Pencarian

Musibah Baru 2

Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil Bagian 2


menjatuhkannya. Melakukan apa saja yang harus kita lakukan. Lalu
kita akan memecahkan es dan menenggelamkan roh jahat itu kembali.
Menenggelamkan Ivy yang malang."
Ivy harus tenggelam agar roh jahat itu dapat keluar dari
tubuhnya, Corky tahu. Corky tahu sekali. Ia pun pernah tenggelam
untuk alasan yang sama. Tenggelam dan sadar saat roh jahat itu ada di
dalam air. "Kita akan menenggelamkan Ivy, dan menyadarkannya saat roh
jahat itu sudah terlepas dari tubuhnya, saat dia kembali menjadi Ivy
lagi." Kedengarannya seperti rencana yang mengerikan. Dan kini, saat
Debra dengan susah payah menyalakan lilin-lilin, di mata Corky
rencana itu tampak makin mengerikan. Ia merasakan gelombang
kepanikan melandanya, melumpuhkannya, mengencangkan semua
uratnya sehingga ia sulit bernapas.
Apakah kami punya pilihan"
Tidak. Corky menjawab pertanyaannya sendiri.
Ivy akan membunuh kami semua"kalau kami tidak
menenggelamkan roh jahat itu sekarang.
Corky menoleh ke belakang. Ia melihat Ivy sudah memisahkan
diri dari rombongan. Ia berpaling kepada Corky dan kedua temannya.
Apakah Ivy curiga" Apakah dia tahu kami akan menjebaknya"
Apakah dia akan bergerak menuju mereka"dan menghentikan
mereka" "Cepat," bisik Corky.
Sebuah lilin mati karena tiupan angin. Debra menyalakannya
lagi. Korek apinya bergetar di tangannya.
Dan kini semua lilin sudah menyala. Lidah api pada lilin-lilin
mereka bergoyang ke satu arah, kemudian ke arah yang lain. Kimmy
menyerahkan buku kuno itu kepada Debra. Debra membalik-balik
halamannya dengan cepat. Ia membiarkan buku itu terbuka di antara
mereka, dan menunjuk ke suatu bagian.
Mereka bertiga berlutut di lapangan es. Debra berada di antara
Corky dan Kimmy. Ia memegang punggung buku dengan sebelah
tangan, menaruhnya di dekat kakinya. Sambil memegang sebuah lilin
merah yang panjang di tangannya yang lain, Debra menurunkannya ke
lilin-lilin, dan perlahan-lahan menggerakkannya mengelilingi
lingkaran api. "Datanglah, wahai roh!" seru Debra. Matanya terpaku pada Ivy.
"Datanglah, wahai roh!"
Corky memicingkan mata. Ivy berdiri sendirian dengan kedua
tangan di samping badannya.
Apakah dia sedang mengawasi"
Debra memulai dan yang lain mengikuti, bersenandung dengan
suara rendah, diselimuti embusan angin keras. Mereka terus
bersenandung, sementara Debra menggerak-gerakkan lilinnya
mengelilingi lingkaran api.
Bersenandung. Memanggil roh jahat itu. Memanggilnya untuk berhadapan
dengan mereka. Suara mereka makin keras, terbawa angin sementara mereka
terus bersenandung. Dan saat mereka mengulangi mantranya, mata
Corky tertumbuk pada Ivy.
Apakah mantra itu menarik Ivy ke arah mereka" Apakah anak
itu berjalan melintasi lapangan es"
Ya. Ivy datang. Corky melihatnya.
Bab 15 ROH JAHAT DATANG "TERUS bersenandung," bisik Debra. "Jangan berhenti.
Mantranya bekerja." Corky dan kedua temannya mencondongkan wajah mereka ke
depan buku dan terus bersenandung. Suara mereka terdengar seperti
gumaman-gumaman tak jelas karena embusan angin kencang.
Samar-samar terdengar bunyi gemuruh, Corky memandang ke
atas. Suara apa itu" ia bertanya-tanya.
Petir" Sebuah tempat lilin jatuh ketika es mulai bergoyang-goyang.
Permukaan es terpecah-pecah seperti sarang labah-labah.
"Hei"esnya!" teriak Corky.
Bunyi gemuruh terdengar makin keras. Lapangan es bergetar,
miring, dan bergoyang-goyang.
Corky mendengar bunyi krak. Seperti bunyi papan patah.
Lilin-lilin berjatuhan. Getaran yang hebat menggoyangkan buku
di tangan Debra. Corky melihat wajah kedua temannya diliputi
ketakutan saat es di kaki mereka mulai retak.
Apakah ada gempa bumi"
Itu adalah pikiran terakhir Corky ketika bunyi gemuruh
bertambah keras"sampai menumpulkan semua pikirannya.
Rasa perih yang menyengat menusuk-nusuk kepalanya saat
bunyi gemuruh yang memekakkan itu menggetarkan gendang
telinganya. Dengan kedua tangannya, ia menutup kedua telinganya
rapat-rapat. Dan memejamkan mata ketika sebuah ledakan dahsyat
membuatnya terpental. Ia terempas ke belakang. Ia membuka mata dan melihat Kimmy
dan Debra terempas di sampingnya. Terempas oleh kekuatan yang tak
terlihat. Lengannya terkulai tak berdaya. Ia jatuh terjengkang. Ia
merasakan getaran ledakan itu menderu-deru di atasnya.
Sambil bernapas dengan susah payah, Corky melihat retakan es
makin lebar, bergetar, bergemuruh. Asap hitam yang tebal bergulunggulung keluar dari permukaan sungai.
Asap itu melayang dan berputar-putar seperti topan. Bau busuk
memenuhi udara. Corky terengah-engah saat bau memuakkan itu
menyapunya. Ia berpegangan pada Kimmy dan mengawasi dengan ketakutan
saat asap hitam bergulung-gulung ke atas dari kedalaman sungai dan
menyelimuti tepi sungai. Selimut asap hitam yang berbau busuk itu menyelubungi para
peseluncur yang tampak terperanjat. Menyapu Ivy, yang berdiri
sendirian, menyapu Jay dan teman-temannya, serta menyapu Heather
dan Lauren di meja. Asap busuk menggelapkan lapangan es, membuat langit makin
kelam. Corky mendengar cicitan ketakutan burung-burung yang
beterbangan dari dahan-dahan pohon yang tinggi, serta kaokan
nyaring bebek dan angsa dari balik lengkungan sungai.
Es meleleh dan mencair. Asap makin tebal, berputar-putar
dengan kencang di antara pepohonan yang bergoyang-goyang, dan
akhirnya membubung ke awan.
"Apa yang telah kita lakukan?" teriak Corky. Ia masih telentang
di es dan berpegangan erat pada Kimmy.
"Roh jahat itu"tidak berada dalam tubuh Ivy!" Kimmy
mengerang. "Kita salah! Kita salah!" seru Debra di antara bunyi asap yang
bergemuruh. "Bukan dalam diri Ivy!"
"Senandung kita yang memanggilnya!" Corky menyadari. "Kita
membangkitkan roh jahat itu! Kita telah membebaskannya!"
BAGIAN DUA SAATNYA BERTANDING Bab 16 PERTANDINGAN DIMULAI "LACI ini macet," Kimmy mengerang sambil mengguncangguncangkan lemari agar lacinya terbuka.
"Kau pakai yang paling bawah saja," ujar Ivy. "Kosong kok."
"Kok kau bisa cepat beres sih?" tanya Kimmy sambil
membungkuk untuk membuka laci.
"Sebagian barang-barangku kusimpan di dalam tas," jawab Ivy
sambil memain-mainkan rambutnya di depan cermin. "Kau tahu, kan.
Barang-barang yang tidak mudah lecek." Ia menggerak-gerakkan
kepalanya. "Rambutku kering sekali. Kamar ini lembap sih."
Corky berdiri di depan jendela sambil memicingkan mata ke
arah papan neon warna merah muda dan biru di pelataran parkir.
LOSMEN CLIFFSIDE. enuh. "Huruf P-nya hilang," cetusnya.
Kimmy menengadah. "Maksudmu apa sih, Corky?"
"Papan nama," sahut Corky setengah melamun.
"Kau bisa lihat tebing di luar sana?" tanya Ivy. Ia berusaha
mengikat rambutnya yang tebal dengan karet gelang. "Seharusnya di
daerah sini ada tebing, kan?"
"Yang kulihat dari sini cuma pelataran parkir," jawab Corky.
"Dan jalan raya."
"Mestinya sih ada tebing. Dan danau yang indah sekali," kata
Kimmy. "Orangtuaku pernah ke New Foster."
"Sepertinya kamar Debra, Heather, dan Lauren ada di sisi lain
losmen ini," ujar Corky sambil mengamati dua truk Ryder besar
berwarna kuning yang menderu di jalan raya. "Kita harus
mengeceknya. Mungkin mereka bisa melihat pemandangan dari
jendela mereka." "TV-nya bisa nyala tidak?" tanya Kimmy. Ia menutup laci
terbawah dengan suara keras, lalu berdiri. "Oh, itu di sana. Semuanya
belum dikeluarkan." "Siapa yang punya waktu buat nonton TV?" balas Ivy. Ia masih
sibuk dengan rambutnya yang panjang. "Sebentar lagi bus akan datang
menjemput dan mengantar kita ke tempat pertandingan."
"Kenapa sih tim basket kita tidak menginap di sini!" Corky
mendesah. Kimmy terkikik-kikik. "Aku bisa menebak, kau dan Alex sudah
merencanakan sesuatu, kan" Kalau Ms. Closter sampai menangkap
basah kalian..." Corky merasakan wajahnya memanas. "Diam, Kimmy!"
hardiknya sambil tertawa. Ia mengambil sikat rambut dari tempat tidur
dan melemparnya ke arah Kimmy.
Kimmy mengelak. Sikat rambut itu menghantam lemari.
"Oh. Itu boleh kupinjam" Punyaku ketinggalan."
"Boleh. Ambil saja," sahut Corky.
Sejak pesta ice skating di sungai beberapa hari yang lalu, Corky
dan Kimmy bersikap ekstraramah kepada Ivy. Karena merasa
bersalah, Corky menyadari. Kok bisa-bisanya kami salah menduga
Ivy" ia bertanya dalam hati. Tega-teganya kami menuduh Ivy biang
keladi dari semua kecelakaan.
Ivy tidak bersalah, ketiga gadis itu kini mengetahui. Ivy tidak
dirasuki roh jahat. Corky dan kedua temannya sudah tidak menyinggungnyinggung roh jahat itu lagi. Tidak ada dari mereka yang berminat
membicarakannya. Atau membayangkan kembali apa yang sudah
mereka lakukan. Semuanya terlalu mengerikan. Mereka kini
berkonsentrasi pada gerakan-gerakan baru untuk persiapan Turnamen
Musim Dingin di New Foster.
Waktu yang sibuk, tapi tetap tenang, pikir Corky penuh syukur.
Tak ada tanda-tanda roh jahat. Tak ada kecelakaan. Tak ada
kejutan-kejutan mengerikan.
Mungkin roh jahat itu sudah terbang jauh, pikir Corky penuh
harap sambil memandang ke luar jendela. Mungkin roh itu hanya
menyelimuti orang-orang di pesta dan melewatinya.
"Tim basket kita menginap persis di ujung jalan," ujar Ivy. "Di
Penginapan New Foster Motor. Kita tadi melewatinya. Tepat di
belakang gedung pertandingan. Ingat, kan?"
"Kelihatannya lebih jelek daripada tempat ini!" Kimmy
berkomentar sambil memakai atasan seragam cheerleadernya dan
menarik lengan bajunya ke bawah.
"Jangan mengeluh terus, Kimmy!" Corky memarahinya. "Kita
jauh dari rumah, kan" Kita akan memperagakan atraksi kita di depan
ribuan penonton. Dan kita akan memenangkan turnamen basket ini!"
"Go Tigers!" Ketiga gadis itu berseru dengan penuh semangat.
Sambil tertawa, mereka menyerukan sorakan Hoop.
Kemudian mereka bergegas ke jalan, lalu naik bus sambil
tertawa dan bernyanyi-nyanyi. Corky duduk dengan santai. Ia gembira
bisa berpartisipasi dalam turnamen ini. Perasaannya mengatakan
bahwa semua akan berlangsung dengan lancar.
**************************
Everything is okay, Shadyside has come to play! Everything is okay,
Shadyside is on its way! Everything is okay, Shadyside is going to WIN!
Corky dan lima cheerleader lain menyelesaikan sorak-sorai
dengan membentuk gerakan gelombang sambil merentangkan kaki
lurus-lurus satu demi satu. Mereka melompat-lompat dan berlarian ke
sisi lapangan sambil melambai-lambaikan pom-pom merah-putih di
atas kepala saat regu Tigers berdefile.
Corky menatap barisan gadis-gadis yang tampak gembira dan
bersemangat. Bahkan Debra, yang biasanya dingin dan pendiam, kini
wajahnya merah padam dan mata birunya bersinar-sinar penuh
semangat. "Pom-pommu selalu mengenaiku!" cetus Corky pada Heather.
"Hati-hati dong!"
Heather tertawa. "Sori deh! Aku melihat ke penonton terus sih.
Jadi tidak sadar!" Gedung olahraga New Foster jauh lebih besar daripada
bayangan Corky semula. Cahaya lampu sorot membuat lantai kayu
yang sudah dipoles tampak berkilau-kilau seperti kaca. Kursi-kursi
plastik berwarna merah tampak menjulang ke langit-langit. Dan
malam ini, hampir semua kursi terisi penuh walaupun baru diadakan
pertandingan putaran pertama turnamen.
Para cheerleader Billingham Lions"semuanya ada sepuluh
orang!"sedang beraksi di lapangan. Mereka memperagakan aksi rap.
Dari dekat bangku Tigers, Corky melihat para penonton ikut bersoraksorai. Billingham hanya berjarak beberapa mil dari New Foster. Para
pendukung Lions banyak sekali yang datang.
Tigers lawan Lions, pikir Corky. Cocok sekali.
Seorang cheerleader dari regu Lions benar-benar memesona. Ia
jangkung, agak kekar, dan atletis. Rambutnya hitam panjang
sepinggang. Wajahnya pucat tapi cantik dengan sepasang mata hijau
yang besar dan impresif. "Itu Lena," ujar Debra sambil mendekatkan diri pada Corky
agar temannya itu bisa mendengarnya. "Cewek yang sedang
kaupelototi. Dia mengagumkan, kan" Aku ingat dia waktu di
perkemahan cheerleader tahun lalu."
Corky tidak sempat menjawab. Saatnya hampir tiba untuk
perkenalan setiap regu. Saat untuk menyerukan sorakan terakhir
sebelum pertandingan dimulai.
Tigers, let's score! Two points, then more! (entak entak) Tigers, let's score! Two points, then more! (entak entak) "Lebih keras! Aku tak dengar!" teriak Kimmy.
Tigers, let's score! Two points, then more! (entak entak) "Lebih keras lagi! Aku masih tak dengar!"


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kerumunan penonton ikut bersorak-sorai dan mengentakentakkan kaki saat para cheerleader mengulangi seruan mereka makin
keras. Mereka mengakhiri atraksi mereka dengan lompatan tuck dan
berlarian ke pinggir lapangan.
"Wow! Tadi luar biasa sekali!" seru Corky sambil terengahengah.
"Jongkok! Semuanya jongkok!" Kimmy memberi instruksi.
Semua cheerleader berjongkok dengan sebelah lutut menyentuh
lantai sementara tim basket sekolah mereka berlari-lari ke lapangan
untuk diperkenalkan. Alex mengacungkan jempol ke arah Corky saat
ia melintas di depan gadis itu. Jay, yang berlari tepat di belakang
Alex, memamerkan cengiran lebarnya yang konyol.
Para pemain kedua tim mulai mengambil bola dan melakukan
pemanasan. Mereka mendribel ke depan-belakang, mengoper, me-layup, dan menembak sambil meloncat tinggi- tinggi. Alex dan Jay
tertawa-tawa. Mereka santai sekali, pikir Corky.
Kenapa aku malah lebih tegang daripada mereka" Corky
bertanya dalam hati. Ia sudah lama tidak merasakan kegembiraan seperti ini. Cahaya
lampu yang memantulkan lantai yang dipoles mengilat, hiruk-pikuk
penonton, bunyi pantulan bola yang bergema pada lantai"semua itu
membuatnya ceria. "Go TIGERS!" Corky berseru sambil berjingkrak-jingkrak. Ia
hampir tak bisa mengendalikan energinya.
Permulaan yang bagus. Alex melompat dan mengoper bola
pada Gary Brandt, yang dengan mudahnya melakukan lay-up dan
memasukkan bola. Tigers, let's score! Two points, then morel (entak entak)
Dua-kosong. Pertandingan sudah berlangsung setengah jalan
dan tim Tigers masih memimpin.
Di tengah-tengah pertandingan, kurang dari dua menit, tim
Lions menyamakan kedudukan saat pemain tengah mereka berhasil
melakukan tembakan tiga angka. Kerumunan penonton ribut,
bersorak-sorai, dan mengentak-entakkan kaki sampai seluruh arena
bergoyang-goyang. Saat time-out untuk regu Tigers, Corky melihat Lena, si kapten
tim cheerleader Lions, menghambur ke lapangan. Lena
memperagakan tiga gerakan handspring sempurna. Rambutnya yang
panjang melambai-lambai saat ia beraksi.
Wow! pikir Corky. Dia hebat!
Corky memang cheerleader berbakat. Sebelum pindah ke
Shadyside, ia dan kakaknya, Bobbi, memimpin regu sekolah mereka
dari St. Louis ke kompetisi cheerleader yang disiarkan ESPN.
Tapi Corky belum pernah melihat cheerleader seanggun dan
seatletis Lena. "Tak bisakah kau menghabisinya?" gerutu Lauren.
Corky tergelak. Ia menjatuhkan sebelah lututnya di sebelah
Lauren saat terdengar bunyi lengkingan peluit tanda pertandingan
dilanjutkan. "GO TIGERS!"
Jay mengumpan bola pada Alex. Alex mendribel hampir
melewati garis lapangan, nyaris kehilangan bola. Ia berputar dan
dengan semangat mengoper bola kembali pada jay. Jay mendekati ring
seperti hendak menembak" tapi mengopernya kembali pada Alex
karena ia berada di garis pelanggaran. Alex melompat dan menembak
dengan mudah. Tim Tigers kembali memimpin dan terus bertahan. Saat
pertandingan berlangsung separuh jalan, kedua tim berlarian dan
berseru-seru. Papan pencatat skor menunjukkan TIGERS 44, LIONS
34. "Keluarkan meriam konfetinya! Ayo, semuanya!" Ms. Closter
berteriak. Kedua tangannya membentuk corong di depan mulutnya.
"Ayo, meriamnya!"
Corky menoleh dengan bimbang ketika tiga meriam didorong
ke arena. "Tenang saja," Lauren meyakinkannya. Ia meletakkan sebelah
tangan pada pundak Corky. Ia pasti menangkap ekspresi bimbang di
wajah Corky. "Aku dan Ivy sudah mengeceknya sebelum
pertandingan dimulai. Kali ini tak ada masalah."
"Arahkan meriamnya ke bagian Shadyside. Di sana!" Ms.
Closter memberi instruksi sambil menunjuk.
"Oke, semuanya! Ayo lakukan gerakan handspring sempurna!"
seru Kimmy. "Tunjukkan pada Lena bukan dia saja yang bisa
melakukannya dengan baik!"
Corky menempatkan dirinya di belakang meriam. Meriammeriam itu menarik perhatian orang-orang. Corky melihat anak-anak
menunjuk-nunjuk dan saling berbicara.
Ia begitu sibuk memandang penonton sampai hampir terlambat
memulai sorakan. HOOP"there it is! HOOP"there it is! HOOP"there it is! TWO POINTS! Sementara sorak-sorai terus berlanjut, para penonton mulai
mengikuti, bertepuk tangan dan mengentak-entakkan kaki. Sekali lagi,
arena bergoyang-goyang seperti akan runtuh.
Corky melangkah mendekati meriam saat para cheerleader
melakukan gerakan handspring. Ia memegang sumbu dan siap
menembakkan meriamnya. Ia memperhatikan ketiga cheerleader yang lain juga sudah siap.
Ia menarik sumbu dan mengalihkan pandangan ke penonton,
menunggu serpihan kertas warna-warni menghujani mereka.
Bunyi letupan mengejutkannya.
Arena tampak terang menyilaukan.
Corky tidak tahu ada yang tidak beres sampai ia mendengar
suara teriakan dan jeritan yang menusuk-nusuk gendang telinganya.
"Kebakaran!" "Awas!" "Oooh"bau sekali!"
"Hentikan! Tolong hentikan!"
Ia menunduk dan melihat pancuran ter hitam panas yang
mengepul-ngepul keluar dari ketiga meriam tadi.
Ter hitam yang tebal itu membubung tinggi di udara, lalu
menghujani kursi-kursi. Para penonton berhamburan mencari jalan keluar. Suara
umpatan dan jeritan bercampur baur.
"Hentikan mereka! Hentikan mereka!" Lauren menjerit-jerit.
Tapi ter mendidih terus bermuncratan dari dalam meriammeriam.
Aku tahu pelakunya, pikir Corky sambil menutup hidungnya
agar tidak mencium bau busuk itu.
Aku tahu pelakunya. Bab 17 SIAPA PELAKUNYA" "ROH jahat itu yang melakukannya. Ini semua salah kita," kata
Corky lirih. "Kita yang membangkitkannya kembali."
"Aku tahu," balas Debra sambil berbisik. "Tapi roh jahat itu kan
harus merasuki tubuh seseorang. Siapa dia" Apakah salah satu dari
kita" Orang yang datang ke pesta ice skating" Kita harus mencari
tahu." Keenam cheerleader itu duduk di bangku dalam ruang ganti di
basement gedung pertandingan. Di atas, para petugas sedang berusaha
membersihkan arena yang berantakan. Polisi sibuk menyelidiki,
meminta keterangan siapa saja yang mungkin punya kesempatan
menyabotase meriam. Ivy bersandar pada loker logam. Matanya terpejam dan
keningnya berkerut. Lauren yang duduk di sebelahnya sibuk
menenangkannya. Heather duduk membungkuk sambil memegang kepalanya. Ia
memandangi lantai. Kimmy duduk di sebelahnya. Pipinya merah padam.
Rambutnya yang hitam menempel di keningnya yang basah.
Di pinggir bangku, Corky dan Debra duduk menghadap pintu
ruang ganti. Mereka saling membisikkan rasa takut mereka. Ruangan
dipenuhi bau keringat. Udara lembap dan basah. Di sisi lain loker,
terdengar suara air menetes. Tes, tes, tes. Berulang-ulang.
"Sejak kapan kau punya kebiasaan menggigiti kukumu?" bisik
Debra. Corky menurunkan tangannya. "Ak"aku tak sadar
melakukannya," ia mengaku. Ia menunduk dan memandangi
jemarinya. Betapa terkejutnya ia sewaktu tersadar ia telah menggigiti
kulit di bawah kukunya sampai berdarah.
"Kekacauan yang menjijikkan," gumam Debra. "Mereka tidak
akan bisa membersihkan semua ter itu. Apakah semua orang
menyalahkan kita?" "Aku tak tahu." Suara Corky tersumbat di tenggorokannya. Ia
merasa sangat kecewa, sangat bersalah. Semestinya malam ini
menyenangkan. Bukan malam yang mencekam.
Pintu ruang ganti terempas membuka. Ms. Closter muncul. Ia
berdiri tegap sambil memicingkan mata. Seperti biasa, ia mengenakan
T-shirt putih gombrong dipadu dengan legging hitam.
Ia melangkah ke depan para cheerleader sambil menggelengkan
kepala. Corky melihat matanya basah dan merah. "Ajaib, tidak ada
yang terluka parah," ujar Mr. Closter dengan muram.
Ivy terisak-isak. Ia kelihatan begitu menderita, pikir Corky penuh curiga.
Tidakkah itu terlalu berlebihan"
"Apakah ada di antara kalian yang mengetahui sesuatu tentang
kejadian ini?" tanya pelatih itu. Perlahan-lahan matanya menyapu
deretan para gadis. "Apa saja?"
"Aku dan Ivy sudah mengecek meriam-meriam itu sore ini,"
cetus Lauren. Lengannya melingkari bahu Ivy yang gemetaran.
"Semua baik-baik saja. Penuh berisi serpihan kertas warna-warni."
"Adakah dari kalian yang melihat orang mondar-mandir di
dekat meriam sebelum pertandingan?" tanya Ms. Closter. "Adakah
sesuatu yang mencurigakan?"
Semua membisu. Corky mengalihkan pandangannya menatap lantai.
"Ini keterlaluan, orang gila yang bercanda keterlaluan," ucap
Ms. Closter berapi-api. "Ulah orang yang sangat gila. Menurutku,
orang dari kubu Lions atau pendukung Lions yang menyabotase
meriam untuk lucu-lucuan."
Ia menghela napas. "Lucu-lucuan," gumamnya dengan nada
pahit. Pintu ruang ganti terempas membuka. Pelatih tim basket
menyembulkan kepalanya. Ia seorang pria muda, lebih muda daripada
Ms. Closter, tapi rambut cokelatnya sudah menipis di puncak
kepalanya. Tubuhnya pendek dan agak gempal, wajahnya bulat dan
tampak ramah. Biasanya ia selalu tersenyum pada semua orang. Tapi ketika
Corky mengangkat kepalanya ke arah pintu, ia melihat ekspresi si
pelatih yang murung. "Sudah jelas kita tak bisa menyelesaikan
pertandingan malam ini," lapornya pada Ms. Closter. "Kami akan
mengundurkannya sampai besok siang. Sebelum jadwal pertandingan
yang tetap. Kalau mereka bisa membersihkan semua kursinya."
Ms. Closter mengangguk. Wajahnya sama murungnya dengan
si pelatih basket. "Apakah ada yang melihat orang yang mengutak-atik meriam?"
tanya si pelatih pada Ms. Closter.
Ms. Closter menggelengkan kepala. "Belum ada petunjuk."
Ya, ada, pikir Corky dengan geram. Kami punya petunjuknya.
Itu bukan sekadar lucu-lucuan dari pendukung regu Lions. Aku yakin
sekali, kata Corky dalam hati.
Itu adalah permainan roh jahat berusia ribuan tahun. Roh jahat
yang telah kami panggil kembali.
Dan mungkin saja saat ini roh jahat itu ada dalam ruangan ini.
Mungkin saja roh jahat itu duduk di bangku ini.
Corky melompat. Ia tak dapat menghentikan rasa dingin yang
menjalari punggungnya. *****************************
Malam itu Corky bermimpi tentang roh jahat.
Dalam mimpinya, Corky tak dapat melihatnya, tapi ia tahu
keberadaan roh jahat itu.
Ia dapat merasakannya dalam pusaran asap kelabu yang
bergulung-gulung dalam ruangan asing berdinding putih tempat ia
berdiri. Ia mundur ketakutan, sadar akan keberadaan roh jahat itu, dan
merapatkan punggungnya pada dinding putih.
Dindingnya terasa dingin. Sangat dingin.
Asap kelabu bergulung-gulung menyelubunginya.
Kimmy dan Debra muncul dalam ruangan. Mereka berseru-seru
pada Corky. Berseru dengan kalang kabut. Mereka menunjuk penuh
tuduhan padanya. Keduanya berteriak dan menuding-nudingnya.
Apa yang mereka katakan" Corky bertanya-tanya. Kenapa
mereka menuding-nuding ke arahku" Kenapa aku tak bisa mengerti
mereka" Karena ini hanya mimpi, ia memberitahu dirinya sendiri.
Dan segera setelah ia menyadari bahwa ia bermimpi, ia
terbangun. Memandang ke sekeliling kamar yang gelap. Tidak tahu
berada di mana. Sejenak kemudian ia baru menyadari bahwa ia berada di kamar
motel di New Foster. Sambil memicingkan mata, ia melihat Kimmy
dan Ivy tidur di double bed yang merapat ke dinding.
Neon warna merah muda dan biru di papan nama di depan
penginapan menyorot masuk ke jendela dan menerangi tempat tidur
mereka. Ivy mendengkur pelan. Kimmy tidur di pinggir tempat tidur
membelakangi Ivy. Corky melonjak saat mendengar suara ketukan di jendela.
Dua ketukan. Diam. Kemudian tiga ketukan, sedikit lebih keras.
Seketika itu juga ia sadar bahwa ada seseorang di luar sana.
Orang yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya.
Mimpinya masih segar dalam ingatannya. Perlahan-lahan Corky
menjejakkan kaki ke lantai.
Tuk tuk tuk. Tuk tuk tuk.
Siapa pun yang mengetuk-ngetuk jendela adalah si roh jahatl
Roh jahat itu datang menemuiku, pikir Corky. Ia merasa bulu
roma di kedua lengannya berdiri. Siapa pun yang mengetuk-ngetuk
jendela adalah si roh jahat!
Aku tahu. Aku tahu sekali.
Tuk tuk tuk. Tuk tuk tuk. Makin keras.
Corky menarik napas dalam-dalam. Kemudian ia merayap ke
jendela dan memicingkan matanya ke luar jendela.
Siapa itu" Siapa di sana"
Ketika melihat sebentuk wajah di belakang kaca, Corky
menjerit ketakutan. Bab 18 SOROTAN MATA JAHAT CORKY membuka jendela dengan dada masih berdebar-debar.
"Alex"apa yang kaulakukan di sini?" bisiknya. Ia tak dapat
menyembunyikan rasa kagetnya.
Alex mengangkat bahu. Rambutnya tertutup topi Raiders warna
hitam dan kelabu. Jaket Shadyside High-nya tidak diritsleting,
memperlihatkan pullover hijau yang sudah pudar. Cahaya neon
menyorot wajahnya, membuat senyumnya tampak menakutkan dan
tidak wajar. "Bagaimana kau bisa sampai kemari?" tanya Corky. Ia menoleh


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke belakang untuk memastikan Ivy dan Kimmy tidak terbangun.
"Jalan," sahutnya. Napasnya membentuk uap merah muda dan
biru dalam keremangan cahaya lampu motel yang aneh di pelataran
parkir. "Dari motelmu?" Suara Corky terdengar kaget. "Kenapa?"
"Aku tak bisa tidur," jawabnya. "Keluar, yuk. Tak begitu dingin
kok." "Hah?" Corky menatap Alex sambil mengamati wajahnya. Ia
sibuk berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan.
"Jalan-jalan, yuk," Alex mendesak. "Sebentar saja. Udaranya
tidak terlalu dingin. Sungguh. Ak"aku terlalu segar untuk tidur."
Embusan angin dingin mengibaskan tirai. "Tapi aku belum
berpakaian!" bisik Corky.
Alex tergelak. "Cepat. Pakai apa sajalah. Di luar indah.
Sungguh." Corky mundur dari jendela. Dalam kegelapan, ia mengenakan
kemeja dan jeans yang tadi sudah dipakainya. Kalau kami tertangkap
basah, bisa gawat, pikirnya.
Ia menyambar jaketnya, lalu melangkah kembali ke jendela.
Perasaannya mengatakan bahwa Alex sudah tidak ada, lenyap seperti
mimpinya. Tapi cowok itu masih di sana, sedang menatap papan neon
motel, kedua tangannya terbenam dalam saku jaketnya. Ketika melihat
Corky, Alex cepat-cepat berbalik dan membantunya keluar dari
jendela. Ia merengkuh pinggang Corky erat-erat saat gadis itu
menjejakkan kakinya ke tanah.
"Kau nakal," bisik Corky sambil tersenyum genit.
"Pikiranku kusut sekali," jawabnya. "Aku tak bisa tidur.
Pertandingan tadi luar biasa. Kita hampir menang. Aku bisa
merasakannya. Aku bersemangat sekali."
Corky memegang lengan baju Alex dan menariknya pergi
menjauh dari jendela. Mereka berjalan-jalan di sisi bangunan hijau
bertingkat satu itu. "Dan kejadian dengan meriam-meriam itu!" Alex melanjutkan.
Ia berbicara dengan cepat dan bersemangat. "Kenapa itu bisa terjadi"
Itu kan aneh sekali!"
"Itu mengerikan," gumam Corky sambil bersandar pada Alex
saat mereka berjalan-jalan. "Menjijikkan sekali."
"Rasanya ak"aku hampir gila waktu sadar kami tak dapat
meneruskan pertandingan!" Alex melanjutkan. Ia menggelengkan
kepala. "Aku gelisah sampai tak bisa tidur."
Ia berpaling dan melingkarkan tangannya di pinggang Corky
yang dibalut jaket. Ia menatap Corky lekat-lekat dan menundukkan
kepala untuk menciumnya. Tapi Corky mendorongnya dengan lembut. "Wow. Aku ingin
bicara dulu." Ekspresi Alex berubah jadi terkejut. "Bicara" Tentang apa?"
"Tentang kau," jawab Corky sambil mengumpulkan
keberaniannya. "Kenapa tingkahmu aneh akhir-akhir ini?" Ini saatnya
untuk menyelesaikan persoalan, Corky memutuskan. Saatnya
mendengar yang sebenarnya. Kalau Alex memang berniat mengakhiri
hubungan dengannya, tentu dia tidak akan memanggil?nya keluar dari
kamarnya di tengah malam untuk menunjukkan keromantisannya.
"Aku" Aneh?" tanya Alex polos. Ia menarik topi pet Raidersnya dan menggaruk-garuk kepalanya. Lalu ia memasang topinya
kembali. "Tingkahmu aneh sekali akhir-akhir ini," Corky berkeras. Ia
meremas tangan Alex. "Kau datang terlambat. Atau malah tak
muncul-muncul. Memberiku alasan yang konyol." Corky menatap
mata cowok itu, seakan hendak mencari jawabannya di sana. "Kini
saatnya kau berterus terang, Alex. Apa sih masalahmu" Ada apa?"
Alex melangkah mundur dan melepaskan tangan Corky. "Oke,
oke. Kau benar," jawabnya dengan sungguh-sungguh. "Aku akan
memberitahumu. Sebenarnya memang harus kuberitahu sejak mingguminggu yang lalu. Saat dimulai. Tapi?"
"Mulai apa?" tanya Corky. Tenggorokannya serasa tercekat.
Alex tampak ragu-ragu. Ia menghindari pandangan Corky.
"Aku ikut les tambahan," gumamnya.
Corky mengira ia salah mendengar. "Kau" apa?"
"Aku harus ikut les tambahan," ulang Alex ragu-ragu. "Les
matematika. Aku memang seharusnya jadi bintang kelas, kan" Tapi"
ehm"kurasa aku punya beban mental atau semacamnya. Aku
tertinggal dan tak dapat mengejar. Jadi orangtuaku mencarikan guru
les untukku. Tapi ini memalukan. Sungguh. Aku tak ingin orang lain
tahu, jadi?" Mulut Corky menganga lebar. "Setiap aku meneleponmu kau
tidak mengangkatnya" Setiap malam kau menolak datang dan belajar
bersama?" "Itu karena aku harus pergi ke tempat lesku," kata Alex. Ia
masih menghindari tatapan Corky.
Corky merasa ingin tertawa keras-keras. Tapi ia berhasil
menahannya. "Aku tak percaya!" ujarnya sambil memutar-mutar bola
matanya. "Kau sungguh egois! Kau benar-benar mengira anak-anak
akan menyebarkan rahasiamu karena?"
"Jangan menggodaku," hardik Alex.
Sebuah truk menderu di jalan raya. Angin berembus makin
dingin dan lembap. Sambil menggigil, Corky menarik lengan Alex
dan mereka kembali berjalan mengitari pelataran parkir motel.
"Seharusnya kau cerita padaku," omel Corky dengan lembut.
"Kau kan tahu aku dapat dipercaya, Alex."
Alex berhenti di dekat pintu depan motel dan berpaling kepada
Corky. "Kurasa aku dulu terlalu malu," katanya. Kemudian ia menarik
Corky mendekat dan menciumnya.
Mulanya ciumannya lembut, lalu makin bernafsu.
Alex tampak berbeda, batin Corky. Ciumannya berbeda.
Sekonyong-konyong Alex tampak begitu" ganjil.
Sambil mencengkeram Corky, Alex mendesak Corky ke
dinding sementara ia melumat bibir gadis itu.
Dari balik punggung Alex, Corky melihat sebuah sosok
mendekat dari pinggir gedung.
Ia melihat sebentuk wajah yang dikenalnya. Menatap mereka.
Jay! Kenapa anak itu hanya berdiri di sana dan menatap seperti itu"
Ketika Corky balas menatapnya, mata Jay tampak bersinar-sinar
merah, sorotan mata jahat bercampur kemarahan. Mata hewan. Mata
yang tak berperasaan. Atau itu hanya pantulan sinar dari papan neon"
Corky mendorong Alex. "Alex, lihat." Ia menunjuk ke arah Jay.
Cowok itu sudah lenyap. Bab 19 LENA BERSALTO ESOK harinya, ketika Corky dan cheerleader yang lain tiba di
tempat pertandingan pada pukul setengah sebelas, para pemain basket
sudah berada di lapangan.
"Semangat! Semangat!" Mr. Hall, pelatih mereka, terus berseruseru. Ia memberi tanda dengan kedua tangan. "Dua kali putaran lagi!
Ayo! Yang semangat!"
Beberapa pemain mengerang. Tapi mereka dengan patuh
berlari-lari kecil memutari sisi lapangan.
"Semangat! Semangat!" ulang si pelatih sambil berdiri di tengah
lapangan. Ia memperhatikan anak-anak asuhannya sementara mereka
berlari-lari. "Mereka tampak seperti setengah mati," bisik Kimmy kepada
Corky ketika mereka berdua melangkah ke pinggir lapangan. Kimmy
menjatuhkan kotak berisi pom-pom berwarna merah dan putih ke
bangku. "Mereka memang kelihatan tak terlalu bersemangat," Corky
membenarkan. Ia teringat kembali kunjungan Alex yang mengejutkan
kemarin malam, dan terbayang lagi sorotan mata Jay yang aneh dan
menakutkan. "Mereka tampil gemilang kemarin. Sayang mereka tak
sempat menyelesaikan pertandingan."
Kimmy mengangguk, lalu bergegas menghampiri Heather dan
Lauren untuk memberi petunjuk prapertandingan.
Saat para pemain berlari-lari kecil mendekat dengan suara
berdebam-debam, Corky me-langkah ke lapangan dan berusaha
menarik perhatian Jay. "Hei, Jay! Jay?"
Jay terus lewat. Tampaknya ia tidak mendengar.
Corky ingin tahu kenapa Jay tidak menyapanya kemarin malam.
Ia tahu Jay bukan tipe orang seperti itu. Cowok itu sama sekali bukan
pemalu. Jay tak pernah ambil pusing apakah kehadirannya
mengganggu Corky dan Alex atau tidak.
"Berdua jadi teman, bertiga jadi pesta!" Itu ungkapan favorit
Jay. Jadi ada apa dengannya kemarin malam" Corky bertanya-tanya.
Membayangkan kembali sorot mata Jay yang aneh dan bersinar
membuat Corky bergidik. Alex juga sama saja. Caranya mencium lebih kasar, lebih
memaksa. Apakah tingkah Alex dan Jay yang tidak seperti biasanya itu
hanya khayalanku belaka" batin Corky. Ataukah malah aku yang
aneh" Aku merasa tak nyaman berada di kota yang aneh ini. Apakah
karena aku tahu si roh jahat mungkin terus menguntit kami sampai ke
sini" Corky mengangkat kepala dan memandang barisan kursi yang
kemarin penuh tertutup lapisan ter mendidih. Sebagian besar sudah
dibersihkan. Tapi masih ada noda-noda hitam yang menempel pada
banyak kursi. Berhenti, Corky! ia mengomeli dirinya sendiri.
Hari ini aku takkan memikirkan hal itu. Tidak akan. Masih ada
pertandingan yang harus kami menangkan. Aku akan berkonsentrasi
pada pertandingan. Aku akan bersenang-senang.
Para pemain sudah menyelesaikan putaran kedua. Mereka
mengambil bola dan mulai melakukan pemanasan seperti biasa. Di
kejauhan, Corky melihat para cheerleader Lions berlari keluar dari
ruang ganti dalam seragam biru dan emas mereka.
Lena menurunkan tangannya ke bangku dan mulai melakukan
gerakan peregangan. Rambutnya yang halus mengilap tergerai di
pundaknya. Dia sangat cantik, pikir Corky. Dan lihat betapa lenturnya
tubuhnya. Wow! "Aku benci dia. Aku benar-benar benci dia."
Corky berpaling dan melihat Ivy yang berdiri di belakangnya.
Kedua lengannya dilipat di depan dada. Anak itu mengerutkan kening
tanda tidak senang sementara pandangannya tertuju pada Lena.
Lauren bergegas menghampiri mereka.
Corky tertawa. "Kenapa kau benci Lena, Ivy" Apakah karena
dia cantik dan berbakat sebagai cheerleader?"
"Antara lain ya," balas Ivy dangan nada kering. "Aku benci
cewek itu. Dia sok. Dia benar-benar menganggap dirinya seorang
bintang." Seakan membalas ucapan Ivy, Lena melangkah ke lapangan dan
mulai memperagakan gerakan salto ke belakang.
Sempurna, Corky mengamati.
"Aku benci dia!" ulang Ivy.
Lena menyelesaikan gerakan salto ke belakangnya. Dia
tersenyum kepada Corky dan Ivy. "Go Lions!" serunya seolah-olah
menantang mereka. "Go Tigers!" Ivy dan Lauren tak mau kalah.
Corky membungkuk untuk membetulkan tali sepatunya yang
terlepas. Ia mengangkat kepalanya ketika mendengar teriakan bernada
marah. "Pergi sana!" teriak Jay pada pelatihnya.
Corky menangkap ekspresi terkejut di wajah si pelatih. "Hei,
Landers"aku kan hanya bilang supaya kau jangan terlalu terburuburu!"
Wajah Jay merah padam. Matanya bersinar marah. "Kau
mengguruiku terus sepanjang pagi ini!" teriaknya. Ia membanting bola
dengan marah. Bolanya menghantam kursi lipat dan jatuh berdebam di
lapangan. "Pergi sana!"
"Hei"dinginkan kepalamu, Jay. Mari kita bicarakan baikbaik!" ujar Mr. Hall. Ia memberi tanda dengan kedua tangan agar Jay
mundur dan tenang. Ia memegang punggung Jay dan mulai
menggiringnya menjauh dari lapangan.
"Jangan pegang-pegang!" seru Jay. Ia melepaskan diri dari Mr.
Hall dan berlari ke ruang ganti.
Mr. Hall menggelengkan kepala dan mengejarnya.
Aku tak pernah melihat Jay kalap seperti itu, pikir Corky sambil
menelan ludah dengan susah payah. Kenapa sih dia"
Corky bertemu pandang dengan Alex. Cowok itu mengangkat
bahu dengan ekspresi bingung. "Mungkin dia salah makan!" seru
Alex. Corky memandang ke jam pada papan pencatat skor. Pukul
sebelas. Pertandingan lanjutan melawan regu Lions akan berlangsung
satu jam lagi. Beberapa suporter sudah datang, melintasi jalanan di
deretan tempat duduk menuju tempat duduk mereka.
We're the best, Better than the rest! We're the best, Better than the rest! Corky menoleh dan melihat kompetisi cheerleader mendadak
telah dimulai. Lena dan cheerleader Lions yang lain berbaris di
lapangan dan mengajukan tantangan.
Kimmy segera memanggil para cheerleader Tigers untuk
berkumpul. Mereka berbaris dan menjawab tantangan tim Lions.
We're the Tigers And all we have to say is: We're the BEST In every way! We"re the Tigers And all we have to say is: Look out, Lions"
Tigers are on their way! Corky dan rekan-rekannya mengakhiri dengan teriakan.
Kemudian mereka mengawasi Lena memberi instruksi pada tim
Lions. Kemudian cewek itu melangkah maju untuk menjawab
tantangan tim Tigers. Two points more AND Two points more AND Two points more AND Two points more AND"
Setiap kali para cheerleader menyerukan And, Lena
memperagakan gerakan salto ke belakang yang cepat dan mulus.
Corky mengamati dengan penuh kekaguman. Tak pelak lagi,
Lena memang cheerleader terbaik yang pernah dilihatnya.
Two 'points more AND Two points more AND Two points more AND Two points more AND"
WINNNNNN, LIONS! Sementara para cheerleader Lions lainnya bertepuk tangan,
Lena kembali bersalto ke belakang dan mendarat dengan sempurna.
Kemudian bersalto lagi. Lalu, meskipun sorak-sorai sudah berakhir, ia berdiri tegak,
mengangkat kedua lengannya, dan bersalto ke belakang. Rambut
panjangnya melambai-lambai.
"Kau lihat itu?" bisik Kimmy kepada Corky.


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lena bersalto lagi. Dan lagi. Para pemain basket sudah berhenti
melakukan pemanasan dan menonton.
Lena bersalto lagi. Kemudian, suara Lena yang gemetar melengking di penjuru
lapangan. "Tolong"tolong aku!"
Ia bersalto lagi. Corky melihat wajah Lena yang diliputi kengerian saat gadis itu
terus bersalto. "Tolong aku! Tolong! Aku tak bisa berhenti!"
Bab 20 MINUM YANG BANYAK DUA cheerleader Lions hendak menangkap Lena. Tapi Lena
bersalto menjauh dari mereka. Rambutnya yang hitam panjang
berkibar-kibar. Tungkainya yang panjang terentang lurus ke atas.
Sepatu ketsnya berdebam-debam di lapangan.
Jeritan serak melengking dari tenggorokannya. Bola matanya
berputar-putar dengan liar saat ia bersalto ke belakang. Dan lagi.
Para pemain basket dan cheerleader kedua sekolah
menghambur ke lapangan dengan hiruk-pikuk.
"Pegang dia!" "Tahan dia!" "Kenapa dia melakukannya?"
"Hentikan dia!"
"Kenapa dia menjerit-jerit?"
Tiga pemain basket akhirnya berhasil menahan tubuh Lena di
lantai. Lengannya terjulur ke atas. Kakinya menendang-nendang,
seakan ingin bersalto lagi. Saat tiga anak berusaha menahannya, Lena
memalingkan kepala"bola matanya berputar-putar dengan bingung"
dan menjerit-jerit. Corky melihat pelatih tim Lions berlari ke bilik telepon di
belakang dinding. Mungkin ia hendak menelepon ambulans. Para
pemain basket cheerleader, dan penonton mengerumuni Lena. Mereka
saling berbicara dengan suara rendah sambil menggelengkan kepala
tak percaya saat Lena meronta-ronta hendak membebaskan diri dan
bersalto lagi. "Tidaaak!" Beberapa anak menjerit saat Lena berhasil melepaskan diri dari
para penangkapnya. Ia mengibaskan rambutnya, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melengkungkan badannya dan kembali bersalto ke
belakang. Dan lagi. Sementara ia bersalto, jeritannya melengking membelah udara.
"Hentikan dia! Hentikan dia!" Corky berteriak. Sambil menoleh
ke belakang, ia melihat Ivy menjauh dari kerumunan penonton yang
ketakutan. Seperti biasa, lengannya dilipat di depan dada.
"Hei!" Corky berseru kaget saat ia melihat senyum puas
menghiasi wajah Ivy. ********************* "Kita menang!" seru Ivy dengan gembira sambil melompatlompat.
"Lega rasanya ini sudah berakhir!" bisik Kimmy pada Corky. Ia
menyeka keringat di keningnya dengan punggung tangannya.
Sama, pikir Corky sambil menghela napas.
Tim Tigers memenangkan pertandingan dengan mudah. Dengan
skor tipis dan energi yang pas-pasan, Corky mengakui Band berusaha
keras mengajak penonton bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Tapi
cheerleader kedua sekolah malah tidak bersemangat.
Mereka semua terlalu terpukul atas kejadian yang menimpa
Lena. Corky tidak dapat mengenyahkan jeritan ketakutan Lena dari
benaknya. Ia tidak dapat melupakan bahwa ia, Kimmy, dan Debra-lah
yang memanggil kembali si roh jahat. Pemandangan saat Lena
meronta-ronta sekuat tenaga ketika petugas paramedis mengikatnya
pada tandu dan membawanya pergi dengan ambulans terus terpatri
dalam ingatannya. Tidak ada yang dapat melupakan kejadian itu.
Selama pertandingan, para penonton berbicara dengan ramai,
tidak terlalu memperhatikan jalannya pertandingan.
Alex bermain dengan gemilang. Ia pencetak skor terbanyak.
Tapi Corky melihat ekspresi wajahnya yang tegang dan mulutnya
yang terkatup rapat, bahkan setelah cowok itu memasukkan bola ke
ring. Dan Corky tahu Alex tidak senang karena Jay tidak ikut
bermain. Jay duduk dengan muram di bangku dengan kedua tangan
ditangkupkan di belakang kepalanya. Ia mengamati jalannya
pertandingan. Corky menebak, Jay diistirahatkan karena kelakuannya
yang meledak-ledak sebelum pertandingan tadi.
Sayang sekali, pikir Corky. Jay biasanya pemacu semangat tim.
Ia suka memberi semangat pada yang lain, melemparkan leluconlelucon, dan ber-high five dalam setiap pertandingan.
Tapi tidak untuk hari ini. Hari ini ia duduk di bangku.
Mengamati pertandingan dari kejauhan dengan tidak bersemangat,
tidak bergerak, tidak tersenyum, tidak berbicara dengan yang lain.
"Sampai putaran kedua!" Ms. Closter berseru. "Semoga kalian
masih punya sisa suara! Tenggorokanku kering sekali! Hampir mati
rasanya!" Para cheerleader dan kedua tim berjalan menjauhi lapangan.
Corky dan Debra berjalan di depan menuju ruang belakang, ke arah
ruang ganti. "Corky, kita harus berbicara," cetus Debra sambil menatap
Corky penuh arti. "Kejadian yang menimpa Lena"ada yang
bertanggung jawab." "Aku tahu," sahut Corky. Ia mendorong pintu dan masuk ke
ruangan lain. Ia berhenti saat melihat sesosok tubuh terbujur di lantai beton.
"Tidaaak!" Corky mengerang ketakutan.
Debra menyambar lengannya, mencengkeramnya dengan sekuat
tenaga. "Ak"aku pasti bermimpi!"
Corky mendengar seruan kaget di belakangnya ketika para
cheerleader dan pemain basket berdesak-desakan di aula sempit untuk
melihat apa yang terjadi.
Ia mundur. Debra masih meremas lengannya, dan memandang
ke bawah. Ke arah sosok mengenaskan di lantai.
Pelatih basket regu Tigers terbujur dengan kedua lengan
terentang. Leher botol mineral berukuran besar dan berwarna hijau
dari pendingin tertancap di mulutnya.
Botol besar itu menimpa wajahnya. Kosong.
Corky melihat airnya merendam tubuh sang pelatih.
Si pelatih terbenam. Perut dan dadanya mengembang. Seperti
balon besar berisi air. Apa yang harus kami lakukan" Corky bertanya-tanya sambil
menoleh ke kiri dan ke kanan. Apa yang harus kami lakukan"
Ia mendengar seruan dan desahan di sekelilingnya.
Debra merapat padanya. Suaranya bergetar saat ia berbisik di
telinga Corky, "Roh jahat itu"ada di sini. Di sini, tepat di sebelah kita
sekarang." Bab 21 KELUAR DARI JENDELA "KITA akan menangkan turnamen ini untuk Pelatih Hall!" seru
Alex sambil mengacungkan tinju ke udara.
Beberapa anak bersorak. Tapi tidak dengan sepenuh hati. Tiga
jam setelah kejadian mengenaskan itu, mereka masih bingung dan
sedih. Rasa terkejut belum sepenuhnya hilang. Baik para pemain
basket maupun para cheerleader diam membisu, sibuk dengan pikiran
masing-masing. "Tigers akan terus maju!" Alex melanjutkan, berusaha
menyemangati rekan-rekannya. "Polisi akan menangkap
pembunuhnya. Dan kita akan menunjukkan pada semua orang bahwa
kita bukan pengecut!"
Keringat menetes di wajah Alex. Rambut pirangnya yang tebal
menempel di keningnya. Matanya bersinar-sinar penuh semangat.
Corky memandang ke sekeliling ruang ganti yang tampak
redup. Dua-tiga orang temannya berdiri berdesakan, ada yang
bersandar pada locker abu-abu, dan ada pula yang duduk
membungkuk di bangku rendah secara berdekatan.
Petugas polisi New Foster yang berseragam biru sudah meminta
keterangan dari mereka satu per satu. Dua petugas polisi masih sibuk
meminta keterangan dari Ms. Closter di dekat pintu masuk ruang
ganti. Di ruang atas, tubuh Pelatih Hall yang mengembang masih
terbujur sementara para petugas polisi memeriksa arena untuk mencari
bukti-bukti. Corky bertanya-tanya apakah mereka sudah
memindahkan botol mineral itu dari mulutnya.
Ini gila, benar-benar gila, pikir Corky sambil menahan
gelombang rasa mual yang melandanya. Ia duduk merapat pada
Kimmy. "Aku hanya ingin pulang," katanya lirih.
Ada lingkaran merah di bawah mata Kimmy yang sembap. Ia
merosot di bangkunya di sebelah Corky. Wajahnya pucat tanpa
ekspresi. "Aku juga," balasnya sambil berbisik.
Corky mendengar dua pemain basket saling berbicara dengan
suara rendah. "Siapa yang membunuh Mr. Hall" Dia kan orang baik."
"Pasti orangnya kuat sekali."
"Yeah. Botol mineral itu kan beratnya hampir satu ton!"
"Pasti orang sinting. Benar-benar sakit jiwa."
Corky menelan ludah dengan susah payah. Ia tahu
pembunuhnya bukan manusia. Pembunuhnya punya kekuatan di luar
kemampuan manusia karena dirasuki roh jahat.
Sambil berusaha mengenyahkan bayangan mengerikan yang
membuat perutnya mual dan bergejolak, Corky memandang ke
sekeliling ruangan yang penuh dengan wajah-wajah bingung.
Hanya Alex yang tampaknya sudah pulih dari rasa terkejutnya.
Cowok itu terus berkata-kata penuh emosi sambil mengacungacungkan tinjunya ke atas. Matanya yang biru tampak berkobar-kobar,
suaranya serak dan lerengah-engah.
Apa-apaan sih Alex" pikir Corky. Ia mengamati Alex sementara
cowok itu terus berteriak. Alex berusaha mengajak yang lain untuk
ikut berseru-seru. Bagaimana dia bisa cepat pulih dari rasa
terkejutnya" Kemudian mata Corky terpaku pada Jay.
Jay berdiri di sebelah Alex. Satu kakinya bertumpu pada
bangku rendah di depannya. Topi pet Mighty Ducks-nya bertengger di
kepalanya. Sebuah handuk putih melingkar di lehernya.
Corky tercekat saat menyadari Jay balas menatapnya. Mata
cowok itu menyipit. Ekspresi wajahnya dingin dan keras.
"Kimmy, kau lihat Jay?" bisik Corky. "Kenapa dia memandang
seperti itu?" "Mungkin dia sedih," jawab Kimmy sambil mengalihkan
pandang ke depan ruang ganti, tempat Jay berdiri dan menatap tanpa
berkedip dan bergerak. "Mungkin dia sama takutnya dengan kita
semua." "Tapi kenapa Jay tampak begitu berbeda" Dia sama sekali tak
seperti biasanya," Corky berkeras. "Dia"dia benar-benar membuatku
takut." "Kita semua takut," sahut Kimmy dengan suara perlahan sambil
memandang lantai. Corky teringat betapa kalapnya Jay sebelum pertandingan.
"Kau kan tak berpikir bahwa Jay?" Corky angkat bicara.
Kimmy menukasnya, "Yang harus kita lakukan adalah pulang,
Corky. Kita harus menyingkir dari sini. Sebelum kita semua mati."
******************** Para petugas polisi tidak membolehkan mereka meninggalkan
arena sampai sore. Setelah beberapa polisi meminta keterangan
mereka, beberapa yang lain menghampiri.
Setelah mampir di restoran cepat saji di kota untuk makan
malam, dengan letih para cheerleader kembali ke kamar mereka.
"Sudah terlalu malam untuk menelepon ke rumah," bisik Corky
pada Kimmy. "Orangtuaku tidak akan mau datang menjemput selarut
ini." Kimmy memandang ke arah kamar mandi.
Ivy sedang mandi. "Kita bangun pagi-pagi dan menelepon,"
ujarnya. "Kau sudah memberitahu Debra?"
Corky mengangguk. "Debra malah ingin kabur"malam ini
juga. Dia akan meninggalkan barang-barangnya dan mencoba mencari
tumpangan ke rumah."
"Itu gila," sahut Kimmy sambil mengerutkan kening. "Kita akan
bertahan sampai pagi. Lalu kita menelepon orangtua kita untuk datang
menjemput kita." "Tapi bagaimana dengan yang lain?" bisik Corky sambil
mengenakan baju tidurnya yang panjang. "Perlukah kita memperingati
mereka?" "Apakah mereka akan mempercayai kita?" tanya Kimmy.
"Kalau kita bilang ada roh jahat di sini, apakah mereka akan percaya?"
Corky menatap Kimmy sambil mempertimbangkan. "Tidak.
Rasanya sih tidak," akhirnya ia menjawab.
Punggung Corky terasa dingin. Ia merasakan bulu romanya
berdiri. Ia naik ke tempat tidur, menggigil, dan menarik selimut
sampai ke dagunya. "Rasanya sih tidak," ulangnya.
Pintu kamar mandi terempas membuka, dan Ivy muncul. Ia
melangkah ke luar, dikelilingi uap yang mengepul-ngepul. Tubuhnya
terbungkus handuk, juga rambutnya. "Aku merasa lebih baik," ia
mengumumkan. "Jauh, jauh lebih baik."
********************* Corky tak bisa tidur. Ia menggigil dan tidak bisa membuat badannya lebih hangat
lagi. Sambil memandang langit-langit, ia mendengarkan deru truk di
jalan raya"dan ia teringat kengerian di arena lagi dan lagi.
Meskipun sudah memejamkan mata, bayangan-bayangan
mengerikan itu tak sirna juga. Ia masih melihat Lena yang malang.
Wajah Lena yang ketakutan saat dia berulang-ulang bersalto ke
belakang. Tidak dapat berhenti, tidak dapat mengendalikan badannya.
Corky mendengar jeritan Lena yang bernada putus asa.
Berulang-ulang sampai Corky menutupi telinganya dengan kedua
tangan. Ia melihat Jay yang meledak-ledak. Jay yang memaki Pelatih
Hall, yang melempar bola basket sampai menghantam kursi. Sungguh
aneh untuk orang yang biasanya tenang dan santun.
Corky melihat Pelatih Hall yang terbujur dan terbenam di lantai
aula. Dengan botol mineral besar berwarna hijau yang menancap pada
mulut dan tenggorokannya.
Ia tak dapat melupakan adegan-adegan itu. Ia tak dapat
menyingkirkan semua itu. Ia seakan-akan dihantui bayanganbayangan mengerikan.
Karena ingin sekali tidur, Corky memejamkan mata dan mulai
menghitung domba. Domba-domba putih yang tidak bersuara.
Tapi suara dari seberang tempat tidur melenyapkan dombadomba itu.
Corky membuka mata dan melihat sesuatu bergerak di tengah
kegelapan. Ivy. Dalam cahaya lampu merah muda dan biru yang
berkilau-kilau, Corky mengamati Ivy yang memakai sweter dan jeans.
Sambil berusaha membetulkan lengan sweternya, Ivy berbalik
menghadap tempat tidur Corky. Corky segera memejamkan mata,
pura-pura tidur. Sejenak kemudian ia membuka matanya kembali.
Tanpa bersuara, dengan gesit dan tidak sabar Ivy memakai
sepatunya, menyikat rambutnya, dan melangkah ke jendela.
Corky mengangkat kepalanya dari bantal untuk mengamati.


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurang-lebih pukul empat pagi, ia menyadari. Ada apa ini"
Kenapa Ivy menyelinap keluar"
Jendela terbuka. Corky menegakkan tubuh dan memicingkan mata, menembus
cahaya lampu merah muda dan biru.
Tanpa bersuara, Ivy menaikkan sebelah kakinya ke kusen
jendela. Lalu ia mencondongkan badan, menarik sebelah kakinya yang
lain, dan menghilang keluar dari jendela.
Corky melangkah turun dari tempat tidur.
"Kimmy?" panggilnya dengan suara parau. "Kimmy"kau lihat
tadi" Ivy menyelinap keluar."
Sunyi. Kimmy tidak bergerak.
"Kimmy?" Corky mengeraskan suaranya. "Kimmy?"
Bab 22 ADA YANG ANEH "KIMMY?" Corky memanggil dengan suara lirih. Ia merasakan
rasa takut mengaliri dadanya. Ia berjalan menuju tempat tidur Kimmy.
"Kimmy?" Kimmy akhirnya bergerak. "Hah" Corky" jam berapa ini?"
tanyanya dengan suara masih mengantuk.
"Ak"aku tak tahu," Corky tergagap. "Tapi ada yang aneh.
Bangunlah. Ivy baru saja menyelinap keluar dari jendela."
Kimmy bangkit dan menjejakkan kaki ke lantai. "Dia apa?"
Corky menarik tangan Kimmy dan membantunya berdiri.
"Cepat. Lekas berpakaian. Kita harus mengikutinya."
Kimmy menggoyang-goyangkan kepala seakan sedang
mencoba mengusir rasa kantuknya. "Aku tak percaya ini," gumamnya.
Ia menyalakan lampu di samping tempat tidur dan mulai mengenakan
jeans dan kaus yang disampirkannya di kursi.
Sesaat kemudian kedua gadis itu sudah mengenakan jaket
masing-masing. Corky memimpin jalan keluar dari jendela.
Di bawah cahaya papan neon, ia melihat dua mobil van dan
sebuah mobil kecil yang diparkir. Tidak ada mobil atau truk yang
melintas di jalan raya. Sepi.
Tak ada tanda-tanda keberadaan Ivy.
"Ini gila," gumam Kimmy sambil menarik ritsleting jaketnya,
lalu melangkah ke sebelah Corky. "Paling-paling dia hanya bertemu
cowok." Uap napasnya tampak mengepul-ngepul saat ia berbicara.
"Kurasa tidak," bisik Corky. Ia mencari-cari sosok Ivy dalam
kegelapan. "Ivy kan tak bisa menyimpan rahasia. Dia pasti sudah
memberitahu kita." Corky menggigil. Malam ini udaranya benar-benar dingin,
pikirnya. la menemukan sebuah topi wol dalam saku jaketnya dan
memakainya. Sambil menembus kegelapan malam, Corky memimpin jalan
mengitari motel. Ia berhenti dan merapatkan diri ke dinding ketika
mendengar suara-suara di depannya.
Suara yang tidak asing. Kimmy mencengkeram lengan mantel Corky. "Siapa itu?"
Mereka berdua mencondongkan badan ke depan sambil
memicingkan mata ke arah pelataran parkir.
Corky mengenali Ivy lebih dulu. Anak itu berdiri di depan jip
hitam sambil menyibakkan rambut panjangnya.
Ia sedang asyik mengobrol dengan Heather dan Lauren.
Corky merasakan hawa dingin merambati sekujur tubuhnya
hingga membuatnya menggigil. Meskipun pelataran parkir itu gelap,
ia dapat melihat ekspresi aneh di wajah mereka. Pancaran wajah
antusias dan gembira. Gembira karena apa" Kalau memang ada rapat rahasia, kenapa aku dan Kimmy tidak
diundang" Corky bertanya-tanya.
Kemudian ia melihat sosok-sosok lain yang bergerak-gerak di
sebelah jip. Dan tampaklah Alex dan Jay, diikuti enam pemain basket
tim mereka. "Mereka semua ada di sini," bisik Corky sambil menarik
badannya untuk bersembunyi. "Semua anggota tim."
Para pemain basket menyalami ketiga cheerleader. Mereka
semua kelihatannya berbicara secara serempak. Corky menegakkan
badan untuk menguping pembicaraan mereka. Tapi suara mereka yang
berbisik-bisik tidak bisa ditangkapnya.
"Mereka semua tampak bersemangat," bisik Kimmy.
"Aneh sekali," sahut Corky. Ia melihat Alex dan Jay saling berhigh five. Salah satu cowok bercanda dengan Ivy sambil menariknarik rambut gadis itu. Heather dan Lauren menggerak-gerakkan
lengan mereka secara bersamaan. Mereka seperti sedang
memperagakan sorak-sorai bisu. Dua anggota tim basket bergulat
dengan seorang pemain basket lainnya.
Lalu, seakan-akan sudah diberi tanda, mereka semua berhenti
berbicara dan bercanda. Corky memperhatikan ekspresi wajah mereka
yang berubah serius. Mereka semua berbalik dan berjalan melintasi
pelataran parkir me-nuju hutan kecil yang berada di kejauhan.
"Haruskah kita mengikuti mereka?" tanya Kimmy. Ia masih
berbisik walaupun anak-anak yang lain sudah lenyap.
Corky bimbang. Ke mana mereka pergi"
"Hutan itu menuju danau," kata Kimmy sambil menjauh dari
bangunan motel. Ia berdiri di pelataran parkir dan memicingkan mata
ke arah pepohonan gelap di kejauhan. "Menurutmu mereka ke sana"
Apa mungkin mereka sedang mengadakan semacam pesta, dan tidak
mengundang kita karena kita kapten regu?"
"Omong kosong," balas Corky. "Mungkin kau dan aku
sebaiknya?" Ia berhenti berbicara saat mendengar suara langkah kaki yang
tergesa-gesa di jalan beraspal di belakang mereka.
Ia tercekat. "Kimmy"ada yang datang!"
Mereka berdua serentak berbalik.
Bab 23 ROH JAHAT BEBAS "DEBRA!" seru Corky.
Debra menghampiri mereka sambil berlari-lari kecil. Napasnya
terengah-engah. Mata birunya yang dingin tertumbuk pada Corky.
Rompinya yang tidak dikancingkan memperlihatkan sweter ungu tua
yang panjangnya hampir menyentuh lututnya yang dibalut jeans.
Rambut pirangnya yang biasanya tertata rapi kali ini tidak disisir.
"Debra, sedang apa kau di sini?" tanya Kimmy dengan nada
melengking. "Kau ikut dengan mereka?" Corky menunjuk ke arah hutan.
"Hah" Ikut ke mana?" Debra bingung. "Aku tak mengerti. Kau
dan Kimmy"kenapa kalian ada di sini?"
"Kan aku yang bertanya lebih dulu!" kata Kimmy dengan tajam.
"Aku mendengar waktu Heather dan Lauren bangun," Debra
menjelaskan. "Mereka berpakaian dan mengendap-endap ke luar. Aku
lihat mereka berhati-hati agar aku tidak terbangun. Setelah mereka
pergi, aku ikuti mereka."
Ia memegang lengan Corky. "Ada apa sih" Beritahu aku!"
"Kami tidak tahu!" jawab Corky.
"Sungguh, kami tidak tahu!" kata Kimmy. "Ivy juga
menyelinap ke luar. Mereka bertiga bertemu sembunyi-sembunyi
dengan para anggota tim basket. Semuanya. Kelihatannya mereka
merencanakan sesuatu."
"Kenapa kita tidak diundang?" tanya Debra.
Corky mengangkat bahu. "Kami tidak tahu." Ia menunjuk ke
pepohonan yang gelap. "Mereka jalan ke arah sana." Ia menunjuk.
"Ada danau di sana. Kalian pikir mereka ke sana?" tanya Debra.
"Mungkin saja. Siapa tahu" Memang aneh sekali," jawab
Corky. "Ayo. Kita harus mengikuti mereka," kata Kimmy dengan nada
mendesak. Debra berpaling ke arah Corky. "Alex ikut dengan mereka?"
Corky mengangguk. "Yeah. Dia ikut. Jay juga. Semua anggota
tim." "Dan Alex tidak memberitahumu bahwa mereka akan
mengadakan pesta tengah malam di danau" Dia tidak
mengundangmu?" tanya Debra.
"Tidak," sahut Corky perlahan. "Dia sama sekali tak pernah
mengungkit-ungkit soal itu."
"Sebaiknya kita segera pergi," desak Kimmy lagi. "Kalau terus
berdiam di sini, kita bisa kehilangan jejak mereka."
Debra menggigil. "Dingin sekali."
"Ayolah," ujar Corky sambil melintasi pelataran parkir. "Kalau
kita terus bergerak, tubuh kita bisa lebih hangat."
Ada palang beton rendah yang memisahkan pelataran parkir
dengan hutan kecil. Corky dan teman-temannya melangkahi palang itu
dan berjalan menelusuri jalan sempit yang berliku-liku menembus
pepohonan. Sepatu mereka menapak perlahan di tanah yang keras. Cahaya
pucat bulan setengah lingkaran menimpa pohon-pohon yang gundul,
menerangi daun-daun mati yang berserakan bak karpet di kaki
mereka. Tak ada yang bergerak, Corky menyadari. Ia menepis ilalang
yang menghalangi jalannya. Tak ada cabang. Tak ada ranting.
Keheningan yang mencekam. Seolah-olah pohon-pohon membeku di
tempat. Di sebelah kiri mereka, tampak samar-samar, Corky melihat
tebing tinggi yang menjulang di atas air. Jalan kecil itu bercabang ke
arah lain. Ke arah danau.
"Sembunyi di antara pohon-pohon," Debra memperingatkan.
"Jangan sampai mereka melihat kita."
"Kalau mereka sedang berpesta, kita kacaukan saja!" seru
Kimmy. Sesuatu berlari melintasi daun-daun mati di dekat kaki Corky.
Saking terkejutnya, ia sampai tersandung. Corky cepat-cepat
memegang batang pohon yang tidak terlalu besar untuk menahan
dirinya. "Apa itu?" ia berbisik, sebelah tangannya masih memegang
dadanya yang berdebar-debar.
"Mungkin tupai atau gerombolan tikus atau sebangsanya,"
jawab Debra. "Kita ada dalam hutan, kau kan tahu!"
"Kita seharusnya pulang dan kembali tidur," gumam Corky. "Ini
gila! Kalau yang lain mau cari mati, kita kan tak perlu..." Suaranya
melemah saat melihat danau di depannya.
Dari balik pepohonan, ia melihat Lauren dan Jay di danau yang
membeku. Mereka bergerak lambat, memiringkan kepala dan
mengangkat lengan mereka dengan gerakan aneh.
Corky melangkah mendekat. Ia masih bersembunyi di hutan
yang gelap. Alex, Gary, Brandt, dan Heather juga bergerak dalam
gerakan lambat. Bersebelahan sambil berpegangan tangan, mereka
mengangkat dan menurunkan lengan mereka.
Corky melihat mereka semua ada di danau. Mereka membentuk
lingkaran sambil menekuk lutut. Kaki mereka menggelincir di es yang
licin. Sinar bulan menerangi mereka. Wajah mereka tampak pucat.
Bayang-bayang mereka yang berwarna kebiruan tampak miring dan
melengkung di lapangan es.
Dan mata mereka! Corky merasakan rasa takut menggelora di
dadanya saat ia memperhatikan mata mereka. Begitu lebar, begitu
hampa. Pandangan mata yang kosong. Tidak berkedip. Tatapan yang
tidak berfokus seperti mata boneka yang terbuat dari kaca.
Mereka mengelilingi danau sambil menari-nari dalam gerakan
lambat. Kepala mereka miring ke kiri dan ke kanan. Mereka
berpegangan tangan, tapi tidak saling menatap lagi. Kini mereka
bergerak pelan-pelan dengan serempak dalam gerakan aneh, seakanakan bagian dari mesin.
"Mereka sedang apa sih" Tarian apa itu?" bisik Kimmy sambil
merapat pada Corky. Wajah Kimmy demikian dekat dengan Corky
sampai ia bisa merasakan embusan napas Kimmy di pipinya.
Debra berdiri mematung di sebelah mereka. Matanya terpaku
pada sosok-sosok yang menari dengan lambat seperti robot, dan tanpa
berkata-kata. Corky menyadari bahwa satu-satunya bunyi yang terdengar
adalah bunyi gesekan lembut sepatu mereka di lapangan es.
Srek. Srek. Srek. "Mereka sedang apa sih?" ulang Kimmy dengan nada
melengking. "Masa kau tidak tahu?" gumam Debra dengan suara perlahan
yang menusuk. "Kau tidak melihat apa yang sedang terjadi?"
Alex menari sambil menatap pepohonan dengan mata terbuka
lebar-lebar. Tanpa ekspresi. Ia menari di antara Lauren dan Jay.
Mereka berpegangan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi sambil
berputar-putar tanpa bersuara.
Heather melintas. Ia menari di antara dua pemain basket
lainnya. Mantelnya terbuka. Rambutnya acak-acakan menutupi
wajahnya. Kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan. Gerakannya
serempak dengan gerakan kedua anggota tim basket.
Bayangan-bayangan mereka tampak turun-naik dan berputar.
Warnanya biru tua di lapangan es yang kelabu. Perlahan-lahan para
penari bergerak setenang bayangan mereka.
Tiba-tiba Corky mengerti apa yang sedang mereka lakukan.
Ia mengerti tarian itu. Mengerti tatapan kosong mereka.
Mengerti semuanya. Ia berpaling kepada kedua temannya. Ekspresi wajah mereka
yang dicekam ketakutan menandakan bahwa mereka juga sudah
mengerti. "Pesta ice skating," gumam Corky.
Debra mengangguk dengan serius. Kimmy memekik tertahan.
"Ingat, kan" Waktu kita memanggil roh?" Corky melanjutkan
dengan suara gemetar. "Waktu kita tidak sengaja memanggil roh jahat itu dari dasar
sungai?" "Kita terempas ke belakang," Kimmy mengingat-ingat. Ia
menekan pipinya dengan kedua tangan. "Kita bertiga"terpental jauh."
"Tapi asap hitam menyelubungi mereka," Debra menambahkan
sambil mengalihkan pandangannya ke sosok-sosok di danau. "Kita
melihatnya. Kita melihatnya melayang keluar dari dasar sungai dan
menyelubungi para cheerleader dan anggota tim basket. Dan
sekarang?" Debra terdiam. Ekspresinya berubah ketika ia memicingkan
mata ke arah danau. Geram kemarahan memecah kesunyian yang mencekam.
Tarian berhenti. Lingkaran penari tercerai-berai.
Geram kemarahan makin keras. Makin mendekat.
Dan Corky melihat seekor anjing hitam yang sangat besar
mendekat pelan-pelan ke lapangan es. Sambil menatap para penari,
anjing itu menyeringai, memperlihatkan deretan taringnya yang
panjang dan setajam pisau. Ekornya tegak ke atas.
Tanpa sadar Corky dan kedua temannya mendekat karena ingin
melihat lebih jelas. "Lihat, kan?" bisik Debra. "Anjing itu tahu. Tahu
ada roh jahat yang berdiam di tubuh mereka! Makanya dia mau
menyerang." Semua anak yang ada di lapangan es tetap diam. Mereka balas
menatap anjing yang marah itu dengan pandangan kosong. Pandangan
yang sama hampanya dengan saat mereka menari dalam gerakan
lambat tadi. Semua diam di tempat. Tidak ada yang melangkah mundur.


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anjing itu berulang-ulang melengkungkan badannya yang
berbulu hitam. Ia menggeram marah. Liur putih muncrat dari
mulutnya ketika si anjing membuka rahangnya lebar-lebar.
Ia bersiap-siap untuk menerkam.
Tiba-tiba, tanpa saling memberi tanda, Jay dan Ivy melangkah
maju. Saat anjing marah itu menerjang, mereka menangkapnya. Jay
mencengkeram kaki depan si anjing yang menggeram-geram. Ivy
mencengkeram bagian bawah badan anjing itu.
Ivy dan Jay melempar anjing itu tinggi-tinggi, lurus ke depan.
Corky terperangah saat anjing itu melayang tinggi di udara.
Lebih tinggi daripada pohon-pohon gelap di tepi danau.
Lebih tinggi daripada lemparan siapa pun.
Binatang itu lenyap di langit yang kelam.
Lalu membentur keras di lapangan es dengan bunyi berderak
yang mengerikan. Makhluk malang itu menyalak kesakitan. Sambil terpincangpincang, anjing itu menjauh dari lapangan es. Kepalanya menunduk.
Ekornya terselip di antara kakinya. Ia mendengking sambil menyeret
tubuhnya yang penuh luka.
Jay dan Ivy bertukar senyum. Senyum kemenangan. Yang lain
mengamati tanpa perasaan saat si anjing terpincang-pincang di
pepohonan. Dengkingan lemah binatang itu masih terdengar ketika para
remaja kembali bergandengan tangan dan menari. Corky mengamati
lingkaran wajah-wajah yang akrab dengannya, tapi kini tiba-tiba
tampak asing. Sangat ganjil.
Sangat jahat. "Mereka semua dirasuki roh jahat," ia berbisik kepada Kimmy
dan Debra. Debra mengangguk dengan muram. Matanya mengawasi tarian
hening itu. "Ya. Roh jahat itu merasuki mereka semua," gumamnya
sambil bergidik. "Setiap orang."
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Kimmy dengan nada
melengking. Corky menjawab dengan desahan tertahan. Ia menatap
lingkaran penari dengan sorot mata ketakutan.
"Corky?" seru Kimmy. "Corky?"
Tapi Corky tidak menyahut.
Pandangannya lurus ke depan, terpaku pada para penari yang
tiba-tiba berhenti. "Mereka"mereka melihat kita!" Corky tergagap-gagap.
"Mereka akan mendatangi kita!"
BAGIAN TIGA SAATNYA BERPISAH Bab 24 UNDANGAN CORKY melihat berpasang-pasang sorot mata hampa berpaling
kepadanya. Ia melihat lingkaran di tengah lapangan es tercerai-berai.
Mereka tidak lagi bergandengan tangan. Para penari menghentikan
gerakan lambat mereka"dan dengan perlahan dan mantap mulai
berjalan melintasi lapangan es menuju tempat persembunyian Kimmy,
Debra, dan Corky. Saat berjalan mereka menengadah, membuka mulut, dan
melolong-lolong dengan nyaring. Tidak seperti suara manusia.
Lolongan bernada peringatan yang mengerikan.
"Lari!" Tenggorokan Corky serasa tercekat.
Ia berbalik dan melihat Debra mengambil langkah seribu.
Temannya itu berlari melintasi pepohonan dan tersandung-sandung
dahan rendah. Kedua tangannya sibuk menepis semak-semak berduri
dengan kalang kabut. Di sebelah Debra, Kimmy tersandung dan jatuh.
Corky mencondongkan badannya ke depan dan berlari sekuat
tenaga di sepanjang jalan kecil. Dadanya berdebar-debar. Ia dapat
merasakan sorot-sorot mata kosong dan jahat mengikutinya sementara
ia memaksa dirinya menerobos pepohonan dan rimbunan semaksemak berduri.
Kimmy merayap bangkit dan kembali berlari. Matanya
memancarkan ketakutan yang luar biasa. Tangannya menggapai-gapai
mencari selamat. Lolongan jahat membelah hutan. Seperti lolongan serigala
lapar. Suaranya terdengar makin nyaring, makin mendekat. Terlalu
nyaring hingga membuat Corky menutup telinganya dengan kedua
tangan sementara ia terus berlari.
Ia melihat Debra berlari di depannya, tersandung-sandung tapi
tidak sampai jatuh. Debra menepis rimbunan semak gelap dan rumputrumput liar. Kemudian Corky kehilangan jejaknya. Ia tak bisa
melihatnya lagi. Tidak bisa mendengar suara sepatunya yang berderap
di tanah keras. Yang ia dengar hanyalah suara lolongan, lolongan hewan,
lolongan si roh jahat. Sambil terengah-engah, Corky terus berlari. Sepotong ranting
menggores pipinya. Sepatunya terbenam di tanah yang lembek dan
becek. Tapi ia tidak memperlambat larinya.
Dari balik pepohonan ia melihat pelataran parkir di kejauhan.
Dan di depannya tampak bagian belakang motel. Pinggangnya serasa
ditusuk-tusuk. Ia memandang berkeliling. Debra" Kimmy"
Ia tak menemukan mereka. Tapi ia mendengar suara lolongan seperti sirene, suara langkah
kaki para remaja yang dirasuki roh jahat mendekat ke pinggir hutan.
Sepatu Corky berderap keras di pelataran parkir beraspal. Rasa
sakit yang mendera-dera pinggangnya makin menjadi. Membuatnya
menjerit. Polisi! Aku harus menelepon polisi! ia berkata dalam hati.
Cahaya lampu di ruang resepsionis motel telah padam. Corky
menerjang pintu, meraih pegangan pintu. Berusaha membukanya.
Terkunci. Tertutup dan terkunci. Harus panggil polisi! Ia menarik napas dalam-dalam dan mengisi paru-parunya
dengan udara dingin. Meskipun udaranya dingin, paru-parunya serasa
terbakar. Sambil menjauh dari ruang resepsionis, ia mulai memutari
motel. Ke depan. Ke jalan raya. Aku akan menghentikan mobil yang lewat. Truk yang lewat.
Akan kubilang aku dan teman-temanku butuh bantuan dan perlu
memanggil polisi. Sambil memegangi pinggangnya, Corky berlari ke depan.
Lolongan roh jahat masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia
melangkah ke cahaya lampu neon merah muda dan biru yang remangremang. Mengamati jalan raya.
Gelap dan sepi. Tidak ada mobil atau truk.
"Oh!" Sambil memekik bingung, ia menoleh"dan melihat bilik
kaca telepon umum di sudut jalan.
Bagus! Tanpa memedulikan rasa pedih di pinggangnya dan paruparunya yang serasa terbakar, ia melesat ke depan. Membuka pintu
kaca, melangkah masuk, dan mengempaskan pintu. Sambil bersandar
pada bilik kaca, ia mengangkat gagang telepon.
Aku tak punya uang receh!
Ia berusaha berpikir dengan jernih. Suara lolongan masih
terngiang-ngiang di telinganya. Dadanya berdebar-debar sama
kencangnya dengan lolongan itu.
Aku tak perlu uang receh untuk menelepon polisi.
Aku hanya harus" Ia menempelkan gagang telepon ke telinganya.
Sunyi. Ia menekan 0. Sunyi. Ia menekan 911. Sunyi. Rusak, ia menyadari. Teleponnya mati.
Mati. Aku akan mati, kecuali kalau aku bisa meloloskan diri...
Ia berbalik dan mendorong pintu kaca, bersiap untuk kabur"
dan melihat Alex menahan pintu.
Cowok itu menyeringai. Mata birunya memandangnya dengan
tajam. Rambut pirangnya yang tidak disisir tergerai di keningnya. Ia
terengah-engah. Dadanya tampak naik-turun di balik sweter abuabunya yang gombrong.
"Alex"biarkan aku pergi!" Corky berteriak. Susah payah ia
berusaha membuka pintu. Tapi Alex menempelkan kedua telapak tangannya pada daun
pintu dan menahannya dengan badannya.
"Alex"please!" Corky memohon.
Mata Alex menyipit dengan pandangan penuh simpati. Ada
kerutan-kerutan di sudut matanya.
Dulu aku menganggap mata itu sungguh menggemaskan, sangat
menarik, pikir Corky. Ia balas menatap Alex sambil terengah-engah.
"Corky, ada apa sih?" tanya Alex dengan lembut.
"Biarkan aku pergi!" Corky memohon sambil berusaha
menghalau Alex agar menyingkir.
Cowok itu tidak bergerak. "Ada apa sih?" ulangnya dengan
polos. "Kenapa kau tadi lari?"
Bab 25 KIM MY DI DANAU "TIDAK, Alex"please!"
Corky meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. Tapi tangannya
dicengkeram dengan kuat sekali.
"Alex"lepaskan!"
Cowok itu sepertinya tidak mendengar. Ia tetap tersenyum dan
memandang Corky dengan sorot mata bosan, dingin, dan tidak peduli.
Dengan entakan keras, ia menarik Corky keluar dari bilik
telepon. Corky menjerit. Ia melancarkan pukulan dengan tangan
terkepal. Tinjunya menghantam bahu Alex.
Ia meninjunya lagi. Senyum Alex melebar.
"Ayo ke danau, Corky," bujuk Alex dengan lembut. "Ikut kami
bersenang-senang." Ini bukan Alex, batin Corky. Ia memandang seringai di wajah
Alex dengan ketakutan. Ini Alex gadungan. Bukan Alex yang kukenal,
Alex yang kusayangi. Ini Alex yang lain, yang dirasuki roh jahat.
Dia bahkan tidak menyadari perbuatannya. Dia bahkan tidak
sadar akan menarikku kembali ke danau"bisa jadi untuk
menghabisiku. Sekarang Alex memegang pinggang Corky erat-erat dan
mendorongnya ke belakang motel. Menuju ke hutan kecil.
Mata Corky menyapu pelataran parkir dengan panik. Di mana
Debra dan Kimmy" Corky bertanya-tanya. Apakah mereka selamat"
Di mana para cheerleader dan anggota tim basket yang lain"
Apakah mereka kembali ke danau" Apakah mereka semua
menungguku di sana" Sebuah truk menderu di jalan raya. Corky membuka mulut
hendak berteriak minta tolong. Tapi truknya sudah melaju kencang
sebelum ia sempat mengeluarkan suara.
"Ayo ke danau, Corky. Kita suka bersenang-senang, kan?" bisik
Alex. Napasnya yang panas menyapu wajah gadis itu.
Bagaimana kalau aku berteriak" pikir Corky saat Alex
mendorongnya masuk ke hutan. Apakah orang-orang di motel akan
terbangun" Apakah mereka akan menolongku"
Semua kamar tampak gelap. Hanya ada sebuah jip hitam tua di
belakang pelataran parkir.
Tidak ada salahnya mencoba, batin Corky.
Seakan-akan bisa membaca pikiran Corky, Alex membungkam
mulutnya erat-erat. Teriakan Corky terdengar seperti gumamangumaman tak jelas.
Dengan segenap kekuatannya Corky menjatuhkan diri. Ia
berputar melepaskan diri dan merayap ke depan. Semua terjadi dalam
hitungan detik. Lalu ia bangkit dan berlari sambil membungkukkan
badan. Ia menerobos semak-semak. Dahan-dahan pohon menusuknusuk celana jeans-nya dan menggores-gores lututnya. Ia tersandung
sebuah batang pohon. Ia berusaha menjaga keseimbangan. Ia terus
berlari dengan susah payah.
"Hei!" seru Alex terkejut. Seruannya terdengar dekat di
belakang Corky. "Hei! Hei, Corky!"
Corky tergelincir di onggokan daun-daun mati karena berusaha
menghindar dari kejaran Alex. Matahari sudah hampir terbit di ufuk
timur. Cahaya ungu menyapu sekeliling hutan, membuat hutan seperti
alam mimpi. Tidak nyata. "Hei, Corky! Hei!"
Suara Alex kini terdengar jauh di belakang. Di sebelah kiri.
Apakah Alex kehilangan jejaknya" Apakah ia berhasil
menyesatkan cowok itu"
Corky tak punya waktu untuk berpikir. Berpikir ke mana ia
akan berlari. Ia sadar ia berlari menuju danau. Tapi Corky tidak peduli. Ia
berhasil meloloskan diri.
Untuk sementara. Oh! Ia menahan diri untuk tidak menangis saat sepotong dahan
rendah menampar wajahnya. Pipinya terasa perih saat ia terus berlari,
menerobos semak belukar dan pepohonan, berusaha meninggalkan
Alex. Kimmy, kau di mana" batinnya. Matanya menembus kabut
ungu. Debra"kau tadi berlari di depanku. Apakah kau berhasil lolos"
Tiba-tiba ia ingin berteriak untuk memanggil teman-temannya.
Tapi ia sadar perbuatannya itu hanya akan memancing Alex untuk
menemukannya dan menangkapnya lagi.
Danau membentang di depannya. Lapangan es berwarna biru
keunguan ditimpa cahaya matahari pagi. Corky berhenti untuk
mengatur napas. Tak ada orang di sana. Tak ada orang di danau. Ke mana mereka pergi" Apakah mereka kembali ke motel"
Apakah mereka masih di hutan dan mengejar-ngejar Kimmy dan
Debra" Kami tahu rahasia mereka. Corky merasakan rasa dingin
mengaliri sekujur punggungnya. Kimmy, Debra, dan aku"kami tahu
rahasia kejahatan mereka.
Itu alasan mereka mengejar kami.
Itu alasan mereka tak akan membiarkan kami keluar hiduphidup.
Ia mendengar suara gemeresik dari arah semak-semak di
belakangnya. Alex" Ya. Ia mendengar Alex mengumpat pelan. Lalu ia mendengar
cowok itu mengubah nada suaranya dan memanggilnya lagi, "Corky"
Ayo ke sini, Corky. Ini aku"Alex! Jangan takut! Aku mau
menolongmu!" Bukan, pikir Corky dengan getir. Kau bukan mau menolongku,
Alex. Kau mau menyakitiku.
Matanya menyapu danau yang membeku. Mencari tempat untuk
bersembunyi. Ke mana aku harus pergi"
Ia melihat semak-semak bergerak-gerak di belakang
pepohonan. Alex makin mendekat. Dia akan melihatnya. Dia akan
menangkapnya. Sambil berjalan mundur, Corky berusaha berpikir jernih,


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha mencari jalan keluar. Selangkah demi selangkah.
Aku harus meloloskan diri darinya. Harus mencari tempat
persembunyian. Corky menaikkan tangannya ke wajahnya dan terus
memandang ke depan sementara ia melangkah mundur.
Ke mana aku harus pergi"
"Hei!" Ia memekik ketika kakinya tergelincir. Tanpa sadar ia
sudah berada di permukaan danau yang membeku.
Ia hampir kehilangan keseimbangan.
Ia memandang ke bawah. "TIDAAAK!" Jeritannya memantul di pohon-pohon yang
gundul. Sepasang mata menatapnya dari bawah es. Sepasang mata tanpa
kehidupan. Rambut hitam melayang-layang di sekitar wajahnya.
Mengembang di air dingin di bawah es.
Rasa pedih membuat Corky jatuh berlutut. Perutnya seakanakan ditonjok. Ia membungkuk, mengamati wajah yang menatapnya
dari bawah es dengan pandangan mati dan kosong.
Wajah Kimmy. Corky melupakan Alex. Ia memalingkan muka dari
pemandangan mengerikan itu dan menjerit sekeras-kerasnya.
Bab 26 LAGI-LAGI SOSOK TAK BERNYAWA
DENGAN tangan dan lutut bertumpu pada lapangan es, Corky
menunduk dan mengamati temannya. Wajah Kimmy menengadah ke
permukaan. Rambutnya mengembang seperti rumput laut yang gelap.
Mereka menenggelamkan Kimmy, Corky menyadari. Sekujur
tubuhnya gemetaran. Mereka memerangkapnya dan
menenggelamkannya di bawah es karena Kimmy tahu rahasia mereka.
Corky tak sanggup mengalihkan pandang dari wajah pucat
berair yang menatapnya. Apakah mereka juga menenggelamkan
Debra" ia bertanya-tanya. Ia tidak bisa menghentikan tubuhnya yang
gemetar. Air mata panas bergulir turun ke pipinya. Air matanya berubah
menjadi uap saat menetes di permukaan danau yang membeku.
Selanjutnya aku yang akan mereka tenggelamkan, pikir Corky.
Mereka akan menangkapku. Lalu memerangkapku di bawah es
dan mengawasi sampai aku tenggelam.
Ia memaksa dirinya terus berlutut, kedua tangannya menyeka
air mata yang membasahi pipinya. Aku harus menghentikan mereka,
ia berkata dalam hati. Aku harus mencari jalan untuk menghentikan
mereka. Dan aku harus membuat mereka membayar perbuatan mereka
karena membunuh Kimmy yang malang.
Sekali lagi ia membayangkan senyum Alex. Tatapannya yang
mengundang, memohonnya untuk ikut ke danau. Alex jahat, Corky
sadar. Mereka semua jahat. Mereka bukan anak-anak yang selama ini
kukenal. Mereka menenggelamkan Kimmy.
Mereka mau menenggelamkan aku.
Bunyi gemeresik di antara pepohonan membuatnya berpaling.
Ia melihat ilalang-ilalang tinggi tersingkap. Ia mendengar suara
langkah kaki menginjak daun-daun basah.
Mereka datang. Aku harus menyingkir. Aku harus lari.
Tanpa sadar Corky bangkit berdiri. Dan mulai berjalan
terhuyung-huyung masuk kembali ke hutan. Langkahnya tidak pasti
dan ia tersandung-sandung di sepanjang perjalanan. Kakinya serasa
berat, seakan-akan terbuat dari batu. Ia memaksa dirinya terus
melangkah maju. Selangkah demi selangkah.
Matahari pagi sudah naik di atas puncak pepohonan. Cahayanya
yang keemasan menyusup di sela-sela pepohonan. Cabang-cabang
pohon menggapai-gapai Corky saat ia melesat di antara pepohonan
yang seperti sengaja menghambat jalannya.
Sambil membalikkan badan, ia menengadah dan melihat tebing
tinggi keunguan yang menghadap ke danau. Aku harus lari ke arah itu,
pikirnya. Aku harus bisa memanjat tebing dan melarikan diri.
Corky melihat dua sosok manusia bergerak di danau yang
membeku. Ia mengenali Jay. Topi pet Mighty Ducks-nya dipakai
terbalik. Tangan cowok itu diselipkan di saku jaket Shadyside Highnya. Jay berputar perlahan. Matanya mencari-cari ke tepi danau.
Mencari aku, pikir Corky. Tubuhnya gemetaran.
Dari balik dahan-dahan pohon, Corky melihat Lauren
melangkah ke sebelah Jay. Lauren melindungi matanya dengan
sebelah tangan saat ia mencari-cari Corky.
Dulunya mereka teman-temanku, batin Corky. Ia berbalik dan
menyingkir menjauh. Jay selalu membuatku tertawa.
Sekarang dia mau membunuhku.
"Itu dia!" Corky mendengar Lauren berteriak.
Corky berdiri mematung. Sekujur tubuhnya terasa sedingin es
di danau. Sambil menjerit tertahan, Corky berusaha menggerakkan
kakinya. Tapi ia tak berhasil.
Es. Aku membeku seperti es, pikirnya.
Ia mendengar suara gemeresik daun-daun mati, suara langkahlangkah kaki yang tergesa-gesa saat Jay dan Lauren mendekat untuk
menangkapnya. Corky mengisi paru-parunya dengan udara dingin. Harus pergi.
Harus pergi! ia mendesak dirinya.
"Corky"kau di mana?" Itu suara Alex. Terdengar di sekitar
situ. Mereka mengepungku. Mereka memerangkapku.
Tidak! Dengan mengerahkan segenap kekuatannya ia melompat ke
depan. Sambil meraih sepotong batang pohon, ia melesat masuk ke
dalam hutan. "Corky"aku ingin bicara denganmu!" Suara Alex gadungan
terdengar memohon dari sebelah kirinya. "Aku hanya ingin bicara,
Corky!" Corky memotong ke kanan. Duri-duri tajam menggores pipinya.
Ia menepisnya dan terus berlari sambil menundukkan kepalanya.
Makin dalam masuk ke hutan.
Suara-suara mengikutinya. Suara-suara yang dulu sangat akrab
dengannya, tapi sekarang bagaikan suara-suara orang asing.
"Di mana dia?" "Aku baru melihatnya."
"Kita harus membentuk lingkaran yang lebih besar. Kita semua.
Lalu kita tinggal memojokkannya."
"Mungkin kita sudah terlambat. Mungkin saja dia sudah
kembali ke motel." "Tidak mungkin. Kita pasti sudah menangkapnya kalau dia
keluar dari hutan." Corky menahan isak tangisnya. Dadanya serasa akan meledak.
Suara-suara itu terdengar makin dekat!
Pohon-pohon gelap yang menyelubunginya tampak makin
merapat mendekatinya. Sekilas ia melihat dua batang pohon kembar
yang tumbuh dan terjalin satu. Dengan perasaan tak berdaya, Corky
melesat ke belakang kedua pohon itu dan bersembunyi di celah di
antara keduanya. Menunggu. Dan memasang telinga. Ia berusaha menenangkan
degup jantungnya. Suara gemeresik langkah kaki makin keras. Suara-suara
terdengar makin dekat. "Corky" Ini aku, Alex. Corky" Kau di mana?"
"Corky" Busnya sudah menunggu. Sudah waktunya kita
berangkat ke tempat pertandingan." Suara Heather terdengar sangat
jelas. Apakah ia berdiri di depan batang pohon kembar ini"
Sambil menahan napas, Corky merunduk di bawah batang
pohon yang tekstur kulit kayunya halus. Ia memejamkan mata dan
berdoa agar mereka pergi.
Pergi. Pergi saja. Carilah di tempat lain.
Ia mendengar suara daun-daun diinjak. Mendengar suara
nyaring ranting patah. Mendengar umpatan-umpatan pelan saat
mereka mencari dirinya. "Corky, ini Lauren! Ms. Closter ingin bertemu denganmu di
motel!" "Hei, Corky"kau kenapa sih?" Suara Jay terdengar dari
sebelah kirinya. "Kenapa kau bersembunyi dari teman-temanmu?"
Dan suara Heather lagi. "Corky"pertandingan akan segera
dimulai!" Pergi. Pergilah. Pergi pergi pergi!
Sekujur tubuh Corky menegang. Setiap uratnya mengencang
saat ia berdoa agar mereka pergi.
Beberapa detik berlalu. Detik demi detik berlalu.
Seekor burung berkicau keras di atas kepalanya. Bunyinya
nyaring seperti tanda peringatan. Corky menengadah dan melihat
seekor burung bluejay bertengger di dahan tinggi di atasnya.
Sejenak kemudian ia mendengar bunyi kepakan sayap. Ia
melihat bayangan burung itu melesat terbang.
Kemudian hutan tampak sunyi senyap.
Corky menekan punggungnya pada batang pohon yang keras
sambil menahan napas dan memasang telinga. Tak ada suara langkah
kaki. Tak ada suara-suara.
Embusan angin pelan dari danau membuat dahan-dahan pohon
berderak-derak dan bergemeretak.
Ia mendengar bunyi gedebuk pelan. Sarang burung jatuh dari
dahan pohon" Lalu hening. Apakah ini perangkap" Corky bertanya-tanya. Ia masih dicekam
ketakutan. Apakah mereka menunggu di sisi lain pohon ini"
Menunggu untuk menyergapku"
Apakah mereka sudah pergi" Atau masih berdiri di sana,
mengawasi batang pohon, menungguku menampakkan diri"
Suasana hening tampak terasa sekali. Telinga Corky berdesingdesing.
Ia harus mencari tahu. Ia harus tahu. Sambil menarik napas dalam-dalam, Corky merapatkan
punggungnya pada batang pohon, lalu memiringkan badannya ke sisi
pohon"dan mengintip.
Ia terperangah ketika melihat sesosok tubuh terkapar tak
bernyawa di tanah. Bab 27 SEMUA TENGGELAM CORKY menundukkan kepala dan memandang bangkai burung
bluejay dengan terkejut. Kenapa mereka membunuhnya" ia bertanya-tanya.
Apakah karena mereka merasa mampu membunuh"
Sayap si burung terentang di tanah. Kakinya tegak ke atas.
Kepala burung itu miring dengan tidak wajar. Satu mata hitamnya
menyorot Corky dengan pandangan menuduh.
Mereka akan membunuh apa saja, pikirnya. Setiap orang dan
binatang. Ia memandang berkeliling.
Tak ada orang. Mereka sedang mencari di bagian lain hutan ini.
Sambil menghela napas, Corky menjatuhkan diri dengan keras
di batang pohon yang tumbang. Ia membenamkan kepalanya di kedua
tangannya. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Getaran kengerian. Ia
sadar tak pernah merasa setakut ini sepanjang hidupnya.
Kini mereka telah pergi. Tapi mereka akan kembali.
Ia harus menyingkir. Menyingkir dari danau dan hutan ini.
Menyingkir dari kota ini. Menyingkir.
Ia harus mencari bantuan. Ia harus mencari jalan untuk
menghentikan mereka. Tapi ia sadar saat ini ia tak bisa bergerak dari pohon tumbang
ini. Tak bisa mengangkat kepalanya dari tangannya. Tak bisa
menghentikan tubuhnya yang gemetar.
Gara-gara lumpuh karena ketakutan, Corky tak tahu berapa
lama waktu sudah berjalan.
Apakah sudah lewat beberapa detik" Menit" Sejam atau dua
jam" Kehangatan sinar matahari di belakang kepalanya membuatnya
kembali memperoleh kesadarannya. Ia berdiri, mengibaskan
rambutnya, mengejap-ngejapkan mata karena pantulan cahaya
matahari yang menyilaukan. Gumpalan salju putih padat berkilauan
seakan dihiasi jutaan berlian.
Corky meregangkan badannya. Ia mengangkat tangannya
tinggi-tinggi di atas kepala dan meregangkan punggungnya. Lalu ia
mulai berlari-lari kecil dan menyibakkan semak-semak yang
menghalangi jalannya. Aku akan ke jalan raya dan terus berlari sampai ada mobil yang
berhenti, atau aku akan menelepon, putusnya.
Tapi ia berhenti di pinggir pelataran parkir motel saat melihat
sebuah bus kuning. Sopir berseragam kelabu berdiri di sebelah pintu
yang terbuka. Heather dan Lauren, dalam seragam cheerleader
mereka, naik ke dalam bus.
Gary dan Jay main dorong-dorongan, saling menyikut, dan
tertawa-tawa gembira sambil menabrak pintu.
Mereka akan ke gedung olahraga untuk pertandingan
selanjutnya, Corky menyadari. Ia maju selangkah dan mendekat. Ia
berjalan menuju pelataran parkir dan bersembunyi di balik minivan
berwarna merah tua. Sambil mengintip dari depan kap mobil, Corky melihat para
anggota tim basket dan cheerleader Shadyside ada di dalam bus. Si
sopir pasti menyuruh anak-anak cowok naik lebih dulu. Dari balik
jendela, ia melihat mereka tertawa-tawa dan mengobrol dengan
gembira. Seakan-akan tak ada yang terjadi. Seakan-akan semua berjalan
seperti biasa. Seakan-akan Kimmy tidak dibekukan di bawah permukaan
danau. Sambil menelan ludah dengan susah payah, Corky
memperhatikan setiap jendela bus untuk mencari Debra. Tapi ia tidak
menemukannya. Apakah tidak ada yang merasa kehilangan aku, Kimmy, dan
Debra" Corky bertanya-tanya.
Ia lekas menjawab sendiri pertanyaannya:
Tidak. Tentu saja tidak. Mereka tahu di mana kami berada.
Mereka tahu ada yang tidak beres. Mereka semua berpura-pura.
Mereka asyik bersenang-senang, pikir Corky dengan getir.
Lihatlah mereka, tertawa-tawa dan saling bercanda!
Pemandangan berikutnya membuat napas Corky tercekat di
tenggorokan. Ia merasakan seluruh urat-uratnya menegang dan
gelombang kengerian menyapu sekujur tubuhnya.
Sopir bus naik ke dalam bus. Sejenak kemudian pintu ditutup.
Mesin mobil meraung. Corky menyingkir dari minivan. Ia terpaku menatap wajahwajah gembira dalam bus. Ia ingin menjerit. la ingin menabrakkan
dirinya ke bus. Ingin menghentikan canda tawa mereka.
Ia terkejut ketika pintu bus tiba-tiba terempas membuka. Si
sopir turun. Sambil menggelengkan kepala, pria itu berjalan tergesagesa menuju ruang resepsionis motel.
Pasti ada barangnya yang ketinggalan, pikir Corky. Atau
mungkin dia harus menelepon.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di benak Corky. Ia bergerak
cepat. Rasa frustrasi dan kemarahannyalah yang melahirkan ide itu.


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil merunduk-runduk di belakang mobil-mobil yang
diparkir, ia melesat mendekati bus. Lalu, sambil menarik napas dalamdalam dan menahannya, ia memegang pintu, memaksa dirinya untuk
naik, dan menyelinap ke kursi pengemudi.
Apakah ada yang melihatnya"
Corky mengembuskan napas keras-keras dan memasang
telinga. Tidak. Mereka masih asyik mengobrol dan tertawa-tawa dengan
gembira. Tidak merasa terganggu. Tidak ada yang memanggil
namanya atau berteriak padanya.
Ia memandang dari kaca spion. Ia melihat Jay dan Alex di
deretan belakang. Mereka saling ber-high five dan tertawa riang. Ia
menggeser kaca spion hingga ia tidak bisa melihat siapa-siapa.
Sekarang tak ada yang dapat melihatnya.
Corky mengempaskan pintu.
Sekat pemisah di belakangnya menyembunyikannya dari anakanak lain dalam bus. Ia melepaskan rem tangan dan memegang
kemudi. Roda-roda bus berdecit. Corky mencondongkan badan ke depan
dan menurunkan kakinya ke pedal gas yang besar. Corky menginjak
pedal gas keras-keras. Bus meraung keluar dari pelataran parkir,
menghantam pinggiran jalan, dan menuju jalan raya. Di belakangnya,
Corky mendengar anak-anak tertawa-tawa dan bersorak-sorak ketika
bus melindas polisi tidur dan terguncang-guncang.
Corky mendengarkan percakapan mereka sambil bersandar
pada kemudi. Mereka tidak mendengar si sopir berteriak dari luar bus.
Dan tak satu pun dari mereka menyadari bus bergerak menjauh
dari Gedung Olahraga New Foster.
Di belakang Corky, sorak-sorai membahana saat bus
terguncang-guncang melewati lubang yang dalam. Tanpa mengerem,
Corky memutar bus dari jalan raya menuju jalan sempit bernama
Cliffview. Ia tidak mengenal kota ini atau jalan-jalannya. Tapi ia menduga
jalan ini akan menuju ke arah yang ia kehendaki. Sementara jalan
berkelok-kelok menuju hutan yang lebat, Corky bertanya-tanya
apakah ia membuat keputusan yang tepat.
Aku tak bisa melakukannya, kan" ia bertanya kepada dirinya
sendiri. Keraguannya mulai bertambah. Ia mengendurkan injakannya
pada pedal gas. Aku tak bisa melakukannya. Sepertinya ini memang rencana
yang bagus"satu-satunya rencana. Tapi aku tak dapat
melaksanakannya. Wajah Kimmy memaksanya terus melaju.
Kemudi bus yang besar terguncang-guncang di telapak
tangannya, namun Corky terus menginjak pedal gas. Bus bergetar dan
meraung. Roda-rodanya berputar di permukaan es yang licin saat bus
mendaki ke hutan yang tampak berkilau-kilau.
Ekspresi wajah Corky mengeras. Ia menatap lurus ke depan. Ia
membayangkan mata Kimmy yang menatapnya dengan pandangan
kosong dan sedih dari bawah danau yang membeku. Ia melihat rambut
hitam Kimmy mengembang di air.
Dan ia membayangkan mulut Kimmy. Bibir temannya itu
membuka perlahan, membentuk kata-kata, "Terus maju."
"Terus maju." Bibir ungunya yang bengkak. Sorot matanya yang memohon.
"Terus maju." Corky membayangkan permintaan terakhir Kimmy. Kimmy
yang terbenam. Kimmy yang malang. Kimmy di bawah es dalam
kuburan airnya. Ditenggelamkan roh jahat. Ditenggelamkan roh jahat
dalam bus ini. Wajah Kimmy tampak jelas dalam benak Corky. Mendesak
Corky untuk terus maju. Di sini. Bersama-sama dengannya.
Kimmy ada di sini bersamaku, pikir Corky. Dia duduk di
sebelahku dan membimbingku. Dia memberitahuku bahwa tindakanku
benar, bahwa tidak ada pilihan lain.
Corky sadar ini satu-satunya tindakan yang dapat ia lakukan.
Mereka bukan teman-temannya. Mereka dirasuki roh jahat. Corky
tahu ia harus menenggelamkan roh jahat" memaksanya keluar dari
tubuh teman-temannya. Ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
mereka. Kalau ia tidak menenggelamkan roh jahat itu, temantemannya pasti akan mati.
Corky hanya bisa berharap agar"saat roh jahat itu
meninggalkan mereka"teman-temannya akan selamat. Sama seperti
ketika ia memaksa roh jahat itu keluar dari tubuhnya.
Sambil mencengkeram kemudi dengan kedua tangan, Corky
mencondongkan badan ke depan dan memandang dari balik kaca
depan. Ia mengamati pohon-pohon yang tampak kabur.
Ia melambatkan laju bus ketika tampak olehnya pinggir tebing.
Penghalang logam ditempatkan di sisi jalan. Lebih tampak
seperti papan peringatan daripada pagar penghalang, pikir Corky.
Peringatan bahwa jalan berakhir di tebing yang curam, yang di
bawahnya ada danau yang membeku.
Pembatas yang rendah itu tidak bisa menahan bila ada mobil
yang terjun dari sebelah pinggirnya.
Atau bus. Corky memegang pintu bus. Bus terlonjak-lonjak di dekat
penghalang logam. Lalu kembali ke tengah-tengah jalan.
Sambil melongok ke bawah, Corky melihat danau di bawah
sana. Danaunya bercahaya ditimpa cahaya matahari sore seperti
cermin besar yang berkilauan.
"Corky" Corky, kau sedang apa?"
Corky mendengar sebuah suara memanggilnya. Rupanya ada
yang mengenalinya. Sudah terlambat. Sekarang tidak ada yang dapat
menghentikannya. Rencananya harus terus berjalan. Ini satu-satunya
cara untuk menyelamatkan teman-temannya.
"Ohhh." Ia mendesah ngeri.
Haruskah kulakukan" Haruskah" Wajah mati Kimmy memohon padanya untuk terakhir kalinya:
"Terus maju." Corky mengendurkan injakannya pada pedal gas. Melambatkan
laju bus. Makin lambat. Makin lambat.
Ia membuka pintu bus. Makin lambat. Makin lambat.
Dapatkah kulakukan" Dapatkah kulakukan sekarang"
Ya! Ia membanting kemudi keras-keras menuju pinggir tebing.
Lalu, sambil memegang kemudi dengan sebelah tangan, Corky
bangkit dari kursi, menuju pintu yang terbuka"dan melompat.
Tubuhnya menghantam jalan beraspal, mendarat dengan bahu
kanannya. Kemudian ia berguling ke penghalang logam. Penghalang
itu berderak keras dan menimpanya.
Corky mengabaikan bahunya yang pedih dan memaksa dirinya
untuk duduk"saat itu juga bus kuning itu menerobos pembatas dan
melayang jatuh. Sambil menaikkan tangan ke wajah, Corky melihat bus itu jatuh
tegak lurus dan hilang dari pandangan. Roda-rodanya berputar di
udara. Ia mendengar jeritan-jeritan ketakutan para anggota tim basket
dan cheerleader. Jeritan-jeritan itu berakhir dengan suara krak dan
byur yang keras. Corky bangkit berdiri.
Ia melongok ke bawah dari sisi tebing. Bagian belakang bus
yang tegak lurus tenggelam dengan cepat ke dalam air biru.
Pecahan es berwarna keperak-perakan berhamburan. Pecahan es
terapung-apung di air seperti dinding rumah yang runtuh. Bus jatuh di
tengah-tengahnya. Dari kejauhan Corky melihat beberapa pria berjaket menjauh
dari lubang es. Para pemancing ikan. Mereka menjatuhkan alat
pancing mereka dan berteriak. Mereka berlari melintasi lapangan es ke
arah bus yang tenggelam. Sudah terlambat. Gelembung udara yang besar melayang dari air biru ketika
bagian belakang bus tersedot ke bawah.
Jeritan-jeritan ketakutan lenyap. Hening. Seperti ada orang yang
mematikan radio. Satu-satunya yang terdengar adalah suara gesekan pecahan es
dan teriakan kengerian para pemancing ikan.
Sambil terisak-isak dan dengan kedua tangan masih menekan
pipinya, Corky menunduk dan memperhatikan lubang biru di es. Ia
mengamati air yang mulai berbuih dan mendidih. Ia melihat uap tebal
keluar dari lubang. Corky tahu roh jahat itu sudah tenggelam. Dipaksa keluar dari
tubuh teman-temannya. Corky melihat uap panas yang terus mengepul dari lubang es.
Tak ada yang muncul. Tak ada yang berenang ke permukaan.
Corky berhasil menenggelamkan roh jahat.
Tapi apakah ia juga menenggelamkan semua temannya"
Bab 28 SEMANGAT TIM ROH jahat memang harus ditenggelamkan. Corky tahu itu. Itu
satu-satunya cara untuk mengalahkannya.
Tapi saat memandang ke bawah dari pinggir tebing, Corky tidak
merasa lega. Yang ia rasakan hanyalah kepedihan dan ketakutan.
Aku menenggelamkan semuanya, ia menyadari dengan
perasaan shock. Aku membunuh teman-temanku.
Corky berjalan terhuyung-huyung menyingkir dari pagar
pengaman. Dengan limbung ia menuruni bukit menuju jalan raya.
Jalan-jalan, pohon-pohon, semuanya tampak kabur di matanya. Saat
melangkah ke jalan raya, ia merasakan jalan yang dilaluinya miring
dan melengkung. Tanah miring ke kanan, lalu berayun ke kiri. Corky merasa
pusing. Karena takut jatuh, ia berpegangan pada tiang telepon.
Sambil melingkarkan sebelah tangannya pada tiang, ia
memejamkan mata. Bahkan dengan mata tertutup pun ia masih
merasakan dunia berputar.
Apa yang terjadi padaku" ia bertanya-tanya.
Kemudian sebuah pertanyaan lain yang menakutkan terlintas di
benaknya. Apa yang akan terjadi padaku" Apa yang akan terjadi bila
orang-orang tahu aku menenggelamkan teman-temanku"
Ia menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pertanyaan
itu. Lalu ia menjauh dari tiang.
Pergi ke tempat pertandingan, ia memerintahkan dirinya.
Beritahu mereka apa yang terjadi. Beritahu Ms. Closter. Beritahu
orang-orang. Anggota tim basket sudah tewas, Para cheerleader sudah tewas.
Aku melempar mereka dari tebing. Aku menenggelamkan
mereka semua karena aku harus menenggelamkan roh jahat.
"Aku harus memberitahu," gumam Corky. Ia berjalan
terhuyung-huyung dan terpeleset di gundukan es. "Harus
memberitahu. Harus memberitahu semuanya."
Sambil menyeret tubuhnya di sepanjang jalan raya dan
bergumam sendiri, Corky mengabaikan tanah yang miring dan
pepohonan yang tampak kabur. Ia berjalan menuju tempat
pertandingan dengan linglung.
Mobil-mobil dan truk menderu di jalan. Warna-warnanya yang
kabur menari-nari di matanya.
Setelah berjalan setengah jam, sebuah station wagon melambat
dan berhenti. Seorang anak laki-laki melongok dari jendela di kursi
penumpang dan memanggilnya, "Pergi ke tempat pertandingan" Mau
menumpang?" Karena Corky tidak menjawab, station wagon itu akhirnya
berlalu. "Harus memberitahu," ulangnya terus-menerus sambil berjalan
terhuyung-huyung. "Harus memberitahu. Harus memberitahu
semuanya." Matahari bersinar terik, tapi Corky tidak merasa hangat. Ia
menggigil, pening, dan bergumam pada dirinya sendiri. Tak terasa
waktu cepat berlalu. Ketika gedung olahraga tampak di depan mata,
Corky hampir saja melewatinya.
Teriakan para penonton di pintu masuk membuyarkan lamunan
Corky. Ia mengikuti barisan sampai ke dalam arena yang terang
benderang. "Harus memberitahu. Harus memberitahu."
"Karcisnya, Nona?" Sebuah tangan terulur di depan wajahnya.
"Hah?" Corky memandang seorang pria jangkung yang
memakai rompi merah. "Karcis. Aku mau melihat karcismu," ujar pria itu dengan sabar.
"Oh. Aku cheerleader," Corky memberitahu. Ia berusaha
melewati si penjaga dan melongok ke dalam lorong panjang yang
menuju lapangan basket. "Kau cheerleader" Mana seragam cheerleadermu?" tanya si
penjaga sambil mengerutkan kening.
"Di motel," sahut Corky linglung.
"Nona, aku tak bisa membiarkanmu masuk kecuali?"
"Tapi aku harus memberitahu! Harus memberitahu!" Corky
berteriak. Ia meloncat melewati si penjaga, melewati tangannya yang
terulur, dan masuk ke dalam gedung olahraga. Sepatunya berdentamdentam di lantai beton.
Wajah. Banyak wajah di sekelingnya. Orang-orang di tribun.
Di bawah, ia melihat satu tim sedang melakukan pemanasan.
Seragam mereka berwarna putih.
Hanya satu tim yang melakukan pemanasan, latihan
menembakkan bola. Hanya satu tim"dan Corky tahu alasannya.
"Ms. Closter!" panggil Corky. Suaranya melengking dan
terdengar aneh di telinganya sendiri. "Ms. Closter! Ini aku!"
Ia melihat si pelatih melintasi lapangan. Ms. Closter melipat
tangannya di depan T-shirt putihnya sambil bercakap-cakap santai
dengan seorang juri. "Ms. Closter! Please!"
Ms. Closter menengadah ke arah Corky yang kebingungan.
Sambil terengah-engah, Corky berlari melintasi lapangan
basket. Ia mengabaikan seruan-seruan terkejut para pemain.
"Corky"semua anak telat!" kata Ms. Closter sambil
mengerutkan kening. "Kau tahu busnya di mana?"
"Di danau," Corky memberitahunya. Semuanya tampak
berputar mengelilinginya. Barisan kursi, kedua papan ring, bangkubangku pemain yang kosong. Ia mengira melihat Debra, tapi sulit
sekali untuk berbicara. Semuanya berputar. Berputar kencang.
"Pertandingan harus dibatalkan!" Corky menjerit sambil
menjambak rambutnya sendiri. Ia berusaha menghentikan
sekelilingnya yang tampak berputar.
"Hah?" Mata Ms. Closter menyipit.
"Mereka semua mati!" jerit Corky. "Semua mati!"
Tapi jeritannya tenggelam oleh sorak-sorai membahana dari
tribun. Band mulai bermain. Sorak-sorai berkumandang di tengahtengah bunyi terompet yang memekakkan telinga.
"Aku tak dengar!" seru Ms. Closter. Ia mendekat ke arah Corky.
"Apa katamu?" "Aku bilang mereka semua mati!" kata Corky dengan suara
tercekat di tenggorokan. Ms. Closter menggelengkan kepala. "Sori. Berisik sekali?"


Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Corky menarik napas dalam-dalam. Ia membuka mulutnya dan
bersiap-siap untuk berteriak lagi.
Suara gemuruh yang datang dari arah penonton membuat Corky
berpaling. Ia melihat ada tim lain yang melangkah ke lapangan.
Tim" Tim apa" ia bertanya-tanya sambil memicingkan mata.
Band bermain dengan antusias ketika cahaya lampu sorot
menerangi para pemain. Corky terperangah karena ia mengenali mereka. Alex. Jay. Dan
Gary. Anggota tim basket Shadyside High yang lain.
Corky sangat terkejut sehingga tak mampu menjerit. Ia melihat
Ivy, Heather, dan Lauren mengikuti tim mereka ke lapangan sambil
melompat-lompat dan bertepuk tangan.
"Tidak! Tidak!" Corky berteriak keras-keras.
Tiba-tiba band menghentikan musik. Dan sorak-sorai penonton
berubah menjadi jeritan-jeritan ketakutan.
Wajah mereka! Corky mengamati. Wajah para pemain. Basah
dan bengkak. Segumpal lumut danau tergantung-gantung di rambut
mereka. Lumpur basah menetes di pipi mereka dan menodai seragam
mereka. Mulut Corky ternganga. Ia ketakutan melihat wajah-wajah mati
yang mengerikan, mata- mata mereka yang menyorot kosong dan
hampa. Tanpa tanda-tanda kehidupan.
Para pemain mencoba mengambil bola untuk melakukan
pemanasan. Tapi bolanya jatuh berdebam dari tangan mereka yang
basah dan bengkak. "Tidak! Tidak! Tidak!" Corky menjerit ketakutan ketika ketiga
cheerleader berbaris dan mulai bersorak-sorai. Seragam mereka basah
kuyup dan kotor. Gumpalan lumut dan daun-daun mati jatuh dari
rambut mereka saat mereka melompat-lompat.
Air kecokelatan menyembur dari mulut mereka dan menetes ke
dagu. Mereka menggerak-gerakkan bibir mereka perlahan,
menyemburkan air keruh. Penonton makin ribut. Anak-anak kecil menangis. Jeritanjeritan ketakutan memantul di dinding-dinding tinggi.
"Mereka sudah mati! Mereka sudah mati!" Corky berteriak.
Saat ia berteriak, Alex berpaling kepadanya. Matanya yang
hampa menatap Corky dengan bersinar-sinar. Ada luka besar keunguunguan di wajahnya. Tapi tidak berdarah. Alex berjalan limbung
menuju Jay dan menuding ke arah Corky dengan jarinya yang
bengkak. Bibir Jay yang ungu membentuk seringai mengerikan saat ia
berjalan terhuyung-huyung ke arah Alex. Satu bola matanya melesak
ke dalam rongga matanya. Mata yang lain menatap Corky.
"Mereka sudah mati! Mereka semua sudah mati!" ulang Corky
dengan linglung. Kepalanya terasa pening.
Ia berhenti berteriak. Napasnya tertahan di tenggorokan ketika
ia sadar kini mereka semua menatapnya. Para pemain dan ketiga
cheerleader yang sudah mati.
Semua menatapnya dengan sorot mata kosong.
Dan sekarang, semua berjalan terhuyung-huyung, limbung dan
tersandung-sandung ke arahnya. Menggapai-gapai Corky dengan
tangan-tangan yang bengkak keunguan. Menuju dirinya. Hendak
menuntut balas. Bab 29 SEMUA ADA DI SINI GELOMBANG kengerian menerpa Corky. Ia tersandung
bangku. Alex, Jay, dan yang lainnya berjalan terhuyung-huyung menuju
ke arahnya. Corky melihat lengan Jay patah. Lengannya yang patah
itu tergantung-gantung. Tulang putih yang pucat mengintip dari selasela kulit sikunya.
Ivy menyeringai ke arah Corky. Rambutnya yang cokelatpirang basah dan lengket. Semua giginya tanggal. Noda darah
kehitaman melekat di dagunya.
Kepala Gary terayun-ayun keras di lehernya yang patah saat
berjalan bersama-sama yang lain. Mereka berbaris dan maju
terhuyung-huyung mendekati Corky.
Corky memandangi setiap wajah dengan penuh kengerian.
Mereka semua sudah mati, ia menyadari. Mereka mayat hidup!
Corky ingin mundur. Tapi bangku di belakangnya menghalangi
jalannya. Ia berbalik"jantungnya berdebar-debar, pelipisnya berdenyutdenyut. Ia merasa pening dan linglung"dan melihat orang-orang
berdesakan di lorong. Mereka berebutan hendak keluar dari gedung.
Teriakan dan jeritan ketakutan memenuhi gedung besar itu. Dan
di tengah erangan dan teriakan itu, Corky mendengar suara
melengking memanggil-manggil namanya.
"Corky! Corky!"
Corky tertegun ketika melihat Debra. Rambut pirangnya yang
kusut melekat di kepalanya. Matanya yang biru menggelepar-gelepar
liar. Memandangnya. "Oh, tidak, Debra!" Corky menjerit histeris.
"Mereka berhasil menangkapmu" Mereka berhasil menangkapmu?"
Kemudian tubuh mereka yang menggembung menghalangi
pantulan sinar. Dan tangan mereka menggapai-gapai Corky. Jari-jari
bengkak yang patah meraba-raba tenggorokannya.
Corky merasakan sentuhan kematian yang dingin melingkupi
dirinya. Dan kegelapan menyelimutinya. Ia tersungkur ke lantai.
******************* Saat Corky membuka mata, ia hanya melihat bayangan putih. Ia
mengejap-ngejapkan mata. Sekali. Dua kali. Tapi penglihatannya
masih kabur. Aku mati, pikir Corky. Seperti inilah rasanya mati. Banyak dinding putih diselubungi
warna putih. Ia merasakan rasa nyeri mendera bagian belakang kepalanya.
Bagaimana aku mati" ia bertanya-tanya sambil berusaha
mengingat-ngingat. Tapi pikirannya sama kosongnya dengan
gelombang putih di sekelilingnya.
Sambil mengerang kesakitan, ia mencoba menegakkan badan.
Ternyata ia berada di tempat tidur. Dalam kamar.
Corky melihat pintu dibuka.
Ia mendengar suara di balik pintu itu. Ia menarik napas dalamdalam. Hidungnya mencium bau yang menyengat. Bau obat
antikuman" Alkohol"
Rasa nyeri kembali menyerangnya. Ia mengangkat sebelah
tangan dan mengusap-usap belakang kepalanya dari sela-sela
rambutnya yang kusut. Seorang wanita muda dengan rambut merah keriting tampak di
depan pintu. Corky memandang seragamnya yang putih.
Perawat. Aku belum mati, ia menyadari. Aku berada di rumah
sakit. "Kau sudah bangun" Bagus!" seru si perawat. Ia tersenyum.
Suaranya nyaring dan melengking. "Orangtuamu dalam perjalanan ke
sini." "Orangtuaku?" Mulut Corky terasa kering. Sulit sekali untuk
mengeluarkan kata-kata itu.
"Kau akan sembuh," kata perawat itu. Ia melangkah masuk ke
kamar. "Kau pingsan dan kepalamu terluka. Itu yang dikatakan
pelatihmu. Memang sakit, tapi tidak ada perdarahan dalam dan
semacamnya. Kau akan baik-baik saja."
Corky memandang ke arah perawat itu. Berusaha menyerap
kata-katanya. "Aku baik-baik saja?"
"Sedikit gegar otak," sahut si perawat. Ia mengamati Corky.
"Pelatihmu bilang kau bertingkah aneh waktu tiba di tempat
pertandingan. Kukira karena terlalu bersemangat?"
"Ta"tapi teman-temanku?" Corky tergagap.
"Semua temanmu ada di rumah sakit ini," jawab perawat itu
dengan tenang. Bibirnya yang penuh mengembangkan senyum aneh.
"Hari-hari yang sibuk."
Semua temanku ada di sini"
Kata-kata itu mengirimkan gelombang dingin yang
menggetarkan sekujur tubuh Corky.
Teman-temanku yang sudah mati ada di rumah sakit ini"
Mereka semua mengikutiku sampai ke sini, Corky menyadari.
Perawat itu salah. Semua tidak akan baik-baik saja.
Mereka tidak akan melepaskan aku hidup-hidup.
Bab 30 TERTANGKAP AKU harus segera pergi dari sini, pikir Corky.
Ia menunggu sampai si perawat keluar. Kemudian ia
menjejakkan kaki di lantai dan berdiri. Ia mengabaikan rasa pening
dan nyeri di belakang kepalanya. Corky melihat pakaiannya
tergantung di lemari terbuka di dinding.
Sambil tetap mengawasi pintu, ia melepaskan baju rumah sakit
berwarna hijau pucat dan memakai celana jeans-nya. Ketika ia
memakai sweternya, ia mulai menggigil lagi.
Mereka di sini. Mereka semua di sini, ia menyadari.
Mereka berbaring di kamar rumah sakit. Menunggu untuk
menangkapku. Para anggota tim basket yang sudah mati. Para cheerleader yang
sudah mati. Semua di sini.
Sambil menarik jaketnya dari gantungan, Corky berbalik dan
berjalan menuju pintu. Aku harus menemukan pintu belakang. Aku
akan kabur, ia berkata dalam hati. Aku akan bersembunyi dan
menunggu orangtuaku di dekat pelataran parkir.
Pikiran tentang orangtuanya membangkitkan harapan Corky.
Aku dapat melakukannya, batinnya. Aku dapat keluar dari sini.
Ia bergerak maju selangkah ke pintu"dan tiba-tiba berhenti
ketika seseorang menghampiri dan mencegatnya.
"Debra!" seru Corky.
Debra mengenakan seragam cheerleader-nya yang berwarna
merah-putih. Mata birunya yang dingin mengamati Corky. "Kau sudah
bangun?" tanyanya. "Biarkan aku pergi!" jerit Corky. "Debra" please! Biarkan aku
pergi!" Tanpa menunggu jawaban, Corky menyentak tubuh Debra,
mendorong tulang rusuknya, dan melesat keluar lewat pintu. Ia
mendengar seruan kaget Debra di belakangnya. Tapi ia tidak menoleh.
Corky berlari sekencang-kencangnya di sepanjang lorong
rumah sakit yang panjang. Dinding-dinding berwarna hijau pucat dan
pintu-pintu yang terbuka tampak kabur dalam penglihatannya.
Sepatunya berdentam-dentam di lantai linoleum yang keras.
"Corky"tunggu!" Dari belakang, terdengar teriakan Debra
yang bernada putus asa. Tidak. Aku takkan membiarkannya menangkapku. Tak akan!
Corky memaksa dirinya terus berlari. Ia mengabaikan rasa sakit di
kepalanya dan pelipisnya yang berdenyut-denyut.
Debra sudah mati. Anak itu sudah mati. Dan sekarang dia mau
membunuhku. "Corky"berhenti!"
Corky membelok tajam di pojokan, hampir menabrak dua
wanita berseragam perawat yang sedang mendorong kereta makanan.
"Hei!" satu di antaranya berseru nyaring.
Apakah mereka juga akan menangkapku"
Corky mencari tempat persembunyian dengan jantung berdebardebar kencang. Ia melihat sebuah kamar yang penuh dengan
pengunjung. Kamar berikutnya kelihatan kosong. Corky mengintip ke dalam.
Ia berhenti ketika melihat seraut wajah anak muda yang sudah sangat
dikenalnya. Cowok itu tergolek di tempat tidur.
Alex. Mata cowok itu terpejam. Bibirnya sedikit terbuka.
"Corky"kembali!"
Teriakan histeris Debra memaksa Corky masuk ke kamar itu. Ia
melangkah masuk dan menutup pintu.
Ia melihat Alex tidur dengan tenang.
Alex malang, Alex yang tak bernyawa.
Meskipun Alex sudah mati, roh jahat tidak akan
membiarkannya beristirahat dengan tenang. Roh jahat itu pasti masih
ada dalam tubuhnya. Corky merayap mendekati tempat tidur. Kesedihan dan
ketakutan bercampur aduk dalam dirinya.
Napas Alex pelan dan stabil. Kelopak matanya berkedut-kedut,
tapi tidak membuka. Maafkan aku, Alex, pikir Corky. Ia mengawasi Alex yang
sedang tidur. Maaf karena aku sudah menenggelamkanmu. Aku peduli
padamu. Aku sungguh-sungguh.
Tiba-tiba tangan kanan Alex terjulur dari balik selimut.
Dan mencekal pinggang Corky.
Corky menjerit dan berusaha membebaskan diri.
Tapi tangan Alex begitu kuat. Tangan itu menariknya
mendekat. Alex membuka mata, duduk, mendekatkan wajahnya ke
wajah Corky"dan menekan bibirnya di bibir Corky.
Ciuman kematian! pikir Corky. Ia meronta-ronta saat bibir Alex
yang kering melumat bibirnya dengan kuat.
Bab 31 MUSNAH CORKY merasakan gelombang rasa mual bergejolak dalam
perutnya. Aku mencium cowok yang sudah mati, batinnya. Aku
mencium mayat. Corky terkejut ketika Alex menarik lengannya dari
pinggangnya. Alex mundur dan tersenyum kepada Corky. "Corky, aku
senang sekali melihatmu baik-baik saja," serunya.
"Hah?" Corky mundur dengan terhuyung-huyung dari tempat
tidur Alex. Ia mengangkat sebelah tangan dan menekan dadanya,
seakan hendak menenangkan degup jantungnya yang berpacu liar.
"Aku sangat takut," lanjut Alex. Mata birunya menatap Corky.
"Seperti mimpi buruk yang terburuk, tapi seakan benar-benar terjadi.
Ak"aku tak bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Kami semua
mengira kami akan mati tenggelam."
"Kau"kaukira?" Corky tergagap.
"Kau di mana?" tanya Alex. "Bagaimana kau bisa tidak berada
dalam bus, Corky?" Corky menatapnya. Tak tahu harus menjawab apa.
Alex tidak tahu bahwa Corky ada di dalam bus. Dialah sang
sopir. "Aku tak bisa mengingat banyak," kata Alex, seakan bisa
membaca pikiran gadis itu. "Aku tak ingat bus jatuh dari tebing. Aku
tak begitu ingat aku tenggelam di danau. Kurasa kepanikanku
menghapus ingatanku itu."
Ia tersenyum dan menggelengkan kepala. "Seandainya orangorang itu tidak sedang memancing ikan di dekat-dekat situ..."
"Memancing ikan?" tanya Corky dengan suara tercekat di
tenggorokan. "Mereka menarik kami ke luar," Alex memberitahunya.
"Mereka hebat. Padahal hanya tiga orang. Dan mereka menarik kami
satu demi satu keluar dari bus yang tenggelam. Mereka
menyelamatkan nyawa kami!"
Alex bangkit sambil nyengir. "Lihat aku! Aku baik-baik saja!
Bukankah ini menakjubkan?"
"Ya. Menakjubkan," ulang Corky.
Ekspresi wajah Alex berubah. "Mau tahu yang aneh lagi" Di
antara kami tidak ada yang terkena frostbite"karena airnya tidak
dingin. Airnya panas, Corky. Airnya malah mendidih! Bukankah itu
aneh?"

Fear Street - Cheerleader Musibah Baru The New Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Aneh," ulang Corky. Ia berpikir keras.
Airnya panas karena ada roh jahat di dalamnya. Corky tahu itu.
Ia berhasil menenggelamkan roh jahat itu. Ia menenggelamkan roh
jahat itu"dan menyelamatkan teman-temannya.
"Alex, ak"aku senang sekali," Corky terbata-bata sambil
memandang Alex lekat-lekat.
Alex tampak normal, pikir Corky dengan gembira. Ini benarbenar Alex.
"Tapi kalian semua datang ke tempat pertandingan," kata Corky
cepat. "Kalian basah kuyup. Dan tampak aneh. Dan kau berjalan
terhuyung-huyung memasuki arena, dan?"
Senyum Alex menghilang. "Perawat bilang kau kena gegar
otak," ujarnya dengan lembut. "Kau pasti berkhayal kami datang ke
tempat pertandingan. Halusinasi atau semacamnya. Kami tidak ke
tempat pertandingan, Corky. Para pemancing ikan langsung membawa
kami ke rumah sakit."
Jadi kejadian mengerikan di arena tidak pernah terjadi, Corky
menyadari. Hanya dalam khayalannya saja.
Aku harap semuanya juga hanya khayalan, batin Corky dengan
sedih. "Alex, bagaimana dengan Kimmy?" tanya Corky tiba-tiba.
"Oh, Corky," sahut Alex. "Kimmy sudah meninggal. Aku tak
tahu bagaimana kejadiannya. Tapi ketika mereka menemukan
tubuhnya, semua sudah terlambat. Dia pasti jatuh dan terbenam di es."
Pintu terempas membuka. Debra menghambur masuk. Ia
memandang Alex, kemudian berpaling kepada Corky. "Corky, kenapa
kau lari dariku?" tanyanya sambil terengah-engah.
"Ku"kupikir?" Corky terlalu bingung untuk berbicara.
"Debra, kau tidak di dalam bus?" akhirnya Corky berhasil berbicara.
Debra menggeleng. "Mereka mengejar kita di dekat danau,
kan?" jawabnya. "Aku lari. Aku takut sekali. Aku lari ke motel, tapi
tidak berhenti. Aku terus berlari sampai ke jalan raya. Aku tak tahu ke
mana kakiku melangkah atau apa yang mesti kulakukan. Yang kutahu
hanyalah aku tak bisa berhenti."
Jadi mereka tidak menangkap Debra, Corky menyadari. Debra
tidak mati. Hanya Kimrny malang yang jadi korban.
Kimmy yang malang, pikir Corky dengan pilu. Temanku yang
malang. Debra berhasil lolos. "Aku sembunyi di belakang restoran," Debra meneruskan
ceritanya. "Lalu aku ke tempat pertandingan. Aku melihatmu, Corky,
di depan bangku. Aku senang sekali kau juga berhasil lolos. Aku
berlari ke arahmu. Tapi kau pingsan sebelum aku mencapaimu.
Kulihat kau terguling dan kepalamu terbentur."
Dan itu terjadi saat aku mengkhayalkan para pemain basket dan
cheerleader yang mati berjalan terhuyung-huyung memasuki arena,
Corky menyadari. "Oh, aku senang sekali kau baik-baik saja! Aku senang kita
semua baik-baik saja."
"Yeah," sahut Alex. "Aku masih tak percaya semua orang bisa
selamat." Semua, kecuali Kimmy, pikir Corky sedih. Ia menghambur ke
depan dan memeluk Debra. Lalu ia melangkah ke tempat tidur dan
menggenggam tangan Alex. Tangannya yang hangat. Tangannya yang
hidup. Air mata bergulir turun membasahi pipi Corky. Ia
menundukkan kepala dan menatap Alex. Cowok itu tidak ingat apaapa, ia menyadari. Alex dan anak-anak lain yang dirasuki roh jahat
tidak ingat lagi apa yang telah mereka lakukan.
Corky membayangkan Lena, cheerleader yang tak bisa berhenti
bersalto. Akhirnya, teror sudah berakhir.
Mimpi buruk sudah berakhir. Roh jahat sudah musnah.
Corky telah menenggelamkannya.
Ia telah mengalahkannya. Roh jahat sudah mati. Corky masih hidup.
Ia meremas tangan Alex. Alex membalasnya sambil tersenyum.
"Kau ingat ini hari apa?" tanyanya.
"Sabtu?" jawab Debra.
"Bukan. Ini malam Natal," Alex memberitahu mereka.
Corky menunduk dan memandang baju rumah sakitnya yang
berwarna putih. Kemudian ia memandang baju Alex. "Kupikir ini
bukan Natal Putih!" candanya.
"Yah, pokoknya Selamat Natal," seru Alex riang.
"Selamat Natal untuk kita semua!" seru Corky. "Sekarang,
kapan kita pulang?" END
Bloon Cari Jodoh 15 San Pek Eng Tay Romantika Emansipasi Seorang Perempuan Karya Okt Kisah Si Rase Terbang 17
^