Pencarian

Adik Tiri Ii 2

Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii Bagian 2


kecelakaan yang mengerikan. Kebetulan saja kau ada di sana. Titik.
Ceritanya sudah tamat."
Hanya saja ceritanya tidak berakhir sampai di situ, pikir Emily
dengan sedih. Ia sedang berpesiar dengan ayahnya ketika musibah itu terjadi.
Perahu motor yang mereka tumpangi terbalik, dan dengan mata
kepalanya sendiri Emily menyaksikan ayahnya tenggelam.
Sampai sekarang adegan itu masih menghantuinya. Ayahnya
tenggelam lagi dan lagi... dalam pikirannya, dalam ingatannya, dan
dalam mimpinya. Pasti Nancy mengalami hal yang sama. Dan kemarahannya
membuatnya jadi gila. "Aku sudah belajar untuk menerima itu," kembali didengarnya
suara Nancy. "Kadang-kadang hal yang tidak mengenakkan bisa
terjadi. Musibah menimpa kita. Tapi dokter-dokterku menunjukkan
padaku bahwa aku telah keliru menempatkan kemarahanku. Aku
sebenarnya marah pada alam. Tapi bagaimana aku bisa membalas
dendam padanya" Karena itu kau yang menjadi sasaranku."
"Rasanya aku mengerti," jawab Emily.
Nancy tersenyum penuh harapan. "Tapi aku punya kabar baik.
Sekarang semua kemarahanku sudah lenyap dan..." Suara Nancy
semakin kecil. "Dan kuharap suatu hari kau akan memaafkanku."
Emily mengangguk. "Sekarang pun aku sudah memaafkanmu."
Nancy menggeleng. "Kau nggak perlu bilang begitu."
"Tapi aku bersungguh-sungguh, Nance. Aku memaafkanmu."
Nancy menatap Emily lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca.
Emily mendongak melihat jam dinding. "Aduh, aku terlambat.
Aku mestinya menemui Josh dua puluh menit yang lalu."
Nancy mengikuti Emily ke pintu depan, kemudian meletakkan
sebelah tangannya di lengan adiknya. "Terima kasih, Em. Terima
kasih atas pengertianmu."
Tiba-tiba pintu ruang baca terbuka, dan Butch menghambur
menghampiri mereka. Ia menyalak-nyalak, melompat-lompat, dan
menggaruk-garuk kaki Nancy dan Emily, meminta perhatian.
Emily menggendong Butch sehingga anjing itu bisa menjilat
wajah Nancy. Emily tertawa-tawa melihat Butch yang tergantung di
tangannya seperti sepotong sosis berbulu.
"Ini Aunt Nancy, Butchie," kata Emily seolah-olah bicara
kepada anak kecil. "Bagus. Cium dia."
Nancy tertawa cekikikan sambil berusaha memundurkan
kepalanya. Tapi Butch melepaskan diri dari gendongan Emily dan
melompat ke pelukan Nancy. Ia menggeliat-geliat sambil menjilati
pipi dan leher Nancy. Nancy balas mencium hidungnya. "Trims,
Butch," katanya senang. "Perlakuanmu ini sungguh-sungguh
membuatku merasa diterima kembali menjadi anggota keluarga ini."
************* "Oke, sekarang aku akan melompat tiga kali, kemudian
memutarmu sehingga kau bisa melakukan lompatan di udara. Kau
mendarat dengan satu kaki dan..."
"Josh, jangan! Jangan memutarku. Jangan!"
Tapi josh membandel dan tetap memutarnya. Emily menjeritjerit. Dirasakannya bagaimana pisau-pisau sepatu luncurnya
berbenturan dan tersangkut.
Ia kehilangan keseimbangan. Josh mencoba membantunya.
Mereka berdua tergelincir di atas es yang licin. Meluncur tak
terkendali sepanjang danau.
Dan akhirnya jatuh tertelungkup.
"Kau tak apa-apa?" tanya Josh.
"Maksudmu, selain patah tulang?" Dengan susah payah Emily
membalikkan badan dan berbaring telentang.
"Maaf," kata Josh, tersengal-sengal.
"Maaf?" ulang Emily. "Sudah tiga kali kau minta maaf, tapi
tetap saja kau memutarku dan membuatku terjerembap di es."
Josh tertawa. "Oke, aku menyesal. Sungguh-sungguh
menyesal." Ia berpaling sehingga wajahnya bersentuhan dengan wajah
Emily. Tapi Emily tidak menyesal. Karena dia sayang sekali pada
cowok ini. Fear Lake terletak di kedalaman hutan Fear Street, jauh dari
keramaian dunia. Mereka hanya berdua di tempat yang sunyi itu. Dikelilingi salju
yang berkilauan, dinaungi langit yang cerah khas bulan Desember.
Sempurna. Kecuali bahwa tubuh Emily terasa sakit semua.
"Kali ini aku tak mau bangun lagi," kata Emily.
Mata Josh berkilat-kilat nakal."Bagus," katanya, lalu mengecup
Emily. "Jadi, bagaimana keadaan Nancy sekarang?" tanya Josh
beberapa saat kemudian, sambil menggarut-garut salju.
Emily digelitiki rasa cemburu, perasaan yang selalu muncul
setiap kali Josh bertanya tentang kakaknya.
Emily berusaha mengusir perasaan itu. "Kurasa cukup baik.
Mengingat... kau tahu sendirilah. Kami memang perlu waktu untuk
kembali mengakrabkan diri, tapi..."
"Tapi apa?" Emily mengangkat bahu. "Tapi aku senang dia sudah pulang."
Emily bangkit duduk. "Dan sekarang dia sedang sibuk membuat mural
di dinding kamarnya."
Josh berdiri, lalu membungkuk untuk membantu Emily berdiri.
Emily terpeleset di atas es. Hampir saja mereka berdua jatuh lagi.
"Gambarnya apa?" tanya Josh, menolong Emily mendapatkan
keseimbangan tubuhnya. "Gambar" Oh, maksudmu mural itu" Aku tak tahu. Nancy tak
mau memperlihatkannya. Dia tak ingin kami melihatnya sebelum
mural itu selesai." Emily menggigil, membayangkan kain putih yang digantungkan
Nancy di dinding. Setelah peristiwa tahun lalu, Emily paling benci
menghadapi kejutan dan hal-hal yang tak terduga.
"Oke," kata Josh, mengambil ancang-ancang, "yuk kita pulang."
Ia meluncur ke tepi danau. "Ayo, kelihatannya kau sudah hampir
beku." Emily tidak membantah. Ia meluncur dengan hati-hati dan
berhasil tiba di tepi danau dengan selamat.
Mereka duduk di atas dua batu besar dan melepaskan sepatu
luncur mereka, kemudian menggantinya dengan sepatu bot. Setelah itu
mereka menempuh perjalanan pulang lewat hutan yang bersalju.
Mereka hampir mencapai Fear Street ketika Emily mendengar
dengungan bernada tinggi. Seperti bunyi gergaji listrik yang sedang
dipakai menebang pohon. Dengungan itu semakin keras.
Emily melayangkan pandangannya ke muka dan melihat tiga
pengendara sepeda motor berderum-derum ke arah mereka.
Ketiga sepeda motor yang khusus dipakai di medan berat itu
dengan lincahnya menembus hutan. Serpihan-serpihan salju
beterbangan di belakang mereka.
Josh dan Emily berdiri terpaku. Ketiga sepeda motor itu terus
melaju ke arah mereka. Makin dekat. Makin dekat! Mereka tak akan berhenti. Mereka akan menabrak kami! pikir
Emily dengan ngeri. Kemudian dia melihat salah satu pengendaranya dan berteriak
dengan terkejut. ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Bab 7 Sepasang Kaki di Balik Pintu
"RICH!" teriak Emily.
Rich mengerem dengan mendadak. Sepeda motornya berhenti
hanya beberapa inci di depan Emily. Rich membuka kacamata
pelindungnya dan membiarkannya bertengger di dahi. Ia menatap
Emily dengan galak. Kedua teman Rich berhenti di belakangnya. Mereka duduk di
atas sepeda motor dengan ekspresi murung, pandangan mereka tertuju
ke dalam hutan. Kacamata pelindung mereka mirip dengan topeng
hantu, pikir Emily. Tapi ia mengenali Willy, salah satu teman Rich,
dari rambut cokelatnya yang gondrong.
"Rich!" panggil Emily lagi. "Ngapain kau di sini?"
"Main sepeda motor," balas Rich ketus. "Memangnya kaupikir
aku lagi ngapain?" Tiba-tiba ia menyentakkan kepalanya ke depan,
menyalak pada Emily seperti anjing. Emily ternganga.
Rich tertawa gelak-gelak, seolah-olah ia baru saja membuat
lelucon yang sangat lucu.
"Hei, Josh," sapa Rich sambil menggerung motornya.
"Hei," sahut Josh, menatap Rich dengan dingin.
Emily bersyukur sekali Josh ada di sampingnya. Ulah Rich
makin lama makin keterlaluan. Mungkin dia harus menyewa Josh
sebagai pengawal pribadinya.
"Rich," kata Emily, berusaha bicara dengan nada bersahabat,
"aku bukannya mau mencampuri urusanmu. Tapi...," Emily
memelankan suaranya, melirik kedua teman Rich, "kau sedang
dihukum, ingat" Kalau ayahmu tahu..."
"Kau pasti akan mengadukannya, kan?" balas Rich sinis. "Dasar
cerewet!" Kepada kawan-kawannya, ia menjelaskan, "Kakakku ini
mata-mata. Ia melaporkan semua perbuatanku pada ayahku."
Ia kembali menghadapi Emily. "Kalau kali ini kau mengadu
lagi, Emily, aku akan..."
"Kau akan apa?" tanya Josh penuh ancaman. Emily melihat rasa
takut berkelebat di mata Rich.
"Pokoknya dia akan menyesal," jawab Rich. Ia memelankan
suaranya dan mendekatkan diri pada Emily. "Aku sudah
memperingatkanmu." Emily menjengek. "Sudahlah, Rich, jangan sok aksi. Kita kan
tinggal serumah. Aku tahu siapa kau. Kau tidak seperti yang ingin
kautampilkan ini. Kita berbaikan saja, oke?"
Rich tidak menjawab. Ia hanya menatap dengan sinis.
Kemudian ia menggas motornya dan berlalu dari situ.
Emily berpaling. Josh mengangkat bahu dengan rupa jengkel.
"Brengsek," gerutunya.
"Josh, aku benar-benar kuatir tentang dia."
Josh sudah mulai berjalan. "Tak perlu," jawabnya tanpa
menoleh ke belakang. Emily harus bergegas untuk mengimbangi
langkah Josh. "Kenapa?" Josh tak menjawab. "Serius nih, Josh. Bagaimana mungkin aku tak merasa kuatir"
Rich tak pernah bicara dengan siapa pun selain dengan temantemannya yang nyentrik itu. Ia terus-menerus bertengkar dengan
ayahnya. Ia sering terjerumus dalam kesulitan. Dan sekarang ia punya
pikiran aneh bahwa aku yang merupakan sumber masalahnya."
"Dia berumur empat belas," kata Josh, seakan-akan jawaban itu
menjelaskan semuanya. "Jadi?" "Usia empat belas adalah masa sulit bagi cowok."
"Oh, jadi masalahnya sekarang adalah urusan cowok" Omong
kosong. Tahun lalu saja Rich sudah begini, waktu umurnya tiga
belas." "Oh ya" Yah, tiga belas juga masa sulit bagi cowok. Aku
bersikap seperti Rich ketika umurku tiga belas."
Emily tertawa. Tapi dia masih merasa cemas. Dan sedikit takut
karena Rich dan ancaman-ancamannya.
Setiba di rumahnya, Emily membuat cokelat panas dan duduk
berdempetan dengan Josh di sofa ruang baca. Berduaan begitu, Emily
jadi lupa pada Rich. Dan Nancy. Dan semua yang lain.
Josh menarik Emily ke dalam pelukannya. Namun mendadak
saja Emily menjauhkan diri.
"Ada apa?" tanya Josh heran.
Emily menatap ke pintu. Ada orang yang berdiri di luar pintu itu, Emily yakin.
"Lepaskan aku," bisiknya.
Josh menuruti permintaannya. Emily cepat-cepat bangkit.
Sekarang dia dapat melihat bayangan kaki seseorang di bawah
pintu. Ada orang di sana. Ada orang yang mengintip mereka!
Nancy! Apakah Nancy mulai membuat ulah lagi"
Dengan hati berdebar-debar, Emily berjingkat-jingkat ke pintu
dan membukanya secara mendadak.
Bab 8 Jatuh Gara-gara Nancy "CORA-ANN!" seru Emily.
"Maaf!" kata Cora-Ann, cepat-cepat mundur. "Aku... kupikir
Jessie ada di dalam. Betul. Aku tak bermaksud mengganggumu."
"Hei, Cora-Ann," tegur Josh ramah dari sofa.
"Apa?" tanya Cora-Ann, seolah-olah tidak mendengar ucapan
Josh. "Oh, hai." Ia melambai.
"Nggak apa-apa, Cora-Ann," Emily menenangkan gadis itu. Ia
sendiri merasa sangat lega.
Ternyata bukan Nancy! "Masuklah," kata Emily pada Cora-Ann. "Kau nggak perlu
kabur." Wajah Cora-Ann memerah. "Oh, nggak usah. Kau mengerti,
kan" Aku nggak mau mengganggu. Mungkin lain kali. Sekali lagi,
maaf..." Ia mundur-mundur terus sampai punggungnya menabrak
tembok. Ia berbalik dan cepat-cepat berlalu.
Josh memberi isyarat agar Emily kembali ke sofa.
Tapi bayangan tentang Nancy yang mengintai di balik pintu"
meskipun ternyata bukan Nancy"membuat Emily tak berminat lagi
untuk bermesra-mesraan dengan kekasihnya.
Dengan lesu ia menjatuhkan diri ke sofa. "Cora-Ann yang
malang," gumamnya. "Aku kasihan sekali padanya. Nasibnya
memang jelek." "Emily, kau kasihan pada setengah dari orang-orang yang
kautemui." "Habis, setengah dari orang-orang yang kutemui semuanya
bersedih hati." Josh memutar bola matanya.
"Aku serius, Josh. Masalah Cora-Ann sungguh berat. Kedua
orangtuanya bertengkar terus. Beberapa minggu terakhir ini Cora-Ann
sering sekali ke sini, sehingga dia praktis tinggal di sini. Ia tak tahan
diam di rumahnya sendiri. Bukankah itu menyedihkan" Awas kalau
kau meledekku lagi!"
Emily bersandar ke sofa, membiarkan lengan Josh yang kekar
melingkari bahunya. Ia menyusupkan wajahnya ke dekat pipi Josh.
"Aku benar-benar suka pada Cora-Ann..."
"Itu bagus," sela Josh.
"Jangan potong ucapanku! Aku tadi mau bilang, aku benarbenar suka pada Cora-Ann, tapi... tingkahnya terlalu dibuat-buat. Dia
begitu ingin menyenangkan setiap orang. Dia nggak bisa santai dan
bersikap wajar." "Malam Minggu nanti," kata Josh. "Kau sibuk?"


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tidak mendengarkan perkataanku," Emily mengomel.
"Coba kupikir sebentar. Malam Minggu. Rasanya aku ada acara
dengan salah satu pacarku."
"Mau pergi ke Red Heat?"
"Red Heat" Dan berdansa sepanjang malam denganmu" Nggak
ah!" "Oke! Nanti kujemput, ya!" kata Josh tak menghiraukan
perkataan Emily. Emily mengantar Josh ke pintu. Acara perpisahan mereka
berlangsung agak panjang. Tapi Emily sama sekali tak keberatan.
Ketika Emily akhirnya naik ke kamarnya, didapatinya Jessie
sedang duduk di depan komputer. "Wah, wah!" seru Emily. "Jessie
Wallner mulai mengerjakan PR pada pukul lima sore" Hebat!"
Jessie memundurkan kursinya sehingga Emily dapat melihat
layar monitor. Ternyata adik tirinya ini sedang main Tetris.
"Wow!" komentar Emily. "Ini baru masuk akal!"
Emily mengambil botol parfumnya dari atas meja rias. Botol itu
sudah kosong, namun harum buah persik dan bunga mawarnya masih
tersisa. Ia menghirupnya dalam-dalam.
"Jangan begitu terus kek," gerutu Jessie.
Emily berpaling. "Apa?"
"Sikapmu yang mabuk kepayang membuatku sebal, tahu."
Jessie menatapnya dengan cermat. "Kau sadar nggak sih, betapa
beru?tungnya kau?" Emily tersenyum lebar. "Sadar dong."
"Hei, apa kau belum bosan pada Josh?" tanya Jessie tiba-tiba,
seakan-akan pikiran itu baru saja muncul dalam kepalanya.
"Barangkali saja kau ingin menikmati pergantian suasana, mencobacoba kencan dengan cowok lain. Aku siap menampung mantanmu
lho!" "Nggak lucu," tukas Emily, memutar bola matanya. Ia paling
sebal kalau Jessie membuat gurauan semacam ini tentang Josh.
Soalnya ia punya perasaan bahwa Jessie tidak bercanda.
Kecemburuan Jessie mulai membuat Emily resah.
"Mau bikin PR Prancis sama-sama?" Emily menawarkan. Ia
sengaja mengganti pokok pembicaraan.
Jessie berdiri, menggeliat, dan menguap. "Nggak usah deh,
trims. Aku mau makan."
Setelah Jessie meninggalkan kamar, Emily berbaring di
kamarnya. Ia senang mendapat kesempatan untuk menyendiri.
Ditutupnya matanya, membayangkan Josh. Kemudian dipaksanya
dirinya untuk mulai mengerjakan PR Prancis itu.
Setelah urusan itu beres, ia beralih ke kalkulus, yang lebih
disukainya. Ketika ia melihat jam di samping tempat tidurnya, ternyata
sudah pukul enam. Bahunya terasa kaku, karena ia menulis sambil
telungkup. Tenggorokannya kering.
"Haus," gumamnya keras-keras.
Ia keluar ke koridor. Pintu kamar Nancy terbuka lebar. Ia
menjulurkan kepalanya ke dalam. "Mau minum?" tanyanya.
Kamar Nancy ternyata kosong. Pandangan Emily terpaku pada
kain putih di dinding. Ia menoleh ke belakang. Hatinya tergoda untuk
menyibakkan kain putih itu.
Jangan ah! Apa-apaan aku ini" ia memarahi dirinya sendiri.
Mematai-matai Nancy nggak bakal membuat kakaknya itu makin
betah di rumah! Emily berbalik dan menuju ke tangga. Ia tiba di puncak tangga
dan berhenti mendadak. Nancy ada di kaki tangga, siap melangkah ke atas.
"Hai," panggil Nancy.
"Hai." Mereka berdua mulai berjalan; yang satu ke atas, yang lain ke
bawah. Nancy membawa kuas lukisnya, bulu-bulunya bersih dan basah
seperti baru dicuci. Nancy berhenti beberapa langkah di bawah Emily.
"Kau tidak masuk ke kamarku, kan?" tanyanya ngotot.
"Masuk" Tidak. Maksudku, aku menjulurkan kepala ke dalam,
tapi..." "Kau melihat muralku?"
"Jelas tidak!" jawab Emily tajam.
Wah! Syukurlah dia tidak jadi mengintip lukisan dinding itu! Ia
tidak biasa berbohong. Nancy pasti langsung tahu kalau perkataannya
tidak benar. "Maaf," kata Nancy, "kelihatannya aku mengada-ada, ya?"
"Nggak. Nggak kok," sahut Emily cepat. Nancy tidak mengadaada. Tebakannya hampir tepat.
"Aku cuma... aku cuma tak ingin lukisan itu dilihat orang
sebelum selesai," Nancy menjelaskan.
"Oke," kata Emily. "Nggak jadi masalah." Mengapa aku merasa
begini canggung" Emily bertanya dalam hati. Mengapa di antara kami
tiba-tiba saja ada ketegangan"
Nancy meneruskan langkahnya.
"Selamat bersenang-senang," ucap Emily saat berpapasan
dengan kakaknya. Emily sedang memandang ke bawah, ke anak tangga yang
dipijaknya. Jadi tatapannya juga tertuju ke kaki Nancy ketika...
Nancy menjulurkan kakinya.
Seperti dalam mimpi, Emily melihat dirinya sendiri jatuh.
Ia tak sempat bertahan. Ia tak sempat meraih susuran tangga. Ia
bahkan tak sempat berteriak.
Emily tersandung kaki Nancy dan jatuh bergulingan ke kaki
tangga. Bab 9 Kecelakaan BAHU Emily membentur tembok. Tangannya tergores susuran
tangga yang terbuat dari besi.
Siku dan lututnya sakit terantuk anak-anak tangga kayu.
Rasa nyeri menjalari seluruh tubuhnya.
Ia terjungkal lagi. Terbentur lagi.
Benturan kali ini membuatnya terengah.
Pandangannya menjadi gelap. Setelah itu semuanya tampak
putih. Apakah sesaat tadi dia pingsan" Apakah cukup lama dia
pingsan" Dia tak tahu. Ketika dia membuka matanya, mencoba menajamkan
penglihatannya sementara kepalanya terasa berdenyut-denyut,
dilihatnya Nancy sedang membungkuk di atasnya. "Emily. Emily.
Emily." Nancy berulang-ulang memanggil namanya dengan berirama.
"Kau... kau..." Emily menutup matanya kembali. Berjuang
untuk berbicara. Berjuang untuk mengatasi rasa sakit yang mendera.
"Emily... apakah aku perlu memanggil ambulans" Kau dengar
aku, tidak" Kau baik-baik saja?"
Emily dapat merasakan tangan Nancy yang diletakkan di atas
bahunya. Lembut tapi kuat, tangan itu menariknya. Menariknya dari
rasa sakit yang membutakan.
"Kau... mencoba membunuhku!" pekik Emily dengan suara
serak yang seakan-akan bukan suaranya sendiri.
"Hah?" Nancy tersentak. Dia kelihatan kaget sekali.
Emily bangkit duduk sambil mengerang. Sadar bahwa dia telah
jatuh dari atas ke bawah. Diusap-usapnya belakang kepalanya untuk
mengurangi sakitnya. "Kau membuatku tersandung. Kau sengaja
menjulurkan kakimu."
"Tidak!" Nancy menjerit dengan panik. Ia melompat bangkit,
mata hijaunya tampak liar. "Tidak! Jangan, Emily! Jangan bilang
begitu!" "Aku melihatnya!" Emily bersikeras. "Aku melihat kakimu..."
"Aku tidak sengaja membuatmu tersandung!" teriak Nancy. "Itu
kecelakaan, Em. Kecelakaan yang mengerikan."
Emily mengerang. Kalau saja ia bisa melenyapkan rasa sakit
ini... Lengan kanannya pedih. Kedua lututnya nyeri.
Ia menggelengkan kepalanya seolah-olah mencoba mengusir
rasa sakit itu. "Aku melihat kakimu, Nancy. Itu bukan kecelakaan."
Nancy berlutut di samping Emily. "Kau tak mengerti. Ini garagara pil-pil itu. Pil-pil yang harus kuminum. Maksudnya untuk
melemaskan otot-ototku, tapi gerakanku malah jadi kaku."
"Hah?" Emily menatap kakaknya lurus-lurus, mencari tahu
apakah Nancy tidak berdusta.
"Gerakanku kaku. Otot-ototku tak terkendali. Gara-gara pil-pil
itu." Nancy menangis terisak-isak. "Aku tahu kau jatuh karena
salahku, Em. Tapi aku tidak sengaja. Itu kecelakaan. Kecelakaan."
Emily hanya mengerang. Denyut jantungnya kembali normal. Ia
mulai merasa lebih enak. Mungkin benar itu kecelakaan.
"Apa perlu kupanggilkan ambulans?" tanya Nancy masih
terisak. "Emily" Aku akan panggil ambulans!"
Emily perlahan-lahan memutar kepalanya ke kiri, kemudian ke
kanan. "Jangan. Tak perlu. Aku..."
Ia menggerakkan sebelah tangannya. Kemudian sebelah lagi.
Tak ada yang patah. Ajaib!
Tapi seluruh tubuhnya memar. Ia mengarahkan pandangannya
ke tangga. Ia tak percaya dirinya telah jatuh dari tempat yang begitu
tinggi. "Ayo, Em," bujuk Nancy sambil mengulurkan tangannya.
"Kutolong kau berdiri."
"Oke." Jawaban Emily hanya berupa bisikan.
Dengan lembut dan hati-hati, Nancy menopang Emily. Emily
berdiri selama beberapa saat, lalu perlahan-lahan membungkuk
dengan tangan di lutut, kepala tunduk, beristirahat. Beberapa jenak
kemudian ia mencoba melangkah. Langkahnya sempoyongan, tapi ia
masih bisa jalan! Emily merasa lega sekali. Ia tak apa-apa.
"Kau yakin aku nggak perlu panggil dokter atau apa?" tanya
Nancy. "Ya," jawab Emily pendek.
Emily merasa bingung. Sebenarnya dia berhak marah atau
tidak" "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Nancy waswas,
sambil mengamati wajah adiknya.
"Baikan. Jauh lebih baik."
Tapi otaknya masih berputar-putar, seakan-akan dia masih
berguling-guling di tangga.
Apakah kejadian tadi benar-benar kecelakaan" ia terus
bertanya-tanya. Apakah Nancy benar-benar tidak sengaja"
Bab 10 Emily Dimusuhi Semua Orang
PETUGAS kantin berseragam putih itu memegang sendok
panjangnya di udara, menunggu keputusan Emily.
"Aku mau sloppy joe saja," kata Emily.
Petugas itu menciduk daging dan saus dan menuangkannya di
atas roti bundar. Ia menyorongkan piring berisi hidangan itu ke arah
Emily. Hm, baunya lezat, pikir Emily. Kebanyakan temannya
membawa bekal makan siang, namun Emily lebih suka makanan
hangat. Emily membawa nampannya dan melayangkan pandangannya
ke seluruh kantin yang ramai itu, mencari Josh. Kekasihnya ternyata
tak ditemukannya. Ia kemudian mencari-cari Jessie. Adik tirinya itu
juga tak tampak batang hidungnya.
Tapi di ujung kantin itu, dengan kepala tertunduk di atas
nampan, siapa itu..."
Cora-Ann. Emily berjalan menghampiri gadis itu. "Mana Jessie?" tanyanya
sambil duduk di seberang Cora-Ann.
Sejenak Cora-Ann menatapnya dengan bengong. Kemudian ia
tersenyum. "Oh, hei. Aku tak tahu, aku tak melihatnya. Mungkin
sembunyi dariku." Ia meringis. "Aku terlalu sering berada di
dekatnya." "Jessie tidak berpikir begitu kok," sahut Emily.
Cora-Ann yang malang. Ia tampak sedih. Matanya agak merah.
"Kau baik-baik saja?" tanya Emily.
"Aku" Oh ya, tentu." Cora-Ann mendesah. "Kau sendiri
gimana?" Emily tak menjawab. Ia terus menatap Cora-Ann.
Keteguhan hati Cora-Ann tak bertahan lama. "Aku kelihatan
kacau ya" Aku tahu. Yah, sebenarnya tak ada apa-apa. Cuma..." Ia
menggosok-gosok mukanya. "Urusan rumah. Kau tahu sendirilah."
"Urusan rumah memang bikin pusing," Emily sependapat.
"Rich berencana untuk membunuhku. Dan aku curiga Nancy sengaja
membuatku jatuh di tangga. Aku jadi ketakutan terus di rumah."
Ia mulai memakan rotinya. Menunggu tanggapan Cora-Ann.
"Hei, kau dengar tidak" Melamun ya?"
Cora-Ann menutupi wajahnya dengan kedua tangannya,
kemudian cepat-cepat menariknya kembali. "Maaf," katanya. "Aku
cuma berpikir... walaupun keluargamu kacau, kau masih punya
keluarga. Sedang aku... ayahku meninggalkan rumah minggu lalu."
Minggu lalu" Kok Jessie nggak pernah cerita"
"Aduh," gumam Emily. "Aku ikut prihatin."
Cora-Ann menarik napas panjang. "Aku belum bilang siapasiapa, bahkan pada Jessie pun tidak. Aku masih berharap Dad akan
kembali." Aku mengerti itu, pikir Emily. Sampai sekarang pun ia masih
berharap ayahnya akan kembali"padahal beliau sudah mati.
"Itu berat sekali," kata Emily. "Aku ikut sedih."
"Kau nggak tahu apa yang kuhadapi," kata Cora-Ann dengan
penuh emosi. "Ibuku sangat terpukul. Itu dapat kupahami, perasaanku
kan juga begitu. Tapi tampaknya Mom sama sekali tak menghiraukan
aku. Rupanya dia lupa bahwa aku masih hidup. Aku seorang diri
menghadapi semua ini. Umurku baru lima belas, tapi aku sudah
sebatang kara." "Yah," kata Emily lembut, "kau kan masih punya kami, CoraAnn."
Emily merasa bersalah, sebab sering ia berharap Cora-Ann
tidak sekerap itu main ke rumahnya. Ia bahkan pernah mengatakan itu
pada Jessie. Semoga saja Jessie tidak menyampaikannya pada CoraAnn.
"Bom susu!" teriak seseorang.
"Siap!" sambut yang lain.
Sebuah kotak susu melayang di atas kepala Emily. Kotak itu
membentur dinding, isinya berhamburan. Terdengar sorak-sorai
menggebu. Dan teriakan-teriakan penuh kemarahan.
"Kayak anak kecil saja," komentar Emily. "Sulit dipercaya
bahwa sebagian dari mereka tahun depan akan masuk college, ya?"
Emily mengangkat pandangannya dan melihat Jessie, di
seberang ruangan, dengan nampan makanan di tangannya.
Emily melambai. Jessie menatapnya, kemudian berpaling seakan-akan tidak
melihatnya. Aneh, pikir Emily. Apakah Jessie marah padaku"
Semoga saja tidak. Aku tak sanggup kalau sekarang harus
menghadapi permusuhan lagi. Kalau minggu depan sih, mungkin aku
sanggup. Setelah makan siang Emily harus mengikuti praktikum kimia.


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena banyak masalah membebani pikirannya, Emily sulit
berkonsentrasi. Rekan kerjanya menjadi tidak sabar, lebih-lebih
setelah Emily memecahkan dua gelas beaker.
Akhirnya bel berdering. Emily bersama teman-teman
sekelasnya berdesak-desakan keluar dari laboratorium.
Ia terkejut ketika Jessie tiba-tiba muncul di depannya.
"Apa yang kaubicarakan dengan Cora-Ann?" tanyanya garang.
Kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Oh, Jessie. Kau membuatku kaget. Kukira kau melihat
lambaianku tadi! Kenapa kau tidak menghampiri kami?"
Lorong di depan kelas-kelas itu semakin padat dan ramai.
Murid-murid berteriak-teriak, membanting pintu locker,
mengeluarkan buku-buku untuk pelajaran berikutnya. Emily hampirhampir tak menangkap perkataan Jessie.
Jessie mencengkeram lengannya. "Aku bilang, apa yang
kaubicarakan dengan Cora-Ann" Setiap kali aku menengok, kalian
berdua sedang asyik. Kayaknya diskusinya serius sekali."
"Kami ngobrol tentang keluarganya," jawab Emily. "Ayah
Cora-Ann meninggalkan rumah." Emily merasa aneh karena ia
membicarakan masalah pribadi Cora-Ann ini dengan suara begitu
keras, tapi kalau tidak, Jessie tak mungkin mendengarnya.
Bel kedua berdering, bunyinya menembus keramaian. Lorong
itu mulai sepi. "Ayahnya meninggalkan rumah?" tanya Jessie heran.
"Cora-Ann nggak bilang apa-apa padaku."
"Aku tahu. Yah, memang begitulah Cora-Ann. Mungkin dia
kepingin meraih Hadiah Nobel untuk sikapnya yang manis. Katanya
dia nggak mau merepotkan kita dengan masalahnya."
"Yeah. Tapi kenapa dia bercerita padamu, bukan padaku?"
tanya Jessie dengan nada tersinggung.
Emily mengangkat bahu. "Kau kan nggak ada di situ."
Jessie memelototinya, kemudian berbalik, menuju ke lockernya. Ia menudingkan jari pada Emily. "Cora-Ann temanku, Emily.
Jangan lupa itu!" Emily mengawasi Jessie yang bergegas menelusuri lorong.
Astaga! pikirnya. Jessie benar-benar cemburu padaku.
Apakah dia juga membenciku"
Jessie. Nancy. Rich. Apakah seluruh keluargaku memusuhiku"
Bab 11 Guntingan di Tengah SEJAK dulu Emily tidak suka pada ruang bawah tanah
rumahnya. Tempat itu dipenuhi sarang labah-labah dan sudut-sudut
yang berdebu. Dia jarang sekali turun ke sana. Tapi pada Sabtu sore,
ia terpaksa menyisihkan keengganannya dan memenuhi ajakan Jessie
serta Cora-Ann untuk main pingpong di ruang bawah tanah.
Belum lama bermain, mereka sudah bosan. Jessie memukul
bola dengan asal-asalan dan menyuruh Butch memungut bola-bola
yang nyasar ke sudut-sudut yang gelap.
"Kau nggak perlu merasa bersalah, Emily," kata Jessie dengan
nada menyindir. Bola yang dipukulnya terlontar jauh lagi. Kali ini
Butch bahkan tidak mau memungutnya. "Hanya karena kau ada
kencan malam ini, sementara aku dan Cora-Ann mendekam di
rumah." Cora-Ann memutar-mutar betnya di meja.
"Hei, jangan muram begitu," katanya pada Jessie. "Satu malam
Minggu kita nggak berkencan. Itu perkara kecil."
Jessie menaikkan alisnya. "Satu malam Minggu?"
"Oke. Dua malam Minggu berturut-turut," Cora-Ann mengakui.
Emily nyaris tak percaya peruntungan Jessie begitu buruk
menyangkut urusan cowok. Mengingat Jessie begitu cantik, mestinya
kan cowok-cowok antre mengajaknya kencan. Tapi nyatanya, satu pun
tak ada yang menelepon. Emily berlutut dan mengamati jigsaw puzzle yang tertinggal di
lantai, dalam keadaan setengah jadi. Gambarnya adalah kincir angin di
Negeri Belanda. Ia berusaha menempatkan sebuah gambar tulip. "Siapa yang
mengerjakan puzzle ini" Kau, Jessie?"
"Bukan aku," jawab Jessie.
"Bukan aku," Cora-Ann menambahkan.
"Pasti Nancy," kata Jessie.
Emily mengarahkan tatapannya ke langit-langit, seakan-akan
takut Nancy sedang ber-sembunyi di tempat gelap dan mengawasinya
secara diam-diam. Beberapa hari ini Nancy lebih sering mengurung
diri di kamarnya. Itu sudah membuat Emily tidak enak. Bayangan
tentang Nancy yang mengerjakan jigsaw puzzle seorang diri di ruang
bawah tanah, membuat Emily ingin menangis.
"Bagaimana kabarnya Nancy sekarang?" tanya Cora-Ann
dengan berbisik. Ia pasti menangkap perasaan Emily. Sejak Nancy kembali dari
rumah sakit, Emily selalu merasa kakaknya memata-matainya,
mendengarkan pembicaraannya, mengikuti gerak-geriknya.
Emily mengangkat bahu. "Oke, kukira. Tapi dia terkurung di
rumah sepanjang hari. Maksudku, dia tak punya teman, dan tak pernah
berkencan." "Ha, itu memang masalah berat," kata Jessie dengan getir.
Pintu ruang bawah tanah berderit membuka. Mereka bertiga
terpaku. "Halo?" panggil Nancy. "Ada orang di situ?"
"Hei!" balas Emily.
Nancy menuruni beberapa anak tangga, kemudian mengintip
dari balik susuran tangga.
"Oh, kalian di situ," katanya. Ia memegang sebuah kotak kecil
gepeng. "Tebak, apa yang kutemukan di pojok lemariku?"
Ia mengguncang-guncang kotak itu. Terdengar bunyi kertakkertuk. "Scrabble!" katanya penuh kemenangan.
Emily mengeluh. Nancy adalah jagoan Scrabble. Dia tahu
hampir semua kata dalam kamus. Sudah lama dia dan Emily tak
pernah main Scrabble, sebab Emily bukan lawan yang seimbang
baginya. "Kalian mau main?" tanya Nancy.
"Emily nggak bisa," jawab Jessie. "Dia ada janji dengan Josh."
Nancy mengerutkan dahi. "Oh, iya. Bagaimana dengan..."
"Aku mau main," kata Cora-Ann.
Cora-Ann dan Emily sama-sama menatap Jessie. Terpojok,
Jessie mengangkat bahu dan berkata, "Oke, aku ikut."
"Nah, begitu dong!" seru Nancy. Ia bergegas menuruni tangga,
sambil mengguncang-guncang kotak itu di atas kepalanya. "Kita akan
main Scrabble!" Ia tertawa dan menari-nari.
Nancy yang malang, pikir Emily. Ia tak percaya ada orang yang
begitu senang hanya karena mau main Scrabble.
"Hei, kalau kau mau, kau bisa ikut acara kami malam ini. CoraAnn sudah menyewa dua kaset video."
Nancy mencengkeram kotak Scrabble itu dengan kedua
tangannya. "Oh, aku senang sekali pulang ke rumah!" teriaknya tibatiba.
"Karena kita akan main Scrabble?" tanya Jessie.
"Percayalah padaku," kata Nancy. "Setelah pengalamanku
selama setahun ini, nonton video dan main Scrabble merupakan
kegiatan yang mengasyikkan!"
Sudah beberapa lama Emily tak pernah lagi berpikir tentang
kehidupan Nancy sewaktu dirawat di rumah sakit jiwa. Sekarang ia
teringat lagi pada hal itu. Tapi setidaknya Nancy bahagia sekarang,
pikirnya menghibur diri. Nancy menyingkirkan majalah-majalah lama yang bertumpuk
di atas meja kopi yang sudah tak terpakai lagi, kemudian mengelap
debu di atasnya dengan tangan telanjang. Ia membuka kotak Scrabble
itu dan mengeluarkan huruf-hurufnya.
"Aku nggak begitu ingat, gimana cara memainkannya," kata
Cora-Ann sambil mengamati tumpukan huruf-huruf itu.
"Jangan kuatir, aku akan mengajarimu," tukas Nancy.
Emily bangkit berdiri. "Yah, rasanya aku mesti siap-siap,"
katanya dengan berat hati. Ia tak suka mengingatkan ketiga gadis di
depannya bahwa ia akan pergi berkencan. Entah mengapa, hal itu
membuatnya merasa bahwa ia mengkhianati mereka.
"Sampai ketemu!" seru Nancy, tanpa mengangkat muka. "Nah,
mula-mula semua hurufnya harus kita balikkan," katanya pada Jessie
dan Cora-Ann. Dengan gesit Nancy mulai menelungkupkan hurufhuruf yang terbuat dari kayu itu.
"Apakah kita sudah boleh membentuk kata?" tanya Jessie, saat
Emily bergegas menuju tangga.
Emily hanya punya waktu sepuluh menit untuk berpakaian.
Tapi itu bukan masalah baginya. Ia sudah tahu baju apa yang hendak
dikenakannya untuk acara dansa di Red Heat.
Gaun hitamnya. Gaun mini hitamnya yang seksi.
Jessie pernah meminjam gaun itu beberapa kali, bahkan pernah
pula memakainya ke Red Heat. Waktu itu dia dan Cora-Ann nekat
pergi ke kelab disko tersebut tanpa teman kencan. Mereka berharap
akan ketemu cowok-cowok di sana. Tentu saja Jessie tampak sangat
memesona dengan gaun mini hitam itu.
Tapi Emily tak mau mencemaskan hal itu. Bagaimanapun juga,
gaun itu miliknya. Dan Josh pacarnya.
Emily membuka pintu kamarnya. Kantong binatu itu masih
tergantung di tempatnya, di bagian dalam lemari pakaiannya. Gaunnya
terkena noda makanan ketika Jessie terakhir kali memakainya, namun
petugas binatu meyakinkan Emily bahwa noda itu dapat dihilangkan.
Emily mengangkat kantong itu dan menempelkannya ke
tubuhnya. Ia senang sekali pada cara pihak binatu membungkus
pakaian-pakaian bersih dengan kantong kertas kaca. Itu membuatnya
merasa seakan-akan ia diberi hadiah besar yang akan dibukanya
dengan hati berdebar-debar.
Emily menarik kertas kaca itu dan melepaskan bajunya dari
gantungan. "Tidak!" serunya ternganga kaget. "Oh, tidaaak!"
Gaun hitamnya telah digunting persis di tengah-tengah.
Bab 12 Kres, Kres EMILY bahkan tak menyadari bahwa dia berteriak, sampai
Jessie, Cora-Ann, dan Nancy semua menerobos masuk ke kamarnya.
"Ada apa" Apa yang terjadi?" tanya Jessie.
"Kami mendengar teriakanmu. Kau menjerit begitu keras
sampai terdengar di ruang bawah tanah," kata Cora-Ann terengahengah. "Kau tak apa-apa?"
Hanya Nancy yang tidak bertanya tentang apa yang telah
terjadi, Emily menyadari.
Mengapa Nancy tidak bertanya"
Karena dia sudah tahu. Tanpa berkata apa-apa, Emily mengacungkan gaun hitamnya. Ia
tak berani membuka mulut, khawatir kalau-kalau akan menjerit lagi.
Atau menangis. Cora-Ann mengembuskan napas panjang. Ia maju ke muka dan
dengan hati-hati mengambil gaun sobek itu. Ia memeriksanya dengan
cermat dan kemudian berkata, "Kurasa, ini akibat mesin pengepres di
binatu." "Apa?" tanya Emily tidak percaya.
"Mesin pengepres. Blusku juga pernah jadi begini. Petugas
binatu memasukkan semua pakaian yang dicuci kering ke dalam
mesin pengepres, dan kadang-kadang..."
"Jadi kaupikir ini bukan kesengajaan?" tanya Emily dengan
suara meninggi. Cora-Ann menatapnya dengan waswas. "Yah, aku..."
"Ini pasti disengaja!" jerit Emily.
"Boleh kulihat?" tanya Nancy, mendekati mereka dan mulai
mengamati gaun itu. Emily menyentakkan gaunnya dari pegangan Nancy. "Kau kan
sudah melihatnya," katanya dengan suara bergetar.
Nancy kelihatan terkejut. "Hah" Tadinya kupikir aku mungkin
dapat menjahitnya." Ia menatap Emily sekilas, kemudian mengalihkan
perhatiannya kembali kepada gaun itu. "Tapi rasanya..." Ia tak
melanjutkan kata-katanya.
Nancy dan tipuan-tipuannya yang licik, pikir Emily dengan
gemas. Mungkin Nancy juga telah menipu para dokter. Mengelabui
mereka sehingga mereka mengira ia sudah sembuh dan
mengizinkannya pulang. Emily menatap kakaknya dengan dingin.
Nancy balas menatapnya. Matanya melebar. "Kaupikir, aku
yang melakukan ini?" Suaranya bergetar.
Emily ingin mengatakan tidak. Ia ingin mengatakan pada Nancy
bahwa ia mempercayainya. Tapi kata-kata itu tak bisa keluar dari
mulutnya. "Apakah kau melakukannya?" tanyanya pelan.
"Mengapa?" Nancy balas bertanya, digigitnya bibirnya.
"Mengapa aku harus merusak bajumu" Coba beritahu aku alasannya!"
"Emily kan tidak bilang bahwa kau yang merusaknya," CoraAnn mencoba menengahi. Diletakkannya tangannya di lengan Nancy.
Nancy menarik tangannya. "Ya, dia bilang begitu! Dia
menuduhku, seperti biasanya."
"Aku nggak bilang apa-apa kok," Emily bersikeras.
Nancy menggeleng-gelengkan kepala dengan getir. "Setiap kau
mendapat masalah, kau selalu menganggap..."
Nancy tak dapat lagi menahan emosinya. Sambil terisak, ia
berbalik dan berlari keluar dari kamar itu. Pintu dibantingnya hingga
menutup. "Em...," Jessie mulai berkata.
Emily tidak menunggu kelanjutannya. Ia bergegas menyusul
Nancy. Ia tak tahan melihat kesedihan Nancy, kalaupun betul
kakaknya itu yang menggunting gaunnya.
Ia mengetuk pintu kamar Nancy.
Tak ada jawaban. "Nancy, ayo dong!" panggilnya. "Aku nggak bilang kau
menggunting bajuku. Sungguh. Aku bahkan nggak berpikir ke situ,"
dustanya. Ia dapat mendengar Nancy bergerak di kamarnya. Kemudian
sunyi. Ia mencoba memutar tombol pintu.
Terkunci. Ia berdiri di muka pintu itu selama beberapa saat, memohon
agar diizinkan masuk. Akhirnya ia menyerah. Di ujung koridor, pintu kamar Rich tampak terbuka. Tumben,
pikir Emily. Ia mendekati kamar itu.
Rich ternyata sedang duduk di lantai, asyik memotong selembar
karton biru dengan gunting besar.
Mata gunting itu berkilat-kilat terkena cahaya.
Rich mengangkat mukanya, membalas tatapan Emily.
Ia tersenyum masam. Kemudian ia mengangkat guntingnya.
"Kres, kres," katanya.
Bab 13 "Aku Akan Mempercayai Nancy"
"KRES, kres," cerita Emily pada ibunya keesokan harinya.
"Rich mengangkat guntingnya seperti ini, dan dia bilang, 'Kres, kres."'
"Cuma itu?" Mrs. Wallner berhenti menggosok kompor yang
memang sudah berkilat. Ditatapnya Emily dengan dahi berkerut. "Dia
nggak bilang apa-apa lagi?"
"Memangnya dia mesti bilang apa lagi?"
"Yah, ancaman atau apa?"
"Oh ya, dia mengancamku. Katanya dia akan menusukku
sebanyak enam kali. Puas?" kata Emily dengan jengkel.


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Emily!" bentak Mrs. Wallner. "Bisa-bisanya kau bergurau
tentang hal semacam ini?"
Emily tidak menjawab. Hari Minggu yang payah, pikirnya dengan merana.
Sementara ibunya membersihkan dapur, Emily duduk di depan
meja dapur sambil mengerjakan teka-teki silang. TTS di koran
Minggu itu cukup sulit. Sejauh ini ia baru bisa mengisi 29 nomor
menurun dan 103 mendatar.
Mrs. Wallner menghela napas. "Aku dan Hugh sangat
mencemaskan Rich. Kau pun tahu itu. Ia anak yang sangat
bermasalah. Kami sedang mencari psikiater yang cocok untuknya.
Tapi..." Selalu saja ada tapi-nya.
"Tapi sementara ini... entahlah. Cobalah berbaik-baik
dengannya, oke" Jangan mencari masalah dengannya. Bisakah kau
melakukan itu?" tanya Mrs. Wallner.
"Yeah, jangan kuatir," sahut Emily. "Semuanya akan beres."
Kenapa jadi aku yang menenangkan ibuku" Bukankah mestinya
sebaliknya" Emily mendengar teriakan-teriakan dari luar. Dialihkannya
pandangannya ke luar jendela kecil di atas bak cuci. Semalam salju
turun, meninggalkan butiran-butiran halus di pohon-pohon dan semaksemak. Emily dapat melihat Cora-Ann dan Jessie yang sedang
mencoba membuat orang-orangan dari salju yang seperti bubuk itu.
"Bagaimana hubunganmu dengan Nancy sekarang?" tanya Mrs.
Wallner. Pertanyaan itu dilontarkannya dengan nada biasa, padahal
Emily tahu ibunya bisa semalaman tidak tidur memikirkan
jawabannya. "Oke," jawab Emily.
"Cuma oke?" Mrs. Wallner mengamati wajah Emily.
"Kurasa aku masih agak takut padanya," Emily mengakui.
"Takut" Pada Nancy?" Mrs. Wallner menunjuk ke jendela
dengan busa pembersihnya. "Coba lihat dia, Emily. Dia senang sekali
pulang ke rumah. Dia benar-benar sudah berubah. Itu kujamin. Kau
tak punya alasan untuk takut pada Nancy."
Emily menatap ke luar jendela. Diawasinya Nancy yang sedang
berjalan-jalan sendirian di halaman, terbungkus rapat dalam mantel
merahnya. Tiba-tiba Emily merasa sangat iba pada kakaknya.
Mengapa Nancy tidak bermain dengan Jessie dan Cora-Ann" Dan
mengapa mereka tidak mengajaknya"
"Emily." Dia berbalik. Wajah ibunya tampak begitu serius dan terluka.
Ekspesi seperti ini selalu membuat Emily tak tega, dan ia akan
mengabulkan apa pun permintaan ibunya.
"Apa?" "Ingat percakapan kita dulu" Pada hari Nancy pulang" Waktu
itu kau berjanji..."
"Aku tahu." Tolong jangan tatap aku dengan pandangan seperti
itu, tanpa suara ia memohon kepada ibunya.
"Aku berharap padamu, Emily. Hanya kau yang dapat
kuandalkan untuk menolong Nancy. Tolonglah dia menjadi dirinya
yang dulu lagi. Nancy... dia paling sayang padamu, kan?"
Tenggorokan Emily serasa tersumbat. Selalu begitu, bila ibunya
mulai memohon-mohon begini.
"Itu tidak benar," ia bisa juga berkata.
Paling sayang padaku" Itukah sebabnya Nancy mencoba
membunuhku" "Emily, aku kenal betul pada Nancy. Aku tahu dia pasti
menyesal sekali atas apa yang hampir dilakukannya terhadapmu."
Hampir" pikir Emily. Banyak kejahatan yang telah dilakukan
Nancy terhadapnya, bukan cuma hampir.
"Nancy pasti tak sanggup memaafkan dirinya sendiri," lanjut
ibu Emily, "tapi kalau kau mau memaafkannya, dia akan..."
"Oh, bagus," tukas Emily. "Jadi sekarang semuanya tergantung
padaku?" Ibunya membuang pandang. Emily menatap ke luar jendela lagi. Nancy tidak tampak. Emily
menunggu. Akhirnya Nancy muncul kembali. Ia berjalan keluar
garasi, membawa kotak perkakas milik ayah tiri mereka.
Aneh, pikir Emily. Kecurigaannya timbul. Nancy benar, pikirnya. Apa pun yang
dilakukannya, aku selalu curiga padanya. Selalu.
Emily bangkit dari meja. "Aku sudah bilang pada Nancy bahwa
aku memaafkannya, Mom. Tapi dia tak percaya."
Mrs. Wallner mengangguk. "Itu karena perasaannya sangat
halus. Dia takkan percaya bila kau tak bersungguh-sungguh, Em."
Emily memasukkan tangannya ke dalam kantong depan celana
montirnya. Dengan kaki telanjang ia mulai menggoyang-goyangkan
tubuhnya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan perkataan ibunya
barusan. Ibunya memang paling pandai melontarkan komentar-komentar
yang menyakitkan telinga dan menusuk hati. Tapi, apakah dia benar"
Apakah Emily belum sungguh-sungguh memaafkan Nancy"
Sampai sepuluh menit kemudian Emily masih merenungkan
pertanyaan itu. Dia berjalan-jalan di luar bersama Butch, setelah
mengenakan jaketnya. Butch berlari-lari dengan penuh semangat,
mengendus-endus ke mana-mana, mencari sisa-sisa baunya sendiri di
bawah lapisan es. Ketika melihat Jessie dan Cora-Ann, Butch langsung melesat
menghampiri mereka. Kupingnya yang kecil mengelepak. Jessie dan
Cora-Ann telah berhasil membuat orang-orangan salju. Mereka
melambaikan tangan memanggil Emily. Emily menolak dengan
lambaian tangan juga. Ia berniat mencari Nancy.
Emily melihat Nancy berjalan keluar dari hutan yang
membatasi halaman belakang. Tudung mantelnya terbuka dan rambut
merahnya berkilauan tertimpa sinar matahari. Kedua pipinya merah
matang seperti pipi Santa Klaus.
Emily seperti melihat bayangan masa lalu. Bayangan Nancy
yang dulu. Emily bergegas menyongsong Nancy, mendadak saja merasa
bergairah. "Hei!" sapa Nancy.
"Hei!" balasnya.
Mereka bertukar senyum. Nancy berbalik dan mengayunkan
kotak perkakasnya ke arah hutan. "Aku membetulkan rumah pohon
kita. Anak tangganya ada yang lepas."
"Kau sudah membetulkannya" Hebat!"
Wajah Nancy memancarkan keheranan. "Kenapa kau begitu
bergairah?" "Yah, aku lagi senang saja."
Nancy tertawa dan mengusap-usap ubun-ubun Emily. "Tolol
ah." Emily menarik tangan Nancy, kemudian mereka berdua
bergelut, atau bisa juga dikatakan berangkulan.
"Hei, kukira kau akan menemui Josh," kata Nancy, mengelap
hidungnya dengan punggung tangan.
"Sebentar lagi," jawab Emily.
"Sampaikan salamku padanya, ya."
Emily mengamati wajah Nancy, menyelidiki kalau-kalau Nancy
mengejeknya. Tapi wajah Nancy tampak biasa-biasa saja.
Mom benar, pikir Emily. Nancy kelihatannya sudah jauh lebih
rileks. Ia juga tampak begitu bahagia, sehingga Emily nyaris berhasil
membuat dirinya sendiri percaya bahwa semua peristiwa mengerikan
itu tak pernah terjadi. Dan pada saat itu juga, Emily bersumpah dalam hati.
Aku akan mempercayai Nancy! Aku tak akan menuduhnya lagi,
baik secara langsung maupun hanya dalam hati.
Nancy berdiri mengawasi Jessie dan Cora-Ann yang sedang
menyempurnakan orang-orangan salju mereka.
"Yo, Wallner!" Nancy berteriak memanggil Jessie. "Manusia
saljumu itu sangat menyedihkan."
Jessie mengangkat muka, terkejut. Begitu pula Cora-Ann.
Bahkan Butch menolehkan kepala.
"Kaukira kau dan Emily bisa membuat yang lebih bagus?"
tantang Jessie. "Sambil merem pun bisa," sahut Nancy enteng. Ia dan Emily
mulai berjalan ke arah kedua gadis itu, sepatu bot mereka berdecitdecit di atas lapisan salju tipis.
"Itu bukan manusia salju," goda Emily ketika sudah agak dekat.
"Itu lebih cocok disebut ulat salju."
"Saljunya terlalu tipis," kilah Cora-Ann. Ia meraup salju dengan
sarung tangannya dan menunjukkannya pada mereka.
"Coba lihat saljunya bisa lengket, nggak," kata Emily, mulai
membuat sebuah bola salju.
"Awas, Cora-Ann!" Jessie memperingatkan, mata birunya
bersinar-sinar. Emily melemparkan bola salju itu ke arah Cora-Ann. Bola itu
hancur menjadi bubuk-bubuk halus.
Jessie bergegas meraih sekop. Ia mendorong sekop itu di
sepanjang halaman, mengumpulkan setumpuk besar salju. Kemudian
tumpukan salju itu ditumpahkannya ke tubuh Nancy.
Nancy memekik-mekik dengan gembira. Emily balas
menyerang Jessie dari belakang. Akhirnya mereka bertiga bergulingan
di salju, rambut mereka menjadi putih akibat salju yang menempel.
Butch menyalak keras-keras, meningkahi jeritan dan derai tawa
gadis-gadis itu. Mereka berhenti main timpuk-timpukan salju, dan
mulai melemparkan bola-bola salju ke udara. Dengan asyik mereka
mengawasi bola-bola itu hancur dan turun kembali menjadi serbukserbuk halus.
Wajah Mrs. Wallner muncul di jendela dapur. Ia tampak heran
sekaligus senang. Semua orang menjerit, melompat, dan melambai. Sambil
tertawa cekikikan, mereka menjatuhkan diri ke tanah dan mulai
membuat malaikat-malaikat salju.
Emily takjub dan kagum melihat keadaan mereka saat itu.
Mereka benar-benar senang.
*********** Pada pukul enam barulah Emily bersiap-siap meninggalkan
rumah untuk menemui Josh. Masih dalam suasana hati riang setelah
perang salju barusan, Emily menuju ke garasi.
Di luar ternyata sangat gelap. Langit kelam tak berbintang.
Emily menggigil, napasnya menimbulkan asap di depannya.
Setelah berbelok di sudut, barulah Emily teringat bahwa lampu
garasi yang tadi telah dinyalakannya dari dalam rumah, bohlamnya
rusak. Garasi itu tampak mengerikan dalam kegelapan. Emily merabaraba, mencari pegangan pintu garasi. Ketika logam dingin itu
ditemukannya, ia menyentakkannya ke atas, dan pintu mulai terbuka.
Suara logam beradu dengan logam memecahkan keheningan malam.
Seandainya Emily disuruh memilih, tempat mana yang paling
membangkitkan bulu roma di rumah keluarga Wallner, ia pasti
memilih garasi. Garasi ini bahkan jauh lebih menyeramkan daripada
ruang bawah tanah atau ruang bawah atap. Setiap kali membuka
pintunya, Emily merasa seolah-olah sedang membuka pintu sebuah
kuburan raksasa. Mata Emily membiasakan diri dengan kegelapan di dalam
garasi. Bayangan-bayangan aneh terpantul di sepanjang dinding.
Sekop, kereta salju, katanya pada diri sendiri. Tak ada yang
perlu ditakutkan. Tapi kenapa ia merasa yakin ada sesuatu yang akan
menerkamnya" Dengan tangan gemetar Emily berusaha memasukkan kunci ke
pintu mobilnya. Akhirnya pintu itu berhasil dibukanya. Lampu di langit-langit
mobil menyala. ebukulawas.blogspot.com
Emily segera mengambil tempat di belakang kemudi. Jok kulit
yang didudukinya terasa dingin dan keras.
Emily memundurkan mobilnya ke luar garasi.
Setelah meninggalkan halaman, diinjaknya pedal gas dalamdalam. Ia ingin cepat sampai di rumah Josh.
Melewati hutan Fear Street, jalanan agak menikung. Mobil
Emily oleng ketika ia mengikuti belokan itu.
Emily mengencangkan pegangannya pada setir.
Ia melihat ke bawah sejenak dan mengecek spedometer.
Jarumnya menunjukkan angka 90. Aku harus memperlambat
kecepatan mobilku, ia menegur dirinya sendiri. Batas kecepatan
maksimal di jalan ini adalah 60 kilometer per jam, dan itu batas
kecepatan pada saat cuaca baik.
Dengan lembut diinjaknya pedal rem, bermaksud mengurangi
kecepatannya secara bertahap.
Tapi mobilnya sama sekali tidak melambat.
Emily menginjak rem dengan lebih keras.
Mobilnya terus saja melaju.
Emily menelan ludah, tangannya semakin erat mencengkam
kemudi. Ini tak mungkin terjadi padaku, pikir Emily dengan rasa panik
yang tiba-tiba timbul. Tidak. Jangan...! Ia menahan napas. Pedal rem diinjaknya dalam-dalam.
Pedal rem diinjaknya sampai habis.
Injak. Lepas. Injak. Lepas. Itu dilakukannya berkali-kali.
Mobil terus melaju kencang.
Remnya blong, pikir Emily dengan ngeri. Remnya blong.
Aku akan mati. Bab 14 Reparasi Mobil REMNYA blong. Remnya blong.
Emily berteriak panik ketika mobilnya oleng di belokan berikut.
Ia memutar kemudi sekuat-kuatnya, berusaha menguasai laju
mobilnya. Tapi mobil itu menggelincir di atas jalanan yang licin.
Remnya blong. Remnya blong!
Bunyi klakson yang sangat keras menenggelamkan pekikannya.
Kaca depan mobilnya dipenuhi sinar putih. Lampu depan
sebuah truk. Emily memutar kemudi sementara truk itu menderum-derum ke
arahnya. Terlambat! Remnya blong. Remnya blong!
Angin dingin menerpa Emily ketika truk itu lewat di samping
mobilnya. Hampir saja! Tapi mobilnya kemudian selip ke luar jalanan. Terus naik ke
atas bukit. Ke lapangan rumput.
Emily melihat batang pohon itu dalam cahaya lampu besarnya.
Kepalanya tersentak ke belakang. Ia melihat batang pohon itu
bertumbukan dengan kaca depannya. Ia mendengar bunyi sobekan
logam. Pecahan kaca. Remnya blong! Remnya blong!
Itulah pikiran terakhirnya sebelum ia kehilangan kesadarannya.
********** "...Hasilnya negatif, Mister Wallner..."
Suara wanita. Suara pria. Suara wanita lagi.
Suara-suara lain. Hanya sayup-sayup didengarnya. Suara


Fear Street - Adik Tiri Ii The Stepsister Ii di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah kaki yang teredam. Suara ban berdecit pelan di atas lantai
berlapis lilin. Sulit untuk mendengar semua itu karena suara palu yang terus
memukuli kepalanya. Emily membuka matanya. Pandangannya menyapu langit-langit
yang bercat putih. Ia menoleh, dan langsung mengernyit kesakitan.
Ia ternyata sedang berbaring di ranjang. Ketika ia menoleh ke
samping, dilihatnya jeruji-jeruji tebal memagari ranjangnya,
membuatnya tampak seperti penjara mini. Di balik jeruji tebal itu, di
atas tiang penyangga, terdapat kantong berisi cairan.
Kantong infus" Kalau begitu, dia ada di rumah sakit.
Dengan pandangannya Emily menelusuri slang putih yang
berawal dari kantong infus itu. Ke bawah... dan terus ke bawah. Ia
takut slang itu berhubungan dengan tubuhnya.
Ternyata tidak. Slang itu berakhir di lantai. Infus tersebut tidak
dipasangkan padanya. Emily bangkit duduk sambil mengerang.
Ia sendirian di sebuah kamar sempit di rumah sakit. Pintunya
terbuka. Di koridor di luar kamarnya tampak sepasang kaki, dibalut
oleh celana korduroi cokelat yang dikenalnya"Mr. Wallner. Ayah
tirinya itu sedang bicara dengan seseorang yang mengenakan labjas
putih. "EEG-nya juga normal, Mr. Wallner."
Emily mendengar ayah tirinya menghela napas lega. "Itu kabar
yang sangat baik. Terima kasih, Dokter."
Apakah mereka membicarakan aku" pikir Emily dengan kepala
masih pusing. Bayangan pohon besar itu tiba-tiba muncul kembali dalam
ingatannya. Batangnya yang kokoh dan kehitaman memukul kaca
depan mobilnya. Bayangan, yang muncul berikutnya membuat Emily merinding.
Nancy. Nancy membawa kotak perkakas.
Nancy mengotak-atik rem! "Hei, dia sudah sadar!" seru Mr. Wallner, bergegas masuk ke
kamar. "Dad, kita harus bicara," kata Emily dengan gigi
bergemeletukan. "Kata Dr. Sorenson, kepalamu tak cedera! Nah, kau senang,
tidak?" Mr. Wallner mengedipkan mata.
"Kubilang kita harus bicara, Dad. Tolong dengarkan dong."
"Mereka bilang kau sudah boleh pulang, Em, kalau kau merasa
sudah cukup kuat." "Dad, dengar!" teriak Emily.
Mr. Wallner duduk di kursi vinil merah di samping ranjang
Emily. Dengan gelisah diusap-usapnya kepalanya yang botak. Ia
menatap Emily, menunggu. "Ada apa" Ada masalah apa?"
"Apakah yang lain ada di sini?" tanya Emily dengan suara lirih,
seakan-akan takut Nancy sedang menguping di depan pintu.
"Yang lain siapa" Ibumu" Jessie?"
"Bukan! Nancy."
"Oh. Tidak, mereka tak ada di sini. Ibumu mengajak Jessie dan
Nancy pergi nonton, jadi hanya aku yang ada di rumah ketika rumah
sakit menelepon. Aku sudah meninggalkan surat untuk ibumu.
Kukatakan kau mendapat kecelakaan." Mr. Wallner menggelengkan
kepala mengingat kejadian tadi. "Wah, berita yang disampaikan pihak
rumah sakit benar-benar mengerikan."
"Dad...," kata Emily.
Tapi kemudian ia berhenti. Ia merasa bimbang. Haruskah ia
mengungkapkan kecurigaannya kepada ayah tirinya" Ia tahu kedua
orangtuanya tak suka kalau ia mengatakan yang jelek-jelek tentang
Nancy. Dan sebelumnya Emily pernah keliru menuduh Nancy.
Tapi benarkah ia keliru"
Untuk mengulur waktu, ia bertanya, "Bagaimana keadaan
mobilnya?" Mr. Wallner menggeleng. "Itukah yang kaukuatirkan" Sayang
aku tak dapat memberimu kabar baik tentang itu. Menurut polisi,
mobilnya rusak berat." Ia mendesah. "Polisi bilang kalau kita melihat
mobil itu, kita tak bakal percaya bahwa kau selamat dari... dari..."
Suaranya tercekat. Air matanya menggenang. Emily menatap ayah tirinya dengan perasaan terguncang. Ia tak
pernah menyadari bahwa pria itu begitu sayang padanya.
"Yah," kata Mr. Wallner sambil berdiri, "kurasa kita harus..."
"Nancy yang melakukannya," kata Emily tanpa berpikir lagi.
Mr. Wallner ternganga. "Kau ini ngomong apa" Nancy
melakukan apa?" "Nancy mencoba membunuhku. Ia mengotak-atik rem.
Mengendurkan atau mungkin memotongnya. Atau entah diapakan
lagi. Pokoknya Nancy yang melakukannya."
"Emily..." Mr. Wallner mengepalkan tangannya. "Kau tahu
bagaimana perasaan ibumu dan aku tentang tuduhan-tuduhan terhadap
Nancy. Kita tak boleh sembarangan menuduhnya hanya karena..."
"Aku melihatnya keluar dari garasi dengan membawa kotak
perkakas. Katanya dia mau memperbaiki rumah pohon. Kakakku mau
membunuhku, Dad. Dia tak akan berhenti berusaha sebelum aku mati.
Dad harus menolongku. Dad harus..."
Mr. Wallner memegang lengan Emily, dengan lembut
membaringkannya kembali. Ia menatap ke arah pintu, seolah-olah
berharap perawat akan datang mengganggu mereka.
"Emily," katanya pelan. "Yang bersalah bukan Nancy. Tapi
aku." Mr. Wallner menatap Emily tanpa berkedip, menantikan
reaksinya. Mulut Emily ternganga. Ayah tirinya" Mr. Wallner
mencoba membunuhnya" "Dad"! Dad yang mengendurkan rem?"
"Apa" Oh, tidak. Maksudku, kecelakaan itu. Aku yang bersalah.
Sudah berminggu-minggu aku merasa, rem mobil itu kurang beres.
Aku berniat membawanya ke bengkel. Tapi aku begitu dicemaskan
oleh urusan pabrik dan pulangnya Nancy, sehingga masalah rem itu
belum sempat kutangani."
"Dad, sudahlah!" teriak Emily dengan berang, membuat ayah
tirinya terkejut. "Jangan menutup-nutupi kesalahan Nancy! Nancy
yang melakukannya. Aku tahu!"
Mr. Wallner menggeleng-geleng. "Itu tak masuk akal, Em.
Kalaupun Nancy mau melakukannya, bagaimana dia bisa" Bagaimana
dia bisa merusak rem sebuah mobil?"
Rasa dingin menjalari sekujur tubuh Emily. "Reparasi mobil,"
gumamnya. "Apa?" "Nancy bilang, dia pernah ikut kursus reparasi mobil. Di rumah
sakit." "Emily," Mr. Wallner berkata lembut, "kau mulai membuatku
cemas. Jangan-jangan kepalamu ternyata cedera juga."
Ya ampun! Emily merutuk dalam hati. Mereka sama sekali tak
mau mendengarkan pendapatku. Dengan cara apa aku harus membuat
mereka percaya" "Ayolah," bujuk Mr. Wallner. "Mari kita pulang."
Saat ayah tirinya menolongnya bangkit dari tempat tidur, Emily
berkata, "Aku mau minta tolong. Kalau nanti Nancy berhasil
membunuhku, hukum dia, ya. Larang saja dia keluar rumah selama
beberapa minggu." "Emily...," Mr. Wallner mulai berkata. Wajahnya tampak begitu
terluka sehingga Emily langsung menyesal.
Sebagian besar lampu telah dimatikan ketika mereka berdua
tiba di rumah. Mr. Wallner menuntun Emily melintasi halaman yang
licin. Ketika mereka masuk ke rumah, Rich baru keluar dari dapur. Ia
membawa es krim dan memakannya langsung dari kotaknya.
"Kau harus pakai piring, Mister," tegur Mr. Wallner dengan
keras. "Berapa kali aku harus memberitahumu?"
Rich memutar tubuh dan kembali ke dapur.
Mr. Wallner meneriakinya, "Kau ini benar-benar tak tahu
aturan! Kakakmu baru saja mendapat kecelakaan, masa kau sama
sekali tak menanyakan keadaannya?"
Rich menjulurkan kepalanya dari balik pintu dapur. "Kuharap
kau baik-baik saja," katanya asal bunyi.
********** Ada orang yang sedang menangis.
Isakan yang teredam dan sangat memilukan.
Aku mimpi, kata Emily pada dirinya sendiri. Aku mimpi ada
orang yang sedang menangis. Jangan bangun. Aku perlu tidur.
Tangisan berikutnya terdengar lebih keras dan lebih lama.
Emily jadi benar-benar terjaga.
Ia membuka matanya dan menerawang dalam kegelapan.
Di mana aku" ia bertanya-tanya. Rumah sakit" Rumah"
Berangsur-angsur pikirannya menjadi jernih. Malam ini malam
Rabu. Dua malam setelah mobilnya menabrak pohon.
Dia ada di rumah. Dia aman.
Suara tangis kembali mengganggunya.
"Jessie?" bisiknya.
Ia berbalik, menghadap ke arah suara itu.
"Jessie" Ada apa" Kau kenapa?"
Bab 15 Mimpi Buruk Lagi DENGAN meraba-raba Emily menyalakan lampu kecil di
samping tempat tidurnya. Jessie ternyata sedang duduk di ranjangnya, sebelah tangannya
menutupi wajahnya. "Matikan lampu itu!" perintahnya. Lalu dengan
memelas, "Tolong ya."
Emily menuruti permintaannya.
"Kau kenapa?" ia mengulangi pertanyaannya.
"Nggak apa-apa. Aku hanya... merasa begitu bersalah!"
"Bersalah tentang apa?" bisik Emily.
"Tentang Jolie," jawab Jessie sambil menangis lagi.
Emily kembali menyalakan lampu. Kali ini Jessie tidak
memprotes. "Kau mimpi buruk lagi tentang Jolie?"
Jessie mengangguk. "Pada hari yang sama waktu dia mati
dalam acara perkemahan itu... aku sedang berpikir, Jolie, kuharap kau
mati! Itu yang kupikirkan, Emily."
"Jessie..." "Apa?" "Memikirkan hal yang jelek-jelek tentang orang lain itu wajar,
Jessie. Semua orang juga melakukannya. Bukan kau yang
menyebabkan Jolie mendapat kecelakaan. Kau tak bisa menyalahkan
dirimu sendiri, hanya karena pikiranmu jelek."
Jessie membersit hidungnya. "Trims, Em," katanya.
"Kau tahu," Emily melanjutkan, "kadang-kadang aku pun
merasa bersalah. Kadang kupikir, mestinya aku bisa menyelamatkan
ayahku sebelum dia mati tenggelam. Tapi kemudian aku sadar bahwa
itu tidak benar. Kita berdua, Jessie, harus belajar untuk bersikap lunak
pada diri kita sendiri."
Jessie menatap Emily, butir-butir air mata berkilauan di pipinya
yang pucat. "Kau... kau kakak yang hebat," ucapnya terbata-bata.
"Kau juga adik yang hebat," balas Emily lembut. "Mim...
mimpimu itu seperti dulu-dulu juga?"
Jessie mengangguk. Ia sudah begitu sering menceritakan
mimpinya itu pada Emily sehingga Emily dapat membayangkan setiap
adegannya. Jolie jatuh dari tebing dengan gerakan lambat, kedua
lengannya terkembang di udara. Jessie terjebak di tengah hutan yang
gelap. Jessie dikepung makhluk-makhluk aneh.
Bulu kuduk Emily meremang. "Apakah menurutmu mimpi
buruk itu menular?" "Hah" Apa maksudmu?"
"Entahlah, tapi aku kok merasa mimpi burukmu bakal
kuimpikan bersama mimpi burukku sendiri."
Jessie menunduk. "Maaf, aku membuatmu terbangun. Aku
sudah mencoba untuk tidak berisik, tapi perasaanku kacau sekali.
Maksudku, aku tak percaya aku mulai bermimpi buruk lagi."
Jessie menatap Emily dengan waswas. "Kau mau kan
mendengarkan unek-unekku?"
"Yah," Emily mulai berkata. "Santai sajalah..."
"Aku berbaring di sini dengan putus asa," tukas Jessie. "Aku
merasa mimpi buruk ini takkan pernah berlalu. Aku akan terus
dihantuinya sepanjang hidupku. Kau mengerti?"
"Jelas. Aku pun mengalami hal yang sama."
"Ya. Kau mengerti hal ini lebih dari orang-orang lain.
Kemudian... aku mulai mengenang banyak hal tentang Jolie. Kami
berdua begitu akrab. Sampai cowok itu datang dan kami
memperebutkannya." Jessie terdiam sesaat. Kemudian ia melompat bangkit,
menyeberangi kamar, dan membuka laci pertama meja rias. Ia
menggapai-gapai dan akhirnya menarik keluar sebuah kotak cerutu.
Emily tak pernah melihat kotak itu.
"Hei, kau kan tak berniat mengisap cerutu di sini?" tanya Emily
waswas. "Hah?" Jessie memandang Emily, kemudian melihat kotak di
tangannya. Ia tersenyum. Dilepasnya karet yang mengikat kotak itu,
kemudian diambilnya sesuatu dari dalamnya.
"Aku tak pernah memperlihatkan ini padamu," katanya,
mengacungkan sebuah foto Polaroid. Ia duduk di samping Emily dan
mengamati foto tersebut. Akhirnya ia memberikannya kepada Emily.
"Ini," katanya pelan. "Ini Jolie."
Emily menerima foto itu dan mendekatkannya ke lampu.
Kemudian ia berseru tertahan saking kaget-nya.
"Kenapa?" tanya Jessie khawatir. "Apa yang salah?"
"Jessie!" seru Emily. "Apa kau tak sadar Jolie serupa dengan
siapa?" Bab l6 Mulutnya Terkunci "SIAPA?" desak Jessie, mengintip foto itu dari balik bahu
Emily. "Cora-Ann!" "Masa?" Jessie merebut foto itu dan memperhatikannya baikbaik. "Wow. Aku kok tak pernah melihat kemiripannya."
Kisah Sepasang Rajawali 32 Makam Bunga Mawar Karya Opa Hina Kelana 34
^