Pencarian

Adik Tiri Ii 3

Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii Bagian 3


"Nih, coba lihat. Perhatikan mata yang berwarna gelap ini, dan
wajah bulatnya." "Yah, kayaknya memang mirip," Jessie mengakui, masih
memelototi foto itu. "Mirip"! Ketika aku pertama melihatnya, kukira ini potret CoraAnn."
Jessie mengamati foto itu lagi. Kemudian ia mengalihkan
pandangannya pada Emily, tampak bingung. "Kaupikir Cora-Ann
telah mengingatkanku pada Jolie tanpa aku sendiri menyadarinya?"
"Kemungkinan itu ada."
Jessie menajamkan penglihatannya dan kembali melihat foto
tersebut. "Kalau begitu, mungkin itu sebabnya aku mulai memimpikan
Jolie lagi." *********** Emily mengawasi pesawat telepon. Betapa inginnya ia
menelepon Josh. Nggak boleh, ia menegur dirinya sendiri, dan mengembalikan
tatapannya ke layar monitor di depannya. Aku harus menyelesaikan
makalah bahasa Inggris ini dulu.
Makalah itu sedikit-dikitnya harus terdiri atas enam halaman.
Emily baru mengetik dua halaman.
Oke deh, dia memperlunak keputusannya. Aku akan menelepon
Josh setelah menyelesaikan paragraf berikut.
Emily mengetuk satu kata"the"kemudian menyerah dan
meraih pesawat telepon. Ia mendengar suara-suara ketika mendekatkan gagang pesawat
ke telinganya. "Willy, aku nggak bisa pergi," didengarnya Rich berkata.
"Nggak mungkin. Aku sedang dihukum. Ingat?"
"Kau belum bebas juga?" Emily mendengar Willy menjawab.
"Memangnya kau dihukum seumur hidup?"
Letakkan gagang pesawat, Emily memberi perintah pada
dirinya sendiri. Tapi tangannya tak mau menuruti perintah itu.
"Kalau begitu kabur saja," Willy memberi saran.
Rich tak menjawab. "Kau bakalan rugi kalau nggak datang," bujuk Willy. "Mick
punya enam kaleng bir di rumahnya. Dan orangtuanya pergi sampai
tengah malam." Pelan-pelan, Emily meletakkan gagang pesawat di tempatnya.
Semoga saja Rich tidak mendengar bunyi "klik"-nya.
Emily kembali mengerjakan makalahnya. Mrs. Carter
menugaskan topik yang sama kepada setiap murid. "Apa yang Terjadi
pada Holden Caulfield Setelah Ia Menulis Buku Catcher in the Rye."
Menurut Emily topik itu menarik. Tapi saat ini ia tak bisa
berkonsentrasi. Lima menit kemudian matanya sudah terpaku pada pesawat
telepon lagi. Mestinya Rich sudah selesai menelepon sekarang.
Ia meraih gagang pesawat...
Brak! Pintu kamarnya dibuka dengan begitu kasar sehingga
gagang pintunya membentur tembok.
Rich menerobos masuk, menatapnya dengan garang. Tangan
Emily membeku di atas pesawat telepon.
"Nggak usah repot-repot nguping," geram Rich.
"Pembicaraanku sudah selesai."
"Oh, bagus," kata Emily terbata-bata. "Aku cuma ingin..."
"Kenapa sih kau terus-menerus memata-mataiku?" tanya Rich
dengan berang. "Rich, aku tidak melakukan itu. Sungguh. Aku kebetulan
mengangkat telepon untuk menghubungi seseorang. Mana aku tahu
kau..." "Aku mendengarmu! Aku tahu kau menguping!"
"Selama satu detik aku memang mendengarkan kalian. Tapi
setelah itu aku..." Rich memukul dinding dengan telapak tangannya. "Aku sudah
tak tahan lagi, Emily! Aku muak dengan gangguanmu. Kau
mengerti?" Rich kelihatan begitu emosional, begitu tak terkendali, sehingga
Emily merinding. "Kau ini harus kuapakan, hah?" bentak Rich. "Coba katakan
padaku. Apa yang harus kulakukan supaya kau menyingkir dari
hidupku?" ************ Tom Hanks meraih tangan Meg Ryan dan menggenggamnya.
Emily menangis di balik tisu.
Seandainya saja... Seandainya saja hidupnya bisa semudah dan
seromantis dalam film. Nama-nama para pemain dalam film itu berikut seluruh tim
pendukungnya mulai bermunculan. Emily memencet tombol Stop dan
mulai me-rewind kaset video itu.
"Jess..." "Mmm?" Jessie berbaring telentang di sofa kulit. Ia membuka matanya.
"Oh, wow. Kapan aku tertidur?"
"Tepat sebelum mereka tiba di Empire State Building"adegan
yang paling romantis. Aku nggak ngerti kenapa kau senang menyewa
video ini. Setiap menontonnya, kau pasti ketiduran."
Jessie duduk dan mengusap-usap matanya. "Justru itu aku terusmenerus menyewanya. Aku masih berharap bisa menontonnya sampai
selesai." "Ayo," ajak Emily. "Kita mesti tidur. Sudah lewat tengah
malam." "Oke," sahut Jessie dengan mengantuk. Ia menguap lebar-lebar.
"Sekarang jam berapa sih?"
Emily tertawa. "Sudah kubilang. Lewat..."
Bel pintu berbunyi. Emily dan Jessie bertukar pandang.
"Cek dulu siapa yang datang," Jessie mengingatkan Emily saat
saudara tirinya itu bergegas ke depan.
Emily mengintip dari balik gorden jendela ruang tamu.
Kemudian ia membuka pintu lebar-lebar.
Di muka pintu berdiri Cora-Ann, tas kanvas putih tergantung di
bahunya. "Maaf, mengganggu malam-malam begini, tapi... ayahku
pulang. Dan pertengkaran yang terjadi lebih hebat dari yang sudahsudah."
"Lebih hebat dari yang sudah-sudah?" gumam Jessie. "Astaga!"
Cora-Ann menelan ludah dengan susah payah. Matanya
sembap. Dia pasti habis menangis, pikir Emily.
"Aku nggak suka merepotkanmu," kata Cora-Ann pada Jessie.
"Tapi bolehkah aku menginap di sini?"
Jessie melingkarkan lengan di bahu Cora-Ann dan memeluk
sahabatnya itu erat-erat "Jangan kuatir. Segalanya akan beres. Iya,
kan, Em?" Emily memaksa diri untuk menjawab dengan penuh antusias,
"Iya!" "Ayo," kata Jessie pada Cora-Ann. "Lebih baik kita tidur."
Bukan baru kali itu Cora-Ann menginap di rumah mereka tanpa
direncanakan, dan biasanya, Emily tak keberatan Cora-Ann
menumpang di kamarnya. Namun malam itu entah kenapa Emily sulit
memejamkan mata. Ia berbaring saja di ranjang, mendengarkan desah
napas teratur kedua gadis yang lain.
Kau ini harus kuapakan, hah" Ucapan Rich itu terngiang-ngiang
di telinganya. Ketika bekernya berdering, Emily merasa seakan-akan baru saja
tidur. Masa sih aku sudah harus sekolah" pikirnya dengan tubuh letih.
Nggak mungkin. Pasti bekernya ngaco. Ia memencet tombol
Snooze" tidur sebentar.
Ketika bekernya berbunyi lagi, ia langsung memencet tombol
Off. Dan ketika ia terbangun, waktu sudah menunjukkan pukul 09.10.
Ia terlambat ke sekolah. Ia mengerang dan bangkit duduk. Dilihatnya Jessie juga masih
tidur, dan Cora-Ann sedang membangunkannya. "Jess, kita
terlambat... ayo bangun!"
Jessie mengeluh kesal. Cora-Ann menarik lengan Jessie. "Kau mandi dulu sana."
"Kau sajalah," gerutu Jessie. "Kakiku belum bisa diajak
berdiri." "Nggak bisa," bantah Cora-Ann. "Aku butuh waktu lama di
kamar mandi. Pagi, Emily."
"Pagi," gumam Emily.
Cora-Ann menarik Jessie lagi. "Cepat, Jess."
Emily menggosok-gosok mukanya beberapa kali. "Aku saja
dulu," katanya pada kedua gadis itu.
Emily berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi, dan
menyalakan lampu. Dipandanginya wajahnya di cermin. Rambutnya kempis sebelah
karena ia terlalu lama berbaring di satu sisi. Dibaur-baurkannya
rambutnya, tapi bagian yang kempis itu membandel, tak mau tegak.
Brengsek. Emily memutar keran dan membiarkan airnya mengucur sampai
menjadi sedingin es. Dibasahinya mukanya dengan air itu, kemudian
disekanya dengan handuk. Lalu ia mulai menyikat gigi.
Ia melakukan itu sambil menunduk. Ia tak kepingin melihat
tampangnya yang acak-acakan di cermin.
Aneh, pikirnya. Kenapa pasta gigi ini terasa pahit"
Ia menghentikan kegiatannya. Dan menurunkan pandangannya
ke sikat gigi. Uh-oh. Ia mengertakkan rahangnya kuat-kuat.
Gigi-giginya lengket. Ia ingin menjerit, namun mulutnya terkunci.
Apa yang terjadi" Pada saat itulah ia melihat tube kecil berwarna hijau itu, di
keranjang sampah. Pada tube itu tertempel label Super Glue.
Bab 17 Membersihkan Lem OH, tidak! Tidak! Emily menjerit tanpa suara.
Super Glue di tube pasta gigi"
Emily mengambil tube itu dan memencetnya sedikit. Isinya
ditampungnya di tangannya. Dilumurinya jari-jarinya dengan "pasta
gigi" itu. Benar saja, jari-jarinya menjadi lengket. Ia memutar keran
sekeras-kerasnya dan membungkuk di wastafel. Kepalanya
dimiringkannya supaya air bisa masuk ke mulutnya.
Giginya masih belum mau membuka. Rahang atas masih
menempel pada rahang bawah.
Sambil terisak, dengan jantung berdegup kencang, Emily berlari
keluar dari kamar mandi. Jessie masih berbaring di ranjang. Cora-Ann sedang menyisir
rambutnya di depan kaca lemari pakaian. Ia menoleh ketika melihat
Emily masuk. Dan mundur selangkah begitu melihat ekspresinya.
Emily tak bisa berteriak dengan mulut rapat begitu. Bahkan
bicara biasa pun sulit. "Gigiku dilem! Gigiku dilem!" katanya dengan
susah payah. Cora-Ann menatapnya dengan tidak percaya. Emily
melemparkan tangannya ke udara dengan putus asa. Diserbunya
Jessie, diguncang-guncangnya bahunya. "Gigiku dilem!"
"Emily, sudah!" bentak Jessie sambil mendorongnya.
"Leluconmu nggak lucu!"
Dengan panik Emily berlari ke arah pintu yang terbuka.
Nancy. Nancy yang mengerjaiku. Emily mengertakkan giginya, berusaha menguasai emosinya.
Timbul sebuah pikiran dalam benaknya. Ia kembali ke kamar
mandi. Ia berjongkok dan menumpahkan isi keranjang sampah ke
lantai. Diambilnya tube hijau itu dan coba dibacanya label peringatan
di baliknya. Tapi air mata mengaburkan pandangannya. Ia tak mampu
membaca huruf-huruf putih yang kecil itu.
Cora-Ann menjenguk ke dalam kamar mandi. "Bacakan ini!"
pinta, Emily dengan suara tak jelas.
Jessie menporong Cora-Ann ke samping, mengambil tube itu,
dan mulai membaca. "Kalau mata atau mulut Anda terkena lem ini..."
Jessie mengangkat mukanya dan memandang Emily. Emily
menggerak-gerakkan tangannya seperti orang kesetanan. "Cepat!
Cepat!" Kedua bibir Emily mendadak jadi lengket. Emily menggeram
ketakutan. Sekarang ia sama sekali tak bisa bicara.
"Kalau mata atau mulut Anda terkena lem ini, cucilah bersihbersih dengan air saja," Jessie membaca. "Setelah itu Anda harus
mendapat perawatan medis."
Selama beberapa saat mereka semua terdiam. Tak ada yang
bicara dan tak ada yang bergerak.
Kemudian Cora-Ann berteriak, "Aku akan menelepon 911!" Ia
berlari ke luar kamar mandi.
Sejenak kemudian ia kembali. "Mereka bilang kau harus dibawa
ke rumah sakit, ke UGD. Tapi jangan kuatir. Kau akan sembuh."
Mrs. Wallner datang berlari-lari. Kemudian Rich. Lalu Nancy.
Dan terakhir Mr. Wallner. Seluruh keluarga Emily berdesak-desakan
di kamar mandi, dan semuanya memberi komentar pada saat yang
bersamaan. "Well," kata Jessie dengan geram, sambil merangkul Emily,
"satu hal dapat kita pastikan. Ini pasti disengaja."
Emily tak bisa bicara. Maka ia hanya menunjuk. Menudingkan
jari dengan penuh tuduhan ke arah Nancy.
Nancy langsung menangis tersedu-sedu. Ia merapatkan kedua
tangannya ke dada seakan-akan sebagai perisai. "Bukan aku yang
melakukannya. Mengapa semua orang selalu..."
Ia berlari ke luar. Semua terdiam. Mr. Wallner memecahkan keheningan itu. "Semua ini harus
diakhiri. Aku serius. Semua ini harus diakhiri sekarang juga!" Ia
mengepalkan tinjunya. "Kita harus hidup rukun sebagai satu
keluarga!" *********** Selama satu jam Emily dirawat di UGD. Shadyside Hospital
rupanya sudah menjadi rumah keduaku, pikirnya dengan getir.
Emily merasa malu. Bagaimana kalau para dokter menanyakan
kenapa gigiku bisa lengket" Bagaimana aku bisa menjelaskan soal lem
yang mampir ke gigi itu"
Akhirnya giginya dibersihkan dengan larutan kimia. Dokter
yang menangani Emily mewanti-wantinya, agar larutan itu jangan
sampai tertelan. Setelah semua giginya diseka dan mulutnya bisa
dibuka, Emily disuruh berkumur sekitar seratus kali.
Mulut Emily masih terasa pahit dan perih ketika ia pulang
bersama kedua orangtuanya.
Jessie dan Cora-Ann sedang duduk di tangga ruang depan
ketika Emily tiba di rumah. Kedua gadis itu menunggunya. Emily
begitu terharu sehingga ia langsung menangis lagi.
Mereka bertiga berangkulan.
"Ayo," kata Cora-Ann akhirnya, sambil meletakkan sebelah


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangannya di bahu Emily. "Kita harus berangkat ke sekolah. Tentu
saja, kalau kau merasa sudah cukup sehat."
Hati Emily dipenuhi kehangatan terhadap Cora-Ann.
"Yah, Cora-Ann," kata Jessie ketika mengenakan mantelnya.
"Kurasa kau sudah resmi menjadi anggota keluarga kami. Selamat
datang dalam keluarga yang 'hebat' ini!"
Cora-Ann membalikkan bola matanya. "Masih mending
dibandingkan dengan keluargaku," katanya lirih.
"Jangan lupa tasmu," Emily mengingatkan Cora-Ann ketika
gadis itu beranjak ke pintu.
Tas kanvas putih itu tegak di lantai, di samping lemari mantel.
"Oh, trims," ucap Cora-Ann. "Rupanya ada yang sudah
membawakannya kemari."
Butch berlari keluar dari ruang baca, ingin mengantar kepergian
mereka. Ia duduk di lantai, menunggu dibelai. Emily duduk bersimpuh
dan menggelitiki perutnya. Butch begitu manis, pikirnya.
Kehadirannya selalu membuat Emily terhibur, bahkan pada hari yang
menyebalkan seperti hari ini.
Emily menyusul Jessie dan Cora-Ann ke luar. Mereka bertiga
akan naik mobil Cora-Ann. "Cora-Ann!" seru Emily. "Buat aku
senang dong! Ceritakan padaku apa yang terjadi di rumahmu!"
"Well," kata Cora-Ann, "ibuku sedang berpikir akan mengajak
kami semua pindah kembali ke Parkerstown. Itu berita pertamanya."
Jessie berhenti mendadak, di tengah-tengah halaman yang licin.
Emily dan Cora-Ann menoleh menatapnya.
"Kembali ke mana?" tegas Jessie.
Cora-Ann mengerutkan dahi. "Parkerstown."
"Parkerstown yang mana?"
"Ohio." Jessie menatapnya lekat-lekat. "Jolie dilahirkan di
Parkerstown," gumamnya.
Entah kenapa, wajah Cora-Ann jadi merah padam. "Oh ya"
Jolie" Gadis yang meninggal itu?"
Jessie menyipitkan matanya. "Bagaimana kau bisa tahu" Aku
nggak pernah cerita tentang Jolie."
Wajah Cora-Ann semakin merah. "Masa" Kalau begitu, aku
pasti mendengarnya dari orang lain."
Emily mengawasi Cora-Ann.
Kenapa wajahnya mendadak merah begitu"
Jangan-jangan ada apa-apanya nih!
Bab 18 Pembunuhan EMILY tak punya kesempatan untuk bicara dengan Jessie
sampai jam pelajaran kelima, bahasa Prancis. Dalam semester ini,
hanya pada mata pelajaran itu mereka sekelas.
Miss Clark sedang menulis daftar panjang di papan tulis.
Judulnya "Le Verbe Subjonctif".
Memanfaatkan kesempatan ketika sang guru memunggungi
mereka, Jessie mencondongkan badan ke bangku Emily dan menulis
di buku Emily. "Aku curiga."
Emily mengangkat alisnya seakan-akan berkata, "Ceritakan
lebih lanjut." "Cora-Ann," tulis Jessie di bawah tulisannya sebelumnya.
Nama itu digarisbawahinya.
"Kenapa?" balas Emily. Ia menulis sambil menunduk dalamdalam, seolah-olah sedang menyalin daftar di papan tulis.
Jessie mengangkat bahu. "Aku merasa dia punya niat tertentu."
"Jelaskan." Jessie berhenti menulis. "Pokoknya aku merasa begitu,"
bisiknya. Ia melirik ke depan kelas. Guru mereka masih sibuk
menulis. "Maksudku, bagaimana Cora-Ann bisa tahu tentang Jolie?"
Emily mengangkat bahu. "Itu tak terlalu mengherankan," ia
balas berbisik. "Kau tahu murid sekolah ini semua biang gosip.
Kurasa setiap anak di Shadyside High sudah tahu tentang Jolie."
Jessie menggelengkan kepala. "Aku tetap menganggapnya
aneh. Selama ini Cora-Ann tak pernah menyebut-nyebut nama Jolie."
"Josette et Emilie," tegur Miss Clark dengan galak. Ia masih
membelakangi mereka. "Arretez de chuchoter!"
Arretez de chuchoter"jangan berisik! Itu-itu saja yang
dikatakan Miss Clark. Mungkin cuma itu pula yang akan kuingat dari
pelajaran Prancis ini! Jessie mulai menulis di buku catatannya, kemudian mendorong
buku itu ke tepi meja sehingga Emily bisa membacanya. "Bagaimana
kita bisa mencari info tentang Cora-Ann" Di sini dia tak punya
teman." "Parkerstown," tulis Emily di bukunya.
Jessie menggelengkan kepalanya. "Aku tak punya kenalan di
Parkerstown. Kau punya?"
Emily menggeleng. "Sudahlah," tulisnya. "Buang-buang waktu
saja. Lagi pula, apa yang bisa kita temukan tentang Cora-Ann?"
Jessie menunduk dan menulis dua kalimat.
Kalimat-kalimat itu digarisbawahinya sampai tiga kali.
Aku nggak bisa berhenti memikirkan ini. Kenapa wajah CoraAnn merah dan tingkahnya jadi aneh ketika aku menyebut nama Jolie"
*********** Butch sudah menunggu di pintu ketika Emily pulang sekolah. Ia
menyalak-nyalak dengan riang, minta diajak jalan-jalan. Ketika Emily
membawanya ke luar, anjing itu ingin bermain-main.
Emily mengawasi anjingnya berlari-lari di salju. Pikirannya
beralih pada Jessie dan Cora-Ann.
Sikap Cora-Ann memang aneh, Emily harus mengakui. Tapi dia
tetap merasa, reaksi Jessie terlalu berlebihan. Jessie tak punya alasan
untuk mencurigai sahabat karibnya.
Selamat bergabung dalam kelompokku, pikir Emily dengan
getir. Kelompok orang-orang yang penuh curiga.
Curiga. Curiga. Emily masih curiga pada Nancy. Ia masih curiga pada Rich.
Berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran buruknya, Emily
bersiul, dan Butch berlari-lari menghampirinya, kupingnya yang
cokelat mengelepak. Emily membungkuk sehingga anjing itu bisa
menjilati wajahnya. "Trims, Butch," ucapnya. "Aku membutuhkan kasih
sayangmu." Emily mengusap-usap kepala Butch. Anjing itu berlari lagi.
Ketika berdiri, Emily melihat gerakan di salah satu kamar di lantai
dua. Kamar Nancy. Emily menudungi matanya dari sinar matahari yang memantul
di salju. Dilihatnya Rich dan Nancy, berdiri di depan jendela. Mereka
sedang terlibat percakapan seru. Menggerak-gerakkan tangan. Bicara
secara berbarengan. Aneh, pikir Emily, sambil mengamati mereka.
Apa yang mereka percakapkan dengan begitu bersemangatnya"
Rich dan Nancy hampir tak pernah saling menyapa.
Aneh. Sangat aneh. ************ "Polisi mengatakan mereka telah menangkap pembunuhnya,
dan orang itu ternyata pasien yang lepas dari Rumah Sakit Jiwa
Barrington State. Tubuh korban ditemukan..."
Emily mematikan radio mobilnya. Ia tak berminat
mendengarkan cerita pembunuhan yang seram-seram.
Malam itu malam Minggu, dan untuk pertama kalinya Emily
menyetir mobil setelah kecelakaan yang dialaminya.
Tenang... tenang... ia mengingatkan dirinya sendiri.
Tapi napasnya memburu dan hatinya berdebar-debar.
Emily baru saja melewatkan malam Minggu itu bersama Josh.
Mereka pergi menonton film Jim Carrie yang terbaru. Hanya film-film
konyol seperti itulah yang mampu ditonton Emily, mengingat
hidupnya sendiri sudah tegang.
Josh sebenarnya mau mengantar Emily pulang. Katanya,
sebaiknya mobil Emily ditinggalkan saja di tempat parkir, sehingga
Emily tak perlu menyetir sendiri pada malam selarut itu.
Emily menolak tegas-tegas. Ia teringat pada pepatah kuno
tentang belajar menunggang kuda. Kalau kau jatuh, naiklah lagi ke
punggung kuda, atau selamanya kau tak akan bisa menunggang kuda.
Selama beberapa menit, Emily berhasil mengemudikan
mobilnya dengan mulus. Kemudian dia melewati lapisan es dan mobil
itu tergelincir sedikit. Sekonyong-konyong bayangan tentang kecelakaan itu muncul
kembali. Dilihatnya batang pohon yang menjulang di depan kaca depan.
Mobilnya kembali menabrak pohon itu... kaca depan hancur
berkeping-keping. Bunyinya yang mengerikan kembali didengarnya.
Kemudian muncul bayangan-bayangan lain dalam benaknya.
Parfum kesayangannya yang tumpah di meja rias. Gaun
favoritnya yang digunting persis di tengah. Kaki Nancy yang terjulur
di anak tangga, membuatnya tersandung dan jatuh bergulingan di
tangga. Nancy. Nancy. Nancy. Semua itu bukan bayangannya belaka.
Super Glue di tube pasta gigi itu buktinya. Rasa sakit pada
giginya yang lengket. Ia bukan cuma mereka-reka.
Rasa terancam itu. Rasa ngeri itu. Rasa takut untuk diam di
rumahnya sendiri. Rasa takut pada kakaknya sendiri.
Itu bukan rekaannya. Semua itu sungguh-sungguh dialaminya.
Emily membelokkan mobilnya ke jalan masuk rumahnya.
Dengan penuh ketakutan. Dengan tubuh gemetaran. Diparkirnya
mobilnya di depan garasi. Dimatikannya lampu mobil. Dibukanya
pintu mobil dan ia bergegas keluar, lalu cepat-cepat masuk ke rumah.
Bukan cuma rekaanku. Semuanya nyata. Semuanya nyata.
Kehangatan di dalam rumah membuatnya agak tenang.
"Hei... Butch?" Di mana dia" Kenapa kawan setianya itu tak
menyambutnya" Emily mendengarkan. Tak terdengar salak anjing. Suasananya
begitu sunyi sehingga Emily dapat mendengar dengung halus lemari
esnya. "Butch?" Rupanya anjing itu sedang tidur nyenyak.
"Butch?" panggil Emily lagi.
Emily memasang kupingnya, menunggu bunyi gemerencing
kalung anjing, bunyi tapak kaki Bush di lantai linoleum.
"Hei..." Lampu di ruang baca masih menyala. Terdengar suarasuara dari sana. Dari TV Adakah anggota keluarganya yang belum
tidur" Menonton TV sambil memangku Butch"
Emily melepaskan baju hangatnya dan mulai berjalan ke ruang
baca. Ia baru sampai ke tengah ruang tamu ketika dilihatnya sweter
yang teronggok di lantai.
Sweter cokelat yang rupanya dilemparkan begitu saja. Tapi...
bukan. Bukan sweter. Butch. Tergeletak tak bernyawa di lantai.
Bab 19 "Apa Salahku" "
EMILY membuka mulutnya. Namun tak ada suara yang keluar.
Ia menjatuhkan diri ke lantai, dan merangkul tubuh kecil berbulu itu
dalam pelukannya. Butir-butir debu menempel di ujung-ujung bulu cokelat Butch.
Emily membersihkan debu itu. Dan menimang-menimang tubuh
mungil dalam pelukannya. Dan kemudian, sebuah teriakan muncul, jauh dari lubuk
hatinya. Teriakan itu seperti guncangan pertama yang mengawali
gempa bumi. Makin keras dan semakin keras hingga menjadi jeritan
yang membabi buta. Emily meratap dengan pilu dan menangis
tersedu-sedu. Pintu ruang baca terempas membuka. Jessie berlari ke ruang
tamu. Namun di tengah jalan ia berhenti ketika melihat Emily dan
anjingnya. "Oh, tidak! Astaga! Dia...?"
Emily terus saja menimang-nimang Butch.
Kemudian dengan hati-hati dia meletakkan anjing itu, lalu
berdiri dengan susah payah.
"Tunggu!" seru Jessie. "Kau mau ke mana?"
Emily tidak menjawab. Dia bahkan seperti tidak mendengar.
Dia bergegas menuju tangga. "Nancy!" pekiknya histeris.
Dada Emily hampir meledak. Sudah dua kali Nancy membunuh
anjingnya. Dua kali! "Nancy!!!" "Emily!" seru Jessie sambil menahannya. "Tunggu. Kau tak
bisa menyalahkan Nancy. Kau tak punya bukti! Mungkin Butch yang
malang mati secara begitu saja. Dia terkena serangan jantung atau
apa." Dengan kasar Emily menarik tubuhnya. "Serangan jantung"
Umur Butch baru satu tahun!" ratapnya.
Emily berbalik dan menaiki tangga. "NAN-CY!"
"Emily, kau akan membuat semua orang terbangun..." Jessie
masih berusaha menghalang-halanginya.
Emily mengibaskan tangan Jessie dan terus naik. Sekali dia
tersandung, namun tanpa mengembalikan keseimbangan tubuhnya, dia
terus tersaruk-saruk naik.
Pintu kamar Nancy ditendangnya. Pintu itu tak terbuka.
Dikunci! Emily mulai menggedor-gedor pintu itu dengan tinjunya.
Kedua pintu di ujung-ujung koridor membuka. Emily melihat
kedua orangtuanya dengan tergesa-gesa mengikatkan jubah mandi
mereka, sambil berjalan menghampirinya. Dari sisi yang lain, Rich
muncul, mengenakan celana pendek dan T-shirt.
Emily menendang pintu kamar Nancy lagi. "Aku tahu kau ada
di dalam!" jeritnya dengan air mata bercucuran. "Cepat keluar supaya
aku bisa membunuhmu!"
Pintu terbuka. Nancy berdiri di ambang pintu dalam pakaian
tidurnya. Dia tampak bingung dan terkejut.
"Maaf," gumamnya dengan nada mengantuk. "Ada apa sih?"
Emily menjadi ragu. Kakaknya kelihatan begitu polos, seakanakan tak tahu apa-apa. Meskipun darahnya masih mendidih, akal sehat
Emily membuatnya bertanya-tanya"apakah Nancy melakukannya"
Benarkah dia pembunuhnya"
Tanpa dikomando, tangan Emily tiba-tiba saja sudah bergerak.
Mencengkeram leher Nancy dan siap mencekiknya.
Emily merasa dirinya ditarik ke belakang. Jessie
menjauhkannya dari Nancy dan memeganginya erat-erat.
Mr. Wallner mendekat sambil berseru nyaring, "Emily...
lepaskan Nancy! Lepaskan Nancy!"
"Apa salahku?" Nancy bertanya dengan nada memilukan. "Apa
salahku?" Jessie menahan Emily yang siap menyerang lagi.
"Apa salahku" Apa salahku?" Nancy masih melantunkan
nyanyian pilunya. Mrs. Wallner bergegas menghampiri dan
menghiburnya. "Butch sudah mati!" Emily berteriak pada ibunya. "Kenapa
Mom menghibur Nancy" Butch sudah mati!"


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Satu anjing lagi mati berkalang tanah," Emily mendengar Rich
menggumam. Begitu santai. Begitu gembira. Begitu riang sehingga hati Emily
tercabik-cabik. Sambil berteriak penuh emosi Emily membalik. Ia mencengkam
pundak Rich dan mengguncang-guncang tubuhnya. Begitu keras
sehingga kepala Rich bergoyang-goyang.
"Apakah kau yang melakukannya, Rich" Kau melakukannya"
Kau bunuh anjingku" Apakah kau sudah benar-benar sinting?"
********** Emily masuk ke mobil dan duduk di samping Jessie. Jessie
menstarter mobil dan memundurkannya ke luar garasi.
Emily menengok ke belakang dan melihat ayah tirinya yang
sedang membungkuk sambil memegang sekop. Mr. Wallner sedang
menggali liang kubur untuk Butch. Tampak oleh Emily bagaimana
sulitnya dia menggali lubang di tanah yang membeku itu.
Mobil meninggalkan halaman. Emily menatap ke luar jendela.
Minggu sore itu cuacanya sangat dingin dan kelabu. Emily merasa
seakan-akan mereka sedang mengadakan perjalanan menembus awanawan yang tebal dan kelabu. Kalau saja ia dapat bersembunyi di balik
awan-awan itu... Emily mendesah. "Apakah menurutmu aku bisa menginap di
rumah Cora-Ann nanti malam" Aku nggak kepingin sendirian di
rumah menghadapi Nancy."
Jessie membelok di tikungan, mengambil jalan ke rumah CoraAnn. "Mom dan Dad kan cuma pergi sehari."
"Aku... aku tak percaya mereka tega meninggalkan kita...
setelah kejadian semalam," kata Emily terbata-bata.
"Emily, kau tahu mereka harus menjenguk Uncle Mark," kata
Jessie dengan nada memarahi. "Pamanmu itu dirawat di rumah sakit
dan..." Emily membayangkan Butch, tergeletak tak bernyawa di lantai
ruang tamu. Tangisnya meledak.
"Aku nggak bisa tinggal serumah dengan Nancy," kata Emily
pada Jessie. "Mom begitu kuatir tentang Nancy. Tapi Nancy
membuatku takut. Itu kuakui. Aku sungguh-sungguh yakin bahwa
Nancy pulang untuk menuntaskan niat jahatnya padaku."
Jessie tetap memusatkan pandangannya ke depan. "Nancy
bilang, dia tak membunuh Butch," gumamnya.
"Aku nggak percaya Mom dan Dad akan pergi menginap
malam ini," ulang Emily. "Memang sih, kalaupun ada di rumah,
mereka juga nggak melakukan apa-apa untuk melindungiku,"
tambahnya dengan getir. Emily menatap kosong ke jalanan yang kelabu. "Aku harus
minta Dad menyiapkan kuburan juga untukku," katanya tiba-tiba.
"Oh, Emily!" seru Jessie. "Jangan begitu dong!"
"Aku serius. Kau kan nggak bisa terus-terusan menjagaku, Jess.
Cepat atau lambat aku akan jatuh ke tangan Nancy. Masalahnya cuma
soal waktu." "Jangan ngomong begitu."
Emily menyandarkan kepalanya di jendela mobil dan menutup
matanya. "Aku sudah berpikir-pikir," kata Jessie. "Setelah menjemput
Cora-Ann, gimana kalau kita pergi ke yayasan penyayang binatang
dan..." "Nggak usah dilanjutkan!" potong Emily, berpaling ke Jessie.
Jessie mengangkat bahu. "Memikirkannya pun jangan," kata Emily bersikeras.
"Oke, oke. Aku kan belum bilang apa-apa," kata Jessie dengan
pandangan lurus ke depan.
"Pokoknya jangan bilang."
Mereka menempuh beberapa blok berikutnya dalam kesunyian.
"Mungkin kau memang belum siap untuk mengambil anjing baru,"
akhirnya Jessie berkata. "Memang," Emily sependapat. "Sepuluh tahun lagi pun aku
nggak bakal siap!" Sambil mengesah, Jessie meminggirkan mobilnya, dan
memarkirnya di tepi jalan. "Ayo. Kita jemput Cora-Ann."
Selama beberapa saat Emily tidak bereaksi. Ia hanya menatap
kosong ke depan. Jessie terpaksa turun dan membuka pintu kursi
penumpang. Mereka sudah melewati setengah halaman rumah Cora-Ann
ketika mendadak Jessie menyambar lengan Emily.
"Stop!" bisiknya. Ia menarik Emily dan mereka berdua
merunduk di balik semak-semak.
"Oh, tidak, nggak mungkin!" keluh Jessie, sambil menatap ke
rumah Cora-Ann. Emily mengikuti arah pandangan Jessie.
Tampak dua orang sedang melangkah keluar dari rumah CoraAnn. Sepasang suami-istri separo baya.
"Kaukenal mereka?" desak Emily. "Siapa mereka?"
"Orangtua Jolie!" bisik Jessie.
Bab 20 Semuanya Ternyata Keluarga
"ITU Mr. dan Mrs. Bowen!" Jessie tergagap.
"Kau yakin?" bisik Emily.
"Tentu saja aku yakin. Ayo." Jessie menjawil lengan jaket
Emily. "Sembunyi! Aku tak sanggup menghadapi mereka. Aku..."
Terlambat. "Jessie?" terdengar panggilan dari teras. Nadanya heran. Wanita
yang mengenali Jessie itu mulai menelusuri jalan setapak, dengan
hati-hati menghindari bagian-bagian yang bersalju.
"Oh, tidak," gumam Jessie.
Wah, gawat nih! pikir Emily. Mereka kan nggak bisa berdiri
saja di sana dan pura-pura tak mendengar panggilan itu. Emily
langsung bertindak. Ditariknya tangan Jessie dan dipaksanya gadis itu
melangkah maju. "Hai," sapa Emily, berusaha agar suaranya terdengar riang.
Emily dan Jessie bertemu berhadap-hadapan muka dengan Mrs.
Bowen di ujung jalan setapak. Ayah Jolie berhenti beberapa langkah
di belakang istrinya. Mrs. Bowen menatap Jessie lekat-lekat. Kedua tangannya
bersedekap di depan dada.
"Kami tak tahu kau pindah ke Shadyside!" serunya. "Astaga...
tak disangka kita bertemu di sini!"
Ayah Jolie maju dan memeluk bahu istrinya. "Senang bertemu
denganmu, Jessie," katanya. "Sudah lama sekali, ya?"
Emily dapat melihat bahwa pertemuan itu sangat menyakitkan
bagi orangtua Jolie. Ini dapat dimengerti. Melihat Jessie, mereka tentu
teringat kembali pada putri mereka yang sudah meninggal.
"Saya juga senang bertemu dengan Anda," Jessie menjawab
dengan kaku. "Saya Emily Casey," timbrung Emily sambil mengulurkan
tangannya. "Kakak tiri Jessie."
Mrs. Bowen menjabat tangannya. Kemudian mereka berempat
berpandang-pandangan dengan canggung.
"Jessie pindah ke Shadyside karena saya," Emily berkicau
dengan ceria, untuk menyelamatkan suasana. "Yah, tepatnya karena
ibu saya. Ayah Jessie menikahi Mom setelah Dad..."
Emily tak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia tak sampai hati
mengucapkan kata "meninggal" di depan kedua orang tua ini.
Aneh, mereka semua berhati-hati untuk tidak menyinggungnyinggung Jolie, tapi nama itu ada dalam pikiran mereka. Peti mati
Jolie sepertinya melayang-layang di atas kepala mereka.
"Kami sudah mau pergi," akhirnya Mr. Bowen berkata,
memecahkan keheningan yang meresahkan. "Kalau tidak, kau pasti
kami undang masuk." Mrs. Bowen memaksakan seulas senyum. Ia menoleh pada
Jessie. "Kau ke sini untuk menemui sepupu Jolie, kan?"
Emily dapat merasakan tubuh Jessie menegang di sampingnya.
"Sepupu Jolie?" tanya Jessie dengan suara bergaung. "Maksud
Anda..." "Ya, tentu saja... Cora Ann," sahut Mrs. Bowen.
Bab 21 Siapa yang Mematikan Lampu"
MR. BOWEN maju dengan mendadak dan menggenggam
sebelah tangan Jessie dengan kedua tangannya. "Senang berjumpa
denganmu, Jessie. Sungguh. Mampirlah ke rumah kami kapan-kapan."
Ia beralih pada istrinya. "Nah, Harriet..."
"Ya, kita harus..."
Emily menyisih untuk memberi jalan kepada mereka. Jessie
hampir-hampir tak bergerak. Mr. dan Mrs. Bowen harus memutari
tubuhnya supaya bisa lewat.
Kedua orang itu masuk ke mobil. Emily dan Jessie mengikuti
mereka dengan pandangan mata.
"Aku ngerti sekarang!" seru Jessie ketika mobil keluarga
Bowen meluncur pergi. "Hah?" Emily masih bingung. Cora-Ann sepupu Jolie, jadi
kenapa" "Yuk," ajak Jessie, kembali menelusuri jalan setapak.
"Kita mau ke mana?"
"Ke mobil. Dan jangan menengok ke belakang."
"Kenapa jangan?" Emily spontan menoleh ke belakang.
Jessie mencubit lengannya. "Cepat balik. Kurasa Cora-Ann
sedang mengawasi kita."
"Jadi kenapa?" Jessie tidak menjawab. Ia menghela Emily menuju mobil.
"Masuk!" suruhnya. Ia menghidupkan mesin dan sudah
menjalankan mobil bahkan sebelum Emily sempat menutup pintu.
"Tunggu dong!" seru Emily.
Tapi Jessie tidak menghiraukannya. Ia ngebut meninggalkan
rumah Cora-Ann. Setelah agak jauh, barulah mobil dilambatkannya. "Cora-Ann
sepupu Jolie," kata Jessie sambil memandang Emily.
"Itu aku sudah tahu! Aku kan mendengarnya sendiri tadi.
Kenapa ya Cora-Ann nggak pernah bilang?"
Jessie memukul kemudi dengan sebelah tangannya. "Bodoh
benar aku! Aku benar-benar lupa kalau Jolie punya sepupu."
"Memangnya kenapa kau harus ingat" Semua orang punya
sepupu." "Ya, tapi sepupu yang satu ini jadi histeris ketika Jolie
meninggal," kata Jessie geram. "Dan dia begitu terguncang sehingga
nggak mampu menghadiri pemakaman Jolie. Sekarang dia ada di sini,
menyusup ke dalam kehidupanku."
"Tapi untuk apa?" tanya Emily dengan was-was. Rasanya dia
akan segera menghadapi kenyataan yang menyeramkan.
"Balas dendam. Apa lagi kalau bukan itu?"
"Balas dendam" Dengan cara apa Cora-Ann..."
"Masa kau nggak sadar?" teriak Jessie. "Semua musibah yang
menimpamu. Itu sebenarnya ditujukan padaku."
"Apa?" Emily tidak percaya. "Jessie, kesimpulanmu itu ngawur.
Ingat, aku yang menabrak pohon, kan?"
"Emily, mobil itu juga sering kupakai. Cora-Ann bisa saja
mengotak-atik remnya dengan niat membunuhku." Jessie berpikir
sejenak. "Ya ampun!"
"Kenapa?" "Malam ketika kau mendapat kecelakaan itu... aku cerita pada
Cora-Ann bahwa aku akan menemui cowok. Corey Pitt. Kaukenal dia,
kan" Nah, Cora-Ann kemudian menyuruhku berjanji untuk
melaksanakan maksud itu. Katanya biar cowok itu kaget. Cora-Ann
bahkan menantangku. Tapi malam itu aku nggak bisa pergi..."
"Karena?" tanya Emily dengan suara kecil. Ia sudah tahu
jawabannya. "Karena kau memakai mobil untuk pergi ke rumah Josh."
Emily menatap ke jalan, memperhatikan mobil mereka
melindas garis putus-putus. "Nggak mungkin!" katanya akhirnya.
"Mungkin! Ini sangat masuk akal! Coba dengar! Gimana
dengan insiden gaun hitam itu" Waktu aku memakainya, aku kan
pergi bersama Cora-Ann. Barangkali dia mengira itu bajuku, maka dia
merusaknya. Soal parfum juga sama. Aku kan selalu memakainya.
Cora-Ann sengaja menumpahkannya untuk menyakitiku!"
Jessie mencengkam kemudi dengan begitu erat sehingga bukubuku jarinya memutih.
Emily menggelengkan kepala, berpikir keras. "Teorimu nggak
bisa kuterima, Jessie," katanya akhirnya. "Kenapa Cora-Ann
membunuh Butch" Dia tahu Butch anjingku. Untuk apa dia
membunuh anjingku?" "Siapa yang lebih disukai Butch" Kau atau aku?" tuntut Jessie.
"Kau kan nggak suka pada Butch."
"Cora-Ann mungkin nggak tahu itu. Dia kan cuma bisa melihat
bagaimana Butch selalu membuntutiku. Mungkin Cora-Ann mengira,
aku yang akan paling terluka dengan kematian Butch."
Mereka meneruskan perjalanan dalam kesunyian. Seolah
mengerti suasana hati mereka, langit pun menjadi gelap. Senja seakanakan turun dua jam lebih awal.
Perut Emily terasa mulas. Rasa ngeri menjalari tubuhnya.
Jessie mungkin benar"itu disadarinya sekarang.
Jessie mungkin benar. Bisa saja Cora-Ann yang melakukan
semua itu. Bukan Nancy. Bukan Nancy.
"Cora-Ann ada di rumah kita waktu gigiku kena lem," renung
Emily. "Dia menginap dan..."
Mereka bertukar pandang. "Dia mencoba membangunkanmu," lanjut Emily sambil
memukul-mukul dasbor. "Dia ingin kau yang duluan memakai kamar
mandi!" Mobil melaju semakin kencang. Mereka melewati belokanbelokan yang licin dengan kecepatan tinggi. "Hei, pelan-pelan," Emily
mengingatkan Jessie. "Jangan sampai kita berdua mati konyol."
Jessie tidak mengindahkan peringatannya.
Emily tersentak ketika sebuah ledakan mengguncangkan mobil
itu. Petir. Jessie memajukan duduknya, mengamati langit dari balik kaca
depan. "Kayaknya kita bakal kena badai."
"Badai apa?" "Masa kau nggak dengar" Dalam ramalan cuaca kan sudah
diberitakan. Kita akan diserang badai besar. Untungnya, hari ini tak
cukup dingin untuk turun salju, tapi..."
Butir-butir besar air hujan berjatuhan di kaca depan seperti
berondongan senapan mesin. Sekejap kemudian, hujan lebat turun,
mengguyur atap mobil dengan bunyi yang sangat berisik. Jessie
menyalakan wiper, namun penyapu kaca itu tak berdaya menghadapi
hujan yang demikian deras. Dunia di sekitar mereka menjadi gelap
dan kabur. "Aku nggak percaya aku telah menuduh Nancy," gumam Emily.
Jessie tak menanggapi. Ia menajamkan penglihatannya,
berusaha melihat jalan. "Bisakah kaubayangkan bagaimana perasaannya" Begitu ada
apa-apa, aku langsung berteriak-teriak, 'Ini gara-gara Nancy! Ini garagara Nancy!' Mungkin Nancy menyesal pulang ke rumah."
Emily menoleh menatap Jessie, dan melihat adik tirinya itu
sedang berkonsentrasi penuh pada kemudi.
"Setiba di rumah nanti," lanjut Emily, "akan kutelepon Mom
dan Dad di rumah Uncle Mark. Aku akan minta mereka pulang
sekarang juga." "Mereka pasti belum sampai," jawab Jessie. Ia melirik jam di


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dasbor. "Mungkin mereka baru saja berangkat."
"Jessie, aku mengerti bagaimana perasaanmu. Kau ketakutan
karena kaupikir Cora-Ann sedang memburumu. Tapi jangan kuatir,
aku akan menjagamu. Seperti selama ini kau menjagaku. Cora-Ann
tak akan bisa melukaimu."
Sebuah ledakan lain membuat Emily terlonjak.
Gelegar petir lagi. Di atas mereka, kilat menyambar-nyambar,
sinarnya yang putih membelah kegelapan langit.
Jessie memasukkan mobilnya ke halaman rumah mereka
dengan begitu cepat sehingga mobil itu hampir saja menabrak pintu
garasi. Dia dan Emily berlari-lari ke luar, menembus hujan sambil
merapatkan tudung jaket mereka.
"Nancy?" panggil Emily ketika mereka menerobos masuk ke
rumah. Tak ada jawaban. Jessie mengunci pintu depan. Dan memasang gerendelnya.
Emily berlari menaiki tangga. "Nancy?"
Pintu kamar Nancy terkunci.
"Nancy?" panggil Emily pelan. "Kau ada di dalam" Hei, boleh
aku masuk?" Sunyi. Kemudian terdengar kakaknya menjawab dingin, "Kau
mau apa?" Emily menyandarkan kepalanya ke pintu. Dapat dirasakannya
air hujan yang dingin mengalir dari rambutnya. "Nancy, aku minta
maaf." Diam. "Kenapa?" "Karena aku menuduhmu, menyalahkanmu."
Diam lagi. "Nancy, aku baru tahu. Ternyata bukan kau. Maksudku, urusan
Butch itu. Juga kejadian-kejadian yang lain. Cora-Ann-lah pelakunya.
Dia sepupu Jolie. Dia melakukan semua itu untuk membalas dendam
pada Jessie." "Bagus," kata Nancy dengan sinis. "Sekarang kau bilang begitu.
Tunggu saja kejadian berikutnya, siapa yang akan kausalahkan?"
"Nancy, tolong izinkan aku masuk." Emily mengguncangguncang pegangan pintu. "Kita harus bicara."
Tak ada jawaban. Sesaat kemudian, "Pergi, Emily. Aku sedang
mengerjakan muralku."
"Aku akan kembali beberapa menit lagi, oke, Nance?" pinta
Emily dengan memelas. "Aku harus menukar bajuku yang basah
dulu." Nancy tak menjawab. Emily menunggu. Akhirnya dia beranjak
dari situ dan pergi ke kamarnya sendiri.
Jangan kuatir, kata Emily pada dirinya sendiri. Sekarang setelah
kau tahu Nancy tak bersalah, kau bisa berlaku baik padanya. Kau bisa
menebus kesalahanmu padanya. Kau bisa membujuknya untuk
memaafkanmu. Emily melepaskan jaketnya yang basah dan mengebaskan air
hujan dari rambutnya. Celana montirnya ternyata kering.
Jessie berjalan masuk dengan tergesa-gesa, sambil membuka
ritsleting jaketnya. "Teleponnya bicara terus," katanya, melemparkan kunci mobil
ke ranjang. "Telepon siapa?"
"Uncle Mark. Aku mencoba menghubungi Mom dan Dad."
"Coba lagi dong," desak Emily.
"Oke." Jessie mengulurkan tangannya. Namun sebelum ia
sempat meraih gagang telepon, pesawat itu berdering. Jessie menarik
tangannya kembali. "Lho, kok nggak kauangkat sih?" seru Emily.
Jessie mengangkat gagang telepon dan men-dekatkannya ke
telinganya. Mendengarkan.
"Hai, Cora-Ann," katanya dengan gemetar.
"Jangan bilang apa-apa," bisik Emily sambil menggoyanggoyangkan tangannya. "Jangan bilang..."
"Kami sudah tahu semuanya!" Jessie langsung mencerocos.
"Kami tahu kau sepupu Jolie! Kami tahu semua ulahmu! Jangan cobacoba menelepon ke sini lagi!"
Ia membanting gagang telepon.
Lampu tiba-tiba mati. "Hei... kenapa nih?" seru Emily. Dengan meraba-raba ia
mencari tombol lampu dan memencetnya. Tak ada reaksi.
Kemudian dilihatnya lampu di koridor juga mati.
"Oh, tidak," keluhnya.
"Pasti gara-gara badai," kata Jessie lirih.
"Nggak ada listrik," erang Emily.
Emily menajamkan matanya dan samar-samar melihat sosok
Jessie. Di luar angin menderu-deru, memukul-mukul pohon. Rantingrantingnya berkeriat-keriut seperti tulang yang akan patah.
Bagaimana sekarang" pikir Emily.
Bagaimana sekarang" Bab 22 Tok, Tok "GELAP sekali," bisik Emily. "Seperti tengah malam."
Dengan menggerapai dinding, mereka berhasil turun ke lantai
bawah. "Mestinya di sini ada lilin," kata Emily.
Mula-mula mereka mencari di dapur, membuka laci-laci dan
merabai isinya. "Ow!" Jessie berseru kesakitan.
"Kenapa" Kau tak apa-apa?"
"Aku tertusuk benda tajam," kata Jessie sambil mengangkat
benda itu. Setelah memperhatikannya baik-baik, ia berkata, "Pembuka
kaleng." Ia melemparkan benda itu kembali ke dalam laci.
"Di mana sih Mom menyimpan lilin?" tanya Emily pada dirinya
sendiri. "Atau senter." "Mungkin di kotak perkakas," kata Emily.
Tapi kotak itu ada di garasi. Emily tak mau pergi ke garasi.
Apalagi dalam keadaan gelap seperti sekarang.
Emily mencoba membayangkan lilin-lilin yang sangat
didambakannya itu. Ia bisa melihat mereka, dalam kotak pipih
panjang. Nah, apa yang ada di samping kotak itu"
Kotak kartu" "Aku ingat," katanya pada Jessie. "Di bufet ruang makan ada
lilin. Di sebelah kotak kartu... kartu bagus-bagus yang kata Mom tak
boleh kita mainkan."
"Oh ya, betul!" Jessie langsung menuju ruang makan.
Emily dapat mendengar bunyi langkah Jessie di ruang makan,
dan derit laci yang dibuka.
Angin dingin berembus masuk, membuat Emily menggigil.
Pasti ada jendela yang terbuka di ruang tamu, pikir Emily. Air hujan
pun mulai tampias ke dalam.
Emily mendekati jendela yang terbuka itu. Matanya sudah
mulai terbiasa dengan kegelapan.
"Lilinnya ketemu!" seru Jessie. "Sekarang kita tinggal
mencari..." Ketukan keras pada pintu depan menghentikan ucapannya.
Emily menahan napas. Siapa itu" "Emily" Kaukah itu?" tanya Jessie dengan ketakutan.
Emily tidak menjawab. Ia menghampiri jendela yang terbuka
dan mencoba melihat ke luar.
Terdengar ketukan lagi, lebih keras dari sebelumnya.
"Siapa itu?" Emily mendengar Jessie berteriak dari ruang
makan. Emily menempelkan wajahnya ke dinding, berusaha melihat ke
teras dari jendela itu. Ia menangkap kelebatan jaket biru.
Rambut hitam. ebukulawas.blogspot.com
Kilat yang menyambar sejenak menerangi teras.
Dan Emily sempat melihat orang yang berdiri di depan pintu.
Cora-Ann. Rambutnya basah kuyup. Sebelah tangannya
mengetuk-ngetuk pintu. Di tangannya yang lain terlihat sebilah pisau.
Pisau besar Rich. Dan Cora-Ann sedang mengayun-ayunkannya.
Bab 23 Serangan Pisau DUK-DUK-DUK. Emily melompat mundur. Apakah Cora-Ann menggedor pintu
dengan gagang pisau yang berat itu"
Duk-duk-duk. Bunyi itu mengatasi gelegar guntur dan terpaan
hujan di jendela. Emily menoleh ketika melihat Jessie berlari ke pintu depan.
"Jangan biarkan dia masuk!" pekik Emily. "Jangan buka pintu! Dia
membawa pisau." Kemudian disadarinya bahwa Jessie bukan menuju ke pintu
depan. Adik tirinya itu menghampiri meja telepon di ruang depan.
"Aku akan memanggil polisi!" teriak Jessie.
Namun sesaat kemudian Jessie mengerang dengan lesu.
"Jessie...?" panggil Emily.
"Mati. Teleponnya mati."
Duk-duk-duk. Apakah badai yang menyebabkan telepon itu mati" Atau CoraAnn memotong kabelnya"
Bulu kuduk Emily meremang. Ia menatap ke luar lagi dari
jendela yang ditampar-tampar hujan. Dipanjangkannya lehernya,
berusaha melihat ke teras.
Tak ada orang. Cora-Ann sudah pergi. Emily menajamkan penglihatannya dan memasang kupingnya.
Ya. Cora-Ann sudah tak ada. Kalau saja ia mau menyingkir dari
kehidupan mereka... Tak muncul-muncul lagi untuk selama-lamanya.
"Dia tidak pergi," kata Jessie dengan suara tercekat. "Dia
mencari jalan masuk yang lain."
Emily terpaku di tempatnya.
"Dia nggak mungkin bisa masuk, kan" Nggak mungkin, kan?"
tanya Jessie dengan nada melengking.
"Kurasa... kurasa tidak," Emily tergagap. "Mari kita periksa
semua pintu dan jendela!"
Mereka berdua melintasi dapur dan menuju pintu belakang.
Terlambat. Diiringi deru angin, pintu terempas membuka.
Cora-Ann menerobos masuk, matanya berputar-putar liar.
Napasnya tersengal-sengal.
Air hujan mengucur dari tubuhnya ketika ia menyerbu ke arah
Emily dan Jessie. Sambil mengibaskan jaketnya, Cora-Ann menolakkan Emily ke
samping. Mengacungkan pisaunya.
Dan mendekati Jessie. Bab 24 Nancy Menjadi Penyelamat EMILY menjerit ngeri. Jessie mengangkat kedua tangannya seolah-olah berusaha
melindungi diri. "Cora-Ann, jangan!" ia memohon.
Cora-Ann tampak bimbang, air hujan menetes dari rambut ke
wajahnya. Emily menoleh dan melihat sesosok bayangan di ambang pintu
dapur. Nancy! Nancy bergerak cepat menyeberangi dapur. Ia menggapai ke
rak dinding dan mengambil kuali besi yang bergagang panjang.
Cora-Ann belum melihatnya. Ia berdiri membelakangi Nancy.
Tangan Cora-Ann yang memegang pisau bergetar.
Ia baru mulai membalik ketika Nancy memukulnya dengan
kuali besi yang berat itu.
Kuali itu menghajar kepala Cora-Ann.
Emily dapat mendengar bunyinya yang menyeramkan.
Mulut Cora-Ann ternganga. Matanya melotot. Ia kebingungan.
Kesakitan. "Uh," keluhan pendek meluncur dari mulutnya.
Pisau terjatuh dari tangannya dan terbanting ke lantai.
Kedua lutut Cora-Ann tertekuk. Ia meringkuk di lantai. "Uh,"
keluhnya lagi. Setelah itu sepi. Cora-Ann tak bergerak. Nancy membungkuk di atasnya dan mengamatinya. Ia masih
memegang kuali besi yang berat itu.
"Nancy!" seru Jessie tinggi dan melengking.
Emily mencoba bicara, tapi hanya mampu menjerit tertahan.
"Nancy!" panggil Jessie lagi. "Kau menyelamatkan kami! CoraAnn... dia sinting! Sinting! Dia yang menimbulkan semua musibah
itu. Musibah yang kami kira disebabkan olehmu. Cora-Ann-lah
pelakunya. Dia mau membalas dendam padaku. Pasti dikiranya aku
yang membunuh sepupunya."
Nancy tidak mengangkat kepalanya. Ia masih menunduk
memperhatikan tubuh Cora-Ann yang terhantar tak berdaya. Emily
melihat tubuh Nancy gemetaran. Dari mulutnya keluar bunyi
berdeguk. "Nancy... tenanglah!" bisik Emily.
Syukurlah segalanya sudah berakhir, pikir Emily, sambil
memandangi kakaknya. Akhirnya semua kengerian itu dapat kami
tinggalkan, dan kami dapat bersatu lagi sebagai keluarga.
Nancy telah menyelamatkan aku dan Jessie dari serangan CoraAnn. Mungkin sekarang Nancy dapat memaafkan dirinya sendiri atas
perbuatannya padaku tahun lalu.
Sekarang kami semua dapat saling memaafkan.
Dan keluarga kami akan rukun.
"Nancy... terima kasih!" seru Jessie. Ia maju menghampiri
Nancy dengan tangan terkembang.
Nancy mengangkat kuali yang berat itu dengan kedua
tangannya. Dan dengan sekuat tenaga menghantamkannya kepada
Jessie. Kuali itu mengenai telinga kanan Jessie.
Jessie menjerit kesakitan. Darah mengalir dari telinganya.
Bola matanya berputar-putar. Tangannya teracung.
Kemudian tubuhnya merosot turun dan dia jatuh pingsan di
sebelah Cora-Ann, di lantai linoleum yang digenangi air hujan.
Emily terkejut bukan kepalang. Namun sebelum ia sempat
bereaksi, Nancy sudah melangkahi tubuh Jessie.
Nancy menatapnya dengan mata disipitkan. Kualinya siap
diayunkan. "Kau yang berikutnya," katanya lirih.
Bab 25 Pisau Dihunjamkan "NANCY... j-jangan!" kata Emily terbata-bata.
Ia terhuyung-huyung mundur, mencoba mencapai pintu dapur.
"Kenapa kau memukul Jessie?" tanya Emily sambil terus
mengikuti gerak-gerik Nancy. "Kau mau apa?"
Nancy tak menjawab. Tapi dia menurunkan kuali itu dan
melemparkannya ke lantai. Benda itu jatuh dengan bunyi
berkelontangan, berguling dua kali, dan akhirnya berhenti di sebelah
tubuh Jessie.

Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nancy... ayolah!" bujuk Emily. Ia melayangkan pandangannya
ke pintu depan. Dapatkah aku keluar dari rumah ini sebelum Nancy
menangkapku" Emily bertanya dalam hati.
Rasanya tidak. Ia ingat bahwa ia dan Jessie telah mengunci pintu itu tadi,
bahkan memasang gerendelnya sekalian.
Nancy membungkuk ke bawah meja dapur, sesaat ia lenyap dari
penglihatan Emily. Ketika Nancy berdiri lagi, tangannya memegang
pisau. "Nancy... dengarkan aku," Emily memohon. "Letakkan pisau
itu. Kita harus mencari pertolongan. Kita harus mencari pertolongan
untuk Cora-Ann dan Jessie. Kita tak bisa membiarkan mereka
tergeletak di sini."
Akhirnya Nancy membuka mulut. Dengan suara rendah, aneh,
dan sayup-sayup, ia berkata, "Cora-Ann pasti keliru mengambil
tasku." "Tas... mu?" Emily tak dapat mengalihkan tatapannya dari pisau
itu, teracung di tangan Nancy.
"Tas kanvas putihku," Nancy menjelaskan dengan nada datar,
dengan suara yang nyaris tak dikenali Emily. "Aku meninggalkannya
di kaki tangga ruang depan. Cora-Ann mengambilnya. Mungkin
dikiranya itu miliknya."
"Aku... aku tak mengerti," Emily tergagap.
Dari lantai, terdengar erangan pelan Jessie. Ia tidak bergerak.
"Cora-Ann membuka tas itu dan menemukan pisauku," Nancy
melanjutkan penuturannya. Ia maju selangkah ke arah Emily. "Pasti
begitulah yang terjadi. Ia menemukan pisauku dan langsung berhujanhujanan kemari. Ia ingin segera menunjukkan penemuannya itu
kepada kau dan Jessie."
"Pisaumu?" seru Emily. "Maksudmu, itu bukan pisau yang
dipakai Rich untuk film horornya?"
Nancy melambai-lambaikan pisau itu. "Pisauku. Milikku.
Hartaku yang paling berharga. Dia hampir saja merusak rencanaku,
Em. Cora-Ann hampir saja merusak rencanaku."
"Tapi, Nancy..." Emily mundur selangkah.
"Aku sudah menunggu setahun penuh, Em. Aku menunggu
untuk membalas dendam padamu. Setahun penuh. Aku
menyembunyikan pisauku di dalam tas, dan menunggu. Aku berpurapura sudah sembuh. Aku memperdayai para dokter, Em. Aku menipu
mereka semua. Aku bersikap seakan-akan kemarahanku sudah lenyap.
Tapi itu cuma pura-pura, Em."
Nancy menghela napas panjang dan berat. "Aku tahu itu satusatunya jalan untuk kembali kemari. Satu-satunya jalan untuk
membalas perbuatanmu merusak hidupku."
"Jadi kau kemudian melakukan semua itu?" tanya Emily untuk
mengulur-ulur waktu. "Kaubuat aku tersandung di tangga"
Kautumpahkan parfumku" Kauotak-atik rem mobilku dan kaubunuh
anjingku?" Nancy mengangguk. "Ya. Aku sudah menunggu setahun.
Setahun penuh... untuk ini." Ia mengangkat pisau itu. Menyerbu ke
depan. "Jangan!" jerit Emily. "Nancy... jangan!"
Tapi Nancy tak menghiraukannya.
Ia mengayunkan pisau itu dan menghunjamkannya ke tubuh
Emily. Bab 26 Benci Benci Benci PISAU itu menembus celana montir Emily.
Mata pisaunya terjerat di antara lipatan-lipatan kain"dan gagal
menoreh tubuh Emily. Hampir saja. Hampir saja.
Emily mengembuskan napas panjang-panjang ketika dirasanya
celana montirnya mulai tercabik. Dilihatnya wajah Nancy yang
berkerut terkejut, kemudian kesal. Nancy berusaha sekuat tenaga
untuk melepaskan pisaunya dari celana montir yang menggembung
itu. Tapi Emily menyambar lengan Nancy. Dan mendorong
kakaknya menjauh. Lalu ia segera mengambil langkah seribu.
Lari dengan membabi buta di rumah yang gelap itu. Sampai di
ruang depan. Lalu menaiki tangga.
Lari. Lari ke mana" Ke kamar mana saja yang pintunya terbuka.
Emily terlalu takut untuk berhenti. Terlalu takut untuk berpikir.
Jantungnya memukul-mukul di dalam dada. Hampir saja. Hampir saja.
Emily tahu bahaya belum lewat.
"Emily?" Terdengar panggilan Nancy dari tangga, suaranya
rendah dan tenang. Emily menggigil, berusaha mengatur napas.
"Emily... jangan lari dariku!" seru Nancy. Suaranya terdengar
lebih dekat. "Aku sudah menunggu setahun penuh, Em. Jangan
kaurusak rencanaku."
Di mana aku bisa sembunyi" Emily bertanya pada dirinya
sendiri. Tenggorokannya tersumbat karena rasa panik. Aku terjebak di
sini. Di mana aku bisa sembunyi"
Di belakang pintu. Seluruh tubuh Emily gemetaran sekarang.
"Emily... jangan sembunyi dariku." Nancy kedengarannya
begitu dekat. Hanya beberapa senti darinya. Di sisi lain pintu itu.
Begitu dekatnya sehingga ia dapat mendengar dengus napas
Emily. Lampu tiba-tiba menyala. Terang sekali.
Emily mengerjap-ngerjap. Dan Nancy melangkah masuk. Menghampirinya. "Kena kau,
Em!" Pisau itu berkilat-kilat di bawah cahaya lampu.
"Jangaaaaan!" Emily berteriak kuat-kuat. Ia membungkuk, dan
dengan bahunya, menerjang Nancy.
Nancy terhuyung-huyung mundur.
Emily mendengar bunyi lampu duduk yang terbanting ke lantai.
Dan sumpah serapah Nancy.
Emily maju dengan nekat. Pandangannya kabur.
Ruangan itu tampak begitu terang. Terlalu terang. Rasanya
kegelapan masih lebih aman.
Emily menabrak dinding. Tangannya menyentuh kain putih.
Kain putih yang menutupi mural Nancy.
Emily menarik. Kain itu jatuh ke lantai.
Mural Nancy terpampang di hadapannya. Inilah rupanya lukisan
yang selalu dirahasiakan Nancy. Hasil karyanya.
Emily ternganga menatap dinding. Menatap kata-kata yang
tertulis di situ. BENCI. BENCI. BENCI. Huruf-huruf itu dicoretkan
dengan cat merah. Cat merah darah.
BENCI. BENCI. BENCI. BENCI. BENCI. BENCI.
Digoreskan di dinding. Dengan cat merah darah.
Berulang-ulang. Satu kata. Satu pesan. Mural Nancy. Sebelum Emily sempat berpaling, Nancy sudah menyerbu ke
arahnya. Namun Emily merangkulkan kedua lengannya ke sekeliling
tubuh Nancy. Memeluknya erat-erat.
Memeluknya erat-erat. Memeluknya erat-erat. "Kau kakakku. Kau kakakku, Nancy. Jangan benci aku. Tolong
jangan benci aku!" Emily mengetatkan pelukannya. Merangkulnya begitu erat
sehingga Nancy tak dapat bergerak. Tak dapat mengangkat tangannya.
Tak dapat mengacungkan pisaunya.
Memeluknya. "Jangan benci aku! Aku adikmu. Aku memaafkanmu. Aku
memaafkanmu!" Itu benar, Emily menyadari. Untuk pertama kalinya, ucapan itu
keluar dari lubuk hatinya. "Aku memaafkanmu. Aku memaafkanmu."
Emily tak melepaskan pelukannya.
Didengarnya bunyi pintu depan dibuka. "Kami sudah pulang!"
teriak ibunya. "Kami tak bisa meneruskan perjalanan sebab sungai
meluap!" Emily masih memeluk Nancy ketika kedua orangtuanya
menerobos masuk ke kamar beberapa detik kemudian.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Mr. Wallner dengan nada
tinggi. "Apa yang terjadi?"
Perlu waktu lama untuk menjelaskan semuanya, pikir Emily.
************** "Cora-Ann bilang, ayah dan ibunya akhirnya bersedia menemui
penasihat perkawinan," Jessie mengumumkan pada saat makan
malam. "Dan pada pertemuan pertama saja, si penasihat sudah
menyimpulkan bahwa kedua orang itu harus bercerai. Akhirnya ayah
dan ibu Cora-Ann juga setuju untuk bercerai."
"Wah, bagus dong!" kata Emily sambil menyendok kentang
tumbuk lagi. "Apa" Bagus, katamu?" seru Mr. Wallner dari ujung meja.
"Yeah," jawab Jessie sambil tertawa. "Kedengarannya itu berita
buruk, tapi bagi Cora- Ann malah menguntungkan. Setidak-tidaknya,
dia tak usah lagi menyaksikan orangtuanya bertengkar setiap hari."
Ketika itu Minggu malam. Tiga minggu setelah Nancy
mengamuk. Mestinya aku merasa sangat menyesal, pikir Emily.
Nancy kembali dirawat di rumah sakit jiwa. Mungkin untuk
waktu yang sangat lama. Tapi kali ini Emily diizinkan menjenguk kakaknya. Dan itu
dilakukannya setiap minggu.
Emily bersungguh-sungguh ketika dia mengatakan bahwa dia
telah memaafkan Nancy. Akhirnya, dia bisa memaafkan kakaknya.
Dan itu membuatnya sangat lega dan gembira. Sebuah beban berat
telah terlepas dari pundaknya. Beban yang tanpa sadar telah
ditanggungnya selama lebih dari setahun.
"Cora-Ann mengungkapkan semua itu padamu. Apakah itu
berarti kalian telah berbaikan?" tanya Mrs. Wallner sambil menuang
teh lagi. "Ya ampun, Mom! Dengar dong kalau kami bercerita! Itu kan
kejadian minggu lalu!"
Emily ingat, bagaimana minggu lalu Cora-Ann "berbukabukaan" dengan Jessie. Cora-Ann mengakui bahwa ia memang
mematai- matai Jessie, untuk mencari bukti kalau-kalau Jessie benar
membunuh sepupunya. Tapi itu dilakukannya hanya pada awal
persahabatan mereka. Setelah lewat beberapa minggu, Cora-Ann sungguh-sungguh
ingin bersahabat dengan Jessie. Dia sangat membutuhkan sahabat.
Kini semuanya sudah jelas dan Jessie pun telah memaafkan
Cora-Ann. Mr. Wallner melayangkan pandangan ke arah ruang baca.
"Rich! Makanannya sudah dingin!" panggilnya. "Ke mana sih anak
itu?" gumamnya sendiri.
"Dia lagi nonton TV, Dad," kata Jessie pada ayahnya.
"Aku akan menghitung sampai sepuluh!" ancam Mr. Wallner.
Pintu terbuka. "Tunggu sebentar," pinta Rich dengan sopan.
"Satuuu menit lagi saja. Pertunjukannya hampir selesai."
Mr. Wallner menggosok-gosok muka dengan kedua tangannya.
"Apa sih yang begitu penting" Apa yang ditontonnya?" tanyanya pada
kedua putrinya. Emily tertawa cekikian. "Family Feud!" END
Sepasang Naga Penakluk Iblis 6 Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa Iblis Sungai Telaga 8
^