Tantangan The Dare 3
Fear Street - Tantangan The Dare Bagian 3
Bunyi sirene meraung-raung kemudian berhenti. Lampu depan
ambulans menyinari Zack yang terbaring di tanah yang dingin dan
keras. Lampu teras Mr. Northwood menyala.
Pintu depan terbuka. Mr. Northwood melangkah ke luar. Dia
memakai sweter hitam berkerah tinggi dan celana longgar abu-abu.
"Ada apa" Apa yang terjadi?" seru guru itu, marah bercampur
bingung. Tiba-tiba sepatunya menginjak sesuatu. Dia membungkuk. Dan
kulihat dia mengangkat benda itu.
Pistol! Cahaya merah berputar-putar menerangi halaman. Pintu mobil
dibanting di belakang kami.
Zack terbaring tak bergerak di rumput.
Cahaya merah berputar-putar dan lampu mobil putih
menyilaukan, membuatku tak bisa melihat kejadian di situ dengan
jelas. Dua orang polisi berseragam hitam muncul dengan sikap siaga.
"Ada apa di sini?" salah satu polisi itu bertanya.
"Dia menembak Zack!" teriak Dennis, sambil menunjuk Mr.
Northwood. "Hah?" Polisi itu memandang ke teras. "Hai!" teriaknya dengan
marah. "Kau! Jatuhkan pistol itu! Sekarang!"
Mr. Northwood berteriak kaget. Dia segera menjatuhkan pistol
itu. "Dia menembak Zack!" kata Dennis mengulangi, sambil tetap
menuding Mr. Northwood. "Northwood menembak Zack!"
BAB 19 DENNIS menunduk, lalu mencium pipiku. Ciuman itu
membuat bulu kudukku merinding.
Jendela mobil berembun. Aku tak bisa melihat ke luar sama
sekali. Kami sendirian di dunia yang serasa milik kami berdua. Penuh
kehangatan. Aku memeluk Dennis sambil bersandar di jok mobil. Dari
rambutnya masih tercium bau sampo kelapa yang biasa dipakainya.
"Pulang yuk," bisikku. "Nanti Mom keburu pulang kerja. Kau
kan tahu, aku tidak boleh menemuimu."
"Beberapa menit lagi deh," pinta Dennis. Tatapan matanya
serasa membakar wajahku. Hari itu tepat dua minggu setelah malam mengerikan ketika
Zack tertembak. Sekarang Zack sudah sehat. Suatu mukjizat bahwa
peluru itu tidak merusak organ-organ vital di bahunya. Lukanya akan
sembuh total beberapa bulan lagi.
Tapi bagi kami semua keadaan sudah berubah.
Mula-mula, polisi percaya Mr. Northwood yang menembak
Zack. Sidik jarinya ada di pistol itu.
Tapi setelah diadakan penyidikan, mereka tahu pistol itu
terdaftar atas nama ayahku. Dan mereka juga melihat bekas darah di
karpet, walaupun sudah kucoba membersihkannya.
Kemudian kebenaran pun terungkap.
Kami tidak punya pilihan, selain menceritakan kejadian yang
sebenarnya kepada polisi.
Petugas itu membawa kami ke kantor polisi Shadyside. Aku tak
ingat apakah mereka menuduh kami melakukan kejahatan atau tidak.
Aku sangat bingung, juga sangat ketakutan.
Orangtua Dennis dan yang lainnya segera datang ke kantor
polisi. Aku tak tahu bagaimana cara mereka mengurusnya, pokoknya
masalah itu diselesaikan malam itu juga. Peristiwa penembakan itu
bahkan tidak pernah muncul di koran.
Keesokan harinya, orangtua mereka datang ke sekolah dan
mencoba memindahkan kami semua dari kelas Mr. Northwood. Tapi
pihak sekolah tidak mengabulkannya.
Mr. Northwood tidak menuntut kami karena pencemaran nama
baik atau apa. Mungkin orangtua teman-temanku menyuapnya.
Entahlah. Kami semua harus tetap mengikuti pelajaran sejarah Mr.
Northwood. Dan sekarang dia benar-benar memperlakukan kami -
termasuk aku - dengan tangan besi. Secara terang-terangan dia
menekan dan memojokkan kami.
Dia selalu memberi kami PR ekstra, terutama pada akhir pekan.
Juga menyuruh kami mengerjakan makalah panjang dan
membosankan yang tidak harus dikerjakan murid-murid lain. Ujian
kami diberi nilai jelek karena alasan-alasan konyol. Kami seolah-olah
harus menebus semua kesalahan kami dengan mengerjakan tugastugasnya. Dan semua
ini membuat kami menderita.
Setelah peristiwa penembakan itu, Mom tidak bereaksi seperti
yang kubayangkan. Jalan pikiran orangtua memang sulit diduga.
Kupikir Mom akan menjerit dan berteriak-teriak histeris. Tapi
sebaliknya, beliau dengan tenangnya mengatakan betapa kecewanya
dia padaku. Aku menginginkan Mom menjerit dan berteriak-teriak. Karena
kepedihan yang tampak di matanya lebih menyakitkan daripada katakata kasar yang
mungkin diucapkannya. "Teman-temanmu yang kaya itu menjadi pengaruh buruk
bagimu," kata Mom lembut, air mata mengambang di matanya yang
letih. "Kau tidak boleh menemui mereka lagi." Mom menguliahi aku
tentang betapa tidak bertanggungjawabnya aku mengeluarkan pistol
itu, kemudian beliau menyimpannya di laci meja ruang tamu yang
terkunci. Dan sejak saat itu aku selalu menyelinap diam-diam kalau ingin
menemui Dennis. Sebenarnya aku tak suka sembunyi-sembunyi dan mengabaikan
larangan ibuku. Tapi aku tak tahan. Aku jatuh cinta pada Dennis; aku
akan melakukan apa pun untuk menemuinya.
Kami bermobil ke River Ridge, tebing tinggi nun jauh di atas
kota. Itu tempat "mojok" yang populer di kalangan anak-anak
Shadyside High. Udara di sana sangat dingin, hingga mereka yang
bermobil saja yang biasa pergi ke sana.
Aku dan Dennis berpelukan. Berpegangan tangan. Dan
mengobrol. Dennis paling sering berbicara tentang bagaimana Mr.
Northwood menghancurkan hidupnya, merusak kesempatannya untuk
bergabung dengan tim atletik Olimpiade, dan menghancurkan masa
depannya. "Dia tidak akan meluluskan aku. Aku tahu itu," kata Dennis
sambil menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Dia ingin membalas
dendam. Dia akan menjatuhkan kita semua."
Aku ingin mengatakan sesuatu untuk memberinya semangat.
Tapi kurasa, Dennis benar.
Aku suka memandang wajah Dennis, bahkan ketika dia sedang
sedih dan menggerutu tentang Mr. Northwood. Aku suka alisnya yang
hitam dan berbentuk huruf V terbalik di atas matanya yang hijau tua.
Aku suka hidungnya yang mancung dan lurus, juga senyumnya yang
lebar. Dia kelihatan seperti anak-anak jika tersenyum.
Aku sering memikirkan Dennis dan bagaimana dia bertindak
pada malam Zack tertembak. Sikapnya sangat tenang dan tanggap.
Tekadnya begitu kuat untuk memperoleh apa yang
diinginkannya. Dia punya ide. Lalu dia melaksanakan idenya itu.
Dennis bertindak penuh percaya diri.
Aku bertanya-tanya bagaimana jika aku menjadi Dennis, bisa
memperoleh semua yang kuinginkan. Bisa melakukan segalagalanya... dan lolos dari
hukuman. "Pulang yuk," bisikku sambil mengusap embun di kaca jendela
mobil dengan tanganku. "Sebenarnya aku tak ingin pulang. Tapi aku
harus pulang, Dennis."
Dennis menatap kaca depan mobil yang berembun. Dia tidak
menghidupkan mesin mobilnya.
"Kenapa?" tanyaku sambil memegang tangannya dengan
lembut. "Memikirkan Northwood," gumamnya.
"Jangan malam ini dong," pintaku. "Maksudku, apa yang bisa
kita lakukan?" "Lanny menantangku untuk membunuh Northwood," ujar
Dennis menghindari tatapanku.
"Apa?" Aku tak percaya apa yang kudengar.
"Lanny menantangku untuk membunuh Northwood," Dennis
mengulangi. Dia menggenggam tangan kiriku dengan kedua
tangannya. "Lalu Zack juga kutantang untuk membunuh Northwood."
Dennis terkekeh, seakan-akan ia baru saja membuat lelucon.
"Bahu Zack masih dibalut," gumamku.
"Kami saling menantang untuk membunuh Northwood," kata
Dennis sambil menggelengkan kepalanya. "Di kelas."
Dennis menoleh kepadaku. Kulihat dagunya gemetar.
Aku terkejut. Apakah dia akan menangis"
"Aku... aku tak mau membiarkan Northwood menghancurkan
hidupku!" katanya dengan suara bergetar. "Seseorang harus
melakukan sesuatu kepadanya. Seseorang harus melakukannya!"
Matanya serasa membakar wajahku.
Aku tak yakin kenapa, tapi saat itu kurasakan bahwa aku lebih
mencintai dia daripada sebelumnya.
Aku ingin Dennis menjadi milikku. Hanya milikku. Aku tak
ingin berbagi dengan Caitlin lagi.
Aku ingin bersama Dennis. Dan aku ingin menjadi seperti dia.
"Mungkin seharusnya kutantang kau untuk membunuh
Northwood," kata Dennis menggoda, telunjuknya digerakkan
menyusuri pipiku dengan lembut. "Kau selalu ingin ambil bagian
dalam tantangan konyol kami, iya, kan?"
"Mungkin," jawabku malu-malu sambil membalas senyumnya.
"Jadi, mungkin aku harus menantangmu," Dennis mengulangi
dengan mata berbinar-binar.
"Ayolah. Tantang aku," bisikku sambil menggenggam
tangannya. Ekspresi wajahnya menjadi serius. Matanya menatapku.
"Kutantang kau untuk membunuh Northwood," katanya.
"Oke," jawabku, dan kurasakan jantungku berdetak kencang.
"Aku akan melakukannya."
BAB 20 "SEMOGA sukses, Johanna,"
Aku menoleh untuk melihat siapa yang menyapaku.
Gadis berkepang itu tersenyum kepadaku. "Semoga sukses," dia
mengulangi. "Apa?" Aku terbengong-bengong, tak mengerti maksudnya.
Namun pelan-pelan, ucapannya menyadarkanku. Dia mengucapkan
selamat untuk tantangan itu - semoga sukses membunuh Mr.
Northwood! Hei, aku jadi terkenal! pikirku. Aku tak tahu apakah aku merasa
senang atau sebaliknya. Hari Senin itu sepertinya semua anak di Shadyside
memandangku dan membicarakan aku di koridor-koridor di depan
kelas. Kubanting pintu locker-ku hingga tertutup dan berjalan ke
kelas. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh punggungku. Aku menoleh.
"Oh, hai, Margaret," seruku kaget.
Akhir-akhir ini aku jarang bertemu Margaret. Aku tahu dia
tidak menyukai Dennis dan teman-teman baruku yang lain. Duniaku
dan dunia Margaret sudah jauh berbeda.
"Johanna, apa yang terjadi?" desak Margaret. Wajahnya
cemberut, dan berulang-ulang dia memperhatikan aku dari kepala
sampai ujung kaki seakan-akan sedang mencari kutu.
"Tidak terjadi apa-apa," jawabku biasa-biasa saja. "Kenapa
sih?" "Jangan pura-pura," hardik Margaret. "Aku ingin tahu ada apa
di balik semua ini."
Margaret meraih tanganku dan menarikku ke toilet. Ia menghela
napas panjang dan tetap memandangiku seakan-akan sedang
mengorek rahasia yang tersembunyi di wajahku.
Suki Thomas sedang memulas bibirnya di depan kaca. Lalu
menyisir rambut pirangnya yang keperakan.
Margaret menatapku tanpa bicara, menunggu Suki keluar.
"Tunggu dulu," kata Margaret. Suki akhirnya keluar. Dia
mengedipkan matanya waktu melewatiku dan mengacungkan
jempolnya. Kuharap Margaret tidak melihatnya.
Aku sungguh tak ingin membicarakan tantangan itu dengan
Margaret. Aku tahu Margaret tidak memahamiku. Aku tak yakin
apakah aku memahami diriku sendiri.
Tapi kukira sudah terlambat untuk bersikap pura-pura bodoh.
"Semua orang di sekolah ini membicarakanmu!" ujar Margaret.
Mungkin itu suatu tuduhan. Tapi terus terang, aku suka setiap
orang membicarakanku. Senang rasanya bisa menjadi selebriti untuk
sesaat dalam hidupku. "Kata mereka kau menerima tantangan," lanjut Margaret sambil
menyibakkan rambut dari keningnya yang berbintik-bintik.
"Membunuh Mr. Northwood. Setiap orang membicarakannya. Tapi itu
tidak benar... iya, kan?"
Aku ragu-ragu. Kelihatannya dia sangat gusar.
"Tidak. Tidak," gumamku sambil menghindari tatapan matanya
yang menuduhku. "Jadi kenapa Zack dan Lanny bertaruh?" Margaret tetap
mendesakku. "Hah" Mereka bertaruh?" Aku terkejut. Benar-benar terkejut
dan tidak kubuat-buat. Tak ada seorang pun yang memberitahuku
bahwa sedang diadakan taruhan. Harus kuakui, aku sangat terguncang
mendengar kabar itu. Bel berbunyi. "Margaret... kita terlambat," kataku sambil berjalan ke pintu.
Margaret berjalan di depanku dan menghalang-halangi
langkahku. "Mereka bertaruh. Semua orang bertaruh apakah kau jadi
membunuh Northwood atau tidak. Ini gila, Johanna. Benar-benar gila.
Tahu tidak!" "Yeah," ujarku sependapat. "Benar. Memang gila."
**************************
Margaret benar, kataku dalam hati, ketika mengikuti pelajaran
matematika. Mataku menerawang ke luar jendela. Sore yang kelabu.
Salju ringan turun. Serpihan-serpihan salju yang basah menempel
lembut di ambang jendela kelas.
Memang gila. Semua itu gila. Aku tak boleh melanjutkannya.
Tak boleh! Kelihatannya romantis sekali mengucapkan janji pada malam
itu di River Ridge. Aku senang sekali berada di sana bersama Dennis.
Aku ingin membahagiakan Dennis. Aku berusaha mati-matian agar
Dennis menyukaiku. Tapi kini aku punya banyak waktu untuk memikirkannya.
Kenyataannya, hal itu terus-menerus membebani pikiranku.
Dan aku sadar, aku tak mampu melakukannya.
Aku mencari Dennis sepulang sekolah. Aku harus mengatakan
kepadanya bahwa tantangan itu lebih baik dibatalkan saja.
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi aku tidak menemukan Dennis.
Lanny berlari menghampiriku di koridor. "Taruhannya seribu
dolar," bisiknya riang sambil nyengir. "Kau percaya itu?"
"Hah?" Kutatap wajahnya sambil mencoba mencernakan apa
yang baru dikatakannya. "Seribu dolar," Lanny mengulangi dengan berbisik. "Dan kau
akan mendapat separonya."
"Aku" Aku tidak mengerti..."
"Jika... kau tahu... terjadi sesuatu pada... kau tahu siapa..., "
Lanny menambahkan. "Tapi, tunggu...!" teriakku. Aku ingin mengatakan kepadanya
bahwa dia harus mengembalikan uang itu.
"Aku buru-buru!" teriak Lanny sambil berlari. "Sampai nanti!"
Lanny menghilang di belokan.
Lima ratus dolar" pikirku. Selama hidupku aku belum pernah
punya uang sebanyak itu. Aku belum pernah melihat uang lima ratus
dolar! Kulihat lubang ngengat di lengan sweterku. Dengan lima ratus
dolar aku bisa membeli beberapa sweter baru, pikirku penuh damba.
Tapi tantangan itu gila. Benar-benar gila.
Aku tidak mau membunuh Mr. Northwood untuk memperoleh
uang itu. Aku membunuh Mr. Northwood untuk menolong Dennis.
Hanya demi Dennis. Dennis telah menantangku.
Dan aku tidak bisa mundur lagi.
Dan... aduh! Aduh, Johanna!
Apa yang sedang kaupikirkan"
Aku tidak dapat melakukannya - aku tak bisa membunuh Mr.
Northwood. Jika aku memang ingin membunuh dia - sanggupkah
aku" **************************
Malam itu Mom pulang kerja lebih awal. Kami menikmati
makan malam yang menyenangkan bersama-sama. Kupaksa untuk
tidak memikirkan tantangan itu dan semua yang terjadi di sekolah.
Ketika Mom menanyakan bagaimana keadaan di sekolah, aku
bercerita tentang proyek-proyek di kelas dan pertunjukan kesenian
yang diadakan setiap tahun. Aku merasa berdosa karena berbohong.
Tapi apa yang bisa kulakukan" Aku tidak bisa mengatakan kepada
Mom apa yang sebenarnya ada di benakku.
Telepon berdering pukul tujuh lebih sedikit. Aku segera lari
mengangkatnya. Aku tidak ingin Mom yang mengangkatnya, karena
mungkin Dennis yang menelepon.
Dan benar, Dennis yang menelepon.
"Dennis, Mom di rumah," bisikku. "Aku tak bisa bicara
sekarang." "Sabtu," katanya. "Taruhannya untuk hari Sbbtu. Aku
mengandalkanmu, Johanna." Lalu Dennis memutuskan hubungan.
BAB 21 AKU mengamati halaman belakang rumah Mr. Northwood dari
jendela dapur. Hari sudah sore, matahari bersembunyi di balik awan
kelabu. Salju yang kemarin turun beberapa jam sudah berhenti, hanya
menyisakan lapisan putih di rumput dan pohon-pohon gundul.
Dua ekor gagak hitam yang besar bertengger di atas tumpukan
kayu bakar di tengah-tengah halaman Mr. Northwood. Kedua burung
itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan bergaok-gaok keras.
Tampaknya mereka sedang berdebat.
Ketika Mr. Northwood muncul di halaman memakai jaket flanel
kotak-kotak merah-hitam yang dikancingkan rapat-rapat, burungburung gagak itu
memekik terkejut dan mengepakkan sayapnya, lalu
terbang. Mr. Northwood memakai topi ski dari wol merah menutupi
rambutnya yang kelabu dan kusut. Dia berjalan menuju tumpukan
kayu bakar. Kayu-kayu itu ditumpuk amat tinggi, begitu banyak,
hingga tingginya melebihi kepala Mr. Northwood.
Mr. Northwood membungkuk dan mengambil beberapa batang
kayu dari tumpukan yang lebih rendah. Kemudian, dia
mengangkatnya dengan kedua lengannya dan berjalan masuk ke
rumahnya. Aku menelan ludah. Tiba-tiba aku punya ide.
Mungkin aku tidak harus menembak Mr. Northwood.
Mungkin aku bisa membunuh dia dengan cara lain dan
membuatnya seperti kecelakaan.
"Ya!" teriakku keras-keras, begitu gembira sehingga kedua
lututku gemetar. "Ya!"
Kudengar pintu dapur Mr. Northwood ditutup dengan keras.
Dia sudah masuk ke rumahnya.
Aku berlari ke luar, tak sempat mengambil mantel. Aku tahu,
aku tak punya banyak waktu.
Dulu aku pernah melihat Mr. Northwood membawa kayu
masuk ke rumahnya. Setiap kali masuk, dia membawa dua batang
kayu. Dia bolak-balik tiga atau empat kali untuk mengambil kayu.
Sebentar lagi dia pasti keluar untuk mengambil dua batang lagi.
Kutarik napas dalam-dalam di udara yang dingin menggigit.
Aku berdoa semoga Mr. Northwood tidak melihatku.
Aku harus bersembunyi di belakang tumpukan kayu itu sebelum
dia kembali. Kakiku berat sekali seakan-akan diganduli bola besi. Di tengah
perjalanan menuju halaman belakang Mr. Northwood, kulihat sekilas
rumahnya. Tak ada tanda-tanda bahwa dia akan muncul.
Dengan napas terengah-engah kupaksa kakiku untuk berjalan.
Harus sampai di sana. Harus sampai di sana!
Aku segera bersembunyi di balik tumpukan kayu ketika
kudengar pintu dapur Mr. Northwood dibanting lagi.
Sambil mendekam di balik tumpukan kayu, aku berjuang untuk
menenangkan napasku. Kudengar dia bersenandung pelan sambil
berjalan untuk mengambil kayu.
Sanggupkah aku melakukannya" Sanggupkah aku"
Waktunya harus tepat. Kudengar langkah-langkah kakinya. Suara senandungnya
semakin keras. Aku tahu, sekarang dia hampir sampai di tumpukan
kayu itu. Aku meregangkan kedua tanganku, kuangkat di atas kepalaku
dan kuletakkan di tembok kayu yang keras itu.
Tiba-tiba aku merasa lemas, sangat lemas, seolah-olah semua
ototku meleleh. Tidak! kataku pada diriku sendiri.
Jangan menyerah. Jangan lemah.
Mr. Northwood berada di balik tumpukan kayu itu. Aku bisa
mendengar desah napasnya. Bisa kudengar gesekan kaki celana
korduroinya. Begitu dekat. Begitu dekat.
Dia mengerang pelan waktu membungkuk untuk mengangkat
batang kayu. Dan aku mendorong tumpukan kayu yang tinggi itu dengan
sekuat tenaga. Aku mendorongnya dengan kedua tanganku dan
kemudian dengan badanku sekalian.
Batang-batang kayu itu roboh ke depan.
Ya! Kudengar Mr. Northwood terpekik kaget.
Batang-batang kayu itu jatuh menimpanya, mengubur tubuhnya.
Mr. Northwood menyumpah-nyumpah, kemudian menjerit
kesakitan. Aku berjalan memutar untuk melihatnya. Dia sedang berusaha
keluar dari tumpukan kayu itu.
Tubuhku serasa beku ketika dia memandangku. Matanya yang
biru tua itu dingin dan murka. Aku kecewa. Aku ingin batang-batang
kayu itu menimpa kepalanya, dan menghantamnya hingga mati.
Tapi dia memanggil namaku. Dia mendorong sebuah batang
kayu dari atas dadanya dan merangkak keluar.
"Tidak," kataku keras. "Tidak, tidak." Aku tak bisa membiarkan
dia bebas. Dia tak mungkin bisa melepaskan diri.
Kuangkat sebatang kayu yang berat dari tumpukan kayu yang
berantakan itu. Kayu itu dilapisi kulit cokelat tua dan di salah satu
sisinya ada bagian yang tajam bekas cabang dipotong.
"Tidak, tidak, tidak."
Aku mengayunkan kayu itu sekeras mungkin di atas topi ski
dari wol merah itu. Jeritan yang keras sekali keluar dari mulutnya. Tengkoraknya
pecah dan bunyinya mengerikan.
Kemudian mulutnya ternganga, matanya yang biru berputar liar
seperti kelereng di wajahnya.
Darah menyembur dari bawah topi itu, seperti air terjun
membasahi wajahnya. Lalu kepalanya terkulai, dan tubuhnya terkapar di atas batangbatang kayu.
"Yah, mampus kau!" bisikku sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Suara tengkoraknya yang pecah masih terngiang-ngiang di
benakku. Aku bertanya dalam hati, bisakah aku memecahkan sebutir
telur tanpa mengingat Mr. Northwood"
Dengan perasaan ngeri, aku membungkuk di atas badannya dan
meletakkan telunjukku di bawah hidungnya selama beberapa detik,
sampai merasa yakin bahwa dia tidak bernapas lagi.
Kemudian aku menumpuk batang-batang kayu itu di atas
tubuhnya. Kuletakkan kayu yang berbekas darah di wajahnya.
Kutumpuk dua atau tiga batang kayu lagi di atas dadanya.
Jantungku berdetak keras ketika aku melangkah mundur untuk
mengagumi pekerjaanku. Apakah sudah kelihatan seperti kecelakaan"
Ya. Kecelakaan yang sangat mengerikan. Mr. Northwood yang
malang meninggal sewaktu tumpukan kayu bakarnya runtuh dan
menimpa tubuhnya. Semua orang akan mengatakan begitu.
Mr. Northwood yang malang.
Kuperiksa sekali lagi. Kutambah sebatang kayu lagi di atas
dadanya. Setelah itu aku berlari masuk ke rumahku dan menelepon
Dennis untuk menyampaikan kabar gembira itu.
BAB 22 PERISTIWA itu salah satu contoh lagi dari fantasiku yang
mengerikan. Kubayangkan "kecelakaan" yang menimpa Mr. Northwood
sambil memandang tumpukan kayu bakar dari jendela dapur.
Kalau saja peristiwa itu bukan khayalan, pikirku.
Kalau saja aku tidak harus menembak dia...
Hari itu Kamis sore Aku tinggal di rumah sepanjang hari, tidak
bersekolah. Perutku mual. Aku merasa aneh dan gemetar. Terus terang
aku gugup. Bekerku sudah kumatikan pada pukul tujuh, seperti biasanya.
Aku siap untuk berpakaian, tapi rasanya aku tidak sanggup
menghadapi satu hari lagi di sekolah. Aku tak mampu menghadapi
tatapan murid-murid lain, ucapan selamat mereka, serta pertanyaan
kapan aku akan menembak Mr. Northwood.
Pada mulanya, aku suka perhatian mereka.
Tapi sekarang semua itu membuatku ketakutan.
Setelah ibuku berangkat kerja, aku naik lagi ke ranjang. Sekujur
tubuhku menggigil. Aku tak bisa mengusir rasa dingin itu. Akhirnya
aku tidur lagi dan baru bangun ketika hari sudah siang.
Perutku sakit, dan aku merasa ingin muntah. Kupaksakan
makan roti panggang berlapis mentega dan minum sekaleng CocaCola, tapi perutku
malah lebih sakit lagi. Mungkin aku sakit, pikirku. Mungkin aku benar-benar terkena
flu. Tapi aku sadar bahwa aku hanya merasa takut setengah mati
untuk membunuh Mr. Northwood.
Kalau dia mati, aku akan merasa lebih lega. Itu yang kukatakan
pada diriku sendiri. Cara aneh untuk menghibur diri, hah"
Aku harus mengerjakan proyek risetku. Tapi aku tak bisa
berkonsentrasi. Namun hari itu tidak kulewatkan dengan sia-sia. Aku mencari
tempat yang cocok untuk menyembunyikan pistol. Ada batu bata
yang hampir lepas di tembok lantai bawah tanah di belakang mesin
pengering pakaian. Setelah menembak Mr. Northwood, aku akan
mencongkel batu bata itu dan menyelipkan pistol itu di sana. Pistol itu
akan aman tersembunyi di balik batu bata, dan tak seorang pun dapat
menemukannya. Penemuan tempat itu membuatku agak lega. Tapi sedikiiit saja.
Dennis menelepon setengah empat. Dia tidak melihatku di
sekolah dan menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Kupikir dia baik sekali mau meneleponku. Dia mulai
memperhatikan aku, pikirku.
"Kami sudah mengumpulkan hampir 1200 dolar," katanya,
merendahkan suaranya hampir seperti bisikan. Bisa kubayangkan
matanya yang hijau berbinar-binar gembira.
"Wow," hanya itu yang bisa kuucapkan.
Maksudku, itu mengesankan, jumlahnya sangat banyak.
"Separonya untukmu," lanjut Dennis, "Jika..."
"Ssttt," aku memotong ucapannya. "Bagiku uang tidak penting.
Sungguh." "Tapi kau tetap akan membunuhnya, kan?" tanya Dennis sedikit
cemas. "Yeah. Pasti," jawabku tak bersemangat.
"Sabtu," ujar Dennis. "Sabtu."
Aku tak ingin dia cepat-cepat memutuskan pembicaraan. Aku
ingin mengobrol agak lama. Aku ingin dia mengatakan bahwa dia
sudah meninggalkan Caitlin, dan hanya mencintai aku sekarang. Aku
ingin dia mengatakan betapa beraninya aku, betapa aku telah
menolongnya, betapa menyenangkan kami bisa bersama-sama
segera... segera setelah Mr. Northwood mati.
Tapi Dennis menggumamkan selamat tinggal, dan pesawat
telepon itu mendengung di telingaku.
Setelah gagang telepon kuletakkan, suara Dennis yang pelan
terngiang kembali di telingaku, "Sabtu... Sabtu... Sabtu..."
Kudengar suara di halaman belakang. Aku lari ke jendela dapur,
dan kulihat Mr. Northwood pulang dari sekolah. Dia memakai jaket
flanel merah-hitam dan topi ski wol. Dia membungkuk untuk
mengambil kayu dari tumpukan kayu bakar.
Pada saat itulah fantasiku yang kejam muncul. Fantasi
mendorong kayu-kayu itu ke tubuhnya dan memukul batok kepalanya,
membuatnya tampak seperti kecelakaan yang mengerikan.
Lamunanku berakhir. Mr. Northwood masih berdiri di tengahtengah halaman belakang
rumahnya. Ketika aku menatapnya, dia sedang mengangkat dua batang
kayu dengan kedua lengannya dan berjalan masuk ke rumahnya. Aku
sadar bahwa sekujur tubuhku gemetar.
"Aku tak tahan lagi!" teriakku keras.
Aku tahu aku tak mungkin bertahan sampai hari Sabtu. Tak
mungkin. Jantungku berdebar-debar. Aku cepat-cepat berjalan ke meja di
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruang tamu untuk mengambil pistol. Kuambil kunci yang diplester
ibuku di bawah meja dan memasukkannya ke lubang kunci.
Aku memutuskan akan melakukannya sekarang.
BAB 23 TANGANKU gemetar ketika membuka laci dan mengambil
pistol itu. Tapi setelah pistol itu ada dalam genggamanku, getarannya
langsung lenyap. Kekuatan pistol itu membuatku lebih tenang.
Pistol itu terasa hangat di tanganku yang dingin dan berkeringat.
Hangat dan hampir... menyenangkan.
Kutarik mantelku dari lemari dinding dan memakainya. Lalu
kumasukkan pistol itu ke saku mantel.
Aku akan merasa lebih baik beberapa saat lagi, kataku pada
diriku sendiri. Aku mengintip lewat jendela di pintu dapur. Mr. Northwood
sedang membungkuk di depan tumpukan kayu bakar, sibuk menata
kayu. Dia membelakangiku.
Kubuka pintu dapur dan kuayunkan langkah ke teras belakang.
Tangan kananku kumasukkan ke dalam saku mantel, menggenggam
erat-erat pistol itu. Sebentar lagi aku akan merasa sangat lega.
Hari itu udara dingin menusuk tulang, tapi aku nyaris tak
merasakannya. Aku tidak merasakan apa-apa kecuali pistol dalam
genggamanku. Tak kulihat apa pun kecuali Mr. Northwood yang sedang
membungkuk di atas kayu bakar.
Aku berjalan melintasi halaman belakang, melangkah hati-hati
di tanah yang beku agar tidak menimbulkan suara.
Berapa jarak yang kuperlukan" aku menimbang-nimbang,
sambil menatap punggung jaket flanel merah-hitam Mr. Northwood.
Berapa jaraknya" Berapa jaraknya"
Mendekatlah agar tidak gagal.
Aku langsung berhenti ketika Mr. Northwood menegakkan
tubuhnya. Apakah dia akan menoleh dan melihatku" Apakah dia akan
merusak rencanaku" Mr. Northwood berdiri tegak, sambil meluruskan lengannya
yang panjang ke atas kepalanya. Kemudian dia membungkuk lagi dan
mulai mengangkat kayu-kayu itu ke tumpukan yang rendah.
Aku menarik pistol dari saku mantel. Kugenggam pistol itu
erat-erat, hingga tanganku terasa sakit.
Kutarik pelatuknya. Terdengar bunyi klik.
Aku menahan napas, takut Mr. Northwood mendengarnya.
Sambil mengeluh Mr. Northwood menjatuhkan beberapa batang
kayu ke atas tumpukan yang sedang ditatanya.
Aku berjinjit di rumput yang beku menghampirinya. Selangkah
lagi. Berapa jarak yang harus kuambil" Berapa"
Selangkah lagi. Selangkah lagi...
Aku mengangkat pistol itu dan mengarahkannya ke
punggungnya. Sungguhkah aku sedang melakukannya" Tiba-tiba aku ragu.
Apakah aku benar-benar menginjak halaman ini dengan pistol berisi
peluru di tanganku" Apakah aku benar-benar akan menembak Mr. Northwood"
Atau ini hanya salah satu khayalan gilaku"
Tidak. Ini bukan khayalan. Ini kenyataan.
Dingin dan nyata. Aku mengarahkan pistolku ke punggungnya. Menyelipkan
tanganku di pelatuk, dan siap untuk menembak.
BAB 24 "JOHANNA!" Aku terkesiap mendengar panggilan itu.
Mr. Northwood juga mendengarnya. Dia berbalik, kaget.
Apakah dia sempat melihat pistol itu sebelum aku
memasukkannya kembali ke saku mantelku"
"Johanna, aku tidak mendengar kedatanganmu!" teriaknya,
matanya yang biru terbelalak.
"Saya... saya ke sini untuk menanyakan PR," kataku terbatabata.
Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku.
"Margaret!" Dia berdiri di muka rumahku, masih menyandang ransel.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku kesal.
"Besok ada ulangan," jawabnya, sambil berjalan menginjak
rumput. "Kau tidak masuk. Kupikir kau perlu buku catatan."
"Teman yang penuh perhatian," komentar Mr. Northwood. "Oh
ya, ke mana kau hari ini, Johanna" Kami tidak melihatmu."
"Saya tidak enak badan," jawabku.
Mr. Northwood menggumam dan kembali sibuk menata kayu
bakar. Aku dan Margaret berjalan ke rumahku.
"Aku punya rekaman pelajaran, jika kau mau
mendengarkannya," seru Mr. Northwood ke arahku.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan mengatakan
akan meminjam buku catatan Margaret saja.
"Mau masuk dulu?" tanyaku kepada Margaret. Kuperhatikan
wajahnya untuk mengetahui apa maksud kedatangannya yang
sesungguhnya. Beberapa minggu ini aku dan Margaret tidak akrab
lagi. Aku tahu dia kemari bukan untuk meminjamkan catatan sejarah
saja. "Tidak. Aku buru-buru," jawabnya sambil meluruskan rambut
merahnya yang kusut di keningnya.
Matahari sore tampak rendah di balik pepohonan. Bayangan
pohon menimpa kami berdua. Udara semakin dingin.
"Semua orang membicarakanmu, Johanna," bisik Margaret,
sambil memandang Mr. Northwood lewat bahuku. "Semua orang
membicarakan tantangan itu dan jumlah uang taruhannya."
"Yeah... ya..." Aku tak tahu apa yang harus kukatakan.
Tiba-tiba aku ingin sekali menjelaskan semuanya kepada
Margaret. Aku ingin menceritakan kepadanya bagaimana Mr.
Northwood menghancurkan hidup Dennis dan mencekal temantemannya, dan bagaimana
dia menghancurkan hidupku juga.
Tapi aku tahu Margaret tidak akan mengerti tentang aku dan
Dennis. Margaret takkan pernah mengerti tentang tantangan itu atau
tentang Dennis dan aku, juga tentang anak-anak di grup kami, karena
Margaret bukan anggota kami.
Margaret tidak akan mengerti. Jadi percuma saja.
Maka aku membatalkan niatku untuk menjelaskannya dan
hanya menatapnya. "Jadi kau mau apa?" tanyaku ketus.
Margaret ragu-ragu. Dia menggigit bibirnya. "Ya.. Aku harus
bertanya kepadamu," katanya hampir berbisik. "Maksudku... kau tidak
bersungguh-sungguh dengan tantangan itu, kan?"
"Tidak. Tentu saja tidak," jawabku, sambil menggenggam eraterat pistol di dalam
saku mantelku. "Tentu saja tidak."
BAB 25 HARI Sabtu pun tiba. Langit gelap dan angin bertiup kencang.
Hari yang cocok untuk pembunuhan, pikirku, sambil menunduk
melihat pohon-pohon maple gundul dari jendela kamarku.
Aku tetap berbaring di ranjang sampai kudengar suara pintu
mobil ditutup. Itu berarti Mom sudah berangkat kerja. Kemudian aku
cepat-cepat mandi dan berganti pakaian. Kupakai sweter abu-abu,
kusisir rambutku sampai kulit kepalaku terasa sakit. Kupikir aku
membutuhkan rasa sakit itu untuk membangkitkan semangatku.
Waktu makan siang hampir tiba, tapi aku tak bernafsu makan
sama sekali. Kupandang sekelilingku dengan gugup, sambil berjalan
mondar-mandir seperti singa di dalam kandang.
Perutku mulas. Tenggorokanku kering.
Ini gila, pikirku. Gila. Mungkin Mr. Northwood sedang pergi.
Kuintip dari jendela dapur. Tak ada tanda-tanda Mr. Northwood
ada di rumah. Tumpukan kayu bakar tampak gelap di tengah-tengah
halaman, seperti binatang raksasa.
Seekor tupai yang kurus berdiri tegang di sisi kiri tumpukan
kayu. Ekornya tegak. Suara dor yang keras, mungkin suara knalpot
mobil, membuat tupai itu segera meloncat untuk menyelamatkan diri.
Aku tertawa. Tupai itu seperti aku! kataku dalam hati.
Perutku mulai sakit. Aku berjalan mondar-mandir lagi, dari satu ruangan ke ruangan
yang lain. Tanpa menyadari ke mana aku akan pergi atau apa yang akan
kulakukan, aku sudah berada di lantai bawah tanah. Aku sampai di
balik mesin pengering pakaian, dan kutarik batu bata yang lepas di
dinding. Kuperiksa sekali lagi tempat yang akan kupakai untuk
menyembunyikan pistol setelah kugunakan.
Sabtu sore. Hari ini Sabtu sore.
Sabtu. Sabtu. Sabtu. Kuulang-ulang kata itu sampai bosan, sampai kata itu tidak
dapat dimengerti. Sampai tak ada yang bisa dimengerti.
Kemudian aku kembali ke dapur. Sambil bersandar di ambang
jendela, kulihat Mr. Northwood keluar ke halaman belakang
rumahnya. Jaket flanelnya yang merah-hitam terbuka, hingga
kelihatan kaus hijaunya yang berleher tinggi. Rambutnya yang abuabu melambai-
lambai tertiup angin. Mr. Northwood membawa kaleng cat yang terbuka di tangan
kanannya dan kuas lebar di tangan kirinya.
Jantungku berdetak keras. Kulihat dia menuju gudang di
belakang garasi. Dia berjalan cepat-cepat dengan kepala teranggukangguk seperti
kebiasaannya. Mr. Northwood akan mengecat gudang itu. Aku menempelkan
keningku yang panas di kaca jendela yang dingin. Dia akan mengecat
gudang di halaman belakang.
Dan aku akan menembaknya.
Karena hari ini Sabtu Sabtu Sabtu Sabtu.
Dan tak ada yang masuk akal.
Perutku mulas. Kubayangkan gelombang lava yang meleleh
bergulung-gulung di dalam diriku. Aku adalah gunung berapi, pikirku.
Gunung berapi yang hampir meletus.
Kutelan ludah, sambil mencoba menahan rasa mual.
Sekarang aku berada di ruang tamu. Aku menunduk dan kulihat
pistol dalam genggamanku.
Bagaimana pistol itu ada di sana"
Aku tak ingat lagi kalau baru berjalan dari dapur. Aku tak ingat
kalau aku menuju ruang tamu, membuka laci meja, dan mengambil
pistol. Tapi aku punya pistol itu.
Di tanganku ada pistol sekarang.
Karena hari ini Sabtu Sabtu Sabtu.
Dan Mr. Northwood ada di halaman belakang. Menunggu untuk
dibunuh. Sambil menggenggam pistol di tangan kanan, kutekan perutku
yang sakit dengan tangan kiri. Kemudian aku berjalan ke lemari
dinding untuk mengambil mantel.
Bel pintu berbunyi. BAB 26 AKU kaget. Pistol yang kugenggam jatuh ke karpet lalu mental
ke dekat sofa. Bel pintu berbunyi lagi. Suara bel itu membuatku merinding.
Dengan mengeluh pelan, aku cepat-cepat membungkuk dan
menyambar pistol itu lalu memasukkannya ke laci. Setelah menutup
laci, buru-buru aku ke pintu untuk melihat siapa yang datang.
"Dennis!" Dennis tidak tersenyum. Matanya menatapku. "Kau sudah
membunuhnya?" "Belum," jawabku. Aku melangkah mundur membiarkan dia
masuk. "Aku... aku tidak yakin aku mampu," kataku mengaku.
Dennis seperti tidak mendengar kata-kataku. "Northwood ada di
rumah?" Aku mengangguk. "Di halaman belakang. Mengecat gudang.
Gila ya, dia memilih hari yang paling dingin di tahun ini untuk
mengecat." "Bagus!" seru Dennis, matanya memperhatikan wajahku.
"Kenapa kau ke sini?" tanyaku dengan nada menuntut.
"Kau tidak ramah," jawabnya, pura-pura mencibir.
"Aku... aku agak gugup. Dan perutku..."
Dennis langsung memelukku. "Untuk dukungan moral,"
ujarnya. Aku menggigil. Sekujur tubuhku bergetar. Tubuhku seakanakan terbuat dari karet,
tidak bertulang sama sekali.
"Ayo kita selesaikan," bisik Dennis di telingaku. "Jadi kita bisa
merayakannya." "Rayakan," kataku kaku. Kata-kata itu juga tidak masuk akal.
Tak ada yang masuk akal. Tak ada.
"Di mana pistolnya?" tanya Dennis dengan nada mendesak
sambil menatapku dengan tegang.
Kutunjuk laci meja hijau.
Perutku, mulas lagi. "Aku segera kembali," kataku, sambil
menekan perut dengan tangan kanan.
"Kau mau ke mana?" tanya Dennis nyaring. Kelihatannya dia
juga gugup. Butir-butir keringat berkilauan di keningnya.
"Hanya ke lantai atas. Aku akan ambil obat. Untuk perutku.
Kau tahu, cairan merah muda itu."
Buru-buru aku naik tangga. Kepalaku pusing dan aku hampir
muntah. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.
Kupercikkan air dingin di wajahku dan berusaha mengatur
napasku. Kemudian kuteguk cairan merah muda itu.
Aku tak tahu berapa lama aku berdiri di sana sambil bersandar
di wastafel. Kutatap wajahku yang pucat, wajah yang ketakutan, di
kaca lemari obat, sambil menunggu perutku tidak mulas dan sakit lagi.
Kudengar di kejauhan bunyi letupan knalpot mobil.
Kudengar angin menggetarkan jendela kamar mandiku yang
sudah tua. Kupercikkan lagi air dingin di wajahku yang panas.
Aku ingin tinggal di sini. Aku tak ingin turun. Tapi mau tak
mau aku harus turun. Karena hari ini Sabtu Sabtu Sabtu.
Dan aku telah menerima tantangan itu. Aku tidak boleh
mundur. Aku menuruni tangga dengan kaki lemas. Perutku masih sakit,
tapi tidak kuhiraukan. "Kau baik-baik saja?" tanya Dennis dengan nada mendesak. Dia
menatap wajahku penuh perhatian. Keningnya berkeringat, dan
keringat itu menetes di bibirnya.
Kulihat wajah Dennis sepucat wajahku. Dia tampak tegang dan
ketakutan.
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia baik juga, pikirku. Dia memperhatikan aku. Dia benarbenar menaruh perhatian
kepadaku. Entah bagaimana, kegugupannya serasa memberiku kekuatan
baru Aku melintasi ruang tamu untuk mengambil pistol di laci. Lagilagi pistol
itu terasa begitu hangat dalam genggaman tanganku yang
dingin. "Semoga sukses, Johanna," bisik Dennis. Kurasakan napasnya
yang hangat di telingaku.
Aku buru-buru menuju pintu dapur. Aku ingin menghambur ke
dalam pelukannya. Aku ingin menyembunyikan wajahku di dadanya
yang bidang. Masih banyak waktu untuk itu... setelah semuanya berakhir.
Itu yang kukatakan pada diriku sendiri sambil melangkahkan
kakiku keluar. Hari itu sangat gelap. Awan hitam bergelayut rendah tepat di
atas kepalaku. Udara dingin tapi kering.
Sambil berdiri di teras belakang rumahku, dengan pistol
tergenggam erat di saku mantel, kupandang halaman belakang rumah
Mr. Northwood. Pertama-tama kucari Mr. Northwood di gudang, tapi ia ternyata
sudah ada di dekat tumpukan kayu bakar. Mungkin ia sedang
mengaturnya, pikirku. Aku mengambil napas panjang, kemudian berjalan cepat tanpa
menimbulkan suara di rerumputan.
Pistol itu terasa panas di tanganku.
Langit yang gelap seakan-akan menderu-deru di atas kepalaku.
Bumi seolah-olah berputar di bawah sepatu ketsku. Rumput-rumput
merunduk dan rebah. Batang-batang pohon meliuk-liuk seperti terbuat
dari karet. Semuanya bergerak. Semuanya mengaum melewatiku. Bumi,
langit, pohon-pohon yang gundul, serta angin.
Kupejamkan mataku, berkedip beberapa kali, lalu membukanya
lagi. Kucoba membuat bumi ini normal kembali.
Normal" Ini hari Sabtu. Bukan hari biasa. Hari ini tak ada sesuatu pun yang masuk akal.
Mr. Northwood masih membungkuk di atas tumpukan kayu.
Tangannya direntangkan. Punggung jaketnya tampak mencolok di
depan mataku, sasaran tembakan yang tepat.
Kutarik pistol dari saku.
Kuselipkan telunjukku pada pelatuknya.
Aku melangkah mendekat. Mendekat.
Mampukah aku melakukannya"
Sanggupkah aku" BAB 27 KUARAHKAN pistolku ke tengah-tengah punggung Mr.
Northwood. Namun pistol itu bergetar di tanganku.
Kucengkeram pistol itu dengan kedua tanganku, kupegang kuatkuat.
Angin kencang tiba-tiba bertiup dan jaket flanel Mr. Northwood
tersingkap. Aku tahu aku harus menembak. Sekarang. Sebelum dia
menegakkan tubuhnya. Sebelum dia berbalik.
Sebelum dia melihatku. Aku berjuang mati-matian untuk menegakkan pistolku.
Tembak! kuperintah diriku sendiri. Tembak! Tembak! Tembak!
Aku harus menembak. Sebab hari ini hari Sabtu.
Tapi aku tidak bisa menembak.
Aku tahu aku takkan bisa.
Semuanya mulai masuk akal lagi.
Aku tidak bisa melakukan ini, aku tahu.
Aku adalah aku. Aku Johanna.
Aku bukan pembunuh. Aku tidak bisa menembak seseorang.
Aku tidak bisa menembak siapa pun.
Aku Johanna. Dan semuanya mulai masuk akal.
Apa yang sedang kupikirkan" aku bertanya pada diriku sendiri.
Apa yang terjadi pada diriku"
Aku menurunkan pistol itu. Kusembunyikan di balik
punggungku. Tiba-tiba aku merasa lebih lega. Perutku tidak mulas.
Tenggorokanku lega. Aku bisa bernapas normal kembali.
Aku bukan pembunuh. Aku ya aku. Aku Johanna.
Aku tidak akan melakukannya. Tidak!
Ini hari Sabtu. Tapi aku tidak akan membunuh dia.
Mr. Northwood tidak bergerak.
Semuanya masuk akal lagi. Kecuali Mr. Northwood yang tidak
bergerak. Angin berembus. Jaket merah-hitamnya tersingkap.
Dia tidak bergerak. Tangannya terkulai di tumpukan kayu.
"Mr. Northwood?" Kuselipkan pistol itu ke saku mantel. "Mr.
Northwood?" Suaraku, lemah dan bergetar, tertiup kembali ke arahku
oleh embusan angin. Dia tidak bergerak. Aku melangkah mendekat. Dan semakin dekat.
Aku kaget, kulihat noda darah di punggung jaketnya. Noda
merah tua. Noda darah merah tua. "Mr. Northwood?"
Kenapa dia tidak menjawab" Kenapa dia diam saja"
Kuperhatikan noda merah yang bulat di jaketnya. Setelah jelas,
kulihat bahwa noda itu mengelilingi lubang yang dalam. Lubang yang
menembus mantel itu. Lubang di punggung Mr. Northwood.
Lalu aku menunduk dan kulihat genangan darah yang
menghitam di tanah di depan tumpukan kayu bakar.
"Mr. Northwood" Mr. Northwood?"
Tentu saja dia tidak menjawab.
Mulutku ternganga ketakutan. Aku sadar, dia telah ditembak
mati. BAB 28 LUTUTKU gemetar. Aku berjuang agar tetap berdiri.
Langit yang kelabu tampak lebih rendah, sehingga aku terpana
melihat semuanya melalui awan tebal yang berputar-putar.
Mendadak aku tersadar oleh langkah-langkah kaki di
belakangku. Aku segera menoleh dan kulihat Dennis berlari di
rumput. Dia tersenyum. "Johanna... kau berhasil!" serunya.
"Ti... tidak," aku tergagap. "Tidak, Dennis."
Dennis melangkah ke sampingku dan merangkul pundakku
yang gemetar. Pandangan matanya terpaku pada tubuh Mr.
Northwood yang tertelungkup di atas tumpukan kayu bakar.
"Kau berhasil!" Dennis mengulangi dengan gembira. "Aku tak
percaya! Wow! Kautembak dia!"
"Tapi bukan aku yang menembaknya!" aku menjerit, sambil
melepaskan diri dari rangkulan Dennis. "Dengarkan aku, Dennis! Aku
tidak melakukannya. Aku tidak menembak dia!"
Dennis tetap tersenyum. Matanya yang hijau berbinar-binar.
Dia menoleh kepadaku. "Tentu saja kau yang melakukannya, Johanna.
Kautembak dia." "Bukan... tolong! Dengarkan aku!" pintaku.
"Periksa pistolmu," Dennis menginstruksikan dengan
tenangnya. "Ayo, Johanna. Periksalah."
"Hah" Apa maksudmu?" Aku ragu-ragu, kutatap wajahnya
menembus kabut kelabu tebal yang tidak mau menyingkir dari
pandanganku. "Apa maksudmu, Dennis" Kenapa kau tidak mau
mendengarkan aku?" "Periksa pistolmu." Dennis menunjuk saku mantelku.
Kutarik pistol itu keluar, pistol yang belum pernah
kutembakkan. Mengapa Dennis bersikeras bahwa aku sudah
menembakkannya" "Coba lihat," Dennis menyuruhku, masih sambil tersenyum.
"Pistolmu sudah ditembakkan. Lihat bubuk mesiu di larasnya"
Ayolah. Coba cium." Dengan patuh aku mengendus laras pistol itu. Aku mencium
bau bubuk mesiu. Aku ingat, pistol itu begitu hangat ketika aku mengeluarkannya
dari laci di ruang tamu. "Tapi, Dennis, aku tidak..."
"Aku sudah memanggil polisi," potong Dennis. Senyumnya
lenyap, ekspresi wajahnya berubah dingin.
"Apa?" teriakku kaget.
"Aku sudah memanggil polisi," jawabnya biasa-biasa saja.
"Mereka akan tiba di sini sebentar lagi. Aku akan mengatakan kepada
mereka bahwa semua ini kaulakukan hanya untuk membela diri,
Johanna. Jangan kuatir. Aku akan mengatakan bahwa Northwood
menyerangmu dan kau menembak dia untuk membela diri."
"Tapi, Dennis, kenapa...," kataku. Kemudian aku berhenti.
Mendadak aku memahami semuanya. Meskipun awan kelabu
yang tebal masih menggantung di atasku, semuanya kumengerti
dengan jelas. Suara letusan knalpot mobil ketika aku berada di kamar mandi
di lantai atas... itu bukan letusan knalpot mobil.
"Dennis, kautembak dia!" tuduhku, sangat terguncang.
"Kautembak dia, Dennis!"
Dennis mundur selangkah, matanya menatap tubuh Mr.
Northwood. "Aku akan mengatakan kepada mereka kau
melakukannya untuk membela diri, Johanna," katanya lembut.
"Tapi kau yang menembak dia!" teriakku. "Waktu aku di kamar
mandi." Keberanianku timbul. Gunung berapi itu hampir meletus.
Kucengkeram pundaknya. "Dennis... kenapa?"
Dennis menghindar, matanya mendelik.
"Kenapa, Dennis?" desakku. "Kau sudah mengatur semuanya,
kan!" tuduhku. "Kau memperalat aku! Kenapa?"
"Ada apa?" seru seorang gadis dari depan rumah.
Aku menoleh dan kulihat Caitlin berjalan tergesa-gesa
menghampiri kami. "Oh, Caitlin!" teriakku, sangat gembira melihat dia muncul.
"Caitlin... tolong aku! Tolong ya?" Aku berlari menghampirinya.
Tapi Caitlin menghindari aku dan bergegas menghampiri
Dennis. "Sempurna," kata Dennis kepada Caitlin sambil tersenyum. Dia
menunjuk tubuh Mr. Northwood.
Caitlin mencium pipi Dennis. "Kita berhasil!" teriaknya.
BAB 29 AKU berdiri terpaku. Caitlin merangkul pinggang Dennis, memeluknya erat-erat.
Pohon-pohon di sepanjang pagar belakang tiba-tiba hidup,
ranting-rantingnya bergoyang, batang-batangnya yang ramping
meliuk-liuk diembus angin kencang. Daun-daun cokelat berkejaran di
atas sepatu ketsku seakan-akan mencoba melarikan diri.
"Aku tidak mengerti," gumamku.
"Ini semua tantangan," Dennis menerangkan dengan santai.
"Caitlin menantang aku agar kau yang membereskan masalah
Northwood dengan kami."
"Maksudmu..." Terlalu banyak persoalan yang ada di benakku
saat itu. Rasanya kepalaku hampir meledak.
"Mudah untuk memintamu menjadi sukarelawan," Dennis
melanjutkan. "Kau tampaknya begitu berhasrat. Dan kau bisa
mewujudkannya dengan begitu mudah juga." Caitlin mengangguk
setuju, matanya menatap Dennis.
"Aku hampir tidak percaya ketika kudapati kau ternyata punya
pistol," ujar Dennis tertawa. "Aku bahkan tidak usah memikirkan cara
yang cerdik untuk membunuh dia. Kau menyimpan senjata yang tepat
dan sempurna di rumahmu sendiri."
"Kau mengajakku kencan hanya karena ingin membunuh Mr.
Northwood?" tanyaku dengan nada menuntut. Tak kuhiraukan
punggungku yang menggigil, tak kupedulikan darah yang berdenyutdenyut di
pelipisku. Dennis menggangguk. "Tepat. Itu juga tantangan, tahu."
"Dennis berpacaran dengan aku," gumam Caitlin sambil
memandang tajam wajahku. "Tidakkah kau heran kenapa mendadak
dia begitu tergila-gila padamu?"
"Aku tak percaya kau merencanakan semua ini," kataku sambil
menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
"Aku harus masuk kembali ke tim atletik," jawab Dennis
lembut. "Northwood menghancurkan hidupku. Dan kau begitu
bernafsu membereskan Northwood demi aku."
Napasku sesak. "Tapi kautembak dia. Kaubunuh dia. Kenapa?"
"Kupikir kau mungkin tidak mampu," jawab Dennis. "Aku
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Jadi aku menembaknya. Tapi
polisi akan mengira kau yang melakukannya. Semua orang akan
berpikir begitu." Di dalam diriku terjadi ledakan hebat. Gunung berapi itu
meletus sudah. Kemarahan, kepedihan, meledak berupa banjir teriakan
dan caci maki. "Aku tak mengira kau tega menipuku! Aku percaya padamu!
Aku menyayangimu!" Kudengar kata-kata itu keluar dari bibirku, tapi aku tidak
merasa sedang mengatakannya. Aku sangat terluka, sangat hancur,
untuk bisa berpikir jernih; terlalu marah, terlalu kecewa, untuk
menghadapi semua ini! Caitlin dan Dennis berpelukan. Mereka menatapku acuh tak
acuh, dingin. Kemarahan dan kepedihanku tidak berarti apa-apa bagi mereka.
Tidak ada artinya. Dennis telah membunuh Mr. Northwood. Dan sekarang aku
yang akan disalahkan. Hidupku sudah hancur. Dennis bisa bergabung kembali dengan
tim atletik dan hidup bahagia selamanya bersama Caitlin.
Kudengar sirene mobil polisi mendekat dari arah jalan.
Suara sirene itu berbaur dengan teriakanku yang penuh
kemarahan. Aku sudah berada di luar kendali. Di luar diriku sendiri. Di luar
akal sehatku. "Aku takkan membiarkan kau berbuat seperti ini kepadaku!"
jeritku. Pistol itu ada dalam genggamanku.
Aku mengarahkannya ke dada Dennis dan menarik pelatuknya.
BAB 30 TIDAK. Aku tidak bisa. Aku bukan pembunuh.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya ke
udara. Aku merasa tercekik, tenggelam, jauh ke dalam, turun, turun
sampai masuk ke kegelapan yang menakutkan.
Apakah itu ratapan kemarahan"
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah itu tangisan yang sangat menyedihkan"
Apakah itu bunyi sirene mobil polisi"
Kenapa sangat gelap" Dan kegelapan itu sangat mengerikan"
Kenapa aku tak bisa bernapas"
"Jatuhkan pistol itu! Jatuhkan!" Suara keras seorang laki-laki
menembus kegelapan itu. Sebelum aku bisa bergerak, sepasang tangan yang kuat
menangkapku dengan kasar. Tiba-tiba kulihat kesibukan di situ.
Seragam hitam. Wajah-wajah seram. Dan sebuah tangan menarik laras
pistol itu. "Jangan bergerak!" perintah orang itu.
Ada orang berjalan ke belakangku, menangkap kedua lenganku,
dan menariknya dengan paksa ke belakang punggungku.
Kegelapan itu pelan-pelan terkuak.
Empat orang polisi tampak dalam penglihatanku.
Dua orang membungkuk di atas tubuh Mr. Northwood. Seorang
memegang tanganku erat-erat dari belakang. Yang satunya
menghampiri Dennis dan Caitlin.
Alangkah terkejutnya aku melihat Caitlin mulai menangis.
"Mengerikan sekali!" ratapnya kepada petugas berwajah serius itu.
"Kami menyaksikan semuanya," kata Dennis, roman mukanya
penuh kesedihan, lengannya masih merangkul bahu Caitlin yang naikturun.
Caitlin terisak-isak. Berkali-kali dia menghela napas panjang.
"Kami sudah mencoba mencegah Johanna," katanya kepada polisi itu
sambil menghapus air mata dari pipinya. "Kami berusaha
mencegahnya. Tapi kami terlambat."
"Sayang kami terlambat," Dennis menambahkan, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Andai kami tiba beberapa detik
lebih awal, pasti Mr. Northwood masih hidup."
"Tapi dia menembaknya!" teriak Caitlin. "Johanna menembak
Mr. Northwood!" Petugas yang lain dari belakang menarik tanganku ke atas
sampai aku berteriak kesakitan. "Bacakan Johanna hak-haknya," dia
menginstruksikan kepada rekannya. Polisi itu mendekatkan wajahnya
ke wajahku. "Tuduhan untuk pembunuhan tingkat pertama."
BAB 31 "HEI, dia masih hidup!" seru polisi yang membungkuk di atas
tubuh Mr. Northwood. "Panggil ambulans," perintah rekannya. "Dia kehilangan banyak
darah, tapi dia masih bertahan. Dia masih bisa diselamatkan jika
mereka segera tiba."
Mr. Northwood tidak mati!
Kabar gembira itu mengagetkanku. Saat itu seorang polisi
sedang membacakan hak-hakku dengan suaranya yang membosankan.
"Ibuku," gumamku, sambil berusaha berpikir jernih. "Ibuku
sedang bekerja." "Kami akan menjemput ibumu," polisi yang memegang
tanganku itu berkata dengan suara kasar dan rendah. "Dan kau butuh
pengacara yang bagus, Nona. Meskipun orang itu tidak mati, kau
menghadapi masalah serius. Penyerangan dengan senjata yang
mematikan. Bermaksud membunuh."
"Tapi aku tidak melakukannya..." Kata-kataku terputus oleh
tangisanku. Tak ada gunanya aku menjelaskan. Tak ada cara untuk
membuat mereka mempercayai ucapanku.
Caitlin dan Dennis sudah mengatur semuanya.
Aku bisa menyangkal kesalahanku sampai mulutku berbusa,
namun tak seorang pun akan mendengarkannya.
Semua murid di sekolahku tahu aku akan menembak Mr.
Northwood. Ada beratus-ratus saksi mata yang bisa memberitahu
polisi mengenai taruhan tentang jadi atau tidaknya aku melakukan
penembakan itu. Di samping itu polisi bahkan tidak perlu saksi lagi.
Mereka menangkap aku pada saat aku memegang pistol, senjata
yang digunakan untuk menembak Mr. Northwood.
Tak seorang pun akan percaya bahwa aku tidak bersalah. Tak
seorang pun. Petugas itu menarikku ke mobil polisi. Aku menoleh, sekilas
kulihat Caitlin masih mencucurkan air mata buayanya. Dennis
memeluk dan menenangkannya.
"Kenapa dia menembaknya" Kenapa?" kudengar ratapan Caitlin
di antara tangisnya. Sandiwara yang meyakinkan.
Petugas itu sudah menarikku ke depan rumahku ketika kami
mendengar teriakan kaget polisi yang lain. "Hei, Walt... kembali ke
sini! Lihat ini!" Polisi itu memutar tubuhku dengan kasar dan menarikku
kembali menuju tumpukan kayu bakar. Dennis masih menghibur
Caitlin. Dua orang polisi memperhatikan sesuatu di tangan rekan
mereka. "Aku mengambil ini dari saku jaket korban," kata polisi itu. Dia
menunjukkan tape recorder kecil milik Mr. Northwood.
"Jadi kenapa?" tanya polisi yang lain ingin tahu.
"Ini hidup. Ini untuk merekam," jawab rekannya. "Aku bertaruh
kita akan mengetahui semua peristiwa penembakan itu dari tape ini."
Tiba-tiba Caitlin menghentikan tangisnya. Dia dan Dennis
diam-diam memandang ketakutan ketika polisi itu menekan tombol
dan mulai memutar kembali kaset di tape kecil itu.
"Wah, wah!" seru salah seorang polisi.
Kami mendengar suara mencicit waktu kaset itu diputar balik.
Kemudian polisi itu memencet tombol lain, dan kami mendengar
Dennis berkata, "Ini sebuah tantangan. Caitlin menantang aku agar
kau yang membereskan masalah Northwood dengan kami."
Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun bernapas.
"Matikan!" jerit Caitlin. Dia menyambar tape itu, tapi seorang
polisi menarik pinggangnya ke belakang.
Dennis mengeluh putus asa dan menundukkan kepalanya.
Caitlin meronta-ronta untuk merebut tape, tapi polisi itu
memegangnya erat-erat. "Kautembak dia," aku mendengar suaraku sendiri di pengeras
suara tape kecil itu. "Kaubunuh dia. Kenapa?"
Kemudian kami semua mendengar pengakuan Dennis, "Kupikir
kau mungkin tidak mampu. Aku tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan. Jadi aku menembaknya. Tapi polisi akan mengira kau
yang melakukannya. Semua orang akan berpikir begitu."
Seorang polisi bergerak menangkap Dennis. Tapi Dennis tidak
berusaha melarikan diri. Dia berdiri dengan kepala tertunduk,
rambutnya yang hitam terjurai di wajahnya.
"Kau dituduh melakukan penyerangan dengan maksud
membunuh," kata polisi itu.
Sekarang, Caitlin menangis betulan. Petugas lain membacakan
hak-haknya dengan suara pelan dan monoton.
Kudengar suara sirene yang keras di depan. Aku tahu itu
ambulans untuk Mr. Northwood.
Polisi yang menahanku melepaskan lenganku. Dia minta maaf.
"Kami perlu pernyataanmu, tapi kau bisa memberikannya nanti,"
katanya lembut. Dia melemparkan pandangan ke arah Dennis dan Caitlin dengan
wajah cemberut. "Baik sekali teman-temanmu itu," katanya sinis.
"Aku belum pernah mendengar kejadian seperti ini. Dia menyebutnyebut tantangan
dalam rekaman itu. Apa maksudnya?"
Kulihat polisi-polisi itu menggiring Dennis dan Caitlin menuju
mobil polisi. Caitlin menangis tersedu-sedu. Dennis berjalan dengan
kepala tertunduk. "Tantangan" Oh, itu hanya fantasi," kataku kepadanya. "Fantasi
konyol yang menjadi kenyataan."
Aku berpaling untuk menghindari cahaya merah yang
berpendar-pendar itu dan bergegas menuju rumahku. END
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Dayang Dayang Dasar Neraka 1 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Pangeran Impian 2
Bunyi sirene meraung-raung kemudian berhenti. Lampu depan
ambulans menyinari Zack yang terbaring di tanah yang dingin dan
keras. Lampu teras Mr. Northwood menyala.
Pintu depan terbuka. Mr. Northwood melangkah ke luar. Dia
memakai sweter hitam berkerah tinggi dan celana longgar abu-abu.
"Ada apa" Apa yang terjadi?" seru guru itu, marah bercampur
bingung. Tiba-tiba sepatunya menginjak sesuatu. Dia membungkuk. Dan
kulihat dia mengangkat benda itu.
Pistol! Cahaya merah berputar-putar menerangi halaman. Pintu mobil
dibanting di belakang kami.
Zack terbaring tak bergerak di rumput.
Cahaya merah berputar-putar dan lampu mobil putih
menyilaukan, membuatku tak bisa melihat kejadian di situ dengan
jelas. Dua orang polisi berseragam hitam muncul dengan sikap siaga.
"Ada apa di sini?" salah satu polisi itu bertanya.
"Dia menembak Zack!" teriak Dennis, sambil menunjuk Mr.
Northwood. "Hah?" Polisi itu memandang ke teras. "Hai!" teriaknya dengan
marah. "Kau! Jatuhkan pistol itu! Sekarang!"
Mr. Northwood berteriak kaget. Dia segera menjatuhkan pistol
itu. "Dia menembak Zack!" kata Dennis mengulangi, sambil tetap
menuding Mr. Northwood. "Northwood menembak Zack!"
BAB 19 DENNIS menunduk, lalu mencium pipiku. Ciuman itu
membuat bulu kudukku merinding.
Jendela mobil berembun. Aku tak bisa melihat ke luar sama
sekali. Kami sendirian di dunia yang serasa milik kami berdua. Penuh
kehangatan. Aku memeluk Dennis sambil bersandar di jok mobil. Dari
rambutnya masih tercium bau sampo kelapa yang biasa dipakainya.
"Pulang yuk," bisikku. "Nanti Mom keburu pulang kerja. Kau
kan tahu, aku tidak boleh menemuimu."
"Beberapa menit lagi deh," pinta Dennis. Tatapan matanya
serasa membakar wajahku. Hari itu tepat dua minggu setelah malam mengerikan ketika
Zack tertembak. Sekarang Zack sudah sehat. Suatu mukjizat bahwa
peluru itu tidak merusak organ-organ vital di bahunya. Lukanya akan
sembuh total beberapa bulan lagi.
Tapi bagi kami semua keadaan sudah berubah.
Mula-mula, polisi percaya Mr. Northwood yang menembak
Zack. Sidik jarinya ada di pistol itu.
Tapi setelah diadakan penyidikan, mereka tahu pistol itu
terdaftar atas nama ayahku. Dan mereka juga melihat bekas darah di
karpet, walaupun sudah kucoba membersihkannya.
Kemudian kebenaran pun terungkap.
Kami tidak punya pilihan, selain menceritakan kejadian yang
sebenarnya kepada polisi.
Petugas itu membawa kami ke kantor polisi Shadyside. Aku tak
ingat apakah mereka menuduh kami melakukan kejahatan atau tidak.
Aku sangat bingung, juga sangat ketakutan.
Orangtua Dennis dan yang lainnya segera datang ke kantor
polisi. Aku tak tahu bagaimana cara mereka mengurusnya, pokoknya
masalah itu diselesaikan malam itu juga. Peristiwa penembakan itu
bahkan tidak pernah muncul di koran.
Keesokan harinya, orangtua mereka datang ke sekolah dan
mencoba memindahkan kami semua dari kelas Mr. Northwood. Tapi
pihak sekolah tidak mengabulkannya.
Mr. Northwood tidak menuntut kami karena pencemaran nama
baik atau apa. Mungkin orangtua teman-temanku menyuapnya.
Entahlah. Kami semua harus tetap mengikuti pelajaran sejarah Mr.
Northwood. Dan sekarang dia benar-benar memperlakukan kami -
termasuk aku - dengan tangan besi. Secara terang-terangan dia
menekan dan memojokkan kami.
Dia selalu memberi kami PR ekstra, terutama pada akhir pekan.
Juga menyuruh kami mengerjakan makalah panjang dan
membosankan yang tidak harus dikerjakan murid-murid lain. Ujian
kami diberi nilai jelek karena alasan-alasan konyol. Kami seolah-olah
harus menebus semua kesalahan kami dengan mengerjakan tugastugasnya. Dan semua
ini membuat kami menderita.
Setelah peristiwa penembakan itu, Mom tidak bereaksi seperti
yang kubayangkan. Jalan pikiran orangtua memang sulit diduga.
Kupikir Mom akan menjerit dan berteriak-teriak histeris. Tapi
sebaliknya, beliau dengan tenangnya mengatakan betapa kecewanya
dia padaku. Aku menginginkan Mom menjerit dan berteriak-teriak. Karena
kepedihan yang tampak di matanya lebih menyakitkan daripada katakata kasar yang
mungkin diucapkannya. "Teman-temanmu yang kaya itu menjadi pengaruh buruk
bagimu," kata Mom lembut, air mata mengambang di matanya yang
letih. "Kau tidak boleh menemui mereka lagi." Mom menguliahi aku
tentang betapa tidak bertanggungjawabnya aku mengeluarkan pistol
itu, kemudian beliau menyimpannya di laci meja ruang tamu yang
terkunci. Dan sejak saat itu aku selalu menyelinap diam-diam kalau ingin
menemui Dennis. Sebenarnya aku tak suka sembunyi-sembunyi dan mengabaikan
larangan ibuku. Tapi aku tak tahan. Aku jatuh cinta pada Dennis; aku
akan melakukan apa pun untuk menemuinya.
Kami bermobil ke River Ridge, tebing tinggi nun jauh di atas
kota. Itu tempat "mojok" yang populer di kalangan anak-anak
Shadyside High. Udara di sana sangat dingin, hingga mereka yang
bermobil saja yang biasa pergi ke sana.
Aku dan Dennis berpelukan. Berpegangan tangan. Dan
mengobrol. Dennis paling sering berbicara tentang bagaimana Mr.
Northwood menghancurkan hidupnya, merusak kesempatannya untuk
bergabung dengan tim atletik Olimpiade, dan menghancurkan masa
depannya. "Dia tidak akan meluluskan aku. Aku tahu itu," kata Dennis
sambil menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Dia ingin membalas
dendam. Dia akan menjatuhkan kita semua."
Aku ingin mengatakan sesuatu untuk memberinya semangat.
Tapi kurasa, Dennis benar.
Aku suka memandang wajah Dennis, bahkan ketika dia sedang
sedih dan menggerutu tentang Mr. Northwood. Aku suka alisnya yang
hitam dan berbentuk huruf V terbalik di atas matanya yang hijau tua.
Aku suka hidungnya yang mancung dan lurus, juga senyumnya yang
lebar. Dia kelihatan seperti anak-anak jika tersenyum.
Aku sering memikirkan Dennis dan bagaimana dia bertindak
pada malam Zack tertembak. Sikapnya sangat tenang dan tanggap.
Tekadnya begitu kuat untuk memperoleh apa yang
diinginkannya. Dia punya ide. Lalu dia melaksanakan idenya itu.
Dennis bertindak penuh percaya diri.
Aku bertanya-tanya bagaimana jika aku menjadi Dennis, bisa
memperoleh semua yang kuinginkan. Bisa melakukan segalagalanya... dan lolos dari
hukuman. "Pulang yuk," bisikku sambil mengusap embun di kaca jendela
mobil dengan tanganku. "Sebenarnya aku tak ingin pulang. Tapi aku
harus pulang, Dennis."
Dennis menatap kaca depan mobil yang berembun. Dia tidak
menghidupkan mesin mobilnya.
"Kenapa?" tanyaku sambil memegang tangannya dengan
lembut. "Memikirkan Northwood," gumamnya.
"Jangan malam ini dong," pintaku. "Maksudku, apa yang bisa
kita lakukan?" "Lanny menantangku untuk membunuh Northwood," ujar
Dennis menghindari tatapanku.
"Apa?" Aku tak percaya apa yang kudengar.
"Lanny menantangku untuk membunuh Northwood," Dennis
mengulangi. Dia menggenggam tangan kiriku dengan kedua
tangannya. "Lalu Zack juga kutantang untuk membunuh Northwood."
Dennis terkekeh, seakan-akan ia baru saja membuat lelucon.
"Bahu Zack masih dibalut," gumamku.
"Kami saling menantang untuk membunuh Northwood," kata
Dennis sambil menggelengkan kepalanya. "Di kelas."
Dennis menoleh kepadaku. Kulihat dagunya gemetar.
Aku terkejut. Apakah dia akan menangis"
"Aku... aku tak mau membiarkan Northwood menghancurkan
hidupku!" katanya dengan suara bergetar. "Seseorang harus
melakukan sesuatu kepadanya. Seseorang harus melakukannya!"
Matanya serasa membakar wajahku.
Aku tak yakin kenapa, tapi saat itu kurasakan bahwa aku lebih
mencintai dia daripada sebelumnya.
Aku ingin Dennis menjadi milikku. Hanya milikku. Aku tak
ingin berbagi dengan Caitlin lagi.
Aku ingin bersama Dennis. Dan aku ingin menjadi seperti dia.
"Mungkin seharusnya kutantang kau untuk membunuh
Northwood," kata Dennis menggoda, telunjuknya digerakkan
menyusuri pipiku dengan lembut. "Kau selalu ingin ambil bagian
dalam tantangan konyol kami, iya, kan?"
"Mungkin," jawabku malu-malu sambil membalas senyumnya.
"Jadi, mungkin aku harus menantangmu," Dennis mengulangi
dengan mata berbinar-binar.
"Ayolah. Tantang aku," bisikku sambil menggenggam
tangannya. Ekspresi wajahnya menjadi serius. Matanya menatapku.
"Kutantang kau untuk membunuh Northwood," katanya.
"Oke," jawabku, dan kurasakan jantungku berdetak kencang.
"Aku akan melakukannya."
BAB 20 "SEMOGA sukses, Johanna,"
Aku menoleh untuk melihat siapa yang menyapaku.
Gadis berkepang itu tersenyum kepadaku. "Semoga sukses," dia
mengulangi. "Apa?" Aku terbengong-bengong, tak mengerti maksudnya.
Namun pelan-pelan, ucapannya menyadarkanku. Dia mengucapkan
selamat untuk tantangan itu - semoga sukses membunuh Mr.
Northwood! Hei, aku jadi terkenal! pikirku. Aku tak tahu apakah aku merasa
senang atau sebaliknya. Hari Senin itu sepertinya semua anak di Shadyside
memandangku dan membicarakan aku di koridor-koridor di depan
kelas. Kubanting pintu locker-ku hingga tertutup dan berjalan ke
kelas. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh punggungku. Aku menoleh.
"Oh, hai, Margaret," seruku kaget.
Akhir-akhir ini aku jarang bertemu Margaret. Aku tahu dia
tidak menyukai Dennis dan teman-teman baruku yang lain. Duniaku
dan dunia Margaret sudah jauh berbeda.
"Johanna, apa yang terjadi?" desak Margaret. Wajahnya
cemberut, dan berulang-ulang dia memperhatikan aku dari kepala
sampai ujung kaki seakan-akan sedang mencari kutu.
"Tidak terjadi apa-apa," jawabku biasa-biasa saja. "Kenapa
sih?" "Jangan pura-pura," hardik Margaret. "Aku ingin tahu ada apa
di balik semua ini."
Margaret meraih tanganku dan menarikku ke toilet. Ia menghela
napas panjang dan tetap memandangiku seakan-akan sedang
mengorek rahasia yang tersembunyi di wajahku.
Suki Thomas sedang memulas bibirnya di depan kaca. Lalu
menyisir rambut pirangnya yang keperakan.
Margaret menatapku tanpa bicara, menunggu Suki keluar.
"Tunggu dulu," kata Margaret. Suki akhirnya keluar. Dia
mengedipkan matanya waktu melewatiku dan mengacungkan
jempolnya. Kuharap Margaret tidak melihatnya.
Aku sungguh tak ingin membicarakan tantangan itu dengan
Margaret. Aku tahu Margaret tidak memahamiku. Aku tak yakin
apakah aku memahami diriku sendiri.
Tapi kukira sudah terlambat untuk bersikap pura-pura bodoh.
"Semua orang di sekolah ini membicarakanmu!" ujar Margaret.
Mungkin itu suatu tuduhan. Tapi terus terang, aku suka setiap
orang membicarakanku. Senang rasanya bisa menjadi selebriti untuk
sesaat dalam hidupku. "Kata mereka kau menerima tantangan," lanjut Margaret sambil
menyibakkan rambut dari keningnya yang berbintik-bintik.
"Membunuh Mr. Northwood. Setiap orang membicarakannya. Tapi itu
tidak benar... iya, kan?"
Aku ragu-ragu. Kelihatannya dia sangat gusar.
"Tidak. Tidak," gumamku sambil menghindari tatapan matanya
yang menuduhku. "Jadi kenapa Zack dan Lanny bertaruh?" Margaret tetap
mendesakku. "Hah" Mereka bertaruh?" Aku terkejut. Benar-benar terkejut
dan tidak kubuat-buat. Tak ada seorang pun yang memberitahuku
bahwa sedang diadakan taruhan. Harus kuakui, aku sangat terguncang
mendengar kabar itu. Bel berbunyi. "Margaret... kita terlambat," kataku sambil berjalan ke pintu.
Margaret berjalan di depanku dan menghalang-halangi
langkahku. "Mereka bertaruh. Semua orang bertaruh apakah kau jadi
membunuh Northwood atau tidak. Ini gila, Johanna. Benar-benar gila.
Tahu tidak!" "Yeah," ujarku sependapat. "Benar. Memang gila."
**************************
Margaret benar, kataku dalam hati, ketika mengikuti pelajaran
matematika. Mataku menerawang ke luar jendela. Sore yang kelabu.
Salju ringan turun. Serpihan-serpihan salju yang basah menempel
lembut di ambang jendela kelas.
Memang gila. Semua itu gila. Aku tak boleh melanjutkannya.
Tak boleh! Kelihatannya romantis sekali mengucapkan janji pada malam
itu di River Ridge. Aku senang sekali berada di sana bersama Dennis.
Aku ingin membahagiakan Dennis. Aku berusaha mati-matian agar
Dennis menyukaiku. Tapi kini aku punya banyak waktu untuk memikirkannya.
Kenyataannya, hal itu terus-menerus membebani pikiranku.
Dan aku sadar, aku tak mampu melakukannya.
Aku mencari Dennis sepulang sekolah. Aku harus mengatakan
kepadanya bahwa tantangan itu lebih baik dibatalkan saja.
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi aku tidak menemukan Dennis.
Lanny berlari menghampiriku di koridor. "Taruhannya seribu
dolar," bisiknya riang sambil nyengir. "Kau percaya itu?"
"Hah?" Kutatap wajahnya sambil mencoba mencernakan apa
yang baru dikatakannya. "Seribu dolar," Lanny mengulangi dengan berbisik. "Dan kau
akan mendapat separonya."
"Aku" Aku tidak mengerti..."
"Jika... kau tahu... terjadi sesuatu pada... kau tahu siapa..., "
Lanny menambahkan. "Tapi, tunggu...!" teriakku. Aku ingin mengatakan kepadanya
bahwa dia harus mengembalikan uang itu.
"Aku buru-buru!" teriak Lanny sambil berlari. "Sampai nanti!"
Lanny menghilang di belokan.
Lima ratus dolar" pikirku. Selama hidupku aku belum pernah
punya uang sebanyak itu. Aku belum pernah melihat uang lima ratus
dolar! Kulihat lubang ngengat di lengan sweterku. Dengan lima ratus
dolar aku bisa membeli beberapa sweter baru, pikirku penuh damba.
Tapi tantangan itu gila. Benar-benar gila.
Aku tidak mau membunuh Mr. Northwood untuk memperoleh
uang itu. Aku membunuh Mr. Northwood untuk menolong Dennis.
Hanya demi Dennis. Dennis telah menantangku.
Dan aku tidak bisa mundur lagi.
Dan... aduh! Aduh, Johanna!
Apa yang sedang kaupikirkan"
Aku tidak dapat melakukannya - aku tak bisa membunuh Mr.
Northwood. Jika aku memang ingin membunuh dia - sanggupkah
aku" **************************
Malam itu Mom pulang kerja lebih awal. Kami menikmati
makan malam yang menyenangkan bersama-sama. Kupaksa untuk
tidak memikirkan tantangan itu dan semua yang terjadi di sekolah.
Ketika Mom menanyakan bagaimana keadaan di sekolah, aku
bercerita tentang proyek-proyek di kelas dan pertunjukan kesenian
yang diadakan setiap tahun. Aku merasa berdosa karena berbohong.
Tapi apa yang bisa kulakukan" Aku tidak bisa mengatakan kepada
Mom apa yang sebenarnya ada di benakku.
Telepon berdering pukul tujuh lebih sedikit. Aku segera lari
mengangkatnya. Aku tidak ingin Mom yang mengangkatnya, karena
mungkin Dennis yang menelepon.
Dan benar, Dennis yang menelepon.
"Dennis, Mom di rumah," bisikku. "Aku tak bisa bicara
sekarang." "Sabtu," katanya. "Taruhannya untuk hari Sbbtu. Aku
mengandalkanmu, Johanna." Lalu Dennis memutuskan hubungan.
BAB 21 AKU mengamati halaman belakang rumah Mr. Northwood dari
jendela dapur. Hari sudah sore, matahari bersembunyi di balik awan
kelabu. Salju yang kemarin turun beberapa jam sudah berhenti, hanya
menyisakan lapisan putih di rumput dan pohon-pohon gundul.
Dua ekor gagak hitam yang besar bertengger di atas tumpukan
kayu bakar di tengah-tengah halaman Mr. Northwood. Kedua burung
itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan bergaok-gaok keras.
Tampaknya mereka sedang berdebat.
Ketika Mr. Northwood muncul di halaman memakai jaket flanel
kotak-kotak merah-hitam yang dikancingkan rapat-rapat, burungburung gagak itu
memekik terkejut dan mengepakkan sayapnya, lalu
terbang. Mr. Northwood memakai topi ski dari wol merah menutupi
rambutnya yang kelabu dan kusut. Dia berjalan menuju tumpukan
kayu bakar. Kayu-kayu itu ditumpuk amat tinggi, begitu banyak,
hingga tingginya melebihi kepala Mr. Northwood.
Mr. Northwood membungkuk dan mengambil beberapa batang
kayu dari tumpukan yang lebih rendah. Kemudian, dia
mengangkatnya dengan kedua lengannya dan berjalan masuk ke
rumahnya. Aku menelan ludah. Tiba-tiba aku punya ide.
Mungkin aku tidak harus menembak Mr. Northwood.
Mungkin aku bisa membunuh dia dengan cara lain dan
membuatnya seperti kecelakaan.
"Ya!" teriakku keras-keras, begitu gembira sehingga kedua
lututku gemetar. "Ya!"
Kudengar pintu dapur Mr. Northwood ditutup dengan keras.
Dia sudah masuk ke rumahnya.
Aku berlari ke luar, tak sempat mengambil mantel. Aku tahu,
aku tak punya banyak waktu.
Dulu aku pernah melihat Mr. Northwood membawa kayu
masuk ke rumahnya. Setiap kali masuk, dia membawa dua batang
kayu. Dia bolak-balik tiga atau empat kali untuk mengambil kayu.
Sebentar lagi dia pasti keluar untuk mengambil dua batang lagi.
Kutarik napas dalam-dalam di udara yang dingin menggigit.
Aku berdoa semoga Mr. Northwood tidak melihatku.
Aku harus bersembunyi di belakang tumpukan kayu itu sebelum
dia kembali. Kakiku berat sekali seakan-akan diganduli bola besi. Di tengah
perjalanan menuju halaman belakang Mr. Northwood, kulihat sekilas
rumahnya. Tak ada tanda-tanda bahwa dia akan muncul.
Dengan napas terengah-engah kupaksa kakiku untuk berjalan.
Harus sampai di sana. Harus sampai di sana!
Aku segera bersembunyi di balik tumpukan kayu ketika
kudengar pintu dapur Mr. Northwood dibanting lagi.
Sambil mendekam di balik tumpukan kayu, aku berjuang untuk
menenangkan napasku. Kudengar dia bersenandung pelan sambil
berjalan untuk mengambil kayu.
Sanggupkah aku melakukannya" Sanggupkah aku"
Waktunya harus tepat. Kudengar langkah-langkah kakinya. Suara senandungnya
semakin keras. Aku tahu, sekarang dia hampir sampai di tumpukan
kayu itu. Aku meregangkan kedua tanganku, kuangkat di atas kepalaku
dan kuletakkan di tembok kayu yang keras itu.
Tiba-tiba aku merasa lemas, sangat lemas, seolah-olah semua
ototku meleleh. Tidak! kataku pada diriku sendiri.
Jangan menyerah. Jangan lemah.
Mr. Northwood berada di balik tumpukan kayu itu. Aku bisa
mendengar desah napasnya. Bisa kudengar gesekan kaki celana
korduroinya. Begitu dekat. Begitu dekat.
Dia mengerang pelan waktu membungkuk untuk mengangkat
batang kayu. Dan aku mendorong tumpukan kayu yang tinggi itu dengan
sekuat tenaga. Aku mendorongnya dengan kedua tanganku dan
kemudian dengan badanku sekalian.
Batang-batang kayu itu roboh ke depan.
Ya! Kudengar Mr. Northwood terpekik kaget.
Batang-batang kayu itu jatuh menimpanya, mengubur tubuhnya.
Mr. Northwood menyumpah-nyumpah, kemudian menjerit
kesakitan. Aku berjalan memutar untuk melihatnya. Dia sedang berusaha
keluar dari tumpukan kayu itu.
Tubuhku serasa beku ketika dia memandangku. Matanya yang
biru tua itu dingin dan murka. Aku kecewa. Aku ingin batang-batang
kayu itu menimpa kepalanya, dan menghantamnya hingga mati.
Tapi dia memanggil namaku. Dia mendorong sebuah batang
kayu dari atas dadanya dan merangkak keluar.
"Tidak," kataku keras. "Tidak, tidak." Aku tak bisa membiarkan
dia bebas. Dia tak mungkin bisa melepaskan diri.
Kuangkat sebatang kayu yang berat dari tumpukan kayu yang
berantakan itu. Kayu itu dilapisi kulit cokelat tua dan di salah satu
sisinya ada bagian yang tajam bekas cabang dipotong.
"Tidak, tidak, tidak."
Aku mengayunkan kayu itu sekeras mungkin di atas topi ski
dari wol merah itu. Jeritan yang keras sekali keluar dari mulutnya. Tengkoraknya
pecah dan bunyinya mengerikan.
Kemudian mulutnya ternganga, matanya yang biru berputar liar
seperti kelereng di wajahnya.
Darah menyembur dari bawah topi itu, seperti air terjun
membasahi wajahnya. Lalu kepalanya terkulai, dan tubuhnya terkapar di atas batangbatang kayu.
"Yah, mampus kau!" bisikku sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Suara tengkoraknya yang pecah masih terngiang-ngiang di
benakku. Aku bertanya dalam hati, bisakah aku memecahkan sebutir
telur tanpa mengingat Mr. Northwood"
Dengan perasaan ngeri, aku membungkuk di atas badannya dan
meletakkan telunjukku di bawah hidungnya selama beberapa detik,
sampai merasa yakin bahwa dia tidak bernapas lagi.
Kemudian aku menumpuk batang-batang kayu itu di atas
tubuhnya. Kuletakkan kayu yang berbekas darah di wajahnya.
Kutumpuk dua atau tiga batang kayu lagi di atas dadanya.
Jantungku berdetak keras ketika aku melangkah mundur untuk
mengagumi pekerjaanku. Apakah sudah kelihatan seperti kecelakaan"
Ya. Kecelakaan yang sangat mengerikan. Mr. Northwood yang
malang meninggal sewaktu tumpukan kayu bakarnya runtuh dan
menimpa tubuhnya. Semua orang akan mengatakan begitu.
Mr. Northwood yang malang.
Kuperiksa sekali lagi. Kutambah sebatang kayu lagi di atas
dadanya. Setelah itu aku berlari masuk ke rumahku dan menelepon
Dennis untuk menyampaikan kabar gembira itu.
BAB 22 PERISTIWA itu salah satu contoh lagi dari fantasiku yang
mengerikan. Kubayangkan "kecelakaan" yang menimpa Mr. Northwood
sambil memandang tumpukan kayu bakar dari jendela dapur.
Kalau saja peristiwa itu bukan khayalan, pikirku.
Kalau saja aku tidak harus menembak dia...
Hari itu Kamis sore Aku tinggal di rumah sepanjang hari, tidak
bersekolah. Perutku mual. Aku merasa aneh dan gemetar. Terus terang
aku gugup. Bekerku sudah kumatikan pada pukul tujuh, seperti biasanya.
Aku siap untuk berpakaian, tapi rasanya aku tidak sanggup
menghadapi satu hari lagi di sekolah. Aku tak mampu menghadapi
tatapan murid-murid lain, ucapan selamat mereka, serta pertanyaan
kapan aku akan menembak Mr. Northwood.
Pada mulanya, aku suka perhatian mereka.
Tapi sekarang semua itu membuatku ketakutan.
Setelah ibuku berangkat kerja, aku naik lagi ke ranjang. Sekujur
tubuhku menggigil. Aku tak bisa mengusir rasa dingin itu. Akhirnya
aku tidur lagi dan baru bangun ketika hari sudah siang.
Perutku sakit, dan aku merasa ingin muntah. Kupaksakan
makan roti panggang berlapis mentega dan minum sekaleng CocaCola, tapi perutku
malah lebih sakit lagi. Mungkin aku sakit, pikirku. Mungkin aku benar-benar terkena
flu. Tapi aku sadar bahwa aku hanya merasa takut setengah mati
untuk membunuh Mr. Northwood.
Kalau dia mati, aku akan merasa lebih lega. Itu yang kukatakan
pada diriku sendiri. Cara aneh untuk menghibur diri, hah"
Aku harus mengerjakan proyek risetku. Tapi aku tak bisa
berkonsentrasi. Namun hari itu tidak kulewatkan dengan sia-sia. Aku mencari
tempat yang cocok untuk menyembunyikan pistol. Ada batu bata
yang hampir lepas di tembok lantai bawah tanah di belakang mesin
pengering pakaian. Setelah menembak Mr. Northwood, aku akan
mencongkel batu bata itu dan menyelipkan pistol itu di sana. Pistol itu
akan aman tersembunyi di balik batu bata, dan tak seorang pun dapat
menemukannya. Penemuan tempat itu membuatku agak lega. Tapi sedikiiit saja.
Dennis menelepon setengah empat. Dia tidak melihatku di
sekolah dan menanyakan apakah aku baik-baik saja.
Kupikir dia baik sekali mau meneleponku. Dia mulai
memperhatikan aku, pikirku.
"Kami sudah mengumpulkan hampir 1200 dolar," katanya,
merendahkan suaranya hampir seperti bisikan. Bisa kubayangkan
matanya yang hijau berbinar-binar gembira.
"Wow," hanya itu yang bisa kuucapkan.
Maksudku, itu mengesankan, jumlahnya sangat banyak.
"Separonya untukmu," lanjut Dennis, "Jika..."
"Ssttt," aku memotong ucapannya. "Bagiku uang tidak penting.
Sungguh." "Tapi kau tetap akan membunuhnya, kan?" tanya Dennis sedikit
cemas. "Yeah. Pasti," jawabku tak bersemangat.
"Sabtu," ujar Dennis. "Sabtu."
Aku tak ingin dia cepat-cepat memutuskan pembicaraan. Aku
ingin mengobrol agak lama. Aku ingin dia mengatakan bahwa dia
sudah meninggalkan Caitlin, dan hanya mencintai aku sekarang. Aku
ingin dia mengatakan betapa beraninya aku, betapa aku telah
menolongnya, betapa menyenangkan kami bisa bersama-sama
segera... segera setelah Mr. Northwood mati.
Tapi Dennis menggumamkan selamat tinggal, dan pesawat
telepon itu mendengung di telingaku.
Setelah gagang telepon kuletakkan, suara Dennis yang pelan
terngiang kembali di telingaku, "Sabtu... Sabtu... Sabtu..."
Kudengar suara di halaman belakang. Aku lari ke jendela dapur,
dan kulihat Mr. Northwood pulang dari sekolah. Dia memakai jaket
flanel merah-hitam dan topi ski wol. Dia membungkuk untuk
mengambil kayu dari tumpukan kayu bakar.
Pada saat itulah fantasiku yang kejam muncul. Fantasi
mendorong kayu-kayu itu ke tubuhnya dan memukul batok kepalanya,
membuatnya tampak seperti kecelakaan yang mengerikan.
Lamunanku berakhir. Mr. Northwood masih berdiri di tengahtengah halaman belakang
rumahnya. Ketika aku menatapnya, dia sedang mengangkat dua batang
kayu dengan kedua lengannya dan berjalan masuk ke rumahnya. Aku
sadar bahwa sekujur tubuhku gemetar.
"Aku tak tahan lagi!" teriakku keras.
Aku tahu aku tak mungkin bertahan sampai hari Sabtu. Tak
mungkin. Jantungku berdebar-debar. Aku cepat-cepat berjalan ke meja di
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruang tamu untuk mengambil pistol. Kuambil kunci yang diplester
ibuku di bawah meja dan memasukkannya ke lubang kunci.
Aku memutuskan akan melakukannya sekarang.
BAB 23 TANGANKU gemetar ketika membuka laci dan mengambil
pistol itu. Tapi setelah pistol itu ada dalam genggamanku, getarannya
langsung lenyap. Kekuatan pistol itu membuatku lebih tenang.
Pistol itu terasa hangat di tanganku yang dingin dan berkeringat.
Hangat dan hampir... menyenangkan.
Kutarik mantelku dari lemari dinding dan memakainya. Lalu
kumasukkan pistol itu ke saku mantel.
Aku akan merasa lebih baik beberapa saat lagi, kataku pada
diriku sendiri. Aku mengintip lewat jendela di pintu dapur. Mr. Northwood
sedang membungkuk di depan tumpukan kayu bakar, sibuk menata
kayu. Dia membelakangiku.
Kubuka pintu dapur dan kuayunkan langkah ke teras belakang.
Tangan kananku kumasukkan ke dalam saku mantel, menggenggam
erat-erat pistol itu. Sebentar lagi aku akan merasa sangat lega.
Hari itu udara dingin menusuk tulang, tapi aku nyaris tak
merasakannya. Aku tidak merasakan apa-apa kecuali pistol dalam
genggamanku. Tak kulihat apa pun kecuali Mr. Northwood yang sedang
membungkuk di atas kayu bakar.
Aku berjalan melintasi halaman belakang, melangkah hati-hati
di tanah yang beku agar tidak menimbulkan suara.
Berapa jarak yang kuperlukan" aku menimbang-nimbang,
sambil menatap punggung jaket flanel merah-hitam Mr. Northwood.
Berapa jaraknya" Berapa jaraknya"
Mendekatlah agar tidak gagal.
Aku langsung berhenti ketika Mr. Northwood menegakkan
tubuhnya. Apakah dia akan menoleh dan melihatku" Apakah dia akan
merusak rencanaku" Mr. Northwood berdiri tegak, sambil meluruskan lengannya
yang panjang ke atas kepalanya. Kemudian dia membungkuk lagi dan
mulai mengangkat kayu-kayu itu ke tumpukan yang rendah.
Aku menarik pistol dari saku mantel. Kugenggam pistol itu
erat-erat, hingga tanganku terasa sakit.
Kutarik pelatuknya. Terdengar bunyi klik.
Aku menahan napas, takut Mr. Northwood mendengarnya.
Sambil mengeluh Mr. Northwood menjatuhkan beberapa batang
kayu ke atas tumpukan yang sedang ditatanya.
Aku berjinjit di rumput yang beku menghampirinya. Selangkah
lagi. Berapa jarak yang harus kuambil" Berapa"
Selangkah lagi. Selangkah lagi...
Aku mengangkat pistol itu dan mengarahkannya ke
punggungnya. Sungguhkah aku sedang melakukannya" Tiba-tiba aku ragu.
Apakah aku benar-benar menginjak halaman ini dengan pistol berisi
peluru di tanganku" Apakah aku benar-benar akan menembak Mr. Northwood"
Atau ini hanya salah satu khayalan gilaku"
Tidak. Ini bukan khayalan. Ini kenyataan.
Dingin dan nyata. Aku mengarahkan pistolku ke punggungnya. Menyelipkan
tanganku di pelatuk, dan siap untuk menembak.
BAB 24 "JOHANNA!" Aku terkesiap mendengar panggilan itu.
Mr. Northwood juga mendengarnya. Dia berbalik, kaget.
Apakah dia sempat melihat pistol itu sebelum aku
memasukkannya kembali ke saku mantelku"
"Johanna, aku tidak mendengar kedatanganmu!" teriaknya,
matanya yang biru terbelalak.
"Saya... saya ke sini untuk menanyakan PR," kataku terbatabata.
Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku.
"Margaret!" Dia berdiri di muka rumahku, masih menyandang ransel.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanyaku kesal.
"Besok ada ulangan," jawabnya, sambil berjalan menginjak
rumput. "Kau tidak masuk. Kupikir kau perlu buku catatan."
"Teman yang penuh perhatian," komentar Mr. Northwood. "Oh
ya, ke mana kau hari ini, Johanna" Kami tidak melihatmu."
"Saya tidak enak badan," jawabku.
Mr. Northwood menggumam dan kembali sibuk menata kayu
bakar. Aku dan Margaret berjalan ke rumahku.
"Aku punya rekaman pelajaran, jika kau mau
mendengarkannya," seru Mr. Northwood ke arahku.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan mengatakan
akan meminjam buku catatan Margaret saja.
"Mau masuk dulu?" tanyaku kepada Margaret. Kuperhatikan
wajahnya untuk mengetahui apa maksud kedatangannya yang
sesungguhnya. Beberapa minggu ini aku dan Margaret tidak akrab
lagi. Aku tahu dia kemari bukan untuk meminjamkan catatan sejarah
saja. "Tidak. Aku buru-buru," jawabnya sambil meluruskan rambut
merahnya yang kusut di keningnya.
Matahari sore tampak rendah di balik pepohonan. Bayangan
pohon menimpa kami berdua. Udara semakin dingin.
"Semua orang membicarakanmu, Johanna," bisik Margaret,
sambil memandang Mr. Northwood lewat bahuku. "Semua orang
membicarakan tantangan itu dan jumlah uang taruhannya."
"Yeah... ya..." Aku tak tahu apa yang harus kukatakan.
Tiba-tiba aku ingin sekali menjelaskan semuanya kepada
Margaret. Aku ingin menceritakan kepadanya bagaimana Mr.
Northwood menghancurkan hidup Dennis dan mencekal temantemannya, dan bagaimana
dia menghancurkan hidupku juga.
Tapi aku tahu Margaret tidak akan mengerti tentang aku dan
Dennis. Margaret takkan pernah mengerti tentang tantangan itu atau
tentang Dennis dan aku, juga tentang anak-anak di grup kami, karena
Margaret bukan anggota kami.
Margaret tidak akan mengerti. Jadi percuma saja.
Maka aku membatalkan niatku untuk menjelaskannya dan
hanya menatapnya. "Jadi kau mau apa?" tanyaku ketus.
Margaret ragu-ragu. Dia menggigit bibirnya. "Ya.. Aku harus
bertanya kepadamu," katanya hampir berbisik. "Maksudku... kau tidak
bersungguh-sungguh dengan tantangan itu, kan?"
"Tidak. Tentu saja tidak," jawabku, sambil menggenggam eraterat pistol di dalam
saku mantelku. "Tentu saja tidak."
BAB 25 HARI Sabtu pun tiba. Langit gelap dan angin bertiup kencang.
Hari yang cocok untuk pembunuhan, pikirku, sambil menunduk
melihat pohon-pohon maple gundul dari jendela kamarku.
Aku tetap berbaring di ranjang sampai kudengar suara pintu
mobil ditutup. Itu berarti Mom sudah berangkat kerja. Kemudian aku
cepat-cepat mandi dan berganti pakaian. Kupakai sweter abu-abu,
kusisir rambutku sampai kulit kepalaku terasa sakit. Kupikir aku
membutuhkan rasa sakit itu untuk membangkitkan semangatku.
Waktu makan siang hampir tiba, tapi aku tak bernafsu makan
sama sekali. Kupandang sekelilingku dengan gugup, sambil berjalan
mondar-mandir seperti singa di dalam kandang.
Perutku mulas. Tenggorokanku kering.
Ini gila, pikirku. Gila. Mungkin Mr. Northwood sedang pergi.
Kuintip dari jendela dapur. Tak ada tanda-tanda Mr. Northwood
ada di rumah. Tumpukan kayu bakar tampak gelap di tengah-tengah
halaman, seperti binatang raksasa.
Seekor tupai yang kurus berdiri tegang di sisi kiri tumpukan
kayu. Ekornya tegak. Suara dor yang keras, mungkin suara knalpot
mobil, membuat tupai itu segera meloncat untuk menyelamatkan diri.
Aku tertawa. Tupai itu seperti aku! kataku dalam hati.
Perutku mulai sakit. Aku berjalan mondar-mandir lagi, dari satu ruangan ke ruangan
yang lain. Tanpa menyadari ke mana aku akan pergi atau apa yang akan
kulakukan, aku sudah berada di lantai bawah tanah. Aku sampai di
balik mesin pengering pakaian, dan kutarik batu bata yang lepas di
dinding. Kuperiksa sekali lagi tempat yang akan kupakai untuk
menyembunyikan pistol setelah kugunakan.
Sabtu sore. Hari ini Sabtu sore.
Sabtu. Sabtu. Sabtu. Kuulang-ulang kata itu sampai bosan, sampai kata itu tidak
dapat dimengerti. Sampai tak ada yang bisa dimengerti.
Kemudian aku kembali ke dapur. Sambil bersandar di ambang
jendela, kulihat Mr. Northwood keluar ke halaman belakang
rumahnya. Jaket flanelnya yang merah-hitam terbuka, hingga
kelihatan kaus hijaunya yang berleher tinggi. Rambutnya yang abuabu melambai-
lambai tertiup angin. Mr. Northwood membawa kaleng cat yang terbuka di tangan
kanannya dan kuas lebar di tangan kirinya.
Jantungku berdetak keras. Kulihat dia menuju gudang di
belakang garasi. Dia berjalan cepat-cepat dengan kepala teranggukangguk seperti
kebiasaannya. Mr. Northwood akan mengecat gudang itu. Aku menempelkan
keningku yang panas di kaca jendela yang dingin. Dia akan mengecat
gudang di halaman belakang.
Dan aku akan menembaknya.
Karena hari ini Sabtu Sabtu Sabtu Sabtu.
Dan tak ada yang masuk akal.
Perutku mulas. Kubayangkan gelombang lava yang meleleh
bergulung-gulung di dalam diriku. Aku adalah gunung berapi, pikirku.
Gunung berapi yang hampir meletus.
Kutelan ludah, sambil mencoba menahan rasa mual.
Sekarang aku berada di ruang tamu. Aku menunduk dan kulihat
pistol dalam genggamanku.
Bagaimana pistol itu ada di sana"
Aku tak ingat lagi kalau baru berjalan dari dapur. Aku tak ingat
kalau aku menuju ruang tamu, membuka laci meja, dan mengambil
pistol. Tapi aku punya pistol itu.
Di tanganku ada pistol sekarang.
Karena hari ini Sabtu Sabtu Sabtu.
Dan Mr. Northwood ada di halaman belakang. Menunggu untuk
dibunuh. Sambil menggenggam pistol di tangan kanan, kutekan perutku
yang sakit dengan tangan kiri. Kemudian aku berjalan ke lemari
dinding untuk mengambil mantel.
Bel pintu berbunyi. BAB 26 AKU kaget. Pistol yang kugenggam jatuh ke karpet lalu mental
ke dekat sofa. Bel pintu berbunyi lagi. Suara bel itu membuatku merinding.
Dengan mengeluh pelan, aku cepat-cepat membungkuk dan
menyambar pistol itu lalu memasukkannya ke laci. Setelah menutup
laci, buru-buru aku ke pintu untuk melihat siapa yang datang.
"Dennis!" Dennis tidak tersenyum. Matanya menatapku. "Kau sudah
membunuhnya?" "Belum," jawabku. Aku melangkah mundur membiarkan dia
masuk. "Aku... aku tidak yakin aku mampu," kataku mengaku.
Dennis seperti tidak mendengar kata-kataku. "Northwood ada di
rumah?" Aku mengangguk. "Di halaman belakang. Mengecat gudang.
Gila ya, dia memilih hari yang paling dingin di tahun ini untuk
mengecat." "Bagus!" seru Dennis, matanya memperhatikan wajahku.
"Kenapa kau ke sini?" tanyaku dengan nada menuntut.
"Kau tidak ramah," jawabnya, pura-pura mencibir.
"Aku... aku agak gugup. Dan perutku..."
Dennis langsung memelukku. "Untuk dukungan moral,"
ujarnya. Aku menggigil. Sekujur tubuhku bergetar. Tubuhku seakanakan terbuat dari karet,
tidak bertulang sama sekali.
"Ayo kita selesaikan," bisik Dennis di telingaku. "Jadi kita bisa
merayakannya." "Rayakan," kataku kaku. Kata-kata itu juga tidak masuk akal.
Tak ada yang masuk akal. Tak ada.
"Di mana pistolnya?" tanya Dennis dengan nada mendesak
sambil menatapku dengan tegang.
Kutunjuk laci meja hijau.
Perutku, mulas lagi. "Aku segera kembali," kataku, sambil
menekan perut dengan tangan kanan.
"Kau mau ke mana?" tanya Dennis nyaring. Kelihatannya dia
juga gugup. Butir-butir keringat berkilauan di keningnya.
"Hanya ke lantai atas. Aku akan ambil obat. Untuk perutku.
Kau tahu, cairan merah muda itu."
Buru-buru aku naik tangga. Kepalaku pusing dan aku hampir
muntah. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.
Kupercikkan air dingin di wajahku dan berusaha mengatur
napasku. Kemudian kuteguk cairan merah muda itu.
Aku tak tahu berapa lama aku berdiri di sana sambil bersandar
di wastafel. Kutatap wajahku yang pucat, wajah yang ketakutan, di
kaca lemari obat, sambil menunggu perutku tidak mulas dan sakit lagi.
Kudengar di kejauhan bunyi letupan knalpot mobil.
Kudengar angin menggetarkan jendela kamar mandiku yang
sudah tua. Kupercikkan lagi air dingin di wajahku yang panas.
Aku ingin tinggal di sini. Aku tak ingin turun. Tapi mau tak
mau aku harus turun. Karena hari ini Sabtu Sabtu Sabtu.
Dan aku telah menerima tantangan itu. Aku tidak boleh
mundur. Aku menuruni tangga dengan kaki lemas. Perutku masih sakit,
tapi tidak kuhiraukan. "Kau baik-baik saja?" tanya Dennis dengan nada mendesak. Dia
menatap wajahku penuh perhatian. Keningnya berkeringat, dan
keringat itu menetes di bibirnya.
Kulihat wajah Dennis sepucat wajahku. Dia tampak tegang dan
ketakutan.
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia baik juga, pikirku. Dia memperhatikan aku. Dia benarbenar menaruh perhatian
kepadaku. Entah bagaimana, kegugupannya serasa memberiku kekuatan
baru Aku melintasi ruang tamu untuk mengambil pistol di laci. Lagilagi pistol
itu terasa begitu hangat dalam genggaman tanganku yang
dingin. "Semoga sukses, Johanna," bisik Dennis. Kurasakan napasnya
yang hangat di telingaku.
Aku buru-buru menuju pintu dapur. Aku ingin menghambur ke
dalam pelukannya. Aku ingin menyembunyikan wajahku di dadanya
yang bidang. Masih banyak waktu untuk itu... setelah semuanya berakhir.
Itu yang kukatakan pada diriku sendiri sambil melangkahkan
kakiku keluar. Hari itu sangat gelap. Awan hitam bergelayut rendah tepat di
atas kepalaku. Udara dingin tapi kering.
Sambil berdiri di teras belakang rumahku, dengan pistol
tergenggam erat di saku mantel, kupandang halaman belakang rumah
Mr. Northwood. Pertama-tama kucari Mr. Northwood di gudang, tapi ia ternyata
sudah ada di dekat tumpukan kayu bakar. Mungkin ia sedang
mengaturnya, pikirku. Aku mengambil napas panjang, kemudian berjalan cepat tanpa
menimbulkan suara di rerumputan.
Pistol itu terasa panas di tanganku.
Langit yang gelap seakan-akan menderu-deru di atas kepalaku.
Bumi seolah-olah berputar di bawah sepatu ketsku. Rumput-rumput
merunduk dan rebah. Batang-batang pohon meliuk-liuk seperti terbuat
dari karet. Semuanya bergerak. Semuanya mengaum melewatiku. Bumi,
langit, pohon-pohon yang gundul, serta angin.
Kupejamkan mataku, berkedip beberapa kali, lalu membukanya
lagi. Kucoba membuat bumi ini normal kembali.
Normal" Ini hari Sabtu. Bukan hari biasa. Hari ini tak ada sesuatu pun yang masuk akal.
Mr. Northwood masih membungkuk di atas tumpukan kayu.
Tangannya direntangkan. Punggung jaketnya tampak mencolok di
depan mataku, sasaran tembakan yang tepat.
Kutarik pistol dari saku.
Kuselipkan telunjukku pada pelatuknya.
Aku melangkah mendekat. Mendekat.
Mampukah aku melakukannya"
Sanggupkah aku" BAB 27 KUARAHKAN pistolku ke tengah-tengah punggung Mr.
Northwood. Namun pistol itu bergetar di tanganku.
Kucengkeram pistol itu dengan kedua tanganku, kupegang kuatkuat.
Angin kencang tiba-tiba bertiup dan jaket flanel Mr. Northwood
tersingkap. Aku tahu aku harus menembak. Sekarang. Sebelum dia
menegakkan tubuhnya. Sebelum dia berbalik.
Sebelum dia melihatku. Aku berjuang mati-matian untuk menegakkan pistolku.
Tembak! kuperintah diriku sendiri. Tembak! Tembak! Tembak!
Aku harus menembak. Sebab hari ini hari Sabtu.
Tapi aku tidak bisa menembak.
Aku tahu aku takkan bisa.
Semuanya mulai masuk akal lagi.
Aku tidak bisa melakukan ini, aku tahu.
Aku adalah aku. Aku Johanna.
Aku bukan pembunuh. Aku tidak bisa menembak seseorang.
Aku tidak bisa menembak siapa pun.
Aku Johanna. Dan semuanya mulai masuk akal.
Apa yang sedang kupikirkan" aku bertanya pada diriku sendiri.
Apa yang terjadi pada diriku"
Aku menurunkan pistol itu. Kusembunyikan di balik
punggungku. Tiba-tiba aku merasa lebih lega. Perutku tidak mulas.
Tenggorokanku lega. Aku bisa bernapas normal kembali.
Aku bukan pembunuh. Aku ya aku. Aku Johanna.
Aku tidak akan melakukannya. Tidak!
Ini hari Sabtu. Tapi aku tidak akan membunuh dia.
Mr. Northwood tidak bergerak.
Semuanya masuk akal lagi. Kecuali Mr. Northwood yang tidak
bergerak. Angin berembus. Jaket merah-hitamnya tersingkap.
Dia tidak bergerak. Tangannya terkulai di tumpukan kayu.
"Mr. Northwood?" Kuselipkan pistol itu ke saku mantel. "Mr.
Northwood?" Suaraku, lemah dan bergetar, tertiup kembali ke arahku
oleh embusan angin. Dia tidak bergerak. Aku melangkah mendekat. Dan semakin dekat.
Aku kaget, kulihat noda darah di punggung jaketnya. Noda
merah tua. Noda darah merah tua. "Mr. Northwood?"
Kenapa dia tidak menjawab" Kenapa dia diam saja"
Kuperhatikan noda merah yang bulat di jaketnya. Setelah jelas,
kulihat bahwa noda itu mengelilingi lubang yang dalam. Lubang yang
menembus mantel itu. Lubang di punggung Mr. Northwood.
Lalu aku menunduk dan kulihat genangan darah yang
menghitam di tanah di depan tumpukan kayu bakar.
"Mr. Northwood" Mr. Northwood?"
Tentu saja dia tidak menjawab.
Mulutku ternganga ketakutan. Aku sadar, dia telah ditembak
mati. BAB 28 LUTUTKU gemetar. Aku berjuang agar tetap berdiri.
Langit yang kelabu tampak lebih rendah, sehingga aku terpana
melihat semuanya melalui awan tebal yang berputar-putar.
Mendadak aku tersadar oleh langkah-langkah kaki di
belakangku. Aku segera menoleh dan kulihat Dennis berlari di
rumput. Dia tersenyum. "Johanna... kau berhasil!" serunya.
"Ti... tidak," aku tergagap. "Tidak, Dennis."
Dennis melangkah ke sampingku dan merangkul pundakku
yang gemetar. Pandangan matanya terpaku pada tubuh Mr.
Northwood yang tertelungkup di atas tumpukan kayu bakar.
"Kau berhasil!" Dennis mengulangi dengan gembira. "Aku tak
percaya! Wow! Kautembak dia!"
"Tapi bukan aku yang menembaknya!" aku menjerit, sambil
melepaskan diri dari rangkulan Dennis. "Dengarkan aku, Dennis! Aku
tidak melakukannya. Aku tidak menembak dia!"
Dennis tetap tersenyum. Matanya yang hijau berbinar-binar.
Dia menoleh kepadaku. "Tentu saja kau yang melakukannya, Johanna.
Kautembak dia." "Bukan... tolong! Dengarkan aku!" pintaku.
"Periksa pistolmu," Dennis menginstruksikan dengan
tenangnya. "Ayo, Johanna. Periksalah."
"Hah" Apa maksudmu?" Aku ragu-ragu, kutatap wajahnya
menembus kabut kelabu tebal yang tidak mau menyingkir dari
pandanganku. "Apa maksudmu, Dennis" Kenapa kau tidak mau
mendengarkan aku?" "Periksa pistolmu." Dennis menunjuk saku mantelku.
Kutarik pistol itu keluar, pistol yang belum pernah
kutembakkan. Mengapa Dennis bersikeras bahwa aku sudah
menembakkannya" "Coba lihat," Dennis menyuruhku, masih sambil tersenyum.
"Pistolmu sudah ditembakkan. Lihat bubuk mesiu di larasnya"
Ayolah. Coba cium." Dengan patuh aku mengendus laras pistol itu. Aku mencium
bau bubuk mesiu. Aku ingat, pistol itu begitu hangat ketika aku mengeluarkannya
dari laci di ruang tamu. "Tapi, Dennis, aku tidak..."
"Aku sudah memanggil polisi," potong Dennis. Senyumnya
lenyap, ekspresi wajahnya berubah dingin.
"Apa?" teriakku kaget.
"Aku sudah memanggil polisi," jawabnya biasa-biasa saja.
"Mereka akan tiba di sini sebentar lagi. Aku akan mengatakan kepada
mereka bahwa semua ini kaulakukan hanya untuk membela diri,
Johanna. Jangan kuatir. Aku akan mengatakan bahwa Northwood
menyerangmu dan kau menembak dia untuk membela diri."
"Tapi, Dennis, kenapa...," kataku. Kemudian aku berhenti.
Mendadak aku memahami semuanya. Meskipun awan kelabu
yang tebal masih menggantung di atasku, semuanya kumengerti
dengan jelas. Suara letusan knalpot mobil ketika aku berada di kamar mandi
di lantai atas... itu bukan letusan knalpot mobil.
"Dennis, kautembak dia!" tuduhku, sangat terguncang.
"Kautembak dia, Dennis!"
Dennis mundur selangkah, matanya menatap tubuh Mr.
Northwood. "Aku akan mengatakan kepada mereka kau
melakukannya untuk membela diri, Johanna," katanya lembut.
"Tapi kau yang menembak dia!" teriakku. "Waktu aku di kamar
mandi." Keberanianku timbul. Gunung berapi itu hampir meletus.
Kucengkeram pundaknya. "Dennis... kenapa?"
Dennis menghindar, matanya mendelik.
"Kenapa, Dennis?" desakku. "Kau sudah mengatur semuanya,
kan!" tuduhku. "Kau memperalat aku! Kenapa?"
"Ada apa?" seru seorang gadis dari depan rumah.
Aku menoleh dan kulihat Caitlin berjalan tergesa-gesa
menghampiri kami. "Oh, Caitlin!" teriakku, sangat gembira melihat dia muncul.
"Caitlin... tolong aku! Tolong ya?" Aku berlari menghampirinya.
Tapi Caitlin menghindari aku dan bergegas menghampiri
Dennis. "Sempurna," kata Dennis kepada Caitlin sambil tersenyum. Dia
menunjuk tubuh Mr. Northwood.
Caitlin mencium pipi Dennis. "Kita berhasil!" teriaknya.
BAB 29 AKU berdiri terpaku. Caitlin merangkul pinggang Dennis, memeluknya erat-erat.
Pohon-pohon di sepanjang pagar belakang tiba-tiba hidup,
ranting-rantingnya bergoyang, batang-batangnya yang ramping
meliuk-liuk diembus angin kencang. Daun-daun cokelat berkejaran di
atas sepatu ketsku seakan-akan mencoba melarikan diri.
"Aku tidak mengerti," gumamku.
"Ini semua tantangan," Dennis menerangkan dengan santai.
"Caitlin menantang aku agar kau yang membereskan masalah
Northwood dengan kami."
"Maksudmu..." Terlalu banyak persoalan yang ada di benakku
saat itu. Rasanya kepalaku hampir meledak.
"Mudah untuk memintamu menjadi sukarelawan," Dennis
melanjutkan. "Kau tampaknya begitu berhasrat. Dan kau bisa
mewujudkannya dengan begitu mudah juga." Caitlin mengangguk
setuju, matanya menatap Dennis.
"Aku hampir tidak percaya ketika kudapati kau ternyata punya
pistol," ujar Dennis tertawa. "Aku bahkan tidak usah memikirkan cara
yang cerdik untuk membunuh dia. Kau menyimpan senjata yang tepat
dan sempurna di rumahmu sendiri."
"Kau mengajakku kencan hanya karena ingin membunuh Mr.
Northwood?" tanyaku dengan nada menuntut. Tak kuhiraukan
punggungku yang menggigil, tak kupedulikan darah yang berdenyutdenyut di
pelipisku. Dennis menggangguk. "Tepat. Itu juga tantangan, tahu."
"Dennis berpacaran dengan aku," gumam Caitlin sambil
memandang tajam wajahku. "Tidakkah kau heran kenapa mendadak
dia begitu tergila-gila padamu?"
"Aku tak percaya kau merencanakan semua ini," kataku sambil
menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
"Aku harus masuk kembali ke tim atletik," jawab Dennis
lembut. "Northwood menghancurkan hidupku. Dan kau begitu
bernafsu membereskan Northwood demi aku."
Napasku sesak. "Tapi kautembak dia. Kaubunuh dia. Kenapa?"
"Kupikir kau mungkin tidak mampu," jawab Dennis. "Aku
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Jadi aku menembaknya. Tapi
polisi akan mengira kau yang melakukannya. Semua orang akan
berpikir begitu." Di dalam diriku terjadi ledakan hebat. Gunung berapi itu
meletus sudah. Kemarahan, kepedihan, meledak berupa banjir teriakan
dan caci maki. "Aku tak mengira kau tega menipuku! Aku percaya padamu!
Aku menyayangimu!" Kudengar kata-kata itu keluar dari bibirku, tapi aku tidak
merasa sedang mengatakannya. Aku sangat terluka, sangat hancur,
untuk bisa berpikir jernih; terlalu marah, terlalu kecewa, untuk
menghadapi semua ini! Caitlin dan Dennis berpelukan. Mereka menatapku acuh tak
acuh, dingin. Kemarahan dan kepedihanku tidak berarti apa-apa bagi mereka.
Tidak ada artinya. Dennis telah membunuh Mr. Northwood. Dan sekarang aku
yang akan disalahkan. Hidupku sudah hancur. Dennis bisa bergabung kembali dengan
tim atletik dan hidup bahagia selamanya bersama Caitlin.
Kudengar sirene mobil polisi mendekat dari arah jalan.
Suara sirene itu berbaur dengan teriakanku yang penuh
kemarahan. Aku sudah berada di luar kendali. Di luar diriku sendiri. Di luar
akal sehatku. "Aku takkan membiarkan kau berbuat seperti ini kepadaku!"
jeritku. Pistol itu ada dalam genggamanku.
Aku mengarahkannya ke dada Dennis dan menarik pelatuknya.
BAB 30 TIDAK. Aku tidak bisa. Aku bukan pembunuh.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya ke
udara. Aku merasa tercekik, tenggelam, jauh ke dalam, turun, turun
sampai masuk ke kegelapan yang menakutkan.
Apakah itu ratapan kemarahan"
Fear Street - Tantangan The Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apakah itu tangisan yang sangat menyedihkan"
Apakah itu bunyi sirene mobil polisi"
Kenapa sangat gelap" Dan kegelapan itu sangat mengerikan"
Kenapa aku tak bisa bernapas"
"Jatuhkan pistol itu! Jatuhkan!" Suara keras seorang laki-laki
menembus kegelapan itu. Sebelum aku bisa bergerak, sepasang tangan yang kuat
menangkapku dengan kasar. Tiba-tiba kulihat kesibukan di situ.
Seragam hitam. Wajah-wajah seram. Dan sebuah tangan menarik laras
pistol itu. "Jangan bergerak!" perintah orang itu.
Ada orang berjalan ke belakangku, menangkap kedua lenganku,
dan menariknya dengan paksa ke belakang punggungku.
Kegelapan itu pelan-pelan terkuak.
Empat orang polisi tampak dalam penglihatanku.
Dua orang membungkuk di atas tubuh Mr. Northwood. Seorang
memegang tanganku erat-erat dari belakang. Yang satunya
menghampiri Dennis dan Caitlin.
Alangkah terkejutnya aku melihat Caitlin mulai menangis.
"Mengerikan sekali!" ratapnya kepada petugas berwajah serius itu.
"Kami menyaksikan semuanya," kata Dennis, roman mukanya
penuh kesedihan, lengannya masih merangkul bahu Caitlin yang naikturun.
Caitlin terisak-isak. Berkali-kali dia menghela napas panjang.
"Kami sudah mencoba mencegah Johanna," katanya kepada polisi itu
sambil menghapus air mata dari pipinya. "Kami berusaha
mencegahnya. Tapi kami terlambat."
"Sayang kami terlambat," Dennis menambahkan, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Andai kami tiba beberapa detik
lebih awal, pasti Mr. Northwood masih hidup."
"Tapi dia menembaknya!" teriak Caitlin. "Johanna menembak
Mr. Northwood!" Petugas yang lain dari belakang menarik tanganku ke atas
sampai aku berteriak kesakitan. "Bacakan Johanna hak-haknya," dia
menginstruksikan kepada rekannya. Polisi itu mendekatkan wajahnya
ke wajahku. "Tuduhan untuk pembunuhan tingkat pertama."
BAB 31 "HEI, dia masih hidup!" seru polisi yang membungkuk di atas
tubuh Mr. Northwood. "Panggil ambulans," perintah rekannya. "Dia kehilangan banyak
darah, tapi dia masih bertahan. Dia masih bisa diselamatkan jika
mereka segera tiba."
Mr. Northwood tidak mati!
Kabar gembira itu mengagetkanku. Saat itu seorang polisi
sedang membacakan hak-hakku dengan suaranya yang membosankan.
"Ibuku," gumamku, sambil berusaha berpikir jernih. "Ibuku
sedang bekerja." "Kami akan menjemput ibumu," polisi yang memegang
tanganku itu berkata dengan suara kasar dan rendah. "Dan kau butuh
pengacara yang bagus, Nona. Meskipun orang itu tidak mati, kau
menghadapi masalah serius. Penyerangan dengan senjata yang
mematikan. Bermaksud membunuh."
"Tapi aku tidak melakukannya..." Kata-kataku terputus oleh
tangisanku. Tak ada gunanya aku menjelaskan. Tak ada cara untuk
membuat mereka mempercayai ucapanku.
Caitlin dan Dennis sudah mengatur semuanya.
Aku bisa menyangkal kesalahanku sampai mulutku berbusa,
namun tak seorang pun akan mendengarkannya.
Semua murid di sekolahku tahu aku akan menembak Mr.
Northwood. Ada beratus-ratus saksi mata yang bisa memberitahu
polisi mengenai taruhan tentang jadi atau tidaknya aku melakukan
penembakan itu. Di samping itu polisi bahkan tidak perlu saksi lagi.
Mereka menangkap aku pada saat aku memegang pistol, senjata
yang digunakan untuk menembak Mr. Northwood.
Tak seorang pun akan percaya bahwa aku tidak bersalah. Tak
seorang pun. Petugas itu menarikku ke mobil polisi. Aku menoleh, sekilas
kulihat Caitlin masih mencucurkan air mata buayanya. Dennis
memeluk dan menenangkannya.
"Kenapa dia menembaknya" Kenapa?" kudengar ratapan Caitlin
di antara tangisnya. Sandiwara yang meyakinkan.
Petugas itu sudah menarikku ke depan rumahku ketika kami
mendengar teriakan kaget polisi yang lain. "Hei, Walt... kembali ke
sini! Lihat ini!" Polisi itu memutar tubuhku dengan kasar dan menarikku
kembali menuju tumpukan kayu bakar. Dennis masih menghibur
Caitlin. Dua orang polisi memperhatikan sesuatu di tangan rekan
mereka. "Aku mengambil ini dari saku jaket korban," kata polisi itu. Dia
menunjukkan tape recorder kecil milik Mr. Northwood.
"Jadi kenapa?" tanya polisi yang lain ingin tahu.
"Ini hidup. Ini untuk merekam," jawab rekannya. "Aku bertaruh
kita akan mengetahui semua peristiwa penembakan itu dari tape ini."
Tiba-tiba Caitlin menghentikan tangisnya. Dia dan Dennis
diam-diam memandang ketakutan ketika polisi itu menekan tombol
dan mulai memutar kembali kaset di tape kecil itu.
"Wah, wah!" seru salah seorang polisi.
Kami mendengar suara mencicit waktu kaset itu diputar balik.
Kemudian polisi itu memencet tombol lain, dan kami mendengar
Dennis berkata, "Ini sebuah tantangan. Caitlin menantang aku agar
kau yang membereskan masalah Northwood dengan kami."
Tak seorang pun bergerak. Tak seorang pun bernapas.
"Matikan!" jerit Caitlin. Dia menyambar tape itu, tapi seorang
polisi menarik pinggangnya ke belakang.
Dennis mengeluh putus asa dan menundukkan kepalanya.
Caitlin meronta-ronta untuk merebut tape, tapi polisi itu
memegangnya erat-erat. "Kautembak dia," aku mendengar suaraku sendiri di pengeras
suara tape kecil itu. "Kaubunuh dia. Kenapa?"
Kemudian kami semua mendengar pengakuan Dennis, "Kupikir
kau mungkin tidak mampu. Aku tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan. Jadi aku menembaknya. Tapi polisi akan mengira kau
yang melakukannya. Semua orang akan berpikir begitu."
Seorang polisi bergerak menangkap Dennis. Tapi Dennis tidak
berusaha melarikan diri. Dia berdiri dengan kepala tertunduk,
rambutnya yang hitam terjurai di wajahnya.
"Kau dituduh melakukan penyerangan dengan maksud
membunuh," kata polisi itu.
Sekarang, Caitlin menangis betulan. Petugas lain membacakan
hak-haknya dengan suara pelan dan monoton.
Kudengar suara sirene yang keras di depan. Aku tahu itu
ambulans untuk Mr. Northwood.
Polisi yang menahanku melepaskan lenganku. Dia minta maaf.
"Kami perlu pernyataanmu, tapi kau bisa memberikannya nanti,"
katanya lembut. Dia melemparkan pandangan ke arah Dennis dan Caitlin dengan
wajah cemberut. "Baik sekali teman-temanmu itu," katanya sinis.
"Aku belum pernah mendengar kejadian seperti ini. Dia menyebutnyebut tantangan
dalam rekaman itu. Apa maksudnya?"
Kulihat polisi-polisi itu menggiring Dennis dan Caitlin menuju
mobil polisi. Caitlin menangis tersedu-sedu. Dennis berjalan dengan
kepala tertunduk. "Tantangan" Oh, itu hanya fantasi," kataku kepadanya. "Fantasi
konyol yang menjadi kenyataan."
Aku berpaling untuk menghindari cahaya merah yang
berpendar-pendar itu dan bergegas menuju rumahku. END
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM Dayang Dayang Dasar Neraka 1 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Pangeran Impian 2