Pencarian

Terbakar Api Asmara 2

Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game Bagian 2


kuburan yang runtuh itu. Jill berdiri dan memandangnya sebentar,
menghirup udara malam yang segar. Dari suatu tempat ia menangkap
bau bunga mekar di musim semi, dan untuk beberapa saat kuburan itu
tampak seperti tempat indah lain di Shadyside.
Jadi mengapa Jill tiba-tiba gelisah" Mengapa ia punya firasat
buruk" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Anak-anak lain mengikuti Gabe ke arah pintu gerbang. Ia
mengetuk gerbang itu, kemudian berteriak, "Yuu-huu! Mayat Hidup!
Keluarlah, keluar, di mana pun kalian berada!"
"Gabe"jangan macam-macam," kata Andrea. Temantemannya yang lain diam saja.
Gabe membuka gerendel pintu. Gerbang itu terbuka dengan
mengeluarkan suara seperti jeritan kesakitan. Satu per satu mereka
berjalan mengikuti Gabe. Tanahnya ditumbuhi rumput liar yang
tinggi-tinggi. Nisan-nisan kunonya rusak dan tertutup lumut serta
tanaman merambat. "Tempat ini tak pernah dirawat, ya?" selidik Gabe.
"Sudah lama tak ada orang yang dimakamkan di sini," jelas Jill.
"Lihat nisan-nisannya. Beberapa di antaranya benar-benar sudah tua."
Gabe membungkuk dan menyeka lumut yang menutupi pahatan
di salah satu nisan berbentuk tinggi ramping. Mudah saja membaca
tulisannya di bawah terang sinar bulan. "'Dollan"1847," Gabe
membaca. "Cukup kuno."
"Beberapa di antaranya sudah rusak," kata Andrea. "Hei, lihat
ini!" Jill membaca melalui bahu Andrea, "'Edwin Dunphy, Lahir
1852. Digantung karena mencuri "1870.'"
"Astaga," kata Andrea. "Saat itu dia tak lebih tua daripada kita."
"Aku ingin tahu apa yang dia curi," kata Nick. "Benda itu pasti
sangat berharga baginya sehingga dia berani ambil risiko digantung."
"Keadilan lebih kejam pada zaman itu," ujar Max.
"Betul," sela Andrea. "Mereka mungkin akan menghukum mati
dirimu karena membakar toilet cowok."
"Jika mereka bisa menangkapku," kata Max tenang. Karena
sudah hampir satu minggu berlalu dan tak terjadi apa pun, Max tak
kuatir lagi soal kebakaran itu.
"Hei, aku jadi ingat," kata Gabe. ia berdiri dan membersihkan
tangannya. "Kau belum membakar apa pun, Nick."
"Apa?" Nick ternganga memandangnya. "Apa maksudmu?"
"Hei, betul juga," Max menyela. "Sekarang giliranmu, kawan."
"Tunggu," potong Nick. "Membakar itu bodoh dan berbahaya."
"Dan menyenangkan," tambah Max. "Kau lupa, ya?"
Jill cukup yakin cowok-cowok itu cuma main-main, tapi ia
ingat betapa cepatnya peristiwa di kantin itu. "Sudahlah, guys,"
katanya. "Udara semakin dingin. Ayo kita pergi."
Tapi cowok-cowok itu tak peduli padanya. Diane, yang berdiri
di sebelah Jill, diam saja, tapi matanya membelalak cemas.
"Max telah membakar toilet," lanjut Gabe. "Dia telah
membuktikan dia punya nyali."
"Bagus deh," kata Nick. "Tapi aku tak perlu membuktikan apa
pun." "Lalu kenapa?" kata Max. "Itu cuma kesalahan konyol."
"Atau mungkin Nick takut," kata Gabe, sengaja memancingnya.
Untuk beberapa saat tak seorang pun bicara. Gabe sudah
keterlaluan, pikir Jill. Tetapi Nick hanya menghela napas panjang,
kemudian menoleh. "Ayo deh," katanya. "Kita pergi."
"Tunggu!" kata Gabe. Nick berbalik dengan sikap waspada.
"Mungkin kau benar, Nick," ujar Gabe dengan nada penuh
pengertian. "Mungkin kali ini belum giliranmu. Kini giliranku...." Ia
memandang ke sekeliling kuburan itu.
"Gabe...," kata Jill. "Sudahlah. Ayo kita kembali saja ke mobil."
"Jangan kuatir, Jill," Gabe menenangkan, menoleh kepadanya
sambil tersenyum. "Kebakaran kecil tak akan merusak apa pun. Tak
ada apa-apa di sini. Bahkan tak ada pelajaran yang dibatalkan." Ia
tertawa. Tawanya aneh, seperti sangat gembira.
"Bagaimana dengan pondok di sebelah sana?" tanya Max,
menunjuk ke pondok kayu yang hampir roboh.
"Tampaknya seperti pondok tua milik penjaga kuburan," kata
Andrea, juga kedengaran gembira.
"Dari bentuknya, sudah lama sekali tak seorang pun
memakainya," kata Gabe. "Aku mungkin berjasa membantu kota ini
dengan menyingkirkannya." Ia membuka pintunya dan mengintip ke
dalam. "Sempurna," katanya. "Pondok ini penuh dengan kayu dan
kain-kain tua. Pasti mudah terbakar." Ia membungkuk dan menumpuk
benda-benda itu di tengah ruangan kecil itu. Kemudian ia merogoh
sakunya dan mengeluarkan pemantik.
"Hei, man" kata Nick gugup. "Kau tidak sungguh-sungguh,
bukan?" "Jadi kau pikir begitu, ya?" kata Gabe. Dinyalakannya
pemantiknya. "Lihat saja."
BAB 9 UNTUK beberapa saat Gabe hanya berdiri di sana, nyala api
pemantik itu menerangi wajahnya. Ia sangat tenang dan, seperti
biasanya, tersenyum mengejek. Jill mencuri pandang ke arah temantemannya yang lain. Baik Andrea maupun Max sedang
memperhatikan Gabe dengan mulut setengah terbuka, mata mereka
berbinar senang. Mata Diane juga berbinar-binar, tetapi Jill tak tahu
apakah karena senang atau takut. Hanya Nick yang cemberut. Ia
menggeleng-geleng dan memalingkan wajahnya dari Gabe.
Sementara Jill tak yakin dengan apa yang dirasakannya.
Sebagian dirinya merasa simpati pada Nick dan setuju bahwa tindakan
membakar itu berbahaya dan bodoh. Tetapi sebagian lain merasa
senang dan tidak sabar menantikan apakah Gabe akan sungguhsungguh melakukannya.
Gabe maju pelan-pelan, lalu membungkuk dan menyulut kayu
dan kain-kain di dalam pondok. Dalam sekejap berbagai benda lapuk
itu terbakar dan ia melompat ke belakang.
"Whoa!" katanya. "Benda-benda itu kering!"
"Lebih baik kita keluar dari sini!" usul Max. "Pondok ini akan
terbakar habis." "Betul," kata Gabe. "Ayo!"
Sambil tertawa liar ia memimpin teman-temannya kembali
melewati kuburan, menuju ke mobil.
"Wow, mengagumkan!" seru Max seraya menoleh ke arah
pondok yang sekarang menyala terang.
"Kupikir kau tidak sungguh-sungguh tadi," kata Andrea,
memegang lengan Gabe. "Aku seharusnya tahu bahwa kau serius
dengan apa yang kaukatakan."
"Tentu saja aku serius," kata Gabe. "Sekarang tinggal satu yang
perlu dibereskan." "Apa itu?" tanya Andrea.
"Nick," sahut Gabe. "Hei, teman, sekarang sudah pasti
giliranmu!" Mereka berdiri selama beberapa saat, memperhatikan cahaya
api dari balik tembok kuburan. Menurut Jill ini bukan perkara besar.
Seperti Gabe jelaskan tadi, mereka tak melukai siapa pun. Dan pondok
itu sudah sedemikian rusak sehingga tak berguna lagi.
Bahkan Diane tampak cukup tenang menghadapi peristiwa itu.
Hanya Nick yang masih gelisah. Ia berdiri terpisah dari yang
lain, membelakangi kuburan, kedua tangannya di dalam saku. Jill baru
saja akan mengajaknya bicara ketika terdengar bunyi sirene.
"Oh-oh," desah Andrea. "Ada yang memanggil pemadam
kebakaran." "Sayang sekali," kata Gabe. "Hei, Nick, kita harus segera pergi.
Jangan sampai petugas pemadam kebakaran melihat kita di sini. Atau
kau juga terlalu pengecut untuk mengemudi?"
Nick pura-pura tak mendengar ucapan Gabe, tapi ia melangkah
menuju ke mobil. Bunyi sirene semakin keras sekarang. Mereka berhamburan
masuk ke mobil. Jill menemukan dirinya duduk di depan, di antara
Max dan Nick, sementara Gabe di belakang, di antara Andrea dan
Diane. "Menyetirlah dengan hati-hati, Nick," kata Gabe sinis
sementara mereka mulai menyusuri Fear Street. "Kau pasti tak ingin
melanggar hukum dan kena tilang."
Anak-anak lain tertawa, kecuali Nick. Gabe sudah keterlaluan,
pikir Jill. Apa ia tak sadar Nick sangat sensitif. Seandainya aku bisa
memberitahunya sekarang, pikirnya. Mungkin Sabtu malam nanti,
ketika mereka kencan. Ia belum memberitahu siapa pun tentang kencan itu, dan ia
penasaran apakah justru Gabe yang akan membocorkannya.
"Itu mereka!" teriak Max kegirangan.
Nick menepi ketika mobil-mobil pemadam kebakaran itu lewat,
raungan sirene menggetarkan kesunyian Fear Street.
"Aku masih belum melihat mayat hidup," keluh Gabe.
"Mereka mungkin takut padamu," canda Max.
"Bisa jadi," kata Gabe.
"Siapa yang tahu," kata Diane. "Mungkin mereka
mengutukmu." "Hei, tanganku gatal-gatal ketika aku sedang menumpuk bendabenda itu di pondok," kata Gabe. "Kalian pikir itu kutukannya?"
"Biarkan aku menciumnya dan menghilangkan kutukan itu,"
kata Andrea. Ketika teman-temannya bersiul dan bersorak, ia meraih
tangan Gabe dan menciumnya.
Apa kata Andrea jika ia tahu Gabe mengajak aku kencan" tanya
Jill dalam hati. "Hei, Andrea," ejek Max, "kau belum pernah berbuat begitu
pada Nick dan aku." Semua tertawa. Jill belum pernah melihat Andrea bertingkah
begitu genit. Seolah-olah kebakaran itu telah membangkitkan sisi lain
dirinya, yang selama ini tak diketahui siapa pun.
"Katakan, Gabe," kata Andrea dengan suara parau, "kapan kau
akan datang untuk melihatku berlatih senam"'
"Aku belum punya banyak waktu minggu ini," kata Gabe.
"Bagaimana kalau malam Minggu?" tanya Andrea.
"Aku sibuk malam itu," jawab Gabe lancar. "Bagaimana kalau
Kamis minggu depan?"
"Baik," sahut Andrea.
Nick berbelok ke Old Mill Road yang terletak di tepi hutan.
Diputarnya musik heavy-metal keras-keras. Untuk beberapa menit tak
seorang pun bersuara ketika musik itu menggema dalam mobil tua itu.
Jill memejamkan mata, mendengarkan iramanya, merasakan angin
dari luar berembus menerpa wajahnya.
Ketika Nick mendekati jalur lambat yang menuju ke jalan bebas
hambatan, ia memperlambat laju mobil, kemudian memutar.
"Sekarang mau ke mana?" ia bertanya seraya mematikan tape.
"Ayo, kita ambil suara," saran Jill. "Sekarang belum terlambat
untuk nonton film, atau ke Pete's untuk makan pizza, atau..." Tak ada
yang menanggapi sarannya. Max menyentuhnya, kemudian menunjuk
ke kaca spion tengah. Jill memandang kaca itu dan merasakan jantungnya berhenti
berdetak. Melalui kaca itu Gabe dan Andrea tampak sedang
berciuman. BAB 10 MUSIK pengiring berhenti ketika susunan pendukung film
muncul di layar, dan Andrea mematikan televisi, kemudian menekan
tombol rewind pada VCR. "Filmnya bagus banget, ya. Cowoknya"
itu yang suka naik motor dan berambut pirang"cakep, ya?"
"Yah, lumayan deh," kata Jill setuju. "Tapi dia agak liar
bagiku." "Itu yang aku suka," kata Andrea. Ia menoleh pada Diane, yang
sedang bergelung di kursi. "Di" Bagaimana film itu menurutmu?"
Diane mengangkat bahu. "Biasa saja." Ia sedikit sekali bicara
sore ini. Jill memandang ke sekitar kamar Andrea. Kamarnya kecil,
tetapi memiliki segala yang diinginkan setiap orang, mulai dari TV,
VCR, CD player. Semuanya built-in, dan diletakkan di lemari modular
yang tertutup rapi kecuali jika Andrea sedang menggunakan peralatan
tersebut. Pesawat video itu selesai memutar balik dan terdengar bunyi
klik. Andrea menunjuk ke setumpuk kaset video.
"Sekarang kau ingin nonton apa?"
"Kita punya apa?" tanya Jill.
"Film komedi konyol dan film action yang juga konyol," kata
Andrea. "Kedua-duanya belum pernah kulihat. Ayahku yang
menyewa." "Aku pilih komedi konyol," kata Jill. "Diane?"
"Aku tak peduli," sahut Diane.
"Hei, Ratu Penuh Semangat," kata Andrea. "Kalau aku tahu kau
akan sesenang ini, pasti kusediakan semangkuk sereal buatmu,
bukannya nonton film."
"Sori," ujar Diane. Ia semakin menenggelamkan diri di kursi.
Selama beberapa saat sunyi. Jill tak dapat membayangkan ada
apa dengan Diane. "Oke, aku punya ide," kata Andrea. "Kita lupakan sebentar
video-video itu. Kita dengarkan musik saja. Aku punya beberapa CD
baru." "Kedengarannya bagus," sambut Jill.
Andrea melompat berdiri dan memasukkan CD ke player-nya.
"Ayahmu baik sekali membolehkan kita bermalam di sini," kata
Jill. "Dia hanya meminta aku berjanji jangan sampai ada"dia
menyebutnya"cekikikan seru," jelas Andrea. Mendengar itu ketiga
cewek itu"bahkan Diane"mulai cekikikan.
Ibu Andrea sedang dinas keluar kota selama seminggu, dan Jill
curiga Andrea telah merayu ayahnya.
"Eh, aku hampir lupa. Aku bermaksud menunjukkan hadiah
ulang tahun yang diberikan ayahku sebelum waktunya," kata Andrea.
"Kalian pasti tak percaya." Ia menuju ke lemari modular dan
membukanya, memperlihatkan komputer laptop baru lengkap dengan
printer-nya. "Wow!" kata Jill. "Kecil sekali!"
"Kemampuannya banyak," kata Andrea. "Komputer ini bisa
untuk menghitung dan bermain game, dan ada word processor-nya.
Dad mengira alat ini akan membantu meningkatkan prestasi
sekolahku." "Coba nyalakan," pinta Diane. "Ayo, kita lihat kau mencetak."
Andrea menyalakan komputer itu, kemudian memasukkan
disket. Setelah beberapa detik terdengar suara booting, dan kursornya
berkedip, siap digunakan.
"Apa yang akan kutulis?" tanya Andrea.
"Apa saja," jawab Jill.
"Puisi," sahut Diane.
"Kau bercanda, ya?" kata Andrea. "Yah, kenapa tidak." Ia
berpikir sebentar, kemudian mulai menekan tombol-tombol keyboard.
Setelah beberapa menit ia menekan salah satu tombol fungsi. Dalam
sekejap printer-nya mulai berbunyi dan mengeluarkan pesan pendek
dalam tinta biru. Kuharap kau tak berpikir aku pembohong, Tetapi aku senang
ketika Gabe bermain dengan api.
"Tinta biru?" tanya Jill.


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayahku tak sengaja membeli cartridge biru," Andrea
memberitahu. "Semula mau dikembalikan, tetapi aku suka
penampilannya. Kalian juga, kan?"
"Jadinya beda," kata Jill. "Tapi aku tak begitu yakin dengan
puisinya." "Hei, memangnya apa yang kalian harapkan," kilah Andrea.
"Aku bukan penulis. Tapi menurutku komputer membuatmu lebih
kreatif." "Kau tak sungguh-sungguh percaya, kan?" tanya Diane tibatiba.
"Percaya apa?" "Kata-kata dalam puisi itu. Mengenai api?"
"Tentu"ah, entahlah," kata Andrea. "Kata-kata itu muncul
begitu saja dalam pikiranku. Tapi itu tidak penting."
"Menurutku masalahnya lebih besar daripada yang kausadari,"
kata Diane. "Apa kalian berdua membaca artikel di koran hari ini?"
"Maksudmu artikel mengenai semua kebakaran itu?" tanya Jill.
"Koran hari ini?" tanya Andrea. "Aku tak melihat."
"Letaknya bukan di halaman depan atau di halaman penting
lainnya," kata Jill, "tetapi ada artikel tentang meningkatnya kebakaran
disengaja di Shadyside. Artikel itu khusus menyebutkan kebakaran di
sekolah dan di kuburan."
"Wow!" sorak Andrea, wajahnya tiba-tiba memancarkan
kesenangan. "Kita menjadi berita!"
"Untungnya," lanjut Jill, "mereka belum punya kecurigaan
khusus." "Itu pun sudah cukup," kata Andrea. "Apakah cowok-cowok itu
sudah tahu?" "Gabe sudah," kata Diane. Suaranya kedengaran tegang dan
kecewa. "Justru dia yang memberitahuku."
"Bagaimana pendapatnya?" tanya Andrea.
"Sama seperti kau!" seru Diane, tiba-tiba marah. "Dia
menganggap semua ini semacam permainan! Padahal ini serius! Bisa
jadi ada yang mendapat kesulitan"atau terluka."
Jill dan Andrea menatap Diane. Jill tahu Diane sangat takut
pada api, tapi baru sekarang ia sadar betapa Diane sangat serius
menghadapinya. "Ini harus dihentikan," lanjut Diane. "Semua hal yang
menyangkut api itu."
"Dengan kata lain," kata Andrea mengejek, "hanya karena
Diane kecil yang manis tak menyukai api, yang lain harus berhenti
bersenang-senang?" "Andrea, ada banyak cara untuk bersenang-senang tanpa
menyebabkan kebakaran," balas Diane.
"Mungkin," kata Andrea. "Tapi siapa yang bilang kau bisa
mendikte kami, memberitahu apa yang boleh kami lakukan dan apa
yang tidak boleh." "Baik," kata Diane. "Tapi kalau kalian tetap membakar-bakar,
aku tak mau berteman lagi dengan kalian."
"Hei, cewek-cewek, sudahlah!" Jill mendengarkan perdebatan
itu dan merasa semakin kuatir. Harus ia akui, seperti teman-temannya
yang lain, kebakaran-kebakaran itu membuatnya gembira. Tapi
menurutnya pendapat Diane benar. "Diane betul, Andrea," katanya,
mencoba mendamaikan. "Permainan api ini dapat menimbulkan
masalah besar." "Bagus," kata Andrea. "Sekarang kau membelanya!"
"Aku tak memihak siapa pun. Tapi kita sudah lama berteman
baik, dan aku tak ingin ada perpecahan. Selain itu, kupikir cowokcowok itu jadi semakin sengit bersaing membuat kebakaran."
"Maksudmu Gabe satu-satunya yang punya nyali."
"Gabe menganggapnya terlalu serius," kata Jill. "Juga Max dan
Nick. Itu maksudku. Menurutku sebaiknya kita bilang pada mereka
supaya berhenti." "Mereka akan mendengarkan kata-katamu, Jill," kata Diane.
"Pasti." "Oh, entahlah," ujar Andrea. Ia mulai mengecat kuku jarijarinya. Tampangnya kelihatan bosan.
Jill sedang memikirkan alasan lain untuk menyanggah pendapat
Andrea ketika telepon berdering.
"Siapa yang mau menjawab telepon?" tanya Andrea.
Diangkatnya kedua tangannya di depan wajahnya dan ditiup-tiupnya
kuku-kukunya supaya kering.
Jill mengangkat telepon Trimline merah milik Andrea. "Halo?"
"Apakah ini Miss Andrea Hubbard?" tanya sebuah suara resmi
dan kasar. "Dia sedang sibuk," Jill memberitahu. "Ada pesan?"
"Tolong katakan padanya," kata suara kasar itu, "bahwa ini
Inspektur Lindsay dari Departemen Kebakaran Shadyside. Kami ingin
mengajukan beberapa pertanyaan padanya, tentang kasus kebakaran
yang kami curiga dilakukan secara sengaja."
BAB 11 UNTUK beberapa saat Jill merasa jantungnya seolah berhenti
berdetak. Akhirnya mereka tahu! pikirnya.
"Jill" Ada apa?" Diane menatapnya curiga.
Jill melambaikan tangan, memberi tanda supaya ia diam. "Anda
tadi bilang Anda siapa?" tanyanya, berharap tadi ia salah dengar.
"Inspektur Lindsay," ulang suara itu, "dari Dinas Kebakaran
Shadyside." Suaranya sedikit berubah, dan Jill merasakan kelegaan
mengalir di tubuhnya. Lega dan marah.
"Max, kau keterlaluan!" teriaknya.
"Saya tak mengenal seorang Max pun," kata Max. "Ini
Inspektur..." "Aku tahu ini kau!" potong Jill. "Dan kau lucu sekali. Lucu
seperti peti mati!" "Bagaimana pesta tidurnya, anak-anak?" Ini suara Nick di
pesawat telepon Max yang lain.
"Semua mengasyikkan sekali!" kata Jill mengejek. "Dan aku tak
ingat mengundang satu pun dari kalian!" Ditutupnya telepon sebelum
mereka sempat bicara lagi.
"Max mau apa?" tanya Andrea seraya mengoleskan lapisan cat
kuku yang cepat kering. "Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya pandai sekali," kata Jill.
"Tadi dia bilang dia inspektur kebakaran. Sebalnya, aku sempat
percaya!" "Brengsek sekali," maki Andrea.
"Mungkin," kata Jill. "Tapi bisa saja ini sungguhan. Jadi, kita
akan menghentikan permainan api bodoh ini"atau tidak?"
Andrea mendesah. "Oh, baik. Kupikir tak ada salahnya berhenti
sementara"khususnya karena polisi sedang menyelidiki kasus
kebakaran yang disengaja."
"Syukurlah!" kata Diane, tersenyum lebar. "Terima kasih untuk
kalian berdua." Bergantian, ia segera memeluk kedua temannya. "Ini
yang terbaik bagi kita. Kalian lihat saja nanti!"
Diane mengambil tas pakaiannya yang berwarna merah muda
dan menghilang ke kamar mandi.
Andrea menggeleng-geleng. "Agaknya aku sebelumnya tak
sadar betapa takutnya Diane terhadap api."
"Aku juga tidak," Jill mengaku.
"Kenyataannya," kata Andrea, "sulit dipercaya dia dan Gabe
berteman begitu akrab."
"Memangnya kenapa?"
"Mereka sama sekali bertolak belakang," kata Andrea. "Bukan
cuma soal api itu saja. Diane pemalu, sedangkan Gabe ramah. Dia
lebih mendekati tipemu"atau aku."
Sekarang atau tidak sama sekali, pikir Jill. "Ngomong-ngomong
soal Gabe, ada yang ingin kukatakan," katanya. "Aku... akan kencan
bersamanya besok malam."
"Sungguh?" tanya Andrea. Ia tak tampak kecewa sama sekali.
"Wah, menarik sekali, sebab hari Kamis minggu depan dia akan
menghabiskan waktu bersamaku, menciptakan musik untuk senam
lantaiku. Dari siang sampai malam."
"Wah, hebat," komentar Jill.
"Kecuali itu," tambah Andrea, "Aku punya rencana melakukan
lebih dari sekadar latihan." Ditatapnya mata Jill lurus-lurus, kemudian
tersenyum jahat. "Selamat bersenang-senang besok malam, Jill.
Ingatlah selalu, aku tak akan mundur. Seperti yang selalu mereka
katakan dalam film, semoga pria"atau wanita"terbaik yang
menang." ********************* Bulan purnama baru saja mengambang lewat, dan di sekitarnya
jutaan bintang bersinar. Angin lembut membawa aroma bunga musim
semi, dan Jill berpikir ini sore paling romantis yang pernah ia
lewatkan dalam hidupnya. Di depannya, duduk di meja piknik, Gabe dengan lembut
memetik gitar, matanya terpejam saat ia melantunkan lagu sedih
berirama lambat. Disinari terang bulan, ia tampak sangat tampan, pikir
Jill. Tak ada sisa-sisa keliaran di wajah Gabe, yang tinggal hanyalah
garis-garis wajah penuh perasaan.
Ketika Gabe menjemputnya, Jill bertanya-tanya bagaimana
tingkah lakunya di depan orangtuanya. Tetapi, meminjam istilah
ibunya, Gabe seorang pria sempurna. Gabe bahkan membukakan pintu
mobil untuknya, yang terasa aneh sekaligus manis.
Sore yang sempurna, pikirnya. Filmnya bagus, tetapi lebih
bagus lagi ide Gabe untuk pergi ke taman sehingga ia bisa bermain
musik khusus untuknya. Aku tak akan melupakan sore ini, pikir Jill.
Usai memainkan lagu itu, Gabe meletakkan gitarnya.
"Lagu yang bagus," kata Jill. "Kau yang menulisnya?"
"Aku masih mengotak-atiknya," kata Gabe sambil tersenyum.
"Kau suka?" "Lagu itu lebih bagus dibandingkan lagu-lagu yang diputar di
radio," katanya. Gabe mendekat ke bangku tempat Jill duduk dan menempatkan
diri di sebelahnya. "Aku menikmati malam ini," katanya.
"Aku juga," kata Jill.
"Pergi bersama yang lain memang asyik," lanjutnya, "tetapi aku
ingin secara khusus mengenalmu."
Jill tak tahu harus bicara apa. Ia juga merasakan hal yang sama,
tapi masa bilang terus terang sih. Rasanya tak pantas. Dengan tenang
Gabe meraih tangannya. "Jadi, bagaimana sebenarnya Jill Franks itu?" tanyanya,
setengah menggoda. "Menurutku," jawabnya, "aku sama seperti yang terlihat."
Gabe terdiam sesaat. "Kupikir betul juga. Banyak orang
memakai topeng, tingkah lakunya tidak sama dengan kepribadiannya,
tapi kau tampak seperti apa adanya."
"Bagaimana denganmu?" tanya Jill. "Kau bertopeng?"
Sekali lagi Gabe terdiam. "Menurutmu bagaimana?" akhirnya ia
berkata. "Aku tak yakin," kata Jill. "Tapi saat ini kau tampak amat
berbeda dibandingkan ketika kita jalan-jalan bersama teman-teman."
"Yeah" Mana yang lebih kausukai?"
"Keduanya," sahut Jill. "Aku suka caramu selalu ingin
bersenang-senang. Tapi aku juga suka ketika kau hanya duduk dan
bermain musik serta bicara."
"Mungkin lebih baik aku sering-sering melakukannya,"
katanya. Tanpa melepaskan pegangan tangannya, Gabe merangkul
Jill. Pertama Jill merasa jantungnya berhenti, dan kemudian merasa
jantungnya berdetak hebat. Belum pernah ia punya perasaan seperti itu
terhadap seorang cowok. "Agaknya aku mulai senang keluargaku pindah ke Shadyside,"
bisik Gabe. "Aku juga senang," kata Jill
Dengan sangat lembut Gabe menciumnya.
Aku ingin tinggal di sini, di taman, bersama Gabe selamanya,
pikir Jill. Aku tak ingin saat-saat seperti ini berakhir.
Gabe menciumnya lagi. "Tumbler!" mendadak seseorang berteriak. "Kemari, Tumbler!"
Cahaya terang tiba-tiba menyorot, membuat mata Jill berkedipkedip. Ia memalingkan kepala. "Apa yang kalian... oops, maaf." Itu
suara Mr. Morrissey, pemilik restoran di seberang jalan.
Dimatikannya senternya. "Sori telah mengganggu kalian. Anjingku
keluar. Kalian tak melihatnya, kan?"
"Tidak," jawab Gabe. "Tapi kami tadi tak sungguh-sungguh
mencarinya." "Menurutku juga begitu," kata Mr. Morrissey. Ia tertawa kecil.
"Well, sori telah mengganggu kalian. Tumbler!" ia memanggil lagi
seraya melanjutkan perjalanan. "Kemari, Tumbler!"
"Di sisi lain," kata Gabe sambil tertawa, "Shadyside tempat
yang sangat aneh." Jill ikut tertawa. Saat-saat indah telah terputus, tapi tampaknya
tidak mengganggu. "Hei!" seru Gabe, melihat jam tangannya. "Ternyata sudah
malam. Aku lebih baik mengantarmu pulang. Aku tak ingin
keluargamu marah padaku saat kencan pertama."
Kencan pertama, pikir Jill. Itu berarti ia ingin kencan
bersamaku lagi. Gabe memasukkan gitar ke tempatnya, mengangkatnya,
kemudian menggandeng tangan Jill keluar dari taman.
"Aku sangat menikmati malam ini, Gabe," kata Jill. "Namun
ada satu hal yang ingin kubicarakan denganmu." Sesaat ia ragu-ragu
membicarakan soal permainan api itu, tapi ia dan cewek-cewek lain
sudah setuju. Selain itu, ia agak cemas terhadap Nick.
"Oke," kata Gabe. "Ada apa?" Mereka parkir di dekat Pete's
Pizza, yang berada dua blok dari taman.
"Ini mengenai api"permainan api," Jill menjelaskan.
"Permainan api" Kau menyebutnya begitu?" tanya Gabe. "Yah,
memangnya kenapa?" "Andrea, Diane, dan aku telah berbicara serius soal ini, dan...
dan kami ingin berhenti."
"Kalian serius?" Gabe berhenti berjalan untuk berpaling
padanya, senyum mengejek terlihat di wajahnya. "Kenapa?"
"Karena berbahaya dan melawan hukum, dan kami takut ada
yang mendapat kesulitan. Selain itu, kupikir cowok-cowok lain
menganggapnya terlalu serius. Terutama Nick."
Gabe menggelengkan kepala. "Tidak Jill," katanya, tersenyum
padanya. "Kau yang menganggapnya serius. Ini cuma main-main. Dan
ini tak sama dengan kita berlari ke sana kemari, membakar apa saja
yang kita lihat." "Iya sih, tetapi..." Sekarang Jill bingung.
"Tak ada tetapi," kata Gabe. "Jika kau terlalu mencemaskan
cowok-cowok itu, tanyakan sendiri pada mereka bagaimana perasaan
mereka. Pasti mereka akan mengatakan hal yang sama dengan apa
yang baru saja kukatakan. Tenang sajalah."
"Mungkin kau benar."
"Aku yakin aku benar," lanjut Gabe. Mereka berjalan lagi.
Mendengar ucapan Gabe, permainan ini tampaknya memang tidak
seserius itu. Baik Jill maupun Diane terlalu berlebihan.
Di sudut jalan mereka berbelok ke Main Street. Banyak orang
berkerumun di depan Pete's Pizza. "Aku belum pernah melihat antrean
seperti itu," kata Jill. "Mereka pasti sedang menawarkan potongan
harga untuk pepperoni atau lainnya."
"Andai kita punya waktu untuk melihatnya," ujar Gabe.


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi ketika mereka semakin dekat, Jill melihat kerumunan itu
sama sekali bukan antrean masuk ke Pete's. "Gabe, ada kebakaran!
Ada mobil terbakar!"
Gabe juga melihatnya. "Hei"itu mobilku! Pegang ini!" Ia
memberikan gitarnya pada Jill dan berlari cepat menuju blok tempat
mobilnya di parkir. "Gabe!" teriak Jill. Sambil memegangi gitar dengan kikuknya,
ia berlari di belakang Gabe. Api berkobar hebat, bagian dalam mobil
dipenuhi nyala api merah dan kuning. Kerumunan itu mulai bergerak
mundur karena udara menjadi sangat panas.
"Mundur!" teriak seseorang. "Mobil itu akan meledak."
Tetapi Gabe terus berlari, langsung menuju api. "Aku harus
melakukan sesuatu!" teriaknya.
"Gabe, jangan!" Jill menjatuhkan gitar itu dan berlari mengejar
Gabe secepat mungkin. Dari belakang ia melingkarkan kedua
tangannya ke tubuh Gabe. Seperti kesetanan Gabe berusaha
melepaskan diri dari pegangan Jill, dan ia berhasil lolos.
"Jangan!" teriak Jill. "Berhenti! Gabe! Kembali!"
Detik berikutnya api mencapai tangki bensin. Dengan bunyi
memekakkan telinga mobil itu meledak.
BAB 12 JILL berdiri di kerumunan, di belakang barikade kayu yang
telah dipasang pasukan pemadam kebakaran. Tangannya masih
memegang gitar Gabe. Sementara bangkai mobil yang sudah hancur
itu masih membara, dan udara dipenuhi bau tak enak karet dan bensin
terbakar. Di depan barikade, Gabe"dengan baju dan wajah kotor oleh
debu dan jelaga karena terlempar ke trotoar ketika mobil itu
meledak" sedang berbicara dengan kepala pemadam kebakaran dan
dua orang polisi. Jill tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan,
tapi Gabe membuat gerakan isyarat dengan marahnya, bergerak ke
sana kemari dan menggelengkan kepala. Jill belum pernah melihatnya
sedemikian kecewa. Mengapa ini harus terjadi" ia bertanya pada diri sendiri.
Tadinya semua begitu sempurna.
Akhirnya urusan dengan polisi dan kepala pemadam kebaran itu
usai, dan Gabe kembali pada Jill. "Aku tak percaya!" serunya.
"Mereka ingin tahu apakah aku yang membakar mobil itu!"
"Mungkin mereka harus menanyakan hal-hal semacam itu," Jill
menenangkan. "Buat apa aku melakukannya?" lanjutnya. "Bahkan ini bukan
mobilku! Ini mobil ayahku!"
"Aku ikut sedih," kata Jill. "Aku yakin ayahmu akan mengerti.
Ini bukan salahmu." "Dia baru membelinya beberapa bulan lalu," lanjut Gabe. "Aku
tak percaya!" Ia mulai berjalan mondar-mandir di trotoar. "Tahu tidak,
apa yang dikatakan kepala pemadam kebakaran" Katanya dia baru
bisa memastikan setelah mobil itu dingin, tapi tampaknya ini
kebakaran disengaja."
"Disengaja"!" Jill berusaha terdengar kaget, tapi sebenarnya
tidak. "Siapa yang berbuat begitu" Dan apa sebabnya?"
"Sebabnya itu pertanyaan gampang," kata Gabe. "Cemburu.
Kalau siapa pelakunya... nah, aku punya beberapa ide."
************************ Satu jam kemudian Jill duduk memandangi teleponnya, hatinya
terasa dingin dan sakit. "Permainan api harus dihentikan," ia berteriak.
Setelah Gabe memberitahukan padanya bahwa kepala pemadam
kebakaran curiga kebakaran itu disengaja, Jill sudah tahu siapa
pelakunya. Nick. Pasti dia. Lagi pula memang sudah tiba "giliran"-nya. Gabe tak
membiarkan Nick lupa semenit pun.
Lebih buruk lagi, Gabe juga mencurigai Nick. Diane pasti telah
mengatakan padanya bagaimana perasaan cowok itu terhadap Jill.
Tapi dapatkah Nick melakukan hal mengerikan semacam itu hanya
karena cemburu" Mungkin Gabe terlalu memaksanya beberapa malam yang lalu.
Apa pun sebabnya, Jill bertekad mencari tahu.
Diangkatnya telepon dan ditekannya nomor telepon Nick.
"Halo?" suara Nick terdengar setengah tidur.
"Nick, ini Jill."
"Oh, yeah" Apa kabar" Jam berapa sekarang?"
"Tengah malam lewat," jawab Jill. Ia menghela napas dalamdalam dan menyambung ucapannya. "Nick, bisanya ya kau tidur
setelah apa yang kaulakukan."
"Hah?" "Aku tahu apa yang telah kaulakukan malam ini," lanjut Jill.
"Jangan repot-repot cari alasan."
"Mengapa aku harus cari alasan?" tanya Nick, agaknya sudah
bangkit dari alam tidur. "Aku sendirian di rumah, sepanjang malam.
Aku nonton The Fly dua kali"versi lama dan baru."
"Bukan cuma itu yang kaulakukan!"
"Kau ngomong apa?" Nick kedengaran benar-benar bingung.
"Nick, aku tahu kau yang membakar. Pasti kau."
"Membakar apa?"
"Jadi kau menyangkal telah membakar mobil Gabe?"
"Ada yang membakar mobil Gabe?" tanya Nick. Tiba-tiba
suaranya penuh amarah. "Tentu saja aku menyangkal! Kenapa kau
menuduhku?" "Karena sudah tiba giliranmu. Setiap orang tahu itu."
"Kau seharusnya tidak termasuk orang-orang itu! Kau
seharusnya temanku."
"Nick, tidak apa-apa kok," Jill memohon. "Kau bisa ceritakan
padaku. Aku menelepon karena menurutku kegiatan bakar-membakar
itu harus dihentikan."
"Aku tak membakarnya," sahut Nick, "dan jika kau tak percaya,
masa bodoh. Itu urusanmu!"
Jill hendak memprotes lagi, tetapi Nick sudah menutup telepon.
Tiba-tiba saja Jill jadi tambah kuatir. Bukan cuma pada
permainan api, tapi juga terhadap Nick. Semuanya sudah keterlaluan.
Jill menatap weker di sisi tempat tidurnya dengan gelisah, dan
memutuskan untuk menghubungi Andrea. Ia takkan bisa tidur, dan
Andrea biasanya tidur larut malam karena menonton TV.
"Halo?" Jill lega mendengar suara Andrea yang belum
mengantuk sama sekali. "Hai, ini Jill," katanya.
"Kenapa kau pulang cepat?" tanya Andrea. "Kupikir kau kencan
dengan Gabe." "Memang," ujar Jill. "Dan itulah yang ingin kubicarakan
denganmu." "Kuharap kau tidak memintaku untuk membatalkan kencanku
dengannya," kata Andrea. "Karena aku tak mau."
"Bukan, bukan," kata Jill. "Dengarkan aku. Terjadi sesuatu yang
mengerikan. Ada kebakaran lagi."
"Sungguh?" tanya Andrea tertarik. "Apa yang dia bakar kali
ini?" "Kali ini bukan Gabe pelakunya," jelas Jill. "Melainkan Nick.
Setidaknya itulah dugaanku. Dia membakar mobil Gabe. Mobilnya
meledak." "Sungguh?" Andrea bahkan terdengar lebih tertarik lagi. "Pasti
menakjubkan. Coba aku ada di sana."
"Kejadian itu tidak menakjubkan. Tapi mengerikan," kata Jill.
"Gabe bingung sekali sehingga aku bahkan tak dapat bicara
dengannya. Nick tidak mengaku, dan aku tidak tahu harus berbuat
apa." "Hei, tenanglah. Kedengarannya kau sangat bingung."
"Memang. Andrea, kita harus membuat mereka berhenti
membakar." "Apa yang ingin kaulakukan" Mengikuti mereka ke mana-mana
dengan membawa-bawa alat pemadam api?"
"Andrea..." "Meskipun begitu," lanjut Andrea, "aku tak keberatan
mengikuti Gabe ke mana pun...."
"Jangan bercanda."
"Aku serius lho," kata Andrea. "Tapi menurutku masalah ini
tidak sebesar yang kaukira. Maksudku, tentu saja, menyedihkan mobil
Gabe terbakar, tapi mungkin semuanya akan berakhir sekarang. Lagi
pula, mereka masing-masing telah mendapat giliran membakar."
"Benar," kata Jill.
"Bagaimanapun, tak ada yang bisa kita lakukan malam ini.
Yang ingin kuketahui adalah" sori dengan istilah yang kupakai"
kencan panasmu. Kecuali kebakaran itu, bagaimana kencannya?"
"Asyik," jawab Jill, tiba-tiba merasa sangat sedih. "Lebih asyik
daripada yang kuharapkan."
"Tetapi kebakaran itu merusak segalanya" Itu yang ingin
kaukatakan?" "Semacam itulah," Jill mengaku.
"Yah, sayang sekali," kata Andrea. "Mungkin aku akan lebih
beruntung saat ketemu Gabe Kamis nanti."
"Yeah, mungkin." kata Jill. "Kita bicara lagi besok."
Setelah menutup telepon, Jill merasa lebih buruk daripada
sebelumnya. Ia bersiap tidur, menarik selimut hingga menutupi
seluruh tubuh, dan menutup matanya. Ia mencoba mengingat alangkah
indahnya bersama Gabe di taman, tetapi ingatan itu sudah memudar.
Ketika ia mencoba membayangkan Gabe bermain gitar dan bernyanyi
untuknya, yang dapat diingatnya malah ekspresi kemarahan Gabe
setelah mobilnya terbakar.
Apa yang akan terjadi bila Gabe kencan dengan Andrea" ia
bertanya-tanya. Apakah Gabe akan menyanyikan lagu yang sama
seperti yang ia nyanyikan untuknya, memegang tangannya, mencium
Andrea dengan cara yang sama seperti ketika ia menciumnya"
Dan, bagaimana dengan permainan api" Apakah sekarang sudah
berakhir, seperti dugaan Andrea"
************************ Lama kemudian, Jill terbangun oleh bau yang tak asing dan kini
menimbulkan ketakutan: asap. Jantungnya berdegup keras. Ia duduk
tegak di atas tempat tidurnya. Tidak, pikirnya. Tidak di sini. Tidak
mungkin. Bau itu semakin kuat, dan ia sadar ia harus memperingatkan
orangtuanya. Ia membuka mulut untuk berteriak, tapi tak ada suara
yang keluar. Seolah-olah asap itu telah mencekiknya, mencekik
suaranya kembali. Merasa pusing dan lemah, ia berusaha keras turun dari tempat
tidur, menuju ke koridor untuk memanggil orangtuanya, tetapi suara
yang keluar dari mulutnya hanya berupa cicitan lemah.
Dengan rasa takut kian memuncak, ia membuka pintu kamar
tidur orangtuanya dan melihat tempat tidur mereka kosong.
Tidak! Ia sendirian. Sendirian dengan api. Ia berbalik dan berlari sepanjang koridor. Pantulan lidah api
berwarna merah-oranye datang dari salah satu tempat di lantai bawah.
Dengan langkah terseret-seret, ia menuruni tangga. Ia merasa sulit
bernapas, seolah-olah berat tubuhnya ratusan kilo.
Cahaya api berasal dari dapur. Ketakutan, tapi harus pergi ke
sana, ia mengikuti cahaya itu dan melihat nyala api keluar dari
kompor. Lagi dan lagi ia mengisi ember dan menyiramkannya ke api
itu. Akhirnya api itu berdesis dan padam. Kompor di depannya hitam
karena jelaga. Dengan rasa takut membayangkan apa yang akan ia temukan,
dibukanya oven itu, tempat api berasal.
"Oh, tidak! Tidak!" Di sana, hitam dan hangus, tergeletak tubuh
Mittsy. BAB 13 DENGAN jeritan bergema di telinganya sendiri, Jill duduk
tegak di tempat tidurnya.
Tadi itu mimpi buruk. Mimpi buruk mengerikan yang begitu
nyata. Mittsy masih hidup dan baik-baik saja, meringkuk di
sebelahnya di atas selimut.
Diangkatnya kucing kecil berbulu lembut itu dan didekapnya
erat-erat. Aku takkan bisa tidur lagi, pikirnya. Ia bangun dan turun ke
dapur di lantai bawah. Tak ada bekas-bekas kebakaran. Tak ada bau
asap sedikit pun. Ia membuka kulkas dan menuang segelas susu.
Itu tadi hanya mimpi, pikirnya lagi. Mimpi buruk. Tetapi
sebagian dari mimpi buruk itu sungguh terjadi. Yakni bagian yang
berhubungan dengan permainan api.
Ini harus dihentikan. Benar-benar harus dihentikan.
***************************
Aku benci aljabar, pikir Jill sambil menatap halaman yang
penuh simbol-simbol misterius. Seluruh waktu belajarnya habis hanya
untuk mempelajari soal-soal bodoh ini. "Uh, aku benci," ia berbisik
keras. Dari belakang, seseorang berbisik di telinganya, "Apa yang
kaubenci?" Itu Nick. Itulah kalimat pertama yang ia ucapkan setelah ia
menutup telepon beberapa malam yang lalu.
"Aljabar," kata Jill, terkejut sekaligus lega. "Aku benci aljabar."
"Tidak begitu susah kok," bisik Nick, menyelinap duduk di
bangku kosong di sebelahnya. "Kau tinggal memandangnya dari sudut
yang benar. Aku yakin kau tak pernah dapat nilai bagus untuk
hitungan pecahan. Betul, kan?"
"Tak pernah," kata Jill. "Tapi, memangnya kenapa" Aku
kehilangan bagian otak yang berhubungan dengan matematika."
"Mungkin," kata Nick setuju. Ia menengadah, kemudian
terdiam sebentar ketika Mr. Borden, pengawas ruang belajar, lewat.
Ketika guru itu telah pergi, ia berbisik lagi. "Hei, aku yakin aku bisa
menunjukkan padamu beberapa hal tentang pecahan, yang akan
membuat aljabar jadi gampang."
"Sungguh?" Jill tak dapat menahan senyum. "Aku percaya jika
aku melihatnya. Tetapi jika berhasil, luar biasa."
"Pasti berhasil," kata Nick. "Mengapa kau tak ke rumahku
malam ini, dan kita bisa memulainya?"
Jill berpikir sebentar. "Tentu. Mengapa tidak" Terima kasih,
Nick." ********************* Saat mengendarai mobil menuju rumah Nick, sekali lagi Jill
merasa optimis. Bukan cuma karena Nick akan membantunya
mempelajari aljabar, tapi ada kemungkinan ia bisa meminta Nick
menghentikan permainan api itu.
Jill memutuskan itulah cara terbaik untuk membuat cowokcowok itu berhenti.
Nick tergila-gila padanya, dan bahkan seandainya memang
Nick yang membakar mobil Gabe, Jill yakin ia akan mendengarkan
kata-katanya. Ia berbelok menuju Fear Street dan hampir berhenti di depan
rumah Nick ketika ia melihat mobil yang tak asing baginya berjalan


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur, keluar dari halaman rumah Nick.
Itu station wagon milik ayah Nick, dan Nick serta Max duduk di
kursi depan. "Hei!" teriaknya seraya menurunkan kaca jendelanya. "Hei,
guys!" Entah mereka tak mendengarnya atau mereka sengaja tak peduli
padanya, mobil itu terus melaju ke jalanan.
Apa yang terjadi" ia bertanya-tanya. Apakah Nick lupa dengan
janji belajarnya, atau ia secara licik menipunya"
Jill memutuskan untuk mencari tahu.
Dengan tetap menjaga jarak di belakang station wagon cokelat
itu, Jill mengikuti cowok-cowok itu. Mulanya ia takut mereka
melihatnya, tapi keduanya tampak sibuk berbicara, tak memperhatikan
siapa yang mungkin mengikuti mereka.
Melalui pusat kota, selama beberapa saat ia kehilangan jejak,
namun berhasil menemukannya kembali ketika mobil itu membelok
ke Old Mill Road. Mau ke mana mereka" tanya Jill dalam hati.
Ia terus membuntuti sampai Nick memberi tanda belok ke
kanan, ke arah Fear Street.
Malam itu gelap dan mendung, dan tempat itu tampak lebih sepi
dibandingkan sebelumnya. Lampu jalan di ujung Old Mill Road dan
Fear Street mati, dan bayangan-bayangan besar bermunculan di
sekelilingnya. Aku tak perlu mengikuti mereka lagi, pikir Jill. Aku tahu
mereka pergi ke Fear Street.
Tapi ia tetap tak tahu sebabnya, dan mungkin itu penting.
Jill menepi dan memeriksa untuk memastikan semua pintu
terkunci, kemudian berbelok ke Fear Street.
Tak ada tanda-tanda keberadaan mobil maupun cowok-cowok
itu. Seolah-olah mereka hilang ditelan lubang hitam. Dengan cemas ia
memicingkan mata sejauh mungkin.
Mereka pasti telah masuk ke salah satu halaman rumah,
pikirnya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah menyusuri jalan
itu, memeriksa setiap halaman rumah yang dilalui.
Jill mengemudi pelan-pelan sepanjang jalan sepi itu, lurus ke
arah kuburan. Sendirian di kegelapan terasa lebih menakutkan
dibanding beberapa malam lalu ketika ia bersama teman-temannya.
Teringat olehnya beberapa kisah mengerikan yang terjadi di beberapa
rumah di situ, dan ia merinding ketakutan.
Diawasinya setiap rumah yang ia lewati, tapi tak ada tandatanda cowok-cowok itu. Mereka seharusnya ada di sana. Fear Street
adalah jalan buntu. Tak ada jalan keluar.
Jalan buntu. Tak ada jalan keluar. Berhenti, Jill berkata pada diri sendiri. Ia menghela napas
dalam-dalam dan terus menjalankan mobilnya. Tiba-tiba mobil itu
mulai tersendat-sendat, detik berikutnya mesinnya mati.
"Tidak!" Dengan jengkel Jill berteriak keras-keras.
Lagi dan lagi ia memutar kunci, menekan gas. Tapi tak terjadi
apa pun. Di suatu tempat, jauh di sebelah kanan, sesosok tubuh besar
melompat-lompat menyeberang salah satu halaman, lalu menghilang
ke dalam hutan. Itu anjing, Jill berkata pada diri sendiri. Hanya seekor anjing.
Ia merasa keringat menetes turun di dahinya.
Uh, dasar konyol, pikir Jill. Tak ada yang harus ditakuti. Aku
berada di mobil yang terkunci. Aku hanya satu blok dari Old Mill
Road. Jika mobil ini tak segera hidup lagi, aku bisa berjalan balik dan
menelepon seseorang untuk minta tolong.
Ayo nyala, dong, ucapnya dalam hati sambil memutar kunci.
Mesinnya berbunyi dan berbunyi, tapi tidak mau hidup.
Mungkin mesinnya basah, pikirnya. Aku harus menunggu
beberapa menit sebelum mencobanya lagi.
Seekor kelelawar mengepak-ngepakkan sayapnya dalam cahaya
suram lampu jalanan, dan Jill terkesiap. Sekarang, tiba-tiba, bayanganbayangan pekat tampak hidup. Rasanya ia melihat sesuatu bergerak di
sudut matanya. Tetapi ketika ia menoleh, tak ada apa-apa di sana.
Kecuali di kaca spion dalam.
Ketika melirik ke kaca itu, Jill melihat sosok gelap bergerak
menuju mobilnya. Jantungnya berdegup. Ia berbalik. Dalam gelap ia tak dapat
melihat dengan jelas, tapi sudah pasti ada seseorang di sana, berjalan
menuju mobilnya. Mungkin orang itu tinggal di sini, pikirnya. Ia keluar untuk
jalan-jalan sore. Mungkin. Tapi jika begitu, mengapa ia berjalan langsung ke arah
mobilnya" Kalang kabut Jill memutar kunci dan mencoba menghidupkan
mesin. Tapi ia tak lebih beruntung dibanding sebelumnya.
Sedetik kemudian sesuatu memukul jendela mobil dengan
keras, dan matanya dibutakan oleh cahaya menyilaukan.
BAB 14 BERUSAHA tenang, Jill mencoba untuk berpikir apa yang
harus dilakukan. Mustahil mobil bisa jalan, tapi mungkin ia bisa
menemukan sesuatu"senjata atau semacamnya.
Dengan kalut ia mencari-cari di tempat duduk depan dan lantai,
kemudian membuka dasbor. Tapi tak ada apa-apa kecuali buku
petunjuk bagi pengemudi dan cokelat batangan yang sudah separo
dimakan. Aduh! Kenapa cahaya itu begitu menyilaukan"
Jendelanya kembali dipukul, terus dipukul berulang-ulang.
Tiba-tiba Jill sadar bahwa seseorang sedang mengetuk-ngetuk
jendelanya dan memintanya untuk membukanya. Tak mungkin aku
memenuhi permintaannya, pikir Jill. Tapi diturunkannya jendela itu
sedikit, sekadar cukup untuk berbicara.
"Anda baik-baik saja, Nona?" tanya sosok itu. Pria itu
mengarahkan senter ke wajahnya, dan Jill melihat ia seorang polisi
muda. Kelegaan memenuhi dirinya. "Saya baik-baik saja," jawab Jill
pelan. "Tapi mobil saya mogok dan saya tak dapat
menghidupkannya." "Coba saya periksa," kata polisi itu. "Bisa Anda buka kapnya?"
Jill meraih tombol kap dan menekannya. Polisi itu menghilang
di balik kap. Beberapa menit kemudian ia kembali. "Semuanya
tampak baik-baik saja," katanya. "Anda keberatan membuka
pintunya?" "Yah," kata Jill. Ia tampak seperti polisi sungguhan, dan ia
bertingkah seperti polisi. Tapi ia pernah mendengar cerita tentang
orang , yang menyamar sebagai polisi dan kemudian merampok
korbannya"atau bahkan lebih buruk lagi.
"Benar sekali Anda berhati-hati," kata polisi muda itu. "Akan
saya perlihatkan kartu identitas saya." Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan kartu identitas berfoto, kemudian memberikannya
kepada Jill melalui celah jendela. Jill meneliti dengan cermat,
membandingkan foto dengan wajah polisi itu.
Jelas ia polisi. Rasanya belum pernah Jill merasa begitu lega
seumur hidupnya. Dibukanya pintu mobilnya, dan ia pindah ke kursi
sebelah sementara polisi itu duduk di kursi pengemudi. Polisi itu
memutar kunci mobil, dan Jill kaget ketika mobilnya langsung hidup.
"Tadi tidak mau hidup. Sungguh," kilahnya, merasa seperti
orang dungu. "Mungkin tadi mesinnya basah," kata si polisi. "Tapi ketika
saya memeriksa, sudah kering."
"Terima kasih banyak," kata Jill.
"Kembali," balas polisi itu. "Saya harap Anda segera sampai di
tujuan. Ini bukan tempat terbaik untuk mengemudi sendirian."
"Saya tahu," kata Jill setuju. "Terima kasih, Pak Polisi."
Karena ketakutan Jill hampir lupa mengapa ia berada di sini. Ia
menunggu sampai polisi itu tiba di mobil patrolinya dan
meninggalkan tempat itu. Setelah itu barulah ia melanjutkan mencari
Nick dan Max. Ia hampir tiba di kuburan, dan tetap tak ada tanda-tanda
keberadaan mereka, ketika tiba-tiba ia melihat station wagon itu
diparkir di halaman rumah kosong yang rusak, tepat di pinggir hutan.
Apa yang mereka kerjakan di sana"
Jill mematikan mesin dan duduk mengawasi rumah itu untuk
beberapa menit. Mereka pasti keluar"cepat atau lambat.
Tapi, lalu apa" Apakah ia akan menemui mereka, atau
mengikuti mereka lagi" Jill mengingatkan diri sendiri bahwa ia
mengikuti mereka untuk menyelidiki apa yang mereka lakukan. Inilah
satu-satunya kesempatan baik yang ia miliki.
Ia menghela napas dalam-dalam, lalu membuka pintu mobil dan
keluar. Udaranya agak dingin, dan ia tiba-tiba sadar ia tak memakai
jaket. Di suatu tempat, jauh di dalam hutan, terdengar lolongan
binatang. Dengan gemetar ia mulai melangkah menuju rumah kosong itu.
Di kegelapan sulit untuk melangkah, dan ia harus bergerak
pelan-pelan supaya tak tersandung batu atau tanaman merambat yang
tumbuh liar. Tak ada tanda-tanda kehidupan di rumah itu, dan semakin
dekat ia dapat melihat kebanyakan jendelanya rusak"pecahan gelas
bergerigi menggantung di kusen jendela seperti untaian tetesan air
yang membeku. Apa yang dikerjakan cowok-cowok itu di sini" Jill bertanyatanya lagi.
Ia mendengar bunyi "gedebuk" keras dari dalam rumah dan ia
langsung berhenti, ketakutan. Baru saja ia hendak melangkah lagi
ketika mendadak muncul kilatan cerah dan rumah itu meledak,
membentuk kobaran api. Dengan matanya yang berkedip-kedip karena silau; ia melihat
Nick dan Max berlari tunggang langgang menuju mobil yang diparkir
di halaman. BAB 15 SEMENTARA Jill mengamati dengan ketakutan, api itu
menjalar sampai rumah itu menjadi pusat lidah api besar. Dapat
didengarnya suara gemeretak dan ledakan kayu terbakar, juga
panasnya"yang bahkan terasa hingga ke jalanan.
Di antara gumpalan asap ia melihat station wagon cokelat itu
keluar dari halaman, kemudian menderu menuju ke jalan. Jill tak
dapat melihat wajah teman-temannya karena asapnya terlalu tebal,
tapi ia membayangkan mereka tertawa terbahak-bahak.
********************* Jill memasukkan mobil ke garasi, tapi ia tak segera keluar dari
mobil. Dalam mata pikirannya ia masih dapat melihat Max dan Nick
berlari menjauhi api di Fear Street"api yang telah mereka sulut
sendiri. Ia cukup yakin mereka tak melihatnya di sana. Seandainya
melihat pun, mungkin mereka takkan peduli. Jelas mereka telah lepas
kontrol kalau sudah main-main api.
Setelah Nick dan Max pergi, Jill langsung ke kotak kebakaran
di Old Mill Road dan membunyikan alarmnya. Kemudian ia
berkeliling sebentar sampai akhirnya memutuskan harus pulang, untuk
memikirkan apa tindakan selanjutnya.
Yang membuatnya sedemikian kecewa adalah permainan api itu
telah mengubah hubungannya dengan semua teman-temannya.
Bahkan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya membicarakan hal
itu. Max dan Andrea bertingkah seolah-olah membakar itu bukan
perbuatan salah. Dan karena Gabe, ia jadi merasa tak nyaman
bercerita macam-macam pada Andrea.
Diane benar-benar bersikap tak rasional kalau menyangkut api.
Dan Nick"ia adalah masalah terbesar. Pada mulanya ia tampak
sangat menentang kebakaran-kebakaran itu. Sekarang ia telah
membuat dua kebakaran. Ia mengunci mobilnya dan masuk ke rumah. Orangtuanya
sedang keluar, jadi ia menuang segelas jus tomat untuk diri sendiri,
kemudian membawa Mittsy ke kamarnya. Dipeluknya kucing itu
sebentar, kemudian diputuskannya untuk belajar agar pikirannya
terlepas dari permainan api"dan perasaan bersalah yang
mengiringinya. Tetapi ketika duduk di mejanya, benda pertama yang ia lihat
adalah buku aljabarnya, yang ia bawa dari mobilnya. Ia jadi ingat akan
Nick, dan janji yang tidak ditepati cowok itu. Bukannya belajar
bersamanya malam itu, Nick malah pergi membakar pondok.
"Aku menyerah!" teriaknya kesal, menutup buku itu.
Ia memutuskan berlatih yoga untuk menenangkan diri.
Dinyalakannya TV portable kecil yang ia letakkan di meja rias,
kemudian ia duduk dan merentangkan tubuh di permadani sementara
tawa rekaman film seri lama Three's Company berakhir.
Ia sedang berdiri terbalik dengan bahu di bawah ketika berita itu
disiarkan. "Gubernur memveto undang-undang hukuman mati," kata
pembawa berita. "Seorang gelandangan tewas dalam kebakaran yang
mencurigakan. Dan masih ada topik hangat lainnya dalam 'Metro
News Tonight.'" Jill terus meregangkan tubuh sambil setengah mendengarkan
siaran berita itu. Ia baru saja hendak menggulung setengah tubuh ke
depan ketika pembawa berita berkata, "Polisi mencurigai adanya
kesengajaan dalam kebakaran fatal malam ini di Shadyside. Untuk
lebih lengkapnya, kita hubungi Tip Teppler."
Jill berhenti bergerak dan duduk tegak, jantungnya berdegup.
Televisi memperlihatkan seorang pria tampan dengan rambut
pirang tertata rapi memegang mikrofon. Di latar belakang tampak
kesibukan truk-truk pemadam kebakaran dan siluet hitam rumah
terbakar. "Terima kasih, Heidi," kata reporter itu. "Saya melaporkan
dari Fear Street di Shadyside, di mana pasukan pemadam kebakaran
berjuang selama dua jam untuk memadamkan api di rumah kosong.
Pasukan pemadam kebakaran yang tiba di lokasi menemukan seorang
gelandangan tak sadarkan diri di beranda depan. Usaha untuk
menyadarkannya di tempat gagal, dan dia dinyatakan meninggal
ketika tiba di Mercy Hospital. Korban rupanya kena serangan jantung.
Bersama saya adalah Letnan Ed Heasly, Kepala Departemen
Kebakaran Shadyside. Letnan, apakah benar kebakaran ini disengaja?"
Kamera pindah ke seorang pria lain. Rambutnya cokelat tipis
acak-acakan dan wajahnya tampak lelah. "Tampaknya demikian, Tip,"
kata Letnan Heasly. "Kami tak tahu sampai kami selesai menyelidiki,
tapi tampaknya kebakaran ini disengaja."
"Betulkah," lanjut Tip Teppler, "jumlah kasus kebakaran
disengaja meningkat di Shadyside dalam beberapa minggu terakhir?"
"Itu juga benar," jawab Heasly. "Kami sekarang sedang mencari
beberapa petunjuk, tapi kami tak dapat memberi informasi lebih
banyak. Saya hanya bisa mengatakan ini: karena kebakaran ini
menyebabkan kematian, kami tak akan berhenti sampai kami
menemukan pelakunya."
"Terima kasih, Letnan Heasly," kata si reporter. "Tip Teppler
melaporkan langsung dari Shadyside. Sekarang kita kembali ke studio
bersama Heidi." Merasa agak pusing, Jill mematikan TV-nya.
Reporter itu berdiri di depan rumah yang ia kunjungi tadi sore.
Rumah yang dibakar oleh Nick dan Max.
Rumah yang sama sekali tak kosong, karena ada seorang
gelandangan yang tinggal di sana.


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang gelandangan yang kini telah meninggal.
Reporter itu mengatakan orang tersebut meninggal karena
serangan jantung, tapi pasukan pemadam kebakaran menemukannya
dalam keadaan pingsan. Itu berarti kebakaran tersebut telah
menyebabkan kematiannya, langsung atau tidak.
Dan itu berarti Nick dan Max adalah pembunuh.
Dan Jill adalah saksinya.
BAB 16 LAMA Jill memandang layar TV yang kosong, lalu ia
mengangkat telepon dan menekan nomor telepon Nick. Jantungnya
berdegup kencang. "Halo?" Suara Nick hanya kedengaran mengantuk, tidak
terkesan ketakutan. Mungkin ia belum mendengar berita tentang
gelandangan yang meninggal itu.
"Hai, ini Jill," katanya. "Aku... aku menelepon sebab aku ingin
tahu mengapa kau tak di rumah tadi. Padahal kita janji belajar
bersama." "Astaga!" seru Nick, terkejut. "Sori, tapi Max mendadak
mendapat tiket pertandingan basket di Waynesbridge. Aku mencoba
meneleponmu, tapi teleponmu sibuk."
"Dasar, tidak bisa dipercaya," Jill memaki.
"Hei, maaf," kata Nick. "Akan kuganti deh. Aku akan datang ke
rumahmu dan..." "Maksudku kebohonganmu tidak bisa dipercaya!" Jill menyela.
"Malam ini kau tak pergi ke pertandingan bola basket mana pun,
kan?" "Aku pergi kok. Tidak percaya?" kata Nick. "Tanya saja Max."
"Mendengar omong kosongmu saja sudah bikin sebel. Aku tak
ingin mendengar kebohongan yang sama dari Max. Kau tak pergi ke
pertandingan bola basket. Kau pergi ke Fear Street."
Nick tak menjawab untuk beberapa lama. Kemudian nada
suaranya menjadi lebih hati-hati. "Mengapa kau berpikir begitu?"
"Aku melihatmu di Sana," jawab Jill.
"Kau melihatku di sana?"
"Di rumah itu. Rumah yang kau dan Max bakar."
"Apa sih maksudmu. Aku tidak mengerti," kata Nick.
Jill merasa Nick sangat gugup. "Apa kau menonton berita di TV
malam ini?" ia bertanya.
"Tidak. Tapi apa hubungannya dengan..."
"Kebetulan ada seorang gelandangan yang tinggal di rumah
itu," Jill menjelaskan. "Dan kebakaran itu menyebabkan
kematiannya!" "Apa!" Nick kedengaran sangat terkejut. "Kau bercanda, kan?"
"Aku tak bercanda," kata Jill sedih. "Aku melihatnya di siaran
berita. Mereka menayangkan gambar rumah itu. Itu rumah yang sama.
Rumah tempat aku melihatmu dan Max."
"Oh, tidak," kata Nick. "Aku tak percaya. Seseorang
meninggal?" "Kebakaran itu membuatnya kena serangan jantung, lalu
tewas," kata Jill. "Dan Kepala Pemadam Kebakaran bilang mereka
sedang mencari pelakunya. Yaitu kau dan Max."
"Bukan kami yang membakar!" Nick mengaku.
"Jadi kau mengaku kau ada di sana?"
"Kami ada di sana," kata Nick, "tapi kami tak membakar apa
pun." "Apa yang kalian lakukan di sana?" tanya Jill. Meskipun ia tahu
Nick berbohong sebelumnya, karena alasan tertentu ia percaya ucapan
Nick bahwa bukan ia yang membakar.
"Wah, bisa gawat nih," kata Nick. "Jika polisi menemukan
kami, mereka tak akan mempercayai kami!"
"Tenanglah dulu," kata Jill. "Kalian mau apa di sana?"
"Tepat sebelum kau datang untuk belajar," Nick bercerita,
"seseorang mengetuk pintu depan. Ketika aku membukanya, tak ada
siapa-siapa di sana. Tapi aku menemukan sebuah pesan. Pesan itu
untukku, dan isinya meminta aku datang ke rumah di Fear Street itu.
Katanya di sana ada acara yang asyik punya."
"Pesan dari siapa?"
"Tak ada namanya," sahut Nick. "Dan lima menit kemudian,
Max datang. Seseorang telah meninggalkan pesan yang persis sama di
rumahnya. Kami berdua berpikir pesan itu aneh dan kami
memutuskan untuk memeriksanya segera."
"Kau seharusnya menungguku," kata Jill.
"Nanti kau malah ikut terlibat," kata Nick sedih. "Jujur saja,
pesan itu sangat aneh sehingga aku lupa dengan janji belajar
bersamamu," keluhnya. "Mengerikan. Aku tak tahu harus berbuat
apa." "Jangan berbuat apa-apa dulu," kata Jill. "Aku akan
membicarakan soal ini dengan yang lain. Mungkin kita bisa
berkumpul dan menyelidiki apa yang sedang terjadi."
"Kuharap begitu," ujar Nick. "Kau yakin kau tak salah dengar
tentang berita di TV itu?"
"Aku yakin," kata Jill. "Kita bicara lagi nanti."
Setelah menutup telepon, Jill duduk diam untuk beberapa menit.
Jika Nick menceritakan yang sebenarnya"dan menurutnya Nick
memang berkata jujur"berarti orang lain telah menyebabkan
kebakaran itu. Satu-satunya yang mungkin melakukannya adalah Gabe.
Ia mungkin sudah benar-benar gila, pikir Jill. Seharusnya aku
sadar, pikir Jill, Gabe akan melakukan sesuatu yang drastis setelah
mobil ayahnya terbakar. Ia ingat Gabe bersumpah akan membalas orang yang telah
membakar mobil itu. Waktu itu wajah Gabe tampak sangat kusut dan
marah. Ya, ini pasti ulah Gabe.
Tapi sebagian dirinya tak ingin percaya bahwa Gabe adalah
pembunuh, meskipun ia tak sengaja.
Pasti ada jawaban lain, pikirnya. Dan satu-satunya cara
mengetahui jawaban itu adalah membicarakannya dengan temantemanya" baik secara terpisah atau bersama-sama. Pokoknya bicara
dengan mereka semua dan mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Kembali diangkatnya telepon dan dihubunginya Andrea.
Pesawatnya sedang dipakai. Jill menunggu beberapa menit sebelum
menekan tombol redial, tapi saluran Andrea masih sibuk. Tak ingin
menunggu lebih lama lagi, ia menekan nomor Diane. Diane
mengangkatnya setelah deringan ketiga.
"Halo?" "Diane, ini Jill," katanya. "Kau ada waktu sebentar?"
"Tentu," jawab Diane. "Ada apa" Kedengarannya kau bingung."
"Memang," Jill mengaku. "Ada kejadian mengerikan"dan
teman-teman kita terlibat."
"Apa?" Diane kedengaran takut.
"Ada kebakaran di Fear Street malam ini," Jill bercerita.
"Ya, aku melihatnya di berita TV." Diane tiba-tiba terkesiap.
"Itu bukan"kebakaran itu tidak di..." Ia tak menyelesaikan apa yang
ada dalam pikirannya. Tapi Jill mengerti apa yang akan ia katakan. "Aku kuatir
memang itu yang terjadi. Nick dan Max ada di rumah itu. Kata Nick
bukan mereka yang membakar, tapi seseorang mengirimi mereka
pesan yang isinya meminta mereka datang ke sana."
"Oh, Jill, jelas-jelas dia bohong
"Aku tak yakin dia bohong," kata Jill. "Aku sudah lama
mengenalnya. Jika bukan mereka, pasti Gabe pelakunya."
"Oh, tidak," kata Diane. "Tak mungkin. Maksudku, masa sih
dia bisa berbuat begitu."
"Aku juga tak percaya Nick sanggup membakar mobil," kata
Jill. "Ini semua permainan api. Permainan yang membuat mereka
berbuat hal-hal gila."
"Aku sudah tahu itu!" kata Diane, suaranya gemetar. "Dari awal
aku sudah tahu semua ini salah. Jill, kita harus menghentikan mereka.
Sekarang juga." "Ya, tentu saja," kata Jill.
"Maksudku sekarang," ulang Diane. "Jika kita menunggu sehari
saja, siapa yang tahu apa yang mungkin terjadi" Dengar, ibuku sudah
tidur. Aku akan memakai mobilnya dan menjemputmu sepuluh menit
lagi." "Kita mau ke mana?"
"Ke rumah Nick," jawab Diane. "Aku harus bicara padanya,
Jill. Setelah itu, kita pergi menemui Max."
"Tapi..." "Sungguh," lanjut Diane, "inilah cara terbaik. Lagi pula kau tak
bisa tidur sekarang, kan?"
"Yah, memang tidak," Jill mengaku.
"Aku sampai di sana sepuluh menit lagi," kata Diane dan
menutup telepon. ********************* Aku merasa seolah-olah sedang bermimpi, pikir Jill. Hari
semakin malam, dan kepalanya pusing karena kurang tidur. Ini tak
mungkin terjadi, ia berkata pada diri sendiri. Aku tak mungkin terlibat
dalam kebakaran disengaja" dan pembunuhan.
Tapi begitu ia melihat station wagon cokelat di halaman rumah
Nick, semua yang telah terjadi kembali memenuhi benaknya, dan ia
sadar dirinya memang terlibat. Mereka semua terlibat.
Ia terkejut ketika Max membukakan pintu. "Nick meneleponku
segera setelah bicara denganmu," cerita Max pada Jill. "Apa yang
akan kita lakukan?" "Pertama kita harus menemukan siapa pelakunya," kata Diane.
"Kau melakukannya?"
"Tentu saja tidak!" sembur Max.
"Aku sudah menjelaskan apa yang terjadi," kata Nick, yang
masuk dari ruang lain. "Kata Jill kau menerima pesan," kata Diane. Lagaknya seolaholah seorang pengacara di film TV.
"Memang betul. Masa kami mengarang cerita seperti itu," kata
Max marah. "Nick, apakah pesan untukmu masih ada?"
"Kupikir masih," jawab Nick. Ia pergi ke kamarnya, dan
kembali sambil memegang secarik kertas yang sudah lusuh.
Diserahkannya kertas itu pada Jill. Jill memegangnya
sedemikian rupa sehingga Diane dapat ikut melihatnya. Isinya persis
sama dengan apa yang telah diceritakan Nick. Tapi yang tak
diceritakan Nick"dan yang langsung dilihat Diane dan Jill adalah
tulisan itu hasil cetakan komputer.
Dengan tinta biru. BAB 17 TAK seorang pun dari kedua gadis itu bicara. Mereka hanya
saling memandang, keduanya memikirkan hal yang sama.
"Jadi?" tanya Max. "Kalian percaya pada kami sekarang" Atau
kalian pikir kami menulisnya sendiri?"
"Kami tak berpikir begitu," kata Jill sedih.
"Aku tak bermaksud curiga," tambah Diane. "Tapi
bagaimanapun, Jill melihat kalian di rumah di Fear Street itu."
"Yeah, ada orang lain juga di sana," Nick berkilah. "Dan siapa
pun orang itu, dia yang membakar."
"Apa kau melihat orang lain?" tanya Diane.
"Tidak," jawab Nick. "Rumah itu kelihatan benar-benar kosong.
Kami di sana hanya sebentar, kemudian terdengar suara semacam
gedebuk dan api mulai menyala. Lalu kami berlari cepat-cepat."
"Terima kasih telah menunjukkan pesan itu pada kami," kata
Jill. "Lebih baik kita pergi sekarang."
"Katanya kalian ingin membicarakan semua ini," kata Max.
"Kupikir untuk itu kalian datang kemari."
"Memang betul," kata Jill, "tapi sekarang sudah malam, dan kita
semua capek. Mungkin lebih baik kita pikirkan lagi nanti."
"Oke," kata Nick, tapi ia memandang Jill seolah-olah cewek itu
sudah gila. ********************** "Komputer yang dipakai milik Andrea," kata Diane dengan
suara gemetar, segera setelah mereka kembali ke mobil.
"Aku tahu," kata Jill. "Kecuali jika..."
"Kecuali jika apa?" tanya Diane. "Kecuali jika ada orang lain di
Shadyside yang memiliki cartridge bertinta biru dan tahu semua
mengenai permainan api ini?"
"Aku tak percaya dia melakukannya," kata Jill.
"Aku juga tidak," ujar Diane. "Atau aku tak ingin percaya.
Andrea kadang-kadang agak liar, tapi pada dasarnya dia baik.
Mungkin ada penjelasan lain."
"Pasti ada," kata Jill setuju.
"Kau tak berpikir bahwa itu perbuatan Gabe, kan?" tanya
Diane. "Kau tak berpikir Gabe dan Andrea..."
"Aku tak tahu aku mesti berpikir apa," Jill menyela.
"Yang pasti aku ingin mendengar apa pendapat Andrea soal
ini," kata Diane. "Diane, malam sudah larut," ujar Jill, merasa keberatan.
"Memangnya kenapa" Andrea selalu tidur larut malam. Selain
itu, saat ini kita hanya berjarak dua blok dari rumahnya."
Jill mengangguk letih. Ia sangat lelah, tapi" seperti Diane"ia
ingin sekali mendengar penjelasan Andrea. Jika ia memang punya
penjelasan. "Hai, teman-teman," sapa Andrea sambil tersenyum cerah. Ia
sudah mengenakan piama, tapi matanya masih terbuka lebar.
Jill duduk di tempat tidurnya, perasaannya tak enak. Matanya
tertuju ke meja Andrea dan komputernya. Bagaimana cara
menyampaikannya" ia bertanya-tanya. Apa langsung saja kami
tanyakan dan... Tapi pikirannya terputus oleh Diane, yang membuatnya terkejut
karena ucapannya yang langsung ke permasalahan. "Kami baru saja
dari rumah Nick," kata Diane.
"Ada apa ini"malam-malam main ke rumah?" tanya Andrea
sambil tertawa. "Eh, kalau kalian mau, aku bisa membuatkan popcorn
di microwave." "Kami kemari tidak untuk main," kata Jill. "Kami datang untuk
membicarakan sesuatu. Sesuatu yang sangat serius."
Andrea mengerutkan dahi, tampangnya bingung. Apakah ia
berpura-pura" pikir Jill. Jika demikian, acting-nya meyakinkan sekali.
"Nick menunjukkan pada kami pesan yang kaukirim," lanjut
Diane. "Pesan apa?" "Pesan yang sama dengan yang kaukirim kepada Max,"
sambung Diane. "Apa sih maksud kalian?" tanya Andrea. "Untuk apa aku
mengirim pesan kepada mereka?"
"Andrea, kami tahu kau mengirim pesan kepada mereka. Pesan
itu dicetak dengan tinta biru."
"Lalu, kenapa?" tanya Andrea, agaknya mulai marah. "Pesan itu
mengenai apa?" "Pesan itu meminta mereka pergi ke salah satu rumah di Fear
Street, karena di sana ada acara asyik."
"Apa?" Sekarang Andrea tertawa. "Ini pasti lelucon April Mop,
atau semacam itu!" "Kami tidak bercanda," Jill memberitahu. Kemudian, dengan
cepat, ia menceritakan pada Andrea apa yang ia dengar dalam siaran
berita di TV

Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ekspresi wajah Andrea berubah marah. "Biarkan aku bicara,"
katanya. "Kalian bilang ada kebakaran di Fear Street yang
mengakibatkan seseorang tewas, dan kalian pikir aku yang
menyebabkannya?" "Itu cuma sebuah kemungkinan," kata Jill cepat-cepat. "Kami
tidak menuduhmu." "Kalau begitu hebat juga kepura-puraan kalian!" bentak Andrea.
"Apa kalian betul-betul berpikir aku membakar rumah" Dan
membuatnya seolah-olah beberapa temanku yang melakukannya?"
Jill tak menjawab. Tentu saja ia tak sungguh-sungguh berpikir
begitu"tapi semua petunjuk mengarah pada Andrea. Bagaimana
semua ini bisa terjadi" pikirnya.
"Kami tak ingin percaya," kata Diane, tampak lebih sedih
daripada sebelumnya. "Kami pikir mungkin kau dapat menjelaskan
pesan-pesan itu...."
"Asal tahu saja, tak ada yang harus kujelaskan pada siapa pun!"
Pernikahan Dengan Mayat 2 Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman Darah Pemuas Ratu 2
^