Pencarian

Cewek Baru 3

Fear Street - Cewek Baru The New Girl Bagian 3


telah meninggal?" Anna berbalik, Cory hampir menerjangnya. "Aku tak tahu! Aku
tak tahu! Aku tak tahu! Ia sinting! Aku sudah bilang padamu! Ia
sinting... dan ia amat berbahaya!" teriak Anna, air mata menggenang
di matanya. "Aku benar-benar tak ingin membicarakannya. Tidakkah
kau mengerti?" "Siapa lagi yang tinggal bersamamu?" tanya Cory,
melembutkan suaranya. Ia tak ingin membuat Anna menangis, apalagi
membuatnya histeris. Cewek malang itu jelas sekali mengalami
kesulitan dengan kakaknya yang mengganggu hidupnya.
"Ibuku," jawab Anna, mengusap air mata dengan punggung
tangannya. "Kami hanya bertiga. Tapi ibuku sakit-sakitan."
Mereka berjalan berdampingan sambil membisu. "Jangan
hiraukan Brad," kata Anna akhirnya. "Ini aku, bersamamu. Jangan
pedulikan Brad, jauhilah dia. Dia takkan tahu tentang... tentang kita."
"Maaf atas semua pertanyaanku," kata Cory lembut,
melingkarkan lengannya di bahu Anna. "Aku tak bermaksud
membuatmu susah. Pikiranku buntu, dan kau... kau meneleponku
malam Minggu itu. Aku datang segera dan..."
"Apa" Tidak, Cory. Maksudmu Jumat malam."
"Kau meneleponku pada malam Minggu juga, dan aku langsung
datang, tapi..." Anna berpaling, menghentikan langkah Cory dengan
meletakkan kedua tangannya ke dadanya. Anna kelihatan amat
terkejut. "Ada orang yang mempermainkanmu, Cory," katanya. Mata
birunya menyala-nyala. "Aku tak pernah meneleponmu pada malam
Minggu." "Lalu siapa..."
"Shhh. Sudahlah," kata Anna, meletakkan jarinya di bibir Cory.
"Jangan bicarakan hal itu lagi." Anna menengadah. Cory menunduk
dan berniat menciumnya. "Tidak!" pekik Anna tiba-tiba, mengejutkan Cory. Ia
menjauhkan diri dari Cory. Ia tidak memandang Cory. Tatapannya
tertuju ke pagar tanaman tinggi di belakang Cory yang membatasi
trotoar itu. "Aku harus pergi. Jangan ikuti aku. Ia sedang
mengawasiku!" Anna berbalik dan berlari menuju sekolah. Dengan putus asa,
Cory menyaksikannya melarikan diri. Kemudian ia bergerak cepat
untuk memeriksa pagar tanaman itu. Ia berlari ke balik pagar tanaman
itu dan mengitarinya. Kira-kira seratus meter dari situ tampak seseorang berjas
panjang berwarna gelap, berlari kencang di sepanjang pagar tanaman.
Brad-kah itu" Mungkin saja. Anna tidak bohong. Kakaknya yang sinting itu kini sedang memata-matai mereka.
**************************
"Hm, aku sudah dengar berita besar itu."
"Apa?" Cory mengalihkan pandang dari edisi terbaru Sports
Illustrated yang sedang dibacanya.
Aku sudah dengar berita besar itu," ulang ibunya. Ibunya
kelihatan agak kesal karena Cory tak mengerti apa yang
dibicarakannya. "Aku baru saja mengobrol dengan ibu Lisa."
"Lalu?" Cory membalik-balik majalah itu sampai menemukan
artikel senam yang dicarinya. "Apa berita besar itu?"
"Tentang kau dan Lisa," kata Mrs. Brooks tak sabar.
"Hah?" Ibunya melewatinya dan berdiri di depan sofa, memaksa Cory
menengadah, memandangnya. "Apakah aku sedang bicara dengan
Cory Brooks dari Planet Bumi?" tanyanya.
Cory memutar bola matanya. "Ah, Mom, jangan ganggu aku."
"Jadi, kau berkencan atau tidak dengan Lisa?"
"Oh." Cory tiba-tiba teringat pada pesta dansa itu. "Ya Ya.
Kurasa begitu." Apa sih istimewanya" Kenapa ibunya tersenyum
simpul seperti itu" Kenapa ibunya tampak begitu senang"
"Sejak dulu aku yakin itu pasti terjadi," kata ibunya, bersidekap,
berjinjit lalu menurunkan tumitnya ke lantai, begitu berkali-kali.
Gerakan yang aneh, tapi ibunya selalu melakukannya kalau sedang
berdiri. "Apa?" "Sejak dulu aku tahu, akan tiba waktunya ketika kau dan Lisa
menjalin hubungan yang lebih akrab."
"Mom, Mom dari planet mana sih?" tanya Cory muak.
"Menurutku, baik sekali bahwa kau dan Lisa..."
"Ada yang lebih penting yang harus kupikirkan," sahut Cory.
"Misalnya?" Anna, pikir Cory, tapi ia tak menjawab. Ia hanya mengangkat
bahu. "Pekerjaan rumahmu, misalnya?" tanya ibunya.
"Oh. Benar. Aku lupa." Cory turun dari sofa dan berjalan
menuju kamarnya. "Terima kasih karena mengingatkanku, Mom,"
serunya dari atas. "Trims berat."
"Sama-sama," Cory mendengar ibunya menyahut dari dapur.
"Hei, Cory! Ayahmu dan aku mau keluar, jadi kau bisa belajar dengan
tenang!" Cory duduk di kursinya dan berusaha berkonsentrasi pada
sejarah Cina Kuno, tapi pikirannya mengembara. Wajah Anna mengisi
benaknya, menjauhkannya dari Dinasti Ming Keempat. Lagi-lagi Cory
teringat wajah Anna yang ketakutan ketika ia menyadari Brad
memata-matai mereka. Kenapa Anna sangat takut pada Brad" Apa yang membuatnya
takut" Apa yang dilakukan Brad padanya"
Cory tahu Anna takkan memberinya jawaban yang memuaskan.
Ia tak pernah memperoleh jawaban dari Anna. Anna tampak ketakutan
kalau membicarakan hal itu.
Cory memutuskan untuk menggarisbawahi kalimat per kalimat
di bukunya. Mungkin itu akan membuatnya lebih berkonsentrasi. Ia
membuka laci mejanya dan mencari stabilo kuning. Telepon
berdering. Cory memandang telepon itu, perutnya terasa sakit.
Biasanya ia mengharapkan telepon berdering. Kini suara
telepon itu mencekam perasaannya.
Telepon berdering dua kali. Tiga kali.
Cory sendirian di rumah. Ia bisa saja membiarkannya terus
berdering. Ia memandang telepon itu, tangannya cuma beberapa senti
dari gagang telepon. Sebaiknya ia menjawab atau tidak"
Bab 16 "HALO?" "Hai, Cory." "David" Hai." Cory lega mendengar suara David.
"Kau sedang apa?"
"Belajar. Membaca."
"Baca apa?" "Nggak tahu," kata Cory. Keduanya tertawa.
Mereka mengobrol ke sana kemari. Obrolan santai yang sudah
berminggu-minggu tak pernah mereka lakukan. Mungkin karena Cory
benar-benar gembira David-lah yang meneleponnya.
Akhirnya Cory bertanya, "Ada apa, kenapa meneleponku?"
"Kupikir kau ingin ngobrol," kata David tiba-tiba kedengaran
jengah. "Oke, kita ngobrol," kata Cory, tidak menangkap arah
pembicaraan David. "Bukan. Maksudku..." David ragu-ragu. "Kenapa kau kelihatan
aneh belakangan ini, tak pernah latihan dan pendiam. Mungkin..."
"Kurasa tak ada yang perlu kita bicarakan lagi," kata Cory
tajam. "Aku tak ingin ikut campur. Aku hanya...," David berkata
dengan perasaan terluka. "Aku baik-baik saja kok," tegas Cory. Ia tak merasa dirinya
berubah. Ia cuma merasa kurang bersemangat. "Kurasa aku sedang
asyik memikirkan yang lain."
"Maksudmu cewek itu?"
"Ya...." "Ia benar-benar luar biasa," kata David, memberi pujian
berlebihan. "Ia... berbeda."
"Ya," Cory sependapat. Tapi ia tak ingin membicarakan Anna
dengan David. "David, sudah dulu ya."
"Benarkah kau tak mau mengobrol lagi" Mungkin hal-hal lain?"
"Tidak, terima kasih, David. Sungguh, aku baik-baik saja. Aku
akan segera normal kembali. Penampilanku sudah lebih baik pada
pertandingan Sabtu lalu. Dan..."
"Oh, tampaknya aku salah lihat. Rupanya bukan kau ya yang
terjatuh dari palang sejajar waktu itu?" sindir David.
"Siapa pun bisa jatuh, David," kata Cory tersinggung. "Waktu
itu konsentrasiku hilang sebentar..."
"Konsentrasimu hilang! Cory, kau seperti berada di alam mimpi
sejak bertemu Anna. Otakmu seakan-akan tak berada di tempatnya!"
"Lalu, kau mau apa?" bentak Cory. Ia terkejut sendiri
mendengar bicaranya yang berapi-api.
"Hm, kupikir aku ini sahabatmu," kata David kesal.
"Seorang teman tidak akan membuat jengkel temannya," kata
Cory. "Sampai jumpa, David."
"Kalau bisa jangan deh," jawab David.
Biasanya sebelum menutup telepon, mereka akan tertawa
terbahak-bahak mendengar gurauan itu. Tapi kali ini keduanya
langsung memutuskan hubungan.
Dengan marah Cory kembali ke kursinya. Ia tak tahu harus
marah kepada siapa... dirinya atau David. Akhirnya ia sadar,
sebenarnya ia sedang kesal pada dirinya sendiri.
Cory menutup buku pelajaran sejarahnya. Ia berjalan mondarmandir. Ia ingin belajar, tapi tak bisa berkonsentrasi. Ia bersandar
pada ambang jendela dan memandang kegelapan malam. Di seberang
halaman tampak lampu kamar Lisa menyala. Cory memutuskan untuk
pergi sebentar ke rumah Lisa.
Dengan sepatu karet, ia meluncur di rumput yang basah. Ia
mengetuk pintu dapur rumah Lisa. Mula-mula pelan kemudian lebih
keras. Setelah menunggu sebentar, Lisa muncul. Ia kelihatan bingung.
"Nggak salah nih?" tanyanya, merapikan rambutnya yang tertiup
angin ketika membukakan pintu.
"Kurasa tidak."
Lisa memandang ke lantai. "Sepatumu basah, lihat lantai
dapurku." Cory melihat jejak sepatunya di lantai. Kemudian dengan
gerakan mudah dan cepat, ia bersalto menyeberangi ruangan itu.
"Begini lebih baik, kan?"
Lisa tertawa keras. "Kau hebat!" katanya, mengikuti Cory dari
belakang. "Kau benar-benar seperti simpanse. Bisakah kau makan
dengan kakimu?" Cory berjungkir balik ketika mencapai ruang tamu, lalu berdiri.
"Giliranmu," katanya, memberi isyarat dengan membungkuk sambil
merentangkan kedua tangannya.
"Tak usah ya," kata Lisa menolak. "Mau pisang?"
Cory menggeleng dan menjatuhkan dirinya di sofa berlengan.
Tiba-tiba ia merasa kehabisan tenaga.
"Ayo ke ruang baca," ajak Lisa, menarik tangan Cory. "Kau tak
boleh duduk di kursiku yang bagus itu. Mau apa kau ke sini?"
"Salah masuk, kurasa," jawab Cory.
Sambil tertawa Lisa mendorong Cory ke ruang baca. Aku suka
tawanya, kata Cory dalam hati. Lisa juga kelihatan imut-imut. Ia
memakai jeans belel buntung dan sweatshirt Shadyside High yang
kerahnya telah robek dan berjumbai.
Lisa menarik Cory hingga jatuh menimpanya. Rambut Lisa bau
kelapa; pasti habis keramas. Cory suka baunya, ia menghirup
aromanya dalam-dalam. "Kenapa kau?" tanya Lisa. "Sudah lebih baik?"
"Lebih baik apa?" sergah Cory, menyingkirkan koran-koran
sehingga ia dapat duduk di sofa berkulit hitam itu. "Lebih baik
daripada ditabruk truk" Mungkin."
"Seburuk itu huh?" tanya Lisa bersimpati. Ia duduk di sebelah
Cory, lututnya menyentuh kaki Cory.
"Kalau saja aku bisa berkonsentrasi kembali setiap berada di
ring," keluh Cory. Entah sudah berapa kali ia mengatakannya akhirakhir ini.
"Nanti juga kau pasti bisa," kata Lisa, meletakkan tangannya di
bahu Cory, berusaha menghiburnya.
"Anna menungguku di depan sekolah," cerita Cory. "Benarbenar kejutan bagiku."
Lisa menarik tangannya dan mendesah. "Apa sih yang ia
inginkan, tips tentang bagaimana berdiri dengan tangan?"
Cory tak merasakan kekasaran Lisa. Melihat artikel yang
menarik perhatiannya, ia mengambil halaman pertama surat kabar
yang baru disingkirkannya. Sebuah mobil kehilangan kendali di Fear
Street dan menabrak pohon. Sopirnya yang kebingungan tak bisa
menjelaskan kejadiannya. Padahal jalanan kering, dan ia mengendarai
mobilnya dengan kecepatan rendah.
"Kunjunganmu benar-benar menyenangkan, Cory," suara Lisa
membuatnya berhenti membaca. "Kau bercerita tentang Anna
kemudian membaca koran. Kau benar-benar mengerti hati seorang
cewek." Cory meletakkan surat kabar dan segera minta maaf. Pada saat
itu telepon berdering. "Siapa sih yang menelepon malam-malam
begini?" geram Lisa. Ia beranjak dari sofa dan berjalan ke telepon.
Sebelum telepon itu berdering untuk kedua kalinya dan
membangunkan orangtuanya, ia menjawab, "Halo?"
Sunyi di seberang sana. "Halo?" ulang Lisa.
"Kau juga akan mati," seseorang berbisik di telinganya. "Kau
juga akan mati. Kau juga akan mati."
Seperti yang tertulis pada carikan kertas yang dikalungkan di
leher kucing mati itu. Bab 17 "PASTI Anna yang mengancamku, Cory. Dialah yang
membunuh kucing itu. Ia yang mengancamku di telepon."
"Tidak, tak mungkin," tegas Cory. "Ayolah, Lisa. Ayo berdansa
dan jangan bicarakan hal itu lagi." Cory menariknya ke tengah-tengah
gimnasium, tempat beberapa pasangan sedang berdansa. Ruangan itu
dipenuhi suara musik, piringan hitam Phil Collins, suara drum dan
basnya hampir mengalahkan suara penyanyinya.
Lisa berdansa dengan setengah hati, lalu beberapa menit
kemudian berhenti dan menarik Cory ke pinggir. "Kau mencoba
mengalihkan topik pembicaraan," katanya, memegang tangan Cory.
Tangannya terasa dingin meskipun ruang senam itu hangat.
"Tidak, aku cuma ingin berdansa," kata Cory jengkel. "Kenapa
kau mengajakku kemari" Jika yang ingin kaubicarakan cuma Anna,
kita bisa membicarakannya di rumahku atau di rumahmu."
"Tapi ia mengancam keselamatanku, dan kau melindunginya."
"Pasti pelakunya bukan Anna," kata Cory. "Aku tahu itu. Ketika
kuceritakan pada Anna tentang kucing mati di lokermu, ia kelihatan
ngeri. Sungguh. Ia kelihatan ngeri mendengarnya."
"Hm, ia mungkin aktris berbakat," kata Lisa, mencemooh.


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cukup pintar untuk membodohimu."
Dua orang cowok anggota tim senam melambai kepada Cory
dari seberang ruangan. Cory balas melambai. Ia ingin menyeberangi
ruangan itu dan mengobrol dengan mereka. Bercanda dan bersenangsenang. Kencan pertamanya dengan Lisa berantakan.
"Kenapa Anna mesti memasukkan kucing mati ke locker-mu"
Kenapa" Kenapa ia mesti menelepon dan mengancammu?" tanya
Cory, berteriak mengatasi ingar-bingar lagu terbaru Prince. "Anna
tidak mengenalmu." "Anna cemburu," kata Lisa.
"Jangan konyol," kata Cory sambil menggeleng tak percaya. Ia
berbalik dan meninggalkan Lisa, tapi cewek itu mengikutinya. "Ia
mengajakmu pergi ke pesta dansa ini, kan?"
"Mungkin." "Ayolah... apakah ia mengajakmu" Terus teranglah."
"Mmm... ya." "Dan ia pasti berdiri di koridor memata-matai kita ketika aku
mengajakmu, kan?" "Tidak. Ia tidak memata-matai kita. Ia..."
"Ia menguping. Ia berada di koridor. Ia melihat kita berduaan.
Dan setelah itu aku menemukan kucing mati yang berkalung secarik
kertas itu." "Itu bukan bukti yang kuat."
"Ya ampun, kau benar-benar setia... padanya!" bentak Lisa,
mata hitamnya bersinar marah. Beberapa anak yang berdiri di dekat
situ memandang mereka, ingin tahu apa yang sedang diperdebatkan
keduanya. Cory malu. "Lisa, tenanglah." Ia meraih tangan Lisa, tapi Lisa
menyentakkannya. "Aku kenal Anna. Ia takkan..."
"Seberapa jauh kau mengenalnya?" desak Lisa. "Seberapa
jauh?" "Mungkin ada orang lain yang ingin menakut-nakutimu.
Seseorang yang mengenalmu."
"Lalu siapa orang itu" Siapa?"
"Aku tak tahu, tapi pasti bukan Anna!" teriak Cory. "Anna
sendiri punya masalah. Ia tak punya waktu untuk mencari-cari
masalah denganmu." "Oh, begitu?" Kemarahan Lisa memuncak. Ia mendorong dada
Cory kuat-kuat, hingga mengenai kertas krep yang tergantung di
dinding ruang senam itu. "Ayo duduk dan teruskan ceritamu.
Barangkali kau ingin menceritakan semua masalah Anna. Mungkin
semalaman ini kita bisa mendiskusikan masalah Anna. Kau
menyukainya, kan?" "Tenanglah, Lisa, orang-orang memandang kita."
"Apa saja masalah Anna, Cory" Ayolah. Mari kita diskusikan.
Apa masalahnya" Apakah ia terlalu kurus" Itukah masalahnya"
Apakah ia terlalu cantik" Benar" Dugaanku tepat, kan" Anna yang
malang, ia terlalu cantik."
"Lisa... tenanglah. Kau jadi gila tanpa sebab."
"Tanpa sebab" Hidupku terancam. Kurasa itu soal kecil!"
"Bukan itu yang kumaksud. Ayolah, jangan marah-marah. Ayo
berdansa. Aku minta maaf, oke?"
"Minta maaf" Apa salahmu?"
"Aku tak tahu. Pokoknya aku minta maaf."
Lisa mendesah dan menggeleng. "Aku tak mengira acara ini
akan berantakan begini." Musik berhenti. Suara Lisa bergema di
seluruh gimnasium yang ramai itu. "Kau benar-benar sudah terobsesi
oleh cewek itu. Oh, aku membuatmu malu, kan, Cory?" Musik
dimulai lagi. "Tidak. Maksudku ya. Maksudku..."
"Maaf. Aku tak akan membuatmu malu lagi." Lisa berbalik
meninggalkan Cory. Ia berlari menyeberangi lantai dansa yang penuh
orang. Cory mengejarnya, kemudian berhenti. Ia melihat Lisa
mendorong pasangan yang sedang berdansa hingga ia bisa
menyeberang ke sisi lain ruangan itu, lalu menghilang di pintu keluar.
Sekarang apa yang harus dilakukannya"
Memberi Lisa waktu untuk mendinginkan kepalanya kemudian
pergi minta maaf padanya" Itu mungkin ide terbaik. Ia sudah melihat
Lisa marah-marah ratusan kali sebelumnya. Amarahnya mudah
tersulut bagai api, tapi cepat lenyap secepat timbulnya.
Pasti Lisa yang cemburu, Cory menyimpulkan. Pikiran itu
membuatnya tersenyum meskipun mereka baru saja bertengkar. Lisa
cemburu pada Anna. Dan, tentu saja, ia punya alasan untuk itu.
Anna. Menit berikutnya Cory melihatnya menyeberangi lantai
dansa. Tidak, tak mungkin. Cory menyingkirkan Anna dari pikirannya.
Ia memutuskan untuk pergi ke bar dan memesan segelas Coca-Cola,
bermain-main sebentar dengan anak-anak, kemudian minta maaf pada
Lisa. Cory baru menyeberangi setengah ruangan itu ketika ia
mendengar jeritan. Jeritan cewek. Jeritan ketakutan.
Musik berhenti, semua orang memasang telinga.
Cory langsung tahu. Itu jeritan Lisa! Bab 18 KETIKA Cory sampai di koridor yang gelap, beberapa anak
sudah ada di sana. Sebuah bola lampu yang cahayanya kekuningkuningan di ujung koridor merupakan satu-satunya penerangan di situ.
Anak-anak itu seperti bayang-bayang, bergerak-gerak di kegelapan
sewaktu mencari cewek yang menjerit tadi. "Tak ada orang di sini!"
seru salah seorang, suaranya bergema di dinding.
"Lalu, siapa yang menjerit?" tanya yang lain.
Cory tahu siapa yang menjerit. Tapi di manakah dia"
"Aku di bawah sini! Bisakah seseorang menolongku?" suara
Lisa terdengar dari arah tangga.
Menuruni anak tangga dua-dua sekaligus, Cory-lah yang
pertama tiba di bawah. "Apa yang terjadi?"
"Siapa itu?" "Apakah ada orang di bawah situ?"
Suara-suara itu bergema di gang yang kosong.
"Lisa... kau tak apa-apa?" tanya Cory. Lisa duduk di dasar
tangga. "Tidak, kurasa."
Cory membantu Lisa berdiri, tapi kaki kanan Lisa cedera,
sehingga ia kembali menurunkannya ke lantai.
Beberapa anak kini berada di tangga, melihat ke bawah pada
Cory dan Lisa di bawah sinar lampu yang suram. "Apa yang terjadi?"
"Ternyata Lisa Blume." "Apakah ia tak apa-apa?" "Apakah dia
terjatuh?" "Aku... aku tak apa-apa," seru Lisa pada mereka. "Maaf kalau
aku mengejutkan kalian. Kini kalian bisa kembali ke ruangan. Benar
kok, aku tak apa-apa."
Dua-tiga anak masih tetap di tangga. Seorang cowok bersiul
keras, ingin tahu bagaimana bunyi gema siulannya di lorong itu.
Akhirnya musik di ruangan berbunyi lagi, dan semua anak masuk
kembali ke ruang dansa. "Pergelangan kakiku," kata Lisa pada Cory, meringis kesakitan
ketika ia mencoba berdiri. "Mungkin terkilir. Tapi kurasa tidak parah.
Dipakai berjalan pun akan sembuh... kalau aku bisa jalan. Wah,
untung aku tidak terbunuh. Tangga ini sangat keras!"
Cory membiarkan Lisa bersandar kepadanya ketika cewek itu
memeriksa pergelangan kakinya. "Apakah kau terjatuh?" tanya Cory.
"Tidak, ada orang yang mendorongku."
"Apa?" "Kaudengar kataku."
"Tapi siapa..."
"Aduh!" jerit Lisa, bersandar kuat-kuat pada lengan Cory.
"Bagaimana aku tahu" Di sini sangat gelap. Aku sedang menuruni
tangga, aku tidak melihat siapa-siapa. Kupikir aku sendirian. Di sini
sangat sunyi, sangat sepi. Cuma terdengar suara drum dari gimnasium.
Aku... kukira sebaiknya aku duduk."
Cory setengah menopangnya untuk membantunya duduk
kembali di anak tangga terbawah. Lisa terduduk. Ia menghela napas,
kesakitan. "Hei... ini kencan pertama yang mengesankan, bukan?"
tanyanya. Keduanya tertawa, bukan karena komentar Lisa tetapi lebih
untuk menghilangkan ketegangan. "Ayo, teruskan ceritamu," pinta
Cory. "Apa yang terjadi?"
"Aku tak tahu. Kupikir orang itu memang sudah menunggu.
Aku tak mendengar langkahnya. Tapi tentu saja aku tak terlalu
memperhatikan keadaan sekeliling. Darahku kan sedang mendidih
gara-gara kau." "Terima kasih banyak," kata Cory sinis. "Jadi aku yang bikin
gara-gara ya?" "Itu jelas," kata Lisa, menarik Cory duduk di sebelahnya dan
bersandar padanya. "Tiba-tiba ada dua tangan yang mendorongku
kuat-kuat dari belakang. Aku sempat melihat cowok itu ketika aku
terjatuh dari tangga. Kalau tak salah waktu itu aku menjerit."
"Cowok" Bagaimana rupanya?"
"Aneh. Aku tak bisa melihat jelas dalam gelap. Matanya berair
dan wajahnya bulat berisi. Dan ia memakai anting-anting di salah satu
telinganya." "Anting-anting?"
Jantung Cory serasa melorot ke kaki.
"Brad!" teriaknya.
"Brad" Siapa Brad" Kaukenal dia?"
"Dia kakak Anna," kata Cory. "Dia agak sinting."
"Tapi... dia mencoba membunuhku!" jerit Lisa, teringat kembali
telepon yang mengancamnya. "Kenapa kakak Anna ingin
membunuhku?" "Pikiran ini baru saja terlintas di benakku," kata Cory,
melompat berdiri. "Apakah ada pintu terbuka ketika kau terjatuh dari
tangga?" "Apa maksudmu?" Lisa tampak bingung.
"Apakah pintu keluar itu terbuka" Apakah cowok berantinganting sebelah itu keluar lewat sana?"
"Tidak. Aku... kurasa tidak. Tidak. Aku yakin. Pintu itu tak
pernah terbuka." "Benar, mereka mengunci semua pintu di malam hari," Cory
berkata puas. "Cuma pintu di dekat gimnasium itu yang terbuka
karena ruangannya dipakai untuk berdansa. Itu artinya..."
"Orang yang mendorongku tadi masih berada di dalam gedung
ini?" "Betul. Ayo kita selidiki." Cory memaksa Lisa berjalan. "Bisa?"
Lisa menjejakkan kakinya di lantai dan mencoba berjalan. "Ya.
Sudah lebih baik sedikit."
Cory menolong Lisa menaiki tangga. "Pertama-tama kita akan
memeriksa koridor yang panjang. Kemudian kita kembali melalui
jalan yang sama dan memeriksa koridor yang lebih pendek." Cory
berbisik sekarang. Lisa bersandar kuat-kuat pada Cory, merapatkan diri sewaktu
berjalan. Satu-satunya suara yang terdengar di koridor panjang dan
gelap itu adalah bunyi sepatu mereka yang berdetak-detak di lantai.
"Ini konyol," bisik Lisa.
"Mungkin. Mungkin juga tidak," Cory balas berbisik, matanya
memandang lurus ke depan. "Sst!" Cory berhenti dan memegang
punggung Lisa. Ia mendengar suara di lab bahasa.
Apakah ada orang bersembunyi di dalamnya"
Mereka mengintip dari balik pintu kaca yang terbuka
sepertiganya, dan memasang telinga. Suara itu terdengar lagi. Suara
kaki diseret, seperti langkah kaki seseorang yang tergesa-gesa pergi
mencari tempat persembunyian baru.
Beberapa saat mereka berdiri di pintu untuk mendengarkan.
"Ada orang di dalam," bisik Cory. "Kurasa kita akan menemukan
cowok yang mendorongmu."
Cory membuka pintu hingga terbuka seluruhnya. Keduanya
melangkah cepat ke dalam ruangan yang luas itu. Lisa meraba-raba
dinding sampai menemukan tombol lampu, dan menyalakannya.
"Siapa di sini?" panggil Cory.
Suara itu terdengar lagi.
Mereka memasuki ruangan mengikuti asal suara itu. Salah satu
jendela terbuka beberapa senti. Ternyata yang mereka dengar adalah
suara kerai tertiup angin.
"Penemuan yang bagus, Sherlock," ejek Lisa, menggelenggelengkan kepala. "Kau telah menangkap kerai!"
Cory tidak tertawa. "Ayo, kita teruskan penyelidikan kita,"
katanya, mematikan lampu. "Jika Brad masih di gedung ini, aku ingin
menangkapnya." Mereka membelok di tikungan dekat ruang Mr. Cardoza dan
berjalan sambil membisu. Lisa bersandar lebih erat pada Cory karena
pergelangan kakinya bengkak dan sakit. Koridor itu terasa lebih gelap
ketika mereka menjauhi lampu.
Ada suara berderit. Keduanya bersiaga. Sesuatu berkelebat di
depan mereka, masuk ke salah satu kelas. "Apa itu?" tanya Lisa.
"Jangan terus-terusan menarik sweterku. Wolnya bisa rontok,"
keluh Cory. "Tapi, tadi itu apa?" bisik Lisa keras-keras, mencengkeram
tangan Cory lebih erat. "Makhluk berkaki empat," kata Cory. "Mungkin tikus."
"Oh," keluh Lisa. "Banyakkah?"
"Mungkin." Mereka berjalan ke ujung koridor, masih berdekatan, kemudian
berbalik, membuka pintu dan melongok ke dalam ruangan yang sunyi
dan gelap. Segala sesuatunya tampak berbeda. Dalam gelap, ruangruang kelas yang amat mereka kenal itu kelihatan lebih luas, bagaikan
gua besar misterius yang penuh dengan suara-suara gemeretak dan
bayang-bayang yang bergerak-gerak.
"Cory, lebih baik antarkan aku pulang," bisik Lisa, suaranya
terdengar cemas. "Lihatlah pergelangan kakiku, sudah sebesar
semangka. Kurasa aku takkan kuat berjalan lebih jauh lagi."
"Betul kau tak ingin berdansa lagi?" Saat itu memang bukan
waktunya bercanda, tapi mereka tertawa juga.
Tawa mereka langsung. terhenti ketika mereka mendengar suara
dari ruang Mr. Burnette, guru biologi.
Suara cowok. Sangat pelan, tapi jelas itu suara cowok.
Lisa bersandar ke dinding yang dingin untuk memompa
semangatnya. Mereka berjalan pelan-pelan ke pintu, yang berderak
kalau dibuka. Ada suara lain, suara batuk.
Ada orang bersembunyi di dalam.
"Brad?" bisik Lisa, tepat di telinga Cory.
"Kita akan segera tahu," Cory balas berbisik, jantungnya
berdegup. Ia membuka pintu dan melangkah masuk.
Ia menyalakan lampu. Seorang cewek menjerit. Cewek itu duduk berimpitan dengan
seorang cowok. Cory kenal cowok itu"Gary Harwood, anak kelas tiga, anggota
tim gulat. "Hei, Brooks... kau sadar apa yang kaulakukan?" seru Gary,
mengerjap-ngerjap karena lampu tiba-tiba menyala.


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan usil dong," kata cewek itu cemberut. "Tak dapatkah
kami memperoleh sedikit privasi?"
"Ya. Keluar kau," kata Gary mengancam.
"Maaf," kata Cory. Dengan hati-hati ia mematikan lampu dan
meninggalkan tempat itu. Lisa sudah berada di koridor, bersandar ke dinding, tertawa
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Cory meraihnya dan menarik
rambutnya. "Nggak lucu," tegasnya.
Lisa mengajak Cory melintasi koridor dan masuk ke ruang
musik yang kecil. Lisa tertawa terbahak-bahak, air mata mengalir di
pipinya. "Jangan histeris karena aku," kata Cory dengan wajah kaku.
"Kejadian tadi benar-benar seru," kata Lisa, mengusap pipi
dengan tangannya. "Anggota tim gulat. Diakah yang akan
kautangkap" Dia akan membunuhmu! Kau bukan tandingannya,
cing!" Lisa mulai terbahak-bahak lagi.
"Nggak lucu," ulang Cory. "Ayo. Kita harus meneruskan
penyelidikan. Kalau cowok yang mendorongmu masih..."
Cory menghentikan kalimatnya. Ada bayangan orang di pintu.
Mula-mula Cory melihat lengan jaket panjang hitam dan berbulu
ketika sosok orang itu memegang hendel pintu. Kemudian orang itu
menarik topi yang melekat di jaketnya untuk menutupi wajahnya.
Lisa mencengkeram tangan Cory. "Itu... itu dia," bisiknya.
Ketika memasuki ruangan, cowok itu membiarkan topinya jatuh
menggantung di belakang jaketnya.
Ternyata memang Brad. Ebukulawas.blogspot.com Bab 19 BRAD mundur ke dalam kegelapan. Tapi Cory dan Lisa sudah
telanjur melihat wajahnya.
Yang mengejutkan, Brad kelihatan lebih ketakutan dibanding
Cory dan Lisa. Brad berjalan ke arah mereka, menarik topinya hingga
menutupi kepala, seolah ia bisa menyembunyikan wajahnya di dalam
topi itu. Cory dan Lisa mundur ke deretan jendela yang tinggi. Tubuh
Lisa menyenggol sebuah alat musik dan menjatuhkannya ke lantai.
Bunyi alat musik yang terjatuh itu membuat keduanya memekik
terkejut. Brad berhenti melangkah. Matanya jelalatan. Sepertinya ia sedang menimbang-nimbang
apa yang akan dilakukannya. Di sela-sela napasnya yang memburu ia
menggumam. Cory hanya bisa mendengar bagian akhir kalimatnya,
"keliru". Brad bergumam lagi. Lagi-lagi Cory hanya menangkap
"keliru". Apakah Brad mengancam mereka" Apakah ia memperingatkan
mereka agar tak menangkapnya" Mereka tak tahu. Mereka tak bisa
mendengar apa yang dikatakannya.
Brad berdiri menatap mereka, matanya yang sipit dan hitam
melebar panik. Di bawah topinya, dahinya berkeringat sebesar manikmanik. Wajahnya merah padam.
Tiba-tiba ia berbalik dan, tanpa berkata-kata, menyelinap keluar
dari ruangan itu. Cory membebaskan diri dari cengkeraman Lisa yang
ketakutan dan berlari mengejarnya.
Tapi Brad telah mengempaskan pintu sebelum Cory tiba di situ.
Kemudian Cory dan Lisa mendengar sesuatu yang terbanting keras di
balik pintu. "Hei!" seru Lisa.
Cory memutar pegangan pintu. Ia terus mencoba. Ia
menariknya, kemudian mendorongnya. Dengan cemas ia berpaling
kepada Lisa, "Tak bisa diputar. Aku harus mencari sesuatu untuk
mendobrak pintu itu."
"Yakinkah kau sudah melakukannya dengan benar" Mungkin
kau mendorongnya padahal seharusnya menariknya."
"Mau coba?" bentak Cory.
Lisa terduduk di kursi lipat dan memegang pergelangan
kakinya. "Tidak. Aku percaya. Apakah dia kakak Anna?"
"Ya." "Apakah kita akan memanggil polisi sekeluarnya dari sini"
Kalau kita bisa keluar dari sini," tambah Lisa, hanya ingin
menunjukkan bahwa ia masih bisa berlaku kasar seperti biasanya.
"Aku tak tahu," kata Cory, mencoba membuka pintu tapi tak
berhasil. "Aku... kurasa, aku lebih dulu akan menceritakannya pada
Anna. Ia mungkin dalam bahaya, jika kita mengirim polisi untuk
menangkap Brad, ia pasti tak mau mengatakan apa yang telah
diperbuatnya pada Anna."
"Kalau begitu, ayo cepat keluar dari sini," kata Lisa letih.
"Bagaimana kalau kita... oh, aku tahu. Panggil Harwood. Ia dan
ceweknya mungkin masih berpacaran di kelas."
Cory mengangkat bahu. Ia mendekatkan wajahnya ke pintu dan
berteriak, "Hei... Harwood... keluarkan kami dari sini! Harwood!"
Tak ada jawaban. Cory mencoba lagi, lebih lantang. Masih tak ada jawaban.
"Oh, bodoh sekali!" kata Lisa. "Berhentilah berteriak, tak
seorang pun akan mendengar. Ini ruang musik. Kedap suara."
Cory berdiri dan menatap pegangan pintu beberapa saat.
Kemudian ia berbalik, lari ke jendela dan menarik kerainya. Ruangan
itu menghadap ke lapangan parkir pelajar. Malam itu amat cerah.
Lampu-lampu penerangan di lapangan parkir itu terpantul ke mobil
yang berderet-deret. "Hei... lihat!" seru Cory.
Brad berlari ke mobil kecil di sudut lapangan parkir. Cory
melihatnya memasuki mobil dan mengendarainya pergi. Ban
mobilnya berdecit-decit di aspal.
"Ayo... cepat pergi dari sini," kata Cory. Ia membuka salah satu
jendela lebar-lebar. "Tapi kita berada di tingkat dua," protes Lisa.
Cory melongokkan kepalanya di jendela untuk mencari jalan
keluar. Beberapa saat kemudian ia menarik kepalanya lagi. "Beres,"
katanya menyeringai. "Ingat" Aku pesenam."
"Uh-oh. Aku tak suka melihat senyummu itu. Apakah kau
sekarang akan beraksi seperti Tarzan?"
"Ya," sahut Cory, menggaruk-garuk badannya dan
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti simpanse.
"Huh, aku tak merasa seperti Jane," kata Lisa, meringis
kesakitan ketika mencoba berdiri.
"Tak apa-apa. Aku akan kembali untuk menolongmu," kata
Cory. "Apa yang akan kaulakukan?"
"Di bagian bawah jendela ini ada pinggiran tembok selebar
tujuh setengah senti. Aku akan menyusurinya sampai ke pohon
sycamore itu, melompat ke dahan terdekat, lalu meluncur turun
melalui batangnya." "Mungkin lebih baik kita tinggal di sini sampai sekolah dibuka
besok pagi," kata Lisa.
"Terima kasih untuk usahamu membesarkan hatiku," kata Cory,
memandang ke bawah, ke pinggiran tembok sempit yang terbuat dari
granit. "Kita bisa duduk, bersantai, dan melihat pergelangan kakiku
yang bengkak," usul Lisa, berjalan pincang ke jendela, meraih tangan
Cory dan menariknya dari jendela.
"Jangan cemas," kata Cory, menarik dirinya. Ia melangkahkan
sebelah kakinya ke luar jendela dan mulai bergerak pelan-pelan ke
tembok sempit di bawah jendela itu. "Sungguh, nggak apa-apa kok.
Aku bisa melakukannya dengan mata tertutup."
Lisa menjauh dari jendela, menjatuhkan diri di kursi, dan
meletakkan kakinya ke bangku. Ia tak tahan melihat apa yang
dilakukan Cory. Kedua kaki Cory kini berada di tembok sempit itu. Ia masih
berpegang pada bagian bawah bingkai jendela. Ia melihat ke kakinya.
Ia cuma harus bergeser sekitar tiga meter, dan akan segera tiba di
pohon itu. Dengan hati-hati ia berbalik, kini menghadap ke jendela. Ia
melangkah dengan posisi kaki dimiringkan. "Hei! Tembok sempit ini
ternyata licin sekali!"
"Oh, demi Tuhan!" seru Lisa, meraba pergelangan kakinya yang
sakit. "Kembalilah segera ke sini!"
"Tidak. Aku sudah berada di luar," kata Cory, tapi suaranya tak
seyakin beberapa menit sebelumnya.
Ia harus melepaskan pegangannya dari bingkai jendela agar bisa
melanjutkan langkahnya. Itu artinya ia sekarang harus berpegang pada
dinding bata. Bergerak pelan-pelan dan sangat hati-hati, telapak tangannya
menekan dinding bata. Ia melangkahkan sebelah kakinya, kemudian
sebelah lagi. Di luar perhitungannya, tembok yang sempit itu tiba-tiba
menyempit. Cory terpaksa berjalan dengan berjinjit. Itu artinya ia
harus berusaha lebih keras menjaga keseimbangan tubuhnya.
Cory baru sadar, ternyata ia bergerak sambil menahan napas. Ia
kemudian mengembuskan dan menghirupnya lagi dalam-dalam. Ia
menengok ke belakang dan melihat pohon itu.
Pohon itu tampak lebih jauh daripada ketika dilihatnya dari
dalam. Dan ketika ia semakin dekat ke ujung tembok, dahan pohon
yang tadinya akan dipakainya melompat turun ternyata letaknya tidak
sedekat yang diperkirakannya. Jaraknya kira-kira 1,2 meter, bahkan
lebih. Ketika sadar dirinya takkan mampu mencapai dahan pohon itu,
kaki kanan Cory tergelincir dari tembok sempit yang licin itu dan ia
pun terjatuh. Bab 20 DENGAN menggunakan gerak refleks seorang pesenam, Cory
segera menjangkau tepi tembok yang sempit itu, seperti kalau ia
melakukan senam palang sejajar.
Gagal. Tangannya tergelincir di tembok sempit dan licin itu dan ia pun
terjatuh. Badannya meluncur tegak lurus ke bawah dan mengenai
tembok. "Hei!" Kakinya menyentuh pinggiran tembok yang sempit di
lantai satu. Secara naluriah ia terjun ke depan, masuk ke jendela yang
terbuka. Ia jatuh tersungkur di lantai kayu.
Kejadian itu membuatnya berkali-kali menarik napas. Lalu
pelan-pelan ia berlutut dan mengamati ruangan sekitarnya yang gelap.
Ia langsung tahu. Ia terjatuh ke dalam ruang pertukangan. "Siapa pun
yang membiarkan jendela itu terbuka, aku berterima kasih padanya,"
ujarnya lantang. Cory berdiri dan meregangkan ototnya, untuk memastikan
bahwa badannya tak cedera. Ia merasa oke. Cuma perasaannya saja
yang masih seperti terjatuh. Begitu teringat pada Lisa, ia segera
bergegas keluar dan menyusuri lorong. Dari lantai satu itu ia masih
bisa mendengar suara drum di gimnasium yang bergema di dinding
koridor. Ia berbalik, melangkah lebar-lebar, dan berlari menuju ruang
musik. Ia melihat meja pengawas koridor mengganjal pintu ruang
musik itu. Meja itu berat, tapi ia berhasil menggesernya dan membuka
pintu ruang musik. "Cepat sekali," kata Lisa. Ia masih duduk bersandar ke kursi
dengan pergelangan kaki diletakkan di bangku.
"Aku lewat jalan pintas," kata Cory.
Setengah jam kemudian Cory dan Lisa telah duduk di sofa
pendek di ruang tamu rumah Lisa. Lisa meletakkan pergelangan
kakinya yang bengkak di meja kopi dan bersandar dengan nyaman ke
bantalan kursi. "Petualangan konyol," kata Cory kesal.
Ia sedang memikirkan Brad. Dan Anna. Anna yang malang.
"Kencan pertama yang konyol," tambah Lisa, menatap lurus ke
pergelangan kakinya. "Aku sungguh menyesal. Aku..."
"Jangan teruskan. Aku juga," kata Cory.
Tiba-tiba Lisa mencondongkan tubuhnya dan memeluk Cory,
hangat dan lembut. Telepon di samping sofa itu berdering. Keduanya menjauh
seketika. Lisa cepat-cepat mengangkat telepon, tangannya yang bebas
menyibakkan rambut di wajahnya. "Halo?"
Ia mendengar desah napas di seberang sana.
"Halo" Halo?"
"Siapa?" Cory bertanya pada Lisa.
Lisa mengangkat bahu. "Halo?"
Terdengar lagi suara napas orang itu, berirama dan mendesahdesah. Kedengarannya seperti ancaman.
"Kenapa kaulakukan semua ini padaku?" jerit Lisa.
Telepon dimatikan. Lisa meletakkan gagang telepon. Tangannya gemetar, tapi ia
tampak lebih marah daripada ketakutan. "Ini harus dihentikan!"
teriaknya. Cory beranjak mendekatinya, bermaksud menenangkan Lisa.
Tapi Lisa mendorongnya. "Kita harus menelepon polisi," katanya.
"Ya, ya," Cory setuju. "Biar aku bicara dulu dengan Anna. Aku
akan menemuinya besok, pagi-pagi sekali."
"Tapi Brad ada di sana, kan?"
"Aku tak peduli. Aku tak takut padanya. Aku harus menemui
Anna. Aku akan memaksanya menceritakan apa yang terjadi. Dan
akan kukatakan padanya kita tak punya pilihan lain. Kita harus
melaporkan Brad pada polisi."
"Aduh!" Lisa menjatuhkan dirinya ke sofa dan kembali
memegang pergelangan kakinya. "Hei, sekarang aku tahu bagaimana
menghabiskan waktu yang indah bersama seorang cowok!"
"Paling tidak, itu tidak membosankan, kan!" kata Cory,
memaksakan tawa. Ia bangkit menuju pintu. "Betul kau tidak apaapa?"
"Betul. Telepon aku setelah kau bicara dengan Anna besok
pagi, kaudengar permintaanku?"
"Ya. Jangan khawatir."
"Semoga berhasil."
"Trims," kata Cory. "Aku pasti berhasil."
Bab 21 CORY membelokkan mobilnya ke Fear Street. Ia menyusuri
beberapa blok dan mengerem mobilnya tepat di jalan berkerikil di
depan rumah keluarga Corwin. Ia belum pernah melihat rumah itu di
waktu siang. Sinar matahari yang mengenai atapnya yang memudar
dan talangnya yang runtuh menbuat rumah itu tampak semakin
bobrok. Tadi orangtuanya bertanya ke mana ia mau pergi pagi-pagi
benar di hari Minggu ini. Ia mengatakan hari ini ada latihan senam
khusus. Sebenarnya ia tidak suka berbohong kepada mereka,
meskipun untuk hal-hal kecil. Tapi kali ini ia tak bisa berterus terang.
Mana mungkin ia memberitahu orangtuanya bahwa ia akan pergi ke
Fear Street untuk menyelidiki, mengapa kakak cewek yang
ditaksirnya terus meneror dirinya dan Lisa, bahkan mencoba
membunuh Lisa. Cory belum tahu apa yang akan dilakukannya kalau Brad yang
membukakan pintu. Sepanjang malam ia memikirkannya, tapi belum


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil memecahkan masalah itu. Semalaman ia berusaha
memutuskan bagaimana perasaannya yang sebenarnya terhadap Anna.
Ia menyalahkan dirinya karena terlibat dengan Anna dan kakaknya
yang sinting itu. Tetapi ia juga iba pada Anna. Dan mencemaskannya.
Dan... dan... ia masih tertarik pada Anna, pada penampilannya yang
kuno, sikapnya yang menggoda... serta semua keanehannya.
Selama berminggu-minggu ini ia terus memikirkan Anna. Tapi
sampai saat ini Anna tetap merupakan misteri baginya.
Well, sekarang semuanya hampir terbongkar.
Ia berniat mengungkap misteri itu. Sampai tuntas. Ia tak akan
pergi sampai semua pertanyaannya terjawab.
Ia mengetuk pintu keras-keras.
Tak ada jawaban. Ia menunggu sebentar.
Mengabaikan jantungnya yang berdegup keras dan
keinginannya untuk pergi jauh-jauh dari situ, Cory mengepalkan
tangan dan menggedor pintu.
Sunyi. Ia terus menggedor, makin keras.
Ia menunggu. Tak ada suara di dalam rumah. Tak ada tandatanda ada orang di dalamnya.
Merasa lebih marah daripada kecewa, Cory berbalik dan
kembali ke mobilnya. "Pagi." Tetangga aneh itu lagi. Laki-laki itu bersandar pada kap mobil
Cory. Ia memakai jas hujan kelabunya dan topi tenis putih, walaupun
pagi itu cerah dan matahari bersinar terang. Voltaire, Doberman besar
itu, tegak di sampingnya. Cory melompat mundur, lega ketika melihat
anjing itu ternyata terikat.
"Aku belum pernah melihatmu pada siang hari," kata laki-laki
itu, menyeringai. Seringainya tidak bisa dibilang bersahabat, tapi agak
lebih ramah dibanding ekspresinya selama ini.
"Kau benar," kata Cory, berjalan pelan-pelan ke mobilnya.
"Mereka tak ada di rumah," kata laki-laki itu, menunjuk ke
rumah Anna. "Pergi pagi-pagi tadi."
"Oh," ujar Cory. "Tahukah kau ke mana mereka?"
Laki-laki itu tampak tersinggung mendengar pertanyaannya.
"Aku bukan mata-mata," jawabnya tajam.
"Kelihatannya kau tahu banyak tentang mereka," kata Cory.
Laki-laki itu memandang Cory dengan serius. "Sebagai
tetangga, wajar kalau aku melihat apa yang terjadi. Kelihatannya kau
pemuda baik-baik." Pujian itu mengejutkan Cory. "Terima kasih."
"Karena itulah aku heran, kenapa kau mengunjungi mereka,"
kata laki-laki itu terus terang. Anjingnya menyalak. "Baik, baiklah,
Voltaire." Laki-laki itu menjauh dari mobil Cory. "Sampai jumpa,"
katanya, melambai kepada Cory seolah-olah mereka sahabat lama.
Kemudian ia berjalan terseok-seok mengikuti lari anjingnya. "Kalau
bisa jangan deh," gumam Cory. Tapi laki- laki tua beserta anjingnya
itu tampaknya tak terlalu mengerikan pada siang hari. Ia hanyalah
tetangga usil yang siang-malam mengajak anjingnya jalan-jalan,
sambil mencari gosip baru.
Cory kesal karena tak mendapatkan apa-apa. Sekali lagi ia
memandang rumah itu, lalu dengan kecewa masuk ke mobil.
Semalaman ia memikirkan kata-kata yang akan diucapkannya, tapi
semua itu ternyata tak berguna.
Siang harinya Cory mencoba mengerjakan PR, tapi tak bisa
berkonsentrasi. Setiap setengah jam ia menelepon ke rumah Anna.
Esok paginya ia berangkat ke sekolah lebih awal. Dengan
gelisah ia menunggu Anna di locker. Tapi sampai bel berbunyi, Anna
tak muncul juga. Dengan kecewa Cory menuju kelasnya.
Ia baru berjumpa dengan Anna sepulang sekolah. Itu pun secara
kebetulan. Mereka berpapasan di depan lab biologi.
Beberapa saat Anna memandang Cory, seolah-olah belum
mengenalnya. Lalu ia tersenyum hangat kepadanya, "Hai, Cory."
"Aku... aku harus bicara denganmu."
"Tak bisa. Aku harus pulang dan..."
Cory memegang tangannya. Ia tak tahu kenapa. Ia belum punya
rencana apa-apa. Ia cuma tak ingin membiarkan Anna pergi. "Tidak.
Kau harus ikut aku. Kita harus bicara. Setelah itu aku akan
mengantarmu pulang."
Anna tak menolak. Ia tahu bahwa Cory serius dan akan
memaksanya kalau ia menolak.
Sambil membisu Cory mengajak Anna ke mobilnya. Ia
memegangi tangannya seolah-olah cewek itu tawanan yang sewaktuwaktu bisa melarikan diri. Cory mengendarai mobilnya ke Division
Street Mall. Ia menyalakan radio, mencari gelombang,
mendengarkannya selama sepuluh detik, kemudian mencari
gelombang lain. Cory membawa Anna ke Pizza Oven. Mereka duduk di pojok
belakang. Anna duduk di hadapannya, tersenyum gelisah. Matanya
dengan resah memandang ke bagian depan restoran yang sempit dan
panjang itu. Sunyi. Cuma beberapa meja yang terisi. Rombongan anak
sekolah belum menyerbu ke situ.
Seorang pelayan membungkuk kepada mereka sambil
mengunyah permen karetnya dengan ribut. Cory memesan dua kaleng
Coca-Cola. Kemudian ia berpaling kepada Anna dan menggenggam
tangannya. "Ceritakan yang sebenarnya tentang kau dan Brad,"
pintanya, menatap mata biru Anna yang redup misterius. "Aku ingin
tahu apa yang terjadi."
Anna terdiam. Ia sepertinya tak punya pilihan. Seketika ia mulai
bicara. Dengan bersemangat dan tanpa takut-takut ia bercerita kepada
Cory. Ia tampak lega karena menemukan seseorang yang bersedia
mendengarkan ceritanya. "Aku, Mom, dan Brad pindah ke sini bulan lalu," Anna mulai
bercerita. Ia memandang Cory, kemudian kaca depan restoran, lalu
kembali ke Cory. "Ayahku meninggalkan kami beberapa tahun yang
lalu. Ibuku sakit-sakitan, ia amat lemah. Brad-lah yang
menggantikannya jadi kepala keluarga.
"Kurang-lebih setahun yang lalu," lanjutnya, pelan dan cepat,
"Brad mengalami musibah. Emily, pacarnya, meninggal karena
kecelakaan pesawat terbang. Dan Brad belum sembuh dari shocknya."
"Maksudmu?" tanya Cory.
"Ia belum bisa menerima kenyataan. Ia tak mau menerima
bahwa Emily telah meninggal. Ia menganggap Emily masih hidup.
Kami punya saudara perempuan, namanya Willa. Willa lebih tua
setahun dariku. Ia mirip aku, tapi lebih cantik. Ia yang tercantik di
keluargaku. "Setelah Emily meninggal, Brad menjaga aku dan Willa secara
berlebihan. Ia menjadi sinting dan sangat kacau. Willa dipanggilnya
Emily. Setelah itu ia bercerita kepada orang-orang bahwa Willa telah
meninggal... meskipun Willa berdiri di dekatnya!
"Kami tak tahu bagaimana mengatasinya. Ia sangat kacau.
Kami berusaha mengajaknya ke dokter, tapi ia menolak."
"Ini Coca-Cola-nya. Tolong bayar dulu," potong pelayan.
Cory menarik dompetnya dan mengambil uang dua dolar. Anna
mengambil sedotan dan dengan cepat meminum Coca-Cola-nya.
"Teruskan," desak Cory.
"Ceritanya menyedihkan," kata Anna. Matanya berair, tampak
seperti dua danau biru, pikir Cory.
"Brad tak bisa membedakan Willa dan Emily. Ia selalu
mengatakan Willa telah meninggal. Kemudian, pada suatu hari yang
mengerikan, Willa benar-benar meninggal. Ia jatuh dari tangga."
Cory menggeram keras. "Sangat mengerikan..."
"Waktu itu Brad ada di rumah. Ia bilang itu kecelakaan. Willa
turun tangga membawa pakaian, kakinya tergelincir dan ia pun
terjatuh. Tapi Mom dan aku tak mempercayainya, kami curiga Bradlah yang mendorong Willa.
"Jadi, mula-mula ia mengatakan kepada orang-orang bahwa
Willa telah meninggal. Kemudian... Willa benar-benar meninggal!
"Kami sangat ketakutan. Kami khawatir Brad akan semakin
parah. Tapi ia yang menghidupi keluarga kami. Dad meninggalkan
kami ketika aku kecil. Mom tak kuat bekerja dan tak mau menerima
santunan. Kami tak punya siapa-siapa kecuali Brad. Jadi apa yang bisa
kami lakukan" Kami harus mempercayai ceritanya bahwa Willa
meninggal karena kecelakaan."
"Lalu kalian pindah ke Shadyside?" tanya Cory.
"Tidak, belum. Waktu itu musim semi, untuk beberapa saat
Brad agak baikan. Tapi ketika pikirannya kacau lagi, ia mengatakan
kepada orang-orang bahwa aku telah meninggal. Aku sangat
ketakutan, aku tak tahu harus berbuat apa. Apakah Brad akan
membunuhku juga" Aku ketakutan setiap hari."
"Aku tak percaya. Aku betul-betul tak percaya," kata Cory,
menawarkan Coca-Cola-nya sewaktu Coca-Cola Anna habis.
Anna bersandar ke kursi. "Akhirnya Mom berhasil mendesak
Brad untuk pindah. Kami pun pindah ke Shadyside. Kami berharap
lingkungan yang baru akan menyembuhkan pikiran Brad yang kacau,
mengobati shock-nya. Tapi ternyata itu tak pernah terjadi. Ia tetap
mengatakan bahwa aku sudah meninggal. Dan pada saat bersamaan, ia
mengawasiku dengan ketat. Ia tak mengizinkan aku pergi, berkencan,
atau melakukan apa saja. Cuma kadang-kadang saja ia mengizinkan
aku ke sekolah." "Sekarang semua sudah jelas," kata Cory, lebih kepada dirinya
sendiri. Lika-liku kehidupan Anna yang mengerikan masih berputarputar di kepalanya. Cewek malang ini hidup bagai dalam mimpi
buruk, pikirnya. Aku akan mencari jalan untuk menolongnya. Aku
harus mengusir Brad dari rumahnya.
Tapi Cory ingat sesuatu. "Tunggu," katanya.
"Apa lagi?" Anna kelihatannya takut ia akan bertanya macammacam.
"Kubaca di kliping surat kabar Melrose. Di situ diberitakan kau
telah meninggal. Fotomu juga ada."
"Oh." Wajah Anna memerah. Tangannya mencengkeram tepi
meja yang berlapis formika. Ia berpikir keras, sepertinya tak dapat
menjawab. "Oh, iya, aku ingat koran itu," jawabnya kemudian.
Wajahnya kembali normal. "Kukira aku sengaja melupakannya. Berita
itu mengerikan, kan" Bayangkan kalau tiba-tiba kaubaca berita
kematianmu di koran! Brad mengatakan koran itu salah kutip, tapi aku
yakin dialah yang memberitahu mereka bahwa aku yang menjadi
korban. Ia tak mampu menghadapi kematian Willa, jadi aku yang
dianggapnya mati." Cory menggeleng tak percaya.
"Cory, setiap saat aku selalu ketakutan," kata Anna,
menggenggam tangannya. "Aku tak tahu harus berbuat apa. Brad
masih saja menganggapku Emily, atau Willa. Dia bilang aku sudah
mati... apakah itu berarti dia berniat membunuhku" Aku benar-benar
takut... terutama sekarang saat ibuku pergi mengunjungi saudara
perempuannya... tinggal Brad dan aku...."
Cory menatap Anna, melihat air mata yang mengalir dari
matanya yang indah dan rambutnya yang keemasan. Cory tak tahu
harus berkata apa. Ceritanya menyedihkan sekaligus mengerikan.
Tiba-tiba Anna mencondongkan dirinya dan mendekatkan
wajah Cory kepadanya. Tiba-tiba pula ia menjauh dan kembali bersandar.
Wajahnya ketakutan. Cory berbalik untuk melihat ada apa di belakangnya. Brad
ternyata ada di luar restoran, wajahnya yang marah menekan kaca
jendela. "Aku harus pergi," kata Anna panik.
Anna melompat berdiri dan keluar lewat pintu belakang.
Cory kembali menoleh. Brad belum beranjak dari kaca jendela.
Ia memandang Cory. Wajah Brad kelihatan benci dan marah.
Bab 22 CORY langsung menelepon Lisa setibanya di rumah, tapi
ternyata Lisa keluar dengan keluarganya. Lalu setelah makan malam,
ia menelepon Anna. Telepon terus berdering dua puluh kali.
Ketika meletakkan telepon, kepala Cory dipenuhi bayanganbayangan menakutkan. Ia membayangkan wajah Brad yang geram,
wajah Anna yang ketakutan, dan peristiwa jatuhnya Anna dari tangga
ruang bawah yang curam. Cory meletakkan telepon.
Ia kembali menelepon Anna lima menit kemudian, lalu lima
menit berikutnya. Setiap menelepon, ia membiarkan telepon berdering
sampai dua puluh kali, tapi telepon tetap tak diangkat.
Apa yang terjadi pada Anna" Apakah Brad yang marah ketika
melihat Cory dan Anna di restoran melakukan sesuatu padanya"
Tidak. Ia tak boleh membiarkan dirinya larut memikirkan itu.
Tapi ia harus memikirkannya. Brad pernah membunuh. Atau
setidaknya Anna bilang begitu. Siapa yang dapat memastikan Brad
takkan membunuh lagi"
Berdiri dengan wajah merah menekan jendela restoran, mata
melotot, mulut terkatup marah, Brad memang tampak seperti
pembunuh. Cory menelepon lagi. Tanpa memedulikan tangannya yang
gemetar, ia memutar nomor telepon rumah keluarga Corwin. Pada
dering keenam, telepon diangkat.
"Ya?" Cory mengenali suara parau itu. "Brad" Aku yakin Anna ada di
situ. Biarkan dia bicara."
"Anna tak ada di mana pun. Anna sudah meninggal."
Telepon mati. Brad telah menutupnya.
Apa maksud Brad" Apakah Anna kini benar-benar sudah
meninggal" Apakah Brad baru saja membunuhnya"
Tidak. Itu pasti ulah si sakit Brad yang sedang bermain-main
dengan fantasinya. Benarkah itu" Cory tak punya pilihan. Ia memakai jaketnya, lari menuruni dua
anak tangga sekaligus, dan mengambil kunci mobil di meja dekat
pintu depan. "Hei, mau ke mana, kau?" seru ibunya.
Cory menjawab dengan bergumam. Ia sendiri tak yakin apa
yang dikatakannya. Ia menutup pintu dan beberapa detik kemudian
sudah ngebut mengendarai mobilnya, menembus kabut tebal dan
dingin. Cuma wajah Anna yang jadi penunjuk jalan ke Fear Street.
"Anna, jangan mati dulu," kata Cory. "Oh... jangan mati dulu,
Anna." Wiper membersihkan kaca mobilnya dari kabut dingin,
berdetak-detak berirama seperti mengatakan, "Jangan mati, jangan
mati, jangan mati...."
Perjalanan itu serasa memakan waktu berjam-jam. Akhirnya
Cory mengendarai mobilnya ke jalanan berkerikil dan mengeremnya
di depan rumah Anna hingga berdecit. Tanpa mematikan mesin atau
lampu mobil, ia membuka pintu dan berlari ke beranda.
Ia berhenti di depan pintu dan mengetuknya. Ia mendengar
suara jeritan. Jeritan marah, mengamuk. "Ia datang menemuiku! Biarkan aku menemuinya!"
Anna masih hidup, pikir Cory.
Dan tanpa ragu-ragu Cory mendorong pintu kayu yang berat itu,
lalu menerobos ke dalam rumah. Ia berada di jalan masuk yang gelap
dan sempit. Ada lemari di dindingnya. Ia mencium bau kapur barus
yang menusuk. Di belakang jalan masuk itu terdapat ruang tamu yang
hanya diterangi percikan api di pendiangan.
"Biarkan aku menemuinya!" Cory mendengar jeritan Anna. "Ia
datang menemuiku! Aku!"
Jantung Cory berdegup. Ia melesat masuk ke ruang tamu. Di
lantai di depan pendiangan, Anna dan Brad sedang bergumul. Anna
duduk di dada Brad, mencoba berdiri sambil melepaskan lengan Brad


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mencengkeram pinggangnya. Ia berhasil menyingkirkan lengan
Brad, tapi Brad memegang dagunya dan mendorongnya sampai
kepalanya terkulai. Lalu dengan cepat Brad bangkit dan
mendorongnya kuat-kuat hingga Anna tergeletak di dekat pendiangan.
Sambil meraung keras Brad berdiri tegak, siap menyerang Anna lagi.
Cory segera menyeberangi mangan itu. Tangannya terulur, siap
menolong Anna. Mendengar Cory mendekat, Brad berbalik dengan
terkejut, tapi terlambat. Cory telah menyergapnya dan
menghantamkan tinju ke wajahnya. Keduanya jatuh ke lantai dan
mulai bergumul. "Cory! Kau ada di sini!" teriak Anna, bergerak menjauhi
pendiangan. Brad mengayunkan tinjunya, berusaha meninju ulu hati Cory.
Tapi Cory mengelak dan tinju itu tak mengenai sasaran.
"Keluar!" teriak Brad, air liurnya menetes ke dagu, mata
sipitnya menyala-nyala marah. "Kau tak tahu apa yang kaulakukan!
Kau tak boleh berada di sini!"
"Terlambat!" seru Cory. Ia merunduk dan menerjang dada Brad.
Brad mengerang dan terhuyung-huyung ke belakang.
"Tolonglah aku, Cory! Ayolah... tolong aku!" Anna menjerit
dari sudut ruangan. Ia menutup telinganya dengan tangan seolah-olah
tak ingin mendengar suara yang memekakkan.
Tapi Cory dan Brad kini berkelahi tanpa mengeluarkan suara.
Brad lemah dan kurang bertenaga, tapi ia lebih besar daripada
Cory dan kelihatannya lebih berpengalaman dalam berkelahi. Ia
memukul Cory dan mendorongnya ke dinding.
Cory pusing. Dengan sempoyongan ia berusaha menghilangkan
rasa peningnya. Tapi Brad menerjang dan menarik kepalanya ke
belakang. "Leherku! Kau mematahkan leherku!" jerit Cory.
Tapi teriakan Cory itu malah membuat Brad semakin kuat
menarik kepalanya. "Tolong aku, Cory. Tolong!" Anna terus menjerit, meringkuk di
sudut ruangan. Brad terus menarik kepala Cory ke belakang, hingga Cory tegak
berdiri. Ia berusaha mati-matian agar tetap bisa bernapas. Ia sadar
akan kalah. Ia akan pingsan. Rasa sakit itu membuat Cory sulit
bergerak dan berpikir. Entah bagaimana Cory berhasil merenggut vas bunga dari meja
di sebelah sofa. Karena berat, vas itu nyaris terlepas dari tangannya.
Tapi dengan sisa-sisa kekuatannya, ia memukulkan vas itu ke kepala
Brad. Mata Brad terpejam rapat karena kesakitan. Ia menjerit pendek.
Cory menghirup udara, mundur selangkah, berjaga-jaga untuk
menghadapi serangan berikutnya. Tapi Brad tak menyerangnya. Ia
jatuh berdebum ke lantai dan tidak bergerak-gerak. Pingsan.
Sebelum Cory mendapatkan keseimbangannya kembali, Anna
telah berada di dekatnya. Anna melingkarkan tangan, nyaris
memeluknya, lalu mendekatkan wajahnya. "Terima kasih," bisiknya.
"Terima kasih, terima kasih. Aku tahu kau akan datang. Aku yakin
itu." Jantung Cory berdebar-debar, serasa mau meledak. Dadanya
sesak ketika ia bernapas. Otot-ototnya sakit karena tegang sewaktu
berkelahi tadi. Perutnya mulas.
"Aku tahu kau akan datang. Aku yakin itu," ulang Anna,
kembali mendekatkan wajahnya.
"Kita... kita harus memanggil polisi," kata Cory, berusaha
melepaskan diri dari pelukan Anna, menenangkan diri, dan bernapas
pelan-pelan. "Terima kasih karena telah menyelamatkan aku. Terima kasih,"
napas Anna yang panas mengenai pipi Cory.
Cory melihat ke bawah. Brad masih tergeletak tak sadarkan diri
di karpet. "Anna,.. ayolah. Kita harus segera bertindak. Tak lama lagi
Brad akan sadar," kata Cory. Ia tak yakin Anna mendengarkan. "Kau
harus pergi dari sini. Kau harus menjauh dari Brad."
"Ya," bisik Anna. "Ya." Ia mengulurkan tangan dan menarik
Cory ke tangga di ruang depan. "Ikut aku, Cory, kini kita sendirian.
Brad takkan mengganggu kita." Anna mencium pipi dan dahi Cory.
Wajah Anna tampak kejam. "Ayo ke kamarku, Cory. Kini Brad
takkan mengganggu kita."
"Tidak, Anna... ayolah. Kita harus memanggil polisi," tegas
Cory. Mata Anna liar, ganjil, seperti kancing biru yang besar.
Wajahnya bersinar-sinar. "Anna... Brad akan segera sadar. Kita tak
dapat..." Anna menarik Cory menaiki tangga yang berderak-derak. "Kita
harus merayakannya, Cory. Kau dan aku. Ayo." Senyumnya yang
mengundang terkembang di wajahnya. Matanya membesar dan lebih
redup. Cory menyerah, tak kuasa menolak lagi. Ia mengikuti Anna
menaiki tangga. "Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, Cory," kata Anna
setiba di atas. "Apa" Apa itu, Anna?"
"Ini," jawab Anna. Seketika senyumnya lenyap. Matanya
menyipit. Ia membungkuk ke meja rendah di lorong sempit itu.
Tangannya meraih sesuatu.
Apa itu" Cory tak dapat melihatnya dengan jelas di bawah sinar lampu
yang suram. Anna menunjukkannya. Benda itu ternyata pembuka surat yang
tajam seperti belati, terbuat dari perak.
"Anna..." Rasa takut mulai merayapi dirinya.
"Ini bisa menghabisi Brad," kata Anna.
Ia melemparkan benda itu ke udara dengan lemparan yang
sangat terlatih. "Tidak!" jerit Cory. "Takkan kubiarkan kau."
"Aku tak akan membiarkan siapa pun menghalangiku," kata
Anna. "Tidak juga kau."
Anna mengangkat pembuka surat itu tinggi-tinggi. Ia bergerak
mendekati Cory, mengacungkannya seperti belati. Di bawah sinar
lampu yang suram, wajah Anna tampak keras, menakutkan, jelek, dan
mengandung kebencian. "Letakkan!" teriak Cory, mundur, bingung, tak percaya hal itu
sungguh-sungguh terjadi. Bukankah ia baru saja menyelamatkannya"
Bukankah Anna baru saja berada dalam pelukannya, berterima kasih
kepadanya, dan mengundangnya ke kamarnya" "Anna, apa yang
kaulakukan" Hentikan. Kita harus menelepon polisi!"
Tatapan mata Anna jernih dan dingin. Ia tak bereaksi,
tampaknya tak mendengarkan Cory. Dengan cepat ia mengayunkan
pembuka surat itu ke bawah, hendak menikam dada Cory.
Cory melompat mundur. Pembuka surat itu meleset beberapa
senti darinya. Anna menerjang ke depan, mengangkat senjatanya, siap
melakukan serangan lagi. Cory mundur, mengangkat tangan untuk
menangkis serangan Anna. "Anna... apa yang kaulakukan" Anna...
ayolah... dengarkan aku!"
Cory sadar punggungnya bersandar ke jendela yang terbuka.
Kini tak ada lagi tempat untuk bergerak.
Dengan senjata terhunus, Anna bergerak cepat ke depan.
Cory mencoba mundur, mencari cara untuk mengelak.
Anna menerjangnya. Bab 23 KEJADIAN itu seolah-olah terjadi dalam gerak pelan. Mulamula Cory merasa kakinya tak lagi memijak lantai. Lalu ia
memandang langit yang kelam dan merasakan udara malam yang
dingin di wajahnya. Kemudian ia merasa dirinya terjatuh ke belakang dengan kepala
di bawah. Secara naluriah, kaki Cory menekuk, lalu ia mengaitkannya ke
ambang jendela. Ia memang pesenam. Ia punya keterampilan, dan
baru saja menggunakannya.
Ia harus menggunakan keterampilan itu. Atau ia akan mati.
Tumitnya dikaitkan ke ambang jendela. Ia bertahan dengan kaki
diluruskan. Kemudian dengan menggunakan kekuatan otot-otot
perutnya yang terlatih, ia mengayunkan badannya ke depan hingga
kepalanya kembali tegak. Lalu ia meluncur masuk ke dalam ruangan.
Anna terpaku. Ia masih berdiri di ruangan itu, matanya menatap
hampa ke jendela. Pembuka surat masih dipegangnya di depan dada.
Cory melompat ke depannya dan menendang pembuka surat itu
dari tangannya. Anna menjerit, seakan baru tersadar dari shock-nya. Cory
berdiri tegak di hadapannya dan memandangnya. Wajah Anna yang
tadi menatap ke jendela dengan hampa kini berubah amat marah. Ia
menerjang Cory sambil memekik kalap, seperti pekikan binatang yang
akan berkelahi. Sambil mengelak ke samping, Cory menangkap tangan Anna
dan memelintirnya ke belakang.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" jerit Anna. Tapi Anna amat lemah,
ia bukan tandingan Cory. Cory memegang tangan Anna erat-erat dan mendorongnya ke
tangga. Anna meronta-ronta, menjerit, dan mengutuk Cory.
Ketika Cory mendorong Anna menuruni tangga, ia mendengar
suara rintihan. Cory memandang ke bawah. Dilihatnya Brad telah
siuman. Brad naik tangga, mendekatinya.
Cory terjebak. Bab 24 "MINGGIR, Brad. Minggir!" Cory mendengar dirinya
berteriak. Ia tak yakin apakah Brad mau minggir.
"Aku telah mengingatkanmu," teriak Brad letih. Kini ia berada
di tengah tangga. Anna berusaha melepaskan diri, tapi Cory memegangnya kuatkuat. Cory memandang ke belakang, ke jendela yang terbuka. Kalau
terjepit, ia akan mendorong Anna atau melemparkannya kepada Brad.
Lalu ia sendiri akan meloncat ke jendela.
"Aku sudah mencoba menakut-nakutimu," ujar Brad, menaiki
tangga dengan langkah sengaja dipelankan. "Aku berusaha menakutnakutimu, mencegahmu terlibat dengannya."
"Tutup mulut, Brad!" jerit Anna.
Brad naik lebih dekat ke Cory. Anna meronta-ronta. Cory
mempererat pegangannya. "Aku cuma ingin melindungimu," kata Brad.
"Tutup mulutmu, Brad! Kubunuh kau juga!" jerit Anna.
Dengan sekuat tenaga, Anna menyentakkan pegangan Cory. Ia
membungkuk, mau memungut pembuka surat. Tapi Cory
menangkapnya dan kembali memelintir tangannya.
Brad duduk di anak tangga teratas. Ia mengusap bagian
belakang kepalanya. Cory baru sadar bahwa Brad tak punya maksud
berkelahi dengannya. "Ingin tahu cerita yang lengkap?" tanya Brad pada Cory. "Kau
pasti takkan menyukainya."
"Tutup mulutmu, Brad!" teriak Anna lagi.
"Aku tidak bohong. Anna sudah meninggal."
"Berhenti mengoceh, Brad! Berhenti! Berhenti!"
"Ia bukan Anna. Ia Willa, adik Anna."
Cory shock, hampir saja ia melepaskan Anna.
"Sewaktu Anna jatuh dari tangga dan meninggal, Mom dan aku
curiga itu bukan kecelakaan. Willa yang mendorongnya," kata Brad
sambil mengusap benjolan di kepalanya. "Ia iri pada Anna. Anna
memiliki segalanya. Anna cantik. Anna punya banyak teman. Anna
bisa mendapat nilai A tanpa belajar keras. Dalam hal apa pun Willa
tak dapat menyainginya. Anna pun tak pernah memberinya
kesempatan." "Tutup mulutmu, Brad."
"Tapi aku tak punya bukti bahwa Willa yang membunuh Anna.
Mom sakit-sakitan. Aku tak yakin ia sanggup menerima kalau harus
kehilangan kedua anak perempuannya. Maka aku tak mengambil
tindakan apa-apa terhadap Willa.
"Setelah 'kecelakaan' itu, Willa kelihatan biasa-biasa saja,"
lanjut Brad, suaranya pelan dan kering. Cory harus mendengarkan
baik-baik. "Tapi aku selalu mengawasinya. Kami pindah ke sini. Aku
berharap lingkungan baru ini akan membantu kami melupakan tragedi
meninggalnya Anna. Ternyata harapan itu sia-sia."
"Berhenti, Brad. Kau tolol. Benar-benar tolol!" jerit Willa,
masih meronta-ronta. "Seperti yang kukatakan tadi, sejak pindah ke sini Willa
kelihatan baik-baik saja," kata Brad, mengabaikan jeritan Willa.
"Paling tidak, ia bertingkah laku biasa kalau di rumah. Tapi ketika kau
menelepon, menanyakan Anna, aku mulai curiga. Ia pasti merasa
dirinya Anna dan memakai nama Anna di sekolah. Ia berpakaian dan
berbicara seperti Anna. Aku berusaha menakut-nakutimu, Cory, agar
kau menjauhinya Aku berusaha keras mencegahmu agar tidak terlibat
dengannya." "Kubunuh kau!" pekik Willa, matanya tertuju pada pembuka
surat. "Seharusnya aku membawanya ke psikiater," kata Brad sedih.
"Tapi kami tak mampu. Aku begitu bodoh. Mestinya sejak dulu kami
mencari pertolongan untuknya."
"Kubunuh kau!" jerit Willa. "Kubunuh kalian berdua!"
"Ia yang meneleponmu dan kawanmu. Ia merencanakan segala
macam muslihat, menipumu, memaksamu menemuinya,
memerangkapmu dalam jeratnya."
"Tunggu," potong Gory. "Aku agak bingung dengan ceritamu,
Brad. Bagaimana tentang pesta dansa itu" Bukan Anna"maksudku
Willa"yang mendorong Lisa hingga jatuh dari tangga. Tapi kau."
"Di ruang musik sudah kukatakan kepadamu bahwa aku keliru,"
kata Brad bersemangat. "Aku mengikuti Willa ke pesta dansa. Aku
khawatir ia akan membuat keributan. Aku ingin mencegahnya. Aku
menunggu Willa di koridor. Saat itu sangat gelap, aku tak dapat
melihat jelas. Kupikir Willa yang bergegas-gegas melintas di
hadapanku. Aku menangkapnya. Aku tak bermaksud mendorongnya,
tapi ia terjatuh. Ketika kuperhatikan, ternyata aku salah tangkap.
Temanmu itu tidak luka parah, tapi aku panik lalu bersembunyi. Aku
bingung. Aku merasa bersalah. Sungguh, aku hanya ingin
melindungimu dari Willa."
"Anna yang berdansa, bukan Willa. Willa sudah mati!" potong
Willa. "Berhentilah memanggilku Willa. Aku bukan Willa. Aku
Anna! Anna! Anna!" Willa meraung sekeras-kerasnya.
Brad berdiri, mengulurkan tangannya. Cory menyerahkan Willa
kepadanya. Willa yang kehabisan tenaga jatuh merosot di dekat Brad.
"Panggil polisi," kata Brad pada Cory. "Kita harus mencari
pertolongan untuknya."
Bab 25 "CORY, kauhabiskan setengah bolu cokelat itu!"
"Jangan khawatir, akan kusisakan sepotong untukmu." Cory
memotong kue lagi dan meletakkannya di piringnya. Ia kelaparan
sejak meninggalkan rumah keluarga Corwin.
Lisa duduk di dekatnya di sofa ruang baca. Ia melihat Cory
makan dengan lahap. "Sudah lengkap ceritanya?" tanyanya.


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cory menelan potongan kue itu. "Ya, cuma itu," jawabnya, rasa
laparnya mendadak lenyap.
"Ternyata dugaanku mengenai kucing mati dan telepon gelap
itu benar, kan" Anna yang melakukannya."
"Bukan Anna, tapi Willa," Cory membetulkan. "Ya, kau benar."
Cory cemberut. Ia meletakkan piringnya di meja. "Itu cerita horor
baru penduduk Fear Street," katanya sengit. Cory merasa tubuhnya
goyah, gemetar, seolah-olah habis menjerit atau berteriak. Ia
memandang ke dinding, berusaha menguasai diri. Perasaannya
campur aduk. Ia tak bisa memilah-milahnya.
Lisa melingkarkan tangannya ke bahu Cory. "Kenapa sih kau
selalu saja salah pilih pacar," katanya.
Cory mendesah. "Yeah. Mulai sekarang kau saja yang
memilihkannya, ya." Tangan Lisa beralih ke wajah Cory. Ia mengusap lembut pipi
Cory dengan punggung tangannya. "Boleh juga," katanya lirih.
Cory berpaling menatapnya, "Kau sudah punya calon?"
Wajah mereka berdekatan. "Mungkin...," kata Lisa manja.
END Ebukulawas.blogspot.com Pendekar Penyebar Maut 7 Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie Peta Rahasia Lembah Kutukan 1
^