Pencarian

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 4

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Bagian 4


"Ke Tugu, Borno. Mencari adik misan Jau."
Astaga, apa Bang Jau bilang tadi" Mamat di penjara enam tahun tanpa ampun" Alamak, dua hari lagi aku ke Surabaya dengan prospek tinggi akan segera bertemu
Mei, bagaimanalah urusan ini kalau sepitku dipakai menyelundupkan rokok" Bagaimanalah"
"Nah, ayo! Kita harus mendahului banyak pihak. Membuat jelas semuanya sebelum polisi menciduk Borno dari rumah Ibu-nya. Menyiapkan skenario".Seberapa kenal
kau dengan adik misan kau itu?" Bang Togar terus mengoceh sepanjang berlari-lari kecil menuju jalan raya.
"Tidak terlalu dekat, Bang." Jauhari seperti menyadari sesuatu, wajahnya cemas, "Aku hanya sekali-dua ke Putussibau, mudik, dia baru saja datang ke sini,
orang-tuanya dulu membantuku banyak, jadi tidak ada salahnya kubantu balik."
"Tidak terlalu dekat tapi kau berani saja meminjamkan sepit Borno, hah"Terlalu." Bang Togar menatap tidak percaya.
Jauhari terdiam, menggelengkan kepala, "Aku kenal keluarganya, Bang. Mereka bisa dipercaya."
"Ya, ya, boleh jadi kau benar, bisa dipercaya. Tapi ini kota besar,Jau, adik misan kau itu baru berapa hari di sini" Seminggu" Sebulan" Dia bisa saja ditipu
orang, sepitnya di-carter, ditawari uang banyak, langsung tergoda tanpa merasa perlu bertanya. Mamat saja yang lumutan tinggal di sini tidak sensitif kalau
ada masalah dengan carter-an sepitnya, apalagi adik misan kau, hijau sekali."
Aku tetap diam sepanjang jalan, kami sudah menumpang oplet, Bang Togar memaksa sopirnya mengantar"Bang Togar kenal sopir oplet, jadinya tidak masalah.
Jalanan kota mulai lengang, warung-warung tenda sepi pengunjung, cahaya redup lampu jalan, aku menghela nafas tipis, oplet terus melaju ke daerah Tugu
Khatulistiwa. *** Setengah sebelas, kami tiba di rumah teman adik misan Jauhari. Sial, Jau lupa dimana letak persisnya, jadilah setengah jam dihabiskan bertanya-tanya, setelah
ditemukan, bukan kabar baik yang ada, malah menambah kecemasan.
"Penghuninya pergi, mungkin nonton konser musik di gedung serbaguna."Demikian tetangga menjelaskan.
"Konser musik."
"Ah, kau macam tidak baca koran saja. Band ngetop dari Jakarta sedang manggung di sana. Tak kurang puluhan ribu penonton bakal datang katanya."Tetangga
tertawa, menirukan selarik lagu laris itu, "Ada apa sebenarnya" Dari tadi banyak betul orang yang mencari penghuni rumah sebelah, malah ada yang tampilannya
macam intel, polisi berbaju preman, nanya-nanya."
Aku menyeka pelipis, berkeringat dingin. Bang Togar dan Jauhari saling tatap sejenak, menggeleng, "Tidak apa-apa, Bu. Hanya urusan keluarga. Permisi."Bang
Togar taktis undur diri. "Kemana kita sekarang?" Jauhari ragu-ragu bertanya setelah kembali duduk di dalam oplet.
"Kemana lagi" Gedung olahraga. Malam ini adik misan kau harus ditemukan." Bang Togar menjawab ketus.
"Tetapi di sana ada puluhan ribu orang, Bang" Bagaimana menemukan adik misanku?" Jauhari masih berpikiran waras, menggunakan logika.
"Itu mudah, kau naik ke atas panggung pertunjukan, ambil alih mik penyanyinya, lantas teriak-teriak macam di dermaga pelampung haram itu,perhatian-perhatian,
fulan bin fulan ditunggu di belakang panggung. Beres,kan?"
Jauhari menatap Bang Togar dengan ekspresi, apa abang tidak sedang kesurupan" Bang Togar tidak peduli, terlihat benar rasa tanggung-jawabnya sebagai ketua
PPSKT. Dia menyuruh sopir oplet banting stir menuju gedung olahraga Pontianak.
Pukul satu dini hari, kabar baik dan kabar buruk datang bersamaan. Kabar baiknya, tidak ada yang perlu naik ke panggung, mengambil alih mik daripenyanyi
ngetop, konser itu sudah bubar. Kerumunan massa sudah beranjak pulang,menyisakan lautan sampah di sekitar gedung. Botol air mineral, kertas, plastik,berserakan.
Aku menatap pakaian dan gaya penonton yang masih asyik saling-cerita tentang serunya konser barusan. Kabar buruknya" Posisi adik misan Bang Jau masih gelap,
tidak ketemu, sudah berkeliling setengah jam, kesana-kemari, siapa tahu tidak sengaja berpapasan dengannya, tetap gelap. Segelap langit kota yang mendung.
Aku mendongak, geliat cahaya petir membuat jelas awan pekat di atas sana.
"Kemana kita sekarang?" Jauhari menghela nafas berat, bertanya.
Bang Togar mendengus sebal ke arah kerumunan yang baru lewat, tidak menjawab.
"Kemana, Bang?"
"Sebentar, biarkan aku berpikir dulu."
Rintik hujan mulai turun.
"Kita ke kantor polisi saja, Bang." Aku berbisik lemah.
"Astaga" Kau mau menyerahkan diri?" Bang Togar berseru, tidak percaya.
"Bukan, bukan itu maksudku." Aku menelan ludah. Maksudku, kami pergi menanyakan kabar tentang belasan sepit itu, apakah ada salah-satu yang bernama lambung
BORNEO. Pura-pura macam wartawan, pura-pura mencari kerabat yang ditangkap, apalah yang penting tidak mengaku-ngaku.
"Kau jenius, Borno." Bang Togar menepuk bahuku, "Mari kita ke kantor polisi. Kalau benar itu sepit kau, adik misan Jau juga sudah sejak tadi ada disana,
dibalik teralis. Percuma saja kita ke Tugu, lantas ke gedung sialan ini."
Tujuan berikutnya: kantor polisi.
*** Tetapi itu teori, untuk tiga orang yang kadar cemasnya sudah dua puluh empat karat, setiba di kantor polisi yang ada malah takut-takut, maju-mundurdan
penuh perhitungan. "Kau tunggu di halaman. Aku saja yang menghadapi mereka." Bang Togar menggeram, sebal sendiri dengan rasa cemas yang muncul di hati, "Biar tidak menarik
perhatian, siapa tahu mereka sudah mencari kau sejak tadi."
Aku mengangguk, menurut. Bang Togar melangkah pasti ke pos penjaga polres. Kami menonton dari kejauhan dua puluh meter, di balik pohon beringin. Sepertinya terjadi percakapan,
tangan Bang Togar bergerak-gerak, mungkin lagi menjelaskan sekaligus bertanya. Tangan petugas jaga juga bergerak-gerak, mungkin memberikan jawaban. Sepuluh
menit, Bang Togar kembali.
"Bagaimana?" Bang Togar menggeleng. "Tidak ada sepit bernama lambung BORNEO?" Jauhari sudah siap memasang wajah senang.
"Bukan itu. Aku belum menanyakannya." Bang Togar menghela nafas, "Tadi saat hendak bertanya, polisi di belakangnya sibuk ngobrol tentang pengemudi sepit
yang ditangkap susah sekali mengaku, terpaksa digebuki baru mengaku, bilang 1x24 jam semua yang terlibat harus ditangkap. Hilang sudah pertanyaanku,tercekat
di kerongkongan." Bang Togar bersandar ke pohon beringin.
"Lantas, tadi abang tanya soal apa" Lama sekali?"
"Aku bertanya bagaimana ke Istana Kadariah, mengaku turis yang kemalaman, tersesat, hendak pulang ke penginapan dekat istana. Astaga, polisi jaga menawarkan
mengantar. Untung aku bersilat-lidah tidak usah."
Kalau saja situasinya lebih baik, aku pastilah tertawa melihat tampang Bang Togar. Sayangnya, jangankan tawa, nyengir pun berat rasanya. Aku tambah tegang.
"Lantas sekarang bagaimana" Sudah hampir pukul tiga." Jauhari mendesak.
"Biarkan aku berpikir, Jau." Bang togar menghela nafas.
*** Setengah jam berikutnya, Bang Togar gagah-berani memutuskan kembali kepos jaga, mengaku masih bingung juga, masih tersesat, lantas setelah panjang-lebar
mendengar penjelasan, minta dibuatkan peta di atas kertas segala, Bang Togar berpura-pura nyeletuk, "Lagi ada kasus apa, sih" Sepertinya rusuh sekali kantor
polisi malam ini?" Petugas tertawa, "Oh,biasalah, penyelundupan. Kejahatan lintas negara nomor satu. Kapolres tadi bahkan menerima langsung telepon dari
Kapolda. Semua harus ditangkap, termasuk pemilik sepit, juga orang-orang yang melindungi pemilik sepit." Musnah sudah skenario di kepala Bang Togar, dia
meneguk ludah, buru-buru undur diri.
Pukul lima pagi, non-stop berpindah-pindah tempat, kelelahan, sopir oplet sudah mengomel pula, kami akhirnya kembali ke rumah Jauhari. Istirahatsejenak,
demikian keputusan Bang Jau (sebenarnya dia perlu menenangkan diri lepas spot jantung bercakap dengan polisi), nanti dilanjutkan setelah jalanan terang.
Berharaplah semua baik-baik saja.
Aku duduk tercenung di kursi oplet, menatap jalanan lengang Pontianak. Bagaimanalah kalau aku sampai ditangkap" Masuk penjara" Terbayang Koh Acung,Cik
Tulani akan bergiliran mengantar ransum makanan. Ibu" Apa yang akan dia bilang" Jangan-jangan aku sudah dihapus dalam daftar warisan"meski Ibu sebenarnya
tidak punya harta untuk diwariskan. Pak Tua" Apakah dia tetap ke Surabaya" Dan Mei" Wajah Mei yang terlipat, "Namaku Mei, Bang Borno. Dan meskipun itu
nama bulan, kuharap Bang Borno tidak mentertawakannya.Terima-kasih buat tumpangannya." Membenak di kepala. Aku menyeringai. Ah, dulu aku mengenang kejadian
itu dengan perasaan bersalah, sekarang, dengan kemungkinan masuk penjara, aku mengenang kejadian itu dengan segenap perasaan sebaliknya. Mei, apakah kau
akan menjengukku di balik teralis" Macam difilm-film, atau sinetron murahan"
"Turun, Borno." Bang Togar meneriakiku, "Sudah sampai di rumah Jau."
" BAB 05. Kota Buaya, Lebih Indah Kota Kita
Saat kami bertiga setengah cemas, setengah mengantuk mendorong pintu,di ruang depan telah berkumpul (menunggu) beberapa orang: istri Jauhari yangmenggendong
si buyung (merengek), adik misan Jauhari, teman adik misannya (sepertinya begitu, kami tidak kenal benar), dan dua orang berseragam polisi.
Bang Togar dan Jauhari tertegun, pias sudah, apalagi aku, ujung tanganku berkedut, lututku gemetar"akhirnya mereka menemukan lokasi kami. Akugentar menatap
dua polisi, menatap Bang Togar, menatap dua polisi, Jauhari, dua polisi lagi, adik misannya, dan lagi-lagi dua polisi.
Entah apa yang dipikirkan Bang Togar dan Jauhari, tiba-tiba mereka berdua bergegas menarik adik misan Jauhari ke dalam kamar. Aku ragu-ragu menyusul, menoleh
bingung dan gugup pada petugas. Dua polisi itu juga saling pandang, ikut bingung"padahal mereka tadi bersiap menyapa dan mengulurkan tangan.
"Kau sudah bilang apa saja?" Bang Togar mendesis di dalam kamar, suaranya berbisik tapi penuh ancaman.
"Ya, kau sudah bilang apa saja?" Jauhari mencengkeram kerah adik misannya.
"Bilang apa, Kak?" Adik misannya tersengal, susah bernafas.
"Astaga, lihat wajah kau, lebam-lebam. Apa mereka memukuli kau saat interogasi?"
Aku yang berdiri di belakang menelan ludah, menatap wajah adik misan Jauhari, bibirnya luka, dahi dan pipi biru-biru, pakaiannya kusut. Teringat cerita
Bang Togar tadi di pos jaga Polres?"Pengemudi sepit itu baru mengaku setelah digebukin."
"Jauh-jauh kau datang dari Putussibau, repot sekali menampung kau dirumah sempit ini, berbagi kamar, ternyata begini jadinya." Jauhari terlihat emosional,
meski dia berusaha merendahkan suara agar tidak terdengar dari depan,"Kau sudah bilang apa, hah?"
"Aku tidak bilang apa-apa, Kak." Wajah adik misannya terlihat bingung.
Jauhari menoleh pada Bang Togar sejenak, kembali mendelik ke adik misannya, "Kau dengar ya, bahkan hingga Kapuas mengering, langit runtuh, kauharus mengaku
sepit itu milik kau, dulu dan selamanya milik kau, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Paham?"
"Sepit, sepit apa Kak?" Adik misan Jauhari semakin bingung.
"Dasar anak tidak tahu untung, sepit apalagi" Sepit yang kau pinjam dari Borno." Jauhari mencak-mencak, "Aku lebih memilih kau yang masuk penjara dibandingkan
Borno." "Sepit Abang Borno" Bukankah sepitnya sudah kukembalikan, Kak."
"Sudah kembali?"
"Ye lah, kutambatkan di tiang rumah Abang Borno sesuai pesan Kakak. Mana berani aku menunda-nunda mengembalikan. Bukankah Kakak sendiri yang bilang segan
betul meminjamnya." Adik misan Jauhari mulai bisa bernafas normal,cengkeraman tangan Jauhari merenggang.
Dan lumerlah semua kecemasan sepanjang malam. Kau tahu Mei, abang ternyata tidak jadi dipenjara. Lima menit kemudian, dua polisi yang duduk didepan menjelaskan,
adik misan Jauhari dan temannya kena palak lepas konser musik. Dompet, jam tangan, semua benda berharga diambil preman, tidak puas karena hasil palaknya
sedikit, digebuki pula. Dua polisi itu mengantar korban,bukan menjemput tersangka kelompok penyelundup.
Soal sepit, BORNEO-ku sudah sejak pukul lima sore nangkring di kolong rumah. Tetapi adik misan Jauhari salah tambat, maklum, anak baru di tepian Kapuas,
belum hafal mana rumah papan Ibu, dia malah menambatkan sepit di bawah rumah Mang Sohar"yang dulu sabunnya hanyut.
Aku benar-benar menghela nafas lega setelah semua urusan jelas, sejelas matahari pagi yang untuk kesekian kalinya datang di kota kami, menyiram lembut
atap-atap rumah, pucuk-pucuk bangunan sarang burung walet. Permukaan Kapuas mengkilat-kilat indah, sepit dan perahu mulai bermunculan, kesibukan datang
lagi di kota ini. Bang Togar tertawa (nampak amat bersyukur), menepuk dahinya lepas dua petugas itu pamit undur diri. Jauhari malah menghempaskan tubuhnya
dikursi rotan, meluruskan kaki, menghembuskan nafas panjang. Urusan ini berakhir bahagia, adik misan Jauhari tidak tersangkut pengemudi belasan sepit yang
ditangkap petugas. Aku pamit pulang. Lega, lelah, kantuk, lapar, semua jadi satu.
*** "Berapa lama, Borno?" Ibu bertanya.
"Satu minggu. Bisa lebih, tergantung kemajuan terapi." Aku mengunyah sarapan.
"Pak Tua sudah bilang akan naik apa?"
"Semoga pesawat, Bu." Aku tertawa membayangkan kemungkinan itu. Konon tiket pesawat sekarang murah-murah, tapi aku belum pernah iseng mencoba, macam dulu
bersama Andi jahil menerobos perbatasan Entikong dengan paspor bapaknya.
"Tak mungkin." Ibu ikut tertawa, meletakkan kantong asoi berisi ransum makanan, "Pak Tua itu naik oplet saja enggan, paling juga kau menumpang pelampung
besar ke Surabaya. Kau bergegas, Borno, sudah kesiangan. Telat makan malah kena mag pula nanti Pak Tua."
Dengan demikian, urusan ijin dari Ibu selesai, sekarang bagian paling penting. Aku tidak lama mampir mengantar makanan Pak Tua, hanya bilang Ibu sudah
mengijinkan, Pak Tua mengangguk, bilang, besok pagi pukul enam kau sudah harus menjemput, jangan terlambat, aku balas mengangguk, tertawa, jangan cemas,
jam lima aku sudah datang. Mumpung masih pagi, semoga Ibu Kepsek ada di tempat, aku membawa sepitku ke dermaga terdekat komplek Yayasan.
Sudah kusiapkan tiga skenario. Satu, jika dia menolak memberikan alamat, aku akan membujuknya, bilang ini kesempatan emas, tidak setiap saat aku bisa ke
Surabaya, setelah enam bulan tanpa tahu kabar Mei. Dua, jika dia tetap menolak, aku akan mengingatkan Ibu Kepsek apakah dia tidak pernah muda dan mengalami
hal yang sama" Akan kucatut kalimat-kalimat bijak penuh perasaan milik Pak Tua. Tiga, jika dia tetap tidak luluh dengan kalimat gombal itu, maka aku akan
tetap bertahan di ruangannya, menunggu sampai kapanpun dia bersedia memberitahu. Aku tersenyum lebar, penuh keyakinan menuju dermaga dekat komplek Yayasan.
Sayang, yang terjadi justeru skenario keempat. Apa kata Pak Tua dulu, di dunia ini terkadang urusan yang dicari seringkali menjauh-jauh, sebaliknya, urusan
yang tidak dicari malah mendekat-dekat. Ibu Kepsek tidak ada di tempat, ikut pelatihan diknas di Jakarta.
"Baru berangkat tadi malam, pulang minggu depan." Pak Malinggis mengangkat bahu.
Aku mengeluh dalam hati, sungguh kecewa.
"Eh, sebentar," Pak Malinggis menahanku yang hendak beranjak pergi,"Kau ini kalau tidak salah, yang dulu nanya-nanya tentang Nona Mei, bukan?"
Aku menyeringai, mengangguk.
"Sebenarnya ada apa sih" Kau mencari Ibu Kepsek pasti ada urusannya dengan Nona Mei?" Penjaga gerbang itu memasang wajah ingin tahu"sudah seperti ibu-ibu
yang suka nonton gosip. Aku tidak selera menanggapi, segera pamit.
Baiklah, aku pindah ke skenario ke empat, menuju rumah asri sepelemparan batu dari balai-kota. Berganti oplet dua kali, tiba di depan pintu pagar. Ada
tukang rumput yang asyik merapikan bunga bougenville, tidak menolong, bahkan dia tidak tahu siapa pemilik rumah, lima menit tanpa kemajuan, dia berbaik
hati memanggil bibi yang mengurus bagian dalam, usianya lepas lima puluh, meski badannya besar, rambut mulai beruban, tidak bisa menutupi kalau dia terlihat
amat cekatan. "Mencari siapa, Nak?"
"Mei, aku mencari Mei." Aku memasang wajah se-sopan mungkin.
"Oh, Mei di Surabaya. Sudah enam bulan. Teman kerja atau kuliah Mei,ya?"
Aku menggaruk kepala, "Eh, teman baru kenal, Bi. Kenal di sepit."
Bibi itu menyeringai, seperti mengingat-ingat sesuatu, "Anak ini namanya Borno, bukan?"
Aku hampir tersedak, alamak, dia tahu namaku, kejutan.
Bibi tertawa berderai, "Mei dulu pernah bilang kalau ada yangmengolok-olok namanya, ada pengemudi sepit sok-kenal yang cerita tentang nama Kamis Kliwon,
Januari, Februari, Mei, Desember. Waktu cerita wajah Mei merah padam, mencak-mencak, sebal sekali, Bibi hanya bisa menahan tawa melihatnya."
Aku menelan ludah, ternyata gara-gara itu, padahal aku sudah terlanjur senang.
"Bibi punya alamat Mei di Surabaya?" Aku tidak sabaran, memotong tawa, langsung bertanya pada pokok masalah.
Bibi di depanku menggeleng, "Ada beberapa rumah di Surabaya, Nak Borno. Sayangnya, satupun aku tidak tahu. Empat puluh tahun Bibi hanya mengurus rumah
ini, jangankan ke Surabaya, jalan-jalan keluar dari Pontianak saja tidak pernah."
Aku menghela nafas. Mau dibujuk sampai mampus, namanya tidak tahu ya tetap tidak tahu. Otakku sudah berpikir jenius"entah kenapa tiba-tiba muncul saja
ide itu, bertanya apa pernah ada surat dari Surabaya, siapa tahu di amplop ada alamat pengirim, alamat rumah di Surabaya. Bibi menggeleng. Apa ada catatan,
buku, dokumen atau apa saja yang merujuk ke alamat di Surabaya. Bibi menggeleng, "Saya tidak bisa baca loh, Nak Borno." Tetap tidak ada kemajuan, lima
belas menit aku hampir bilang hendak melihat kamar Mei, siapa tahu di sana ada catatan tertinggal, petunjuk alamat.
"Rumah ini kosong sejak dua belas tahun lalu, Nak Borno. Hari itu, semua keluarga besar Sulaiman pindah ke Surabaya, Opa, Oma, Tante, Oom, anak-anak, semua
pindah. Membawa semuanya, selain perabotan. Kemarin, Mei hanya tinggal tiga bulan saja, kamarnya sekarang kosong seperti semula, padahal Bibi sudah senang
Mei pulang, di rumah inilah dia lahir, tumbuh besar, dulu Bibi suka menimangnya, menemani berlarian di halaman. Ternyata dia hanya sebentar, kembali lagi
ke Surabaya." Tidak ada petunjuk, tidak ada. Aku menyisir rambut dengan jemari.
Matahari hampir persis di atas kepala, adik misan Jauhari pasti menunggu sepitku di dermaga. Aku dengan kalimat hambar pamit pada Bibi, terima-kasih banyak
sudah mau diajak ngobrol. Bagaimanalah" Percuma juga aku jauh-jauh ke Surabaya tanpa tahu alamat Mei" Skenario kelima"
"***"Kau tahu, Borno, jaman dulu, kapal"ferry"besar macam ini adalah kendaraan paling romantis." Pak Tua berdiri santai digeladak depan, tangannya memperbaiki
anak rambut di dahi, berpegangan ke pagar anjungan, tongkatnya disandarkan.
Aku mengangguk, Pak Tua benar, menatap garis horizon, menyaksikan matahari bersiap tumbang, ini senja yang hebat, berbeda dengan senja di tepian Kapuas.
Kapal besar yang kami tumpangi sudah dua jam meninggalkan pelabuhan Pontianak. Tadi saja aku terpesona menatap prosesi lepas sauh, kapal beringsut berangkat,
suaranya klaksonnya melenguh panjang, orang-orang melambai di bibir dermaga, anak-anak kecil berlarian, dan kami ikut melambaikan tangan (padahal jelas-jelas
tidak ada yang melepasku dan Pak Tua pergi di dermaga sana). Aku ingat, waktu dulu bersama Andi menumpang bus ke Entikong, atau pernah ke terminal bus
jarak-jauh, tidak ada momen perpisahan se-syahdu itu.
"Coba kau hitung ada berapa lagu-lagu lama yang mengambil pelabuhan, kapal besar, atau perjalanan jauh sebagai tema, Borno." Pak Tua memutus lamunanku,
"Banyak sekali. Juga buku-buku, kisah-kisah romans legendaris. Pengarang lagu dan penulis buku seperti tidak pernah kehabisan ide cerita, entah dia mengalaminya
sendiri atau sekadar imajinasi." Dan Pak Tua kemudian santai bersenandung lagu Teluk Bayur, ber-hmm, hmm beberapa saat.
Aku nyengir, melirik gayanya, ujung baju Pak Tua melambai-lambai ditiupangin, kapal terus bergerak takjim membelah lautan. Matahari sudah setengah badan
ditelan garis cakrawala, membuat kaki langit merah sejauh mata memandang.
"Ah, bukan main, kekasih pergi demi tugas mulia, si belahan hati terpisah lautan samudera, rindu tak terkira, pintar sekali pengarang lagu berbual kalimat"."
Pak Tua macam pujangga amatir mengangkat tangannya, aku tertawa. "Dan atau perjalanan menemui kekasih di seberang pulau sana, ingin bertemu setelah sekian
lama tidak tahu kabarnya". Alamak!" Pak Tua ekspresif menepuk dahi, memicingkan mata, tawaku tersumpal, memerah muka, Pak Tua pasti sengaja menyindirku.
"Tetapi hari ini semakin sedikit saja orang-orang yang mau naik kapal.Semua ingin serba cepat, serba praktis, efisien. Mana ada yang mau naik kapal lagi
kalau pesawat murah" Padahal mana ada romantisnya naik pesawat" Kau terkurung dalam tabung setinggi kepala, selebar lompatan, hanya bisa mengintip dari
jendela tebal, kakusnya pun sempit tidak terkira. Nah, lihat, naik kapal, kau bisa melakukan ini. Cuih." Pak Tua jahil meludah.
Aku tertawa"bukan untuk meludahnya, tapi senang karena dia tidak melanjutkan sindiran "perjalanan menemui kekasih" tadi.
"Pak Tua pernah naik pesawat?" Aku memancing.
"Puh, kau jangan meremehkan orang tua ini, Borno. Aku bahkan pernah menumpang pesawat tempur, pekak telingaku, gemetaran kakiku saat turun dilandasan,
jujur saja, itu bukan pengalaman yang membanggakan, membuat muntah iya."
Aku menatap Pak Tua antusias, hendak bertanya.
"Negara ini mendaku-daku negara kepulauan, bukan" Memiliki garis pantai terpanjang di seluruh dunia, bukan" Separuh lebih luasnya adalah laut. Nenek moyangnya
orang pelaut. Tetapi coba di-sensus, setidaknya pasti ada setengah penduduknya yang jangankan naik kapal, melihat laut saja tidak pernah. Apalah arti mendaku
kalau tidak punya rasa memiliki" Gombal sekali." Pak Tua lebih tertarik membahas hal lain"yang sebaliknya, aku tidak tertarik sama sekali. Beruntung sebelum
panjang-lebar mendengar celoteh Pak Tua, suara sirene makan malam terdengar.
"Mari makan, Borno. Semoga mereka punya gulai kepala kambing." Pak Tua terkekeh melihat tampang keberatanku, mengingatkan soal diet ketat Pak Tua.
Jadi beginilah rumus sederhana naik ferry jarak-jauh. Pontianak-Surabaya, tak kurang butuh 36 jam (kata Pak Tua, tetangganya yang dulu naik haji tahun
60-an ke Arab Saudi sana, butuh empat puluh hari perjalanan laut), kalian bisa membeli tiket dengan beragam jenis kelas. Kelas super atas (VIP), memperoleh
kamar paling bersih, paling rapi, dengan televisi nangkring di atas tempat tidur, satu palka (kamar) diisi dua tempat tidur. Kelas menengah (bisnis), memperoleh
kamar bersih dan rapi, dengan perabotan lebih sederhana, satu kamar diisi empat hingga enam orang. Kelas bawah (ekonomi), nah, tidak ada kamarnya, penumpang
duduk di palka luas dengan kursi berbaris, ditemani pesawat televisi besar dengan suara kencang. Untuk kapal yang lebih besar, kapasitas ribuan penumpang,
pembagian kelas ini lebih beragam lagi, ada uang ada barang. Kelas mahal, berarti lebih banyak fasilitas yang didapat, makan selama perjalanan misalnya,
antrian makan penumpang kelas eksekutif dan bisnis terpisah dari kelas ekonomi, menu-nya lebih istimewa, pelayanannya lebih prima. Hanya satu yang sama,
semua orang sama-sama ada disatu kapal. Jadi ketika dihadang badai, ombak tinggi, tidak ada itu kelas eksekutif memperoleh fasilitas istimewa bebas badai.
Makan malam yang hebat, menunya spesial, kepiting saos mentega, nikmat sekali menatap lautan gelap sambil merekahkan cangkang. Satu-satunya dari puluhan
penumpang di ruang makan kami yang nampak tidak menikmati adalah PakTua, dia bersungut-sungut menghabiskan sup jagung dan sayur bening. Kabar baiknya,"mood"Pak
Tua membaik saat kembali duduk-duduk di anjungan kapal, menatap bintang-gemintang. Dia lebih banyak bersenandung sendirian, sekali-dua bercerita masa lalu,
mengomentari ini-itu, dan kebiasaan khas orang-tua yang suka bicara.
Ini perjalanan yang menyenangkan, aku meluruskan kaki, bersandar,mendongak menatap langit. Bulan malam tiga belas tergantung indah, Mei, kalau kau saat
ini menatap ke atas, kita pastilah sedang melihat bulan yang sama.
*** Kapal merapat di Tanjung Perak, Surabaya, pagi-buta hari kedua.
Aku masih menguap saat Pak Tua menyuruh bergegas menyiapkan koper-koper. Ada ratusan penumpang yang turun, sisanya akan turun di pemberhentian berikut,
Semarang. Kantukku langsung musnah saat pertama kali berdiri di geladak, ikut barisan penumpang yang hendak turun, menatap kerlip lampu pagi kota Surabaya. Kesibukan
sudah menyergap pelabuhan ferry, petugas berteriak, kelasi kapal yang mengerjakan tugas, tumpukan barang, lalu-lalang penumpang. Tidak jauh dari pelabuhan
ferry, nampak ujung-ujung kapal kontainer raksasa di pelabuhan internasional Tanjung Perak, lebih sibuk lagi, aktivitas bongkar muat 24 jam. Aku bergumam,
kota ini terlihat sibuk sekali.
Pak Tua tangkas menuruni tangga kapal, aku terseok-seok membawa dua koper besar di atas kepala. Sepertinya Pak Tua tahu persis mau kemana, dia terus melangkah,
suara tongkatnya terdengar berirama, aku mulai ngos-ngosan, berat juga koper pakaian Pak Tua. Kami ternyata menumpang salah-satu taksi yang parkir di dekat
gerbang keluar pelabuhan. Aku nyengir, memasukkan koper ke bagasi, menyindir Pak Tua, "Kita tidak naik sepit, Pak?"
Dia melambaikan tangan, sebal, "Tidak ada sungai besar di sini, Borno.Kau jangan membuatku malu dengan tampang kampungan kau."
Aku tertawa, tidak menimpali, segera duduk di sebelahnya.
Ajaib, sopir taksi ternyata orang Pontianak. Maka ramai sudahlah taksi dengan percakapan. Sudah sepuluh tahun dia merantau, tidak tahu kalau jembatan Kapuas
sudah dua, jalanan semakin macet, gudang pengolahan kayu terbelengkalai sejak pembalakan dilarang pemerintah, dan walikota serta Gubernur Kalimantan Selatan
sudah berganti dua kali, sudah dipilih langsung. Aku lebih banyak menatap keluar jendela, menjadi pendengar yang baik, menyimak sisi jalanan Surabaya yang
dalam hitungan menit semakin ramai, gedung-gedung tinggi di sini sungguhan, bukan sarang burung walet. Kemacetan di perempatan, kemacetan dijalan lurus"entah
apa pasal. "Selamat menikmati kota ini, Pak." Sopir taksi tersenyum riang membukakan pintu saat tiba di tujuan, lantas ringan hati membantuku membawa koper ke halaman
penginapan. "Kalau Bapak ingin di antar kemanalah, jangan segan-segan menghubungiku." Sopir itu menyerahkan secarik kertas berisi nomor telepon genggam, Pak Tua menyuruhku
menyimpannya. Kami masuk penginapan. "Aku punya lebih banyak teman di sini dibandingkan Pontianak." Demikian komentar santai Pak Tua saat aku bertanya kenapa tinggal di hotel, "Tapi orangtua
ini tidak mau merepotkan siapapun, Borno. Lagipula mereka temanku, bukan teman kau. Aku boleh jadi nyaman menumpang di rumah mereka, kau belum tentu. Jadi
lebih baik kita tinggal di penginapan, biar kita berdua bisa sama-sama nyaman, cukup adil, bukan?"
Begitulah Pak Tua, hal-hal detil selalu menjadi perhatian.
*** Lepas membongkar koper, mandi, berganti pakaian, Pak Tua menyuruhku bersiap. Kami segera pergi ke tempat terapi. Kali ini bukan taksi, melainkan menumpang
oplet, "Aku tahu arahnya, Borno. Bahkan sebelum kau lahir, aku sudah hafal mati kota ini." Pak Tua menyeringai, meyakinkanku yang sedikit ragu-ragu naik.
Ada banyak warna oplet, bagaimana Pak Tua memilih yang benar.
Dua jam berputar-putar, sudah ganti oplet tiga kali, tetap tidak kelihatan tanda-tanda akan tiba, Pak Tua menyeka peluh di dahi, kota ini cepat terasa
gerah. Matahari membakar ubun-ubun, padahal pukul sebelas juga belum.Aku mulai melirik Pak Tua, wajahnya sedikit terlipat, bergumam satu-dua kali, menatap


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepanjang jalan, bergumam lagi. Penumpang bergantian naik-turun, lebih beragam dan ramai dibanding penumpang sepit. Suara klakson, gerung mesin, decit
rem, nampaknya orang-orang di kota ini lebih terburu-buru dibanding kota kami.
Pak Tua menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa, Pak?" Aku akhirnya bertanya.
"Semua berubah, Borno. Jalan-jalan ini sudah tidak kukenal.Rasa-rasanya di sini dulu ada toko roti terkenal lezat, sekarang malah berdiri tinggi kantor
bank. Di seberangnya ada toko reparasi jam, malah jadi bengkel dan"show room"mobil." Pak Tua mengeluh perlahan.
"Bagaimana sekarang, Pak?" Aku nyengir, "Katanya Bapak hafal mati?"
Pak Tua melotot. Dua jam lagi memaksakan diri, bertanya kesana-kemari, berganti oplet dua kali, tetap saja alamat tempat terapi yang diberikan dokter RSUD Pontianak itu
belum ditemukan. "Kau lihat pojokan jalan sana?" Pak Tua mendesis.
"Itu kotak telepon umum, Pak. Masa" iya kita terapi asam urat di sana?"Aku tertawa.
"Kau belum pernah merasakan pukulan tongkatku, Borno?" Pak Tua sebal,"Kau telepon sopir taksi tadi shubuh, suruh dia jemput kemari. Aku menyerah,kota ini
terlalu canggih untuk orang tua sepertiku."
Aku nyengir, melangkah ke pojokan jalan, mengeluarkan uang receh. Setengah jam sopir taksi itu datang, bertanya hendak kemana sebenarnya tujuan kami, Pak
Tua menyerahkan secarik kertas. Sopir taksi tertawa lebar. Aku dan Pak Tua saling tatap tidak mengerti.
"Tidak dinyalakan yang merah-merah-nya, Oom?" Aku menunjuk argometer, teringat dulu di balai bambu pernah ada pembahasan tentang sopir taksi yang suka
pakai argo-kuda. Sopit taksi itu kembali tertawa, santai melajukan mobil. Nah, apa sopir taksi ini mau curang" Awas saja kalau berani, tidak bisa pulang lagi kePontianak
dia. Setengah menit, taksi berhenti. "Malu-lah aku kalau menyalakan argo, Pak. Nah, itu dia alamatnya."
Alamak, ternyata alamat yang kami cari hanya sepelemparan batu, padahal tadi berputar-putar kota tidak ketemu. Pak Tua bersungut-sungut turun dari taksi,
tutup mulut kau, jangan komentar apapun Borno, nanti kau sungguhan kupukul. Demikian maksud wajahnya.
*** Aku sekarang manggut-manggut menatap sekitar, ruang tunggu ramai oleh pasien, poster-poster, dan brosur. Aku baru paham kalau tempat terapi ini dikelola
oleh dokter senior lulusan Mandarin jurusan kedokteran timur. Pantas saja Pak Tua harus jauh-jauh pergi ke Surabaya, tidak berobat di RSUD Pontianak saja,
ini "pengobatan alternatif".
Sudah satu jam lalu Pak Tua masuk ke dalam, aku disuruh menunggu diluar, matahari sudah bergeser, mulai tumbang, tetap belum ada kabar Pak Tua akan keluar.
Dengan demikian, satu jam pula, bengong di tengah keramaian ruang tunggu, pasien datang-pergi, kepalaku dipenuhi oleh sebuah pertanyaan: bagaimana aku
mencari alamat rumah Mei" Setelah jengkel empat jam mengikuti Pak Tua yang sok-yakin masih hafal kota Surabaya, aku menyadari, kota ini jauh lebih besar
dibanding yang kubayangkan. Belum lagi sopir taksi sebelum pergi berbaik hati memberikan briefing singkat tentang jalanan kota, apa saja yang berubah,
apa saja bangunan lama yang tersisa yang bisa jadi patokan.
Skenario kelima menemukan alamat Mei" Entahlah, aku tidak punya.
Tadi malam, sebelum beranjak masuk kamar, aku cerita soal gundah alamat Mei pada Pak Tua. Apa kata si bijak itu" Sambil menatap bulan malam empatbelas,
dia hanya melambaikan tangan, "Kau tahu, Borno, hampir semua orang setuju, cinta sejati selalu menemukan jalan jika berjodoh. Ada saja kebetulan, suratan
nasib, takdir atau apalah orang-orang menyebutnya. Tetapi sayang seribukali sayang, secara praktek, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justeru
sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita" Khawatir, cemas, memendam banyak pertanyaan, menyusun skenario, sengaja membuat kebetulan serta berbagai perangai
norak yang bertentangan dengan keyakinan sebelumnya. Tidak usahlah kau gulana, berhentilah memasang wajah kusut yang semakin membuat buruk wajah kau, jika
berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan skenario indahnya. Kebetulan yang menakjubkan. Nah, kalau kita sampai pulang ke Pontianak kau memang tidak
bertemu dengan gadis itu, berarti bukan jodoh, sederhana bukan?"
Aku mendengus, justeru itu, mana ada orang-orang yang memendam perasaan punya pemahaman: kalau memang tidak bertemu, berarti bukan jodoh. Yang ada terus
berjuang, terus semangat, memaksakan diri. Kalau dibiarkan mengalir seperti maunya Pak Tua, tidak akan ada naik-turun perasaan, semua orang berubah jadi
filsuf, macam aliran air tenang, mana ada serunya cinta kalau tidak bertemu, berarti bukan jodoh. Kali ini aku keberatan dengan kalimat bijak PakTua.
Satu jam lagi menunggu. Lima menit lalu, aku bertanya pada salah-satuperawat, dia bilang Pak Tua masih melakukan terapi, jadi harap bersabar, aku mengangguk,
apalagi yang bisa kulakukan" Jelas-jelas tugasku adalah menemani Pak Tua, disuruh angkat koper aku lakukan, disuruh bersiap dan bergegas aku mengangguk,
disuruh menunggu aku menurut. Setidaknya aku punya waktu sendirian untuk berpikir cara menemukan alamat Mei.
Nah, saat semakin jenuh, mataku menangkap buku tebal di bawah meja ruang tunggu. Membaca bukan hobiku sejak kecil, tapi dalam situasi ini, tidak ada salahnya
melihat-lihat majalah bekas yang sering diletakkan di ruang tunggu. Ternyata ini bukan majalah bekas, aku menatapnya lamat-lamat, ini buku telepon seluruh
penduduk kota Surabaya. Tebalnya ribuan halaman. Aku mengeluh, siapa pula yang mau membaca isi buku telepon"
"***Walau tak tahu angka pastinya, orang Pontianak tahu persis kalau penduduk kota mereka mayoritas terdiri dari: China, Melayu, dan Dayak, ditambah dengan
jumlah yang lebih sedikit orang-orang dari Bugis dan Jawa.
Suku bangsa Melayu otomatis tiba saat pendiri kota, Sultan Abdurrahman Alqadrie mengalahkan si hantu pontianak, mendirikan istananya. Suku Dayak datang
berhiliran dari hulu Kapuas, sementara Bugis dan Jawa tiba di kemudian hari sebagai perantau tangguh.
Lantas bagaimana kota ini dihuni begitu banyak China" Pak Tua punya teori, akhir abad ke-19, daratan China dilanda perang sipil dan wabah kemiskinan, "Perang
silat macam film-film kolosal Jet Li itu, Pak Tua." Jupri, yang suka sekali nonton televisi, nyeletuk. Yang lain, yang khidmat mendengarkan cerita Pak
Tua menyikut bahunya, "Berisik. Bisa diam tidak kau?" Melotot. Pak Tua melambaikan tangan, melanjutkan, perang dan kemiskinan tadi membuat ribuan penduduk
China mengungsi keluar dari negerinya, salah-satu tujuan mereka adalah Pontianak yang dekat dengan Laut China Selatan, strategis, serta ramah terhadap
pendatang. Kebanyakan sub-etnis di Pontianak sekarang datang dari orang-orang Teochew, Hakka dan sebagian kecil orang Kanton ("Wah,Kanton" Macam pula film-film
Jet Li di Hongkong, Pak." Jupri menyela lagi, kali ini Bang Togar memukul peci kupluknya). Kalian tahu, ada kota kecil, berjarak tiga jam perjalanan dari
Pontianak dengan jumlah penduduk China lebih mayoritas lagi, di mana-mana China. Dikenal dengan sebutan "kota seribu kelenteng" atau yang lebih terkenal
dengan "kota amoy?"amoy dalam dialek Hakka artinya gadis. Itulah kota Singkawang.
Nah, walaupun tiga suku bangsa ini punya kecenderungan hidup homogen,berkelompok, punya kampung sendiri, kampung China, kampung Dayak atau kampung Melayu,
kehidupan di kota Pontianak berjalan damai. Cobalah datang kesalah-satu rumah makan terkenal di kota Pontianak, kalian akan menemukan tiga suku ini sibuk
berbual, berdebat, lantas tertawa bersama"bahkan saling traktir satu sama lain. Yang tidak bertenggang rasa dan saling menghormati sebagai sesama manusia
itu justeru:pemerintah. Sudah bukan rahasia, anak-anak keturunan China, bertahun-tahun repot mengurus SKBRI. Selembar surat keterangan bukti kewarganegaraan
itu menjadi sesaji wajib saat mengurus semua dokumen, mulai dari surat akte lahir, tinggal, hidup,menikah, hingga surat mati, peduli amat Koh Acung misalnya,
sudah generasi keempat yang dilahirkan di gang sempit tepian Kapuas.
Siapa di sini yang berani bilang Koh Acung bukan penduduk asli Pontianak" Demikian Pak Tua bertanya takjim, semua peserta obrol santai dibalai bambu malam-malam
itu menggeleng. Nah, lantas kenapa dia harus dipersulit dengan omong-kosong SKBRI" Binatang ternak macam sapi saja baru diminta surat saat melintas perbatasan
provinsi. Akibatnya, jaman itu lumrah penduduk China punya dua nama, satu nama asli, satu lagi nama nasional. Kalian mau tahu nama nasional Koh Acung"
Bambang Susilo"huss, kalian dilarang tertawa, umur Koh Acung lebih uzur dibanding presiden berkuasa. Siapa di sini yang pernah memanggil Koh Acung dengan
Pak Bambang atau Pak Susilo" Pak Tua bertanya takjim, semua peserta obrol santai menggeleng, penghuni tepian Kapuas lebih suka memanggilnya Koh, sama sukanya
seperti memanggil orang Melayu dengan Bang, orang Jawa dengan Mas. Nah, lantas kenapa dia harus dibedakan" Berani-beraninya kalian mendiskriminasi Pak
Bambang Susilo" Itu dulu, sebelum undang-undang SKBRI dihapuskan. Sekarang" Pada prakteknya kadang masih ada pegawai pemerintahan yang berpikiran jahiliyah, mempersulit
sesama manusia. Akan tetapi secara umum, bertahun-tahun sejak jaman reformasi, budaya China amat"welcome"di kota ini, datanglah ketika Imlek atau Cap Gomeh,
maka seluruh kota akan terlihat berbeda. Semarak, penuh suka-cita, tidak kalah dengan perayaan hari besar suku atau agama lainnya.
Aku mengelus dahi, kenapa di tengah terik kota Surabaya, aku jadi membahas tentang sejarah orang-orang China Pontianak" Amboi, apalagi penyebabnya kalau
bukan mataku tertuju pada halaman yang baru saja kubuka. Bosan menunggu Pak Tua tidak kunjung keluar dari ruang terapi, aku meraih buku telepon super tebal
di bawah meja, sembarang membuka, langsung terpentang dua halaman penuh dengan nama dimulai dari huruf S, mataku menyipit: Sulaiman. Kalian pernah membuka
buku telepon" Coba saja, ada berapa halaman orang-orang dengan nama Sulaiman"
Aku termangu, menatap baris Sulaiman-Sulaiman-Sulaiman. Bukankah aku pernah mendengar nama ini" Nama yang penting" Dekat sekali dengan pencarianku beberapa
hari terakhir. Di mana" Siapa yang menyebutnya" Astaga" Otakku berpikir super cepat, aku ingat, bukankah nama itu disebut Bibi yang bekerja dirumah Mei?"'Keluarga
besar Sulaiman pindah ke Surabaya'. Itu pasti nama nasional Ayah Mei.
Kepalaku mendadak seperti diterangi lampu mercu suar"bukan cuma bohlam, hah, aku tahu bagaimana menemukan Mei, tanganku bergegas memeriksa halaman-halaman
sebelum dan sesudahnya, eh, sedikit menyeringai, ada tiga halaman penuh dengan nama Sulaiman. Tidak masalah, aku bisa melakukannya. Maka dengan berbekal
pensil pinjaman dari petugas ruang tunggu, aku membawa buku telepon itu ke halaman gedung terapi, mencari kotak telepon umum.
"Buat apa sampeyan butuh receh?" Petugas parkir yang merangkap pak ogah menyelidik, bingung saat aku ingin menukar kantong uang logam penghasilannya sejak
pagi. "Buat nelepon." Aku menjawab pendek.
"Lah" Sampeyan ndak punya HP, mas?" Petugas parkir menyeringai.
Aku tidak menjawab, bergegas membawa kantong uang receh ke pojokan jalan. Lupakan kata bijak Pak Tua tentang jangan mengintervensi jalan cerita perasaan
yang sudah digariskan Tuhan. Kenapa tiba-tiba aku melihat buku telepon, tiba-tiba membuka halaman dengan nama Sulaiman, itu pasti jalan cerita dari Tuhan,
nah sekarang untuk membuatnya menjadi kisah yang utuh, aku harus melakukan bagianku, itu pasti juga dikehendaki Tuhan.
Maka detik berlalu menjadi menit, menit berganti menjadi jam, jam berjalan dirangkai oleh detik dan menit; lupa kaki pegal, lupa bising sekitar, aku memulai
prosesi bodoh itu. Memasukkan koin uang, klontang, menekan nomor telepon, tat-tit-tut-tat-tit-tut, menunggu nada panggil, menyapa, "Selamat siang, apakah
ini kediaman Bapak Sulaiman?" Jika jawabannya iya, "Bisa bicara dengan Nona Mei?" Lima belas menit berlalu, aku sudah mencoret sepuluh nama Sulaiman paling
atas. Semua menjawab tidak ada yang bernama Mei di rumah. Setengah jam berlalu lagi, aku sudah mencoret sepuluh nama berikutnya di buku telepon.
"Apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?"
"Iya benar." "Bisa bicara dengan Nona Mei?"
"Nona Mei?" Suara berat di seberang gagang memastikan.
"Iya, Nona Mei."
"Sebentar ya." Alamak, hatiku langsung dag-dig-dug tidak terkira, apakah benar dia" Aku menelan ludah, apa yang harus kukatakan" Hallo, ini Borno, sengaja menelepon.
Astaga" Baru sekarang aku memikirkan dialog itu, bukankah jadi terlihat sekali kalau aku sengaja mencari tahu alamatnya" Sengaja ingin bertemu" Sengaja"
Wajahku memerah, cemas, malu, hendak menutup gagang telepon. Tidak, tidak bisa. Tidak ada lagi titik kembali, separuh hatiku teguh membela. Apa salahnya
bilang sengaja mencari alamatnya"
"Halo, ada apa ya?" Suara di seberang gagang menyapa. Aku menghela nafas, entah kecewa, entah lega, ternyata bukan suara Mei, yang ada malah suara berat
ibu-ibu. Satu jam berlalu, satu halaman penuh sudah kucoret. Aku menyeka peluh, mencoba bersandar ke tiang telepon umum. Kantong uang recehku sudah berkurang separuh.
Ini tidak akan mudah, boleh jadi habis daftar nama tidak ada satupun yang tersambung ke rumah Mei. Tidak apalah, setidaknya aku sudah mencoba.
"Apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?"
"Salah sambung. Tidak ada yang bernama Sulaiman." Tanpa basa-basi telepon ditutup.
Tidak mengapa, aku mencoret nama berikutnya.
"Apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?"
"Ya, Sulaiman Tailor, mau pesan jas nikah, mas?"
Aku menyeringai, mencoret nama berikutnya.
"Apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?"
"Mas ini siapa" Dari bank ya" Yang mau nagih kartu kredit lagi, hah" Nggak bosan-bosannya mengganggu hidup orang. Dasar preman kampungan."
Aku menelan ludah, meletakkan gagang telepon.
"Apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?"
"Maaf Mas, saya lagi sibuk ya, tidak ada waktu buat dengerin jualan asuransi, langganan atau tawaran produk. Maaf ya, lain kali saja." Sambungan terputus.
Aku menghela nafas, mencoret lagi nama berikutnya.
"Apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?"
"Iya benar. Mau bicara dengan siapa ya?" Logat khas itu amat kukenal.
"Mei, dengan Mei ada, Bu?" Suaraku bergetar, ini pasti keluarga China.
"Mei". Sebentar ya." Gagang telepon diletakkan.
Sudah dua halaman kuselesaikan, dua jam berlalu, matahari kota Surabaya mulai tumbang, ini untuk kedua kalinya ada yang bernama Mei di keluarga Sulaiman
yang kutelepon, aku susah-payah membujuk hati agar teguh, bersiap. Suara gagang telepon diangkat, aku menahan nafas.
"Mei masih mengerjakan PR Matematika, tidak mau diganggu, ini dari siapa ya" Ada pesan?"
Aku menelan ludah, Mei-ku jelas tidak mengerjakan PR. Bilang maaf salah-sambung, mencoret nama berikutnya. Coretan dan tanda di buku telepon semakin banyak.
Nomor tidak bisa dihubungi, nomor tidak diangkat, semua kutandai.
*** Tiga jam berlalu, tinggal hitungan jari nama yang belum kucoret. Aku sudah dua kali menukar uang logam pada petugas parkir, dihitung-hitung koin keberuntunganku
tinggal sembilan. Aku merangkai doa ke langit-langit kota, memasukkan koin berikutnya.
Tidak dikenal. Koin berikutnya. Tidak ada yang bernama Mei.
Koin berikutnya. Bahkan tidak ada yang bernama Sulaiman.
Koinku masih tersisa satu, tapi daftar itu sudah bersih kucoret, aku menghela nafas kecewa, harapan itu lumer macam mentega di penggorengan. Duduk menjeplak
bersandar di tiang telepon umum, meletakkan buku telepon sembarangan. Urusan bodoh ini benar-benar membuatku bertingkah aneh, dan hasilnya ternyata sia-sia.
Aku menepuk jidat, astaga, bahkan urusan Pak Tua terlupakan. Bergegas kembali ke gedung terapi. Lampu taman sudah dinyalakan, mobil keluar-masuk halaman,
pasien datang-pergi. Aku buru-buru mendekati petugas ruang tunggu, hendak bertanya apakah Pak Tua sudah keluar. Yang kucari ternyata tertidur disalah-satu
kursi. Ragu-ragu aku menyentuh bahu Pak Tua, membangunkan.
Pak Tua menguap, menatapku sebal, "Dari mana saja kau, Borno" Tega sekali kau pergi tanpa bilang-bilang."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Ayo pulang ke hotel, Borno. Orang tua ini gerah, ingin mandi, berganti pakaian. Hampir dua jam aku menunggu kau keluyuran, sampai tertidur.
Aku menurut, mengikuti langkah Pak Tua.
*** Hari kedua menemani Pak Tua. Kali ini lancar menumpang oplet, turun persis di pintu gerbang gedung. Pak Tua langsung masuk ke ruangan. Aku tidak tahu persis
apa bentuk terapi alternatif yang dijalaninya, semalam tidak sempat ngobrol, bertanya, Pak Tua sudah tertidur kelelahan.
Setengah jam berlalu, aku bengong menatap kesibukan ruang tunggu, bosan, hanya duduk. Setengah jam lagi berlalu, aku iseng meraih buku telepon dibawah
meja. Membuka halaman berisi nama Sulaiman kemarin, siapa tahu ada nomor yang terlewatkan. Mataku mendadak terhenti di halaman dengan suku kata depan,
Soe", bukankah nama itu juga bisa ditulis Soelaiman. Tercenung. Aku menepuk dahi, benar, itu juga mungkin. Ujung jariku bergegas memeriksa entri nama,
Soelaiman, Soelaiman, Soelaiman, nah, ada separuh halaman, tidak sebanyak kemarin.
Sambil membawa buku telepon dan meminjam pensil suster, aku ke halaman gedung hendak menukar uang receh pada petugas parkir. Tidak ada batang hidungnya.
Kemana pula dia, saat dibutuhkan menghilang, coba kalau tidak, pasti berkeliaran. Lima menit dicari-cari tetap tidak ada, aku mendengus sebal, masuk lagi
ke ruang tunggu. Mungkin petugas meja pendaftaran punya uang receh.
"Buat apa?" Dia bertanya.
"Buat menelepon." Aku menjawab pendek.
"Tidak lama, kan" Kau pinjam saja telepon kami, itu yang di atas meja."Dia menunjuk meja sebelahnya. Aku bergumam, menatap ruang tunggu yang ramai, baiklah,
yang penting aku bisa menelepon, duduk di kursi, meraih telepon.
Nomor pertama kuambil secara acak, aku mengirim pengharapan saat mulai menekan nomor tujuan, semoga hari ini berhasil.
Nada panggil sejenak, diangkat, "Halo, apakah ini kediaman Bapak Sulaiman?"
"Iya benar. Mau bicara dengan siapa ya?"
"Bisa bicara dengan Nona Mei?"
"Mei" Sebentar ya." Gagang telepon seberang diletakkan.
Keberuntungan pemula, aku menyeringai riang, telepon pertamaku langsung tersambung pada kemungkinan kabar baik. Satu menit, masih menunggu, aku menelan
ludah. Bagaimana kalau kali ini benar-benar Mei" Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Dua menit, masih menunggu, alangkah lamanya memanggil "Mei?"
Bisa cepat sedikit tidak, semakin lama, aku semakin banyak memikirkan kemungkinan buruk, semakin tegang.
Terdengar langkah kaki mendekat, aku menahan nafas.
Gagang telepon diangkat, aku benar-benar gugup.
"Abang Borno?" Alamak" Aku tersedak oleh panggilan itu. Gagang telepon yang kupegang terjatuh.
"Apa yang abang lakukan di sini" Ya ampun, benar-benar kejutan."
Tetapi itu bukan suara di gagang telepon (suara di telepon justeru,"Halo, halo" bingung tidak ada yang menyapa balik), aku menoleh, dan lihatlah,Kawan,
gadis penyebab semua kekacauan ini telah berdiri anggun di hadapanku. Mendorong kursi dorong dengan ibu-ibu tua di atasnya.
"Mei?" Hanya itu responku, meneguk ludah.
"Sejak kapan Abang jadi petugas penerima telepon di sini" Sepit-nya ditinggal?" Mei tertawa renyah, bergurau.
"Eh, aku" Aku sedang menelepon kau, eh, maksudku meminjam telepon saja." Bergegas menutup buku telepon, celaka kalau dia melihat halaman dengan nama Soelaiman.
"Sejak kapan Abang ke Surabaya" Kenapa tidak bilang-bilang?"
Aku mendesah dalam hati, aku justeru sedang berusaha bilang, salah-siapa dulu tidak meninggalkan alamat, "Pak Tua, eh, aku menemani Pak Tua terapi asam
urat di sini. Sudah dua hari."
"Oh, Pak Tua." Gadis itu tersenyum, mengangguk, "Benar-benar kejutan yang menyenangkan, ya. Mei juga menemani Nenek terapi di sini, perkenalkan, tapi dia
sudah tidak mengenali orang, sudah hampir seratus tahun." Gadis itu menunjuk kursi roda.
Aku mengangguk pada Nenek-nya.
"Sebentar ya, Bang Borno."
"Eh, kau mau kemana?" Aku berseru (agak kencang), sedikit panik melihat gadis itu hendak mendorong kursi, pergi. Kali ini aku tidak akan membiarkannya,
tidak boleh lagi bertemu langsung berpisah.
"Mei harus membawa masuk Nenek ke dalam, Bang. Sudah terlambat dari jadwal janji dokter. Sebentar saja, kok." Gadis itu menjelaskan.
Aku jadi malu, salah-tingkah, mengangguk, kukira dia mau pergi kemanalah.
Punggung gadis itu hilang dibalik pintu ruangan dokter. Alamak, aku tercenung, lantas tertawa kecil sendiri, menyisir rambut dengan jemari. Ini benar-benar
di luar dugaan, Pak Tua benar, kebetulan, takdir atau apalah menyebutnya itu bisa terjadi kapan saja jika Tuhan menghendaki.
"Mas, kalau sudah selesai, gagang teleponnya bisa ditutup ya" Siapa tahu ada telepon masuk." Petugas meja pendaftaran menegur.
Aku buru-buru berhenti tertawa, meraih gagang telepon yang jatuh dibawah meja, meletakkannya kembali.
***Dia mengenakan kemeja kuning lengan panjang, celana kain gelap, rambutnya diikat dengan sesuatu berwarna hijau. Dia selalu pandai memadu-padan pakaian,
tidak mewah, tidak berlebihan, tetapi terlihat cantik. Dia tersenyum keluar dari ruangan terapi, mendekat, lantas duduk di hadapanku, kursi panjang ruang
tunggu. Bersitatap sejenak, menyeringai padaku.
"Kenapa?" Satu menit terus dipandang, aku sedikit bingung, memaksakan bertanya"meski perasaan grogi sudah menyentuh leher, hampir membuatku tersedak.
"Tidak ada apa-apa." Gadis itu tertawa kecil, memperbaiki anak rambut di dahi.
Aku entahlah sebaiknya harus ikut tertawa atau ikut memperbaiki anak rambut"eh, mana ada anak rambut menggangu di dahiku, terlanjur, pura-pura menyeka
pelipis. "Kenapa kita selalu bertemu ya, Bang?" Mei memainkan kaki menjuntainya perlahan, "Dulu waktu Mei berangkat mengajar, selalu saja naik sepit Bang Borno.
Bahkan saking seringnya bertemu, saat tiba di dermaga kayu, Mei sering berpikir, jangan-jangan nanti naik sepit Bang Borno lagi. Dan ternyata benar. Seperti
disengaja, ya?" Aku nyengir, macam kopral sendirian menjaga benteng dikepung musuh, berusaha bertahan habis-habisan memasang wajah normal. Mana mungkin aku mengaku,bukan"
Alamak, itu akan membuat semua urusan jadi terang-benderang. Malu-lah awak.
"Tidaklah, tidak sengaja. Mei bukannya selalu tiba di dermaga pukul 07.15. Dan aku setiap hari selalu berangkat narik di jam yang sama. Jadwalnya kebetulan
sama, jadi ada kemungkinan selalu bertemu." Saat ini, aku ingin sekali punya keahlian mengarang macam Bang Togar"bodo amat masuk akal atau tidak.
"Dari mana Abang tahu Mei selalu berangkat pukul 07.15" Nah, Abang Borno jangan-jangan sengaja hafal, ya" Biar selalu bertemu Mei?" Gadis itu tertawa renyah.
Aku macam Kasparov kena skak-mat, nyengir mirip kuda sakit perut, kehilangan kata. Tetapi gadis itu sekadar bergurau, tidak lebih tidak kurang, sudah lanjut
bertanya santai, "Bagaimana kabar Pontianak enam bulan terakhir,Bang" Rasa-rasanya Mei amat rindu ingin kembali."
"Pontianak" Eh, masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berubah. "Aku berusaha menegakkan bahu, ikut (memaksa diri) santai.
"Sudah musim buah, Bang" Durian" Jeruk" Rambutan" Mei ingin sekali berjalan-jalan di pasar induk, membeli buah segar yang baru diangkut dari pedalaman.
Tawar-menawar, memilih yang paling ranum, paling elok."
"Oh kalau itu, iya, sudah mulai musim buah." Aku buru-buru menjelaskan,"Tapi masih buah pertama, belum bagus, itupun baru satu-dua perahu dari hulu Kapuas
yang bawa. Durian masih mahal, satu yang besar bisa dua puluh ribu, kalau yang kecil dapat sepuluh ribu, beda kalau sudah musim-musimnya. Jeruk juga belum
terlalu manis, masih buah awal-awal, di pasar induk sekilo masih lima belas ribu?"
Gadis itu tertawa, yang menghentikan kalimatku, kenapa" Aku menyeringai bingung.
"Abang Borno macam tukang buah. Mei kan hanya bertanya sudah musim atau belum, tidak perlu detail sampai harga perkilo"." Lantas dia pura-pura sedang berhadapan
dengan pedagang buah, mengaduk-aduk tumpukan. "Yang ini kecil-kecil, sekilo berapa Bang" Aih, sudah kecil, pucat pula warna kulitnya, sisa jualan kemarin,
Bang?" Aku menelan ludah, memerah wajah, meski sekejap ikut tertawa.
Ibu, aku tidak pernah tahu hingga urusan perasaan ini tiba dipenghujungnya kelak, aku tidak pernah tahu apakah anakmu ini memangcharming"nan tampan, atau
memang selalu menyenangkan diajak bicara. Yang aku tahu gadis di depanku ini sungguh ramah padaku, tampak akrab dan tulus. Kami berbincang tentang kota
Pontianak, tentang Kapuas, tentang kota kami, bergurau satu-sama lain, tertawa, membuat waktu berjalan begitu cepat di ruang tunggu gedung terapi. Kami
juga bicara tentang terapi alternatif, dia pandai menjelaskan kebijakan dan prinsip pengobatan China, sabar dan teratur, macam menjelaskan pelajaran IPA
pada murid SD-nya. Pasien hilir-mudik, suster mondar-mandir, orang-orang datang-pergi, dua jam berlalu tanpa terasa, hingga Pak Tua keluar dari ruang perawatannya.
"Hah, kupikir kau keluyuran tidak jelas lagi". Kita mencari makanan kemanalah, Borno. Perut kosong orang-tua ini sudah berbunyi dari tadi, ingin segera
makan." Pak Tua yang tidak memperhatikan aku sedang bicara dengan Mei, menepuk bahuku.
Aku sedikit kaget, menoleh, selintas melirik jam di dinding, sudah lepas tengah hari.
"Sebentar". Sebentar," Pak Tua akhirnya menatap Mei, yang berdiri, sopan menjulurkan tangannya, mengajak berkenalan, "Sepertinya aku kenal siapa gadis
cantik ini." Pak Tua menatap lamat-lamat, menerima juluran tangan Mei.
"Pak Tua sudah kenal?" Aku ikut berdiri, kejutan, apa Mei anak kenalan Pak Tua"
"Astaga, Borno. Tentu saja kenal. Tapi bukan dalam artian harfiah. Bukankah kau sekali, dua kali, ah, bahkan berkali-kali tidak terhitung cerita tentang
gadis berbaju kuning, Mei, Mei, dan Mei. Aku kenal dia dari cerita kau enam bulan terakhir. Akhirnya bertemu, tidak disangka-sangka." Pak Tua terkekeh.
Aku membeku, kalau saja situasinya berbeda, dan Pak Tua bukan orang yang paling kuhormati, misalnya macam Andi, sudah kupiting badannya, kubekap mulutnya.
Entah seperti apa warna wajahku, kepiting rebus bukan lagi perumpamaan yang tepat. Muka gadis itu juga ikut memerah, salah-tingkah.
"Maaf"." Pak Tua melambaikan tangan, "Maafkan orang tua ini. Selalu saja berlebihan bergurau, seperti tidak pernah muda saja." Berusaha memperbaiki situasi,
"Kau mengantar seseorang ke sini, Meii?"
Mei mengangguk,"dari mana Pak Tua tahu, demikian raut wajahnya.
"Aku hanya menebak, tidak mungkin kau yang sesehat ini ikut terapi, bukan" "Pak Tua tersenyum pada Mei, "Jadi kau pastilah mengantar orang lain. Nenek
kau?" Mei mengangguk,"dari mana pula Pak Tua tahu"
"Aku lagi-lagi hanya menebak." Pak Tua tertawa, seperti biasa menjawab sebelum ditanya, "Nenek kau namanya Nyonya Lian, bukan?"
Astaga, wajah Mei terlihat benar-benar kagum,bagaimana Pak Tua tahu"
"Bagaimana aku tahu" Nah, itu bukan tebakan, ada perawat di belakang kau." Pak Tua menunjuk.
Ada suster yang sejak tadi memanggil nama Mei dan menyebut nama Neneknya, terabaikan gara-gara "situasi memalukan" perkenalan Pak Tua.
"Oh, maaf," Mei berbicara sebentar pada suster. Perawat itu lapor, Nenek-nya masih di dalam tiga-empat jam lagi, terapi akupuntur. Mei mengangguk.


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, daripada kau bengong sendirian di ruang tunggu, maukah gadis sebaik kau menemani orang-tua ini dan Borno makan siang" Amboi, kalau tidak salah dekat
perempatan Bubutan ada restoran rujak cingur lezat. Sejak aku muda dulu sudah terkenal, lidahku ingin sedikit bernostalgia, nampaknya kalau hanya rujak
cingur, dokter tidak keberatan. Maukah Mei menemani?" Pak Tua meminta dengan takjim.
Mei tertawa melihat gaya Pak Tua, "Bangunan bioskopnya sudah lama berganti komplek gedung kantor luas, Pak. Termasuk rumah makan itu."
"Sungguh sayang," Pak Tua menepuk dahi, berlagak kecewa, "Alangkah banyak perubahan kota ini, termasuk merubah kenangan dan selera lama."
"Tapi restoran itu masih ada, Pak." Mei buru-buru menambahkan, "Mereka pindah sepuluh tahun lalu, sekarang lebih luas, lebih nyaman, dan kabar baiknya,
tetap selezat berpuluh-puluh tahun lalu. Kami sekeluarga sering berkunjung ke sana."
"Nah, itu berarti jawabannya "iya". Kau mau menemani orang-tua ini makan siang, bukan?" Pak Tua berseru senang.
Mei mengangguk, aku sudah bersorak riang"dalam hati.
*** Kalian pernah punya kawan yang jago basa-basi" Misalnya pernah dia bertamu, lantas ketelapasan bilang makanan tuan rumah hambar dan bau, membuat situasi
runyam dan canggung. Satu jam berlalu, dengan pandainya, dia membalik situasi menjadi lebih akrab, lebih hangat hanya dari kalimat-kalimat ringan. Itulah
Pak Tua, kalau tadi aku hendak memitingnya, sekarang, di tengah hamparan meja makan dan bau bumbu rujak cingur, aku harus berterima-kasih banyak.
Naik oplet, Mei yang jadi pemandu jalan, kami menuju restoran lawas. Pesanan diantar pelayan setelah lima menit menunggu, dan bermenit-menit kemudian Pak
Tua dan Mei sudah asyik bicara tentang kota Surabaya dan seisinya. Aku sejatinya cuma patung (yang bisa makan), tapi itu lebih dari menyenangkan, sekali-dua
ikut menyela, berkali-kali lebih sering mencuri pandang. Pak Tua masih suka menyindirku, mengungkit soal antrian sepit nomor 13 misalnya, namun itu tidak
terlalu mengganggu, gadis itu hanya tertawa, menganggap sekadar gurauan, tidak lebih tidak kurang. Sudah sejak setengah jam lalu Mei menaruh respek yang
lebih baik pada Pak Tua, tidak menilainya hanya seorang renta yang suka bicara. Siapa pula yang tidak betah bicara dengan Pak Tua"
"Kapan keluarga kau pindah?" Pak Tua menelan suapan terakhir.
"Delapan tahun lalu."
"Oh, berarti usia kau baru dua belas?"
Gadis itu mengangguk. "Sekarang usia kau dua puluh. Lihatlah, sarjana pendidikan yang cemerlang, masih muda sekali. Anak muda yang penuh cita-cita, penuh rencana. "Pak Tua manggut-manggut,
"Tidak seperti yang di sebelahku ini, dua tahun terakhir luntang-lantung tidak jelas mau melakukan apa. Gelap masa depannya, hanya pengemudi sepit. Tidak
berpendidikan, tidak punya rencana."
Aku tidak terima "dihina", menyela, "Aku punya banyak rencana, Pak. Kuliah sambil kerja, melanjutkan pendidikan. Bukankah Pak Tua sendiri yang pernah bilang,
terkadang dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil terus melakukan apa yang bisa dilakukan."
"Amboi, sudah pandai omong bijak dia sekarang." Pak Tua terkekeh.
"Jadi pengemudi sepit juga tidak kurang masa depannya." Mei tersenyum,"Bukankah Pak Tua pengemudi sepit?"
Aku senang dibela Mei. "Ah, itu pengecualian. Orang tua ini kebetulan cinta sekali dengan kota Pontianak. Tak kurang puluhan kota pernah kukunjungi, ratusan tempat pernah kusinggahi,
termasuk di negeri-negeri seberang, tidak ada yang selalu membuatku rindu untuk kembali macam Pontianak. Berhulu-hilir di Kapuas, menyapa pagi datang,
menatap senja tiba, berbincang santai dengan penduduknya, menikmati hari. Nah, bagiku pengemudi sepit itu hanya hobi, bukan pekerjaan." Pak Tua takjim
mengelak, membela diri. Aku tertawa. Pak Tua santai mengangkat bahu, ya sudah kalau tidak percaya.
Setengah jam berikutnya, sebelum beranjak ke kasir, kami asyik membicarakan kota Pontianak. Giliran Mei yang banyak bertanya pada Pak Tua tentang apa saja
yang berubah di kota kami sejak delapan tahun lalu keluarganya pindah. Aku menatap lamat-lamat wajah Mei yang antusias, membenak sesuatu, kau tahu Mei,
sindiran Pak Tua tentang tidak ber-masa depan, tidak berpendidikan memenuhi kepalaku"di samping ada satu hal lagi yang terus merecoki benakku.
Kami kembali ke gedung terapi, Nenek Mei persis sudah kelar, kursi rodanya didorong keluar dari ruangan. Inilah bagian yang paling merecokiku, cepat atau
lambat aku dan Mei akan berpisah. Hanya menunggu waktu. Sejak tadi sudah kupikir-pikir skenario terbaik biar bisa bertemu kembali.
"Eh, kapan Mei membawa Nenek kembali ke sini?" Aku bertanya saat dia mulai mendorong kursi roda ke pintu depan.
"Dua hari lagi, Bang."
"Sayang sekali, sementara kelanjutan terapi orang-tua ini tiga hari lagi." Pak Tua tidak ditanya juga menjawab, sengaja benar nyinyir, "Tidak cocok jadwalnya,
kecuali kau berani dan sengaja datang sendirian pas Nona Mei menemani Neneknya."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, Mei tertawa, "Boleh saja, Bang.Daripada Mei bengong sendirian, akan lebih menyenangkan kalau ada teman."
"Ya, ya". Dan itu berarti dia meninggalkan orang tua ini sendirian dihotel. Anak yang berbakti." Pak Tua menggelengkan kepala, pura-pura kecewa sekali.
Aku menyumpahi Pak Tua dalam hati, tidak bisakah dia berhenti menggoda. Aku harus segera dapat kepastian prospek pertemuan berikutnya"pertemuan yangdirencanakan,
bukan "tidak sengaja" lagi. Langkah kaki kami sudah di pintu depan gedung, mobil jemputan Mei merapat, sopir dan perawat membantu menaikkan Nenek Mei.
Apakah aku akan nekad bertanya di mana rumahnya" Meminta nomor telepon" Sayangnya lidahku kelu, hanya bisa cemas melihat Mei juga naik ke dalam mobil.
"Atau begini saja, Bang." Kepala Mei keluar dari jendela mobil, tersenyum, "Besok Pak Tua hanya di hotel, bukan" Aku juga tidak mengantar Nenek. Bagaimana
besok aku menemani Pak Tua dan Bang Borno keliling Surabaya. Nah, esok-lusa aku ke Pontianak, giliran Pak Tua dan Bang Borno menemaniku keliling."
Aku bersorak (dalam hati). Itu sungguh tawaran tak-tertolak, aku langsung mengangguk.
Saat mobil itu hilang di tikungan depan, Pak Tua menepuk bahuku, "Malam ini kau harus memijatku dua jam, Borno."
"Pijat?" Aku menyeringai, tidak mengerti.
"Ye lah, kau harus berterima-kasih banyak pada orang-tua ini, bukan" "Pak Tua tertawa, "Dua jam itu baru untuk traktiran makan siang tadi. Belum dihitung
kesempatan berbincang-bincang dengannya, astaga, itu bisa senilai dipijat sehari-semalam."
Aku rasa-rasanya sudah siap menyikut lengan Pak Tua. Enak saja.
**dosa korupsi waktu"terlepas dari gombal kalian yang bilang lebih produktif atau lebih semangat kerja habis baca Borno.
Esok hari tiba, hari plesir keliling kota.
Mei tiba pukul delapan, saat aku dan Pak Tua sudah selesai sarapan dan menunggu sebentar di lobi hotel. Dia mengenakan kaos hitam padu-padan dengan celana
jeans, rambutnya ditutup topi kuning. Dia membawa dua buah payung besar, "Cuaca panas seperti ini, Surabaya sering hujan siang-siang." Mei menyeringai,
menyerahkan satu payung padaku. Aku menerimanya, selalu gugup setiap bertemu denagnnya"entah sampai kapan aku akan terbiasa.
Kami naik angkot (demikian menyebutnya di kota ini).
"Aku ingin melihat jembatan besar itu." Pak Tua menjawab takjim saat ditanya lokasi pertama yang hendak dituju. Mei mengangguk, mengerti. Aku menyentuh
lutut Pak Tua pelan, berbisik, "Jembatan besar apa?" Takut di dengar Mei dan penumpang angkot lain, belum mengerti maksudnya. "Kau bikin malu saja." Pak
Tua mendengus, berseru kencang, membuat yang lain menoleh, "Tidak ada orang di negeri ini yang tidak tahu Jembatan Surabaya-Madura. Makanya baca koran,
tonton teve." Aku menatap Pak Tua sebal. Mei menutup mulut, menahan tawa.
Itu tujuan pertama, sesuai permintaan Pak Tua.
"Panjangnya tak kurang lima kilometer," Demikian Mei menjelaskan, setengah jam kemudian kami sudah berdiri di pangkal jembatan, "Menghubungkan Bangkalan
Madura dengan Surabaya. Lebih besar dibanding jembatan Kapuas, bukan?"
Aku mengangguk, Pak Tua manggut-manggut tipis, "Kau tahu, Borno. Aku ingin Togar ikut kita sekarang." Aku menatap Pak Tua tidak mengerti, mengganti tangan
kiri memegang payung"cuaca panas membakar ubun-ubun. Kenapa pula Pak Tua tiba-tiba menyebut nama ketua PPSKT itu.
"Karena dengan berdirinya jembatan gagah ini, maka kapal ferry Ujung Kamal Madura ke Tanjung Perak Surabaya tersingkir, tinggal angkutan tanpa gigi. Di
sini nasib"pelampungburuk." Pak Tua menjelaskan.
Aku bergumam, benar juga, di Pontianak, kedatangan"pelampung"menyingkirkan sepit Kapuas, di sini sebaliknya, nasib"pelampungburuk setelah jembatan jadi,
kapal-kapalnya dipindahkan ke rute lain, bahkan ada yang terancam menjadi besi tua. "Begitulah hidup, " Pak Tua menatap takjim tali-temali dan pucuk jembatan,
"Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang berjaya, kadang terhina. Esok lusa boleh jadi jembatan ini tidak sakti lagi, entah oleh apa."
Tidak lama kami di jembatan besar itu, tidak bisa melintas (karena tidak ada jalur pejalan kaki, "Ah, apa susahnya mereka bangun dulu" Coba tengok jembatan-jembatan
raksasa di seluruh dunia, semua ada jalur pejalan kakinya." Pak Tua mendengus sebal), kami segera pindah ke lokasi berikutnya.
"Terserah Borno." Pak Tua menjawab pertanyaan Mei.
"Eh, terserah aku?" Aku menyeringai, duduk bersempit-sempit di angkot.
"Ya, sekarang giliran kau menentukan tujuan kedua."
Aku menyeringai bingung, mana aku tahu hendak kemana" Kenal pun tidak dengan kota ini. Pak Tua balas menyeringai, "Kau tidak akan bilang ke bonbin saja,
kan?" "Bonbin?" "Kebon binatang." Pak Tua terkekeh. Mei ikut tertawa.
Aku menyumpahi Pak Tua (dalam hati), dia pasti sengaja membuatku bingung di depan Mei.
"Aku ingin melihat gedung tertua itu." Aku setelah diam sejenak, berkata mantap pada Mei.
"Gedung tertua apa?" Pak Tua menyela.
"Pak Tua jangan bikin aku malu saja. Tidak ada orang di kota ini yang tidak tahu gedung tertua Surabaya." Aku mendengus, sengaja meniru intonasi Pak Tua
tadi pagi. "Macam kau tahu saja, Borno." Pak Tua tertawa.
"Memang. Mana aku tahu gedung apa." Aku nyengir, ikut tertawa.
Gereja Santa Maria, itu bangunan yang dipilih Mei. Gereja tua itu terlihat menawan dengan panel gelas dan serena di sekelilingnya. "Sebenarnya, aku juga
tidak tahu apakah ini bangunan tertua di Surabaya, Bang." Mei berkata dengan kepala mendongak, menatap atap gereja, "Ada banyak bangunan tua di kota ini,
peninggalan jaman penjajahan."
Dari gereja itu kami menuju balai kota Surabaya, turun dari angkot berganti menumpang becak, kami menuju Masjid Ceng Ho. "Jangan mimpi ber-becak bersama
Mei," Pak Tua menyeretku, menyuruh naik becak lain. Aku bersungut-sungut, siapa pula yang mau ber-becak berdua" Dulu saja tidak sengaja memegang tangannya
agar tidak terjungkal dari sepit rasanya malu sekali. Aku justeru mau naik becak sendirian, rasanya eksotis melintas di tengah kota dengan becak. Dua becak
melintas jalanan panas Surabaya (aku duduk nyempil di sebelah Pak Tua yang duduk santai dengan tongkatnya), lima menit tiba di halaman mesjid ber-arsitektur
indah khas China. Langit kota semakin gerah, membuat berkeringat, aku menyeka peluh di pelipis. Mei membeli tiga botol air mineral di tukang asong depan
Mesjid. "Ini Masjid Laksamana Ceng Ho, Bang." Mei menjelaskan.
"Dia paling juga tidak tahu siapa si Ceng Ho itu." Pak Tua nyengir.
"Ada banyak peranakan China di kota ini. Kampung China di Surabaya tidak kalah dibanding Pontianak, Bang." Mei lanjut menjelaskan, "Ada tempat yang terkenal
sekali di kampung China, Kembang Jepun. Malam hari area itu berubah menjadi pasar jalanan dan warung makan tenda dengan pertunjukan budaya peranakan China,
tidak kalah suasananya dengan di Pontianak. Apalagi saat imlek dan cap gomeh. Puluhan naga turun ke jalan."
"Naga?" Aku melipat dahi.
"Barongsai, Bang." Mei tersenyum"bukan mentertawakanku seperti yang dilakukan Pak Tua.
Langit berubah drastis menjadi mendung saat kami turun dari angkot satu jam kemudian, di tujuan berikutnya, Pasar Ampel.
"Kenapa kita ke sini" Pak Tua hendak membeli karpet atau permadani?" Aku bertanya pada Pak Tua, menatap toko-toko dengan jualan seragam"dia yang memilih
tujuan ini. "Nostalgia, Borno." Pak Tua melambaikan tangan, tertawa, "Ini pasar Arab terbesar di kota Surabaya, dulu waktu masih muda seumuran kau, aku pernah bekerja
di salah-satu tokonya. Nah, toko yang itu, sayang pemiliknya sudah lama pindah, jadi tidak ada lagi yang kukenal."
Adalah setengah jam berkeliling Pasar Ampel. Aku sebenarnya menikmati berjalan di lorong-lorong pasar Arab itu, menyimak motif, menyentuh permukaan karpet,
dan terperangah mendengar harganya.
"Di ujung lorong ini ada mesjid dan makam salah satu dari sembilan sunan tanah Jawa, Bang." Mei berbisik, "Sunan Ampel."
Aku mengangguk-angguk, ternyata tempat ini tidak kalah spesial.
Gerimis mulai turun saat Pak Tua bilang perutnya lapar. Mei cekatan memilih lokasi makan yang cocok dengan diet Pak Tua, warung soto Madura, tidak jauh
dari Pasar Ampel. Nikmat sekali menghirup kuah soto di tengah gerimis yang mulai menderas. Pak Tua mendecap-decap, aku tidak jahil mengingatkannya tentang
diet, hanya semangkok soto, tanpa potongan daging atau jeroan berbahaya. Aku sedang asyik melirik Mei yang tengah menghabiskan mangkok sotonya. Lihatlah,
wajahnya, gerakan tangannya, sekali dua memperbaiki anak rambut (topi kuning sudah dilepas), kepedasan, meminta kecap (aku mengambilkannya), meniup-niup
permukaan mangkok, meminta sambal (aku meraihnya), meminta tissue (aku mendorong tempat tissue). Amboi, dengan Mei ada di depanku, makan siang ini terasa
nikmat sekali, duduk di kursi panjang, berhadap-hadapan. Jalanan ramai, mobil dan motor bergegas menerobos gerimis yang semakin deras. Suara klakson dan
rintik air menjadi latar.
"Sotonya tidak dimakan, Bang?" Mei menyeka ujung mulut, bertanya.
"Bagaimanalah dia akan makan kalau sejak tadi curi-curi pandang menatap Mei." Pak Tua yang menjawab, terkekeh.
Wajahku merah padam (juga wajah Mei), aku buru-buru meniup mangkok soto. Dasar orang tua perusak suasana, tidak bisakah dia berhenti menggangguku"
*** Cukup lama kami tertahan di warung soto. Hujan deras membungkus kota, kami tidak bisa kemana-mana, payung besar yang dibawa Mei tetap tidak akan melindungi
dari percikan air terbawa angin. Jadilah kami nongkrong satu jam di warung soto, mendengarkan cerita masa-lalu Pak Tua. Cerita membantu saudagar Arab berjualan
di Pasar Ampel, cerita tentang perang besar, umur Pak Tua masih sepuluh saat perang besar melanda kota, 10 November yang harum nan masyhur itu. Aku tercenung,
ini kali pertama Pak Tua murah hati menceritakan masa lalunya, biasanya dia selalu misterius. Sayang, saat aku mulai gencar bertanya, semangat ingin tahu
lebih banyak, hujan mulai reda, Pak Tua memutuskan segera melanjutkan plesir.
"Pak Tua hendak kemana lagi?" Mei bertanya sambil memasang topi kuning, "Jembatan Merah" Grahadi" Kota Tua" Gedung Sampoerna?"
Pak Tua menggeleng, dia perlahan meraih selembar kertas kecil kusam dari saku celana, menyerahkan pada Mei, "Kau bisa mengantarku ke alamat ini?"
Mei membaca sejenak, bergumam, "Aku belum pernah ke lokasi ini, Pak."
"Tetapi kau tahu arahnya, bukan?"
Mei mengangguk, "Bisa dicari, dua kali naik angkot."
Pak Tua tersenyum takjim, "Nah, mari segera berangkat, Mei, aku ingin menghabiskan sisa hari ini selama mungkin di sana."
"Sebenarnya kita mau kemana?" Aku bertanya pada Pak Tua saat berpindah angkot, diamat-amati kami nampaknya meninggalkan pusat kota.
"Teman lama." Pak Tua menatapku hangat, "Teman lama orang tua ini. Kau pasti senang bertemu dengan mereka."
Mereka" Siapa" Aku hendak membuka mulut, bertanya, tapi wajah riang Pak Tua membuatku urung, sabar saja Borno, cepat atau lambat kau juga akan tahu.
Setengah jam berlalu, tibalah kami di perkampungan pinggir kota. Jalanan lebih lengang, pohon-pohon lebih banyak. Angkot berhenti, sopirnya bilang, tinggal
masuk gang saja, berjalan kaki tiga ratus meter, hingga mentok, semua orang sini tahu padepokan itu. Aku mengembangkan payung, gerimis, membantu Pak Tua
turun dari angkot. Mei menyusul di belakang, dengan payung sendiri. Gang beraspal itu agak becek, mesti hati-hati atau sandal tidak sengaja memercikkan
air kotor ke celana. Aku menatap sekitar, terlepas udara dingin karena hujan, gang ini terlihat asri, menyenangkan. Rumah-rumah berjejer rapi, halaman
dengan taman bunga, satu-dua penghuninya duduk santai di kursi depan, ramah menatap kami yang melintas.
Akhirnya tiba juga di ujung gang.
Amboi, andai saja Andi ada di sini, dia juga akan senang berkunjung kemari.
Pak Tua mendorong pintu pagar, melintasi halaman luas dengan rumput terpangkas rapi macam beludru hijau, pohon cemara berjejer, bunga bougenville, percikan
air hujan di kaki terasa nyaman. Bagian depan rumah yang kami kunjungi ramai oleh anak-anak yang sedang bermain musik, ada yang menggesek biola, memetik
gitar, memainkan angklung, riang tidak terganggu oleh kehadiran kami. Pak Tua berdiri sejenak sebelum melangkah masuk ke aula terbuka itu, menatap sekitar
sambil tersenyum lebar. Aku dan Mei ikut menyimak kesibukan di teras depan luas, bertanya dalam hati, ini sebenarnya tempat apa. Saat itulah, melangkah
patah-patah mendekati kami, seseorang sebaya Pak Tua, mengenakan kacamata biasa"kalian tidak akan menyangka dia buta. Tinggal satu langkah, tangannya terjulur,
menyentuh bahu, leher, wajah Pak Tua, meraba-raba. Pak Tua membiarkan, tersenyum malah."
"Hidir". Astaga, kaukah itu Hidir?" Tuan rumah menepuk dahi.
"Benar. Ini aku, Kawan." Pak Tua tertawa, tongkatnya terlepas, dia lompat memeluk sahabat lamanya erat sekali, tidak peduli tampias mengenai rambut putihnya.
"Siapa yang datang, Yang?" Wanita tua"juga sebaya dengan Pak Tua, mengenakan kacamata polos (seperti kacamata biasa), ikut mendekat dari arah kerumunan
anak-anak yang bermain musik. Patah-patah melangkah dengan tongkat.
"Hidir, Yang." "Hidir" Hidir siapa". Ya Tuhan, kaukah itu Hidir?" Wanita tua itu berseru tertahan, dan tanpa menunggu lagi, sudah meraba-raba ke depan, berusaha menyentuh
wajah Pak Tua, memeluknya. Bertiga mereka sekarang berpelukan erat. Bahkan, sumpah, aku sekilas bisa melihat mata Pak Tua berkaca-kaca, menahan tangis.
Aku menyeka ujung hidung, tersentuh, ini mengharukan.
Mei di sebelahku ikut menyaksikan pertemuan hebat mereka, berdiri dengan payung terkembang. "Mereka siapa?" dia berbisik, bertanya.
"Si fulan dan si fulani." Aku menjawab pelan"aku tidak tahu nama asli mereka, dulu Pak Tua bercerita juga dengan nama-nama alias itu. Ternyata, inilah
padepokan musik pasangan yang kisah hidup mereka pernah kudengar bersama Andi.
"Sebentar". Sebentar." Wanita tua itu menoleh ke arah kami, "Kau tidak datang sendirian, Hidir" Siapa yang kau bawa" Bukankah kau hidup membujang" Jangan-jangan
kau menikah tanpa bilang pada kami?"
Pak Tua tertawa, "Perkenalkan, itu kawan baikku di Pontianak. Ayo, Borno, jangan macam patung kehujanan, masuk ke sini. Borno ini sudah kuanggap lebih
dari anak, walaupun aku tidak tahu, apakah dia menganggapku orang-tua, jangan-jangan seharian penuh ini dia menganggapku perusak suasana."
Aku menyalami pasangan itu. Wanita tua itu meraba-raba rambutku yang basah, tersenyum, "Kau pastilah anak muda yang berbeda dari kebanyakan, Nak."
"Nah, yang satu lagi adalah Mei. Gadis baik hati yang mengantar kami kemari. Tanpa bantuannya, boleh jadi aku tersasar kemanalah. Ayo, Mei, masuk kemari,
mereka berdua ini sama seperti kau, guru. Bahkan terhitung guru musik yang hebat."
Mei memeluk hangat wanita tua, menyalami yang laki-laki.
Dan aku, meski sepanjang sore hanya diam memperhatikan (juga Mei), mendengarkan Pak Tua bercakap-cakap seru bersama mereka, bercerita kisah lama, bertanya
kabar teman lain, aku akhirnya tahu, cerita Pak Tua tidak dusta. Cinta adalah perbuatan. Di sela obrol santai, wanita tua itu membawa teko berisi teh hangat
keluar, patah-patah, hati-hati, senyum hangat tak pernah lepas dari wajahnya. Selama bercakap-cakap, mereka duduk selalu bersisian, tertawa bersama, mengolok-olok
Pak Tua, bergurau, jahil saling goda, tertawa kompak. Dan Pak Tua sekali-dua menceritakan masa lalu mereka pada Mei "Mereka sudah menikah hampir enam puluh
tahun. Kau tahu Mei, separuh dari masa itu, mereka selalu merepotkan aku. Mulai dari mengurus surat nikah, hingga berhadapan dengan sipir penjara." Tertawa,
sejenak membahas tentang pulau pengasingan PKI, terdiam sebentar saat mengenang anak pertama mereka yang meninggal di peristiwa Malari.
Anak-anak yang belajar musik satu dua mendekati kami, bertanya tentang satu-dua hal, ada yang malah memperdengarkan kemajuan latihan, membawa biola, pasangan
itu menghentikan sejenak percakapan, tersenyum mengurus mereka. Adalah dua kali kami mendengar gesekan biola anak-anak, ikut menikmati"meski tidak paham
lagu klasik apa yang dibawakan.
Dan aku akhirnya melihat adegan hebat itu. Saat wanita tua itu mengeluarkan permen asam jawa dari wadah gelas di atas meja. Tangannya yang keriput meraba-raba,
membuka bungkus, lantas patah-patah menyerahkan pada suaminya. Laki-laki tua tersenyum, menerima juluran permen dari istrinya, "Terima-kasih, Yang." Pelan
saja, tetapi aku sungguh bisa merasakan kekuatan kalimat itu, disampaikan dengan energi cinta yang luar-biasa. Itu bukan sekadar terima-kasih yang tulus.
Itulah wujud cinta sejati.
Aku tertunduk, andai Andi ada di sini, dia bisa melihat sendiri cinta yang terwujud dalam bentuk perbuatan. Pasangan ini telah membuktikannya, cinta bukan
kalimat gombal, cinta adalah komitmen tidak terbatas puluhan tahun, untuk saling mendukung, untuk selalu ada di sisi yang lain apapun yang terjadi, baik
senang maupun duka. Aku tidak tahu, kalau Mei di sebelahku diam-diam menyeka ujung matanya.
*** Matahari hampir tumbang saat aku, Pak Tua dan Mei beranjak pulang dari rumah pasangan itu. Mereka berpelukan erat kesekian kali, mengucap kalimat perpisahan
dengan mata berkaca-kaca.
Aku hanya diam menyaksikan.
Pak Tua tidak banyak berkomentar saat berjalan kaki ke jalan besar, naik ke atas angkot, wajahnya takjim, sedikit berkabut, menatap jalanan yang mulai
dihiasi cahaya lampu. Gerimis kembali membasuh kota, dengan cepat menderas. "Kau tahu, Borno, untuk orang setua kami, boleh jadi pertemuan tadi adalah
pertemuan terakhir. Besok-lusa, yang terdengar kabar adalah kepergian untuk selamanya."
Aku menatap Pak Tua lamat-lamat, mungkin karena itulah Pak Tua jadi lebih pendiam.
Saat tiba di hotel, Pak Tua menyuruhku mengantar Mei pulang.
"Aku bisa pulang sendirian, Pak. Naik taksi." Mei dengan wajah bersemu merah menolak halus, "Nanti merepotkan Abang Borno saja."
"Tidak ada yang direpotkan, Borno malah senang sebenarnya." Pak Tua berkata serius"tidak bermaksud mengolok-olok, "Ini sudah malam, tidak baik gadis pulang
sendirian, meskipun aman menumpang taksi. Kau antar Mei pulang, Borno." Itu kalimat perintah.
Aku mengangguk. "Dan kalau sudah, kau segera balik ke sini, jangan keluyuran." Pak Tua menepuk bahuku.
Aku mendengus, siapa pula yang mau keluyuran hujan-hujan begini, segera mengembangkan payung, menatap Mei, menunjuk lobi hotel, ada taksi biru menunggu,
ayo. *** Kawan, untuk pertama kalinya aku menyadari, gadis ini datang dari keluarga yang amat berbeda dariku. Mobil taksi membawa kami menuju pusat kota, melewati
jalan protokol Surabaya, lantas masuk ke pintu gerbang besar, ke halaman seluas seperempat lapangan bola. Aku yang sejak tadi lebih banyak diam, lebih
banyak salah-tingkah, bercakap sepatah-dua patah pendek, lantas diam tidak berani melirik di kursi mobil, menatap rumah besar mewah itu dengan sebuah kesadaran
baru. "Abang Borno jadi turun sebentar, kan?" Mei sudah membayar ongkos taksi, membuka pintu mobil.
"Eh, sepertinya tidak usah." Aku ragu-ragu.
"Ayolah, bukankah tadi kita sudah sepakat, kaos Abang itu lembab, aku ambilkan gantinya di dalam. Sepertinya ada kaos yang cocok buat Abang. Sebentar saja."
Mei membujuk. Aku jerih menatap keluar jendela, akhirnya membuka pintu, turun.
"Ayo, masuk." Mei tersenyum, "Jangan malu-malu."
Aku menelan ludah, mengikuti langkah Mei. Dia membuka pintu besar dari kayu Jati dengan ukiran Jawa, tibalah kami di ruang depan rumahnya, anak tangga
berpilin ke lantai atas, lantai keramik mengkilat, megah.
"Nah, Abang tunggu di sini, Mei ambil kaosnya sebentar." Dan tanpa menunggu jawabanku, gadis itu sudah berlari-lari kecil menaiki tangga, rambut panjangnya
bergoyang lembut, punggungnya hilang di ujung lantai.
Tinggallah aku sendirian di ruang yang luas dan tinggi, menatap lampu gantung dengan ratusan kristal. Vas bunga besar berbaris di dekat dinding, ornamen
di jendela kaca. Aku meneguk ludah, bodoh sekali, kenapa aku selama ini tidak bisa mengambil kesimpulan kalau gadis itu bukan gadis biasa-biasa saja. Ini
di luar bayanganku, bahkan dalam khayal paling liar sejak menemukan amplop berwarna merah tertinggal di dasar sepitku. Aku mengusap rambut yang basah,
bodoh, bukankah rumah di Pontianak saja sudah bisa membuatku mengambil kesimpulan"
Terdengar suara dehem di langit-langit ruang depan, aku buru-buru menoleh, itu bukan Mei, dehemnya berat. Dari balik vas-vas bunga melangkah pelan laki-laki
usia setengah baya. Gurat wajahnya tegas, sorot matanya tajam, khas peranakan China yang tangguh dan ulet.
"Selamat malam, Oom." Aku segera menyapa sesopan mungkin.
"Kau siapa?" Suara beratnya bertanya, tidak menjawab salamku.
"Eh, teman Mei." Aku menjawab ragu-ragu.
Laki-laki itu menatap tajam, dari ujung rambut ke ujung kaki.
Aku sedikit salah-tingkah.
"Aku tidak suka kau ada di sini." Tanpa basa-basi, dengan intonasi pasti.
"Eh, maaf, Oom?" Aku tambah gugup, memastikan tidak salah dengar.
"Kau seharusnya tidak mengantar Mei pulang." Tatapannya semakin tajam.
Aku meneguk ludah. "Kau hanya akan membawa pengaruh buruk bagi Mei."
Aku membeku, bibirku seperti di-staples, kelu. Satu menit berlalu tanpa suara, suasana terasa ganjil, aku menelan ludah, gugup hendak bilang apa, penjelasan,
atau entahlah. Tidak berani menatap wajah galak di hadapanku.
"Kaosnya, Bang." Mei sudah berlari-lari kecil menuruni anak tangga pualam.
Aku menoleh, menghela nafas lega.
"Oh, Abang sudah bertemu Papa?" Mei menoleh pada laki-laki separuh baya di hadapanku, "Ini Abang Borno, Pa. Pengemudi sepit di Kapuas, Mei sering menumpang
sepitnya seaktu di Pontianak. Nah, Abang Borno, ini Papa, orang paling tampan di seluruh rumah ini."
Aku mematung. Papa Mei"
***Saat kembali ke hotel, aku tidak cerita tentang kejadian di rumah Mei pada Pak Tua. Lagipula dia sudah tertidur kelelahan, tidak tega membangunkan. Habis
mandi, berganti pakaian, aku tidur telentang menatap seekor cicak didekat lampu, berpikir. Suara desing pendingin memenuhi langit-langit kamar.
Urusan ini sedikit tidak adil, bukan" Almarhum Bapak dulu selalu bilang, "Borno, jangan pernah menilai sesuatu sebelum kau selesai urusan dengannya.Sebelum
mengenal baik. Sebelum cukup mendengarkan atau membaca." Ibu yang sambil merangkai ikan hasil tangkapan menyela, "Itu lebih mudah dikatakan,Borno. Kelak


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat kau dewasa, banyak sekali pongah orang sebaliknya, disadari atau tidak olehnya. Padahal dia yang selama ini berkoar-koar jangan menilai sesuatu dari
kulitnya, lah dia sendiri cepat ceplas-ceplos kasih komentar atas banyak hal, menilai sebelum kenal, sebelum selesai sama sekali."
Aku menatap kaos hitam Mei yang tergantung rapi di pegangan lemari. Tadi buru-buru kuganti saat tiba di kamar"khawatir kotor. Lepas memperkenalkanku dengan
Papa (yang terpaksa menerima juluran tanganku), Mei riang mengantarku kembali ke taksi, tidak tahu apa yang telah terjadi.
Aku mendesah pelan, apalah dosaku" Apa aku berniat jahat" Aku bukan macam Pak Tua yang bijak menyikapi hidup, aku juga tidak seperti almarhum Bapak yang
pahit getir di akhir hidupnya tetap memiliki kebaikan bercahaya, aku sekadar Borno, anak muda menjelang dua satu, tidak berpendidikan tinggi, hanya pengemudi
sepit. Apalagi yang bisa kupikirkan selain sedih, ragu-ragu, bingung dan entahlah. Kejadian mengantar Mei tadi mempengaruhiku banyak. Membuatku berpikir
ulang, menimbang-nimbang, menata hati, lelah, lalu jatuh tertidur.
*** "Bagaimana semalam?" Pak Tua bertanya, sarapan esok.
"Bagaimana apanya?" Aku mengunyah "nasi goreng gila Surabaya" buatan koki hotel.
"Astaga, apalagi" Mengantar Nona Mei-lah." Pak Tua melambaikan tangan,tertawa.
"Begitu-begitu saja." Aku nyengir, "Bukankah Pak Tua sendiri yang bilang segera pulang. Jadi aku hanya mengantar, sampai, bergegas pulang."
"Maksud orang-tua ini, bisa kau ceritakan bagaimana di taksi" Apakah kalian diam-diaman saja" Bagaimana rumah Mei" Kau sempat bertemu anggota keluarganya"
Ayolah." "Tidak ada yang spesial." Aku menggeleng, menjawab datar, "Pak Tua benar, aku tidak punya bahan pembicaraan di taksi, lebih banyak diam. Dirumahnya aku
mampir sebentar, Mei meminjamkan kaos, lantas pulang. Cerita selesai."
"Kau bilang apa" Kau dipinjami kaos?" Pak Tua tetap antusias, sengaja tidak peduli dengan ekspresi wajahku yang tidak berselera cerita (dan nasigoreng).
"Kaos biasa." Aku menjawab pendek, kembali memaksakan mengunyah nasi goreng super pedas"sama sekali tidak ada gilanya kalau pedas begini.
Pak Tua mendengus sebal, menyerah, "Untuk orang yang lazimnya ramai mulut, tabiat kau pagi ini aneh sekali Borno. Macam kuda sakit gigi. Ya sudahlah, hampir
pukul delapan, kau harus segera mengantar orang tua ini pergi terapi."
Seharian aku menunggui Pak Tua terapi. Sempat istirahat satu jam, Pak Tua mengajak makan siang di kantin, "Menurut perawat, boleh jadi ini terapi terakhir,
sudah cukup. Akan butuh waktu lama, baru selesai menjelang petang,Borno. Nah, kau punya waktu banyak kalau mau keluyuran." Pak Tua mengajak bicara sambil
menghabiskan "mie ayam gila Surabaya".
"Aku menunggu di sini saja, Pak. Malas kemana-mana. Mendung di luar."Aku ber-hah kepedasan, alangkah gila-nya mie ayam ini macam nasi goreng tadi pagi,
terobsesi sekali orang Surabaya dengan sambal.
"Kau tidak mau coba-coba ke rumah Mei?" Pak Tua menggoda.
Aku menggeleng, meraih gelas air minum, "Dia sibuk mengajar." Aku mengarang alasan.
Pak Tua manggut-manggut, "Darimana kau tahu dia sibuk?"
"Eh, semalam, aku sempat bertanya. Dia bilang begitu."
"Lah" Bukankah kau semalam hanya diam-diam-an saja di taksi?"
"Aku lupa. Sebenarnya sempat bicara sebentar." Aku menyeka bibir yang panas.
Pak Tua nyengir, "Kau tidak berbakat jadi tukang ngarang macam Togar,Borno. Sudahlah, kalau kau enggan bercerita, tidak usah dipaksakan."
Aku ikut nyengir, kembali ke piring "mie ayam gila".
*** Terapi Pak Tua selesai pukul lima. Dia bukannya segera mengajakku pulang ke hotel, dia justeru menyuruhku menemaninya ke Pasar Ampel, pasar Arab yang kami
kunjungi kemarin siang. "Membeli pecah-belah." Demikian jawaban pendek Pak Tua.
Pecah belah (ole-ole)" Buat apa" Aku melipat dahi.
"Terapi asam uratku sudah selesai, Borno." Wajah Pak Tua cerah, "Kaulihat, aku jauh lebih sehat, bukan" Dokter bilang, tongkat ini sudah bisa kulepas jika
terus disiplin tiga enam bulan ke depan. Kita akan segera pulang ke Pontianak."
"Pulang?" Aku mematung.
"Apalagi" Kau mau tinggal di Surabaya?" Pak Tua tertawa.
Secepat itu" Seminggu saja belum. Pak Tua sudah asyik belanja.
Setengah jam berkeliling, Pak Tua menyuruhku menggendong tiga karpet ukuran besar, men-carter"angkot membawanya ke hotel, tidak muat di bagasi taksi, "Satu
buat Ibu kau, satu buat Acung, satu lagi buat Tulani. Siapa tahu dia hendak membentangkan permadani diwarung nasinya." Tertawa. Dia juga membeli taplak
meja kecil-kecil satu kantong plastik penuh, "Buat semua pengemudi sepit."
"Dari mana Pak Tua punya uang sebanyak itu?" Aku bertanya, harga karpet tidak murah.
"Nah, akhirnya kau bertanya, Borno. Banyak orang yang kadang lupa bertanya muasal uang kalau dia sudah terlanjur asyik menikmatinya. Anak lupa bertanya
pada bapaknya. Istri lupa bertanya pada suaminya." Pak Tua memainkan tongkat di tangan, angkot melaju di tengah gerimis, "Dari mana uang jalan-jalan ke
Surabaya ini" Membayar terapi" Hotel" Tenang saja, Borno, semua halal dan baik, yakinlah. Kau jangan meremehkan orang tua ini, ya. Mentang-mentang rumahnya
papan, bajunya lusuh, miskin-papa dia. Enak saja."
Aku menggaruk kepala, bukan begitu maksudku. Siapa pula yang mau meremehkan Pak Tua.
"Anggap saja orang tua ini pandai menabung saat masih muda, menyisihkan uang sejak melanglang kemana-mana. Jadi masa tua-nya tidak perlu bergantung kesiapa-siapa,
apalagi sampai terlantar dan terhina. Ah iya, sebelum orang tua ini lupa, besok pagi-pagi tolong kau carikan tiket kapal ke Pontianak, kalau ada keberangkatan
sore, kita berangkat sore itu juga. Sudah rindu aku berhuluan membawa sepit di Kapuas."
Aku menelan ludah, pulang besok sore pulang" Sisa perjalanan ke hotel dihabiskan menatap ramai jalanan, gerimis, kerlip lampu jalan. Aku tidak berselera
membahas topik pembicaraan apapun.
Lepas makan malam, Pak Tua berangkat tidur lebih dulu, mengantuk dia bilang"apalagi aku lebih banyak diam, tetap tidak banyak cakap soal Mei. Aku sendirian
menatap langit-langit kamar, berpikir, menghela nafas, sama seperti malam sebelumnya. Apa yang harus kulakukan" Besok sore kami pulang ke Pontianak, dengan
demikian tutup buku semua cerita di Surabaya.
Aku memperbaiki selimut, apalagi yang kuharapkan" Sejak Bapak pergi, diantara sekian banyak didikan keras Ibu, salah-satunya yang amat kupahami adalah:
tahu diri. "Ibu tidak bisa membelikan kau mainan bagus. Tahu diri-lah,Borno." Atau, "Makan saja apa yang ada di atas meja, tidak usah banyak mengeluh,
tahu diri-lah, Borno." Atau, "Astaga" Baju ini lebih dari memadai, Borno, tidak ada uang untuk membeli yang baru. Tahu diri-lah siapa keluarga kita."
Aku paham sekali soal "tahu diri" itu. Bodoh sekali selama ini aku tidak menyadari siapa dia sebenarnya. Apa kata Pak Tua" Jangan mentang-mentang aku tinggal
di rumah papan, kau anggap aku miskin papa" Itu sebaliknya benar, jangan mentang-mentang gadis itu selalu naik sepit di Pontianak, tidak keberatan naik
angkot, berpanas-panas, berhujan-hujan, sekadar guru SD, kau anggap dia biasa-biasa saja, Borno" Aku menghela nafas lagi, berusaha memejamkan mata, pikiran-pikiran
buruk ini, tolong pergilah dari kepalaku.
*** Esok pagi-pagi, lepas sarapan, aku berangkat membeli tiket. Petugas hotel memberi alamat agen penjual tiket ferry terdekat. Aku naik angkot sambil membawa
bungkusan plastik. Tidak susah untuk mendapatkan dua lembar tiket, bukan musim mudik, banyak kapal penumpang jarak-jauh berubah menjadi kapal pengangkut
barang. Aku memutuskan tidak langsung balik ke hotel, aku naik angkot menuju gedung terapi. Kalau tidak salah, hari ini jadwal Mei mengantar Nenek-nya. Aku akan
menemui Mei, tidak ada maksud apapun, tidak ada kepentingan apapun, hanya hendak bilang nanti sore kami pulang ke Pontianak. Tidak lebih tidak kurang.
Hei, dia bukan siapa-siapa-ku, kan" Teman pun belum, jadi kenapa aku harus berpikir rumit perlakuan Papa-nya padaku" Aku-lah yang terlalu mengada-ada perasaan
ini. Andi memprovokasi situasinya, Pak Tua menambah bumbu-bumbunya. Coba diingat kembali, kami sekadar kenalan di atas sepit, pernah sekali mengajarinya
mengemudi sepit, hanya itu.
Aku-lah yang rusuh dengan perasaan. Sementara Mei" Bahkan terpikirkan selintas boleh jadi tidak pernah. Aku-lah yang sibuk mencari tahu siapa pemilik amplop
merah, mencari alamatnya di Pontianak, mencari alamatnya di Surabaya, seperti dia siapalah aku. Padahal" Itulah yang dua malam terakhir kupikirkan, lantas
kusimpulkan. Maka pagi ini, biarlah aku pamitan pulang ke Pontianak, itu saja misi pertemuan disengaja ini. Dan ajaib, dengan pemahaman yang sesederhana itu, aku bisa
bersenandung santai melintasi halaman bangunan terapi. Tidak gugup, tidak cemas.
Gadis itu mengenakan kardigan hijau muda, celana jeans senada, rambutnya diikat, duduk seorang diri di ruang tunggu (yang kebetulan sepi pasien). Tertawa
riang melihatku datang, "Baru saja Mei berpikir, kenapa Abang tidak muncul, ternyata". Panjang umur."
Aku cengar-cengir, menggaruk kepala yang tidak gatal, duduk dihadapannya.
"Bagaimana kabar Pak Tua" Kemajuan terapinya?"
"Baik. Baik sekali malah." Aku diam sejenak, menatapnya.
"Apa?" Mei nyengir, bersemu merah.
"Tidak apa-apa." Wajahku ikut memerah, baiklah, lebih cepat lebih baik, "Nanti sore aku dan Pak Tua kembali ke Pontianak, terapi Pak Tua sudah selesai
kemarin." Terdiam sejenak.
Mei menatapku lamat-lamat, "Pulang?"
Aku mengangguk, "Terima-kasih banyak sudah menemani kami jalan-jalan keliling Surabaya." Menjulurkan bungkusan plastik yang kubawa-bawa sejak tadi.
"Ini apa?" Mei bertanya, suaranya sedikit hambar.
"Kaos yang Mei pinjamkan dua hari lalu. Maaf, tidak sempat dicuci."
"Tak usah dikembalikan. Buat Abang saja." Mei menggeleng.
"Aku tidak mau." Ikut menggeleng, lebih tepatnya, aku tidak mau memiliki benda apapun pemberian dia, itu akan membuatku ingat dia"ini juga salah-satu kesimpulanku
berpikir semalam. "Pulang ke Pontiakan". Cepat sekali"." Mei perlahan menerima bungkusan plastik.
Aku mengangguk, prosesi perpisahan ini juga harus cepat kutuntaskan, "Maaf, aku harus segera balik ke hotel, nanti orang tua itu sibuk mengomel. Semoga
Mei lancar-lancar saja mengajarnya di sini. Semoga tidak ada anak SD yang bandel." Bergurau hambar.
Mei tertawa, "Bang Borno juga hati-hati bawa sepit, jangan mau bawa kambing lagi."
Aku ikut tertawa, berdiri, mengangguk untuk terakhir kali.
"Sebentar." Mei menahan langkahku.
"Salam buat Pak Tua, Bang. Bilang terima-kasih sudah mengajak ke padepokan musik, menemui pasangan bahagia kawan lamanya. Itu pengalaman spesial bagi Mei."
Aku mengangguk, akan kusampaikan.
"Dan terima-kasih juga buat Bang Borno." Mei tersenyum.
Untukku" Terima-kasih apa"
"Tidak tahu. Pokoknya terima-kasih saja." Gadis itu menunduk.
Aku mengangguk, balik kanan, melangkah meninggalkan ruang tunggu.
*** Siang berkemas, sore berangkat ke Pelabuhan Tanjung Perak.
Tiga karpet Pak Tua beserta koper-koper diurus petugas penge-pak-an,kami menaiki anak tangga, menuju lambung kapal. Ferry besar yang kami tumpangi gagah
melenguhkan klakson tanda lepas jangkar. Geladak tempatku berpijak sedikit bergetar, penumpang berdiri melambaikan tangan, orang-orang di dermaga balas
melambaikan tangan, bersorak-sorak. Sekali lagi suara klakson melenguh, tanda kapal mulai bergerak halus meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak. Aku menelan
ludah, menatap semburat merah, matahari siap tumbang.
"Kau melambaikan tangan pada siapa, hah?" Pak Tua menyikut lenganku. "Tidak ada Mei di bawah sana, bukan" Atau ada?" Tertawa menggoda.
Aku mendengus, tidak ada salahnya menikmati perpisahan ini. Setidaknya melambaikan tangan pada kota Surabaya, selamat tinggal semua kenangan.
"Kau sudah dua hari pendiam sekali, Borno."
Aku masih asyik ber-da-da ria.
"Apa sebenarnya yang terjadi waktu kau mengantar Mei pulang?"
"Tidak ada apa-apa." Menjawab malas.
"Satpamnya galak?" Pak Tua menyikut bahuku.
Aku menoleh, "Satpam" Aku tidak bertemu satpam di rumahnya."
"Bukan satpam itu, bodoh. Satpam yang lain, Bapak Mei misalnya, galak sekali ya?" Pak Tua jenaka memainkan ujung mata.
Aku diam, menatap wajah Pak Tua.
"Ah, cinta, selalu saja klise dan klasik." Pak Tua sengaja benar mengabaikanku, sekarang ikut melambaikan tangan, sibuk ber-da-da ria.
Gelembung air dari propeler mesin buritan ferry membuat garis panjang, langit mulai gelap, bintang-gemintang satu-persatu mengintip, kapal terus melaju
membelah lautan menuju kota kami, Pontianak. Selamat tinggal Mei.
*** BAB 06. Kembali Membumi Selamat pagi, Pontianak! Aku merapatkan sepit ke"steher, dahiku terlipat, entah hendak tertawa, bingung, menggaruk kepala, atau menepuk dahi. Alamak, apa yang telah terjadi di
kota Pontianak selama aku dan Pak Tua pergi ke Surabaya satu minggu (termasuk perjalanan laut)" Apapula maksudnya ini" Dari jarak puluhan meter, aku sudah
melambatkan sepit dengan tatapan ganjil, suara apa yang terdengar membahana" Seperti kenal, akrab di telinga" Ada yang menggelar acara di dermaga kayu"
Memakaisound system"atau"tape"besar diputar kencang-kencang" Semakin dekat, semakin jelas, lihatlah, ternyata belasan pengemudi sepit sedang melakukan
SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) macam dulu sering diajarkan di SD atau SMP, te-te-to-tet-tet, te-te-te-te-tet. Dibaris terdepan dekat"tape, penuh semangat,
Jupri patah-patah, ingat-ingat lupa, memimpin gerakan. Sementara petugas"timer"dan beberapa pengemudi lain berdiri di belakang, ikut gerakan apa saja yang
dilakukan Jupri. "Woi, kau masih lama antri, kan" Nah, masuk ke barisan belakang, Borno!" Petugas timer berteriak, sambil membungkuk-bungkukkan badan, semangat betul dia.
Aku tertawa, menggeleng. "Ayo, Borno. Kau wajib ikut!" Petugas"timermelotot.
Aku ragu-ragu melangkah. Penumpang sibuk memperhatikan, satu-dua menahan tawa, lebih banyak yang terbahak panjang. Masih ingat gerakan senam SKJ jaman bahuela itu" Dengan musik
khasnya" Aku lupa-lupa ingat, setidaknya waktu aku SD dan SMP ada dua versi yang dikeluarkan Depdiknas. Beberapa penumpang menonton tidak sabaran, mendesak
agar sepit mulai melayani, petugas"timer"menyeka peluh, bilang, "Lima menit lagi, Kak. Sebentar, kami selesaikan dulu gerakan pendinginan."
Bukan main. Hari pertama narik sepit, setidaknya ada dua kejutan, pertama Bang Togar, sebagai Ketua PPSKT, membuat banyak peraturan baru bagi anggotanya.
"Dia sepihak saja menulis aturan itu, main tempel di dermaga."Salah-satu pengemudi mengeluh ketika bincang-bincang di warung pisang Pontianak.
"Bagaimana mungkin dia menulis: dilarang merokok saat mengemudi sepit" Memangnya sepit kita itu macam bus ber-AC" Asap rokoknya tidak bisa kemana-mana"
Lama-lama dia akan melarang kita merokok di dermaga ini." Yang lain bersungut-sungut, keberatan.
"Togar tidak akan melakukannya, Muslih." Salah-satu pengemudi senior memotong, "Lagi pula tidak ada salahnya dengan peraturan itu" Biar penumpang tidak
terganggu dengan kepul asap rokok kau. Aku juga merokok, tidak keberatan. Togar juga merokok, malah dia yang membuat peraturan. Kita tetap boleh merokok
di dermaga ini, sepanjang tidak dekat penumpang. Susah sekali menjelaskan pada kau."
"Nah, lantas kenapa dia juga tulis peraturan dilarang mengirim sms, menelepon, main internet saat mengemudi sepit, memangnya itu mengganggu penumpang"
Apa ada asap mengepul dari HP?" Muslih sengit, tidak mau kalah.
"Astaga, tentu saja itu mengganggu penumpang! Perhatian kau bukan dikemudi sepit, tapi di HP, mata kau di layar HP bukan sungai Kapuas, perahu bisa oleng,
membuat celaka semua orang." Pengemudi senior melotot, "Lagipula, memangnya kau punya HP" Hanya satu-dua saja penghuni gang tepian Kapuas ini yang punya
HP?" "Sekarang belum. Esok lusa aku akan punya HP, dua sekaligus." Muslih tidak mau kalah gertak.
"Nah, berarti bagus. Togar punya visi, dia atur sebelum kalian semua punya HP."
Diam sejenak, menyeringai satu sama lain.
"Dia juga menyuruh pengemudi sepit men-catsteher, mempermanis tampilan sepit-sepit, memasang umbul-umbul. Kau lihatlah, terlihat menarik sekali dermaga
kita sekarang, bukan?" Jauhari berbisik.
Aku mengangguk-angguk, itu benar, perahu kayu warna-warni, dermaga cerah dengan bendera-bendera, hanya jamban yang tidak disentuh perbaikan, itupun karena
sudah ku-cat delapan bulan lalu, masa-masa plonco.
"Aku sih tidak keberatan dengan peraturan baru Bang Togar," Demikian Jauhari berbisik lagi, "Tapi soal senam SKJ" Alamak, dia sepertinya sedang kesurupan
jin Kapuas. Apa pula perlunya kita setiap Jum"at pagi senam SKJ. Jengah ditonton anak-anak SD yang mau menyeberang, malah di foto-foto turis pula. Tadi
Mamak-ku kebetulan lewat, tertawa tidak henti melihat aku senam. Entahlah apa yang ada di kepala Bang Togar, jangan-jangan besok kita disuruh senam dengan
seragam mencolok. Mati aku."
Aku tertawa, memang lucu melihat pengemudi sepit merentangkan tangan, mengangkat-angkat kaki, bungkuk, ada yang nungging, berusaha sebaik mungkin mengikuti
gerakan SKJ, sial, Jupri sang komandan senam salah-salah melulu.
"Bang Togar sedang stres, Kawan." Pengemudi lain berbisik,mengingatkan. "Kau jangan macam-macam dulu dengan dia. Seminggu terakhir urusan keluarganya tambah
genting. Mau cerai katanya, sudah diurus ke KUA segala. Makanya dia buat peraturan yang aneh-aneh, itu pelampiasan."
Aku menatap wajah si pembawa berita tidak percaya.
"Sungguh! Aku tidak bohong." Dia mengangkat dua jarinya, "Omong-omong, terimakasih banyak untuk taplak mejanya, Borno. Ini jadi benda paling berharga di
rumahku, lembut sekali, istriku pasti suka."
"Itu dari Pak Tua. Bukan aku yang beli."
"Sama sajalah. Bagaimana kabar Pak Tua?"
"Sudah sehat. Tadi kalau tidak diingatkan, dia malah sudah memaksa mau narik sepit." Aku tertawa.
Pengemudi sepit ramai tertawa, sepertinya itu kabar baik setelah "kegilaan" Bang Togar seminggu terakhir.
*** Kejutan kedua, kabar burung itu ternyata benar.
Urusan rumah tangga Bang Togar amat genting. Sore, lepas mengantar karpet besar untuk Cik Tulani ("Ah, sungguh sayang membentangkan permadani ini, Borno."
Dan aku menatap ganjil Cik Tulani, lantas buat apa" "Ya, aku simpan sajalah di atas lemari. Sayang." Aku menepuk dahi, dasar bakhil); mengantar karpet
besar ke Koh Acung ("Terima-kasih, Borno. Sudah lama aku hendak titip karpet yang sama. Sayang anak-anakku malas bawa bagasi." Aku menyeringai, baru ingat
bukankah dua anak Koh Acung sedang kuliah di Surabaya" Kenapa tidak minta alamat); saat pulang dari mengantar karpet, Ibu justeru rusuh menuruni anak tangga.
"Kau antar aku segera ke rumah Togar."
Aku menelan ludah, itu perintah Ibu (bukan permintaan apalagi himbauan), karena perintah, maka jangankan ke ujung gang (rumah Bang Togar agak jauh), ke
hulu Kapuas pun harus ku-jabani.
Muka Ibu menggelembung, tidak banyak bicara selain dengus marah. Aku jadi ragu-ragu bertanya kenapa Ibu terlihat macam induk beruang mengamuk pergi ke
rumah Bang Togar, menatap Ibu sekali-dua, terus melajukan sepit. Saat tiba, rumah Bang Togar sudah ramai, beberapa tetangga berkumpul, berbisik, menghela
nafas prihatin. "Kau memalukan, Togar. Sungguh memalukan seluruh keluarga kita." Dan Ibu tanpa tedeng aling-aling, menunjuk wajah Bang Togar"yang duduk kuyu dipojokan
kamar. "Berani sekali kau pukul si Unai, hah" Kau pikir dia apa" Sansak" Benda tidak bernyawa" Seburuk-buruk Unai, dia istri kau. Sejelek-jelek Unai, dia Ibu
dari anak-anak kau. Kalau kau memang tidak mau lagi rujuk, benci alang kepalang, kenapa tidak kau cerai baik-baik" Lima tahun tidak jelas juntrungan, hidup
berpisah seperti musuh besar, kelakuan kau macam kanak-kanak saja, Togar. Benci tapi tidak kunjung kau cerai-ceraikan, cinta tapi kau pukul. Hubungan macam
apa itu" Kau dengar aku, hah?"
Aku menelan ludah, meski Bang Togar selalu membuatku sebal, aku kasihan melihat dia diomeli Ibu. Sepertinya sepanjang siang ini saja sudah ada beberapa
yang mengomel padanya, ada Koh Acung dan Pak Tua di beranda depan, wajah mereka juga mengkal.
Dari bisik-bisik tetangga aku tahu apa yang telah terjadi. Tadi pagi, setelah sekian lama tidak ada kejelasan, digantung, Kak Unai datang membawa dua anak
mereka, meminta cerai, bilang sudah mendaftarkan cerai ke kantor KUA. BangTogar yang sejak seminggu terakhir resah atas kemungkinan itu mendadak gelap
mata, mendorong Kak Unai, jatuhlah Kak Unai ke kolong rumah, anak mereka menjerit-jerit ketakutan, tetangga ramai datang. Berita itu menyebar seperti api
membakar rumput kering, tiba di telinga Ibu yang sekarang terus mengomel.
"Kau tukar saja celana kau dengan rok, dasar mahkluk tidak beradab, tidak berguna." Lima belas menit, Ibu menutup sumpah-serapahnya, Bang Togar tertunduk
dalam-dalam, aku ikut menunduk sedih, menelan ludah, itu kasar sekali. Belum pernah aku seumur-umur mendengar Ibu sekasar itu, pilu rasanya. Tetapi apa
mau dikata, kejadian tadi pagi amat serius. Kak Unai dibawa ke rumah sakit, wajahnya lebam, tangan kanannya patah.
Sore hari, hampir gelap tepian Kapuas, selesai Ibu mengomel, giliran Bang Togar yang dibawa pergi dua polisi. Keluarga Kak Unai melapor, dan tidak perlu
ahli hukum, anak kecil saja tahu kasus ini kena pasal kekerasan dalam rumah-tangga. Koh Acung dan Cik Tulani menemani Bang Togar ke kantor polisi, tangan
Bang Togar diborgol, wajahnya terlipat penuh penyesalan, jadi tontonan sepanjang gang sempit. Aku bergegas mengantar Ibu dan Pak Tua pulang.
"Berapa kali aku menasehati mereka lima tahun terakhir" Ratusan. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Kalau aku tidak ingat almarhum Mamaknya, sudah
tutup mata, tutup kuping. Persetan." Ibu masih mengomel sepanjang perjalanan pulang"membuat sepit terasa berat.
"Sudahlah, Saija. Itu hanya pertengkaran suami-istri biasa. Togar ketelapasan tangan, hanya mendorong, dia tidak lihat kalau Unai di pinggir beranda, jatuhlah
ke kolong rumah." "Pertengkaran biasa Akak bilang" Jangankan pinggir beranda, Togar tidak pernah melihat betapa baik istrinya selama ini" Meski tidak diberi nafkah, lihat,
Unai tetap mengurus si sulung dan si bungsu. Di mata Togar itu yang terlihat selalu cemburu, cemburu, dan cemburu. Apa pasal lima tahun berlalu" Hanya
gara-gara cemburu buta, menuduh yang bukan-bukan. Badannya saja yang tinggi besar, hatinya lembek macam aci juadah."
Aku diam saja di buritan sepit, menatap tepian Kapuas yang mulai remang bergantikan cahaya lampu di rumah-rumah penduduk. Burung walet sudah beranjak pulang
Pedang Kiri Pedang Kanan 14 Beruang Salju Karya Sin Liong Ninja Merah 2
^