia tidak menyukai lukisan-lukisan
itu seperti ia menyukai potret dirinya.
Ia menghela napas. Kontes itu sudah begitu dekat. Ia
membutuhkan kemujuran. Tapi ia merasa pikirannya begitu kacau sepanjang waktu. Ia
tetap memikirkan Karina. Dan sekarang ia harus mencemaskan
adiknya juga. Sambil berlutut dan bertumpu pada tangannya, Delia mencaricari di lantai lokernya yang berantakan. Sudah kuapakan buku catatan
itu" pikirnya. Aku sedang berpacu mengejar waktu. Aku tak bisa
membiarkan nilai-nilaiku lenyap sekarang. Aku sudah bekerja begitu


Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras. "Jadi, aku sedang bertanya-tanya, apa kau mau keluar atau
membuat acara pada hari Sabtu," kata sebuah suara pelan.
"Maaf?" Delia berdiri begitu cepat, sehingga kepalanya
terbentur rak loker yang berada di atasnya. Ia menoleh dan melihat
Stewart Andrews sedang menatapnya.
Stewart Andrews, saingan terberatnya di Conklin Award.
Disamping Karina. Delia bersandar pada loker itu dan mempelajari wajah Stewart.
"Apa yang kaukatakan?" tanyanya.
Stewart menyibakkan segumpal rambutnya yang hitam dari
matanya. "Aku bertanya apakah kau ingin membuat acara pada hari
Sabtu malam." Ia tersenyum malu-malu pada Delia.
Dia imut, pikir Delia. Benar-benar imut.
"Maksudmu... kencan?" Delia merasa suaranya bernada ragu.
"Ehm..." Aku ini kenapa, sih" pikirnya. Aku kan sudah punya pacar!
"Kukira itu baik untuk mendinginkan pikiran. Sebelum
kompetisi bakat hari Senin," ujar Stewart. "Aku tidak tahu kau
bagaimana, tapi aku tidak ingin menghabiskan sepanjang akhir
minggu dengan menggigit-gigit kuku. Hari Minggu saja sudah cukup
untuk itu," ia bercanda.
Lewat bahu Stewart, Delia melihat Vincent sedang berjalan di
koridor. Ia merasa denyut jantungnya menjadi cepat. Selalu begitu
kalau ia melihat Vincent.
Dengan cepat ia memeriksa lipstiknya di kaca pintu loker. Ia
menarik selembar tisu dari sakunya dan mengeringkan bibirnya,
kemudian ia mengayunkan pintu lokernya hingga tertutup.
"Maafkan aku, Stewart," katanya sambil menatap lewat bahu
Stewart. Vincent melambai dan tetap berjalan. "Tapi aku tidak bisa
keluar denganmu. Aku dan Vincent..."
"Oh." Senyuman Stewart lenyap. "Oke. Tidak apa-apa."
Wajahnya merah. "Kalau begitu, sampai jumpa hari Senin," katanya.
Ia berjalan di koridor. "Di kompetisi bakat."
"Yeah. Oke. Bye." Delia mengawasi Stewart pergi. Aneh,
pikirnya. Stewart pasti tahu aku pacaran dengan Vincent. Semua
orang tahu. Iya, kan" Sambil mengerutkan kening, Delia bergegas menuju
perpustakaan untuk mengembalikan buku. Kemudian ia menaiki anak
tangga menuju ruang-ruang kelas di lantai dua. Tidak ada pelajaran
saat ini, tapi ia sudah janji untuk bertemu Britty di lab geologi.
Mereka perlu mencocokkan catatan-catatan mereka sebelum ulangan
besok. Ia berbelok ke koridor, dan mendengar seseorang menyebutnyebut namanya dengan pelan. Delia memeriksa koridor di kedua
arah. Kosong. Tapi ia memperhatikan pintu ruang gudang terbuka. Delia
berjingkat-jingkat mendekat. Ia merasa mendengar seseorang
menyebutkan namanya lagi.
Delia merapatkan punggungnya ke dinding dan melayangkan
pandangan dengan cepat ke dalam ruang gudang itu.
Stewart berdiri di dalam, asyik berbicara dengan seseorang.
Delia tidak bisa melihat orang itu. Ekspresi wajah Stewart serius, dan
ia memberi isyarat dengan kedua tangannya ketika bicara.
Sebuah suara cewek bergumam sebagai jawabannya.
Dia sedang bicara dengan siapa" Apa dia sedang mengajak
orang lain keluar bersamanya" Delia bertanya dalam hati.
Stewart mengubah posisinya.
Delia membungkuk. Mengintip ke dalam ruangan kecil yang gelap itu.
Dan terkesiap ketika melihat siapa yang bicara dengan Stewart.
Chapter 8 KARINA" Stewart sedang bicara dengan Karina" Sembunyi-sembunyi"
Sambil mengintip dari pintu, Delia mempelajari wajah Karina.
Melihat ekspresi wajahnya yang marah.
Mereka sedang membicarakan aku, Delia sadar. Aku tahu aku
mendengar namaku disebut. Mereka sedang merencanakan sesuatu.
Delia merasa yakin ia tahu apa itu.
"Kau terlambat." Suara itu membuat Delia terlompat. Ia melihat
Britty melangkah di sampingnya. "Ada apa?" tanya Britty. "Kau
seharusnya menemui aku sepuluh menit yang lalu."
Delia menarik Britty ke lab geologi. Ia menutup pintu di
belakang mereka. "Dengar," bisik Delia. "Karina dan Stewart Andrews sedang
bicara di ruang gudang. Kukira Karina menyuruh Stewart mengajakku
keluar. Dia mencoba memperalat Stewart untuk memutuskan
hubunganku dengan Vincent."
Britty menggigit-gigit ujung kepangnya. "Aku tidak mengerti."
Delia menyapu setumpuk batu-batuan ke ujung lain meja
pertama dan membanting buku-bukunya. "Stewart baru saja
mengajakku keluar." Britty menaikkan alisnya. "Dan kau marah soal itu?" Ia
menggelengkan kepalanya, lalu tertawa. "Diajak keluar oleh Stewart
bukanlah sesuatu yang buruk, menurut pendapatku. Paling tidak,
setengah cewek-cewek di sekolah ini akan senang kencan dengannya."
"Kau tidak mengerti."
Semakin memikirkan soal itu, Delia semakin marah. "Aku
menolak ajakannya. Dan dia langsung lari ke lantai atas untuk
melapor kepada Karina," kata Delia pada Britty. "Apa kau tidak lihat"
Karina bicara dengannya di dalam! Dia pikir aku akan mengatakan ya.
Karina benar-benar mengira aku akan mau pergi dengan Stewart! Dia
melakukannya untuk menyingkirkan aku"jadi dia bisa memiliki
Vincent untuk dirinya sendiri."
Delia mulai berjalan mondar-mandir di ruangan lab itu. Britty
mengikutinya. "Delia..."
"Aku seharusnya mendatanginya dan memberitahu dia bahwa
aku tahu apa yang dia lakukan," Delia memotong. "Tapi aku tidak
akan melakukannya. Aku tidak mau bertengkar lagi dengan Karina.
Dia begitu lepas kendali. Dia barangkali akan mencoba membunuhku
lagi!" "Delia?" Britty mencoba lagi.
"Apa?" Delia bertanya dengan tak sabar. Ia berhenti berjalan
dan menoleh pada temannya.
"Um, Delia, jangan marah kalau aku menanyakan ini padamu,
oke?" Delia mengangguk. Britty mengetuk-ngetukkan ujung jari tangannya di meja
dengan gugup. "Kenapa Stewart mau membantu Karina" Itu tidak
masuk akal." Delia menatap Britty sejenak. Kemudian ia kembali bersandar
ke lab station. "Mungkin kau benar," ia mengakui.
"Sulit mempercayainya, tapi Stewart mungkin mengajakmu
keluar karena dia menyukaimu," kata Britty. "Kau barangkali
mendengar dia bicara dengan Karina soal Conklin Award atau
sesuatu. Namamu bisa saja disebut-sebut."
"Tapi kenapa mereka bicara di gudang?" desak Delia.
"Itu bukan hal paling aneh yang dilakukan Karina minggu ini,
kan?" Britty berjalan ke pintu dan menjulurkan kepala ke koridor.
"Stewart hendak pergi," ia melaporkan. "Tapi aku tidak melihat
Karina. Mungkin dia masih di sana."
Delia mengerang. "Karina gila," katanya. "Dan dia sedang
membuatku segila dia! Kau melihat sendiri, kan" Tingkahku akhirakhir ini agak gila."
Britty berpaling pada Delia. "Kau agak stres saja," ia mengakui.
Mereka berdua tertawa. "Aku akan berhenti sekarang juga," Delia berjanji. "Semua
penilaian untuk Conklin akan segera berakhir. Mungkin nanti
semuanya akan kembali normal."
Britty mengintip ke luar pintu lagi. "Karina masih di dalam
sana. Sedang apa dia" Tak ada apa-apa di dalam ruang gudang itu.
Yang ada hanya perabot-perabot rusak dan peralatan untuk bersihbersih."
"Aku sudah muak mencoba mengetahui apa yang sedang
dilakukan Karina," Delia menghela napas. "Dan anehnya aku mulai
merasa kasihan padanya. Dia menghancurkan tahun terakhirnya hanya
karena merasa harus bersaing denganku setiap menit. Kau tahu,
bersaing dengan Karina biasanya menyenangkan. Kami berdua jadi
terdorong untuk berusaha lebih keras."
"Ssshh!" Britty berbisik. "Dia keluar!"
Delia buru-buru menghampiri Britty. Mereka mengintip ke luar
pintu dan mengawasi ketika Karina berhenti di pancuran air.
"Britty!" bisik Delia. "Mungkin kita bisa menolong Karina.
Mungkin kau bisa bicara padanya. Jelaskan betapa Vincent dan aku
saling mencintai." Britty menggigit-gigit bibir bawahnya. "Bagaimana, ya...?"
"Kau bisa mengatakan bahwa aku tidak marah padanya," Delia
melanjutkan. "Bahwa semuanya baik-baik saja dengan kami"asalkan
dia tidak berulah lagi untuk memisahkan aku dari Vincent."
Britty menggelengkan kepala. "Sudah kucoba," katanya. "Aku
mampir ke rumahnya dalam perjalanan pulang. Dia tidak ingin
mendengar. Dia mengusirku."
Delia mengerang. "Dia begitu kacau. Yah... tak ada lagi yang
bisa kulakukan. Kalau dia tidak ingin bicara padamu, dia pasti tidak
ingin bicara padaku. Aku harus menjauhinya sedapat mungkin."
Delia mengawasi Karina berjalan di koridor dengan kepala
diangkat tinggi-tinggi. Rambutnya yang pirang berkilauan tertimpa
lampu-lampu di atas. Celana panjangnya yang hitam berlipit-lipit dan sweater merah
muda yang dikenakannya berkesan terlalu konservatif. Delia tidak
akan mau memakai pakaian seperti itu. Tapi ia mengakui, di tubuh
Karina pakaian itu kelihatan bagus. Lebih dari sekadar bagus malah.
"Cobalah bicara padanya lagi," Delia memohon pada Britty.
"Dia mungkin mau mendengarmu; kalau padaku, dia tidak akan
pernah mau mendengarkan. Bicaralah padanya sekali lagi."
"Aku tak ingin ikut-ikut dalam persoalan ini," Britty berkeras.
"Ayolah?" Delia memohon. Ia tahu Britty akan menyerah.
"Oh, baiklah." Britty menghela napas. "Berhentilah
memandangku seperti anak anjing sakit begitu. Aku akan bicara
padanya." Delia menyeringai. "Trims, Britty. Aku hanya ingin Karina
baik-baik saja"dan tidak mengganggu aku lagi."
Britty memaksa tersenyum dan melangkah ke koridor. Delia
bersembunyi di ambang pintu dan mengawasi sahabatnya.
"Ini dia," Britty bergumam. Ia menghela napas dalam-dalam.
Kemudian ia berteriak dengan kerasnya, "Hei, Karina! Tunggu!"
Chapter 9 "HEI, Karina! Tunggu. Aku sedang mencari-cari kau," panggil
Britty. "Mau jalan-jalan sepulang sekolah hari ini?"
"Aku tidak tahu," jawab Karina. "Aku harus latihan vokal jam
lima, dan belajar dengan Stewart sebelum itu. Apa yang ingin
kaulakukan?" Britty membungkuk untuk mengikat tali sepatunya, memaksa
Karina untuk berhenti berjalan dan menunggu.
"Langkah bagus," bisik Delia pada dirinya sendiri. Kalau
mereka pergi terlalu jauh ke koridor, aku tidak akan bisa mendengar
mereka. "Kupikir kita bisa pergi ke mal atau ke suatu tempat," kata
Britty setelah selesai dengan sepatu karetnya. "Atau hanya mengobrol.
Kau tahu, seperti yang biasa kita lakukan."
"Ngobrol?" tanya Karina. "Soal apa?"
Britty melirik sekilas ke pintu tempat Delia bersembunyi. Ia
berdeham. "Oh, ayolah, Karina. Kau tahu aku sahabat baik Delia. Kita
semua berteman, kan" Kupikir kita perlu bicara tentang apa yang
terjadi di ruang olahraga kemarin."
Delia mengawasi Karina tertawa. "Oh, itu! Aku khilaf sesaat.
Bukan masalah besar."
"Bukan masalah besar?" suara Britty meninggi. "Kau hampir
mencekik Delia!" Rasa dingin merambat di punggung Delia ketika ia mempelajari
ekspresi Karina yang tenang. Dia bahkan tidak peduli andai dia
melukai aku, Delia tahu. Apa dia ingat apa yang telah terjadi"
"Kau perlu bicara dengan seseorang, Karina," desak Britty.
"Tidak harus denganku. Mungkin nanti kau akan sadar kau tidak
bersikap..." Britty ragu-ragu. "Kau akan tahu..."
"Tahu apa?" tanya Karina dengan tidak sabar. "Bahwa Delia
tidak ingin menghadapi kenyataan?"
Delia kaget. Britty melirik gugup ke arah ruang lab. "Karina...," ia memulai.
"Katakan ini pada sahabatmu Delia," kata Karina pelan, begitu
pelan sehingga Delia hampir tak bisa mendengarnya. "Katakan
padanya dia tidak akan pernah memenangkan Conklin. Kujamin itu.
Dan dia tidak akan merebut Vincent dariku juga."
Perut Delia mual. Sudah cukup buruk mendengar Karina
mengatakan itu ketika ia marah besar di ruang olahraga. Tapi sekarang
ia mendengar Karina bicara seperti biasanya. Normal dan percaya diri.
Kecuali bahwa kata-katanya masih kedengaran sinting. Karina
masih menganggap ia dan Vincent adalah sepasang kekasih.
Delia memejamkan mata, berjuang melawan perasaan dingin
yang merayap ke perutnya. Ia menelan ludah dengan keras.
Kalau Karina menganggap ia dan Vincent adalah sepasang
kekasih, apa yang akan ia lakukan untuk mempertahankan Vincent"
"Apa kau mendengarku, Delia?" Karina berteriak dengan keras.
Delia terbelalak. "Aku tahu kau sedang berdiri mendengarkan," Karina berteriak.
"Dengarkanlah semaumu. Apa kau benar-benar ingin mendengar
sesuatu?" Suara Karina melengking, marah. "Aku akan memberimu
sesuatu untuk didengar, Delia. Aku akan melakukan apa saja.
Kaudengar aku" Aku akan melakukan apa saja untuk mencegahmu
menang!" *****************************************
Apa aku akan bisa tidur" Delia bertanya dalam hati.
Atau aku akan berbaring tak bisa tidur sepanjang malam,
memikirkan kompetisi bakat besok pagi"
Mungkin aku sebaiknya turun dari ranjang dan menyetel gitarku
lagi. Ia duduk. Tidak. Aku telah menyetelnya dua kali. Setelannya tidak ada
masalah. Mungkin aku sebaiknya berlatih sedikit lagi. Mengulangi
laguku. Tidak. Aku praktis hafal laguku dari belakang ke depan.
Delia membiarkan kepalanya tenggelam di bantal. Ia
memejamkan mata rapat-rapat.
Tidur. Tidur. Aku tak akan pernah memenangkan kompetisi bakat itu kalau
aku menguap di tengah-tengah laguku.
Ia berguling ke samping. Tungkainya dikaitkan di seprai.
Aku membayangkan apa yang sedang dilakukan Karina
sekarang ini, Delia berpikir. Kubayangkan apakah dia sedang menatap
langit-langit, tak bisa tidur seperti aku. Mencemaskan soal besok pagi.


Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak. Dia barangkali sudah tidur satu jam yang lalu.
Barangkali dia tidur nyenyak karena tahu aku tak bisa
memejamkan mataku! Pikiran-pikiran gila.... Jangan jadi gila, Delia menghardik dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata lagi dan memaksa diri untuk berpikir
tentang popcorn. Popcorn yang halus dan lembut"bertumpuk-
tumpuk, melayang-layang turun dari langit, menutupi tanah seperti
salju. Popcorn. Begitu lembut. Begitu hening....
Selalu berhasil. Beberapa menit kemudian ia tidur.
Beberapa saat kemudian, ia membuka matanya terbangun. Dan
menyentakkan kepalanya dari bantal yang hangat.
Suara apa itu" Suara menggarut. Delia menoleh ke pintu, langsung kaget.
Suara menggarut. Diikuti suara batuk.
"Siapa di sana?" ia berteriak, suaranya berat karena mengantuk.
Langkah kaki. Tapi tidak ada yang menyahut.
Dalam cahaya abu-abu dari pintu kamar yang terbuka, Delia
melihat bayangan gelap bergerak menghampirinya.
"Siapa itu?" Tidak ada jawaban. Delia duduk. Tapi sebelum ia bisa bergerak, sebuah tangan menutup mulut
dan hidungnya. Menekan pipinya. Menekannya, menahannya agar ia
tidak berteriak. Delia memutar kepala, menegakkan tubuh. Mencoba berkelit
dari tangan itu. Tapi tangan itu mencengkeramnya terlalu erat, sehingga ia tak
bisa melepaskan diri. Telapak tangan itu menutupi hidung Delia,
menghalangi udara. Sambil berontak, menggeliat, menyepak-nyepakkan kakinya,
Delia menatap penyerangnya.
Melihat rambut berwarna terang. Mata yang memandang
dengan penuh tekad, disipitkan.
Ia mengenali sosok itu. Karina! Dengan kekuatan yang muncul karena kemarahan, Delia
mengangkat kedua tangannya dan memukul tangan Karina.
Kesatria Baju Putih 14 Shugyosa Samurai Pengembara 2 Pendekar Pedang Sakti 13
^