Pencarian

Pengkhianatan The Betrayal 3

Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal Bagian 3


"Rebecca sakit?"
Edward menggeleng. "Tidak. Tapi kelihatannya dia selalu letih,
selalu kehabisan tenaga. Dia seperti kehilangan semangat. Bagiku, dia
kelihatan sangat berubah."
"Kurasa dia memang capek," kata Mary. "Ezra anak yang sulit."
Edward tidak menanggapi. Tanpa bicara mereka terus berjalan
menembus hutan. Sisa-sisa cahaya matahari menyelinap di antara
batang-batang pohon yang ramping, meninggalkan bayang-bayang
biru di sekitar kaki mereka.
"Sudah hampir waktu makan malam," akhirnya Edward berkata
sambil mengunyah-ngunyah ujung ilalang. "Rebecca akan kuatir."
"Kita kembali, yuk," kata Mary sependapat. Dia mengusap
batang pohon ek yang tinggi dengan jarinya, lalu berbalik.
"Aku coba bicara dengan ayahku tadi siang," kata Edward
sambil membiarkan sepupunya menduluinya. "Aku harus bicara
dengannya tentang bukti-bukti penerimaan di toko. Tapi dia hanya
mau bicara tentang lengan dan kakinya yang lumpuh."
"Oh!" Mereka berjalan menembus kerumunan agas yang beterbangan
sambil mendengung-dengung. Mary mengangkat tangannya untuk
melindungi matanya. Dia mempercepat langkahnya, nyaris terjungkal
karena tersandung sebongkah batu putih.
"Ayah aneh sekali," Edward melanjutkan sambil menggarukgaruk tengkuknya, meskipun kerumunan agas itu sudah mereka
lewati. "Dia merasa benar-benar sehat. Kelihatannya memang benarbenar sehat. Sama sekali tak merasa sakit. Tapi..."
"Mungkin kekuatannya akan pulih," kata Mary penuh harap.
Dia berhenti lalu berbalik memandang sepupunya. "Kelihatannya kau
kuatir sekali, Cousin. Yang kauomongkan hanya masalah-masalah dan
kejadian-kejadian buruk yang menimpa keluarga kita."
"Tadinya semuanya berjalan lancar dalam keluarga kita," sahut
Edward penuh emosi. "Tadinya kita sangat bahagia. Dan sekarang,
tiba-tiba..." Dia berhenti berjalan. Mary melihat matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
Ilalang yang dikunyah-kunyahnya itu jatuh menimpa kakinya.
"Edward... ada apa?"
Mary menoleh ke arah yang ditunjuk Edward.
Mula-mula dia mengira cahaya kuning itu matahari yang
menggantung rendah di balik pepohonan.
Tetapi dengan cepat dia ingat matahari sudah hampir
tenggelam. Cahaya kuning itu terlalu terang, terlalu mengerikan.
"Api!" teriak Edward, nyala api terpantul di matanya yang
ketakutan. "Hutan ini terbakar!"
"Tidak!" jerit Mary sambil mencengkeram tangan Edward yang
sehat. "Edward... lihat!"
Di dalam bola api yang menyala-nyala, sesosok manusia
menggelepar-gelepar. "Seseorang terjebak dalam api!" pekik Mary.
Bab 16 "TAK mungkin!" teriak Edward parau. "Tak mungkin!"
Tetapi mereka sama-sama melihat sosok seorang gadis.
Kepalanya terayun-ayun ke kanan dan ke kiri. Tangannya diikatkan
pada sebatang tiang hitam di balik punggungnya. Tiang itu terbakar
ditelan lidah-lidah api kuning.
Di dalam lidah-lidah api.
Di dalam. Dibakar hidup-hidup! Dengan teriakan tertahan karena ngeri, Mary mulai berlari ke
arah api itu. Edward, yang terhuyung-huyung karena gendongan
tangannya membuatnya kehilangan keseimbangan, menyusul di
belakangnya. ebukulawas.blogspot.com
"Dia seorang gadis!" teriak Mary sambil mengangkat kedua
tangannya ke wajahnya. Dia berhenti. Dia bisa merasakan terpaan
panasnya api pada wajahnya.
Dengan terengah-engah Edward berhenti di belakangnya.
Napas Mary tercekat di tenggorokan. Api semakin panas.
Semakin terang. Sekarang dia bisa melihat gadis itu dengan jelas, di dalam api.
Mulutnya ternganga, memekikkan jeritan yang memilukan. Lidah api
menjilati rambutnya yang panjang ikal. Api berkobar membakar
roknya yang berwarna gelap dan kuno modelnya.
Sambil menggeliat-geliat di dalam api dan mencoba
melepaskan diri dari tiang pembakaran, gadis itu memandang ke
belakang Mary, ke arah Edward. Matanya terbelalak, sorotnya
menuduh. Sekujur tubuhnya bergetar terbakar. Matanya menatap mata
Edward, menembus nyala api.
Lama kemudian Mary baru sadar bahwa pekik ngeri yang
didengarnya dari belakangnya berasal dari Edward.
Dia berpaling dan melihat tubuh sepupunya mengejang...
bergetar... didera kengerian yang amat sangat. Mata Edward yang
cokelat gelap membelalak tak percaya. Cahaya api yang kuning dan
panas menyinari badannya yang bergetar dengan sinar ganjil dan
seram. "Susannah!" pekik Edward yang akhirnya mengenali gadis yang
tergulung api itu. "Susannah Goode!"
Begitu dia memekikkan nama itu, penampakan itu memudar
dan menghilang. Gadis yang terbakar itu lenyap.
Hutan gelap dan sunyi. Yang terdengar hanyalah erangan
Edward yang ketakutan. ******************** "Sudah dua malam ini aku selalu mimpi buruk tentang api,"
kata Mary kepada Jeremy. "Waktu memejamkan mata, aku melihat
seorang gadis malang... tangannya terikat di belakang punggungnya,
rambutnya terbakar menyala, sekujur tubuhnya ditelan api. Itu dua
hari lalu, Jeremy, tapi aku masih... aku... aku..."
Kata-kata Mary terputus. Dia menyandarkan kepalanya ke bahu
Jeremy yang kukuh. Mereka duduk berdekatan di atas tumpukan jerami di sudut
tanah garapan baru. Di depan mereka, di batas pepohonan, Mary bisa
melihat tumpukan semak belukar dan cabang-cabang pohon yang
telah dibersihkan Jeremy dari tanah garapan baru itu sejak tadi pagi.
Langit sore kelabu dan berawan. Titik-titik air yang dingin dan
jatuh tetes demi tetes menandakan badai akan datang.
"Kadang-kadang cahaya mengecoh kita di tengah pepohonan
itu," kata Jeremy lembut. Ia mengusap-usap bahu Mary yang gemetar,
menenangkannya. "Kadang-kadang kita melihat pantulan cahaya
terang, padahal itu hanya cahaya matahari yang menyinari semaksemak pohon mulberry."
"Yang ini bukan semak-semak," sahut Mary kesal. "Tak
mungkin itu semak-semak."
"Kadang-kadang pohon-pohon membuat bayang-bayang aneh,"
Jeremy berkeras. "Jeremy!" Dengan marah Mary bangkit berdiri. "Edward
mengenali gadis itu! Tak mungkin itu bayang-bayang! Dia mengenali
gadis itu!" Jeremy menepuk-nepuk jerami, menyuruh Mary duduk.
"Maaf," katanya lembut. "Bagaimana keadaan sepupumu" Apakah dia
sudah sembuh?" "Edward jadi sangat pendiam," kata Mary sambil duduk
kembali, tetapi kali ini agak menjauh dari Jeremy. "Dia tak mau bicara
tentang apa yang kami lihat. Dia bahkan tak mau bicara apa-apa. Dia
selalu melamun. Kurasa... kurasa dia juga mendapat mimpi buruk."
Jeremy menatapnya namun tidak berkata apa-apa.
"Maaf, aku membebanimu dengan masalah-masalahku," kata
Mary dengan dahi berkerut. Dia meraih keranjang yang tadi
dibawanya dari rumah. "Sebaiknya aku pergi supaya kau bisa
meneruskan pekerjaanmu."
Dia bisa melihat sinar sedih di mata pemuda itu. "Aku ingin kau
menceritakan masalah-masalahmu padaku," katanya. "Kau tak
membebaniku, Mary." Dia menunduk melihat ke keranjang itu. "Apa
isinya?" "Roti manis," jawab Mary. "Aku membuatnya tadi pagi untuk
Rebecca. Aku akan mengantarkannya ke rumahnya sekarang. Akhirakhir ini Rebecca selalu lesu dan murung. Aku akan menghiburnya."
Jeremy menatapnya dengan pandang memohon. Pelan-pelan
mulutnya tersenyum dan tangannya tertangkup dalam sikap berdoa.
"Jangan memohon," Mary mengomeli sambil tertawa geli. "Kau
boleh minta satu." Mary merogoh ke dalam keranjang dan menarik
keluar sebuah roti manis yang besar.
"Aku lebih suka yang ini," kata Jeremy sambil menyeringai dan
mendekat lalu menciumi gadis itu.
Roti manis itu terlepas dari tangan Mary, menggelinding di
tumpukan jerami. Mary tidak beranjak memungutnya. Dia malah
meletakkan tangannya di tengkuk Jeremy dan menarik pemuda itu
dekat-dekat. Setelah selesai berciuman, Mary melompat berdiri. Dia
membersihkan jerami dari celemek panjang yang dikenakannya untuk
menutupi pakaiannya, merapikan sisir yang menyemat rambutnya,
lalu menengadah memandang langit.
Gumpalan awan badai yang hitam bergulung-gulung di langit
kelabu. "Sebaiknya aku segera pergi ke rumah Edward," katanya.
"Kau sudah bilang ayahmu?" tanya Jeremy sambil mengambil
roti manis itu dari tumpukan jerami dan memeriksanya. "Kau sudah
cerita tentang kita" Tentang perasaan kita?"
Mary mengerutkan dahi. "Belum. Saatnya belum tepat, Jeremy.
Ayahku sedang banyak masalah."
"Kau cerita pada ayahmu tentang api itu" Tentang gadis yang
dibakar itu?" "Ya," Mary mengangguk dengan sungguh-sungguh. Kulitnya
terlihat sangat pucat dalam cahaya sore yang semakin gelap.
"Kuceritakan padanya tentang apa yang aku dan Edward lihat.
Reaksinya aneh sekali."
"Aneh?" "Ayah memakai bandul kalung dari perak. Dia selalu
memakainya. Bandul kalung itu pemberian neneknya semasa dia
masih tinggal di Dunia Lama. Bentuknya seperti cakram, dihiasi
permata dan tiga cakar kecil. Ketika kuceritakan tentang gadis yang
terbakar itu, dia menjerit seperti orang ditikam dan mencengkeram
bandul kalung itu erat-erat."
"Lalu apa katanya padamu, Mary?" Jeremy bertanya lirih
sambil mencabuti jerami yang menempel pada roti manis yang lengket
itu. Wajah Mary menjadi suram ketika gumpalan awan badai
melayang merendah. "Itu bagian yang teraneh," bisiknya. "Dia tak
bilang apa-apa. Satu kata pun tidak. Dia hanya berdiri mematung
sambil memegangi bandul kalung itu dan memandang ke luar jendela.
Dia tak bilang apa-apa."
"Aneh sekali," komentar Jeremy. Dia menjauhkan roti manis
itu, ekspresi wajahnya penuh pemikiran.
"Aku harus pergi sekarang," kata Mary sedih. "Sebelum badai
mengamuk." Dia mengangkat keranjangnya dan merapikan serbet
linen penutup roti-roti manis itu.
Dia berjalan beberapa langkah ke padang rumput, kemudian
tiba-tiba berhenti dan berbalik ke arah Jeremy. Masih duduk di
tumpukan jerami, pemuda itu memandangnya sambil mengunyah roti
manis. "Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Mary tiba-tiba. "Kau
sudah bicara pada ayahmu tentang aku?"
Pertanyaan itu membuat Jeremy kaget. Susah payah dia
menelan roti yang sedang dikunyahnya. Kerongkongannya sedikit
tersumbat. "Aku ingin berkenalan dengan ayahmu," kata Mary dengan
nada menggoda. "Aku sangat ingin melihat rumahmu dan berkenalan
dengan ayahmu." Jeremy bangkit berdiri, dahinya berkerut penuh pemikiran.
"Kurasa itu bukan gagasan bagus," katanya sambil menghindari
tatapan Mary. "Ayahku... dia... agak sakit. Dia tak cukup kuat untuk
menerima tamu." Mary tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya. "Kurasa
kita ini terkutuk dan seumur hidup akan terpaksa kencan di tengah
hutan," katanya sambil mengembuskan napas panjang.
******************* Rumah Edward kecil, tidak bertingkat, dibangun dari batu-batu
yang dibersihkan dari ladang dan padang rumput. Atapnya melandai,
terbuat dari sirap. Di bagian depannya ada dua jendela kecil.
Rumah itu terletak di pinggir hutan. Dari depan rumah, orang
bisa memandang ke seberang padang rumput, ke rumah Benjamin dan
Matthew di sisi lain. Ketika berjalan mendekat dari arah tanah garapan di belakang
rumah tempat Jeremy bekerja, Mary merasakan titik-titik besar air
hujan mulai turun. Sambil berjalan bergegas-gegas dia ingat ayahnya.
Seandainya saja aku bisa cerita tentang Jeremy padanya,
pikirnya dengan sedih. Tapi Ayah sedang tak bisa dihadapkan pada
masalah baru. Pikirannya beralih kepada pamannya Benjamin yang sedang
sakit. Tengah malam tadi, pria malang itu membuat mereka semua
terbangun dengan jeritannya yang keras.
Mary yang pertama sampai di kamarnya, disusul ayah dan
ibunya yang gugup dan tergopoh-gopoh. Mula-mula mereka mengira
Benjamin mendapat mimpi buruk. Tetapi jeritannya tidak disebabkan
oleh mimpi buruk. Malam itu kaki kanannya tiba-tiba mati rasa.
Paman Mary sekarang hanya bisa menggerakkan kepala dan
tangan kanannya. Matthew semakin menutup diri dan menjauh, tenggelam dalam
pikirannya sendiri. Edward, sepupunya, semakin murung dan
pendiam. Dan Rebecca... Rebecca tampak semakin lesu dan cepat
bertambah tua, seolah setiap hari umurnya bertambah setahun.
Dengan satu tangan memegang keranjang roti erat-erat, Mary
mendekati rumah Edward. "Rebecca?" panggilnya.
Tak ada jawaban. "Rebecca" Ini aku, Mary."
Tetap tak ada jawaban. Awan badai menggumpal di atasnya. Butir-butir air hujan jatuh
menimpa tanah keras. Mary mengetuk pintu depan.
Aneh, kenapa sunyi sekali" pikirnya, sambil memindahkan
keranjang itu ke tangan satunya. Biasanya selalu terdengar teriakan
atau tangisan Ezra kalau aku berjalan ke sini. Kenapa sekarang aku tak
mendengarnya" Dia mengetuk lagi. Tidak mendapat jawaban, dia mendorong pintu hingga
membuka, lalu masuk. "Rebecca" Ezra?"
Anehnya, ruang depan terang. Lilin-lilin di dinding dinyalakan,
begitu pula lilin-lilin di atas meja kecil dari kayu ek yang ada di
samping tungku pendiangan. Api yang redup berkeretak di bawah
panci yang terjerang di atas tungku.
"Rebecca?" Di mana dia" pikir Mary.


Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rebecca" Kau di rumah?"
Ketika meletakkan keranjang itu di lantai, Mary mendengar
bunyi berkeretak lirih. Dia menyimak selama beberapa detik, mencoba
mengerti apa yang menimbulkan bunyi itu.
Kemudian... tiba-tiba dia melihat bayang-bayang hitam yang
berayun-ayun di lantai. Kebingungan, Mary menatap bayang-bayang yang bergerak
pelan itu lama-lama, mengikuti gerakannya dengan mata disipitkan.
Kreeekkk. Kreeekkk. Bunyi ganjil itu terdengar seirama dengan ayunan bayangbayang itu.
Kemudian Mary menengadah... melihat apa yang menimbulkan
bayang-bayang itu... lalu dia menjerit keras-keras.
Bab 17 "REBECCA!" jerit Mary tertahan.
Tubuh Rebecca terayun-ayun di atas kepala Mary.
Dengan mulut ternganga ngeri, Mary melihat tali besar yang
diikatkan di sekeliling leher Rebecca dan tergantung pada balok
penyangga atap. Dia melihat lengan Rebecca terkulai lemas.
Dia melihat wajah Rebecca, kulitnya gelap, matanya melotot.
Kreekkk. Kreekkk. "Rebecca! Tidaaaaaakkkkk!" Mary menjerit melengking, lalu
jatuh berlutut. Lantai seakan bergerak ke atas menyambutnya. Dia
merasa akan pingsan. Dia memejamkan mata dan menggeleng-geleng, berusaha
mengusir pemandangan itu.
Tetapi bahkan dengan mata terpejam, Mary melihat tubuh
Rebecca terayun-ayun pada tali gantungan, seperti sebongkah buah
raksasa yang berat dan sudah matang.
Apa yang terjadi di sini"
Apakah Rebecca gantung diri"
Apakah dia dibunuh" Pertanyaan-pertanyaan yang mengerikan itu berkecamuk di
benak Mary. Dia membuka mata dan melihat rok Rebecca melambai-lambai
dekat wajahnya sendiri. "Aku... aku tak bisa menerima ini," kata Mary. "Aku... aku... tak
bisa..." Kemudian dia mulai muntah, sekujur tubuhnya kejang-kejang
dan bergetar-getar. Sampai akhirnya dia menangis. Menjerit-jerit.
Lalu bangkit berdiri. Dan pergi ke luar. Tanpa sadar, dia mulai berlari.
Dalam hujan yang deras sekali. Air hujan yang dingin
membasuh wajahnya, membasahi rambutnya, menembus sampai ke
pakaiannya. Sepatunya berkecipak menerjang genangan air sementara dia
berlari di atas tanah yang lunak ke arah rumahnya.
"Edward! Kau di mana, Edward" Edward?"
Di mana Ezra" pikirnya.
Bagaimana aku akan mengabarkan ini pada mereka"
Bagaimana aku akan bisa mengenyahkan pemandangan yang
mengerikan itu dari pikiranku"
Bagaimana" Bagaimana" Bagaimana"
Hujan yang lebat tidak dapat membasuh dan menghilangkan
bayangan Rebecca dengan kepalanya yang terpuntir dan terayun-ayun
di langit-langit. Hujan tidak dapat meredam bunyi kreekkk kreekkk dari tubuh
yang terayun-ayun itu. "Edward! Ayah! Ibu! Tolong!"
Mary berlari menembus hujan, tangannya terulur seakan
mencari pertolongan. Dia terus berlari sambil menjerit-jerit tanpa
mendengar jeritannya sendiri.
Rebecca, kau tak boleh mati.
Oh, jangan mati! Jangan mati, Rebecca. Mary sudah menyeberangi setengah padang rumput sekarang,
terpeleset-peleset menginjak rumput yang tergenang air. Air hujan
membuat rambutnya lepek menempel pada kepalanya, mengalir di
dahinya, dan mengaburkan pandangannya.
Rumahnya tegak di kejauhan, kelabu berlatarkan langit kelam.
"Edward! Kau di mana, Edward" Ayah" Ayah?"
Kakinya terpeleset, dia jatuh tertelungkup membentur lumpur
yang lembut dan dingin. Siku dan lututnya membentur tanah.
"Oh!" Mungkin aku takkan bisa berdiri lagi. Mungkin aku akan tetap
di sini selama-lamanya. Mungkin sebaiknya aku berbaring saja di sini di dalam lumpur
dan membiarkan air hujan menghanyutkanku, menghanyutkanku
menjauhi semuanya ini. Sambil menjerit keras-keras Mary memaksa dirinya bangkit
berdiri, pakaiannya penuh lumpur, rambutnya terjurai menutupi
wajahnya. Dia berjalan beberapa langkah, kemudian berhenti dan menjerit
tertahan. Siapa itu" Sesosok asing berdiri di tengah padang rumput.
Mengenakan pakaian hitam, tegak tak bergerak.
Apakah aku membayang-bayangkan sesuatu"
Dia menyingkirkan rambut yang menutupi matanya dengan
kedua tangannya dan menghapus air hujan dari wajahnya.
Tidak. Orang itu masih di sana. Siapa dia" Mengapa dia berdiri tegak tak bergerak dalam hujan lebat
begini dan memandangiku"
Mary berteriak kepadanya.
Sosok gelap itu memandangnya tanpa bergerak.
Bab 18 MARY berteriak lagi. Di seberang padang rumput, pepohonan bergetar dan meliukliuk didera badai yang menderu-deru.
Sosok itu tidak bergerak.
Dengan tubuh gemetar karena kedinginan, karena ngeri, Mary
maju selangkah mendekatinya. Ragu-ragu. Kemudian maju selangkah
lagi. Angin menerjang dan berputar-putar di sekelilingnya. Hujan
mengguyurnya bagai empasan gelombang laut yang dingin.
Sepatunya terbenam di lumpur. Mary maju semakin dekat.
Sosok itu berdiri diam... tidak bergerak sama sekali. Sambil
menyipitkan mata menembus tirai hujan lebat, Mary mengamatinya.
Sosok itu diam bagaikan patung.
Patung" Akhirnya Mary sadar, itu orang-orangan pengusir burung.
Tentu saja. Itu sebabnya dia tak bergerak.
Orang-orangan pengusir burung.
Ketika semakin dekat, dia melihat air hujan menetes-netes dari
pinggir topinya yang hitam, dia melihat lengan mantel panjangnya
melambai-lambai dipermainkan angin.
Siapa yang meletakkan orang-orangan ini di sini" pikir Mary.
Pikiran berikutnya membuat langkahnya terhenti seketika:
Mengapa seseorang meletakkan orang-orangan pengusir burung di
tengah padang rumput"
Mary menudungi matanya dengan satu tangan dan memandang
sekelilingnya. Kemudian dia maju selangkah. Lalu selangkah lagi.
Akhirnya, menembus tirai hujan lebat, Mary mengenali wajah
di bawah topi hitam berpinggiran lebar itu.
"Paman Benjamin!"
Sekali lagi Mary menatap mata kosong di wajah sesosok mayat.
Orang-orangan pengusir burung itu ternyata Benjamin Fier.
Tubuhnya ditegakkan dan disangga, hampir seperti jika dia bisa
berdiri. Lengannya tergantung lemas di kanan-kirinya.
Wajahnya ungu terang. Rambutnya terjurai dari bawah topinya,
melekat di kepalanya. Lelaki itu ternganga menatap Mary dengan mata kosong, mata
putih tanpa kehidupan, pupilnya tersangkut di rongga matanya.
"Paman Benjamin!"
Angin menerjang kencang, menggetarkan tubuh itu, membuat
lengannya yang lemas terayun-ayun.
Tubuh itu terputar lagi. Mulut Benjamin bergerak-gerak,
seolah-olah hendak bicara. Tetapi suara yang didengar Mary hanyalah
bunyi angin yang menderu.
Tubuh Mary mengejang dicekam kengerian yang luar biasa. Dia
berbalik menjauhi pemandangan yang mengerikan itu, rumput yang
berwarna gelap seakan terangkat, miring, dan berputar-putar liar di
sekelilingnya. Perutnya mual, tapi isinya tak tersisa lagi untuk
dimuntahkan. Rebecca. Benjamin. Mereka mati.
Mati. Mati. Mati. Kata-kata itu terulang-ulang dalam benaknya, memukul-mukul
otaknya bagaikan deraan hujan yang dingin.
Air hujan yang dingin yang menetes-netes dari pinggir topi
pamannya. Dingin... sedingin kematian.
Apakah mereka semua mati"
Apakah seluruh keluargaku dibunuh"
Mary memandang ke arah rumah. Rumah itu sekarang tampak
jauh sekali. Jauh dan gelap. Jauh sekali... di balik tirai hujan dan
badai. Apakah mereka semua dibunuh" pikir Mary.
Semua" Kemudian: Apakah aku yang berikutnya"
Bab 19 PEMAKAMAN Rebecca dan Benjamin dilaksanakan dua hari
kemudian. Hujan telah berhenti sehari sebelumnya, tetapi langit masih
kelabu dan berawan. Liang lahat digali di sudut padang yang sedang dibersihkan
Jeremy. Batu-batu putih diletakkan di arah kepala mereka karena di
desa itu tak ada pembuat nisan.
Sambil berdiri di samping liang lahat yang terbuka, sementara
pendeta menyampaikan khotbahnya, Mary memandang para pelayat
yang mengenakan pakaian hitam-hitam.
Beberapa orang datang dari desa dan tanah-tanah pertanian di
sekitar situ untuk menghadiri pemakaman. Wajah-wajah kosong dan
bisik-bisik mereka lebih menunjukkan keingintahuan daripada
kesedihan. Mary memandang mereka sekilas, kemudian mengalihkan
perhatiannya kepada kerabatnya. Ketika memandangi mereka satu per
satu, suara pendeta yang datar membosankan itu menghilang dari
pendengarannya. Sejak dua hari lalu, rumah batu yang selama ini selalu penuh
tawa ria itu seakan dilanda mimpi buruk di siang bolong. Mary
melihat wajah-wajah kerabatnya sekarang pucat dan murung, mata
mereka merah dan berkaca-kaca, mulut mereka mengatup rapat,
membentuk garis datar yang menyiratkan kepedihan... dan kengerian.
Di ujung lain kedua liang lahat itu, Edward Fier berdiri dengan
bahu lemas, kepalanya tertunduk. Kedua tangannya ditangkupkan di
dadanya. Mula-mula reaksi Edward atas kematian istri dan ayahnya
adalah kaget dan tak percaya. Dalam kegugupannya dia
mengguncang-guncang bahu Mary dengan kasar, menyuruhnya
menghentikan ceritanya yang tak masuk akal dan menolak percaya
akan deskripsinya yang mengerikan.
Tetapi tangis Mary yang pedih dan pilu membuat Edward sadar
bahwa Mary tidak bermimpi. Sambil berteriak nyaring dia berlari
keluar rumah, menembus hujan lebat, berlari canggung dengan
gendongan tangan terayun-ayun di depannya, berlari untuk melihat
sendiri pemandangan yang mengerikan itu.
Sejak itu, Edward menjadi pendiam, nyaris tak pernah bicara.
Dia menghabiskan hari dengan mengurung diri dan berdoa diamdiam. Ketika selesai dan keluar, matanya suram dan kosong.
Edward bergerak di dalam rumah tanpa bicara, seperti mayat
hidup. Constance, yang terus-menerus menangis, terpaksa mengurus
Ezra. Matthew mengurus pemakaman dan mengawasi penggalian
liang lahat karena Edward tak sanggup bicara dengan siapa pun.
Ezra bisa merasakan bahwa sesuatu yang mengerikan telah
terjadi. Dia harus diberitahu bahwa ibunya telah pergi untuk selamalamanya.
Tugas memberitahu anak itu diserahkan kepada Constance.
Mary mengawasi dari sudut ruangan sambil duduk meringkuk di dekat
tungku perapian. Sambil memangku Ezra dan dengan air matanya berlinanglinang, Constance memberitahu anak itu bahwa ibunya telah pergi ke
surga. "Aku boleh ikut?" Ezra bertanya dengan polos.
Constance berusaha menabahkan diri, tetapi kata-kata anak itu
membuatnya menangis semakin pedih, sampai Mary terpaksa
membawa anak itu keluar. Setelah itu, Ezra mulai bertingkah. Dia rewel ketika upacara
pemakaman sedang dipersiapkan. Dia menangis menjerit-jerit kalau
ada yang bicara keras di rumah.
Ezra yang malang, kata Mary dalam hati, sambil memandang
anak itu. Ezra tampak mungil, rapuh, dan murung mengenakan jas dan
celana hitam. Topi hitamnya kebesaran beberapa nomor dan jatuh
menutupi telinganya. Pendeta terus bicara. Mary mengalihkan pandangannya ke
ayahnya. Matthew berdiri di sampingnya, perut buncitnya bergerak
naik-turun seirama tarikan napasnya. Matanya menyipit, menatap
lurus-lurus ke depan. Reaksinya lebih aneh dibanding yang lain-lain ketika dia
mendengar tentang dua pembunuhan itu. Mary mengira akan melihat
ayahnya terpuruk dan tenggelam dalam kesedihan, terutama ketika
mendengar berita kematian kakaknya.
Namun reaksi Matthew adalah reaksi orang yang ketakutan.
Matanya menyipit. Dengan gugup dia memandang sekeliling ruang
duduk, seakan berharap melihat seseorang yang seharusnya tidak ada
di ruangan itu. Kemudian, sambil mencengkeram jimat bercakar tiga yang
tergantung di lehernya, dia keluar ruangan.
Larut malam itu, ketika rumah diselimuti kesedihan yang sunyi,
Mary mengintip Matthew di kamarnya. Ayahnya sedang duduk
menghadapi meja kerjanya, wajahnya tersembunyi dalam bayangbayang gelap. Sambil memegangi jimat aneh itu dengan kedua tangan
terulur ke depan, Matthew mengulang-ulang kata-kata yang tertulis di
situ dengan keras, berulang-ulang, seperti mengucapkan mantra,
"Dominatio per malum."
Mary tidak tahu apa arti kata-kata itu.
Apakah itu semacam doa"
Dia tidak tahu bahasa Latin.
Esok harinya Matthew masih tetap ketakutan, bukan sedih.
Matanya nanar memandang tanah pertanian di sekeliling rumah
mereka, seakan-akan menunggu datangnya seseorang yang tak
diharapkan.

Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mary ingin sekali bicara dengannya tentang apa yang telah
terjadi. Tetapi setiap kali dia mendekat, Matthew selalu menghindar.
Dia terpaksa menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mencoba
menghibur ibunya. Pendeta masih terus melantunkan doa-doa. Satu per satu kedua
peti mati diturunkan ke liang lahat.
Tiba-tiba Mary melihat Jeremy berdiri di pinggir kerumunan
orang-orang desa. Pemuda itu mengenakan celana hitam dan kemeja
hitam longgar. Topinya juga hitam, sudah usang dan patah
pinggirannya. Meskipun sedang sedih, sesungging senyum tipis terkuak di
bibir Mary. Dia belum pernah melihat Jeremy mengenakan topi.
Sudah dua hari Mary tidak melihat Jeremy. Hampir semua
pekerjaan di tanah pertanian mereka dihentikan, dan Jeremy disuruh
pulang. Mary kaget melhatnya sekarang. Mata mereka bertatapan. Mary
menatap pemuda itu, mencoba menebak apa yang sedang
dipikirkannya. Pemuda itu memandang ke bawah, wajahnya keruh.
Setelah liang lahat ditimbun, pendeta dan orang-orang desa
cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Constance dan Matthew
mengajak Ezra pulang. Edward tetap berdiri dengan kaku, menunduk
memandang kedua makam itu.
Mary melihat Jeremy berjalan pelan-pelan ke arah gudang
perkakas di belakang kebun. Sambil menarik napas panjang, dia
memutuskan untuk mengikuti pemuda itu.
"Jeremy... tunggu!"
Dia menyusul pemuda itu di samping gudang perkakas lalu
menghambur ke dalam pelukannya. "Jeremy. Oh, Jeremy. Aku... aku
kangen sekali. Aku membutuhkanmu. Sungguh!"
Sambil memegang kedua tangannya, Mary menarik Jeremy ke
belakang gudang perkakas, tak terlihat dari rumah, lalu menarik
kepala pemuda itu dekat-dekat dan menciumnya dengan napas
memburu. Mary kaget karena Jeremy menghindar. Dengan lembut pemuda
itu mendorongnya menjauh.
"Jeremy... kejadian itu sungguh mengerikan!" Mary menangis.
"Dua hari ini. Mimpi buruk. Aku..."
Kata-katanya terputus ketika dia melihat wajah Jeremy keruh.
Mary mengulurkan tangannya lagi, meraih pemuda itu, tetapi Jeremy
mundur selangkah. "Jeremy... ada apa?" tanya Mary dengan nada mendesak, tibatiba dia takut. "Apa yang terjadi" Mengapa kau memandangku seperti
itu?" Pemuda itu memandangnya lekat-lekat. "Mary, aku harus
menceritakan sesuatu padamu," katanya dengan suara lirih dan
bergetar. Mary hendak bicara, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Dia memandang pemuda itu penuh selidik, mencoba mencari
kejelasan di kedalaman mata birunya.
"Jeremy... aku..."
"Tolong. Biarkan aku bicara," tukas Jeremy dengan suara tajam.
"Ini sulit sekali. Sangat sulit."
"Apa?" bisik Mary.
"Aku... aku tahu siapa yang membunuh Rebecca dan
Benjamin," kata Jeremy.
Rasa dingin sedingin es menjalari punggung Mary, dingin
penuh kengerian. Dia ingin tahu, tetapi tak siap menerima
jawabannya. "Siapa?" tanyanya.
Bab 20 JEREMY duduk di tanah dan menarik Mary agar duduk di
sampingnya. Mereka duduk bersandar ke dinding. Jeremy
menggenggam tangan Mary erat-erat.
"Aku berdoa semoga ini tak terjadi," katanya. Dia melepas
topinya yang usang itu lalu membuangnya.
"Apa, Jeremy?" desak Mary. "Siapa yang membunuh Rebecca
dan Benjamin?" Mata Jeremy tegang ketika memandang mata gadis itu.
"Ayahku," jawabnya. "Ayahku yang membunuh mereka."
Mary tersentak dan menarik lepas tangannya. "Aku... aku tak
mengerti." Dia beranjak hendak berdiri, tetapi Jeremy memaksanya
duduk lagi. "Akan kujelaskan," katanya. "Dengar dulu. Biarkan aku
menjelaskannya." "Kau bilang ayahmu sedang sakit!" teriak Mary marah. "Kau
bilang dia terlalu lemah untuk menerima tamu. Sekarang kau bilang..."
"Ayahku jahat," Jeremy mengakui sambil menekan tanah di
sampingnya. "Tapi ada latar belakangnya. Banyak kejahatan yang
ditimpakan padanya."
"Aku... aku sama sekali tak mengerti apa yang kaukatakan!"
kata Mary. "Akan kujelaskan, Mary," jawab Jeremy tenang. "Kau harus
mendengar seutuhnya. Seluruh kisah sedih itu. Persis seperti yang
diceritakan ayahku padaku. Karena aku dilahirkan setelah peristiwa
itu terjadi." Mary mendesah lalu menyandarkan punggungnya ke dinding
gudang perkakas. Dia menjalinkan jari-jarinya di pangkuannya dan
menyimak cerita Jeremy dengan kengerian yang semakin memuncak.
"Ayahku bernama Willliam Goode," dia memulai. "Kukatakan
padamu namaku Thorne karena aku butuh kerja. Ayahku berpesan
padaku bahwa ayahmu takkan pernah mempekerjakan orang yang
bernama Goode." "Jadi kau membohongiku?" tanya Mary tajam. "Kau memberiku
nama palsu pada hari kita bertemu?"
"Itu satu-satunya kebohongan yang pernah kukatakan padamu,"
jawab Jeremy lirih. "Kebohongan yang sangat kusesali. Percayalah.
Namaku Jeremy Goode. Aku dilahirkan setelah ayahku meninggalkan
desa bernama Wickham di Koloni Massachusetts Bay."
"Keluargaku juga berasal dari Wickham!" seru Mary kaget.
"Aku tahu," kata Jeremy dengan murung. Dia melemparkan
segenggam tanah melewati sepatunya. "Aku punya seorang kakak
laki-laki, George. Dua tahun lalu dia memilih kembali ke Wickham.
Dia tak sanggup lagi mentolerir obsesi gila ayahku."
"Obsesi?" tanya Mary, kaget bercampur ngeri.
"Biar kuceritakan dari awalnya, Mary. Kau akan segera
mengerti. Meskipun kau akan menyesal setelah mengetahuinya."
Jeremy menghela napas panjang lalu melanjutkan. "Ketika
tinggal di Wickham, ayahku punya istri bernama Martha dan seorang
anak perempuan bernama Susannah," katanya, matanya memandang
lurus ke depan. "Hidupnya bahagia. Tapi ayahmu dan pamanmu
menghancurkan hidupnya. Mereka merampok gudang pangan
penduduk desa dan menghancurkan hidup mereka."
Mary menelan ludah dengan susah payah, kemudian
memandang Jeremy dengan ngeri. "Bagaimana kejadiannya?"
"Pamanmu Benjamin adalah hakim desa. Adiknya Matthew
adalah asistennya. Benjamin menuduh Martha dan Susannah
mempraktekkan ilmu sihir. Dia menyeret mereka ke pengadilan. Dia
membakar mereka di tiang pembakaran dengan tuduhan
mempraktekkan ilmu sihir."
"Susannah Goode!" seru Mary sambil menutupi wajahnya
dengan kedua tangan. "Itu nama yang diteriakkan Edward ketika kami
melihat sosok gadis yang terbakar di hutan itu!"
"Benjamin membakar Susannah dan menuduhnya penyihir agar
dia tak menikah dengan sepupumu Edward!"
"Tidak!" seru Mary. Dia menggeleng-geleng, seakan hendak
mengenyahkan kata-kata Jeremy. "Tidak! Hentikan!"
"Aku takkan menghentikannya sebelum ceritaku selesai," kata
Jeremy dengan panas. "Tapi Edward adalah pria paling berbudi yang kukenal!"
tantang Mary. "Edward takkan membiarkan ayahnya membakar gadis
yang tak berdosa!" "Edward membiarkan itu terjadi," Jeremy menanggapi dengan
bisikan. "Dia tak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Susannah
dan ibunya. Edward mempercayai ayahnya. Dia tak tahu Benjamin
Fier sanggup melakukan hal-hal keji seperti itu."
"Tapi..." Suara Mary tercekat di tenggorokan.
"Ayahmu, Matthew Fier, sama jahatnya. Dia berjanji akan
menyelamatkan Martha dan Susannah. Dia mengambil uang ayahku
sebagai balas jasa untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dia
merampok ayahku. Kemudian Benjamin dan Matthew merampok
gudang pangan penduduk desa... lalu kabur. Martha dan Susannah,
dua perempuan tak berdosa, mati di tiang pembakaran."
"Tidak!" bisik Mary parau. "Aku tak bisa percaya ini, Jeremy."
"Itu cerita yang selalu diulang-ulang ayahku sepanjang
hidupku," kata Jeremy sambil meraih tangan Mary. "Sepanjang
hidupku dia selalu mencari cara untuk membalas dendam pada
keluargamu, untuk menghancurkan keluarga Fier. Dan sekarang...
sekarang ayahku mulai melaksanakan pembalasannya. Dia akan
membunuh kalian semua... kecuali kalau kita berhasil mencegahnya."
Mary menatap langit kelabu dengan mata nanar. Dia tidak
bergerak. Dia tidak bicara.
Kata-kata Jeremy menggantung di benaknya, melayang-layang,
terngiang-ngiang, menciptakan gambar-gambar mengerikan, gambar
api, penderitaan, dan pengkhianatan.
"Mengapa aku harus mempercayaimu?" akhirnya dia bertanya
dengan nada mendesak, suaranya lirih dan ketakutan. "Mengapa aku
harus mempercayai tuduhan mengerikan yang kaudakwakan pada
ayahku dan pamanku?"
Jawaban Jeremy membuatnya terperangah. "Karena aku
mencintaimu," sahutnya.
Mary berseru tertahan. "Aku juga mencintaimu, Jeremy," katanya dengan napas
tertahan. Pemuda itu merengkuhnya ke dalam pelukannya, erat-erat.
Lama mereka berpelukan. Mary menekankan wajahnya pada wajah
pemuda itu. Lama mereka berpelukan, erat-erat, dengan napas
memburu. Ketika akhirnya saling melepaskan diri, Jeremy menatap Mary
lekat-lekat. "Kita bisa menghentikan kebencian itu sekarang, Mary,"
katanya lembut. "Kau dan aku. Kita bisa menghentikan kebencian di
antara keluarga kita agar tak ada lagi yang mati terbunuh."
"Bagaimana caranya, Jeremy?" tanya Mary, masih menyandar
ke dada pemuda itu. "Apakah kita akan bisa?"
"Kita saling mencintai," kata Jeremy dengan penuh perasaan.
"Kita akan menikah. Setelah kita menikah, keluarga kita akan menjadi
satu. Dendam lama itu akan terlupakan. Keluarga Goode dan keluarga
Fier akan hidup dalam damai."
"Ya!" seru Mary.
Ketika mereka berciuman, mereka tidak melihat seseorang
berpakaian hitam bergerak pelan menjauhi sisi gudang perkakas.
Ketika erat berpelukan, mereka tidak menyadari orang itu
begitu dekat dengan mereka dan mendengar percakapan mereka,
mendengarkan cerita Jeremy dengan kaget dan ngeri.
Edward Fier mengambil napas panjang, lalu mengulangnya
sekali lagi, dan mencoba menenangkan degup jantungnya.
Setelah pemakaman dia membuntuti Mary untuk memintanya
mengasuh Ezra. Dia kaget ketika melihat Mary bersama Jeremy.
Sambil bersandar di sisi gudang perkakas, Edward menguping,
mendengarkan kata demi kata dengan kengerian yang semakin
memuncak. Sekarang kengerian Edward bercampur dengan kemarahan. Dia
melangkah cepat ke rumah pamannya Matthew.
"Omong kosong!" katanya kepada diri sendiri. "Anak itu
bohong. Dia sudah meracuni pikiran Mary dengan cerita-cerita
bohong yang tak masuk akal!"
Ayahku tak menghukum Susannah Goode secara tak adil, kata
Edward kepada dirinya sendiri. Ayahku adil dan bijaksana. Susannah
dibakar karena dia pengikut Setan.
Setengah jalan sebelum sampai ke rumah, langkah Edward tibatiba terhenti.
Api yang dilihatnya di hutan bersama Mary waktu itu kini
menyala-nyala dalam benaknya, terang dan jelas, seolah dia sedang
melihatnya lagi. Dalam api itu Susannah Goode menggeliat-geliat
kesakitan dan menjerit-jerit putus asa.
"Tidak!" Edward berteriak. Dia memejamkan mata untuk
melenyapkan bayangan itu. "Susannah dibakar karena pantas dibakar!
Ayahku dan pamanku adil dan bijaksana!"
Dengan jantung berdegup kencang, Edward menerjang masuk
ke rumah. Ezra dan Constance sedang di ruang depan. "Edward,"
Constance menyapa, "duduklah dan..."
"Tidak sekarang," tukas Edward kasar.
Mulut Constance ternganga, kaget.
"Halo, Papa!" panggil Ezra.
Edward tidak memedulikan anaknya. Otaknya serasa terbakar.
Dia berlari melewati mereka, menuju ke kamar Matthew.
Api berkeretak di perapian kamar Matthew, padahal siang itu
udara panas. Edward mendorong pintu hingga membuka, tanpa
mengetuknya. "Paman Matthew?" panggilnya dengan napas
memburu. Matthew sedang duduk di meja kerjanya, kertas berserakan di
atasnya. Masih mengenakan pakaian berkabung, dia melamun
memandang api. Dia menoleh kaget ketika Edward menerjang masuk. "Edward...
pemakaman itu. Kurasa semua berjalan baik. Aku..."
"Paman Matthew, aku harus menanyakan sesuatu pada Paman!"
seru Edward, matanya yang cokelat gelap membara menatap mata
pamannya. "Aku baru saja mendengar cerita yang mengerikan, tentang
Paman dan Ayah. Tentang masa ketika kita tinggal di Wickham."
Bibir Matthew berkerut. Matanya terbelalak kaget. "Cerita apa,
Nephew?" "Tentang Susannah Goode," sembur Edward. "Bahwa dia tak
bersalah. Bahwa dia dihukum bakar atas perintah Ayah meskipun
Ayah tahu gadis itu tak bersalah. Bahwa Paman dan Ayah merampok
persediaan pangan penduduk lalu kabur."
Sambil mencondongkan badannya di atas meja, Matthew
memejamkan mata dan menggosok-gosok pelupuk matanya dengan
kedua ibu jarinya. "Cerita itu tak mungkin benar!" kata Edward dengan napas
memburu. "Katakan bahwa cerita itu bohong, Paman. Katakan!"
Pelan-pelan Matthew membuka mata dan memandang Edward.
"Tenanglah, Edward," katanya lirih namun tegas. "Tenanglah, Nak.
Tentu saja cerita itu bohong. Satu kata pun tak benar."
Bab 21 "SEMUA itu bohong," ulang Matthew sambil memandang api
lekat-lekat. Dia bangkit dari kursinya lalu berbalik menghadap
Edward. "Aku harus tahu siapa yang menyebarkan cerita bohong itu."
Edward ragu-ragu. Dia kaget ketika melihat sekujur tubuh Matthew bergetar.
Pintu terbuka dan Mary masuk, wajahnya merah, raut mukanya


Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keruh. "Ayah, aku harus bicara dengan Ayah. Aku..."
Melihat putrinya, Matthew terduduk lagi di kursi. Sambil
mendesah lirih dan sedih, dia menutupi wajahnya dengan kedua
tangannya. "Mary, Mary yang malang," gumamnya kepada diri
sendiri. "Apakah dia juga akan membunuhmu sebelum semua ini
berakhir?" "Ayah, apa kata Ayah?" tanya Mary yang masih berdiri di
ambang pintu. Matthew tetap menutupi wajahnya. Ketika akhirnya
menengadahkan wajahnya, matanya berkaca-kaca.
"Edward," bisiknya, "cerita itu benar."
Edward menjerit kaget. Shock. "Tidak, Paman Matthew! Oh,
jangan katakan itu benar!"
"Aku harus mengatakannya!" kata Matthew dengan suara
tercekik. "Aku harus mengatakannya. Aku tak sanggup lagi
menyimpan kebohongan itu. Melihat Mary membuatku sadar bahwa
sudah waktunya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kita
semua terancam bahaya."
Mary maju beberapa langkah, masuk ke kamar. "Apa kata
Ayah?" tanyanya menuntut jawaban ayahnya. Dia berpaling kepada
Edward. "Cousin, apa yang kalian bicarakan?"
Edward memandang sepupunya dengan pandang tertegun.
"Seorang gadis yang tak bersalah... gadis yang kucintai... mati karena
ayahku." Dia terisak sedih. "Dan aku telah mengutuknya seperti
ayahku mengutuknya!"
Terpuruk di meja, Matthew tiba-tiba kelihatan menjadi tua
sekali. Dagunya tergantung lemas. Cahaya kehidupan seakan tersedot
habis dari matanya. "Ayahmu menginginkan yang terbaik bagimu,
Edward." "Yang terbaik?" seru Edward pahit. "Paman tak pernah
mengatakan padaku kenapa kita meninggalkan Wickham. Ayah tak
pernah memberiku pilihan!"
"Ya," Matthew menegaskan sambil menghindari mata Edward
yang menuduhnya. "Dia dan aku sama-sama ingin agar kau tak
mengalami kemiskinan seperti yang pernah kami alami. Tapi kami
bertindak terlalu jauh."
"Kau menguping percakapanku dengan Jeremy," Mary
menuduh Edward. Edward mengangguk. "Ya. Dan aku langsung ke sini. Untuk
menanyai ayahmu. Untuk mengetahui..."
"Jadi semua cerita itu benar?" teriak Mary dengan suara
melengking, kedua tangannya terangkat ke pipinya.
"Ya, memang benar," ayahnya mengakui dengan sedih.
"Kasihan Susannah Goode. Aku telah salah menilainya," kata
Edward sambil menelan ludah dengan susah payah.
"Ayah dan Paman Benjamin membakar seorang wanita dan
seorang gadis yang tak bersalah?" desak Mary, matanya berkilat-kilat
menatap mata ayahnya. Matthew memalingkan wajahnya. "Itu sudah lama sekali.
Sebelum kau lahir," katanya lirih.
"Sekarang William Goode melancarkan pembalasan," kata
Edward dengan suara lirih dan bergetar. "Dia telah membunuh istriku
dan ayahku." Matthew bangkit berdiri, wajahnya merah padam, tangannya
gemetar. "Kita akan membalasnya!" teriaknya marah.
"Tidak!" teriak Edward dan Mary serentak.
"Kita sudah impas sekarang!" teriak Edward dengan penuh
perasaan. "Kita akan berdamai dengan keluarga Goode."
"Berdamai?" Matthew memprotes dengan sengit. "Berdamai"
Edward, kau sudah gila" Dia membunuh Rebecca dan Benjamin!"
"Kita akan berdamai," Edward berkeras sambil menyipitkan
mata memandang pamannya. Wajahnya mengeras penuh tekad.
"Jeremy Goode dan aku saling mencintai," kata Mary tiba-tiba.
"Buruh tani itu?" jerit Matthew. "Buruh tani itu Jeremy
Goode?" "Jeremy adalah anak William," kata Mary kepadanya. "Kami
akan menikah." "Tidak! Takkan kuizinkan!" kata Matthew tegas sambil meninju
meja, membuat kertas-kertas itu bertebaran ke lantai.
"Ya!" kata Edward mantap. "Ya, mereka akan menikah. Luka di
antara keluarga kita akan tersembuhkan. Dan kau, Paman, kau harus
minta maaf pada William Goode dan putranya."
Matthew menatap mereka berdua dengan marah. Kemudian
pandangannya melembut. Dia mendesah letih dan mengangkat bahu di
balik jubah berkabungnya yang hitam dan berat. "Aku takkan pernah
minta maaf pada pembunuh," gumamnya.
"Ayah dan Paman Benjamin juga pembunuh!" jerit Mary.
Kata-kata itu menusuk Matthew. Dia memejamkan mata. Lama
dia terdiam. "Hmm, bagaimana, Ayah?" desak Mary.
"Kita akan menyembuhkan luka itu," akhirnya Matthew
menjawab. "Aku akan meminta maaf seperti tuntutan kalian. Kau
boleh menikah dengan anak William Goode kalau itu keinginanmu."
"Itu memang keinginanku," sahut Mary cepat.
"Perseteruan maut ini akan berakhir," kata Edward dengan
khidmat. "Kedua keluarga kita takkan bermusuhan lagi."
"Ya," kata Matthew sependapat. "Setelah minggu berkabung
lewat, undang mereka"William dan Jeremy"untuk makan malam.
Saat itu aku akan melakukan apa yang harus dilakukan, aku berjanji
pada kalian, aku akan mengakhiri perseteruan maut ini untuk
selamanya." "Terima kasih, Ayah!" Mary menangis bahagia.
"Terima kasih, Paman," kata Edward.
"Semua akan selesai," kata Matthew lirih.
****************** Bagi Mary, minggu berkabung terasa berlalu dengan lambat.
Kesedihan menggantung di rumah dan tanah pertanian itu.
Mary melakukan tugasnya sehari-hari dan membantu Constance
mengasuh Ezra. Anak itu terus-menerus bertanya kapan ibunya akan
pulang. Kelihatannya dia tak bisa atau tak mau mengerti bahwa
ibunya takkan pernah kembali lagi.
Edward banyak berada di rumahnya, tenggelam dalam
kenangan masa lalunya, terbenam dalam penyesalannya,
menghidupkan kembali kenangan menyakitkan seakan-akan kejadian
itu baru terjadi kemarin dan bukannya sudah delapan belas tahun lalu.
Matthew berusaha melakukan pekerjaannya seperti biasa.
Tetapi dia jarang bicara dengan siapa pun di rumah itu. Matanya
kosong, dingin, dan terpusat entah pada apa di kejauhan.
Makan malam dilewatkan dalam keheningan yang membuat
hati tidak enak. Mary sering melamunkan Jeremy.
Kepedihan yang menyelubungi rumah itu bagaikan tirai hitam
yang terangkat ketika Jeremy dan aku bersatu, ketika Matthew
meminta maaf pada William, dan kedua keluarga ini telah menjadi
satu, pikirnya. Akhirnya malam itu pun tiba. Malam yang cerah dan sejuk di
awal musim gugur. Di dalam rumah, aroma bebek panggang
menyebar memenuhi ruangan-ruangan. Lilin-lilin dalam candelabra
perak menyala di tengah meja makan yang sudah ditata rapi oleh
Mary dan Constance. Mereka menyiapkan peralatan makan yang
terbaik yang dimiliki keluarga itu.
Mary duduk, tegang, menanti kedatangan Jeremy dan ayahnya.
Ezra mencoba naik ke pangkuan ayahnya, tetapi Edward
mendorongnya dengan tidak sabar.
Dengan tangan tertangkup di punggungnya, Matthew mondarmandir. Dahinya berkerut. Constance tetap di dapur, menjaga agar
bebek panggang itu tetap panas.
Setiap orang dalam keluarga ini sangat gugup dan membisu,
pikir Mary. Dan akulah yang paling gugup di antara mereka.
Pasti sulit sekali bagi Ayah untuk bertemu dengan William
Goode setelah sekian tahun. Pasti sulit sekali bagi mereka.
Tapi alangkah bagusnya karena Jeremy dan aku akan bisa
mendamaikan mereka, untuk mengakhiri tahun-tahun penuh dendam
dan kebencian. Ketukan keras di pintu mengentakkan Mary dari lamunannya.
Dia terlompat berdiri lalu cepat-cepat menyeberangi ruangan.
"Halo, Jeremy!" serunya sambil membuka pintu lebar-lebar.
Dia memandang ke balik bahu pemuda itu. "Mana ayahmu?"
Mengenakan kemeja wol yang longgar dan diikat di pinggang
di atas celana hitam selutut, Jeremy melangkah masuk. Wajahnya
tersenyum kaku. "Selamat malam, Mary," dia membalas salam Mary
dengan lirih tetapi tidak menjawab pertanyaannya.
Ini sungguh menakjubkan, pikir Mary sambil memandang
pemuda itu. Ini adalah impian yang menjadi kenyataan.
Jeremy ada di sini... di rumahku! Aku sangat bahagia!
Mary tidak tahu bahwa dalam waktu dua detik"dua kali detak
jarum detik"kebahagiaannya akan berubah menjadi kengerian yang
tak terkatakan. Bab 22 KETIKA Jeremy menyeberangi ruangan untuk menyalaminya,
Matthew Fier mengangkat cakram perak itu ke atas kepalanya lalu
mengarahkannya kepada Jeremy.
Jeremy tertegun. Senyumnya lenyap.
Matthew meneriakkan kata-kata yang tergores di balik cakram
itu, "Dominatio per malum!"
Kepala Jeremy meletus dengan bunyi pop! lirih.
Mula-mula tak seorang pun sadar dari mana asal bunyi itu.
Mary yang pertama sadar bahwa sesuatu yang mengerikan telah
terjadi. Batok kepala Jeremy terbelah, kulit wajahnya mengelupas. Otak
merah jambu menyembur dari batok kepalanya yang terbuka.
Wajahnya seakan meleleh, lalu muncullah wajah lain dari batok
kepala yang hancur itu. ebukulawas.blogspot.com
Sebuah kepala lain muncul di atas tubuh Jeremy.
Kepala seorang lelaki berambut putih, pipinya merah ungu,
matanya berkilat-kilat penuh kebencian.
"William Goode!" seru Matthew, masih memegangi bandul
kalung yang aneh itu di atas kepalanya.
"Ya, aku," sahut William lemah. "Aku hampir berhasil mencuri
putrimu darimu, Matthew. Tapi sihirmu lebih kuat dari sihirku."
"Jeremy!" jerit Mary. Akhirnya dia terlepas dari kekagetannya
dan bisa menjerit. "Jeremy! Jeremy! Mana Jeremy-ku?"
"Jeremy tak ada!" kata ayahnya kepadanya. "Jeremy tak pernah
ada, Nak! Dia William Goode! Dia menggunakan sihirnya untuk
membuat dirinya tampak muda!"
William Goode memandang ke seberang ruangan yang
diterangi cahaya lilin itu ke arah Matthew, kebenciannya terlalu kuat
untuk disemburkan dalam kata-kata. Dia mengangkat tangannya yang
gemetar untuk menunjuk Matthew dengan telunjuknya. Menunjuk
dengan penuh tuduhan. "Jeremy!" jerit Mary, wajahnya beralih-alih memandang
mereka dengan panik. "Jeremy! Kau di mana" Di mana Jeremy-ku" Di
mana kausembunyikan dia?"
"Constance"tenangkan Mary!" perintah Matthew.
Tetapi Constance berdiri kaku menempel ke dinding, tak bisa
bergerak karena dicekam kengerian yang luar biasa.
Dengan teriakan binatang yang marah, sekali lagi Matthew
mengarahkan jimat itu ke sosok William Goode. "Dominatio per
malum!" pekiknya. "Kekuasaan lewat kejahatan!"
Sekujur tubuh William bergetar. Matanya berputar-putar di
kepalanya. Kulit tubuhnya mengeriput.
Dia jatuh berlutut. Pakaiannya seakan terlipat-lipat ketika
tubuhnya mengerut, terus mengerut, dan berubah menjadi debu abuabu dalam hitungan sekian detik.
"Jeremy!" pekik Mary sambil berlari ke sana kemari di dalam
ruangan, matanya terbelalak penuh kengerian. "Jeremy... mana
Jeremy-ku?" Ketika Matthew memandang tumpukan debu di balik pakaian
yang terpuruk itu, senyum kemenangan menghiasi wajahnya. Dia
melemparkan kepalanya ke belakang, membuka mulutnya lebar-lebar,
lalu tertawa. Tawanya keras, penuh kemenangan dan kepuasan.
"Jeremy" Mana Jeremy?" tuntut Mary.
"Ke mana orang itu?" tanya Ezra kepada Edward.
Dengan mata terbelalak ngeri, Edward meraih lalu
menggendong Ezra dan mendekapnya.
Matthew tertawa lebih keras, air mata gembira membasahi
wajahnya. "Berhentilah tertawa, Matthew!" pekik Constance sambil berlari
kepadanya. "Berhentilah!"
"Mana Jeremy" Di mana dia sembunyi?" teriak Mary.
Sambil memanggul Ezra di bahunya, Edward menarik tangan
Mary. "Ayo," katanya tegas kepada gadis itu.
"Apa" Aku tak bisa pergi tanpa Jeremy," kata Mary sambil
memandang Edward dengan tatapan kosong.
"Ayo, Mary." Edward menarik tangannya. "Kita harus pergi.
Kita harus keluar dari sini!"
Sambil memegangi pinggangnya yang gendut, Matthew tertawa
keras-keras. "Berhentilah tertawa, Matthew!" istrinya memohon-mohon.
Matthew tertawa semakin keras.
Constance memukul-mukul dada suaminya. "Berhentilah
tertawa! Berhentilah tertawa! Matthew... kau tak bisa menghentikan
tawamu?" "Mary... ayo!" Edward menarik Mary ke arah pintu.
Ezra, yang berpegangan pada bahu ayahnya, mulai menangis.
Edward menarik Mary keluar dari pintu, ke udara malam yang
sejuk. "Jeremy" Apakah Jeremy akan ikut kita?" tuntut Mary.
"Tidak," jawab Edward. "Ikutlah aku. Kita harus meninggalkan
tanah pertanian ini. Malam ini juga." Dia menyeret Mary menembus
kegelapan. Di dalam rumah, Constance masih memohon-mohon kepada
suaminya, "Matthew... berhentilah tertawa! Berhentilah! Tak bisakah
kau menghentikan tawamu" Tak bisakah kau berhenti tertawa
sekarang?" Meskipun istrinya memohon-mohon, Matthew terus tertawa.
Wajah bulatnya berkilat merah ungu, perut buncitnya bergerakgerak naik-turun, mulutnya ternganga lebar, dia tertawa dan tertawa
terus. Tawanya keras, tak berdaya.
Gila karena kemenangannya, Matthew akan terus tertawa tanpa
henti sepanjang sisa hidupnya.
BAGIAN TIGA Alam Liar Pennsylvania Barat 1725 Bab 23 EZRA FIER mengetukkan tumit sepatu botnya ke perut
kudanya dan memaksa kuda betina tua itu terus berlari. Cabangcabang rendah dan semak-semak menggores celana kulitnya yang
sudah usang. Ezra terus memandang lurus ke depan.


Fear Street - Saga I Pengkhianatan The Betrayal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang Ezra berumur 21 dan bertubuh jangkung. Dia
mewarisi rambut hitam lurus dari ibunya dan dahi lebar serta mata
murung dari ayahnya. Sambil berkuda menembus semak-semak lebat, Ezra teringat
ayahnya dan bibinya Mary. Kepedihan menyesakkan dadanya.
Ayahku yang malang, dia berusaha keras mempertahankan
hidup kami di alam liar yang sepi ini. Dia bekerja keras sekali agar
selalu ada atap di atas kepala kami dan makanan di dalam mulut kami.
Tapi dia tak pernah pulih sejak malam yang mengerikan itu,
malam terakhirku di tanah pertanian Kakek Matthew.
Ingatan Ezra akan malam itu seperti orang yang memandang
selembar foto buram. Dia masih ingat pemuda bernama Jeremy
Goode. Sesuatu yang mengerikan menimpa Jeremy Goode. Bibi Mary
menjerit-jerit. Kakek Matthew tertawa keras seperti orang gila.
Kemudian Edward"ayah Ezra"menarik Ezra menjauh,
menariknya ke dalam gelapnya malam, menjauhi tanah pertanian itu,
bersama Bibi Mary. Waktu itu umur Ezra enam tahun. Tetapi kenangan mengerikan
kejadian malam itu selalu menghantuinya.
Ketika dia berkuda menembus hutan ke tanah pertanian Kakek
Matthew, kepahitan yang dialaminya selama lima belas tahun ini
menyelubunginya, melingkupinya dalam kegelapan meskipun sinar
matahari yang keemasan menembus celah-celah dedaunan.
Edward meninggal karena kehabisan tenaga, dalam usia masih
muda. Bibi Ezra, Mary, tidak pernah waras lagi. Kadang bermingguminggu dia tidak bicara, kemudian tiba-tiba berkata, "Aku ini
penyihir! Aku ini penyihir!"
Kadang-kadang Mary melamun memandang pepohonan selama
berjam-jam. "Apakah Jeremy akan datang?" tanyanya mengibakan.
"Apakah Jeremy akan segera datang?"
Ezra merawat bibinya setelah ayahnya meninggal. Kemudian,
pada suatu sore yang seram, dia menemukan Mary terapung dengan
tubuh tertelungkup di kolam di belakang pondok kecil tempat tinggal
mereka. Mary bunuh diri dengan menceburkan diri ke kolam.
Sekarang aku sendirian, pikir Ezra, setelah memakamkan Mary
di bawah pohon birkin kesayangannya.
Gara-gara William Goode, aku jadi sebatang kara di dunia.
Keluarga Goode mengutuk keluargaku.
Keluarga Goode menghancurkan hidup kami.
Dan sekarang tugasku untuk menuntut balas.
Tapi dari mana harus kumulai" Di mana aku bisa mencari tahu
apakah masih ada kerabat Goode yang tinggal di koloni-koloni ini"
Ezra membutuhkan informasi untuk memulai rencana balas
dendamnya. Setelah membungkus miliknya yang tak seberapa dan
meninggalkan pondok kecil di tengah hutan itu, dia kembali ke tanah
pertanian Matthew. Ketika rumah pertanian itu tampak di kejauhan, Ezra memaksa
kudanya yang sudah letih untuk berpacu. Dia menendang perut
kudanya dan mencambuk tengkuknya dengan tali kekang yang sudah
usang. Aku ingat, pikirnya sambil memandang rumah bertingkat dua
itu dengan kagum dan kaget. Aku masih ingat gudang perkakas di
batas kebun. Dan rumah kecil di batas padang rumput itu"itu dulu
rumahku! Jantungnya berdegup kencang penuh semangat.
Apakah Matthew dan Constance masih tinggal di sini" pikirnya.
Ketika semakin dekat, semangatnya berubah menjadi
kekecewaan. Tak tampak ada sapi atau domba. Tak ada tanaman
pangan. Tak ada tumpukan jerami atau batang-batang gandum. Kebun
kosong ditumbuhi rumput liar. Semak belukar dan rumput liar tumbuh
memenuhi ladang-ladang yang tidak dibajak.
Sudah bertahun-tahun tanah pertanian itu tidak digarap, Ezra
bisa melihatnya dengan jelas.
Apakah Matthew dan Constance sudah meninggal" Apakah
mereka meninggalkan tanah pertanian itu setelah Ayah, Bibi Mary,
dan aku pergi" Tak sabar ingin segera memecahkan misteri itu, tak sabar ingin
segera memperoleh informasi yang dibutuhkannya untuk memulai
rencana balas dendamnya terhadap keluarga Goode, Ezra melompat
turun dari kudanya. Dengan kaki kaku setelah berkuda jauh, dia berjalan ke pintu
depan, mengambil napas panjang, lalu mengetuknya.
Sunyi. Hanya terdengar bisikan angin di sela pepohonan.
Dia mengetuk lagi. "Ada orang di rumah?" Suaranya yang
dalam menggema aneh di halaman yang kosong itu.
Ezra mendorong pintu hingga membuka. Setelah melangkah
masuk, dia menemukan ruang depan gelap dan dingin meskipun udara
sore itu hangat. Selapis debu menutupi perabotan, membuat semua
yang ada di ruangan itu seram dan seakan tidak nyata.
Ruangan ini tak pernah dipakai bertahun-tahun, Ezra
menyimpulkan. Diusapkannya tangannya di atas sebuah meja,
menimbulkan bekas panjang pada lapisan debu di situ.
Dia telah datang dari tempat yang sangat jauh dan memaksa
kudanya bekerja keras. Dia sudah tak sabar ingin bertemu kakeknya,
untuk bicara dengannya, untuk mendengar cerita tentang keluarga
Goode, untuk mengetahui dari mana dia bisa memulai rencana balas
dendamnya. Dia mulai menjelajahi kamar-kamar dengan cepat dan mantap.
Ruang makan sama suramnya, debu menyelimuti ruang duduk. Di
ruang keluarga, dua ekor tikus ladang memandangnya dari perapian
yang kosong, heran melihatnya masuk ke daerah kekuasaan mereka
tanpa izin. Ezra berbalik lalu berjalan cepat ke kamar kerja Matthew.
Wajahnya kaku karena kecewa.
Mungkin Matthew meninggalkan beberapa berkas dokumen,
pikir Ezra penuh harap. Buku harian. Sesuatu yang akan
memberitahuku apa yang ingin kuketahui.
Pintu kayu itu sudah melengkung.
Ezra berusaha keras membukanya. Pintu itu tak mau bergerak.
"Aku tak boleh putus asa!" teriaknya. "Aku harus melihat apa
yang ada di balik pintu ini!"
Dia mengambil napas panjang, mencengkeram pinggiran pintu,
dan menariknya kuat-kuat. Setelah mengerahkan tenaga, akhirnya dia
berhasil membukanya sedikit.
Dengan napas memburu dia mengintip ke dalam... dan berseru
tertahan. Bab 24 EZRA memandang dengan takjub. Mula-mula dia tak
mempercayai matanya. Ambang pintu itu tertutup dinding batu!
Ezra membuka pintu kamar kerja itu lebih lebar lagi.
"Astaga!" serunya sambil menggaruk-garuk rambut hitamnya.
Ruangan itu ditutup dari dalam.
Ternganga karena takjub, dalam cahaya remang-remang Ezra
melihat batu-batu itu ditumpuk begitu saja tanpa disemen.
"Apa yang kucari pasti ada di balik dinding aneh ini," katanya.
Suaranya sendiri membuatnya agak tenang.
Dia meraih sebongkah batu dan berusaha menariknya lepas dari
tumpukan itu. Ketika itulah dia mendengar bunyi menggaruk-garuk.
Dia menurunkan tangannya.
Bunyi menggaruk itu terus terdengar, rendah dan berirama
tetap. Kraaakk, kraaakk, kraaak.
Tikus ladang lagi" Ezra menduga-duga sambil memasang
telinga baik-baik. Bukan. Bunyi itu terlalu teratur, terlalu mantap.
Kraakk, kraaak, kraakk. Apa yang menimbulkan bunyi itu"
Dengan tenaga baru Ezra mencopoti batu-batu yang berat itu
dari dinding dan melemparkannya ke lantai di belakangnya.
Bunyi menggaruk itu semakin keras.
Apakah kakekku mengurung diri di dalam kamar kerjanya
sendiri" Ezra menduga-duga sambil bekerja, mencopoti batu-batu itu,
dan menumpuknya di belakangnya.
Apakah dia menyembunyikan sesuatu di dalam sini yang dia tak
ingin orang lain menemukannya"
Dia hanya melihat kegelapan dari lubang kecil yang berhasil
dibuatnya. Sambil menggeram pelan dia menarik lepas lebih banyak
batu lagi. Dia bekerja penuh semangat selama beberapa menit, terus
mencopoti batu-batu itu satu per satu.
"Banyak sekali debunya," gumamnya. "Banyak sekali
batunya..." Sambil mengedip-ngedipkan mata dia melanjutkan kerja yang
melelahkan itu... dan berseru tertahan.
Sebuah tengkorak cokelat yang sudah berjamur menyeringai
dari dalam kegelapan di balik dinding itu.
Ezra mencoba berteriak... tetapi terlambat.
Tengkorak itu menggelinding ke arahnya.
Lengan jerangkong yang rapuh terjulur lewat lubang di dinding,
dan tulang jari-jarinya mencengkeram leher Ezra!
Bab 25 EZRA menjerit dan terjengkang, menimpa batu-batu yang
berserakan di sekitar kakinya.
Dia jatuh, punggungnya membentur tumpukan batu dengan
keras. Kaget, dia berbaring beberapa lama, napasnya memburu. Dia
memandang lubang dinding di atasnya.
Lengan jerangkong itu terjulur dari balik dinding, tidak
bergerak. Dengan napas masih memburu, dan punggung sakit karena
benturan keras itu, Ezra bangkit berdiri.
Dia mengintip ke dalam lubang yang dibuatnya. Dia sadar,
jerangkong itu terjatuh ke depan. Tidak benar-benar mencekiknya.
Tetapi bunyi apa yang menggaruk-garuk itu" Apakah jerangkong ini
berusaha membebaskan diri"
Ezra menyingkirkan jerangkong itu, menumpu badannya
dengan kedua tangannya, lalu mengintip ke dalam ruangan. Terlalu
gelap. Tak kelihatan apa-apa.
Sambil mengomel, dia berpaling ke sekitarnya. Matanya
mencari-cari dalam cahaya kelabu remang-remang, sampai
menemukan sebatang lilin di atas meja rendah. Ezra membawa lilin
itu ke dapur dan menemukan kotak serutan kayu di dekat perapian.
Selama beberapa menit ia bekerja penuh konsentrasi,
menggosok-gosok serutan kayu itu dengan irama teratur dan keras,
sampai akhirnya api bisa menyala. Setelah itu Ezra bisa menyalakan
lilin. Nyalanya membesar, lalu mengecil, kemudian membesar lagi.
Dengan tak sabar dia kembali ke ruangan gelap yang ditutup
dinding dari dalam. Jerangkong kedua menyambutnya ketika dia kembali ke sana.
Yang ini duduk di atas meja kerja yang rendah.
Ezra mendekatkan lilin itu ke tengkoraknya yang menyeringai.
Karena sudah berjamur, dia tak bisa mengetahui yang mana tulangtulang Matthew dan yang mana tulang-tulang Constance.
Dalam cahaya lilin yang kuning, mata Ezra tertumbuk pada
dokumen di meja di bawah tangan jerangkong itu. Ezra
menyingkirkan tangan itu, lalu dengan hati-hati mengangkat kertas
yang sudah rapuh. Dia mengangkat lilin dan mendekatkannya, lalu berusaha
membaca kata-kata yang digoreskan pada kertas itu. "Buku harian!"
serunya. "Ditulis oleh Matthew Fier."
Dengan tak sabar Ezra membaca kata-kata pada halaman
terakhir buku harian itu:
Aku masih terus tertawa-tawa tanpa henti. Tawa yang menjadi
siksaan bagiku dan bagi Constance. Tetapi dinding sudah terpasang.
Akhirnya kami selamat dari keluarga Goode dan kejahatan mereka.
Constance berusaha melarikan diri. Wanita malang itu tidak
sadar bahwa dinding ini dibuat demi keselamatan kami. Aku terpaksa
memukul kepalanya dan membuatnya pingsan agar aku bisa
meletakkan batu-batu terakhir dan memastikan keselamatan kami.
Sekarang kami aman seperti waktu masih tinggal di Wickham
dulu, dan kami akan tetap aman dari pembalasan dendam keluarga
Goode sepanjang sisa hidup kami.
Naskah itu berakhir di situ.
Ezra meletakkannya dengan khidmat.
Keluarga Goode, pikirnya.
Keluarga Goode telah menghancurkan keluargaku. Aku takkan
berhenti sebelum menemukan mereka. Keluarga Goode harus
membayar mahal untuk kejahatan mereka.
Ezra mundur selangkah dengan jantung berdegup kencang.
Jerangkong yang duduk di depan meja tiba-tiba berkeriut lalu
terjengkang ke belakang. Dalam cahaya remang-remang, Ezra melihat
sebuah benda aneh di sekeliling lehernya.
Ezra membungkuk di depan jerangkong itu sambil memegangi
lilin di depannya. Dia mengambil jimat perak berbentuk bulat dari
tulang leher. Diamatinya tiga cakar kecil di tengah cakram itu. Ada
goresan kata-kata pada bagian belakang bandul kalung itu, tetapi Ezra
tak bisa membacanya dalam gelap.
Sambil mendesah sedih Ezra mengalungkan kalung perak itu ke
lehernya dan merapikan letak jimat itu di dadanya. "Satu-satunya
warisanku," katanya dengan pahit.
Beberapa menit kemudian dia keluar dari rumah yang dingin
dan gelap itu, berjalan dalam siraman cahaya matahari, sambil
berpikir tentang desa Wickham dan keluarga Goode. Pikirannya
berkecamuk dengan rencana-rencana balas dendamnya.
Desa Shadyside 1900 NORA GOODE membungkuk di atas kertas tulisnya, cahaya
lilin menari-nari di atas meja tulis kecil. Dia meletakkan penanya lalu
meregangkan jari-jarinya yang kaku.
"Banyak sekali yang harus diceritakan," katanya sambil
memandang lidah api yang kuning. "Banyak sekali yang harus ditulis.
Tangan yang malang ini harus bisa bertahan sampai ceritaku selesai."
Padahal, Nora tahu, cerita itu baru dimulai.
Keluarga Fier akan terus membayar mahal karena
pengkhianatan mereka terhadap keluarga Goode. Darah akan
mengalir. Darah kedua keluarga itu, selama berpuluh-puluh tahun.
"Ya, ceritaku yang mengerikan ini baru mulai," bisik Nora.
"Ceritanya panjang dan pahit, dan aku harus menyelesaikannya
sebelum malam berganti pagi."
Sambil membungkuk meneruskan pekerjaannya, dia mengambil
pena, mencelupkannya ke dalam tinta, lalu dengan penuh semangat
mulai menulis lagi. BERSAMBUNG.... Mencari Bende Mataram 20 Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Pahlawan Harapan 10
^