Pencarian

Si Linglung Sakti 1

Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti Bagian 1


Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
SI LINGLUNG SAKTI
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : T uti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Si Linglung Sakti
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Malam itu langit
kelihatan cerah. T idak ada awan yang
menggantung. Bulan yang bersinar penuh di angkasa menambah terang suasana
persada. T erang dan hening.
Namun keheningan itu tidak berlangsung lama. Bunyi lecutan cambuk, derap kaki
kuda, dan gemeretak roda kereta telah
mengganggu malam yang begitu indah. Sesaat kemudian, muncullah sebuah kereta
yang ditarik dua ekor kuda. Beberapa lelaki gagah berkuda mengiringi kereta.
Mereka berjumlah dua belas orang. Enam di depan, empat di belakang, dan masing-
masing satu orang di kanan dan kiri kereta. Semuanya menunggangi kuda-kuda
pilihan. "Hooop...!"
Penunggang kuda terdepan yang berkumis melintang, tiba-tiba mengangkat tangan
kanannya ke atas. Sedangkan tangan kirinya menarik tali kekang kuda hingga
langkahnya terhenti. Iring-iringan yang berada di belakangnya jadi ikut
berhenti. "Kita beristirahat di sini dulu," ujar lelaki berkumis melintang yang
menjadi kepala rombongan. Binatang tunggangannya dibalikkan menghadap rombongan.
Usai lelaki berkumis melintang mengeluarkan perintah, kesibukan pun langsung
terjadi. Belasan lelaki gagah yang mengenakan seragam prajurit berlompatan dari
punggung kuda. Gerakan mereka cukup gesit dan lincah. T erutama lelaki berkumis
melintang. T anpa banyak bicara, rombongan prajurit itu segera bertindak.
Kereta mereka ditaruh di tempat yang terlindung, di tengah-tengah.
Se dangkan di empat penjuru, mereka berjaga. Ini dimaksudkan agar bila ada
serangan dari arah mana pun, akan berhadapan dengan para prajurit terlebih
dahulu. Kusir kereta itu seorang pemuda yang bertubuh kekar dan tegap. Ia ikut
berjaga-jaga meskipun dia bukan seorang prajurit.
Setelah mengawasi semua persiapan rombongannya, lelaki
berkumis melintang lalu masuk ke sebuah tenda kecil untuk
beristirahat. T api, baru saja sepasang matanya dipejamkan, tiba-tiba
dibukanya kembali dengan cepat. Lelaki itu melompat
dari pembaringan dan melesat ke luar tenda.
"Ada apa, Sancaka?" tanya seorang prajurit yang merasa heran melihat lelaki
berkumis melintang itu keluar dari tendanya kembali.
"Kau dengar bunyi burung hantu saling bersahutan?" lelaki berkumis melintang
malah mengajukan pertanyaan.
Prajurit itu mengangguk.
"Celaka!" seru lelaki berkumis melintang yang bernama Sancaka.
"Musuh telah berada di sekeliling kita. Semuanya waspada!"
Baru saja ucapan Sancaka selesai, terdengar bunyi berkerosakan.
Dari atas pohon dan semak-semak di sekitar tempat itu keluarlah sosok-sosok
bayangan. Senjata telanjang terhunus di tangan mereka.
T anpa memberikan kesempatan sedikit pun, sosok-sosok yang keluar dari tempat
tersembunyi itu segera menyerbu. Para prajurit di bawah pimpinan Sancaka
langsung menyambutnya. Pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Malam yang semula hening kini riuh rendah oleh bunyi dentang senjata beradu,
yang dibarengi dengan teriakan-teriakan keras. Sesaat kemudian, jeritan menyayat
pun terdengar. Seorang anak buah Sancaka telah menjadi korban
Kelompok penyerang yang meskipun hanya berjumlah empat
orang, namun rata-rata berkepandaian tinggi. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk membunuh lawan-lawannya. Padahal, masing-masing dari
mereka paling sedikit menghadapi tiga orang lawan.
Hanya dalam waktu singkat yang masih bisa bertahan cuma lelaki berkumis
melintang. Meskipun demikian, pimpinan rombongan itu tidak gentar. Ia terus
mengadakan perlawanan sengit. Tapi, tetap saja Sancaka terdesak.
Sementara tiga orang penyerbu yang sudah tidak mendapat lawan lagi, dengan
langkah tenang dan tertawa-tawa menghampiri kereta.
Kereta itu sudah tidak ada yang menjaga lagi. Kecuali si Kusir kereta yang sejak
pertempuran terjadi menyembunyikan wajahnya dengan
kedua tangan. Ia tidak berani menyaksikan jalannya pertarungan.
"Keparat! Pengecut-pengecut hina. Jangan ganggu kereta itu.
Kalau kalian berani, hadapi aku!" seru Sancaka kalap melihat tiga lawannya
bergerak mendekati kereta.
T indakan itu harus dibayar mahal oleh lelaki berkumis melintang.
Perhatiannya jadi terpecah meskipun hanya sebentar. T api karena kedudukannya
yang tengah terjepit, sebuah sabetan pisau lawan merobek
lehernya. Nyawa
Sancaka pun langsung melayang.
Kemudian, tanpa mempedulikan korbannya, lawan Sancaka yang mengenakan pakaian
berkembang-kembang seperti pakaian wanita itu berjalan menghampiri kereta.
*** Salah seorang dari tiga lelaki berpakaian kembang, mengulurkan tangan
kiri, mencengkeram baju sang Kusir kemudian melemparkannya dengan mudah laksana membuang kain basah,
membuat sang Kusir pingsan seketika.
T iba-tiba lelaki berwajah hitam itu berlari mengejar dua orang penumpang
kereta. Memang, di saat belasan prajurit pengawal bertarung dengan empat
lelaki berpakaian kembang-kembang,
penumpang kereta yang adalah dua orang wanita itu mengintai jalannya pertarungan
dari dalam kereta kuda. Melihat kenyataan kalau para penyerang jauh lebih kuat,
mereka keluar dari kereta dan melarikan diri.
"He he he...! Mau lari ke mana, Manis"!" tanya lelaki berwajah hitam ketika
berhasil menghadang mereka.
"He he he...!" tiga orang kawan lelaki ber wajah hitam yang tidak ikut mengejar
hanya memperhatikan dengan tertawa-tawa.
"Keparat busuk!"
Salah seorang wanita, yang muda dan cantik, menusukkan
pedangnya yang dipegang dengan tangan kiri. T angan kanannya menuntun wanita
yang lebih tua. Senjata tajam itu cepat ditusukkan ke arah leher.
"Rupanya kau memiliki kepandaian juga, Manis" Tapi jangan harap kau dapat menang
dariku?" Sambil berkata demikian, lelaki berwajah hitam memiringkan kepala. Serangan itu
berhasil dielakkan. Lalu secepatnya tendangan kaki kanannya meluncur menuju
perut lawan. Buk! T elak dan keras sekali kaki. lelaki berwajah hitam mendarat di sasaran. T ubuh
wanita cantik berpakaian indah itu sampai terlempar dan jatuh bergulingan di
tanah. "Jangan sakiti dia...!" seru wanita yang lebih tua. Ia bergerak menghadang
langkah lelaki berwajah hitam yang akan menghampiri si Wanita muda.
"Minggir kau, T ua Bangka Jelek!"
T anpa menaruh rasa kasihan sedikit pun, lelaki berwajah hitam mengulurkan
tangan menangkap tubuh
wanita tua itu, lalu dibantingnya dengan keras hingga terdengar bunyi berdebuk.
"Ibuuu...!"
Wanita muda berwajah cantik dengan agak terbungkuk karena
masih merasakan sakit pada perutnya berlari mendekati ibunya. T api, sebelum
maksudnya terlaksana, sebuah tangan kuat telah menarik pakaiannya.
"Rupanya kau tidak sabar menunggu giliran, Anak Manis"!" ucap lelaki berwajah
hitam sambil mendekatkan wajah si Gadis ke wajahnya. Setelah mengangkat tubuh
gadis itu dengan sebelah tangan, karena lelaki berwajah hitam itu mempunyai
tubuh yang jauh lebih tinggi dan kuat.
"Jangan makan sendirian saja, Dusena!" seru salah seorang dari tiga lelaki
berpakaian kembang-kembang yang bertubuh pendek kekar.
"Jangan khawatir," ucap lelaki berwajah hitam. "Tapi, kalian makan saja dulu
ini!" Dusena mengayunkan kaki menendang tubuh wanita setengah
baya yang masih meringkuk kesakitan di tanah. T ubuh wanita
malang itu pun melayang ke arah tiga lelaki berpakaian kembang.
Untung, Dusena tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
"Siapa sudi da ging yang sudah alot!" sergah lelaki pendek kekar sambil
mendengus. T angannya memapaki tubuh yang meluncur ke arahnya. T erdengar bunyi
berderak keras ketika kepala wanita setengah baya itu pecah berantakan terkena
hantaman tangannya.
"Ibuuu...!"
Wanita cantik jelita itu menjerit keras melihat nasib yang menimpa ibunya. T api
jeritannya hanya sampai di situ saja.
Mulutnya telah ditutup dengan buas oleh mulut lelaki berwajah hitam, yang
menciuminya dengan penuh nafsu. T idak hanya mulut saja, tapi juga pipi dan
hidungnya. Brettt! Bunyi kain robek terdengar ketika tangan lelaki berwajah hitam merenggut baju si
Wanita cantik hingga robek dari leher sampai ke pusar.
Dengan napas memburu Dusena mencampakkan tubuh wanita
cantik itu ke tanah, ia segera melepas bajunya dan bersiap untuk menggagahi.
Namun mendadak terdengar bunyi geraman yang
sangat keras, seperti auman harimau.
Akibatnya hebat bukan main! Dusena dan ketiga kawannya
merasakan sekujur tubuh mereka tergetar hebat. Bahkan, kedua kaki mereka
menggigil keras. T anpa dapat ditahan lagi ketiga orang itu ambruk ke tanah.
Se belum Dusena sempat berbuat sesuatu, terasa angin dingin berdesir. Di
sebelahnya telah berdiri si Kusir kereta yang tadi dicampakkannya. Kali ini
sikap dan keadaan lelaki bertubuh kekar itu amat jauh berbeda dengan sebelumnya.
Wajahnya tampak
beringas. Sepasang matanya menatap liar penuh nafsu membunuh!
Kusir kereta itu mengangkat tubuh wanita cantik jelita dengan cara luar biasa.
Cepat bukan main gerakannya, sehingga Dusena yang berada di dekatnya tidak
melihat bagaimana lelaki kekar itu bergerak. T ahu-tahu tubuh wanita itu telah
berada di bahu kanannya.
"Sukaesih.... Ah, Sukaesih," desah kusir kereta seraya mengelus-elus tubuh
wanita cantik yang ada di pondongannya dengan penuh kasih.
T entu saja tindakan kusir kereta itu membuat wanita cantik jelita yang sudah
hampir pingsan akibat tindakan Dusena, jadi tak sadarkan diri.
T api si Kusir kereta tidak mempedulikan hal itu. Perhatiannya dialihkan pada
Dusena yang masih setengah berlutut di tanah karena belum dapat menghilangkan
pengaruh geraman tadi. Lelaki kekar itu mengayunkan kakinya ke arah kepala
Dusena dengan telak dan keras. Maka, tanpa dapat bersambat lagi, nyawa lelaki
berwajah hitam itu melayang ke akherat dengan kepala pecah.
"Dusena...!"
Ketiga rekan lelaki berwajah hitam berseru kaget. Dengan
teriakan-teriakan marah, ketiganya bangkit dan meluruk ke arah sang Kusir dengan
senjata di tangan. Saat itu, pengaruh teriakan yang membuat sekujur tubuh mereka
lemas telah berangsur lenyap.
Desir angin tajam mengiringi tibanya serangan golok ketiga orang berpakaian
kembang. T api, sang Kusir yang dijadikan sasaran serangan hanya mendengus tanpa
memberikan tanggapan. Ia tidak mengelak maupun menangkis serangan itu.
T ak, tak, tak!
T iga rekan Dusena memekik kaget. Mata-mata golok yang
berhasil mendarat di tubuh sang Kusir tidak mampu melukai
kulitnya, hanya merobek pakaian. Bahkan, golok-golok itu terpental balik dan
tangan mereka terasa sakit. T ubuh lelaki kekar itu bagaikan terbuat dari karet
yang keras dan kenyal.
Kenyataan itu membuat tiga lelaki berpakaian kembang-kembang kaget bukan main.
Mereka tidak tahu kalau sang Kusir memiliki tenaga dalam sangat kuat kulit
tubuhnya tidak mampu tertembus golok. Namun, perasaan itu hanya sebentar saja
menghinggapi mereka. Saat berikutnya, ketiganya mengeluarkan jeritan menyayat
ketika dengan kecepatan yang luar biasa, sang Kusir mendaratkan
jari telunjuknya pada dahi mereka, hingga berlubang. Nyawa tiga rekan Dusena itu
pun melayang. *** "Suhita...! Suhita, bangun...! Jangan mati, Suhita...! Aku takut...!"
Wanita cantik jelita berpakaian jingga yang tadi hampir menjadi korban kebiadan
nafsu Dusena, mengguncang-guncang tubuh kusir kereta yang tergolek di tanah.
Suara wanita itu terdengar penuh ketakutan. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari
dengan sepasang mata liar menatap ke sekelilingnya.
"Uhhh...," terdengar keluhan dari mulut kusir kereta. Matanya mengerjap-ngerjap,
membuat wanita berpakaian jingga tersenyum lega.
"Apa yang terjadi, Nona" Ah, kau tidak apa-apa" Syukurlah....
Aku khawatir sekali tadi. Mereka jahat dan kejam sekali. Dan... eh..., siapa
yang membunuh mereka, Nona?" tanya Suhita linglung, kusir kereta itu kelihatan
kaget sekali melihat tubuh-tubuh lelaki berpakaian kembang-kembang bergeletakan di tanah tidak bernyawa.
Wanita berpakaian jingga mengerutkan alisnya yang indah
mendengar jawaban itu.
"Kau tidak usah berpura-pura, Suhita. Bukankah kau yang telah membunuh mereka"!"
"Aku"!" Suhita membelalakkan sepasang matanya yang masih kelihatan linglung.
"Aku yang membunuh mereka, Nona" Apakah kau tidak main-main" Bagaimana mungkin
aku bisa membunuh
mereka yang berkepandaian tinggi" Sedangkan para prajurit saja dapat mereka
kalahkan, apalagi aku yang tidak memiliki kepandaian apa pun. Bukankah kau
melihat sendiri aku juga pingsan" Orang yang berwajah hitam itu telah melempar
aku seperti membuang sehelai kain basah. Tapi...."


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"T api apa, Suhita?" tanya wanita berpakaian jingga melihat Suhita menghentikan
ucapannya dengan wajah kelinglungan.
"T i... tidak ada apa-apa, Nona," Suhita menggeleng-gelengkan
kepala cepat. "Tapi yang jelas, bukan aku yang telah membunuh mereka.
Percayalah, Nona. Aku tidak mempunyai kepandaian silat sedikit pun."
Wanita berpakaian jingga tidak mendesak lagi. Dia hanya
menghela napas berat untuk menghempaskan kekecewaannya karena Suhita tidak mau
berterus terang.
"Baiklah, Suhita. Kalau kau tidak percaya padaku, tidak mengapa.
Yang penting, sekarang temani aku pulang."
"T api, Nona.... Bukankah T uan Besar menyuruh Nona pergi, dan tidak usah
kembali ke sana lagi karena sangat berbahaya" T ujuan kita adalah tempat
kediaman paman Nona," Suhita mencoba membantah.
"Untuk apa aku ke sana kalau hanya sendirian, Suhita" Lagi pula aku harus
mengabarkan kejadian ini pada ayahku. Setidaknya Ayah harus tahu kalau pelaku
kekejian ini adalah Perguruan Lembah Seribu
Bunga," wanita berpakaian jingga bersikeras pada keinginannya. "T api...."
"Sudahlah, Suhita. Kau tinggal pilih, mau ikut atau tidak" Jika tidak, biar aku
pergi sendiri!" tandas wanita berpakaian jingga agak kesal.
"T entu saja aku akan ikut denganmu, Nona. Tapi, perjalanan yang telah kita
tempuh cukup jauh. Akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali. Paling
tidak kita akan sampai di rumah menjelang siang. Dan...."
"Aku tidak peduli!" ujar wanita berpakaian jingga. "Yang penting, kita harus
beritahukan kejadian ini pada Ayah!"
Suhita mengangkat bahu mendengar kata-kata majikan mudanya.
Sesaat kemudian, Suhita dan wanita berpakaian jingga telah memacu kudanya
kembali ke arah semula. T entu saja setelah terlebih dulu mengubur mayat-mayat
para prajurit dan ibunya.
*** Matahari telah bergeser mendekati tengah hari.
Sinarnya memancar cukup terik. T api semua itu tidak dipedulikan sesosok tubuh ramping
berpakaian hijau. Ia berdiri tegak dan bertolak pinggang di sebuah jalan tanah
berdebu di kaki gunung. Pada kanan kiri jalan terdapat tebing yang menjulang
tinggi ke atas bagai tiang-tiang alam yang hendak menggapai langit.
Sosok berpakaian hijau yang ternyata seorang wanita muda
berwajah cantik dan berambut dikuncir itu menatap ke depan tanpa berkedip.
Sepasang matanya berseri ketika melihat sesuatu bergerak di depan sana. Pedang
yang tergantung di punggung se gera
dicabutnya. Srat! Sinar yang menyilaukan mata berpendar ketika pedang itu keluar dari sarungnya. T
idak terlihat bentuk senjata itu, hanya seleret sinar putih menyilaukan.
Bentuk sesuatu di depan sana semakin lama semakin tampak
jelas. T ernyata serombongan orang yang terdiri dari para prajurit dan orang-
orang rimba persilatan. Sebagian di antara mereka berkuda, sisanya berjalan
kaki. Rombongan yang terdiri dari pasukan kerajaan dan orang-orang persilatan
itu melihat wanita berpakaian hijau yang berdiri
menghadang jalan. Seorang berpakaian panglima segera memberi tanda pada anggota
rombongan untuk berhenti. Mereka berada lima tombak dari wanita berpakaian
hijau. "Menyingkirlah, Gadis Kecil! Kami ingin lewat. Apakah kau telah mempunyai nyali
demikian besar sehingga berani menghadang perjalanan pasukan kerajaan?" ujar
panglima bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat.
"Aku tidak akan menyingkir sebelum kalian membebaskan ayahku. Dan membalas
dendam atas kekejian yang telah kalian lakukan pada keluargaku!" tandas wanita
berpakaian hijau seraya menudingkan jari telunjuknya pada sesosok tubuh tegap
lelaki setengah baya, yang duduk di atas punggung kuda. Kedua tangannya
diikat ke belakang. Lelaki setengah baya itu berada di tengah-tengah rombongan.
Jelas, ia adalah tawanan.
"Ha ha ha...!"
Panglima bercambang bauk lebat tertawa bergelak hingga
dadanya berguncang-guncang. "Jadi... kau putri pemberontak keparat ini" Sungguh
kebetulan. Kami tidak perlu repot-repot mencarimu.
T angkap dia!" seru lelaki tinggi besar itu dari atas punggung kudanya.
T anpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang tidak menunggang kuda
meluruk ke arah wanita berpakaian hijau dengan senjata di tangan. Hanya dalam
sekejap wanita berpakaian hijau sudah terkurung.
T eriakan-teriakan keras yang dikeluarkan enam orang prajurit terdengar saat
mengayunkan golok ke berbagai bagian tubuh wanita berpakaian hijau. T api,
serangan-serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Wanita berpakaian hijau itu
berhasil mengelakkan setiap serangan. T ubuhnya menyelinap di antara hujan
serangan lawan. Kemudian, sekali pedang di tangannya digerakkan, terdengar
jeritan kesakitan lawan. Para prajurit itu berjatuhan satu persatu.
Hingga dalam waktu singkat saja sudah tiga orang prajurit tergeletak di tanah
tanpa mampu bangun lagi untuk selamanya.
"Keparat! Wanita liar itu ternyata lihai juga!" geram panglima bercambang bauk
lebat marah. "T idak akan lama lagi tiga orang prajuritmu itu pun akan menyusul rekan-
rekannya, Panglima," ucap kakek berambut panjang putih dan memiliki wajah mirip
kuda. Ia duduk di atas punggung kuda di sebelah kiri panglima. Nada ucapannya
terdengar penuh keyakinan dan kesombongan.
"He he he...!"
Lelaki pendek gemuk dan berperut gendut yang mukanya selalu tampak tersenyum,
terkekeh-kekeh. Sungguh pun demikian, terlihat kalau dia mendukung ucapan kakek
berwajah mirip kuda. Lelaki pendek gemuk yang perutnya tidak tertutup rompi
coklat yang dikenakannya itu, duduk di atas punggung kuda di se belah kanan panglima.
Usianya sekitar empat puluh lima tahun.
*** 2 Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. "Rupanya wanita liar itu ingin
merasakan kelihaian pasukan khusus kerajaan!"
usai berkata demikian, lelaki tinggi be sar itu menoleh ke belakang untuk
memberi perintah pada para perwira yang berada di
belakangnya. "T idak usah, Panglima," cegah kakek bermuka kuda tenang. "Biar aku yang
menghadapi dan menangkap kuda betina liar itu. Bukankah kita harus segera tiba
di istana untuk menghukum mati pemberontak keparat itu"!"
T anpa menunggu ja waban panglima bercambang bauk lebat,
kakek bermuka kuda melompat dari punggung kuda. T ubuhnya
bersalto beberapa kali di udara, dan mendarat di tanah satu tombak di hadapan
wanita berpakaian hijau yang masih mengamuk.
"Mundurlah
kalian!" ucap kakek bermuka kuda seraya menjulurkan kedua tangannya ke depan.
Akibatnya membuat para prajurit, panglima, dan perwira-perwira pasukan khusus
kerajaan terkejut serta takjub. T ubuh tiga prajurit yang tengah bertarung,
tiba-tiba tertarik ke belakang seperti ada tangan tidak nampak yang menarik
tubuh mereka. T api ini malah menguntungkan tiga prajurit itu. Karena di saat yang bersamaan
wanita berpakaian hijau membabatkan pedangnya.
Kalau tubuh mereka tidak tertarik ke belakang oleh tindakan kakek bermuka kuda,
nyawa mereka pasti telah melayang ke alam baka.
Pedang wanita berpakaian hijau akan merobek perut mereka.
T anpa membantah sedikit pun, tiga prajurit itu berlari kembali ke kelompoknya
dengan menyeret kawan-kawan mereka yang tewas.
Kini, wanita berpakaian hijau berdiri berhadapan dengan kakek
bermuka kuda. "Srini...! Cepat lari...! T inggalkan tempat ini. Jangan coba-coba
menolongku.... Cepat, tinggalkan tempat ini!"
Lelaki setengah baya yang menjadi tawanan berteriak-teriak khawatir. Melihat
putrinya hendak bertarung dengan kakek bermuka kuda yang diketahui berilmu
sangat tinggi, ia merasa cemas akan keselamatan anaknya itu.
T api wanita berpakaian hijau yang bernama Srini ternyata
mempunyai sifat keras kepala. Sambil menyilangkan pedangnya di depan dada,
kepalanya digelengkan.
"T idak, Ayah! Aku tidak akan pergi dari sini kalau tidak bersama denganmu. Aku
tidak takut mati!"
Srini lalu melur uk maju dengan tusukan pedang ke arah leher kakek bermuka kuda.
Angin bercicit tajam mengiringi tibanya serangan itu.
T api, kakek bermuka kuda hanya mendengus mengejek. Dia
menjejakkan kaki hingga tubuhnya melayang ke atas. Dan begitu meluncur turun,
kedua kakinya mendarat di batang pedang Srini!
Srini terkejut melihat pertunjukan ilmu meringankan tubuh yang menakjubkan itu.
Seluruh tenaganya dikerahkan untuk membuat tubuh lawan terpental. Pedangnya
disentakkan secara tiba-tiba ke atas. Namun, usahanya sia-sia. Jangankan membuat
kakek bermuka kuda terpental, pedangnya bergeming pun tidak. T ubuh kakek itu
ternyata berat sekali. Pedang Srini sampai tertekan ke bawah.
Rupanya, kakek bermuka kuda itu mengerahkan tenaga dalam untuk memberatkan
tubuhnya. Srini sadar tidak ada gunanya meneruskan maksudnya. Maka,
sarung pedang yang tersampir di punggung diambil dan ditusukkan ke arah
selangkangan kakek bermuka kuda ini.
Kakek bermuka kuda menggenjot kakinya seraya mengerahkan
tenaga dalam. T ubuhnya terlonjak ke atas. Dan, tubuh Srini terhuyung ke depan
terbawa genjotan kaki lawan. Saat itu, kakek bermuka kuda melancarkan tendangan
kaki kanan ke kepala Srini.
Buk! Meskipun Srini telah berusaha mengelak, namun karena serangan itu meluncur
dengan cepat, tidak urung pundak kanannya kena tendangan juga. Tak pelak lagi,
sambungan tulang bahunya pun lepas. Pedang yang tergenggam di tangan terlempar.
Malah, saking kerasnya serangan itu mendarat, tubuh Srini sampai terbanting ke
tanah dan bergulingan.
Kakek bermuka kuda yang bermaksud melenyapkan nyawa Srini
bergegas memburu untuk melancarkan serangan susulan. Tapi....
"Branta Wali...! Sungguh kau tidak tahu malu. Beraninya hanya menghadapi gadis
ingusan. Ayo, hadapi aku! T ua berhadapan dengan tua!"
Seruan keras yang dikeluarkan dengan mengerahkan tenaga
dalam bergema ke sekitar tempat itu. T idak hanya kakek bermuka kuda bernama
Branta Wali saja yang terkejut, tapi juga semua anggota rombongan. T ermasuk
Srini, gadis berpakaian hijau.
Sepuluh tombak dari tempat itu tampak berdiri dengan tenang seorang kakek kecil
kurus bermata satu. Di tangan kanannya tergenggam sebuah kebutan.
"Guru...!" seru Srini kaget bercampur gembira melihat orang yang telah
menyelamatkannya dari ancaman maut Branta Wali. Gadis berpakaian hijau itu
menghambur ke arah gurunya dan memberi hormat.
"Kau terlalu gegabah Srini!" tegur kakek bermata satu. Dibelai-belainya rambut
Srini dengan penuh sayang. "Kenapa tidak
menungguku?"
"Aku tidak sabar lagi, Guru. Lagi pula, kupikir Guru masih lama selesai dari
semadinya. Jadi aku pergi lebih dulu dan meninggalkan surat untukmu."
Kakek bermata satu menggeleng-gelengkan kepala. Diam-diam
dia bersyukur karena segera menyusul ketika melihat muridnya tidak ada,
dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang isinya memberitahukan kepergiannya untuk membebaskan ayahnya. T erlambat sedikit saja, nyawa Srini tentu sudah melayang ke akherat.
*** "Kiranya kau, Resi Sindu Laga," ujar Branta Wali mengenali kakek bermata satu,
setelah memperhatikannya beberapa saat
"Benar, Branta Wali." Resi Sindu Laga mengangguk. "Rupanya meskipun telah
menjadi penjilat pantat raja lalim, kau masih mempunyai mata yang cukup awas."
"T utup mulutmu, Sindu Laga!" sergah Branta Wali keras.
Sepasang matanya membelalak marah mendengar ejekan kakek
bermata satu. "Terimalah ajalmu!"
Branta Wali menerjang Resi Sindu Laga dengan pukulan kedua tangannya secara
bertubi-tubi. Sasarannya adalah dada, ulu hati, dan perut. Angin serangan ke
luar dari dorongan tenaga dalam cukup tinggi.
Srini yang melihat serangan berbahaya itu segera menjauh.
Se dangkan Resi Sindu Laga cepat menyimpan kebutannya di
pinggang. Ia memapaki serangan itu dengan jari-jari tangan terkepal.
Buk, buk, buk! Benturan terdengar berkali-kali ketika dua pasang tangan terkepal itu bertemu.
Setiap kali terjadi benturan, tubuh Branta Wali tergetar hebat. Malah, pada
benturan terakhir dia terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut menyeringai
kesakitan. Branta Wali menggeram keras karena marah dan penasaran. Dia tahu Resi Sindu Laga
memiliki tenaga dalam di atasnya. Itu diketahui dari benturan yang terjadi.
Begitu berhasil memperbaiki kedudukan tubuhnya yang terhuyung-huyung, senjatanya
yang unik berupa sepasang sumpit dari gading gajah segera dikeluarkan.
Resi Sindu Laga yang tahu kelihaian lawan tidak mau kalah.
Dengan kebutan di tangan kanan disambutnya serangan Branta Wali.
Pertarungan sengit pun kembali berlangsung.
Branta Wali yang tengah dilanda rasa penasaran mengerahkan seluruh kemampuannya
untuk melakukan penyerangan. Sepasang
sumpit di tangannya berubah menjadi sinar-sinar putih berkitaran, menyambar-
nyambar ke berbagai bagian tubuh Resi Sindu Laga.
T api Resi Sindu Laga bukan orang sembarangan. T anpa kesulitan, setiap serangan
sumpit Branta Wali dapat dipatahkannya. Bahkan dia mampu mengirimkan serangan
balasan yang tidak kalah dahsyat.
Kebutan di tangannya terkadang lemas, hingga dapat dipergunakan untuk melibat
maupun mengebut. T api, tak jarang bulu-bulu kebutan itu menegang kaku memapaki
serangan sumpit lawan.
Hanya dalam waktu singkat pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus lebih.
Menginjak jurus kelima puluh lima Branta Wali mulai terdesak. Kakek bermuka kuda
itu sekarang hanya dapat bermain mundur. Serangan-serangan jauh berkurang. Yang
banyak dilakukan Branta Wali hanya mengelak dan menghindar. Menangkis jarang
dilakukannya. Prat! "Akh!"
Branta Wali memekik kesakitan ketika kebutan Resi Sindu Laga menampar pundak
kanannya. Baju dan kulit di bagian itu pun koyak.
Darah mengalir ke luar. Seketika itu pula tangan kanan kakek bermuka kuda


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lumpuh. Sumpit di tangannya terlepas.
Khawatir akan ada serangan susulan di saat keadaannya tidak menguntungkan,
Branta Wali melempar tubuhnya ke belakang.
Bersalto beberapa kali di udara menjauhi lawan. Pada saat yang bersamaan, lelaki
pendek gemuk yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan dengan wajah cerah
dan mulut tersenyum, melompat dari punggung kuda.
"Akulah lawanmu, Resi Sindu Laga," ujar lelaki pendek gemuk sambil tertawa
terkekeh. Lelaki berperut gendut itu berada di antara Resi Sindu Laga dan Branta
Wali. Keberadaan lelaki pendek gemuk membuat Resi Sindu Laga
mengurungkan niatnya untuk melancarkan serangan lanjutan pada Branta Wali.
"Siapa kau?" tanya Resi Sindu Laga. Kebutannya ditudingkan ke
arah lawan. Dengan mengerahkan tenaga dalam, bulu-bulu kebutannya menegang kaku.
"He he he...!"
Lelaki pendek gemuk kembali terkekeh hingga perut gendutnya bergoyang-goyang. T
awanya kelihatan biasa saja. T api tidak demikian halnya yang dirasakan Resi
Sindu Laga. Dadanya tergetar hebat seperti kena pukul.
Kenyataan ini membuat kakek bermata satu itu berdebar tegang.
Dia tahu, lelaki pendek gemuk ini memiliki kepandaian amat tinggi dan
kemungkinan besar berada di atasnya. Suara tawanya saja mampu
mengguncangkan dadanya. Perasaan khwatir pun berkecamuk di hati Resi Sindu La ga. Bukan mencemaskan
keselamatannya, tapi muridnya. Rombongan pasukan kerajaan itu ternyata memiliki
banyak orang pandai.
"Srini...! Pergilah kau...! T inggalkan tempat ini. Biar aku yang akan
membebaskan ayahmu!" seru kakek bermata satu pada muridnya.
Srini merasa heran mendengar perintah itu. T api, dia tahu gurunya tidak
akan berkata begitu kalau tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkannya. Maka, Srini tidak berani membantah. Dia pun tadi sempat
merasakan kedua kakinya menggigil ketika lelaki pendek gemuk tertawa. Padahal,
suara tawa yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam itu tidak ditujukan
kepadanya, tapi pada gurunya.
Srini membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.
T api, panglima bercambang bauk tidak membiarkan hal itu terjadi.
Diperintahnya para perwira untuk mencegah Srini kabur.
Resi Sindu La ga tidak berpangku tangan ketika melihat para perwira kerajaan dan
juga Branta Wali mencegat perjalanan
muridnya. Dia segera bergerak untuk menahan mereka. Tapi tiba-tiba terdengar
bunyi tawa terkekeh. Dan, di depannya telah berdiri lelaki pendek gemuk.
"Mau ke mana, Sindu Laga?" tanya lelaki itu tanpa meninggalkan
kebiasaan tertawanya. "Bukankah kau belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan
yang kau ajukan padaku?"
Resi Sindu Laga menggertakkan gigi menahan perasaan geramnya. Apalagi ketika dilihatnya, Srini gagal melarikan diri karena Branta
Wali telah mencegat jalannya. Wanita berpakaian hijau itu tengah menghadapi
keroyokan tiga orang perwira kerajaan yang merupakan anggota pasukan khusus.
Resi Sindu Laga sadar kalau lelaki pendek gemuk tidak segera dirobohkan, dia
tidak akan pernah bisa menolong muridnya. Tanpa menunggu lebih lama, kakek itu
melompat menerjang lelaki pendek gemuk dengan tusukan kebutannya ke arah ubun-
ubun dan sepasang mata lawan.
Lelaki pendek gemuk tertawa terkekeh. Kedua tangannya yang terbuka didorongkan
ke depan. Maka, serangkum hembusan angin kuat pun menyerbu Resi Sindu Laga,
membuat bulu-bulu kebutan yang semula menegang kaku melemas kembali. Dengan
sendirinya, serangan Resi Sindu Laga pun pupus.
T idak hanya itu saja yang diderita Resi Sindu Laga. Dadanya terasa sesak bukan
main. "Ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'," desah Resi Sindu Laga terkejut.
"Kaget, Sindu Laga?" tanya lelaki gemuk tetap dengan wajah cerah. "Memang. Aku
salah seorang ahli waris Perguruan Laut Mati."
"T idak mungkin. Perguruan Laut Mati sudah lama musnah. Aku tahu betul tentang
itu. Ramuji, keturunan terakhir Perguruan Laut Mati tidak memiliki ilmu itu.
Ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'
musnah sejak generasi di atas Ramuji tidak ada!" bantah Resi Sindu Laga yang
yakin tahu betul tentang Perguruan Laut Mati.
"Ramuji memang tidak memiliki ilmu khas Perguruan Laut Mati, Sindu Laga. T api
aku memilikinya. Akulah ahli waris Perguruan Laut Mati. Menyerahlah. T idak ada
gunanya kau melakukan
perlawanan. Kau bukan lawanku!" jawab lelaki pendek gemuk.
"T ak kusangka ahli waris Perguruan Laut Mati sudi menjadi
penjilat pantat raja lalim!" ujar Resi Sindu Laga menyesalkan.
"T idak perlu banyak bicara, Sindu Laga. Nenek moyangku turun-temurun adalah
abdi-abdi setia kerajaan. Maka aku pun mengikuti jejak mereka. Menyerahlah
sebelum kau menerima perlakuan yang tidak sepantasnya!"
"Jangan harap! Aku lebih baik mati daripada menyerah! Hih!"
Resi Sindu Laga menerjang maju. Kebutan di tangannya yang
menegang kaku ditusukkan
bertubi-tubi ke berbagai ba gian berbahaya tubuh lelaki pendek gemuk. Tapi dengan kecepatan yang mengagumkan,
ahli waris Perguruan Laut Mati itu berkelebat di antara serangan-serangan lawan.
Ke mana pun serangan Resi Sindu Laga meluncur, hanya akan menjumpai tempat
kosong. T ubuh lelaki pendek gemuk sudah lebih dulu lenyap. Sebaliknya, setiap
kali ahli waris Perguruan Laut Mati melancarkan serangan, Resi Sindu Laga
kelabakan. Jangankan terkena langsung, angin serangannya saja sudah cukup
membuat tubuh kakek bermata satu itu terhuyung-huyung. T ak sampai dua puluh
lima jurus, Resi Sindu Laga terdesak hebat.
Di jurus kedua puluh tujuh, di saat Resi Sindu Laga kembali terhuyung-huyung,
tangan lelaki pendek gemuk bergerak cepat merampas kebutan kakek itu. Sedangkan
tangan yang lain menampar dada kiri lawan.
Plak! Resi Sindu Laga mengeluarkan seruan tertahan. Serangan lelaki pendek gemuk tepat
mengenai sasaran. T ubuhnya terhuyung dengan darah segar menyembur keluar dari
mulutnya. Kakek bermata satu itu tewas seketika dengan dada pecah.
Di saat yang bersamaan, Srini berhasil diringkus lawan-lawannya.
Pedang di tangannya telah terlepas. Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, beberapa
bilah pedang telah tertuju ke lehernya dan siap ditusukkan. Wanita berpakaian
hijau itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Guru...," Srini merintih lirih, meskipun sebenarnya wanita itu
ingin berteriak sekerasnya. T api rasa sedih yang sangat membuat suaranya
tercekat di kerongkongan.
Kalau saja Branta Wali tidak cepat melumpuhkannya dengan
totokan dan segera membelenggunya,
mungkin Srini akan menerobos kepungan para perwira kerajaan untuk menghambur ke arah gurunya, walau
nyawanya akan melayang. T api, keadaan menghendaki lain.
Panglima bercambang bauk lebat tersenyum gembira melihat
kerusuhan itu berhasil ditanggulangi. Setelah mendudukkan Srini yang telah
dibebaskan dari totokan di atas punggung kuda,
rombongan kerajaan itu kembali bergerak melanjutkan perjalanan. Di tempat itu
yang tinggal hanya mayat Resi Sindu Laga. De bu mengepul tinggi ke udara ketika
rombongan kerajaan bergerak pergi.
*** "Rasanya akan ada hambatan lagi di depan," ujar panglima bercambang bauk lebat
sedikit khawatir. Pandangan matanya
menatap lurus ke depan.
"Aku tidak sependapat denganmu, Panglima," ucap Branta Wali.
"Aku sependapat dengan Branta Wali, Panglima," lelaki pendek gemuk ikut bicara.
"Sosok-sosok yang di depan itu bukankah hanya mayat-mayat yang tidak berarti?"
"Lagi pula, andaikata benar ada hambatan pun, apa yang harus kami takutkan"
Dengan adanya kalian berdua yang memiliki
kepandaian tinggi, siapa yang dapat menghambat rombongan kita?"
sambut panglima yang mulai menemukan ketenangannya kembali ketika teringat di
dalam rombongannya ada dua orang tokoh tingkat tinggi.
Rombongan yang dipimpin panglima bercambang bauk lebat
akhirnya tiba di tempat itu. Ucapan lelaki pendek gemuk memang benar. Yang ada
hanya sosok-sosok tubuh tak bernyawa yang
bergeletakan di sana-sini.
Rombongan kerajaan itu menghentikan perjalanan sejenak karena
panglima, Baranta Wali, dan lelaki pendek gemuk menyempatkan diri memperhatikan
sosok-sosok mayat itu.
"T indakan seperti ini hanya dapat dilakukan tokoh persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi," gumam Branta Wali dengan kening berkerut seraya mengelus-
elus dagunya yang tidak ditumbuhi jenggot.
Lelaki pendek gemuk mengangguk-angguk
membenarkan pendapat rekannya. "Kalau aku tidak
salah, mereka adalah
perampok-perampok yang berdiam di hutan-hutan," ucap lelaki pendek gemuk dengan
sinar mata menyiratkan keterkejutan.
"Hey..."!"
Sambil berseru kaget, lelaki pendek gemuk menjulurkan kedua tangannya ke atas
pohon yang berada tak jauh di sebelah kanannya.
"Keluar kau, Pengkhianat Hina...!"
Dari kedua tangan yang dijulurkan itu berhembus angin keras.
Disusul dengan terdengarnya bunyi gemerisik riuh daun-daun pepohonan dan
ranting-ranting berguguran ke tanah.
Pada saat itulah dari atas pohon melesat sesosok bayangan yang kemudian mendarat
di tanah setelah bersalto beberapa kali di udara.
Seketika rombongan prajurit kerajaan bergerak melindungi tawanan.
Mereka khwatir sosok itu orang yang ingin membebaskan tawanan.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya lelaki pendek gemuk tidak melanjutkan serangannya.
Sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, dia langsung mengetahui kalau sosok yang
baru saja lolos dari
serangannya itu berkepandaian tinggi. Maka, dia tidak berani sembarangan
menyerang lagi. T ampaknya lelaki gemuk pendek tidak ingin menanam permusuhan.
Lagi pula, dia tidak yakin sosok itu bermaksud ingin membebaskan tawanan.
Sosok yang ternyata seorang pemuda tampan bertubuh kekar
tersenyum lebar. "Maaf. Bukannya aku tidak mau memperkenalkan diri, Sobat. T
api.... memang demikian adanya. Sekali lagi, maaf."
"Keparat!"
Panglima bercambang bauk lebat menggeram keras. Jawaban itu
dianggap menujukkan kesombongan. Dia sudah bersiap memberikan perintah untuk
menangkap si Pemuda tampan. Tapi lelaki pendek gemuk memberikan isyarat agar
tindakan itu tidak perlu dilakukan.
T erpaksa, dengan hati tidak puas, panglima tinggi
besar mengurungkan niat Dia merasa heran mengapa lelaki pendek gemuk tidak marah
menerima perlakuan seperti itu. Padahal, dia saja tidak kuat menahan sabar.
Memang, lelaki pendek gemuk tidak marah dengan sambutan
pemuda tampan itu. Sebagai tokoh persilatan, lelaki pendek gemuk tahu akan
banyaknya tokoh-tokoh persilatan yang memiliki watak aneh dan tidak mau dikenal
orang. Mungkin pemuda tampan di hadapannya termasuk orang yang demikian. Karena
itu, dia memakluminya. "Kalau begitu..., mengapa kau mengintai kami?" kejar lelaki pendek gemuk dengan
sorot mata penuh selidik.
"Maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud mengintai kalian," ucap pemuda tampan itu
sambil mengedarkan pandangan berkeliling.
Sekilas diperhatikannya semua anggota rombongan. "Perlu kalian ketahui, terutama
sekali kau, Sobat. Aku lebih dulu berada di sini daripada kalian."
"Hhh...!" lelaki pendek gemuk menghela napas berat. "Aku percaya dengan
keteranganmu, Anak Muda. T api, sayang sekali saat ini kami sedang dalam tugas
penting. Aku tidak mau mengambil risiko dengan membiarkan kau pergi. Siapa tahu
kau salah satu dari pemberontak-pemberontak yang ingin menghambat perjalanan
kami. Maka dengan menyesal aku terpaksa harus menangkapmu. T api sebelumnya aku ingin
tahu, apakah kau yang telah membunuh orang-orang ini?"
Pemuda tampan itu mengalihkan tatapannya ke arah mayat-mayat yang bergeletakkan
di tanah. Kemudian perlahan-lahan kepalanya digelengkan.
"T api kau tahu kan siapa pembunuh mereka?" desak lelaki pendek gemuk.
Pemuda tampan itu secara tidak langsung menjawab pertanyaan lelaki pendek gemuk.
Dia tercenung, hingga membuat orang yang bertanya jadi tidak sabar.
"Kau tidak usah mungkir, Anak Muda!" tandas lelaki pendek gemuk keras. "Kau kira
aku dapat kau bohongi" Aku tahu kau telah terlibat pertempuran yang membuatmu
terluka dalam. Mungkin sekarang lukamu sudah sembuh. Tapi tetesan darah di
bibirmu yang belum sempat kau bersihkan telah menjelaskan semuanya."
*** 3 Pemuda tampan itu terkejut. T anpa sadar punggung tangan
kanannya digunakan untuk menghapus sisi mulut. Di punggung tangannya tampak
sedikit cairan merah kental. Darah!
"Bisa kau jelaskan apa yang telah terjadi, Anak Muda" Barangkali saja
penjelasanmu itu membuatku mempertimbangkan apakah kau akan kami biarkan pergi."
"Sayang sekali," sahut pemuda tampan dengan wajah menyesal.
"Aku tidak bisa mengatakannya."
"Sombong!" bentak lelaki pendek gemuk kehilangan kesabaran.
"Rupanya karena memiliki sedikit kepandaian kau menjadi besar kepala. T idakkah
kau sadari kalau kejadian yang baru menimpamu akan terulang kembali bila kau
bertempur denganku" Kenalkan aku Gempar, pewaris terakhir Perguruan Laut Mati!"
Wajah pemuda tampan itu berubah ketika mendengar ucapan
lelaki pendek gemuk. Memang, pernah didengarnya nama Perguruan Laut Mati. Sebuah
perguruan yang hanya mempunyai seorang ahli waris dalam setiap generasi. Namun
hebatnya, setiap murid atau ahli waris yang turun
gunung, langsung menggemparkan karena
kesaktian dan ilmu-ilmunya yang tinggi.


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau kaget, Anak Muda Sombong?" tanya Gempar ketika melihat perubahan mimik
wajah pemuda tampan di hadapannya. "Apakah
kau pernah mendengar namaku?"
"T idak," jawab pemuda tampan menggeleng-gelengkan kepala.
"T api perguruanmu, Perguruan Laut Mati telah sering kudengar."
"Bagus! Kalau begitu lebih baik kau menyerah. Percuma kau melakukan perlawanan.
Kau tidak akan menang melawanku!"
"Aku bukan seorang pengecut, Gempar. Majulah. Biar kurasakan sendiri
kelihaian ilmumu!" tandas pemuda tampan seraya menggertakkan gigi.
"Sombong!" seru lelaki pendek gemuk keras. Kedua tangannya yang gemuk didorong
ke depan. Dari kedua tangan itu meluncurlah angin keras berputaran.
Pemuda tampan itu merasakan serbuan angin dahsyat. Dadanya terasa sesak. Bahkan,
kakinya terasa lemas. Hembusan angin bergulungan itu membuat tenaga dalamnya
tersedot. T api, pemuda itu ternyata bukan tokoh persilatan yang gampang dipecundangi.
Dalam saat yang kritis dia mampu menghimpun
tenaga dalam dengan menggertakkan gigi.
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Dari sana, dikirimnya serangan berupa tendangan ke
kepala lawan. "Hmh...!"
Gempar mendengus keras. Kedua tangannya digerak-gerakkan di atas kepala. Angin
keras berputaran yang muncul dari kedua tangannya telah melencengkan serangan
pemuda tampan. Kenyataan ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi ketika tangan kanan
lelaki pendek gemuk meluncur bagai ular terbang ke arah ulu hatinya.
T idak ada waktu lagi untuk melakukan tangkisan.
Benturan kedua tangan itu membuat tubuh keduanya terjungkal ke belakang dengan
tangan tergetar hebat. Seketika itu pula mereka maklum kalau lawan yang dihadapi
memiliki kepandaian yang
berimbang. Namun, itu tidak menghalangi keduanya untuk saling terjang dan gempur
kembali. Branta Wali dan panglima tinggi besar serta pasukan kerajaan lainnya menyaksikan
dalam jarak beberapa tombak. Mereka tidak
ingin mencari bahaya dengan menyaksikan dari jarak dekat. Angin serangan kedua
orang yang bertarung itu sudah cukup untuk
mengirim nyawa mereka ke akherat.
Gempar menggertakkan gigi ketika pertarungan menginjak jurus kesepuluh. Dia
belum juga berhasil mendesak lawannya. Padahal, ilmu andalannya telah
dipergunakan. Ilmu mukjizat yang jarang ada orang mampu menandinginya. Bahkan,
tokoh-tokoh tua dan tingkat atas dari dunia persilatan. T api sekarang" Hanya
seorang pemuda telah mampu menahannya sampai sepuluh jurus. Ini membuatnya
penasaran bukan main. Kedua tangannya bergerak semakin cepat.
Di lain pihak, pemuda tampan itu tidak kalah kagumnya. Ilmu yang
dipergunakan lawan benar-benar dirasakan sendiri kedahsyatannya. Padahal, Gempar jarang mempergunakan sepasang kakinya. Dia
menitik beratkan ilmunya pada kedua tangan. T api hebatnya memiliki kedahsyatan
yang menggiriskan. Setiap gerakan tangan lawan membuat napasnya terasa sesak
bukan main. Sekujur otot dan urat-urat saraf di tubuhnya hampir lumpuh.
Kalau saja pemuda tampan itu tidak mengerahkan tenaga
dalamnya, sudah sejak tadi dia roboh di tangan lawan. T api tentu saja dengan
terbaginya tenaga itu, tenaga yang dipergunakan untuk menghadapi Gempar jadi
tidak penuh. Itu sebabnya pemuda tampan itu tidak berani menangkis. Serangan-
serangan yang dilancarkan Gempar
sedapat mungkin dielakkannya. Untung saja ilmu meringankan tubuh pemuda tampan itu cukup tinggi. Dan juga, dengan hampir tidak
dipergunakannya sepasang kaki Gempar,
gerakan lelaki pendek gemuk itu jadi tidak terlalu cepat. Ini menguntungkan si
Pemuda tampan untuk melakukan elakan.
T api, perlawanan yang dilakukan pemuda tampan ternyata tidak berarti. Sampai
berapa lama dia dapat bertahan dari serangan tokoh tingkat tinggi seperti
Gempar" Di jurus ketiga belas, pemuda tampan itu terpaksa menangkis. Dia sudah tidak
sempat lagi untuk mengelak. Akibatnya, tubuh pemuda itu terjengkang ke belakang
dan jatuh terguling-guling di tanah.
Gempar tertawa bergelak melihat lawannya tak berdaya. Kemudian dia melesat memburu pemuda tampan yang masih
bergulingan. Sesaat kemudian, pertarungan yang unik pun terjadi.
Pemuda tampan itu terus berguling-gulingan di tanah, dan Gempar mengejarnya
dengan serangan yang siap dijatuhkan. Nyawa pemuda tampan itu bagai telur di
ujung tanduk. "Ha ha ha...! Itukah ilmu 'Pukulan Gelombang Laut'" Buruk..!
Buruk sekali...!"
Di saat Gempar tengah memburu si Pemuda tampan dan siap
menjatuhkan serangan maut, terdengar seruan keras yang menggetarkan sekitar tempat itu. T idak hanya Gempar saja yang terkejut. Semua
yang berada di tempat itu berpaling mengedar pandangan.
Berbeda dengan rombongan kerajaan yang kelihatan bingung,
Branta Wali dan Gempar segera bisa mengetahui pemilik suara itu mempergunakan
ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Suaranya yang menggema menyulitkan orang untuk
mengetahui sumber suara itu.
Gempar mengurungkan niatnya untuk terus mendesak si Pemuda tampan. Dia melempar
tubuhnya ke belakang dan menjauh. Hampir pada waktu yang bersamaan Branta Wali
melompat turun dari atas punggung kuda.
"T unjukkan rupamu kalau bukan pengecut, Keparat!" teriak Branta Wali. Sepasang
matanya terus berkeliaran ke sana kemari karena belum juga bisa memperkirakan
asal seruan itu.
"Kau terlalu hina untuk bertemu denganku, Kuda T ua!" sambut suara tanpa wujud.
"Keparat!" Branta Wali menghentakkan kedua tangannya ke arah pohon tempat
pemuda tampan berada. "T unjukkan mukamu,
Pengecut!"
Brakkk! Batang pohon sebesar sepelukan orang dewasa itu langsung
tumbang. T api tidak terlihat adanya sesosok tubuh yang melesat keluar ketika
pohon itu ambruk ke tanah dengan mengeluarkan bunyi
hiruk pikuk. Ini membuat kakek bermuka mirip kuda itu penasaran.
Dia siap mengarahkan sasarannya pada pohon lain. Namun, tindakan itu diurungkan
ketika Gempar mencegahnya.
"Jangan kau lakukan itu, Branta Wali. Percuma. Kau hanya menghabiskan tenagamu
saja. Itulah yang diinginkan orang ini. Dia takut menghadapi kita yang saat ini
masih bertenaga penuh. Karena itu, dilakukannya tindakan kucing-kucingan ini!"
"Keparat! Rupanya kau sudah ingin mampus, Gempar!"
Seruan tanpa wujud itu kembali terdengar. Ejekan Gempar
rupanya termakan pemilik suara itu. T api, seruan kali ini tidak menggunakan
tenaga dalam. Semua orang, tidak terkecuali si Pemuda tampan, mencari-cari
pemilik suara. Suara tanpa wujud itu berasal
dari dekat mereka. Ketika mereka menoleh untuk mempertegasnya, ternyata salah seorang dari anggota pasukan kerajaan yang
digantikan oleh sesosok tubuh berpakaian serba putih.
Wajahnya tidak terlihat karena tertutup selubung yang juga berwarna putih.
Rasa kaget yang melanda pasukan kerajaan hanya berlangsung sesaat. Mereka segera
tersadar dan langsung berseru keras seraya mengirimkan serangan dengan senjata
di tangan. T anpa merubah kedudukannya di atas punggung kuda, sosok
berpakaian serba putih menghadapi serbuan belasan senjata yang mengancam
berbagai bagian tubuhnya. Kedua tangannya bergerak cepat bukan main. Hingga,
yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dalam bentuk yang tidak jelas. T
ahu-tahu terdengar keluhan-keluhan dari mulut pasukan kerajaan. T ubuh mereka
terhuyung mundur dengan senjata terlepas dari pegangan. Sebagian senjata itu
berpindah ke tangan sosok berpakaian serba putih, sedangkan sisanya bertebaran
di tanah. Para prajurit itu tidak tahu apa yang telah terjadi. Tapi tidak dengan Gempar,
Branta Wali, dan pemuda tampan. Mereka melihat dengan jelas sosok berpakaian
serba putih melumpuhkan tangan lawan-lawannya dengan totokan pada belakang
lutut, kemudian
merampas senjata mereka.
"Keparat!"
Branta Wali yang berwatak berangasan, apalagi tadi diejek sosok serba putih itu,
tidak bisa menahan kesabaran lagi. Dia menjejakkan kaki hingga tubuhnya melayang
ke arah sosok serba putih. T api, sebelum maksudnya terlaksana, sosok berpakaian
serba putih telah melakukan hal yang sama. T ubuhnya melayang dari atas punggung
kuda. T anpa dapat dicegah lagi, tubuh Srini disambarnya. Lalu, dengan kibasan
tangan kiri ke bawah, sosok serba putih berhasil melewati kepala Branta Wali.
"Mau lari ke mana, Keparat! Jangan harap dapat lolos dari sini!"
Seruan itu keluar dari mulut Gempar. T ubuh lelaki pendek gemuk ini melesat
cepat menghadang sosok berpakaian serba putih. Kedua tangannya
bergerak-gerak melancarkan serangan dengan mempergunakan ilmu 'T angan Gelombang Laut'.
"Hmh...!"
Sosok serba putih mendengus. T angan kanannya segera dikibaskan. Letupan pelan pun terdengar. T ubuh Gempar terhuyung-huyung ke
belakang, sementara tubuh sosok berpakaian serba putih hanya tergetar saja.
Gempar yang biasanya tertawa, kali ini tidak mampu tersenyum karena kagetnya.
Belum pernah dalam penggunaan ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' dia dibuat terhuyung
oleh lawan. Betapapun kuat tenaga dalam lawan, bila berbenturan dengan ilmu
'Pukulan Gelombang Laut' pasti akan mencelakakan lawan. Andaikata dia terhuyung, lawannya
akan terjengkang ke belakang dan terguling-tuling. T api kenyataannya sekarang
sangat berbeda. Mungkinkah sosok berpakaian serba putih itu memiliki kepandaian
yang sangat tinggi"
Belum lagi Gempar memperbaiki kedudukannya, sosok berpakaian serba putih telah mengirimkan serangan balasan dengan tendangan
bertubi-tubi. T endangan
yang mengeluarkan
angin berkesiutan tajam. Sambil menggertakkan gigi Gempar menggerak-
gerakkan kedua tangannya. Dia ingin membuat serangan lawan meleset, kemudian
mengirimkan serangan balasan.
T api, lagi-lagi Gempar berteriak kaget. Kaki lawan sedikit pun tidak meleset
dari sasaran. Kedahsyatan ilmu 'Pukulan Gelombang Laut' tidak terlihat sama
sekali. Dengan sendirinya, kedua kaki yang meluncur bertubi-tubi itu berbenturan
dengan kedua tangan Gempar.
Untuk kedua kalinya tubuh Gempar terjengkang ke belakang.
Benturan tangan dan kaki itu menimbulkan bunyi keras seperti beradunya logam.
Celakanya lagi, serangan kedua kaki sosok berpakaian serba putih tidak berhenti
sampai di situ. Dia terus melayang menyerang dada dan ulu hati Gempar.
Di saat keselamatan Gempar terancam, Branta Wali dari samping mengirimkan
totokan ke arah pelipis dan lutut sosok serba putih.
Apabila sosok berpakaian serba putih masih terus melanjutkan serangannya,
sebelum mencapai sasaran kedua bagian tubuhnya itu akan tertembus sepasang
sumpit Branta Wali.
Sosok serba putih rupanya mengetahui hal itu. Maka serangannya dibatalkan. Lalu,
dikirimkannya serangan pada Branta Wali. Sekejap kemudian sosok berpakaian serta
putih itu telah terlibat pertarungan menghadapi keroyokan Gempar dan Branta
Wali. Pertarungan yang menggiriskan itu disaksikan dengan penuh
kagum oleh pemuda tampan, yang merupakan satu-satunya orang yang dapat melihat
secara jelas jalannya pertarungan. Sedangkan rombongan pasukan kerajaan,
meskipun tak kalah
sungguh- sungguhnya memperhatikan, tidak melihat secara jelas. Bahkan beberapa kali
pandangan mereka ditundukkan. Gerakan ketiga tokoh itu demikian cepat, hingga
membuat mata mereka lelah dan panas.
Padahal yang mampu mereka saksikan hanya kelebatan bayangan putih, hijau, dan
coklat. Yang saling belit dan kadang-kadang terpisah.
Pemuda tampan yang hampir saja celaka di tangan Gempar
menggeleng-gelengkan
kepala, takjub menyaksikan jalannya pertarungan. Dia kagum bukan main kepada sosok berpakaian serba
putih. Meskipun Srini di pondongannya, dia tetap mampu melakukan perlawanan
sengit. "Hhh..!"
Pemuda tampan itu menghela napas berat. Sama sekali tidak
disangkanya dalam sehari ini ia sudah bertemu dengan tiga orang tokoh tingkat
tinggi. Bahkan satu di antara mereka telah membuatnya hampir melayang ke
akherat. Kalau saja sosok berpakaian serba putih tidak muncul, bukan tidak
mungkin dia telah tewas di tangan Gempar. T anpa sadar, dengan tatapan masih
tertuju pada pertarungan sosok berpakaian serba putih, Branta Wali, dan Gempar,
ingatan pemuda tampan itu melayang pada kejadian pagi tadi....
Sambil mengembangkan kedua tangannya ke kanan dan kiri untuk melonggarkan rongga


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dada, pemuda tampan itu menarik napas
dalam-dalam. Dihirupnya udara pagi yang segar dan jernih. Kedua kakinya yang
kokoh melangkah ringan di tanah yang ditumbuhi rumput-rumput pendek. Pohon-pohon
besar dan kecil berada di sekitarnya.
T iba-tiba pemuda tampan itu mengarahkan pandangannya ke satu arah.
Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi dentang senjata beradu. Juga teriakan-
teriakan orang-orang bertempur. Khawatir terjadi sesuatu tindakan sewenang-
wenang, pemuda tampan itu membelokkan langkahnya dan melesat menuju asal suara.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, pandangan pemuda
tampan itu telah tertumbuk pada sekelompok lelaki berwajah kasar.
Mereka tengah mengeroyok seorang wanita berpakaian jingga.
Sementara di belakang wanita itu tampak tergolek sesosok tubuh kekar.
Sekali lihat saja pemuda tampan ini tahu kalau para pengeroyok tidak bermaksud
membunuh wanita berpakaian jingga. Kalau
demikian tujuan mereka, sudah sejak tadi wanita itu terbunuh. Meski wanita
berpakaian jingga memiliki kepandaian
di atas para pengeroyoknya, tapi untuk menghadapi enam orang sekaligus dia akan
kewalahan juga. Padahal, wanita berpakaian jingga melancarkan serangan dengan bersungguh-sungguh. Sedangkan
lawan-lawannya melayani tanpa maksud membunuh.
Serangan-serangan keenam lelaki berwajah kasar itu bukan
berdasarkan hati yang baik dan tidak ingin membunuh lawan. T api, karena ada
maksud jahat dan keji yang tersembunyi.
Ini bisa diketahui dari serangan-serangan mereka yang tertuju pada bagian
terlarang di tubuh wanita berpakaian jingga. T idak hanya leher, tapi juga dada.
T erutama sekali pada bagian di mana terdapat dua buah dada, paha, serta
pinggul. Sering pula serangan mereka berupa pelukan.
"Menyerah saja, Manis. Percayalah, meskipun kau musuh kami, tapi tak akan kami
turunkan tangan kejam. He he he...!" ucap salah seorang di antara mereka seraya
menyeringai. "Lebih baik aku mati!" tandas wanita berpakaian jingga keras.
Perlawanan lebih sengit segera dilancarkannya.
T api sia-sia saja usaha yang dilakukan wanita itu. Saat dia kurang waspada,
seorang pengeroyok berhasil menyambar pergelangan tangan kirinya.
Wanita berpakaian jingga menjerit kaget. Namun dia tidak
kehilangan akal. Buru-buru dikerahkannya tenaga untuk menarik tangannya. T api
sayang, cekalan tangan lelaki kasar tidak terlepas.
Bahkan sebelum wanita berpakaian jingga berbuat sesuatu, lima orang lawannya
yang lain telah menyerbu dengan tubrukan seperti seekor harimau menerkam
kambing. Kali ini wanita berpakaian jingga gugup. Ini membuatnya tidak bisa melakukan
tindakan penyelamatan. Saat itulah, sebuah benda berwarna gelap meluncur, dan
menghantam pergelangan tangan lelaki kasar yang mencekal tangannya. Lelaki kasar
itu menjerit keras. Pegangannya terlepas. Dengan sendirinya wanita berpakaian
jingga terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
T api, ini justru membuatnya lolos dari sergapan lima orang lawannya.
Saat wanita berpakaian jingga hendak melompat bangun dan
mengadakan perlawanan di depan telah berdiri membelakangi
sesosok tubuh kekar seorang pemuda berambut panjang tergerai.
"Keparat! Kadal bunting! Kecoak busuk!"
Lelaki kasar yang tadi mencekal tangan wanita berpakaian jingga berteriak
memaki-maki. T atapannya penuh kemarahan tertuju lurus ke wajah pemuda tampan
berambut panjang yang berdiri di
hadapannya. "Keluarkan seluruh makian yang kau miliki sebelum kukirim kalian semua ke
neraka!" tandas pemuda tampan itu tegas.
Ucapan pemuda tampan ini membuat lelaki kasar itu semakin
murka. Begitu juga kelima temannya. Bagai diberi perintah mereka mencabut
senjata masing-masing, golok pendek berwarna merah membara seperti besi dibakar.
"Rupanya kau ingin mampus, Kambing!" seru lelaki kasar keras.
Se belum gema makiannya lenyap, dia melompat menerjang pemuda tampan dengan
golok dibabatkan mendatar ke arah leher.
T indakan ini diikuti kelima rekannya. Dalam sekejap, pemuda tampan itu telah
menghadapi hujan serangan enam lawannya. Sinar-sinar kemerahan bagai malaikat
maut menyambar-nyambar ke
arahnya. T api, pemuda berambut panjang itu tidak menjadi gugup. T anpa menggeser
kedudukannya dipapakinya semua serangan dengan
sentilan-sentilan jari tangan. Bunyi berdenting nyaring terdengar berkali-kali
ketika jari telunjuk pemuda itu berbenturan dengan mata-mata golok, yang
kemudian langsung gompal. T ubuh orang-orang kasar itu pun terhuyung-huyung ke
belakang. Namun, mereka ternyata tidak mudah ciut nyalinya. Meski telah merasakan sendiri
sentilan tangan lawan mampu membuat tubuh mereka terhuyung dan batang golok
gompal, mereka tidak gentar dan siap untuk melancarkan serangan kembali.
"Grrrhhh...!"
T iba-tiba terdengar geraman keras seperti keluar dari mulut binatang buas.
Sekitar tempat itu tergetar hebat, kedua kaki keenam
lelaki kasar yang telah siap melancarkan serangan menggigil oleh geraman yang
dikeluarkan dengan tenaga dalam tinggi itu.
T idak hanya mereka saja yang menerima akibatnya. Pemuda
berambut panjang pun demikian. Hanya saja, begitu merasakan getaran kuat yang
membuat kedua kakinya menggigil, pemuda itu segera mengerahkan tenaga dalam.
Dan, usahanya berhasil sehingga dia tidak mengalami kejadian seperti yang
diderita enam lelaki kasar.
Mereka ambruk di tanah dan tidak mampu bangun lagi.
*** 4 Pemuda berambut panjang itu mengalihkan pandangannya dengan raut wajah berubah.
Dia kaget bukan main ketika melihat seorang pemuda bertubuh kekar menatap ke
arahnya dengan sorot mata bengis. Sepasang mata pemuda itu merah membara.
Wajahnya beringas penuh ancaman.
"Sabar, Sobat. Aku tidak bermaksud buruk...," pemuda berambut panjang tergerai
itu mengenali pemuda bertubuh kekar sebagai orang yang tadi tergeletak di tanah.
T api ia tidak bisa berkata lebih lama karena pemuda bertubuh kekar menubruknya
dengan kedua tangan terkembang. Jari-jaritangannya membentuk cakar.
"Suhita...! Jangan...!" gadis berpakaian jingga berseru kaget melihat pemuda
bertubuh kekar menyerang orang yang telah
menolongnya. T api seruan gadis berpakaian jingga sudah terlambat. Pemuda bertubuh kekar
telah melancarkan serangan dahsyat yang tidak mungkin dapat ditarik lagi.
Serangan dahsyat yang cepat dan memaksa pemuda berambut panjang memapaki dengan
jari-jari terbuka. Blarrr! Benturan yang terjadi menimbulkan bunyi keras seperti halilintar.
T ubuh kedua pemuda itu terhuyung-huyung ke belakang. Bahkan,
pemuda tampan berambut panjang meriap lebih sial lagi. Dia tidak hanya
terhuyung, tapi terjengkang ke belakang dan terguling-guling.
Dadanya terasa sesak bukan main. T angannya sakit. Dan dari sudut bibirnya
meleleh cairan merah. Benturan itu menyebabkan pemuda berambut panjang menderita
luka dalam. Kenyataan ini mengejutkan pemuda itu. Apalagi, ketika melihat pemuda bertubuh
kekar itu tidak mengalami luka-luka. Malah, ia segera mengirimkan serangan
susulan yang memaksa pemuda
berambut panjang tergerai, menggulingkan tubuhnya menjauhi
serangan. Pada saat yang bersamaan, enam orang lelaki kasar menyerbu gadis
berpakaian jingga. Rupanya mereka berhasil
melepaskan diri dari pengaruh teriakan pemuda bertubuh kekar.
"Suhita...! Tolong...!" wanita berpakaian jingga berteriak seraya memutar
pedangnya untuk mencegah maksud enam orang lawannya.
Pemuda bertubuh kekar yang memang tidak lain Suhita kembali menggeram. Kali ini
ia tidak mengerahkan tenaga dalam seperti sebelumnya. Laksana terbang, dia
melesat ke arah wanita berpakaian jingga yang tengah menghadapi keroyokan enam
lelaki. Mereka rupanya menyadari akan adanya bahaya. Maka begitu mendengar bunyi
geraman, mereka langsung membalikkan tubuh dan menyambut kedatangan pemuda bertubuh dengan ayunan senjata.
T ak, tak, tak...!
Bunyi berdetak keras seperti logam beradu terdengar. Disusul dengan jeritan
menyayat hati dari mulut keenam lelaki kasar. Senjata berikut tubuh mereka
berpentalan ke sana kemari seperti daun-daun kering ditiup angin. Mereka tewas
dengan dahi berlubang!
Pemuda tampan berambut panjang tidak sempat lagi berbuat
sesuatu. Kejadian itu berlangsung demikian cepat. Tahu-tahu tubuh keenam lelaki
kasar telah berterbangan tak tentu arah.
Dan, sebelum pemuda berambut panjang itu sadar sepenuhnya
dari terkesimanya, Suhita telah menyambar tubuh wanita berpakaian jingga dan
membawanya melesat meninggalkan tempat itu. Pemuda berambut panjang ingin
mengejarnya, tapi baru beberapa langkah
segera diurungkan. Dadanya terasa sakit bukan main. Dia tahu ini terjadi karena
luka dalam yang dideritanya. Terpaksa dibiarkan Suhita berlari. Dalam waktu
singkat ia telah lenyap di kejauhan.
Sesaat kemudian, pemuda berambut panjang menggenjot kakinya dan hinggap di salah
satu cabang pohon yang rimbun. Ia bersemadi untuk
mengobati luka dalamnya sampai kemudian Gempar membuatnya keluar dari tempat persembunyiannya.
Pemuda berambut panjang tergerai itu menghela napas berat.
Lamunannya buyar. Dia kagum dengan kepandaian Suhita. Namun lebih kagum lagi
pada sosok berpakaian serba putih ini. Ketinggian ilmunya benar-benar membuat
pemuda berambut panjang takjub.
T erutama ilmu meringankan tubuhnya. Sosok berpakaian serba putih berkelebat ke
sana kemari di antara serangan-seranga Gempar dan Branta Wali.
"Akh...!"
T iba-tiba terdengar jeritan melengking. Disusul dengan terlemparnya tubuh Branta Wali dari kancah pertarungan. Ia jatuh berdebuk di
tanah tanpa mampu bangun lagi. Kakek berwajah mirip kuda itu tewas dengan dahi
berlubang! T ampak tubuh Gempar pun terhuyung-huyung. Wajahnya
menyeringai kesakitan. Mendadak, sosok berpakaian serba putih melesat
meninggalkan tempat itu.
"Kejar...!"
Panglima bercambang bauk lebat segera mengeluarkan perintah.
"T idak usah dikejar...!" seru Gempar keras dengan mulut masih menyeringai.
T api peringatan Gempar terlambat. T iga orang perwira anggota pasukan khusus
telah melemparkan pisau-pisau terbang yang sejak tadi mereka genggam. Seketika
itu pula, sembilan batang pisau menyambar ke arah sosok serba putih yang tengah
berlari. Kembali sosok itu mendengus menghina. Tangan kirinya diputar seraya menolehkan
kepala. Akibatnya, sungguh menakjubkan. Pisau-pisau itu berputar balik ke arah
semula dengan kecepatan berlipat
ganda. Kejadian yang tidak disangka-sangka ini membuat rombongan
kerajaan kelabakan. Pisau-pisau itu tidak hanya mengarah pada tiga perwira, tapi
juga anggota rombongan yang lain. T idak terkecuali panglima tinggi besar.
Sebisanya mereka mengelakkan serangan itu.
T api tak urung, jeritan-jeritan kesakitan terdengar susul-menyusul ketika dua
perwira dan lima prajurit kerajaan tewas tertembus pisau di dahinya! Panglima
bercambang bauk lebat dapat menangkis serangan pisau itu. Sedangkan perwira yang
satu lagi telah lebih dulu melompat dari punggung kuda.
"Keparat!"
Panglima tinggi besar menggeram keras menyaksikan kematian anggota rombongannya.
Sementara Gempar menghampiri dengan
wajah lesu. T erlihat jelas lelaki pendek gemuk itu terpukul sekali.
"Belum pernah kutemui tokoh persilatan yang memiliki kepandaian setinggi ini," ucap Gempar tanpa mengumandangkan tawanya. "Tapi aku
belum kalah. Satu waktu akan kucari dia dan kuajak bertarung sampai salah
seorang di antara kami menggeletak di tanah."
Panglima tinggi
besar menghela napas berat. Dia tidak menanggapi ucapan Gempar. Diperintahkannya anggota rombongan untuk mengurus
kawan-kawan mereka yang terluka dan tewas.
"Aku mempunyai sebuah gagasan, Gempar," ujar panglima tinggi besar kemudian
dengan sungguh-sungguh. "Apakah tidak lebih baik kalau pemberontak hina ini kita
pancung saja?"
Gempar tidak segera memberikan jawaban. Ditatapnya wajah
panglima bercambang bauk lebat lekat-lekat.
"Aku khawatir ada penyerbuan lagi. Dan pemberontak ini berhasil dibeba skan.
Lalu...." "Cukup...!"
Gempar memotong. T angannya
kemudian bergerak cepat. T erdengar bunyi berdesing, lalu bunyi benda jatuh ke tanah. T ahu-tahu di depan
panglima tinggi besar telah tergeletak kepala lelaki
setengah baya berwajah gagah, yang menjadi tawanannya.
Panglima bercambang bauk lebat menelan ludah membasahi
kerongkongannya yang mendadak kering. Dia kenal betul dengan pedang yang berada
di tangan Gempar. Itu adalah pedangnya!
Kenyataan lelaki pendek gemuk itu mampu mengambilnya tanpa diketahui, lalu


Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membabat leher tawanannya menunjukkan betapa lihainya Gempar. Gempar tampaknya
tersinggung dengan ucapannya yang bernada meremehkan kemampuannya.
Dengan keringat dingin membasahi dahi, panglima bercambang bauk lebat menerima
pedang yang diangsurkan Gempar. Dan,
memanggil anak buahnya untuk membersihkan senjatanya. Kemudian, tanpa peduli pada tubuh lelaki setengah baya yang tanpa kepala mereka
meneruskan perjalanan. Perjalanan jauh yang
memakan waktu berhari-hari untuk sampai di pusat kerajaan. Tidak seorang pun
yang teringat pada pemuda berambut panjang.
Pemuda tampan itu memang sudah tidak berada di situ. Begitu melihat sosok
berpakaian serba putih melesat kabur, dia se gera mengejarnya. Naluri
kependekarannya mengatakan, kepergian sosok berpakaian serba putih bertujuan
tidak baik! *** Jliggg! "Ha ha ha...!"
T awa keras yang bergema di sekitar tempat itu, menyambut
kedatangan sepasang kaki sosok berpakaian serba putih yang menjejakkan kakinya
di lembah curam itu.
T api sosok berpakaian serba putih tidak tampak terkejut sedikit pun. Sikapnya
terlihat sangat tenang. Dia berdiri tegak di tempatnya.
Sikapnya masih tetap tenang ketika dari sekelilingnya bermunculan sosok-sosok
yang berpakaian kembang-kembang.
Semula sosok berpakaian serba putih agak kecut juga ketika melihat sosok-sosok
berpakaian kembang muncul begitu saja.
Padahal, tidak ada tempat persembunyian baik berupa semak, pohon,
atau pun batu-batu besar. Paling-paling hanya rumput-rumput kecil.
T api, pandangannya yang tajam dapat melihat kalau sosok-sosok itu muncul dari
dalam tanah. Mereka rupanya telah membuat lubang lalu menutupinya dengan tanah
berumput. "Akhirnya kau masuk juga dalam perangkap kami, Manusia Sombong!" seru salah
seorang dari sosok berpakaian kembang. Dia adalah seorang kakek berusia tujuh
puluh tahun. T ubuhnya tinggi besar dan memiliki luka melintang di pipinya.
"Sudah sejak lama aku ingin mencincang jantungmu!" lanjutnya.
Sosok serba putih hanya memperhatikan kakek berpakaian kuning lusuh sekilas.
Kemudian diperhatikannya orang-orang yang berada di sekeliling nya. Mereka
berjumlah dua belas orang. Sebagian besar mengenakan pakaian kembang-kembang
berwarna hijau muda.
Berarti masih lebih rendah dari tingkat kepandaian Branta Wali yang mengenakan
pakaian hijau tua.
"Apakah ini ada hubungannya dengan tewasnya Branta Wali di tanganku?" tanya
sosok berpakaian serba putih tanpa nada gentar sedikit pun.
"Syukur kalau kau mengetahuinya, pengecut yang berlindung di balik selubung!"
sahut kakek berpakaian kuning. Warna pakaian tingkat tertinggi dari Perguruan
Lembah Seribu Bunga, yang memiliki aturan tingkatan sebagaimana usia dedaunan.
"T elah tiga hari kami mencarimu tanpa hasil. Syukur, sekarang kau dapat kami
pancing kemari!"
"Kau mencari mati, Kakek T ua!" dengus sosok berpakaian serba putih.
"Kaulah yang akan tewas di tanganku, Pengecut!"
Usai berkata demikian, kakek berpakaian kuning mengirimkan serangan dengan
sebuah sampokan ke arah kepala lawan. Hembusan angin keras bertiup mengiringi
tibanya serangan.
Sosok berpakaian serba putih hanya mendengus. Sekali kakinya dilangkahkan ke
belakang, serangan lawan menyambar lewat di depan wajahnya. Lalu, dia
mengirimkan tendangan kaki kanan ke
arah pusar. Duk! T ubuh kakek berpakaian kuning terhuyung-huyung tiga langkah ke belakang ketika
menangkis serangan dengan tangan kanannya.
Se dangkan lawan terdorong mundur satu langkah. Kenyataan ini membuat Ketua
Perguruan Lembah Seribu Bunga murka. Sepasang sumpit terbuat dari gading gajah
yang menjadi senjata andalannya dikeluarkan. Dengan senjata unik itu disambutnya
serbuan sosok berpakaian serba putih.
T api, lagi-lagi kakek berpakaian kuning kecewa. Lawannya itu ternyata sungguh
luar biasa. Ia gesit sekali hingga tubuhnya dapat berkelebatan
di antara tusukan-tusukan
sepasang sumpitnya. Se baliknya, setiap serangan balasan sosok berpakaian serba putih membuat Ketua
Perguruan Lembah Seribu Bunga pontang-panting menyelamatkan selembar nyawanya.
Se belas orang murid-murid Perguruan Lembah Seribu Bunga pun tahu kalau pimpinan
mereka menghadapi bahaya. Maka, tanpa diberi perintah lagi, mereka mencabut
senjata dan menyerbu ke dalam kancah pertarungan.
T api ternyata masuknya sebelas orang murid-murid pilihan itu tidak membuat
keadaan berubah jauh. Sosok berpakaian serba putih tetap tidak bisa didesak.
Meskipun demikian, kedudukan kakek berpakaian kuning tidak kewalahan lagi. Sosok
berpakaian serba putih memang menggiriskan. Betapapun lawan-lawannya telah
berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan, namun tetap saja sulit.
Gerakannya terlalu cepat sehingga tak ubahnya bayangan.
T iba-tiba muncul sinar terang yang sangat menyilaukan. Lawan-lawan sosok
berpakaian serba putih terpaksa memejamkan mata.
Se bagian di antara mereka mengalihkan pandangan. T api, kakek berpakaian kuning
yang telah kenyang pengalaman ini tidak berbuat seperti yang dilakukan murid-
muridnya. Dia melompat ke belakang seraya memutar sepasang sumpitnya di depan
dada. T indakan yang diambil Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga
mamang tepat. Sosok berpakaian serba putih telah melakukan tindakan licik untuk
mencapai kemenangan dalam waktu singkat.
Dia telah mengeluarkan perisai berbentuk bulat sebesar lingkaran kepala. Perisai
dari logam putih berkilat itu tentu saja memantulkan sinar matahari.
Secepatnya tangan sosok berpakaian serba putih berkelebat. Dan, terdengarlah
jeritan menyayat ketika jari telunjuk sosok yang berjiwa telengas itu mendarat
di dahi empat orang murid Perguruan Lembah Seribu Bunga. Dahi mereka berlubang
yang mengakibatkan nyawa mereka melayang ke alam baka.
T idak hanya itu saja tindakan sosok berpakaian serba putih. Sekali tangannya
bergerak seorang murid yang masih muda dan cantik telah kena cekal dan dipondong
di bahu kanan. Kemudian, ia melesat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa.
"Keparat!"
Kakek berpakaian kuning menggeram keras. T anpa pikir panjang lagi dikejarnya
sosok berpakaian serba putih.
"Sudah kubilang, jangan coba-coba memancingku. T idak ada gunanya. Sekarang
kubawa umpan kalian!"
Ketua Perguruan Lembah Seribu Bunga semakin geram mendengar seruan itu. Sambil menggertakkan gigi, kakek berpakaian kuning itu
mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya agar tidak kehilangan buruannya.
T api usaha kakek berpakaian kuning sia-sia. Semakin lama jarak antara mereka
semakin jauh. Sosok berpakaian serba putih telah hilang di kejauhan membawa
murid wanita Perguruan Lembah
Seribu Bunga. Wanita yang semula digunakan kakek berpakaian kuning untuk
memancing sosok berpakaian serba putih agar turun ke dalam lembah.
Murid wanita itu disuruhnya berlatih di bagian
lembah yang agak tinggi. Ia belajar silat sambil berteriak-teriak nyaring. Dan
seperti yang sudah direncanakan, sosok berpakaian serba putih yang diduganya
akan segera melihat wanita itu. Sosok berpakaian serba putih pun turun ke dalam
lembah. Rupanya, ia
tertarik melihat seorang wanita cantik berlatih silat seorang diri di dalam
lembah. Pengeroyokan di lembah itu dimaksudkan agar sosok berpakaian serba putih
sulit untuk meloloskan diri. Ternyata dugaan itu keliru.
*** "Keparat!"
Begitu tiba di depan pondok sederhana yang terletak jauh di dalam hutan, sosok
berpakaian serba putih mengeluarkan makian penuh kegeraman.
Sepasang matanya mencorong tajam
dan berwarna kehijauan seperti mata harimau dalam gelap. Dengan sepasang mata
tertuju ke pondok, dilemparkannya tubuh wanita dalam pondongannya. T ubuh wanita
itu dicampakkan begitu saja, sehingga
jatuh berdebuk di tanah. Seringai di wajahnya menunjukkan betapa sakit tubuhnya. T anpa mempedulikan wanita itu yang
menggeletak di tanah karena telah ditotok, sosok berpakaian serba putih
mengayunkan langkah menuju pintu pondok. Jari-jari kedua tangannya mengepal
keras. "Pengecut Hina...! Keluar kau...! Jangan bersembunyi seperti maling!"
Seiring dengan seruan itu sosok berpakaian serba putih mendorong tangan kanannya ke depan. T idak terdengar bunyi menderu seperti
pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam tinggi. T api kesudahannya
benar-benar mengejutkan. Daun pintu pondok yang tertutup rapat hancur berkeping-keping mengeluarkan bunyi bergemuruh.
Begitu hiruk-pikuk itu reda, di ambang pintu telah berdiri tegak seorang pemuda
tampan berambut panjang tergerai. Sikap pemuda itu kelihatan tenang sekali.
"Rupanya kau malingnya...," ujar sosok berpakaian serba putih marah. "Apa yang
kau lakukan terhadap tawananku, Maling Hina"
T idakkah kau ingat, kalau aku tidak turun tangan, nyawamu sudah melayang di
tangan Gempar!"
"T idak kusangkal sedikit pun hal itu," ucap pemuda tampan tenang. "T api...,
aku tahu kau tidak berniat menolongku. Jadi andaikata masuk hitunganku pun
nilainya tidak besar. Sementara perbuatan yang akan kau lakukan memiliki
kesalahan besar. Jadi, pertolonganmu itu tidak berarti sama sekali!"
"Kalau begitu... terpaksa aku mencabut nyawamu!" geram sosok berpakaian serba
putih. "Tapi..., terlebih dahulu aku ingin tahu dua hal."
"Silakan,"
sambut pemuda tampan. "Untuk menghargai pertolonganmu, aku bersedia memberikan jawaban. Asal pertanyaanmu tidak bertentangan dengan kebenaran dan aku sanggup menjawabnya."
*** 5 Sosok berpakaian serba putih tersenyum mengejek.
"Pertama, apa yang telah kau lakukan terhadap tawananku"
Mencicipitubuhnya" Dan... siapa kau sebenarnya?"
"Dugaanmu keliru, Sobat. Aku tidak melakukan hal serendah itu.
Justru aku menolongnya dari perlakukan keji yang akan kau lakukan.
Selanjutnya, izinkan aku memperkenalkan diri. Namaku Arya.
T epatnya Arya Buana...."
"Dan kau terkenal dengan julukan Dewa Arak yang sakti?"
potong sosok berpakaian serba putih dengan nada mengejek.
Diperhatikannya sosok berpakaian ungu dan berambut panjang putih keperakan itu.
"Sejak tadi aku sudah menduga demikian. Hanya aku tidak yakin. Baru setelah kau
menyebutkan namamu, aku percaya kau memang Dewa Arak."
Dendam Mahesa Lanang 3 Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru Sebilah Pedang Mustika 5
^