Pencarian

Musim Panas Berdarah 1

Fear Street - Musim Panas Berdarah One Evil Summer Bagian 1


Satu Kata Jahanam Amanda conklin menggulingkan badannya di atas tempat tidur. Dibukanya matanya dan pelan-pelan diregangkannya otot-ototnya.
Apakah aku lupa mengangkat baju renangku dari jemuran semalam" tanya Amanda dalam hati. Ternyata ya. Terpaksa deh, pakai bikini saja. Kuharap masih ada waktu untuk berenang sebelum berangkat sekolah.
Amanda menoleh untuk melihat jam yang ada di atas meja di samping tempat tidur. Kalau aku bangun sekarang, mungkin aku masih sempat berenang dulu, pikirnya dengan pikiran yang belum sepenuhnya jernih.
"Ha?" Amanda mengerjap-ngerjapkan mata. Tidak ada meja. Tidak ada kamar tidur.
Matanya memandang ke sana kemari dengan liar. Begitu pandangannya tertumbuk pada langit-langit dari semen berwarna abu-abu itu, baru ia ingat di mana ia berada.
Dan pada semua yang telah terjadi.
Tangannya mencengkeram selimut kasar yang menutupi badannya dan menyentakkannya ke atas hingga menutupi kepala, lalu meringkuk seperti bola. Aku tidak mau mengingat-ingatnya. Pokoknya tidak mau! pikirnya.
Samar-samar tercium bau segar cairan antiseptik di bawah selimut. Amanda merasa bau itu seolah sudah sejak dulu bercokol di dalam rongga hidungnya.
Terdengar bunyi pegas-pegas besi tempat tidur berderit. Para gadis lain di ruangan itu mulai terbangun.
Selamat pagi, teman-temanku sesama psikopat, tawa Amanda dalam hati, pahit.
Tak-tok, tak-tok, tak-tok.
Amanda mengenali suara langkah-langkah kaki di atas lantai yang keras itu. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk tahu bahwa hanya penjaga yang langkah kakinya kedengaran. Orang lain memakai sepatu kain warna hijau yang lunak dan tidak menimbulkan bunyi. Mereka yang ditempatkan di bagian khusus untuk "para pelanggar hukum yang memiliki masalah kejiwaan" ini tidak diperbolehkan memiliki benda-benda yang keras atau tajam. Bahkan sepatu pun tidak boleh.
Tentu saja, Amanda tahu ia tidak boleh menyebut para wanita yang kasar dan berisik itu "penjaga".
Seharusnya ia memanggil mereka dengan menyebut nama. Ms. Macbain. Mrs. Garcia.
Amanda nekat memanggil mereka "penjaga".
"Bangun, Conklin! Cepat!" bentak Mrs. Garcia, seorang wanita gembrot berambut cokelat pendek dan bermata hitam bulat.
Amanda tahu, ia harus bangun. Peraturan di Rumah Tahanan Anak-anak Maplewood ini sangat ketat.
Sehelai handuk abu-abu usang tersampir di ranjang besi Amanda. Disambarnya handuk itu, sementara kedua kakinya dijejalkan ke dalam sepatu kain hijau yang merupakan seragam resmi di Rumah Tahanan Anak-anak Maplewood. Termasuk juga gaun tidurnya, hijau dan tanpa saku. Amanda mengucek-ucek mata dan melipat kedua tangannya di dada.
"Ayo baris," perintah Mrs. Garcia. Cewek-cewek berdiri membentuk barisan di depan pintu. Amanda berjalan mengikuti mereka menyusuri lorong berwarna kuning mustard dingin, menuju kamar mandi.
Sambil berjalan, mata Amanda menerawang ke luar melalui jendela-jendela yang berteralis besi. Ternyata di luar hujan lebat! Jendela- jendela itu tampak bagai disiram berember-ember air. Mendadak terdengar suara geledek menggelegar, membuat Amanda terlonjak.
Aku rela melakukan apa saja asal bisa berhujan-hujan di luar sana, pikir Amanda dengan perasaan merana. Kebebasan"bahkan kebebasan untuk main hujan dan menggigil kedinginan"masih lebih menyenangkan daripada dikurung di tempat ini.
Apa saja masih lebih mendingan daripada terkungkung di sini.
Mereka sampai di depan kamar mandi. Empat orang sekaligus masuk untuk mandi. Ketika tiba giliran Amanda, ia masuk bersama tiga cewek lain yang berwajah masam. Sesama "pelanggar hukum yang memiliki masalah kejiwaan" seperti dirinya.
Tampangku mungkin juga sama jeleknya dengan mereka, pikir Amanda. Diliriknya cewek-cewek itu dari sudut matanya. Semua cewek psikopat bertampang sama.
Di dalam kamar mandi yang lampunya terang menyilaukan, Amanda mencipratkan air ke wajahnya. Diamatinya bayangannya di dalam cermin.
Jelek, Amanda, katanya dalam hati pada bayangannya. Tampangmu mengerikan! Matanya yang cokelat besar itu dihiasi lingkaran hitam di bagian bawahnya. Kulitnya yang semula cokelat karena terbakar matahari sekarang mulai menguning"kelihatan tidak sehat, seperti warna dinding-dinding itu.
Dan rambutku kenapa" tanyanya dalam hati sambil menarik-narik rambut ikalnya yang sekarang kuyu dan lemas. Dalam waktu tiga hari rambutnya telah mati.
Selama itulah aku berada di neraka ini, pikir Amanda. Baru tiga hari. Tapi rasanya sudah seperti tiga tahun.
Amanda mengeluh. Lebih baik aku berusaha membetah-betahkan diri, soalnya aku bakal lama mendekam di tempat ini.
Ia ingat waktu kebetulan mendengar pengacaranya memberitahu kedua orangtuanya bahwa ia tidak diizinkan pulang bersama mereka. "Pembunuhan merupakan pelanggaran hukum yang sangat berat," kata pengacaranya itu.
"Tentu saja!" Amanda tertawa sendiri sambil menyikat rambut cokelatnya.
Cewek di wastafel sebelah mengangkat kepala dan meliriknya dengan tajam.
Amanda membuang muka. Hebat, jadi aku sekarang mulai mengoceh sendirian. Benar-benar sinting. Mungkin aku memang cocok berada di sini, tambahnya dalam hati.
"Yang di dalam sana cepat," teriak Ms. Macbain dari ambang pintu. Penjaga itu bertubuh besar dan wajahnya berbedak tebal. "Conklin, setelah sarapan, kau harus langsung menemui Dr. Miller. Jadi cepatlah."
Amanda merasa ngeri. Aku ogah menemui Dr. Miller lagi! Kemarin dokter itu menanyainya macam-macam, sampai kepalanya berdenyut-denyut. Bagaimana kejadiannya" Apa yang ia pikirkan saat itu" Bagaimana perasaannya waktu itu"
Amanda tidak mau bicara lagi dengan dokter itu. Untuk apa berpanjang-panjang kalau semuanya bisa disimpulkan hanya dalam satu kata" Satu kata jahanam...
Chrissy! Chrissy "SELAMAT tinggal, Fear Street. Seahaven, kami datang!" sorak Amanda sewaktu ayahnya memundurkan mobil keluar halaman. Dari dalam mobil keluarganya yang menderu pergi, dilihatnya rumahnya semakin lama semakin mengecil.
Amanda mengeluarkan ikat rambut kuning dari saku celana pendek warna khaki yang dipakainya, lalu mengikat rambut cokelatnya yang panjang. Ditendangnya sandal kulit warna cokelat dari kakinya, lalu digulungnya lengan kaus oblongnya yang tipis dan berwarna kuning. Ia menyandarkan punggungnya di kursi mobil dan tersenyum pada dua bocah yang duduk di sebelah kanannya. Adik lelakinya, Kyle, berumur delapan tahun, dan adik perempuannya, Merry, tiga tahun.
Sebentar saja kursi mobil itu sudah terasa panas dan basah oleh keringat. "Bisakah AC mobilnya dinyalakan?" pinta Amanda pada kedua orangtuanya.
"Sudah dinyalakan, kok," seru Mr. Conklin.
"Tapi tidak terasa!" erang Kyle.
"Aku kedinginan!" keluh Merry yang suka tampil beda.
Amanda melayangkan pandangannya ke rumah-rumah tua yang diteduhi bayang-bayang pepohonan. Pada siang hari, Fear Street tampak biasa-biasa saja, pikirnya. Tapi kalau malam...
Ia bergidik. Mengapa aku justru memikirkan hal itu sekarang" Kami toh akan pergi meninggalkan tempat ini!
Amanda lega karena tidak harus terkungkung di Shadyside selama musim panas. Ia akan berlibur bersama keluarganya di Seahaven, sebuah kota yang terletak di tepi pantai. Di sana orangtuanya menyewa sebuah rumah, tidak jauh dari laut. Mereka akan bekerja sekaligus berlibur.
Ayahnya berprofesi sebagai pengacara di sebuah lembaga bantuan hukum. Tugasnya membela orang-orang yang tidak mampu menyewa pengacara sendiri. Beliau telah mengajukan permohonan untuk tidak menangani sidang pada musim panas ini supaya bisa menyelesaikan tugas-tugas administrasinya yang selama ini terbengkalai.
Mrs. Conklin bekerja sebagai wartawati. Sekarang ia sedang ditugaskan menulis artikel mengenai "Tekanan yang Dialami oleh Generasi Muda Masa Kini". Isinya berupa laporan mengenai tekanan-tekanan hidup yang dialami oleh generasi muda dalam kehidupan yang serbamodern seperti sekarang. Beliau bermaksud menyelesaikan artikelnya itu di Seahaven.
Sewaktu mobil mereka mulai meluncur di jalan tol, Mrs. Conklin menoleh ke belakang. "Amanda?" panggilnya dengan nada serius. "Menurutmu apa yang merupakan sumber stres terbesar bagimu?"
Oh, tidak! erang Amanda dalam hati. Masa sudah mulai tanya-tanya, sih! Ogah, ah! Tolonglah kasihani aku!
"Bagaimana?" desak Mrs. Conklin sambil memakai sebuah bando kulit di rambut cokelat gelapnya yang dipotong pendek model bob. "Aku tahu kau banyak mengalami stres dalam hidupmu. Tapi manakah yang menurutmu merupakan tekanan paling besar?" Kadang-kadang Amanda merasa seakan menjadi kelinci percobaan untuk artikel-artikel ibunya.
"Duduk di samping dua anak bandel ini!" jawab Amanda sebal sambil mengangguk ke arah Kyle dan Merry. Saat itu Merry sedang iseng mengoleskan selai anggur rotinya ke kaus Kyle.
"Hei"jangan!" teriak Kyle.
Merry hanya cekikikan, rambut keriting cokelatnya bergerak-gerak riang saat ia menyapukan rotinya ke rambut Kyle yang lurus dan pirang. "Aku menyicir rambutmu!" pekiknya kegirangan.
"Kubilang jangan!" teriak Kyle.
"Mom lihat sendiri, kan?" jerit Amanda.
"Kok kau yang mengeluh, padahal aku yang terjepit di tengah-tengah, dan badanku kotor semua," gerutu Kyle.
Mrs. Conklin mengulurkan tangan dan dengan lembut menepiskan tangan Merry. Lalu ia berusaha membersihkan kaus Kyle dari selai.
Merry mengulurkan tangan ke bagian belakang mobil station wagon mereka dan menyentakkan kain penutup sangkar burung-burung kenari. Amanda memberi nama kedua burung itu Garam dan Merica. Yang seekor memiliki bercak putih di ekornya yang kuning, sementara ujung sayap burung yang satunya berwarna hitam.
Karena kain penutupnya dibuka, burung-burung itu kontan mulai berkicau. Kucing Amanda yang gendut dan berwarna oranye, Mr. Jinx, serta-merta langsung mengeong dari kandangnya yang dijejalkan di lantai mobil, di antara Amanda dan Kyle.
"Tenanglah, Jinxie," kata Amanda. Dengan lembut diangkatnya kucing gendut itu dari kandangnya dan didudukkannya di pangkuan. Mr. Jinx menjilat tangannnya, lalu dengan nyaman bergelung di pangkuannya.
"Ini serius, Amanda. Apa yang membuatmu paling stres?" tanya Mrs. Conklin lagi.
Aku nggak suka ditanya-tanya seperti ini! jawab Amanda dalam hati. Tapi ia tahu, ibunya tidak bakal menyerah sebelum mendengar jawabannya.
"Aljabar," jawab Amanda.
Senyum Mrs. Conklin langsung lenyap. Tak tampak lagi kilatan gembira di matanya yang hitam besar.
Kenapa aku menjawab begitu" tanya Amanda dalam hati. Pintar benar! Gara-gara jawabanku itu, kedua orangtuaku jadi ingat kalau aku tidak lulus Aljabar II.
Padahal sepanjang pagi ini mereka sama sekali belum mengungkit-ungkit masalah itu!
Oh, dasar goblok, keluh Amanda sambil menggaruk-garuk belakang telinga Mr. Jinx. Sekarang aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Walaupun begitu, aku tetap merasa tidak enak, karena Mom dan Dad terpaksa menyewa penjaga anak untuk mengawasi Kyle dan Merry selagi mereka bekerja. Padahal aku sudah telanjur berjanji akan menjaga mereka. Sekarang tidak bisa, karena aku harus mengikuti summer school (Di Amerika, bila seorang murid mendapat nilai jelek dalam suatu mata pelajaran sehingga tidak lulus dalam mata pelajaran itu, maka agar tetap bisa setingkat dengan teman-temannya yang lain, murid yang bersangkutan bisa mengulang pelajaran tersebut selama libur musim panas untuk memperbaiki nilainya.) di Seahaven High selama setengah hari.
"Semoga ada orang bisa diandalkan yang menanggapi iklanku di Seahaven Daily dan melamar menjadi penjaga anak," keluh Mrs. Conklin sambil membalikkan badannya, menghadap ke depan. "Artikelku harus selesai pada akhir bulan Juli. Sekarang saja banyak yang belum kukerjakan."
Amanda mengeluh dan duduk merosot di kursinya. Dasar tolol, kenapa harus ngomong begitu tadi"
"Pasti ada," hibur Mr. Conklin. Embusan angin dingin dari AC mengacak-acak rambut ayahnya yang pirang. "Jangan khawatir."
Dua jam kemudian, Amanda melihat papan penunjuk jalan bertuliskan Seahaven di gerbang keluar tol. Mereka keluar dari jalan tol dan selama setengah jam, mobil meluncur menyusuri jalan Old Sea Road yang sempit dan berkelok-kelok.
Amanda menempelkan wajahnya di kaca mobil sewaktu kota pantai Seahaven muncul di depan mata. "Indah sekali kotanya," komentar Amanda saat mobil melaju melewati deretan galeri seni, restoran dengan atap pelindung, toko olahraga, dan sebuah toko serba ada yang sudah kuno.
"Lihat itu!" pekik Kyle sambil menuding.
Amanda melihat sebuah patung beruang cokelat dengan seekor ikan di cakarnya, dalam ukuran sebenarnya. Patung itu berdiri di atas sebidang tanah berumput di tengah bundaran yang ada di jalan raya.
"Dengar-dengar, di sini tempat memancing yang paling mengasyikkan," komentar Mr. Conklin.
Mobil mereka melaju mengitari bundaran itu, lalu menderu pergi. Jalan yang mereka lalui kini mendaki, jauh meninggalkan laut di bawah. "Rumah kita di daerah gunung, ya?" tanya Amanda.
"Di bukit, tapi kira-kira hanya lima menit dari tebing-tebing indah yang menghadap ke samudera," jawab ayahnya memberitahu.
Akhirnya ayahnya membelokkan mobil ke sebuah permukiman yang dipenuhi rumah peristirahatan musim panas. Di sekelilingnya terdapat hutan. Di sisi jalan sempit itu berdirilah rumah mereka. Rumah yang modern tapi bergaya pedesaan. Atapnya menjulang tinggi dan terbuat dari sirap warna abu-abu.
"Keren!" seru Amanda sambil meloncat turun dari mobil dengan Mr. Jinx dalam gendongannya.
Merry dan Kyle bergegas menyusul di belakangnya. Dalam sekejap mereka sudah berlarian di halaman depan rumah yang mungil.
Mr. Conklin membuka kunci pintu depan dan Amanda masuk mengikutinya. "Keren," ulangnya.
Amanda menyukai semuanya"langit-langit rumah yang tinggi dengan dua jendela di atap, membuat cahaya matahari bebas masuk menyinari ruang tamu yang modern, juga pintu sorong dari kaca yang besar sekali sampai hampir memenuhi seluruh dinding belakang. Ia bahkan menyukai tirai jendela bergaris-garis warna biru-putih di kedua sisi pintu kaca.
Dengan gembira dan senang, Amanda mendorong pintu kaca itu dan menjejakkan kakinya di dek yang terbuat dari kayu. Tampak di bawahnya sebuah kolam renang berbentuk persegi empat. Airnya berkilauan karena sinar matahari yang menerobos keteduhan pepohonan.
"Hebat!" bisik Amanda kegirangan.
Dibukanya telinganya lebar-lebar. Yang bisa didengarnya hanyalah suara gemeresik lembut daun-daun dan bunyi empasan gelombang di pantai yang ada di balik hutan yang melandai.
Sambil tersenyum, Amanda bergegas masuk kembali ke rumah untuk membantu ayahnya.
Nyaris saja ia bertabrakan dengan Kyle dan Merry. "Hei, pelan-pelan!" Amanda tertawa. Saking girangnya, kedua bocah itu seakan tidak tahu"atau tidak peduli"bila mereka sampai menabrak orang.
Amanda meneruskan langkahnya ke halaman garasi yang berbatu kerikil. "Sini kubawakan," katanya menawarkan sewaktu melihat ayahnya menurunkan tas ransel kembang-kembang miliknya dari bagasi mobil.
"Di rumah ini bahkan tersedia sampan kecil bertenaga motor," kata Mr. Conklin. "Kapan-kapan kita coba, ya."
Amanda memanggul tas yang berat itu ke dalam rumah. Tampak ibunya sedang berdiri di dapur berbentuk segitiga yang terletak di samping ruang depan. "Tidak ada makanan," ucapnya pada Amanda. "Menurutku sebaiknya kita ke kota untuk membeli bahan makanan."
"Aku ikut!" pekik Merry sambil menarik-narik celana panjang putih ibunya.
Mrs. Conklin menggendongnya. "Boleh."
"Aku juga," seru Kyle dari ruang tamu. "Aku ingin melihat patung beruang itu lagi."
"Aku ogah duduk di kursi belakang dengan mereka berdua!" tukas Amanda. "Aku di rumah saja."
"Baiklah," ujar Mrs. Conklin sambil menggiring Kyle, Merry, dan Mr. Conklin ke pintu. "Kami akan mampir menemui keluarga Baker di kota. Mereka menginap di Beachside Inn. Kalau kau membutuhkan kami, telepon saja ke sana."
"Nggak bakalan," tukas Amanda sambil melambaikan tangan.
Cericip burung-burung di dalam sangkar membuat Amanda menoleh. "Kalian ingin berjemur, ya," kata Amanda sambil mengangkat sangkar itu, lalu meletakkannya di atas meja di balik sofa. "Kalian pasti senang di sana."
Seolah menimpali perkataan Amanda, burung-burung itu mulai berkicau.
Mr. Jinx menggoyang-goyangkan ekornya. "Jangan nakal ya, Jinx," tegur Amanda sambil tersenyum.
Amanda naik ke kamarnya dan mulai membongkar koper. Ia menyalakan radio, lalu menari sambil menata baju-bajunya di dalam lemari. Lalu didengarnya suara pintu diketuk.
Siapa ya" Amanda turun dan berjalan ke pintu depan.
Di luar berdiri seorang cewek yang cantik jelita. Matanya biru sekali. Amanda ingin tahu apakah cewek itu memakai lensa kontak berwarna. Warna rambutnya yang panjang dan lurus itu membuat Amanda teringat pada rambut jagung.
Tubuhnya ramping dan tampak atletis dengan kaki yang panjang. Ia memakai blus putih bertali dan celana panjang longgar warna biru lembut.
"Hai," sapa cewek itu dengan suara serak-serak basah"suara yang didambakan Amanda. "Aku ke sini karena iklan itu."
"Iklan?" "Iklan yang mencari penjaga anak," kata cewek itu.
"Oh, iklan yang itu!" seru Amanda. "Tentu saja. Silakan masuk."
"Namaku Chrissy Minor," ujar cewek itu sambil masuk ke dalam rumah. "Aku membaca iklan kalian di koran. Menurutku ini jenis pekerjaan yang cocok untukku."
"Bagus," timpal Amanda. "Sayangnya, orangtuaku sedang pergi."
"Waduh." Wajah Chrissy langsung muram. "Padahal jam satu nanti aku harus menghadiri wawancara di keluarga lain." Chrissy mengangkat bahu. "Ya sudah. Kalau aku jadi bekerja di keluarga itu, kuanggap saja pekerjaan di sini bukan rezekiku. Kalau tidak jadi, aku akan menghubungi kalian lagi."
"Tunggu," cegah Amanda. Ia tahu ayah-ibunya sangat membutuhkan penjaga anak. "Mungkin ayah-ibuku ada di Beachside Inn. Biar kutelepon ke sana untuk mengecek apakah..."
Amanda berhenti bicara. Ekspresi wajah Chrissy berubah. Mata birunya menyipit, memandang sesuatu di balik punggung Amanda.
Ssssssssss! Amanda menoleh mendengar suara itu.
Mr. Jinx berdiri di sofa dengan cakar mengembang dan punggung melengkung tinggi. Bulunya yang belang-belang oranye-putih berdiri tegak.
"Maaf," kata Amanda. Digendongnya Mr. Jinx dan ditepuk-tepuknya. "Sebelumnya ia tidak pernah bertingkah seperti ini."
"Mungkin sebaiknya aku pergi saja." Chrissy sudah bergerak ke pintu.
"Jangan"please!" pinta Amanda sambil memegang Jinx kuat-kuat. "Tunggu sebentar. Aku mau menelepon orangtuaku dulu. Mereka pasti ingin bicara denganmu."
Chrissy melirik jam tangan emasnya. "Kurasa aku bisa menunggu beberapa menit," sahutnya.
Amanda cepat-cepat lari ke dapur. Ia menutup pintu dan meletakkan kucingnya di lantai. "Apa-apaan sih kau ini?" tegurnya. "Sekarang jangan nakal."
Amanda menelepon Penerangan untuk meminta nomor telepon Beachside Inn. Beberapa detik kemudian ia sudah dihubungkan dengan kedua orangtuanya.
"Kami akan langsung pulang," kata Mrs. Conklin penuh semangat. "Paling lama sepuluh menit kami sudah sampai di sana. Jangan biarkan dia pergi!"
Amanda meletakkan gagang telepon. Ia menoleh, dan sempat melihat ujung ekor Mr. Jinx menyelinap keluar melalui pintu yang terbuka sedikit. "Hei"Jinx!" panggilnya.
Didengarnya Mr. Jinx mendesis lagi.
Desisannya tajam dan menakutkan. Amanda belum pernah mendengar kucingnya mendesis seperti itu.
Tapi sesampainya di ambang pintu, ia terpaku ketika melihat Chrissy.
Bahu cewek itu membungkuk ke depan. Mata birunya menyipit lagi. Samar-samar tampak kilauan kekuningan dari bagian putihnya.
"Oh." Amanda terpekik pelan, kaget melihat Chrissy menyeringai, menampakkan gigi-giginya, dan mendesis ke arah Mr. Jinx.
Rahasia yang Mengerikan Chrissy mendesis seperti binatang. Suaranya mengerikan, sama sekali tidak mirip suara manusia.
Sambil mengeong ketakutan, Mr. Jinx kabur melewati Amanda, kembali ke dapur.
Amanda membungkuk, mengangkat kucing itu, dan menenangkannya dengan cara ditepuk-tepuk. "Kena batunya kau sekarang, ya?"
Mr. Jinx menyurukkan kepalanya ke lekukan lengan Amanda.
Bulu-bulunya masih tegak semua. Belum pernah Amanda melihatnya bertingkah seaneh itu.
"Sebentar lagi ayah-ibuku pulang," seru Amanda pada Chrissy. "Duduklah dulu."
Amanda mengambil semangkuk air dan memberikannya pada Mr. Jinx. Ditepuk-tepuknya kucing itu sampai tenang kembali. Beberapa menit kemudian, didengarnya bunyi pintu depan dibuka, dan suara kedua orang-tuanya menyapa Chrissy. Tiba-tiba saja Kyle menerobos masuk ke dapur, diikuti oleh Merry. "Dia pengasuh kita yang baru, ya?" tanya bocah itu.
Amanda memandang ke ruang tamu melalui pintu dapur yang terbuka. Dilihatnya kedua orangtuanya sedang mewawancarai Chrissy. "Belum tahu," jawabnya.
Tapi kalau dilihat-lihat, tampaknya Chrissy boleh berlega hati.
Mr. Conklin duduk sambil mencondongkan badan dan kedua tangannya dilipat. Mata birunya bersinar hangat saat berbicara pada Chrissy.
Di sampingnya, Mrs. Conklin duduk bersandar dan mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui setiap patah kata yang diucapkan Chrissy. Menurut pengamatan Amanda dari dapur, tampaknya ayah-ibunya sangat menyukai Chrissy.
"Kak, buatkan makanan dong! Aku lapar, nih," pinta Kyle pada Amanda.
Amanda mengambil sekaleng ikan tuna dari tas belanja yang tadi dibawa Kyle dan membukanya. Ia mulai membuat sandwich untuk Kyle dan Merry. Sambil bekerja, matanya tak pernah lepas mengamati jalannya wawancara.
"Ih, jorok amat!" omel Kyle sambil duduk di atas kursi bar yang tinggi dan berputar-putar di atasnya. "Hati-hati, dong. Tunanya berceceran ke mana-mana tuh."
"Jolok amat," tiru Merry sambil ikut-ikutan memutar-mutar kursi di samping Kyle.
"Sst!" tukas Amanda. "Aku mau mendengar Chrissy bicara."
"Saya tinggal bersama bibi saya di luar kota," terdengar suara Chrissy menjelaskan pada suami-istri Conklin. "Tapi putrinya, sepupu saya, baru saja pulang kemari untuk berlibur. Rasanya rumah itu jadi terlalu sesak dihuni oleh kami bertiga. Kalau saya bisa memperoleh pekerjaan sekaligus tempat tinggal untuk sementara waktu, masalahnya bisa terpecahkan sampai Eloise kembali ke kampusnya musim gugur nanti."
"Pernahkah kau bekerja sebagai pengasuh anak sebelum ini?" tanya Mrs. Conklin.
"Oh, ya. Sudah dua musim panas terakhir ini saya bekerja sebagai pengasuh anak."
"Berapa umurmu?" tanya Mr. Conklin.
"Tujuh belas." "Kau punya referensi dari tempat kerjamu yang dulu?" Amanda mendengar ibunya bertanya.
Chrissy merogoh map kanvas kembang-kembang yang dibawanya, dan mengeluarkan selembar kertas yang dilapisi sampul plastik. "Ini resume saya," katanya. "Referensinya di bawah."
"Aku akan menelepon salah satu nomor ini," kata Mrs. Conklin sambil berdiri. "Sebentar, ya." Beliau masuk ke dapur dan menutup pintu.
"Mom akan menerimanya?" tanya Kyle langsung.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Mrs. Conklin.
"Aku sih nggak butuh pengasuh anak," tukas Kyle. "Tapi kalau buat Merry, bolehlah."
"Menurutmu bagaimana, Amanda?" tanya Mrs. Conklin.
"Entahlah," jawab Amanda. "Coba Mom tadi melihat bagaimana Mr. Jinx mendesis padanya. Dan Chrissy balas mendesis pada Mr. Jinx. Wajahnya kelihatan seram sekali. Ia menyeringai, giginya jadi kelihatan semua!"
"Oh, kurasa ia cuma senang bercanda saja," sergah Mrs. Conklin sambil tertawa. "Aku suka padanya."
"Bercanda" Entahlah, Mom," ujar Amanda. Ia tidak bisa melupakan ekspresi wajah Chrissy tadi.
"Terima saja," usul Kyle. "Gile bener, sih!"
"Kyle! Dari mana kau belajar berbicara seperti itu?" tegur Mrs. Conklin sambil menekan nomor telepon yang tercantum dalam daftar referensi Chrissy
Walaupun Amanda berdiri agak jauh, telinganya bisa menangkap nada sibuk di telepon. "Kucoba saja nomor yang lainnya," kata Mrs. Conklin.
Tapi tidak ada yang menjawab teleponnya.
"Terima sajalah, Mom," desak Kyle. "Katanya Mom bisa melihat mana orang yang baik dan mana yang tidak."
"Ya, biasanya aku bisa menilai seseorang dengan baik," jawab Mrs. Conklin. "Kelihatannya dia anak baik. Aku tidak ingin ia bekerja di tempat lain."
"Tapi Mom tidak boleh menerimanya begitu saja tanpa mengecek referensinya terlebih dahulu," bisik Amanda.
"Well, nanti saja kucek lagi. Pokoknya kita jangan sampai kehilangan dia."
"Mom, itu sembrono namanya!" seru Amanda berkeras.
"Amanda, yang sembrono itu kau, karena tidak lulus Aljabar," tukas ibunya. "Kalau itu tidak terjadi, kita kan tidak usah mencari pengasuh anak."
Amanda tidak bisa menyanggahnya. Bagaimana ia bisa menghalangi ibunya mempekerjakan seorang pengasuh anak bila ia yang menjadi gara-gara sampai mereka terpaksa mencari pengasuh anak"
Terdengar suara tawa dari ruang tamu. Amanda menoleh dan melihat Chrissy mencondongkan badan ke arah Mr. Conklin dengan sikap akrab dan penuh percaya diri. "Coba Anda lihat bagaimana kucing Anda mendesis pada saya tadi," cerita Chrissy, seolah menganggapnya sebagai gurauan yang amat lucu.
"Tadi pagi saya membersihkan jebakan tikus untuk Bibi Lorraine," lanjut Chrissy. "Kucing Anda pasti mencium bau tikus di badan saya. Penciuman binatang memang kuat."
"Memang," kata Mr. Conklin sependapat. "Apalagi Jinx. Ia bahkan bisa mencium tuna dalam kaleng!"
Mr. Conklin dan Chrissy sama-sama tertawa.
Amanda merasa konyol. Mungkin ia terlalu membesar-besarkan tingkah Mr. Jinx tadi.
Ia pergi ke ruang tamu. Sambil bersedekap, Amanda duduk di lengan sofa. "Aku tidak bisa menghubungi kedua nomor yang kauberikan," kata Mrs. Conklin pada Chrissy.
"Oh, masa" Sayang," sahut Chrissy. "Tapi menurut saya, mereka tidak punya keluhan apa-apa mengenai saya."
"Ya, aku yakin begitu," timpal Mr. Conklin sambil tersenyum hangat. Beliau melepas kacamatanya. Amanda mengerti maksudnya. Itu berarti ayahnya sudah sampai pada kesimpulan akhir.
"Kalau kau mau, kau boleh bekerja di sini, Chrissy," ucap Mrs. Conklin, juga tersenyum hangat.
Wajah Chrissy langsung berseri-seri. "Hebat! Oh, aku senang sekali!"
"Kyle, Merry, ayo berkenalan dengan Chrissy," panggil Mrs. Conklin ke arah dapur.
Kedua bocah itu keluar dengan sikap malu-malu. Mula-mula Kyle, disusul oleh Merry yang berjalan berjingkat-jingkat.
Chrissy berdiri dan membungkuk di depan kedua bocah itu. "Halo, Adik-adik," sapa Chrissy, suaranya yang mendesah-desah itu terdengar ramah dan bersahabat. "Aku senang sekali bisa berkenalan dengan kalian berdua."
Merry menempel erat pada Kyle, tapi wajahnya berseri-seri memandang Chrissy.
"Sebenarnya aku tidak perlu diawasi," kata Kyle sambil menegakkan bahunya yang kurus.
"Oh, aku sudah tahu, kok. Tentu saja tidak perlu," timpal Chrissy. "Tapi aku memerlukan bantuanmu."
"Boleh saja. Beres pokoknya," jawab Kyle. "Kalau ada pertanyaan, tanya saja aku."
"Terima kasih, Kyle," jawab Chrissy. "Pasti."
Amanda memutar bola matanya dan menahan tawa. Chrissy dengan mudah telah merebut hati Kyle.
"Amanda, aku senang kita bisa bersama-sama melewatkan libur musim panas," kata Chrissy. "Pasti asyik."
"Yeah. Aku yakin pasti asyik." Sebenarnya Amanda bermaksud bicara dengan nada yang lebih ramah. Tapi yang keluar hanya nada setengah hati.
"Saya sudah mengemasi barang-barang saya dan membawanya sekalian"untuk berjaga-jaga, siapa tahu saya langsung diterima," kata Chrissy pada suami-istri Conklin. "Sebentar, ya."
Amanda tidak mengawasi kepergian Amanda. Perhatiannya tertarik pada sangkar burung. Sangkar itu sunyi senyap.
Si Garam dan si Merica diam membisu. Padahal biasanya mereka selalu berkicau sepanjang hari. Paling tidak, salah satu dari mereka bercericit riang.
Kini keduanya membisu. Amanda menghampiri sangkar untuk melihat apakah kedua burung itu tertidur. Ternyata tidak. Burung-burung itu bertengger berimpitan.
"Hei"coba lihat burung-burung ini!" teriak Amanda.
Ia berbalik. Tidak ada siapa-siapa. Seluruh anggota keluarganya keluar bersama Chrissy.
Amanda membungkuk di depan sangkarnya. "Ayo dong, berkicau," bisiknya, dengan lembut menjentik jeruji sangkar untuk memancing kicauan burung-burung itu.
Seolah baru sadar dari pingsan, si Merica mulai mencericip. Disusul tak lama kemudian oleh si Garam.
"Aneh," gumam Amanda. Lalu ia cepat-cepat keluar untuk bergabung dengan yang lain.
*********************************************
Beberapa menit kemudian, mereka berbondong-bondong naik ke atas untuk menunjukkan kamar Chrissy. "Kamarmu bersebelahan dengan kamar Kyle dan Merry," kata Mrs. Conklin setelah Mr. Conklin meletakkan tas-tas Chrissy, lalu keluar dari situ. "Bagaimana kalau kau bongkar barang bawaanmu, lalu ganti pakaian dengan baju renang" Kami tunggu di kolam renang."
"Asyik!" seru Chrissy kegirangan. "Rumah yang ada kolam renangnya! Aku beruntung sekali!"
Lalu Mrs. Conklin turun bersama Kyle dan Merry. Tapi Amanda masih belum beranjak dari ambang pintu, berdiri sambil menyandarkan badan.
Dilihatnya Chrissy melemparkan kopernya ke atas tempat tidur. Koper itu membal, kuncinya yang terbuat dari logam terbuka. Baju- baju di dalamnya terpental dan berhamburan di lantai.
Amanda membungkuk untuk mengambil baju-baju itu. Saat mengangkat sehelai baju hangat katun warna biru, beberapa helai guntingan koran berceceran. "Apa ini?" tanya Amanda sambil mendongak dan menatap Chrissy.
Senyum manis Chrissy langsung lenyap. "Bukan apa-apa," bentaknya sambil meraup guntingan-guntingan koran itu.
Chrissy bergegas berbalik sambil mendekap guntingan-guntingan koran itu di dada.
Amanda berdiri. Apa yang disembunyikan oleh Chrissy"
Chrissy tiba-tiba berputar. "Lihat ini," katanya sambil mengulurkan sehelai guntingan artikel pada Amanda.
Amanda menerimanya. Kertasnya sudah mulai menguning. Dari tanggal yang tertera di bagian atas, dapat diketahui bahwa guntingan koran itu umurnya sudah dua tahun. Judul beritanya "Lilith Minor Masih Koma."
Tanpa berkata apa-apa, Amanda membaca artikel itu.
Lilith Minor, 15, sampai saat ini belum juga sadar dari koma setelah dirawat selama seminggu di Rumah Sakit St. Andrews. Menurut para dokter di rumah sakit tersebut, kecil kemungkinan Lilith dapat sembuh kembali.
Lebih lanjut para dokter itu menjelaskan, remaja yang menghirup gas karbon monoksida dalam dosis yang nyaris mematikan itu, diduga mengalami kerusakan otak. Bila sadar dari koma, kemungkinan besar ia akan mengalami sejumlah gangguan otak.
"Menyedihkan," komentar Amanda. "Dia saudaramu?"
"Saudara kembar," jawab Chrissy tak acuh.
"Lalu bagaimana nasibnya?" tanya Amanda.
Chrissy memandangi artikel yang sudah mulai menguning itu. "Sampai sekarang, Lilith masih koma," jawabnya.
"Aku ikut prihatin," kata Amanda lembut. Tanpa disangka-sangka, Chrissy menyambar pergelangan tangan Amanda.
Dicengkeramnya tangan itu kuat-kuat hingga terasa sakit.
"Tidak usah merasa prihatin," sergah Chrissy dengan suara serak. "Lilith itu jahat!"
Kejadian di Kolam "Mau diantar?" tanya Mrs. Conklin pada hari Senin pagi. Ini hari pertama Amanda mengikuti summer school di Seahaven High.
"Tidak usah, terima kasih. Di gudang ada sepeda. Aku naik sepeda saja." Amanda bergegas lari ke dek luar, lalu menuruni tangga kayu, menuju gudang yang terletak di samping kolam renang.
Dilihatnya Chrissy berjalan menyusuri jalan setapak yang menembus hutan, menuju ke pantai. Kyle dan Merry melonjak-lonjak kegirangan di sampingnya.
Chrissy tampak cantik dalam balutan kaus putih tipis. Kakinya yang kecokelatan tampak sangat kontras dengan kausnya yang putih.
Gadis itu melambai pada Amanda, dan Amanda membalasnya. "Semoga sukses," seru Chrissy.
Sepanjang akhir minggu lalu, Chrissy benar-benar berhasil merebut hati keluarganya. Kurasa tidak apa-apa, pikir Amanda sambil membuka pintu gudang. Kelakuan mereka agak konyol bila ada Chrissy, tapi asal semua senang, kurasa tidak ada salahnya.
Amanda menemukan sepeda tua itu dan menuntunnya ke depan rumah. Lalu dikayuhnya sepeda itu menyusuri jalan yang sempit dan berkelok-kelok menuju ke Seahaven. Sementara itu benaknya diliputi berbagai pikiran tentang Chrissy.
Mengapa Chrissy bilang saudara kembarnya jahat" Apa yang telah dilakukan oleh Lilith"
Lambat laun, jalan yang sempit itu semakin melebar. Tak lama kemudian, sepeda Amanda meluncur kencang menuruni bukit, memasuki kota Seahaven. Diremnya sepedanya ketika sampai di bundaran. Dikitarinya patung beruang yang sedang memegang ikan itu.
Seahaven High terletak di tengah kota. Amanda memarkir sepedanya di lapangan parkir di halaman depan, lalu masuk. Di lobi ada petunjuk yang mengarah ke Ruang Sepuluh.
Hanya ada delapan atau sembilan anak dalam kelas itu. Amanda memilih bangku yang di belakang.
"Cuaca hari ini cerah sekali, dan saya yakin, tak seorang pun di antara kalian senang berada di sini," kata guru mereka, Ms. Taylor. Ia masih muda. Rambut pirangnya dipangkas amat pendek, dan wajahnya agak berbintik-bintik. "Tapi karena kita memang harus berada di sini, maka sebaiknya kita berusaha sedapat mungkin untuk menikmatinya."
Amanda langsung merasa suka pada Ms. Taylor. Guru muda itu jauh lebih menyenangkan daripada Mr. Runyon, guru aljabarnya di Shadyside High, yang sudah tua dan selalu berwajah masam.
Amanda memandang berkeliling. Di sebelahnya duduk seorang cowok bertubuh tinggi dan berambut cokelat ikal. Bahunya bidang, matanya besar dan berwarna cokelat kehijauan. Cakep, pikir Amanda.
Cowok itu seolah tahu diperhatikan. Ia menoleh. Senyumnya mengembang.
Cakep sekali, pikir Amanda lagi. Ketika Ms. Taylor mengabsen para murid satu per satu, Amanda tahu kalau nama cowok itu Dave Malone.
"Masing-masing cari pasangan dan mulailah mengerjakan tiga soal pertama yang ada di halaman sepuluh," perintah Ms. Taylor. Dave tersenyum lebar pada Amanda, menampakkan sederetan gigi putih bersih. Ia menggeser mejanya ke dekat meja Amanda.
Duduk berdekatan dengan cowok seganteng itu membuat konsentrasi Amanda bubar. Untunglah, Dave memahami soal-soal itu dan bisa menyelesaikannya dengan gampang.
"Kenapa kau bisa sampai ikut summer school?" tanya Amanda. "Kau bisa menyelesaikan soal-soal ini."
"Kalau menghadapi persamaan x, y, z seperti ini sih aku bisa," jawab Dave sambil tersenyum. "Tapi kalau sudah sampai di bagian belakang, mengenai tangen, busur, dan semacamnya, aku tidak bisa."
"Kalau begitu kau lebih tahu daripada aku," ujar Amanda mengakui. "Persamaan a sama dengan x saja aku tidak bisa. Kelihatannya aku sudah lupa semua pelajaran kelas satu dulu."


Fear Street - Musim Panas Berdarah One Evil Summer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini tidak susah, kok," kata Dave. "Coba lihat, anggap saja begini..." Sambil mencoret-coret di selembar kertas, Dave menerangkan cara menyelesaikan persamaan itu dengan cara yang bisa dipahami oleh Amanda.
"Coba kau yang jadi guru aljabarku," kata Amanda setelah berhasil menyelesaikan sebuah persamaan dengan benar. "Aku kan jadi tidak perlu berada di sini sekarang."
"Tapi kalau begitu, kita tidak akan pernah berjumpa," sanggah Dave ringan.
Tiba-tiba saja Amanda merasa malu. "Ya, kurasa kau benar."
Seusai sekolah, Amanda dan Dave berjalan keluar bersama-sama. "Kau tinggal di Seahaven?" tanya Amanda.
Dave mengangguk. "Seumur hidup aku tinggal di sini."
"Kenal cewek bernama Chrissy Minor?"
"Tidak." "Kau kenal seorang wanita tua bernama Lorraine, mungkin Lorraine Minor" Ia punya anak perempuan, namanya Eloise. Ia kuliah di tempat lain."
Dave berpikir sebentar, lalu menggeleng. "Tidak kenal."
"Tapi penduduk Seahaven sedikit, kan?" tanya Amanda. "Kukira kau kenal semua orang yang tinggal di sini."
"Kukira juga begitu," timpal Dave. "Kenapa kau ingin tahu?"
Amanda mengangkat bahu. "Cuma iseng. Orangtuaku mempekerjakan seorang pengasuh anak"namanya Chrissy Minor"dan aku ingin tahu mengenai latar belakangnya."
"Aku tidak kenal," ujar Dave. "Mungkin ia baru pindah ke sini."
"Mungkin," Amanda mengiyakan dengan ragu.
"Ia baik?" tanya Dave.
Amanda tidak tahu harus mengatakan apa. "Yeah. Lumayanlah. Tapi"yah"entahlah. Kalau kau dengar ceritaku, kau pasti menganggapku tolol."
"Cerita saja," desak David sambil tersenyum. "Aku sendiri juga tolol."
"Well," Amanda memulai dengan enggan. "Aku tidak percaya padanya"karena kucingku tidak suka padanya. Konyol, ya?"
"Konyol banget," kata Dave sependapat. Cowok itu tertawa. "Tidak. Tunggu. Aku cuma bercanda, kok. Maksudku, binatang biasanya bisa menilai sifat seseorang dengan tepat. Mereka bisa mencium hal-hal seperti itu, tapi berbeda dengan manusia, mereka menunjukkannya secara terang-terangan."
"Menurutmu begitu?" tanya Amanda.
"Yeah," jawab David sementara mereka berjalan beriringan. "Dulu aku punya anjing yang selalu menggeram bila melihat salah seorang teman sekolahku. Belakangan baru ketahuan kalau anak itu ternyata kleptomaniak, suka mencuri. Setelah video game kesukaanku disikatnya, barulah aku percaya geraman anjingku."
"Coba orangtuaku mendengar ceritamu itu," kata Amanda. "Menurut mereka, Chrissy itu sempurna luar-dalam."
Amanda sudah sampai di tempat parkir sepeda. Ia menaiki sepedanya dan mengucapkan selamat berpisah. "Sampai ketemu lagi besok!"
Dalam perjalanan pulang, ia memikirkan cerita Dave tadi. Lalu beralih memikirkan teman barunya itu.
Cowok itu benar-benar cakep!
Sesampainya di rumah, Amanda menyandarkan sepedanya di dinding depan, lalu masuk ke dalam. "Mom," panggilnya.
Tidak ada jawaban. "Merry" Kyle?"
Hening. Amanda mendorong pintu kaca hingga terbuka, lalu buru-buru keluar ke dek.
Ia melongok ke bawah, ke arah kolam renang. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Merry! Merry mengambang di tengah kolam.
Kedua matanya terpejam. Rambutnya mengapung di sekitar wajahnya, mengembang seperti kipas.
Merry! Dengan tubuh membeku dicekam ketakutan, sebuah pikiran mengerikan melesat di benak Amanda.
Merry tidak bisa berenang!
Tragedi Mr. Jinx "MERRY"tidak!"
Apakah jeritan itu benar-benar keluar dari tenggorokan Amanda"
Secepat kilat, Amanda berlari menuruni tangga, ke kolam renang.
"Merry! Merry! Please"Merry!"
Amanda terjun ke dalam kolam, masih dengan pakaian lengkap. Ia berenang seperti orang kesetanan, menghampiri adiknya.
Baru setengah perjalanan, Amanda merasa ada sesuatu di dalam air. Sesuatu yang bergerak-gerak.
Ha" Apa itu" Air di depannya menyibak dan menciprat. Benda itu menghadangnya, muncul di hadapannya.
"Oh!" Amanda lupa kalau saat itu berada di dalam air. Ia membuka mulut dan berteriak ketakutan. Dalam keadaan tersedak dan terbatuk-batuk barulah ia sadar bahwa ia berhadapan dengan Chrissy!
Ternyata itu Chrissy. Chrissy juga berada di dalam air.
"Apa-apaan ini?" tuntut Amanda dengan napas terengah-engah begitu mereka muncul di permukaan air.
"Jawab saja sendiri," Chrissy balas membentak "Kau yang terjun ke dalam kolam dengan pakaian lengkap!"
Amanda menyeka air kolam dari matanya. Dilihatnya Merry bergelayut di lengan Chrissy. "Aku tadi mengambang, lho," cerita Merry bangga.
"Hah?" pekik Amanda, belum pulih dari rasa kagetnya. Jantungnya masih berdegup kencang. Dengan susah payah dicobanya mengatur napas.
"Aku mengajarinya mengambang," kata Chrissy memberi penjelasan. "Aku sedang berada di bawah air, memeganginya dari bawah, ketika kau mendadak terjun ke kolam seperti orang gila."
Mrs. Conklin berlari-lari ke arah kolam. Kyle membuntuti di belakang. "Ada apa?" jeritnya. "Kenapa berteriak-teriak?"
Mrs. Conklin memandangi Amanda, lalu beralih ke Chrissy. "Eh"tidak ada apa-apa, Mom," jawab Amanda. "Benar, kok."
Dengan kening berkerut, Mrs. Conklin mengawasi Amanda keluar dari kolam. Celana pendek dan kausnya basah kuyup. "Amanda, masa kau tidak bisa memakai baju renang?"
Kyle terbahak-bahak. Ia menganggap ucapan ibunya itu sangat lucu.
Amanda naik ke dek, membuat air berceceran di mana-mana. "Tampangmu kayak orang tolol," ejek Kyle.
Amanda memelototinya. Mrs. Conklin menggerakkan ibu jarinya ke arah kolam. "Kyle, sana ke Chrissy. Mom ingin bicara dengan Amanda."
"Amanda, ada apa sebenarnya?" tanya Mrs. Conklin setelah hanya tinggal mereka berdua di dek.
"Kusangka"kusangka Merry tenggelam," jawab Amanda, sengaja tidak mau menatap mata ibunya. "Aku melihatnya mengambang di air, jadi aku langsung terjun untuk menyelamatkannya. Tapi ternyata ia memang benar-benar mengambang. Chrissy sedang mengajarinya."
Raut wajah Mrs. Conklin yang semula tegang kini melembut ketika mendengar penjelasan itu. Diusapnya sehelai rambut basah dari dahi Amanda. "Kau pasti sangat ketakutan," kata ibunya lembut.
"Mom, aku punya firasat yang tidak enak mengenai Chrissy," kata Amanda.
"Amanda, kau masih khawatir memikirkan reaksi kucingmu itu, ya?" tanya ibunya.
"Bukan. Bukan cuma itu," bisik Amanda. "Tapi burung-burung kita juga. Kalau ada Chrissy, mereka tidak mau berkicau."
Mrs. Conklin menggeleng-gelengkan kepala. "Amanda, please"jangan berpikir yang bukan-bukan. Sebenarnya apa yang membuatmu gelisah?"
"Entahlah, Mom. Pokoknya perasaanku tidak enak. Tadi aku berkenalan dengan seorang cowok di sekolah. Ia tidak kenal Chrissy. Padahal ia orang sini. Chrissy tidak tinggal di Seahaven."
"Katanya ia tinggal bersama bibinya di luar kota," sanggah Mrs. Conklin mengingatkan Amanda.
"Mungkin sebaiknya Mom mengecek alamat rumahnya, benar atau tidak alamat itu ada," usul Amanda.
"Aku tidak mau memata-matainya," tukas Mrs. Conklin.
"Bagaimana dengan referensinya" Sudah dicek?"
"Sudah kucoba, tapi salurannya selalu sibuk. Sementara nomor yang satu lagi tidak ada yang mengangkat," jawab ibu Amanda.
"Apakah itu tidak aneh?" tanya Amanda.
"Tidak," jawab ibunya. "Keluarga yang satu mungkin memiliki satu atau beberapa anak remaja yang memonopoli telepon. Sementara keluarga yang satu lagi sedang berlibur. Sama sekali tidak ada yang aneh. Lama-lama pasti bisa kuhubungi. Dan bila sudah bisa berbicara dengan mereka, aku yakin mereka akan menyampaikan hal-hal yang baik mengenai Chrissy. Menurutku, ia anak yang baik."
"Mom tahu saudara kembarnya mengalami koma?" tanya Amanda. "Katanya, saudaranya itu jahat."
"Bukan begitu yang ia ceritakan padaku," sanggah Mrs. Conklin. "Ia sangat sedih dan mencemaskan keadaan saudaranya itu. Kita harus bersikap baik pada Chrissy. Hidupnya susah. Kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil. Satu-satunya keluarganya hanyalah saudara kembarnya. Dan sekarang ia koma."
"Kalau begitu kenapa ia bilang Lilith jahat?" tanya Amanda berkeras.
"Amanda, kau yakin Chrissy memang berkata begitu?"
"Yakin sekali. Selain itu, cara Chrissy mengatakannya juga mengerikan."
Mrs. Conklin menggeleng-gelengkan kepalanya dengan letih. "Mom rasa imajinasimu terlalu berlebihan." Mrs. Conklin mengacak-acak rambut Amanda yang basah, lalu masuk kembali ke dalam rumah.
Amanda bersandar di pagar pembatas dek. Di kolam tampak Chrissy sedang main lempar-lemparan bola pantai warna-warni bersama Kyle dan Merry.
Di kamarnya, Amanda membuka pakaiannya yang basah dan lengket. Mr. Jinx duduk di atas selimut perca yang menutupi tempat tidurnya. Amanda menggaruk-garuk bagian belakang telinga kucing itu. "Coba kau bisa bicara, Jinx," kata Amanda dengan suara pelan. "Aku ingin kau tahu apa alasanmu tidak menyukai Chrissy. Aku ingin mengerti maksudmu."
Seolah mengerti kata-kata Amanda, Mr. Jinx menempelkan kepalanya di tangan Amanda, dan menggosok-gosokkan kepalanya di sana. "Aku juga sayang padamu, Jinxie," kata Amanda sambil tersenyum.
Amanda memakai celana pendek cokelat dan kaus Pearl Jam merah-hitam. Lalu ia pergi ke dapur untuk mencari camilan. Mr. Jinx membuntutinya.
Dalam perjalanan ke dapur, ia melewati kamar tidur yang digunakan oleh kedua orangtuanya sebagai ruang kerja. Ayahnya duduk di kursi malas, sedang asyik memilah-milah setumpuk kertas. Kedua kakinya dijulurkan ke depan. Perhatian beliau benar-benar tercurah pada pekerjaannya, sampai-sampai tidak sempat mendongak.
Mrs. Conklin memasang komputer laptop-nya di sebuah meja kecil di sudut kamar. Ia bisa merasakan kehadiran Amanda. Ibunya itu menoleh dan tersenyum sekilas sebelum kembali ke kesibukannya semula.
Ketika Amanda dan Mr. Jinx melewati pintu depan, Mr. Jinx menggosok-gosokkan badannya ke sana. "Baiklah, kau boleh keluar," jawab Amanda menanggapi permintaan Mr. Jinx itu. Dibukanya pintu, dan Mr. Jinx bergegas keluar.
Amanda terus ke dapur. Sambil memandang ke luar jendela, ia membuka sebungkus biskuit Oreo. Sekarang Chrissy, Kyle, dan Merry sudah pindah ke halaman depan.
Di sebelah kiri jalan masuk yang berbatu kerikil, terdapat sepetak halaman kecil. Di situlah Chrissy dan Kyle bermain bulutangkis. Merry lari bolak-balik di antara mereka.
Sambil memasukkan sekeping biskuit Oreo ke mulutnya, Amanda merenung memandangi mereka. Ia nyaris tidak menyadari munculnya sebuah sedan berwarna perak yang melaju kencang.
Dari sudut matanya, dilihatnya Mr. Jinx melenggang di jalan masuk.
Amanda mendengar suara mesin mobil itu meraung-raung.
Lalu didengarnya suara ban berdecit.
"Hei?" teriaknya. "Ada apa?"
Melalui jendela, dilihatnya Mr. Jinx melesat melintasi halaman.
"Tidak!" pekik Amanda sewaktu melihat mobil perak itu mendadak menikung tajam.
Mobil itu tidak bisa dikendalikan!
Tidak bisa dikendalikan! Raungan mesinnya seakan menenggelamkan jeritan Amanda sewaktu melihat mobil itu menerjang halaman depan.
Mobil itu melaju ke arah Merry dan Kyle!
Semakin Takut D ENGAN kedua tangan menempel di jendela dapur, Amanda berteriak ketakutan melihat mobil itu meliuk-liuk liar, lalu terbang ke halaman.
Semua terjadi begitu cepat.
Merry menjerit. Kyle menutup wajahnya dengan tangan.
Chrissy berlari menghampiri mereka.
Lalu ketiganya lenyap di balik mobil yang meraung-raung itu.
"Merry! Kyle!" Amanda mendengar kedua orangtuanya berteriak-teriak panik.
Lantai di bawah kakinya seakan miring dan berputar sewaktu Amanda berlari mendahului kedua orangtuanya ke halaman depan.
Dan bumi seakan berguncang ketika mobil perak itu menghantam mobil keluarga Conklin yang diparkir di halaman.
Mobil itu berhenti. Suasana hening. Tapi keheningan itu dibuyarkan oleh jeritan ibu Amanda. "Tidak! Tidak! Tidak! Tidak!" Teriakan penuh kengerian dan rasa tidak percaya.
"Tidak apa-apa!" terdengar teriakan Chrissy yang melengking, mengalahkan jeritan ibu Amanda. "Mereka selamat."
Amanda ternganga. Sekujur tubuhnya gemetaran. Napasnya megap-megap.
Chrissy, Kyle, dan Merry tiarap di tanah. Sekarang mereka bangkit, sambil terus berpegangan pada Chrissy. Wajah keduanya pucat pasi dan tubuh mereka gemetaran.
"Terima kasih, Tuhan!" tangis Mrs. Conklin. "Syukurlah kau bisa menyelamatkan mereka, Chrissy!"
Mrs. Conklin berlutut dan memeluk anak-anaknya erat-erat.
"Mommy, Mommy, Mommy," tangis Merry sambil memeluk leher ibunya.
Amanda menoleh ke mobil perak itu. Seorang pria muda berambut pirang pendek pelan-pelan turun dari mobil. "Mereka tidak apa-apa?" tanya pemuda itu linglung, suaranya bergetar.
"Apa yang terjadi?" bentak Chrissy marah.
"Aku"aku tidak tahu," jawab pria itu terbata-bata sambil mengangkat bahu. "Sungguh, kejadiannya aneh sekali!" Diliriknya mobilnya yang menghantam bagian samping mobil station wagon keluarga Conklin.
"Mobilku"tiba-tiba saja melaju makin kencang," sambung pria itu dengan suara goyah. "Aku tidak bisa mengendalikannya. Remnya" aku sudah menginjak pedalnya dalam-dalam, tapi remnya blong."
"Kau barusan minum-minum, ya?" tanya Mr. Conklin curiga. "Kalau ya, aku bersumpah akan?"
"Tidak!" bantah pria itu. "Setetes pun tidak. Aku tidak suka minum. Aku"sungguh, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak sedang ngebut. Juga tidak mabuk. Sungguh. Aku merasa sangat tidak enak..." Suaranya menghilang. Kepalanya tertunduk.
"Sebaiknya kita panggil mobil derek," kata ayah Amanda, sikapnya sudah mulai tenang. "Syukur tidak ada yang jadi korban."
Ketika ayahnya beranjak kembali ke rumah, mata Amanda tertumbuk pada ekor berwarna oranye belang-belang yang sudah sangat dikenalnya di roda depan mobil perak itu.
Gadis itu berjongkok dan perlahan-lahan menarik Mr. Jinx yang berlumuran darah dan sudah tidak bernyawa lagi dari bawah mobil. "Ada yang jadi korban," katanya dengan suara lirih.
Amanda mendongak dan memandang mata Chrissy. Ia yakin ia melihat bibir gadis itu tersenyum.
Tidak! pikir Amanda. Tidak! Chrissy tidak tersenyum! Tidak mungkin!
Sejurus kemudian, senyum itu"bila memang yang dilihatnya itu senyuman"lenyap.
Amanda mengangkat kucingnya dan berdiri. "Kau senang dia mati," bisiknya pahit pada Chrissy.
"Amanda, sudahlah," sergah Mrs. Conklin. "Kita semua sama-sama menyesali kematian Mr. Jinx. Tapi jangan kaulampiaskan kemarahanmu pada Chrissy."
"Aku"aku menyesal telah menabrak kucingmu," kata pria itu sambil menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melihatnya tadi."
Amanda membuka mulut hendak bicara, tapi suaranya tercekat, dan air matanya berlinang-linang.
Kyle berdiri di sampingnya dan menepuk-nepuk kepala Mr. Jinx. "Kasihan," kata bocah itu sedih.
Sambil membopong hewan yang sudah tidak bernyawa itu, Amanda berjalan mengitari rumah, menuju hutan. Disambarnya sekop yang tersandar di dinding gudang.
"Tunggu," seru Kyle, berlari-lari mengikutinya.
Beberapa meter sebelum hutan yang melandai itu berakhir di tepi pantai, Amanda melihat sepasang batu besar. Keduanya tegak berdampingan dalam posisi miring, sehingga membentuk celah sempit, tapi cukup lebar untuk disusupi satu orang.
Di sinilah tempat yang tepat, pikir Amanda sambil mulai menggali lubang.
Kyle memperhatikan kakaknya menyekop tanah berbatu-batu itu dengan mata sekop yang sudah tumpul.
Amanda mendongak ketika Kyle membungkuk dan membelai-belai badan Mr. Jinx yang tergolek di tanah. Bocah itu menghilang selama beberapa saat, lalu muncul kembali dengan membawa daun-daunan dan batang-batang pinus. "Kita buatkan alas yang nyaman untuknya," kata Kyle sambil menghamparkan bawaannya itu di dalam lubang yang sudah digali Amanda.
Kemudian mereka membaringkan Mr. Jinx ke dalam liang kuburnya, dan menutupinya dengan daun-daunan sebelum menutup kuburan itu dengan tanah. Debur ombak terdengar menggelegar di telinga Amanda.
"Aneh, bagaimana mobil itu bisa tiba-tiba melesat begitu saja ke halaman?" tanya Amanda sambil menepuk-nepuk tanah.
Kyle mengangkat bahu. "Aku takut sekali," akunya. "Waktu itu aku sedang mencoba memukul kok, jadi tidak melihat mobil itu datang. Kau melihatnya?"
"Ya. Persis seperti kata pria itu. Tiba-tiba mobil itu seolah punya nyawa sendiri."
"Ih, mengerikan," bisik Kyle.
"Yeah. Mengerikan."
***********************************************
Mati rasa. Itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan Amanda.
Saat ber-barbecue bersama keluarganya di dek, ia tidak sanggup menghabiskan satu potong hot dog pun. Rasanya tidak percaya kalau sekarang kucing kesayangannya sudah benar-benar tidak ada.
Seusai makan malam, ia mengurung diri di kamar dan mencoba berkonsentrasi pada buku aljabarnya.
Terdengar suara-suara tawa dari ruang tamu. Keluarganya sedang asyik bermain tebak kata. Orangtua Amanda berusaha sekuat tenaga agar anak-anaknya melupakan peristiwa siang tadi.
Tidak ada yang mengajak Amanda main. Amanda tidak tahu harus merasa bagaimana.
Mungkin mereka tidak ingin mengganggunya, karena tahu ia sedang berduka atas kematian Mr. Jinx. Atau mereka sudah lupa padanya" Apakah Chrissy telah menggantikan kedudukannya"
Tak bisa berkonsentrasi, Amanda menutup buku aljabarnya. Sambil mengeluh ia turun ke ruang tamu, untuk bergabung dengan keluarganya.
Dari ambang pintu, ia memperhatikan jalannya permainan. Seluruh anggota keluarganya tampak asyik bermain, sampai tidak melihatnya datang.
Chrissy berdiri di tengah-tengah lingkaran. Ia membuat gerakan-gerakan seperti mencakar. Lalu meletakkan jari-jarinya di pelipis.
"Banteng!" tebak Kyle.
Chrissy menggeleng. Lagi-lagi tangannya membuat gerakan seperti mencakar.
"Kucing!" terka Merry.
Chrissy menyentuh hidungnya sebagai tanda tebakan Merry tadi benar. Lalu ia menyambar topi pet Kyle, melemparnya ke lantai, menendang sandalnya hingga terlepas, dan menginjak topi itu.
"Kucing dalam Topi!" seru Mrs. Conklin.
"Benar!" sahut Chrissy gembira.
Maksudmu kucing dalam kubur, pikir Amanda getir.
Ia berbalik dan cepat-cepat masuk kembali ke kamarnya. Sambil mengembuskan napas kesal, ia mengempaskan badannya ke tempat tidur. Hari ini benar-benar melelahkan...
Malam yang abu-abu keperakan turun me-nyelimuti bumi. Amanda pun jatuh tertidur.
Dalam tidurnya, Amanda bermimpi macam-macam. Suatu kali ia mimpi Mr. Jinx tenggelam di kolam. Ia terjun untuk menyelamatkannya. Tapi dari dasar kolam muncul gurita raksasa, membelitnya dengan tentakelnya yang besar-besar.
Ia meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari belitan.
Tidak berhasil. Bagaikan terseret oleh gelombang pasang-surut, Amanda merasa tidak berdaya melepaskan diri dari kekuatan yang lebih besar itu.
Yang mengerikan, dilihatnya dasar kolam menganga, menampakkan lubang besar yang gelap gulita.
Gurita raksasa itu meloncat masuk ke dalam lubang gelap itu, menyeret Amanda yang meronta-ronta ke dalamnya. Jauh, jauh sekali ke dalam kegelapan.
Amanda terbangun. Ia duduk dengan perasaan bingung.
Aku masih berpakaian lengkap, pikirnya.
Kapan aku ketiduran"
Matanya melihat dalam kegelapan. Apa itu yang berkilau merah"
Ternyata jam digitalnya. Lambat laun matanya terbiasa melihat dalam gelap. Ingatlah dia di mana ia berada sekarang.
Bukan di dalam lubang gelap. Tapi di kamar tidurnya.
Suasana hening. Hanya suara jangkrik yang terdengar, memecah kesunyian malam. Angka-angka merah di jam digitalnya menunjukkan pukul 12.28.
Amanda berdiri dan berjalan ke jendela. Cahaya bulan purnama yang putih pucat menyinari wajahnya.
Perutnya keroncongan. Mulutnya terasa kering. Aku mau minum, pikirnya. Sambil mengucek-ucek mata, ia menyelinap ke lorong yang gelap.
Seisi rumah sunyi senyap. Semua sudah tidur. Tanpa bersuara, Amanda berjalan menyusuri lorong.
Ketika sampai di dekat kamar Chrissy, ia melihat pintu kamar itu terbuka.
Apakah Chrissy keluar" Hati-hati Amanda mengintip ke dalam kamar yang gelap itu.
Chrissy berdiri di bawah sinar bulan yang berkilauan. Ia memakai gaun malam panjang tanpa lengan dan berwarna putih.
Dilihatnya Chrissy menyentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa nyaring.
Kenapa ia kelihatan tinggi sekali" tanya Amanda dalam hati, keheranan. Matanya memelototi kamar yang gelap itu.
Tipuan mata" Atau aku masih bermimpi"
Sekonyong-konyong Chrissy merasakan kehadiran Amanda dan berbalik secepat kilat.
Amanda menutup mulutnya dengan tangan.
Di bawah sinar bulan yang pucat, wajah Chrissy tampak berubah"sangat menyeramkan.
Chrissy memelototi Amanda dan tertawa. Tawanya jahat dan keji.
Amanda ingin berbalik, tapi tidak bisa.
Tatapan Chrissy seakan melumpuhkannya.
Membekukannya. Menahannya.
Tinggi sekali... Mengapa Chrissy terlihat begitu tinggi"
Saat itu barulah tampak oleh Amanda.
Tidak! Ia menjerit tanpa suara, tidak percaya.
Tidak! Tapi yang dilihatnya itu benar.
Chrissy melayang setinggi lima belas senti dari lantai!
Tertekan BERCAK-BERCAK ungu tua melayang di depan mata Amanda. Sebagian dari dirinya ingin tenggelam lagi dalam kegelapan, tapi yang sebagian lagi berjuang keras untuk sadar sepenuhnya.
Lambat laun bercak-bercak ungu itu memudar, berganti menjadi abu-abu.
Kabut menipis, dan muncul wajah ayahnya.
Mula-mula jauh sekali. Lalu semakin dekat.
Semakin dekat. "Kurasa ia sudah mulai sadar," Amanda mendengar ayahnya berkata. Ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh keningnya. Lalu wajah khawatir ibunya muncul dari balik kabut abu-abu.
"Apa yang terjadi?" tanya Amanda lemah. "Kepalaku sakit. Kenapa Mom dan Dad ada di sini?"
"Kau jatuh pingsan," jawab Mr. Conklin. "Aku bangun untuk minum dan menemukanmu tergeletak di depan kamar Chrissy."
Chrissy! Nama itu memicu ingatannya.
Dengan susah payah Amanda berusaha bangkit, menyangga badannya dengan kedua siku. "Kalian harus mengusirnya!" pinta Amanda dengan suara melengking. "Harus! Kumohon!"
"Tenanglah, Amanda," hibur Mrs. Conklin, memegangi lengannya dengan lembut.
Amanda menepiskan tangan ibunya. "Mana bisa tenang. Kita semua bisa celaka kalau ia tidak segera kita singkirkan!"
Amanda berusaha agar suaranya tidak terdengar gemetar. Ia tahu, ia kedengaran kalap. Tapi ia tidak bisa mencegahnya.
Mereka harus percaya padanya. Harus!
"Tadi Chrissy"melayang. Aku melihatnya!"
Mr. dan Mrs. Conklin saling melirik dengan wajah cemas.
"Dengarkan aku!" kata Amanda berkeras. "Chrissy melayang. Hampir tiga puluh senti dari lantai! Memangnya kenapa aku pingsan?"
Mr. Conklin menggosok-gosok bahu Amanda. "Kami tidak tahu, Sayang, tapi kami yakin bahwa?"
"Tidak!" potong Amanda. Ia melompat berdiri. "Ayo ikut aku. Kalian lihat saja sendiri."
"Amanda"jangan!" seru ibunya memohon.
Tapi Amanda sudah menuju ke kamar Chrissy. Didorongnya pintu kamar itu hingga terbuka. Ia berbalik dan melihat kedua orangtuanya berada tepat di belakangnya.
Lalu ia melangkah memasuki kamar itu. Dalam gelap dilihatnya Chrissy berbaring di tempat tidur.
Tidur" "Ada apa?" Chrissy mengangkat kepalanya. "Ada masalah?" bisiknya dengan suara mengantuk.
Sekujur tubuh Amanda gemetaran. "Tadi kau melayang!" pekiknya. "Jangan bohong! Aku melihatnya tadi!"
"Melayang?" tanya Chrissy sambil mengucek-ucek matanya. "Amanda, aku tidak mengerti."
Amanda tidak tahan lagi melihat tingkah Chrissy yang sok lugu itu.
"Dengar, sebelum ini aku tidak pernah mengkhayal yang tidak-tidak!" jeritnya marah. "Dan sekarang aku juga tidak mengkhayal!"
Chrissy memandang orangtua Amanda. "Ia bercanda, ya?"
Amarah Amanda meledak. Darahnya mendidih.
Diterjangnya Chrissy. "Pembohong! Pembohong!" jeritnya. Ia menyambar bahu Chrissy dan mengguncangkannya keras-keras.
Chrissy ternganga kaget. "Pembohong! Pembohong!" pekik Amanda dengan suara melengking tinggi yang belum pernah didengarnya sebelum ini.
Mendadak terasa ada sepasang tangan kuat yang menarik badannya.
Mr. Conklin menyambar pinggang Amanda dan menariknya. Pegangannya kuat sekali, membuat Amanda tak bisa melepaskan diri.
"Maaf, Chrissy," kata Mr. Conklin. "Sudahlah, tidur saja lagi. Kami benar-benar menyesal."
Napas Chrissy masih memburu. Ia bangkit dari tempat tidur dengan badan gemetar. "Amanda tidak apa-apa" Kenapa ia mengamuk seperti itu" Ada yang bisa saya bantu?"
"Tidak. Sudahlah," ujar Mr. Conklin. "Biar kami saja yang mengurusnya. Ia tidak apa-apa. Kau tidur saja lagi."
Amanda tidak berontak. Ia membiarkan dirinya dibawa oleh kedua orangtuanya keluar dari kamar Chrissy.
Menuruni tangga. Ke ruang tamu.
Mr. Conklin mendudukkan Amanda di sofa. Ia memegangi pergelangan tangan Amanda dengan lembut tapi kuat.
Perasaan Amanda campur aduk. Takut. Malu. Marah. Tertekan.


Fear Street - Musim Panas Berdarah One Evil Summer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perasaan yang campur aduk itu semakin menggunung"sampai ia tidak bisa menahannya lagi. Akhirnya pertahanannya jebol, dan tangisnya meledak.
Amanda membungkuk, menutupi wajahnya dengan tangan, dan membiarkan air matanya membanjir.
Sejurus kemudian terdengar suara langkah kaki seseorang memasuki ruang tamu. Ia mendongak dan melihat Kyle, yang mengucek-ucek matanya dengan mengantuk. "Amanda kenapa?"
Mrs. Conklin cepat-cepat bangkit dari kursinya dan membalikkan badan Kyle. "Tidak apa-apa, Sayang. Ia cuma sedih memikirkan Mr. Jinx. Tidurlah lagi."
"Aku ngerti," gumam Kyle, tersaruk-saruk kembali ke kamarnya.
"Mungkin ibumu benar," kata Mr. Conklin lembut. "Kau pasti masih shock karena kejadian hari ini. Aku sendiri juga masih sedikit shock. Aku tahu kau sayang sekali pada Mr. Jinx."
Tadinya isak tangis Amanda sudah mulai reda. Tapi begitu mendengar nama Mr. Jinx disebut-sebut, tangisnya pecah lagi. Rasanya ia tidak bakal bisa berhenti menangis.
Mrs. Conklin muncul kembali setelah mengantarkan Kyle ke kamarnya. Ia duduk di samping Amanda. "Sayang, apakah kau merasa Chrissy telah merebut kasih sayang kami terhadapmu?"
"Mom"please!" isak Amanda. "Aku tidak mau ditanya-tanya sekarang!"
Aku hanya ingin mereka percaya padaku, keluh Amanda dalam hati.
Aku yakin pada apa yang kulihat di kamar Chrissy tadi. Aku harus membuat mereka percaya padaku.
Ia menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali, mencoba menenangkan diri. "Mom, Dad, pernahkah aku pingsan sebelum ini?"
"Tidak," jawab Mrs. Conklin mengakui.
"Pernahkah aku berkhayal yang tidak-tidak?"
"Tidak," jawab Mrs. Conklin lirih.
"Kalau begitu, kenapa kalian bilang aku berkhayal sekarang" Dan bagaimana aku bisa pingsan, bila aku tidak melihat sesuatu yang sangat mengerikan?"
"Amanda," kata ayahnya dengan nada sungguh-sungguh. "Waktu makan malam, bisa dibilang kau tak makan apa-apa. Hari ini pun sangat melelahkan bagimu. Mungkin kau sedang tidak enak badan."
"Mungkin juga kau ngelindur," timpal ibunya. "Kau mungkin bermimpi melihat Chrissy melayang, dan kemudian tertidur di lantai."
"Kedengarannya itu sangat masuk akal," sahut Mr. Conklin sependapat.
Masuk akal" Masuk akal"
Masuk akalkah bila ia bermimpi melihat Chrissy melayang"lalu jatuh tertidur di depan kamar tidurnya"
Ya, Amanda mengakui dengan segan. Memang masuk akal.
Jauh lebih masuk akal daripada Chrissy melayang di udara.
"Mungkin Mom dan Dad benar," Amanda menyerah, letih.
Mrs. Conklin memperbaiki posisi duduknya. "Kau tahu," katanya memulai, "menulis artikel tentang stres yang dialami remaja membuat mataku benar-benar terbuka. Tekanan yang mereka alami sangat bervariasi. Mungkin kau mau berkonsultasi dengan guru pembimbing atau ahli jiwa."
Amanda mengerang. "Mom, aku bukan anak dalam artikel Mom. Aku tidak perlu ke dokter jiwa."
Mrs. Conklin menghela napas. "Kadang-kadang kita perlu menelaah perasaan-perasaan kita sendiri. Aku baru saja selesai membaca buku mengenai ngelindur, sebagai bagian dari riset untuk menulis artikel itu. Sering kali itu berarti orang yang bersangkutan sedang sangat tertekan."
Amanda memandangi ayahnya untuk minta pertolongan. Mr. Conklin membalas tatapannya dengan sikap bijaksana. "Bagaimana kalau masalah ini kita tangguhkan dulu hingga besok" Sebaiknya kita semua tidur saja sekarang."
**********************************************
Amanda menyelusup ke balik selimut. Ia tidak bisa tidur.
Ia tidak lagi merasa ingin menangis. Tapi pikirannya terus kembali ke berbagai peristiwa yang terjadi semenjak kedatangan Chrissy.
Lagi-lagi terbayang di pelupuk matanya bagaimana Chrissy melayang-layang. Kakinya yang telanjang terangkat hampir tiga puluh senti dari lantai.
Chrissy melayang! Benarkah begitu" Bagaimana aku bisa menyalahkan orangtuaku yang tidak percaya pada cerita gila ini" tanya Amanda dalam hati. Harus diakui, teori ngelindur itulah yang paling masuk akal.
Dalam kamar yang gelap, Amanda tergolek di tempat tidur, mendengarkan suara jangkrik. Walaupun gordennya ditutup, seberkas cahaya bulan masih menembus jendela, membentuk garis di lantai kayu.
Mendadak Amanda merasa lelah. Tenaganya terkuras habis.
Tapi ia tidak berani tidur. Jangan-jangan ia nanti akan memimpikan wajah Chrissy yang tertawa menyeramkan. Walaupun seandainya itu hanya mimpi, ia tidak mau mengalaminya lagi.
Akhirnya ia terlena juga, walaupun tidak nyenyak. Tidurnya hanya sebentar. Jam 02.15, lagi-lagi ia terjaga.
Amanda duduk dalam kegelapan. Suara jangkrik tidak terdengar lagi. Kini Amanda mendengar suara-suara lain.
Ada orang mondar-mandir. Dengan perasaan tegang, Amanda merayap turun dari tempat tidur. Rasa ingin tahu mengalahkan rasa takutnya. Ia menyelinap ke lorong.
Kyle-kah" Atau orangtuanya"
Ia harus tahu. Dengan badan menempel di dinding, Amanda mengendap-endap mendekati kamar Chrissy. Denyut nadinya bertambah cepat ketika dilihatnya pintu kamar itu terbuka.
Sekuat tenaga ditahannya keinginan untuk kabur kembali ke kamarnya. Ia takut akan melihat sesuatu yang mengerikan bila mengintip ke kamar Chrissy lagi.
Tapi ia memberanikan diri mengintai ke sana. Tempat tidur Chrissy kosong melompong. Seberkas cahaya bulan menerangi selimutnya yang acak-acakan.
Pedang Darah Bunga Iblis 15 Pendekar Mabuk 034 Perawan Maha Sakti Sepasang Pedang Iblis 2
^