Pencarian

Rumah Bisikan 1

Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers Bagian 1


BAGIAN SATU Rumah Bisikan Bab 1 Oktober 1863 BAGAIMANA rasanya hidup bersama Angelica Fear" pikir
Amy gugup. Ia memandang ke luar jendela saat kereta kuda yang
ditumpanginya meluncur melewati rumah-rumah megah New Orleans
yang nyaris terlindung di balik pepohonan. Membawanya semakin
dekat ke keluarga Fear. Amy Pierce sudah mendengar banyak kisah tentang Angelica.
Bisik-bisik desas-desus yang mengatakan dia memiliki kuasa gelap
yang mengerikan. Namun Amy tak ingin mempercayai kisah-kisah itu. Ayahnya
dan Angelica adalah saudara sepupu. Dia selalu membela Angelica.
Dia bersikeras desas-desus buruk itu telah diciptakan oleh orang-orang
yang iri pada kecantikan, kekayaan, dan kepandaian Angelica.
"Maaf, Miss," sais kereta berkata, menoleh ke belakang. "Ini
bukan urusan saya, tapi benarkah Anda minta diantar ke rumah
keluarga Fear?" Kedengarannya dia gugup, pikir Amy. Apakah dia telah
mendengar kisah-kisah mengenai keluarga Fear"
"Ayah saya terluka parah dalam peperangan," Amy
menjelaskan. Suaranya agak bergetar. "Ibu saya pergi ke Virginia
untuk merawatnya. Saya harus tinggal bersama keluarga Fear sampai
ibu saya kembali." Sais itu kembali menatapnya, ekspresi was-was tampak di
wajahnya. "Apakah Anda tak bisa pergi ke tempat lain?" dia bertanya.
"Sanak saudara entah di mana?"
"Saya keponakan Mrs. Fear," sahut Amy. "Dia butuh teman
selama suaminya melakukan pekerjaan perangnya."
"Maaf, Miss," sais kereta berkata tergesa-gesa. "Saya tidak
bermaksud apa-apa bertanya-tanya seperti ini. Istri saya selalu bilang,
saya terlalu banyak bicara." Dia menyentakkan tali kekang kudakudanya, agar binatang-binatang itu mempercepat langkah.
Perut Amy menegang. Kalau saja dia bisa tetap tinggal di
rumah. Dia bisa menjaga dirinya.
Tapi para gadis tak diizinkan tinggal sendirian di rumah.
Sekalipun mereka mampu melakukannya. Itu tidak pantas, ibunya
berkata. Lagi pula, Bibi Angelica memang butuh bantuan, Amy
mengingatkan dirinya sendiri. Dia mempunyai dua putri dan tiga putra
yang masih kecil-kecil, yang harus diurus sendirian, tanpa suami yang
bisa membantunya. Diam-diam Amy merasa lega suami Angelica takkan berada di
rumah. Dia juga sudah mendengar berbagai desas-desus mengenai
Simon Fear. Sebagian orang menduga dia telah membunuh semua pria
yang bermaksud meminang Angelica, supaya Angelica akhirnya
terpaksa menikah dengannya.
Dan hampir semua orang setuju bahwa "pekerjaan perang"
Simon mencakup menjual suplai kepada pihak mana pun yang
bersedia membeli dengan harga paling tinggi. Apakah dia sungguhsungguh akan membantu pihak Utara" Amy bertanya-tanya. Bahkan
kalaupun para tentara Union yang mempertahankan New Orleans"
kampung halamannya"tertawan"
Amy mendoyongkan tubuh ke depan dan menepuk bahu sang
sais. "Anda tahu sesuatu tentang keluarga Fear" Saya baru sekali
bertemu mereka, waktu saya masih kecil. Tapi tak banyak yang saya
ingat." "Saya tidak bisa mengatakan apa-apa tentang mereka," gumam
sais itu. "Sama sekali tak ada."
"Lalu mengapa Anda takut pada mereka?" tanya Amy.
"Tidak," tukas pria itu lagi. "Sudah saya bilang. Saya tak tahu
apa-apa tentang mereka."
Dia bohong, pikir Amy. Aku yakin. Tapi kenapa"
Dengan menyentak keras tali kendali, sais membelokkan kereta
kuda itu ke jalan setapak yang panjang dan berkelok-kelok. Amy
menarik napas saat melihat mansion Fear. Mansion itu adalah rumah
paling besar yang pernah dia lihat. Dan paling anggun. Dengan tiangtiang pualam berjejer di kedua sisi pintu muka.
Kereta kuda berhenti mendadak di depan undak-undakan
beranda yang luas. Sais membantunya turun. Kemudian dia melompat
kembali ke atas kereta dan buru-buru pergi.
Punggung Amy terasa dingin. Dia merasa sangat sendirian.
Apakah keluarga Fear benar-benar menginginkan dia tinggal bersama
mereka" Atau mereka hanya menganggap itu kewajiban"
Seorang wanita cantik berambut hitam keluar ke beranda.
Angelica Fear. Dia jauh lebih cantik daripada yang diingat Amy.
Matanya yang berwarna hijau berkilauan saat dia mengulurkan tangan
kepada Amy. "Keponakan," ujar Angelica. "Aku senang sekali bertemu
denganmu." Suara Angelica hangat, dan dia kelihatan senang bertemu Amy.
Amy merasakan tubuhnya rileks.
Angelica menuruni undakan"dan Amy hanya bisa terpaku
memandangnya. Belum pernah dia melihat seseorang yang begitu
tenang dan elegan. Oh, betapa inginnya Amy seperti itu!
Angelica meraih tangannya. "Selamat datang di New Orleans,
sayangku." Tanpa berpikir, Amy buru-buru menarik tangannya. Sentuhan
Angelica terasa sedingin es.
Kuharap dia tidak memperhatikan reaksiku, pikir Amy. "Maaf,
aku tiba selarut ini, Bibi Angelica," Amy berkata cepat. "Perjalanan
kami tertunda oleh badai."
"Kau pasti lelah sekali!" seru Angelica. "Mari kita masuk."
Amy mengangguk dan meraih tasnya. "Jangan repot-repot,"
tukas Angelica. "Para pelayan akan mengurusnya."
Wajah Amy merah padam. Dia tidak terbiasa memiliki pelayan.
Dia dan orangtuanya hidup sederhana. Amy berharap dia tidak tampak
seperti tikus bodoh kampungan di hadapan bibinya.
Angelica membimbing Amy masuk. Kandelar menyirami ruang
muka itu dengan cahaya. Lantainya terbuat dari pualam pucat, dan
sebuah cermin besar berbingkai mengilat memantulkan tangga luas
yang meliuk naik ke lantai atas.
"Indah sekali," ujar Amy. Ia tahu matanya melotot menatap
semua ini, tapi dia tidak bisa menahan dirinya.
"Wah, terima kasih." Bibir Angelica menekuk menjadi
senyuman. "Amy, kenalkan, ini kedua putriku"Hannah dan Julia."
Dia memberi isyarat agar kedua gadis remaja itu mendekat.
"Selamat datang, Sepupu Amy," Hannah berkata ceria. Dia
berlari dan mencium pipi Amy.
"Terima kasih," sahut Amy.
Suatu hari kelak, Hannah akan menjelma secantik ibunya, pikir
Amy. Gadis itu berusia awal belasan tahun, tubuhnya jangkung dan
langsing. Rambutnya yang pirang jatuh berombak di punggungnya,
matanya yang cokelat berbinar-binar.
"Julia," Angelica berkata lembut. Gadis itu melompat"lalu
meluncur menghampiri Amy dan menciumnya. "Halo, Sepupu Amy,"
dia bergumam, matanya menatap lantai.
Julia mengingatkan Amy pada dirinya sendiri waktu seumur itu.
Pemalu dan kikuk. Pasti sulit sekali bagi Julia memiliki adik secantik
Hannah, pikirnya. Julia mewarisi rambut Angelica yang hitam mengilap. Namun
wajahnya sederhana, rahangnya terlalu lebar dan hidungnya terlalu
panjang. "Baiklah, anak-anak," kata Angelica. "Kalian sudah menunda
tidur kalian untuk menyambut sepupu kalian. Sekarang, sudah
waktunya tidur." Angelica berbalik memandang Amy. "Anak-anak laki-laki
sudah tidur sejak tadi. Kau akan bertemu mereka besok pagi."
Julia dengan patuh berjalan ke arah tangga, namun Hannah
berpaling pada ibunya sambil mencebikkan bibir.
"Kumohon, bolehkah aku tidur sebentar lagi?" Hannah
merengek. "Aku ingin mengobrol dengan Sepupu Amy."
"Sayang, kau akan punya banyak waktu untuk mengobrol
dengan Amy besok," sahut Angelica. "Julia lebih tua, dan dia akan
naik sekarang." "Oh, Julia!" teriak Hannah, menyibakkan rambutnya yang
keemasan. "Lagi pula, dia lebih senang menyendiri di kamarnya."
Angelica tertawa dan mencium puncak kepala Hannah.
"Hannah mirip denganku," dia menjelaskan pada Amy. "Dia suka
yang seru-seru." Amy menengadah menatap Julia. Gadis itu berdiri di atas anak
tangga, memperhatikan ibunya dan Hannah. Tak sedikit pun ekspresi
memberi sinar pada mata kelabu gadis itu. Tapi Amy tahu, perasaan
Julia terluka. Bahkan pendatang baru seperti Amy sekalipun bisa melihat
bahwa jelas sekali Angelica sangat menyukai Hannah yang cantik dan
ramah. Dan dia sama sekali mengabaikan Julia yang sederhana dan
pendiam. "Ayo, pergi tidur sekarang," Angelica akhirnya berkata.
Dibelainya pipi Hannah. "Selamat malam."
Hannah berputar dan berlari menaiki tangga mendului Julia.
Julia perlahan-lahan mengikuti adiknya. Tak ada yang mengucapkan
selamat malam padanya. Angelica berpaling dan tersenyum pada Amy. "Kau sudah besar
sekali!" dia berkata. Matanya. yang berwarna hijau bergerak naikturun, dari sepatu Amy sampai ke puncak kepalanya.
Aku pasti seperti anak kampung yang norak, Amy berpikir.
Sepatuku terlalu berat, dan pakaianku terlalu sederhana.
"Berapa umurmu sekarang?" Angelica bertanya.
"Tujuh belas," sahut Amy.
"Usia yang indah," timpal Angelica. "Aku melihat Bibi Thelma
pada dirimu. Kau mewarisi rambut cokelat-kemerahannya. Dan kau
mewarisi mata cokelat muda nenekku. Kau cantik."
Pipi Amy kembali memerah.
Angelica tertawa. "Aku membuatmu malu." Dia mengulurkan
tangan dan membelai pipi Amy dengan jemarinya yang dingin.
"Kurasa kau dengan mudah akan bisa masuk ke dalam keluarga
kami," ujarnya. "Aku sudah merasa kau seperti salah satu dari kami."
Kata-katanya manis, tapi Amy ingat betapa ketakutannya sais
kereta kuda tadi ketika dia mencoba membujuknya bercerita tentang
keluarga Fear. "Lebih baik kami membiarkan kau istirahat." Angelica bertepuk
tangan dengan keras, hingga Amy terkejut.
Seorang pelayan masuk lewat pintu di ujung kamar. Ketika dia
melangkah ke bawah siraman cahaya lampu, Amy melihat pelayan itu
memiliki wajah yang menyenangkan dan bersahabat.
"Nellie, antarkan Amy ke atas," Angelica berkata. "Bantu dia
membereskan barang-barangnya, dan ambilkan apa pun yang
diperlukannya." "Baik, Ma'am," sahut Nellie.
"Selamat malam, Amy," gumam Angelica. Dia membungkuk
dan mencium pipi Amy. Bibirnya terasa dingin.
"Lewat sini, Miss Amy," panggil Nellie. Amy mengikutinya
menaiki tangga dan menyusuri koridor. "Ini kamar Anda," Nellie
berkata sambil membukakan sebuah pintu di sebelah kiri.
Amy melangkah masuk. Tubuhnya langsung merinding.
"Seseorang baru saja melangkahi kuburmu," Nellie berkata
ceria. "Apa?" jerit Amy. "Apa katamu?"
"Oh!" Nellie menahan napas. "Maaf. Itu hanya ungkapan yang
selalu dikatakan ibu saya setiap kali ada yang merinding seperti Anda.
Tak ada maksud apa-apa. Tolong jangan beritahu Mrs. Fear saya telah
membuat Anda takut," Nellie memohon.
"Tentu saja tidak," ujar Amy. "Aku tak pernah mendengar
ungkapan itu, itu saja." Dia tersenyum minta maaf.
"Anda pasti lelah sekali setelah perjalanan yang begitu jauh,
Miss. Saya akan membereskan isi tas pakaian Anda supaya Anda bisa
membersihkan badan." Nellie mengangkat tas Amy. Tas itu tampak
semakin lusuh dan usang saja di tempat yang mewah ini. Juga
pakaian-pakaiannya. "Aku lebih suka berberes sendiri, terima kasih," kata Amy.
"Oh, tidak, Miss," protes pelayan itu, seraya membuka tas tua
itu. "Itu tidak benar. Mrs. Fear menyuruh saya membereskan barang
Anda, dan itulah yang harus saya lakukan."
Nellie mengeluarkan sehelai gaun berwarna biru dari tas. Itu
gaun Amy yang paling bagus. Gaun kesayangannya. Di sini, di kamar
yang elegan ini, gaun itu kelihatan lusuh.
"Warna gaun ini indah sekali untuk Anda," pelayan itu berkata.
"Biru adalah warna kesayangan Miss Hannah. Dulu Miss Julia juga
suka warna itu, tapi katanya, dia mengganti warna kesayangannya
menjadi merah." Amy membiarkan Nellie terus berceloteh. Dia tidak perlu
mengatakan apa-apa, hanya tersenyum dan mengangguk beberapa
kali. Mengingat Nellie suka sekali bicara, pikir Amy, mungkin dia
mau menjawab beberapa pertanyaan tentang keluarga Fear.
"Nah," kata Nellie, sambil mundur beberapa langkah menjauhi
lemari dinding. Tiga gaun Amy dan dua gaun tidurnya tak
membutuhkan waktu lama untuk dibereskan. "Selamat malam, Miss."
"Jangan pergi dulu," sergah Amy. "Tinggal dan mengobrollah
denganku sebentar lagi. Kau sudah lama bekerja dengan keluarga
Fear?" Senyum ramah Nellie segera lenyap. "Hampir lima tahun,
Miss," jawabnya pelan.
"Kau menyukai mereka?"
Nellie menatap Amy sebentar, lalu mengalihkan tatapannya ke
lantai. Tapi tidak sebelum Amy melihat ketakutan di matanya.
"Tentu saja saya menyukai mereka," Nellie berkata tak jelas.
"Saya mohon, Miss, saya harus pergi. Keluarga ini makan pagi pukul
setengah delapan, tapi kami bisa menyediakan sesuatu untuk Anda
kapan saja." Nellie bergegas keluar. Amy bisa mendengar suara langkah
kakinya yang cepat menyusuri koridor. Sikap Nellie sama persis
dengan sais kereta tadi, pikir Amy. Apa yang mereka ketahui tentang
keluarga Fear" Hal-hal jahat apa yang telah mereka dengar"
Sambil mendesah, Amy mengempaskan tubuhnya ke atas kursi
di depan meja rias dan mulai menyikat rambutnya. Jangan biarkan
imajinasimu melantur, dia memerintahkan dirinya. Angelica baik
padanya. Semua orang membuat Amy merasa diterima.
Tapi Amy tak bisa mengenyahkan perasaan ngeri bahwa ada
sesuatu yang aneh di rumah ini. "Kalau saja..." dia mulai berkata.
Kata-katanya lenyap di lehernya saat seraut wajah yang pucat
dan bulat muncul di cermin.
Wajah itu melayang tak bergerak di atas gumpalan berwarna
putih. Lubang-lubang gelap untuk matanya. Garis untuk mulutnya.
Leher Amy terasa kering. Debar jantungnya memenuhi
telinganya. Perlahan-lahan, sosok itu meraihnya.
Bab 2

Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

AMY melompat berdiri. Kursinya jatuh ke lantai.
"Sepupu Amy?" Amy memutar tubuh. Julia tampak berdiri di hadapannya. Dia
mengenakan gaun tidur panjang berwarna putih. Wajahnya, yang
kelihatan sangat mengerikan beberapa saat yang lalu, menjelma
menjadi wajah Julia. Amy mengembuskan napas lega.
"Oh, halo, Julia," sahutnya. Suaranya bergetar.
"Apakah aku membuatmu takut?" gadis itu bertanya.
"Yah, iya sih," aku Amy. "Aku tidak mendengar kau masuk."
"Ibu selalu berkata aku terlalu diam demi kebaikanku sendiri,"
sahut Julia. Hati Amy langsung luluh. Amy sendiri dulunya anak yang
pendiam dan canggung. Namun dia toh berhasil melewati masa-masa
itu. Meski begitu, dia takkan pernah lupa betapa sedihnya perasaannya
dulu. "Dulu aku pun sangat pendiam," Amy memberitahunya. "Yang
kuinginkan cuma membaca buku."
Julia mengangguk. "Aku suka membuat barang-barang
tembikar." "Tembikar?" "Vas dan mangkuk, sebangsanya. Ayah telah membuatkan
sebuah tempat pembakaran di halaman untukku."
Gadis pendiam dan sederhana harus memiliki sesuatu untuk diri
mereka sendiri, pikir Amy. Sesuatu yang istimewa. "Apakah salah
satu karyamu ada di rumah ini" Kau mau menunjukkannya padaku?"
tanyanya. Julia memandangnya sesaat. Dia sepertinya kaget ditanya
seperti itu. Kemudian dia mengangkat bahu. "Kalau kau mau. Tapi
jangan ribut, sebab kita bisa membangunkan Hannah."
Dia berbalik ke pintu. Amy mengangkat roknya dan berjingkat
di belakangnya. Koridor itu diterangi oleh sinar lampu yang tercurah
dari ambang pintu yang terbuka di belakang mereka. Gaun tidur Julia
seperti menahan sinar itu, hingga dia tampak seperti melayang.
Kamar Julia terletak di seberang koridor, dua pintu dari kamar
Amy. "Kamar yang indah," Amy berkata ketika masuk ke dalam.
"Kurasa begitu," Julia mendesah. "Aku ingin mengecatnya
dengan warna biru. Tapi Hannah bersikeras dinding kamar tidurnya
harus biru, jadi Ibu memilihkan warna merah ini untukku." Julia
menyalakan sebuah lampu dan membawanya ke meja lebar di ujung
kamar. Amy mengikutinya. Meja itu penuh dengan vas, mangkuk, dan
cangkir-cangkir dari tembikar. Banyak yang indah-indah. Tapi
beberapa lagi jelas merupakan percobaan yang gagal.
Diangkatnya salah satu vas yang bentuknya aneh. Lapisannya
yang berwarna kelabu-hijau jelek terasa kasar, seperti kulit kadal.
Amy buru-buru meletakkannya. Dia tidak menyukai rasanya di
tangannya. Amy memperhatikan karya yang lain. Mangkuk kecil yang
lapisannya berkilauan. "Cantik sekali," dia berkata. "Kau sangat
berbakat." "Semua orang lebih suka yang indah-indah," ujar Julia.
Amy menatap Julia dan merasa simpati padanya. Wajah Julia
tanpa ekspresi. Namun Amy tahu apa yang dipikirkan oleh gadis yang
lebih muda itu. "Kalau mengenai vas dan mangkuk, itu mungkin
benar," Amy berkata. "Tapi tidak untuk manusia."
Julia mengangkat bahu. Namun Amy melihat kesepian di dalam
mata gadis itu, dan perasaan membutuhkan yang sangat dipahami oleh
Amy. Julia butuh teman, Amy berpikir. Semua orang membutuhkan
teman. Diletakkannya mangkuk itu dan dilepaskannya gelang
peraknya. "Ini gelang keberuntungan," dia memberitahu Julia. Aku
tidak benar-benar bohong kok, pikir Amy. Gelang ini bisa saja
mengandung keberuntungan. "Namun keberuntungan semestinya
diteruskan dari satu teman ke teman yang lain. Kalau tidak
keberuntungan itu akan lenyap. Dan aku ingin kau mendapatkannya
sekarang." Julia menunduk memandang gelang itu. "Kau yakin?"
"Tentu saja. Kau mau aku memakaikannya?"
Tak sanggup bicara, Julia mengulurkan tangan. Amy
mengaitkan gelang itu di sekeliling pergelangan tangan Julia, dan
kemudian tersenyum pada gadis yang lebih muda darinya itu. "Nah.
Sempurna sekali di tanganmu, ya kan?"
Julia tidak mengatakan apa-apa, namun matanya yang kelabu
berbinar-binar. Dia menyentuhkan ujung jemarinya di sepanjang
rantai gelang itu. "Terima kasih, Amy."
"Sama-sama. Aku?" Tak sanggup menahannya, Amy
menguap. "Ups. Kurasa perjalanan hari ini benar-benar melelahkan.
Sebaiknya aku tidur saja. Selamat malam, Julia."
Amy berbalik. Namun Julia menyambar lengannya hingga Amy
memutarkan tubuhnya kembali.
Ada apa" Dia sangat pucat, pikir Amy.
"Amy..." Gadis itu ragu-ragu sesaat. "Aku... Jangan buka pintu
kamarmu pada malam hari ketika semua orang sudah tidur, ya." Suara
Julia seperti pecah. "Tak peduli apa pun yang kaudengar."
"Apa" Kenapa tidak?" tukas Amy.
"Tidak aman." Julia memeluk dirinya sendiri. "Tidak aman."
Amy merinding. "Aku tidak mengerti," sahutnya, berusaha
terdengar tenang. "Waktu berumur sepuluh tahun, aku bermimpi buruk. Aku tidak
bisa kembali tidur. Aku merasa terlalu ketakutan. Jadi aku
memutuskan mencari Ibu. Ketika aku keluar ke koridor, aku tahu ada
yang tidak beres. Mestinya aku langsung kembali ke kamarku. Tapi
aku tidak melakukannya."
Julia mempererat pelukannya sendiri. Amy bisa melihat
bagaimana jemari gadis itu tertanam dalam-dalam di kulitnya.
"Aku melihat bayang-bayang di koridor bergerak-gerak," Julia
melanjutkan. "Bayang-bayang itu berputar membentuk tiang asap yang penuh
dengan wajah-wajah. Wajah-wajah tanpa mata, wajah-wajah tanpa
kulit. Wajah-wajah yang dipenuhi luka-luka yang meneteskan darah.
Wajah-wajah terbakar yang hitam dan gosong."
"Kau pasti masih bermimpi," sergah Amy. "Hal-hal seperti itu
tak mungkin pernah ter?adi. Tak pernah."
"Tiang asap itu... bergerak ke arahku," bisik julia. "Aku bisa
mendengar wajah-wajah itu merintih dan menangis. Semua wajah
memandangku, bahkan wajah-wajah tanpa mata itu. Kemudian
tangan-tangan terulur menembus gumpalan asap. Tangan-tangan itu
bengkok-bengkok, dan bercakar tajam. Aku tak bisa lari. Aku tak bisa
melakukan apa pun selain memandang mereka bergerak semakin
dekat dan semakin dekat."
"Hentikan," pinta Amy. "Oh, hentikan!"
Namun Julia mengabaikannya. "Tiba-tiba seorang pria
memanggil namaku, dan aku melihat Marcus, salah seorang pelayan,
berdiri di ujung koridor. Tiang asap berisi wajah itu meluncur ke
arahnya. Mereka menyelubunginya."
Julia bergidik. "Aku tidak mengerti mengapa makhluk jahat itu
tak menyentuhku sama sekali. Tapi begitulah kenyataannya."
Julia menghela napas panjang. Tubuhnya gemetar. "Marcus
menjerit, dan ketika itulah aku berlari kencang kembali ke kamarku,
naik ke atas tempat tidur, dan menutup telingaku dengan bantal. Tapi
aku masih bisa mendengarnya menjerit."
Julia mendesah. "Paginya, Ibu dan Ayah memberitahuku bahwa
Marcus telah kabur. Tapi aku tahu mereka bohong. Aku menemukan
sepotong kecil tulang di tempat dia berdiri malamnya. Gumpalan asap
penuh wajah itu telah menelannya. Melahap daging dan tulangnya.
Dan meminum darahnya."
Amy merasakan semua bulu di tangannya meremang. Belum
pernah dia mendengar kisah yang lebih mengerikan dari ini. Ini pasti
hanya rekaan, Amy berpikir. Ditatapnya wajah Julia lekat-lekat. Gadis
itu tampak sungguh-sungguh. Matanya yang kelabu menyorotkan
ketakutan. "Julia, aku tahu kau percaya apa yang kaulihat itu nyata," Amy
berkata pelan. "Tapi bisa saja kan kau memimpikan semua itu. Mimpi
buruk rasanya bisa nyata sekali lho."
"Tidak!" teriak Julia. Dia mengibas-ngibaskan kepalanya ke kiri
dan kanan, rambutnya yang berwarna hitam bagai berkibaran.
"Tidak," ulangnya lebih lembut.
Julia mencengkeram tangan Amy. "Kau harus percaya padaku.
Berjanjilah kau tidak akan meninggalkan kamarmu malam-malam.
Berjanjilah padaku."
Keringat membasahi kening Julia. Matanya terus bergerakgerak, seolah-olah dia curiga ada orang yang memata-matai mereka.
"Aku berjanji," Amy berkata buru-buru. Diremasnya tangan
Julia. "Dan kau harus berjanji tidak akan mencemasi aku."
Julia mengangguk. Amy merasakan kelegaan memenuhi
dirinya. Julia tadi nyaris histeris.
Dengan lembut Amy menarik tangannya dari genggaman Julia.
"Kurasa kita sama-sama harus tidur," dia berkata. "Sampai ketemu
besok pagi, Julia." Amy bergegas berjalan ke kamarnya sendiri"walaupun
rasanya dia ingin sekali berlari. Jangan konyol, dia mengingatkan
dirinya. Namun dia tidak bisa melupakan ketakutan di mata Julia
ketika gadis itu bercerita tadi.
Amy mengganti gaunnya dengan gaun tidur. Ditiupnya lampu
hingga mati, lalu lekas-lekas naik ke tempat tidur dan menyelinap ke
balik selimut. Seseorang telah memercikkan parfum di tempat
tidurnya. Diciumnya seprainya beberapa saat lamanya. Wangi aneh
yang tak bisa dikenali Amy. Bau yang pedas dan eksotis.
Dia berbalik ke sisi kirinya. Seberkas cahaya bulan menembus
tirai. Menciptakan bayang-bayang kelabu di sudut-sudut kamar.
Amy memejamkan matanya erat-erat. Jarum jam berdetak pelan
di rak di atas perapian. Tik-tok, tik-tok. Dia berbalik ke sisi kanannya.
Kemudian dia mendengar suara lain di balik detak jarum jam.
Suara samar orang menangis.
Dia membuka mata dan bangkit duduk.
Apakah itu suara Julia menangis" Ataukah salah satu anak lakilaki"
Amy turun dari tempat tidur dan berlari ke pintu kamarnya. Dia
memutar kenop pintu" dan membeku.
Suara tangisan itu berubah menjadi lolongan pelan. Dan
kedengarannya tidak seperti suara manusia.
Amy tak dapat mengenyahkan bayangan tiang asap yang
diceritakan Julia tadi. Wajah-wajah berputar di tengah-tengah
kepekatan. Wajah-wajah menjerit dan mengerang.
"Julia?" seru Amy. "Kaukah itu" Apakah kau baik-baik saja?"
Lolongan itu bertambah keras. Kedengarannya datangnya tepat
dari balik pintu kamar Amy.
"Siapa di situ?" desak Amy, berusaha keras agar suaranya kuat
dan stabil. Kata-kata Julia melintasi benaknya. Makhluk itu memakannya.
Melahap daging dan tulangnya" dan meminum darahnya.
Ada apa di luar sana" Apa"
Amy harus pergi melihatnya.
Dia bisa mendengar suara jantungnya sendiri berdentam-dentam
di telinganya. Di sekitarnya, seluruh kamar itu seperti menahan napas
menunggu apa yang akan terjadi.
Tangan Amy meluncur ke kenop pintu. Telapak tangannya
basah oleh keringat. Dia menarik napas panjang.
Sekali lagi. Kemudian dientakkannya pintu hingga terbuka.
Bab 3 AMY melongokkan kepala ke luar.
Ditatapnya karpet yang terhampar di depan pintu kamarnya.
Tak ada apa-apa. Amy mengembuskan napas keras-keras. Tangan dan kakinya
terasa lemah dan lemas. Dia menutup pintunya pelan-pelan dan berpaling ke tempat
tidur. Aroma yang pedas dan aneh di seprainya seperti
mengepungnya. Amy tak bisa tidur. Apa yang telah dilihat Julia
malam itu" Mungkinkah desas-desus mengerikan tentang keluarga
Fear itu benar" Benarkah sesuatu yang jahat ada di rumah ini"
************* Sinar matahari terik membangunkan Amy keesokan paginya.
Nellie pasti tadi masuk dan membuka jendela-jendela itu, pikirnya.
Dan aku sama sekali tak terbangun.
Amy tak ingin Angelica menganggap dia biasa bangun siang.
Dia melompat berdiri, buru-buru membersihkan wajahnya di baskom,
menyikat rambutnya, dan berpakaian.
Dia melesat keluar dari kamarnya dan menyusuri koridor. Dia
mulai menuruni tangga dua-dua"kemudian berhenti.
Perlahan-lahan, dia mengingatkan dirinya sendiri. Ibunya pasti
akan malu bila melihatnya meluncur turun seperti gadis tomboi. Amy
memaksa dirinya berjalan menuruni anak tangga marmer yang
melingkar itu. Lantai dasar terasa sepi sekali. Aku tahu semalam aku tidur
kemalaman, pikir Amy. Ini gara-gara cerita Julia yang mengerikan itu.
Cerita itu membuatku tak bisa tidur selama berjam-jam.
Amy memutuskan untuk mencoba pintu di ujung ruangan"
pintu dari mana Nellie masuk semalam.
Pilihan yang bagus, pikirnya ketika tercium olehnya bau kopi.
Dia segera menemukan ruang sarapan.
Ruangan itu kosong melompong. Namun wadah-wadah
makanan berpenutup memenuhi meja hidangan. Amy mengintip ke
balik salah satu tutupnya"bubur.
Mereka pasti ingin aku mengambil sarapan sendiri, Amy
berpikir. Diisinya sebuah piring dan duduk sendirian di meja kayu
yang mengilap. Beberapa saat kemudian, Nellie melongokkan kepalanya ke
dalam ruangan. "Selamat pagi, Miss," serunya. "Apakah yang Anda
butuhkan ada semua?"
"Ya," sahut Amy. Nellie pergi sebelum Amy sempat bicara lagi.
Nellie pasti khawatir aku akan mulai menanyakan tentang keluarga
Fear lagi, pikir Amy. Dia makan perlahan-lahan. Dia tak yakin apa yang harus
dilakukannya setelah selesai sarapan. Lancangkah kalau dia melihatlihat seluruh rumah sendirian" Mungkin dia bisa berjalan-jalan di
halaman. Digigitnya roti panggangnya lagi. Pintu ke ruang sarapan
terayun membuka, dan Angelica muncul di situ. Amy mencoba
tersenyum" namun tetap menjaga bibirnya tetap tertutup rapat.
"Aku akan mengajakmu bersenang-senang, Amy," Angelica
memberitahunya. "Kau sudah selesai sarapan?"
Amy mengangguk. Ditelannya roti panggangnya.
"Kalau begitu, ayo, ikut aku," kata Angelica.
Diajaknya Amy naik ke sebuah ruangan di lantai tiga. Gordengorden tebal yang terbuat dari bahan brokat menghalangi hampir
semua cahaya matahari dari luar. Karpet tebal menyelimuti lantai, dan
kabinet-kabinet menutupi salah satu dinding. Sebuah rak buku di
dekat Amy penuh dengan lusinan buku.
Hampir semua buku itu kelihatannya sangat tua umurnya.
Punggung-punggung buku-buku itu terlalu lusuh untuk bisa dibaca.


Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan kalaupun dia akhirnya berhasil membaca satu-dua kata, dia tak
mengerti maknanya. Kata-kata itu ditulis dalam bahasa-bahasa yang
tidak dikenalnya. Amy menyentuh punggung buku yang paling besar. Rasanya
dingin aneh, hingga dia buru-buru menarik kembali tangannya.
"Kau suka membaca?" tanya Angelica.
"Oh, ya. Tapi kami tak sanggup membeli banyak buku..." Amy
menghentikan ucapannya, wajahnya merah padam oleh perasaan
malu. Angelica tersenyum padanya. "Aku khawatir buku-buku di sini
agak... khusus. Tapi kami punya perpustakaan di bawah yang aku
yakin akan kaunikmati. Sekarang, ayo kita mulai. Kenapa kau tidak
duduk di atas kursi berlengan di depan meja tulis itu saja?"
Amy mematuhinya. Angelica mengambil kursi di seberangnya,
hingga mereka duduk berhadap-hadapan, dipisahkan meja tulis itu.
"Kau mengkhawatirkan ayahmu, bukan, Amy?" dia bertanya.
"Amat sangat." Leher Amy tercekat saat membayangkan
ayahnya di atas tempat tidur rumah sakit. Kalau saja dia tahu separah
apa luka ayahnya. Seberapa cepat kepulihannya. "Makan waktu lama
sekali untuk menerima sepucuk surat?"
"Ada cara-cara yang lebih cepat," Angelica berkata.
Amy menatap bibinya. "Lebih cepat" Aku tidak mengerti."
Tatapan Angelica terpaku pada wajah Amy. Tajam dan dalam.
Tiba-tiba gugup, Amy memalingkan wajah.
"Kau pernah mendengar tentang kartu tarot?" tanya Angelica.
Amy menggelengkan kepala. Sambil tersenyum, Angelica menarik
sebuah laci dan mengeluarkan setumpuk kartu. Dipegangnya kartukartu itu membentuk kipas supaya Amy bisa melihat gambar-gambar
kartu itu. Kartu itu sama sekali berbeda dengan kartu-kartu yang pernah
dilihat Amy. Gambar-gambarnya mengerikan"tengkorak-tengkorak
yang menyeringai, pisau-pisau berdarah, sesosok tubuh jatuh dari
menara. "Indah sekali," Amy berkata. Indah dan sekaligus mengerikan,
pikirnya. "Tapi aku tidak mengerti?"
"Inilah yang namanya kartu tarot." Angelica merapikan kartukartu itu kembali. "Ibuku memberikannya padaku waktu aku kuranglebih seusia dirimu. Ibunya mewariskan kartu itu padanya. Kartu itu
telah diwariskan dari generasi ke generasi."
Angelica menatap mata Amy. "Kartu-kartu ini sangat istimewa.
Dan juga sangat luar biasa. Kartu-kartu ini bisa memberitahu kita
banyak hal. Hari ini, kita akan bertanya tentang ayahmu."
"Bertanya tentang ayahku... Tapi itu kan cuma kartu," Amy
tergagap. Angelica menelengkan kepalanya ke satu sisi. "Tak ada yang
namanya 'hanya' kalau berhubungan dengan kartu ini, Amy," ujarnya,
suaranya dingin. "Dengarkan aku. Kartu-kartu ini sangat tua dan
sangat kuat. Di tangan orang yang tepat, tarot ini tidak hanya bisa
menunjukkan masa lalu, tapi juga masa depan."
Amy merasakan denyut nadinya di pangkal lehernya. Sikap
Angelica aneh sekali. Apakah dia benar-benar percaya kartu-kartunya
dapat menunjukkan masa depan" Itukah sebabnya orang-orang
menyangka dia mempraktekkan ilmu hitam"
"Kurasa kita akan memilih Page of Swords untukmu," Angelica
berkata, mencabut salah satu kartu dari tumpukan. Dikocoknya kartukartu itu dengan ahlinya, lalu diulurkannya pada Amy. "Ambil kartukartu ini. Pegang dalam genggamanmu."
"Lebih baik tidak." Kalau kartu-kartu itu memang mengandung
kekuatan, Amy sama sekali tak ingin berhubungan dengannya.
"Pegang kartu-kartu ini." Suara Angelica parau dan tegas, dan
Amy mematuhi tanpa berpikir lagi. Anehnya kartu-kartu itu terasa
berat di tangannya. Dia tak suka perasaan yang ditimbulkannya di
dalam genggamannya. "Bagi kartu itu menjadi tiga tumpuk," Angelica memberi
instruksi. "Pakai tangan kirimu. Aku akan membaca kartu-kartu itu,
dan kita akan segera tahu bagaimana keadaan ayahmu."
Sekali lagi, Amy menurut. Kenapa kartu-kartu ini begitu
penting" dia bertanya-tanya.
Angelica menyatukan kembali ketiga tumpuk kartu itu. Dia
membalikkan kartu paling atas di meja.
Lingkaran, pikir Amy serta-merta. Dia membuat lingkaran
kartu. Angelica membalikkan kartu kedua dan meletakkannya. Lalu
yang ketiga. Kemudian keempat.
Amy tahu di mana Angelica akan meletakkan setiap kartu.
Jemarinya terasa gatal dan panas sementara dia mengawasi bibinya
meletakkan kartu-kartu itu.
Aku tahu bagaimana melakukannya. Kalau kartu-kartu itu ada
di tanganku, aku tahu pasti apa yang harus dilakukan.
Tapi tak mungkin, Amy berkata pada dirinya sendiri.
Digosokkannya jari-jarinya"mencoba menghentikan rasa gatalnya.
Aku bahkan tak pernah mendengar mengenai kartu tarot sebelumnya.
Rasa gatal itu bertambah tajam. Rasanya seperti selusin jarum
ditusukkan dalam-dalam di jemarinya. Apa yang terjadi padaku" Amy
menggigit bibirnya supaya tidak menjerit.
Angelica membalikkan kartu terakhir. Rasa sakit menusuknusuk jari-jari Amy. Lalu berhenti.
Amy menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya gemetar. Dia baru
saja akan menanyai Angelica apa yang terjadi pada dirinya. Namun
kemudian dilihatnya wajah bibinya.
Senyum Angelica yang sopan telah lenyap. Matanya yang hijau
berkilat-kilat oleh semangat. Semangat... atau rasa lapar. Dia seperti
binatang yang siap memangsa, pikir Amy.
Angelica memejamkan matanya dan meletakkan kedua telapak
tangannya di atas meja. "Aku melihat ayahmu sakit lama sekali, dan
kepulangannya ke rumah tertunda beberapa kali," dia berkata,
suaranya parau. "Ibumu akan menghadapi masa-masa sulit. Tapi dia
akan mendapat pertolongan, dan akhirnya berhasil mengatasinya."
Dia membuka matanya dan menatap Amy lurus-lurus. "Nah.
Tidakkah kau merasa lebih enak sekarang?"
Lebih enak" Bagaimana mungkin dia merasa lebih enak"
Kekuatan apakah yang dimiliki kartu-kartu itu" Kekuatan macam
apakah yang menyebabkan jemarinya gatal ingin menyentuh kartukartu itu" Kekuatan macam apakah yang membuat Angelica
memandang kartu-kartu itu sedemikian rupa"
"Itu cuma kartu," Amy berkata lagi, lebih mencoba meyakinkan
dirinya daripada Angelica.
"Oh ya" Hmmm." Angelica mengumpulkan kartu-kartu itu dan
memegangnya dengan dua tangan. "Kurasa kita harus membaca
tentang dirimu." "Tidak!" teriak Amy.
Angelica mengangkat sebelah alisnya yang hitam. "Kenapa
tidak" Ini kan, seperti katamu, cuma kartu."
Angelica mengocok kartu itu tanpa bicara. Sekali. Dua kali.
Lalu diulurkannya kartu itu kepada Amy.
Amy mengatupkan tangannya erat-erat. Dia telah menyentuh
kartu itu sekali. Dia tak ingin menyentuhnya lagi.
"Bagi kartu itu, Amy," desak Angelica. "Pikirkan apa yang
ingin kauketahui." "Tentang masa depan?" Amy bertanya.
"Tentang masa depanmu. Kau begitu muda, begitu penuh
harapan. Apakah dirimu ini" Akan menjadi apa kau nanti" Apakah
kau akan menemukan kebahagiaan atau kesedihan" Apakah kau akan
jatuh cinta dan menikah" Semua gadis bertanya-tanya tentang hal-hal
ini. Kau, di lain pihak, bisa mengetahuinya."
Amy menelan dengan susah payah. Benar, dia ingin mengetahui
semua hal itu. Semua orang juga ingin tahu. Tapi dia merasa ada yang
tidak... beres dengan kartu-kartu itu. Sesuatu yang jahat. Mungkin
bahkan berbahaya. Dia pernah dengar betapa mengerikannya harga
yang harus dibayar oleh orang-orang yang mempraktekkan ilmu
hitam. Benarkah dia ingin mengetahui masa depan"
Ya. Dia takut. Namun sesuatu jauh di dalam dirinya ingin
mengetahuinya. Harus mengetahuinya.
Dia menengadah dan mendapati Angelica mengawasinya.
Matanya yang hijau seperti menusuk menembus dirinya, seolah-olah
Angelica bisa membaca pikirannya. Sekali lagi Amy bertanya-tanya
apakah semua cerita mengerikan tentang Angelica itu benar adanya.
Kemudian Angelica tersenyum, dan intensitas yang aneh dan
mengusik itu lenyap dari matanya. "Kau memang ingin tahu, ya kan,
Amy?" dia bertanya. "Jujurlah sekarang."
"Benar," jawab Amy tanpa ragu-ragu. "Aku ingin tahu."
"Kalau begitu, ambil kartu ini."
Perlahan-lahan, Amy mengulurkan tangan mengambil kartukartu itu. Sekali lagi dia merasakan perasaan berat yang aneh itu.
Kemudian sensasi menggelitik jemarinya. Dia memaksa dirinya untuk
mengabaikannya. "Ayolah," bisik Angelica. "Bagi kartunya."
Amy memindahkan tumpukan kartu itu ke tangan kirinya. Ada
yang salah dengan kartu-kartu itu. Amy tahu itu.
Dan dia tahu kartu-kartu itu menunggu dirinya untuk
memperbaiki mereka. Perasaan berkuasa menyapunya. Aneh dan
menantang. Tidak, pikir Amy panik. Tidak. Aku tak ingin melakukan ini.
Dia mencoba meletakkan kartu-kartu itu. Tapi dia tidak bisa.
Seseorang"atau sesuatu"telah mengendalikan tubuhnya.
Amy menatap ngeri kedua tangannya. Tangannya mulai
mengocok kartu itu. Cepat. Dan begitu ahli.
Bukan aku yang mengontrol tanganku, pikir Amy. Aku tak bisa
mengontrolnya. Tatapan Angelica jadi sekeras kristal. Ditatapnya Amy seolaholah baru pertama kali ia melihatnya. Amy mencoba berteriak,
mencoba memohon pada Angelica supaya menghentikan semua ini.
Tapi dia tak bisa mengendalikan suaranya"suaranya sendiri.
"Jangan dilawan," desis Angelica. "Biarkan saja terjadi!"
Amy bergidik. Sesuatu yang menyentak terasa dalam dirinya"rasanya nyaris
seolah-olah sebuah pintu telah diempaskan hingga terbuka.
Sesuatu bagai menyerangnya. Sesuatu yang gelap dan liar.
Kartu-kartu itu terbang lepas dari kedua tangan Amy.
Ditatapnya kartu-kartu itu. Dan pemandangan di depan matanya
membuatnya merinding. Bab 4 KARTU-KARTU itu berputar di sekeliling kepala Amy.
Beterbangan di udara. Amy tidak berkedip. Dia tak bisa mengalihkan matanya dari
kartu-kartu itu. Angelica menahan napas keras.
Suaranya yang tajam membuat Amy tersadar. Dia bisa bergerak
lagi. Dia melompat berdiri.
Kartu-kartu itu jatuh berserakan di atas lantai. Nyaris tidak
menimbulkan suara di karpet yang empuk itu.
Amy mengunci kedua lututnya agar tak terjatuh. Benaknya
berputar cepat sekali. Apa yang terjadi" Benarkah dia yang
mengendalikan kartu-kartu itu" Atau Angelica" Atau orang lain yang
melakukannya" Sesuatu yang tidak kasatmata"
"Jangan takut," Angelica berkata menenangkan. "Kau aman,
Amy. Semuanya baik-baik saja."
Amy kembali terduduk di kursinya. Dipandangnya Angelica
dengan bingung. "B-bagaimana mungkin Anda berkata semuanya
baik-baik saja" Tidakkah Anda lihat...?"
"Kulihat kau gadis yang sangat beruntung," sela Angelica
lembut. "Aku tahu kau takut. Itu biasa untuk kali pertama."
"Kali pertama?" Amy melipat tangannya di dadanya, memeluk
dirinya sendiri erat-erat. Kalau saja dia bisa kembali ke tempat tidur
dan berpura-pura ini hanya mimpi buruk...
"Amy," ujar Angelica, nadanya tajam.
Suara Angelica menyeret Amy keluar dari pikiran-pikiran
mengerikan yang berputar-putar itu. Ditekankannya telapak tangannya
di atas permukaan meja supaya tidak gemetaran. Dia menarik napas
panjang. "Bagus," Angelica berkata. "Sekarang kita bisa bicara."
"Tentang apa?" bisik Amy.
Angelica menatapnya lekat-lekat lama sekali. Kemudian dia
tertawa. "Kau seorang Pierce, Amy. Ada sesuatu yang lain yang
mengikat kita selain kenyataan bahwa kita satu keluarga. Beberapa
dari kita... istimewa."
Amy menggeleng-gelengkan kepala, namun Angelica menunjuk
kartu-kartu itu. Rasanya dia nyaris bisa merasakan kekuatan itu
memukul-mukul di sekujur tubuhnya sekali lagi. Apakah kekuatan itu
berhubungan dengan sihir hitam" Dia tidak tahu.
"Satu atau dua wanita keluarga Pierce dalam setiap generasi
dilahirkan dengan bakat istimewa," Angelica melanjutkan. "Kau
memilikinya. Kartu-kartu itu berbicara padamu."
"Aku tidak... aku tak pernah..." Amy menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. "Apa pun ini, aku tidak menginginkannya."
"Pandanglah aku." Suara Angelica tegas dan tidak bisa
dibantah. "Amy!"
Amy membiarkan tangannya jatuh ke atas pangkuannya.
Dibalasnya tatapan Angelica. Mata Angelica nyaris bercahaya di
dalam ruangan remang-remang itu.
"Kau seharusnya tidak takut pada kekuatanmu itu, Amy. Itu
suatu berkat. Dan kecuali kau amat sangat bodoh, kau akan
menghargai bakatmu itu," Angelica menjelaskan.
Amy menunduk menatap kartu-kartu itu. Mereka menghiasi
lantai ruangan dengan warnanya"biru terang, hijau, dan emas. Juga
merah. Merahnya darah segar yang tertumpah.
Dia tak percaya apa yang terjadi padanya. Suatu kekuatan,
pikirnya. Kekuatan yang istimewa. Kekuatan itu menakutkan dan
sekaligus menggairahkan. "Cobalah kartu-kartu itu lagi, Amy," desak Angelica. "Mereka
ingin kau melakukannya."
Angelica benar. Amy bisa merasakan kartu-kartu itu
memanggilnya. Tapi dia tak ingin menyentuhnya. Dia tidak suka
merasakan sesuatu mengendalikan tubuhnya.
"Ambil kartu-kartu itu," perintah Angelica. "Begitu kau belajar
mengkontrol kekuatanmu, kau takkan takut padanya."
Amy menggelengkan kepala. "Aku belum siap." Dia butuh
waktu untuk berpikir. Dia punya firasat kekuatan itu bisa berbahaya.
Tapi Angelica benar. Amy harus belajar menguasai kekuatan itu. Dia
ingin mengendalikannya" dan bukannya kekuatan itu yang
mengendalikannya. Angelica menganggukkan kepala. "Aku akan ada di sini kalau
kau membutuhkan aku. Tapi ingat, kau tak bisa mengabaikan
kekuatan ini. Kekuatan ini milikmu. Yang harus kaulakukan hanyalah
menggunakannya." Suara tawa anak-anak terbawa masuk lewat jendela. Tiba-tiba
Amy ingin melarikan diri ke bawah sinar matahari di luar sana, di
tempat segalanya terasa begitu sederhana.
"A-aku rasa aku akan pergi ke luar," dia berkata, seraya bangkit
berdiri. "Hari ini sangat indah, dan aku belum bertemu anak-anak lakilaki."
Angelica hanya tersenyum. Amy memaksa dirinya untuk
berjalan perlahan-lahan keluar dari ruangan itu. Namun kemudian dia
mulai berlari"dan tidak berhenti sampai dia tiba di halaman.
"Amy!" Hannah berseru seraya berlari menghampirinya. "Kau
mau bermain petak umpet?"
Hannah menarik-narik tangannya. "Ayolah. Anak-anak laki-laki
tak sabar lagi ingin bertemu denganmu."


Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Amy membiarkan dirinya ditarik ke tengah halaman. Melewati
hamparan luas azalea. Melewati kolam ikan yang terletak di tengahtengah dua batang pohon willow.
Amy melihat ranting-ranting semak pagar tanaman bergerakgerak saat mereka datang menghampiri. Didengarnya suara cekikikan
yang tinggi. Anak-anak laki-laki, pikir Amy lalu tersenyum.
"Kau mendengar sesuatu, Hannah?" Amy bertanya.
Ditudingnya pagar tanaman itu dan dikedipkannya matanya.
"Tidak tuh," gadis itu menyahut, matanya yang cokelat
bercahaya. "Kau?"
"Aku mendengar sesuatu." Amy meletakkan kedua tangannya
di pinggang dan pelan-pelan berbalik. "Mungkin ada kucing
bersembunyi di pagar tanaman. Atau tupai."
Terdengar suara cekikikan lagi. Amy melompat. Dia
mendoyongkan tubuhnya melewati pagar tanaman dan menyambar
seorang anak laki-laki kecil yang menggeliat-geliat. "Sudah kubilang
tupai!" "Aku bukan tupai!" anak laki-laki kecil itu menjerit
kesenangan. "Aku Joseph!"
Dua anak laki-laki lain melompat keluar dari balik pagar
tanaman. Satu kelihatannya berumur sebelas tahun. Dia sama pirang
dan hidupnya seperti Hannah. Anak yang satu lagi lebih kecil dan
mewarisi rambut hitam dan mata hijau Angelica.
"Halo," sapa Amy.
"Aku Robert," anak yang lebih tua berkata. "Dia Brandon."
"Bulan depan umurku sembilan tahun," Brandon berkata.
"Selamat kalau begitu," timpal Amy.
Joseph melepaskan diri dari pegangan Amy. "Yuk, main!"
"Amy yang jaga!" teriak Brandon.
Menangkap sebuah gerakan jauh di sudut matanya, Amy
berbalik dan melihat Julia berdiri bertumpu di satu kaki. Ekspresinya
tak terbaca, cemberut. "Ayo, Julia," seru Amy. "Ayo main bersama kami."
Sejenak, perasaan senang berkilauan di mata Julia yang hitam.
Kemudian Hannah tertawa, dan kilauan itu pun lenyap.
"Ya, Julia, ayo ikut," seru Hannah. "Sekali saja, jangan jadi
kayu tua." Amy berdiri di antara kedua gadis itu. "Kumohon, Julia,"
ujarnya. "Kau bisa menjadi pasanganku. Aku butuh bantuan. Aku
yakin kau tahu setiap tempat persembunyian di halaman ini."
Julia mengangguk. "Kalau begitu, ayolah," bujuk Amy. Setelah ragu sejenak, Julia
melangkah menghampiri. "Dari mana kaudapatkan gelang itu?" tukas Hannah.
"Amy memberikannya padaku," gumam Julia.
Hannah berpaling dan menatap Amy, matanya dingin. Untuk
sesaat dia mengingatkan Amy pada Angelica.
Kemudian Hannah tersenyum. "Baik sekali kau!" serunya. "Tak
banyak orang memperhatikan Julia yang malang lho."
"Ayolah, semuanya," seru Amy, tak menghiraukan komentar
Hannah. Ditutupnya matanya dengan tangan. "Aku akan mulai
menghitung. Dan sebaiknya kalian semua mencari persembunyian
yang bagus, sebab kalau tidak, kami akan menangkap kalian!"
Dia mendengar Joseph menjerit. Suara langkah-langkah kaki
menyebar ke seluruh penjuru. Kemudian halaman sunyi senyap.
Amy menghitung sampai lima puluh, kemudian meraih tangan
Julia dan mulai mencari. Pada awalnya gadis itu agak tegang, namun
tak lama kemudian dia mulai menikmati permainan itu. Rona
menghiasi kedua pipinya yang pucat.
"Kita harus menyebar," Julia berkata. "Dengan begitu kita akan
lebih cepat menemukan mereka."
"Baiklah," Amy setuju. "Kau ke ujung timur halaman, dan aku
akan memeriksa sekitar kolam ikan."
Ketika Amy berjalan menyusuri tembok halaman, dia melewati
pintu gerbang. Tumbuhan morning glory menjalar di antara besi-besi
pagar yang terbuat dari besi tempa, bunga-bunganya yang berwarna
biru tampak mencolok di atas besi yang gelap. Sebuah halaman lain
terhampar di balik pagar itu, dan Amy bisa melihat rumah berdinding
putih di ujungnya. Siapa ya yang tinggal di sana" pikir Amy. Sambil mengangkat
bahu, dia kembali mencari anak-anak itu. Dia melongok ke balik
semak-semak, tembok batu pendek yang mengelilingi kolam ikan, dan
sebuah terali melengkung yang dipenuhi bunga-bunga mawar. Begitu
banyak tempat bagi anak-anak untuk bersembunyi.
Tapi Amy berpikir di balik dahan-dahan willow yang nyaris
menyentuh tanah itu adalah tempat persembunyian terbaik.
Disibakkannya dahan-dahan pohon itu dan menyelinap ke baliknya.
Di bawah pohon itu lebih gelap. Lebih senyap. Amy tersadar dirinya
menahan napas. Diletakkannya telapak tangannya pada batang pohon willow itu.
Pohon itu terasa dingin dan lembap, dan samar-samar bau jamur.
Pohon itu berdesir. Dahan-dahannya berderak-derak, daundaunnya bergesekan satu sama lain.
Kedengarannya seperti suara-suara bisikan, pikir Amy. Dia
ingin kembali berada di bawah sinar matahari.
Sesuatu membelai pipinya.
Dengan panik dia menepisnya. Dedaunan, dia tersadar. Hanya
daun. Ranting-ranting menarik-narik gaunnya saat dia menyibakkan
dahan-dahan pohon itu ke samping. Dia harus keluar dari situ. Ada
yang tidak beres di situ.
Salah satu dahan terlepas dari tangannya, dan melecut lehernya.
Buru-buru direnggutnya dahan itu. Kemudian ia merasakan sesuatu
yang lengket di jemarinya.
Hangat dan lengket. Darah.
Dengan susah payah Amy menerobos melewati dahan-dahan
pohon itu. Kemudian dia menarik napas dalam-dalam dan berbalik
menatap pohon willow itu.
Apa yang terjadi padanya" Amy mengusapkan tangannya ke
leher. Tidak ada darah. Pasti cuma luka kecil.
Kau sendiri yang membuat dirimu takut, itu saja, pikir Amy.
Sama seperti yang kaulakukan semalam.
Amy mengalihkan perhatiannya kembali ke permainan petak
umpet itu. "Auw!" dia mendengar seseorang berteriak pelan. Dia
melihat semak-semak mawar bergerak.
Amy tertawa. "Kau lupa semak mawar berduri, ya?" serunya.
Dia berjalan menghampiri semak mawar itu.
"Tertangkap kau sekarang!" Didoyongkannya tubuhnya ke
depan, mengintip dari antara dahan-dahan mawar yang berduri.
Sebelum dia sempat melihat siapa yang bersembunyi di situ,
seorang wanita menjerit. Jeritan ngeri yang melengking tinggi.
Bab 5 AMY mengedarkan pandang dengan liar.
Wanita itu kembali menjerit.
Dia berada di halaman sebelah! Amy berlari menuju gerbang.
"Anak-anak!" teriaknya sambil berlari. "Lari! Cari bantuan!"
Amy mengguncang-guncangkan pintu gerbang. Gerbang itu
sedikit pun tidak bergeser. Amy menariknya lagi. Terbukalah,
batinnya. Terbuka, terbuka, terbuka.
Engsel-engselnya berderit keras saat pintu gerbang itu bergerak
membuka. Tanaman merambat yang tumbuh di situ tertarik lepas dan
jatuh menimpa Amy. Amy menyelinap masuk melewatinya. "Aku datang," serunya.
"Anda di mana?"
"Di sini, di gazebo!" seru wanita itu. "Oh, tolong, cepat!"
Amy melesat sepanjang jalan setapak, mengikuti asal suara
yang ketakutan itu. "Tidak!" ia menahan napas.
Seorang wanita bergayut pada terali kayu yang rapuh. Seekor
water moccasin tampak hanya beberapa senti dari kakinya.
"Lari! Cari bantuan!" ujar wanita itu tertahan.
Tak ada waktu, pikir Amy. Terali itu mulai melengkung lepas.
Ia harus melakukan sesuatu sekarang juga! Apa yang akan
digunakannya sebagai senjata" Mata Amy bergerak panik menyapu
halaman. Ia melihat sebuah cangkul disandarkan pada pohon di dekat
situ. Sempurna. Amy menyambar cangkul itu. Ia mengangkatnya
tinggi-tinggi di atas kepala dan menghantamnya keras-keras. Kali ini
cangkul itu nyaris menghancurkan kepala si ular.
Ular itu meliak-liuk dengan liarnya. Kepalanya tersentak-sentak
ke depan dan belakang. Darah muncrat mengotori sepatu Amy. Taring
ular itu mengatup-ngatup di dekat kaki wanita itu. Mengatup dan
mengatup dan mengatup. Ular itu bakal menggigitnya, Amy berpikir. Diangkatnya
kembali cangkul itu dan dihantamkannya ke binatang melata itu
berkali- kali. Akhirnya, ular itu tergeletak diam. Sambil bergidik, Amy
melemparkan cangkul di tangannya.
"Sini, biar saya bantu," ujar Amy tersengal. Ia berlari
menghampiri wanita itu seraya mengulurkan tangan. Dirasakannya
tangan wanita itu gemetar. Atau mungkin tangannya sendirilah yang
gemetaran! "Ya Tuhan!" wanita itu berseru dengan suaranya yang lembut
dan memburu. "Aku yakin sekali aku bakal mati. Kau benar-benar
gadis yang sangat pemberani. Namaku Claire Hathaway, dan aku
sangat berterima kasih?"
"Ibu!" Suara itu berat dan maskulin. "Ibu, Ibu di mana?"
"Di sini, David," sahut wanita itu. "Di dekat gazebo."
Amy mendengar suara langkah kaki berlari sepanjang jalan
setapak berlapis batu kerikil itu. Sesaat kemudian seorang pemuda
muncul. Seorang pemuda yang jangkung dan kurus. Tangan kanannya
digendong dalam ambin, dan penutup mata berwarna hitam menutupi
mata kirinya. Rambutnya berwarna cokelat keemasan dan kulitnya
cokelat gelap terbakar sinar matahari dan angin.
"Apa yang terjadi?" desaknya sambil menatap tubuh ular yang
telah terpotong-potong itu.
"Water moccasin," ibunya berkata. "Gadis ini telah
membunuhnya sebelum binatang itu sempat mematukku."
Pemuda itu berpaling kepada Amy. Dia tidak jauh lebih tua
dariku, Amy tersadar. Ia melicinkan roknya, sangat menyadari setiap
kerutan dan potongan rumput yang menempel di gaunnya karena
bermain dengan anak-anak tadi. Rambutnya juga pasti berantakan.
Pemuda itu mengulurkan tangan dan menggenggam tangan
Amy yang mungil dengan tangannya yang lebar dan hangat. "Aku
David Hathaway. Kau siapa?" ia bertanya.
"Saya keponakan Mrs. Fear," jawab Amy, suaranya sedikit
bergetar. Ia mencoba berhenti menatap pria itu. Tapi David sangat
tampan. Wajahnya bagai terpahat. Penutup matanya justru menambah
ketampanannya. David tersenyum padanya, dan jantung Amy mulai berdebar
cepat sekali. "Well, Keponakan Mrs. Fear," godanya. "Terima kasih."
Pipi Amy terasa panas. Dia berdoa semoga David tidak melihat
pipinya yang merona. "Nama saya Amy Pierce. Saya?" katanya.
"Amy!" teriak Angelica.
Amy berbalik. Bibinya menyerbu ke arahnya, Nellie tampak
beberapa langkah di belakangnya.
Angelica memeluknya dalam pelukan sutra dan parfumnya
yang sangat harum. "Kata Brandon dia mendengar suara jeritan," seru
Angelica. "Apa yang terjadi" Apakah semuanya baik-baik saja?"
"Ya," Mrs. Hathaway menjawab sambil merapikan rambutnya
yang cokelat dengan helai-helai kelabu di sana-sini, dari atas
keningnya. "Berkat keponakan Anda. Dia menyelamatkan saya dari
seekor water moccasin."
Angelica menatap Amy dan ular mati itu bergantian. "Wah, itu
memang tindakan yang berani," ia berkomentar. "Tapi juga ceroboh!
Kau bisa saja terluka."
"Kalau menurutku justru ular itulah yang bernasib buruk,"
timpal David. Angelica menatapnya. Amy tak tahu apakah bibinya menyukai
David atau tidak. Tapi sebelum ia bisa mengatakannya, Angelica telah
menyambar tangannya dan menyeretnya ke pintu gerbang.
"Ayo kami antar kau pulang," Angelica berkata. "Tadi itu cukup
menakutkan." "Tapi?" protes Amy.
"Dan kami juga harus membersihkan dirimu," lanjut Angelica,
seolah-olah tak mendengar ucapan Amy. "Ada darah di ujung
gaunmu. Kuharap kami bisa membersihkannya. Permisi, Mrs.
Hathaway. Mari, David."
"Good-bye," sahut Mrs. Hathaway. "Dan terima kasih, Amy!"
Ketika Angelica menariknya ke rumah, Amy buru-buru
berpaling ke belakang. David tampak cemberut. Dingin. Apa yang
dipikirkannya" ia bertanya-tanya. Kenapa ia kelihatan marah seperti
itu" Begitu mereka memasuki mansion Fear, Angelica melepaskan
tangan Amy. Ia berpaling kepada Nellie, yang diam-diam telah
mengikuti mereka. "Nellie, ajak Miss Amy ke atas dan bantu dia
berbaring," katanya memerintah. "Dia ketakutan."
"Tapi aku baik-baik saja kok, sungguh," kilah Amy.
Angelica mengabaikan protesnya dengan mengibaskan
tangannya. "Omong kosong. Ayo, naiklah. Aku akan datang
memeriksamu." Dengan desiran gaun sutranya, Angelica berlalu dari
situ. Hati Amy terasa mendidih. Berani-beraninya Angelica
memperlakukannya seperti ini! Menyeretnya dari rumah keluarga
Hathaway, lalu menyuruhnya ke kamarnya seperti anak kecil yang
makan terlalu banyak permen. Kejengkelannya pasti tampak di
wajahnya. "Jangan marah, Miss Amy," kata Nellie. "Mrs. Fear kadangkadang memang suka seperti itu. Dan dia juga mengkhawatirkan
Anda, mendengar jeritan-jeritan itu, dan lain sebagainya. Sekarang,
marilah kita ke atas. Anda akan merasa lebih enak."
Amy menggelengkan kepala. "Kau harus berjanji tidak akan
memanggilku Miss Amy lagi."
"Lalu bagaimana saya harus memanggil Anda?" tanya Nellie.
"Amy." "Tapi Anda adalah... sedang saya..." Nellie jadi salah tingkah.
"Nellie, dengar. Kami tak punya pelayan di rumah. Aku tak
biasa dilayani orang lain. Dan aku jelas tidak biasa dipanggil Miss
Amy setiap kali." Pelayan itu ragu. Kemudian ia tersenyum. "Baiklah, Miss... ah,
Amy. Tapi hanya kalau Mrs. Fear tidak mendengar."
Amy balas tersenyum kepada Nellie. Ia merasa sangat
bersemangat. "Ayo kita berlomba!" serunya.
Amy berlari ke tangga. Tertawa-tawa kesenangan, Nellie
mengejarnya. Amy sampai ke kamarnya lebih dulu. Ia terpeleset di
lantai yang licin dan harus menyambar tiang tempat tidur agar tidak
terjatuh. "Ini menyenangkan sekali," Amy menahan napas.
Nellie berhenti sebentar untuk mengatur napasnya. "Tidakkah
kau ngeri membunuh ular itu?"
"Aku tak punya waktu untuk merasa takut," sahut Amy.
"Setidaknya tidak terlalu."
"Yah, aku benci ular, itu jelas." Nellie membuka lemari dinding


Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengaduknya, mengeluarkan stoking dan korset serta rok dalam
yang menggelembung lebar.
"Oh, Nellie, perlukah aku memakai semua itu?" erang Amy.
Pelayan itu menoleh lewat bahunya. "Pakaian yang kaukenakan
entah robek atau kotor, Miss... Amy. David Hathaway amat sangat
tampan, ya kan?" Terkejut, untuk sesaat Amy tak sanggup menjawab. Kemudian
ia mengangkat bahu. "Kurasa. Sungguh, aku tidak terlalu
memperhatikan." Dasar pembohong, batinnya. Dia bahkan tak
sanggup mengalihkan pandangannya dari wajah pria itu.
"Dan dia menatapmu lekat-lekat," Nellie melanjutkan.
"Yah, eh..." Amy tak sanggup melanjutkan ucapannya. Pipinya
terasa panas. Duh, kalau saja wajahnya tidak semudah ini merah
padam! Dan kenyataan bahwa Nellie nyengir padanya hanya membuat
segalanya semakin buruk saja. "Dia mengucapkan terima kasih,
Nellie. Itu tidak berarti apa-apa."
"Aku yakin begitu." Tiba-tiba senyum Nellie lenyap. "Ada
sesuatu yang harus kauketahui tentang David Hath?"
Angelica muncul di ambang pintu. Nellie sama sekali terdiam,
matanya menatap lantai. Angelica tersenyum, namun matanya tampak sekeras kaca
hijau. "Nellie, kurasa kau masih punya banyak pekerjaan di bawah?"
"Ya, Ma'am." Nellie serta-merta berlalu.
Angelica masuk ke kamar. "Bagaimana perasaanmu, Amy?"
"Aku tidak apa-apa. Anda kan tahu, aku ini gadis desa, Bibi
Angelica. Ular tidak membuatku takut."
"Aku menyesal telah bicara terlalu tajam padamu di bawah
tadi," Angelica berkata. "Aku cemas sekali sesuatu menimpamu. Yah,
walau bagaimanapun, aku sudah bilang pada ibumu akan
menjagamu." "Tidak apa-apa," sahut Amy, hatinya tersentuh karena Angelica
sangat memperhatikannya. "Aku mengerti kok."
"Bagus." Tatapan Angelica beralih ke lemari yang terbuka.
"Hanya itukah yang kaubawa" Ya Tuhan, anakku! Kau pasti sangat
terburu-buru." Amy tak ingin mengakui bahwa hanya beberapa gaun itulah
yang dimilikinya. Jadi dia tidak mengatakan apa-apa.
Angelica menghampiri lemari itu dan mulai memeriksa gaungaunnya. Dia mengeluarkan suara tak setuju jauh di dalam lehernya.
"Tidak bisa begini," ia bergumam sendiri. "Berhubung kota
penuh dengan para yankee, tentu saja akan ada beberapa acara sosial.
Tapi semua ini tidak cukup. Keluarga Patterson masih bersikeras
mengadakan Pesta Dansa Panen-nya dalam waktu kurang dari dua
minggu. Lyle Patterson pasti telah menyuap Jenderal Butler untuk
mendapatkan izin dari tentara Union. Kau membutuhkan gaun malam
untuk acara itu, dan setidaknya tiga gaun rumah dan satu setel pakaian
berkuda." Amy duduk di tempat tidur. Ini memalukan sekali! "Tapi
gaunku cuma ini." "Ah." Angelica menghampiri dan duduk di sebelahnya. "Perang
ini pasti sangat sulit bagi semua orang."
"Sebelum perang pun kami tidak kaya kok." Dengan pelan,
Amy meluruskan kerutan di gaunnya. "Tapi kami selalu
berkecukupan." "Tentu saja," ujar Angelica. "Dan aku tidak mengatakan
pakaianmu tidak bagus lho. Hanya saja kau harus punya lebih banyak
gaun untuk dikenakan. Aku juga mau menjahitkan beberapa gaun
untukku, Hannah, dan Julia, dan aku akan membuatkan beberapa
untukmu juga." "Aku tidak bisa?"
"Amy, apakah kau ingin mengatakan padaku bahwa kau tidak
ingin pergi ke pesta dansa" Tidakkah kau ingin berpakaian bagus dan
menyelipkan bunga-bunga di rambutmu, dan semua pemuda di kota
memohon-mohon agar bisa berdansa denganmu?"
Oh, ya, pikir Amy. Ia menginginkan semua itu.
"Ingat, Sayang, kita kan keluarga," Angelica berkata lagi. "Kita
saling menjaga. Aku yakin ibumu akan melakukan hal yang sama bagi
putri-putriku." "Yah..." kata Amy pelan.
"Aku memaksa," tukas Angelica. "Aku tidak mau mendengar
apa-apa tentang hal ini lagi." Ditepuknya tangan Amy, lalu bangkit
diikuti desiran gaun sutranya. "Kau gadis yang sangat istimewa. Aku
ingin kita berteman baik."
"Aku juga," sambut Amy. Tapi sulit sekali rasanya merasa
nyaman di dekat Angelica.
Angelica melangkah ke pintu. Kemudian ia berbalik. "Satu lagi,
Amy. Nellie bicara terlalu banyak. Aku tidak suka gosip. Tapi aku
setuju kau harus tahu yang sebenarnya tentang David Hathaway."
"David?" Amy mendongak.
"Sudah selayaknya seorang gadis cantik tertarik pada pemuda
yang tampan. Apalagi kalau mereka tinggal di rumah sebelah. Tapi
kau tak boleh berhubungan dengan David. Pokoknya tidak boleh."
"Kenapa?" tanya Amy. Angelica lagi-lagi memperlakukannya
seperti anak kecil. "Aku tahu David tampan. Ditambah dengan penutup mata itu...
yah, dia sangat membangkitkan minat, bukankah begitu?"
Amy tak tahu harus bilang apa.
"Dulu David pemuda yang menyenangkan," Angelica
melanjutkan tanpa menunggu jawaban Amy. "Tapi perang
mengubahnya. Apalagi kepribadiannya. Terus terang dia jadi sedikit...
terganggu jiwanya. Sebagian orang malah menganggap dia
berbahaya." "Berbahaya!" seru Amy. "Kenapa?"
"Peperangan adalah sesuatu yang mengerikan. Para pria
bertarung untuk suatu alasan. Mereka membunuh dan mati demi
alasan itu. Aku tidak akan mengulangi desas-desus mengenai
bagaimana David kabur dari penjara Union. Kau pasti akan ngeri
mendengarnya." Bagaimana mungkin kisah-kisah itu membuat David berbahaya
baginya" Mengapa Angelica ingin agar dia menjauhi David"
"Bagi David, perang jadi sesuatu yang lain," lanjut Angelica.
"Kau tahu, dia jadi menyukai kekerasan. Dia membunuh semata-mata
demi kenikmatan yang didapatkannya. Dan begitu seorang manusia
melewati batas itu, dia takkan pernah kembali lagi."
"Tidak," bisik Amy. Orang macam apakah yang membunuh
demi kesenangan" "Aku menyesal, Amy," gumam Angelica. "Tapi kau tak bisa
bersembunyi dari kebenaran. David akan membunuh lagi."
Bab 6 AMY sama sekali tak percaya. David tak mungkin suka
membunuh. Ia duduk di atas batu yang hangat tersiram sinar matahari yang
mengelilingi kolam ikan, mencoba untuk membaca. Namun matanya
terus kembali ke rumah keluarga Hathaway. Dan pikirannya terus
kembali kepada David. Amy sepertinya bisa mendengar suara pemuda itu di dalam
kepalanya. Begitu hangat, begitu tulus saat ia mengucapkan terima
kasih karena Amy telah menyelamatkan ibunya.
"David," gumam Amy. "Ada apa sebenarnya denganmu, David
Hathaway?" Ia mendesah, dalam hati berharap dirinya sepandai dan
sebijaksana Angelica. Dengan begitu dia mungkin bisa mengetahui
yang sebenarnya. Tapi ia tidak bisa menerima hal-hal buruk yang dikatakan
Angelica itu. Ia baru bicara sebentar sekali dengan pemuda itu. Tapi ia
sudah melihat ekspresi gelap di wajahnya.
Namun David pernah terjun dalam perang. Ia telah terluka
parah. Mungkinkah itu menjelaskan perubahan yang telah
diperhatikan Angelica"
"Yu-hu, Amy!" Amy berbalik dan melihat Mrs. Hathaway berdiri di balik
gerbang besi tempa. "Hai, Mrs. Hathaway," serunya.
"Aku melihatmu duduk di situ dan berpikir untuk
mengundangmu minum teh. Aku belum mendapat kesempatan
mengucapkan terima kasih dengan layak kemarin."
Amy memandang rumah keluarga Fear. Ia tahu seharusnya ia
meminta izin Angelica, tapi hari ini bibinya itu sangat sibuk. Dan
kalau dia menanyakannya, Angelica pasti akan bilang tidak. "Aku
senang sekali," ia berkata, seraya bangkit berdiri.
Mrs. Hathaway membuka gerbang untuk Amy dan
mengajaknya kembali ke rumahnya. Ia berceloteh tak henti-hentinya.
Amy tahu dirinya semakin menyukai wanita yang lebih tua itu.
"Lewat sini," Mrs. Hathaway berkata seraya mengajak Amy
memasuki rumahnya. Amy langsung melihat perbedaan antara rumah ini dengan
rumah keluarga Fear. Kedua rumah itu sama-sama luas dan elegan.
Tapi yang ini penuh dengan perabotan yang jelas telah digunakan dari
generasi ke generasi. "Ini mengingatkanku pada rumahku," Amy berkata.
Mrs. Hathaway tersenyum. "Oh ya?"
"Oh, rumah kami sangat kecil, dan sama sekali jauh dari
elegan," sahut Amy. "Tapi rasanya sama. Rasanya seolah-olah
perabotannya memohon-mohon pada Anda agar meletakkan kaki
Anda di atasnya." Aku pasti kedengaran norak sekali, pikir Amy. Kenapa aku
tidak berpikir dulu sebelum bicara"
Mrs. Hathaway tertawa. "Kami memang meletakkan kaki kami
di atasnya kok, Sayang. Perabot yang tak bisa digunakan dan
dinikmati sebaiknya dilempar saja ke perapian."
Ia mengantar Amy ke ruang duduk yang hangat dan nyaman
seperti bagian dalam sarung tangan. Amy duduk di kursi yang
bantalnya tebal sekali. "Aku akan membunyikan lonceng untuk teh
kita," Mrs. Hathaway berkata seraya menarik tali lonceng.
Beberapa saat kemudian seorang pelayan muncul sambil
mendorong kereta perak. Mulut Amy mulai menitikkan liur saat
tercium olehnya aroma kue kering yang baru matang. Mrs. Hathaway
menuangkan secangkir teh untuk Amy dan secangkir lagi untuk
dirinya sendiri. "Sekarang, ceritakan padaku tentang?" Mrs. Hathaway
memulai. Kemudian tatapannya bergerak ke suatu titik di belakang
Amy. Dinaikkannya suaranya, "David! Kau mau lari ke mana" Ayo,
bergabunglah bersama kami!"
Berbalik, Amy melihat David berdiri di atas anak tangga.
Pemuda itu berputar pelan, nyaris malas. Apakah David mencoba
menghindar darinya" David melangkah ke sofa dan duduk di sebelah ibunya,
wajahnya tampak cemberut.
"Amy datang untuk minum teh," Mrs. Hathaway berkata. "Dan
Pendekar Gelandangan 11 Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah Si Linglung Sakti 1
^