Pencarian

Bloon Cari Jodoh 15

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 15


dan terus menghantam," Jangan mengganggu kesenangan
kami, bocah liar !" Kim Yu Ci terkejut. Ia tak menyangka paderi itu begitu
galak. Begitu datang terus melancarkan pukulan yang
berbahaya. Kim Yu Ci menghindar ke samping.
"Tunggu !" serunya.
Paderi itu terkejut ketika serangannya da dihindari Kim
Yu Ci. Dia mulai penasaran. Tanpa mengacuhkan
permintaan orang, secepat mengisar tubuh, paderi itu
menyerang Kim Yu Ci lagi dengan jurus yang lebih
dahsyat. "Gila engkau !" teriak Kim Yu Ci seraya gunakan gerak
Lok-gan-peng-sat atau Belibis-jatuh mendatar. Dia ayunkan
tubuh melesat lurus ke samping.
"Ho, bocah liar, engkau anakbuah rahib itu, ya ?"
kembali paderi tua melancarkan serangan.
"Bukan, harap taysu jangan salah faham. Aku pendatang
baru ditempat ini," seru Kim Yu Ci menyingkir dari
serangan. Tetapi paderi tua itu tak mau mendengar keterangan
Kim Yu Ci. Dia tetap melanjutkan serangannya sehingga
Kim Yu Ci sibuk harus menghindar kian kemari.
"Mampus lu !" teriak paderi tua itu ketika melepaskan
sebuah pukulan Kim - kong-tua-li yang dahsyat.
Bum.....sebatang pohon yang berada di belakang Kim Yu
Ci, karena anak muda itu menghindar, tumbang seketika.
Dan walaupun tidak kena tapi bahu Kim Yu Ci terasa sakit
karena terlanggar sambaran angin pukulan tenaga-dalam
yang dahsyat itu. Bagaimanapun sabarnya namun Kim Yu Ci juga seorang
anakmuda yang masih berdarah panas. Ia marah melihat
perbuatan paderi itu. "Paderi, mengapa engkau bertingkah seliar itu" Apa
engkau kira aku takut kepadamu?"
Baru Kim Yu Ci berkata begitu, paderi tua Itu sudah
loncat menghantamnya lagi. "Jangan banyak mulut, anak
liar!" Krakkkkk..... Kali ini Kim Yu Ci tak mau menghindar, la ingin
menjajal kekuatan paderi tua itu. Ditangkisnya pukulan si
paderi. Seketika terdengar letupan keras dari dua kerat
tulang yang saling berbentur.
"Ih. . . . , " Kim Yu Ci tergetar bahunya.
"Uh. . . . , "paderi tua itu mendesuh ketika tubuhnya
tersurut mundur selangkah. Wajahnya pucat dan sepasang
matanya melotot kepada Kim Yu Ci.
"Taysu, apakah engkau masih hendak mengadu
kekuatan?" tegur Kim Yu Ci.
"Siapa engkau! "sesaat kemudian paderi tua Ku
membentak. "Telah kukatakan tadi, aku seorang pejalan yang
kebetulan lalu disini. Karena melihat taysu bertempur
dengan seorang suthay maka akupun berhenti dan
bermaksud hendak melerai," kata Kim Yu Ci.
"Ini bukan urusanmu, jangan engkau ikut campur!" seru
paderi tua itu. "Ah, mengapa taysu berkata begitu?" sahut Kim Yu Ci,
"bukankah kaum agama itu menjungjung welas asih dan
perdamaian?" "Sekali lagi kukatakan, ini bukan urusanmu jangan turut
campur!" "Melihat hal yang ganjil tidak berbuat apa-apa itu
menyalahi laku seorang ksatrya."
"Ho, ksatrya" Engkau menganggap diri mu seorang
ksatrya?" "Aku tidak menganggap tetapi aku hanya berusaha untuk
mendidik diriku supaya melaksanakan laku seorang
ksatrya." "Hm, ternyata engkau memang bandel. Ah tiada tempo
meladeni engkau!" seru paderi tua itu terus berputar tubuh
dan hendak loncat ke tengah gelanggang lagi.
"Taysu!" dengan sebuah gerak loncatan yang teramat
gesit, Kim Yu Ci sudah menghadang muka paderi tua.
"Bangsat, mampus engkau!" paderi itu lepaskan sebuah
pukulan tenaga-dalam hebat Biat gong-ciang atau pukulan
Membelah-angkasa. "Bagus!" seru Kim Yu Ci yang serentak menyambut
dengan pukulan Coh kut-hun-kiu-ci atau pukulan Mengisartulang
memisah-urat. Dulu ketika masih bayi, Kim Yu Ci telah direbut dari
tangan ibunya (Hiang Hiang niocu) oleh Bu Beng lojin,
ketua Seng-lian kau. Dari Bu Beng lojin itulah Kim Yu Ci
telah memperoleh ilmu kepandaian yang sakti. Diantaranya
yalah pukulan Coh kut-hun kin-ciang.
Sebenarnya pukulan itu sumbernya dari perguruan Kunlun
pay karena Bu Beng lojin itu sungguhnya juga berasal
dari perguruan Kun-lun pay tetapi kemudian dia
mengembara dan menidirikan perguruan sendiri. Pukulan
Coh-kut-Kun-ciang telah disempurnakan oleh Bu Beng lojin
hingga jauh lebih hebat dari sumbernya yang mula
perguruan Kun-lun-pay. Pukulan itu dilancarkan dengan tenaga-dalam yang
tinggi. Dapat digunakan memukul jarak jauh. Lawan yang
terkena akan menjerit sakitan karena tulang2nya berkisar
dan urat2nyapun berantakan.
"Auhhhhh".." paderi tua menjerit tak tahan dan cepat
loncat mundur terus melarikan diri sambil mendekap
lengan kanannya. Tetapi Kim Yu Ci sendiri juga tertegun, rasakan darah
dalam dadanya bergolak keras hingga menyesakkan napas.
Terpaksa dia hanya tegak berdiam diri menyalurkan
pernapisan untuk menenangkan gejolak darahnya;
Dalam pada itu, di partai pertempuran antara rahib
dengan paderi tua kawan paderi yang kabur tadi, pun telah
mencapai penyelesaian. "Giok Sian sumoay, apakah engkau benar2 tak mau
menyerahkan warisan guru ?" seru paderi tua itu.
"Aku hanya melakukan pesan suhu. Kecuali engkau
benar2 sudah mau insyaf dan kembali ke jalan yang benar,
barulah nanti akan kupertimbangkan lagi permintaanmu
itu," sahut rahib tua.
"Ke jalan benar " Apakah jalan hidup yang kutempuh ini
salah ?" "Apa salah sebuah pantangan yang suhu berikan kepada
kita ?" "Banyak, aku tak ingat."
"Baik, aku yang mengatakan, dengarkan," kata rahib tua
itu," bahwa salah satu pantangan dari suhu yang diberikan
kepada kita yalah tidak boleh menjadi penghianat!"
Paderi tua itu terkesiap.
"Barang siapa yang melanggar pantangan suhu, dia
dipecat dari perguruan dan harus dibasmi."
Merah muka paderi itu. Namun pada lain saat dia
berseru, "Apakah engkau anggap aku seorang penghianat ?"
"Apa nama seorang yang bekerja pada musuh yang
memerangi negara kita ?" balas rahib yang disebut Giok
Sian itu. "Itu penghianat !"
"Lha, kan sudah tahu sendiri, mengapa masih bertanya.
Apakah engkau tak merasa ?"
"Tahu adalah suatu pengetahuan. Aku tahu tentang
pengetahuan apa yang disebut penghianat itu. Tetapi aku
tak merasa aku ini seorang penghianat."
'O, jika demikian, engkau ini seorang mayat manusia.
Manusia yang sudah tak punya perasaan lagi !"
"Ho, janganlah memaki seenakmu sendiri terhadap
seorang suheng, Giok Sian," seru padri itu," kukatakan aku
tahu tentang apa yang disebut penghianat tetapi aku tidak
merasa menjadi seorang penghianat. Orang boleh memaki
aku seorang penghianat karena aku membantu kerajaan
Ceng tetapi aku mempunyai alasan sendiri. Dan kurasa
pendirianku itu bukanlah suatu penghianatan terhadap
negara." "Hm, bagaimana pendirianmu ?"
"Aku mendasarkan kesemuanya itu pada takdir.
Memang sudah ditakdirkan oleh Thian bahwa kerajaan
Beng itu akan hancur dan digantikan dengan kerajaan
Ceng. Kerajaan Beng sudah terlama lama, sudah lapuk,
bobrok dan tak berguna bagi rakyat. Apa salahnya kalau
kerajaan Ceng timbul dan menggantikannya ?"
"Orang Boan, bukanlah bangsa Han !"
"Jangan berbicara soal bangsa tetapi lihatlah kenyataan
yang ada dan yang membawa kebaikan kepada rakyat,
Apakah engkau hanya memetingkan soal raja Beng
daripada rakyat kita yang sudah cukup lama menderita
kesengsaraan dari tingkah raja dan mentri2 kerajaan Beng
itu" Tidak! Aku mempunyai pendirian lain. Biar orang
menganggap aku seorang penghianat tetapi nyatanya
kerajaan Ceng telah memperlakukan aku dengan baik dan
merekapun menurut permintaanku untuk tidak; menindas
rakyat kita. Mereka berjanji akan memperbaiki dan
meningkatkan kehidupan rakyat kita! Nah!, apakah
perjuangan untuk kepentingan rakyat itu suatu tindak
berhianat ?" "Hm, dalih seorang penghianat memang indah sekali.
Tetapi keindahan itu hanya untuk menutupi keburukannya.
Jika raja Beng dan mentri2 kerajaan itu sudah lapuk, kitalah
yang harus bangkit untuk mengusir mereka dan mengganti
dengan kepala negara yang lebih cakap dan bijaksana,
mengapa kita membantu lain bangsa untuk menjajah negeri
kita " Hm, engkau mengatakan orang Ceng bersikap baik
kepadamu. Tetapi engkau harus sadar bahwa sikap baik
mereka itu bukan tak ada sebabnya. Mereka membutuhkan
orang semacam engkau untuk membujuk orang supaya mau
berhamba kepada mereka. Engkau dijadikan alat untuk
memata-matai, menindas dan memperbudak bangsamu
sendiri. Ih, apakah engkau masih ada muka untuk
mengatakan engkau ini seorang pahlawan yang membela
kepentingan rakyat " Coba tanya, siapakah rakyat yang
akan menyambutmu sebagai pahlawan mereka !" seru rahib
Giok Sian dengan berapi-api.
Ternyata dua orang pendeta dan rahib ini dahulu
saudara seperguruan. Adalah karena si pendeta mau bekerja
pada kerajaan Ceng maka, rahib pun memutuskan
hubungan saudara seperguruan dengan dia. Dan hal itu
memang menurut pesan guru mereka yang sudah
mendiang. "Giok Sian, jangan sok-pintar untuk menggurui aku.
Setiap orang mempunyai pendirian hidup sendiri2.
Sekarang aku datang hendak meminta hak-ku."
"Hak apa " "Guru telah mewariskan sebuah kitab pusaka berisi
pelajaran ilmu tenaga-sakti Kiu-yang-sin kang. Karena aku
sebagai murid tertua, akulah yang berhak menerima
warisan kitab pusaka itu.
"Engkau sudah bukan murid suhu. Karena, suhu telah
menandaskan, barang siapa melanggar pantangan menjadi
seorang penghianat negara, dia bukan lagi muridnya dan
bahkan boleh dibunuh agar tidak mencemarkan nama baik
suhu!" "Wah, hebat! Benar2 hebat engkau Giok Sian," seru
pendeta tua itu, "sekali lagi kuminta dengan baik2 agar
engkau suka menyerahkan kitab itu. Jika tidak, akupun tak
mau mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan
lagi." "Memang harus begitu," sahut rahib Giok kian suthay,
"karena akupun sudah tak menganggap engkau sebagai
suheng lag!" "Jika begitu, hanya mati yang harus engkau terima!"
pendeta itu segera memutar tongkat pertapaannya dan
menyerang rahib. Dalam sekejab mata rahib itu seperti
terbungkus dalam lingkaran sinar tongkat.
Giok Sian suthay kepala biara Ceng-leng-kwanpun tak
mau bersikap lemah. Dia memainkan hud-tim atau kebut
pertapaannya untuk menghalau serangan tongkat bekas
suhengnya. Giok Sian dan pendeta tua itu adalah murid dari seorang
sakti yang mengasingkan diri dari dunia persilatan. Orang
sakti itu menamakan ilirinya Seng-ji-bong, artinya Hidup itu
seperti bermimpi. Adalah karena masih mudanya dia banyak menderita
kekecewaan atau perbuatan sang kekasih, kawan-kawan
dan orang2 yang dikenalnya, maka dia putus asa dan
melarikan diri dari keramaian dunia. Dia anggap hidup itu
seperti mimpi. Maka diapun berganti nama dengan Gong! yang berarti
Hampa. Dia memandang dunia hampa hanya sebuah
impian. Hidup itu hanya seperti orang bermimpi. Dalam
sekejab kita sudah lenyap lagi.
Gong Hi mempunyai dua orang murid. Yang besar
bernama Ping Ho dan yang perempuan Giok Sian. Setelah
dianggap sudah cukup memiliki bekal kepandaian. Ping Ho
disuruh turun gunung terjun ke masyarakat ramai untuk
mencari pengalaman dan mengandalkan kepandaian yang
diperolehnya. Dia mengharap murid itu kelak menjadi
manusia yang berguna, jangan mengalami kecewa seperti
dirinya. Giok Sian masih tetap tinggal disana di gunung sampai
gurunya meninggal dunia. Pada waktu itu pertapa Gong Hi
memberikan sebuah kitab pusaka berisi pelajaran ilmu
tenaga-sakti Kiu-sin-kang kepada Giok Sian. Tetapi murid
lebih muda, akan memberikan kitab itu kepada suhengnya.
"Baiklah, Giok Sian," kata Gong Hi sudah gawat
keadaannya, "aku senang dengan kejujuranmu. Engkau
boleh memberikan kitab ini kepadanya dengan syarat
bahwa dia telah memenuhi semua peraturan dan tidak
melanggar pantangan yang kuberikan kepada kalian. Kalau
kau dapatkan dia nyeleweng. jangan engkau berikan kitab
ini kepadanya dan engkaulah yang menjadi pswaris kitab


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini. Sanggupkah engkau melaksanakan pesanku ini ?"
"Baik, suhu," kata Giok Sian.
"Dan engkau sendiri, muridku," kata Gong Hi, "aku tak
dapat memberi peninggalan apa2 karena aku memang tak
punya apa2. Milikku hanya sepasang supit untuk makan.
Supit itu terbuat dari batu giok yang memiliki khasiat.
Apabila dalam hidangan terdapat racun maka sumpit itu
akan berobah biru warnanya. Begitu pula apabila berada
ditempat yang hawanya mengandung racun atau terdapat
kabut beracun, supit itu akan berobah warnanya. Pokoknya
supit itu dapat memberitahu kepada kita tentang segala jenis
racun. Bahwa berhadapan dengan orang yang membawa
racun dalam saku bajunya, supit itupun akan berobah
warnanya. Nah, kalau engkau mau, kuberikan supit itu
kepadamu".." Karena sudah terlanjur hidup di tempat yang sunyi, usia
Giok Sian pun sudah terlanjur banyak. Ketika itu dia sudah
berumur duapuluh lima tahun. Akhirnya ia memutuskan
untuk masuk menjadi biarawati.
Dia tinggalkan gunung dan mengembara untuk mencari
suhengnya. Dia mendengar kabar bahwa suhengnya juga
menjadi seorang paderi tapi suhengnya itu bekerja pada
kerajaan Ceng. Dia diangkat sebagai kepala vihara terbesar
di kotaraja dan mendapat kepercayaan penuh dari kerajaan
Ceng. Giok Sian menuju ke Pak-kia untuk menemui
suhengnya. Tetapi bukan diterima dengan baik, dia malah
ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Untung seorang
sakti yang tak dikenal namanya, dapat menolong Giok Sian
dan dibawa lari ke Thay-goan dan disuruh tinggal di vihara
Ceng-leng-kwan. "Siapakah anda?" tanya Giok Sian. "Aku tak punya
nama. Cukup panggil si Ban Leng Jiu," kata orang aneh itu.
"Ban Leng Jiu?" ulang Giok Sian. Ia merasa aneh
mengapa orang memakai nama Ban Leng Jiu yang berarti
Manusia-serba-bisa. "Ah, harap sin-ni tak usah heran. Yang penting
tinggallah sin-ni di biara ini. Biara ini menjadi pos
persembunyian dari pendekar2 yang hendak menolong
orang2 persilatan yang dicelakai kaki tangan kerajaan
Ceng." "O," Giok Sian terkejut, "apakah ada gerakan yang
berusaha menyelamatkan pendekar2 ksatrya yang jatuh ke
tangan orang Ceng?" "Ya," kata Ban Leng Jiu, "mereka yang ada dalam
daerah pendudukan musuh, bekerja secara rahasia untuk
menolong orang2 persilatan! maupun orang-orang yang
setya kepada ke Beng serta mereka yang tidak mau
berkomplot kepada kerajaan Ceng tetapi dipaksa dan
ditangkap, dijebluskan dalam penjara."
Demikianlah Giok Sian suthay tinggal di biara itu.
Sebuah biara yang sebenarnya dijadikan markas rahasia
dari para pendekar yang bergerak dibawah tanah untuk
menyelamatkan tokoh2 yang dicelakai kerajaan Ceng.
Tetapi jaringan mata2 kerajaan Ceng memang lihay
sekali. Ping Ho yang sudah berganti nama dengan paderi
Hwat Ho, segera mencium tentang jejak sumoaynya yang
berada di biara Ceng-leng-kwan. Paderi Hwat Ho telah
ditugasi kerajaan Ceng untuk memata-matai kaum padri,
imam dan pertapa yang bersikap menentang kerajaan Ceng.
Untuk merebut hati kaum agama, kerajaan Ceng
menugaskan Hwat Ho siansu ( gelar dari Peng Ho) untuk
membujuk kaum golongan agama bernaung dibawah
perlindungan kerajaan Ceng. Biara2 dan kelenteng2 serta
kuil2 yang mau berfihak kepada kerajaan Ceng, diberi
tunjangan besar. Dengan cara itu Hwat Ho memang
berhasil menarik banyak sekali golongan kaum agama ke
fihak kerajaan Ceng. Setelah mendapat laporan tentang Giok Sian itu, maka
Hwat Ho siansu dengan seorang padri segera berangkat ke
biara Ceng-leng?-kwan si kota Thay goan. Hwat Ho perlu
menangani sendiri persoalan itu karena ia hendak menemui
sumoaynya untuk meminta kitab warisan dari mendiang
suhunya. Sudah tentu Giok Sian menolak sehingga terjadilah
pertempuran. Hwat Ho siansu terkejut ketika merasakan
betapa hebat ilmu tenaga-dalam yang dimiliki sumoaynya.
Terpaksa ia memberi isyarat kepada kawannya untuk
membantunya. Tetapi pada saat Giok Sian terdesak, muncullah Kim Yu
Ci. Pemuda itu berusaha untuk melerai tetapi kedua paderi
itu tak mau menggubris, bahkan salah seorang sudah loncat
dari geIanggang dan menyerang Kim Yu Ci. Akhirnya
karena jengkel Kim Yu Ci mengeluarkan ilmu simpanan
Coh-kut-hun-kin-ciang. Dia berhasil melumpuhkan lengan
paderi itu. Paderi itu melarikan diri. Tetapi Kim Yu Ci juga
bergolak keras darahnya. Terpaksa dia pejamkan mata
menyalurkan pernapasan. Sementara pertempuran antara Hwat Ho siansu dengan
Giok Sian suthay telah mencapai detik yang menentukan.
Tampak tongkat paderi Hwat Ho sedang dilibat oleh hudtim
Giok Sian suthay. Sepintas tampaknya mereka sedang
tarik menarik untuk melepaskan senjatanya tetapi
sesungguhnya mereka sedang mengadu tenaga-dalam yang
sakti. "Kiu-yang sin-kang!" tiba2 Hwat Ho siar berseru kaget.
"Hm, engkau tahu juga," dengus Giok Sian.
"Pencuri!" teriak Hwat Ho siansu, "engkau telah mencuri
pelajaran tenaga-sakti Kiu-yang-sin-kang dari kitab suhu!"
"Suhu telah memperkenankan!"
"Bohong!" teriak Hwat Ho siansu pula, "ketika turun
gunung, suhu telah memberi pesan kepadaku bahwa setelah
kembali dari pengembaraan, suhu hendak menyerahkan
kitab pusaka ilmu Kiu-yang-sin-kang kepadaku. Mengapa
engkau berani mencuri pelajaran dalam kitab itu?"
"Aku tidak mencuri," bantah Giok Sian, "suhulah yang
memberi pelajaran ilmu itu kepadaku."
"Tidak mungkin! Suhu berjanji takkan pilih-kasih. Kalau
aku belum diberi pelajaran ilmu silat itu, engkaupun tidak!"
"Benar," sahut Giok Sian, "memang suhu tak memberi
pelajaran ilmu itu kepadaku. Dan beliaupun memberikan
kitab itu kepakaku supaya dirikan kepadamu . . . . "
"Nah, kal'au suhu sudah mengatakan begitu mengapa
engkau tak lekas memberikan kepadaku?"
"Suhu tidak hanya mengatakan begitu tetapi masih
disertai embel2. Kalau engkau nyeleweng menjadi
penghianat, maka kitab itu tidak boleh diberikan dan
supaya kuambil sendiri. Nah, karena kau niat2 menjadi kaki
tangan kerajaan Ceng, aku tak dapat memberikan kitab itu
kepadamu." "Engkau seorang rahib tetapi jelas engkau berhati kotor,
mengangkangi barang yang bukan menjadi hakmu!"
"Aku hanya menurutkan pesan suhu. Karena engkau
berhianat maka kitab itu takkan kuberikan kepadamu!"
'Soal penghianat atau bukan, bukan wewenangmu untuk
menilai. Suhulah yang dapat memberi keputusan!"
"Tetapi suhu kan sudah meninggal, bagaimana mungkin
hendak menghadap beliau:"'
"Berikan kitab itu kepadaku dan menghadaplah engkau
ke akhirat menemui suhu! "
"Benar, benar . ..." sekonyong-konyong terdengar suara
orang berseru dan muncullah seorang kakek bungkuk yang
berjalan dengan tongkat, "benar, benar, kalau hendak
mencari peradilan, tidak hanya suthay itu yang harus
menghadap suhunya ke akhirat tetapi engkaupun juga harus
ikut ke sana. Biar diberi keadilan!"
Dalam tanya jawab yang cukup sengit Giok Sian dan
Hwat Ho masih melangsungkan pertempuran adu tenagadalam
yang hebat. Ketika mendengar suara dan munculnya
seorang kakek bungkuk, keduanya terkejut, Giok Sian
berpaling, kesempatan itu tidak disia- siakan Hwat Ho.
Serentak dengan itu ia menarik tongkatnya. Begitu terlepas
dari lilitan hud-tim, Hwat Ho terus menyapukan tongkat ke
pinggang Giok Sian suthay.
"Ih......," Giok Sian terkejut dan menyurut mundur tetapi
sabuk pinggang jubahnya terkena damparan tongkat. Hal
itu cukup membuat tubuh Giok Sian terhuyung-huyung ke
belakang. "Pergilah ke akhirat !" Hwat Ho siansu Ioncat hendak
menghantam kepala Giok Sian yang masih belum dapat
berdiri tegak itu. Kim Yu Ci terkejut ia membuka mata ternyata tongkat
Hwat Ho sudah melayang ke atas kepala Giok Sian sedang
rahib itu tampak tak berdaya lagi untuk menghindar atau
menangkis. "Pa.....,," baru Kim Yu Ci hendak berseru menyuruh
paderi itu hentikan keganasannya, tiba2 ia menyaksikan
suatu peristiwa yang aneh, tongkat yang diacungkan keatas
oleh Hwat Ho itu tak dapat turun sehingga Giok Sian
mendapat kesempatan untuk loncat ke belakang.
"Paderi membunuh rahib, sungguh suatu perbuatan yang
terkutuk......," seru si kakek bungkuk tadi seraya berjalan
menghampiri. Hwat Ho siansu berputar tubuh, "O, maaf kakek
".......," "Ah, jangan, jang.....," kakek bungkuk itu melambaikan
tangannya dan tampak lengan bajunya bergerombyangan.
"Jika lo-cianpvve tak mau menerima hormatku, baiklah,
aku hendak menghaturkan persembahan kepadamu ..,..,"
tiba2 Hwat Ho siansu lontarkan tangannya,
bum........terdengar letusan hebat dan asap tebalpun segera
bertebaran memenuhi tempat itu.
Kim Yu Ci terkejut. Tiba2 ia merasa angin berkesiur dan
telinganyapun tergiang sebuah suara halus, "Lekas tutup
pernapasan, asap itu ngandung racun !"
Kim Yu Ci pun menurut. Ia heran siapa yang membisiki
dengan ilmu Cian-bi-jit-bit ilmu Menyusup-suara itu.
Beberapa saat kemudian setelah asap menipis, Kim Yu
Ci terkejut lagi. Ternyata di tempat pendeta dan rahib
bertempur tadi sudah tak barang seorang mereka itu ?"
pikirnya. Ia berpaling dan juga kakek bungkuk tadi lenyap.
Keadaan disekeliling tempat itu sunyi senyap.
"Apakah aku bermimpi ?" tanyanya dalam hati, "ah,
tidak. Aku sadar. Mereka tentulah jago sakti. Kemungkinan
rahib dan kakek bungkuk di mengejar paderi yang
melontarkan peluru beracun.
"Rahib yang bernama Giok Sian itu jelas kepala dari
biara ini. Tetapi siapakah gerangan kakek bungkuk itu ?"
tanyanya tak habis2. Tiba2 ia teringat akan In Hong yang hendak mencuri
pakaian rahib di biara itu. Kemanakah dara itu "
Karena sudah terlanjur datang ke biara situ, baiklah ia
menyelidiki In Hong di didalam biara. Kalau dara itu tak
ada, barulah ia akan kembali ke tempat Han Bi Ing.
Begitulah dia segera melangkah masuk ke dalam biara.
Seorang rahib muda yang masih gadis tampak
menyambutnya dan menanyakan Kim Yu Ci.
"Ah, aku hanya ingin melihat-lihat biara ini saja karena
kebetulan aku lewat di tempat ini," kata Kim Yu Ci.
"Biara ini tak ada sesuatu yang berharga dilihat. Apalagi
sicu hendak bersembahyang, silakan bersembahyang di
ruang muka," kata rahib muda.
"Ada seorang kawanku, seorang gadis, apakah li-pousat
melihatnya datang kemari?" tanya Kim Yu Ci,
Rahib muda itu tertawa, "Li-pousat" Ah, janganlah sicu
berkata demikian. Aku tak layak mendapat sebutan begitu.
Aku hanya seorang murid yangj belum ditahbiskan menjadi
rahib." "O, maaf," kita Kim Yu Ci, "tetapi bagaimana dengan
pertanyaanku tadi ?"
"Rasanya sejak semalam tak ada tetanu yang berkunjung
kemari. Memang biara ini jarang sekali dikunjungi orang,"
kata rahib muda itu. Kim Yu Ci segera tinggalkan biara itu menuju ketempat
Han Bi Ing. Ia terkejut ketika lihat Han Bi Ing dan In Hong
sudah ada disana dalam pakaian rahib.
"Wah, nona In memang hebat," puji Yu Ci. Dan Han Bi
Ing hanya tertawa sedang Hong tersipu-sipu menunduk.
"Eh, kenapa ini ?" seru Kim Yu Ci heran.
"Seorang kakek pincang datang kepadaku ia mengatakan
bahwa dia melihat seorang rahib muda menggeletak
dibawah pohon. Aku terkejut dan minta dia supaya
mengantarkan aku kesana. Siapa tahu ternyata rahib muda
itu tak lain lah In Hong"."
"O," Kim Yu Ci terkejut.
"Adik Hong menggeletak tak dapat berkutik dan tak
dapat bicara sehingga tak dapat kutanyai. Tetapi saat itu dia
mengadakan pakaian sebagai rahib dan disampingnya
terdapat setumpuk pakaian rahib lagi. Aku heran dan
bertanya kepada kakek berkaki pincang itu, Kakek itu
mengaku nama Ban Leng Jiu....."
"Ban Leng Jiu ?" Kim Yu Ci tersentak kaget.
"Ya," sahut Han Bi Ing," kenapa?"
"Berapa umur kakek itu ?"
"Lebih kurang tujuhpuluhan tahun."
"Bagaimana wajahnya ?"
"Tua renta, memelihara jenggot putih yang panjang."
"Kakinya pincang?"
"Ya." "Aneh," gumam Kim Yu Ci," dia juga mengaku bernama
Ban Leng Jiu ...." "Siapa ?" tegur Han Bi Ing heran. Kim Yu Ci
menceritakan bagaimana ketika tiba di biara Ceng-lengkwan,
dia telah diserang oleh seorang bayangan Ketika dia
kejar bayangan itu berhenti di sebuah hutan sepi dan
herannya bayangan itu ternyata seorang kakek wajah seperti
anak2 dan mengaku bernama Ban Leng Jiu."
"Tetapi kakinya tidak pincang," kata KimYu Ci
mengakhiri ceritanya, "mengapa yang bertemu nona itu
kakinya pincang ?"

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Entahlah, "kata Han Bi Ing, "kemudian kakek itu
mengatakan bahwa In Hong tadi berkelahi dengan seorang
akakek. Kakek itu dapat merugikun In Hong. Tetapi aku
muncul dan kakek itu melarikan diri, katanya."
"O. mengapa di daerah ini terdapat banyak kakek. Ada
kakek berwajah anak2, kakek berkaki pincang dan kakek
yang suka menggang anak perempuan.
"Kuperiksa keadaan In Hong ternyata tak menderita luka
apa2. Akupun legah. Tetapi ketika aku berpaling hendak
bertanya sesuatu kepada kakek pincang itu, ternyata dia
sudah lenyap . . . . "
"Lenyap?" "Ya," jawab Han Bi Ing, "memang aneh."
"Apakah engkau tak mendengar gerakann waktu dia
pergi?" Han Bi Ing gelengkan kepala, "tetapi kulihat di tempat
dia berdiri tadi, terdapat tiga buah goresan huruf di tanah
yang berbunyi 'dia tertutuk jalandarahnya."
"O, apakah nona In Hong yang dimaksudkan?" lanya
Kim Yu Ci. '"Ya," kata Han Bi Ing, "lalu kuperiksa dan ternyata
memang adik Hong telah ditutuk hingga tak dapat berkutik
dan bicara. Setelah diurut-urut barulah dia dapat bergerak."
Kim Yu Ci berpaling kepada In Hong, "Nona, siapakah
yang mencelakai engkau?"
"Uh, kalau tahu tentu kuhajar," gumam In Hong.
Han Bi Ing lalu mengulang cerita yang dituturkan In
Hong kepadanya. Yalah pengalaman waktu In Hong masuk
kedalam biara dan peristiwa buah peer di meja
sembahyangan patung Dewi Koan Im.
"O," kata Kim Yu Ci, "jika demikian ..."
"Apakah dalam biara itu memang terdapat malaekat
penunggunya?" tanya Han Bi Ing.
"Ya." "Tidak mungkin," teriak In Hong, "aku tak percaya."
Kim Yu Ci tertawa, "Memang kalau terhadap lain orang,
malaekat itu tak ada. Tetapi dia akan muncul untuk
menyambut nona In. Mungkin dia tahu kalau hidangan
untuk Dewi Koan Im akan diganggu nona In, ha, ha, ha ....
" In Hong merah mukanya dan terus ayunkan langkah.
"Hai, hendak kemana adik Hong?" Han Bi Ing terkejut.
"Akan kuobrak-abrik meja sembahyangan itu. Coba saja
patung Dewi Koan Im itu akan mampu berbuat apa
kepadaku!" "Jangan .... " seru Han Bi Ing tetapi In Hong sudah lari
jauh. "Ah, mengapa kongcu menggodanya" Anak itu memang
kolokan. Kalau menderita sedikit saja ia sudah ngamuk.
Mari kita susul dia."
Kim Yu Ci hanya tertawa. Keduanya segera menuju ke
biara Ceng Leng Kwan lagi. Tetapi kejut mereka bukan
kepalang karena mereka tidak mendapatkan In Hong
berada di biara itu. Seorang rahib muda keluar menyambut dia menanyakan
maksud kedatangan kedua anakmuda itu. Rah!b itu juga
masih seorang gadis muda bahkan lebih muda dari rahib
yang menyambut Kim Yu Ci tadi.
"Nona, kami hendak mohon tanya apakah saudara kami
seorang gadis, datang ke biara ini?" tanya Kim Yu Ci.
Rahib muda itu kerutkan dahi, "Aku seorang rahib,
harap jangan menyebut nona."
'"O, maaf, sin-ni," kata Kim Yu Ci
"Sejak pagi tadi aku bekerja di ruang untuk
membersihkan ruangan dan mengatur meja
sembahyangan," kata rahib muda itu, "tetapi tiada seorang
nona yang datang kemari."
"Ah, harap sin-ni jangan mengecewakan kami," kata
Kim Yu Ci, "jelas adik kami itu menuju ke sini mengapa
sin-ni mengatakan tak orang datang ?"
"Sicu," kata rahib muda itu, aku seorang rahib, bohong
adalah pantangan yang tak boleh kulanggar."
Kim Yu Ci berpaling kearah Han Bi Ing. Han Bi Ing
memberi isyarat anggukan kepala.
"Sin-ni," kata Kim Yu Ci, "bolehkah kami masuk
kedalam ?" "Boleh saja," kata rahib muda itu, "tetapi apakah maksud
sicu ?" "Mencari adikku itu," kata Kim Yu Ci.
"Aneh," jawab rahib muda, "sudah kukatakan bahwa
sejak malam tadi kami tak menerima seorang tetamu,
mengapa sicu hendak memeriksa ke dalam " Apakah sicu
tak percaya kepada keteranganku ?"
"Aku percaya," kata Kim Yu Ci, "tetapi sin-ni pun harus
percaya pada keteranganku bahwa adikku memang pergi ke
biara ini." "Hm, baiklah," kata rahib muda itu, "tetapi akupun harus
melakukan kewajiban mematuhi perintah suhu. Bahwa
setiap orang yang tak mempunyai kepentingan, dilarang
masuk kedalam ruang dalam biara ini."
"Lho, biara itu kan sebuah rumah suci. Setiap orang
boleh datang bersembahyang. . . ."
"Benar," sahut nikoh, "silakan sicu bersembahyang di
ruang ini kalau mau bersembahyang."
Kemudian nikoh muda itu berpaling kearah Han Bi Ing,
"Nona, apakah nona juga mau sembahyang ?"
Han Bi Ing menjawab, "Aku datang bersama kongcu ini
.... " "O, yang hendak dicari itu adik dari kongcu atau adik
nona ?" "Adik kita." '"O, jika begitu nona adalah . .. . "
"Sin ni," cepat Han Bi Ing menukas, "benar adikku tak
datang kemari ?" "Mengapa nona tak percaya kepadaku" seru rahib muda
itu. "Mengapa sin-ni juga tak percaya kepada omonganku?"
balas Kim Yu Ci. "Aku percaya tetapi aku tak melihat seorqng nona yang
datang kemari. Silahkan cari saja kelain tempat."
"Tidak sin-ni," kata Kim Yu Ci, "aku harus mencari ke
dalam," habis berkata dia terus melangkah hendak masuk.
"Tunggu," rahib muda itu melesat dan menghadang di
muka Kim Yu Ci seraya dorongkan tangannya.
Kim Yu Ci rasakan kedua tangan rahib muda itu
memancarkan setiup arus tangan yang keras. Diam2 Kim
Yu Ci mengempos semangat untuk memperkokoh tubuh.
"Ih," rahib muda itu mendesis kaget ketika ia melihat
pemuda itu masih tegak dihadapannya. Rupanya dia
penasaran. Kembali ia mendorong lebih kuat seraya
berkata, "harap sicu keluar ruang ini!"
Tetapi kembali dia terkesiap ketika melihat pemuda itu
tegak dengan tenangnya. '"Sumoay, mengapa engkau?" tiba2 terdengar lengking
suara seorang gadis dan pada lain muncul seorang rahib
muda, "o, kongcu ini lagi"
"Dia hendak nekad masuk ke dalam," kata rahib yang
pertama, "dia hendak mencari adiknya."
"O," desis rahib kedua, "tadi dia sudah datang dan
bertanya soal itu. Sudah kukatakan tak ada orang yang
datang kemari mengapa kongcu masih berkeras hendak
masuk ke ruang dalam?"
"Apakah dilarang?"
"Ya." "Mengapi?" "Entah, itu pesan suhu."
"Apakah di dalam ruang biara ini terdapat satu yang
harus dirahasiakan kepada orang luar?"
"Itu sudah menjadi peraturan biara ini."
"Kalau aku tetap hendak masuk?"
"Kamipun terpaksa tetap akan menghalangi."
Kim Yu Ci sebenarnya sungkan untuk bentrok dengan
wanita apalagi kaum rahib. Tetapi ia bikin curiga melihat
sikap kedua rahib yang begitu mati-matian melarangnya
masuk kedalam. Tentulah terdapat apa2 dalam biara ini.
Seketika keinginannya untuk mengetahui makin besar.
"Sin- ni, maaf, aku terpaksa meneruskan maksudku
hendak masuk .. . ..." ia terus melangkah maju.
"Berhenti," kedua rahib muda itu serempak berseru dan
dorong tangan ke arah Kim Yu Ci.
Kim Yu Ci hendak memberi sedikit pelajaran kepada
kedua rahib muda itu. Ia segera menggunakan tenagadalam
melekat. Setelah tenaga-dalam tangan kedua rahib
itu tersedot tiba2 Kim Yu Ci berseru, "Maaf, harap kalian
memberi jalan. .1 Kedua rahib itu tersurut mundur sampai dua langkah,
ternyata setelah menyedot, Kim Yu Ci lalu gunakan tenagadalam
untuk mendorong dua rahib muda itu.
"Bagus," seru rahib yang kedua tadi, sumoay, mari kita
labrak pemuda ini !" " Dia terus mencabut hud-tim,
demikian pula dengan rahib yang dipanggil sumoay tadi.
Kedua rahib itu terus menyerang Kim Yu Ci.
"O, kiranya kalian rahib yang pandai ilmu silat, bagus,"
seru Kim Yu Ci. Dia terus bergeliatan menghindar serangan
kedua hud-tim rahib muda itu.....
-0oodwoo0- Jilid 23 Kim Yu Ci sebenarnya agak sungkan menghadapi kedua
nikoh atau rahib muda dari biara Ceng-leng-kwan yang
menyerangnya dengan gentar. Ilmu permainan hud-tim dari
kedua nikoh muda itu memang hebat. Tetapi Kim Yu Ci
bukanlah pemuda sembarangan. Dia pernah mengangkat
diri sebagai Kim Thian Cong dan hendak merajai dunia
persilatan. Apabila mau, dengan cepat dapat mengalahkan
kedua nikoh muda itu. Kedua gadis nikoh itu memang terkejut setelah
menyaksikan kepandaian Kim Yu Ci. Orangnya masih
muda, cakap dan berilmu tinggi. Lebih terkejut lagi kedua
gadis nikoh itu ketika itu dengan suatu tata-gerak langkah
yang mengagumkan, Kim Yu Ci telah memberojot masuk
ke dalam ruang belakang. "Hai, jangan meliar!" teriak kedua gadis rahib itu seraya
mengejar, "Omitohud !" tiba2 seorang rahib tua muncul
menghadang jalan Kim Yu Ci, "mengapa sicu lari begitu
gugup " Apakah sicu dikejar orang ?"
Kim Yu Ci hentikan langkah. Tetapi sebelum ia sempat
menjawab, kedua gadis rahib tadi pun sudah tiba.
"Suhu, dia kurang ajar sekali, berani menerobos masuk
kemari !" seru kedua gadis rahib itu.
Kim Yu Ci tersenyum. "Benarkah begitu, sicu ?" tegur rahib tua yang disebut
suhu oleh kedua gadis rahib.
"Ya." "0, tentulah sicu mempunyai kepentingan yang perlu
sekali." "Benar, suthay. Aku hendak mencari adik perempuanku
yang datang ke biara ini. Apakah suthay mengetahui ?"
Rahib tua itu sejenak kerutkan dahi lalu menjawab,
"Leng Ceng, Leng Sim, apakah ada tetamu yang datang
kemari ?" "Tidak suhu. Sejak semalam tak ada seorang tetamupun
datang kemari," sahut kedua gadis rahib. Yang tua bergelar
Leng Ceng dan yang Leng Sim.
"Sicu telah mendengar sendiri bahwa sejak kemarin kami
tak menerima tetamu," kata rahib tua itu.
Kim Yu Ci tahu bahwa rahib tua itu tentulah Giok Sin
suthay kepala biara Ceng-leng-kwan yang semalam telah
bertempur melawan. Tadi waktu rahib itu muncul dan
mengangkat tangan untuk menghentikan langkahnya Kim
Yu terkejut karena gerak tangan rahib tua itu telah
memancarkan arus tenaga-dalam yang hebat, untunglah
tadi dia cepat kerahkan tenaga-dalam untuk menolak.
Diam2 ia memuji kepandaian rahib tua itu.
Tetapi sebenarnya Giok Sin suthay juga tak kalah
kejutnya. Ia tak menyangka bahwa anakmuda itu mampu
menahan tenaga-tolak yang dipancarkan dalam gerak
tangannya tadi. Itulah sebabnya maka ia tak mau marah
ketika kedua muridnya datang melapor perbuatan Kim Yu
Ci. Ia tahu kedua muridnya itu bukan tandingan Kim Yu
Ci. "Maaf, suthay," kata Kim Yu Ci memberi hormat, "jika
demikian aku mohon diri .. . . "
"Tunggu," seru Giok Sin suthay benarkah sicu itu
mengatakan hendak datang ke biara ini."
"Ya." "Apa tujuannya ?"
"Mengamuk.....!" sebelum Kim Yu Ci menjawab tiba2
terdengar sebuah suara yang parau.
Kim Yu Ci terkejut, 'Siapa itu!" serunya.
"Ah, Ban-heng, silakan masuk , . . ," tiba2 Giok Sin
suthay berseru. Tetapi sampai beberapa saat tiada
penyahutan. Giok Sin suthay segera merintahkan kedua
muridnya, "Ceng dan Sim, lekas undang paman Ban
kemari." Setelah kedua gadis rahib itu pergi maka Giok Sin suthay
berkata kepada Kim Yu Ci, "Benarkah maksud kedatangan
adik sicu kemari seperti yang dikatakan Ban-heng tadi?"
"Siapakah Ban-heng itu, suthay?" Kim Ci balas bertanya.
"Dia seorang aneh," Giok Sin suthay tersenyum.
"Apakah bukan Ban Leng Jiu?"
Giok Sin suthay terkejut, "O, apakah sudah kenal?"
"Belum tetapi sudah pernah mendengar namanya."
"Lalu apakah kedatangan adik sicu itu betul begitu?"
Giok Sin suthay mengulangi pula pertanyaannya yang
belum terjawab. "Bukan mencuri tetapi hendak meminjam pakaian
nikoh," kata Kim Yu Ci.
"Untuk apa?" Giok Sin suthay heran.
"Kedua adik perempuanku hendak masuk kota Thaygoan.


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agar jangan menimbulkan yang tak diinginkan, maka
mereka terpaksa hendak menyaru sebagai nikoh."
Belum sempat Giok Sin suthay membuka mulut, tiba2 di
ruang besar tempat bersembahyang yang terletak di bagian
luar, terdengar suara orang ribut2 seperti berkelahi.
"Ah, rupanya di ruang depan terjadi sesuatu," kata Giok
Sin suthay seraya melangkah menuju ke luar. Kim Yu Ci
pun mengikuti. Tiba di ruang besar, Kim Yu Ci terkejut sekali. Ternyata
suara gaduh itu memang berasal dari ruang situ. In Hong
sedang mengamuk melawan kedua gadis rahib.
"Adik Hong, jangan melukai orang," seru lan Bi Ing yang
melihat di sudut ruang. "Harap li sicu yang berkelahi itu sudah berhenti. Ceng,
Sim, mundur," seru Giok Sin suthay kepada kedua
muridnya. Leng Csng dan Leng Sim serempak loncat mundur.
"Hai, apa-apaan engkau nikoh tua" Apakah engkau yang
hendak maju menempur aku?" teriak Hong yang rupanya
sudah sewot. "Hong, jangan berlaku kurang adat!" seru Kim Yu Ci.
Biasanya dia memanggil dara itu dengan sebutan nona.
Tetapi tadi karena ia mengaku pada Giok Sin suthay bahwa
In Hong itu adiknya maka terpaksa ia memanggil namanya.
In Hong terkesiap, serunya, "Aneh . . . " "
"Apanya yang aneh ?" kata Kim Yu Ci.
"Mengapa engkau memanggil namaku begitu saja ?" seru
dara itu. "Celaka benar dara ini," Kim Yu Ci mengeluh dalam
hati. Namun ia tak mau meladeni dan cepat berseru lagi,
"Sudahlah, jangan bersikap tak hormat kepada suthay
yang menjadi kepala biara ini."
"Dia kan hendak maju membela kedua muridnya,
mengapa aku harus menghormatinya ?" bantah In Hong.
Dalam pada itu Giok Sin suthay bertanya kepada kedua
muridnya mengapa mereka bertempur dengan In Hong.
"Waktu kami hendak mencari Ban pehu, tiba2 kami
melihat seorang nona sedang ngamuk. Buah-buahan dalam
piring yang disajikan kepada hud-cou telah diobrak-abrik.
Dan lebih mengejutkan lagi dia memakai jubah....."
"Persetan jubahmu atau bukan. Siapa sudi
mengambilnya !" teriak In Hong.
"Li sicu, mengapa engkau mengobrak-abrik sesaji untuk
hudcou ?" tegur Giok Sin suthay.
"Biara ini banyak setan. Akan kuusir setan yang
mengganggu itu." "Setan ?" Giok Sin suthay terkejut.
"Ya, buah peer dipiring bisa berloncatan, lilin bisa
berjalan dan aku dipaksa harus tekuk lutut memberi hormat
pada arca Dewi Kwan Im. Apa tidak menjengkelkan ?"
Giok Sin suthay terkesiap ia tak tahu apa yang diocehkan
dara itu. Kemudiaa dia berpaling, "Ceng, Sim, apakah lisicu
ini pernah bersembahyang kemari ?"
"Tidak, suhu," kata kedua gadis rahib.
"Huh, dasar kantong nasi, habis makan dan menyanyi
kalian tentu sudah menggeros tidur. Siapa bilang aku tidak
datang kemari ?" "Kapan li-sicu datang?"
"Semalam." "O," seru Giok Sin suthay, "lalu li-sicu bersembahyang
disini "' "Tidak," kata In Hong, "hanya ketika masuk kedalam
ruang ini kulihat buah peer melambai kepadaku. Terpaksa
akupun hendak mengambilnya. Tetapi waktu hendak
kusambar, buah peer itu dapat berloncatan menghindar.
Dan pada saat itu dua batang lilin di mejapun dapat
berjalan tukar tempat. Apakah itu bukan perbuatan setan"
Mengapa biara tempat agama suci, ditempati kawanan
setan ?" In Hong menuding kedua gadis rahib dan berseru, "Setan
itu akan kuusir tetapi kedua nikoh malah menyerang aku,
Huh, apakah orang tidak jadi jengkel ?"
Kim Yu Ci terkejut mendengar dara itu ceplas-ceplos
ngomong seenaknya sendiri. Sudah mengaku kalau tengah
malam masuk kedalam biara tanpa idin masih berani
mengatakan kalau hendak mengambil buah sesaji Dewi
Koan Im. Sudah tentu Kim Yu Ci gelengkan dalam hati,
"Dara mungkin tak waras pikiran."
Tetapi diluar dugaan Giok Sin suthay tidak marah.
Ternyata dia teringat bahwa semalam sebelum menerima
kedatangan kedua paderi yang kemudian bertempur dengan
dia, Giok Sin suthay sudah menerima kunjungan Ban Leng
Jiu. Leng Jiu memberitahu bahwa malam itu dua orang
paderi akan mengacau di biara. Diminta Sin supaya berhatihati.
Ban Leng Jiu seorang tokoh yang aneh dan nyentrik,
suka mengolok dan mempermainkan orang. Bahwa In
Hong hendak mengambil buah peer tetapi buah itu dapat
berloncatan, lilin dapat berjalan tukar tempat dan In Hong
dipaksa harus berlutut minta ampun kepada Dewi Kwan
Im, tentulah kesemuanya ini perbuatan Ban Leng Jiu.
"Li-sicu, percayalah, di biara kami tiada setan apa2,"
akhirnya ia memberi keterangan kepada In Hong.
"Kalau tak ada setan penunggu masakan buah peer dapat
berloncatan dan lilin berjalan tukar tempat?" bantah In
Hong. "Mengapa li-sicu hendak mengambil buah untuk sesaji
Dewi Koar Im?" "Mana ada Dewi Koan Im disini?" bantah In Hong.
"Apakah yang berada di belakang meja sembahyangan
itu bukan Dewi Koan Im?"
"Jelas bukan, itu hanya patung," sahut In Hong.
Merah wajah Giok Sin suthay. Hampir saja mendamprat
In Hong yang lancang mulut meremehkan patung Dewi
Koan Im. "Dari pada buah diberikan kepada patung, kan lebih baik
kumakan saja. Mana lebih mulia, merelakan buah dimakan
orang yang lapar atau untuk sesaji putung?"
"Tutup mulutmu, anak liar!" melihat suhunya merah
mukanya, kedua gadis rahib marah dan membentak.
"Lho, apakah engkau masih mau melanjutkan
pertempuran lagi?" tantang In Hong.
"Hong, jangan kurang adat!" seru Kim Yu Ci.
"Eh, apakah engkau sekarang sudah berganti haluan,
tidak membela kawan malah membantu para rahib disini:!"
"Adik Hong, jangan terlalu keras bicara," kata Han Bi
Ing ikut bicara. Melihat Han Bi Ing seorang nona cantik sikapnya sopan,
tutur katanya halus, Giok Sin suthay berseru, "O, terima
kasih li-sicu. Adik li-itu tak salah. Silahkan dia mendamprat
biara habis-habisan tetapi asal ada buktinya nanti."
"Maafkan kekasaran adikku, suthay."' Han Bi Ing sambil
memberi hormat. "Cici, perlu apa minta maaf " Aku kan tidak jadi makan
buah peer bahkan aku disuruh berlutut memberi hormat
pada patung Dewi Koan Im, masih tubuhku ditutuk lagi,
kalau cici tidak mencegah, meja sembahyangan itu sudah
kuhancurkan.. . ." Giok Sin suthay yang sudah tahu siapa mempermainkan
dara itu, hanya tersenyum," Kalau sicu kepingin makan
buah peer, silakan masuk. Kami masih punya persediaan
beberapa macam buah-buahan segar."
Melihat Giok Sin suthay begitu sabar dan ramah, buru2
Han Bi Ing berkata, "Ah, kalau suthay mau memaafkan
kekasaran adikku saja kami sudah berterima kasih, masakan
kami berani mengganggu suthay lagi. Suthay, kami mohon
diri. . ., " "Li-sicu," seru Giok Sin suthay yang tertarik akan
kelembutan tutur Han Bi Ing "sicu hendak ke kota Thaygoan,
bukan ?" Han Bi Ing mengiakan, "Tidakkah hal itu berbahaya sekali ?" kata Giok Sin
suthay, "Thay-goan sudah diduduki tentara Boan. Prajurit2
Ceng sewenang-wenang terhadap rakyat."
"Ya, memang demikian. Tetapi apa boleh buat," jawab
Han Bi Ing. "Apakah li-sicu tak keberatan untuk memberitahu
kepada kami, mengapa li-sicu harus ke Thian-goan?"
"Sudah tentu ada urusan penting," selutuk In Hong.
"Aku hendak menjenguk ayahku . . . . "
"Ih,?" Giok Sin suthay mendesis kaget, "siapakah nama
ayah li sicu?" "Han Bun Liong."
"O, Han wangwe yang termasyhur itu. Ah, maaf nona
Han karena kami tak menyambut kedatangan nona dengan
layak." Han Bi Ing terkejut, "Ah, akulah yang harus minta maaf
kepada suthay. Apakah suthay kenal dengan ayah?"
"Mengapa tidak?" kata Giok Sin suthay."Biara ini
banyak sekali mendapat bantuan keuangan dari Han
wangwe. Dan karena pengaruh Han wangwe maka selama
ini biara kami tak pernah mendapat ganggguan dari
pemerintah Beng. Nona Han, mari silakan masuk dulu."
"Terima kasih, suthay. Tetapi kami hendak
melanjutkan....." "Cici, biar kita terima undangannnya," kata In Hong lalu
membisiki ke dekat telinga Han Bi "aku lapar . ..."
"Nona Han, janganlah membuat kami kecewa karena
tak dapat menunaikan tugas sebagai tuan rumah," kata
Giok Sin suthay. Demikianlah ketiga anakmuda itu segera mengikuti Giok
Sin suthay masuk ke ruang dalam. Dalam perjalanan itu
Han Bi Ing bertanya kemana sajakah In Hong tadi.
In Hong menerangkan bahwa waktu dia hendak menuju
ke biara, muncullah seorang kakek pincang yang
mengejeknya, "Huh, nikoh mana yang pagi2 sudah
keluyuran keluar itu ?"
"Aku tak menjawab, melainkan hanya deliki mata
kepada kakek pincang itu," kata In Hong.
Tetapi kakek pincang itu masih mengejek terus, "O,
pantas, pantas, kiranya nikoh palsu. Tuh lihat caranya
berpakaian. Masakan yang belakang dipakai di muka "
Pakaiannya tentu asal dari curian"."
"Kakek edan, kutampar mulutmu !" teriak In Hong terus
menghampiri. Tetapi kakek pincang itu malah leletkan lidah
mengejeknya dan lari sambil menantang, "Huh, nikoh
palsu, kalau engka mampu mengejar aku, aku bersedia
berlutut dihadapanmu dan kuangkat engkau sebagai
guruku"." Sudah tentu In Hong marah. Dia kejar kakek itu. Tetapi
walaupun kakinya pincang, kakek itu tak dapat dikejarnya.
"Bagaimana nikoh palsu, apa engkau suda kehabisan
napas ?" ejek kakek pincang.
"Huh, kakek pincang, aku memang kalah kalau kejarkejaran
dengan engkau. Tetapi apakah engkau berani
berkelahi dengan aku ?" tantang In Hong.
"Ho, nikoh gadungan, mengapa aku takut?" kata kakek
pincang seraya hentikan langkah," hayo, seranglah aku,
pakai tinju atau senjata."
In Hong gemas kepada kakek pincang itu. Dia terus
mencabut pedangnya. "Lho, nikoh kok tidak punya hud-tim " O, dasar nikoh
gadungan!" ejek kakek pincang.
Sudah tentu In Hong makin panas. Dia terus menerjang
kakek pincang itu dengan serangan yang gencar.
Tetapi benar2 ia gemas2 heran semua serangannya tak
pernah mengenai tubuh kakek pincang. Kakek pincang itu
tak mau balas menyerang melainkan berputar-putar
menghindari saja. In Hong penasaran sekali. Dia kembangkan ilmu
pedangnya sedemikian rupa sehingga pedangnya
berhamburan memenuhi sekeliling penjuru. Tetapi makin
dia menyerang gencar, bayangan kakek itu makin terpecah
menjadi belasan buah. Seolah tubuh kakek pincang itu
berobah menjadi belasan buah. Setiap dihantam pedang,
selalu hanya bagian kosong.
In Hong hentikan serangannya dan kakek pincang itupun
juga berdiri dihadapannya, "Hai, mengapa berhenti"
Apakah sudah kehabisan napas, nikoh gadungan?" ejek si
kakek. "Percuma," dengus In Hong.
"Percuma bagaimana?"
"Engkau hanya menghindar saja tak membalas
menyerang. Pertempuran macam apa itu"'
"Lho, orang bertempur kan sesuka hati. Mau menyerang
kek, mau menghindar kek, mengapa harus ditentukan?"
"Kakek bokek," teriak In Hong, "yang disebut bertempur
itu adalah serang menyerang. Kalau hanya aku yang
menyerang, itu bukan bertempur. Hayo kalau berani
balaslah serang aku!"
"Kalau kuserang engkau tentu tak dapat kembali ke
biara. Pada hal saat ini kedua kawanmu sudah berada
dalam biara. Kalau tak percaya cobalah lihat itu," kakek
pincang menunjuk ke belakang In Hong.
In Hong berpaling dan memandang ke arah biara yang
tak tampak karena teraling oleh hutan "Kakek goblok, mana
ada orang ber ..." hai tiba2 ia menjerit kaget ketika
berpaling dan tidak mendapatkan kakek itu di tempatnya
lagi. "Kakek pincang, dimana engkau" Apakah engkau tak
mau melanjutkan pertempuran lagi?" teriak In Hong. Tetapi
tiada penyahutan apa2. Karena sampai beberapa saat tiada terdengar suara apa2,
akhirnya In Hong terpaksa kembali ke biara.
Begitu tiba di biara dia terus ngamuk, mengobrak-abrik
buah2an sesaji sembahyangan pagi. Dan pada saat itu
kebetulan Leng Ceng dan Leng Sim hendak mencari Ban
Leng Jiu, Mereka terkejut ketika melihat suara
berkerontangan di ruang sembahyang. Ketika menengok,
merekapun marah melihat tindakan In Hong.
In Hong bermula tak tahu kalau Han Bi Ing berada


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam ruang itu menunggu Kim Yu Ci yang masuk ke
ruang dalam. Setelah bertempur dengan kedua gadis rahib,
dia terkejut ketika mendengar suara Han Bi Ing yang
memintanya supaya jangan sampai melukai lawan.
Begitulah asal mula maka In Hong berada dalam ruang
sembahyang. Dan karena dia digoda si kakek pincang maka
waktu Han Bi Ing dan Kim Yu Ci datang, mereka tak
menemukan dara itu. "Nona Han," demikian kata Giok Sin suthay setelah
mempersilakan ketiga tetamunya duduk di ruang dalam,
"mengapa nona hendak menjenguk Han wangwe?"
"Karena aku mendapat berita dari seorang pembantu
Torgun yang bernama Ko Cay Seng bahwa ayah sedang
menderita luka parah dan berbunyi di tempat salah seorang
sahabatnya dalam kota Thay-goan," kata Han Bi Ing la
menceritakan pengalamannya sejak meniuggalkan kota
Thay-goan. Giok Sin suthay mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Berita antek kerajaan Ceng itu memang benar," katanya
sesaat kemudian, "beberapa sahabat telah berusaha untuk
membebaskan Han wangwe dari tahanan musuh tetapi
sampai kini belum berhasil."
"O, apakah suthay tahu akan keadaan ayah?" tanya Han
Bi Ing. "Semua peristiwa dalam kota Thay-goan tentu
dilaporkan kemari," kata Giok Sin suthay, ayah nona belum
meninggal tetapi masih ditawan mereka."
"O, siapakah yang memberi laporan kepada suthay ?"
"Tidak tentu," kata Giok Sin suthay, "himpunan tokoh2
hiap-gi (perwira) mempunyai beberapa anggauta. Mana
yang memperoleh berita penting tentu akan datang kemari
memberi laporan. Han Bi Ing terkejut, "Jika begitu, apa suthay juga
tergabung dalam himpunan itu ?"
Giok Sin suthay mengangguk, "Sebenarnya ini
merupakan suatu rahasia yang harus pegang teguh. Tetapi
karena nona adalah putri dari Han wan-gwe maka akupun
dapat memberitahukan hal itu. Kuharap nona dan kedua
sicu, jangan membocorkan kepada lain orang."
"Tidak usah suthay pesan begitu," seru In Hong yang
masih sangat tengil bicaranya, "aku kan bukan anak kecil."
"Ah, sicu yang ini, mengapa masih muring2 saja, oh,
benar....., " Giok Sin suthay segera masuk kedalam dan tak
lama keluar dengan membawa penampan berisi bermacammacam
buah-buahan segar," kami sih orang biara yang tak
makan daging, terpaksa hanya dapat menghidangkan buah
saja. Harap sicu jangan sungkan."
"Tuh, daripada harus menyambar sesaji, sekarang boleh
makan sepuas-puasnya, tanggung tak ada setan," kata Kim
Yu Ci tertawa. "Enak saja kalau ngomong. Tetapi andaikata kau yang
datang, kemungkinan semua sesaji diatas meja tentu engkau
gasak semua," balas In Hong.
Kim Yu Ci tertawa. "Nona Han," kata Giok Sin suthay, "keadaan dalam kota
Thay-goan memang berbahaya ibarat sebuah rawa yang
penuh buaya dan ular berbisa. Kemungkinan Han wan-gwe
tentu ditawan di rumah seorang pangeran Boan yang
berpangkat kepala daerah Thay-goan. Disitu penjaganya
amat kuat sekali, ibarat lalatpun tak dapat masuk."
"O," desuh Han Bi Ing.
"Apa yang dapat kubantu hanyalah memberikan alamat
dari salah seorang sahabat kita yang akan dapat membantu
nona untuk menyelidiki, keadaan Han wangwe."
"Ah, terima kasih suthay." kata Han Bi Ing "soal ayah
adalah tugasku. Aku tak berani merepotkan suthay."
"Jangan mempunyai pikiran begitu, nona Han," kata
Giok Sin suthay, "himpunan kita ini memang bertujuan
untuk menolong sesama kawan hiap-gi yang dicelakai orang
Boan. Persoalan Han wangwe adalah persoalan kami. Kami
memang bertugas wajib menolongnya. Apalagi Han
wangwe adalah seorang yang banyak membantu kepada
perjuangan kami." Han Bi Ing menghaturkan terima kasih dengan rasa
haru. "Nona Han" kata Giok Sin suthay, "apakah engkoh nona
ini sanggup mengerjakan sesuatu untuk menemui sahabat di
Thay-goan itu?" Merah muka Han Bi Ing ketika suthay mengatakan Kim
Yu Ci itu engkohnya. "Sanggup suthay," kata Kim Yu Ci mendahului Han Bi
Ing, "demi menolong Han lo-ciampwe, aku sanggup untuk
melakukan apa saja."
"Baik," kata Giok Sin suthay, "sebenarnya tugas itu
mudah tetapi sukar. Sukar karena mungkin orang malu
mengerjakan. Begini kongcu. Sahabatku itu seorang pemilik
rurnahmakan yang terkenal dalam kota Thay-goan. Engkau
harus menjadi tukang sayur yang menawarkan sayur mayur
kesana....." "O, sayur apa saja?"
"Di kebun biara ini kami telah menanam tanaman kocay
dan brambang. Nah, nanti akan kusuruh sediakan dagangan
kocay dan brambang beserita pikulannya. Maukah engkau
melakukannya?" "Ya." "Baik," kata Giok Sin suthay terus memberi perintah
kepada kedua muridnya untuk menyediakan dagangan itu.
Tak berapa lama, pikulan dan keranjang penuh kocay
dan brambang telah disediakan.
"Apakah pemilik rumahmakan itu tentu tahu kalau aku
ini utusan suthay?"' tanya Kim Yu
"Ya, asal engkau mengatakan bahwa kocay dan
brambang ini berasal dari daerah yang tenang, dia tentu
akan mengundangmu masuk."
"Lalu bagaimana dengan kita berdua?" kata In Hong.
"Rencana sicu berdua untuk menyaru sebagai nikoh
memang tepat tetapi berbahaya."
"Bahaya bagaimana?"
"Sebagai nikoh kalian tentu tak dapat bermalam di
sembarang tempat tetapi harus tinggal di biara. Pada hal
biara2 kota Thay-goan sudah dikuasai orang2 Boan semua."
"Suhu," tiba2 gadis nikoh Leng Ceng berseru "bukankah
beberapa hari yang lalu suhu menerima undangan untuk
menghadiri upacara perayaan hari ulangtahun berdirinya
biara Koan-si-bio Thay-goan ?"
"O, benar, benar," Giok Sin suthay teringat. "Ya, sicu
berdua boleh membawa surat undangan itu untuk mewakili
aku menghadiri upacara perayaan ulang-tahun kelenteng
Kwan-si-bio. Sekalian sicu dapat menyelidiki bagaimana
suasana di kalangan para imam dalam kota Thay-goan.?"
"Baik suthay," kata Han Bi Ing.
Kedua nona itu lalu menyaru sebagai nikoh dan
membawa surat undangan yang diterima Sin suthay dari
kelenteng Kwan-si- bio. "Harap sicu bertindak dengan hati2. Jangan bertindak
secara gegabah tetapi sesuaikanlah dengan keadaan dan
tempat," pesan Giok Sin suthay.
Ketiga pemuda itu berangkat. Kim Yu Ci jadi seorang
desa yang menjajakan dagangan sayur dan Han Bi Ing serta
In Hong menyaru bagai nikoh.
"Kita harus tentukan tempat untuk berkumpul lagi di
Thay- goan," kata Kim Yu Ci dalam perjalanan.
"Disebelah barat kota, terdapat sebuah pagoda. Pagoda
Tangga-rembulan namanya. Kita nanti bertemu disitu,"
kata Han Bi Ing. Demikian setelah masuk ke kota, Han Bi Ing dan In
Hong berpisah dengan Kim Yu Ci!
Han Bi Ing dan In Hong merasa serba sukar. Kalau saat
itu mereka mencari tempat yang sepi untuk ganti pakaian,
rasanya tak mudah. Siang hari keadaan dalam kota amat
ramai. Perbuatan mereka tentu akan dipergoki orang.
Namun kalau masih tetap mengenakan pakaian nikoh,
aman sih iman, tetapi harus menghadiri upacara ulangtahun
kelenteng Kwan-si-bio. Mereka tak bebas jalan
kemana-mana. "Ci Ing," kata In Hong," apa tidak lebih baik kita menuju
ke Kwan-si-bio saja. Disana tentu aman. Nanti malam baru
kita menuju kepagoda dan mendengarkan berita dari Kimheng.
Han Bi Ing menganggap saran itu baik juga. Siang hari
memang kurang leluasa menyelidiki keadaan ayahnya,
Sebenarnya Han Bi Ing ingin menjenguk rumahnya, Ia
ingin tahu bagaimana keadaan rumahnya sekarang.
"Baik," kata Han Bi Ing, "tetapi ?".."
"Bagaimana cici ?"
"Sebenarnya aku ingin menjenguk rumahku."
"O, baik,"seru In Hong, "dimana letak rumah cici?"
"Disebebelah utara kota ini, daerahnya agak sepi. Rumah
itu didirikan oleh mendiang engkong dari engkongku, jadi
sudah lima turunan, sebuah gedung tua yang luas dan
besar." "Jika begitu mari kita ke sana dulu, sore nanti baru kita
menghadiri upacara di Kwa in bio dan malam kita pergi ke
pagoda," kata Hong. Han Bun Liong memang keturunan orang kaya. Dahulu
ayahnya seorang tuan tanah yang memiliki beribu hektar
sawah. Tetapi waktu jatuh ke tangan Han Bun Liong,
banyaklah sudah tanahnya yang berkurang karena
disumbangkan untuk pendirian vihara atau perkampungan
rakyat. Kedermawanan dan keterbukaan tangan Han Bun Liong
mendapat sambutan yang besar. Rakyat di daerah itu amat
berterima kasih dan menjunjung Han Bun Liong sebagai
dewa penolong mereka. Mereka patuh dan menghormat
hartawan itu. Juga kaum persilatan tak sedikit yang menerima budi
kebaikan hartawan itu. Baik kaum persilatan dari golongan
Putih maupun Hitam semua diterima dengan baik oleh Han
Bun Liong. Adalah karena pendirian Han Bun Liong itu
maka rakyat Thay-goan dapat hidup dengan tenang. Tak
pernah terjadi kejahatan dan kerusuhan dalam kota Thaygoan.
Sudah tentu pembesar negeri terutama tihu atau residen,
bersahabat karib dengan Han Bu Liong.
Tetapi kehidupan manusia itu memang tak kekal.
Serangan Ceng yang berhasil menduduki kotaraja Pak-khia
sehingga baginda harus hjrah ke ktaraja Lim kia, telah
menimbulkan kegoncangan besar dalam kehidupan rakyat
Thay-goan, berbondong-bondong menghadap Han Bun
Liong untuk meminta petunjuk.
"Tenanglah saudara2," seru Han Bun Liong sudah
kuduga bahwa musuh tentu akan berhasil menduduki
kotaraja. Baginda tidak memikirkan urusan pemerintahan.
Mentri2 yang dipercaya baginda, ternyata tidak setya dan
tidak becus, maka tidak mengherankan kalau musuh dapat
menduduki kotaraja . .. . "
Setelah menduduki kotaraja, tentu mereka akan
menyerang Thay-goan dan lain2 daerah. Sekarang
kuserahkan saja kepada saudara2 sekalian. Kita henndak
melawan musuh untuk mcmpertahankan kota ini atau kita
sambut kedatangan mereka. Kalau melawan, jelas akan
banyak jatuh korban harta dan jiwa. Kalau menyambut
dengan baik, berarti kita tunduk pada kerajaan Ceng. Tapi
kita takkan menderita kesengsaraan. Nah, saudara2 boleh
pilih jalan mana yang harus kita tempuh.
"Han wangwe, kedatangan kami beramai-ramai
menghadap Han wangwe ini tak lain hanya akan mohon
petunjuk Han wan-gwe. Kami semua tunduk dan menurut
perintah wan-gwe!" seru beberapa orang yang mewakili
kawanan rakyat itu. "Baik," kata Han Bun Liong, "lebih dahulu aku hendak
bertanya kepada saudara2. Siapakah orang Boan itu ?"
"Mereka adalah suku Tartar Boan yang diam didaerah
timur laut." "O, jika begitu mereka bukan suku Han, bukan ?"
"Ya, memang bukan."
"Mana yang lebih besar, daerah kediaman suku Boan
atau suku Han." "Suku Han." "Mana yang lebih besar jumlahnya, suka Boan atau suku
Han ?" "Suku Han ?" "Mana yang lebih tinggi peradabannya, suku Boan atau
suku Han ?" "Suku Han?" "Mana yang dipertuan dari negara Tiong goan, raja Boan
atau raja Han ?" "Raja Han." "Mana yang layak berdiri sebagai pemerintahan di
negara ini, suku Boan atau Han?"
"Suku Han" "Baik. terima kasih saudara2," seru Han Bun Liong,
"berdasarkan pada lima pertanjan yang saudara jawab itu,
kusimpulkan bahwa saudara2 tentu tak rela kalau negara
kita ini diduduki pasukan Ceng."
"Benar, benar !"
"Jika demikian, kita harus bangkit untuk melawan
mereka dan mempertahankan kota kita ini."
"Hidup Han wan-gwe ! Hidup Han wan-gwe !" terdengar
rakyat bersorak gegap gempita menyambut pernyataan Han
Bun Liong. "Tetapi seperti telah kukatakan, jika kita menentang
mereka, kita tentu akan menderita pengorbanan besar.
Sanggupkan saudara2 kehilangan harta benda, sanak
keluarga dan bahkan jiwa sadara sendiri ?"
"Sanggup !" teriak rakyat. Rakyat minta agar Han Bun
Liong yang memimpin perjuangan mempertahankan kota
Thay goan. Han Bun Liong menyadari bahwa suasana saat itu amat
gawat. Sedang pasukan kerajaan Beng terpusat di kotaraja
Pak-kia toh berantakan menghadapi serangan pesukan
Ceng apalagi kota Thian goan yang akan dibela oleh


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barisan rakyat. Han Bun Liong hanya mempunyai seorang putri tunggal
yakni Han Bi Ing. Walaupun putri seorang hartawan besar
namun Han Bi Ing tidak angkuh dan sombong. Han Bi Ing
di sukai rakyat dari segala lapisan dan dipuja kaum muda
dari semua golongan. Rakyat menyukai kerendahan hati
dan keramah-tamahannya. Kaum muda memuja
kecantikan dan kepandaiannya.
Dimana kuntum bunga sedang mekar, tentu banyaklah
kumbang2 bererbangan datang. Demikian yang terjadi di
gedung kediaman Han Bun Liong. Banyak sudah pemuda2
dari berbagai kalangan dan golongan, dari anak pembesar
sampai pada anak orang hartawan, mencoba peruntungan
untuk memikat si jelita. Tetapi mereka harus pulang dengan
kecewa. Han Bun Liong dengan ramah menyambut
kedatangan setiap tetamu memberi keterangan bahwa
puterinya sejak lahir sudah dipacangkan dengan putera dari
Kim Thian Cong. Dari sekian banyak pemuda2 itu, kebanyakan dapat
menerima keterangan Han Bun Liong. Tetapi hanya putera
dari Sou tihu atau residen Thian- goan yang tak dapat
menerima keterangan itu. "Apakah buktinya kalau puteri Han lojin sudah
dipacangkan dengan putera Kim Thian Cong," tanya putera
tihu yang bernama Sou Kian Hin.
"Bagi seorang ksatrya, janji mulut harus ditepati. Tak
perlu harus pakai bukti ataupun barang," jawab Han Bun
Liong. "Ah," desuh Sou Kian Hin, "bayi dalam kandungan
sudah dipacangkan, sebenarnya tidak tepat. Bagaimana
kalau andaikata fihak lelaki atau fihak perempuan seorang
muda yang cacad badan atau cacad pikiran" Tidakkah hal
itu akan memberi derita siksa yang hebat kepada puteri
lojin?" "Kita harus tunduk kepada takdir. Kalau memang
demikian berarti nasib anakku yang jelek dan kita harus
wajib menerima." "Tetapi adakah pacangan itu suatu janji mati yanng tak
dapat dibatalkan lagi?"
"Hal itu tergantung pada keadaan, kongcu."
"Apakah lopeh sudah tahu bagaimana putera Kim Thian
Cong sekarang?" "Belum." "Bagaimana kalau andaikata dia mendapat kecelakaan
dan sudah meninggal dunia?"
"Anakku akan menjadi janda."
"Untuk selama-lamanya takkan menikah" desak putera
residen, "Tergantung pada keadaan dan kehendak anak itu.
Walaupun sebagai orangtua, aku tak berani memaksakan
kehendakku." Sou Kian Hin tertawa, "Ah, nyatanya lopeh sudah
memaksakan kehendak lopeh kepada Han siocia. Bukankah
dengan memacangkan Han siocia pada putera Kim Thian
Cong berarti lo-peh sudah memaksakan kehendak lopeh
kepada puteri lopeh ?"
"Kim Thian Cong seorang ksatrya yang luhur. Seorang
tua takkan menjerumuskan anaknya sahut Han Bun Liong
singkat. "Tetapi bagaimana andaikata putera Thian Cong tak
suka dengan puteri lopeh " '
"Itu urusan mereka. bukan tanggung jawab keluarga
Han," "Dan kalau puteri lopeh yang tidak suka pada putera
Kim Thian Gong ?" "Anakku kudidik untuk meresapi apa Hau (berbakti)
kepada orangtua. Kurasa dia takkan mengecewakan
hatiku," jawab Han Bun Liong.
Setelah tanya jawab yang tajam itu, Sou Kian Hin pun
mundur. Ia tahu bahwa pendirin Han Bun Liong tak
mungkin dirobah iagi. Tetapi merasa Han Bi Ing itu selalu
terbayang di matanya. Makan tak enak, duduk tak tegak
dan tidur tak nyenyak. Bayang2 wajah si jelita seolah
melekat pada pelapuk matanya.
Susana kota Thay-goan berobah genting ketika kotaraja
Pak-kia jatuh ke tangan pasukan Ceng. Rakyat minta Han
Bun Liong untuk memimpin perjuangan mempertahankan
kota Thay goan. Tetapi mereka adalah rakyat biasa, sudah
tentu kewalahan menghadapi prajurit2 Ceng yang sudah
terlatih dan banyak pengalaman di medan perang. Akhirnya
Thay-goanpun jatuh. 1 Sou tihu menolak kerjasama dengan kerajaan Ceng
sehingga dicopot. Tetapi puteranya, Sou Kian Hin bersedia
menggantikan kedudukan ayahnya. Kini dialah yang
menjadi tihu. Dia marah sekali setelah mengetahui bahwa
Han Bun Liong sebelumnya sudah mengungsikan
puterinya. Demikian sekelumit keadaan keluarga Han waktu kota
Thay-goan jatuh ke tangan kerajaan Ceng.
Kembali pada Han Bi Ing dan In Hong, begitu tiba di
gedung keluarganya, perasaan Han Bi Ing seperti disayat
sembilu. Gedung dimana ia dilahirkan dan dibesarkan
dalam kemanjaan oleh ayahnya, kini mirip dengan sebuah
kuburan yang sunyi. Dulu gedung itu tak pernah sepi orang,
tiap hari tentu ada tetamu yang datang dan pergi.
Han Bi Ing melangkah masuk. Perabot2 di ruang depan
kotor penuh debu. Dia segera menuju ruang dalam dan
mendorong pintu sebuah ruangan.
"Inilah kamarku." katanya kepada In Hong. Ia agak
terkejut ketika mendapatkan perabot2 dalam kamarnya
masih utuh, tak ada satupun yang hilang.
"Wan, cici ini anak orang kaya sekali," seru In Hong.
"Ah....." Han Bi Ing hanya menghela napas.
"Apakah artinya kekayaan itu, adik Hong" Ada kalanya
harta itu tidak membawa kebahagiaan bahkan
mendatangkan malapetaka."
"Ah, tetapi kalau tak punya uang, kita tak dapat berbuat
apa2." "Ya," sahut Han Bi Ing, "tetapi uang hanyalah alat untuk
hidup. Bukan hidup itu uang. Buktinya apa yang telah
menimpa keluargaku adalah karena uang juga!"
"Bagaimana cici dapat mengatakan begitu?"
"Adalah karena ayah seorang kaya maka banyaklah
mempunyai kawan2. Walaupun bukan seorang pembesar
tetapi pengaruh ayah, lebih besar dari tihu kota Thay goan.
Rakyat lebih turut dan patuh pada ayah daripada kepada
kepala daerahnya ..... "
"Itu kan menandakan paman seorang yang berbudi dan
dermawan." "Karena nama dan pengaruh ayah itulah! maka musuh
menaruh perhatian kepadanya. Kukira ayah tentu
ditangkap dan dipaksa untuk mempengaruhi rakyat Thaygoan
tetapi kuyakin tentu menolak. Kutahu bagaimana
pendiriann dan keperibadian ayah."
"Cici seorang yaug berbahagia karena punya ayah yang
begitu mulia. Tetapi, aku ?".." In Hong tak dapat
meneruskan kata-katanya, karena kerongkongannya
tersekat oleh rasa haru" kenangan akan nasibnya yang
sudah sebatang kara itu. Rupanya Han Bi Ing menyadari hal itu. Buru-buru dia
alihkan pembicaraan, "Aneh, mengapa semua perabot
dalam ruang tidurku, bahkan ranjang, semua masih teratur
rapi" Siapakah yang membereskan semuanya ini?"
In Hong juga heran, "Jika begitu," katanya, "lebih baik kita beristirahat saja
disini, tak perlu menghadiri upacara ulangtahun di
kelenteng Kwan-si-bio itu?"
"Lihat saja bagaimana nanti," kata Han Bi Ing, "kalau
disini memang aman, kita boleh beristirahat disini."
Han Bi Ing mengajak In Hong untuk berjalan meninjau
keseluruh gedung. Ternyata gedung tua milik keluarga Han
itu amat luas sekali. Ketika tiba di taman, In Hong memuji
keindahannya. Di tengah taman terdapat sebuah kolam yang permukaan
airnya ditumbuhi bunga teratai. Ditengah kolam didirikan
sebuah patung seorang bidadari tengah membawa bakul
berisi bunga dan tangan kanannya sedang menebarkan
bunga. Tetapi bukan bunga yang bertebaran melainkan dari
jari-jarinya memancarkan air yang jatuh ke dalam kolam.
"Wah, ikannya besar2, bagus, bolehkah
kumenangkapnya, ci Ing?" seru In Hong.
"Boleh saja tetapi buat apa ?"
"Kita kan akan beristirahat disini sampai malam. Ikan itu
akan kugoreng untuk makan siang nanti."
Han Bi Ing tertawa. "Makan siang" Apa yang akan
dimakan " Ikan mentah itu ?"
In Hong tertegun tetapi cepat dia berkata "Apakah
disekitar tempat ini tak ada penduduknya!
"Tentu saja ada."
"Kalau begitu aku akan membeli beras dan minyak
kepada mereka." Han Bi Ing mengangguk. Dan In Hongpun segera
menyibukkan diri untuk menangkap ikan dalam kolam.
Beberapa saat kemudian In Hong sudah mendapat
sepuluh ekor ikan besar, "Ci Ing, mari kita masuk ke
dalam." Mereka menuju ke dapur. Peralatan dapur masih ada
tetapi minyak goreng dan bumbu2 masaknya habis semua.
In Hong mengambil botol kosong, "Aku akan mencari
rumah salah seorang penduduk, membeli beras dan minyak
serta garam Harap cici tunggu saja."
"Nanti dulu," cegah Han Bi Ing, "kurang leluasa rasanya
kalau engkau masih mengenakan pakaian nikoh."
"Lalu ?" "Kita ganti pakaian dulu di kamarku."
Setelah ganti pakaian, In Hong lalu keluar. Tak berapa
lama dia sudah datang dengan membawa beras, minyak
goreng, teh, gula dan garam, "Untung penduduk disini baik
sekali." Han Bi Ing teringat sesuatu, "Adik Hong, Apakah
engkau mengatakan kalau aku berada disini ?"
"Tidak. Mengapa ?"
"Kalau engkau bilang begitu, mereka tentu pun
berbondong-bondong datang kemari. Lebih baik jangan
bilang." "Walaupun hanya dengan garam, lihat saja, aku akan
menghidangkan masakan yang lezat," kita In Hong.
Keduanya segera menuju ke dapur.
"Hai, mana ikan2 itu tadi," teriak In Hong ketika melihat
sepuluh ekor ikan yang ditaruh di dalam panci ternyata
sudah lenyap semua, "apakah disini banyak tikus?"
"Dulu tidak, entah sekarang. Tetapi masakan tikus
mampu menggondol sepuluh ekor ikan besar."
"Kucing?" "Mungkin. Tetapi kucingpun paling hanya mencuri
seekor ikan." "Lalu siapa ?" Han Bi Ing heran tetapi dia tak dapat menemukan
jawaban ?" "Setan," gumam In Hong terus menuju ke kolam hendak
kucari ikan lagi. Han Bi Ing ikut. Setelah mendapat sepuluh
ekor ikan, mereka menuju ke dapur.
"Hai, mana beras dan minyak goreng itu?" teriak In
Hong. Han Bi Ing juga terkejut.
"Tidak mungkin kalau tikus atau kucing akan mencuri
beras dan minyak goreng!" teriak In Hon<"
?"Ya, tetapi siapa?"
"Setan?" ulang Han Bi Ing, "gedung ini tak pernah ada
setannya." "Ya, waktu masih engkau tempati. Tetapi telah gedung
ini kosong, tentu lantas dihuni kawanan setan."
"Apakah engkau pernah melihat setan?"
"Melihat sih belum tetapi aku pernah digoda setan waktu
berada di biara Ceng-leng-kwan tempo hari. Kemungkinan
disini juga terdapat setan yang suka mengganggu orang."
Han Bi Ing tertegun. "Beras dan minyak tersedia, ikan
hilang kan sudah disediakan sekarang beras dan minyak
yang hilang. Hai, setan, keluarlah dan unjukkan mukamu
kalau berani. Ayo, kita bertempur !" teriak In Hong dengan
marah. Setelah puas menantang setan, In Hong tanya,
"Bagaimana kalau kubeli dari penduduk lagi?"
"Terserah kalau engkau tidak lelah. Tetapi carilah
penduduk lain rumah, "kata Han Bi Ing, "apakah engkau
sudah bawa uang?" "Masih," kata In Hong seraya meraba kantung baju.
Tetapi seketika itu wajahnya menjadi tegang. Cepat ia
merogoh ke saku dan tiba2 ia menjerit, "Hai, kantong
uangku hilang!" Han Bi Ing terkejut tetapi ia tersenyum, "Biarlah, nih,
pakailah uang ini." Tetapi In Hong tak lekas menyambuti melainkan masih
ngamuk, "Gila! Jelas kantong uang kutaruh dalam saku
baju, mengapa sekarang lenyap?"
'Apakah engkau yang lupa menaruh atau mungkin jatuh
di jalan?" In Hong gelengkan kepala. Tiba2 ia teringat, apakah
mungkin dia?" "Siapa?" Han Bi I ig ikut kaget.
"Waktu hendak palang, ditengah jalan aku bertemu
dengan seorang pengemis tua. Karena kan kuberinya uang.
Pada saat menerima uang itu jatuh kemuka hampir
merubuhi aku. Cerpat kutolak badannya. Dia minta maaf
ukupun segera pulang."
"Bagaimana wajah pengemis tua itu?"
"Biasa saja, seperti seorang kakek."
Han Bi Ing kerutkan dahi, Uang hilang, ikan lenyap,
minyak gorengpun amblas. Ah, aneh sekali Apakah di
dunia ini memang terdapat bangsa setan jahil " Atau.....


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cici, mengapa engkau termangu-mangu saja " Mana
uangnya ?" "O, masih ketinggalan dikamar pada jubah nikoh yang
kutaruh diatas ranjang," kata Han Bi Ing. Dia segera
mengajak In Hong menuju kamarnya.
"Astaga !'' teriak In Hong ketika masuk dalam kamar dan
melihat diatas meja telah tersedia hidangan nasi dan laukpauk
serta sayur, ikan ada arak juga, "siapakah yang
menyedia hidangan ini?"
"Bagaimana aku tahu ?" Han Bi Ing jadi heran.
'"Eh, mengapa ikan yang kutangkap dan hilang itu tahu2
sudah matang ?" kembali In Hong berteriak heran karena
dalam salah sebuah panggang tertumpuk ikan goreng.
"Tunggu dulu, adik Hong," cegah Han Bi Ing ketika
melihat In Hong terus hendak menggasak ikan goreng itu.
"Kenapa ?" "Peristiwa yang kita alami dalam gedung keluargaku ini
memang aneh sekali. Tak mungkin hal itu dilakukan oleh
kawanan setan. Aku percaya pada setan !"
"Habis siapa yang melakukan ?"
"O .,." "Siapa?" "Entahlah," Han Bi Ing geleng kepala.
"O. apakah dia ?" tiba2 In Hong berteriak.
"Siapa?" "Kakek pincang yang telah menggoda aku di biara Cengleng-
kwan itu ?" Han Bi Ing terdiam. Memang beberapa kakek yang
muncul di sekitar biara Ceng-leng kwan itu aneh sekali.
Tetapi mengapa sekarang dalam gelung kediamannya juga
timbul peristiwa semacam itu lagi " Adakah kakek pincang
itu juga mengikuti kemari" Apa maksud tujuannya" Ah,
Han Ing tak dapat menjawab.
"Sudah atau belum ci Ing?"
"Apanya ?" "Apakah aku sudah boleh makan ikan ini?"
"Cicipi sedikit dulu, kalau tak mengandung sesuatu,
bolehlah engkau makan."
In Hong menurut, Setelah mencicipi dan merasa ikan itu
tak mengandung sesuatu yang membahayakan, barulah dia
memakannya. Demikian kedua gadis itu lalu mulai
menyantap hidangan yang tak diketahui dari siapa.
Habis makan In Hong terus meraih guci arak tetapi
kembali dicegah Han Bi Ing, "Adik"', jangan minum arak
itu. Lebih baik minum air saja."
Saat itu tak terasa hari sudah petang dan kedua gadis itu
memutuskan tidak menghadiri upacara ulangtahun
kelenteng Kwan-si-bio. Mereka akan berstirahat di gedung
itu dan malam nanti baru mereka akan menuju ke pagoda
untuk menemui Kim Yu Ci. Tetapi ada suatu perasaan yang menghinggapi Han Bi
Ing. Ia rasakan tenaganya lunglai dan tak bersemangat.
Bahkan untuk berbangun dari duduknya saja, rasanya amat
berat. "Adik Hong, apakah engkau tak mandi dulu?" tanyanya
kepada si dara. "Ah, tidak ci Ing. Rasanya aku tak kepingin kemanamana
nih. Lebih baik tidur saja."
"Ih, bagaimana dengan Kim kongcu nanti."
"Biar sajalah," kata In Hong, "paling2 dia akan menginap
di pagoda itu. Besok kita nanti ke sana."
"Ah, jangan," kita Han Bi Ing, "kita sudah berjanji,
kasihan kalau dia sampai bingung."
"Ih .... kasihan kata cici" O, benar, benar, dia kan juga
putera dari Kim Thian Cong tayhiap. Apa salahnya kalau
cici . . . . '! "Tutup mulutmu budak lancang!" Han Ing berbangkit
hendak mencubit lengan In Hong tetapi bluukkkkk, ia jatuh
terkulai ke lantai. "Cici , . . . uh . . . . , " In Hong terkejut dan juga
berbangkit hendak menolong tetapi di pun terkulai rubuh ke
lantai. "In Hong, kenapa engkau ?" Han Bi Ing terkejut. Dia
hendak menggeliat bangun tetapi rubuh lagi.
"Aku tak punya tenaga, ci Ing. Tubuhku lemas lunglai,"
kata In Hong, "dan mengapa engkau tak dapat bangun "
"Aku juga tak punya tenaga....."
"Ih, aneh." "Ah, celaka," kata Han Bi Ing," mungkin makanan yang
kita makan itu mengandung obat pelemas tenaga."
"Ya, benar. Tetapi siapa yang membuat hidangan
itu......" baru In Hong berkata begitu terdengar derap
langkah kaki dari arah ruang belakang.
"St. ada orang ci Ing." bisik In Hong seraya paksakan diri
untuk mengisar tubuh ke tempat Han Bi Ing. Keduanya
beringsut ke sudut ranjang untuk bersembunyi.
Derap langkah itu makin lama makin dekat dalam
beberapa saat kemudian terdengar pintu kamar Han Bi Ing
dibuka. Seorang lelaki setengah tua tetapi masih gagah,
melangkah masuk. Tiada yang luar biasa pada wajah orang
itu kecuali jenggotnya yang berbentuk seperti jenggot
kambing alis kirinya terputus oleh bekas luka. "Hm,
akhirnya engkau datang juga. Bi Ing" kata orang itu.
Han Bi Ing terkejut. Rasanya dia pernah lihat orang itu
tetapi entah dimana, ia lupa.
"Siapa engkau ?" seru Han Bi Ing.
"Aku pernah datang ke gedung ini, pernah melihat
engkau yang kala itu masih seorang gadis kecil berumur 12
tahun. Apa engkau lupa ?"
"Ya, lupa," kata Han Bi Ing yang gagal mengingat-ingat
siapa orang itu, "banyak sekali tetamu-tetamu ayah."
"Ya, memang. Bagaimana dengan keadaan ayahmu ?"
tanya orang itu dengan nada ramah.
"Kabarnya ayah ditawan orang Boan."
"O. bagus! Ayahmu masih hidup, bukan."
"Ya." "Ah," orang itu menghela napas longgar. Wajahnya
tampak cerah, "terimakasih Tuhan, ia masih hidup."
Han Bi Ing tertegun memandangnya.
"Aku seorang sahabat baik ayahmu," menerangkan
orang itu, "Setiap orang semua bersahabat baik dengan ayah,"
sahut Han Bi Ing, "Ya, tentu," jawab orang itu, "itu sudah biasa kalau
orang sekaya dan sedermawan ayahmu tentu mempunyai
sahabat baik. Tetapi kemana semua sahabat baiknya itu "
Mengapa mareka tak berusaha untuk menolong ayahmu ?"
"Entahlah," kata Han Bi Ing, "tetapi lopeh (paman) ini "
Aku benar2 tak ingat lopeh lagi."
"Namaku Lu Pin, bekas perwira Lasykar Rakyat
dibawah pimpinan Li Cu Seng."
"O, lalu apa tujuan lopeh datang kemari ?"
"Kudengar Thay-goan sudah jatuh ke tangan pasukan
Ceng maka aku bergegas datang kemari untuk menjenguk
keadaan ayahmu. Disamping itu, akupnn perlu
menanyakan sesuatu hal yang penting kepada ayahmu."
"Bolehkah aku mengetahui hal apa yang lopeh hendak
tanyakan kepada ayah ?"
"Apakah ayahmu menceritakan semua rahasianya
kepadamu ?" " Ada sebagian tetapi tidak semua. Apa yang lopeh
hendak tanyakan ?" Lu Pin berhenti sejenak, kemudian berkata "Apakah
ayahmu pernah menceritakan tentang harta karun yang
disimpannya ?" "O, apa hubungan lopeh dengan harta karun?"
"Hm, rupanya anak perempuan ini tahu hal itu" kata Lu
Pin dalam hati. Lalu dia berkata," Begini Harta karun itu
sebenarnya bukan milik ayahmu....."
"Waktu lasykar Li Cu Seng berhasil menyerang! dan
menduduki kotaraja Pak-kia," kata Lu Pin "salah seorang
kepercayaan Li Cu Seng bernama Nyo Sian telah
menemukan sebuah tempat simpanan harta karun di istana
Beng yang sudah melarikan diri . . . ."
"O." "Kemudian jenderal Go Sam Kui berserikat dengan
pasukan Ceng untuk menggempur Li Cu Seng. Li Cu Seng
terpaksa melarikan diri. Dan kesempatan itu Nyo Sian lolos
meninggalkan Cu Seng. Bermula kukira Nyo Sian memang
sudah tak mau ikut dalam gejolak pemberontak itu. Dia
takut dan ingin hidup sebagai rakyat biasa. Tetapi ternyata
kuketahui kalau dia mempunyai sebuah rahasia.
"Harta karun itu ?"
"Benar," kata Lu Pin, "dia telah mengangkut dan
menyembunyikan harta karun itu."
"D'imana ?" "Kepada ayahmu."
"Ah," desis Han Bi Ing," bagaimana lopeh tahu hal itu ?"
"Waktu Nyo Sian menemukan tempat rahasia simpanan
harta katun itu, dia disertai oleh seorang kawannya, seorang
prajurit bawahannya. Kepada prajurit itu dia menjanjikan
kelak diberi bagian asal dia mau tutup mulut jangan
mengabarkan rahasia itu kepada orang lain."
"Tetapi ternyata Nyo Sian telah ingkar janji. Dia
melarikan diri dari pasukan Li Cu Seng.
"Apakah dia tak mengajak prajurit itu?" tanya Han Bi
Ing. "Ya," sahut Lu Pin, "tetapi bukan untuk diajak
menikmati harta karun itu."
"Lalu untuk apa?"
"Dibunuh!" "Dibunuh?" "Ya, tetapi rupanya Tuhan masih melindungi prajurit
yang tak bersalah itu. Setelah mengira sudah mati, tubuh
prajurit itu terus dilempar kedalam jurang . . . . "
"Ah "Tetapi dasar nasib masih belum menentukan dia harus
mati, tubuhnya telah terkait pada akar pohon rotan yang
tumbuh di jurang itu dan dapat ditolong oleh seorang
tukang cari kayu dan dirawat di rumahnya. Dia penasaran
sekali kepada Nyo Sian. Walaupun kakinya pincang tetapi
setelah sembuh dia berusaha mencari pasukan Li Cu Seng.
Pasukan Li Cu Seng sudah berantakan tetapi untung
prajurit itu ketemu aku. Dia menceritakan peristiwa itu
kepadaku. Waktu kutanya dimana sekarang harta karun itu,
dia mengatakan dititipkan pada ayahmu . . . . "
"O, tetapi bukankah lopeh sudah pernah datang
menemui ayah?" tanya Han Bi Ing.
"Ya," kata Lu Pin, "tetapi ayahmu mengatakan kalau tak
berani mengambil putusan. Pertama dia baru kenal aku.
Dan kedua, harta itu adalah Nyo Sian yang menitipkan."
'O, benar. Ayah memang benar," kata Bi Ing, "lalu
mengapa lopeh kembali lagi ke sini."
"Waktu itu ayahmu mengatakan supaya membawa Nyo
Sian kemari, nanti harta titipan akan diserahkan."
"Ayah benar," seru Han Bi Ing pula, "lalu mengapa lopeh
datang seorang diri" Mana Nyo Sian?"
"Aku berusaha mencarinya. Dan lima tahun kemudian
baru aku berhasil menemukannya. Ternyata Nyo Sian
menderita sakit yang tak dapat disembuhkan."
"Sakit apa?" "Lepra. Itulah sebabnya dia tak mau muncul dan datang
ke rumahmu. Waktu aku menemukannya, keadaannya
sudah makin parah. Bermula dia tak mengaku tetapi setelah
kuberi penjelasan bahwa harta itu tidak akan kumiliki tetapi
akan kugunakan untuk membiayai perjuangan mengusir
pasukan Ceng yang hendak menjajah negeri kita, barulah
dia mau menceritakan tentang harta karun itu. Waktu itu
hendak kuajak dia kemari tetapi dia merasa ajalnya sudah
tiba. Oleh karena itu dia hanya dapat memberi sepucuk
surat untuk ayahmu .... "
"Jangan percaya omongannya!" tiba2 telinga Han Bi Ing
terngiang sebuah suara yang lembut macam ngiang
nyamuk. Dia terkejut dan memandang ke atas wuwungan.
Krak, prang . . . tiba2 sebuah genteng ambrol dan jatuh ke
lantai. "Hai, siapa itu!" teriak Lu Pin seraya melesat keluar.
"Ci Ing . . . ! " seru I n Hong, "apa engkau akan
memberitahu kepadanya?"
"Tidak," kata Han Bi Ing.
"Tetapi bagaimana kalau dia gunakan kekerasan untuk
memaksa cici" Bukankah tenaga kita begini lunglai?"
Yaah, api boleh buat. Kita harus berani menderita," kata
Han Bi Ing. Tiba2 angin berkesiur dan dua sosok tubuh masuk
kedalam ruang, "Hola, bagus, bagus, akhirnya engkau
datang juga!" Han Bi Ing terkejut. Yang datang itu dua orang lelaki
setengah tua tetapi bukan Lu Pin tadi.
"Siapa kalian?" seru Han Bi Ing.
"Bukankah engkau nona Han Bi Ing?" sahut laki2 yang
berkumis. "Kenapa?" "Jawab dulu, engkau Han Bi Ing atau bukan."
"Kalau bukan?" "Akan kubunuh."
"Kalau Han Bi Ing?"
"Akan kuajak berunding."
Han Bi Ing menyadari bahwa saat itu tenaganya lunglai,
begitu pula In Hong. Jika dia bersikap keras, tentu celaka.
Bukan karena ia tak mati tetapi In Hong tentu akan
menderita dibunuh orang juga. Dia tak kenal siapa orang
itu. Mati di tangan orang yang tak dikenal, mati yang
penasaran. Lebih baik ia menggunakan siasat mengulur
waktu. Siapa tahu nanti akan terjadi perhatian yang tak
terduga-duga. "Engkau mau berunding soal apa?" ia baru bertanya.
"Hm, engkau Han Bi Ing, bukan?"
"Hm, jangan banyak tanya lagi. Lekas katakan
maksudmu!"

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Engkau akan kubawa kepada Sou tihu!"
"Sou tihu siapa" Apa bukan tihu yang dulu."
Orang itu gelengkan kepala, "Bukan, tetapi puteranya."
"O, pemuda yang bernama Sou Kian Hi itukah yang
sekarang diangkat sebagai tihu oleh kerajaan Ceng?"
"Apa salahnya" Tidak sembarang orang dapat
menduduki jabatan setinggi itu."
"Mengapa aku harus engkau bawa kesana."
"Itu perintah Sou tihu!"
"Katakan dulu baru aku mau. Kalau tidak aku tak mau."
Orang itu tertawa, "Apakah engkau dapat menolak ?"
"Mengapa tidak ?"
"Kalau kupaksa?"
"Bunuhlah aku kalau tidak aku akan bunuh diri senditi !"
Orang itu terkesiap, kemudian berpaling kepada
kawannya, Tampak kawannya itu mengangguk.
"Engkau akan mendapat kebahagiaan yang luar biasa."
kata orang itu sesaat kemudian.
"Kebahagiaan ?"
"Ya, suatu rejeki yang tak sembarang gadis dapat
memperoleh." "Jangan ngoceh tak keruan! Lekas katakan apa itu !"
"Engkau akan diangkat sebagai Sou tay hujin."
"Gila !' teriak Han Bi Ing.
"Tidak gila, tetapi memang sungguh."
"Cis, sungguh tak malu sekali orang itu. Dulu dia sudah
pernah melamar tetapi ditolak ayah. Sekarang masih nekad
mau main paksa." "Itulah yang namanya cinta sekali, ha, ha,?".."
"Bangsat engkau!" damprat Han Bi Ing seraya hendak
bergerak tetapi tenaganya benar-benar hilang.
"Hm silakan memaki sepuat-puasmu. Tetapi kalau besok
sudah menjadi isieri Sou tihu, jangan engkau lupa
kepadaku," kata orang itu seraya terus maju. Sebelum Han
Bi Ing sempat berbuat sesuatu, dia sudah disambar dan
diangkat oleh orang itu. "Mari kita keluar," kata orang itu kepada kawannya.
"Tetapi gadis itu ?" tanya kawannya.
"Sou tihu menghendaki nona Han ini. Biarkan dia
tinggal disini saja,"
"Ah, sayang, bung," kata orang itu, "kalau Sou tihu tidak
mau, aku juga mau .. . . "
"Bajingan, jangan bermulut kotor!" teriak In Hong
marah. Tetapi orang itu tak peduli. Dia terus menghampiri In
Hong dan hendak mengangkatnya.
"Aduhhhhhh......." tiba2 orang itu menjerit kesakitan
ketika lengannya digigit In Hong.
"Lekas, bereskan !" seru orang yang memanggul Han Bi
Ing. Orang itupun segera menutuk jalandarah, In Hong lalu
dipanggulnya. Keduanyapun segera keluar "Ah.. ..," mereka
terkejut dan berhenti ketika di ambang pintu muncul Lu
Pin. "Siapa engkau ?" tegur orang yang memanggul Han Bi
Ing. Tadi orang itu tak tahu kalau sebenarnya Han Bi Ing
sudah tak punya tenaga. Dia menutuk lagi jalandarah nona
itu lalu dipondongnya. Tetapi Han Bi Ing masih dapat
berbicara. "Paman -Lu, tolonglah ! Dia hendak membawaku ke
pembesar Ceng !" teriak Han Bi Ing.
"Hm, bagus sekali perbuatanmu, antek orang Ceng,"
dengus Lu Pin, "berani menculik seorang gadis orang
terhormat!'' Rupanya orang itu tahu kalau Lu Pin itu orang di fihak
Han Bi Ing. Diapun sempat memperhatikan sinar mata Lu
Pin yang berapi-api tajam. Jelas dia tentu seorang jago silat
lihay. Namun orang itu tak gentar. Dia dan kawan adalah
pengawal peribadi dari Sou Kian Hin. bernama Pang Kim
bergelar Hek-sin-eng atau alap2 sakti-hitam. Kawannya
bernama Lim Tong bergelar Kiu- ciat- sin- pian atau
Ruyung-sakti-sembilan-ruas. Keduanya adalah jago2
golongan hitam yang ternama.
"Hm, engkau hendak menghadang ?" Pang Kim
menegas. "Bukan hanya hendak menghadang," sahut Lu Pin, "pun
akan membasmi kalian."
"Bagus," teriak Pang Kim," apakah engkau sahabat dari
Han Bun Liong?" "Setiap kaum persilatan yang perwira tentu bersahabat
dengan Han Bun Liong," jawab Lu Pin.
=== Hal 52-53 hilang === leher, tangan kiri menghantam rusuk.
Demikian jurus demi jurus kedua lawan telah
menumpahkan segala kebisaannya. Namun tampaknya
belum juga tampak siapa yang menang.
Ruyung-sembilan-ruas memang amat cepat dan lincah
sekali sehingga Lu Kim tak sempat untuk melancarkan
pukulan Thiat-sat-ciang yang dimilikinya.
Namun betapapun, tak ada sebuah perjamuan yang tak
usai. Demikian tak ada pertempuran yang tak selesai.
Pada satu saat terjadi sebuah adegan tegang. Pada saat
itu Lu Pin dapat menghantam dada Lim Tong sehingga
Lim Tong terhuyung ke belakang seraya muntah darah.
Kesempatan tak disia-siakan Lu Pin yang dengan loncat dia
hendak menghabisi jiwa lawannya.
"Uh," ia mendesuh kejut ketika tiba2 ujung ruyung
menjulur panjang menusuk dadanya, tak sempat
menghindar lagi maka terpaksa ia kerahkan tenaga untuk
menampar. Prak ... ujung ruyung yang paling depan putus
tetapi Lu Pin menjerit kesakitan karena telapak tangannya
terasa amat panas. Ternyata ujung ruyung yang putus itu hamburkan
percikan air. Begitu menyentuh telapak tangan, Lu Pin
rasakan seperti air panas. Dan dalam beberapa kejap saja
telapak tangannya mulai berobah kehitam-hitaman
warnanya. Seketika marahlah Lu Pin. Ia tahu apa arti warna hitam
itu. Jelas ruyung lawan berisi dengan cairan racun yang
ganas. Cepat ia mencabut pedang dan menabas pergelangan
tangannya agar racun ganas itu tidak menjalar naik ke
seluruh lengannya. Setelah menyarungkan pedang, ia
merogoh ke dalam saku dan menabur ke arah Lim Tong,
"Ada ubi ada tales, ada budi tentu dibalas"."
Pang Kim teikejut. Cepat dengan masih memanggul Han
Bi Ing dia loncat dan menendang, plak . . . . sebutir benda
kecil bundar yang dilemparkan Lu Pin dapat ditendangnya.
Bum . . . bum .... aduh .... terdengar dua buah ledakan
dan sebuah jeritan yang ngeri. Ternyata Lu Pin telah
menaburken dua buah peluru Pik-li-tan, semacam senjata
rahasia yang diberi obat pasang. Yang satu memang dapat
ditendang oleh Pang Kim. Tetapi yang sebuah dapat lolos
dan tepat menghantam dada Lim Tong. Tanganm Lim
Tong terkena sebuah pukulan Thiat-sat-ciang dari Lu Pin
sehingga dia muntah darah dan pejamkan mata
menyalurkan darah. Dia tak tahu kalau Lu Pin akan
melancarkan senjata rahasia yang begitu ganas. Seketika
dada Lim Tongpun pecah berentakan .....
"Lim Heng teriak Pang Kim ketika menyaksikan adegan
yang mengerikan itu. Tetapi Lim Tong sudah melayang
jiwanya. "Bangsat, buyarlah jiwa kawanku!" teriak Pang Kim
seraya hendak menerjang Lu Pin. Tetapi ia tertegun ketika
Lu Pin sudah lenyap. Memang setelah melontarkan dua
buah pik-li-tan Lu Pin yang menderita luka kehilangan
pergelangan tangan, ia menyadari darahnya banyak keluar
dan tenaganya berkurang. Berbahaya kalau nekat
menghadapi lawan. Lebih baik ia meloloskan diri dulu
untuk mengobati lukanya itu. Maka diapun cepat loncat
keluar dan terus melarikan diri.
"Ah, sungguh berbahaya," pikir Pang Ku ternyata di
gedung kediaman Han Bun Liong masih terdapat sisa2
sahabat-sahabatnya."
Dia segera membawa Han Bi Ing keluar. Mayat Lim
Tong ditinggal dan In Hong pun di biarkan masih
menggeletak di dalam ruang.
Tetapi baru dia melangkah ke halaman, sesosok tubuh
sudah tegak menantinya. Ia tak tahu siapa orang itu, kawan
atau lawan. Ketika menghampiri, ternyata orang itu masih
muda, cakap dan gagah. "Siapa engkau!" tegurnya.
"Utusan raja Akhirat untuk mencabut nyawamu, budak
!" seru pemuda itu. Han Bi Ing terkejut girang. Tak salah lagi suara itu
adalah suara Kim Yu Ci. Tetapi dia diam saja. Tadi waktu
meneriaki Lu Pin, dia menyesal sendiri. Andaikata Pang
Kim itu pintar, dia dapat memaksa Lu Pin tak bertutik
dengan menjadikan dirinya (Han Bi Ing) sebagai sandera.
Untung Pang Kim tak mempunyai pikiran begitu.
Sekalipun demikian dia tak mau mengulang tindakannya
lagi. Ia kuatir kalau Pang Kim menyadari hal itu dan
menjadikannya sebagai sandera untuk menekan Kim Yu Ci.
"Jahanam, jangan sombong ! Aku tak kenal kamu,
mengapa engkau hendak mengganggu aku?"
"Raja Akhirat tak perlu memperkenalkan diri. Begitu dia
menghendaki, orang itu harus menyerahkan nyawanya !"
sahut pemuda itu yang tak lain memang Kim Yu Ci.
'Engkau tahu siapa aku ?" seru Pang Kim.
"Penjahat yang berani menculik gadis terhormat !
"Gadis terhormat " Dia anak dari Han Bun Liong,
seorang pesakitan yang akan dijatuhi hukuman mati !''
"Membela negara bukan pesakitan yang berdosa. Tetapi
seorang tawanan yang mulia. Tidak seperti manusia macam
engkau !" "Jangan menghina aku. jahanam. Aku adalah orang
kepercayaan dari tihu yang berkuasa di kota ini."
"Hm, kata Thay-goan adalah milik rakyat Han, siapa
sudi mengakui tihu antek orang Boan!?" teriak Kim Yu Ci,
"persetan dengan tihu-majikanmu !"
Pang Kim terkesiap melihat keberanian dan ketenangan
pemuda itu. Dia duga pemuda itu tu seorang yang berilmu
tinggi. Tentulah komlotan dari Han Bun Liong. Teringat
akan orang yang bertempur dengan Lim Tong tadi, diam2
Pat Kim tergetar hatinya.
"Sekarang engkau mau apa ?" tanyanya.
"Sudah kukatakan, aku diutus Raja Akherat untuk
mencabut nyawamu. Engkau serahkan diri nyawamu atau
aku yang mengambilnya !"
Karena tahu kalau tak dapat menghindari pertempuran
lagi maka Pang Kimpun meletakkan Han Bi Ing di tanah
lalu dia bersiap, "Jahanam, engkau kira aku takut
kepadamu " Akan kukembalikan engkau ke akhirat dan
bilanglah pada rajamu bahwa percuma saja mengutus setan
semacam engkau. Suruh ganti utusan lain saja."
"Ha, ha, ha .... ," Kim Yu Ci tertawa dalam lima jurus
kalau aku tak mampu mengalahkan engkau, engkau boleh
bebas !" Pang Kim terkesiap. "Apakah raja Akhirat memerintahkan begitu?"
"Ya." "Engkau tidak menyesal ?"
"Aku adalah algojo Akhirat, apa yang kukatakan takkan
pernah kusesalkan." "Kita bertempur dengan tangan kosong atau senjata ?"
"Terserah engkau mau pakai senjata apa, tetapi aku tetap
akan mencaout nyawamu dengan tanganku saja !"
"Bagus!"' seru Pam Kim seraya mencabut pedangnya lalu
berputar-putar menyerang. Dia bergelar Hek-soan-hong
atau si Angin-puyuh-hitam. Dia memiliki ilmu gerak tubuh
yang menyerupai ingin puyuh. Demikianpun ilmu
pedangnya disebut Soan-hong-kiam-hwat atau ilmu Pedangangin-
puyuh. Bila dimainkan, pedang akan lenyap dan
berganti dengan gulungan sinar yang sekencang badai
meniup. Tetapi sayang dia tak tahu siapa Kim Yu Ci itu. Dia
hanya menduga bahwa Kim Yu Ci itu tentulah seorang jago
silat yang menjadi sahabat Han Bun Liong. Menilik usianya
tak mungkin pemuda itu akan memiliki kepandaian yang
berlebih-lebihan. Dan agar tidak membuang waktu, begitu
menyerang dia terus melancarkan ilmu pedang anginpuyuh.
Memang kalau menilik usianya, apa yang diduga Pang
Kim itu memang tepat. Karena tentu tak pernah menduga
bahwa pemuda Kim Yu Ci adalah bekas ketua
perkumpulan Seng lian-kau yang pernah menggegerkan
dunia persilatan. Seng-lian-kau hendak memaksa semua
ketua persilatan dan kaum persilatan, masuk menjadi
anggauta dan tunduk pada perintah. Beberapa ketua
persilatan terpaksa datang untuk memenuhi undangan
ketua Seng-lian-kau. Tetapi dalam rapat itu mereka tak mau
tunduk dan akhirnya jadilah pertempuran dahsyat.
Pada waktu itu Kim Yu Ci sebagai ketua Seng-lian-kau
harus menghadapi keroyokan, beberapa ketua persilatan
yang sakti antara lain Gong siansu ketua Siau-lim-pay, Ang
Bin ketua Bu-tong-pay, Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay,
Ceng Sian suthay ketua Kun lun-pay, Segong In ketua
Kong-tong pay, Hoa Sia ketua Kay-pang dan Sian Li
sumoay dari Blo'on. Tetapi bukan saja sanggup menghadapi
keroyokan demikian banyak tokoh2 sakti, pun Kim Yu Ci
masih mampu mendesak mereka. Dari peristiwa itu
dapatlah dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian Kim
Yu Ci itu. Dia adalah murid dari Bu Ing lo-jin tokoh
istimewa dalam dunia pcrsilatan (Baca: Pendekar Blo'on).
Maka bukanlah suatu kesombongan apabila Kim Yu Ci
hanya memberi kesempatan lima jurus kepada Pang Kim.
Dalam tingkatan dunia persilatan, Pang Kim itu masih
tergolong jago kelas dua.


Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Satu....." Kim Yu Ci mulai menghitung jurus yang
dimainkan menghadapi serangan Pang Kim.
"Dua . . . tiga . . . empat ..."
"Uh . . . , " Pang Kim terhuyung-huyung mundur dan
muntah darah. Mukanya pucat seperti kertas.
Tetapi Kim Yu Ci tak mau mengejar melainkan berseru,
"Masih kurang satu jurus lagi. Engkau boleh beristirahat
memulangkan tenagamu!"
Melihat bahwa Kim Yu Ci pasti dapat menghancurkan
Pang Kim, karena diluap rasa kegirangan berserulah Han Bi
Ing, "Kim toako, perluapa harus memberi keringanan
kepada manusia semacam itu" Bereskan sajalah!"
"Jangan kuatir, Ing-moay. Tak nanti dia mampu lolos.
Biar dia mati dengan puas!" sahut Kim Yu Ci tertawa.
Terkejut hati Pang Kim mendengar pembicaraan itu.
Ternyata Han Bi Ing sudah kenal dengan Kim Yu Ci
bahkan kalau mendengar sebutan yang digunakan
keduanya, mereka sudah intim sekali.
Pang Kim adalah seorang tokoh golongan hitam yang
cerdik. Cepat dia mendapat pikiran bagaimana harus
mengatasi bahaya saat itu. Untuk melanjutkan pertempuran
jelas, dia tak mampu menang. Dia tentu mati. Maka dia
harus mencari jalan untuk lolos.
"Kim toa . . . . ih !" Han Bi Ing yang hendak melanjutkan
kata2nya dengan Kim Yu Ci terkejut sekali ketika bahunya
telah dicengkel oleh sebuah tangan yang kuat dan lehernya
terasa dilekati dengan benda tajam yang dingin.
"Bangsat 1" Kim Yu Ci terkejut dan terus hendak
menerjang. "Berani maju selangkah, nona ini tentu kupotong
lehernya !" seru Pang Kim. Dia telah melihat suatu
kesempatan baik untuk menyelamatkan diri, Cepat dia
loncat ke belakang Han Bi Ing dan menguasai nona yang
tenaganya masih hilang. "Bangsat apabila engkau berani mengganggu sehelai
rambut saja dari nona itu, engkau akan kucincang !" teriak
Kim Yu Gi. "Asal engkau jangan maju akupun tak mengganggu nona
ini !" "Kim toako, jangan hiraukan ocehannya bunuhlah dia !"
teriak Han Bi Ing. Tetapi Kim Yu Ci meragu. "Ya, apabila engkau menurut omongannya, dia tentu
kupotong lehernya !" ancam Pang Kim.
"Apa kemauanmu ?" seru Kim Yu Ci.
"Jangan ganggu aku!" sahut Pang Kim.
"Hm ....... "Jangan hiraukan aku Kim toako, bunuhlah bangsat ini
!" teriak Han Bi Ing.
"Asal engkau tidak mengganggu nona itu, aku takkan
mengganggumu !" "Ha, ha," P-ng Kim tertawa mengejek, "baik tapi nona
ini akan kubawa bersamaku."
"Kemana ?" "Ke gedung tihu !"
"Tidaaaaak !" teriak Han Bi Ing.
"Tinggalkan nona itu dan engkau boleh pergi. Aku
takkan mengganggumu ?"
Kembali Pang Kim tertawa mengekeh, "Apa jaminanku
atas kata-katamu itu ?"
"Aku seorang lelaki, apa yang kukatakan tentu kupegang
teguh !" "Ah, sukar," sahut Pang Kim. "aku belum kenal engkau
bagaimana aku begitu mudah mempercayai janjimu ?"
"Jangan mengukur orang dengan ukuran dirimu!" seru
Kim Yu Gi. "Heh, heh," Pang Kim tertawa mengekeh "memang
kalau baju sih boleh saja begitu. Tetapi menyangkut urusan
jiwa ! Dan jiwaku itu hanya satu lembar. Kalau dibuat
main2 dan sampai hilang, kemana aku harus mendapatkan
lagi ?" "Lalu bagaimana maksudmu ?"
"Nona ini akan kubawa ke gedung tihu. telah sampai
disana baru kulepaskan. Silakan engkau mengambilnya."
"Tidak!" bentak Kim Yu Gi, "Engkau boleh bebas tetapi
jangan membawa nona ini!"
Pang Kim merenung sejenak. Kalau dia tetap berkeras,
kemungkinan Kim Yu Gi akan nekat membunuhnya.
"Baik," akhirnya ia setuju, "tetapi engkau harus mundur
sampai jarak seratus tombak. Kemudian engkau harus
mengikat tubuhmu sendiri pada pohon. Tunggu setelah aku
tak kelihatan baru engkau boleh melepaskan diri!"
Kim Yu Ci tertawa dalam hati. Apabila Pang Kim
sampai mengganggu Han Bi Ing, tak mungkin orang itu
dapat lolos dari tangannya.
"Baik Kim Yu Gi terus mundur ke belakang sampai
berpuluh- puluh tombak. Setelah merasa aman, Pang Kim lepaskan Han Bi Ing
dan terus melesat lari.....
-0oodwoo0- Jilid 24 Setelah dapat membuat Kim Yu Ci tak berkutik. dengan
hati legah Pang Kim terus melesat pergi, Pikirnya, pokok
dia dapat menyelamatkan diri dulu, nanti melaporkan pada
tihu supaya mengerahkan pasukan untuk menggerebek
bekas gedung kediaman Han Bun Liong.
Tetapi baru belasan langkah dia lari, tiba2 sesosok tubuh
melesat dari balik pohon dan menghadangnya.
"Hai, engkau.....!" Pang Kim berteriak kaget dan berhenti
ketika melihat yang berdiri dihadapannya itu tak lain adalah
In Hong, dara yang ditinggal dalam ruang gedung tadi.
"Mau apa engkau ?" serunya setelah menenangkan hati.
"Membunuh engkau !" sahut In Hong dengan dingin.
"Ya." "Kenapa ?" "Karena engkau berani mati menculik cici-ku"."
"Urusan itu sudah selesai. Tuh, cicimu berada di
halaman. Aku tak mau mengganggu lagi,
"Tidak bisa "..!"
"Tidak bisa bagaimana ?"
"Sudah terlanjur. Engkau sudah menculik dia, mengapa
engkau mau meninggalkannya di halaman. Jangan
bohong!" "Ada seorang pemuda yang menghadang aku dan minta
supaya aku jangan membawa cicimu. Aku setuju tetapi
diapun tak boleh mengganggu aku. Dia juga setuju.
Sekarang mengapa engkau hendak menghadang aku ?"
"Siapa yang menyetujui engkau boleh pergi dari sini ?"
Tiba2 Kim Yu Ci datang dan Pang Kim makin terkejut,
"Apa engkau hendak menarik perjanjianmu ?" tegurnya
kepada Kim Yu Ci. Kim Yu Ci gelengkan kepala. "Tidak."
"Tuh dengar tidak, anak perempuan," kata Pang Kim
kepada In Hong. "Ya." "Bukankah dia sudah setuju takkan mengganggu aku?"
"Ya, itu urusan dia tetapi bukan aku?"
"Lho, apakah dia bukan koncomu?"
"Konco itu orangnya tetapi pendiriannya tidak harus
sama." Pang Kim berpaling kearah Kim Yu Ci, "Bagaimana ini"
Apakah engkau hendak main kayu?"
"Main kayu bagaimana?"
"Engkau mengatakan akan membebaskan aku, mengapa
kawanmu yang ini hendak menghadang aku?"
"Itu lain soal."
"Mengapa engkau tak dapat menyuruhnya ia jangan
mengganggu aku?" "Aku hanya berhak memerintah diriku, tidak berhak
memerintah orang lain."
"Hm, jelas engkau curang!"
"Jangan bicara seenakmu sendiri, bung!" sela Kim Yu Ci
dengan serius, "bagaimana engkau tahu kalau dia
kawanku?" "Tetapi bukankah dia kawanmu?" balas Pang Kim.
"Sukar untuk menentukan kawan atau lawan, lawan bisa
jadi lawan, lawan dapat menjadi kawan. Pokoknya,
urusanku dengan engkau boleh bebas, lain orang aku tak
tahu !" Pang Kim beralih keoada In Hong, serunya "Budak
perempuan, jangan bertingkah, apakah kau kira aku takut
kepadamu ?" "Siapa yang bilang engkau takut " Maka janganlah cari
alasan ini itu, merengek-rengek minta dilepaskan."
Marah hati Pang Kim. Dia merasa telah luka-dalam yang
cukup parah. Tenaganya hanya tinggal enam bagian tetapi
dia merasa masih mampu untuk menundukkan In Hong.
Dia segera mencabut pedang. Pertama, kali pedang
Soan-hong-kiam-hwat dari Pang Kim itu luar biasa
cepatnya. Hanya karena saat itu dia sudah terluka-dalam,
maka gerakannya pun kurang cepat.
In Hong gemas sekali dengan kaki tangan orang Boan
itu. Dia mainkan sepasang pedangnya makin gencar
sehingga Pang Kim terdesak. Napasnya sudah mulai
memburu keras dan kepalanya bersimbah karingat. Ia tak
menduga bahwa darra yang waktu di dalam ruang gedung
tadi lemah lunglai, ternyata sekarang menjadi begitu
beringas dan tangkas seperti kelinci.
"Bagus adik Hong, bereskan antek tihu keparat itu!" seru
Han Bi Ing. Ternyata nona itupun sudah sembuh karena
diberi pil oleh Kim Yu Ci. Kini dia berdiri di samping
pemuda itu. "O, cici Ing, engkau sudah sembuh ?" seru In Hong
dengan gembira. "Ya .... hai, awas bahumu kanan"..," teriak Han Bi Ing
ketika melihat In Hong agaknya tak memperhatikan
tabasan pedang lawan. "Jangan kuatir, cici," seru In Hong, seraya menggeliatkan
tubuh untuk menghindari tabasan pedang," masakan antek
orang Boan ini mampu melukai aku !"
Pang Kim mengertek gigi. Berulang kali dimaki sebagai
antek orang Boan, malu dan marah juga hatinya. Lebih
malu pula karena yang memaki-maki itu seorang anak
perempuan yang centil. "Budak perempuan, engkau tentu kucincang serunya
menghamburkan ledakan kernarahannya.
"Ci Ing, engkau minta apanya" Kaki atau tangannya"
Aku akan memotongnya!" In Hong tak menggubris bahkan
malah bertanya kepada Han Bi Ing.
"Potong saja ibu jarinya!" seru Han Bi Ing.
"Baiklah, tunggu sebentar!" seru In Hong seraya
melancarkan sebuah serangan yang istimewa. Pedang kiri
melingkar untuk membacok bahu, begitu Pang Kim hendak
songsongkan pedangnya menangkis, tiba2 pedang di tangan
kanan In Ho bergerak secepat kilat dan tahu2 crassss ........
"Aduh ........ , " Pang Kim menjerit karena jempol
tangannga terpapas hilang.
Jurus Song-tiap toh-bi atau Sepasang-kupu2 berebutmadu,
adalah jurus yang dimainkan In Hong. Dengan gaya
sepasang kupu saling berebutan, kedua pedangnya bergerak
susul menyusul dan berhasillah dia memotong ibu jari
tangan kanan lawannya. "Ci Ing, puas?" serunya.
"Belum." "Lho, minta apa lagi?"
"Telinganya yang kiri."
"Lho, buat apa telinga" Kalau telinga babi sih enak
dimasak. Tetapi kalau telinga antek orang Boan busuk
baunya, lho!" "Biar telinganya lebih tajam pendengarannya, bahwa
orang yang mau bekerja pada musuh itu disebut antek atau
penghianat!" sahut Han Bi Ing.
"Benar, ci Ing," seru In Hong, "sekarang sebagai cap
bahwa setiap orang yang daun telinganya tinggal satu,
adalah antek musuh. Nanti akan kusiarkan kepada seluruh
rakyat, biar mereka tahu!"
Di gedung residen, Pang Kim mandapat kedudukan yang
tinggi. Sebagai orang kepercayaan residen Sou Kian Hin,
dia dihormati orang. Tingkhnya seperti pembesar saja.
Tetapi saat itu dia diperlakukan tak lebih seekor babi yang
hendak dipotong jarinya diiris telinganya. Siapa yang tak
meledak dadanya kalau diperlakukan begitu"
"Budak perempuan, aku akan mengadu jiwa dengan
engkau!" teriak Pang Kim dengan kalap. Dia sudah tak
kuasa mengendalikan kemarahannya lagi. Dia menyerang
seperti anjing gila. Mendapat serangan itu mau tak rnau In Hong harus
sibuk menjaga diri juga. Untuk beberapa saat dia memang
di pihak yang diserang. "Awas, adik Hong, dia mengamuk," seru Han Bi Ing.
"Ya. memang begitulah kalau babi hendak disembelih.
Tentu berkuik-kuik dan kalap," sahut In Hong.
Sudah tentu Pang Kim makin kalap. Diserangnya dara
itu dengan ganas sekali. "Cret"." tiba-tiba ia rasakan
telinga kanannya sakit sekali dan lehernya seperti dialiri air.
Waktu tanganya mengusap, ah, darah merah. Dan waktu
meraba telinganya, aduhhhh .... , . hilang !
"Mau minta apa lagi cici ?" seru In Hong tertawa.
"Bagaimana ya kalau hidungnya sekali dipapas supaya
lengkap?" sahut Han Bi Ing.
"Lengkap bagaimana ?"
"Lengkap menjadi manusia setan !"
"O, untuk menakuti anak-anak " Ya, ya, bagus, bagus !"
seru In Hong. Tetapi pada saat itu terdengar derap kuda lari
mendatangi. "Adik Hong, ada pasukan kuda datang mari !" seru Han
Bi Ing. "Siapa ?" "Entah......"

Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru Han Bi Ing berkata begitu, muncul sekawan prajurit
berkuda yang terdiri dari duapuluh orang.
"Hai, prajurit, lekas kemari! Tangkap penjahat ini!' seru
Pang Kim dengan girang karena tahu bahwa pasukan
terkuda itu adalah prajurit dari tihu.
Memang benar, pasukan prajurit berkuda itu disuruh Sou
tihu untuk menyusul Pang Kim. Tihu kuatir bahwa akan
terjadi sesuatu pada Pang Kim.
Kedatangan Han Bi Ing dan In Hong ke gedung keluarga
Han, cepat dilaporkan oleh mata-mata yang sengaja
ditanam di tempat itu. Begitu Han Bi Ing datang, orang itu
harus segera melapor pada tihu. Itulah sebabnya maka tihu
segera tahu kalau Han Bi Ing datang. Dia segera memanggil
Pang Kim dan Lim Tong. Tihu suruh Pang Kim dan Lim
Tong membawa pasukan tetapi kedua orang itu menolak.
Untuk menangkap seorang nona yang lemah, mengapa
harus membawa pasukan, kata Pang Kim.
Ternyata sudah beberapa jam belum juga Pang Kim dan
Lim Tong pulang. Tihu sibuk dan segera suruh prajurit
untuk menyusul. Ternyata kedatangan prajurit berkuda itu
memang tepat pada waktunya. Saat itu Pang Kim sedang
diambang kematian. Bagai ikan mendapat air, seketika
semangat Pang Kim hidup lagi.
Duapuluh prajurit berkuda yang bersenjata lengkap,
Pecut Sakti Bajrakirana 11 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Pedang Hati Suci 5
^