Pencarian

Wanita Gagah Perkasa 12

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 12


mengurusinya, maka itu perkenankanlah aku untuk tidak
menemani kau lebih lama pula!..."
Sehabis mengucap demikian, nona itu mencelat ke samping
It Hang. "Untuk apa kau berkelahi mati-matian di sini melayani
mereka?" tegurnya sambil tertawa. Kata-kata ini dibarengi
dengan gerakan tangannya tak disangka-angka, hingga tahutahu
anak muda itu sudah kena ditotok jalan darah di
bahunya. Menyusul itu, tanpa berdaya lagi tubuhnya disambar
si nona, diangkat untuk dibawa pergi!
Pek Sek Tojjn terperanjat, sampai dia berteriak, lantas dia
memburu. Tetapi dia terlambat, sampai di luar kuil, si nona
dan ketuanya yang muda itu sudah tak tampak lagi.
"Celaka, celaka!" seru dia berulang-ulang, karena
mendongkol berbareng menyesal. Terus ia memberi hormat
terhadap Bouwyong Ciong, dan berkata: "Berdua kita telah
kalah dan terluka, kita tak usah bertempur lebih jauh..."
Bouwyong Ciong menoleh pada rombongannya, hatinya
gentar melihat demikian banyak korban. Ia insaf, percuma
pertempuran dilanjutkan, mungkin pihaknya mengalami
kekalahan. Maka ia terima baik tawarannya imam itu, hingga
keduanya bersama-sama mengurus orangnya sendiri...
Giok Lo Sat sendiri telah menyingkir sampai beberapa lie,
baru ia turunkan It Hang.
"Apakah artinya ini?" tanya anak muda itu yang menyesali.
"Tanpa berbuat begini, tidak dapat aku undang kau," sahut
si nona. It Hang ingat kekukuhan paman gurunya, ia menyeringai.
"Mungkin mereka itu sangka kau telah menculik aku,"
katanya. "Kau tinggal di mana?"
"Mari ikut aku," sahut Giok Lo Sat, yang menyahut bukan
dengan jawabannya. Ia pun merasa lucu sendirinya atas
perbuatannya ini, karena ia lantas ingat pada lelucon orang
"merampas kemanten".
It Hang ikut nona ini, yang mengajaknya sampai di selat
Benggoat kiap, waktu itu cuaca sudah terang tanah. Angin
fajar meniup dengan halusnya.
"Mari!" mengajak terus si nona, yang berlari-lari di sebelah
depan mendaki bukit. Baru ia hendak teriaki liauwlonya,
mendadak ia dengar teriakan tajam dari It Hang, maka
batallah maksudnya, sebaliknya, sambil memutar tubuh, ia
lompat turun kepada pemuda itu.
"Ada apa?" tanyanya.
It Hang baru sampai di mulut lembah ketika si nona sampai
di sampingnya, tetapi segera ia lompat ke atas tanjakan di
dekatnya. "Aku seperti lihat orang," jawabnya. "Sekejab saja, dia
lenyap pula. Tak dapat aku melihat nyata. Coba kau kemari!"
"Siapa berani datang ke sini?" kata Giok Lo Sat, seraya
lompat naik mendekati si anak muda, terus ia memandang ke
empat penjuru. Agaknya ia tidak lihat siapa juga. Ia tertawa,
lalu berkata: "Tempat ini sangat berbahaya, umpama musuh
datang sendiri kemari, seperti juga dia mengantarkan jiwanya.
Mungkin ini hanya perasaan saja, ataukah matamu agak
kabur?" "Ketika tadi kau lari naik, kebetulan aku berpaling,"
menerangkan It Hang. Baru ia mengucap demikian, atau
suaranya terputus. Karena dengan tiba-tiba saja, tangannya si
nona terayun dan cahaya mengkilap melesat ke samping
mereka di mana ada tumpukan rumput tebal. Dan menyusul
sambaran benda mengkilap itu, dari dalam tumpukan rumput
itu lompat muncul satu orang!
Giok Lo Sat sangat cerdik, matanya awas sekali,
kupingnyapun terang luar biasa, begitu ia dengar
keterangannya It Hang, diam-diam ia berlaku waspada, di lain
pihak, ia berpura-pura tak percaya, sengaja ia omong besar
tentang keletakan lembahnya itu. Segera ia dapat kenyataan
benar ada orang yang tengah mengintai mereka berdua, maka
ia menyerang dengan senjata rahasianya, jarum Tengheng
Ciam. Selagi menyerang itu, ia kata dalam hatinya: "Walaupun
kau liehay, tidak nanti kau lolos dari jarumku ini!"
Akan tetapi, orang tak dikenal yang diserang itu nyata lolos
dari bahaya maut, dia malah lompat keluar dari tempat
sembunyinya, hingga segera dapat dikenali, dia adalah
Anghoa Kuibo Kongsun Toanio, isterinya Kim Laokoay Kim Tok
Ek! Lantas saja si Biang Hantu Bunga Merah tertawa terbahakbahak.
"Baru tiga tahun kita berpisah, nyata tanganmu bertambah
liehay!" dia kata. "Secara begini kau sambut tetamu tidakkah
itu ada keterlaluan?"
Kata-kata ini disusul dengan gerakan tongkatnya yang
berkepala naga ke arah tanah hingga menerbitkan suara dan
kepalanya digoyangkan, hingga bunga merah dirambutnya
turut melambai-lambai!
Biar bagaimana, Giok Lo Sat terperanjat juga. Tak disangka
olehnya pengintai itu adalah Biang Hantu yang liehay. Tapi ia
lekas dapat tenangkan diri. Maka iapun tertawa.
"Kiranya kau!" katanya dengan sabar tetapi suaranya
mengandung ejekan. "Kau telah lepaskan lelaki bangsat itu,
yang tidak dapat kau kendalikan, sekarang kau datang kemari,
apa kau mau" Apakah kau berniat sekali lagi adu kepandaian
dengan aku?"
AnghoaKuibo lantas perlihatkan roman sungguh-sungguh.
"Untuk adu silat lagi atau tidak, itu terserah kepadamu!" dia
jawab. It Hang jadi kuatir.
"Kongsun Toanio!" kata pemuda ini, "kau adalah orang
tertua dari kalangan Rimba Pergilatan, satu patah kata saja
dari omonganmu berarti seratus tail emas, apakah kau telah
lupa pada janji tiga tahun yang lampau" Kenapa kau sebutsebut
pula hal adu silat?"
"Memang aku datang kemari untuk memenuhi janji kita tiga
tahun yang lampau!" sahut Kongsun Toanio. "Giok Lo Sat, aku
datang untuk memohon kepadamu!"
"Tak berani aku terima itu," kata si nona. "Aku minta kau
sukalah menyingkap tirai dan menggurat jalanannya. Kau
boleh titahkan saja!"
Dengan menggunai kata-kata rahasia "menyingkap tirai"
dan "menggurat jalanan", Giok Lo Sat minta orang omong
terus-terang serta menjelaskan caranya adu silat itu.
"Memang, lelaki bangsat itu telah diam-diam kabur dari
rumah," kata Anghoa Kuibo "Tapi ia kabur belum berapa lama,
dan aku tahu, dia belum sampai melakukan kejahatan, maka
itu aku mau minta jasa baikmu, supaya dia dikembalikan
padaku untuk dibawa pulang. Aku berjanji bahwa lain kali dia
tidak akan mengganggu pula padamu."
Si Biang Hantu ini telah menjadi korbannya Bouwyong
Ciong. Begitu dia ketahui suaminya minggat, dia lantas pergi
menyusul, ketika dia sampai di luar kota Konggoan, dia
bertemu dengan Bouwyong Ciong yang sedang melarikan diri.
Orang she Bouwyong itu kata padanya: "Suamimu telah
ditawan Giok Lo Sat, jikalau kau hendak memintanya, pergi
kau susul dia di selat Benggoat kiap. Di sana Giok Lo Sat
menjadi tayong!" (Tayong = raja). Ia percaya keterangan itu,
maka segera ia menyusul ke Benggoat kiap, sebab keras sekali
keinginannya untuk menolongi suaminya itu.
Giok Lo Sat tertawa terbahak-bahak.
"Suami bangsatmu itu tidak ada di sini!" sahutnya dengan
dingin. "Apakah Bouwyong Ciong telah mendusta padaku?" Anghoa
Kuibo tanya. Giok Lo Sat lintangkan pedangnya di depan dadanya, ia
tidak menjawab, ia cuma tertawa dingin.
"Kau tertawakan apa?" tanya si nyonya dengan gusar.
"Kau sangat menyinta tetapi secara sesat, kau tak sadar!"
si nona kata, tak kalah kerasnya. "Aku tertawakan kau yang
tak dapat membedakan baik atau buruk! Suami bangsatmu itu
orang macam apa" Mustahil kau tidak ketahui" Setelah dia
dapat membolos, dapatkah dia tidak melakukan kejahatan"
Baru satu jam berselang bersama-sama orang she Bouwyong
dia telah serbu Cenghie koan untuk menawan Gak
Beng Kie, orang kepercayaannya Him Kengliak! Apakah itu
bukannya perbuatan busuk?"
Belum orang menjawab, It Hang telah menambahkan:
"Kasihan Him Kengliak, yang telah terfitnah dorna, terbinasa
secara menyedihkan, penasarannya dalam laksana lautan,
tetapi orang masih belum puas terhadapnya, orang masih
hendak membabat rumput sambil membongkar akarnya
sekali! Mereka itu ketahui bahwa Gak Beng Kie mempunyai
kitab wasiat dari Him Kengliak, maka itu tanpa
menghiraukan perjalanan sukar selaksa lie, mereka menyusul
untuk menyingkirkan juga si orang she Gak, sebelumnya,
mereka belum merasa puas! Sudah merusakkan tembok besar
Banlie Tiangshia, mereka juga masih hendak rampas buku
rencananya Him Kengliak, soal melawan musuh negara itu.
Mereka hendak serahkan itu pada bangsa lain, untuk
bermuka-muka! Cianpwee Kongsun Toanio, aku mohon tanya,
bukankah perbuatan itu ada perbuatan yang dibenci oleh
manusia dan dunia?"
Kongsun Toanio belum tahu kebinasaannya Him Kengliak,
mendengar ini dia terperanjat. Pun Giok Lo Sat tidak
mengetahui hal ini, maka si nona pun kaget.
"Adakah itu benar?" keduanya tegaskan.
"Kenapa tidak?" sahut It Hang.
"Kitab wasiat dari Him Kengliak itu ada padaku sekarang!
Kongsun Toanio, jikalau kau hendak bantu suamimu untuk
mendapatkan kitab itu guna dipakai menjilat-jilat doma, guna
memperoleh kebesaran, nanti aku serahkan kitab ini padamu!"
AnghoaKuibo menjerit, dengan tongkatnya yang panjang
bagaikan toya, iahajar batu gunung hingga batu itu
menerbitkan suara nyaring dan hancur.
"Kau pandang aku orang semacam apa?" dia berteriak,
karena gusarnya. "Jikalau benar apa yang kamu katakan itu,
pergilah kamu bunuh atau cingcang suami bangsat itu! Tapi
ingat, bila kamu mendusta --- hm! --- Giok Lo Sat, pasti aku
hendak adu silat denganmu sampai ada keputusan menang
dan kalah!"
"Pergilah kau membuat penyelidikan!" Giok Lo Sat
menantang. "Sekarang ini kau percaya perkataannya
Bouvvyong Ciong, kau tak sudi percaya aku, maka jagalah
nanti, setelah penyelidikanmu, jikalau kau tidak haturkan maaf
padaku dan kau tidak mencari aku, akulah yang nanti cari kau,
untuk kita adu silat siapa yang menang atau kalah! Siapa yang
jeri terhadapmu" Hm!"
Anghoa Kuibo terbenam dalam kesangsian.
"Akan kucari Bouwyong Ciong untuk padu dia dengan
wanita ini!" pikirnya.
Terus dengan bawa tongkatnya ia pergi.
Habis mengumbar kemendongkolannya itu, Giok Lo Sat
menghela napas, air matanya pun turun meleleh. Ia tak
pedulikan kepergiannya Biang Hantu itu.
"Him Kengliak ada seorang yang baik tetapi ia terbinasa
secara kecewa, sungguh sayang," keluhnya.
It Hang terharu. Sejak ia kenal si nona, belum pernah ia
melihat orang mengeluarkan air mata. Maka sekarang tahulah
ia kesucian hati si nona, bahwa dia benar-benar berduka
Giok Lo Sat seka air matanya.
"Benarlah kata-katanya Siauw Giam Ong!" berkata si nona.
"Mengandal pemerintah untuk menangkis serangan penyerbu
asing adalah sama dengan harapkan matahari terbit dari
barat!..."
"Siapa itu Siauw Giam Ong?" It Hang tanya.
"Dialah satu enghiong sejati!" sahut si nona. "Kelak di
belakang hari, dialah yang akan menggantikan kerajaanBeng!"
Pemuda itu heran. Belum pernah ia dengar si nona puji lain
orang. Giok Lo Sat berkata pula: "Memang harus dikasihani
kebinasaannya Him Teng Pek, akan tetapi, tanpa dia
bukannya tak ada lain orang lagi yang nanti sanggup tangkis
musuh asing!"
"Mendengar gelarannya saja, rupanya dia satu orang gagah
dari kalangan Rimba Hijau," It Hang kata.
"Memang!" si nona jawab.
Pemuda itu diam, sejenak.
"Sekarang ini angkatan perang pemerintah berkumpul di
Barat utara," katanya kemudian, "di Siamsay, semua tiga
puluh enam rombongan tentara pemberontak telah tersapu
musnah, maka itu, kenapa kau masih saja berkecimpungan
dalam dunia Rimba Hijau?"
Giok Lo Sat kerutkan alisnya. Tapi dalam sekejap saja ia
beriang gembira pula. Ia tertawa.
"Tiga tahun kita tidak bertemu, maka sekarang ini baik kita
jangan bicarakan lagi hal itu," katanya. Terus dia
perdengarkan suitan nyaring dari mulutnya, atas mana,
sebentar saja, muncul beberapa serdadu wanita yang
bertugas meronda, yang menyambut padanya, "Mari!" ia
mengajak. It Hang ikut mendaki bukit.
Sengaja Giok Lo Sat jalan mutar, untuk sekalian meronda
sarangnya itu, maka It Hang dapatkan, walaupun kecil, bukit
itu bagus keletakannya. Puncaknya juga merupakan satu
bentuk harimau, yang mementangkan mulutnya menghadapi
lembah. "Lembah ini mirip dengan taman toh gaib," pikirnya. "Tidak
gampang-gampang untuk tentara negeri menyerbu kemari?"
Matahari baru meninggi maka pemandangan alam waktu
itu ada indah sekali, sedang lembah pun sunyi dan tenang.
Berbeda adalah sang puncak, yang ditutupi mega, yang asyik
memain, memperlihatkan keindahannya.
Memandang kebesaran alam itu, Giok Lo Sat menghirup
hawa, pikirannya tidak keruan. Ia cekal tangan si anak muda
sambil menanya: "Apakah benar kau berniat pulang ke Butong
san untuk memangku apa yang disebut ketua kaummu?"
Hatinya si anak muda goncang.
"Budinya guru ada sangat besar, walaupun aku sendiri tak
setuju tetapi apa boleh buat," ia jawab.
Tiba-tiba saja si nona tertawa geli.
"Untuk membalas budi guru, tidak selalu orang mesti jadi


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ahli waris!" katanya. "Umpama..."
"Umpama apakah?" tanya si anak muda cepat.
"Umpama kau dapatkan seorang kaum Rimba Persilatan
yang sama maksud dan tujuannya dengan siapa kau tinggal
bersama-sama dalam sebuah gubuk di atas gunung, untuk
pahamkan lebih jauh ilmu silat, hingga nanti di belakang hari
kau peroleh kesempurnaan dengan apa kau sanggup
membuat gilang gemilang namanya Butong pay. Bukankah itu
ada suatu jalan untuk membalas jasa baik gurumu?" kata si
nona. "Aku minta kau maklum yang aku omong terus terang.
Kaum Butong pay itu, meskipun benar namanya ada sangat
terkenal, akan tetapi ilmu pedang kaummu, Tatmo Kiam,
sudah hilang dari muka bumi ini, dan sampai sekarang ini,
kamu tidak punyakan lagi ilmu silat dengan mana kamu bisa
bikin takluk dunia. Nama kosong itu tak dapat diandalkan
untuk selama-lamanya. Oleh karena kau memikirkan
kebaikannya Butong pay, sudah selayaknya kau yakinkan lebih
jauh ilmu silatmu, supaya kau punyakan semacam kepandaian
yang istimewa..."
Mendengar itu. hatinya It Hang bimbang. Memang benar
apa yang dikatakan si nona. Dan ia insaf, kecuali Giok Lo Sat,
tidak nanti ada orang kedua lainnya yang berani atau sudi
mengutarakan demikian. Ia tahu setelah Cie Yang Tiangloo,
Butong pay mulai memasuki saat kemundurannya. Jadi
penting sekali tugas memajukan pula Butong pay. Di lain
pihak, ia akui kebenarannya si nona. tapi ia anggap nona itu
terlalu sangat mementingkan kegagahan silatnya, sampai dia
lupa kepada kebijaksanaan untuk dipakai menakluki orang.
Kekerasan saja tak cukup buat memegang pimpinan dalam
kalangan Rimba Persilatan.
Segera It Hang sampai pada soal yang membuatnya
bimbang, la mengerti sikapnya si nona, Teranglah nona itu
inginkan ia jadi kawan untuk selamanya, buat bersama-sama
juga meyakinkan ilmu silat terlebih jauh. Memang maksud itu
baik sekali, sebab itu berarti, ilmu silat mereka kedua pihak
dapat digabung jadi satu. Ilmu pedang si nona memang ada
istimewa. Pasti kalangan persilatan akan jadi bercahaya
karena pergabungan kedua ilmu silat mereka. Dan, di samping
itu, kecuali liehay ilmu silatnya, Giok Lo Sat juga ada sangat
cantik dan manis, sungguh orang akan merasa sangat
beruntung seumur hidupnya siapa yang bisajadi
pasangannya... Akhir-akhirnya pemuda ini menghela napas.
"Aku kuatir impian manis tak akan kekal abadi..." pikirnya.
"Aku kuatir ini hanya impian di musim semi saja... Semua
paman guruku pandang dia sebagai musuh besar! Tak dapat
aku nikah dia kecuali aku keluar dari Butong pay. Dan aku pun
ada turunan keluarga sasterawan, telah aku terima ajaran
ayah dan guru bahwa tak dapat aku berjodoh dengan siapa
yang dinamai hantu wanita dari Rimba Hijau... Sungguh
sayang kecantikannya ini, sayang jodohku tipis... Benar-benar
tidak ada harapan untuk kita berdua bisa hidup bersama-sama
sampai di hari tua..."
Demikian pemuda ini melamun, hingga Giok Lo Sat, yang
mengawasi padanya, menjadi heran. Nona ini tak tahu apa
yang dipikir pemuda itu, bahwa orang sebenarnya sedang
menempuh gelombang hebat! Maka ia tertawa, ia tarik tangan
orang. "Ah, anak tolol!" katanya. "Apakah yang kau sedang
pikirkan?"
It Hang angkat kepalanya, ia pandang nona di depannya
itu. "EnCie Lian," katanya, "memang bukannya aku tidak
memikirkan untuk mendapatkan satu kawan dengan siapa aku
bisa bersama membuat sebuah gubuk di atas gunung, hanya,
hanya..." Ia tak dapat segera lanjutkan kata-katanya itu.
"Hanya apa?" si nona tanya.
Lemah hatinya si anak muda, ia jadi masgul.
"Hanya aku mesti tunggu lagi beberapa tahun, baru dapat
aku bicarakan pula..." sahutnya ragu-ragu, suaranya tak
tegas. Giok Lo Sat menjadi putus asa, tanpa ia inginkan, sebelah
tangannya menyambar memetik setangkai bunga hutan di
sampingnya. Ia berdiam.
It Hang lihat sikap orang.
"Bunga ini sungguh indah!" katanya, dengan sengaja. "Eh,
salah!... EnCie Lian, dibanding sama bunga ini, kau terlebih
indah lagi... kau sangat cantik..."
Si nona menoleh, ia bersenyum duka. Ia pun lemparkan
bunga di tangannya itu.
"Memang bunga ini indah," katanya, "akan tetapi
seperginya musim semi, dia bakal rontok, terbang terbawa
angin. Tapi sang bunga ada baiknya, setelah tahun ini, lain
tahun dia dapat mekar pula. Tapi bagaimana dengan
manusia" Setelah lewat beberapa tahun, lewat lagi beberapa
tahun, ya, beberapa tahun pula, maka putihlah semua rambut
kepalanya, hingga, berbareng dengan itu, kecantikannyapun
berubah menjadi jelek!"
Goncang pula hatinya It Hang. Ia mengerti kenapa si nona
menyebut-nyebut "beberapa tahun!" itu berulang-ulang. Ia
ingat akan pepatah, "Bagaikan bunga manisnya keluarga,
bagaikan air kekal abadi mengalirnya". Dan ia sekarang" Ia
lantas jadi sangat berduka, sampai air matanya mengembeng.
Giok Lo Sat lihat kedukaan orang, sebaliknya ia tertawa.
"Anak tolol!" katanya gembira. "Segala sesuatu ada pada
manusia, mengapa kau menangis?"
Ia lantas dekati pemuda itu, hingga It Hang dapat mencium
bau yang harum, hingga hatinya bergelombang. Hampir saja
ia tak dapat mengatasi diri, hampir ia beber isi hatinya. Tibatiba
saja ia seperti membayangkan wajah dari beberapa
paman gurunya, terutama wajah dari Pek Sek Toojin, yang
bagaikan mendelik terhadapnya. Maka ia pun berpikir: "Jikalau
aku tidak pedulikan lagi segala apa dan menikah dengan Giok
Lo Sat, pasti aku bakal dicaci sebagai pendurhaka guru!
Jikalau aku sampai tercemar secara demikian, mana dapat
kelak aku bertemu dengan sesama kaum Rimba Persilatan?"
Karena ini, ia jadi menjublek saja.
Giok Lo Sat sambar pula setangkai bunga, ia remas itu
hancur dan melemparkannya ke arah lembah.
It Hang bisa saksikan bagaimana hancurnya bunga itu
beterbangan jatuh di antara sampokannya sang angin.
"EnCie Lian," tiba-tiba ia kata, "kecantikanmu harusnya
menjadi seperti bunga yang tak dapat layu dan rusak..."
"Manusia tolol, kau sedang bermimpi!" kata si nona sambil
tertawa. "Di mana di kolong langit ada manusia yang muda
selama-lamanya" Coba Thian ada bagaikan manusia, banyak
berpikir, banyak kedukaannya, pasti Thian juga bisa menjadi
tua seperti manusia! Demikian pun kita, setiap kali kita
bertemu, setiap kali ada sedikit kekurangannya, maka jikalau
lain kali kau bertemu pula denganku, aku kuatir yang
rambutku telah putih semuanya sebagai rambut neneknenek!"
Lagi-lagi hatinya It Hang goncang.
"Giok Lo Sat benar-benar cerdas sekali," pikirnya. "Dia tidak
banyak baca buku, dia tidak bisa membuat syair, toh katakatanya
tajam, menarik hati."
Si nona tak tahu apa yang dipikirkan anak muda itu, ia
tertawa dan melanjutkan pula: "Jikalau nanti rambutku telah
ubanan semua, aku kuatir kau memandangnya pun tak sudi!"
It Hang tahu orang desak ia, akan tetapi benar-benar ia
sulit menjawabnya. Maka ia cuma bisa tertawa dibuat-buat,
untuk mengelakkan soal itu, iakata: "Jikalau nanti rambutmu
ubanan, akan aku pergi mencari obat dewa untuk memulihkan
pula usia mudamu!"
Tapi, mendengar itu, si nona menghela napas.
"Ah, kau tak mengerti aku..." katanya di dalam hati. "Aku
omong benar-benar, kau sebaliknya main-main..."
Karena berduka, ia jadi berdiam. Ia menengadah, akan
memandang langit, hingga ia lihat matahari sudah naik tinggi.
Bagaikan orangyang sadar dari mimpinya, ia berseru: "Ah, hari
sudah siang! Kenapa adik San Ho masih belum kembali?"
Girang It Hang mendengar itu.
"Oh, apakah San Ho ada bersamamu?" tanyanya.
Si nona manggut.
"Kita harus pertemukan dia dengan saudara Beng Kie!" It
Hang kata dalam kegembiraannya, "sejak meninggalnya Him
Kengliak, hatinya saudara Beng Kie telah menjadi tawar, mesti
ada satu orang yang dapat menghibur dia"
Mendengar ini, Giok Lo Sat berpikir: "Urusanmu sendiri kau
tidak pedulikan, sekarang kau hendak campuri jodoh lain
orang! Kalau Gak Beng Kie perlu dihibur orang, bagaimana
dengan aku" Bukankah aku juga perlu orang yang dapat
menghiburnya?"
Tapi nona ini telah pandang San Ho sebagai adik sejati, ia
girang juga mengetahui ada orang yang perhatikan
kepentingannya adik itu.
"Mana dia orang she Gak itu?" dia tanya.
"Tadi malam kita pasang omong dalam satu pembaringan,"
It Hang jawab. "Ketika kita dengar kedatangannya Bouwyong
Ciong, kita membuat perjanjian untuk bertemu lagi nanti. Aku
telah suruh dia mencoba meloloskan diri terlebih dahulu. Kita
berjanji supaya dia kembali ke kuil Cenghie koan. Apa yang
tidak kusangka adalah kau sudah datang menyusul
rombongannya Bouwyong Ciong dan kau sudah lantas seret
aku kemari. Tidak apa andaikata Beng Kie tidak dapat cari
aku, hanya aku kuatirkan paman guruku, Pek Sek Toojin, dia
bisa gusari pemuda itu."
Mengenai itu, Giok Lo Sat tidak bilang suatu apa.
"Baru-baru ini aku telah bersikap keliru terhadapnya, entah
dia gusari aku atau tidak?" tanyanya.
"Sebaliknya!" sahut It Hang. "Jikalau ketahui San Ho ada
bersama kau di sini, dan bila ia ketahui juga bagaimana kau
bersungguh hati menjadi orang perantara untuk jodoh mereka
berdua, pasti dia akan sangat bergirang!"
Mukanya si nona menjadi merah sendirinya. Jengah ia
kalau ingat bahwa ia telah menjadi tukang rekoki jodoh.
Selama pemuda dan pemudi ini pasang omong dengan
asyik, semua liauwlo undurkan diri jauh-jauh, sampai
mendadak, setelah pembicaraan kedua orang muda itu,
mereka dengar pemimpinnya berseru: "Beberapa dari kamu
lekas pergi turun gunung untuk memapak Tiat CeeCu!"
Titah itu dituruti dengan segera. Beberapa serdadu wanita
itu sudah lantas pergi turun gunung
"Apakah tak akan terjadi onar apa-apa?" It Hang tanya
"Tentara dalam kota sudah terbasmi habis, jumlah rakyat
penderita tak kurang dari sepuluh ribu jiwa," sahut si nona
"maka itu andaikata ada datang bala bantuan lagi beberapa
ribu jiwa, mereka tak akan dapat berbuat suatu apa. Di
samping itu, selama belakangan ini, ilmu silatnya adik San Ho
telah maju pesat sekali, maka aku percaya dia akan dapat
kembali dengan tak kurang suatu apa."
Meski ia mengucap demikian, Giok Lo Sat toh terpengaruh
juga pada pertanyaan si anak muda, ia merasa sedikit kurang
tenteram, maka seperti si anak muda, ia memandang jauh ke
kaki gunung... Sementara itu di dalam kota, San Ho dan barisannya,
dengan pimpin rakyat yang menderita, sudah hajar lumpuh
tentara negeri, hingga tentara itu terbinasa, terluka dan kabur,
sehingga kantor camat dapat dibakar, gudang negara bisa
diserbu, untuk merampas rangsum. Sambil membongkar
rangsum itu, rakyat murka bukan main, karena gudang masih
penuh padat dengan simpanan rangsum dari tahun yang baru
silam, yang masih belum habis. Sudah kepalang tanggung,
rakyat yang kalap itu juga menggedor rumah-rumah orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
orang hartawan di dalam kota. Hingga setelah terang tanah,
semua rakyat bubar dengan rata-rata menggondol banyak
barang-barang yang diperolehnya dari gedoran itu. Karena
mereka bukan tentara, mereka kelihatan tak teratur.
"Sayang EnCie Lian hanya kehendaki tentara wanita," pikir
San Ho apabila ia saksikan jumlah rakyat demikian besar,
"kalau tidak, apabila rakyat kelaparan ini dipersatukan, mereka
pasti bakal merupakan satu pasukan perang yang berarti.
Dengan ini dapat kita serang kota besar..."
Menampak rakyat sudah bubar semua, San Ho juga ajak
barisannya undurkan diri dari kota untuk berangkat pulang. Ia
bersyukur karena tidak ada tentaranya yang terbinasa atau
terluka. Selagi San Ho berjalan pulang, rombongan Bouwyong
Ciong sedang turun gunung, setelah kekalahannya yang
membuat ia malu, mendongkol dan menyesal. Ada dua belas
pahlawan dari TongCiang yang dilukai
Giok Lo Sat, delapan lagi terlukai pihak Butong pay. Yang
tidak terluka ada enam belas orang. Maka ketika pulang,
terpaksa yang lukanya parah mesti digendong kawannya yang
selamat, dan yang lukanya enteng saling bahu membahu.
Bouwyong Ciong juga ambil jalan dari belakang Cenghie
koan, lalu di rimba di tepi bukit, ia ajak rombongannya
berhenti dulu untuk beristirahat. Ia telah lihat api berkobar di
kota, tapi ia tidak tahu apa yang sudah terjadi, ia melainkan
bisa menduga-duga. Tak tahunya rakyat sedang mengamuk.
Justeru di saat ia berniat mengirimkan orang ke kota, guna
mencari tahu " sebab waktu itu sudah terang tanah -- tibatiba,
ia dengar suara mengaungnya panah bersuara. Suara itu
adalah tiga kali panjang dan dua kali pendek. Dengan tiba-tiba
saja ia bergembira.
"Bagus!" demikian ia berseru. "Eng Siu Yang berantai tak
kurang suatu apa, kita tak usah lagi pergi ke kota untuk
mencari kabar!"
Sebenarnya tugas Bouwyong Ciong ini, di samping
menawan Gak Beng Kie ia juga mesti menyelidiki kabar perihal
aksi "bandit" di propinsi SuCoan. Karena waktu itu Thio Hian
Tiong dan Lie Cu Seng sedang berada di propinsi itu.
Eng Siu Yang sendiri, setelah berlalunya Cio Hoo, sudah
lantas dapatkan kedudukannya orang she Cio itu dalam
pasukan pahlawan Kimiewie. Maka itu Gui Tiong Hian, kecuali
dia kirim Congkauwtauw, atau kepala dari TongCiang, yaitu
Bouwyong Ciong yang terliehay, dia juga telah kirim orang she
Eng ini, maksudnya adalah agar rombongan TongCiang dan
rombongan Kimiewie itu bekerja sama menawan musuhmusuh


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

negara sambil menyelidiki sepak terjang musuh.
Malam itu ketika Bouwyong Ciong menyerbu ke Cenghie
koan, Eng Siu Yang berdiam di dalam kota. Mereka telah
berjanji akan melepaskan tanda panah nyaring itu apabila
mereka hendak membuat perhubungan satu pada lain. Kedua
pihak sama-sama tak mengetahui keadaannya masing-masing.
Bouwyong Ciong melepaskan juga panah nyaring, untuk
menyambut pertandaan dari kawannya itu, maka tak lama
kemudian, muncullah Eng Siu Yang, yang berkawan bersama
empat pahlawan Kimiewie.
"Hai! kenapa kamu?" teriak Eng Siu Yang dengan
pertanyaannya, karena ia kaget menampak orang longpwee
dalam keadaan kurat-karit. Ia lihat begitu banyak pahlawan
TongCiang yang terluka. "Apakah orang-orang Butong pay
berani melawan kamu?"
"Bukan cuma pihak Butong pay," sahut Bouwyong Ciong
dengan masgul. "Telah muncul juga itu hantu wanita, hingga dari sepuluh
bagian saudara-saudara kita, sembilan bagian terluka
olehnya..."
"Ah!" seru Eng Siu Yang dengan keheranan. "Tadi malam
aku saksikan dia di antara rakyat kelaparan yang mengacau
kota, mengapa dia bisa lantas datangi Cenghie koan untuk
satrukan kamu?"
Bouwyong Ciong kertak giginya. "Hantu wanita itu sangat
liehay!" katanya dengan sengit. "Dia pergi dan datang
bagaikan angin, maka itu sukar untuk berjaga-jaga! Jikalau ia
tidak disingkirkan, akhirnya dia dapat mencelakai kita!"
Sepasang alisnya Eng Siu Yang bangkit.
"Untuk singkirkan dia, sekarang adalah waktunya..."
katanya, yang rupanya telah mendapat daya upaya.
"Apakah dayamu?" tanya Bouwyong Ciong. "Nampaknya
kau gampang saja mendapat akal..."
Belum sampai Eng Siu Yang menyahut atau di samping
mereka berkelebat satu bayangan.
"Siapa kau?" tegur Bouwyong Ciong, kaget.
Atas teguran itu, muncullah satu orang, melihat siapa,
Bouwyong Cjong semua berlega hati.
"Hai, Kim Laokoay, bagaimana dengan lukamu?" tanya si
kepala pahlawan she Bouwyong.
Bayangan itu adalah bayangannya Kim Tok Ek si Tangan
Pasir Beracun. Setelah dilukai Giok Lo Sat dan menggelinding dari atas
bukit, Kim Tok Ek menyembunyikan diri dalam tumpukan
rumput. Ia lihat cahaya api berkobar di dalam kota tetapi tidak
berani ia pergi pulang. Ia terus sembunyikan diri sampai ia
dengar suatu tanda panah nyaring yang pertama, yang
kemudian disambutnya pula. Demikian ia muncul di antara
kawan-kawannya.
"Masih syukur!" tertawa Tok Ek. "Aku tidak sampai menjadi
si pincang!"
Lukanya Kim Tok Ek tidak terlalu berbahaya sebab
pedangnya Giok Lo Sat tidak meminta jiwanya, benar ia telah
peroleh kemunduran tetapi dasar mulanya tangguh, tubuhnya
tetap kokoh kuat, setelah pakai obatnya, ia dapat kumpulkan
lagi tenaganya dan bisa berjalan seperti biasa.
"Jikalau hantu wanita itu belum dicingcang, tak dapat aku
puaskan hatiku!" katanya dengan sengit. Sebaliknya,
menampak demikian banyak pahlawan yang terluka, dia
ulurkan lidahnya.
"Sayang enso tak sudi membantu kita!..." kata Bouwyong
Ciong sambil tertawa. Dengan enso ia maksudkan isterinya
Kim Tok Ek yang telah ditugaskan Bouwyong Ciong sembunyi
di dekat kelenteng Cenghie koan, maka itu, si Biang Hantu tak
dapat bertemu sama suaminya itu, malah oleh Bouwyong
Ciong dia telah diperdayakan hingga dia pergi ke Benggoat
kiap. Tentang diperdayainyaisteri ini, Tok Ek tidak tahu
menahu. "Enso telah datang kemari!" berkata Eng Siu Yang sambil
tertawa. Tok Ek terperanjat, sampai ia bergidik sendirinya.
"Apakah kamu telah bertemu dengan dia?" tanyanya.
"Ya. Tadi malam tak sempat kita memberitahukan
kepadamu. Mungkin sekarang, dia sedang bertempur dengan
Giok Lo Sat..." Bouwyong Ciong terangkan.
Kim Tok Ek berjingkrak.
"Ah, kamu tidak kenal tabiat dia!" katanya dengan
menyesal. "Jikalau dia ketahui bahwa dia telah diperdayakan
kamu, mungkin dia tidak cari Giok Lo Sat, sebaliknya dia
tentulah akan mencari kamu untuk melampiaskan
kemendongkolannya itu..."
"Itulah tak mungkin!..." tertawa Bouwyong Ciong. Tapi,
walaupun dia tertawa, sebenarnya dia jeri.
"Jangan kuatir," Eng Siu Yang menghibur. "Aku mempunyai
daya..." "Bagus! Tadi kau bilang kau ada punya akal untuk
singkirkan Giok Lo Sat, coba sekarang kaujelaskan."
"Giok Lo Sat telah menculik To It Hang, bukankah itu kau
telah lihat sendiri?" Eng Siu Yang balik menanya.
"Tidak salah!" sahut Bouwyong Ciong.
"To It Hang itu ketua dari Butong pay," Siu Yang
menjelaskan. "Kalau satu ketua kena diculik orang, itulah hal
yang sangat membuat malu pada partainya, terutama bagi
beberapa tetua dari Butong pay. Karena itu, baiklah kita
mengadakan perdamaian dengan Pek Sek Toojin, kita bikin
musuh menjadi sahabat, lalu bersama-sama dia kita pergi
serang Benggoat kiap."
Bouwyong Ciong adalah orang yang anggap dirinya sendiri
sebagai seorang kosen kelas satu, sebagai satu enghiong,
maka itu mendengar pikirannya kawannya ia kerutkan alisnya.
"Dengan cara demikian, walaupun dapat kita singkirkan
Giok Lo Sat, kita akan ditertawakan orang-orang gagah di
kolong langit ini..." katanya, masgul dan ragu-ragu.
Eng Siu Yang membungkam, meski ia sangat tidak puas
dengan kata-katanya orang itu. Biar bagaimana, Bouwyong
Ciong ada seatasannya, tak dapat ia berselisih dengan sep itu.
Kim Tok Ek adalah lain. Si Tangan Pasir Beracun ini kata:
"Sebenarnya, umpama kita berserikat dengan pihak Butong
pay itu tidak ada salahnya. Tapi karena Bouwyong Toako tidak
setuju, baiklah kita mencari daya lain."
Kedua matanya Eng Siu Yang berputar. Rupanya ia segera
dapat pikiran lain.
"Tanpa andalkan tenaganya pihak luar, kita memang masih
dapat singkirkan si hantu wanita itu!" katanya pula.
Tapi Bouwyong Ciong menggeleng kepala
"Pahlawan-pahlawan yang kita bawa telah terluka lebih dari
separuhnya," kata sep ini, "di samping itu, berhubung dengan
pemberontakan rakyat di dalam kota, pengaruhnya Giok Lo
Sat dengan sendirinya menjadi bertambah. Oleh karenanya,
tidak mudah bagi kita untuk menyingkirkan dia?"
"Bouwyong Toako ketahui satu tidak yang dua," berkata
Eng Siu Yang. "Memang rakyat jelata yang kelaparan itu
berjumlah besar, akan tetapi mereka adalah satu gerombolan
saja. Habis merampas rangsum, pasti mereka bubar
sendirinya. Tadi malam aku saksikan sendiri, barisan wanita
dari Giok Lo Sat, yang masuk ke dalam kota, jumlahnya tak
sampai seratus jiwa. Aku anggap, meskipun jumlah kita
banyak yang terluka, kita tak usah jeri terhadap mereka!"
"Memang, menghadapi seratus lebih serdadu wanita, tak
usah kita jeri," kata Bouwyong Ciong. "Bagaimana dengan
Giok Lo Sat sendiri" Apakah kebutan Tiathudtimmu dapat
menandingi pedangnya?"
Ditanya begitu, Eng Siu Yang berjengit, ia menyeringai.
Lalu ia batuk-batuk. Tapi segera ia tertawa.
"Memang aku bukanlah tandingannya Giok Lo Sat," ia
mengaku. "Akan tetapi kau, Bouwyong Toako, kau toh tidak
akan mengaku kalah terhadap hantu wanita itu?"
"Jikalau ilmu silat saja yang diandalkan, dia bukanlah
tandinganku," sahut Bouwyong Ciong, "tetapi dia sangat
liehay ilmu entengkan tubuhnya, kegesitannya ini membikin
aku tak dapat berbuat suatu apa..."
Bouwyong Ciong tidak omong besar. Di dalam hal
Iweekang, ia memang lebih sempurna, kepalannyapun tak ada
yang lawan. Tapi menghadapi si nona kosen, ia kalah dalam
kelincahan. "Inilah soalnya!" kata Eng Siu Yang tertawa. "Sebabnya
kenapa tadi malam kamu kena dirugikan adalah karena
rombongan imam dari Butong pay telah satrukan kamu. Tidak
demikian, jikalau Giok Lo Sat sendiri saja, dia pasti tidak
sanggup melayani lama-lama. Malah untuk bela diri saja,
mungkin dia tak berdaya."
"Ah, mengertilah aku maksud Eng Toako," Kim Tok Ek
menyelak. "Bukankah toako kehendaki kita mendahului pergi
ke Benggoat kiap, untuk di depan selat itu, di tempat yang
berbahaya, kita cegat padanya?"
"Benar!" Eng Siu Yang membenarkan. "Saudara-saudara
kita yang tidak terluka dapat melayani tentara wanita.
Bouwyong Toako bersama Kim Toako berdua harus bekerja
sama melayani Giok Lo Sat, dengan begitu, tak peduli dia
lincah bagaimana, dia pasti tidak akan lolos dari tangan kita.
Aku sendiri, yang bodoh, dengan andalkan kebutanku, nanti
aku bantu melawan dia, buat beberapa jurus saja. Ketika aku
membolos dari dalam kota, aku lihat dia sedang kumpulkan
barisannya, maka itu sekarang mestinya dia tengah perjalanan
pulang ke sarangnya..."
"Apa" Dia telah kembali ke kota?" tanya Bouwyong Ciong
yang berseru bahna herannya.
Sep ini tidak pernah menduga bahwa Eng Siu Yang sudah
berbuat keliru, ia telah kenali Tiat San Ho sebagai Giok Lo Sat.
"Sekejap saja, dari Cenghie koan dia sudah kembali pula ke
dalam kota, ilmu entengkan tubuhnya sungguh luar biasa..."
Bouwyong Ciong berpikir. Meski ia sangat kagum, ia masih
bisa gunakan otaknya. Maka ia tidak terlalu berkuatir. Ia tahu
benar, dengan ilmu silatnya saja, ia bisa bertanding seri
melawan si Raksasi Kumala, dengan bantuannya
Kim Tok Ek-tak peduli dia ini telah mundur banyak " ia
mempunyai harapan untuk menang. Apa lagi di antara mereka
masih ada Eng Siu Yang.
"Baiklah," akhirnya ia ambil putusan. Dan segera ia titahkan
pada sisanya lima belas pahlawan untuk mereka ini maju ke
selat Benggoat kiap guna mencegat jalan pulang dari
barisannya si hantu wanita.
Semua pahlawan yang terluka diminta menunda
perjalanannya pulang ke kota, mereka itu diberi satu kawan
yang sehat, yang akan jadi kepala mereka.
"Sekarang segala apa sudah siap," Eng Siu Yang berkata
kemudian. "Mengenai enso Kim, yang telah diperdayakan oleh
Bouwyong Toako, telah aku sedia dayanya untuk membuat dia
pergi ke Benggoat kiap. Kim Toako, jangan kau kuatirkan apa
jua!" Kim Tok Ek jadi besar hati dan girang.
Demikian rombongan ini tidak menunggu sampai matahari
mencorong sudah lantas ubah tujuan, ialah dengan ambil jalan
memotong, mereka berangkat ke selat Benggoat kiap. Dengan
cepat mereka telah sampai di sebelah depan selat di mana
mereka lantas cari tempat guna mencegat jalan pulang dari
barisannya Giok Lo Sat.
Tiat San Ho bersama barisannya pulang dengan gembira.
Mereka membawa oleh-oleh dari kota Konggoan dengan
menggunakan dua ekor kuda.
Di sepanjang jalan, barisan wanita ini tidak kekurangan
suatu apa untuk dahar dan minum, tidak usah mereka masak
sendiri. Rakyat sepanjangjalan selalu memapak mereka
dengan suguhan barang makanan, dan air teh. untuk
menangsel perut dan menghilangkan dahaga.
Sesudah berjalan jauh kira satu jam, San Ho mulai
memasuki daerah gunungnya. Sejak itu, mereka tidak lagi
menerima sujutannya rakyat jelata.
Selagi jalan, San Ho memandang ke langit di mana ia
tampak matahari merah dan besar bagaikan bola api, karena
gembira, ia tertawa.
"Pasti enCie Lian sedang menantikan dengan hilang
sabarnya..." katanya seorang diri.
Masih mereka berjalan serintasan, baru mereka sampai di
mulut selat. Di kiri dan kanannya ada bukit-bukit yang seolaholah
menjepit selat itu. Di kedua tepinya, selain batu-batu
gunung, kedapatan juga banyak pohon-pohon yang
menyerupai rimba, malah ada rumput alang-alang yang tinggi
sebatas dada. "Tidak dapat kuda mendaki bukit," kata San Ho pada
orang-orangnya. "Semua barang harus diturunkan dan kuda
ditinggalkan, biarkan semuanya pergi makan rumput."
Tapi belum sempat mereka itu bekerja, atau tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara sangat berisik, disusul dengan
munculnya segerombolan orang-yang muncul di sekitar
mereka! Kim Tok Ek perlihatkan diri paling dulu, ia juga perlihatkan
wajah menyeringai serta suara tertawa yang seram.
"Eh, kiranya nona Tiat!" demikian ejekannya. "Mana Giok
Lo Sat?" San Ho kaget, tetapi meski demikian, dia lompat maju
dengan seruling kumalanya, untuk menotok.
Kim Tok Ek berkelit ke samping sambil menyampok.
"Kim Laokoay, kau berani main gila?" tegur puterinya Tiat
Hui Liong. "Ingat olehmu, ayah pasti tak dapat memberi
ampun padamu!"
Teguran itu membuat orang she Kim itu mengkerat.
"Peduli apa dengan ayahnya!" seru Eng Siu Yang. "Tua
bangka she Tiat itu toh ada di Shoasay! Sekarang ini lebih
dulu kita bekuk gadisnya! Siapa suruh dia berkawan dengan si
hantu wanita?"
Kim Tok Ek tidak lihat Giok Lo Sat, akan tetapi ia kuatir Tiat
Hui Liong ada beserta gadisnya itu, tapi mendengar
keterangannya Eng Siu Yang ia berlega hati. Sebenarnya ia
jeri andaikata Giok Lo Sat dan Tiat Hui Liong bekerja sama.
Segera ia pentang telapak tangannya, yang lebar bagaikan
kipas, untuk mencengkeram nona she Tiat itu ?" pada batok
kepalanya! San Ho berkelit dan lompat ke samping, di mana ada satu
pahlawan, maka ia terus menotok pahlawan itu dengan


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata serulingnya yang liehay.
Pertempuran itu menyebabkan semua serdadu wanita dari
Benggoat kiap segera turun tangan untuk membantu
pemimpinnya. Tiga tahun San Ho ikuti Giok Lo Sat, ilmu
enteng tubuhnya telah memperoleh banyak kemajuan, maka
itu ia dapat lolos dari jambakannya Kim Tok Ek, siapa
sebaliknya terhadang oleh bekas luka di kakinya karena jago
ini sendiri telah mundur kepandaiannya.
"Bubar! Lekas mundur!" teriak San Ho apabila ia saksikan
majunya barisannya itu. la telah lihat keadaan mengancam
pihaknya. Eng Siu Yang sambuti peringatan itu dengan tertawanya
bergelak-gelak, lalu ia menyerbu di antara barisan wanita itu.
Barisan wanita dari Giok Lo Sat telah terdidik baik, akan
tetapi mereka bukanlah tandingan dari pahlawan-pahlawan
TongCiang, maka itu dalam pertempuran ini segera terdengar
jeritan-jeritan serta suara robeknya pakaian yang terkena
senjata. San Ho mengerti selatan, dengan kelincahan tubuhnya ia
gunakan ketika untuk lompat ke atas seekor kuda, kemudian
menyambar bungkusan yang didapatnya dari menggedor lalu
ia buka dan terus dilemparkan ke tanah, hingga terlihatlah
benda-benda itu bergemerlapan. Sebab oleh-oleh itu terdiri
dari uang perak, emas dan lain-lain barang permata.
Melihat ini beberapa pahlawan TongCiang menjadi kilaf,
mereka lompat untuk mengambil barang berharga itu.
"Lebih dahulu habiskan musuh, baru ambil barangnya!"
teriak Bouwyong Ciong. "Siapa langgar titah ini, dia akan
dihukum mati!"
Perbuatannya beberapa pahlawan itu memberikan
kesempatan pada San Ho. Ia jepit perut kudanya, ia gentak
lesnya. Karena kaget dan sakitnya, kuda itu meringkik keras
sambil berjingkrak dan berlompat, maka si nona lantas saja
menyerbu ke mulut lembah yang kedua.
Benggoat kiap memang mempunyai banyak tikungan, dan
banyak mulut selatnya yang merupakan pintu, maka itu San
Ho tidak sudi melayani musuh, ia lebih perlukan masuk ke
sebelah dalam. Ia pikir, bila ia dapat sampai di mulut selat
yang ketiga, di sana ia nanti akan berteriak-teriak minta
tolong, teriakannya itu pastilah dapat didengar Giok Lo Sat.
Barisan wanita dari Benggoat kiap taat kepada titah
pemimpinnya, mereka lantas lari menyingkir ke empat
penjuru, untuk terus merayap naik ke lereng-lereng bukit.
Karena mereka semua kenal baik tempat itu, ke mana saja
mereka menyingkir, mereka dapat selamatkan diri.
"Tangkap berandal dan bekuk rajanya!" teriak Eng Siu
Yang. "Bekuklah anak ayam itu!"
Dia maksudkan Tiat San Ho.
"Ya, bekuklah dulu budak perempuan itu!" Kim Tok Ek
sambuti seman itu.
"Setelah diringkus, mustahil dia nanti tidak menyebutkan di
mana adanya GiokLo Sat!"
Letaknya Benggoat kiap membuat orang sukar untuk
melayani serdadu-serdadu wanita yang semuanya gesit itu.
Lagi pula bertempur di tempat demikian ada sedikit sulit. Maka
Bouwyong Ciong setuju sekali dengan seruannya Kim Tok Ek.
Memang itu adalah cara yang paling baik untuk pancing Giok
Lo Sat keluar. Dengan lekas ia rampas seekor kuda, lalu ia
kabur untuk mengejar Tiat San Hong.
Nona Tiat kenal baik selat itu, ia tahu betul di manajalan
yang banyak batunya dan tidak rata dan sukar untuk dilalui. Di
sini ia tidak kaburkan, kudanya, sebaliknya, dia terjang hutan
alang-alang yang tinggi-tinggi. Hutan itu kelihatannya
berbahaya, tetapi tidak ada batunya, maka menyingkir di
hutan ini ada lebih aman.
Sebentar saja, San Ho sudah lihat mulut selat yang
merupakan pintu kedua. Ia gentak kudanya supaya lari lebih
keras. Dengan berani Bouwyong Ciong pun terjang hutan alangalang
untuk menyandak si nona. Tiba-tiba saja kudanya
tersungkur pada sebuah batu besar. Tidak ampun lagi,
binatang itu berbunyi keras dan robohlah berbareng dengan
penunggangnya. Justeru itu, San Ho sudah sampai di mulut gunung yang
kedua. Congkauwtauw dari pahlawan istanajadi sangat gusar, dia
gulingkan tubuhnya untuk lompat bangun, menyusul mana, ia
sambar batu yang membikin kudanya terguling, batu itu ia
pakai untuk menimpuk. Dia memang bertenaga besar dan
liehay dalam ilmu menimpuk.
San Ho tengah kaburkan kudanya ketika mendadak
kudanya itu berbunyi keras dan terus roboh, karena hebat
sekali dia kena tertimpuk batu lancip itu. Karena ini, si nona
turut roboh juga, sampai ia tak berkutik lagi.
"Jangan-jangan nanti mati bocah itu!..." kata Tok Ek,
berkuatir. Bouwyong Ciong pun heran, hingga di dalam hatinya ia
berkata: "Kenapa sih budak ini tak berguna" Mungkinkah dia
mati benar-benar" Aku justeru berniat membekuk dia hiduphidup
untuk pancing keluar Giok Lo Sat, tidak ada dalam
pikiranku untuk menanam bibit permusuhan dengan Tiat Hui
Liong..." Karena ia ingin mendapat kepastian, Congkauwtauw ini
lantas bertindak maju, untuk menghampiri nona itu, tapi
mendadak ia dengar sambaran angin ke arahnyaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sambaran dari beberapa batang anak panah yang kecil
mungil. Inilah perbuatannya Tiat San Ho yang telah
menyembunyikan sejumlah panah rahasia di dalam
serulingnya. Sambil mendekam, ia tiup serulingnya itu ke arah
musuh yang mendatangi padanya. Panah sumpitan itu
diarahkan ke dengkul kiri dan kanan.
Sama sekali Bouwyong Ciong tidak pernah menduga-duga
kepada senjata rahasia dari lawannya ini, dan serangan itu
datangnyartidak ke atas, hingga gampang dilihatnya,
melainkan ke bawah, maka terlambatlah ia dalam
menggerakkan kakinya untuk menyingkir. Hingga dengkulnya
yang kiri, tak ampun lagi, kena tersumpit panah rahasia itu!
Bouwyong Ciong adalah jago kenamaan, tapi dia toh kena
dibokong nona Tiat. Maka itu, bukan main gusarnya dia,
hingga dia berseru keras. Dengan dua jari tangannya dia jepit
panah sumpitan itu untuk dicabut.
"Biarpun kau bersayap dan terbang ke langit, mesti aku
bekuk padamu!" serunya dengan mengancam. Kemudian dia
lompat untuk menerjang.
San Ho sendiri, sehabisnya menyerang, sudah lantas
berbangkit, untuk lari ke arah mulut selat yang ketiga.
Bouwyong Ciong mengejarterus, dari kiri kanannya
menyusul Eng Siu Yang dan Kim Tok Ek, hingga gadisnya Tiat
Hui Liong dikejar dari tiga penjuru. Jarak antara mereka hanya
kira-kira dua puluh tindak.
XIII Sambil lari keras, San Ho masukkan ujung serulingnya ke
dalam mulutnya, ia tiup sekerasnya hingga seruling itu
perdengarkan suaranya beruntun beberapa kali. Mengikuti
tikungan yang dilewati, suara seruling itu jadi semakin keras
dan tinggi. "Ha, kau masih dapat meriangkan diri!" seru Kim Tok Ek,
yang menyangka orang masih dapat kesempatan untuk
meniup seruling.
Selagi orang berlari-lari, tiba-tiba pihak pengejar merasa
kakinya bergerak, yang disusul dengan satu suara keras dari
atas bukit. "Celaka! Salju uruk!" teriak Eng Siu Yang.
Teriakan itu disusul dengan jatuhnya potongan-potongan
es dari atas bukit yang menggelinding bagaikan batu-batu
besar. Pada waktu itu, kedua bukit Benggoat kiap ditutupi salju
yang membeku menjadi es, dan biasanya potongan-potongan
es itu menggelinding ke bawah hingga menutupi jalanan di
mulut selat. Kali ini potongan-potongan es itu merintangi
pengejaran Bouwyong
Ciong bertiga Tidak peduli mereka ini punyakan ilmu silat yang liehay,
mereka jeri terhadap "serbuan" es itu, terpaksa mereka
batalkan maksud mereka mengejar terus, sebaliknya, mereka
mesti lompat mundur, untuk menghindarkan diri dari serangan
es. Ketika mereka sampai di tempat yang selamat, kuping
mereka dirasakan hampir tuli oleh berisiknya suara potonganpotongan
es yang jatuh. Bouwyong Ciong masih penasaran, ia lihat San Ho sedang
lari di lain arah.
"Ke mana kau hendak lari?" teriak Congkauwtauw dari
istana ini. Lalu ia enjot tubuhnya, untuk lompat, mengulangi
pengejarannya San Ho tunggu orang sampai datang dekat, ia berpaling,
kembali ia meniup serulingnya, guna menyumpit pula
lawannya itu. Kali ini Bouwyong Ciong sudah siap sedia, dengan
menggerakkan tangan kanannya ia menyampok panah
sumpitan itu, sedang tangan kirinya ia gunakan untuk
menjambak si nona. Lompatannya yang jauh membuat ia
segera datang dekat pada nona itu, siapa sebaliknya karena
hendak menyumpit, sudah hentikan larinya.
Belum sempat nona Tiat berkelit atau menangkis, maka
lehernya kena tersamber tangannya Bouwyong Ciong, hingga
ia rasakan lehernya dan separuh tubuhnya kaku, maka ia tak
dapat berdiri lebih lama pula. Tapi ia masih bisa berteriak:
"EnCie Lian! Lekas!"
Bouwyong Ciong tertawa.
"Aku memang ingin tunggu datangnya enCie-mu itu!'" dia
kata. Sementara itu, keruntuhan es sudah mulai reda, ketika
Congkauwtauw itu memandang, ia dapatkan mulut lembah itu
telah tertutup salju. Maka itu, biar orang pandai bagaimana,
sukar untuk dia merayap turun. Dan, kecuali Kim Tok Ek dan
Eng Siu Yang, yang sudah masuk ke dalam mulut lembah,
pahlawan lainnya tak ada satu jua yang sanggup masuk ke
situ. Bouwyong Ciong cekal tubuhnya San Ho, untuk dikempit.
Nona itu sudah tidak berdaya sama sekali.
"Semua saudara kita tertahan di luar," kata dia dengan
masgul, "jikalau Giok Lo Sat datang bersama barisan
wanitanya, tentu sekali tidak dapat kita lawan jumlah mereka
yang terlebih besar..."
"Karena kita sudah berhasil membekuk budak ini, lebih baik
kita pulangdulu," Eng Siu Yang usulkan. "Hantu wanita itu
terlalu agulkan kepandaiannya, nyalinya juga besar sekali,
dengan adiknya terjatuh ke dalam tangan kita, dia pasti
datang menolongnya, dengan sendirinya kita, dari tetamu
berbalik menjadi tuan rumah, kita pasti akan menang di atas
angin." "Baik," Bouwyong Ciong akur dengan usul itu. "Sekarang
mari kita lekas menyingkir dari lembah ini."
Lantas ketiga orang ini mencari jalan keluar. Bouwyong
Ciong tetap kempit San Ho. Di antara mereka bertiga dialah
yang ilmu silatnya paling liehay, walaupun ilmu entengkan
tubuhnya tak semahir Giok Lo Sat. Begitulah dijalan sukar itu,
ia jalan seperti di tanah datar.
Eng Siu Yang kalah sedikit dari Congkauwtauw itu, akan
tetapi dia bertangan kosong, maka itu, dapat ia susul sepnya
itu. Maka sengsaralah Kim Tok Ek, yang kalah di kaki
meskipun ilmu silatnya mahir. Untuk jalan di tanah datar, tidak
apa, tetapi di tempat tak rata itu, sebentar-sebentar dia
berhenti untuk beristirahat.
Bouwyong Ciong ingin lekas-lekas menyingkir, ia sudah
tidak sabar. "Coba kau bantu dia!" ia suruh Eng Siu Yang.
Sebenarnya tak sudi orang she Eng ini bantui Tok Ek, tetapi
karena ada titah dari pemimpinnya, ia tidak dapat menolak.
Maka ia hampiri si orang she Kim, untuk membantu padanya.
Selagi menantikan Tok Ek, Bouwyong Ciong berhenti
bertindak. Tiba-tiba saja San Ho, di dalam kempitannya, berteriak
keras. "Kau cari mampus?" bentak Bouwyong Ciong dengan
murka. Lantas dia angkat kepalanya, akan melihat ke arah
atas gunung di mana ia tampak satu peta tubuh manusia di
atas bukit, tubuh mana bergerak gesit ke arah puncak
bagaikan burung terbang.
Kim Tok Ek segera menjerit: "Giok Lo Sat!" Dia kaget
sekali. Tanpa bersangsi sedikit juga, Bouwyong Ciong totok orang
tawanannya, kemudian ia letakan tubuh Nona Tiat di
sampingnya. Terus ia mengawasi ke atas, ke arah peta tubuh
manusia tadi. Sekarang terlihat tegas bukannya satu orang tetapi dua
orang yang berada di bukit. Yang satunya tidak berlari-lari
naik, dia tetap berdiam diri, dia mirip dengan seorang lelaki.
Sedang yang naik, mirip dengan seorang wanita
Dengan ragu-ragu, Congkauwtauw pahlawan istana ini
terus memandang ke arah orang itu.
XIV Giok Lo Sat dan To It Hang berada di atas gunung. Berdua
mereka sedang memandang ke sekitarnya tatkala mereka
mendengar suara sangat berisik bagaikan gemuruhnya guntur.
"Salju beku di depan gempur," kata Giok Lo Sat. "Pasti
sekali adik San Ho terhalang perjalanan pulangnya."
Selagi si Raksasi Kumala berniat lari turun, untuk
menengoki gadisnya Tiat Hui Liong, matanya berbentrok
dengan peta tubuh yang sedang berlari-lari naik ke atas bukit
menuju dia berdua. Dia kenali orang itu adalah Anghoa Kuibo,
si Biang Hantu Bunga Merah.
"Anghoa Kuibo datang lagi," kata It Hang, yang pun kenali
nyonya yang liehay itu. "Terang sekali dia telah dipedayakan
orang. EnCie Lian, kau harus berhati-hati."
Nona itu manggut.
"Kau diam di sini tunggui dia," katanya. "Aku akan pergi ke
pesanggrahan kita, segera aku kembali."
Dan terus ia putar tubulnya, buat lari ke arah
pesanggrahannya.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It Hang turut pesan itu, ia berdiri tegak, matanya
mengawasi ke arah si Biang Hantu Bunga Merah, yang tidak
lama kemudian sudah lantas sampai.
Sebetulnya ketika Anghoa Kuibo meninggalkan Benggoat
kiap, ia beragu-ragu atas keterangannya Giok Lo Sat. Ia pikir:
"Suami bangsat itu sudah sering aku beri nasehat, sering juga
dia tak dapat ubah tabiatnya, maka ada kemungkinan yang
dia berani berbuat busuk pula. Tapi, inilah tak mungkin!
Bukankah dia minggat belum berapa lama" Bukankah aku
telah susul dia pada hari kedua sehabis ia minggat" Mustahil
dalam tempo demikian singkat dia dapat berdamai dengan
Bouwong Ciong untuk melakukan kejahatan?"
Sama sekali Anghoa Kuibo buta terhadap maksudnya Kim
Tok Ek buron itu. Sebenarnya suami ini telah bermupakat dari
jauh hari dengan Eng Siu Yang. Mereka sudah janji, bilamana
Anghoa Kuibo pergi mengunjungi sahabatnya, ia mesti
minggat, nanti Siu Yang beramai papak padanya.
Anghoa Kuibo tetap terbenam, dalam keragu-raguannya
itu. "Giok Lo Sat kata suamiku pergi ke Cenghie koan, baik aku
pergi ke sana dulu," demikian pikirnya terlebih jauh.
Si Biang Hantu ini tidak tahu Pek Sek Toojin berada di kuil
Cenghie koan itu, maka ketika kedua orang ini bertemu satu
pada lain, hampir saja mereka bentrok dan bertarung hebat.
Selama kedua pihak saling caci, Anghoa Kuibo sudah lantas
ketahui bahwa benar-benar suaminya telah pernah datang ke
kuil itu, cuma ia masih belum ketahui yang suaminya itu telah
dilukai si Raksasi Kumala.
Dalam mendongkolnya, Pek Sek Toojin berteriak: "Siapa
mempunyai kesempatan akan urus suamimu itu" Kau datang
kemari untuk mencari suami, sungguh ini adalah satu lelucon
yang maha besar! Jikalau kau hendak cari suamimu, pergilah
minta kepada Giok Lo Sat! Hm! Pedangnya Giok Lo Sat
pastilah tidak kenal kasihan! Suamimu itu sudah rasai
tajamnya pedang si Raksasi Kumala itu! Umpama kau pergi
mencari nona itu, belum tentu dia serahkan suamimu masih
hidup!..."
Baru saja Pek Sek Toojin mengalami kegagalan, meskipun
di dalam kuilnya ada banyak muridnya, ia agaknyajeri juga
terhadap si Biang Hantu Bunga Merah ini, karenanya ia
sengaja omong demikian, supaya hawa amarahnya nyonya ini
meluap dan segera pergi mencari si nona kosen itu. Inilah
tipunya-tipu memindah bencana kepada pihak lain.
Anghoa Kuibo berniat keras mencari suaminya, tidak ada
niatnya untuk cari gara-gara dengan pihak Butong pay, kalau
dia toh omong keras, itulah disebabkan tabiatnya dan
kemendongkolannya, Begitu dengar omongan Pek Sek, dia
terus lari keluar dari kuil. Ketika sampai di pintu pekarangan,
mendadak ia ingat sesuatu. Maka ia menoleh kepada si imam.
"Bagaimana dengan Gak Beng Kie?" tanyanya.
Merah wajahnya Pek Sek Toojin.
"Siapa yang demikian usil" Tak tahu aku!"
Beberapa murid Butong pay segera menggabrukkan pintu!
Bukan kepalang gusarnya nyonya galak itu, di saat dia
hendak melompati tembok, untuk menerjang masuk kembali
ke dalam kuil, tiba-tiba saja ia dapat pikiran lain.
"Belum pasti suamiku itu sudah mati, tapi terang dia terluka
di tangannya Giok Lo Sat, buat apa aku gerecoki lagi Pek
Sek"..."
Oleh karena dia ingat ini, Anghoa Kuibo terus lari turun
gunung. Ia menuju ke kota Konggoan, ia hendak cari
Bouwyong Ciong.
Ketika itu kekacauan sudah berakhir, rakyat jelata telah
bubar dan pahlawan-pahlawan yang terluka sudah sampai di
kantor, maka ketika si Biang Hantu tiba, dia hanya dengar
rintihan korban-korban kekacauan itu. Ia kaget berbareng
heran. Waktu ia masuk ke dalam, untuk melihat korbankorban
itu ia peroleh kenyataan, mereka itu merintih kesakitan
akibat luka pedang. Itulah bekas totokan pedang di batas
jalan darah dan itulah hasil tangan yang liehay dari Giok Lo
Sat. Anghoa Kuibo tidak lihat, baik Bouwyong Cong maupun Eng
Siu Yang. "Ke mana mereka pergi?" dia tanya pahlawan-pahlawan
terluka itu. "Bouwyong Congkoan dan Eng Touwtauw telah pergi untuk
menolongi Kim LooCianpwee," sahut beberapa pahlawan,
yang sudah dipesan Eng Siu Yang. "Baiklah kau lekas pergi ke
Benggoat kiap, loojinkee..."
"Untuk apa aku pergi kesana?" tanya si nyonya.
"Ah, apakah loojinkee belum mengetahuinya?" sahut orang
itu. "Kim LooCianpwee telah dilukai Giok Lo Sat, dia ditawan
hidup-hidup dan dibawa pergi..."
Kaget juga nyonya itu.
"Bagaimana dengan Gak Beng Kie?" dia masih tanya. "Eh,
ya, apakah benar Him Kengliak telah dihukum mati
pemerintah?"
"Gak Beng Kie" Ohritu Gak Beng Kie!" sahut si pahlawan.
"Dia adalah satu bubeng siauwCut, dari mana loojinkee
ketahui dia" Dia telah merampas harta besar yang seharusnya
disita pemerintah ketika Him Kengliak dihukum mati! Maka
pemerintah hendak cari padanya. Kita sama sekali tidak
ditugaskan untuk membekuk dia. Tentang sebabnya kenapa
Him Kengliak dihukum mati, inilah kita tidak tahu, tetapi
mendengar kata orang dia telah berdosa menjual negara pada
bangsa asing dengan siapa dia berkongkol!..."
Habis dengar itu, tanpa banyak omong lagi, Anghoa Kuibo
meninggalkan kota, untuk lari ke arah Benggoat kiap.
Sesampainya di dekat selat, Nyonya Kim ini telah melihat
rombongan pahlawan-pahlawan istana. Dia lari ke arah
mereka itu, dengan niat minta keterangan. Justeru itu ia
dengar suara hebat bagaikan guntur, ialah longsornya
potongan-potongan es. Itu waktu, Bouwyong Ciong bertiga
sudah memasuki mulut selat yang ketiga. Dan ketika nyonya
ini sampai di mulut selat pertama, es itu sudah menutupi
Seantero jalanan masuk. Maka ia hampirkan pahlawan yang
terbelakang itu, untuk meminta keterangan padanya.
Pahlawan yang ditanya itu kebetulan ada muridnya Eng Siu
Yang, dia cerdik tak kalah dari gurunya. Dengan enak dia
menjawab: "Kami datang kemari untuk menolongi Kim
LoCianpwee, di tengah jalan tadi kami telah bentrok dengan
barisan wanita dari si hantu gunung ini. Bagus kau telah
datang loojinkee! Lihat jalanan sudah tertutup, kami semua
tidak sanggup melintasinya, maka baiklah loojinkee yang pergi
mendaki gunung, guna jalan mutar ke Benggoat kiap..."
Anghoa Kuibo anggap benar keterangan itu, ia tinggalkan
semua pahlawan, maka dari samping dapat ia mendaki bukit
untuk lintasi jalan tertutup itu. Ketika ia sampai di atas,
Bouwyong Ciong bertiga sedang merayap naik batu dan oyot
rotan mengalingi mereka dari matanya si nyonya jagoan.
Karenanya, Anghoa Kuibo tidak lihat suaminya, tak tahu dia
suaminya justeru berada di dekatnya.
Pun, berbareng dengan itu, nyonya kosen ini dapat lihat
satu peta tubuh muncul di samping bukit, gerakannya cepat
bagaikan terbang. Ia menjadi heran dan berpikir: "Itulah ilmu
enteng tubuh yang mahir sekali, mirip dengan kepandaiannya
Giok Lo Sat. "Siapakah orang pandai ini?"
Masih terus Nyonya Kim ini berpikir, menduga-duga orang
itu. Ia tahu betul, dalam kalangan kangouw, dari pelbagai
partai, tidak ada orang yang demikian liehay ilmu enteng
tubuhnya. Ia hanya dapat menduga-duga, lain tidak. Coba
tidak di saat seperti ini, pasti ia sudah susul orang itu, untuk
peroleh kepastian. Sekarang ini ia terlalu sibuk dengan soal
menolongi suaminya. Ia juga kuatirkan orang ada dari pihak
musuh, kalau benar itu, pasti ia akan hadapi suatu lawan yang
tangguh, sedang kalau orang ada dari pihak sahabat,
sedikitnya ia mesti sia-siakan tempo untuk berbicara dengan
dia itu. Karena Benggoat kiap sudah berada di depan matanya, dia
tidak ambil mumat lebih jauh, dia lari terus, mendaki, sampai
melintasi sebuah puncak, dan akhirnya dia tiba di tempat di
mana It Hang sedang berada sendirian saja.
"Mana Giok Lo Sat?" tanya si nyonya, yang bergelisah
sebab ia tidak tampak si nona gagah.
It Hang hormati nyonya yang liehay itu, ia menjura
"Ada apa IooCianpwee kembali?" dia tanya mendahului.
"Inilah bukan urusanmu! Suruh Giok Lo Sat kemari!" bentak
si nyonya. "Baik IooCianpwee tunggu sebentar, dia segera datang,"
kata si anak muda, yang tak menggubris sikap orang yang
galak dan jumawa itu.
Anghoa Kuibo menoleh ke arah pesanggrahan, yang
pintunya tertutup rapat.
"Ha, kau sedang bantui dia menggunakan tipu
memperlambat ketika?" dia kata. "Nyonya tuamu tak dapat
dipedayakan!"
Nyonya ini duga Giok Lo Sat insaf akan kesalahannya maka
dia tak hendak menemui tetamunya dan pintu
pesanggrahanpun ditutup. Malah dia menduga juga, nona itu
tentunya hendak menyingkir secara diam-diam dari belakang,
hingga dia jadi sangat bergelisah. Maka tanpa bilang suatu
apa lagi, dengan tangan kiri dia tolak It Hang, untuk geser
pemuda itu tidak menghalangi padanya, terus dia lari ke pintu,
akan terus juga kumpul tenaganya, untuk dengan tongkatnya
menghajar daun pintu, sedang tangan kirinya, dipakai
menggebrakjuga "Brak!" pintu pesanggrahan roboh terbuka.
Menampak demikian, beberapa serdadu wanita, yang
menjaga pintu itu, segera lari kabur, untuk selamatkan diri.
Berbareng dengan itu Giok Lo Satpun muncul, dia lari
mendatangi. "Anghoa Kuibo, kau berani merusak pintu
pesanggrahanku?" dia menegur dengan murka, terus dia
menyerang dengan pedangnya, beruntun sampai dua kali.
Anghoa Kuibo menangkis dengan tongkatnya, menghalau
ujung pedang ke arah ulu hatinya.
Menggunai ketika itu, Giok Lo Sat berlompat tinggi, sampai
ia lewati kepala si nyonya, dengan begitu, dapat ia pilih
tempat di sebelah atas.
"Mari, mari! Mari kita bertempur pula sampai tiga ratus
jurus!" ia menantang.
Anghoa Kuibo siapkan tongkatnya.
"Giok Lo Sat, kau berani pedayakan aku"!" dia menegur
dengan bentakannya. "Lekas kau kembalikan orang kepadaku!
Jikalau tidak, hari ini aku tak mau sudah dengan begini saja!"
Giok Lo Sat bisa duga nyonya ini sedang dipermainkan
orang, tetapi karena pintu pesanggrahannya dirusak, ia tetap
murka sekali. Hingga tak sudi ia bicara ngotot.
"Jikalau kau tidak perbaiki pintu pesanggrahanku," katanya
mengancam, "aku sendiri kenal kau, pedangku tidak, maka
itu, biar kau sendiri suka menyudahinya, aku tidak!"
Ucapan ini dibuktikan dengan serangan bertubi-tubi,
sampai enam atau tujuh tikaman.
Anghoa Kuibo menjadi sangat murka, dengan tongkatnya
yang berkepala naga, ia membuat perlawanan, ia menyabet
dengan dahsyat, sampai sambaran dari tongkatnya
menerbitkan suara seperti angin.
Maka itu berdua mereka bertempur di muka pesanggrahan,
bertempur secara dahsyat.
AnghoaKuibo berkelahi dengan hati bergelisah, gusarnya
terhadap si nona bukan buatan, sehingga ia seperti sedang
mengadu jiwa secara mati-matian. Repotlah Giok Lo Sat
melayani musuh ini, tidak peduli selama keram diri tiga tahun
di selatnya, ia juga telah peroleh kemajuan. Syukur untuknya,
selagi ia kewalahan melayaninya, ilmu enteng tubuhnya tetap
mahir, hingga ia tak dapat diserang atau dilukai. Tongkatnya
sinyonya melainkan mengenai batu hingga batu itu hancur
dan beterbangan.
Dalam keadaan sehebat itu si Raksasi Kumala masih bisa
tertawa. "Ha, semenjak tiga tahun, belum pernah aku dapat
bertempur secara begini gembira!" demikian ujarnya.
Menghadapi lawan yang tangguh itu, dia mainkan
pedangnya dengan sungguh-sungguh, dia keluarkan pelbagai
jurusnya yang istimewa, hingga dia bergerak bagaikan naga
beterbangan melilit-lilit, gesit majunya, sebat mundurnya.
Anghoa Kuibo menjadi bertambah mendongkol apabila ia
dapat kenyataan tak dapat ia robohkan lawannya itu walaupun
ia sudah berkelahi secara sangat mendesak.
"Baiklah, aku akan adu jiwa denganmu!" dia berteriak
sekuatnya. Dan serangan-serangannya diperhebat, dengan
tongkatnya, dan dengan kepalannya juga Ia berlaku sangat
telengas, setiap serangannya selalu di arahkan ke tempattempat
yang berbahaya sekali. Telapakan atau kepalan tangan
kirinya, memainkan jurus-jurus Paysan Ciang, Menolak
Gunung. To It Hang bergelisah menyaksikan pertarungan semacam
itu, meskipun ia bukannya seorang yang bernyali kecil. Inilah
disebabkan karena ia menyayangi kedua lawan itu.
"Bicaralah baik-baik!" dia berseru akhirnya. "Dengan
sebenarnya Kim LooCianpwee tidak ada di sini!"
Dua orang itu tidak mau berhenti dengan begitu saja,
mereka bertempur terus, sampai seperti tanpa merasa,
mereka sudah melalui tiga ratus jurus.
Pertempuran kali ini beda dengan pertempuran duluan di
Pitmo gay. Waktu itu, pertama-tama ada Pek Sek Toojin dan
Tiat Hui Liong, yang melayani nyonya tua itu, hingga dia telah
gunai terlalu banyak tenaga. Di samping itu ada Gak Beng Kie
dengan sarung tangannya yang liehay. Hingga Giok Lo Sat
mendapatkan banyak keringanan. Kali ini mereka ada satu
sama satu, segar sama segar.
Si Raksasi Kumala liehay ilmu pedangnya, liehay juga
kengkang sut, ilmu enteng tubuhnya, akan tetapi di samping
itu, ia kalah lweekang atau "tenaga dalam" dari si nyonya
kosen, maka lama kelamaan ia kalah angin juga, ia merasa
dirinya terdesak. Karena itu, terpaksa ia berlaku waspada.
It Hang menjadi semakin gelisah. Sulitnya untuk dia, tidak
dapat dia menyerbu di antara mereka itu, sebab dia dapat
menimbulkan salah pengertian di antara kedua orang yang
sudah jadi nekat itu. Pun teriakannya untuk minta kedua pihak
menunda pertarungannya sia-sia saja.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi keduanya bergulat terus, tiba-tiba terdengar seruan
si nyonya tua: "Kena!" Itulah seruan yang dibarengi dengan
hajaran tongkat kepada pedangnya, seraya disusul dengan
sampokan tangan kiri ke arah muka si nona.
Riuh suara kaget dari barisan wanita dari Benggoat kiap.
Mereka kuatirkan pemimpin mereka, yang sudah terdesak itu.
"Tak bisa!" seru Giok Lo Sat, yang diiringi dengan suara
tertawa nyaring tetapi halus.
Benar-benar si Raksasi Kumala lolos dari ancaman
malapetaka Orang tidak lihat ia gunai tipu apa, tahu-tahu ia
sudah terhindar dari tangan kirinya Anghoa Kuibo, pun
pedangnya tak terpental karena gempuran tongkat itu, sebab
dapat ia elakan senjatanya itu.
Malah sebaliknya, dengan pedangnya, ia lakukan
penyerangan membalas yang dinamakan, "gigi tukar dengan
gigi!" Tiba-tiba ujung pedangnya sudah menyambar ke ulu
hati lawannya itu, si Biang Hantu Bunga Merah.
Itulah satu rahasia yang diketahui Giok Lo Sat sendiri,
setelah pertempuran di Pitmo gay melawan Anghoa Kuibo, dia
merasa bahwa di kolong langit ini cuma nyonya tua kosen ini
yang menjadi lawannya yang seimbang tangguhnya dengan
dia sendiri, karena itu, dia selalu pikirkan jurus-jurus yang
istimewa saja untuk bisa melayani kelak. Dalam hal ini ia
nampak kesulitan, sebab tidak sanggup dia melayani lweekang
orang. Apa yang menambah keringanannya adalah dia telah
kenal baik ilmu tongkat si nyonya, hingga untuk sementara,
selama menghadapi ancaman bencana, dia mengandalkan
kegesitan tubuhnya. Demikian kali ini dalam saat ancaman
bahaya maut itu, dapatlah dia selamatkan dirinya, sambil
mencari balas. Anghoa Kuibo duga, satu kali ini dia dapat peroleh hasil.
Dia percaya betul yang lawannya tidak akan lolos lagi. Tapi
dugaannya dan kepercayaan itu, gagal dua-duanya. Atas
kejadian ini, bukan dia jadi sengit dan bertambah benci
kepada nona itu, sebaliknya, timbullah rasa sayangnya untuk
kelincahan orang itu.
"Bocah ini masih berusia sangat muda tetapi
kepandaiannya, kecerdasannya, telah begini mahir, itulah
kepandaianya yang tidak mudah didapatkannya," demikian dia
berpikir. "Bila dia benar-benar tidak binasakan suami
bangsatku, aku suka beri ampun padanya..."
Sambil berpikir demikian, ia sampok pedang si nona.
hingga ia pun bebas dari ancaman kepada ulu hatinya itu.
Habis ini, keduanya bertempur sedikit kendor.
"Aku punya suami bangsat itu sudah mati atau masih
hidup" Kau hendak memberitahukan atau tidak?" begitu si
nyonya kosen menanya tetapi dengan bengis sekali.
Giok Lo Sat tertawa.
"Mana aku ketahui dia sudah mampus atau masih
bernyawa!" demikian jawabnya.
Kembali naik darahnya si nyonya tua.
"Bukankah, kau telah tikam dia sampai terluka?" dia masih
sabarkan diri, dia masih suka menanyakan. "Kenapa kau
bolehnya tidak mendapat tahu?"
"Memang, aku telah tikam dia!" si Raksasi Kumala akui.
"Ketika aku tikam dia, pasti sekali dia masih hidup! Hanya
sekarang, dia masih hidup atau sudah mati, tidak aku tahu!"
Tergetar hatinya si Biang Hantu. Mendengar jawabannya si
nona ia menduga bahwa suaminya itu telah kena ditawan
nona ini, mungkin karena lukanya parah sekali, suami itu
sedang menghadapi malaikat maut. Kalau tidak, mustahil
jawabannya nona itu sedemikian rupa
"Marilah kau ajak aku ke dalam pesanggrahanmu untuk
menyaksikannya!" dia mengajak. "Jikalau suamiku itu
belum mati, lekas kau tolongi padanya. Tetapi jikalau dia betul
sudah mati, -- hm! -- maka haruslah kau mengganti jiwa!"
Giok Lo Sat tertawa dingin.
"Jikalau kau mempunyai kepandaian, pergilah sendiri!" dia
kata. Lantas dia lintangkan pedangnya di dadanya, untuk
bersiap sedia. It Hang, dalam gelisahnya, gunakan ketika ini.
"Dengan sebenarnya Kim LooCianpwee tidak ada di sini!"
katanya berteriak.
"Di mana dia?" teriak Anghoa Kuibo menegaskan.
"Tadi malam dia kena ditikam, dia jatuh menggelinding ke
bawah gunung," sahut It Hang. "Mungkin dia sudah pulang ke
kota untuk cari Bouwyong Ciong."
"Ngaco!" bentak si nyonya kosen. "Bouwyong Ciong
sekarang ini berada di luar mulut selat, dia terhalang
tumpukan es. Mungkin sebentar lagi dia bakal datang kemari.
Jikalau dia sudah pulang ke kota, cara bagaimana dia bisa
datang pula kemari untuk menolongi"..."
Giok Lo Sat terperanjat.
"Aku tungkuli diri dengan layani dia ini bertarung, siapa
nyana, Bouwyong Ciong telah datang menyerang kemari,"
pikirnya. "Jangan-jangan mereka datang kemari dengan mengejar
adik San Ho. Sudah terang adik San Ho bukannya tandingan
mereka..." Ia jadi bergelisah, maka segera ia kata pada
lawannya itu: "Mari kita cari Bouwyong Ciong, untuk padu
dengan dia! Tidakkah ini ada terlebih baik?"
Anghoa Kuibo tertawa dingin.
"Menolong orang mesti cepat seperti menolong bahaya
kebakaran." katanya. "Dia telah kau tikam, mungkin terkena
anggauta tubuhnya yang berbahaya, mana aku punya
kesempatan untuk bersama kau mencari Bouwyong Ciong?"
Nona Lian tertawa bergelak-gelak.
"Siapa bilang aku lukai dia di tempat yang berbahaya?"
tanyanya. "Suamimu itu mempunyai ilmu silat yang bukan
sembarang! Baik aku omong terus terang! Memang niatku
menikam dia pada anggauta yang berbahaya, tetapi dia
berkelit secara gesit sekali, maka dia cuma tertusuk kakinya.
Jangan kau gelisah tidak keruan!"
"Apakah kau omong benar-benar?" si Biang Hantu
tegaskan. "Apakah benar-benar dia tidak ada di sini" Giok Lo
Sat, jangan kau pedayakan orang! Sekarang aku tanya kau,
kenapa tadi kau tidak sebut-sebut halnya dia telah terluka?"
Giok Lo Sat tertawa berkakakan.
"Urusan sedemikian kecil, apakah ada harganya untuk
disebut?sebut?"dia balik tanya. "Sekarang hendak aku tanya
padamu: Jikalau kau mempunyai urusan yang buruk, apakah
kau sudi orang menyebutkannya?"
"Apa" Kapan aku punyakan urusan jelek?" dia tanya.
"Apakah kau maksudkan kejadian di Pitmo gay itu" Ketika itu
kamu berkelahi dengan main kerubuti, dengan bergilir ganti!
Adakah itu memalukan aku?"
"Ini hanya suatu perumpamaan!" si Raksasi Kumala tertawa
pula. "Suamimu kepandaiannya sekarang ini sudah kalah jauh
daripada aku. Aku telah tikam dia, tapi tidak terkena
anggautanya yang berbahaya Tidakkah ini buruk" Untuk
menyebutnya itu. aku jengah sendiri..."
Si Biang Hantu gusar berbareng merasa lucu.
"Hm, kau rupanya bangga sekali!" katanya.
Tapi sekarang mau dia percaya si nona.
"Baiklah," sahutnya dengan sabar. "Mari kita pergi pada
Bouwyong Ciong!"
Di luar dugaan nyonya ini, Giok Lo Sat bersikap dingin.
"Tidak bisa!" sahutnya.
Heran si Biang Hantu.
"Apa katamu" Bukankah barusan kau sendiri yang ajak aku
pergi cari Bouwyong Ciong?" dia tanya.
"Memang!" sahut nona kita. "Tapi kau telah rusaki pintu
pesanggrahanku, untuk itu kau mesti menghaturkan maaf
dulu kepadaku! Tentang membetulkannya, urusan itu boleh
ditunda sampai nanti kita sudah dipadu dengan Bouwyong
Ciong." Darahnya si Biang Hantu meluap. Dia memukul tanah
dengan tongkatnya.
"Giok Lo Sat, apakah benar kau begini menghina padaku?"
dia tegaskan. "Aku adalah kepala dari satu pesanggrahan," sahut Giok Lo
Sat. "Kau telah hajar rusak pintu pesanggrahanku, itu sama
saja dengan menterbalikan pembaringan naga dari kaisar,
sama saja dengan orang yang telah merobek bendera dari
satu piauwkiok! Kau kenal atau tidak undang-undang kaum
kangouw" Lekas kau haturkan maaf, supaya kita bisa lantas
pergi cari orang!"
Anghoa Kuibo melengak, dia tercengang. Ia memang tahu
baik undang-undang kangouw, kaum Sungai Telaga. Tapi ia
tetap bersangsi, karena urusan masih belum jelas. Siapa bisa
pastikan suaminya tidak ada di dalam pesanggrahan si Raksasi
Kumala ini" Bagaimana dapat ia tundukkan kepala, untuk
lantas menghaturkan maaf" Maka ia menjadi gusar.
"Kau menghendaki aku menghaturkan maaf padamu?" dia
tanya. "Baik! Kau boleh tempur pula tongkatku ini! Jikalau
tongkatku tunduk terhadapmu, aku juga nanti manggut
kepadamu!"
It Hang kembali bergelisah. Ia sesalkan Giok Lo Sat, yang
lagi-lagi timbulkan gara-gara.
Akan tetapi si Raksasi Kumala sangat bandel. Dia tertawa
dingin. "Baik, mari kita bertarung pula sampai tiga ratus jurus!" ia
menantang. "It Hang, coba kau pergi ke depan gunung, kau
lihat adik San Ho sudah balik atau belum!"
Anghoa Kuibo sangat gusar, dia ayunkan tongkatnya,
dengan itu ia menyapu secara hebat. Itulah serangan
"Pengsee lokgan" atau "Burung belibis turun di pasir datar". Ia
tujukan ke arah pinggang dan paha si nona. Serangannya itu
diulangi berkali-kali.
"Bagus!" seru Nona Lian. Dengan gesit dia enjot tubuhnya,
untuk berloncat. Dengan begitu, tongkat itu lewat di bawahan
kakinya. Walaupun tubuhnya terangkat tinggi, nona ini tidak
mengabaikan serangan pembalasannya. Selagi tubuhnya
turun, pedangnya menyabet, dari atas ke bawah. Itulah
tabasan "Pekhong koanjit" atau "Bianglala putih menutupi
matahari".
Anghoa Kuibo menangkis, hingga kedua senjata bentrok
keras dan menerbitkan suara nyaring.
Pedangnya Giok Lo Sat tidak terlepas, sebaliknya, tubuhnya
melayang pergi menuruti arah terpentalnya. Dia baru turun
setelah lompat sejauh setumbak lebih.
Ketika pertempuran sedang berjalan dengan hebatnya,
tiba-tiba terdengar suara seruling samar-samar iramanya
halus, perlahan lalu menjadi tandas, suara itu terputus-putus.
Mendengar itu, pucatlah wajahnya Giok Lo Sat. Maka ketika
Anghoa Kuibo mencelat kepadanya dengan tongkatnya, dia
segera lompat berkelit sambil berseru: "Baiklah, urusan kau
menghaturkan maaf boleh ditunda sampai kita sudah bertemu
dengan Bouwyong Ciong!"
"Apakah kau anggap aku dapat dipermainkan sesukamu?"
seru si Biang Hantu. Kembali ia angkat tongkatnya,
mengancam. Mendadak, suara seruling itu lenyap, lalu terdengar pula,
kali ini dengan bertambah tandas, sampai nyonya yang galak
itu turut mendengar juga, hingga dia menjadi heran. Seruling
itu memberi lagu sebagai orang berduka penasaran dan
murka. "Siapakah yang meniup seruling itu?" tanya Anghoa Kuibo
bahna herannya. Tanpa merasa, hatinya tergerak dan
terpengaruh sekali.
"Itulah Tiat San Ho, puterinya Tiat Hui Liong," si Raksasi
Kumala beritahu. "Es longsor dan menutupi lembah, mungkin
dia berada di luar dan terhalang jalannya."
"Ah, inilah hebat!" teriak To It Hang. "Jikalau lukanya Kim
LooCianpwee tidak hebat, mestinya dia telah datang bersama
Bouwyong Ciong..."
It Hang berkuatir, San Ho nanti diganggu Congkauwtauw
pahlawan istana itu.
Anghoa Kuibo rupanya mendapat pikiran yang sama,
hingga ia pun berseru "Celaka!" Ia telah pikir: "Aku percaya
betul lelaki bangsat itu ada pada Giok Lo Sat di sini, sama
sekali tidak kupikir dia datang bersama Bouwyong Ciong.
Jikalau benar dia ada di sini, dia baru terluka, cara bagaimana
dia dapat loloskan diri dari longsoran es ini"... Ah, kalau benar
dia ada di sini. sungguh hebat! Tidakkah benar Giok Lo Sat
mendustai aku" Bukankah dia telah buron dan melakukan pula
perbuatan busuk" Habis, bagaimana dapat aku berurusan
dengan Giok Lo Sat" Apakah aku sendiri yang harus membuat
dia bercacat atau biarkan saja Giok Lo Sat berpesta pora
dengan penghinaannya" Ah, tidak. Tidak! Biar bagaimana,
kami ada suami isteri dari puluhan tahun... Tapi, tak dapat aku
lindungi dia! Bagaimana sekarang" Bila aku melindungi
padanya, aku membuat kaum Rimba Persilatan nanti
mentertawainya..."
Maka bingunglah si Biang Hantu Bunga Merah ini.
Giok Lo Sat sendiri tidak terlalu perhatikan nyonya itu, ia
bergelisah karena suara seruling. Itulah serulingnya Tiat San
Ho. Itulah tanda bahaya, tanda minta pertolongan.
"Celaka betul, kenapa aku biarkan diriku digerembengi
Anghoa Kuibo!" dia sesalkan dirinya sendiri. Segera dia
serukan pada nyonya di depannya itu: "Jikalau kau tidak
hendak pergi, aku akan pergi sendiri! Jikalau mukamu cukup
tebal, pergilah kau perhina pasukan wanitaku!"
"Cis" berseru nyonya itu. "Selama perkara ini belum selesai,
walaupun kau lari terbang ke langit, aku akan kejar terus
padamu!" Itu waktu Giok Lo Sat sudah lompat, untuk lari ke arah dari
mana suara seruling datang, maka si Biang Hantu pun
menekan dengan tongkatnya, sampai tubuhnya mencelat,
untuk menyusul nona itu.
Menampak orang pada angkat kaki, It Hang lompat dan
lari, untuk menyusul, tetapi dia segera mengeluh seorang diri.
Bagaimana juga ia empos semangatnya dan kerahkan
tenaganya, tidak dapat ia susul kedua wanita yang sangat
gesit tubuhnya itu, hingga ia tertinggal beberapa puluh
tumbak di belakang mereka!
Gak Beng Kie sendiri, setelah molos dari belakang Cenghie
koan. sudah lantas sembunyikan diri di dalam rimba. Dia
bersembunyi sampai kira-kira jam empat di waktu mana ia


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar suara dari banyak tindakan kaki. Ia segera bergerak,
untuk mengintai. Maka ia dapatkan Bouwyong Ciong beramai
sedang lalu berduyun-duyun, banyak kawannya yang
menggendong kawannya yang terluka, sebagian lagi saling
berpayangan. "Ah Pek Sek Toojin tak dapat dicela," pikirnya. "Tentulah
Bouwyong Ciong semua telah merasai tangannya orang-orang
Butong pay..."
Beng Kie tidak ketahui datangnya Giok Lo Sat, yang
menghajar rombongan pahlawan istana itu. Ia memang tidak
melihat datang dan perginya si nona gagah yang telah
mengambil jalan lain.
Sesudah rombongan Bouwyong Ciong itu lewat, Gak Beng
Kie mengeluarkan napas lega. Ia merasa sangat letih akibat
berjalan sepanjang hari dan setelah berkelahi hebat.
"Baiklah aku tidur sebentar di sini untuk beristirahat,"
pikirnya kemudian. Ia ingin menghilangkan lelahnya Iapun
berpikir, sebentar ?" setelah terang tanah -- ia mau
menemui Pek Sek Toojin untuk menghaturkan maaf, sambil
mengucapkan selamat berpisah dari It Hang.
Berapa lama ia telah jatuh pulas, Beng Kie tidak tahu. Ia
mendusin dengan terperanjat waktu ia dengar satu suara,
hingga ia segera berbangkit untuk memasang mata. Ia rebah
di antara batu-batu besar, hingga sukar untuk orang melihat
padanya, sebaliknya ia sendiri dapat memandang keluar. Maka
segera ia tampak seorang wanita tua, yang romannyajelek
sekali, sedang berlari? lari sambil mulutnya menggerutu. Pada
rambut di dekat kupingnya nyonya itu ada tertancap setangkai
bunga merah yang besar. Larinya sangat pesat, dan tujuannya
adalah kota. Beng Kie kaget, ia menduga, jangan-jangan wanita tua itu
Anghoa Kuibo adanya. Ia telah saksikan, ilmu enteng tubuh
orang tak ada di bawahannya. Maka setelah si nyonya pergi
jauh, ia lompat bangun, dengan cepat ia rapikan pakaiannya,
lalu ia berlari-lari mendaki gunung, akan kembali ke Cenghie
koan. Tidak bersangsi lagi ia ketok pintu kuil itu.
Pek Sek Toojin sedang mendongkol dan uring-uringan
sekali. Kedatangan Giok Lo Sat dan Anghoa Kuibo dengan
bergantian membuat darahnya mendidih. Ia tidak sangka,
sehabisnya dua wanita yang tak dapat dibuat permainan itu,
sekarang ada lagi yang mengetok' pintu. Ia menduga-duga,
siapa orang ini, hatinyapun tidak tenteram. Ketika ia kenali
Beng Kie adanya meluap pula hawa amarahnya.
Beng Kie berlaku hormat, ia perlakukan imam itu sebagai
orang yang terlebih tua, sikapnya ini membikin tidak ada
alasan untuk Pek Sek lantas umbar kemurkaannya.
"Apakah saudara To tak kurang suatu apa?" Beng Kie tanya
dengan halus setelah ia memberi hormat dengan menjura
"Bukankah kamu ada dari rombongannya Giok Lo Sat si
siluman perempuan?" tanya imam itu dengan bengis.
"Apa?" Beng Kie tanya, heran.
"Kau masih berpura-pura?" sang imam menegur. "Kau toh
tahu, Giok Lo Sat sudah membawa lari ketua kami!"
Beng Kie menjadi heran, ia terkejut.
"Apakah itu benar?" tanyanya. "Ah, kalau begitu, Giok Lo
Sat pun berada di Konggoan!"
Pek Sek bertambah gusar. Ia duga orang niat permainkan
padanya. "Beng Kie!"bentaknya, "orang muda kau benar bernyali
besar, kau kurang ajar! Kau telah fitnah kami hingga Butong
pay bentrok dengan pembesar negeri, sudah begitu, kau juga
berkongkol dengan Giok Lo Sat hingga siluman itu datang
menghina kami!"
Memang itu ada satu penghinaan besar bila ketua satu
partai kena diculik, dibawa lari orang dari lain kaum.
Beng Kie menjura pula
"Mengenai urusan tadi malam aku mohon looCianpwee
memaafkannya," dia kata. "Hanya bicara hal aku
berkongkol dengan Giok Lo Sat, itulah ada salah anggapan
dari looCianpwee..."
Pek Sek sangat mendongkol hingga "Sret!" ia hunus
pedangnya. "Kejadian tadi malam saja sudah cukup untuk kau merasai
pedangku!" dia berteriak. "Urusan demikian besar, mana
dapat dihabiskan hanya dengan minta maaf!"
Bukan main hebatnya ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam
dari Pek Sek Toojin, dalam sekejab saja, serangannya telah
bertubi-tubi, hingga akhirnya Beng Kie terpaksa mesti cabut
pedangnya guna menangkis, sebab tak cukup ia main mundur
saja dan berkelit.
Begitu kedua pedang bentrok, suara nyaring terdengar.
Tapi yang hebat adalah pedang si iman kena dibikin mental.
"Murid-muridku, hayo maju!" teriak Pek Sek dalam
gusarnya. Beng Kie tidak sudi melayani orang yang seperti tengah
kalap itu, ia juga tak membiarkan dirinya dikepung, maka
begitu mendengar teriakan si imam, ia mendahului lompat
mundur, untuk putar tubuhnya dan lari keluar bagaikan
terbang cepatnya.
Pek Sek Toojin mengejar tapi sia-sia saja, hingga ia kembali
dengan mendongkol disebabkan penasarannya yang tak
terlampias. Beng Kie menyingkir dengan pikirannya kacau. Semenjak
kebinasaannya Him Keng Liak, hatinya sudah tawar, hingga
beberapa kali ia berniat mencukur gundul rambutnya, untuk
menjadi pendeta saja. Apa mau di sana ada Tiat San Ho, ia
jadi terbenam dalam keragu-raguan. Ia menyesal atas
minggatnya si nona yang hatinya mendongkol. Karena
kejadian itu, ia ingin menemui nona itu untuk menghaturkan
maaf. Maaf akan melegakan hatinya. Sayang, pelbagai urusan
membuat ia tak sempat menemui nona itu, hingga niatnya
belum sampai terwujud. Tapi sekarang ia dengar hal
munculnya Giok Lo Sat, timbul harapan dalam hatinya.
"Mungkin Giok Lo Sat ketahui di mana adanya San Ho," dia
berpikir. "Biarpun Giok Lo Sat tidak akur denganku, aku mesti
ketemui dia guna minta keterangannya hal San Ho..."
Demikian, meskipun kacau pikirannya, pemuda ini lari turun
gunung dengan tujuan pasti. Ia dapat tahu Giok Lo Sat
berdiam di Benggoat kiap. Dari sepuluh penduduk sembilan
tahu hal selat itu, hal penghuninya yang kosen. Maka setelah
peroleh keterangan, tujuannya adalah selat Rembulan Terang
itu. Anghoa Kuibo pun sedang menuju ke selat, sebab dia
sudah kembali dari kota, maka itu, mereka
-Beng Kie dan si nyonya tua ?" jadi seperti saling susul,
tanpa mereka ketahui maksud dan tujuan masing-masing.
Ketika Beng Kie mendekati selat, di sana ia tampak
sejumlah pahlawan yang mengejar musuh, mereka
berpencaran di lamping bukit, juga ada serdadu-serdadu
wanitanya Giok Lo Sat yang sedang menyingkir dari pahlawanpahlawan
istana itu. Karena herannya, ingin Beng Kie ketahui apa yang
sebenarnya telah terjadi. Ia lari mendaki gunung, ia pegat
satu serdadu untuk dimintai keterangannya.
Serdadu itu tampaknya bukan pahlawan, hatinya lega.
"Kau siapa?" dia tanya dahulu.
"Aku ada sahabat dari CeeCu kamu."
Serdadu itu percaya, iapun lihat orang beroman gagah.
"Kalau begitu, pergi kau lekas tolongi Tiat CeeCu kami!"
kata dia, yang mendapat harapan, hingga dia menjadi girang.
"CeeCu kami telah didesak kawanan anjing itu, dia telah
dikejar masuk ke dalam mulut gunung sana!"
Beng Kie kaget hingga ia berjingkrak.
"Siapa kau bilang?" dia tegaskan.
"Apakah kau tidak kenal Tiat CeeCu kami?" si serdadu
wanitapun menegasi. "Dia ada gadisnya jago tua dari Barat
utara, namanya San Ho."
Tidak tunggu sampai orang tutup mulutnya, Beng Kie
sudah lompat lari ke arah mulut gunung yang ditunjuk, seperti
bayangan cepatnya, hingga tidak lama kemudian lenyaplah ia
dari pandangan mata.
Dalam hal ilmu enteng tubuh, Beng Kie berimbang sama
kepandaiannya si Raksasi Kumala, maka karena pesatnya ia
lari, beberapa pahlawan yang dilewatinya tidak berani
mencegat untuk menghalangi, mereka itu sangsikan manusia
atau hantu... Di saat Beng Kie memasuki mulut gunung yang pertama,
San Ho justeru sudah menginjak mulut gunung yang ketiga,
ialah di mana dia pertama kali meniup serulingnya. Suara
seruling itu tak dapat didengar Giok Lo Sat, barulah kemudian
sesudah beberapa kali. Tapi Beng Kie dapat segera dengar
suara itu. "Terima kasih kepada langit dan bumi, benarlah itu dianya!"
serunya dengan girang. Dia kenali itu adalah serulingnya San
Ho. Justeru itu waktu terdengarlah suara hebat bagaikan guruh.
Tapi Beng Kie, yang dibesarkan di Barat utara, tahu apa
artinya itu, maka segera ia lompat ke tempat yang tinggi,
untuk menyingkir dari uruknya es. Ia tunggu sampai es
longsor itu berhenti baru ia mencoba maju lebih jauh. Segera
ia dapat kenyataan, mulut gunung yang ketiga telah tertutup
es. Ia memandang jauh ke depan, tapi seorangpun tak
tampak. "Mungkin adik San Ho terkurung es di lembah bawah," ia
berpikir. "Sungguh hebat umpama kata musuh berada bersama
dia..." Maka dengan mengempos semangatnya, pemuda ini
mencoba maju terlebih jauh. Iagunakan seluruh kepandaian
enteng tubuhnya, dari tempat yang tinggi ia lompat turun, tak
peduli es itu licin.
Adalah di waktu itu, Beng Kie saksikan Anghoa Kuibo yang
berada di sebelah atas, yang terpisah beberapa tumbak
jauhnya dari dia, melesat cepat sekali. Ia menjadi heran.
"Heran..." pikirnya. "Baru saja dia pergi ke Cenghie koan
atau sekarang dia telah kembali ke Benggoat kiap. Untuk
apakah?" Karena sangat keras minatnya menolong orang, pemuda ini
tidak pikir kelakuannya si Biang Hantu Bunga Merah itu, ia
lanjutkan mencari jalan turun sambil berpegangan pada oyotoyot
rotan. "Jangan datang dekat!" mendadak Beng Kie dengar
bentakan ketika ia sampai di pinggang gunung, hingga
berbareng dengan heran ia segera berpaling.
Maka terlihatlah Bouwyong Ciong dengan muka
menyeringai, sedang di pinggangnya ada terkempit si nona
yang iajusteru lagi cari, yang selalu menjadi pikirannya. Tentu
sekali, ia menjadi sangat gusar, maka lantas ia cabut
pedangnya. "Lihat pedangku!" ia berseru.
Keduanya segera datang dekat satu pada lain.
"Seranglah! "menantang Bouwyong Ciong, dengan sikapnya
mengejek. Ia angkat tubuhnya si nona, rupanya untuk dipakai
menangkis serangan. Ia tertawa.
"Jikalau kau berani celakai dia!" mengancam Beng Kie.
"Maka hari ini kita bertiga akan terpendam bersama?sama
dalam lembah ini!"
"Mari kita turun!" tiba-tiba Kim Tok Ek bersuara. Dia telah
merasakan kakinya sakit sekali, tidak peduli Eng Siu Yang
pepayang padanya. Sahabatnya itupun telah letih membantui
dia. Orang she Kim ini berpendapat sama dengan Bouwyong
Ciong. Ialah San Ho hendak digunakan sebagai alat untuk
mendesak Beng Kie. Ia mengerti tanpa menggempur es, sulit
untuk mereka lekas menyingkir dari selat itu. Untuk
menyingkirkan es, bantuannya tentara wanita mesti diminta,
dan untuk itu, Beng Kie harus dipaksa pergi mohon bantunnya
Giok Lo Sat... Tapi Bouwyong Ciong sendiri, meski benar ia hendak
gunakan orang sebagai alat, mempunyai pikiran lain. Beng Kie
adalah orang yang Gui Tiong Hian hendak bekuk, Beng Kie ini
ada terlebih penting daripada San Ho, pun lebih penting
daripada si Raksasi Kumala. Maka alangkah besar faedahnya
baginya bila ia dapat bekuk pemuda ini. Ia tahu Beng Kie
liehay tetapi ia tidak jeri. Memang, seorang diri saja tak dapat
ia tawan anak muda ini, tetapi bersama Eng Siu Yang dan Kim
Tok Ek, ia mendapat ungkulan. Di samping itu, ia tahu juga,
bila pertempuran sampai terjadi, ini akan mengambil banyak
tempo, hingga ada kemungkinan Giok Lo Sat nanti keburu
datang bersama barisannya. Maka ia pikir, San Ho harus tetap
dipakai sebagai alat untuk paksa pemuda she Gak ini.
Beng Kie ikuti ketiga orang itu turun sampai di lembah.
"Nah, Gak Beng Kie, apa kau inginkan sekarang?" tanya
Bouwyong Ciong dengan tertawa dingin. Ia hendak undang
kemarahan orang.
Beng Kie awasi San Ho, hatinya sakit. Rambut nona ini
terurai, mukanya pucat sekali, pakaiannyapun robek-robek.
Pasti sekali nona itu telah menderita sangat.
"Kau perhina satu wanita, apakah kau satu enghiong?"
pemuda ini tanya. "Kau lepas dia!"
Bouwyong Ciong tertawa dingin pula.
"Hm, enak benar kau bicara!" katanya. "Kau ingin aku
merdekakan dia" Inilah gampang, asal kau suka turut kami
menghadap Sri Baginda!"
Beng Kie awasi pula si nona.
"Tidak ada halangannya untuk aku turut kau ke kota raja,"
katanya kemudian. "Hanya sebelumnya turut kamu, ingin aku
ketahui dulu bagaimana keadaan lukanya."
Bouwyong Ciong menotok dengan jari tangannya, dengan
begitu dia bebaskan jalan darah San Ho yang tertutup, hingga
si nona segera saja sadar.
"Koko, jangan turut dia ke kota raja!" kata nona ini.
"Kau lihat, bukankah dia sehat walafiat?" tertawa
Bouwyong C iong.
"Mari kita berjual beli dengan jalan yang sama rata sama
rasa! Tidak nanti aku bikin dia bercacat asal saja kau suka
turut ke kota raja, tak akan aku pedayakan kau!"
Beng Kie berpikir dengan cepat, hingga segera dia ambil
putusannya. Dia telah serahkan kitab wasiat Him Kengliak
kepada It Hang, maka dia tidak usah kuatirkan kitab itu. Dia
anggap tak apa dia pergi ke kota raja, untuk adu untung. Dia


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya masih sangsikan keselamatannya San Ho. kalau-kalau
Bouwyong Ciong telah lukai bagian dalamnya, hingga dalam
tempo sepuluh hari atau setengah bulan, nona itu bisa
menemui ajalnya. Dia perlu mengobati nona itu andaikata ia
terluka di dalam.
"Koko, jangan mau kau dipedayakan!" kata pula Nona Tiat,
yang melihat pemuda itu bersangsi.
"Cobalah kau menghela napas," kata Beng Kie. "Ingin aku
ketahui, tulang igamu sakit atau tidak..."
"Setan alas!" seru Bouwyong Ciong. "Mustahil Bouwyong
Ciong menjadi tukang siksa wanita?"
Tapi San Ho pun cerdik. Ia menghela napas, ia
menyedotnya. "Ada sedikit rasa sakit," katanya, dengan sengaja
mendusta. Bouwyong Ciongkaget hingga dia perlihatkan wajah suram.
"Kau berpura-pura mampus?" tegurnya. "Kau main gila?"
"Kau biarkan aku meniup seruling supaya kokoku dengar,"
kata si nona tanpa pedulikan teguran itu.
"Benar, cobalah kau tiup!" kata Beng Kie. "Dengan
perdengarkan serulingmu aku dapat ketahui kau telah terluka
di dalam atau tidak."
"Baik, tiuplah!" kata Bouwyong Ciong, yang kena terdesak.
Dia kalah sabar. Tapi dia panggil Kim Tok Ek: "Kau kemari!"
Sedang San Ho ditariknya ke samping. Dia pesan kawannya
itu: "Kau jagai dia, jangan ijinkan dia main gila!"
Kim Tok Ek membuat penjagaan, malah dengan sebelah
tangannya ia tekan tulang piepee di pundaknya si nona, dan
dengan tangan yang lainnya, ia meraba bebokong orang. Dia
memang menjagoi dengan Toksee Ciang, tangannya yang
liehay, dan kekuatan di tangannya itu tak berkurang walaupun
kakinya sakit dan lweekangnya sudah mundur. Dengan
persiapannya ini, andaikata San Ho gerakkan tubuhnya, dalam
sekejab saja ia dapat diserang di dua tempat yang berbahaya,
hingga akan " rusaklah semua anggauta tubuh dalamnya.
Bouwyong Ciong sendiri segera ambil tempat menyelak di
antara Tiat San Ho dan Gak Beng Kie, guna bertindak
bilamana pemuda she Gak itu hendak melakukan sesuatu
guna menolongi si nona.
"Sudah siap, budak hina!" kata Congkauwtauw ini. "Eh,
kenapa kau tidak lantas mulai meniup serulingmu?"
San Ho sendiri sangat masgul, pikirannya pun kusut. Apa
boleh buat, ditempelkannya ujung seruling itu di kedua
bibirnya. Maka terdengarlah suara yang perlahan dan halus,
kemudian suara" itu dengan sendirinya menjadi tinggi dan
keras. Iramanya adalah irama bergembira, bagaikan bungabunga
sedang mekar di musim semi atau seperti sepasang
pemuda-pemudi yang asyik bergandengan tangan di tempat
pesiar dan saling membisiki... Mau atau tidak, mendengar itu,
ingatlah Beng Kie -- terkenanglah ia " pada saat ketika ia
berdua si nona melakoni perjalanan jauh ribuan lie,
bagaimana mereka menunggang kuda bermain panah. Tanpa
merasa, ia jadi bagaikan melamun.
Seruling berbunyi terus, lalu dengan mendadak bertukar
irama. Lenyaplah suasana indah di musim semi diganti dengan
musim rontok ketika daun-daun menjadi tua dan kuning dan
runtuh sendirinya, buyar tertiup angin. Atau bagaikan belibis
tunggal bernyanyi sedih sendirian. Atau bagaikan tonggeret
tengah mengulun seorang diri.
Beng Kie membayangkan bagaimana perasaan nona ini,
sebatang kara yang sudah menjelajah dunia kangouw,
bagaimana keadaannya sangat tidak menggembirakan,
apapula sekarang dia sedang dipengaruhi musuh-musuhnya
yang tangguh dan telengas... Maka ia merasa sangat terharu.
Masih San Ho tiup serulingnya. Kali ini nada berubah pula.
Suara menjadi tinggi, walaupun kesedihannya tak berkurang,
malah bertambah, bagaikan orang sedang tersedu-sedu,
menggerung-gerung, dan dalam pada itu, tercampur
kemurkaan yang tertahan.
"Sebenarnya tak selayaknya aku tampik jodohnya, hingga
sekarang dia jadi sangat berduka," Beng Kie berpikir.
Dalam perubahan suara yang ketiga kali, serulingnya Nona
Tiat lantas menjadi perlahan pula dan halus, bagaikan sutera
melayang-layang diudara, seperti bisikan-bisikan perpisahan,
sebentar-senemtar terputus, hingga siapa yang mendengarnya
hatinya turut menjadi terharu.
Bukan saja Beng Kie yang kena terpengaruh, tapi pun
Bouwyong Ciong sendiri, yang hatinya keras bagaikan baja, air
matanya berlinang-linang...
"Kenapa dapat dia melagukan suara begini?" pikir Beng Kie
heran. "Apakah benar dia tidak tega lihat aku pergi antarkan
diri kepada malaikat maut" Aku tidak takut mati, tetapi
bagaimana aku dapat biarkan dia hidup seorang diri dalam
kesedihan?"
Masih terus seruling itu merayu-rayu, hingga, walaupun ia
terpengaruh, Bouwyong Ciong toh masih insyaf, hingga habis
sabarnya. "He, kenapa kau masih tak hendak berhenti" Apa belum
cukup?" bentaknya. "Sudah, berhenti!"
San Ho berpikir.
"Sekarang ini tentulah EnCie Lian telah mendengarnya..."
Maka ia berhenti dengan lagu-lagunya.
"Gak Beng Kie, sudahkah kau mendengar nyata atau
belum?" Bouwyong Ciong tegur si anak muda. "Kau lihat
sendiri, mana dia terluka, sedikitpun tidak!"
"Baiklah!" Beng Kie jawab. "Sekarang kau merdekakan dia,
nanti aku turut kamu!"
Tiba-tiba saja Congkauwtauw itu tertawa.
"Kau masih harus penuhi satu syarat pula!" dia kata.
"Apa itu?"tanya si anak muda. "Kau jangan timbulkan yang
tidak-tidak!"
"Sekarang kau talangi aku membacok kutung lenganmu
yang kanan!"
"Apa?" teriak Beng Kie terkejut.
Bouwyong C iong tertawa dingin.
"Kau terlalu liehay!" dia kata. "Untuk membelenggu kau,
belengguannya tidak cukup kuat, dan untuk totok padamu,
kau bisa menotok sendiri untuk membebaskan pula, sedang
perjalanan jauhnya selaksa lie! Mana tuan-tuan besarmu
mempunyai kesempatan untuk senantiasa jagai padamu" Kau
tidak percaya kami, kami juga tidak percaya kau, maka itu,
dengan mengutungkan lengan kananmu, baru hati kami
tenteram! Ah! Apakah kau takut sakit?"
"Koko, jangan, jangan!" teriak San Ho dengan cegahannya.
"Jikalau kau terbinasa, tak bisa aku hidup sendirian...!"
"Adik San, aku mengerti kau," kata Beng Kie. "Aku
berterima kasih padamu. Kau masih muda sekali, kau harus
hidup terus. Kau boleh berdiam bersama-sama EnCie Lian, tak
usah kau pikirkan aku..."
Cong kauw tauw dari istana tertawa.
"Sungguh cinta!" ia mengejek. "Masih berapa banyak katakata
lagi yang kau hendak ucapkan?"
Beng Kie mendongkol.
"Kata-katanya satu kunCu ada bagaikan seekor kuda
dicambuk kabur!" kata dia. "Kau boleh lakukan apa yang kau
suka atas diriku, asal jangan kamu ganggu dia!"
"Siapa menyesal, dia akan ditertawai kaum Rimba
Persilatan!" Bouwyong Ciong menekankan,
"Baiklah!" jawab Beng Kie. Ia pindahkan pedangnya dari
tangan kanan ke tangan kiri, lalu ia membacok ke arah lengan
kanannya. "Aduh!" demikian terdengar jeritan kesakitan.
Dan pedangnya pemuda she Gak itu hampir sampai pada
kulitnya, tiba-tiba pedang itu berhenti dengan sendirinya.
Menyusul jeritan dari kesakitan itu, tampaklah Kim Tok Ek
dan Tiat San Ho roboh terguling ke tanah.
Nona Tiat meniup serulingnya, dengan itu ia mainkan
tempo, untuk memberi tanda kepada Giok Lo Sat; ia
mengharap kedatangannya si Raksasi Kumala, untuk
menolongi padanya. Tetapi di sebelah dia ada Bouwyong
Ciong si licin, Congkauwtauw ini lantas bersiap sedia dengan
pasang Kim Tok Ek selaku mata-mata, dengan memaksa Gak
Beng Kie mengutungkan lengannya.
Tentu saja, kelicinannya itu mendatangkan kedukaan dan
kekuatirannya San Ho. Maka dalam keadaan sangat mendesak
itu, nona ini berpikir keras, segera ia ambil satu putusan.
Tidak bisa ia biarkan Beng Kie jadi bercacat, dan ia sendiri, tak
sudi ia dipengaruhi Kim Tok Ek. Oleh karenanya, ia ambil
tindakan tegas dan nekat. Dengan sekonyong-konyong ia
menyikut ke belakang, menyusul itu serulingnya pun diputar
ke belakang, lalu ia pencet pesawat rahasia seruling itu,
hingga dalam sekejab saja tiga batang panah sumpitannya
menyambar ke arah Kim Tok Ek.
San Ho adalah gadisnya satu ahli silat kenamaan, walaupun
bugeenya sendiri belum mahir sampai di batasnya, dia toh
telah punyakan beberapa jurus atau tipu yang dapat
menewaskan musuh, asal saja dia bisa gunakan tepat tipu
silatnya itu. Demikian dengan sikutnya dan sumpitannya itu.
Sikut itu tepat mengenai ulu hati, dan sumpitannya menancap
telak di bagian anggauta yang berbahaya. Maka itu, tidak
perduli Kim Tok Ek liehay ilmu dalamnya, mahir bugeenya, ia
toh terserang hebat, ia merasa kesakitan sekali hingga
matanya kabur. Tapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak
lupakan tugasnya, ia masih mencoba melakukan serangannya
terhadap si nona, hingga mereka roboh saling susul.
Sambil bergulingan di tanah, San Ho berseru hebat: "Koko,
pergilah kau loloskan dirimu, supaya kemudian dapat kau
menuntut balas untukku! Sampai kita bertemu pula!..."
Mendengar suaranya si nona Kim Tok Ek berlompat
bangun. Merah matanya Beng Kie.
"Inilah hari penuntutan balas!" teriak dia, sambil lompat,
dan memutarkan pedangnya.
Bouwyong Ciong juga kaget tapi ia masih sempat
menyerang dengan kepalannya, hanya berbareng dengan itu,
ia tampak mata merah mencorong dari si pemuda she Gak,
hingga tahulah dia bahwa orang sudah jadi nekat.
Serangannya Beng Kie gagal, tapi dia pun bebas dari
serangan karena gesitnya mengelakan tubuh, maka itu, dapat
dia maju terus.
"Serahkan kepalamu!" dia berteriak kepada Kim Tok Ek,
selagi si muka merah ini baru lompat berbangkit.
Belum sempat orang she Kim itu berdiri tegak atau dia
sudah roboh pula, karena Beng Kie ulur kakinya dengan keras,
menendang roboh padanya.
Bouwyong Ciong lompat hendak menolongi kawannya itu,
tetapi sudah kasip, sudah tidak keburu lagi.
Untuk kedua kalinya terdengar jeritannya Kim Laokoay,
sekarang ini tertahan. Dia roboh dengan batang lehernya
putus dengan segera, karena susulannya Beng Kie ada sangat
hebat, dengan pedangnya yang tajam, dia tabas dan penggal,
hingga sekejab saja kepalanya sudah berada di dalam cekalan
pemuda yang nekat itu.
Bouwyong Ciong kaget, selagi begitu. Beng Kie sekarang
hadapi dia. "Kau kehendaki aku turut kau ke kota raja, tapi aku
inginkan kau pergi ke akherat untuk menghadap Giam
LoOng!" Terus pemuda ini menyerang dengan hebatnya
Congkauwtauw itu menjadi repot, sebisa-bisanya ia
membuat perlawanan. Ia tahu, ia mesti adu jiwa, sebab ia
sedang menghadapi satu orang kalap. Ia lantas kerahkan
Iweekangnya terraga"dalam. Dengan sepasang kepalannya, ia
lawan sebatang pedang.
Maka hebatlah pertempuran mereka berdua.
Kedua musuh ada sama tangguhnya, tetapi Beng Kie
seperti kesetanan, pedangnya bergerak-gerak bagaikan naga
menyambar-nyambar, ia tidak gubris lagi sepasang kepalan
lawan yang bagaikan harimau atau macan tutul, dari itu, baru
berselang kira-kira tiga puluhjurus, Bouwyong Ciong sudah
bergelisah bukan main, hingga dia menjadi jeri.
Eng Siu Yang kaget, dia berdiri melengak di pinggiran.
"Jikalau aku terbinasa, mana dapat kau lolos sendirian!"
teriak Bouwyong Ciong kepada sahabatnya itu. Maksudnya
adalah supaya sahabat itu jangan tercengang saja, harus dia
maju untuk membantui, guna mengepung musuh.
Eng Siu Yang justeru sadar karenanya. Dia berpikir: "Gak
Beng Kie sangat liehay, sekarang dia berkelahi bagaikan
harimau gila, dia lupa kepada jiwanya sendiri, taruh kata aku
bantui kawanku, belum tentu kita bisa rebut kemenangan. Di
sebelah sana. kemungkinan Giok Lo Sat segera datang
kemari... Kapan lagi hendak aku tunggu jikalau tidak sekarang
juga aku angkat kaki"..."
Dan dengan kerahkan tangan dan kakinya, ia lompat ke
lamping bukit, ia lantas saja kabur.
Bouwyong Ciong lihat sikap kawan itu, bukan main ia
menyesal dan gusar. Tapi ia gusar tanpa berdaya, sebab repot
ia melayani Gak Beng Kie untuk bela diri. Sampai tak sempat
ia berpikir untuk angkat kaki...
Sementara itu, Giok Lo Sat dan Anghoa Kuibo berlari-lari
saling susul menyusul. Si Raksasi Kumala segera mendengar
suara pertempuran, yang telah menyusuli atau menggantikan
suara seruling yang telah berhenti. Ia perlihatkan keentengan
tubuhnya, pun larinya bertambah kuat, supaya bisa lekas
sampai kepada adiknya. Seringkah ia lompat, ia menekan batu
gunung dengan pedangnya, hingga tubuhnya melesat
bagaikan terbang melayang. Dengan kemahiran ilmu enteng
tubuhnya, ia sampai dengan cepat sekali. Begitulah ia telah
bernapasan dengan Eng Siu Yang, yang sedang kabur.
"Ha-ha-ha-ha!" tertawa si nona, ketika ia tampak orang
yang ia kenali siapa adanya. "Dulu di puncak Hoasan dapat
kau loloskan diri. sekarang ini kau tak dapat lolos pula!"
Eng Siu Yang kaget dan ciut nyalinya, tetapi ia insaf pada
ancaman bahaya, maka ia terus mainkan kebutannya guna
menangkis pedangnya si nona yang menerjang padanya.
"Ha! Kau masih berani melawan!" tegur si Raksasi Kumala.
Dan pedangnya membabat dengan dahsyat sekali.
Bukan main repotnya Eng Siu Yang, menangkis dan
berkelit. Ia juga menjadi nekat, hingga di waktu mestinya
menangkis, ia mendahului mencoba menabas lengan


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya. Di tanah datar ia sudah bukan tandingan si nona,
apapuladi tempat yang demikian sukar, setiap tindak bisa
membuat ia terpeleset dan terguling.
Giok Lo Sat desak orang demikian rupa, hingga akhirnya
Eng Siu Yang menginjak sepotong batu, dan tak ampun lagi,
berbareng dengan melejitnya batu itu, tubuhnya limbung,
terus saja ia terguling, terjatuh ke bawah!
Si Raksasi Kumala melihat ke bawah, ia tertawa puas, akan
tetapi waktu matanya bentrok sesuatu, ia kaget tak kepalang.
Di mana Beng Kie dan Bouwyong Ciong sedang adu jiwa, di
sanapun melintang satu tubuh bermandikan darah tanpa
kepala! Dan tak jauh dari mereka itu, tampak tubuhnya San
Ho juga menggeletak tak berkutik!
"Adik San!" memanggil nona ini, sambil terus lompat turun,
berlari-lari ke arah tubuh Nona Tiat. "Adik San" ia memanggil
pula, kali ini sambil memegang tubuh orang, untuk
diterbalikan. "EnCie Lian..." demikian suara lemah dari San Ho. "Kau
terlambat... Tolong sampaikan kepada ayahku dan minta
supaya ia jangan pikirkan pula padaku..."
Suara itu perlahan dan lemah, akan tetapi Beng Kie dapat
mendengarnya, ia dengar bagaikan bunyi guntur di musim
semi. "Ha, dia belum mati..." pikirnya. Maka ia putar tubuhnya,
untuk lari kepada nona itu.
Bouwyong Ciong bernapas lega karena lawannya
meninggalkan dia. Inilah ketika yang baik. Maka dia tidak
kejar lawan itu, sebaliknya, ia lompat naik ke lamping, untuk
angkat kaki. Dia belum lari jauh atau dengan kagetnya, dia
tampak Anghoa Kuibo sedang mendatangi. Bukan main
takutnya dia, tak sudi dia menemui wanita kosen dan galak
itu. Maka lekas-lekas dia putar arah, akan lari ke lain tujuan.
"Lian Liehiap. pergi kau kejar Bouwyong Ciong!" Beng Kie
teriaki si Raksasi Kumala "Biar aku yang tengok adik San Ho!"
Giok Lo Sat tertawa meringis, ia pondong tubuhnya San Ho,
akan diserahkan kepada rangkulannya anak muda itu, dan ia
sendiri segera lari, untuk menyusul Congkauwtauw dari istana.
Beng Kie lantas cium kelopak matanya San Ho.
"Adik San, buka matamu..." ia berkata. "Kau lihat, aku di
Kitab Pusaka 4 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Hati Budha Tangan Berbisa 6
^