Pencarian

Tukar Tubuh 1

Fear Street - Tukar Tubuh Switched Bagian 1


Bagian satu PERTUKARAN BAB 1 Namaku Nicole Darwin dan aku orang yang selalu sial.
Setidaknya itulah yang kurasakan belakangan ini. Bahkan cuaca musim semi yang indah ini"bunga-bunga tulip merah dan kuning yang melambai-lambai diembus angin sepoi-sepoi yang hangat, wangi rumput yang baru dipotong"tidak mampu membuatku riang.
Hidupku bagaikan di dasar sumur yang gelap dan dalam.
Kuku jari tanganku patah waktu aku berpakaian sebelum berangkat sekolah tadi pagi, dan air mataku bercucuran. Seperti itulah kacaunya hidupku.
Kuku-kukuku panjang dan indah. Kadang-kadang kuwarnai merah muda, kadang-kadang ungu. Beberapa teman sekolahku suka menggangguku mengenai kuku-kuku itu. Tapi menurutku kuku-kuku itu cantik.
Entahlah. Aku suka sekali bentuk kuku-kuku itu.
Kurasa aku sendiri cukup enak dipandang. Aku memang tidak cantik luar biasa. Tapi sebaliknya aku juga tidak buruk-buruk amat. Lumayanlah. Rambutku lurus, berwarna cokelat, kubiarkan tumbuh panjang melewati bahu. Dan kulitku halus, putih susu.
Semua orang bilang yang paling menarik pada diriku adalah mataku. Berwarna cokelat muda dan sangat hidup. Pacarku, David, bilang bahwa mataku mengandung misteri. Katanya, dia tidak bisa menebak apa yang sedang kupikirkan walaupun dia sudah menatap mataku lekat-lekat mencoba menembus alam pikiranku.
Dalam hal itu David benar. Dia tidak pernah bisa mengira-ngira apa yang ada dalam pikiranku.
Dia anak baik, tapi terlalu banyak memikirkan dirinya sendiri.
Lagi pula, bagaimana dia bisa tahu apa yang kupikirkan" Aku selalu punya pikiran aneh-aneh.
Aku tidak tahu apakah semua orang memang punya pikiran aneh-aneh semacam itu.
Mom bilang aku bisa kelihatan cantik kalau aku lebih sering tersenyum. Katanya kebiasaanku cemberut menjatuhkan seluruh penampilan wajahku.
Menurut Mom, rambutku sebaiknya dipotong pendek. "Memangnya kenapa sih kau perlu rambut banyak-banyak?" tanyanya sambil geleng-geleng. Rambut Mom sendiri memang dipotong pendek sekali, hampir tidak lebih panjang dari potongan rambut laki-laki, "bayangkan berapa lama waktu yang kauhabiskan untuk mengurus rambut itu."
Mom memang tukang menasihati.
Kadang-kadang sampai menjengkelkan. Dia akan tahu kalau aku sedang suntuk, sedang sebal. Tapi itu tidak membuatnya berhenti memberi nasihat.
Apa dia betul-betul mengira aku ingin seperti dia"
Dia dan Dad benar-benar sangat membosankan. Kasihan melihat mereka berdua di meja makan setiap malam, berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dibicarakan.
Kalau aku sudah kawin nanti, kuharap aku dan suamiku tidak cuma membicarakan cuaca panas di luar atau pembasmi semak-semak merek apa yang mau dibeli.
Menyebalkan! Orangtuaku terlalu banyak mencampuri urusanku. Dan bukan cuma aku sendiri yang berpendapat begitu. Teman-temanku di Shadyside High berpendapat sama. Mereka mendapatkan jauh lebih banyak kebebasan dari orangtua mereka.
Mereka boleh bawa mobil malam-malam ke tempat teman-teman mereka atau jalan-jalan keliling kota. Mereka tidak harus memberitahu orangtua mereka ke mana mereka pergi dan jam berapa pulang, tidak seperti aku.
Padahal aku sudah di kelas terakhir, sudah boleh dianggap dewasa.
Aku tidak tahu kenapa aku harus telepon ke rumah kalau aku pergi lebih dari dua jam atau kalau aku mau pulang lebih lambat daripada yang kukatakan sebelumnya.
Aku bisa mengurus diriku sendiri. Mereka harus belajar memberikan lebih banyak kebebasan padaku.
Aku bisa cerita tidak habis-habisnya tentang Mom dan Dad. Tapi bukan cuma mereka yang membuatku merasa kacau belakangan ini.
Aku punya banyak masalah di sekolah. Aku tidak tahu apakah itu tanda-tanda penyakit musim semi atau apa.
Aku harus mengumpulkan laporan biologi. Tapi tidak kukerjakan.
Mr. Frost terlalu membesar-besarkan urusan itu. Ia membuatku merasa seperti penjahat. Seperti pembunuh.
Ia memanggilku seusai sekolah untuk "bercakap-cakap berdua saja" selama sejam. Itu istilah yang dipakainya. Dia dan aku sudah beberapa kali "bercakap-cakap". Tapi bagaimana bisa disebut bercakap-bercakap kalau yang terjadi adalah satu pihak menyudutkan yang lain.
"Mestinya kau buat laporan biologimu, Nicole." Begitu cara Mr. Frost membuka "percakapan".
Di belakangnya kusebut dia Frosty, si Beku. Karena dia bulat dan besar, seperti orang-orangan salju.
"Mestinya kau buat laporan biologimu, Nicole."
"Saya tahu," sahutku, menahan kuap.
Ia melambaikan tangan gemuknya, mengusir lalat yang terbang berputar-putar mengitari wajahnya. Lalat pertama musim semi ini, pikirku.
"Kenapa tak kaukerjakan?" desaknya. Ia bicara dengan suara lembut, yang akan semakin lembut kalau dia semakin marah.
Aku mengangkat bahu "Tidak tahu."
Aku memang tidak tahu. Aku sudah berniat mengerjakannya. Aku bahkan sudah melakukan sebagian besar penelitiannya. Tapi entah kenapa akhirnya aku tidak menulis laporannya.
"Pasti ada sebabnya, Nicole," kata Frosty, suaranya semakin lembut.
Aku menengok ke luar jendela. Anak-anak anggota tim bisbol sedang melakukan pemanasan sebelum latihan. Awan terkuak dan matahari menyembul. Cahayanya masuk ke ruangan.
"Saya tak punya alasan," aku mengaku.
Kami "bercakap-cakap" sambil berdiri. Dia bersandar ke papan tulis di belakang mejanya.
Aku berdiri di seberang meja, kedua tanganku terlipat.
Aku memakai kaus hitam dan jins hitam. Hitam-hitam, cocok dengan suasana hatiku.
Tadi malam aku sudah berpikir mau mengecat kukuku dengan warna hitam. Tapi karena ngobrol sejam lewat telepon dengan sahabatku, Lucy Kramer, aku jadi lupa.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan mengenai hal ini?" tanya Mr. Frost lembut. "Aku tak ingin memberi angka merah untukmu, Nicole. Itu akan membuatmu tak lulus."
Kata-kata itu membangunkanku Tidak mungkin aku tidak lulus tahun ini. Aku sudah bosan di sini.
"Uh... barangkali saya boleh mendapatkan tambahan waktu," usulku. "Takkan makan waktu lama untuk menulis laporannya, Mr. Frost. Saya sudah menyelesaikan penelitiannya. Sungguh."
Aku baru sadar kalau aku menarik-narik sejumput rambut cokelat di depan pelipisku. Kusapu rambut itu ke belakang.
Frosty mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan memandangku sambil berpikir. Tangannya mengelus-elus dua atau tiga lapis dagunya.
"Saya sudah menyelesaikan penelitiannya," ulangku. "Tolong beri saya waktu sedikit lagi. Saya berjanji laporan itu akan bagus."
Ia membiarkanku gelisah beberapa saat lagi. Lalu ia berkata, "Kalau kau bisa menyerahkannya Senin, masih akan kuterima."
"Tapi sekarang sudah Jumat!"
"Aku tahu, Nicole. Pakai akhir pekanmu untuk menyelesaikan laporan itu. Kalau kuberi waktu terlalu banyak, tak adil untuk teman- teman sekelasmu. Kerjakan dengan baik. Aku percaya kau bisa menyelesaikannya."
Ia membuka buku catatan di mejanya dan mulai membalik-balik halamannya. Kuanggap itu berarti "percakapan" kami sudah selesai.
"Terima kasih," gumamku, lalu aku keluar dari kelas.
Aku benar-benar marah. Bukannya pada Frosty, tapi pada diriku sendiri. Maksudku, bukan salah dia bahwa aku tidak menyelesaikan pekerjaan rumahku.
Nicole, mengapa kau selalu membuat sulit dirimu sendiri"
Aku tidak tahu jawaban atas pertanyaanku sendiri itu.
Aku harus bekerja dua puluh jam sehari untuk menyelesaikan laporan itu, pikirku. Artinya aku harus memberitahu David bahwa aku tidak bisa pergi ke kelab dansa dengannya malam Minggu nanti.
Menyedihkan sekali. Belakangan ini David agak aneh. Beberapa kali dia membatalkan janji. Dan pikirannya seolah melayang-layang entah ke mana.
Tidak seperti David yang biasa, biasanya dia santai.
Karena David sedang aneh begitu, sebetulnya aku ingin sekali pergi dengannya malam Minggu ini. Mungkin aku bisa mengorek apa yang sedang mengganggu pikirannya. Tapi sekarang tidak mungkin aku pergi malam Minggu"dan harus menyelesaikan laporanku.
Tanpa kuduga, ternyata David menungguku di luar lab sains. "Ngapain kau di sini?" sapaku.
"Menunggumu," sahutnya. David termasuk orang yang bicara secukupnya. Ia jarang mengucapkan satu kalimat penuh. Dipikirnya cara itu membuatnya lucu dan menarik.
Aku juga berpikir begitu.
Kuangkat wajahku untuk menciumnya. Dia sangat tinggi, hampir tiga puluh senti lebih tinggi daripadaku.
Ia menjauhkan wajahnya. Kutatap dia. Kucoba membaca ekspresi wajahnya. Dia memiliki mata besar berwarna cokelat, seperti mata anak anjing yang lucu. Matanya menghindari tatapanku.
Kenapa sih dia" pikirku.
Kuputuskan untuk langsung saja mengatakan padanya bahwa rencana malam Minggu nanti terpaksa batal.
Tapi ia menduluiku. "Aku... tak bisa pergi malam Minggu besok," katanya. Matanya masih menatap ke aula kosong.
"Kok" Kenapa?" desakku tanpa bisa menyembunyikan rasa terkejutku.
Ia ragu-ragu. Kami berjalan berdampingan ke lokerku. Tapi kemudian ia berhenti. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Tak bisa," gumamnya.
"David, ada apa?" tanyaku, berusaha agar suaraku tidak meninggi. "Kenapa kau tak bisa pergi malam Minggu?"
Ia mengangkat bahu. "Ada urusan lain," sahutnya. Wajahnya berubah. Sekarang ia terlihat canggung. "Begini, Nicole..."
Kutunggu dia meneruskan kata-katanya, tapi tidak ada lanjutannya.
Rasa kuatir menusuk dadaku. Mendadak seluruh tubuhku terasa dingin. "Kau... kau mau putus denganku?" tanyaku.
Kata-kata itu terdengar aneh. Seperti bukan kata-kataku.
Tadinya aku sangat mengharapkan David. Hidupku sedang kacau. Sangat kacau. Aku membutuhkan David. Aku membutuhkannya untuk bisa tetap bertahan.
Aku sangat tertekan. Aku sedang tidak membutuhkan tambahan berita buruk.
"Bagaimana?" desakku.
Ia mengangguk. Mata besar cokelat itu menatapku. "Ya. Rasanya begitu."
"Tapi"kenapa?" Suaraku meninggi. Aku tidak bisa pura-pura tenang. Guncangannya terlalu hebat.
"Tak tahan," jawabnya.
Khas jawaban pendek David. Apa maksudnya"
Kucengkeram lengannya. "Aku tak mengerti," jawabku. "Katakan padaku, David. Kenapa kau mau putus denganku. Aku betul-betul tak mengerti."
"Aku tak tahan," katanya.
Kulihat kuku-kukuku menusuk kulit lengannya.
Ia menarik lengannya dari cengkeramanku. Ia mundur selangkah.
"David...!" jeritku.
"Begini saja, kau nanti kutelepon," katanya. Ia melangkah mundur. "Oke" Nanti kutelepon. Sori, sori, Nicole."
Ia berbalik dan pergi meninggalkanku dengan langkah-langkah lebar.
Tanpa menoleh. Aku berdiri memandanginya sampai ia lenyap di kelokan. Beberapa saat kemudian kudengar pintu depan gedung sekolah ditutup.
Aku baru sadar bahwa aku gemetaran. Aku berjalan ke lokerku dan mencoba membuka kunci kombinasinya. Tapi tanganku gemetaran dan mataku kabur oleh genangan air mata. Aku tidak bisa melihat angka-angka di kunci kombinasi.
Kenapa dia tidak menjelaskan"
"Aku tak tahan."
Apa maksud kata-katanya itu"
Setelah beberapa kali mencoba, aku berhasil membuka lokerku. Kulihat kalender di dalamnya. Aku ingin tahu apakah hari ini Jumat tanggal tiga belas.
Ternyata tidak. Hari ini tanggal dua belas.
Sama saja. Tetap hari sialku.
Sambil menghela napas aku membungkuk memasukkan buku dan catatan ke tasku. Aku tidak melihat lagi buku-buku apa saja yang kumasukkan. Aku tak perduli.
Aku ingin cepat-cepat keluar dari gedung sekolah ini.
Kalau tidak, aku akan sesak napas di dalam sini. Pasti.
Kubanting pintu lokerku, kusampirkan ranselku ke bahu, lalu cepat-cepat aku pergi. Dua orang guru muncul dari kelokan, bicara sambil tertawa-tawa.
Tawa mereka terhenti ketika mereka melihatku. Mungkin mereka melihat ekspresi sedih di wajahku.
"Nicole... kau baik-baik saja?" salah seorang dari mereka menyapaku.
"Ya. Tidak apa-apa!" seruku. Kubuka pintu depan dan aku melangkah ke luar.
Udara terasa segar dan wangi. Pohon dogwood di halaman depan sekolah sedang berkembang, bunganya yang putih bermekaran.
Kualihkan pandanganku ke jalan. Sebuah bus kota Shadyside berwarna merah-putih muncul dari tikungan. Dua anak SMP meluncur di trotoar dengan Rollerblades.
Tak terlihat seorang pun yang kukenal. Semua temanku sudah pulang, atau sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Mom mungkin sudah bingung kenapa aku belum pulang, pikirku pahit. Serasa terngiang suaranya di telingaku, "Nicole, kalau kau tahu harus tinggal setelah jam sekolah, kenapa tak menelepon ke rumah?"
Aku tidak punya kehidupan. Sama sekali tidak punya kehidupan!
Aku mulai menuruni tangga ketika kulihat Lucy berjalan ke arahku. Ia melambai padaku. Cepat-cepat kuhampiri dia. Lucy dan aku bersahabat amat sangat akrab sejak TK.
Rambut Lucy lurus pirang, dipotong lebih pendek daripada rambutku, dan biasanya diikatnya menjadi buntut kuda. Matanya hijau, hidungnya kecil agak mendongak, dan senyumnya manis sekali. Rasanya kalian akan setuju kalau kukatakan dia lebih tepat disebut lucu daripada cantik.
Aku berlari menghampirinya dan memeluknya. Serta-merta emosiku meledak. "Lucy... ini hari jelek, hari sialku!" Air mata hangat mengalir di pipiku.
Lucy sangat penuh pengertian. Dan cerdas. Dan dia sangat mengenal diriku.
Tidak pernah ada rahasia di antara kami. Kami tidak pernah merahasiakan sesuatu dari yang lain. Rasanya senang punya teman yang bisa dipercaya sepenuhnya.
"Hidupku"hancur berantakan hari ini," kataku. "Semua. Seluruhnya. Aku... rasanya aku tak punya kendali atas hidupku sendiri. Sangat... menyedihkan."
"Sama, aku juga," bisik Lucy. "Parah. Aku juga, Nicole. Aku juga."
Kulepas pelukanku dan aku mundur selangkah. Kuhapus air mata di pipiku dengan kedua tanganku dan kupandang dia dengan heran. "Kau juga?" senggukku. "Kau juga mengalami hari buruk?"
Ia mengangguk. Lalu matanya berbinar bagai nyala api hijau. "Tapi aku punya ide," bisiknya. "Aku tahu apa yang bisa kita lakukan."
"Ide?" ulangku sambil menatapnya. "Ide apa, Lucy?"
Matanya berbinar lagi. Wajahnya bersinar cerah. "Ayo bertukar tubuh," katanya.
BAB 2 AKU ikut Lucy ke Fear Street. Hatiku tergelitik oleh perasaan aneh seakan ada aliran listrik berputar-putar dalam tubuhku.
Apakah dia serius" Benarkah yang dikatakannya" Apakah kami memang akan bertukar tubuh"
Tanah menjadi agak gelap, lalu terang lagi, ketika gumpalan-gumpalan awan melintas bergantian menutupi matahari di langit. Cahaya yang berubah-ubah itu membuat semuanya seperti bukan kenyataan.
Kuceritakan pada Lucy apa saja yang terjadi hari ini. Mengenai kekacauan hidupku. Mengenai David dan Mr. Frost dan laporan biologi. Mengenai orangtuaku yang membelenggu hidupku tanpa memberiku kesempatan bernapas.
Ia mengangguk mengerti. Tanpa perlu menimpali.
Ia memakai rok pendek hitam di atas celana ketat kuning. Kaus kuning kutung memperlihatkan lengan ramping yang pucat sisa musim dingin.
Sepatu kami berkeresak menginjak dedaunan.
Matahari meredup dan pohon-pohon tua Fear Street jadi gelap. Lalu terang kembali, seperti ada orang memainkan tombol brightness pesawat televisi.
Aku bergidik ketika kami berhenti sebentar memandang rumah tua Simon Fear. Aku sudah sering mendengar kisah-kisah seram mengenai rumah tua yang terbakar itu, dan mengenai jalan ini.
"Kenapa tak mereka robohkan saja rumah itu?" komentar Lucy sambil memicingkan matanya mengurangi ketajaman cahaya matahari yang sekarang menyorot terang. "Merusak pemandangan saja!"
"Mungkin mereka takut," timpalku lirih.
Kualihkan pandanganku ke seberang jalan, ke tanah pekuburan tua yang dipenuhi batu-batu nisan tua yang mencuat dari tanah bagaikan gigi yang tumbuh tidak teratur.
Di balik tanah pekuburan terhampar hutan Fear Street. Pohon-pohon maple dan birch tua menjulurkan daun-daun musim seminya yang segar, memayungi jalanan, bagaikan lusinan tangan raksasa.
Aku mengikuti Lucy ke hutan. Cabang-cabang pepohonan tua melengkung membentuk atap tinggi di atas kepala kami, hanya menyisakan sedikit celah untuk sinar matahari menembus ke bawah membuat suasana hutan itu kelabu dan kebiruan, gelap seperti malam.
"Ke mana kita?" tanyaku menahan napas.
Lucy kelihatannya sudah hafal jalan itu. Ia menyisihkan semak-semak berduri yang menghalangi jalan dengan kakinya, berjalan setengah membungkuk, mengikuti jalur yang tak terlihat.
"Lucy"tunggu!" panggilku, mengitari genangan air. "Hei"Lucy! Tunggu!"
Aku menyusulnya di dekat sebatang pohon tumbang yang sudah berlumut. Ia memandang ke bawah, kuikuti tatapannya. Ribuan serangga putih kecil bertebaran di lumut hijau.
"Ih," gumamku. "Jijik."
Lucy mengangguk. Ia mengusap dahi dengan punggung tangannya. Sebetulnya hari itu tidak terlalu panas, tapi kami berdua berkeringat.
"Ke mana kita?" kuulangi pertanyaanku tadi.
Lucy menunjuk ke depan. "Di sana. Kalau tak salah."
"Apa yang di sana?" tanyaku. "Kenapa kau misterius sekali?"
Ia nyengir. "Ini memang tempat misterius." Digandengnya tanganku. Tanganku dingin. Tangannya terasa panas dan lembap. "Sudah, jangan tanya-tanya, ikuti saja aku."
Ia menarikku melangkahi pohon tumbang berlumut itu. Kubayangkan ribuan serangga kecil putih itu mengerubuti tubuhku. Aku bergidik.
"Memangnya kita benar-benar mau bertukar tubuh?" tanyaku.
Ia memicingkan matanya memandangku. Hidungnya yang lucu itu membuat wajahnya seperti anak umur dua belas, bukannya tujuh belas. "Kau ingin melakukannya, kan?" tanyanya perlahan.
Aku mengangguk, teringat orangtuaku, pekerjaan rumahku, David... hidupku yang berantakan.
Ya, aku ingin kabur. Kabur dari diriku sendiri.
Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari diriku sendiri.
Ya. Ya. Ya, aku ingin bertukar tempat dengan Lucy. Aku ingin bertukar kehidupan"setidaknya untuk sementara.
Hidup Lucy tidak mudah. Orangtuanya sering bertengkar bagaikan para penghuni kebun binatang. Mereka tenggelam dalam masalah mereka sendiri, hampir tidak punya waktu untuk memperhatikan Lucy.
Tapi itu yang kuinginkan, pikirku. Aku akan sangat menyukai kebebasan seperti itu.
Ya. Ya. Mari bertukar, pikirku.
Hidup Lucy memang tidak mudah. Tapi masih lebih baik dari hidupku.
Dan dia punya Kent. Kent Borden sangat tampan. Pintar. Lucu.
Walaupun Lucy sahabat karibku, aku sering berkhayal membayangkan bagaimana rasanya berkencan dengan Kent.
Sekarang aku akan tahu, pikirku.
Lucy dan aku akan bertukar tubuh. Dan aku akan tahu rasanya bersama Kent.
Pikiran aneh. Suasana semakin gelap kelabu, udara terasa semakin berat, semakin dalam kami masuk ke hutan. Daun-daun kering gemeresik terinjak sepatu-sepatu kami.
"Rasanya di situ tempatnya," kata Lucy, berhenti melangkah untuk mencabut duri dari rambutnya. "Oh! Tajam!" Dilemparkannya duri itu ke tanah.
Seekor burung memekik panjang dan nyaring di atas kepala kami. Pekikan sedih yang membuatku berhenti melangkah. "Seperti jeritan manusia," kataku. "Seperti orang menangis."
Suara itu terdengar lagi. Aku ragu-ragu, menggigil mendengar pekikan tajam dan sedih itu.
Wajah Lucy jadi serius. "Jangan jadi pengecut," tegurnya. "Jangan malah jadi takut. Kau kan ingin melakukannya. Kau tahu kau ingin."
Kutatap dia, aku agak terkejut melihat tiba-tiba dia jadi serius seperti itu. " Tidak, aku tak takut," kataku perlahan. "Ayo, aku ikut kau."
Burung tadi memekik-mekik di atas sementara kami meneruskan perjalanan menembus semak-semak. Persis di balik semak-semak melintang sebidang tembok batu. Tembok yang terbuat dari batu abu-abu itu kira-kira tiga puluh senti lebih tinggi daripada kepala kami.
"Kakekku yang menceritakan padaku tentang tembok ini," kata Lucy. "Sebelum meninggal, Kakek memberitahuku di mana tembok ini berada, menceritakan padaku kenapa tembok ini dibuat dan bagaimana tembok ini sampai mempunyai kesaktian luar biasa."
Aku menahan napas, menatap ke depan, ke tembok itu. Garis-garis retakan terlihat pada permukaannya bagaikan garis-garis jalan pada peta. Semen perekat batu-batunya sudah retak-retak dan rontok.
"Tembok ini pasti sudah tua, ya?" kataku.
Ia mengangguk, menatap lurus-lurus ke tembok itu. "Tak ada yang tahu persis berapa umurnya."
"Siapa yang membuatnya?" tanyaku sambil menepuk nyamuk yang menggigit lenganku.
"Tak ada yang tahu juga, kata kakekku, tembok ini disebut Tembok Pertukaran. Lebih dari seratus tahun lalu, orang-orang jahat datang ke hutan ini dan menggunakan tembok ini untuk menukar tubuh. Bertukar tubuh dengan orang lain secara paksa."
Aku ternganga. "Maksudmu mereka memaksa orang lain untuk bertukar tubuh dengan mereka?"
Lucy mengangguk. "Itulah cara mereka melepaskan diri dari hukuman perbuatan jahat mereka."
Kutatap tembok itu. "Wow," gumamku. Aku menoleh ke Lucy. "Dari mana kakekmu tahu tentang tembok ini?"
"Dari si tua penjaga kuburan Fear Street," sahut Lucy. "Penjaga itu tinggal di pondok di hutan di belakang pekuburan. Dia tahu semua cerita tua dan legenda"sebagian besar kisah seram"tentang hutan ini. Dia tak pernah menceritakannya pada orang lain, sampai suatu hari bertahun-tahun lalu. Hari itu dia menceritakan pada kakekku rahasia Tembok Pertukaran ini."
Lucy mengusap batu-batu tembok dengan tangannya. Ketika ia menyentuh tembok, langit menjadi lebih gelap. Suasana sekeliling kami kelabu tua. Seakan dengan menyentuh tembok itu Lucy membuat dunia jadi lebih gelap.
Tapi rasanya itu cuma pikiran anehku.
Kuangkat tanganku untuk meraba tembok itu, tapi kutarik kembali sebelum menyentuhnya.
Lucy mencibir. "Itu cuma batu dan semen, Nicole. Takkan menggigitmu."
"B-bagaimana cara kerjanya?" aku tergagap-gagap. Dadaku tiba-tiba berdegup kencang. Aku baru sadar sebenarnya aku takut.
"Kakek sudah menceritakan semuanya. Mudah saja," kata Lucy. "Kita naiki tembok itu dari arah sini. Kita berpegangan tangan. Lalu kita melompat ke seberang sana. Waktu kita mendarat di seberang tembok..."
"Waktu mendarat kita sudah bertukar tubuh?" selaku.
Lucy mengangguk. "Waktu mendarat kita sudah bertukar tubuh. Kau akan berada di tubuhku dan aku di tubuhmu. Bila orang melihatku, aku akan terlihat seperti kau dan semua orang akan mengira aku adalah kau."
Kutatap dia sambil mencerna kata-katanya, lalu kuangkat mataku menatap tembok kelabu itu.
"Kau benar-benar mau melakukan ini?" tanyaku.
"Ayolah, kita coba saja," katanya. Digandengnya lagi tanganku. Kali ini tangan kami sama-sama dingin dan lembap.
Ia mengeratkan genggamannya. "Ini mudah saja, Nicole. Satu lompatan sederhana. Kita coba saja. Harus kita coba."
Ia mengangkat tangannya ke atas tembok. "Dorong aku ke atas," perintahnya.
Kubantu dia naik ke atas tembok. Sampai di atas dia perlu waktu sejenak untuk menyeimbangkan badannya. "Atasnya tak rata," katanya. Ia merendahkan tubuhnya, berlutut. "Temboknya sempit dan retak-retak. Hati-hati, Nicole. Jangan sampai jatuh."
Ia mengulurkan kedua tangannya, membantu menarikku ke atas tembok.
Aku ragu-ragu. Di belakang terdengar lengkingan sedih burung tadi, tinggi di atas pepohonan.
Apakah itu lengkingan peringatan"
Apakah burung itu ingin memperingatkanku agar tidak meneruskan maksudku"
Burung apa yang suaranya seperti anak perempuan menangis sedih itu"
"Ayo, Nicole," desak Lucy sambil menggerak-gerakkan tangannya tidak sabar. "Cepat. Susah menyeimbangkan badan lama-lama di atas sini. Lututku sudah sakit kena ujung batu."
Kuabaikan lengkingan burung itu dan kupegang tangan Lucy. Ia menarikku ke atas. Lututku lecet tergeser pinggiran tembok. Tapi aku berhasil naik ke sebelah sahabatku.
Kami istirahat sejenak sambil berlutut, mengembalikan napas.
Lalu kami bersama-sama, perlahan-lahan, dengan hati-hati, bangkit berdiri menghadap ke seberang.
Entah mengapa, aku membayangkan akan melihat pemandangan yang berbeda di seberang sana. Jenis pohon yang berbeda. Langit yang berbeda. Sebuah rumah. Atau yang lainnya.
Tanda-tanda bahwa semua di seberang tembok akan berubah.
Tapi ternyata apa yang kulihat di seberang tembok sama saja dengan yang di seberang sini. Hutan gelap.
Lututku mulai gemetar ketika kupegang tangan Lucy.
Bisakah aku melakukan ini" tanyaku pada diri sendiri. Bisakah aku benar-benar melakukan ini"
Satu lompatan sederhana, aku mengingatkan diriku sendiri. Cuma itu saja. Satu lompatan sederhana.
Dan hidupku akan berubah.
Lucy dan aku saling memandang. Kulihat ketakutan di matanya yang hijau. Aku yakin dia pun melihat ketakutan di mataku.
Seolah-olah kami sudah saling bertukar rasa takut sebelum melompat berbarengan dari atas tembok. Sepertinya pertukarannya sudah mulai.
Dadaku berdegup kencang sampai aku susah bernapas. Keringat dingin mengaliri pipiku.
Kugenggam tangan Lucy. Kugenggam erat-erat.
Aku melihat ke bawah tembok. Tidak terlalu tinggi. Rumput tebal di bawah tembok.
"Siap?" tanya Lucy pelan.
"Siap," jawabku tanpa ragu-ragu.
kueratkan genggamanku. Aku menarik napas panjang.
Dan kami melompat. BAB 3 KEDUA kakiku menumbuk tanah dengan keras. Rasa sakit terasa sampai ke mata kaki, dan aku jatuh berlutut.
Rasa sakit merambat naik dengan cepat melalui tungkai, ke dada, sampai ke kepala. Seluruh hutan seakan berubah warna menjadi merah tua.
Sambil terengah-engah, aku menggeleng untuk mengusir rasa sakit, lalu bangkit berdiri.
Berhasilkah" Betulkah lompatan tadi menukar tubuh kami"
Aku menoleh ke Lucy"tapi dia tidak ada. "Lucy?"
Aku menatap diriku sendiri.
Mulutnya"mulutku ternganga ketika ia membalas menatapku.
Aku menunduk meneliti diriku sendiri. Aku mengenakan pakaian Lucy"kaus kuning kutung, rok hitam pendek di atas celana ketat kuning.
"Oh, wow!" gumamku. Kuraba wajahku.
Kupegang-pegang hidungku. Hidung kecil si Lucy. Kuusap kepalaku, buntut kudaku. Rambut Lucy. Bukan rambutku.
Aku Lucy, pikirku. Aku Nicole di dalam tubuh Lucy.
Kami mulai terkekeh-kekeh. Saling memandang dengan terbelalak, tidak percaya pada penglihatan kami. Berpandangan dan terkekeh-kekeh.
Tidak ada yang bicara. Lalu kami mulai tertawa. Memiringkan kepala ke belakang dan terbahak-bahak ke arah langit.
Aku merasa pusing. Aku merasa sinting. Aku merasa tak terkendali.
Air mata kegembiraan menggenang di mataku. Melalui genangan air mata aku menatap diriku. Menatap Lucy di tubuhku. Rasanya tidak seperti melihat melalui cermin. Aku baru menyadari aku belum pernah betul-betul melihat diriku sebelum ini.
Belum pernah sebelumnya aku bisa melihat lesung pipiku bila aku tertawa. Tidak kusadari sebelumnya mulutku agak miring.


Fear Street - Tukar Tubuh Switched di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum pernah kulihat bagaimana rambutku yang panjang berombak berkilauan jatuh ke punggung melewati bahuku. Bagaimana rambut itu melambai setiap kali kugerakkan kepalaku.
Aneh, rasanya aneh sekali. Aku berada di luar diriku. Aku berada di luar tubuhku memandang diriku.
Sekarang aku Lucy, memandang Nicole.
Kulihat Nicole menyentuh pipi, kukunya panjang-panjang dicat merah.
Kami masih tertawa-tawa dengan air mata mengalir di pipi kami.
Dan tiba-tiba kami berpelukan, saling mendekap erat-erat. Tertawa-tawa sambil berdekapan. Tertawa dan menangis bersamaan.
Kami mulai berputar-putar. Sambil berpegangan tangan dengan riang kami menari berputar-putar.
Berputar-putar semakin cepat. Nicole dan Lucy. Lucy dan Nicole. Nicole jadi Lucy, Lucy jadi Nicole. Berpusar-pusar bersama. Bersama, bukan sendiri-sendiri.
Berkitar-kitar dalam lingkaran kami sendiri.
Berputar dan tertawa. Senang sekali.
Dan berhenti mendadak seperti lompatan yang memulai semua ini tadi. Dan kami jatuh terduduk di atas rumput hangat, terengah- engah. Dan saling memandang dengan wajah serius.
Rasa pusing hilang dan kami mulai menyadari apa yang telah kami lakukan.
Kami telah melompat lebih dari sekadar dua meter. Kami telah melompat ke kehidupan baru. Bertukar kehidupan.
Lucy mulai menyanyi. "Dum dum-dum-dum-dum-dum-dum-dum." Kukenali lagu tema The Twilight Zone.
Aku tertawa. "Benar," kataku. "Kita melangkah ke Twilight Zone!"
"Kita tak boleh cerita pada siapa pun," kata Lucy, suaranya berbisik. "Jangan cerita pada siapa-siapa, Nicole."
"Panggil aku Lucy," kataku. "Aku jadi kau sekarang. Panggil aku dengan namamu."
Ia ragu-ragu. "Aku masih merasa diriku Lucy," katanya. "Walaupun aku kelihatan seperti Nicole sekarang."
"Kau benar," kataku. "Kita jangan cerita pada siapa pun. Lagipula takkan ada yang mau percaya. Kita jalani hidup masing-masing beberapa lama..."
"Dan kalau kita sudah bosan," potong Lucy, "kita bisa kembali ke sini. Dan kita bertukar lagi."
"Ya," aku setuju tanpa berpikir panjang. Lalu rasa bersalah menerpaku.
"Kenapa?" tanya Lucy. Pasti dia melihat perubahan wajahku.
"Aku takkan ingin bertukar balik," kataku. "Hidupku sangat kacau. Rasanya"rasanya kau yang rugi dengan pertukaran ini, Lucy."
"Nicole, jangan pikirkan itu," sahutnya. "Menurutku..."
"Tapi orangtuaku parah betul!" seruku. "Mereka seperti anjing penjaga. Selalu mengawasi, selalu menungguku melakukan kesalahan. Dan... dan David..." .
"Kenapa David?" tanya Lucy pelan.
"Aku sudah bilang, dia putus denganku," sahutku. "Jadi kau tak punya pacar."
Ia tersenyum dan mengusap rambutnya yang cokelat panjang ke belakang dengan tangan berkuku merah mengilat. "Mungkin aku akan mencoba merebutnya kembali," katanya.
"Dan sekarang aku punya Kent," aku meneruskan, masih dipenuhi rasa bersalah. "Kent cowok hebat. Bagaimana perasaanmu, Lucy" Bagaimana perasaanmu kalau aku pergi dengan Kent?"
Ia mengangkat bahu. "Nicole, ide ini datangnya dariku, ingat" Aku tahu persis apa jadinya."
Kubuka mulutku untuk menjawab, tapi tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Langit di atas pucuk-pucuk pepohonan bertambah gelap. Matahari sore mulai merendah. Angin hangat membuat dedaunan berdesir dan berbisik-bisik di sekeliling kami.
"Pulang yuk," ajak Lucy.
"Ibuku pasti akan menunggumu di depan pintu," kuperingatkan dia. "Kau harus siap-siap punya alasan bagus."
"Gampang, aku kasih tahu saja kalau aku telat pulang karena habis melompat dari tembok dan bertukar tubuh," kata Lucy sambil nyengir. Lesung pipiku ikut tersenyum. Ia menggerakkan kepala melambaikan rambut cokelatku sambil tertawa.
Kami sama-sama tertawa. Aku masih agak pusing seperti orang mabuk.
Kuregangkan lenganku ke atas kepala. Aku berjalan beberapa langkah di rumput dengan tubuh baruku.
Rasanya canggung. Gerakan tungkainya terasa berbeda. Kakinya lebih kecil. Perlu usaha untuk berdiri tegak, untuk mencegah kepala tertunduk.
Seharusnya melangkah itu merupakan gerakan wajar, pikirku. Tapi aku belum terbiasa dengan tubuh ini.
Beberapa langkah lagi. Aku menengok ke tembok tadi. Di bawah cahaya yang mulai suram tembok itu hanya terlihat sebagai bayangan kelabu. Bagaikan awan gelap di atas rumput. Kalau tidak kupicingkan mataku, aku takkan bisa melihatnya.
Seakan-akan tembok itu tidak ada.
Lucy dan aku tidak banyak bicara dalam perjalanan dari hutan ke jalan. Rasanya kami masing-masing sibuk berpikir sendiri, berpikir tentang hidup baru kami, membiasakan diri dengan tubuh baru.
Beberapa menit kemudian kami keluar ke Fear Street. Rumah tua Fear menjulang bagaikan makhluk gelap di latar belakang langit kelabu. Kulihat dua kucing dekil berlarian di sela-sela barisan batu nisan di kuburan.
Kami berjalan tanpa bicara. Kira-kira satu blok dari rumahku kami berpisah. "Daah!" seruku.
"Daah," sahutnya. Ia melambai padaku, lalu berlari-lari kecil menyeberang jalan.
Aku berdiri menatapnya. Rasanya aneh melihat diriku berlari menjauh.
Kuperhatikan Lucy sampai hilang di balik pepohonan. Lalu aku berbalik dan berjalan ke arah rumah Lucy di Canyon Drive.
Bisakah aku mengelabui orangtua Lucy" pikirku.
Bisakah aku membuat Mr. dan Mrs. Kramer mengiraku sebagai anak mereka"
Dan bagaimana dengan teman-teman Lucy, bisakah mereka kukelabui" Bisakah aku mengelabui Kent" Bisakah aku mengelabui teman-temanku sendiri"
Begitu banyak pertanyaan di benakku sementara aku berdiri bimbang di depan rumah Lucy, memandang rumah kayu bercat putih itu.
Ingat, Nicole"kuingatkan diriku sendiri" jangan menyindir. Lucy tidak pernah bicara menyindir. Kau yang suka menyindir. Lucy manis dan serius.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu melangkah ke rumah. Pintu depan setengah terbuka. Aku membuka pintu kasa lalu melangkah masuk.
"Hai! Aku sudah pulang!" aku berseru. "Maaf aku terlambat!"
Tak ada jawaban. Mobil ada di depan rumah. Mr. dan Mrs. Kramer pasti ada di rumah.
"Di mana kalian?" panggilku.
Aku menuju ke ruang keluarga.
Tapi terhenti di ambang pintu dengan teriakan tertahan.
Kukedipkan mataku beberapa kali, tapi pemandangan mengerikan itu tak juga pergi.
Kugenggam pinggiran pintu dengan kedua tanganku, mataku terbelalak ketakutan menatap genangan darah dan tubuh-tubuh yang tersayat-sayat di lantai.
Lalu aku menjerit sekuat tenaga.
BAB 4 KAKIKU gemetaran tak terkendali, aku jatuh berlutut.
Seluruh tubuhku gemetar. Rasa mual hampir membuatku muntah.
Kedua orangtua Lucy tergeletak tewas di atas karpet ruang keluarga. Tertelentang. Tubuh mereka tersayat-sayat. Pakaian mereka robek-robek dan bersimbah darah. Mata mereka membelalak ngeri ke arah langit-langit.
Dan darah... Genangan... Gelap dan menyebar... di bawah tubuh mereka yang tersayat-sayat, bagai rakit berwarna merah anggur.
Bagai lubang gelap dan dalam di tengah karpet putih.
Mr. dan Mrs. Kramer. Orangtua Lucy. Terbunuh. Tewas di lantai ruang keluarga.
"Lucy. Lucy. Lucy." Aku tidak tahu berapa kali kuulang-ulang menyebut namanya.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di ambang pintu ruang keluarga itu, duduk berlutut, seluruh tubuh gemetaran, mata berkedip-kedip memandang kengerian itu.
Menatap tubuh tersayat-sayat kedua orangtua Lucy.
Memanggil-manggil nama sahabatku seperti orang membaca mantra. "Lucy. Lucy. Lucy."
Aku tidak tahu apakah aku baru satu atau dua menit di sana, atau sudah satu jam.
"Lucy. Lucy. Lucy."
Gelombang warna merah mengalir di depan mataku. Gelombang panas darah merah menerpaku, membutakanku, mencekikku.
"Lucy. Lucy. Lucy."
Kuusap mataku, kucoba mengusir pemandangan seram itu. Dengan susah payah aku bangkit.
Dengan susah payah aku berjalan ke pintu depan.
"Lucy harus kuberitahu," gumamku keras-keras.
Aku tidak bisa berpikir. Adegan ngeri itu masih menguasaiku, dan darah itu, merah sekali.
"Lucy harus kuberitahu."
Aku terhuyung-huyung keluar dari pintu depan. Tubuh baruku masih terasa canggung. Untuk melangkah pun perlu konsentrasi.
Lucy dan aku harus bertukar lagi kalau begini. Kami harus kembali ke tembok kelabu itu dan saling bertukar kembali.
Kasihan Lucy. Ia ingin merasakan kehidupan baru. Tapi sekarang...
Setiap kali kukedipkan mataku genangan gelap di karpet putih, kulihat tatapan kosong mata Mr. dan Mrs. Kramer. Kulihat pakaian mereka yang robek-robek... robek-robek...
Aku tidak ingat bagaimana aku sampai di rumahku. Buntut kudaku sudah lepas berantakan, tapi tak kuhiraukan. Celana ketat kuningku sobek terkait sesuatu entah di mana.
Matahari sudah rendah di balik rumah, hawa terasa sejuk. Tapi aku bersimbah keringat.
Pasti aku lari dari rumah Lucy tadi. Paling tidak enam blok. Aku tidak ingat telah lari. Tapi napasku terengah-engah kecapekan, dadaku naik-turun, ketika aku menyeberang jalan di depan rumahku.
Masuk ke halaman depan. Rumputnya baru dipotong. Daun-daun rumput yang basah menempel di sepatuku ketika aku lari menyeberangi halaman.
Sampai di teras depan. "Lucy! Lucy!" Suaraku melengking kehabisan napas.
Aku berhenti di depan pintu. Berhenti untuk mengembalikan napas. Dan berpikir.
Bagaimana cara memberitahunya tentang apa yang kulihat di ruang keluarga rumahnya"
Bagaimana cara memberitahunya"
Bagaimana" BAB 5 DIA harus kuajak bicara berdua saja, pikirku.
Orangtuaku akan mengira aku Lucy. Mereka akan heran mengapa aku menerobos masuk pada jam makan malam begini. Mereka akan heran mengapa rambutku awut-awutan dan pakaianku robek. Mereka akan heran mengapa aku kebingungan dan terengah-engah kecapekan.
Akan banyak pertanyaan, pertanyaan, dan pertanyaan.
Lucy harus kuajak ke luar. Lalu... baru kuceritakan bahwa ada kecelakaan.
Ya, kecelakaan, itu yang akan kukatakan.
Aku takkan menceritakan seluruhnya sekaligus. Aku harus pelan-pelan dan hati-hati. Aku tidak bisa menyemburkan begitu saja bahwa kedua orangtuanya telah terbunuh di ruang keluarga rumah mereka.
Aku takkan menceritakan padanya tentang darah... darah... darah...
Kubekap mulutku, kutahan agar tidak muntah. Tapi aku tak bisa menahannya lebih lama. Pemandangan seram tadi terlalu mencekam.
Aku membungkuk di depan rumah. Aku muntah-muntah sampai pinggangku terasa sakit. Perutku berkali-kali seperti akan melompat keluar dari mulutku, sementara seluruh tubuhku berusaha mengusir bayangan menyeramkan yang kulihat tadi.
Kakiku gemetar, aku menarik napas berkali-kali, mengerang lemah, menunggu perutku berhenti bergolak.
Ketika akhirnya aku merasa agak nyaman, aku berjalan ke pintu depan. Kuputar kenobnya.
Terkunci. Aku baru mau berteriak memanggil, "Lucy!" Tapi sempat kuhentikan, aku ingat dia sekarang Nicole.
Kubunyikan bel. Kudengar bunyinya satu kali, dua kali, tiga kali di dalam rumahku.
Tak ada sahutan. Aku keluar dari teras dan berjalan memutar ke belakang. Pintu dapur juga terkunci. Walaupun saat itu waktu makan malam, dapur lengang dan gelap.
Kuketuk keras-keras pintu dapur. "Ada yang di rumah" Nicole"kau di rumah?" teriakku.
Sunyi. Kutempelkan dahiku ke kaca pintu dapur untuk mengintai ke dalam.
Tak ada orang di rumah. Ke mana mereka" Apakah mereka makan malam di luar"
"Lucy, di mana kau?" bisikku. "Lucy, kau harus tahu apa yang terjadi. Aku harus memberitahumu, Lucy. Aku harus cerita, pada siapa pun."
Aku sudah tak mampu menahannya sendirian. Aku tak bisa menanggung pemandangan seram itu tanpa meledak. Tanpa jadi gila.
Aku melangkah pergi dari pintu dapur, kedua tanganku kututupkan ke wajahku. Aku sudah siap merasakan kuku-kuku jariku menusuk wajahku. Tapi tentu saja aku tidak punya kuku panjang. Yang kumiliki kuku Lucy yang pendek bekas digigit-gigit.
Terbayang lagi Mr. dan Mrs. Kramer terbaring di karpet ruang keluarga. Aku mual lagi. Aku tahu tak ada apa-apa lagi di perutku yang bisa kumuntahkan.
Otakku berputar-putar kacau. Siapa yang bisa kuberitahu" Siapa"
Polisi Shadyside" Mana bisa aku memberitahu polisi sebelum memberitahu Lucy" Bagaimana aku bisa menceritakannya pada mereka sebelum kami bertukar tubuh kembali"
Tidak, pikirku. Akan sangat membingungkan. Akan sangat membingungkan dan menyakitkan bagi kami semua.
Aku takkan lapor polisi sebelum menceritakannya pada Lucy, pikirku.
Lalu wajah Kent terlintas di benakku.
Kent. Dia cerdas dan baik. Pintar dan penuh pengertian.
Kent akan mendengarkan ceritaku. Dan akan percaya.
Kent pasti akan membantuku.
Aku menelan ludah keras-keras, mencoba menenangkan napasku, menghentikan gemetar kakiku. Kusibakkan ke belakang rambut pirang yang jatuh ke wajahku.
Ya. Kent. Rumah Kent cuma dua blok dari sini. Aku berlari-lari kecil ke jalan, menengok sebentar ke rumahku, gelap dan sepi.
Dua cowok melintas cepat dengan sepeda mereka ketika aku sampai di jalan. Aku tidak melihat mereka sampai mereka hampir menubrukku.
"Awas!" kudengar salah satu dari mereka berseru.
Kulihat mereka membanting setang untuk menghindariku.
"Kenapa sih kau?" cowok yang satu lagi berteriak sambil menengok ke belakang.
Kalau saja dia tahu, pikirku sedih.
Aku merasa terlalu kacau, terlalu bingung, untuk berlari. Jantungku berdebum-debum dalam dadaku bagaikan selusin kupu-kupu. Kakiku terasa berat, seakan berat tubuhku satu ton.
Aku berjalan melewati taman bunga tetangga. Tanah lembek menempel lengket di sepatuku. Aku hampir jatuh tersandung skate- board yang ditinggalkan entah oleh siapa di halaman depan rumah mereka.
Dua blok ke rumah Kent rasanya seperti berkilo-kilo meter. Akhirnya aku sampai di depan rumah bata persegi bertingkat dua beratap genteng merah itu.
Di belakangku, di jalan, sebuah mobil lewat perlahan. Cahaya lampunya menyapu tubuhku. Pasti rupaku tidak keruan. Seperti orang gila.
Masa bodo, pikirku. Kalau saja aku ada dalam tubuhku sendiri!
Tapi apakah itu akan membuatku lebih nyaman"
Mungkin juga tidak. Aku tidak ingat berjalan menyeberangi halaman depan rumah Kent, tiba-tiba aku sudah di depan pintu, mengetuk keras-keras dengan tinjuku sambil berteriak memanggil-manggil nama Kent sekeras-kerasnya.
Mudah-mudahan dia di rumah, doaku.
Harus ada orang di rumah. Harus ada orang yang bisa mendengar ceritaku yang mengerikan. Harus ada yang bisa membantuku.
Lampu teras berkilat menyala, menyebarkan kerucut cahaya kuning di teras. Ketika aku masih berkedip-kedip silau, pintu depan terbuka.
Kent menjulurkan kepalanya ke luar, wajahnya terlihat pucat di bawah cahaya lampu teras, mata birunya terbuka lebar keheranan.
"Tolong"tolong aku," kataku terbata-bata.
Matanya menelitiku, menatap mataku. "Ada apa?" tanyanya.
Aku melihat melewatinya, ke dalam rumah. "Orangtuamu ada di rumah?"
Ia menggeleng. "Tidak. Mereka sedang ke Waynesbridge. Kenapa?"
Air mataku terasa menggenang di pelupuk mata, dadaku terasa naik-turun menahan isak.
Nicole, jangan menangis! perintahku pada diriku sendiri. Harus kauceritakan apa yang kaulihat. Jangan menangis. Jangan menangis sekarang.
Simpan air matamu untuk nanti.
Kau akan punya banyak waktu untuk menangis nanti setelah Lucy tahu apa yang terjadi dan kau telah kembali ke tubuhmu sendiri.
"Ada apa?" tanya Kent. "Kau kelihatan berantakan sekali!"
"Boleh aku masuk?" Suaraku bergetar. Setitik air mata menggelinding di pipi kananku.
Ia melangkah mundur membuka jalan dan aku masuk rumah. Kupegang erat-erat punggung kursi yang terbuat dari kulit lembut, untuk menahan tubuhku agar tidak jatuh.
Ia mengikutiku ke dalam. Wajah tampannya terlihat prihatin. Rambutnya berwarna jerami, tebal bergelombang. Matanya biru-kelabu, serius. Tubuhnya tinggi dan atletis.
Aku selalu mengaguminya karena dia tenang penuh percaya diri. Rasanya tidak pernah aku melihatnya gugup atau marah-marah.
Sekarang dia menatapku dengan mata agak terpicing, menunggu penjelasanku.
Aku memandang berkeliling, tidak tahu dari mana harus mulai. Kulihat meja makan disiapkan untuk satu orang. Samar-samar tercium bau saus tomat.
"Duduklah. Dan ceritakan padaku apa yang terjadi. Aku sedang menghangatkan piza di oven," kata Kent. "Kau sudah makan?"
Dan semuanya meluncur begitu saja dari mulutku bagaikan banjir kata-kata. Aku mulai dari awal"ketika aku bertemu Lucy sepulang sekolah"dan kuceritakan semuanya padanya.
"Lucy mengajakku ke Fear Street," kataku. "Kakeknya pernah menceritakan padanya tentang Tembok Pertukaran. Kami bertukar tubuh, Kent. Kami sama-sama ingin melakukannya, dan kami lakukan."
Mulutnya ternganga. Ia mengangkat tangan memberi tanda menyuruhku berhenti.
Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku takkan berhenti sebelum menceritakan seluruhnya. "Kami bertukar tubuh," ulangku. "Aku tahu itu susah dipercaya. Tapi kau harus percaya. Kau harus percaya. Aku tahu aku kelihatan seperti Lucy, tapi sebetulnya aku Nicole."
"Dengar, Nicole..."
Tapi aku tak membiarkannya bicara. "Lucy pergi ke rumahku, dan aku pergi ke rumahnya," kuteruskan ceritaku cepat-cepat, tak pernah aku bicara secepat ini sebelumnya. "Tapi ketika aku sampai di rumahnya... ketika aku sampai di rumahnya..."
"Ada apa?" tanya Kent tidak sabar. "Apa yang terjadi?"
"Oh, Kent!" jeritku. Kubiarkan air mataku mengalir tak tertahan. "Oh, Kent, sangat mengerikan! Kedua orangtuanya! Mereka berdua terbunuh. Disayat-sayat. Kutemukan mayat mereka di lantai ruang keluarga. Aku lari. Aku harus mencari Lucy. Aku harus memberitahunya. Tapi dia tak ada di rumah. Dia tak ada di rumahku. Dia belum tahu, Kent. Dia belum tahu. Aku... aku..."
Isak yang sedari tadi kutahan-tahan melompat keluar dari tenggorokanku. Bahuku terguncang-guncang sementara aku mulai menangis sejadi-jadinya.
Kurasakan tangan Kent di bahuku, lembut, mencoba menenangkan diriku. Ia merangkulku, wajahnya sangat dekat ke wajahku, ia berbisik di telingaku. "Sudah, sudah, Nicole. Tenang."
Dengan susah payah kucoba menghentikan tangisku.
Dia begitu baik, begitu penuh perhatian.
Aku tahu dia akan bersikap seperti itu. Dia memang anak baik.
"Nicole, akan kubantu kau," katanya perlahan. "Jangan cemas. Aku akan menolongmu."
Dibimbingnya aku ke sofa dan dibantunya aku duduk. Lalu ia meletakkan tangannya di bahuku dan bicara lembut padaku sampai aku berhenti menangis.
"Terima kasih, Kent," gumamku sambil menghapus pipiku yang basah air mata. "Terima kasih."
"Kuambilkan minum dulu, ya?" katanya. "Jangan pergi ke mana-mana, oke" Di sini saja dulu."
"Oke," sahutku. Kuucapkan terima kasih sekali lagi padanya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Sebentar," kata Kent. Ia pergi melalui ruang makan ke dapur.
Beberapa saat kemudian kudengar suaranya dari dapur.
Bicara dengan siapa dia" pikirku.
Aku bangkit berdiri dan mengendap-endap ke ruang makan dengan kaki masih gemetaran. Dari ruang makan kudengar suara Kent dengan jelas. Dia sedang bicara di telepon.
"Betul, Pak," katanya. "Dia ada di sini sekarang. Cepatlah ke sini. Jangan sampai dia lari."
BAB 6 KUBEKAP mulutku untuk menahan seruanku.
Ruangan itu serasa meliuk-liuk di depan mataku. Lantainya miring ke sana kemari, dan aku cepat-cepat memegang meja makan agar tidak terjatuh.
Aku merasa dikhianati. Aku bingung dan merasa dikhianati.
Kenapa Kent menelepon polisi" Dia tidak percaya ceritaku"
Apakah dikiranya aku yang membunuh Mr. dan Mrs. Kramer"
Kudengar ia menaruh gagang telepon. Lalu kudengar ia berjalan ke tempat cuci piring. Kudengar air mengalir dari keran.
Ia mengambilkan minum untukku, seperti yang dijanjikannya.
Aku bimbang, masih memegangi pinggiran meja makan, masih menunggu ruangan ini berhenti meliuk-liuk.
Apa yang harus kulakukan"
Tak mungkin aku diam saja di sini menunggu polisi datang, pikirku. Tidak dengan tubuh Lucy ini.
Rasanya, kecuali aku kembali ke tubuhku sendiri, takkan ada orang yang mau percaya ceritaku.
Kent baru saja pura-pura percaya ceritaku. Pasti Kent mengira aku Lucy. Dia memanggilku Nicole cuma untuk menenangkanku agar ia bisa pergi ke dapur dan menelepon polisi dari sana.
Kudengar dia menutup keran. Kudengar dia membuka pintu kulkas. Kudengar bunyi "plop" es batu jatuh ke gelas.
Aku mundur selangkah. Lalu selangkah lagi. Kembali ke ruang duduk.
Aku harus pergi, pikirku. Aku takkan diam menunggu di sini.
Kent sudah mengkhianatiku. Entah mengapa.
"Hei, Nicole"bagaimana keadaanmu?" panggilnya dari dapur.
Suaranya yang riang membuatku merinding.
Selama ini kukira dia anak hebat. Pintar dan peduli.
Sekarang aku benci padanya. Benci karena dia membohongiku, karena mencoba menipuku.
Benci karena dia tidak mau jadi temanku.
Aku berbalik dan mulai berlari. Ruangan masih meliuk-liuk, lantainya bergerak naik-turun, seakan-akan berusaha menahanku di situ.
Tapi kupaksa diriku lari lurus ke depan. Menuju ke pintu depan.
"Nicole"tunggu! Hei"Nicole!" kudengar di belakang Kent berteriak memanggilku dari ruang makan.
Kutubruk pintu kasa dengan pundakku dan aku menghambur ke luar. Kulompati saja tiga anak tangga dari teras ke halaman depan, dan aku terus berlari.
"Hei, Nicole"berhenti! Kembali!"
Apakah dia akan mengejarku"
Aku lari menyeberang jalan, ke halaman rumah orang. Membungkuk rendah di balik pagar semak-semak. Terus berlari. Tak kuhiraukan jantungku yang berdetak keras, tak kuhiraukan kilatan merah bayangan genangan darah yang melintas setiap kali kukedipkan mataku.
Aku lari tiga atau empat meter lagi sebelum aku berani menengok ke belakang. Tak ada Kent. Tidak. Dia tidak mencoba mengejarku.
"Kenapa sih kau ini, Kent?" tanyaku keras-keras, di sela napasku yang terengah-engah. "Ada apa sih kau" Kenapa kaulakukan ini padaku" Lucy kan pacarmu, masa kau lupa" Kenapa kautelepon polisi untuk menangkap pacarmu?"
Kutaruh sebelah telapak tanganku di samping telinga, mencoba mendengar bunyi sirene mobil polisi.
Tapi tak kudengar apa-apa. Agak di sebelah sana, dua anak kecil sedang bertengkar.
"Tidak!" "Ya!" "Tidak!" Mendengar suara mereka yang bening membuat napasku tertahan di tenggorokan. Tiba-tiba aku ingin jadi anak kecil lagi. Aku tidak ingin lagi jadi Lucy. Aku tidak ingin berumur tujuh belas. Aku tidak ingin tahu ada dua tubuh tergeletak tersayat-sayat di lantai ruang keluarga rumah Lucy.
Aku berjalan terus menyusuri halaman depan dari satu rumah ke rumah lain, menyeberangi jalan dengan sangat hati-hati, kalau- kalau ada mobil polisi. Kalau-kalau ada yang membuntutiku. Kalau-kalau ada suara atau gerakan aneh.
Lucy, aku harus mencarimu, pikirku.
Lucy, aku punya berita buruk untukmu.
Tanpa sadar, aku sampai kembali di rumahku. Di halaman depan aku sembunyi di balik batang pohon sassafras.
Pohon itu teman lamaku. Entah berapa ratus jam kuhabiskan membaca di bawah bayangannya atau bermain-main di sekitarnya dengan teman-temanku.
Dari balik pohon kuintai suasana rumahku. Masih tetap gelap dan sepi.
Lucy, di mana kau" Lucy, aku harus bicara denganmu.
Kugaruk lututku. Aku baru sadar celanaku sudah robek-robek. Kuusap rambutku. Terasa kusut dan basah.
Pasti rupaku menyeramkan.
Kudengar suara-suara. Tetangga sebelah keluar dari rumah mereka. Kurapatkan tubuhku ke batang pohon, mencoba menyembunyikan diriku.
Aku tidak bisa menunggu saja di sini, pikirku. Aku tidak bisa berdiri saja di sini menatap rumah kosong.
Otakku berputar dan berdenging bagaikan angin puyuh. Kutekan dahiku dengan kedua belah telapak tanganku, menyuruh otakku untuk tenang.
Kuputuskan aku akan kembali ke rumah Lucy.
Mobil tetangga dinyalakan. Suaranya membuatku terlompat kaget. Kutekan tubuhku lebih rapat ke teman lamaku si pohon. Kutunggu sampai mereka berlalu.
Lampu depan mobil mereka menyapu halaman depan rumahku, sampai ke batang pohon tempatku sembunyi. Apakah mereka melihatku" pikirku.
Mereka tidak berhenti. Kuperhatikan mobil itu meluncur pergi.
Kembali ke rumah Lucy, kataku pada diri sendiri. Ganti baju bersih. Dan rapikan rambut. Agar aku tampak lebih rapi.
Aku melangkah cepat melewati ruang keluarga.
Aku takkan menengok pemandangan yang ada di sana.
Aku tak butuh melihat tubuh Mr. dan Mrs. Kramer lagi. Aku bisa melihat mereka setiap kali kupejamkan mata.


Fear Street - Tukar Tubuh Switched di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku akan membersihkan diri. Itu akan membuatku agak lebih nyaman. Dan kemudian aku akan menelepon rumahku. Aku akan menelepon dan terus menelepon rumahku sampai aku bisa bicara dengan Lucy.
Aku takkan menceritakan berita sedih itu lewat telepon. Tidak pantas. Aku takkan melakukan hal tak pantas seperti itu pada sahabatku yang malang.
Aku akan menyuruhnya menemuiku di hutan Fear Street. Akan kukatakan padanya bahwa kami perlu saling bertukar balik secepatnya. Lalu setelah kami saling bertukar tubuh kembali, baru akan kuceritakan apa yang terjadi.
Dan aku akan membantunya. Aku akan ada di sampingnya.
Seperti dia selalu ada di sampingku untuk membantuku bila aku memerlukannya.
Punya rencana membuatku agak tenang. Jantungku masih gedebak-gedebuk. Tapi angin puyuh dalam kepalaku sudah tidak sekencang tadi. Dan tanah tidak lagi meliuk-liuk ketika aku berjalan.
Ketika aku berbelok di sudut jalan Canyon Drive, kudengar lengking sirene. Lamat-lamat dari jauh. Aku berhenti dan mendengarkan. Apakah mereka ke arah sini" Apakah mereka mencariku"
Bunyi sirene itu semakin sayup. Digantikan bunyi lembut gemeresik dedaunan.
Aku lari ke rumah Lucy. Masuk dari pintu belakang agar tidak perlu lewat ruang keluarga.
Kuhidupkan lampu dapur dan kuperhatikan sekelilingku. Dapur rapi, bersih berkilat. Tak terlihat tanda-tanda telah terjadi pembunuhan di ruang sebelah.
Aku bergidik dan berjalan ke kamar Lucy di ujung koridor lantai bawah.
Koridor itu gelap. Aku meraba-raba sepanjang dinding tapi tak bisa menemukan sakelar lampu.
Tiba-tiba aku menabrak sesuatu yang keras di dinding. Baru beberapa detik kemudian aku sadar aku menabrak keranjang cucian.
Sambil mengusap-usap lutut aku melewati keranjang cucian itu lalu membuka pintu kamar Lucy. Kutunggu beberapa saat sampai mataku terbiasa dengan cahaya lemah dari jendela. Lalu kuhidupkan lampu tidur di samping tempat tidur.
Cahayanya yang kuning pucat menyinari tempat tidur. Mataku menyapu melewati tempat tidur. Ke lemari pakaian.
Aku ingat aku datang ke sini untuk ganti pakaian. Aku berjalan mengelilingi tempat tidur ke lemari. Lemari Lucy. Pakaian Lucy.
Pintu gesernya macet. Seperti meleset dari relnya. Kugunakan kedua tanganku untuk menggesernya terbuka.
Pedang Dan Kitab Suci 12 Pendekar Rajawali Sakti 152 Istana Goa Darah Titisan Alam Kegelapan 2
^