Musibah Kedua 2
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil Bagian 2
Perhatian Corky beralih kembali kepada para cheerleader, yang
sudah siap mengulangi gerakan tadi. Corky menatap mereka satu per
satu, dan seketika segudang kenangan bangkit dalam ingatannya.
Itu Kimmy, si kapten. Seperti biasa wajahnya tampak bersemu
merah, dan rambutnya yang hitam berayun-ayun ketika ia melompatlompat penuh semangat sambil menoleh untuk memastikan anak-anak
lain berbaris dengan rapi.
Di sampingnya ada Ronnie, si rambut merah, yang sedang
membisikkan sesuatu kepada Debra. Ia tampak seperti anak kecil
dengan celana pendek kelabunya dan T-shirt putih tanpa lengan.
Debra tersenyum, dan matanya mulai berbinar-binar. Di
sampingnya, Megan Carman dan Heather Diehl, dua sahabat karib
yang sepertinya selalu bersama-sama, sedang asyik mengobrol.
Kimmy meniup peluit dan mereka mulai berlatih lagi, kali ini
lebih bersemangat. Lompatan mereka pun lebih tinggi dari
sebelumnya. Ronnie meloncat terlalu cepat dan mendarat dengan
kikuk, tapi rekan-rekannya melakukan gerakan penutup itu dengan
serempak. Kemudian Kimmy melihat Corky. Ia segera bergegas
menghampirinya. "Hai! Jadi juga kau datang!"
"Yeah," sahut Corky sambil tersenyum. "Gerakan tadi benarbenar bagus." Ia maju beberapa langkah.
Sebuah bola basket menggelinding ke arah mereka. Kimmy
menangkapnya dan melemparkannya kembali kepada Gary Brandt,
yang melambai-lambaikan tangan dari seberang lapangan.
"Halo, apa kabar, Corky" Saya senang sekali kau mau datang
lagi," ujar Miss Green, yang telah menyusul Kimmy. Ia berpaling
kepada yang lain. "Hei, coba lihat siapa yang datang!"
"Kau mau bergabung lagi?" tanya Heather ketika semuanya
mengelilingi Corky. Mereka langsung memberondongnya dengan
seribu satu pertanyaan. "Satu per satu dong!" seru Kimmy sambil tertawa. "Wah, kau
seperti superstar saja," ia berbisik kepada Corky.
"Kalau Corky balik lagi, kita bisa mulai berlatih gerakan
piramida diamond-head," Megan berkata penuh semangat. "Seperti
yang kau dan Bobbi perlihatkan kepada kami." Megan terdiam. Ia
langsung menyesal telah menyebutkan nama Bobbi.
"Kita coba saja," balas Corky, yang sadar bahwa Megan salah
tingkah. Ia menatapnya sambil tersenyum. "Tapi aku masih agak kaku
karena sudah lama tidak latihan." Ia menepuk-nepuk perutnya.
"Lemak semuanya. Rasanya seberat karung beras."
"Ah, kau tetap langsing seperti biasa," komentar Kimmy, dan
yang lain pun sependapat.
Jangan-jangan mereka disuruh Miss Green untuk bersikap
ramah padaku, Corky mendadak bertanya dalam hati. Atau mereka
benar-benar senang aku bergabung"
Hanya Debra yang kelihatan kurang bersemangat. Ketika Corky
berjalan ke dinding untuk meletakkan ransel, ia melihat Debra
mengikutinya. "Aku bisa merasakannya," Debra berkata pelan-pelan.
"Hmm?" Corky menaruh ranselnya di samping ransel-ransel
yang lain, lalu berpaling kepada Debra.
"Aku bisa merasakannya," bisik Debra sambil menatap Corky
dengan matanya yang biru. Dengan gelisah ia memutar-mutar kalung
kristal di lehernya. "Merasakan apa?" tanya Corky. Kembali berlatih saja sudah
membuatnya gugup. Dan sikap Debra yang misterius sama sekali
tidak membantu menenangkan pikirannya.
"Roh jahat itu," Debra kembali berbisik. Ia melirik kepada
cheerleader lainnya yang sudah mulai berlatih lagi.
"Debra...," ujar Corky.
"Aku bukannya mau menakut-nakutimu," tukas Debra dengan
ketus. "Aku benar-benar merasakannya. Aku tahu roh jahat itu ada di
sini. Di gedung olahraga ini." Ia menggenggam kalung kristalnya
dengan begitu erat sehingga tangannya memutih.
Pandangan Corky beralih kepada anak-anak yang lain. "Nanti
saja kita bicarakan, oke?" katanya. "Aku memang perlu bicara
denganmu, tapi jangan sekarang."
"Oke." Debra tampak tersinggung. "Cuma kupikir kau perlu
tahu." Kimmy meniup peluitnya. Corky melihat Miss Green berdiri di
depan ruang kerjanya yang berdinding kaca di sudut gedung. Wanita
itu sedang memperhatikan mereka sambil mengerutkan kening.
"Ayo, Corky!" Kimmy berseru penuh semangat. Ia berpaling
kepada yang lain sambil menepis rambut yang menutupi matanya.
"Kita mulai dengan latihan round-off. Kita ulangi gerakan terakhir
supaya Corky bisa mencobanya. Kau sudah tahu kan bagaimana
gerakan itu, Corky?"
Corky menggelengkan kepala. "Belum. Aku baru dua kali
melihat kalian memperagakannya. Tapi aku bisa belajar sambil jalan."
"Oke," sahut Kimmy sambil tersenyum hangat. "Sebenarnya
mudah kok. Coba saja." Ia memberi isyarat agar Corky ikut berbaris.
Lutut Corky terasa gemetar ketika ia mengambil tempat di
ujung barisan, bersebelahan dengan Heather. "Oh-oh, ini bakal
kacau," gumamnya. Heather menepuk pundak Corky untuk membesarkan hatinya.
"Ikuti saja setiap gerakanku," katanya sambil tersenyum. "Kalau
begitu, pasti kacau."
Ia dan Corky tertawa. Semuanya begitu baik terhadapku, pikir Corky dengan gembira.
Tapi kemudian senyumnya segera lenyap.
Semuanya begitu baik. Rasanya sukar dipercaya bahwa roh
jahat itu menguasai salah satu cheerleader.
"Oke. Siap?" Kimmy maju selangkah untuk memeriksa barisan,
lalu kembali ke tempat semula. "Pada hitungan ketiga. Satu. Dua.
Tiga." "Hei, you!" mereka mulai bersorak, kemudian bertepuk tangan
dua kali dengan keras. "Yeah, you!" Corky menyerukan kata-kata itu sambil memperhatikan Heather
agar dapat mengikuti iramanya.
Ternyata tidak terlalu sulit, katanya dalam hati.
Dan kemudian ia mendengar jeritan itu.
Seorang gadis menjerit ketakutan, keras sekali. Begitu dekat,
seolah-olah di dalam kepala Corky.
Sorak-sorai para cheerleader dikalahkan oleh suara mengerikan
tersebut. Corky menutup telinga dengan kedua tangan, tapi jeritan itu
tetap terdengar. "Tolong dia! Tolong anak itu!" pekik Corky sambil
memejamkan mata erat-erat.
Ketika membuka mata lagi, ia melihat rekan-rekannya telah
berhenti berlatih dan sedang terpana menatapnya.
Bab 8 Corky Terperangkap "CORKY, ada apa?" Kimmy segera bergegas menghampirinya.
Begitu sorak-sorai para cheerleader berhenti, jeritan itu pun tak
terdengar lagi. Corky mengedip-ngedipkan mata. Jantungnya
berdebar, dan ia merasa pusing. Meskipun suara teriakan itu telah
berhenti, gemanya terus terngiang-ngiang di telinganya.
Dengan lembut Kimmy menggenggam pundak Corky. "Ada
apa" Kau baik-baik saja?"
Corky menatap teman-temannya satu per satu. Semuanya
tampak khawatir. "Kalian tidak dengar jeritan itu?" tanya Corky.
Heather dan Megan menggelengkan kepala, lalu berpandangan.
Debra menatap Corky dengan tajam. Ronnie menundukkan kepala.
Miss Green tadi telah masuk ke ruang kerja sebelum mereka mulai
berlatih lagi. "Kami tidak mendengar apa-apa," ujar Kimmy. "Kau duduk
dulu deh." "Tidak usah." Corky menggelengkan kepala dan memaksakan
senyum. "Mungkin aku cuma salah dengar."
"Sudah, duduk saja dulu," desak Kimmy. "Supaya kau bisa
lebih tenang." "Tidak usah. Lebih baik kita langsung latihan lagi," balas
Corky. Debra memutar-mutar kalung kristalnya. Ketika sadar bahwa
Corky memperhatikannya, ia segera menyisipkan kalungnya ke balik
T-shirt. "Ayo dong," Corky berkeras sambil kembali ke barisan. "Aku
mau coba lagi." Dengan berat hati Kimmy kembali ke ujung barisan. Ronnie
menanyakan sesuatu padanya, tapi Kimmy cuma angkat bahu. Anakanak lain pun mengambil tempat masing-masing.
Aku pasti bisa, ujar Corky dalam hati. Aku harus berhasil.
Ia melengkungkan punggung, meluruskan kaki, lalu menunggu
aba-aba dari Kimmy. Kali ini pasti bisa. Tapi begitu para cheerleader mulai bersorak-sorai, jeritan
menakutkan itu pun terdengar lagi.
Terus-terusan. Jeritan ketakutan seorang gadis, melengking
tinggi"di dalam kepala Corky.
"Jangan! Jangan! Berhenti!" teriak Corky sambil menutup
telinga dan jatuh berlutut.
Para cheerleader segera mengerumuni Corky, dan jeritan-jeritan
itu pun berhenti lagi. Kimmy meraih tangan Corky dan membantunya berdiri.
"Corky, ada apa?"
"Jeritan itu ada lagi," kata Corky terbata-bata. "Aku
mendengarnya lagi." Matanya berkunang-kunang. Di ujung lapangan, beberapa
pemain basket telah menghentikan latihan mereka dan sedang
memandang ke arah para cheerleader.
Semuanya terasa kabur bagi Corky. Berbagai suara dan warna
bercampur baur menjadi satu.
Kimmy menggiringnya ke pinggir. "Kau sakit kepala?"
tanyanya dengan lembut. "Tidak," Corky menjawab ragu-ragu. "Rasanya tidak.
Maksudku... aku cuma mendengar seseorang menjerit." Ia menatap
Kimmy. "Kau betul-betul tidak mendengar apa-apa?"
Kimmy menggelengkan kepala. "Aku akan panggil Miss Green.
Barangkali kita perlu cari dokter."
"Jangan!" seru Corky. "Maksudku... aku tidak perlu dokter. Aku
mau duduk sebentar dan menonton kalian berlatih. Nanti aku mungkin
ikut round-off bersama yang lain. Sekadar untuk... ehm... melemaskan
otot." Ya ampun, bicaraku tak keruan, ujar Corky dalam hati. Gedung
olahraga yang terang-benderang seakan-akan berputar di depan
matanya. Aduh, kenapa sih aku"
Kimmy tampak cemas sekali. Ia menggelar jaketnya di lantai
agar Corky bisa mendudukinya. "Barangkali kau mau minum sedikit?"
ia bertanya. Corky melihat anak-anak lain berkerumun sambil berbisikbisik. Sesekali mereka melirik ke arahnya, lalu segera berpaling lagi
sambil geleng-geleng kepala.
Mereka pasti menyangka aku sudah gila, pikir Corky sedih.
"Corky, kau mau minum?" Kimmy mengulangi.
"Oh. Ehm... sorry. Tidak, terima kasih. Aku tidak mau minum."
Ia menatap Kimmy sambil memaksa diri tersenyum. "Aku tidak apaapa kok. Ayo, teruskan latihan. Aku nonton saja dari sini."
Kimmy berbalik dan menghampiri yang lain sambil berlari
kecil. Kenapa Debra tersenyum-senyum seperti itu" Corky bertanya
dalam hati. Temannya itu kembali memegang-megang kalung
kristalnya. Ia tampak tersenyum puas.
Kenapa dia kelihatan begitu senang" Corky bertanya pada
dirinya sendiri. Begitu menyadari bahwa Corky menatapnya, Debra langsung
berbalik. Kimmy memberi aba-aba agar mereka kembali berbaris. "Siap,
semuanya?" Sambil tetap menduduki jaket Kimmy, Corky menyandarkan
badan ke dinding gedung olahraga. Ia memejamkan mata dan menarik
napas dalam-dalam. "Hey, you!" para cheerleader mulai bersorak.
Seketika jeritan-jeritan itu terdengar lagi.
Begitu keras. Begitu dekat.
Corky melompat berdiri. Ia memandang berkeliling, mencaricari gadis yang menjerit itu.
Tak ada siapa-siapa. Para cheerleader meneruskan latihan. Tapi suara mereka
dikalahkan oleh jeritan-jeritan ketakutan tersebut.
"Jangan!" pekik Corky. "Berhenti!" Sambil menutupi kedua
telinganya, ia berlari ke pintu.
Jeritan-jeritan itu tetap mengikutinya ketika ia menghambur ke
luar"dan menabrak anak muda bermata kelabu yang sempat
mengejarnya di Pemakaman Fear Street.
Bab 9 "Kau Tidak Tahu Siapa Aku?"
SAMBIL menahan napas Corky menatap wajah pemuda yang
tampak kaget itu. Matanya benar-benar kelabu. Seperti mata hantu. Seperti mata
monster. Pemuda itu menggenggam lengan Corky dengan erat, tepat di
atas siku. Ia mengenakan jaket kulit penerbang berwarna cokelat.
Napasnya berbau peppermint.
"Lepaskan aku!" seru Corky.
Pemuda itu memicingkan mata. Ekspresi wajahnya berubah dari
kaget menjadi mengancam. "Lepaskan aku!" Corky menarik lengannya dengan keras.
"Hei!" seru pemuda itu dengan gusar.
Corky cepat-cepat berbalik dan mulai berlari. Suara langkahnya
pada lantai beton terdengar bergema.
"Berhenti!" teriak pemuda itu dengan suara parau.
Siapa dia" Corky bertanya-tanya. Kenapa dia membuntutiku"
Dan bagaimana dia bisa menemukanku di sini"
Corky menoleh ke belakang dan melihat pemuda itu
mengejarnya. Wajahnya tampak geram, dan ia merentangkan tangan
seakan-akan sudah siap menangkapnya.
Corky berlari melewati deretan locker dan bergegas menaiki
tangga di ujung koridor. "Berhenti!" pemuda itu kembali berseru. Suara langkahnya
terdengar begitu dekat. Setelah sampai di puncak tangga, Corky menarik napas
panjang, membelok ke kanan, tapi kemudian berubah pikiran. Ia
menyusuri koridor di sebelah kirinya dengan berlari sekencang
mungkin. "Tolong! Tolong!" teriaknya terengah-engah.
Tapi koridor itu sunyi dan sepi. Jam di dinding menunjukkan
pukul 16.25. "Tolong!" Corky menoleh tepat pada waktu pengejarnya muncul di ujung
tangga. Pemuda itu menengok ke kanan, kemudian melihat Corky di
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
koridor sebelah kiri. "Tunggu!" ia berseru, lalu berlari menghampiri Corky.
Tampangnya keras dan gusar.
Corky memekik tertahan. Cepat-cepat ia membelok dan
mencari tempat bersembunyi.
Sebuah ide terlintas dalam benaknya"ia bisa masuk ke salah
satu locker terbuka dan menarik pintunya sampai menutup. Tapi
semua locker di kedua sisi koridor tertutup rapat.
"Hei!" Pemuda itu sudah hampir membelok.
Napas Corky tersengal-sengal. Mulutnya kering, dan kepalanya
berdenyut-denyut. Aku tidak bisa lari terus, katanya dalam hati. Langsung saja ia
masuk ke sebuah ruang kelas dan berdiri merapat ke dinding.
Apakah pemuda itu sempat melihatnya" Apakah orang itu akan
menyusulnya" Corky memandang berkeliling dan melihat deretan meja
panjang, kursi tinggi, alat pembakar Bunsen, serta berbagai peralatan
lain. Baru sekarang ia sadar telah masuk ke lab IPA. Sejenak ia
hendak memanggil Mr. Adams"guru itu kadang-kadang lembur,
memeriksa kertas-kertas ulangan di ruang kerja kecil di bagian
belakang lab. Tapi suara langkah pemuda tadi terdengar tepat di depan pintu.
Corky tidak bisa berseru. Ia hanya bisa menahan napas dan berdoa
dalam hati sambil merapat ke dinding. Pinggangnya masih serasa
ditusuk-tusuk, dan kepalanya masih berdenyut-denyut.
Barangkali pemuda itu akan berlari melewati pintu lab.
Barangkali ia akan menghentikan pengejaran dan pergi.
Corky memasang telinga. Suara langkah itu berhenti. "Hei!"
Pemuda itu berada tepat di depan pintu lab.
Corky memejamkan mata. Jangan masuk, jangan masuk, jangan
masuk, ia mengulang-ulang dalam hati.
Ia mendengarnya berhenti.
Ia mendengarnya menendang sebuah pintu locker.
Apakah pemuda itu melihat pintu lab yang terbuka" Apakah ia
akan mengintip ke dalam" Apakah ia akan memergoki Corky di
tempat persembunyiannya"
Kalau dia masuk, aku bakal terjebak di sini, pikir Corky. Aku
takkan bisa keluar. Ia bakal terperangkap. Seperti tikus-tikus percobaan yang
dipelihara Mr. Adams dalam kandang di dekat jendela.
Jangan masuk, jangan masuk, jangan masuk...
Dan kemudian Corky mendengarnya kembali berlari. Ia
mendengar suara langkahnya menjauh di koridor.
Corky bergerak menjauhi dinding. Baru sekarang ia berani
menarik napas lagi. Dia pergi. Dia lari ke ujung koridor.
Aku berhasil mengelabuinya.
Ia bersandar pada salah satu meja lab. Sambil menundukkan
kepala, ia menarik napas panjang.
Kemudian ia mengangkat dagu dan memasang telinga.
Hening. Ia menunggu. Hening. Ia menunggu apakah pemuda itu kembali lagi. Tapi suasana di
koridor tetap sunyi. "Aku tidak apa-apa," katanya. "Aku tidak apaapa." Namun lututnya masih gemetaran dan kepalanya tetap
berdenyut-denyut. Dengan hati-hati ia menuju ke pintu"dan secara bersamaan bel
di koridor mulai berdering menandakan pukul 16.30.
Corky tersentak kaget. Ia melompat mundur dan menabrak meja
lab. "Aduh." Keheningan terasa mencekam ketika bel itu akhirnya berhenti
berdering. "Bel konyol," ujar Corky dengan gusar. "Bikin kaget saja."
Jantungnya masih berdebar-debar ketika ia menghampiri pintu
lab, lalu dengan hati-hati melangkah ke luar.
Sekonyong-konyong sebuah tangan menggenggam pundaknya
dengan kasar dari belakang.
Pemuda itu menarik tubuh Corky sampai membalik. Ia menatap
Corky dengan pandangan setajam pisau.
"Lepaskan aku!" Corky berteriak dengan suara melengking
yang tak dikenalinya. "Kita harus bicara," kata pemuda itu. "Kau tidak tahu siapa
aku?" Corky menggelengkan kepala. "Tidak. Siapa kau?"
Pemuda itu memicingkan mata. Ia semakin keras menggenggam
pundak Corky. "Aku si roh jahat," ia memperkenalkan diri.
Bab 10 "Aku si Roh Jahat"
"HAH?" Corky terbengong-bengong. Kedua lututnya seakanakan tak sanggup lagi menopang badannya.
Pemuda itu menggenggam pundak Corky dengan dua tangan. Ia
menatap matanya, mengamati wajahnya"mengamati ketakutannya.
"Aku si roh jahat," ia kembali berkata, kali ini sambil
tersenyum. "Jangan," bisik Corky. "Lepaskan aku. Jangan ganggu aku
lagi." Di luar dugaan Corky, pemuda itu melepaskannya. Ia sampai
terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak dinding. Ia mengaduh
pelan, lalu menggosok-gosok lengan.
"Sepertinya kau benar-benar ketakutan," ujar pemuda itu.
Bagian bawah wajahnya terselubung bayang-bayang. Matanya terus
menatap Corky dan menyorot bagaikan lampu mobil dalam
kegelapan. "Sepertinya kau benar-benar percaya."
"Kenapa..." Corky menunggu sampai denyut jantungnya
kembali normal. "Kenapa kau bilang begitu" Siapa kau sebenarnya?"
Ia merapat ke dinding sambil melirik ke kiri-kanan untuk
mencari kesempatan melarikan diri.
"Kau kabur seakan-akan aku memang roh jahat," ujar pemuda
itu. "Kau takut padaku. Kau ketakutan, kan" Dan memang sudah
seharusnya kau takut!"
"Siapa kau?" seru Corky gusar.
"Aku Jon Daly. Kakaknya Jennifer."
Corky terkesima. "Kakak Jennifer" Aku tidak tahu Jennifer
punya kakak." "Sekarang kau sudah tahu, dan kau juga tahu kenapa aku
mengikutimu," kata Jon.
"Belum," balas Corky dengan suara gemetar. "Aku belum tahu.
Kenapa kau mengikutiku" Kenapa kau mengejar-ngejarku?"
"Karena aku tidak percaya segala omong kosong yang
kudengar," jawab Jon getir.
"Omong kosong" Omong kosong apa?" tanya Corky. Ia benarbenar bingung.
"Omong kosong bahwa adikku kemasukan roh jahat. Aku tidak
percaya takhayul." "Aku percaya," ujar Corky pelan-pelan. "Aku ada di kuburan
malam itu. Aku terpaksa bertarung dengan Jennifer, dengan roh jahat
yang menguasai dirinya."
"Hah, kau boleh percaya," tukas Jon kesal. Ia mengepalkan
tangan seolah-olah hendak menyerang. "Kau percaya setan karena kau
tidak mau mengakui telah membunuh Jenniferl"
"Hei, tunggu dulu...," Corky menyahut. Ia kembali dicekam
ketakutan. Lututnya terasa lemas dan pelipisnya mulai berdenyutdenyut lagi. "Tunggu dulu, Jon. Aku bukan pembunuh. Adikmu..."
"Kau membunuhnya," tukas Jon sambil melotot. Ia merapatkan
wajahnya ke wajah Corky. "Kau membunuh adikku. Lalu kau
mengarang cerita yang tak masuk akal. Adikku tidak jahat, dan dia
tidak seharusnya mati seperti itu. Kau yang jahat"dan aku akan
membuktikannya." "Ti-tidak. A-adikmu...," Corky membantah sambil tergagapgagap. "Roh jahat itu..."
Jon menggenggam kedua bahu Corky. "Aku sudah bilang,"
katanya kesal, "aku tidak percaya takhayul. Tapi kau tahu tidak,
Corky" Aku bakal jadi roh jahat bagimu."
"Hah" Apa maksudmu?"
"Aku akan mengawasimu. Aku akan membayang-bayangimu
dan teman-temanmu, sampai aku tahu bagaimana kejadian
sesungguhnya. Sampai aku bisa membuktikan kau membunuh
adikku." "Hei, ada apa itu?" sebuah suara berseru dari ujung koridor.
Corky menoleh dan melihat seseorang berbadan kekar berlari ke arah
mereka. Jon melepaskan Corky dan berbalik untuk menghadapi orang
itu. "Corky, kau tidak apa-apa?" Orang itu ternyata Chip.
"Chip!" Corky berseru lega.
Jon bergegas ke arah yang berlawanan, lalu membelok ketika
Chip sampai di tempat Corky.
Corky bersandar pada sebuah locker dan berusaha mengatur
napasnya. "Siapa itu" Kau tidak apa-apa?" tanya Chip. Matanya tertuju ke
ujung koridor untuk berjaga-jaga seandainya Jon kembali.
"Aku tidak apa-apa," sahut Corky.
"Tapi siapa sih itu?" Chip mengulangi pertanyaannya. "Mau apa
dia?" Corky menarik napas panjang seraya berpegangan pada pundak
Chip yang lebar. Ia langsung merasa lebih aman. "Kakaknya
Jennifer," ia memberitahu Chip. "Jon Daly. Dia yang mengejarku di
kuburan dan mengikutiku ke rumah."
Chip menepuk keningnya dengan sebelah tangan. "Jon Daly. Ya
ampun. Kok aku bisa lupa?"
Corky tetap bersandar pada Chip ketika ia minta diantar ke
locker-nya. Ia lupa membawa jaketnya ke gedung olahraga waktu
latihan tadi. "Apa maksudmu?" tanya Corky. "Kau kenal dia?"
Chip menggelengkan kepala. "Tidak. Tapi aku ingat dia. Dia
kan yang hampir mengamuk waktu Jennifer dikubur. Kau ingat
tidak"dia sampai harus dijaga beberapa orang supaya tidak berbuat
macam-macam?" "Aku tidak begitu ingat," Corky mengakui. "Semuanya serba
samar-samar." Ia menarik pintu locker-nya.
"Orangnya aneh," ujar Chip sambil menggelengkan kepala.
"Dan dia memang pengacau. Dari dulu dia selalu membuat onar.
Bahkan sampai dikeluarkan dari sekolah."
"Hah" Masa sih?" tanya Corky. Ia menggenggam tangan Chip
dengan erat. "Yeah. Empat atau lima tahun lalu, waktu dia masih sekolah di
sini. Aku tidak ingat persis bagaimana kejadiannya. Kalau tidak salah,
dia memukul guru, dan gara-gara itu dia dikeluarkan dari Shadyside
High. Orangtuanya lalu mengirim dia ke sekolah asrama di luar kota."
"Uih." Tangan Corky gemetar ketika ia berusaha membuka
kunci locker-nya. "Dia pikir aku membunuh Jennifer."
"Dia mengancammu?" tanya Chip, ketika Corky membungkuk
untuk mengambil jaketnya yang terjatuh ke lantai locker.
"Bisa dibilang begitu. Katanya, dia akan mengawasi aku,"
jawab Corky. "Dia mau mengawasi kita semua sampai dia berhasil
mengetahui kejadian sesungguhnya."
"Ada-ada saja," komentar Chip singkat.
"Dia benar-benar marah tentang adiknya. Dia tidak percaya apa
yang terjadi memang benar. Padahal... padahal aku juga kehilangan
kakakku," ujar Corky dengan getir sambil membanting pintu locker.
"Seharusnya aku bilang begitu tadi."
Chip merangkul Corky untuk menenangkannya. "Kita harus
berhati-hati terhadap dia," ia berkata. "Kelihatannya dia bakal
membuat masalah." Mereka menuruni tangga, dan Chip memungut ransel Corky
yang masih tergeletak di lantai koridor bawah. Kemudian mereka
keluar, disambut oleh langit yang kelabu. "Dia bakal membuat
masalah," ulang Chip.
Jon memang mendendam padaku, Corky berkata dalam hati.
Tapi apakah ia cukup nekat untuk mencelakakan aku"
Bab 11 Tarian di Kuburan SEUSAI makan malam, Corky naik ke kamar Sean untuk
bermain Nintendo bersama adiknya itu. Namun tak lama setelah
mereka memulai pertandingan basket, telepon berdering. "Biarkan
saja," kata Sean tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV. Ia
sedang sibuk menekan-nekan tombol pada alat pengendali dengan
kedua jempolnya. "Siapa lagi yang akan mengangkat telepon kalau bukan aku?"
balas Corky. Ia meletakkan alat pengendalinya dan bergegas melintasi
ruangan. "Kau lupa, ya, selain kita tidak ada siapa-siapa di rumah?"
"Huh! Pokoknya, aku tidak mau tunggu sampai kau balik. Aku
mau main terus," Sean mengancam. "Kau bakal kalah."
Corky pergi ke kamarnya dan mengangkat gagang telepon di
meja kecil di samping tempat tidur. Ternyata Kimmy yang
menelepon. "Oh, hai," ujar Corky tanpa semangat.Berkat bermain Nintendo
dengan adiknya ia telah berhasil melupakan kejadian-kejadian
menakutkan sore tadi. Tapi ketika mendengar suara Kimmy, ia
langsung teringat lagi. "Aku cuma mau tanya bagaimana keadaanmu," kata Kimmy.
"Ya, lumayan," jawab Corky. "Aku tetap belum bisa
menjelaskan..." "Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa," tukas Kimmy.
"Sebenarnya aku ingin sekali bergabung lagi dengan kalian,"
ujar Corky. Dengan gelisah ia melingkarkan kabel telepon pada
pergelangan tangannya. "Tapi jeritan-jeritan itu..."
"Jangan menyerah," Kimmy membesarkan hatinya.
"Habis, bagaimana lagi" Aku..."
"Jangan menyerah," Kimmy mengulangi. "Kau pasti sanggup
mengatasi ini, Corky. Aku tahu kau sanggup. Besok kita latihan lagi.
Kau datang, ya." Corky melepaskan kabel telepon yang melilit pada pergelangan
tangannya. "Rasanya aku tidak bisa."
"Coba sekali lagi deh," Kimmy mendesak. "Datanglah sehabis
sekolah besok." "Aku... aku tidak bisa," ujar Corky. Ia melepaskan kabel telepon
dan menempelkan tangan pada dinding yang dilapisi wallpaper
bermotif bunga. "Aku baru ingat. Aku ada ulangan susulan besok. Di
lab IPA." "Kalau begitu, datang saja hari Jumat. Jumat juga ada latihan,"
Kimmy berkeras. "Pokoknya, jangan menyerah, Corky. Cobalah
sekali lagi. Kami benar-benar mengharapkanmu mau kembali."
Tenggorokan Corky serasa tersekat karena terharu. Kimmy
berusaha keras untuk bersikap ramah padanya. "Terima kasih,
Kimmy," ia terbata-bata. "Barangkali aku akan datang. Aku belum
tahu harus bagaimana. Aku cuma ingin agar semuanya kembali
normal. Tapi setiap kali ada saja yang terjadi, dan..." Ia tak tahan lagi.
"Roh jahat itu, Kimmy. Dia kembali. Dia tidak menghilang malam
itu." "Apa" Corky, kau jangan..." Nada suara Kimmy penuh
kecemasan.
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengarkan aku," Corky menukas, lebih ketus dari yang
diperkirakannya. "Menurutmu, apa yang menyebabkan jeritan-jeritan
mengerikan di dalam kepalaku" Pasti roh jahat itu. Dia ada di sana,
Kimmy. Dia ada di gedung olahraga bersama kita!"
"Corky, sedang apa kau sekarang?" Kimmy bertanya dengan
lembut. "Aku lagi main-main dengan Sean... sebenarnya aku ada PR,
tapi aku agak malas menyelesaikannya. Aku berusaha tidak
memikirkan apa pun," Corky memberitahunya.
"Kau mau datang ke rumahku" Kita bisa mengobrol di sini. Kau
bisa cerita apa saja yang kauketahui tentang roh jahat itu. Barangkali
kita bisa menyusun rencana untuk melawannya," usul Kimmy.
"Hmm..." Corky tidak bisa mengambil keputusan.
"Jangan hadapi masalah ini sendirian," ujar Kimmy. "Kalau roh
jahat itu memang kembali, kita semua terancam bahaya, Corky. Kita
harus menghadapinya bersama-sama. Kita semua ikut terlibat. Kita
harus bekerja sama sebelum dia sempat mencelakakan orang lain."
"Hmm, aku harus menemani Sean sampai orangtuaku pulang.
Tapi setelah itu, yeah, kenapa tidak. Aku akan datang sekitar setengah
jam dari sekarang, oke?"
"Oke," sahut Kimmy. "Kita bisa bicara panjang-lebar. Kalau
perlu sampai pagi. Aku juga bisa membantumu belajar untuk ulangan
IPA besok." "Thanks, Kimmy." Corky benar-benar berterima kasih. Ia
merasa agak terhibur ketika meletakkan gagang telepon.
"Pertandingannya sudah selesai. Kau kalah," Sean
mengumumkan waktu Corky kembali ke kamar adiknya itu.
"Tidak apa-apa. Aku toh bakal kalah," ujar Corky. "Mau main
sekali lagi sampai Mom dan Dad pulang?"
Sean menggelengkan kepala. "Tidak, aku mau main sendiri
saja. Lebih seru." "Huh, dasar!" Corky menggerutu. Kemudian ia mendengar
suara pintu menutup di bawah. Orangtuanya sudah pulang.
Beberapa menit setelah itu ia sudah duduk di dalam mobil, buku
pelajaran IPA serta sebuah map tergeletak di sebelahnya. Ia
memundurkan mobil, mengemudikannya menuju rumah Kimmy.
Udara malam itu cukup dingin. Langit tampak bersih dan bulan
kemerahan menggantung rendah.
Seperti bulan dalam film Science fiction, pikir Corky.
Semuanya tampak lebih jelas dan cerah dari seharusnya. Ketika ia
menyusuri Fear Street, Corky merasa bahwa setiap helai rumput,
setiap lembar daun, kelihatan lebih tajam dari biasanya.
Corky mengikuti jalanan yang membelok, dan Pemakaman Fear
Street mulai terlihat di sebelah kirinya. Sorot lampu mobilnya
menyapu tempat itu dan mengenai sederetan batu nisan.
"Oh!" Corky berseru ketika melihat seseorang melintas di
antara batu-batu nisan. Ia mengurangi kecepatan, tanpa melepaskan pandangannya dari
sosok yang bergerak itu. Ia sempat merasa heran karena semuanya
tampak begitu jelas. Tak ada bayangan sama sekali.
Siapa itu" ia bertanya dalam hati. Siapa yang ada di situ"
Dan kemudian ia mengenali sosok itu.
Sarah Beth Plummer. Tanpa sadar Corky telah menghentikan mobilnya di tengah
jalan. Dengan bingung ia membuka jendela, agar bisa melihat lebih
jelas lagi. Sambil membungkuk Sarah Beth menyusuri deretan batu nisan.
Ia mengenakan jubah hitam yang melambai-lambai, meskipun tidak
ada angin. Sedang apa dia" Corky bertanya dalam hati. Sarah Beth sempat
memberitahu Chip dan Corky bahwa tugasnya di pemakaman sudah
selesai. Jadi kenapa wanita muda itu masih berkeliaran di tengah
kuburan" Sambil tetap memperhatikan sosok berjubah itu, Corky
mengangkat kaki dari rem, dan mobilnya mulai menggelinding maju.
Saat itulah Corky menyadari bahwa Sarah Beth tidak sendirian.
Sosok gelap lainnya berdiri berdekatan dengan Sarah Beth.
Sebelah tangannya bertumpu pada sebuah batu nisan.
Corky kaget sekali dan langsung menghentikan mobilnya.
Dalam cahaya bulan yang terang, ia segera mengenali sosok yang satu
lagi. Jon Daly. Jon Daly dan Sarah Beth Plummer. Bersama-sama. Di tengah
Pemakaman Fear Street. "Ada apa ini?" bisik Corky, sambil mengamati kedua orang
yang kelihatan begitu jelas dalam kegelapan malam.
Sarah Beth tampak menggerakkan tangan. Jon berdiri kaku,
seperti batu nisan tempat ia bersandar. Kemudian Sarah menunjuk ke
bawah. Sedang apa mereka" Apa yang mereka bicarakan"
Corky memicingkan mata dan mengenali batu nisan di belakang
Jon"batu nisan Sarah Fear.
Sekonyong-konyong Sarah Beth melepaskan jubah dan
menggantungkannya pada sebuah tugu marmer. Kemudian ia mulai
berputar-putar. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan
menari dengan pelan dan anggun.
Jon tetap bersandar pada batu nisan. Ia tetap membisu. Matanya
yang hampir tak berwarna mengikuti setiap gerakan Sarah Beth.
Ada apa ini" Corky terheran-heran.
Bulu kuduknya berdiri. Ia cepat-cepat melepaskan rem,
menginjak pedal gas, dan melesat meninggalkan tempat itu.
BAGIAN DUA Roh Jahat Datang! ebukulawas.blogspot.com Bab 12 Kejutan di Lab IPA "KALI ini kita terpaksa mengandalkan kejujuranmu," ujar Mr.
Adams sambil mengedipkan mata ketika ia menyerahkan kertas
ulangan kepada Corky. Corky duduk di kursi tinggi. Ia membungkuk dan menerima
kertas itu. "Apa maksud Bapak?" ia bertanya sambil mengamati wajah
gurunya. Mr. Adams masih muda. Usianya sekitar 25 tahun, tapi
rambutnya yang cokelat tua sudah mulai beruban di sekitar pelipisnya.
Kumisnya menyerupai ulat bulu yang mereka pelajari dalam pelajaran
biologi, dan juga sudah mulai memutih di sana-sini. Ia memiliki
sepasang mata cokelat yang menyorot ramah dan senyum yang
hangat. Biasanya ia mengenakan jins dan sweter longgar. Ia dikenal
menuntut banyak dari murid-muridnya, namun tetap disukai oleh
mereka. "Saya harus ambil mobil di bengkel," ia berkata kepada Corky.
"Saya akan pergi selama dua puluh menit, paling lama setengah jam."
Ia meraih jaketnya yang tergantung pada salah satu kursi.
Corky mengamati daftar pertanyaan. Enam pertanyaan esai. Tak
ada yang di luar dugaan. "Saya akan berusaha untuk tidak terlalu
sering menyontek selama Bapak pergi," ia bergurau.
Mr. Adams tertawa kecil, lalu mengenakan jaketnya. "Katakkatak itu ribut sekali, ya?" ia bertanya sambil menunjuk kotak katak di
rak yang menempel ke dinding. Enam katak sedang berkuak-kuak
dengan nyaring. "Tak apa-apa kok. Biar jangan terlalu sepi," balas Corky sambil
memperhatikan makhluk-makhluk itu melompat-lompat di balik kaca.
"Berapa lama saya boleh mengerjakan ulangan ini?"
"Mestinya jangan lebih dari satu jam," jawab Mr. Adams.
"Soal-soalnya mudah sekali."
"Yeah, mudah sekali," Corky mengulangi sambil tertawa.
Mr. Adams menuju ke pintu. "Nah, silakan mulai," katanya, lalu
segera pergi. Ruangan menjadi hening, kecuali suara katak-katak itu. Corky
menoleh ke arah deretan jendela pada dinding di sebelah kanannya.
Berkas-berkas sinar matahari bulan Desember menerobos masuk
melalui celah-celah venetian blind, mengenai akuarium ikan tropis di
pojok ruangan. Di sebelahnya ada kerangka manusia yang berdiri
membungkuk, dengan lutut menekuk, seakan-akan merasa letih.
Rak-rak di samping kerangka itu berisi stoples-stoples yang
menampung contoh serangga, tanaman, dan berbagai spesimen organ
tubuh hewan. Corky meringis dengan jijik ketika teringat bola mata
sapi yang diperlihatkan Mr. Adams tadi sore. Bola mata itu begitu
besar, dan begitu lunak. Corky melirik jam dinding. Ternyata sudah pukul 15.30 lewat
beberapa menit. Latihan cheerleader di gedung olahraga tentu sudah
dimulai. Corky mengetuk-ngetukkan pensilnya pada tepi meja sambil
mengingat-ingat percakapannya yang panjang-lebar dengan Kimmy
semalam. Kemudian, setelah sadar bahwa ia cuma membuang-buang
waktu, ia meraih kertas ulangan dan membaca pertanyaan pertama.
"Bagus," katanya ketika ia mengetahui pertanyaan itu menyangkut
osmosis. Ia telah mempelajari osmosis dengan saksama, ia tahu segala
sesuatu yang perlu diketahui tentang itu.
Ia menggeser kursinya mendekati meja. Kemudian menuliskan
angka 1 di bagian atas kertas jawaban.
"Hei!" ia berseru, ketika pintu lab menda-dak menutup sendiri.
Masa sih Mr. Adams sudah kembali" Corky bertanya dalam
hati. Ia segera menengok ke arah pintu.
Ternyata tak ada siapa-siapa.
Rupanya ada orang di koridor yang menutup pintu.
Ia kembali melirik jam dinding. Pukul 15.35.
"Aduh, aku buang-buang waktu lagi," ia berkata, lalu mulai
menulis. Suara katak-katak di rak bertambah keras. Corky menoleh
sambil mendesah, dan melihat binatang-binatang itu melompat-lompat
kian-kemari dan tumpang tindih.
"Aduh, kenapa sih kalian harus ribut begini?" Corky bergumam.
"Apa kalian tidak bisa diam sedikit?"
Ia mengalihkan perhatiannya kembali ke kertas ulangan.
Kemudian semua venetian blind menutup bersamaan. Corky
begitu kaget sehingga pensilnya terlepas dari tangannya. Pensil itu
jatuh ke lantai dan menggelinding ke bawah meja.
"Hei!" Tanpa sinar matahari, ruangan lab menjadi jauh lebih gelap.
Corky turun dari kursi dan berlutut untuk mengambil pensil.
Ketika ia berdiri lagi, lampu-lampu di langit-langit mendadak
padam. "Oh!" Corky mengedip-ngedipkan mata. Keadaan di sekelilingnya
gelap-gulita. Suara katak semakin keras. Corky sampai menutup telinga
dengan kedua tangan. "Ada apa ini?" Tak ada jawaban. Ia berdiri sambil menyandarkan badan ke meja lab. Perlahanlahan matanya mulai terbiasa dengan kegelapan yang
menyelubunginya. "Wah, jangan-jangan mati lampu?" ia bertanya
pada dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar bunyi pop-pop-pop yang aneh. Baru
setelah beberapa saat ia sadar bahwa bunyi itu berasal dari tutup-tutup
stoples di rak yang membuka sendiri.
Ia melihat tutup-tutup yang terbuat dari kaca itu terpental ke
langit-langit, lalu jatuh kembali ke lantai, dan pecah berantakan.
Isi stoples-stoples di rak mulai terangkat. Ratusan lalat mati dari
salah satu stoples tampak melayang-layang di udara. Puluhan ulat
menyusul, mengambang di udara bagaikan sekawanan burung.
Suara katak kini terasa memekakkan telinga.
Corky membelalakkan mata seakan-akan tidak percaya ketika
melihat katak-katak itu berada di luar. Rupanya kotak kaca mereka
juga telah pecah. Sekitar dua lusin katak sedang melompat-lompat di
atas meja-meja dan menuju ke arah Corky.
"Tolong!" teriak Corky.
Ia kaget setengah mati ketika sebuah benda lunak jatuh di meja
di hadapannya. Bola mata sapi tadi. Mata itu seakan-akan menatap Corky!
Gerombolan katak kini sudah berada di meja Corky, saling
melompati, memanjat ke bola mata yang menjijikkan itu, sambil
berkuak-kuak nyaring. Venetian blind di jendela pun mulai bergemerincing, membuka
dan menutup, berulang kali, melambai-lambai seakan-akan tertiup
angin, padahal semua jendela tertutup rapat. Detik ini ruang lab
dibanjiri sinar matahari, detik berikutnya kembali gelap gulita.
Aku harus keluar dari sini, kata Corky dalam hati.
Ia menepis seekor katak dari pundaknya. Katak lain melompat
ke wajahnya. Bola mata sapi itu bergerak naik, jatuh lagi, lalu
bergerak naik seolah-olah hendak terbang.
Sambil memekik, Corky menunduk ketika bola mata itu
menerjang wajahnya, kemudian melayang di atas kepalanya. Ia
sempat merasakan rambutnya terkena percikan cairan lengket,
sebelum mata itu akhirnya jatuh dan buyar ketika menghantam lantai.
Corky sudah mulai berlari ke pintu ketika perhatiannya teralih
pada sesuatu di bagian depan ruangan. Kerangka itu. Sikapnya tak lagi
membungkuk. Kerangka itu berdiri tegak dan sedang berusaha
membebaskan diri dari dudukannya.
Corky meraih pegangan pintu dan menariknya dengan keras.
Pintu itu tidak bergerak sama sekali.
"Tolong!" Ia menahan napas ketika ruang lab mulai dipenuhi bau bacin
yang menusuk hidung. Begitu busuk.
Busuk seperti kematian. Corky kembali menarik-narik pintu. "Tolong! Tolong!"
Hening. "Tolong!" Dan kemudian, di tengah gemerincing venetian blind dan suara
katak yang memekakkan telinga, ia mendengar bunyi berderak yang
keras sekali. Begitu kering. Bunyi tulang patah. Corky menoleh ke
bagian depan ruangan dan melihat sebelah tangan terlepas dari
kerangka tadi. Sambil berdiri mematung, ia menyaksikan tangan itu mengepal
dan membuka, berulang-ulang, lalu melayang melewati meja-meja.
Kerangka yang kini hanya bertangan sebelah itu tetap berusaha
membebaskan diri,sementara tangan yang telah copot melesat kencang
ke arah Corky. Corky berusaha berteriak, berusaha mengelak. Tapi tangan itu
terus mengikutinya, melewati katak-katak yang melompat kiankemari, melewati bola mata di lantai, menembus awan serangga
mengambang yang memenuhi udara.
Tangan itu menabrak Corky, langsung mencengkeram lehernya.
Akibat benturan yang keras itu, Corky sampai menabrak pintu.
"Tolong! Tolong!" Corky menjerit dengan suara yang tak lagi
dikenalinya. Dan kemudian jari-jemari itu mulai meremas lehernya.
Cengkeraman tulang-belulang itu semakin lama semakin keras.
Semakin keras. Sampai Corky tak bisa bernapas lagi.
Bab 13
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buntung CORKY berjuang untuk menarik napas.
Namun jari-jemari itu semakin keras mencengkeram lehernya,
bagaikan tang. Hiruk-piruk di dalam lab nyaris tak tertahankan. Bunyi
gemerincing dari venetian blind yang melambai-lambai bersaing
dengan kuakan belasan katak. Ruang lab kembali terang, lalu menjadi
gelap lagi. Dan tetap gelap ketika tangan itu mencekik leher Corky dengan
keras. Corky berbalik dan mencoba membenturkan tangan tersebut ke
tembok. Kemudian ia meraih tangan itu dengan kedua tangannya.
Rasanya dingin sekali. Dingin dan lembap, seolah-olah baru keluar
dari kuburan. Ruang lab serasa berputar-putar. Langit-langit yang gelap
seakan-akan mengimpit Corky.
Ia mencengkeram tangan itu dan menariknya dengan segenap
kekuatannya. Tapi jari-jemari itu malah semakin keras meremas
tenggorokannya. Corky meraih jari-jemari itu, dua di masing-masing tangannya.
Kemudian ia menarik dengan sekuat tenaga.
Bunyi tulang patah membangkitkan harapan Corky. Tiba-tiba ia
bisa bernapas lagi. Langsung saja ia menarik napas dalam-dalam,
mengembuskannya, lalu kembali mengisi paru-parunya dengan udara.
Jari-jemari yang patah itu tetap berusaha mencekik leher Corky,
tapi genggamannya sudah jauh lebih lemah. Corky menarik tangan itu,
dan melemparnya melintasi ruangan.
Kemudian sambil berteriak ketakutan, bingung, dan lega
sekaligus, Corky melompat ke pintu. Kali ini ia berhasil membukanya.
Tanpa berpikir dua kali ia melangkah ke koridor yang gelap dan
sunyi. Pintu lab dibantingnya dengan keras.
Jantungnya berdegup kencang. Selain itu, suasananya hening
sepenuhnya. Pandangannya kabur akibat air mata yang menggenang.
Ia menyibakkan rambutnya dan mulai berlari.
"Chip!" ia berkata keras-keras. "Chip!"
Pemuda itu sempat bercerita bahwa ia hendak lembur di
bengkel kayu. Mereka telah berjanji untuk bertemu di sana setelah
Corky selesai mengerjakan ulangannya. "Chip!"
Sambil terhuyung-huyung Corky mulai menyusuri koridor.
Setiap langkahnya bergema dengan keras. Ia menarik napas melalui
mulutnya yang terbuka. "Chip!"
Corky berlari sambil menggosok-gosok lehernya yang terasa
nyeri. Jari-jemari tadi sudah tergeletak di lantai lab, tapi ia masih
merasakan cengkeramannya yang begitu kuat, begitu dingin dan
lembap. "Chip!" Bengkel kayu terletak di bawah, di bagian belakang bangunan.
Corky terpeleset ketika menuruni anak tangga pertama, tapi ia cepatcepat berpegangan pada pagar tangga.
Masa tidak ada orang sama sekali" ia bertanya dalam hati.
Gedung sekolah yang besar itu demikian sunyi, sehingga Corky
seakan-akan bisa mendengar pikirannya sendiri bergema di koridor.
Ia menuruni tangga dan menyusuri koridor yang lebih pendek.
Di ujung koridor ia melihat pintu ganda bengkel kayu. Keheningan
digantikan oleh bunyi melengking yang tak putus-putus.
Bunyi apa itu" Corky terheran-heran.
Ia mendorong pintu bengkel dengan bahunya, dan langsung
menyerbu masuk. "Chip! Di mana kau?" ia berseru dengan suara bergetar karena
ngeri. "Chip?" Bunyi itu semakin nyaring.
Pandangan Corky menyapu meja-meja kerja. Ia melihat
tumpukan kayu di dinding samping, alat-alat bor listrik, serta
kacamata-kacamata pengaman yang tergantung di tembok.
"Chip, di mana kau" Kau ada di sini?"
Ia maju ke tengah-tengah ruangan besar itu, menginjak serbuk
gergaji yang menutupi lantai. Kemudian ia berhenti di hadapan
genangan berwarna gelap. Apa itu" Corky mengamati genangan tersebut sambil mengerutkan
kening. Baru setelah beberapa waktu ia sadar bahwa ia sedang
mengamati genangan darah.
Kemudian ia melihat sepasang sepatu di lantai. Dan sepasang
kaki. Nyaris tersembunyi di balik salah satu meja kerja.
Corky menarik napas panjang, lalu mengelilingi genangan itu
agar dapat melihat lebih jelas. Ia memekik kaget ketika melihat Chip
tergeletak di tengah genangan darah yang lebih besar. Genangan darah
berwarna gelap. "Ohh." Ia meraih tepi meja, lalu menyandarkan badan.
"Chip?" Ia langsung tahu bahwa pemuda itu sudah tak bernyawa.
Chip mati. Tergeletak di tengah genangan darahnya sendiri.
Corky memalingkan wajah. Ia tak sanggup terus menatap Chip.
Ia mengangkat dagu"dan melihat gergaji listrik itu. Baru
sekarang ia sadar bahwa bunyi melengking yang didengarnya berasal
dari alat tersebut. Mata gergajinya berputar dengan mengeluarkan
suara keras. Semakin keras. Semakin keras. Dan kemudian teriakan Corky mengalahkan suara gergaji listrik
ketika ia melihat tangan Chip yang terputus. Tangan itu, terpotong di
pergelangan tangan, tergeletak seperti sarung tangan di samping mata
gergaji. Bab 14 Di Mana si Roh Jahat"
CORKY tidak menangis saat Chip dimakamkan.
Air matanya sudah terkuras habis. Ia telah menangis sampai
matanya perih, merah, dan bengkak. Dan kemudian"tiba-tiba saja"
air matanya mengering, seakan-akan ia telah menghabiskan
persediaan untuk seumur hidup. Kini perasaannya hampa, tanpa emosi
sama sekali. Kecuali kesedihan. Kesedihan itu tak kunjung lenyap. Dan di balik kesedihan,
kengerian pun mengintai. Kenangan-kenangan menakutkan. Adeganadegan mengerikan. Corky tahu ia takkan pernah bisa melupakannya.
Kenangan itu mengikutinya ke mana pun ia pergi, dan
membuatnya sulit tidur di malam hari. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang
tidak beres. Sesuatu yang membayang-bayangi hidupnya. Suatu
kekuatan jahat yang seharusnya tidak ada di muka bumi. Suatu
kekuatan yang tak terkendalikan.
Seusai upacara pemakaman, Corky meninggalkan kapel kecil
itu seorang diri. Suasana di luar ternyata mendung dan serba kelabu.
Daun-daun kering beterbangan tertiup angin, ketika ia melangkah ke
trotoar. Daun-daun mati. Kematian. Di mana-mana. Corky menaikkan kerah mantelnya, bukan sekadar untuk
melindungi diri dari tiupan angin, tapi terutama untuk
menyembunyikan wajahnya. Ia memasukkan kedua tangan ke kantong
mantel dan mulai berjalan.
"Hei, Corky!" Kimmy menyusul Corky sambil berlari kecil.
Rambutnya terayun-ayun. Pipinya tampak merah, sedangkan matanya
kelihatan merah dan berkaca-kaca. Ia langsung merangkul Corky dan
memeluknya dengan erat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia
menempelkan pipinya yang hangat ke wajah Corky yang dingin.
Setelah beberapa detik Kimmy mundur dan menggelengkan
kepala. "Semuanya begitu mengerikan," ia berbisik sambil meremas
lengan Corky. "Dan kau yang menemukannya. Kau yang..." Ia tak
sanggup meneruskan kalimat itu. "Aku ikut bersedih, Corky."
Corky menundukkan kepala. Ia menatap trotoar, dan
memperhatikan daun-daun kering yang tertiup angin.
Ronnie dan Heather muncul. Wajah mereka tampak pucat dan
tegang. Kimmy memeluk kedua-duanya. Mereka menyapa Corky
dengan suara parau. Kemudian ketiga gadis itu menuju ke mobil
Kimmy yang diparkir di seberang jalan.
"Telepon aku," Kimmy berseru kepada Corky. "Oke?" Ia tidak
menunggu jawaban. Corky memperhatikan mereka naik ke mobil Kimmy. Ia melihat
ketiga temannya serentak berbicara di dalam Camry biru itu. Dan
sambil bicara, mereka sesekali melirik ke arahnya.
Corky berbalik dan mulai berjalan lagi. Ia telah berjalan
beberapa langkah ketika menyadari bahwa ia tidak sendirian.
"Hai, Corky," ujar Debra.
Matanya yang biru menyorot dingin ketika ia menatap Corky
dari bawah tudung hitam yang dikenakannya. Debra selalu pucat dan
rapuh, tapi hari ini ia kelihatan seperti hantu.
"Bicaralah denganku," katanya. Suaranya nyaris tertelan oleh
angin yang bertiup. Corky menggelengkan kepala. "Aku lagi tidak berminat bicara."
Ia mulai berjalan lagi. Debra bergegas agar tidak tertinggal. Tudungnya terbuka akibat
tiupan angin. "Kita harus bicara, Corky. Harus!" desaknya.
"Tapi, Debra..."
"Di sana." Debra meraih lengan Corky dan menunjuk restoran
kecil di seberang jalan. "Sebentar saja. Kita bisa pesan hamburger atau
makanan lain. Aku yang traktir. Oke?"
Sikap Debra begitu memaksa sehingga Corky merasa tidak
punya pilihan. "Oke," ia berkata sambil mendesah. "Sebenarnya aku
memang belum makan apa-apa hari ini."
Debra tersenyum ketika meraih lengan Corky, menggiringnya
ke seberang. Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk di salah satu
meja. Debra makan cheeseburger dan kentang goreng. Corky, yang
mendadak sadar bahwa ia tidak selapar yang diduganya, makan
beberapa suap sup. "Orang-orang sering bingung kalau menghadiri pemakaman.
Mereka tidak tahu harus bilang apa," ujar Debra sambil menyeka saus
tomat dari dagunya. "Aku sempat mendengar seseorang berkata
kepada ibu Chip bahwa upacara pemakamannya indah sekali." Ia
menggelengkan kepala. "Ada-ada saja."
Corky menatap mangkuk sup di hadapannya. "Memang. Kurasa
mereka begitu canggung, sehingga tak menyadari apa yang mereka
katakan," katanya pada Debra. "Aku juga mendengar komentarkomentar konyol pada upacara pemakaman Bobbi."
Upacara pemakaman Bobbi. Upacara pemakaman Chip. Belakangan ini begitu banyak upacara pemakaman dalam
kehidupan Corky. Ia memaksakan diri makan beberapa suap lagi. Rasanya tidak
seberapa enak, tapi cairan yang hangat itu melegakan
kerongkongannya. "Kita harus bicara soal si roh jahat," Debra tiba-tiba berkata
sambil merendahkan suara, meskipun hanya mereka yang ada di
dalam restoran. Corky mendesah. "Yeah. Aku tahu." Ia mengaduk-aduk supnya,
tapi sudah tak bernafsu makan.
"Kau dan aku sama-sama tahu roh jahat itu yang bertanggung
jawab atas kematian Chip," ujar Debra sengit. "Kalau tangan Chip
terpotong karena kecelakaan, mana mungkin dia diam saja tanpa
minta tolong?" "Kata dokter, setelah tangannya terpotong, dia langsung
mengalami shock," sahut Corky.
"Kau percaya itu?" tanya Debra.
Corky diam sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Tidak."
"Pertama, Chip orangnya selalu berhati-hati. Tangannya
mungkin luka terkena gergaji, tapi tidak mungkin sampai terpotong
habis." "Aku tahu," kata Corky seperti orang tercekik.
"Lagi pula, memotong tangan sampai buntung tidak mudah.
Begitu teriris sedikit, kau pasti langsung menarik tangan. Kau tidak
akan diam saja!" seru Debra.
Corky menoleh ke bagian depan restoran. Melalui jendela ia
melihat hujan salju mulai turun di luar.
"Roh jahat itu masih hidup, Corky," Debra melanjutkan. "Aku
tahu itu, Kimmy tahu, dan kau juga tahu. Kita tidak bisa
mengabaikannya. Kita tidak boleh menutup mata dan berharap roh
jahat itu pergi dengan sendirinya, lalu semuanya beres lagi."
"Aku tahu, aku tahu," Corky meratap. "Aku lebih tahu dari
siapa pun juga, Debra."
Debra langsung meraih tangan Corky dan meremasnya. "Sorry.
Maksudku..." "Roh jahat itu sempat menampakkan diri," Corky bercerita.
"Persis sebelum Chip... persis sebelum aku menemukan Chip."
Debra langsung meletakkan hamburgernya di piring. Ia menatap
Corky seakan-akan berusaha membaca pikiran temannya itu. "Apa
maksudmu?" Corky menarik napas panjang dan menceritakan segala sesuatu
yang terjadi di lab IPA, mulai dari pintu yang menutup sendiri dan
lampu-lampu yang mendadak padam, sampai ke pergulatannya
dengan tangan buntung itu.
Debra mendengarkan sambil membisu dan bertopang dagu.
Keduanya tidak menyentuh makanan masing-masing ketika Corky
mengungkapkan kisah menakutkan tersebut.
"Gawat," ujar Debra lirih. "Gawat."
"Masih ada lagi," Corky menambahkan sambil menoleh ke
jendela di depan. Hujan salju telah bertambah lebat.
"Ayo dong," desak Debra. "Teruskan."
Corky lalu bercerita tentang perjumpaannya dengan Jon Daly
dan Sarah Beth Plummer. Kemudian ia bercerita bagaimana ia
melewati Pemakaman Fear Street serta melihat Sarah Beth dan Jon
bersama-sama di tempat itu.
"Apa yang mereka lakukan di sana?" tanya Debra. Ia kembali
duduk tegak. "Aku tidak tahu," jawab Corky. "Kejadiannya aneh sekali. Aku
melihat Sarah Beth menari-nari di atas kuburan Sarah Fear."
"Di depan Jon, maksudmu?" tanya Debra.
"Jon menonton sambil bersandar pada batu nisan," Corky
menjelaskan. "Aku sampai merinding waktu itu."
"Berarti benar, roh jahat itu masih hidup," bisik Debra.
"Tapi di mana?" tanya Corky. "Kenapa dia keluar lagi dari
kuburan" Dan di mana dia sekarang?"
"Rasanya aku tahu cara untuk menemukannya," Debra berkata
dengan misterius. Bab 15 Razzmatazz "We've got razzmatazz!
Pep, punch"and pizzazz!
Hey, you"you've been had.
Shadyside Tigers got razzmatazz!
RAZZMATAZZ!" KETIKA mengulangi razzmatazz, kelima cheerleader
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperagakan gerakan split sambil melompat tinggi. Dan setelah
mendarat lagi, mereka berlari ke pinggir lapangan sambil bersoraksorai.
"Wow! Luar biasa!" seru Corky. Ia menaikkan lengan sweter
Tigers-nya sambil menghampiri teman-temannya.
"Bagaimana dengan gerakan split tadi?" tanya Kimmy. Ia
tampak prihatin. "Apakah lompatan kami cukup tinggi" Sepertinya
Megan dan aku agak terlambat."
"Kelihatannya sih bagus saja," balas Corky sambil menyeringai.
"Jangan sok merendah deh."
"Yeah!" Ronnie menimpali. "Kalau Corky bilang luar biasa,
berarti memang luar biasa!"
Semuanya tertawa. Penampilan Kimmy jauh lebih bagus sekarang, pikir Corky
gembira. Gerak-geriknya lebih luwes dibandingkan dulu. Dan juga
lebih langsing. Sudah hampir empat minggu berlalu sejak pemakaman Chip,
dan Kimmy telah berhasil membujuk Corky untuk kembali mengikuti
latihan cheerleader. "Kita semua harus kompak," Kimmy mendesak
Corky. "Kalau kita mau mencari roh jahat itu, kalau kita mau
melawannya, kita harus bekerja sama. Dan kalau kau tidak bergabung
dengan tim cheerleader, kau tetap sendirian."
Ucapan Kimmy berhasil meyakinkan Corky, sehingga ia
bersedia bergabung lagi. Para anggota tim cheerleader mengenakan leggings, jins
kutung, serta T-shirt gombrong. Mereka tampak santai dan penuh
semangat, semuanya gembira melihat Corky muncul di lapangan.
"Bagaimana, kau sudah siap ikut latihan?" tanya Kimmy pada
Corky. Corky tidak berpikir dua kali. "Yeah, aku siap." Kali ini takkan
ada yang bisa menghentikannya.
Ia tahu bahwa pertandingan basket Sabtu besok adalah salah
satu pertandingan terakhir dalam musim kompetisi ini. Jika ia
memang mau bergabung lagi dengan tim cheerleader, sekaranglah
saatnya. Corky mengamati gedung olahraga yang terang-benderang.
Miss Green berdiri di depan ruang kerjanya sambil mengacungkan
jempol. Corky pun mengacungkan jempol dan berbaris di samping
Kimmy. "Kau harus memberi tanda kapan aku harus tepuk tangan,"
kata Corky. "Yang lainnya masih bisa kutangani sendiri."
"Aku sendiri juga keliru terus," Kimmy berkelakar.
Ketika menunggu aba-aba dari Kimmy, Corky sempat diliputi
perasaan panik. Gedung olahraga yang terang benderang seakan-akan
diselubungi tirai cahaya putih. Ia seolah-olah dikepung oleh
keheningan. Aku sendirian, ia berkata dalam hati. Aku sendirian di sini.
Tapi kemudian ia mendengar Kimmy memberi aba-aba. Cahaya
putih itu meredup, dan ia kembali ke alam nyata.
"We've got razzmatazz!
Pep, punch"and pizzazz!
Hey, you"you've been had.
Shadyside Tigers got RAZZMATAZZ!"
Corky bersorak-sorai sekeras mungkin. Ia sama sekali tidak
menemui kesulitan dalam mengikuti latihan. Dan ketika tiba waktunya
melakukan gerakan split sambil melompat, ia melompat lebih tinggi
daripada rekan-rekannya. Latihan mereka berakhir dengan sorak-sorai yang meriah.
Kemudian mereka berlari ke tepi lapangan sambil bertepuk tangan.
Corky menarik napas panjang"dan menyadari bahwa ia tertawa,
tertawa lepas dengan gembira karena bisa menyelesaikan latihan
dengan baik. Sebelum sadar apa yang terjadi, yang lain telah berkerumun di
sekelilingnya. Mereka juga tertawa, lalu berebut memberi selamat dan
memuji penampilannya. "Berhubung kau sudah kembali, kita bisa coba piramida
diamond head lagi!" seru Kimmy. "Gerakan yang kauciptakan
bersama kakakmu." "Yeah, mari kita coba," ujar Corky penuh semangat.
"Sekarang?" tanya Kimmy dengan heran.
"Yeah, sekarang juga," Corky menegaskan sambil tersenyum.
"Kalau kita mau memperagakan gerakan piramida pada pertandingan
malam Minggu besok, sebaiknya kita mulai latihan dari sekarang."
"Tapi kau harus mengajarkannya kepada kami," kata Kimmy
bimbang. Corky melihat Debra dan Ronnie berbisik-bisik. "Beres deh,"
ujar Corky. Ia memberi isyarat agar semuanya ikut ke tengah
lapangan. "Bobbi dan aku sudah begitu sering melatih gerakan ini.
Rasanya aku bisa melakukannya sambil tidur."
"Siapa yang ambil posisi paling atas?" Ronnie bertanya sambil
meregangkan kaki. "Biar aku saja," Corky menawarkan.
Ia melihat keraguan yang tercermin pada wajah Kimmy.
"Corky," Kimmy berbisik ke telinga Corky, "kau serius" Kau tidak
perlu memaksakan diri."
"Aku serius," kata Corky tegas, lalu melangkah menjauhi
Kimmy. "Kalau aku tidak bisa berlatih seratus persen seperti dulu,
lebih baik aku tidak jadi bergabung."
Kimmy segera mengalah. "Bagaimana kalau kita melakukan pemanasan dulu?" Debra
mengusulkan. "Kita bisa mencoba piramida dua orang sebelum
mencoba piramida yang besar." Ia menatap Corky dengan pandangan
memohon. "Kita sudah melakukan pemanasan tadi," balas Corky.
"Corky benar," Kimmy berkata kepada Debra. "Ayo, kita coba
saja." Corky langsung menjelaskan piramida diamond head kepada
mereka. Tiga gadis"Kimmy, Debra, dan Heather"membentuk
lapisan paling bawah. Dua gadis lain"Megan dan Ronnie"akan
berdiri di pundak mereka, lalu mengangkat dan memegang sebelah
kaki sementara Corky naik ke bahu Megan dan Ronnie.
Selama beberapa menit mereka berlatih naik-turun pundak;
kemudian Corky memberi petunjuk kepada yang lain untuk
membentuk piramida. Coba kalau Bobbi ada di sini, ia sempat berkata dalam hati.
Bobbi paling ahli untuk gerakan ini.
Tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan
hendak mengusir semua pikiran yang mengganggu. "Siap?" serunya.
"Ayo, kita mulai. Pelan-pelan saja. Jangan pikirkan soal timing."
"Heather, tekuk lututmu," Kimmy mengarahkan ketika Megan
dan Ronnie memanjat ke pundak rekan-rekan mereka untuk
membentuk lapisan tengah.
Tahu-tahu sudah giliran Corky beraksi.
Tahu-tahu ia sudah mulai memanjat. Begitu tinggi.
Dan meskipun ia berkonsentrasi penuh, pikiran-pikiran itu
mendadak muncul lagi. Ketakutannya. Kenangannya yang
menakutkan. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Apakah aku bakal mendengar jeritan lagi"
Apakah aku bakal tidak bisa bergerak setelah sampai di atas"
Apakah ruangan ini bakal berputar-putar"
Megan dan Ronnie masing-masing meraih sebelah tangan
Corky dan menariknya ke atas. Corky bertolak dari pundak Kimmy
dan memanjat. Lebih tinggi lagi. Oh-oh, katanya dalam hati. Sebentar lagi semuanya bakal
kacau. Oh-oh. Oh-oh. Pelipisnya berdenyut-denyut.
Ia sadar bahwa dirinya mulai dicengkeram rasa panik. Kakinya
terasa berat sekali"rasa ngeri mulai menggumpal dalam perutnya dan
membuat tenggorokannya seakan-akan tercekat. Ia merasakan denyut
nadi di pelipisnya. Oh-oh. Sebentar lagi semuanya bakal kacau. Sebentar lagi.
Sebentar lagi. Sekarang. Ia meluruskan kaki dan mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Keseimbangan. Keseimbangan. Ia berkonsentrasi penuh.
Oh-oh. Sekarang. Sekarang!
Dan kemudian ia sampai di puncak piramida"ia berhasil!
Ia gemetaran, tapi berhasil.
Tak ada suara apa pun. Tak ada dinding yang berputar-putar.
Tak ada jeritan ketakutan.
Tak ada serangan roh jahat.
"Selamat, ya!" Corky mendengar sebuah suara berseru dari
bawah. "Bagus sekali!"
Ia menoleh dan melihat Miss Green bertepuk tangan. Wajahnya
yang biasanya masam dihiasi senyum lebar. "Hati-hati kalau turun.
Pelan-pelan saja, oke?"
Beberapa detik kemudian keenam cheerleader sudah kembali
berdiri di lantai. Semuanya sibuk saling memberi selamat. Miss Green
pun larut dalam kegembiraan.
"Kita berhasil"tanpa ada yang patah tulang!" seru Corky riang.
Di luar dugaannya, ia langsung dirangkul oleh Kimmy dan
dipeluk erat. "Aku tahu kau bisa!" ujar Kimmy penuh semangat. Lalu,
sambil berbisik, ia menambahkan ke telinga Corky, "Barangkali si roh
jahat sudah meninggalkan kita"barangkali mimpi buruk ini sudah
berakhir." **************************
"Tolong bawakan ini untukku," ujar Debra, sambil
menyerahkan beberapa batang lilin berwarna merah kepada Kimmy.
Kemudian ia mengencangkan tudung hitam yang dikenakannya.
Bulan purnama tampak melayang di atas pepohonan. Daundaun kering beterbangan tertiup angin. Di jalan di belakang mereka,
melintas sebuah mobil yang sebelah lampunya mati.
"Aduh, kenapa aku mau kalian bujuk?" gerutu Kimmy. "Ini
benar-benar konyol."
"Habis ini kita ke rumahku saja," Corky menawarkan. "Kita
bisa pesan pizza." "Jangan mengeluh terus. Cuacanya tidak terlalu buruk kok,"
Debra berkomentar. Ia mendului yang lain menaiki bukit.
Helai-helai rumput mati menempel pada sepatu mereka. Di
kejauhan ada sebuah tong sampah yang terbalik akibat tiupan angin.
Seekor kucing mengeong, suaranya terdengar seperti tangis bayi.
Ketiga gadis itu berhenti di ujung jalan setapak berlapis semen
yang telah retak-retak. Mereka menatap reruntuhan rumah besar di
hadapan mereka. "Wow," bisik Corky, "aku belum pernah sedekat ini."
Dinding-dinding rumah besar itu kelihatan hitam, sisa-sisa
kebakaran yang menghancurkan rumah tersebut beberapa dasawarsa
sebelumnya. Semua jendela tampak bolong. Hanya jendela terdepan
yang ditutup dengan selembar tripleks. Yang lainnya seperti lubanglubang hitam yang menganga lebar.
"Hei, apa ini?" Kimmy membungkuk lalu memungut sesuatu
dari rumput di pinggir jalan setapak.
Corky segera mengarahkan senter untuk menerangi benda di
tangan Kimmy. Ternyata sebuah boneka. Matanya mendelik,
kepalanya gundul, dan sebelah tangannya copot.
"Kelihatannya sudah tua," komentar Debra ketika
mengamatinya. Kimmy membuang boneka itu. "Untuk apa sih kita ke sini?" ia
kembali mengomel. "Di sini tidak ada apa-apa."
"Percayalah, aku tahu apa yang kulakukan," balas Debra dengan
misterius. Ia membawa sebuah buku besar bersampul hitam dan
menggunakannya untuk menunjuk ke pintu. "Ayo, kita masuk saja."
"Masuk?" tanya Kimmy. Ia mengamati dinding-dinding yang
hangus terbakar. "Nanti dulu."
"Ayolah," ujar Corky sambil menarik lengan Kimmy. "Ini patut
dicoba." "Aku tahu apa yang kulakukan," Debra mengulangi dengan
serius. "Sudah waktunya kita berkunjung ke rumah Simon Fear."
"Semuanya ini tidak masuk akal," Kimmy menggerutu sambil
memindahkan lilin-lilin ke tangannya yang satu lagi. "Untuk apa kita
datang ke rumah bekas kebakaran di tengah malam buta yang dingin
begini?" "Kau mau menemukan roh jahat itu atau tidak?" hardik Debra,
yang akhirnya kehilangan kesabaran menghadapi temannya itu.
"Ya, tentu saja," kata Corky cepat-cepat.
"Kenapa kau begitu yakin kita akan menemukannya di sini?"
tanya Kimmy. Dengan kesal ia menendang boneka tua yang tergeletak
di rumput. Boneka itu terpental cukup jauh.
"Sarah Fear cukup lama tinggal di rumah ini," Debra
menjelaskan. "Kalau roh jahat itu memang dia, inilah tempat paling
logis untuk mencarinya."
"Hah, logis," gumam Kimmy sinis.
"Jangan ngomel saja dong," Corky menegurnya. "Ini lebih seru
daripada belajar untuk ulangan sejarah, ya, kan?"
Debra menatap tajam ke arah Corky. Ia tampak tersinggung.
"Jadi kau juga tidak percaya" Kaupikir semuanya ini cuma mainmain?"
"Segala sesuatu yang berhubungan dengan roh jahat itu
kuanggap sangat serius," balas Corky sambil merendahkan suara.
"Aku ingin tahu di mana dia bersembunyi. Karena itulah aku mau ikut
ke sini." "Aku juga serius kok," Kimmy membela diri. "Tapi menurutku
kita cuma buang-buang waktu dengan datang ke sini dan menyalakan
lilin-lilin." "Tapi kita tidak bisa diam saja!" seru Corky sengit. "Kita harus
melakukan sesuatu. Ide Debra mungkin konyol, mungkin juga tidak.
Terus terang, Kimmy, aku tidak melihat cara lain. Kita harus
bertindak. Kita tidak bisa cuma duduk-duduk dan menunggu siapa
yang mendapat giliran berikut untuk dibunuh."
Pidato Corky ternyata berhasil mempengaruhi Kimmy. "Kau
benar," ia mengakui. Dan roman mukanya pun melunak ketika ia
mengikuti yang lain ke rumah itu.
"Aku sudah banyak membaca tentang urusan seperti ini," ujar
Debra. Ia melewati ilalang untuk mencapai pintu sambil mendekap
bukunya di dada, seakan-akan untuk melindungi diri. "Buku ini
menjelaskan cara memanggil roh. Dan rumah ini tempat yang paling
tepat untuk memanggil arwah Sarah Fear."
Ia menarik-narik pintu kayu, dan tiba-tiba saja pintu itu
membuka dengan mudah. Seketika mereka mencium bau lembap yang
menusuk hidung. "Aku tidak bisa masuk ke situ," tegas Kimmy. Ia mundur
beberapa langkah sambil meringis jijik.
"Nih, kau pegang senter saja," Corky menawarkan. "Tukar
dengan lilinmu." "Membawa senter tidak membantu," sahut Kimmy, sambil
menatap kegelapan di balik pintu. "Kau belum dengar cerita-cerita
tentang rumah ini" Seluruh rumah ini berada di bawah kutukan!"
"Di sini memang ada roh-roh yang gentayangan," Debra
memberitahu teman-temannya. Matanya tampak berbinar-binar dalam
sorot lampu senter. "Aku bisa merasakan kehadiran mereka. Aku
yakin kita bakal berhasil."
Corky mengikutinya ke dalam rumah. Meski sebenarnya
enggan, Kimmy pun menyusul sambil berpegangan pada pundak
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Corky. "Idih, baunya minta ampun!" keluhnya.
"Lama-lama kau akan terbiasa," Debra menanggapinya dengan
tenang. Ia mengajak yang lain ke ruang duduk yang luas.
Corky mengarahkan senternya berkeliling. Kertas pelapis
dinding tampak mengelupas di sana-sini, penuh bercak hitam. Nodanoda gelap memenuhi langit-langit yang telah melengkung. Papanpapan lantai tampak retak-retak dan berlubang-lubang. "Hati-hati,"
Corky memperingatkan teman-temannya.
Udaranya terasa pengap dan lembap. Bau kayu lapuk
menyelubungi mereka. Papan-papan lantai berderak-derak ketika
mereka berjalan ke tengah ruangan.
"Wow, ini dia!" Debra berseru sambil menarik napas dalamdalam. Matanya tampak berbinar-binar. "Aku bisa merasakan si roh
jahat. Aku benar-benar bisa merasakannya."
"Aku bisa menciumnya!" komentar Kimmy sinis.
"Mana lilinnya?" tanya Debra. Ia meletakkan bukunya di lantai
dan menerima lilin-lilin yang disodorkan oleh Kimmy.
"Tolong arahkan senternya ke sini, oke" Aku harus mencari
halaman yang tepat," Debra berkata sambil membalik-balikkan
halaman buku. Corky bergidik. Ia mengamati dinding-dinding yang dilapisi
jelaga, serta papan-papan lantai yang telah lapuk. "Semuanya serba
menakutkan di sini."
"Masing-masing harus pegang satu lilin," Debra membacakan
petunjuk dari bukunya. Kimmy dan Corky diberi lilin satu-satu.
Kemudian ia menyalakan ketiga-tiganya.
"Sekarang kita berlutut di tengah-tengah ruangan," ia berbisik.
Dengan patuh Corky dan Kimmy berlutut di samping Debra.
"Pegang lilinnya dengan tangan kiri," Debra memerintahkan.
"Lalu ulurkan tangan kanan supaya bergandengan di tengah."
Corky dan Kimmy menurut saja.
Sekonyong-konyong lidah api pada lilin mereka bergoyanggoyang dan nyaris padam. Corky tersentak kaget dan langsung
melepaskan tangan Kimmy. "Kau juga merasakannya?" tanya Debra. "Kau merasakan
kehadiran roh jahat itu?"
"Itu kan cuma angin," ujar Kimmy sambil memutar-mutar bola
mata. "Jangan sok seram deh."
"Kau harus berkonsentrasi, Kimmy," gerutu Debra. "Kita harus
berkonsentrasi penuh. Aku pasti bisa memanggil roh itu. Pasti bisa.
Tapi kita harus berkonsentrasi."
"Aku sudah berkonsentrasi," Kimmy bergumam.
Mereka kembali bergandengan tangan. Sekali lagi lidah api
pada lilin-lilin mereka bergoyang-goyang. Tapi kali ini mereka diam
saja. "Sekarang aku akan membacakan mantra," Debra memberitahu
Kimmy dan Corky. "Kalau sudah selesai, kata buku ini, kita akan tahu
di mana roh jahat itu berada."
Corky menelan ludah. Papan-papan lantai yang lapuk berderakderak. Lidah api pada lilin mereka bergoyang-goyang, lalu kembali
tegak. Kita pasti akan berhasil, pikir Corky. Arwah Sarah Fear pasti
ada di tempat menakutkan ini.
"Pakai ajian razzmatazz saja," kata Kimmy kepada Debra.
Debra langsung melotot. "Ssst!" ia mendesis, lalu menempelkan
telunjuk ke bibirnya. Kemudian sambil memejamkan mata, ia
menggenggam lilinnya dengan kedua tangan dan mulai membaca
mantra. Wajahnya yang cantik dan pucat diterangi cahaya yang menarinari. Ia berbicara dalam bahasa yang tidak dipahami Corky. Mulamula suaranya pelan saja, tapi semakin lama semakin keras.
Debra masih memejamkan mata ketika mulai menggerakkan
lilinnya secara melingkar di depan dada. Berputar-putar, pelan-pelan,
sambil terus membaca mantra.
Dengan lilin di tangan kiri dan tangan Kimmy di tangan kanan,
Corky memandang lurus ke depan. Segenap perhatiannya tercurah
pada kata-kata aneh yang diucapkan Debra.
Setelah beberapa menit, Debra selesai membaca mantra.
Ia membuka mata. Dan kemudian ketiga gadis itu menjerit sejadi-jadinya ketika
roh jahat itu muncul dari sebuah lubang di lantai.
Bab 16 Dia Menghilang CORKY langsung berdiri. Pandangannya menembus kegelapan
di ruangan itu dan terpaku pada makhluk yang berusaha masuk dari
bawah. Kimmy terbelalak, direbutnya senter dari tangan Corky dan
diarahkannya ke lubang di lantai.
Makhluk itu merintih-rintih dan menggaruk-garuk papan-papan
lantai. "Anjing!" seru Corky.
Debra langsung kecewa. Corky dan Kimmy bergegas maju dan menarik anjing itu keluar
dari lubang di lantai. "Aduh, kau bau sekali," Kimmy berkata sambil
membelai-belai kepala anjing itu. "Bagaimana kau bisa sampai
tersesat ke sini?" Anjing berbulu panjang cokelat dan basah itu menjilat-jilat
hidung Kimmy, seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih.
"Jangan biarkan dia menjilat-jilat mukamu, Kimmy," Corky
berkomentar sambil menyeringai. "Kau kan tidak tahu dia habis dari
mana." "Ya ampun. Ternyata cuma anjing," ujar Debra. Ia menarik
napas panjang. Anjing itu mulai mengelilingi ruangan sambil mengendus-endus
dan mengibaskan ekor. "Barangkali dia bisa mencium si roh jahat," kata Kimmy sinis.
"Tidak lucu," Debra bergumam sambil mengumpulkan lilinlilin. "Tadinya aku begitu yakin kita bakal berhasil."
"Aku juga," ujar Corky. Ia memperhatikan anjing itu berlari
keluar. "Aku benar-benar ngeri waktu dia mulai muncul dari bawah
lantai." "Hah!" cetus Kimmy sambil memutar-mutar bola mata.
"Aku belum mau menyerah," Debra berkeras.
"Tapi aku sudah kapok," kata Kimmy tegas. "Aku kedinginan."
Ia mengembalikan senter kepada Corky dan mulai menuju pintu
depan. "Tunggu, Kimmy!" Corky memanggil. "Kau mau ikut ke
Suramnya Bayang Bayang 17 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kembar 7
Perhatian Corky beralih kembali kepada para cheerleader, yang
sudah siap mengulangi gerakan tadi. Corky menatap mereka satu per
satu, dan seketika segudang kenangan bangkit dalam ingatannya.
Itu Kimmy, si kapten. Seperti biasa wajahnya tampak bersemu
merah, dan rambutnya yang hitam berayun-ayun ketika ia melompatlompat penuh semangat sambil menoleh untuk memastikan anak-anak
lain berbaris dengan rapi.
Di sampingnya ada Ronnie, si rambut merah, yang sedang
membisikkan sesuatu kepada Debra. Ia tampak seperti anak kecil
dengan celana pendek kelabunya dan T-shirt putih tanpa lengan.
Debra tersenyum, dan matanya mulai berbinar-binar. Di
sampingnya, Megan Carman dan Heather Diehl, dua sahabat karib
yang sepertinya selalu bersama-sama, sedang asyik mengobrol.
Kimmy meniup peluit dan mereka mulai berlatih lagi, kali ini
lebih bersemangat. Lompatan mereka pun lebih tinggi dari
sebelumnya. Ronnie meloncat terlalu cepat dan mendarat dengan
kikuk, tapi rekan-rekannya melakukan gerakan penutup itu dengan
serempak. Kemudian Kimmy melihat Corky. Ia segera bergegas
menghampirinya. "Hai! Jadi juga kau datang!"
"Yeah," sahut Corky sambil tersenyum. "Gerakan tadi benarbenar bagus." Ia maju beberapa langkah.
Sebuah bola basket menggelinding ke arah mereka. Kimmy
menangkapnya dan melemparkannya kembali kepada Gary Brandt,
yang melambai-lambaikan tangan dari seberang lapangan.
"Halo, apa kabar, Corky" Saya senang sekali kau mau datang
lagi," ujar Miss Green, yang telah menyusul Kimmy. Ia berpaling
kepada yang lain. "Hei, coba lihat siapa yang datang!"
"Kau mau bergabung lagi?" tanya Heather ketika semuanya
mengelilingi Corky. Mereka langsung memberondongnya dengan
seribu satu pertanyaan. "Satu per satu dong!" seru Kimmy sambil tertawa. "Wah, kau
seperti superstar saja," ia berbisik kepada Corky.
"Kalau Corky balik lagi, kita bisa mulai berlatih gerakan
piramida diamond-head," Megan berkata penuh semangat. "Seperti
yang kau dan Bobbi perlihatkan kepada kami." Megan terdiam. Ia
langsung menyesal telah menyebutkan nama Bobbi.
"Kita coba saja," balas Corky, yang sadar bahwa Megan salah
tingkah. Ia menatapnya sambil tersenyum. "Tapi aku masih agak kaku
karena sudah lama tidak latihan." Ia menepuk-nepuk perutnya.
"Lemak semuanya. Rasanya seberat karung beras."
"Ah, kau tetap langsing seperti biasa," komentar Kimmy, dan
yang lain pun sependapat.
Jangan-jangan mereka disuruh Miss Green untuk bersikap
ramah padaku, Corky mendadak bertanya dalam hati. Atau mereka
benar-benar senang aku bergabung"
Hanya Debra yang kelihatan kurang bersemangat. Ketika Corky
berjalan ke dinding untuk meletakkan ransel, ia melihat Debra
mengikutinya. "Aku bisa merasakannya," Debra berkata pelan-pelan.
"Hmm?" Corky menaruh ranselnya di samping ransel-ransel
yang lain, lalu berpaling kepada Debra.
"Aku bisa merasakannya," bisik Debra sambil menatap Corky
dengan matanya yang biru. Dengan gelisah ia memutar-mutar kalung
kristal di lehernya. "Merasakan apa?" tanya Corky. Kembali berlatih saja sudah
membuatnya gugup. Dan sikap Debra yang misterius sama sekali
tidak membantu menenangkan pikirannya.
"Roh jahat itu," Debra kembali berbisik. Ia melirik kepada
cheerleader lainnya yang sudah mulai berlatih lagi.
"Debra...," ujar Corky.
"Aku bukannya mau menakut-nakutimu," tukas Debra dengan
ketus. "Aku benar-benar merasakannya. Aku tahu roh jahat itu ada di
sini. Di gedung olahraga ini." Ia menggenggam kalung kristalnya
dengan begitu erat sehingga tangannya memutih.
Pandangan Corky beralih kepada anak-anak yang lain. "Nanti
saja kita bicarakan, oke?" katanya. "Aku memang perlu bicara
denganmu, tapi jangan sekarang."
"Oke." Debra tampak tersinggung. "Cuma kupikir kau perlu
tahu." Kimmy meniup peluitnya. Corky melihat Miss Green berdiri di
depan ruang kerjanya yang berdinding kaca di sudut gedung. Wanita
itu sedang memperhatikan mereka sambil mengerutkan kening.
"Ayo, Corky!" Kimmy berseru penuh semangat. Ia berpaling
kepada yang lain sambil menepis rambut yang menutupi matanya.
"Kita mulai dengan latihan round-off. Kita ulangi gerakan terakhir
supaya Corky bisa mencobanya. Kau sudah tahu kan bagaimana
gerakan itu, Corky?"
Corky menggelengkan kepala. "Belum. Aku baru dua kali
melihat kalian memperagakannya. Tapi aku bisa belajar sambil jalan."
"Oke," sahut Kimmy sambil tersenyum hangat. "Sebenarnya
mudah kok. Coba saja." Ia memberi isyarat agar Corky ikut berbaris.
Lutut Corky terasa gemetar ketika ia mengambil tempat di
ujung barisan, bersebelahan dengan Heather. "Oh-oh, ini bakal
kacau," gumamnya. Heather menepuk pundak Corky untuk membesarkan hatinya.
"Ikuti saja setiap gerakanku," katanya sambil tersenyum. "Kalau
begitu, pasti kacau."
Ia dan Corky tertawa. Semuanya begitu baik terhadapku, pikir Corky dengan gembira.
Tapi kemudian senyumnya segera lenyap.
Semuanya begitu baik. Rasanya sukar dipercaya bahwa roh
jahat itu menguasai salah satu cheerleader.
"Oke. Siap?" Kimmy maju selangkah untuk memeriksa barisan,
lalu kembali ke tempat semula. "Pada hitungan ketiga. Satu. Dua.
Tiga." "Hei, you!" mereka mulai bersorak, kemudian bertepuk tangan
dua kali dengan keras. "Yeah, you!" Corky menyerukan kata-kata itu sambil memperhatikan Heather
agar dapat mengikuti iramanya.
Ternyata tidak terlalu sulit, katanya dalam hati.
Dan kemudian ia mendengar jeritan itu.
Seorang gadis menjerit ketakutan, keras sekali. Begitu dekat,
seolah-olah di dalam kepala Corky.
Sorak-sorai para cheerleader dikalahkan oleh suara mengerikan
tersebut. Corky menutup telinga dengan kedua tangan, tapi jeritan itu
tetap terdengar. "Tolong dia! Tolong anak itu!" pekik Corky sambil
memejamkan mata erat-erat.
Ketika membuka mata lagi, ia melihat rekan-rekannya telah
berhenti berlatih dan sedang terpana menatapnya.
Bab 8 Corky Terperangkap "CORKY, ada apa?" Kimmy segera bergegas menghampirinya.
Begitu sorak-sorai para cheerleader berhenti, jeritan itu pun tak
terdengar lagi. Corky mengedip-ngedipkan mata. Jantungnya
berdebar, dan ia merasa pusing. Meskipun suara teriakan itu telah
berhenti, gemanya terus terngiang-ngiang di telinganya.
Dengan lembut Kimmy menggenggam pundak Corky. "Ada
apa" Kau baik-baik saja?"
Corky menatap teman-temannya satu per satu. Semuanya
tampak khawatir. "Kalian tidak dengar jeritan itu?" tanya Corky.
Heather dan Megan menggelengkan kepala, lalu berpandangan.
Debra menatap Corky dengan tajam. Ronnie menundukkan kepala.
Miss Green tadi telah masuk ke ruang kerja sebelum mereka mulai
berlatih lagi. "Kami tidak mendengar apa-apa," ujar Kimmy. "Kau duduk
dulu deh." "Tidak usah." Corky menggelengkan kepala dan memaksakan
senyum. "Mungkin aku cuma salah dengar."
"Sudah, duduk saja dulu," desak Kimmy. "Supaya kau bisa
lebih tenang." "Tidak usah. Lebih baik kita langsung latihan lagi," balas
Corky. Debra memutar-mutar kalung kristalnya. Ketika sadar bahwa
Corky memperhatikannya, ia segera menyisipkan kalungnya ke balik
T-shirt. "Ayo dong," Corky berkeras sambil kembali ke barisan. "Aku
mau coba lagi." Dengan berat hati Kimmy kembali ke ujung barisan. Ronnie
menanyakan sesuatu padanya, tapi Kimmy cuma angkat bahu. Anakanak lain pun mengambil tempat masing-masing.
Aku pasti bisa, ujar Corky dalam hati. Aku harus berhasil.
Ia melengkungkan punggung, meluruskan kaki, lalu menunggu
aba-aba dari Kimmy. Kali ini pasti bisa. Tapi begitu para cheerleader mulai bersorak-sorai, jeritan
menakutkan itu pun terdengar lagi.
Terus-terusan. Jeritan ketakutan seorang gadis, melengking
tinggi"di dalam kepala Corky.
"Jangan! Jangan! Berhenti!" teriak Corky sambil menutup
telinga dan jatuh berlutut.
Para cheerleader segera mengerumuni Corky, dan jeritan-jeritan
itu pun berhenti lagi. Kimmy meraih tangan Corky dan membantunya berdiri.
"Corky, ada apa?"
"Jeritan itu ada lagi," kata Corky terbata-bata. "Aku
mendengarnya lagi." Matanya berkunang-kunang. Di ujung lapangan, beberapa
pemain basket telah menghentikan latihan mereka dan sedang
memandang ke arah para cheerleader.
Semuanya terasa kabur bagi Corky. Berbagai suara dan warna
bercampur baur menjadi satu.
Kimmy menggiringnya ke pinggir. "Kau sakit kepala?"
tanyanya dengan lembut. "Tidak," Corky menjawab ragu-ragu. "Rasanya tidak.
Maksudku... aku cuma mendengar seseorang menjerit." Ia menatap
Kimmy. "Kau betul-betul tidak mendengar apa-apa?"
Kimmy menggelengkan kepala. "Aku akan panggil Miss Green.
Barangkali kita perlu cari dokter."
"Jangan!" seru Corky. "Maksudku... aku tidak perlu dokter. Aku
mau duduk sebentar dan menonton kalian berlatih. Nanti aku mungkin
ikut round-off bersama yang lain. Sekadar untuk... ehm... melemaskan
otot." Ya ampun, bicaraku tak keruan, ujar Corky dalam hati. Gedung
olahraga yang terang-benderang seakan-akan berputar di depan
matanya. Aduh, kenapa sih aku"
Kimmy tampak cemas sekali. Ia menggelar jaketnya di lantai
agar Corky bisa mendudukinya. "Barangkali kau mau minum sedikit?"
ia bertanya. Corky melihat anak-anak lain berkerumun sambil berbisikbisik. Sesekali mereka melirik ke arahnya, lalu segera berpaling lagi
sambil geleng-geleng kepala.
Mereka pasti menyangka aku sudah gila, pikir Corky sedih.
"Corky, kau mau minum?" Kimmy mengulangi.
"Oh. Ehm... sorry. Tidak, terima kasih. Aku tidak mau minum."
Ia menatap Kimmy sambil memaksa diri tersenyum. "Aku tidak apaapa kok. Ayo, teruskan latihan. Aku nonton saja dari sini."
Kimmy berbalik dan menghampiri yang lain sambil berlari
kecil. Kenapa Debra tersenyum-senyum seperti itu" Corky bertanya
dalam hati. Temannya itu kembali memegang-megang kalung
kristalnya. Ia tampak tersenyum puas.
Kenapa dia kelihatan begitu senang" Corky bertanya pada
dirinya sendiri. Begitu menyadari bahwa Corky menatapnya, Debra langsung
berbalik. Kimmy memberi aba-aba agar mereka kembali berbaris. "Siap,
semuanya?" Sambil tetap menduduki jaket Kimmy, Corky menyandarkan
badan ke dinding gedung olahraga. Ia memejamkan mata dan menarik
napas dalam-dalam. "Hey, you!" para cheerleader mulai bersorak.
Seketika jeritan-jeritan itu terdengar lagi.
Begitu keras. Begitu dekat.
Corky melompat berdiri. Ia memandang berkeliling, mencaricari gadis yang menjerit itu.
Tak ada siapa-siapa. Para cheerleader meneruskan latihan. Tapi suara mereka
dikalahkan oleh jeritan-jeritan ketakutan tersebut.
"Jangan!" pekik Corky. "Berhenti!" Sambil menutupi kedua
telinganya, ia berlari ke pintu.
Jeritan-jeritan itu tetap mengikutinya ketika ia menghambur ke
luar"dan menabrak anak muda bermata kelabu yang sempat
mengejarnya di Pemakaman Fear Street.
Bab 9 "Kau Tidak Tahu Siapa Aku?"
SAMBIL menahan napas Corky menatap wajah pemuda yang
tampak kaget itu. Matanya benar-benar kelabu. Seperti mata hantu. Seperti mata
monster. Pemuda itu menggenggam lengan Corky dengan erat, tepat di
atas siku. Ia mengenakan jaket kulit penerbang berwarna cokelat.
Napasnya berbau peppermint.
"Lepaskan aku!" seru Corky.
Pemuda itu memicingkan mata. Ekspresi wajahnya berubah dari
kaget menjadi mengancam. "Lepaskan aku!" Corky menarik lengannya dengan keras.
"Hei!" seru pemuda itu dengan gusar.
Corky cepat-cepat berbalik dan mulai berlari. Suara langkahnya
pada lantai beton terdengar bergema.
"Berhenti!" teriak pemuda itu dengan suara parau.
Siapa dia" Corky bertanya-tanya. Kenapa dia membuntutiku"
Dan bagaimana dia bisa menemukanku di sini"
Corky menoleh ke belakang dan melihat pemuda itu
mengejarnya. Wajahnya tampak geram, dan ia merentangkan tangan
seakan-akan sudah siap menangkapnya.
Corky berlari melewati deretan locker dan bergegas menaiki
tangga di ujung koridor. "Berhenti!" pemuda itu kembali berseru. Suara langkahnya
terdengar begitu dekat. Setelah sampai di puncak tangga, Corky menarik napas
panjang, membelok ke kanan, tapi kemudian berubah pikiran. Ia
menyusuri koridor di sebelah kirinya dengan berlari sekencang
mungkin. "Tolong! Tolong!" teriaknya terengah-engah.
Tapi koridor itu sunyi dan sepi. Jam di dinding menunjukkan
pukul 16.25. "Tolong!" Corky menoleh tepat pada waktu pengejarnya muncul di ujung
tangga. Pemuda itu menengok ke kanan, kemudian melihat Corky di
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
koridor sebelah kiri. "Tunggu!" ia berseru, lalu berlari menghampiri Corky.
Tampangnya keras dan gusar.
Corky memekik tertahan. Cepat-cepat ia membelok dan
mencari tempat bersembunyi.
Sebuah ide terlintas dalam benaknya"ia bisa masuk ke salah
satu locker terbuka dan menarik pintunya sampai menutup. Tapi
semua locker di kedua sisi koridor tertutup rapat.
"Hei!" Pemuda itu sudah hampir membelok.
Napas Corky tersengal-sengal. Mulutnya kering, dan kepalanya
berdenyut-denyut. Aku tidak bisa lari terus, katanya dalam hati. Langsung saja ia
masuk ke sebuah ruang kelas dan berdiri merapat ke dinding.
Apakah pemuda itu sempat melihatnya" Apakah orang itu akan
menyusulnya" Corky memandang berkeliling dan melihat deretan meja
panjang, kursi tinggi, alat pembakar Bunsen, serta berbagai peralatan
lain. Baru sekarang ia sadar telah masuk ke lab IPA. Sejenak ia
hendak memanggil Mr. Adams"guru itu kadang-kadang lembur,
memeriksa kertas-kertas ulangan di ruang kerja kecil di bagian
belakang lab. Tapi suara langkah pemuda tadi terdengar tepat di depan pintu.
Corky tidak bisa berseru. Ia hanya bisa menahan napas dan berdoa
dalam hati sambil merapat ke dinding. Pinggangnya masih serasa
ditusuk-tusuk, dan kepalanya masih berdenyut-denyut.
Barangkali pemuda itu akan berlari melewati pintu lab.
Barangkali ia akan menghentikan pengejaran dan pergi.
Corky memasang telinga. Suara langkah itu berhenti. "Hei!"
Pemuda itu berada tepat di depan pintu lab.
Corky memejamkan mata. Jangan masuk, jangan masuk, jangan
masuk, ia mengulang-ulang dalam hati.
Ia mendengarnya berhenti.
Ia mendengarnya menendang sebuah pintu locker.
Apakah pemuda itu melihat pintu lab yang terbuka" Apakah ia
akan mengintip ke dalam" Apakah ia akan memergoki Corky di
tempat persembunyiannya"
Kalau dia masuk, aku bakal terjebak di sini, pikir Corky. Aku
takkan bisa keluar. Ia bakal terperangkap. Seperti tikus-tikus percobaan yang
dipelihara Mr. Adams dalam kandang di dekat jendela.
Jangan masuk, jangan masuk, jangan masuk...
Dan kemudian Corky mendengarnya kembali berlari. Ia
mendengar suara langkahnya menjauh di koridor.
Corky bergerak menjauhi dinding. Baru sekarang ia berani
menarik napas lagi. Dia pergi. Dia lari ke ujung koridor.
Aku berhasil mengelabuinya.
Ia bersandar pada salah satu meja lab. Sambil menundukkan
kepala, ia menarik napas panjang.
Kemudian ia mengangkat dagu dan memasang telinga.
Hening. Ia menunggu. Hening. Ia menunggu apakah pemuda itu kembali lagi. Tapi suasana di
koridor tetap sunyi. "Aku tidak apa-apa," katanya. "Aku tidak apaapa." Namun lututnya masih gemetaran dan kepalanya tetap
berdenyut-denyut. Dengan hati-hati ia menuju ke pintu"dan secara bersamaan bel
di koridor mulai berdering menandakan pukul 16.30.
Corky tersentak kaget. Ia melompat mundur dan menabrak meja
lab. "Aduh." Keheningan terasa mencekam ketika bel itu akhirnya berhenti
berdering. "Bel konyol," ujar Corky dengan gusar. "Bikin kaget saja."
Jantungnya masih berdebar-debar ketika ia menghampiri pintu
lab, lalu dengan hati-hati melangkah ke luar.
Sekonyong-konyong sebuah tangan menggenggam pundaknya
dengan kasar dari belakang.
Pemuda itu menarik tubuh Corky sampai membalik. Ia menatap
Corky dengan pandangan setajam pisau.
"Lepaskan aku!" Corky berteriak dengan suara melengking
yang tak dikenalinya. "Kita harus bicara," kata pemuda itu. "Kau tidak tahu siapa
aku?" Corky menggelengkan kepala. "Tidak. Siapa kau?"
Pemuda itu memicingkan mata. Ia semakin keras menggenggam
pundak Corky. "Aku si roh jahat," ia memperkenalkan diri.
Bab 10 "Aku si Roh Jahat"
"HAH?" Corky terbengong-bengong. Kedua lututnya seakanakan tak sanggup lagi menopang badannya.
Pemuda itu menggenggam pundak Corky dengan dua tangan. Ia
menatap matanya, mengamati wajahnya"mengamati ketakutannya.
"Aku si roh jahat," ia kembali berkata, kali ini sambil
tersenyum. "Jangan," bisik Corky. "Lepaskan aku. Jangan ganggu aku
lagi." Di luar dugaan Corky, pemuda itu melepaskannya. Ia sampai
terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak dinding. Ia mengaduh
pelan, lalu menggosok-gosok lengan.
"Sepertinya kau benar-benar ketakutan," ujar pemuda itu.
Bagian bawah wajahnya terselubung bayang-bayang. Matanya terus
menatap Corky dan menyorot bagaikan lampu mobil dalam
kegelapan. "Sepertinya kau benar-benar percaya."
"Kenapa..." Corky menunggu sampai denyut jantungnya
kembali normal. "Kenapa kau bilang begitu" Siapa kau sebenarnya?"
Ia merapat ke dinding sambil melirik ke kiri-kanan untuk
mencari kesempatan melarikan diri.
"Kau kabur seakan-akan aku memang roh jahat," ujar pemuda
itu. "Kau takut padaku. Kau ketakutan, kan" Dan memang sudah
seharusnya kau takut!"
"Siapa kau?" seru Corky gusar.
"Aku Jon Daly. Kakaknya Jennifer."
Corky terkesima. "Kakak Jennifer" Aku tidak tahu Jennifer
punya kakak." "Sekarang kau sudah tahu, dan kau juga tahu kenapa aku
mengikutimu," kata Jon.
"Belum," balas Corky dengan suara gemetar. "Aku belum tahu.
Kenapa kau mengikutiku" Kenapa kau mengejar-ngejarku?"
"Karena aku tidak percaya segala omong kosong yang
kudengar," jawab Jon getir.
"Omong kosong" Omong kosong apa?" tanya Corky. Ia benarbenar bingung.
"Omong kosong bahwa adikku kemasukan roh jahat. Aku tidak
percaya takhayul." "Aku percaya," ujar Corky pelan-pelan. "Aku ada di kuburan
malam itu. Aku terpaksa bertarung dengan Jennifer, dengan roh jahat
yang menguasai dirinya."
"Hah, kau boleh percaya," tukas Jon kesal. Ia mengepalkan
tangan seolah-olah hendak menyerang. "Kau percaya setan karena kau
tidak mau mengakui telah membunuh Jenniferl"
"Hei, tunggu dulu...," Corky menyahut. Ia kembali dicekam
ketakutan. Lututnya terasa lemas dan pelipisnya mulai berdenyutdenyut lagi. "Tunggu dulu, Jon. Aku bukan pembunuh. Adikmu..."
"Kau membunuhnya," tukas Jon sambil melotot. Ia merapatkan
wajahnya ke wajah Corky. "Kau membunuh adikku. Lalu kau
mengarang cerita yang tak masuk akal. Adikku tidak jahat, dan dia
tidak seharusnya mati seperti itu. Kau yang jahat"dan aku akan
membuktikannya." "Ti-tidak. A-adikmu...," Corky membantah sambil tergagapgagap. "Roh jahat itu..."
Jon menggenggam kedua bahu Corky. "Aku sudah bilang,"
katanya kesal, "aku tidak percaya takhayul. Tapi kau tahu tidak,
Corky" Aku bakal jadi roh jahat bagimu."
"Hah" Apa maksudmu?"
"Aku akan mengawasimu. Aku akan membayang-bayangimu
dan teman-temanmu, sampai aku tahu bagaimana kejadian
sesungguhnya. Sampai aku bisa membuktikan kau membunuh
adikku." "Hei, ada apa itu?" sebuah suara berseru dari ujung koridor.
Corky menoleh dan melihat seseorang berbadan kekar berlari ke arah
mereka. Jon melepaskan Corky dan berbalik untuk menghadapi orang
itu. "Corky, kau tidak apa-apa?" Orang itu ternyata Chip.
"Chip!" Corky berseru lega.
Jon bergegas ke arah yang berlawanan, lalu membelok ketika
Chip sampai di tempat Corky.
Corky bersandar pada sebuah locker dan berusaha mengatur
napasnya. "Siapa itu" Kau tidak apa-apa?" tanya Chip. Matanya tertuju ke
ujung koridor untuk berjaga-jaga seandainya Jon kembali.
"Aku tidak apa-apa," sahut Corky.
"Tapi siapa sih itu?" Chip mengulangi pertanyaannya. "Mau apa
dia?" Corky menarik napas panjang seraya berpegangan pada pundak
Chip yang lebar. Ia langsung merasa lebih aman. "Kakaknya
Jennifer," ia memberitahu Chip. "Jon Daly. Dia yang mengejarku di
kuburan dan mengikutiku ke rumah."
Chip menepuk keningnya dengan sebelah tangan. "Jon Daly. Ya
ampun. Kok aku bisa lupa?"
Corky tetap bersandar pada Chip ketika ia minta diantar ke
locker-nya. Ia lupa membawa jaketnya ke gedung olahraga waktu
latihan tadi. "Apa maksudmu?" tanya Corky. "Kau kenal dia?"
Chip menggelengkan kepala. "Tidak. Tapi aku ingat dia. Dia
kan yang hampir mengamuk waktu Jennifer dikubur. Kau ingat
tidak"dia sampai harus dijaga beberapa orang supaya tidak berbuat
macam-macam?" "Aku tidak begitu ingat," Corky mengakui. "Semuanya serba
samar-samar." Ia menarik pintu locker-nya.
"Orangnya aneh," ujar Chip sambil menggelengkan kepala.
"Dan dia memang pengacau. Dari dulu dia selalu membuat onar.
Bahkan sampai dikeluarkan dari sekolah."
"Hah" Masa sih?" tanya Corky. Ia menggenggam tangan Chip
dengan erat. "Yeah. Empat atau lima tahun lalu, waktu dia masih sekolah di
sini. Aku tidak ingat persis bagaimana kejadiannya. Kalau tidak salah,
dia memukul guru, dan gara-gara itu dia dikeluarkan dari Shadyside
High. Orangtuanya lalu mengirim dia ke sekolah asrama di luar kota."
"Uih." Tangan Corky gemetar ketika ia berusaha membuka
kunci locker-nya. "Dia pikir aku membunuh Jennifer."
"Dia mengancammu?" tanya Chip, ketika Corky membungkuk
untuk mengambil jaketnya yang terjatuh ke lantai locker.
"Bisa dibilang begitu. Katanya, dia akan mengawasi aku,"
jawab Corky. "Dia mau mengawasi kita semua sampai dia berhasil
mengetahui kejadian sesungguhnya."
"Ada-ada saja," komentar Chip singkat.
"Dia benar-benar marah tentang adiknya. Dia tidak percaya apa
yang terjadi memang benar. Padahal... padahal aku juga kehilangan
kakakku," ujar Corky dengan getir sambil membanting pintu locker.
"Seharusnya aku bilang begitu tadi."
Chip merangkul Corky untuk menenangkannya. "Kita harus
berhati-hati terhadap dia," ia berkata. "Kelihatannya dia bakal
membuat masalah." Mereka menuruni tangga, dan Chip memungut ransel Corky
yang masih tergeletak di lantai koridor bawah. Kemudian mereka
keluar, disambut oleh langit yang kelabu. "Dia bakal membuat
masalah," ulang Chip.
Jon memang mendendam padaku, Corky berkata dalam hati.
Tapi apakah ia cukup nekat untuk mencelakakan aku"
Bab 11 Tarian di Kuburan SEUSAI makan malam, Corky naik ke kamar Sean untuk
bermain Nintendo bersama adiknya itu. Namun tak lama setelah
mereka memulai pertandingan basket, telepon berdering. "Biarkan
saja," kata Sean tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV. Ia
sedang sibuk menekan-nekan tombol pada alat pengendali dengan
kedua jempolnya. "Siapa lagi yang akan mengangkat telepon kalau bukan aku?"
balas Corky. Ia meletakkan alat pengendalinya dan bergegas melintasi
ruangan. "Kau lupa, ya, selain kita tidak ada siapa-siapa di rumah?"
"Huh! Pokoknya, aku tidak mau tunggu sampai kau balik. Aku
mau main terus," Sean mengancam. "Kau bakal kalah."
Corky pergi ke kamarnya dan mengangkat gagang telepon di
meja kecil di samping tempat tidur. Ternyata Kimmy yang
menelepon. "Oh, hai," ujar Corky tanpa semangat.Berkat bermain Nintendo
dengan adiknya ia telah berhasil melupakan kejadian-kejadian
menakutkan sore tadi. Tapi ketika mendengar suara Kimmy, ia
langsung teringat lagi. "Aku cuma mau tanya bagaimana keadaanmu," kata Kimmy.
"Ya, lumayan," jawab Corky. "Aku tetap belum bisa
menjelaskan..." "Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa," tukas Kimmy.
"Sebenarnya aku ingin sekali bergabung lagi dengan kalian,"
ujar Corky. Dengan gelisah ia melingkarkan kabel telepon pada
pergelangan tangannya. "Tapi jeritan-jeritan itu..."
"Jangan menyerah," Kimmy membesarkan hatinya.
"Habis, bagaimana lagi" Aku..."
"Jangan menyerah," Kimmy mengulangi. "Kau pasti sanggup
mengatasi ini, Corky. Aku tahu kau sanggup. Besok kita latihan lagi.
Kau datang, ya." Corky melepaskan kabel telepon yang melilit pada pergelangan
tangannya. "Rasanya aku tidak bisa."
"Coba sekali lagi deh," Kimmy mendesak. "Datanglah sehabis
sekolah besok." "Aku... aku tidak bisa," ujar Corky. Ia melepaskan kabel telepon
dan menempelkan tangan pada dinding yang dilapisi wallpaper
bermotif bunga. "Aku baru ingat. Aku ada ulangan susulan besok. Di
lab IPA." "Kalau begitu, datang saja hari Jumat. Jumat juga ada latihan,"
Kimmy berkeras. "Pokoknya, jangan menyerah, Corky. Cobalah
sekali lagi. Kami benar-benar mengharapkanmu mau kembali."
Tenggorokan Corky serasa tersekat karena terharu. Kimmy
berusaha keras untuk bersikap ramah padanya. "Terima kasih,
Kimmy," ia terbata-bata. "Barangkali aku akan datang. Aku belum
tahu harus bagaimana. Aku cuma ingin agar semuanya kembali
normal. Tapi setiap kali ada saja yang terjadi, dan..." Ia tak tahan lagi.
"Roh jahat itu, Kimmy. Dia kembali. Dia tidak menghilang malam
itu." "Apa" Corky, kau jangan..." Nada suara Kimmy penuh
kecemasan.
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dengarkan aku," Corky menukas, lebih ketus dari yang
diperkirakannya. "Menurutmu, apa yang menyebabkan jeritan-jeritan
mengerikan di dalam kepalaku" Pasti roh jahat itu. Dia ada di sana,
Kimmy. Dia ada di gedung olahraga bersama kita!"
"Corky, sedang apa kau sekarang?" Kimmy bertanya dengan
lembut. "Aku lagi main-main dengan Sean... sebenarnya aku ada PR,
tapi aku agak malas menyelesaikannya. Aku berusaha tidak
memikirkan apa pun," Corky memberitahunya.
"Kau mau datang ke rumahku" Kita bisa mengobrol di sini. Kau
bisa cerita apa saja yang kauketahui tentang roh jahat itu. Barangkali
kita bisa menyusun rencana untuk melawannya," usul Kimmy.
"Hmm..." Corky tidak bisa mengambil keputusan.
"Jangan hadapi masalah ini sendirian," ujar Kimmy. "Kalau roh
jahat itu memang kembali, kita semua terancam bahaya, Corky. Kita
harus menghadapinya bersama-sama. Kita semua ikut terlibat. Kita
harus bekerja sama sebelum dia sempat mencelakakan orang lain."
"Hmm, aku harus menemani Sean sampai orangtuaku pulang.
Tapi setelah itu, yeah, kenapa tidak. Aku akan datang sekitar setengah
jam dari sekarang, oke?"
"Oke," sahut Kimmy. "Kita bisa bicara panjang-lebar. Kalau
perlu sampai pagi. Aku juga bisa membantumu belajar untuk ulangan
IPA besok." "Thanks, Kimmy." Corky benar-benar berterima kasih. Ia
merasa agak terhibur ketika meletakkan gagang telepon.
"Pertandingannya sudah selesai. Kau kalah," Sean
mengumumkan waktu Corky kembali ke kamar adiknya itu.
"Tidak apa-apa. Aku toh bakal kalah," ujar Corky. "Mau main
sekali lagi sampai Mom dan Dad pulang?"
Sean menggelengkan kepala. "Tidak, aku mau main sendiri
saja. Lebih seru." "Huh, dasar!" Corky menggerutu. Kemudian ia mendengar
suara pintu menutup di bawah. Orangtuanya sudah pulang.
Beberapa menit setelah itu ia sudah duduk di dalam mobil, buku
pelajaran IPA serta sebuah map tergeletak di sebelahnya. Ia
memundurkan mobil, mengemudikannya menuju rumah Kimmy.
Udara malam itu cukup dingin. Langit tampak bersih dan bulan
kemerahan menggantung rendah.
Seperti bulan dalam film Science fiction, pikir Corky.
Semuanya tampak lebih jelas dan cerah dari seharusnya. Ketika ia
menyusuri Fear Street, Corky merasa bahwa setiap helai rumput,
setiap lembar daun, kelihatan lebih tajam dari biasanya.
Corky mengikuti jalanan yang membelok, dan Pemakaman Fear
Street mulai terlihat di sebelah kirinya. Sorot lampu mobilnya
menyapu tempat itu dan mengenai sederetan batu nisan.
"Oh!" Corky berseru ketika melihat seseorang melintas di
antara batu-batu nisan. Ia mengurangi kecepatan, tanpa melepaskan pandangannya dari
sosok yang bergerak itu. Ia sempat merasa heran karena semuanya
tampak begitu jelas. Tak ada bayangan sama sekali.
Siapa itu" ia bertanya dalam hati. Siapa yang ada di situ"
Dan kemudian ia mengenali sosok itu.
Sarah Beth Plummer. Tanpa sadar Corky telah menghentikan mobilnya di tengah
jalan. Dengan bingung ia membuka jendela, agar bisa melihat lebih
jelas lagi. Sambil membungkuk Sarah Beth menyusuri deretan batu nisan.
Ia mengenakan jubah hitam yang melambai-lambai, meskipun tidak
ada angin. Sedang apa dia" Corky bertanya dalam hati. Sarah Beth sempat
memberitahu Chip dan Corky bahwa tugasnya di pemakaman sudah
selesai. Jadi kenapa wanita muda itu masih berkeliaran di tengah
kuburan" Sambil tetap memperhatikan sosok berjubah itu, Corky
mengangkat kaki dari rem, dan mobilnya mulai menggelinding maju.
Saat itulah Corky menyadari bahwa Sarah Beth tidak sendirian.
Sosok gelap lainnya berdiri berdekatan dengan Sarah Beth.
Sebelah tangannya bertumpu pada sebuah batu nisan.
Corky kaget sekali dan langsung menghentikan mobilnya.
Dalam cahaya bulan yang terang, ia segera mengenali sosok yang satu
lagi. Jon Daly. Jon Daly dan Sarah Beth Plummer. Bersama-sama. Di tengah
Pemakaman Fear Street. "Ada apa ini?" bisik Corky, sambil mengamati kedua orang
yang kelihatan begitu jelas dalam kegelapan malam.
Sarah Beth tampak menggerakkan tangan. Jon berdiri kaku,
seperti batu nisan tempat ia bersandar. Kemudian Sarah menunjuk ke
bawah. Sedang apa mereka" Apa yang mereka bicarakan"
Corky memicingkan mata dan mengenali batu nisan di belakang
Jon"batu nisan Sarah Fear.
Sekonyong-konyong Sarah Beth melepaskan jubah dan
menggantungkannya pada sebuah tugu marmer. Kemudian ia mulai
berputar-putar. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan
menari dengan pelan dan anggun.
Jon tetap bersandar pada batu nisan. Ia tetap membisu. Matanya
yang hampir tak berwarna mengikuti setiap gerakan Sarah Beth.
Ada apa ini" Corky terheran-heran.
Bulu kuduknya berdiri. Ia cepat-cepat melepaskan rem,
menginjak pedal gas, dan melesat meninggalkan tempat itu.
BAGIAN DUA Roh Jahat Datang! ebukulawas.blogspot.com Bab 12 Kejutan di Lab IPA "KALI ini kita terpaksa mengandalkan kejujuranmu," ujar Mr.
Adams sambil mengedipkan mata ketika ia menyerahkan kertas
ulangan kepada Corky. Corky duduk di kursi tinggi. Ia membungkuk dan menerima
kertas itu. "Apa maksud Bapak?" ia bertanya sambil mengamati wajah
gurunya. Mr. Adams masih muda. Usianya sekitar 25 tahun, tapi
rambutnya yang cokelat tua sudah mulai beruban di sekitar pelipisnya.
Kumisnya menyerupai ulat bulu yang mereka pelajari dalam pelajaran
biologi, dan juga sudah mulai memutih di sana-sini. Ia memiliki
sepasang mata cokelat yang menyorot ramah dan senyum yang
hangat. Biasanya ia mengenakan jins dan sweter longgar. Ia dikenal
menuntut banyak dari murid-muridnya, namun tetap disukai oleh
mereka. "Saya harus ambil mobil di bengkel," ia berkata kepada Corky.
"Saya akan pergi selama dua puluh menit, paling lama setengah jam."
Ia meraih jaketnya yang tergantung pada salah satu kursi.
Corky mengamati daftar pertanyaan. Enam pertanyaan esai. Tak
ada yang di luar dugaan. "Saya akan berusaha untuk tidak terlalu
sering menyontek selama Bapak pergi," ia bergurau.
Mr. Adams tertawa kecil, lalu mengenakan jaketnya. "Katakkatak itu ribut sekali, ya?" ia bertanya sambil menunjuk kotak katak di
rak yang menempel ke dinding. Enam katak sedang berkuak-kuak
dengan nyaring. "Tak apa-apa kok. Biar jangan terlalu sepi," balas Corky sambil
memperhatikan makhluk-makhluk itu melompat-lompat di balik kaca.
"Berapa lama saya boleh mengerjakan ulangan ini?"
"Mestinya jangan lebih dari satu jam," jawab Mr. Adams.
"Soal-soalnya mudah sekali."
"Yeah, mudah sekali," Corky mengulangi sambil tertawa.
Mr. Adams menuju ke pintu. "Nah, silakan mulai," katanya, lalu
segera pergi. Ruangan menjadi hening, kecuali suara katak-katak itu. Corky
menoleh ke arah deretan jendela pada dinding di sebelah kanannya.
Berkas-berkas sinar matahari bulan Desember menerobos masuk
melalui celah-celah venetian blind, mengenai akuarium ikan tropis di
pojok ruangan. Di sebelahnya ada kerangka manusia yang berdiri
membungkuk, dengan lutut menekuk, seakan-akan merasa letih.
Rak-rak di samping kerangka itu berisi stoples-stoples yang
menampung contoh serangga, tanaman, dan berbagai spesimen organ
tubuh hewan. Corky meringis dengan jijik ketika teringat bola mata
sapi yang diperlihatkan Mr. Adams tadi sore. Bola mata itu begitu
besar, dan begitu lunak. Corky melirik jam dinding. Ternyata sudah pukul 15.30 lewat
beberapa menit. Latihan cheerleader di gedung olahraga tentu sudah
dimulai. Corky mengetuk-ngetukkan pensilnya pada tepi meja sambil
mengingat-ingat percakapannya yang panjang-lebar dengan Kimmy
semalam. Kemudian, setelah sadar bahwa ia cuma membuang-buang
waktu, ia meraih kertas ulangan dan membaca pertanyaan pertama.
"Bagus," katanya ketika ia mengetahui pertanyaan itu menyangkut
osmosis. Ia telah mempelajari osmosis dengan saksama, ia tahu segala
sesuatu yang perlu diketahui tentang itu.
Ia menggeser kursinya mendekati meja. Kemudian menuliskan
angka 1 di bagian atas kertas jawaban.
"Hei!" ia berseru, ketika pintu lab menda-dak menutup sendiri.
Masa sih Mr. Adams sudah kembali" Corky bertanya dalam
hati. Ia segera menengok ke arah pintu.
Ternyata tak ada siapa-siapa.
Rupanya ada orang di koridor yang menutup pintu.
Ia kembali melirik jam dinding. Pukul 15.35.
"Aduh, aku buang-buang waktu lagi," ia berkata, lalu mulai
menulis. Suara katak-katak di rak bertambah keras. Corky menoleh
sambil mendesah, dan melihat binatang-binatang itu melompat-lompat
kian-kemari dan tumpang tindih.
"Aduh, kenapa sih kalian harus ribut begini?" Corky bergumam.
"Apa kalian tidak bisa diam sedikit?"
Ia mengalihkan perhatiannya kembali ke kertas ulangan.
Kemudian semua venetian blind menutup bersamaan. Corky
begitu kaget sehingga pensilnya terlepas dari tangannya. Pensil itu
jatuh ke lantai dan menggelinding ke bawah meja.
"Hei!" Tanpa sinar matahari, ruangan lab menjadi jauh lebih gelap.
Corky turun dari kursi dan berlutut untuk mengambil pensil.
Ketika ia berdiri lagi, lampu-lampu di langit-langit mendadak
padam. "Oh!" Corky mengedip-ngedipkan mata. Keadaan di sekelilingnya
gelap-gulita. Suara katak semakin keras. Corky sampai menutup telinga
dengan kedua tangan. "Ada apa ini?" Tak ada jawaban. Ia berdiri sambil menyandarkan badan ke meja lab. Perlahanlahan matanya mulai terbiasa dengan kegelapan yang
menyelubunginya. "Wah, jangan-jangan mati lampu?" ia bertanya
pada dirinya sendiri. Kemudian ia mendengar bunyi pop-pop-pop yang aneh. Baru
setelah beberapa saat ia sadar bahwa bunyi itu berasal dari tutup-tutup
stoples di rak yang membuka sendiri.
Ia melihat tutup-tutup yang terbuat dari kaca itu terpental ke
langit-langit, lalu jatuh kembali ke lantai, dan pecah berantakan.
Isi stoples-stoples di rak mulai terangkat. Ratusan lalat mati dari
salah satu stoples tampak melayang-layang di udara. Puluhan ulat
menyusul, mengambang di udara bagaikan sekawanan burung.
Suara katak kini terasa memekakkan telinga.
Corky membelalakkan mata seakan-akan tidak percaya ketika
melihat katak-katak itu berada di luar. Rupanya kotak kaca mereka
juga telah pecah. Sekitar dua lusin katak sedang melompat-lompat di
atas meja-meja dan menuju ke arah Corky.
"Tolong!" teriak Corky.
Ia kaget setengah mati ketika sebuah benda lunak jatuh di meja
di hadapannya. Bola mata sapi tadi. Mata itu seakan-akan menatap Corky!
Gerombolan katak kini sudah berada di meja Corky, saling
melompati, memanjat ke bola mata yang menjijikkan itu, sambil
berkuak-kuak nyaring. Venetian blind di jendela pun mulai bergemerincing, membuka
dan menutup, berulang kali, melambai-lambai seakan-akan tertiup
angin, padahal semua jendela tertutup rapat. Detik ini ruang lab
dibanjiri sinar matahari, detik berikutnya kembali gelap gulita.
Aku harus keluar dari sini, kata Corky dalam hati.
Ia menepis seekor katak dari pundaknya. Katak lain melompat
ke wajahnya. Bola mata sapi itu bergerak naik, jatuh lagi, lalu
bergerak naik seolah-olah hendak terbang.
Sambil memekik, Corky menunduk ketika bola mata itu
menerjang wajahnya, kemudian melayang di atas kepalanya. Ia
sempat merasakan rambutnya terkena percikan cairan lengket,
sebelum mata itu akhirnya jatuh dan buyar ketika menghantam lantai.
Corky sudah mulai berlari ke pintu ketika perhatiannya teralih
pada sesuatu di bagian depan ruangan. Kerangka itu. Sikapnya tak lagi
membungkuk. Kerangka itu berdiri tegak dan sedang berusaha
membebaskan diri dari dudukannya.
Corky meraih pegangan pintu dan menariknya dengan keras.
Pintu itu tidak bergerak sama sekali.
"Tolong!" Ia menahan napas ketika ruang lab mulai dipenuhi bau bacin
yang menusuk hidung. Begitu busuk.
Busuk seperti kematian. Corky kembali menarik-narik pintu. "Tolong! Tolong!"
Hening. "Tolong!" Dan kemudian, di tengah gemerincing venetian blind dan suara
katak yang memekakkan telinga, ia mendengar bunyi berderak yang
keras sekali. Begitu kering. Bunyi tulang patah. Corky menoleh ke
bagian depan ruangan dan melihat sebelah tangan terlepas dari
kerangka tadi. Sambil berdiri mematung, ia menyaksikan tangan itu mengepal
dan membuka, berulang-ulang, lalu melayang melewati meja-meja.
Kerangka yang kini hanya bertangan sebelah itu tetap berusaha
membebaskan diri,sementara tangan yang telah copot melesat kencang
ke arah Corky. Corky berusaha berteriak, berusaha mengelak. Tapi tangan itu
terus mengikutinya, melewati katak-katak yang melompat kiankemari, melewati bola mata di lantai, menembus awan serangga
mengambang yang memenuhi udara.
Tangan itu menabrak Corky, langsung mencengkeram lehernya.
Akibat benturan yang keras itu, Corky sampai menabrak pintu.
"Tolong! Tolong!" Corky menjerit dengan suara yang tak lagi
dikenalinya. Dan kemudian jari-jemari itu mulai meremas lehernya.
Cengkeraman tulang-belulang itu semakin lama semakin keras.
Semakin keras. Sampai Corky tak bisa bernapas lagi.
Bab 13
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buntung CORKY berjuang untuk menarik napas.
Namun jari-jemari itu semakin keras mencengkeram lehernya,
bagaikan tang. Hiruk-piruk di dalam lab nyaris tak tertahankan. Bunyi
gemerincing dari venetian blind yang melambai-lambai bersaing
dengan kuakan belasan katak. Ruang lab kembali terang, lalu menjadi
gelap lagi. Dan tetap gelap ketika tangan itu mencekik leher Corky dengan
keras. Corky berbalik dan mencoba membenturkan tangan tersebut ke
tembok. Kemudian ia meraih tangan itu dengan kedua tangannya.
Rasanya dingin sekali. Dingin dan lembap, seolah-olah baru keluar
dari kuburan. Ruang lab serasa berputar-putar. Langit-langit yang gelap
seakan-akan mengimpit Corky.
Ia mencengkeram tangan itu dan menariknya dengan segenap
kekuatannya. Tapi jari-jemari itu malah semakin keras meremas
tenggorokannya. Corky meraih jari-jemari itu, dua di masing-masing tangannya.
Kemudian ia menarik dengan sekuat tenaga.
Bunyi tulang patah membangkitkan harapan Corky. Tiba-tiba ia
bisa bernapas lagi. Langsung saja ia menarik napas dalam-dalam,
mengembuskannya, lalu kembali mengisi paru-parunya dengan udara.
Jari-jemari yang patah itu tetap berusaha mencekik leher Corky,
tapi genggamannya sudah jauh lebih lemah. Corky menarik tangan itu,
dan melemparnya melintasi ruangan.
Kemudian sambil berteriak ketakutan, bingung, dan lega
sekaligus, Corky melompat ke pintu. Kali ini ia berhasil membukanya.
Tanpa berpikir dua kali ia melangkah ke koridor yang gelap dan
sunyi. Pintu lab dibantingnya dengan keras.
Jantungnya berdegup kencang. Selain itu, suasananya hening
sepenuhnya. Pandangannya kabur akibat air mata yang menggenang.
Ia menyibakkan rambutnya dan mulai berlari.
"Chip!" ia berkata keras-keras. "Chip!"
Pemuda itu sempat bercerita bahwa ia hendak lembur di
bengkel kayu. Mereka telah berjanji untuk bertemu di sana setelah
Corky selesai mengerjakan ulangannya. "Chip!"
Sambil terhuyung-huyung Corky mulai menyusuri koridor.
Setiap langkahnya bergema dengan keras. Ia menarik napas melalui
mulutnya yang terbuka. "Chip!"
Corky berlari sambil menggosok-gosok lehernya yang terasa
nyeri. Jari-jemari tadi sudah tergeletak di lantai lab, tapi ia masih
merasakan cengkeramannya yang begitu kuat, begitu dingin dan
lembap. "Chip!" Bengkel kayu terletak di bawah, di bagian belakang bangunan.
Corky terpeleset ketika menuruni anak tangga pertama, tapi ia cepatcepat berpegangan pada pagar tangga.
Masa tidak ada orang sama sekali" ia bertanya dalam hati.
Gedung sekolah yang besar itu demikian sunyi, sehingga Corky
seakan-akan bisa mendengar pikirannya sendiri bergema di koridor.
Ia menuruni tangga dan menyusuri koridor yang lebih pendek.
Di ujung koridor ia melihat pintu ganda bengkel kayu. Keheningan
digantikan oleh bunyi melengking yang tak putus-putus.
Bunyi apa itu" Corky terheran-heran.
Ia mendorong pintu bengkel dengan bahunya, dan langsung
menyerbu masuk. "Chip! Di mana kau?" ia berseru dengan suara bergetar karena
ngeri. "Chip?" Bunyi itu semakin nyaring.
Pandangan Corky menyapu meja-meja kerja. Ia melihat
tumpukan kayu di dinding samping, alat-alat bor listrik, serta
kacamata-kacamata pengaman yang tergantung di tembok.
"Chip, di mana kau" Kau ada di sini?"
Ia maju ke tengah-tengah ruangan besar itu, menginjak serbuk
gergaji yang menutupi lantai. Kemudian ia berhenti di hadapan
genangan berwarna gelap. Apa itu" Corky mengamati genangan tersebut sambil mengerutkan
kening. Baru setelah beberapa waktu ia sadar bahwa ia sedang
mengamati genangan darah.
Kemudian ia melihat sepasang sepatu di lantai. Dan sepasang
kaki. Nyaris tersembunyi di balik salah satu meja kerja.
Corky menarik napas panjang, lalu mengelilingi genangan itu
agar dapat melihat lebih jelas. Ia memekik kaget ketika melihat Chip
tergeletak di tengah genangan darah yang lebih besar. Genangan darah
berwarna gelap. "Ohh." Ia meraih tepi meja, lalu menyandarkan badan.
"Chip?" Ia langsung tahu bahwa pemuda itu sudah tak bernyawa.
Chip mati. Tergeletak di tengah genangan darahnya sendiri.
Corky memalingkan wajah. Ia tak sanggup terus menatap Chip.
Ia mengangkat dagu"dan melihat gergaji listrik itu. Baru
sekarang ia sadar bahwa bunyi melengking yang didengarnya berasal
dari alat tersebut. Mata gergajinya berputar dengan mengeluarkan
suara keras. Semakin keras. Semakin keras. Dan kemudian teriakan Corky mengalahkan suara gergaji listrik
ketika ia melihat tangan Chip yang terputus. Tangan itu, terpotong di
pergelangan tangan, tergeletak seperti sarung tangan di samping mata
gergaji. Bab 14 Di Mana si Roh Jahat"
CORKY tidak menangis saat Chip dimakamkan.
Air matanya sudah terkuras habis. Ia telah menangis sampai
matanya perih, merah, dan bengkak. Dan kemudian"tiba-tiba saja"
air matanya mengering, seakan-akan ia telah menghabiskan
persediaan untuk seumur hidup. Kini perasaannya hampa, tanpa emosi
sama sekali. Kecuali kesedihan. Kesedihan itu tak kunjung lenyap. Dan di balik kesedihan,
kengerian pun mengintai. Kenangan-kenangan menakutkan. Adeganadegan mengerikan. Corky tahu ia takkan pernah bisa melupakannya.
Kenangan itu mengikutinya ke mana pun ia pergi, dan
membuatnya sulit tidur di malam hari. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang
tidak beres. Sesuatu yang membayang-bayangi hidupnya. Suatu
kekuatan jahat yang seharusnya tidak ada di muka bumi. Suatu
kekuatan yang tak terkendalikan.
Seusai upacara pemakaman, Corky meninggalkan kapel kecil
itu seorang diri. Suasana di luar ternyata mendung dan serba kelabu.
Daun-daun kering beterbangan tertiup angin, ketika ia melangkah ke
trotoar. Daun-daun mati. Kematian. Di mana-mana. Corky menaikkan kerah mantelnya, bukan sekadar untuk
melindungi diri dari tiupan angin, tapi terutama untuk
menyembunyikan wajahnya. Ia memasukkan kedua tangan ke kantong
mantel dan mulai berjalan.
"Hei, Corky!" Kimmy menyusul Corky sambil berlari kecil.
Rambutnya terayun-ayun. Pipinya tampak merah, sedangkan matanya
kelihatan merah dan berkaca-kaca. Ia langsung merangkul Corky dan
memeluknya dengan erat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia
menempelkan pipinya yang hangat ke wajah Corky yang dingin.
Setelah beberapa detik Kimmy mundur dan menggelengkan
kepala. "Semuanya begitu mengerikan," ia berbisik sambil meremas
lengan Corky. "Dan kau yang menemukannya. Kau yang..." Ia tak
sanggup meneruskan kalimat itu. "Aku ikut bersedih, Corky."
Corky menundukkan kepala. Ia menatap trotoar, dan
memperhatikan daun-daun kering yang tertiup angin.
Ronnie dan Heather muncul. Wajah mereka tampak pucat dan
tegang. Kimmy memeluk kedua-duanya. Mereka menyapa Corky
dengan suara parau. Kemudian ketiga gadis itu menuju ke mobil
Kimmy yang diparkir di seberang jalan.
"Telepon aku," Kimmy berseru kepada Corky. "Oke?" Ia tidak
menunggu jawaban. Corky memperhatikan mereka naik ke mobil Kimmy. Ia melihat
ketiga temannya serentak berbicara di dalam Camry biru itu. Dan
sambil bicara, mereka sesekali melirik ke arahnya.
Corky berbalik dan mulai berjalan lagi. Ia telah berjalan
beberapa langkah ketika menyadari bahwa ia tidak sendirian.
"Hai, Corky," ujar Debra.
Matanya yang biru menyorot dingin ketika ia menatap Corky
dari bawah tudung hitam yang dikenakannya. Debra selalu pucat dan
rapuh, tapi hari ini ia kelihatan seperti hantu.
"Bicaralah denganku," katanya. Suaranya nyaris tertelan oleh
angin yang bertiup. Corky menggelengkan kepala. "Aku lagi tidak berminat bicara."
Ia mulai berjalan lagi. Debra bergegas agar tidak tertinggal. Tudungnya terbuka akibat
tiupan angin. "Kita harus bicara, Corky. Harus!" desaknya.
"Tapi, Debra..."
"Di sana." Debra meraih lengan Corky dan menunjuk restoran
kecil di seberang jalan. "Sebentar saja. Kita bisa pesan hamburger atau
makanan lain. Aku yang traktir. Oke?"
Sikap Debra begitu memaksa sehingga Corky merasa tidak
punya pilihan. "Oke," ia berkata sambil mendesah. "Sebenarnya aku
memang belum makan apa-apa hari ini."
Debra tersenyum ketika meraih lengan Corky, menggiringnya
ke seberang. Beberapa menit kemudian mereka sudah duduk di salah satu
meja. Debra makan cheeseburger dan kentang goreng. Corky, yang
mendadak sadar bahwa ia tidak selapar yang diduganya, makan
beberapa suap sup. "Orang-orang sering bingung kalau menghadiri pemakaman.
Mereka tidak tahu harus bilang apa," ujar Debra sambil menyeka saus
tomat dari dagunya. "Aku sempat mendengar seseorang berkata
kepada ibu Chip bahwa upacara pemakamannya indah sekali." Ia
menggelengkan kepala. "Ada-ada saja."
Corky menatap mangkuk sup di hadapannya. "Memang. Kurasa
mereka begitu canggung, sehingga tak menyadari apa yang mereka
katakan," katanya pada Debra. "Aku juga mendengar komentarkomentar konyol pada upacara pemakaman Bobbi."
Upacara pemakaman Bobbi. Upacara pemakaman Chip. Belakangan ini begitu banyak upacara pemakaman dalam
kehidupan Corky. Ia memaksakan diri makan beberapa suap lagi. Rasanya tidak
seberapa enak, tapi cairan yang hangat itu melegakan
kerongkongannya. "Kita harus bicara soal si roh jahat," Debra tiba-tiba berkata
sambil merendahkan suara, meskipun hanya mereka yang ada di
dalam restoran. Corky mendesah. "Yeah. Aku tahu." Ia mengaduk-aduk supnya,
tapi sudah tak bernafsu makan.
"Kau dan aku sama-sama tahu roh jahat itu yang bertanggung
jawab atas kematian Chip," ujar Debra sengit. "Kalau tangan Chip
terpotong karena kecelakaan, mana mungkin dia diam saja tanpa
minta tolong?" "Kata dokter, setelah tangannya terpotong, dia langsung
mengalami shock," sahut Corky.
"Kau percaya itu?" tanya Debra.
Corky diam sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Tidak."
"Pertama, Chip orangnya selalu berhati-hati. Tangannya
mungkin luka terkena gergaji, tapi tidak mungkin sampai terpotong
habis." "Aku tahu," kata Corky seperti orang tercekik.
"Lagi pula, memotong tangan sampai buntung tidak mudah.
Begitu teriris sedikit, kau pasti langsung menarik tangan. Kau tidak
akan diam saja!" seru Debra.
Corky menoleh ke bagian depan restoran. Melalui jendela ia
melihat hujan salju mulai turun di luar.
"Roh jahat itu masih hidup, Corky," Debra melanjutkan. "Aku
tahu itu, Kimmy tahu, dan kau juga tahu. Kita tidak bisa
mengabaikannya. Kita tidak boleh menutup mata dan berharap roh
jahat itu pergi dengan sendirinya, lalu semuanya beres lagi."
"Aku tahu, aku tahu," Corky meratap. "Aku lebih tahu dari
siapa pun juga, Debra."
Debra langsung meraih tangan Corky dan meremasnya. "Sorry.
Maksudku..." "Roh jahat itu sempat menampakkan diri," Corky bercerita.
"Persis sebelum Chip... persis sebelum aku menemukan Chip."
Debra langsung meletakkan hamburgernya di piring. Ia menatap
Corky seakan-akan berusaha membaca pikiran temannya itu. "Apa
maksudmu?" Corky menarik napas panjang dan menceritakan segala sesuatu
yang terjadi di lab IPA, mulai dari pintu yang menutup sendiri dan
lampu-lampu yang mendadak padam, sampai ke pergulatannya
dengan tangan buntung itu.
Debra mendengarkan sambil membisu dan bertopang dagu.
Keduanya tidak menyentuh makanan masing-masing ketika Corky
mengungkapkan kisah menakutkan tersebut.
"Gawat," ujar Debra lirih. "Gawat."
"Masih ada lagi," Corky menambahkan sambil menoleh ke
jendela di depan. Hujan salju telah bertambah lebat.
"Ayo dong," desak Debra. "Teruskan."
Corky lalu bercerita tentang perjumpaannya dengan Jon Daly
dan Sarah Beth Plummer. Kemudian ia bercerita bagaimana ia
melewati Pemakaman Fear Street serta melihat Sarah Beth dan Jon
bersama-sama di tempat itu.
"Apa yang mereka lakukan di sana?" tanya Debra. Ia kembali
duduk tegak. "Aku tidak tahu," jawab Corky. "Kejadiannya aneh sekali. Aku
melihat Sarah Beth menari-nari di atas kuburan Sarah Fear."
"Di depan Jon, maksudmu?" tanya Debra.
"Jon menonton sambil bersandar pada batu nisan," Corky
menjelaskan. "Aku sampai merinding waktu itu."
"Berarti benar, roh jahat itu masih hidup," bisik Debra.
"Tapi di mana?" tanya Corky. "Kenapa dia keluar lagi dari
kuburan" Dan di mana dia sekarang?"
"Rasanya aku tahu cara untuk menemukannya," Debra berkata
dengan misterius. Bab 15 Razzmatazz "We've got razzmatazz!
Pep, punch"and pizzazz!
Hey, you"you've been had.
Shadyside Tigers got razzmatazz!
RAZZMATAZZ!" KETIKA mengulangi razzmatazz, kelima cheerleader
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperagakan gerakan split sambil melompat tinggi. Dan setelah
mendarat lagi, mereka berlari ke pinggir lapangan sambil bersoraksorai.
"Wow! Luar biasa!" seru Corky. Ia menaikkan lengan sweter
Tigers-nya sambil menghampiri teman-temannya.
"Bagaimana dengan gerakan split tadi?" tanya Kimmy. Ia
tampak prihatin. "Apakah lompatan kami cukup tinggi" Sepertinya
Megan dan aku agak terlambat."
"Kelihatannya sih bagus saja," balas Corky sambil menyeringai.
"Jangan sok merendah deh."
"Yeah!" Ronnie menimpali. "Kalau Corky bilang luar biasa,
berarti memang luar biasa!"
Semuanya tertawa. Penampilan Kimmy jauh lebih bagus sekarang, pikir Corky
gembira. Gerak-geriknya lebih luwes dibandingkan dulu. Dan juga
lebih langsing. Sudah hampir empat minggu berlalu sejak pemakaman Chip,
dan Kimmy telah berhasil membujuk Corky untuk kembali mengikuti
latihan cheerleader. "Kita semua harus kompak," Kimmy mendesak
Corky. "Kalau kita mau mencari roh jahat itu, kalau kita mau
melawannya, kita harus bekerja sama. Dan kalau kau tidak bergabung
dengan tim cheerleader, kau tetap sendirian."
Ucapan Kimmy berhasil meyakinkan Corky, sehingga ia
bersedia bergabung lagi. Para anggota tim cheerleader mengenakan leggings, jins
kutung, serta T-shirt gombrong. Mereka tampak santai dan penuh
semangat, semuanya gembira melihat Corky muncul di lapangan.
"Bagaimana, kau sudah siap ikut latihan?" tanya Kimmy pada
Corky. Corky tidak berpikir dua kali. "Yeah, aku siap." Kali ini takkan
ada yang bisa menghentikannya.
Ia tahu bahwa pertandingan basket Sabtu besok adalah salah
satu pertandingan terakhir dalam musim kompetisi ini. Jika ia
memang mau bergabung lagi dengan tim cheerleader, sekaranglah
saatnya. Corky mengamati gedung olahraga yang terang-benderang.
Miss Green berdiri di depan ruang kerjanya sambil mengacungkan
jempol. Corky pun mengacungkan jempol dan berbaris di samping
Kimmy. "Kau harus memberi tanda kapan aku harus tepuk tangan,"
kata Corky. "Yang lainnya masih bisa kutangani sendiri."
"Aku sendiri juga keliru terus," Kimmy berkelakar.
Ketika menunggu aba-aba dari Kimmy, Corky sempat diliputi
perasaan panik. Gedung olahraga yang terang benderang seakan-akan
diselubungi tirai cahaya putih. Ia seolah-olah dikepung oleh
keheningan. Aku sendirian, ia berkata dalam hati. Aku sendirian di sini.
Tapi kemudian ia mendengar Kimmy memberi aba-aba. Cahaya
putih itu meredup, dan ia kembali ke alam nyata.
"We've got razzmatazz!
Pep, punch"and pizzazz!
Hey, you"you've been had.
Shadyside Tigers got RAZZMATAZZ!"
Corky bersorak-sorai sekeras mungkin. Ia sama sekali tidak
menemui kesulitan dalam mengikuti latihan. Dan ketika tiba waktunya
melakukan gerakan split sambil melompat, ia melompat lebih tinggi
daripada rekan-rekannya. Latihan mereka berakhir dengan sorak-sorai yang meriah.
Kemudian mereka berlari ke tepi lapangan sambil bertepuk tangan.
Corky menarik napas panjang"dan menyadari bahwa ia tertawa,
tertawa lepas dengan gembira karena bisa menyelesaikan latihan
dengan baik. Sebelum sadar apa yang terjadi, yang lain telah berkerumun di
sekelilingnya. Mereka juga tertawa, lalu berebut memberi selamat dan
memuji penampilannya. "Berhubung kau sudah kembali, kita bisa coba piramida
diamond head lagi!" seru Kimmy. "Gerakan yang kauciptakan
bersama kakakmu." "Yeah, mari kita coba," ujar Corky penuh semangat.
"Sekarang?" tanya Kimmy dengan heran.
"Yeah, sekarang juga," Corky menegaskan sambil tersenyum.
"Kalau kita mau memperagakan gerakan piramida pada pertandingan
malam Minggu besok, sebaiknya kita mulai latihan dari sekarang."
"Tapi kau harus mengajarkannya kepada kami," kata Kimmy
bimbang. Corky melihat Debra dan Ronnie berbisik-bisik. "Beres deh,"
ujar Corky. Ia memberi isyarat agar semuanya ikut ke tengah
lapangan. "Bobbi dan aku sudah begitu sering melatih gerakan ini.
Rasanya aku bisa melakukannya sambil tidur."
"Siapa yang ambil posisi paling atas?" Ronnie bertanya sambil
meregangkan kaki. "Biar aku saja," Corky menawarkan.
Ia melihat keraguan yang tercermin pada wajah Kimmy.
"Corky," Kimmy berbisik ke telinga Corky, "kau serius" Kau tidak
perlu memaksakan diri."
"Aku serius," kata Corky tegas, lalu melangkah menjauhi
Kimmy. "Kalau aku tidak bisa berlatih seratus persen seperti dulu,
lebih baik aku tidak jadi bergabung."
Kimmy segera mengalah. "Bagaimana kalau kita melakukan pemanasan dulu?" Debra
mengusulkan. "Kita bisa mencoba piramida dua orang sebelum
mencoba piramida yang besar." Ia menatap Corky dengan pandangan
memohon. "Kita sudah melakukan pemanasan tadi," balas Corky.
"Corky benar," Kimmy berkata kepada Debra. "Ayo, kita coba
saja." Corky langsung menjelaskan piramida diamond head kepada
mereka. Tiga gadis"Kimmy, Debra, dan Heather"membentuk
lapisan paling bawah. Dua gadis lain"Megan dan Ronnie"akan
berdiri di pundak mereka, lalu mengangkat dan memegang sebelah
kaki sementara Corky naik ke bahu Megan dan Ronnie.
Selama beberapa menit mereka berlatih naik-turun pundak;
kemudian Corky memberi petunjuk kepada yang lain untuk
membentuk piramida. Coba kalau Bobbi ada di sini, ia sempat berkata dalam hati.
Bobbi paling ahli untuk gerakan ini.
Tapi kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan
hendak mengusir semua pikiran yang mengganggu. "Siap?" serunya.
"Ayo, kita mulai. Pelan-pelan saja. Jangan pikirkan soal timing."
"Heather, tekuk lututmu," Kimmy mengarahkan ketika Megan
dan Ronnie memanjat ke pundak rekan-rekan mereka untuk
membentuk lapisan tengah.
Tahu-tahu sudah giliran Corky beraksi.
Tahu-tahu ia sudah mulai memanjat. Begitu tinggi.
Dan meskipun ia berkonsentrasi penuh, pikiran-pikiran itu
mendadak muncul lagi. Ketakutannya. Kenangannya yang
menakutkan. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Apakah aku bakal mendengar jeritan lagi"
Apakah aku bakal tidak bisa bergerak setelah sampai di atas"
Apakah ruangan ini bakal berputar-putar"
Megan dan Ronnie masing-masing meraih sebelah tangan
Corky dan menariknya ke atas. Corky bertolak dari pundak Kimmy
dan memanjat. Lebih tinggi lagi. Oh-oh, katanya dalam hati. Sebentar lagi semuanya bakal
kacau. Oh-oh. Oh-oh. Pelipisnya berdenyut-denyut.
Ia sadar bahwa dirinya mulai dicengkeram rasa panik. Kakinya
terasa berat sekali"rasa ngeri mulai menggumpal dalam perutnya dan
membuat tenggorokannya seakan-akan tercekat. Ia merasakan denyut
nadi di pelipisnya. Oh-oh. Sebentar lagi semuanya bakal kacau. Sebentar lagi.
Sebentar lagi. Sekarang. Ia meluruskan kaki dan mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Keseimbangan. Keseimbangan. Ia berkonsentrasi penuh.
Oh-oh. Sekarang. Sekarang!
Dan kemudian ia sampai di puncak piramida"ia berhasil!
Ia gemetaran, tapi berhasil.
Tak ada suara apa pun. Tak ada dinding yang berputar-putar.
Tak ada jeritan ketakutan.
Tak ada serangan roh jahat.
"Selamat, ya!" Corky mendengar sebuah suara berseru dari
bawah. "Bagus sekali!"
Ia menoleh dan melihat Miss Green bertepuk tangan. Wajahnya
yang biasanya masam dihiasi senyum lebar. "Hati-hati kalau turun.
Pelan-pelan saja, oke?"
Beberapa detik kemudian keenam cheerleader sudah kembali
berdiri di lantai. Semuanya sibuk saling memberi selamat. Miss Green
pun larut dalam kegembiraan.
"Kita berhasil"tanpa ada yang patah tulang!" seru Corky riang.
Di luar dugaannya, ia langsung dirangkul oleh Kimmy dan
dipeluk erat. "Aku tahu kau bisa!" ujar Kimmy penuh semangat. Lalu,
sambil berbisik, ia menambahkan ke telinga Corky, "Barangkali si roh
jahat sudah meninggalkan kita"barangkali mimpi buruk ini sudah
berakhir." **************************
"Tolong bawakan ini untukku," ujar Debra, sambil
menyerahkan beberapa batang lilin berwarna merah kepada Kimmy.
Kemudian ia mengencangkan tudung hitam yang dikenakannya.
Bulan purnama tampak melayang di atas pepohonan. Daundaun kering beterbangan tertiup angin. Di jalan di belakang mereka,
melintas sebuah mobil yang sebelah lampunya mati.
"Aduh, kenapa aku mau kalian bujuk?" gerutu Kimmy. "Ini
benar-benar konyol."
"Habis ini kita ke rumahku saja," Corky menawarkan. "Kita
bisa pesan pizza." "Jangan mengeluh terus. Cuacanya tidak terlalu buruk kok,"
Debra berkomentar. Ia mendului yang lain menaiki bukit.
Helai-helai rumput mati menempel pada sepatu mereka. Di
kejauhan ada sebuah tong sampah yang terbalik akibat tiupan angin.
Seekor kucing mengeong, suaranya terdengar seperti tangis bayi.
Ketiga gadis itu berhenti di ujung jalan setapak berlapis semen
yang telah retak-retak. Mereka menatap reruntuhan rumah besar di
hadapan mereka. "Wow," bisik Corky, "aku belum pernah sedekat ini."
Dinding-dinding rumah besar itu kelihatan hitam, sisa-sisa
kebakaran yang menghancurkan rumah tersebut beberapa dasawarsa
sebelumnya. Semua jendela tampak bolong. Hanya jendela terdepan
yang ditutup dengan selembar tripleks. Yang lainnya seperti lubanglubang hitam yang menganga lebar.
"Hei, apa ini?" Kimmy membungkuk lalu memungut sesuatu
dari rumput di pinggir jalan setapak.
Corky segera mengarahkan senter untuk menerangi benda di
tangan Kimmy. Ternyata sebuah boneka. Matanya mendelik,
kepalanya gundul, dan sebelah tangannya copot.
"Kelihatannya sudah tua," komentar Debra ketika
mengamatinya. Kimmy membuang boneka itu. "Untuk apa sih kita ke sini?" ia
kembali mengomel. "Di sini tidak ada apa-apa."
"Percayalah, aku tahu apa yang kulakukan," balas Debra dengan
misterius. Ia membawa sebuah buku besar bersampul hitam dan
menggunakannya untuk menunjuk ke pintu. "Ayo, kita masuk saja."
"Masuk?" tanya Kimmy. Ia mengamati dinding-dinding yang
hangus terbakar. "Nanti dulu."
"Ayolah," ujar Corky sambil menarik lengan Kimmy. "Ini patut
dicoba." "Aku tahu apa yang kulakukan," Debra mengulangi dengan
serius. "Sudah waktunya kita berkunjung ke rumah Simon Fear."
"Semuanya ini tidak masuk akal," Kimmy menggerutu sambil
memindahkan lilin-lilin ke tangannya yang satu lagi. "Untuk apa kita
datang ke rumah bekas kebakaran di tengah malam buta yang dingin
begini?" "Kau mau menemukan roh jahat itu atau tidak?" hardik Debra,
yang akhirnya kehilangan kesabaran menghadapi temannya itu.
"Ya, tentu saja," kata Corky cepat-cepat.
"Kenapa kau begitu yakin kita akan menemukannya di sini?"
tanya Kimmy. Dengan kesal ia menendang boneka tua yang tergeletak
di rumput. Boneka itu terpental cukup jauh.
"Sarah Fear cukup lama tinggal di rumah ini," Debra
menjelaskan. "Kalau roh jahat itu memang dia, inilah tempat paling
logis untuk mencarinya."
"Hah, logis," gumam Kimmy sinis.
"Jangan ngomel saja dong," Corky menegurnya. "Ini lebih seru
daripada belajar untuk ulangan sejarah, ya, kan?"
Debra menatap tajam ke arah Corky. Ia tampak tersinggung.
"Jadi kau juga tidak percaya" Kaupikir semuanya ini cuma mainmain?"
"Segala sesuatu yang berhubungan dengan roh jahat itu
kuanggap sangat serius," balas Corky sambil merendahkan suara.
"Aku ingin tahu di mana dia bersembunyi. Karena itulah aku mau ikut
ke sini." "Aku juga serius kok," Kimmy membela diri. "Tapi menurutku
kita cuma buang-buang waktu dengan datang ke sini dan menyalakan
lilin-lilin." "Tapi kita tidak bisa diam saja!" seru Corky sengit. "Kita harus
melakukan sesuatu. Ide Debra mungkin konyol, mungkin juga tidak.
Terus terang, Kimmy, aku tidak melihat cara lain. Kita harus
bertindak. Kita tidak bisa cuma duduk-duduk dan menunggu siapa
yang mendapat giliran berikut untuk dibunuh."
Pidato Corky ternyata berhasil mempengaruhi Kimmy. "Kau
benar," ia mengakui. Dan roman mukanya pun melunak ketika ia
mengikuti yang lain ke rumah itu.
"Aku sudah banyak membaca tentang urusan seperti ini," ujar
Debra. Ia melewati ilalang untuk mencapai pintu sambil mendekap
bukunya di dada, seakan-akan untuk melindungi diri. "Buku ini
menjelaskan cara memanggil roh. Dan rumah ini tempat yang paling
tepat untuk memanggil arwah Sarah Fear."
Ia menarik-narik pintu kayu, dan tiba-tiba saja pintu itu
membuka dengan mudah. Seketika mereka mencium bau lembap yang
menusuk hidung. "Aku tidak bisa masuk ke situ," tegas Kimmy. Ia mundur
beberapa langkah sambil meringis jijik.
"Nih, kau pegang senter saja," Corky menawarkan. "Tukar
dengan lilinmu." "Membawa senter tidak membantu," sahut Kimmy, sambil
menatap kegelapan di balik pintu. "Kau belum dengar cerita-cerita
tentang rumah ini" Seluruh rumah ini berada di bawah kutukan!"
"Di sini memang ada roh-roh yang gentayangan," Debra
memberitahu teman-temannya. Matanya tampak berbinar-binar dalam
sorot lampu senter. "Aku bisa merasakan kehadiran mereka. Aku
yakin kita bakal berhasil."
Corky mengikutinya ke dalam rumah. Meski sebenarnya
enggan, Kimmy pun menyusul sambil berpegangan pada pundak
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Corky. "Idih, baunya minta ampun!" keluhnya.
"Lama-lama kau akan terbiasa," Debra menanggapinya dengan
tenang. Ia mengajak yang lain ke ruang duduk yang luas.
Corky mengarahkan senternya berkeliling. Kertas pelapis
dinding tampak mengelupas di sana-sini, penuh bercak hitam. Nodanoda gelap memenuhi langit-langit yang telah melengkung. Papanpapan lantai tampak retak-retak dan berlubang-lubang. "Hati-hati,"
Corky memperingatkan teman-temannya.
Udaranya terasa pengap dan lembap. Bau kayu lapuk
menyelubungi mereka. Papan-papan lantai berderak-derak ketika
mereka berjalan ke tengah ruangan.
"Wow, ini dia!" Debra berseru sambil menarik napas dalamdalam. Matanya tampak berbinar-binar. "Aku bisa merasakan si roh
jahat. Aku benar-benar bisa merasakannya."
"Aku bisa menciumnya!" komentar Kimmy sinis.
"Mana lilinnya?" tanya Debra. Ia meletakkan bukunya di lantai
dan menerima lilin-lilin yang disodorkan oleh Kimmy.
"Tolong arahkan senternya ke sini, oke" Aku harus mencari
halaman yang tepat," Debra berkata sambil membalik-balikkan
halaman buku. Corky bergidik. Ia mengamati dinding-dinding yang dilapisi
jelaga, serta papan-papan lantai yang telah lapuk. "Semuanya serba
menakutkan di sini."
"Masing-masing harus pegang satu lilin," Debra membacakan
petunjuk dari bukunya. Kimmy dan Corky diberi lilin satu-satu.
Kemudian ia menyalakan ketiga-tiganya.
"Sekarang kita berlutut di tengah-tengah ruangan," ia berbisik.
Dengan patuh Corky dan Kimmy berlutut di samping Debra.
"Pegang lilinnya dengan tangan kiri," Debra memerintahkan.
"Lalu ulurkan tangan kanan supaya bergandengan di tengah."
Corky dan Kimmy menurut saja.
Sekonyong-konyong lidah api pada lilin mereka bergoyanggoyang dan nyaris padam. Corky tersentak kaget dan langsung
melepaskan tangan Kimmy. "Kau juga merasakannya?" tanya Debra. "Kau merasakan
kehadiran roh jahat itu?"
"Itu kan cuma angin," ujar Kimmy sambil memutar-mutar bola
mata. "Jangan sok seram deh."
"Kau harus berkonsentrasi, Kimmy," gerutu Debra. "Kita harus
berkonsentrasi penuh. Aku pasti bisa memanggil roh itu. Pasti bisa.
Tapi kita harus berkonsentrasi."
"Aku sudah berkonsentrasi," Kimmy bergumam.
Mereka kembali bergandengan tangan. Sekali lagi lidah api
pada lilin-lilin mereka bergoyang-goyang. Tapi kali ini mereka diam
saja. "Sekarang aku akan membacakan mantra," Debra memberitahu
Kimmy dan Corky. "Kalau sudah selesai, kata buku ini, kita akan tahu
di mana roh jahat itu berada."
Corky menelan ludah. Papan-papan lantai yang lapuk berderakderak. Lidah api pada lilin mereka bergoyang-goyang, lalu kembali
tegak. Kita pasti akan berhasil, pikir Corky. Arwah Sarah Fear pasti
ada di tempat menakutkan ini.
"Pakai ajian razzmatazz saja," kata Kimmy kepada Debra.
Debra langsung melotot. "Ssst!" ia mendesis, lalu menempelkan
telunjuk ke bibirnya. Kemudian sambil memejamkan mata, ia
menggenggam lilinnya dengan kedua tangan dan mulai membaca
mantra. Wajahnya yang cantik dan pucat diterangi cahaya yang menarinari. Ia berbicara dalam bahasa yang tidak dipahami Corky. Mulamula suaranya pelan saja, tapi semakin lama semakin keras.
Debra masih memejamkan mata ketika mulai menggerakkan
lilinnya secara melingkar di depan dada. Berputar-putar, pelan-pelan,
sambil terus membaca mantra.
Dengan lilin di tangan kiri dan tangan Kimmy di tangan kanan,
Corky memandang lurus ke depan. Segenap perhatiannya tercurah
pada kata-kata aneh yang diucapkan Debra.
Setelah beberapa menit, Debra selesai membaca mantra.
Ia membuka mata. Dan kemudian ketiga gadis itu menjerit sejadi-jadinya ketika
roh jahat itu muncul dari sebuah lubang di lantai.
Bab 16 Dia Menghilang CORKY langsung berdiri. Pandangannya menembus kegelapan
di ruangan itu dan terpaku pada makhluk yang berusaha masuk dari
bawah. Kimmy terbelalak, direbutnya senter dari tangan Corky dan
diarahkannya ke lubang di lantai.
Makhluk itu merintih-rintih dan menggaruk-garuk papan-papan
lantai. "Anjing!" seru Corky.
Debra langsung kecewa. Corky dan Kimmy bergegas maju dan menarik anjing itu keluar
dari lubang di lantai. "Aduh, kau bau sekali," Kimmy berkata sambil
membelai-belai kepala anjing itu. "Bagaimana kau bisa sampai
tersesat ke sini?" Anjing berbulu panjang cokelat dan basah itu menjilat-jilat
hidung Kimmy, seakan-akan hendak mengucapkan terima kasih.
"Jangan biarkan dia menjilat-jilat mukamu, Kimmy," Corky
berkomentar sambil menyeringai. "Kau kan tidak tahu dia habis dari
mana." "Ya ampun. Ternyata cuma anjing," ujar Debra. Ia menarik
napas panjang. Anjing itu mulai mengelilingi ruangan sambil mengendus-endus
dan mengibaskan ekor. "Barangkali dia bisa mencium si roh jahat," kata Kimmy sinis.
"Tidak lucu," Debra bergumam sambil mengumpulkan lilinlilin. "Tadinya aku begitu yakin kita bakal berhasil."
"Aku juga," ujar Corky. Ia memperhatikan anjing itu berlari
keluar. "Aku benar-benar ngeri waktu dia mulai muncul dari bawah
lantai." "Hah!" cetus Kimmy sambil memutar-mutar bola mata.
"Aku belum mau menyerah," Debra berkeras.
"Tapi aku sudah kapok," kata Kimmy tegas. "Aku kedinginan."
Ia mengembalikan senter kepada Corky dan mulai menuju pintu
depan. "Tunggu, Kimmy!" Corky memanggil. "Kau mau ikut ke
Suramnya Bayang Bayang 17 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kembar 7