Pencarian

Nilai Akhir 1

Fear Street - Nilai Akhir Final Grade Bagian 1


1 LILY BANCROFT merapikan rambutnya yang hitam tebal dan
memaksa diri menghirup napas dalam-dalam. Kalau kau tidak bisa
tenang, katanya dalam hati, usahamu tidak akan berhasil.
Matanya menatap ke seberang meja, ke guru IPS-nya.
Bagaimana caranya meyakinkan dia" tanyanya dalam hati. Aku mesti
bilang apa, ya" "Tolonglah, Mr. Reiner," Lily memulai dengan nada sesopan
mungkin. "Maukah Anda mendengarkan saya sebentar?"
Guru IPS yang masih muda dan cakep itu membuka
kacamatanya dan mendongak, menatap Lily dengan matanya yang
biru kelabu. Lampu neon di atas kepala mereka berkedipkedip,
membiaskan sinar kehijau-hijauan yang menyeramkan ke wajah guru
itu. "Baiklah, Lily," kata Mr. Reiner dengan senyum tipis. "Saya
mendengarkan." Lily meletakkan kertas ulangannya di meja Mr. Reiner dan
menunjuk ke bagian atas halaman, tepat di tempat Mr. Reiner
mencoretkan huruf B besar dengan tinta merah.
"Saya"saya tidak mengerti mengapa nilai saya B. Saya sudah
meneliti keseluruhan hasil ulangan saya," katanya pada Mr. Reiner.
"Sepuluh soal pilihan ganda yang pertama betul semua."
"Memang benar," sahut Mr. Reiner tenang.
"Dan lima pertanyaan berikutnya," sambung Lily, "pada soalsoal esai, saya menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Dan Anda
tidak memberi tanda salah pada satu jawaban pun."
"Itu juga benar," ucap Mr. Reiner dengan ekspresi kosong.
"Saya tidak mengerti," tukas Lily. "Kalau memang tidak ada
yang salah, kenapa Anda memberi saya nilai B?"
"Kau benar, jawabanmu untuk soal-soal esai itu tak ada yang
salah," jawab Mr. Reiner. "Dan jawaban-jawabanmu bagus-bagus"j
awaban-jawaban yang layak mendapatkan nilai B. Tapi kau tidak
merasa perlu berusaha lebih keras lagi. Kau tidak memberi jawabanjawaban yang sangat baik"jawaban yang pantas mendapatkan nilai
tertinggi." Lily cemberut. Sebagian besar murid cewek kelas tiga di
Shadyside High naksir guru IPS yang muda dan cakep ini. Tapi Lily
tidak. Menurutnya Mr. Reiner itu angkuh dan sombong.
Itu belum termasuk sifatnya yang sulit. Sebelum mengambil
kelas Mr. Reiner, ia tidak pernah punya masalah dengan guru
manapun. Lily mengertakkan giginya dengan frustrasi. "Di kelas lain,
Alana Patterson menulis jawaban-jawaban yang hampir sama dengan
jawaban-jawaban saya, tapi Anda memberinya nilai A."
"Tapi kau, Lily, terdaftar dalam kelas IPS khusus bagi muridmurid berbakat," Mr. Reiner menjelaskan. "Saya sudah memberitahu
semua murid di kelas saya bahwa pada awal tahun, pelajaran akan
lebih menantang daripada waktu-waktu yang lalu. Saya punya standar
yang berbeda untuk murid-murid di kelas khusus. Saya mengharapkan
lebih, dan memberi nilai sesuai dengan harapan saya itu."
"Tapi itu tidak adil!" protes Lily dengan suara melengking.
Mr. Reiner mengangkat bahu. "Hei, tidak ada yang bilang hidup
itu adil." "Mr. Reiner," kata Lily dengan suara memohon, "saya sudah
bekerja keras di kelas ini sepanjang tahun. Anda tahu itu. Saya nyaris
tidak tidur semalaman, belajar untuk menghadapi ulangan ini. Dan
kalau... kalau nilai saya tetap B, saya tidak akan mendapatkan nilai
akhir A untuk mata pelajaran ini."
"Kau mau coba-coba membuat saya merasa kasihan padamu,
ya?" tanya Mr. Reiner. "Apa saya mesti beranggapan bahwa itu sama
saja dengan kiamat?"
Di atas kepala mereka, lampu neon berkedip-kedip dan
berdengung-dengung. Mr. Reiner merengut kesal. "Lampu itu bertingkah lagi,"
gerutunya. Ia berdiri dan berjalan mengitari daerah di bawah lampu
neon itu, mencoba melihat dengan lebih jelas.
Persetan dengan lampu konyol itu, pikir Lily marah. Kenapa
sih, Mr. Reiner ini" Yang paling penting sekarang adalah nilaiku"
tapi ia sama sekali tidak peduli!
Mendadak Lily kepengin sekali menyambar alat penjepit kertas
di meja Mr. Reiner dan melemparkannya ke lampu neon itu. Dengan
begitu baru dia ngerti nanti!
"Pasti ada yang bisa saya lakukan," desak Lily, tidak sanggup
menjaga nada suaranya agar tetap tegar. "Sesuatu untuk memperbaiki
nilai saya." Mr. Reiner membetulkan letak kacamatanya dan melontarkan
tatapan sedingin es ke arah Lily. "Yang terpenting dalam sebuah kelas
khusus adalah namanya. Ini kelas kehormatan. Kau diminta bekerja
lebih giat. Mengerjakan lebih dari murid lain yang biasa-biasa saja.
Saya khawatir ulanganmu ini?"Mr. Reiner mengetuk-ngetuk kertas
ulangannya dengan jari telunjuknya?"tidak menunjukkan hasil
seperti yang diminta."
Lampu neon itu mengeluarkan bunyi dengungan lagi. Mr.
Reiner melirik ke atas lagi. "Sudah tiga hari saya menunggu
kedatangan tukang servis lampu," keluhnya. "Kalau ia tidak datangdatang juga, akan saya betulkan lampu itu sendiri."
"Please, Mr. Reiner," pinta Lily lagi. "Tidak bisakah Anda
memberi saya nilai A minus" Nilai itu akan menaikkan nilai rata-rata
saya sehingga nilai akhir saya bisa A."
"Lily," tukas Mr. Reiner dingin, "saya hanya memberikannya"
kepada mereka yang memang pantas mendapatkannya."
Lily memelototi Mr. Reiner dengan tatapan marah, menelan air
liurnya, berusaha membersihkan tenggorokannya yang tercekat.
Menyebalkan, pikirnya. Kok Mr. Reiner bisa setega itu sih" Rupanya
ia memang bertekad membuat hidupku merana.
"Apakah itu jawaban akhir Anda?"
"Kedengarannya begitu," jawab Mr. Reiner sambil tersenyum.
Dia tersenyum! Rupanya masalah ini cuma lelucon besar
baginya. Dengan susah payah Lily menahan air matanya agar tidak
sampai tumpah. Aku tidak boleh membiarkan ia melakukan ini padaku,
pikirnya. Tidak bisa. Tidak bisa!
Lily menerjang meja di depannya.
"Hei"apa?"" teriak gurunya kaget sambil mengangkat kedua
tangannya untuk melindungi diri.
"Itu tadi kesempatanmu yang terakhir!" pekik Lily.
Ditepiskannya kedua tangan Mr. Reiner, lalu melingkarkan kedua
tangannya sendiri ke leher si guru IPS.
Ya! pikir Lily. Ya! Terdorong oleh amarah yang menggebu-gebu, Lily mencekik
leher Mr. Reiner sekuat tenaga. Semakin kuat. Semakin kuat...
Mr. Reiner mencakari tangannya, meronta-ronta supaya bisa
lepas. Tidak berhasil. Matanya melotot. Wajahnya yang tampak aneh itu berubah
warna menjadi ungu tua. Tenggorokannya mengeluarkan suara-suara
tercekik yang serak. "Mestinya Anda mau mengubah nilaiku!" teriak Lily.
Dilepasnya leher Mr. Reiner waktu guru itu mengeluarkan
bunyi degukan yang terakhir dan terempas ke meja. Mati.
2 "ADA lagi?" "Apa?" "Lily, dari tadi kau hanya berdiri memandangi saya. Masih ada
lagi yang ingin kausampaikan?"
Mata Lily berkerjap-kerjap. Mr. Reiner duduk di balik meja,
memandanginya dengan sikap angkuh.
Lily menggeleng-gelengkan kepala untuk menyadarkan diri
sebelum mundur beberapa langkah.
Aku tidak percaya aku sampai begitu tadi. Saking sebalnya pada
Mr. Reiner aku sampai membayangkan diriku menerjang dirinya dan
mencekik lehernya. Guru itu memandanginya, menunggu jawaban. Tapi Lily tak
sanggup mengatakan apa-apa. Disambarnya kertas ulangannya dan
lari keluar kelas. Ia harus keluar, tak ingin melihat tatapan mata Mr. Reiner yang
tajam menusuk. Masa orang itu sama sekali tidak mengerti apa yang
dipikirkannya" Saat ia berlari menerobos kepadatan di lorong sekolah,
didengarnya seseorang memanggil namanya. "Lily! Hei"Lily!"
Ia langsung berbalik. Sahabatnya, Julie Prince, bergegas
menghampirinya. Matanya yang cokelat menatap prihatin. "Kau baikbaik saja, kan, Lily" Kau kelihatan kacau."
Lily menggelengkan kepala. "Aku... aku cuma ingin
membunuhnya." "Jangan ngomong begitu!" sentak Julie. Lalu ia merendahkan
suaranya. "Membunuh siapa?"
Terlambat. Bagi Julie ungkapan seperti itu bukan cuma
ungkapan biasa. Empat tahun yang lalu, kakak lelaki Julie terbunuh
dalam peristiwa perampokan di toko bahan makanan tempatnya
bekerja. Julie selalu membicarakan kakaknya. Ia tidak bisa melupakan
peristiwa tragis itu. "Sori deh," kata Lily sambil meremas tangan sahabatnya. "Kau
tahu aku cuma asal ngomong. Aku cuma kesal sekali pada Mr.
Reiner." Ekspresi Julie melunak. "Kenapa?"
"Ia memberi nilai B pada ulangan IPS-ku. Percaya, tidak"
Padahal sama sekali tidak ada jawaban yang salah."
Julie mengangkat bahu. "Itu kan cuma ulangan, Lil."
"Enak saja kau ngomong," tukas Lily pahit. "Kalau aku tidak
bisa membuatnya menaikkan nilaiku, aku mungkin akan mendapat B
semester ini dan terpaksa mengucapkan selamat tinggal pada beasiswa
perguruan tinggi itu."
"Walaupun nilai IPS-mu bukan A, nilai-nilaimu yang lain
bagus-bagus," ujar Julie mengingatkan. "Kau mungkin akan
mendapatkan banyak tawaran beasiswa. Ayah-ibumu akan tetap
bangga padamu." Lily menggeleng. "Hanya ada satu beasiswa yang berarti bagiku
dan orangtuaku"yaitu beasiswa Shadyside Honors. Tapi beasiswa itu
hanya untuk lulusan terbaik"murid yang lulus dengan nilai-nilai
terbaik di semua mata pelajaran."
"Yah, akhir semester kan masih lama," Julie memompa
semangatnya. "Kau masih bisa menghasilkan nilai A. Sekarang ayo,
antar aku ke perpustakaan sebelum tutup."
Lily berjalan mengikuti sahabatnya menyusuri koridor yang
panjang dan kosong menuju perpustakaan sekolah. Keduanya berjalan
sambil berdiam diri, sepatu mereka berdebam-debam di lantai yang
keras. Lily tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Mr. Reiner dan
fantasi mengerikan di ruang kelasnya tadi.
Lily ingin bisa merasa gembira melihat nilai-nilainya, tapi ia
tidak bisa. Menjadi lulusan terbaik sekaligus mendapatkan beasiswa
sangat berarti baginya. Hanya itu satu-satunya cara ia bisa masuk ke
perguruan tinggi yang bermutu setelah lulus nanti.
Kedua kakak perempuan Lily, Becky dan Melinda, dulu juga
murid Shadyside High"dan kedua-duanya lulus sebagai lulusan
terbaik. Nomor satu. Terpintar di kelas.
Lily juga ingin seperti itu.
Ini sih namanya tekanan! Kedua orangtua Lily mengharapkan ia
menjadi lulusan terbaik" dan ia sendiri pun menginginkannya.
Sekarang semester terakhirnya di kelas tiga. Dan selama ini ia selalu
mendapatkan nilai A di setiap mata pelajaran.
Mengapa Mr. Reiner tidak mengerti bahwa keputusannya itu
akan mengacaubalaukan hidupnya" Mengapa guru itu tidak dapat
menghapus senyum sombongnya yang menjengkelkan dan mengubah
nilai konyol itu" "Sebentar ya," kata Julie, membuyarkan pikiran Lily waktu
mereka sampai di perpustakaan. "Aku harus mengembalikan buku
misteri ini. Sudah telat."
Walaupun suasana hatinya sedang tidak enak, mau tak mau Lily
tersenyum mendengarnya. Julie mengepit tumpukan buku di bawah
ketiaknya. Sejak kakaknya meninggal, Julie melahap habis buku-buku
misteri. Sementara anak-anak lain nonton MTV, Julie mengganyang
buku-buku misteri seperti makan berondong jagung saja.
"Aku tunggu di luar saja," ucap Lily. Dengan murung ia
memandangi bayangannya yang terpantul di jendela pajangan di
depan pintu perpustakaan.
Biasanya ia menyukai penampilannya, tapi hari ini tidak.
Wajahnya tampak pucat di bawah lingkaran rambutnya yang hitam,
dan ada lingkaran hitam di sekitar mata birunya.
Gara-gara terlalu ngotot belajar untuk ulangan IPS, pikirnya
pahit. Padahal hasil yang didapat hanya B.
Lily kaget sekali ketika ada orang yang mencengkeram bagian
belakang lehernya. "Alex!" teriaknya.
Pacarnya, Alex Crofts, menyeringai melihatnya. "Kena kau!"
Dikibaskannya seberkas rambut keriting warna gelap dari dahinya.
"Aku tidak tahan, Lil. Habis kau bengong begitu."
Cengirannya langsung lenyap begitu melihat wajah Lily yang
murung. "Hei"ada apa" Kau marah padaku atau apa?"
"Tidak." Lily mengendurkan otot-otot wajahnya yang tegang
dan memaksa diri tersenyum. "Ini gara-gara Mr. Reiner. Aku tidak
bisa memaksanya menaikkan nilai ulangan yang kuceritakan itu."
"Menyebalkan," gerutu Alex.
"Yeah. Begitulah," sahut Lily. "Aku tadi menghadapnya untuk
membicarakan masalah ini. Seperti"sepertinya ia gembira bisa
memberiku nilai jelek."
"Jangan konyol," kecam Alex. "Mr. Reiner memang keras, tapi
ia guru yang baik." Lily memelototi Alex sejenak. Apa dia satu-satunya murid di
kelas tiga yang menganggap Mr. Reiner itu guru yang benar-benar
jahat" "Aku bisa menjelaskannya," ucap Lily akhirnya. "Aku punya
firasat kalau dia?" "Aku pinjam buku-buku misteri baru," seru Julie, memotong
kata-kata Lily. Sahabatnya itu muncul dari perpustakaan sambil
membawa segepok buku. Mimik wajahnya yang riang gembira
mendadak pudar. "Oh, hai, Alex."
Lily mengerutkan kening. Tahun lalu Julie dan Alex pernah
berpacaran selama beberapa minggu. Kedua-duanya mengatakan
bahwa hubungan mereka tidak serius, hanya sekadar berkencan. Dan
enam bulan yang lalu, waktu Alex dan Lily pertama kali berkencan,
Julie mengatakan ia bahagia atas hubungan mereka.
Jadi, kenapa tingkah Julie sekarang aneh begitu" tanya Lily
dalam hati. Ia tidak suka merasa canggung bila bersama-sama sahabat dan
pacarnya. "Di situ rupanya kalian!" Suara Scott Morris yang kencang dan
riang membahana di koridor itu. Scott editor majalah sekolah: The
Forum. "Hei"hampir seluruh stafku ada di sini. Kenapa kalian tidak
ke kantor" Deadline-nya lusa, lho."
"Kami baru saja mau ke sana," ucap Alex.


Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, Scott," sapa Julie. "Aku punya ide hebat untuk rubrik
resensi buku. Minggu lalu aku membaca buku misteri yang seru
sekali." "Buku misteri?" tanya Scott, pura-pura shock. "Tidak bisakah
kau sekali-sekali membaca buku yang normal, Julie" Well, ayolah,
kita bicarakan bersama."
Scott berbelok di tikungan lorong menuju kantor majalah
sekolah, lalu menoleh ke belakang; matanya yang hijau memandangi
mata Lily. "Kau ikut juga, kan?"
"Eh, tidak." Lily ragu-ragu, lalu memalingkan wajah. Ia suka
pada Scott, tapi kadang-kadang cowok itu terlalu bersemangat. Lily
jadi merasa tidak enak karenanya. "Sore ini aku harus kerja."
"Bukannya setiap hari Rabu kau libur?" protes Alex.
"Iya, tapi Agnes sakit dan aku sudah berjanji akan
menggantikannya." "Bagaimana dengan esai yang akan kautulis untuk edisi
berikut?" tanya Scott.
"Sudah hampir selesai," jawab Lily. "Aku janji akan
menyerahkannya padamu tepat pada waktunya. Sampai nanti."
Lily melambaikan tangan sewaktu teman-temannya menghilang
di balik tikungan. Sambil menghela napas panjang ia berjalan ke arah
berlawanan, ke depan sekolah.
Sebetulnya hari ini Lily malas sekali bekerja di toko obat
pamannya. Tapi ia tak mungkin membolos. Sudah dua tahun terakhir
ini ia bekerja di toko obat itu, sejak ibunya mengalami stroke.
Karena ibunya sakit dan tidak bisa bekerja, Lily terpaksa
mengumpulkan uang sendiri untuk biaya kuliahnya nanti. Walaupun
misalnya ia berhasil mendapatkan beasiswa Shadyside Honors itu, ia
masih memerlukan biaya untuk membeli buku dan pakaian.
Waktu Lily sampai ke jalan raya, bus jurusan North Shadyside
berhenti di halte depan sekolah. Ia mulai berlari mengejarnya, tapi bus
itu menderum maju dengan suara berisik.
"Oh, ya ampun!" erang Lily. Kenapa hari ini semua tidak ada
yang beres" Ia berdiri mematung di sana selama beberapa saat, tidak tahu
apakah harus menunggu bus berikutnya atau mulai jalan kaki sejauh
dua mil ke toko obat. Bagaimanapun juga ia tetap akan terlambat.
"Lily!" Lily menoleh dan melihat Graham Prince duduk di balik
kemudi Porsche hijau laut milik ayahnya.
"Hei"ada apa?" Pemuda itu menyunggingkan senyum Graham
Prince-nya yang paling keren, lengkap dengan gigi putih cemerlang
dan mata biru bersinar-sinar. "Mau ikut?"
Biasanya Lily menghindari Graham. Ia sudah mengenal pemuda
itu sejak SD, tapi mereka tidak pernah bisa akrab. Graham sangat
cakep dan sangat pintar"dan ia sangat menyadari hal itu. Tapi ia
sepupu Julie, jadi kadang-kadang Lily terpaksa harus berurusan
dengannya juga. Hari ini, Lily nyaris gembira melihat Graham. Ia memang
membutuhkan tumpangan. "Terima kasih," ucapnya sambil membuka
pintu mobil dan duduk di jok mobil yang kecil bersandaran bulat dan
berlapis kulit putih mewah itu. "Aku memang butuh tumpangan."
"Ke mana?" tanya Graham.
"Bob's Drugstore. Di Old Village," jawabnya.
"Toko obat pamanmu itu, kan?" Graham menyalakan mesin dan
mobil meluncur mulus menembus lalu lintas. "Uncle Bob yang baik.
Semua orang memanggilnya Uncle Bob, kan" Aku sampai mengira
Uncle itu memang namanya."
"Ha ha," sahut Lily datar.
"Jadi, bagaimana kabarmu" Bagaimana sekolahmu"
Keadaanmu?" Graham memberondong.
"Baik-baik saja," jawab Lily.
Ingatannya kembali melayang ke nilai B yang didapatnya untuk
ulangan IPS itu. Ia tidak mau memberitahu soal itu pada Graham.
Bagaimanapun juga, Graham itu saingan utamanya dalam
memperebutkan gelar lulusan terbaik. Ia dan Graham memang sudah
bersaing memperebutkan nilai-nilai terbaik sejak kelas 6 SD.
"Hanya baik-baik saja?" senyum Graham angkuh. "Wow. Kau
benar-benar cerewet hari ini."
Lily berusaha mengganti subjek pembicaraan. "Bagaimana
denganmu?" tanyanya sambil memperhatikan halaman depan rumahrumah yang mereka lewati. "Nilai-nilaimu bagaimana?"
"Semuanya A," jawab Graham sambil melambaikan tangan.
"Sejarah, matematika bisnis, biologi"pokoknya A semua. Kurasa kita
masih bersaing ketat memperebutkan tempat pertama."
"Kurasa begitu," gerutu Lily. "Kau sudah siap menghadapi
kontes trivia?"' (semacam kuis dengan pertanyaan seputar
pengetahuan umum dengan menggunakan sistem gugur, sehingga bila
sekali saja salah menjawab, peserta yang bersangkutan harus mundur.
Pemenangnya adalah peserta yang menjawab semua pertanyaan tanpa
pernah salah.) Minggu depan di sekolah mereka akan diselenggarakan babak
pertama kontes trivia tingkat negara bagian. Pemenang babak ini akan
melaju ke babak berikutnya dan bersaing dengan pelajar-pelajar
sekolah lain itu, di daerah berlanjut dengan pertandingan di tingkat
negara bagian. Pemenang babak final tingkat negara bagian akan mendapatkan
hadiah uang sebesar lima ratus dolar.
Lily berharap bisa menang. Hadiahnya akan sangat membantu
biaya kuliahnya. "Aku tak pernah kalah dalam perlombaan seperti itu," Graham
berkoar. "Tidak pernah."
Lily menutup telinganya rapat-rapat sewaktu Graham
berceloteh mengenai kehebatannya sebagai raja kontes trivia tanpa
henti. Beberapa menit kemudian, Graham menghentikan mobilnya di
depan toko obat. Lily mengembuskan napas lega. "Hei"terima kasih
atas tumpangannya," kata Lily sambil meloncat ke luar.
"Sama-sama," sahut Graham. Ditekannya klakson dua kali lalu
menderum pergi. Dasar sok, pikir Lily. Ia tidak tahan membayangkan Graham
lulus sebagai nomor satu di kelas mereka"atau memenangkan kontes
itu. Anak itu sangat percaya diri. Dan begitu puas pada dirinya sendiri.
Apa Graham tidak pernah menghadapi masalah seperti dirinya"
Aku tidak boleh membiarkan dia jadi nomor satu, tekad Lily.
Pokoknya tidak boleh. ********************* "Terima kasih kembali," ucap Lily sambil tersenyum. Pembeli
itu, seorang wanita tua, mengucapkan terima kasih dan tertatih-tatih
keluar. Lily menutup mesin hitung dan duduk bersandar di bangkunya
di belakang meja kasir, mencoba memusatkan perhatian pada PR
kalkulus-nya. Biasanya matematika adalah mata pelajaran terbaiknya,
tapi malam ini suasana di toko obat sibuk sekali sehingga ia tidak bisa
berkonsentrasi pada tugas sekolahnya.
Diliriknya jam tangan. Toko obat baru akan tutup satu setengah
jam lagi. Ia sudah tidak sabar menunggu. Uncle Bob ada di belakang,
menyiapkan obat-obatan sesuai resep. Begitu pamannya itu selesai, ia
bisa bersiap-siap pulang.
Dibaliknya halaman buku matematikanya, mulai menyelesaikan
satu set rumus baru. Waktu lonceng yang tergantung di atas pintu
berdenting, Lily otomatis langsung memasang senyum dan
mengangkat kepala untuk melayani pembeli berikutnya.
Seorang lelaki muda berdiri di ambang pintu. Jaket jinsnya
compang-camping dan mimik wajahnya mengancam.
"A"ada yang bisa saya bantu?" tanya Lily.
"Yeah, tentu saja ada," jawab pemuda itu. Matanya jelalatan ke
sana kemari dengan gugup.
Ia mencabut sepucuk pistol keperakan dari saku jaketnya.
Lily tak bisa bernapas saking takutnya. Seluruh tubuhnya
membeku. Pemuda itu cepat-cepat maju, menghampiri meja kasir, dan
menodongkan pistol itu ke wajah Lily. "Berikan semua uang itu.
Cepat." 3 TIDAK! Tidak! pikir Lily. Ini tidak nyata.
Ini tidak mungkin terjadi pada diriku!
Lily melirik ke belakang, ke bagian belakang toko.
Di mana Uncle Bob" Masih di ruang belakang"
Apa yang seharusnya kulakukan" tanya Lily dalam hati. Tiarap
di balik meja kasir" Memberi uang pada penodong itu"
"Cepat," desak pemuda itu sambil menggerak-gerakkan
pistolnya yang mengilat. "Buka lacinya."
Lily memijit tombol Open di mesin hitungnya. Tangannya
gemetaran waktu mulai memunguti tumpukan uang.
"Hei"!" Suara pamannya yang berat menggelegar dari bagian
belakang toko. "Apa-apaan ini?"
Perampok itu memutar badannya dengan cepat dengan pistol
masih teracung ke depan. "Jangan bergerak!" perintahnya pada paman
Lily. Uncle Bob langsung berhenti melangkah di tengah-tengah gang.
Wajahnya pias begitu menyadari apa yang tengah berlangsung.
"Sekarang jalan pelan-pelan"ke sana!" Perampok itu
menunjuk dengan pistolnya ke meja kasir tempat Lily bekerja.
"Begitu. Jalan saja pelan-pelan, aku tidak akan menyakiti siapasiapa."
Dengan mata menatap perampok itu lekat-lekat, Uncle Bob
berjalan ke meja kasir. Lily merapatkan badan ke rak-rak di belakang
untuk memberi tempat pada Uncle Bob, jantungnya memukul-mukul
dadanya dengan kencang. Mata perampok itu tampak gelap dan liar. Takut. Bercampur
benci. Ia akan membunuh kami berdua, pikir Lily. Pikirannya
melayang pada kakak Julie. Kakak Julie yang malang dan sudah
meninggal itu. Ya. Ia akan membunuh kami berdua. Aku bisa melihatnya.
"Kosongkan laci mesin itu. Cepat." Pistol itu sekarang tertuju
ke dada Uncle Bob. Lily beranjak kembali ke mesin hitung, tapi Uncle Bob
menghentikannya. "Biar aku saja," bisiknya.
Dengan satu tangan Uncle Bob menarik laci mesin itu.
Sementara tangannya yang lain dengan cepat membuka laci kecil di
bawah mesin hitung. "Cepat!" gertak si perampok. "Aku tidak punya waktu
semalaman!" Lily berdiri dengan badan gemetar di belakang pamannya.
Dilihatnya tangan pamannya menyelusup masuk ke dalam laci, lalu
mengeluarkan sepucuk pistol kecil warna abu-abu.
"Cepat! Tidak bisa cepat ya?"
"Lupakan saja!" bentak Uncle Bob marah. Dikeluarkannya
pistol itu dan mendesakkan moncong pistolnya ke dada pemuda itu.
"Turunkan pistol itu."
Lily menahan napas. Tidak ada yang bergerak. Jam dinding besar di belakangnya berdetak-detak dengan suara
keras. Perampok itu mundur dari todongan pistol Uncle Bob. Pistolnya
tetap teracung. Lalu ia menggeram marah, "Akan kubunuh kalian
berdua," ancamnya. 25 4 AKU tidak ingin mati, pikir Lily. Aku tidak ingin mati seperti
kakak Julie. "Jatuhkan pistolmu," desak Uncle Bob sambil menggenggam
pistolnya erat-erat. "Aku tahu bagaimana menggunakan senjata ini.
Jatuhkan!" Pemuda itu ragu-ragu. Matanya jelalatan ke sana kemari dengan
liarnya. Lily melihat pemuda itu kalang-kabut mencoba memutuskan
hendak melakukan apa. Jatuhkan pistolmu! desak Lily dalam hati.
Dengarkan Uncle Bob. Please"jatuhkan pistol itu.
Lily mengembuskan napas panjang ketika pemuda itu perlahanlahan menurunkan pistolnya.
Mata pemuda itu memancarkan ketakutan.
"Jangan bergerak!" perintah Uncle Bob. "Lily, telepon polisi."
Lily membeku. Sekujur tubuhnya gemetaran.
"Lily"polisi," ulang Uncle Bob tenang tapi tegas, pistolnya
masih terarah ke pemuda itu. "Hirup napas dalam-dalam. Berjalanlah
ke pesawat telepon. Telepon polisi."
Sebelum Lily sempat bergerak, perampok itu berbalik dan
meloncat ke arah pintu. "Aku pergi dari sini!" teriaknya.
Pemuda itu mencapai pintu kaca tepat ketika seorang anak lakilaki bertubuh tinggi dan berambut merah akan masuk.
Pemuda itu menerjang pintu kaca dengan pundaknya dan
melompat ke jalanan. "Rick! Awas!" teriak Uncle Bob.
Anak lelaki berambut merah tadi melirik wajah Lily yang
ketakutan, lalu beralih ke pistol di tangan Uncle Bob. Tanpa berkata
apa-apa, ia menghambur keluar pintu dan berlari mengejar perampok
tadi. "Telepon polisi, Lily!" seru pamannya lagi. "Lekas!"
Lily menuruti perintah itu dan menekan nomor 911 di pesawat
telepon. Ia melaporkan insiden itu pada operator yang berjanji akan
mengirimkan polisi ke tempat kejadian.
Dengan kaki goyah Lily menoleh kepada pamannya. "Aku tidak
percaya!" pekiknya. "Ia menodongkan pistolnya di wajahku."
Uncle Bob sudah menyimpan pistolnya kembali ke dalam laci
dan menutupnya. Ia menoleh kepada Lily dan memeluknya lama
sekali. Bahkan dalam pelukan pamannya pun Lily masih tetap
gemetar. "Aku prihatin atas kejadian ini, Sayang," ucap pamannya. "Aku
senang sekali kau tidak apa-apa." Uncle Bob itu melangkah
menghampiri pintu depan. "Kau lihat Rick Campbell tidak" Ia kurir
baru. Kenapa ia tadi lari ke luar" Kuharap ia tidak coba-coba cari
perkara dengan perampok itu."
Lily memelototi keadaan di luar jendela toko. "Aku tidak
melihatnya." Diempaskannya dirinya ke bangku untuk menunggu
kedatangan polisi. "Aku tidak tahu Uncle Bob menyimpan pistol di
sini," katanya. "Aku mulai menyimpan pistol itu sekitar lima tahun yang lalu
waktu tingkat kejahatan semakin meningkat di daerah ini," Uncle Bob
menjelaskan. "Untunglah, baru kali ini aku terpaksa mengeluarkannya
dari laci." Tak lama kemudian Rick menghambur masuk ke dalam toko,
mukanya merah padam dan napasnya terengah-engah. "Aku
kehilangan jejaknya di gang," lapornya. "Kalian berdua tidak apaapa?"
"Kami baik-baik saja," jawab Uncle Bob. "Tapi seharusnya kau
berhati-hati, Rick. Mestinya kau tidak mengejar perampok bersenjata.
Bisa-bisa kau terbunuh."
Rick mengangkat bahu dengan gaya macho.
Uncle Bob berpaling kembali ke Lily. "Kau sudah merasa lebih
baik?"

Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku masih gemetar," jawab Lily jujur. "Aku tidak bisa
melupakan bayangan pistol mengilat itu. Aku terus-menerus ingat
pada... pada kakak Julie."
Terdengar suara sirene melengking membelah udara. Lampu
merah berpendar-pendar sewaktu sebuah mobil patroli polisi berhenti
di pinggir jalan. Dua polisi bergegas masuk ke dalam toko. "Saya Officer
Peyton," polisi yang bertubuh lebih tinggi memperkenalkan diri.
"Anda melaporkan peristiwa perampokan?"
Sementara ia dan Uncle Bob melaporkan kejadian tadi pada
kedua petugas polisi itu, Lily terus-terusan melirik Rick. Anak itu
bersandar di counter minyak wangi, matanya menatap mereka lekatlekat. Rambut merahnya agak gondrong dan mata birunya tajam
menusuk. Mereka beradu pandang, tapi Lily lalu memalingkan wajah.
"Lily, pulanglah. Kau tidak perlu menunggu lagi."
"Terima kasih, Uncle Bob, tapi tidak apa-apa, kok"sungguh,"
elak Lily sambil tersenyum.
Tampaknya wajah anak itu tidak asing, pikir Lily. Apakah aku
pernah bertemu dengannya sebelum ini"
"Ini peristiwa percobaan perampokan yang ketiga di jalan ini
minggu ini," kata Officer Peyton sambil sibuk membuat catatan.
"Kelihatannya pelakunya orang yang sama. Sebaiknya Anda ekstra
hati-hati sampai kami berhasil menangkapnya."
Kedua petugas polisi itu pergi. Tiga pembeli masuk. Lily
berjalan ke balik meja kasir untuk melayani mereka.
Uncle Bob kembali ke kesibukannya melayani resep. Lily
mencoba bersikap seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa, tapi ia
masih ketakutan. Para pembeli pergi. Lily mendongak dan melihat Rick berdiri di
rak yang memajang barang-barang elektronik, tatapan anak itu masih
tertuju padanya. Lily tersenyum canggung. "Aku tidak pernah mengalami
kejadian perampokan sebelumnya," katanya. "Me"mengerikan."
Rick mengangguk. "Coba aku tadi berhasil menangkap orang
itu. Polisi tidak akan dapat menangkapnya."
"Aku bersyukur tidak ada yang terluka," sahut Lily pelan.
Rick mengangkat bahu. "Kelihatannya pamanmu bisa
mengatasi keadaan." "Uncle Bob memang mengagumkan," ujar Lily sependapat. "Ia
benar-benar membuat orang itu takut. Semoga saja ia tidak pernah
kembali." Ia merinding. Diraihnya buku kalkulusnya, bertekad memaksa
otaknya memikirkan hal lain, hal yang wajar.
Beberapa menit kemudian, Rick berjalan menghampiri meja
kasir. "Apa itu"aljabar atau sebangsanya ya?" Anak itu
menyandarkan badannya di mesin hitung.
"Kalkulus." Lily mundur sedikit.
"Kau sekolah di Shadyside?" tanyanya.
Lily mengangguk dengan mata tetap tertuju pada bukunya.
"Kudengar itu sekolah yang sangat bagus," kata Rick. "Aku
tidak begitu menyukai sekolahku."
Lily mendongak dan tersenyum sopan. Lalu ia menggerakkan
tangannya ke arah bukunya. "Aku harus memecahkan soal-soal ini."
"Kau sibuk setelah kerja nanti?" tanya Rick. "Mau makan
bersama atau apa?" "Tidak, terima kasih," sahut Lily. "Aku harus pulang."
"Sudah punya pacar?"
"Sebenarnya, ya"aku sudah punya pacar." Lily merengut tidak
sabar. Orang ini nggak ngerti-ngerti juga ya dia"
"Beruntung sekali dia," bisik Rick. Ia mundur dari meja kasir.
"Well, hei"jadi kita berteman. Oke?"
Lily merasa sebagian amarahnya memudar. Tampaknya Rick
memang kurang cepat menangkap maksud seseorang, tapi senyumnya
manis juga. "Tentu saja," Lily sepakat. "Tapi kalau kau memang
benar-benar teman yang baik, kau akan membiarkan aku
menyelesaikan soal-soal ini."
"Oke, oke," jawab Rick. Anak itu berjalan ke arah rak yang
memajang deretan obat-obatan penghilang rasa sakit dan sejenak
bermain-main dengan botol aspirin. Lalu diletakkannya lagi botol itu.
"Jadi, eh, Lily?"
"Apa?" sergah Lily. Kali ini ia tidak mau repot-repot menutupi
kejengkelannya. "Kau senang belajar?"
"Well... ya, aku senang belajar," jawab Lily, heran mendengar
pertanyaan itu. "Setidaknya kadang-kadang."
"Hebat," kata Rick. "Aku tidak suka belajar. Itulah masalahku
di Mattewan." "Kau lulusan sana ya"Mattewan?"
"Bukan. Sebenarnya, aku keluar. Aku tidak sanggup
menghadapi banyak mata pelajaran, tahu kan" Yah, kurasa kau tidak
tahu bagaimana rasanya mengalami kesulitan dalam beberapa mata
pelajaran." Sesaat Lily mengamati Rick. "Tentu saja, aku juga pernah
mengalami kesulitan," tukasnya. "Semua orang juga begitu." Dengan
ringkas ia bercerita tentang kejadian yang dialaminya siang tadi
bersama Mr. Reiner. "Waduh," ucap Rick sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kadang-kadang guru-guru muda yang paling parah. Mereka merasa
hebat bila bisa menyusahkan muridnya."
"Kurasa begitu," Lily sependapat. "Ia tidak mengerti betapa
penting arti nilai itu bagiku."
"Kedengarannya justru dia yang bermasalah," kata Rick.
"Malah?" Kata-katanya terputus ketika Uncle Bob muncul dari ruang
belakang. "Rick, pesanan sudah siap," kata paman Lily itu.
"Wah, aku harus pergi," kata Rick. "Yakin kau tidak mau pergi
denganku nanti?" Lily menggeleng. "Aku benar-benar sedang banyak kerjaan."
"Bagaimana kalau kuantar pulang?"
"Tidak, trims." Lily melambaikan tangan padanya dan kembali
menekuni buku kalkulusnya.
Sampai saat Lily bersiap-siap menutup toko obat, Rick masih
belum kembali. Ia merasa lega. Kelihatannya sih, anak itu baik, tapi
agak mengganggu. Padahal ia tidak punya banyak waktu untuk
mengobrol di toko. Ia membutuhkan setiap waktu luang yang ada
untuk menyelesaikan PR-nya.
Lily mengucapkan selamat malam pada pamannya dan bergegas
ke halte bus di sudut jalan. Di siang hari, udara terasa hangat, tapi
pada malam hari, udara menjadi sejuk. Bulan sabit menggelantung
rendah di atas pucuk-pucuk pohon yang berayun-ayun.
Busnya datang kira-kira sepuluh menit kemudian. Lily naik dan
duduk di kursi bagian belakang. Dibukanya buku kalkulusnya lagi,
menekuninya, mempelajari permasalahan-permasalahannya.
Beberapa menit kemudian ia mengembuskan napas dengan
frustrasi. Busnya berjalan melonjak-lonjak di jalan raya. Ia terpaksa
menyelesaikan PR-nya di rumah"walaupun itu berarti ia harus
bergadang semalaman. Sopir bus menginjak pedal rem di tikungan Old Mill Road dan
Fear Street. Lily mengumpulkan buku-bukunya dan turun dari bus.
Lampu di pojok jalan mati, dan bayang-bayang seakan bertambah
hitam dan mengerikan daripada biasanya.
Kenapa tidak ada yang membetulkan lampu ini" tanya Lily
dalam hati. Ia mulai berjalan ke rumahnya sambil memandangi
keadaan di sekitarnya dengan resah. Bayangan pria yang
menodongkan pistol padanya tadi muncul kembali dalam ingatannya.
Badannya menggigil. Bagaimana kalau ia ada di sini" Bagaimana kalau ternyata ia
menungguku" Pikiran sinting. Untuk apa ia mengikuti aku"
Angin bertiup semakin kencang dan Lily semakin merapatkan
lilitan sweter di pundaknya. Dua buah lampu jalan di blok berikut juga
mati. Apa yang terjadi" tanyanya dalam hati. Kenapa banyak sekali
lampu mati di Fear Street"
Karena tiupan angin yang kencang dan lampu-lampu jalan yang
rusak, bayang-bayang di setiap sudut jalan seakan-akan jadi berjiwa
dan bergerak-gerak sendiri. Sebatang pohon cypress yang tinggi kurus
di seberang jalan melengkung ke depan Lily bagaikan hantu jangkung.
Hentikan, Lily, kecamnya pada diri sendiri. Malam ini kau
mengalami peristiwa menakutkan. Tapi berhentilah menakut-nakuti
dirimu sendiri! Rumahnya tinggal dua blok lagi. Malam terasa semakin pekat
sewaktu ia berjalan mendekati blok itu. Angin membuat pohon-pohon
melengkung dan bergetar. Waktu Lily menyeberang jalan, didengarnya suara gemeresik.
Sesuatu"atau seseorang"sedang mengendap-endap di balik semak.
Perampok itu" Diakah itu" Benarkah ia mengikutiku"
Rasa panik menyergap kerongkongannya.
Lily membalikkan badan dengan cepat.
Tidak ada orang di sana. Tidak ada siapa-siapa.
Hanya suara angin, katanya dalam hati. Hanya suara dedaunan
tertiup angin. Lily mulai berjalan cepat-cepat, semakin cepat, dan akhirnya
berlari. Ia hampir sampai di sudut jalan. Tinggal setengah blok lagi.
Aku bisa sampai ke sana. Aku yakin aku bisa.
Ia terkesiap ketika sesosok tubuh melangkah keluar dari semaksemak dan menghadangnya.
Kena aku, pikirnya. 5 JERIT ketakutan Lily melengking mengatasi suara angin.
Tubuhnya membeku, jantungnya berdebar-debar.
Sosok tinggi itu melangkah keluar dari kegelapan.
"Lily"ini aku!"
Mata Lily menyipit melihat wajah yang dikenalnya itu. "Alex?"
"Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu. Kau baik-baik saja?"
"Kurasa begitu," jawab Lily. Ia mengembuskan napas panjang,
berlari ke pelukan Alex. "Kau kenapa?" bisik Alex, bibirnya menyapu rambut Lily.
"Masa kau tidak mengenali aku?"
"Maafkan aku," kata Lily. "Soalnya gelap sekali. Dan tadi ada
perampok. Di toko obat. Aku"aku takut sekali."
Alex mundur sedikit, mengamati wajah Lily. "Hah" Kau
ngomong apa sih?" "Di toko obat," ulang Lily terengah-engah. "Ada orang datang,
menodongkan pistol." Lily menyembunyikan wajahnya di dada Alex.
"Mengerikan sekali."
"Lily, kau tidak apa-apa" Ada yang terluka?"
Lily menggeleng. "Uncleku... pamanku muncul dari ruang
belakang tepat ketika aku akan menyerahkan uang yang ada di mesin
hitung. Ia langsung menyambar pistol yang disimpannya di toko, dan
perampoknya langsung kabur." Lily kembali bergidik. "Seandainya ia
tidak keluar..." "Ssst." Alex memeluknya erat-erat waktu tangis Lily meledak.
"Tidak apa-apa, Lily. Kau tidak apa-apa sekarang."
Lily menangis pelan selama beberapa menit, lalu menghela
napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Waktu ia memandang
berkeliling, barulah ia sadar bahwa mereka berdiri di depan rumah
Alex, tak sampai satu blok dari rumahnya sendiri.
"Kau menungguku dari tadi?" tanya Lily, kaget.
"Yeah, memang," jawab Alex. "Aku mencoba belajar, tapi tidak
bisa konsentrasi. Aku mengkhawatirkanmu. Kelihatannya tadi kau
kesal sekali pada Mr. Reiner."
Lily menghela napas. "Oh, Alex, aku baik-baik saja kok." Ia
tersentuh melihat perhatian Alex yang begitu besar. "Aku baik-baik
saja," ulangnya sambil tersenyum pada Alex. "Sungguh."
"Benar?" "Benar. Mau mengantarku pulang?"
"Memang itu rencanaku," timpal Alex. Ia melingkarkan
tangannya di bahu Lily dan berjalan berdekatan dengannya. Lily
merasa lebih hangat dan lebih aman sekarang. Dengan Alex berjalan
di sampingnya, tiupan angin terasa lebih lembut dan bayang-bayang
yang berkelebat tidak begitu menakutkan.
Mereka berhenti di depan jalan masuk ke rumah Lily. "Terima
kasih sekali lagi," ucap Lily sambil mendongak menatap mata Alex
yang kelabu teduh. "Kuantar kau sampai ke pintu," kata Alex. Mereka menaiki
tangga teras bersama-sama.
Lily membuka pintu depan, tapi Alex segera meraih tangannya
dan menariknya dengan lembut. "Jangan masuk dulu," bisiknya. "Ayo
kita duduk-duduk dan mengobrol sebentar."
Lily menatap sepasang kursi di depan jendela dengan
pandangan kepengin. Pasti asyik sekali duduk-duduk dengan Alex,
ngobrol-ngobrol sebentar. Tapi...
"Sebenarnya aku ingin," jawab Lily sambil menggelengkan
kepala, "tapi aku harus masuk dan belajar."
Wajah Alex berubah gelap, "Kau selalu saja harus belajar.
Kalau tidak belajar, kau bekerja. Aku hampir tidak pernah bertemu
denganmu, Lily." "Aku tahu," sahut Lily pelan. "Maafkan aku. Tapi aku harus
menyelesaikan PR kalkulusku. Dan esai untuk majalah sekolah sudah
harus diserahkan. Dan sebentar lagi ada ulangan bahasa Spanyol.
Ditambah lagi aku harus berkutat untuk kontes trivia. Aku ingin sekali
memenangkan hadiah lima ratus dolar itu."
"Oke, oke." Alex menarik tangannya dengan kasar. Tapi waktu
ia berbicara lagi, suaranya terdengar lebih lembut. "Benar, kok,"
ulangnya. "Tidak apa-apa. Aku mengerti betapa pentingnya sekolah
untukmu. Aku hanya berharap seandainya saja kau tidak sibuk setiap
waktu." "Aku akan berusaha meluangkan waktu lebih banyak, Alex,"
janji Lily. "Aku janji." Diangkatnya wajahnya dan bibir Alex
menyentuh bibirnya. Mereka berciuman, lalu Alex memeluknya eraterat, seolah-olah tidak mau melepaskannya.
Lily balas memeluknya, lalu menarik diri. Alex cepat-cepat
berbalik dan turun dari teras dengan langkah-langkah panjang.
Betapa beruntungnya aku, pikir Lily sambil memandangi Alex
yang berjalan ke arah rumahnya. Alex baik sekali.
Lily memasukkan kuncinya ke lubang kunci dan mendorong
pintu sampai terbuka. "Hai, aku sudah pulang," serunya. Ditaruhnya
ransel dan buku-bukunya di kaki tangga, lalu bergegas ke dapur.
Ayahnya duduk di meja sambil membaca koran. Ia mengangkat
mata dengan cemas waktu Lily masuk. "Lily! Aku senang kau sudah
pulang." Ayahnya berdiri dan memeluknya.
Dengan rambut tebal keabuan, dahi lebar, dan mata biru
cemerlang, Lily selalu menganggap ayahnya tampan. Tapi setelah
ibunya mengalami stroke, ayahnya sepertinya jadi cepat tua.
Rambutnya sudah banyak ubannya, dan keningnya dihiasi gurat-gurat
kekhawatiran yang dalam. "Bob menelepon untuk memberitahu kami soal perampokan itu.
Kau tidak apa-apa, Sayang?"


Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku baik-baik saja," jawab Lily cepat-cepat. Ia tidak ingin
ayahnya mendengar lebih jauh tentang seseorang yang menodongkan
pistol ke kepalanya. "Mengerikan"itu saja."
"Kata Bob kau bisa membawa diri dengan sangat baik."
Lily mengangkat bahu. "Uncle Bob yang menyelamatkan
kami." Lily tersenyum ceria dan mengganti topik pembicaraan.
"Makan malamnya apa" Aku kelaparan."
"Ibumu sudah tidur, tapi ia tadi membuatkan meatloaf sandwich
untukmu. Ada di kulkas."
"Hmmm, sedap." Lily menuangkan segelas susu dan
mengambil sandwich-nya di rak kulkas paling atas. Lalu ia duduk di
samping ayahnya. "Banyak PR nanti malam?" tanya ayahnya.
"Berton-ton," jawab Lily sambil menghela napas. "Aku akan
bergadang malam ini."
"Kami bangga sekali padamu, Lily." Ayahnya memandangnya
dengan wajah berseri-seri. "Ibumu dan aku tahu kau akan menjadi
lulusan terbaik"seperti kakak-kakakmu. Bagi ibumu yang sakit
begini, hal itu memberinya suatu harapan."
Terima kasih, Dad, pikir Lily pahit. Kau telah memberi beban
kepadaku. Bagaimana kalau aku tidak lulus sebagai juara pertama"
Bagaimana akibatnya terhadap kesehatan Mom"
"Bagaimana sekolahmu?" lanjut Mr. Bancroft. "Bagaimana
kalkulusnya?" "Sebenarnya, itu mata pelajaran terbaikku," jawab Lily. "Sejauh
ini, ulangan-ulanganku selalu A."
"Bagus!" puji ayahnya. "Dan bagaimana dengan pelajaranpelajaran lain?"
"Oh, kebanyakan sih baik-baik saja," jawab Lily samar-samar.
"Apa itu berarti ada beberapa yang tidak baik?"
"Yah, ada satu ulangan IPS," ujar Lily. "Aku... ehm... aku
mendapat nilai B." Sesaat ayahnya tidak berkomentar apa-apa. Walaupun tidak
menoleh, Lily yakin wajah ayahnya pasti mengandung keprihatinan.
"Aku yakin kau bisa menaikkan nilaimu," ujar ayahnya setelah
beberapa saat. "Bukannya aku memaksamu. Hanya saja kami sangat
bangga padamu dan kakak-kakakmu," tambahnya. "Kami tidak ingin
melihatmu menghasilkan sesuatu yang kurang dari kemampuanmu
yang sesungguhnya." Tidak. Daddy tidak memaksa kok, pikir Lily sinis.
Diletakkannya gelas susunya dan memaksa diri untuk tersenyum.
"Benar. Yah. Kurasa sebaiknya aku belajar sekarang."
Lily melemparkan sisa sandwich-nya ke tempat sampah, lalu
meraup buku-bukunya dan membawanya ke atas. Seandainya Daddy
tahu aku nyaris saja menghancurkan kesempatanku untuk menjadi
lulusan terbaik, pikirnya sedih.
Hal itu membuat kemarahannya terhadap Mr. Reiner muncul
lagi. Kenapa dia tidak mau mengubah nilainya" Kenapa"
Lily menyalakan lampu belajarnya dan duduk di depan meja.
Dengan cepat ia menyelesaikan soal-soal kalkulusnya. Setelah itu ia
mengerjakan PR bahasa Spanyol.
Ditahannya kuapnya waktu ia mulai memperbaiki esai yang
akan dimuat di majalah sekolah. Esai itu bertutur mengenai sejarah
Shadyside High. Diliriknya jam tangan. Hampir tengah malam. Andai ia tidak
begitu lelah, ia akan sangat menikmati menulis esai ini, pikirnya.
Lily hampir selesai menulis waktu telepon berdering. Ia
terlonjak. Siapa yang menelepon selarut ini"
Disambarnya gagang telepon sebelum dering kedua, berharap
semoga deringnya tadi tidak membangunkan orangtuanya. "Halo?"
"Lily?" bisik sebuah suara yang serak dan teredam. "Lily."
"Ya" Siapa ini?"
Tidak ada sahutan. Hanya bunyi desah napas yang lambat dan
parau. "Halo?" ulang Lily, berusaha menyingkirkan kepanikan dari
suaranya. "Siapa ini?"
"Ini aku," jawab sebuah suara lelaki.
"Siapa" Siapa?"
"Orang yang mengenalmu, Lily. Orang yang tahu segalagalanya tentang kau. Orang yang mengawasimu setiap waktu."
Lily berpikir keras, mulutnya terasa kering. "Siapa sih ini?"
tuntutnya dengan suara serak. "Siapa?"
Ia mendengar bunyi "klik" di ujung saluran. Lalu sunyi.
6 SEWAKTU bus pagi berangkat dari halte di Fear Street, Lily
menahan kuap. "Yo"tukang ngantuk!" seru Alex. "Waktunya bangun."
"Maaf," kata Lily, tidak sanggup menahan kuapnya. "Aku
belajar sampai larut malam tapi setelah itu tidak bisa tidur."
"Kenapa?" Lily ragu-ragu. Untuk alasan tertentu ia tidak ingin
memberitahu Alex tentang telepon aneh itu. Ia merasa sedikit konyol.
Ia tidak mau mengakui bahwa ia tidak tidur semalaman, bolak-balik
dengan gelisah di tempat tidur karena memikirkan penelepon gelap
itu. "Aku tidak bisa berhenti memikirkan Mr. Reiner," jawab Lily
akhirnya. Sebenarnya itu tidak seluruhnya benar, tapi paling tidak itu
bukan omong kosong. "Lupakan saja, Lily," ujar Alex. "Semua tahu Mr. Reiner tidak
pernah mau mengubah nilai."
"Kurasa kali ini ia akan mau," kata Lily. "Aku punya ide hebat
waktu bangun pagi tadi. Aku kan bercerita padamu kalau Mr. Reiner
berkata ia mengharapkan yang lebih dari murid-murid di kelas khusus.
Ingat?" "Yeah, jadi?" "Well, itu jawabannya. Aku akan mengerjakan tugas ekstra
untuk menaikkan nilai ulanganku."
"Ya, Lil. Mungkin itu berhasil," seru Alex setuju. "Tapi jangan
terlalu berharap. Reiner keras sekali dalam hal-hal seperti itu."
"Aku sudah memikirkan semuanya," kata Lily. "Aku akan
membuat makalah tambahan, atau membuat laporan lisan, yang akan
menunjukkan padanya bahwa aku tidak keberatan bekerja keras. Ia
pasti tidak akan keberatan menaikkan nilaiku."
"Yah, semoga berhasil," ucap Alex. Dijabatnya tangan Lily
dengan lagak khidmat. Lily tertawa. Alex hebat sekali, pikirnya. Ia selalu bisa membuatku tertawa.
Bahkan walaupun aku sedang stres seperti sekarang ini.
"Aku tidak boleh mengecewakan orangtuaku," kata Lily pada
Alex. Terbayang wajah ayahnya yang penuh kebanggaan. "Kau tahu
mereka mengharapkan aku menjadi lulusan terbaik. Kalau Mr. Reiner
tidak mau mengubah nilaiku, maka aku gagal."
Mereka turun dari bus di depan sekolah. Alex melambaikan
tangan pada Lily, lalu berlari-lari untuk bergabung dengan
sekelompok teman-temannya di dekat lapangan basket.
Lily bergegas menaiki tangga depan, ingin cepat-cepat bertemu
dengan Mr. Reiner sebelum mengisi absensi di kelasnya. Saya sudah
memikirkan perkataan Anda, Mr. Reiner, Lily melatih ucapannya.
Dan saya sependapat dengan Anda bahwa hasil pekerjaan saya
ternyata tidak seperti layaknya hasil yang dicapai seorang murid kelas
khusus. Itulah sebabnya saya ingin mengerjakan beberapa tugas
ekstra, untuk menambah nilai.
Lily mampir ke locker untuk menyimpan buku-bukunya yang
akan dipakai di kelas siang nanti. Dua gadis kelas satu berdiri di sudut
lorong, berbisik-bisik. Suara mereka yang bernada rendah
mengingatkan Lily pada telepon aneh itu.
Siapa yang meneleponnya tengah malam kemarin" Benarkah
ada orang yang mengawasinya"
Berhentilah memikirkannya, kecam Lily pada diri sendiri. Itu
telepon konyol. Pelakunya cowok gombal yang kurang kerjaan.
Ia membanting pintu locker, lalu menarik napas panjang dan
berjalan menyusuri lorong, menuju ruangan Mr. Reiner.
Pintunya tertutup rapat, tapi Lily tahu Mr. Reiner pasti ada di
dalam. Ia dikenal sebagai guru yang selalu datang pagi-pagi sekali dan
pulang paling akhir. "Hai, Lily!" Lily menoleh dan melihat Lisa Blume, editor majalah sekolah.
"Lily"apa kabar?"
"Biasa saja." Lily mengangkat bahu. Ia berusaha agar suaranya
tidak terdengar terlalu ramah. Lisa selalu ingin mengobrolkan temanteman mereka. Siapa berkencan dengan siapa. Siapa yang bertengkar
dan siapa yang putus. Sekarang ini Lily sedang tidak ingin diajak bergosip. Yang
dipikirkannya cuma hasil pembicaraannya dengan Mr. Reiner nanti.
"Kok datang pagi-pagi sekali?" tanya Lisa.
"Aku harus membicarakan sesuatu dengan Mr. Reiner," jawab
Lily. Lisa mengangguk mengerti. "Aku mendengar masalahmu
dengan dia. Ia tidak mau mengubah nilaimu, kan?"
Lily mengerang dalam hati. Kalau Lisa tahu mengenai
persoalannya dengan Mr. Reiner, berarti seantero penjuru sekolah juga
tahu. "Apa itu berarti Graham akan menjadi lulusan terbaik?" tanya
Lisa. "Maksudku, kau membutuhkan nilai A dalam mata pelajaran Mr.
Reiner"benar?" "Aku akan mendapatkan nilai A itu dengan cara apa pun,"
bentak Lily. Serta-merta ia menyesal bersikap seperti itu. Tapi terlambat.
Sekarang Lisa akan menceritakan pada setiap orang bahwa aku
bertingkah seperti orang edan yang putus asa gara-gara nilai akhirku,
pikir Lily tidak senang. Lisa mengacungkan ibu jarinya pada Lily dan lenyap di ujung
koridor. "Yah, semoga berhasil," serunya.
Sambil mengeluh Lily berpaling kembali ke ruangan Mr. Reiner
lalu mengetuk pintunya. Tanpa menunggu jawaban, diputarnya kenop
pintu dan didorongnya sampai terbuka.
Hal pertama yang dilihatnya adalah tangga yang berdiri di
bawah lampu neon yang rusak itu. Lily mendongak dan melihat lampu
neon itu sudah dilepas. Apakah Mr. Reiner memutuskan untuk mengganti lampu itu
sendiri" Sekarang ini ia mungkin sedang ke gudang untuk mengambil
lampu baru, pikir Lily. Aku akan menunggu di sini sampai ia datang.
Ia meletakkan ranselnya ke sebuah meja di dekat situ dan
berjalan melewati tangga di balik meja Mr. Reiner.
Ia mengeluarkan jeritan kaget waktu dilihatnya ada darah
menetes di meja Mr. Reiner. Ia mengikuti ceceran darah itu dengan
matanya. Dan menemukan sesosok tubuh.
"Mr. Reiner?" panggil Lily dengan suara tercekik.
Guru muda yang tampan itu tergeletak di dekat meja. Darah
membasahi kepalanya. Mulutnya ternganga. Matanya melotot ke arah
Lily dengan pandangan kosong.
"Tidak!" pekik Lily. "Tidak! Tidak!"
Lily menurunkan matanya. Ternyata ia tadi melangkah ke
dalam genangan darah. Darah itu mengotori kedua sisi sepatu
olahraganya yang putih. Lily sadar kali ini kejadian itu bukan khayalannya semata.
Ditekannya kedua tangannya ke wajah.
Bukan khayalanku. Kali ini Mr. Reiner sungguh-sungguh mati.
7 SEHARI setelah pemakaman Mr. Reiner, Lily masuk kelas IPS
dan langsung menuju bangkunya tanpa menoleh-noleh lagi.
Ia masih belum bisa mempercayai kematian Mr. Reiner.
Sepanjang acara penguburan, hampir tak ada yang bicara padanya.
Kapan saja ia mengangkat muka, dilihatnya orang-orang menatapnya
dengan pandangan menuduh"seolah-olah dialah penyebab
kecelakaan yang menimpa Mr. Reiner.
Bahkan Alex pun mengambil jarak.
Kau benar-benar paranoid, Lily, kecamnya pada diri sendiri.
Tidak ada yang menyalahkanmu. Semua tahu itu kecelakaan. Mereka
hanya tidak tahu harus mengatakan apa padamu.
Tapi kenapa ia merasa sangat bersalah"
Benar, ia memang tak pernah menyukai Mr. Reiner. Dan benar,
ia rela melakukan apa pun untuk menaikkan nilai IPS-nya.
Tapi ia tidak pernah berharap Mr. Reiner akan tertimpa musibah
apa pun. Ingatan tentang apa yang dikatakannya pada.Julie siang itu terus
menghantui Lily. "Aku ingin membunuhnya." Itulah yang ia katakan
pada Julie. Dan Lisa Blume pasti sudah memberitahu semua orang di
sekolah betapa marah dan tertekannya nada suara Lily pada pagi hari
saat guru itu ditemukan mati.
Masa mereka benar-benar menyangka aku yang mendorong Mr.
Reiner dari tangga atau perbuatan lain semacamnya" tanya Lily dalam
hati. Teman-temanku tidak mungkin benar-benar berpikir begitu
mengenai aku, kan" Ruang kelas Mr. Reiner hening oleh kesunyian yang
menegakkan bulu roma. Beberapa murid berbisik-bisik, tak ada yang
bicara keras-keras. Dengan mata terus terpaku ke bawah, Lily merogoh-rogoh
ranselnya untuk mengambil buku catatan. Mrs. Burris, guru pengganti,
berdiri di depan kelas. Lily berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk itu dari
kepalanya. Ia mendengarkan baik-baik semua yang diutarakan oleh
gurunya sambil membuat garis besar pelajaran selama sisa semester
ini. Tapi mengikuti pelajaran ini membuat Lily teringat pada
pengalamannya saat menemukan jenazah Mr. Reiner. Teringat pada
mayatnya, wajahnya yang pucat, mulutnya yang ternganga, serta
matanya yang kosong dan tidak bernyawa.
"Kita akan ulangan dua kali lagi, ditambah sebuah makalah."
Kata-kata Mrs. Burris membuyarkan pikiran Lily. Ia mencondongkan
badan ke depan untuk memperhatikan.
Ulangan dua kali lagi dan membuat makalah" pikirnya.
Dengan tugas sebanyak itu, ditambah PR-PR, Lily jelas akan
punya kesempatan untuk memperbaiki nilai akhirnya pada mata
pelajaran IPS. Kesempatan kedua! Yes! pikirnya, merasa sedikit ceria untuk pertama kalinya
dalam beberapa hari ini. Yes! Mungkin akhirnya aku akan bisa mengalahkan Graham!
*********************** "Nol-empat puluh!" teriak Scott dari seberang net. "Ayo dong,
dasar pengecut!" Lily memejamkan mata sejenak dan mengerahkan segenap
konsentrasinya. Dilemparkannya bola ke udara, lalu diayunkannya
raket tenisnya ke belakang"dan dipukulnya bola ke arah net.
"Oh, wow!" pekiknya. Ia menghela napas dalam-dalam dan
bersiap-siap nelakukan servis lagi. Kali ini juga gagal.
"Double fault!" seru Scott kegirangan. "Game dan set!"


Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lily tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. "Maaf," katanya
pada Alex. "Entah kenapa aku kok bisa begitu!"
"Aku tak percaya kau menyia-nyiakan angka itu!" kata Alex.
"Hei, tidak apa-apa," ujar Lily, mendorong Alex dengan gaya
bercanda. "Lain kali kita kalahkan mereka."
"Sebaiknya begitu," gerutu Alex. Ini hari Minggu pertama Lily
bebas dalam satu bulan ini. Ia sudah lama kepengin main tenis ganda
dengan Julie, Scott, dan Alex.
Dihapusnya keringat di dahinya dengan handuk, lalu berteduh
di pinggir lapangan. Julie menuangkan lemonade warna pink ke gelasgelas.
"Maaf, teman-teman," ucap Lily. "Kelihatannya hari ini
servisku payah." "Tidak bisa dipercaya," kata Scott. "Biasanya servismu bagus.
Ada apa?" Lily mengangkat bahu. "Mana aku tahu. Kurasa aku tidak bisa
lagi melakukan servis dengan baik."
Scott menggeleng-gelengkan kepala. "Aneh," katanya. "Di
sekolah kau sangat kompetitif. Tapi di lapangan kau tidak peduli
apakah kau menang atau kalah."
"Mungkin aku memang tidak begitu peduli," kata Lily padanya.
"Bagiku tenis hanya untuk bersenang-senang."
"Well, aku juga," sela Julie. "Tapi untukku menang adalah
sebagian dari keasyikan itu."
"Yeah. Benar," timpal Alex sambil menuangkan lemonade
untuk yang kedua kalinya. "Menang memang bukan segala-galanya...
tapi paling tidak kalau kau tidak mencoba untuk menang, apa
gunanya?" "Oke, oke!" Lily tertawa. "Kurasa aku akan mengerahkan
segenap insting pembunuhku untuk set berikutnya."
Begitu mengucapkannya, Lily langsung menyesalinya"
terutama waktu dilihatnya Julie saling melirik dengan Scott.
Untunglah, Alex memecahkan ketegangan itu. "Ayolah,"
serunya sambil meletakkan gelas lemonade-nya keras-keras. "Kita
kalahkan mereka." Lily dan Alex memenangkan dua game berikutnya, lalu kalah
pada tiga game selanjutnya dengan angka tipis.
"Hari ini indah sekali. Ada yang mau jalan-jalan naik sepeda?"
tanya Scott sambil memasukkan termos minum ke keranjang
sepedanya. "Aku tidak bisa," kata Julie. "Siang ini keluargaku akan pergi ke
rumah nenekku." "Aku juga tidak bisa," timpal Lily. "Aku harus belajar."
"Oh, ayolah," protes Alex. "Hari kan masih pagi. Masih ada
waktu seharian." "Tidak juga," sahut Lily. "Sebentar lagi akhir semester. Aku
tidak bisa bersantai-santai."
Alex merengut, lalu mengangkat bahu. "Terserah," sergahnya.
"Aku cuma berharap kau belajar bersantai sedikit sekali-sekali."
"Sepanjang pagi tadi kan aku sudah bersantai," tukas Lily. Ia
melambaikan tangan pada teman-temannya itu, lalu mulai berjalan
pulang. Waktu ia sampai ke pojok Old Mill Road, didengarnya bunyi
klakson mobil. Sebuah mobil berhenti di sampingnya.
"Hei, mau ikut?"
Lily menoleh dan melihat Graham Prince di
dalam Porschenya. "Tidak, trims," seru Lily. "Aku sudah
hampir sampai." "Ayolah. Naik saja," bujuk Graham. "Terlalu panas untuk
berjalan sejauh itu."
"Sejauh itu" Cuma dua blok, kok!" Lily mulai melangkahkan
kakinya, tapi Graham melambai-lambai menyuruhnya mendekat ke
mobilnya. Dengan segan Lily menghampiri Porsche yang mulus mengilat
itu. "Hei, Lily." Graham nyengir menggoda. "Sekarang kau pasti
merasa senang sekali, ya?"
"Maaf" Apa maksudmu?" tanya Lily.
"Yah, karena sekarang Mr. Reiner sudah berkalang tanah,
mungkin kau akan mendapat nilai A untuk mata pelajaran IPS."
Graham mengeluarkan suara tawa yang melengking tinggi.
"Tega-teganya kau berkata begitu!" pekik Lily marah.
"Hei, tunggu dulu," sela Graham yang langsung berhenti
tertawa. "Jangan dimasukkan ke hati, Lily. Kan cuma bercanda. Itu
saja." Cowok itu mendorong kacamatanya ke atas hidung.
"Tidak lucu! Bisa-bisanya kau bercanda mengenai hal seperti
itu!" tuntut Lily. "Semua tahu kau kesal sekali pada Mr. Reiner karena nilaimu
cuma B," jawab Graham. "Lisa Blume bercerita padaku kalau kau
sudah siap mengamuk waktu masuk ke ruangan Mr. Reiner"tepat
sebelum kau... tepat sebelum kau... menemukan dia."
"Enyahlah kau, Graham!" teriak Lily. "Aku tidak menyukai
pikiranmu. Aku tidak mungkin membunuh seseorang untuk
mendapatkan nilai A!"
"Oke, oke." "Aku tidak main-main!" pekiknya. "Mr. Reiner mengalami
kecelakaan. Kecelakaan yang mengerikan. Kalau kausangka?"
"Aku kan sudah bilang aku cuma bercanda!" seru Graham
sambil mengangkat kedua tangannya, seakan-akan menyerah.
"Sebaiknya kau santai sedikit, Lily."
"Tinggalkan aku," geramnya.
"Hei"bukan masalah," sahut Graham dingin. Ia memasukkan
gigi satu dan Porsche itu menderum pergi.
Lily berdiri terpaku sejenak, menatap kepergian Graham. Kedua
kakinya gemetar. Bagaimana mungkin Graham mengatakan hal-hal
seperti itu padanya" Memangnya dia itu monster, apa"
Apakah semua orang di sekolah mengira ia yang membunuh
Mr. Reiner" ****************************
Malam itu waktu Lily mematikan lampu belajarnya, jam
menunjukkan waktu beberapa menit menjelang tengah malam.
Seharusnya ia mempersiapkan diri untuk menghadapi kontes trivia,
tapi ia sudah terlalu mengantuk.
Aku akan bekerja lebih giat lagi besok, janjinya dalam hati.
Ia mengganti bajunya dengan piama dan naik ke tempat tidur.
Waktu ia memejamkan mata, berniat segera tidur, telepon berdering.
Dengan kaget disambarnya gagang telepon. "Halo?"
"Lily?" Matanya langsung terbuka lebar. Suara itu lagi. Bisikan yang
menegakkan bulu roma. "Siapa ini?" tuntutnya.
"Aku tahu segala-galanya tentang kau, Lily," bisik suara itu.
"Dan aku tahu kau telah memperoleh apa yang kauinginkan. Bukan
begitu?" Sesaat Lily diam tidak menjawab. Ia berkonsentrasi untuk
mengenali suara itu. Begitu akrab. Begitu akrab...
"Aku tahu siapa kau!" semburnya. "Kenapa kau menelepon
aku" Katakan! Kenapa kau melakukan ini padaku" Kenapa, Graham"
Kenapa?" Klik. 8 "HEI, Lily!" Scott melambai waktu Lily menghambur masuk ke
kantor majalah The Forum. "Tepat pada waktunya."
"Aku bergegas kemari seusai pelajaran," kata Lily dengan napas
tersengal-sengal. "Aku tak bisa lama-lama. Katamu rapat ini penting."
"Ini kesempatan terakhir kita untuk membicarakan materi akhir
untuk majalah sekolah," ujar Scott sambil mengangguk. "Mana yang
lain?" "Tadi aku melihat Julie di perpustakaan," jawab Lily. "Katanya
sebentar lagi ia datang."
"Esai yang kautulis itu bagus sekali," puji Scott, mengetukngetuk halaman paling atas esai Lily yang akan dimuat di The Forum
dengan ujung jarinya. "Kau mengetengahkan hal-hal yang menarik
tentang masa-masa awal di sekolah ini."
"Terima kasih, Scott," balas Lily, wajahnya terasa memerah.
Kadang-kadang ia merasa jengah menerima pujian.
Ia menikmati menulis esai itu, walaupun itu menyita waktu
belajarnya untuk persiapan kontes trivia dan mengerjakan PR sehariharinya.
"Kita akan ke percetakan malam ini," ujar Scott memberitahu.
"Kau mau ikut ke percetakan dan menonton majalah kita dicetak?"
Untung bagi staf majalah The Forum, ayah Graham memiliki
percetakan. Ia mengizinkan murid-murid mencetak majalah sekolah di
sana satu malam tiap bulan, nyaris tanpa memungut biaya. Biasanya
beberapa gelintir staf pergi ke sana untuk menonton proses
pencetakan. "Tentu. Aku belum pernah ke percetakan," jawab Lily.
"Kalau begitu kau harus pergi," Scott menganjurkan. "Menarik
sekali, lho. Kertas yang akan digunakan berbentuk gulungan-gulungan
besar yang dimasukkan di antara silinder-silinder. Silinder ini akan
mencetak dua muka sekaligus, depan-belakang, dalam setiap
lempengan kertas. Setelah pencetakan selesai, semuanya dipotong
menjadi lembaran-lembaran dan dijilid. Semuanya dilakukan dalam
satu mesin besar." "Kedengarannya menarik," komentar Lily. "Kurasa aku bisa
mampir ke sana sebentar sebelum mulai mengerjakan PR-ku. Kalau
jam sembilan terlambat, tidak" Soalnya aku selesai kerja jam
sembilan." "Yeah. Datang saja jam sembilan," jawab Scott. "Biasanya saat
itu kami baru melakukan pencetakan."
Scott menghela napas. "Pertama-tama, kita harus memilih foto
untuk sampul majalah."
Diambilnya sebuah amplop manila dan mengeluarkan
lempengan contact print dari dalamnya. "Coba lihat foto-foto ini dan
beritahu pendapatmu."
Lily mencondongkan badan ke arah meja untuk melihat fotofoto itu. Semua foto-foto sekolah, diambil pada malam hari dengan
gambar bulan berkilauan di atas atap.
"Kurasa aku paling suka yang ini." Scott menunjuk salah satu
foto di sudut lempengan. "Bagaimana pendapatmu?"
"Yang itu bagus," ujar Lily sependapat, mencondongkan badan
lebih dekat lagi supaya bisa melihat dengan lebih jelas. "Tapi kurasa
foto favoritku adalah yang satu ini, di mana bulannya terlihat jelas."
Diangkatnya contact print itu supaya bisa mengamati lebih jelas.
"Hmm," gumam Scott sambil mengamati gambar itu.
Dipegangnya tangan Lily untuk mendekatkan gambar itu ke matanya.
"Aku paham maksudmu. Seleramu bagus, Lily."
Telinga Lily menangkap sebuah suara. Diangkatnya wajah ke
pintu. Alex berdiri di sana dengan ekspresi marah dan tegang di
wajahnya. "Alex!" Otomatis Lily menjauhkan diri dari Scott. "Coba lihat
foto-foto ini." "Tidak usah, trims," sahut Alex dingin. "Kelihatannya kalian
baik-baik saja tanpa aku."
"Kami sedang memilih foto untuk sampul majalah edisi
berikut," ujar Scott menjelaskan. "Mau ikut melihat-lihat?"
"Tidak juga." Alex cemberut. "Aku yakin kau akan sependapat
dengan pilihan Lily yang mana pun."
Oh, wow! pikir Lily sambil menatap Alex lekat-lekat. Masa sih
Alex benar-benar cemburu pada Scott"
"Kau bisa melihatnya di sini kalau berubah pikiran," kata Scott
sambil melemparkan amplop manila itu ke meja. Kelihatannya ia tidak
sadar kalau Alex marah. "Aku akan membawa beberapa copy ke Mr. Henderson," ujar
Scott lagi. Diangkatnya setumpuk kertas dan membopongnya ke
kantor penasihat majalah sekolah di ruang sebelah.
"Alex, kau kenapa sih?" tanya Lily begitu mereka tinggal
berdua. "Hah" Maaf?" balas Alex masam.
"Kau bertingkah seakan-akan kau cemburu pada Scott!" bentak
Lily. "Aku tidak percaya."
"Well, kenapa aku tidak boleh cemburu?" Alex balas
membentak. "Aku tahu dia naksir padamu!"
"Jangan konyol!" hardik Lily.
"Oh, Lily! Kau punya pandangan yang bagus, Lily!" seru Alex,
meniru gaya bicara Scott.
"Alex, sudahlah. Aku tidak tertarik pada Scott. Kami cuma
berteman, kau tahu itu." Lily meloncat dan melingkarkan kedua
tangannya ke bahu Alex. "Ayo, Alex. Santai sajalah," bujuknya.
Diciumnya pipi cowok itu.
Alex tersenyum kaku. "Jadi, foto yang mana yang kau suka?"
********************** Rapat staf majalah baru berakhir pukul setengah tujuh malam.
Lily nyaris ketinggalan bus dan sampai ke toko obat pamannya tepat
pada waktunya. Waktu ia tiba, dilihatnya toko obat penuh sesak oleh pembeli.
Wanita Gagah Perkasa 13 Pendekar Slebor 11 Cermin Alam Gaib Mentari Senja 7
^