Pencarian

Malam Mencekam 2

Fear Street - Malam Mencekam Silent Night Bagian 2


"Tapi dia minta apa sebagai balasannya?" tanya Pam curiga.
"Dia tidak akan mau bersusah payah membantumu merampok toko
hanya karena dia begitu membenci pamanku."
"Tidak. Kau benar," kata Clay cepat-cepat. "Dia punya daftar.
Kau tahu, beberapa barang yang harus kucuri untuknya. Tidak banyak.
Cuma beberapa stereo dan sebuah mantel bulu. Mainan untuk anakanaknya."
"Ini sinting, Clay," kata Pam. "Sinting."
"Bagaimana dengan alarmnya?" tanya Mickey. "Apa Maywood
juga akan membantu menangani alarmnya?"
Clay mengangguk. Pam bisa melihat kalau Mickey telah mengesampingkan
keragu-raguannya dan siap untuk bergabung dengan Clay untuk
melaksanakan rencananya. Ia tidak bisa menyalahkan Mickey. Ia tahu bagaimana
jengkelnya Mickey melihat ayahnya dipecat seperti itu lalu
menyaksikan ayahnya hancur berantakan.
Ia bisa memahami keinginan Mickey untuk melaksanakan
rencana yang bisa membalas perlakuan pada ayahnya.
Pam juga merasa seperti itu.
Bukan saja karena Reva pernah berbohong dan mengatakan
kalau tidak ada lowongan di toserba. Itu bukan pertama kalinya Reva
membohongi dirinya, menyembunyikan dirinya tapi memastikan
kalau Pam tahu posisinya. Dalam sepanjang hidup mereka berdua,
Reva telah memperlakukan Pam sebagai orang yang lebih rendah,
sebagai orang sinting yang harus dijauhi, dipandang rendah,
dimanfaatkan. Well, pikir Pam, mungkin Reva tidak pernah diperlakukan
seperti itu seumur hidup mereka. Ada saatnya di mana mereka cukup
akrab, saat mereka saling menceritakan rahasia, saat mereka
melakukan sesuatu bersama-sama.
Semuanya berubah sewaktu Bibi Julia, ibu Reva, meninggal.
Segalanya berubah. Khususnya Reva.
Reva memutuskan ikatan apa pun yang mereka miliki. Dalam
semalam sikapnya berubah dingin terhadap Pam, berubah kejam dan
merasa lebih tinggi. Apa dia marah, Pam penasaran, karena ibuku masih hidup
sementara ibunya tidak"
Tidak. Itu terlalu sinting. Gagasan kalau Reva, yang memiliki
segalanya, bisa iri kepada dirinya benar-benar konyol. Pam tidak mau
mempercayainya. Tapi lalu kenapa sikap Reva selalu menjengkelkan terhadap
dirinya" Pam menyadari kalau dalam tiga tahun terakhir dirinya telah
berubah membenci sepupunya. Penolakan Reva untuk memberikan
pekerjaan baginya merupakan pemicu.
Pemicu... Yang membuat Pam heran, ia menyadari kalau dirinya tengah
mempertimbangkan rencana Clay dengan serius.
"Tapi bagaimana caranya kita bisa ke lemari besi?" tanya
Mickey. "Maywood tidak bisa membawa kita ke lemari besi, bukan?"
"Tidak. Tidak perlu menyikat lemari besinya," kata Clay datar.
"Kita tidak akan mencuri uang. Aku sudah berjanji pada Maywood.
Kita cuma mengambil pakaian, dan radio, CD, dan barang-barang
lainnya. Apa pun yang kita inginkan untuk hadiah Natal."
Informasi tersebut membuat Pam merasa agak lega. Merampok
lemari besi tampaknya jauh lebih serius daripada menyambar jins dan
CD. "Polisi tidak akan tahu kalau kita yang melakukannya?" tanya
Mickey. Dengkuran pendek yang keras dari dapur menyebabkan
ketiganya terlonjak. Mereka membeku, berjuang keras mendengarkan
hingga dengkuran lembut teratur kembali terdengar.
"Polisi tidak mungkin tahu," kata Clay meyakinkan Mickey.
"Kalau alarmnya tidak berbunyi, polisi tidak akan datang. Dan kata
Maywood dia tidak akan menghidupkan alarm sampai kita pergi."
94 "Dan lalu," tanya Mickey, sambil berpikir keras, "sesudah polisi
akhirnya muncul, Maywood akan mengaku kalau tidak melihat apa
pun" Kalau dia tidak bisa mengidentifikasi kita?"
"Benar," jawab Clay, perlahan-lahan wajah tirusnya
mernyeringai. Pam melihat kalau Mickey juga menyeringai. "Hebat!" seru
Mickey. Ia berpaling kepada Pam. "Ini gagasan yang bagus, bukan?"
Pam menggeleng. "Entah," katanya pelan.
"Ayolah, Pam..." desak Mickey.
"Sama sekali tidak berbahaya. Sungguh," kata Clay padanya.
"Pikirkan seberapa bencimu pada sepupumu. Pikirkan semua
hadiah yang tidak bisa kau beli karena dia menolak memberimu
pekerjaan. Pikirkan betapa kayanya dia dan betapa miskinnya dirimu."
"Tidak!" jerit Pam dengan tiba-tiba dan melompat bangkit.
Kedua temannya melompat terkejut.
"Tidak," ulang Pam. "Aku tidak bisa. Aku tidak bisa merampok
toko pamanku sendiri." Ia melangkah ke jendela dan mengintip keluar,
ke belakang pantulannya sendiri di kaca yang gelap. Badai es telah
mulai. "Lagi pula aku terlalu takut," tambahnya.
"Oke, oke. Tidak apa-apa," kata Clay, sambil mengangkat
kedua tangan sebagai isyarat agar Pam tenang. "Kau tidak perlu
terlibat dalam perampokan ini."
"Bagus. Karena aku tidak mau," kata Pam.
"Tapi mungkin kau bisa mengantar Mickey dan aku ke sana,"
saran Clay. Pam menyadari kalau Clay telah memikirkan rencananya
dengan matang. Mungkin dia telah berpikir kalau Pam akan menolak
untuk membantu, tapi Pam satu-satunya yang punya mobil. Clay
memerlukan dirinya. Pam, tiba-tiba menggigil, menjauhi jendela. "Apa yang harus
kulakukan untukmu, Clay?"
"Cuma mengantar." Clay menyisir rambut cokelatnya dengan
tangan. "Mengantar kami ke sana. Dan menunggu. Bagasi Pontiac
tuamu cukup besar untuk diisi gajah. Kita masukkan barangbarangnya ke sana, lalu membawanya ke rumahku."
"Kau mau aku mengemudikan mobil untuk melarikan diri?"
jerit Pam dramatis. "Kita tidak melarikan diri dari apa-apa," kata Clay
mengingatkannya dengan sabar. "Tidak ada yang akan mengejar kita,
ingat?" Pam susah payah menelan ludah. "Oke. Aku bersedia," katanya.
Dan lalu ia berpikir"apa benar aku berkata begitu"
Apa aku baru saja menyetujui untuk mengemudikan mobil yang
digunakan untuk merampok"
Itu bukan perampokan sungguhan, katanya sendiri. Lagi pula,
kalau ada yang tidak beres, Paman Robert tidak akan menuntutku.
Paling tidak, kurasa dia tidak akan berbuat begitu.
Ketukan di pintu mengejutkan mereka semua. Pam menjerit.
Clay hampir saja jatuh dari kursi kayu.
"Oh. Itu Foxy," kata Pam, jantungnya masih berdebar-debar.
"Aku lupa. Aku memintanya menjemputku di sini."
Ia baru saja berjalan ke pintu, lalu berhenti dan berbalik
kembali kepada kedua temannya. "Jangan beritahukan ini padanya.
Aku tidak mau Foxy tahu."
Mereka berdua mengangguk setuju.
Foxy orangnya baik, dan agak kaku. Dia jelas tidak akan
menyetujui rencana Clay. Terutama karena dia sendiri baru saja mulai
bekerja di Dalby's. Pam membuka pintunya, dan Foxy bergegas masuk
meninggalkan hujan es dan angin. "Badai yang luar biasa!" jeritnya,
sambil mengguncangkan air dari tubuhnya seperti seekor anjing yang
baru saja dimandikan. "Hai, Foxy." Sambil tersenyum, Pam membimbingnya ke ruang
duduk yang kecil. "Hei, Man"bagaimana kabarmu?" tanya Clay.
Foxy, rambut hitamnya basah kuyup dan menempel di
kepalanya, mengangkat bahunya yang lebar. "Kau tahu."
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Pam, sambil mencari-cari
mantel musim dinginnya di lemari pakaian. "Kau bertemu Reva?"
Foxy mengerang. "Yeah, aku melihatnya. Kita bicara hal yang
lebih menyenangkan saja."
Saat Foxy duduk di dekat jendela, Pam menyadari kalau
pikirannya kembali ke rencana perampokan.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, pikirnya.
Mudah kok. Clay telah merencanakan semuanya dengan begitu sempurna,
apa yang bisa salah"
Bab 10 Cium, Cium "KAU sungguh beruntung, Pam," kata Reva, sambil menjepit
gagang telepon di antara dagu dan bahunya agar bisa mengeringkan
cat kukunya yang baru. "Hah?" kata Pam dari ujung seberang.
"Kau bisa keluar berjalan-jalan, bersantai," lanjut Reva. "Aku
terjebak di toserba bodoh ini hampir setiap hari, paling tidak untuk
dua minggu terakhir."
Pam tidak berkata apa-apa. Reva tertawa kecil sendiri.
Sepupuku benar-benar bodoh, pikirnya. Kenapa Pam tidak menjawab"
Kenapa dia tidak pernah berani mengatakan apa pendapatnya yang
sebenarnya tentang diriku"
"Aku harus menutup teleponnya, Reva," kata Pam. "Ayahku
mau memakainya." "Kau seharusnya meminta sambungan teleponmu sendiri," kata
Reva dengan kejam. "Pokoknya, ayahku mengundangmu untuk acara
Malam Natal. Seperti biasa."
Reva menguap. Kenapa Dad selalu bersikeras mengundang
mereka setiap tahun" Apa dia tidak bosan berpura-pura kita semua
satu keluarga besar yang bahagia"
Ia bercakap-cakap dengan Pam beberapa menit lagi, meniup
kuku-kukunya, dan memeriksa rambutnya di cermin meja rias. Pam
sepertinya melamun, pikir Reva. Mungkin dia memutuskan untuk
berhenti berpura-pura kalau kami punya kesamaan apa pun.
Reva telah mendengar kalau Pam bergaul dengan Mickey
Wakely dan Clay Parker, bocah-bocah paling nakal di SMU
Shadyside. Memangnya dia mau membuktikan apa" Reva penasaran. Apa
dia tidak peduli dengan reputasinya" Apa Pam tidak ingin bahkan
untuk berpura-pura kalau punya kesempatan untuk berbuat sesuatu
dalam hidupnya" Bagaimanapun juga, pikir Reva, hidup Pam tidak terlalu buruk.
Memang, dia tidak punya rumah besar atau pakaian bagus. Tapi paling
tidak dia masih memiliki ibu, orang untuk diajak bicara, orang untuk
berbagi segalanya. Sambil mengusap bibirnya yang terluka dengan lembut, Reva
berpamitan kepada sepupunya dan sambil melirik ke jam,
mengembalikan telepon ke tempatnya. Saat menyentuh luka yang
hampir sembuh di bibirnya, Reva menggigil ketakutan. Sejenak, ia
mempertimbangkan untuk tidak bekerja. Toh ia telah terlambat
setengah jam. Tapi lalu ia teringat pada Mitch dan berubah pikiran.
Mitch, Mitch"apa masalahmu" pikirnya, merasa putus asa.
Dua minggu telah berlalu sejak mereka memulai pekerjaan liburan di
Dalby's. Dua minggu memberi isyarat-isyarat kepada Mitch"baik
yang halus maupun yang tidak begitu halus. Mitch masih juga
bergeming. Apa cowok itu begitu tertarik pada Lissa sampai lebih suka
mengabaikan fakta bahwa Reva berusaha mendekatinya" Atau karena
dia pemalu luar biasa"
Sekaranglah saatnya, pikir Reva mantap. Aku sendiri yang akan
bertindak lebih dulu. Sudah saatnya untuk pendekatan yang sangat langsung.
Dan lalu Lissa kecil yang malang bisa mulai mencari-cari
kekasih baru, orang yang sama menyedihkannya dengan dirinya.
Reva menanggalkan sweter yang dikenakannya dan
mengenakan kaus berleher tinggi kasmir putih sebagai gantinya. Baju
tersebut menyebabkan dirinya tampak lebih cantik. Benar-benar
menampilkan sosoknya dan kasmir putih yang lembut itu
menonjolkan warna biru matanya dan rambutnya yang merah
manyala. Setelah mengatur kembali rambut keritingnya, Reva meraih
tasnya dan berjalan ke pintu"dan terkejut melihat kalau ada orang
yang menyaksikannya berganti pakaian.
"Michael"mau apa kau kemari?" tanyanya kepada adiknya.
"Ada yang mau kutanyakan," kata Michael, mencengkeram
kenop pintu dengan kedua tangan dan bersandar ke pintu.
"Sudah berapa lama kau ada di sini?" tanya Reva tajam. "Kau
tahu kalau seharusnya mengetuk pintu."
Michael mengangkat bahu. "Kau mau mengajakku ke toko hari
ini?" "Apa?" Reva berusaha mendorong adiknya ke lorong, tapi
Michael bergerak sigap untuk menghalangi pintu.
"Ajak aku ke toko. Please?"
"Untuk apa, Michael?"
"Menemui Sinterklas."
Reva tiba-tiba teringat kalau telah berjanji untuk mengajak
adiknya bertemu Sinterklas. Ia benar-benar lupa.
Reva menatap adiknya. Ia tidak pernah bisa melupakan betapa
miripnya mereka berdua. "Hari ini aku tidak bisa," katanya lembut,
mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut adiknya dengan
sayang. "Aku sudah terlambat ke toko."
"Apa kau akan dipecat?" tanya adiknya serius.
Reva tertawa. "Tidak. Kurasa Daddy tidak akan membiarkan
mereka memecatku," katanya pada Michael.
"Jadi kenapa aku tidak bisa ikut untuk bertemu Sinterklas?"
kata Michael bersikeras, sambil masih menghalangi pintu.
"Aku berjanji akan mengajakmu, Michael," kata Reva
menenangkannya. "Tapi tidak hari ini."
"Kapan?" "Secepatnya." "Kapan secepatnya itu?"
"Secepatnya." Reva meraih lengan adiknya dan menariknya ke
samping agar ia bisa lewat. Lalu ia bergegas turun ke lemari pakaian
depan untuk mengambil mantelnya.
Kasihan, pikir Reva. Michael lebih merindukan kehadiran ibu
daripada diriku. Kurasa dia benar-benar kesepian.
Sambil mengenakan mantelnya, ia bersumpah untuk
menghabiskan lebih banyak waktu bersama adiknya. Lalu ia
melangkah keluar ke pagi hari yang terang tapi dingin. Dingin yang
tiba-tiba menyebabkan luka di bibirnya berdenyut-denyut.
Pasti Hank yang berbuat begini padaku, pikirnya dengan marah.
Siapa lagi kalau bukan dia"
Benar-benar tipuan licik.
Sewaktu menghidupkan Volvo, Reva berjuang
mengesampingkan pikiran tersebut. Ia ingin berkonsentrasi pada


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mitch. "Ini harimu, Mitch," katanya keras-keras, sambil memutar
mobil di ujung jalur masuk dan menuju ke jalan raya.
Mitch begitu tampan, dengan lesung pipi di kedua pipinya kalau
tersenyum dan suaranya yang mirip anak kecil. Reva juga menyukai
seleranya dalam berpakaian"kemeja polo, celana chino"menarik
perhatian tapi tidak mencolok.
"Ini harimu, Mitch," ulang Reva sambil meringis.
Sepanjang perjalanan ke toko, ia terus memikirkan Mitch.
**************************
Ia menemukan Mitch pada waktu makan siang di gudang
bagian elektronik, tengah sibuk membongkar kotak-kotak CD-player.
Mitch mengenakan kaus putih dan celana chino.
"Hai," kata Reva, sambil mendekatinya dari belakang.
Mitch terlonjak, terkejut mendengar suaranya.
Reva tertawa, sementara wajah Mitch memerah.
"Hei"kita sama!" serunya, sambil menunjuk ke kaus putih
yang mereka kenakan. Ia sengaja berdiri sangat dekat dengan Mitch.
"Yeah," kata Mitch, berusaha mundur. Tapi ia telah menempel
pada rak dinding. "Bagaimana kabarmu, Reva" Aku sedang sibuk
membongkar ini sepanjang pagi. Kita mendapat kiriman CD dan
stereo satu truk penuh."
"Aku terus memikirkan dirimu," kata Reva, merendahkan
suaranya. Ia membuka matanya lebar-lebar dan menatap Mitch penuh
arti, sambil melontarkan senyum terbaiknya dengan bibir sedikit
terbuka. "Oh, yeah?" Mitch melirik ke tumpukan karton, masih setengah
penuh berisi CD player. "Aku harus menyelesaikan ini dulu," katanya
dengan tidak nyaman. "Ini waktu makan siang," jawab Reva. "Kau bisa beristirahat.
Putri bos yang mengizinkanmu."
Mitch tertawa. "Trims."
"Kataku aku memikirkan dirimu terus sejak tadi," ulang Reva,
menatap lurus ke mata Mitch.
"Aku juga," kata Mitch dengan suaranya yang serak. Ia
terdengar tergesa-gesa mengucapkannya, seakan ingin menumpahkan
semuanya sekaligus. "Kurasa ada yang harus kita bicarakan."
"Aku tidak mau bicara," kata Reva, sambil mencondongkan
tubuh ke depan. "Aku mau ini."
Ia mengulurkan tangan secepat kilat dan memeluk belakang
kepala Mitch. Lalu ia menariknya, mendekatkan wajah Mitch ke
wajahnya sendiri dan mencium bibirnya.
Terdengar Mitch mengeluarkan suara terkejut, tapi balas
mencium Reva. Reva memeluk Mitch erat-erat, menekan belakang
kepalanya dengan dua tangan.
Tidak jelek, pikirnya. Pandangannya berputar ke kamera keamanan. Ia menyadari
kalau Hank mungkin menyaksikan adegan mesra ini.
Bagus, pikirnya, sambil mengusap-usapkan bibirnya ke bibir
Mitch sambil terus memegangi kepala cowok itu. Ia mengusap-usap
rambut Mitch. Kuharap kau melihatnya dengan jelas, Hank. Kuharap
kau menyukai pertunjukan ini.
Ia menurunkan tangan ke bahu Mitch dan menciumnya dengan
lebih bersemangat lagi. Apa kau melihat, Hank" Apa kau melihat seluruhnya"
Ada apa denganku" pikir Reva tiba-tiba. Kenapa aku berdiri di
sini mencium Mitch tapi memikirkan Hank"
Ia memeluk Mitch erat-erat, menciumnya lebih keras seakan
dengan begitu akan mengusir Hank dari dalam benaknya.
"Whoa!" seru seseorang dengan marah dari belakang mereka.
Mitch menarik diri dari pelukan Reva. Reva berbalik untuk
melihat siapa yang telah begitu berani mengganggu mereka.
"Lissa!" jerit Mitch, matanya membelalak, mulutnya yang
ternganga tercoreng lipstik ungu Reva.
Bab 11 Awalnya "OH, hai, Lissa," kata Reva dengan tenang. "Kau mau apa?"
Lissa, dengan wajah memerah dan kedua tangannya yang
mungil terkepal, tidak mengacuhkan Reva dan terus menatap Mitch.
"Kami agak sibuk sekarang," kata Reva pada Lissa, sambil
mendorong rambutnya, merapikan sweter putihnya. Ia mengulurkan
tangan dan menghapus sebagian lipstiknya dari dagu Mitch.
Lissa, berdiri kaku di ambang pintu gudang, terus menatap
Mitch. Air mata kemarahan menggenang di sudut matanya.
"Reva..." kata Lissa, berbicara dengan gigi terkatup dan
mengalihkan perhatiannya kepada Reva. "Kau tidak bisa
mempermainkan orang."
"Siapa yang main-main?" Tawa Reva meledak mendengar katakatanya sendiri.
Mitch membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu kepada
Lissa, tapi lalu menutupnya dan menunduk memandang sepatunya.
Lissa menjerit, lebih karena jijik daripada marah, murka karena
Mitch tidak punya keberanian untuk mengatakan apa pun. Lalu ia
berbalik dan melesat meninggalkan ruangan.
"Lissa"tunggu!" seru Mitch pada akhirnya.
"Benar-benar membosankan. Nah, sampai di mana kita tadi?"
tanya Reva, sambil mengalihkan senyumnya yang paling seksi dan
licik kepada Mitch. Tapi Mitch mengesampingkannya dan mengejar Lissa. "Hei"
tunggu! Lissa"tunggu!"
"Biarkan saja!" Teriak Reva kepadanya.
Oh, sial, pikirnya, sambil memutar bola matanya. Ada apa
dengan Mitch" Tapi ia tetap memburu Mitch, memasuki bagian elektronik
dengan dindingnya yang dipenuhi TV berwarna, semuanya
menayangkan Oprah Winfrey, lima puluh Oprah Winfrey menatap
Reva saat ia menyambar lengan Mitch dan menariknya.
"Biarkan saja," kata Reva dengan nada memerintah.
"Tidak bisa," Mitch berkeras, pandangannya mencari-cari Lissa
di lorong yang lebar tersebut. Lissa telah menghilang.
"Jangan cengeng," kata Reva. Kelima puluh Oprah Winfrey
menyeringai padanya, berbicara tanpa suara ke sebuah microphone,
seakan memberi arahan pada apa yang tengah dilakukannya bersama
Mitch. "Hei"lepaskan aku, Reva," kata Mitch dengan marah.
Reva membelalakkan matanya dan berpura-pura sakit hati.
"Ayolah, Mitch," desaknya dengan suara berbisik yang seksi. "Kita
kembali saja ke gudang. Kita bisa membicarakannya di sana."
Mitch, sambil masih terus mencari Lissa, menggelengkan
kepalanya. Reva berpaling dari Oprah Winfrey yang tengah tersenyum dan
melihat Hank muncul di tikungan dari lift barang, menuju ke arahnya.
Reva bergegas mendekati Mitch dan memeluk bahunya dengan mesra.
Ia mengusap-usapkan wajahnya ke Mitch yang, karena terlalu terkejut,
tidak sempat bereaksi. Apa kau cemburu, Hank" pikir Reva saat Hank melintas,
menatapnya tapi tidak menyapa.
Apa ini membuatmu cemburu"
Kuharap begitu. "Reva, please," kata Mitch gelisah, sambil menjauhkan diri.
"Kau tahu, apa yang kita lakukan tadi"maksudku"di sana tadi..." Ia
menunjuk ke arah gudang di balik dinding belakang. "Well, itu tidak
benar. Maksudku..." "Apa maksudmu?" tanya Reva lembut, sabar.
Mitch menghela napas panjang dan kembali berbicara. "Lissa
dan aku sudah berpacaran lama. Dan kurasa tidak adil baginya..."
Reva mengulurkan tangan dan menghapus sisa-sisa lipstik di
wajah Mitch. "Aku menyukaimu, Mitch," katanya dengan suara yang
paling manja. "Kau juga menyukaiku, bukan?"
Wajah Mitch memerah dan ia menyapukan tangannya ke
rambut hitamnya yang lurus.
"Kau tampaknya menyukaiku... di sana tadi," kata Reva, sambil
melirik ke gudang. "Kurasa"well..."
Mitch yang malang, pikir Reva, merasa keheranan bercampur
kegembiraan. Dia benar-benar kikuk.
"Oh. Lihat jam berapa sekarang!" jerit Reva tiba-tiba, menatap
arlojinya. "Aku berjanji kembali ke tempatku sepuluh menit yang lalu!
Ms. Smith akan membunuhku! Ia mungkin akan menghajarku dengan
bantalan bahunya!" Ia menggosok dagu Mitch dengan punggung
tangannya. "Sampai nanti."
Lalu, sebelum Mitch sempat bereaksi, Reva telah berbalik dan
lari, menuju ke deretan lift di sisi seberang toserba, meninggalkan
cowok itu seorang diri dengan mulut ternganga, tepat pada saat lima
puluh Oprah Winfrey mengucapkan selamat berpisah.
Toserba dipenuhi para pembeli pada jam makan siang, sebagian
besar pekerja kantor, mengerumuni gerai perhiasan; beberapa ibu
rumah tangga tengah mendorong kereta, dengan kantong belanja
tergantung-gantung di samping.
Tadi berjalan lebih baik daripada yang kukira, kata Reva
sendiri, senyum puas merekah di bibirnya yang baru saja tersentuh
lipstik lagi. Dan kenyataan Lissa menemukan kami tepat pada
waktunya benar-benar seperti bonus.
Aku tidak akan pernah melupakan ekspresi ngeri di wajah
Mitch, pikirnya. Benar-benar cengeng. Tapi paling tidak dia akan menjadi milikku sebentar lagi.
Sederetan lima atau enam anak, mengenakan setelan salju dan
topi wol, menyebabkan Reva sadar kalau ia tengah melintasi Santa
Land di depan bagian mainan Dalby's. Tentu saja, Robb tengah duduk
di tahta besar"merah bergaris-garis putih seperti permen"
Sinterklas. Seorang bocah yang tampak ketakutan tengah duduk di
pangkuannya. Sewaktu Reva melintas, bocah tersebut memiringkan kepalanya
ke belakang lalu menghamburkan bersinnya tepat ke wajah Robb.
Reva tertawa sekeras-kerasnya. Benar-benar kacau!
Robb yang malang itu terpaksa membersihkan ingus dari
wajahnya selama seminggu!
Reva masih tetap tertawa kecil sewaktu tiba di gerai parfum dan
mengambil tempat di balik rak. Ms. Smith melangkah keluar dari
balik ceruk kasir dan mendekatinya, melirik penuh kemarahan ke
arlojinya. "Senang melihatmu menganggap keterlambatan itu
menggembirakan," sergahnya.
"Aku bukan tersenyum karena itu," jawab Reva dingin.
"Well, kau membuatku terlambat lima belas menit dari janji
makan siangku," tuduh Miss Smith.
"Maaf yang sebesar-besarnya," kata Reva padanya, tapi tidak
terdengar penyesalan sedikit pun dalam suaranya.
"Para pembeli sudah menunggu," omel penyelia Reva tersebut,
lalu menyambar tas tangannya dan melangkah pergi.
"Semoga makan siangmu menyenangkan," teriak Reva dengan
nada manis yang dilebih-lebihkan.
Ms. Smith berbalik. "Ada paket untukmu," katanya pada Reva.
"Yang di sana itu. Dengan bungkus kado. Aku tidak tahu siapa yang
meninggalkannya di sana. Buka nanti kalau semua pembeli sudah
pergi." Reva mengawasi Ms. Smith bergegas menyusuri lorong toko
yang penuh sesak. Begitu dia tidak terlihat lagi, Reva meraih paketnya
dan membawanya ke ceruk kasir, memunggungi mesin kasir sehingga
tidak ada pembeli yang mengganggunya.
Paket tersebut berbentuk kubus dan terbungkus rapi dengan
bahan keperakan dan diikat pita merah.
Aneh, pikir Reva, sambil memutar-mutar paket tersebut di
tangannya. Apa ini hadiah Natal dari seseorang yang tiba terlalu awal"
Siapa yang tahu sehingga bisa meninggalkan paket ini di gerai
parfum" Pasti kejutan dari Daddy, pikirnya menyimpulkan.
"Nona! Nona?" panggil seorang wanita keras-keras kepada
Reva. Ia mengabaikan pembeli tersebut dan, hati-hati agar tidak
merusak kukunya, ia merobek paket tersebut hingga terbuka.
Di dalamnya terdapat sebuah kotak. Dengan penuh semangat
Reva membuka bagian atasnya dan mengeluarkan sebuah botol
berwarna gelap dengan bentuk yang anggun.
Pasti parfum atau kolonye.
Bentuk botolnya tidak biasa, pikir Reva, mengagumi botol kaca
berwarna merah yang halus tersebut, memeriksanya dengan
penasaran. Berat sekali, pasti sangat mahal, pikirnya menduga.
Dengan hati-hati ia mencabut penutupnya dan mendekatkan
bibir botol ke hidungnya.
Ia berhenti sewaktu melihat tetesan cairan merah tua yang
terjuntai di bagian bawah tutup botol.
Tiba-tiba ia merasa curiga. Ia meletakkan tutup botol, lalu
memiringkan botol ke jarinya yang teracung.
Ini bukan kolonye"ini darah!
Reva menjerit pelan. Botol tersebut terlepas dari tangannya, menghantam meja, dan
pecah berantakan. Dua pelanggan, wanita yang tengah bersandar di sisi lain gerai,
juga menjerit terkejut melihat darah dari botol menciprati bagian
depan sweter kasmir putih Reva.
Bab 12 Apakah Hank Bersalah"
SEWAKTU Reva berusia lima tahun dan bersekolah di taman
kanak-kanak swasta yang menempati sebuah gedung mewah di
perbukitan yang mengarah ke Sungai Conononka, ia mendapat
masalah dengan seorang gadis kecil lain yang tidak akan pernah
dilupakannya. Gadis kecil dengan rambut pirang itu bernama Sara, dan seingat
Reva benar-benar sumber masalah. Suatu hari Reva dan Sara tengah
melukis dengan menggunakan kuda-kuda, di atas sehelai kertas putih
besar dan dengan kuas lebar yang mereka celupkan ke kaleng cat.
Entah bagaimana mereka lalu bertengkar, memperebutkan
tempat atau semacamnya. Reva tidak ingat siapa yang memulainya.
Tapi pertengkaran itu berakhir sewaktu Sara mengangkat
kaleng besar berisi cat merah tersebut dan menuangkan isinya ke
kepala Reva. Cat merah kental tersebut mengucur turun di wajah Reva,
meresap ke sweter dan jins putihnya. Dan entah bagaimana, dalam
benaknya, cat itu berubah menjadi darah sewaktu meresap ke dalam
pakaiannya. Ia baru berusia lima tahun pada waktu itu, dan tidak pernah
menjadi korban serangan kejam apa pun.
Ia berdiri di sana, tak berdaya, syok melihat"dan merasakan"
cat tersebut mengalir di tubuhnya, menutupi kulit dan pakaiannya.
Lalu ia menjerit. Dan menjerit. Dan menurut cerita ibunya kemudian, baru berjam-jam setelah
itu ia berhenti menjerit. Lama setelah pakaiannya diganti dan catnya
dibersihkan, Reva masih meminta ibunya "membersihkan darah itu."


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua belas tahun kemudian, saat berdiri di balik gerai parfum
sementara darah menciprati sweternya, kejadian mengerikan di taman
kanak-kanak itu kembali melintas dalam benak Reva.
Tapi kali ini, setelah menjerit pelan karena terkejut, jijik, ia
berhenti. Orang-orang lain yang menjerit-jerit.
Reva mengertakkan giginya seakan menjebak seluruh emosi,
menutup semua perasaannya. Ia mengacungkan kedua lengannya,
menjauhi tubuhnya, tidak ingin menyentuh sweternya, tidak ingin
menyentuh darahnya. Tidak, pikirnya. Kali ini aku tidak akan menjerit.
Ia mengertakkan giginya begitu keras hingga terasa sakit dan
dengan diam-diam menatap darah yang mengotori semua benda.
Tidak akan menjerit. Aku tidak merasakannya, katanya sendiri, memusatkan
perhatian dengan seluruh kekuatannya.
Aku tidak merasakan apa pun.
"Aku baik-baik saja," katanya meyakinkan para pembeli yang
tengah ketakutan dan berkerumun di gerai. "Please"aku tidak apaapa."
Ia masih terus berusaha meyakinkan mereka, menenangkan
mereka, penasaran bagaimana caranya membersihkan kekacauan ini,
penasaran apa yang harus dilakukannya dengan sweternya yang telah
kotor, sewaktu ia melihat amplop kecil tersebut"setengah tertutup
darah di lantai dekat kakinya.
Ia bergegas membungkuk dan mengambilnya, terkejut saat
menyadari kalau dirinya terengah-engah, jantungnya berdebar keras
dalam dadanya. Amplop tersebut berisi kartu ucapan. Pasti terjatuh dari
paketnya. Reva merobek amplop tersebut dengan tangan gemetar yang
masih berlumuran darah. Sebuah kartu putih kecil terselip di
dalamnya, dengan pesan yang ditulis dengan tinta merah: SELAMAT
BERLIBUR DARI SEORANG TEMAN.
Teman macam apa, pikir Reva pahit.
Teman yang sama yang menyembunyikan jarum dalam
lipstikku. Teman yang memiliki selera humor sangat menjijikkan.
Hank. Yeah. Mungkin Hank. Ini jenis keisengan bodoh gaya remaja yang benar-benar
menarik bagi cowok itu. Cara bodohnya untuk membalasku.
Benar-benar menjijikkan! pikir Reva, merasa kemarahan
menumpuk di tengah perutnya. Benar-benar menjengkelkan. Apa
menurutnya aku akan benar-benar ketakutan karena dua keisengan
seperti ini" Apa pikirnya aku akan menjerit-jerit histeris dan lari keluar
toserba tanpa berani kembali"
Apa menurutnya aku akan ketakutan setengah mati atau apa"
Ini cuma membuktikan kalau pendapatku tentang dirinya benar,
kata Reva mengambil kesimpulan. Ini cuma membuktikan kalau dia
kurang mengenal diriku. Malahan, dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang diriku.
Karena aku tidak akan menjerit dan menangis. Tidak akan.
Aku akan naik ke atas dan memecatnya.
Kau akan pergi dari sini, Hank, pikir Reva, tersenyum. Tidak
ada lagi lelucon idiot yang kejam. Kau pergi dari sini.
Sambil mengabaikan jeritan-jeritan dan percakapan khawatir di
antara para pembeli, Reva bergegas meninggalkan gerai kasir, berlarilari kecil sepanjang lorong, melewati orang-orang yang menatap
terkejut, ke lift karyawan.
Ia naik ke lantai enam dan masuk ke ruang resepsionis.
"Hei, Reva..." panggil resepsionis dari balik meja kayu oaknya
yang lebar. Tapi Reva telah setengah jalan menuju ke kantor ayahnya
di sudut. Ia berhenti tiba-tiba di depan sederetan monitor keamanan,
terkejut melihat sejumlah karyawan berseragam biru di sana. Yang
agak melegakan, ia tidak melihat Hank. Bangku bulat tinggi di depan
monitor-monitor tersebut kosong.
Mungkin sedang berkeliaran menebar lelucon, pikir Reva. Atau
mungkin sedang merencanakan lelucon lain untuk merusak pakaianku
lagi. Tapi lalu ia melihat cowok itu, telentang di lantai di belakang
deretan monitor, dengan penuh perhatian menyambung sejumlah
kabel. Pekerja-pekerja lainnya tengah memasang apa yang tampaknya
seperti VCR di rak baru di samping monitor-monitor tersebut.
Hank menengadah saat ia mau lewat.
"Reva?" Reva memelototi Hank, mata birunya jernih dan sedingin es,
giginya terkatup. Ia ingin menuduh cowok itu. Ia ingin menjerit
padanya. Ia ingin Hank tahu alasannya menuju ke kantor ayahnya.
Ia ingin memukul Hank dan mencabuti rambut pirangnya yang
kaku dan menyakitinya, menyakitinya habis-habisan, karena telah
mempermalukan dirinya, karena membuat dirinya takut"karena
menjebaknya dengan lelucon-lelucon itu.
Tapi ia tidak ingin menimbulkan kehebohan di depan semua
karyawan ini. Sebaliknya, ia membungkuk ke arah Hank, yang masih
telentang menyambung kabel, dan sambil berbisik mengatakan, "Aku
tahu kalau itu perbuatanmu."
Hank terlonjak duduk, matanya yang gelap melebar karena
terkejut. "Hah?"
"Jangan berpura-pura bodoh," kata Reva, memaksa dirinya agar
tetap berbisik dan tenang.
"Apa yang terjadi" Kau kacau sekali," kata Hank tanpa salah,
matanya menyipit khawatir. "Kau tidak apa-apa?"
"Kau bukan aktor yang baik," kata Reva bersikeras. "Aku tahu
kalau itu perbuatanmu, Hank. Dan kau akan mendapat balasannya."
"Dengar, Reva"aku agak sibuk di sini," kata Hank tidak sabar,
mengabaikan ancamannya, memberi isyarat kepada karyawankaryawan yang memenuhi tempat itu. "Kami sedang memasang VCR
untuk setiap monitor. Jadi kami punya rekaman setiap kejadian yang
tertangkap kamera setiap hari."
"Luar biasa," kata Reva sinis, memutar bola matanya. Darah
telah meresap menembus sweter ke kulitnya. Rasanya basah, lengket,
dan tidak menyenangkan. Ia mengamati Hank dengan teliti, berusaha menentukan apakah
cowok itu hanya berpura-pura tidak bersalah atau dia memang tidak
memahami apa yang tadi dikatakannya. Saat menatap Hank, Reva
mulai merasa tidak yakin.
"Kau mau mengatakan kalau tidak meninggalkan paket untukku
di gerai parfumku?" tanya Reva.
Hank menggeleng. "Aku ada di sini sejak pagi. Makan siang
saja belum. Tanya orang-orang ini." Ia memberi isyarat kepada para
karyawan lainnya, yang tengah memasang VCR terakhir di rak.
"Kau bohong!" teriak Reva.
Beberapa karyawan berpaling menatapnya, terkejut melihat
penampilan Reva yang berlumuran darah dan karena teriakannya.
"Kau bohong," ulangnya, kali ini berbisik.
"Aku sudah dengar sejak tadi," kata Hank datar.
"Lihat sweterku!" jerit Reva, merasakan kemarahannya kembali
memuncak, merasakan dirinya kehilangan kendali sekalipun telah
berjuang untuk tetap tenang.
"Itu darah?" tanya Hank, menyelinap keluar dari bawah meja.
"Atau cat?" "Kau tahu apa ini!" jerit Reva dan, tidak bersedia membiarkan
Hank melihat dirinya lepas kendali, melesat pergi. Melewati kantorkantor eksekutif yang lain. Melewati balkon lebar yang terbuka ke
lima lantai di bawahnya. Tanpa berhenti untuk melihat seberapa buruk
noda di pakaiannya, tanpa berhenti untuk membersihkannya, ia lari ke
ujung lorong dan memasuki kantor ayahnya.
Kau pergi dari sini, Hank.
Aku tidak peduli kau berpura-pura bodoh atau tidak.
Kau pergi dari sini. Satu kata pada Dad, dan kau akan diusir.
Dan selamat berlibur juga untukmu.
Sekilas ia melihat pantulan dirinya di cermin pada dinding luar
kantor ayahnya dan tersentak, melihat darah yang membasahi
sweternya untuk pertama kalinya.
Teganya dia berbuat ini padaku" Reva penasaran.
Pintu kantor Mr. Dalby tengah tertutup. Reva mengangkat
tangan untuk mengetuk tepat pada saat Josie, sekretaris ayahnya,
melangkah keluar. "Dad ada di sana?" tanya Reva sambil menahan napas.
"Ya, tapi sedang ada rapat penting," kata Josie padanya. "Aku
tidak diizinkan mengganggunya untuk alasan apa pun."
"Oh." Reva mendesah. Ia bisa merasakan energinya mulai
terkuras. Ia terpaksa menunggu untuk berbicara dengan ayahnya. Ia
tahu untuk tidak mengganggu ayahnya kalau sedang ada rapat penting.
"Kurasa sebaiknya aku pulang dan berganti pakaian," katanya.
Josie balas menatapnya, pandangannya terarah pada noda gelap
yang besar di sweternya. "Mungkin bisa kaubersihkan dengan
pemutih. Itu cat?" "Bukan, ini darah, dan sweterku sudah rusak," gumam Reva.
Ia berbalik kembali ke lift, melangkah perlahan, tidak
bersemangat. Ia baru saja melintasi balkon sewaktu terdengar suara
mengerikan"sederetan tak-tak-tak yang keras"memecah udara.
"Oh!" jerit Reva dan tegang ketakutan.
Ia mengenali suara itu dari TV.
Suara senapan mesin. Bab 13 Decitan Ban REVA mendengar jeritan-jeritan dari lantai bawah.
Takut kalau tembakan masih berlanjut, ia jatuh berlutut di
samping dinding balkon. Segalanya seakan-akan berhenti. Tidak terdengar suara sama
sekali. Tidak ada yang bergerak. Bahkan napasnya pun seakan
berhenti sementara ia menunggu, terlalu takut untuk mengintip ke
balik dinding balkon. Ia masih dalam posisi merangkak, masih menahan napas,
sewaktu pintu kantor ayahnya terbuka. Mr. Dalby melesat keluar
tanpa mengenakan jasnya, wajahnya memerah, matanya terbelalak
ketakutan. "Suara apa itu tadi?" teriaknya. "Apa tembakan?"
Reva bergegas bangkit berdiri. "Daddy..."
Ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya. Pandangan Mr.
Dalby terpaku pada sweternya yang berlumuran darah. Mr. Dalby
ternganga ngeri. "Reva"kau tertembak!" jeritnya. Kemudian bola matanya
berputar ke atas, ia mengerang pelan dan merosot ke lantai.
"Daddy...!" ulang Reva, berhasil mengatasi ketakutannya dan
bergegas mendekatinya. Josie lebih dulu tiba di dekat ayahnya, berlutut, dan mengangkat
pergelangan tangan Mr. Dalby untuk mencari denyut nadinya.
"Tolong"Tolong!" jeritnya. "Cari bantuan!"
Reva menjatuhkan diri ke samping ayahnya, jantungnya
berdebar keras. Ia merasa tidak berdaya dan panik.
Langkah-langkah kaki pelan terdengar bergegas melintasi
karpet. Orang-orang berlarian keluar kantor, tergesa-gesa menelepon,
mengerumuni ayahnya. "Daddy?" Reva mencengkeram tangan ayahnya. "Apa dia baikbaik saja" Apa dia bernapas?" tanyanya kepada Josie.
Mr. Dalby bergerak. Ia membuka matanya dan
mengarahkannya kepada Reva, ekspresinya tertegun, kebingungan.
"Daddy...?" Reva meremas tangan ayahnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Mr. Dalby. "Apa kau"tertembak?"
"Tidak, aku baik-baik saja," kata Reva, meremas tangan
ayahnya sekali lagi. "Aku baik-baik saja. Sungguh. Aku tidak apaapa."
Mr. Dalby beranjak duduk dan menggosok-gosok bagian
belakang kepalanya. "Aduh. Apa aku pingsan?"
Josie mengangguk. "Darahnya," kata ayah Reva. "Mula-mula kudengar suara
tembakan. Lalu kulihat Reva..."
"Aku"eh"aku menumpahkan sesuatu," kata Reva
menjelaskan, memutuskan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya,
memutuskan kalau beban ayahnya sudah cukup berat untuk sehari.
Mr. Dalby beranjak bangkit dengan goyah, berpegangan pada
bahu Reva sebagai tumpuan. Wajahnya, yang telah memucat sewaktu
jatuh pingsan, mulai berwarna kembali. Ia mengusap rambutnya yang
telah ubanan. Tiba-tiba seorang karyawan toko berseragam biru menerobos
kerumunan orang-orang. "Mr. Dalby, suara yang tadi..."
"Ya?" Mr. Dalby, kekuatannya tampak telah pulih, melepaskan
bahu Reva dan melangkah mendekati orang itu.
"Itu lampu pohon Natal," kata orang tersebut, melapor dengan
gugup. "Apa?" "Lonjakan listrik, Sir. Beberapa lampu korsleting," kata
karyawan tersebut menjelaskan. "Kurasa lalu terjadi reaksi berantai.
Lampunya mulai meletus, lusinan sekaligus. Lalu segalanya padam."
Mr. Dalby, terlihat agak lega, menghela napas dalam-dalam,
lalu mengembuskan udara dengan diam-diam melalui mulutnya.
"Masalah listrik ini membuatku gila," katanya sambil menggeleng.
"Apa lonjakan listrik ini ada hubungannya dengan masalah-masalah
lain yang kita hadapi selama ini?"
"Mungkin, Sir," jawab karyawan tersebut, bergerak-gerak tidak
nyaman di tempatnya. "Kami tidak yakin."
"Punya bayangan kenapa sampai terjadi lonjakan listrik?"
"Sedang kami periksa," kata orang itu.
"Ayo kembali bekerja," kata Mr. Dalby kepada kerumunan
orang-orang. "Aku baik-baik saja. Segalanya beres." Ia
memerintahkan karyawan tersebut untuk memperbaiki lampu-lampu
pohon Natal secepatnya, lalu berbalik menuju ke kantornya, sambil
menggosok-gosok bagian belakang kepalanya.
Reva mengikutinya ke pintu. "Dad, kau yakin kalau tidak apaapa?" tanyanya.
"Kau tadi membuatku ketakutan setengah mati," kata Mr.
Dalby, tiba-tiba tampak sangat tua. "Memangnya apa yang
kautumpahkan ke swetermu?"
Reva tergoda untuk menceritakan yang sebenarnya, tapi
berhasil menahan diri. "Nanti kuceritakan," katanya.
"Kau naik kemari mau menemuiku?" tanya Mr. Dalby, melirik
ke arlojinya. "Aku"aku cuma mau memberitahukan kalau aku pulang untuk
ganti pakaian," jawab Reva.
"Kenapa tidak mengambil saja sweter baru di sini di bawah?"
saran Mr. Dalby. Reva tertawa. "Belanja di toserba ini?" tanyanya dengan
kengerian dibuat-buat. "Please, Daddy! Yang benar saja!"
Mr. Dalby tertawa kecil, mengecup kening putrinya, dan
kembali ke dalam kantor untuk melanjutkan rapatnya.
Selalu pergi dalam keadaan tertawa, kata Reva sendiri sambil
melambai mengucapkan selamat berpisah kepada Josie, yang tengah
sibuk menerima telepon. Ia berjalan melewati balkon rendah,
melewati deretan monitor keamanan tanpa melihat apakah Hank


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih ada di sana, menuju ke lift karyawan. Ia sangat ingin
mengambil mantelnya dan pulang.
Matahari sore masih tinggi di langit yang tidak berawan. Udara
terasa dingin tapi nyaman. Reva menghidupkan mesin Volvonya, lalu
duduk mendengarkan derum mantap mobilnya untuk beberapa saat
sebelum meninggalkan tempat parkir karyawan.
"Hari yang luar biasa," katanya keras-keras.
Ia menghidupkan radio, mendengarkan iklan keras-keras selama
beberapa detik, lalu memadamkannya lagi.
Kesunyiannya terasa nyaman. Ia berbelok di tikungan,
melindungi matanya dari sengatan sinar matahari yang tiba-tiba
menebar di kaca depan mobilnya.
Ia teringat pada Mitch. Teringat saat mencium Mitch.
Menciumnya kuat-kuat dan lama.
Ia membayangkan Lissa menerobos masuk lagi, menangkap
basah mereka. Membayangkan ekspresi wajah Lissa yang malang.
Segalanya terasa berharga untuk melihat ekspresi ngeri itu,
ekspresi... kekalahan. Sayang Mitch begitu cengeng.
Tapi, pikir Reva, aku bisa bersenang-senang dengannya untuk
sementara ini. Pikirannya tengah kembali kepada Hank dan ke botol kolonye
berisi darah sewaktu menyadari ada mobil di belakangnya. Sebuah
Taurus putih. Apa mobil itu telah mengikutinya terus sepanjang perjalanan
pulang" Saat menatap kaca spion tengah, Reva merasakan ketakutan
menusuknya. Ia bergegas menikung memasuki jalan sempit yang belum
pernah dilaluinya. Perumahan kecil, rapat, dan kumuh berdiri di
sepanjang kedua sisi jalan.
Taurus putih itu, pikirnya. Ikut berbelok atau tidak, ya"
Satu lirikan ke kaca spion tengah memberitahu kalau Taurus
putih tersebut tetap berada di belakangnya.
Aku diikuti, Reva sadar. Tidak mungkin. Ini tidak terjadi dalam
kehidupan nyata, bukan" Ini cuma ada di acara televisi.
Dengan jantung berdebar keras, ia menginjak gas, lalu berbelok
ke kiri dengan tiba-tiba tanpa memberi tanda.
Dengan enggan ia melihat ke kaca spion, berharap kalau mobil
tersebut tidak terlihat lagi. Tapi mobil tersebut masih ada dan sangat
dekat di belakangnya. "Pergi. Please! Pergi!"
Reva menghentikan mobilnya di dekat tanda berhenti,
mengamati kaca spion dan berusaha melihat pengemudi Taurus putih
tersebut. Tapi cahaya matahari yang terang benderang yang memantul
di kaca depan Taurus menghalangi pandangannya.
Reva berbelok ke kanan dan kembali ke jalan raya yang padat.
Ia melihat Taurus tersebut tetap berada dekat di belakangnya.
Ini tidak terjadi. Tidak.
Siapa yang mengikutiku"
Sekilas ia melihat sosok seorang pria, dengan kumis gelap, dan
topi pet yang dikenakan rendah hingga mata orang tersebut tidak
terlihat. Apa maunya" Penculikan pun melintas dalam benaknya. Reva tahu terkadang
anak-anak orang yang sangat kaya diculik dan disandera untuk
tebusan yang sangat besar.
Dia akan menyeretku ke rumah kosong dan mengikatku. Dan
kalau Daddy tidak mau membayar, dia akan membunuhku dan
meninggalkan mayatku di sana.
Tidak! Ia menginjak pedal gas hingga habis.
Dan mengambil keputusan. Ia akan lebih aman berada di rumah. Ia bisa langsung melesat
sepanjang jalur masuk, memasuki garasi, dan lari ke dalam rumah
melalui pintu garasi. Itu satu-satunya kesempatan.
Sambil berjuang menenangkan napasnya yang terengah-engah,
berjuang untuk menahan pikiran-pikiran yang mengerikan, Reva
kembali menikung tajam dan mengarahkan mobilnya ke rumah.
Taurus putih tersebut mencicit-cicit di tikungan dan mengikuti,
hanya satu mobil jauhnya.
"Kau mau apa" Kau mau apa?" teriak Reva mengatasi derum
mesin mobil. Ia meliukkan mobilnya mendului sebuah bus sekolah.
Klakson keras pun terdengar. Taurus tersebut tetap menjaga jaraknya.
Apa orang ini yang mengirim botol berisi darah itu" Pikiran
tersebut melintas dalam benaknya, membuat ketakutan kembali
merayapi tulang punggungnya.
Apa mungkin dia bukan Hank" Apa mungkin orang yang
mengikutiku sekarang inilah yang mengirimkan darah dan
menancapkan jarum dalam lipstikku"
Tapi kenapa" Peringatan" Peringatan kalau akan terjadi yang lebih buruk di toserba"
Ia mendesah keras-keras saat berbelok memasuki jalur masuk
rumahnya. Beberapa detik lagi dan ia akan berada di dalam rumah,
aman terlindung dalam garasi. Beberapa detik lagi dan ia akan berada
di dapur. Ia bisa menghubungi polisi dan...
Taurus tersebut berbelok memasuki jalur masuk tepat di
belakangnya. "Ya, ampun!" Reva menginjak rem kuat-kuat. Ia telah melupakan pembuka
pintu garasinya, dan pintu garasinya masih tertutup!
Volvonya mendecit-decit berhenti. Taurus tersebut
mengikutinya, berhenti hanya beberapa inci dari mobilnya.
Aku terjebak, pikir Reva. Aku tidak bisa masuk ke garasi. Tapi
aku juga tidak bisa berdiam dalam mobil.
Satu-satunya harapan, pikirnya, adalah berusaha lari ke rumah.
Kalau ia bisa masuk ke dalam...
Ia menyambar kunci rumah, membuka pintu mobil, dan sambil
bernapas terengah-engah, melompat keluar dari mobil, mengitarinya
dan melesat menuju ke rumah.
Kakinya terasa berat, seakan dibebani.
Dadanya bagai mau meledak.
Sewaktu melirik ke jalan, ia melihat kalau pria bertopi tersebut
juga telah keluar dari mobilnya. Ia besar dan tampak kasar, dan berlari
mengejarnya. Bab 14 Kehilangan "HEI"." teriak pria tersebut, terjatuh-jatuh mengejarnya.
Reva hampir tiba di pintu.
"Hei..." Pria tersebut melambai-lambai ke arahnya.
Reva membuka pintu badai, menjejalkan kunci di lubangnya,
dan mendorong pintu kaca tersebut sekeras-kerasnya.
Pintunya bergeming. Kuncinya salah. "Hei..." Pria tersebut tinggal beberapa meter lagi jauhnya.
Reva berbalik menghadapinya, mulutnya ternganga hendak
menjerit, ekspresinya tegang.
Sambil terengah-engah pengejarnya berhenti di bawah tangga
serambi. "Lampu belakangmu"pecah," kata pria itu sambil bersusah
payah bernapas. "Apa?" Reva tetap membeku di tempatnya, punggung
menempel ke pintu badai. "Lampu belakangmu. Aku tadi tidak sengaja menubruknya di
tempat parkir Dalby's," kata pria tersebut, berusaha keras mengatur
napas. Reva menatapnya, belum memahami maksudnya, masih
menunggu pria tersebut bertindak lebih dulu, melaksanakan rencana
terornya terhadap dirinya.
"Aku tidak sengaja menabrak lampu belakangmu. Maaf," kata
pria tersebut, sambil menanggalkan topi petnya dan menghapus
keringat di dahinya. "Kemarilah. Kutunjukkan."
Pria tersebut berbalik kembali ke mobil Reva.
"Lampu belakangku?" jerit Reva, tidak menyadari kalau
suaranya terdengar tegang karena ketakutan. "Kau mengikutiku
sampai kemari karena lampu belakang mobilku?"
Dengan perasaan masih goyah dan tidak yakin, ia mengikuti
pria tersebut kembali ke jalur masuk. Memang benar, lampu belakang
mobilnya ternganga, plastik penutup lampunya telah hilang.
"Aku tidak suka kalau ada orang yang menabrak mobilku dan
lalu pergi begitu saja," kata pria tersebut menjelaskan, sambil
mengenakan kembali topinya. "Jadi aku mengikutimu. Tadi aku
berusaha memberi isyarat. Apa kau tidak melihat?"
"Eh... tidak," jawab Reva, merasa sangat bodoh.
"Ini." Pria tersebut menyodorkan sehelai kartu putih kecil
kepadanya. "Itu agen asuransiku. Biar kutulisi namaku dan nomor
teleponku di baliknya. Perusahaan asuransi akan membereskannya.
Maaf. Kurasa aku kurang hati-hati tadi."
Tangan Reva masih gemetar sewaktu menerima kartu tersebut
dari tangan pria yang telah membuntutinya. Ia merasa lemah, terkuras
habis. Bagaimana aku bisa membiarkan diriku ketakutan setengah
mati tanpa alasan" tanyanya sendiri.
Ia mengucapkan terima kasih kepada pria tersebut atas
tindakannya. Benar-benar membuang-buang waktu, pikirnya. Daddy bisa
membereskannya di bengkelnya. Kenapa harus melibatkan perusahaan
asuransi hanya untuk mengurusi lampu belakang"
"Trims lagi!" panggilnya sewaktu pria tersebut kembali naik ke
mobilnya dan mundur. Aku lepas kendali. Aku benar-benar tidak terkendali lagi, pikir
Reva, sambil berjalan perlahan-lahan ke rumah.
Pria tadi hanya bersikap sebagai warga negara yang baik, dan
aku bersikap seperti orang sinting.
Oh, well, katanya sendiri, sambil membuka kunci pintu dapur
dan berteriak "halo". Teriakannya menggantung tanpa jawaban. Ia
tahu Yvonne dan Michael pasti sedang keluar. Aku memang punya
alasan bersikap paranoid seperti tadi.
Ia melontarkan mantelnya sembarangan dan menanggalkan
sweternya yang berlumuran darah.
Siapa pun yang mencoba menakut-nakutiku benar-benar
melakukan pekerjaan yang bagus, pikirnya.
Pertama melukai bibirku. Lalu sebotol darah itu.
Ia membuka laci di bawah wastafel dan menjejalkan sweternya
ke keranjang sampah. Berikutnya apa" ia penasaran sambil menggigil ketakutan.
Berikutnya apa" Bagian II Malam Tenang Bab 15 Tidak Ada yang Perlu Dikhawatirkan
"AKU begitu gugup, rasanya jadi sulit bernapas," kata Pam.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kata Clay, sambil
merosot di kursi penumpang di sampingnya. Ia meletakkan lututnya di
dasbor, pandangannya terfokus lurus ke depan, memandang lampu
belakang mobil-mobil di balik jendela.
"Kau sudah berbicara dengan Maywood hari ini?" tanya Mickey
sambil berdeham dari kursi belakang. Suaranya tercekik dan
ketakutan. "Tidak. Hari ini belum," jawab Clay tegang. "Tapi sudah
kukatakan, segalanya beres. Sampai yang paling rinci. Kita juga
beruntung"sistem video keamanan yang baru juga belum terpasang.
Mereka menyuruh seorang cowok untuk memasangnya, dan dia
merusakkannya." Pontiac besar tersebut berhenti di depan lampu lalu lintas. Kursi
depan tiba-tiba dibanjiri cahaya terang dari lampu jalan di atas
perempatan jalan. Pam melirik Clay, yang mengenakan denim hitam dan kaus
berleher tinggi hitam. Ia tidak mengenakan mantel sekalipun
temperatur di luar hanya dua puluhan derajat Farenheit.
"Kita harus bisa bergerak cepat," kata Clay menjelaskan saat
mereka bersiap-siap melakukan perampokan, mempelajari rencananya
sekali lagi untuk yang terakhir kalinya di ruang duduk Mickey.
"Beban kita harus seringan mungkin, kita harus tetap lincah." Senyum
Clay merekah saat ia berbicara.
Ia benar-benar tenang, Pam sadar, sambil berjuang untuk
mengikat tali sepatu sneakersnya dengan tangan gemetar. Clay
bersemangat, sangat bersemangat.
Pam berharap punya kepercayaan diri sebesar Clay.
Tidak. Ia berharap tidak pernah setuju untuk terlibat
perampokan ini sejak awal. Ini terlalu menakutkan. Terlalu berbahaya.
Memang, Clay sudah mengatakan berulang-ulang kalau ini
bukan benar-benar perampokan. Tidak berbahaya. Tidak berisiko.
Tidak mungkin terjadi kesalahan.
Tapi seberapa jauh Clay bisa dipercaya"
Sewaktu mempelajari rencananya lagi di ruang duduk Mickey,
Pam ingin menghilang. Melarikan diri. Pindah ke kehidupan
seseorang lainnya sampai semua ini selesai.
"Kau tidak punya sweter yang lebih gelap lagi?" keluh Clay,
melirik kaus berwarna kuning mentega yang dikenakan Mickey.
"Kuperiksa dulu," kata Mickey, sambil bergegas kembali ke
kamarnya. Ia kembali beberapa menit kemudian, telah mengenakan Tshirt hitam.
Mr. Wakely sedang tidak di rumah. Mereka sendirian di sana.
"Aku merasa tidak enak," kata Pam kepada Clay. "Sungguh.
Aku merasa tidak enak."
Ekspresi wajah Clay mengeras. "Kau cuma perlu mengemudi,"
katanya, sementara mata kelabu bajanya menyipit mengamati wajah
Pam dengan teliti. Sekarang, setengah jam kemudian, mereka telah berada di sini,
melaju menuju ke Dalby's pada pukul setengah dua belas lewat sedikit
hari Jumat malam. Lampunya berubah hijau. Pam menginjak pedal gas dan Pontiac
tua yang besar tersebut menderu maju.
"Wow, Man, tidak banyak mobil di jalanan Jumat malam ini,"
kata Mickey pelan dari kursi belakang.
"Kita tidak membutuhkan laporan lalu lintas," sergah Clay.
"Aku benar-benar merasa tidak enak," kata Pam. "Seluruh
tubuhku gemetar." "Mungkin sebaiknya kau berhenti dulu sampai perasaanmu
lebih baik," saran Mickey.
"Terus saja mengemudi," kata Clay berkeras. "Konsentrasilah
pada mengemudi, kau tidak akan merasa apa-apa."
"Trims, Dok," kata Pam sinis.
Clay mengerang, jelas-jelas merasa jengkel pada kedua
temannya. "Kalian, para pengecut ini, mau membantu atau tidak?"
"Ayolah, Man. Tenang," kata Mickey, mengulurkan tangan ke
kursi depan untuk menepuk bahu Clay. "Kami baik-baik saja. Kita
semua baik-baik saja, bukan, Pam?"
Sebuah mobil hitam-putih polisi berhenti di belakang mereka.
"Pelan!" teriak Clay kepada Pam, sambil merunduk rendah di


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kursinya. "Kita cuma tiga puluh lima mil per jam," kata Pam, sambil
menatap kaca spion tengah.
Mobil polisi tersebut tampaknya ragu-ragu sejenak mengikuti
mereka, lalu melintas lewat dari kiri dan melaju pergi.
Ketiga-tiganya meledak tertawa saat mobil hitam-putih tersebut
melaju menghilang dari pandangan. Tawa gugup bercampur kelegaan.
"Apa rambutku berubah putih?" tanya Pam.
"Kau tenang sekali," kata Mickey memberinya selamat, sambil
bersandar kembali ke kursinya. "Man, kau benar-benar tenang."
"Sekarang, ingat, kita mengambil barang-barang elektronik
lebih dulu," kata Clay, sambil berputar di kursinya untuk berbicara
kepada Mickey. "Aku ingat," kata Mickey padanya. "Kita mengambil barangbarang elektronik dulu karena itu yang paling jauh dari pintu
belakang. Kita ambil barang yang paling jauh, lalu terus mundur
sampai ke pintu." "Benar. Satu nilai untuk Mickey," kata Clay datar.
"Aku mau mengambil salah satu jaket pembom itu," kata
Mickey penuh semangat. "Kau tahu, jaket kulit dengan tambalan yang
hebat?" "Yeah. Tolong ambilkan juga untukku," kata Pam. Lalu, tanpa
peringatan, ia menginjak rem, menghentikan mobilnya di tepi jalan di
seberang tempat parkir kosong.
"Hei..." teriak Clay marah. "Apa-apaan kau?"
"Aku tidak bisa," kata Pam, sambil mencengkeram kemudi eraterat dengan kedua tangan, menatap lurus ke depan ke kegelapan di
balik kaca depan. "Ayolah, Pam," kata Clay, melembutkan suaranya, berbalik
menghadapinya. "Kau cuma perlu mengemudi"ingat?"
"Benar," sela Mickey, sambil membungkuk ke depan. "Kau
cuma duduk di mobil dan menunggu kami, Pam. Itu saja."
Mickey menatap Clay seakan meminta persetujuan Clay atas
apa yang baru saja diucapkannya. Tapi Clay tengah memusatkan
seluruh perhatiannya kepada Pam.
"Kurasa aku tidak bisa berbuat begitu," kata Pam, tanpa berani
membalas tatapan teman-temannya. Tangannya mulai terasa sakit. Ia
mengendurkan cengkeramannya. "Kurasa aku tidak bisa cuma duduk
di sini dan menunggu. Aku pasti gila. Kurasa aku tidak akan mampu
melakukannya." "Well, kau mau apa?" tanya Clay, tidak mampu lagi
menyembunyikan ketidaksabarannya. "Kau mau masuk bersama
kami?" Pam mempertimbangkannya untuk waktu yang cukup lama.
"Yeah," katanya pada akhirnya. "Yeah. Kurasa begitu." Ia berbalik
menatap Clay. "Aku akan masuk bersama kalian"tapi tidak
mengambil apa-apa." "Hah?" "Aku masuk bersama kalian. Kurasa aku tidak akan terlalu
gugup kalau begitu. Tapi aku tidak akan mengambil apa pun. Aku
cuma menunggu kalian di dalam."
"Okey. Kerjakanlah." Clay kembali bersandar di kursinya.
"Kalau itu membuatmu merasa lebih baik."
"Dengan begitu, kalau ada yang tidak beres," lanjut Pam, "aku
tidak akan duduk dalam mobil sepanjang malam, khawatir setengah
mati, penasaran apa yang sudah terjadi."
"Semuanya pasti beres," kata Clay tajam. "Sudah berapa kali
kukatakan padamu?" Pam mengangkat kakinya dari pedal rem, dan mobil besar
tersebut mulai melaju kembali. Ia terkejut sendiri saat menyadari
kalau Dalby's ternyata tinggal beberapa blok lagi jauhnya.
"Rencananya. Katakan sekali lagi," kata Pam, tenggorokannya
terasa kering, seluruh tubuhnya terasa dingin. "Kau tahu. Sekarang
keadaannya berbeda."
Clay, mendesah dengan suara keras, mengusir kejengkelannya.
Dia benar-benar memperlakukan Mickey dan aku dengan
buruk, pikir Pam. Bagaimana pun juga, tidak satu pun dari kami
berdua merupakan penjahat berpengalaman. Wajar saja kalau kami
ketakutan. Mungkin dengan melampiaskan kemarahannya kepada kami,
Clay berusaha mengatasi kegugupannya sendiri, pikir Pam akhirnya.
"Dengar. Rencananya tetap sama, bahkan kalau kau ikut masuk
ke dalam toko," kata Clay, jengkel. "Di bagian belakang toko ada tiga
tempat bongkar muat. Kita melewati dua yang pertama dan memarkir
mobil di tempat bongkar muat ketiga. Kita biarkan bagasi tertutup tapi
tidak menguncinya. Kata Maywood dia akan membiarkan kunci pintu
bongkar muat ketiga terbuka untuk kita sesudah pukul sebelas malam.
Kita masuk melalui pintu itu, melewati ruang penerimaan, terus
memasuki lorong karyawan ke lantai utama. Kita lewati semua gerai
parfum dan kosmetika di bagian depan lantai pertama. Naik beberapa
tangga, lalu turun sedikit dan kita masuk ke bagian elektronik."
"Dan Maywood akan menemui kita di sana?" tanya Mickey.
"Yeah. Dia akan menunggu kita di sana. Dia akan membantu
kita membawa beberapa barang. Kita ambil apa yang kita inginkan.
Lalu kembali ke tempat bongkar muat dan memasukkan semuanya ke
bagasi mobil. Lalu kita ikat Maywood dan membuat seakan-akan kita
mengalahkannya atau bagaimana. Lalu kita pulang pelan-pelan dan
aman ke rumahku." "Dan menyimpan barang-barangnya di gudangmu," kata
Mickey menyelesaikan penjelasan rencana tersebut.
Clay mengangguk. "Mudah. Bukan masalah."
Pam membelokkan mobil dengan tajam memasuki tempat
parkir Dalby's yang telah kosong. Gedung toserba dari kaca dan baja
tersebut menjulang di depan mereka, terang benderang oleh lampulampu Natal yang menyala di keenam lantainya, bagai sebuah kado
yang telah terbungkus. "Kau dengar apa kataku?" kata Clay.
Pam menyadari kalau Clay tengah berbicara kepadanya,
memberitahukan sesuatu. Ketakutan telah menelan kata-kata Clay.
"Berhenti di sana," perintah Clay sambil menunjuk. "Jangan
terlalu cepat. Kita tidak ingin menarik perhatian mobil yang ada di
jalan." Dengan perasaan mati, seakan-akan orang lain yang tengah
mengemudikan mobil, orang lain yang memutar kemudi, orang lain
yang memandu mereka melintasi lahan parkir kosong dan memutar ke
bagian belakang gedung, Pam mengikuti instruksi Clay.
Mereka meluncur diam-diam melewati tempat bongkar muat
dari beton yang pertama. Lalu yang kedua. Suasana di bagian
belakang toserba gelap, hanya ada lampu-lampu kuning yang redup
masing-masing satu di atas setiap pintu.
Pam menghentikan mobil sejajar dengan tempat bongkar muat
ketiga, memindahkan persneling ke posisi netral, dan memadamkan
mesin. Ia mengintip ke kegelapan di luar. Rasanya seperti tengah
berada di bulan. Lahan parkir karyawan yang kosong, sunyi di sekitar
mereka, garasi truk yang gelap di sebelah kirinya.
Begitu gelap dan kosong. Perasaannya menjadi sedikit lebih baik.
Siapa yang bisa menemukan mereka di bulan ini"
Entah kenapa, bayangan orangtuanya melintas dalam benaknya.
Mereka di rumah, menyaksikan acara khusus Natal di televisi sewaktu
Pam keluar. Ia minta izin mau ke bioskop bersama teman-temannya.
Film yang hebat. Mereka orangtua yang hebat, pikir Pam mengambil keputusan.
Mereka bersikap baik kepadanya. Mereka bahkan menyetujui
hubungannya dengan Foxy. Ia meraih kenop pintu dan teringat kepada Foxy.
Foxy tidak akan percaya kalau Pam berbuat begini.
Dia orang yang sangat baik, ramah. Sulit bagi Foxy untuk
memahami bagaimana kau bisa begitu membenci seseorang sampai
merampoknya untuk membalas. Bagaimana kau bisa begitu benci
menjadi orang miskin"terutama bila keluargamu yang lainnya begitu
kaya raya. Sebelumnya Pam ingin memberitahu Foxy tentang rencana
perampokan ini. Ia bahkan telah membuka mulut untuk
mengatakannya beberapa malam yang lalu, tapi berhasil menahan diri
pada waktunya. Foxy tidak akan bisa memahami.
Pam sendiri tidak yakin kalau paham.
Setelah menghela napas dalam-dalam, ia membuka pintu mobil
dan melangkah turun. "Lampunya," bisik Clay keras, sambil mengetuk kap mesin
untuk mendapat perhatiannya. "Matikan lampunya."
Pam butuh waktu beberapa saat sebelum menyadari kalau lupa
memadamkan lampu depan. Ia mengulurkan tangan ke dalam mobil,
mencari-cari di dasbor sampai jarinya menekan tombol yang benar.
Suasana sekitarnya seketika berubah semakin gelap. Kedua
rekannya tampak bagai sosok-sosok hitam dalam kegelapan.
Pam membuka kunci bagasi, memastikan tutupnya tidak
ternganga. Tangannya gemetar sewaktu berusaha memasukkan kunci
ke saku jaketnya. Lalu ia mengikuti kedua temannya menaiki tangga beton rendah
ke tempat bongkar muat. Sewaktu mereka melangkah ke cahaya redup dari lampu kecil
di atas pintu tempat bongkar muat, napas mereka mengepulkan asap
ke atas kepala, Pam ragu-ragu.
Apa pintunya tidak akan terkunci seperti yang telah dijanjikan"
Dan lalu ia melihatnya"sebuah benda mengilap di tangan
kanan Clay. "Clay..." bisiknya, sekalipun tidak ada orang lain lagi di sekitar
mereka. Clay memegang kenop pintu dengan satu tangan, siap
memutarnya. "Clay!" panggil Pam lebih keras, tidak yakin apakah Clay
mendengar panggilannya pertama.
Clay berpaling saat Pam melewati Mickey, yang tengah
menggigil karena hanya mengenakan T-shirt hitam tipis.
"Clay, apa itu?" tanya Pam.
Clay mengangkat tangan kanannya untuk menunjukkan sepucuk
pistol otomatis kecil. "Hei, Man..." jerit Mickey, menatap kaku kepada temannya.
"Kau tidak ngomong apa pun tentang pistol."
"Ayolah, Clay"untuk apa itu?" tanya Pam, pandangannya
terpaku ke pistol kecil tersebut, tidak mampu menutupi ketakutannya.
"Kau tidak akan bisa tahu apa yang bisa terjadi," kata Clay
lembut. Ia lalu membuka pintunya.
Bab 16 Seharusnya Tidak Begini PINTUNYA membuka dengan mudah dan mereka masingmasing menyelinap masuk ke area penerimaan yang gelap.
Sunyi. Benar-benar sunyi, pikir Pam, aku bisa mendengar napas bocahbocah ini. Boleh dikatakan, aku bahkan bisa mendengar pikiran
mereka! Matanya dengan cepat menyesuaikan diri dengan kegelapan. Ia
melihat area penerimaan itu berupa sebuah ruang kosong panjang
dengan lantai dari beton. Tempat tersebut digunakan untuk menumpuk
kotak-kotak karton yang baru diturunkan dari truk.
Ia merayap ke samping Clay, yang berdiri kaku, pistol di
sampingnya terarah ke bawah. "Apa Maywood tidak mengatakan
kalau akan menemui kita di sini?" bisiknya.
Clay menggeleng. "Tidak, katanya dia akan membiarkan
pintunya tidak dikunci. Dia akan menemui kita di bagian elektronik."
Ia menarik lengan Pam dengan lembut. "Ayo. Kita ke sana."
"Kuharap kau mau menyimpan pistolnya," bisik Pam sambil
mengikutinya. Clay berpura-pura tidak mendengarnya dan terus bergegas
maju, melangkah panjang-panjang melintasi ruangan lebar yang
kosong tersebut menuju ke koridor. Pam bergegas mengejarnya,
sesekali melirik gugup ke arah Mickey"yang terhuyung-huyung
mengikuti. Mereka tiba di lorong sempit, yang juga gelap. Lorong
tersebut biasanya hanya digunakan oleh karyawan toserba. Dari situ
mereka bisa menuju ke ruang karyawan, gudang, dan di baliknya,
lantai penjualan utama. "Hei"tunggu!" panggil Mickey dengan bisikan keras.
"Lewat sini," kata Clay memberi instruksi, mulai berlari-lari
kecil menyusuri koridor sekalipun Mickey telah memintanya
menunggu. Ia berhenti di tepi lantai utama. Beberapa lampu langit-langit
sengaja dibiarkan tetap menyala. Toserba tersebut hanya separo
terangnya dari biasa. Pam menghela napas panjang. Keharuman selusin parfum yang
berbeda mengambang di udara. Toserba di malam hari berbau harum
sekaligus busuk. Di seberang ruangan yang luas tersebut terdapat
pohon Natal besar yang menjulang melewati kelima balkon pertama.
Sunyi. Ketiganya berdiri di ambang pintu, pandangan mereka menyapu
seisi ruangan. Tidak ada yang bergerak. Tidak terlihat kehadiran siapa
pun. "Seluruh toserba ini milik kita!" seru Mickey gembira. "Wow!"
Clay berpaling kepadanya dengan marah. "Jangan senang dulu."
Ia menggenggam pistol setinggi pinggangnya.
"Tapi ini hebat!" seru Mickey.
Pam berharap seandainya ia juga merasa begitu gembira.
Mulutnya terasa kering, tenggorokannya bagai tercekik. Ia mengira
seseorang akan muncul dan menangkap mereka setiap saat.
Di sini panas, pikirnya, sambil membuka risleting mantelnya.
Mereka mematikan AC kalau malam. Kami menghirup udara siang.
Udara sisa. Kita akan tercekik. Aku tidak bisa bernapas!
Pam marah pada dirinya sendiri karena panik.
Sudah terlambat. Kau sudah terlalu jauh untuk panik sekarang.
Sambil menghela napas, dan lalu menghela napas lagi, Pam
mengikuti Clay dan Mickey sepanjang lorong gerai-gerai parfum dan
makeup. Sepatu sneaker mereka mencicit lembut di lantai yang keras.
Sunyi. Kesunyian ini benar-benar mencekam, pikir Pam. Aku bisa
merasakannya. Pikiran aneh. Tapi siapa yang bisa menyalahkan dirinya"
Ia menengadah memandang pohon Natal yang gelap, lalu ke
balkon-balkon di sampingnya. Apa ada orang yang berdiri di salah
satu balkon itu" Apa ada satpam di atas sana yang mengawasi mereka
menyeberangi toserba"
Tidak. Tentu saja tidak ada.
Maywood pasti sudah memikirkannya. Benar, kan"
Suara Clay menyela pemikirannya. "Naik ke tangga," bisiknya,
sambil menunjuk dengan pistolnya. "Kita melewati Santa Land di
sebelah sana, lalu turun, dan kita tiba di bagian elektronik."
"Wow," bisik Mickey, tepat di belakang Pam. Ada yang berdiri
di kaki tangga. Pam tersentak dan mundur, berpegangan pada gerai kaca, siap
untuk mundur lebih jauh, untuk lari.
Tapi setelah sedetik menahan napas karena ketakutan, ia
menyadari kalau sosok itu bukan orang tapi manekin.
Di belakangnya, Mickey tertawa mengikik. Ia pasti juga
ketakutan karena manekin yang sama.
Mereka bergegas menaiki tangga, menyeberangi area Sinterklas


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan salju palsunya dan kereta salju kayu yang dipenuhi mainan
dan dilengkapi boneka rusa, dan sebuah tiang merah bergaris-garis
putih yang tinggi menjulang, berlabel KUTUB UTARA. Lalu
menuruni tangga yang lain menuju ke bagian elektronik yang luas.
"Kita tidak memerlukan Sinterklas, Man!" seru Mickey,
bergegas mendului Pam dan Clay, mengangkat VCR pertama yang
dilihatnya. Clay cemberut. Ia dan Pam mendekat dengan lebih berhati-hati.
Pam mengelilingi tempat itu dengan pandangannya, dari TV-TV yang
membentuk dinding di satu sisi, melewati tempat CD dan stereo,
hingga ke telepon tanpa kabel dan mesin video game di sisi lain.
Tidak ada orang di sana. Sunyi. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah lampu rusak di
langit-langit di atas mereka.
"Mana Maywood?" bisik Pam dengan gugup, sambil meraih
lengan baju Clay. Clay mengangkat bahu. "Kita tidak bisa menunggunya di sini,"
katanya, mata kelabunya tampak keras dan mantap. "Ayo kita kerja."
Mickey telah mengambil dua kotak dari balik rak pamer. "Hei,
Clay..." panggilnya. "VCR ini harus kuapakan?"
Clay menggeram pelan dan menepuk dahinya sendiri. "Aku
benar-benar idiot," katanya. "Kita seharusnya membawa tas besar atau
semacamnya untuk membawa barang-barang ini. Kenapa tidak
terpikirkan?" Bocah-bocah itu bercakap-cakap terlalu keras, pikir Pam,
merasa otot-ototnya menegang. Setiap suara yang mereka keluarkan
hanya membuat dirinya semakin ketakutan. Ia merasa seakan-akan
sarafnya ada di luar tubuhnya.
Derak lampu di atas kepala membuatnya gila.
Mickey dan Clay tampaknya sama sekali melupakan dirinya.
Mereka berdiri berdekatan, mencoba untuk memecahkan masalah
membawa barang-barang yang akan mereka curi. Clay terus memakimaki sendiri, mengatakan bahwa dirinya sendiri bodoh karena tidak
memikirkan rencananya serinci-rincinya.
"Hei, aku tahu, Man. Mungkin kita bisa bolak-balik beberapa
kali," saran Mickey, sambil masih membawa dua kotak VCR.
"Yeah. Tentu saja," jawab Clay, agak gembira. "Kita toh tidak
tergesa-gesa, bukan" Kita punya waktu sebanyak-banyaknya. Bisa
sepanjang malam. Kita bolak-balik sebanyak kita suka."
"Yeah!" Mickey menyetujui dengan gembira.
"Oke. Ayo kita tumpuk barang-barang ini," kata Clay dengan
semangat baru. "Sebanyak yang bisa kita masukkan ke dalam mobil
Pam." Pam memandang ke belakangnya, mencari-cari di lorong yang
panjang, lalu kembali menatap dinding TV, gelap dan sunyi.
Seharusnya aku berada di rumah menyaksikan televisi,
pikirnya. Aman di rumah bersama orangtuaku. Menyaksikan Grinch atau
apa. "Oh!" jeritnya sewaktu mendengar suara. Clay dan Mickey
membeku di lorong di depannya, balas menatapnya.
"Kalian dengar?" jerit Pam. Ia berbalik ke arah asal suara.
Tampaknya berasal dari kantor kecil di sebelah kanan deretan TV.
"Dengar apa?" tanya Clay, jengkel.
"Suara. Seperti ada yang menjatuhkan sesuatu," kata Pam
mengatasi ketakutannya, sambil masih terus menatap ke arah kantor.
"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Mickey.
"Tapi suaranya keras!" Pam berkeras.
Clay, dengan pistol teracung, mengikuti arah tatapannya. "Dari
sana?" "Kantor itu," kata Pam, berpegangan eraterat pada meja.
Mereka bertiga diam mendengarkan. Sunyi.
"Kantor itu gelap gulita," kata Clay, menatapnya curiga.
"Jadi?" kata Pam.
"Jadi jangan menakut-nakuti kami lagi," kata Clay
memperingatkan. "Dengar"aku tidak mengada-ada," kata Pam berkeras.
"Kalau kau tidak mau membantu, paling tidak jangan
mengacau," kata Clay padanya, sambil mengambil sekotak walkman.
"Well, apa kau tidak bisa lebih cepat?" tanya Pam gelisah,
suaranya begitu tinggi hingga ia sendiri tidak mengenalinya.
Clay tidak menjawab. Cuma melotot.
Pam kembali melirik ke kantor. Kantor tersebut gelap gulita
seperti yang dikatakan Clay. Ia berusaha keras untuk mendengarkan
tapi hanya mendengar suara Mickey dan Clay mengambil CD player
dan derakan-derakan lampu langit-langit yang menjengkelkan.
Sewaktu kembali memandang teman-temannya, ia melihat
seorang satpam berseragam biru.
Satpam tersebut sangat jangkung dan luar biasa gendut, dengan
perut membuncit yang menjuntai di atas celana seragamnya. Ia
berjalan perlahan, dengan hati-hati di lorong di belakang Clay dan
Mickey. Salah satu tangannya memegang bagian atas sarung
pistolnya. Pam membuka mulut untuk memperingatkan teman-temannya,
tapi tidak ada suara yang keluar.
Ia hanya bisa menunjuk. Ketakutannya mulai menyurut sewaktu menyadari kalau satpam
tersebut pasti Maywood. Satpam tersebut berhenti beberapa rak pamer
di belakang Clay dan Mickey. Sekalipun besar, satpam tersebut
berwajah kekanak-kanakan dengan mata biru besar dan hidung kecil.
"Halo, sobat!" teriaknya gembira. "Bisa kubantu memilih?"
Kedua teman Pam menjerit terkejut dan berbalik. Mickey
menjatuhkan karton yang tengah dibawanya. Karton tersebut
menghantam lantai dekat kakinya dan menimbulkan suara keras.
"Hei..." Mulut Clay ternganga.
Kenapa Clay tampak kebingungan" Pam penasaran,
ketakutannya kembali memuncak.
"Kau bukan Maywood!" seru Clay. "Mana Maywood?"
Ekspresi satpam itu berubah keras. "Jangan bergerak. Jangan
bicara," katanya memperingatkan.
"Tapi Maywood..." kata Clay.
"Jangan bicara!" bentak satpam itu, perut buncitnya naik seiring
dengan teriakannya. "Kalau ada yang bicara, aku orangnya, dengar?"
Mickey, wajahnya pucat pasi, menatap Clay dengan pandangan
tidak percaya. Pam, sambil masih bersandar ke rak pamer, merasa
kakinya lemas. Tenggorokannya bagai dicekik.
Aku tidak bisa bernapas, pikirnya.
Aku terlalu takut sampai tidak bisa bernapas.
Seharusnya tidak begini. Clay sudah berjanji kalau segalanya
akan beres. "Angkat tangan kalian," perintah satpam tersebut, satu tangan
memberi isyarat, yang lain masih tetap di atas sarung pistol. "Angkat
tangan kalian tinggi-tinggi dan jangan turunkan."
Sambil mematuhi perintah satpam tersebut, Pam melihat
Mickey juga mengangkat tangan. Tapi Clay ragu-ragu.
"Dengar..." katanya kepada satpam.
"Angkat!" bentak satpam tersebut. "Sekarang!"
Sambil menatap tajam ke mata satpam yang tidak berkedip,
Clay sama sekali tidak mengangkat tangan.
"Kata Maywood..." katanya.
"Angkat!" kata satpam tersebut berkeras. "Simpan saja ceritamu
untuk polisi." Tanpa peringatan ia bergerak maju, membungkuk, dan
menekan tombol yang tersembunyi di bawah rak pamer. Alarm pun
meraung-raung memenuhi toserba.
"Lari!" teriak Clay.
Tanpa berpikir, Pam melesat menyusuri lorong, berlari
membabi buta dan tanpa bernapas, rak-rak dan manekin-manekin di
sampingnya bagai bayang-bayang kabur.
Ia bisa mendengar Mickey beberapa yard di belakangnya,
mendengar sepatu sneaker Mickey berdecit cepat di lantai.
Ia bisa mendengar teriakan satpam, memanggil mereka.
Di tangga, ia berhenti dan berpaling.
Dan melihat Clay menghadap ke satpam, pistolnya terangkat.
"Clay jangan!" jerit Pam.
Tidak, please, jangan! pintanya diam-diam. Satpam, dengan
mata terbelalak terkejut, mencabut pistol dari sarungnya.
Terdengar letusan pistol.
Suaranya mengiris kuping Pam.
Ia menutupi wajah dengan tangannya, takut untuk melihat, takut
untuk menjerit. Takut untuk tetap berada di sana. Takut untuk lari.
"Clay jangan!" jerit Mickey dari sebelahnya.
Pam melihat satpam tersebut jatuh sambil memegangi dadanya
yang berlumuran darah, jatuh bagai sekarung tepung yang berat.
Dan sekarang Clay, masih tetap memegang pistol, wajahnya
tampak ngeri, lari, lari menyusul Pam dan Mickey.
Alarm bagai meraung-raung di telinga Pam. Rasanya suaranya
semakin lama semakin keras sampai seakan-akan berasal dari dalam
kepalanya. Pam mengira kepalanya akan meledak, meledak akibat
raungan alarm, akibat apa yang baru saja dilihatnya.
Dan lalu kesunyian kembali.
Kesunyian yang sejuk dan lembut.
Tapi, tidak. Clay berhasil menyusul mereka, mendorong mereka
berdua. Memaksa mereka untuk kembali berlari. Menaiki tangga.
Melewati Kutub Utara. Melewati tahta Sinterklas.
Selamat tinggal, Santa Land.
Selamat tinggal, Natal. Selamat tinggal, masa kanak-kanak. Selamanya.
Kami sekarang penjahat. Clay sudah menembak satpam tadi.
Dan sekarang kami lari, lari, lari.
Pam tidak bisa mengendalikan pikirannya. Segalanya sekarang
tidak terkontrol lagi. Mereka berderap menyeberangi toserba. Melewati loronglorong parfum yang harum, melewati manekin-manekin berpakaian
rapi. Selamat tinggal. Selamat tinggal segala yang berbau harum dan enak.
Dan alarm pun masih terus meraung-raung, mengikuti mereka,
menjajari mereka, di belakang mereka, di depan mereka sementara
mereka berlari. Melalui koridor karyawan yang sempit. Lalu melalui area
penerimaan yang kosong dan gelap.
Raungan alarm bagai mengepung mereka, menangkap mereka,
menahan mereka. Pam melihat pintu kelabu di depan. Pintu yang menuju ke luar.
Pintu yang menuju ke malam yang gelap dan sejuk.
Malam Natal. Ia tiba lebih dulu, mendorongnya, dan pintu tersebut terayun
membuka. Angin dingin menyambutnya saat ia melangkah ke tempat
bongkar muat. Mickey dan Clay tepat di belakangnya, terengahengah, dada mereka bergerak naik turun saat mereka berjuang
mengatur napas. Sekalipun begitu raungan alarm masih tetap mengikutinya. Di
luar bahkan terdengar lebih keras lagi.
Harus pergi dari sini. Pergi secepatnya. Harus!
"Hei..." Mickey yang melihat terlebih dulu. Lalu Pam.
"Mobilku!" jeritnya. "Mobilku hilang!"
Bab 17 Pembunuhan TERJEBAK. Siapa yang mencuri mobilnya"
Tidak ada waktu untuk memikirkannya.
Di sela-sela raungan alarm yang membuatnya gila, Pam bisa
mendengar lolongan sirene. Sirene polisi. Bertambah keras.
Mendekat. "Kita harus pergi dari sini!" jeritnya.
Lalu ia melihat mobilnya.
Masih tetap berada tepat di tempat ia tadi memarkirnya di
sebelah kanan mereka. "Kita keluar dari pintu yang salah!" kata Clay menyadari.
Mereka melesat keluar dari pintu bongkar muat tengah.
Sekarang, tanpa ragu-ragu, Pam melompat turun. Mendarat di aspal
keras dan melesat ke mobil.
Sambil berlari, Pam mengeluarkan kunci mobil dari saku
mantelnya. Mereka bertiga tiba di mobil bersamaan, napas mereka
mengepul di atas kepala"uap putih di malam yang gelap. Sementara
sirene masih terus melolong.
Clay menghantam tutup bagasi, menguncinya.
Kosong, pikir Pam tanpa bisa ditahan. Semua ketakutan itu.
Kekhawatiran mereka. Darahnya...
Dan bagasinya kosong. Pam menyelinap ke balik kemudi dan membanting pintu hingga
menutup. Lolongan sirene mengikutinya hingga ke dalam mobil. Clay
dan Mickey berjejalan masuk, mengambil tempat masing-masing
seperti semula. Mobil terbatuk-batuk, lalu menderum hidup pada usaha kedua.
Pam menginjak pedal gas hingga rata, dan mobil besar tersebut
berdecit pergi, melintasi tempat parkir karyawan yang kosong,
menerobos lalu lintas, lalu kembali memasuki Division Street,
menerobos lampu kuning yang hendak berubah merah, dan melesat
pergi. Terus, terus, terus. Dua mobil hitam-putih polisi, dengan sirene meraung-raung,
melintasi mereka ke arah yang berlawanan.
Dari kaca spion tengah Pam mengawasi keduanya berbelok dan
memasuki tempat parkir Dalby's.
Dalam beberapa menit mereka akan menemukan satpamnya.
Tergeletak dalam genangan darahnya sendiri.
Dan lalu... apa" Pertokoan yang gelap berlalu digantikan rumah-rumah yang
juga gelap. Mereka melaju melewati jalan-jalan yang sepi.
Sunyi, akhirnya. Kembali sunyi.
Tidak ada yang berbicara.
Apa yang harus dikatakan"
Entah bagaimana Pam mengantar mereka pulang. Entah
bagaimana ia sendiri bisa pulang.
************************ Keesokan paginya Pam terjaga masih mengenakan pakaiannya
yang semalam, seprai dan selimutnya bertumpuk di lantai di samping
ranjang. Semuanya cuma mimpi, katanya sendiri. Mimpi buruk yang
mengerikan! Tapi, kenapa ia masih mengenakan pakaian yang sama dengan
mimpinya" Dan kenapa ia tertidur begitu lelap"
Dan mengapa mimpi itu begitu segar, begitu hidup, begitu nyata
dalam benaknya" Karena, Pam tahu, itu bukan mimpi.
Semuanya memang benar-benar terjadi.
Menguap sambil menggosok-gosok matanya, Pam
membungkuk untuk mengambil seprai dari lantai, lalu melirik jam di


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinding. Sembilan lewat empat puluh lima. Sabtu pagi.
Ia beranjak bangkit, meregang, berpikir untuk ganti pakaian,
lalu memutuskan untuk tetap mengenakan yang ini.
Bagaimana ia bisa menghadapi orangtuanya pagi ini"
Ia merasa mereka akan tahu. Kalau orangtuanya akan tahu
segala yang baru terjadi hanya dengan memandangnya, menatap lurus
ke matanya. Ia teringat pada Foxy. Foxy juga akan mengetahuinya.
Semuanya akan tahu. Hidupnya telah hancur. Ia nyaris merosot di kamar mandi. Ia menyikat rambut dan
giginya. Lalu, dengan perasaan seakan-akan tidak tidur, sambil masih
mendengar alarm toserba meraung-raung di belakang kepalanya, ia
menuruni tangga ke dapur dan menemui orangtuanya.
Radio mengalun pelan di latar belakang. Piring-piring bekas
sarapan masih ada di meja, tapi orangtuanya tidak terlihat. Di tempat
duduknya yang biasa Pam menemukan pesan yang ditulis tergesa-gesa
oleh ibunya. "Ayahmu masih mau memasang panel ruang kerja. Kami ke
toko kayu agar dia tidak memilih sembarangan. Kami segera
kembali," bunyi pesan tersebut.
Pam merasa lega sekaligus kecewa. Ia tidak ingin menemui
kedua orangtuanya pagi ini, tapi ia juga tidak suka sendirian di rumah.
Di meja terdapat beberapa kotak sereal, tapi Pam tahu kalau ia
tidak bisa makan apa pun. Mulutnya terasa sekering kapas. Ia
menuang segelas jus jeruk dan menghabiskannya dengan sekali teguk.
Pam mau kembali ke kamarnya sewaktu suara radio menarik
perhatiannya. "Pencurian di Toserba Dalby's di Division Street
semalam," kata penyiar radio. Ia melesat ke radio, lututnya menabrak
meja, dan mengeraskan volume radio.
"Ed Javors, seorang satpam veteran, ditembak," lapor penyiar
radio tersebut. "Para pencuri berhasil membawa kabur dua puluh lima
ribu dolar dari lemari besi di kantor lantai utama. Kepolisian
Shadyside telah menugaskan empat orang untuk menangani kasus ini.
Dan sesaat lagi kami akan menyiarkan ramalan cuaca untuk tiga kota
hari ini." Dengan kepala berdenyut-denyut, Pam mematikan radio. Ia
menunduk, berdiri sambil mencengkeram meja, berusaha mengatur
napas. Ditembak. Satpam itu ditembak. Tewas. Dan uang tunai dua puluh lima ribu dolar dicuri dari lemari besi
kantor di lantai utama. Ini mustahil, pikir Pam.
Ini tidak terjadi. Satpam itu tewas dan dua puluh lima ribu dolar dicuri.
Tapi bagaimana mungkin"
Ia mendorong dirinya menjauhi meja, merosot ke kursi di meja
makan, dan menutupi kepala dengan tangannya.
Harus berpikir. Harus berpikir. Harus memikirkan hal ini
sejelas-jelasnya. Tapi otaknya berputar liar, sirene terus terdengar meraungraung di sana.
Clay seorang pembunuh. Dia sudah membunuh satpam itu. Aku melihatnya. Aku
melihatnya menembak satpam itu.
Dan lalu... Tidak! Kami tidak membuka lemari besi. Kami tidak mengambil uang
sesen pun. Kami tidak mengambil apa-apa!
Cerita itu salah. Semuanya salah. Pasti salah.
Tanpa menyadari tindakannya, Pam bangkit berdiri, mendekati
telepon di dinding dekat pintu dapur, dan menghubungi Clay.
Clay mengangkatnya setelah deringan pertama.
"Clay..." kata Pam. "Kau mendengar berita di radio?"
"Yeah," jawabnya. Suaranya serak, kelelahan.
"Itu salah. Semuanya salah!" jerit Pam, tidak mampu menahan
kepanikannya. "Setuju," kata Clay pelan. "Pistolku kosong."
"Hah?" Kata-kata Clay terdengar tidak masuk akal.
Aku sudah sinting, pikir Pam. Aku sudah mulai sinting.
"Pistolku kosong," ulang Clay. "Aku cuma membawanya untuk
pamer." "Kau tidak menembaknya?"
"Tidak mungkin," kata Clay, sambil mendesah keras. "Tidak
mungkin." "Itu artinya..." Pam tidak melanjutkan kata-katanya. Ia
memejamkan mata, berusaha berpikir.
"Itu artinya ada orang lain yang menembak satpam itu," kata
Clay menyelesaikannya. "Dan orang lain itu yang mengambil
uangnya." "Clay, kita harus ke polisi. Kita bukan pembunuh. Kita tidak
mengambil apa pun. Kita harus memberitahukan kejadian yang
sebenarnya," pinta Pam.
Clay tidak segera menjawab. Lalu ia berkata, "Pam"tidak ada
yang akan mempercayai kita."
Bab 18 Reva Mendapat Hadiah Lagi
"PLEASE! Please!" Michael mengemis-ngemis. Ia melesat ke
seberang kamar Reva, memeluk pinggang Reva dengan lengannya
yang kurus. "Please" Kau kakak yang paling baik! Yang paling baik!"
Reva berjuang membebaskan diri. "Michael Jangan ganggu aku
dulu!" jeritnya tidak sabar. "Aku mau berpakaian. Kau membuatku
terlambat ke toserba."
Hari itu Senin pagi, dan Reva telah berjanji kepada ayahnya
untuk siap tepat pada waktunya hingga mereka bisa ke toko bersamasama.
"Tapi kau sudah berjanji!" rengek Michael. "Kau sudah
berjanji!" "Aku tahu kalau sudah berjanji," kata Reva padanya, sambil
mempelajari wajahnya di cermin saat menyikat rambutnya. "Kau akan
kuajak menemui Sinterklas. Tapi tidak hari ini."
"Kenapa tidak?" kata Michael bersikeras, sambil terus memeluk
kakaknya. "Karena hari ini tidak tepat," kata Reva agak kasar,
membetulkan sweternya, lalu melewati adiknya dan berjalan ke
lorong. "Aku sudah menuliskan daftarku," panggil adik lelakinya itu,
sambil mengejar dirinya. Michael berhasil menyusulnya di ujung
tangga, menerobos lewat, dan meluncur turun melalui pagar tangga
dari kayu. "Dad membantuku. Kuberitahukan apa yang kuinginkan,
dan dia menuliskannya."
"Berapa banyak hadiah dalam daftarmu?" tanya Reva, sambil
memikirkan mantel mana yang hendak dikenakannya.
"Kurasa tiga puluh," kata Michael. "Itu sebabnya aku harus
segera menemui Sinterklas. Sebelum dia kehabisan barang."
Reva hanya setengah mendengarkan. Ia penasaran bagaimana
caranya bisa melewati satu minggu yang panjang lagi di balik gerai
parfum. "Mungkin besok," katanya pada adiknya, sambil menepuknepuk kepalanya. Rambut adiknya yang merah keriting terasa lebih
lembut dan halus daripada rambutnya sendiri.
"Kau jahat," kata Michael dengan marah dan melesat pergi
mencari Yvonne. "Siap?" Mr. Dalby muncul di lorong, telah mengenakan
mantelnya. Matanya merah dan tampak lelah. Ekspresinya gelisah.
Dia terus memikirkan tentang pencurian sepanjang akhir pekan
ini, pikir Reva, sambil membiarkan ayahnya membantunya
mengenakan mantel. Seandainya aku tahu cara membuatnya gembira.
Cuaca di luar kelabu, dengan awan hitam menggantung rendah
di langit. "Sudah cukup dingin untuk turun salju," kata ayahnya,
sambil mengendus-endus udara. "Baunya seperti salju."
"Kita belum pernah melewati Natal bersalju sejak aku masih
kecil," kata Reva, sambil naik ke kursi penumpang BMW ayahnya.
"Yakin kalau kau tidak akan memerlukan mobilmu hari ini?"
tanya ayahnya, sambil melirik Volvo keperakan di garasi.
"Tidak. Mungkin nanti aku akan menunggumu dan kita pulang
bersama-sama," kata Reva sambil mencari posisi duduk yang nyaman.
Pemanas udara hidup, menghangatkan udara dalam mobil. Reva
meringkuk semakin dalam ke balik mantelnya, mengawasi rumahrumah yang dikenalinya melaju lewat dalam cahaya pagi yang kelabu.
"Mungkin aku akan agak lama," kata Mr. Dalby sambil
berpikir. "Maksudku, setelah adanya pencurian itu. Hari ini pasti lebih
banyak lagi polisi yang di sana, lebih banyak pertanyaan yang harus
kujawab. Hari Sabtu kemarin aku berbicara dengan perusahaan
asuransi selama sejam, dan kemarin dua jam." Ia menggeleng sedih.
"Bisa kaubayangkan" Hari Minggu" Mereka semua jengkel karena
peralatan keamanan kita tidak berfungsi. Sekarang premiku pasti
naik." Mereka memperlambat mobil sewaktu tiba di perempatan.
Butir-butir salju basah mulai menghujani kaca depan, menempel
sejenak sebelum mencair. "Apa sih masalah mereka?" tanya Reva, sambil menatap kaca
depan. "Terlalu banyak pertanyaan yang tidak ada jawabannya," kata
Mr. Dalby, mengemudi dengan tangannya yang mengenakan sarung
tangan, dan menggaruk dagunya yang licin dengan tangan yang lain.
"Misalnya, bagaimana caranya perampok itu masuk?"
"Mereka mendobrak masuk"benar?" tanya Reva.
Mereka melaju melewati sekolahnya, gelap dan kosong. Di
bagian depan, ada seseorang yang telah menghiasi pepohonan dengan
tisu gulung. Anak-anak benar-benar belum dewasa, pikir Reva.
"Tidak, mereka tidak mendobrak masuk," kata ayahnya,
ekspresinya tampak bingung. "Tidak ada pintu yang rusak, juga
jendelanya. Tidak ada tanda-tanda masuk dengan paksa. Dan itu
bukan satu-satunya."
Ia mengurangi kecepatan hingga mobil berhenti di Division
Street dan menghidupkan penghapus kaca depan. Butir-butir salju
yang jatuh sekarang lebih besar, menempel lebih, lama.
"Darimana mereka tahu kalau kita punya lemari besi di lantai
satu?" tanya Mr. Dalby, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada
Reva. "Lemari besi itu tersembunyi. Sangat sedikit orang yang
mengetahuinya. Lemari besi utama ada di lantai enam, di kantorku."
"Jadi, menurutmu apa yang terjadi?" tanya Reva. Ia tidak suka
melihat ayahnya kebingungan dan jengkel seperti itu.
"Well, aku harus menerima kemungkinan kalau pelakunya
orang dalam," kata Mr. Dalby, sambil mengurangi derajat panas yang
dikeluarkan pemanas. "Salah seorang karyawanku. Tapi itu juga tidak
masuk akal. Kalau pelakunya karyawanku, mereka tidak akan
membunuh satpam itu, bukan" Ed Javors orangnya ramah dan disukai
orang. Kalau perampoknya karyawanku, dia pasti mengenal Ed. Jadi
kurasa tidak mungkin dia membunuh Ed."
"Aneh," kata Reva. Mereka hampir tiba di toko.
"Javors ditembak dari belakang," kata Mr. Dalby, merendahkan
suaranya hingga mirip bisikan. "Itu juga tidak masuk akal."
"Maksudmu?" tanya Reva.
"Katakan saja Javors memasuki bagian elektronik dan
menangkap basah perampokannya. Kenapa dia memunggungi para
perampok itu?" Mungkin mau melarikan diri, pikir Reva. Tapi tidak
mengungkapkannya. Ia tidak ingin memikirkan tentang perampokan
atau satpam yang tewas tersebut. Ia punya masalah sendiri.
Seakan membaca pikirannya, Mr. Dalby bertanya, "Memangnya
swetermu kenapa hari Jumat kemarin" Aku begitu sibuk memikirkan
perampokan sampai tidak sempat menanyakannya. Benar-benar
menakutkan! Tadinya aku mengira itu darah!"
Itu memang darah, pikir Reva. Tapi ia telah membulatkan tekad
untuk tidak menambah kebingungan ayahnya lebih banyak lagi.
"Cuma lelucon konyol," katanya.
Apa sebaiknya ia memberitahu ayahnya kalau kemungkinan
besar Hank-lah pelakunya"
Tidak. Reva bukanlah orang yang paling perhatian di dunia, tapi
ia tahu kalau sekarang bukanlah saat yang tepat.
"Siapa?" tanya ayahnya. "Siapa yang melakukan perbuatan
sebodoh itu dalam jam kerja?"
Reva mengangkat bahu. "Entah."
"Well, kuharap orang itu berhenti," katanya tegas. "Aku sudah
punya banyak masalah di toko tanpa ditambah lelucon konyol seperti
itu." Ia memasukkan mobil ke lahan parkir pribadi, memindahkan
persneling ke posisi netral, dan mematikan mesin. "Ini Natal paling
buruk yang pernah kualami," gumamnya.
Mr. Dalby masih terus bergumam Sementara Reva
mengikutinya ke kantor. Ia mengecup kening ayahnya sekilas,
meminta mantelnya disimpan di lemari pakaian ayahnya, lalu menuju
ke lift untuk turun ke lantai utama.
Hank tengah berada di posnya di depan sederetan monitor
keamanan. Ia menengadah pada saat Reva mendekat. Tapi Reva
membuang muka mengabaikannya.
Pagi itu waktu terasa berjalan sangat lambat. Pembeli yang
datang hanya sedikit sekalipun Natal sudah dekat.
Ms. Smith ingin mendiskusikan kejahatan mengerikan itu.
"Satpam yang malang itu. Aku mengenalnya," katanya, sambil
mengayun-ayunkan tangannya yang kurus.
Reva hanya mengeluarkan suara "ck ck ck", tapi tidak
mengatakan apa-apa. Sewaktu makan siang ia terkejut melihat Mitch di depan
gerainya, mengenakan seragam bagian gudang berupa jins lusuh dan
kaus kelabu polos. "Reva"bisa kita bertemu?" tanyanya, ekspresinya
menunjukkan ada sesuatu yang penting.
Reva tersenyum kepadanya. "Kau sudah menemuiku."
Hank tidak membalas senyumnya. "Tidak, maksudku apa kita
bisa bicara. Berdua saja." Pandangannya menyusuri gerai yang
panjang tersebut. "Well, penyeliaku baru saja keluar makan siang," kata Reva,
sambil mempelajari wajah Mitch, berusaha menebak apa yang hendak
dibicarakannya yang begitu mendesak. "Seharusnya aku tidak boleh
pergi sebelum dia kembali."
"Ini cuma sebentar," kata Mitch, matanya yang gelap
memintanya. "Well, oke. Tunggu sebentar." Reva meminta gadis penjual di
gerai seberangnya, gadis berambut merah bernama Mindy, untuk
mengawasi gerainya. Gadis itu tampak enggan, tapi Reva meraih
lengan Mitch dan bergegas pergi tanpa memberi Mindy kesempatan
untuk protes. Mitch mengajaknya ke bagian elektronik di belakang. Salah
satu lorong, yang tengah, telah diberi pita pembatas oleh polisi.
Sejumlah petugas polisi tengah berada di sana, bersama dua fotografer
yang tampaknya sibuk memotret setiap rak dan gerai.
Gudang di balik bagian elektronik kosong. Reva menggigil
sewaktu mengikuti Mitch ke bangku pendek di sudut. Suhu di sana
paling tidak dua puluh derajat lebih dingin daripada di bagian toko
lainnya. "Kita sengaja membiarkan pintu keluar tetap terbuka," kata


Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mitch menjelaskan. "Lebih gampang bekerja kalau agak kedinginan."
"Menarik," kata Reva sinis. Ia duduk di bangku pendek. Mitch
berlutut di sampingnya dan tanpa membuang-buang waktu
memeluknya, mendekatkan wajahnya untuk mencium Reva.
Reva membiarkan Mitch menciumnya sedetik, lalu menjauhkan
kepalanya. "Apa kau tidak takut Lissa akan masuk dan menangkap
kita lagi?" tanyanya dengan nada menggoda.
Mitch menggeleng, senyum lebar merekah di wajahnya,
menampilkan lesung pipinya. "Tidak. Itu yang mau kubicarakan
denganmu, Reva." "Well?" "Well. Lissa sudah putus denganku."
Mitch menatapnya, mengharapkan reaksi heboh. Tapi Reva
memutuskan untuk tidak mengikutinya. "Kenapa?" tanyanya, berpurapura tidak bersalah.
"Karena kau," sembur Mitch. "Maksudku, karena aku dan kau."
Itu mudah, pikir Reva, menikmati kemenangannya atas Lissa
dengan diam-diam. Kalau saja Mitch tidak secengeng itu, pikirnya, aku pasti akan
lebih senang lagi. Tapi melihat Mitch lari mengejar Lissa waktu itu,
siap meminta pengampunan Lissa, telah menyebabkan Reva
memutuskan kalau Mitch tidak layak mendapatkan perhatiannya.
"Sayang sekali," katanya pada Mitch, membuat suaranya
terdengar bersimpati. "Hah?" Wajah Mitch menunjukkan keterkejutan melihat reaksi
Reva. "Well, Lissa benar-benar marah. Tapi kurasa itu yang terbaik,"
katanya, pulih dengan cepat. Ia memegang bahu Reva. "Maksudku,
setelah minggu lalu, kupikir"well..."
Perangkap Berdarah 2 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Mentari Senja 1
^