Pencarian

Kamar Rahasia 2

Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom Bagian 2


"Kita harus memasang tirai," ujar ibunya, memicingkan mata.
"Lea, kau mau tukar tempat denganku" Kau duduk menghadap
matahari." "Mungkin ada seekor atau dua ekor tupai di atas," hibur
ayahnya, mendekatkan mangkuk sereal ke mulutnya dan menuangkan
susu yang tersisa. "Jangan terlalu ketakutan," bujuk ibunya, memetik anggur.
"Sampai memanggil polisi."
"Yeah, menakutkan sekali, sih," lamun Lea.
Ia sudah memutuskan untuk tidak menceritakan darah yang
mengalir di pintu. Lebih-lebih karena darah yang menetes di pintu itu
ternyata tidak ada. Cukup Deena yang mengira ia sinting. Ia tidak
ingin membuat orangtuanya cemas.
"Mungkin tupai. Atau musang," ujar ayahnya sambil menghirup
kopi. Ketika menjauhkan cangkirnya, kumisnya tampak basah.
Bagaimana Dad bisa tahan berkumis" pikir Lea sembari
memperhatikan ayahnya yang mengusap kumisnya dengan tisu.
"Bagaimana caranya musang bisa masuk ke sana?" tanya Lea.
"Mereka kan ahli," jawab Dad. "Mereka bisa masuk kapan pun
mereka mau. Kau pernah mengamati kaki musang?"
"Tidak," sahut Lea, tertawa.
"Mereka tangkas sekali." Tangan Dad yang besar itu siap
menerkam, menirukan cakar musang.
"Mungkin juga," ujar Lea, lalu minum jus jeruk. "Yeah. Kok
kental." Wajahnya mengerut keasaman.
"Maaf," kata ibunya cepat. "Aku lupa bahwa kau tidak suka jus
yang kental. Swalayan di sini lain. Aku tidak berhasil menemukan jus
kesukaanmu." "Tidak apa," kata Lea. Dengan hati-hati ia meneruskan minum
jusnya. "Nanti aku akan memeriksa loteng," ujar Mr. Carson. "Tapi
mulai sekarang, kalau mendengar suara-suara itu lagi, abaikanlah,
oke?" Ia tersenyum pada Lea. "Jangan panik. Itu semboyan kita, kan?"
"Betul," sahut Lea, kembali membayangkan darah yang
mengalir di pintu. Seram sekali mimpi itu! "Waktunya bekerja," kata Mom, melihat jam di tungku dapur.
"Hari ini kami akan membereskan kamar mandi bawah." Orangtua
Lea segera bangkit, lalu buru-buru keluar dari dapur.
Lea masih tetap tinggal di meja, menyeret kursi untuk
menghalangi sinar matahari. "Jangan panik," ujarnya keras-keras,
menirukan ayahnya. "Mudah bilang begitu."
*********************** Malam itu Lea duduk di meja belajarnya, sulit sekali memahami
bab tentang pemerintahan yang tidak selesai-selesai dibacanya. Tak
dihiraukannya lagi suara langkah kaki di atasnya.
Malam berikutnya Lea berbaring di tempat tidur, mengenang
Don Jacobs. Ia memaksa dirinya untuk mengabaikan suara-suara itu.
Srek srek srek. Lalu berbalik ke arah berlawanan. Srek srek
srek. Seperti yang dijanjikannya, Mr. Carson memeriksa loteng, lalu
turun lagi. "Kulihat beberapa kelinci berdebu di atas," katanya,
tersenyum. "Kelinci-kelinci itulah mungkin si biang keributan."
"Tapi tadi malam suara itu terdengar lagi," protes Lea. "Keras
sekali. Seperti drum dipukul. Atau seperti langkah-langkah kaki."
Dad menggaruk kepala, mengerutkan wajah, berpikir. "Bisa jadi
ada genteng yang melorot. Akan kuperiksa atap rumah ini dalam
minggu-minggu ini." Lea memusatkan perhatian pada pekerjaan rumahnya, tidak
memedulikan suara-suara itu. Tengah malam, ia berbaring di tempat
tidur, memandang sinar bulan dari balik tirai yang baru dipasang
ibunya. Kembali ia mendengar suara dari atas, seperti ada orang
berbicara lirih, tepat di atas kepalanya.
Jangan pedulikan, hardiknya. Suara-suara itu menghilang.
Malam berikutnya, ia bermimpi tentang kamar di loteng.
Dalam mimpinya, ia berada di tempat tidur, tak bisa tidur
karena mendengar suara langkah-langkah kaki yang keras dan terusmenerus di plafon. Ia membuka mata, lalu memandang plafon. Lampu
kuningan bergetar. Seluruh kamar ikut bergetar karena kekuatan
langkah- langkah kaki itu.
Tempat tidurnya meluncur ke seberang kamar dan ia melompat,
lalu lari keluar kamar dengan masih berpiama. Di luar kamar dingin
sekali. Ia naik tangga yang menuju loteng. Ia merasa takut sekali,
bukan ketakutan yang biasa, tapi ketakutan yang amat mencekam,
melemahkan otot-ototnya, melumpuhkan pikirannya"ketakutan yang
cuma ada dalam mimpi. Loteng itu gelap dan dingin. Ketika ia menekan tombol lampu,
loteng bertambah gelap. Ia merangkak menuju pintu yang terkunci.
Saat itulah ia tersadar bahwa itu cuma mimpi. Ia ingin bangun. Ia
berusaha bangun. Tapi tak bisa. Ia tak mampu menghindari peristiwa berikutnya.
Ia mendengar suara dari balik pintu. Suara seorang gadis, lirih
dan ketakutan, terdengar samar-samar.
Lea menguping di pintu, mendengarkan suara itu, lalu ia mulai
mencopot papan kokoh, palang pintu. Anehnya palang pintu itu bisa
dengan mudah dicopot, seolah-olah terbuat dari kardus, lalu terbang
melayang. Lea ragu-ragu, lalu memegang tombol pintu. Uh, panas sekali!
Ia menjerit dan menyentakkan tangannya yang terluka.
Aku harus bangun, pikirnya.
Tolong... biarkan aku terbangun dari mimpi.
Di luar kemauannya, tangannya kembali memegang tombol
pintu dan, tak peduli pada panasnya yang membakar, ia memutar
tombol itu, lalu mendorong pintu hingga terbuka.
Lea mengintip ke dalam kamar yang mungil. Lampu di dalam
kamar itu amat menyilaukan. Ada orang di kamar. Tapi Lea tidak tahu
siapa dia. Lampu itu terlalu menyilaukan. Ia harus menudungi
matanya. Seseorang menghampirinya, keluar dari cahaya, sosok yang
gelap dan tanpa tubuh. "Siapa kau?" tanya Lea.
Tanpa melihatnya pun Lea segera tahu siapa dia"sesuatu yang
mengerikan. Sesuatu yang menyeramkan. Makhluk jahat yang
menantikan kebebasannya. "Siapa kau?" ulangnya, mengangkat tangannya, seakan-akan
ingin melindungi dirinya.
Dan cahaya lampu itu pun padam. Sosok gelap itu bergerak
mendekat, tampak jelas sekali.
"Tidak!" Lea menjerit ketika melihat sosok yang sedang
tersenyum itu menghampirinya.
Dia adalah Marci. Marci Hendryx.
Lea terbangun. Ia duduk tegak di tempat tidur, gemetar, raguragu, bermandikan keringat dingin.
Ia tidak tahu harus tertawa atau ketakutan.
Minggu ketiga di Shadyside High baginya terasa sangat
panjang. Ia kesepian. Orangtuanya sibuk memperbaiki rumah dan
cuma punya sedikit waktu untuknya. Deena sudah punya pacar baru,
seorang atlet basket, cowok jangkung, kurus, berambut pirang,
bernama Luke Appleman. Ia selalu bersama Deena.
Lea mencoba akrab dengan Jade, teman Deena. Tapi Jade
sangat populer dan super sibuk. Ia menjadi anggota di banyak
organisasi dan punya banyak teman, dan ia tidak punya waktu untuk
Lea. Lea berusaha tidak peduli pada kesendiriannya. Tapi itu tidak
mudah, seperti halnya tidak mudah baginya melupakan Don Jacobs.
Selama minggu ini ia sempat melihat Don dua kali. Don sedang
bersama Marci. Lea menangkap perasaan sesal di wajah Don ketika
pemuda itu memandangnya, sebelum berpaling cepat-cepat pada
Marci. Marci sendiri dengan sengaja membuang muka dengan
ekspresi tak senang. Malam Minggu, Lea sendirian lagi di rumah. Ayah dan ibunya
menghadiri pesta. Ia dan Deena janji untuk nonton film di Division
Street Mall. Tapi pada detik-detik terakhir, Luke menelepon Deena
untuk mengajaknya nonton konser musik rock di Waynesbridge.
Deena berkali-kali minta maaf, minta pengertian Lea, lalu pergi
nonton konser dengan Luke.
Lea menonton TV sebentar, memencet-mencet remote control,
sebentar nonton ini, sebentar nonton itu, tidak sungguh-sungguh ingin
menonton. Ia mau mengerjakan pekerjaan rumah, tapi segera
membatalkannya karena merasa tolol sekali. Ia ingin nonton bioskop
sendirian ke Mall, tapi memalukan sekali, karena kebanyakan murid
Shadyside High pasti menonton di sana.
Sebaiknya aku menyewa film, pikirnya. Ia mematikan TV, lalu
mondar-mandir di karpet usang ruang tamu yang belum sempat
diganti orangtuanya. Lalu ia cepat-cepat membatalkan rencananya.
Malam Minggu begini, semua film yang bagus pasti sudah disewa
orang. Akhirnya, pada jam sembilan lewat sedikit, ia masuk kamar,
berbaring dan membaca novel sejarah yang baru disewa ibunya dari
perpustakaan Shadyside. "Itulah yang bisa kulakukan. Kembali ke kebiasaan lama,"
katanya. Ia baru membaca beberapa lembar ketika terdengar suara-suara
dari atas. Srek srek. Srek srek. Srek srek srek srek. Mencoba tidak peduli, ia membalik halaman bukunya dan tetap
membaca. Tapi suara-suara itu terdengar lebih keras, terus-menerus,
seperti ingin mendesaknya, memaksanya agar mendengarkan.
Sekali lagi ia mendengar suara dari atas.
Atau suara-suara. Berbisik lirih, selembut desir angin.
Tapi bukan desiran angin.
Pasti bukan suara angin. Lea meletakkan bukunya, lalu bangun, matanya menatap
plafon. Kamar yang terkunci itu, pikirnya, tepat di atas kamarnya, di
atas kepalanya. Srek srek srek. Suara-suara itu masih terdengar, lalu menghilang.
Ini membuatku sinting, pikir Lea, jantungnya berdebar-debar.
Ia teringat mimpinya. Tolol. Marcy Hendryx terperangkap di
kamar yang dipalang itu. Dan mimpinya yang lain, di mana ada darah mengalir di pintu,
mimpi yang mirip kejadian sesungguhnya.
Ia mencengkeram tangannya. Kuat-kuat.
Aku masih bangun. Aku tidak mimpi.
Ini betul-betul terjadi"bukan mimpi.
Suara-suara itu dari atas sana.
Aku harus ke atas, katanya memutuskan.
Ketika menaiki tangga besi dan membuka jalan masuk di plafon
dengan cara mendorongnya, ia heran karena sama sekali tidak merasa
takut. Ia cuma marah sekali. Dan ingin tahu.
Apa yang terjadi" Siapa"atau apa"penyebab suara-suara itu"
Mengapa" Supaya ia jadi sinting"
Dad mungkin benar. Barangkali itu cuma suara genteng
melorot, katanya, meraba-raba dinding dan menyalakan lampu kuning.
Bayangannya sendiri, yang muncul di depannya, membuatnya
terkejut. Jangan panik. Ia mengawasi loteng memanjang yang beratap pendek, lalu
dengan hati-hati dihampirinya pintu yang dipalang, pelan-pelan sekali,
dan ia memasang telinga. Ia berhenti di depan pintu, lalu membungkuk. Menahan napas.
Ya. Ia mendengar suara itu. Rendah sekali suaranya. Tapi betul ada orang di dalam. Seorang gadis. Suara seorang
gadis. Mimpinya kembali lagi. Aku sekarang terjaga. Tidak tidur. Terbangun.
Lea menempelkan telinga di pintu. Lalu, ketika teringat darah
yang mengalir turun di sepanjang pintu, ia segera menarik kepalanya.
Ia mendengar suara itu, tapi ia tak mampu bersuara.
"Siapa di dalam?" panggil Lea, tidak sadar bahwa ia berteriak.
"Siapa di dalam?"
Ia menanti jawaban. Suara di balik pintu itu diam.
"Aku tahu kau ada di dalam. Aku mendengar suaramu," seru
Lea, lebih bersemangat daripada ketakutan.
Hening. Di luar, angin pun seperti berhenti berdesir.
Aku harus mengungkap misteri ini sekarang juga, atau tidak
pernah sama sekali, ujar Lea.
Tapi bagaimana caranya"
"Kau ada di dalam?" serunya.
Hening. Ia menggedor pintu dengan tinjunya.
"Kau ada di dalam" Bisakah kau mendengar suaraku?"
Ia menanti. Hening. Jantungnya berdegup kencang. Matanya berkunang-kunang,
lalu pulih kembali. Ia penasaran, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Ia harus tahu siapa penyebab suara-suara itu, siapa yang
berjalan mondar-mandir, berbisik-bisik di dalam kamar.
Lea merenggutkan palang dan menariknya. Palang kokoh itu
terasa goyah di tangannya.
Copot, pikirnya. Aku bisa mencopotnya.
Ia menenangkan diri, lalu bersiap menarik.
Suara memekakkan telinga"bagai suara ledakan bom"
membuatnya menjatuhkan papan itu. Ia terpaku oleh suara itu, lalu
sebatang paku panjang dan mengerikan melesat dari pintu ke arahnya.
bab 8 LEA menghindar, paku itu pun tidak mengenai sasaran. Ketika
ia terpaku ngeri, paku itu menyelinap ke pintu, lalu lenyap.
Tapi suara raungan itu masih terus terdengar, menggema di
sepanjang loteng yang berplafon pendek. Ia menenangkan diri,
mengambil napas, kakinya lemas dan gemetaran. "Aku tidak apa-apa,"
serunya keras-keras. "Apakah ini betul-betul terjadi?" tanyanya. "Ini bukan mimpi?"
Ia berbalik, lari ke jalan masuk, melompat ke tangga, nyaris
terjatuh, kedua tangannya menggapai anak tangga teratas.
Jantungnya berdebar kencang. Lea menutup jalan masuk, lalu
menuruni tangga. Beberapa saat ia berdiri di sana, bersandar ke tangga
besi, matanya terpejam, berusaha bernapas normal, meredakan
kakinya yang gemetaran. Suara raungan itu masih terdengar di telinganya, seperti
mengikutinya ke sana. Ia menggeleng, mengusirnya, lalu terdengar


Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara lain. Suara berdering. Dekat sekali.
Setelah beberapa kali berdering, barulah ia tersadar bahwa itu
suara telepon. Ia mengambil napas untuk menenangkan diri dan
memperlambat detak jantungnya, lalu masuk ke kamar dan bergegas
ke meja kecil untuk mengangkat telepon.
Sudah berapa lama telepon ini berdering"
"Halo?" Suaranya pelan dan bergetar, seperti suara tikus di film
kartun. "Halo, Lea?" Suara cowok. Sudah akrab di telinganya, tapi ia
lupa siapa cowok itu. "Ya," ujarnya menahan napas. "Ini siapa?"
"Don. Don Jacobs." Suara Don terdengar jauh dan sayup-sayup.
Lea mendengar suara klakson mobil, seperti di perempatan jalan.
Ia mau menyahut, tapi suaranya tidak mau keluar. Aku harus
tenang. Tenang. Tenang. Ia berdeham, lalu mencoba menyahut. "Hai,
Don." "Lea... bisakah kau menemui aku" Di mal di Division Street."
"Menemuimu?" Andai ia bisa mengenyahkan suara raungan itu
dari telinganya. Benarkah Don ingin bertemu dengannya"
Tenang. Tenang. "Yeah. Maukah?" tanya Don. "Aku mau minta maaf. Sejak
kencan kita yang gagal malam minggu lalu."
Jangan mau, ada suara yang melarangnya.
Tapi Lea ingin keluar rumah, menghindar dari suara raungan
itu, menyingkir dari suara-suara di loteng.
"Baik. Aku akan ke sana," katanya gembira.
Ya! Aku mau keluar dari sini! Menyingkir dari rumah tua yang
mengerikan ini! Ia teringat paku-paku tadi, membayangkan paku itu mengenai
dan melukai badannya. Beberapa menit yang lalu.
"Kau ada di mana?" tanyanya sambil merapikan rambut dan
meluruskan poninya. "Apa" Aku di telepon umum. Di sini berisik sekali," kata Don
di antara klakson mobil. "Di mana kita ketemu?" tanya Lea, berteriak di telepon.
"Di Pete's Pizza" Kau tahu kan tempatnya?"
"Aku belum tahu. Tapi bisa kucari."
"Bagus, Lea. Bagus. Cepat, ya" Oke" Mungkin kita masih
sempat nonton. Masih ada waktu, kok."
"Oke. Daah, Don. Aku segera berangkat."
Lea menutup telepon, menghampiri lemari, lalu kembali ke
telepon, ke lemari lagi, lalu berhenti di tengah-tengah kamar.
Kamarnya atau dirinya yang berputar"
Ia duduk di tepi tempat tidur, mengembuskan napas, dan
memejamkan mata. Ia terus bertanya-tanya. Suara raungan itu kembali
terdengar di telinganya, sangat menyiksanya.
Aku harus keluar dari sini.
Aku tidak percaya Don meneleponku. Sungguh kebetulan!
Ia melompat, sekujur tubuhnya gemetar, belum mampu
mengenyahkan ketakutannya.
Ia mengambil pakaian di lemari, celana panjang ketat warna
cokelat tanah dan sweater kuning Benetton yang masih baru. Ia ganti
pakaian, lalu mengambil kunci mobil, memakai jaket, dan mengunci
pintu rumah. Ia melangkah ke mobilnya, sebuah Honda Civic mungil
berumur sepuluh tahun. Mobil meluncur menembus kegelapan malam,
lewat jalan-jalan yang tidak dikenalnya, menuju mal.
Hujan mulai turun ketika ia memarkir mobil di tempat yang
kosong. Kebanyakan toko sudah tutup pada jam sembilan. Beberapa
baris tempat parkir itu masih terisi"kebanyakan mobil-mobil diparkir
di dekat bioskop. Kipas aimya bergerak dengan berisik, membersihkan kaca,
memaksanya lebih memusatkan perhatian di tengah derai hujan yang
menerpa mobil mungilnya. Apa yang kulakukan di sini"
Aku mau menemui Don. Pikiran itu membuatnya gembira. Derai hujan melenyapkan
suara raungan di telinganya. Ia memarkir mobil di baris pertama
paling ujung, mematikan mesin dan lampu; kipas airnya berhenti
dengan berisik. Lalu, sambil menutupi kepalanya dengan jaket, ia
melompati genangan air di aspal, menuju pintu masuk terdekat.
Pintu kaca itu tertutup. Masih menutupi tubuhnya dengan jaket,
ia mengawasi sekitarnya. Bioskop itu terletak di sebelah kirinya.
Ketika ia melangkah cepat-cepat ke situ, angin meniup air hujan ke
wajahnya, sepatu karetnya tercebur ke genangan air yang agak dalam.
Air terasa dingin ketika mengenai tepi celananya.
Begitu tiba di sana, penampilanku pasti kacau-balau, pikirnya
kalut. Hujan masih turun. Pintu masuk di samping teater 6 terbuka.
Lea masuk dengan bersemangat. Ia menurunkan jaketnya dan
menggoyang-goyangkan badan seperti anjing habis berenang. Air
menyiprat ke karpet yang berwarna cerah.
Pete's Pizza berseberangan letaknya dengan bioskop. Penuh
orang, kebanyakan anak muda. Canda gembira terdengar sampai ke
mal, disertai aroma saus tomat dan keju yang menusuk.
Sambil merapikan rambutnya dengan tangan, setengah berlari ia
menuju restoran, mencopot jaketnya dan merapikan sweater-nya.
Ketika ia melangkah ke pintu masuk yang terbuka, suara-suara itu
lebih keras terdengar. Waktu lewat di depan kasir, ia melihat Don. Don duduk di
sudut tengah restoran, menghadap ke arahnya. Lea melambai, tapi
rupanya Don tidak melihatnya.
"Hai, Don," sapa Lea riang, menghampiri Don sambil
menenteng jaketnya. Lalu ia melihat orang duduk di hadapan Don.
Marci! "Oh," gumam Lea pelan dengan mulut ternganga.
Marci berpaling pada Lea. "Mau apa kau ke sini?" tanyanya
kasar. "Aku..." Lea memandang Don. Tapi Don angkat bahu dengan
cepat, nyaris tidak kentara, lalu berpaling malu.
"Aku cuma ingin menyapa kalian," Lea tergagap dengan muka
memerah. Don memberinya isyarat dengan matanya, memberitahukan
bahwa ini semua bukan kemauannya, tapi ulah Marci.
"Senang bertemu denganmu," kata Marci kasar. "Tapi kami
ingin berduaan." Ia mengulurkan tangannya, lalu menggenggam
tangan Don. Don kelihatan amat kikuk, tapi tidak berusaha menarik
tangannya. "Uh... Lea, kenapa tidak bergabung saja dengan kami?"
ajaknya. Dia amat lemah, pikir Lea.
"Thanks. Aku harus pergi. Selamat bersenang-senang," sahut
Lea, mencoba bersuara dingin dan tenang. Tapi suaranya bergetar,
mencerminkan hatinya yang gundah.
Bagai kesetanan ia lari ke pintu, menabrak pelayan yang
membawa senampan soda. Pelayan itu menjerit. Nampan jatuh ke
lantai diiringi bunyi gelas pecah. Soda cokelat mengalir di lantai.
"Oh... sori!" seru Lea, lebih keras daripada yang disadarinya.
Orang-orang memandanginya dengan melongo. Marci dan Don
juga sedang memandangnya. Marci memanjangkan lehernya,
tersenyum lebar. Dengan amarah nyaris meledak, Lea lari ke mal terdekat yang
sepi, lalu lari kencang-kencang, jaketnya ditentengnya, kembali
berhujan-hujan. Akan kubunuh Marci, pikirnya. Kubunuh dia!
Tega-teganya Don melakukannya"
Hujan deras itu terasa dingin ketika mengenai rambutnya,
bahunya, membasahi sweater-nya. Tapi ia tetap tidak mau memakai
jaketnya. Kini ia berjalan pelan, seperti orang linglung, tidak yakin
apakah arah yang diambilnya sudah benar. Derai air hujan
mengalahkan suara-suara di sekitarnya.
Tapi ia masih bisa mendengar suara Marci yang angkuh, "Kami
ingin berduaan." Belum pernah aku dihina seperti itu, pikir Lea, air hujan yang
dingin mengalir ke dahi dan pipinya.
Masih menenteng jaketnya, ia sama sekali tidak menghiraukan
terpaan air hujan. Apa salahku pada Marci"
Apa pula masalah Don"
Apakah Don sangat takut pada Marci" Apakah ia sengaja
mempermainkanku" Apakah Marci yang menyuruhnya meneleponku
malam ini" Apakah ini ide Don"
Tadi Don tampak sangat malu, sangat kikuk ketika aku tiba.
Pasti itu bukan idenya, pikir Lea. Marci mungkin datang ke sana
sehabis Don meneleponnya.
Kenapa Don cuma duduk saja" Kenapa ia tidak berbuat sesuatu
untukku" Lea membuka pintu mobil dan melemparkan jaketnya ke jok.
Lalu ia menyelinap ke balik kemudi, basah kuyup, menggigil
kedinginan, tapi kelihatan marah sekali, sangat geram.
Tidak boleh terjadi lagi, ujarnya, meraba-raba jaketnya untuk
mencari kunci. Tidak akan lagi.
Kembali ke rumahnya yang muram dan kosong.
Naik ke kamar, membuka sweater-nya yang basah.
Ia mandi air hangat dan keramas, tapi itu tidak mampu
membuat perasaannya lebih enak.
Aku tadi tidak akan meninggalkan rumah, kalau tidak begitu
ketakutan, pikirnya. Aku tidak akan menemui Don kalau tadi pikiranku sedang
jernih. Nah, Marci kini punya cerita heboh untuk teman-temannya,
pikir Lea pahit, sambil naik ke tempat tidur. Setiap murid di
Shadyside akan menertawakannya.
Akan kubunuh Marci. Kubunuh dia.
Perasaannya yang terluka terhenti oleh suara-suara di atasnya.
Langkah-langkah kaki. Plafon kamar itu berderak karenanya.
Suara langkah kaki. Tidak salah lagi.
Tepat di atas kepalanya. Srek srek srek. Lalu berbalik. Srek srek srek. bab 9 AKU harus menghentikannya, pikir Lea. Aku harus menyelidiki
siapa yang berjalan di atas sana... agar aku tidak ketakutan lagi.
Ia memakai selopnya dan naik tangga besi di luar kamarnya.
Seekor lalat hitam yang gemuk terbang perlahan mengelilingi lampu
gantung di koridor; lalat terakhir di musim gugur.
"Tidakkah kau sadar bahwa sebentar lagi kau akan mati?" Lea
meneriaki lalat itu, cuma ingin mendengar suaranya.
Ia mendorong jalan masuk di plafon, naik, mengedip-ngedip,
terkejut melihat lampu loteng menyala.
Lalu ia ingat, pasti ia belum mematikannya ketika kabur dari
loteng. Kali ini aku tidak boleh kabur, pikirnya sambil menarik
tubuhnya memasuki loteng yang bercahaya kekuningan, lalu tegak
berdiri, mengetatkan tali kimononya, lebih mengencangkan ikat
pinggangnya. "Akan kuungkap rahasiamu," serunya lantang ke pintu yang
terkunci. Berteriak seperti itu menumbuhkan keberaniannya,
memantapkan hatinya. Ia berdiri beberapa langkah dari pintu, menyelidik, matanya
mengawasi pintu dari atas sampai ke lantai.
Tidak ada bekas darah. Tidak juga ada paku.
Tidak ada raungan. Ia mendekat, lantai papan berderit memprotes. Ia membungkuk,
memeriksa pintu di bawah cahaya kuning yang remang-remang.
Palang pintunya berdebu tebal. Papan itu sudah barut-barut,
retak, melengkung karena dimakan usia dan kelembapan loteng.
Kepala paku yang menonjol di pintu itu tampak sudah berkarat.
Salah satu palangnya nyaris retak dan melengkung di bagian tengah,
ditopang oleh beberapa paku.
Lea yang kurang paham tentang tukang-menukang
kebingungan. Sepertinya paku itu tergesa-gesa dipakukan. Beberapa
paku tampak bengkok, kepala pakunya letaknya aneh. Yang lain cuma
diketok setengah. Siapa pun yang memasang palang ini, pikir Lea, bukanlah
tukang kayu yang baik, atau ia memasangnya dengan terburu-buru.
Menurut Mrs. Thomas, agen real estat, pintu itu sudah lebih dari
seratus tahun terkunci dan dipalang. Palang pintunya tampak usang,
pikir Lea, tapi pintunya seperti baru dipasang kemarin.
Kayunya masih mulus dan tidak bercacat. Tidak tergores atau
barut-barut. Tombol pintunya juga masih tampak mengilap, berkilau,
seperti selalu rutin dilap.
Menilai pintu itu secara ilmiah, keyakinan Lea tumbuh. Ia
mendekati pintu dan menempelkan telinganya di kayu yang halus.
Lalu ia cepat-cepat menjauh.
Seseorang di balik pintu seperti sedang menangis.
Lea menempelkan wajah ke pintu, kembali memasang telinga.
Ya. Ada seorang gadis di dalam. Sedang terisak-isak.
"Halo!" panggil Lea, penasaran. "Siapa kau" Bisakah kau
mendengar suaraku?" Ia mendengarkan. Tangisan itu berhenti. Hening.
Lalu terdengar suara seorang gadis berbisik di pintu yang tebal,
tapi cukup jelas terdengar, "Buka pintu! Tolong, buka pintu!"
Lea menjauh dengan terkejut.
"Oh!" Ternyata ada orang di situ, seseorang yang dikunci, dipalang.
Tapi mana mungkin" Sambil mengambil napas dalam-dalam, Lea mendekati pintu
lagi. "Siapa kau?" serunya lantang.
bab 10 "TOLONG buka pintu!"
Gadis di balik pintu itu kembali merengek.
"Tolong!" Lea membeku, bingung. Bayangan menakutkan berkelebat di
benaknya. Ia seperti melihat monster mengerikan dengan mata merah
dan air liur kehijauan menetes-netes dari mulutnya yang bertaring.
Monster itu bersembunyi di balik pintu, menipu Lea dengan
menirukan suara gadis yang ketakutan. Ketika pintu terbuka, ia akan
kembali menjelma menjadi monster bersuara seram, siap
menerkamnya. Lea memejamkan mata, memaksa mengusir bayangan
mengerikan itu dari benaknya.


Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tolong buka pintu!" bisik suara itu, sekarang terdengar lebih
mendesak dan ketakutan, ditujukan pada Lea.
"Aku akan kembali lagi," sahut Lea.
Ia sudah memutuskan akan membuka pintu itu.
Ia menuruni tangga besi. Lewat koridor dan menuruni tangga,
jantungnya berdetak kencang, kepalanya sibuk berpikir, makhluk
mengerikan jelmaan gadis itu kembali terbayang di benaknya. Ia
menemukan peti besi berisi peralatan tukang milik ayahnya di gudang
di belakang dapur. Dengan sembarangan disingkirkannya barangbarang itu, sampai ditemukannya kapak besar. Ia mengambil palu
godam kecil di balik peti.
Lalu ia menaiki tangga, membawa kapak dan palu. Sambil
berjalan ia melihat jam di atas kompor dapur. Hampir tengah malam.
Orangtuanya akan segera pulang.
Sebuah kejutan buat mereka.
Kejutan buat siapa pun. Dengan tangan membawa peralatan berat, Lea naik tangga besi,
lalu bergegas menuju pintu loteng yang terkunci.
"Apa kau masih di situ?" panggilnya, menjatuhkan palu ke
lantai. "Ya." Suara itu kini terdengar pelan, sayup-sayup. "Maukah kau
membuka pintu ini?" "Akan kucoba," sahut Lea ragu-ragu.
"Tolong buka pintu!"
"Akan kucoba!" ulang Lea sekeras mungkin. Suara gadis itu
tedengar sayup-sayup, Lea tidak yakin gadis itu bisa mendengar
suaranya. Lea memegang palang berukuran dua kali empat itu, lalu
menariknya. Palang itu terungkit dan tercabut dari pintu.
Tidak sulit, pikir Lea, berbesar hati. Tidak sesulit yang kukira.
Ia mengubah posisi tangannya yang memegang palang,
mencengkeramnya erat-erat, lalu menariknya. Kayu itu kering dan
lapuk karena dimakan usia. Berderak dan berderit ketika tercabut dari
bingkai pintu. Paku-pakunya tertinggal di pintu. Lea menggunakan
catut untuk mencabutinya, nyaris tanpa mengerahkan tenaga. Ia
membiarkan palang itu jatuh ke lantai, di dekat kakinya, lalu ia
membungkuk dan menyingkirkannya ke tepi.
Satu beres, kini palang kedua, pikirnya, puas pada usahanya.
Palang tua ini sudah lapuk, pikirnya. Ia menarik palang kedua,
semudah palang pertama"tidak perlu pakai palu"lalu
melemparkannya ke tengah lantai.
"Kau masih di situ?" tanya Lea.
Sunyi. "Bisa kaudengar aku" Kau masih di situ?"
"Tolong buka pintu," terdengar sahutan.
"Akan kucoba," seru Lea. "Aku baru saja mencabut palangnya.
Kini akan kucoba membuka kunci pintunya."
"Cepatlah," desak gadis itu.
Lea membungkuk, memeriksa tombol pintu dan lubang kunci.
Ia terkejut ketika melihat anak kunci yang mengilat di lubang pintu.
"Sudah kutemukan kuncinya," ujar Lea gembira pada gadis di
balik pintu itu. "Kini aku akan membuka pintu ini!"
"Cepat, bukalah!" pinta gadis itu.
Lea berhenti sebentar, tangannya memegang kunci besi. Sekali
lagi bayangan mengerikan muncul di benaknya, monster itu berambut,
kotor, dan berdarah, sedang menantinya di balik pintu, bersandiwara
dengan menirukan suara seorang gadis.
Tapi Lea cuma bimbang sejenak. Ia segera memutar anak kunci.
Terdengar bunyi klik. Lea memutar tombol pintu, membuka pintunya yang berat
lebar-lebar. Bab 11 LEA tersadar, dirinya tengah terpukau oleh kamar gadis zaman
dulu yang indah sekali. Kamar itu diterangi lilin-lilin; dua buah lilin
terletak di lemari hias mahoni yang tinggi, cahayanya memantul ke
tembok, dan sebuah lilin lain terletak di dalam lampu kaca, bersinar
terang di sebuah meja sudut yang pendek.
Dindingnya dilapisi wallpaper merah tua bertekstur, seperti
laken. Sebuah tempat tidur luas, berkanopi satin merah jambu dengan
seprainya yang merah jambu pula, nyaris memenuhi kamar itu.
Dan di tempat tidur berkanopi itu duduk seorang gadis dengan
tangan terlipat di pangkuannya.
Gadis itu sebaya dengan Lea. Ia cantik, meski pakaiannya kuno.
Rambutnya ikal keemasan tanpa belahan, menjuntai ke dahi dan
tergerai ke sisi wajahnya yang oval. Ia memakai bando dari pita
beludru hitam. Kulitnya yang putih seperti tak pernah kena sinar matahari,
tubuhnya kecil, matanya biru, hidungnya mancung, dan mulutnya
mungil. Ia memakai blus putih berleher tinggi, tampak kaku dan tidak
nyaman. Bagian depan blusnya berkerut-kerut, lengannya panjang,
menggelembung di bagian atas. Roknya dari wol hitam, panjang
hingga menutupi sepatunya. Tampak berat dan tidak praktis.
Ia bagai boneka dari zaman Victoria, pikir Lea, mengamatinya
dari pintu. Ia lebih pendek daripada Deena, lebih mirip malaikat.
Kedua gadis itu diam, beberapa saat saling berpandangan. Gadis
di tempat tidur itu duduk tegak sekali, tangannya di pangkuan. Tidak
ada yang bergerak-gerak, kecuali bayangan lilin di tembok.
Akhirnya Lea terbangun dari shock-nya, dan bertanya, "Siapa
kau?" Ia masih berdiri dengan sebelah tangan memegangi pintu.
"Ini rumahku," sahut gadis itu. Mulutnya melebar, tersenyum.
Matanya tampak berbinar di bawah cahaya lilin.
"Apa?" Lea mencengkeram pintu erat-erat.
"Ini rumahku. Aku tinggal di sini," ulang gadis itu. Suaranya
tinggi, seperti suara anak kecil.
"Tapi bagaimana ceritanya sampai kau bisa masuk ke sini?"
tegas Lea. "Di loteng ini" Di kamar ini?"
"Kau suka kamarku?" tanya gadis itu, senang. Ia beranjak dari
seprai merah jambunya, lalu berdiri. Tangannya terkembang, menyapu
ruangan itu, seperti seekor merpati putih kecil yang terbang di antara
bayang-bayang lilin. "Ya. Kamarmu indah sekali," sahut Lea ragu-ragu, rasa takut
mulai menjalari punggungnya. "Tapi aku tidak mengerti."
"Aku sangat kesepian," kata gadis itu, menelengkan kepalanya,
rambut emasnya yang ikal tergerai. "Amat kesepian, selama bertahuntahun."
Ia hantu, pikir Lea, matanya melebar ketika gadis itu
menghampirinya pelan-pelan, tersenyum ganjil.
Hantu. Tapi itu tidak mungkin, kan"
"Aku sangat kesepian," ujar gadis itu, mendekati Lea dengan
tangan terkembang. Ekspresi wajahnya tampak penuh hasrat... penuh
kerinduan yang dalam. Gadis itu berkilauan di bawah cahaya lilin, bayang-bayangnya
tenggelam di antara keremangan, lalu tampak lagi ketika ia bergerak
ke arah cahaya lilin. Hantu, pikir Lea. Menghampiriku, tangannya terkembang.
"Tidak!" Lea bahkan tidak sadar kalau tengah menjerit. Ia melangkah
mundur ke bagian loteng yang aman.
"Jangan pergi," pinta gadis itu, lirih sekali.
"Kau hantu," gumam Lea sambil melangkah mundur, dicekam
rasa takut. Kakinya terasa berat, hingga ia harus berusaha keras untuk
melangkah. "Aku kesepian," kata gadis itu, bibirnya yang mungil cemberut.
"Bolehkah aku menyentuhmu" Bolehkah kusentuh rambutmu?"
"Tidak!" Lea menjerit lagi, rasa takut membuat suaranya
melengking dan serak. "Tidak... jangan!"
"Aku tidak akan menyakitimu," janji gadis itu, tangannya masih
terkembang, wajahnya berkilauan di antara cahaya lilin, matanya
berbinar seperti permata pudar.
"Jangan!" Lea membanting pintu hingga tertutup, dan sambil berusaha
menghentikan tangannya yang gemetaran, ia memutar anak kunci.
Lalu ia memandang pintu kayu yang licin, membasahi bibir dan
mulutnya yang kering dengan menelan ludah, tenggorokannya serasa
tercekik, dan ia megap-megap.
Aku tidak pernah mencopot palang pintu itu, pikirnya. Aku
tidak pernah membuka pintunya.
"Tolong jangan tinggalkan aku," panggil suara lirih itu dari
balik pintu yang terkunci. "Aku sangat kesepian. Aku cuma ingin
menyentuh rambutmu."
"Ini pasti mimpi," seru Lea lantang. Ia berbalik dan lari ke
tangga. Esok harinya ia terbangun karena desau angin pada jendela
kembar di kamarnya. Suara itu mengejutkannya dan membuatnya
terbangun. Ia duduk tegak di tempat tidur. Kamar itu dingin sekali.
Pagi itu langit di luar jendelanya tampak gelap dan kelabu.
Selimutnya teronggok di kaki tempat tidur. Lea yakin ia telah
menendangnya tadi malam. Ketika aku sedang mimpi, pikirnya.
Itu memang cuma mimpi, kan"
Lea tidak ingat kapan ia meninggalkan loteng setelah melihat
hantu itu. Ia tidak ingat saat-saat mematikan lampu loteng, menuruni
tangga besi, mengembalikan penutup plafon, masuk ke kamar, atau
naik ke tempat tidur. Rasanya seperti mimpi, gumamnya. Mimpi buruk yang amat
mencekam dan menakutkan. Seperti sungguhan. Rinci sekali.
Tapi cuma mimpi. Waktu sarapan ia tak ingin mencemaskan orangtuanya dengan
menceritakan mimpi seramnya. Ayahnya baru pulang dari toko kayu
yang buka lebih pagi di hari Minggu, untuk melayani pembeli seperti
ayahnya. Ayah dan ibunya makin seru saja mendiskusikan program
mereka hari ini"memperbaiki kawat nyamuk beranda di samping
rumah. Mereka sibuk sekali, sampai-sampai tidak sadar aku ada di sini,
pikir Lea. Ia merasa geli pada minat mereka yang kekanak-kanakan,
tapi juga merasa terluka, tersisih.
Ketika Lea selesai melahap pancake-nya, telepon berdering.
Dari Deena, mengajak Lea main tenis di klub.
Lea cepat-cepat berganti pakaian, gembira menerima ajakan
Deena. Ia memakai training abu-abu dan sweatshirt yang serasi,
sambil memandang ke langit yang semakin gelap dari jendela
kamarnya. Lalu ia menyiapkan pakaian tenis yang serasi untuk
dipakainya di klub nanti dari laci lemarinya.
Lebih baik olahraga, pikirnya. Akan kuceritakan mimpiku
semalam yang aneh pada Deena.
Deena menjemput Lea dengan mobil station wagon
orangtuanya. Sambil meluncur di sepanjang jalan yang kelabu,
sementara salju putih berkilauan mulai turun, Deena menceritakan
Luke, pacar barunya, juga konser yang ditontonnya semalam.
Terasa hangat dan terang di dalam kubah tenis itu. Sepagi itu
hampir semua lapangan dipakai. Ketika melakukan volley, Lea harus
mengakui bahwa Deena lebih hebat.
Mereka melakukan volley beberapa saat, lalu mulai main.
"Kurasa aku perlu raket baru," sesal Lea setelah dua kali berturut-turut
gagal menerima serve Deena.
Aneh, kenapa orang selalu memandangi raketnya setiap kali
gagal atau salah memukul bola, pikir Lea. Sepertinya raketnya yang
salah, bukan tangannya. Deena mengurangi serve-nya dan permainan pun berlanjut.
"Backhand-mu bagus, Lea," puji Deena sesudahnya, sambil ganti
pakaian. "Kau mengalahkanku dengan mudah," sahut Lea, agak malu.
"Tidak mudah, kok," sahut Deena. "Tapi juga tidak susah."
Mereka tertawa. Di luar, salju sudah berhenti turun, tapi langit masih gelap dan
kelabu, dan trotoar masih basah.
Sewaktu berjalan ke mobil Deena, Lea menceritakan mimpinya,
bagaimana ia mencopot palang pintu, tentang kamar kuno, dan tentang
gadis di balik pintu. Ketika berbicara, napasnya bergumpal seperti asap putih di
hadapannya. Seperti hantu, pikirnya. Hantu-hantu yang melayang dan
menghilang. "Aku terbangun. Anehnya setiap bagian mimpiku itu kuingat
dengan jelas," kata Lea, mengencangkan sabuk pengaman sewaktu
Deena meluncur ke jalan. "Aku bahkan ingat aroma kamar yang
mungil itu, seperti bau cemara, tapi agak pengap."
"Aneh," komentar Deena, memandang lurus ke jalan.
"Seram sekali," ujar Lea. "Seperti terjadi betulan. Dan gadis itu
sangat... sangat ingin, mati-matian menginginkan aku tinggal di situ."
Deena terus menyetir sambil berdiam, memperlambat laju
mobilnya ketika berbelok ke Fear Street. "Aku belum pernah pindah,
sih," katanya kemudian, menoleh pada Lea, lalu melihat ke jalan lagi.
"Sejak kecil, di Shadyside ini, aku selalu tinggal di satu rumah yang
sama. Jadi, aku belum pernah merasakan seperti yang kaualami.
Pindah ke kota yang baru, ke rumah baru, dunia baru. Pasti
menakutkan." Ia berhenti sejenak untuk berpikir, lalu meneruskan,
"Lebih-lebih tinggal di Fear Street."
"Yeah, kurasa begitu," tambah Lea. "Tapi sebelumnya aku kan
pernah pindah." "Dulu, apa kau juga pernah mimpi buruk?" tanya Deena serius.
"Tidak. Yeah. Aku tidak tahu. Aku tidak ingat," sahut Lea,
melihat rumah-rumah yang dilewatinya di sepanjang Fear Street,
tampak kelabu dan seram di bawah langit kelam.
"Setelah terbiasa," lanjut Deena, "maksudku, setelah kau
terbiasa dengan rumahmu yang baru, apakah mimpi burukmu itu
berhenti, begitu?" "Yeah, mungkin," sahut Lea ragu-ragu.
"Kau gelisah, lama-lama pasti akan hilang," kata Deena, masuk
ke jalan rumah Lea. "Yeah, kau mungkin betul," ujar Lea, memegang raket tenis di
pangkuannya erat-erat. "Thanks untuk konsultasinya, Dokter."
Deena tertawa. "Cek untukku bisa dikirim menyusul."
Lea meraih gagang pintu, tapi Deena memegang tangannya.
Senyumnya lenyap dari wajahnya. "Ada yang mesti kuberitahukan
padamu," katanya serius.
"Apa itu?" Lea melepaskan tangannya dari gagang pintu.
"Well... aku tak ingin membuatmu resah atau..." Deena melihat
ke kaca mobil. "Deena, ada apa?" tanya Lea tak sabar.
"Well, kau kini menjadi musuh besar Marci Hendryx."
"Tolong ceritakan yang tidak kuketahui," sergah Lea sengit. Ia
meraih gagang pintu lagi.
"Tunggu. Dengarlah," desak Deena. "Marci menyebarkan
semua cerita tentang ketololanmu di sekolah. Dia bilang kau yang
mendekati Don, dan Don merasa kau perlu dikasihani. Dia cerita juga
pada anak-anak bahwa begitulah kelakuanmu di sekolah yang dulu."
Lea mendesah letih. "Dia keterlaluan."


Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Well, jauhi dia. Jauhi Don juga. Marci akan melakukan apa
saja untuk menguasai Don. Kau tidak ingin menjadi musuhnya, kan"
Aku tidak ingin menceritakan semua ini padamu, tapi..."
"Tidak, aku gembira kau mau cerita," potong Lea. Ia menekan
tangan Deena dan membuka pintu mobil. "Sungguh. Trims," ucapnya
sambil keluar dari mobil.
"Sampai besok," seru Deena.
Lea memandangi mobil Deena yang meninggalkan rumahnya,
lalu ia memandang ke langit yang gelap seperti malam, awan
mendung menjanjikan salju akan turun lebih banyak.
Rumah tua itu tampak seperti bayangan raksasa. Mata Lea
beralih dari cuaca di sekitarnya ke jendela kembar di kamarnya.
Apakah ada orang yang melihatnya dari jendela sebelah kiri"
Tidak. Itu cuma bayangan pohon. Kuasai dirimu, Lea, pikirnya, menggigil.
Rumah itu seakan menertawakan kebodohannya, tertawa
terkekeh-kekeh, nyaring sekali. Lea perlu waktu beberapa saat untuk
tersadar bahwa suara itu adalah suara gergaji ayahnya.
Ia melihat ayahnya sedang mengerjakan dinding beranda. Ia
memanggil ayahnya, tapi suara gergaji itu menderu lagi, mengalahkan
suaranya. Dengan cemberut ia menyerah dan masuk ke rumah.
Sepanjang siang itu ia sibuk membantu ayahnya. Biasanya
dengan tegas ayahnya selalu menolak bantuan. Tapi hari ini ia
membiarkan Lea mengukur dan menandai papan-papan. Ketika ia
istirahat untuk minum teh, dengan berat hati ia membiarkan Lea
memaku. Ia berdiri tepat di belakang Lea, dengan cermat mengawasi
Lea mengayunkan palu, sampai Lea berhenti dan pura-pura
mendorong ayahnya. Baru kali itu Lea merasa gembira sejak kepindahannya ke
rumah baru. Tapi itu cuma berlangsung beberapa jam, sebab ibunya
pulang berbelanja enam kerai Venesia yang segera dipasangnya di
kamar-kamar bawah. Malamnya, setelah seharian memperbaiki rumah, orangtuanya
beristirahat di ruang baca sambil menonton TV, siaran PBS yang
memutar film dokumenter tentang kehidupan gorila. "Setiap minggu
kok filmnya gorila terus," keluh Lea.
"Gorilanya beda," sahut ayahnya, serius.
Lea naik ke kamar, hendak meneruskan membaca pelajarannya
yang ditinggalkannya beberapa hari lalu. Alat pemanas sudah
menyala. Suara radiator di dinding terdengar lembut dan nyaman.
Di dalam sini hangat, moga-moga aku tidak tertidur, batin Lea
sambil mendekatkan lampu ke bukunya.
Baru membaca beberapa menit, ia sudah meregangkan otot,
seperti yang diduganya. Ruangan yang hangat itu membuatnya
mengantuk. Lalu ia mendengar sayup-sayup langkah kaki di atasnya.
Ia menutup bukunya. Aku masih bangun sekarang, pikirnya.
Benarkah" Sepanjang hari ini ia memaksa diri untuk tidak memikirkan
loteng. Tapi Lea segera bangkit, mendorong kursinya ke belakang,
memutuskan untuk ke loteng lagi.
Ia harus membuktikan. Ia harus membuktikan apakah itu cuma
mimpi buruk yang menyeramkan atau kejadian sungguhan.
Dari koridor didengarnya dengung suara TV di bawah. Udara di
situ terasa lebih dingin. Ia betul-betul terjaga sekarang.
Sambil menarik napas dalam-dalam, ia meraih sisi tangga besi
dan mulai memanjat. Pintunya masih terkunci dan dipalang seperti seratus tahun
silam, batinnya. Sama seperti Sabtu malam lalu, ketika ia memaksa
Deena naik ke sini. Deena mengira aku sinting.
Mungkin aku... Jalan masuk di plafon dengan mudah didorongnya. Ia
menggesernya, menarik dirinya ke loteng.
Yang mengejutkan, lampu loteng masih menyala, memancarkan
cahaya kuning pucat di sepanjang ruang sempit dan rendah itu. Lea
berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Lalu ia menuju bilik
tersembunyi itu sambil berjalan merunduk karena plafon yang rendah.
"Oh!" Seruan itu keluar dari mulutnya ketika ia melihat palang pintu
berukuran dua kali empat itu tergeletak di lantai.
Persis seperti dalam mimpinya, ketika ditinggalkannya.
Dan ternyata itu bukan mimpi.
Ia mendekat, membungkuk, dan menyentuh salah satu palang
itu, ingin memastikan apakah itu kayu sungguhan.
Ya. Lalu, tanpa banyak pikir, ia melangkah ke pintu, dan dengan
tangan gemetar memutar anak kunci, lalu mendorong pintu hingga
terbuka. Kamar itu persis sama dengan yang diingatnya.
bab 12 LEA mencengkeram tombol pintu erat-erat. Tiba-tiba ia merasa
pusing, limbung. Lututnya gemetar, seperti tak mampu lagi
menyangga badannya. "Jangan takut," bujuk gadis itu. "Aku tidak akan menyakitimu.
Sungguh." Ia berdiri di depan lemari di ujung ruangan, dengan lembut
merapikan rok hitamnya yang panjang.
Lea memandangnya dengan mata melebar, berharap gadis itu
akan menghilang. Gadis itu bercahaya, lalu menghilang beberapa saat, berkerlapkerlip seperti cahaya lilin.
Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, pikir Lea, terpukau
sekaligus ketakutan. "Namaku Catherine," kata gadis itu dengan mata sendu.
Lea cepat-cepat mengambil napas. Ia tersadar bahwa ia sudah
lama menahan napas. Catherine menatapnya penuh harap, menunggu
jawaban Lea. Tapi Lea takut memberitahukan namanya pada Catherine yang
berdiri melayang-layang di kamar itu dan berbicara sopan sekali.
Ia ingin Catherine cuma ada dalam mimpi.
Ia ingin kamar itu terkunci lagi, palang-palang pintunya
kembali di tempat semula. Ia ingin turun, ke kamarnya yang aman.
"Ayolah," bujuk Catherine dengan suara berbisik, seperti suara
gadis kecil. "Apakah kau hantu?" tanya Lea, masih berdiri di pintu,
tangannya memegang tombol.
"Ya," sahut Catherine tanpa ragu. Lalu ia menambahkan dengan
sedih, "Lama sekali baru kuketahui itu. Perlu waktu bertahun-tahun
untuk menerimanya. Tapi aku sekarang sudah bisa menerimanya. Aku
betul-betul sudah tidak punya pilihan, bukan?" Ia mengembangkan
tangannya yang mungil untuk menggambarkan ketidakberdayaannya.
"Dan sekarang kau mau menakut-nakuti aku?" tanya Lea.
Dalam kamar yang remang-remang itu, sulit bagi Lea untuk
melihat ekspresi Catherine yang kecewa atau terluka. Seluruh
tubuhnya menggelap hingga tinggal seperti bayangan, segumpal asap.
Lalu, pelan-pelan, wajah dan tubuhnya terlihat lagi. Ia memandang
Lea sebentar, lalu ujarnya, "Maaf. Aku tidak mengerti."
"Bagaimana kau bisa ada di sini" Apa yang kaulakukan di
sini?" tanya Lea. "Tadi sudah kubilang. Ini rumahku."
"Tapi ini bukan rumahmu," kata Lea tidak sabar. "Ini bukan
rumahmu. Ini rumahku."
"Ayo masuk dan duduklah," desak Catherine, mendekat ke tepi
tempat tidurnya yang berkelambu. "Aku tidak akan menyakitimu.
Sudah bertahun-tahun aku sendirian. Aku cuma ingin mengobrol
denganmu." Lea sudah agak santai. Ia melepaskan pegangannya di tombol
pintu, lalu masuk beberapa langkah ke dalam kamar, setelah lebih
dulu memastikan pintu masih terbuka.
Kalau dia mendekat, aku akan melesat dari sini, batinnya. Tapi
ia yakin Catherine tidak berbahaya. Gadis itu betul-betul sedang sedih
dan kesepian. Ia tampak seperti gadis kecil yang bersedih dalam pakaiannya
yang besar dan kuno, pikir Lea.
"Berapa lama kau jadi hantu?" tanya Lea, berdiri di tengah
kamar dengan tangan bersedekap, berjaga-jaga.
"Aku tidak tahu," sahut Catherine, berpaling melihat lilin di
lemarinya. "Aku tidak ingat waktu lagi. Aku tidak pemah melakukan
kontak dengan dunia luar. Bertahun-tahun aku cuma melayanglayang. Aku tidak ada di kamar ini, juga tidak ada di mana pun. Aku
terus melayang-layang."
Ketika bercerita, rambutnya yang keriting dan berkilau
keemasan membingkai wajahnya yang cantik. Ekspresi wajahnya
diliputi kesedihan. Catherine melayang, duduk di sebuah kursi kayu
bersandaran, di sisi tempat tidurnya yang berkelambu.
"Mula-mula ini semua kukira mimpi, mimpi buruk yang
berkepanjangan," lanjut Catherine. "Tapi suatu saat aku tersadar.
Bahwa aku sudah meninggal. Aku meninggal di rumahku sendiri. Aku
sekarang cuma roh, hantu. Hantu semata."
Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang putih dan
pucat. Lea tidak tahu apakah ia menangis atau tidak, tapi seluruh
tubuhnya bergetar, menghilang menjadi gumpalan asap, tidak tampak
selama beberapa saat. Ketika kemudian ia tampak lagi, wajah
Catherine sudah tenang, sabar.
"Kau meninggal di rumah ini?" tanya Lea. Gadis itu tampak
mungil, sedih, tak berdaya, pikir Lea; rasa takutnya jadi hilang.
Dengan hati-hati ia duduk di tepi tempat tidur, di seprai merah jambu
yang lembut, dan mencondongkan tubuh ke Catherine untuk
mendengarkan kisahnya. "Aku dibunuh di rumah ini."
Catherine bertutur lirih, datar, dan tanpa emosi. Dagunya agak
bergetar, satu-satunya yang mencerminkan perasaan di balik katakatanya.
"Dibunuh?" Lea tiba-tiba merasa dingin, padahal udara di
loteng itu hangat. Aroma lilin yang terbakar jadi terasa lebih harum,
dan membuatnya serasa tercekik.
"Mereka bilang aku jahat," bisik Catherine, menuturkan
kisahnya. "Jahat sejak dilahirkan. Aku adalah kejahatan yang
disembunyikan." "Mengapa?" tanya Lea. "Apa yang kaulakukan?"
"Apa yang kulakukan?" Catherine tertawa, tawa anak-anak
yang melengking. Lalu nadanya berubah menghina, dan kemudian ia
diam seketika, wajahnya kelabu. "Aku dilahirkan. Itulah yang
kulakukan. Aku dilahirkan, dan mereka belum menikah."
"Oh, begitu," ujar Lea pelan.
"Aku menjadi kejahatan mereka. Mereka mengunciku di kamar
ini. Mereka menyekapku di sini selamanya. Mereka takut ada orang
yang tahu siapa aku, sehingga reputasi mereka tercemar."
Catherine betul-betul menghilang, cuma tampak bayangan putih
dari wajahnya, melayang-layang di atas blus putihnya yang berleher
tinggi. Ketika ia muncul kembali, matanya menatap Lea dengan
berapi-api. "Bisa kaubayangkan kisah mengerikan itu?" tanyanya. "Seluruh
hidupku kuhabiskan di kamar sempit ini, dibatasi empat buah tembok,
di bawah plafon yang rendah. Kamar ini adalah penjaraku. Sangkarku.
Dan ini semua karena aku tidak diharapkan"kelahiranku.
"Merekalah yang jahat. Bukan aku," lanjutnya lebih lantang,
berapi-api. "Merekalah yang jahat, jahat sekali, hingga
memperlakukan anaknya seperti binatang peliharaan."
Ia berhenti sebentar, mendesah, matanya yang sedih berair,
basah di kegelapan yang remang-remang, tangannya tersembunyi di
balik ploi rok hitamnya. "Aku mencoba kabur," katanya beberapa saat kemudian. "Aku
mengemasi milikku. Berbulan-bulan aku berusaha membuka kunci.
Aku sudah merencanakannya. Aku tidak tahu seperti apa keadaan di
luar sana. Aku tidak pernah melihat dunia luar. Tapi aku bisa
mendengar suara-suara dari luar. Langkah kaki binatang yang
berirama, suara roda kereta. Kudengar suara orangtuaku dan temanteman mereka di bawah sana. Aku tahu bahwa ada dunia yang lebih
luas daripada kamarku yang sempit ini. Aku tahu, aku harus melarikan
diri." "Dan apakah itu kaulakukan?" tanya Lea sambil bertopang
dagu, larut dalam cerita sedih itu.
"Orangtuaku berhasil menangkapku ketika aku akan melarikan
diri dari rumah. Mereka membunuhku." Suaranya menjadi datar lagi,
datar dan penuh emosi. Matanya berapi-api. Tubuhnya menghilang.
"Mereka membunuhku dan membawaku kembali ke kamar ini, ke
penjaraku, sangkarku. Lalu sangkar ini menjadi kuburanku."
Lea berpaling, matanya memandang lilin di lemari. Ia tidak
tahan melihat kesedihan dan perasaan dikhianati di wajah Catherine.
Tak seorang pun berbicara. Lalu Catherine memecahkan
kesunyian. "Akhirnya aku bisa menerima semua itu," katanya pelan.
"Aku bisa menerima kenyataan bahwa aku sudah mati, tidak lagi
berdaging dan berdarah. Aku melayang-layang, terus melayanglayang selama bertahun-tahun, rohku gentayangan. Lihat. Aku bisa
tampak dan menghilang."
Catherine berubah menjadi asap, lalu menghilang.
"Dan aku bisa membuat diriku berkilauan melebihi makhluk
lain." Suaranya menghilang, tapi ketika berbicara lagi, Catherine
muncul, bayang-bayangnya amat berkilauan, sampai rambut emasnya
seterang matahari, dan Lea harus melindungi matanya.
Catherine tertawa pahit. "Cuma satu yang belum bisa
kulakukan. Aku tidak sanggup meninggalkan tempat ini."
Lea segera bangkit berdiri. "Tidak," katanya, lebih pada dirinya.
"Tidak. Maaf. Aku tidak percaya. Satu pun aku tidak percaya. Ini
bukan kejadian sesungguhnya."
Catherine juga bangkit. Lea terkejut melihat dirinya ternyata
lebih tinggi daripada Catherine.
"Kau harus percaya padaku," desak hantu itu. "Harus!"
"Tidak. Maaf. Aku harus pergi," ujar Lea, rasa takutnya
menjalar dari perut ke kerongkongannya. "Maaf. Ini tak mungkin
terjadi." Ia berbalik menuju pintu.
"Tunggu!" jerit Catherine.
Aku harus keluar dari sini, bangun dari mimpiku yang buruk,
pikir Lea. Ia menuju pintu.
"Tolonglah... aku amat kesepian," rengek Catherine lirih.
"Izinkan aku menyentuhmu. Menyentuh rambutmu."
Ketika Lea menuju pintu, ia merasa ada yang merenggut
rambutnya. Jari-jari yang dingin dari tangan yang kecil tapi kuat,
sangat kuat, menjambak rambutnya.
"Alangkah indah rambutmu!" seru Catherine, mencengkeram
erat-erat, menjambak rambut Lea dan membalikkan Lea hingga
menghadap dirinya. Mata Catherine berkilauan seperti minyak hitam
di antara cahaya bulan. "Alangkah indahnya."
"Lepaskan aku!" jerit Lea. "Lepaskan! Kau menyakiti aku!"
Catherine tersenyum dan menjambaknya keras-keras.
"Alangkah indah rambutmu. Kita bersahabat, bukan?"
"Lepaskan rambutku!" jerit Lea. "Tolong... lepaskan
rambutku!" bab 13

Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"LEPASKAN aku!"
Dengan menjerit ngeri, Lea melepaskan dirinya dari
cengkeraman Catherine dan melarikan diri dari kamar itu.
Ke loteng yang bercahaya kuning, dikejar bayang-bayang.
Dengan menahan napas, kepala masih berdenyut-denyut, masih sakit
karena cengkeraman jemari dingin yang menjambak rambutnya
dengan kuat sekali, Lea terhuyung-huyung ke tangga.
Ia berlutut di lantai loteng, turun ke tangga, dan terengah-engah,
turun ke lantai dua. "Oh!" Ia ingat belum menutup pintu di plafon.
Ia kembali naik tangga dengan lutut gemetar, seluruh tubuhnya
dicekam ketakutan. Ia menggeser pintu plafon, lalu turun lagi dan
cepat-cepat masuk ke kamarnya.
Ia membanting pintu kamar dan menyandarkan punggung di
pintu sambil memejamkan mata untuk menormalkan kembali
napasnya dan meredakan rasa sakit di kepalanya, serta menghilangkan
rasa takutnya. Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.
Ia terus mengulang-ulang kata-kata itu di benaknya, sampai
tidak ada artinya lagi. Masih gemetaran, ia lari menyeberangi kamar dan menelungkup
di tempat tidur. Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.
Ia menenggelamkan wajahnya di seprai yang lembut.
Lalu menegakkan kepalanya dan menangis pelan.
Apakah aku sudah menutup pintu kamar rahasia itu" Apakah
aku sudah mengunci pintunya"
Atau... hantu itu telah kubiarkan kabur"
Akankah dia kabur" Akankah dia mengejarku" Mengikuti aku
turun ke sini" Lea tiba-tiba merasa dirinya sedang diawasi. Ia bangkit berdiri,
dan dengan panik ia memeriksa kamarnya.
Tidak. Tidak ada tanda-tanda Catherine. Tidak ada asap gelap
dari hantu itu. Tidak ada kilauan rambut emasnya. Tidak ada wajah
pucat yang tengah memandangnya.
Tapi pintu itu... pintu loteng.
Apakah sudah dikunci"
Aku tak boleh meninggalkannya terbuka, bukan"
Tak ada pilihan lagi. Ia harus kembali ke loteng untuk
memastikan apakah pintunya sudah dikunci.
Lea tidak akan bisa tidur, tidak tahan tinggal di kamarnya, tidak
betah tinggal di rumahnya kalau ia belum mengunci pintu itu.
Bagaimana kalau Catherine bebas dan hantu itu menakut-nakuti
dirinya" Ia mengambil napas, lalu mengembuskannya. Ia melihat
bayangannya di cermin oval di atas lemari. Ia merapikan rambutnya,
mendorongnya dengan tangan gemetar.
Lalu ia membuka pintu dan melangkah ke koridor. Di lantai
bawah, TV masih hidup, dengung suara-suara dan lagu-lagu terdengar
sampai ke tangga. Lea ragu-ragu setiba di kaki tangga. Ia ingin sekali
turun ke ruang baca dan menceritakan apa yang telah dilakukannya
dan apa yang ditemukannya di loteng pada orangtuanya. Menceritakan
semuanya. Tapi, tidak, ia harus yakin dulu apakah pintu di loteng sana
sudah dikunci. Ia harus yakin mereka semua akan selamat.
Ia menaiki tangga. Kakinya terasa berat, tapi ia tetap memaksa
naik. Ia tiba di atas dan menggeser penutup plafon, lalu menarik
dirinya ke loteng. Lampu itu. Lampu kuning itu. Ia tidak pernah ingat untuk
mematikannya. Ia berdiri, melangkah ke kamar tersembunyi sambil menahan
napas, takut sekali melihat apa yang akan ditemukannya.
Tapi alangkah leganya, pintu itu sudah tertutup.
Tertutup... tapi apakah sudah dikunci"
Ia buru-buru mendekat ke kamar itu, melompati palang
berukuran dua kali empat yang tergeletak di lantai.
Kalau saja aku tidak pernah menyentuhnya, pikirnya penuh
sesal. Kalau saja aku tidak pernah mencopot palang itu atau membuka
pintu atau... Kuncinya masih tetap di tempatnya. Pintunya terkunci.
Lea ragu-ragu, memasang telinga.
Hening. Merasa agak lega, ia pergi cepat-cepat. Kali ini ia tidak lupa
mematikan lampu. Loteng itu seperti lenyap dalam kegelapan.
Ya. Lenyap, pikir Lea. Baru saja lenyap.
Ia turun ke tangga dan mengembalikan penutup plafon.
Agar aman di kamarnya, ia menutup pintunya rapat-rapat.
Untuk menenangkan diri, ia berjalan hilir-mudik sebentar, lantai
papan yang sudah tua itu berderak-derak di bawah kakinya. Tak lama
ia sudah merasa tenang lagi.
Ia menuju tempat tidur, mengambil Georgie, boneka macannya,
dan memeluknya. "Aku takut, Georgie," bisiknya pada si macan. "Aku
takut sekali." Lea terpaku ketika melihat mata macannya mulai bercahaya"
merah, memerah, semaldn merah... sampai seluruh wajahnya berubah
merah, ganas sekali. Lea menjerit sambil menjatuhkan boneka macannya ke lantai.
bab 14 "WELL, aku tidak percaya ketika dia menelepon Don," kata
Marci sambil mendorong rambutnya yang pendek saat bercerita. "Tapi
waktu dia mengajak Don kencan, itu sudah keterlaluan."
Cewek-cewek yang mengerumuni Marci tertawa menghina.
"Dan waktu itu aku ada di rumah Don! Aku mendengar semua
obrolannya," jelas Marci, menuturkan bagian terpenting ceritanya.
Senyumnya melebar, matanya yang biru pucat bersinar gembira ketika
ceritanya disambut tawa teman-temannya.
Lea berdiri di dekat kerumunan, terhalang pintu lokernya,
gemetar, marah dan malu, mendengar cerita Marci.
Marci betul-betul sakit, pikir Lea. Marci tidak tahan untuk
segera menceritakan tentang diriku kepada teman-temannya. Dan
cerita bohongnya itu kejam sekali!
Mengapa dia tega melakukannya" pikir Lea.
Dia sudah menang. Dia memiliki Don. Don betul-betul
budaknya. Don akan melakukan apa pun yang dimintanya. Kalau Don
melihat Marci, dia cepat-cepat lari, menggoyang-goyangkan ekornya
seperti anak anjing. Dia sudah kenyang menghinaku. Dia mempermalukan aku di
depan Don dan di hadapan teman-temannya. Karena dia, semua murid
sekolah ini mencemooh aku.
Dia sudah menang. Jadi, mengapa dia masih terus
melakukannya" Dia sakit. Betul-betul sakit, batin Lea.
Ia membanting pintu lokernya dan memutar kunci kombinasi.
Setelah menyandang ranselnya, ia berbalik meninggalkan kerumunan,
lalu menuju pintu gerbang.
Dua cewek yang sedang melemparkan jaket ke dalam loker
tertawa tergelak-gelak ketika Lea lewat. Lea memerah.
Mereka teman-teman Marci, batinnya pahit sambil
memalingkan wajah ke tembok, menghindari mereka. Dengan marah
ia terus berjalan; dimasukkannya tangannya ke saku jeans.
Curang. Marci telah menghancurkan hidupku
Menghancurkannya. Dan aku sama sekali tidak membalasnya.
"Andai aku punya cara untuk membalas dendam!" batinnya
sambil membuka pintu gerbang dan melangkah di sore cerah namun
berangin kencang itu. "Dia pasti tidak berani menggangguku lagi."
Sepanjang perjalanan ke rumahnya, mula-mula di bus, lalu saat
berjalan melawan angin, melihat daun-daun beterbangan di sekitarnya,
menghirup udara musim gugur yang manis, Lea memikirkan cara
untuk membalas dendam. Tapi tidak satu pun yang pas.
Aku tidak ingin melakukan lelucon konyol. Aku ingin membuat
Marci kapok, benar-benar kapok. Sesuatu yang betul-betul
memalukannya. Tidak. Sesuatu yang betul-betul menakutkannya.
Ya. Lea ingin menakut-nakuti Marci.
Senyum menghiasi wajah Lea ketika ia membelok ke Fear
Street, dedaunan kering berputar-putar tinggi ke arahnya, tepat
melewati lereng kuburan; nisan-nisan tua yang melengkung tampak
tegak, bagai pengawal-pengawal kuburan.
Ya, aku akan menakut-nakuti Marci, pikir Lea, asyik menyusun
rencana hingga ia tidak melihat tupai yang mau mencari kenari di
kuburan tua menyeberang di depannya.
Aku ingin dia setakut diriku ketika berada di loteng semalam.
Tadi malam. Ya. Ia sudah mendapat ide ketika membuka pintu belakang dan
melewati sepen, masuk ke dapur. Dengan hati-hati ia menggosokkan
sepatu karetnya di keset dekat pintu. Ia sudah tahu apa yang akan
diperbuatnya. Ide itu membuatnya takut, tapi cuma sedikit. Marci pasti lebih
takut, batin Lea. Ia meletakkan ransel di sudut dapur, lalu memeriksa pesan di
kulkas. Tidak ada. Aneh, pikir Lea. Ibunya hampir selalu meninggalkan pesan atau
pesan baru "darurat" untuknya.
Ketika menuju ruang depan, ia mencopot mantelnya dan
menyampirkannya di pegangan tangga. Lalu ia menaiki tangga yang
berderit, seolah gembira menyambut rencananya, keinginannya yang
besar untuk menakut-nakuti Marci.
Ia telah menghancurkan hidupku. Menghancurkannya.
Kata-kata itu terus-menerus memenuhi benaknya ketika ia
mondar-mandir di kamarnya, memikirkan rencananya, merasa ngeri,
tapi juga tertantang. Berhentilah berpikir, cepat kerjakan, ia mendesak dirinya.
Ia melangkah ke luar kamar, dengan cepat naik tangga besi dan
menggeser penutup di plafon. Ia berjalan di loteng, setengah berharap
palang pintu itu sudah kembali di tempatnya, kamar itu sudah dikunci
dan dipalang, dan pengalamannya semalam cuma mimpi yang seperti
sungguhan. Tapi palang pintu itu ternyata masih tergeletak di lantai. Pintu
kayunya yang licin masih tegak di tembok, seperti menunggunya.
Ketakutannya pun muncul. Di balik keinginannya, di balik semua rencananya untuk balas
dendam, muncullah ketakutannya. Kerongkongannya serasa tercekik,
otot-ototnya menegang ketika menghampiri pintu.
Ada suara di dalam tubuhnya, suara hatinya, bijaksana dan
sungguh-sungguh, menyuruhnya kembali. Pergi dari situ. Jangan
membuka pintu itu. Membiarkan hantu itu sendirian.
Suara itu menyuruhnya menutup loteng. Menjauh dari situ.
Menceritakannya kepada orangtuanya. Menceritakan tentang
Catherine. Menyuruh mereka membahasnya. Menyerahkan kepada
mereka untuk menghadapi semua ketakutan ini.
Tapi suara bijaksana itu kini sudah diam. Ditenggelamkan oleh
jeritan melengking yang mengandung kekuatan, yang memaksanya,
menyuruhnya balas dendam.
"Buka pintu!" Catherine berseru dari dalam kamar. "Ayo, buka
pintu, lalu masuklah."
Lea memutar anak kunci, tidak mendengarkan suara hatinya
lagi, mendorong pintu, lalu masuk.
bab 15 "AKU semalam tidak bermaksud menyakitimu," kata Catherine
gugup, tangannya di pinggang.
Ia berdiri di tengah kamar, berpakaian seperti sebelumnya, blus
putih berleher tinggi dan rok panjang hitam yang menyapu lantai.
Lilin-lilin yang sama masih menyala di meja kecil dan di
lemari. Lea tiba-tiba tersadar, lilin-lilin itu terbakar tapi tidak meleleh.
"Aku tidak ingin menyakitimu," ulang Catherine, ekspresinya
serius dan menyesal. "Itu karena aku sudah lama tidak pernah
menyentuh orang. Aku... aku jadi lupa diri."
"Sudahlah," ucap Lea ragu-ragu. "Kurasa aku amat ketakutan.
Aku takut, lalu..." "Aku tidak akan melakukannya lagi," potong Catherine.
"Namaku Lea," kata Lea, bergerak pelan-pelan memasuki
kamar. "Nama yang indah," ucap Catherine lirih, malu-malu. "Kau
cantik sekali. Aku suka rambutmu. Model rambutmu menarik."
"Berponi begini?" seru Lea. "Menarik?"
"Aku ingin punya rambut gelap," kata Catherine, duduk di kursi
kayu keras bersandaran tinggi, di sebelah meja.
"Tapi rambutmu indah sekali," tegas Lea.
"Lihatlah ini," ujar Catherine dengan mata berbinar.
Ketika Lea melihatnya, terpesona dan takut, Catherine
mengubah rambutnya menjadi bersinar, lebih bersinar lagi, sampai
rambutnya yang ikal keemasan berkibaran, memancarkan sinar yang
berputar-putar di kamar itu. Lalu, secepat kilat, rambut Catherine
menggelap, tidak tampak, sampai sekelam pita beludrunya yang
hitam. Seluruh tubuhnya berubah menjadi gelap, tinggal bayangan,
seperti bingkai tipis yang bersinar.
"Kembalilah," pinta Lea.
Catherine muncul, puas dengan dirinya. "Banyak lho
keuntungannya jadi hantu," ujarnya sambil tersenyum. "Banyak hal
yang bisa dilakukan tanpa tubuh. Tapi ada juga..." Suaranya bergetar.
"Maukah kau pergi ke luar sana?" tanya Lea, mengucapkannya
dengan cepat, sebab kalau tidak ia bisa berubah pikiran.
"Apa?" Wajah Catherine yang cantik tampak terkejut.
"Maukah kau meninggalkan tempat ini" Keluar bersamaku?"
tanya Lea, jantungnya berdebar kencang.
Senyum terpancar di wajah Catherine. "Ya!" serunya. "Oh, ya!
Tentu! Trims, Lea! Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih
padamu! Kau betul-betul percaya padaku, kan?"
"Apa?" kini giliran Lea yang bertanya. "Percaya padamu?"
"Kau percaya kalau aku ini hantu" Kalau aku tidak akan
menyakitimu?" tanya Catherine menggebu-gebu.
"Yeah. Begitulah." Lea tak ingin memikirkannya. Ia tak ingin
memikirkan apa pun. Ia ingin berbuat sesuatu.
Kalau ia memikirkannya, ia pasti membatalkannya.
Sudah terlambat untuk membatalkannya.
"Kita akan pergi ke mana?" tanya Catherine bersemangat.
"Ke rumah temanku," sahut Lea.
"Teman?" "Well, dia sebetulnya bukan teman. Lebih tepat disebut musuh."
Catherine kebingungan. "Namanya Marci," jelas Lea, sudah mantap untuk menceritakan
semuanya pada Catherine. "Aku ingin mempermainkan dia, sedikit
menakut-nakutinya." ebukulawas.blogspot.com
"Sedikit?" tanya Catherine.
"Banyak!" Lea mengoreksinya.
Kedua gadis itu tertawa. "Aku mulai paham," ujar Catherine, menyibukkan diri dengan
leher blusnya yang ketat. "Kau ingin aku menakut-nakuti Marci."


Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bisakah kau membuat benda jadi melayang?" tanya Lea.
"Aku bisa membuat diriku melayang," sahut Catherine. "Begini,
kan?" "Tidak. Aku ingin kau menghilang sambil membawa tempat
lilin itu," tunjuk Lea.
"Begini, ya?" Catherine menghilang dari pandangan. Beberapa
saat kemudian, tempat lilin itu terangkat dari lemari dan bergerak
menuju Lea. "Ya! Begitu!" seru Lea gembira. "Bagus sekali!"
Catherine muncul diiringi embusan lembut, berdiri di samping
Lea, memegang tempat lilin. "Menyenangkan sekali," ucapnya,
tersenyum. "Aku belum pernah menakut-nakuti orang."
"Aku ingin Marci tahu bahwa aku punya kekuatan jahat," kata
Lea, tak sanggup menekan kegembiraannya. "Kurencanakan semua ini
di perjalanan dari sekolah ke rumah. Gadis itu sangat menyakiti
Geger Pusaka Ratu Shima 2 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Pendekar Aneh Naga Langit 23
^