Pencarian

Malam Mencekam Ii 1

Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night Bagian 1


BAGIAN I PENCULIKAN Bab 1 Rencana-rencana Liburan PAUL NICHOLS sedang ingin membunuh seseorang.
Ia mengetuk-ngetukkan kedua tangannya ke roda kemudi dan
menunggu nyala lampu berubah. Lampu merah lalu lintas itu
memelototinya, memantulkan kemarahannya, hingga jalanan yang
berlapis es dan pepohonan serta semak-semak yang terbungkus salju
tersebut tampak kemilau kemerahan di balik kaca depan yang
berkabut. Memerah marah. Melodi "Malam Kudus" yang lembut dan akrab melantun dari
radio. Ia menyambar tombolnya dan mematikan radio itu sambil
mengerang pahit. Kurang dari minggu sebelum Natal, pikir Paul, sambil
membalas kilau merah lampu lalu lintas. Udara dingin mengembus
kakinya dari pemanas yang rusak. Kenapa ia bahkan mau
menghidupkannya" Natal telah dekat dan ia tidak memiliki pekerjaan. Tidak
memiliki uang. Tidak memiliki apa-apa.
"Se-selamat Natal padaku," gumamnya pelan. Kegagapannya
telah muncul kembali. Kegagapannya selalu muncul bila ia marah atau
tegang. Lampu berubah. Ia menginjak pedal gas hingga rata dengan
lantai, dan Plymouth tua itu mencicit memasuki persimpangan, rodarodanya yang halus berputar di atas es.
Ia harus mengurangi kecepatan saat tiba di tengah kota.
Waynesbridge dikenal sebagai "Kota Natal" karena kemeriahan
dekorasinya, termasuk sebatang pohon Natal yang didekorasi dengan
cerah di setiap sudut Main Street.
Cahaya yang berkilau terang benderang hanya membuat
suasana hati Paul semakin kelam. Ia mengurangi kecepatan mobil
hingga berhenti, membiarkan keluarga yang terdiri atas empat orang
untuk menyeberangi jalan. Mereka tengah tersenyum, wajah-wajah di
bawah topi ski dari wol tersebut memerah. Kedua anak mereka tengah
menunjuk ke etalase Toy Village, toko mainan yang besar di tikungan.
Saat mengawasi si ayah meraih tangan bocah kecil tersebut
sewaktu menyeberang, Paul teringat pada keluarganya sendiri.
Bagaimanapun juga Natal seharusnya merupakan waktu bagi
keluarga. Tapi tidak bagi Paul. Ia tidak pernah bertemu lagi dengan
orangtuanya sejak berusia enam belas tahun, dua tahun yang lalu.
Tidak sejak ia mengundurkan diri dari SMU Waynesbridge di tahun
pertamanya. "Semoga mereka men-mendapat Natal yang b-buruk,"
gumamnya, sambil meremas roda kemudi lebih keras hingga kedua
tangannya terasa sakit. Beberapa menit kemudian ia memarkir mobil di tepi jalan di
depan gedung apartemennya dan turun. Langit sore berwarna
lembayung, bola merah matahari menurun hingga ke balik gedung
bata dua tingkat. Sneakers Paul menginjak tumpukan-tumpukan kecil
salju keras yang kotor saat berlari-lari kecii ke bagian belakang
gedung. Tangga logamnya berdentang di bawah langkahnya sewaktu ia
naik ke apartemennya di lantai dua. Sambil menggigil di balik jaket
kulit penerbangnya yang berwarna cokelat, ia mendorong pintunya
hingga terbuka dan melangkah masuk.
"Hei...!" Diane Morris menengadah terkejut. Ia tidak berusaha
untuk bangkit dari sofa vinil berwarna hijau itu.
Ekspresi wajah Paul tetap kosong. "Diane, kau di sini?"
Diane membiarkan majalah People terjatuh dari tangannya.
"Yeah. Kau tidak keberatan, bukan, Pres" Ayah dan ibuku sedang
bertengkar lagi, sekadar pergantian suasana. Mereka berdua sedang
mabuk berat, menjijikkan. Aku tidak bisa tetap di sana."
Paul hanya menggeram sebagai jawaban. Ia melemparkan
jaketnya ke kursi dan menyeberangi ruangan kecil itu. Sebuah kantong
keripik kentang yang terbuka tergeletak di atas meja yang
memisahkan ruang duduk dengan dapur yang sempit. Ia meraihnya
dan menjejalkan segenggam keripik ke dalam mulutnya.
"Kau sudah mendapat pekerjaan, Pres?" tanya Diane, sambil
menegakkan duduknya. Paul menggeleng. Ekspresi penuh harap di wajah Diane memudar. Ia menunduk
memandang lantai. "Bagaimana dengan lowongan di Pick and Pay
itu?" "Aku tidak sudi mengirimkan barang belanjaan!" sembur Paul
marah, sambil membanting kantong keripik kentang ke meja. "A-aku
b-bukan tukang antar!"
"Oke. Oke, Pres," jawab Diane lembut. Ia menyeberangi
ruangan dan mencium Paul, lama dan lembut.
Paul menarik diri dengan tidak sabar, lalu berbalik
memunggunginya. "Pres?" Diane pura-pura tersinggung. Mereka telah berpacaran
selama tiga tahun. Ia telah terbiasa dengan ungkapan kemarahan Paul.
"Tunjukkan cibiranmu," katanya, menggoda. "Ayo. Biar kulihat."
Paul tidak bisa berlama-lama marah padanya. Ia mengerucutkan
bibirnya dan berbalik, melontarkan cibiran terbaiknya.
Diane memanggilnya Pres karena cowoknya itu membuatnya
teringat pada Elvis Presley. Paul memiliki rambut hitam lurus yang
sama, yang dilengkapi dengan jambang panjang. Matanya juga sama
hitam dan romantisnya seperti mata Elvis Presley. Dan dia juga
mampu mencibir seperti Elvis. Diane pernah menangkap basah dia
tengah melatih cibiran tersebut di depan cermin.
Diane tertawa. "Kau bisa menjadi bintang, Pres. Sungguh."
"Kau benar-benar bodoh, Diane," Paul mengatakannya sambil
tersenyum. "Yeah, karena aku berhubungan denganmu," balas Diane. Ia
menjulurkan lidah ke arah Paul.
Diane menggosok lengannya yang kurus dari balik sweter
merah muda tipis yang dikenakannya bersama celana panjang jins
denim hitam lurus. Cahaya dari lampu meja memantul pada rambut
pirang pucatnya, yang diikat di belakang kepala dengan ikat rambut
merah muda. Rambut-rambut halus yang hitam membentuk garis
bergerigi yang gelap di sepanjang keningnya.
Diane memandangi Paul dengan matanya yang kelabu kebiruan,
ciri terbaik dirinya. Sebelum rambutnya diubah menjadi pirang, Diane
selalu menganggap dirinya mirip tikus dan sederhana. Ia sangat
menyadari kedua gigi depannya yang menonjol keluar. Ia sangat benci
bila Pres memanggilnya Kelinci. Cowoknya itu hanya memanggilnya
begitu kalau tengah ingin mengganggunya.
Diane berusia tujuh belas tahun, setahun lebih muda daripada
Pres. Ia lulus dari SMU Waynesbridge di bulan Juni yang lalu dengan
nilai rata-rata C. Ia bisa saja mendapatkan nilai yang lebih baik, tapi
mustahil baginya untuk belajar di rumah karena orangtuanya selalu
mabuk, selalu bertengkar. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya
di apartemen Pres yang lusuh.
Ia juga belum mendapatkan pekerjaan.
"Oh, sialan," kata Diane, sambil menggeleng. Ia mengempaskan
dirinya ke sofa. Bantalan vinilnya mengeluarkan embusan keras. Ia
menengadah menatap mata Paul. "Sekarang apa yang harus kita
lakukan" Apa kau melihat ada iklan lowongan lain di koran?"
Pres menggeleng. Ia membawa kantong keripik kentang itu ke
sofa dan duduk di samping, Diane. Ia menatap kantong tersebut
seakan-akan mempelajarinya.
"Well, kita tidak punya uang," lanjut Diane. Ia menyodok
tulang rusuk cowoknya. "Bagaimana kau bisa membeli Jaguar yang
kaujanjikan padaku?"
Paul mencibir. "Jangan membuatku tertawa."
Diane membungkuk untuk memungut majalahnya. "Aku baru
saja membaca tentang pria dan wanita yang merampok sebuah truk
pengiriman uang. Kau tahu, truk kecil yang membawa uang dari bankbank itu. Mereka memarkir mobilnya sebegitu rupa sehingga
menghalangi jalan dan berpura-pura ban mobil mereka bocor.
Sewaktu truk itu berhenti, mereka berdua mencabut senapan otomatis.
Mereka berhasil mendapatkan enam juta dolar."
Pres menggeleng. "Wow. Pekerjaan yang bagus!"
"Mungkin kita bisa melakukannya," kata Diane serius.
Diane memiliki fantasi kalau mereka berdua akan menjadi
penjahat besar. Ia selalu mendapat gagasan-gagasan mereka
melakukan perampokan yang berani dan hebat, sama seperti di film,
dan berhasil mendapatkan jutaan dolar.
Mula-mula Pres mengira Diane hanya bergurau, mengarang
cerita-cerita untuk menggembirakan diri sendiri. Setelah beberapa
waktu ia mulai menyadari kalau Diane serius. Diane benar-benar
percaya kalau mereka bisa menjadi kaya dengan melakukan kejahatan
besar. "Apa ruginya?" tanya Diane. Sebuah pertanyaan yang telah
sering didengar Pres. Itu yang selalu ditanyakan Diane: "Apa
ruginya?" "Well, aku sudah kehilangan satu pekerjaan," jawab Pres
dengan pahit, jemarinya mempermainkan robekan vinil pada lengan
sofanya. Pres memikirkan pekerjaan yang dijalaninya selama hampir dua
tahun di Toserba Dalby's. Bekerja di bagian gudang bukanlah
pekerjaan glamor. Tapi bayarannya cukup untuk hidup. Dan dari
waktu ke waktu ia mampu mencuri beberapa benda yang bagus"
sebuah jaket penerbang dari kulit, sebuah arloji, dan TV portabel.
Bukan pekerjaan yang buruk sama sekali.
Tapi lalu salah seorang satpam menangkapnya karena ia
membawa tape portabel di balik jaketnya"dan ia pun kehilangan
pekerjaan tersebut. Pres dibawa menemui Robert Dalby sendiri. Dalby sendiri!
Dalby senang menguliahi karyawan yang tertangkap basah mencuri
sebelum memecat mereka. Benar-benar orang tolol! Pres begitu marah pada waktu itu hingga ia bahkan tidak bisa
mengajukan alasan sekalipun dengan tergagap-gagap. Wajah Dalby
memerah, merah padam. Dan Pres harus menahan diri, harus menahan
tangannya yang ada di saku celana jinsnya, harus menahan dorongan
hati untuk menyambar leher Dalby, untuk mencekiknya dengan dasi
sutranya sendiri. Sejak itu Pres tidak mampu mendapatkan pekerjaan lain. Sudah
hampir tiga bulan. Tiga bulan yang penuh kemarahan dan penolakan.
Suara Diane menerobos pikiran pahitnya. Ia menyadari kalau
Diane tengah berbicara padanya, tapi ia tidak mendengarkan sepatah
kata pun. "Jadi?" tanya Diane dengan tidak sabar. "Apa benar?"
"Apa benar apa?" tanya Pres. Kantong keripik kentangnya telah
kosong. Ia meremasnya menjadi bola dan melontarkannya ke seberang
ruangan. "Apa benar kau sudah meneliti rumah Dalby?" tanya Diane,
matanya menyipit menatap Pres, menanyainya.
"Yeah, aku sudah memeriksanya," kata Paul padanya.
"Dan?" "Dan tidak sulit untuk masuk ke sana," katanya tanpa
antusiasme. "Sungguh?" Diane menyambar tangan Pres dan meremasnya
dengan penuh semangat. "Aku hanya melihat seekor anjing penjaga. Hanya itu," kata
Pres padanya. "Menurutmu kita benar-benar bisa masuk ke sana?" tanya
Diane, sambil terus memegangi tangannya.
"Mudah sekali." Paul berpaling mengamati wajah Diane. "Hei,
kau benar-benar serius mengenai hal ini" Serius mau merampok
rumah Dalby?" "Apa aku tidak tampak serius?" jawab Diane. "Ini pembalasan
yang sempurna bukan, Pres?"
Paul mengerutkan kening. "Tidak kalau kita tertangkap."
Ia teringat kembali kejadian tiga bulan yang lalu dan merasakan
tangan satpam toko pada bahunya. Sekali lagi ia melihat semua orang
di toko memandang ke arahnya, menatapnya sewaktu diseret ke
ruangan Dalby di lantai enam untuk dipecat.
"Kau pernah masuk ke rumah Dalby sekali, bukan?" tanya
Diane, tenggelam dalam pikirannya sendiri. "Kau melihat barangbarang yang ada di sana?"
"Yeah, musim dingin yang lalu. Semacam acara pesta toko,"
jawab Pres. "Tempat itu penuh terisi barang antik."
Ia kembali menyadari kalau Diane serius mengenai rencana ini.
Apa aku serius" Ia tidak yakin. "Kita bisa melakukannya, Pres," kata Diane dengan penuh
semangat, sambil meremas tangannya. "Kita bisa membalas Dalby
karena sudah memecatmu. Kita bisa masuk ke sana dan mengambil
cukup banyak barang antik untuk memastikan kita akan mengalami
Natal yang hebat! Maksudku, kita bisa membeli pohon, hadiah, seekor
kalkun untuk makan malam"dan segalanya!"
Dengan antusias Diane memeluk bahu Pres dan menciumnya.
Bibirnya terasa panas pada bibir Pres. "Kita bisa melakukannya!"
jeritnya. "Persis seperti di film, Pres. Persis seperti di film!"
Diane memeluk cowoknya erat-erat, tubuhnya yang kurus
gemetar karena gembira. "Apa pendapatmu?"
Paul menatap ke seberang ruangan. Pandangannya beralih dari
perabotan yang lusuh ke karpet yang juga telah lusuh.
Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, ia bangkit berdiri. Ia berbalik
dan menatap Diane, senyuman merekah di wajahnya yang tampan.
"Aku mendapat gagasan yang lebih baik," katanya.
"Hah?" Diane ternganga menatapnya, bibirnya terbuka.
"Lupakan barang antiknya," kata Pres sambil mencibir. "Apa
yang kita ketahui tentang barang antik" Tidak ada."
"Ya, tapi..." Pres mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Apa milik
Dalby yang paling berharga?"
Diane mengangkat bahu. "Dari mana aku tahu?"
"Putrinya!" seru Pres.
"Reva," gumam Diane, terkejut menyadari dirinya mengingat
nama itu. "Reva Dalby."
"Benar," kata Pres. "Menurutmu berapa banyak yang bisa kita
peroleh dari barang antik" Mungkin beberapa ratus ribu" Mungkin.
Tapi Dalby akan menyerahkan lebih dari jutaan untuk putrinya."
Diane menggigit-gigit bibir bawahnya dengan serius. Mata
kelabu kebiruannya menatap Pres. "Maksudmu...?"
"Ya!" seru Paul. "Ka-kau mau film" Ini akan persis seperti film,
Diane! Kita hanya perlu merencanakannya dengan hati-hati, langkah
demi langkah. Adegan demi adegan. Dan dengan sedikit
keberuntungan..." Ia meringis penuh semangat ke arah Diane.
"Dengan sedikit keberuntungan kita bisa menjadi jutawan pada hari
Natal! Kita hanya perlu menculik Reva Dalby."
Bab 2 Reva Tertangkap REVA DALBY mundur ke pagar dan mengangkat kedua
tangannya seakan-akan hendak melindungi dirinya sendiri. Sosok
gelap tersebut terus mendekatinya, maju perlahan-lahan, mantap.


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Reva menjerit pelan. Toko serbaada telah gelap dan kosong, sunyi kecuali untuk
lantunan "Malam Kudus" yang terdengar pada pengeras suara.
Pria tersebut semakin dekat. Dia bernapas dengan keras, yang
terdengar bagai erangan mengancam setiap kalinya.
Reva menekankan punggungnya ke pagar balkon krom yang
rendah itu. Ia melirik ke lantai utama toserba di bawahnya, samarsamar dan tidak bergerak, lima lantai di bawahnya. Ia menatap pohon
Natal raksasa yang berkilauan cemerlang di lorong tengah. Lantunan
"Malam Kudus" yang lain merobek-robek kesunyian yang mengerikan
tersebut. "Please"jangan!" jeritnya kepada penyerangnya.
Pria tersebut menggenggam sepucuk pistol pada sebelah
tangannya. Ia menerkam Reva, kedua lengannya terulur.
Reva memejamkan mata dan membungkuk.
Ia bisa merasakan embusan angin dingin saat pria itu melayang
melewatinya, melayang melewati balkon.
Ia bisa mendengar pria tersebut menjerit saat jatuh ke bawah.
Lalu ia mendengar dentangan kaca pecah. Derakan yang sangat
keras. Lalu ia mendengar jeritan panjang kesakitan saat penyerangnya
mendarat di pohon Natal. Listrik lampu pohon itu korslet. Pria
tersebut berguling-guling dan menggeliat-geliat di tengah-tengah arus
listrik biru keputihan. Zapzapzapzap. Desisan menyengat yang mematikan. Reva tahu ia tidak akan
pernah melupakannya. Lalu ia mendengar suara pelan pria tersebut. Ia mengatakan,
"Permisi, Miss. Miss?"
Zapzapzapzap. "Permisi, Miss," kata pria tersebut. "Bisa minta tolong?"
Reva mengerjapkan mata. Ia menyadari kalau tidak sedang
berada di balkon. Ia tengah berada di belakang rak parfum di lantai
pertama. Perlahan-lahan, ia meninggalkan masa lalu dan adegan yang
terus dibayangkannya berulang-ulang sejak hari Natal yang lalu.
Sekarang setahun telah berlalu. Satu tahun kemudian, dan ia
masih mengingat malam yang mengerikan tersebut setiap kali
mendengar "Malam Kudus" dari pengeras suara toko.
Ia selalu mengingatnya. "Bisa minta tolong, Miss?" Suara tersebut akhirnya berhasil
menembus pikirannya. Reva tengah menghadapi seorang pria paro baya dengan rambut
ubanan yang telah menipis. Pria tersebut mengenakan mantel luar
warna cokelat dan membawa koper kulit yang telah lusuh. Dari kerut
tidak sabar yang ada di wajahnya, Reva mengetahui kalau pria ini
telah cukup lama berusaha menarik perhatiannya.
"Kau bekerja di sini?" tanya pria tersebut, sambil menatap Reva
dengan mata kelabu yang berair.
"Tidak. Aku hanya senang berdiri di belakang rak," jawab
Reva, sambil membelalakkan matanya. Mata birunya yang dingin
semakin dingin saat ia menatap mantel luar pria tersebut yang telah
lusuh. "Bisakah kau membantuku memilih parfum?" tanya pria itu,
sambil menatap botol-botol kaca mengilap di dalam rak kaca.
"Untukmu?" tanya Reva sambil tertawa menghina.
Wajah pria tersebut memerah. "Tidak. Tentu saja bukan. Untuk
istriku." "Maaf, aku sedang istirahat." Reva berbalik menjauhinya. Ia
menunduk menatap cermin oval di meja dan mulai menyibakkan
rambut merahnya yang mengombak dengan satu tangan.
"Sedang istirahat" Tapi toko baru saja dibuka!" seru pria itu,
wajahnya semakin memerah.
Reva tidak mengalihkan pandangannya dari cermin. "Bukan
aku yang mengatur jadwalnya," katanya. Ia menatap wajah pria itu
dalam cermin, menikmati ekspresi marah sekaligus tidak berdayanya.
Reva harus berjuang agar tidak tertawa terbahak-bahak.
Pria itu menghela napas. "Dengar, Miss, bisakah kau
membantuku" Tampaknya kau satu-satunya gadis penjual di bagian
ini. Aku harus tiba di kantor sepuluh menit lagi."
"Maaf. Peraturan toko," jawab Reva, sambil menutupi kuapnya
dengan tangan. "Tapi, sungguh..."
Reva berbalik menghadapinya. Bola matanya berputar
menghina mengamati mantel cokelat pria itu yang modelnya telah
ketinggalan zaman, memandang kopernya yang sama lusuhnya.
"Mungkin lebih baik kau ke bagian yang barangnya bisa ditawar di
ruang bawah tanah," katanya pada pria itu. "Tangganya ada di sebelah
sana." Ia menunjukkan arahnya.
Pria itu menjerit jengkel. Ia menyentakkan kopernya dari meja
dengan marah dan menghambur ke pintu keluar.
Ada apa dengannya" tanya Reva pada dirinya sendiri, sambil
tertawa. Aku hanya berusaha membantu orang aneh yang miskin
untuk menghemat sedikit uang.
Tawa Reva terputus oleh suara seseorang yang berdeham
dengan ribut di belakangnya. Reva berbalik dan melihat Arlene Smith,
penyelia bagian kosmetik, tengah memelototinya dengan pandangan
tidak setuju. Lengan Ms. Smith yang kurus terlipat rapat di depan jas
kelabunya. "Reva, kau sangat kasar kepada pembeli itu," kata Ms. Smith"
ia meminta dipanggil dengan sebutan itu"dengan gigi terkatup.
"Dia mungkin akan selamat," jawab Reva datar.
"Tapi apa toko akan selamat?" tanya Ms. Smith dengan marah.
Reva membelalakkan matanya. "Maafkan aku, Ms. Smith,"
katanya, sambil menekankan kata Miss-nya. "Tapi kau seharusnya
tidak perlu membesar-besarkan masalahku hanya karena kau
mengalami hari yang buruk!"
Mata Ms. Smith menyipit mengancam. "Aku akan
membicarakan kejadian ini dengan ayahmu, Reva. Sikapmu tidak
bertambah baik." "Kuharap kaubicara dengannya," kata Reva sambil mendesah.
"Aku tidak ingin berada di toko pada hari Natal ini. Tapi ayahku
memaksa. Katanya ini bagus untukku."
"Kurasa ini tidak bagus untuk semua orang," kata Ms. Smith
pelan. Ia berjalan menyeberangi bagian kosmetik, melangkah dengan
marah, tumit tinggi sepatunya berdetak-detak menghantam lantai yang
keras. Di mana dia mendapatkan sepatu itu" Di pandai besi" tanya
Reva pada diri sendiri sambil tergelak pelan.
Ia mengangkat tangannya dan memeriksa kukunya. Kukukukunya panjang dan sempurna, dan semalam ia telah melapisinya
dengan cat kuku ungu. Hanya sekadar iseng ia menambahkan bintik
hitam di tengah-tengah setiap kuku. Ia tahu hal itu akan menyebabkan
Ms. Smith sinting. Sekalipun hari masih pagi, belum lagi pukul sepuluh, toko
mulai penuh terisi para pembeli yang bersiap untuk Natal. Reva
mengawasi seorang wanita yang sangat gemuk di seberang lorong
yang tengah berusaha menyelinap di antara dua buah rak buku saku.
"Bagaimana kalau sesekali kau menyantap salad!" serunya kepada
wanita itu, tahu kalau suaranya tidak akan terdengar karena keriuhan
toko. Reva meraih ke bawah meja dan mengeluarkan sebuah botol
berisi air Evian yang disimpannya di sana. Ia menghirup seteguk, lalu
berhenti sewaktu melihat sosok yang akrab di lorong, berjalan menuju
dirinya. Kyle Storer. Seringai yang biasa menghiasi wajah cowok itu.
Kyle mengira dirinya begitu menarik. Ia berusaha mendekati
Reva sejak liburan sekolah dimulai dan mereka berdua mulai bekerja
di Dalby's. Tapi Reva telah menolak ajakannya untuk pergi bersama.
Kenapa" Kyle terlalu bersemangat.
Sekarang dia berada di sini, hendak mencoba lagi. Reva
mengerang sendiri, mengawasi cowok itu mendekat, matanya yang
hijau berkilauan. Kyle mengenakan celana chino cokelat, sepatu bot
hitam, dan kemeja kotak-kotak putih-biru bergaya Western dengan
dasi tali berwarna biru laut.
Manis. Benar-benar manis, pikir Reva dengan marah. Benarbenar seorang koboi. Mungkin dia kemari untuk melantunkan yodel.
"Hei"'pa kabar?" tanya Kyle, seringainya semakin lebar. "'Pa
kabar, Reva?" "Menurutmu kau siapa?" tanya Reva, sambil menatap dasi tali
cowok itu. Seringai Kyle memudar. "Hah" Maksudmu dasiku" Kau suka?"
"Aku agak sibuk," kata Reva. "Tebak saja."
Kyle mengabaikan penerimaan Reva yang dingin. "Toko sudah
benar-benar ramai," katanya, sambil memandang sekilas ke
sekelilingnya. "Kurasa ayahmu bekerja keras hari ini, hah?" Ia tertawa
seakan-akan baru saja melontarkan lelucon.
"Kyle, aku benar-benar tidak bisa mengobrol," kata Reva
bersikeras. "Aku sudah mendapat masalah dengan Ms. Smith pagi
ini." Kenapa dia tidak bisa menangkap isyaratku" Reva penasaran.
Kalau dia mengajakku pergi lagi, dia akan sangat menyesal.
"Kau punya acara hari Sabtu malam?" tanya Kyle, sambil
bersandar ke rak kaca. Tangan Reva melesat maju, menjatuhkan botol berisi air Evian.
"Oh! Maafkan aku!" jeritnya, sambil mengawasi airnya menumpahi
bagian depan celana chino Kyle.
Kyle mundur selangkah, mulutnya ternganga sewaktu melihat
noda basah yang lebar di bagian depan celananya.
"Memalukan sekali!" jerit Reva dengan simpati yang
menggoda. "Kyle, apa pendapat para pembeli?"
Kyle mengangkat bahu dan berusaha untuk bersikap tenang,
tapi wajahnya merah padam. "Nanti," gumamnya, dan bergegas pergi.
Setelah selesai tertawa, Reva minum cukup banyak dari botol
Evian-nya. Lalu ia berbalik dan melihat Francine, wanita berambut
berantakan mirip tikus yang berbagi tugas di rak parfum bersamanya,
melangkah ke sampingnya sambil menggeleng.
"Maaf aku terlambat, Reva. Mobilku mogok di Division Street.
Apa banyak pembeli?"
"Ya, sangat banyak," jawab Reva sambil mendesah. "Aku sudah
kelelahan setengah mati, Francine. Aku mau istirahat. Sampai nanti."
Francine mencoba untuk protes. Tapi Reva tidak
memedulikannya dan bergegas pergi.
Sewaktu melewati pohon Natal, Reva merasa hawa dingin
merayapi bagian belakang lehernya. Sekali lagi kenangan akan hari
Natal yang lalu dan seluruh kengeriannya menyerbu masuk ke dalam
benaknya. Aku telah berjanji akan menjadi orang yang lebih ramah setelah
kejadian hari Natal yang lalu, pikir Reva mengingat-ingat. Aku
berjanji akan menjadi lebih ramah, lebih hangat, lebih
mempertimbangkan perasaan orang lain.
Well, aku akan lebih ramah kalau sekarang berbaring dengan
mengenakan bikini di pantai yang panas di tempat lain! katanya
sendiri. Aku akan menjadi jauh lebih ramah, pasti!
Tapi bagaimana aku bisa menjadi lebih ramah kalau harus
menghabiskan liburan Natal dengan berdiri di belakang rak parfum,
menunggu orang-orang tolol yang kasar di toko yang penuh sesak ini"
Reva melintasi bagian stoking, menuruni tiga anak tangga, dan
melihat sepupunya Pam di samping kartu-kartu ucapan yang
membentang sepanjang dinding.
Pam mengikat rambut pirang lurusnya dengan pita merah dan
hijau. Ia mengenakan rok hijau pendek dan celana ketat merah serta
kaus ketat merah. Aku tahu aku bisa mengandalkan Pam untuk mendapatkan
banyak semangat Natal, pikir Reva dengan sinis. Kurasa dia gembira
karena mendapatkan pekerjaan.
Ibu Pam telah menganggur selama hampir setahun. Dan
ayahnya harus meninggalkan toko obatnya dan bekerja pada orang
lain. Tapi, pikir Reva, Pam tampak secerah dan seceria biasanya.
Dan siapa cowok manis yang diajaknya bicara itu"
Sewaktu Reva memasuki bagian peralatan kantor, ia melihat
Pam tengah memegang bahu seorang cowok berkulit gelap yang
sangat tampan. Cowok itu mengenakan celana denim hitam dan
sweter putih. Rambut hitamnya yang lurus diikat ekor kuda pendek.
Kening cowok tersebut lebar dan kecokelatan. Dan mata hitamnya
yang tajam tengah terpaku pada Pam. Cowok itu tengah tersenyum
kepada Pam, senyuman terindah yang pernah dilihat Reva.
"Hai, guys," kata Reva, sambil melangkah ke tengah-tengah
Pam dan cowok itu. Pam terpaksa melepaskan tangannya dari bahu cowok itu dan
mundur selangkah. "Bagaimana kehidupan di bagian peralatan kantor, Pam?" tanya
Reva, dengan pandangan terarah kepada cowok itu.
"Hebat!" jawab Pam. "Ini pekerjaan yang mudah. Sama sekali
tidak buruk." "Bagus," kata Reva. Ia masih belum mengalihkan
pandangannya dari cowok itu.
"Apa kau sudah"eh"kenal Victor?" tanya Pam. "Ini Victor
Dias. Ini sepupuku Reva."
"Hai." Victor melontarkan senyum malu-malu ke arah Reva.
Wow, pikir Reva. Benar-benar senyum yang mengagumkan!
Benar-benar cowok yang hebat!
Aku benar-benar tergila-gila pada cowok ini, kata Reva dalam
hati. "Kau bekerja di sini?" tanya Reva, sambil balas tersenyum,
mengarahkan mata birunya ke mata cowok itu.
"Ya. Selama liburan," jawab Victor. "Biasanya di gudang."
"Gudang" Aku harus bekerja di sana setiap hari dari pukul tiga
sampai lima," kata Reva. Ia benar-benar benci bekerja di gudang. Tapi
sekarang, pikirnya sambil memandangi wajah Victor yang tampan,
mungkin aku akan jauh lebih menikmatinya.
"Kau senang bekerja di sini?" tanyanya kepada cowok itu,
bersemangat untuk terus bercakap-cakap.
"Hati-hati, Victor," sela Pam. "Ayah Reva yang memiliki
seluruh toko Dalby."
Victor tersenyum. "Aku senang bekerja di gudang. Kuharap
bisa bekerja di sana seumur hidupku!" katanya bergurau.
Reva tertawa. Victor melirik arlojinya. "Sebaiknya aku kembali. Sampai
ketemu, Pam." Ia berbalik dan hendak berlalu.
"Aku bekerja di bagian parfum," seru Reva dari balik
punggungnya. "Mampirlah kapan-kapan, oke?"
"Senang bertemu denganmu," kata Victor tanpa berpaling. Ia
menghilang di tengah-tengah keramaian para pembeli.
"Dia luar biasa, bukan?" kata Pam.
Reva akhirnya memandang sepupunya. "Tampaknya cowok
yang baik," katanya dengan nada biasa.
Wajah Pam memerah. Mata hijaunya berkilau penuh semangat.
"Kurasa inilah dia, Reva," bisiknya, sambil menyeringai. "Maksudku,
aku baru bertemu Victor beberapa minggu yang lalu. Tapi aku...
well... aku tergila-gila padanya."
"Hebat sekali, Pam," jawab Reva tanpa emosi apa pun, seakanakan Pam baru saja memberitahu kalau di luar mendung atau sesuatu


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sama membosankannya. Ia mengangkat tangannya dengan
punggung tangan menghadap ke sepupunya. "Apa pendapatmu
tentang kukuku?" "Hah?" Pam tampak kebingungan oleh perubahan topik
pembicaraan secara tiba-tiba tersebut.
"Apa ini akan menyebabkan Ms. Smith meledak, atau apa?"
tanya Reva, sambil mengacungkan kuku-kuku jemari ungu berbintik
hitam tersebut di depan wajah Pam.
Yang mengejutkan Reva, Pam justru meraih sebilah pisau
pembuka surat bermata perak dari rak peralatan kantor. Pam
mengangkat pisau pembuka surat tersebut tinggi-tinggi.
"Pam"apa-apaan kau?" jerit Reva.
"Ini pendapatku mengenai kuku-kukumu!" seru Pam. Dan ia
menghunjamkan pisau pembuka surat tersebut ke dada Reva.
Bab 3 Tersambar REVA menjerit tertahan bagai orang tercekik.
Pam tertawa. Ia mengacungkan pembuka surat tersebut dan menghunjamkan
mata pisaunya dua atau tiga kali lagi ke dada Reva. "Kena kau," seru
Pam, mata hijaunya berkilau gembira tertimpa cahaya lampu toko.
Reva mundur selangkah, matanya masih terbelalak ketakutan.
Ia menatap pembuka surat palsu tersebut, menyadari kalau mata
pisaunya bisa keluar-masuk. Mata pisaunya terdorong masuk ke
dalam tangkainya bila pisau tersebut ditekankan ke apa pun.
Sambil tetap meringis, Pam menusukkan mata pisau tersebut ke
salah satu telapak tangannya. "Kau percaya kalau pembuka surat
mainan ini merupakan barang terlaris di bagian peralatan kantor Natal
kali ini?" kata Pam sambil menggeleng.
"Itu... lucu sekali," kata Reva lemah. "Senang kau bisa
bergembira, Pam." "Lebih baik daripada Natal yang lalu," kata Pam, sambil
menatap Reva dengan pandangan penuh arti.
"Jelas," gumam Reva.
Reva mengucapkan selamat berpisah kepada sepupunya. Lalu
berjalan selambat mungkin ke rak parfum, sambil memikirkan Victor.
Sepulang kerja Reva menuju ke ruangan-ruangan eksekutif di
lantai enam untuk menemui ayahnya. Ia melewati ruang penerima
tamu yang mewah berisi sofa-sofa kulit, bunga-bunga segar di vas-vas
kaca tinggi, dan dinding yang dipenuhi lukisan-lukisan modern.
Saat menyusuri lorong ke ruangan ayahnya di sudut, Reva
berhenti sejenak sewaktu melihat balkon. Dari balkon itu ia bisa
memandang lantai satu"lima lantai di bawahnya. Balkon tempat ia
hampir menemui ajalnya. Hawa dingin kembali merayapi punggungnya. Reva menahan
napas dan menempuh sisa perjalanan dengan berlari-lari kecil, dengan
pandangan lurus ke depan.
Mr. Dalby tengah berdiri di ambang pintu ruangannya, sambil
membawa setumpuk arsip. Ia tersenyum saat Reva mendekat.
"Bagaimana kabarmu?"
Ayah Reva seorang pria yang langsing dan tampan yang bekerja
setiap hari dan sangat menjaga diri. Ia berusia empat puluh enam
tahun tapi tampak lebih muda. Satu-satunya tanda usianya adalah
keriput di sudut matanya yang hitam dan uban di bagian samping
rambutnya yang hitam dan dicukur sangat pendek.
"Bagaimana kabarnya" Buruk," keluh Reva. Ia mengikuti
ayahnya ke dalam ruangan dan duduk di depan meja kayu ayahnya
yang lebar. Ia membalik foto dalam bingkai plexiglas di sudut meja dan
menatapnya. Ia telah melihatnya paling sedikit seribu kali, tapi tetap
saja merasa sedih. Itu foto dirinya, adik lelakinya, Michael, dan ibu
mereka di pantai di Cape. Foto itu diambil lima tahun yang lalu, tepat
enam bulan sebelum ibu Reva meninggal.
Foto yang hebat, pikirnya, sambil memutarnya kembali. Begitu
bahagia dan sedih pada saat yang sama. Ia selalu penasaran bagaimana
ayahnya mampu bertahan memandangi foto itu di hadapannya
sepanjang hari. Mr. Dalby duduk di kursinya dan mencondongkan tubuh di atas
meja, mengamati wajah Reva. "Ms. Smith mengeluh tentang dirimu
tadi pagi," gumamnya.
Reva mengangkat bahu, seakan-akan hendak mengatakan siapa
yang peduli. "Aku benar-benar tidak ingin bekerja di sini hari Natal
ini, Daddy," katanya, tidak bermaksud untuk terdengar merengek
seperti kedengarannya sekarang. "Maksudku, kita toh tidak
memerlukan uangnya."
Mr. Dalby mengerutkan kening. Ia mengetuk-ngetukkan pensil
ke meja sambil terus menatap Reva dan berpikir. "Aku benar-benar
ingin kau bekerja," katanya lembut. "Untuk kebaikanmu sendiri, Reva.
Aku tahu dengan begitu akan membangkitkan kenangan buruk. Tapi
kurasa kau harus mengatasinya."
"Aku benar-benar membutuhkan istirahat, itu saja," kata Reva
bersikeras. "Kenapa aku tidak bisa ke Saint Croix bersama Michael?"
"Karena keluarga Harrison tidak mengundangmu," jawab
ayahnya terus terang. "Mereka hanya mengundang adikmu."
Reva meniup seutas rambut merahnya dari kening. "Dasar
gelandangan," gumamnya.
"Kuberitahu," kata Mr. Dalby, sambil melemparkan pensilnya.
Ekspresinya berubah ceria. "Tetaplah di toko ini selama Natal, dan
kita akan pergi ke tempat yang hangat bulan Februari nanti."
"Sungguh?" Reva menegakkan duduknya di kursi. Mata birunya
berubah cerah. "Dan kau boleh mengajak seorang temanmu," tambah ayahnya.
"Kau tidak bisa mendapatkan tawaran yang lebih baik lagi."
Reva tertawa. "Apa ini yang mungkin kau sebut penyogokan?"
Mr. Dalby mengangguk. "Ya. Jelas ini merupakan
penyogokan." Reva melompat bangkit, mencondongkan tubuh di atas meja,
dan mencium pipi ayahnya.
Mata hitam ayahnya membelalak terkejut. Ia tidak biasa
menerima curahan perasaan sebesar itu dari putrinya.
"Oke, kuizinkan kau menyogokku," kata Reva sambil
tersenyum. "Sebenarnya, aku senang disogok."
"Dan kau akan tetap bekerja di toko?" tanya ayahnya.
"Yeah. Tentu saja," jawab Reva.
"Dan aku tidak akan mendapat keluhan lagi dari Ms. Smith
bahwa kau bersikap kasar kepada pembeli?" tanya ayahnya, sambil
mengangkat alisnya. "Hei"jangan mengharapkan keajaiban!" seru Reva. Ia berjalan
ke lemari mantel di dinding. "Kau mau pulang?"
Mr. Dalby mendesah dan menunjuk ke tumpukan arsip di
mejanya. "Tidak bisa. Aku harus lembur. Aku harus membereskan
laporan inventarisasi ini."
Reva mengenakan mantelnya. "Oke. Sampai ketemu nanti." Ia
berhenti di pintu. "Trims untuk sogokannya, Daddy."
"Kembali." Sambil bersenandung sendiri, Reva menyusuri lorong menuju
ke dua buah lift karyawan. Sebagian besar ruangan yang dilewatinya
telah kosong. Meja-meja di ruang depan juga telah kosong. Para
sekretaris pulang tepat pukul lima.
Suaranya entah bagaimana terdengar bergema di lorong yang
sunyi. Ia berhenti bersenandung.
Ia tidak senang berada di sini seorang diri.
Dengan jantung yang berdetak lebih cepat, Reva melangkah ke
salah satu lift karyawan. Pintu-pintunya terbuat dari aluminium yang
mengilat. Ia bisa melihat pantulan dirinya di pintu tersebut. Dua orang
Reva tengah balas menatap dirinya, agak kacau, keduanya agak
gelisah, agak ketakutan. Ia menekan tombolnya. Pintu-pintu lift di sebelah kirinya bergeser membuka.
Ia melangkah ke sana. Tapi seseorang menjerit keras di belakangnya.
Dan tangan-tangan yang kuat menyambar lengannya dari
belakang. Bab 4 Reva Ketakutan REVA merasakan dirinya diseret mundur.
Dengan kekuatan putus asa ia menyentakkan tubuhnya,
membebaskan diri, dan berbalik.
"Hah" Daddy?" jeritnya.
"Jangan menggunakan lift karyawan," kata ayahnya, sambil
mengawasi pintu lift bergeser menutup. "Aku sudah mendapat
masalah dengan keduanya. Sudah kuminta perusahaannya untuk
memperbaiki." "Daddy"kau membuatku ketakutan!" seru Reva.
Ayahnya terengah-engah dengan suara keras. Ia telah berlari
melintasi lorong untuk menghentikan dirinya. "Maafkan aku, Reva.
Lift-lift ini bisa berbahaya. Seharusnya dipasang tanda peringatan."
"Wow!" seru Reva. "Wow." Detak jantungnya perlahan-lahan
normal kembali. "Di sini memang tidak pernah membosankan."
Ia mengucapkan selamat berpisah sekali lagi kepada ayahnya
dan berjalan menuju ke lift utama. Ia turun hingga ke lantai pertama,
sambil menutupi telinga untuk tidak mendengar ram-tam-tam dari
lagu "The Little Drummer Boy" yang melantun dari loudspeaker lift.
Toko telah tutup selama hampir setengah jam. Bagian
kebersihan yang berseragam biru tengah menyeret alat pel, ember, dan
pengisap debu raksasa dengan ribut. Beberapa orang manajer lantai
tengah menata ulang rak-raknya.
Reva bergegas melintasi lorong di sela-sela rak menuju ke pintu
keluar karyawan. Toko selalu membuatnya merasa ngeri setelah para
pembeli pulang. Udaranya terlalu diam. Lorong-lorong di sela rakraknya terlalu kosong. Manekin-manekinnya terasa seakan-akan
tengah menatap dirinya. Ada terlalu banyak kenangan yang menakutkan....
Sambil menarik risleting mantelnya, ia melangkah ke malam
yang bersih dan dingin. Langit lembayung tampak kemilau oleh
ribuan bintang kecil-kecil.
Sepatu bot Dr. Marten birunya menghantam beton saat ia
menyeberangi dermaga bongkar-muat barang yang lebar dan
menuruni anak tangganya yang landai. Angin berembus
mengentakkan pagar rantai yang mengelilingi lapangan beraspal.
Dedaunan cokelat tebal menghantam pagar seakan-akan hendak
menerobosnya. Kenapa tempat parkir karyawan harus berada begitu jauh dari
toko" Reva penasaran. Ia menaikkan kerah mantelnya dan mulai
berlari-lari kecil. Di belakang sini gelap sekali, pikirnya sambil
menggigil. Daddy tidak akan mati kalau memasang beberapa buah
lampu di sini. Gerbang di ujung area bongkar-muat samar-samar terlihat. Di
balik gerbang tersebut membentang lorong sempit di antara dua buah
gedung. Kawasan parkirnya berada di ujung lorong itu.
Reva melangkah melewati gerbangnya dan bergegas melintasi
lorong sempit itu. Kedua gedung itu membentuk dinding-dinding
tinggi yang gelap di kedua sisinya.
Sepatunya menginjak pecahan kaca dan salju. Angin bersiul
melalui lorong tersebut, mendorongnya seakan-akan hendak
menyuruhnya mundur. Ia baru mencapai separo lorong gelap itu sewaktu mendengar
langkah kaki. Di belakangnya. Mula-mula lambat, lalu semakin cepat.
Napas Reva tercekat di tenggorokannya. Angin melolong. Ia
bisa mendengar suara langkah kaki itu mengatasi angin.
Semakin dekat. Semakin dekat.
Lebih dari satu orang. Ia membeku. Lalu memaksa kakinya untuk bergerak.
Sambil mencengkeram kerah mantelnya dengan dua tangan, ia
menunduk untuk menentang angin dan berlari.
Cahaya kelabu memancar dari ujung lorong. Reva berlari ke
arah cahaya tersebut. Ia hampir-hampir terjatuh karena sebuah kaleng
Coke kosong. Kaleng tersebut berdentang dengan ribut, memantulmantul di aspal.
Langkah-langkah kaki itu telah dekat.
Berapa banyak orang" Berapa banyak orang yang mengejarnya"
Ia tidak berbalik. Ia terus menunduk menentang angin yang
bersiul. Cahaya kelabu tersebut membuka bagai kabut di ujung lorong.
Ia terengah-engah menarik napas, berlari sekuat tenaga. Berlari
ke cahaya. Deretan mobil terlihat saat ia melangkah keluar dari kegelapan.
Kawasan parkir membentang di depan matanya. Cahaya-cahaya putih
dari tiang-tiang yang tinggi memantul pada mobil-mobil itu bagaikan
komet yang terang benderang.
Reva melihat Miata merahnya yang baru terletak sendirian di
deretan pertama dekat pagar.
Kalau aku bisa ke sana, aku akan aman, pikirnya. Aman...
Aman dari siapa" Siapa yang mengejarnya" Dan kenapa"
Tanpa mengurangi kecepatan, ia berpaling.
Dan mengenali pria serta wanita itu.
Dua orang manajer penjualan toko. Mereka saling melambai
mengucapkan selamat malam dan bergegas melintasi tempat parkir
menuju ke mobil masing-masing.
Reva berhenti beberapa meter dari mobilnya, terengah-engah
mengatur napas, dadanya bergejolak. Ia mengawasi lampu-lampu
mobil menyala setelah kedua karyawan toko tersebut naik ke mobil
masing-masing. Aku benar-benar goblok, kata Reva pada diri sendiri.
Ia menyadari kalau masih mencengkeram kerah mantelnya
dengan dua tangan. Sambil menatap ke seberang tempat parkir saat
kedua mobil tersebut menderum hidup, ia melepaskan mantelnya dan
menurunkan lengannya. "Aku goblok," katanya keras-keras. "Goblok."
Kenapa aku bisa menganggap mereka mengejarku"
Kenapa kubiarkan diriku begitu ketakutan" Aku dulu tidak
pernah seperti itu. Tidak pernah!
"Reva, hentikan!" katanya memarahi dirinya sendiri. "Aku
sudah kehilangan kendali. Aku benar-benar kehilangan kendali,"
gumamnya, sambil menggeleng.
Ia merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan kunci mobilnya.
Tangannya gemetar sewaktu membuka kunci pintu pengemudi.
Ia menyelinap ke kursi kulitnya, menutup pintu mobil, dan
menguncinya. Lalu ia menjejalkan tangan ke dalam saku mantelnya
dan duduk diam, sangat diam, sambil menatap ke tempat parkir,
menunggu napasnya normal kembali, menunggu ketakutannya
memudar. Aku harus berhenti menakut-nakuti diriku sendiri, pikirnya,
sambil mengawasi beberapa orang karyawan toko lainnya
menyeberangi tempat parkir dan naik ke mobil masing-masing. Aku
harus menghentikannya"sekarang juga.
"Aku Reva Dalby, dan aku tidak takut pada apa pun," katanya
keras-keras. Suaranya halus dan mantap, entah bagaimana terasa
menenangkan. Ia memutar kunci di lubangnya, menyalakan lampu depan


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mobil, dan membelokkan mobil ke pintu keluar. Division Street macet
hingga beberapa blok. Mungkin ada kecelakaan.
Sambil mengerang jengkel Reva berbelok meninggalkan
Division Street memasuki sebuah jalan samping. Aku lewat belakang,
katanya sendiri. Di spion tengah ia melihat mobil di belakangnya juga
berbelok. Biasanya, ia hanya memerlukan waktu dua puluh menit
bermobil dari toko ke rumahnya di North Hills, kawasan mahal dan
eksklusif Shadyside. Reva tahu tidak ada alasan nyata untuk tergesa-
gesa. Karena kepergian Michael ke St. Croix, Yvonne, perawatnya,
diliburkan. Jadi rumah akan kosong.
Tapi Reva tidak suka terjebak dalam kemacetan. Ia merasa
frustrasi. Dan ia gadis yang tidak suka merasa frustrasi karena apa
pun. Ia membelokkan Miata kecilnya di tikungan, melesat melewati
rumah-rumah kecil bagai kotak, lalu berbelok tajam melewati sebuah
taman bermain yang gelap dan kosong.
Cahaya memantul di kaca spion tengahnya. Saat melirik ke
sana, Reva melihat mobil di belakangnya telah berbelok tajam di
tikungan yang sama. Sorotan lampu depan mobil menyembunyikan pengemudinya.
Tapi ia bisa melihat mobil tersebut sebuah mobil tua dan reyot.
Plymouth, pikirnya. "Dia tidak sedang mengikutiku," katanya sendiri keras-keras,
menjejakkan kakinya ke pedal gas semakin dalam. Mobil kecil
tersebut melesat maju. "Jangan mulai ketakutan lagi, Reva. Dia tidak
sedang mengikutimu. Tidak."
Ia memutar kemudi kuat-kuat dan berbelok tajam memasuki
Park Drive. Rumah-rumah, pepohonan, dan semak-semak melaju
lewat di kedua sisinya. Reva mengamati kaca spion tengah. Sepasang lampu kembar
tersebut muncul kembali di kaca spionnya.
Plymouth tersebut juga berbelok.
Aku tidak membayangkannya. Mobil itu memang mengikuti
diriku. Reva menggigil menyadarinya.
Tapi kenapa" Bab 5 "Tangkap Dia Sebelum Terjaga"
"AKU mengikutinya," kata Pres. "Kuikuti terus sampai di
rumah. Hanya untuk melihat jalan mana yang dilaluinya. Lalu aku
pergi." Ia mengacungkan botol saus di atas hamburger dan
mengguncangkannya kuat-kuat. Lalu ia memegang botol tersebut
tanpa bergerak, menatap piringnya saat sausnya menggenang di atas
daging. "Seperti hamburger kecil dengan sausmu?" tanya Diane, sambil
menggeleng tidak setuju. Ia mengikat rambut pirang pucatnya dengan
syal biru-putih, tapi beberapa helai rambutnya terselip keluar dan
menjuntai di keningnya yang pucat.
"Aku suka saus yang banyak," gumam Pres, sambil mengawasi
saus merah tebal tersebut menyebar hingga ke piring.
"Apa perlu kumintakan satu botol lagi?" tanya Diane sinis.
"Atau mungkin segelas" Kau bisa langsung meminum sausnya."
Pres tidak menjawab. Sebaliknya, ia justru memberi isyarat ke
piring kentang goreng di depan Diane. "Kau hanya menyantap itu?"
"Yeah. Aku sedang diet." Diane meraih ke seberang meja
formika dan mencelupkan sepotong kentang goreng ke genangan saus
di piring Pres. "Ambil sausmu sendiri!" sergah Pres.
Mereka tengah duduk berhadapan di sebuah meja yang gelap di
bagian belakang Freddy's, sebuah kedai kopi kecil di Old Village
Shadyside. Restoran sempit itu dipenuhi bau kopi dan bawang putih
goreng. Pres dan Diane merupakan satu-satunya pembeli.
Pres mengangkat hamburgernya dengan dua tangan dan
menggigit sepotong besar. Saus mengalir turun di dagunya. Ia
memelototi Diane di seberang meja. "Kenapa kau menatapku seperti
itu?" "Aku menunggu sisa ceritamu," jawab Diane, sambil
melambaikan sepotong kentang goreng yang dijepit dengan dua jari
tanpa menyantapnya. "Katamu tadi kau mengikutinya?"
"Yeah. Kuikuti dia," jawabnya, mengunyah sambil bicara. "Aku
cukup yakin kalau dia tidak menyadari kehadiranku."
"Kau berhati-hati?"
Pres mengangguk, sambil menghapus saus di dagunya dengan
tisu. "Aku menjaga jarak cukup jauh. Dia tidak melihatku. Aku sudah
mengikutinya sepanjang minggu. Kau tahu, sekadar mempelajari
rutinitasnya." "Dan?" tanya Diane dengan tidak sabar, sambil menjatuhkan
kentang gorengnya. Mata biru kelabunya menatap Pres lurus.
Pres menelan sepotong besar hamburger. "Ini hasilnya,"
jawabnya, memelankan suaranya dan membungkuk di atas meja
sekalipun tidak ada orang lain yang akan mendengar. "Dalby keluar
dari rumah ke toko setiap pagi tepat pukul tujuh. Kau bisa mengatur
arlojimu berdasarkan kepergiannya."
"Apa Reva bersamanya?" tanya Diane, juga berbisik.
Pres menggeleng, rambut hitamnya jatuh menutupi salah satu
matanya. Ia mendorongnya pergi. "Tidak mungkin. Putri itu berangkat
sekitar pukul sembilan, terkadang agak lebih lambat lagi. Dia
mengemudikan mobil baru. Sebuah Miata merah kecil."
Diane menatapnya sambil berpikir. Ia menyambar sepotong
kentang goreng dan menjejalkannya ke dalam mulutnya, mengunyah
dengan cepat seperti seekor kelinci, tapi tanpa mengalihkan
pandangannya dari Pres. "Bagaimana dengan pelayan" Apa ada
pembantu di rumahnya" Pengurus rumah?"
Press menghirup seteguk besar Coke. "Aku menyelinap masuk
ke rumahnya kemarin pagi sesudah kepergian Reva dan
memeriksanya. Tidak ada pelayan yang tinggal di sana. Ada yang
datang sekitar sepuluh menit sesudah Reva berangkat ke toko. Hanya
itu. Tidak ada orang lain lagi."
"Tidak bisa lebih mudah lagi," kata Diane, sambil mencoba
untuk menjejalkan rambutnya kembali ke bawah syalnya.
"Boleh kuminta kentang gorengmu?" tanya Pres. Ia menyambar
segenggam sebelum Diane sempat menjawab. "Aku kelaparan malam
ini." "Apa kita punya uang untuk membayar ini?" tanya Diane,
sambil melirik ke pramusaji yang berada di depan dekat pintu, sedang
menyandar ke dinding dan membaca koran.
"Aku ada beberapa dolar," kata Pres padanya, sambil menepuknepuk kantong belakang celana jinsnya. Ia mengulurkan tangan ke
seberang meja dan meremas tangan Diane. "Beberapa hari lagi kita
tidak perlu merasa khawatir lagi."
Ia meringis ke arah Diane dengan seringai Elvis-nya. Diane
tidak pernah bisa menahan diri menghadapi seringai yang seksi
tersebut. Ia balas tersenyum.
"Begitu kita kaya, aku ingin nonton di setiap bioskop yang ada
di kota. Sepuluh film setiap hari! Aku ingin melihat semua film lima
kali!" kata Diane. Pres mengacungkan jari ke bibirnya, memberi isyarat agar
Diane merendahkan suaranya. "Hanya ada satu masalah kecil di
rumah Dalby," katanya pada gadis tersebut, seringainya memudar.
"Masalah apa?" "Anjing penjaga," jawab Pres. "Seekor monster besar yang
mengerikan." "Hah" Apa kau dikejar sewaktu masuk ke rumah?"
Pres menggeleng. "Anjing itu dirantai. Kurasa mereka hanya
melepaskan rantainya di malam hari."
"Kalau begitu, anjing itu bukan masalah, kan?" tanya Diane
gelisah. "Mungkin bukan masalah," jawab Pres.
Diane menyipitkan matanya, berpikir keras. "Kita bahas
rencananya lebih hati-hati," katanya, sambil menumpukan dagu ke
salah satu tangannya. "Sesudah ayahnya berangkat pukul tujuh, Putri
Reva sendirian di rumah selama dua jam."
"Yeah. Benar," kata Pres, dengan rakus menghabiskan kentang
goreng Diane. "Dia pasti tidur hingga paling tidak pukul setengah
sembilan. Dia tidak membuka gorden kamar tidurnya sebelum itu.
Dan tidak ada orang lain lagi di rumah."
"Jadi waktu yang terbaik untuk mengambilnya adalah di
rumahnya sebelum dia terjaga," kata Diane, mengungkapkan
pemikirannya. "Yeah," kata Pres, menyetujui dengan cepat. "Mudah sekali."
"Kalau begitu kita culik dia besok pagi," kata Diane. Senyum
penuh semangat merekah di wajahnya.
BAB 6 Duduk, boy! KACA depan dan kaca-kaca jendela tertutup embun putih tebal.
Cahaya pucat menerobos masuk dari bulan purnama di atas.
Di luar mobil kecil tersebut, udara dingin dan tidak bergerak.
Cabang-cabang pepohonan yang telanjang terkait satu sama lain
seakan-akan berusaha untuk tetap hangat.
Victor mematikan mesin setelah memarkir mobil di tepi tebing.
Sejenak, sebelum mereka mulai berciuman, mereka menatap ke luar
ke balik kaca depan, memandang kota Shadyside yang terbentang di
bawahnya. River Ridge, tebing karang tinggi yang terbuka ke Sungai
Conononka, merupakan tempat parkir populer bagi murid-murid SMU
Shadyside. Tapi pada malam yang beku seperti ini mobil Victor
merupakan satu-satunya kendaraan yang ada.
Sambil menatap langit yang dipenuhi bintang, Victor
meringkuk di dalam jaketnya dan penasaran apakah kejadian ini
benar-benar nyata. Saat kaca depan mulai berkabut, gadis tersebut mencondongkan
tubuhnya, melilitkan tangannya"tangan-tangan yang hangat"ke
leher Victor, menariknya mendekat, dan mulai menciuminya.
Gadis tersebut menggerak-gerakkan bibirnya pada bibir Victor,
sambil mendesah-desah pelan. Tangannya yang hangat, yang kuatnya
mengejutkan, memeluknya erat-erat, menekankan wajahnya ke wajah
gadis itu sendiri. Ciumannya berlangsung lama.
Sewaktu akhirnya Victor mengakhirinya, mengulurkan tangan,
dan menarik tangan gadis tersebut dari punggung lehernya, ia telah
terengah-engah. Wajahnya terasa panas. Jantungnya berdebar-debar.
Gadis tersebut tersenyum kepadanya, senyum yang licik, lalu
menumpukan keningnya ke bahu mantel Victor.
"Kita"kita seharusnya tidak boleh berada di sini," kata Victor
tergagap. Gadis tersebut tertawa kecil dan menyapu pipi Victor yang
panas dengan bibirnya. "Tidak. Sungguh," kata Victor bersikeras, suaranya terdengar
tegang dan melengking dalam udara tebal di dalam mobil kecil
tersebut. "Kita"kita tidak boleh. Maksudku..."
Reva meremas tangan Victor. "Tidak apa," bisiknya, mata
birunya kemilau tertimpa cahaya bulan pucat yang menerobos kaca
depan. "Tapi ini tidak benar," kata Victor bersikeras, sambil berpaling
memandangnya. "Pam dan aku"kami sama-sama serius. Kami..."
Reva mencibir. "Kau memang cowok yang serius, bukan?"
katanya dengan nada menggoda.
"Sewaktu kau meneleponku malam ini, aku"aku tidak tahu.
Maksudku..." Victor berjuang untuk menemukan kata-kata.
Reva tidak memberinya kesempatan untuk memprotes. Ia
mengulurkan tangan dan menarik kepala Victor mendekat lagi. Lalu ia
menekankan bibirnya ke bibir Victor, semakin keras, dan semakin
keras. Ia mencium Victor hingga hampir-hampir tidak bisa bernapas.
Victor sangat tampan, pikirnya.
Aku harus mendapatkannya. Aku tidak bisa menahan diri.
Ia membiarkan rambutnya yang merah tembaga menjuntai di
wajahnya dan kembali mencium Victor.
Reva tergelak sendiri. Ia penasaran apa yang tengah dilakukan
sepupunya Pam saat ini. Menunggu telepon dari Victor"
Pam benar-benar pecundang, pikir Reva menghina.
Victor terlalu tampan untuk pecundang seperti Pam.
****************************
Diane mencengkeram roda kemudi erat-erat dengan kedua
tangan yang dingin. Pemanasnya masih belum berfungsi. Ia
memelototi Pres. "Bisakah kau berhenti membunyikan buku-buku
jarimu?" tanyanya dengan nada melengking. "Kukira katamu tadi kau
tidak gugup." Pres kembali membunyikan buku jarinya keras-keras, lalu
menurunkan tangan ke pangkuannya. "Aku ti-tidak gugup. Aku hanya
terlalu bergairah. Aku belum pernah menculik siapa pun sebelumnya,
kau tahu." "Aku juga belum pernah," jawab Diane tajam. "Jadi berhentilah
membuatku sinting. Mula-mula kau tidak henti-hentinya mengetukngetukkan kakimu. Sekarang kau membunyikan buku-buku jarimu
sampai aku mau menjerit."
Pres mengalihkan pandangannya ke rumah Dalby di puncak
lereng berumput. "Maaf," gumamnya. "Lihat. Dalby berangkat."
Plymouth reyot Pres diparkir di tepi jalan tiga rumah dari rumah
Dalby, dengan mesin menyala. Dari sana, Pres dan Diane bisa melihat
tikungan rumah batu besar Dalby dan garasi tiga mobil di
sampingnya. Sebuah Mercedes perak muncul dari jalur di antara dua semaksemak tinggi, berhenti di jalan, lalu menuju ke kanan, menjauhi
tempat Pres dan Diane mengawasi.
"Tidak cukup cerdas," kata Diane mengeluh. "Aku tidak bisa
benar-benar melihatnya."
"Itu memang orangnya," kata Pres dengan berbisik, matanya
terarah ke Mercedes hingga mobil tersebut menghilang di jalan yang
berpagar pepohonan. "Mr. Raja Dunia Dalby sudah berangkat."
"Meninggalkan putrinya seorang diri," kata Diane. Ia
memasukkan persneling maju. "Kita berangkat?"
Pres meletakkan tangannya pada tangan Diane untuk
menghentikannya. "Tidak. Tunggu. Kita tunggu se-sepuluh menit.
Pastikan kalau Dalby tidak kembali."
Diane dengan patuh memindahkan persneling kembali ke netral.
Ia mendesah tidak sabar. "Jam berapa sekarang?"
Pres melirik jam di dasbor, lalu teringat kalau jam tersebut
macet pada pukul setengah empat. "Sekitar pukul tujuh lewat. Sudah
kukatakan, Dalby selalu berangkat pukul tujuh. Aku sudah
mengawasinya selama empat pagi berturut-turut. Dia selalu tepat
waktu." Ia mulai membunyikan buku-buku jarinya. Teringat pada protes
Diane, dan menahan diri. Sebuah mobil melaju lewat, sebuah stationwagon penuh berisi anak-anak. Pres membungkuk rendah di kursi
penumpang dan memalingkan wajahnya.
"Oh, ampun," gumam Diane. "Kuharap ini sudah berakhir."
"Dan kita ada di rumah menghitung uangnya," tambah Pres,
sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya pada lutut celana jinsnya.
"Di mana kamar tidurnya"di lantai atas atau bawah?" tanya
Diane. Suaranya yang bagai orang tercekik mengungkapkan
kegugupannya. "Lantai atas. Di sebelah kiri," jawab Pres. "Aku melihat


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lampunya dinyalakan dua malam yang berlainan. Aku tahu bagaimana
cara menemukannya." Diane menarik seuntai rambut yang terselip keluar dari topi
baseball hitam yang dikenakan rendah menutupi keningnya. Ekspresi
khawatirnya tiba-tiba berubah. Ia tersenyum kepada Pres. "Ini benarbenar seperti dalam film"kan!" serunya.
Pres tidak balas tersenyum. Ia menyipitkan mata hitamnya.
"Yeah. Tapi aku tidak benar-benar merasa seperti seorang bintang
film," katanya datar.
"Nanti kalau kita sudah memiliki sejuta dolar!" kata Diane
bersikeras. "Kita selesaikan saja," kata Pres. "Ayo. Maju."
Ia memberi isyarat dengan dua tangan.
Diane memasukkan persneling maju dan mobilnya bergerak
perlahan-lahan sepanjang tepi jalan hingga mereka berada di jalur
masuk rumah Dalby. "Apa perlu mobilnya kumasukkan ke sana?" tanya Diane,
sambil mengintip ke balik semak-semak tinggi yang mengelilingi
keempat sisi properti Dalby.
"Tidak. Biarkan saja di sini," kata Pres. "Dekat jalur itu. Tapi
jangan menghalangi jalan. Mungkin tampak mencurigakan kalau
begitu." Ia meraih tangkai pintu. "Dan biarkan mesinnya tetap hidup.
Begitu kita berhasil menangkapnya, kita harus pergi dari sini"
secepat mungkin." Ia mendorong pintu penumpang.
"Hei"ciuman untuk keberuntungan!" kata Diane padanya.
Pres mencondongkan tubuhnya dan menerima sebuah ciuman
singkat. Lalu ia melompat turun dari mobil dan bergegas menuju ke
jalur masuk, kepalanya menunduk rendah, tangannya terbenam dalam
saku jaket. Matahari pagi bagaikan sebuah bola merah yang mendaki
rumah Dalby yang luar biasa besar. Napas Pres membentuk kepulan
uap putih saat ia berlari-lari ke samping rumah, menjaga agar tetap
berada di bayang-bayang semak-semak tinggi.
Ia mencapai pertengahan jalur masuk sewaktu melihat seekor
anjing Doberman hitam melesat ke arahnya.
Pres berhenti dengan tiba-tiba. "Hei"mana rantaimu?" katanya.
Anjing besar tersebut merendahkan kepalanya dan menggeram
memperingatkan. Matanya kemilau merah dan terpaku pada Pres.
Hewan tersebut menarik bibirnya ke belakang dan, sambil menggeram
buas sekali lagi, memamerkan gigi-giginya.
Pres berjuang mengatasi ketakutan yang menyerangnya.
"Aku sudah siap me-menghadapimu, doggie," katanya.
Ia terus menatap anjing yang menggeram-geram tersebut.
Hewan tersebut berhenti di tepi jalur masuk, bersiap-siap untuk
menyerang. Pres mengeluarkan seiris daging sapi asap yang dibawanya, dan
menjulurkan tangannya untuk memamerkan daging tersebut ke si
anjing. "Daging asap!" serunya. "Tidak ada anjing yang bisa menolak
daging asap"kan?"
Pres melemparkan daging asap tersebut ke rerumputan.
"Ambil, boy. Lihat" Pres temanmu."
Anjing tersebut mengabaikan dagingnya. Setelah membuka
rahangnya dan menarik bibirnya ke belakang untuk memamerkan
giginya, Doberman tersebut melompat menerkam leher Pres.
Bab 7 Mudah Sekali PRES menjerit saat anjing tersebut menyerang. Ia melindungi
dirinya dengan kedua lengannya.
Berat Doberman besar tersebut memaksa Pres terhuyunghuyung mundur ke semak-semak. Mulut anjing tersebut menjepit
lengan jaket kulit penerbang Pres dan bertahan di sana.
Pres dengan panik meraih menggunakan tangannya yang masih
bebas ke saku jaketnya. Sambil berjuang untuk membebaskan lengan
jaketnya dari gigitan anjing tersebut, ia mengeluarkan sehelai
saputangan yang sudah direndam kloroform.
Setelah memuntir tangannya hingga bebas, ia menyambar
moncong hewan itu. "Yaaaii!" jerit Pres saat anjing tersebut menggigit tangannya.
Doberman tersebut mengatupkan gerahamnya, menarik
kepalanya ke belakang, lalu menggeram murka sambil berjuang untuk
membebaskan diri. Tapi Pres bertahan menjepit hewan tersebut, melilitkan
tangannya pada moncongnya, mencengkeramnya hingga tertutup rapat
sambil menekankan saputangan berkloroform ke hidung anjing itu.
Dada anjing itu naik-turun. Kepalanya tersentak ke belakang
saat berusaha untuk bernapas.
Harus bertahan! Harus bertahan! kata Pres pada dirinya sendiri.
Mata hewan tersebut memelototi Pres dengan marah. Kepalanya
terpuntir ke satu sisi, lalu ke sisi lain.
Lalu matanya terpejam. Pemberontakannya berhenti. Anjing itu
merosot ke tanah sambil mengerang panjang.
Pres mundur selangkah. Sambil menelan dengan susah payah, ia
menatap anjing itu. Hewan tersebut tergeletak pada sisinya, rahangnya
terbuka lebar, pernapasannya teratur, pelan.
Pres menjejalkan saputangan berkloroform-nya kembali ke
sakunya dan menarik risletingnya hingga terkunci. Selalu siap sedia,
pikirnya. Itu motoku. Ia berdiri di bayang-bayang sesemakan sejenak, mengamati
anjing yang pingsan itu, menunggu pernapasannya sendiri normal
kembali. Ia menyentuh saku belakang celana jinsnya, memastikan pistol
kecilnya masih ada di sana. Ia tahu ia bisa menggunakan senjata
tersebut untuk mengatasi anjing ini. Dengan begitu akan jauh lebih
cepat, lebih mudah. Tapi ribut. Tembakan pistol mungkin akan membangunkan Putri Reva,
yang tidur di lantai atas. Dan Pres tidak menginginkan hal itu. Ia ingin
menyimpan kesenangan itu bagi dirinya sendiri.
Dengan perasaan yang lebih baik, darahnya masih mengalir
deras di keningnya, Pres memeriksa lengan jaket penerbangnya.
Hanya guratan kecil. Bukan masalah besar.
Sambil melirik untuk yang terakhir kalinya ke anjing penjaga
yang telah terkalahkan tersebut, ia bergegas mengitari samping rumah
ke pintu belakang. Dua dari ketiga pintu garasi terbuka. Ia bisa
melihat Miata merah Reva diparkir di dalam.
Mobil yang bagus, pikirnya, sambil berhenti di belakang mobil
itu sejenak untuk mengaguminya. Mungkin aku akan membeli salah
satu mobil ini dengan uang tebusannya.
Ia mencibir. Mungkin aku akan membeli dua!
"Dahulukan yang utama," gumamnya sendiri. Ia mencabut
pistol perak kecil dari saku belakangnya. Sambil menaiki anak tangga
ke pintu belakang, ia mengetuk-ngetukkan tangkai pistol beberapa kali
ke kaca yang terdekat dengan kenop pintu.
Matahari yang tengah terbit memantulkan cahayanya di kaca
jendela. Dapur di sisi lain pintu sebagian besar tersembunyi di
bayang-bayang panjang. "Mudah," gumam Pres. Ia mengetukkan tangkai pistol beberapa
kali lagi, menguji kacanya, menguji kemampuannya.
Ia mengetuk lebih keras. Lebih keras.
Ia menghantam kusen jendela keras-keras. Kacanya retak, lalu
pecah berantakan, jatuh ke lantai dapur.
Pres menjulurkan tangan ke dalam jendela, mencari-cari hingga
menemukan kunci, dan memutarnya. Sedetik kemudian ia telah berdiri
di dapur. "Wow," bisiknya sendiri, sambil memandang sekitarnya sekilas.
Dapurnya lebih besar dari seluruh apartemennya. Lebih besar dari
beberapa rumah yang pernah dimasukinya.
Lihat itu, katanya terkagum-kagum. Dua lemari es! Berapa
banyak orang yang bisa menghabiskan isinya"
Ia memaksa dirinya untuk berhenti melihat-lihat. Sambil
menghela napas dalam-dalam, pistol masih tergenggam di tangan, ia
berjalan ke lorong depan.
Karpet gelapnya tebal dan lembut. Sneakersnya terbenam di
sana. Langkah kakinya tidak menimbulkan suara.
Lorongnya membentang bagai tanpa akhir. Lukisan-lukisan cat
minyak besar menutupi dinding pada kedua sisinya. Pres melirik ke
ruang duduk. Masih dipenuhi oleh perabotan antik yang sama.
Ia berhenti sejenak di dasar tangga berkarpet, bersandar ke
pagar kayu terpelitur yang halus. Ia mendengarkan.
Sunyi. Kesunyian yang indah.
Ia seorang diri. Seorang diri di Dalbyland.
Hanya aku dan Reva, pikir Pres, sambil menengadah
memandang ke atas tangga yang curam.
Ini akan mudah sekali. Mudah sekali.
Sambil menggenggam pistol setinggi pinggang, ia mulai
menaiki tangga menuju ke kamar Reva.
Bab 8 Sirene "Dimana Pres?" tanya Diane pada diri sendiri, sambil bersandar
ke roda kemudi, berusaha untuk melihat ke rumah keluarga Dalby.
"Apa yang menahan Pres selama ini?"
Diane telah membiarkan mesin mobil tetap hidup dan
memasang pemanasnya pada kekuatan penuh, tapi itu tidak ada
gunanya. Diane masih merasa kedinginan setengah mati.
Tenggorokannya terasa sakit, tiba-tiba sama keringnya seperti kapas.
"Pres"kau di mana?"
Pres telah memerintahkan dirinya untuk tidak ke mana-mana.
Tapi Diane memutuskan untuk mencari tempat yang lebih baik untuk
melihat. Ia memasukkan persneling dan memajukan mobil hingga ia
bisa melihat seluruh jalur masuk yang panjang.
Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran Pres.
Cepat. Cepat, Pres. Gundukan hitam apa itu di samping jalur masuk"
Mula-mula Diane mengira gundukan tersebut semacam kantong
plastik sampah berwarna hitam. Saat memicingkan mata memandang
dari balik jendela penumpang, ia melihat ternyata gundukan tersebut
seekor anjing. Ia menyadari kalau Pres pasti telah terpaksa menggunakan
kloroform. Diane masih terus menatap anjing yang tidak bergerak itu
sewaktu mendengar bunyi sirene.
Dengan tangan gemetar, ia menurunkan kaca jendela untuk bisa
mendengar dengan lebih baik.
Sirene tersebut mula-mula merupakan lolongan samar di udara
yang tidak bergerak. Diane menyadari jaraknya masih jauh. Ia
menahan napas, berjuang keras untuk mendengarkan. Sirene itu
terdengar semakin keras. Semakin dekat. Sirene mobil polisi. Mereka kemari. Ke rumah keluarga Dalby, kata Diane pada diri
sendiri. Pres pasti tanpa sengaja telah memicu semacam alarm anti
pencuri. Ketakutan menyebabkan Diane menggigil. Ia menaikkan kaca
jendela, tapi lolongan pahit sirene tersebut masih meraung di
telinganya. Ia mengalihkan pandangannya ke rumah di ujung jalur masuk
yang panjang tersebut. Matahari merah sekarang telah berada di atas
atap. Rumahnya bermandikan cahaya matahari pagi.
"Pres"kau di mana" Pres"please, pergi dari sana!"
Sirenenya semakin keras. Kepanikan Diane mulai menghalangi pernapasannya. Pres baru
beberapa menit berada di dalam rumah, tapi Diane sudah tidak bisa
menghitung waktu lagi. Ia menginjak pedal gas, dan mesinnya menjawab dengan
raungan. Ia memasukkan persneling maju.
Pres, aku tidak mau meninggalkanmu di sini, pikirnya, sambil
menatap ke rumah dengan panik. Aku tidak mau meninggalkanmu di
sini. Tapi kalau polisi datang kemari, aku tidak memiliki pilihan lain.
Ia mencengkeram roda kemudi dengan tangan yang sedingin es.
"Kalau polisi datang, aku pergi dari sini!" jeritnya keras-keras.
Ia menyandarkan tubuh ke roda kemudi, setiap otot dalam
tubuhnya menegang. Ia berusaha mendengarkan, mendengarkan
sementara sirene itu terdengar semakin dekat.
*********************** Pres merayap sepanjang tangga di lorong tanpa akhir tersebut,
sneakers-nya tenggelam dalam karpet putih tebal. Cahaya matahari
pagi yang kuning membanjir dari jendela di atas kepala.
Begitu banyak kamar, pikir Pres sambil menggeleng. Ia belum
pernah naik kemari. Ia mengintip ke ambang sebuah pintu yang terbuka. Sebuah
ranjang berukuran besar, kacau-balau, dengan selimut satin separo di
lantai, seprai sutra yang kusut tidak keruan, terletak melintang di
tengah-tengah ruangan. Rak-rak buku gelap berjajar di satu dinding
dari lantai hingga langit-langit. Sebuah rak pakaian rendah berdiri
menempel pada dinding seberang bersama sebuah cermin raksasa di
atasnya. Sebuah TV layar lebar bertengger di atas sebuah lemari
pendek di seberang ranjang.
Pres menyadari ini pasti kamar tidur utama. Ia tidak bisa
menahan diri untuk tidak mengintip. Ia masuk selangkah ke dalam
kamar dengan hati-hati, pandangannya menghunjam ke sana kemari,
menyerap segalanya. Di samping kamar tidur lampu dibiarkan menyala di kamar
mandi yang luas. Melalui ambang pintu kamar mandi tersebut Pres
bisa melihat sebuah jacuzzi.
Akan kubeli satu sesudah menjadi miliuner nanti, pikirnya.
Aku akan membeli rumah besar seperti ini, dengan seratus
kamar berkarpet yang sama lembutnya dengan ranjang bulu.
Dan aku akan membeli mesin pinball. Dua mesin pinball.
Tidak"satu kamar penuh mesin pinball.
Ia keluar dari kamar tidur Robert Dalby, tiba-tiba teringat pada
misinya. Pertama-tama, aku harus menculik Reva.
Kamar tidur Reva pasti berada di sisi seberang lorong.
Pintunya tertutup. Dengan diam-diam, dan dengan jantung yang mulai berdebardebar, Pres menyeberangi lorong. Bayangannya, tercipta oleh cahaya
yang menerobos jendela di atas kepala, menimpa pintu kamar Reva.
Pres menghela napas dalam-dalam. Lalu, sambil mengacungkan
pistolnya, ia memutar kenop dan mendorong pintu kamar tidur Reva
hingga terbuka. "Selamat pagi!" serunya.
Bab 9 Beberapa Masalah Kecil DIANE begitu ketakutan sehingga ingin berteriak.
Nalurinya menyuruhnya membunyikan klakson, untuk memberi
isyarat kepada Pres kalau dia harus pergi dari rumah itu.
"Apa yang menahannya" Apa yang menahannya?"
Apa dia tidak bisa menemukan kamar tidur Reva" Pres
mengaku telah mengamati rumah tersebut, mengaku dia mengetahui


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di mana kamar tidur Reva.
Pres mengaku kalau ini akan mudah sekali. Bukan masalah
besar. Jadi di mana dia" Apa Reva menimbulkan masalah bagi Pres" Apa Pres bertemu
dengan orang lain di dalam" Apa mereka sudah menangkapnya"
Memukulnya hingga pingsan" Mengikatnya" Memanggil polisi"
Apa" Apa" Apa"
Sejuta pertanyaan meraung dalam kepala Diane. Tapi
pertanyaan-pertanyaan tersebut terkalahkan oleh lengkingan sirene.
Semakin dekat. Semakin dekat.
Diane mengetahui kalau sirene tersebut polisi. Dan mereka
hanya beberapa blok jauhnya.
Pres telah memicu alarm. Aku harus pergi dari sini. Tapi
bagaimana aku bisa meninggalkannya"
Ia menurunkan kaca jendela, suara sirenenya bertambah keras.
Ia menjejalkan kepalanya keluar dan menatap ke jalur masuk.
Pres"cepatlah! Please!
Kita akan tertangkap. Apa kau tidak bisa mendengar bunyi sirenenya" Kita akan
tertangkap! "Selamat papagi!" kata Pres tergagap-gagap dengan suara
melengking tegang yang tidak dikenalinya sendiri.
Ia masuk ke kamar tidur Reva.
Dan menatap ke ranjang. Ranjang yang kosong. Bantalnya tergeletak di lantai. Selimutnya dilempar menjadi
tumpukan di lantai. Piama putih bergaris-garis merah tergulung di
sudut ranjang. Pres menyadari kalau kamar tersebut kosong, mulutnya
ternganga. Ia tertegun, membeku, tidak bergerak bagai patung.
Ia menatap sekuat tenaga, seakan-akan dengan begitu Reva
akan muncul. Seakan-akan ia hanya membayangkan kalau kamar tidur
tersebut kosong. "Hei..." Suaranya sendiri menyentakkan dirinya kembali ke
kenyataan. "Hei..."
Lalu ia mendengar bunyi sirene.
Daun jendela kamar tidur terbuka sedikit. Gorden putih tipisnya
berkibar-kibar lembut. Lolongan sirene yang naik-turun mengambang
memasuki jendela. Sirene" Sedekat itu" "Oh, wow!" gumam Pres.
Seketika ia menyadari apa yang telah terjadi. Ia pasti telah
memicu alarm anti pencuri sewaktu memecahkan kaca jendela
belakang. Sebuah alarm anti pencuri yang dihubungkan pada
kepolisian Shadyside. Sekarang mereka tengah dalam perjalanan. Hampir tiba di sini,
menilai suara sirenenya. Dan ia berdiri di sini, menatap ranjang kosong yang masih
berantakan. "Aaaaagh!" Raungan kemarahan dan frustrasi menyembur dari
dalam dadanya. "Reva"kau di mana?" jeritnya.
Lalu, setelah ketenangannya pulih, ia berbalik dan berlari ke
luar kamar. Ia memasuki lorong panjang yang terang benderang oleh cahaya
matahari, sneakersnya berdebum-debum pelan di karpet putih tebal,
bayangannya melarikan diri di depannya.
Melewati kamar tidur Dalby yang mewah.
Ke tangga berpagar mengilat.
Reva"kau di mana" Kau pergi ke mana"
Bagaimana caramu melarikan diri"
Bagaimana caramu mengacaukan rencanaku"
Pres menuruni tangga, dua anak tangga sekaligus setiap kalinya,
sambil bersandar ke pagar yang ramping, dan masih tetap
menggenggam pistolnya. Lorong depan bagaikan bayangan kabur berwarna hijau dan
cokelat. Pintu depan merupakan satu-satunya hambatan untuk
melarikan diri. Pres berusaha membuka rantai pintu dengan susah payah.
Sirenenya terdengar seakan-akan berada tepat di balik pintu. Di jalur
masuk" Tidak. Please"jangan.
Pres memutar kuncinya. Ia menarik pintu kayu oak yang berat
tersebut hingga terbuka. Ia berada di luar sekarang, dan berlari menyusuri jalur masuk.
Berlari melewati anjing yang masih pingsan. Berlari begitu kencang
hingga dadanya terasa bagai mau meledak.
"Diane!" Ia berseru sambil menarik pintu sisi penumpang
hingga terbuka dan menerjang masuk. Sirenenya terdengar begitu
keras sekarang, begitu keras dan dekat. Tepat di balik tikungan.
"Diane"pergi!"
"Tapi"tapi"Reva?" Diane ternganga memandangnya,
ekspresi wajahnya berkerut kebingungan.
"Berangkat!" jerit Pres. "Sekarang!"
"Oke, Pres!" Diane menyambar roda kemudi dengan dua tangan,
mencondongkan tubuh ke depan, menginjak pedal gas sedalamdalamnya"dan mobilnya mogok.
Bab 10 Polisi Tiba "PERGI! Pergi! Pergi!" jerit Pres, sambil memukul-mukul
dasbor dengan panik. "Tidak bisa! Mobilnya"mogok!" jawab Diane gemetar saat
memutar kunci. Mesinnya terbatuk-batuk menyakitkan.
Lolongan sirene terdengar semakin keras, begitu keras sehingga
seakan-akan berasal dari dalam mobil.
Diane kembali memutar kunci, sambil memompa pedal gas.
Pres berpaling menatap ke jendela belakang. Sirenenya
terdengar keras. Ia tahu kalau polisi akan muncul dari balik tikungan
setiap saat. "Kita terjebak di sini! Seperti bebek sasaran!"
Mobil tua tersebut menderum, terbatuk" dan mesinnya
meraung hidup. "Ya!" jerit Diane gembira. Ia menginjak pedal gas sekuat tenaga
dan mobil tersebut melesat maju. "Ya! Ya!"
Pres terus berpaling memandang ke jendela belakang, mata
hitamnya menyipit, wajahnya berkerut ketakutan. Sirene yang
menjerit tersebut bagai mengurung dirinya.
Diane memutar kemudi ke kiri sebanyak-banyaknya, dan
mobilnya berdecit berbelok di tikungan. Ia menginjak pedal gas
hingga rata dengan lantai, mencengkeram roda kemudi erat-erat
dengan dua tangan, mencondongkan tubuhnya ke depan seakan-akan
berusaha untuk melarikan diri sejauh mungkin.
Ia kembali membelokkan mobil hingga mendecit-decit. Lalu
berbelok lagi. Sirenenya memudar menjadi lolongan di kejauhan.
Pres mengembuskan napas panjang dan kembali memandang ke
depan. "Kita berhasil melarikan diri," gumamnya terengah-engah. Ia
merosot rendah di kursi, mengangkat lututnya ke dasbor. "Kita
berhasil melarikan diri."
"Nyaris," kata Diane, pandangannya terpaku ke jalan, kedua
tangannya masih mencengkeram roda kemudi erat-erat.
"Yeah." Pres tertawa kecil, gugup. "Benar-benar nyaris."
Perlahan-lahan, senyuman merekah di wajah Diane seiring
dengan memudarnya ketegangan. "Boleh dikatakan menggairahkan,"
katanya pelan. "Reva tidak ada di sana," kata Pres kepadanya sambil cemberut.
"Hah" Maksudmu kau tidak bisa menemukannya?"
"Tidak. Dia tidak ada di sana," sergahnya. "Kamar tidurnya
kosong." Senyuman Diane memudar. "Jangan khawatir, Sayang." Ia
menjulurkan tangan dan menepuk-nepuk tangan Pres. "Kita akan
berhasil menangkapnya lain kali. Dia tidak akan melarikan diri."
*****************************
Reva mengetuk-ngetukkan kuku jemarinya yang panjang ke rak
kaca, menatap ke pintu kaca di seberang lorong, mengawasi para
pembeli memasuki toko pagi itu. Ia menguap dan berpaling kepada
Francine, yang tengah sibuk menata botol-botol contoh parfum di atas
rak. "Reva, ada yang mau kutunjukkan," kata Francine,
membungkuk untuk membuka pintu laci paling bawah.
Kenapa kau tidak mengoperasi hidungmu, Francine" pikir Reva
sambil mencibir. Dengan begitu kau bisa berbicara menggunakan
mulutmu dan orang-orang bisa mengerti apa yang kaukatakan.
"Gaya rambutmu bagus," kata Reva padanya.
"Apa?" Francine melirik ke atas dengan agak takut. "Oh, aku
terlambat tadi pagi. Tidak sempat mencucinya."
Kenapa repot" pikir Reva dengan jahat.
Francine bangkit berdiri dan meluruskan blusnya. Ia membawa
sebuah tas plastik putih kecil ke depan Reva dan membuka
risletingnya. "Kita memberikan hadiah khusus hari ini," katanya,
sambil membuka kantong itu dan mengacungkannya ke depan Reva
untuk diperiksa. Hebat, pikir Reva sinis. Apa aku bisa tahan dengan
kehebatannya" "Kalau ada yang membeli parfum dua ons," kata Francine,
sambil menunjuk sebuah botol keemasan mengilat di atas rak,
"mereka mendapat perangkat kecil ini. Lihat" Ada cologne, jeli mandi,
dan deodoran semprot."
Francine mengeluarkan setiap botol dari tas plastik itu untuk
menunjukkannya pada Reva. Sewaktu mengacungkan deodoran, tanpa
sengaja ia menyemprotkan sedikit ke udara.
"Iiih!" jerit Reva, wajahnya mengerut jijik. "Baunya seperti obat
antiserangga!" "Shhhh!" Francine mengangkat satu jari ke bibirnya dan melirik
ke sana kemari sekilas, memastikan apakah ada yang tanpa sengaja
mendengar atau tidak. "Ini hadiah yang manis."
"Kau memakai lipstik baru?" tanya Reva padanya.
"Aku tidak memakai lipstik," jawab Francine, tidak menyadari
kalau pertanyaan tersebut hanya berniat jahat.
Jadi itu sebabnya tampangmu seperti sudah meninggal tiga
minggu yang lalu! pikir Reva.
Francine menyerahkan kantong hadiah itu kepada Reva dan
bergegas menuju ke ujung rak parfum untuk membantu seorang
pembeli. Reva mendesah dan menyandarkan tubuhnya ke rak kaca,
melamunkan Victor dan kejadian semalam.
Ia membayangkan kaca mobil yang berembun, udara malam
yang menusuk tulang, kegelapan lembut di sekeliling mereka. Ia
teringat saat mencium Victor, saat memeluknya. Victor begitu kokoh,
begitu tampan. Seorang wanita ramping berambut pirang bergegas mendekati
rak dan menyela lamunan Reva. Reva mengenalinya.
Wanita ini yang kemarin mengenakan jas bulu imitasi, pikir
Reva. Dia datang setiap pagi dan berpura-pura hendak membeli
sesuatu. Tapi ia hanya ingin mendapatkan semprotan parfum secara
gratis. "Jasmu bulu asli atau imitasi?" tanya Reva saat wanita tersebut
meraih sebotol besar cologne dari rak.
"Kenapa?" Wanita tersebut meletakkan botolnya dan menatap
Reva dengan pandangan curiga.
"Aku hanya mengagumi jasmu," kata Reva, sambil melontarkan
senyuman yang paling palsu. "Ada yang bisa kubantu?"
Wanita tersebut mengibaskan rambutnya ke belakang bahu
dengan satu tangan. "Ya. Aku mencari sesuatu yang agak berbeda,"
katanya, sambil mempelajari botol-botol contoh. "Sesuatu yang agak
menyengat. Tidak terlalu lembut."
Reva tersenyum ke arahnya. "Ada parfum baru yang mungkin
akan kausukai. Tidak terlalu lembut." Ia mengeluarkan botol deodoran
semprot dari tas hadiah, menutupi labelnya dengan tangan. "Ini."
Wanita tersebut mengacungkan punggung tangannya, dan Reva
menyemprotkan deodoran tersebut ke sana. Wanita tersebut
menggosokkannya ke tangannya, lalu mengendusnya. "Mmmmm.
Bagus sekali. Memang beda. Bisa coba lagi?"
Reva mematuhinya. Ia menyemprotkan deodoran lagi ke tangan
wanita tersebut. Wanita itu menggosokkannya ke leher dan ke
belakang telinganya. "Apa namanya?"
"Arrid Extra Dry," gumam Reva.
"Apa?" Wanita tersebut mencondongkan tubuhnya untuk bisa
mendengar dengan lebih baik.
"Arid Nights," kata Reva. "Dari Prancis. Harganya dua ratus
dolar per ons." "Nanti aku pasti kembali dan membeli sebotol," kata wanita
tersebut. Sambil mengendus-endus tangannya, ia bergegas pergi.
Reva mengawasi punggung jas bulu imitasi tersebut hingga
menghilang di tikungan. Lalu tertawa terbahak-bahak. Pekerjaan ini
ternyata tidak membosankan, pikirnya.
Francine, sibuk melayani tiga orang pembeli secara bersamaan,
tengah memunggunginya. Reva memutuskan untuk memanfaatkan
kesempatan itu. Ia menunduk ke balik rak dan melarikan diri,
menghilang dalam keramaian.
Ia berkeliaran sepanjang lorong-lorong lantai utama, menuju ke
bagian belakang toko. Saat melihat sepupunya Pam di bagian
peralatan kantor, ia bergegas mendekat untuk menyapa.
Pam mengenakan sweter hijau cerah di atas celana panjang
cokelat. Rambut pirangnya diikat ekor kuda dengan pita hijau bagai
sutra. Seperti biasa, Reva menyadari, Pam tidak mengenakan riasan,
bahkan lipstik pun tidak.
Ia selalu tampak segar, pikir Reva dengan iri. Pam bisa menjadi
iklan sabun Ivory. "Reva, aku melihat kedatanganmu tadi pagi," kata Pam. "Kau
pagi sekali." "Yeah. Aku datang lebih awal bersama ayahku," kata Reva
padanya. "Dia meninggalkan pesan semalam kalau ada yang ingin
dibicarakan, jadi..."
"Kau keluar semalam?" tanya Pam.
Yeah. Dengan pacarmu, wajah segar, pikir Reva.
"Mungkin," jawab Reva menggoda. Ia tersenyum mengejek ke
arah Pam. "Pacar baru?" tanya Pam.
Aku suka kepolosan Pam yang seperti anak-anak, pikir Reva
sinis. Benar-benar manis!
"Hanya teman," jawab Reva, sengaja agar kedengaran
misterius. "Aku akan keluar dengan Victor nanti malam," kata Pam, mata
hijaunya berkilau. "Menyenangkan," jawab Reva dengan nada biasa. "Dia
tampaknya baik." Ciumannya oke. Benar-benar oke, pikir Reva.


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak bisa berhenti memikirkannya," kata Pam. Ia
mencondongkan tubuh ke arah Reva agar tidak terdengar orang lain
lagi. "Kupikir inilah dia," bisik Pam. "Maksudku, kurasa aku benarbenar jatuh cinta."
"Hebat," jawab Reva tanpa antusias. "Benar-benar hebat, Pam."
Kenapa Pam tidak bisa bersikap cerdas sekali saja dan
mendapatkan pacar yang kaya" pikir Reva. Victor tidak punya uang
sama sekali, dan Pam juga tidak.
"Aku senang kalau kau bisa lebih mengenal Victor," lanjut
Pam, sambil tersenyum penuh semangat ke arah sepupunya. "Kurasa
kau akan menyukainya."
Sedang kuusahakan, pikir Reva, berjuang keras agar tidak
tertawa di depan Pam. Sedang kuusahakan, Pam.
"Semoga kau gembira nanti malam," kata Reva. "Aku senang
ada yang menjalani kehidupan yang menggairahkan."
Pam memegang bahu Reva dan merasakan bahan sutra lembut
blusnya. "Ini waktunya liburan, Reva. Aku yakin kehidupanmu akan
lebih menggairahkan tidak lama lagi."
******************************
"Kenapa kita berbuat begini?" tanya Diane, sambil
membelokkan mobil memasuki North Hills. Langit malam gelap. Ia
menyalakan lampu jauh. "Sudah kukatakan," kata Pres dengan gelisah. "Terkadang Reva
tiba di rumah lebih dulu sebelum ayahnya pulang dari toko.
Terkadang dia seorang diri di dalam rumah di malam hari. Mungkin
kita bisa mampir dan mengejutkannya."
Pres telah menggerutu sepanjang hari mengenai usaha
penculikan yang gagal mereka lakukan. Ia mondar-mandir di dalam
ruang duduknya yang sempit, bergumam sendiri, menggeleng, hingga
Diane tidak tahan lagi. Sambil menjerit marah ia meninggalkan
apartemen dan pergi berjalan-jalan.
Ia kembali tidak lama setelah matahari terbenam dan mendapati
Pres telah menanti kedatangannya, bersemangat untuk kembali ke
Shadyside, kembali ke rumah Dalby.
"Reva akan seorang diri. Kita bisa melakukannya sekarang.
Aku tahu kita bisa," kata Pres dengan antusiasme yang semakin besar.
Tapi sewaktu Diane membelokkan Plymouth itu ke blok tempat
tinggal Reva dan melihat rumah batu besar tersebut, ia segera melihat
kalau Reva tidak sendirian.
"Polisi!" jeritnya, dan menjejakkan kakinya ke pedal rem sekuat
tenaga. Ia dan Pres menatap ke kegelapan. Tiga buah mobil patroli
hitam dan putih diparkir di tepi jalan dan satu lagi di jalur masuk ke
rumah Dalby. Dua orang petugas polisi membawa lampu senter
halogen yang terang benderang tengah mondar-mandir di halaman
rumput depan, cahaya lampu senter mereka menyapu tanah.
"Sulit dipercaya!" seru Pres. "Jangan berhenti! Terus jalan
saja!" Diane memindahkan kakinya dari pedal gas. "Kurasa mereka
sedang mencari petunjuk."
"Dasar orang kaya," gumam Pres pahit, sambil mengabaikan
Diane. "Sekarang sudah malam, dan polisi masih ada di sini sejak
pagi. Kau kira mereka akan bekerja sekeras ini untuk keluarga
ekonomi menengah?" "Kita pergi saja dari sini," kata Diane sambil menggigil.
Ia menginjak pedal gas dan mulai mengemudikan mobilnya
melewati rumah Dalby. Tapi sorotan cahaya putih yang terang benderang di kaca depan
menyebabkan ia kembali menginjak pedal rem. "Hei...!" serunya saat
dua orang petugas polisi membungkuk ke arah mobil. Cahaya lampu
senter mereka menyoroti dirinya, menampilkan wajahnya yang
terkejut di jendela samping.
"Berhenti," kata salah seorang polisi tanpa terdengar suaranya
dari balik jendela. Mata polisi tersebut menyipit, ekspresinya
merengut masam. "Mereka"mereka menangkap kita," kata Pres tergagap.
Bab 11 "Dia Bisa Membuat Kita Semua Terbunuh"
"AP-APA yang harus kulakukan?" kata Diane, matanya
membelalak ketakutan. "Menepi," kata Pres padanya. "Kita tidak bisa melarikan diri.
Pasti ada tetangga yang sudah melihat mobil ini tadi pagi. Kita
tertangkap. Tertangkap!"
Diane dengan patuh menghentikan mobil di tepi jalan dan
memindahkan persneling ke netral. "Di film-film kita akan berusaha
melarikan diri," gumamnya.
"Ini bukan film," jawab Pres pahit.
Petugas polisi mengetuk kaca jendela dengan lampu senternya
keras-keras. Diane menurunkan kacanya. "Ya, Pak?" katanya dengan
suara pelan. Pria tersebut membungkuk, mengintip ke kedua penumpang
mobil itu, wajahnya tanpa ekspresi, matanya menyipit.
"Lampu depanmu mati satu," katanya pada akhirnya. "Yang
sebelah kiri. Lihat?" Ia menunjukkan dengan lampu senternya.
Diane ingin tertawa terbahak-bahak. Entah bagaimana ia tetap
berdiam diri. "Aku tidak tahu," katanya dengan suara pelan, lemah.
"Pasti baru saja terjadi."
"Aku bisa saja menilangmu," kata petugas tersebut, sambil
mengalihkan pandangannya kepada Pres. "Tapi aku agak sibuk
sekarang. Bagaimana kalau kalian segera memperbaikinya?"
"Oh, trims, Pak," jawab Diane bersyukur. "Terima kasih
banyak." Ia mulai menaikkan kaca jendela, tapi berhenti sewaktu Pres
berseru. "Ada apa di sini" Kenapa banyak mobil patroli berkumpul di
sini?" "Bukan urusanmu," jawab pria tersebut tajam. Ia berbalik dan
kembali menuju ke halaman depan Dalby, dengan langkah-langkah
panjang. Diane memastikan kaca jendela telah tertutup sebelum tertawa
terbahak-bahak. "Bukan urusanmu," ulangnya, sambil meringis ke
arah Pres. Pres tidak segembira dirinya. "Kita pergi saja dari sini,"
sergahnya, pandangannya terpaku ke arah para polisi yang tengah
menyisiri halaman rumput. Ia merosot rendah di kursinya, merengut.
Diane menjauhkan mobil dari tepi jalan, berbelok di tikungan
pertama, dan kembali ke apartemen Pres di Waynesbridge. Pres tetap
membisu hampir sepanjang perjalanan, berpikir keras, pandangannya
terpaku ke depan ke jalan yang gelap dan berliku-liku.
"Tidak mungkin kita bisa menculik Reva di rumahnya
sekarang," katanya pada akhirnya. "Tidak dengan adanya polisi
sebanyak itu." "Maksudmu, kau menyerah?" seru Diane, kecewa.
"Tidak," gumam Pres. "Aku mendapat rencana baru."
"Bagus!" Ekspresi Diane berubah cerah. Ia menghentikan mobil
di McDonald's. "Kau lapar?" Ia harus bertanya tiga kali. Pres tengah
tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Beberapa menit kemudian, duduk di bagian belakang restoran,
Pres mencondongkan tubuh di atas meja dan mengungkapkan
rencananya dengan suara pelan. "Kita akan menculik Reva dari
toserba," katanya. Diane menghapus noda saus di pipinya dengan tisu.
"Bagaimana caranya?"
"Dia bekerja di bagian parfum," kata Pres padanya.
Pandangannya terarah ke sana kemari dengan gugup di restoran yang
terang benderang itu, memastikan kalau tidak ada yang mendengar.
"Sudah kuperiksa beberapa hari yang lalu, pagi-pagi."
"Dia tidak melihatmu"kan?" sela Diane.
"Tidak mungkin. Tokonya ramai. Kuawasi dia dari lorong lain.
Gerai parfumnya berada tepat di seberang pintu samping yang
membuka ke jalan." Diane menelan sepotong besar cheeseburger. "Jadi kita
memarkir mobil di jalan, berlari masuk, menangkapnya, dan
menyeretnya keluar?"
Pres menggeleng. "Tidak. Kita ciptakan semacam pengalih
perhatian. Kita usahakan Reva meninggalkan raknya. Dengan begitu
dia hanya akan beberapa kaki jauhnya dari pintu. Kalau dia ada di
lorong, akan lebih mudah untuk menyeretnya keluar tanpa dilihat
orang lain, terutama kalau kita melakukannya pagi-pagi sekali. Tidak
banyak pembeli yang datang sewaktu tokonya baru dibuka. Dan Reva
mendapat giliran jaga pertama sebelum gadis penjualnya tiba."
Diane menghirup Coke-nya, pandangannya terarah kepada Pres.
Ia berpikir keras. "Kenapa kau menatapku?" tanya Pres dengan agak tersinggung.
"Itu rencana yang bagus. Pasti berhasil."
Diane meletakkan cangkir kertasnya. "Yeah. Mungkin,"
jawabnya. "Tapi kita memerlukan bantuan Danny."
Pres terkejut. "Hah" Kakakku?"
Diane mengangguk. Ia meremas kertas pembungkus
cheeseburger menjadi bola. "Yeah. Kita akan memerlukan bantuan
Danny." "Untuk apa?" tanya Pres. "Aku bisa menyeret Reva ke pintu.
Aku tidak memerlukan bantuan Danny untuk itu."
"Kita memerlukannya sebagai sopir," kata Diane. "Kalau kau
akan menyeret Reva ke luar pintu, aku harus menciptakan pengalih
perhatiannya. Aku harus mengusahakan agar dia meninggalkan
raknya, bukan" Jadi kita memerlukan bantuan Danny sebagai sopir."
Pres merengut. "Aku tidak menyukainya. Kau kenal Danny.
Kau tahu bagaimana dia kalau kehilangan ketenangannya."
"Kita memerlukan dirinya," kata Diane bersikeras.
"Danny dan pusingnya," gumam Pres. "Dia begitu mudah
marah, Diane. Kau tahu kakakku. Kalau merasa bersemangat, dia
sama sekali tidak terkendali. Kalau ada yang tidak beres, dia bisa
menyebabkan kita semua terbunuh!"
"Shhhh." Diane menutup mulut Pres dengan tangannya. "Danny
akan tetap berada di mobil. Itu saja. Kita memerlukan bantuannya
untuk mengemudi begitu berhasil menangkap Reva. Tidak ada
masalah." "Yah..." Pres menggeleng, sambil tetap merengut.
"Ayolah, Pres," pinta Diane. "Hubungi Danny begitu kita tiba di
rumah, oke?" Pres bangkit berdiri. "Ayo pergi." Ia menuju ke pintu.
"Kau mau?" Diane bergegas mengejarnya.
"Yeah, kurasa," jawab Pres, sambil mendorong pintu yang
menuju ke tempat parkir. "Kapan kau mau menculik Reva?"
"Sekarang sudah hampir Natal. Ada banyak barang yang ingin
kubeli dengan uang tebusannya," kata Diane, sambil meraih lengan
Pres. "Kita lakukan besok pagi saja."
Bab 12 Serangan Balasan REVA mengeluarkan muffin jagung dan cangkir kopi bertutup
dari kantong kertas cokelat dan meletakkannya di rak. Ia mencuil
sepotong muffin dan menggigitnya sedikit, menyapu remah-remahnya
dari kaca dengan kuku jemarinya yang panjang.
"Reva"apa yang kaulakukan?" Francine melangkah ke
sampingnya, wajahnya memancarkan kemarahan.
"Makan muffin," jawab Reva tenang. Ia mengacungkan
sepotong. "Mau?"
"Tapi kau sudah terlambat dua puluh lima menit!" jerit Francine
melengking, sambil menunjuk jam di atas ambang pintu. "Kau tahu
kalau kau seharusnya berada di gerai pagi-pagi sekali hari ini. Untung
aku datang lebih awal hari ini. Aku harus menggantikan tempatmu
untuk sementara." Reva memusatkan perhatian untuk membuka tutup cangkir
kopi. "Aku tahu. Aku tidak bisa memutuskan mau mengenakan sweter
yang mana." Ia berbalik ke arah Francine untuk lebih bisa
memamerkan sweter biru pucatnya. "Kau suka yang ini" Ini kasmir."
"Aku baru saja mengelap raknya," kata Francine mengeluh.
"Kau mengotorinya dengan remah-remah."
"Muffin ini sangat banyak remah-remahnya," jawab Reva
dengan mulut penuh. "Tapi cukup lezat. Kau yakin kalau tidak mau"
Oh, aku lupa. Kau sedang diet."
Reva tergelak sendiri, mengawasi remah-remah berjatuhan ke
rak kaca. Ia menghirup kopinya, cairan panas tersebut membakar
lidahnya. Ia lalu meletakkan gelasnya di genangan cokelat bulat.
"Kurasa cangkirnya bocor. Benar-benar kacau."
Francine menjerit marah. "Aku mau menelepon," katanya
sambil mengertakkan gigi. "Sebaiknya kaubersihkan ini sebelum Ms.
Smith melihatnya." "Yeah. Pasti," jawab Reva pelan. Ia mengawasi Francine
menghambur ke ruang karyawan. "Memangnya ada apa dengan anak
itu?" Reva mengangkat potongan muffin jagung yang terakhir ke
mulutnya. Lalu ia mengamati bayangannya sendiri di cermin,
menyesuaikan topi lunak biru laut yang dikenakannya.
Topi tersebut yang merupakan alasan keterlambatan Reva yang
sebenarnya. Ia tidak bisa menemukan posisi yang tepat. Ia
memerlukan waktu hampir setengah jam. Ia merencanakan untuk
secara "tidak sengaja" bertemu dengan Victor nanti, dan ia berharap
Victor menyukai topinya. Saat menatap ke lorong, ia melihat dua orang mendekat
perlahan-lahan. Seorang cowok dan cewek. Mereka tampaknya
berusia tujuh belas atau delapan belas tahun.
Cowoknya jangkung dan hitam, dan membawa sehelai jas hujan
di satu lengan. Ceweknya lebih pendek, berpakaian lusuh, tampak
sederhana, dan sangat kurus.
Benar-benar pengecatan yang hebat, pikir Reva sinis sambil
memandang rambut gadis tersebut. Apa tidak ada yang pernah
memberitahunya kalau harus mengecat akarnya sekaligus"
Reva mengambil kopinya dan berbalik. Kuharap kedua
pecundang itu tidak kemari, pikirnya. Akan kukatakan saja kalau
gelang kaki ada di ruang bawah tanah. Atau mungkin kusarankan
mereka bertukar tato untuk Hari Natal.
Ia tergelak sendiri. Aku jahat sekali, pikirnya, merasa sangat
senang pada dirinya sendiri.
Ia menyadari kalau ia kembali memikirkan Victor. Ia
menelepon cowok itu larut malam tadi. Victor berjanji untuk
membatalkan janjinya dengan Pam dan menemui Reva.
Aku tahu aku akan membenci diriku sendiri karena ini, pikir
Reva sambil tersenyum. Tapi rasanya menyenangkan selama
berlangsung.... Di sini sangat membosankan. Aku perlu tantangan.
Seperti Victor. Ia menengadah sekilas dan melihat kedua remaja aneh tersebut
mendekatinya. Kenapa mereka tidak mencuri di toserba lain saja"
pikirnya dingin. Tiba-tiba gadis pirang tersebut membungkuk ke lantai. Cowok
berambut hitam melompat mundur, wajahnya memancarkan
keterkejutan. Reva berbalik, berpura-pura tidak menyadari kehadiran mereka.
"Lensa kontakku!" jerit gadis tersebut dari lantai. "Lensa
kontakku jatuh!"

Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Reva menghirup kopinya banyak-banyak.
"Tolong. Aku tidak bisa melihat apa-apa!" jerit gadis tersebut
dengan suara melengking. Sambil bersandar ke rak, Reva melirik ke bawah sekilas. Gadis
tersebut tengah merangkak, meraba-raba ubin persegi hitam dan putih
dengan satu tangan. Cowoknya tiba-tiba saja telah berada di hadapan Reva, jas
hujannya masih tersampir di satu lengan. Ia boleh dikatakan tampan,
pikir Reva. Aku suka mata hitam yang membara itu.
"Tolong aku," kata cewek itu dari lantai. Ia telah merangkak di
antara gerai parfum dan pintu samping toko. "Aku tidak bisa melihat
apa-apa." Reva, berpura-pura tidak mendengar, menunduk, berusaha
untuk bersembunyi di balik topi lunaknya. Ia menyibukkan diri
merapikan lengan sweter kasmirnya.
"Kau bisa menolong kami?" tanya cowok itu. "Aku tidak
membawa kacamataku. Aku sama butanya dengan dia."
Reva menghirup kopinya sekali lagi sebelum menjawab. "Maaf,
aku sedang istirahat."
"Aku tidak bisa menemukannya!" seru cewek di lantai itu.
"Bisa kau membantu kami?" pinta cowoknya. "Hanya
sebentar." Reva meletakkan cangkirnya. "Maaf. Aku tidak diizinkan untuk
meninggalkan tempatku."
Yang mengejutkan Reva, cowok tersebut memaki marah.
"Hei...!" teriak Reva sewaktu cowok itu menyambar lengannya
dengan dua tangan dan menariknya keluar dari pintu ayun rak
kosmetik dan menuju ke pintu keluar.
Bab 13 "Kita Bunuh Saja Dia"
"LE PASKAN aku!" jerit Reva marah.
Tidak mengacuhkan protesnya, cowok itu terus menariknya ke
pintu. "Hanya se-sebentar," kata cowok itu.
Reva menyadari kalau mata cowok itu membelalak marah"dan
takut. "Lepaskan!" Reva berjuang untuk membebaskan diri.
"Ada apa ini?" kata seseorang dengan marah.
Cowok itu melepaskan pegangannya.
Reva berpaling dan melihat Ms. Smith tengah memelototi
dirinya. "Reva, apa yang kaulakukan?"
"A-aku?" kata Reva tergagap.
"Kutemukan!" jerit cewek pirang tersebut dari lantai. Ia
bergegas bangkit berdiri. "Lensa kontakku jatuh, hanya itu," katanya
kepada Ms. Smith. Cewek dan cowok itu bergegas keluar melalui pintu samping
tanpa berpaling. Reva menggosok lengan sweternya. "Aneh," gumamnya.
Memangnya pekerjaanku menemukan lensa kontaknya, pikirnya
dengan marah. Benar-benar tolol!
"Reva, kau terlambat pagi ini," kata Ms. Smith memarahinya,
sambil mengamati remah-remah muffin dan lingkaran cokelat kopi di
kaca rak. "Ya. Ayahku memintaku untuk membawa Mercedes barunya ke
bengkel," jawab Reva, dengan santai memojokkan Ms. Smith.
************************ "Kita bunuh saja dia!" jerit Danny, kakak Pres, sambil memutar
kemudi sebanyak-banyaknya. Sepatu bot kerjanya yang berwarna
cokelat menginjak pedal gas sekuat tenaga. "Kenapa tidak kita bunuh
saja?" Plymouth tua itu terbatuk-batuk, lalu melesat maju. Danny
membungkuk di atas kemudi, mata hitamnya menyipit dengan marah.
Ia tampak seperti Pres yang lebih tua, lebih lusuh. Ia memiliki rambut
yang sama hitamnya dan mata yang sama bersemangatnya. Tapi
wajahnya bulat dengan pipi-pipi gembung. Dan sekalipun baru berusia
dua puluh lima tahun, Danny memiliki perut gendut yang menonjol
dari balik kaus kelabunya.
Pres tengah tegang di kursi penumpang di samping kakaknya,
pandangannya terpaku ke jalan di depan. Diane duduk di sisi kanan
kursi belakang, dengan gugup mempermainkan rambutnya.
"Kita tidak akan mendapat uang kalau membunuhnya," katanya
kepada Danny. "Apa gunanya membunuh cewek itu?"
"Well, dia sudah dua kali mengacaukan rencana kalian, kan?"
jawab Danny. "Jadi kenapa tidak kita bunuh saja?"
"Tutup mulutmu," sergah Pres pahit. "Kau baru bergabung
dengan kami pagi ini, dan sekarang kau sudah mau membunuhnya."
"Tujuan intinya adalah menculik Reva dan memaksa ayahnya
membayar uang tebusan," kata Diane menjelaskan dengan sabar.
"Tidak ada gunanya untuk membunuhnya."
"Danny memang besar mulut," gumam Pres. "Dia tidak berniat
untuk membunuh siapa pun."
Danny tergelak. Ia mengalihkan pandangannya dari jalan dan
berpaling kepada Pres. "Hei, Bung, jangan menekanku. Bukan aku
yang sudah mengacau dua kali."
Pres merengut dan berpaling memandang jendela.
Mereka melaju dalam kebisuan selama beberapa saat, melewati
ladang-ladang telanjang khas musim dingin dan rumah-rumah
pertanian yang cerobongnya mengepulkan awan asap putih ke langit
pagi yang kelabu. "Penjahat besar," kata Danny mengejek, sambil menggeleng. Ia
mendorong bahu adiknya yang tertutup jaket penerbang keras-keras.
"Kau mau mencuri cewek itu" Kau bahkan tidak bisa mencuri base
kedua di pertandingan Liga Kecil!" Kepala Danny tersentak ke
belakang, tertawa seakan-akan baru saja melontarkan lelucon paling
pandai yang pernah ada, dan hampir-hampir menabrakkan mobil ke
sebuah truk yang diparkir di bahu jalan layang.
"Perhatikan arahmu!" jerit Diane.
Danny meliukkan mobil pada waktunya.
"Sudah kukatakan kalau dia bisa menyebabkan kita terbunuh,"
gumam Pres. "Adikku seorang penjahat besar." Danny tergelak.
"Kita tenangkan diri dulu dan coba untuk memikirkannya
kembali," desak Diane. "Maksudku, ayolah. Kalian berdua. Jangan
saling mengganggu, oke?"
"Hei, bukan aku yang mengacau!" jerit Danny, tiba-tiba marah.
"Aku hanya sopir"ingat?"
"Kalau begitu mengemudilah," gumam Pres. "Dan tutup
mulutmu." "Sulit dipercaya aku menyia-nyiakan satu hari kerja untuk ini,"
kata Danny menggerutu, mengabaikan Pres. "Kau menjanjikan lima
ribu dolar. Benar-benar lucu."
"Kita masih bisa mendapatkan uangnya," sela Diane dari
belakang. Ia mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan kedua
tangannya pada bagian belakang kursi Pres. "Kita masih bisa menculik
Reva, kau tahu." "Bagaimana?" tanya Pres skeptis, sambil berbalik
menghadapnya. "Dia sudah melihat kita. Dia sudah melihat kita
berdua. Bagaimana kita bisa mendekatinya?"
"Dia belum pernah melihat Danny," jawab Diane.
Pres memutar bola matanya.
"Jadi sekarang aku yang harus melakukan semuanya?" keluh
Danny. Ia menerobos lampu merah.
"Tutup mulut dan biarkan dia bicara," sergah Pres dengan tidak
sabar. "Kau punya gagasan, Diane?"
Diane mengangguk. "Bagaimana dengan gudang di toko, Pres"
Katamu Reva bekerja di gudang setiap sore, bukan?"
"Yeah. Dari pukul tiga sampai lima," jawab Pres.
"Itu tempat mangkal Pres yang dulu," kata Danny, sambil
meringis. "Sampai tertangkap basah membawa beberapa barang di
balik mantelnya." Ia terkikik melengking. "Penjahat besar!" katanya
mengejek, sambil menggeleng.
"Danny, beri Pres kesempatan," pinta Diane. Ia meremas bahu
Pres. "Jadi kita bisa bersembunyi di gudang" Apa kita bisa menyeret
Reva keluar dari sana?"
Pres memikirkannya. "Yeah. Mungkin," jawabnya tanpa
antusias. "Ada banyak kotak karton, rak, dan barang-barang yang bisa
dijadikan tempat persembunyian. Dan satpam di pintu belakang benarbenar payah. Dia selalu ada di ruang sebelah untuk menyaksikan
pertandingan di TV."
"Hebat sekali!" jerit Danny. "Mungkin kita bisa mengambil
beberapa CD-player dan lainnya juga, sementara di sana."
"Satu-satunya masalah, kita tidak bisa masuk ke sana," kata
Pres kepada Diane, mengabaikan kakaknya. "Reva akan mengenali
kita." "Tapi dia tidak akan mengenali Danny," kata Diane. "Danny
bisa bersembunyi di dalam sana. Dia bisa mendekati Reva, menutupi
kepalanya dengan mantel atau apa, dan menyeretnya keluar ke kita di
mobil." "Yeah, kurasa bisa," jawab Pres dengan enggan.
"Whoa. Tunggu dulu," kata Danny, sambil mengemudi dengan
satu tangan, menggaruk-garuk rambut berminyaknya dengan tangan
yang lain. "Aku tidak bodoh, kau tahu. Apa aku tampak bodoh di
matamu?" "Yeah," gumam Pres datar.
"Well, aku tidak bodoh," kata Danny, sambil menggaruk kulit
kepalanya keras-keras. Ia melaju melewati sebuah traktor yang
bergerak perlahan, hampir-hampir menyerempetnya. "Aku tidak
bersedia menculik cewek ini, melakukan semua pekerjaan kotor hanya
untuk lima ribu dolar. Tidak bisa."
"Baiklah, baiklah," kata Pres menggerutu. "Kau mendapat
sepuluh ribu, Danny." Ia melirik ke Diane untuk melihat apakah Diane
setuju. "Hei"sudah kukatakan"aku tidak bodoh!" teriak Danny
dengan marah. Ia menginjak rem sekeras-kerasnya.
Diane menjerit. Ia hampir-hampir terlempar ke depan saat
mobilnya mendecit dan meliuk-liuk liar di jalan.
Pres terlontar ke dasbor. Kepalanya menghantam kaca depan.
"Hei"kau sudah sinting?" jeritnya kepada kakaknya.
Mobilnya meluncur berhenti di bahu jalan yang berlumpur.
"Aku tidak sudi menculiknya dengan bayaran sepuluh ribu
dolar sementara kalian menjadi miliuner," kata Danny bersikeras.
"Aku mungkin tampak seperti orang tolol, tapi aku tidak tolol."
"Oke. Kau minta berapa?" tanya Pres, sambil menggosok
dahinya. "Berapa, Danny?"
"Sepertiga," kata Danny, sambil menatap lurus ke depan. "Kita
bagi tiga sama rata. Berapa pun hasilnya."
Pres kembali berpaling ke arah Diane. Diane mengangkat bahu.
"Oke," kata Pres menyetujui, sambil mengerutkan kening.
"Sepertiga." "Dan kalau gadis Dalby itu mengacau," kata Danny, senyuman
yang aneh merekah di wajahnya yang gendut, "kalau dia mengacau,
aku akan membunuhnya. Sungguh."
Bab 14 Kacau REVA menanggalkan anting-antingnya dan menekankan
gagang telepon ke telinganya. "Halo?" tanyanya tanpa bernapas.
"Reva" Hai. Ini aku, Pam. Kau sibuk?"
"Well... boleh dikatakan begitu," jawab Reva, sambil melirik ke
lorong. Ia tengah berdiri di samping meja di ruang kerja ayahnya. Di
luar jendela langit malam berwarna merah keunguan yang tebal.
Salju akan turun, pikir Reva. Ia menggigil. Ruang kerja itu
dingin. Ia ingin kembali ke kehangatan perapian di ruang duduk.
"Aku sangat jengkel," kata Pam, suaranya pelan dan terguncang
di ujung seberang. Pam bersin. "Maaf."
Pam mungkin sedang berada di kamar tidurnya yang kecil, pikir
Reva sambil menggeleng. Rumah Pam benar-benar tempat yang
menakutkan. "Ada apa?" tanyanya, berusaha agar terdengar berminat.
"Victor. Dia membatalkan janji kami malam ini," kata Pam
padanya. "Katanya dia harus tinggal di rumah dan mengawasi
adiknya." "Oh, wow. Aku sudah pernah mendengar alasan seperti itu
sebelumnya," kata Reva sinis.
"Kutelepon rumahnya beberapa menit yang lalu," lanjut Pam,
tidak mengacuhkan komentar sepupunya. "Dan dia tidak ada di sana!
Kata adiknya dia keluar."
"Keluar memenuhi janji?" jerit Reva. "Dengan siapa?"
"A"aku tidak tahu harus berpikir bagaimana," kata Pam
tergagap. "Sungguh."
"Kau harus mengawasi setiap pria tampan," kata Reva kejam.
"Hah" Apa maksudmu?" tanya Pam.
"Caranya memandangiku sewaktu kami bertemu kemarin lusa,
ada beberapa hal yang bisa kukatakan tentang temanmu Victor itu."
Reva tersenyum sendiri, menikmati permainan kecilnya, sengaja
mempermainkan Pam, mengetahui kalau ia justru menambah
kekhawatiran sepupunya itu.
Kenapa aku begitu senang menggoda Pam" tanya Reva pada
diri sendiri. Apa karena dia seorang korban yang begitu sempurna"
"Caranya memandangi dirimu?" jerit Pam melengking. "Apa
yang sebenarnya mau kaukatakan, Reva" Apa maksudmu..."
Reva tergelak. "Tidak. Maksudku kau harus berhati-hati
dengannya, Pam. Mata hitamnya itu.... "
"Apa yang kauketahui tentang mata Victor?" tanya Pam dengan
nada curiga. Reva tergelak. "Aku tahu segala macam," jawabnya.
"Reva, apa kau"maksudku, kau"maksudku..." Pam tergagapgagap.
Senyum Reva semakin lebar. Menyiksa Pam begitu mudah, dan
begitu memuaskan. "Reva"kalau aku menganggap kau benar-benar pergi dengan
Victor, aku lebih baik mati! Sungguh!" jerit Pam, suaranya gemetar
oleh emosi. "Tenang, Pam. Kau mulai sinting. Aku yakin segalanya akan
beres," jawab Reva. "Kau tidak perlu mulai menuduh orang-orang.
Victor baru membatalkan dua janji."
"Dua janji?" kata Pam sambil berpikir. "Dari mana kau tahu"
Dari mana kau tahu kalau dia sudah melanggar dua janji" Dengar,
Reva, kalau ada yang kauketahui tentang Victor... Kalau kau
mengetahui sesuatu tapi tidak kaukatakan padaku..."
"Maaf, Pam, aku harus pergi. Nanti kutelepon, oke?"
Reva mengembalikan gagang telepon, senyum merekah di
wajahnya, matanya berkilau. Lalu, bersemangat untuk kembali ke
kehangatan perapian, ia bergegas kembali ke ruang duduk,
mengibaskan rambut merah tembaganya ke belakang sambil berjalan.
Sewaktu memasuki ruangan, cahaya api melontarkan bayangbayang yang bekerlap-kerlip di dinding. Victor memandang sekilas
dari sofa. "Dari siapa?" katanya, sambil memberi isyarat agar Reva
kembali ke tempatnya di sampingnya.
"Hanya teman," jawab Reva.
Beberapa detik kemudian Reva telah kembali di sofa, dalam
pelukan Victor, menciumi cowok itu, menciuminya berulang-ulang,
begitu nyaman dan hangat di depan api yang keemasan.
"Pam akan membunuhku kalau dia sampai tahu," gumam


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Victor. "Pepatah lama yang paling baik," bisik Reva ke telinganya.
"Apa yang tidak diketahuinya tidak akan menyakitinya."
Ia memeluk leher Victor dan menarik wajah Victor yang
tampan mendekat. Pam yang malang begitu jengkel. Seharusnya ia kuberitahu
kalau Victor tidak layak untuk dipikirkan, pikir Reva.
Atau mungkin lebih baik membiarkan Pam tahu dengan
sendirinya. ****************************
Pada saat yang sama, kurang dari enam belas kilometer jauhnya
dari Shadyside, di Waynesbridge Diane mondar-mandir dengan gugup
di atas karpet lusuh di apartemen Pres yang kumuh. Dari lorong, suara
biola mengalir menerobos dinding tipis. Diane menutupi telinganya
dengan tangan, berusaha untuk menghalangi suara yang merengekrengek itu, berusaha untuk berpikir dengan jernih.
Akhirnya, sambil mendesah putus asa ia meraih gagang telepon
dinding di dapur dan menekan serangkaian angka dengan tangan yang
gemetar. Sambil menunggu jawaban, ia menggosok-gosokkan lengan
sweter katun tipisnya, berharap pemilik gedung apartemen Pres
bersedia meningkatkan pemanas ruangan.
"Halo?" Suara Danny terdengar serak dan terhambat, seakanakan baru terjaga dari tidur.
"Danny, kita mendapat masalah," kata Diane, berbicara dengan
suara pelan yang menunjukkan betapa jengkel dirinya.
"Hah" Diane" Jam berapa sekarang?" tanya Danny dengan
grogi. Diane melirik arlojinya. "Baru pukul sepuluh lewat lima belas."
"Aku baru mau menjalani tidur untuk kecantikanku," kata
Danny padanya. Ia berdeham dengan suara keras. "Sebenarnya, aku
sedang pusing. Aku berusaha tidur untuk menghilangkannya. Ada
apa?" "Adikmu mengacau," kata Diane kepadanya, sambil memuntirmuntir kabel telepon di pergelangannya, menyandarkan diri ke kertas
dinding yang telah pudar.
"Oh, tidak. Apa yang dilakukan Pres" Apa maksudmu, dia
mengacau?" tanya Danny, terdengar telah terjaga sepenuhnya
sekarang. "Dia mengacau," ulang Diane sambil mendesah. "Dia
tertangkap malam ini."
"Hah" Kenapa?" jerit Danny. "Bersenang-senang" Membuang
sampah?" "Jangan bergurau, Danny," kata Diane bersikeras. "Adikmu
terlibat perkelahian dan menghajar seseorang. Sekarang dia berada di
tahanan." Diane menunggu jawaban Danny, tapi yang terdengar hanyalah
kesunyian. "Sulit dipercaya," kata Danny pada akhirnya. "Dasar orang
tolol." "Aku sudah menelepon orangtua kalian," lanjut Diane, sambil
terus memuntir-muntir kabel telepon. "Mereka menolak untuk
membayar jaminannya. Mereka menolak untuk melakukan apa pun
baginya." "Masuk akal," gumam Danny.
"Dan aku tidak bisa membebaskannya," kata Diane. "Aku tidak
memiliki uang sesen pun."
"Aku juga tidak," kata Danny padanya.
Suara biolanya bertambah keras. Seakan-akan mengepung
Diane. Ia berbalik, melangkah masuk ke dapur mungil yang tidak
lengkap itu, berusaha tanpa hasil untuk melarikan diri dari musik itu.
"Bagaimana dengan besok?" tanya Danny dengan suara pelan.
"Kau tahu, tentang menculik cewek itu."
"Entahlah," kata Diane, sambil mendesah lagi. "Gagasan itu
bagus. Dan sekarang kita lebih membutuhkan uangnya daripada
sebelumnya." Danny kembali berdeham. "Well, bagaimana kalau kita lakukan
tanpa Pres" Kau tahu. Hanya kau dan aku."
"Kurasa bisa," jawab Diane, sambil menggosok-gosok dahinya.
Tangannya sedingin es. "Aku akan bersembunyi di gudang, persis seperti rencana kita,"
kata Danny menawarkan. "Dan kau bisa mengemudikan mobilnya.
Kau tahu. Memarkirnya di dermaga bongkar-muat barang.
Membiarkan mesinnya tetap hidup. Segalanya sama. Kita bisa
melakukannya, Diane. Kita tidak memerlukan orang tolol itu."
"Yeah. Oke. Kurasa." Suara biolanya membuat Diane seolah
sinting. "Kita lakukan saja, Danny. Dan kali ini tidak ada kesalahan."
"Yeah. Benar," Danny seketika menyetujui. "Tidak ada
kesalahan. Sudah kukatakan, aku pusing lagi. Aku tidak bisa
menerima kesalahan apa pun. Kau mengerti maksudku?"
Diane merasakan hawa dingin merayapi punggungnya saat
mengembalikan gagang telepon. Danny begitu tidak bisa ditebak,
begitu sinting, pikirnya. Ia tidak bergerak. Kalau kehilangan kendali,
Danny bisa benar-benar berbahaya.
Tidak ada kesalahan, pikir Diane.
Tidak ada kesalahan. Mungkin melibatkan Danny dalam rencana ini merupakan
kesalahan, pikirnya sambil menggigil. Mungkin ini merupakan
kesalahan besar. Bab 15 Diane Gugup DIANE mengurangi kecepatan mobil saat melintasi polisi tidur
dan menjalankannya perlahan-lahan menuju ke bagian belakang
toserba Dalby's. Mesin mobil menderum keras, menimbulkan gelegak
yang sama dengan gelegak dalam perut Diane.
Kali ini harus berjalan dengan benar, pikirnya sambil
mencengkeram roda kemudi erat-erat. Harus. Tiga kali merupakan
keajaiban. Tapi ada begitu banyak hal yang bisa keliru.
Bagaimana kalau mobilnya mogok"
Bagaimana kalau ada satpam yang melihatnya memarkir mobil
di dermaga bongkar-muat barang"
Bagaimana kalau Reva tidak muncul untuk menjalankan tugas
gudangnya" Bagaimana kalau Danny kehilangan kendali" Bagaimana bila
ada yang menyebabkan dia marah dan meledak" Ini bukan yang
pertama kalinya, pikir Diane sambil menggigil.
Ia mencoba untuk mengusir pertanyaan-pertanyaan tersebut dari
dalam benaknya, tapi pertanyaan-pertanyaan itu terus kembali.
Berpikir positif, katanya terus-menerus pada dirinya sendiri.
Tapi ia terlalu gugup untuk mampu berpikir positif.
Kedua tangannya terasa dingin dan lengket pada kemudi.
Dagunya gemetar. Tenang, Diane. Tenang. Ia mencoba membujuk dirinya sendiri
agar tidak ketakutan. Sewaktu memikirkan Pres, yang tengah berada di tahanan kota,
ketakutan Diane berubah menjadi kemarahan. Kenapa dia tega berbuat
begini pada Danny dan aku" tanyanya pada diri sendiri, sambil
menggigit bibir bawahnya hingga merasakan darah. Kenapa dia tega
membiarkan Danny dan aku yang melakukan semuanya"
Pada saat Pres bebas nanti, dia pasti meminta bagiannya dari
uang tebusan jutaan dolar itu, pikir Diane dengan pahit. Well, nanti
dulu... Cuaca sore tersebut kelabu muram. Salju turun semalam, tapi
sebagian besar telah mencair. Beberapa onggokan putih menghiasi
area di belakang toko. Plymouth tua itu memperdengarkan suara bagai tercekik, seperti
terbatuk. Diane membawanya melintasi gerbang lebar yang terbuka,
dan melihat dermaga bongkar-muat barang.
Tiga buah panggung beton terjulur dari bagian belakang toko.
Ketiganya menuju ke pintu-pintu dorong mirip pintu garasi, ketigatiganya juga terbuka. Di belakang pintu-pintu tersebut terdapat gudang
toko yang luas. Sebuah truk kuning besar diparkir memunggungi panggung
bongkar-muat yang terjauh. Seorang pengemudi berseragam biru
tengah menutup pintu belakangnya. Diane bisa membaca tulisan
MELENGKAPI RUMAH DENGAN GAYA dengan huruf-huruf
merah melintang di sisi truk.
Kedua panggung lainnya kosong. Diane mencari-cari satpam,
tapi tidak melihat satu pun.
Dengan jantung berdebar, ia menghentikan mobil di panggung
tengah dan memindahkan persneling ke posisi netral. Ia bersandar ke
kursi penumpang dan mengintip dari jendela, mencoba untuk melihat
ke dalam gudang. Danny, apa kau ada di dalam sana"
Di depannya, sopir truk itu membanting pintu kendaraannya
hingga menutup, mengejutkan Diane. Diane duduk tegak,
mencengkeram kemudi, dan mengawasi saat truk kuning besar
tersebut perlahan-lahan bergerak menjauh.
Bagus, pikirnya dengan perasaan agak lega. Sekarang tidak ada
orang lain lagi di sini, tidak ada yang ikut campur, tidak ada yang bisa
mengacau. Ia melirik jam di dasbor, lalu teringat kalau jam tersebut rusak.
Letusan yang keras menyebabkan ia menjerit dan membungkuk.
Jantungnya bagai melompat dari dadanya.
Ia masih gemetar sewaktu menyadari kalau letusan tersebut
berasal dari truk pembawa perabotan, dari knalpotnya.
Aku belum pernah setakut ini seumur hidupku, kata Diane. Ia
melap tangannya yang basah ke kaki celana jinsnya.
Danny mendapat tugas yang mudah, pikirnya. Ia melirik ke
kaca spion tengah, memastikan kalau tidak ada yang mendekat dari
belakangnya. Setidaknya ada yang dikerjakan Danny. Aku harus
duduk, menunggu, menunggu, dan menunggu, dan merasa gugup.
Bagaimana kalau ada yang menggunakan dermaga bongkarmuat barang" Bagaimana kalau ada satpam yang mendekat" Kalau
begitu apa yang harus kulakukan"
Ia menginjakkan kakinya ke pedal gas. Mesinnya bergetar, lalu
menderum sebagai jawaban.
Ia menunduk untuk mengintip ke gudang yang gelap.
Apa Danny ada di dalam sana" Apa Reva ada di sana"
Apa rencananya akan berhasil"
Cepat, Danny, Please"cepat!
Diane kembali melirik ke kaca spion tengah untuk memeriksa
keadaan. Dan menjerit. Seorang polisi berseragam tengah mendekat dengan cepat,
pandangannya terpaku ke mobil.
Bab 16 Danny Lepas Kendali DANNY bersandar ke peti kayu, tersembunyi di dalam bayangbayang. Ia mengangkat tangannya yang masih bebas untuk menggaruk
kepalanya dari balik topi ski wol yang dikenakannya hingga menutupi
wajah. Di salah satu tangannya terdapat mantel wol hitam tebal yang
sengaja dibawanya. Rencananya adalah untuk menyergap Reva dan
meredam jeritannya dengan menyelimuti kepala gadis itu dengan
mantel tersebut. Ia memandang sekitarnya mencari-cari satpam, tapi
tidak melihat satu pun. Keamanannya payah, pikirnya.
Saat menggaruk kepalanya dari balik topi ski yang panas,
punggungnya mulai gatal. Ia menggosokkannya dengan diam-diam ke
peti kayu. Aku selalu merasa gatal kalau gugup, pikir Danny. Dan
sekarang aku sangat gugup.
Ia telah masuk ke dalam gudang dua puluh menit yang lalu
untuk mencari tempat persembunyian yang aman. Untung bagi Danny,
ada sejumlah perabotan yang baru saja masuk gudang. Peti-petinya
yang besar ditumpuk menempel ke dinding di tengah-tengah gudang
yang luas itu. Dengan begitu Danny mendapat tempat persembunyian
yang sempurna"dan bisa mengawasi kedatangan Reva.
Sejauh ini bagus, pikirnya, sambil menyelinap semakin rendah
di balik peti saat dua orang pria mendekat, sepatu mereka menggores
lantai beton. Kalau saja pusingnya hilang.
Pusing tersebut terasa seperti denyutan-denyutan di keningnya
sekarang. Danny memejamkan mata dan berdoa agar pusingnya tidak
semakin hebat. Seiring dengan pusing tersebut, ia merasa marah. Kemarahan
yang membara, menurut istilah Danny, karena pada saat sakitnya
begitu hebat ia selalu melihat kilasan-kilasan cahaya merah.
Sakitnya menyebabkan ia marah, begitu marah sehingga
terkadang lepas kendali. Begitu marah terkadang ia jarang mengingat
apa yang telah dilakukannya.
Danny menghela napas dalam-dalam, lalu menghela napas lagi,
berusaha mengusir rasa pusingnya.
Reva, kau di mana" tanyanya diam-diam, sambil mengintip dari
balik sebuah peti kemas yang tinggi.
Reva, jangan biarkan aku terus menunggu. Please, jangan
membuatku menunggu. Aku tidak tahu sudah berapa lama... sampai sakitnya
mengambil alih, sampai warna merah menyapu diriku, mengambil alih
kendali atas diriku. Jangan membuatku menunggu, Reva. Demi kebaikanmu
sendiri. Langkah kaki. Itu dia! Danny mengumpulkan keberaniannya, setiap otot dalam
tubuhnya menegang. Ia memperbaiki posisi topeng ski wolnya,
mengintip melalui kedua lubang matanya.
Denyutan di keningnya semakin kuat.
Ia mengangkat mantel hitam tebal tersebut.
Lalu menurunkannya kembali.
Bukan Reva. Tapi seorang wanita paro baya yang mengenakan
setelan bisnis yang terlalu ketat. Sol sepatunya yang lancip berdetakdetak keras menghantam beton sewaktu ia melintas.
Danny merosot kembali ke petinya. Ia terengah-engah sekarang,
napasnya tersentak-sentak dengan suara keras. Kepalanya gatal. Ia
mencoba untuk tidak merasakannya.
Tenang. Tenang. Tapi denyutan menyakitkan di kepalanya terasa semakin tajam,
menyebar hingga ke matanya.
Ia memejamkan mata, berusaha untuk mengusir rasa sakitnya.
Ia bisa mendengar suara-suara dari salah satu ujung gudang.
Ada yang berteriak-teriak marah. Suara yang lain menjawab dengan
nada sama marahnya. Tutup mulut. Tutup mulut. Tutup mulut.
Ia bisa merasakan kemarahannya sekarang, kemarahan yang
berdenyut-denyut, berdenyut-denyut seiring dengan sakitnya.
Ia membuka mata, mencoba untuk memfokuskan
pandangannya. Tapi dinding-dinding tampak merah. Peti-peti kayunya telah
berubah warna menjadi merah.
Lantainya kemilau merah, merah cerah. Merah yang berdenyutdenyut.
Lawan. Lawan, kata Danny pada diri sendiri.
Ini terlalu sering terjadi padanya akhir-akhir ini. Mula-mula
sakit, lalu kemarahan yang membara.
Mungkin sebaiknya aku memeriksakan diri ke dokter, pikirnya.
Ia menekankan tangannya ke kepalanya yang berdenyut-denyut.
Lalu Reva muncul. Reva. Mengenakan sweter putih panjang dan celana panjang


Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hitam. Membawa setumpuk paket kecil.
Ya. Danny memicingkan mata menembus warna merah, melihat
Reva dengan jelas. Melihatnya mendekat. Semakin dekat.
Ya! Sakit menusuk dirinya. Rasanya seperti ada yang
mengencangkan ikatan karet di sekitar puncak kepalanya. Semakin
erat. Semakin erat. Sambil memelototi suasana merah di sekitarnya, Danny
menyelinap ke belakang Reva.
Ia mengangkat mantel wol hitamnya.
Kutangkap kau sekarang, pikirnya, sambil berjuang mengatasi
sakitnya, mengatasi kemarahan yang meraung-raung dari setiap
ototnya. Kutangkap kau sekarang, Reva.
Kuharap aku tidak perlu melakukan tindakan brutal apa pun.
Bab 17 Kena Kau! DENGAN menatap ke kaca spion tengah, Diane mengawasi
petugas polisi berwajah muram tersebut mendekat. Topi biru tua
petugas itu dikenakan rendah menutupi keningnya. Tangannya
bersarung tangan, satu berada di tangkai tongkatnya, yang lain
terayun-ayun di sisinya. Ini tidak terjadi, pikir Diane, tenggorokannya tercekik
kepanikan. Ia memaksa diri untuk kembali bernapas.
Ini tidak mungkin terjadi.
Oh, please. Please"lewati saja mobil ini. Terus saja berjalan.
Please. Tapi tidak. Polisi tersebut mengetuk kaca jendelanya.
Diane meraih tombolnya dan menurunkan kaca jendela separo,
seluruh tubuhnya gemetar. Dagunya bergetar tanpa terkendali. Ia
bertanya-tanya apakah polisi tersebut mampu melihatnya.
"Apa yang kaulakukan di sini, Nona?" tanya polisi itu.
Suaranya tinggi melengking. Sama sekali tidak sesuai dengan
tubuhnya yang besar atau wajahnya yang keras dan kaku.
"Eh... tidak ada." Diane tidak mampu berpikir dengan benar. Ia
hampir-hampir tidak mampu bicara.
Ia melirik ke dermaga bongkar-muat barang.
Bagaimana kalau Danny berlari keluar sambil membawa cewek
itu sekarang" Mereka berdua akan ditangkap.
"Kenapa kau parkir di sini?" tanya polisi tersebut, sambil
menurunkan kepalanya ke jendela, mata kelabu kehijauannya
menjelajahi kursi depan mobil.
"Eh... aku menunggu seseorang," kata Diane dengan susah
payah. Ia melirik ke pintu-pintu yang lebar tersebut sekali lagi, jangan
keluar, Danny. Jangan keluar sekarang.
"Maaf," kata polisi tersebut sambil mengerutkan kening. "Kau
harus pindah." "Dia akan keluar sebentar lagi," kata Diane bersikeras dengan
suara gemetar. "Sungguh."
"Ada tempat parkir di sebelah sana," kata polisi itu, sambil
menunjuk ke arah kedatangan Diane. "Kau harus menunggu di sana."
"Tapi, Sir...?"
"Maaf." Mata polisi tersebut menyipit memandangnya. "Tidak
boleh menunggu di belakang sini. Pindah. Sekarang."
***************************
Sambil berjuang mengatasi gelombang rasa sakit di dahinya,
Danny mengangkat mantel yang berat itu dengan dua tangan.
Lantai berkilau bagai genangan air. Merah lalu kelabu. Merah
lalu kelabu. Dengan cepat, Danny menyelinap ke belakang cewek itu.
Cewek itu berhenti dengan tiba-tiba.
Danny hampir-hampir menabraknya.
Ia menelan ludah dengan susah payah. Berjuang untuk melihat
menembus tirai kemerahan. Dan ia menebarkan mantelnya ke atas
kepala cewek itu. Kedua lengan cewek itu terlontar ke atas. Kotak-kotak yang
dibawanya jatuh dengan ribut menghantam lantai.
Danny memandang sekitarnya sekilas. Tidak ada orang lain
lagi. Cewek itu berusaha menjerit, tapi Danny melilitkan mantel di
wajahnya erat-erat. Jeritan cewek itu terdengar bagai rengekan
teredam. Cewek itu menggeliat-geliat.
Danny mendorongnya ke depan keras-keras, sambil melilitkan
Pendekar Kidal 13 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Kisah Sepasang Rajawali 23
^