Pencarian

Salah Sambung 2

Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number Bagian 2


rumah. Ia juga berharap, tangannya berhenti gemetaran.
Chuck menelepon 911. "Halo," katanya. "Tolong kirimkan
ambulans ke Fear Street Nomor 884. Ada wanita yang ditikam.
Namaku" Sebut saja aku... Hantu Fear Street." Chuck menutup
telepon. "Chuck!" seru Deena terkejut. "Kenapa kausebut namamu
begitu!" "Aku tak bisa memberitahukan namaku. Bisa-bisa aku malah
celaka. Mereka pasti ingin tahu kenapa kita ke rumah itu. Bagaimana
menjelaskannya?" "Tapi laki-laki itu?" protes Deena. "Tak bisakah kita
melaporkannya?" "Kita tak melihat wajahnya," tegas Chuck. "Kita tak bisa
mengidentifikasi dia"sebaliknya dia tahu rumah kita. Moga-moga
polisi segera menangkapnya."
Deena merasa aneh karena mereka tak berbuat sesuatu. Tapi ia
berharap Chuck benar. Ia menguap, kejadian malam itu membuatnya
amat letih. Chuck duduk di sofa di sebelah Jade, membelai rambut
Jade dengan lembut. Deena terkejut melihat bekas air mata di wajah
temannya. "Kejadian tadi sungguh mengerikan," kata Jade. "Aku berharap
segera terbangun dan menyadari itu cuma mimpi seram!"
"Itu tadi sungguh-sungguh, Jade, bukan mimpi," tegas Chuck,
"tapi kini semuanya telah berakhir."
Deena melihat Jade agak santai setelah mendengar perkataan
Chuck. Tapi ia sendiri tak yakin apakah pendapat kakaknya itu benar.
Benarkah masalahnya telah tuntas"
***************************
Larut malam Deena terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Ia
mendengar decit ban mobil. Jantungnya berdegup kencang, tapi ia
segera tenang kembali. Aku pasti sedang memimpikan kejadian tadi,
pikirnya. Ia menduga Chuck dan Jade mungkin sedang mimpi seram
juga. Sebelum tengah malam, ia dan Chuck mengantarkan Jade
pulang. Ketika tiba kembali di rumah, orangtua mereka belum juga
pulang. Deena gelisah sebentar di tempat tidurnya lalu segera tertidur
dengan sangat nyenyak. Tapi sekarang"ia mendengar bunyi itu lagi.
Ada mobil yang melewati jalan lingkar rumahnya yang
berkerikil. Terdengar pintu mobil ditutup, lalu seseorang menyusuri jalan
lingkar itu menuju rumahnya.
Ohhh, keluh Deena dalam hati. Semoga ia bukan laki-laki
berkedok itu.... Bel berbunyi. Tak lama terdengar langkah-langkah kaki menuju
pintu. Deena masih berbaring di tempat tidur, takut bangun. Lalu ia
mendengar suara ayahnya yang mengantuk, "Tunggu sebentar!"
Kemudian terdengar ayahnya menuruni tangga. "Tunggu sebentar!"
"Dad, jangan! Jangan buka pintu!" Deena melompat dari tempat
tidur dan berlari menyusuri koridor, tapi sudah terlambat. Ayahnya
telah memutar anak kunci lalu membuka pintu.
Dengan kalut, Deena mencari-cari sesuatu untuk dipakai
sebagai senjata. Ia menemukan vas bunga hijau besar di anak tangga
teratas. Dengan tangan gemetar, ia merenggut vas itu dari tempatnya.
Lalu pelan-pelan ia menuruni tangga.
Ketika pintu terbuka, Deena mengira akan melihat laki-laki
berkedok itu lagi di beranda. Ternyata bukan dia, melainkan dua lakilaki berjas. Yang satu tinggi kurus, yang lain gemuk pendek. Mereka
kelihatan seperti pelawak.
"Mr. Albert Martinson?" tanya si jangkung.
"Ya," jawab ayah Deena.
"Saya Detektif Frazier dari Kepolisian Shadyside," kata si
jangkung. "Ini partner saya, Detektif Monroe. Kami minta maaf
karena membangunkan Anda di tengah malam begini, tapi kunjungan
kami ini amat penting. Apakah di sini tinggal tiga remaja"satu
pemuda dan dua gadis?"
"Anak saya cuma dua," sahut Mr. Martinson. "Laki-laki dan
perempuan. Ada apa sebenarnya?"
"Bisakah kami berbicara dengan mereka sebentar?" pinta si
jangkung. "Tahukah Anda pukul berapa sekarang?" tanya Mr. Martinson.
"Mereka sudah tidur. Kenapa tidak..."
"Kami cuma ingin menanyakan beberapa hal kepada mereka,"
desak Frazier. "Ayolah, Sir. Kami tak ingin masuk dengan paksa."
"Baiklah, baiklah," gumam Mr. Martinson.
Deena melihat ayahnya menyilakan kedua laki-laki itu masuk
ke rumah. Mula-mula ia lega karena yang datang bukan laki-laki
berkedok melainkan dua orang detektif. Tapi rasa lega itu segera
berubah menjadi ketakutan yang lain. Ia tak tahu apa yang tengah
terjadi, tapi ia merasakan adanya bahaya.
Ia mengembalikan vas bunga ke tempatnya lalu menuruni
tangga. "Daddy," katanya.
Mr. Martinson meletakkan lengan di bahunya seakan-akan ingin
melindunginya. "Mereka ini detektif," jelasnya. "Mereka ingin
menanyakan sesuatu padamu dan Chuck."
Mrs. Martinson yang ikut terbangun sedang menuruni tangga. Ia
mengenakan baju tidur warna perak. Mom tampak seperti bintang film
kalau rambutnya yang lebat itu tergerai, pikir Deena.
"Albert, ada apa?" tanyanya.
"Detektif-detektif ini mau menanyakan sesuatu pada Deena dan
Chuck." "Pukul dua dini hari begini?" protes Mrs. Martinson.
"Mereka bilang ini sangat penting," jawab suaminya.
"Ajaklah mereka ke dapur," ujar ibu Deena. "Akan kusiapkan
kopi." Ketika melewati pintu ruang bawah, Mr. Martinson berteriak
membangunkan Chuck, "Ada orang yang ingin bertemu denganmu!"
Beberapa saat kemudian Chuck memasuki dapur, mengusapusap matanya yang mengantuk. Ia mengenakan celana pendek jins dan
T- shirt hijau. Saat ia melihat polisi tersirat rasa takut di matanya. Tapi
rasa takut itu langsung digantikan oleh sikap menantang dan angkuh.
Ibu Deena membuat kopi. "Silakan duduk," ujarnya pada kedua
polisi itu. "Terima kasih, Ma'am," sahut Monroe. "Kami berdiri saja." Ia
dan Frazier memilih bersandar di pintu.
Mrs. Martinson duduk di sebelah Deena di balik meja dapur
yang besar. Ia dan suaminya tampak cemas, tapi kedua detektif itu
tetap berwajah dingin. Ada apa" pikir Deena. Apakah ada hubungannya dengan
kejadian di Fear Street tadi malam" Mungkin polisi ingin menjadikan
Chuck dan dirinya saksi. Tapi bagaimana mungkin polisi bisa
menemukan mereka" Detektif Frazier mencatat semua yang ditanyakan rekannya
pada Deena dan Chuck, nama, umur, dan sekolah mereka. Kemudian
ekspresi wajahnya berubah serius. "Kalian ada di mana antara pukul
21.30-23.00 tadi malam?" tanyanya.
Deena mau buka mulut, tapi Chuck lebih dulu menyahut. "Kami
ada di rumah," katanya. "Kami memanggang hamburger, kemudian
mengobrol dan nonton teve."
Dengan wajah bertanya Deena memandang Chuck, tapi Chuck
tak mau balas memandangnya. Ia tahu kenapa Chuck harus
berbohong. Jika ayahnya sampai tahu apa yang mereka lakukan,
Chuck akan menghadapi bahaya besar. Tapi Deena mempunyai
firasat, Chuck kini sudah dalam bahaya besar!
Detektif itu berpaling ke Deena. "Benarkah begitu, Miss?"
tanyanya. "Benarkah kau bersamanya?"
Deena menelan ludah. "Ya," bisiknya.
"Apa?" tanya Detektif Monroe. "Bicaralah yang jelas."
"Ya," ulang Deena.
"Apakah ada orang lain bersama kalian?" tanya Frazier.
"Tidak," sahut Chuck.
"Ya," sahut Deena bersamaan dengan Chuck.
"Hmm," ujar detektif. "Mana yang benar" Ya atau tidak?"
"Tidak," gumam Deena. "Kami cuma berdua."
Beberapa saat tak seorang pun dari kedua polisi itu bersuara.
Kemudian mereka bertukar pandang. Akhirnya Detektif Frazier yang
berbicara. "Kalian kenal dengan Mr. atau Mrs. Farberson yang tinggal
di Fear Street Nomor 884?" tanyanya.
"Tidak," sahut Chuck. Dengan terkejut Deena memandang
kakaknya. Perutnya mulai terasa tak enak. Kebohongan itu semakin
menjadi-jadi. Sang detektif mengarahkan pertanyaan-pertanyaannya
ke suatu hal... tapi apa"
"Apakah salah satu dari kalian pernah berbicara dengan Mr. dan
Mrs. Farberson melalui telepon?" tanya Detektif Monroe.
"Tidak," sahut Chuck.
"Atau mengunjungi mereka di rumahnya di Fear Street?"
"Tidak," jawab Chuck meledak. "Sudah kukatakan kami tak
kenal siapa itu Farberson! Berapa kali kami harus menegaskannya?"
Deena memandang Chuck. Ia tampak, marah, tapi ekspresinya tidak
sepenuhnya marah. Deena tiba-tiba sadar, Chuck ketakutan"sama
seperti dirinya. Mr. Martinson menghampiri kedua detektif itu. "Anda telah
mendengar keterangan mereka," katanya dengan nada marah. "Anakanak saya bukan pembohong. Sekarang cepat katakan terus terang apa
sebenarnya yang Anda inginkan!"
Sekali lagi kedua polisi itu bertukar pandang. "Kami punya
saksi yang keterangannya bertentangan dengan keterangan kedua anak
muda ini," kata Monroe. "Benarkah kau tak ingin mengubah
penjelasanmu?" "Aku telah menceritakan yang sebenarnya," sahut Chuck. Ia
menatap lurus ke depan. Deena melihat otot-otot pipinya menegang.
Dad berdiri dengan masygul, tangannya mengepal. Sementara ibu
Deena duduk dengan gelisah sambil mencabik-cabik tisu.
Siapa yang jadi saksi" Deena berpikir. Jade-kah" Rasanya tidak
mungkin, sebab ia juga terlibat. Atau barangkali ada tetangga yang
melihat kejadian itu" Tapi kami tadi tak melihat seorang pun. Kami
tak melakukan sesuatu yang keliru, Deena mengingatkan dirinya. Apa
pun yang terjadi, kami tak bersalah.
Detektif Frazier mendesah. "Mr. Stanley Farberson adalah saksi
itu," katanya. "Menurutnya, kalian berdua dan seorang remaja lain
masuk ke rumahnya dan merampok di sana. Lalu, istrinya yang tak
disangka-sangka pulang, kalian bunuh."
Deena terperangah. "Hah?"
"Itu cerita ngawur!" kata Chuck. "Pertama, kami tidak pergi ke
Fear Street. Kedua, untuk apa kami mencuri apalagi membunuh."
"Ia mengaku telah melihat kalian," kata Detektif Frazier. "Ia
memberikan nomor mobil kalian"dan nomor itu ternyata cocok."
"Tapi bagaimana dengan pria..." celetuk Deena.
"Deena, tenanglah!" potong Chuck.
"Detektif Frazier!" seru ayah Deena. Meskipun mengenakan
baju tidur usang, ia kelihatan galak dan mengerikan, pikir Deena.
"Apakah anak-anak saya dituduh melakukan tindakan kriminal?"
"Dituduh?" tanya Frazier. "Belum. Tapi kami punya..."
"Tunggu!" potong Mr. Martinson. Ia memandang Deena.
"Deena," katanya, "apakah kau melakukan sesuatu yang menyebabkan
dia menuduhmu?" "Tentu saja tidak, Dad," sahut Deena. "Yang terjadi adalah..."
Dad memotong kata-katanya dengan gelengan kepala. Ia
berpaling pada Chuck. "Chuck, apakah kau yang melakukannya?"
"Tidak," jawab Chuck, cemberut. "Aku tak tahu apa-apa."
Dengan cemas, Deena memandang sekilas pada Chuck.
Ayahnya menghampiri Detektif Frazier. "Saya tak tahu apa yang telah
terjadi malam ini," katanya, "tapi saya kenal anak-anak saya sendiri.
Mereka tak mungkin melakukan perbuatan seperti itu, dan mereka
takkan berbohong pada saya. Saya tahu Anda hanya menjalankan
tugas, tapi tak saya izinkan mereka berkata apa-apa lagi tanpa
pengacara." Detektif Frazier mengangguk, tak terkejut mendengar ucapan
Dad. "Saya akan membawa mereka."
"Untuk apa?" teriak Mr. Martinson. "Karena ada orang gila
yang bilang bahwa ia melihat mereka di suatu tempat" Anda tak
punya bukti..." "Bukti yang kami miliki sudah cukup untuk mengadakan
pemeriksaan lebih lanjut," kata Frazier. "Kami telah mengecek mobil
Anda. Bumper depan dan semua bannya tertutup lumpur berpasir
hijau yang hanya terdapat di Fear Street tempat Farberson tinggal.
Lumpur itu masih lembap. Sesungguhnya, mobil Anda itu baru dari
sana." Detektif itu memandang Deena dan Chuck dengan agak
prihatin. "Jangan membuat masalah lebih rumit," katanya. "Ikutlah ke
kota, tanpa paksaan. Kalau tidak mau, aku akan kembali lagi"dengan
surat penahanan!" 10 SEJAUH ini, semuanya beres.
Rencananya berhasil dilaksanakan, bahkan dengan lebih
gemilang daripada yang dapat dipikirkannya. Nasib baik sedang
berpihak padanya. Semua yang terjadi jelas-jelas memberinya
keuntungan. Kini ia hanya perlu menunggu seminggu lagi.
Menunggu tanpa berbuat sesuatu"kecuali bila ada orang yang
menghalangi jalannya. Kalau itu terjadi"hmm, tak sulit untuk
melakukan satu pembunuhan lagi. Malah bisa-bisa itu akan lebih
mudah dibanding yang pertama.
11 Minggu ketiga September HARI Minggu, Deena bangun pukul dua siang. Ia berbaring
sebentar di tempat tidur, kebingungan. Lalu kejadian tadi malam
teringat kembali olehnya bagai mimpi buruk.
Kedua detektif itu menyita Honda Civic ibunya untuk bukti. Ia
dan Chuck disuruh duduk di bangku belakang mobil mereka, lalu
dibawa ke kantor polisi. Mr. dan Mrs. Martinson membuntuti mereka
dengan BMW. Sebelum turun, Chuck berbisik ketus, "jangan cerita apa-apa,
Deena. Kita tak bersalah. Apa pun yang kaukatakan bisa
memperburuk keadaan."
Kantor polisi itu tampak seperti yang ada di film. Ada petugas
bertampang galak, sersan jaga berambut kelabu, dan sederet meja
kerja abu-abu metalik penuh berkas-berkas. Meskipun malam sudah
sangat larut, masih ada juga petugas berseragam yang mengisi laporan
dan berbicara di telepon.
Cuma sebentar Deena sempat mengamati tempat itu. Begitu tiba
ia dan Chuck langsung dipisahkan. Ia dibawa ke ruangan kecil yang
tak berjendela. Ia duduk di salah satu bangku yang mejanya berlapis
linoleum, sementara kedua detektif itu menginterogasinya. Mereka
mencecarnya untuk mencari tahu di mana Jade kini berada.
Deena ingin bercerita jujur, tapi ia teringat pesan Chuck. Ia juga
tak mau melibatkan Jade. Beberapa saat kemudian Sidney Roberts,
pengacara ayahnya, muncul.
Ia membicarakan beberapa istilah hukum dengan para detektif
itu. Tak lama mereka pun meninggalkan ruangan. Deena amat letih
hingga ia tak peduli pada apa yang terjadi. Ia membayangkan dirinya


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di penjara. Tapi paling tidak di situ masih ada tempat untuk berbaring,
pikirnya. Ia terbangun ketika ayahnya mengguncangnya. Ia tertidur di
meja, tangannya menopang kepalanya. "Ayo, Nak," ujar ibunya. "Kita
pulang sekarang." Deena berdiri dengan sempoyongan, masih mengantuk. "Apa
yang terjadi?" tanyanya.
"Kami membebaskanmu"untuk sementara," kata Detektif
Monroe dari pintu. "Tapi kami akan menginterogasimu lagi. Jangan
meninggalkan kota ini."
Deena ingin tertawa. Tentu saja, pikirnya, memangnya aku mau
ke mana" Lagi pula, adakah tempat di mana aku dapat terbebas dari
mimpi buruk ini" Ia berjalan mengikuti kedua orangtuanya, menyusuri koridor
sampai ke luar bangunan. Udara dingin. Di ufuk timur, matahari mulai
terbit. Baru kali ini ia bergadang. Ketika tiba di tempat parkir, tibatiba ia teringat. "Chuck!" serunya. "Mana Chuck?"
"Mereka menahan Chuck," jawab ayahnya, muram.
"Apa?" ujar Deena, matanya terbuka lebar karena shock.
"Ini bukan kali pertama ia berurusan dengan polisi," lanjut
ayahnya, cemas dan sedih. "Di Center City tahun lalu, Chuck dan
beberapa temannya ditangkap ketika mereka sedang berhura-hura
dengan mobil curian."
"Tapi," protes Deena, "itu sama sekali tak ada kaitannya dengan
kejadian tadi malam!"
Tiba-tiba ayahnya tampak sangat tua, sangat renta. "Polisi telah
memeriksa file Chuck di Center City," tuturnya. "Di situ tercantum
sidik jari Chuck. Dan... sidik jari itu sama dengan yang terdapat pada
pisau yang dipakai membunuh Mrs. Farberson."
12 DEENA berdiam diri sepanjang perjalanan ke rumahnya. Ia
memandang ke langit yang masih gelap. Susah payah ia mencoba, tapi
ia tetap tak bisa melupakan kejadian mengerikan di Fear Street.
Semuanya terekam terus dalam ingatannya. Ruang keluarga yang
berantakan, wanita yang tergeletak di lantai, pisau, dan darah.
Ingin sekali ia menceritakan semua itu pada orangtuanya.
Mungkin ia bisa melupakan kejadian mengerikan itu kalau ia
mengeluarkan unek-uneknya. Tapi bagaimana menjelaskannya" Dari
mana ia harus memulai"
Ayahnya yang kemudian memecahkan keheningan itu. "Aku
benar-benar tak mengerti," katanya bingung. "Kalau kalian tak
terlibat, bagaimana mungkin sidik jari Chuck bisa ada di pisau itu?"
"Aku... mmm..." Deena tiba-tiba merasa ketakutan. Serasa ia itu
balon yang mau meletus. "Apa?" tanya ayahnya tak sabar.
Deena tak bisa menahan diri lagi. "Tentu saja sidik jari Chuck
ada di pisau itu!" jeritnya. "Tapi ia bukan pembunuhnya! Wanita itu
sudah meninggal! Dad harus percaya padaku! Harus!"
Lalu ia menangis tersedu-sedu.
"Tenanglah, tenang," bujuk ibunya lembut. "Kita akan
membicarakannya setiba di rumah nanti."
Mr. Martinson terus mengemudikan mobil. Pandangannya lurus
ke depan. Dari kaca spion, Deena bisa melihat mata ayahnya yang
dingin dan beku. *************************
Meskipun hari masih pagi-pagi buta, Jade langsung datang
setelah Deena meneleponnya. "Mungkin kita berdua bisa
menjelaskannya pada orangtuaku," kata Deena ketika membukakan
pintu. "Kalau sendirian, aku tak yakin bisa menjelaskan dengan baik."
Jade ketakutan. Matanya memerah. Ia sepucat hantu. Sweter
usang yang dipakainya berlubang. Salah satu lengannya bernoda.
"Benarkah Chuck dipenjara?" bisiknya saat menuju dapur untuk
menemui orangtua Deena. "Ya. Umurnya sudah delapan belas tahun. Jadi mereka
menganggapnya sudah dewasa."
"Tapi ia tak bersalah!" protes Jade. "Bagaimana dengan uang
jaminan" Apakah ayahmu bisa membebaskannya?"
"Uang jaminan tak berlaku untuk kasus pembunuhan," sahut
Deena. Pembunuhan. Ia sendiri tak yakin bisa mengucapkannya.
"Kau harus menolongku," pinta Deena, meremas tangan Jade.
Mereka masuk ke dapur yang terang. Mr. dan Mrs. Martinson
menyambut Jade tanpa senyum. Mrs. Martinson segera menuangkan
secangkir kopi untuk Jade.
"Oke. Kalian sudah ada di sini," kata Mr. Martinson dengan
nada suram. "Berceritalah dari awal."
Sambil menahan tangis dan menghirup kopi dengan tangan
gemetar, Deena dan Jade bercerita. Mulai dari telepon iseng sampai
kunjungan mereka ke Fear Street, dan pria mengerikan yang mengejar
mereka. Usai mendengar cerita itu, kedua orangtua Deena berdiam diri
lama sekali. Mereka memandang ke lantai sambil menggeleng-geleng.
"Jadi kejadiannya bermula dari telepon iseng?" tanya Mr.
Martinson akhirnya. "Dan berakhir pada pembunuhan itu," bisik Jade sedih.
"Tapi keduanya tak berhubungan!" desah Deena sedih. Sulit
dipercaya bahwa telepon iseng yang dilakukannya pada Rob Morell
dan teman-teman sekolahnya baru terjadi dua minggu lalu.
Rasanya seperti dua tahun lalu.
"Sungguh, kami tak bermaksud jahat, Mr. Martinson," kata
Jade. "Kami cuma menggoda teman-teman sekolah."
"Aku tak mengerti. Bagaimana Chuck sampai bisa ikut-ikutan?"
tanya ibu Deena. "Ia menyadap telepon kami," jelas Jade. "Lalu... mmm... ia ikut
menelepon. Secara tak sengaja ia menelepon rumah Farberson."
"Maksudmu?" tanya Mr. Martinson.
"Itu dilakukannya karena kelelawar itu," kata Deena.
"Kelelawar?" seru ibunya kesal. "Deena, tolong jangan
mengarang-ngarang cerita!"
Deena mengesah. Ceritanya itu memang kedengaran tak masuk
akal. Kalau orangtuanya saja tak percaya, bagaimana dengan polisi"
************************ "Jelas sekali gadis itu ingin melindungi kakaknya," bisik
Detektif Monroe pada Detektif Frazier. Cukup keras hingga Deena
mendengarnya. Waktu itu Minggu siang. Deena dan Jade baru saja
menuturkan segalanya, mulai dari awal. Tapi ekspresi wajah kedua
detektif itu jelas-jelas menunjukkan bahwa mereka hanya
mempercayai sebagian cerita Jade dan Deena"bagian yang
kelihatannya semakin memperburuk keadaan Chuck.
"Coba ceritakan dengan lebih terperinci," pinta Detektif Frazier.
"Kapan Chuck melakukan teror lewat telepon itu"sebelum atau
sesudah ia mengarang cerita bohong mengenai bom?"
"Sepertinya Anda ingin menambah rumit masalah!" kata Deena.
Ia berusaha menguasai diri untuk tidak menangis. "Telepon iseng itu
cuma dilakukannya beberapa kali."
"Bagaimanapun, cerita bohong tentang bom itu merupakan
masalah serius," ujar Detektif Frazier. "Kau bilang, ia menyebut
dirinya Hantu Fear Street?"
"Cuma pada satu atau dua kali telepon isengnya," sahut Deena.
"Ada orang yang menyebut dirinya Hantu Fear Street ketika
menelepon 911, setelah peristiwa pembunuhan di rumah Farberson,"
ujar Frazier. "Itu Chuck," kata Jade.
"Kenapa ia menyebut dirinya begitu?" tanya Frazier. "Kalau
memang ia bukan pembunuhnya, kenapa tak mau menyebutkan
namanya?" "Sebab... oh, kami telah menceritakannya pada Anda!" Deena
amat kesal sampai menjerit. "Ia sudah bermasalah. Ia dikeluarkan dari
sekolahnya, ia berkelahi di kafetaria..."
"Benar-benar sosok pemuda kota metropolitan," kata Frazier
kasar. "Teruskanlah," pinta Detektif Monroe, "kembali ke malam
pembunuhan itu. Kau bilang, Chuck menemukan nomor Farberson
secara acak dari buku telepon?"
"Betul," jawab Jade dan Deena serentak.
"Dan itu dilakukannya karena kalian takut kelelawar?" Wajah
Monroe kelihatan tak percaya.
Deena cuma bisa mengangguk. Tak heran kalau polisi tak
mempercayainya. Di telinganya sendiri pun cerita itu kedengaran
sinting. Tapi memang begitulah yang terjadi.
"Lalu kalian putuskan untuk ke Fear Street"sendirian?"
"Kami sempat berpikir untuk menelepon polisi," sahut Jade.
"Tapi kata Chuck, kalian pasti tak mempercayai kami. Dan ia betul!
Anda tak percaya!" "Hhh," desah Detektif Monroe. "Lalu kalian ke sana,
mendobrak pintu belakang..."
"Pintu itu sudah didobrak," kata Deena.
"Baik," ujar Monroe. "Lalu kalian temukan mayat Mrs.
Farberson." "Kami tak tahu siapa dia," ujar Deena.
"Chuck mengira ia masih hidup," tambah Jade.
"Chuck lalu menelepon ambulans," kata Deena.
"Pada saat itulah laki-laki dalam dongeng itu muncul," ujar
Detektif Frazier. "Ia bukan tokoh dongeng!" kata Deena. "Ia benar-benar ada! Ia
yang masuk dan merampok rumah itu. Ia membunuh Mrs. Farberson.
Ia masih ada di sana ketika kami tiba! Kenapa bukan dia yang kalian
cari, malah Chuck yang kalian penjara?"
"Siang tadi, Farberson mengidentifikasi Chuck sebagai
pelakunya," jawab Monroe datar.
"Sidik jari Chuck ditemukan pada pisau yang dipakai untuk
membunuh," kata Frazier. "Tak ada sidik jari lain."
"Tapi kami telah jelaskan!" protes Deena. "Ketika laki-laki
berkedok itu... oh, apalah gunanya dijelaskan lagi?" Ia mengerjapkan
mata agar tak menangis, lalu mencuri pandang melihat Jade. Seperti
dirinya, Jade juga tampak bingung. Ia kelihatan pucat, seperti akan
jatuh sakit. Selama beberapa saat tak seorang pun dari kedua polisi itu
berbicara. Kemudian Monroe memulai, "Pencuri saja akan kabur
kalau melihat tiga orang masuk ke rumah yang dijarahnya, apalagi
pembunuh. Tapi kata kalian itulah yang terjadi. Masuk akalkah itu?"
"Benar-benar tak masuk akal," tambah Frazier. "Kenapa ia
biarkan kalian melihatnya" Kenapa ia tak bersembunyi sampai kalian
pergi dari sana" Atau kabur saja sebelum terlihat oleh kalian?"
"Kenapa ia justru mengejar kalian?" ujar Monroe. "Kalau benar
ia pembunuhnya, ia pasti tak akan mengejar-ngejar kalian lalu
melepaskannya begitu saja."
"Kami tak tahu kenapa ia berbuat begitu!" seru Deena. "Tapi
yang kami ceritakan itu semuanya benar!"
Detektif Monroe mendesah. "Dengarkan aku, Deena, Jade.
Kesetiaan itu penting. Aku juga selalu menanamkannya pada anakanakku. Tapi kesetiaan itu akan jadi tak baik, kalau menyebabkan
dirimu berbohong, cuma karena ingin melindungi orang yang
bersalah. Kami tahu, kalian sangat ingin menolong Chuck, tapi cerita
omong kosong ini tak akan bisa meringankan kesalahannya."
"Itu tadi bukan omong kosong," protes Deena. "Itu cerita yang
sebenarnya." "Sudahlah, gadis-gadis," Detektif Frazier menasihati. "Dusta itu
akan semakin membuat kalian bersedih. Chuck cuma bisa kalian
tolong kalau kalian bersedia menceritakan kejadian sebenarnya.
Pikirkanlah baik-baik, lalu ceritakan pada kami."
13 MINGGU malamnya, Deena tak bisa tidur. Kejadian Sabtu
malam dan Minggu dini hari memenuhi pikirannya. Sungguh sial,
polisi tak mempercayainya dan Jade. Padahal ia harus tetap masuk
sekolah dan bertemu teman-temannya. Mereka pasti segera tahu
bahwa ia, Jade, dan Chuck terlibat kasus pembunuhan.
Senin pagi, ia bertemu Jade di tempat parkir. Jade memakai
gaun tanpa lengan berwarna biru tua dan jaket wol merah muda pucat.
Pakaiannya berwarna-warni seperti biasanya, tapi ekspresinya muram.
Senyum menggoda yang selalu menghias bibirnya, pagi ini tak
kelihatan. "Kau sudah baca ini?" tanyanya, menyodorkan Morning Press
pada Deena. Deena membuka koran itu. Di kanan atas terdapat sebuah
artikel. Judulnya ditulis dengan huruf cetak tebal, bunyinya:
REMAJA SETEMPAT DITUDUH SEBAGAI PEMBUNUH Di bawahnya, subjudulnya ditulis dengan huruf yang lebih
kecil. Pemuda 18 Tahun Terlibat Telepon Gelap
Dengan hati berdebar-debar, Deena mulai membaca.
Charles A. Martinson, putra Albert B. Martinson"eksekutif
perusahaan telepon"ditangkap di rumahnya pada Minggu dini hari.
Ia dituduh sebagai pembunuh Edna Lemley Farberson (45) yang baru
pindah ke Shadyside enam bulan lalu. Pada Sabtu malam Edna
ditemukan tewas oleh Stanley (46), suaminya, di Fear Street 884,
rumah mereka yang dijarah oleh tersangka.
Menurut sumber kepolisian, Mrs. Farberson memergoki
tersangka ketika ia sedang melakukan aksinya. Dalam pergulatan
yang kemudian terjadi, wanita itu tewas tertikam pisau sepanjang 25
sentimeter yang menurut suaminya berasal dari dapur mereka. Mr.
Farberson tiba di rumahnya sewaktu pembunuh itu hendak kabur.
"Bulan bersinar di atas rumah kami, jadi saya bisa melihat wajahnya
dengan jelas dan sempat mencatat nomor mobilnya," kata Farberson.
Farberson tidak mengejar pembunuh itu. Ia langsung masuk ke
rumah untuk memastikan apakah istrinya selamat.
Malam itu Farberson pulang lebih awal dari Alberga III,
restoran Italia terkenal. Ia adalah pemilik sekaligus pengelola
restoran itu. "Biasanya saya pulang lewat tengah malam, tutur Farberson
pada Press. "Malam itu Edna tak menjawab telepon saya. Saya jadi
cemas, rasanya ada yang tak beres."
Martinson muda ditahan tanpa uang jaminan sambil menunggu
penyelidikan selanjutnya. Sempat ditahan pula dua gadis yang
kemudian dibebaskan. Keduanya kini berada di bawah pengawasan
orangtua mereka. Menurut sumber kepolisian, ketiga remaja itu juga
terlibat sejumlah kasus telepon gelap yang terjadi di Shadyside
belakangan ini. Termasuk berita bohong tentang bom di Shadyside
Lanes Sabtu malam. Sumber yang sama menyebutkan, Charles Martinson menyebut
dirinya Hantu Fear Street di telepon. Sementara kedua gadis itu cuma
melakukan telepon iseng pada beberapa pemuda.
Selesai membaca, Deena mengulangnya sekali lagi. Ia berharap
bisa menemukan perbedaan. Dengan muram ia mengembalikan koran
itu pada Jade. "Hari ini aku tak mau masuk sekolah," katanya. Ia yakin
Jade bisa memahaminya. "Mengerikan, ya?" jawab Jade. "Menurutmu, tahukah temanteman bahwa kita pelakunya?"
"Siapa lagi kalau bukan kita?" Deena balas bertanya. "Chuck itu
kakakku. Setiap murid juga tahu kau dan aku bersahabat karib. Yang
tak kumengerti, bagaimana Farberson bisa melihat Chuck. Waktu itu
kita tak melihat Farberson, kan?"
"Deena, habislah kita!" kata Jade. Dibacanya koran itu lagi. "Di


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sini ditulis bahwa kita ditangkap. Tapi, bukankah aku tak bersama
kalian?" "Sudahlah, Jade," ujar Deena. "Berita ini membuat kita semakin
terpojok. Sementara, orang-orang cuma percaya saja."
"Seperti polisi itu," kata Jade.
"Betul," sahut Deena, berkesah.
*************************
Seperti yang ditakutkan Deena dan Jade, topik di sekolah hari
itu berkisar pada Chuck dan peristiwa pembunuhan itu. Chuck baru
dua minggu bersekolah di Shadyside, jadi hanya sedikit yang
mengenalnya. Namun ketika pelajaran pertama berakhir, setiap siswa
sudah tahu Chuck itu kakak Deena. Mereka juga tahu bahwa ia dan
Jade bersama Chuck pada malam pembunuhan itu.
Tapi anehnya, tak seorang pun menyalahkan Deena dan Jade.
Sejumlah murid malah bersimpati pada mereka. Jam pertama, Deena
dikejutkan oleh surat Kathy Narida. "Jangan cemas," tulisnya. "Aku
sekelas dengan Chuck dalam pelajaran geografi. Aku yakin ia tak
bersalah." Hampir semua murid ingin tahu kejadian sebenarnya. Deena tak
tahu bagaimana Jade bersikap, tapi ia sendiri berusaha berbicara
sesedikit mungkin pada mereka. Masalah baru muncul antara jam
kedua dan ketiga. Lisa Blume, asisten editor koran sekolahnya,
berusaha mengorek keterangan.
"Kubaca berita tentang kakakmu," kata Lisa. "Benar-benar
menyedihkan." "Ya," jawab Deena. "Terima kasih."
"Aku yakin, ia tak bersalah," lanjut Lisa.
"Tentu saja ia tak bersalah," jawab Deena, berusaha
menghindari Lisa dengan berjalan menuju kelas. Tapi Lisa
menahannya. "Ngomong-ngomong," katanya, "setiap orang tahu, kau dan
Jade bersamanya saat pembunuhan itu terjadi. Spectator ingin
menurunkan laporan khusus tentang itu."
"Sori," kata Deena, "detektif-detektif itu melarang kami
berbicara." "Tidakkah kau ingin meyakinkan orang-orang bahwa kakakmu
tak bersalah?" desak Lisa.
"Tentu!" jawab Deena. "Tapi setiap kali mencobanya, aku
malah memperburuk keadaan! Tolonglah, Lisa, jangan memaksaku!"
"Sori," ujar Lisa. "Aku maklum. Tapi mungkin kau bisa sedikit
bercerita tentang kejadian itu. Tentu saja kau tak perlu menyinggungnyinggung soal pembunuhannya."
"Maksudmu?" "Bagaimana kalau kasus telepon gelap itu?"
Deena merasa jantungnya mau copot. "Itu kan cuma permainan
yang tak membahayakan siapa pun," sahutnya. "Sama sekali tak ada
sangkut-pautnya dengan pembunuhan itu."
"Bisakah kausebutkan siapa-siapa yang telah kalian telepon?"
"Tidak!" jawab Deena. Lalu ia tersenyum dan berkata sambil
lalu, "Lebih tepatnya, polisi melarangku berbicara. Sekarang bukan
saat yang tepat untuk berbicara! Maaf, aku harus masuk kelas."
"Baiklah," kata Lisa. "Tapi setelah perkara itu tuntas, aku ingin
mewawancaraimu secara eksklusif."
"Oke," janji Deena. Jika perkara itu tuntas, pikirnya.
*************************
Deena cuma menangkap sebagian pelajaran sinus, cosinus, dan
tangen yang diterangkan Mr. Spencer, guru trigonometrinya. Ia terus
memikirkan kejadian Sabtu malam dan nasib buruk yang menimpa
Chuck. Juga laki-laki berkedok yang tinggi besar itu.
Si perampok. Si pembunuh yang sebenarnya.
Jika ia berhasil menemukannya, polisi mungkin akan
membebaskan Chuck. Tapi bagaimana caranya" Dari mana ia harus
mulai" Usai pelajaran, ia menyusuri koridor dengan pikiran penuh.
Tiba-tiba seseorang menabraknya, keras dan disengaja. Dengan
terkejut dan kesal, ia mengangkat kepala. Ternyata Bobby McCorey,
yang sedang melotot padanya.
"Maaf," gumamnya, meskipun cowok itu yang menabraknya. Ia
ingin berlalu, tapi Bobby menghalangi langkahnya. Dua cowok lagi,
Eddie Mixon dan Ralph Terry, berdiri tepat di belakang Bobby.
Deena balas melotot. Mau apa dia" Bobby kan tak
mengenalnya. Seumur hidup, mereka bahkan belum pernah bertegur
sapa. Lalu ia teringat. Bobby pernah berkelahi dengan Chuck. Lebih parah lagi, Chuck
pertama kali menyebut dirinya Hantu Fear Street ketika
meneleponnya. "Bolehkah aku lewat?" pinta Deena, sopan tapi tegas.
"Tentu," jawab Bobby. "Setelah kaudengar kata-kataku ini."
"Baiklah," ujar Deena, tetap berbicara tegas. "Akan
kudengarkan." "Sampaikan ini pada kakakmu. Katakan pada Hantu Fear Street.
Kalau ia bisa lolos dari penjara, perkara lain sudah menunggunya.
Jelas?" Deena tak menyahut. "Sampaikan itu," ulang Bobby.
"Barangkali ia tak akan pernah dibebaskan," Bobby menambahkan
dengan suara jijik. "Menurut koran-koran, ia bersalah. Bisa-bisa ia
mendekam di penjara seumur hidup."
Mata Deena berkaca-kaca hingga ia tak memperhatikan Bobby
pergi. Bobby dan kedua konconya menyusuri koridor sambil tertawatawa.
Dengan linglung, Deena menuju kafetaria dan mengantre.
Biasanya, ia yang pertama tiba di situ, sebab ia paling suka makan
lebih awal lalu pergi jalan-jalan kalau cuaca cerah, atau ke
perpustakaan kalau cuaca dingin atau hujan. Tapi hari ini ia nyaris
berada di antrean paling belakang. Ia memilih makanan secara
sembarangan lalu membawa nampannya ke meja Jade yang sedang
duduk sendirian. "Kupikir kau puasa," kata Jade. "Aku sudah selesai makan."
"Kalau masih lapar, ambil saja makananku," kata Deena. "Hari
ini aku tak berselera makan."
"Aku maklum," kata Jade. "Hampir semua orang membicarakan
berita pembunuhan itu."
"Juga telepon gelap itu," tambah Deena. Ia mengambil roti dan
sayur, tanpa dirasakan langsung ditelannya.
"Oh, aku baru ingat," kata Jade. "Tadi pagi aku bertemu Rob
Morell. Ia menanyakan tentang gadis bersuara seksi itu."
"Oh!" seru Deena. "Tak kaukatakan kalau..."
"Aku cuma bilang itu bukan aku."
"Tapi koran menyebutkan bahwa kita..."
"Kurasa ia akan menanyakannya sendiri padamu," jawab Jade.
"Lihat. Ia menuju ke sini."
Deena melihat Rob Morell yang membawa nampan,
menghampirinya sambil tersenyum ramah. Dengan gugup Deena
berdiri, mau kabur. "Duduklah," kata Jade. "Kau belum makan apa-apa." Jade
memaksa Deena duduk kembali di kursi. "Sori, aku tak bisa menemani
kalian. Aku harus mengembalikan buku ke perpustakaan."
"Jade!" seru Deena. Terlambat. Jade sudah pergi sambil
tersenyum jail. Rob Morell duduk di tempat Jade.
"Hai, Deena," sapanya.
"Hai," gumamnya. Deena tak mau memandangnya. Tapi Rob
bersikap ramah, tidak marah atau gelisah.
"Kubaca kabar tentang kakakmu," katanya. "Mengerikan."
"Ia tak bersalah," kata Deena.
"Aku tahu," kata Rob. "Aku memang belum kenal dia, tapi
kelihatannya ia pemuda yang menyenangkan."
Deena tak menjawab. Setiap kali bersama cowok, ia selalu
kikuk. "Tahukah kau," lanjut Rob, "sejak sama-sama di kelas geometri
tahun lalu, aku selalu menunggu kesempatan untuk mengobrol
bersamamu. Kapan-kapan maukah kau pergi denganku?"
"Mudah-mudahan," jawab Deena, tak percaya mendengar
pengakuan Rob. "Kau pasti sangat sibuk sampai masalah kakakmu selesai," kata
Rob. "Aku akan sering-sering meneleponmu, boleh, kan?"
"Tentu," sahut Deena.
"Bagus," kata Rob, berdiri. "Entah apa sebabnya, ingin sekali
aku meneleponmu." ************************ Malam harinya, Deena mencoba berkonsentrasi pada pe-er
trigonometrinya. Tapi tak bisa. Walaupun bersikeras mengerjakannya,
pikirannya terus tertuju pada Chuck atau Rob Morell.
Kalau mau jujur, ia lebih banyak memikirkan Rob Morell.
Sesudah itu ia baru memikirkan Chuck Apa maksud Rob ketika
mengatakan bahwa ja ingin meneleponku"
Tahukah Rob kalau penelepon gelap itu adalah dirinya" Apakah
ia cuma menebak-nebak"
Atau barangkali Rob memang suka padanya" Bukankah
menurut pengakuannya, ia ingin sekali mengobrol dengannya sejak
sama-sama ikut pelajaran geometri tahun lalu. Deena ingat sekarang,
selama pelajaran berlangsung, Rob beberapa kali tersenyum padanya.
Deena menguap, menutup buku trigonometrinya, lalu naik ke
tempat tidur. Ketika telepon berdering, ia langsung melompat dan
meraih gagang telepon. "Halo?" katanya, berharap penelepon itu Rob.
Ternyata Jade. Suara Jade mendesak dan bersemangat. "Deena,
nyalakan televisi! Saluran tujuh! Sekarang!" Telepon pun ditutupnya.
Dengan bingung, Deena menyalakan televisi kecil di mejanya.
Ternyata siaran berita lokal. Reporter tengah mewawancarai seorang
laki-laki bertubuh besar dengan hidung bengkok. Deena serasa pernah
mengenalnya. Padahal Deena yakin belum pernah kenal dia. Tapi ia
merasa pernah melihatnya di suatu tempat.
"Bagaimana perasaan Anda terhadap tersangka?" terdengar
reporter bertanya. "Kuharap ia diberi hukuman maksimal!" jawab laki-laki itu
dengan suara dalam, menggeram, suaranya asing tapi amat dikenal
Deena. "Sebagai orang beragama mestinya kita saling mengampuni,
tapi aku tak mungkin memaafkan orang yang telah bertindak sekejam
itu." "Yah, itulah pertanyaan terakhir kami," ujar sang reporter.
"Terima kasih, Mr. Farberson. Kini kita kembali ke studio."
Deena menatap televisi dengan nanar.
Mr. Farberson" Kini Deena tahu di mana ia pernah melihat Mr. Farberson.
Ia kenal suaranya. Mr. Farberson adalah laki-laki berkedok itu.
14 DEENA langsung menelepon Jade.
"Itu tadi dia, kan, Jade?" tanya Deena, begitu mendengar suara
Jade. "Ya. Aku tak lupa suaranya."
"Aku juga. Kita harus memberitahu polisi."
"Begitukah?" kata Jade sengit. "Mereka tak mempercayai satu
pun keterangan kita. Kalau sikap mereka sudah begitu, untuk apa kita
melapor" Mereka pasti mengira kita nekat."
"Tapi itu dia, kan, Jade!" tegas Deena. "Aku akan memberitahu
Detektif Frazier besok pagi."
"Tak ada gunanya," sahut Jade. "Lebih-lebih karena polisi tak
mau percaya bahwa laki-laki berkedok itu bukan tokoh rekaan."
"Orang itu kan betul-betul ada," kata Deena, "kita telah
melihatnya. Kalau benar itu Mr. Farberson, berarti ia sendiri yang
merampok rumahnya." "Dan membunuh istrinya," tambah Jade lirih.
"Kenapa ia melakukannya?"
"Aku tak tahu. Pasti ada alasannya."
Deena terdiam sesaat, memikirkan alasan apa yang bisa
menyebabkan terjadinya pembunuhan itu. "Mungkin ia dan Mrs.
Farberson bertengkar seru."
"Mungkin," sahut Jade, "dan ia membunuhnya ketika
pertengkaran itu sedang seru-serunya. Tapi kenapa ia merampok
rumahnya sendiri" Sama sekali tak masuk akal."
"Tunggu," kata Deena. "Bagaimana kalau ia sengaja
melakukannya untuk mengelabui polisi?"
"Hah! Maksudmu?"
"Bisa saja ia membuat rumahnya seperti habis dirampok untuk
memberi kesan bahwa pembunuhnya adalah si perampok! Itu
termasuk bagian rencananya untuk membunuh istrinya."
Jade diam beberapa saat. "Aku mulai bisa memahami
maksudmu," katanya. "Tapi kenapa ia ingin membunuh istrinya?"
"Entahlah. Tapi kurasa polisi bisa menemukan sebabnya,
kemudian membebaskan Chuck."
"Kuharap juga begitu," kata Jade ragu-ragu.
"Mereka pasti melakukannya. Kaulihat saja nanti. Lalu kita
lupakan segalanya dan memulai hidup baru." Kalau polisi itu mau
mendengar keteranganku, pikirnya tak seyakin tadi.
***************************
"Sekarang mari kita telaah," kata Detektif Frazier lambatlambat. Itu terjadi esok paginya, ketika Deena bermaksud
meninggalkan pesan untuk detektif itu. Tapi Frazier sendiri yang
menjawab teleponnya. Dari nada bicaranya, Deena hampir bisa
memastikan bahwa polisi itu tak mempercayai keterangannya. "Kau
dan temanmu sependapat kalau laki-laki berkedok di rumah Farberson
itu adalah Mr. Farberson sendiri?"
"Ya," jawab Deena. "Ketika kami melihatnya di teve kemarin
malam, kami langsung tahu, terutama dari suaranya. Sudah pasti dia
orangnya." "Suaranya," ulang Frazier kering.
Deena cepat-cepat memanfaatkan kesempatan. "Dialah
pelakunya"dia yang merampok rumahnya dan membunuh istrinya."
"Apakah dari suaranya pula kau bisa menjawab kenapa ia
melakukan kejahatan itu?" tanya Frazier.
"Aku tak tahu. Mungkin istrinya punya polis asuransi yang
besar. Atau mereka habis bertengkar. Kurasa Anda pasti lebih tahu
jawabannya." "Oh ya?" Sang detektif terdiam sebentar, lalu mendesah.
"Ceritamu tadi sungguh menarik. Tapi sayang itu cuma cerita. Sekadar
informasi untukmu, Mr. Farberson pengusaha terkemuka di kota ini.
Aku maklum betapa besar keinginanmu untuk mengalihkan
kecurigaan kami dari kakakmu, tapi kami tak akan terkecoh."
Deena menutup telepon, merasa sangat sakit hati. Jade benar"
polisi tak mau mendengar keterangan mereka. Semuanya tergantung
padanya dan Jade. Mereka harus bisa membuktikan bahwa Mr.
Farberson adalah laki-laki berkedok itu. Tapi bagaimana caranya"
Deena menguap, tapi segera bersiap-siap ke sekolah. Sebelum
berangkat, ia menelepon Jade. "Apa yang harus kita lakukan, Jade?"
tanyanya setelah selesai menceritakan pendapat si detektif.
"Aku belum tahu," jawab Jade. "Kita ketemu di ruang locker
sebelum makan siang nanti. Aku punya ide."
***************************
Sebelum makan siang, Deena menemui Jade di ruang locker. Ia
sedang memasukkan dua kotak besar ke locker-nya yang sempit.
"Hai," sapa Jade, menengadah. "Rasanya kita perlu locker yang


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih besar, ya." "Apa yang kaumasukkan?" tanya Deena.
"Perlengkapan sandiwara," jawab Jade.
"Perlengkapan sandiwara?"
Jade menutup pintu locker dan menguncinya. Lalu, ia
memandang Deena sambil tersenyum nakal. Jade, pikir Deena, jelas
sudah punya ide. Apa itu"
Jade memaparkan rencananya dengan bersemangat. "Setelah
pembicaraan kita di telepon pagi tadi, aku baca lagi berita di
Shadyside Press," katanya.
"Oh, aku tak ingin membacanya lagi!" kata Deena. "Itu berita
terburuk yang pernah kubaca."
"Tapi, berita itu penuh informasi tentang Mr. dan Mrs.
Farberson. Misalnya, di situ dikatakan bahwa Farberson adalah
pemilik sekaligus pengelola Alberga III."
"Lalu?" tanya Deena.
"Lalu," sahut Jade, "di mana lagi kita bisa mencari keterangan
tentang Farberson kalau bukan di tempat kerjanya?"
"Jadi kau akan ke Alberga dan berbicara dengannya" Kau sudah
sinting, ya?" "Biarlah orang-orang mengira begitu. Tapi rencanaku itu bagus,
kan. Deena, Farberson adalah pemilik dan manajer restoran itu. Dalam
berita itu disebutkan bahwa pada Sabtu malam ia pulang ke rumah
lebih awal. Jadi kalau siang hari ia mungkin tak ada di restorannya."
"Aku mulai paham," kata Deena.
"Bagus," jawab Jade. "Kita akan naik mobil ke sana setelah
pulang sekolah. Ayahku sedang ke luar kota, jadi mobilnya bisa
kupakai. Kita akan berputar-putar, melihat-lihat barangkali kita bisa
menemukan sesuatu." "Oh," gumam Deena. "Kedengarannya rencanamu itu masih
mengandung bahaya, Jade. Bagaimana kalau Farberson lebih awal tiba
di sana" Ia pasti bertemu kita."
"Betul. Tapi ia mengira aku gadis berambut merah panjang,
sedang kau gadis berambut pirang pendek."
"Kita kan memang begitu," kata Deena dongkol.
"Nanti siang tidak," ujar Jade. Ia menunjuk locker-nya yang
tertutup. "Tadi pagi aku singgah ke salon ibuku untuk meminjam dua
rambut palsu. Kubilang saja aku memerlukannya untuk berlatih
drama." Jade tersenyum nakal. "Percayalah, Deena, orangtua kita tak
akan bisa mengenali kita"apalagi Farberson!"
*************************
Sepulang sekolah, Deena menemui Jade di ruang drama. Ia
meninggalkan pesan buat orangtuanya bahwa ia langsung pergi ke
perpustakaan. Sambil melihat ke kaca rias, gadis-gadis itu memasang wig dan
merias wajah. Selesai berhias, menurut Deena, mereka tampak luar
biasa. Jade kini berambut pirang panjang. Penampilannya semakin
berbeda dengan eyeshadow hijau. Sedangkan Deena berambut cokelat
keriting. Jade membubuhkan tahi lalat di pipi Deena dengan pensil
alis. "Kita jadi kelihatan seperti berumur delapan belas," kata Jade.
"Tenanglah. Pasti beres."
Alberga III berjarak beberapa mil, terletak di Old Village. Jade
belum pernah ke situ, tapi orangtuanya kadang-kadang makan di
restoran itu. Meski sudah menyamar, Deena tetap merasa gugup ketika Jade
memarkir Corvette merahnya di depan Alberga.
"Oh, Jade," katanya. "Kurasa ini bukan ide yang bagus...."
"Hmm," kata Jade. "Kita tak punya pilihan lain, Deena. Tak
seorang pun percaya pada kita. Padahal kita harus membebaskan
Chuck dari tuduhan. Ayo, ikutlah aku."
Alberga III tutup pada siang hari. Restoran itu kosong, gelap,
dan dingin. Meja-mejanya berlapis beludru warna gelap dan setiap
meja dilengkapi dengan lilin. Salah satu dindingnya dihiasi lukisan
besar bergambar Italia. "Ayo kita pesan piza pepperoni," kata Deena, mencairkan
ketegangan. "Jangan macam-macam," tegur Jade. "Ingat, jangan bicara,
serahkan semuanya padaku."
Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh tinggi dan
berambut gelap menyambut mereka. Ia mengenakan blus satin putih
dan rok hijau sebetis; ia tampak anggun, seanggun restorannya.
"Bisa kubantu?" tanyanya.
"Kami mau melamar pekerjaan," jawab Jade.
Wanita itu memandang kedua gadis di hadapannya, tanpa
menyembunyikan rasa terkejutnya. "Apakah kalian dari Kantor
Penyalur Tenaga Kerja?"
"Ya," sahut Jade.
"Tapi kami cuma butuh seorang karyawan," ujar wanita itu,
keberatan. "Mr. Farberson cuma memerlukan seorang asisten."
"Aku pelamarnya," kata Jade. "Temanku ini cuma menemani
aku." "Kurasa kau... oh, baiklah," kata wanita jangkung itu., "Kau
kelihatan sangat muda, tapi terus terang kami repot sekali sejak Miss
Morrison berhenti kerja minggu lalu. Kau bisa steno dan pembukuan,
kan?" "Tentu," sahut Jade.
"Ayo ikut aku," ajak wanita itu. "Kau bisa mengisi formulir
lamaranmu di kantor."
Jade berpaling dan mengerling pada Deena. Lalu keduanya
mengikuti wanita itu melalui dapur restoran menuju koridor sempit.
Di depan sebuah ruangan, wanita itu mengetuk pintu, lalu berseru,
"Mr. Farberson?"
"Kupikir ia hanya bekerja di malam hari!" kata Jade, panik.
"Ia harus tiba lebih awal," jelas wanita itu. "Itulah sebabnya
kami butuh asisten pada malam hari." Diketuknya pintu itu lagi.
Deena dan Jade bertukar pandang. Deena bersiap-siap berbalik
dan kabur. Tapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, pintu itu sudah
terbuka. Di hadapannya berdiri laki-laki berhidung bengkok. Laki-laki
yang disebut-sebut televisi sebagai Mr. Farberson. Laki-laki yang
dilihat Jade dan Deena sebagai laki-laki berkedok.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara rendah.
"Salah satu gadis muda ini mau melamar pekerjaan,
menggantikan Linda," jelas wanita itu. "Kantor Penyalur Tenaga
Kerja yang mengirimnya ke sini."
"Oh, ya?" ujar Farberson. Ia memandang Jade kemudian
berpaling menatap Deena. Jantung Deena serasa berhenti berdetak.
Farberson memandangi kedua gadis itu beberapa saat. Lalu
tanyanya, "Berapa umurmu?"
"Sembilan belas," jawab Jade. "Kubawa ijazah dari Sekolah
Bisnis yang bermutu."
"Oh, ya?" kata Farberson. Deena mulai jengkel mendengar
kata-katanya yang itu-itu saja. "Baiklah. Isi dulu formulir
lamarannya," lanjut Farberson.
Deena bernapas dengan lega.
"Silakan," ujar Farberson, menunjuk ke dua kursi lipat. Ia
mengangsurkan selembar formulir lamaran pada Jade. "Isilah,"
katanya. "Aku akan kembali beberapa menit lagi." Ia berpaling pada
wanita tadi. "Ayo, Katie," ajaknya. "Kita cek dulu persediaan anggur
sebelum Ernie tiba."
Mr. Farberson dan wanita itu menutup pintu dan meninggalkan
kantor. Deena dan Jade bertukar pandang lagi.
"Oh, sungguh aku tak percaya," kata Deena.
"Yah, beginilah kejadiannya," desah Jade. "Ayo cepat"kita tak
punya banyak waktu!" Jade buru-buru pergi ke balik meja kerja Mr.
Farberson yang terbuat dari kayu, lebar, dan berdebu.
Deena mengikutinya. "Apa yang akan kita cari?" tanyanya.
"Tak tahu," jawab Jade. "Apa saja. Apa saja yang bisa
memberikan keterangan lebih banyak tentang Mr. Farberson."
"Astaga!" kata Deena, melihat ke kertas-kertas yang
berantakan. Ia mengambil selembar. "Jadwal kerjanya," katanya.
Jade melihatnya. "Menurut jadwal ini, Mr. Farberson hanya
bekerja pada Sabtu malam dua kali dalam sebulan. Berarti Sabtu
kemarin ia libur!" "Cukup menarik, tapi itu tak membuktikan apa-apa," ujar
Deena. "Percuma, Jade. Kaupikir kita..."
"Sst! Tetaplah mencari."
Kedua gadis itu mengambil kertas-kertas, menelitinya, lalu
menyusunnya serapi mungkin. Jangan sampai Farberson tahu mereka
memeriksa mejanya. Baik Deena maupun Jade tak menemukan apaapa yang berkaitan dengan Mr. Farberson atau istrinya. Deena melihat
arlojinya. Mereka sudah berada di situ sekitar sepuluh menit. Jade
mengerutkan dahi, lalu membuka laci satu per satu.
"Cepat," bisik Deena. "Sewaktu-waktu ia bisa kembali."
"Aku tahu. Tapi aku masih ingin mencari... Tunggu. Aku punya
cara lain." "Kuharap kau cepat menemukannya."
"Kalau ibuku ingin menyembunyikan sesuatu"misalnya kunci
serep"ia meletakkannya di bawah alas laci...." Jade menarik laci-laci
itu lagi dan meraba-raba sebelah bawah alasnya.
"Cepat!" bisik Deena.
Jade baru sempat memeriksa sebuah laci.
Deena mendengar suara dari koridor, kemudian terdengar
seruan Mr. Farberson memanggil Ernie.
"Jade..." "Aha!" seru Jade. Tangannya masih di dalam laci. "Tunggu.
Aku menemukan sesuatu!" Ekspresi wajahnya yang gembira segera
berubah kecewa. "Cuma gumpalan permen karet."
Dengan menggeleng sedih, ia menutup laci. Pada saat itu
matanya tertumbuk pada sebuah amplop yang tertutup. Di amplop itu
tercetak: Biro Perjalanan Shadyside. Jade mengambilnya tapi belum
sempat memeriksanya. Jade menyelipkan amplop itu ke sakunya lalu bergegas-gegas
kembali ke kursinya. Pada saat itu Mr. Farberson membuka pintu dan
masuk ke ruangan. Deena memaksa diri memandangnya. Badannya
terasa dingin. "Hai, gadis-gadis," geram Farberson dengan wajah marah.
"Berhentilah berpura-pura. Sejak pertama melihat, sesungguhnya aku
sudah tahu siapa kalian."
15 "KALIAN dengar?" ulang Mr. Farberson. "Aku tahu siapa
kalian sebenarnya." Jade tiba-tiba bisa bersuara. "Aku benar-benar tak mengerti
Anda ini bicara apa," jawabnya.
"Jangan membuatku kesal," geram Farberson. Deena baru kali
ini melihat wajah mengerikan seperti wajah Farberson. Ia mencoba tak
memikirkan apa yang akan dilakukan laki-laki ini pada mereka"
sekarang setelah Farberson tahu siapa dirinya dan Jade.
Deena terkejut sekali ketika ternyata Farberson hanya melewati
mereka, lalu duduk di belakang meja kerjanya. Ia masih kelihatan
marah, tapi tak mengerikan lagi. "Ayolah, gadis-gadis," desaknya
sambil menghela napas. "Aku tahu kalian bukan dari Kantor Penyalur
Tenaga Kerja. Aku tidak yakin umur kalian sudah delapan belas. Apa
sebenarnya motif kalian melakukan ini?"
Deena amat lega. Wajahnya tetap memandang ke depan, tapi
sesekali ia melirik Jade.
Jade benar-benar bisa jadi aktris berbakat, pikir Deena. Ia balas
menatap Mr. Farberson, alisnya dinaikkan dengan angkuhnya.
"Bisakah Anda jelaskan dari mana Anda tahu kami bukan dari kantor
Penyalur Tenaga Kerja?" tanyanya.
"Aku bukan anak kemarin sore," sahut Mr. Farberson. "Begitu
pula Katie, karyawanku. Ia mencurigai penampilan kalian yang ganjil.
Kami lalu menelepon Kantor Penyalur Tenaga Kerja. Mereka bilang
tak mengirim kalian ke sini."
"Baiklah," kata Jade, "akan kukatakan yang sebenarnya." Ia
mengucapkannya dengan begitu rupa seolah-olah ia sedang bermurah
hati pada Farberson. "Aku dengar tentang lowongan itu dari sepupuku.
Ia teman Linda Morrison, mantan asisten Anda. Sepupuku itu bilang
Linda tak bekerja lagi di sini, sedangkan aku butuh pekerjaan. Aku
baru tahu Anda sudah pesan karyawan pada Kantor Penyalur Tenaga
Kerja ketika aku tiba di sini."
Farberson terus memandangi Jade, sekarang wajahnya berubah
kagum. "Aku harus mengakui keberanianmu. Aku nyaris tergoda untuk
mencobamu." "Terimakasih," jawab Jade, "tapi aku sudah tak berminat lagi.
Aku tak senang bekerja pada seseorang yang pencuriga."
"Hei, dengarlah," kata Mr. Farberson. "Aku kan cuma bersikap
hati-hati. Kau akan terkejut kalau kusebutkan berapa banyak orang
yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan."
"Oh ya?" ujar Jade dengan suara sedingin es. "Ayo, Sally,"
katanya pada Deena. "Ayo kita cari pekerjaan lain yang lebih
menyenangkan." Jade berdiri, meraih formulir lamarannya yang baru mulai diisi,
lalu menuju pintu. Deena, dengan kaki lemas, mengikutinya ke pintu,
menyusuri koridor, melintasi restoran, dan masuk ke mobil. Selama
itu keduanya sama-sama membisu. Setelah berada satu blok dari
Alberga III, barulah Deena melepas napas lega.
"Jade, kau betul-betul hebat!" jeritnya.
"Aku sendiri tak percaya kalau aku bisa!" Jade tertawa. "Waktu
ia bilang tahu siapa kita, kupikir ia..."
"Aku juga berpikir begitu," potong Deena. "Aku hampir mati
ketakutan. Tapi kau tampak sedingin ketimun."
"Kau berolok-olok?" tanya Jade. "Jantungku juga nyaris
berhenti berdenyut! Tapi aku harus terus bicara."
"Dari mana kau tahu nama lengkap asistennya?"
"Karyawati bernama Katie itu yang mengatakannya. Mula-mula
ia menyebutnya Miss Morrison, lalu Linda."
"Wow!" seru Deena. "Tadi aku sangat ketakutan sampai sama
sekali tak mendengarnya. Kau patut menerima Academy Award,
Jade." Deena tertawa. "Aku tak senang bekerja pada seseorang yang
pencuriga," katanya, menirukan mimik Jade. "Luar biasa! Juga caramu
yang dengan tenang memeriksa laci-laci mejanya, benar-benar
mengagumkan." "Oh, aku jadi ingat sesuatu," kata Jade, menginjak rem dan
berhenti di depan 7-Eleven. Ia mengambil dompet, mengeluarkan
amplop yang tadi dicurinya dari laci Mr. Farberson. Dengan hati-hati
Jade membuka amplop itu, mengeluarkan selembar kertas yang
terlipat. "Apa itu?" tanya Deena.
Jade mempelajari kertas itu. "Surat pesanan tiket pesawat."
"Surat pesanan tiket pesawat?"
"Ini dia," lanjut Jade. "Tujuannya ke Buenos Aires, Argentina.
Satu kali jalan." "Wow!" seru Deena. "Sepertinya Mr. Farberson akan
melakukan perjalanan."
"Dan ia merencanakan untuk tidak kembali ke sini," tambah
Jade. "Tiket ini untuk Sabtu pagi."
"Sabtu! Sekarang sudah hari Selasa. Jade, kita harus
menyerahkan surat itu pada polisi."


Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak." Jade memandang surat itu dengan heran. "Pesanan
tiket ini untuk dua orang. Bukan seorang."
"Hah?" Deena merebut kertas itu dan membacanya. "Apa
maksudnya?" "Entahlah. Mungkin ia merencanakan untuk bepergian dengan
istrinya." "Ke Argentina dan tak kembali ke sini?"
"Mungkin ia akan pulang naik kapal laut atau yang lain," kata
Jade. Ditepuknya bahu Deena. "Sori, Nak. Kertas yang kucuri ini tak
ada artinya. Ini bukan barang bukti. Kita harus cari bukti lain. Kalau
kita tunjukkan kertas ini pada polisi, mereka akan menertawai kita."
"Kalau begitu sebaiknya kita laporkan bahwa Mr. Farberson
akan bepergian ke luar negeri tiga hari lagi," usul Deena.
"Bagaimana kita menjelaskan dari mana kertas itu?" tanya Jade.
"Ingat, Mr. Farberson pengusaha terkemuka! Sedangkan kita cuma
dua remaja pembohong yang baru mengobrak-abrik kantornya."
Deena menatap surat pesanan tiket pesawat di tangannya. "Tapi
kalau Farberson minggat dari kota ini, kita takkan pernah bisa
membuktikan bahwa Chuck tak bersalah," ratapnya. "Apa yang harus
kita lakukan, Jade?"
Jade tampak berpikir sesaat. "Kita harus mencari lebih banyak
informasi tentang Farberson. Linda Morrison mungkin bisa menolong
kita." "Siapa?" "Asisten pribadi Farberson," jelas Jade. "Lupa, ya" Wanita yang
pekerjaannya kulamar hari ini."
"Oh," kata Deena. "Baiklah. Tapi mungkinkah ia bisa menolong
kita" Bukankah kita belum kenal dia."
"Bisakah kaupinjam mobil besok pagi?" tanya Jade,
mengabaikan pertanyaan Deena. Senyum nakalnya kembali
tersungging. Tahulah Deena bahwa Jade sudah menemukan ide lain.
"Entahlah," jawab Deena. "Orangtuaku masih marah karena
kasus telepon gelap itu. Mobil ibuku juga masih ditahan polisi."
"Dengar, besok kita punya waktu seharian"guru-guru rapat,
kan" Ayahku pulang besok pagi, karena itu mobilnya tak bisa
kupinjam. Usahakan pinjam mobil. Antarkan ayahmu ke tempat
kerjanya. Bilang saja bahwa kau harus mencari data di perpustakaan
pusat di Waynes-bridge."
"Apa kau bilang?"
"Sekarang ini memang bukan waktu untuk membuat makalah,"
kata Jade. "Tapi demi Chuck, kau harus melakukan penelitian lain
yang lebih penting."
*************************
"Aku tak percaya kita melakukan semua ini," ujar Deena. Pukul
sebelas keesokan harinya, ia dengan gelisah mengendarai BMW
ayahnya. Ia benar-benar sulit berkonsentrasi, padahal biasanya ia
paling suka mengendarai mobil orangtuanya. Tapi kejadian
belakangan ini, ditambah dengan rencana gilanya bersama Jade kali
ini, membuatnya sakit perut.
"Santailah," kata Jade. "Lihatlah ke depan. Miss Morrison
bilang, di Lakewood kita harus belok kanan."
"Kau bilang apa padanya?" tanya Deena. "Bagaimana ia
langsung mau ditemui?"
"Kubilang saja bahwa kita sedang mengadakan survei," jawab
Jade puas. "Aku tak mau menggali informasi lewat telepon karena
kupikir cara ini lebih efektif."
"Bagus. Mula-mula kita melamar pekerjaan, sekarang kita
melakukan survei. Aku stres karena harus terus berpura-pura jadi
orang lain. Aku tak sanggup, Jade."
"Ini satu-satunya cara untuk menolong Chuck. Lagi pula, yang
kita lakukan ini kan memang bisa disebut survei. Kita berusaha
mengorek keterangan darinya. Kalau tak mau berpura-pura, pakailah
namamu sendiri." "Dari mana kau tahu alamatnya?" tanya Deena.
"Kucari di buku telepon. Di buku itu cuma ada dua L. Morrison,
dan ketika aku menghubungi yang pertama, ternyata dia orangnya."
Deena mengangkat bahu. Jade benar, mereka melakukan semua
itu demi Chuck. Tapi di hati kecil Deena ada setitik kecurigaan. Ia
merasa semua ini dianggap sebagai permainan saja oleh Jade,
kesempatan baginya untuk unjuk gigi dan mempermainkan orang lain.
"Belok sini," kata Jade. "Terus sampai ke blok berikutnya."
Deena memarkir mobilnya di pinggir jalan di depan rumah Miss
Morrison. Rumah Miss Morrison kecil, bertingkat satu, terbuat dari
kayu. Ada vas bunga cantik di depan jendela-nya.
"Ingat," ujar Jade. "Biarkan aku yang bicara."
"Baik," jawab Deena. Ia mengambil kertas catatannya dan
mengikuti Jade. Pintu segera terbuka. Seorang wanita berpenampilan
menarik dengan rambut dicat pirang dan senyum manis, muncul.
"Halo, Miss Morrison?" sapa Jade. "Saya Jade Smith dari
Asosiasi Riset S&S. Saya yang bicara dengan Anda di telepon
kemarin sore. Ini rekan kerja saya, Deena Martinson."
Sampai sejauh ini Jade berperan sangat meyakinkan, pikir
Deena. Siapa kira ia bisa menggunakan istilah rekan kerja"
"Kalian begitu muda," kata Miss Morrison. "Silakan masuk."
"Kami masih kuliah," jelas Jade. "Kami bekerja paro waktu."
Kedua gadis itu mengikuti Miss Morrison ke ruang duduk yang
didominasi warna cokelat dan kuning tua.
Jade duduk di kursi berlengan, mengeluarkan pensil, sikapnya
resmi dan sopan. Deena meniru tingkah laku Jade, tapi merasa dirinya
seperti orang tolol. "Perusahaan kami sedang melakukan survei tentang bisnis
restoran di Shadyside," tutur Jade pada Miss Morrison. "Kami
mengkhususkan pada penelitian hubungan kerja antara atasan dan
bawahan. Anda pernah bekerja di Restoran Alberga III, bukan?"
"Betul. Tapi dari mana kau tahu?"
"Kami baru saja mewawancarai atasan Anda, Mr. Stanley
Farberson," kata Jade. "Bisakah Anda ceritakan seperti apa bos Anda
itu?" Deena merasa wajah Miss Morrison berubah, sepertinya ada
bayangan gelap pada penampilannya yang menarik. "Ia baik-baik
saja," jawabnya tajam. "Bukan bos yang buruk."
Jade pura-pura menuliskan sesuatu di kertasnya. "Lebih
jelasnya bagaimana?"
Miss Morrison tampak bingung. "Cuma itu. Ia baik. Bersikap
adil pada setiap karyawan."
"Begitu." Jade mencatat lagi, ia kelihatan serius dan cakap.
Deena hampir tak percaya! "Anda kenal istrinya?"
"Apa?" Pipi Miss Morrison bersemu merah.
"Istrinya. Anda kenal padanya?"
"Maaf. Ya. Kau harus memaafkan aku. Hari ini aku agak
gelisah. Aku mengalami sesuatu yang tak mengenakkan hari ini."
"Baiklah, akan saya teruskan," kata Jade. "Jadi Anda kenal
istrinya?" "Kadang-kadang ia ke restoran." Miss Morrison memandang ke
vas bunga di jendela. "Bagaimana hubungan dia dan Mr. Farberson?" tanya Jade.
Bukannya menyahut, Miss Morrison menatap Jade dengan
curiga. Oh, Jade sudah terlalu jauh bertanya, pikir Deena.
"Apa hubungan pertanyaan itu dengan survei yang
kaulakukan?" tanya Miss Morrison. Ia berusaha mengalihkan
pembicaraan, tapi telepon di meja sebelahnya berdering.
Ia mengangkat telepon dengan cepat. "Halo" Oh, terima kasih,
Tuhan, ternyata kau, Sayang. Perasaanku tak enak sepanjang hari ini.
Aku... oh." Tiba-tiba ia teringat pada Deena dan Jade yang ada di
ruangan itu. Sambil berdiri, ia menyerahkan telepon pada Jade. "Aku
akan bicara di telepon lain. Tolong letakkan kalau aku sudah
mengangkatnya. Cuma sebentar kok."
"Baik," kata Jade. Ia memegang gagang telepon, menunggu
sampai Miss Morrison mengangkat telepon yang lain.
"Kau masih di situ?" terdengar suara laki-laki bertanya.
Jade membeku. Ia kenal suara itu. Ia mendekatkan gagang telepon ke telinganya. Ketika Miss
Morrison melanjutkan percakapan, Jade memencet tombol penerima,
tapi ia tak meletakkan telepon.
"Jade?" tanya Deena.
"Ssstt." Jade menempelkan telunjuk ke bibirnya.
"Oh, Sayang, aku benar-benar sial," kata Miss Morrison
emosional. "Kau harus segera ke sini untuk mengambilnya."
"Tapi aku dalam perjalanan ke restoran," sahut laki-laki itu.
Jade yakin benar, itu suara Farberson! Ia lebih mendekatkan
gagang telepon ke telinganya.
"Aku tak bisa menyimpannya terlalu lama di sini. Kau harus ke
sini dan membawanya pergi. Tolonglah, Stanley. Tolonglah. Ke sini
dan bawa pergi!" "Baiklah," geram Farberson. "Aku akan tiba di situ lima menit
lagi." Lima menit" Jade dengan pelan meletakkan gagang telepon. "Deena... kita
harus segera pergi dari sini!"
"Apa" Bagaimana kita..."
Miss Morrison kembali. Ia tampak gelisah. "Sori karena
pembicaraan kita terpotong sebentar." Ia duduk kembali di kursinya.
"Sampai mana tadi?"
Jade dan Deena berdiri. "Sayang sekali kami harus segera
pergi," kata Jade, dengan gelisah ia melihat ke luar jendela.
"Bagaimana dengan survei itu?"
"Oh... ada kekeliruan," kata Jade. "Kami harus menemui
seseorang sekarang. Saya keliru menjadwalkan acara." Ia melihat ke
catatannya seolah-olah memang ada yang keliru di situ. "Kapan-kapan
kami akan ke sini lagi."
"Oh, tidak bisakah kita bicara cepat?" tanya Miss Morrison.
"Aku yakin lima menit sudah cukup. Kau pasti tak akan terlambat tiba
di sana." "Tak mungkin," tegas Jade, melihat ke jendela, wajahnya
tampak panik. "Ayo, Deena. Kita harus ngebut. Kami benar-benar
minta maaf, Miss Morrison. Terima kasih atas pengertian Anda."
Tanpa memedulikan Miss Morrison yang kebingungan, Deena
mengikuti Jade ke pintu. "Hei... kenapa mesti buru-buru?" tanyanya
ketika Jade lari ke mobil dan duduk di kursi penumpang.
"Farberson akan ke situ beberapa menit lagi," Jade berbisik
keras. Cuma itu yang perlu Deena dengar! Ia segera duduk di belakang
kemudi, menstarter mobilnya, dan langsung tancap gas.
"Putarilah blok ini lalu kembalilah," suruh Jade.
"Apa?" "Parkirlah kira-kira setengah blok dari sini. Kita harus melihat
apa yang dilakukan Farberson. Apa yang terjadi di sini."
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Deena. "Apa yang kaudengar
di telepon tadi?" ebukkulawas.blogspot.com
"Ia memanggil Farberson 'Sayang'," kata Jade, memasang mata
untuk melacak mobil Farberson.
"Ia menyebutnya begitu" Maksudmu..."
"Kurasa ada hubungan khusus antara mereka. Ia menyuruh
Farberson ke situ untuk membawa pergi sesuatu. Ia bilang ia tak tahan
menyimpannya lebih lama di rumahnya. Farberson mengomel, tapi ia
berjanji akan mengambilnya."
"Ada apa sebenarnya?" tanya Deena. Ia memutari blok dan
memarkir mobilnya di seberang jalan, beberapa rumah dari tempat
tinggal Miss Morrison. Beberapa saat kemudian sedan tua Farberson memasuki
halaman rumah Miss Morrison yang sempit. "Tunduk. Merunduklah
dalam-dalam!" bisik Jade. "Jangan sampai ia melihat kita."
Sewaktu mereka mengintai dari dashboard mobil, Farberson
berjalan ke rumah tanpa menoleh. Miss Morrison menyambutnya di
pintu, keduanya berciuman, ciuman yang lama dan penuh kerinduan.
Miss Morrison menarik Farberson ke dalam rumah. Pintu pun
tertutup. "Wow!" seru Deena.
"Dua kali 'wow'," kata Jade. "Keduanya jelas-jelas berpacaran."
"Apakah menurutmu Miss Morrison penyebab Farberson
membunuh istrinya?" tanya Deena.
"Aku tak tahu." Jade memandang pintu rumah Miss Morrison
yang tertutup seolah-olah sedang mencari jawaban pertanyaan Deena.
"Aku jadi memikirkan sesuatu. Tentang surat pesanan tiket pesawat ke
Argentina." "Apa hubungannya dengan mereka, Jade?"
"Mungkin tiket yang satu itu untuk Miss Morrison."
"Maksudmu Farberson merencanakan untuk meninggalkan
negeri ini bersama Miss Morrison. Ya! Bisa jadi begitu!" kata Deena
bersemangat. "Ia bunuh istrinya, lalu minggat bersama Miss Morrison.
Kini kita punya alasan untuk melapor ke polisi."
"Tidak, jangan dulu," cegah Jade, menggeleng. "Semua data
yang kita punyai cuma rekaan. Mungkin Farberson punya affair
dengan Miss Morrison. Bisa jadi begitu. Tapi itu tak bisa dipakai
untuk bukti bahwa ia yang membunuh istrinya. Kita belum bisa
membuktikan apa-apa, Deena."
"Kalau begitu kita harus cari bukti lain. Kenapa kita dudukduduk di sini" Seharusnya kita menyelinap lalu mengintai lewat
jendela," kata Deena, membuka pintu mobil.
"Jangan ke mana-mana. Farberson hanya ke situ sebentar. Ia
mampir sebelum ke restorannya."
Baru saja Jade berkata begitu, pintu rumah Miss Morrison
terbuka. Farberson muncul. Mereka mendengar ia berpamitan pada
kekasihnya. Lalu terlihat ia menutup pintu.
"Apa yang dibawanya?" tanya Deena.
Farberson membawa bungkusan kecil. Kelihatannya seperti
kantong kertas yang diikat dengan tali.
Ia membuka tong sampah di dekat beranda rumah Miss
Morrison, akan membuang bungkusan itu. Tiba-tiba ia mengurungkan
niatnya. Ditutupnya kembali tong sampah dan dibawanya bungkusan
itu ke mobilnya. "Aneh sekali," kata Deena, menunduk dalam-dalam di bawah
kemudi. "Ia bermaksud membuangnya, tapi kemudian membawanya
pergi. Apa isi bungkusan itu?"
Mereka melihat mobil Farberson berlalu.
"Ikuti dia, Deena," perintah Jade. "Ayo kita awasi ke mana dia
membawa pergi bungkusan itu."
Deena menghidupkan BMW-nya dan membuntuti mobil
Farberson. Ia terus menjaga jarak agar selalu berada setengah blok di
belakangnya. "Aku tahu apa isi bungkusan itu," kata Deena,
membelok di tikungan. "Apa?" "Aku tahu isinya, Jade. Aku bisa memastikan isinya."
"Cepatlah katakan. Jangan membuatku bertanya-tanya."
"Itu pasti kedoknya," jawab Deena, matanya memandang ke
mobil Farberson. "Itu pasti kedok dan kemeja berlumuran darah yang
dipakainya pada malam pembunuhan istrinya!"
16

Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"AWAS ada bus!"
Deena menghindar tepat pada waktunya. Sopir bus yang marah
membunyikan klakson-nya. "Sori," Deena minta maaf pada Jade.
"Aku terlalu memperhatikan mobil Farberson sampai tak sadar kalau
keluar jalur." "Kita hampir tiba di restorannya," kata Jade.
"Aku yakin dugaanku tentang isi bungkusan itu tidak keliru,"
jawab Deena, berhenti di lampu lalu lintas. "Kedok dan kemejanya
memang harus disembunyikannya, kan?"
"Betul." "Selama ini Miss Morrison yang menyembunyikannya."
"Ya. Mungkin begitu," kata Jade. "Kudengar di telepon tadi, ia
tak mau menyimpannya lebih lama di rumahnya. Ia minta Farberson
cepat mengambilnya. Mungkin kau benar, Deena. Bungkusan itu
isinya kedok." "Berarti kita sekarang punya bukti," kata Deena, tersenyum
setelah lama tegang. "Polisi akan percaya bahwa cerita kita benar.
Chuck pasti akan dibebaskan."
"Wooo. Pelan-pelan."
"Tapi aku yakin..."
"Bukan. Maksudku lambatkan laju mobilmu," kata Jade. "Itu
restoran Farberson. Ia parkir di depannya."
Deena menginjak rem dengan tiba-tiba. Untung tak ada mobil di
belakangnya. Ia melihat ke tempat parkir di seberang jalan. Setelah
sebuah mobil barang lewat, ia memutar, menuju ke tempat parkir itu.
Kedua gadis itu keluar mobil dan merunduk di belakang halte bus.
Mereka melihat Farberson keluar dan mengunci mobilnya. Ia
membawa bungkusan cokelat itu lalu melangkah ke deretan tong
sampah di pinggir jalan. "Bagus!" bisik Jade. "Kalau bungkusan itu dibuangnya di tong
sampah, kita akan mudah mengambilnya setelah ia masuk ke
restorannya." Tapi lagi-lagi Farberson mengurungkan niatnya. Ia
memindahkan bungkusan itu ke tangan kanannya, lalu meninggalkan
deretan tong sampah itu menuju gang sempit di samping restorannya.
"Ayo... kita buntuti dia," ajak Jade, menoleh ke kiri-kanan lalu
menyeberang. "Tapi... bagaimana kalau ia melihat kita?" seru Deena,
mengikuti Jade. "Merapatlah ke dinding," pesan Jade.
Mereka bergeser di sepanjang dinding, mengikuti Farberson ke
belakang restoran. Sampai di sudut bangunan, mereka melihat
Farberson menuju lapangan kecil bersemen yang dibatasi oleh
keempat dinding bangunan di sekelilingnya.
Sebuah tong sampah tinggi berwarna kuning berada di tengahtengah lapangan itu. Farberson melihat ke sekitarnya, memastikan
bahwa tak ada yang memperhatikannya. Jade dan Deena semakin
merapatkan diri ke dinding bata yang kotor sambil menahan napas.
Farberson melemparkan bungkusan itu ke tong sampah, lalu cepatcepat menghilang masuk ke restoran lewat pintu belakang.
"Ayo ambil," bisik Deena. Ia gemetar saking bersemangatnya.
Jantungnya berdetak cepat hingga membuatnya sesak napas.
"Ssstt. Tunggu sebentar," kata Jade, menahan bahu temannya.
"Tunggu sampai ia sudah di dalam."
Semenit terasa lama sekali bagi kedua gadis itu. Ketika yakin
tempat itu sudah sepi, mereka saling mengangguk, lalu lari menuju
tong sampah. Baru setengah jalan tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang
berseru marah, "Hei... sedang apa kalian di situ?"
Deena membeku. Jantungnya serasa hampir copot. Ia menoleh.
"Mau apa kalian berkeliaran di sini?"
Pintu dapur restoran terbuka. Dua laki-laki bercelemek putih
berdiri di balik meja panjang, sedang memotong-motong sayur. Salah
seorang"yang berteriak tadi"berjalan ke pintu.
"Oh... kami kira ini jalan masuk, ternyata pintu belakang,"
jawab Jade, setelah berpikir cepat seperti biasanya.
Laki-laki itu mempermainkan tusuk gigi di mulutnya dan
memandang mereka dengan curiga. "Restoran tutup," katanya. "Kami
tak buka pada siang hari." Ia meludahkan tusuk giginya.
"Oh, baiklah. Sampai jumpa," kata Jade. Ia mengikuti Deena,
yang sudah lebih dulu angkat kaki dari situ.
Mereka kembali berlari menyusuri gang sempit itu. Tak seorang
pun bicara sampai mereka berada kembali di mobil, pulang ke rumah
Deena. "Gagal," gumam Jade, masih tampak shock. "Tukang masak itu
kelihatan sangat tidak ramah."
Pedang Hati Suci 1 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Pendekar Pendekar Negeri Tayli 6
^