Malam Mencekam 1
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night Bagian 1
PROLOG REVA DALBY mengagumi pantulannya sendiri di cermin rias.
Natal kurang dua minggu lagi, pikirnya, sambil menghaluskan eyeshadow pada kelopak kirinya dengan jari kelingking, lalu merapikan
rambut merahnya yang mengombak.
Orang-orang tengah berkerumun di lorong-lorong toserba yang
terang benderang tersebut. Lagu-lagu Natal yang menghambur dari
pengeras suara hampir tenggelam oleh celoteh orang-orang, langkahlangkah kaki, dering ponsel, jeritan bayi"semua keributan khas
toserba di hari libur. Reva bersandar pada kaca gerai parfum, mengabaikan para
pengunjung, kukunya yang dicat ungu mengetuk-ngetuk kaca,
kebiasaan yang dinikmatinya bila sedang gugup. Ia melirik jam
dinding. Makan siang"saat ia bisa meloloskan diri dari penjaranya
yang sempit dan riuh"kurang satu jam lagi.
Memangnya apa yang sebenarnya kulakukan di sini" tanya
Reva sendiri, sambil mengetuk-ngetukkan kukunya lebih cepat lagi.
Kenapa dulu aku menerima pekerjaan ini"
Mata birunya yang memandang dingin terpusat pada gerai
make-up di seberang lorong, tempat dua gadis penjual"dengan
penampilan seperti para model berambut pirang"tengah melayani
seorang wanita gemuk yang mengenakan sweter ungu kotor dan
membawa dua kantong belanja berwarna cokelat.
Hebat, pikir Reva sinis. Wanita itu sudah tidak memerlukan
riasan. Ia butuh bedah plastik.
Belum lagi cat rambut orang yang di sebelah sana. Atau warna
hijau rambutnya itu memang alami"
Reva mencibir. Mengejek para pengunjung adalah satu-satunya
hiburan yang membuatnya mampu melewati hari demi hari. Mereka
begitu menyedihkan, tapi sama sekali tidak menyadarinya.
Ia melirik ke jam dinding. Belum juga bergerak. Seharusnya
aku keluar menikmati hari Sabtuku, pikir Reva. Ia menggosok bagian
belakang lehernya, lalu mendorong rambutnya kembali ke tempat
semula. Kenapa suhu di sini harus sepanas ini" Ia penasaran,
menggelengkan kepalanya. Ia merasa seperti tercekik. Sebaiknya nanti
kubicarakan dengan Daddy agar menurunkan suhunya sedikit.
Lagu jelek apa itu yang sedang diputar"
Semoga bukan "The Little Drummer Boy" lagi! Harusnya ada
hukum yang melarang pemutaran lagu itu di tempat umum, pikir
Reva, sambil menutup telinganya.
Tepukan pada bahu mengejutkannya. Ia berbalik dan melihat
Arlene Smith, atau Ms. Smith sebagaimana wanita itu ingin dipanggil,
manajer penjualan parfum dan bosnya. Ms. Smith seorang wanita
pendek yang tampak rapuh, sekalipun anggun dan trendi karena
mengenakan setelan pria. Hiii. Bantalan bahu yang menjijikkan itu! Pikir Reva. Apa dia
mau jadi gelandang belakang the Bears"
"Reva, telingamu sakit?" tanya Ms. Smith, wajahnya berkerut
khawatir. Reva menurunkan tangan dari telinganya. "Tidak. Cuma lagu
itu," katanya menjelaskan. "Sekali mendengarnya, rasanya lagu itu
menancap dalam benak dan membusukkan otak."
"Well, menurutku..."
"Rum-tum-tum-nya itu lho," sela Reva sebelum Ms. Smith
sempat menyelesaikan omelannya. "Maksudku, yang benar saja,
berapa banyak rum-tum-tum yang bisa didengar orang dalam satu
lagu?" Ms. Smith mengabaikan pertanyaannya. "Reva, biar kugantikan
sebentar. Pesanan ulang Chanel baru saja masuk. Semuanya ada di
belakang. Di kotak-kotak bertanda Chanel. Tolong buka dan
pindahkan isinya ke rak, oke?"
"Wah, aku tidak bisa," kata Reva, tapi tidak terdengar menyesal
sama sekali. "Aku baru saja mengecat kukuku tadi pagi." Ia menatap
penyelianya lurus di mata, seakan menantangnya.
"Apa?" Mata kelabu Ms. Smith yang sipit melebar karena
kebingungan. Ekspresinya menunjukkan ia sulit untuk mempercayai
pendengarannya. "Aku tidak mau merusak kukuku," ulang Reva, sambil
mengacungkan tangannya yang langsing, menggoyang-goyangkan
jemarinya untuk memamerkan kuku-kuku yang dicat ungu. "Maaf."
Ekspresi Ms. Smith seketika berubah marah. Ia menghela napas
dalam-dalam dan menegakkan tubuhnya yang pendek, memelototi
Reva. Ia jelas sekali berusaha memutuskan tindakan apa yang akan
diambilnya untuk menangani pemberontakan ini.
Wah, kuharap dia tidak meledak, pikir Reva, sambil memaksa
diri untuk tidak tertawa. Bantalan bahunya mungkin akan terbang dan
mengenai seseorang. "Reva, aku tidak akan memperpanjang masalah ini," kata Ms.
Smith dengan suara gemetar, kedua tangan terkepal erat di sisinya.
Dua minggu lagi, pikir Reva. Sesudah itu aku sudah tidak di
sini lagi. Ia tidak mengatakan apa-apa.
Kebisuan Reva tampaknya menyebabkan Ms. Smith semakin
marah. "Kuminta kau membongkar kotak-kotak itu dan menata isinya
di rak," katanya, mengucapkan setiap patah dengan lambat dan jelas.
"Mungkin nanti." Reva melontarkan senyum palsu yang lebar.
"Ini benar-benar sudah keterlaluan!" seru Ms. Smith. Ia
memelototi Reva, lalu berbalik dan melesat sepanjang lorong, menuju
ke kantor di lantai utama.
Reva menyandarkan tubuh ke gerai dan mengawasi
kepergiannya hingga Ms. Smith menghilang di tengah kerumunan
pelanggan. Memangnya apa masalahnya" Reva bertanya sendiri.
Ayahku pemilik toko ini. Dia memiliki semua Dalby's. Kenapa
aku harus mematuhi gadis penjual bodoh yang mengenakan bantalan
bahu yang lebih besar dari kepalanya sendiri"
Pemandangan di seberang lorong segera menarik perhatian
Reva. Seorang wanita tengah membungkuk di gerai rias sementara
seorang bocah sekitar lima atau enam tahun menarik-narik roknya.
"Ma, Ma. Ma." katanya berulang-ulang, memohon dengan tidak sabar.
Lalu dia menarik begitu keras hingga rok ibunya merosot ke lutut.
Wanita tersebut berbalik dengan tenang, menaikkan roknya, dan
dengan lembut menepuk pantat bocah itu.
Anak-anak memang biang kerusuhan, pikir Reva sambil tertawa
kecil. "Hei, Nona" Nona?" Dari balik sudut matanya, Reva melihat
seorang pria setengah baya bermantel cokelat kotak-kotak tebal tengah
berusaha menarik perhatiannya.
Dengan hati-hati Reva berbalik ke arah lain, menghindari
tatapan pria tersebut. "Hei, Nona" Nona" Nona?"
Biar orang lain saja yang melayaninya. Memangnya Lucy ke
mana, sih" Seharusnya dia sudah selesai makan siang sekarang.
Pria tersebut berlalu. Reva mengeluarkan lipstik dari laci,
mencabut tutupnya, dan memutar keluar isinya. Ia memutar cermin
bulat di atas gerai agar bisa memandang pantulan dirinya dengan lebih
baik. Ia membungkuk, mengerucutkan bibirnya, dan mengoleskan
lipstik berwarna ungu tersebut.
Sedetik kemudian otaknya menerima sinyal kesakitan.
Ia menjerit ngeri dan menjatuhkan lipstiknya.
Sambil ternganga kesakitan campur terkejut ia menatap cermin
kecil, melihat darah yang mulai mengalir membasahi dagunya.
Bibirnya berdenyut-denyut menyakitkan.
Ia berdiri membeku karena ngeri. Darahnya banyak sekali!
Dengan panik ia menyambar tisu, dan membersihkan bibirnya dengan
lembut. Aku teriris. Aku teriris.
Darahnya tidak mau berhenti.
Apa yang terjadi" Sambil menekankan segumpal tisu ke mulutnya, ia melihat
kalau darahnya telah mengotori kaca gerai.
Sambil terengah-engah, ia membungkuk dan mencari lipstik di
lantai. Benda tersebut telah tergulir masuk ke bawah gerai. Ia
menyambarnya dan mengacungkannya ke arah cahaya untuk
mengamatinya dengan teliti.
Sambil berusaha memantapkan pegangannya, Reva seketika
melihat apa yang telah melukainya.
Sebatang jarum. Menonjol keluar dari tengah batang lipstik.
Aku pernah menggunakan lipstik ini sebelumnya, pikir Reva,
merasakan kehangatan darah yang mengalir ke dagunya. Dan selama
ini baik-baik saja. Ada yang memasang jarum itu di lipstiknya.
Tapi siapa" Siapa yang tega berbuat sekejam itu padanya"
BAGIAN I HARI HARI PENUH KEMARAHAN
Bab 1 Putus Dua minggu sebelumnya TANPA peringatan Reva menghentikan Volvo-nya di tepi jalan
dan memadamkan lampu depan. Ia berpaling ke sisi penumpang
dengan cepat dan mengawasi wajah Hank yang memancarkan
kekagetan. "Hei..." Mata cokelat Hank menyipit curiga. "Ada apa?"
Reva mempelajari wajah Hank seakan baru melihat cowok itu
untuk pertama kalinya. Rambut Hank pirang, pendek, dan kaku.
Matanya besar, gelap, serius. Hank mengenakan anting-anting berlian
di salah satu telinganya. Lehernya kekar khas pemain American
Football. Hank orangnya besar, dengan dada bidang, dan memiliki
sepasang lengan yang kuat.
Hank menganggap dirinya tangguh, pikir Reva.
Kuharap memang benar. Reva telah berpacaran dengan Hank Davis selama lebih dari
enam bulan tapi, saat mengamatinya dengan teliti sekarang, ia merasa
Hank bagaikan orang asing.
Dia sama sekali bukan tipeku, pikir Reva. Hank begitu kasar,
sembrono. Kenapa aku membuang-buang waktuku berpacaran
dengannya" "Reva, untuk apa kau parkir di sini?" tanya Hank.
Kurasa dia cuma satu tahap dalam hidup yang harus kulewati,
pikir Reva. Atau, mungkin, tahap yang sudah kulewati.
Ia mencengkeram kemudi dengan kedua tangan dan
meregangkan tubuhnya. Ia telah memarkir mobil di bawah lampu
jalan, cahaya kuningnya membanjiri kaca depan, menyebabkan
rambut Hank tampak putih, kulitnya menjadi lebih pucat daripada
biasanya. Di balik cahaya lampu jalan, Reva hanya melihat pepohonan
gundul, membungkuk dan bergerak-gerak tertiup angin dingin. Ia pasti
telah menghentikan mobil dekat taman kecil atau hutan. Ia tidak yakin
berada di mana. Tapi tidak penting. "Ada yang harus kita bicarakan," katanya, menjaga suaranya
agar pelan dan mantap, sambil menatap lurus ke mata Hank. Suaranya
kedengaran tidak begitu menyenangkan. Segalanya terasa tidak
menyenangkan, pikir Reva.
Ia memutuskan untuk meneruskan sekadar bersenang-senang.
"Bicara" Tentang apa?" tanya Hank, menggosok wajah dengan
tangannya. "Kita," kata Reva, berusaha agar terdengar dramatis, berusaha
terdengar seakan-akan tengah menahan banjirnya emosi.
Entah mengapa Hank menyeringai padanya. "Aku suka
membicarakannya," katanya, membungkuk ke arah Reva dan meraih
tangannya. Tapi Reva menahan tangannya pada kemudi. Ekspresinya
tegang dan dengan pandangan dingin, ia menatap Hank. "Sudah
kuputuskan bahwa kita tidak bisa meneruskan hubungan kita,"
katanya. Tanpa ampun ia terus menatap ekspresi Hank. Ia ingin
menikmati reaksi Hank. Gelombang keterkejutan menyebabkan wajah Hank berkerut.
Matanya membelalak. Mulutnya ternganga. "Hah?"
Kurasa aku sudah mengejutkannya, pikir Reva, merasa senang.
Kuharap dia tidak akan membesar-besarkan masalah ini.
Ketakutan tiba-tiba mencengkeramnya. Ia merasakan kembali
bahaya yang dulu membuat ia tertarik pada Hank. Harus diakui, Hank
seringkali merupakan cowok yang baik"hangat, perhatian, malah
agak polos. Tapi Reva juga menyukai sisi pemarah Hank. Pernah
sekali, Hank meninju pintu kasa hingga tembus karena Reva menolak
untuk menyaksikan film Arnold Schwarzenegger yang bodoh itu
bersamanya. Reva sempat terkejut menyadari betapa senang dirinya melihat
Hank meledak. Apa yang berlawanan selalu saling tarik-menarik, kata
orang, dan Hank jelas berlawanan dengannya. Reva sendiri selalu
begitu tenang, terkendali, selalu memikirkan apa pun yang dilakukan
atau dikatakannya. Terkadang Reva mengagumi spontanitas Hank, caranya
bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Tapi, akhir-akhir ini, ia semakin
sering menertawakan sikap Hank. Hank benar-benar seperti orang
Neanderthal. "Hei"kau ini ngomong apa?" tanya Hank, sambil menggosokgosok bahu jaketnya. "Kau marah padaku atau apa?"
"Satu per satu, Hank," sergah Reva. "Tidak. Aku tidak marah
padamu atau apa. Kita sudah bosan. Hubungan kita sudah selesai."
Hank menarik tangannya dan menggerak-gerakkan kakinya
yang panjang dengan tidak nyaman. "Kau ini ngomong apa?"
Reva bisa melihat kemarahan membara di mata Hank.
Mungkin seharusnya aku memilih tempat yang lebih ramai,
pikirnya, sambil melirik ke pepohonan gelap di luar. Sejak tadi tidak
ada satu pun mobil yang melintas.
Bagaimana kalau Hank memutuskan untuk bertindak kejam"
"Jangan dibesar-besarkan," kata Reva pada Hank, sambil
memutar bola matanya. "Tapi ini memang besar"untukku," kata Hank berkeras, agak
malu karena telah menunjukkan emosi yang begitu besar.
Reva menguap. "Bukan apa-apa," katanya, sambil melirik jam
di dasbor: 8:06. Aku harus segera mengakhiri ini, kata Reva pada dirinya
sendiri. Aku sudah berjanji untuk menjemput Daddy dari toserba
pukul delapan. Daddy akan senang kalau tahu aku putus dengan Hank,
pikirnya. Daddy tidak pernah mengerti mengapa aku bahkan mau
pacaran dengan cowok itu.
"Tapi kenapa?" tanya Hank. "Paling tidak beritahukan
alasannya." Sayang, kau sudah terlalu dewasa untuk merengek seperti itu,
pikir Reva dengan kejam. Aku lebih menyukaimu kalau kau bersikap
niacho dan tangguh. "Hank, please..." kata Reva, seakan-akan dirinyalah yang
terluka. "Jangan mendesakku"oke?"
"Tapi kenapa kau minta putus?" tanya Hank berkeras, suaranya
gemetar seakan mulai kehilangan kendali.
"Aku cuma memutuskan untuk memulai tahun baru bersama
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seseorang yang lebih menarik."
Hebat! pikir Reva. Ia telah melatih kalimat ini sepanjang siang. Pada detik terakhir
ia memutuskan kalau kata-kata tersebut terlalu kejam. Tapi"ia tidak
bisa menahan diri. Hank terempas ke kursi seakan telah tertembak. "Whoa!"
katanya sedih. Lalu tanpa terduga ia menerjang ke arah Reva dan
mencengkeram bahunya dengan marah. "Reva, jangan..."
Apa Hank akan menyakitinya"
Apa Hank akan lepas kontrol" Memukulnya seperti memukul
pintu kasa itu dulu"
Reva memutuskan untuk mengalahkan Hank dengan gaya
cowok itu sendiri. "Lepaskan!" jeritnya sekuat tenaga.
Teriakannya berhasil. Karena terkejut, Hank melepaskan
cengkeramannya. "Kau akan menyesal, Reva," kata Hank, suaranya gemetar. Ia
berbalik dan menatap lurus ke depan, tidak mampu memandang Reva,
tidak bersedia membiarkan Reva melihat emosi di wajahnya.
Oh, sial! Reva mengerang sendiri. Kalau dia mulai menangis,
aku bisa muntah. "Kau akan menyesal," ulang Hank, sambil terus menatap
kegelapan di balik kaca depan.
Reva mengunci pintu mobil.
Ini tidak semenyenangkan seperti dugaanku semula, pikir Reva,
sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Kukira paling tidak tadi
dia akan memprotes. Tidak kusangka Hank justru terisak-isak seperti
banci dan mengancamku dengan merengek-rengek seperti itu.
Pikiran yang mengejutkan merayap ke dalam benaknya:
Mungkin Hank benar-benar menyayangiku. Reva bergegas membuang
pikiran itu. Siapa yang peduli" Aku tidak membutuhkan Hank.
"Reva, kau tidak bisa memperlakukan diriku seperti ini," kata
Hank, akhirnya kembali memandangnya, ekspresi wajahnya tegang
karena marah. "Aku harus pergi," kata Reva dingin. Ia mengulurkan tangan
melintasi Hank, menarik pegangan pintu, dan membuka pintu
mobilnya. "Kau jalan kaki saja, Hank."
Hank ragu-ragu, menatapnya dengan mata cokelat gelapnya
yang memancarkan kemarahan. Reva bisa melihat kalau Hank tengah
berpikir keras, berusaha memutuskan tindakannya, apa yang mau
dikatakan. "Kau akan menyesal," katanya.
"Turun," kata Reva dengan kejam, sambil menginjak pedal gas
dengan tidak sabar, membuat mesin mobilnya meraung.
Hank memelototinya untuk terakhir kali, lalu menyelinap turun
dari mobil dan membanting pintunya.
Reva menghidupkan lampu depan dan memindahkan gigi
persneling. Mobil baru maju sedikit sewaktu ia menghentikannya dan
menurunkan kaca jendela. "Oh, Hank! Hank!" panggilnya.
Dengan tangan terbenam dalam saku jaket penerbangnya,
ekspresi wajahnya masih muram, Hank berlari-lari kecil mendekati
mobil. "Yeah" Apa?"
"Selamat berlibur!" kata Reva gembira. Lalu, sambil tertawa, ia
menginjak pedal gas hingga habis dan meraung pergi, meninggalkan
Hank di tepi jalan seperti orang bodoh.
Orang bodoh! Mobil melesat ke arah kota, udara hangat berembus dari
pemanas. Pepohonan pun hilang digantikan deretan rumah yang
terang benderang, sebagian besar telah berhias untuk menyambut
Natal. Dengan perasaan lega dan gembira karena telah
menyelesaikannya, Reva merasa santai, menikmati kebebasannya,
menikmati kesempatan menjadi dirinya sendiri, bergerak begitu lancar
seakan tanpa tenaga, menembus malam.
Aku bebas, pikirnya. Sebebas angin.
Ia memarahi dirinya sendiri karena berpikiran begitu. Tapi itu
kenyataan, ia sadar. Untuk pertama kali dalam enam bulan ia bebas
untuk pergi dengan siapa pun. Dengan siapa pun!
Memangnya ia mau pergi dengan siapa"
Ia tidak perlu memikirkan jawabannya terlalu lama. Mitch
Castelona. Ia telah memikirkan Mitch selama beberapa waktu terakhir.
Mitch benar-benar manis, pikirnya, sambil membayangkan
cowok itu. Rambutnya yang hitam tebal. Dengan lesung pipi yang
menggemaskan kalau tersenyum. Mitch pemain tenis yang baik.
Mungkin ia akan mengundang Mitch main di klub tenis dalam
ruangan tempat ia menjadi anggota.
Ya. Mitch Castelona. Prospek yang baik.
Berani taruhan aku bisa menjauhkannya dari Lissa Dewey, pikir
Reva sambil tersenyum. Ia menghidupkan radio dan segera mengenali lagu yang
terdengar. "Malam Kudus", versi instrumental. Sewaktu berbelok
memasuki Division Street, tempat toserba-toserba dan kantor-kantor
berkelebat lewat di kedua sisinya, Reva mulai turut bernyanyi.
Benar-benar lagu yang indah, pikirnya.
Sambil bernyanyi keras-keras, ia berusaha untuk tidak
memikirkan Hank, tapi gagal. Hank sedang menikmati malam yang
sunyi. Ia berjalan pulang dalam kesunyian!
Pemikiran itu membuatnya kembali tersenyum.
Ia masih terus tertawa kecil sewaktu tiba di Dalby's dan
memarkir Volvo peraknya di tempat parkir eksekutif.
Toserba tutup pukul enam. Reva masuk melalui pintu untuk
satpam. Satpam berseragam yang menjaga pintu tengah duduk di meja
Rendah dengan kaki terangkat, memusatkan perhatian ke pertandingan
basket yang disiarkan di radio. Satpam tersebut menengadah dan
mengenali Reva, mengangguk dan kembali mendengarkan
pertandingannya. Keamanan di sini benar-benar hebat, pikir Reva jengkel, sambil
bergegas melintasi koridor belakang yang sempit menuju ke lantai
utama. Ruangan yang luas tersebut telah sepi dan remang-remang.
Satu-satunya cahaya yang ada berasal dari sederetan lampu malam
yang redup, berjajar di satu dinding. Reva merasakan ketakutan
lamanya merayapi dirinya.
Tenang! makinya sendiri. Kau kan seharusnya tangguh.
Tapi ia tidak bisa mengendalikan perasaan berat yang
membebani perutnya, otot-otot lehernya yang menegang, dan paruparunya yang terasa sesak.
Ini bukan takut akan kegelapan, ia tahu.
Dan ini bukan takut karena sendirian.
Ini bukan ketakutan yang bisa dengan mudah ditekan. Tapi
sejak ia masih kecil, setiap kali Reva berada di toserba setelah tutup,
setiap kali ia berjalan dalam lorong-lorong kosong yang gelap, tinggal
sendirian dengan pintu-pintu terkunci, ketakutan itu selalu muncul.
Keringat dingin membanjiri dahinya.
Tangannya terasa sedingin es.
Otaknya mulai berputar, berisi pikiran-pikiran sinting.
Setiap orang punya fobia, katanya sendiri, memaksa dirinya
untuk menghela napas panjang untuk memperlambat jantungnya yang
berdentum-dentum. Ia melintasi gerai parfum dan kosmetik, menuju
lift karyawan. Setiap orang punya ketakutan yang tidak rasional.
Reva berhenti dan bersandar ke gerai kaca berisi parfum dan
kosmetik. Sambil menghapus keringat di dahinya dengan lengan baju,
pandangannya menyapu seisi toserba.
Tidak ada yang bergerak. Sunyi. Malam yang sunyi, pikirnya.
Kenapa aku setakut ini"
Ia memaksa dirinya untuk kembali berjalan lift di bagian
belakang. Ia tahu dirinya akan aman begitu telah berada di kantor di
lantai enam, begitu telah bersama ayahnya.
Bagaimana pun juga, ini bukan pertama kalinya ia menemui
ayahnya setelah toserba tutup. Ia berusaha menemui ayahnya paling
tidak seminggu sekali di toserba. Sejak ibunya meninggal akibat
kecelakaan pesawat tiga tahun berselang, Reva berusaha untuk dekat
dengan ayahnya, berusaha mengisi kekosongan akibat kepergian
ibunya dari kehidupan mereka.
Mr. Dalby ingin Reva menemuinya agar mereka bisa pulang
bersama-sama. Jadi ia memaksa diri untuk datang, untuk melangkah
menyeberangi lantai utama yang luas, sneakers-nya berdecit-decit saat
melintasi lantai ubin yang keras. Napasnya terasa mencekik leher,
lututnya gemetar begitu hebat hingga ia hampir tidak mampu berjalan.
Ia memaksa dirinya demi ayahnya.
Dan karena ia telah membulatkan tekad, ketakutan bodoh yang
tidak rasional itu tidak akan mampu menghentikannya meraih apa pun
yang diinginkannya. Tapi, sekarang, bayang-bayang rendah di gerai-gerai tampak
seakan bergerak saat ia mendekat. Reva mendengar siulan mengerikan
di telinganya. Dalam cahaya remang-remang, segalanya tampak
mengerikan, begitu tidak nyata.
Bagaimana kalau ada yang bersembunyi di toserba" tanya Reva
sendiri. Bukan untuk pertama kalinya pertanyaan tersebut melintas di
benaknya. Bagaimana kalau ada orang gila yang sedang menunggunya
dalam kegelapan" Atau gelandangan yang menjijikkan bersembunyi
di sini" Bagaimana kalau...
Ia tidak bisa mengusir pikiran-pikiran bodoh yang tidak rasional
ini dari benaknya. Dan lalu, saat ia berbelok ke lorong menuju lift, ada yang
menyentuh bahunya. Reva tersentak dan berputar, memandang pria yang berdiri tepat
di belakangnya. Bab 2 Kesempatan Datang "PERGI! Kau mau apa?" jerit Reva dan terhuyung-huyung ke
belakang, menimpa rak tas tangan.
Pria tersebut tidak bergerak, cuma menatapnya dengan mata
terbelalak dan kaku. Dia tidak bisa bergerak, Reva sadar. Dia bukan orang.
Dia manekin. Reva menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
Kerongkongannya terasa kering. Tubuhnya masih gemetar.
"Reva, kau idiot," katanya keras-keras, suaranya terdengar kecil
di toserba yang luas dan sunyi itu. Ia tiba-tiba merasa ingin tertawa.
Alangkah bodohnya. Aku mundur, menabrak manekin, dan
hampir saja mati ketakutan!
Dengan perasaan agak lebih baik, tapi masih memaki-maki
sendiri karena begitu lemah, ia melangkah memasuki lift karyawan
yang telah terbuka. Pintunya bergeser menutup di belakangnya, dan ia
menekan tombol lantai enam.
Ia merasa hampir normal kembali saat melangkah keluar ke
deretan kantor-kantor eksekutif yang mewah. Dinding-dindingnya
tertutup lapisan kain berwarna gelap dan dipenuhi lukisan modern
yang besar-besar. Semua lampu yang tertanam dalam dinding di
ruangan tersebut menyala. Mawar-mawar segar berdiri dalam vas-vas
tinggi di atas karpet merah tua yang tebal. Reva melintasi area
resepsionis yang berisi sofa-sofa dan kursi-kursi kulit, terus menyusuri
koridor menuju kantor ayahnya di sudut.
Di sebelah kirinya terdapat balkon lebar yang terbuka ke
seluruh lima lantai toserba. Saat melintasinya, Reva mengintip ke
bawah, ke toserba yang sunyi dan terasa mengerikan.
Sederetan monitor keamanan, serangkaian layar TV yang
memenuhi dinding, berdiri di sebelah kantor Mr. Dalby. Dan, yang
mengejutkan Reva, monitor-monitor tersebut tidak menampilkan
gambar apa-apa. Hanya memperdengarkan dengungan elektrik lemah
yang bertambah keras saat ia mendekat.
Aneh, pikirnya. Monitor-monitor itu biasanya dipadamkan
setelah toserba tutup. Ia tidak perlu berlama-lama memikirkannya. Tiba-tiba pintu
kantor ayahnya terayun membuka, dan seorang pria berseragam biru
menerobos keluar, bertubrukan dengan Reva.
"Oh!" jeritnya. Reva seketika mengenali pria itu. Ia kepala
keamanan toserba dan ayah teman sekolahnya, Mickey Wakely. "Mr.
Wakely!" Pria tersebut memelototi Reva, bola matanya yang gelap
bersinar liar, wajah dan kepala botaknya merah manyala. "Maaf,"
katanya singkat dan berlalu tanpa berpaling lagi.
Dalam keadaan masih terguncang, Reva melihat ayahnya
muncul di ambang pintu kantor. Mr. Dalby pria langsing, tampan,
mengenakan setelan mahal, dan tampak lebih muda dari usianya yang
lima puluh empat tahun, kecuali untuk uban yang merayapi sisi-sisi
kepalanya. Biasanya, wajah Mr. Dalby berubah cerah bila melihat Reva.
Tapi sekarang ekspresinya memancarkan masalah. "Masuklah,"
katanya, sambil mendesah kelelahan.
"Daddy, ada apa?" tanya Reva, sambil mengikuti ayahnya
masuk ke kantor yang terang benderang. "Mengapa Mr. Wakely
keluar tergesa-gesa seperti itu?"
Reva duduk di kursi kulit yang berhadapan dengan meja kayu
kuning cerah ayahnya dan menatap bagian belakang foto dalam
bingkai Plexiglas di sudut meja. Ia mengenal foto tersebut: foto
dirinya, adik lelakinya, Michael, dan ibu mereka"mengenakan baju
renang"di pantai di Cape. Foto tersebut diambil empat tahun
berselang, hanya enam bulan sebelum ibu Reva meninggal.
Reva selalu penasaran mengapa ayahnya terus meletakkan foto
itu di sana. Apa dia tidak akan sedih terus sepanjang hari"
"Hari yang luar biasa," kata ayahnya, sambil menyandarkan
kening ke kaca jendela kantor yang dingin di belakang mejanya.
"Benar-benar luar biasa."
"Memangnya Mr. Wakely ada masalah apa?" tanya Reva,
berbicara kepada punggung ayahnya. "Ia hampir saja menabrakku
sampai jatuh." "Aku baru saja memecatnya," kata Mr. Dalby, tanpa berbalik.
"Hah?" Kata-kata ayahnya mengejutkan Reva. Mr. Wakely
telah lama menjadi kepala keamanan, malah sepanjang Reva bisa
mengingat. Reva mengenal putra Mr. Wakely, Mickey, di sekolah. Mickey
tampaknya anak yang baik.
Dia bukan bagian kelompok teman-teman Reva, tentunya. Dia
tinggal di rumah mungil di Old Village. Semua teman Reva tinggal
dekat rumahnya di North Hills, wilayah rumah mewah di Shadyside.
"Aku terpaksa," kata Mr. Dalby, sambil berjalan dan merosot ke
kursi kulitnya. Kursi tersebut berbunyi pelan saat ia terbenam di sana
Dad tampaknya kelelahan, pikir Reva.
"Antara kita saja, ya?" kata ayahnya sambil membungkuk ke
seberang meja untuk membicarakan rahasia dengannya, "dia ketahuan
minum-minum dalam tugas. Karena sebentar lagi musim liburan, aku
perlu orang yang benar-benar bisa kuandalkan."
"Dia tampaknya sangat marah," kata Reva, teringat wajah
Wakely yang merah membara sewaktu menabraknya.
"Yeah. Well... aku juga marah," kata Mr. Dalby, sambil
mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan gugup ke meja. "Kurasa kami
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling mengatakan apa yang seharusnya tidak kami katakan. Tapi aku
terpaksa memecatnya. Aku benar-benar tidak punya pilihan lain."
"Siap untuk pulang?" tanya Reva, kehilangan minat untuk
membicarakan hal itu lebih lanjut.
"Itu bukan satu-satunya kejadian hari ini," kata ayahnya, seakan
tidak mendengar pertanyaannya. "Salah satu Sinterklasku
mengundurkan diri. Katanya istrinya minta pindah ke daerah yang
beriklim lebih hangat. Dan ada masalah listrik. Natal tinggal empat
minggu lagi, dan terus-menerus terjadi hubungan pendek."
"Kenapa tidak memakai lilin saja?" saran Reva. "Toserba pasti
terlihat cantik kalau memakai lilin. Orang-orang akan menyukainya."
"Yeah. Sampai lilinnya terbakar habis," kata ayahnya sinis.
"Otakmu selalu praktis, Reva."
Reva tahu kalau ayahnya tengah menggoda dirinya, tapi ia tetap
saja berterima kasih. "Cuma sekadar berusaha membuatmu gembira, Daddy."
Ayahnya tiba-tiba saja tampak jauh lebih tua di matanya.
"Aku bahkan tidak perlu memberitahukan masalah di toserba
Cleveland. Dan Walnut Creek."
"Aku sudah tidak sabar lagi," kata Reva, sambil menguap keraskeras.
Mr. Dalby tertawa. "Sangat menyenangkan. Oke, ayo pulang."
Ia beranjak bangkit, tapi lalu duduk kembali di kursinya. "Oh, tunggu.
Aku hampir lupa." "Masalah di toserba Pittsburgh?" tanya Reva.
"Tidak. Hentikan sikap sokmu itu."
"Tidak bisa ditahan," Reva tertawa. "Ini kan kuwarisi darimu."
Mr. Dalby mengabaikan komentar tersebut. "Kau punya teman
yang mau bekerja di hari libur?" tanyanya. "Aku memang pernah
mengatakan kalau kau bisa mendapatkan pekerjaan liburan ini. Tapi
aku membutuhkan empat atau lima penjaga toserba. Mereka bisa
bekerja di akhir pekan dan paro waktu sampai sekolahmu libur. Lalu
mereka bisa bekerja penuh sampai Natal."
"Hebat!" jerit Reva dengan antusiasme yang bukan pura-pura.
Ia seketika teringat pada Mitch Castelona. Akan kutelepon
Mitch begitu sampai di rumah, katanya sendiri, benaknya berputar
penuh semangat. Mitch akan sangat berterima kasih karena kuberi
pekerjaan, dia pasti akan membuang Lissa tanpa pikir panjang.
"Trims, Daddy," kata Reva dan membungkuk ke seberang meja
untuk mengecup kening ayahnya. "Benar-benar hebat! Akan
kucarikan beberapa orang untukmu."
Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan apa yang
hendak dikatakannya kepada Mitch, bagaimana ia akan menawarkan
pekerjaan itu pada Mitch dan menunjukkan kalau dirinya menyukai
cowok itu. Ini akan menjadi liburan yang menyenangkan, katanya sendiri.
Reva penasaran bagaimana Lissa Dewey akan bereaksi saat ia
mencuri kekasih cewek itu. Hanya memikirkannya saja telah membuat
Reva tersenyum sepanjang perjalanan pulang.
Hebat! ****************************
"Hai, Mitch?" "Yeah. Hai. Siapa nih?"
"Kesempatan datang," kata Reva, sambil memilin-milin kabel
telepon di sela-sela jemarinya.
"Hah" Siapa?" Suara Mitch kasar dan serak. Sama sekali tidak
cocok dengan penampilannya, pikir Reva. Benar-benar suara yang
lucu, dan Mitch orangnya benar-benar kaku.
"Reva Dalby," kata Reva, menjaga suaranya tetap pelan,
berusaha terdengar menggoda.
"Reva" Hai. Ada apa?" Mitch terdengar sangat terkejut
menerima teleponnya. Ia belum pernah menelepon Mitch sebelumnya.
"Baik-baik saja," kata Reva, sambil memutar bola matanya. Ia
tengah duduk di kursi di samping ranjang, kakinya terlipat ke bawah
kursi. "Aku ingin tahu apa kegiatanmu selama Natal nanti. Kau mau
pergi atau apa?" Mitch tidak segera menjawab. Ia pasti berusaha memikirkan
alasan aku meneleponnya, pikir Reva. Ia mendengar suara seseorang,
suara cewek, menanyakan siapa yang menelepon.
"Tidak," kata Mitch akhirnya. "Tidak ke mana-mana, kurasa."
"Well, ayahku memerlukan karyawan di toserbanya. Kau tahu,
Dalby's di Division Street. Aku berjanji untuk menanyakan temantemanku barangkali ada yang mau. Bayarannya cukup bagus. Paro
waktu sampai liburan nanti. Lalu kerja penuh sampai Natal."
"Sungguh?" kata Mitch serak.
"Kau berminat?" tanya Reva, merasa senang mendengar
keterkejutan Mitch. "Yeah. Tentu saja!" jawab Mitch dengan antusiasme yang jujur.
"Benar-benar hebat. Yeah. Trims, Reva. Aku memang sedang butuh
uang. Kau tahu." "Bagus. Aku benar-benar senang mendengarnya, Mitch," kata
Reva. "Mungkin kita bisa bekerja bersama-sama."
"Kau juga akan bekerja?"
"Ya. Tentu saja aku lebih suka berada di pantai. Tapi Daddy
harus selalu ada di toserba selama liburan. Itu waktu yang paling
penting sepanjang tahun baginya. Jadi aku akan mulai bekerja Sabtu
pagi besok. Kau juga harus mulai hari itu"jam setengah sembilan."
"Yeah. Well, trims, Reva," kata Mitch. "Kau baik sekali. Aku
akan datang hari Sabtu pagi, setengah sembilan."
Reva memindahkan telepon ke telinganya yang sebelah, masih
terus memilin-milin kabel di sela jemarinya. "Kutunggu, Mitch,"
katanya seseksi mungkin, berharap Mitch memahami maksudnya.
"Kurasa kita bisa bersenang-senang."
Ia bisa mendengar bisik-bisik teredam di ujung seberang. Lalu
suara Mitch kembali terdengar. "Eh"Reva?"
"Ya?" Mitch terdengar enggan untuk bertanya, tapi akhirnya
mengajukannya juga. "Katamu tadi kau ada banyak lowongan?"
"Well, ada beberapa," kata Reva padanya.
"Apa Lissa juga bisa bekerja di sana" Dia benar-benar
membutuhkan uang, dan sangat ingin bekerja. Kau kenal Lissa,
bukan?" Tentu saja, aku tahu si kecil bercat pirang dengan wajah
kekanak-kanakan yang semua orang menganggap manis, pikir Reva.
Lissa sama sekali tidak punya kepribadian.
"Tentu saja," kata Reva. "Aku tahu."
"Well, apa kau juga punya pekerjaan untuknya?" tanya Mitch,
terdengar sangat gugup. "Maksudku, kau bisa menolak kalau kau mau.
Tapi kupikir..." Tidak, pikir Reva. "Ya," katanya. "Bukan masalah, Mitch. Aku yakin Lissa bisa
mulai Sabtu besok." Kenapa tidak" kata Reva sendiri, tidak mampu menahan
senyum licik di wajahnya. Dengan keberadaan Lissa di sana akan jadi
lebih menarik lagi waktu aku merampas Mitch darinya.
"Hei, trims," kata Mitch senang. "Tunggu sebentar, Reva. Lissa
ada di sini. Dia mau bicara."
Hebat, pikir Reva sinis. Beberapa detik kemudian suara Lissa yang kekanak-kanakan
terdengar di telinga Reva. "Oh, trims, Reva. Maksudku, aku benarbenar senang. Trims."
"Bukan masalah," kata Reva. "Daddy perlu bantuan, jadi
kupikir aku..." "Kita mau ke mana?" sela Lissa penuh semangat. "Maksudku,
apa yang akan kita lakukan" Berjualan atau apa?"
Pertanyaan Lissa menimbulkan gagasan di benak Reva, gagasan
yang sangat kejam. Ia memutuskan untuk mempermainkan Lissa.
Ini benar-benar ilham. Ilham! pikirnya, sambil tertawa sendiri.
"Well, Lissa, pakai pakaian terbaikmu hari Sabtu pagi nanti,
oke?" kata Reva padanya, sambil berjuang agar terdengar serius.
"Pakaian terbaikku?" Lissa terdengar tidak yakin.
"Yeah. Kau tahu. Pakaian yang benar-benar menarik.
Penampilanmu harus sesuai. Kau akan menjadi gadis penjual di gerai
parfum. Kalau tidak salah, Chanel."
"Sungguh?" Lissa tidak mampu menyembunyikan
kegembiraannya. "Hebat sekali! Trims, Reva!"
Mereka bercakap-cakap selama beberapa detik lagi, kemudian
Reva mengaku harus menelepon yang lainnya. Lissa mengucapkan
terima kasih sekali lagi dan menutup teleponnya.
Reva melompat berdiri, tertawa sekeras-kerasnya, sangat
senang akan tindakannya. Benar-benar bodoh! pikirnya. Aku tidak
sabar lagi untuk melihat wajah Lissa sewaktu dia muncul untuk
bekerja dengan pakaian terbaik dan menyadari kalau tugasnya menata
barang di rak-rak di gudang bawah tanah!
"Apa yang lucu?" kata seseorang, menyentaknya dari lamunan.
"Michael!" Reva memarahi adiknya yang baru berusia enam
tahun. "Jangan masuk ke kamarku seenaknya seperti itu."
"Kenapa?" tanya Michael.
Reva tertawa. "Aku tidak tahu kenapa!" katanya. Ia selalu
menemui kesulitan untuk marah kepada adiknya itu. Dengan rambut
keriting merah, mata biru gelap, dan kulit putih bersih, Michael sangat
mirip dengan dirinya. Ia juga tahu betapa sulitnya bagi seseorang seumur Michael
untuk tumbuh tanpa kehadiran ibu. Yvonne, perawat Michael, benarbenar merawatnya dan menghabiskan seluruh waktunya untuk
menemaninya, tapi tetap saja tidak sama.
Michael bahkan tidak ingat akan ibu, pikir Reva dengan sedih.
Ia mengawasi adiknya melompat-lompat di ranjangnya,
menggunakannya sebagai trampolin. Ia tahu kalau ia seharusnya
memarahi adiknya dan memaksanya tidur kembali, tapi ia sedang
tidak ingin melakukannya.
"Hei"jangan tinggi-tinggi!" jeritnya.
"Aku terbang!" teriak Michael gembira.
Reva mulai memikirkan siapa lagi yang akan dihubunginya dan
ditawari pekerjaan. Sebagian besar teman-teman dengan siapa ia
bergaul akan pergi berlibur di tempat yang hangat.
Sewaktu telepon berdering, Michael menjerit, mengejutkannya.
"Michael"cukup," kata Reva tajam. "Keluar. Aku harus menerima
telepon." Michael melompat-lompat dua kali lagi, lalu melompat turun
dari ranjang dan menghilang ke balik pintu. Reva meraih teleponnya.
"Hai, Reva. Ini Pam."
Oh, wow. Miss Pretty Puss, pikir Reva pahit. Nona Semanis
Kue Apel. Pam Dalby adalah sepupu Reva. Dan sekalipun keluarga Pam
miskin dan tinggal di rumah tua reyot di Fear Street, Reva"pada saat
sedang jujur"terpaksa mengakui kalau merasa iri dengan sepupunya
itu. Dengan rambut lurus pirang, biasanya diikat ekor kuda, dan
wajah bulat yang ramah, juga mata hijaunya yang kemilau, Pam
memiliki kecantikan khas Amerika.
Kenapa dia tidak pernah memakai lipstik atau eye-shadow
sedikit" Reva penasaran.
Kenapa tidak mengubah potongan rambutnya"
Tapi diam-diam"dan tidak begitu diam-diam"Reva iri pada
sepupunya, iri melihat bagaimana orang-orang dengan seketika
menyukai sepupunya itu, iri melihat kemudahan sepupunya bergaul
dengan orang-orang dan semua temannya.
Tentu saja ia tidak akan pernah mengakui hal ini kepada Pam.
Dan sebagian besar, saat memikirkan sepupunya, yang sangat
jarang dilakukannya, yang ada hanyalah kemarahan. Pam sangat
miskin, dan mengenakan celana jins yang sama setiap kali Reva
bertemu dengannya, dan tingkahnya begitu... biasa.
"Hai, Pam. Apa kabar?"
"Oke. Aku kena flu"tapi siapa yang tidak?" jawab Pam sambil
mendengus. Aku tidak, pikir Reva dengan perasaan lega.
"Bagaimana Paman Robert?" tanya Pam.
"Daddy baik-baik saja," kata Reva padanya. "Agak lelah. Kau
tahu. Sekarang toserba sedang sibuk-sibuknya."
"Itu yang mau kutanyakan," kata Pam. "Aku ingin tahu, Reva..."
Ia ragu-ragu. Pam jelas menemui kesulitan untuk mengungkapkan.
"Eh"apa ada lowongan di toserba" Kau tahu. Selama liburan."
Tidak bisa, pikir Reva, sambil mengetuk-ngetukkan kukunya
yang bercat ungu ke gagang telepon. Siapa yang mau punya sepupu
miskin berkeliaran dan membuatku merasa bersalah"
"Oh, maaf," kata Reva pada Pam, berusaha terdengar sangat
tidak enak. "Seandainya kau meneleponku minggu yang lalu, Pam.
Semua pekerjaan untuk liburan ini sudah terisi."
Aku benar-benar pembohong yang pandai, Reva mengucapkan
selamat pada dirinya sendiri. Aku kedengaran begitu sedih, bahkan
aku sendiri mempercayainya.
"Oh," jawab Pam pelan, jelas sangat kecewa. "Seandainya aku
menelepon lebih cepat."
"Sayang sekali," kata Reva, mendesah penuh simpati. "Aku
benar-benar merasa tidak enak, Pam." Lalu ia membuat nada suaranya
terdengar lebih cerah. "Oh, well. Senang juga kau menelepon. Kita
bisa berkumpul bersama sebelum Natal. Sampaikan salamku untuk
orangtuamu." Reva meletakkan teleponnya, tersenyum senang.
Boleh dikatakan ini malam yang memuaskan.
**************************
Pam Dalby membanting gagang teleponnya begitu keras hingga
menjatuhkannya dari meja. Ia mengerang sedih dan membungkuk
untuk mengambilnya. "Pembohong!" jeritnya keras-keras.
Ia duduk di ranjangnya dan melemparkan boneka teddy tuanya
yang telah lusuh ke dinding. Aku ingin membalas Reva sekali waktu,
pikir Pam pahit. Sekali saja. Aku ingin sekali menemukan cara untuk
membalasnya! Bab 3 Pemarah PAM meraih telepon, memutuskan untuk menelepon Reva lagi
dan menyampaikan pendapatnya tentang sepupunya itu.
Memangnya aku pernah salah apa terhadapnya" Pam penasaran,
sambil duduk di tepi ranjang, menatap gagang telepon di tangannya.
Aku selalu bersikap ramah padanya. Aku tidak pernah
memberitahukan padanya kalau semua orang di SMU Shadyside
membenci sikapnya. Angin kencang mengguncang daun jendela kamar tidurnya.
Pam merasakan belaian angin, menggigil, dan meraih tisu untuk
membersit hidungnya. Tidak heran kalau aku selalu flu sepanjang musim dingin,
pikirnya dengan pahit. Rumah tua ini sangat lembap.
Pemanas ruangan di bawah jendelanya beruap, tapi tidak
menghasilkan cukup panas. Angin kencang kembali datang, seakan
mengguncang seluruh rumah.
Pam meletakkan teleponnya kembali. Apa gunanya menelepon
Reva" Pam tahu tidak mungkin bisa mengalahkan sepupunya. Ia tidak
pernah bisa bercakap-cakap dengan jujur dengan sepupunya itu"
Reva terlalu dingin, terlalu jauh, terlalu sinis untuk diajak bicara.
Reva cuma senang membicarakan benda-benda yang
dimilikinya, tempat-tempat eksotis yang pernah didatanginya untuk
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelam, dan cowok-cowok yang pernah diputuskannya.
Sulit dipercaya dua sepupu memiliki hanya sedikit persamaan,
pikir Pam. Ia meraih boneka teddy tuanya dari lantai, meniup debu
dari kepala bonekanya, dan mengembalikannya ke kaki ranjang.
Ia masih merasa jengkel, muak. Sebaiknya kutelepon Foxy,
katanya sendiri. Foxy adalah pacarnya dan selalu bersedia mendengarkannya
berikut masalahnya. Pam tahu itu salah satu kelebihan Foxy. Tentu
saja, Foxy punya banyak kelebihan, tambahnya. Ia boneka teddy yang
nyata. Ia mulai menekan nomor telepon, lalu teringat kalau ada proyek
studi sosial yang harus diselesaikan Foxy. Semacam makalah
penelitian tentang hutan hujan tropis Brasilia.
"Oh, well." Pam mengembalikan telepon.
Sebaiknya aku keluar rumah, pikirnya.
Kalau harus berdiam di rumah malam ini dan mendengarkan
angin mengguncang jendela-jendela, memikirkan Reva, dan
bagaimana aku gagal mendapatkan pekerjaan dan tidak punya uang
sesen pun untuk membeli hadiah Natal tahun ini, aku bisa gila!
Mungkin sebaiknya kupinjam mobil Dad dan berputar-putar
sebentar. Tidak. Itu tidak akan menenangkan pikiranku. Aku cuma
akan berpikir dalam mobil dan malah lebih marah lagi.
Ia menekan nomor telepon yang lain dan menghubungi
temannya Mickey Wakely. Mickey akan menemui teman baiknya
Clay Parker di 7-Eleven di Mission Street. "Kutemui kalian di sana,"
kata Pam dengan bersemangat.
Pontiac Grand Prix tua yang dibeli ayahnya dari pemilik kedua
mula-mula memprotes, tapi ketiga kalinya ia memutar kunci
kontaknya, mesinnya pun meraung. Pam membiarkan mesinnya
memanas sebentar, seperti yang diinstruksikan ayahnya, lalu
memundurkan mobil di jalur kerikil dan terus ke Fear Street.
Malam benar-benar bersih dan dingin. Di langit jutaan bintang
berkilau, dan bulan purnama sama terangnya seperti lampu jalan.
Angin melolong bagai hantu. Pam menahan napas saat melintasi
pemakaman Fear Street. Takhayul bodoh, ia tahu, tapi tetap saja
menahan napas setiap kali melewati pemakaman itu.
Saat memasukkan mobil ke tempat parkir kecil di depan 7Eleven, Pam bisa melihat kedua cowok tersebut melalui kaca depan
toko. Melihat keduanya saja telah menyebabkan perasaannya menjadi
lebih baik. Ia membanting pintu mobil hingga tertutup dan sambil
melilitkan selendang wolnya erat-erat di leher, ia bergegas masuk ke
toko. Mickey tengah memegang sebatang cokelat, seperti biasa. Ia
tersenyum menyapa Pam, giginya tertutup cokelat. Mickey pendek
dan sangat kurus. Rambut pirangnya hanya beberapa senti. Dia
bermata biru dan tampangnya agak bodoh, pikir Pam, dengan wajah
yang dipenuhi bintik-bintik dan telinga lebar yang menjulur keluar
dari kedua sisi kepalanya. Kulitnya jelek, mungkin karena cokelat
yang selalu disantapnya, dan selalu tampak kikuk dan tidak nyaman,
bahkan sewaktu dia tidak merasa demikian.
Clay juga sangat kurus, tapi lebih tinggi. Rambut cokelatnya
disisir lurus ke belakang. Dia memiliki bekas luka misterius di alis
mata kanannya, dan mata kelabu baja yang lincah. Dengan bahu
membungkuk dan ekspresi wajah keras, Clay selalu tampak gugup,
gelisah, dan punya tenaga cukup untuk meledak.
Pam benar-benar menyukai Mickey. Mereka telah berteman
sejak masih kanak-kanak. Hingga baru-baru ini, Mickey orangnya
lucu, konyol, selalu menyenangkan untuk berada di dekatnya. Tapi
dalam beberapa bulan terakhir dia menjadi lebih pendiam, bahkan
pemarah. Dia tidak lagi bergurau sebanyak biasanya, dan seringkali
terlihat melamun, tenggelam dalam pikirannya.
Clay teman Mickey, jadi Pam berusaha untuk menyukainya
juga. Tapi ada sisi lain Clay yang membuatnya takut. Sisi pemarah.
Clay tampaknya tidak bisa mengendalikan temperamennya. Beberapa
kali dia terlibat dalam perkelahian di sekolah dan bahkan pernah
diskors selama seminggu. "Yo!" panggil Clay dari rak keripik kentang.
Mickey berpaling dari permen cokelatnya. "Hei"apa kabar,
Man?" Ia memanggil semua orang "Man", bahkan Pam.
"Dulu lebih baik," kata Pam, sambil mencari-cari tisu di saku
celana untuk membersihkan hidung. "Ada apa?"
"Aku tidak menemukan Zagnuts," keluh Mickey, sambil
menggaruk-garuk rambut pirang pendeknya sebelum memasukkan
tangan ke rak permen cokelat.
"Zagnuts" Siapa yang makan Zagnuts?" tanya Pam.
"Mereka bahkan tidak memproduksinya lagi," kata Clay, sambil
memilih sekantong keripik kentang rasa daging panggang.
"Tidak?" Mickey tampak sangat khawatir.
"Apa kau pernah mencoba cokelat polos Milky Ways?" tanya
Pam. "Tentu saja," jawab Mickey.
"Itu sarapannya," sela Clay.
"Hei, Man, apa memang Zagnuts sudah tidak dibuat lagi?"
tanya Mickey, tampak jengkel.
"Kenapa kau tidak menyurati perusahaannya saja untuk
menanyakannya," saran Pam, sambil membaca berita utama Star dan
National Enquirer. "Yeah," kata Clay. "Tulis surat ke Mr. Zagnut sendiri. 'Dear,
Mr. Zagnut, saya sudah putus asa'."
"Kurasa tidak ada yang namanya Mr. Zagnut," kata Mickey
serius. Pam dan Clay tertawa. Pam melirik ke bagian depan toko dan melihat kasirnya, pria
muda besar dengan rambut kusut melewati bahu dan kumis tebal,
menatap mereka dengan pandangan curiga. "Kita diawasi," katanya
pada kedua temannya. Mereka berdua mengikuti arah pandangannya. "Ayo pergi,"
kata Clay, ekspresinya jijik.
Mickey menyambar beberapa potong permen cokelat lagi. Clay
meraih botol Coke dua liter sebagai pendamping keripik kentang. Pam
mengikuti mereka ke kasir.
Mereka menumpahkan barang-barangnya ke gerai. Kasirnya
menggeram tidak setuju. "Sisanya," katanya, sambil menatap tajam ke
arah Clay dengan mata kecilnya yang hitam.
"Hah?" jawab Clay.
"Sisanya," ulang kasir, sambil menunjuk.
Clay balas memelototinya, kedua tangan bersandar ke gerai.
"Kau ini ngomong apa, Man?" tanya Mickey.
"Tolong keluarkan semua isi sakumu," kata kasir itu dengan
suara rendah. Mulut Mickey ternganga. Clay tidak bergerak, tapi Pam melihat
wajahnya berubah merah padam.
"Tidak ada apa-apa dalam saku mereka," kata Pam kepada
kasir. Kasir itu mengabaikannya, pandangannya terpaku pada Clay.
"Keluarkan saja semua isi sakumu," katanya dengan nada bosan.
"Kau mau melihat sarung tanganku?" tanya Clay, berpura-pura
kebingungan. "Cuma itu yang ada dalam sakuku. Cuma sarung
tanganku." "Keluarkan isi sakumu," ulang kasir itu.
"Hei"dia ini semacam keajaiban," kata Clay keras-keras,
sambil berpaling kepada Mickey dan menunjuk ke kasir.
"Hah" Keajaiban" Apa maksudmu?" tanya Mickey,
kebingungan. "Well, kau pernah melihat babi yang berkumis?" tanya Clay. Ia
dan Mickey tertawa keras-keras, gugup.
Kasir itu bergeming. "Sungguh. Mereka tidak mencuri apa pun," kata Pam
bersikeras. "Tidak ada apa-apa dalam saku mereka."
"Hitung saja ini," kata Clay pada kasir, sambil menyipitkan
mata mengancam, membungkuk di atas gerai ke arah pria tersebut.
"Keluarkan isi sakumu lebih dulu," kata kasir itu bersikeras,
tidak mundur dari hadapan Clay. "Keluarkan sekarang, atau kupanggil
polisi. Tidak akan kubiarkan berandalan mencuri di toko ini."
"Ayolah, Man," kata Mickey pada Clay, matanya tiba-tiba
terbelalak ketakutan. "Kita pergi saja." Ia menarik lengan jaket katun
Clay, tapi Clay menyentakkan lengannya.
"Aku bukan berandalan," kata Clay dengan suara rendah penuh
ancaman. "Eddie..." kasir itu berteriak ke bagian belakang toko. "Panggil
polisi!" "Ayo! Cepat!" pinta Mickey.
"Mickey benar," kata Pam pada Clay. "Kita pergi saja."
"Kalian tidak akan ke mana-mana sebelum kau mengeluarkan
isi sakumu," kata kasir itu marah. Lalu ia kembali berteriak ke bagian
belakang toko. "Eddie"sudah kau panggil?"
Clay bergerak begitu cepat hingga Pam menjerit terkejut.
Clay menyambar bagian depan kemeja kasir itu dengan dua
tangan dan menariknya ke arah mesin kasir, sekeras-kerasnya.
"Oh!" Mulut kasir itu ternganga terkejut. Ia mengangkat tangan
seakan untuk melindungi diri.
Clay melompati gerai, kaki-kakinya yang panjang melayang,
dan menyambar pria itu lagi, kali ini di tenggorokannya.
"Clay"jangan!" jerit Pam.
Mickey mundur selangkah, ekspresinya ketakutan.
"Clay"lepaskan dia!" kata Pam dengan nada memaksa.
Tapi Clay seakan tidak mendengarnya. Kali ini ia mendorong
kasir itu, menghantamkannya ke mesin kasir.
Kasir gemuk itu mengangkat lengan tanda menyerah, tapi Clay
mendorongnya sekali lagi, lebih keras.
"Clay"please!" pinta Pam.
Lalu ia mendengar sirene polisi. Terdengar seakan berada tepat
di luar toko. Bab 4 Kencangkan Sabuk Pengamanmu
PAM melesat ke pintu, sementara sirene terus melolong. Ia
berpaling dan melihat Mickey tepat di belakangnya. Wajah Mickey
sangat pucat, mata birunya memancarkan ketakutan.
Ia melihat Clay akhirnya melepaskan kasir tersebut. Sementara
pria yang masih terguncang itu berdiri tertegun, Clay melompat
kembali dari balik gerai dan berlari menyusul dirinya dan Mickey.
Sedetik kemudian ketiganya berlari menyeberangi tempat parkir
beraspal ke mobil Pam. Sirenenya sekarang terdengar semakin keras.
Polisi pasti tinggal satu atau dua blok lagi jauhnya.
Mereka berjejal-jejal di dalam Pontiac Pam, Clay duduk di
belakang kemudi, Pam di sebelahnya, Mickey di belakang. Dengan
tangan gemetar, Pam memberikan kunci mobil kepada Clay. Clay
menancapkannya ke lubang kunci, memutarnya, dan menginjak pedal
gas sedalam-dalamnya. Tidak terjadi apa-apa. "Coba lagi"cepat!" jerit Pam.
Sirenenya terdengar tepat di belakang mereka, di sekeliling
mereka, di atas, dan di bawah mereka. Suaranya bahkan seakan
berasal dari dalam mobil.
Clay memutar kunci kontaknya lagi, mata kelabu bajanya
dengan tenang menatap kaca spion tengah, mengawasi kemunculan
mobil hitam-putih polisi.
Mesinnya menderu. Kemudian terbatuk-batuk. Bertahan.
Lalu kembali meraung. Clay memindahkan persneling ke mundur, memundurkan
mobil, memindahkan persneling lagi, lalu melaju menuju ke pintu
keluar, keempat roda mobil berdecitan memprotes di aspal.
"Polisi"mereka tepat di belakang kita!" teriak Mickey,
suaranya hampir sekeras lolongan sirene. Ia berputar di kursi
belakang, menatap ke kaca belakang. "Kurasa cuma ada satu mobil!"
"Kencangkan sabuk pengaman kalian!" jerit Clay. Ia menginjak
pedal gas sekuat tenaga, dan mobil besar tersebut melompat maju,
menyentak kepala Pam ke sandaran kepala.
"Clay"berhenti!" teriaknya. "Ini mobil ayahku. Ia..."
Clay memutar kemudi sekuatnya, dan mobil tersebut melolong,
berputar tajam. Ia menerobos lampu merah dan terus melaju,
pandangannya lurus ke depan, tidak berkedip, tidak menampakkan
ketakutan, semangat, atau emosi apa pun.
"Wow!" seru Mickey dari kursi belakang. "Man, kau
menggenjot peti ini sampai sembilan puluh lima!"
Sirenenya begitu dekat hingga seakan berasal dari kursi
belakang. Pam memejamkan mata dan menutupi wajah dengan kedua
tangan saat Clay kembali menikung tajam.
"Berhenti! Berhenti!" teriak seorang petugas polisi dari
pengeras suara di mobilnya.
"Ini polisi! Berhenti!"
Clay melontarkan tawanya yang melengking. "Polisi?" jeritnya.
"Kukira Sinterklas!"
"Berhenti! Berhenti!"
Bukannya memperlambat, Clay justru menambah kecepatan,
menginjak pedal gas lebih dalam saat mereka melaju dari satu jalan
yang sempit ke jalan sempit lainnya.
Pam dengan hati-hati membuka mata dan menatap spedometer.
Jarumnya menunjukkan kecepatan paling tinggi.
Clay berbelok di tikungan berikutnya, lalu berbelok tajam ke
kanan memasuki jalan sempit yang hampir terhalang habis oleh
sebuah trailer. Mereka akan menembaki kami! pikir Pam.
Sama seperti di TV. Mereka akan menembaki kami!
"Tidak!" jerit Pam saat truk itu perlahan keluar dari tepi jalan di
depan mereka. Mobil mereka melaju tepat ke bagian belakangnya.
"Clay"berhenti!"
Bukannya menginjak rem, Clay malah memutar kemudi.
Mobilnya meloncat naik ke trotoar, kurang dua senti lagi mereka akan
menghantam kotak surat, dan melewati truknya, terus melaju
meninggalkannya. Truk tersebut membunyikan klakson sekeraskerasnya di belakang. Lalu Clay memutar kemudi ke kanan, dan
mereka turun dari trotoar, melaju menerobos lampu merah, dan
berbelok ke kanan di depan.
Pam berjuang mengatur napas. Mickey sudah beberapa waktu
tidak terdengar lagi suaranya. Clay menatap lurus ke depan, wajahnya
masih tetap tanpa emosi kecuali bibirnya. Senyum tipis mulai merekah
di bibirnya yang beku. Mobil melaju melintasi tanda berhenti, lalu menikung tajam
melewati sekelompok remaja yang tengah menyeberangi jalan.
Rumah-rumah melintas di sisi-sisi jendela bagai bayang-bayang
cahaya kuning dan kegelapan.
Pam memerlukan waktu cukup lama untuk menyadari kalau
mereka telah lolos dari kejaran polisi.
Mickey masih belum bersuara. Pam berpaling ke belakang
untuk memeriksanya. Mickey tengah duduk kaku menempel ke pintu, menatap keluar
jendela, kedua tangannya mencengkeram sabuk pengaman pada
pinggangnya. Clay tidak mengurangi kecepatan hingga mereka telah berada
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu blok dari rumahnya. Lalu, sambil mengintip ke kaca spion
tengah, ia mengangkat kaki dari pedal gas, dan jarum spedometer pun
bergeser kembali ke kiri.
"Yo!" jerit Clay sekuat tenaga. "Ke mana mereka?"
Pam masih bisa mendengar sirenenya, berdering di telinganya.
Ia penasaran apakah suara itu akan hilang.
"Wow!" jerit Mickey, akhirnya bersuara. "Wow! Wow wow
wow!" Ia menyeringai seperti orang bodoh, dan merosot ke kursi.
Cengkeramannya pada sabuk pengaman lepas.
"Kita lolos!" jerit Pam, jantungnya masih berdebar kencang.
"Kita berhasil lolos!"
Clay menghentikan mobil di tepi jalan di depan rumah bata
merah kecilnya. Ia melontarkan kepala ke belakang dan tertawa penuh
kemenangan, tawa yang belum pernah didengar Pam sebelumnya.
"Man, hebat sekali!" kata Mickey penuh semangat. "Hebat!" Ia
menepuk bahu Clay. "Kau berhasil, Man. Kau berhasil!"
"Sewaktu truk tadi keluar, kukira tamat riwayat kita!" kata Pam,
meremas bahu Clay. "Waktu itulah polisi kehilangan jejak kita," kata Clay pada
mereka, matanya bersinar-sinar penuh gairah. "Truk itu menghalangi
mereka"dan kita lolos!"
Ketiganya tertawa, campuran antara kelegaan dan kemenangan.
"Benar-benar mengagumkan!" seru Mickey. "Mengagumkan!"
Ia mengulurkan tangan ke kursi depan untuk ber-high five dengan
Clay di udara. Lalu ekspresi wajahnya berubah. "Pam"pelat
nomormu. Polisi"mereka pasti berhasil mencatat pelat nomormu
sewaktu mengejar kita tadi."
"Berani taruhan tidak," jawab Pam sambil tersenyum. "Pelat
nomor bagian belakang sudah tidak ada. Jatuh minggu yang lalu. Dad
belum sempat menggantinya."
Ketiganya kembali meledak tertawa. Mereka terlalu lelah untuk
terus berada dalam mobil. Lalu turun ke jalan, bersorak-sorak.
"Aku ketakutan setengah mati tadi!" kata Pam mengakui. "Aku
belum pernah ketakutan seperti itu!" Diam-diam ia mengakui kalau ia
juga senang mengalami dikejar-kejar polisi seperti itu.
Angin agak reda, tapi ia tetap merapatkan selendang wol di
sekeliling lehernya yang sakit.
Ekspresi wajah Clay tiba-tiba berubah sangat licik. "Hei,
Guys"lihat apa yang kudapat!" katanya. Ia merogoh ke dalam saku
mantelnya dan mengeluarkan sekaleng jalapeno dip.
"Clay!" jerit Pam, benar-benar kaget.
Mickey ternganga, lalu menelan ludah dengan susah payah.
"Maksudmu..." "Seharusnya dinikmati bersama kripik kentangnya," kata Clay.
Ia tertawa dan melontarkan kaleng itu ke udara setinggi-tingginya,
menangkapnya dengan satu tangan saat kaleng tersebut meluncur
turun kembali. "Whoa, sulit dipercaya! Penjaga 7-Eleven itu memang benar!"
kata Mickey, tertawa hingga terguncang-guncang.
"Aku tidak suka sikapnya," kata Clay sambil menyeringai dan
memuntir-muntir minuman kaleng curian itu di tangannya.
Pam tiba-tiba kehilangan selera untuk tertawa. Bayangan Clay
menyambar leher kasir dan menghantamkannya ke mesin kasir
melintas dalam benaknya. Mulanya, ia mengira Clay benar untuk kehilangan kendali.
Tidak ada yang suka dituduh mencuri.
Tapi Clay ternyata benar-benar telah mencuri.
Pam menyandar ke mobil. "Kau harus belajar mengendalikan
temperamenmu," katanya pada Clay lembut.
Clay melangkah maju mendekatinya, dan wajahnya kemilau
tertimpa cahaya lampu jalan. "Hei, aku harus bersenang-senang,"
katanya, terdengar pahit.
Pam mau mengatakan sesuatu, tapi Mickey menyela. "Clay
benar, Man. Kejar-kejaran yang kita alami malam ini adalah
kesenangan yang paling hebat yang pernah kualami."
"Tapi, Mickey," kata Pam, "kita bisa saja tertangkap. Kita bisa
saja..." Ia tidak menyelesaikannya.
"Persetan," kata Mickey, sambil menendang kerikil ke tepi
jalan. "Paling tidak kita sempat bergembira. Kau tahu liburan macam
apa yang akan kujalani" Ayahku baru saja dipecat. Kau percaya" Dia
bekerja di toserba pamanmu selama dua puluh lima tahun, dan dia
dipecat sebulan sebelum Natal."
Pam melingkarkan lengannya di bahu Mickey dan memeluknya.
"Jangan singgung-singgung toserba pamanku di depanku," katanya
lembut. "Kenapa?" tanya Mickey.
Pam mengerang. "Well, aku bahkan tidak bisa mendapat
pekerjaan liburan di sana."
"Hah?" Clay melemparkan minuman curian tersebut kepada
Mickey, yang gagal menangkapnya. Kaleng itu jatuh ke jalan.
"Kau dengar," kata Pam pahit. "Kataku tadi aku tidak bisa
mendapat pekerjaan di Dalby's. Kata sepupuku..."
"Tapi Mitch Castelona meneleponku sebelum aku bertemu
Mickey," kata Clay padanya. "Kata Mitch sepupumu Reva punya
banyak pekerjaan. Mitch dapat satu, Lissa juga."
Pam merasa lehernya sesak karena marah.
"Reva memberi mereka pekerjaan?" tanyanya dengan nada
tinggi. "Kapan?"
"Malam ini," kata Clay padanya.
Pam mendengus jijik. "Dia memberi mereka pekerjaan malam
ini?" Clay mengangguk. Pam melontarkan ujung selendangnya ke belakang dengan
marah. " Aku akan membalas Reva," katanya dengan suara rendah
yang bahkan tidak dikenalinya sendiri. "Aku tidak tahu apa yang akan
kulakukan. Tapi entah bagaimana, aku pasti akan membalasnya."
Bab 5 Lelucon Kecil Reva REVA membelokkan Volvo keperakannya dengan tangan kiri,
sementara tangan kanannya menekan tombol radio. Mereka memutar
lagu-lagu paling buruk di saat Natal, pikirnya, sambil memindahmindahkan gelombang dengan cepat. Kalau harus mendengar
"Grandma Got Run Over by a Reindeer" satu kali lagi, aku pasti
menjerit! Hari Minggu itu kelabu, dingin dan basah. Matahari sempat
muncul sejenak di pagi hari, lalu bersembunyi di balik awan tebal.
Dengan perasaan tegang dan kelelahan, Reva bermobil ke klub
kesehatannya, bermaksud untuk berlari-lari dan berolahraga sejenak,
lalu berenang. Tapi kolam renang ditutup karena ada masalah dengan
saringannya, jadi rencananya berantakan.
Sekarang, sementara ia melaju melintasi SMU Shadyside, Reva
penasaran bagaimana caranya mengisi sepanjang siang hari itu. Pohon
hutan tropis dekat pintu masuk sekolah telah dihiasi lampu-lampu
Natal, yang dibiarkan menyala sekalipun saat itu tengah hari. Sekolah
tutup dan gelap. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.
Enam bulan lagi dan aku akan meninggalkan tempat ini untuk
selamanya, pikir Reva dengan perasaan campur aduk, semangat dan
kelegaan, dihiasi sedikit kesedihan. Ia telah diterima di Smith, pilihan
pertamanya, dan akan berangkat ke sana musim gugur nanti.
Ia tengah memikirkan bagaimana tahun terakhir SMU-nya
terasa sebagai tahun terlama dalam hidupnya sewaktu melihat
seseorang yang dikenalnya tengah menyusuri trotoar. Sambil
menginjak pedal rem, ia menepikan mobilnya dan menurunkan kaca
jendela di sisi penumpang. "Hei"Robb!"
Robb Spring berjalan dengan kedua tangan dalam saku,
melangkah menantang angin, sambil menunduk. Ia menengadah saat
Reva memanggilnya dan tersenyum sewaktu mengenali Reva.
"Hai!" panggil Reva sambil balas tersenyum. Ia selalu
menyukai Robb. Selama bertahun-tahun Robb mengikutinya ke manamana seperti seekor anak anjing yang sangat memuja tuannya. Robb
menyenangkan dan lucu, sangat lucu. Tapi Reva tidak mau berpacaran
dengannya karena Robb gendut.
Aku tidak bisa berpacaran dengan kerbau seperti ini, kata Reva
sendiri. Ia tidak menutup-nutupi penolakannya, dan akhirnya Robb
menyerah. Reva sudah berbulan-bulan tidak bercakap-cakap dengannya.
Reva tahu Robb sudah punya pacar dan sedang tenggelam dengan
kwartet jazz yang didirikannya. Reva pernah mendengar kalau Robb
pianis yang sangat berbakat, tapi tidak pernah mendengar
permainannya. "Reva, apa kabar?" Robb bergegas mendekatinya, napasnya
mengepulkan uap di depan wajahnya. Rambut cokelat keriting Robb
tidak disisir, seperti biasanya. Mata cokelatnya, yang selalu tampak
tertawa, mengintip ke dalam mobil Reva.
"Baik," kata Reva. "Kau sendiri?"
Robb mengangkat bahu dan tertawa. "Oke, kurasa. Sedang
disuruh ibuku." "Kau anak yang baik, Robb," goda Reva.
"Aku juga bisa nakal," kata Robb menyarankan, sambil
menyandar ke mobil dengan kepala menunduk.
Mereka bercakap-cakap sebentar, bertukar pengalaman. Lalu,
sementara mereka berbicara, Reva mendapat inspirasi.
Robb akan menjadi Sinterklas toko yang hebat, pikirnya. Daddy
mengatakan kalau salah satu Sinterklasnya mengundurkan diri dan dia
memerlukan pengganti. Well, Robb pengganti yang sempurna. Dia
begitu periang. Kepribadiannya sangat tepat untuk pekerjaan itu.Dan
dia begitu gendut, rasanya tidak perlu diganjal lagi!
"Hei, Robb, kau perlu pekerjaan selama liburan Natal ini?"
tanya Reva, merasa senang karena berpikir ayahnya akan gembira
dengan usahanya. "Yeah. Kurasa," kata Robb. "Rencananya aku mau menyekop
salju dari halaman rumah orang-orang. Tapi agak sepi... karena salju
belum turun. Tapi aku tetap saja menawarkan jasaku. Kau tahu, separo
harga. Tapi tidak ada yang mau." Ia menyeringai kepada Reva,
wajahnya yang bulat berwarna merah muda karena kedinginan.
"Tidak. Aku serius," kata Reva. "Ayahku bilang aku bisa
mencari beberapa karyawan untuk toko. Kau tahu, toserba Dalby's."
"Sungguh?" Ekspresi wajah Robb berubah serius. "Well, bagus
sekali, Reva. Kau tahu, situasi di rumahku agak susah. Kami bisa
menggunakan uangnya."
"Well, hebat," kata Reva. "Kau bisa mulai hari Sabtu."
"Kau tidak bohong?" tanya Robb.
"Yeah, aku tidak bohong," jawab Reva, penasaran mengapa
Robb tidak pernah menyisir rambutnya. Ia tiba-tiba mendapat gagasan
lain. Kenapa tidak mempermainkan Robb sekaligus" Robb punya
selera humor yang bagus. Dia pasti menghargainya. Pada akhirnya"
mungkin. "Dengar, aku punya pekerjaan yang sangat istimewa untukmu,"
katanya, sambil membayangkan Robb dalam kostum Sinterklas.
"Hah" Pekerjaan macam apa?"
"Eh"anu"semacam humas," kata Reva.
Robb tampak ragu-ragu. "Humas" Aku tidak tahu apa-apa
tentang humas." "Jangan khawatir," kata Reva menenangkan Robb, "kau pasti
bisa. Sungguh." Reva sudah tidak tahan untuk melihat Robb duduk di
singgasana Sinterklas yang besar, dengan bocah-bocah berjemari
lengket oleh permen duduk di pangkuannya, menarik-narik janggut
putihnya. Mata Robb yang gelap berkilau karena bergairah. "Trims,
Reva," katanya. "Kau baik sekali."
"Sampai ketemu di toko. Sekitar pukul setengah sembilan," kata
Reva. Saat Robb mengucapkan terima kasih lagi, Reva menekan
tombol untuk menaikkan kaca jendela dan melaju ke jalan.
Benar-benar bodoh, pikirnya.
Ia tidak sabar menunggu sampai hari Sabtu pagi. Robb pasti
muncul mengenakan setelan dan dasi, tidak ragu lagi, siap untuk
memulai pekerjaannya yang penting sebagai humas"cuma untuk
mendapat seragam Sinterklas merah cerah, lengkap dengan janggut,
rambut palsu, dan topi runcing yang menggelikan. Dan Lissa akan
hadir dengan mengenakan pakaian terbaiknya, dan langsung
diperintahkan ke gudang untuk membongkar kardus dan menata isinya
di rak. Mereka pasti terkejut setengah mati, pikir Reva, menyeringai
lebar. Sangat terkejut! Sambil mengucapkan selamat atas kepandaiannya sendiri, ia
membelokkan mobil memasuki jalur masuk, melaju sepanjang deretan
semak-semak tinggi ke garasi empat mobil di bagian belakang rumah.
**********************************
Malam itu, ayah Reva keluar rumah. Ia harus menjaga Michael.
Mereka bermain Chutes & Ladders selama satu jam, lalu Reva
memutar video kartun untuk Michael agar ia bisa sendirian.
Ia tidak menidurkan Michael hingga hampir jam sepuluh, lebih
dari sejam dibandingkan waktu tidur akhir pekan Michael yang
biasanya. Michael tampak gugup dan selalu menempel padanya,
mencari-cari alasan untuk tidak tidur.
Bocah ini kesepian, pikir Reva. Tapi apa yang harus kulakukan"
Bermain Chutes & Ladders selama satu jam sudah merupakan
hukuman yang kejam dan tidak biasa!
Akhirnya Michael setuju untuk tidur hanya setelah Reva
berjanji untuk membangunkannya pada saat ayah mereka pulang agar
dia bisa mengucapkan selamat malam. Reva berjanji, sambil
menyilangkan jari, memadamkan lampu di meja riasnya"menyisakan
lampu malam"dan perlahan-lahan turun ke bawah.
Michael manis, tapi sangat mengganggu, pikirnya. Rasanya
tidak ada kegiatan lain di malam hari yang lebih baik daripada ini.
Tiba-tiba ia teringat pada Mitch Castelona dan penasaran akan
apa yang tengah dilakukan cowok itu sekarang.
Pasti keluar bersama Lissa, tidak diragukan lagi.
Well, nikmatilah selagi masih bisa, Lissa, pikir Reva. Dalam
beberapa minggu lagi kaulah yang akan duduk di rumah"sementara
aku keluar dan bersenang-senang dengan Mitchmu yang berharga.
Ia meraih Vogue edisi baru dari meja rendah dan duduk di kursi
besar berlengan dekat perapian. Ia membalik-balik majalah tersebut.
Ia hampir saja selesai, tinggal membaca keterangan di bawah foto,
sewaktu terdengar ketukan keras di pintu.
"Oh!" Keributan yang mendadak itu mengejutkannya.
Ia berpaling ke ruang depan. Siapa yang datang selarut ini"
Ia bergegas ke ruang depan dan menempelkan wajahnya ke
dekat pintu. "Siapa?" panggilnya.
Tidak ada jawaban. "Siapa?" ulang Reva, sambil berusaha keras mendengarkan.
Ketakutan mencengkeramnya.
Bab 6 Serangan Mendadak "SIAPA?" ulang Reva tajam.
"Aku," kata seseorang pada akhirnya. Suara seorang bocah lakilaki. Suara Hank.
Ekspresi wajah Reva berubah jijik. Dengan perasaan enggan ia
membuka pintu. Angin dingin berembus memasuki ruangan saat Hank
menyelinap masuk sambil tersenyum.
"Hank, kau mau apa?" tanya Reva dingin.
Hank mengenakan mantel panjang bergaya tahun 50-an, tidak
dikancing, memperlihatkan kaos kelabu yang dikenakannya. Rambut
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pirangnya yang kaku tertimpa cahaya lampu dari atas.
Hank terus melontarkan senyum hangat pada Reva, seakan
tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, seakan Reva tidak
memutuskan hubungan mereka dengan begitu kejamnya. "Bisa kita
bicara sebentar?" tanyanya, hampir malu-malu.
"Untuk apa?" tanya Reva, sambil menghalangi jalan agar Hank
tidak masuk ke ruang duduk.
"A"kucoba untuk meneleponmu," kata Hank, ekspresinya
berubah serius. "Sudah kutinggalkan pesan di mesin penjawab. Kau
tidak membalas teleponku."
"Aku tahu," kata Reva, sambil memutar bola matanya.
"Mungkin seharusnya kau mengerti artinya."
Reva melintasinya menuju ke pintu depan, menarik pintu badai
hingga terbuka, dan memeganginya. "Selamat malam, Hank."
Hank menerobosnya dan keluar ke serambi depan. "Aku cuma
mau minta sesuatu," katanya pelan, menghindari tatapan Reva.
"Bantuan. Bukan tentang kita. Oke?"
Dengan waspada Reva keluar ke serambi mengikutinya, tanpa
berkata apa-apa. Embusan angin dingin kembali mengibarkan mantel
Hank hingga bersuara. Hank menariknya lebih erat.
"Bantuan apa" Cepatlah. Udaranya dingin sekali," kata Reva
dengan tidak sabar. "Maafkan aku, Reva. Ini tidak mudah bagiku."
"Kau mau apa?" tanya Reva, tidak bersedia untuk
memperlembut suaranya. Lagi pula apa yang dilakukan Hank di sini"
Hubungan mereka telah selesai. Berakhir.
"Aku"eh"kudengar kau punya pekerjaan. Aku"eh"apa
masih ada lagi?" kata Hank, wajahnya memerah. "Kau tahu. Di
toserba ayahmu." Reva tertawa dengan kejam. "Untukmu?"
"Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan, Reva. Ini sulit
bagiku"untuk datang kemari malam ini. Kau tahu" Oke, jadi kau
tidak mau keluar denganku lagi. Baik. Tapi kalau ada pekerjaan,
kupikir..." Suara Hank menghilang. Tatapan dingin Reva
menyebabkan ia merasa semakin serbasalah.
"Kurasa tidak, Hank," kata Reva pelan.
"Hah?" Hank menatapnya, sulit untuk mempercayai kekejaman
Reva. "Kurasa tidak ada," ulang Reva, tanpa bersusah payah
menyembunyikan kegembiraannya.
Sambil menjerit marah Hank menyambar lengan Reva. "Kau ini
ada masalah apa?" teriaknya.
"Lepaskan," perintah Reva.
Tapi Hank justru mempererat cengkeramannya. Penuh
kemarahan, ia memelototi Reva. "Kenapa kau memperlakukan diriku
seperti ini?" "Lepaskan!" jerit Reva, lebih karena marah daripada ketakutan.
Dan tiba-tiba ia mengertakkan giginya dan bersiul"nada tinggi yang
mantap membelah malam. Mata Hank terbelalak terkejut, kebingungan, dan melepaskan
cengkeramannya. Sedetik kemudian semak-semak di samping rumah mulai
bergemerisik. Lalu keduanya mendengar geraman berat, suara menakutkan
yang dengan cepat bertambah keras, semakin dekat.
Dan King"anjing penjaga keluarga Dalby, seekor Doberman
yang terlatih dengan baik"pun muncul dari kegelapan sambil
meraung. Hewan itu mematuhi tanda menyerang siulan Reva.
Semula anjing itu mengabaikan Hank karena ia tamu yang telah
sering datang ke rumah keluarga Dalby. Tapi sekarang ia mendengar
tanda menyerang. Waktunya untuk menyerbu.
Bola mata hewan tersebut merah membara. Lalu, sambil
menggeram marah, Doberman besar itu mengangkat cakar depannya
yang kuat dan menerkam Hank.
Hank menjerit, terhuyung-huyung mundur dua langkah.
"Reva"hentikan dia!"
Sambil mengabaikan jeritan Hank, Reva bergerak menjauh,
matanya terbelalak penuh semangat.
Anjing yang menggeram-geram tersebut menyambar lengan
mantel Hank dengan rahangnya.
Hank menyentakkan tangannya untuk membebaskan diri,
memperoleh keseimbangannya lagi, dan melesat menyeberangi
halaman rumput. Anjing itu mengikuti, menerkam punggung Hank
dengan marah, menggigit kaki-kaki Hank.
Reva mengawasi dari serambi, menunggu hingga Hank telah
berada cukup jauh di jalan sebelum kembali bersiul"memberi tanda
kepada anjing itu untuk menghentikan serangannya.
Mendengar siulan Reva, Doberman tersebut berhenti seakan
tombol catu dayanya dipadamkan. Sambil mendengking-dengking
dengan suara keras, hewan itu berpaling dan memandang Reva penuh
harap. Hank membuka pintu mobilnya dan naik ke dalam. Tapi
menyadari bahwa penyerangnya telah dipanggil kembali, ia berhenti,
dan sambil memegangi pintu mobil ia balas memelototi Reva.
Reva bisa melihat kemarahan di wajah Hank yang diterangi
cahaya lampu dari dalam mobil.
"Akan kubalas!" teriak Hank. "Reva"kau dengar kata-kataku?"
Reva tertawa menghina. "Kau tidak suka bermain-main dengan
King?" teriaknya. Ia menyentakkan kepalanya ke belakang dan
kembali bersiul keras. Seketika Doberman tersebut tersentak kembali hidup,
menggeram berat menyatakan niatnya yang kejam.
Reva mengawasi saat Hank bergegas masuk ke balik kemudi
dan membanting pintu mobil hingga tertutup. Beberapa detik
kemudian dia telah melesat pergi, meninggalkan anjing Reva yang
melolong kecewa di tepi jalan.
Reva bergegas masuk kembali ke dalam rumah, menutup dan
mengunci pintu di belakangnya. Ia gemetar.
Hank sangat konyol, pikirnya. Ekspresi wajahnya sewaktu
menyadari kalau tengah dikejar anjing!
Benar-benar lucu! Pikir Reva. Benar-benar lucu!
Bab 7 Reva Bekerja REVA berusaha untuk menahannya, tapi tidak mampu.
Kepalanya tersentak ke belakang, dan ia pun tertawa terbahak-bahak.
Para pegawai toserba yang tengah berada di ruang karyawan
berpaling untuk melihat ada keributan apa. Lissa memelototi Reva,
lalu beralih kepada Mitch. Wajahnya memerah, dan ia menutupi
wajahnya dengan tangan lalu terisak.
Saat itu pukul setengah sembilan hari Sabtu pagi, dan Lissa
baru saja tiba untuk bekerja dengan mengenakan rok wol kelabu, blus
dan blazer sutra, dan sepatu bertumit tinggi. Bahkan sebelum
mengucapkan selamat pagi ia telah menyadari kalau para karyawan
lainnya hanya mengenakan jins dan kaus serta sepatu sneakers.
"Reva, ada apa?" tanya Lissa, matanya mengamati para
karyawan lainnya, yang sekarang tengah menatapnya.
Reva, sambil berusaha mempertahankan ekspresi serius, mau
menjawab. Tapi sebelum ia sempat mengatakan sepatah kata pun,
Donald Rawson, kepala gudang, telah mendekati Lissa sambil
mengerutkan keningnya. Saat itulah pertahanan Reva runtuh. Tawanya pun meledak.
Lissa, dengan wajah merah padam, berpaling kepada Mitch
meminta dukungan. Reva bisa melihat dari ekspresi wajah Mitch
kalau cowok itu merasa sangat tidak enak pada Lissa, tapi dia
menghindari pandangan Lissa tanpa mengatakan apa-apa.
"Kami umumnya berpakaian yang biasa-biasa saja di gudang,"
kata Donald Rawson kepada Lissa, sambil menggosok-gosok puncak
kepalanya yang botak. "Ku"kupikir aku akan menjaga gerai parfum," kata Lissa
tergagap. "Maksudku, kata Reva aku harus mengenakan pakaian yang
bagus, dan..." Ia memelototi Reva.
"Maafkan aku, Lissa," dengus Reva. "Kurasa aku mendapatkan
informasi yang salah. Kau bisa memaafkan aku?" Reva mengenakan
rok biasa dengan sweter biru laut dan kalung mutiara.
Beberapa karyawan gudang lainnya tertawa kecil dari seberang
ruangan. Rawson memelototi mereka. "Miss Dewery, mungkin
sebaiknya kau pulang dulu berganti pakaian," katanya kepada Lissa.
"Tapi cepatlah kembali. Ada beberapa truk yang datang pagi ini. Kita
punya banyak pekerjaan."
Lissa kembali memelototi Reva untuk terakhir kalinya, lalu
melesat keluar ruangan, tumit sepatunya berdetak-detak menghantam
lantai beton. Bisa dikatakan begitu Lissa meninggalkan ruangan, Robb
masuk"memandang ke sekeliling ruangan dengan pandangan raguragu. Ia mengenakan jas sport wol cokelat, celana panjang cokelat tua,
kemeja putih, dengan dasi hijau bergaris-garis cokelat.
Sebuah kostum Sinterklas merah manyala terjuntai di
lengannya. Ia memandang berkeliling ruangan, menemukan Reva, dan
dengan marah berderap mendekatinya.
"Reva"kalau ini yang menurutmu lelucon, ini tidak lucu,"
katanya, sambil memberi isyarat dengan kostum tersebut.
Janggut putih tebalnya jatuh ke lantai, dan sewaktu Robb
membungkuk untuk mengambilnya, topi Sinterklasnya jatuh. Semua
orang tertawa. "Sulit dipercaya. Sungguh," kata Robb kepada Reva, tanpa
memperhatikan yang lainnya.
"Robb, tenang," kata Reva, menikmati kekecewaan Robb. "Kau
sangat sempurna untuk menjadi Sinterklas. Kau bahkan tidak
memerlukan bantalan apa pun!"
Tawa terdengar semakin keras. Mulut Robb ternganga, tapi
tidak terdengar suara apa pun.
"Reva, lagi-lagi kau mengumbar tipuan lamamu," kata Donald
Rawson, sambil menggeleng tidak setuju.
"Siapa" Aku?" tanya Reva dengan kepolosan yang dilebihlebihkan.
"Kita harus bekerja," kata Rawson tegas, sambil melirik ke jam
dinding besar di atas kepalanya. "Tokonya dibuka pukul setengah
sepuluh." Ia berpaling kepada Robb, yang masih berdiri diam dan
terengah-engah, jelas sekali kalau merasa sangat kecewa. "Kau mau
mengenakan kostum itu atau tidak?"
"Kurasa ya," kata Robb dengan geram. "Aku ingin melupakan
semuanya, tapi aku benar-benar memerlukan uang." Ia mendesah.
"Mungkin menyenangkan juga."
"Kau memang dilahirkan untuk memainkan peran ini," kata
Reva dengan antusias. "Reva, cukup!" kata Rawson tajam. "Sudah saatnya kau
mengurusi gerai kosmetik, bukan?"
"Kau jadi gadis penjual?" tanya Mitch, terkejut"kata-kata
pertama yang diucapkannya sepanjang pagi.
Reva mengangguk sambil tersenyum. "Daddy ingin aku
memulai dari bawah. Tapi kutolak."
"Reva, please..." sergah Rawson. "Aku harus memberi
penugasan pada karyawan baru." Ia mengacungkan clipboard yang
sejak tadi dipegangnya. "Sebelum naik ke atas, ada yang mau kubicarakan denganmu
sebentar," kata Reva sambil menyambar lengan Rawson dan
menariknya ke samping. Ia meraih clipboard-nya dan membaca isinya
sejenak. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik
kepada Rawson dengan sikap rahasia"tapi cukup keras hingga
terdengar oleh Mitch. "Cuma mau memastikan kalau kau menugaskan
Mitch dan Lissa di bagian yang berbeda."
Ia mengawasi bola mata Mitch berkilau, lalu berpaling kembali
kepada Rawson. "Rupanya sudah kaulakukan. Trims." Ia
mengembalikan clipboard-nya dan melangkah ke pintu. "Sampai
nanti, Mitch," katanya lembut, sambil melontarkan senyumnya yang
paling seksi. Reva berjalan sepanjang koridor sempit menuju ke lift yang
akan membawanya ke lantai utama. Benar-benar pagi yang luar biasa!
pikirnya, sangat senang dengan dirinya sendiri.
Lelucon kecilnya bahkan lebih berhasil dari yang
diharapkannya. Wajah Lissa berubah semerah tomat, pikir Reva
sambil tertawa kecil. Mungkin tidak akan pernah kembali ke warna
aslinya yang semula. Benar-benar hebat. Mitch pasti lebih baik tanpa dirinya. Lissa benar-benar
menyebalkan. Kejutan kecil yang diaturnya untuk Robb juga berhasil. Reva
terpaksa tertawa. Ia mengenang kembali saat Robb datang, siap untuk
memulai karier di bidang manajemen, tapi satu-satunya yang harus
dikelola adalah sederetan bocah-bocah dengan liur bercucuran di
kursinya di Santa Land. Mungkin seharusnya ia tidak melaksanakan lelucon-lelucon itu,
pikir Reva. Tapi kenapa tidak" Sekadar bisa tertawa"
Lagi pula, Mitch, Robb, dan Lissa seharusnya merasa bersyukur
bisa mendapat pekerjaan. Sekalipun ia sempat menjadikan mereka bahan lelucon, Reva
merasa yakin mereka sangat berterima kasih padanya.
Tentu saja mereka bersyukur. Pasti.
Segalanya berjalan begitu baik. Reva telah melihat dalam
clipboard Rawson kalau Mitch ditugaskan di bagian elektronik, Lissa
di bagian buku. Semoga tangannya tidak banyak terluka sewaktu membuka
karton-karton buku, pikir Reva kejam.
Reva tahu kalau Mitch telah mendengar permintaannya kepada
Rawson, jadi Mitch pasti tahu kalau dirinya tertarik padanya. Ia tidak
menutup-nutupinya. Lagi pula, menutup-nutupi bukanlah gaya Reva.
Nanti, Reva memutuskan, ia akan mengunjungi Mitch dan
bersikap lebih terbuka lagi.
Ya, ini jelas sekali akan menyenangkan.
Sambil melangkah dengan riang, Reva tinggal beberapa meter
lagi dari lift sewaktu ada tangan yang menyambarnya dari belakang
dan menarik pinggangnya dengan kasar.
"Hei!" jerit Reva, sambil berusaha membebaskan diri.
"Lepaskan..." Tangan lain menutup mulutnya.
Sekalipun ia berjuang keras, ia tetap saja terseret masuk ke
gudang yang gelap. Bab 8 Kejadian Menakutkan JANTUNG Reva berdebar sangat keras di dalam dadanya.
Matanya berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan
yang tiba-tiba mengurungnya. Ia tidak mampu membebaskan diri. Ia
tidak mampu berteriak. Lalu, ia terkejut ketika tangan-tangan yang telah menariknya ke
ruang kosong tersebut mengendur dan membebaskannya.
Reva berputar, kemarahan telah menggantikan ketakutannya.
"Hank!" jeritnya. "Apa yang kulakukan di sini?"
Hank melontarkan tawanya yang bernada tinggi seperti biasa.
Mata cokelat tuanya berkilau dalam cahaya gudang yang suram,
ekspresinya senang. "Apa kau cukup takut tadi?"
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Reva balas menatapnya, tidak bersedia membiarkan Hank tahu
kalau ia baru saja ketakutan setengah mati.
"Kau mau apa?" sergah Reva, sambil merambat ke pintu yang
terbuka. "Apa kau kemari cuma untuk melakukan gurauan bodoh ini?"
Senyum Hank semakin lebar. "Aku bekerja di sini," katanya.
Reva ternganga. "Hah?"
"Kau dengar. Aku bekerja di sini. Mulai tadi pagi."
Reva maju selangkah ke pintu. "Kau mendapat pekerjaan di
sini" Ada yang menerimamu?"
Senyum Hank memudar. Pandangannya menusuk mata Reva.
"Aku tidak memerlukan dirimu untuk mendapatkan pekerjaan. Aku
bisa melakukannya sendiri."
Reva tertawa menghina, mencibirkan bibirnya. "Jadi, mana
sapumu" Atau mereka cuma memberimu sikat?"
Hank tidak bereaksi. "Aku bekerja di bagian keamanan,"
katanya pelan. "Sebagai asisten. Aku mengawasi monitor keamanan."
Reva menggeleng menghina. "Pekerjaan yang sempurna
untukmu, Hank. Mengawasi dua belas layar monitor sepanjang hari
dan dibayar." Hank menancapkan kedua tangannya yang besar ke saku celana
jinsnya. Komentar Reva menusuknya. "Hei, kau tahu aku suka
elektronik," katanya, dengan nada membela diri. "Siapa yang
membetulkan VCR-mu minggu yang lalu?"
"Siapa yang memperbaiki otakmu?" sergah Reva. "Kau cuma
mengikutiku saja, Hank. Itu satu-satunya alasan kau bekerja di sini.
Kau tidak bisa menerima kenyataan kalau hubungan kita sudah
kuputuskan. Tapi aku bisa." Suaranya mengeras, pandangannya
berubah dingin. "Tidak ada gunanya. Kita sudah selesai, Hank. Jadi
jangan ganggu aku lagi."
Sekalipun berusaha menutupinya, wajah Hank menunjukkan
kalau kata-kata Reva mengena tepat pada sasaran. "Aku butuh
pekerjaan. Itu saja," katanya tapi tanpa keyakinan.
Lalu ia menyambar lengan Reva. "Dengar, Reva..."
"Lepaskan!" "Aku tidak berbuat apa-apa terhadapmu," kata Hank panas.
"Kau tidak punya alasan untuk menyulitkan diriku."
"Lepaskan. Kau menyakitiku!" jerit Reva.
Hank melepaskan cengkeramannya tapi tidak mundur.
Dia begitu besar, pikir Reva, begitu kuat. Kalau sungguhsungguh ingin menyakitiku, dia bisa melakukannya dengan mudah.
"Aku akan mengawasimu, Reva," kata Hank dengan nada
mengancam. "Apa?" "Aku punya dua belas monitor. Aku akan mengawasi setiap
langkahmu." Bahkan dalam kegelapan gudang yang kosong, Reva bisa
melihat kemarahan Hank. Sambil mundur ke koridor menjauhi Hank,
kata-kata Hank terngiang dalam benaknya. Hawa dingin terasa
merayapi tulang punggungnya"ia ketakutan.
**************************
"Clay, untuk apa pisau itu?" tanya Pam.
Clay mengangkat bahu. "Cuma main-main." Ia terus membuka
dan menutup pisaunya. Tangannya tidak bisa diam, pikir Pam sambil mengawasi
tangan Clay. Clay tidak pernah bisa duduk diam.
"Hei, Man, itu bukan pisau pramuka," kata Mickey, sambil
menggaruk kepalanya. "Dapat darimana?"
"Ketemu," kata Clay sambil tersenyum aneh.
Mereka tengah duduk di ruang duduk Mickey yang kecil dan
mirip kotak. Pam merosot rendah di sofa yang telah lusuh, Clay di
kursi kayu di seberangnya, Mickey di lantai"dengan punggung
bersandar ke sofa dan kaki terentang lurus di depannya; dua permen
yang belum dibuka tergeletak di pangkuannya.
Di seberang ruangan, TV masih menyala, menayangkan
ulangan film polisi. Tidak ada yang memperhatikan. Angin melolong
di luar jendela ruang duduk yang sempit, mengguncangkan kacanya.
Mereka bisa mendengar suara sebuah kaleng pop-top tengah
dibuka di dapur di belakang ruang duduk. Mereka bisa mendengar Mr.
Wakely bergeser di kursinya di meja dapur. Dia telah duduk di sana
sejak Pam tiba, menghabiskan dua paket bir. Pam mendengarnya
melangkah ke lemari es sekali dan mengeluarkan paket enam kaleng
bir lainnya. "Dia terus-menerus minum sejak kehilangan pekerjaannya,"
kata Mickey, merendahkan suaranya hingga menyerupai bisikan.
"Hatinya hancur. Aku tidak pernah bisa mengajaknya berbicara
tentang hal ini." "Apa dia mencoba mencari pekerjaan lain?" bisik Pam.
Mickey mengeleng. "Dia belum pernah keluar rumah. Kecuali
untuk membeli bir." "Natal yang hebat," kata Clay muram, sambil menamparkan sisi
mata pisaunya ke telapak tangannya.
"Mana Foxy?" tanya Mickey, sambil membuka salah satu
permen cokelat dan menggigitnya.
"Dia harus kerja lembur malam ini lalu pergi dengan
orangtuanya," jawab Pam, jemarinya mempermainkan ujung kain sofa
yang robek. "Kau tahu kalau dia mendapat pekerjaan?"
"Hah" Di mana?" tanya Mickey sambil mengunyah.
Pam memutar bola matanya. "Di Dalby's. Kau percaya?"
Clay mencibir pahit. "Foxy mendapat pekerjaan di toserba
pamanmu dan kau tidak?"
Ekspresi Pam berubah gelap. Ia bisa merasakan kemarahan
mulai menumpuk dalam dirinya, seperti gunung berapi yang siap
meledak. "Berkat sepupuku, Reva," katanya sambil menggertakkan
gigi. "Dia benar-benar kejam," kata Clay, sambil memutar-mutar
pisau di tangannya. "Dia pembohong. Itu kenyataan," kata Pam dengan panas, dan
terkejut menyadari kekuatan emosinya sendiri. "Suatu hari nanti akan
kukatakan pendapatku tentang dirinya."
"Kenapa tidak sekarang saja?" saran Mickey, sambil memberi
isyarat ke arah telepon di meja rendah di samping sofa.
Pam mempertimbangkannya sejenak, lalu menggeleng. "Tidak
ada gunanya. Kau tahu apa yang pasti terjadi pertama kali, Paman
Robert akan menelepon ayahku, dan pertempuran keluarga akan
dimulai." "Jadi?" tanya Clay, sambil menatap Pam dengan mata kelabu
bajanya yang keras. "Jadi aku tidak ingin merusak Natal orangtuaku juga," kata Pam
padanya, sambil terus mempermainkan robekan kain sofa. "Aku tidak
mau memulai perang dunia. Cuma ingin membalas Reva."
Dari dapur, mereka bisa mendengar tutup bir dibuka. "Aku juga
benci pamanmu," kata Mickey dengan marah. "Lihat apa yang
dilakukannya pada ayahku. Sebulan sebelum Natal."
Clay menyemburkan gumaman lagu "Deck the Halls," sambil
memuntir-muntir pisaunya. Ia tiba-tiba berhenti dan melompat
bangkit, anting-anting berlian palsunya memantulkan cahaya dari
lampu lantai. "Kalian bisa menyimpan rahasia?"
Pam menengadah menatapnya. Ia cuma sekali melihat ekspresi
Clay seceria ini sebelumnya, sewaktu Clay berhasil meninggalkan
mobil polisi. "Yeah, tentu saja," kata Mickey, sambil menegakkan dirinya.
"Tidak. Aku sungguh-sungguh. Serius," kata Clay, mulai
berjalan mondar-mandir di ruangan yang kecil itu.
Mickey menarik dirinya dan duduk di samping Pam di sofa.
Mereka berdua mengikuti Clay dengan pandangannya, penasaran apa
yang telah melintas dalam benaknya sehingga Clay begitu
bersemangat. "Apa rahasiamu?" tanya Pam.
"Ayo, Man. Kau tahu kalau bisa mempercayai kami," tambah
Mickey. Clay berhenti mondar-mandir dan bersandar ke kusen jendela,
menatap ke kegelapan di balik jendela. "Aku telah menyusun rencana
kecil," katanya pelan, begitu pelan hingga mereka harus berjuang
untuk mendengarnya. Mereka menunggu Clay melanjutkan. Tapi sebaliknya, Clay
justru mendekati TV dan mengeraskan suaranya. Lalu, sambil melirik
ke dapur, ia menarik kursi kayunya ke dekat sofa dan duduk di sana di
depan Pam dan Mickey. Sambil memeluk sandaran kursi, ia mulai bicara dengan suara
pelan tapi penuh semangat, sambil sesekali melirik ke dapur"jelas
sekali merasa yakin kalau Mr. Wakely tidak akan suka mendengar apa
yang akan dikatakannya. "Aku punya rencana," ulangnya. "Aku tahu pasti berhasil. Ini
satu jalan agar kita punya Hari Natal yang baik. Maksudku, punya
hadiah dan segala macamnya." Ia melirik ke dapur dengan gugup, lalu
mengalihkan pandangannya ke Pam. "Dan ini satu cara untuk
membalas sepupumu." "Hah?" Pam menatapnya, kebingungan. "Clay, kau ini bicara
apa?" "Aku sudah mengaturnya dengan satpam yang bertugas malam
di Dalby's," bisik Clay penuh semangat, sambil membungkuk
mendekati Pam dan Mickey. "Aku akan merampok toserba itu."
Bab 9 Kejahatan yang Sempurna "MUNGKIN kalian tertarik untuk ikut?" tanya Clay.
Mickey tertawa dan, dengan sikap main-main, menepuk bahu
Clay. "Kau bergurau, bukan?"
Tapi Pam seketika tahu kalau Clay serius. Clay, ia tahu, tidak
benar-benar memiliki perasaan humor. Clay tidak suka bergurau atau
mengatakan sesuatu hanya untuk mendapatkan reaksi orang-orang.
Clay selalu bersungguh-sungguh.
Keseriusan ekspresi Clay dengan cepat meyakinkan Mickey
kalau ia memang bersungguh-sungguh merencanakan untuk
merampok Dalby's. Dan sekarang Clay terus menatap mereka berdua
penuh harap, seakan menunggu jawaban.
"Hei, Clay, yang benar saja!" seru Pam. "Aku tidak bisa
merampok toko pamanku sendiri!"
Pandangan Clay memancarkan kewaspadaan, dan ia berdiri
untuk mencengkeram mulut Pam. Ia mengintip ke arah dapur,
mendengarkan tanda-tanda apa pun kalau Mr. Wakely telah
mendengar ucapan Pam. Lalu, perlahan-lahan, ia menarik tangannya
dari wajah Pam. "Maaf," bisik Pam. "Aku lupa."
"Jangan khawatir tentang ayahku, Man," kata Mickey
menenangkan Clay. "Ia sudah terlalu mabuk, tidak mungkin tahu apa
yang terjadi." "Pokoknya kita bicara pelan saja," kata Clay tajam. Ia kembali
duduk di kursi, lengan-lengannya yang panjang menggantung pada
punggung kursi, kakinya membelit kaki kursi. "Dengar, Pam, ini
bukan benar-benar perampokan," katanya menjelaskan. Ia membuka
pisaunya dan kembali memukul-mukulkan sisi mata pisaunya ke
telapak tangannya. "Ini semacam Robin Hood. Mengerti maksudku"
Kita ambil barang milik orang kaya dan memberikannya kepada orang
miskin untuk Natal"yaitu kita."
Mickey kembali tertawa kecil, gugup. "Sulit dipercaya, Man."
"Well, percayalah," kata Clay dengan nada serius, sambil
mengetuk-ngetukkan pisaunya ke telapak tangan lebih keras lagi.
"Aku tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih mudah untuk
membalas Reva," kata Pam, kali ini teringat untuk berbisik.
"Yeah," kata Mickey, sambil menggaruk-garuk rahangnya
dengan gugup. "Merampok toserba bisa berbahaya, kau tahu?"
Angin bertambah kencang, mengguncang jendela keras-keras.
Clay berpaling dengan cepat, seakan mengira akan melihat seseorang
berdiri di belakangnya. Setelah tidak melihat seorang pun, ia kembali
memandang teman-temannya, ekspresi wajahnya masih tetap keras
dan serius. "Tidak akan berbahaya sama sekali," kata Clay dengan nada
datar tanpa ekspresi. "Ini bahkan tidak seperti perampokan yang
sesungguhnya." "Maksudmu bagaimana?" tanya Pam.
Terdengar suara kursi bergeser di lantai dari dapur. Diikuti
erangan Mr. Wakely. Clay mengangkat tangan, memberi isyarat agar
yang lain tidak bersuara. Beberapa detik kemudian mereka mendengar
dengkuran lembut dari ruangan lain. Ayah Mickey telah tertidur.
"Aku kenal John Maywood," kata Clay, sedikit santai sementara
suara dengkuran teratur mengalun memasuki ruangan. "Dia satpam
yang bertugas malam. Teman lama ayahku. Ayahmu pasti juga
mengenalnya, Mickey."
"Yeah, tentu saja. Aku tahu siapa John Maywood," kata
Mickey, sambil bergeser tidak nyaman di sofa.
"Well, Maywood benar-benar sakit hati sewaktu ayahmu
dipecat," kata Clay kepada Mickey. "Sewaktu kuberi tahu kalau aku
punya gagasan untuk merampok toko, Maywood cuma tertawa.
Menurutnya itu gagasan yang bagus. Dia membenci keluarga Dalby.
Dia langsung setuju untuk membantuku."
"Membantumu" Bagaimana caranya?" tanya Mickey.
Pam duduk sambil menatap Clay tanpa bicara, penasaran
seberapa jauh Clay bersungguh-sungguh dengan rencananya,
penasaran seberapa jauh tindakan yang sudah diambilnya.
"Kata Maywood dia akan membuka pintu belakang dan
membiarkanku masuk. Lalu katanya dia akan membiarkanku
mengambil apa pun yang aku mau. Bukan masalah. Dia bahkan
bersedia menjagaku."
"Wow!" seru Mickey, sambil memilin-milin pembungkus
permen di tangannya. Ekspresinya berubah serius saat
mempertimbangkan apa yang telah dikatakan Clay.
"Apa Maywood tidak akan kehilangan pekerjaannya?" tanya
Pam. "Apa polisi tidak akan langsung tahu kalau dia membiarkanmu
masuk?" "Tidak kalau aku membuatnya seperti perampokan yang
sebenarnya," jawab Clay penuh semangat.
"Maksudmu..." "Maksudku, aku harus membuatnya seperti aku memukulnya
sampai pingsan atau apa. Mungkin mengikatnya. Menghantam
kepalanya. Kau tahu. Sekadar supaya kelihatan nyata. Menurut
Maywood dia bisa mengatasinya setelah itu."
Perjodohan Busur Kumala 25 Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 3
PROLOG REVA DALBY mengagumi pantulannya sendiri di cermin rias.
Natal kurang dua minggu lagi, pikirnya, sambil menghaluskan eyeshadow pada kelopak kirinya dengan jari kelingking, lalu merapikan
rambut merahnya yang mengombak.
Orang-orang tengah berkerumun di lorong-lorong toserba yang
terang benderang tersebut. Lagu-lagu Natal yang menghambur dari
pengeras suara hampir tenggelam oleh celoteh orang-orang, langkahlangkah kaki, dering ponsel, jeritan bayi"semua keributan khas
toserba di hari libur. Reva bersandar pada kaca gerai parfum, mengabaikan para
pengunjung, kukunya yang dicat ungu mengetuk-ngetuk kaca,
kebiasaan yang dinikmatinya bila sedang gugup. Ia melirik jam
dinding. Makan siang"saat ia bisa meloloskan diri dari penjaranya
yang sempit dan riuh"kurang satu jam lagi.
Memangnya apa yang sebenarnya kulakukan di sini" tanya
Reva sendiri, sambil mengetuk-ngetukkan kukunya lebih cepat lagi.
Kenapa dulu aku menerima pekerjaan ini"
Mata birunya yang memandang dingin terpusat pada gerai
make-up di seberang lorong, tempat dua gadis penjual"dengan
penampilan seperti para model berambut pirang"tengah melayani
seorang wanita gemuk yang mengenakan sweter ungu kotor dan
membawa dua kantong belanja berwarna cokelat.
Hebat, pikir Reva sinis. Wanita itu sudah tidak memerlukan
riasan. Ia butuh bedah plastik.
Belum lagi cat rambut orang yang di sebelah sana. Atau warna
hijau rambutnya itu memang alami"
Reva mencibir. Mengejek para pengunjung adalah satu-satunya
hiburan yang membuatnya mampu melewati hari demi hari. Mereka
begitu menyedihkan, tapi sama sekali tidak menyadarinya.
Ia melirik ke jam dinding. Belum juga bergerak. Seharusnya
aku keluar menikmati hari Sabtuku, pikir Reva. Ia menggosok bagian
belakang lehernya, lalu mendorong rambutnya kembali ke tempat
semula. Kenapa suhu di sini harus sepanas ini" Ia penasaran,
menggelengkan kepalanya. Ia merasa seperti tercekik. Sebaiknya nanti
kubicarakan dengan Daddy agar menurunkan suhunya sedikit.
Lagu jelek apa itu yang sedang diputar"
Semoga bukan "The Little Drummer Boy" lagi! Harusnya ada
hukum yang melarang pemutaran lagu itu di tempat umum, pikir
Reva, sambil menutup telinganya.
Tepukan pada bahu mengejutkannya. Ia berbalik dan melihat
Arlene Smith, atau Ms. Smith sebagaimana wanita itu ingin dipanggil,
manajer penjualan parfum dan bosnya. Ms. Smith seorang wanita
pendek yang tampak rapuh, sekalipun anggun dan trendi karena
mengenakan setelan pria. Hiii. Bantalan bahu yang menjijikkan itu! Pikir Reva. Apa dia
mau jadi gelandang belakang the Bears"
"Reva, telingamu sakit?" tanya Ms. Smith, wajahnya berkerut
khawatir. Reva menurunkan tangan dari telinganya. "Tidak. Cuma lagu
itu," katanya menjelaskan. "Sekali mendengarnya, rasanya lagu itu
menancap dalam benak dan membusukkan otak."
"Well, menurutku..."
"Rum-tum-tum-nya itu lho," sela Reva sebelum Ms. Smith
sempat menyelesaikan omelannya. "Maksudku, yang benar saja,
berapa banyak rum-tum-tum yang bisa didengar orang dalam satu
lagu?" Ms. Smith mengabaikan pertanyaannya. "Reva, biar kugantikan
sebentar. Pesanan ulang Chanel baru saja masuk. Semuanya ada di
belakang. Di kotak-kotak bertanda Chanel. Tolong buka dan
pindahkan isinya ke rak, oke?"
"Wah, aku tidak bisa," kata Reva, tapi tidak terdengar menyesal
sama sekali. "Aku baru saja mengecat kukuku tadi pagi." Ia menatap
penyelianya lurus di mata, seakan menantangnya.
"Apa?" Mata kelabu Ms. Smith yang sipit melebar karena
kebingungan. Ekspresinya menunjukkan ia sulit untuk mempercayai
pendengarannya. "Aku tidak mau merusak kukuku," ulang Reva, sambil
mengacungkan tangannya yang langsing, menggoyang-goyangkan
jemarinya untuk memamerkan kuku-kuku yang dicat ungu. "Maaf."
Ekspresi Ms. Smith seketika berubah marah. Ia menghela napas
dalam-dalam dan menegakkan tubuhnya yang pendek, memelototi
Reva. Ia jelas sekali berusaha memutuskan tindakan apa yang akan
diambilnya untuk menangani pemberontakan ini.
Wah, kuharap dia tidak meledak, pikir Reva, sambil memaksa
diri untuk tidak tertawa. Bantalan bahunya mungkin akan terbang dan
mengenai seseorang. "Reva, aku tidak akan memperpanjang masalah ini," kata Ms.
Smith dengan suara gemetar, kedua tangan terkepal erat di sisinya.
Dua minggu lagi, pikir Reva. Sesudah itu aku sudah tidak di
sini lagi. Ia tidak mengatakan apa-apa.
Kebisuan Reva tampaknya menyebabkan Ms. Smith semakin
marah. "Kuminta kau membongkar kotak-kotak itu dan menata isinya
di rak," katanya, mengucapkan setiap patah dengan lambat dan jelas.
"Mungkin nanti." Reva melontarkan senyum palsu yang lebar.
"Ini benar-benar sudah keterlaluan!" seru Ms. Smith. Ia
memelototi Reva, lalu berbalik dan melesat sepanjang lorong, menuju
ke kantor di lantai utama.
Reva menyandarkan tubuh ke gerai dan mengawasi
kepergiannya hingga Ms. Smith menghilang di tengah kerumunan
pelanggan. Memangnya apa masalahnya" Reva bertanya sendiri.
Ayahku pemilik toko ini. Dia memiliki semua Dalby's. Kenapa
aku harus mematuhi gadis penjual bodoh yang mengenakan bantalan
bahu yang lebih besar dari kepalanya sendiri"
Pemandangan di seberang lorong segera menarik perhatian
Reva. Seorang wanita tengah membungkuk di gerai rias sementara
seorang bocah sekitar lima atau enam tahun menarik-narik roknya.
"Ma, Ma. Ma." katanya berulang-ulang, memohon dengan tidak sabar.
Lalu dia menarik begitu keras hingga rok ibunya merosot ke lutut.
Wanita tersebut berbalik dengan tenang, menaikkan roknya, dan
dengan lembut menepuk pantat bocah itu.
Anak-anak memang biang kerusuhan, pikir Reva sambil tertawa
kecil. "Hei, Nona" Nona?" Dari balik sudut matanya, Reva melihat
seorang pria setengah baya bermantel cokelat kotak-kotak tebal tengah
berusaha menarik perhatiannya.
Dengan hati-hati Reva berbalik ke arah lain, menghindari
tatapan pria tersebut. "Hei, Nona" Nona" Nona?"
Biar orang lain saja yang melayaninya. Memangnya Lucy ke
mana, sih" Seharusnya dia sudah selesai makan siang sekarang.
Pria tersebut berlalu. Reva mengeluarkan lipstik dari laci,
mencabut tutupnya, dan memutar keluar isinya. Ia memutar cermin
bulat di atas gerai agar bisa memandang pantulan dirinya dengan lebih
baik. Ia membungkuk, mengerucutkan bibirnya, dan mengoleskan
lipstik berwarna ungu tersebut.
Sedetik kemudian otaknya menerima sinyal kesakitan.
Ia menjerit ngeri dan menjatuhkan lipstiknya.
Sambil ternganga kesakitan campur terkejut ia menatap cermin
kecil, melihat darah yang mulai mengalir membasahi dagunya.
Bibirnya berdenyut-denyut menyakitkan.
Ia berdiri membeku karena ngeri. Darahnya banyak sekali!
Dengan panik ia menyambar tisu, dan membersihkan bibirnya dengan
lembut. Aku teriris. Aku teriris.
Darahnya tidak mau berhenti.
Apa yang terjadi" Sambil menekankan segumpal tisu ke mulutnya, ia melihat
kalau darahnya telah mengotori kaca gerai.
Sambil terengah-engah, ia membungkuk dan mencari lipstik di
lantai. Benda tersebut telah tergulir masuk ke bawah gerai. Ia
menyambarnya dan mengacungkannya ke arah cahaya untuk
mengamatinya dengan teliti.
Sambil berusaha memantapkan pegangannya, Reva seketika
melihat apa yang telah melukainya.
Sebatang jarum. Menonjol keluar dari tengah batang lipstik.
Aku pernah menggunakan lipstik ini sebelumnya, pikir Reva,
merasakan kehangatan darah yang mengalir ke dagunya. Dan selama
ini baik-baik saja. Ada yang memasang jarum itu di lipstiknya.
Tapi siapa" Siapa yang tega berbuat sekejam itu padanya"
BAGIAN I HARI HARI PENUH KEMARAHAN
Bab 1 Putus Dua minggu sebelumnya TANPA peringatan Reva menghentikan Volvo-nya di tepi jalan
dan memadamkan lampu depan. Ia berpaling ke sisi penumpang
dengan cepat dan mengawasi wajah Hank yang memancarkan
kekagetan. "Hei..." Mata cokelat Hank menyipit curiga. "Ada apa?"
Reva mempelajari wajah Hank seakan baru melihat cowok itu
untuk pertama kalinya. Rambut Hank pirang, pendek, dan kaku.
Matanya besar, gelap, serius. Hank mengenakan anting-anting berlian
di salah satu telinganya. Lehernya kekar khas pemain American
Football. Hank orangnya besar, dengan dada bidang, dan memiliki
sepasang lengan yang kuat.
Hank menganggap dirinya tangguh, pikir Reva.
Kuharap memang benar. Reva telah berpacaran dengan Hank Davis selama lebih dari
enam bulan tapi, saat mengamatinya dengan teliti sekarang, ia merasa
Hank bagaikan orang asing.
Dia sama sekali bukan tipeku, pikir Reva. Hank begitu kasar,
sembrono. Kenapa aku membuang-buang waktuku berpacaran
dengannya" "Reva, untuk apa kau parkir di sini?" tanya Hank.
Kurasa dia cuma satu tahap dalam hidup yang harus kulewati,
pikir Reva. Atau, mungkin, tahap yang sudah kulewati.
Ia mencengkeram kemudi dengan kedua tangan dan
meregangkan tubuhnya. Ia telah memarkir mobil di bawah lampu
jalan, cahaya kuningnya membanjiri kaca depan, menyebabkan
rambut Hank tampak putih, kulitnya menjadi lebih pucat daripada
biasanya. Di balik cahaya lampu jalan, Reva hanya melihat pepohonan
gundul, membungkuk dan bergerak-gerak tertiup angin dingin. Ia pasti
telah menghentikan mobil dekat taman kecil atau hutan. Ia tidak yakin
berada di mana. Tapi tidak penting. "Ada yang harus kita bicarakan," katanya, menjaga suaranya
agar pelan dan mantap, sambil menatap lurus ke mata Hank. Suaranya
kedengaran tidak begitu menyenangkan. Segalanya terasa tidak
menyenangkan, pikir Reva.
Ia memutuskan untuk meneruskan sekadar bersenang-senang.
"Bicara" Tentang apa?" tanya Hank, menggosok wajah dengan
tangannya. "Kita," kata Reva, berusaha agar terdengar dramatis, berusaha
terdengar seakan-akan tengah menahan banjirnya emosi.
Entah mengapa Hank menyeringai padanya. "Aku suka
membicarakannya," katanya, membungkuk ke arah Reva dan meraih
tangannya. Tapi Reva menahan tangannya pada kemudi. Ekspresinya
tegang dan dengan pandangan dingin, ia menatap Hank. "Sudah
kuputuskan bahwa kita tidak bisa meneruskan hubungan kita,"
katanya. Tanpa ampun ia terus menatap ekspresi Hank. Ia ingin
menikmati reaksi Hank. Gelombang keterkejutan menyebabkan wajah Hank berkerut.
Matanya membelalak. Mulutnya ternganga. "Hah?"
Kurasa aku sudah mengejutkannya, pikir Reva, merasa senang.
Kuharap dia tidak akan membesar-besarkan masalah ini.
Ketakutan tiba-tiba mencengkeramnya. Ia merasakan kembali
bahaya yang dulu membuat ia tertarik pada Hank. Harus diakui, Hank
seringkali merupakan cowok yang baik"hangat, perhatian, malah
agak polos. Tapi Reva juga menyukai sisi pemarah Hank. Pernah
sekali, Hank meninju pintu kasa hingga tembus karena Reva menolak
untuk menyaksikan film Arnold Schwarzenegger yang bodoh itu
bersamanya. Reva sempat terkejut menyadari betapa senang dirinya melihat
Hank meledak. Apa yang berlawanan selalu saling tarik-menarik, kata
orang, dan Hank jelas berlawanan dengannya. Reva sendiri selalu
begitu tenang, terkendali, selalu memikirkan apa pun yang dilakukan
atau dikatakannya. Terkadang Reva mengagumi spontanitas Hank, caranya
bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Tapi, akhir-akhir ini, ia semakin
sering menertawakan sikap Hank. Hank benar-benar seperti orang
Neanderthal. "Hei"kau ini ngomong apa?" tanya Hank, sambil menggosokgosok bahu jaketnya. "Kau marah padaku atau apa?"
"Satu per satu, Hank," sergah Reva. "Tidak. Aku tidak marah
padamu atau apa. Kita sudah bosan. Hubungan kita sudah selesai."
Hank menarik tangannya dan menggerak-gerakkan kakinya
yang panjang dengan tidak nyaman. "Kau ini ngomong apa?"
Reva bisa melihat kemarahan membara di mata Hank.
Mungkin seharusnya aku memilih tempat yang lebih ramai,
pikirnya, sambil melirik ke pepohonan gelap di luar. Sejak tadi tidak
ada satu pun mobil yang melintas.
Bagaimana kalau Hank memutuskan untuk bertindak kejam"
"Jangan dibesar-besarkan," kata Reva pada Hank, sambil
memutar bola matanya. "Tapi ini memang besar"untukku," kata Hank berkeras, agak
malu karena telah menunjukkan emosi yang begitu besar.
Reva menguap. "Bukan apa-apa," katanya, sambil melirik jam
di dasbor: 8:06. Aku harus segera mengakhiri ini, kata Reva pada dirinya
sendiri. Aku sudah berjanji untuk menjemput Daddy dari toserba
pukul delapan. Daddy akan senang kalau tahu aku putus dengan Hank,
pikirnya. Daddy tidak pernah mengerti mengapa aku bahkan mau
pacaran dengan cowok itu.
"Tapi kenapa?" tanya Hank. "Paling tidak beritahukan
alasannya." Sayang, kau sudah terlalu dewasa untuk merengek seperti itu,
pikir Reva dengan kejam. Aku lebih menyukaimu kalau kau bersikap
niacho dan tangguh. "Hank, please..." kata Reva, seakan-akan dirinyalah yang
terluka. "Jangan mendesakku"oke?"
"Tapi kenapa kau minta putus?" tanya Hank berkeras, suaranya
gemetar seakan mulai kehilangan kendali.
"Aku cuma memutuskan untuk memulai tahun baru bersama
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seseorang yang lebih menarik."
Hebat! pikir Reva. Ia telah melatih kalimat ini sepanjang siang. Pada detik terakhir
ia memutuskan kalau kata-kata tersebut terlalu kejam. Tapi"ia tidak
bisa menahan diri. Hank terempas ke kursi seakan telah tertembak. "Whoa!"
katanya sedih. Lalu tanpa terduga ia menerjang ke arah Reva dan
mencengkeram bahunya dengan marah. "Reva, jangan..."
Apa Hank akan menyakitinya"
Apa Hank akan lepas kontrol" Memukulnya seperti memukul
pintu kasa itu dulu"
Reva memutuskan untuk mengalahkan Hank dengan gaya
cowok itu sendiri. "Lepaskan!" jeritnya sekuat tenaga.
Teriakannya berhasil. Karena terkejut, Hank melepaskan
cengkeramannya. "Kau akan menyesal, Reva," kata Hank, suaranya gemetar. Ia
berbalik dan menatap lurus ke depan, tidak mampu memandang Reva,
tidak bersedia membiarkan Reva melihat emosi di wajahnya.
Oh, sial! Reva mengerang sendiri. Kalau dia mulai menangis,
aku bisa muntah. "Kau akan menyesal," ulang Hank, sambil terus menatap
kegelapan di balik kaca depan.
Reva mengunci pintu mobil.
Ini tidak semenyenangkan seperti dugaanku semula, pikir Reva,
sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Kukira paling tidak tadi
dia akan memprotes. Tidak kusangka Hank justru terisak-isak seperti
banci dan mengancamku dengan merengek-rengek seperti itu.
Pikiran yang mengejutkan merayap ke dalam benaknya:
Mungkin Hank benar-benar menyayangiku. Reva bergegas membuang
pikiran itu. Siapa yang peduli" Aku tidak membutuhkan Hank.
"Reva, kau tidak bisa memperlakukan diriku seperti ini," kata
Hank, akhirnya kembali memandangnya, ekspresi wajahnya tegang
karena marah. "Aku harus pergi," kata Reva dingin. Ia mengulurkan tangan
melintasi Hank, menarik pegangan pintu, dan membuka pintu
mobilnya. "Kau jalan kaki saja, Hank."
Hank ragu-ragu, menatapnya dengan mata cokelat gelapnya
yang memancarkan kemarahan. Reva bisa melihat kalau Hank tengah
berpikir keras, berusaha memutuskan tindakannya, apa yang mau
dikatakan. "Kau akan menyesal," katanya.
"Turun," kata Reva dengan kejam, sambil menginjak pedal gas
dengan tidak sabar, membuat mesin mobilnya meraung.
Hank memelototinya untuk terakhir kali, lalu menyelinap turun
dari mobil dan membanting pintunya.
Reva menghidupkan lampu depan dan memindahkan gigi
persneling. Mobil baru maju sedikit sewaktu ia menghentikannya dan
menurunkan kaca jendela. "Oh, Hank! Hank!" panggilnya.
Dengan tangan terbenam dalam saku jaket penerbangnya,
ekspresi wajahnya masih muram, Hank berlari-lari kecil mendekati
mobil. "Yeah" Apa?"
"Selamat berlibur!" kata Reva gembira. Lalu, sambil tertawa, ia
menginjak pedal gas hingga habis dan meraung pergi, meninggalkan
Hank di tepi jalan seperti orang bodoh.
Orang bodoh! Mobil melesat ke arah kota, udara hangat berembus dari
pemanas. Pepohonan pun hilang digantikan deretan rumah yang
terang benderang, sebagian besar telah berhias untuk menyambut
Natal. Dengan perasaan lega dan gembira karena telah
menyelesaikannya, Reva merasa santai, menikmati kebebasannya,
menikmati kesempatan menjadi dirinya sendiri, bergerak begitu lancar
seakan tanpa tenaga, menembus malam.
Aku bebas, pikirnya. Sebebas angin.
Ia memarahi dirinya sendiri karena berpikiran begitu. Tapi itu
kenyataan, ia sadar. Untuk pertama kali dalam enam bulan ia bebas
untuk pergi dengan siapa pun. Dengan siapa pun!
Memangnya ia mau pergi dengan siapa"
Ia tidak perlu memikirkan jawabannya terlalu lama. Mitch
Castelona. Ia telah memikirkan Mitch selama beberapa waktu terakhir.
Mitch benar-benar manis, pikirnya, sambil membayangkan
cowok itu. Rambutnya yang hitam tebal. Dengan lesung pipi yang
menggemaskan kalau tersenyum. Mitch pemain tenis yang baik.
Mungkin ia akan mengundang Mitch main di klub tenis dalam
ruangan tempat ia menjadi anggota.
Ya. Mitch Castelona. Prospek yang baik.
Berani taruhan aku bisa menjauhkannya dari Lissa Dewey, pikir
Reva sambil tersenyum. Ia menghidupkan radio dan segera mengenali lagu yang
terdengar. "Malam Kudus", versi instrumental. Sewaktu berbelok
memasuki Division Street, tempat toserba-toserba dan kantor-kantor
berkelebat lewat di kedua sisinya, Reva mulai turut bernyanyi.
Benar-benar lagu yang indah, pikirnya.
Sambil bernyanyi keras-keras, ia berusaha untuk tidak
memikirkan Hank, tapi gagal. Hank sedang menikmati malam yang
sunyi. Ia berjalan pulang dalam kesunyian!
Pemikiran itu membuatnya kembali tersenyum.
Ia masih terus tertawa kecil sewaktu tiba di Dalby's dan
memarkir Volvo peraknya di tempat parkir eksekutif.
Toserba tutup pukul enam. Reva masuk melalui pintu untuk
satpam. Satpam berseragam yang menjaga pintu tengah duduk di meja
Rendah dengan kaki terangkat, memusatkan perhatian ke pertandingan
basket yang disiarkan di radio. Satpam tersebut menengadah dan
mengenali Reva, mengangguk dan kembali mendengarkan
pertandingannya. Keamanan di sini benar-benar hebat, pikir Reva jengkel, sambil
bergegas melintasi koridor belakang yang sempit menuju ke lantai
utama. Ruangan yang luas tersebut telah sepi dan remang-remang.
Satu-satunya cahaya yang ada berasal dari sederetan lampu malam
yang redup, berjajar di satu dinding. Reva merasakan ketakutan
lamanya merayapi dirinya.
Tenang! makinya sendiri. Kau kan seharusnya tangguh.
Tapi ia tidak bisa mengendalikan perasaan berat yang
membebani perutnya, otot-otot lehernya yang menegang, dan paruparunya yang terasa sesak.
Ini bukan takut akan kegelapan, ia tahu.
Dan ini bukan takut karena sendirian.
Ini bukan ketakutan yang bisa dengan mudah ditekan. Tapi
sejak ia masih kecil, setiap kali Reva berada di toserba setelah tutup,
setiap kali ia berjalan dalam lorong-lorong kosong yang gelap, tinggal
sendirian dengan pintu-pintu terkunci, ketakutan itu selalu muncul.
Keringat dingin membanjiri dahinya.
Tangannya terasa sedingin es.
Otaknya mulai berputar, berisi pikiran-pikiran sinting.
Setiap orang punya fobia, katanya sendiri, memaksa dirinya
untuk menghela napas panjang untuk memperlambat jantungnya yang
berdentum-dentum. Ia melintasi gerai parfum dan kosmetik, menuju
lift karyawan. Setiap orang punya ketakutan yang tidak rasional.
Reva berhenti dan bersandar ke gerai kaca berisi parfum dan
kosmetik. Sambil menghapus keringat di dahinya dengan lengan baju,
pandangannya menyapu seisi toserba.
Tidak ada yang bergerak. Sunyi. Malam yang sunyi, pikirnya.
Kenapa aku setakut ini"
Ia memaksa dirinya untuk kembali berjalan lift di bagian
belakang. Ia tahu dirinya akan aman begitu telah berada di kantor di
lantai enam, begitu telah bersama ayahnya.
Bagaimana pun juga, ini bukan pertama kalinya ia menemui
ayahnya setelah toserba tutup. Ia berusaha menemui ayahnya paling
tidak seminggu sekali di toserba. Sejak ibunya meninggal akibat
kecelakaan pesawat tiga tahun berselang, Reva berusaha untuk dekat
dengan ayahnya, berusaha mengisi kekosongan akibat kepergian
ibunya dari kehidupan mereka.
Mr. Dalby ingin Reva menemuinya agar mereka bisa pulang
bersama-sama. Jadi ia memaksa diri untuk datang, untuk melangkah
menyeberangi lantai utama yang luas, sneakers-nya berdecit-decit saat
melintasi lantai ubin yang keras. Napasnya terasa mencekik leher,
lututnya gemetar begitu hebat hingga ia hampir tidak mampu berjalan.
Ia memaksa dirinya demi ayahnya.
Dan karena ia telah membulatkan tekad, ketakutan bodoh yang
tidak rasional itu tidak akan mampu menghentikannya meraih apa pun
yang diinginkannya. Tapi, sekarang, bayang-bayang rendah di gerai-gerai tampak
seakan bergerak saat ia mendekat. Reva mendengar siulan mengerikan
di telinganya. Dalam cahaya remang-remang, segalanya tampak
mengerikan, begitu tidak nyata.
Bagaimana kalau ada yang bersembunyi di toserba" tanya Reva
sendiri. Bukan untuk pertama kalinya pertanyaan tersebut melintas di
benaknya. Bagaimana kalau ada orang gila yang sedang menunggunya
dalam kegelapan" Atau gelandangan yang menjijikkan bersembunyi
di sini" Bagaimana kalau...
Ia tidak bisa mengusir pikiran-pikiran bodoh yang tidak rasional
ini dari benaknya. Dan lalu, saat ia berbelok ke lorong menuju lift, ada yang
menyentuh bahunya. Reva tersentak dan berputar, memandang pria yang berdiri tepat
di belakangnya. Bab 2 Kesempatan Datang "PERGI! Kau mau apa?" jerit Reva dan terhuyung-huyung ke
belakang, menimpa rak tas tangan.
Pria tersebut tidak bergerak, cuma menatapnya dengan mata
terbelalak dan kaku. Dia tidak bisa bergerak, Reva sadar. Dia bukan orang.
Dia manekin. Reva menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya.
Kerongkongannya terasa kering. Tubuhnya masih gemetar.
"Reva, kau idiot," katanya keras-keras, suaranya terdengar kecil
di toserba yang luas dan sunyi itu. Ia tiba-tiba merasa ingin tertawa.
Alangkah bodohnya. Aku mundur, menabrak manekin, dan
hampir saja mati ketakutan!
Dengan perasaan agak lebih baik, tapi masih memaki-maki
sendiri karena begitu lemah, ia melangkah memasuki lift karyawan
yang telah terbuka. Pintunya bergeser menutup di belakangnya, dan ia
menekan tombol lantai enam.
Ia merasa hampir normal kembali saat melangkah keluar ke
deretan kantor-kantor eksekutif yang mewah. Dinding-dindingnya
tertutup lapisan kain berwarna gelap dan dipenuhi lukisan modern
yang besar-besar. Semua lampu yang tertanam dalam dinding di
ruangan tersebut menyala. Mawar-mawar segar berdiri dalam vas-vas
tinggi di atas karpet merah tua yang tebal. Reva melintasi area
resepsionis yang berisi sofa-sofa dan kursi-kursi kulit, terus menyusuri
koridor menuju kantor ayahnya di sudut.
Di sebelah kirinya terdapat balkon lebar yang terbuka ke
seluruh lima lantai toserba. Saat melintasinya, Reva mengintip ke
bawah, ke toserba yang sunyi dan terasa mengerikan.
Sederetan monitor keamanan, serangkaian layar TV yang
memenuhi dinding, berdiri di sebelah kantor Mr. Dalby. Dan, yang
mengejutkan Reva, monitor-monitor tersebut tidak menampilkan
gambar apa-apa. Hanya memperdengarkan dengungan elektrik lemah
yang bertambah keras saat ia mendekat.
Aneh, pikirnya. Monitor-monitor itu biasanya dipadamkan
setelah toserba tutup. Ia tidak perlu berlama-lama memikirkannya. Tiba-tiba pintu
kantor ayahnya terayun membuka, dan seorang pria berseragam biru
menerobos keluar, bertubrukan dengan Reva.
"Oh!" jeritnya. Reva seketika mengenali pria itu. Ia kepala
keamanan toserba dan ayah teman sekolahnya, Mickey Wakely. "Mr.
Wakely!" Pria tersebut memelototi Reva, bola matanya yang gelap
bersinar liar, wajah dan kepala botaknya merah manyala. "Maaf,"
katanya singkat dan berlalu tanpa berpaling lagi.
Dalam keadaan masih terguncang, Reva melihat ayahnya
muncul di ambang pintu kantor. Mr. Dalby pria langsing, tampan,
mengenakan setelan mahal, dan tampak lebih muda dari usianya yang
lima puluh empat tahun, kecuali untuk uban yang merayapi sisi-sisi
kepalanya. Biasanya, wajah Mr. Dalby berubah cerah bila melihat Reva.
Tapi sekarang ekspresinya memancarkan masalah. "Masuklah,"
katanya, sambil mendesah kelelahan.
"Daddy, ada apa?" tanya Reva, sambil mengikuti ayahnya
masuk ke kantor yang terang benderang. "Mengapa Mr. Wakely
keluar tergesa-gesa seperti itu?"
Reva duduk di kursi kulit yang berhadapan dengan meja kayu
kuning cerah ayahnya dan menatap bagian belakang foto dalam
bingkai Plexiglas di sudut meja. Ia mengenal foto tersebut: foto
dirinya, adik lelakinya, Michael, dan ibu mereka"mengenakan baju
renang"di pantai di Cape. Foto tersebut diambil empat tahun
berselang, hanya enam bulan sebelum ibu Reva meninggal.
Reva selalu penasaran mengapa ayahnya terus meletakkan foto
itu di sana. Apa dia tidak akan sedih terus sepanjang hari"
"Hari yang luar biasa," kata ayahnya, sambil menyandarkan
kening ke kaca jendela kantor yang dingin di belakang mejanya.
"Benar-benar luar biasa."
"Memangnya Mr. Wakely ada masalah apa?" tanya Reva,
berbicara kepada punggung ayahnya. "Ia hampir saja menabrakku
sampai jatuh." "Aku baru saja memecatnya," kata Mr. Dalby, tanpa berbalik.
"Hah?" Kata-kata ayahnya mengejutkan Reva. Mr. Wakely
telah lama menjadi kepala keamanan, malah sepanjang Reva bisa
mengingat. Reva mengenal putra Mr. Wakely, Mickey, di sekolah. Mickey
tampaknya anak yang baik.
Dia bukan bagian kelompok teman-teman Reva, tentunya. Dia
tinggal di rumah mungil di Old Village. Semua teman Reva tinggal
dekat rumahnya di North Hills, wilayah rumah mewah di Shadyside.
"Aku terpaksa," kata Mr. Dalby, sambil berjalan dan merosot ke
kursi kulitnya. Kursi tersebut berbunyi pelan saat ia terbenam di sana
Dad tampaknya kelelahan, pikir Reva.
"Antara kita saja, ya?" kata ayahnya sambil membungkuk ke
seberang meja untuk membicarakan rahasia dengannya, "dia ketahuan
minum-minum dalam tugas. Karena sebentar lagi musim liburan, aku
perlu orang yang benar-benar bisa kuandalkan."
"Dia tampaknya sangat marah," kata Reva, teringat wajah
Wakely yang merah membara sewaktu menabraknya.
"Yeah. Well... aku juga marah," kata Mr. Dalby, sambil
mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan gugup ke meja. "Kurasa kami
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling mengatakan apa yang seharusnya tidak kami katakan. Tapi aku
terpaksa memecatnya. Aku benar-benar tidak punya pilihan lain."
"Siap untuk pulang?" tanya Reva, kehilangan minat untuk
membicarakan hal itu lebih lanjut.
"Itu bukan satu-satunya kejadian hari ini," kata ayahnya, seakan
tidak mendengar pertanyaannya. "Salah satu Sinterklasku
mengundurkan diri. Katanya istrinya minta pindah ke daerah yang
beriklim lebih hangat. Dan ada masalah listrik. Natal tinggal empat
minggu lagi, dan terus-menerus terjadi hubungan pendek."
"Kenapa tidak memakai lilin saja?" saran Reva. "Toserba pasti
terlihat cantik kalau memakai lilin. Orang-orang akan menyukainya."
"Yeah. Sampai lilinnya terbakar habis," kata ayahnya sinis.
"Otakmu selalu praktis, Reva."
Reva tahu kalau ayahnya tengah menggoda dirinya, tapi ia tetap
saja berterima kasih. "Cuma sekadar berusaha membuatmu gembira, Daddy."
Ayahnya tiba-tiba saja tampak jauh lebih tua di matanya.
"Aku bahkan tidak perlu memberitahukan masalah di toserba
Cleveland. Dan Walnut Creek."
"Aku sudah tidak sabar lagi," kata Reva, sambil menguap keraskeras.
Mr. Dalby tertawa. "Sangat menyenangkan. Oke, ayo pulang."
Ia beranjak bangkit, tapi lalu duduk kembali di kursinya. "Oh, tunggu.
Aku hampir lupa." "Masalah di toserba Pittsburgh?" tanya Reva.
"Tidak. Hentikan sikap sokmu itu."
"Tidak bisa ditahan," Reva tertawa. "Ini kan kuwarisi darimu."
Mr. Dalby mengabaikan komentar tersebut. "Kau punya teman
yang mau bekerja di hari libur?" tanyanya. "Aku memang pernah
mengatakan kalau kau bisa mendapatkan pekerjaan liburan ini. Tapi
aku membutuhkan empat atau lima penjaga toserba. Mereka bisa
bekerja di akhir pekan dan paro waktu sampai sekolahmu libur. Lalu
mereka bisa bekerja penuh sampai Natal."
"Hebat!" jerit Reva dengan antusiasme yang bukan pura-pura.
Ia seketika teringat pada Mitch Castelona. Akan kutelepon
Mitch begitu sampai di rumah, katanya sendiri, benaknya berputar
penuh semangat. Mitch akan sangat berterima kasih karena kuberi
pekerjaan, dia pasti akan membuang Lissa tanpa pikir panjang.
"Trims, Daddy," kata Reva dan membungkuk ke seberang meja
untuk mengecup kening ayahnya. "Benar-benar hebat! Akan
kucarikan beberapa orang untukmu."
Sepanjang perjalanan pulang ia terus memikirkan apa yang
hendak dikatakannya kepada Mitch, bagaimana ia akan menawarkan
pekerjaan itu pada Mitch dan menunjukkan kalau dirinya menyukai
cowok itu. Ini akan menjadi liburan yang menyenangkan, katanya sendiri.
Reva penasaran bagaimana Lissa Dewey akan bereaksi saat ia
mencuri kekasih cewek itu. Hanya memikirkannya saja telah membuat
Reva tersenyum sepanjang perjalanan pulang.
Hebat! ****************************
"Hai, Mitch?" "Yeah. Hai. Siapa nih?"
"Kesempatan datang," kata Reva, sambil memilin-milin kabel
telepon di sela-sela jemarinya.
"Hah" Siapa?" Suara Mitch kasar dan serak. Sama sekali tidak
cocok dengan penampilannya, pikir Reva. Benar-benar suara yang
lucu, dan Mitch orangnya benar-benar kaku.
"Reva Dalby," kata Reva, menjaga suaranya tetap pelan,
berusaha terdengar menggoda.
"Reva" Hai. Ada apa?" Mitch terdengar sangat terkejut
menerima teleponnya. Ia belum pernah menelepon Mitch sebelumnya.
"Baik-baik saja," kata Reva, sambil memutar bola matanya. Ia
tengah duduk di kursi di samping ranjang, kakinya terlipat ke bawah
kursi. "Aku ingin tahu apa kegiatanmu selama Natal nanti. Kau mau
pergi atau apa?" Mitch tidak segera menjawab. Ia pasti berusaha memikirkan
alasan aku meneleponnya, pikir Reva. Ia mendengar suara seseorang,
suara cewek, menanyakan siapa yang menelepon.
"Tidak," kata Mitch akhirnya. "Tidak ke mana-mana, kurasa."
"Well, ayahku memerlukan karyawan di toserbanya. Kau tahu,
Dalby's di Division Street. Aku berjanji untuk menanyakan temantemanku barangkali ada yang mau. Bayarannya cukup bagus. Paro
waktu sampai liburan nanti. Lalu kerja penuh sampai Natal."
"Sungguh?" kata Mitch serak.
"Kau berminat?" tanya Reva, merasa senang mendengar
keterkejutan Mitch. "Yeah. Tentu saja!" jawab Mitch dengan antusiasme yang jujur.
"Benar-benar hebat. Yeah. Trims, Reva. Aku memang sedang butuh
uang. Kau tahu." "Bagus. Aku benar-benar senang mendengarnya, Mitch," kata
Reva. "Mungkin kita bisa bekerja bersama-sama."
"Kau juga akan bekerja?"
"Ya. Tentu saja aku lebih suka berada di pantai. Tapi Daddy
harus selalu ada di toserba selama liburan. Itu waktu yang paling
penting sepanjang tahun baginya. Jadi aku akan mulai bekerja Sabtu
pagi besok. Kau juga harus mulai hari itu"jam setengah sembilan."
"Yeah. Well, trims, Reva," kata Mitch. "Kau baik sekali. Aku
akan datang hari Sabtu pagi, setengah sembilan."
Reva memindahkan telepon ke telinganya yang sebelah, masih
terus memilin-milin kabel di sela jemarinya. "Kutunggu, Mitch,"
katanya seseksi mungkin, berharap Mitch memahami maksudnya.
"Kurasa kita bisa bersenang-senang."
Ia bisa mendengar bisik-bisik teredam di ujung seberang. Lalu
suara Mitch kembali terdengar. "Eh"Reva?"
"Ya?" Mitch terdengar enggan untuk bertanya, tapi akhirnya
mengajukannya juga. "Katamu tadi kau ada banyak lowongan?"
"Well, ada beberapa," kata Reva padanya.
"Apa Lissa juga bisa bekerja di sana" Dia benar-benar
membutuhkan uang, dan sangat ingin bekerja. Kau kenal Lissa,
bukan?" Tentu saja, aku tahu si kecil bercat pirang dengan wajah
kekanak-kanakan yang semua orang menganggap manis, pikir Reva.
Lissa sama sekali tidak punya kepribadian.
"Tentu saja," kata Reva. "Aku tahu."
"Well, apa kau juga punya pekerjaan untuknya?" tanya Mitch,
terdengar sangat gugup. "Maksudku, kau bisa menolak kalau kau mau.
Tapi kupikir..." Tidak, pikir Reva. "Ya," katanya. "Bukan masalah, Mitch. Aku yakin Lissa bisa
mulai Sabtu besok." Kenapa tidak" kata Reva sendiri, tidak mampu menahan
senyum licik di wajahnya. Dengan keberadaan Lissa di sana akan jadi
lebih menarik lagi waktu aku merampas Mitch darinya.
"Hei, trims," kata Mitch senang. "Tunggu sebentar, Reva. Lissa
ada di sini. Dia mau bicara."
Hebat, pikir Reva sinis. Beberapa detik kemudian suara Lissa yang kekanak-kanakan
terdengar di telinga Reva. "Oh, trims, Reva. Maksudku, aku benarbenar senang. Trims."
"Bukan masalah," kata Reva. "Daddy perlu bantuan, jadi
kupikir aku..." "Kita mau ke mana?" sela Lissa penuh semangat. "Maksudku,
apa yang akan kita lakukan" Berjualan atau apa?"
Pertanyaan Lissa menimbulkan gagasan di benak Reva, gagasan
yang sangat kejam. Ia memutuskan untuk mempermainkan Lissa.
Ini benar-benar ilham. Ilham! pikirnya, sambil tertawa sendiri.
"Well, Lissa, pakai pakaian terbaikmu hari Sabtu pagi nanti,
oke?" kata Reva padanya, sambil berjuang agar terdengar serius.
"Pakaian terbaikku?" Lissa terdengar tidak yakin.
"Yeah. Kau tahu. Pakaian yang benar-benar menarik.
Penampilanmu harus sesuai. Kau akan menjadi gadis penjual di gerai
parfum. Kalau tidak salah, Chanel."
"Sungguh?" Lissa tidak mampu menyembunyikan
kegembiraannya. "Hebat sekali! Trims, Reva!"
Mereka bercakap-cakap selama beberapa detik lagi, kemudian
Reva mengaku harus menelepon yang lainnya. Lissa mengucapkan
terima kasih sekali lagi dan menutup teleponnya.
Reva melompat berdiri, tertawa sekeras-kerasnya, sangat
senang akan tindakannya. Benar-benar bodoh! pikirnya. Aku tidak
sabar lagi untuk melihat wajah Lissa sewaktu dia muncul untuk
bekerja dengan pakaian terbaik dan menyadari kalau tugasnya menata
barang di rak-rak di gudang bawah tanah!
"Apa yang lucu?" kata seseorang, menyentaknya dari lamunan.
"Michael!" Reva memarahi adiknya yang baru berusia enam
tahun. "Jangan masuk ke kamarku seenaknya seperti itu."
"Kenapa?" tanya Michael.
Reva tertawa. "Aku tidak tahu kenapa!" katanya. Ia selalu
menemui kesulitan untuk marah kepada adiknya itu. Dengan rambut
keriting merah, mata biru gelap, dan kulit putih bersih, Michael sangat
mirip dengan dirinya. Ia juga tahu betapa sulitnya bagi seseorang seumur Michael
untuk tumbuh tanpa kehadiran ibu. Yvonne, perawat Michael, benarbenar merawatnya dan menghabiskan seluruh waktunya untuk
menemaninya, tapi tetap saja tidak sama.
Michael bahkan tidak ingat akan ibu, pikir Reva dengan sedih.
Ia mengawasi adiknya melompat-lompat di ranjangnya,
menggunakannya sebagai trampolin. Ia tahu kalau ia seharusnya
memarahi adiknya dan memaksanya tidur kembali, tapi ia sedang
tidak ingin melakukannya.
"Hei"jangan tinggi-tinggi!" jeritnya.
"Aku terbang!" teriak Michael gembira.
Reva mulai memikirkan siapa lagi yang akan dihubunginya dan
ditawari pekerjaan. Sebagian besar teman-teman dengan siapa ia
bergaul akan pergi berlibur di tempat yang hangat.
Sewaktu telepon berdering, Michael menjerit, mengejutkannya.
"Michael"cukup," kata Reva tajam. "Keluar. Aku harus menerima
telepon." Michael melompat-lompat dua kali lagi, lalu melompat turun
dari ranjang dan menghilang ke balik pintu. Reva meraih teleponnya.
"Hai, Reva. Ini Pam."
Oh, wow. Miss Pretty Puss, pikir Reva pahit. Nona Semanis
Kue Apel. Pam Dalby adalah sepupu Reva. Dan sekalipun keluarga Pam
miskin dan tinggal di rumah tua reyot di Fear Street, Reva"pada saat
sedang jujur"terpaksa mengakui kalau merasa iri dengan sepupunya
itu. Dengan rambut lurus pirang, biasanya diikat ekor kuda, dan
wajah bulat yang ramah, juga mata hijaunya yang kemilau, Pam
memiliki kecantikan khas Amerika.
Kenapa dia tidak pernah memakai lipstik atau eye-shadow
sedikit" Reva penasaran.
Kenapa tidak mengubah potongan rambutnya"
Tapi diam-diam"dan tidak begitu diam-diam"Reva iri pada
sepupunya, iri melihat bagaimana orang-orang dengan seketika
menyukai sepupunya itu, iri melihat kemudahan sepupunya bergaul
dengan orang-orang dan semua temannya.
Tentu saja ia tidak akan pernah mengakui hal ini kepada Pam.
Dan sebagian besar, saat memikirkan sepupunya, yang sangat
jarang dilakukannya, yang ada hanyalah kemarahan. Pam sangat
miskin, dan mengenakan celana jins yang sama setiap kali Reva
bertemu dengannya, dan tingkahnya begitu... biasa.
"Hai, Pam. Apa kabar?"
"Oke. Aku kena flu"tapi siapa yang tidak?" jawab Pam sambil
mendengus. Aku tidak, pikir Reva dengan perasaan lega.
"Bagaimana Paman Robert?" tanya Pam.
"Daddy baik-baik saja," kata Reva padanya. "Agak lelah. Kau
tahu. Sekarang toserba sedang sibuk-sibuknya."
"Itu yang mau kutanyakan," kata Pam. "Aku ingin tahu, Reva..."
Ia ragu-ragu. Pam jelas menemui kesulitan untuk mengungkapkan.
"Eh"apa ada lowongan di toserba" Kau tahu. Selama liburan."
Tidak bisa, pikir Reva, sambil mengetuk-ngetukkan kukunya
yang bercat ungu ke gagang telepon. Siapa yang mau punya sepupu
miskin berkeliaran dan membuatku merasa bersalah"
"Oh, maaf," kata Reva pada Pam, berusaha terdengar sangat
tidak enak. "Seandainya kau meneleponku minggu yang lalu, Pam.
Semua pekerjaan untuk liburan ini sudah terisi."
Aku benar-benar pembohong yang pandai, Reva mengucapkan
selamat pada dirinya sendiri. Aku kedengaran begitu sedih, bahkan
aku sendiri mempercayainya.
"Oh," jawab Pam pelan, jelas sangat kecewa. "Seandainya aku
menelepon lebih cepat."
"Sayang sekali," kata Reva, mendesah penuh simpati. "Aku
benar-benar merasa tidak enak, Pam." Lalu ia membuat nada suaranya
terdengar lebih cerah. "Oh, well. Senang juga kau menelepon. Kita
bisa berkumpul bersama sebelum Natal. Sampaikan salamku untuk
orangtuamu." Reva meletakkan teleponnya, tersenyum senang.
Boleh dikatakan ini malam yang memuaskan.
**************************
Pam Dalby membanting gagang teleponnya begitu keras hingga
menjatuhkannya dari meja. Ia mengerang sedih dan membungkuk
untuk mengambilnya. "Pembohong!" jeritnya keras-keras.
Ia duduk di ranjangnya dan melemparkan boneka teddy tuanya
yang telah lusuh ke dinding. Aku ingin membalas Reva sekali waktu,
pikir Pam pahit. Sekali saja. Aku ingin sekali menemukan cara untuk
membalasnya! Bab 3 Pemarah PAM meraih telepon, memutuskan untuk menelepon Reva lagi
dan menyampaikan pendapatnya tentang sepupunya itu.
Memangnya aku pernah salah apa terhadapnya" Pam penasaran,
sambil duduk di tepi ranjang, menatap gagang telepon di tangannya.
Aku selalu bersikap ramah padanya. Aku tidak pernah
memberitahukan padanya kalau semua orang di SMU Shadyside
membenci sikapnya. Angin kencang mengguncang daun jendela kamar tidurnya.
Pam merasakan belaian angin, menggigil, dan meraih tisu untuk
membersit hidungnya. Tidak heran kalau aku selalu flu sepanjang musim dingin,
pikirnya dengan pahit. Rumah tua ini sangat lembap.
Pemanas ruangan di bawah jendelanya beruap, tapi tidak
menghasilkan cukup panas. Angin kencang kembali datang, seakan
mengguncang seluruh rumah.
Pam meletakkan teleponnya kembali. Apa gunanya menelepon
Reva" Pam tahu tidak mungkin bisa mengalahkan sepupunya. Ia tidak
pernah bisa bercakap-cakap dengan jujur dengan sepupunya itu"
Reva terlalu dingin, terlalu jauh, terlalu sinis untuk diajak bicara.
Reva cuma senang membicarakan benda-benda yang
dimilikinya, tempat-tempat eksotis yang pernah didatanginya untuk
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelam, dan cowok-cowok yang pernah diputuskannya.
Sulit dipercaya dua sepupu memiliki hanya sedikit persamaan,
pikir Pam. Ia meraih boneka teddy tuanya dari lantai, meniup debu
dari kepala bonekanya, dan mengembalikannya ke kaki ranjang.
Ia masih merasa jengkel, muak. Sebaiknya kutelepon Foxy,
katanya sendiri. Foxy adalah pacarnya dan selalu bersedia mendengarkannya
berikut masalahnya. Pam tahu itu salah satu kelebihan Foxy. Tentu
saja, Foxy punya banyak kelebihan, tambahnya. Ia boneka teddy yang
nyata. Ia mulai menekan nomor telepon, lalu teringat kalau ada proyek
studi sosial yang harus diselesaikan Foxy. Semacam makalah
penelitian tentang hutan hujan tropis Brasilia.
"Oh, well." Pam mengembalikan telepon.
Sebaiknya aku keluar rumah, pikirnya.
Kalau harus berdiam di rumah malam ini dan mendengarkan
angin mengguncang jendela-jendela, memikirkan Reva, dan
bagaimana aku gagal mendapatkan pekerjaan dan tidak punya uang
sesen pun untuk membeli hadiah Natal tahun ini, aku bisa gila!
Mungkin sebaiknya kupinjam mobil Dad dan berputar-putar
sebentar. Tidak. Itu tidak akan menenangkan pikiranku. Aku cuma
akan berpikir dalam mobil dan malah lebih marah lagi.
Ia menekan nomor telepon yang lain dan menghubungi
temannya Mickey Wakely. Mickey akan menemui teman baiknya
Clay Parker di 7-Eleven di Mission Street. "Kutemui kalian di sana,"
kata Pam dengan bersemangat.
Pontiac Grand Prix tua yang dibeli ayahnya dari pemilik kedua
mula-mula memprotes, tapi ketiga kalinya ia memutar kunci
kontaknya, mesinnya pun meraung. Pam membiarkan mesinnya
memanas sebentar, seperti yang diinstruksikan ayahnya, lalu
memundurkan mobil di jalur kerikil dan terus ke Fear Street.
Malam benar-benar bersih dan dingin. Di langit jutaan bintang
berkilau, dan bulan purnama sama terangnya seperti lampu jalan.
Angin melolong bagai hantu. Pam menahan napas saat melintasi
pemakaman Fear Street. Takhayul bodoh, ia tahu, tapi tetap saja
menahan napas setiap kali melewati pemakaman itu.
Saat memasukkan mobil ke tempat parkir kecil di depan 7Eleven, Pam bisa melihat kedua cowok tersebut melalui kaca depan
toko. Melihat keduanya saja telah menyebabkan perasaannya menjadi
lebih baik. Ia membanting pintu mobil hingga tertutup dan sambil
melilitkan selendang wolnya erat-erat di leher, ia bergegas masuk ke
toko. Mickey tengah memegang sebatang cokelat, seperti biasa. Ia
tersenyum menyapa Pam, giginya tertutup cokelat. Mickey pendek
dan sangat kurus. Rambut pirangnya hanya beberapa senti. Dia
bermata biru dan tampangnya agak bodoh, pikir Pam, dengan wajah
yang dipenuhi bintik-bintik dan telinga lebar yang menjulur keluar
dari kedua sisi kepalanya. Kulitnya jelek, mungkin karena cokelat
yang selalu disantapnya, dan selalu tampak kikuk dan tidak nyaman,
bahkan sewaktu dia tidak merasa demikian.
Clay juga sangat kurus, tapi lebih tinggi. Rambut cokelatnya
disisir lurus ke belakang. Dia memiliki bekas luka misterius di alis
mata kanannya, dan mata kelabu baja yang lincah. Dengan bahu
membungkuk dan ekspresi wajah keras, Clay selalu tampak gugup,
gelisah, dan punya tenaga cukup untuk meledak.
Pam benar-benar menyukai Mickey. Mereka telah berteman
sejak masih kanak-kanak. Hingga baru-baru ini, Mickey orangnya
lucu, konyol, selalu menyenangkan untuk berada di dekatnya. Tapi
dalam beberapa bulan terakhir dia menjadi lebih pendiam, bahkan
pemarah. Dia tidak lagi bergurau sebanyak biasanya, dan seringkali
terlihat melamun, tenggelam dalam pikirannya.
Clay teman Mickey, jadi Pam berusaha untuk menyukainya
juga. Tapi ada sisi lain Clay yang membuatnya takut. Sisi pemarah.
Clay tampaknya tidak bisa mengendalikan temperamennya. Beberapa
kali dia terlibat dalam perkelahian di sekolah dan bahkan pernah
diskors selama seminggu. "Yo!" panggil Clay dari rak keripik kentang.
Mickey berpaling dari permen cokelatnya. "Hei"apa kabar,
Man?" Ia memanggil semua orang "Man", bahkan Pam.
"Dulu lebih baik," kata Pam, sambil mencari-cari tisu di saku
celana untuk membersihkan hidung. "Ada apa?"
"Aku tidak menemukan Zagnuts," keluh Mickey, sambil
menggaruk-garuk rambut pirang pendeknya sebelum memasukkan
tangan ke rak permen cokelat.
"Zagnuts" Siapa yang makan Zagnuts?" tanya Pam.
"Mereka bahkan tidak memproduksinya lagi," kata Clay, sambil
memilih sekantong keripik kentang rasa daging panggang.
"Tidak?" Mickey tampak sangat khawatir.
"Apa kau pernah mencoba cokelat polos Milky Ways?" tanya
Pam. "Tentu saja," jawab Mickey.
"Itu sarapannya," sela Clay.
"Hei, Man, apa memang Zagnuts sudah tidak dibuat lagi?"
tanya Mickey, tampak jengkel.
"Kenapa kau tidak menyurati perusahaannya saja untuk
menanyakannya," saran Pam, sambil membaca berita utama Star dan
National Enquirer. "Yeah," kata Clay. "Tulis surat ke Mr. Zagnut sendiri. 'Dear,
Mr. Zagnut, saya sudah putus asa'."
"Kurasa tidak ada yang namanya Mr. Zagnut," kata Mickey
serius. Pam dan Clay tertawa. Pam melirik ke bagian depan toko dan melihat kasirnya, pria
muda besar dengan rambut kusut melewati bahu dan kumis tebal,
menatap mereka dengan pandangan curiga. "Kita diawasi," katanya
pada kedua temannya. Mereka berdua mengikuti arah pandangannya. "Ayo pergi,"
kata Clay, ekspresinya jijik.
Mickey menyambar beberapa potong permen cokelat lagi. Clay
meraih botol Coke dua liter sebagai pendamping keripik kentang. Pam
mengikuti mereka ke kasir.
Mereka menumpahkan barang-barangnya ke gerai. Kasirnya
menggeram tidak setuju. "Sisanya," katanya, sambil menatap tajam ke
arah Clay dengan mata kecilnya yang hitam.
"Hah?" jawab Clay.
"Sisanya," ulang kasir, sambil menunjuk.
Clay balas memelototinya, kedua tangan bersandar ke gerai.
"Kau ini ngomong apa, Man?" tanya Mickey.
"Tolong keluarkan semua isi sakumu," kata kasir itu dengan
suara rendah. Mulut Mickey ternganga. Clay tidak bergerak, tapi Pam melihat
wajahnya berubah merah padam.
"Tidak ada apa-apa dalam saku mereka," kata Pam kepada
kasir. Kasir itu mengabaikannya, pandangannya terpaku pada Clay.
"Keluarkan saja semua isi sakumu," katanya dengan nada bosan.
"Kau mau melihat sarung tanganku?" tanya Clay, berpura-pura
kebingungan. "Cuma itu yang ada dalam sakuku. Cuma sarung
tanganku." "Keluarkan isi sakumu," ulang kasir itu.
"Hei"dia ini semacam keajaiban," kata Clay keras-keras,
sambil berpaling kepada Mickey dan menunjuk ke kasir.
"Hah" Keajaiban" Apa maksudmu?" tanya Mickey,
kebingungan. "Well, kau pernah melihat babi yang berkumis?" tanya Clay. Ia
dan Mickey tertawa keras-keras, gugup.
Kasir itu bergeming. "Sungguh. Mereka tidak mencuri apa pun," kata Pam
bersikeras. "Tidak ada apa-apa dalam saku mereka."
"Hitung saja ini," kata Clay pada kasir, sambil menyipitkan
mata mengancam, membungkuk di atas gerai ke arah pria tersebut.
"Keluarkan isi sakumu lebih dulu," kata kasir itu bersikeras,
tidak mundur dari hadapan Clay. "Keluarkan sekarang, atau kupanggil
polisi. Tidak akan kubiarkan berandalan mencuri di toko ini."
"Ayolah, Man," kata Mickey pada Clay, matanya tiba-tiba
terbelalak ketakutan. "Kita pergi saja." Ia menarik lengan jaket katun
Clay, tapi Clay menyentakkan lengannya.
"Aku bukan berandalan," kata Clay dengan suara rendah penuh
ancaman. "Eddie..." kasir itu berteriak ke bagian belakang toko. "Panggil
polisi!" "Ayo! Cepat!" pinta Mickey.
"Mickey benar," kata Pam pada Clay. "Kita pergi saja."
"Kalian tidak akan ke mana-mana sebelum kau mengeluarkan
isi sakumu," kata kasir itu marah. Lalu ia kembali berteriak ke bagian
belakang toko. "Eddie"sudah kau panggil?"
Clay bergerak begitu cepat hingga Pam menjerit terkejut.
Clay menyambar bagian depan kemeja kasir itu dengan dua
tangan dan menariknya ke arah mesin kasir, sekeras-kerasnya.
"Oh!" Mulut kasir itu ternganga terkejut. Ia mengangkat tangan
seakan untuk melindungi diri.
Clay melompati gerai, kaki-kakinya yang panjang melayang,
dan menyambar pria itu lagi, kali ini di tenggorokannya.
"Clay"jangan!" jerit Pam.
Mickey mundur selangkah, ekspresinya ketakutan.
"Clay"lepaskan dia!" kata Pam dengan nada memaksa.
Tapi Clay seakan tidak mendengarnya. Kali ini ia mendorong
kasir itu, menghantamkannya ke mesin kasir.
Kasir gemuk itu mengangkat lengan tanda menyerah, tapi Clay
mendorongnya sekali lagi, lebih keras.
"Clay"please!" pinta Pam.
Lalu ia mendengar sirene polisi. Terdengar seakan berada tepat
di luar toko. Bab 4 Kencangkan Sabuk Pengamanmu
PAM melesat ke pintu, sementara sirene terus melolong. Ia
berpaling dan melihat Mickey tepat di belakangnya. Wajah Mickey
sangat pucat, mata birunya memancarkan ketakutan.
Ia melihat Clay akhirnya melepaskan kasir tersebut. Sementara
pria yang masih terguncang itu berdiri tertegun, Clay melompat
kembali dari balik gerai dan berlari menyusul dirinya dan Mickey.
Sedetik kemudian ketiganya berlari menyeberangi tempat parkir
beraspal ke mobil Pam. Sirenenya sekarang terdengar semakin keras.
Polisi pasti tinggal satu atau dua blok lagi jauhnya.
Mereka berjejal-jejal di dalam Pontiac Pam, Clay duduk di
belakang kemudi, Pam di sebelahnya, Mickey di belakang. Dengan
tangan gemetar, Pam memberikan kunci mobil kepada Clay. Clay
menancapkannya ke lubang kunci, memutarnya, dan menginjak pedal
gas sedalam-dalamnya. Tidak terjadi apa-apa. "Coba lagi"cepat!" jerit Pam.
Sirenenya terdengar tepat di belakang mereka, di sekeliling
mereka, di atas, dan di bawah mereka. Suaranya bahkan seakan
berasal dari dalam mobil.
Clay memutar kunci kontaknya lagi, mata kelabu bajanya
dengan tenang menatap kaca spion tengah, mengawasi kemunculan
mobil hitam-putih polisi.
Mesinnya menderu. Kemudian terbatuk-batuk. Bertahan.
Lalu kembali meraung. Clay memindahkan persneling ke mundur, memundurkan
mobil, memindahkan persneling lagi, lalu melaju menuju ke pintu
keluar, keempat roda mobil berdecitan memprotes di aspal.
"Polisi"mereka tepat di belakang kita!" teriak Mickey,
suaranya hampir sekeras lolongan sirene. Ia berputar di kursi
belakang, menatap ke kaca belakang. "Kurasa cuma ada satu mobil!"
"Kencangkan sabuk pengaman kalian!" jerit Clay. Ia menginjak
pedal gas sekuat tenaga, dan mobil besar tersebut melompat maju,
menyentak kepala Pam ke sandaran kepala.
"Clay"berhenti!" teriaknya. "Ini mobil ayahku. Ia..."
Clay memutar kemudi sekuatnya, dan mobil tersebut melolong,
berputar tajam. Ia menerobos lampu merah dan terus melaju,
pandangannya lurus ke depan, tidak berkedip, tidak menampakkan
ketakutan, semangat, atau emosi apa pun.
"Wow!" seru Mickey dari kursi belakang. "Man, kau
menggenjot peti ini sampai sembilan puluh lima!"
Sirenenya begitu dekat hingga seakan berasal dari kursi
belakang. Pam memejamkan mata dan menutupi wajah dengan kedua
tangan saat Clay kembali menikung tajam.
"Berhenti! Berhenti!" teriak seorang petugas polisi dari
pengeras suara di mobilnya.
"Ini polisi! Berhenti!"
Clay melontarkan tawanya yang melengking. "Polisi?" jeritnya.
"Kukira Sinterklas!"
"Berhenti! Berhenti!"
Bukannya memperlambat, Clay justru menambah kecepatan,
menginjak pedal gas lebih dalam saat mereka melaju dari satu jalan
yang sempit ke jalan sempit lainnya.
Pam dengan hati-hati membuka mata dan menatap spedometer.
Jarumnya menunjukkan kecepatan paling tinggi.
Clay berbelok di tikungan berikutnya, lalu berbelok tajam ke
kanan memasuki jalan sempit yang hampir terhalang habis oleh
sebuah trailer. Mereka akan menembaki kami! pikir Pam.
Sama seperti di TV. Mereka akan menembaki kami!
"Tidak!" jerit Pam saat truk itu perlahan keluar dari tepi jalan di
depan mereka. Mobil mereka melaju tepat ke bagian belakangnya.
"Clay"berhenti!"
Bukannya menginjak rem, Clay malah memutar kemudi.
Mobilnya meloncat naik ke trotoar, kurang dua senti lagi mereka akan
menghantam kotak surat, dan melewati truknya, terus melaju
meninggalkannya. Truk tersebut membunyikan klakson sekeraskerasnya di belakang. Lalu Clay memutar kemudi ke kanan, dan
mereka turun dari trotoar, melaju menerobos lampu merah, dan
berbelok ke kanan di depan.
Pam berjuang mengatur napas. Mickey sudah beberapa waktu
tidak terdengar lagi suaranya. Clay menatap lurus ke depan, wajahnya
masih tetap tanpa emosi kecuali bibirnya. Senyum tipis mulai merekah
di bibirnya yang beku. Mobil melaju melintasi tanda berhenti, lalu menikung tajam
melewati sekelompok remaja yang tengah menyeberangi jalan.
Rumah-rumah melintas di sisi-sisi jendela bagai bayang-bayang
cahaya kuning dan kegelapan.
Pam memerlukan waktu cukup lama untuk menyadari kalau
mereka telah lolos dari kejaran polisi.
Mickey masih belum bersuara. Pam berpaling ke belakang
untuk memeriksanya. Mickey tengah duduk kaku menempel ke pintu, menatap keluar
jendela, kedua tangannya mencengkeram sabuk pengaman pada
pinggangnya. Clay tidak mengurangi kecepatan hingga mereka telah berada
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satu blok dari rumahnya. Lalu, sambil mengintip ke kaca spion
tengah, ia mengangkat kaki dari pedal gas, dan jarum spedometer pun
bergeser kembali ke kiri.
"Yo!" jerit Clay sekuat tenaga. "Ke mana mereka?"
Pam masih bisa mendengar sirenenya, berdering di telinganya.
Ia penasaran apakah suara itu akan hilang.
"Wow!" jerit Mickey, akhirnya bersuara. "Wow! Wow wow
wow!" Ia menyeringai seperti orang bodoh, dan merosot ke kursi.
Cengkeramannya pada sabuk pengaman lepas.
"Kita lolos!" jerit Pam, jantungnya masih berdebar kencang.
"Kita berhasil lolos!"
Clay menghentikan mobil di tepi jalan di depan rumah bata
merah kecilnya. Ia melontarkan kepala ke belakang dan tertawa penuh
kemenangan, tawa yang belum pernah didengar Pam sebelumnya.
"Man, hebat sekali!" kata Mickey penuh semangat. "Hebat!" Ia
menepuk bahu Clay. "Kau berhasil, Man. Kau berhasil!"
"Sewaktu truk tadi keluar, kukira tamat riwayat kita!" kata Pam,
meremas bahu Clay. "Waktu itulah polisi kehilangan jejak kita," kata Clay pada
mereka, matanya bersinar-sinar penuh gairah. "Truk itu menghalangi
mereka"dan kita lolos!"
Ketiganya tertawa, campuran antara kelegaan dan kemenangan.
"Benar-benar mengagumkan!" seru Mickey. "Mengagumkan!"
Ia mengulurkan tangan ke kursi depan untuk ber-high five dengan
Clay di udara. Lalu ekspresi wajahnya berubah. "Pam"pelat
nomormu. Polisi"mereka pasti berhasil mencatat pelat nomormu
sewaktu mengejar kita tadi."
"Berani taruhan tidak," jawab Pam sambil tersenyum. "Pelat
nomor bagian belakang sudah tidak ada. Jatuh minggu yang lalu. Dad
belum sempat menggantinya."
Ketiganya kembali meledak tertawa. Mereka terlalu lelah untuk
terus berada dalam mobil. Lalu turun ke jalan, bersorak-sorak.
"Aku ketakutan setengah mati tadi!" kata Pam mengakui. "Aku
belum pernah ketakutan seperti itu!" Diam-diam ia mengakui kalau ia
juga senang mengalami dikejar-kejar polisi seperti itu.
Angin agak reda, tapi ia tetap merapatkan selendang wol di
sekeliling lehernya yang sakit.
Ekspresi wajah Clay tiba-tiba berubah sangat licik. "Hei,
Guys"lihat apa yang kudapat!" katanya. Ia merogoh ke dalam saku
mantelnya dan mengeluarkan sekaleng jalapeno dip.
"Clay!" jerit Pam, benar-benar kaget.
Mickey ternganga, lalu menelan ludah dengan susah payah.
"Maksudmu..." "Seharusnya dinikmati bersama kripik kentangnya," kata Clay.
Ia tertawa dan melontarkan kaleng itu ke udara setinggi-tingginya,
menangkapnya dengan satu tangan saat kaleng tersebut meluncur
turun kembali. "Whoa, sulit dipercaya! Penjaga 7-Eleven itu memang benar!"
kata Mickey, tertawa hingga terguncang-guncang.
"Aku tidak suka sikapnya," kata Clay sambil menyeringai dan
memuntir-muntir minuman kaleng curian itu di tangannya.
Pam tiba-tiba kehilangan selera untuk tertawa. Bayangan Clay
menyambar leher kasir dan menghantamkannya ke mesin kasir
melintas dalam benaknya. Mulanya, ia mengira Clay benar untuk kehilangan kendali.
Tidak ada yang suka dituduh mencuri.
Tapi Clay ternyata benar-benar telah mencuri.
Pam menyandar ke mobil. "Kau harus belajar mengendalikan
temperamenmu," katanya pada Clay lembut.
Clay melangkah maju mendekatinya, dan wajahnya kemilau
tertimpa cahaya lampu jalan. "Hei, aku harus bersenang-senang,"
katanya, terdengar pahit.
Pam mau mengatakan sesuatu, tapi Mickey menyela. "Clay
benar, Man. Kejar-kejaran yang kita alami malam ini adalah
kesenangan yang paling hebat yang pernah kualami."
"Tapi, Mickey," kata Pam, "kita bisa saja tertangkap. Kita bisa
saja..." Ia tidak menyelesaikannya.
"Persetan," kata Mickey, sambil menendang kerikil ke tepi
jalan. "Paling tidak kita sempat bergembira. Kau tahu liburan macam
apa yang akan kujalani" Ayahku baru saja dipecat. Kau percaya" Dia
bekerja di toserba pamanmu selama dua puluh lima tahun, dan dia
dipecat sebulan sebelum Natal."
Pam melingkarkan lengannya di bahu Mickey dan memeluknya.
"Jangan singgung-singgung toserba pamanku di depanku," katanya
lembut. "Kenapa?" tanya Mickey.
Pam mengerang. "Well, aku bahkan tidak bisa mendapat
pekerjaan liburan di sana."
"Hah?" Clay melemparkan minuman curian tersebut kepada
Mickey, yang gagal menangkapnya. Kaleng itu jatuh ke jalan.
"Kau dengar," kata Pam pahit. "Kataku tadi aku tidak bisa
mendapat pekerjaan di Dalby's. Kata sepupuku..."
"Tapi Mitch Castelona meneleponku sebelum aku bertemu
Mickey," kata Clay padanya. "Kata Mitch sepupumu Reva punya
banyak pekerjaan. Mitch dapat satu, Lissa juga."
Pam merasa lehernya sesak karena marah.
"Reva memberi mereka pekerjaan?" tanyanya dengan nada
tinggi. "Kapan?"
"Malam ini," kata Clay padanya.
Pam mendengus jijik. "Dia memberi mereka pekerjaan malam
ini?" Clay mengangguk. Pam melontarkan ujung selendangnya ke belakang dengan
marah. " Aku akan membalas Reva," katanya dengan suara rendah
yang bahkan tidak dikenalinya sendiri. "Aku tidak tahu apa yang akan
kulakukan. Tapi entah bagaimana, aku pasti akan membalasnya."
Bab 5 Lelucon Kecil Reva REVA membelokkan Volvo keperakannya dengan tangan kiri,
sementara tangan kanannya menekan tombol radio. Mereka memutar
lagu-lagu paling buruk di saat Natal, pikirnya, sambil memindahmindahkan gelombang dengan cepat. Kalau harus mendengar
"Grandma Got Run Over by a Reindeer" satu kali lagi, aku pasti
menjerit! Hari Minggu itu kelabu, dingin dan basah. Matahari sempat
muncul sejenak di pagi hari, lalu bersembunyi di balik awan tebal.
Dengan perasaan tegang dan kelelahan, Reva bermobil ke klub
kesehatannya, bermaksud untuk berlari-lari dan berolahraga sejenak,
lalu berenang. Tapi kolam renang ditutup karena ada masalah dengan
saringannya, jadi rencananya berantakan.
Sekarang, sementara ia melaju melintasi SMU Shadyside, Reva
penasaran bagaimana caranya mengisi sepanjang siang hari itu. Pohon
hutan tropis dekat pintu masuk sekolah telah dihiasi lampu-lampu
Natal, yang dibiarkan menyala sekalipun saat itu tengah hari. Sekolah
tutup dan gelap. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.
Enam bulan lagi dan aku akan meninggalkan tempat ini untuk
selamanya, pikir Reva dengan perasaan campur aduk, semangat dan
kelegaan, dihiasi sedikit kesedihan. Ia telah diterima di Smith, pilihan
pertamanya, dan akan berangkat ke sana musim gugur nanti.
Ia tengah memikirkan bagaimana tahun terakhir SMU-nya
terasa sebagai tahun terlama dalam hidupnya sewaktu melihat
seseorang yang dikenalnya tengah menyusuri trotoar. Sambil
menginjak pedal rem, ia menepikan mobilnya dan menurunkan kaca
jendela di sisi penumpang. "Hei"Robb!"
Robb Spring berjalan dengan kedua tangan dalam saku,
melangkah menantang angin, sambil menunduk. Ia menengadah saat
Reva memanggilnya dan tersenyum sewaktu mengenali Reva.
"Hai!" panggil Reva sambil balas tersenyum. Ia selalu
menyukai Robb. Selama bertahun-tahun Robb mengikutinya ke manamana seperti seekor anak anjing yang sangat memuja tuannya. Robb
menyenangkan dan lucu, sangat lucu. Tapi Reva tidak mau berpacaran
dengannya karena Robb gendut.
Aku tidak bisa berpacaran dengan kerbau seperti ini, kata Reva
sendiri. Ia tidak menutup-nutupi penolakannya, dan akhirnya Robb
menyerah. Reva sudah berbulan-bulan tidak bercakap-cakap dengannya.
Reva tahu Robb sudah punya pacar dan sedang tenggelam dengan
kwartet jazz yang didirikannya. Reva pernah mendengar kalau Robb
pianis yang sangat berbakat, tapi tidak pernah mendengar
permainannya. "Reva, apa kabar?" Robb bergegas mendekatinya, napasnya
mengepulkan uap di depan wajahnya. Rambut cokelat keriting Robb
tidak disisir, seperti biasanya. Mata cokelatnya, yang selalu tampak
tertawa, mengintip ke dalam mobil Reva.
"Baik," kata Reva. "Kau sendiri?"
Robb mengangkat bahu dan tertawa. "Oke, kurasa. Sedang
disuruh ibuku." "Kau anak yang baik, Robb," goda Reva.
"Aku juga bisa nakal," kata Robb menyarankan, sambil
menyandar ke mobil dengan kepala menunduk.
Mereka bercakap-cakap sebentar, bertukar pengalaman. Lalu,
sementara mereka berbicara, Reva mendapat inspirasi.
Robb akan menjadi Sinterklas toko yang hebat, pikirnya. Daddy
mengatakan kalau salah satu Sinterklasnya mengundurkan diri dan dia
memerlukan pengganti. Well, Robb pengganti yang sempurna. Dia
begitu periang. Kepribadiannya sangat tepat untuk pekerjaan itu.Dan
dia begitu gendut, rasanya tidak perlu diganjal lagi!
"Hei, Robb, kau perlu pekerjaan selama liburan Natal ini?"
tanya Reva, merasa senang karena berpikir ayahnya akan gembira
dengan usahanya. "Yeah. Kurasa," kata Robb. "Rencananya aku mau menyekop
salju dari halaman rumah orang-orang. Tapi agak sepi... karena salju
belum turun. Tapi aku tetap saja menawarkan jasaku. Kau tahu, separo
harga. Tapi tidak ada yang mau." Ia menyeringai kepada Reva,
wajahnya yang bulat berwarna merah muda karena kedinginan.
"Tidak. Aku serius," kata Reva. "Ayahku bilang aku bisa
mencari beberapa karyawan untuk toko. Kau tahu, toserba Dalby's."
"Sungguh?" Ekspresi wajah Robb berubah serius. "Well, bagus
sekali, Reva. Kau tahu, situasi di rumahku agak susah. Kami bisa
menggunakan uangnya."
"Well, hebat," kata Reva. "Kau bisa mulai hari Sabtu."
"Kau tidak bohong?" tanya Robb.
"Yeah, aku tidak bohong," jawab Reva, penasaran mengapa
Robb tidak pernah menyisir rambutnya. Ia tiba-tiba mendapat gagasan
lain. Kenapa tidak mempermainkan Robb sekaligus" Robb punya
selera humor yang bagus. Dia pasti menghargainya. Pada akhirnya"
mungkin. "Dengar, aku punya pekerjaan yang sangat istimewa untukmu,"
katanya, sambil membayangkan Robb dalam kostum Sinterklas.
"Hah" Pekerjaan macam apa?"
"Eh"anu"semacam humas," kata Reva.
Robb tampak ragu-ragu. "Humas" Aku tidak tahu apa-apa
tentang humas." "Jangan khawatir," kata Reva menenangkan Robb, "kau pasti
bisa. Sungguh." Reva sudah tidak tahan untuk melihat Robb duduk di
singgasana Sinterklas yang besar, dengan bocah-bocah berjemari
lengket oleh permen duduk di pangkuannya, menarik-narik janggut
putihnya. Mata Robb yang gelap berkilau karena bergairah. "Trims,
Reva," katanya. "Kau baik sekali."
"Sampai ketemu di toko. Sekitar pukul setengah sembilan," kata
Reva. Saat Robb mengucapkan terima kasih lagi, Reva menekan
tombol untuk menaikkan kaca jendela dan melaju ke jalan.
Benar-benar bodoh, pikirnya.
Ia tidak sabar menunggu sampai hari Sabtu pagi. Robb pasti
muncul mengenakan setelan dan dasi, tidak ragu lagi, siap untuk
memulai pekerjaannya yang penting sebagai humas"cuma untuk
mendapat seragam Sinterklas merah cerah, lengkap dengan janggut,
rambut palsu, dan topi runcing yang menggelikan. Dan Lissa akan
hadir dengan mengenakan pakaian terbaiknya, dan langsung
diperintahkan ke gudang untuk membongkar kardus dan menata isinya
di rak. Mereka pasti terkejut setengah mati, pikir Reva, menyeringai
lebar. Sangat terkejut! Sambil mengucapkan selamat atas kepandaiannya sendiri, ia
membelokkan mobil memasuki jalur masuk, melaju sepanjang deretan
semak-semak tinggi ke garasi empat mobil di bagian belakang rumah.
**********************************
Malam itu, ayah Reva keluar rumah. Ia harus menjaga Michael.
Mereka bermain Chutes & Ladders selama satu jam, lalu Reva
memutar video kartun untuk Michael agar ia bisa sendirian.
Ia tidak menidurkan Michael hingga hampir jam sepuluh, lebih
dari sejam dibandingkan waktu tidur akhir pekan Michael yang
biasanya. Michael tampak gugup dan selalu menempel padanya,
mencari-cari alasan untuk tidak tidur.
Bocah ini kesepian, pikir Reva. Tapi apa yang harus kulakukan"
Bermain Chutes & Ladders selama satu jam sudah merupakan
hukuman yang kejam dan tidak biasa!
Akhirnya Michael setuju untuk tidur hanya setelah Reva
berjanji untuk membangunkannya pada saat ayah mereka pulang agar
dia bisa mengucapkan selamat malam. Reva berjanji, sambil
menyilangkan jari, memadamkan lampu di meja riasnya"menyisakan
lampu malam"dan perlahan-lahan turun ke bawah.
Michael manis, tapi sangat mengganggu, pikirnya. Rasanya
tidak ada kegiatan lain di malam hari yang lebih baik daripada ini.
Tiba-tiba ia teringat pada Mitch Castelona dan penasaran akan
apa yang tengah dilakukan cowok itu sekarang.
Pasti keluar bersama Lissa, tidak diragukan lagi.
Well, nikmatilah selagi masih bisa, Lissa, pikir Reva. Dalam
beberapa minggu lagi kaulah yang akan duduk di rumah"sementara
aku keluar dan bersenang-senang dengan Mitchmu yang berharga.
Ia meraih Vogue edisi baru dari meja rendah dan duduk di kursi
besar berlengan dekat perapian. Ia membalik-balik majalah tersebut.
Ia hampir saja selesai, tinggal membaca keterangan di bawah foto,
sewaktu terdengar ketukan keras di pintu.
"Oh!" Keributan yang mendadak itu mengejutkannya.
Ia berpaling ke ruang depan. Siapa yang datang selarut ini"
Ia bergegas ke ruang depan dan menempelkan wajahnya ke
dekat pintu. "Siapa?" panggilnya.
Tidak ada jawaban. "Siapa?" ulang Reva, sambil berusaha keras mendengarkan.
Ketakutan mencengkeramnya.
Bab 6 Serangan Mendadak "SIAPA?" ulang Reva tajam.
"Aku," kata seseorang pada akhirnya. Suara seorang bocah lakilaki. Suara Hank.
Ekspresi wajah Reva berubah jijik. Dengan perasaan enggan ia
membuka pintu. Angin dingin berembus memasuki ruangan saat Hank
menyelinap masuk sambil tersenyum.
"Hank, kau mau apa?" tanya Reva dingin.
Hank mengenakan mantel panjang bergaya tahun 50-an, tidak
dikancing, memperlihatkan kaos kelabu yang dikenakannya. Rambut
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pirangnya yang kaku tertimpa cahaya lampu dari atas.
Hank terus melontarkan senyum hangat pada Reva, seakan
tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, seakan Reva tidak
memutuskan hubungan mereka dengan begitu kejamnya. "Bisa kita
bicara sebentar?" tanyanya, hampir malu-malu.
"Untuk apa?" tanya Reva, sambil menghalangi jalan agar Hank
tidak masuk ke ruang duduk.
"A"kucoba untuk meneleponmu," kata Hank, ekspresinya
berubah serius. "Sudah kutinggalkan pesan di mesin penjawab. Kau
tidak membalas teleponku."
"Aku tahu," kata Reva, sambil memutar bola matanya.
"Mungkin seharusnya kau mengerti artinya."
Reva melintasinya menuju ke pintu depan, menarik pintu badai
hingga terbuka, dan memeganginya. "Selamat malam, Hank."
Hank menerobosnya dan keluar ke serambi depan. "Aku cuma
mau minta sesuatu," katanya pelan, menghindari tatapan Reva.
"Bantuan. Bukan tentang kita. Oke?"
Dengan waspada Reva keluar ke serambi mengikutinya, tanpa
berkata apa-apa. Embusan angin dingin kembali mengibarkan mantel
Hank hingga bersuara. Hank menariknya lebih erat.
"Bantuan apa" Cepatlah. Udaranya dingin sekali," kata Reva
dengan tidak sabar. "Maafkan aku, Reva. Ini tidak mudah bagiku."
"Kau mau apa?" tanya Reva, tidak bersedia untuk
memperlembut suaranya. Lagi pula apa yang dilakukan Hank di sini"
Hubungan mereka telah selesai. Berakhir.
"Aku"eh"kudengar kau punya pekerjaan. Aku"eh"apa
masih ada lagi?" kata Hank, wajahnya memerah. "Kau tahu. Di
toserba ayahmu." Reva tertawa dengan kejam. "Untukmu?"
"Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan, Reva. Ini sulit
bagiku"untuk datang kemari malam ini. Kau tahu" Oke, jadi kau
tidak mau keluar denganku lagi. Baik. Tapi kalau ada pekerjaan,
kupikir..." Suara Hank menghilang. Tatapan dingin Reva
menyebabkan ia merasa semakin serbasalah.
"Kurasa tidak, Hank," kata Reva pelan.
"Hah?" Hank menatapnya, sulit untuk mempercayai kekejaman
Reva. "Kurasa tidak ada," ulang Reva, tanpa bersusah payah
menyembunyikan kegembiraannya.
Sambil menjerit marah Hank menyambar lengan Reva. "Kau ini
ada masalah apa?" teriaknya.
"Lepaskan," perintah Reva.
Tapi Hank justru mempererat cengkeramannya. Penuh
kemarahan, ia memelototi Reva. "Kenapa kau memperlakukan diriku
seperti ini?" "Lepaskan!" jerit Reva, lebih karena marah daripada ketakutan.
Dan tiba-tiba ia mengertakkan giginya dan bersiul"nada tinggi yang
mantap membelah malam. Mata Hank terbelalak terkejut, kebingungan, dan melepaskan
cengkeramannya. Sedetik kemudian semak-semak di samping rumah mulai
bergemerisik. Lalu keduanya mendengar geraman berat, suara menakutkan
yang dengan cepat bertambah keras, semakin dekat.
Dan King"anjing penjaga keluarga Dalby, seekor Doberman
yang terlatih dengan baik"pun muncul dari kegelapan sambil
meraung. Hewan itu mematuhi tanda menyerang siulan Reva.
Semula anjing itu mengabaikan Hank karena ia tamu yang telah
sering datang ke rumah keluarga Dalby. Tapi sekarang ia mendengar
tanda menyerang. Waktunya untuk menyerbu.
Bola mata hewan tersebut merah membara. Lalu, sambil
menggeram marah, Doberman besar itu mengangkat cakar depannya
yang kuat dan menerkam Hank.
Hank menjerit, terhuyung-huyung mundur dua langkah.
"Reva"hentikan dia!"
Sambil mengabaikan jeritan Hank, Reva bergerak menjauh,
matanya terbelalak penuh semangat.
Anjing yang menggeram-geram tersebut menyambar lengan
mantel Hank dengan rahangnya.
Hank menyentakkan tangannya untuk membebaskan diri,
memperoleh keseimbangannya lagi, dan melesat menyeberangi
halaman rumput. Anjing itu mengikuti, menerkam punggung Hank
dengan marah, menggigit kaki-kaki Hank.
Reva mengawasi dari serambi, menunggu hingga Hank telah
berada cukup jauh di jalan sebelum kembali bersiul"memberi tanda
kepada anjing itu untuk menghentikan serangannya.
Mendengar siulan Reva, Doberman tersebut berhenti seakan
tombol catu dayanya dipadamkan. Sambil mendengking-dengking
dengan suara keras, hewan itu berpaling dan memandang Reva penuh
harap. Hank membuka pintu mobilnya dan naik ke dalam. Tapi
menyadari bahwa penyerangnya telah dipanggil kembali, ia berhenti,
dan sambil memegangi pintu mobil ia balas memelototi Reva.
Reva bisa melihat kemarahan di wajah Hank yang diterangi
cahaya lampu dari dalam mobil.
"Akan kubalas!" teriak Hank. "Reva"kau dengar kata-kataku?"
Reva tertawa menghina. "Kau tidak suka bermain-main dengan
King?" teriaknya. Ia menyentakkan kepalanya ke belakang dan
kembali bersiul keras. Seketika Doberman tersebut tersentak kembali hidup,
menggeram berat menyatakan niatnya yang kejam.
Reva mengawasi saat Hank bergegas masuk ke balik kemudi
dan membanting pintu mobil hingga tertutup. Beberapa detik
kemudian dia telah melesat pergi, meninggalkan anjing Reva yang
melolong kecewa di tepi jalan.
Reva bergegas masuk kembali ke dalam rumah, menutup dan
mengunci pintu di belakangnya. Ia gemetar.
Hank sangat konyol, pikirnya. Ekspresi wajahnya sewaktu
menyadari kalau tengah dikejar anjing!
Benar-benar lucu! Pikir Reva. Benar-benar lucu!
Bab 7 Reva Bekerja REVA berusaha untuk menahannya, tapi tidak mampu.
Kepalanya tersentak ke belakang, dan ia pun tertawa terbahak-bahak.
Para pegawai toserba yang tengah berada di ruang karyawan
berpaling untuk melihat ada keributan apa. Lissa memelototi Reva,
lalu beralih kepada Mitch. Wajahnya memerah, dan ia menutupi
wajahnya dengan tangan lalu terisak.
Saat itu pukul setengah sembilan hari Sabtu pagi, dan Lissa
baru saja tiba untuk bekerja dengan mengenakan rok wol kelabu, blus
dan blazer sutra, dan sepatu bertumit tinggi. Bahkan sebelum
mengucapkan selamat pagi ia telah menyadari kalau para karyawan
lainnya hanya mengenakan jins dan kaus serta sepatu sneakers.
"Reva, ada apa?" tanya Lissa, matanya mengamati para
karyawan lainnya, yang sekarang tengah menatapnya.
Reva, sambil berusaha mempertahankan ekspresi serius, mau
menjawab. Tapi sebelum ia sempat mengatakan sepatah kata pun,
Donald Rawson, kepala gudang, telah mendekati Lissa sambil
mengerutkan keningnya. Saat itulah pertahanan Reva runtuh. Tawanya pun meledak.
Lissa, dengan wajah merah padam, berpaling kepada Mitch
meminta dukungan. Reva bisa melihat dari ekspresi wajah Mitch
kalau cowok itu merasa sangat tidak enak pada Lissa, tapi dia
menghindari pandangan Lissa tanpa mengatakan apa-apa.
"Kami umumnya berpakaian yang biasa-biasa saja di gudang,"
kata Donald Rawson kepada Lissa, sambil menggosok-gosok puncak
kepalanya yang botak. "Ku"kupikir aku akan menjaga gerai parfum," kata Lissa
tergagap. "Maksudku, kata Reva aku harus mengenakan pakaian yang
bagus, dan..." Ia memelototi Reva.
"Maafkan aku, Lissa," dengus Reva. "Kurasa aku mendapatkan
informasi yang salah. Kau bisa memaafkan aku?" Reva mengenakan
rok biasa dengan sweter biru laut dan kalung mutiara.
Beberapa karyawan gudang lainnya tertawa kecil dari seberang
ruangan. Rawson memelototi mereka. "Miss Dewery, mungkin
sebaiknya kau pulang dulu berganti pakaian," katanya kepada Lissa.
"Tapi cepatlah kembali. Ada beberapa truk yang datang pagi ini. Kita
punya banyak pekerjaan."
Lissa kembali memelototi Reva untuk terakhir kalinya, lalu
melesat keluar ruangan, tumit sepatunya berdetak-detak menghantam
lantai beton. Bisa dikatakan begitu Lissa meninggalkan ruangan, Robb
masuk"memandang ke sekeliling ruangan dengan pandangan raguragu. Ia mengenakan jas sport wol cokelat, celana panjang cokelat tua,
kemeja putih, dengan dasi hijau bergaris-garis cokelat.
Sebuah kostum Sinterklas merah manyala terjuntai di
lengannya. Ia memandang berkeliling ruangan, menemukan Reva, dan
dengan marah berderap mendekatinya.
"Reva"kalau ini yang menurutmu lelucon, ini tidak lucu,"
katanya, sambil memberi isyarat dengan kostum tersebut.
Janggut putih tebalnya jatuh ke lantai, dan sewaktu Robb
membungkuk untuk mengambilnya, topi Sinterklasnya jatuh. Semua
orang tertawa. "Sulit dipercaya. Sungguh," kata Robb kepada Reva, tanpa
memperhatikan yang lainnya.
"Robb, tenang," kata Reva, menikmati kekecewaan Robb. "Kau
sangat sempurna untuk menjadi Sinterklas. Kau bahkan tidak
memerlukan bantalan apa pun!"
Tawa terdengar semakin keras. Mulut Robb ternganga, tapi
tidak terdengar suara apa pun.
"Reva, lagi-lagi kau mengumbar tipuan lamamu," kata Donald
Rawson, sambil menggeleng tidak setuju.
"Siapa" Aku?" tanya Reva dengan kepolosan yang dilebihlebihkan.
"Kita harus bekerja," kata Rawson tegas, sambil melirik ke jam
dinding besar di atas kepalanya. "Tokonya dibuka pukul setengah
sepuluh." Ia berpaling kepada Robb, yang masih berdiri diam dan
terengah-engah, jelas sekali kalau merasa sangat kecewa. "Kau mau
mengenakan kostum itu atau tidak?"
"Kurasa ya," kata Robb dengan geram. "Aku ingin melupakan
semuanya, tapi aku benar-benar memerlukan uang." Ia mendesah.
"Mungkin menyenangkan juga."
"Kau memang dilahirkan untuk memainkan peran ini," kata
Reva dengan antusias. "Reva, cukup!" kata Rawson tajam. "Sudah saatnya kau
mengurusi gerai kosmetik, bukan?"
"Kau jadi gadis penjual?" tanya Mitch, terkejut"kata-kata
pertama yang diucapkannya sepanjang pagi.
Reva mengangguk sambil tersenyum. "Daddy ingin aku
memulai dari bawah. Tapi kutolak."
"Reva, please..." sergah Rawson. "Aku harus memberi
penugasan pada karyawan baru." Ia mengacungkan clipboard yang
sejak tadi dipegangnya. "Sebelum naik ke atas, ada yang mau kubicarakan denganmu
sebentar," kata Reva sambil menyambar lengan Rawson dan
menariknya ke samping. Ia meraih clipboard-nya dan membaca isinya
sejenak. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbisik
kepada Rawson dengan sikap rahasia"tapi cukup keras hingga
terdengar oleh Mitch. "Cuma mau memastikan kalau kau menugaskan
Mitch dan Lissa di bagian yang berbeda."
Ia mengawasi bola mata Mitch berkilau, lalu berpaling kembali
kepada Rawson. "Rupanya sudah kaulakukan. Trims." Ia
mengembalikan clipboard-nya dan melangkah ke pintu. "Sampai
nanti, Mitch," katanya lembut, sambil melontarkan senyumnya yang
paling seksi. Reva berjalan sepanjang koridor sempit menuju ke lift yang
akan membawanya ke lantai utama. Benar-benar pagi yang luar biasa!
pikirnya, sangat senang dengan dirinya sendiri.
Lelucon kecilnya bahkan lebih berhasil dari yang
diharapkannya. Wajah Lissa berubah semerah tomat, pikir Reva
sambil tertawa kecil. Mungkin tidak akan pernah kembali ke warna
aslinya yang semula. Benar-benar hebat. Mitch pasti lebih baik tanpa dirinya. Lissa benar-benar
menyebalkan. Kejutan kecil yang diaturnya untuk Robb juga berhasil. Reva
terpaksa tertawa. Ia mengenang kembali saat Robb datang, siap untuk
memulai karier di bidang manajemen, tapi satu-satunya yang harus
dikelola adalah sederetan bocah-bocah dengan liur bercucuran di
kursinya di Santa Land. Mungkin seharusnya ia tidak melaksanakan lelucon-lelucon itu,
pikir Reva. Tapi kenapa tidak" Sekadar bisa tertawa"
Lagi pula, Mitch, Robb, dan Lissa seharusnya merasa bersyukur
bisa mendapat pekerjaan. Sekalipun ia sempat menjadikan mereka bahan lelucon, Reva
merasa yakin mereka sangat berterima kasih padanya.
Tentu saja mereka bersyukur. Pasti.
Segalanya berjalan begitu baik. Reva telah melihat dalam
clipboard Rawson kalau Mitch ditugaskan di bagian elektronik, Lissa
di bagian buku. Semoga tangannya tidak banyak terluka sewaktu membuka
karton-karton buku, pikir Reva kejam.
Reva tahu kalau Mitch telah mendengar permintaannya kepada
Rawson, jadi Mitch pasti tahu kalau dirinya tertarik padanya. Ia tidak
menutup-nutupinya. Lagi pula, menutup-nutupi bukanlah gaya Reva.
Nanti, Reva memutuskan, ia akan mengunjungi Mitch dan
bersikap lebih terbuka lagi.
Ya, ini jelas sekali akan menyenangkan.
Sambil melangkah dengan riang, Reva tinggal beberapa meter
lagi dari lift sewaktu ada tangan yang menyambarnya dari belakang
dan menarik pinggangnya dengan kasar.
"Hei!" jerit Reva, sambil berusaha membebaskan diri.
"Lepaskan..." Tangan lain menutup mulutnya.
Sekalipun ia berjuang keras, ia tetap saja terseret masuk ke
gudang yang gelap. Bab 8 Kejadian Menakutkan JANTUNG Reva berdebar sangat keras di dalam dadanya.
Matanya berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan
yang tiba-tiba mengurungnya. Ia tidak mampu membebaskan diri. Ia
tidak mampu berteriak. Lalu, ia terkejut ketika tangan-tangan yang telah menariknya ke
ruang kosong tersebut mengendur dan membebaskannya.
Reva berputar, kemarahan telah menggantikan ketakutannya.
"Hank!" jeritnya. "Apa yang kulakukan di sini?"
Hank melontarkan tawanya yang bernada tinggi seperti biasa.
Mata cokelat tuanya berkilau dalam cahaya gudang yang suram,
ekspresinya senang. "Apa kau cukup takut tadi?"
Fear Street - Malam Mencekam Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Reva balas menatapnya, tidak bersedia membiarkan Hank tahu
kalau ia baru saja ketakutan setengah mati.
"Kau mau apa?" sergah Reva, sambil merambat ke pintu yang
terbuka. "Apa kau kemari cuma untuk melakukan gurauan bodoh ini?"
Senyum Hank semakin lebar. "Aku bekerja di sini," katanya.
Reva ternganga. "Hah?"
"Kau dengar. Aku bekerja di sini. Mulai tadi pagi."
Reva maju selangkah ke pintu. "Kau mendapat pekerjaan di
sini" Ada yang menerimamu?"
Senyum Hank memudar. Pandangannya menusuk mata Reva.
"Aku tidak memerlukan dirimu untuk mendapatkan pekerjaan. Aku
bisa melakukannya sendiri."
Reva tertawa menghina, mencibirkan bibirnya. "Jadi, mana
sapumu" Atau mereka cuma memberimu sikat?"
Hank tidak bereaksi. "Aku bekerja di bagian keamanan,"
katanya pelan. "Sebagai asisten. Aku mengawasi monitor keamanan."
Reva menggeleng menghina. "Pekerjaan yang sempurna
untukmu, Hank. Mengawasi dua belas layar monitor sepanjang hari
dan dibayar." Hank menancapkan kedua tangannya yang besar ke saku celana
jinsnya. Komentar Reva menusuknya. "Hei, kau tahu aku suka
elektronik," katanya, dengan nada membela diri. "Siapa yang
membetulkan VCR-mu minggu yang lalu?"
"Siapa yang memperbaiki otakmu?" sergah Reva. "Kau cuma
mengikutiku saja, Hank. Itu satu-satunya alasan kau bekerja di sini.
Kau tidak bisa menerima kenyataan kalau hubungan kita sudah
kuputuskan. Tapi aku bisa." Suaranya mengeras, pandangannya
berubah dingin. "Tidak ada gunanya. Kita sudah selesai, Hank. Jadi
jangan ganggu aku lagi."
Sekalipun berusaha menutupinya, wajah Hank menunjukkan
kalau kata-kata Reva mengena tepat pada sasaran. "Aku butuh
pekerjaan. Itu saja," katanya tapi tanpa keyakinan.
Lalu ia menyambar lengan Reva. "Dengar, Reva..."
"Lepaskan!" "Aku tidak berbuat apa-apa terhadapmu," kata Hank panas.
"Kau tidak punya alasan untuk menyulitkan diriku."
"Lepaskan. Kau menyakitiku!" jerit Reva.
Hank melepaskan cengkeramannya tapi tidak mundur.
Dia begitu besar, pikir Reva, begitu kuat. Kalau sungguhsungguh ingin menyakitiku, dia bisa melakukannya dengan mudah.
"Aku akan mengawasimu, Reva," kata Hank dengan nada
mengancam. "Apa?" "Aku punya dua belas monitor. Aku akan mengawasi setiap
langkahmu." Bahkan dalam kegelapan gudang yang kosong, Reva bisa
melihat kemarahan Hank. Sambil mundur ke koridor menjauhi Hank,
kata-kata Hank terngiang dalam benaknya. Hawa dingin terasa
merayapi tulang punggungnya"ia ketakutan.
**************************
"Clay, untuk apa pisau itu?" tanya Pam.
Clay mengangkat bahu. "Cuma main-main." Ia terus membuka
dan menutup pisaunya. Tangannya tidak bisa diam, pikir Pam sambil mengawasi
tangan Clay. Clay tidak pernah bisa duduk diam.
"Hei, Man, itu bukan pisau pramuka," kata Mickey, sambil
menggaruk kepalanya. "Dapat darimana?"
"Ketemu," kata Clay sambil tersenyum aneh.
Mereka tengah duduk di ruang duduk Mickey yang kecil dan
mirip kotak. Pam merosot rendah di sofa yang telah lusuh, Clay di
kursi kayu di seberangnya, Mickey di lantai"dengan punggung
bersandar ke sofa dan kaki terentang lurus di depannya; dua permen
yang belum dibuka tergeletak di pangkuannya.
Di seberang ruangan, TV masih menyala, menayangkan
ulangan film polisi. Tidak ada yang memperhatikan. Angin melolong
di luar jendela ruang duduk yang sempit, mengguncangkan kacanya.
Mereka bisa mendengar suara sebuah kaleng pop-top tengah
dibuka di dapur di belakang ruang duduk. Mereka bisa mendengar Mr.
Wakely bergeser di kursinya di meja dapur. Dia telah duduk di sana
sejak Pam tiba, menghabiskan dua paket bir. Pam mendengarnya
melangkah ke lemari es sekali dan mengeluarkan paket enam kaleng
bir lainnya. "Dia terus-menerus minum sejak kehilangan pekerjaannya,"
kata Mickey, merendahkan suaranya hingga menyerupai bisikan.
"Hatinya hancur. Aku tidak pernah bisa mengajaknya berbicara
tentang hal ini." "Apa dia mencoba mencari pekerjaan lain?" bisik Pam.
Mickey mengeleng. "Dia belum pernah keluar rumah. Kecuali
untuk membeli bir." "Natal yang hebat," kata Clay muram, sambil menamparkan sisi
mata pisaunya ke telapak tangannya.
"Mana Foxy?" tanya Mickey, sambil membuka salah satu
permen cokelat dan menggigitnya.
"Dia harus kerja lembur malam ini lalu pergi dengan
orangtuanya," jawab Pam, jemarinya mempermainkan ujung kain sofa
yang robek. "Kau tahu kalau dia mendapat pekerjaan?"
"Hah" Di mana?" tanya Mickey sambil mengunyah.
Pam memutar bola matanya. "Di Dalby's. Kau percaya?"
Clay mencibir pahit. "Foxy mendapat pekerjaan di toserba
pamanmu dan kau tidak?"
Ekspresi Pam berubah gelap. Ia bisa merasakan kemarahan
mulai menumpuk dalam dirinya, seperti gunung berapi yang siap
meledak. "Berkat sepupuku, Reva," katanya sambil menggertakkan
gigi. "Dia benar-benar kejam," kata Clay, sambil memutar-mutar
pisau di tangannya. "Dia pembohong. Itu kenyataan," kata Pam dengan panas, dan
terkejut menyadari kekuatan emosinya sendiri. "Suatu hari nanti akan
kukatakan pendapatku tentang dirinya."
"Kenapa tidak sekarang saja?" saran Mickey, sambil memberi
isyarat ke arah telepon di meja rendah di samping sofa.
Pam mempertimbangkannya sejenak, lalu menggeleng. "Tidak
ada gunanya. Kau tahu apa yang pasti terjadi pertama kali, Paman
Robert akan menelepon ayahku, dan pertempuran keluarga akan
dimulai." "Jadi?" tanya Clay, sambil menatap Pam dengan mata kelabu
bajanya yang keras. "Jadi aku tidak ingin merusak Natal orangtuaku juga," kata Pam
padanya, sambil terus mempermainkan robekan kain sofa. "Aku tidak
mau memulai perang dunia. Cuma ingin membalas Reva."
Dari dapur, mereka bisa mendengar tutup bir dibuka. "Aku juga
benci pamanmu," kata Mickey dengan marah. "Lihat apa yang
dilakukannya pada ayahku. Sebulan sebelum Natal."
Clay menyemburkan gumaman lagu "Deck the Halls," sambil
memuntir-muntir pisaunya. Ia tiba-tiba berhenti dan melompat
bangkit, anting-anting berlian palsunya memantulkan cahaya dari
lampu lantai. "Kalian bisa menyimpan rahasia?"
Pam menengadah menatapnya. Ia cuma sekali melihat ekspresi
Clay seceria ini sebelumnya, sewaktu Clay berhasil meninggalkan
mobil polisi. "Yeah, tentu saja," kata Mickey, sambil menegakkan dirinya.
"Tidak. Aku sungguh-sungguh. Serius," kata Clay, mulai
berjalan mondar-mandir di ruangan yang kecil itu.
Mickey menarik dirinya dan duduk di samping Pam di sofa.
Mereka berdua mengikuti Clay dengan pandangannya, penasaran apa
yang telah melintas dalam benaknya sehingga Clay begitu
bersemangat. "Apa rahasiamu?" tanya Pam.
"Ayo, Man. Kau tahu kalau bisa mempercayai kami," tambah
Mickey. Clay berhenti mondar-mandir dan bersandar ke kusen jendela,
menatap ke kegelapan di balik jendela. "Aku telah menyusun rencana
kecil," katanya pelan, begitu pelan hingga mereka harus berjuang
untuk mendengarnya. Mereka menunggu Clay melanjutkan. Tapi sebaliknya, Clay
justru mendekati TV dan mengeraskan suaranya. Lalu, sambil melirik
ke dapur, ia menarik kursi kayunya ke dekat sofa dan duduk di sana di
depan Pam dan Mickey. Sambil memeluk sandaran kursi, ia mulai bicara dengan suara
pelan tapi penuh semangat, sambil sesekali melirik ke dapur"jelas
sekali merasa yakin kalau Mr. Wakely tidak akan suka mendengar apa
yang akan dikatakannya. "Aku punya rencana," ulangnya. "Aku tahu pasti berhasil. Ini
satu jalan agar kita punya Hari Natal yang baik. Maksudku, punya
hadiah dan segala macamnya." Ia melirik ke dapur dengan gugup, lalu
mengalihkan pandangannya ke Pam. "Dan ini satu cara untuk
membalas sepupumu." "Hah?" Pam menatapnya, kebingungan. "Clay, kau ini bicara
apa?" "Aku sudah mengaturnya dengan satpam yang bertugas malam
di Dalby's," bisik Clay penuh semangat, sambil membungkuk
mendekati Pam dan Mickey. "Aku akan merampok toserba itu."
Bab 9 Kejahatan yang Sempurna "MUNGKIN kalian tertarik untuk ikut?" tanya Clay.
Mickey tertawa dan, dengan sikap main-main, menepuk bahu
Clay. "Kau bergurau, bukan?"
Tapi Pam seketika tahu kalau Clay serius. Clay, ia tahu, tidak
benar-benar memiliki perasaan humor. Clay tidak suka bergurau atau
mengatakan sesuatu hanya untuk mendapatkan reaksi orang-orang.
Clay selalu bersungguh-sungguh.
Keseriusan ekspresi Clay dengan cepat meyakinkan Mickey
kalau ia memang bersungguh-sungguh merencanakan untuk
merampok Dalby's. Dan sekarang Clay terus menatap mereka berdua
penuh harap, seakan menunggu jawaban.
"Hei, Clay, yang benar saja!" seru Pam. "Aku tidak bisa
merampok toko pamanku sendiri!"
Pandangan Clay memancarkan kewaspadaan, dan ia berdiri
untuk mencengkeram mulut Pam. Ia mengintip ke arah dapur,
mendengarkan tanda-tanda apa pun kalau Mr. Wakely telah
mendengar ucapan Pam. Lalu, perlahan-lahan, ia menarik tangannya
dari wajah Pam. "Maaf," bisik Pam. "Aku lupa."
"Jangan khawatir tentang ayahku, Man," kata Mickey
menenangkan Clay. "Ia sudah terlalu mabuk, tidak mungkin tahu apa
yang terjadi." "Pokoknya kita bicara pelan saja," kata Clay tajam. Ia kembali
duduk di kursi, lengan-lengannya yang panjang menggantung pada
punggung kursi, kakinya membelit kaki kursi. "Dengar, Pam, ini
bukan benar-benar perampokan," katanya menjelaskan. Ia membuka
pisaunya dan kembali memukul-mukulkan sisi mata pisaunya ke
telapak tangannya. "Ini semacam Robin Hood. Mengerti maksudku"
Kita ambil barang milik orang kaya dan memberikannya kepada orang
miskin untuk Natal"yaitu kita."
Mickey kembali tertawa kecil, gugup. "Sulit dipercaya, Man."
"Well, percayalah," kata Clay dengan nada serius, sambil
mengetuk-ngetukkan pisaunya ke telapak tangan lebih keras lagi.
"Aku tidak bisa memikirkan cara lain yang lebih mudah untuk
membalas Reva," kata Pam, kali ini teringat untuk berbisik.
"Yeah," kata Mickey, sambil menggaruk-garuk rahangnya
dengan gugup. "Merampok toserba bisa berbahaya, kau tahu?"
Angin bertambah kencang, mengguncang jendela keras-keras.
Clay berpaling dengan cepat, seakan mengira akan melihat seseorang
berdiri di belakangnya. Setelah tidak melihat seorang pun, ia kembali
memandang teman-temannya, ekspresi wajahnya masih tetap keras
dan serius. "Tidak akan berbahaya sama sekali," kata Clay dengan nada
datar tanpa ekspresi. "Ini bahkan tidak seperti perampokan yang
sesungguhnya." "Maksudmu bagaimana?" tanya Pam.
Terdengar suara kursi bergeser di lantai dari dapur. Diikuti
erangan Mr. Wakely. Clay mengangkat tangan, memberi isyarat agar
yang lain tidak bersuara. Beberapa detik kemudian mereka mendengar
dengkuran lembut dari ruangan lain. Ayah Mickey telah tertidur.
"Aku kenal John Maywood," kata Clay, sedikit santai sementara
suara dengkuran teratur mengalun memasuki ruangan. "Dia satpam
yang bertugas malam. Teman lama ayahku. Ayahmu pasti juga
mengenalnya, Mickey."
"Yeah, tentu saja. Aku tahu siapa John Maywood," kata
Mickey, sambil bergeser tidak nyaman di sofa.
"Well, Maywood benar-benar sakit hati sewaktu ayahmu
dipecat," kata Clay kepada Mickey. "Sewaktu kuberi tahu kalau aku
punya gagasan untuk merampok toko, Maywood cuma tertawa.
Menurutnya itu gagasan yang bagus. Dia membenci keluarga Dalby.
Dia langsung setuju untuk membantuku."
"Membantumu" Bagaimana caranya?" tanya Mickey.
Pam duduk sambil menatap Clay tanpa bicara, penasaran
seberapa jauh Clay bersungguh-sungguh dengan rencananya,
penasaran seberapa jauh tindakan yang sudah diambilnya.
"Kata Maywood dia akan membuka pintu belakang dan
membiarkanku masuk. Lalu katanya dia akan membiarkanku
mengambil apa pun yang aku mau. Bukan masalah. Dia bahkan
bersedia menjagaku."
"Wow!" seru Mickey, sambil memilin-milin pembungkus
permen di tangannya. Ekspresinya berubah serius saat
mempertimbangkan apa yang telah dikatakan Clay.
"Apa Maywood tidak akan kehilangan pekerjaannya?" tanya
Pam. "Apa polisi tidak akan langsung tahu kalau dia membiarkanmu
masuk?" "Tidak kalau aku membuatnya seperti perampokan yang
sebenarnya," jawab Clay penuh semangat.
"Maksudmu..." "Maksudku, aku harus membuatnya seperti aku memukulnya
sampai pingsan atau apa. Mungkin mengikatnya. Menghantam
kepalanya. Kau tahu. Sekadar supaya kelihatan nyata. Menurut
Maywood dia bisa mengatasinya setelah itu."
Perjodohan Busur Kumala 25 Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 3