Pernikahan Dengan Mayat 2
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat Bagian 2
hancur kembali ke bentuk semula tanpa cacat.
Orang kedua yang lebam memar pipi kiri seperti
temannya setelah berkomat-kamit usap pipi yang cidera, begitu selesai diusap,
pipi yang bengkak merah kebiruan itu serta merta sembuh tak berbekas. Lalu
pembantu ketiga lakukan hal yang sama, usap-usap matanya yang melesak merah
berdarah. Kucuran darah berhenti dan noda yang ada di mata serta pipi kiri pulih
lenyap. Di atas tembok candi, pembantu keempat menggeliat sebentar lalu turun
sambil usap-usap keningnya yang benjut seperti tinju. Di bawah benjutan itu ada
luka menganga mengeluarkan darah kental. Luar biasa, setelah diusap cidera besar itupun
hilang. Noda darah tak kelihatan lagi.
Manusia pocong yang menyaksikan semua kejadian itu mau tak mau jadi leleh
nyalinya. Tendangan yang
dilancarkannya tadi yang sanggup mengenai telak empat sasaran adalah jurus
tendangan bernama Empat Dewa Membagi Pahala. Jarang sekali ada lawan mampu
selamatkan diri dari tendangan tersebut. Kenyataannya memang begitu. Namun yang
membuat manusia pocong jadi mengkirik tercekat ialah sewaktu melihat bagaimana
empat tendangan yang sanggup menghancur leburkan batu besar itu hanya
menimbulkan cidera berat. Dan gilanya semua cidera itu sembuh lenyap begitu
diusap! Manusia pocong tidak bisa membayangkan sampai di mana tingkat ketinggian ilmu
empat pembantu Raja Penidur ini. Kalau pembantu saja sudah demikian luar
biasanya, bagaimana dengan si Raja Penidur sendiri"!
Mengharap kawannya berhasil melaksanakan tugas
dan merasa hanya mencari penyakit saja jika dia mene-
ruskan perkelahian dengan empat orang tinggi besar itu, manusia pocong keluarkan
suitan keras memberi tanda pada temannya lalu melesat ke udara, berkelebat ke
atas samping candi sebelah timur. Namun kecepatan daya lenting tubuhnya kali ini
tidak bisa menipu empat pembantu Raja Penidur. Begitu tubuhnya bergerak ke atas,
empat orang tinggi besar sama-sama keluarkan suitan keras. Tubuh mereka melesat
ke udara. Di lain kejap manusia pocong merasakan kedua pergelangan tangan dan
kaki kiri kanan telah dicekal orang. Dia berusaha berontak. Tapi malah tubuhnya
dibanting hingga tersandar ke dinding. Dia coba kerahkan tenaga dalam. Tetap
sia-sia. Tenaga dalam empat orang yang mencekalnya itu tak bisa ditembus!
"Setan jejadian! Perlihatkan tampangmu!"
Orang tinggi besar di sebelah kiri bawah yang mencekal kaki kiri membentak.
Kawannya yang mencekal tangan kanan manusia pocong ulurkan tangan kiri ke arah
kepala. Sreet! Kain putih penutup kepala manusia pocong tersing-
kap. Kelihatanlah satu kepala terbungkus rambut kelabu dan wajah tua berpipi
cekung dengan kumis serta janggut dan cambang tidak terurus.
"Dewa Berkaki Iblis!" Dua orang pembantu Raja Penidur yang mengenali siapa
adanya orang itu berbarengan keluarkan seruan.
Dewa Berkaki Iblis telah membuat nama besar. Sebagai seorang tokoh silat
berkepandaian tinggi yang terkadang berbuat kebaikan tapi terkadang tidak segan-
segan pula berbuat keji jika dia merasa ada kepentingan dan keun-
tungan. Karena sifatnya yang munafik inilah mungkin rimba persilatan memberi
julukan Dewa Berkaki Iblis kepadanya.
Pertama karena sifatnya tersebut, kedua kehebatannya memang ada pada sepasang
kaki. Puluhan lawan mene-
mui ajal bukan dengan tangan atau senjata tapi dimangsa sepasang kaki.
Orang tua yang disebut julukannya itu walau muka kelihatan pucat tapi tenang-
tenang saja, malah masih bisa sunggingkan senyum dan membuka mulut. "Apalagi
yang kalian tunggu"!"
"Eh, apa maksudmu"!" hardik pembantu Raja Penidur yang mencekal tangan kanan
manusia pocong.
"Kalian inginkan kematianku! Mengapa tidak langsung membunuh"!"
Dua orang tinggi besar bercelana komprang hitam
tertawa lebar. "Soal nyawamu siapa yang memikirkan.
Kami bisa membunuhmu secepat kilat menyambar. Tapi kami lebih dulu perlu
beberapa keterangan!"
"Kalau kau tidak mau bicara, akan kubetot lidahmu sampai ke akarnya!" Mengancam
orang yang memegangi kaki kiri manusia pocong.
"Hemmm... begitu" Keterangan apa yang kalian
inginkan?" Si kakek berpipi cekung berjuluk Dewa Berkaki Iblis menyeringai.
"Siapa yang menyuruh kau dan temanmu datang
menyerang kami! Lalu apa maksud kalian melakukan serangan! Pertanyaan ketiga,
jika kalian merupakan satu komplotan di mana sarang kalian"!"
Dewa Berkaki Iblis tersenyum.
"Kalau cuma itu yang kalian ingin tahu, tidak sulit bagiku memberi keterangan.
Aku tahu setelah aku mem-
beri keterangan, kalian akan menghabisi diriku. Agar aku bisa mati dengan
tenang, biarkan aku bicara dengan tenang pula. Harap kalian sudi melepas cekalan
pada dua tangan dan kakiku. Dalam keadaan terkurung serta mengalami luka dalam
seperti ini apa kalian kira aku mau menipu dan masih sanggup melarikan diri?"
Empat pembantu Raja Penidur saling berpandangan.
Yang dua anggukkan kepala. Temannya yang dua lagi ikut menyetujui. Keempat
pembantu Raja Penidur lepaskan cekalan di kedua tangan dan kaki Dewa Berkaki
Iblis. Orang tua ini menarik nafas lega berulang kali, lalu menatap empat orang tinggi
besar di depannya dan berkata.
"Sebelum aku menjawab tiga pertanyaan tadi, apakah kalian pernah mendengar
ucapan seperti ini" Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan.
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai."
"Omongan ngacok apa itu?" hardik orang tinggi besar di samping kiri.
"Kalau kalian tidak mengerti biar aku beritahu." Kata Dewa Berkaki Iblis pula.
Sikap tenang wajah tersenyum.
Lalu di luar dugaan dia balikkan badan dan secepat kilat membenturkan kepalanya
ke dinding candi.
Praakkk! Nyawanya tak tertolong lagi. Dewa Berkaki Iblis yang jadi anggota Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kema-
tian ini tewas dengan kepala pecah!
*** Ketika manusia pocong kedua melompat tinggalkan
tembok candi dan dikejar oleh empat orang pembantu Raja Penidur, manusia pocong
pertama telah melesat ke atas tembok sebelah kanan. Dia menyeringai di balik
kain putih penutup kepala karena merasa siasat yang dirancang ternyata mengena.
Dia tidak menyadari malapetaka apa yang bakal menimpa dirinya sebentar lagi.
Tanpa tunggu lebih lama dia cepat berkelebat ke arah Raja Penidur yang terbaring
ngorok. Walaupun malam gelap, namun matanya yang tajam sudah dapat melihat benda
yang dicari, yakni satu gulungan kecil kain putih.
Sesuai penjelasan Yang Mulia Ketua benda itu ada di atas pangkuan, dekat lekuk
paha celana. Secepat kilat manusia pocong pertama ini ulurkan tangan kanan
menyambar gulungan kain putih kecil. Dia berhasil mendapatkan!
Namun sebelum sempat berkelebat kabur, tahu-tahu, clek!
Satu tangan besar laksana jepitan besi mencekal lengan kanannya. Lalu ada asap
berbau sangat tidak enak berhembus ke arah mukanya. Membuat dia gelagapan, sulit
bernafas dan batuk-batuk.
Manusia pocong ini berusaha menarik tangannya yang dicekal. Sampai keluarkan
seluruh tenaga luar dan dalam dan tubuh keringatan tetap saja dia tak mampu
bebaskan lengan. Karenanya tidak menunggu lebih lama lagi tangan kiri segera
dihantamkan ke perut gendut Raja Penidur.
Buuukkk! Desss! Tiga jajar batang kelapa yang menjadi alas ketiduran Raja Penidur sampai
bergetar hebat. Tapi anehnya tubuh Raja Penidur sendiri tidak ikut cidera
dihantam pukulan keras itu. Perut gendutnya yang kena hantam melesak ke bawah
sampai satu jengkal, lalu perlahan-lahan melenting naik kembali.
"Gila! Ilmu apa yang dimiliki orang ini" Aku seperti memukul tumpukan kapas!"
ucap manusia pocong dalam hati sambil melotot.
Sementara itu si gemuk yang kena dipukul anehnya malah menggeliat, menguap
lebar-lebar. Tanpa membuka kedua matanya yang terpejam dia berkata.
"Enak-enakan tidur siapa yang barusan jahil menggelitik perutku..."
Walau kaget mendengar ucapan orang, si manusia
pocong merasa dipermainkan. Kini dia kerahkan seluruh tenaga dalam ke tangan
kiri lalu secepat kilat menghantam ke arah batok kepala Raja Penidur.
"Uuhhh... ada nyamuk nakal mau menghisap darahku."
Raja Penidur acuh tak acuh kibaskan pipa di tangan kanan.
Mata masih terpejam.
Manusia pocong terlambat tarik tangannya.
Kraaakk! Lengan kanan manusia pocong hancur. Bagian sebelah bawah bergelayutan, tidak
sampai tanggal karena masih tertahan daging, urat dan otot. Jeritan setinggi
langit keluar dari mulut si manusia pocong. Sementara tangan kanan-
nya yang hendak merampas gulungan kain putih masih berada dalam cekalan Raja
Penidur. Saat itulah empat pembantu Raja Penidur muncul. Mereka segera menarik
tubuh manusia pocong dan siap hendak dibantai. Namun terpaksa urungkan niat
ketika Raja Penidur terdengar berkata.
"Biarkan dia hidup. Biarkan dia kembali ke majikan yang menyuruhnya..."
"Raja Penidur, kami patuh apa yang kau perintahkan.
Tapi sebaiknya manusia satu ini kita tanyai dulu. Siapa dirinya, siapa
majikannya dan di mana tempat kediaman-
nya..." "Mengapa susah-susah" Biar saja. Nanti ada orang lain yang bakal mengurusi.
Lepaskan dia. Kalau dia kembaii ke majikannya aku rasa dia bakalan jadi setan
pocong betulan."
Mendengar ucapan Raja Penidur, empat pembantu
ayun tubuh manusia pocong lalu dilempar ke arah semak belukar.
Braaakkk! Manusia pocong terkapar di atas semak-semak. Tangan kiri tergontai-gontai.
Sambil menahan sakit dia cepat turun dan kabur tinggalkan tempat itu. Ternyata
dia tidak terus kembali ke 113 Lorong Kematian. Di satu tempat dia berhenti di
tepi sebuah jurang batu. Hatinya berkata,
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilak-
sanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai. Tapi kalau aku
kembali, apakah Yang Mulia Ketua akan memberi pengampunan" Kalau aku melarikan
diri apakah Yang Mulia Ketua dan kaki tangannya tidak bakal menemukan diriku?"
Manusia pocong menatap ke dalam jurang dalam dan gelap. Terngiang ucapan Raja
Penidur yang mengatakan kalau dia kembali ke majikannya, mungkin dia akan
dijadikan setan pocong betulan alias dibunuh! Orang ini coba berpikir keras
namun otaknya yang sudah dicuci tak banyak menolong. Putus asa dan juga ada rasa
takut akhirnya didahului satu jeritan keras dan panjang dia memilih menghambur
diri terjun ke dalam jurang batu.
*** Kembali ke Candi Cemorosewu.
Raja Penidur, tokoh aneh rimba persilatan ini usap-usap perutnya. Mulut menguap
lebar. Ketika mendengar suara jeritan di kejauhan, tanpa membuka mata dia
berkata. "Mahluk tadi, dia ingin lebih cepat jadi setan pocong betulan. Hik... hik...
hik." Raja Penidur sedot lagi pipanya, hembuskan asap lalu menguap. "Aku mau
tidur. Kalian gotong diriku. Kita meneruskan perjalanan."
"Raja," salah seorang pembantu beranikan diri berkata.
"Ada sesuatu yang perlu kami beritahukan pada Raja."
Tanpa membuka mata Raja Penidur hanya keluarkan
suara berdehem serak.
Sang pembantu kembali membuka mulut. "Sewaktu
pertemuan dengan kakek berjuluk Dewa Sedih, sebelum Raja tidur, kakek itu
melemparkan sesuatu ke pangkuan Raja."
"Siapa bilang aku tidak tahu?" sahut Raja Penidur lalu menguap. "Benda itu
sebuah gulungan kain putih kecil.
Mungkin bekas pengorek kuping tua bangka cengeng itu.
Benda itu sampai sekarang masih ada di atas pangkuanku.
Betul?" Raja Penidur menguap.
"Betul sekali Raja. Menurut kami benda itu bukan korek kuping. Tapi sesuatu yang
sangat penting..."
"Bagaimana kau tahu benda itu penting?" tanya Raja Penidur.
"Kalau tidak penting mengapa dua manusia pocong itu menyatroni kita. Salah
seorang dari mereka jelas-jelas hendak merampas gulungan kain itu."
Raja Penidur diam saja lalu menguap.
"Raja," pembantu di sisi kiri kini yang keluarkan ucapan. "Dengan izinmu apakah
kami boleh mengambil gulungan kain putih di atas pangkuanmu lalu membuka-
nya" Siapa tahu kita akan menemukan sesuatu benda di dalam gulungan atau pesan
berupa tulisan..."
"Mengapa mau bersusah payah, mengapa mau
mengada-ada?"
"Maaf Raja, kami tidak bermaksud begitu. Kami tidak merasa susah apa lagi berani
mengada-ada." Pembantu yang tadi bicara berkata sambil membungkuk berulang kali.
"Sudahlah, kantukku tidak tertahan. Gotong diriku.
Jangan sekali-kali berani mengambil apa lagi membuka gulungan kain putih.
Berjalan ke arah matahari terbit.
Menjelang fajar kalian akan menemukan seorang yang mengeluarkan suara berisik.
Aku tidak akan bangun, jadi tidak akan menemuinya. Serahkan gulungan kain itu
padanya. Berikan pesan begini. Minta dia pergi ke arah utara Telaga Sarangan,
itu saja..."
"Perintah Raja kami lakukan. Seandainya kami..."
Pembantu Raja Penidur tidak teruskan ucapannya karena saat itu manusia luar
biasa gemuk berusia seratus enam puluh lima tahun itu telah keluarkan suara
mendengkur alias sudah lelap tidur. Jangan harap akan bisa bicara lagi.
"Heran, Raja menyuruh menyampaikan pesan. Bunyi-
nya begitu pendek. Apa orang yang keterimaan pesan akan mengerti. Pergi ke utara
Telaga Sarangan" Mengapa"
Untuk apa" Menemui siapa?"
"Sebaiknya kita tak usah banyak bertanya dan berpikir.
Raja lebih tahu dari kita. Mari kita gotong batang kelapa tempat ketidurannya,"
kata pembantu Raja Penidur yang waktu perkelahian di candi melesak matanya
dihajar manusia pocong.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
8 DARA menjelang pagi terasa dingin. Empat pembantu Raja Penidur berjalan cepat
tanpa ada yang bicara.
U Keadaan masih gelap dan udara dingin luar biasa.
Tidak heran walau memanggul beban sangat berat ditam-
bah dengan berjalan cepat keempat orang itu tidak keluar-
kan keringat. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara sesuatu. Raja Penidur sudah mendengar
sejak tadi namun tak ada yang mau bicara. Sesuai perintah, mereka bergerak terus
ke arah timur, arah terbitnya sang surya. Tak selang berapa lama salah seorang
dari mereka akhirnya tidak tahan juga untuk membuka mulut.
"Aku mendengar suara curahan air terjun..."
"Aku juga," teman di sebelah depan menyahuti.
Pembantu pertama kembali berkata. "Turut arah
datangnya suara pasti itu air terjun Ngadiloyo. Sudah tiga hari kita tidak
mandi. Bagaimana kalau mampir dulu ke sana membersihkan diri mencari kesegaran."
"Air terjun lurus di sebelah kanan. Tujuan kita lurus tidak membelok. Aku
khawatir kalau sampai tidak tepat waktu..." Yang berkata orang tinggi besar di
belakang kanan,
"Aku mau-mau saja," ujar pembantu di sebelah
belakang kiri. "Tapi siapa berani menyalahi perintah Raja.
Kita disuruh mencari orang yang mengeluarkan suara berisik dan menyerahkan
gulungan kain putih."
"Orang yang selalu berisik itu, terus terang tidak jelas siapa dia adanya.
Lelaki, perempuan, masih muda atau sudah tua. Lalu berisik bagaimana" Apa setiap
saat dia berteriak-teriak terus... Aku khawatir kita kesalahan menyerahkan pada
orang lain."
"Sudahlah, tak perlu terlalu memikirkan siapa orang itu, apa lagi pergi mandi ke
Ngadiloyo. Percepat langkah kalian.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lihat ke depan, apa tidak melihat langit sebelah sana sudah mulai terang"
Sebentar lagi fajar akan menyingsing.
Kita harus menemukan orang itu. Siapapun dia adanya."
Mendengar ucapan temannya itu dan melihat langit di kejauhan memang mulai
terang, tiga pembantu yang mengusung Raja Penidur serta merta mempercepat
langkah. Keempat mereka kini kelihatan setengah berlari.
Di ufuk timur kemunculan sang surya membuat langit yang sepanjang malam gelap
menghitam perlahan-lahan mulai kelihatan terang.
Tiba-tiba empat pasang kaki memperlambat lari. Lalu berhenti sama sekali. Empat
pembantu Raja Penidur mendengar suara aneh. Dua kali berturut-turut.
"Aku tak bisa menduga suara apa itu. Datangnya tepat di arah terbitnya sang
surya." Pembantu di sebelah depan kanan keluarkan ucapan.
"Jalan saja terus. Aku kira kita akan segera menemu-
kan petunjuk sesuai perintah Raja," kawan pengusung di sebelah kiri depan
berkata. "Kalau petunjuk yang kita temui memang bagus. Tapi kalau bahaya?"
"Apa selama ini kita pernah takut menghadapi
bahaya?" teman orang yang barusan bicara menyahuti.
Empat orang tinggi besar itu segera lanjutkan perja-
lanan. Tapi kali ini mereka tidak berlari lagi, hanya melang-
kah cepat karena hati masing-masing dirasuki oleh rasa was-was yang membuat
mereka harus bersikap waspada.
Berjalan sejauh tiga puluh langkah mendadak meng-
hadang sebuah parit. Sebagian sisi parit ditumbuhi semak belukar lebat setinggi
pinggul. Empat pembantu Raja Peni-
dur terpaksa hentikan langkah. Jika tetap mempertahan-
kan arah lurus ke timur, mereka harus berputar ke kanan atau ke kiri parit baru
bisa meneruskan perjalanan. Namun apa yang membuat mereka tidak segera
melanjutkan langkah ialah melihat kehadiran seseorang di seberang parit.
Seorang mengenakan caping duduk menjelepok di
bawah sebatang pisang yang tengah berbuah matang. Di pangkuannya terletak satu
tongkat berwarna putih terbuat dari tulang. Di belakang punggung tergantung
sebuah buntalan. Tangan kanan orang ini memegang sebuah benda yang kurang jelas
apa adanya. Pakaiannya rombeng penuh tambalan. Tak seorangpun dari empat
pembantu Raja Penidur dapat melihat wajah orang itu karena tertutup caping
lebar. Cuma terlihat sedikit bagian dagu yang bergerak-gerak tiada henti, tanda
dia tengah makan atau mengunyah sesuatu.
Tangan kanan orang bercaping bergerak. Benda yang ada dalam genggamannya
keluarkan suara aneh. Suara berkerontangan. Keras dan berisik, membuat telinga
empat pembantu Raja Penidur mengiang sakit. Sehabis membuat suara berisik,
dengan benda di tangan kanan orang itu angkat tangan kiri. Telapak di buka
menampung ke atas. Aneh luar biasa. Sebutir pisang di atas pohon jatuh ke bawah.
Di tangkap dengan tangan kiri lalu dikupas dan dimakan oleh orang bercaping
sambil kepalanya dimang-
gut-manggut. Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Ternyata di
parit sudah sembilan kulit pisang bergeletakan.
Orang bercaping usap perutnya sebentar. "Masih kem-
pes..." katanya lalu tertawa, gerakkan tangan kanan yang memegang benda yang
bisa mengeluarkan suara berisik.
Tangan kiri diangkat kembali. Ditampung sedemikian rupa. Pisang jatuh lagi
secara aneh, dimakan, kulit dilem-
par dan tangan kanan kembali menggoyang benda berisik.
Empat pengusung Raja Penidur saling pandang semen-
tara lagit semakin terang.
"Aku rasa ini orangnya," ucap lelaki tinggi besar di depan kanan. "Yang dimaksud
Raja sebagai orang yang selalu berisik adalah benda yang tadi digoyangkan di
tangan kanan."
"Mari kita datangi dia. Bicara dan kalau memang dia orangnya serahkan saja
gulungan kain putih dan sampai-
kan pesan sesuai perintah Raja."
Empat lelaki tinggi besar bertelanjang dada dan
mengenakan celana gombrong hitam berjalan memutar parit ke sebelah kanan, begitu
sampai di hadapan orang bercaping yang duduk di bawah pohon pisang mereka segera
turunkan batang kelapa ke tanah.
Seperti tidak acuh orang bercaping kembali gerakkan tangan kanan. Suara berisik
luar biasa membuat luruh beberapa daun pepohonan di sekitar tempat itu. Selain
itu suara berisik seperti mau merobek gendang-gendang teli-
nga membuat empat pembantu Raja Penidur tekap telinga masing-masing.
Selagi orang kebisingan, orang bercaping tampungkan lagi tangan kirinya. Ketika
pisang jatuh, pembantu di sebelah depan cepat gerakan tangan hendak mendahului
mengambil pisang. Orang bercaping golengkan kepalanya sedikit. Seperti hidup
pisang itu melejit ke atas meng-
hantam mata kiri sang pembantu hingga dia mengeluh kesakitan. Sebelum sampai ke
tangan orang bercaping, pisang mental dulu ke bagian bawah perut orang tinggi
besar hingga dia kesakitan terbungkuk-bungkuk. Ketika dia mengusap mata dan
memandang ke depan dilihatnya
orang bercaping telah menyantap pisang yang tadi hendak diambilnya sambil
tertawa haha-hehe! Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Lalu
benda di tangan kanan digoyang kembali. Empat pembantu Raja Penidur lagi-lagi
dibuat gelagapan dan cepat-cepat tutup telinga mereka.
Hari semakin terang. Orang bercaping yang masih
belum kelihatan jelas wajahnya keluarkan suara tawa bergelak. Lalu mulutnya
berucap. "Kedatangan tamu dari jauh sungguh menyenangkan.
Apa lagi sudah berminggu-minggu aku tidak bertemu dengan yang namanya manusia!"
Orang bercaping goyangkan tangan kanannya. Kembali suara berisik menggema di
udara saat fajar menyingsing itu. Empat pembantu Raja Penidur ingin sekali
merampas benda di tangan kanan orang bercaping. Tapi mereka tidak berani berlaku
ceroboh. Mereka maklum yang duduk menjelepok di tanah sambii terus-terusan makan
pisang itu adalah seorang aneh berkepandaian tinggi. Apalagi mereka sudah
menduga, orang inilah si manusia berisik yang dimaksud oleh Raja Penidur.
Sementara itu Raja Penidur sendiri terus saja men-
dengkur dalam kelelapan tidurnya, sama sekali tidak terganggu oleh suara berisik
yang keluar dari benda yang digoyang orang bercaping.
"Cuma sayang. Ha... ha... ha." Orang bercaping teruskan ucapannya dan tertawa.
"Aku mencium bau tidak enak.
Bau ketek, bau selangkangan, bau daki, baru keringat, bau apaknya pakaian, bau
busuknya rambut. Semua jadi satu!
Hai, udah berapa hari kalian berempat tidak ketemu air, tidak madi?"
Empat pembantu Raja Penidur saling pandang. Yang satu hendak bicara tapi
kedahuluan orang bercaping.
"Kalau ingin menyegarkan diri, mengapa tidak mandi dulu" Air parit itu cukup
bersih, jernih dan sejuk!"
Empat lelaki tinggi besar kembali saling pandang satu sama lain dan delikkan
mata. Orang bercaping itu jelas mempermainkan mereka. Menyuruh mandi di parit
yang katanya berair bersih, jernih dan sejuk. Padahal jelas-jelas air parit itu
kotor berlumpur, penuh lumut dan sampah termasuk kulit pisang yang dilemparkan
seenaknya. Lalu air parit itu juga mengeluarkan bau tidak sedap.
"Kalian tidak mau mandi" Tidak apa. Ha... ha... ha.
Berjalan jauh, membawa beban berat pasti kalian haus dan juga lapar. Sayang
tidak ada air di sini. Tapi untuk mengganjal perut lapar dan haus dahaga mengapa
tidak makan pisang saja" Rasanya manis dan banyak airnya.
Aku persilahkan kalian mencicipi."
Habis berkata begitu orang bercaping ambil tongkat putih di atas pangkuan.
Tongkat diangkat dan dikibaskan empat kali berturut-turut ke arah pisang di atas
pohon. Empat buah pisang secara aneh melesat dan masuk ke dalam mulut empat pembantu
Raja Penidur. Pelipis bergerak, rahang menggembung, mata mendelik. Jelas keempat
orang ini menjadi marah besar diperlakukan seperti itu.
"Oho! Jangan marah! Makan saja pisangnya. Aku tidak akan minta bayaran! Ha...
ha... ha!"
Saking marah dan karena pisang sudah masuk hampir setengahnya ke mulut mereka,
dengan gemas geram
empat lelaki tinggi besar itu akhirnya kunyah dan telan pisang dengan kulit-
kulitnya. Orang bercaping kembali tertawa.
"Kalau lagi lapar, pisang dilahap dengan kulitnya memang sedap juga. Ha... ha...
ha!" Orang bercaping goyangkan tangan kanan. Kembali suara berisik
menggema di seantero tempat.
Tadinya keempat orang yang masih dalam keadaan
marah itu hendak melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran pada orang bercaping
yang sudah keterlaluan kurang ajarnya. Tapi mereka merasa aneh, pisang dengan
kulit itu terasa sangat sedap dan walau cuma makan sebuah saat itu mereka merasa
perut masing-masing kenyang sekali. Dahagapun hilang, tubuh terasa segar dan
kuat. Segala keletihan menempuh perjalanan jauh dan membawa beban berat lenyap!
"Orang bercaping, jelaskan siapa dirimu!" Pembantu paling depan berkata.
Suaranya tidak berani keras lagi. Dia menyadari orang yang duduk di tanah itu
benar-benar bukan manusia sembarangan.
"Sudi membuka caping. Bolehkah Kami melihat
wajahmu?" kawannya di samping kiri ikut keluarkan ucapan.
Orang bercaping melintangkan tongkat putih di atas dada. Benda yang selalu
digenggamnya di tangan kanan diletakkan di tanah. Perlahan-lahan bagian depan
caping bambunya didorong ke atas hingga wajahnya tersingkap sampai ke kening.
Ternyata dia adalah seorang kakek. Dan astaga! Sepasang matanya kelihatan putih,
tidak ada bola mata hitam sama sekali!
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
9 MPAT pembantu Raja Penidur tersentak kaget.
Manusia buta begini rupa bagaimana bisa tahu
Ekehadiran mereka, membawa beban berat dan bisa
melakukan hal-hal aneh. Padahal orang tidak buta sekalipun belum tentu bisa
mengerjakan! Setelah tertawa panjang kakek ini berkata.
"Pakaian rombeng banyak tambalan. Membekal
tongkat putih dari tulang. Mengenakan caping. Ke mana-mana membawa kaleng
rombeng berisi batu. Mata hanya tinggal putihnya saja. Apa kalian masih tidak
mengenali diriku" Ha... ha... ha...!"
"Kakek Segala Tahu!"
Empat pembantu Raja Penidur keluarkan ucapan
hampir berbarengan. Lalu sama-sama bungkukkan tubuh memberi hormat.
"Setahu kami kau adalah sahabat sangat dekat dengan Raja Penidur..."
"Kami memang bersahabat. Tapi dia seorang sahabat yang sombong!" kata si kakek
pula. "Buktinya, menemuiku dia terus-terusan tidur. Tapi aku mau tahu apakah dia
cuma berpura-pura."
Kakek bercaping yang memang Kakek Segala Tahu
adanya, orang yang merupakan salah satu dedengkot rimba persilatan tanah Jawa
beringsut mendekati jejeran tiga batang kelapa di atas mana Raja Penidur tidur
dengan mengeluarkan suara mendengkur keras.
Kakek itu kerahkan tenaga dalam lalu kaleng rombeng yang didekatkan ke telinga
kiri Raja Penidur digoyang kuat-kuat. Empat pembantu Raja Penidur tersurut
sampai empat langkah. Satu di antaranya hampir terpeleset masuk ke dalam parit.
Mereka semua menutup telinga masing-masing karena tidak sanggup mendengar
kerasnya suara kaleng rombeng berisi batu yang digoncang.
Di atas jejeran batang kelapa, Raja Penidur tidak bergerak, tidak pula berhenti
dengkurnya. Sepasang mata terus terpejam. Dahsyatnya suara kerontangan kaleng
yang digoyang di telinga kirinya sama sekali tidak membuatnya bangun dari lelap
tidur. Kakek Segala Tahu belum mau menyerah. Tenaga
dalamnya ditambah lagi hingga capingnya beberapa kali berjingkrak ke atas.
Kaleng rombeng dipindah, kini digoyang di dekat telinga kanan Raja Penidur.
Seperti tadi Raja Penidur tidak bergeming, tidak terpengaruh sedikit-
pun. "Kakek Segala Tahu," ucap salah seorang pembantu.
"Kau saksikan sendiri, Raja Penidur tidak sombong, dia tidak berpura-pura. Dia
memang tidur nyeyak. Kalau belum saatnya, apapun yang terjadi, sekalipun gunung
meletus di depan hidung dan dunia ini mau kiamat, dia pasti tetap saja tidak
akan terjaga bangun. Harap kau tidak meng-
ganggunya lebih jauh."
Kakek Segala Tahu menyeringai.
"Siapa percaya ocehanmu!?" katanya. "Kalau gunung meletus di depan hidungnya,
majikanmu ini sudah jadi debu. Kalau dunia kiamat dia sudah jadi bara puntung
neraka! Ha... ha... ha! Kalian semua tenang saja. Lihat saja.
Masih ada cara lain untuk membuktikan apakah dia memang benar-benar tidur atau
bohongan belaka!"
"Asal kau jangan menyakiti dirinya saja Kek," kata salah seorang pembantu Raja
Penidur. "Jangan takut, jangan khawatir. Hik... hik. Aku tidak akan menyakiti dirinya.
Malah aku mau memberinya satu kenikmatan." Jawab Kakek Segala Tahu. Lalu orang
tua ini ambil tongkatnya. Ujung tongkat diletakkan di atas tubuh Raja Penidur,
tepat di bagian bawah perut manusia gemuk itu. Perlahan-lahan sambil kedip-
kedipkan matanya yang putih, Kakek Segala Tahu mulai usap-usapkan ujung
tongkatnya. "Kakek, apa yang kau lakukan?" tanya seorang
pembantu Raja Penidur.
"Ssst... Lihat saja. Tak usah khawatir..." Jawab Kakek Segala Tahu dan terus
saja mengusapi bagian tubuh di antara dua paha Raja Penidur. Lama kelamaan,
perlahan-lahan celana di bagian bawah perut itu membengkak, naik ke atas, makin
tinggi dan makin tinggi.
Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan. Dia tarik
tongkatnya lalu berkata.
"Kalian lihat sendiri. Barusan aku telah membuktikan majikanmu ini tidak tidur
benaran. Dia hanya pura-pura.
Kalau dia memang tidur mengapa anunya bisa munjung, bisa naik diusap-usap.
Padahal cuma diusap dengan tongkat. Bagaimana kalau yang mengusap jari-jari
tangan gadis cantik" Huh! Pasti meledak robek celananya! Ha...
ha... ha..."
Empat pembantu Raja Penidur sesaat terdiam lalu
serentak sama-sama menutup mulut menahan tawa. Salah seorang di antara mereka
kemudian berbisik pada teman-temannya.
"Lekas saja beritahu pada kakek itu maksud keda-
tangan kita. Lama-lama melayani dirinya kita semua bisa sinting."
"Kek," salah seorang dari empat pembantu dekati
Kakek Segala Tahu. "Raja Penidur memberi tugas pada kami berempat untuk
menemuimu. Soal apakah dia tidur benaran atau pura-pura mohon jangan diambil
hati. Kami diperintahkan untuk menyerahkan..."
"Aku sudah tahu. Kalian diperintahkan untuk menye-
rahkan satu barang butut padaku disertai satu pesan.
Bukan begitu"!"
Empat pembantu Raja Penidur jadi tersirap kaget.
Bagaimana kakek buta ini bisa mengetahui tugas yang mereka jalankan"
Kakek Segala Tahu masih senyum-senyum dan ber-
tanya. "Sudah, jangan pada bingung. Serahkan benda itu dan sampaikan pesannya."
Salah seorang dari empat lelaki tinggi besar ambil gulungan kain putih kecil di
atas lipatan paha celana Raja Penidur. Benda ini kemudian diserahkannya pada
Kakek Segala Tahu.
Si kakek usap-usap benda yang diterimanya. Sesaat tercengang. Seperti melihat
padahal buta dia bertanya. "Si gendut ini menyuruh kalian menyerahkan benda ini
padaku?" "Benar Kek. Harap kau mau menerima..."
"Benar-benar menghina!"
"Kek, buruk bagusnya benda ini harap kau sudi mene-
rima. Kami berempat hanya menjalankan perintah. Harap jangan marah."
"Siapa bilang aku marah!"
"Kalau begitu tolong diterima saja Kek."
"Sekarang coba katakan apa pesan dari si gendut
majikanmu ini?" tanya Kakek Segala Tahu.
"Raja berpesan agar Kakek pergi ke utara Telaga
Sarangan."
"Hemmmm..." Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng bututnya. "Mau apa dia
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyuruh aku ke sana" Mencari apa menemui siapa?"
"Maaf Kek, Raja tidak menjelaskan apa-apa."
Kakek Segala Tahu kerontangkan lagi kaleng rombeng-
nya. Gulungan kain putih kecil kembali diusap-usap. Lalu perlahan-Iahan dibuka.
Begitu gulungan kain terbuka si kakek meraba-raba kain itu. Ternyata di atas
kain ada serangkaian tulisan tertera dengan tinta kuning. Kakek Segala Tahu
perlihatkan kain putih itu pada orang tinggi besar yang berdiri di depannya lalu
berkata. "Beritahu, aksara apa yang tertera di kain ini. Aksara Jawa kuno, Arab
atau Cina?"
Orang tinggi besar memperhatikan kain putih di tangan si kakek sebentar. Lalu
menjawab. "Tulisan Jawa Kuno Kek."
"Begitu?" Si kakek manggut-manggut. Atur caping di atas kepala. Betulkan letak
buntalan di punggungnya lalu selipkan tongkat di pinggang. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri.
"Kakek, boleh kami membaca apa yang tertulis di atas kain putih itu?"
"Apakah guru kalian memerintahkan begitu?"
Pembantu yang barusan bicara jadi terdiam lalu
gelengkan kepala.
"Barang sudah kalian serahkan, pesanan sudah kalian sampaikan. Saatnya aku pergi
ke mana aku mau menuju dan kalian silahkan berangkat melanjutkan perjalanan?"
"Tapi Kek, sesuai pesanan Raja, kau harus pergi ke utara Telaga Sarangan."
"Ke mana aku mau pergi itu adalah urusanku," jawab Kakek Segala Tahu lalu
kerontangkan kaleng rombengnya.
Empat orang pembantu Raja Penidur tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah
membungkuk memberi hormat
mereka angkat batang kelapa lalu mengusung pergi Raja Penidur yang terus saja
ngorok tiada henti.
Setelah orang-orang itu pergi Kakek Segala Tahu
kembali duduk menjelepok ke tanah. Caping didorong ke atas. Kepala mendongak ke
langit. Jari-jari tangan meng-
usap rangkaian tulisan di atas kain putih kecil. Begitulah caranya kakek aneh
ini membaca. Dalam membaca dia tertawa-tawa sendiri.
"Curang! Kenapa cuma anak perjaka yang boleh nikah"
Huh! Apa tua bangka seperti aku ini tidak boleh mendapat kesempatan" Tapi...
ha... ha... ha!"
Setelah mengomel si kakek tertawa sendiri. "Apa yang bisa dilakukan kakek
keropos seperti aku jika nikah dengan perawan" Modalku cuma terong keriput,
mungkin sudah karatan lagi! Ha... ha... ha!"
Kakek Segala Tahu sekali lagi usap rangkaian tulisan di atas kain putih dengan
jari-jari tangannya. Lalu dia kelihatan seperti menggigil. "Huh... nikah dengan
mayat! Siapa sudi! Lebih baik gempor seumur-umur! Hik... hik...
hik!" *** Semalaman suntuk Kakek Segala Tahu berjalan sambil
sesekali kerontangkan kaleng bututnya. Ketika sang surya muncul baru dia
berhenti, duduk di pinggiran sebuah hutan kecil. Dari kemunculan matahari kini
dia tahu mana arah utara.
"Apakah aku harus pergi ke utara sesuai pesan si gendut itu?" Kakek Segala Tahu
bertanya dalam hati.
"Urusanku banyak yang lain. Kalau tidak melihat kesulitan yang bakal dihadapi
anak-anak itu aku lebih suka tidak perduli dengan pesan si gendut!" Si kakek
kerontangkan kaleng berisi batu kerikil. Setelah merasa letihnya hilang dia
lanjutkan perjalanan kembali. Namun baru bertindak enam langkah dua bayangan
putih berkelebat mengha-
dang. Satu di kiri satu di kanan.
"Ah, manusia-manusia pocong itu rupanya benar-benar ada," Membatin si kakek.
Caping di dorong ke atas. Dua manusia pocong jadi melengak ketika menyaksikan
orang yang mereka hadang ternyata adalah seorang kakek bermata putih alias buta.
Manusia pocong di sebelah kanan membentak.
"Kakek buta! Kami tahu kau membekal segulung kecil kain putih! Serahkan benda
itu pada kami!"
Kakek Segala Tahu dongakkan kepala ke atas, keron-
tangkan kalengnya lalu tertawa mengekeh.
"Yang namanya pocong itu tak pernah ada yang bisa bicara. Dan kalau muncul
selalu membawa bau menyan.
Kalian ini pocong apa" Masih punya nyawa berbadan seperti mayat! Benar-benar
tolol. Atau sinting"!"
Dua manusia pocong jadi terkesiap. Bagaimana kakek buta itu tahu keadaan diri
mereka" "Kalian ini makhluk jejadian apa sebenarnya" Datang dari mana"!"
"Kau tak layak bertanya!" bentak manusia pocong di samping kiri. Temannya di
sebelah kanan menyambung.
"Kakek buta, kami tahu kau punya kepandaian. Tapi jangan harap dengan
kepandaianmu itu kau bisa
selamatkan diri dari kematian! Lekas serahkan barang yang kami minta! Atau kau
akan mampus percuma di tangan kami orang-orang 113 Lorong Kematian!"
"Wah... wah... wah! Kalau kalian mengancam mau
membunuhku, aku yang tua bau tanah ini mana berani melawan. Apalagi kalian
berdua aku cuma sendiri. Apalagi kudengar kalian menyebut-nyebut 113 lorong.
Bisa-bisa aku kalian cincang jadi 113 potong!" Seperti orang keta-
kutan Kakek Segala Tahu lalu bongkar buntalannya sambil mulutnya berucap.
"Heran, heran. Bagaimana kalian tahu kalau aku membekal segulung kain putih?"
Dari dalam buntalan Kakek Segala Tahu kemudian keluarkan barang yang diminta.
Segulung kecil kain putih.
"Bagus! Kau cukup tahu diri!" Manusia pocong sebelah kanan cepat ambil gulungan
kain putih kecil lalu memberi isyarat pada temannya untuk segera pergi.
Sang teman berbisik. "Kita bunuh saja tua bangka ini."
"Kurasa tidak perlu. Kita sudah mendapatkan apa yang dicari." Jawab manusia
pocong satunya. Justru ini adalah satu kesalahan besar yang kelak akan
menimbulkan malapetaka atas pimpinan serta seluruh anggota Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian.
Dua manusia pocong itu akhirnya tinggalkan si kakek.
*** Di dalam 113 Lorong Kematian.
Yang Mulia Ketua melangkah mundar-mandir dalam
Ruang Bendera Darah. Wakilnya tegak tak bergerak. Kedua orang ini berada dalam
keadaan risau. Sang ketua hen-
tikan langkah. Memandang pada wakilnya dan berkata.
"Aku tahu, saat ini matahari sudah naik tinggi.
Menurutmu apakah dua anggota kita akan berhasil
mendapatkan benda itu?"
"Mudah-mudahan. Saya berharap begitu..."
"Kalau hanya mudah-mudahan berarti masih ada rasa was-was dalam hatimu! Kita
sudah kehilangan Dewa Berkaki Iblis dan temannya Datuk Liang Akhirat. Kalau
sampai dua anggota yang kita kirim menghadang kakek buta ini gagal lagi, celaka
besar menghadang. Gila!
Mengapa roh gaib penghuni Aksara Batu Bernyawa tidak pernah memberitahu kain
penangkal celaka itu dari dulu-dulu! Bisikan roh baru aku terima tiga malam
lalu. Terlambat! Mungkin ini ada sebabnya. Ada kaitan dengan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu yang selalu menyanyikan lagu keparat itu!"
"Yang Mulia Ketua harap bersabar. Saya yakin dua orang kita itu akan segera
kembali sebelum tengah hari.
Kalaupun terjadi hal yang buruk, biar saya sendiri yang turun tangan."
"Untuk sementara aku tidak mengizinkan kepergianmu dari tempat ini. Apa kau
tidak ingat laporan mata-mata yang mengatakan beberapa orang terlihat di sekitar
selatan Telaga Sarangan. Dari ciri-ciri yang disebutkan, salah seorang di antara
mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saatnya kita menjebak dan menghabisi
manusia satu itu. Apa kau tidak ingin membalaskan dendam kesumat sakit hatimu
terhadap musuh bebuyutanmu itu?"
"Saya menurut perintah Yang Mulia Ketua. Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!"
Baru saja Wakil Ketua menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di pintu ruangan ada
ketukan. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong cepat melangkah ke arah pintu batu.
Yang Mulia Ketua menekan sebuah tombol rahasia di lengan kanan kursi batu yang
biasa didudukinya. Dinding batu di ujung ruangan bergerak turun ke bawah
membentuk pintu terbuka.
Di depan pintu dua orang manusia pocong menjura ke arah Yang Mulia Ketua dan
Wakil Ketua baru melangkah masuk ke dalam Ruang Bendera Darah.
"Kalian berhasil"!" tanya Yang Mulia Ketua dengan suara keras lantang.
Manusia pocong di sebelah kanan menjura. "Berkat petunjuk Yang Mulia. Kami
berhasil." Lalu dari balik jubah putihnya manusia pocong ini keluarkan sebuah
benda. Gulungan kecil kain putih. Benda ini diserahkan kepada Yang Mulia Ketua.
"Ah..." Yang Mulia Ketua lepaskan nafas lega. Gulungan kain cepat dibuka.
Secepat kain terkembang secepat itu pula teriakan keras menggeledek dari
mulutnya. "Jahanam!
Palsu! Apa ini"! Kalian berani menipuku!"
Dua manusia pocong tersentak kaget dan tersurut tiga tangkah. Di balik kain
putih penutup kepala wajah mereka menjadi pucat pasi. Wakil Ketua maju mendekat
berusaha melihat apa yang ada di atas kain putih kecil. Seharusnya di atas kain
itu tertera serangkaian tulisan. Tapi yang dilihatnya adalah gambar muka orang
dengan lidah menjulur mencibir.
Yang Mulia Ketua menyambar dua buah Bendera Darah dari meja batu dan siap
dilemparkan ke arah dua anak buahnya. Wakil Ketua cepat mencegah.
"Yang Mulia Ketua. Harap sudi bersabar! Kita tanyai dulu mereka. Apa yang telah
terjadi. Lagi pula, kalau keduanya kita habisi, jumlah anggota kita semakin
sedikit. Di saat-saat seperti ini kita perlu banyak anggota. Sudah cukup lama kita tidak
ketambahan anggota baru. Yang sudah ada jangan sampai berkurang..."
"Setan alas!" Yang Mulia Ketua bantingkan dua
bendera darah hingga menancap amblas di lantai batu! Di balik lobang kecil kain
putih penutup kepala sepasang mata Yang Mulia Ketua berapi-api.
"Kalian berhasil ditipu tua bangka ini! Sungguh mema-
lukan! Sebelum pergi apakah kalian sudah membunuh-
nya"!"
Dua anggota Barisan Manusia Pocong tak segera
menjawab. Salah satu di antaranya malah tundukkan kepala.
"Jahanam! Apa kalian berdua sudah jadi bisu" Jawab!
Kalian membunuh kakek buta itu atau tidak?"
Manusia pocong di sebelah kanan membungkuk
ketakutan lalu berkata. "Sebelum pergi, saya sudah mengingatkan dia untuk
membunuh orang tua itu. Tapi katanya tak perlu karena kami sudah mendapatkan apa
yang dicari."
"Jahanam keparat!"
Yang Mulia Ketua hantamkan tangan kanannya ke arah manusia pocong di samping
kiri yang tegak tertegun tundukkan kepala. Satu gelombang angin panas menebar
cahaya-cahaya menggidikkan melabrak tubuh manusia pocong. Orang ini menjerit
keras. Tubuhnya mencelat ke luar ruangan, melayang sepanjang lorong lalu jatuh
berge- debuk dalam keadaan hangus mengerikan.
Ketika Yang Mulia Ketua palingkan kepala ke arah manusia pocong satunya, sang
wakil cepat menghalangi.
"Yang Mulia Ketua, jangan..." Lalu dia berkata pada manusia pocong di depannya.
"Manusia tolol. Lekas keluar dari tempat ini. Atau aku sendiri yang akan
mewakili Yang Mulia Ketua memecahkan batok kepalamu!"
Tidak tunggu lebih lama, manusia pocong satunya yang pucat pasi wajah serta
kucurkan keringat dingin di seluruh tubuh serta merta keluar dari Ruangan
Bendera Darah. *** TIDAK lama setelah dua manusia pocong tinggalkan
dirinya, Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Dasar pocong jejadian. Kalau
pocong sungguhan pasti kalian tidak termakan tipuku! Ha... ha... ha."
Si kakek angkat capingya. Dari sela-sela rambutnya yang putih dia keluarkan
sebuah benda yang bukan lain adalah gulungan kain putih. Tangan kanan
kerontangkan kaleng rombeng dua kali, lalu dia mulai mengusap rangkaian tulisan
di kain putih dengan ujung-ujung jari.
Begitulah cara dia membaca apa yang tertulis di kain tersebut.
Batas antara kebaikan dan kejahata
adalah kebijaksanaan.
Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa, akan menimbulkan bencana
malapetaka di mana-mana.
Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan
rimba persilatan akan kiamat.
Dalam kiamat, tangan-tangan jahat akan jadi
penguasa. Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan.
Nyawa tiada artinya lagi.
Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup
menjadi tumbal penyelamat.
Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan, nikahkan dia dengan seorang
perjaka. Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang lelaki, nikahkan dia dengan seorang
perawan. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral.
Dalam kesakralan ada kesucian.
Dalam kesucian ada jalan untuk selamat.
Maka kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya.
Kain putih digulung kembali lalu disusupkan di sela rambut putih di atas kepala.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
10 EMBALI ke tempat bertemunya Pendekar 212 Wiro
Sableng, Wulan Srindi, Jatilandak dan Loh Gatra.
K Seperti diketahui di tempat itu juga ada Bidadari Angin Timur dan kakek
berjuluk Setan Ngompol. Kedua orang ini bersembunyi di balik semak belukar dalam
gelapnya malam sementara berpikir-pikir apakah akan keluar bergabung dengan
orang-orang itu atau tetap saja sembunyi dulu mendengarkan segala pembicaraan
mereka. Tak lama setelah Sinto Gendeng pergi meninggalkan orang-orang itu muncul seorang
penunggang kuda. Bida-
dari Angin Timur yang berada paling dekat dengan arah datangnya orang, begitu
melihat siapa adanya si penung-
gang kuda segera saja mengambil keputusan untuk keluar dari tempat
persembunyiannya.
Orang yang datang dan kemudian turun dari kuda
adalah seorang gadis cantik berpakaian ringkas warna ungu. Sehelai selendang
yang juga berwarna ungu diikat-
kan di pinggang membuat penampilannya menjadi tambah gagah. Rambut yang digulung
ke belakang, diikat dengan sehelai pita ungu. Kemunculan gadis ini membuat semua
orang di tempat itu sesaat jadi terdiam namun setelah itu mereka segera
mengelilinginya dan suasana berubah jadi gembira.
"Anggini," tegur Wiro menyebut nama gadis yang baru turun dari kuda yang bukan
lain adalah Anggini, murid Dewa Tuak yang konon memang sejak lama diinginkan
untuk dijodohkan dengan Wiro. "Kau datang sendirian.
Mana para sahabat yang lain. Ratu Duyung, Sutri
Kaliangan..." Entah lupa entah memang tidak sengaja Wiro tidak menyebut nama
Bidadari Angin Timur.
"Malam pertemuan di Gedung Kepatihan," menyahuti Anggini. "Kami menunggu. Kau
tidak muncul. Kami akhir-
nya berpencaran mencari jalan sendiri-sendiri. Aku tidak tahu di mana beradanya
Sutri Kaliangan dan Ratu Duyung.
Juga Bidadari Angin Timur. Aku..."
Belum sempat Anggini menyelesaikan kata-katanya
tiba-tiba satu suara berseru menggema di kegelapan malam.
"Anggini! Aku ada di sini!"
Begitu suara lenyap, di tempat itu berkelebat satu bayangan biru menebar bau
harum. Tahu-tahu Bidadari Angin timur telah berdiri di antara orang-orang itu.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anggini langsung merangkul Bidadari Angin Timur. Saat saling berangkulan
Bidadari Angin Timur pergunakan kesempatan untuk berbisik.
"Anggini, dengar baik-baik. Tapi jangan melihat pada orangnya. Kau lihat gadis
hitam manis yang berdiri di samping pemuda berkulit kuning?"
Anggini melirik. "Ya, aku lihat. Siapa dia?"
"Namanya Wulan Srindi. Soal asal usulnya nanti akan kau ketahui sendiri. Tapi
sebagai sahabatmu ada satu hal membuat aku sakit hati pada gadis itu. Dia
mengaku pada semua orang, juga pada Eyang Sinto Gendeng..."
"Eyang Sinto Gendeng ada di sini?" tanya Anggini.
"Tadi, sekarang sudah pergi." Menerangkan Bidadari Angin timur.
"Gadis itu, dia mengaku apa?"
"Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak..."
Anggini terkejut.
"Setahuku guru tak punya murid lain selain diriku."
Kata Anggini sambil sekali lagi melirik ke arah Wulan Srindi.
"Semua orang tahu. Gadis itu berdusta. Malah lebih jahat dari kedustaan itu, dia
membuat kedustaan kedua.
Dia mengaku Dewa Tuak menjodohkan dirinya dengan Wiro..."
Ada tarikan nafas di tenggorokan Angini. Dalam
pelukannya, Bidadari Angin Timur merasa tubuh Anggini bergetar dan degup
jantungnya mengencang.
"Aku merasa tidak terusik kalau gadis itu berjodoh dengan Wiro," bisik Anggini.
Membuat sekilas wajah Bidadari Angin Timur jadi berseri.
"Aku tak pernah lagi memikirkan soal itu. Kurasa Wiro juga demikian. Tapi soal
dia adalah murid Dewa Tuak, itu perlu diselidiki. Biar aku bicara dengan gadis
itu..." "Tenang, kuharap kau tenang. Jangan dulu
mengacaukan suasana. Nanti mereka tahu kalau aku yang membuka rahasia."
"Apakah gadis itu tahu siapa diriku?" tanya Anggini.
"Kurasa tidak. Tak ada perubahan di wajahnya ketika kau muncul."
"Kalau begitu aku harus mencari guru. Cukup lama kami tak pernah bertemu..."
"Mungkinkah karena lama tak bertemu gurumu
kemudian dalam rindunya mengangkat gadis itu jadi murid?" Pertanyaan Bidadari
Angin Timur sebenarnya sekadar memancing.
"Guruku punya hak melakukan apa saja. Tapi dia bukan seorang yang tega
berkhianat..."
Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur lepaskan
pelukannya di tubuh Anggini.
"Anggini, bagaimana kau tahu kalau kami berada di sini?" Wiro bertanya pada
Anggini dengan sikap seolah Bidadari Angin Timur tak ada di situ. Rupaya sakit
hati atas beberapa hal yang dilakukan Bidadari Angin Timur dengan Jatilandak
belum bisa dilenyapkan sang pendekar.
"Ratu Duyung," jawab Anggini.
"Di mana gadis bermata biru itu?" tanya Wiro pula.
Mendengar disebutnya nama itu, dan dalam bertanya kenangan Pendekar 212 kembali
pada pertemuannya
dengan Bunga atau Suci, gadis dari alam roh, beberapa waktu lalu. Saat itu Bunga
mengatakan agar jika dia di kemudian hari mencari kawan hidup maka pilihlah Ratu
Duyung, jangan gadis lain. Kemudian Wiro tersadar, mendengar suara Anggini.
"Melalui cermin saktinya aku dan kawan-kawan
mengetahui ancar-ancar keberadaanmu. Dia berangkat lebih dulu bersama Sutri
Kaliangan puteri Patih Kerajaan.
Aneh kalau dia belum bergabung dengan kalian."
"Mungkin mereka mampir dulu di satu tempat. Kau
tahu Sutri Kaliangan adalah seorang putera Patih Kerajaan.
Di mana-mana dia dikenal dan dihormati orang. Pasti banyak yang ingin
mengundangnya..." Yang bicara adalah Bidadari Angin Timur.
Wiro tidak memberi tanggapan. Dia hanya melirik
sebentar pada gadis berambut pirang itu lalu memandang pada Anggini dan berkata.
"Ada kabar tidak enak. Menurut gadis ini..." Wiro memalingkan kepala pada Wulan
Srindi lalu meneruskan ucapannya, "gurumu Dewa Tuak ditahan oleh komplotan
manusia pocong..."
"Kami tengah mengatur rencana penyerbuan ke 113
Lorong Kematian, markas manusia pocong. Mereka
menculik istriku yang sedang hamil," berkata Loh Gatra.
"Aku bersumpah akan membantai pimpinan dan semua anggota manusia pocong kalau
guruku dibikin cidera, apalagi kalau sampai tewas." Kata Anggini pula. Lalu dia
sambung ucapannya. "Wiro, aku perlu bicara dengan gadis hitam manis bernama
Wulan Srindi ini. Kau kenal di mana dia?"
Wiro tak bisa menjawab hanya garuk-garuk kepala, melirik pada Bidadari Angin
Timur. "Pasti dia yang memberitahu saat berpelukan tadi." Murid Sinto Gendeng
membatin. "Kalau kau ingin bicara padanya silahkan. Aku tidak melarang. Tapi kita tengah
menghadapi perkara besar.
Jangan sampai terjadi silang selisih dan kekacauan di antara kita sebelum
masalah besar terpecahkan."
"Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Yang aku tahu selama ini aku adalah murid
tunggal Dewa Tuak. Apa tidak layak kalau aku menanyai gadis itu karena dia
mengaku sebagai murid Dewa Tuak pula?"
"Layak-layak saja..." sahut Wiro. Lalu dengan suara agak dikeraskan agar
terdengar Bidadari Angin Timur sang pendekar berkata. "Dia juga bicara soal
gurumu telah menjodohkan dirinya dengan diriku. Bukankah itu yang sudah
diceritakan Bidadari Angin Timur padamu tadi sewaktu kalian saling berpelukan?"
Wajah Bidadari Angin Timur langsung berubah merah.
Anggini cepat menolong sahabatnya itu dengan
berkata. "Hal satu itu tidak perlu kuselidiki. Gadis itu mau kawin dengan siapa
saja silahkan saja. Antara guru kita memang ada usaha untuk mengikat kita dalam
perjo- dohan. Tapi tidak ada keterusan dan aku sudah melupakan semua itu."
Wiro manggut-manggut. "Ah, pandai sekali Bidadari Angin timur mengipas bara api
dalam dada gadis ini," kata Wiro dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dan
tersenyum dia berkata. "Memang gadis sekarang boleh-boleh saja memilih siapa
kekasih dan calon suaminya. Kalau aku boleh bertanya apakah kau suka pada pemuda
berkepala botak berwarna serba kuning itu?"
Anggini menoleh ke arah Jatilandak lalu memandang mendelik kearah Wiro. "Apa-
apaan ini" Kau bicara apa"!
Bukankah..."
Wiro tertawa lebar.
"Untung kau tidak menyukainya. Karena ketahuilah pemuda itu adalah kekasih dan
milik sahabatmu ini."
Habis berkata begitu tanpa perdulikan bagaimana
wajah Bidadari Angin Timur menjadi merah kelam dan tubuhnya bergetar, murid
Sinto Gendeng melangkah tinggalkan dua gadis.
"Sahabatku, apa yang terjadi antara kau dan Wiro?"
tanya Anggini sambil memegang lengan Bidadari Angin Timur.
Yang ditanya hanya gelengkan kepala. Wajah masih kelihatan merah dengan mimik
seperti menahan tangis.
"Kita semua tengah menghadapi satu urusan besar.
Tapi agaknya urusan pribadi tidak bisa dilupakan. Saha-
batku, jika ada kesempatan di lain waktu aku ingin kau menceritakan apa yang
terjadi antara kalian berdua. Kalau aku tidak bisa mendapatkan pemuda itu
sebagai teman hidup, kuharap kaulah penggantinya. Jangan dia sampai jatuh ke
tangan gadis lain. Mari kita bergabung dengan mereka..."
Bidadari Angin Timur telan ludahnya sendiri. Tenggo-
rokannya bergerak-gerak. "Terima kasih, aku memilih lebih baik pergi saja."
Jawab Bidadari Angin Timur.
"Apakah itu akan menyelesaikan persoalan?" Tanya Anggini.
"Aku tidak tahu. Aku tidak perduli. Gadis bernama Wulan Srindi itu, dialah biang
racun semua ini..."
"Tetapi apa yang terjadi antara kau dengan pemuda kuning itu" Wiro tidak mungkin
berkata seperti tadi jika tidak ada apa-apa..."
"Dia salah sangka. Keliru menduga. Aku..." Bidadari Angin Timur akhirnya
melangkah pergi. Melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Anggini dan tanpa
dapat dicegah tinggalkan tempat itu.
Semua orang jadi melongo. Loh Gatra mendatangi,
hendak bertanya pada Anggini. Tapi Anggini justru melang-
kah mendekati Wulan Srindi. Jatilandak tampak bingung.
Tapi hanya sesaat. Di lain kejap pemuda dari Negeri Lahtanasilam ini segera
berkelebat ke arah lenyapnya Bidadari Angin Timur. Melihat hal ini Anggini
merasa seolah apa yang diucapkan Wiro tadi benar adanya. Antara Bidadari Angin
Timur dengan Jatilandak ada jalinan hubungan yang lebih dari hanya berupa
persahabatan. Anggini meneruskan langkah menemui Wulan Srindi.
Wiro garuk-garuk kepala ketika Loh Gatra mendekatinya dan berkata.
"Aku sangat mengawatirkan keselamatan istriku. Aku tak bisa berada lebih lama di
tempat ini. Aku akan mencari mulut terowongan dan menerobos masuk ke dalam 113
Lorong Kematian."
"Sahabat, harap kau bersabar. Kita harus mengatur siasat. Dua orang yang mabuk
bercinta tadi pergi begitu saja. Kekuatan kita hanya sedikit. Apa kita bisa
menghan- curkan orang-orang jahat itu kalau hanya mengandalkan kekuatan" Kita harus
memutar otak. Aku tengah berusaha memecahkan petunjuk yang diberikan Eyang Sinto
Gendeng." "Kita berdua akan bekerja keras. Sementara para gadis itu akan membuat silang
selisih!" sahut Loh Gatra.
Wiro hanya bisa garuk kepala lalu tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu.
Di hadapan Wulan Srindi, Anggini berdiri memandangi si gadis mulai dari rambut
sampai ke ujung kaki. Di mata Wulan Srindi sikap Anggini begitu congkak dan nada
suaranya terdengar kasar ketika dia bertanya.
"Namamu Wulan Srindi"!"
"Betul sekali," jawab Wulan Srindi dengan suara lembut dan sambil tundukkan
kepala sedikit sebagai penghorma-
tan. "Ah, tentunya gadis berambut pirang tadi yang memberitahu padamu siapa
namaku." "Dari mana aku tahu namamu itu urusanku sendiri,"
tukas Anggini. "Kau mengaku pada orang-orang di tempat ini sebagai murid Dewa
Tuak." "Itu juga betul. Kalau aku boleh bertanya, sahabat berpakaian ringkas serba ungu
ini siapakah adanya?"
"Namaku Anggini. Dan kalau kau mau tahu aku adalah satu-satunya murid Dewa
Tuak!" "Ah, tidak disangka akan bertemu saudara satu guru,"
ujar Wulan Srindi. Gadis ini membungkuk dalam-dalam tanda hormat.
Anggini menjadi panas. "Aku tahu kau berdusta! Kau cuma mengada-ada!"
"Semua orang di sini tidak percaya. Siapa menyalahkan mereka" Apalagi kalau kau
juga tahu bahwa Dewa Tuak menjodohkan diriku dengan pemuda berjuluk Pendekar 212
Wiro Sableng itu."
"Soal perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan siapa bukan perduliku! Tapi jangan
kau berani menipu mengaku sebagai murid Dewa Tuak!"
"Buat apa berdebat tidak karuan di tempat ini semen-
tara Dewa Tuak ditahan orang di dalam lorong" Kau bicara tidak karuan sementara
nyawa gurumu terancam. Bukan-
kah lebih baik mencari jalan bagaimana menyerbu ke dalam lorong, menyelamatkan
Dewa Tuak. Menyelamatkan perempuan-perempuan muda hamil yang diculik
komplotan manusia pocong!"
"Aku tidak perlu nasihatmu! Aku juga tidak perlu bantuanmu! Aku bisa masuk
sendiri ke dalam lorong!"
"Sombongnya! Silahkan masuk ke dalam lorong! Sekali masuk jangan harap kau bisa
keluar!" Setelah sunggingkan seringai mengejek Wulan Srindi tinggalkan Anggini.
Di depan Wiro dia berhenti sebentar. "Hanya aku yang tahu seluk beluk lorong
kematian. Itupun sedikit sekali. Tidak menjamin bisa masuk dan keluar hidup-
hidup." "Aku harap tidak ada perselisihan di antara kita. Lebih baik memecahkan masalah.
Apapun yang terjadi kita harus menyerbu ke dalam markas manusia pocong. Apa yang
kau ketahui tentang mereka. Kuharap kau mau membantu..."
"Tanpa dimintapun aku akan membantu karena guruku ada di dalam sana!" jawab
Wulan Srindi sambil pegang lengan Wiro. "Tapi jika ada yang bicara sombong dan
mau mempengaruhi orang lain, silahkan pergi sendiri!"
Kata-kata Wulan Srindi itu membuat panas telinga dan merah wajah Anggini. Apa
lagi sewaktu melihat bagaimana Wulan Srindi memegang lengan Pendekar 212. Walau
perasaannya terhadap pemuda ini boleh dikatakan sudah hampa namun mau tak mau
ada goresan perih di lubuk hatinya. Anggini membatin, "Jangan-jangan karena
ulahnya bermain api dengan gadis ini sampai-sampai Bidadari Angin Timur beralih
perhatian pada pemuda muka kuning itu. Dasar mata keranjang!"
"Sahabat, kau mau ke mana?" tanya Anggini ketika dilihatnya Loh Gatra melangkah
cepat meninggalkan tempat itu.
"Aku tak mau terlibat dengan segala silang selisih di antara kalian. Istriku
terancam. Keselamatannya lebih penting bagiku! Aku akan mencari jalan masuk ke
dalam lorong kematian." Menjawab Loh Gatra.
"Kalau begitu, aku bergabung bersamamu!" kata Ang-
gini pula. "Kalian! Jangan pergi dulu. Kita harus mencari siasat!"
seru Wiro. Tapi Loh Gatra dan Anggini terus saja berkelebat pergi.
Wiro kebingungan. Garuk-garuk kepala. Ketika sadar tangannya masih dipegang
Wulan Srindi cepat-cepat ditariknya.
"Aku tidak dapat menyalahkan dirimu..." kata murid Sinto Gendeng pula.
"Aku memang tidak punya salah apa-apa. Heran,
kenapa semua gadis itu, cantik-cantik tapi bicara ketus dan kasar. Mulutnya saja
sudah begitu, bagaimana hatinya..."
"Aku ingin bertanya, apa benar Dewa Tuak meng-
angkatmu jadi muridnya?"
"Kalau ya kenapa" Kalau tidak kenapa?"
Wiro tertawa. "Jangan berteka teki."
Wulan Srindi menggeleng. "Aku tidak berteka-teki.
Kalau ingin tahu, nanti tanyakan sendiri pada Dewa Tuak."
"Kalau dia masih hidup."
"Jaman sekarang rohpun masih bisa diajak bicara!"
jawab Wulan Srindi pula sambil tertawa. Ketika dia hendak melangkah pergi Wiro
memegang bahunya. "Menurut
ceritamu kau sebelumnya sudah pernah masuk ke tempat ini. Tahu jalan masuk ke
lorong kematian. Kuharap kau mau membantu..."
"Aku pernah masuk ke dalam lorong kematian itu.
Sewaktu diculik manusia pocong yang pangkatnya Wakil Ketua. Namun dengan
memperdayai seorang anggota
komplotan aku berhasil keluar dari lorong. Yang jelas aku tidak akan masuk ke
dalam lorong lewat mulut terowongan di kawasan bukit batu. Pasti kesasar dan
maut tantangannya."
"Lalu, apa kau tahu jalan lain?" tanya Wiro.
"Tidak. Maksudku belum. Aku ingat petunjuk Eyang Sinto Gendeng sebelum pergi.
Kau masih ingat kata-kata gurumu?" tanya Wulan Srindi.
"Ya. Dia bilang ilmu rotan jangan dipakai karena tidak ada lobang masuk tidak
ada lobang keluar. Ilmu bambu bisa menolong karena ada lobang masuk ada lobang
keluar. Aku masih belum bisa memecahkan petunjuknya itu." "Bagus kau masih
ingat, tapi sayang tidak bisa memecahkan maksudnya."
"Apa kau bisa memecahkan?" tanya Wiro.
Wulan Srindi tersenyum. "Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Di perguruan
kami bukan hanya belajar silat dan ilmu agama. Tapi juga mendalami rahasia hidup
dan kehidupan manusia. Mempelajari setiap ujar-ujar yang merupakan kembang
rahasia hidup manusia."
"Katakan saja, apa kau sudah tahu arti petunjuk yang diucapkan guruku itu?" Wiro
tidak sabaran. "Kau pernah punya rumah?" tanya Wulan Srindi.
Wiro menggaruk kepala, lalu menggeleng. "Tidak."
"Tapi pernah melihat rumah kan?"
"Gila! Tentu saja pernah! Banyak, sering! Apa
maksudmu?"
"Kalau rotan diibaratkan rumah tidak masuk akal.
Karena tidak punya jalan masuk tidak punya jalan keluar.
Tidak ada pintu depan tidak ada pintu belakang. Lalu bambu. Kalau ada lobang
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk pasti ada lobang
keluar..."
"Seperti mulut manusia." kata Wiro menyambung. "Ada lobang masuk yaitu mulut
untuk makan dan ada lobang keluar untuk kentut!"
"Itu pengertian orang sableng macammu dan tidak
lucu!" potong Wulan Srindi tapi tak dapat menahan tawa.
"Lalu..."
"113 Lorong Kematian. Ada jalan masuk di sebelah depan, ada jalan masuk di
sebelah belakang."
"Kalau memang begitu, di mana jalan masuk sebelah belakang?"
"Itulah yang harus kita cari! Bukan terus-terusan ngobrol di sini!" kata gadis
berkulit hitam manis itu sambil menarik lengan Wiro.
Sesaat setelah Wiro dan Wulan Srindi tinggalkan
tempat itu, Setan Ngompol kini tinggal sendirian di balik semak belukar.
"Gila, apa yang harus aku lakukan?" si kakek usap-usap bagian bawah perut lalu
bergerak bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
11 I RUANG Bendera Darah menjelang pagi. Yang Mulia Ketua duduk di kursi batu.
Sebuah seloki besar
D terbuat dari kayu dipegang di tangan kiri sudah sejak lama kosong. Wakil Ketua
yang berdiri di sampingnya beberapa kali mencoba mengisi seloki itu dengan
sejenis minuman keras yang ada di dalam sebuah guci tanah liat tetapi ditolak.
Wakil Ketua tidak bisa menduga apa yang ada di benak pimpinannya saat itu.
Setelah beberapa waktu berlalu Wakil Ketua membe-
ranikan membuka mulut.
"Yang Mulia Ketua, saya tadi baru saja memberitahu laporan dua mata-mata yang
bertugas di utara dan selatan lorong. Mohon petunjuk Yang Mulia Ketua apa yang
harus kita lakukan. Saya rasa kita harus bertindak cepat."
Yang Mulia Ketua masih diam. Sesaat kemudian baru dia berkata. "Aku tidak
mengawatirkan orang-orang itu.
Mereka boleh datang. Semua sesuai dengan apa yang kita rencanakan selama ini.
Yang menjadi pikiranku adalah Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Aku telah meniduri
hampir semua perempuan hamil yang ada di tempat ini. Hanya dia seorang yang aku
belum mendapat kesempatan. Dulu ketika hampir aku membawanya ke kamarku, muncul
tua bangka Dewa Tuak menganggu membuat ulah."
"Yang Mulia Ketua, jika memang itu yang dikehendaki saya bisa mengatur Yang
Mulia Sri paduka Ratu mening-
galkan Rumah Tanpa Dosa dan membawanya ke kamar
Yang Mulia Ketua. Tapi mohon maafmu Yang Mulia Ketua, saya tahu Sri paduka Ratu
memiliki kecantikan yang sulit dicari bandingannya. Namun di balik kecantikan
itu ada sesuatu yang membuat saya khawatir. Mengapa Yang Mulia tidak mengalihkan
perhatian pada perempuan-perempuan lainnya saja?"
"Seperti aku katakan tadi. Semua mereka sudah
kutiduri! Tapi Sri Paduka Ratu memiliki kelainan dan kehe-
batan sendiri. Dia memiliki kekuatan tenaga dalam yang dahsyat. Hawa sakti luar
biasa. Aku ingin mengambil semua kehebatan itu. Ingin menyedot menguras dari
tubuhnya. Kalau aku bisa mendapatkan semua kehebatan yang dimilikinya itu, rimba
persilatan di tanah Jawa ini, bahkan di seluruh jagat raya ini akan berada dalam
geng- gamanku!" "Yang Mulia Ketua, mohon maafmu. Turut ilmu
persilatan dan ilmu kesaktian, bukankah Yang Mulia bisa menyedot lewat ubun-
ubun?" "Cara kuno yang bisa membahayakan Sri Paduka Ratu.
Mungkin otaknya lebih dulu hancur sebelum aku dapat menguras seluruh
kehebatannya. Kau tahu, dia dalam keadaan tidak punya perasaan, tidak punya
pikiran." "Tapi dia tunduk pada Yang Mulia dan dia kuat!"
"Itulah sebabnya aku ingin menidurinya. Cara paling mudah untuk mendapatkan
semua kehebatan yang dimi-
likinya. Di samping aku sekaligus bisa merasakan kenik-
matan tiada tara."
Wakil Ketua jadi terdiam.
"Ada satu hal lagi yang aku khawatirkan." Yang Mulia Ketua kembali keluarkan
ucapan. "Kain putih berisi penangkal kehidupan bagi nyawa kedua belum kita
dapatkan. Aku yakin benda itu masih ada di tangan kakek keparat berjuluk Kakek
Segala Tahu itu."
"Terus terang kita memang kekurangan orang untuk menangkapnya. Tapi seperti saya
laporkan tadi, mata-mata memberitahu ada tanda seorang kakek dengan ciri-ciri
Kakek Segala Tahu tengah bergerak ke tempat ini.
Kemungkinan besar dia datang dari arah selatan lorong."
Di balik kain penutup kepala Yang Mulia Ketua menye-
ringai. "Siapapun yang datang dari arah itu akan menemu-
kan jurang batu dan jalan buntu. Kecuali jika dia mengetahui pintu rahasia
menuju tangga seratus undakan yang akan membawanya ke lorong seratus dekat Ruang
Kayu Hitam. Jika di selatan mereka tidak menemukan jalan masuk, mereka pasti
akan kembali ke utara, lewat lobang terowongan menuju lorong kematian."
"Untuk berjaga-jaga saya telah menyuruh seorang
anggota bersiap-siap menabur asap beracun di kawasan itu. Saya hanya tinggal
menunggu persetujuan Yang Mulia kapan asap itu mulai ditaburkan."
"Semua aku serahkan pada kebijaksanaanmu Wakil
Ketua. Aku hanya minta satu hal untuk diperhatikan. Aku harus tahu dari arah
mana Pendekar 212 Wiro Sableng mencoba masuk ke tempat ini. Harap kau beritahu
mata-mata agar bekerja dan mengawasi manusia satu itu siang malam."
"Akan saya lakukan Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!"
"Sekarang kau jemputlah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Kurasa waktu kita tidak terlalu banyak sebelum tamu-tamu pengantar nyawa itu
datang ke tempat ini."
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong
Kematian bungkukkan badan memberi hormat lalu
melangkah ke dinding di ujung ruangan. Di sini terletak sebuah pintu rahasia
yang hanya bisa dibuka dengan menekan tombol yang ada di lengan kursi kedudukan
Yang Mulia. Wakil Ketua berdiri di depan dinding menunggu sampai pintu dibuka.
"Wakil Ketua," tiba-tiba terdengar suara Yang Mulia Ketua. "Bulan sabit hari
ketiga tinggal sepuluh hari di muka. Siapa ibu dari bayi yang darahnya akan
menjadi usapan ubun-ubun Sri Paduka Ratu?"
"Seorang perempuan muda bernama Larasati, janda
mendiang Adipati Jalapergola dari Temanggung. Suaminya bernama Loh Gatra. Diduga
ikut bersama rombongan orang-orang yang hendak menyerbu ke tempat ini."
(Mengenai riwayat Larasati dan Loh Gatra baca serial Wiro Sableng Episode Badik
Sumpah Darah dan seterusnya)
"Orang bernama Loh Gatra itu punya nyali. Berarti dia punya ilmu yang
diandalkan. Tangkap dia hidup-hidup. Kita akan jadikan dia anggota Barisan
Manusia Pocong."
"Bagaimana dengan yang lain-lain, Yang Mulia Ketua?"
"Sampai kita tahu siapa-siapa mereka adanya, untuk sementara kita tangkap hidup-
hidup. Aku rasa beberapa di antara mereka adalah gadis-gadis cantik
berkepandaian tinggi pemuja pendekar keparat Wiro Sableng. Selain bisa kita
jadikan penghibur dan penghias Lorong Kematian, mereka mungkin bisa
dimanfaatkan. Kecuali Kakek Segala Tahu. Manusia satu itu harus dibunuh. Karena
dia tahu apa yang ada di kain putih. Kita akan meminta banyak bantuan dari Sri
Paduka Ratu."
"Tapi Yang Mulia Paduka, jika Yang Mulia merencana-
kan tidur dengan Sri Paduka Ratu, dan menguras serta menyedot seluruh
kesaktiannya, bagaimana mungkin dia kita andalkan untuk menghadapi orang-orang
itu" Dia tidak akan lebih dari mayat hidup yang tak punya daya apa-apa."
"Ah, kau betul..." ujar Yang Mulia Ketua. "Aku bisa menunda rencana bersenang-
senang dengan dia sampai selesai urusan dengan orang-orang itu. Terutama
Pendekar 212 Wiro Sableng! Sebagai pengganti, bawa Larasati ke kamarku."
"Perintah Yang Mulia akan saya laksanakan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai."
Sang Ketua tekan tombol batu di lengan kanan kursi.
Pintu batu terbuka. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong menjura memberi hormat
lalu tinggalkan Ruang Bendera Darah.
*** Beberapa lama sebelum fajar menyingsing.
Udara gelap dan terasa dingin sekali. Wulan Srindi berlari cepat melewati satu
rimba kecil di sebelah timur kawasan 113 Lorong Kematian. Wiro mengikuti dari
belakang. Dari gerakan kaki dan kecepatan larinya murid Sinto Gendeng bisa
menduga-duga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian si gadis. Baik ilmu tenaga
dalam maupun ilmu meringankan tubuh Wulan Srindi belum mencapai tingkatan cukup
tinggi. Namun ada satu hal yang diper-
hatikan Wiro. Ketika berlari, dua tangan gadis itu sama sekali tidak
mengeluarkan suara atau sambaran angin.
Agaknya di sinilah letak kehebatan Wulan Srindi, pikir Wiro.
Dingin, gelap dan sunyi. Tak ada satupun yang bicara di antara kedua orang itu.
Tiba-tiba kesunyian malam dirobek oleh suara suitan dua kali berturut-turut,
datang dari arah timur. Sesaat kemudian dari arah barat terdengar pula dua kali suitan.
"Kehadiran kita sudah diketahui orang-orang Lorong Kematian," kata Wiro.
"Kita harus berhati-hati. Mereka suka membokong
dengan Bendera Darah." Menjawab Wulan Srindi.
"Aku sudah merasa bokongan mereka," kata Wiro pula.
Lalu dia bertanya. "Kau mendengar suara sesuatu?"
"Di sebelah depan atau belakang?" balik bertanya Wulan Srindi.
"Belakang," jawab murid Sinto Gendeng.
"Kalau begitu kau yang tahu, kau yang mendengar.
Pentang telinga lebar-lebar. Nyalangkan matamu. Jangan kita berdua sampai mati
konyol sebelum sampai di Lorong Kematian. Jangan kita sampai gagal sebelum aku
berhasil menyelamatkan guruku...."
Sambil lari Wiro membatin. Dari setiap ucapannya gadis bernama Wulan Srindi ini
ternyata punya daya pikir cepat dan cerdik. Selain itu dari ucapannya tadi Wiro
jadi menduga-duga jangan-jangan Wulan Srindi memang benar murid Dewa Tuak. Kalau
tidak mengapa dia begitu berse-
mangat dan mau bersusah payah untuk menyelamatkan orang tua itu"
"Ada suara orang berlari di belakang kita," Wiro memberi tahu.
"Berarti ada yang mengejar atau menguntit. Dugaanku manusia pocong."
"Di depan kiri ada pohon besar dan semak belukar lebat. Membelok ke balik
pohon!" kata Wiro.
Begitu sampai di dekat pohon besar, ke dua orang itu segera membelok lalu
mendekam di balik semak belukar.
Tak lama kemudian satu bayangan putih berkelebat lewat.
Tapi di depan sana makhluk ini berhenti. Tegak meman-
dang berkeliling mencari-cari. Ternyata dia memang seorang manusia pocong.
"Berani mengejar berani menerima kematian. Aku akan bunuh manusia pocong itu!"
kata Wulan Srindi pula.
"Jangan main bunuh saja. Lebih baik ditangkap hidup-hidup, lalu kita paksa dia
menunjukkan jalan masuk ke Lorong Kematian lewat belakang."
Wulan Srindi tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?" tanya Wiro.
"Terus terang sebenarnya barusan aku hanya ingin menguji kecerdasan otak dan
jalan pikiranmu. Ternyata apa yang aku rencanakan sama dengan yang kau kata-
kan." Wiro garuk kepala. "Kau pandai mencari dalih. Mana aku tahu kau punya pikiran
seperti itu. Bisa saja kau hanya bicara pura-pura untuk menyatakan bahwa kau
gadis hebat."
"Aku memang gadis hebat karena aku murid Dewa
Tuak!" "Kalau begitu cepat kau serang manusia pocong itu.
Pergunakan jurus-jurus ilmu silat Dewa Tuak."
"Kau mau menguji" Apa lupa keteranganku bahwa
orang tua itu belum lama mengangkatku jadi murid. Mana sempat menurunkan ilmu
silat barang sejurus dua jurus!"
"Jangan mencari alasan. Kalau kau takut biar aku yang turun tangan!"
"Enak saja menuduh aku takut!"
Tiba-tiba dari depan sana si manusia pocong berteriak.
"Dua orang yang sembunyi di balik belukar lekas keluar unjukkan diri! Berani
datang ke kawasan Lorong Kematian berarti berani menerima ajal!"
"Pocong keparat!" teriak Wulan Srindi. Lalu gadis itu melesat keluar dari balik
semak belukar sambil menerjang manusia pocong dengan jurus Membelah Ombak
Menembus Gunung. Dalam gelap, tangan kanan gadis ini berkelebat menghantam ke
arah kepala manusia pocong dalam gerakan sangat cepat dan hampir tak kelihatan.
Tapi si manusia pocong bukan orang sembarangan.
Sekali dia mengangkat lengan jubahnya terdengar suara buukkk! Wulan Srindi
terpekik. Tubuhnya terpental setengah melintir. Manusia pocong tertawa mengekeh
lalu menyerbu ke arah si gadis. Melihat hal ini Wiro segera melesat keluar dari
balik pohon. Tangan kanan lepaskan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang
didapatnya dari Tua Gila. Menyaksikan serangan kilat dan ganas ini manusia
pocong cepat berkelit ke samping tapi kurang cepat. Pinggulnya kena digebuk.
Tubuhnya terjengkang di tanah. Wulan Srindi cepat injak dada orang. Wiro angkat
kaki kanan, siap menendang kepala manusia pocong.
Tiba-tiba si manusia pocong keluarkan seruan.
"Anak sableng! Jangan! Ini aku!"
Habis berteriak manusia pocong itu cepat-cepat tarik lepas kain putih penutup
kepala. Kelihatan satu kepala berambut tipis, sepasang mata jereng dan kuping
kanan yang terbalik.
"Tua bangka sialan!" maki Wiro. "Kau rupanya!"
"Siapa si jereng sinting ini"!" tanya Wulan Srindi.
"Perkenalkan, namaku Setan Ngompol! Aku tidak
sinting cuma sering ngompol!" kata si kakek lalu tertawa mengekeh.
"Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Kau minta mati berdandan seperti itu!"
ujar Wiro. "Justru tadinya dengan dandanan ini aku ingin menyu-
sup ke dalam lorong. Tapi tidak tahu jalan."
"Untung kepalamu tidak keburu kutendang rengkah, Kek." Wulan Srindi angkat
kakinya yang dipakai menginjak Setan Ngompol.
Si kakek cepat duduk tapi tidak segera berdiri. Dalam duduk dia usap-usap
tubuhnya di sebelah bawah perut.
"Mengapa dia" Apa yang dilakukan?" Tanya Wulan
Srindi. Wiro tersenyum. "Apalagi kalau bukannya ngompol alias beser alias kencing!"
"Aneh, kenapa ada manusia macam begini di atas
dunia"!" kata Wulan Srindi pula.
Setan Ngompol tertawa mengekeh lalu bangkit berdiri.
Jubah putih yang dikenakannya kelihatan kuyup di sebelah bawah!
TAMAT Episode Berikutnya:
API CINTA SANG PENDEKAR
Ronggeng Dukuh Paruk 1 Dewi Ular 80 Misteri Serigala Berkaki Tiga Pendekar Mata Keranjang 17
hancur kembali ke bentuk semula tanpa cacat.
Orang kedua yang lebam memar pipi kiri seperti
temannya setelah berkomat-kamit usap pipi yang cidera, begitu selesai diusap,
pipi yang bengkak merah kebiruan itu serta merta sembuh tak berbekas. Lalu
pembantu ketiga lakukan hal yang sama, usap-usap matanya yang melesak merah
berdarah. Kucuran darah berhenti dan noda yang ada di mata serta pipi kiri pulih
lenyap. Di atas tembok candi, pembantu keempat menggeliat sebentar lalu turun
sambil usap-usap keningnya yang benjut seperti tinju. Di bawah benjutan itu ada
luka menganga mengeluarkan darah kental. Luar biasa, setelah diusap cidera besar itupun
hilang. Noda darah tak kelihatan lagi.
Manusia pocong yang menyaksikan semua kejadian itu mau tak mau jadi leleh
nyalinya. Tendangan yang
dilancarkannya tadi yang sanggup mengenai telak empat sasaran adalah jurus
tendangan bernama Empat Dewa Membagi Pahala. Jarang sekali ada lawan mampu
selamatkan diri dari tendangan tersebut. Kenyataannya memang begitu. Namun yang
membuat manusia pocong jadi mengkirik tercekat ialah sewaktu melihat bagaimana
empat tendangan yang sanggup menghancur leburkan batu besar itu hanya
menimbulkan cidera berat. Dan gilanya semua cidera itu sembuh lenyap begitu
diusap! Manusia pocong tidak bisa membayangkan sampai di mana tingkat ketinggian ilmu
empat pembantu Raja Penidur ini. Kalau pembantu saja sudah demikian luar
biasanya, bagaimana dengan si Raja Penidur sendiri"!
Mengharap kawannya berhasil melaksanakan tugas
dan merasa hanya mencari penyakit saja jika dia mene-
ruskan perkelahian dengan empat orang tinggi besar itu, manusia pocong keluarkan
suitan keras memberi tanda pada temannya lalu melesat ke udara, berkelebat ke
atas samping candi sebelah timur. Namun kecepatan daya lenting tubuhnya kali ini
tidak bisa menipu empat pembantu Raja Penidur. Begitu tubuhnya bergerak ke atas,
empat orang tinggi besar sama-sama keluarkan suitan keras. Tubuh mereka melesat
ke udara. Di lain kejap manusia pocong merasakan kedua pergelangan tangan dan
kaki kiri kanan telah dicekal orang. Dia berusaha berontak. Tapi malah tubuhnya
dibanting hingga tersandar ke dinding. Dia coba kerahkan tenaga dalam. Tetap
sia-sia. Tenaga dalam empat orang yang mencekalnya itu tak bisa ditembus!
"Setan jejadian! Perlihatkan tampangmu!"
Orang tinggi besar di sebelah kiri bawah yang mencekal kaki kiri membentak.
Kawannya yang mencekal tangan kanan manusia pocong ulurkan tangan kiri ke arah
kepala. Sreet! Kain putih penutup kepala manusia pocong tersing-
kap. Kelihatanlah satu kepala terbungkus rambut kelabu dan wajah tua berpipi
cekung dengan kumis serta janggut dan cambang tidak terurus.
"Dewa Berkaki Iblis!" Dua orang pembantu Raja Penidur yang mengenali siapa
adanya orang itu berbarengan keluarkan seruan.
Dewa Berkaki Iblis telah membuat nama besar. Sebagai seorang tokoh silat
berkepandaian tinggi yang terkadang berbuat kebaikan tapi terkadang tidak segan-
segan pula berbuat keji jika dia merasa ada kepentingan dan keun-
tungan. Karena sifatnya yang munafik inilah mungkin rimba persilatan memberi
julukan Dewa Berkaki Iblis kepadanya.
Pertama karena sifatnya tersebut, kedua kehebatannya memang ada pada sepasang
kaki. Puluhan lawan mene-
mui ajal bukan dengan tangan atau senjata tapi dimangsa sepasang kaki.
Orang tua yang disebut julukannya itu walau muka kelihatan pucat tapi tenang-
tenang saja, malah masih bisa sunggingkan senyum dan membuka mulut. "Apalagi
yang kalian tunggu"!"
"Eh, apa maksudmu"!" hardik pembantu Raja Penidur yang mencekal tangan kanan
manusia pocong.
"Kalian inginkan kematianku! Mengapa tidak langsung membunuh"!"
Dua orang tinggi besar bercelana komprang hitam
tertawa lebar. "Soal nyawamu siapa yang memikirkan.
Kami bisa membunuhmu secepat kilat menyambar. Tapi kami lebih dulu perlu
beberapa keterangan!"
"Kalau kau tidak mau bicara, akan kubetot lidahmu sampai ke akarnya!" Mengancam
orang yang memegangi kaki kiri manusia pocong.
"Hemmm... begitu" Keterangan apa yang kalian
inginkan?" Si kakek berpipi cekung berjuluk Dewa Berkaki Iblis menyeringai.
"Siapa yang menyuruh kau dan temanmu datang
menyerang kami! Lalu apa maksud kalian melakukan serangan! Pertanyaan ketiga,
jika kalian merupakan satu komplotan di mana sarang kalian"!"
Dewa Berkaki Iblis tersenyum.
"Kalau cuma itu yang kalian ingin tahu, tidak sulit bagiku memberi keterangan.
Aku tahu setelah aku mem-
beri keterangan, kalian akan menghabisi diriku. Agar aku bisa mati dengan
tenang, biarkan aku bicara dengan tenang pula. Harap kalian sudi melepas cekalan
pada dua tangan dan kakiku. Dalam keadaan terkurung serta mengalami luka dalam
seperti ini apa kalian kira aku mau menipu dan masih sanggup melarikan diri?"
Empat pembantu Raja Penidur saling berpandangan.
Yang dua anggukkan kepala. Temannya yang dua lagi ikut menyetujui. Keempat
pembantu Raja Penidur lepaskan cekalan di kedua tangan dan kaki Dewa Berkaki
Iblis. Orang tua ini menarik nafas lega berulang kali, lalu menatap empat orang tinggi
besar di depannya dan berkata.
"Sebelum aku menjawab tiga pertanyaan tadi, apakah kalian pernah mendengar
ucapan seperti ini" Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan.
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai."
"Omongan ngacok apa itu?" hardik orang tinggi besar di samping kiri.
"Kalau kalian tidak mengerti biar aku beritahu." Kata Dewa Berkaki Iblis pula.
Sikap tenang wajah tersenyum.
Lalu di luar dugaan dia balikkan badan dan secepat kilat membenturkan kepalanya
ke dinding candi.
Praakkk! Nyawanya tak tertolong lagi. Dewa Berkaki Iblis yang jadi anggota Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kema-
tian ini tewas dengan kepala pecah!
*** Ketika manusia pocong kedua melompat tinggalkan
tembok candi dan dikejar oleh empat orang pembantu Raja Penidur, manusia pocong
pertama telah melesat ke atas tembok sebelah kanan. Dia menyeringai di balik
kain putih penutup kepala karena merasa siasat yang dirancang ternyata mengena.
Dia tidak menyadari malapetaka apa yang bakal menimpa dirinya sebentar lagi.
Tanpa tunggu lebih lama dia cepat berkelebat ke arah Raja Penidur yang terbaring
ngorok. Walaupun malam gelap, namun matanya yang tajam sudah dapat melihat benda
yang dicari, yakni satu gulungan kecil kain putih.
Sesuai penjelasan Yang Mulia Ketua benda itu ada di atas pangkuan, dekat lekuk
paha celana. Secepat kilat manusia pocong pertama ini ulurkan tangan kanan
menyambar gulungan kain putih kecil. Dia berhasil mendapatkan!
Namun sebelum sempat berkelebat kabur, tahu-tahu, clek!
Satu tangan besar laksana jepitan besi mencekal lengan kanannya. Lalu ada asap
berbau sangat tidak enak berhembus ke arah mukanya. Membuat dia gelagapan, sulit
bernafas dan batuk-batuk.
Manusia pocong ini berusaha menarik tangannya yang dicekal. Sampai keluarkan
seluruh tenaga luar dan dalam dan tubuh keringatan tetap saja dia tak mampu
bebaskan lengan. Karenanya tidak menunggu lebih lama lagi tangan kiri segera
dihantamkan ke perut gendut Raja Penidur.
Buuukkk! Desss! Tiga jajar batang kelapa yang menjadi alas ketiduran Raja Penidur sampai
bergetar hebat. Tapi anehnya tubuh Raja Penidur sendiri tidak ikut cidera
dihantam pukulan keras itu. Perut gendutnya yang kena hantam melesak ke bawah
sampai satu jengkal, lalu perlahan-lahan melenting naik kembali.
"Gila! Ilmu apa yang dimiliki orang ini" Aku seperti memukul tumpukan kapas!"
ucap manusia pocong dalam hati sambil melotot.
Sementara itu si gemuk yang kena dipukul anehnya malah menggeliat, menguap
lebar-lebar. Tanpa membuka kedua matanya yang terpejam dia berkata.
"Enak-enakan tidur siapa yang barusan jahil menggelitik perutku..."
Walau kaget mendengar ucapan orang, si manusia
pocong merasa dipermainkan. Kini dia kerahkan seluruh tenaga dalam ke tangan
kiri lalu secepat kilat menghantam ke arah batok kepala Raja Penidur.
"Uuhhh... ada nyamuk nakal mau menghisap darahku."
Raja Penidur acuh tak acuh kibaskan pipa di tangan kanan.
Mata masih terpejam.
Manusia pocong terlambat tarik tangannya.
Kraaakk! Lengan kanan manusia pocong hancur. Bagian sebelah bawah bergelayutan, tidak
sampai tanggal karena masih tertahan daging, urat dan otot. Jeritan setinggi
langit keluar dari mulut si manusia pocong. Sementara tangan kanan-
nya yang hendak merampas gulungan kain putih masih berada dalam cekalan Raja
Penidur. Saat itulah empat pembantu Raja Penidur muncul. Mereka segera menarik
tubuh manusia pocong dan siap hendak dibantai. Namun terpaksa urungkan niat
ketika Raja Penidur terdengar berkata.
"Biarkan dia hidup. Biarkan dia kembali ke majikan yang menyuruhnya..."
"Raja Penidur, kami patuh apa yang kau perintahkan.
Tapi sebaiknya manusia satu ini kita tanyai dulu. Siapa dirinya, siapa
majikannya dan di mana tempat kediaman-
nya..." "Mengapa susah-susah" Biar saja. Nanti ada orang lain yang bakal mengurusi.
Lepaskan dia. Kalau dia kembaii ke majikannya aku rasa dia bakalan jadi setan
pocong betulan."
Mendengar ucapan Raja Penidur, empat pembantu
ayun tubuh manusia pocong lalu dilempar ke arah semak belukar.
Braaakkk! Manusia pocong terkapar di atas semak-semak. Tangan kiri tergontai-gontai.
Sambil menahan sakit dia cepat turun dan kabur tinggalkan tempat itu. Ternyata
dia tidak terus kembali ke 113 Lorong Kematian. Di satu tempat dia berhenti di
tepi sebuah jurang batu. Hatinya berkata,
"Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilak-
sanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai. Tapi kalau aku
kembali, apakah Yang Mulia Ketua akan memberi pengampunan" Kalau aku melarikan
diri apakah Yang Mulia Ketua dan kaki tangannya tidak bakal menemukan diriku?"
Manusia pocong menatap ke dalam jurang dalam dan gelap. Terngiang ucapan Raja
Penidur yang mengatakan kalau dia kembali ke majikannya, mungkin dia akan
dijadikan setan pocong betulan alias dibunuh! Orang ini coba berpikir keras
namun otaknya yang sudah dicuci tak banyak menolong. Putus asa dan juga ada rasa
takut akhirnya didahului satu jeritan keras dan panjang dia memilih menghambur
diri terjun ke dalam jurang batu.
*** Kembali ke Candi Cemorosewu.
Raja Penidur, tokoh aneh rimba persilatan ini usap-usap perutnya. Mulut menguap
lebar. Ketika mendengar suara jeritan di kejauhan, tanpa membuka mata dia
berkata. "Mahluk tadi, dia ingin lebih cepat jadi setan pocong betulan. Hik... hik...
hik." Raja Penidur sedot lagi pipanya, hembuskan asap lalu menguap. "Aku mau
tidur. Kalian gotong diriku. Kita meneruskan perjalanan."
"Raja," salah seorang pembantu beranikan diri berkata.
"Ada sesuatu yang perlu kami beritahukan pada Raja."
Tanpa membuka mata Raja Penidur hanya keluarkan
suara berdehem serak.
Sang pembantu kembali membuka mulut. "Sewaktu
pertemuan dengan kakek berjuluk Dewa Sedih, sebelum Raja tidur, kakek itu
melemparkan sesuatu ke pangkuan Raja."
"Siapa bilang aku tidak tahu?" sahut Raja Penidur lalu menguap. "Benda itu
sebuah gulungan kain putih kecil.
Mungkin bekas pengorek kuping tua bangka cengeng itu.
Benda itu sampai sekarang masih ada di atas pangkuanku.
Betul?" Raja Penidur menguap.
"Betul sekali Raja. Menurut kami benda itu bukan korek kuping. Tapi sesuatu yang
sangat penting..."
"Bagaimana kau tahu benda itu penting?" tanya Raja Penidur.
"Kalau tidak penting mengapa dua manusia pocong itu menyatroni kita. Salah
seorang dari mereka jelas-jelas hendak merampas gulungan kain itu."
Raja Penidur diam saja lalu menguap.
"Raja," pembantu di sisi kiri kini yang keluarkan ucapan. "Dengan izinmu apakah
kami boleh mengambil gulungan kain putih di atas pangkuanmu lalu membuka-
nya" Siapa tahu kita akan menemukan sesuatu benda di dalam gulungan atau pesan
berupa tulisan..."
"Mengapa mau bersusah payah, mengapa mau
mengada-ada?"
"Maaf Raja, kami tidak bermaksud begitu. Kami tidak merasa susah apa lagi berani
mengada-ada." Pembantu yang tadi bicara berkata sambil membungkuk berulang kali.
"Sudahlah, kantukku tidak tertahan. Gotong diriku.
Jangan sekali-kali berani mengambil apa lagi membuka gulungan kain putih.
Berjalan ke arah matahari terbit.
Menjelang fajar kalian akan menemukan seorang yang mengeluarkan suara berisik.
Aku tidak akan bangun, jadi tidak akan menemuinya. Serahkan gulungan kain itu
padanya. Berikan pesan begini. Minta dia pergi ke arah utara Telaga Sarangan,
itu saja..."
"Perintah Raja kami lakukan. Seandainya kami..."
Pembantu Raja Penidur tidak teruskan ucapannya karena saat itu manusia luar
biasa gemuk berusia seratus enam puluh lima tahun itu telah keluarkan suara
mendengkur alias sudah lelap tidur. Jangan harap akan bisa bicara lagi.
"Heran, Raja menyuruh menyampaikan pesan. Bunyi-
nya begitu pendek. Apa orang yang keterimaan pesan akan mengerti. Pergi ke utara
Telaga Sarangan" Mengapa"
Untuk apa" Menemui siapa?"
"Sebaiknya kita tak usah banyak bertanya dan berpikir.
Raja lebih tahu dari kita. Mari kita gotong batang kelapa tempat ketidurannya,"
kata pembantu Raja Penidur yang waktu perkelahian di candi melesak matanya
dihajar manusia pocong.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
8 DARA menjelang pagi terasa dingin. Empat pembantu Raja Penidur berjalan cepat
tanpa ada yang bicara.
U Keadaan masih gelap dan udara dingin luar biasa.
Tidak heran walau memanggul beban sangat berat ditam-
bah dengan berjalan cepat keempat orang itu tidak keluar-
kan keringat. Lapat-lapat di kejauhan terdengar suara sesuatu. Raja Penidur sudah mendengar
sejak tadi namun tak ada yang mau bicara. Sesuai perintah, mereka bergerak terus
ke arah timur, arah terbitnya sang surya. Tak selang berapa lama salah seorang
dari mereka akhirnya tidak tahan juga untuk membuka mulut.
"Aku mendengar suara curahan air terjun..."
"Aku juga," teman di sebelah depan menyahuti.
Pembantu pertama kembali berkata. "Turut arah
datangnya suara pasti itu air terjun Ngadiloyo. Sudah tiga hari kita tidak
mandi. Bagaimana kalau mampir dulu ke sana membersihkan diri mencari kesegaran."
"Air terjun lurus di sebelah kanan. Tujuan kita lurus tidak membelok. Aku
khawatir kalau sampai tidak tepat waktu..." Yang berkata orang tinggi besar di
belakang kanan,
"Aku mau-mau saja," ujar pembantu di sebelah
belakang kiri. "Tapi siapa berani menyalahi perintah Raja.
Kita disuruh mencari orang yang mengeluarkan suara berisik dan menyerahkan
gulungan kain putih."
"Orang yang selalu berisik itu, terus terang tidak jelas siapa dia adanya.
Lelaki, perempuan, masih muda atau sudah tua. Lalu berisik bagaimana" Apa setiap
saat dia berteriak-teriak terus... Aku khawatir kita kesalahan menyerahkan pada
orang lain."
"Sudahlah, tak perlu terlalu memikirkan siapa orang itu, apa lagi pergi mandi ke
Ngadiloyo. Percepat langkah kalian.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lihat ke depan, apa tidak melihat langit sebelah sana sudah mulai terang"
Sebentar lagi fajar akan menyingsing.
Kita harus menemukan orang itu. Siapapun dia adanya."
Mendengar ucapan temannya itu dan melihat langit di kejauhan memang mulai
terang, tiga pembantu yang mengusung Raja Penidur serta merta mempercepat
langkah. Keempat mereka kini kelihatan setengah berlari.
Di ufuk timur kemunculan sang surya membuat langit yang sepanjang malam gelap
menghitam perlahan-lahan mulai kelihatan terang.
Tiba-tiba empat pasang kaki memperlambat lari. Lalu berhenti sama sekali. Empat
pembantu Raja Penidur mendengar suara aneh. Dua kali berturut-turut.
"Aku tak bisa menduga suara apa itu. Datangnya tepat di arah terbitnya sang
surya." Pembantu di sebelah depan kanan keluarkan ucapan.
"Jalan saja terus. Aku kira kita akan segera menemu-
kan petunjuk sesuai perintah Raja," kawan pengusung di sebelah kiri depan
berkata. "Kalau petunjuk yang kita temui memang bagus. Tapi kalau bahaya?"
"Apa selama ini kita pernah takut menghadapi
bahaya?" teman orang yang barusan bicara menyahuti.
Empat orang tinggi besar itu segera lanjutkan perja-
lanan. Tapi kali ini mereka tidak berlari lagi, hanya melang-
kah cepat karena hati masing-masing dirasuki oleh rasa was-was yang membuat
mereka harus bersikap waspada.
Berjalan sejauh tiga puluh langkah mendadak meng-
hadang sebuah parit. Sebagian sisi parit ditumbuhi semak belukar lebat setinggi
pinggul. Empat pembantu Raja Peni-
dur terpaksa hentikan langkah. Jika tetap mempertahan-
kan arah lurus ke timur, mereka harus berputar ke kanan atau ke kiri parit baru
bisa meneruskan perjalanan. Namun apa yang membuat mereka tidak segera
melanjutkan langkah ialah melihat kehadiran seseorang di seberang parit.
Seorang mengenakan caping duduk menjelepok di
bawah sebatang pisang yang tengah berbuah matang. Di pangkuannya terletak satu
tongkat berwarna putih terbuat dari tulang. Di belakang punggung tergantung
sebuah buntalan. Tangan kanan orang ini memegang sebuah benda yang kurang jelas
apa adanya. Pakaiannya rombeng penuh tambalan. Tak seorangpun dari empat
pembantu Raja Penidur dapat melihat wajah orang itu karena tertutup caping
lebar. Cuma terlihat sedikit bagian dagu yang bergerak-gerak tiada henti, tanda
dia tengah makan atau mengunyah sesuatu.
Tangan kanan orang bercaping bergerak. Benda yang ada dalam genggamannya
keluarkan suara aneh. Suara berkerontangan. Keras dan berisik, membuat telinga
empat pembantu Raja Penidur mengiang sakit. Sehabis membuat suara berisik,
dengan benda di tangan kanan orang itu angkat tangan kiri. Telapak di buka
menampung ke atas. Aneh luar biasa. Sebutir pisang di atas pohon jatuh ke bawah.
Di tangkap dengan tangan kiri lalu dikupas dan dimakan oleh orang bercaping
sambil kepalanya dimang-
gut-manggut. Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Ternyata di
parit sudah sembilan kulit pisang bergeletakan.
Orang bercaping usap perutnya sebentar. "Masih kem-
pes..." katanya lalu tertawa, gerakkan tangan kanan yang memegang benda yang
bisa mengeluarkan suara berisik.
Tangan kiri diangkat kembali. Ditampung sedemikian rupa. Pisang jatuh lagi
secara aneh, dimakan, kulit dilem-
par dan tangan kanan kembali menggoyang benda berisik.
Empat pengusung Raja Penidur saling pandang semen-
tara lagit semakin terang.
"Aku rasa ini orangnya," ucap lelaki tinggi besar di depan kanan. "Yang dimaksud
Raja sebagai orang yang selalu berisik adalah benda yang tadi digoyangkan di
tangan kanan."
"Mari kita datangi dia. Bicara dan kalau memang dia orangnya serahkan saja
gulungan kain putih dan sampai-
kan pesan sesuai perintah Raja."
Empat lelaki tinggi besar bertelanjang dada dan
mengenakan celana gombrong hitam berjalan memutar parit ke sebelah kanan, begitu
sampai di hadapan orang bercaping yang duduk di bawah pohon pisang mereka segera
turunkan batang kelapa ke tanah.
Seperti tidak acuh orang bercaping kembali gerakkan tangan kanan. Suara berisik
luar biasa membuat luruh beberapa daun pepohonan di sekitar tempat itu. Selain
itu suara berisik seperti mau merobek gendang-gendang teli-
nga membuat empat pembantu Raja Penidur tekap telinga masing-masing.
Selagi orang kebisingan, orang bercaping tampungkan lagi tangan kirinya. Ketika
pisang jatuh, pembantu di sebelah depan cepat gerakan tangan hendak mendahului
mengambil pisang. Orang bercaping golengkan kepalanya sedikit. Seperti hidup
pisang itu melejit ke atas meng-
hantam mata kiri sang pembantu hingga dia mengeluh kesakitan. Sebelum sampai ke
tangan orang bercaping, pisang mental dulu ke bagian bawah perut orang tinggi
besar hingga dia kesakitan terbungkuk-bungkuk. Ketika dia mengusap mata dan
memandang ke depan dilihatnya
orang bercaping telah menyantap pisang yang tadi hendak diambilnya sambil
tertawa haha-hehe! Habis pisang dimakan kulit dilempar ke dalam parit. Lalu
benda di tangan kanan digoyang kembali. Empat pembantu Raja Penidur lagi-lagi
dibuat gelagapan dan cepat-cepat tutup telinga mereka.
Hari semakin terang. Orang bercaping yang masih
belum kelihatan jelas wajahnya keluarkan suara tawa bergelak. Lalu mulutnya
berucap. "Kedatangan tamu dari jauh sungguh menyenangkan.
Apa lagi sudah berminggu-minggu aku tidak bertemu dengan yang namanya manusia!"
Orang bercaping goyangkan tangan kanannya. Kembali suara berisik menggema di
udara saat fajar menyingsing itu. Empat pembantu Raja Penidur ingin sekali
merampas benda di tangan kanan orang bercaping. Tapi mereka tidak berani berlaku
ceroboh. Mereka maklum yang duduk menjelepok di tanah sambii terus-terusan makan
pisang itu adalah seorang aneh berkepandaian tinggi. Apalagi mereka sudah
menduga, orang inilah si manusia berisik yang dimaksud oleh Raja Penidur.
Sementara itu Raja Penidur sendiri terus saja men-
dengkur dalam kelelapan tidurnya, sama sekali tidak terganggu oleh suara berisik
yang keluar dari benda yang digoyang orang bercaping.
"Cuma sayang. Ha... ha... ha." Orang bercaping teruskan ucapannya dan tertawa.
"Aku mencium bau tidak enak.
Bau ketek, bau selangkangan, bau daki, baru keringat, bau apaknya pakaian, bau
busuknya rambut. Semua jadi satu!
Hai, udah berapa hari kalian berempat tidak ketemu air, tidak madi?"
Empat pembantu Raja Penidur saling pandang. Yang satu hendak bicara tapi
kedahuluan orang bercaping.
"Kalau ingin menyegarkan diri, mengapa tidak mandi dulu" Air parit itu cukup
bersih, jernih dan sejuk!"
Empat lelaki tinggi besar kembali saling pandang satu sama lain dan delikkan
mata. Orang bercaping itu jelas mempermainkan mereka. Menyuruh mandi di parit
yang katanya berair bersih, jernih dan sejuk. Padahal jelas-jelas air parit itu
kotor berlumpur, penuh lumut dan sampah termasuk kulit pisang yang dilemparkan
seenaknya. Lalu air parit itu juga mengeluarkan bau tidak sedap.
"Kalian tidak mau mandi" Tidak apa. Ha... ha... ha.
Berjalan jauh, membawa beban berat pasti kalian haus dan juga lapar. Sayang
tidak ada air di sini. Tapi untuk mengganjal perut lapar dan haus dahaga mengapa
tidak makan pisang saja" Rasanya manis dan banyak airnya.
Aku persilahkan kalian mencicipi."
Habis berkata begitu orang bercaping ambil tongkat putih di atas pangkuan.
Tongkat diangkat dan dikibaskan empat kali berturut-turut ke arah pisang di atas
pohon. Empat buah pisang secara aneh melesat dan masuk ke dalam mulut empat pembantu
Raja Penidur. Pelipis bergerak, rahang menggembung, mata mendelik. Jelas keempat
orang ini menjadi marah besar diperlakukan seperti itu.
"Oho! Jangan marah! Makan saja pisangnya. Aku tidak akan minta bayaran! Ha...
ha... ha!"
Saking marah dan karena pisang sudah masuk hampir setengahnya ke mulut mereka,
dengan gemas geram
empat lelaki tinggi besar itu akhirnya kunyah dan telan pisang dengan kulit-
kulitnya. Orang bercaping kembali tertawa.
"Kalau lagi lapar, pisang dilahap dengan kulitnya memang sedap juga. Ha... ha...
ha!" Orang bercaping goyangkan tangan kanan. Kembali suara berisik
menggema di seantero tempat.
Tadinya keempat orang yang masih dalam keadaan
marah itu hendak melakukan sesuatu untuk memberi pelajaran pada orang bercaping
yang sudah keterlaluan kurang ajarnya. Tapi mereka merasa aneh, pisang dengan
kulit itu terasa sangat sedap dan walau cuma makan sebuah saat itu mereka merasa
perut masing-masing kenyang sekali. Dahagapun hilang, tubuh terasa segar dan
kuat. Segala keletihan menempuh perjalanan jauh dan membawa beban berat lenyap!
"Orang bercaping, jelaskan siapa dirimu!" Pembantu paling depan berkata.
Suaranya tidak berani keras lagi. Dia menyadari orang yang duduk di tanah itu
benar-benar bukan manusia sembarangan.
"Sudi membuka caping. Bolehkah Kami melihat
wajahmu?" kawannya di samping kiri ikut keluarkan ucapan.
Orang bercaping melintangkan tongkat putih di atas dada. Benda yang selalu
digenggamnya di tangan kanan diletakkan di tanah. Perlahan-lahan bagian depan
caping bambunya didorong ke atas hingga wajahnya tersingkap sampai ke kening.
Ternyata dia adalah seorang kakek. Dan astaga! Sepasang matanya kelihatan putih,
tidak ada bola mata hitam sama sekali!
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
9 MPAT pembantu Raja Penidur tersentak kaget.
Manusia buta begini rupa bagaimana bisa tahu
Ekehadiran mereka, membawa beban berat dan bisa
melakukan hal-hal aneh. Padahal orang tidak buta sekalipun belum tentu bisa
mengerjakan! Setelah tertawa panjang kakek ini berkata.
"Pakaian rombeng banyak tambalan. Membekal
tongkat putih dari tulang. Mengenakan caping. Ke mana-mana membawa kaleng
rombeng berisi batu. Mata hanya tinggal putihnya saja. Apa kalian masih tidak
mengenali diriku" Ha... ha... ha...!"
"Kakek Segala Tahu!"
Empat pembantu Raja Penidur keluarkan ucapan
hampir berbarengan. Lalu sama-sama bungkukkan tubuh memberi hormat.
"Setahu kami kau adalah sahabat sangat dekat dengan Raja Penidur..."
"Kami memang bersahabat. Tapi dia seorang sahabat yang sombong!" kata si kakek
pula. "Buktinya, menemuiku dia terus-terusan tidur. Tapi aku mau tahu apakah dia
cuma berpura-pura."
Kakek bercaping yang memang Kakek Segala Tahu
adanya, orang yang merupakan salah satu dedengkot rimba persilatan tanah Jawa
beringsut mendekati jejeran tiga batang kelapa di atas mana Raja Penidur tidur
dengan mengeluarkan suara mendengkur keras.
Kakek itu kerahkan tenaga dalam lalu kaleng rombeng yang didekatkan ke telinga
kiri Raja Penidur digoyang kuat-kuat. Empat pembantu Raja Penidur tersurut
sampai empat langkah. Satu di antaranya hampir terpeleset masuk ke dalam parit.
Mereka semua menutup telinga masing-masing karena tidak sanggup mendengar
kerasnya suara kaleng rombeng berisi batu yang digoncang.
Di atas jejeran batang kelapa, Raja Penidur tidak bergerak, tidak pula berhenti
dengkurnya. Sepasang mata terus terpejam. Dahsyatnya suara kerontangan kaleng
yang digoyang di telinga kirinya sama sekali tidak membuatnya bangun dari lelap
tidur. Kakek Segala Tahu belum mau menyerah. Tenaga
dalamnya ditambah lagi hingga capingnya beberapa kali berjingkrak ke atas.
Kaleng rombeng dipindah, kini digoyang di dekat telinga kanan Raja Penidur.
Seperti tadi Raja Penidur tidak bergeming, tidak terpengaruh sedikit-
pun. "Kakek Segala Tahu," ucap salah seorang pembantu.
"Kau saksikan sendiri, Raja Penidur tidak sombong, dia tidak berpura-pura. Dia
memang tidur nyeyak. Kalau belum saatnya, apapun yang terjadi, sekalipun gunung
meletus di depan hidung dan dunia ini mau kiamat, dia pasti tetap saja tidak
akan terjaga bangun. Harap kau tidak meng-
ganggunya lebih jauh."
Kakek Segala Tahu menyeringai.
"Siapa percaya ocehanmu!?" katanya. "Kalau gunung meletus di depan hidungnya,
majikanmu ini sudah jadi debu. Kalau dunia kiamat dia sudah jadi bara puntung
neraka! Ha... ha... ha! Kalian semua tenang saja. Lihat saja.
Masih ada cara lain untuk membuktikan apakah dia memang benar-benar tidur atau
bohongan belaka!"
"Asal kau jangan menyakiti dirinya saja Kek," kata salah seorang pembantu Raja
Penidur. "Jangan takut, jangan khawatir. Hik... hik. Aku tidak akan menyakiti dirinya.
Malah aku mau memberinya satu kenikmatan." Jawab Kakek Segala Tahu. Lalu orang
tua ini ambil tongkatnya. Ujung tongkat diletakkan di atas tubuh Raja Penidur,
tepat di bagian bawah perut manusia gemuk itu. Perlahan-lahan sambil kedip-
kedipkan matanya yang putih, Kakek Segala Tahu mulai usap-usapkan ujung
tongkatnya. "Kakek, apa yang kau lakukan?" tanya seorang
pembantu Raja Penidur.
"Ssst... Lihat saja. Tak usah khawatir..." Jawab Kakek Segala Tahu dan terus
saja mengusapi bagian tubuh di antara dua paha Raja Penidur. Lama kelamaan,
perlahan-lahan celana di bagian bawah perut itu membengkak, naik ke atas, makin
tinggi dan makin tinggi.
Kakek Segala Tahu tertawa cekikikan. Dia tarik
tongkatnya lalu berkata.
"Kalian lihat sendiri. Barusan aku telah membuktikan majikanmu ini tidak tidur
benaran. Dia hanya pura-pura.
Kalau dia memang tidur mengapa anunya bisa munjung, bisa naik diusap-usap.
Padahal cuma diusap dengan tongkat. Bagaimana kalau yang mengusap jari-jari
tangan gadis cantik" Huh! Pasti meledak robek celananya! Ha...
ha... ha..."
Empat pembantu Raja Penidur sesaat terdiam lalu
serentak sama-sama menutup mulut menahan tawa. Salah seorang di antara mereka
kemudian berbisik pada teman-temannya.
"Lekas saja beritahu pada kakek itu maksud keda-
tangan kita. Lama-lama melayani dirinya kita semua bisa sinting."
"Kek," salah seorang dari empat pembantu dekati
Kakek Segala Tahu. "Raja Penidur memberi tugas pada kami berempat untuk
menemuimu. Soal apakah dia tidur benaran atau pura-pura mohon jangan diambil
hati. Kami diperintahkan untuk menyerahkan..."
"Aku sudah tahu. Kalian diperintahkan untuk menye-
rahkan satu barang butut padaku disertai satu pesan.
Bukan begitu"!"
Empat pembantu Raja Penidur jadi tersirap kaget.
Bagaimana kakek buta ini bisa mengetahui tugas yang mereka jalankan"
Kakek Segala Tahu masih senyum-senyum dan ber-
tanya. "Sudah, jangan pada bingung. Serahkan benda itu dan sampaikan pesannya."
Salah seorang dari empat lelaki tinggi besar ambil gulungan kain putih kecil di
atas lipatan paha celana Raja Penidur. Benda ini kemudian diserahkannya pada
Kakek Segala Tahu.
Si kakek usap-usap benda yang diterimanya. Sesaat tercengang. Seperti melihat
padahal buta dia bertanya. "Si gendut ini menyuruh kalian menyerahkan benda ini
padaku?" "Benar Kek. Harap kau mau menerima..."
"Benar-benar menghina!"
"Kek, buruk bagusnya benda ini harap kau sudi mene-
rima. Kami berempat hanya menjalankan perintah. Harap jangan marah."
"Siapa bilang aku marah!"
"Kalau begitu tolong diterima saja Kek."
"Sekarang coba katakan apa pesan dari si gendut
majikanmu ini?" tanya Kakek Segala Tahu.
"Raja berpesan agar Kakek pergi ke utara Telaga
Sarangan."
"Hemmmm..." Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng bututnya. "Mau apa dia
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyuruh aku ke sana" Mencari apa menemui siapa?"
"Maaf Kek, Raja tidak menjelaskan apa-apa."
Kakek Segala Tahu kerontangkan lagi kaleng rombeng-
nya. Gulungan kain putih kecil kembali diusap-usap. Lalu perlahan-Iahan dibuka.
Begitu gulungan kain terbuka si kakek meraba-raba kain itu. Ternyata di atas
kain ada serangkaian tulisan tertera dengan tinta kuning. Kakek Segala Tahu
perlihatkan kain putih itu pada orang tinggi besar yang berdiri di depannya lalu
berkata. "Beritahu, aksara apa yang tertera di kain ini. Aksara Jawa kuno, Arab
atau Cina?"
Orang tinggi besar memperhatikan kain putih di tangan si kakek sebentar. Lalu
menjawab. "Tulisan Jawa Kuno Kek."
"Begitu?" Si kakek manggut-manggut. Atur caping di atas kepala. Betulkan letak
buntalan di punggungnya lalu selipkan tongkat di pinggang. Perlahan-lahan dia
bangkit berdiri.
"Kakek, boleh kami membaca apa yang tertulis di atas kain putih itu?"
"Apakah guru kalian memerintahkan begitu?"
Pembantu yang barusan bicara jadi terdiam lalu
gelengkan kepala.
"Barang sudah kalian serahkan, pesanan sudah kalian sampaikan. Saatnya aku pergi
ke mana aku mau menuju dan kalian silahkan berangkat melanjutkan perjalanan?"
"Tapi Kek, sesuai pesanan Raja, kau harus pergi ke utara Telaga Sarangan."
"Ke mana aku mau pergi itu adalah urusanku," jawab Kakek Segala Tahu lalu
kerontangkan kaleng rombengnya.
Empat orang pembantu Raja Penidur tidak bisa berkata apa-apa lagi. Setelah
membungkuk memberi hormat
mereka angkat batang kelapa lalu mengusung pergi Raja Penidur yang terus saja
ngorok tiada henti.
Setelah orang-orang itu pergi Kakek Segala Tahu
kembali duduk menjelepok ke tanah. Caping didorong ke atas. Kepala mendongak ke
langit. Jari-jari tangan meng-
usap rangkaian tulisan di atas kain putih kecil. Begitulah caranya kakek aneh
ini membaca. Dalam membaca dia tertawa-tawa sendiri.
"Curang! Kenapa cuma anak perjaka yang boleh nikah"
Huh! Apa tua bangka seperti aku ini tidak boleh mendapat kesempatan" Tapi...
ha... ha... ha!"
Setelah mengomel si kakek tertawa sendiri. "Apa yang bisa dilakukan kakek
keropos seperti aku jika nikah dengan perawan" Modalku cuma terong keriput,
mungkin sudah karatan lagi! Ha... ha... ha!"
Kakek Segala Tahu sekali lagi usap rangkaian tulisan di atas kain putih dengan
jari-jari tangannya. Lalu dia kelihatan seperti menggigil. "Huh... nikah dengan
mayat! Siapa sudi! Lebih baik gempor seumur-umur! Hik... hik...
hik!" *** Semalaman suntuk Kakek Segala Tahu berjalan sambil
sesekali kerontangkan kaleng bututnya. Ketika sang surya muncul baru dia
berhenti, duduk di pinggiran sebuah hutan kecil. Dari kemunculan matahari kini
dia tahu mana arah utara.
"Apakah aku harus pergi ke utara sesuai pesan si gendut itu?" Kakek Segala Tahu
bertanya dalam hati.
"Urusanku banyak yang lain. Kalau tidak melihat kesulitan yang bakal dihadapi
anak-anak itu aku lebih suka tidak perduli dengan pesan si gendut!" Si kakek
kerontangkan kaleng berisi batu kerikil. Setelah merasa letihnya hilang dia
lanjutkan perjalanan kembali. Namun baru bertindak enam langkah dua bayangan
putih berkelebat mengha-
dang. Satu di kiri satu di kanan.
"Ah, manusia-manusia pocong itu rupanya benar-benar ada," Membatin si kakek.
Caping di dorong ke atas. Dua manusia pocong jadi melengak ketika menyaksikan
orang yang mereka hadang ternyata adalah seorang kakek bermata putih alias buta.
Manusia pocong di sebelah kanan membentak.
"Kakek buta! Kami tahu kau membekal segulung kecil kain putih! Serahkan benda
itu pada kami!"
Kakek Segala Tahu dongakkan kepala ke atas, keron-
tangkan kalengnya lalu tertawa mengekeh.
"Yang namanya pocong itu tak pernah ada yang bisa bicara. Dan kalau muncul
selalu membawa bau menyan.
Kalian ini pocong apa" Masih punya nyawa berbadan seperti mayat! Benar-benar
tolol. Atau sinting"!"
Dua manusia pocong jadi terkesiap. Bagaimana kakek buta itu tahu keadaan diri
mereka" "Kalian ini makhluk jejadian apa sebenarnya" Datang dari mana"!"
"Kau tak layak bertanya!" bentak manusia pocong di samping kiri. Temannya di
sebelah kanan menyambung.
"Kakek buta, kami tahu kau punya kepandaian. Tapi jangan harap dengan
kepandaianmu itu kau bisa
selamatkan diri dari kematian! Lekas serahkan barang yang kami minta! Atau kau
akan mampus percuma di tangan kami orang-orang 113 Lorong Kematian!"
"Wah... wah... wah! Kalau kalian mengancam mau
membunuhku, aku yang tua bau tanah ini mana berani melawan. Apalagi kalian
berdua aku cuma sendiri. Apalagi kudengar kalian menyebut-nyebut 113 lorong.
Bisa-bisa aku kalian cincang jadi 113 potong!" Seperti orang keta-
kutan Kakek Segala Tahu lalu bongkar buntalannya sambil mulutnya berucap.
"Heran, heran. Bagaimana kalian tahu kalau aku membekal segulung kain putih?"
Dari dalam buntalan Kakek Segala Tahu kemudian keluarkan barang yang diminta.
Segulung kecil kain putih.
"Bagus! Kau cukup tahu diri!" Manusia pocong sebelah kanan cepat ambil gulungan
kain putih kecil lalu memberi isyarat pada temannya untuk segera pergi.
Sang teman berbisik. "Kita bunuh saja tua bangka ini."
"Kurasa tidak perlu. Kita sudah mendapatkan apa yang dicari." Jawab manusia
pocong satunya. Justru ini adalah satu kesalahan besar yang kelak akan
menimbulkan malapetaka atas pimpinan serta seluruh anggota Barisan Manusia
Pocong 113 Lorong Kematian.
Dua manusia pocong itu akhirnya tinggalkan si kakek.
*** Di dalam 113 Lorong Kematian.
Yang Mulia Ketua melangkah mundar-mandir dalam
Ruang Bendera Darah. Wakilnya tegak tak bergerak. Kedua orang ini berada dalam
keadaan risau. Sang ketua hen-
tikan langkah. Memandang pada wakilnya dan berkata.
"Aku tahu, saat ini matahari sudah naik tinggi.
Menurutmu apakah dua anggota kita akan berhasil
mendapatkan benda itu?"
"Mudah-mudahan. Saya berharap begitu..."
"Kalau hanya mudah-mudahan berarti masih ada rasa was-was dalam hatimu! Kita
sudah kehilangan Dewa Berkaki Iblis dan temannya Datuk Liang Akhirat. Kalau
sampai dua anggota yang kita kirim menghadang kakek buta ini gagal lagi, celaka
besar menghadang. Gila!
Mengapa roh gaib penghuni Aksara Batu Bernyawa tidak pernah memberitahu kain
penangkal celaka itu dari dulu-dulu! Bisikan roh baru aku terima tiga malam
lalu. Terlambat! Mungkin ini ada sebabnya. Ada kaitan dengan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu yang selalu menyanyikan lagu keparat itu!"
"Yang Mulia Ketua harap bersabar. Saya yakin dua orang kita itu akan segera
kembali sebelum tengah hari.
Kalaupun terjadi hal yang buruk, biar saya sendiri yang turun tangan."
"Untuk sementara aku tidak mengizinkan kepergianmu dari tempat ini. Apa kau
tidak ingat laporan mata-mata yang mengatakan beberapa orang terlihat di sekitar
selatan Telaga Sarangan. Dari ciri-ciri yang disebutkan, salah seorang di antara
mereka adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saatnya kita menjebak dan menghabisi
manusia satu itu. Apa kau tidak ingin membalaskan dendam kesumat sakit hatimu
terhadap musuh bebuyutanmu itu?"
"Saya menurut perintah Yang Mulia Ketua. Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!"
Baru saja Wakil Ketua menyelesaikan ucapannya tiba-tiba di pintu ruangan ada
ketukan. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong cepat melangkah ke arah pintu batu.
Yang Mulia Ketua menekan sebuah tombol rahasia di lengan kanan kursi batu yang
biasa didudukinya. Dinding batu di ujung ruangan bergerak turun ke bawah
membentuk pintu terbuka.
Di depan pintu dua orang manusia pocong menjura ke arah Yang Mulia Ketua dan
Wakil Ketua baru melangkah masuk ke dalam Ruang Bendera Darah.
"Kalian berhasil"!" tanya Yang Mulia Ketua dengan suara keras lantang.
Manusia pocong di sebelah kanan menjura. "Berkat petunjuk Yang Mulia. Kami
berhasil." Lalu dari balik jubah putihnya manusia pocong ini keluarkan sebuah
benda. Gulungan kecil kain putih. Benda ini diserahkan kepada Yang Mulia Ketua.
"Ah..." Yang Mulia Ketua lepaskan nafas lega. Gulungan kain cepat dibuka.
Secepat kain terkembang secepat itu pula teriakan keras menggeledek dari
mulutnya. "Jahanam!
Palsu! Apa ini"! Kalian berani menipuku!"
Dua manusia pocong tersentak kaget dan tersurut tiga tangkah. Di balik kain
putih penutup kepala wajah mereka menjadi pucat pasi. Wakil Ketua maju mendekat
berusaha melihat apa yang ada di atas kain putih kecil. Seharusnya di atas kain
itu tertera serangkaian tulisan. Tapi yang dilihatnya adalah gambar muka orang
dengan lidah menjulur mencibir.
Yang Mulia Ketua menyambar dua buah Bendera Darah dari meja batu dan siap
dilemparkan ke arah dua anak buahnya. Wakil Ketua cepat mencegah.
"Yang Mulia Ketua. Harap sudi bersabar! Kita tanyai dulu mereka. Apa yang telah
terjadi. Lagi pula, kalau keduanya kita habisi, jumlah anggota kita semakin
sedikit. Di saat-saat seperti ini kita perlu banyak anggota. Sudah cukup lama kita tidak
ketambahan anggota baru. Yang sudah ada jangan sampai berkurang..."
"Setan alas!" Yang Mulia Ketua bantingkan dua
bendera darah hingga menancap amblas di lantai batu! Di balik lobang kecil kain
putih penutup kepala sepasang mata Yang Mulia Ketua berapi-api.
"Kalian berhasil ditipu tua bangka ini! Sungguh mema-
lukan! Sebelum pergi apakah kalian sudah membunuh-
nya"!"
Dua anggota Barisan Manusia Pocong tak segera
menjawab. Salah satu di antaranya malah tundukkan kepala.
"Jahanam! Apa kalian berdua sudah jadi bisu" Jawab!
Kalian membunuh kakek buta itu atau tidak?"
Manusia pocong di sebelah kanan membungkuk
ketakutan lalu berkata. "Sebelum pergi, saya sudah mengingatkan dia untuk
membunuh orang tua itu. Tapi katanya tak perlu karena kami sudah mendapatkan apa
yang dicari."
"Jahanam keparat!"
Yang Mulia Ketua hantamkan tangan kanannya ke arah manusia pocong di samping
kiri yang tegak tertegun tundukkan kepala. Satu gelombang angin panas menebar
cahaya-cahaya menggidikkan melabrak tubuh manusia pocong. Orang ini menjerit
keras. Tubuhnya mencelat ke luar ruangan, melayang sepanjang lorong lalu jatuh
berge- debuk dalam keadaan hangus mengerikan.
Ketika Yang Mulia Ketua palingkan kepala ke arah manusia pocong satunya, sang
wakil cepat menghalangi.
"Yang Mulia Ketua, jangan..." Lalu dia berkata pada manusia pocong di depannya.
"Manusia tolol. Lekas keluar dari tempat ini. Atau aku sendiri yang akan
mewakili Yang Mulia Ketua memecahkan batok kepalamu!"
Tidak tunggu lebih lama, manusia pocong satunya yang pucat pasi wajah serta
kucurkan keringat dingin di seluruh tubuh serta merta keluar dari Ruangan
Bendera Darah. *** TIDAK lama setelah dua manusia pocong tinggalkan
dirinya, Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Dasar pocong jejadian. Kalau
pocong sungguhan pasti kalian tidak termakan tipuku! Ha... ha... ha."
Si kakek angkat capingya. Dari sela-sela rambutnya yang putih dia keluarkan
sebuah benda yang bukan lain adalah gulungan kain putih. Tangan kanan
kerontangkan kaleng rombeng dua kali, lalu dia mulai mengusap rangkaian tulisan
di kain putih dengan ujung-ujung jari.
Begitulah cara dia membaca apa yang tertulis di kain tersebut.
Batas antara kebaikan dan kejahata
adalah kebijaksanaan.
Kehidupan yang terjadi tanpa izin Yang Kuasa, akan menimbulkan bencana
malapetaka di mana-mana.
Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan
rimba persilatan akan kiamat.
Dalam kiamat, tangan-tangan jahat akan jadi
penguasa. Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan.
Nyawa tiada artinya lagi.
Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup
menjadi tumbal penyelamat.
Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan, nikahkan dia dengan seorang
perjaka. Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang lelaki, nikahkan dia dengan seorang
perawan. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral.
Dalam kesakralan ada kesucian.
Dalam kesucian ada jalan untuk selamat.
Maka kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya.
Kain putih digulung kembali lalu disusupkan di sela rambut putih di atas kepala.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
10 EMBALI ke tempat bertemunya Pendekar 212 Wiro
Sableng, Wulan Srindi, Jatilandak dan Loh Gatra.
K Seperti diketahui di tempat itu juga ada Bidadari Angin Timur dan kakek
berjuluk Setan Ngompol. Kedua orang ini bersembunyi di balik semak belukar dalam
gelapnya malam sementara berpikir-pikir apakah akan keluar bergabung dengan
orang-orang itu atau tetap saja sembunyi dulu mendengarkan segala pembicaraan
mereka. Tak lama setelah Sinto Gendeng pergi meninggalkan orang-orang itu muncul seorang
penunggang kuda. Bida-
dari Angin Timur yang berada paling dekat dengan arah datangnya orang, begitu
melihat siapa adanya si penung-
gang kuda segera saja mengambil keputusan untuk keluar dari tempat
persembunyiannya.
Orang yang datang dan kemudian turun dari kuda
adalah seorang gadis cantik berpakaian ringkas warna ungu. Sehelai selendang
yang juga berwarna ungu diikat-
kan di pinggang membuat penampilannya menjadi tambah gagah. Rambut yang digulung
ke belakang, diikat dengan sehelai pita ungu. Kemunculan gadis ini membuat semua
orang di tempat itu sesaat jadi terdiam namun setelah itu mereka segera
mengelilinginya dan suasana berubah jadi gembira.
"Anggini," tegur Wiro menyebut nama gadis yang baru turun dari kuda yang bukan
lain adalah Anggini, murid Dewa Tuak yang konon memang sejak lama diinginkan
untuk dijodohkan dengan Wiro. "Kau datang sendirian.
Mana para sahabat yang lain. Ratu Duyung, Sutri
Kaliangan..." Entah lupa entah memang tidak sengaja Wiro tidak menyebut nama
Bidadari Angin Timur.
"Malam pertemuan di Gedung Kepatihan," menyahuti Anggini. "Kami menunggu. Kau
tidak muncul. Kami akhir-
nya berpencaran mencari jalan sendiri-sendiri. Aku tidak tahu di mana beradanya
Sutri Kaliangan dan Ratu Duyung.
Juga Bidadari Angin Timur. Aku..."
Belum sempat Anggini menyelesaikan kata-katanya
tiba-tiba satu suara berseru menggema di kegelapan malam.
"Anggini! Aku ada di sini!"
Begitu suara lenyap, di tempat itu berkelebat satu bayangan biru menebar bau
harum. Tahu-tahu Bidadari Angin timur telah berdiri di antara orang-orang itu.
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anggini langsung merangkul Bidadari Angin Timur. Saat saling berangkulan
Bidadari Angin Timur pergunakan kesempatan untuk berbisik.
"Anggini, dengar baik-baik. Tapi jangan melihat pada orangnya. Kau lihat gadis
hitam manis yang berdiri di samping pemuda berkulit kuning?"
Anggini melirik. "Ya, aku lihat. Siapa dia?"
"Namanya Wulan Srindi. Soal asal usulnya nanti akan kau ketahui sendiri. Tapi
sebagai sahabatmu ada satu hal membuat aku sakit hati pada gadis itu. Dia
mengaku pada semua orang, juga pada Eyang Sinto Gendeng..."
"Eyang Sinto Gendeng ada di sini?" tanya Anggini.
"Tadi, sekarang sudah pergi." Menerangkan Bidadari Angin timur.
"Gadis itu, dia mengaku apa?"
"Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak..."
Anggini terkejut.
"Setahuku guru tak punya murid lain selain diriku."
Kata Anggini sambil sekali lagi melirik ke arah Wulan Srindi.
"Semua orang tahu. Gadis itu berdusta. Malah lebih jahat dari kedustaan itu, dia
membuat kedustaan kedua.
Dia mengaku Dewa Tuak menjodohkan dirinya dengan Wiro..."
Ada tarikan nafas di tenggorokan Angini. Dalam
pelukannya, Bidadari Angin Timur merasa tubuh Anggini bergetar dan degup
jantungnya mengencang.
"Aku merasa tidak terusik kalau gadis itu berjodoh dengan Wiro," bisik Anggini.
Membuat sekilas wajah Bidadari Angin Timur jadi berseri.
"Aku tak pernah lagi memikirkan soal itu. Kurasa Wiro juga demikian. Tapi soal
dia adalah murid Dewa Tuak, itu perlu diselidiki. Biar aku bicara dengan gadis
itu..." "Tenang, kuharap kau tenang. Jangan dulu
mengacaukan suasana. Nanti mereka tahu kalau aku yang membuka rahasia."
"Apakah gadis itu tahu siapa diriku?" tanya Anggini.
"Kurasa tidak. Tak ada perubahan di wajahnya ketika kau muncul."
"Kalau begitu aku harus mencari guru. Cukup lama kami tak pernah bertemu..."
"Mungkinkah karena lama tak bertemu gurumu
kemudian dalam rindunya mengangkat gadis itu jadi murid?" Pertanyaan Bidadari
Angin Timur sebenarnya sekadar memancing.
"Guruku punya hak melakukan apa saja. Tapi dia bukan seorang yang tega
berkhianat..."
Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur lepaskan
pelukannya di tubuh Anggini.
"Anggini, bagaimana kau tahu kalau kami berada di sini?" Wiro bertanya pada
Anggini dengan sikap seolah Bidadari Angin Timur tak ada di situ. Rupaya sakit
hati atas beberapa hal yang dilakukan Bidadari Angin Timur dengan Jatilandak
belum bisa dilenyapkan sang pendekar.
"Ratu Duyung," jawab Anggini.
"Di mana gadis bermata biru itu?" tanya Wiro pula.
Mendengar disebutnya nama itu, dan dalam bertanya kenangan Pendekar 212 kembali
pada pertemuannya
dengan Bunga atau Suci, gadis dari alam roh, beberapa waktu lalu. Saat itu Bunga
mengatakan agar jika dia di kemudian hari mencari kawan hidup maka pilihlah Ratu
Duyung, jangan gadis lain. Kemudian Wiro tersadar, mendengar suara Anggini.
"Melalui cermin saktinya aku dan kawan-kawan
mengetahui ancar-ancar keberadaanmu. Dia berangkat lebih dulu bersama Sutri
Kaliangan puteri Patih Kerajaan.
Aneh kalau dia belum bergabung dengan kalian."
"Mungkin mereka mampir dulu di satu tempat. Kau
tahu Sutri Kaliangan adalah seorang putera Patih Kerajaan.
Di mana-mana dia dikenal dan dihormati orang. Pasti banyak yang ingin
mengundangnya..." Yang bicara adalah Bidadari Angin Timur.
Wiro tidak memberi tanggapan. Dia hanya melirik
sebentar pada gadis berambut pirang itu lalu memandang pada Anggini dan berkata.
"Ada kabar tidak enak. Menurut gadis ini..." Wiro memalingkan kepala pada Wulan
Srindi lalu meneruskan ucapannya, "gurumu Dewa Tuak ditahan oleh komplotan
manusia pocong..."
"Kami tengah mengatur rencana penyerbuan ke 113
Lorong Kematian, markas manusia pocong. Mereka
menculik istriku yang sedang hamil," berkata Loh Gatra.
"Aku bersumpah akan membantai pimpinan dan semua anggota manusia pocong kalau
guruku dibikin cidera, apalagi kalau sampai tewas." Kata Anggini pula. Lalu dia
sambung ucapannya. "Wiro, aku perlu bicara dengan gadis hitam manis bernama
Wulan Srindi ini. Kau kenal di mana dia?"
Wiro tak bisa menjawab hanya garuk-garuk kepala, melirik pada Bidadari Angin
Timur. "Pasti dia yang memberitahu saat berpelukan tadi." Murid Sinto Gendeng
membatin. "Kalau kau ingin bicara padanya silahkan. Aku tidak melarang. Tapi kita tengah
menghadapi perkara besar.
Jangan sampai terjadi silang selisih dan kekacauan di antara kita sebelum
masalah besar terpecahkan."
"Dia mengaku sebagai murid Dewa Tuak. Yang aku tahu selama ini aku adalah murid
tunggal Dewa Tuak. Apa tidak layak kalau aku menanyai gadis itu karena dia
mengaku sebagai murid Dewa Tuak pula?"
"Layak-layak saja..." sahut Wiro. Lalu dengan suara agak dikeraskan agar
terdengar Bidadari Angin Timur sang pendekar berkata. "Dia juga bicara soal
gurumu telah menjodohkan dirinya dengan diriku. Bukankah itu yang sudah
diceritakan Bidadari Angin Timur padamu tadi sewaktu kalian saling berpelukan?"
Wajah Bidadari Angin Timur langsung berubah merah.
Anggini cepat menolong sahabatnya itu dengan
berkata. "Hal satu itu tidak perlu kuselidiki. Gadis itu mau kawin dengan siapa
saja silahkan saja. Antara guru kita memang ada usaha untuk mengikat kita dalam
perjo- dohan. Tapi tidak ada keterusan dan aku sudah melupakan semua itu."
Wiro manggut-manggut. "Ah, pandai sekali Bidadari Angin timur mengipas bara api
dalam dada gadis ini," kata Wiro dalam hati. Sambil garuk-garuk kepala dan
tersenyum dia berkata. "Memang gadis sekarang boleh-boleh saja memilih siapa
kekasih dan calon suaminya. Kalau aku boleh bertanya apakah kau suka pada pemuda
berkepala botak berwarna serba kuning itu?"
Anggini menoleh ke arah Jatilandak lalu memandang mendelik kearah Wiro. "Apa-
apaan ini" Kau bicara apa"!
Bukankah..."
Wiro tertawa lebar.
"Untung kau tidak menyukainya. Karena ketahuilah pemuda itu adalah kekasih dan
milik sahabatmu ini."
Habis berkata begitu tanpa perdulikan bagaimana
wajah Bidadari Angin Timur menjadi merah kelam dan tubuhnya bergetar, murid
Sinto Gendeng melangkah tinggalkan dua gadis.
"Sahabatku, apa yang terjadi antara kau dan Wiro?"
tanya Anggini sambil memegang lengan Bidadari Angin Timur.
Yang ditanya hanya gelengkan kepala. Wajah masih kelihatan merah dengan mimik
seperti menahan tangis.
"Kita semua tengah menghadapi satu urusan besar.
Tapi agaknya urusan pribadi tidak bisa dilupakan. Saha-
batku, jika ada kesempatan di lain waktu aku ingin kau menceritakan apa yang
terjadi antara kalian berdua. Kalau aku tidak bisa mendapatkan pemuda itu
sebagai teman hidup, kuharap kaulah penggantinya. Jangan dia sampai jatuh ke
tangan gadis lain. Mari kita bergabung dengan mereka..."
Bidadari Angin Timur telan ludahnya sendiri. Tenggo-
rokannya bergerak-gerak. "Terima kasih, aku memilih lebih baik pergi saja."
Jawab Bidadari Angin Timur.
"Apakah itu akan menyelesaikan persoalan?" Tanya Anggini.
"Aku tidak tahu. Aku tidak perduli. Gadis bernama Wulan Srindi itu, dialah biang
racun semua ini..."
"Tetapi apa yang terjadi antara kau dengan pemuda kuning itu" Wiro tidak mungkin
berkata seperti tadi jika tidak ada apa-apa..."
"Dia salah sangka. Keliru menduga. Aku..." Bidadari Angin Timur akhirnya
melangkah pergi. Melompat ke atas kuda yang tadi ditunggangi Anggini dan tanpa
dapat dicegah tinggalkan tempat itu.
Semua orang jadi melongo. Loh Gatra mendatangi,
hendak bertanya pada Anggini. Tapi Anggini justru melang-
kah mendekati Wulan Srindi. Jatilandak tampak bingung.
Tapi hanya sesaat. Di lain kejap pemuda dari Negeri Lahtanasilam ini segera
berkelebat ke arah lenyapnya Bidadari Angin Timur. Melihat hal ini Anggini
merasa seolah apa yang diucapkan Wiro tadi benar adanya. Antara Bidadari Angin
Timur dengan Jatilandak ada jalinan hubungan yang lebih dari hanya berupa
persahabatan. Anggini meneruskan langkah menemui Wulan Srindi.
Wiro garuk-garuk kepala ketika Loh Gatra mendekatinya dan berkata.
"Aku sangat mengawatirkan keselamatan istriku. Aku tak bisa berada lebih lama di
tempat ini. Aku akan mencari mulut terowongan dan menerobos masuk ke dalam 113
Lorong Kematian."
"Sahabat, harap kau bersabar. Kita harus mengatur siasat. Dua orang yang mabuk
bercinta tadi pergi begitu saja. Kekuatan kita hanya sedikit. Apa kita bisa
menghan- curkan orang-orang jahat itu kalau hanya mengandalkan kekuatan" Kita harus
memutar otak. Aku tengah berusaha memecahkan petunjuk yang diberikan Eyang Sinto
Gendeng." "Kita berdua akan bekerja keras. Sementara para gadis itu akan membuat silang
selisih!" sahut Loh Gatra.
Wiro hanya bisa garuk kepala lalu tepuk-tepuk bahu sahabatnya itu.
Di hadapan Wulan Srindi, Anggini berdiri memandangi si gadis mulai dari rambut
sampai ke ujung kaki. Di mata Wulan Srindi sikap Anggini begitu congkak dan nada
suaranya terdengar kasar ketika dia bertanya.
"Namamu Wulan Srindi"!"
"Betul sekali," jawab Wulan Srindi dengan suara lembut dan sambil tundukkan
kepala sedikit sebagai penghorma-
tan. "Ah, tentunya gadis berambut pirang tadi yang memberitahu padamu siapa
namaku." "Dari mana aku tahu namamu itu urusanku sendiri,"
tukas Anggini. "Kau mengaku pada orang-orang di tempat ini sebagai murid Dewa
Tuak." "Itu juga betul. Kalau aku boleh bertanya, sahabat berpakaian ringkas serba ungu
ini siapakah adanya?"
"Namaku Anggini. Dan kalau kau mau tahu aku adalah satu-satunya murid Dewa
Tuak!" "Ah, tidak disangka akan bertemu saudara satu guru,"
ujar Wulan Srindi. Gadis ini membungkuk dalam-dalam tanda hormat.
Anggini menjadi panas. "Aku tahu kau berdusta! Kau cuma mengada-ada!"
"Semua orang di sini tidak percaya. Siapa menyalahkan mereka" Apalagi kalau kau
juga tahu bahwa Dewa Tuak menjodohkan diriku dengan pemuda berjuluk Pendekar 212
Wiro Sableng itu."
"Soal perjodohanmu! Soal kau mau kawin dengan siapa bukan perduliku! Tapi jangan
kau berani menipu mengaku sebagai murid Dewa Tuak!"
"Buat apa berdebat tidak karuan di tempat ini semen-
tara Dewa Tuak ditahan orang di dalam lorong" Kau bicara tidak karuan sementara
nyawa gurumu terancam. Bukan-
kah lebih baik mencari jalan bagaimana menyerbu ke dalam lorong, menyelamatkan
Dewa Tuak. Menyelamatkan perempuan-perempuan muda hamil yang diculik
komplotan manusia pocong!"
"Aku tidak perlu nasihatmu! Aku juga tidak perlu bantuanmu! Aku bisa masuk
sendiri ke dalam lorong!"
"Sombongnya! Silahkan masuk ke dalam lorong! Sekali masuk jangan harap kau bisa
keluar!" Setelah sunggingkan seringai mengejek Wulan Srindi tinggalkan Anggini.
Di depan Wiro dia berhenti sebentar. "Hanya aku yang tahu seluk beluk lorong
kematian. Itupun sedikit sekali. Tidak menjamin bisa masuk dan keluar hidup-
hidup." "Aku harap tidak ada perselisihan di antara kita. Lebih baik memecahkan masalah.
Apapun yang terjadi kita harus menyerbu ke dalam markas manusia pocong. Apa yang
kau ketahui tentang mereka. Kuharap kau mau membantu..."
"Tanpa dimintapun aku akan membantu karena guruku ada di dalam sana!" jawab
Wulan Srindi sambil pegang lengan Wiro. "Tapi jika ada yang bicara sombong dan
mau mempengaruhi orang lain, silahkan pergi sendiri!"
Kata-kata Wulan Srindi itu membuat panas telinga dan merah wajah Anggini. Apa
lagi sewaktu melihat bagaimana Wulan Srindi memegang lengan Pendekar 212. Walau
perasaannya terhadap pemuda ini boleh dikatakan sudah hampa namun mau tak mau
ada goresan perih di lubuk hatinya. Anggini membatin, "Jangan-jangan karena
ulahnya bermain api dengan gadis ini sampai-sampai Bidadari Angin Timur beralih
perhatian pada pemuda muka kuning itu. Dasar mata keranjang!"
"Sahabat, kau mau ke mana?" tanya Anggini ketika dilihatnya Loh Gatra melangkah
cepat meninggalkan tempat itu.
"Aku tak mau terlibat dengan segala silang selisih di antara kalian. Istriku
terancam. Keselamatannya lebih penting bagiku! Aku akan mencari jalan masuk ke
dalam lorong kematian." Menjawab Loh Gatra.
"Kalau begitu, aku bergabung bersamamu!" kata Ang-
gini pula. "Kalian! Jangan pergi dulu. Kita harus mencari siasat!"
seru Wiro. Tapi Loh Gatra dan Anggini terus saja berkelebat pergi.
Wiro kebingungan. Garuk-garuk kepala. Ketika sadar tangannya masih dipegang
Wulan Srindi cepat-cepat ditariknya.
"Aku tidak dapat menyalahkan dirimu..." kata murid Sinto Gendeng pula.
"Aku memang tidak punya salah apa-apa. Heran,
kenapa semua gadis itu, cantik-cantik tapi bicara ketus dan kasar. Mulutnya saja
sudah begitu, bagaimana hatinya..."
"Aku ingin bertanya, apa benar Dewa Tuak meng-
angkatmu jadi muridnya?"
"Kalau ya kenapa" Kalau tidak kenapa?"
Wiro tertawa. "Jangan berteka teki."
Wulan Srindi menggeleng. "Aku tidak berteka-teki.
Kalau ingin tahu, nanti tanyakan sendiri pada Dewa Tuak."
"Kalau dia masih hidup."
"Jaman sekarang rohpun masih bisa diajak bicara!"
jawab Wulan Srindi pula sambil tertawa. Ketika dia hendak melangkah pergi Wiro
memegang bahunya. "Menurut
ceritamu kau sebelumnya sudah pernah masuk ke tempat ini. Tahu jalan masuk ke
lorong kematian. Kuharap kau mau membantu..."
"Aku pernah masuk ke dalam lorong kematian itu.
Sewaktu diculik manusia pocong yang pangkatnya Wakil Ketua. Namun dengan
memperdayai seorang anggota
komplotan aku berhasil keluar dari lorong. Yang jelas aku tidak akan masuk ke
dalam lorong lewat mulut terowongan di kawasan bukit batu. Pasti kesasar dan
maut tantangannya."
"Lalu, apa kau tahu jalan lain?" tanya Wiro.
"Tidak. Maksudku belum. Aku ingat petunjuk Eyang Sinto Gendeng sebelum pergi.
Kau masih ingat kata-kata gurumu?" tanya Wulan Srindi.
"Ya. Dia bilang ilmu rotan jangan dipakai karena tidak ada lobang masuk tidak
ada lobang keluar. Ilmu bambu bisa menolong karena ada lobang masuk ada lobang
keluar. Aku masih belum bisa memecahkan petunjuknya itu." "Bagus kau masih
ingat, tapi sayang tidak bisa memecahkan maksudnya."
"Apa kau bisa memecahkan?" tanya Wiro.
Wulan Srindi tersenyum. "Aku anak murid Perguruan Silat Lawu Putih. Di perguruan
kami bukan hanya belajar silat dan ilmu agama. Tapi juga mendalami rahasia hidup
dan kehidupan manusia. Mempelajari setiap ujar-ujar yang merupakan kembang
rahasia hidup manusia."
"Katakan saja, apa kau sudah tahu arti petunjuk yang diucapkan guruku itu?" Wiro
tidak sabaran. "Kau pernah punya rumah?" tanya Wulan Srindi.
Wiro menggaruk kepala, lalu menggeleng. "Tidak."
"Tapi pernah melihat rumah kan?"
"Gila! Tentu saja pernah! Banyak, sering! Apa
maksudmu?"
"Kalau rotan diibaratkan rumah tidak masuk akal.
Karena tidak punya jalan masuk tidak punya jalan keluar.
Tidak ada pintu depan tidak ada pintu belakang. Lalu bambu. Kalau ada lobang
Wiro Sableng 138 Pernikahan Dengan Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk pasti ada lobang
keluar..."
"Seperti mulut manusia." kata Wiro menyambung. "Ada lobang masuk yaitu mulut
untuk makan dan ada lobang keluar untuk kentut!"
"Itu pengertian orang sableng macammu dan tidak
lucu!" potong Wulan Srindi tapi tak dapat menahan tawa.
"Lalu..."
"113 Lorong Kematian. Ada jalan masuk di sebelah depan, ada jalan masuk di
sebelah belakang."
"Kalau memang begitu, di mana jalan masuk sebelah belakang?"
"Itulah yang harus kita cari! Bukan terus-terusan ngobrol di sini!" kata gadis
berkulit hitam manis itu sambil menarik lengan Wiro.
Sesaat setelah Wiro dan Wulan Srindi tinggalkan
tempat itu, Setan Ngompol kini tinggal sendirian di balik semak belukar.
"Gila, apa yang harus aku lakukan?" si kakek usap-usap bagian bawah perut lalu
bergerak bangkit dan keluar dari tempat persembunyiannya.
WIRO SABLENG PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
11 I RUANG Bendera Darah menjelang pagi. Yang Mulia Ketua duduk di kursi batu.
Sebuah seloki besar
D terbuat dari kayu dipegang di tangan kiri sudah sejak lama kosong. Wakil Ketua
yang berdiri di sampingnya beberapa kali mencoba mengisi seloki itu dengan
sejenis minuman keras yang ada di dalam sebuah guci tanah liat tetapi ditolak.
Wakil Ketua tidak bisa menduga apa yang ada di benak pimpinannya saat itu.
Setelah beberapa waktu berlalu Wakil Ketua membe-
ranikan membuka mulut.
"Yang Mulia Ketua, saya tadi baru saja memberitahu laporan dua mata-mata yang
bertugas di utara dan selatan lorong. Mohon petunjuk Yang Mulia Ketua apa yang
harus kita lakukan. Saya rasa kita harus bertindak cepat."
Yang Mulia Ketua masih diam. Sesaat kemudian baru dia berkata. "Aku tidak
mengawatirkan orang-orang itu.
Mereka boleh datang. Semua sesuai dengan apa yang kita rencanakan selama ini.
Yang menjadi pikiranku adalah Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Aku telah meniduri
hampir semua perempuan hamil yang ada di tempat ini. Hanya dia seorang yang aku
belum mendapat kesempatan. Dulu ketika hampir aku membawanya ke kamarku, muncul
tua bangka Dewa Tuak menganggu membuat ulah."
"Yang Mulia Ketua, jika memang itu yang dikehendaki saya bisa mengatur Yang
Mulia Sri paduka Ratu mening-
galkan Rumah Tanpa Dosa dan membawanya ke kamar
Yang Mulia Ketua. Tapi mohon maafmu Yang Mulia Ketua, saya tahu Sri paduka Ratu
memiliki kecantikan yang sulit dicari bandingannya. Namun di balik kecantikan
itu ada sesuatu yang membuat saya khawatir. Mengapa Yang Mulia tidak mengalihkan
perhatian pada perempuan-perempuan lainnya saja?"
"Seperti aku katakan tadi. Semua mereka sudah
kutiduri! Tapi Sri Paduka Ratu memiliki kelainan dan kehe-
batan sendiri. Dia memiliki kekuatan tenaga dalam yang dahsyat. Hawa sakti luar
biasa. Aku ingin mengambil semua kehebatan itu. Ingin menyedot menguras dari
tubuhnya. Kalau aku bisa mendapatkan semua kehebatan yang dimilikinya itu, rimba
persilatan di tanah Jawa ini, bahkan di seluruh jagat raya ini akan berada dalam
geng- gamanku!" "Yang Mulia Ketua, mohon maafmu. Turut ilmu
persilatan dan ilmu kesaktian, bukankah Yang Mulia bisa menyedot lewat ubun-
ubun?" "Cara kuno yang bisa membahayakan Sri Paduka Ratu.
Mungkin otaknya lebih dulu hancur sebelum aku dapat menguras seluruh
kehebatannya. Kau tahu, dia dalam keadaan tidak punya perasaan, tidak punya
pikiran." "Tapi dia tunduk pada Yang Mulia dan dia kuat!"
"Itulah sebabnya aku ingin menidurinya. Cara paling mudah untuk mendapatkan
semua kehebatan yang dimi-
likinya. Di samping aku sekaligus bisa merasakan kenik-
matan tiada tara."
Wakil Ketua jadi terdiam.
"Ada satu hal lagi yang aku khawatirkan." Yang Mulia Ketua kembali keluarkan
ucapan. "Kain putih berisi penangkal kehidupan bagi nyawa kedua belum kita
dapatkan. Aku yakin benda itu masih ada di tangan kakek keparat berjuluk Kakek
Segala Tahu itu."
"Terus terang kita memang kekurangan orang untuk menangkapnya. Tapi seperti saya
laporkan tadi, mata-mata memberitahu ada tanda seorang kakek dengan ciri-ciri
Kakek Segala Tahu tengah bergerak ke tempat ini.
Kemungkinan besar dia datang dari arah selatan lorong."
Di balik kain penutup kepala Yang Mulia Ketua menye-
ringai. "Siapapun yang datang dari arah itu akan menemu-
kan jurang batu dan jalan buntu. Kecuali jika dia mengetahui pintu rahasia
menuju tangga seratus undakan yang akan membawanya ke lorong seratus dekat Ruang
Kayu Hitam. Jika di selatan mereka tidak menemukan jalan masuk, mereka pasti
akan kembali ke utara, lewat lobang terowongan menuju lorong kematian."
"Untuk berjaga-jaga saya telah menyuruh seorang
anggota bersiap-siap menabur asap beracun di kawasan itu. Saya hanya tinggal
menunggu persetujuan Yang Mulia kapan asap itu mulai ditaburkan."
"Semua aku serahkan pada kebijaksanaanmu Wakil
Ketua. Aku hanya minta satu hal untuk diperhatikan. Aku harus tahu dari arah
mana Pendekar 212 Wiro Sableng mencoba masuk ke tempat ini. Harap kau beritahu
mata-mata agar bekerja dan mengawasi manusia satu itu siang malam."
"Akan saya lakukan Yang Mulia Ketua. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!"
"Sekarang kau jemputlah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Kurasa waktu kita tidak terlalu banyak sebelum tamu-tamu pengantar nyawa itu
datang ke tempat ini."
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong
Kematian bungkukkan badan memberi hormat lalu
melangkah ke dinding di ujung ruangan. Di sini terletak sebuah pintu rahasia
yang hanya bisa dibuka dengan menekan tombol yang ada di lengan kursi kedudukan
Yang Mulia. Wakil Ketua berdiri di depan dinding menunggu sampai pintu dibuka.
"Wakil Ketua," tiba-tiba terdengar suara Yang Mulia Ketua. "Bulan sabit hari
ketiga tinggal sepuluh hari di muka. Siapa ibu dari bayi yang darahnya akan
menjadi usapan ubun-ubun Sri Paduka Ratu?"
"Seorang perempuan muda bernama Larasati, janda
mendiang Adipati Jalapergola dari Temanggung. Suaminya bernama Loh Gatra. Diduga
ikut bersama rombongan orang-orang yang hendak menyerbu ke tempat ini."
(Mengenai riwayat Larasati dan Loh Gatra baca serial Wiro Sableng Episode Badik
Sumpah Darah dan seterusnya)
"Orang bernama Loh Gatra itu punya nyali. Berarti dia punya ilmu yang
diandalkan. Tangkap dia hidup-hidup. Kita akan jadikan dia anggota Barisan
Manusia Pocong."
"Bagaimana dengan yang lain-lain, Yang Mulia Ketua?"
"Sampai kita tahu siapa-siapa mereka adanya, untuk sementara kita tangkap hidup-
hidup. Aku rasa beberapa di antara mereka adalah gadis-gadis cantik
berkepandaian tinggi pemuja pendekar keparat Wiro Sableng. Selain bisa kita
jadikan penghibur dan penghias Lorong Kematian, mereka mungkin bisa
dimanfaatkan. Kecuali Kakek Segala Tahu. Manusia satu itu harus dibunuh. Karena
dia tahu apa yang ada di kain putih. Kita akan meminta banyak bantuan dari Sri
Paduka Ratu."
"Tapi Yang Mulia Paduka, jika Yang Mulia merencana-
kan tidur dengan Sri Paduka Ratu, dan menguras serta menyedot seluruh
kesaktiannya, bagaimana mungkin dia kita andalkan untuk menghadapi orang-orang
itu" Dia tidak akan lebih dari mayat hidup yang tak punya daya apa-apa."
"Ah, kau betul..." ujar Yang Mulia Ketua. "Aku bisa menunda rencana bersenang-
senang dengan dia sampai selesai urusan dengan orang-orang itu. Terutama
Pendekar 212 Wiro Sableng! Sebagai pengganti, bawa Larasati ke kamarku."
"Perintah Yang Mulia akan saya laksanakan. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai."
Sang Ketua tekan tombol batu di lengan kanan kursi.
Pintu batu terbuka. Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong menjura memberi hormat
lalu tinggalkan Ruang Bendera Darah.
*** Beberapa lama sebelum fajar menyingsing.
Udara gelap dan terasa dingin sekali. Wulan Srindi berlari cepat melewati satu
rimba kecil di sebelah timur kawasan 113 Lorong Kematian. Wiro mengikuti dari
belakang. Dari gerakan kaki dan kecepatan larinya murid Sinto Gendeng bisa
menduga-duga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian si gadis. Baik ilmu tenaga
dalam maupun ilmu meringankan tubuh Wulan Srindi belum mencapai tingkatan cukup
tinggi. Namun ada satu hal yang diper-
hatikan Wiro. Ketika berlari, dua tangan gadis itu sama sekali tidak
mengeluarkan suara atau sambaran angin.
Agaknya di sinilah letak kehebatan Wulan Srindi, pikir Wiro.
Dingin, gelap dan sunyi. Tak ada satupun yang bicara di antara kedua orang itu.
Tiba-tiba kesunyian malam dirobek oleh suara suitan dua kali berturut-turut,
datang dari arah timur. Sesaat kemudian dari arah barat terdengar pula dua kali suitan.
"Kehadiran kita sudah diketahui orang-orang Lorong Kematian," kata Wiro.
"Kita harus berhati-hati. Mereka suka membokong
dengan Bendera Darah." Menjawab Wulan Srindi.
"Aku sudah merasa bokongan mereka," kata Wiro pula.
Lalu dia bertanya. "Kau mendengar suara sesuatu?"
"Di sebelah depan atau belakang?" balik bertanya Wulan Srindi.
"Belakang," jawab murid Sinto Gendeng.
"Kalau begitu kau yang tahu, kau yang mendengar.
Pentang telinga lebar-lebar. Nyalangkan matamu. Jangan kita berdua sampai mati
konyol sebelum sampai di Lorong Kematian. Jangan kita sampai gagal sebelum aku
berhasil menyelamatkan guruku...."
Sambil lari Wiro membatin. Dari setiap ucapannya gadis bernama Wulan Srindi ini
ternyata punya daya pikir cepat dan cerdik. Selain itu dari ucapannya tadi Wiro
jadi menduga-duga jangan-jangan Wulan Srindi memang benar murid Dewa Tuak. Kalau
tidak mengapa dia begitu berse-
mangat dan mau bersusah payah untuk menyelamatkan orang tua itu"
"Ada suara orang berlari di belakang kita," Wiro memberi tahu.
"Berarti ada yang mengejar atau menguntit. Dugaanku manusia pocong."
"Di depan kiri ada pohon besar dan semak belukar lebat. Membelok ke balik
pohon!" kata Wiro.
Begitu sampai di dekat pohon besar, ke dua orang itu segera membelok lalu
mendekam di balik semak belukar.
Tak lama kemudian satu bayangan putih berkelebat lewat.
Tapi di depan sana makhluk ini berhenti. Tegak meman-
dang berkeliling mencari-cari. Ternyata dia memang seorang manusia pocong.
"Berani mengejar berani menerima kematian. Aku akan bunuh manusia pocong itu!"
kata Wulan Srindi pula.
"Jangan main bunuh saja. Lebih baik ditangkap hidup-hidup, lalu kita paksa dia
menunjukkan jalan masuk ke Lorong Kematian lewat belakang."
Wulan Srindi tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?" tanya Wiro.
"Terus terang sebenarnya barusan aku hanya ingin menguji kecerdasan otak dan
jalan pikiranmu. Ternyata apa yang aku rencanakan sama dengan yang kau kata-
kan." Wiro garuk kepala. "Kau pandai mencari dalih. Mana aku tahu kau punya pikiran
seperti itu. Bisa saja kau hanya bicara pura-pura untuk menyatakan bahwa kau
gadis hebat."
"Aku memang gadis hebat karena aku murid Dewa
Tuak!" "Kalau begitu cepat kau serang manusia pocong itu.
Pergunakan jurus-jurus ilmu silat Dewa Tuak."
"Kau mau menguji" Apa lupa keteranganku bahwa
orang tua itu belum lama mengangkatku jadi murid. Mana sempat menurunkan ilmu
silat barang sejurus dua jurus!"
"Jangan mencari alasan. Kalau kau takut biar aku yang turun tangan!"
"Enak saja menuduh aku takut!"
Tiba-tiba dari depan sana si manusia pocong berteriak.
"Dua orang yang sembunyi di balik belukar lekas keluar unjukkan diri! Berani
datang ke kawasan Lorong Kematian berarti berani menerima ajal!"
"Pocong keparat!" teriak Wulan Srindi. Lalu gadis itu melesat keluar dari balik
semak belukar sambil menerjang manusia pocong dengan jurus Membelah Ombak
Menembus Gunung. Dalam gelap, tangan kanan gadis ini berkelebat menghantam ke
arah kepala manusia pocong dalam gerakan sangat cepat dan hampir tak kelihatan.
Tapi si manusia pocong bukan orang sembarangan.
Sekali dia mengangkat lengan jubahnya terdengar suara buukkk! Wulan Srindi
terpekik. Tubuhnya terpental setengah melintir. Manusia pocong tertawa mengekeh
lalu menyerbu ke arah si gadis. Melihat hal ini Wiro segera melesat keluar dari
balik pohon. Tangan kanan lepaskan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung yang
didapatnya dari Tua Gila. Menyaksikan serangan kilat dan ganas ini manusia
pocong cepat berkelit ke samping tapi kurang cepat. Pinggulnya kena digebuk.
Tubuhnya terjengkang di tanah. Wulan Srindi cepat injak dada orang. Wiro angkat
kaki kanan, siap menendang kepala manusia pocong.
Tiba-tiba si manusia pocong keluarkan seruan.
"Anak sableng! Jangan! Ini aku!"
Habis berteriak manusia pocong itu cepat-cepat tarik lepas kain putih penutup
kepala. Kelihatan satu kepala berambut tipis, sepasang mata jereng dan kuping
kanan yang terbalik.
"Tua bangka sialan!" maki Wiro. "Kau rupanya!"
"Siapa si jereng sinting ini"!" tanya Wulan Srindi.
"Perkenalkan, namaku Setan Ngompol! Aku tidak
sinting cuma sering ngompol!" kata si kakek lalu tertawa mengekeh.
"Pantas dari tadi aku mencium bau pesing. Kau minta mati berdandan seperti itu!"
ujar Wiro. "Justru tadinya dengan dandanan ini aku ingin menyu-
sup ke dalam lorong. Tapi tidak tahu jalan."
"Untung kepalamu tidak keburu kutendang rengkah, Kek." Wulan Srindi angkat
kakinya yang dipakai menginjak Setan Ngompol.
Si kakek cepat duduk tapi tidak segera berdiri. Dalam duduk dia usap-usap
tubuhnya di sebelah bawah perut.
"Mengapa dia" Apa yang dilakukan?" Tanya Wulan
Srindi. Wiro tersenyum. "Apalagi kalau bukannya ngompol alias beser alias kencing!"
"Aneh, kenapa ada manusia macam begini di atas
dunia"!" kata Wulan Srindi pula.
Setan Ngompol tertawa mengekeh lalu bangkit berdiri.
Jubah putih yang dikenakannya kelihatan kuyup di sebelah bawah!
TAMAT Episode Berikutnya:
API CINTA SANG PENDEKAR
Ronggeng Dukuh Paruk 1 Dewi Ular 80 Misteri Serigala Berkaki Tiga Pendekar Mata Keranjang 17