Kamar Rahasia 3
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom Bagian 3
hatiku. Aku ingin balas dendam agar dia tidak berani lagi
menggangguku." "Dengan senang hati aku mau membantumu," ujar Catherine,
melayang melintasi kamar, meletakkan tempat lilin.
"Kau harus patuh pada perintahku," kata Lea gembira. "Buatlah
agar semuanya tampak seolah-olah akulah yang membuat keanehan
itu. Aku ingin menakuti Marci agar dia tidak berani lagi mengusikku."
"Dia tidak akan berani mengganggumu lagi," ucap Catherine,
lebih kepada dirinya. Ia memegang dan menekan tangan Lea. Tangan
Catherine terasa dingin sekali.
Sedingin mayat, batin Lea. Tapi ia memaksa dirinya agar tidak
bereaksi. Ia tidak ingin melukai perasaan Catherine.
"Aku tidak percaya kau mau mengajakku ke luar," seru
Catherine, melompat gembira. "Kapan kita akan pergi?"
Lea melihat jam tangannya. "Pukul 16.45. Marci mungkin
sudah tiba di rumah. Ayo berangkat, Catherine."
"Ya!" seru Catherine, amat bahagia. "Ya. Dia tidak akan
menyakitimu lagi. Ya!"
Catherine menghilang dari pandangan, membuat Lea terkejut.
Ia mengamati sekitar kamar, mencari Catherine.
"Catherine" Di mana kau?"
Tiba-tiba Lea merasa aneh. Mula-mula ia pusing. Lalu rasa
pusingnya berubah, seperti ada beban yang menekan kepalanya.
"Catherine?" Lea merasa beban itu semakin menekan kepalanya, turun ke
bahu dan dadanya, ke tubuhnya, semakin ke bawah, ke bawah lagi.
Aku merasa tubuhku berat sekali, batinnya.
Tapi mendadak ia merasa beban berat itu lenyap dan ia mulai
merasa ringan sekali, nyaris melayang.
Lalu ia tak mampu menguasai dirinya lagi, kehilangan kendali.
"Catherine" Kenapa begini?" tanya Lea. "Oh... tolong!
Catherine" Stop! Tolong hentikan! Catherine... apa yang kaulakukan
padaku?" bab 16 "TENANGLAH, Lea," kata suara di kepala Lea. "Aku bisa
merasakan ketegangan saraf-saraf tubuhmu."
"Catherine, di mana kau" Apa yang kaulakukan padaku?"
"Tidak apa-apa," kata suara di kepala Lea, misterius.
"Kau... kau ada di dalam tubuhku!" Lea tersadar dan ketakutan.
"Di dalam pikiranku!"
Ia masih berada di kamar loteng. Setidaknya ia mengira sedang
berdiri di sana. Ia tak bisa merasakan kakinya. Atau tangannya. Atau
yang lainnya. Catherine telah mengambil alih tubuhku, batin Lea. Aku masih
ada di dalam, tapi tak mampu lagi menguasai diriku.
"Tidak apa-apa," ulang Catherine. Kali ini kata-katanya keluar
dari mulut Lea, melalui suara Lea!
"Catherine... tolong!" pinta Lea. "Aku takut sekali. Aku merasa
aneh." "Aku juga takut," sahut Catherine lewat suara Lea. "Aku belum
pernah ke luar. Aku tidak akan menyakitimu, Lea. Aku janji. Dan aku
akan keluar dari tubuhmu begitu tiba di rumah Marci. Tidak sakit,
kan?" "Tidak," sahut Lea. "Cuma rasanya aneh. Aku merasa ringan
sekali, lemah. Kehilangan kendali.
"Maaf kalau aku membuatmu takut. Tapi tidak ada cara lain
lagi," ujar Catherine, terucap pelan dari mulut Lea. "Semua energiku
akan terkuras. Aku tidak cukup kuat kalau harus bepergian sendirian."
"Dan kau janji akan keluar dari tubuhku begitu tiba di rumah
Marci?" tanya Lea cemas.
"Tentu," Catherine meyakinkannya. "Aku berutang budi
padamu, Lea. Kau baik sekali mau mengajakku ke luar. Aku tidak
ingin membuatmu takut."
Ucapan Catherine menenangkan Lea. Tak lama ia sudah
menuruni tangga, bersama seorang penumpang di dalam tubuhnya.
Setelah itu ia memakai jaket dan berjalan ke rumah Marci.
"Marci tinggal di Hawthorne Drive, cuma beberapa blok dari
sini," Lea memberitahu Catherine.
"Indah sekali di luar sini," kata Catherine.
Kaki Lea menginjak hamparan daun-daun kering di halaman
dan di jalan. Matahari sudah condong, menyisakan sinar merah jambu
dan merah tua di langit yang kelabu. Bau manis dan menusuk dari
kayu yang terbakar tercium di hidung Lea. Ada orang yang membakar
sesuatu di bawah sana. "Semuanya serba mengagumkan, lebih indah dari yang
kubayangkan," ujar Catherine. Lea merasakan air mata hangat
meluncur di pipinya. "Semuanya memang sudah begitu," tambah Lea.
Mereka berbelok ke Hawthorne. Rumah Marci tinggal beberapa
rumah lagi di blok ketiga. Rumah-rumah di situ tampak tua dan tidak
teratur, modelnya tidak berbeda jauh dari rumah-rumah di Fear Street,
cuma sedikit lebih baik, halamannya lebih terawat dan bersih dari
daun-daun kering. "Enak juga bisa berada di dalam tubuh lagi!" seru Catherine.
"Merasakan udara di wajahku. Merasakan dingin. Benar-benar
merasakan!" "Aku ikut gembira," sahut Lea kurang antusias.
Kalau Catherine suka tinggal di dalam tubuhku, apakah dia mau
keluar setiba di rumah Marci nanti" Sewaktu memikirkannya, rasa
takutnya tiba-tiba muncul. Akankah Catherine menepati janjinya"
Apa yang akan dilakukan Lea kalau Catherine ingkar janji"
"Kita sudah sampai," kata Lea sambil melangkah di jalan yang
berkerikil. Atap rumah Marci berwarna putih, baru dicat, kusen
jendelanya hitam, gentengnya merah.
Ketika menuju beranda depan, Lea kembali merasa aneh.
Beberapa saat ia merasa tubuhnya amat berat. Lalu ia merasa beban
itu melayang, naik, naik, keluar dari tubuhnya.
Ia mengembangkan tangannya.
Lea kini bisa menguasai dirinya.
Ia merasa normal kembali.
"Catherine?" bisiknya.
"Aku ada di sampingmu," bisik Catherine yang tidak nampak.
"Aku gembira sekali, Lea. Inilah bagian hidupku yang paling membahagiakan."
Catherine memegang janjinya, pikir Lea lega. Aku bisa
mempercayainya. Ia membunyikan bel pintu. "Tunggu pembalasan kita,"
bisiknya. Di balik kegembiraannya, Lea tiba-tiba merasa bersalah. Apa
yang sedang kulakukan" Ini perbuatan sinting. Gila. Kubiarkan
amarah menguasai diriku. Membuat aku tidak bisa berpikir jernih. Ini
seharusnya tidak boleh terjadi.
Tapi ketika ia teringat perlakuan Marci di sekolah,
menyebarkan cerita bohong tentang dirinya, dan ketika ia ingat kedua
gadis yang menertawakannya sewaktu ia lewat, rasa sesalnya segera
lenyap, tekadnya menjadi bulat.
Lea kembali membunyikan bel. Ia mendengar suara langkah
tergesa-gesa yang kian mendekat. Lampu beranda di atasnya menyala.
Lalu pintu terbuka setengah, Marci menyembulkan kepala, wajahnya
terkejut. "Mau apa kau?" tanya Marci dingin, napasnya bercampur udara
sore hari itu. "Aku ingin bicara denganmu," gumam Lea.
Kebencian dan sikap Marci yang dingin membuat Lea serasa
ingin mengerut menjadi sebuah bola kecil, lalu menggelinding.
"Aku sibuk," sahut Marci, memandangi Lea, wajahnya jelasjelas mencemooh.
"Sebentar saja," desak Lea, amarahnya membuat ia lebih
percaya diri. "Aku ingin membicarakan beberapa hal."
"Tulis saja di surat," sergah Marci, membanting pintu.
Tapi pintu itu tidak mau tertutup. Masih terbuka beberapa inci.
Marci mendorongnya, tapi pintu itu tetap tidak mau tertutup. Ia
memeriksa apakah kaki Lea mengganjalnya, tapi Lea berdiri
selangkah dari pintu. "Hei! Kenapa ini!" seru Marci bingung. "Pintunya tidak mau
menutup." Catherine mulai beraksi, pikir Lea, diam-diam merasa senang.
Ia melewati Marci, masuk ke lorong depan tanpa memedulikan
tatapan benci di wajah Marci.
"Ada sebabnya aku tinggal di Fear Street," kata Lea sambil
mengangkat mata, menatap Marci. Ia sudah berlatih mengucapkan
kalimat itu sejak pulang sekolah tadi.
"Apa maksudmu?" tanya Marci.
Pintu depan terbanting menutup di belakang Marci. Ia
melompat terkejut oleh suaranya. "Ada apa dengan pintu itu?"
Lea tertawa gugup, berharap suara tawanya terdengar jahat.
"Aku ingin kau tidak lagi menyebarkan kebohongan tentang
diriku," katanya pada Marci, sambil menatap mata Marci yang biru
pucat. "Apa" Buat apa aku membicarakanmu?" tanya Marci
mencemooh. "Memangnya kau ini siapa?"
"Aku mendengar segala omonganmu," kata Lea. Aneh, ia
merasa sangat tenang. "Aku tidak tahu kenapa kau membenciku,
pokoknya kuminta kau tidak bicara macam-macam lagi tentang aku."
"Selamat malam. Kau tahu pintu keluarnya," kata Marci sambil
beranjak hendak pergi. Ketika ia melewati meja dengan sebuah vas enamel biru di
atasnya, sekonyong-konyong vas itu melayang ke udara.
"Hei!" seru Marci. Ia terperanjat dan bersandar ke tembok,
kedua tangannya menggapai-gapai, seolah ingin melindungi diri dari
vas yang melayang ke arahnya.
"Kau kini percaya, kan," kata Lea, gembira melihat Marci
ketakutan, "kenapa aku tinggal di Fear Street."
"Apa maksudmu?" seru Marci, memandang vas biru yang
melayang kembali ke tempatnya.
"Aku punya kekuatan gaib," sahut Lea. "Kau salah memilih
musuh, Marci." "Dengar!" seru Marci.
Tapi lemari pakaian di belakangnya tiba-tiba terbuka, dan jas
dari kain dril itu menari- nari, lengannya melambai-lambai, berputarputar lincah.
"Tidak!" jerit Marci. "Hentikan!"
"Aku ingin kau berhenti menggangguku," kata Lea tenang,
berusaha terus menatap Marci.
Pintar sekali Catherine menakut-nakuti orang!
"Lelucon konyol," ujar Marci bimbang.
Jas itu terpuruk di dekat kaki Marci.
"Keluar dari sini, Lea. Ayo. Keluar," seru Marci marah,
punggungnya masih bersandar ke tembok, jarinya menunjuk ke pintu.
"Oh!" Marci melongo, lalu menjerit ketakutan ketika kakinya
tiba-tiba terangkat dan ia melayang tiga atau empat inci dari lantai.
Wow, batin Lea kagum. Meski cuma gadis kecil, Catherine
ternyata amat kuat! Marci menendang dan meronta-ronta. "Lepaskan!" jeritnya,
wajahnya memerah, matanya berputar-putar panik. Tubuhnya
meronta-ronta dan sikunya menyikut penangkapnya yang tidak
tampak. Ia akhirnya berhasil dan jatuh berdebum ke lantai.
Terengah-engah ia bangkit berdiri. "Mom!" teriaknya, melewati
Lea menuju tangga. "Mom... tolong aku!"
Uh-oh, pikir Lea. Catherine sudah keterlaluan. Bukan ide bagus
membuat Marci naik ke atas.
"Marci... tunggu!" panggil Lea.
Marci melesat naik tangga, dua anak tangga sekaligus, menjeritjerit histeris, memanggil ibunya.
Lea melihat Marci tiba di lantai dua, di mana terbentang balkon
sempit yang berpagar pendek. Pintu terbuka. Marci mulai melangkah
di balkon. "Mom!" teriaknya.
Ibu Marci muncul dari salah satu kamar. "Marci, ada apa!"
Marci hendak lari menghampiri ibunya ketika tiba-tiba, dengan
menjerit keras, ia tersandung dan terjatuh, menimpa pagar kayu.
Pagar itu berderak keras.
Ibu Marci dan Lea menjerit ketakutan ketika Marci terjungkal
dari balkon, tangannya menggapai-gapai panik di udara, menggapaigapai sesuatu yang tidak ada... dan beberapa detik kemudian, yang
serasa seabad, ia terjatuh membentur ubin di bawahnya, diiringi suara
sesuatu yang patah, seperti suara telur pecah.
bab 17 "OH, tidak! Tidak! Tidaak!" Mrs. Hendryx menjerit-jerit.
Lea lebih dulu menghampiri Marci. Marci tergeletak telentang,
matanya membelalak, melotot ke plafon. Kepalanya terpuntir. Salah
satu kakinya tertekuk di bawah punggungnya, aneh sekali letaknya.
Lea membungkuk di atasnya dan mendengarkan detak
jantungnya. Lalu ia mendekatkan tangannya di bawah hidung Marci,
merasakan napasnya. "Mrs. Hendryx... dia sudah tidak bernapas lagi!" jerit Lea.
"Oh, tidak! Tidak! Tidaaak!"
Dengan menjerit ngeri, Mrs. Hendryx menjatuhkan dirinya di
sisi Marci, lalu merengkuh kepala putrinya ke pangkuannya. "Panggil
ambulans! Cepat!" teriaknya.
Lea bergegas ke tempat telepon, dengan tangan gemetar
memutar nomor 911. "Oh, tidak! Tidak! Tidaaak!" Mrs. Hendryx bersimpuh di lantai,
menimang kepala Marci di pangkuannya. Kaki Marci masih tertekuk
ke belakang. "Dia sudah meninggal. Anakku sudah meninggal."
Ia masih menimang-nimang Marci ketika sepuluh menit
kemudian tim medis dan dua polisi muda tiba.
"Kejadian mengerikan, sungguh mengerikan," cuma itu yang
sanggup diucapkan Mrs. Hendryx sebelum roboh di lantai sambil
menangis. Tim medis segera bertindak, mengeluarkan barang-barang dari
dalam tas mereka, tergesa-gesa memeriksa, mencoba memberi napas
buatan pada Marci. Tapi tidak berguna. Marci sudah meninggal.
"Marci dan aku sedang membicarakan sesuatu. Well,
sebenarnya kami sedang berselisih pendapat," Lea menjelaskan pada
polisi sesudah tim medis memanggil dokter keluarga ibu Marci.
"Apa kau melihatnya ketika dia jatuh?" tanya salah seorang
polisi, menulis cepat di nota stenonya.
"Ya," sahut Lea, terisak. "Dia lari naik tangga. Mungkin
tersandung. Dia terjatuh ke pagar. Pagar itu patah. Lalu dia jatuh ke
sini." Kedua polisi itu memandang tubuh Marci, tapi Lea tidak tega
melihatnya. Beberapa orang berseragam berdatangan. Tubuh Marci
ditutupi kain terpal, lalu tibalah petugas penyelidik kematian.
Tidak banyak lagi pertanyaan. Mereka lebih banyak mencatat di
nota steno. Dokter tiba untuk memeriksa Mrs. Hendryx. "Kejadian
mengerikan," bisik Mrs. Hendryx, wajahnya yang berjerawat, sembap
karena menangis. Ia menoleh pada Lea ketika Dokter memapahnya ke
kamarnya di atas. "Kejadian mengerikan."
Benarkah peristiwa itu hanya kecelakaan" Lea membatin sambil
melihat ibu Marci yang dipapah menaiki tangga.
Benarkah"
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Atau Catherine yang membunuh Marci"
Itu pasti tak mungkin, bukan"
"Nona, apa kau mau diantar pulang?" tanya salah seorang polisi
itu dengan sabar. "Oh, maaf." Karena sedang melamun, Lea tidak mendengarnya.
"Ya. Terima kasih."
"Mari," ajaknya, menuju pintu.
Ketika mengikutinya, Lea merasakan tubuhnya memberat lagi.
Beban berat itu menekan kepalanya, turun ke dada dan kakinya,
sampai sekujur tubuhnya terasa berat.
Catherine masuk kembali ke tubuhnya.
Catherine, aku mau bicara, Lea berbicara lewat pikirannya
ketika tubuhnya sudah ringan.
Catherine, apakah kau yang membunuh Marci"
Tidak ada sahutan. Catherine ada, tapi tidak menyahut.
Catherine, itu tadi kecelakaan, kan"
Aku benci Marci, tapi aku tidak ingin dia tewas.
Catherine, tolong katakan kalau itu tadi kecelakaan mengerikan.
Hening. Pohon yang gundul di dekatnya bergemeresik. Langit kelam.
Tak lama, kedua polisi itu membantu Lea keluar dari jok belakang
mobil mereka, lalu mengantarnya sampai pintu rumahnya.
Lampu beranda menyala, lalu pintu terbuka. "Lea, ada apa?"
tanya ayahnya. Lea menyusup ke pelukan ayahnya. "Oh, Daddy. Sesuatu yang
mengerikan telah terjadi!" jeritnya. "Seorang gadis, temanku,
meninggal! Dia benar-benar meninggal."
Lea, yang masih dihantui perasaan ngeri, beberapa saat merasa
tubuhnya kembali memberat, lalu beban berat itu melayang keluar dari
badannya, lewat kepalanya, sampai lenyap sama sekali.
Catherine sudah keluar, barangkali kembali ke kamarnya di
loteng. Mr. Carson merangkul Lea, memandangi wajah si polisi.
"Anak Anda tidak bersalah," kata seorang polisi. "Itu tadi cuma
kecelakaan. Temannya jatuh dari pagar loteng. Itulah yang
membuatnya shock." Lea mengikuti ayahnya memasuki rumahnya yang hangat. Ia
mendengar pintu depan ditutup di belakangnya. Lalu ia mendengar
suara mobil polisi menderu di jalan.
"Lea...!" seru ibunya.
"Itu tadi kecelakaan," cetus Lea, tak sanggup lagi menahan air
matanya yang mengalir di pipi. "Kecelakaan yang mengerikan!"
********************* Ia mencoba menikmati makan malamnya, tapi ayam yang sudah
dingin itu tidak bisa turun ke kerongkongannya, dan pure kentang itu
serasa bagai pasta. "Aku belum pernah dengar tentang Marci, temanmu itu," kata
ibunya yang duduk di hadapannya dan memandangnya dengan
simpatik. "Aku tidak begitu akrab dengannya," sahut Lea.
"Kau baru mengalami kejadian mengerikan," hibur ibunya,
mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Lea. "Kau bisa
makan lagi nanti. Kenapa tidak naik saja ke kamarmu dan berbaring
sejenak di sana?" "Thanks, Mom," ucap Lea. Ia mendorong kursinya, lalu menuju
tangga. Tapi ia tidak ke kamarnya. Ia berhenti sebentar di koridor,
memasang telinga untuk memastikan ayah dan ibunya tidak sedang
mengawasinya. Lalu dengan hati-hati ia naik tangga ke loteng.
Aku harus memastikan, pikir Lea sambil menggeser penutup di
plafon. Aku harus yakin itu kecelakaan, bahwa Catherine tidak
membunuh Marci. Sebab kalau dia membunuh Marci, berarti akulah yang
bertanggung jawab. Kalau benar dia membunuh Marci...
Lea tak ingin meneruskan pikirannya.
Di loteng amat dingin. Terasa tidak nyaman. Ia menyalakan
lampu kuning, lalu menuju kamar rahasia.
Pintunya tertutup. Tanpa memberitahukan kehadirannya, Lea memutar anak kunci,
lalu membuka pintu. Catherine duduk di tempat tidur, kedua tangannya di pangkuan,
seolah-olah ia sedang menunggu Lea. Wajahnya tersenyum gembira.
"Catherine, apakah kau yang mendorong Marci?" tanya Lea
tanpa basa-basi. Wajahnya tegang, ia masuk kamar, mendekati tempat
tidur, berdiri di sebelah Catherine.
Senyum Catherine masih terkembang. Ia memandang Lea
dengan senyum nakal, tetapi tidak mau menyahut.
"Catherine, ayo jawab," desak Lea tak sabar, bertolak pinggang.
"Apakah kau yang mendorongnya" Apakah kau yang
membunuhnya?" Catherine menggeleng, rambut ikal emasnya berkibar. "Itu
kecelakaan yang mengerikan," jawabnya, tersenyum pada Lea.
"Kecelakaan tragis."
"Aku tidak percaya," kata Lea marah. "Kau pasti telah
mendorongnya, kan!" "Kau tidak punya bukti," suara kanak-kanak Catherine
terdengar mengejek. "Kau tidak bisa melihatku."
"Kau memang tidak tampak, Catherine. Tapi aku ingin tahu
yang sebenarnya." "Sudah kuceritakan yang sebenarnya," tegas Catherine, melihat
ke pintu lewat bahu Lea. "Tidak, kau pasti bohong," sergah Lea. "Kau pasti melayang ke
tangga, lalu mendorong Marci."
Catherine bangkit berdiri, menghindari Lea. Ia menuju lemari
yang tegak membelakangi tembok, lalu memandang Lea,
punggungnya bersandar ke lemari. "Kau puas kan, Lea?"
Suara Catherine yang dingin dan keras itu mengejutkan Lea.
Wajah Catherine mengeras, sekeras suaranya. Ia tidak lagi
seperti malaikat mungil. Mendadak ia tampak tua sekali.
"Well" Dengar, Lea. Kau puas, kan! Aku sudah menolongmu."
"Kau sudah menolongku?" Lea menghunjamkan pandang pada
Catherine, heran melihat perubahannya.
"Ya. Aku sudah menolongmu. Kini giliranmu menolong aku,"
ujar Catherine, wajahnya tinggal seperti bayangan.
"Menolongmu?" Lea mundur selangkah. "Tunggu, Catherine.
Aku tidak..." Catherine melayang dari lemari, memintas kamar, dan
melayang di atas Lea. "Ya. Kau harus menolongku, sekarang,"
katanya dengan suara mengeras, matanya dingin, sosoknya berubah
menjijikkan. "Tidak!" Lea menjerit, hendak melarikan diri. Tapi pintu
langsung tertutup. Sambil berpaling menatap Catherine, Lea berteriak,
"Apa yang kauinginkan?"
"Apa yang kuinginkan?" Catherine melemparkan kepalanya ke
belakang, tertawa pahit dan menghina. "Aku mau hidup lagi."
"Tapi, Catherine..."
"Aku ingin menyentuh segalanya melalui tubuh yang bernyawa,
Lea. Aku mau jalan- jalan, memijak bumi, menghirup udara."
"Tapi aku tidak bisa memenuhi permintaanmu!" teriak Lea.
"Tentu saja kau bisa," seru Catherine, menatap Lea dengan
keinginan besar. "Bolehkah aku masuk sekarang?"
"Apa?" Lea tak percaya pada apa yang didengarnya.
"Kau harus mengizinkan aku masuk sekarang," ulang
Catherine, melayang di atas Lea. "Aku sudah menolongmu tadi siang.
Kini kau berutang padaku."
"Tapi, Catherine..."
Lea menoleh ke pintu. Tertutup rapat. Catherine telah
menutupnya. Mungkin ia juga sudah menguncinya.
Tidak ada peluang untuk kabur.
Apa yang akan dilakukannya"
"Kau harus mengizinkan aku masuk," ucap Catherine pelan,
mengancam, sangat mengancam. "Aku mau masuk!"
"Jangan!" ratap Lea. "Catherine... jangan!"
Tapi Catherine sudah menghilang.
Lalu Lea kembali merasakan sesuatu yang berat di atas
kepalanya, dan sadarlah ia bahwa Catherine sudah menyelinap masuk
ke tubuhnya. bab 18 PERTAMA kali Catherine masuk ke tubuhnya, Lea sama sekali
tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa ada beban berat
yang masuk ke tubuhnya, merasakan kehadiran seseorang, lalu
tubuhnya bagai melayang. Silih berganti tubuhnya terasa berat, lalu
melayang. Pengalaman baru itu membuatnya takut, amat
membingungkannya, hingga Lea cuma bisa diam dan membiarkan
semuanya terjadi. Tapi sekarang, ketika kepalanya mulai terasa berat, dan ada
beban yang turun ke punggungnya, tahulah ia bahwa Catherine sedang
berusaha merasuki tubuhnya.
Dan ia berusaha melawan sekuat tenaga.
"Keluar! Keluar! Keluaaar!" jeritnya.
Ia mulai berkonsentrasi, memusatkan pikiran untuk mengusir
Catherine. Ia berusaha menguasai dirinya sendiri.
"Keluar, keluar... keluaar!" jeritnya, matanya tertutup rapat.
Konsentrasi. Konsentrasi.
Lea kaget ketika usahanya berhasil.
Ia merasakan beban berat itu keluar, hingga tubuhnya terasa
normal kembali. Kepalanya sudah tidak pusing lagi. Dengan mata tetap terpejam,
ia lebih meningkatkan konsentrasinya.
"Biarkan aku masuk, Lea," bisik Catherine, dekat sekali, tapi
tidak tampak. "Kau berutang padaku, Lea. Biarkan aku masuk."
"Tidak!" seru Lea, membuka mata, lalu berbalik dan lari ke
pintu. "Biarkan aku masuk, Lea. Kau tidak boleh melawanku. Aku
mau masuk." Tapi Lea sudah memutar tombol pintu dan mendorongnya.
Ia kaget ketika pintu terbuka dengan mudah.
Ia kabur ke loteng, membanting pintu, lalu menguncinya.
Aku berhasil, batinnya. Catherine sudah keluar. Aku telah
memaksanya keluar. Lea segera turun lewat tangga besi ke lantai dua, sebelum
menyadari bahwa sekujur tubuhnya gemetaran, amat gemetaran
hingga giginya gemeletuk.
Tenang, tenang, tenang. Tapi ia masih gemetaran. "Mom!" teriaknya, lari pontang-panting menuruni tangga.
"Mom! Dad! Tolong aku!"
Mereka lari keluar dari ruang baca, keduanya melongo, wajah
mereka tampak cemas dan prihatin.
"Mom, Dad, tolonglah aku!" jerit Lea, tak sanggup lagi
menghentikan tubuhnya yang gemetaran.
Ibunya lari menyeberangi ruang keluarga dan memeluknya.
"Lea, ada apa?"
"Ada hantu," bisik Lea, menyembunyikan wajah di sweater
ibunya yang lembut. "Ada hantu."
"Bawa dia ke ruang baca," Mr. Carson menyuruh istrinya. "Lea,
ayo berbaringlah di sofa."
"Tidak!" Lea menarik diri dari pelukan ibunya. "Aku tidak mau
berbaring! Aku tidak mau! Ada hantu di rumah ini. Dia membunuh
Marci, dan akulah yang telah membebaskan hantu itu!"
"Lea...," bujuk ibunya, wajahnya diliputi kecemasan.
"Lea, kau gelisah sekali," tutur ayahnya lembut. "Kau pasti
mengalami cobaan berat. Ayolah, masuklah ke ruang baca dan..."
"Tidak, aku tidak mau berbaring!" tegas Lea, sadar bahwa ia
emosi, tapi tak sanggup mengendalikannya.
"Kalau begitu, duduklah dan ceritakanlah pada kami," kata
ayahnya dengan sabar sekali.
Lea mendesah. "Oke." Ia mengikuti mereka ke ruang baca dan
duduk di tepi sofa kulit berwarna cokelat.
Ayahnya mematikan TV. Ibunya berdiri di pintu, menopang
tubuh dengan satu tangan bertumpu ke kusen.
"Ada apa?" tanya Mr. Carson, duduk di sofa, di sebelah Lea.
"Ada hantu di loteng," Lea mulai bercerita, berusaha tenang;
dipaksanya dirinya agar bersuara normal. "Seorang gadis. Di loteng.
Di dalam kamar rahasia."
"Kamar yang terkunci itu?" tanya ibunya, memandang
suaminya. "Kamar itu sudah tidak terkunci lagi," papar Lea, melihat ke
karpet putih yang berlubang di dekat kakinya. "Aku telah membuka
palangnya, lalu membuka kuncinya."
"Kau melakukan itu" Kapan?" tanya ayahnya, duduk merapat.
"Beberapa malam yang lalu. Aku seperti mendengar ada orang
di dalamnya. Lalu kucopot palangnya. Kubuka pintunya dan kulihat
hantu di dalamnya. Seorang gadis yang telah dibunuh di rumah ini.
Seratus tahun lalu. Dan aku telah membebaskannya, lalu dia dengan
sengaja mendorong Marci ke pagar. Sekarang dia... dia mau..."
Suara Lea tersendat. Ia memandangi karpet. Tidak sanggup lagi
meneruskan ceritanya. "Kau habis mengalami cobaan berat hari ini," ulang ayahnya.
"Aku sangat memahami kalau kau amat gelisah. Tapi ingatlah, kita
harus bersikap realistis di sini."
"Dad tidak percaya padaku?" teriak Lea, bangkit berdiri.
Orangtuanya bertukar pandang dengan cemas, saling memberi
isyarat. "Lea, kau amat terguncang," hibur ibunya. "Akan kupanggilkan
dokter." "Tidak!" jerit Lea. "Aku tidak butuh dokter. Aku tidak sakit!"
"Tapi, Sayang," bujuk Mrs. Carson, "ceritamu itu tidak masuk
akal." "Kurasa kau harus istirahat, Lea," kata ayahnya, memberi
isyarat Lea agar duduk lagi di sofa. "Kau butuh waktu untuk
melupakannya. Itu memang kejadian buruk."
"Nah, itulah yang ingin kubicarakan!" seru Lea, menarik
sebelah rambutnya dengan putus asa. "Sebenarnya itu bukan
kecelakaan! Catherine-lah yang membunuh Marci!"
"Catherine?" tanya ayahnya dengan dahi berkerut kebingungan.
"Hantu itu!" teriak Lea. "Hantu di kamar rahasia di loteng."
"Lea, duduklah," kata ayahnya tegas, berdiri sambil menunjuk
ke sofa. "Kutegaskan bahwa aku tidak ingin lagi mendengar cerita
tentang hantu itu." "Akan kupanggilkan dokter," ujar Mrs. Carson, menggigit ibu
jarinya, seperti kebiasaannya kalau sedang gugup. Ia segera
meninggalkan ruang baca. "Oke. Akan kubuktikan," kata Lea, masih gemetaran. "Akan
kubuktikan pada Dad." Ia menyambar tangan ayahnya, lalu
menariknya. "Ayo. Mom dan Dad."
"Kau akan mengajak kami ke loteng?" tanya ibunya,
mengikutinya dengan ragu-ragu.
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan kutunjukkan kamar tersembunyi itu," jawab Lea. "Akan
kubuktikan kalau aku tidak sinting. Bahwa ada hantu di sana."
Mereka menaiki tangga, melewati kamar Lea, dan berhenti
sebentar di tangga besi. Ketiganya memandang ke penutup di plafon.
"Kalau di sana tidak ada hantu, bolehkah aku memanggil
dokter?" tanya Mrs. Carson.
"Di sana betul ada hantu," tegas Lea.
Ia naik tangga seperti yang sudah sering dilakukannya selama
dua pekan ini, membuka penutupnya, lalu menarik tubuhnya ke loteng
yang gelap. Orangtuanya mengikutinya. Mrs. Carson lebih dulu, lalu
menyusul suaminya. "Uuh. Di sini dingin sekali," keluh Mrs. Carson.
Lea butuh beberapa detik untuk menemukan tombol lampu di
tembok. Ia menekannya, lalu loteng yang panjang dan sempit itu
diterangi cahaya kuning. Terengah-engah Lea menuju kamar rahasia itu.
Ia berhenti mendadak sambil menjerit, terperangah tak percaya.
Pintu itu tertutup dan terkunci.
Palangnya terletak di tempat semula, menutupi jalan masuk,
terpaku kokoh di pintu. Seperti belum pernah ada yang menyentuhnya. Masih persis
seperti ketika pertama kali mereka ke sini.
bab 19 DR. HARRISON menutup tasnya. Ia merapikan selimut Lea,
lalu dokter yang berkacamata itu tersenyum padanya. "Kau akan
segera sembuh," katanya singkat dengan wajah tenang. "Kau demam.
Tapi pasti segera sembuh. Istirahatlah beberapa hari, oke" Setidaknya
sampai demammu hilang."
Dengan mengantuk akibat panas yang tinggi, Lea mengucapkan
terima kasih. Ia memalingkan wajahnya ke bantal.
Mereka tidak mempercayai ceritaku tentang Catherine, batinnya
pahit. Mereka pikir demamku ini yang menyebabkanku melantur.
Di seberang kamarnya, hujan deras memukul-mukul jendela
kembarnya. Angin kencang mengempaskan air hujan ke kaca,
menggetarkan kusen jendela yang sudah tua.
Lea bisa mendengar Dr. Harrison sedang berbisik-bisik dengan
orangtuanya di koridor. Lea mengangkat kepalanya dari bantal,
berusaha mencuri dengar ucapannya. Tapi bicaranya pelan sekali.
Tak lama ia mendengar ketiga orang itu menuruni tangga. Ia
mendengar pintu depan ditutup setelah dokter itu pulang.
Mereka kira aku berkhayal, pikir Lea.
Mungkin aku... Ia mendongak ketika orangtuanya memasuki kamar, nyaris
berjingkat-jingkat. "Belum tidur?" bisik ayahnya.
"Aku ngantuk sekali," sahut Lea, menguap.
"Dr. Harrison bilang demammu akan segera hilang," hibur
ibunya. Dengan cemas ia menggigiti ibu jarinya sambil membungkuk
di atas Lea, menatapnya, seakan-akan baru pertama kali melihatnya.
"Jangan pandang aku seperti itu," pinta Lea, heran mengapa
suaranya jadi parau. "Kau harus istirahat beberapa hari di tempat tidur. Tidurlah,"
bujuk ayahnya. "Sepertinya aku bakal tidur seminggu," sahut Lea.
Ibunya membungkuk dan mencium keningnya. Mom wangi
jeruk. Lea tersenyum dan memejamkan mata.
Hujan deras yang menghantam jendelanya membuatnya
kembali membuka mata. Orangtuanya sudah turun. Ia mengambil
Georgie dari kaki tempat tidur, lalu memeluknya erat-erat.
"Barangkali mereka mengira aku sinting, Georgie," tuturnya pada
boneka macannya. Sebagai jawabannya, mata Georgie mencorong merah.
"Tidak!" bisik Lea, melemparkan bonekanya ke lantai.
Ketika menengadah, Catherine sudah berdiri di sisi tempat
tidurnya, mencorong merah seperti Georgie.
"Catherine... mau apa kau kemari?" tanya Lea. "Untuk apa kau
ke sini?" "Ini kamarku," sahut Catherine, tersenyum.
Cahaya merah itu sudah hilang. Semua warna di kamar itu
memudar hingga tinggal dua cahaya merah yang terpancar dari kedua
mata Catherine. "Kamarmu" Apa maksudmu?" Lea terduduk, kepalanya
tersandar di tempat tidurnya.
"Ini kamarku," ulang Catherine, masih tersenyum. "Aku selalu
di sini." "Lalu kamar di loteng itu. Kamar rahasia itu...," kata Lea.
"Inilah kamar itu," jelas Catherine, duduk di tepi tempat tidur
dengan mata bersinar merah. "Ini kamarku. Kau tidak pernah berada
di loteng, Lea." "Tidak pernah?" kepala Lea pusing. Matanya terpejam.
Aku betul-betul sudah sinting, pikirnya.
Hujan menimpa daun jendela. Lea merasakan embusan udara
dingin di wajahnya, embusan angin dari jendelanya. Ia menarik
selimutnya hingga ke bawah dagu, lalu mencengkeramnya erat-erat,
seolah-olah selimut itu bisa melindunginya dari Catherine, dari semua
penjelasan Catherine. "Kau tidak pernah ke kamar rahasia itu," Catherine bertutur
lirih. "Kau tidak pernah ke loteng, karena aku memang tidak tinggal di
loteng. Aku belum pernah meninggalkan kamar ini."
"Aku tidak mengerti," ujar Lea, membuka mata, menatap hantu
perempuan yang pucat itu.
"Aku telah mempengaruhi pikiranmu, Lea," jelas Catherine
datar, tanpa emosi. "Aku mengelabui penglihatanmu. Aku
membuatmu seolah-olah berada di loteng, di kamar rahasia. Kamar
yang sudah lama sekali ditutup. Tapi sebetulnya kau selalu ada di
kamar ini." "Tapi mengapa" Mengapa?" tanya Lea. Selimut sebatas dagu
yang dicengkeramnya erat-erat tak mampu mengusir rasa dinginnya,
dan rasa takut yang terasa di sekujur tubuhnya.
"Kamar di loteng itu tempat kejahatan," kata Catherine. Ketika
mengucapkannya, matanya bersinar merah tua. Ia melayang ke atas
tempat tidur, di atas Lea, sinar matanya membakar wajah Lea.
Lea berpaling. Catherine berbalik ke ujung tempat tidur. "Itu tempat kejahatan.
Aku yang memasang palang pintu kamar itu. Seratus tahun silam. Aku
yang melakukannya. Hingga pintu itu tertutup selamanya."
Lea tidak menyahut. Ia mengantuk sekali. Ia harus memaksa
diri untuk bisa mengerti ucapan Catherine. Sulit sekali memahaminya.
"Aku melihat ketika pertama kali kau ke loteng," lanjut
Catherine. "Kulihat kau menghampiri pintu yang ditutup itu. Kulihat
kau memasang telinga di situ. Mula-mula aku mencoba menakutnakutimu agar kau mau pergi dari situ."
"Maksudmu?" Lea teringat ketakutannya ketika pertama kali ke
loteng. "Ya. Tetes darah dan paku yang melesat ke arahmu, akulah
yang melakukannya," papar Catherine. "Aku harus menakutnakutimu. Aku harus menjauhkanmu dari kamar kejahatan itu. Tapi
ternyata itu belum cukup. Ketika kulihat kau begitu ingin
membukanya, memasukinya, aku lalu mempengaruhi pikiranmu. Aku
berbuat seolah-olah kau berada di loteng. Aku membuatmu seolaholah membuka pintu. Tapi sebenarnya kau terus di sini."
Catherine tertawa terkekeh-kekeh hingga rambut emasnya yang
keriting terguncang-guncang. Jelas sekali ia menyombong, puas pada
dirinya, mempermainkan Lea dengan segala tipu muslihatnya.
"Tapi mengapa kau harus repot-repot begitu?" tanya Lea
dengan suara serak. "Mengapa kau harus membuatku seolah-olah ada,
di loteng?" "Agar kau tidak merasa takut di kamarmu," sahut Catherine,
memperjelas semuanya. "Aku ingin kau betah. Aku ingin kau jatuh iba
padaku, bersimpati pada cerita sedihku. Aku ingin kau percaya
padaku." Lea bergerak resah, kedua tangannya mencengkeram
selimutnya lebih erat lagi, kedinginan, sangat kedinginan, hingga ia
mulai menggigil. "Sekarang kau mau apa, Catherine?" tanyanya
dengan gigi gemeletuk. "Aku mau berbagi kamar ini denganmu," jawab Catherine,
membungkuk. "Juga tubuhmu."
"Tidak!" Lea berusaha menjerit, tapi ia merasa amat lemah,
amat mengantuk, amat pusing.
"Kau sekarang milikku!" ia mendengar Catherine berteriak.
Lalu ia merasa kepalanya berat, rasa berat itu turun ke
tubuhnya. Terasa berat. Amat berat.
Ia tahu Catherine telah merasukinya, memilikinya.
Tapi Lea amat lemah, amat mengantuk untuk melawannya.
Tak lama Catherine sudah sepenuhnya menguasai dirinya.
"Alangkah menyenangkan!" katanya melalui suara Lea.
bab 20 CATHERINE sudah merasukinya.
Beberapa hari ini, ketika ia tinggal di rumah menunggu suhu
tubuhnya normal kembali, Lea merasa seperti ada tamu di dalam
tubuhnya. Ia sadar. Ia sudah menyiapkan segalanya untuk mengatasi
apa yang bakal terjadi. Tapi ia belum mampu mengendalikan katakata atau sikapnya.
Suaranya belum mau keluar. Ia cuma mampu berpikir.
Ia masih punya kemauan, tapi cuma bisa mengikutinya.
Kini tubuhnya milik Catherine.
Lea berdebat dengan Catherine, berusaha mengusir Catherine.
Tapi Catherine selalu mengabaikan permintaan Lea.
Seolah-olah Lea tidak ada.
Kadang-kadang, tanpa diduga-duga, Lea tiba-tiba merasa
Catherine keluar dari tubuhnya. Saat-saat itulah Lea merasa bebas dan
berharap untuk kembali memiliki tubuhnya; ingin sekali ia menjerit
dan berjingkrak-jingkrak.
Tapi ia merasa amat letih.
Dan amat takut. Tak lama kemudian, ia merasa Catherine merasukinya kembali,
mengambil alih tubuhnya. Lea kembali ketakutan, kembali menjadi
teman bisu, teman bisu di dalam tubuhnya sendiri!
Ke mana Catherine pergi kalau keluar dari tubuhnya"
Lea tidak pernah menanyakannya. Catherine hampir selalu
mengabaikan pertanyaannya.
Catherine kini menguasainya.
Cuma Catherine satu-satunya yang bisa ditanyai.
Suatu pagi, ketika Catherine menghilang beberapa saat, Lea
nyaris menceritakan kepada ibunya apa yang sedang dialaminya. Tapi
ia cepat-cepat membatalkannya.
Kalau kuceritakan bahwa aku dirasuki hantu, bahwa hantu itu
mengendalikan setiap kata dan tingkah lakuku, aku pasti akan dikirim
ke rumah sakit jiwa, selamanya, pikir Lea.
Maka ia menahan godaan itu, dan tak lama kemudian Catherine
pun kembali. "Barangkali kita sudah bisa jalan-jalan hari ini," kata
Catherine. "Kita sudah cukup kuat untuk keluar rumah. Aku punya
rencana besar untuk kita, Lea. Rencana istimewa yang harus kita
lakukan." Lea takut menyahut, cuma bertanya-tanya apa rencana
Catherine. Tapi sekali lagi Catherine mengabaikan pertanyaan dalam
kebisuannya itu. "Kau sudah tampak lebih segar," kata ibu Lea gembira,
memasuki kamar Lea, menyingkap tirai jendela kembar,
memperlihatkan hari yang cerah dan bermatahari. "Mengapa kau tidak
pergi jalan-jalan" Tinggalkanlah rumah yang pengap ini."
"Yaa!" seru Catherine dalam suara Lea. Ia menendang selimut
dan bangun. "Jangan pergi terlalu lama, ya," pesan Mrs. Carson, membuka
salah satu jendela, membiarkan udara dingin dan segar masuk ke
kamar. "Sebentar saja," sahut Catherine. "Hari ini indah sekali. Aku
cuma mau jalan-jalan."
"Janji ya jangan pergi jauh-jauh," pesan Mrs. Carson prihatin.
"Kau habis sakit serius, Nak."
"Aku sudah sembuh!" seru Catherine.
Ketika Mrs. Carson kembali ke bawah, Lea mengenakan celana
dril hitam dan sweatshirt Shadyside High merah tua dan abu-abu, lalu
ia mencari-cari sesuatu di dasar lemarinya yang berantakan.
"Mau apa kau?" tanya Lea dalam kebisuannya. "Catherine, apa
yang kaucari?" Catherine tidak menyahut ketika tangan Lea terus mencari-cari
sesuatu. Lalu akhirnya dengan misterius ia berkata, "Rencana besar,
Lea. Rencana besar. Aha! Ini dia."
Ia menarik seutas tambang dari lemari, tambang pengikat
kardus Lea yang belum tuntas dibongkarnya.
"Catherine, apa yang akan kaulakukan dengan tambang itu?"
tanya Lea. "Maksudmu, apa yang akan kita lakukan dengan tambang ini,"
sahut Catherine nakal. "Kita mau bikin sedikit lelucon." Lea tak
mampu menguasai dirinya. Bertentangan dengan kemauannya, ia
merasakan tangannya merenggut tambang itu, lalu meregangkannya.
"Kita akan memberi sedikit pelajaran pada Don Jacobs," jelas
Catherine. "Hah?" Lea kurang yakin pada apa yang didengarnya. "Don?"
"Dia pacar Marci, kan?" tanya Catherine. Tapi itu bukan
pertanyaan. "Aku sudah dengar semuanya, Lea. Aku dengar apa saja
yang kauceritakan pada Deena di telepon. Aku selalu ada di kamarmu,
ingat?" "Tapi Don..." Lea memulai.
"Don juga perlu diberi ganjaran," kata Catherine dingin. "Ayo.
Cepat berangkat, Lea. Lihatlah apa yang akan kita lakukan."
bab 21 DON tinggal di blok rumah berbata merah di Canyon Road.
Pasti sepagian itu seseorang telah menyapu dedaunan, pikir Lea,
karena terlihat tumpukan daun teronggok di tengah-tengah kebun
mungil. "Senang ya jalan-jalan," kata Catherine dalam hati Lea.
"Udaranya segar dan manis. Menurutku musim gugur adalah saat-saat
yang paling menyenangkan."
Lea hanya bermuram diri. Ia harus menghentikan Catherine
yang sedang menuju rumah Don, menggagalkan rencananya yang
mengerikan terhadap Don. "Tapi ini semua kulakukan untukmu, sobat," sahut Catherine,
tidak memedulikan Lea. Ketika mereka tiba di blok rumah Don, Lea mati-matian nekat
untuk mengendalikan dirinya. Ia memusatkan pikiran untuk mengusir
Catherine, menghentikan langkahnya.
Tapi Lea terlalu lemah. Sedangkan Catherine amat kuat.
Kaki Lea tetap melangkah, berjalan di trotoar yang bertebaran
dedaunan, ke arah Canyon Drive, ke rumah Don.
"Tidak ada gunanya melawan," ujar Catherine ketika mereka
melangkah di jalan beraspal. "Ini kulakukan untukmu. Don itu budak
Marci. Dia tidak pernah serius padamu."
"Catherine, jangan," pinta Lea.
Tapi ia sudah membunyikan bel.
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semoga Don tidak ada di rumah, batin Lea. Tolong jangan
sampai dia ada di rumah. Terdengar suara langkah kaki. Pintu depan yang bercat putih itu
terbuka. Don berdiri di pintu, wajahnya tampak terkejut. "Lea!"
"Hai, Don," sapa Catherine dalam suara Lea. "Apa kabar?"
"Lea, bagaimana keadaanmu?" tanya Don, memegangi pintu.
"Katanya kau sakit."
"Aku sudah sembuh." Ia melangkah masuk. Rumah itu dipenuhi
aroma ayam panggang. Suara musik metal terdengar dari salah satu
kamar di atas. "Benar-benar kejutan," kata Don, mengelapkan tangannya ke
sweatshirt-nya. "Aku habis menyapu dedaunan. Teman-temanku akan
kemari dan..." "Aku cuma mampir sebentar," potong Lea. "Aku cuma ingin
tahu kau sedang apa. Maksudku, kau pasti amat terpukul. Karena
kematian Marci." Don menunduk, matanya menghindar. "Yeah," gumamnya.
Ruangan itu sunyi sebentar, kecuali suara musik dari atas.
"Menyedihkan sekali," ujar Don kemudian, masih menghindari
tatapan Lea. "Aku shock. Kejadiannya aneh. Tidak masuk akal."
"Ya. Tidak masuk akal," ulang Lea pelan.
Lea mendengarkan tanpa daya ketika pembicaraan itu terus
berlanjut. Dengan simpatik Catherine berbicara pada Don, Don yang
malang dan sama sekali tidak menaruh curiga.
Kalau saja aku bisa melakukan sesuatu, pikir Lea nekat. Sesuatu
untuk menghentikan Catherine.
Tapi Lea tidak berdaya. Seorang penonton yang tidak berdaya.
"Waktu itu kau ada di sana, kan?" ujar Don. "Pasti mengerikan
buatmu." Mereka masih berdiri canggung di pintu. Kedua tangan Don
berada di saku jeans-nya.
"Ya," sahut Lea pelan sambil menggeleng. "Aku... kurasa aku
pasti tidak bisa melupakannya."
"Aku kini kesepian," kata Don, mengeluarkan salah satu
tangannya untuk mengusap rambut cokelatnya yang ikal.
"Well, seharusnya kau tidak boleh kesepian," ucap Lea penuh
arti. Don memandangnya beberapa saat. Lalu mulutnya tiba-tiba
terbuka ketika teringat sesuatu. "Ayamku! Mom pergi. Aku janji
mematikan oven." Ia berbalik dan bergegas-gegas ke dapur.
Ketika ia sudah tidak nampak, Lea merogoh saku jeans-nya dan
mengeluarkan seutas tambang. Ia menguraikannya lalu
membentangkannya. "Catherine, mau apa kau?" tanya Lea.
Tidak menyahut. Lea merasa tubuhnya mulai bergerak ke dapur.
"Catherine, hentikan. Mau apa kau?"
Tidak menyahut. Tanpa bersuara, Lea melangkah ke dapur. Ia berhenti tepat di
belakang Don yang sedang membungkuk ke oven, memeriksa
ayamnya. Ia membentangkan tambang dan mengangkatnya di atas kepala
Don. Dalam kebisuannya Lea tersadar bahwa ia akan menjerat Don.
bab 22 LEA membungkuk hingga hampir menyentuh punggung Don,
merentangkan tambang di atas kepalanya, siap menjerat lehernya dan
mencekiknya. Bel pintu berbunyi. Don tegak berdiri. Lea mundur dengan cepat, menjatuhkan tambang ke lantai.
"Hei," jerit Don, berbalik menghadapnya. "Aku tidak dengar
kau ke sini." "Sori," ucap Lea.
Sudah nyaris, pikir Lea yang tidak berdaya di dalam tubuhnya
sendiri, amat lega. Lalu ia gemetar ketakutan. Ia sadar Catherine tidak akan
menyerah. Cuma menunda. Ia akan mencoba lagi.
Dan Lea akan menjadi seorang pembunuh. Pembunuh yang
sesungguhnya. Don mematikan oven, lalu lari ke pintu depan. Lea memungut
tambang, cepat-cepat memasukkannya ke saku celananya, lalu
mengikuti Don ke beranda.
"Hai," sapa Don. "Aku sudah siap. Tinggal ambil kunci."
Dua cowok yang juga murid di sekolahnya, Cory Brooks dan
Gary Brandt, menyerbu masuk rumah. Mereka mengenakan jeans dan
jaket berinisial Shadyside High.
"Hei, kalian sudah kenal Lea?" tanya Don, menuju ruang tamu.
"Lea Carson, ini Cory dan Gary," serunya.
"Hai," sapa Lea malu-malu.
"Apa kabar?" tanya Cory.
"Aku sudah pernah melihatmu di sekolah," kata Gary. "Kau ikut
pelajaran kimia Mr. Hunter, kan?"
"Yeah," sahut Lea. "Aku baru masuk beberapa minggu yang
lalu." "Oke. Ayo berangkat," ajak Don ketika muncul lagi. Ia menyisir
rambutnya beberapa saat sebelum berangkat. "Mau ikut kami, Lea?"
"Tidak. Trims," sahut Lea. "Aku mau jalan- jalan." Ia menuju
pintu. "Sampai jumpa, Don. Hati-hati."
Aku tidak percaya, pikir Lea. Mula-mula Chaterine mau
mencoba mencekiknya. Lalu ia bilang hati-hati padanya.
"Senang bertemu kalian," seru Lea pada Gary dan Cory, lalu ia
melangkah ke halaman rumah Don, melewati mobil mereka, sebuah
Ford Fiesta butut dengan bemper penuh stiker stasiun radio. Ia
menyusuri Canyon Road, berjalan melawan angin, wajahnya terasa
dingin dan pedih. ********************* "Senang jalan-jalannya, Sayang?" tanya Mrs. Carson ketika
mendengar Lea pulang. "Sangat menyenangkan," sahut Catherine dalam suara Lea.
"Aku sudah merasa lebih sehat, Mom."
"Oh, aku gembira mendengarnya," kata Mrs. Carson, masuk
kamar dan mengelapkan tangannya ke lap handuk.
"Aku menyesal," kata Lea, "tentang hantu itu, kurasa aku
melantur. Aku jadi membuat Mom cemas."
Mendengar itu, tanpa bisa ikut campur, Lea menggumam lirih:
Ini bukan aku, Mom. Bukan aku yang mengatakannya. Mom, tolong.
Bolehkah aku bercerita" Bolehkah kukatakan bahwa dia bukan aku"
"Ayahmu dan aku sempat cemas. Gara-gara demam, kau jadi
melantur-lantur, Lea," kata Mrs. Carson.
"Well, aku sudah sembuh sekarang," kata Lea riang. "Sudah
seperti sebelumnya."
Ia menaiki tangga ke kamarnya.
"Catherine, kau tidak boleh berbuat begitu padaku!" jerit Lea,
memohon dengan sedih. "Lain kali dia pasti mampus," ancam Catherine dengan suara
bengis. "Don akan mati. Juga teman-temannya yang tolol itu. Mereka
juga akan mati. Mereka semua akan mati."
********************* Kegelapan itu seperti terkuak, tapi di baliknya semakin gelap.
Lalu terlihat dua bujur sangkar abu-abu. Kedua jendela di seberang
kamarnya. Lea bangun ketika kegelapan yang memusingkannya itu sudah
pergi, dan tampaklah kamarnya yang tenang.
Ia merasa aneh, gelisah. "Catherine?" bisiknya.
Tidak menyahut. Sadarlah Lea. Catherine telah keluar dari tubuhnya.
"Catherine?" Lea tidak tahu berapa lama Catherine akan pergi. Kadangkadang beberapa jam, kadang-kadang cuma beberapa menit.
Ke mana dia" Ia mengenakan piama sutra putihnya, lalu berdiri di lantai
kamarnya. Aku sudah bisa jalan, pikirnya. Aku sudah bisa
menggerakkan kakiku, tubuhku. Aku sudah bisa berpikir. Aku sudah
mampu mengendalikan diriku.
Enak rasanya, kalau saja tidak cuma sebentar.
Aku harus melakukan sesuatu, pikir Lea. Aku harus mengusir
Catherine. Sebelum ia membunuh Don. Tapi bagaimana caranya" Apa yang harus kulakukan"
Ia memeluk dirinya, tiba-tiba merasa sendirian.
Aku tidak punya siapa-siapa, pikirnya sedih. Tidak ada yang
bisa kuajak bicara. Tidak ada tempat curahan hati. Kalau kuceritakan
ini pada orangtuaku, mereka akan memanggil dokter, dan aku akan
disuruh beristirahat terus di kamar. Kalau kuceritakan pada Deena...
dia pasti tidak percaya padaku.
Tidak ada yang percaya. Aku sendirian. Aku harus menghadapi Catherine sendirian.
Tapi bagaimana" Lalu ia mendapat gagasan.
Kamar rahasia. Kamar yang tertutup di loteng.
Pasti rahasianya di sana, pikir Lea.
Siapa lagi kalau bukan Catherine yang selalu mencegahku ke
sana" Mengapa dia menipuku, memberiku ilusi seolah-olah aku
berada di kamar itu" Segala cara dilakukannya agar aku menjauhi
kamar itu. Lea ingat Catherine pernah bilang bahwa ia yang memalang
pintu kamar itu. Ia ingin kamar itu tertutup selamanya.
Mengapa" Pasti ada sesuatu di dalamnya yang ingin disimpan terus oleh
Catherine. Sebuah rahasia. Rahasia yang menakutkan Catherine.
Aku harus tahu apa itu, pikir Lea sambil bangkit berdiri. Aku
harus tahu ada apa di balik kamar yang terkunci di loteng itu.
bab 23 LOTENG itu masih sunyi dan dingin, pengap, sulit untuk
bernapas. Lea nyaris tercekik oleh bau asam dan debu apak yang
menyergap hidungnya. Ia menyalakan lampu loteng, lalu berjalan cepat, lantai papan
langsung berderak ketika terinjak selop karetnya, menuju pintu yang
dipalang. Kapan Catherine pulang" Rasa takut itu menjalari
punggungnya. "Catherine?" panggilnya.
Tidak ada sahutan. Kapan ia kembali" Aku harus cepat-cepat. Aku harus tahu rahasia kamar ini
sebelum Catherine pulang, sebelum ia menghalangiku, sebelum ia
kembali merasuki tubuhku.
Tanpa ragu-ragu ia merenggut palang pintu. Tidak mau copot.
Ia merenggutkannya lagi. Pakunya masih kokoh.
Sebelumnya palang ini pernah tercabut dengan amat mudah,
pikirnya. Tapi itu karena ilusi, cuma mimpi.
Palu. Ia butuh palu. Tapi masih sempatkah"
Lea tidak punya pilihan. Ia segera menuruni tangga besi dan
tangga rumahnya. Ia meraba-raba dalam gelap, menuju bagian
belakang rumahnya yang sunyi, matanya mengerjap-ngerjap, bendabenda yang sudah dikenalnya jadi tampak asing dan misterius di
kegelapan itu. Tak lama ia menemukan peti perkakas ayahnya, lalu ia
membongkarnya dalam gelap, pelan, oh, pelan-pelan, mencari palu
berkepala bengkok. Lalu ia kembali ke loteng.
Catherine" Mana dia"
Kapan ia pulang" Akankah ia menyerangku" Menghentikanku
sebelum aku berhasil mengungkap rahasia kamar ini, satu-satunya
cara yang mungkin bisa menyelamatkanku"
Ia kembali ke loteng yang dingin dan berbau debu apak.
Dan kini dengan kalap ia mencopot palang pintu, menyelipkan
palu di antara palang dan pintu, mengungkit dan mencongkelnya
dengan segenap tenaganya. Gerakannya nekat. Takut. Memasang
telinga, waspada setiap saat, kalau-kalau Catherine kembali.
Palang pertama berderak protes, lalu jatuh ke lantai. Ia mulai
mencongkel palang kedua, terengah-engah, terbatuk-batuk di antara
debu yang mengepul, memasang telinga, menunggu, setiap congkelan
palunya dilakukan dengan tergesa-gesa, hingga palang itu copot.
Palang kedua berdebum pelan, menerbangkan debu saat
terjatuh. Satu palang lagi sudah copot. Kini ia harus membuka pintu.
"Catherine?" Tidak ada sahutan. Ia belum pulang. Inilah saatnya. Lea mungkin bisa berhasil.
Palang ketiga yang paling menguras tenaganya. Ia menyelipkan
palu, lalu mencongkelnya. Palang itu berderit dan berderak, tapi tidak
mau lepas. Sekarang ia sudah bermandikan keringat, keringat dingin
yang tidak nyaman. Tapi ia terus bekerja dengan tergesa-gesa.
Sampai palang ketiga itu lepas dan jatuh di kakinya.
Ia mau memutar anak kunci ketika terdengar jeritan di
dekatnya. "Lea, mau apa kau?"
Catherine melayang di dekatnya, matanya merah karena marah,
makhluk kecil itu meliuk-liuk, rambut emasnya yang keriting
melambai-lambai. "Mau apa kau" Tinggalkan pintu itu!"
Lea tidak menggubrisnya, tetap memegang kunci.
Tapi dengan kekuatan yang tidak terduga, Catherine merenggut
dan menarik Lea. "Tidak!" teriak Lea. "Kau tidak boleh mencegahku!" Ia
meronta, mencampakkan tangan Catherine yang dingin, lalu
terhuyung-huyung ke pintu. Ia meraih anak kunci dan memutarnya.
Tapi Catherine bergerak cepat. Ia melayang di atas Lea, lalu
menghilang. Lea merasa ada beban berat di kepalanya, Catherine mulai
merasukinya, sekujur tubuhnya kini terasa berat.
Sambil bersandar ke pintu yang terkunci, Lea memejamkan
mata dan memusatkan pikirannya.
Aku harus mengusirnya, pikirnya. Aku harus mengusirnya. Aku
harus bisa mengusirnya lagi. Aku harus kuat... kuat... kuat...
Tapi beban berat itu menyebabkan kepalanya nyaris meledak.
Catherine menghalangi usahanya, mati-matian mencegahnya,
berusaha merasukinya lagi.
Tidak, tidak, tidak, tidak. Lea memusatkan pikirannya dan matimatian berusaha mengusir hantu itu.
Rasa berat itu mulai meninggalkannya, tubuhnya sekarang
terasa ringan. Ya! Ia berhasil. "Jangan buka pintu itu!" Catherine, yang tidak tampak,
menjerit dari suatu tempat di luar tubuh Lea."Jangan."
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku berhasil mengusirnya, batin Lea, jantungnya berdebar
kencang. Aku telah mengusirnya.
"Lea... jangan!"
Ia mengintip ke dalam kamar, dan menjerit sambil
menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
bab 24 KAMAR itu persis seperti yang dibayangkan Lea. Dindingnya
gelap, lilin menyala, tempat tidurnya berkelambu.
Tapi di tempat tidur itu duduk seorang laki-laki dan wanita.
Atau, menurut pengamatan Lea, kerangka laki-laki dan wanita.
Mereka berpakaian serbahitam, sulit melihatnya di antara
cahaya yang remang-remang. Si wanita mengenakan gaun panjang,
longgar, berleher tinggi; laki-lakinya memakai celana gelap dan
kemeja putih berkerah kaku. Pakaian mereka tampak masih bagus dan
bersih, tapi kedodoran, longgar membungkus tubuh.
Dan Lea dengan segera mengetahui sebabnya.
Tubuh mereka sudah membusuk, tinggal kerangkanya. Tangan
dengan tulang-tulang jemari yang bagai tongkat terjulur dari ujung
lengan baju. Wajah mereka tinggal tengkorak, tampak mengerikan,
rahangnya memperlihatkan gigi-gigi yang menyeringai. Secuil daging
yang hijau dan telah membusuk melekat di celah tengkorak.
Si laki-laki tinggal punya sebuah mata, mata satunya cuma
berupa rongga. Si wanita nyaris tidak berwajah lagi. Helai-helai
rambut hitamnya terjuntai dari puncak tengkoraknya yang
kekuningan. Cacing gemuk dan hitam keluar dari salah satu rongga
matanya, lalu terjatuh di blusnya.
Sewaktu Lea menjerit, kedua tengkorak itu langsung bangkit,
tulang-tulang mereka bergemeretakan saat mereka berdiri. Dengan
terhuyung-huyung mereka menuju pintu, menghampiri Lea, tangan
yang tinggal tulang itu terkembang.
Lea menjerit lagi. Dan ia merasakan Catherine masuk ke tubuhnya.
Panik karena dihampiri makhluk mengerikan itu, Lea jadi
kehilangan konsentrasinya, sehingga Catherine punya kesempatan
untuk merasukinya. Kini ia merasa tubuhnya amat berat, karena Catherine berada di
dalamnya. Ia kembali tidak berdaya. Catherine kembali merasukinya.
"Kau tolol!" teriak Catherine marah. "Kau tolol!"
Kedua tengkorak itu mendekat dengan bunyi gemeretak,
tersandung pakaian mereka, tangan terkembang, menudingnya,
menuduhnya. "Sudah kubilang jangan buka pintu!" seru Catherine. "Mereka
itu orangtuaku!" "Jadi, inilah kau, anak durhaka itu!" bisik si wanita, suaranya
terdengar bagai angin, kering dan berisik.
"Masuklah kembali, setan!" teriak Catherine dalam suara Lea.
Tapi yang mengejutkan, gerakan tengkorak itu amatlah tangkas.
Tangan laki-laki itu dengan cepat menyambarnya, dan bagai
seekor ular, tulang-tulang jemarinya yang kering melingkari leher Lea.
bab 25 "ANAK durhaka!" teriak wanita itu, suaranya mendesis dari
kerongkongannya yang terbuka.
Lea tercekik ketika jemari si lelaki mencengkeram lehernya. Ia
tidak tahan bernapas lewat hidung, karena bau daging yang membusuk
itu amat menusuk. Ia berusaha lolos dari cengkeraman tengkorak yang
mengerikan, berongga mata gelap, dan menyeringai, tapi keduanya
sekarang malah memeganginya.
Tangan yang pucat itu melingkarinya, mencekiknya,
menyebarkan bau busuk bangkai yang membuatnya sulit bernapas.
Tawa yang keluar dari rahangnya yang terbuka terdengar penuh
dendam dan kemenangan. Mereka akan menelanku, pikir Lea.
Mereka akan membuatku menjadi seperti mereka.
Ketika sedang sibuk berpikir, pasrah pada kerangka yang
sedang mencekiknya, Lea merasa Catherine melayang keluar dari
tubuhnya. Matilah aku sekarang, pikir Lea. Tapi Catherine tidak mati
bersamaku. Orangtuanya akan membunuhku, dan Catherine akan tetap
hidup. Lea melihat cahaya merah melingkar-lingkar semakin terang,
sementara kedua kerangka itu mencekiknya, membuatnya sulit
bernapas. Lalu ia melihat Catherine di sampingnya, matanya merah bagai
api, mulutnya terkatup marah, menuding ke penyerang Lea.
"Mereka yang membunuhku!" seru Catherine. "Kini mereka
mau membunuhku lagi!"
"Kau pembohong busuk!" jerit si wanita geram.
Kerangka itu mengendorkan cekikannya pada Lea. Lea menjerit
pelan dan jatuh berlutut, megap-megap.
"Kau pembohong busuk!" ulang wanita itu, tengkoraknya yang
kuning dan sudah tidak bermata menoleh pada Catherine. "Kau
membunuh kami dan mengunci kami di kamar ini. Tapi kami rela
menunggumu di sini, selamanya. Kami janji tidak mau mati dengan
tenang sebelum menghentikan kejahatanmu!"
Mata Catherine semakin terang, ia mendongak sambil tertawa.
Tapi tawanya langsung reda ketika orangtuanya melompat ke arahnya;
terdengar tulang-tulang gemeretakan.
Mereka mengepung Catherine dengan pakaian mereka yang
kedodoran dan berbau tengik, bau tidak sedap yang berasal dari
daging yang sudah membusuk. Sebagian daging itu berceceran,
tulang-belulang rontok ke lantai tatkala mereka melompat ke arah
Catherine. Catherine tenggelam di pelukan mereka yang mematikan. Saat
Lea membeku ketakutan, kedua setan yang menaruh dendam itu
merengkuh si anak, mencengkeramnya erat-erat dalam kemarahan,
mencekiknya. "Tolong aku! Tolong... tolong aku!" jerit Catherine pada Lea.
Tangan Catherine yang pucat terulur dari rangkulan mematikan
orangtuanya. Tapi dengan cepat kerangka itu menyambar tangan
Catherine dan, dengan satu sentakan bengis, mencabutnya dan
menjatuhkannya ke lantai.
Catherine dan Lea menjerit bersamaan.
Lea menutup telinga dan memejamkan mata.
Tapi ia masih bisa mendengar jerit terakhir Catherine... bagai
jerit binatang yang mati terperangkap.
Ketika jeritan itu sudah tidak terdengar, Lea baru membuka
mata. Dengan ngeri dilihatnya ketiga setan itu meleleh dalam kobaran
bola api yang berkilau, pelan-pelan lenyap menjadi asap kuning yang
menyesakkan dan berbau belerang.
Dengan terisak-isak ketakutan, tersengal-sengal, Lea
memandangi asap kuning tebal yang naik ke plafon loteng.
Segalanya lalu berubah merah.
Lalu hitam. Ia merasa dirinya terbenam ke lantai, tapi ia tak mampu berbuat
sesuatu. bab 26 KETIKA membuka mata, ia cuma melihat warna putih.
Inikah surga" Sesaat Lea tersadar bahwa ia sedang memandang plafon.
Lalu wajah ibunya yang tengah membungkuk.
"Lea" Kau sudah bangun?"
Air mata menggenang di sudut mata ibunya, dan dagunya
bergetar saat menunduk. "Kau sudah bangun?" tanya ibunya.
Kemudian, dari suatu tempat di dekat situ, Lea mendengar suara
ayahnya. "Menjauhlah sedikit. Biar dia bisa bernapas."
"Masih hidupkah aku?" tanya Lea, bingung. Ia merasa lemah.
"Tentu saja kau masih hidup, Sayang," sahut ibunya, mengusap
air mata dengan jemari tangannya.
Lea melihat dirinya sedang berbaring telentang. Ia melihat ke
bawah dan tampaklah ranjang asing yang tertutup seprai dan selimut
biru muda. "Di mana aku?" "Shadyside General," jawab ayahnya, bergeser mendekat. "Kau
sakit parah, Lea." "Sakit?" "Panasmu tinggi sekali. Tiga puluh sembilan derajat selama tiga
hari berturut-turut," jelas Mrs. Carson dengan suara bergetar.
"Sudah berapa lama aku di sini?" tanya Lea, memejamkan
mata. Cahaya terang yang dipantulkan plafon putih dan berkilau itu
menusuk matanya. "Hampir seminggu," kata ayahnya lembut. Lalu cepat-cepat ia
menambahkan, "Tapi kau pasti cepat sembuh."
"Jadi, maksud Dad itu cuma mimpi?" tanya Lea, membuka
mata, menoleh ke orangtuanya. Kepalanya langsung berdenyut ketika
ia bergerak. "Mimpi?" tanya Mrs. Carson kebingungan.
"Apa kau mimpi banyak sekali?" tanya Mr. Carson. "Terkadang
kalau demam orang bisa mimpi aneh yang seperti sungguhan. Mereka
menyebutnya 'igauan.'"
"Jadi, itu igauan?" tegas Lea.
Ia mencoba duduk, tapi sekujur tubuhnya langsung protes, lalu
ia merintih dan terjatuh lagi ke bantal.
"Kau pasti segera sembuh," ulang Mr. Carson. "Kau menjadi
lemah karena terlalu lama berbaring."
"Tidak usah ingin cepat pulang, deh," bujuk Mrs. Carson.
"Deena bilang dia akan mencatat semua tugasmu, agar kau tidak
ketinggalan pelajaran."
"Oh, bagus," gumam Lea. "Terima kasih banyak, Deena."
Mr. Carson tertawa. "Sepertinya kau sudah sehat."
"Ada cowok yang selalu meneleponmu. Setiap hari," ujar
ibunya. "Don Jacobs. Kedengarannya dia sangat mencemaskanmu."
Lea tersenyum. Perlu usaha keras untuk konsentrasi. "Aku tak
percaya ini cuma mimpi," katanya, kembali tertidur.
******************* Tiga hari kemudian, ketika pulang ke rumah, yang pertama kali
dipikirkan Lea adalah naik ke loteng dan memeriksa kamar rahasia
itu. Tapi orangtuanya memaksanya istirahat beberapa hari lagi di
tempat tidur, dan mereka selalu mengawasinya dengan ketat. Ia tidak
bisa menyelinap ke loteng.
Akhirnya ia tidak tahan menunggu lagi. Hari Sabtu ia bangun
lebih pagi, turun dari tempat tidur, mengenakan selopnya, lalu diamdiam naik ke loteng.
Cahaya pagi yang pucat menembus lewat jendela bundar.
Lantai papan di bawah telapak kakinya berderak-derak.
Betul, kamar tersembunyi itu masih terkunci dan dipalang.
Itu semua cuma mimpi, pikir Lea.
Ia tinggal di sana beberapa saat, menenangkan perasaannya. Ia
tidak yakin apakah ia merasa bebas atau kecewa.
Masih gemetaran, ia meninggalkan kamar rahasia itu, kembali
ke kamarnya. Ia melihat ke cermin oval di atas meja riasnya dan
menatap dirinya. "Aku harus gunting rambut," katanya. "Poniku sudah menutupi
mata. Aku tampak seperti anjing penjaga yang gondrong."
Lalu ia melihat sesuatu di samping lampu meja riasnya.
Sebuah pita hitam. Lea memungutnya dengan tangan gemetar. Ia langsung tahu
benda apa itu. Pita beludru hitam milik Catherine.
Ia menggenggamnya erat-erat, menyapunya dengan jemarinya.
Kalau begitu, Catherine dan kejahatannya benar-benar ada.
Dan kamar di atas tempat tidur Lea adalah kamar orangtua
Catherine yang menunggu dengan sabar selama seratus tahun untuk
membalas dendam pada anak perempuan mereka.
Memandangi pita itu, kembali Lea diliputi perasaan takut.
Marci. Marci yang malang.
Marci adalah korban kejahatan Catherine. Dan Lea punya andil
sebagian. Rasa sesal meliputi hati Lea. Sesal dan sedih. Ia yakin perasaan
itu akan selalu mengikutinya selamanya.
Lea mempermainkan pita itu di tangannya, mengikatnya, lalu
menguraikannya. Haruskah ia menceritakan dari mana asal pita itu"
Tidak. Kamar rahasia itu harus tetap tinggal rahasia. Satu rahasia lagi
dari Fear Street, sebuah tempat yang penuh rahasia.
Ia meletakkan pita, lalu bergegas turun untuk sarapan.END
Eng Djiauw Ong 23 Wiro Sableng 117 Muka Tanah Liat Darah Dan Cinta Di Kota Medang 8
hatiku. Aku ingin balas dendam agar dia tidak berani lagi
menggangguku." "Dengan senang hati aku mau membantumu," ujar Catherine,
melayang melintasi kamar, meletakkan tempat lilin.
"Kau harus patuh pada perintahku," kata Lea gembira. "Buatlah
agar semuanya tampak seolah-olah akulah yang membuat keanehan
itu. Aku ingin menakuti Marci agar dia tidak berani lagi mengusikku."
"Dia tidak akan berani mengganggumu lagi," ucap Catherine,
lebih kepada dirinya. Ia memegang dan menekan tangan Lea. Tangan
Catherine terasa dingin sekali.
Sedingin mayat, batin Lea. Tapi ia memaksa dirinya agar tidak
bereaksi. Ia tidak ingin melukai perasaan Catherine.
"Aku tidak percaya kau mau mengajakku ke luar," seru
Catherine, melompat gembira. "Kapan kita akan pergi?"
Lea melihat jam tangannya. "Pukul 16.45. Marci mungkin
sudah tiba di rumah. Ayo berangkat, Catherine."
"Ya!" seru Catherine, amat bahagia. "Ya. Dia tidak akan
menyakitimu lagi. Ya!"
Catherine menghilang dari pandangan, membuat Lea terkejut.
Ia mengamati sekitar kamar, mencari Catherine.
"Catherine" Di mana kau?"
Tiba-tiba Lea merasa aneh. Mula-mula ia pusing. Lalu rasa
pusingnya berubah, seperti ada beban yang menekan kepalanya.
"Catherine?" Lea merasa beban itu semakin menekan kepalanya, turun ke
bahu dan dadanya, ke tubuhnya, semakin ke bawah, ke bawah lagi.
Aku merasa tubuhku berat sekali, batinnya.
Tapi mendadak ia merasa beban berat itu lenyap dan ia mulai
merasa ringan sekali, nyaris melayang.
Lalu ia tak mampu menguasai dirinya lagi, kehilangan kendali.
"Catherine" Kenapa begini?" tanya Lea. "Oh... tolong!
Catherine" Stop! Tolong hentikan! Catherine... apa yang kaulakukan
padaku?" bab 16 "TENANGLAH, Lea," kata suara di kepala Lea. "Aku bisa
merasakan ketegangan saraf-saraf tubuhmu."
"Catherine, di mana kau" Apa yang kaulakukan padaku?"
"Tidak apa-apa," kata suara di kepala Lea, misterius.
"Kau... kau ada di dalam tubuhku!" Lea tersadar dan ketakutan.
"Di dalam pikiranku!"
Ia masih berada di kamar loteng. Setidaknya ia mengira sedang
berdiri di sana. Ia tak bisa merasakan kakinya. Atau tangannya. Atau
yang lainnya. Catherine telah mengambil alih tubuhku, batin Lea. Aku masih
ada di dalam, tapi tak mampu lagi menguasai diriku.
"Tidak apa-apa," ulang Catherine. Kali ini kata-katanya keluar
dari mulut Lea, melalui suara Lea!
"Catherine... tolong!" pinta Lea. "Aku takut sekali. Aku merasa
aneh." "Aku juga takut," sahut Catherine lewat suara Lea. "Aku belum
pernah ke luar. Aku tidak akan menyakitimu, Lea. Aku janji. Dan aku
akan keluar dari tubuhmu begitu tiba di rumah Marci. Tidak sakit,
kan?" "Tidak," sahut Lea. "Cuma rasanya aneh. Aku merasa ringan
sekali, lemah. Kehilangan kendali.
"Maaf kalau aku membuatmu takut. Tapi tidak ada cara lain
lagi," ujar Catherine, terucap pelan dari mulut Lea. "Semua energiku
akan terkuras. Aku tidak cukup kuat kalau harus bepergian sendirian."
"Dan kau janji akan keluar dari tubuhku begitu tiba di rumah
Marci?" tanya Lea cemas.
"Tentu," Catherine meyakinkannya. "Aku berutang budi
padamu, Lea. Kau baik sekali mau mengajakku ke luar. Aku tidak
ingin membuatmu takut."
Ucapan Catherine menenangkan Lea. Tak lama ia sudah
menuruni tangga, bersama seorang penumpang di dalam tubuhnya.
Setelah itu ia memakai jaket dan berjalan ke rumah Marci.
"Marci tinggal di Hawthorne Drive, cuma beberapa blok dari
sini," Lea memberitahu Catherine.
"Indah sekali di luar sini," kata Catherine.
Kaki Lea menginjak hamparan daun-daun kering di halaman
dan di jalan. Matahari sudah condong, menyisakan sinar merah jambu
dan merah tua di langit yang kelabu. Bau manis dan menusuk dari
kayu yang terbakar tercium di hidung Lea. Ada orang yang membakar
sesuatu di bawah sana. "Semuanya serba mengagumkan, lebih indah dari yang
kubayangkan," ujar Catherine. Lea merasakan air mata hangat
meluncur di pipinya. "Semuanya memang sudah begitu," tambah Lea.
Mereka berbelok ke Hawthorne. Rumah Marci tinggal beberapa
rumah lagi di blok ketiga. Rumah-rumah di situ tampak tua dan tidak
teratur, modelnya tidak berbeda jauh dari rumah-rumah di Fear Street,
cuma sedikit lebih baik, halamannya lebih terawat dan bersih dari
daun-daun kering. "Enak juga bisa berada di dalam tubuh lagi!" seru Catherine.
"Merasakan udara di wajahku. Merasakan dingin. Benar-benar
merasakan!" "Aku ikut gembira," sahut Lea kurang antusias.
Kalau Catherine suka tinggal di dalam tubuhku, apakah dia mau
keluar setiba di rumah Marci nanti" Sewaktu memikirkannya, rasa
takutnya tiba-tiba muncul. Akankah Catherine menepati janjinya"
Apa yang akan dilakukan Lea kalau Catherine ingkar janji"
"Kita sudah sampai," kata Lea sambil melangkah di jalan yang
berkerikil. Atap rumah Marci berwarna putih, baru dicat, kusen
jendelanya hitam, gentengnya merah.
Ketika menuju beranda depan, Lea kembali merasa aneh.
Beberapa saat ia merasa tubuhnya amat berat. Lalu ia merasa beban
itu melayang, naik, naik, keluar dari tubuhnya.
Ia mengembangkan tangannya.
Lea kini bisa menguasai dirinya.
Ia merasa normal kembali.
"Catherine?" bisiknya.
"Aku ada di sampingmu," bisik Catherine yang tidak nampak.
"Aku gembira sekali, Lea. Inilah bagian hidupku yang paling membahagiakan."
Catherine memegang janjinya, pikir Lea lega. Aku bisa
mempercayainya. Ia membunyikan bel pintu. "Tunggu pembalasan kita,"
bisiknya. Di balik kegembiraannya, Lea tiba-tiba merasa bersalah. Apa
yang sedang kulakukan" Ini perbuatan sinting. Gila. Kubiarkan
amarah menguasai diriku. Membuat aku tidak bisa berpikir jernih. Ini
seharusnya tidak boleh terjadi.
Tapi ketika ia teringat perlakuan Marci di sekolah,
menyebarkan cerita bohong tentang dirinya, dan ketika ia ingat kedua
gadis yang menertawakannya sewaktu ia lewat, rasa sesalnya segera
lenyap, tekadnya menjadi bulat.
Lea kembali membunyikan bel. Ia mendengar suara langkah
tergesa-gesa yang kian mendekat. Lampu beranda di atasnya menyala.
Lalu pintu terbuka setengah, Marci menyembulkan kepala, wajahnya
terkejut. "Mau apa kau?" tanya Marci dingin, napasnya bercampur udara
sore hari itu. "Aku ingin bicara denganmu," gumam Lea.
Kebencian dan sikap Marci yang dingin membuat Lea serasa
ingin mengerut menjadi sebuah bola kecil, lalu menggelinding.
"Aku sibuk," sahut Marci, memandangi Lea, wajahnya jelasjelas mencemooh.
"Sebentar saja," desak Lea, amarahnya membuat ia lebih
percaya diri. "Aku ingin membicarakan beberapa hal."
"Tulis saja di surat," sergah Marci, membanting pintu.
Tapi pintu itu tidak mau tertutup. Masih terbuka beberapa inci.
Marci mendorongnya, tapi pintu itu tetap tidak mau tertutup. Ia
memeriksa apakah kaki Lea mengganjalnya, tapi Lea berdiri
selangkah dari pintu. "Hei! Kenapa ini!" seru Marci bingung. "Pintunya tidak mau
menutup." Catherine mulai beraksi, pikir Lea, diam-diam merasa senang.
Ia melewati Marci, masuk ke lorong depan tanpa memedulikan
tatapan benci di wajah Marci.
"Ada sebabnya aku tinggal di Fear Street," kata Lea sambil
mengangkat mata, menatap Marci. Ia sudah berlatih mengucapkan
kalimat itu sejak pulang sekolah tadi.
"Apa maksudmu?" tanya Marci.
Pintu depan terbanting menutup di belakang Marci. Ia
melompat terkejut oleh suaranya. "Ada apa dengan pintu itu?"
Lea tertawa gugup, berharap suara tawanya terdengar jahat.
"Aku ingin kau tidak lagi menyebarkan kebohongan tentang
diriku," katanya pada Marci, sambil menatap mata Marci yang biru
pucat. "Apa" Buat apa aku membicarakanmu?" tanya Marci
mencemooh. "Memangnya kau ini siapa?"
"Aku mendengar segala omonganmu," kata Lea. Aneh, ia
merasa sangat tenang. "Aku tidak tahu kenapa kau membenciku,
pokoknya kuminta kau tidak bicara macam-macam lagi tentang aku."
"Selamat malam. Kau tahu pintu keluarnya," kata Marci sambil
beranjak hendak pergi. Ketika ia melewati meja dengan sebuah vas enamel biru di
atasnya, sekonyong-konyong vas itu melayang ke udara.
"Hei!" seru Marci. Ia terperanjat dan bersandar ke tembok,
kedua tangannya menggapai-gapai, seolah ingin melindungi diri dari
vas yang melayang ke arahnya.
"Kau kini percaya, kan," kata Lea, gembira melihat Marci
ketakutan, "kenapa aku tinggal di Fear Street."
"Apa maksudmu?" seru Marci, memandang vas biru yang
melayang kembali ke tempatnya.
"Aku punya kekuatan gaib," sahut Lea. "Kau salah memilih
musuh, Marci." "Dengar!" seru Marci.
Tapi lemari pakaian di belakangnya tiba-tiba terbuka, dan jas
dari kain dril itu menari- nari, lengannya melambai-lambai, berputarputar lincah.
"Tidak!" jerit Marci. "Hentikan!"
"Aku ingin kau berhenti menggangguku," kata Lea tenang,
berusaha terus menatap Marci.
Pintar sekali Catherine menakut-nakuti orang!
"Lelucon konyol," ujar Marci bimbang.
Jas itu terpuruk di dekat kaki Marci.
"Keluar dari sini, Lea. Ayo. Keluar," seru Marci marah,
punggungnya masih bersandar ke tembok, jarinya menunjuk ke pintu.
"Oh!" Marci melongo, lalu menjerit ketakutan ketika kakinya
tiba-tiba terangkat dan ia melayang tiga atau empat inci dari lantai.
Wow, batin Lea kagum. Meski cuma gadis kecil, Catherine
ternyata amat kuat! Marci menendang dan meronta-ronta. "Lepaskan!" jeritnya,
wajahnya memerah, matanya berputar-putar panik. Tubuhnya
meronta-ronta dan sikunya menyikut penangkapnya yang tidak
tampak. Ia akhirnya berhasil dan jatuh berdebum ke lantai.
Terengah-engah ia bangkit berdiri. "Mom!" teriaknya, melewati
Lea menuju tangga. "Mom... tolong aku!"
Uh-oh, pikir Lea. Catherine sudah keterlaluan. Bukan ide bagus
membuat Marci naik ke atas.
"Marci... tunggu!" panggil Lea.
Marci melesat naik tangga, dua anak tangga sekaligus, menjeritjerit histeris, memanggil ibunya.
Lea melihat Marci tiba di lantai dua, di mana terbentang balkon
sempit yang berpagar pendek. Pintu terbuka. Marci mulai melangkah
di balkon. "Mom!" teriaknya.
Ibu Marci muncul dari salah satu kamar. "Marci, ada apa!"
Marci hendak lari menghampiri ibunya ketika tiba-tiba, dengan
menjerit keras, ia tersandung dan terjatuh, menimpa pagar kayu.
Pagar itu berderak keras.
Ibu Marci dan Lea menjerit ketakutan ketika Marci terjungkal
dari balkon, tangannya menggapai-gapai panik di udara, menggapaigapai sesuatu yang tidak ada... dan beberapa detik kemudian, yang
serasa seabad, ia terjatuh membentur ubin di bawahnya, diiringi suara
sesuatu yang patah, seperti suara telur pecah.
bab 17 "OH, tidak! Tidak! Tidaak!" Mrs. Hendryx menjerit-jerit.
Lea lebih dulu menghampiri Marci. Marci tergeletak telentang,
matanya membelalak, melotot ke plafon. Kepalanya terpuntir. Salah
satu kakinya tertekuk di bawah punggungnya, aneh sekali letaknya.
Lea membungkuk di atasnya dan mendengarkan detak
jantungnya. Lalu ia mendekatkan tangannya di bawah hidung Marci,
merasakan napasnya. "Mrs. Hendryx... dia sudah tidak bernapas lagi!" jerit Lea.
"Oh, tidak! Tidak! Tidaaak!"
Dengan menjerit ngeri, Mrs. Hendryx menjatuhkan dirinya di
sisi Marci, lalu merengkuh kepala putrinya ke pangkuannya. "Panggil
ambulans! Cepat!" teriaknya.
Lea bergegas ke tempat telepon, dengan tangan gemetar
memutar nomor 911. "Oh, tidak! Tidak! Tidaaak!" Mrs. Hendryx bersimpuh di lantai,
menimang kepala Marci di pangkuannya. Kaki Marci masih tertekuk
ke belakang. "Dia sudah meninggal. Anakku sudah meninggal."
Ia masih menimang-nimang Marci ketika sepuluh menit
kemudian tim medis dan dua polisi muda tiba.
"Kejadian mengerikan, sungguh mengerikan," cuma itu yang
sanggup diucapkan Mrs. Hendryx sebelum roboh di lantai sambil
menangis. Tim medis segera bertindak, mengeluarkan barang-barang dari
dalam tas mereka, tergesa-gesa memeriksa, mencoba memberi napas
buatan pada Marci. Tapi tidak berguna. Marci sudah meninggal.
"Marci dan aku sedang membicarakan sesuatu. Well,
sebenarnya kami sedang berselisih pendapat," Lea menjelaskan pada
polisi sesudah tim medis memanggil dokter keluarga ibu Marci.
"Apa kau melihatnya ketika dia jatuh?" tanya salah seorang
polisi, menulis cepat di nota stenonya.
"Ya," sahut Lea, terisak. "Dia lari naik tangga. Mungkin
tersandung. Dia terjatuh ke pagar. Pagar itu patah. Lalu dia jatuh ke
sini." Kedua polisi itu memandang tubuh Marci, tapi Lea tidak tega
melihatnya. Beberapa orang berseragam berdatangan. Tubuh Marci
ditutupi kain terpal, lalu tibalah petugas penyelidik kematian.
Tidak banyak lagi pertanyaan. Mereka lebih banyak mencatat di
nota steno. Dokter tiba untuk memeriksa Mrs. Hendryx. "Kejadian
mengerikan," bisik Mrs. Hendryx, wajahnya yang berjerawat, sembap
karena menangis. Ia menoleh pada Lea ketika Dokter memapahnya ke
kamarnya di atas. "Kejadian mengerikan."
Benarkah peristiwa itu hanya kecelakaan" Lea membatin sambil
melihat ibu Marci yang dipapah menaiki tangga.
Benarkah"
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Atau Catherine yang membunuh Marci"
Itu pasti tak mungkin, bukan"
"Nona, apa kau mau diantar pulang?" tanya salah seorang polisi
itu dengan sabar. "Oh, maaf." Karena sedang melamun, Lea tidak mendengarnya.
"Ya. Terima kasih."
"Mari," ajaknya, menuju pintu.
Ketika mengikutinya, Lea merasakan tubuhnya memberat lagi.
Beban berat itu menekan kepalanya, turun ke dada dan kakinya,
sampai sekujur tubuhnya terasa berat.
Catherine masuk kembali ke tubuhnya.
Catherine, aku mau bicara, Lea berbicara lewat pikirannya
ketika tubuhnya sudah ringan.
Catherine, apakah kau yang membunuh Marci"
Tidak ada sahutan. Catherine ada, tapi tidak menyahut.
Catherine, itu tadi kecelakaan, kan"
Aku benci Marci, tapi aku tidak ingin dia tewas.
Catherine, tolong katakan kalau itu tadi kecelakaan mengerikan.
Hening. Pohon yang gundul di dekatnya bergemeresik. Langit kelam.
Tak lama, kedua polisi itu membantu Lea keluar dari jok belakang
mobil mereka, lalu mengantarnya sampai pintu rumahnya.
Lampu beranda menyala, lalu pintu terbuka. "Lea, ada apa?"
tanya ayahnya. Lea menyusup ke pelukan ayahnya. "Oh, Daddy. Sesuatu yang
mengerikan telah terjadi!" jeritnya. "Seorang gadis, temanku,
meninggal! Dia benar-benar meninggal."
Lea, yang masih dihantui perasaan ngeri, beberapa saat merasa
tubuhnya kembali memberat, lalu beban berat itu melayang keluar dari
badannya, lewat kepalanya, sampai lenyap sama sekali.
Catherine sudah keluar, barangkali kembali ke kamarnya di
loteng. Mr. Carson merangkul Lea, memandangi wajah si polisi.
"Anak Anda tidak bersalah," kata seorang polisi. "Itu tadi cuma
kecelakaan. Temannya jatuh dari pagar loteng. Itulah yang
membuatnya shock." Lea mengikuti ayahnya memasuki rumahnya yang hangat. Ia
mendengar pintu depan ditutup di belakangnya. Lalu ia mendengar
suara mobil polisi menderu di jalan.
"Lea...!" seru ibunya.
"Itu tadi kecelakaan," cetus Lea, tak sanggup lagi menahan air
matanya yang mengalir di pipi. "Kecelakaan yang mengerikan!"
********************* Ia mencoba menikmati makan malamnya, tapi ayam yang sudah
dingin itu tidak bisa turun ke kerongkongannya, dan pure kentang itu
serasa bagai pasta. "Aku belum pernah dengar tentang Marci, temanmu itu," kata
ibunya yang duduk di hadapannya dan memandangnya dengan
simpatik. "Aku tidak begitu akrab dengannya," sahut Lea.
"Kau baru mengalami kejadian mengerikan," hibur ibunya,
mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Lea. "Kau bisa
makan lagi nanti. Kenapa tidak naik saja ke kamarmu dan berbaring
sejenak di sana?" "Thanks, Mom," ucap Lea. Ia mendorong kursinya, lalu menuju
tangga. Tapi ia tidak ke kamarnya. Ia berhenti sebentar di koridor,
memasang telinga untuk memastikan ayah dan ibunya tidak sedang
mengawasinya. Lalu dengan hati-hati ia naik tangga ke loteng.
Aku harus memastikan, pikir Lea sambil menggeser penutup di
plafon. Aku harus yakin itu kecelakaan, bahwa Catherine tidak
membunuh Marci. Sebab kalau dia membunuh Marci, berarti akulah yang
bertanggung jawab. Kalau benar dia membunuh Marci...
Lea tak ingin meneruskan pikirannya.
Di loteng amat dingin. Terasa tidak nyaman. Ia menyalakan
lampu kuning, lalu menuju kamar rahasia.
Pintunya tertutup. Tanpa memberitahukan kehadirannya, Lea memutar anak kunci,
lalu membuka pintu. Catherine duduk di tempat tidur, kedua tangannya di pangkuan,
seolah-olah ia sedang menunggu Lea. Wajahnya tersenyum gembira.
"Catherine, apakah kau yang mendorong Marci?" tanya Lea
tanpa basa-basi. Wajahnya tegang, ia masuk kamar, mendekati tempat
tidur, berdiri di sebelah Catherine.
Senyum Catherine masih terkembang. Ia memandang Lea
dengan senyum nakal, tetapi tidak mau menyahut.
"Catherine, ayo jawab," desak Lea tak sabar, bertolak pinggang.
"Apakah kau yang mendorongnya" Apakah kau yang
membunuhnya?" Catherine menggeleng, rambut ikal emasnya berkibar. "Itu
kecelakaan yang mengerikan," jawabnya, tersenyum pada Lea.
"Kecelakaan tragis."
"Aku tidak percaya," kata Lea marah. "Kau pasti telah
mendorongnya, kan!" "Kau tidak punya bukti," suara kanak-kanak Catherine
terdengar mengejek. "Kau tidak bisa melihatku."
"Kau memang tidak tampak, Catherine. Tapi aku ingin tahu
yang sebenarnya." "Sudah kuceritakan yang sebenarnya," tegas Catherine, melihat
ke pintu lewat bahu Lea. "Tidak, kau pasti bohong," sergah Lea. "Kau pasti melayang ke
tangga, lalu mendorong Marci."
Catherine bangkit berdiri, menghindari Lea. Ia menuju lemari
yang tegak membelakangi tembok, lalu memandang Lea,
punggungnya bersandar ke lemari. "Kau puas kan, Lea?"
Suara Catherine yang dingin dan keras itu mengejutkan Lea.
Wajah Catherine mengeras, sekeras suaranya. Ia tidak lagi
seperti malaikat mungil. Mendadak ia tampak tua sekali.
"Well" Dengar, Lea. Kau puas, kan! Aku sudah menolongmu."
"Kau sudah menolongku?" Lea menghunjamkan pandang pada
Catherine, heran melihat perubahannya.
"Ya. Aku sudah menolongmu. Kini giliranmu menolong aku,"
ujar Catherine, wajahnya tinggal seperti bayangan.
"Menolongmu?" Lea mundur selangkah. "Tunggu, Catherine.
Aku tidak..." Catherine melayang dari lemari, memintas kamar, dan
melayang di atas Lea. "Ya. Kau harus menolongku, sekarang,"
katanya dengan suara mengeras, matanya dingin, sosoknya berubah
menjijikkan. "Tidak!" Lea menjerit, hendak melarikan diri. Tapi pintu
langsung tertutup. Sambil berpaling menatap Catherine, Lea berteriak,
"Apa yang kauinginkan?"
"Apa yang kuinginkan?" Catherine melemparkan kepalanya ke
belakang, tertawa pahit dan menghina. "Aku mau hidup lagi."
"Tapi, Catherine..."
"Aku ingin menyentuh segalanya melalui tubuh yang bernyawa,
Lea. Aku mau jalan- jalan, memijak bumi, menghirup udara."
"Tapi aku tidak bisa memenuhi permintaanmu!" teriak Lea.
"Tentu saja kau bisa," seru Catherine, menatap Lea dengan
keinginan besar. "Bolehkah aku masuk sekarang?"
"Apa?" Lea tak percaya pada apa yang didengarnya.
"Kau harus mengizinkan aku masuk sekarang," ulang
Catherine, melayang di atas Lea. "Aku sudah menolongmu tadi siang.
Kini kau berutang padaku."
"Tapi, Catherine..."
Lea menoleh ke pintu. Tertutup rapat. Catherine telah
menutupnya. Mungkin ia juga sudah menguncinya.
Tidak ada peluang untuk kabur.
Apa yang akan dilakukannya"
"Kau harus mengizinkan aku masuk," ucap Catherine pelan,
mengancam, sangat mengancam. "Aku mau masuk!"
"Jangan!" ratap Lea. "Catherine... jangan!"
Tapi Catherine sudah menghilang.
Lalu Lea kembali merasakan sesuatu yang berat di atas
kepalanya, dan sadarlah ia bahwa Catherine sudah menyelinap masuk
ke tubuhnya. bab 18 PERTAMA kali Catherine masuk ke tubuhnya, Lea sama sekali
tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ia merasa ada beban berat
yang masuk ke tubuhnya, merasakan kehadiran seseorang, lalu
tubuhnya bagai melayang. Silih berganti tubuhnya terasa berat, lalu
melayang. Pengalaman baru itu membuatnya takut, amat
membingungkannya, hingga Lea cuma bisa diam dan membiarkan
semuanya terjadi. Tapi sekarang, ketika kepalanya mulai terasa berat, dan ada
beban yang turun ke punggungnya, tahulah ia bahwa Catherine sedang
berusaha merasuki tubuhnya.
Dan ia berusaha melawan sekuat tenaga.
"Keluar! Keluar! Keluaaar!" jeritnya.
Ia mulai berkonsentrasi, memusatkan pikiran untuk mengusir
Catherine. Ia berusaha menguasai dirinya sendiri.
"Keluar, keluar... keluaar!" jeritnya, matanya tertutup rapat.
Konsentrasi. Konsentrasi.
Lea kaget ketika usahanya berhasil.
Ia merasakan beban berat itu keluar, hingga tubuhnya terasa
normal kembali. Kepalanya sudah tidak pusing lagi. Dengan mata tetap terpejam,
ia lebih meningkatkan konsentrasinya.
"Biarkan aku masuk, Lea," bisik Catherine, dekat sekali, tapi
tidak tampak. "Kau berutang padaku, Lea. Biarkan aku masuk."
"Tidak!" seru Lea, membuka mata, lalu berbalik dan lari ke
pintu. "Biarkan aku masuk, Lea. Kau tidak boleh melawanku. Aku
mau masuk." Tapi Lea sudah memutar tombol pintu dan mendorongnya.
Ia kaget ketika pintu terbuka dengan mudah.
Ia kabur ke loteng, membanting pintu, lalu menguncinya.
Aku berhasil, batinnya. Catherine sudah keluar. Aku telah
memaksanya keluar. Lea segera turun lewat tangga besi ke lantai dua, sebelum
menyadari bahwa sekujur tubuhnya gemetaran, amat gemetaran
hingga giginya gemeletuk.
Tenang, tenang, tenang. Tapi ia masih gemetaran. "Mom!" teriaknya, lari pontang-panting menuruni tangga.
"Mom! Dad! Tolong aku!"
Mereka lari keluar dari ruang baca, keduanya melongo, wajah
mereka tampak cemas dan prihatin.
"Mom, Dad, tolonglah aku!" jerit Lea, tak sanggup lagi
menghentikan tubuhnya yang gemetaran.
Ibunya lari menyeberangi ruang keluarga dan memeluknya.
"Lea, ada apa?"
"Ada hantu," bisik Lea, menyembunyikan wajah di sweater
ibunya yang lembut. "Ada hantu."
"Bawa dia ke ruang baca," Mr. Carson menyuruh istrinya. "Lea,
ayo berbaringlah di sofa."
"Tidak!" Lea menarik diri dari pelukan ibunya. "Aku tidak mau
berbaring! Aku tidak mau! Ada hantu di rumah ini. Dia membunuh
Marci, dan akulah yang telah membebaskan hantu itu!"
"Lea...," bujuk ibunya, wajahnya diliputi kecemasan.
"Lea, kau gelisah sekali," tutur ayahnya lembut. "Kau pasti
mengalami cobaan berat. Ayolah, masuklah ke ruang baca dan..."
"Tidak, aku tidak mau berbaring!" tegas Lea, sadar bahwa ia
emosi, tapi tak sanggup mengendalikannya.
"Kalau begitu, duduklah dan ceritakanlah pada kami," kata
ayahnya dengan sabar sekali.
Lea mendesah. "Oke." Ia mengikuti mereka ke ruang baca dan
duduk di tepi sofa kulit berwarna cokelat.
Ayahnya mematikan TV. Ibunya berdiri di pintu, menopang
tubuh dengan satu tangan bertumpu ke kusen.
"Ada apa?" tanya Mr. Carson, duduk di sofa, di sebelah Lea.
"Ada hantu di loteng," Lea mulai bercerita, berusaha tenang;
dipaksanya dirinya agar bersuara normal. "Seorang gadis. Di loteng.
Di dalam kamar rahasia."
"Kamar yang terkunci itu?" tanya ibunya, memandang
suaminya. "Kamar itu sudah tidak terkunci lagi," papar Lea, melihat ke
karpet putih yang berlubang di dekat kakinya. "Aku telah membuka
palangnya, lalu membuka kuncinya."
"Kau melakukan itu" Kapan?" tanya ayahnya, duduk merapat.
"Beberapa malam yang lalu. Aku seperti mendengar ada orang
di dalamnya. Lalu kucopot palangnya. Kubuka pintunya dan kulihat
hantu di dalamnya. Seorang gadis yang telah dibunuh di rumah ini.
Seratus tahun lalu. Dan aku telah membebaskannya, lalu dia dengan
sengaja mendorong Marci ke pagar. Sekarang dia... dia mau..."
Suara Lea tersendat. Ia memandangi karpet. Tidak sanggup lagi
meneruskan ceritanya. "Kau habis mengalami cobaan berat hari ini," ulang ayahnya.
"Aku sangat memahami kalau kau amat gelisah. Tapi ingatlah, kita
harus bersikap realistis di sini."
"Dad tidak percaya padaku?" teriak Lea, bangkit berdiri.
Orangtuanya bertukar pandang dengan cemas, saling memberi
isyarat. "Lea, kau amat terguncang," hibur ibunya. "Akan kupanggilkan
dokter." "Tidak!" jerit Lea. "Aku tidak butuh dokter. Aku tidak sakit!"
"Tapi, Sayang," bujuk Mrs. Carson, "ceritamu itu tidak masuk
akal." "Kurasa kau harus istirahat, Lea," kata ayahnya, memberi
isyarat Lea agar duduk lagi di sofa. "Kau butuh waktu untuk
melupakannya. Itu memang kejadian buruk."
"Nah, itulah yang ingin kubicarakan!" seru Lea, menarik
sebelah rambutnya dengan putus asa. "Sebenarnya itu bukan
kecelakaan! Catherine-lah yang membunuh Marci!"
"Catherine?" tanya ayahnya dengan dahi berkerut kebingungan.
"Hantu itu!" teriak Lea. "Hantu di kamar rahasia di loteng."
"Lea, duduklah," kata ayahnya tegas, berdiri sambil menunjuk
ke sofa. "Kutegaskan bahwa aku tidak ingin lagi mendengar cerita
tentang hantu itu." "Akan kupanggilkan dokter," ujar Mrs. Carson, menggigit ibu
jarinya, seperti kebiasaannya kalau sedang gugup. Ia segera
meninggalkan ruang baca. "Oke. Akan kubuktikan," kata Lea, masih gemetaran. "Akan
kubuktikan pada Dad." Ia menyambar tangan ayahnya, lalu
menariknya. "Ayo. Mom dan Dad."
"Kau akan mengajak kami ke loteng?" tanya ibunya,
mengikutinya dengan ragu-ragu.
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan kutunjukkan kamar tersembunyi itu," jawab Lea. "Akan
kubuktikan kalau aku tidak sinting. Bahwa ada hantu di sana."
Mereka menaiki tangga, melewati kamar Lea, dan berhenti
sebentar di tangga besi. Ketiganya memandang ke penutup di plafon.
"Kalau di sana tidak ada hantu, bolehkah aku memanggil
dokter?" tanya Mrs. Carson.
"Di sana betul ada hantu," tegas Lea.
Ia naik tangga seperti yang sudah sering dilakukannya selama
dua pekan ini, membuka penutupnya, lalu menarik tubuhnya ke loteng
yang gelap. Orangtuanya mengikutinya. Mrs. Carson lebih dulu, lalu
menyusul suaminya. "Uuh. Di sini dingin sekali," keluh Mrs. Carson.
Lea butuh beberapa detik untuk menemukan tombol lampu di
tembok. Ia menekannya, lalu loteng yang panjang dan sempit itu
diterangi cahaya kuning. Terengah-engah Lea menuju kamar rahasia itu.
Ia berhenti mendadak sambil menjerit, terperangah tak percaya.
Pintu itu tertutup dan terkunci.
Palangnya terletak di tempat semula, menutupi jalan masuk,
terpaku kokoh di pintu. Seperti belum pernah ada yang menyentuhnya. Masih persis
seperti ketika pertama kali mereka ke sini.
bab 19 DR. HARRISON menutup tasnya. Ia merapikan selimut Lea,
lalu dokter yang berkacamata itu tersenyum padanya. "Kau akan
segera sembuh," katanya singkat dengan wajah tenang. "Kau demam.
Tapi pasti segera sembuh. Istirahatlah beberapa hari, oke" Setidaknya
sampai demammu hilang."
Dengan mengantuk akibat panas yang tinggi, Lea mengucapkan
terima kasih. Ia memalingkan wajahnya ke bantal.
Mereka tidak mempercayai ceritaku tentang Catherine, batinnya
pahit. Mereka pikir demamku ini yang menyebabkanku melantur.
Di seberang kamarnya, hujan deras memukul-mukul jendela
kembarnya. Angin kencang mengempaskan air hujan ke kaca,
menggetarkan kusen jendela yang sudah tua.
Lea bisa mendengar Dr. Harrison sedang berbisik-bisik dengan
orangtuanya di koridor. Lea mengangkat kepalanya dari bantal,
berusaha mencuri dengar ucapannya. Tapi bicaranya pelan sekali.
Tak lama ia mendengar ketiga orang itu menuruni tangga. Ia
mendengar pintu depan ditutup setelah dokter itu pulang.
Mereka kira aku berkhayal, pikir Lea.
Mungkin aku... Ia mendongak ketika orangtuanya memasuki kamar, nyaris
berjingkat-jingkat. "Belum tidur?" bisik ayahnya.
"Aku ngantuk sekali," sahut Lea, menguap.
"Dr. Harrison bilang demammu akan segera hilang," hibur
ibunya. Dengan cemas ia menggigiti ibu jarinya sambil membungkuk
di atas Lea, menatapnya, seakan-akan baru pertama kali melihatnya.
"Jangan pandang aku seperti itu," pinta Lea, heran mengapa
suaranya jadi parau. "Kau harus istirahat beberapa hari di tempat tidur. Tidurlah,"
bujuk ayahnya. "Sepertinya aku bakal tidur seminggu," sahut Lea.
Ibunya membungkuk dan mencium keningnya. Mom wangi
jeruk. Lea tersenyum dan memejamkan mata.
Hujan deras yang menghantam jendelanya membuatnya
kembali membuka mata. Orangtuanya sudah turun. Ia mengambil
Georgie dari kaki tempat tidur, lalu memeluknya erat-erat.
"Barangkali mereka mengira aku sinting, Georgie," tuturnya pada
boneka macannya. Sebagai jawabannya, mata Georgie mencorong merah.
"Tidak!" bisik Lea, melemparkan bonekanya ke lantai.
Ketika menengadah, Catherine sudah berdiri di sisi tempat
tidurnya, mencorong merah seperti Georgie.
"Catherine... mau apa kau kemari?" tanya Lea. "Untuk apa kau
ke sini?" "Ini kamarku," sahut Catherine, tersenyum.
Cahaya merah itu sudah hilang. Semua warna di kamar itu
memudar hingga tinggal dua cahaya merah yang terpancar dari kedua
mata Catherine. "Kamarmu" Apa maksudmu?" Lea terduduk, kepalanya
tersandar di tempat tidurnya.
"Ini kamarku," ulang Catherine, masih tersenyum. "Aku selalu
di sini." "Lalu kamar di loteng itu. Kamar rahasia itu...," kata Lea.
"Inilah kamar itu," jelas Catherine, duduk di tepi tempat tidur
dengan mata bersinar merah. "Ini kamarku. Kau tidak pernah berada
di loteng, Lea." "Tidak pernah?" kepala Lea pusing. Matanya terpejam.
Aku betul-betul sudah sinting, pikirnya.
Hujan menimpa daun jendela. Lea merasakan embusan udara
dingin di wajahnya, embusan angin dari jendelanya. Ia menarik
selimutnya hingga ke bawah dagu, lalu mencengkeramnya erat-erat,
seolah-olah selimut itu bisa melindunginya dari Catherine, dari semua
penjelasan Catherine. "Kau tidak pernah ke kamar rahasia itu," Catherine bertutur
lirih. "Kau tidak pernah ke loteng, karena aku memang tidak tinggal di
loteng. Aku belum pernah meninggalkan kamar ini."
"Aku tidak mengerti," ujar Lea, membuka mata, menatap hantu
perempuan yang pucat itu.
"Aku telah mempengaruhi pikiranmu, Lea," jelas Catherine
datar, tanpa emosi. "Aku mengelabui penglihatanmu. Aku
membuatmu seolah-olah berada di loteng, di kamar rahasia. Kamar
yang sudah lama sekali ditutup. Tapi sebetulnya kau selalu ada di
kamar ini." "Tapi mengapa" Mengapa?" tanya Lea. Selimut sebatas dagu
yang dicengkeramnya erat-erat tak mampu mengusir rasa dinginnya,
dan rasa takut yang terasa di sekujur tubuhnya.
"Kamar di loteng itu tempat kejahatan," kata Catherine. Ketika
mengucapkannya, matanya bersinar merah tua. Ia melayang ke atas
tempat tidur, di atas Lea, sinar matanya membakar wajah Lea.
Lea berpaling. Catherine berbalik ke ujung tempat tidur. "Itu tempat kejahatan.
Aku yang memasang palang pintu kamar itu. Seratus tahun silam. Aku
yang melakukannya. Hingga pintu itu tertutup selamanya."
Lea tidak menyahut. Ia mengantuk sekali. Ia harus memaksa
diri untuk bisa mengerti ucapan Catherine. Sulit sekali memahaminya.
"Aku melihat ketika pertama kali kau ke loteng," lanjut
Catherine. "Kulihat kau menghampiri pintu yang ditutup itu. Kulihat
kau memasang telinga di situ. Mula-mula aku mencoba menakutnakutimu agar kau mau pergi dari situ."
"Maksudmu?" Lea teringat ketakutannya ketika pertama kali ke
loteng. "Ya. Tetes darah dan paku yang melesat ke arahmu, akulah
yang melakukannya," papar Catherine. "Aku harus menakutnakutimu. Aku harus menjauhkanmu dari kamar kejahatan itu. Tapi
ternyata itu belum cukup. Ketika kulihat kau begitu ingin
membukanya, memasukinya, aku lalu mempengaruhi pikiranmu. Aku
berbuat seolah-olah kau berada di loteng. Aku membuatmu seolaholah membuka pintu. Tapi sebenarnya kau terus di sini."
Catherine tertawa terkekeh-kekeh hingga rambut emasnya yang
keriting terguncang-guncang. Jelas sekali ia menyombong, puas pada
dirinya, mempermainkan Lea dengan segala tipu muslihatnya.
"Tapi mengapa kau harus repot-repot begitu?" tanya Lea
dengan suara serak. "Mengapa kau harus membuatku seolah-olah ada,
di loteng?" "Agar kau tidak merasa takut di kamarmu," sahut Catherine,
memperjelas semuanya. "Aku ingin kau betah. Aku ingin kau jatuh iba
padaku, bersimpati pada cerita sedihku. Aku ingin kau percaya
padaku." Lea bergerak resah, kedua tangannya mencengkeram
selimutnya lebih erat lagi, kedinginan, sangat kedinginan, hingga ia
mulai menggigil. "Sekarang kau mau apa, Catherine?" tanyanya
dengan gigi gemeletuk. "Aku mau berbagi kamar ini denganmu," jawab Catherine,
membungkuk. "Juga tubuhmu."
"Tidak!" Lea berusaha menjerit, tapi ia merasa amat lemah,
amat mengantuk, amat pusing.
"Kau sekarang milikku!" ia mendengar Catherine berteriak.
Lalu ia merasa kepalanya berat, rasa berat itu turun ke
tubuhnya. Terasa berat. Amat berat.
Ia tahu Catherine telah merasukinya, memilikinya.
Tapi Lea amat lemah, amat mengantuk untuk melawannya.
Tak lama Catherine sudah sepenuhnya menguasai dirinya.
"Alangkah menyenangkan!" katanya melalui suara Lea.
bab 20 CATHERINE sudah merasukinya.
Beberapa hari ini, ketika ia tinggal di rumah menunggu suhu
tubuhnya normal kembali, Lea merasa seperti ada tamu di dalam
tubuhnya. Ia sadar. Ia sudah menyiapkan segalanya untuk mengatasi
apa yang bakal terjadi. Tapi ia belum mampu mengendalikan katakata atau sikapnya.
Suaranya belum mau keluar. Ia cuma mampu berpikir.
Ia masih punya kemauan, tapi cuma bisa mengikutinya.
Kini tubuhnya milik Catherine.
Lea berdebat dengan Catherine, berusaha mengusir Catherine.
Tapi Catherine selalu mengabaikan permintaan Lea.
Seolah-olah Lea tidak ada.
Kadang-kadang, tanpa diduga-duga, Lea tiba-tiba merasa
Catherine keluar dari tubuhnya. Saat-saat itulah Lea merasa bebas dan
berharap untuk kembali memiliki tubuhnya; ingin sekali ia menjerit
dan berjingkrak-jingkrak.
Tapi ia merasa amat letih.
Dan amat takut. Tak lama kemudian, ia merasa Catherine merasukinya kembali,
mengambil alih tubuhnya. Lea kembali ketakutan, kembali menjadi
teman bisu, teman bisu di dalam tubuhnya sendiri!
Ke mana Catherine pergi kalau keluar dari tubuhnya"
Lea tidak pernah menanyakannya. Catherine hampir selalu
mengabaikan pertanyaannya.
Catherine kini menguasainya.
Cuma Catherine satu-satunya yang bisa ditanyai.
Suatu pagi, ketika Catherine menghilang beberapa saat, Lea
nyaris menceritakan kepada ibunya apa yang sedang dialaminya. Tapi
ia cepat-cepat membatalkannya.
Kalau kuceritakan bahwa aku dirasuki hantu, bahwa hantu itu
mengendalikan setiap kata dan tingkah lakuku, aku pasti akan dikirim
ke rumah sakit jiwa, selamanya, pikir Lea.
Maka ia menahan godaan itu, dan tak lama kemudian Catherine
pun kembali. "Barangkali kita sudah bisa jalan-jalan hari ini," kata
Catherine. "Kita sudah cukup kuat untuk keluar rumah. Aku punya
rencana besar untuk kita, Lea. Rencana istimewa yang harus kita
lakukan." Lea takut menyahut, cuma bertanya-tanya apa rencana
Catherine. Tapi sekali lagi Catherine mengabaikan pertanyaan dalam
kebisuannya itu. "Kau sudah tampak lebih segar," kata ibu Lea gembira,
memasuki kamar Lea, menyingkap tirai jendela kembar,
memperlihatkan hari yang cerah dan bermatahari. "Mengapa kau tidak
pergi jalan-jalan" Tinggalkanlah rumah yang pengap ini."
"Yaa!" seru Catherine dalam suara Lea. Ia menendang selimut
dan bangun. "Jangan pergi terlalu lama, ya," pesan Mrs. Carson, membuka
salah satu jendela, membiarkan udara dingin dan segar masuk ke
kamar. "Sebentar saja," sahut Catherine. "Hari ini indah sekali. Aku
cuma mau jalan-jalan."
"Janji ya jangan pergi jauh-jauh," pesan Mrs. Carson prihatin.
"Kau habis sakit serius, Nak."
"Aku sudah sembuh!" seru Catherine.
Ketika Mrs. Carson kembali ke bawah, Lea mengenakan celana
dril hitam dan sweatshirt Shadyside High merah tua dan abu-abu, lalu
ia mencari-cari sesuatu di dasar lemarinya yang berantakan.
"Mau apa kau?" tanya Lea dalam kebisuannya. "Catherine, apa
yang kaucari?" Catherine tidak menyahut ketika tangan Lea terus mencari-cari
sesuatu. Lalu akhirnya dengan misterius ia berkata, "Rencana besar,
Lea. Rencana besar. Aha! Ini dia."
Ia menarik seutas tambang dari lemari, tambang pengikat
kardus Lea yang belum tuntas dibongkarnya.
"Catherine, apa yang akan kaulakukan dengan tambang itu?"
tanya Lea. "Maksudmu, apa yang akan kita lakukan dengan tambang ini,"
sahut Catherine nakal. "Kita mau bikin sedikit lelucon." Lea tak
mampu menguasai dirinya. Bertentangan dengan kemauannya, ia
merasakan tangannya merenggut tambang itu, lalu meregangkannya.
"Kita akan memberi sedikit pelajaran pada Don Jacobs," jelas
Catherine. "Hah?" Lea kurang yakin pada apa yang didengarnya. "Don?"
"Dia pacar Marci, kan?" tanya Catherine. Tapi itu bukan
pertanyaan. "Aku sudah dengar semuanya, Lea. Aku dengar apa saja
yang kauceritakan pada Deena di telepon. Aku selalu ada di kamarmu,
ingat?" "Tapi Don..." Lea memulai.
"Don juga perlu diberi ganjaran," kata Catherine dingin. "Ayo.
Cepat berangkat, Lea. Lihatlah apa yang akan kita lakukan."
bab 21 DON tinggal di blok rumah berbata merah di Canyon Road.
Pasti sepagian itu seseorang telah menyapu dedaunan, pikir Lea,
karena terlihat tumpukan daun teronggok di tengah-tengah kebun
mungil. "Senang ya jalan-jalan," kata Catherine dalam hati Lea.
"Udaranya segar dan manis. Menurutku musim gugur adalah saat-saat
yang paling menyenangkan."
Lea hanya bermuram diri. Ia harus menghentikan Catherine
yang sedang menuju rumah Don, menggagalkan rencananya yang
mengerikan terhadap Don. "Tapi ini semua kulakukan untukmu, sobat," sahut Catherine,
tidak memedulikan Lea. Ketika mereka tiba di blok rumah Don, Lea mati-matian nekat
untuk mengendalikan dirinya. Ia memusatkan pikiran untuk mengusir
Catherine, menghentikan langkahnya.
Tapi Lea terlalu lemah. Sedangkan Catherine amat kuat.
Kaki Lea tetap melangkah, berjalan di trotoar yang bertebaran
dedaunan, ke arah Canyon Drive, ke rumah Don.
"Tidak ada gunanya melawan," ujar Catherine ketika mereka
melangkah di jalan beraspal. "Ini kulakukan untukmu. Don itu budak
Marci. Dia tidak pernah serius padamu."
"Catherine, jangan," pinta Lea.
Tapi ia sudah membunyikan bel.
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semoga Don tidak ada di rumah, batin Lea. Tolong jangan
sampai dia ada di rumah. Terdengar suara langkah kaki. Pintu depan yang bercat putih itu
terbuka. Don berdiri di pintu, wajahnya tampak terkejut. "Lea!"
"Hai, Don," sapa Catherine dalam suara Lea. "Apa kabar?"
"Lea, bagaimana keadaanmu?" tanya Don, memegangi pintu.
"Katanya kau sakit."
"Aku sudah sembuh." Ia melangkah masuk. Rumah itu dipenuhi
aroma ayam panggang. Suara musik metal terdengar dari salah satu
kamar di atas. "Benar-benar kejutan," kata Don, mengelapkan tangannya ke
sweatshirt-nya. "Aku habis menyapu dedaunan. Teman-temanku akan
kemari dan..." "Aku cuma mampir sebentar," potong Lea. "Aku cuma ingin
tahu kau sedang apa. Maksudku, kau pasti amat terpukul. Karena
kematian Marci." Don menunduk, matanya menghindar. "Yeah," gumamnya.
Ruangan itu sunyi sebentar, kecuali suara musik dari atas.
"Menyedihkan sekali," ujar Don kemudian, masih menghindari
tatapan Lea. "Aku shock. Kejadiannya aneh. Tidak masuk akal."
"Ya. Tidak masuk akal," ulang Lea pelan.
Lea mendengarkan tanpa daya ketika pembicaraan itu terus
berlanjut. Dengan simpatik Catherine berbicara pada Don, Don yang
malang dan sama sekali tidak menaruh curiga.
Kalau saja aku bisa melakukan sesuatu, pikir Lea nekat. Sesuatu
untuk menghentikan Catherine.
Tapi Lea tidak berdaya. Seorang penonton yang tidak berdaya.
"Waktu itu kau ada di sana, kan?" ujar Don. "Pasti mengerikan
buatmu." Mereka masih berdiri canggung di pintu. Kedua tangan Don
berada di saku jeans-nya.
"Ya," sahut Lea pelan sambil menggeleng. "Aku... kurasa aku
pasti tidak bisa melupakannya."
"Aku kini kesepian," kata Don, mengeluarkan salah satu
tangannya untuk mengusap rambut cokelatnya yang ikal.
"Well, seharusnya kau tidak boleh kesepian," ucap Lea penuh
arti. Don memandangnya beberapa saat. Lalu mulutnya tiba-tiba
terbuka ketika teringat sesuatu. "Ayamku! Mom pergi. Aku janji
mematikan oven." Ia berbalik dan bergegas-gegas ke dapur.
Ketika ia sudah tidak nampak, Lea merogoh saku jeans-nya dan
mengeluarkan seutas tambang. Ia menguraikannya lalu
membentangkannya. "Catherine, mau apa kau?" tanya Lea.
Tidak menyahut. Lea merasa tubuhnya mulai bergerak ke dapur.
"Catherine, hentikan. Mau apa kau?"
Tidak menyahut. Tanpa bersuara, Lea melangkah ke dapur. Ia berhenti tepat di
belakang Don yang sedang membungkuk ke oven, memeriksa
ayamnya. Ia membentangkan tambang dan mengangkatnya di atas kepala
Don. Dalam kebisuannya Lea tersadar bahwa ia akan menjerat Don.
bab 22 LEA membungkuk hingga hampir menyentuh punggung Don,
merentangkan tambang di atas kepalanya, siap menjerat lehernya dan
mencekiknya. Bel pintu berbunyi. Don tegak berdiri. Lea mundur dengan cepat, menjatuhkan tambang ke lantai.
"Hei," jerit Don, berbalik menghadapnya. "Aku tidak dengar
kau ke sini." "Sori," ucap Lea.
Sudah nyaris, pikir Lea yang tidak berdaya di dalam tubuhnya
sendiri, amat lega. Lalu ia gemetar ketakutan. Ia sadar Catherine tidak akan
menyerah. Cuma menunda. Ia akan mencoba lagi.
Dan Lea akan menjadi seorang pembunuh. Pembunuh yang
sesungguhnya. Don mematikan oven, lalu lari ke pintu depan. Lea memungut
tambang, cepat-cepat memasukkannya ke saku celananya, lalu
mengikuti Don ke beranda.
"Hai," sapa Don. "Aku sudah siap. Tinggal ambil kunci."
Dua cowok yang juga murid di sekolahnya, Cory Brooks dan
Gary Brandt, menyerbu masuk rumah. Mereka mengenakan jeans dan
jaket berinisial Shadyside High.
"Hei, kalian sudah kenal Lea?" tanya Don, menuju ruang tamu.
"Lea Carson, ini Cory dan Gary," serunya.
"Hai," sapa Lea malu-malu.
"Apa kabar?" tanya Cory.
"Aku sudah pernah melihatmu di sekolah," kata Gary. "Kau ikut
pelajaran kimia Mr. Hunter, kan?"
"Yeah," sahut Lea. "Aku baru masuk beberapa minggu yang
lalu." "Oke. Ayo berangkat," ajak Don ketika muncul lagi. Ia menyisir
rambutnya beberapa saat sebelum berangkat. "Mau ikut kami, Lea?"
"Tidak. Trims," sahut Lea. "Aku mau jalan- jalan." Ia menuju
pintu. "Sampai jumpa, Don. Hati-hati."
Aku tidak percaya, pikir Lea. Mula-mula Chaterine mau
mencoba mencekiknya. Lalu ia bilang hati-hati padanya.
"Senang bertemu kalian," seru Lea pada Gary dan Cory, lalu ia
melangkah ke halaman rumah Don, melewati mobil mereka, sebuah
Ford Fiesta butut dengan bemper penuh stiker stasiun radio. Ia
menyusuri Canyon Road, berjalan melawan angin, wajahnya terasa
dingin dan pedih. ********************* "Senang jalan-jalannya, Sayang?" tanya Mrs. Carson ketika
mendengar Lea pulang. "Sangat menyenangkan," sahut Catherine dalam suara Lea.
"Aku sudah merasa lebih sehat, Mom."
"Oh, aku gembira mendengarnya," kata Mrs. Carson, masuk
kamar dan mengelapkan tangannya ke lap handuk.
"Aku menyesal," kata Lea, "tentang hantu itu, kurasa aku
melantur. Aku jadi membuat Mom cemas."
Mendengar itu, tanpa bisa ikut campur, Lea menggumam lirih:
Ini bukan aku, Mom. Bukan aku yang mengatakannya. Mom, tolong.
Bolehkah aku bercerita" Bolehkah kukatakan bahwa dia bukan aku"
"Ayahmu dan aku sempat cemas. Gara-gara demam, kau jadi
melantur-lantur, Lea," kata Mrs. Carson.
"Well, aku sudah sembuh sekarang," kata Lea riang. "Sudah
seperti sebelumnya."
Ia menaiki tangga ke kamarnya.
"Catherine, kau tidak boleh berbuat begitu padaku!" jerit Lea,
memohon dengan sedih. "Lain kali dia pasti mampus," ancam Catherine dengan suara
bengis. "Don akan mati. Juga teman-temannya yang tolol itu. Mereka
juga akan mati. Mereka semua akan mati."
********************* Kegelapan itu seperti terkuak, tapi di baliknya semakin gelap.
Lalu terlihat dua bujur sangkar abu-abu. Kedua jendela di seberang
kamarnya. Lea bangun ketika kegelapan yang memusingkannya itu sudah
pergi, dan tampaklah kamarnya yang tenang.
Ia merasa aneh, gelisah. "Catherine?" bisiknya.
Tidak menyahut. Sadarlah Lea. Catherine telah keluar dari tubuhnya.
"Catherine?" Lea tidak tahu berapa lama Catherine akan pergi. Kadangkadang beberapa jam, kadang-kadang cuma beberapa menit.
Ke mana dia" Ia mengenakan piama sutra putihnya, lalu berdiri di lantai
kamarnya. Aku sudah bisa jalan, pikirnya. Aku sudah bisa
menggerakkan kakiku, tubuhku. Aku sudah bisa berpikir. Aku sudah
mampu mengendalikan diriku.
Enak rasanya, kalau saja tidak cuma sebentar.
Aku harus melakukan sesuatu, pikir Lea. Aku harus mengusir
Catherine. Sebelum ia membunuh Don. Tapi bagaimana caranya" Apa yang harus kulakukan"
Ia memeluk dirinya, tiba-tiba merasa sendirian.
Aku tidak punya siapa-siapa, pikirnya sedih. Tidak ada yang
bisa kuajak bicara. Tidak ada tempat curahan hati. Kalau kuceritakan
ini pada orangtuaku, mereka akan memanggil dokter, dan aku akan
disuruh beristirahat terus di kamar. Kalau kuceritakan pada Deena...
dia pasti tidak percaya padaku.
Tidak ada yang percaya. Aku sendirian. Aku harus menghadapi Catherine sendirian.
Tapi bagaimana" Lalu ia mendapat gagasan.
Kamar rahasia. Kamar yang tertutup di loteng.
Pasti rahasianya di sana, pikir Lea.
Siapa lagi kalau bukan Catherine yang selalu mencegahku ke
sana" Mengapa dia menipuku, memberiku ilusi seolah-olah aku
berada di kamar itu" Segala cara dilakukannya agar aku menjauhi
kamar itu. Lea ingat Catherine pernah bilang bahwa ia yang memalang
pintu kamar itu. Ia ingin kamar itu tertutup selamanya.
Mengapa" Pasti ada sesuatu di dalamnya yang ingin disimpan terus oleh
Catherine. Sebuah rahasia. Rahasia yang menakutkan Catherine.
Aku harus tahu apa itu, pikir Lea sambil bangkit berdiri. Aku
harus tahu ada apa di balik kamar yang terkunci di loteng itu.
bab 23 LOTENG itu masih sunyi dan dingin, pengap, sulit untuk
bernapas. Lea nyaris tercekik oleh bau asam dan debu apak yang
menyergap hidungnya. Ia menyalakan lampu loteng, lalu berjalan cepat, lantai papan
langsung berderak ketika terinjak selop karetnya, menuju pintu yang
dipalang. Kapan Catherine pulang" Rasa takut itu menjalari
punggungnya. "Catherine?" panggilnya.
Tidak ada sahutan. Kapan ia kembali" Aku harus cepat-cepat. Aku harus tahu rahasia kamar ini
sebelum Catherine pulang, sebelum ia menghalangiku, sebelum ia
kembali merasuki tubuhku.
Tanpa ragu-ragu ia merenggut palang pintu. Tidak mau copot.
Ia merenggutkannya lagi. Pakunya masih kokoh.
Sebelumnya palang ini pernah tercabut dengan amat mudah,
pikirnya. Tapi itu karena ilusi, cuma mimpi.
Palu. Ia butuh palu. Tapi masih sempatkah"
Lea tidak punya pilihan. Ia segera menuruni tangga besi dan
tangga rumahnya. Ia meraba-raba dalam gelap, menuju bagian
belakang rumahnya yang sunyi, matanya mengerjap-ngerjap, bendabenda yang sudah dikenalnya jadi tampak asing dan misterius di
kegelapan itu. Tak lama ia menemukan peti perkakas ayahnya, lalu ia
membongkarnya dalam gelap, pelan, oh, pelan-pelan, mencari palu
berkepala bengkok. Lalu ia kembali ke loteng.
Catherine" Mana dia"
Kapan ia pulang" Akankah ia menyerangku" Menghentikanku
sebelum aku berhasil mengungkap rahasia kamar ini, satu-satunya
cara yang mungkin bisa menyelamatkanku"
Ia kembali ke loteng yang dingin dan berbau debu apak.
Dan kini dengan kalap ia mencopot palang pintu, menyelipkan
palu di antara palang dan pintu, mengungkit dan mencongkelnya
dengan segenap tenaganya. Gerakannya nekat. Takut. Memasang
telinga, waspada setiap saat, kalau-kalau Catherine kembali.
Palang pertama berderak protes, lalu jatuh ke lantai. Ia mulai
mencongkel palang kedua, terengah-engah, terbatuk-batuk di antara
debu yang mengepul, memasang telinga, menunggu, setiap congkelan
palunya dilakukan dengan tergesa-gesa, hingga palang itu copot.
Palang kedua berdebum pelan, menerbangkan debu saat
terjatuh. Satu palang lagi sudah copot. Kini ia harus membuka pintu.
"Catherine?" Tidak ada sahutan. Ia belum pulang. Inilah saatnya. Lea mungkin bisa berhasil.
Palang ketiga yang paling menguras tenaganya. Ia menyelipkan
palu, lalu mencongkelnya. Palang itu berderit dan berderak, tapi tidak
mau lepas. Sekarang ia sudah bermandikan keringat, keringat dingin
yang tidak nyaman. Tapi ia terus bekerja dengan tergesa-gesa.
Sampai palang ketiga itu lepas dan jatuh di kakinya.
Ia mau memutar anak kunci ketika terdengar jeritan di
dekatnya. "Lea, mau apa kau?"
Catherine melayang di dekatnya, matanya merah karena marah,
makhluk kecil itu meliuk-liuk, rambut emasnya yang keriting
melambai-lambai. "Mau apa kau" Tinggalkan pintu itu!"
Lea tidak menggubrisnya, tetap memegang kunci.
Tapi dengan kekuatan yang tidak terduga, Catherine merenggut
dan menarik Lea. "Tidak!" teriak Lea. "Kau tidak boleh mencegahku!" Ia
meronta, mencampakkan tangan Catherine yang dingin, lalu
terhuyung-huyung ke pintu. Ia meraih anak kunci dan memutarnya.
Tapi Catherine bergerak cepat. Ia melayang di atas Lea, lalu
menghilang. Lea merasa ada beban berat di kepalanya, Catherine mulai
merasukinya, sekujur tubuhnya kini terasa berat.
Sambil bersandar ke pintu yang terkunci, Lea memejamkan
mata dan memusatkan pikirannya.
Aku harus mengusirnya, pikirnya. Aku harus mengusirnya. Aku
harus bisa mengusirnya lagi. Aku harus kuat... kuat... kuat...
Tapi beban berat itu menyebabkan kepalanya nyaris meledak.
Catherine menghalangi usahanya, mati-matian mencegahnya,
berusaha merasukinya lagi.
Tidak, tidak, tidak, tidak. Lea memusatkan pikirannya dan matimatian berusaha mengusir hantu itu.
Rasa berat itu mulai meninggalkannya, tubuhnya sekarang
terasa ringan. Ya! Ia berhasil. "Jangan buka pintu itu!" Catherine, yang tidak tampak,
menjerit dari suatu tempat di luar tubuh Lea."Jangan."
Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku berhasil mengusirnya, batin Lea, jantungnya berdebar
kencang. Aku telah mengusirnya.
"Lea... jangan!"
Ia mengintip ke dalam kamar, dan menjerit sambil
menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
bab 24 KAMAR itu persis seperti yang dibayangkan Lea. Dindingnya
gelap, lilin menyala, tempat tidurnya berkelambu.
Tapi di tempat tidur itu duduk seorang laki-laki dan wanita.
Atau, menurut pengamatan Lea, kerangka laki-laki dan wanita.
Mereka berpakaian serbahitam, sulit melihatnya di antara
cahaya yang remang-remang. Si wanita mengenakan gaun panjang,
longgar, berleher tinggi; laki-lakinya memakai celana gelap dan
kemeja putih berkerah kaku. Pakaian mereka tampak masih bagus dan
bersih, tapi kedodoran, longgar membungkus tubuh.
Dan Lea dengan segera mengetahui sebabnya.
Tubuh mereka sudah membusuk, tinggal kerangkanya. Tangan
dengan tulang-tulang jemari yang bagai tongkat terjulur dari ujung
lengan baju. Wajah mereka tinggal tengkorak, tampak mengerikan,
rahangnya memperlihatkan gigi-gigi yang menyeringai. Secuil daging
yang hijau dan telah membusuk melekat di celah tengkorak.
Si laki-laki tinggal punya sebuah mata, mata satunya cuma
berupa rongga. Si wanita nyaris tidak berwajah lagi. Helai-helai
rambut hitamnya terjuntai dari puncak tengkoraknya yang
kekuningan. Cacing gemuk dan hitam keluar dari salah satu rongga
matanya, lalu terjatuh di blusnya.
Sewaktu Lea menjerit, kedua tengkorak itu langsung bangkit,
tulang-tulang mereka bergemeretakan saat mereka berdiri. Dengan
terhuyung-huyung mereka menuju pintu, menghampiri Lea, tangan
yang tinggal tulang itu terkembang.
Lea menjerit lagi. Dan ia merasakan Catherine masuk ke tubuhnya.
Panik karena dihampiri makhluk mengerikan itu, Lea jadi
kehilangan konsentrasinya, sehingga Catherine punya kesempatan
untuk merasukinya. Kini ia merasa tubuhnya amat berat, karena Catherine berada di
dalamnya. Ia kembali tidak berdaya. Catherine kembali merasukinya.
"Kau tolol!" teriak Catherine marah. "Kau tolol!"
Kedua tengkorak itu mendekat dengan bunyi gemeretak,
tersandung pakaian mereka, tangan terkembang, menudingnya,
menuduhnya. "Sudah kubilang jangan buka pintu!" seru Catherine. "Mereka
itu orangtuaku!" "Jadi, inilah kau, anak durhaka itu!" bisik si wanita, suaranya
terdengar bagai angin, kering dan berisik.
"Masuklah kembali, setan!" teriak Catherine dalam suara Lea.
Tapi yang mengejutkan, gerakan tengkorak itu amatlah tangkas.
Tangan laki-laki itu dengan cepat menyambarnya, dan bagai
seekor ular, tulang-tulang jemarinya yang kering melingkari leher Lea.
bab 25 "ANAK durhaka!" teriak wanita itu, suaranya mendesis dari
kerongkongannya yang terbuka.
Lea tercekik ketika jemari si lelaki mencengkeram lehernya. Ia
tidak tahan bernapas lewat hidung, karena bau daging yang membusuk
itu amat menusuk. Ia berusaha lolos dari cengkeraman tengkorak yang
mengerikan, berongga mata gelap, dan menyeringai, tapi keduanya
sekarang malah memeganginya.
Tangan yang pucat itu melingkarinya, mencekiknya,
menyebarkan bau busuk bangkai yang membuatnya sulit bernapas.
Tawa yang keluar dari rahangnya yang terbuka terdengar penuh
dendam dan kemenangan. Mereka akan menelanku, pikir Lea.
Mereka akan membuatku menjadi seperti mereka.
Ketika sedang sibuk berpikir, pasrah pada kerangka yang
sedang mencekiknya, Lea merasa Catherine melayang keluar dari
tubuhnya. Matilah aku sekarang, pikir Lea. Tapi Catherine tidak mati
bersamaku. Orangtuanya akan membunuhku, dan Catherine akan tetap
hidup. Lea melihat cahaya merah melingkar-lingkar semakin terang,
sementara kedua kerangka itu mencekiknya, membuatnya sulit
bernapas. Lalu ia melihat Catherine di sampingnya, matanya merah bagai
api, mulutnya terkatup marah, menuding ke penyerang Lea.
"Mereka yang membunuhku!" seru Catherine. "Kini mereka
mau membunuhku lagi!"
"Kau pembohong busuk!" jerit si wanita geram.
Kerangka itu mengendorkan cekikannya pada Lea. Lea menjerit
pelan dan jatuh berlutut, megap-megap.
"Kau pembohong busuk!" ulang wanita itu, tengkoraknya yang
kuning dan sudah tidak bermata menoleh pada Catherine. "Kau
membunuh kami dan mengunci kami di kamar ini. Tapi kami rela
menunggumu di sini, selamanya. Kami janji tidak mau mati dengan
tenang sebelum menghentikan kejahatanmu!"
Mata Catherine semakin terang, ia mendongak sambil tertawa.
Tapi tawanya langsung reda ketika orangtuanya melompat ke arahnya;
terdengar tulang-tulang gemeretakan.
Mereka mengepung Catherine dengan pakaian mereka yang
kedodoran dan berbau tengik, bau tidak sedap yang berasal dari
daging yang sudah membusuk. Sebagian daging itu berceceran,
tulang-belulang rontok ke lantai tatkala mereka melompat ke arah
Catherine. Catherine tenggelam di pelukan mereka yang mematikan. Saat
Lea membeku ketakutan, kedua setan yang menaruh dendam itu
merengkuh si anak, mencengkeramnya erat-erat dalam kemarahan,
mencekiknya. "Tolong aku! Tolong... tolong aku!" jerit Catherine pada Lea.
Tangan Catherine yang pucat terulur dari rangkulan mematikan
orangtuanya. Tapi dengan cepat kerangka itu menyambar tangan
Catherine dan, dengan satu sentakan bengis, mencabutnya dan
menjatuhkannya ke lantai.
Catherine dan Lea menjerit bersamaan.
Lea menutup telinga dan memejamkan mata.
Tapi ia masih bisa mendengar jerit terakhir Catherine... bagai
jerit binatang yang mati terperangkap.
Ketika jeritan itu sudah tidak terdengar, Lea baru membuka
mata. Dengan ngeri dilihatnya ketiga setan itu meleleh dalam kobaran
bola api yang berkilau, pelan-pelan lenyap menjadi asap kuning yang
menyesakkan dan berbau belerang.
Dengan terisak-isak ketakutan, tersengal-sengal, Lea
memandangi asap kuning tebal yang naik ke plafon loteng.
Segalanya lalu berubah merah.
Lalu hitam. Ia merasa dirinya terbenam ke lantai, tapi ia tak mampu berbuat
sesuatu. bab 26 KETIKA membuka mata, ia cuma melihat warna putih.
Inikah surga" Sesaat Lea tersadar bahwa ia sedang memandang plafon.
Lalu wajah ibunya yang tengah membungkuk.
"Lea" Kau sudah bangun?"
Air mata menggenang di sudut mata ibunya, dan dagunya
bergetar saat menunduk. "Kau sudah bangun?" tanya ibunya.
Kemudian, dari suatu tempat di dekat situ, Lea mendengar suara
ayahnya. "Menjauhlah sedikit. Biar dia bisa bernapas."
"Masih hidupkah aku?" tanya Lea, bingung. Ia merasa lemah.
"Tentu saja kau masih hidup, Sayang," sahut ibunya, mengusap
air mata dengan jemari tangannya.
Lea melihat dirinya sedang berbaring telentang. Ia melihat ke
bawah dan tampaklah ranjang asing yang tertutup seprai dan selimut
biru muda. "Di mana aku?" "Shadyside General," jawab ayahnya, bergeser mendekat. "Kau
sakit parah, Lea." "Sakit?" "Panasmu tinggi sekali. Tiga puluh sembilan derajat selama tiga
hari berturut-turut," jelas Mrs. Carson dengan suara bergetar.
"Sudah berapa lama aku di sini?" tanya Lea, memejamkan
mata. Cahaya terang yang dipantulkan plafon putih dan berkilau itu
menusuk matanya. "Hampir seminggu," kata ayahnya lembut. Lalu cepat-cepat ia
menambahkan, "Tapi kau pasti cepat sembuh."
"Jadi, maksud Dad itu cuma mimpi?" tanya Lea, membuka
mata, menoleh ke orangtuanya. Kepalanya langsung berdenyut ketika
ia bergerak. "Mimpi?" tanya Mrs. Carson kebingungan.
"Apa kau mimpi banyak sekali?" tanya Mr. Carson. "Terkadang
kalau demam orang bisa mimpi aneh yang seperti sungguhan. Mereka
menyebutnya 'igauan.'"
"Jadi, itu igauan?" tegas Lea.
Ia mencoba duduk, tapi sekujur tubuhnya langsung protes, lalu
ia merintih dan terjatuh lagi ke bantal.
"Kau pasti segera sembuh," ulang Mr. Carson. "Kau menjadi
lemah karena terlalu lama berbaring."
"Tidak usah ingin cepat pulang, deh," bujuk Mrs. Carson.
"Deena bilang dia akan mencatat semua tugasmu, agar kau tidak
ketinggalan pelajaran."
"Oh, bagus," gumam Lea. "Terima kasih banyak, Deena."
Mr. Carson tertawa. "Sepertinya kau sudah sehat."
"Ada cowok yang selalu meneleponmu. Setiap hari," ujar
ibunya. "Don Jacobs. Kedengarannya dia sangat mencemaskanmu."
Lea tersenyum. Perlu usaha keras untuk konsentrasi. "Aku tak
percaya ini cuma mimpi," katanya, kembali tertidur.
******************* Tiga hari kemudian, ketika pulang ke rumah, yang pertama kali
dipikirkan Lea adalah naik ke loteng dan memeriksa kamar rahasia
itu. Tapi orangtuanya memaksanya istirahat beberapa hari lagi di
tempat tidur, dan mereka selalu mengawasinya dengan ketat. Ia tidak
bisa menyelinap ke loteng.
Akhirnya ia tidak tahan menunggu lagi. Hari Sabtu ia bangun
lebih pagi, turun dari tempat tidur, mengenakan selopnya, lalu diamdiam naik ke loteng.
Cahaya pagi yang pucat menembus lewat jendela bundar.
Lantai papan di bawah telapak kakinya berderak-derak.
Betul, kamar tersembunyi itu masih terkunci dan dipalang.
Itu semua cuma mimpi, pikir Lea.
Ia tinggal di sana beberapa saat, menenangkan perasaannya. Ia
tidak yakin apakah ia merasa bebas atau kecewa.
Masih gemetaran, ia meninggalkan kamar rahasia itu, kembali
ke kamarnya. Ia melihat ke cermin oval di atas meja riasnya dan
menatap dirinya. "Aku harus gunting rambut," katanya. "Poniku sudah menutupi
mata. Aku tampak seperti anjing penjaga yang gondrong."
Lalu ia melihat sesuatu di samping lampu meja riasnya.
Sebuah pita hitam. Lea memungutnya dengan tangan gemetar. Ia langsung tahu
benda apa itu. Pita beludru hitam milik Catherine.
Ia menggenggamnya erat-erat, menyapunya dengan jemarinya.
Kalau begitu, Catherine dan kejahatannya benar-benar ada.
Dan kamar di atas tempat tidur Lea adalah kamar orangtua
Catherine yang menunggu dengan sabar selama seratus tahun untuk
membalas dendam pada anak perempuan mereka.
Memandangi pita itu, kembali Lea diliputi perasaan takut.
Marci. Marci yang malang.
Marci adalah korban kejahatan Catherine. Dan Lea punya andil
sebagian. Rasa sesal meliputi hati Lea. Sesal dan sedih. Ia yakin perasaan
itu akan selalu mengikutinya selamanya.
Lea mempermainkan pita itu di tangannya, mengikatnya, lalu
menguraikannya. Haruskah ia menceritakan dari mana asal pita itu"
Tidak. Kamar rahasia itu harus tetap tinggal rahasia. Satu rahasia lagi
dari Fear Street, sebuah tempat yang penuh rahasia.
Ia meletakkan pita, lalu bergegas turun untuk sarapan.END
Eng Djiauw Ong 23 Wiro Sableng 117 Muka Tanah Liat Darah Dan Cinta Di Kota Medang 8