Pencarian

Salah Sambung 1

Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number Bagian 1


Prolog Menyusun rencana. Itu keahliannya sejak kecil. Menentukan
sasaran, lalu merencanakan bagaimana mencapainya, selangkah demi
selangkah. Tentu saja rencananya tidak selalu berhasil. Ia memang sering
bernasib buruk. Terkadang ada yang menghalanginya. Merusak
rencananya yang sudah matang.
Namun kali ini tak akan terjadi lagi.
Inilah rencananya yang paling hebat. Tak mungkin gagal. Siapa
pun takkan ia biarkan menggagalkannya.
Kala ia duduk di kegelapan, sibuk memikirkan rencananya,
wajahnya menyeringai. Perbuatannya itu memang tidak baik, dan
sebenarnya ia tak ingin menyakiti orang lain.
Tapi mau bilang apa" Ia harus mendahulukan kepentingannya
sendiri. Siapa lagi yang akan memperhatikannya kalau bukan dirinya
sendiri" Itu kenyataan pahit yang sudah disadarinya sejak ia masih
tinggal bersama orangtuanya.
Kini tiba saat beraksi, tak perlu lagi memikirkan masa lampau.
Lagi pula, bukan salahnya kalau ia selalu terjerumus dalam
kesulitan. Segalanya akan berubah. Mulai detik ini semua akan berjalan
seperti yang diinginkannya.
Rencananya sudah matang. Sepintas, segalanya tampak wajar.
Tapi seseorang akan dibuatnya sangat terkejut.
Kejutan yang mematikan. Yang harus ia lakukan hanyalah bersabar. Bersabar dan
menunggu sampai saat itu tiba....
1 Minggu pertama September GUMPALAN gel itu bagai sesuatu yang keluar dari dasar rawa
yang busuk. Menyebar dan mengendap di kemasannya, menggeliatgeliut, seolah mencari jalan keluar atau tempat lain untuk berpindah.
Deena Martinson memasukkan tangannya ke wastafel dan
menekan gel itu pelan-pelan.
"Ih!" katanya jijik. "Yakin kau ingin memakai gel ini di
rambutmu?" "Ya. Teruskanlah," kata Jade Smith, kawannya. Jade duduk di
bangku kayu di depan cermin kamar mandi. Bahunya ditutupi handuk.
Rambutnya yang pirang, ikal, dan basah tergerai di punggungnya.
"Aku tahu ibumu penata rambut profesional," kata Deena. "Tapi
gel ini seperti makanan cacing. Hii, tak kubayangkan bagaimana
rasanya." "Ayo, teruskanlah," desak Jade. "Ibuku sudah lama
memakainya, dan rambutnya kelihatan menarik. Tebal dan
berkilauan." "Kenapa sih kau ikut-ikutan?" keluh Deena. Ia mulai
mengoleskan gel itu ke rambut temannya. Tak lama kemudian rambut
ikal Jade tertutup bahan lengket itu, dan terciumlah aroma khas gel
yang menusuk hidung. "Apa lagi sekarang?" tanya Deena setelah selesai mengoleskan
gel itu ke rambut Jade. "Menunggu sampai kering," jawab Jade. "Setelah itu aku akan
tampak memikat. Kau tak ingin mencoba" Aku bisa mengeriting
rambutmu." Deena menyentuh rambutnya yang pendek, pirang, dan lurus.
Karena rambutnya tipis, Deena memilih gaya "bersusun-susun".
Ibunya bilang potongan rambut begitu membuatnya tampak seperti
malaikat. Deena sendiri kurang yakin, tapi dikeriting pun belum tentu
bagus. "Tidak, terima kasih," katanya. "Tanpa ramuan aneh-aneh pun
rambutku sudah cukup bermasalah."
"Cobalah. Mungkin kau bisa tambah menarik," kata Jade, tapi ia
tak memaksa, bahkan tampak tak peduli. Suaranya terdengar bosan"
seperti perasaan Deena. "Malam Minggu kelabu," keluh Deena sambil menghela papas.
"Yeah," sahut Jade setuju. "Aneh ya, aku malah senang sekolah
akan dimulai lagi lusa. Asyik rasanya bertemu teman-teman, pergi ke
pesta dansa, dan menonton pertandingan."
"Ya, kurasa begitu," kata Deena.
"Hai, semangatlah sedikit."
"Aku tak mau banyak berharap," kata Deena. "Segala
sesuatunya akan berubah."
"Apa maksudmu?"
"Aku baru saja diberitahu bahwa Chuck, kakakku, akan tinggal
di sini." "Kakakmu" Kau kan tidak punya kakak!"
"Kakak tiri, maksudku. Ia putra ayahku dari perkawinan
pertama. Aku baru beberapa kali bertemu dengannya. Kata Dad ia
akan bersekolah di Shadyside."
"Benarkah?" Jade kini mendengarkan dengan sungguhsungguh. Cowok memang selalu menarik perhatiannya.
"Tenang, Jade," kata Deena. "Chuck tak ada istimewanya
kecuali sebagai pembuat onar. Justru karena itu ia dikirim ke sini.
Kalau tidak dikeluarkan, tahun lalu ia seharusnya sudah lulus dari
Central City. Ibunya dan ayahku lalu memutuskan untuk
memindahkannya ke sini. Mungkin ia bisa berubah jika tinggal di kota
kecil." "Dikeluarkan?" tanya Jade. "Kenapa?"
"Aku tak tahu. Mungkin ia sering keluyuran dengan anak-anak
berandal, bahkan pernah ditangkap polisi. Hhh, sejak kecil ia selalu
membuat masalah." "Kedengarannya menarik," Jade berkomentar sambil tersenyum
nakal. "Bagimu, Freddy Krueger juga menarik," ejek Deena, berjalan
menuju kamarnya. "Habis semua cowok di Shadyside membosankan, mudah
ditebak apa maunya," kata Jade, mengikuti Deena. "Semuanya
MENJEMUKAN," tegasnya. Ia merenggut handuk di bahunya,
mengagumi dirinya dengan menggoyang-goyangkan rambutnya
sambil berputar-putar di depan cermin panjang pada pintu lemari
Deena. Jade memakai gaun terusan berlengan pendek, warnanya pink
dan putih. Kata orang, gadis berambut merah tidak pantas memakai
warna pink, tapi Jade selalu tampak memukau tak peduli warna apa
pun yang dipilihnya. Jade tahu kelebihannya itu. Ia sangat
membanggakannya. Deena harus mengakui, Jade memang punya
banyak alasan untuk berbangga hati.
"Bagaimana rambutmu?" tanya Deena, mengubah topik
pembicaraan. "Masih dalam proses," sahut Jade. Ia menahan diri untuk tidak
menguap, kemudian duduk di tempat tidur Deena. Ia mengambil kikir
dan mengikir kukunya yang sudah rapi. Dilayangkannya
pandangannya ke sekitarnya. Matanya langsung tertuju pada benda
plastik biru manyala yang terletak di meja samping.
"Apa ini?" tanyanya.
"Telepon baruku," jawab Deena. "Ketika ayahku dipromosikan
jadi wakil presiden perusahaan telepon, mereka menghadiahi kami
pesawat telepon model terbaru ini."
"Bagus sekali," kata Jade, mengambil telepon itu. "Bentuknya
seperti panel pengontrol di pesawat jet saja. Untuk apa tombol-tombol
ini?" "Untuk memprogram nomor-nomor telepon. Bila kautekan
tombol ini, secara otomatis telepon akan memutar nomor yang
kauprogram. Tombol itu untuk menunggu kalau orang yang kaucari
sedang dipanggil. Dan tombol ini?"Deena menunjuk sebuah tombol
di pegangan telepon" "untuk memindahkan suara ke alat pengeras di
telepon, hingga semua orang di ruangan bisa mendengar
pembicaraan." "Betulkah?" seru Jade. "Jadi telepon ini multifungsi. Aku dapat
ide. Nomor-nomor telepon siapa saja yang sudah kauprogram?"
"Belum banyak," kata Deena. "Cuma nomor telepon nenekku,
Mrs. Weller"tetangga sebelah rumahku"dan kau tentu."
"Aku" Benarkah" Bagaimana cara menggunakannya?"
"Tekan saja nomor tiga."
"Hmm, aku akan mengerjai adik perempuanku yang sedang
menjaga anak-anak." Jade menekan nomor tiga, kemudian memijat
tombol pengeras suara. Senyum aneh menghiasi wajahnya.
"Halo," katanya, memencet hidungnya sehingga suaranya
kedengaran seperti orang sakit flu. "Tolong dengan Miss Cathy
Smith." "Ini Cathy Smith," sahut suara di seberang. Dari pengeras suara
telepon, suara Cathy terdengar bergema dan jauh, seperti berasal dari
dasar sumur. "Ini dari Division Street Mall," lanjut Jade, masih memencet
hidungnya. "Miss Smith, saya menyesal karena harus memberitahu
Anda bahwa Anda yang terpilih sebagai pengunjung berpakaian
terburuk bulan ini."
"Apa?" jerit Cathy. "Aku bahkan tidak pergi ke mall hari ini!"
"Anda resmi dipilih oleh selusin pengunjung kami. Saya beri
waktu satu jam untuk mengambil hadiahnya, selusin bunga aster
layu." "Selusin apa?" tanya Cathy. Kemudian suaranya berubah
curiga. "Tunggu. Aku tahu siapa kau. Ini bukan dari mall. Jade, aku
tahu kau..." "Saya benar-benar tak mengerti apa yang Anda bicarakan,"
kilah Jade, memencet hidungnya lebih keras. "Ini..."
"Kau tak bisa membodohi aku," lanjut Cathy. "Lain kali carilah
orang yang setolol dirimu!" Terdengar bunyi klik di ruangan itu saat
Cathy menutup telepon. "Sialan!" maki Jade. "Aku harus mencobanya pada orang yang
tak kenal baik suaraku. Seseorang yang tak mengharapkannya... itu
dia! Deena, tolong lihatkan nomor telepon Henry Raven."
"Henry Raven?" kata Deena. "Ia sangat menyebalkan!
Kegemarannya cuma komputer. Kenapa kau ingin meneleponnya?"
"Tunggu saja," sahut Jade. "Atau, dengarkan saja!" Ia
mengambil buku telepon yang dipegang Deena dan menekan tujuh
nomor. Dering telepon memenuhi ruangan itu, kemudian bunyi klik,
dan suara Henry Raven pun terdengar amat jelas.
"Halo?" "Halo, Henry ya?" Jade bicara amat pelan, hampir berbisik.
Menurut Deena suara Jade itu misterius dan seksi.
"Ya, siapa ini?"
"Kau tak akan pernah tahu siapa aku, Henry," desah Jade, "tapi
sejak lama aku selalu memperhatikanmu." Jade membisikkan kata
lama sedemikian rupa hingga terdengar jadi "l-a-m-a".
"Siapa ini?" "Seseorang... yang akan menjadi teman akrabmu. Aku suka
gayamu, Henry..." "Apakah ini cuma olok-olok?"
"Bukan. Ini bukan olok-olok," kata Jade. "Aku sangat serius.
Kaulah satu-satunya cowok idaman gadis seperti diriku...."
Hening lama di seberang sana. Kemudian Henry tiba-tiba
berkata, "Carilah cowok lain! Aku tak punya waktu untuk olokolokmu ini!" Dan ia membanting telepon.
Kedua gadis itu menjatuhkan diri ke tempat tidur, tertawa
terbahak-bahak. "Nah, kau sudah dengar, kan" Ia tak punya waktu!" Deena
berhenti mengikik. "Hasilnya lebih baik dari yang kuharapkan," sahut Jade setelah
berhenti tertawa. "Sekarang giliranmu."
"Giliranku?" tanya Deena.
"Ya. Kau cuma harus mengangkat telepon dan..."
"Tidak, Jade!" kata Deena. "Berbicara secara langsung pun aku
tak sanggup!" "Itu masalahnya. Akan lebih mudah kalau kau bicara di telepon.
Ayo buktikanlah," lanjut Jade, menyambar buku telepon Deena.
"Bagaimana kalau Rob Morell?"
"Rob Morell?" jerit Deena. "Ia salah satu cowok paling beken di
sekolah!" "Lalu kenapa" Bukankah kau menyukainya?"
"Benar sih," jawab Deena. "Tapi ketika tahun lalu ia ikut
pelajaran geometri di kelasku, sekali pun aku tak pernah mengobrol
dengannya." "Nah, sekarang bicaralah dengannya."
"Tapi bagaimana kalau ia tahu siapa aku?"
"Berbisiklah, seperti yang kulakukan tadi, ia pasti tak akan
mengenalimu," kata Jade. Mengabaikan protes-protes Deena, Jade
menekan nomor telepon Rob Morell dan memberikan telepon itu pada
Deena. "Oh, aku harus bilang apa?" ujar Deena, ngeri.
"Apa saja yang muncul di pikiranmu. Aturlah suaramu hingga
terdengar seksi." "Halo?" bisik Deena. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu
merendahkan suaranya. "Bisakah saya bicara dengan Rob Morell?"
Bagus! puji Jade tanpa suara. Beberapa saat kemudian suara
cowok yang mengantuk terdengar di alat pengeras suara, "Halo?"
"Halo, Rob?" bisik Deena, berusaha keras mengubah suaranya.
"Cowok ganteng seperti kau kenapa ada di rumah pada malam
Minggu begini" Kau sedang apa?"
"Aku menyewa beberapa film," jawab Rob. "Siapa ini?"
"Seseorang yang diam-diam mengagumimu," sahut Deena.
Kata-kata itu meluncur begitu saja.
"Apa" Siapa namamu?"
"Aku tak mungkin memberitahukannya." Deena kagum pada
dirinya sendiri. Kata-katanya semakin lama semakin lancar, seolaholah ia hanya mengikuti skenario.
"Jika kau tak mau menyebutkan namamu, katakan seperti apa
dirimu," pinta Rob. Suaranya tidak lagi terdengar mengantuk,
melainkan penuh minat. Deena memejamkan matanya dan bersandar ke tempat tidur.
"Seperti apa diriku?" ulangnya. "Tinggiku 160 senti, beratku 52,5 kilo.
Rambutku pirang, sepinggang. Mataku hijau dan bibirku penuh.
Orang-orang bilang aku seperti Kim Basinger."
"Hei, bagaimana kalau kita mengadakan pertemuan?" tanya
Rob. "Usul yang bagus. Kau memang cowok yang menarik, Rob.
Aku akan meneleponmu lagi, suatu malam dalam waktu dekat ini."
"Bagaimana kalau nanti malam" Atau bisakah kuminta nomor
teleponmu?" "Oh, aku harus menyudahi pembicaraan ini sekarang, Rob,"
kata Deena. "Ingat, aku akan meneleponmu lagi."
Deena mencondongkan tubuhnya ke depan untuk meletakkan
telepon. Ia memandang Jade sesaat, lalu keduanya menjatuhkan diri
ke tempat tidur, tertawa histeris. "Kena!" seru Deena. "Sungguh aku
tak percaya! Ia benar-benar tertarik padaku!"
"Kau hebat!" kata Jade. "Bicaramu terdengar wajar. Ia pasti tak
berani ke mana-mana, menunggu teleponmu sampai bulan depan!"
"Kau benar, Jade. Ternyata lebih mudah bicara di telepon."
"Apa kubilang. Hm, siapa lagi yang akan kita telepon"
Bagaimana kalau..." "Tidak malam ini, Jade," kata Deena, melihat arlojinya. "Sudah
malam. Sebentar lagi ayah-ibuku pulang."
"Bagaimana kalau besok malam?"
Deena menggeleng. "Besok malam Dad dan aku akan
menjemput Chuck ke bandara."


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berjanjilah untuk menyampaikan salamku padanya," kata Jade.
"Ia belum pernah mengenalmu."
Jade tersenyum. "Sekarang memang belum," katanya. "Tapi
perasaanku bilang... ia akan segera mengenalku."
2 DALAM perjalanan ke bandara, Deena merasa gembira
sekaligus gelisah. Ia mulai menyukai gagasan bahwa kakak lakilakinya yang hilang itu akan tinggal bersamanya. Ia pasti akan
mendapat banyak keuntungan"misalnya kakaknya bisa
mengenalkannya pada teman-temannya. Kemudian ia teringat cerita
tentang kelakuan buruk Chuck. Ulu hatinya tiba-tiba berdesir.
Ayahnya juga tampak gelisah, melebihi kegelisahannya.
"Bersikap ramahlah padanya, Deena," kata ayahnya. "Tapi
berusahalah tetap menjaga jarak. Ingat, ia dibesarkan di kota besar
yang tak kenal keramahan orang-orang kota kecil."
"Baik, Dad," sahut Deena. Mungkin ia menganggap kami ini
orang udik, pikir Deena. Kesan pertamanya tentang Chuck cukup "menjanjikan". Ketika
terakhir kali Deena bertemu dengannya, Chuck baru berusia sepuluh
tahun. Kini ia telah menjadi pemuda jangkung yang gagah. T-shirt dan
jins ketatnya memperlihatkan tubuhnya yang atletis dan berotot.
Rambutnya tebal dan berwarna pirang kemerahan, kontras dengan
matanya yang biru cerah. Jade, pikir Deena, pasti akan
menganggapnya kece. Tapi ketika Deena mendekatinya, ia melihat
sesuatu yang tidak wajar.
Ekspresi Chuck sangat aneh.
Deena tak tahu pasti bagaimana harus menyebutnya. Sepertinya
Chuck menyeringai sambil cemberut. "Ceringai?" Deena
kebingungan. Ketika Dad akan menyalaminya, Chuck pura-pura tak
melihatnya. Dad bingung dan tersenyum ragu. "Chuck, kau masih
ingat pada Deena, adik perempuanmu?"
Chuck memandangnya seolah-olah ia anak katak atau makhluk
lain yang amat rendah derajatnya. "Halo, kid," sapanya.
Kid"gadis cilik" Celaka, hari-hari di depanku pasti akan
sangat menyebalkan, pikir Deena. Namun detik berikutnya Chuck
tersenyum padanya, senyum konyol yang membuatnya tampak
berbeda. Dengan gugup Deena balas tersenyum, sambil mendugaduga apa yang akan terjadi sesudah itu.
Perjalanan ke rumah terasa semakin membingungkan Deena. Ia
duduk di belakang, mendengarkan percakapan Chuck dengan
ayahnya. Atau lebih tepat, Dad yang bicara. Chuck hanya melenguh.
Suatu kali ia mengeluh, "Ini benar-benar pemaksaan, Dad. Aku tak
mengerti kenapa aku tak boleh bersekolah lagi di Central City High."
"Karena mereka tak mau menerimamu," jawab Mr. Martinson.
"Asal kau tahu, ibumu dan aku sudah berulang kali membujuk
mereka." Baru kali ini Deena mendengar ayahnya bicara dengan nada
jengkel, atau bahkan marah. Deena berharap ia bisa lebih banyak
mendengar tentang kenapa Chuck dikeluarkan dari sekolahnya. "Aku
ingin jelaskan padamu...," ayahnya memulai.
Mendadak terdengar derit rem dan decit ban mobil yang
membuat Dad tak menyelesaikan kalimatnya.
Deena menjerit saat terdengar bunyi tabrakan.
Ia mendengar bunyi kaca pecah. Kemudian logam beradu.
Klakson mobil bersahut-sahutan. Seseorang menjerit.
Ban mobil berdecit-decit. Deena menutup telinganya dengan
tangan. Wajah Mr. Martinson kelihatan ngeri, mulutnya ternganga,
dengan serta-merta ia menginjak rem. BMW cokelatnya meluncur
menuju mobil-mobil yang bertabrakan, berhenti hanya beberapa senti
di belakangnya. Mobil-mobil yang mengikuti mereka dengan susah
payah menghindar dari tabrakan itu. "Keluar!" perintah Mr.
Martinson. "Lebih aman di luar!"
Deena dan Chuck cepat-cepat keluar dan menjauh dari
onggokan mobil itu. Di langit, jutaan bintang berkerlap-kerlip. Chuck
menuju orang-orang yang berkerumun di sumber kemacetan itu.
Deena mengikutinya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Hei... kembalilah!" teriak ayahnya. Chuck tak menggubrisnya
dan terus berlalu. Deena ragu-ragu, menoleh ke ayahnya, kemudian
membuntuti Chuck. Di deretan paling depan, tampaklah Plymouth merah yang
ringsek karena menabrak pembatas jalan. Mesinnya mengeluarkan
asap. Ketika Deena dan Chuck tiba di sana, api dari bagian bawah
mobil itu mulai menjilat pintu-pintunya.
"Awas!" teriak seseorang. "Mobil itu terbakar!"
Kerumunan orang itu menjauh. Deena melihat api yang
semakin membesar. Dengan perasaan ngeri, ia bergegas menjauh,
sejauh mungkin dari mobil itu. Saat itu sadarlah ia bahwa Chuck tidak
bersamanya. Di kerumunan itu, Chuck berdiri paling depan. Bagai
terhipnotis, ia menatap ke api.
Tiba-tiba terdengar jerit pilu, "Oh, Tuffy masih ada di sana!"
Deena menoleh dan melihat anak laki-laki kecil yang
memegangi dahinya dengan handuk yang berdarah. "Tuffy!" panggil
anak itu. "Tolong selamatkan Tuffy!"
"Ada anjing di dalam mobil itu!" teriak orang-orang. Deena kini
bisa melihat kepala anjing kecil berbulu hitam-putih di jendela
belakang mobil itu. Anjing kecil itu melompat-lompat,
menggonggong dengan panik.
Sementara, itu, api menjilat semakin tinggi.
Tiba-tiba ada orang yang keluar dari kerumunan dan berlari
menuju mobil yang terbakar itu.
"Kembalilah!" jerit seorang laki-laki. "Mobil itu mau meledak!"
Orang itu tetap berlari, kemudian menghilang di balik asap
tebal. Betapa ngerinya Deena ketika ia menyadari bahwa orang itu
Chuck. "Chuck! Chuck! Kembalilah!" seru Deena.
Tapi seruannya sia-sia. Mobil itu meledak, menyemburkan gumpalan api berwarna
merah dan oranye yang sangat mengerikan.
3 LEWAT tengah malam baru mereka tiba di rumah. Esok pagi
Deena harus bersekolah, tapi ia tak bisa tidur. Ia berbaring di tempat
tidurnya, memikirkan kembali kejadian tadi.
Sewaktu orang-orang memandang ngeri ke mobil yang meledak
itu, Chuck keluar dari gumpalan asap tebal dan api yang berkobarkobar. Mr. Martinson muncul, "Ada apa?" tanyanya.
Tak seorang pun menyahut. Pandangan mereka tertuju pada
Chuck. Wajah dan tangan Chuck hitam oleh asap. Kemejanya robek.
Ia berlari ke tepi jalan. Tangannya memeluk anjing kecil berbulu
hitam-putih. "Tuffy! Tuffy!" jerit anak laki-laki itu.
"Chuck! Demi Tuhan! Apa yang kaulakukan?" teriak Mr.
Martinson. Beberapa saat Chuck tampak tak peduli pada orang-orang di
situ. Ia memeluk anjing kecil itu, berbisik-bisik menenangkannya.
Wajahnya yang hitam berada sangat dekat dengan kepala anjing itu.
Setelah itu ia berdiri tegak, mengembalikan anjing itu pada
pemiliknya. "Ini anjingmu," katanya.
Ibu si anak laki-laki, yang sebelah wajahnya memar, dengan
serta-merta memeluk Chuck. "Oh, terima kasih banyak," katanya.
"Anjing kecil itu sangat berarti bagi Timmy. Kau adalah pahlawan."
"Hei, tenanglah," kata Chuck, kelihatan malu. "Aku juga pernah
punya anjing." Deena memandang kakak tirinya dengan kesan baru. Chuck
tidak terluka, meskipun ia baru saja menerobos ke dalam mobil yang
terbakar. Senyum konyol tersungging di bibirnya.
Kini, saat terbaring di ranjang, Deena teringat pada ucapan
wanita itu. Bagi orang-orang yang berkumpul di tempat kecelakaan
itu, Chuck ndalah pahlawan. Ia benar-benar pemberani, pikir Deena.
Atau sinting. ***************************
Esok paginya, ketika sarapan, Deena ingin menunjukkan rasa
bangganya pada Chuck. Ia juga ingin membuat Chuck betah di rumah
barunya. Dad sudah pergi bekerja. Mom seperti biasa sedang bersiapsiap ke kantor.
Tak ada waktu untuk menyiapkan sarapan yang "wah". Deena
menuang sereal ke dalam dua mangkuk, mencuci seikat blueberry, dan
menaburkannya di atas sereal. Sarapannya hampir habis ketika Chuck
muncul sambil menguap. "Hai, Chuck," sapanya hangat. "Aku sudah menyiapkan sereal
untukmu. Jika kau bergegas, kita bisa tiba di sekolah lebih awal.
Kalau mau, aku akan mengenalkanmu pada teman-temanku."
Chuck memandangnya sejenak. "Jangan mencemaskan aku,
kid," katanya. "Aku tak perlu diajari bergaul."
"Tapi aku hanya ingin..." Deena tak melanjutkan kata-katanya.
Pipinya memerah seolah-olah baru ditampar Chuck. Chuck
menuangkan susu ke serealnya, tak peduli apakah susu itu tumpah ke
meja. Beberapa saat kemudian, ibu Deena masuk ke dapur sambil
memasang anting-antingnya. "Cepatlah, anak-anak," katanya.
"Sebelum ke kantor, aku akan mengantar kalian ke sekolah."
Tanpa berkata-kata, Chuck berdiri dan melemparkan serealnya
ke keranjang sampah. Deena memandangnya. Kenapa dia" Apakah
dia sudah sinting" *************************
Pada saat makan siang, Deena hampir melupakan ulah Chuck
tadi. Asyik juga kembali ke sekolah, pikirnya. Saat ia mencari tempat
duduk setelah mengisi nampannya, Rob Morell lewat bersama temanteman seregunya. Gerak-geriknya anggun dan memikat.
Dulu, Deena menganggap Rob berada di luar jangkauannya.
Cowok itu begitu tampan, cerdas, dan merupakan bintang atletik.
Mendambakan cowok seperti itu sama saja seperti pungguk
merindukan bulan. Tapi hari ini Deena berpikir lain. Ia tersenyum
sendiri kala teringat teleponnya dan bagaimana reaksi Rob pada
malam Minggu kemarin. Hal itu memberinya kekuatan dan rasa
percaya diri. Deena tersenyum pada Rob, tak peduli apakah Rob
memperhatikannya atau tidak. Kaukira dirimu cowok paling keren di
Shadyside, tapi sedikit pun kau mungkin tak mengira bahwa akulah
cewek impianmu. Ya, aku. Deena si pemalu.
"Yuhu! Ada orangkah di sini?"
Deena menengadah, tersadar dari lamunannya. Jade berdiri di
sebelahnya, memegang nampan. Ia mengenakan gaun musim panas
bergaris-garis kuning-putih. Rambutnya yang kemerahan diikat
dengan pita putih. Ia tampak menakjubkan. Setiap cowok di ruangan
itu pasti memelototinya. ebukkulawas.blogspot.com
"Hm, bolehkah aku bergabung denganmu" Atau kau ingin
menghabiskan siang ini dengan bermuram durja?"
"Tentu boleh, Jade, duduklah," kata Deena.
Jade meletakkan nampannya, lalu duduk di sebelah temannya.
"Kupikir kau sedang makan siang bersama kakakmu," katanya.
Deena mengangkat bahu. "Sudah jelas ia tak ingin bergaul
dengan adiknya," ujarnya seakan-akan tak peduli.
"Oh," kata Jade, kelihatan kecewa. Namun seketika itu pula
ekspresinya berubah ceria dan ia memandang ke sekitarnya. "Wah,
seperti apa ya dia" Di mana dia?"
"Dia..." Deena menoleh ke sekelilingnya, tapi tak menemukan
Chuck di ruangan itu. "Aku tak tahu," katanya cemberut. Ia tiba-tiba
cemas. Kenapa Chuck tak makan siang" Bukankah waktu makan
siang mereka sama" "Aku akan menemuinya lain kali," ujar Jade. Lalu ia
mencondongkan diri ke depan. "Tebaklah siapa pasangan paling serasi
bulan ini!" tanyanya.
"Siapa?" Deena balas bertanya.
"Bruce Kipness dan Sherry Murdoch!"
"Betulkah?" tanya Deena tanpa emosi. Bruce dan Sherry adalah
dua murid tergemuk di sekolah.
"Keduanya ikut pelajaran geografi. Pagi ini mereka masuk kelas
sambil bergandengan tangan," jelas Jade.
"Wah, menyenangkan sekali," ujar Deena lesu.
"Mungkin tak ada orang lain yang mau berkencan dengan
mereka," lanjut Jade. "Oh, akan kuceritakan pula bagaimana
penampilan Mrs. Overton. Ia memotong rambutnya pendek sekali"
mirip rambut cowok."
"Apa?" tanya Deena.
"Aku bilang Mrs. Overton... kau ini kenapa sih?" Jade
menghentikan ucapannya dengan jengkel.
"Entahlah," sahut Deena. "Kurasa aku mencemaskan Chuck.
Entah kenapa aku punya firasat dia..."
Sebelum Deena selesai berucap, terdengar pintu kafetaria
dibuka dengan keras. Ia menoleh, namun yang dilihatnya hanya dua
cowok menubruk tumpukan nampan kotor di dekat pintu.
"Ada anak berkelahi!" teriak seseorang. Ruangan itu segera
dipenuhi dengan bunyi kursi-kursi terbalik dan gemerencing
mangkuk-mangkuk serta pecah belah di meja.
Orang-orang berdiri, berkerumun di dekat pintu. Deena
berjinjit, berusaha melihat siapa yang berkelahi.
"Itu Bobby McCorey," Jade berteriak di antara suara anak-anak
yang bersorak-sorai. "Ia berkelahi dengan anak baru."
Uh-oh, pikir Deena. Ia naik ke kursi. "Oh, tidak," dengusnya.
"Itu Chuck." "Awas!" gadis di sebelahnya berteriak. "Anak baru itu
memegang pisau!" 4 OKE, oke. Ia mengalami sedikit kesulitan dalam mengatur segala
sesuatunya. Tak jadi soal. Rencananya masih berlangsung, sesuai dengan yang
dijadwalkan. Tak ada orang yang mencurigainya.
Tinggal seminggu lagi. Seminggu lagi dan langkah akhir dari
rencananya akan dilaksanakan.
Seminggu lagi dan semua masalahnya akan beres.
Tak ada yang bisa menghentikannya. Tak seorang pun bisa
mencegahnya. Akan buruk akibatnya bagi siapa pun yang mencoba
melakukannya. 5 Minggu kedua September TAHUN ajaran baru ini akan membawa petaka. Deena yakin
itu. Sabtu sore di akhir musim panas, Deena berdiri di jalan lingkar di
halaman rumahnya. Ia memakai baju renang usang dan celana pendek,
sedang mencuci Honda Civic abu-abu milik ibunya.
Tapi pikirannya tidak tertuju ke situ, melainkan pada kejadiankejadian yang tidak mengenakkan minggu lalu.
Pertama, pelajaran-pelajaran sekolahnya"lebih sulit dari yang
dibayangkannya. Kenapa ia ambil trigonometri" Rasanya ia tak
mungkin lulus dalam sejuta tahun.
Kedua, masalah pergaulannya. Pasti seburuk tahun sebelumnya,
ketika ia diundang ke pesta-pesta hanya karena ia teman Jade. Tahun
ini ia bahkan semakin "melempem" waktu berhadapan dengan cowok.
Dan yang terakhir, tapi justru merupakan masalah terbesar...
Chuck! Deena sungguh tak habis mengerti bagaimana kakaknya itu bisa


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu tolol. Berkelahi di hari pertama sekolah. Lebih buruk lagi, ia
membawa pisau. Chuck mengamuk tak terkendali hingga perlu tiga
guru untuk melerainya. Ia pasti sudah dikeluarkan dari sekolah
seandainya ayahnya tidak menghadap kepala sekolah dan menjamin
bahwa Chuck tak akan membuat keributan lagi.
Pada malam harinya, Deena mencuri dengar saat ayahnya
memarahi Chuck. "Satu hal lagi!" teriak Mr. Martinson. Baru satu-dua
kali Deena mendengar ayahnya berteriak seperti itu. "Sekali lagi kau
membuat kesalahan"meskipun cuma kecil"kau akan didepak dari
sekolah! Mengerti?" Deena tak mendengar jawaban Chuck, tapi ia bisa
membayangkan seperti apa ekspresinya" menyeringai sambil
cemberut. "Ceringai" itu memang tak pernah lepas dari wajah Chuck
selama seminggu ini. Bukannya berusaha memperbaiki kesalahan dan
bergabung dengan keluarga, setiap pulang sekolah ia malah langsung
menghilang ke lantai bawah tanah, ke kamarnya. Seharian ia
mendekam di sana, muncul sebentar pada waktu makan malam, tanpa
berkata sepatah pun. Chuck seperti tak pernah ada di rumah itu. Bagi Deena ini
sebenarnya bukan masalah, hanya saja suasana di rumahnya lantas
berubah. Setiap orang jadi tegang. Dad yang biasanya sangat cuek jadi
gampang naik darah. Ia membentak Deena atau ibunya yang tak
bersalah. Mom yang memang selalu tegang karena pekerjaannya
sebagai kepala administrasi Departemen Sosial Shadyside, jadi lebih
tegang lagi. Deena mendesah. Siapa bilang masa remaja adalah yang
terindah dalam hidup ini, pikirnya. Ia melihat air sabun yang mengalir
turun ke sisi mobilnya yang berkilat. Lalu ia memutar keran dan
menyemprotkannya ke mobil.
"Hai, Deena!" Deena berpaling. Jade sedang menyusuri jalanan
berbatu menuju ke jalan lingkar.
"Hai, Jade," sahut Deena. "Ada apa?"
Jade mengangkat bahu. Ia memakai kemeja rajutan putih, tanpa
lengan, dan celana pendek hijau. Rambutnya bercahaya seperti cairan
tembaga di kala matahari terbenam. "Tadinya aku akan keluar dengan
Mike Kamiskey malam ini," katanya, "tapi ia baru saja
membatalkannya. Ia sedang flu"pokoknya begitulah yang
dikatakannya"lalu aku ke sini untuk melihat kalau-kalau kau tidak
punya acara." "Maksudmu, kau tahu pasti aku tak punya teman kencan," tukas
Deena. "Lho, kok kau tersinggung" Aku kan cuma mampir."
Deena mematikan keran dan memperhatikan mobilnya.
"Sudahlah," ujarnya. "Kebetulan ayah-ibuku sedang keluar, nonton
konser di kota. Mereka memberiku uang untuk membeli piza dan
menyewa film. Kau boleh bergabung denganku."
"Bagus," jawab Jade. Lalu ia tersenyum nakal. "Mana Chuck?"
"Lupakan dia," kata Deena. "Dia itu Mr. Antipergaulan. Dia
hanya keluar kamar kalau makan."
"Aku berani bertaruh, aku bisa mengubahnya."
"Lupakanlah!" "Oke, oke," kata Jade. "Sayang sekali cowok ganteng begitu
hobinya mengurung diri di kamar!"
*********************** "Oh, serasa tak percaya aku telah mencuci mobil itu," kata
Deena, melihat ke luar jendela. Malam semakin larut, hujan turun
dengan deras selama satu jam terakhir.
"Ibuku bilang, mencuci mobil malah menyebabkan hujan turun,
meskipun langit cerah," sahut Jade.
"Mau piza lagi?" tanya Deena beberapa saat kemudian. Ia
menyodorkan kotak besar segi empat ke seberang meja.
"Aku masih lapar," jawab Jade. "Tapi kurasa Chuck juga perlu
ditawari beberapa potong."
"Maukah kau melupakannya" Ia pasti ada di kamarnya,
merencanakan cara merobohkan sekolah. Ayo lihat film saja."
"Aku punya ide yang lebih bagus. Kupikir ini saat yang tepat
untuk menelepon Rob Morell lagi."
"Aku tak mau, Jade," kata Deena. Jantungnya berdetak cepat,
seolah-olah ia baru saja ikut lomba lari.
"Ayolah, Deena," rengek Jade. "Rahasiamu tak akan
terbongkar." "Baiklah, ini toh cuma permainan yang tak berbahaya."
"Benar," sambar Jade. "Permainan yang tak berbahaya."
Jade langsung membuka buku telepon dan memencet nomor
yang dituju. Ia mendengarkan sesaat, kemudian memberikan gagang
telepon pada Deena. "Ini!" ujarnya senang.
Kejadiannya berlangsung seperti minggu lalu, tapi lebih lancar.
Deena tidak gugup sedikit pun. Yang gugup justru Rob Morell!
Lidahnya serasa kelu. "Oh, bisakah kita keluar untuk minum kofi?" tanyanya setelah
mereka mengobrol beberapa lama.
"Maksudmu minum kopi, Rob," kata Deena dengan suara
mendesah. "Pasti aku mau, tapi tidak sekarang. Aku ingin meyakinkan
diri dulu..." "Meyakinkan diri bagaimana?"
"Aku harus yakin bahwa kau bersungguh-sungguh." Tengah
Deena memikirkan kelanjutan obrolannya, tiba-tiba telepon
bergemeresik. "Halo?" kata Rob. "Halo, apakah kau masih di situ?" Suara Rob
terdengar cemas, takut kalau-kalau Deena memutuskan hubungan.
"Pasti ada yang tak beres," kata Deena. "Sori, Rob, sampai di
sini dulu, ya. Aku akan meneleponmu lagi." Deena meletakkan
telepon, merasa dirinya berada di atas angin.
"Luar biasa!" puji Jade. "Tapi itu tadi suara apa, ya?"
"Entahlah," sahut Deena. "Mungkin teleponnya rusak."
"Semoga saja tidak. Kemarikan teleponnya, sekarang
giliranku." "Kau mau menelepon siapa?"
"Mike Kamiskey. Aku ingin mengecek apakah ia benar-benar
sakit." Jade memencet nomor telepon, tapi sebelum selesai, terdengar
tiga kali ketukan keras di pintu. Pintu terbuka. Chuck berdiri di sana,
memakai celana pendek dan T-shirt REM biru kehijauan. Ia
tersenyum konyol. "Halo, gadis-gadis," sapanya.
"Chuck, ini kamarku!" tegur Deena.
"Hei... kita kan keluarga!" protes Chuck. Lalu ia berpaling pada
Jade. "Siapa namamu?"
Deena memandang Jade. Jade malah memandang Chuck,
sepertinya Chuck itu penyanyi andalan kelompok band rock. Deena
menghela napas. "Chuck," katanya, "ini..."
"Aku Jade Smith," potong Jade, tersenyum lebar dan manis.
"Aku Chuck," ujar Chuck, balas tersenyum.
Oh, aku muak sekali, pikir Deena.
Chuck duduk di bangku antik yang terletak di depan kaca rias
Deena. Dengan tubuh kokoh dan berotot, Chuck bagai boneka mebel
di situ. "Mau apa kau ke sini?" tanya Deena.
"Bergabung," kata Chuck. "Aku tahu kalian sedang membuat
ulah." "Apa maksudmu?" tanya Deena.
"'ini dari seseorang yang diam-diam mengagumimu, Rob'," kata
Chuck menirukan suara seksi Deena. '"Pasti aku mau minum kopi
bersamamu...'" "Oh, kau yang menyadap telepon kami!" seru Deena. Mukanya
memerah sampai ke akar-akar rambutnya.
"Sekarang sudah terjawab kenapa telepon itu tadi berisik," ujar
Jade. "Aku tak menyadap telepon," kata Chuck. "Aku tadi mau
menelepon. Aku yakin Dad pasti tertarik pada permainanmu ini."
"Chuck, jangan!" pinta Deena. "Jangan melaporkannya! Dad
akan menyingkirkan teleponku!"
"Lalu harus bagaimana?" kata Chuck. "Kau tak memerlukannya
kalau yang kautelepon cuma cowok-cowok tolol di sekolahmu. Kalau
ingin bermain telepon, paling tidak kau harus punya imajinasi."
"Huh, apakah kau punya ide yang lebih bagus?"
"Mungkin," sahut Chuck.
"Jangan berdebat terus," kata Jade tenang. Ia melempar senyum
nakal pada Chuck. "Kenapa tak kautunjukkan idemu itu pada kami?"
"Tunggu," cegah Deena. "Kenapa tak kita lupakan saja.
Kurasa..." "Ayolah, Deena," bujuk Jade. "Ini kan cuma permainan tak
berbahaya. Kau yang bilang begitu, kan. Apa salahnya membiarkan
Chuck mencobanya?" Oh, tidak, pikir Deena. Gagasan Chuck selalu mengundang
bahaya, tapi ia tak mampu mencegahnya. Kalau sampai Chuck
mengadu pada Dad, telepon itu pasti disingkirkan. "Kisah cinta"-nya
dengan Rob pun akan tamat. Lagi pula, Chuck tampak bersikap
ramah. Mungkin ia hanya perlu teman.
"Baiklah," kata Chuck, "tapi tidak untuk hal kecil seperti, 'Oh,
Rob, kau amat rupawan. Ayo kita berkencan.'"
"Lalu seperti apa?" tanya Jade.
"Kulihat buku telepon dulu," kata Chuck. Ia membolak-balik
buku telepon Shadyside. "Benar-benar kota kecil," gumamnya.
"Bagaimana cara orang-orang di sini mencari kesenangan?"
"Sama seperti di kota," sahut Deena kesal. "Nonton film,
berdisko, golf, boling...."
"Boling. Itu ide bagus," kata Chuck. Ia memeriksa halaman
kuning. "Ini dia"Shadyside Lanes." Ia memencet nomor telepon.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara wanita dari pengeras
suara. "Selamat malam, Shadyside Lanes."
"Cukup kuberitahukan sekali," kata Chuck. Ia merendahkan
suaranya hingga terdengar seram. "Ada bom yang diletakkan pada
suatu tempat di wilayahmu. Bom itu akan meledak pada pukul
sepuluh." "Siapa ini?" tanya wanita itu, ketakutan.
"Ingat, kau cuma punya waktu lima belas menit untuk
mengosongkan tempat itu," kata Chuck, menutup telepon.
"Chuck!" jerit Deena, shock dan terkejut. "Kau keterlaluan!
Ancaman bom adalah masalah serius!"
"Hei, ini mungkin satu-satunya kejadian menarik selama
berbulan-bulan ini, di sini," sahut Chuck. Ia terbahak-bahak dan mulai
membuka-buka buku telepon lagi.
"Ini baru ide lucu," kata Jade. "Bayangkan, orang-orang
bersepatu boling itu berhujan-hujan ria."
"Jade!" seru Deena. "Demi Tuhan! Menyebarkan berita bohong
tentang bom adalah tindakan kriminal!"
"Kau benar," kata Jade. "Chuck," katanya dengan manis, "aku
tak mau terlibat kesulitan. Kita menelepon teman-teman sekolah kita
saja." "Ya, ya, ya," sahut Chuck. Kemudian ia menjentikkan jarinya.
"Tunggu, aku punya ide lain. Apa nama tempat yang dikenal sangat
angker di kota ini?"
"Maksudmu, Fear Street?" tanya Deena.
"Ya, itu dia. Nama yang aneh!" Chuck tertawa lagi.
"Dinamai begitu mengikuti nama mantan penghuninya yang
terkenal eksentrik dan misterius," jelas Deena. "Sebaiknya kau tidak
menertawakannya," tambahnya. "Banyak peristiwa mengerikan terjadi
di Fear Street. Sungguh."
"Apa misalnya?" tanya Chuck, menyeringai.
"Orang hilang," kata Jade. "Dan peristiwa pembunuhan yang
tak terungkap. Di tengah malam orang-orang sering mendengar jeritan
mengerikan dari hutan Fear Street."
Chuck menyeringai pada Deena. "Ah, masa?" katanya
mengejek. "Belum tahu ya kalau setiap kota kecil pasti punya tempat
angker seperti Fear Street" Itu cuma omong kosong, cerita rekaan
orang-orang agar kota kecil yang membosankan ini bisa lebih
menarik." "Fear Street itu benar-benar ada, Chuck," kata Deena.
"Orang-orang di sini tak pernah menganggapnya cerita
bohong," Jade menambahkan. Deena yakin kali ini Jade serius,
bicaranya tidak genit. "Benar atau tidak," kata Chuck, "aku tak takut pada Hantu Fear
Street. Ayo kita buktikan," katanya, terus membalik-balik buku
telepon. "Kau mau menelepon teman-teman sekolah, kan" Siapa yang
berkelahi denganku dulu?"
"Bobby McCorey," jawab Jade cepat. "Ia dan gengnya selalu
merasa jagoan. Mereka mempermainkan yang lemah."
"Baik, ayo sekarang kita ganti mempermainkannya," tukas
Chuck. "Lihat seberapa besar nyalinya sebenarnya." Sebelum Deena
sempat mencegah, Chuck telah memutar nomor telepon Bobby.
"Bisa bicara dengan Bobby McCorey?" tanyanya dengan suara
angker. Tengkuk Deena merinding. Beberapa saat kemudian terdengar
suara, "Ini Bobby." "Aku Hantu Fear Street," kata Chuck. "Aku akan selalu
memata-mataimu." "Hantu... siapa ini?" tanya Bobby.
"Aku akan terus memata-mataimu," ulang Chuck.
"Apa maksudmu?" Tiba-tiba suara Bobby terdengar ragu-ragu.
"Dengar baik-baik," kata Chuck. "Aku akan terus mematamataimu"dengan mata setanku. Jika aku jadi kau, setiap malam akan
kuperiksa jendela dan pintu rumahmu, apakah sudah tertutup rapat."
"Katakan, siapa kau?" desak Bobby serak. Deena baru saja mau
merebut telepon dari tangan Chuck, ketika Chuck tertawa terkekehkekeh dan menutup telepon.
"Kau benar, Jade," katanya masih sambil tertawa. "Lebih
menyenangkan menelepon teman-teman sekolah."
"Aku tak percaya kau telah meneleponnya!" seru Deena.
"Bobby McCorey itu jahat. Bagaimana jika ia mengenali suaramu?"
"Jangan kuatir," kata Chuck. "Ini cuma permainan tak
berbahaya. Kau takut pada Hantu Fear Street, ya!" Ia tertawa tergelakgelak kemudian lari ke jendela dan membukanya. Di luar luijan turun
amat deras, halilintar bersahut-sahutan.
"Hantu Fear Street!" Chuck berteriak lantang. "Kau dengar aku!
Kutunggu kau! Di sini! Kemarilah, temui aku!"
Ia sinting, pikir Deena. Wajahnya mengerikan dan seluruh
kepribadiannya berubah. Sepertinya Chuck punya dua pribadi yang
setiap saat bisa berubah-ubah.
Tiba-tiba kilat menyambar diiringi halilintar yang mengguntur.
Lampu padam. Kegelapan pun dipecahkan oleh jeritan mengerikan.
Tak lama kemudian lampu menyala lagi. Kedua gadis itu
berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Petir itu begitu dekat!" seru Deena dengan suara bergetar.
"Jangan-jangan ada yang tersambar."
"Deena!" teriak Jade panik. "Mana Chuck?"
Deena memperhatikan ruangan"Chuck tak ada di situ!
Kemudian terdengarlah lenguhan di dekat jendela.
"Di situ," kata Jade. "Cepat!"
Kedua gadis itu berlari ke jendela yang terbuka. Hujan
menerobos masuk. Kilat berkelebat menerangi Chuck yang meringkuk
lemah di lantai. 6

Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BEBERAPA saat Deena menatap kakaknya yang tak bergerakgerak. "Chuck!" serunya. "Chuck!"
"Oh, tidak!" jerit Jade, suaranya bergetar. Ia membungkuk di
atas tubuh Chuck. "Oh, apakah ia... apakah ia... aaahhhh!"
Jade dan Deena melompat mundur ketika Chuck tiba-tiba duduk
tegak, serunya, "Boooga, boooga!" Kemudian ia berbaring lagi di
lantai, tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk-batuk.
"Kalian pasti mengira yang bukan-bukan," katanya terengahengah di antara tertawa dan lerbatuk. "Hantu Fear Street itu pasti yang
membuat kalian ketakutan, nyaris setengah mati!"
Deena belum pernah mengalami perasaan yang campur aduk
seperti itu. Mula-mula ketakutan"sangat ketakutan. Lalu terkejut,
kemudian lega ketika sadar Chuck cuma main-main. Tetapi yang
dirasakannya sekarang adalah amarah yang amat sangat. Kemarahan
yang menyebabkan badannya serasa akan meledak.
"Chuck! Kau makhluk yang menyebalkan!" teriak Deena. "Kau
biang kekacauan, mempermainkan orang sampai sedemikian rupa!"
"S-o-r-i," kata Chuck, bernapas dalam-dalam setelah puas
tertawa. Tapi nadanya sama sekali tak menunjukkan penyesalan. "Aku
memang benar-benar tak mampu menahan kemauanku itu."
Semua kegembiraan beberapa saat lalu menguap seketika. Jade
mendekatkan wajahnya ke jendela, memandang sekilas ke luar.
"Hujan sudah reda," katanya. "Aku mau pulang."
"Aku akan mengantarmu," kata Chuck. "Setelah kejadian tadi,
mungkin kau ngeri pulang sendirian malam ini," Chuck mulai tertawa
lagi sambil memamerkan senyum konyolnya. Deena masih marah,
tapi Jade sudah kelihatan biasa-biasa saja. Ia menatap Chuck dengan
penuh arti seakan-akan tak peduli kalaupun cowok itu benar-benar
Hantu Fear Street. *************************
Hari berikutnya Chuck minta maaf dan menawarkan diri untuk
menolong Deena mengerjakan pe-er matematikanya. Chuck itu seperti
berkepribadian ganda, pikir Deena. Chuck yang satu"yang suka
tersenyum konyol"sangat baik, pemberani, dan lucu. Chuck yang
satunya licik dan kekanak-kanakan. Deena mulai jatuh sayang pada
Chuck yang pertama itu. Ia harus berusaha agar pribadi yang baik itu
lebih sering muncul. Esok harinya Deena masih memikirkan Chuck yang
berkepribadian ganda itu. la hampir bertubrukan dengan Rob Morell
di koridor menuju kelas bahasa Prancis. "Oh, sori," katanya.
"Aku yang salah," sahut Rob. "Apa kabar, Deena?" tanyanya,
tersenyum lebar dan ramah padanya. Jantung Deena berdegup
kencang ketika ia menjawab dengan tergagap-gagap. Ia teringat
kejadian minggu lalu, waktu itu ia merasa kuat dan percaya diri
setelah mengobrol dengan Rob di telepon.
Tapi setelah kejadian malam Minggu kemarin, kekuatan dan
rasa percaya dirinya lenyap. Sebaliknya ia merasa dirinya licik dan tak
pantas berhadapan dengan Rob. Ia tak yakin apa yang menyebabkan
perubahan itu, kecuali perasaannya bahwa telepon iseng yang
dilakukan Chuck mengandung bahaya. Telepon iseng itu kini bukan
permainan lagi. Dan ia tak ingin meneruskannya. Ia harus bicara dengan Jade
dan Chuck, meyakinkan mereka untuk menghentikan permainan itu.
Kesempatan yang ditunggu-tunggunya datang pada saat makan
siang. Ia baru saja menggigit sandwich-nya ketika Jade meletakkan
nampan makan siangnya di seberangnya. "Deena, sudahkah kaubaca
koran pagi ini?" tanya Jade, matanya mengerjap-ngerjap nakal.
"Belum," jawab Deena. "Dengar, Jade, ada yang harus
kukatakan padamu..."
"Oke, tapi lihat ini dulu!" Jade mengangsurkan koran
Shadyside, Morning Press, pada Deena. Koran itu hampir
menumpahkan kotak susu Deena. Salah satu artikel di lembar paling
depan koran itu diberi lingkaran merah. Ketika membacanya, jantung
Deena serasa mau copot. MENURUT POLISI BOM ITU CUMA CERITA BOHONG Kepolisian Shadyside menyelidiki bom yang katanya diletakkan
di Shadyside Lanes pada pukul 21.45, Sabtu malam kemarin.
Meskipun seluruh bangunan sudah diperiksa, polisi tak menemukan
tanda-tanda bom akan meledak.
Louise Cameron, manajer yang bertugas malam itu,
melaporkan bahwa seorang laki-laki bersuara parau menelepon
tentang bom itu. "Kedengarannya pria itu bersungguh-sungguh,"
tuturnya. Cory Brooks, pelajar Shadyside High School, berada di antara
lebih dari tiga puluh orang yang menunggu di luar saat bangunan itu
diperiksa. "Tak seorang pun panik," katanya. "Tapi saya menyesal
sekali karena harus keluar ketika permainan sedang asyik-asyiknya."
Meskipun tak menemukan petunjuk yang berarti, juru bicara
polisi, Letnan Evan Frazier, menegaskan penyelidikan itu akan terus
dilakukan. "Barangkali ini cuma telepon gelap," katanya pada
wartawan. "Tapi kita tak boleh meremehkan perbuatan teroris. Kami
tetap menanggapi cerita bohong ini dengan serius."
Selesai membaca berita itu Deena merasa malu dan terpukul. Ia
memandang Jade, berharap Jade juga berperasaan begitu. Namun mata
Jade tampak berbinar-binar, wajahnya berseri-seri. Ia kelihatan amat
puas. "Hebat, kan?" katanya. "Berita kita dimuat di halaman depan!"
Beberapa saat Deena cuma bisa memandang temannya itu
dengan tatapan mata tak percaya. "Kau gila?" akhirnya ia berkata. "Ini
serius. Polisi telah menegaskan akan terus mengusutnya."
"Mereka pasti tak bisa menemukan kita."
"Kau bilang 'kita'" Chuck-lah yang menelepon tentang bom
itu." "Tenanglah," kata Jade. "Bukankah tak ada yang terluka?"
"Memang tidak," Deena setuju, "tapi sebaliknya bisa saja
terjadi, kan" Kalau mereka panik, kemungkinan besar akan ada yang
terluka. Bagaimana pula dengan telepon gelap Chuck yang lain"
ketika ia juga mengaku sebagai Hantu Fear Street?"
Wajah Jade kini berubah. Deena bisa menangkap perasaan takut
di matanya. "Apanya yang bagaimana?" tanya Jade akhirnya.
"Itu bukan lagi permainan yang tak berbahaya. Telepon itu
sungguh-sungguh menyeramkan. Chuck memang berniat menakutnakuti Bobby McCorey."
Jade cemberut. "Oke, Chuck mestinya tak membawa-bawa Fear
Street ketika ia bermain telepon. Tapi aku suka permainannya. Kau
juga kan, Deena, akuilah."
"Menelepon teman-teman sekolah memang menyenangkan, tapi
Chuck sudah menghadapi banyak kesulitan. Jangan sampai ia
terjerumus lebih dalam lagi. Lagi pula telepon iseng itu sebenarnya
perbuatan yang tidak baik. Kita harus menghentikannya, Jade."
"Oh, begitukah pendapatmu?" sergah Jade. "Sejak kapan kau
jadi pengambil keputusan" Kita kan bertiga, aku dan Chuck juga
punya hak suara." "Tapi telepon itu milikku," bantah Deena.
"Baik, kalau begitu Rob Morell mungkin perlu tahu siapa yang
diam-diam selalu meneleponnya." Jade berhenti sebentar, tersenyum
keji pada Deena yang ketakutan. "Atau," Jade meneruskan, "tunggu
sampai malam Minggu. Chuck, kau, dan aku bisa mendiskusikannya
lagi." ***************************
Malam Minggunya Deena semakin yakin bahwa ia telah
mengambil keputusan yang tepat. Bermain telepon adalah perbuatan
yang tidak baik, bagaimanapun ia harus menghentikannya. Lagi pula
ia hampir merasa pasti Chuck tidak akan sungguh-sungguh mengadu
pada ayahnya. Chuck kan juga ikut terlibat. Dan Jade... sahabatnya itu
tak mungkin mengkhianatinya, kan" Barangkali ia hanya terbawa
emosi. Yang menyenangkan, hubungan Chuck dan dirinya kini
semakin akrab. Seminggu ini Chuck sudah dua kali membantunya
mengerjakan pe-er trigonometri. Chuck juga menolongnya mencuci
piring-piring kotor kalau malam hari. Jade mungkin benar. Chuck
kesepian. Barangkali ia sedang berusaha menyesuaikan diri dengan
Shadyside. Sabtu malam, seperti biasa, orangtua Deena berkunjung ke
rumah teman-temannya. Agar diskusi itu berjalan lancar, Deena
membuat barbecue. Malam itu cuaca cerah, cocok untuk makan di
luar. Deena membuat hamburger isi keju dan salad kentang spesial
dengan bawang, tomat, serta irisan buah zaitun hitam.
Sementara itu, di luar, Chuck menyiapkan kayu bakar. Pintu
gerbang diketuk. Jade masuk dengan membawa sekotak besar es krim.
"Hm, baunya lezat," kata Jade. Ia mengenakan salah satu gaun
terusannya, terbuat dari kain dril kusam beraplikasi manyala. Deena
melihat Chuck memandang Jade dengan kagum, sebelum cowok itu
meneruskan pekerjaannya. Hamburger itu pas, hangus sebelah luarnya dan lunak bagian
dalamnya. Jade dan Chuck sampai dua-tiga kali menambah salad
kentang buatan Deena. Setelah makan malam, Chuck kelihatan santai.
Sejak kedatangannya di Shadyside, baru kali inilah Chuck terlihat
begitu santai. Mungkin semuanya akan berlangsung baik, pikir Deena. Ketiga
remaja itu duduk-duduk di kursi panjang di pekarangan belakang.
Mereka makan es krim sambil mendengarkan musik dari tape Deena.
Ketika malam tiba, langit pun menggelap dengan warna ungu tua.
Deena menyandarkan kepalanya, memandang bintang yang satu per
satu muncul di langit. "Makan malam yang menyenangkan, Deena," kata Chuck,
membuat Deena tersenyum. Biasanya Chuck tak mau memanggil namanya, hanya
menyebutnya kid. "Aku suka salad-nya," tambah Jade. "Semua terasa amat lezat."
Hm, pikir Deena, ini mungkin saat yang tepat untuk
membicarakannya. "Hai, teman-teman," katanya. "Kita harus
mengadakan pembicaraan serius. Menurutku acara telepon-teleponan
itu harus diakhiri."
"Oke," jawab Chuck.
"Baik," sahut Jade.
"Sebetulnya," Deena meneruskan, "kurasa..." Ia tiba-tiba
menghentikan kalimatnya. "Kalian mau bilang apa?" tanyanya.
"Kami setuju," jawab Jade. "Chuck dan aku telah
membicarakannya." "Ya," sahut Chuck. "Jade telah meyakinkan aku. Telepon gelap
itu bisa mengundang bahaya. Lebih-lebih karena ayah kita bekerja di
perusahaan telepon."
Deena memandang Chuck dan Jade bergantian. Benarkah Jade
sudah meyakinkan Chuck" Kapan mereka membicarakannya" Suka
atau tidak suka, sepertinya Jade punya pengaruh besar atas diri Chuck.
"Apa lagi yang mau kaubicarakan?" tanya Jade.
"Tak ada lagi," jawab Deena. Ia tak pernah mengira
kemenangan dengan begitu mudah dapat diraihnya.
Saat itu sudah gelap, tapi Deena bisa melihat tangan Chuck
yang menggenggam tangan Jade.
Deena iri dan mulai memikirkan Rob Morell. Hm, ia
seharusnya tak boleh iri. Ia harus gembira melihat keakraban Chuck
dan Jade. Kelihatannya mereka akan menjadi pasangan serasi.
Menurut Deena, menyenangkan sekali kalau bisa berada di situ
selamanya, berkumpul sambil makan es krim. Ketika lagu terakhir
berhenti mengalun, Deena bangkit untuk mengganti kasetnya. Baru
saja ia akan menekan tombol eject, sesuatu yang gelap menerpa
wajahnya. Ia menjerit sambil melompat ke belakang.
"Ada apa?" tanya Chuck.
"Ada kelelawar!" jerit Deena ketakutan. Ia menghindar, lewat
pintu sorong, dan bersembunyi di ruang baca. Di luar, kelelawar itu
terbang dengan gelisah mengitari lampu beranda belakang.
"Kelelawar" Hii!" jerit Jade. Ia melompat mundur dan lari
menyusul Deena. "Hai, gadis-gadis!" seru Chuck. "Jangan takut. Binatang itu
tidak bersenjata kok."
"Nggak lucu!" teriak Deena dari dalam. "Bagiku kelelawar itu
makhluk yang menjijikkan."
"Menurutku juga begitu," tambah Jade. "Chuck, masuklah
kemari." "Baiklah." Chuck mendorong pintu, berdiri di ambangnya
beberapa saat, membiarkan pintu itu tetap terbuka.
"Tutup pintu!" seru Jade dan Deena. "Cepat, tutuplah pintu!
Kelelawar itu akan ikut masuk ke sini!"
"Kelelawar, kemarilah!" seru Chuck. Tapi ia menutup pintu
juga dan menjatuhkan dirinya di kursi berlengan di dekat perapian.
"Kenapa kalian takut pada kelelawar?" tanyanya. "Apakah gadis-gadis
di kota kecil ini selalu takut apa-apa?"
"Manusia yang punya akal sehat biasanya takut pada
kelelawar," sahut Deena. "Ia penyebar rabies."
"Hm, kurasa bukan itu penyebabnya. Kalian takut gara-gara
takhayul. Sama seperti omong kosong tentang Fear Street itu."
"Fear Street bukan omong kosong," bantah Jade. Ia duduk pada
lengan kursi di sebelah Chuck. Menurut Deena, di bawah sinar lampu,
Jade tampak cantik sekali sekaligus ketakutan.
"Masa kalian tak mengerti juga?" sergah Chuck. "Cerita-cerita
yang pernah kalian dengar tentang Fear Street itu semuanya cuma
rekaan yang dibesar-besarkan. Semuanya isapan jempol yang sengaja
dibuat untuk menakut-nakuti orang"
"Sekadar informasi untukmu," kata Deena, "di hutan Fear Street
tak ada burung-burung. Para ilmuwan tak bisa menemukan sebabnya."
Chuck tertawa mengejek. "Tak ada burung- burung. Itu masalah
yang s-a-n-g-a-t besar."
"Orang-orang lenyap begitu saja," tambah Jade. "Rumah-rumah
terbakar secara misterius..."
"Aha!" seru Chuck. "Ada rumah-rumah. Jadi ada orang yang
tinggal di sana?" "Ya," jawab Deena.
"Siapa mereka" Monster, raksasa, penyihir, dan drakula?"
"Aku tak tahu," jawab Deena. Obrolan itu membuatnya gelisah.
"Aku tak kenal seorang pun yang tinggal di situ."
"Itulah masalahnya," tukas Chuck. "Kini akan kubuktikan
bahwa Fear Street tidak menakutkan. Akan kubuktikan bahwa yang
tinggal di situ adalah orang-orang seperti kita." Chuck menyalakan
lampu meja dan mengambil buku telepon.
"Chuck, mau apa kau?" tanya Deena. "Kau sudah janji..."
"Aku janji tak akan bermain telepon lagi," jawab Chuck. "Yang
kulakukan ini berbeda"aku mau mengubah pandangan kalian.
Setelah itu, pasti kalian tak akan ketakutan lagi."
Jari Chuck terhenti pada sebuah nomor di buku telepon. Ia
meraih telepon. "Kau mau menelepon siapa?" tanya Jade. Wajahnya berseriseri, seperti pada malam Minggu yang lalu.
"Aku belum tahu. Mungkin seseorang di Fear Street yang
namanya pertama kali kutemukan di buku telepon ini." Chuck
menghidupkan pengeras suara dan menekan nomor telepon. Dering
telepon pun memenuhi kamar itu. "Akan kubuktikan bahwa tak ada
yang perlu ditakutkan."
Telepon itu terus berdering, sampai lima belas kali"Deena
menghitungnya. Akhirnya Chuck berkata, "Kurasa tak ada orang di
rumah itu. Aku akan menelepon rumah yang lain..."
Pada dering yang keenam belas terdengar suara telepon
diangkat, disusul suara terengah-engah ketakutan. Deena mendengar


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisikan ketakutan, "Tolong! Tolong, cepatlah kemari! Ia akan
membunuhku!" 7 "SIAPA Anda?" desak Chuck.
"Tolong," pinta wanita itu. "Siapa pun kau, cuma kau yang bisa
menolongku! Sewaktu-waktu ia bisa..." Tapi suara wanita itu
terpotong oleh teriakan marah seorang pria. Ketika ketiga remaja itu
ketakutan, terdengarlah jeritan ngeri dan gelas-gelas pecah dari
pengeras suara telepon. "Halo" Halo?" seru Chuck.
Dan wanita itu membalasnya. "Tolong kemarilah!" pintanya
lagi. "Tolonglah aku! Kau satu-satunya yang bisa kuharapkan..."
Terdengar suara tamparan, dan suara orang lain yang bicara dengan
kasar di telepon. "Siapa kau?" tanyanya menggeram.
"Apa yang terjadi di situ?" balas Chuck.
"Bukan urusanmu," geram pria itu. "Kau salah sambung,
mengerti?" "Tapi kudengar..."
"Salah sambung!" ulang pria itu, menutup telepon.
Deena, Chuck, dan Jade saling berpandangan.
Jade yang kemudian memecahkan keheningan itu, suaranya
pelan dan ketakutan. "Itu tadi cuma main-main, kan, Chuck?"
tanyanya. Deena berpikir"atau berharap"yang sama. Tapi ketika ia
melihat wajah Chuck yang pucat, ia tahu kejadian tadi bukan mainmain.
"Itu sungguh-sungguh terjadi," sahut Chuck. "Kecuali kalau
orang itu ingin main-main denganku." Ia kelihatan marah dan geram.
"Oh, tidak," ujar Deena, kakinya tiba-tiba terasa lemah. "Apa
yang harus kita lakukan sekarang?"
"Kita harus menelepon polisi," jawab Jade, meraih telepon.
"Tunggu," cegah Chuck, merenggut pergelangan tangan Jade.
"Bagaimana kita menjelaskan telepon iseng itu pada polisi" Apakah
mereka akan mempercayai kita" Mereka pasti menganggap kita ini
cuma anak-anak yang membuat ulah."
"Seperti berita bohong mengenai bom itu," bisik Jade.
"Betul," jawab Chuck.
"Kita harus memberitahu seseorang," ujar Deena. "Suara wanita
itu begitu mendesak, seolah-olah ia benar-benar ada dalam bahaya.
Katanya orang itu akan... akan membunuhnya!"
"Mungkin yang dikatakannya itu juga bagian dari permainan
mereka," kata Jade, ragu-ragu.
"Itu tadi bukan main-main," tegas Deena. Ia berdiri. "Jika kalian
tak mau berbuat sesuatu, aku akan menelepon..."
Chuck mengambil telepon dari atas meja.
"Bisakah kau bersikap lebih tenang?" tegurnya. Ia meraih buku
telepon. Deena memberitahu Chuck, "Nomor telepon kantor polisi
sembilan-satu-satu."
"Aku tak mau menelepon polisi," jawab Chuck. "Aku akan cari
alamat." Ia membanting buku itu hingga tertutup lalu berdiri.
"Kau mau pergi ke sana?" tanya Deena ngeri.
"Aku harus ke sana," sahut Chuck. "Aku harus tahu apa yang
terjadi di sana." "Biarkan yang berwenang yang menanganinya. Bagaimana jika
benar-benar ada pembunuh di sana?"
"Aku harus menghentikannya. Kau dengar permintaan wanita
tadi. Aku satu-satunya harapannya."
"Aku ikut," kata Jade. Ia mengenakan mantel flanelnya. "Kau
tak boleh ke sana sendirian, Chuck."
Deena menarik napas dalam-dalam. "Kalian berdua memang
sinting. Mungkin aku juga. Aku yang akan menyopir. Chuck belum
tahu jalan di Shadyside." Deena mengambil kunci serep mobil ibunya
yang tergantung di bawah papan pengumuman di dapur, kemudian ia
keluar menyusul Chuck dan Jade.
Malam itu cerah, dingin, dan berbulan sabit.
Deena duduk di belakang kemudi, Chuck di sebelahnya, Jade
duduk di belakang. "Di mana alamatnya?" tanya Deena, mengendarai mobilnya
melalui jalan lingkar di halaman rumahnya.
"Fear Street Nomor 884," sahut Chuck. "Nama penghuninya
Farberson." "Delapan-delapan-empat!" seru Jade. "Rumah itu pasti terletak
di dekat kuburan." Deena merinding. Ia belum pernah ke Fear Street malam hari,
seperti umumnya penduduk Shadyside, ia selalu berusaha menghindar
dari sana. Ia membelok ke Division Street, yang membelah Shadyside
menjadi bagian utara dan selatan, kemudian ke selatan menuju Mill
Road, dan langsung menuju Fear Street. Meskipun lampu-lampu
menerangi jalanan dan hutan di situ, Deena seperti melihat bayangan
yang bergerak-gerak. Perasaan Chuck dan Jade pasti sama dengannya, karena tak
seorang pun berkata-kata sampai Deena membelokkan mobil ke Fear
Street. Jalan itu sekilas tak tampak berbeda dengan jalan-jalan lain, ada
rumah-rumah tua dan halaman-halaman kosong. Tapi setelah diamati
lebih dekat, terasa sekali perbedaannya.
Salah satunya, di situ tampak reruntuhan rumah tua Simon Fear,
yang habis terbakar beberapa tahun silam"tapi masih diisukan
berhantu. Hal lainnya, Fear Street tampak lebih gelap dan angker
dibanding tempat-tempat lain di kota itu. Suasananya sunyi senyap,
seperti tak ada kehidupan. Halaman berumput tak lagi hijau tapi
kecokelatan, pohon-pohon gundul, beberapa daunnya dimakan ulat.
Walaupun terlihat lampu-lampu menyala dari jendela rumah-rumah di
kedua sisi jalan itu, serasa tak ada kehangatan, kegembiraan orangorang yang tinggal di balik tirai jendela itu.
"Di mana alamatnya?" tanya Deena lagi. Ia berharap suaranya
tak terdengar setakut perasaannya.
"Delapan-delapan-empat," jawab Chuck.
"Tiga-lima-nol, empat-dua-dua," Jade membaca nomor-nomor
yang tertulis di kotak surat. "Jalan terus."
Deena menjalankan mobilnya lebih jauh menyusuri Fear Street.
Biasanya ia sangat suka mengendarai mobil mungil ibunya, tapi
malam itu ia berharap mobilnya bisa menjadi lebih besar dan lebih
kuat"seperti tank! Di kejauhan terlihat hutan Fear Street yang sunyi dan gelap.
Tmggal beberapa rumah lagi yang tersisa, dan Deena mulai berharap
Chuck keliru mencatat alamat rumah yang dicarinya. Mungkin bukan
Fear Street Nomor 884, sama sekali bukan Fear Street, tapi
Hawthorne, Mill Road, Canyon Drive, atau...
"Itu rumahnya, di atas sana!" seru Chuck.
Hanya tinggal sebuah rumah di depan mereka, letaknya terpisah
dari rumah-rumah di sekitarnya. Rumah itu bertingkat dua, bergaya
Victoria dengan atapnya yang hampir runtuh dan halamannya yang
tak terurus. Di belakangnya tak ada bangunan lagi"cuma kuburan.
Lampu mobil Deena menerangi kotak surat berkarat dengan
nomor "884". Ia memarkir mobil di depan rumah itu lalu mematikan
lampunya. Chuck, Deena, dan Jade mengamati rumah yang diliputi
kegelapan itu. Rumah itu tampak terbengkalai, seolah-olah telah
bertahun-tahun ditinggalkan penghuninya!
"Sepertinya tak ada orang di sana, Chuck," kata Deena.
"Mungkin kau keliru mencatat alamatnya."
"Mungkin," jawab Chuck ragu-ragu. "Tapi aku harus
mengeceknya." "Deena benar, Chuck," kata Jade, sangat gugup. "Pasti bukan
ini rumahnya." "Aku hanya ingin berkeliling sebentar. Kalian tunggu saja di
sini." Chuck membuka pintu mobil dan bersiap-siap keluar.
Deena langsung teringat kejadian yang lalu, ketika Chuck tanpa
rasa takut berlari menuju mobil yang terbakar, hanya untuk
menyelamatkan seekor anjing. Deena tahu, sekarang pun Chuck tak
dapat dibujuk untuk mengurungkan niatnya. "Ada senter di laci
mobil," katanya pada Chuck.
"Terima kasih," sahut Chuck. Ia mengeluarkan senter dari laci,
lalu di bawah sinar lampu mobil, ia memamerkan senyum konyol.
Setelah menutup pintu, ia menuju jalanan mobil yang telah rusak di
rumah itu. Deena dan Jade menunggu dalam kegelapan. Deena bermaksud
mengunci semua pintu mobilnya, tapi kemudian membatalkannya.
Sebentar lagi Chuck mungkin akan kembali dengan tergesa-gesa,
pikirnya. Di seberang jalan, yang tampak hanyalah kegelapan dan pohonpohon hutan Fear Street. Salah satu sisi rumah itu dibatasi oleh pagar
tembok yang mengelilingi kuburan. Di belakang rumah terlihatlah
bulan yang bersinar redup dan suram.
"Aku tak mau menunggu lebih lama lagi di sini!" kata Jade tibatiba. "Aku akan menyusul Chuck."
"Aku ikut," kata Deena. Kedua gadis itu keluar dari mobil dan
menyusuri jalanan menuju rumah itu, menyusul Chuck. Menurut
Deena, kerikil yang diinjaknya itu seperti bongkahan-bongkahan
tulang dan ia pun jadi merinding.
Mereka menemukan Chuck di beranda, sedang menempelkan
telinganya ke pintu. "Belnya mati," katanya. Ia mengetuk pintu, mulamula pelan-pelan, kemudian lebih keras.
"Semua tirainya tertutup rapat," katanya lagi. "Ayo ke belakang
rumah, mungkin kita bisa menemukan sesuatu."
Kedua gadis itu mengikuti Chuck, meninggalkan beranda dan
berjalan lewat samping rumah. Sesuatu yang lembut dan lengket
mengenai wajah Deena, ia pun menjerit tertahan. Ketika di-lapnya,
ternyata cuma sarang labah-labah. Deena bertanya-tanya sebesar apa
labah-labah yang bisa membuat sarang sebesar itu.
Jendela-jendela di samping rumah itu semuanya tertutup. Tapi
ketika mereka tiba di belakang rumah, Chuck mendadak memberi
isyarat dengan tangannya. "Sst!" bisiknya.
Kaca pintunya pecah setengah, daun pintunya nyaris terlepas.
Dikerumuni Jade dan Deena, Chuck menyorotkan senternya ke dalam,
terlihatlah dapur kuno. Di tengahnya terlihat meja yang terguling.
Lantai di sekitarnya penuh dengan pecahan mangkuk. Chuck
menyorotkan senternya ke rak dapur. Kaleng-kaleng dan botol-botol
terguling, tepung, gula, serta bumbu-bumbu tumpah ke rak dan ke
lantai. ebukkulawas.blogspot.com
Chuck bersiul pelan. "Tempat ini seperti habis dirampok,"
katanya. "Aku mau masuk." Ketika pintu dibuka, engsel-engsel pintu
itu berderit seperti ratapan seseorang yang sedang menunggu ajalnya.
Jantung Deena berdetak kencang, sangat kencang hingga ia
yakin Chuck dan Jade pasti mendengarnya. Sambil menahan napas, ia
mengikuti Chuck dan Jade memasuki dapur. Chuck maju selangkah
demi selangkah, menyorotkan senternya tepat di depan kakinya.
Kemudian ia mendadak berhenti hingga Deena dan Jade nyaris
menubruknya. Di balik pintu ruang tengah, terlihat tangan yang terjulur. Di
sebelahnya tergeletak gagang telepon. Di antara keduanya terlihatlah
percikan darah, mengalir dan mengental, menggenang di karpet.
8 BEBERAPA saat tak seorang pun bergerak. Lalu Chuck dengan
senternya mendekati pemandangan yang mengerikan itu. "Mundur!"
serunya pada kedua gadis itu. Ia membungkuk, dan berdiri kembali
dengan cepat. "Wanita," katanya dengan suara kering. "Kurasa ia ditikam."
"Ditikam?" jerit Jade.
"Kembali ke mobil!" kata Chuck. "Wanita ini pasti jadi begini
karena memergoki si pencuri. Mungkin pencuri itu masih ada di sini!"
Deena belum pernah merasa setakut itu. Kakinya menjadi
lemah bagaikan spageti yang terlalu lembek. "Ayolah," bisiknya.
"Jade... Chuck... ayo cepat pergi dari sini!"
"Kalian pergi duluan," sahut Chuck. "Aku akan menelepon."
"Telepon saja dari tempat lain," kata Jade.
"Tak sempat lagi!" jawab Chuck. "Kita harus memanggil
ambulans!" Ia meraba-raba dinding dan menekan tombol lampu.
Terang yang seketika itu menyebabkan Deena harus mengerjapngerjapkan mata, barulah ia bisa melihat dengan jelas. Deena merasa
pusing. Ia dan Jade melangkah dengan hati-hati ke ruang keluarga.
Wanita itu tengkurap di lantai. Di sampingnya tergeletak pisau besar,
berlumuran darah. "Ohh...," rintih Jade, mau pingsan. Ia menggenggam tangan
Deena. Deena melihat ke sekeliling ruangan, tapi pandangannya
menghindari si korban. Ruangan itu tampak seperti habis dilanda
angin topan. Lampu-lampu dan asbak-asbak pecah berkeping-keping
di lantai. Sofa robek, kapuknya berantakan keluar. Hiasan-hiasan
dinding miring semua letaknya.
Chuck bersandar ke salah satu meja, untuk menelepon. "Halo,"
katanya. "Aku ingin melaporkan..."
Belum selesai ia bicara, terdengar langkah kaki dari arah tangga
di sebelah kirinya. "Ada orang!" pekik Jade.
Seseorang yang tinggi besar, berjas panjang hijau dan memakai
kedok ski hitam, muncul di tangga. Tangan kanannya memegang
pembuka ban yang terbuat dari besi. "Apa yang kalian lakukan di
sini?" tanyanya menggeram, suaranya bergema.
"Kau yang menikamnya!" seru Chuck. "Kau ribut dengannya
dan menikamnya! Kau tak bisa meloloskan diri!"
"Letakkan telepon itu," kata laki-laki itu mengancam. Tergesagesa ia menuruni anak tangga yang terbawah. Pembuka ban itu
dipegangnya di depan dadanya, dan, ketika Jade dan Deena dengan
ngeri memandangnya, ia menghantamkan benda itu pada Chuck.
"Chuck!" jerit Deena. "Awas!"
Chuck melompat ke samping tepat ketika pembuka ban itu
terayun ke bawah, nyaris mengenai kepalanya. Mata Chuck jelalatan
ke sekeliling ruangan, kemudian tertuju pada wanita yang terkapar. Ia
melompat ke situ, laki-laki itu mengejarnya. Dengan cepat Chuck
memungut pisau, lalu mengancam laki-laki itu. "Menyerahlah,
Mister!" Laki-laki itu tertegun sejenak, lalu mengangguk pelan-pelan.
"Kau tak akan bisa menggunakan pisau itu," katanya. "Ayo,
letakkanlah." "Cepat lari!" seru Chuck pada kedua gadis itu.
Deena dan Jade lari melewati laki-laki berkedok itu menuju
pintu depan. Chuck mengarahkan pisau yang besar, berat, dan
berlumuran darah itu ke arah si penjahat.
"Letakkan pisau itu," ulang laki-laki itu dengan suara berat.
"Kau tak bisa menggunakannya." Diulurkannya sebelah tangannya
yang bersarung seolah-olah mau mengambil pisau itu dari tangan
Chuck. Chuck melompat ke pintu depan. Setiba di sana, ia
melemparkan pisau ke laki-laki berkedok itu. Pisau melewati kepala
orang itu, menghantam dinding, dan terjatuh ke lantai.
Chuck melesat ke luar, dan ketiga remaja itu berlari"
menyelamatkan diri. "Ayo cepat masuk ke mobil!" seru Chuck. Ia mendorong kedua
gadis itu ke bangku belakang, lalu ia lari berputar dan duduk di
belakang kemudi. "Deena, mana kuncinya!" teriaknya.
Dengan kalut Deena memeriksa semua kantong jaketnya. Di


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah sinar bulan mereka bisa melihat laki-laki berkedok itu
menyusuri halaman rumah, mengejar mereka. Menyadari hal itu,
Deena langsung teringat. "Kuncinya masih menempel di lubangnya."
Chuck menghidupkan mesin mobil dan menginjak pedal gas
dalam-dalam. Mobil melonjak ke depan dengan berdecit. Chuck
ngebut ke ujung jalan"ternyata buntu!
"Chuck!" seru Jade. "Cepat, Chuck! Laki-laki itu masuk ke
mobilnya." Deena menoleh dan melihat laki-laki itu masuk ke sedan kuno
yang diparkir di halaman rumah. Chuck memutar mobil. "Pegangan
kuat-kuat!" teriaknya. Ia memacu mobil sekencang-kencang. Mobil
laki-laki itu keluar halaman dan mengejar mereka.
Chuck menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil bagai terbang
melewati rumah-rumah yang gelap di sepanjang Fear Street menuju
Mill Road. Oh, terlambat! Dari arah selatan, Deena melihat truk besar
melaju dengan cepat. "Awas!" jeritnya.
Chuck membanting kemudi, Honda itu pun selamat. Truk terus
melaju, meninggalkan mereka sambil membunyikan klakson. Mobil
kecil itu pun terus melaju.
"Awas tercebur ke got!" seru Deena.
Akhirnya Chuck bisa menguasai kemudi. Sambil menarik napas
lega, ia mengendarai mobilnya ke utara, ke Mill Road.
"Laki-laki itu masih mengejar kita!" teriak Jade. "Lebih cepat
lagi, Chuck!" "Lewat mana?" seru Chuck.
"Belok kiri!" sahut Deena. Mobil kecil itu terlonjak ketika
Chuck membelokkannya ke Canyon Drive. Laki-laki berkedok itu
masih membuntuti mereka. "Belok kanan!" jerit Deena. "Sekarang
belok kiri!" Mobil kecil itu membelok dengan kencang hingga Deena
berpikir bisa-bisa mobil itu terguling dan bagian-bagiannya terlepas.
Mobil menerjang lubang di jalanan, hingga kepala Deena terbentur
atap. Sebelum Deena sempat mengembalikan keseimbangannya,
Chuck telah membelokkan mobil, dan membelokkannya lagi ke jalan
yang sempit dan kotor. "Apakah ia kehilangan jejak kita?" tanya Jade lemah.
"Kurasa begitu," sahut Chuck, berusaha keras melihat ke
belakang melalui kaca spion mobilnya.
"Ayo pulang saja," pinta Deena, sangat letih. "Kita akan aman
setelah berada di rumah."
Chuck mengarahkan mobilnya menuju Park Drive dan
kemudian ke North Hills, tempat keluarga Martinson tinggal.
Ketiga remaja itu menarik napas dalam-dalam ketika mobil
mereka akhirnya memasuki jalan lingkar rumah Deena. Chuck
mematikan mesin mobil. Beberapa saat mereka tinggal di mobil,
mengatur napas. Tiba-tiba mereka mendengar decit ban dan suara mobil yang
menanjak menuju rumah mereka. Dengan takut-takut, Deena
memandang ke jalan di bawah sana dan melihat sorot lampu mobil
yang bergerak mendekat. "Oh, celaka!" seru Chuck. "Itu pasti dia!"
9 "AYO masuk ke rumah!" seru Chuck. "Kita akan aman di
sana." Ketiga remaja itu bergegas keluar mobil menuju beranda. Tapi
sebelum mereka sempat masuk rumah, mobil yang ditumpangi lakilaki itu meraung menuju beranda, lampunya bersinar terang bagai
mata setan. Mobil itu membelok ke jalan lingkar di halaman rumah
Deena, meninggalkan kerikil beterbangan di belakangnya.
Tapi mobil itu tidak berhenti, cuma melewati jalan lingkar, lalu
kembali melaju ke Pine Road ke arah kota.
"Ia sudah pergi," kata Jade, suaranya bergetar.
"Ayo masuk," ajak Chuck. "Kita sudah selamat."
Deena ikut masuk. Ia berharap orangtuanya sudah tiba di
Bulan Jatuh Dilereng Gunung 15 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Thian Liong Pat Poh Karya Jin Yong Para Ksatria Penjaga Majapahit 11
^