Pencarian

Rahasia The Secret 1

Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret Bagian 1


Desa Shadyside 1900 PENA Nora menggores-gores kertas. Kering lagi. Dengan lesu
dia mencelupkan ujungnya ke wadah tinta, mengubah niatnya, lalu
sambil menguap meletakkan pena itu di meja tulis kecil.
Semenit saja. Aku akan beristirahat semenit saja:...
Punggungnya pegal dan jari-jarinya kaku. Sepanjang malam dia
menulis dengan cepat dan gugup diterangi sebatang lilin.
Nora tahu dia harus menceritakan riwayatnya. Dia harus
menceritakannya malam ini.
Dia meraba bandul perak yang tergantung pada kalung di
sekeliling lehernya. Jarinya meraba bentuk cakar-cakar perak dan batu
permatanya yang berwarna biru. Api muncul di balik pelupuk matanya
yang terpejam, membakar ingatannya. Api yang membakar Susannah
Goode yang tak bersalah pada tahun 1692. Dua ratus tahun penuh
kebencian dan balas dendam yang menyusul kematian Susannah. Dan
yang terakhir, api mengerikan yang menelan mansion Fear....
Mata Nora berkaca-kaca. Daniel... Daniel-ku...
Setelah api yang mengamuk, sekarang yang tersisa hanyalah
abu. Sambil mendesah sedih, Nora mencelupkan penanya ke wadah
tinta. Tak ada waktu untuk beristirahat. Kisah ini harus diceritakan.
Dia mendengar suara-suara dan berhenti menulis. Dia
memasang telinga. Langkah-langkah kaki. Seseorang datang mendekat!
Tangannya gemetar, dengan gugup Nora menyembunyikan
kertas dan tinta ke dalam laci meja tulis. Tak boleh ada yang melihat
ini, pikirnya. Tak seorang pun boleh melihatnya sampai ini selesai.
Padahal, ini masih jauh dari selesai. Terlalu banyak kisah ngeri dan
menyedihkan yang tak pernah diceritakan.
Terlalu banyak kengerian...
Dia menahan napas, memasang telinga baik-baik. Langkahlangkah itu semakin dekat, semakin dekat...
BAGIAN SATU Desa Wickham, Koloni Massachusetts 1737 Bab 1 DESA WICKHAM. Jonathan Fier mengembuskan napas lega ketika wagon-nya
yang ditarik kuda melewati papan penunjuk jalan itu. Perjalanan
panjang mereka akhirnya selesai.
Dia melirik ayahnya yang duduk di sampingnya, di tempat
duduk sais. Wajah Ezra Fier cekung dan kuyu, tetapi matanya yang
hitam berkilat-kilat penuh semangat. Dia mengentakkan tali kekang
dengan kekuatan baru hingga kuda berbulu cokelat itu berlari lebih
kencang di jalan berdebu yang kiri-kanannya dipagari pepohonan.
"Kita sudah sampai, Jonathan," kata Ezra kepada putranya.
"Setelah berminggu-minggu naik wagon ini, akhirnya kita sampai di
Wickham. George Goode pasti akan menyesal lahir ke dunia." Suara
Ezra merendah, nyaris menjadi bisikan. "Akhirnya dendamku akan
terbalas. Hmm... balas dendam yang manis!"
Jonathan merasa bulu kuduknya meremang. Balas dendam.
Balas dendam untuk apa"
Aku masih tetap tak mengerti, pikir Jonathan. Siapa George
Goode" Aku belum pernah bertemu seseorang yang bernama Goode.
Keluarga Goode tak pernah berbuat jahat padaku. Mengapa kami
harus meninggalkan tanah pertanian di Pennsylvania" Mengapa kami
menghabiskan waktu enam bulan untuk pergi ke timur dalam wagon
tua yang kotor dan sempit ini"
Jonathan diam-diam melirik wajah ayahnya yang kuyu. Kami
datang kemari untuk balas dendam pada keluarga Goode, kata Papa.
Semua yang dilakukannya adalah demi rencana balas dendam.
Kadang-kadang kupikir Papa gila.
Jonathan langsung menyesal punya pikiran seperti itu.
Bagaimana mungkin aku bisa punya pikiran seperti itu" dia
mengomeli dirinya sendiri. Dia ayahku. Tak mungkin dia gila. Pasti
ada alasan untuk semua penderitaan yang kami alami. Pasti ada
alasan. "Aku sudah mencari keluarga Goode di lima koloni," gumam
Ezra. "Tapi tak menemukan seorang pun. Tetapi sekarang..." Dia
berhenti bicara untuk melepas topinya dan menyisir rambutnya yang
hitam lurus dengan jari-jarinya yang kurus. "Sekarang aku merasa
pasti. Aku tahu mereka ada di sini. Aku tahu, akhirnya aku berhasil
menemukan mereka." "Ezra!" ibu Jonathan berteriak dari dalam wagon. "Pelan-pelan.
Anak-anak terguncang-guncang!"
Ezra menggeram dan menarik tali kekang. Jonathan menoleh ke
dalam wagon yang berpenutup dari tempat duduk sais.
Ibunya, Jane, dan kedua adiknya, Abigail dan Rachel, duduk
berdesak-desakan di antara barang-barang milik mereka: panci, piringgelas, peralatan dapur, pakaian, selimut, Kitab Suci milik keluarga
Fier, dan sedikit makanan yang masih tersisa.
"Kita sudah sampai, Mama," kata Jonathan dengan tenang. Dia
menduga-duga, apakah ibunya akan senang atau sedih.
"Hore!" teriak Rachel yang berumur tiga tahun sambil bertepuk
tangan. Gadis cilik itu gendut dan lucu. Dia mengenakan rok dari kain
muslin yang ditenun sendiri oleh ibunya. Rambutnya yang pirang
keriting mengintip dari bawah topinya.
Jane Fier hanya mengangguk. Wanita itu berkulit terang. Di
kedua sisi mata birunya yang jernih terlihat kerut-kerut kecemasan.
Dia mengenakan rok linen berbunga-bunga dan penutup kepala putih
yang longgar, "Aku akan senang setelah turun dari kereta ini," kata Abigail,
yang berambut merah dan berumur delapan tahun, sambil tersenyum
nakal dengan mata birunya. Gadis itu mengenakan rok linen bergarisgaris biru-putih dan topi putih berpita biru. Dia menengadah
memandang kakaknya, Jonathan, yang hampir berumur dua belas dan
hampir menjadi remaja. "Mama, apakah kita akan turun dan bermainmain sebentar" Apakah kita akan tidur di ranjang malam ini?"
"Kuharap begitu, Abigail," jawab Jane.
"Aku akan tanya Papa," kata Abigail.
Dia beranjak ke depan kereta, tetapi ibunya menariknya.
"Jangan ganggu Papa sekarang," bisik Jane. Pikirannya sedang
sibuk dengan urusan-urusan lain."
Selalu ada urusan-urusan lain yang dipikirkannya, pikir
Jonathan dengan pahit. Atau tepatnya, satu urusan lain.
Jonathan menghadap ke depan lagi dan merendahkan topi
hitamnya untuk menudungi matanya. Rambutnya yang cokelat
panjang diikat ke belakang. Kemeja linen putihnya kotor setelah
berminggu-minggu menempuh perjalanan jauh. Mantelnya yang
sepinggang dan celananya yang selutut ditenun dari benang pintalan
sendiri. Sekarang dua-duanya sudah sempit.
Begitu kami menetap, pikirnya, Mama harus membuat beberapa
pakaian baru. Mereka tidak berpapasan dengan seorang pun ketika menyusuri
jalan ke desa yang dinaungi pohon-pohon. Tak seorang pun
menunggang kuda atau berjalan kaki. Suasana di sini aneh dan sangat
sunyi, pikir Jonathan. Ini bukan hari Sabat. Di mana orang-orang"
Akhirnya dia melihat sebuah kereta di depannya. Kereta itu
menghadap ke arah mereka, keluar dari kota.
Jonathan terus memandang kereta itu sementara mereka
semakin mendekatinya. Kereta itu hitam berkilau, modelnya mewah
seperti yang biasa digunakan orang-orang kaya.
Tapi, tunggu, pikirnya. Kereta itu tak bergerak. Mana kudakudanya"
Dia sadar, ada yang tidak beres.
Ada yang sangat tidak beres.
Wagon keluarga Fier semakin dekat. Sekarang Jonathan bisa
melihat dua ekor kuda, tetapi binatang-binatang itu terbaring di tanah.
Apakah mereka luka" pikirnya sambil mencondongkan badannya
jauh-jauh hingga nyaris jatuh. Apakah mereka mati"
Semakin dekat. Bau menyengat menyergap hidung Jonathan. Dia nyaris
muntah. Sekarang dia bisa melihat kuda-kuda itu dengan jelas. Sudah
lama mati. Daging mereka sudah busuk, tulang-tulangnya bertonjolan
menembus kulit yang sudah rusak.
"Ohhh!" Jonathan mendengar ibunya menjerit kaget. Dia menoleh ke
dalam wagon. Ibunya memeluk kedua adiknya dan menutupi mata
mereka. Ezra memperlambat wagon itu, tetapi tidak berhenti.
Mengapa kereta itu ditinggalkan di pinggir jalan" Jonathan
bertanya dalam hati. Mengapa orang meninggalkan kereta sebagus
itu" Roda wagon berkeriut ketika mereka sudah cukup dekat dan
Jonathan bisa melihat ke dalam kereta itu.
Dia kaget melihat kereta itu tidak kosong.
Ada tiga wanita di dalamnya, mengenakan gaun indah dari sutra
dan topi putih berhias renda.
Jonathan menatap ketiga wanita itu lekat-lekat. Wajah mereka.
Wajah mereka ungu, tinggal tulang dan sisa daging yang
menonjol dari bawah topi mereka yang mewah.
Mereka sudah mati, Jonathan menyimpulkan sambil menutupi
hidungnya. Mereka sudah lama mati, lama sekali.
Mayat-mayat yang membusuk, tidak pergi ke mana-mana di
dalam kereta mewah. Bab 2 JONATHAN membekap mulutnya agar tidak menjerit dan
menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Mengapa tubuh-tubuh membusuk itu ditinggalkan di sini" dia
terheran-heran. Mengapa orang-orang desa tidak menguburkan
mereka" Apakah kereta dan penumpangnya yang sudah membusuk ini
sengaja ditinggalkan di sini sebagai peringatan"
Jangan mendekat! Masih menahan napas karena bau busuk itu, Jonathan berpaling
dan memandang ayahnya. Ezra sedang memandang lekat-lekat ke dalam kereta, melalui
jendelanya. Apakah ayahnya kaget melihat sosok-sosok di dalamnya"
Jonathan tidak bisa menebak. Wajah ayahnya tidak menampakkan
emosi apa pun. "Ezra?" Jane memohon, suaranya tegang dan melengking.
"Kita balik saja. Kita tak mungkin tinggal di sini. Kereta itu. Wanitawanita itu. Perasaanku tak enak."
Ezra berpaling dan memelototi istrinya tanpa berkata apa-apa.
Jane balas memelototinya dengan berani. Kemudian, masih tanpa
berkata sepatah pun, Ezra mengentakkan tali kekang dan menyuruh
kudanya berlari maju. Mereka memasuki kota.
Ezra mengarahkan wagon-nya ke alun-alun, lalu berhenti.
Jonathan memandang sekelilingnya.
Tak ada tanda-tanda kehidupan. Tak seorang pun terlihat.
Jonathan tak dapat menahan diri lagi. Dia bertanya, "Papa,
untuk apa kita ke sini" Mengapa kita mencari-cari keluarga Goode"
Apa yang mereka perbuat pada Papa?"
"Jonathan, diam!" seru ibunya. Matanya terbelalak,
memperingatkan putranya, sekaligus juga ketakutan.
Sesaat tak seorang pun bicara. Setelah memandang ibunya,
Jonathan berpaling dan kembali memandang ayahnya. Apa salahku"
dia terheran-heran. Apa yang akan Papa perbuat padaku"
Kemudian Ezra bicara, "Sekarang dia sudah cukup besar, Jane.
Dia berhak mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia harus tahu
yang sebenarnya."ebukulawas.blogspot.com
Sambil menggeram Ezra turun dari wagon, lalu mengisyaratkan
agar putranya mengikutinya. "Ikut aku, Nak."
"Aku juga ikut!" kata Abigail.
Ibunya menariknya masuk ke wagon lagi. "Tidak, Abigail. Kau
tetap di sini bersama Mama."
Jonathan mengikuti Ezra menyeberangi alun-alun. Langkahnya
terhenti ketika melihat seorang lelaki terpasung, kepala dan kedua
tangannya terjulur lewat tiga lubang pada pasung kayu itu. Matanya
terbuka, melotot tetapi tidak melihat. Mati.
Perut Jonathan langsung mual. "Papa?" Suaranya seperti orang
tercekik. Tetapi Ezra melangkah cepat melewati mayat yang melotot itu.
"Keluarga kita pernah tinggal di sini, di Wickham," kata Ezra.
"Kakekku hakim. Semua orang mengakui dia dan adiknya baik dan
adil. Tapi kebajikan mereka menghancurkan hidup mereka."
Bagaimana mungkin" tanya Jonathan dalam hati. Tetapi dia
tidak berkata apa-apa. "Di Wickham ditemukan beberapa penyihir. Kakekku
memerintahkan agar mereka dibakar di tiang pembakaran. Dua di
antara mereka adalah Susannah dan Martha Goode. Mereka diadili
kakekku, diputuskan bersalah, lalu dibakar."
Sekarang Jonathan merasa lehernya tercekat. "Kakek Papa...
dia... dia membakar orang di tiang pembakaran?"
"Bukan orang... penyihir!" bentak Ezra. "Makhluk-makhluk
jahat pemuja setan!" Ezra berhenti bicara, napasnya memburu.
"Kakekku dan adiknya hanya melaksanakan tugas mereka."
Jonathan gemetar membayangkan perempuan-perempuan yang
dibakar hidup-hidup. Tetapi dia tidak berkata apa-apa.
"Keluarga kita pindah dari Wickham ke Pennsylvania," Ezra
melanjutkan, sekarang dengan lebih tenang. "Tapi William Goode,
ayah Susannah, suami Martha, mengikuti mereka. Dia yakin istri dan
putrinya tak bersalah. Didorong keinginan balas dendam, William
menggunakan kekuatan sihir untuk menghancurkan kakekku dan
keluarganya. "William menyamar sebagai pemuda. Dia memperdaya dan
membuat Bibi Mary yang polos terpesona lalu?" Ezra berhenti lagi,
mencari kata-kata yang tepat.
"Lalu apa, Papa?"
"William Goode menghancurkan keluarga kita. Dia membunuh
kakekku dan ibuku. Sisanya dibuatnya gila. Aku menemukan adik
Kakek dan istrinya terkubur di balik dinding bata"tak ada yang
tersisa dari mereka kecuali tulang-tulang."
Jonathan menjerit tertahan. Inilah riwayat keluarganya! Dan
itulah alasan di balik obsesi ayahnya. Itu menjelaskan mengapa
ayahnya membenci keluarga Goode dengan kebencian yang sangat
dalam. Tetapi, bagi Jonathan, ada sesuatu yang tidak masuk akal.
Sepanjang usianya yang hampir dua belas, Jonathan tidak pernah
melihat tanda-tanda adanya William Goode atau kekuatan sihirnya.
Sepanjang hidup Jonathan, tak seorang pun anggota keluarga
Goode pernah muncul untuk membalas dendam kepada keluarga Fier.
Jadi, mengapa Ezra terus mendendam dan menghidup-hidupkan
perseteruan yang membawa maut itu" Mengapa Ezra begitu nekat
menghabiskan hidupnya untuk memburu anggota keluarga Goode"
"Papa," Jonathan bertanya ragu-ragu, "apakah William Goode
masih hidup?" "Aku tak tahu," jawab Ezra dengan pahit. "Dia pasti sudah
sangat tua. Yang kutahu, dia punya satu anak laki-laki, George.
George pernah tinggal di Wickham. Aku berharap..."


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi Jonathan tahu apa
yang diharapkannya. Ayahnya berharap dapat menemukan George
Goode, atau anggota keluarga Goode yang lain, lalu membuat mereka
menderita. Itu sebabnya kami datang ke Wickham, Jonathan
menyimpulkan. Tapi sampai sejauh ini kami tak melihat orang yang masih
hidup. Hanya mayat-mayat.
Kota ini pasti terkutuk. "Ayo," kata Ezra. "Kita pergi ke kedai minum itu dan
menanyakan keluarga Goode." Ezra mengajak Jonathan menaiki
undakan di depan kedai minum.
Pemilik kedai minum dan penginapan pasti mau menceritakan
apa yang telah terjadi, pikir Jonathan. Pemilik kedai minum dan
penginapan tak pernah ketinggalan berita.
Ezra membuka pintu kedai minum. Mereka melangkah masuk.
Ruangan itu kosong. Perapian dingin dan gelap, meja-meja
tertutup debu dan sarang labah-labah. Beberapa piring makanan
membusuk di salah satu meja. Mungkin itu daging domba panggang
dan puding. Tikus-tikus berkeliaran dengan bebas, mengunyahngunyah makanan yang sudah berjamur.
Ezra menggeram kesal, wajahnya sangat kecewa. Jonathan
melihat setumpuk surat berdebu di atas bar, mungkin ditinggalkan di
sana untuk diambil penduduk desa. Surat-surat itu sudah lama sekali
dikirimkan ke situ. Lantai papan berkeriut diinjak sepatu botnya ketika Ezra
melangkah ke bar untuk memeriksa surat-surat itu. Setelah memeriksa
setengahnya, dia berhenti. Dihapusnya debu dari bagian depan sebuah
amplop, lalu dengan hati-hati membaca alamatnya.
"Papa?" kata Jonathan.
Ezra mengangkat wajahnya dan memandang putranya. "Carilah
rumah hakim desa," perintahnya. "Tanyakan apakah hakim itu mau
menerimaku. Papa akan menyusulmu sebentar lagi."
"Baik, Pa," jawab Jonathan takut-takut, lalu cepat-cepat keluar
dari kedai minum itu. Tak ada orang yang bisa ditanyai.
Kemudian ia melihat rumah besar di seberang alun-alun.
Rumah yang termegah di desa itu, dilapisi papan-papan kayu
berwarna cokelat karena dimakan cuaca, dan dipagari pagar kayu
berujung lancip yang tidak dicat. Rumah itu berlantai dua. Cerobong
asapnya dua dan jendela-jendela terbuat dari kaca.
Ini pasti rumah hakim, kata Jonathan dalam hati. Dia
menyeberangi alun-alun, setengah berjalan, setengah berlari. Enak
rasanya berlari-lari setelah duduk berhari-hari selama perjalanan yang
panjang. Jonathan mengangkat pengetuk pintu dari kuningan yang berat
lalu mengetukkannya. Tak ada jawaban. Aneh sekali, pikirnya, rumah
semegah ini jendela ruang duduknya pecah.
Dia menudungi matanya dengan telapak tangannya lalu
mengintip ke dalam lewat jendela di samping pintu. Ruang duduk itu
gelap. Dia memutar kenop pintu dan menjerit kaget ketika pintu itu
terbuka dengan mudah. "Halo?" serunya. Suaranya menggema di dalam rumah.
Tanpa suara Jonathan melangkah masuk. "Halo?" ulangnya
dengan suara gemetar. "Saya ke sini untuk bertemu dengan Hakim."
Rumah itu tetap sunyi. Jonathan masuk ke ruang duduk. Satusatunya suara yang terdengar adalah derap sepatu botnya yang
menginjak lantai papan. "Halo?"
Tak ada siapa-siapa di ruang duduk itu. Ruangan itu membuka
ke ruangan lain yang lebih kecil. Mungkin semacam kantor" "Halo"
Apakah Hakim ada di rumah?" Jonathan melangkah ke ambang pintu
ruang kedua. Setelah membiasakan matanya dengan cahaya remang-remang,
Jonathan melihat seorang lelaki tua duduk di depan meja kerja,
membelakangi pintu. Jonathan bisa melihat rambutnya yang panjang
abu-abu menyentuh kerah mantel cokelatnya.
Jonathan mengetuk rangka pintu yang terbuka, pelan-pelan, dan
berkata, "Sir" Bolehkah saya masuk, Sir?"
Lelaki tua itu tidak bergerak.
Jonathan menarik napas dalam lalu melangkah masuk. Dia
melangkah ke kursi bersandaran tinggi itu, lalu menyentuh bahu si
lelaki pelan-pelan. "Sir" Sir?"
Orang itu bergerak... dan Jonathan langsung menjerit.
Bab 3 TERIAKAN Jonathan menggema dipantulkan dinding-dinding
ruangan kecil itu. Orang itu tersungkur lalu merosot ke lantai.
Dengan napas memburu, sambil berusaha keras agar tidak
menjerit lagi, Jonathan menatap wajah mengerikan itu dengan
terbelalak. Rambut panjang abu-abu itu tidak menempel pada apa-apa
kecuali tulang. Tengkorak yang menyeringai itu memandang
Jonathan, giginya kuning dan busuk. Ketika Jonathan masih menatap
dengan ternganga, terpaku karena kengerian yang amat sangat, seekor
labah-labah merayap keluar dari lubang mata yang sudah kosong itu.
Jonathan menjerit ngeri. Dia ingin lari, tetapi kakinya serasa
dipakukan pada lantai. Dia tak kuasa mengalihkan matanya dari
tengkorak berambut putih abu-abu yang menyeringai itu.
Dia menjerit lagi. "Jonathan! Jonathan! Ada apa?" teriak Ezra sambil menerjang
masuk. Langkah Ezra terhenti, matanya terbelalak menatap tengkorak
itu. "Ayo. Kita harus pergi," katanya lirih. Dengan tangan memeluk
bahu Jonathan, ia membimbing putranya keluar dari ruangan itu.
Di luar, Ezra memerintahkan, "Kembalilah ke wagon dan
tunggu di sana bersama ibumu dan adik-adikmu. Papa akan segera
kembali ke sana. Jangan ke mana-mana. Tunggu Papa."
"Ya, Papa," sahut Jonathan yang lega bisa menghirup udara
segar lagi. Pelan-pelan dia kembali ke wagon sambil menarik napas
dalam-dalam dan mencoba meredakan debar jantungnya.
Dia tidak ingin menakut-nakuti ibunya. Tetapi dia tahu, ibunya
pasti akan menanyakan apa yang dilihatnya. Dan dia tak bisa
menceritakannya tanpa membuat ibunya ketakutan. Tak ada cara
untuk menceritakannya tanpa membuat cerita itu terdengar
menyeramkan. Tak seorang pun tinggal di kota Wickham, Jonathan
menyimpulkan. Arus kengerian merayapinya dan menggulung
kesadarannya. Semua orang sudah mati. Wickham sudah mati. Wickham adalah kota yang dihuni mayatmayat yang membusuk.
"Apa yang kautemukan di sana?" tanya ibunya dengan nada
mendesak ketika Jonathan naik ke dalam wagon. "Mana ayahmu?"
"Papa akan segera kembali," sahut Jonathan. "Papa sedang
memeriksa desa ini."
"Kau bicara dengan pemilik penginapan?" desak Jane. "Kenapa
kereta itu ditinggalkan di jalanan" Apa katanya?"
"Tidak, Mama," jawab Jonathan lirih. "Tak ada pemilik
penginapan. Tak ada... siapa-siapa."
Jane mencondongkan badannya ke depan, matanya menatap
mata putranya dengan tajam. Dia menggigit bibir bawahnya.
"Jonathan, kau bicara apa?"
"Semua orang sudah mati," kata Jonathan. "Semua orang. Tak
seorang pun yang masih hidup di kota ini."
Jane berseru tertahan. Dia hendak bicara, tetapi Ezra sudah
datang. Dia naik ke tempat duduk sais di samping Jonathan, dan tanpa
berkata apa-apa mengentakkan tali kekang kudanya, Wagon itu
terlompat maju. "Ezra?" pekik Jane. "Apa-apaan ini" Mana orang-orang di sini"
Apa yang kautemukan?"
"Sampar," jawab Ezra datar, matanya menyipit dan
pandangannya lurus ke depan. "Tak ada yang selamat."
"Dan keluarga Goode?"
"Kita akan segera tahu."
Ezra mengarahkan wagon-nya ke luar kota, roda-roda kayunya
menggilas jalan tanah yang tidak rata. Dia tak berkata apa-apa lagi.
Wajahnya kaku, keras, dan penuh pikiran.
Dia tidak memperlambat kudanya sampai mereka tiba di sebuah
rumah pertanian. Rumah itu terbuat dari kayu, lebih kecil dari rumah
hakim, tetapi juga berlantai dua dan punya ruang bawah atap. Sebuah
cerobong asap dari bata terjulur dari bagian tengah rumah. Sebuah
gudang perkakas menghubungkan dapur dengan gudang jerami yang
besar. Ezra membelokkan wagon-nya sampai ke pintu depan rumah itu
lalu menghentikan kudanya.
Apakah ini rumah keluarga Goode" Jonathan menebak-nebak.
Apakah mereka juga sudah mati" Apakah mereka masih hidup"
Ezra turun dari wagon lalu berjalan ke pintu. Dia mengetuk.
Tiga ketukan keras dan berturut-turut.
Lalu menunggu. Tak ada jawaban. Jonathan melihat ayahnya membuka pintu lalu melangkah
masuk. "Jonathan," bisik Jane sambil menyentuh putranya. "Ikuti
ayahmu." Jonathan turun dari wagon. Abigail meluncur keluar sebelum
ibunya sempat mencegahnya. Mereka mengikuti Ezra masuk ke
rumah pertanian itu. Setelah berada di ruang duduk depan, mata Jonathan
memandang sekelilingnya. Dia agak heran melihat ruangan itu bersih
dan rapi. Dia tidak melihat tanda-tanda adanya orang, hidup atau mati.
Kelihatannya, orang yang tadinya tinggal di situ sudah pergi.
"Halo?" teriaknya. Dia tidak heran ketika tidak mendapat
jawaban. "Mereka pasti ada di sini!" teriak Ezra penuh emosi. "Mereka
harus ada di sini! Aku takkan beristirahat sebelum melihat mayatmayat busuk mereka dengan mataku sendiri."
Ezra berlari menaiki tangga. Berdiri di ruang duduk bersama
adiknya, Jonathan bisa mendengar langkah-langkah ayahnya keluarmasuk ruangan-ruangan di lantai atas.
Ezra berlari dari satu kamar ke kamar yang lain. Kemudian
Jonathan mendengar ayahnya naik ke ruang bawah atap. Lalu Ezra
turun dan berlari melewati anak-anaknya seakan tidak melihat mereka.
Jonathan mendengar ayahnya memeriksa ruang keluarga yang luas,
gudang perkakas, dan gudang jerami.
Beberapa menit kemudian Ezra kembali ke ruang duduk,
wajahnya merah-ungu dibakar kemarahan.
"Papa, ada apa?" teriak Jonathan.
Bab 4 "MEREKA sudah pergi!" teriak Ezra. "Wabah sampar
membunuh semua orang di Wickham"tapi keluarga Goode berhasil
menyelamatkan diri!"
Jane berlari masuk rumah sambil menggendong Rachel. "Oh,
Ezra," dia memohon sambil menarik-narik lengan baju suaminya.
Kita harus pergi meninggalkan tempat yang mengerikan ini.
Keluarga Goode tak ada di sini. Kita harus pergi!"
Ezra menepis tangan istrinya. "Tidak," katanya tegas. "Kita
akan tinggal di sini, Jane. Belum lama ini keluarga Goode masih
tinggal di sini. Di rumah ini kita akan menemukan petunjuk ke mana
mereka pergi." Dia berjalan ke meja tulis di sudut ruangan, lalu mengadukaduk isi laci-lacinya.
Jane mengikutinya sambil menangis. "Ezra, kita tak bisa tinggal
di sini! Tak bisa! Kita tak bisa tinggal di sini dan bertetangga dengan
mayat-mayat!" "Istriku...," Ezra menyela.
"Pikirkan anak-anakmu!" teriak Jane sambil mendekap Rachel.
"Diam!" teriak Ezra sambil mendorong istrinya. Dipandangnya
Jane dengan marah. Jonathan gemetar ketika melihat kilat
ketidakwarasan di mata ayahnya.
"Aku sudah cukup mendengarmu, Jane!" teriak Ezra dengan
kasar. "Tak ada lagi permohonan, tak ada lagi pertanyaan! Mulai
sekarang, kalian semua harus patuh padaku... dan mengikuti semua
perintahku. Titik!" Tak seorang pun bergerak. Abigail menangis lirih. Wajah Ezra
tetap keras meskipun putrinya menangis.
"Aku akan menemukan keluarga Goode," desisnya sambil
mengertakkan gigi. "Mereka takkan luput dariku. Aku akan
menemukan mereka. Tak ada yang dapat menghalangiku!"
Jane lari keluar ruangan sambil menangis. Abigail memegangi
tangan Jonathan erat-erat, dan bocah laki-laki itu memeluk bahu
adiknya yang mungil. Ezra berkata, "Jonathan, turunkan barang-barang dari wagon.
Rumah ini akan jadi rumah kita yang baru."
Jonathan berseru tertahan. Kami akan tinggal di sini, di rumah
orang lain" Ia terheran-heran dan ngeri mendengar keputusan
ayahnya. Kami akan tinggal di sini, di dekat desa yang penuh mayat
mengerikan itu" "Jonathan... lakukan perintah Papa!" bentak ayahnya, suaranya
menggelegar memenuhi rumah.
"Ya, Papa," sahut Jonathan.
Dengan hati berat, Jonathan cepat-cepat keluar. Tangannya
gemetar, dia melepas kuda dan memasukkan binatang itu ke gudang
jerami. Kami akan tinggal di rumah mereka, katanya dalam hati.
Rumah keluarga Goode, dengan barang-barang mereka di dalamnya.
Bagaimana kalau mereka belum mati" Bagaimana kalau mereka
kembali... dan menemukan kami di sini"
Dia menemukan sebuah ember di dalam gudang jerami, lalu
membawanya keluar. Ada pompa air di halaman. Dia memompa,
mengisi ember itu dengan air, lalu memberi minum kudanya.
Setidak-tidaknya kami akan punya tempat untuk tidur malam
ini, katanya kepada diri sendiri. Dengan kasur berisi bulu angsa. Dan
tungku untuk memasak. Jonathan mendesah. Mungkin di sini takkan terlalu buruk,
pikirnya. Dia memandang padang-padang hijau di sekelilingnya,
kebun apel di kejauhan, dan rumah yang nyaman itu. Asap sudah
membubung dari cerobong. Ibunya pasti sudah menyalakan api.
Mungkin kami akan hidup bahagia di sini, pikirnya. Kalau saja
keluarga Goode tak kembali ke sini....
****************** Keluarga Fier menemukan semua yang mereka butuhkan di
rumah keluarga Goode. Jonathan menemukan makanan yang
diawetkan, daging asap, dan jagung pipil di gudang. Abigail
menemukan segulung besar kain linen di ruang bawah atap. Tak lama
kemudian dia dan Jonathan mendapat pakaian baru yang dibuat dari
kain linen itu. Ibu mereka sibuk memasak, membersihkan rumah, memintal
benang, dan menjahit. Abigail membantu ibunya atau mengasuh
Rachel. Jonathan mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat:
membelah kayu bakar, menimba air, dan merawat kuda. Bila ibunya
sangat sibuk, dia juga menolong ibunya dengan menjaga kedua
adiknya. Sementara mereka semua mulai menikmati kehidupan baru,
satu-satunya yang membuat Jonathan prihatin adalah ayahnya. Ezra
Fier hanya punya satu hal dalam pikirannya"ke mana perginya


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga Goode" Jonathan memperhatikan ayahnya mengaduk-aduk laci meja,
berbagai tempat penyimpanan, dan membaca semua kertas yang dapat
ditemukannya, mempelajari semua yang mungkin bisa memberinya
petunjuk di mana keluarga Goode.
Satu-satunya hal yang dipikirkannya adalah balas dendam, pikir
Jonathan dengan marah. Saat itu dia sedang memperhatikan ayahnya
membaca berkas-berkas kertas. Papa bahkan tak mau makan kalau
Mama tak meletakkan sepiring makanan di depannya setiap malam.
Tak ada yang dapat mengalihkan pikirannya dari keluarga Goode.
Tiba-tiba Abigail berlari masuk ruangan sambil berteriak,
"Papa! Lihat aku!"
Ezra mengangkat wajahnya dari berkas yang sedang dibacanya,
dan Jonathan melihat wajah kesal ayahnya mencair menjadi
senyuman. "Dari mana kau dapat baju indah itu?" tanya Ezra.
"Berputarlah. Biar Papa lihat."
Abigail menyingkirkan seberkas rambut merah yang menutupi
depan dahinya, lalu pelan-pelan memutar badannya dan memamerkan
rok barunya yang berwarna biru.
"Mama menemukannya di bagian belakang lemari pakaian tua
di lantai atas," jelasnya, mata birunya berbinar-binar. "Pas sekali
untukku!" Ezra mengulurkan tangannya, dan Abigail lari ke dalam
pelukannya. Kemudian, sambil melepas putrinya, Ezra berkata,
"Sekarang pergilah dan bantu Mama. Papa banyak kerja di sini."
"Ya, Papa," kata Abigail. Dia melompat-lompat keluar ruangan.
Papa kelihatan nyaris bahagia, pikir Jonathan sambil
memperhatikan ayahnya. Hanya Abigail yang dapat menghiburnya.
Hanya Abigail yang masih bisa membuat Papa tersenyum.
Dengan cepat senyum Ezra lenyap, dia berpaling kepada
Jonathan lalu membentaknya, "Apa yang kaulihat, Nak" Pekerjaanmu
masih banyak, kan?" "Ya, Papa," sahut Jonathan. Cepat-cepat dia keluar dari ruangan
itu. ******************** Kira-kira tiga minggu setelah mereka pindah ke rumah itu, Ezra
memanggil Jonathan. "Siapkan wagon, Jonathan," kata Ezra. "Kita
akan pergi mengunjungi tetangga-tetangga kita."
Beberapa mil dari situ ada satu-dua rumah pertanian. Jonathan
tahu rumah-rumah itu ditinggali karena setiap pagi dia melihat asap
membubung dari arah sana.
Wagon keluarga Fier berhenti di depan rumah pertanian yang
besar dan tampak makmur. Sejumlah ayam betina berbulu merah
sedang mematuk-matuk mencari makan di halaman. Jonathan melihat
seorang gadis sedang bekerja di kebun, membungkuk rendah-rendah
sambil mencabuti rumput liar. Gadis itu menegakkan badannya ketika
melihat Jonathan dan Ezra mendekat.
Ezra melepas topinya. "Selamat siang, Miss," katanya. "Apakah
pemilik rumah ini ada di rumah?"
Gadis itu membalas hormatnya lalu cepat-cepat masuk ke
rumah sambil berseru penuh semangat, "Papa! Kita kedatangan tamu!"
Seorang lelaki berambut abu-abu, dengan perut gendut yang
disangga sepasang kaki sekurus lidi, keluar lewat pintu depan lalu
memperkenalkan diri dengan ramah. Ezra meletakkan topinya
sebelum memperkenalkan dirinya dan Jonathan.
"Kami baru saja pindah ke sini, Master Martin," jelas Ezra.
"Kami mencari keluarga bernama Goode."
Mendengar nama Goode, mata lelaki tua itu langsung berkedipkedip tak terkendali. Wajahnya langsung pucat.
"Kami kira keluarga Goode tinggal di sana, tapi mereka sudah
pergi," Ezra melanjutkan. "Apakah Anda kebetulan tahu apa yang
terjadi dengan mereka?"
Ekspresi ramah di wajah orang itu langsung lenyap, berganti
kesal. "Saya tak tahu keluarga Goode," katanya geram. "Maaf. Saya
tak dapat membantu kalian. Selamat siang, Master Fier."
Lelaki itu cepat-cepat masuk ke rumahnya, menutup pintu
rapat-rapat setelah menarik putrinya ke dalam. Jonathan melihat wajah
gadis itu di jendela. Lelaki tua itu cepat-cepat menariknya dari
jendela. Ezra mulai gemetaran karena marah. "Apa artinya ini?"
teriaknya. "Mengapa dia tak mau bicara dengan kita?"
"Mungkin orang yang tinggal di tanah pertanian sana itu tahu
sesuatu, Papa," kata Jonathan lirih, mencoba menenangkan ayahnya.
Mereka melanjutkan perjalanan ke tanah pertanian berikutnya,
tiga mil dari situ. Yang ini kelihatan lebih miskin, rumahnya lebih
kecil dan ladang di belakangnya berbatu-batu. Seorang lelaki tua
kurus sedang menggarap ladang itu dengan setangkai cangkul.
"Selamat siang, Sir," teriak Ezra sambil me-nyentuh topinya
dan berjalan mendekat. "Bolehkah saya mengganggu Anda sebentar?"
Lelaki itu berhenti bekerja tetapi tidak beranjak mendekati
mereka. Dia memandang Ezra dan Jonathan dengan curiga.
"Ada apa?" dia bertanya dengan suara masam.
"Nama saya Ezra Fier," kata Ezra kepadanya. "Ini putra saya,
Jonathan. Kami mencari sebuah keluarga di daerah ini dan ingin tahu
apakah Anda tahu sesuatu tentang mereka."
"Siapa nama keluarga itu?" tanya lelaki tua itu sambil bertumpu
pada cangkulnya. Ezra berdeham. "Keluarga George Goode," jawabnya.
Wajah lelaki itu semakin masam. Beberapa saat dia diam tak
bergerak sambil bertumpu pada cangkulnya, matanya mengamati
Ezra. Tiba-tiba dia menegakkan badannya, berbalik, lalu berjalan
cepat-cepat ke gudang jeraminya.
Ezra mengangguk kepada Jonathan. "Dia akan menceritakan
sesuatu pada kita," bisiknya. Mereka mengikuti lelaki tua itu
menyeberangi tanah berbatu-batu ke gudang jeraminya..
Lelaki tua itu menghilang ke dalam gudang. Jonathan dan Ezra
menunggu beberapa meter dari pintu.
Sesaat kemudian lelaki tua itu berlari keluar sambil mengacungacungkan sebilah pisau panjang.
Ezra tersenyum ragu. Kemudian Jonathan melihat wajah
ayahnya kebingungan. Sebelum Ezra sempat bergerak, lelaki itu sudah menempelkan
pisaunya ke leher Ezra. "Aku akan menggorok lehermu," bentaknya.
Bab 5 TUBUH Ezra mengejang. Sambil menggeram rendah, lelaki itu mengencangkan
cengkeramannya dan menempelkan bilah tajam pisau itu ke kulit Ezra.
"Jangan!" teriak Jonathan. "Kami tak bersalah!"
"George Goode anak penyihir!" kata lelaki itu. "Kejahatannya
membawa wabah sampar ke desa kami"tapi dia selamat! Apa
urusanmu dengan George Goode?"
"Kami bukan kawannya, percayalah," kata Ezra dengan suara
tercekik. "Kami hanya ingin membuatnya menderita."
Lelaki tua itu agak mengendurkan cengkeramannya dan
menjauhkan bilah tajam pisaunya beberapa inci dari leher Ezra.
"Pergilah dari tanah pertanianku," geramnya. "Jangan pernah kembali
ke sini. Jangan berani lagi bertanya-tanya tentang keluarga Goode
yang jahat itu!" Dia melepaskan Ezra. Ezra dan Jonathan cepat-cepat kembali
ke wagon dan kabur. "Ingatlah hari ini, Nak," kata Ezra sungguh- sungguh. "Itu tadi
bukti lain kejahatan keluarga Goode. Kita bukan satu-satunya
keluarga yang mereka celakakan."
Esok harinya ayah Jonathan memeriksa isi rumah itu lagi. "Pasti
ada yang kulewati." Jonathan mendengar ayahnya menggumam, "Apa
yang mereka sembunyikan" Apa yang mereka sembunyikan?"
*************** Suatu pagi Jonathan mengangkut setumpuk kayu bakar ke
dalam rumah. Ibunya sedang duduk menjahit di depan perapian sambil
memangku Rachel. Abigail berdiri di depan pasu penuh air, sedang
mencuci piring terakhir bekas sarapan.
"Kata Mama tugasku hari ini sudah selesai," kata Abigail
dengan riang. "Tak ada tugas lagi sampai waktu makan siang. Aku
mau jalan-jalan." "Tolong awasi dia, Jonathan," kata ibunya. "Jangan biarkan dia
pergi terlalu jauh."
Abigail membuang air cucian yang kotor itu dan mengelap
tangannya dengan celemeknya. Dia mengenakan penutup kepalanya
lalu lari keluar. Pita biru di topinya melambai-lambai.
Jonathan mengikutinya. "Kita pergi ke sungai kecil, yuk,"
ajaknya. "Aku sudah pernah ke sana," kata Abigail. "Aku ingin pergi ke
desa." Jonathan menghentikan langkahnya. "Ke desa Wickham" Untuk
apa, Abby" Tak ada orang di sana."
"Aku tahu," kata Abigail. "Kita bisa pergi ke mana saja. Tak
ada yang dapat menghentikan kita!"
"Jangan," kata Jonathan. "Kata Mama kau tak boleh pergi jauhjauh. Desa itu terlalu jauh."
"Kau takut, Jonathan?"
Jonathan tersinggung. Apakah adiknya menantangnya" "Tak
ada yang kutakuti," katanya, meskipun dia tahu itu tidak benar. Dia
takut kepada ayahnya, itu jelas. Dan mayat-mayat di desa itu...
"Ayo," kata Abigail. "Aku akan pergi ke desa. Kalau harus
mengawasiku, kau harus ikut aku."
Dia berlari menyusuri jalan. Jonathan mengikuti rapat di
belakangnya. Anak laki-laki itu gugup karena akan kembali ke desa,
tetapi tidak bisa membiarkan adiknya pergi sendirian.
Jalan-jalan sunyi dan kosong seperti sebelumnya. Kesunyian itu
bertalu-talu dalam telinga Jonathan. Dia tidak mendengar salak anjing,
kicau burung, atau dengung serangga.
"Menurutmu, mereka seperti apa?" bisik Abigail. "Orang-orang
yang tinggal di sini?"
"Aku tak tahu," kata Jonathan. "Mungkin seperti kita."
Mereka menyusuri jalan tanah yang menuju alun-alun desa.
Abigail menemukan setumpuk tulang di bawah sebatang pohon.
"Lihat, Jonathan," katanya sedih. "Ini tadinya anjing."
Jonathan menatap tulang-tulang yang menyeramkan itu.
Mungkin sebaiknya kami tak ke sini, pikirnya. Dia memandang
berkeliling. Apakah semua orang di kota ini benar-benar sudah mati"
"Anjing malang ini seharusnya tak dibiarkan tergeletak di
bawah matahari begini," kata Abigail. "Kita harus menguburkannya."
"Kita tak punya sekop," kata Jonathan.
"Kita bisa mengambil satu," kata Abigail sambil menunjuk
beberapa rumah dan gudang perkakas di sekeliling mereka. "Aku
yakin, di salah satu gudang itu pasti ada sekop."
"Kita tak boleh mengambil sekop milik orang lain, Abby," kata
Jonathan. "Kenapa tidak?" tanya Abigail menantang. "Kita tak mencuri.
Mereka sudah mati." Benar, pikir Jonathan. Mereka sudah mati. Dan mayat mereka
masih di rumah-rumah itu, persis seperti tulang-tulang anjing yang
tergeletak terpanggang matahari.
Jonathan bergidik. Dia tidak ingin Abigail masuk ke salah satu
rumah itu dan menemukan mayat.
"Aku akan mengambil sekop," katanya. "Kau tunggu di sini."
Dia berjalan ke rumah terdekat. Ini mungkin rumah pemilik
anjing itu, pikir Jonathan. Sebuah pondok kayu kecil berkamar dua.
Abigail berdiri tepat di belakangnya ketika dia mendorong pintu
pondok dengan ragu- ragu.
"Sudah kubilang, kau harus menunggu dekat pohon itu," kata
Jonathan kesal. "Aku ikut," kata adiknya. "Aku takut sendirian."
Jonathan mendesah lalu menggandeng adiknya.
Di dalam pondok itu gelap. Beberapa waktu kemudian barulah
mata Jonathan terbiasa dengan kegelapan.
Abigail mencengkeram lengan baju kakaknya. Mereka berdiri
terpaku di ambang pintu. Kemudian Abigail berbisik, "Ayo, cari sekop."
Jonathan melangkah hati-hati menyeberangi ruangan. Dia
membuka lemari di samping pintu belakang pondok itu.
Di dalam lemari itu ada sesuatu yang putih mengilat dengan dua
lubang mata kosong yang menyeringai.
Jerangkong. Jonathan melompat mundur. Abigail menjerit.
Jerangkong itu bergerak. Jatuh keluar dari lemari dan
berserakan di lantai. Jonathan membungkuk di atasnya, napasnya memburu, dia
berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
Kemudian dia mundur. "Tunggu! " bisik Abigail. "Aku melihat ada sekop di lemari
itu." Jonathan memaksa diri melihat lagi ke dalam lemari. Ya,
memang ada sekop di situ, tetapi dia tidak mau mengambilnya
"Ambil!" desak Abigail. Dia mendorong kakaknya.
Dengan hati-hati Jonathan memutari tulang-tulang yang
berserakan di lantai"sisa tubuh manusia. Kemudian, sambil menahan
napas, dia menarik sekop itu lalu secepatnya lari keluar. Jonathan lega
berada kembali di luar, di bawah cahaya matahari yang cerah. Dia
mengkuti Abigail ke bawah pohon lalu menggali lubang kecil.
Kemudian diletakkannya tulang-tulang anjing itu di dalam lubang
kubur. Abigail berdiri di sampingnya, tangannya memegang sebatang
ranting. "Dominatio per malum," katanya dengan khidmat sambil
menggerak-gerakkan ranting di atas kuburan anjing itu.
"Apa arti kata-kata itu?" tanya Jonathan.
Aku tak tahu," jawab Abigail. "Itu kata-kata yang terukir di
bandul kalung yang dikenakan Papa di lehernya."
Jonathan juga tahu kata-kata itu. Bandul kalung perak dengan
empat permata biru itu selalu membuatnya ingin tahu. Pernah dia
bertanya kepada ayahnya apa arti kata-kata itu, tetapi Ezra tidak mau
menjelaskannya. Sambil menyipitkan mata karena silau oleh cahaya matahari
yang cerah, Jonathan menutup lubang kubur itu dengan tanah.
Kemudian Abigail menancapkan ranting itu di kuburan, untuk
penanda. Sore itu mereka pulang terlambat untuk makan malam. Ezra
sudah duduk di meja makan dengan wajah murung merenung seperti
biasa. Jonathan masuk lebih dulu ke dapur. Ezra langsung
membentaknya, "Dari mana saja kau?"
"Dari luar," hanya itu jawab Jonathan.
Abigail menyusul di belakangnya. Ezra tersenyum melihatnya.
Gadis cilik itu mendekati ayahnya dan menciumnya. Ezra
mempermainkan pita biru di topinya.
"Kuharap kau menjaga adikmu baik-baik," kata Ezra kepada
Jonathan. "Ya, Papa," jawab Jonathan lirih. Dia tidak menceritakan bahwa
mereka tadi pergi ke desa. Dia tahu, itu akan membuat ayahnya
marah. Abigail juga merahasiakan itu.
*************** Beberapa hari kemudian Jonathan melihat Abigail berlari-lari
melewati gudang jerami, ke arah jalan. Dengan kaget Jonathan


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejarnya. "Kau mau ke mana?" teriaknya.
"Ke desa," jawab Abigail tanpa berhenti.
Jonathan meraih tangan adiknya dan memaksanya berhenti.
"Kau tak boleh pergi," katanya tegas. "Aku harus mengawasimu."
"Kau bisa mengawasiku di desa," sahut Abigail tidak sabar.
Jonathan mendesah lalu mengikuti adiknya. Hari itu mereka
menemukan tulang-tulang dua binatang kecil"mungkin kucing dan
tupai. Abigail berkeras ingin menguburkan mereka.
"Aku akan ke sini sesering mungkin," katanya sambil
menancapkan ranting di dua kuburan kecil itu. "Aku akan menemukan
binatang-binatang malang yang mati dan menguburkan mereka."
Kali berikutnya Abigail pergi ke desa, Jonathan tidak mencoba
menghentikannya. Dia tahu, itu tak ada gunanya. Dia mulai terbiasa
dengan desa dan semua mayatnya. Dia bahkan tidak peduli lagi pada
suasana sunyi dan seram di sana.
Kemudian, pada suatu hari, ketika mereka sedang bermain-main
di Wickham, Abigail menemukan sisa jasad anak perempuan. Tulangtulang itu mengenakan gaun biru yang sudah busuk, yang dulunya
pasti indah, dan topi seperti kepunyaan Abigail.
"Kurasa kita harus menguburkannya," kata Abigail. Dia pantas
dikuburkan secara layak, seperti binatang-binatang itu."
"Kita perlu peti mati," kata Jonathan. "Kita tak boleh
menguburkan manusia dengan memasukkannya ke lubang kubur
begitu saja, seperti menguburkan anjing atau kucing."
"Ya," Abigail sependapat. "Carikan peti, aku akan mencari
tempat untuk menguburkannya."
Jonathan menyeberangi alun-alun desa lalu masuk ke kedai
minum untuk mencari peti yang bisa memuat anak perempuan itu. Dia
menemukan sebuah peti kayu. Agak sedikit kekecilan, tetapi
lumayanlah. ebukulawas.blogspot.com
Dipanggulnya peti itu di bahunya dan dibawanya ke luar,
kepada Abigail. Dia tidak melihat adiknya di dekat balai desa, di
tempat tadi ditinggalkannya.
"Abigail?" teriaknya. Dia langsung cemas.
Tak ada jawaban. Setelah meletakkan peti itu di tanah, dia menyusuri jalanan. Dia
mendengar tawa riang melengking di belakang rumah hakim desa.
Jonathan mengintai dari sisi rumah. Dia berseru kaget ketika
melihat Abigail. Anak itu sedang bermain-main dengan seorang anak
perempuan! Jonathan memandang anak lain itu, heran melihat ada orang
yang masih hidup di Wickham. Anak itu kurus, rambutnya pirang ikal
dan panjang, terjurai dari bawah topinya. Matanya abu-abu. Dari mana
dia" Jonathan terheran-heran.
Dia melangkah mendekati adiknya. "Abigail...," katanya.
Melihatnya, gadis cilik asing itu langsung bersembunyi di balik
pohon. "Kau membuatnya takut, Jonathan!" kata Abigail kesal. "Kau
tak perlu takut, Hester," teriaknya kepada temannya. "Dia kakakku."
Tetapi gadis cilik itu tidak keluar dari balik pohon. "Dia pasti
takut sama anak laki-laki," kata Abigail. Dia berlari ke balik pohon
untuk mencari anak itu. Sesaat kemudian Abigail muncul, gugup dan ketakutan. "Dia
tak ada!" katanya. "Dia menghilang. Padahal kami tadi asyik sekali."
"Abby... siapa dia?" tanya Jonathan.
"Dia bilang namanya Hester," jawab Abigail. "Dia baik sekali."
"Di mana rumahnya?"
Abigail mengangkat bahu. "Dia tak bilang. Tapi kuharap dia
akan datang lagi. Asyik sekali punya teman bermain."
Jonathan menebak-nebak siapa kawan bermain adiknya itu.
Apakah anak itu tinggal di Wickham" Mungkinkah masih ada orang
yang hidup di Wickham"
Misterius! Esok harinya, ketika Jonathan sedang menggali lubang kubur
untuk seorang bayi, Abigail berjalan menjauh untuk mencari ranting
sebagai penanda kuburan. Setelah Jonathan selesai menggali lubang,
Abigail belum juga kembali.
Mungkin dia bermain-main dengan kawannya lagi, pikir
Jonathan. Aku akan mengawasi mereka beberapa menit agar bisa tahu
lebih banyak tentang gadis aneh itu.
Diam-diam dia pergi ke samping rumah hakim desa, tetapi
kedua gadis cilik itu tidak ada di sana. Kemudian dia melihat mereka
sedang bermain-main di tanah pemakaman.
Sambil bersembunyi di balik nisan, dia bersandar pada batu
yang dingin itu dan mengawasi mereka.
Hester berputar-putar dan tertawa-tawa. Suara tawanya merdu
bagaikan denting lonceng kecil, pikir Jonathan. Tepat ketika itu dia
melihat Hester menarik tangan Abigail, kemudian kedua anak itu
berjalan di sela-sela kuburan dan batu nisan.
Hester berhenti di depan sebuah lubang di tanah. Dia
mengulurkan tangannya ke bawah untuk menarik sesuatu di dalam
lubang itu. Dari lubang itu mencuat tutup peti mati.
Jonathan berdiri terpaku, mengawasi.
Hester masuk ke peti mati lalu meraih tangan Abigail.
Abigail menyentuh tangan Hester.
Dengan sentakan kuat, Hester menarik Abigail ke dalam peti
mati. Bab 6 "ABIGAIL... jangan!" teriak Jonathan. Dia melompat keluar
dari tempatnya bersembunyi lalu lari ke kuburan itu.
Aku harus mengeluarkannya dari sana! pikirnya, jantungnya
berdegup kencang. Aku harus menyelamatkannya.
Dia berhenti di pinggir lubang kubur, menatap ke bawah dan...
Abigail keluar dari dalam peti mati, tertawa-tawa.
Dengan marah Jonathan mencengkeram lengan adiknya dan
menariknya keluar dari peti mati. "Hentikan permainan konyol ini,"
katanya memarahi. "Kita harus pulang sekarang."
"Tapi, Jonathan, Hester dan aku..."
Menolak mendengarkan protes adiknya, Jonathan menyeret
adiknya menjauhi tempat itu.
Kami harus pergi dari sini, pikirnya. Dia sudah lupa akan gadis
cilik yang satunya. Abigail menyeret-nyeret kakinya dan berkali-kali menoleh
mencari Hester. "Kenapa kita harus pulang?" tanyanya. "Aku sedang
asyik bermain." "Pokoknya kita harus pulang." Jonathan tidak mau mengatakan
alasan sebenarnya"bahwa dia takut.
Takut pada apa" Pada gadis cilik itu"
Dia tidak tahu. Tetapi dia tahu, ada sesuatu yang tidak beres di
situ. ***************** "Jonathan, kau dan Abby harus tinggal di rumah hari ini," kata
ibunya. "Kalian berdua harus membantu Mama menjaga Rachel."
Abigail mengerang. "Semoga kita bisa kembali ke desa itu,"
bisiknya kepada Jonathan. "Aku sudah tak sabar ingin bermain dengan
Hester." Tetapi diam-diam Jonathan lega. Dia tidak menanggapi katakata Abigail. Tekadnya sudah bulat, dia tak mau lagi pergi ke
Wickham. Hester menarik Abigail masuk ke peti mati yang terbuka,
kenangnya dengan bulu kuduk meremang. Aku harus menjauhkan
Abigail dari anak itu. Jonathan dan Abigail sedang bermain bersama Rachel di depan
perapian, menggelindingkan bola ke bocah itu, ketika Ezra muncul.
"Halo, Papa," sapa Abigail riang.
Ezra tersenyum padanya. "Maukah kau jalan-jalan menemani
Papa" Papa ingin menghirup udara segar."
"Mama menyuruhku menjaga Rachel hari ini," kata Abigail.
"Jonathan bisa menjaga Rachel," kata Ezra. "Ayo, ikut Papa.
Papa ingin kautemani."
Abigail melompat berdiri lalu keluar bersama ayahnya. Dengan
perasaan sedikit terluka, Jonathan mengawasi mereka dari jendela.
Dia berseru tertahan ketika melihat gadis itu.
Hester. Jonathan melihat gadis cilik itu berlari ke arah Abigail dan
Ezra. Penuh ingin tahu, Jonathan menggendong Rachel dan bergegas
keluar untuk melihat apa yang akan terjadi.
Dia bisa melihat wajah ayahnya yang kaget ketika Abigail
memperkenalkan Hester kepadanya.
"Di mana rumahmu, Hester?" tanya Ezra.
"Dekat sini," jawab Hester malu-malu.
"Siapa orangtuamu?" desak Ezra.
"Mama dan Papa," jawab gadis cilik berambut pirang itu.
Ezra menunjuk ke arah rumah-rumah pertanian beberapa mil
dari situ. "Jadi kau tinggal di sana?"
"Dia anak baik, Papa," sela Abigail, matanya berbinar-binar.
Dia senang sekali punya kawan bermain.
Hester memandang Ezra dengan mata abu-abunya yang
bercahaya dan bertanya, "Bolehkah Abigail datang ke rumahku?"
Abigail menarik-narik lengan baju ayahnya. "Papa, boleh ya?"
rengeknya.. "Boleh, ya?"
Jonathan melangkah maju. "Jangan izinkan dia pergi, Papa,"
katanya. Ezra berpaling dan memandang putranya dengan tajam.
"Mengapa?" Dengan perasaan tidak enak Jonathan memandang Abigail dan
Hester. "Aku tak bisa mengatakannya, Papa. Aku hanya tahu Papa tak
boleh mengizinkan Abby pergi ke sana."
"Izinkan aku pergi bersama Hester," kata Abigail. "Asyik sekali
punya kawan bermain." Matanya berkaca-kaca.
Ezra memandang putrinya dengan penuh sayang. Jonathan tahu
ayahnya tak pernah menolak permintaan Abigail. Dia tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya.
"Baiklah, Abigail. Kau boleh pergi."
"Papa," desak Jonathan, "izinkan aku menemaninya."
"Tidak," sahut Ezra tegas. "Kau tetap di sini. Harus ada yang
menjaga Rachel." "Tapi, Papa..."
"Kau dengar kata-kata Papa, Jonathan," tukas Ezra, amarahnya
mulai memuncak. "Kau sudah terlalu besar untuk bermain bersama
anak kecil. Kau tetap di sini."
Dia berpaling pada Abigail dan menambahkan, "Pergilah, tapi
kau harus pulang sebelum waktu makan malam
"Aku janji!" seru Abigail riang. Dia berlari bersama Hester, pita
biru penghias topinya melambai-lambai.
Jonathan memandangi adiknya, memandanginya terus sampai
mereka lenyap di balik bukit.
"Jonathan, ibumu memanggilmu," kata Ezra. "Kau tak dengar?"
"Ya, Papa," jawab Jonathan. Digendongnya Rachel masuk ke
rumah, menemui ibunya. ******************** Matahari sudah terbenam, tetapi Abigail belum pulang.
"Makan malam sudah siap, Jonathan," kata ibunya. "Aku akan
menjaga Rachel sekarang."
Dia mengambil Rachel lalu mendudukkan anak itu di kursi
kayu yang tinggi. Jonathan duduk di kursinya sendiri dan memandang
ke luar, ke langit yang semakin gelap.
Sudah waktunya makan malam tapi Abigail belum pulang,
pikirnya cemas. Ibunya mengangkat panci sup ayam dari atas tungku lalu
memanggil Ezra ke dapur. Jonathan melihat ayahnya juga cemas.
Dahinya berkerut-kerut, matanya gelap dan kuatir. Tetapi Jonathan tak
berani bicara apa-apa. Jane Fier pergi ke pintu dan memanggil, "Abigail! Makan
malam!" Tak ada jawaban. "Mana anak itu?" tanya Jane keras-keras.
"Tadi dia pergi bermain dengan kawannya," sahut Ezra lirih.
"Kuharap dia segera pulang."
"Kawannya?" tanya Jane. "Siapa kawannya?"
"Seorang anak perempuan," jawab Ezra. Dia tampak salah
tingkah. "Anak yang manis. Dia tinggal tak jauh dari sini."
Jane memandang Jonathan. Anak itu tahu, ibunya menuntut
penjelasan darinya, tetapi dia diam saja. Dia tahu, ibunya juga takut,
tetapi mencoba menyembunyikan ketakutannya. "Sup ini akan
dingin," kata Jane canggung. "Kita harus mulai makan tanpa
menunggunya." Dituangkannya sup itu ke dalam mangkuk. Keluarga itu mulai
makan. Tak seorang pun bicara.
Di luar jendela langit semakin gelap. Masih belum ada tandatanda Abigail pulang.
Jonathan mengangkat wajahnya, ibunya sedang
memandangnya. Jonathan berpaling kepada ayahnya, yang dengan
hati-hati sedang mengiris-iris daging ayam kecil-kecil tetapi satu iris
pun tidak dimakannya. Tiba-tiba Jane Fier berdiri. "Ezra, aku kuatir," katanya. "Apa
yang membuatnya belum pulang?"
Ezra memandang ke luar, ke langit gelap. Dia mengelap
mulutnya dengan serbet lalu berdiri.
"Aku akan mencarinya," katanya.
"Izinkan aku pergi bersama Papa," Jonathan memohon.
"Tidak!" bentak Ezra. "Jaga ibumu dan adikmu."
Dia mengenakan topinya. Kemudian mengambil lentera dari
gantungannya di atas perapian, menyulutnya dengan sebatang ranting
menyala, lalu keluar ke dalam gelap.
Aku harus menemaninya, pikir Jonathan putus asa. Papa tak
tahu harus mencari di mana. Hanya aku yang tahu.
Dia memutuskan mengikuti Ezra.
"Aku tak ingin meninggalkan Mama sendirian," katanya. "Tapi
Papa membutuhkan bantuanku."
Jane mengangguk dan berkata, "Pergilah, ikuti papamu."
Jonathan keluar rumah, berjalan beberapa langkah di belakang
cahaya lentera ayahnya. Langit senja berwarna ungu dan setiap detik
bertambah gelap. Bulan sabit menggantung rendah di kaki langit.
"Abigail!" teriak Ezra. "Abigail!" Dia berjalan menuju rumahrumah pertanian lain di jalan itu, menjauhi Wickham.
Papa pergi ke arah yang salah, pikir Jonathan frustrasi. Tetapi
kemudian dia melihat ayahnya berhenti dan berdiri terpaku, seakan
sedang mendengarkan sesuatu. Jonathan juga menyimak.
Terdengar suara lembut dan manis. Suara tawa. Tawa anak
perempuan. Dari mana datangnya"
Ezra berputar-putar kebingungan. Tawa itu seakan
mengambang di udara dari segala arah.
Suara itu tertawa-tawa riang. Sekarang kedengarannya berasal
dari desa. Ezra berjalan ke sana, mengikuti arah datangnya suara itu.
Jonathan membuntuti ayahnya masuk ke desa. Dia belum
pernah pergi ke sana malam hari. Suasana lebih sepi dan mencekam.
Lentera Ezra meninggalkan bayang-bayang seram di pepohonan dan
rumah-rumah. Bayang-bayang itu membuat rumah-rumah seperti
bergerak dan bernapas. "Abigail!" panggil Ezra lagi, kemudian menghentikan


Fear Street - Saga Ii Rahasia The Secret di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkahnya dan menyimak. Angin bertiup, membawa suara tawa anak perempuan.
"Kaukah itu, Abigail?" teriak Ezra. "Di mana kau?"
Terdengar tawa lagi, sedikit lebih keras, seperti denting lonceng
kereta salju. Itu bukan suara Abigail, pikir Jonathan. Tampaknya ayahnya
juga menyadari itu. "Siapa kau?" teriak Ezra. "Tunjukkan dirimu!"
Yang terdengar hanya tawa riang gadis cilik. Ezra bergerak ke
arah suara itu, Jonathan membuntuti rapat di belakangnya.
Sambil menjaga jarak agar tidak ketahuan, Jonathan mengikuti
ayahnya ke tanah pemakaman. Ezra tersandung batu-batu nisan, tawa
itu mempermainkannya, menggodanya, menyeretnya semakin jauh ke
sela-sela batu nisan. Cahaya lentera yang kuning menyinari batu-batu nisan kelabu
dan menimbulkan kesan seram. "Abigail!" teriak Ezra parau.
"Kemarilah, Nak!"
Ezra berhenti lagi untuk menyimak, tetapi sekarang tidak
mendengar tawa. Diam-diam Jonathan mendekat dan berdiri tepat di belakang
ayahnya. Ezra tidak menyadari kehadirannya di situ.
Ezra berdiri di kaki sebuah kuburan. Dia mengangkat
lenteranya tinggi-tinggi untuk menyinari nama pada batu nisan itu.
Di situ tertulis, "Hester Goode."
Jonathan mendengar ayahnya berseru tertahan.
Goode" Betulkah pada nisan itu tertulis "Hester Goode?"
Kemudian angin bertiup lagi, dan bersamanya terdengar suara.
Kali ini bukan tawa, melainkan kata-kata. Kata-kata yang
diucapkan dengan suara gadis cilik yang telah mengarahkan mereka
ke tempat itu. "Bolehkah Abigail datang ke rumahku?"
Hester! Kuburan Hester. Hester tidak hidup, dengan ngeri Jonathan
menyadari kenyataan itu. Hester sudah mati. Tetapi dia terus memanggil-manggil.
"Bolehkah Abigail datang ke rumahku?"
Dia terus memanggil-manggil. Memanggil-manggil dari dalam
kubur. Kawan bermain Abby, tertawa-tawa riang dan memanggilmanggil dari kuburnya.
"Bolehkah Abigail datang ke rumahku?"
Pelan-pelan Ezra menggerakkan lenteranya ke kanan.
Tangannya gemetar. Dia nyaris menjatuhkan lentera itu ketika
nyalanya menyinari satu kuburan lain.
Yang masih baru. Dengan nisan yang juga baru.
Cahaya lentera jatuh menimpa tulisan pada batu abu-abu itu.
Di situ tertulis: "Abigail Fier".
"Tidak!" teriak Ezra sambil melontarkan kepalanya ke belakang
dan melolong. Lentera terlepas dari tangannya dan jatuh menggelinding di
tanah. Ezra jatuh berlutut sambil melolong-lolong. "Abigail! Abigail!"
dia menangis dan memanggil-manggil. Tangannya mencakar-cakar
tanah, mencoba menggali kuburan itu.
Sambil berteriak melengking seperti binatang, Ezra menggaligali tanah dengan tangannya. Dengan putus asa, Jonathan ikut
menggali. Kuburan itu tidak dalam. Jari-jari Jonathan segera menyentuh
kayu peti mati yang halus dan dipernis:
"Tidak!" teriak Ezra. "Tidak! Oh... Tidak!" Sambil menggeram
dia mendorong Jonathan dan membuka peti mati itu.
Di dalamnya terbaring tubuh mungil Abigail, matanya terpejam,
bibirnya putih, wajahnya pucat kebiruan bagaikan topeng.
Dia sudah mati. "Terkutuklah mereka! Terkutuklah mereka!" jerit Ezra.
"Keluarga Goode harus membayar untuk ini! Mereka akan dibakar
lagi!" Kemudian ekspresi wajahnya berubah. Kebencian mencair,
berubah menjadi kepedihan dan kengerian. Dia menutupi wajahnya
dengan kedua tangannya dan menangis terisak- isak, "Abigail,
Abigail." Jonathan berusaha menahan tangisnya dan menolong ayahnya
untuk berdiri. Sambil berpelukan dan menangis, mereka berdiri tidak
bergerak dalam kegelapan yang sunyi.
Tawa riang Hester Goode melingkupi mereka, terngiang-ngiang
di telinga mereka. Betapapun kuatnya mereka berusaha, mereka tak bisa
menghentikan nyanyian riang gadis itu:
"Abigail telah datang ke rumahku! Abigail telah datang ke
rumahku!" BAGIAN DUA Massachusetts Barat 1743 Bab 7 "DAN sejak itu, keluarga kita terkena kutukan. Keluarga Goode
takkan membiarkan kita hidup tenang. Itu sebabnya kita harus
menemukan mereka dan menghentikan kutukan yang mengerikan ini,
untuk selama-selamanya."
Jonathan Fier berhenti di luar kamar tidur Rachel dan
menguping. Ayah mereka, Ezra, sedang menidurkan adiknya itu.
Setiap malam Ezra menceritakan dongeng pengantar tidur
kepada putrinya. Tetapi bukannya mendongengkan cerita-cerita indah,
Ezra bercerita tentang riwayat kutukan yang menimpa keluarga
mereka. Dongeng pengantar tidur yang seram, pikir Jonathan sedih. Aku
heran, Rachel tak bermimpi buruk.
"Aku belum ingin tidur, Papa," kata Rachel. "Aku masih ingin
main-main sebentar lagi. Di luar belum gelap."
"Tidak," jawab Ezra tegas. "Naik ke tempat tidur dan tetap di
situ. Turuti kata Papa."
Jonathan tersenyum mendengarnya. Rachel paling tidak suka
disuruh tidur mendului yang lain-lain.
"Tapi Jonathan tak harus tidur sekarang," rengeknya.
"Jonathan hampir delapan belas tahun, sedangkan kau baru
berumur sembilan"masih kecil," kata Ezra. "Papa tak mau dengar
kau merengek lagi. Pejamkan mata dan tidurlah. Selamat malam."
Jonathan cepat-cepat berjalan menjauh sebelum Ezra keluar dari
kamar Rachel. Dia tidak ingin ayahnya memergokinya sedang
menguping. Sudah enam tahun kami meninggalkan Wickham, pikir
Jonathan. Enam tahun sejak Abby meninggal. Dan Papa semakin
terobsesi oleh keluarga Goode, lebih dari sebelumnya.
Dengan telunjuknya Jonathan mengusap dinding rumah baru
mereka, yang catnya masih baru. Rumah ketiga dalam waktu enam
tahun, pikir Jonathan dengan pahit.
Papa berjanji ini kepindahan kami yang terakhir. Lihat saja
nanti. Setiap kali kami pindah, Papa selalu bilang yakin telah
menemukan keluarga Goode"tapi sampai sekarang kami belum
menemukan mereka. Jonathan menuruni tangga, sepatu hitamnya berdetak keras
menginjak tangga kayu. Dia mengenakan kaus kaki putih selutut,
sepatu bergesper, dan celana selutut berwarna hijau tua. Kemejanya
kain katun putih dengan hiasan rumbai-rumbai.
Ibunya tidak membuatkan pakaiannya lagi" tidak perlu.
Sekarang semua anggota keluarga Fier menjahitkan pakaian mereka
pada penjahit. Keluarga Fier menjadi kaya dalam waktu enam tahun. Setiap
kali mereka pindah ke kota lain, Ezra membawa beberapa barang
dagangan"teh, rempah-rempah, sutra"untuk dijual kepada orang-
orang kota. Naluri dagangnya sangat tajam. Di setiap kota, Ezra tahu
persis apa yang akan dibutuhkan orang-orang kota itu.
Berkat kemampuannya, sekarang keluarganya hidup nyaman.
Tetapi kekayaan mereka tidak memberi kedamaian kepada Ezra.
Ketika sampai di anak tangga terbawah, Jonathan mendengar
pintu depan diketuk. "Biar kubukakan, Mama," serunya. Dia mendengar ibunya
sedang sibuk di dapur, membongkar barang-barang.
Jonathan membuka pintu depan. Di depannya berdiri seorang
gadis cantik kira-kira berumur enam belas atau tujuh belas.
Rambutnya cokelat halus, disanggul di pangkal tengkuknya.
Gadis itu mengenakan rok hijau berpotongan sederhana dengan
rumbai-rumbai putih di garis leher dan ujung lengannya. Sambil
tersenyum dia memandang Jonathan dengan mata cokelat berbinarbinar.
"Selamat sore," kata gadis itu sambil memberi hormat.
Tangannya memegang pinggan bundar bertutup serbet. "Namaku
Delilah Wilson. Aku tinggal di tanah pertanian di sana."
"Silakan masuk," kata Jonathan.
"Aku tahu kau pindah ke sini hari ini. Kupikir kau mungkin
membutuhkan sesuatu untuk pelengkap makan malam," kata Delilah.
Dia mengulurkan pinggan bundar itu sambil melangkahi ambang
pintu. "Kubawakan kau pie apel."
Jonathan menerima pie apel itu dan mengucapkan terima kasih.
Kue itu masih hangat. "Silakan masuk ke ruang tamu, Miss Wilson," katanya. "Akan
kusampaikan pada ibu dan ayahku bahwa kau datang berkunjung. Aku
yakin mereka senang berkenalan denganmu."
Diajaknya Delilah ke ruang tamu lalu dibawanya pie apel itu ke
dapur, ke ibunya. "Baik benar dia," kata Jane Fier. "Panggil ayahmu. Kita bisa
menikmati pie ini bersama tetangga baru kita."
Sambil mengelap tangannya dengan celemek, Jane bergegas ke
ruang tamu untuk menemui Delilah. Jonathan mengetuk kamar kerja
ayahnya. "Masuk," kata ayahnya dengan suara menggeram.
Jonathan membuka pintu kamar kerja. Sebagian besar buku dan
peta ayahnya, catatan bisnisnya, dan Kitab Suci keluarga Fier masih di
dalam peti. Ezra duduk di depan meja kerjanya, menghadap pintu,
sedang mempelajari peta. "Ada apa?" tanya Ezra tidak sabar. Rambut hitamnya dihiasi
beberapa helai rambut abu-abu di sana-sini. Kerut-merut wajahnya
semakin dalam. Dia tidak mengangkat wajahnya dari peta kawasan barat
Massachusetts itu. Jonathan tahu, ayahnya sedang mengikuti jejak
baru yang menurutnya ditinggalkan oleh keluarga Goode.
"Papa, seorang gadis muda mengunjungi kita. Dia salah satu
tetangga kita." "Lalu?" Jonathan berdeham. "Hmm, dia ingin berkenalan dengan Papa."
"Jangan sekarang. Aku sedang sibuk."
Jonathan berdiri beberapa saat di ambang pintu, tidak tahu harus
berbuat apa. Bandul kalung perak di leher ayahnya berkilat-kilat
dalam cahaya lilin, permata-permata birunya berkilauan. Ezra berkata,
"Tutup pintu setelah kau keluar."
Jonathan menyusuri selasar, hendak kembali ke ruang tamu.
Ketika itu dia mendengar langkah-langkah ringan di tangga. Dia
menengadah. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Rachel, mengenakan baju tidur musim panas yang tipis, diamdiam sedang menuruni tangga.
"Rachel!" seru Jonathan. "Kau dengar kata Papa?"
Rachel mengangkat telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat agar
kakaknya diam. "Siapa yang datang?" bisiknya. "Salah satu tetangga
Pendekar Mata Keranjang 16 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Istana Kebahagiaan 3
^