Permainan Maut 2
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare Bagian 2
memasukkannya ke mesin cuci, rasanya tidak aneh kalau Dara tidak
muncul. "Dia suka jadi nyonya rumah yang baik," kataku. "Rasanya
melewatkan sarapan bukan gayanya."
"Apa yang ingin kaulakukan" Menurutmu kita sebaiknya
membangunkannya?" Ken bertanya, sambil mematikan keran pada
bak cuci. Ia mengelap tangannya, kemudian dengan satu tangan
menyibakkan rambutnya dari kening.
"Jangan ke sana. Biarkan dia tidur," jawab Tony. Ia sudah
bergabung dengan Carly di depan pintu kaca. "Dia akan uring-uringan
kalau kalian membangunkannya."
"Bagaimana kau tahu?" desak Carly curiga.
Tony tertawa. "Aku cuma menerka. Dara selalu uring-uringan,
kan?" "Cuma padamu, Tony," kata Jenny tertahan.
"Kupikir sebaiknya kita membangunkan Dara," aku bersikeras.
"Dia mungkin malu karena tidak bangun pada waktunya untuk
sarapan bersama kita."
"Kau bisa melakukannya," kata Ken kepadaku. "Tak perlu kami
semuanya, kan?" Ia menghidupkan radio. "Mungkin ada berita yang
lebih baik mengenai cuaca sekarang."
"Aku akan menemanimu, April," Jenny mengajukan diri.
"Baiklah. Ayo," kataku. Aku menutup mesin pencuci piring.
Kemudian, sambil mengeringkan tangan pada sisi sweatshirt, aku
berjalan ke koridor menuju kamar Dara.
Pintunya tertutup. Jenny mengetuk.
Tak ada jawaban. "Hei"Dara!" aku berseru. "Bangun! Dara" sudah pagi!"
Masih tak ada jawaban. "Dara"bisakah kau mendengar kami?" Jenny berteriak. Ia
mengetuk lagi. "Dara?"
Ketika kami tetap tidak mendapat jawaban, aku memutar kenop
dan mendorong pintu hingga terbuka.
Aku dan Jenny tersentak. "Dia tak ada di sini!" seru Jenny.
Kami melangkah ke dalam kamar dan melihat sekeliling.
"Aneh," gumamku. "Ranjangnya?" Aku menunjuk. Ranjangnya rapi.
Apakah Dara bangun pagi-pagi dan membereskannya" Ataukah
itu berarti tadi malam ia tidak tidur di atasnya"
"Kamar ini begitu rapi," Jenny berkomentar, sambil bergeser ke
ranjang. "Apakah dia?""
"Tasnya!" aku berseru, sambil menunjuk. Tas itu berdiri di
samping lemari rias. Belum dibongkar isinya. Belum disentuh.
"Jenny, aku"kukira Dara tidak tidur di sini tadi malam,"
kataku terbata-bata. "Tapi itu tak mungkin!" seru Jenny. Matanya yang biru
menyipit kebingungan. "Ini sungguh aneh," kataku. Aku keluar kembali ke koridor.
"Hei, Dara!" aku berseru. "Dara"apakah kau di sini?"
Tak ada jawaban. "Ayo kita periksa kamar Josh," aku mengusulkan. Aku tidak
menunggu Jenny menjawab. Aku langsung berlari di koridor.
"Apakah kalian menemukannya?" seru Ken ketika aku dan
Jenny melewati dapur. "Belum," balasku.
Aku dan Jenny berlari kecil di koridor satunya menuju ke kamar
yang dipakai oleh Ken dan Josh. Pintunya separo terbuka, maka kami
melongok ke dalam. "Josh?" aku memanggil pelan.
Ranjang susun dari kayu berwarna tua itu tegak menempel ke
dinding. Aku ingat bahwa Josh ingin tidur di atas.
Tak ada tanda-tanda darinya. Tak ada seorang pun di sana.
"Aneh," aku mengulangi, sambil menggeleng. Jenny
mengangkat pundak. Ia kelihatan sama bingungnya denganku.
Kami kembali ke dapur. "Apakah kalian melihat Josh pagi tadi
ketika kalian bangun?" aku bertanya.
Tony berpaling dari jendela. "Aku tidak mencarinya,"
jawabnya, sambil menggosok dagu.
Ken sedang memindah-mindahkan saluran radio dari satu
stasiun ke stasiun yang lain, mencari-cari musik yang bagus. "Aku
tidak melihatnya juga," katanya.
"Tapi dia tidur di sana denganmu tadi malam, kan?" tanyaku
kepada Ken. Ken menggaruk-garuk kepalanya. "Yeah. Mungkin."
"Tapi bukankah kau tidur di ranjang bawah?" aku bertanya.
"Aku terlelap cepat sekali," jawab Ken. "Kukira Josh ada di
ranjang atas. Aku tak begitu tahu. Tidurku sangat pulas."
"Well, aku cuma merasa sangat aneh bahwa dua di antara kita
tidak ada di sini pagi ini," kataku. "Dan ranjang mereka berdua
kelihatan seperti tidak dipakai tidur."
"Mereka akan muncul," jawab Tony santai. Ia merangkul
pundak Carly dan berpaling kembali ke jendela. "Mungkin mereka
pergi jalan-jalan." "Di tengah badai salju ini?" seruku.
Namun kata-kata Tony mengingatkanku akan sesuatu. Sesudah
kami semua bersiap tidur, Dara pergi keluar untuk mengambil kayu
bakar. Apakah ia sudah membawa masuk kayu bakar itu"
Aku berjalan ke ruang duduk dan memeriksa sekitar perapian.
Tidak. Keranjangnya tergeletak kosong, kecuali ada beberapa ranting.
Perapiannya kosong pula. Tak ada kayu bakar. "Hei, teman-teman," aku berseru, suaraku gemetar sewaktu aku
bergegas kembali ke dapur. "Kita ada masalah kecil."
"Pernahkah kaudengar lagu ini?" tanya Ken, sambil
membesarkan volume radio. "Bukankah ini memesona?"
"Ken"!" teriakku tak sabar. "Kupikir telah terjadi sesuatu yang
aneh. Sudahlah?" Radio itu kumatikan.
Tony dan Carly mendekat ke meja. "Ada apa?" tanya Tony.
"Aku melihat Dara keluar tadi malam," tuturku kepada mereka.
"Dia mengatakan akan ke gudang kayu mengambil kayu bakar."
Jenny menjerit pelan. Kulihat matanya menyipit ketakutan.
"Kaupikir?""
"Menurutku sebaiknya kita cari di luar," kataku, memerangi
rasa takutku sendiri. "Kalau-kalau?"
Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Aku benar-benar tidak
tahu apa yang kupikirkan. Aku cuma tahu bahwa perasaan ngeri kian
menumpuk dalam diriku. Ada sesuatu yang tidak beres. Josh menghilang. Dara
menghilang. Ranjang mereka sepertinya tidak dipakai tidur.
Kami bergegas ke depan dan cepat-cepat meraih mantel, yang
pertama yang bisa kami raih. Kemudian melangkah keluar pintu,
dalam hujan salju berangin.
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika kusadari ada yang
tak beres dengan sesuatu lainnya.
Aku mengedipkan mata satu kali. Dua kali. Sambil berpikir
mungkin lebatnya tabir salju yang turun di depanku membuatku
bingung. Tapi tidak. Aku benar. "Lihat?"aku berteriak, sambil menunjuk ke jalur masuk yang
tertutup salju. Jalur masuk yang kosong. "Jeep-nya"tak ada."
BAB 9 "MUNGKIN Dara dan Josh pergi bersama- sama," kata Tony.
Aku menatapnya dari seberang dapur, mencoba memutuskan
apakah ia serius. Tidak mungkin bisa mengetahuinya. Aku menggosok
hidung, masih beku dan kebas.
Kami bergegas kembali ke dalam rumah, tak sabar untuk
menyingkir dari angin dingin yang berpusar-pusar. Salju yang turun
begitu lebat dan cepat sudah menutupi jejak ban Jeep itu"dan semua
jejak kaki. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Kini kami berkerumun di seputar meja di dalam dapur yang
hangat, menatap langit yang gelap di luar. Dan berpikir keras,
berusaha mencari jawaban mengapa dua di antara kami menghilang,
bersama dengan satu-satunya kendaraan yang ada.
"Mengapa kau mengatakan begitu?" tanyaku pada Tony. "Apa
yang membuatmu berpikir bahwa mereka pergi bersama-sama?"
Seulas senyum aneh terpeta pada wajah
Tony. "Mereka dulu berpacaran," katanya pelan. "Tahukah
kau?" "Tidak. Tapi itu tak serius, kan?" kataku.
"Dara tidak tertarik," Tony meneruskan. "Tapi kukira Josh
masih. Apakah kau melihat pandangan matanya yang pedih saat
menatap Dara tadi malam?"
"Jadi menurutmu?" aku mulai.
"Menurutku mereka pergi naik mobil. Begitulah. Untuk
membicarakan masalah mereka," kata Tony, sambil melirik Carly.
Carly tidak pernah berhenti memain-mainkan rambutnya.
Sekarang ia sedang memilin-milin selembar, menggulungnya dengan
tegang pada jarinya. "Menurutmu mereka naik mobil dalam cuaca
seperti ini?" ia bertanya kepada Tony.
"Mungkin saja," sahut Tony.
Kami semua menatap ke luar pintu kaca. Di luar sana, langit
hampir segelap malam. Salju tampak biru pucat sewaktu berpusar dan
berputar jatuh ke tanah. Angin melolong di sekitar sudut-sudut tajam
rumah. "Aku akan menjerang air," kata Jenny, sambil menggosokgosok lengan sweater skinya. "Sepertinya aku tak bisa merasa hangat."
"Mereka mungkin pergi ke salah satu pondok ski," Tony
meneruskan. "Ada banyak pondok seperti itu di jalan raya."
"Tapi Dara tak mungkin membawa Jeep dan pergi tanpa
meninggalkan catatan apa pun untuk kita," aku bersikeras. "Tak
mungkin." "Dia akan melakukannya kalau masalahnya adalah urusan yang
impulsif, dorongan perasaan seketika," balas Jenny, sambil mengisi
ketel biru besar dengan air dari keran.
"Yeah. Mungkin Dara memperkirakan saat ini ia dan Josh
sudah akan kembali ke sini. Tapi mereka terpaksa tinggal di pondok
ski karena jalannya penuh salju," gagas Ken.
"Kalau begitu dia akan menelepon kita," tukasku. Aku
mendorong mundur kursi dari meja dan berdiri. Sekonyong-konyong
kusadari jantungku berdebar-debar keras. Tanganku dingin seperti es.
"Dengar," kataku, berusaha agar tidak kedengaran takut.
"Menurutku kita harus menelepon polisi."
"Tidak!" Tony berteriak nyaring. Terlalu nyaring. Ia
memandang Carly di seberang meja. "Maksudku"tidak," katanya,
kali ini lebih lirih. "Kita tidak bisa menelepon polisi."
"Hah" Kenapa tidak?" desakku.
"Well..." Tony kembali memandang Carly. "Kau tahu... itu
tentu akan memalukan," katanya perlahan-lahan, sambil tetap menatap
mata Carly. "Maksudku, aku dan Carly akan mendapat kesulitan
besar." Ia menelan ludah dengan susah payah dan berpaling kepadaku.
"Orangtua kami tak tahu kami datang ke sini," ia mengaku.
"Kalau kita menelepon polisi, orangtua kami akan tahu," Carly
menambahkan. "Tidak bisakah kita menunggu saja satu atau dua jam"
Aku yakin Dara akan menelepon."
Aku mengembuskan napas dan duduk bersandar kembali. Aku
tidak bisa memutuskan apa yang harus kami lakukan. Aku merasakan
firasat yang sangat buruk.
"Jangan khawatir dengan Dara," Tony meyakinkanku. "Dia
sudah mondar-mandir ke sini sejak masih kecil. Dia tahu setiap jalan
dan jalan pintas. Percayalah, dia dan Josh ada di salah satu pondok ski
itu sekarang. Aman dan hangat."
Kuamati wajah Tony. Sungguh mengejutkan, ternyata pada
keningnya ada butiran-butiran keringat.
Mengapakah dia berkeringat seperti itu" tanyaku pada diri
sendiri. Mengapa dia begitu kukuh mencegahku menelepon polisi"
Apakah ia punya alasan lain"
Aku bergidik ngeri. Kusadari aku takut pada Tony.
Ia melihatku sedang menatapnya. Aku berpaling. Mengalihkan
pandangan ke pintu kaca"tepat saat itu aku melihat sesuatu
menggelinding dari atap. Benda itu menimpa salju dengan suara gedebuk pelan"dan aku
pun menjerit. BAB 10 JERITAN ngeri yang kukeluarkan itu bergema di seluruh
penjuru dapur. "April"ada apa?" seru Jenny melengking tinggi dari dekat
kompor. Ia menjatuhkan ketel teh ke atas kompor dan buru-buru ke
meja. Ken meluncur mengitari meja dan memegang pundakku. "Kau
tak apa-apa?" ia bertanya. "Ada apa?"
Dengan satu jari yang gemetar, aku menunjuk ke pintu geser.
"Kau melihatnya?" tanyaku tergagap-gagap. "Ada sesuatu yang jatuh.
Aku melihatnya jatuh. Dari atap!"
Tony sampai ke pintu lebih dulu. Ia menempelkan wajah pada
kaca dan mengintai ke luar pada kegelapan.
Lama ia berdiri di sana tanpa bergerak.
"Kau melihatnya?" tanyaku dalam bisikan lirih. "Tony"
bisakah kau melihatnya?"
"Aku tak melihat apa-apa, April," jawabnya.
Carly merapat di sampingnya. Mata birunya menyipit penuh
perhatian. Jenny pun bergegas ke pintu.
"Itu cuma gumpalan salju," Jenny melaporkan. Ia melangkah
menjauh dari pintu kaca dan berbalik kepadaku. "Kau tak apa-apa"
Itulah yang tadi kaulihat. Cuma salju."
"Yeah. Terembus turun dari atap," kata Tony. Ia memutar bola
matanya. "Kau kehilangan akal," gumamnya.
Aku terkulai di atas meja. "Aku"aku sungguh menyesal,"
kataku. "Aku begitu mengkhawatirkan Dara dan Josh. Kupikir aku?"
Aku bisa merasakan wajahku berubah merah. Aku merasa
seperti orang tolol. Aku bisa melihat mereka semua"bahkan Jenny
juga" menatapku seakan aku semacam pasien rumah sakit jiwa.
April benar-benar kacau. April mulai melihat yang bukanbukan.
Itulah yang mereka semua pikirkan.
"Hei"tak apa-apa. Kita semua mengkhawatirkan Dara dan
Josh," kata Tony, sambil berbalik memandangi salju di luar. "Tapi
mereka baik-baik saja. Aku tahu mereka tak apa-apa. Aku kenal
Dara," tambahnya kering. "Dara selalu oke."
************** Kami membuat sandwich ham dan kalkun untuk santap siang.
Tapi tak satu pun di antara kami benar-benar berselera makan.
Angin masih terus melolong, dan salju terlontar jatuh dengan
cepat, gelombang demi gelombang. Lampu-lampu di dalam rumah
berkedip. Kemudian meredup. Namun tidak padam.
Aku dan Jenny mencari lilin"sekadar untuk berjaga-jaga.
Kami menemukan sekotak lilin di lemari dan meletakkannya di atas
meja kopi di ruang duduk.
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku merasa begitu tertekan dan takut. Setiap suara membuatku
melompat. Aku ingin menutup telinga dari lolongan angin.
Jenny, Ken, dan aku menemukan satu set kartu dan duduk di
sofa ruang tengah untuk main remi"sekadar mengalihkan pikiran
kami dari kenyataan bahwa kami sedang menunggu, menunggu,
menunggu untuk mendengar kabar dari Dara dan Josh.
Remi adalah permainan yang sungguh membosankan. Dan
kukira ada beberapa kartu yang hilang dari tumpukan itu.
"Kita tidak bermain dengan kartu yang lengkap!" tukas Ken.
Itulah gaya leluconnya. Aku dan Jenny mengeluh. Tony dan Carly ada di dapur. Mereka mengatakan bahwa
mereka ingin membuat popcorn. Tapi aku kira mereka sedang
bercumbu. Mereka tidak bisa melepaskan tangan dari yang lain lebih
dari beberapa menit. Jenny menguap. "Mau main yang lain?" aku bertanya.
"Apa saja, kecuali Truth or Dare," tukas Ken. Ia melontarkan
lirikan penuh arti padaku.
Jadi dia memang paham apa yang kumaksudkan tadi malam!
Aku tersadar. Ken tahu bahwa aku tahu tentang gadis di Pulau Sumner itu.
"Kita dengarkan musik dari radio," Jenny mengusulkan.
"Yeah. Gagasan bagus. Terlalu sunyi di sini," kata Ken. Ia
bangkit berdiri dan beranjak hendak melintasi ruangan"ketika kami
mendengar ketukan. Ketukan keras. Aku melompat berdiri. "Asalnya dari belakang!" seruku. "Ini
pasti Dara dan Josh!"
Kami bertiga berlari cepat ke dapur. Tony dan Carly sudah
sampai ke pintu. Ketika aku memasuki dapur di belakang Ken dan
Jenny, mereka sedang mengintip ke luar.
"Siapa itu?" aku berseru tak sabar. "Apakah Dara dan Josh?"
Tony berpaling dari pintu, wajahnya bertanya-tanya
kebingungan. "Tak ada siapa pun," jawabnya. "Tak ada siapa-siapa di
sana." "Tapi kami mendengar ketukan," kata Jenny, sambil bergabung
dengan Tony dan Gariy di pintu.
"Kami juga," kata Carly. "Tapi lihatlah sendiri. Tak ada siapa
pun di luar." Sungguh aneh, pikirku. Apa yang menimbulkan bunyi itu" Aku
tahu kami tidak membayangkannya dalam lamunan.
Ken berpaling pada Tony. "Apa kau yang melakukannya?" ia
menuduh. "Lelucon lain untuk menakut-nakuti kami?"
"Apa?" Mulut Tony ternganga. "Tak mungkin!" ujarnya. "Aku
pun mengkhawatirkan Dara seperti kalian. Aku tak bercanda dengan
lelucon konyol." Ken mengamati wajah Tony sesaat, lalu menoleh kembali
padaku. Kami bertiga berjalan kembali ke ruang duduk.
"Kita butuh api di sini," gumamku, sambil duduk di sebuah
kursi berjok kulit dan menatap perapian yang gelap.
"Mungkin kita semua harus keluar dan mengumpulkan kayu
bakar," jawab Ken. "Setidaknya itu memberi kita kesibukan. Gudang
kayunya mungkin?" Ia berhenti ketika ketukan itu terdengar lagi.
Gedoran keras pada pintu. Dari belakang rumah.
Sekali lagi kami berlari ke dapur.
Carly dan Tony berdiri di samping pintu, alis mereka
mengernyit kebingungan. "Tak ada siapa pun di sana," Tony melapor.
"Tak ada siapa pun."
BAB 11 "PASTI ada orang yang mengetuk," kata Ken, sambil
menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Kita jelas-jelas
mendengarnya." Sekali lagi ia menatap Tony dengan pandangan
menuduh. Tony menyisir rambutnya yang berombak ke belakang dengan
tangan. "Aku dan Carly mendengarnya juga. Tapi lihatlah. Tak ada
siapa pun di luar sana."
"Mungkin angin meniup sesuatu menimpa rumah," Jenny
mengajukan gagasan. "Atau mungkin penutup jendela diterpa angin."
"Rumah ini tak pakai penutup jendela," kata Tony kepadanya.
Aku melangkah ke pintu dan menempelkan dahi pada kaca
yang dingin. Salju turun bergulung-gulung, lapisan-lapisan salju
bergelombang sedemikian tebal, aku hampir tidak bisa melihat
halaman belakang. Aku hampir tidak bisa melihat lebih jauh dari teras
belakang yang sempit itu.
"Tak ada jejak kaki," aku melapor. Kualihkan pandangan ke
jalur masuk. Jalur itu berakhir pada semacam garasi beratap rendah di
samping rumah. "Dan tak ada tanda-tanda dari Jeep Dara."
Suaraku tersangkut dalam tenggorokan ketika aku
mengucapkan kata-kata tersebut. "Tak ada tanda-tanda... apa pun."
Hawa dingin merayapi punggungku. Aku berpaling dari
jendela. Dan ketukan itu terdengar kembali.
Satu ketukan keras. Lalu yang kedua.
"Kurasa asalnya dari teras belakang," kataku, sambil
melindungi mata dengan dua belah tangan, menajamkan pandangan
pada salju untuk melihat lebih jelas.
Rasanya seperti mencoba melihat sesuatu menembus kapas.
Ketukan itu terulang lagi. Gedoran keras, terus-menerus dari
jarak yang sangat dekat. "Oh. Aku melihatnya!" seruku. "Lemari penyimpan papan ski
itu. Di beranda." "Hah?" Jenny mendesak ke sebelahku dan menatap ke luar pada
kegelapan. Aku menunjuk lemari tinggi dari logam berwarna hijau di sisi
beranda. "Kalian lihat" Pintunya terbuka. Membentur-bentur lemari."
"Well, setidaknya satu misteri sudah terpecahkan," kata Jenny,
sambil melangkah mundur dari pintu. Ia mengembuskan napas lega.
"Ayo kita menutupnya," desak Ken. "Kalau tidak, bunyi
gedoran itu akan membuat kita gila."
"Biarkan saja," kata Jenny. "Kita bisa menutupnya sesudah salju
berhenti." "Tidak. Ayolah." Ken menarik lengannya. "Aku tak tahan
dengan bunyinya." "Tak perlu kita semua pergi ke luar sana," Tony protes. "Tak
perlu kita berlima untuk menutup pintu lemari."
"Aku akan menemanimu," kataku pada Ken. "Aku rasanya
perlu menghirup udara dingin, segar."
Aku dan Ken meraih mantel pertama yang kami lihat,
memakainya, dan keluar melalui pintu belakang. Ketika kami
melangkah ke teras belakang, angin meniup salju yang sedang turun
ke wajah kami, memaksa kami untuk melindungi mata.
"Wah. Rasanya seperti dalam salah satu globe salju itu!" Ken
berseru. "Bola-bola kaca yang bila kaukocok, saljunya mengapung ke
segala penjuru." "Yeah. Anginnya begini kencang, kau tak bisa tahu apakah
saljunya naik atau turun!" aku menyetujui.
Sepatu lars kami tenggelam dalam-dalam di salju basah ketika
kami melangkah menuju ke lemari ski itu.
Pintu besinya membentur keras pada lemari. Kemudian angin
kembali meniupnya hingga membuka.
Aku menyeka salju dari alis dan mengikuti Ken menghampiri
lemari. Ia mengulurkan tangan untuk memegang pintu, tapi angin
meniup membukanya lebih lebar.
Aku dan Ken sama-sama berteriak, terkejut, ketika sesuatu
terguling keluar dari lemari ski tersebut dan mendarat di salju dengan
suara gedebuk. "Tidaaaak!" Lengkingan ngeri lepas dari tenggorokanku ketika
aku melihat ke bawah. Menatap wajah biru di bawah rambut pirang kusut.
Menatap tubuh yang kaku, tak bernyawa.
Menatap mayat Dara yang membeku.
BAB 12 AKU menangkap lengan Ken. Memegangnya erat-erat.
Kakiku lemas. Aku merasa diriku mulai tenggelam. Tenggelam
ke dalam salju. Tenggelam dalam warna putih. Jatuh dan jatuh dan
jatuh. Mata Dara yang biru melotot padaku dengan pandangan
menuduh. Mulutnya beku ternganga membentuk huruf O lebar
ketakutan. Kesakitan. Salju berpusar di sekeliling kami. Menahan
kami tetap di tempat. Menjadikan aku dan Ken beku. Menjadikan
kami beku seperti Dara. Kaku. Ketakutan.
Kerongkonganku terasa tercekik. Aku terjebak, pikirku.
Terjebak di dalam puting beliung putih yang berputar-putar ini.
Terjebak bersama Dara. Terjebak bersama tubuh Dara yang sudah
mati. Wajahnya yang mati. Matanya yang mati.
Biru. Begitu biru dan dingin.
Rambutnya tersibak dan berkibaran diterpa angin.
Satu-satunya yang bergerak.
Dan kemudian Ken tiba-tiba menarik diri dariku. Kupikir aku
akan jatuh. Terjerembap ke depan, menimpa mayat Dara yang
membiru. Tapi entah bagaimana aku berhasil menjaga keseimbangan.
Sambil merintih Ken membungkuk memeriksa mayat Dara.
Dengan mencengkeram leher jaket parka, Ken perlahan-lahan
mengangkat tubuh Dara naik sedikit. Kepala Dara terkulai ke
belakang. Dengan menajamkan pandangan menembus tirai salju putih
yang rapat, aku melihat noda gelap pada pundak jaket parkanya.
Bercak hitam darah kering.
"Ohhhhh!" satu jeritan lagi lepas dari kerongkongan ketika
kulihat beliung itu. Terbenam di antara pundaknya.
Terbenam begitu dalam sehingga hanya segores kilatan logam
yang terlihat di atas parka tersebut.
Pembunuhan. Dara dibunuh dengan beliung.
Dara. Terbunuh di salju. Begitu dingin. Begitu dingin udaranya
sehingga ia jadi biru. Perutku bergolak. Aku hendak muntah.
Aku terhuyung meninggalkan teras. Salju menutupi seluruh
sepatu larsku. Aku membungkuk dan mulai muntah. Memuntahkan
seluruh kengerian itu. Seluruh tubuhku bergoyang dan gemetar.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku menghirup udara yang
dingin dan basah. Dan merasakan tangan Ken, lembut pada pundakku.
Menuntunku masuk kembali ke beranda. Aku mendengar pintu kaca
digeser. Merasakannya membimbingku kembali ke dalam dapur.
Merasakan kehangatan. Aroma popcorn.
Tubuhku masih gemetar. Aku takkan pernah kembali normal. Kata-kata itu menerobos
keluar dari pikiranku. Takkan pernah normal iagi.
"Ada apa?" tanya Jenny. "Ada apa dengan April?"
"Dara tewas," jawab Ken dengan berbisik.
Aku mendengar suara tersentak kaget. Kudengar Carly
menjerit. Aku masih belum bisa melihat mereka. Aku cuma bisa melihat
wajah Dara yang membiru. Wajahnya yang biru, beku dalam
ketakutan, kesakitan. "Dia dibunuh," kata Ken kepada mereka.
Lebih banyak lagi seruan dan teriakan kaget. Aku membuka
mata melihat Jenny tersedu sedan, air mata sudah mengalir di pipinya.
Tony menghibur Carly. Aku bersandar pada dinding. Lututku masih gemetar. Kakiku
begitu lemas dan lunglai.
"Kita"kita harus menelepon polisi," kataku dengan suara
tercekik. "Sekarang."
Tony melirik Carla dengan pandangan penuh makna. Aku tahu
dia khawatir orangtuanya tahu bahwa ia kabur bersama Carly untuk
berakhir pekan di sini. Tapi itu bukan masalah lagi.
Ada beliung terbenam di punggung Dara. Dara dibunuh.
"Kita tak punya pilihan lagi sekarang!" kataku pada Tony. Aku
tidak bermaksud berteriak, atau bicara dengan suara begitu tinggi.
Tetapi aku tidak sanggup menahannya. Aku menelan ludah dengan
susah payah dan menahan napas untuk menekan rasa pening dan
mual. Terkulai di meja, Jenny membenamkan wajah di tangannya.
Pundaknya naik-turun sewaktu ia menangis.
Ken menghela napas. "April benar," gumamnya.
"Kita tak punya pilihan. Kita harus menelepon polisi"segera."
Kami semua berteriak ketika angin mengembus keras di dalam
dapur. Aku dan Ken begitu bingung, kami lupa menutup pintu geser.
Aku berbalik ke pintu. Tergeletak kaku di salju, Dara menatap
ke arah kami. Mata birunya yang tak berkedip seperti memelototiku.
Menuduhku. Rambutnya berkibaran diterpa angin. Lapisan salju
menutupinya, pada pundak jaket parka itu. Pada pundak yang
berlumur darah. "Tutup pintunya!" Aku menjerit, sambil menutupi mata dengan
dua belah tangan. "Tutup!"
Ken menarik pintu hingga menutup dan menguncinya.
Dari balik kaca, Dara masih terus melotot pada kami di dalam.
Aku memalingkan muka"mendapati Tony sudah pindah ke
pesawat telepon yang tergantung pada dinding. Ia memegang
gagangnya dengan satu tangan.
"Telepon mereka," aku menginstruksikan. "Tony"telepon
polisi." Ia menggeleng, parasnya memperlihatkan ekspresi kosong yang
aneh. "Sori," katanya lirih. "Tak bisa."
BAB 13 "TONY"apa katamu?" tanyaku.
"Kita tak bisa menelepon polisi," ia mengulangi, sambil
meletakkan kembali gagang telepon. "Teleponnya mati."
"Hah?" seruku. "Maksudmu?""
"Sama sekali tak ada nada panggil," kata Tony, sambil
menggeleng. "Badai pasti sudah memutuskan kabelnya."
"Tapi"tapi?" aku tergagap.
"Kita harus jalan kaki ke kota," Ken mengusulkan, sambil
menatap langit di luar. Awan-awan gelap kelihatan lebih rendah lagi.
Salju bisa turun seperti ini sampai berhari-hari, pikirku.
Seluruh tubuhku bergidik kedinginan. Aku memeluk diri
sendiri, dengan lemas dan ketakutan bersandar pada dinding.
"Atau dengan ski"kita bisa meluncur dengan ski ke kota!" Ken
berseru. "Kita takkan pernah bisa sampai ke sana," kata Carly, sambil
menarik-narik sehelai rambutnya dengan tegang. "Tak mungkin tanpa
mobil. Sekalipun kita bisa menuruni bukit, berapa jauh yang bisa kita
tempuh dalam badai salju yang membutakan ini" Kita sudah akan
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beku sebelum sampai di lereng ski, jangankan ke kota."
"Berapa jauhkah kota itu?" tanyaku pada Tony.
"Beberapa kilometer," katanya bersungut. "Mungkin satu
setengah kilo sesudah lereng itu. Ada beberapa pondok ski sebelum
sampai ke kota. Tapi kurasa kita tak bisa mencapainya juga.
Setidaknya sampai saljunya berhenti turun begini lebat."
"Mungkin kita bisa minta tumpangan pada orang lain," kataku.
Gagasan itu disambut dengan kebisuan.
"Orang gila macam apa yang akan bepergian dengan mobil di
saat seperti ini?" Tony akhirnya berkata. Ia berjalan menghampiri
kulkas dan mengambil sekaleng Coke. "Setidaknya kita punya cukup
makanan dan perbekalan."
"Tapi ada pembunuhan di luar sana!" aku menjerit keras. "Kita
tak bisa duduk-duduk saja di sini tanpa berbuat apa-apa! Ada yang
membunuh Dara. Dan"dan"oh!"
Aku menutupkan satu tangan ke mulut.
Josh. Dalam ketakutan atas apa yang menimpa Dara, aku sama sekali
telah melupakannya. "Bagaimana dengan Josh?" tanyaku. "Kita akan mencari
tubuhnya juga"kan!"
"Tidak!" pekik Carly. "Kumohon"!"
"Kita akan mencari," aku bersikeras, seluruh tubuhku
gemetaran. "Siapa pun yang membunuh Dara mungkin telah
membunuh Josh juga. Dan siapa pun orangnya, dia ada di luar sana."
Aku menunjuk ke pintu. "Tapi di sana tak ada jejak kaki!" protes Carly. "Kalau ada
orang di halaman belakang dan membunuh Dara serta Josh, bukankah
akan ada jejak kaki?"
"Mungkin sudah tertutup salju," kata Jenny, sambil menyeka
pipinya yang basah dengan air mata. "Saljunya turun begini lebat.
Jejak kaki tentu hilang dalam beberapa menit!"
"Dia benar," Carly setuju.
"Tidak. Dia keliru," kata Tony. Ia berjalan ke pintu kaca dan
menatap ke luar. Aku sungguh tak tahan melihat Dara memelototi kami di dalam.
Maka aku menunduk memandangi lantai.
"Kau dan Carly sama-sama keliru," kata Tony padaku. "Tak ada
pembunuh yang menunggu di luar sana. Sebab pembunuhnya adalah
Josh." "Apa?" teriakku. Aku merasa berkunang-kunang. Lantai serasa
miring ke satu arah, kemudian ke arah lain. Aku menggeserkan
punggung pada dinding dan menurunkan tubuh ke posisi duduk di
lantai dapur. "Sudah jelas," kata Tony, sambil menjauh dari pintu dan duduk
di meja di samping Carly. Ia minum dari kaleng Coke-nya lama-lama.
"Josh membunuh Dara. Kemudian kabur dengan Jeep Dara."
"Tapi mengapa?" semburku tanpa pikir. "Mengapa Josh
membunuh Dara?" Tony mengangkat pundak. "Siapa tahu?"
Ken melangkah menghampiri telepon dan mengangkat
gagangnya ke telinga. Ia menghela napas dan meletakkannya kembali.
"Masih mati." "Apa yang akan kita kerjakan?" Jenny meratap. "Kita terjebak
di sini. Tak ada rumah lain di sekitar sini. Saljunya terlalu tebal untuk
jalan kaki. Terlalu lebat untuk memakai ski mencari pertolongan. Kita
terjebak!" "Kita akan mengambil kayu bakar. Kita nyalakan api besarbesar," balas Tony. "Kita akan tetap hangat dan nyaman. Salju akan
berhenti. Telepon akan dibetulkan. Kita akan baik-baik saja, Jenny.
Kalau kita tetap tenang dan tak panik, takkan terjadi apa-apa pada kita
semua." "Ayo kita periksa kamar Josh," aku mengusulkan. Aku
menghela tubuh untuk berdiri. "Coba kita lihat apakah kita bisa
menemukan petunjuk di sana. Apa saja."
"Kalau Josh membawa tasnya, kita tahu dia membunuh Dara
lalu kabur," kata Ken.
"Aku tak bisa percaya Josh tidak naik ke ranjang itu tadi
malam," kata Ken, sambil menggeleng. "Kalau saja aku tidak tidur
sepulas itu..." Suaranya menghilang.
Kami berlima berbaris di koridor menuju kamar yang ia pakai
bersama Josh. Aku menyalakan lampu di langit-langit dan melangkah
ke tengah kamar luas tersebut.
Di luar, menjelang malam, langit sudah berubah hitam seperti
arang. Angin melolong di sekitar sudut-sudut rumah.
Kamar itu dingin, lebih dingin daripada kamar-kamar lain.
Dingin dan bau lembap. "Lihat"tas Josh!" seruku, sambil menunjuk.
Tas kanvas biru itu berdiri di samping ranjang. Aku dan Ken
berlutut dan membuka ritsletingnya.
Ken membukanya, dan aku melihat ke dalam.
"Penuh," aku mengumumkan, sambil berpaling pada Jenny,
Tony, dan Carly. "Pakaiannya"semua ada di sini."
"Hah" Apa artinya?" Carly berseru.
"Artinya, dia kabur tanpa membawa barang-barangnya," jawab
Tony, menghampiri untuk melihat ke dalam tas tersebut. "Mungkin
dia begitu kacau, begitu bingung sesudah membunuh Dara, dia sama
sekali tak berpikir untuk membawa tasnya."
"Mungkin...," balasku ragu-ragu. "Atau mungkin itu berarti..."
Kata-kata itu tersangkut di dalam tenggorokanku. Perasaan ngeri luar
biasa merayap naik dari perut.
"Mungkin itu berarti Josh dibunuh juga," Ken menyelesaikan
apa yang ada dalam pikiranku. Ia membalikkan tas tersebut dan
menumpahkan seluruh isinya ke lantai.
Ia memeriksanya dengan cepat.
Cuma pakaian. Sebuah sweater cadangan. Pakaian ski. Celana
hangat kelabu. Tas kecil berisi sikat gigi, deodoran, tisu, dan sisir.
Tak ada apa pun yang menarik.
Aku melompat berdiri. Aku naik ke ranjang bawah dan
memeriksa ranjang atas. Selimutnya licin rapi dan diselipkan rapat di
pinggir ranjang. "Tak ada apa-apa di sini," aku melaporkan.
"Menurutku dia sama sekali tak pernah naik ke ranjang ini."
Aku turun ke lantai. "Kurasa kita harus memeriksa kamar Dara
juga," kataku. Setiap kali mengucapkan nama Dara, aku membayangkan
mayatnya yang beku kaku. Wajahnya yang membiru, meringis
kesakitan dan ketakutan. Beliung itu, terbenam begitu dalam pada
pundaknya. Kami semua berjalan tanpa bicara ke kamar Dara. Di koridor di
samping pintu Dara, aku berhenti di depan meja anyaman.
Pada meja itu ada vas biru ramping berisi bunga liar kering
berwarna ungu dan merah jambu. Di sampingnya berdiri foto
berbingkai. Foto Dara, beberapa tahun lebih muda, dalam pakaian ski
kuning manyala. Ibu dan ayahnya, juga dalam pakaian warna terang
manyala, berdiri di belakangnya, tersenyum ke kamera.
Mereka bertiga kelihatan begitu bahagia.
Memandang foto itu, aku nyaris melelehkan air mata.
Dengan menggigit bibir bawah, aku memaksa diri untuk
memalingkan muka dari keluarga bahagia dalam foto tersebut dan
melangkah ke dalam kamar tidur Dara.
Ken menyalakan lampu tinggi di samping ranjang, dan kami
mulai memeriksa. Poster-poster pemain ski Olimpiade berjajar pada
satu dinding. Rak-rak pada dinding di seberangnya penuh dengan
buku dan majalah lama, papan permainan, kaset dan CD.
Ranjangnya ditutupi selimut kapas berpola kota-kotak hitamputih. Di samping ranjang berdiri meja tinggi dari kayu ek. Sebuah
buku tergeletak terbuka, beberapa halaman dari depan. Di samping
buku itu, aku melihat sehelai kertas putih dalam keadaan terlipat.
Ken membuka pintu lemari pakaian dan melongkok ke dalam.
Yang lain memeriksa rak-rak yang penuh sesak.
Aku mengambil kertas tersebut, membuka lipatannya, dan
membacanya dengan cepat. "Oh, aku tak percaya!" aku berseru. Kertas itu gemetar dalam
tanganku. Semua berpaling ke arahku.
"Aku tahu siapa yang membunuh Dara," kataku.
BAB 14 MEREKA berkerumun di sekelilingku, dan aku membacakan
surat itu. Surat tersebut ditulis dengan bolpoin merah. Tulisan
tangannya acak-acakan, sulit dibaca. Tergesa-gesa. Ada noda-noda
merah pada beberapa tempat di mana tinta tertetes bocor.
Aku memegangi lembaran itu di bawah lampu dan mulai
membacanya dengan suara lirih, gemetar:
Dear Dara, Aku tidak bisa lagi terus seperti ini.
Tak peduli bagaimana kejam dirimu padaku, aku selalu
menerimanya. Kau menghinaku malam ini. Bagaimana kau bisa
melakukannya" Aku selalu menganggapmu orang yang layak disayangi. Tapi
kurasa aku melakukan kesalahan besar.
Tapi aku harus bicara denganmu sekali lagi. Aku tidak mau
menerima jawaban tidak. Temui aku tengah malam nanti. Sendirian!!!
Josh Jenny merebut surat tersebut dari tanganku dan membacanya
sekali lagi dengan cepat. Ken dan Carly membacanya dari atas pundak
Jenny. Ketika Jenny mengangsurkan kembali surat itu kepadaku,
wajahnya sudah berubah pucat pasi. Bibir yang biasanya berwarna itu
jadi putih pucat. Dagunya gemetar. "Kita"kita harus menyingkir dari
sini!" teriaknya. "Jenny"kenapa?" aku bertanya, sambil melipat surat itu
dengan hati-hati. "Tidakkah kaulihat?" tanya Jenny tak sabar. "Dia tentu akan
ingat dia menulis surat ini. Josh akan ingat. Dia akan kembali. Dia
akan kembali ke sini. Dan dia akan membunuh kita semua karena kita
membacanya! Karena kita tahu!"
Ia kembali tersedu keras.
"Jenny?" kataku lembut. Aku mengulurkan tangan untuk
menghiburnya. Tetapi ia beranjak pergi, berlari melewatiku ke dalam
koridor. "Jenny?" aku memanggil-manggilnya sambil berlari
mengejarnya. Ke dalam dapur.
Ia mengangkat gagang telepon. Dengan kalang kabut ia mulai
memencet-mencet nomor. "Ayo! Ayo! Ayo!" teriaknya, sambil
menekan-nekan tombol nomor dengan lebih keras. "Harus hidup!
Harus!" Ia membanting gagang telepon mati itu ke dinding.
Aku bergerak cepat menghampiri dan memeluknya. Seluruh
tubuhnya gemetar. "Jenny," bisikku. "Kita takkan apa-apa. Sungguh.
Kita baik-baik saja."
"Josh akan kembali!" tangisnya. "Ia akan kembali dan
membunuh kita semua, sama seperti Dara."
Aku menoleh dan melihat Ken, Tony, serta Carly memasuki
dapur. "Kita harus tetap tenang," Ken memperingatkan, sambil
menghampiri aku dan Jenny, tatapannya terkunci pada Jenny. "Kita
tak boleh panik, Jenny. Itu takkan membantu kita. Kita harus tetap
tenang agar bisa berpikir jernih."
"Dia akan kembali!" Jenny berteriak. Aku bisa melihat bahwa
dia sudah benar-benar kehilangan akal. Aku merasa begitu tak
berdaya. Apa yang bisa kulakukan untuk menenangkannya"
Aku sama takutnya seperti Jenny. Dan aku sama khawatirnya
bahwa Josh mungkin ingat surat itu dan kembali untuk mengambilnya.
Tapi kami tidak bisa meninggalkan rumah ini. Salju terlalu
dalam dan turun begitu lebat. Anginnya dingin luar biasa dan hampir
cukup kencang untuk meniup kami terbang.
Kami tidak punya mobil. Tidak ada telepon. Tidak ada tetangga.
Kami terjebak. Jenny punya segala hak untuk ketakutan.
"Hei"mungkin ada senapan di rumah ini!" kata Tony. Katakatanya menyentakku kembali dari pikiran-pikiran yang mengerikan.
"Apa?" tanyaku, sambil menoleh padanya.
Ia menghabiskan Coke dan meremas kalengnya. "Ada yang
melihat senapan di rumah ini" Ayah Dara dulu menyimpan sepucuk
pistol di sini. Aku tak tahu apakah masih ada. Kita harus melindungi
diri sendiri. Kalian tahu. Kalau-kalau Josh kembali."
Aku cuma menatap Tony dengan pandangan kosong. Aku tidak
bisa percaya ia hendak mencari senapan. Tahu apa dia mengenai
senapan" Aku tidak yakin apakah aku ingin Tony punya senjata.
Kusadari bahwa aku masih tidak mempercayainya. Ia sama
sekali belum berbuat apa pun yang keliru. Sebut saja itu firasat. Aku
cuma tidak mempercayainya.
"Aku tidak melihat senapan di mana pun," kata Ken.
"Mungkin kita harus mencarinya," ucap Tony.
"Tony, sudahlah!" Carly memohon. Ia sudah duduk di sebelah
Jenny di depan meja dan memegangi tangan Jenny, mencoba
menenangkannya. "Apa masalahmu?" bentak Tony. "Kaupikir aku tak tahu cara
memakai senapan?" "Apa keadaan sekarang belum cukup menakutkan, Tony?"
Carly menangis. "Mengapa membuatnya jadi lebih menakutkan lagi?"
Tony memandang marah dan berjalan ke dalam ruang duduk.
Aku bisa mendengarnya hilir-mudik di sana, menarik laci-laci,
membuka-buka lemari. Semoga dia tidak menemukan senapan.
Jenny berpaling padaku, air mata bergulir menuruni pipinya,
dagunya masih gemetar. "Apakah menurutmu Josh akan kembali
untuk mengambil surat itu?" ia bertanya.
"Aku"aku sungguh tak tahu," sahutku.
Di luar pintu kaca itu Dara"tertimbun salju"seolah menatap
kami di dalam. Dan salju terus turun.
*************** Aku tahu aku takkan bisa tidur malam itu. Dan aku benar.
Berbaring di ranjang dengan selimut tertarik sampai ke leher,
aku mencoba membaca. Tapi aku cuma membawa sebuah cerita
thriller yang mengerikan. Dan aku sama sekali tidak berminat
membaca kisah thriller! Setiap bunyi di dalam rumah, setiap embusan angin membuat
jantungku melompat satu denyutan.
Hari ini sungguh panjang dan melelahkan. Jam demi jam
terentang serasa berminggu-minggu. Kami semua tegang, takut,
bingung. Kami sudah menarik mayat Dara yang beku ke dalam garasi, di
luar penglihatan. Tetapi tiap kali memikirkannya, aku masih tetap
melihat wajahnya yang biru tertutup salju dan matanya yang melotot
kosong. Aku meletakkan kepalaku ke bantal dan memejamkan mata.
Kupusatkan pikiranku untuk mengendurkan tubuh. Seluruh ototku
terasa keras dan kaku. Aku memusatkan pikiran untuk mengendurkan otot-otot telapak
kaki. Kemudian otot-otot betis. Aku bernapas perlahan-lahan, teratur.
"Tenang, April. Tenang. Tenang," aku terus berkata pada diri sendiri,
mencoba menghibur diri agar tertidur.
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sudah hampir pulas ketika mendengar bunyi papan lantai
berkeriut, bunyi langkah kaki di ruang duduk.
Seluruh tubuhku jadi kaku. Aku harus memaksa diri untuk
bernapas. Aku mendengarkan baik-baik.
Ya. Seseorang telah memasuki ruang duduk. Seseorang sedang
bergerak diam-diam, perlahan-lahan.
Orang itu tidak ingin didengar.
Keriut papan lantai itu membuatnya terdengar.
Aku memaksakan diri untuk menarik napas lagi. Kucengkeram
selimut dengan dua tangan, meremasnya hingga tanganku sakit.
Josh kembali, aku tersadar.
Josh sudah kembali. Kembali untuk membunuh kami semua"
BAB 15 DENGAN tubuh menggigil, aku menurunkan kaki ke lantai.
Aku merayap turun dari ranjang dan memakai jubah tidur.
Aku berusaha bernapas normal. Jantungku seakan melompat ke
kerongkongan. Aku berjalan keluar ke koridor yang gelap gulita dan
mendengarkan. Sunyi. Kemudian bunyi berkeriut satu langkah kaki.
Aku melihat secercah cahaya dari ruang duduk.
Apakah Josh punya senter"
Begitu mataku sudah menyesuaikan diri dengan koridor yang
gelap, aku mencari-cari senjata. Apa saja. Apa saja yang dapat
kugunakan untuk melindungi diri.
Aku melihat tongkat ski tersandar pada dinding dekat sudut.
Aku mengambilnya, mencengkam pegangannya erat-erat dalam
tangan yang dingin, berkeringat.
Apakah ini akan melindungiku dari Josh" dalam hati aku
bertanya. Ya. Kalau aku dia tak berjaga-jaga.
Aku mengendap-endap cepat-cepat di koridor, punggungku
tetap merapat ke dinding. Tiba-tiba seluruh tubuhku kedinginan,
seolah rasa takut telah membuat kulitku membeku.
Aku berhenti tepat di ambang pintu ruang duduk. Berjuang
untuk menenangkan napas, aku mencondongkan badan ke dalam
ambang pintu dan melihat ke dalam ruangan.
Di mana dia" tanyaku dalam hati. Aku mendengarnya
berkeliaran di sini. Aku menatap dalam kegelapan, pandangan mataku berpindahpindah ke sekeliling ruangan.
Aku maju selangkah, dengan hati-hati menjauh dari dinding.
Ia bergerak begitu cepat, aku tidak bisa berteriak. Tidak bisa
melawan. Aku merasakannya di sebelahku. Tersembunyi dalam bayangbayang kelam. Dan kemudian ia melompat maju, meraihku, dan
menarikku dengan kasar ke dalam kegelapan bersamanya.
BAB 16 TONGKAT ski itu jatuh dari tanganku dan berkelotakan di
lantai. Aku berjuang untuk melepaskan diri. Namun ia memelukku
erat-erat dan menarikku ke tengah ruangan. "Lepaskan"!"
Permohonanku itu keluar dalam bisikan tercekik.
Ia mengulurkan satu tangan dan menyalakan lampu.
"Tony!" seruku. "Apa yang kaulakukan?"
Ketika ia melepaskanku, wajahnya tampak terkejut. Matanya
terbelalak dan mulutnya ternganga. "Whoa!" serunya, sambil mundur
selangkah ke belakang. "Tony"!" Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantungku
berdebar demikian cepat hingga aku nyaris tak bisa bernapas.
"Aku"kupikir?" ia hendak bicara. Ia menepuk keningnya
sendiri. "Aku sama sekali kehilangan akal!" serunya.
"Kau membuatku ketakutan setengah mati!" akhirnya aku
berhasil berteriak. Sambil mengeratkan ikat pinggang jubah tidur, ia menggeleng.
"Maaf, April. Sungguh. Aku minta maaf. Kupikir?"
"Apa" Kaupikir ada apa?" desakku. Ketakutanku mulai luntur,
digantikan oleh kegusaran.
"Kupikir kau tadi Josh," sahut Tony. "Sori. Aku merasa seperti
orang tolol." "Tapi, Tony, sekarang sudah tengah malam," aku protes. "Apa
yang kaukerjakan di sini?"
"Aku mendengar suara-suara," ia menerangkan, menghindari
tatapan tajam mataku. Ia duduk di lengan kursi berjok kulit. "Kukira
kau tadi Josh yang menyelinap kembali ke dalam rumah. Jadi aku
masuk ke sini untuk memeriksa."
"Dan?" desakku, sambil menyilangkan lengan di depan jubah
tidurku. "Aku mendengar langkah," Tony meneruskan, sambil masih
menghindari pandanganku. "Jadi aku mengendap-endap ke sana." Ia
menunjuk dinding di samping pintu. "Dan aku menunggu. Ketika aku
menyergapmu, kukira kau Josh. Sungguh."
Akhirnya ia memandangku. Kupikir ia hendak memeriksa
apakah aku mempercayainya atau tidak.
Aku tidak mempercayainya. Ada sesuatu dalam ceritanya yang
janggal. Mungkin ia menyelinap keluar untuk menemui Carly, demikian
kuputuskan. "Apa kau dulu pernah kencan dengan Dara?" kata-kata itu
bergulir keluar dari mulut. Kurasa pertanyaan tersebut sudah sejak tadi
ada dalam benakku. Ekspresinya berubah. Ia menyipitkan mata menatapku dengan
curiga. "Yeah. Sebentar," jawabnya. Ia memindahkan tumpuan
badannya pada lengan kursi. "Sangat singkat. Tak ada yang pernah
lama berpacaran dengan Dara."
Aku terperanjat mendengar nada pahit dalam suara Tony.
Kukira ia berusaha agar terdengar biasa saja. Tetapi ia tidak dapat
menyembunyikan kemarahan dalam suaranya.
"Kejadiannya sudah lama," ia menambahkan sambil
mengangkat pundak. "Mengapa kau peduli?"
"Aku"aku tidak," kataku terbata-bata, merasa jengah. "Aku
cuma sekadar ingin tahu."
"Dia tidak sungguh-sungguh melukai hatiku," Tony
meneruskan. "Tidak seperti caranya melukai perasaan Josh. Dia benarbenar membuat Josh berantakan." Ia menghela napas panjang. "Kau
sudah baca surat itu. Mengapa kuceritakan semua ini padamu?"
Mengapakah ia menceritakan hal ini padaku" dalam hati aku
bertanya. Apakah ia cuma mencurahkan isi hati" Mencoba bersikap
bersahabat" Mengapa aku begitu curiga pada Tony"
Aku mulai batuk. Kerongkonganku serasa begitu kering.
"Kurasa aku perlu air," kataku.
Ia mengikutiku ke dapur. Kunyalakan 1ampu di langit-langit
dan aku mengedipkan mata menahan cahaya terang yang menyala
tiba-tiba. Piring dan peralatan makan malam yang kotor bertumpuk
tinggi di bak cuci. Kami semua begitu ketakutan dan resah, sampai tak
punya tenaga untuk memasukkannya ke mesin pencuci piring.
Seseorang telah menumpahkan saus spageti dan tidak berusaha
menyekanya. Saus merah yang mengering itu mengalir di bagian
depan meja dapur yang putih seperti noda darah.
Semua gelas minum dalam keadaan kotor. Aku mencuci satu,
lalu membiarkan air keran mengalir, menunggunya mendingin.
Ketika aku meneguk panjang-panjang, membiarkan air dingin
itu menyejukkan tenggorokanku yang terpanggang, aku bisa
merasakan pandangan mata Tony pada punggungku. Aku bergidik dan
berbalik menghadapinya, sambil menyeka air dari dagu dengan satu
tangan. "Kau benar-benar ketakutan rupanya," katanya lirih.
Aku mengangguk. "Yeah. Kau tidak?"
Ia mengangkat pundak. "Sedikit, kurasa." Ia memain-mainkan
wadah garam di atas meja, memutar-mutarnya di antara telapak
tangan. "Tapi kita takkan apa-apa, April," ia meneruskan.
"Teleponnya akan hidup lagi besok. Kita akan menelepon polisi dan
menceritakan pada mereka tentang Josh. Mereka akan
menemukannya. Aku yakin dia takkan bisa pergi jauh dalam badai
salju seperti ini." "Mungkin tidak," gumamku. Kuhabiskan air dan kuletakkan
gelasnya di bak cuci. "Polisi akan menolong kita mencari jalan pulang," Tony
meneruskan. "Kita takkan apa-apa."
"Ini seharusnya akhir pekan untuk bersenang-senang," kataku
sedih. "Sejauh ini sungguh mengerikan. Sungguh menakutkan."
"Yeah. Aku tahu," balas Tony. Ia meletakkan kembali wadah
garam di atas meja. "Akhir pekan ini sama sekali tidak seperti yang
kurencanakan." Ia tergelak. Tawa pahit.
"Dara yang malang," gumamku.
Ia tidak menanggapi. Ia seperti tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Kemudian ia akhirnya berkata, "Kurasa kita harus tidur. Besok
pagi?" Sekonyong-konyong ia menghentikan ucapannya. Ia memekik
lirih. Aku mengikuti tatapan matanya. Ia sedang menatap ke pintu
kaca. Aku berpaling ke pintu itu. Butuh beberapa detik bagiku untuk
mengenali apa yang kulihat.
Kemudian tanganku terangkat ke wajah, dan aku mulai
menjerit. Tubuh Josh yang beku. Tertutup salju. Mata membelalak.
Tubuh beku Josh tersandar menekan kaca.
BAB 17 JERITANKU membuat Carly dan Jenny berlari ke dalam dapur.
"April"ada apa?" seru Jenny. "Apa yang terjadi?"
Ken terhuyung-huyung mengantuk ke dalam ruangan, memakai
piama bergaris-garis, rambutnya melekat ke kening. "Siapa yang
berteriak tadi?" tanyanya.
Aku menuding ke pintu kaca.
Wajah Josh yang tertutup salju membelalak memandang kami.
Tangannya terangkat di atas kepala dan ditekankan pada kaca, seolah
berusaha mendorong pintu agar membuka.
Siapa yang membunuh Josh"
Pertanyaan itu berkelebat dalam pikiranku, mengirimkan
gelombang dingin di sekujur punggungku.
Siapa yang membunuh Josh" Bagaimana dia bisa di luar pintu
belakang" Aku menjerit lagi ketika Josh mulai bergerak.
Ia memukul-mukul kaca dengan dua kepalan tangannya.
Mulanya kukira angin meniup tubuhnya membentur pintu.
Tetapi dengan cepat kusadari bahwa Josh ternyata belum mati. Ia
masih hidup"dan berjuang untuk masuk.
Tony yang pertama mencapai pintu. Ia memutar kunci, lalu
menggesernya hingga terbuka.
Tiupan kencang udara dingin menyapu ke seluruh penjuru
ruangan ketika Josh terhuyung-huyung masuk. Tony langsung
menutup pintu. Josh menggoyang seluruh tubuhnya, seperti anjing sehabis
dimandikan. Salju beterbangan ke lantai dapur.
"Josh"apa yang terjadi" Dari mana kau?" Ken berseru.
Josh tidak menjawab. Ia berkutat menanggalkan mantelnya
yang basah, tetapi tidak bisa mengendalikan tangannya yang gemetar
untuk menarik ritsleting. Kacamatanya berembun. Selapis salju sudah
menggumpal di rambutnya. Bahkan alisnya pun tertutup salju.
"Aku"aku"tolong aku!" Josh mengerang parau.
Akhirnya ia berhasil membuka ritsleting mantel tebal itu.
Dengan susah payah ia menanggalkannya dan membiarkannya jatuh
ke lantai. "Jangan mencoba apa-apa!" Tony memperingatkan dengan
suara tajam. "Kami tahu apa yang kaulakukan."
Josh melepaskan kacamata yang membeku dan mengedipngedip memandang Tony. Ia menyeka kacamata dengan bagian depan
sweater. Tetapi cuma membuatnya jadi lebih buram.
"Aku... butuh... sesuatu... yang panas." Sepertinya ia harus
berjuang keras untuk bicara. Seluruh tubuhnya menggigil. Hidung dan
telinganya merah padam. Dalam hati aku berpikir jangan-jangan
bagian itu mati beku. "Sesuatu... yang... panas. Tolong!" ia memohon. Kakinya lemas
dan ia mulai jatuh. Ia meraih meja dengan dua tangan dan menahan
tubuhnya untuk tetap berdiri.
"Aku"aku... sudah... berjalan... begitu jauh..." kata Josh. Ia
mengenakan kacamata basah itu. Di baliknya, matanya jelalatan dan
tak terfokus. Carly bergeser ke bak cuci dan mengisi ketel. "Dia sungguh tak
keruan," gumamnya. "Akan kubuatkan kopi untuk semuanya. Cuma
kopi instan yang kita punyai."
Josh duduk di salah satu kursi dapur dan memandang sekeliling
ruangan. Ia seperti kebingungan. Benar-benar linglung. Dengan satu
tangan ia menarik keping-keping salju keras dari rambutnya yang
hitam. "Mengapa kau membunuh Dara?" Tony bertanya, sambil
melangkah ke sampingnya. "Hah?" Josh sepertinya tidak bisa memusatkan pandangan.
Matanya terus mengedip-ngedip. Seluruh tubuhnya menggigil
kembali. "Sungguh... dingin," gumamnya. Ia seakan tidak mendengar
Tony. Telapak tangannya menekan pipinya yang merah. "Mati rasa,"
gumamnya. "Jawab pertanyaan itu, Josh," desak Tony dengan suara tajam.
"Mengapa kau melakukannya?"
Josh menatap Tony, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung.
"Melakukannya?"
"Kami menemukan jenazah Dara," kata Tony. "Mengapa kau
membunuhnya?" "Dara?" Josh menggeleng. Matanya tampak berenang-renang di
balik kacamata. "Aku menyesal," katanya. "Aku menyesal."
"Menyesal kau melakukannya?" tanya Tony.
"Menyesal... aku tak mengerti," sahut Josh. "Aku... beku.
Berjalan di salju... sepanjang hari." ebukulawas.blogspot.com
Lalu ia berteriak tajam. Dan menatap Tony. Kurasa kata-kata
Tony akhirnya masuk ke otaknya. "Dara?" Josh bertanya. "Ada apa
dengan Dara?" "Kaulah yang harus menceritakan!" bentak Tony.
"Ada apa dengannya?" Josh mendesak dengan suara
melengking. "Katakan padaku. Apa yang tadi kaukatakan" Kukira kau
bilang?" "Dia sudah mati!" Jenny berteriak, sambil bergeser ke seberang
meja di depan Josh. "Dara tewas"dan kau yang membunuhnya!"
"Tidak!" Josh membantah, sambil bangkit berdiri. Kursinya
terguling ke belakang dan menimpa lantai dengan gaduh. "Aku tak
mengerti! Aku sungguh tak mengerti!" Ia memegang kening dan
menggosoknya, seakan menggosok hilang sakit kepala yang menusuk.
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Carly menyodorkan secangkir besar kopi hitam ke depan Josh.
"Ini. Minumlah," katanya. Ia memandangi Josh mengambil cangkir
besar itu dengan dua tangan. Kemudian ia berbalik ke meja untuk
menyiapkan kopi bagi kami semua.
Josh menghangatkan tangan pada cangkir besar itu. Kemudian
ia mengangkatnya ke bibir, memeganginya di antara dua tangan yang
gemetar. Uap mengepul dari cangkir dan mengembun pada kacamata.
Ia minum satu teguk panjang. Kemudian satu lagi.
Itu tampak sedikit membangkitkannya. Ia mengambil kursi
yang tadi terjatuh dan duduk bersandar di sana. Matanya terkunci
padaku. "Dara tewas" Apakah kalian serius?"
Aku mengangguk. Aku balas menatap tajam kepadanya,
mengamati wajahnya. Sungguh bagus caranya berlagak tak berdosa,
pikirku. Tapi kami tahu yang sebenarnya.
Kami telah menemukan suratnya dan membacanya.
Kami tahu yang sebenarnya tentang Josh. Dan kami tahu
mengapa ia kembali ke rumah Dara. Untuk mengambil surat itu, surat
yang membuktikan kesalahannya.
Tangan yang gemetar, rambut yang tertutup salju, tubuh yang
menggigil, dan ucapan terputus-putus"semuanya itu pura-pura. Aku
tahu itu. Kami semua tahu.
"Bagaimana Dara bisa mati?" tanya Josh polos.
"Josh, ini tidak bagus," kataku padanya. "Kami menemukan
suratmu untuk Dara. Kami tahu segalanya."
Ia sama sekali tak bereaksi menanggapi. Tidak menggerakkan
satu otot pun. "Mengapa kau melakukannya" Mengapa?" jerit Jenny
melengking. Ken menghampiri dan memeluk bahunya.
Josh menatapku. "Surat apa?" ia bertanya, masih pura-pura
bingung. Aku memutar bola mataku. "Surat yang kautulis untuk Dara.
Kau tak sengaja meninggalkannya. Kami menemukannya di samping
ranjang Dara." Josh menggeleng keras-keras, seolah mencoba menjernihkan
pikiran. Carly meletakkan ketel dan bergegas meninggalkan dapur. Aku
mendengarnya berjalan di koridor. Beberapa detik kemudian ia
muncul kembali dengan surat di tangannya.
"Ini," katanya kepada Josh dengan napas tersengal-sengal.
Josh mengambilnya dari tangan Carly dengan tak sabar.
Tony bergerak cepat untuk mencengkeram pergelangan tangan
Josh. "Jangan coba-coba menghancurkannya," ia memperingatkan.
"Lebih baik biarkan aku yang memegangnya
"Aku cuma ingin membacanya!" Josh bersikeras.
Aku melihat matanya bergerak cepat menelusuri lembaran itu.
Ekspresinya semakin bingung sewaktu ia membaca surat tersebut.
Ketika ia mengangkat mata memandang kami, wajahnya, yang
tadi begitu merah, sudah berubah pucat pasi. "Ini"ini benar-benar
bohong!" teriaknya. "Ini bukan tulisan tanganku. Aku tak menulis
surat ini!" BAB 18 "Tidak!" Josh bersikeras menyangkal. "Surat ini?"
"Bagaimana kau bisa pura-pura tak tahu Dara sudah
meninggal?" tanya Jenny. "Kami bukan orang-orang goblok, Josh!"
Tony menarik surat itu dari tangan Josh yang gemetar. "Kami
yang akan memegangnya," katanya tenang. "Ini barang bukti."
"Josh, tak mungkin kau berbohong untuk menghindari semua
ini," kata Ken tajam, sambil masih memeluk Jenny. "Kami akan
menelepon polisi segera setelah teleponnya hidup. Kau membunuh
Dara dan mencoba kabur dengan Jeep-nya."
"Tidak!" Josh protes. Tangannya gemetar begitu hebat, ia
menumpahkan kopi dari cangkir. "Aku tahu ini kelihatan buruk.
Maksudku, membawa Jeep itu. Pergi dari sini. Tapi aku mengatakan
hal yang sebenarnya. Aku tidak membunuh Dara, dan aku tidak
menulis surat itu." "Menurutku kita harus mengikatnya dan mengurungnya di salah
satu ruangan," kata Tony padaku. Ia bergerak ke belakang kursi Josh,
menghadang upaya apa pun untuk kabur.
Aku menghela napas. Kulihat jam dinding di atas kompor.
Hampir pukul dua dini hari. "Biarkan dia ceritakan kisahnya dulu,"
kataku pada Tony. Aku meraih secangkir kopi, menuang susu ke dalamnya, lalu
duduk di depan meja di seberang Josh. Lainnya berkerumun di
sekeliling. Aku mengamati Josh saat ia mulai berbicara. Aku mencoba
membaca matanya, mencoba mengetahui apakah segala yang ia
ucapkan benar. "Perasaanku sungguh kacau tadi malam," ia mulai, sambil
mencondongkan badan di atas meja, perlahan-lahan memutar cangkir
kopi di antara dua tangan. "Aku sungguh marah. Aku tahu aku takkan
bisa tidur. Aku tetap berpakaian. Aku mondar-mandir di ruang duduk,
dan jadi makin marah."
"Marah mengenai apa" Mengenai permainan Truth or Dare
itu?" tanyaku. Josh mengangguk. "Aku sungguh tak tahan diolok-olok. Ketika
Dara mulai menceritakan pada semua orang bahwa aku pencium
paling buruk yang pernah dikenalnya, aku benar-benar kehilangan
akal. Waktu itu aku memang ingin membunuhnya. Sungguh."
"Jadi kau mengakuinya. Kau membunuhnya!" Jenny menyela.
"Biar dia meneruskannya," aku menegurnya.
"Tidak," Josh menyangkal. "Tapi aku begitu terluka. Begitu
malu. Memang aku gampang marah. Kuakui itu. Aku tak tahan
diledek. Terutama oleh Dara. Aku tak ingin membicarakan itu
sekarang. Tapi Dara sudah melukai hatiku. Banyak."
Itu semua ada dalam surat, kataku pada diri sendiri. Josh tidak
bermaksud melakukannya. Namun ia sedang membuktikan bahwa
dirinya menulis surat tersebut.
"Aku seperti kehilangan akal," Josh meneruskan, memutarmutar cangkir kopi, menatap ke bawah sewaktu berbicara. "Aku tak
bisa berpikir jernih. Aku terlalu marah. Kuputuskan untuk membawa
Jeep Dara dan meninggalkannya terdampar di sini. Aku" aku ingin
memberi pelajaran padanya."
"Kau memang benar memberinya pelajaran," Ken menyindir.
"Jadi kucuri kuncinya dan kubawa Jeep itu," Josh meneruskan,
tanpa menghiraukannya. "Aku pergi pagi-pagi. Itu gila. Betul-betul
gila. Aku tak ingat tasku atau apa-apa. Yang dapat kuingat hanyalah
membalas Dara karena telah menyakitiku. Aku mengemudi seperti
orang gila. Menerobos hujan salju. Tapi aku tak bisa pergi jauh."
"Apa yang terjadi?" aku bertanya.
Josh meneguk kopinya panjang-panjang. "Tidak mungkin
mengemudi dalam keadaan itu," katanya. "Jeep itu selip terusmenerus. Jalan ke kota sepenuhnya tertutup. Maka aku akhirnya
sampai ke jalan kecil. Aku tak tahu ke mana jalan itu menuju."
Ia menggeleng dan mengembuskan napas letih. "Aku tergelincir
ke selokan dalam. Aku tak bisa keluar. Aku mencoba segala cara. Aku
terperangkap. Dan salju turun begitu lebat, aku bahkan tak bisa
melihat di mana aku berada."
Ia kembali meneguk kopi, mengosongkan cangkirnya. "Aku
biarkan mesinnya tetap menyala sebab aku butuh pemanasnya. Tapi
tangki bensin sudah hampir kosong. Jadi aku harus mematikannya.
Aku menunggu mobil atau truk datang ke sana. Untuk menolongku.
Tapi jalan itu kosong. Tak ada siapa pun. Tak ada satu mobil pun. Aku
duduk di sana satu atau dua jam. Tapi aku tahu aku tak bisa duduk di
sana lebih lama lagi. Aku akan kedinginan sampai mati."
"Jadi kau lalu jalan kaki?" aku bertanya.
Josh mengangguk. "Aku meninggalkan Jeep dan mulai berjalan.
Lama aku berjalan"kemudian kusadari arah yang kutempuh salah.
Maka aku berbalik arah. Aku"aku tak tahu berapa jauh yang sudah
kutempuh." Ia menggeleng dengan sedih. "Aku ingin kembali ke rumah ini
dan minta maaf pada kalian semua. Aku tadi sungguh tolol. Aku ingin
minta maaf karena mengambil Jeep itu. Aku berjalan berjam-jam. Aku
tak ingat waktu lagi. Kukira otakku membeku atau entah apa. Kupikir
mungkin aku akan sampai ke kota. Tapi ternyata tidak. Jadi aku hanya
terus berjalan hingga sampai di sini."
Josh mengangkat mata memandangku. "Itulah seluruh
ceritanya. Dan itulah yang sebenarnya," katanya lirih. Ia memandang
sekeliling meja, mencoba melihat apakah semua mempercayainya.
"Aku"aku tak bisa percaya Dara sudah meninggal," ia
menambahkan. "Aku tak bisa percaya ada orang yang membunuhnya.
Membunuhnya dan menulis surat palsu."
Wanita Gagah Perkasa 12 Pendekar Rajawali Sakti 176 Bidadari Penakluk Bende Mataram 14
memasukkannya ke mesin cuci, rasanya tidak aneh kalau Dara tidak
muncul. "Dia suka jadi nyonya rumah yang baik," kataku. "Rasanya
melewatkan sarapan bukan gayanya."
"Apa yang ingin kaulakukan" Menurutmu kita sebaiknya
membangunkannya?" Ken bertanya, sambil mematikan keran pada
bak cuci. Ia mengelap tangannya, kemudian dengan satu tangan
menyibakkan rambutnya dari kening.
"Jangan ke sana. Biarkan dia tidur," jawab Tony. Ia sudah
bergabung dengan Carly di depan pintu kaca. "Dia akan uring-uringan
kalau kalian membangunkannya."
"Bagaimana kau tahu?" desak Carly curiga.
Tony tertawa. "Aku cuma menerka. Dara selalu uring-uringan,
kan?" "Cuma padamu, Tony," kata Jenny tertahan.
"Kupikir sebaiknya kita membangunkan Dara," aku bersikeras.
"Dia mungkin malu karena tidak bangun pada waktunya untuk
sarapan bersama kita."
"Kau bisa melakukannya," kata Ken kepadaku. "Tak perlu kami
semuanya, kan?" Ia menghidupkan radio. "Mungkin ada berita yang
lebih baik mengenai cuaca sekarang."
"Aku akan menemanimu, April," Jenny mengajukan diri.
"Baiklah. Ayo," kataku. Aku menutup mesin pencuci piring.
Kemudian, sambil mengeringkan tangan pada sisi sweatshirt, aku
berjalan ke koridor menuju kamar Dara.
Pintunya tertutup. Jenny mengetuk.
Tak ada jawaban. "Hei"Dara!" aku berseru. "Bangun! Dara" sudah pagi!"
Masih tak ada jawaban. "Dara"bisakah kau mendengar kami?" Jenny berteriak. Ia
mengetuk lagi. "Dara?"
Ketika kami tetap tidak mendapat jawaban, aku memutar kenop
dan mendorong pintu hingga terbuka.
Aku dan Jenny tersentak. "Dia tak ada di sini!" seru Jenny.
Kami melangkah ke dalam kamar dan melihat sekeliling.
"Aneh," gumamku. "Ranjangnya?" Aku menunjuk. Ranjangnya rapi.
Apakah Dara bangun pagi-pagi dan membereskannya" Ataukah
itu berarti tadi malam ia tidak tidur di atasnya"
"Kamar ini begitu rapi," Jenny berkomentar, sambil bergeser ke
ranjang. "Apakah dia?""
"Tasnya!" aku berseru, sambil menunjuk. Tas itu berdiri di
samping lemari rias. Belum dibongkar isinya. Belum disentuh.
"Jenny, aku"kukira Dara tidak tidur di sini tadi malam,"
kataku terbata-bata. "Tapi itu tak mungkin!" seru Jenny. Matanya yang biru
menyipit kebingungan. "Ini sungguh aneh," kataku. Aku keluar kembali ke koridor.
"Hei, Dara!" aku berseru. "Dara"apakah kau di sini?"
Tak ada jawaban. "Ayo kita periksa kamar Josh," aku mengusulkan. Aku tidak
menunggu Jenny menjawab. Aku langsung berlari di koridor.
"Apakah kalian menemukannya?" seru Ken ketika aku dan
Jenny melewati dapur. "Belum," balasku.
Aku dan Jenny berlari kecil di koridor satunya menuju ke kamar
yang dipakai oleh Ken dan Josh. Pintunya separo terbuka, maka kami
melongok ke dalam. "Josh?" aku memanggil pelan.
Ranjang susun dari kayu berwarna tua itu tegak menempel ke
dinding. Aku ingat bahwa Josh ingin tidur di atas.
Tak ada tanda-tanda darinya. Tak ada seorang pun di sana.
"Aneh," aku mengulangi, sambil menggeleng. Jenny
mengangkat pundak. Ia kelihatan sama bingungnya denganku.
Kami kembali ke dapur. "Apakah kalian melihat Josh pagi tadi
ketika kalian bangun?" aku bertanya.
Tony berpaling dari jendela. "Aku tidak mencarinya,"
jawabnya, sambil menggosok dagu.
Ken sedang memindah-mindahkan saluran radio dari satu
stasiun ke stasiun yang lain, mencari-cari musik yang bagus. "Aku
tidak melihatnya juga," katanya.
"Tapi dia tidur di sana denganmu tadi malam, kan?" tanyaku
kepada Ken. Ken menggaruk-garuk kepalanya. "Yeah. Mungkin."
"Tapi bukankah kau tidur di ranjang bawah?" aku bertanya.
"Aku terlelap cepat sekali," jawab Ken. "Kukira Josh ada di
ranjang atas. Aku tak begitu tahu. Tidurku sangat pulas."
"Well, aku cuma merasa sangat aneh bahwa dua di antara kita
tidak ada di sini pagi ini," kataku. "Dan ranjang mereka berdua
kelihatan seperti tidak dipakai tidur."
"Mereka akan muncul," jawab Tony santai. Ia merangkul
pundak Carly dan berpaling kembali ke jendela. "Mungkin mereka
pergi jalan-jalan." "Di tengah badai salju ini?" seruku.
Namun kata-kata Tony mengingatkanku akan sesuatu. Sesudah
kami semua bersiap tidur, Dara pergi keluar untuk mengambil kayu
bakar. Apakah ia sudah membawa masuk kayu bakar itu"
Aku berjalan ke ruang duduk dan memeriksa sekitar perapian.
Tidak. Keranjangnya tergeletak kosong, kecuali ada beberapa ranting.
Perapiannya kosong pula. Tak ada kayu bakar. "Hei, teman-teman," aku berseru, suaraku gemetar sewaktu aku
bergegas kembali ke dapur. "Kita ada masalah kecil."
"Pernahkah kaudengar lagu ini?" tanya Ken, sambil
membesarkan volume radio. "Bukankah ini memesona?"
"Ken"!" teriakku tak sabar. "Kupikir telah terjadi sesuatu yang
aneh. Sudahlah?" Radio itu kumatikan.
Tony dan Carly mendekat ke meja. "Ada apa?" tanya Tony.
"Aku melihat Dara keluar tadi malam," tuturku kepada mereka.
"Dia mengatakan akan ke gudang kayu mengambil kayu bakar."
Jenny menjerit pelan. Kulihat matanya menyipit ketakutan.
"Kaupikir?""
"Menurutku sebaiknya kita cari di luar," kataku, memerangi
rasa takutku sendiri. "Kalau-kalau?"
Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Aku benar-benar tidak
tahu apa yang kupikirkan. Aku cuma tahu bahwa perasaan ngeri kian
menumpuk dalam diriku. Ada sesuatu yang tidak beres. Josh menghilang. Dara
menghilang. Ranjang mereka sepertinya tidak dipakai tidur.
Kami bergegas ke depan dan cepat-cepat meraih mantel, yang
pertama yang bisa kami raih. Kemudian melangkah keluar pintu,
dalam hujan salju berangin.
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika kusadari ada yang
tak beres dengan sesuatu lainnya.
Aku mengedipkan mata satu kali. Dua kali. Sambil berpikir
mungkin lebatnya tabir salju yang turun di depanku membuatku
bingung. Tapi tidak. Aku benar. "Lihat?"aku berteriak, sambil menunjuk ke jalur masuk yang
tertutup salju. Jalur masuk yang kosong. "Jeep-nya"tak ada."
BAB 9 "MUNGKIN Dara dan Josh pergi bersama- sama," kata Tony.
Aku menatapnya dari seberang dapur, mencoba memutuskan
apakah ia serius. Tidak mungkin bisa mengetahuinya. Aku menggosok
hidung, masih beku dan kebas.
Kami bergegas kembali ke dalam rumah, tak sabar untuk
menyingkir dari angin dingin yang berpusar-pusar. Salju yang turun
begitu lebat dan cepat sudah menutupi jejak ban Jeep itu"dan semua
jejak kaki. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Kini kami berkerumun di seputar meja di dalam dapur yang
hangat, menatap langit yang gelap di luar. Dan berpikir keras,
berusaha mencari jawaban mengapa dua di antara kami menghilang,
bersama dengan satu-satunya kendaraan yang ada.
"Mengapa kau mengatakan begitu?" tanyaku pada Tony. "Apa
yang membuatmu berpikir bahwa mereka pergi bersama-sama?"
Seulas senyum aneh terpeta pada wajah
Tony. "Mereka dulu berpacaran," katanya pelan. "Tahukah
kau?" "Tidak. Tapi itu tak serius, kan?" kataku.
"Dara tidak tertarik," Tony meneruskan. "Tapi kukira Josh
masih. Apakah kau melihat pandangan matanya yang pedih saat
menatap Dara tadi malam?"
"Jadi menurutmu?" aku mulai.
"Menurutku mereka pergi naik mobil. Begitulah. Untuk
membicarakan masalah mereka," kata Tony, sambil melirik Carly.
Carly tidak pernah berhenti memain-mainkan rambutnya.
Sekarang ia sedang memilin-milin selembar, menggulungnya dengan
tegang pada jarinya. "Menurutmu mereka naik mobil dalam cuaca
seperti ini?" ia bertanya kepada Tony.
"Mungkin saja," sahut Tony.
Kami semua menatap ke luar pintu kaca. Di luar sana, langit
hampir segelap malam. Salju tampak biru pucat sewaktu berpusar dan
berputar jatuh ke tanah. Angin melolong di sekitar sudut-sudut tajam
rumah. "Aku akan menjerang air," kata Jenny, sambil menggosokgosok lengan sweater skinya. "Sepertinya aku tak bisa merasa hangat."
"Mereka mungkin pergi ke salah satu pondok ski," Tony
meneruskan. "Ada banyak pondok seperti itu di jalan raya."
"Tapi Dara tak mungkin membawa Jeep dan pergi tanpa
meninggalkan catatan apa pun untuk kita," aku bersikeras. "Tak
mungkin." "Dia akan melakukannya kalau masalahnya adalah urusan yang
impulsif, dorongan perasaan seketika," balas Jenny, sambil mengisi
ketel biru besar dengan air dari keran.
"Yeah. Mungkin Dara memperkirakan saat ini ia dan Josh
sudah akan kembali ke sini. Tapi mereka terpaksa tinggal di pondok
ski karena jalannya penuh salju," gagas Ken.
"Kalau begitu dia akan menelepon kita," tukasku. Aku
mendorong mundur kursi dari meja dan berdiri. Sekonyong-konyong
kusadari jantungku berdebar-debar keras. Tanganku dingin seperti es.
"Dengar," kataku, berusaha agar tidak kedengaran takut.
"Menurutku kita harus menelepon polisi."
"Tidak!" Tony berteriak nyaring. Terlalu nyaring. Ia
memandang Carly di seberang meja. "Maksudku"tidak," katanya,
kali ini lebih lirih. "Kita tidak bisa menelepon polisi."
"Hah" Kenapa tidak?" desakku.
"Well..." Tony kembali memandang Carly. "Kau tahu... itu
tentu akan memalukan," katanya perlahan-lahan, sambil tetap menatap
mata Carly. "Maksudku, aku dan Carly akan mendapat kesulitan
besar." Ia menelan ludah dengan susah payah dan berpaling kepadaku.
"Orangtua kami tak tahu kami datang ke sini," ia mengaku.
"Kalau kita menelepon polisi, orangtua kami akan tahu," Carly
menambahkan. "Tidak bisakah kita menunggu saja satu atau dua jam"
Aku yakin Dara akan menelepon."
Aku mengembuskan napas dan duduk bersandar kembali. Aku
tidak bisa memutuskan apa yang harus kami lakukan. Aku merasakan
firasat yang sangat buruk.
"Jangan khawatir dengan Dara," Tony meyakinkanku. "Dia
sudah mondar-mandir ke sini sejak masih kecil. Dia tahu setiap jalan
dan jalan pintas. Percayalah, dia dan Josh ada di salah satu pondok ski
itu sekarang. Aman dan hangat."
Kuamati wajah Tony. Sungguh mengejutkan, ternyata pada
keningnya ada butiran-butiran keringat.
Mengapakah dia berkeringat seperti itu" tanyaku pada diri
sendiri. Mengapa dia begitu kukuh mencegahku menelepon polisi"
Apakah ia punya alasan lain"
Aku bergidik ngeri. Kusadari aku takut pada Tony.
Ia melihatku sedang menatapnya. Aku berpaling. Mengalihkan
pandangan ke pintu kaca"tepat saat itu aku melihat sesuatu
menggelinding dari atap. Benda itu menimpa salju dengan suara gedebuk pelan"dan aku
pun menjerit. BAB 10 JERITAN ngeri yang kukeluarkan itu bergema di seluruh
penjuru dapur. "April"ada apa?" seru Jenny melengking tinggi dari dekat
kompor. Ia menjatuhkan ketel teh ke atas kompor dan buru-buru ke
meja. Ken meluncur mengitari meja dan memegang pundakku. "Kau
tak apa-apa?" ia bertanya. "Ada apa?"
Dengan satu jari yang gemetar, aku menunjuk ke pintu geser.
"Kau melihatnya?" tanyaku tergagap-gagap. "Ada sesuatu yang jatuh.
Aku melihatnya jatuh. Dari atap!"
Tony sampai ke pintu lebih dulu. Ia menempelkan wajah pada
kaca dan mengintai ke luar pada kegelapan.
Lama ia berdiri di sana tanpa bergerak.
"Kau melihatnya?" tanyaku dalam bisikan lirih. "Tony"
bisakah kau melihatnya?"
"Aku tak melihat apa-apa, April," jawabnya.
Carly merapat di sampingnya. Mata birunya menyipit penuh
perhatian. Jenny pun bergegas ke pintu.
"Itu cuma gumpalan salju," Jenny melaporkan. Ia melangkah
menjauh dari pintu kaca dan berbalik kepadaku. "Kau tak apa-apa"
Itulah yang tadi kaulihat. Cuma salju."
"Yeah. Terembus turun dari atap," kata Tony. Ia memutar bola
matanya. "Kau kehilangan akal," gumamnya.
Aku terkulai di atas meja. "Aku"aku sungguh menyesal,"
kataku. "Aku begitu mengkhawatirkan Dara dan Josh. Kupikir aku?"
Aku bisa merasakan wajahku berubah merah. Aku merasa
seperti orang tolol. Aku bisa melihat mereka semua"bahkan Jenny
juga" menatapku seakan aku semacam pasien rumah sakit jiwa.
April benar-benar kacau. April mulai melihat yang bukanbukan.
Itulah yang mereka semua pikirkan.
"Hei"tak apa-apa. Kita semua mengkhawatirkan Dara dan
Josh," kata Tony, sambil berbalik memandangi salju di luar. "Tapi
mereka baik-baik saja. Aku tahu mereka tak apa-apa. Aku kenal
Dara," tambahnya kering. "Dara selalu oke."
************** Kami membuat sandwich ham dan kalkun untuk santap siang.
Tapi tak satu pun di antara kami benar-benar berselera makan.
Angin masih terus melolong, dan salju terlontar jatuh dengan
cepat, gelombang demi gelombang. Lampu-lampu di dalam rumah
berkedip. Kemudian meredup. Namun tidak padam.
Aku dan Jenny mencari lilin"sekadar untuk berjaga-jaga.
Kami menemukan sekotak lilin di lemari dan meletakkannya di atas
meja kopi di ruang duduk.
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku merasa begitu tertekan dan takut. Setiap suara membuatku
melompat. Aku ingin menutup telinga dari lolongan angin.
Jenny, Ken, dan aku menemukan satu set kartu dan duduk di
sofa ruang tengah untuk main remi"sekadar mengalihkan pikiran
kami dari kenyataan bahwa kami sedang menunggu, menunggu,
menunggu untuk mendengar kabar dari Dara dan Josh.
Remi adalah permainan yang sungguh membosankan. Dan
kukira ada beberapa kartu yang hilang dari tumpukan itu.
"Kita tidak bermain dengan kartu yang lengkap!" tukas Ken.
Itulah gaya leluconnya. Aku dan Jenny mengeluh. Tony dan Carly ada di dapur. Mereka mengatakan bahwa
mereka ingin membuat popcorn. Tapi aku kira mereka sedang
bercumbu. Mereka tidak bisa melepaskan tangan dari yang lain lebih
dari beberapa menit. Jenny menguap. "Mau main yang lain?" aku bertanya.
"Apa saja, kecuali Truth or Dare," tukas Ken. Ia melontarkan
lirikan penuh arti padaku.
Jadi dia memang paham apa yang kumaksudkan tadi malam!
Aku tersadar. Ken tahu bahwa aku tahu tentang gadis di Pulau Sumner itu.
"Kita dengarkan musik dari radio," Jenny mengusulkan.
"Yeah. Gagasan bagus. Terlalu sunyi di sini," kata Ken. Ia
bangkit berdiri dan beranjak hendak melintasi ruangan"ketika kami
mendengar ketukan. Ketukan keras. Aku melompat berdiri. "Asalnya dari belakang!" seruku. "Ini
pasti Dara dan Josh!"
Kami bertiga berlari cepat ke dapur. Tony dan Carly sudah
sampai ke pintu. Ketika aku memasuki dapur di belakang Ken dan
Jenny, mereka sedang mengintip ke luar.
"Siapa itu?" aku berseru tak sabar. "Apakah Dara dan Josh?"
Tony berpaling dari pintu, wajahnya bertanya-tanya
kebingungan. "Tak ada siapa pun," jawabnya. "Tak ada siapa-siapa di
sana." "Tapi kami mendengar ketukan," kata Jenny, sambil bergabung
dengan Tony dan Gariy di pintu.
"Kami juga," kata Carly. "Tapi lihatlah sendiri. Tak ada siapa
pun di luar." Sungguh aneh, pikirku. Apa yang menimbulkan bunyi itu" Aku
tahu kami tidak membayangkannya dalam lamunan.
Ken berpaling pada Tony. "Apa kau yang melakukannya?" ia
menuduh. "Lelucon lain untuk menakut-nakuti kami?"
"Apa?" Mulut Tony ternganga. "Tak mungkin!" ujarnya. "Aku
pun mengkhawatirkan Dara seperti kalian. Aku tak bercanda dengan
lelucon konyol." Ken mengamati wajah Tony sesaat, lalu menoleh kembali
padaku. Kami bertiga berjalan kembali ke ruang duduk.
"Kita butuh api di sini," gumamku, sambil duduk di sebuah
kursi berjok kulit dan menatap perapian yang gelap.
"Mungkin kita semua harus keluar dan mengumpulkan kayu
bakar," jawab Ken. "Setidaknya itu memberi kita kesibukan. Gudang
kayunya mungkin?" Ia berhenti ketika ketukan itu terdengar lagi.
Gedoran keras pada pintu. Dari belakang rumah.
Sekali lagi kami berlari ke dapur.
Carly dan Tony berdiri di samping pintu, alis mereka
mengernyit kebingungan. "Tak ada siapa pun di sana," Tony melapor.
"Tak ada siapa pun."
BAB 11 "PASTI ada orang yang mengetuk," kata Ken, sambil
menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Kita jelas-jelas
mendengarnya." Sekali lagi ia menatap Tony dengan pandangan
menuduh. Tony menyisir rambutnya yang berombak ke belakang dengan
tangan. "Aku dan Carly mendengarnya juga. Tapi lihatlah. Tak ada
siapa pun di luar sana."
"Mungkin angin meniup sesuatu menimpa rumah," Jenny
mengajukan gagasan. "Atau mungkin penutup jendela diterpa angin."
"Rumah ini tak pakai penutup jendela," kata Tony kepadanya.
Aku melangkah ke pintu dan menempelkan dahi pada kaca
yang dingin. Salju turun bergulung-gulung, lapisan-lapisan salju
bergelombang sedemikian tebal, aku hampir tidak bisa melihat
halaman belakang. Aku hampir tidak bisa melihat lebih jauh dari teras
belakang yang sempit itu.
"Tak ada jejak kaki," aku melapor. Kualihkan pandangan ke
jalur masuk. Jalur itu berakhir pada semacam garasi beratap rendah di
samping rumah. "Dan tak ada tanda-tanda dari Jeep Dara."
Suaraku tersangkut dalam tenggorokan ketika aku
mengucapkan kata-kata tersebut. "Tak ada tanda-tanda... apa pun."
Hawa dingin merayapi punggungku. Aku berpaling dari
jendela. Dan ketukan itu terdengar kembali.
Satu ketukan keras. Lalu yang kedua.
"Kurasa asalnya dari teras belakang," kataku, sambil
melindungi mata dengan dua belah tangan, menajamkan pandangan
pada salju untuk melihat lebih jelas.
Rasanya seperti mencoba melihat sesuatu menembus kapas.
Ketukan itu terulang lagi. Gedoran keras, terus-menerus dari
jarak yang sangat dekat. "Oh. Aku melihatnya!" seruku. "Lemari penyimpan papan ski
itu. Di beranda." "Hah?" Jenny mendesak ke sebelahku dan menatap ke luar pada
kegelapan. Aku menunjuk lemari tinggi dari logam berwarna hijau di sisi
beranda. "Kalian lihat" Pintunya terbuka. Membentur-bentur lemari."
"Well, setidaknya satu misteri sudah terpecahkan," kata Jenny,
sambil melangkah mundur dari pintu. Ia mengembuskan napas lega.
"Ayo kita menutupnya," desak Ken. "Kalau tidak, bunyi
gedoran itu akan membuat kita gila."
"Biarkan saja," kata Jenny. "Kita bisa menutupnya sesudah salju
berhenti." "Tidak. Ayolah." Ken menarik lengannya. "Aku tak tahan
dengan bunyinya." "Tak perlu kita semua pergi ke luar sana," Tony protes. "Tak
perlu kita berlima untuk menutup pintu lemari."
"Aku akan menemanimu," kataku pada Ken. "Aku rasanya
perlu menghirup udara dingin, segar."
Aku dan Ken meraih mantel pertama yang kami lihat,
memakainya, dan keluar melalui pintu belakang. Ketika kami
melangkah ke teras belakang, angin meniup salju yang sedang turun
ke wajah kami, memaksa kami untuk melindungi mata.
"Wah. Rasanya seperti dalam salah satu globe salju itu!" Ken
berseru. "Bola-bola kaca yang bila kaukocok, saljunya mengapung ke
segala penjuru." "Yeah. Anginnya begini kencang, kau tak bisa tahu apakah
saljunya naik atau turun!" aku menyetujui.
Sepatu lars kami tenggelam dalam-dalam di salju basah ketika
kami melangkah menuju ke lemari ski itu.
Pintu besinya membentur keras pada lemari. Kemudian angin
kembali meniupnya hingga membuka.
Aku menyeka salju dari alis dan mengikuti Ken menghampiri
lemari. Ia mengulurkan tangan untuk memegang pintu, tapi angin
meniup membukanya lebih lebar.
Aku dan Ken sama-sama berteriak, terkejut, ketika sesuatu
terguling keluar dari lemari ski tersebut dan mendarat di salju dengan
suara gedebuk. "Tidaaaak!" Lengkingan ngeri lepas dari tenggorokanku ketika
aku melihat ke bawah. Menatap wajah biru di bawah rambut pirang kusut.
Menatap tubuh yang kaku, tak bernyawa.
Menatap mayat Dara yang membeku.
BAB 12 AKU menangkap lengan Ken. Memegangnya erat-erat.
Kakiku lemas. Aku merasa diriku mulai tenggelam. Tenggelam
ke dalam salju. Tenggelam dalam warna putih. Jatuh dan jatuh dan
jatuh. Mata Dara yang biru melotot padaku dengan pandangan
menuduh. Mulutnya beku ternganga membentuk huruf O lebar
ketakutan. Kesakitan. Salju berpusar di sekeliling kami. Menahan
kami tetap di tempat. Menjadikan aku dan Ken beku. Menjadikan
kami beku seperti Dara. Kaku. Ketakutan.
Kerongkonganku terasa tercekik. Aku terjebak, pikirku.
Terjebak di dalam puting beliung putih yang berputar-putar ini.
Terjebak bersama Dara. Terjebak bersama tubuh Dara yang sudah
mati. Wajahnya yang mati. Matanya yang mati.
Biru. Begitu biru dan dingin.
Rambutnya tersibak dan berkibaran diterpa angin.
Satu-satunya yang bergerak.
Dan kemudian Ken tiba-tiba menarik diri dariku. Kupikir aku
akan jatuh. Terjerembap ke depan, menimpa mayat Dara yang
membiru. Tapi entah bagaimana aku berhasil menjaga keseimbangan.
Sambil merintih Ken membungkuk memeriksa mayat Dara.
Dengan mencengkeram leher jaket parka, Ken perlahan-lahan
mengangkat tubuh Dara naik sedikit. Kepala Dara terkulai ke
belakang. Dengan menajamkan pandangan menembus tirai salju putih
yang rapat, aku melihat noda gelap pada pundak jaket parkanya.
Bercak hitam darah kering.
"Ohhhhh!" satu jeritan lagi lepas dari kerongkongan ketika
kulihat beliung itu. Terbenam di antara pundaknya.
Terbenam begitu dalam sehingga hanya segores kilatan logam
yang terlihat di atas parka tersebut.
Pembunuhan. Dara dibunuh dengan beliung.
Dara. Terbunuh di salju. Begitu dingin. Begitu dingin udaranya
sehingga ia jadi biru. Perutku bergolak. Aku hendak muntah.
Aku terhuyung meninggalkan teras. Salju menutupi seluruh
sepatu larsku. Aku membungkuk dan mulai muntah. Memuntahkan
seluruh kengerian itu. Seluruh tubuhku bergoyang dan gemetar.
Aku memejamkan mata rapat-rapat. Aku menghirup udara yang
dingin dan basah. Dan merasakan tangan Ken, lembut pada pundakku.
Menuntunku masuk kembali ke beranda. Aku mendengar pintu kaca
digeser. Merasakannya membimbingku kembali ke dalam dapur.
Merasakan kehangatan. Aroma popcorn.
Tubuhku masih gemetar. Aku takkan pernah kembali normal. Kata-kata itu menerobos
keluar dari pikiranku. Takkan pernah normal iagi.
"Ada apa?" tanya Jenny. "Ada apa dengan April?"
"Dara tewas," jawab Ken dengan berbisik.
Aku mendengar suara tersentak kaget. Kudengar Carly
menjerit. Aku masih belum bisa melihat mereka. Aku cuma bisa melihat
wajah Dara yang membiru. Wajahnya yang biru, beku dalam
ketakutan, kesakitan. "Dia dibunuh," kata Ken kepada mereka.
Lebih banyak lagi seruan dan teriakan kaget. Aku membuka
mata melihat Jenny tersedu sedan, air mata sudah mengalir di pipinya.
Tony menghibur Carly. Aku bersandar pada dinding. Lututku masih gemetar. Kakiku
begitu lemas dan lunglai.
"Kita"kita harus menelepon polisi," kataku dengan suara
tercekik. "Sekarang."
Tony melirik Carla dengan pandangan penuh makna. Aku tahu
dia khawatir orangtuanya tahu bahwa ia kabur bersama Carly untuk
berakhir pekan di sini. Tapi itu bukan masalah lagi.
Ada beliung terbenam di punggung Dara. Dara dibunuh.
"Kita tak punya pilihan lagi sekarang!" kataku pada Tony. Aku
tidak bermaksud berteriak, atau bicara dengan suara begitu tinggi.
Tetapi aku tidak sanggup menahannya. Aku menelan ludah dengan
susah payah dan menahan napas untuk menekan rasa pening dan
mual. Terkulai di meja, Jenny membenamkan wajah di tangannya.
Pundaknya naik-turun sewaktu ia menangis.
Ken menghela napas. "April benar," gumamnya.
"Kita tak punya pilihan. Kita harus menelepon polisi"segera."
Kami semua berteriak ketika angin mengembus keras di dalam
dapur. Aku dan Ken begitu bingung, kami lupa menutup pintu geser.
Aku berbalik ke pintu. Tergeletak kaku di salju, Dara menatap
ke arah kami. Mata birunya yang tak berkedip seperti memelototiku.
Menuduhku. Rambutnya berkibaran diterpa angin. Lapisan salju
menutupinya, pada pundak jaket parka itu. Pada pundak yang
berlumur darah. "Tutup pintunya!" Aku menjerit, sambil menutupi mata dengan
dua belah tangan. "Tutup!"
Ken menarik pintu hingga menutup dan menguncinya.
Dari balik kaca, Dara masih terus melotot pada kami di dalam.
Aku memalingkan muka"mendapati Tony sudah pindah ke
pesawat telepon yang tergantung pada dinding. Ia memegang
gagangnya dengan satu tangan.
"Telepon mereka," aku menginstruksikan. "Tony"telepon
polisi." Ia menggeleng, parasnya memperlihatkan ekspresi kosong yang
aneh. "Sori," katanya lirih. "Tak bisa."
BAB 13 "TONY"apa katamu?" tanyaku.
"Kita tak bisa menelepon polisi," ia mengulangi, sambil
meletakkan kembali gagang telepon. "Teleponnya mati."
"Hah?" seruku. "Maksudmu?""
"Sama sekali tak ada nada panggil," kata Tony, sambil
menggeleng. "Badai pasti sudah memutuskan kabelnya."
"Tapi"tapi?" aku tergagap.
"Kita harus jalan kaki ke kota," Ken mengusulkan, sambil
menatap langit di luar. Awan-awan gelap kelihatan lebih rendah lagi.
Salju bisa turun seperti ini sampai berhari-hari, pikirku.
Seluruh tubuhku bergidik kedinginan. Aku memeluk diri
sendiri, dengan lemas dan ketakutan bersandar pada dinding.
"Atau dengan ski"kita bisa meluncur dengan ski ke kota!" Ken
berseru. "Kita takkan pernah bisa sampai ke sana," kata Carly, sambil
menarik-narik sehelai rambutnya dengan tegang. "Tak mungkin tanpa
mobil. Sekalipun kita bisa menuruni bukit, berapa jauh yang bisa kita
tempuh dalam badai salju yang membutakan ini" Kita sudah akan
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beku sebelum sampai di lereng ski, jangankan ke kota."
"Berapa jauhkah kota itu?" tanyaku pada Tony.
"Beberapa kilometer," katanya bersungut. "Mungkin satu
setengah kilo sesudah lereng itu. Ada beberapa pondok ski sebelum
sampai ke kota. Tapi kurasa kita tak bisa mencapainya juga.
Setidaknya sampai saljunya berhenti turun begini lebat."
"Mungkin kita bisa minta tumpangan pada orang lain," kataku.
Gagasan itu disambut dengan kebisuan.
"Orang gila macam apa yang akan bepergian dengan mobil di
saat seperti ini?" Tony akhirnya berkata. Ia berjalan menghampiri
kulkas dan mengambil sekaleng Coke. "Setidaknya kita punya cukup
makanan dan perbekalan."
"Tapi ada pembunuhan di luar sana!" aku menjerit keras. "Kita
tak bisa duduk-duduk saja di sini tanpa berbuat apa-apa! Ada yang
membunuh Dara. Dan"dan"oh!"
Aku menutupkan satu tangan ke mulut.
Josh. Dalam ketakutan atas apa yang menimpa Dara, aku sama sekali
telah melupakannya. "Bagaimana dengan Josh?" tanyaku. "Kita akan mencari
tubuhnya juga"kan!"
"Tidak!" pekik Carly. "Kumohon"!"
"Kita akan mencari," aku bersikeras, seluruh tubuhku
gemetaran. "Siapa pun yang membunuh Dara mungkin telah
membunuh Josh juga. Dan siapa pun orangnya, dia ada di luar sana."
Aku menunjuk ke pintu. "Tapi di sana tak ada jejak kaki!" protes Carly. "Kalau ada
orang di halaman belakang dan membunuh Dara serta Josh, bukankah
akan ada jejak kaki?"
"Mungkin sudah tertutup salju," kata Jenny, sambil menyeka
pipinya yang basah dengan air mata. "Saljunya turun begini lebat.
Jejak kaki tentu hilang dalam beberapa menit!"
"Dia benar," Carly setuju.
"Tidak. Dia keliru," kata Tony. Ia berjalan ke pintu kaca dan
menatap ke luar. Aku sungguh tak tahan melihat Dara memelototi kami di dalam.
Maka aku menunduk memandangi lantai.
"Kau dan Carly sama-sama keliru," kata Tony padaku. "Tak ada
pembunuh yang menunggu di luar sana. Sebab pembunuhnya adalah
Josh." "Apa?" teriakku. Aku merasa berkunang-kunang. Lantai serasa
miring ke satu arah, kemudian ke arah lain. Aku menggeserkan
punggung pada dinding dan menurunkan tubuh ke posisi duduk di
lantai dapur. "Sudah jelas," kata Tony, sambil menjauh dari pintu dan duduk
di meja di samping Carly. Ia minum dari kaleng Coke-nya lama-lama.
"Josh membunuh Dara. Kemudian kabur dengan Jeep Dara."
"Tapi mengapa?" semburku tanpa pikir. "Mengapa Josh
membunuh Dara?" Tony mengangkat pundak. "Siapa tahu?"
Ken melangkah menghampiri telepon dan mengangkat
gagangnya ke telinga. Ia menghela napas dan meletakkannya kembali.
"Masih mati." "Apa yang akan kita kerjakan?" Jenny meratap. "Kita terjebak
di sini. Tak ada rumah lain di sekitar sini. Saljunya terlalu tebal untuk
jalan kaki. Terlalu lebat untuk memakai ski mencari pertolongan. Kita
terjebak!" "Kita akan mengambil kayu bakar. Kita nyalakan api besarbesar," balas Tony. "Kita akan tetap hangat dan nyaman. Salju akan
berhenti. Telepon akan dibetulkan. Kita akan baik-baik saja, Jenny.
Kalau kita tetap tenang dan tak panik, takkan terjadi apa-apa pada kita
semua." "Ayo kita periksa kamar Josh," aku mengusulkan. Aku
menghela tubuh untuk berdiri. "Coba kita lihat apakah kita bisa
menemukan petunjuk di sana. Apa saja."
"Kalau Josh membawa tasnya, kita tahu dia membunuh Dara
lalu kabur," kata Ken.
"Aku tak bisa percaya Josh tidak naik ke ranjang itu tadi
malam," kata Ken, sambil menggeleng. "Kalau saja aku tidak tidur
sepulas itu..." Suaranya menghilang.
Kami berlima berbaris di koridor menuju kamar yang ia pakai
bersama Josh. Aku menyalakan lampu di langit-langit dan melangkah
ke tengah kamar luas tersebut.
Di luar, menjelang malam, langit sudah berubah hitam seperti
arang. Angin melolong di sekitar sudut-sudut rumah.
Kamar itu dingin, lebih dingin daripada kamar-kamar lain.
Dingin dan bau lembap. "Lihat"tas Josh!" seruku, sambil menunjuk.
Tas kanvas biru itu berdiri di samping ranjang. Aku dan Ken
berlutut dan membuka ritsletingnya.
Ken membukanya, dan aku melihat ke dalam.
"Penuh," aku mengumumkan, sambil berpaling pada Jenny,
Tony, dan Carly. "Pakaiannya"semua ada di sini."
"Hah" Apa artinya?" Carly berseru.
"Artinya, dia kabur tanpa membawa barang-barangnya," jawab
Tony, menghampiri untuk melihat ke dalam tas tersebut. "Mungkin
dia begitu kacau, begitu bingung sesudah membunuh Dara, dia sama
sekali tak berpikir untuk membawa tasnya."
"Mungkin...," balasku ragu-ragu. "Atau mungkin itu berarti..."
Kata-kata itu tersangkut di dalam tenggorokanku. Perasaan ngeri luar
biasa merayap naik dari perut.
"Mungkin itu berarti Josh dibunuh juga," Ken menyelesaikan
apa yang ada dalam pikiranku. Ia membalikkan tas tersebut dan
menumpahkan seluruh isinya ke lantai.
Ia memeriksanya dengan cepat.
Cuma pakaian. Sebuah sweater cadangan. Pakaian ski. Celana
hangat kelabu. Tas kecil berisi sikat gigi, deodoran, tisu, dan sisir.
Tak ada apa pun yang menarik.
Aku melompat berdiri. Aku naik ke ranjang bawah dan
memeriksa ranjang atas. Selimutnya licin rapi dan diselipkan rapat di
pinggir ranjang. "Tak ada apa-apa di sini," aku melaporkan.
"Menurutku dia sama sekali tak pernah naik ke ranjang ini."
Aku turun ke lantai. "Kurasa kita harus memeriksa kamar Dara
juga," kataku. Setiap kali mengucapkan nama Dara, aku membayangkan
mayatnya yang beku kaku. Wajahnya yang membiru, meringis
kesakitan dan ketakutan. Beliung itu, terbenam begitu dalam pada
pundaknya. Kami semua berjalan tanpa bicara ke kamar Dara. Di koridor di
samping pintu Dara, aku berhenti di depan meja anyaman.
Pada meja itu ada vas biru ramping berisi bunga liar kering
berwarna ungu dan merah jambu. Di sampingnya berdiri foto
berbingkai. Foto Dara, beberapa tahun lebih muda, dalam pakaian ski
kuning manyala. Ibu dan ayahnya, juga dalam pakaian warna terang
manyala, berdiri di belakangnya, tersenyum ke kamera.
Mereka bertiga kelihatan begitu bahagia.
Memandang foto itu, aku nyaris melelehkan air mata.
Dengan menggigit bibir bawah, aku memaksa diri untuk
memalingkan muka dari keluarga bahagia dalam foto tersebut dan
melangkah ke dalam kamar tidur Dara.
Ken menyalakan lampu tinggi di samping ranjang, dan kami
mulai memeriksa. Poster-poster pemain ski Olimpiade berjajar pada
satu dinding. Rak-rak pada dinding di seberangnya penuh dengan
buku dan majalah lama, papan permainan, kaset dan CD.
Ranjangnya ditutupi selimut kapas berpola kota-kotak hitamputih. Di samping ranjang berdiri meja tinggi dari kayu ek. Sebuah
buku tergeletak terbuka, beberapa halaman dari depan. Di samping
buku itu, aku melihat sehelai kertas putih dalam keadaan terlipat.
Ken membuka pintu lemari pakaian dan melongkok ke dalam.
Yang lain memeriksa rak-rak yang penuh sesak.
Aku mengambil kertas tersebut, membuka lipatannya, dan
membacanya dengan cepat. "Oh, aku tak percaya!" aku berseru. Kertas itu gemetar dalam
tanganku. Semua berpaling ke arahku.
"Aku tahu siapa yang membunuh Dara," kataku.
BAB 14 MEREKA berkerumun di sekelilingku, dan aku membacakan
surat itu. Surat tersebut ditulis dengan bolpoin merah. Tulisan
tangannya acak-acakan, sulit dibaca. Tergesa-gesa. Ada noda-noda
merah pada beberapa tempat di mana tinta tertetes bocor.
Aku memegangi lembaran itu di bawah lampu dan mulai
membacanya dengan suara lirih, gemetar:
Dear Dara, Aku tidak bisa lagi terus seperti ini.
Tak peduli bagaimana kejam dirimu padaku, aku selalu
menerimanya. Kau menghinaku malam ini. Bagaimana kau bisa
melakukannya" Aku selalu menganggapmu orang yang layak disayangi. Tapi
kurasa aku melakukan kesalahan besar.
Tapi aku harus bicara denganmu sekali lagi. Aku tidak mau
menerima jawaban tidak. Temui aku tengah malam nanti. Sendirian!!!
Josh Jenny merebut surat tersebut dari tanganku dan membacanya
sekali lagi dengan cepat. Ken dan Carly membacanya dari atas pundak
Jenny. Ketika Jenny mengangsurkan kembali surat itu kepadaku,
wajahnya sudah berubah pucat pasi. Bibir yang biasanya berwarna itu
jadi putih pucat. Dagunya gemetar. "Kita"kita harus menyingkir dari
sini!" teriaknya. "Jenny"kenapa?" aku bertanya, sambil melipat surat itu
dengan hati-hati. "Tidakkah kaulihat?" tanya Jenny tak sabar. "Dia tentu akan
ingat dia menulis surat ini. Josh akan ingat. Dia akan kembali. Dia
akan kembali ke sini. Dan dia akan membunuh kita semua karena kita
membacanya! Karena kita tahu!"
Ia kembali tersedu keras.
"Jenny?" kataku lembut. Aku mengulurkan tangan untuk
menghiburnya. Tetapi ia beranjak pergi, berlari melewatiku ke dalam
koridor. "Jenny?" aku memanggil-manggilnya sambil berlari
mengejarnya. Ke dalam dapur.
Ia mengangkat gagang telepon. Dengan kalang kabut ia mulai
memencet-mencet nomor. "Ayo! Ayo! Ayo!" teriaknya, sambil
menekan-nekan tombol nomor dengan lebih keras. "Harus hidup!
Harus!" Ia membanting gagang telepon mati itu ke dinding.
Aku bergerak cepat menghampiri dan memeluknya. Seluruh
tubuhnya gemetar. "Jenny," bisikku. "Kita takkan apa-apa. Sungguh.
Kita baik-baik saja."
"Josh akan kembali!" tangisnya. "Ia akan kembali dan
membunuh kita semua, sama seperti Dara."
Aku menoleh dan melihat Ken, Tony, serta Carly memasuki
dapur. "Kita harus tetap tenang," Ken memperingatkan, sambil
menghampiri aku dan Jenny, tatapannya terkunci pada Jenny. "Kita
tak boleh panik, Jenny. Itu takkan membantu kita. Kita harus tetap
tenang agar bisa berpikir jernih."
"Dia akan kembali!" Jenny berteriak. Aku bisa melihat bahwa
dia sudah benar-benar kehilangan akal. Aku merasa begitu tak
berdaya. Apa yang bisa kulakukan untuk menenangkannya"
Aku sama takutnya seperti Jenny. Dan aku sama khawatirnya
bahwa Josh mungkin ingat surat itu dan kembali untuk mengambilnya.
Tapi kami tidak bisa meninggalkan rumah ini. Salju terlalu
dalam dan turun begitu lebat. Anginnya dingin luar biasa dan hampir
cukup kencang untuk meniup kami terbang.
Kami tidak punya mobil. Tidak ada telepon. Tidak ada tetangga.
Kami terjebak. Jenny punya segala hak untuk ketakutan.
"Hei"mungkin ada senapan di rumah ini!" kata Tony. Katakatanya menyentakku kembali dari pikiran-pikiran yang mengerikan.
"Apa?" tanyaku, sambil menoleh padanya.
Ia menghabiskan Coke dan meremas kalengnya. "Ada yang
melihat senapan di rumah ini" Ayah Dara dulu menyimpan sepucuk
pistol di sini. Aku tak tahu apakah masih ada. Kita harus melindungi
diri sendiri. Kalian tahu. Kalau-kalau Josh kembali."
Aku cuma menatap Tony dengan pandangan kosong. Aku tidak
bisa percaya ia hendak mencari senapan. Tahu apa dia mengenai
senapan" Aku tidak yakin apakah aku ingin Tony punya senjata.
Kusadari bahwa aku masih tidak mempercayainya. Ia sama
sekali belum berbuat apa pun yang keliru. Sebut saja itu firasat. Aku
cuma tidak mempercayainya.
"Aku tidak melihat senapan di mana pun," kata Ken.
"Mungkin kita harus mencarinya," ucap Tony.
"Tony, sudahlah!" Carly memohon. Ia sudah duduk di sebelah
Jenny di depan meja dan memegangi tangan Jenny, mencoba
menenangkannya. "Apa masalahmu?" bentak Tony. "Kaupikir aku tak tahu cara
memakai senapan?" "Apa keadaan sekarang belum cukup menakutkan, Tony?"
Carly menangis. "Mengapa membuatnya jadi lebih menakutkan lagi?"
Tony memandang marah dan berjalan ke dalam ruang duduk.
Aku bisa mendengarnya hilir-mudik di sana, menarik laci-laci,
membuka-buka lemari. Semoga dia tidak menemukan senapan.
Jenny berpaling padaku, air mata bergulir menuruni pipinya,
dagunya masih gemetar. "Apakah menurutmu Josh akan kembali
untuk mengambil surat itu?" ia bertanya.
"Aku"aku sungguh tak tahu," sahutku.
Di luar pintu kaca itu Dara"tertimbun salju"seolah menatap
kami di dalam. Dan salju terus turun.
*************** Aku tahu aku takkan bisa tidur malam itu. Dan aku benar.
Berbaring di ranjang dengan selimut tertarik sampai ke leher,
aku mencoba membaca. Tapi aku cuma membawa sebuah cerita
thriller yang mengerikan. Dan aku sama sekali tidak berminat
membaca kisah thriller! Setiap bunyi di dalam rumah, setiap embusan angin membuat
jantungku melompat satu denyutan.
Hari ini sungguh panjang dan melelahkan. Jam demi jam
terentang serasa berminggu-minggu. Kami semua tegang, takut,
bingung. Kami sudah menarik mayat Dara yang beku ke dalam garasi, di
luar penglihatan. Tetapi tiap kali memikirkannya, aku masih tetap
melihat wajahnya yang biru tertutup salju dan matanya yang melotot
kosong. Aku meletakkan kepalaku ke bantal dan memejamkan mata.
Kupusatkan pikiranku untuk mengendurkan tubuh. Seluruh ototku
terasa keras dan kaku. Aku memusatkan pikiran untuk mengendurkan otot-otot telapak
kaki. Kemudian otot-otot betis. Aku bernapas perlahan-lahan, teratur.
"Tenang, April. Tenang. Tenang," aku terus berkata pada diri sendiri,
mencoba menghibur diri agar tertidur.
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sudah hampir pulas ketika mendengar bunyi papan lantai
berkeriut, bunyi langkah kaki di ruang duduk.
Seluruh tubuhku jadi kaku. Aku harus memaksa diri untuk
bernapas. Aku mendengarkan baik-baik.
Ya. Seseorang telah memasuki ruang duduk. Seseorang sedang
bergerak diam-diam, perlahan-lahan.
Orang itu tidak ingin didengar.
Keriut papan lantai itu membuatnya terdengar.
Aku memaksakan diri untuk menarik napas lagi. Kucengkeram
selimut dengan dua tangan, meremasnya hingga tanganku sakit.
Josh kembali, aku tersadar.
Josh sudah kembali. Kembali untuk membunuh kami semua"
BAB 15 DENGAN tubuh menggigil, aku menurunkan kaki ke lantai.
Aku merayap turun dari ranjang dan memakai jubah tidur.
Aku berusaha bernapas normal. Jantungku seakan melompat ke
kerongkongan. Aku berjalan keluar ke koridor yang gelap gulita dan
mendengarkan. Sunyi. Kemudian bunyi berkeriut satu langkah kaki.
Aku melihat secercah cahaya dari ruang duduk.
Apakah Josh punya senter"
Begitu mataku sudah menyesuaikan diri dengan koridor yang
gelap, aku mencari-cari senjata. Apa saja. Apa saja yang dapat
kugunakan untuk melindungi diri.
Aku melihat tongkat ski tersandar pada dinding dekat sudut.
Aku mengambilnya, mencengkam pegangannya erat-erat dalam
tangan yang dingin, berkeringat.
Apakah ini akan melindungiku dari Josh" dalam hati aku
bertanya. Ya. Kalau aku dia tak berjaga-jaga.
Aku mengendap-endap cepat-cepat di koridor, punggungku
tetap merapat ke dinding. Tiba-tiba seluruh tubuhku kedinginan,
seolah rasa takut telah membuat kulitku membeku.
Aku berhenti tepat di ambang pintu ruang duduk. Berjuang
untuk menenangkan napas, aku mencondongkan badan ke dalam
ambang pintu dan melihat ke dalam ruangan.
Di mana dia" tanyaku dalam hati. Aku mendengarnya
berkeliaran di sini. Aku menatap dalam kegelapan, pandangan mataku berpindahpindah ke sekeliling ruangan.
Aku maju selangkah, dengan hati-hati menjauh dari dinding.
Ia bergerak begitu cepat, aku tidak bisa berteriak. Tidak bisa
melawan. Aku merasakannya di sebelahku. Tersembunyi dalam bayangbayang kelam. Dan kemudian ia melompat maju, meraihku, dan
menarikku dengan kasar ke dalam kegelapan bersamanya.
BAB 16 TONGKAT ski itu jatuh dari tanganku dan berkelotakan di
lantai. Aku berjuang untuk melepaskan diri. Namun ia memelukku
erat-erat dan menarikku ke tengah ruangan. "Lepaskan"!"
Permohonanku itu keluar dalam bisikan tercekik.
Ia mengulurkan satu tangan dan menyalakan lampu.
"Tony!" seruku. "Apa yang kaulakukan?"
Ketika ia melepaskanku, wajahnya tampak terkejut. Matanya
terbelalak dan mulutnya ternganga. "Whoa!" serunya, sambil mundur
selangkah ke belakang. "Tony"!" Aku menelan ludah dengan susah payah. Jantungku
berdebar demikian cepat hingga aku nyaris tak bisa bernapas.
"Aku"kupikir?" ia hendak bicara. Ia menepuk keningnya
sendiri. "Aku sama sekali kehilangan akal!" serunya.
"Kau membuatku ketakutan setengah mati!" akhirnya aku
berhasil berteriak. Sambil mengeratkan ikat pinggang jubah tidur, ia menggeleng.
"Maaf, April. Sungguh. Aku minta maaf. Kupikir?"
"Apa" Kaupikir ada apa?" desakku. Ketakutanku mulai luntur,
digantikan oleh kegusaran.
"Kupikir kau tadi Josh," sahut Tony. "Sori. Aku merasa seperti
orang tolol." "Tapi, Tony, sekarang sudah tengah malam," aku protes. "Apa
yang kaukerjakan di sini?"
"Aku mendengar suara-suara," ia menerangkan, menghindari
tatapan tajam mataku. Ia duduk di lengan kursi berjok kulit. "Kukira
kau tadi Josh yang menyelinap kembali ke dalam rumah. Jadi aku
masuk ke sini untuk memeriksa."
"Dan?" desakku, sambil menyilangkan lengan di depan jubah
tidurku. "Aku mendengar langkah," Tony meneruskan, sambil masih
menghindari pandanganku. "Jadi aku mengendap-endap ke sana." Ia
menunjuk dinding di samping pintu. "Dan aku menunggu. Ketika aku
menyergapmu, kukira kau Josh. Sungguh."
Akhirnya ia memandangku. Kupikir ia hendak memeriksa
apakah aku mempercayainya atau tidak.
Aku tidak mempercayainya. Ada sesuatu dalam ceritanya yang
janggal. Mungkin ia menyelinap keluar untuk menemui Carly, demikian
kuputuskan. "Apa kau dulu pernah kencan dengan Dara?" kata-kata itu
bergulir keluar dari mulut. Kurasa pertanyaan tersebut sudah sejak tadi
ada dalam benakku. Ekspresinya berubah. Ia menyipitkan mata menatapku dengan
curiga. "Yeah. Sebentar," jawabnya. Ia memindahkan tumpuan
badannya pada lengan kursi. "Sangat singkat. Tak ada yang pernah
lama berpacaran dengan Dara."
Aku terperanjat mendengar nada pahit dalam suara Tony.
Kukira ia berusaha agar terdengar biasa saja. Tetapi ia tidak dapat
menyembunyikan kemarahan dalam suaranya.
"Kejadiannya sudah lama," ia menambahkan sambil
mengangkat pundak. "Mengapa kau peduli?"
"Aku"aku tidak," kataku terbata-bata, merasa jengah. "Aku
cuma sekadar ingin tahu."
"Dia tidak sungguh-sungguh melukai hatiku," Tony
meneruskan. "Tidak seperti caranya melukai perasaan Josh. Dia benarbenar membuat Josh berantakan." Ia menghela napas panjang. "Kau
sudah baca surat itu. Mengapa kuceritakan semua ini padamu?"
Mengapakah ia menceritakan hal ini padaku" dalam hati aku
bertanya. Apakah ia cuma mencurahkan isi hati" Mencoba bersikap
bersahabat" Mengapa aku begitu curiga pada Tony"
Aku mulai batuk. Kerongkonganku serasa begitu kering.
"Kurasa aku perlu air," kataku.
Ia mengikutiku ke dapur. Kunyalakan 1ampu di langit-langit
dan aku mengedipkan mata menahan cahaya terang yang menyala
tiba-tiba. Piring dan peralatan makan malam yang kotor bertumpuk
tinggi di bak cuci. Kami semua begitu ketakutan dan resah, sampai tak
punya tenaga untuk memasukkannya ke mesin pencuci piring.
Seseorang telah menumpahkan saus spageti dan tidak berusaha
menyekanya. Saus merah yang mengering itu mengalir di bagian
depan meja dapur yang putih seperti noda darah.
Semua gelas minum dalam keadaan kotor. Aku mencuci satu,
lalu membiarkan air keran mengalir, menunggunya mendingin.
Ketika aku meneguk panjang-panjang, membiarkan air dingin
itu menyejukkan tenggorokanku yang terpanggang, aku bisa
merasakan pandangan mata Tony pada punggungku. Aku bergidik dan
berbalik menghadapinya, sambil menyeka air dari dagu dengan satu
tangan. "Kau benar-benar ketakutan rupanya," katanya lirih.
Aku mengangguk. "Yeah. Kau tidak?"
Ia mengangkat pundak. "Sedikit, kurasa." Ia memain-mainkan
wadah garam di atas meja, memutar-mutarnya di antara telapak
tangan. "Tapi kita takkan apa-apa, April," ia meneruskan.
"Teleponnya akan hidup lagi besok. Kita akan menelepon polisi dan
menceritakan pada mereka tentang Josh. Mereka akan
menemukannya. Aku yakin dia takkan bisa pergi jauh dalam badai
salju seperti ini." "Mungkin tidak," gumamku. Kuhabiskan air dan kuletakkan
gelasnya di bak cuci. "Polisi akan menolong kita mencari jalan pulang," Tony
meneruskan. "Kita takkan apa-apa."
"Ini seharusnya akhir pekan untuk bersenang-senang," kataku
sedih. "Sejauh ini sungguh mengerikan. Sungguh menakutkan."
"Yeah. Aku tahu," balas Tony. Ia meletakkan kembali wadah
garam di atas meja. "Akhir pekan ini sama sekali tidak seperti yang
kurencanakan." Ia tergelak. Tawa pahit.
"Dara yang malang," gumamku.
Ia tidak menanggapi. Ia seperti tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Kemudian ia akhirnya berkata, "Kurasa kita harus tidur. Besok
pagi?" Sekonyong-konyong ia menghentikan ucapannya. Ia memekik
lirih. Aku mengikuti tatapan matanya. Ia sedang menatap ke pintu
kaca. Aku berpaling ke pintu itu. Butuh beberapa detik bagiku untuk
mengenali apa yang kulihat.
Kemudian tanganku terangkat ke wajah, dan aku mulai
menjerit. Tubuh Josh yang beku. Tertutup salju. Mata membelalak.
Tubuh beku Josh tersandar menekan kaca.
BAB 17 JERITANKU membuat Carly dan Jenny berlari ke dalam dapur.
"April"ada apa?" seru Jenny. "Apa yang terjadi?"
Ken terhuyung-huyung mengantuk ke dalam ruangan, memakai
piama bergaris-garis, rambutnya melekat ke kening. "Siapa yang
berteriak tadi?" tanyanya.
Aku menuding ke pintu kaca.
Wajah Josh yang tertutup salju membelalak memandang kami.
Tangannya terangkat di atas kepala dan ditekankan pada kaca, seolah
berusaha mendorong pintu agar membuka.
Siapa yang membunuh Josh"
Pertanyaan itu berkelebat dalam pikiranku, mengirimkan
gelombang dingin di sekujur punggungku.
Siapa yang membunuh Josh" Bagaimana dia bisa di luar pintu
belakang" Aku menjerit lagi ketika Josh mulai bergerak.
Ia memukul-mukul kaca dengan dua kepalan tangannya.
Mulanya kukira angin meniup tubuhnya membentur pintu.
Tetapi dengan cepat kusadari bahwa Josh ternyata belum mati. Ia
masih hidup"dan berjuang untuk masuk.
Tony yang pertama mencapai pintu. Ia memutar kunci, lalu
menggesernya hingga terbuka.
Tiupan kencang udara dingin menyapu ke seluruh penjuru
ruangan ketika Josh terhuyung-huyung masuk. Tony langsung
menutup pintu. Josh menggoyang seluruh tubuhnya, seperti anjing sehabis
dimandikan. Salju beterbangan ke lantai dapur.
"Josh"apa yang terjadi" Dari mana kau?" Ken berseru.
Josh tidak menjawab. Ia berkutat menanggalkan mantelnya
yang basah, tetapi tidak bisa mengendalikan tangannya yang gemetar
untuk menarik ritsleting. Kacamatanya berembun. Selapis salju sudah
menggumpal di rambutnya. Bahkan alisnya pun tertutup salju.
"Aku"aku"tolong aku!" Josh mengerang parau.
Akhirnya ia berhasil membuka ritsleting mantel tebal itu.
Dengan susah payah ia menanggalkannya dan membiarkannya jatuh
ke lantai. "Jangan mencoba apa-apa!" Tony memperingatkan dengan
suara tajam. "Kami tahu apa yang kaulakukan."
Josh melepaskan kacamata yang membeku dan mengedipngedip memandang Tony. Ia menyeka kacamata dengan bagian depan
sweater. Tetapi cuma membuatnya jadi lebih buram.
"Aku... butuh... sesuatu... yang panas." Sepertinya ia harus
berjuang keras untuk bicara. Seluruh tubuhnya menggigil. Hidung dan
telinganya merah padam. Dalam hati aku berpikir jangan-jangan
bagian itu mati beku. "Sesuatu... yang... panas. Tolong!" ia memohon. Kakinya lemas
dan ia mulai jatuh. Ia meraih meja dengan dua tangan dan menahan
tubuhnya untuk tetap berdiri.
"Aku"aku... sudah... berjalan... begitu jauh..." kata Josh. Ia
mengenakan kacamata basah itu. Di baliknya, matanya jelalatan dan
tak terfokus. Carly bergeser ke bak cuci dan mengisi ketel. "Dia sungguh tak
keruan," gumamnya. "Akan kubuatkan kopi untuk semuanya. Cuma
kopi instan yang kita punyai."
Josh duduk di salah satu kursi dapur dan memandang sekeliling
ruangan. Ia seperti kebingungan. Benar-benar linglung. Dengan satu
tangan ia menarik keping-keping salju keras dari rambutnya yang
hitam. "Mengapa kau membunuh Dara?" Tony bertanya, sambil
melangkah ke sampingnya. "Hah?" Josh sepertinya tidak bisa memusatkan pandangan.
Matanya terus mengedip-ngedip. Seluruh tubuhnya menggigil
kembali. "Sungguh... dingin," gumamnya. Ia seakan tidak mendengar
Tony. Telapak tangannya menekan pipinya yang merah. "Mati rasa,"
gumamnya. "Jawab pertanyaan itu, Josh," desak Tony dengan suara tajam.
"Mengapa kau melakukannya?"
Josh menatap Tony, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung.
"Melakukannya?"
"Kami menemukan jenazah Dara," kata Tony. "Mengapa kau
membunuhnya?" "Dara?" Josh menggeleng. Matanya tampak berenang-renang di
balik kacamata. "Aku menyesal," katanya. "Aku menyesal."
"Menyesal kau melakukannya?" tanya Tony.
"Menyesal... aku tak mengerti," sahut Josh. "Aku... beku.
Berjalan di salju... sepanjang hari." ebukulawas.blogspot.com
Lalu ia berteriak tajam. Dan menatap Tony. Kurasa kata-kata
Tony akhirnya masuk ke otaknya. "Dara?" Josh bertanya. "Ada apa
dengan Dara?" "Kaulah yang harus menceritakan!" bentak Tony.
"Ada apa dengannya?" Josh mendesak dengan suara
melengking. "Katakan padaku. Apa yang tadi kaukatakan" Kukira kau
bilang?" "Dia sudah mati!" Jenny berteriak, sambil bergeser ke seberang
meja di depan Josh. "Dara tewas"dan kau yang membunuhnya!"
"Tidak!" Josh membantah, sambil bangkit berdiri. Kursinya
terguling ke belakang dan menimpa lantai dengan gaduh. "Aku tak
mengerti! Aku sungguh tak mengerti!" Ia memegang kening dan
menggosoknya, seakan menggosok hilang sakit kepala yang menusuk.
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Carly menyodorkan secangkir besar kopi hitam ke depan Josh.
"Ini. Minumlah," katanya. Ia memandangi Josh mengambil cangkir
besar itu dengan dua tangan. Kemudian ia berbalik ke meja untuk
menyiapkan kopi bagi kami semua.
Josh menghangatkan tangan pada cangkir besar itu. Kemudian
ia mengangkatnya ke bibir, memeganginya di antara dua tangan yang
gemetar. Uap mengepul dari cangkir dan mengembun pada kacamata.
Ia minum satu teguk panjang. Kemudian satu lagi.
Itu tampak sedikit membangkitkannya. Ia mengambil kursi
yang tadi terjatuh dan duduk bersandar di sana. Matanya terkunci
padaku. "Dara tewas" Apakah kalian serius?"
Aku mengangguk. Aku balas menatap tajam kepadanya,
mengamati wajahnya. Sungguh bagus caranya berlagak tak berdosa,
pikirku. Tapi kami tahu yang sebenarnya.
Kami telah menemukan suratnya dan membacanya.
Kami tahu yang sebenarnya tentang Josh. Dan kami tahu
mengapa ia kembali ke rumah Dara. Untuk mengambil surat itu, surat
yang membuktikan kesalahannya.
Tangan yang gemetar, rambut yang tertutup salju, tubuh yang
menggigil, dan ucapan terputus-putus"semuanya itu pura-pura. Aku
tahu itu. Kami semua tahu.
"Bagaimana Dara bisa mati?" tanya Josh polos.
"Josh, ini tidak bagus," kataku padanya. "Kami menemukan
suratmu untuk Dara. Kami tahu segalanya."
Ia sama sekali tak bereaksi menanggapi. Tidak menggerakkan
satu otot pun. "Mengapa kau melakukannya" Mengapa?" jerit Jenny
melengking. Ken menghampiri dan memeluk bahunya.
Josh menatapku. "Surat apa?" ia bertanya, masih pura-pura
bingung. Aku memutar bola mataku. "Surat yang kautulis untuk Dara.
Kau tak sengaja meninggalkannya. Kami menemukannya di samping
ranjang Dara." Josh menggeleng keras-keras, seolah mencoba menjernihkan
pikiran. Carly meletakkan ketel dan bergegas meninggalkan dapur. Aku
mendengarnya berjalan di koridor. Beberapa detik kemudian ia
muncul kembali dengan surat di tangannya.
"Ini," katanya kepada Josh dengan napas tersengal-sengal.
Josh mengambilnya dari tangan Carly dengan tak sabar.
Tony bergerak cepat untuk mencengkeram pergelangan tangan
Josh. "Jangan coba-coba menghancurkannya," ia memperingatkan.
"Lebih baik biarkan aku yang memegangnya
"Aku cuma ingin membacanya!" Josh bersikeras.
Aku melihat matanya bergerak cepat menelusuri lembaran itu.
Ekspresinya semakin bingung sewaktu ia membaca surat tersebut.
Ketika ia mengangkat mata memandang kami, wajahnya, yang
tadi begitu merah, sudah berubah pucat pasi. "Ini"ini benar-benar
bohong!" teriaknya. "Ini bukan tulisan tanganku. Aku tak menulis
surat ini!" BAB 18 "Tidak!" Josh bersikeras menyangkal. "Surat ini?"
"Bagaimana kau bisa pura-pura tak tahu Dara sudah
meninggal?" tanya Jenny. "Kami bukan orang-orang goblok, Josh!"
Tony menarik surat itu dari tangan Josh yang gemetar. "Kami
yang akan memegangnya," katanya tenang. "Ini barang bukti."
"Josh, tak mungkin kau berbohong untuk menghindari semua
ini," kata Ken tajam, sambil masih memeluk Jenny. "Kami akan
menelepon polisi segera setelah teleponnya hidup. Kau membunuh
Dara dan mencoba kabur dengan Jeep-nya."
"Tidak!" Josh protes. Tangannya gemetar begitu hebat, ia
menumpahkan kopi dari cangkir. "Aku tahu ini kelihatan buruk.
Maksudku, membawa Jeep itu. Pergi dari sini. Tapi aku mengatakan
hal yang sebenarnya. Aku tidak membunuh Dara, dan aku tidak
menulis surat itu." "Menurutku kita harus mengikatnya dan mengurungnya di salah
satu ruangan," kata Tony padaku. Ia bergerak ke belakang kursi Josh,
menghadang upaya apa pun untuk kabur.
Aku menghela napas. Kulihat jam dinding di atas kompor.
Hampir pukul dua dini hari. "Biarkan dia ceritakan kisahnya dulu,"
kataku pada Tony. Aku meraih secangkir kopi, menuang susu ke dalamnya, lalu
duduk di depan meja di seberang Josh. Lainnya berkerumun di
sekeliling. Aku mengamati Josh saat ia mulai berbicara. Aku mencoba
membaca matanya, mencoba mengetahui apakah segala yang ia
ucapkan benar. "Perasaanku sungguh kacau tadi malam," ia mulai, sambil
mencondongkan badan di atas meja, perlahan-lahan memutar cangkir
kopi di antara dua tangan. "Aku sungguh marah. Aku tahu aku takkan
bisa tidur. Aku tetap berpakaian. Aku mondar-mandir di ruang duduk,
dan jadi makin marah."
"Marah mengenai apa" Mengenai permainan Truth or Dare
itu?" tanyaku. Josh mengangguk. "Aku sungguh tak tahan diolok-olok. Ketika
Dara mulai menceritakan pada semua orang bahwa aku pencium
paling buruk yang pernah dikenalnya, aku benar-benar kehilangan
akal. Waktu itu aku memang ingin membunuhnya. Sungguh."
"Jadi kau mengakuinya. Kau membunuhnya!" Jenny menyela.
"Biar dia meneruskannya," aku menegurnya.
"Tidak," Josh menyangkal. "Tapi aku begitu terluka. Begitu
malu. Memang aku gampang marah. Kuakui itu. Aku tak tahan
diledek. Terutama oleh Dara. Aku tak ingin membicarakan itu
sekarang. Tapi Dara sudah melukai hatiku. Banyak."
Itu semua ada dalam surat, kataku pada diri sendiri. Josh tidak
bermaksud melakukannya. Namun ia sedang membuktikan bahwa
dirinya menulis surat tersebut.
"Aku seperti kehilangan akal," Josh meneruskan, memutarmutar cangkir kopi, menatap ke bawah sewaktu berbicara. "Aku tak
bisa berpikir jernih. Aku terlalu marah. Kuputuskan untuk membawa
Jeep Dara dan meninggalkannya terdampar di sini. Aku" aku ingin
memberi pelajaran padanya."
"Kau memang benar memberinya pelajaran," Ken menyindir.
"Jadi kucuri kuncinya dan kubawa Jeep itu," Josh meneruskan,
tanpa menghiraukannya. "Aku pergi pagi-pagi. Itu gila. Betul-betul
gila. Aku tak ingat tasku atau apa-apa. Yang dapat kuingat hanyalah
membalas Dara karena telah menyakitiku. Aku mengemudi seperti
orang gila. Menerobos hujan salju. Tapi aku tak bisa pergi jauh."
"Apa yang terjadi?" aku bertanya.
Josh meneguk kopinya panjang-panjang. "Tidak mungkin
mengemudi dalam keadaan itu," katanya. "Jeep itu selip terusmenerus. Jalan ke kota sepenuhnya tertutup. Maka aku akhirnya
sampai ke jalan kecil. Aku tak tahu ke mana jalan itu menuju."
Ia menggeleng dan mengembuskan napas letih. "Aku tergelincir
ke selokan dalam. Aku tak bisa keluar. Aku mencoba segala cara. Aku
terperangkap. Dan salju turun begitu lebat, aku bahkan tak bisa
melihat di mana aku berada."
Ia kembali meneguk kopi, mengosongkan cangkirnya. "Aku
biarkan mesinnya tetap menyala sebab aku butuh pemanasnya. Tapi
tangki bensin sudah hampir kosong. Jadi aku harus mematikannya.
Aku menunggu mobil atau truk datang ke sana. Untuk menolongku.
Tapi jalan itu kosong. Tak ada siapa pun. Tak ada satu mobil pun. Aku
duduk di sana satu atau dua jam. Tapi aku tahu aku tak bisa duduk di
sana lebih lama lagi. Aku akan kedinginan sampai mati."
"Jadi kau lalu jalan kaki?" aku bertanya.
Josh mengangguk. "Aku meninggalkan Jeep dan mulai berjalan.
Lama aku berjalan"kemudian kusadari arah yang kutempuh salah.
Maka aku berbalik arah. Aku"aku tak tahu berapa jauh yang sudah
kutempuh." Ia menggeleng dengan sedih. "Aku ingin kembali ke rumah ini
dan minta maaf pada kalian semua. Aku tadi sungguh tolol. Aku ingin
minta maaf karena mengambil Jeep itu. Aku berjalan berjam-jam. Aku
tak ingat waktu lagi. Kukira otakku membeku atau entah apa. Kupikir
mungkin aku akan sampai ke kota. Tapi ternyata tidak. Jadi aku hanya
terus berjalan hingga sampai di sini."
Josh mengangkat mata memandangku. "Itulah seluruh
ceritanya. Dan itulah yang sebenarnya," katanya lirih. Ia memandang
sekeliling meja, mencoba melihat apakah semua mempercayainya.
"Aku"aku tak bisa percaya Dara sudah meninggal," ia
menambahkan. "Aku tak bisa percaya ada orang yang membunuhnya.
Membunuhnya dan menulis surat palsu."
Wanita Gagah Perkasa 12 Pendekar Rajawali Sakti 176 Bidadari Penakluk Bende Mataram 14