Pencarian

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 5

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Bagian 5


dari tadi. Langit-langit kota menyemburat merah. Setelah beberapa hari lalu melihat pasangan Fulan dan Fulani di Surabaya yang begitu mesra, kasus Bang
Togar dan Kak Unai ada di titik sebaliknya. Padahal semua orang paham, kisah cinta Bang Togar dan Kak Unai waktu masih bujang-gadis tidak kalah romantis.
Kalian mau tahu" Baiklah. Mereka bertemu di acara besar Istana Kadariah lima belas tahun silam, waktu itu ada kendurian, pertemuan pewaris kesultanan. Pontianak ramai,
berhias. Pasar malam digelar, tidak ketinggalan pertunjukan multi-ras, naga merah berkeliaran. Dalam sebuah momen penting, yang konon katanya waktu mendadak
berhenti, dunia membeku, bertatapanlah Bang Togar dan Kak Unai"yang masih sama-sama belia, menonton keramaian. Jatuh cinta pada pandangan pertama.
Keluarga Kak Unai datang dari hulu Kapuas, butuh dua hari dua malam menumpang Sepit ke sana. Bisa ditebak, jalan cinta mereka tidak mudah, Kak Unai adalah
anak ketua suku Dayak pedalaman"meski mereka tidak tinggal di hutan. Lantas siapalah Bang Togar" Jangankan anak ketua suku, marga, suku bangsanya saja
tidak jelas, perantauan dari pulau Sumatera. Keluarga Kak Unai menolak mentah-mentah, mereka tidak akan membiarkan anak gadis tercinta dibawa pergi "orang
asing". Demi cinta, Bang Togar minta dijadikan anak angkat salah-satu sukuDayak di sana, memutuskan tinggal di pedalaman Kalimantan. Belajar tradisi, budaya, kehidupan
suku Dayak, semuanya. Kisah tentang Bang Togar yang tinggal di hulu Kapuas selama dua tahun sudah jadi legenda di tepian Kapuas ini. Semua orang ingat,
saat dia akhirnya pulang, teman main masa kecilnya saja pangling, BangTogar pulang membawa Kak Unai. Alamak, pengorbanan selama dua tahun itu berbuah manis,
dia bukan "orang asing" lagi bagi suku Dayak. Semua persyaratan perjodohan dipenuhi, keluarga Kak Unai tidak bisa menolak selain menikahkan pasangan yang
saling jatuh cinta. Sialnya, kota Pontianak itu bukan macam pedalaman yang jam enam sore sudah sepi, tinggal kunang-kunang. Kak Unai yang supel, pernah mengenyam SMA terbuka,
bergaul akrab dengan penduduk tepian Kapuas, dan aktif dalam banyak kegiatan"malah mendirikan sentra tenun-menenun kain Dayak. Inilah pangkal masalah,
walau si sulung dan si bungsu beranjak besar, besarnya cinta BangTogar terkadang justeru memantik cemburu buta. Melihat ada petugas departemen industri
datang ke rumah, Bang Togar sudah runsing, cemas Kak Unai naksir petugas gagah berseragam. Apalagi setiap Kak Unai minta ijin ikut pameran di Jakarta selama
seminggu, panas-dingin Bang Togar.
Mula-mula hanya bertengkar mulut, lama-lama piring berterbangan, kemudian menjadi diam-diam-an, tidak peduli satu sama lain. Tidak tahan didiamkan bak
patung sepanjang hari, Kak Unai pindah ke kerabatnya yang tinggal di Pontianak, membawa dua anak mereka, melanjutkan aktivitas tenun-menenunnya di sana.
Bang Togar tidak peduli, jaga gengsi, benci, atau entahlah kenapa, tetap tinggal di rumah lama. Membiarkan status pernikahan mereka tidak jelas, stagnan,"status
quo"lima tahun terakhir.
Apakah Bang Togar masih cinta Kak Unai" Jangan tanya, semua penduduk tepian Kapuas tahu itu. Legenda dua tahun pengorbanan Bang Togar di pedalaman Kalimantan
bahkan hampir digubah menjadi syair lagu. Lantas kenapa sekarang jadi rumit" Seperti lupa betapa mesranya mereka lima belas tahun, rasa cinta hebat itu
luntur macam pakaian tersiram pemutih. Kenapa" Mana aku paham.
"Semoga semua baik-baik saja, Saija. Siapa tahu ada hikmah tersembunyi dari kejadian ini." Pak Tua berusaha menenangkan Ibu, "Cinta, pernikahan, keluarga,
selalu menyimpan misteri. Kau pasti tahu soal itu, Saija."
Ibu diam, menghela nafas, memperbaiki tudung rambut.
"Percayalah. Togar dan Unai hanya keras-kepala. Kejadian ini boleh jadi telah memecah kerasnya perangai mereka. Bisa baik, masing-masing melihat kembali
perangai, berpikir ulang". Bisa buruk, Togar dipenjara, Unai menjanda, anak mereka kehilangan ikatan keluarga. Ah, tadi para pengemudi sepit malah berbisik
riang tentang berarti tidak ada lagi senam SKJ". Setidaknya itu sudah satu hikmah baik dari kejadian ini." Pak Tua mencoba bergurau.
Ibu melotot galak,"tutup mulut Akak.
Aku nyengir menatap Pak Tua yang mengelus-elus ubannya, salah-tingkah dimarahi Ibu.
***Seperti banyak suku pedalaman di seluruh dunia, suku Dayak juga punya cerita-cerita hebat (bahkan menjurus seram). Yang paling seram adalah Ngayau, memburu
kepala musuh, tradisi kaum Dayak Iban dan Dayak Kenyah. Menurut hikayat yang disampaikan tetua di Rumah Panjang, semakin banyak kepala musuh yang dipotong,
maka semakin tebal aura kekuasaan seorang pemuda Dayak, pemenggalan kepala juga bisa untuk menyelamatkan kampung dari wabah penyakit, serta simbol kesuburan
seluruh suku. Tetapi tradisi ini sudah lama tidak ada, walau sering terbetik kabar, mulai dari kerusuhan Sampit dulu hingga berbagai kabar burung tentang
ditemukannya mayat tanpa kepala belakangan. Lagipula apa serunya membicarakan tradisi penggal kepala"
Dalam versi yang lebih ringan, yang lebih enak jadi bahan percakapan diatas balai-balai bambu sambil main kartu adalah tentang Pangkalima perang suku Dayak
yang masyhur. Bayangkan sebuah sampan melaju lembut di hulu lubuk Kapuas, seorang laki-laki gagah Dayak duduk takjim di atasnya, hutan rimba lengang, menyisakan
dengking binatang hutan, kabut turun mengungkung. Di tengah takjimnya suasana, seekor burung besar terbang di langit-langit lubuk, berkwaw-kwaw tiga puluh
meter di atas kepala. Laki-laki gagah Dayak itu mengangkat tangan, jari telunjuknya macam pistol terarah, zapp! Terdengar desir angin pelan, dan macam
ditembak pistol dengan peredam suara, burung besar itu jatuh berdebam ke permukaan Kapuas. Laki-laki gagah itu mengambil burung montok, bakal lezat dibakar
nanti malam. Peserta obrol-obrol santai di balai bambu terperangah. Takjub. Meski sejenak saling bantah tidak percaya, separuh bilang itu berlebihan, mana ada orang
sakti di jaman secanggih ini, separuh yang lain dengan yakinnya bilang teman-teman-temannya dia pernah lihat dengan mata kepala sendiri di kerusuhan Pilkada
mana-lah, di keributan manalah, saat Pangkalima Dayak turun dari gunung, membuat parang-parang terbang, meniti udara, peluru petugas tak tembus kulit.
"Selalu begitu, Borno." Pak Tua yang ikut dalam obrol-obrol menghela nafas, "Orang-orang kota selalu senang mendengar cerita-cerita hebat seperti ini.
Dan sebaliknya, boleh jadi orang-orang pedalaman juga punya cerita-cerita seram tentang kita. Mungkin di sana, anak-anak mudanya mendengar cerita kalau
di Pontianak ini banyak wabah penyakit, berbahaya, seram, jangan coba-coba pergi ke sana. Kalau dipikir-pikir adil juga jadinya, untuk menakuti anak-anak
atas orang asing." "Tetapi Pak Tua percaya tidak Pangkalima itu ada?" Andi menyela.
Pak Tua diam sejenak, mengusap uban, "Kalaupun ada, dia tidak akan merendahkan kehidupan supranaturalnya dengan turun-turun gunung saat rusuh Pilkada,
Andi. Memangnya dia anggota parpol" Dipinjami jaket warna biru atau kuning?"
Gantian Andi yang terdiam.
Nah, lantas kenapa tiba-tiba aku jadi teringat percakapan beberapa tahun lalu itu"
Karena tiba-tiba ruang bezuk penjara ramai. Petugas berbisik-bisik, pengunjung menoleh, tahanan yang sedang menemui pembezuk ikut mengangkat kepala. Di
pintu masuk, melangkah tiga-empat orang dengan tampilan gagah macam tetua suku Dayak pedalaman. Aku terbatuk, ikut menonton antusias. Kenapa aku ada di
ruang bezuk penjara" Ini jadwal rutin selama sebulan terakhir Bang Togar ditahan polisi terkait kasus KDRT-nya. Aku sudah setengah jam menemani Pak Tua
membezuk Bang Togar, lebih banyak bosannya karena Bang Togar sekarang pendiam sekali.
"Itu mertua Togar, Borno." Bisik Pak Tua, menyikut lenganku.
Aku menelan ludah, ternyata ketua suku Dayak pedalaman sungguhan. Menatap gentar rombongan itu, teringat cerita-cerita seram, tato menyembul dibalik baju
rapi yang mereka kenakan, aku takut-takut melirik pinggang mereka, jangan-jangan ada"mandau"(pisau) disana. Alamak, mereka datang pastilah terkait urusan
Kak Unai, jangan-jangan akan ada pertumpahan darah di ruang bezuk penjara.
Pak Tua justeru terlihat sebaliknya, berdiri menyambut, tertawa lebar,"Apa kabar Tetua Medang?"
Orang paling depan, si wajah tegas dan keras itu sejenak menatap PakTua, mengingat-ingat, lantas ikut tertawa, memeluk Pak Tua erat-erat, "Astaga, ternyata
bertemu kau di sini, Hidir. Kabar baik, Kawan."
Adalah setengah jam pertemuan bapak Kak Unai dengan Bang Togar, disaksikan Pak Tua. Aku menyimak dalam diam di belakang mereka. Menggaruk kepala, batuk
satu-dua, ternyata mereka tidak seseram cerita-cerita. Mereka datang naik perahu berhiliran, "Dua hari lebih, Hidir. Hutan rusak, sungai dangkal, kayu-kayu
melintang. Kapuas macam sungai kecil saja di hulu sana. "Mereka baru bisa datang setelah hampir sebulan kasus Bang Togar terjadi, "Kampung kami masih panen
besar. Itu lebih penting dibanding mengurus pertengkaran suami-istri." Kepala suku berkata sambil menatap tajam Bang Togar.
Yang ditatap hanya tertunduk dalam-dalam, menekuri tegel ruangan.
"Aku percaya kau tidak berniat menyakiti putriku secara fisik." Lepas basa-basi, Kepala suku berkata dingin pada Bang Togar, sekilas aku bisa melihat dia
menggerakkan jemarinya, macam hendak membentuk pistol-pistolan, aku menelan ludah, "Tetapi aku percaya kau telah menyakiti putriku secara bathin. Kalau
saja tidak ingat kau adalah bapak dari cucu-cucuku, anak angkat dari Kepala suku tetangga, sudah dari tadi kau kuhabisi." Aku gemetar menahan nafas, sekejap
aku melihat telunjuk Kepala suku sempat terarah ke dahi Bang Togar.
Pak Tua tidak bereaksi, diam, takjim mendengarkan.
"Unai bilang, dia masih cinta kau. Tadi memaksa ikut hendak membezuk, membawa anak-anaknya, bilang kasihan Togar sudah sebulan kedinginan di sel penjara.
Bilang anak-anak ingin bertemu bapaknya. Bilang sudah cukup semua pertengkaran. Astaga, bebal sekali dia, cinta pada orang yang salah. Tetapi terserah
dialah, sejak mula pernikahan ini sudah terserah dia sajalah"." Kepala suku menyeka pelipis, seperti tidak percaya dia harus mengurus masalah remeh pertengkaran
anak-menantunya. "Maafkan aku, Tetua Medang." Bang Togar berkata pelan, dari tadi hanya itu kalimat yang dikeluarkan Bang Togar, macam"tape"rusak, diulang-ulang, "Sungguh
maafkan aku, Tetua Medang."
"Mudah saja kau bilang maaf, hah." Kepala suku menepuk meja, membuat pengunjung ruang bezuk menoleh.
Aku batuk-batuk kecil, terus menyimak pembicaraan.
Kesimpulannya, proses hukum Bang Togar tidak bisa dibatalkan walau Unai minta dihentikan, itu delik pidana, bukan perdata. Boleh jadi vonis hukuman Bang
Togar bisa lebih ringan dengan fakta mereka akan berbaikan, rujuk. Diujung pembicaraan, tiba pada proses rujuk, Bang Togar terisak, berjanji akan berubah,
sekali lagi membuat pengunjung penjara menoleh, ingin tahu apa yangterjadi. Kepala suku membentaknya, "Cuh, mana ada pemuda Dayak menangis. Kau bukan lagi
anak perantauan pulau seberang. Kau adalah anak angkat ketua suku. Dengarkan aku, Togar, kau tidak hanya bertanggung-jawab mengurus anak dan istri, kau
juga bertanggung-jawab atas nasib seluruh sukumu."
Tangis Bang Togar malah mengeras.
Aku separuh hendak tertawa, separuh sedih nian melihat wajah sembab Bang Togar. Pak Tua menepuk-nepuk bahunya, entah berbisik apa, menenangkan.
Pertemuan itu usai. Rombongan bapak Kak Unai pamit, memeluk Pak Tua sekali lagi.
"Kau cari bawang merah, parut, balurkan ke punggung." Ketua suku itu menatapku.
Eh" Aku batuk lagi, tidak menyangka akan ditegur, bawang merah"
"Selesma kau ini bisa parah jika tidak diobati segera."
Aku mengangguk, menyeka hidung yang basah, baru mengerti maksudnya, sebelum sempat bilang terima-kasih, rombongan itu sudah melangkah ke pintu. Macam daun
diterbangkan angin, cepat sekali sudah pergi, meninggalkan Bang Togar yang masih tertunduk menyeka ujung mata.
*** Siangnya aku ke bengkel Andi.
"Woi, kupikir kau tidak datang juga hari ini." Andi bersungut-sungut, dahinya cemong, pakaiannya kotor, duduk jongkok di depan motor besar yang tercerai-berai.
"Maaf, kemarin sepitku di-carter"membawa beras ke dermaga pelampung. Seharian." Aku ikut duduk jongkok, suaraku sedikit sengau, kedat, "Sudah ada kemajuan?"
"Tambah kusut." Andi nyengir, jelas sekali ekspresi wajahnya bilang:"bukankah kita sudah sepakat, kau yang berpikir, aku yang melaksanakan, kau yang mendiagnosis
masalahnya, aku yang memperbaiki,"Sudah seharian kubongkar, ku-otak-atik, tetap tidak tahu di mana penyakitnya motor ini, tetap tidak hidup mesinnya."
"Mana ada mesin hidup" Kalau ada sudah dari tadi dia makan pisang goreng, ngopi." Aku ikut nyengir, meraih obeng panjang.
Andi mendengus sebal. Olok-olok bahasa yang tidak lucu. Biasalah, kebanyakan penghuni gang sempit tepian Kapuas ini suka tidak presisi berbahasa, sembarang
saja. Misal, tolong hidupkan lampunya, tolong matikan tipi-nya. Mana ada lampu atau tipi bisa hidup-mati, yang benar nyala-padam.
Aku menyeka hidung yang kedat, baiklah, sinikan mesinnya, menyuruh Andi menyingkir. Sudah dua hari aku berkutat dengan motor besar kepala kampung, hadiah
dari Serawak. Nasib motor ini sial benar, dibawa ngebut anak bujang kepala kampung, jatuh terperosok ke Kapuas. Perlu perahu derek untuk mengangkatnya
dari dasar sungai. "Kau dari tadi bersin terus, Kawan?" Andi yang duduk jongkok disebelahku bertanya. "Tidak kunjung sembuh selesma kau?"
Aku mengangguk, tidak apalah, aku masih bisa beraktivitas.
"Seharusnya kau istirahat. Bisa tambah parah."
"Lah, bagaimana aku hendak istirahat, tidak datang sehari saja kau sudah marah-marah?" Aku tertawa, mataku terus asyik mengotak-atik mesin.
Andi menyeringai, bukan begitu maksudnya. Diam lagi.
Lima menit berlalu, aku bersin kencang, lendirnya mengenai mesin.
"Astaga, jangan-jangan motor kepala kampung ini nanti ikut terkena selesma, Borno." Andi menyambar lap bersih, menyerahkannya padaku.
Aku mendorong badannya, tertawa, enak saja bicara.
"Jangan-jangan kau kena flu burung?" Lima belas menit lengang, Andi kembali nyeletuk.
Aku melotot, bisa tutup mulut sebentar tidak" Ini hampir ketemu masalah mesinnya.
"Ye lah, ye lah, aku diam lagi." Andi mengangkat bahu.
*** Malamnya, sepulang dari bengkel Andi badanku demam. Meski aku semangat narik sepit, semangat bekerja di bengkel bapak Andi, tetap berusaha terlihat sehat,
badanku tidak bisa dibohongi, punya batasnya. Pulang dari bengkel Andi saja rasanya sudah pusing, hampir jatuh di anak tangga.
Akhirnya aku jatuh sakit, parah, sudah tiga hari hanya terbaring kuyu di atas dipan. Tidak narik, tidak bekerja, motor kepala kampung terbelengkalai, semua
rencana berantakan. "Kenapa kau tidak segera ke Puskesmas?" Dokter dekat gang yang dulu sering memeriksa Pak Tua agak jengkel dipanggil malam-malam, saat aku tidak tahan lagi.
"Biasalah, orang-orang sini selalu menunda-nunda berobat, Dok." Yang menjawab Koh Acung, yang ikut hadir menjengukku.
"Justeru itu, Acung. Saya tidak keberatan datang shubuh buta kalau memang darurat, mendadak. Tapi ini, sudah terlanjur parah baru berobat. Kalau kau malas
datang ke dokter, Borno, kenapa kau tidak gunakan obat alami, gejala selesma bisa dikurangi dengan parutan bawang merah." Dokter mengomel, melepas stetoskop,
"Kita suntik saja, ya. Biar cepat sembuh."
Aku berseru tertahan, apa dokter bilang" Bergegas hendak kabur dari dipan. Pak Tua tertawa, buru-buru memegangi. Inilah yang membuat aku enggan berobat
ke dokter, disuntik. Alamak, membayangkannya saja sudah ngeri, apalagi saat merasakannya. Terasa perih ketika jarum dokter menembus pantatku, aku meronta
dipegangi Koh Acung dan Pak Tua, mataku berkaca-kaca menahan sakit, mencengkeram paha Koh Acung"yang gantian berteriak kesakitan.
"Nah, sudah selesai". Kau minum obatnya, Borno. Minum teratur dan habiskan." Dokter meletakkan dua bungkusan plastik. Satu menit berlalu, Ibu dan Koh Acung
mengantar Dokter ke beranda, bilang terima-kasih, aku meringis dibalik selimut, enak sekali jadi dokter, sudah menyakitiku, dibayar pula, lantas menerima
ucapan terima-kasih tidak terhingga.
"Sejak kapan kau mulai tidak enak badan." Koh Acung duduk di dekat dipan setelah kembali dari depan, bertanya santai.
"Sejak pulang dari Surabaya." Pak Tua yang menjawab.
"Bukankah itu hampir dua bulan lalu?"
"Ya begitulah, sejak saat itu makan tak enak, pikiran tak tenteram, badan terasa pegal-pegal, meriang tak karuan." Pak Tua menahan tawa.
"Akak sebenarnya sedang membicarakan apa?" Koh Acung menyeringai, bergantian menatapku (yang mendengus sebal), menatap Pak Tua (yang memasang wajah sok
serius). "Ya membicarakan Borno-lah. Siapa lagi?"
"Pikiran tak tenteram" Memangnya Borno ada masalah apa?"
"Kau tanya sendirilah padanya. Ah, perasaan yang terlalu dalam kadang bisa membuat badan sakit sungguhan. Menghela nafas terasa berat, menjalankan sepit
terasa suram, sepi di tengah keramaian, dan sebaliknya ramai di tengah kesepian. Duhai, hati yang memendam rindu."
Koh Acung tambah tidak mengerti.
Andai saja situasinya lebih sehat, dari tadi aku ingin menimpuk Pak Tua dengan bantal. Tapi apalah yang bisa kulakukan" Membantah" Semua yang dibilang
Pak Tua benar. Bohong kalau dua bulan terakhir, sejak meninggalkan Tanjung Perak, ingatanku tidak tertinggal di Surabaya. Dusta kalau aku bilang telah
lega dan ihklas melupakan si penyuka warna kuning itu. Sejatinya, semakin berusaha kulupakan, macam tamu tak diundang dia datang bertubi-tubi.
Ketika sendirian mengemudi sepit, pagi-pagi berangkat menuju"steher, lantas duduk bengong di buritan perahu menunggu antrian merapat, ingatanku tak lepas
dari antrian nomor 13, senyumnya yang riang, salamnya yang hangat, gerakan tubuhnya yang anggun. Ketika sendirian mengemudi sepit, pulang ke rumah dari
bengkel bapak Andi, menatap tepian Kapuas yang bercahaya oleh bohlam lampu, semua kenangan berebut muncul dalam benak, wajahnya yang kaget bercampur senang
bertemu di Istana Kadariah, wajahnya yang sumringah di ruang tunggu terapi, wajahnya yang pias karena sepit hampir terbalik. Mei, apakah kau ingat padaku"
Astaga, Borno" Bukankah kau berjanji untuk melupakan" Kau berjanj iuntuk tahu diri siapa kau" Separuh hatiku sontak menyergah galak. Segera tutup pintu
hati kau, jangan biarkan perasaan itu menyelinap masuk.
Tidak bisa, aku tidak bisa melakukannya. Separuh hatiku kuyu mengakui, bagaimanalah aku akan mengusirnya jauh-jauh" Perasaan itu mekar begitu saja dihati,
tidak kusemai bibitnya, tidak kutanam batangnya. Dan Pak Tua benar, ketika dermaga ramai oleh celoteh penumpang dan teriakan petugas"timer, aku justeru
merasa sepi. Saat syukuran Pak Tua kembali narik, penghuni gang berkumpul di rumah Pak Tua, ramai menghabiskan hidangan, meski aku tertawa-tawa bergurau,
sejatinya aku merasa sepi di tengah keramaian. Sebaliknya, saat malam-malam duduk sendirian diberanda rumah, menatap Kapuas yang lengang, hatiku ramai
oleh pikiran-pikiran, nyengir sendiri, menggaruk kepala sendiri, mendesah gelisah. Pak Tua benar, sepi dalam keramaian, ramai dalam kesepian.
Aku sudah berusaha melawan.
Kuputuskan untuk menyibukkan diri dua bulan ini. Siapa yang hendak men-carter"sepit, kubilang iya, jangankan bawa kambing, bawa anak sapi kalau muat kulayani.
Di bengkel bapak Andi aku berusaha menenggelamkan diri dengan mesin-mesin, obeng, tang, oli, sibuk hingga hari berangsur gelap. Dan malam-malam, jika tidak
mengunjungi Pak Tua, aku melahap buku-buku tentang mesin, saat buku milik bapak Andi habis kubaca, aku meminjam ke perpustakaan daerah. Belajar dengan
konsentrasi tinggi, berharap kalau aku sibuk, maka aku akan terlalu lelah untuk sekadar mengingat Mei.
Sayang, rencanaku gagal total, bayangan Mei tetap hadir. Tidak saat aku riang membongkar mesin, tidak juga saat aku membaca buku, mencoret-coret diagram
mesin, tapi dia datang tak tertahankan saat aku sendirian di sepit, terkapar kelelahan di atas dipan, kapanpun saat jeda kesibukan. Pak Tua benar, perasaan
yang dalam bisa membuat badan sakit, awalnya hanya batuk kecil minggu-minggu lalu, tetap kuabaikan, disusul hidung kedat, tidak kupedulikan, ditambahi
pusing, demam, maka jadilah aku terbaring sakit di dipan tiga hari terakhir.
"Kau tahu hikmah terbesar sakit, Borno?" Pak Tua berkata pelan, berhenti menggoda, menatapku prihatin"aku baru saja menggigil lagi.
Koh Acung mengangkat kepala, ingin tahu.
"Bagi bayi, sakit adalah tahapan naik kelas, sakit sebelum bisa merangkak, sakit sebelum bisa berdiri, sakit sebelum bisa berjalan." Pak Tua menatapku
lamat-lamat, tersenyum, "Dan bagi kita yang jelas tidak mengulum jempol lagi, sakit adalah proses pengampunan, Borno."
Koh Acung mengangguk-angguk, setuju.
"Bersabarlah, dan semoga Tuhan membalas dengan kabar hebat."
Aku antara mendengar dan tidak ucapan Pak Tua. Badanku panas tak terkira. Berusaha tersenyum, Borno akan bersabar, Pak, Borno akan bersabar.
*** Pak Tua selalu benar. Kalaupun dia salah, biasanya karena kebenaran itu datang terlambat.
Kabar hebat itu ternyata benar-benar datang.
Kalian tahu, beberapa hari kemudian, saat tubuhku berangsur-angsur pulih, pagi-pagi duduk sendirian, berselimut sarung di beranda rumah, menyeduh teh panas
buatan Ibu, menatap kesibukan yang datang lagi di kota ini, aku masih libur dari narik sepit, tiba-tiba dari jauh, tergopoh-gopoh Andi memanggilku. Lari
lintang pukang seperti dikejar beruang madu.
"BORNO! BORNO!" Macam lima toa jadi satu, suara Andi nyaring memanggil.
"Kau bergegas, Kawan. Bergegas!" Dia tersengal naik ke atas rumah.
Aku melipat dahi, bergegas apa"
"Aku melihatnya" aku melihatnya di dermaga kayu, Borno." Ngos, ngos, ngos, Andi berusaha menghirup udara segar, bungkuk memegang tiang rumah.
Melihat apa" Pucat pasi begini, kau habis melihat hantu"pontianak"
"Aku melihatnya, Kawan. Aku melihat si sendu menawan naik sepit. Dia telah kembali."
***Tidak sesuai harapan. Bukannya berempati, Pak Tua malah terpingkal-pingkal mendengar ceritaku, "Kau benar-benar dikerjai Andi, Borno. Telak macam petinju kena pukul dagunya,
langsung terkapar KO."
"Dan apa yang kau lakukan" Sebentar, jangan dijawab, biarkan orang tua ini menebaknya" kau, kau hanya bisa berdiri termangu di"steher, amat kecewa?" Pak
Tua menepuk-nepuk meja, tertawa lagi, tidak peduli dengan wajah terlipatku.
Aku merengut sebal, agak menyesal telah bercerita.
"Tapi, tapi"." Tawa Pak Tua mereda, mungkin akhirnya kasihan melihatku, mengusap ujung-matanya yang berair, "Menurutku Andi telah mengajarkan sesuatu yang
amat berharga, Borno. Tips hebat yang sering dilupakan oleh orang-orang sedang patah-hati, gulana menganyam rindu, gelisah dengan pengharapan, atau orang-orang
macam kau inilah, Borno"." Pak Tua sejenak mengusap-usap ubannya,"Astaga, berarti selama ini aku keliru menilai sebelah mata Andi, meremehkan dia sebagai
si banyak omong, tukang maksa dan agak lambat mengerti. Ternyata dia cerdas dan bernas, Borno. Dan di atas segalanya, yang paling penting, Andi membuktikan
dia adalah teman sejati kau."
Aku mendengus, apanya yang teman sejati" Apa pula yang disebut tips hebat orang-orang patah-hati" Kalau saja Pak Tua melihat bagaimana ekspresi wajah tak-berdosa
Andi tadi pagi di dermaga, mungkin Pak Tua akan setuju denganku, Andi keterlaluan, sungguh tega, tidak termaafkan meski Kapuas kering.
Bagaimana tidak" Tadi pagi, saat mendengar dia bilang Mei telah kembali, aku sontak loncat, sial sarungku terpintal kursi, jatuh terguling, tidak mengapa, tidak mengapa
lututku terasa nyilu, air teh berhamburan mengenai baju, berusaha bangun, bergegas lari.
"Eh, kau mau kemana?" Andi menahanku.
"Menghidupkan sepit-lah, apalagi." Aku tidak mempedulikan Andi.
"Sebentar, Kawan. Sebentar"." Andi memegang tanganku, masih berusaha mengatur nafas, "Tak elok kau hanya sarungan macam ini ke dermaga kayu."
"Memangnya kenapa?" Aku berusaha mengibaskan tangannya. Aku harus bergegas.
"Nanti ke-tampan-an kau ini hilang sesenti, Borno. Berganti pakaianlah, yang rapi, si sendu menawan tidak akan kemana-mana lagi, Surabaya jauh dari Pontianak,
tidak macam ke Singkawang atau Entikong."
Aku menatap wajah Andi, dia mengangguk, nyengir meyakinkan. Aku berpikir sejenak, baiklah, benar juga, tidak pantas aku menemui Mei dengan sarungan, apa
salahnya berganti pakaian. Rusuh dua menit membuka lemari, mengaduk-aduk, memakai celana, mengganti kaos yang basah. Lari ke kolong rumah. Andi sudah duduk
takjim di sepit, menyilahkanku mengambil posisi di buritan.
Aku terburu-buru menghidupkan mesin. Motor tempel meraung kencang saat kutekan pol gas-nya, sepitku meluncur cepat meninggalkan rumah papan Ibu.
"Seharusnya kau cuci wajah dulu, Kawan." Andi menatapku, nyengir, "Tapi tak apalah, mau cuci wajah atau tidak, sama saja hasilnya."
Kalau saja situasinya berbeda, sudah kutimpuk Andi dengan propeler sepit untuk gurauan tidak lucunya itu.
Lima menit melaju kencang.
"Eh" Kita mau kemana?" Andi menoleh, dahinya terlipat.
"Dermaga dekat yayasan sekolah Mei." Aku menjawab.
"Eh, buat apa ke sana?" Andi sedikit panik.
"Menyusul dia-lah. Apalagi?" Bukankah kalau benar Andi melihat Mei berangkat naik sepit, itu berarti Mei pergi ke sekolahnya. Kami sudah terlambat lima
belas menit, Mei tidak akan ada lagi di"steher"kayu, lebih baik aku langsung ke sekolahnya.
Andi menggaruk kepala yang tidak gatal, menoleh ke arah"steher"sepit yang tertinggal dibelakang, menoleh ke seberang tempat sepit terarah, menoleh lagi
ke"steher, berpikir cepat.
"Tidak usah, Kawan. Tidak usah kesana." Kalau saja aku sedikit awas, suara Andi sebenarnya terdengar licik, tidak meyakinkan.
"Tidak usah?" Aku menyeringai bingung.
"Eh, si sendu menawan itu justeru ada di dermaga kayu kita, Borno. Ya, ya, benar, dia ada di dermaga sepit sekarang." Andi menyeringai, mencari-cari alasan.
"Apa pula yang dikerjakan Mei di dermaga?" Aku bertanya.
"Eh, dia sedang membagikan amplop merah, ya, ya, dia membagikan"angpao." Andi berusaha memasang wajah serius.
Aku melambankan sepit yang terlanjur ke arah lain, menatap Andi,"Angpao" Mana ada pembagian angpao bulan-bulan ini" Imlek lewat, Cap Gomeh jauh. Merayakan
apa?" Otakku bekerja"sayangnya cuma bekerja sedikit dan tidak segera curiga.
"Mana kutahu," Andi mengangkat bahu, "Mungkin perayaan karena kembali ke Pontianak, atau karena mau bertemu bujang Melayu tampan macam kau." Andi menahan
tawa. Baiklah, aku tidak panjang mendebat, menurut, menggerakkan tuas kemudi, sepitku membelok cepat, membentuk kibasan macam kipas di permukaan Kapuas. Maka
melajulah perahu kayu ke"steher"kayu. Wajah Andi terlihat senang, mengangguk-angguk. Aku menelan ludah tidak sabaran. Apa kabar Mei" Akankah dia senang
melihatku lagi" Pakai baju apa dia pagi ini" Melajulah cepat BORNEO, bawa aku segera menemui Mei.
Empat menit, tiga belas detik, sepit merapat, aku loncat tak sabaran keatas dermaga kayu, dan". Dan aku termangu bingung, justeru rombongan ramai tujuh-delapan
orang segera mengerubungiku.
"Nah, ini Borno. Akhirnya datang juga. Borno akan mengantar Cik dan Ncik sekalian berkeliling kota Pontianak, plesir seharian." Bapak Andi membentangkan
tangan, memperkenalkanku.
"Ah, aku ingat siape dielah. Die nih yang dulu meninggalkan rombongan kami di Istana Kadariah, bukan" Tak mau aku kalau die pegi-pegi tak karuan lagi."
Salah seorang anggota rombongan tertawa, bergurau.
Aku menoleh pada Andi, mana Mei" Tidak peduli rombongan yang hendak menyalamiku itu. Andi nyengir, mengusap rambut, berusaha menjauh. Mana Mei-nya" Aku
toleh kiri, toleh kanan, menjulurkan kepala. Woi, Mana Mei" Dermaga kayu ramai oleh penumpang, ibu-ibu, anak-anak, gadis tanggung, berseragam, tidak beseragam,
tetapi tidak ada Mei. Mana Mei yang membagikan angpao"


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, Borno. Tolong kau antar keluarga besanku ini. Kali ini bahkan ada yang datang dari Kuala Lumpur, mereka benar-benar terpesona dengan Pontianak, datang
dengan sanak-kerabat. Ingat, Borno, tugas negara, kau pahamlah maksudnya, layani saudara satu rumpun ini dengan baik. Pariwisata adalah masa depan Pontianak."
Bapak Andi sibuk berceloteh.
Aku mematung, wajahku menggelembung, mulai mengerti apa yang telah terjadi. Astaga" Andi menjebakku. Andi tahu, mengingat kejadian lalu itu, aku pasti
menolak mentah-mentah mengantar keluarga besan dari Serawak ini. Nah, daripada dia diomeli bapaknya (karena gagal membawaku ke dermaga kayu), dengan licik
dia men-skenario-kan ada Mei di"steher, membuatku terbirit-birit hanya untuk menjemput kenyataan palsu.
"Ayo, Borno, jangan bengong macam bekantan, kau tolong bawa bekal mereka ke atas perahu." Bapak Andi mendesak, sudah selesai dengan ceramahnya.
Apa yang harus kulakukan" Berteriak marah" Loncat memiting Andi" Ibu, itu sungguh tidak bisa kulakukan, rombongan turis negeri Jiran sudah asyik mengajakku
berfoto-foto, tertawa riang. Malah ada yang memeluk bahuku, "Senyumlah sikit, Borno. Nah, senyum. Aku nak foto bersama"guide"hari nih, biar kupamer dengan
temanku di KL lah. Ayo, foto macam Upin-Ipin-lah."
Andi sialannn!! *** "Kau tahu jumlah penduduk bumi saat ini, Borno?" Pak Tua yang sudah puas tertawa, meluruskan kaki, bertanya sambil menatapku lamat-lamat.
Aku tidak peduli statistik, demikian maksud kusut wajahku. Aku masih sebal soal kejadian tadi pagi, dan lebih sebal lagi Pak Tua justeru tertawa mendengarnya.
Aku tidak menjawab, menatap sungai Kapuas, kerlap-kerlip lampu perahu membuat permukaan sungai mengkilat. Malam yang elok.
"Enam milyar, Borno. Ada enam milyar penghuninya." Pak Tua menjawab sendiri, "Lantas, coba kau bayangkan, setiap hari ada berapa orang yang jatuh cinta
dan patah hati, Borno?" Pak Tua mengangkat tangan, seperti anak kecil, asyik berhitung dengan jari-jemari, "Menurut orang tua ini, maka setidaknya setiap
detik ada tiga orang yang jatuh cinta". Dan tiga orang pula yang patah hati. Dengan demikian, satu jam berarti ada sepuluh ribu, satu hari berarti dua
ratus ribu pasangan yang jatuh cinta dan patah hati."
Aku menoleh, mulai tertarik.
"Bukan main, Borno. Bukan main" Dan karena jatuh-cinta atau patah-hati itu gombal, kau bisa mengalaminya berkali-kali, tidak macam mati atau lahir yang
cuma sekali seumur hidup, jangan-jangan angkanya lebih banyak lagi. Jangan-jangan setiap hari ada seperempat juta manusia yang jatuh cinta sekaligus patah-hati.
Kau bayangkan, banyak sekali". Ramai sudah langit-langit bumi dengan kalimat "aku cinta kau", atau "aku sayang kau", atau sebaliknya "cukup sampai di sini.
Kita berpisah." Seperempat juta manusia setiap hari, Borno. Bayangkan."
"Nah, itulah kenapa orang-tua ini tetap hidup membujang "." Pak Tua merapikan jaket, udara malam berhembus kencang, "Ayolah, kalau semua mengaku sebagai
cinta sejati, lantas mana yang benar-benar "sejati" di antara milyaran perasaan itu" Jangan-jangan, semua memang gombal. Klasik. Klise."
Aku menatap Pak Tua,"gombal"
Pak Tua tertawa, melambaikan tangan, "Aku hanya bergurau, Borno. Tentu saja ada yang benar-benar sejati di antara cinta itu. Pasangan Fulan dan Fulani
misalnya, itu sejati. Togar dan Unai, itu juga sejati, meski harus terpisah jeruji penjara karena keras kepala dan gengsi. Dalam keseharian, cinta selalu
membutuhkan tindakan dan perbuatan kongkrit, masalah pasti selalu datang, tidak ada kesejatian sebelum diuji, bukan" Bahkan intan paling berkilau sekalipun
harus diasah sedemikian rupa agar terlihat sejati karatnya."
"Nah, kenapa kubilang kelakuan Andi yang menipu kau tadi pagi adalah"tips"hebat untuk orang-orang gundah gulana macam kau sekaligus dia membuktikan adalah
teman terbaik kau" Camkan ini, Borno. Banyak sekali orang-orang yang jatuh-cinta lantas sibuk dengan dunia barunya itu. Sibuk sekali, sampai lupa keluarga
sendiri, teman sendiri, lupa dengan orang-orang penting yang selama ini dia cintai dan mencintai dia. Padahal, siapalah orang yang tiba-tiba mengisi hidup
kita itu" Kebanyakan orang asing, orang baru. Mei misalnya, baru kau kenal setahun kurang. Sedangkan Andi" Kau kenal dia sejak bayi, satu ayunan. Apa yang
telah dilakukan Mei buat kau" Apa yang tidak dilakukan Andi" Apa Mei pernah menyelamatkan kau yang hampir tenggelam di Kapuas?"
Aku terdiam, menelan ludah. Waktu kanak-kanak, Andi memang pernah menarik rambutku, berusaha menyelamatkanku yang pingsan terhantam ujung perahu.
"Kau lupa, Borno. Kalau hati kau sedang banyak pikiran, gelisah, rindu, dan hal ganjil lainnya akibat perasaan itu, kau selalu punya teman dekat, keluarga
di sekitar. Mereka bisa jadi penghiburan, bukan sebaliknya tambah kau abaikan. Nah, itulah tips terhebatnya, habiskan masa-masa sulit kau dengan teman
terbaik, maka semua akan lebih ringan. Ah, Andi hebat sekali mengerjai kau hari ini. Kau marah dengannya" Buat apa" Dia justeru membuktikan hanya teman
terbaiklah yang nekad melakukan itu. Dia percaya kau tidak akan bisa benar-benar marah padanya. Bukan begitu?"
Aku bersungut-sungut, tertunduk.
*** Esok saat berangkat ke bengkel bapak Andi, rasa jengkel-ku jauh berkurang. Nasehat Pak Tua semalam benar, sejelek-jelek Andi (dan dia memang jelek), dia
teman baikku. Sejahil-jahil Andi (dan dia memang amat jahil), dia adalah sohib terdekatku.
"Terima-kasih untuk kemarin, Borno." Bapak Andi riang menyapa.
"Sama-sama, Oom." Aku menjawab pendek, duduk sembarang di bengkel.
Di hadapan bapak Andi berdiri gagah sebuah vespa tua, klasik, kinclong dan tentu barang antik mahal. Sepertinya habis di-servis.
"Ini punya pejabat kejaksaan Pontianak, Borno. Baru diantar kemari."Bapak Andi menepuk-nepuk jok vespa warna"oranye,"Ini orisinil tahun "62, barang langka.
Habis kuganti oli-nya. Pemiliknya sayang sekali dengan vespa ini, jarang dipakai, hanya percaya padaku setiap kali"servis. Nah, aku tahu kau suka penasaran,
mengintip-intip mesin, tapi untuk yang ini haram kau sentuh, Borno. Lecet sedikit panjang urusannya". Aku sekarang ada urusan di dermaga ferry, nanti sore
mau diambil pemiliknya, kau tolong jaga vespa-nya."
"Iya, Oom." Aku mengangguk.
Bapak Andi mencuci tangan, bersiap-siap.
"Andi kemana, Oom?"
"Tadi pagi kusuruh membeli"spare-part"di pasar baru. Sebentar lagi juga pulang. Kau tunggu sajalah, sambil, itu ada mesin tempel Jupri ngadat, tolong kau
perbaiki." "Baik, Oom." Sepuluh menit berlalu, Bapak Andi berangkat, sekali lagi mengingatkan jangan sentuh vespa tua-nya. Aku tertawa, "Tenang, Oom. Kulirik saja tidak berani,
apalagi disentuh. Astaga, sudah macam anak gadis saja vespa ini." Bapak Andi ikut tertawa, melambaikan tangan.
Kolega montirku itu, si tukang jahil nomor satu, Andi Alamsyah, datang setengah jam kemudian, saat aku sudah hampir selesai dengan mesin tempel Jupri.
Dia agak takut-takut melihatku, nyengir melangkah masuk ke bengkel.
"Dari mana kau?" Aku bertanya santai.
"Eh," Andi menggaruk kepala, masih hati-hati, siapa tahu aku sengaja beramah-tamah sebelum mengamuk soal kejadian kemarin.
"Ditanya malah diam, dari mana?" Aku melotot.
"Beli suku cadang." Andi menjawab, masih menjaga jarak.
Adalah lima belas menit hingga Andi merasa semua aman. Mulai mengajakku bicara dengan baik, cengar-cengir seperti biasa.
"Kau tidak marah, Borno."
"Marah buat apa?"
"Eh, soal kemarin pagi."
"Tidak masalah. Aku juga sering mengerjai kau dulu." Aku mengangkat bahu.
Andi tertawa, menepuk bahuku, "Kau kawan yang bijak, Borno. Benar-benar bijak."
Aku nyengir santai, mencuci tangan, "Ngomong-ngomong aku harus segera pulang. Ibu menyuruhku mengantar sesuatu ke Koh Acung. Kau sendirian di bengkel tidak
apa-apa?" "Tidak apa-apa. Kau pulang saja, Borno. Urusan Ibu selalu nomor satu."Andi mengacungkan jempol, mendukung.
"Tetapi Bapak kau tadi titip pesan, itu lihat, ada vespa tua. Dia minta dibongkar mesinnya, biar nanti sore diperbaiki. Kau benaran tidak apa-apa kutinggal
sendirian?" "Oh, vespa?" Andi menoleh ke vespa yang terparkir rapi, "Hanya bongkar mesin, kan" Tidak disuruh memperbaiki?"
"Hanya bongkar mesin." Aku mengangguk meyakinkan, "Bukankah selama ini kita sudah sepakat, urusan membongkar adalah kau, urusan memperbaiki baru aku dan
bapak kau." "Oke, Kawan. Siap dilaksanakan." Andi berkata mantap.
"Aku pulang, ya. Tolong dibongkar habis vespanya."
"Siap, bos. Dibongkar habis."
"Selamat sore."
"Sore, hati-hati, Borno." Andi bahkan melepas kepergianku di depan gang, sengaja benar dalam rangka berbaikan kejadian kemarin pagi.
Sementara aku mati-matian menahan tawa, berusaha sesegera mungkin meninggalkan gerbang bengkel"sebelum Andi curiga dengan ekspresi aneh wajahku. Di ujung
gang aku tidak tahan lagi, tergelak memegang perut, tidak kuat membayangkan apa yang akan terjadi nanti sore. Rasakan pembalasanku, dasar Andi sialan.
Itu untuk kabar bohong, bilang kau telah kembali, Mei!!
*** BAB 07. Bertemu Kembali ?" "Kau mau teh dingin?" Andi menyikut lenganku.
"Boleh." Aku mengangguk.
Terminal Pontianak gerah, sopir bus yang tega tetap nge-tem meski penumpang sudah hampir penuh membuat langit-langit bus tambah gerah. Apalagi melihat
kelakuan kondekturnya, "Singkawang! Singkawang berangkat!" Kondektur berteriak, jamak menipu calon penumpang, bilang "berangkat" atau "langsung", tapi
tetap saja roda bus tidak bergerak.
Andi menyerahkan teh botol dingin-berembun, ditarik dari ember berisi bongkahan es tukang asong. Aku menyeringai, bilang terima-kasih, lantas menghirup
pipet putih, kerongkongan terasa segar.
"Harusnya petugas"timer"di terminal ini belajar dengan Om petugas di dermaga sepit. Tidak penuh, kalau waktunya habis, sepit tetap harus jalan." Aku menyeka
peluh di pelipis. Andi mengangguk-angguk setuju.
"Kursi sebelah kau kosong, hah?" Kondektur yang sepertinya berhari-hari tidak mandi itu mendekat, di belakangnya berdiri bapak-bapak gendut, membawa koper
besar, mencari bangku nganggur.
"Ada orangnya." Andi yang menjawab.
"Mana orangnya" Kosong ini, geser, kasih tempat yang lain, dua-tiga, dua-tiga!" Kondektur melotot, dari tadi sibuk dia bilang dua-tiga, dua-tiga. Dua penumpang
di kursi sebelah kiri, tiga di sebelah kanan. Anak kecil harus dipangku, tidak dipangku dianggap bayar. Alamak, mana ada aturan macam ini di sepitku, lebih
satu penumpang saja Bang Togar mengirimkan surat peringatan, melanggar standar keselamatan.
Sebelum aku bersitegang dengan kondektur itu, dia tetap ngotot nyuruh bergeser, sementara aku tetap meletakkan tas ransel di kursi kosong, Pak Tua naik,
berjalan di sepanjang lorong bus.
"Nah, itu ada penumpangnya." Andi mengacungkan telunjuk.
Kondektur bersungut-sungut berlalu ke belakang.
"Ah, ternyata kalian sudah beli minuman dingin juga." Pak Tua mengambil posisi, duduk. Mengangkat kantong plastik di tangan, tertawa kecil. Tadi Pak Tua
pamit sebentar ke toilet terminal, "Ya sudahlah, buat bekal di jalan."
Adalah setengah jam lagi menunggu ketika akhirnya bus itu benar-benar bergerak. Itu pun setelah sepuluh menit pakai acara maju-mundur dulu, biasalah, lagi-lagi
trik menipu calon penumpang agar bergegas naik"kalau kalian suka naik bus, oplet atau angkutan umum pasti tahu maksudnya.
"Sebenarnya Pak Tua ada keperluan apa di Singkawang?" Andi memecah lengang, pukul sepuluh pagi, bus melesat cepat di jalan raya, semilir angin melewati
jendela kaca kusam, membuat penumpang terkantuk-kantuk.
"Nah, terima-kasih akhirnya ada yang bertanya." Pak Tua terkekeh, "Kupikir kalian terlalu asyik dengan perjalanan ini, jadi tidak ingat untuk bertanya
apa pasal kita ke sana."
Aku dan Andi saling lirik, nyengir, merasa disindir.
"Kita berplesir, Andi. Hitung-hitung agar kalian berdua lebih damai, tambah akrab lepas kejadian vespa orisinil "62 itu." Pak Tua melepas topi pandan,
mengusap uban, tertawa lagi.
Aku dan Andi saling lirik lagi, nyengir kaku.
Pak Tua hanya bergurau, tentu saja, kejadian heboh itu sudah hampir sebulan lalu.
Heboh" Dua malam Andi mengungsi ke rumah Pak Tua karena amuk bapaknya. Bayangkan, saat kembali dari dermaga"ferry, saat bersiap mengembalikan vespa itu,
yang ada justeru hamparan onderdil dan"bodi"motor. Belum ditambah Andi dengan tampang polos malah bertanya balik pada bapaknya, "Bukankah bapak yang nyuruh
bongkar, ya?" Aku juga ketiban pulung, dua hari penuh bapak Andi menungguiku merakit ulang vespa itu. Tidak boleh meleset satu baut pun, tidak boleh lecet se-mili pun.
Di mana seni-nya jadi montir kalau ada mandor monster dengan wajah masam duduk mengawasi, berdehem-dehem galak setiap aku sedikit kasar meraih plat bodi
motor. Semua memang bisa diperbaiki, pemilik vespa juga reda marahnya setelah melihat motornya kembali utuh tanpa lecet, tetapi aku menyadari, gurauanku
berlebihan, maka dua malam berturut-turut berangkat dengan wajah memelas ke rumah Pak Tua, meminta pengampunan dari Andi, membujuknya pulang ke rumah.
Di antara begitu banyak tabiat Andi yang menyebalkan, benarlah kata Pak Tua, ada satu tabiat Andi yang amat mulia: mudah melupakan. Saat Pak Tua menepuk
bahunya, "Kau tahu, Andi. Sama seperti saat aku menasehati Borno ketika dia marah kau menipunya soal Mei, maka akan kuulangi, kau juga tidak akan pernah
bisa benar-benar marah pada Borno. Kenapa" Karena kalian teman baik satu sama lain. Pulanglah, semua kerusakan sudah diperbaiki. Bapak kau tidak marah
lagi." Marah Andi berguguran.
Di malam ketujuh sejak kami tidak bertegur sapa, Andi menemuiku saat aku sendirian bermain gitar di balai-balai bambu, tetangga sudah bubar pulang. Malam
beranjak matang, gang sempit tepian Kapuas lengang, aku cempreng menyanyikan lagu-lagu lawas.
"Kau sebaiknya diam, atau nanti tetangga menimpuk kau." Kolega dekatku itu macam hantu si ponti anak tiba-tiba sudah berdiri di depanku, nyengir.
Aku takjub, terperangah, meski sekejap kemudian menggaruk kepala yang tidak gatal, salah-tingkah. Kejadian vespa tercerai-berai itu masih segar di ingatan,
juga teriakan Andi mengusirku jauh-jauh, aku menelan ludah, jangan-jangan Andi mau membalas, ragu-ragu melirik tangannya, siapa tahu dia bawa mandau atau
pentungan. "Biar aku saja yang bernyanyi." Andi sudah loncat ke atas balai bambu, mengambil posisi. Bersidekap, bersiap macam peserta lomba menyanyi di televisi.
"Ayo, kenapa kau bengong" Petik gitarnya. Lagu yang tadi." Andi menyuruhku.
Aku menelan ludah lagi, mataku beralih dari menilik tangan dan balik pinggang Andi"tentu saja dia tidak membawa senjata terlarang. Baik, baik, aku mencoba
tersenyum, mulai memetik gitar. Lepas intro, suara serak-serak Andi terdengar elok dibawa semilir angin malam, membuat lagu"sepanjang jalan kenangan"itu
terasa syahdu. Kami berdiam diri beberapa menit setelah lagu usai. Situasi yang ganjil, aku berusaha mencari kalimat pembuka yang baik, sapaan perdamaian. Lirik-lirik
dia, bingung harus bilang apa.
"Aku minta maaf." Ternyata Andi yang memulai.
Aku menoleh, menatap wajahnya lamat-lamat.
"Aku minta maaf telah menipu kau soal si sendu menawan. Aku tidak merasakan perasaan itu, jadi tidak sensitif kalau itu sangat penting buat kau. Aku baru
tahu kalau bukan soal mengantar turis Malaysia, atau bergegas ke steher yang membuat kau kesal dan sakit hati, tetapi karena kenyataan tidak ada Mei di
dermaga kayu. Jadi tolong maafkan aku." Andi menunduk.
Aku meneguk ludah, perlahan meletakkan gitar butut, meraih bahu Andi, "Akulah yang harus minta maaf, Kawan. Soal si sendu menawan itu hanya tentang perasaan,
tapi vespa, itu membahayakan kepercayaan bengkel, pertemanan kita, segalanya. Pak Tua benar, aku harusnya berterima-kasih sudah kau tipu di dermaga, dengan
demikian aku jadi tahu, hanya teman dekat yang tega melakukannya. Kau adalah teman terbaikku."
Kami saling tatap sejenak. Andi menyeka ujung hidungnya, terharu.
"Kau tidak akan menangis, kan?" Aku nyengir, menggoda Andi.
"Enak saja, ini selesma. Ketularan kau dulu." Andi mendengus.
Kami cengar-cengir, tertawa.
"*** Pontianak"Singkawang, 145 kilometer. Menumpang bus, jarak itu dituntaskan kurang-lebih tiga jam.
Aku dan Andi terkantuk-kantuk sepanjang perjalanan. Pak Tua malah asyik tidur, menutupkan topi pandan di wajah"tanda jangan ganggu-ganggu, baru bangun
saat bus mulai masuk ke kota Singkawang.
Cerita itu benar, kota ini memang pantas disebut kota seribu kelenteng (kuil, pekong, vihara atau apalah menyebutnya). Di mana-mana ada kelenteng, masing-masing
dewa punya kelenteng sendiri, bahkan Jenderal perang dan Raja dinasti tersohor pun dibuatkan kelenteng. Enam puluh persen penduduk Singkawang adalah China,
sisanya Melayu, Dayak, Jawa, Bugis dan suku bangsa lainnya. Bus merapat di terminal antar kota, kondektur berteriak, habis, habis, habis. Pukul satu siang,
terik matahari membakar ubun-ubun. Pak Tua langsung naik salah-satu oplet, "Yakin ini opletnya, Pak" Nanti salah naik, tersesatlah kita macam di Surabaya."
Aku menggodanya, Pak Tua melotot, menyuruhku bergegas membawa tas ransel ke dalam. Andi sudah duduk rapi, asyik memperhatikan sekitar, pemandangan kota
ini khas sekali. Berbeda dengan orang-orang China di kota kalian, di Singkawang orang-orang China punya rentang jenis pekerjaan amat beragam, mulai dari nelayan, buruh,
petani, sopir angkot, pengangguran, hingga pedagang seperti lazimnya orang China yang kalian kenal selama ini. Sebenarnya tidak istimewa juga, demikian
komentar Pak Tua, pergilah ke Arab, Eropa atau Amerika sana, ragam pekerjaan juga sama, ada Arab, bule yang rendahan macam kau pengemudi sepit (gurau Pak
Tua), ada juga yang makmur macam pedagang besar. "Kita tidak terbiasa dan kurang pandai menyikapi minoritas. Itu saja."
Aku dan Andi mengangguk-angguk.
Oplet terhenti sejenak di perempatan kota, macet, ada arak-arakan pengantin. Aku menyeringai, menatap keramaian lewat jendela oplet, bukankah gadis, sang
mempelai wanita, terlihat masih kecil" Belasan tahun sudah menikah"
"Kalian turis?" Sopir angkot menyeringai, "Nah, ini pemandangan istimewa. Biasalah, pernikahan"amoy"Singkawang, kadang wanitanya masih tiga belas sudah
dipaksa menikah. Banyak orang Hongkong, Taiwan atau Singapore datang ke sini mencari istri. Ada yang melakukannya sembunyi-sembunyi, ada juga yang terang-terangan,
menggelar prosesi pernikahan sungguhan seperti yang kalian lihat."
Aku dan Andi saling tatap, tidak mengerti.
Maka meluncurlah penjelasan"super"singkat, padat, sepihak dan subyektif dari sopir angkot sebelum kami turun di penginapan. Ini disebut "penikahan photo",
membeli istri. Bujang-bujang dari negeri seberang (yang kadang tidak bisa disebut bujang lagi, karena sudah tiga-empat puluh-separuh baya), datang mencari
istri. Bisa mencari sendiri, atau pakai agen khusus. Dengan uang berbilang lima-sepuluh juta, mereka bisa menikahi gadis"amoy"yang rata-rata masih belasan
tahun. "Kenapa" Kemiskinan, kebutuhan ekonomi, hidup terjepit, pola konsumtif, tidak jauh-jauh, macam itulah penyebabnya." Sopir oplet bak pengamat ekonomi nomor
satu terus berceloteh. "Keluarga Ai Lin, tetangga sebelah misalnya, anaknya sembilan, pekerjaan sekadar nelayan, solar naik, tangkapan kurang, hidup morat-marit.
Datang orang Taiwan ke rumah, melamar anak gadisnya, dijanjikan makan, pakaian, diurus semuanya, mengurangi beban tanggungan. Ai Lin dan istri setuju,
maka pernikahan dilangsungkan, surat-menyurat diurus, lepas menikah putrinya dibawa ke Taiwan sana. Entah apa kabarnya hingga sekarang. Empat anak gadis
keluarga Ai Lin menikah dengan orang asing. Bersanding di pelaminan dengan pria-pria buncit, jelek, tua."
"Jelek, tua?" Andi memotong.
"Tentu saja, bukan?" Sopir angkot santai mengangkat bahu, "Kalau pria-pria Taiwan, Hongkong itu tampan, gagah, dan lelaki sejati, tidak mungkin dia jauh-jauh
ke sini membeli istri" Cari saja di Hongkong sana, bukankah gadis-gadisnya kinclong macam di layar tipi" Kebiasaan "pernikahan photo", membeli istri macam
ini sudah puluhan tahun, turun-temurun. Konon katanya ada tiga puluh ribu amoy Singkawang yang menikah dengan orang asing dan sekarang menetap di negeri
seberang. Banyak sekali, bukan" Makanya di Singkawang tidak ada lagi amoy-amoy cantik, hanya tersisa yang jelek-jelek atau masih anak kecil."
"Tiga puluh ribu" Dari mana bapak tahu sebanyak itu?" Aku bertanya, menelan ludah.
"Bagaimana aku tahu?" Sopir angkot tertawa, "Setiap turis yang naik oplet selalu tertarik kisah ini, jadi kucomot angka-nya dari koran. Data terakhir bilang,
walau sudah mulai turun, setiap tahun catatan sipil setidaknya mencatat seratus pernikahan antar bangsa. Itu tidak termasuk yang sembunyi-sembunyi, tidak
terdaftar. Bayangkan berapa jumlahnya. Nah, kau tahu jadi apa amoy-amoy itu di negeri seberang?"
Aku dan Andi menggeleng, memasang wajah tertarik.
"Tersia-siakan, Kawan. Tersia-siakan". Ada yang malah masuk ke dunia hitam, jadi pelacur, wanita panggilan. Ada yang hanya jadi sansak suaminya, mengalami
kekerasan sepanjang umur. Mana ada cinta dengan pernikahan jual-beli, hah" Kalau dibukukan, bisa bermeter-meter tebalnya kisah sedih tentang amoy. Bahkan
kau tahu kenapa kota ini dikenal dengan sebutan itu" "Kota amoy", itu bukan pujian. Itu negatif, itu sindirian."
Pak Tua berdehem. Kami yang asik mendengar cerita menoleh (termasuk sopir).
"Sudah kosong di depan. Jalan-lah." Pak Tua berkata datar.
Sopir oplet buru-buru melepas rem-tangan.
"Nah, kau lihat, masih belia sekali, bukan?" Sopir oplet masih sempat menunjuk ke arak-arakan yang kami lintasi, "Dipaksa kawin dengan suami yang umurnya
beda puluhan tahun. Mau jadi apa dia?"
Aku dan Andi menelan ludah.
"Tidak semua bernasib begitu." Pak Tua berdehem lagi.
"Ah, hampir semua bernasib demikian." Sopir oplet mendengus.
Pak Tua menghela nafas pelan, tidak menimpali.
*** Kami langsung masuk penginapan, Pak Tua enggan jalan-jalan di tengah terik matahari. Makan siang di hotel, memesan kwetiau goreng pada koki hotel, ("Astaga,
rasanya aneh, kalau begini, separuh pun tidak dibandingkan"chau pan"A Phin," Pak Tua mendecap-decap lidah). Aku dan Andi mana tahu soal kwetiau (atau disebut
pula"chau pan) milik A Phin itu, perut kami lapar, piring langsung tandas.
Setelah matahari bergerak ke barat, Pak Tua mengajak kami keliling kota, "Asyik!" Andi berseru senang, bosan sejak tadi di kamar, "Aku ingin berkenalan
dengan"amoy"cantik, putih nan menawan hati. Siapa tahu ada yang berjodoh dengan orang Bugis." Pak Tua tertawa, melambaikan tangan, "Kau lupa kalimat sopir
oplet sok-tahu tadi" Tidak ada lagiamoy"yang cantik, kecuali masih anak-anak. Habis diambil orang asing semua."
Pertama-tama, Pak Tua mengajak kami ke Kelenteng Surga-Neraka.
Andi bersungut-sungut, "Apa serunya" Selera orang tua aneh. Dulu turis Malaysia itu juga mau-maunya ke Istana Kadariah. Apa istimewanya?" Aku menyikut
lengan Andi, menyuruhnya diam. Kelenteng ini tidak buruk-buruk amat, eksotis malah, terletak dua belas kilo dari pusat kota, di atas bukit, tempat kalian
bisa memandang seluruh Singkawang. Disebut Kelenteng Surga-Neraka karena di dalamnya banyak patung dewa-dewi penguasa surga dan neraka. Pak Tua takjim
mendengarkan penjelasan petugas kelenteng, manggut-manggut.
Dari pekong dewa-dewi itu kami turun kembali ke kota, menuju kelenteng tua, hampir dua ratus tahun, vihara Tridarma Bumi Raya. Andi bersungut-sungut, tidak
berminat. Pak Tua tertawa, mengabaikan keberatan Andi, "Apa susahnya kau berlagak jadi turis yang baik" Tanya sana, tanya sini, lihat sana, lihat sini.
Lagipula siapa tahu ada amoy cantik yang kau cari di sekitar kelenteng."
Kabar baiknya, lepas dari kelenteng tua itu, Pak Tua mengajak kami makan malam di salah-satu restoran dekat pusat kota. Menunya adalah"choi pan, makanan
istimewa Singkawang berbahan tepung terigu, tepung sagu, rebung dan ebi. Alamak, enaknya tidak terkira, susah dijelaskan"apalagi perut kami lapar.
"Kau mencari amoy, bukan?" Pak Tua mengedipkan mata ke Andi.
Andi yang asyik mengunyah mengangkat kepala, tertarik, mana amoy-nya"
Pak Tua memberikan kode, menunjuk salah-satu pelayan restoran.
Andi mendengus, itu bukan amoy, itu ibu-ibu. Lagipula, demikian bisik-bisik Andi sejak kami mulai jalan tadi siang, kalaupun ada gadis China di sekitar
kami, tidak cocok dengan imajinasinya. "Astaga, kau juga tidak tampan memesona macam bintang film Korea, Kawan?" Aku menyikut lengan Andi, tertawa, "Kau
lebih mirip bujang Taiwan atau Hongkong yang mencari istri ke sini. Sialnya, sudah buncit, jelek, kau tidak berduit macam mereka, jadi mana ada amoy yang
mau." Andi sepertinya siap melempar piring"choi pan.
Pak Tua ikut tertawa, meletakkan sumpit, melerai.
"Tidak semua yang dikatakan sopir oplet tadi benar." Pak Tua berkata serius, saat"choi panporsi kedua kami habiskan, duduk bersandar kekenyangan. Malam
semakin larut, lampu jalanan, ruko, terlihat terang. Kesibukan makan-makan di gerobak dorong, warung tenda, warung makan sederhana hingga restoran berkelas,
berangsur sepi. Aku dan Andi menatap Pak Tua.
"Tiga puluh ribu amoy, sopir oplet benar. Bahkan bisa lebih banyak lagi, mengingat kebiasaan membeli istri ini sudah berpuluh-puluh tahun. Lima-sepuluh
juta, kau sudah bisa dapat istri, itu juga benar. Bahkan bisa dengan harga yang lebih murah lagi jika amoy-nya dari keluarga amat miskin, terdesak, dan
tidak punya banyak pilihan. Jaman dulu, ratusan ribu juga bisa, astaga, itu bahkan lebih murah dibandingkan setelan jas mahal pejabat."
Pak Tua diam sejenak, menghela nafas berat. Wajah Andi, seperti biasa kalau mendengar cerita, langsung mendesak, ayo teruskan.
"Bagi gadis-gadis belia itu, hidup bisa kejam sekali, sopir oplet benar. Bayangkan, kau dipaksa menikah dengan orang asing, yang bukan cuma berjarak usia,
tapi juga bahasa, perangai, adab, budaya. Dan kau langsung menjadi istri-nya, melayani luar-dalam seseorang yang baru berkenalan satu hari, baru beberapa
detik melihat foto. Lagipula, siapa pula lelaki yang waras, yang percaya cinta, mau memiliki istri dengan membelinya" Kalau statusnya bukan istri, lain


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

soal, transaksi jual-beli. Tetapi ini seorang istri" Teman hidup yang kau bawa ke negeri asal, kau beri pakaian, makan, kewarganegaraan dan segalanya.
Kau beli seperti membeli sandal jepit." Pak Tua menggeleng-gelengkan kepala.
"Banyak yang akhirnya hidup menderita, sopir oplet benar". Disia-siakan, ditelantarkan, bertahan hidup di negeri orang tanpa pendidikan, keahlian, uang
dan sebagainya. Apa yang kau harapkan dari proses macam itu" Cinta sejati" Kesetiaan" Keluarga bahagia" Tidak ada itu semua." Pak Tua menatap lamat-lamat
jalanan di depan kami"yang saking takjimnya, Andi reflek ikut-ikutan menoleh, mau tahu Pak Tua lihat apa sebenarnya.
Pak Tua tertawa melihat tingkah Andi, "Tetapi diantara sekian banyak cerita buruk itu, tetap terselip kisah hebat yang penuh hikmah. Itu yang sopir oplet
tidak tahu dan boleh jadi kesimpulannya menyamaratakan keliru". Nah, tadi siang, di bus kau sempat bertanya, apa sebenarnya tujuan orang-tua ini melakukan
perjalanan ke Singkawang" Baiklah, aku akan menceritakannya pada kalian, dan semoga kalian akan mengerti kenapa orang se-tua ini memaksakan diri jauh-jauh
pergi. Cinta sederhana seorang"amoy"Singkawang."
***"Apakah itu perasaan" Apakah itu cinta" Semakin lama memperhatikan sekitar, mendengar, mencatat, berpikir, maka semakin banyak definis "Apakah itu perasaan" Apakah itu cinta" Semakin lama memperhatikan sekitar, mendengar, mencatat, berpikir, maka semakin banyak definisi, versi, pengorbanan
dan kisah cinta yang kita ketahui. Cinta mengambil bentuk yang amat beragam, dan di satu titik paling mencolok, apakah kau bisa memaksa perasaan se-istimewa
itu tumbuh di hati" Jawabannya: bisa. Tentu saja bisa. Kau bisa memaksa seseorang mencintai kau meski dia tak cinta, bahkan benci sebelumnya." Pak Tua
takjim memulai kisah amoy Singkawang. Aku dan Andi macam anak SD, duduk rapi mendengarkan.
"Sebut sajalah keluarga Han, punya tujuh anak, bekerja serabutan, terakhir dia jadi kuli kasar di pabrik tahu. Istrinya ibu rumah tangga yang repot mengurus
anak-anak sekaligus repot bekerja sebagai babu separuh hari di rumah orang kaya. Keluarga Han tinggal di pinggiran Singkawang, daerah kumuh lazimnya di
kota-kota yang sedang berkembang, timpang sana, gusur sini. Tidak sedap dilihat, tidak enak dicium. Jauh lebih baik gang sempit tepian Kapuas milik kita.
"Dari tujuh anak mereka, adalah Sie Sie anak tertua, gadis remaja usia enam belas. Mekar menjadi kembang daerah kumuh itu, rambutnya panjang, tinggi semampai,
berkulit putih, berlesung pipit dan amboi manis sekali senyumnya. Kalau kau bertemu dengan Sie Sie di oplet, tidak akan menyangka dia"amoy"dari keluarga
miskin, atau gadis remaja tangguh yang setiap hari bekerja keras, mengurus enam adik sejak shubuh buta sampai larut malam saat adiknya yang masih bayi
jatuh tertidur. "Kalau saja Sie ditakdirkan lahir di keluarga berada, lemari di rumah mereka pasti penuh dengan piala-piala, gadis itu pintar, supel, rajin dan tidak suka
mengeluh. Sejak kecil sudah terbiasa membantu orang-tuanya mengurus apa saja. Lihatlah, dia bisa ditemukan di rumah sedang menggendong adiknya yang paling
kecil, sekaligus menyuapi dua adiknya yang lain, meneriaki adiknya yang cukup besar agar berhenti bertengkar, sambil menjahit pakaian dengan singer tua
berkarat. Sayangnya Sie tidak sekolah, tidak berpendidikan. Satu-satunya keahlian dia adalah membuat baju pesanan yang dipelajarinya sendiri, itupun untuk
membantu beban orang-tuanya.
"Keluarga Han bertahan hidup dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, tahun ke tahun hingga cobaan besar itu datang. Semua baik-baik saja hingga suatu ketika
Ibu Sie Sie jatuh sakit. Apalagi yang diharapkan dari pemukiman kumuh, air bersih terbatas, ventilasi rumah buruk, lantai lembab" Semua mengundang banyak
penyakit, Ibu Sie kena paru-paru basah, penumonia. Kondisinya dengan cepat memburuk, parah karena tidak segera mendapat pengobatan yang baik.
"Sejak Ibu mereka sakit, separuh penghasilan keluarga hilang, sialnya harus ditambah dengan pengeluaran baru, uang untuk membeli berbagai obat tradisional
yang tidak kunjung menyembuhkan. Semua beban itu jatuh pada Sie Sie, selain mengurus enam adik-adiknya, dia juga harus merawat Ibunya, ditambah masih harus
bekerja hingga larut malam menyelesaikan pesanan baju yang bayarannya tidak seberapa. Tidak terbayangkan, gadis usia enam belas harus memikul beban fisik
dan pikiran sebanyak itu. Dan situasi semakin rumit saat Ayah mereka dipecat dari pabrik tahu, ketahuan mencuri brankas uang"tidak tahan dengan kesulitan
yang ada, Ayah mereka mengambil jalan pintas." Pak Tua berhenti sejenak, meneguk teh aroma melati di atas meja. Andi melihat gelas teh tidak sabaran.
"Di tengah situasi kacau-balau, Ayah mereka masuk bui, sakit Ibunya tambah parah, harus segera dibawa ke rumah sakit, Sie mendengar kabar ada pemuda Taiwan
yang datang ke Singkawang mencari istri, menginap di hotel pusat kota. Sie tentu sering mendengar percakapan, bisik-bisik tetangga tentang "nikah foto".
Dua orang teman dekatnya di pemukiman kumuh itu, setahun silam dipaksa orang-tua mereka menikah dengan lelaki separuh baya dari Hongkong. Sie Sie sendiri
yang menyaksikan dua temannya itu menangis hingga kering air-mata menolak pernikahan, Sie Sie sendiri yang memeluk, menghibur, melakukan apa saja untuk
dua temannya yang tidak punya kekuatan menolak. Sie benci dengan pernikahan itu, sebenci dia dengan kemiskinan dan kebodohan yang menjerat keluarga dan
daerah kumuh itu. "Sayangnya, kebencian yang besar terkadang tidak cukup untuk melawan sesuatu. Malam itu, Ibu Sie Sie jatuh pingsan, tubuh membiru, dan dengus nafas mulai
habis. Ayah mereka yang masih di penjara tidak bisa berbuat banyak. Sie Sie sendirian, menumpang oplet, susah payah membawa Ibunya ke rumah sakit, pihak
rumah sakit menolak tanpa jaminan pembayaran. Sie terjepit, sementara adik-adiknya di rumah mengamuk karena belum makan, tetangga sudah berusaha membantu
untuk urusan adik-adiknya, tetapi perongkosan rumah sakit, semua menggeleng, tidak ada kenalan, sahabat, tetangga yang kalau pun bersedia, punya cukup
uang. "Ibunya sekarat, butuh pertolongan segera. Sie Sie menjaminkan apa saja agar rumah sakit mau merawat Ibunya, dia berjanji akan datang membawa uang. Di
tengah situasi darurat itu, di tengah kalut pikiran dan terdesak, Sie Sie memutuskan mengambil pilihan yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya, pilihan
yang amat dia benci dan menyakitkan: dia bersedia menjadi istri belian.
"Berangkatlah Sie Sie ke hotel itu, tempat terbetik kabar datang pemuda dari Taiwan mencari amoy Singkawang. Sudah ada lima amoy pendaftar di lorong hotel,
entah orang-tua mereka, entah agen pernikahan foto, berbisik-bisik, silih-berganti masuk kamar, memperlihatkan foto amoy calon mempelai wanita pada pemuda
itu, bercakap sebentar, tanya ini, tanya itu. Pemuda Taiwan itu ditemani salah-satu karyawan hotel, yang memberikan saran ini, saran itu"sepertinya sudah
terbiasa dengan proses mencari amoy yang tepat. Ke sanalah Sie Sie pergi, mendaftar menjadi calon istri belian."
Pak Tua berhenti sejenak, memainkan sumpit, menghela nafas.
Aku dan Andi ikut menghela nafas.
Malam semakin larut, meja restoran tempat kami menghabiskan"choi pan"tinggal berisi satu-dua pengunjung. Pelayan restoran terlihat asyik mengobrol dengan
bahasa China. "Adalah Wong Lan, anak semata wayang dari keluarga kelas menengah di pinggiran kota Taiwan. Keluarga mereka punya pabrik tekstil kecil, hidup makmur, berkecukupan.
Sejak usia Wong Lan menginjak kepala tiga, Bapak Ibunya sudah sibuk mengingatkan agar dia segera menikah, mencari gadis pilihan, membina keluarga sendiri.
Sebaliknya, sejak usia tiga belas tahun, kelakuan Wong Lan jauh bumi jauh langit dari harapan orang tuanya. Dia malas sekolah, lebih suka keluyuran, belajar
merokok, berkenalan dengan minuman keras, berjudi, berteman dengan orang-orang salah. Tabiatnya buruk, suka berteriak, suka marah, dan kadang memukul pembantu
di rumah. Bapak Ibunya berharap, kalau Wong Lan akhirnya menikah, maka perangainya akan sedikit berubah. Maka tidak terhitung anak gadis kenalan, kolega
bisnis, tetangga yang diajak ke rumah, berkenalan dengan Wong Lan, sia-sia, anak semata wayang mereka lebih suka hidup bebas se-bebasnya.
"Saat usia Wong Lan tiga puluh lima, orang tua-nya meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang di atas Laut China Selatan. Dari jasad yang tidak pernah
ditemukan, orang tua Wong Lan mewariskan pabrik tekstil kecil dan semua harta benda pada anak semata wayang mereka. Karena besar sekali harapan dan keyakinan
Ibunya bahwa Wong Lan akan berubah setelah punya istri dan anak, maka surat warisan yang dipegang pengacara keluarga mensyaratkan dia harus telah menikah
untuk memperoleh semua harta-benda. Sayang, itu harapan yang keliru, anak muda itu cerdas, tidak hilang akal, dia tahu tentang amoy Singkawang, maka berangkatlah
dia ke Indonesia, mencari istri yang bisa diatur, dan tidak banyak tingkah.
"Wong Lan tidak bertampang tidak jelek, apalagi buncit. Dia tampan,"kacik"sedikit dibanding ketampanan kau, Andi." Pak Tua bergurau, tertawa, "Tetapi perangainya
buruk. Dan celakanya, dari awal, niat pernikahan itu sudah tak lurus. Dia mencari istri yang bisa dibeli, sekadar memenuhi syarat agar harta warisan jatuh
padanya. Pemuda itulah yang ditemui Sie Sie di kamar hotel. Karyawan penginapan yang menemani wawancara berbisik kalau yang satu ini sepertinya memang
masih gadis, bukan amoy tipuan seperti yang sebelumnya. Berbisik ini, berbisik itu.
"Dalam pertemuan lima belas menit itu, Sie hanya sekali menatap wajah Wong Lan, dan sekujur tubuhnya berontak, dia hampir muntah menahan rasa benci atas
apa yang telah dilakukannya. Hanya karena bayangan wajah Ibu-nya yang sekarat, adik-adiknya yang kepalaran, membuat Sie tetap bertahan di tempat. Mendengar
syarat-syarat yang disampaikan karyawan hotel, ini-itu, dipotong oleh pemuda Taiwan itu, yang sepertinya berkenan melihat Sie Sie, ikut menambahkan penjelasan
ini-itu. "Sie Sie hanya mengangguk, menunduk, mencegah orang melihat dia menahan tangis. Wawancara itu ditutup dengan angka nominal harga pernikahan tersebut. Sie
Sie mati-matian menahan air-mata tumpah, mencengkeram pahanya agar tidak gemetar, dia mengangguk, sepakat. Sekian ratus ribu di bayar saat pernikahan dilangsungkan,
sekian puluh ribu akan dibayar setiap bulan untuk keluarga Sie selama setahun ke depan. Kalau semua sudah oke, apakah pembayaran bisa dilakukan sekarang"
Sie Sie dengan suara bergetar bertanya. Karyawan hotel yang membantu Wong Lan tertawa, bilang, mana ada pembayaran sebelum menikah. Sie Sie menahan tangis
bilang dia butuh uang segera, berharap kalau memang memungkinkan, pernikahan dilangsungkan hari itu juga. Astaga, dengarlah, Sie yang dulu benci sekali
dua temannya dipaksa menikah dengan pria Taiwan, hari itu, siang itu, di kamar hotel, justeru meminta pernikahannya dilaksanakan sesegera mungkin.
"Kalian tahu, Borno, Andi," Pak Tua menghela nafas panjang, ikut tertunduk dalam-dalam, menekuri meja makan restoran, "Dalam hidup ini, kita masih beruntung,
karena kita selalu punya banyak pilihan. Hendak sekolah atau kuliah tersedia pilihan di sekolah A, B, atau C. Hendak makan malam, ada restoran A, B, atau
C. Hendak pakai baju ini atau itu, menggunakan kendaraan ini atau itu. Apapun masalah kita, tetap saja banyak pilihan solusi yang tersedia. Kau misalnya,
saat bapak kau marah gara-gara vespa itu, kau masih bisa mengungsi ke rumahku. Andaikata aku juga ikut marah, kau bisa mengungsi ke rumah Tulani atau Acung.
Sie Sie tidak punya". Dia sungguh tidak punya pilihan. Ayahnya di penjara, Ibunya menunggu sekarat, adik-adiknya butuh makan, pernikahan ini akan memberikan
jalan keluar. Jaman itu, uang ratusan ribu terbilang besar, dan pembayaran bulanan yang dijanjikan pemuda Taiwan nilainya tiga kali lipat dari penghasilan
keluarga mereka setiap bulan selama ini.
"Dibandingkan Sie Sie, masalah hidup kita kadang sepele saja. Harapan tidak terwujud, bertengkar dengan teman, patah-hati dan memendam rindu macam kau
Borno, kehilangan sesuatu, difitnah, rugi berdagang, ditipu orang, diusir dari keluarga, dimarahi orang-tua, tidak lulus, gagal, hanya itu-itu saja. Dan
kebanyakan dari kita, selalu punya pilihan jalan keluar, setidaknya bisa cerita, bisa berkeluh-kesah. Sie Sie tidak punya pilihan itu, bahkan untuk sekadar
berkeluh-kesah. Itulah jalan keluar yang ada, menjadi istri belian orang asing. Bagi Sie Sie itu lebih terhormat dibanding mengemis, meminta-minta atau
menjual diri seperti gadis-gadis lain. Lagi-pula, tidak ada hukum formal yang melarang membeli istri, bukan" Itu sah-sah saja, anggap saja pembayaran mahar.
Sie Sie berlari sepanjang halaman hotel dengan air-mata berlinang. Dia ingin berteriak, tapi kerongkongannya kelu, dia ingin marah, pada siapa" Pada Tuhan"
Keputusan itu dia ambil sendiri, tidak ada yang bisa disalahkan. Semua pilihannya sendiri, apapun resiko dan harganya.
"Surat wasiat Ibu Wong Lan mensyaratkan pernikahan resmi, maka surat-menyurat harus diurus, itu kabar baik bagi Sie Sie, karena banyak amoy lain yang tidak
jelas status hukumnya. Wong Lan ingin segera membawa istri pulang ke Taiwan, Sie Sie ingin segera punya uang, tujuan yang cocok, karyawan hotel segera
berangkat ke kantor pemerintahan terkait, membawa segepok uang agar urusan administrasi lancar. Menjelang malam karyawan hotel itu sudah datang ke rumah
sakit, mengabarkan semua beres, semua siap. Pernikahan bisa dilaksanakan kapan saja, tinggal membubuhkan tanda-tangan.
"Dan tibalah waktunya Sie Sie bilang ke Ibu-nya tentang keputusan gila yang telah dia buat. Memberitahu adik-adiknya, memberitahu Ayahnya. Kalian bayangkan,
ruangan gawat darurat, pukul sepuluh malam, hanya ada Sie Sie dan Ibunya yang terbaring lemah di ranjang. Suster jaga menunggu di sudut ruangan, dokter
sudah pulang. Sie Sie gemetar, mengabarkan pada Ibunya. Perihal dia akan menjadi isteri belian, dibawa pergi orang asing ke negeri seberang lautan.
"Sie janji, Ma". Sie janji semua akan baik-baik saja." Remaja berusia enam belas itu memeluk ibunya, menangis.
"Kau tidak boleh melakukannya, Nak."
"Sie janji, Ma." Gadis itu berbisik terisak.
"Kau sungguh tidak boleh melakukannya, Nak." Ibunya terbatuk pelan, ikut menangis dengan sisa nafas dan tenaga.
"Keputusan Sie sudah bulat, Ma. Semua sudah diatur, semua sudah selesai, Sie sudah jadi istri orang"." Sie Sie menyeka bibir Ibunya, "Biarlah, Ma. Tidak
mengapa. Dengan begini" dengan begini Ma bisa sembuh, kita punya uang untuk makan, adik-adik bahkan bisa sekolah."
"Tidak boleh, Nak. Tidak boleh. Ya Tuhan, semua ini salah kami. Kenapa Sie yang harus menanggung semua beban?" Ibunya tersengal.
Sie Sie memeluk erat Ibunya, "Sie janji, Ma". Pernikahan ini akan bahagia. Sie akan mencintai dia apa adanya. Sie janji Ma, dia juga akan mencintai Sie
apa-adanya." Aku dan Andi tercenung, bersitatap satu sama lain.
Tentu saja Pak Tua tidak meng-adegankan kejadian itu dalam ceritanya, tidak bilang seperti apa dialognya, tetapi aku tahu, aku bisa membayangkan betapa
menyakitkan kejadian itu. Mengingatkanku pada keputusan almarhum Bapak mendonorkan jantungnya, ketika aku mengamuk di lorong rumah-sakit. Itu sama menyakitkan,
bedanya aku menolak pengorbanan baik Bapak, Sie Sie justeru memilih mengorbankan dirinya sendiri.
"Andi, Borno, itulah janji suci yang diucapkan seorang amoy yang masih berusia enam belas tahun. Dia berjanji, akan mencintai apa-adanya suaminya yang
datang dari antah berantah. Dan dia juga berjanji, akan membuat suaminya mencintainya apa-adanya. Sie Sie berjanji akan memaksa perasaan itu tumbuh mekar
di pernikahan itu." Pak Tua menengadahkan kepala, menatap langit-langit restoran, "Ah, cinta, selalu saja misterius. Bisa apa seorang gadis tanggung enam
belas tahun di negeri orang" Menikah dengan seseorang yang bertabiat buruk dan sejak awal sudah benci pernikahan itu. Bisa apa dia?"
***"Wong Lan tak sabaran, memaksa Sie Sie berangkat ke Taiwan esok sore, lebih cepat lebih baik. Kepergian yang menyedihkan, karena tidak seperti pengantin
baru yang dilepas dengan perasaan suka-cita, doa-doa dan pengharapan, tidak ada satu pun kerabat yang mengantar Sie ke terminal bus menuju Pontianak, kemudian
menumpang pesawat ke Jakarta, singgah dua jam, pindah ke pesawat berikutnya"transit"di Singapura lantas Taiwan. Sie Sie bahkan tidak sempat pamit pada
Ayahnya, menyedihkan. "Dia sudah berdiri di depan pintu ruang bezuk, kakinya gemetar, matanya basah, dan saat sipir penjara berteriak memanggil, "Siapa yang bernama Sie Sie"
Bapak Han sudah menunggu di dalam." Sie justeru sedang membujuk mati-matian agar dirinya berdiri tegar, "Siapa yang bernama Sie Sie" Waktu bezuk hanya
setengah jam?" Petugas berteriak, kepalanya melongok. Sie menggigit bibir sampai terasa asin, dia ingin bertemu Ayahnya sebelum pergi jauh, ingin mengabarkan
keputusan itu, meminta doa restu. "Woi, mana yang namanya Sie Sie" Aku tidak akan menunggu seharian di sini, ada banyak urusan lebih penting." Petugas
mendengus marah, keluar dari ruang bezuk. Sie sudah menangis, berlarian sepanjang lorong, kakinya berkhianat, menyuruh menyingkir sejauh mungkin.
"Kalian tahu, dari ketinggian langit, tidak macam penumpang yang pertama kali naik pesawat terbang, antusias melihat cakrawala luas, awan-awan putih, Sie
hanya menatap kosong untuk terakhir kalinya batas pulau Kalimantan, garis tanah kelahirannya dengan lautan luas. Entah di mana Singkawang, di mana Pontianak,
di mana kotanya, yang terlihat hanya kontras warna biru gelap dan biru muda yang semakin memudar. Dia sudah ratusan kilometer meninggalkan tanah kelahiran.
Sie Sie menyeka ujung mata, dia berjanji, ini untuk terakhir kalinya dia menangis, tidak, dia tidak akan lagi menangis apapun yang terjadi. Dia berjanji
sungguh-sungguh, menyeka ingus. Sementara suaminya, Wong Lan, sejak pesawat lepas landas mendengkur tidak peduli di kursi sebelah."
Pak Tua diam sebentar, menghela nafas.
Aku dan Andi ikut menghela nafas.
"Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan dua belas jam Singkawang-Taiwan, juga tidak banyak bicara saat tiba di rumah keluarga Wong. Tidak ada
acara menyambut menantu, tidak ada kerabat, kolega, tetangga bahkan pembantu yang tahu mereka datang. Rasa peduli Wong Lan hanya satu, mengundang pengacara
sesegera mungkin, memperlihatkan Sie Sie, surat menyurat dan bukti dokumen pernikahan sah. Syarat telah dipenuhi, harta warisan keluarga resmi menjadi
milik Wong Lan. Senang bukan kepalang pemuda Taiwan itu, hingga tidak peduli mau apa, hendak apa, dan siapa Sie Sie baginya. Cuma pada pengacara itu Wong
Lan mengaku Sie Sie istrinya, sedangkan pada tamu yang berkunjung, teman yang datang, Wong bilang Sie adalah pembantu"impor"dari Indonesia, "Gajinya murah,
cukup diberi makan tiga kali sehari. Sudah senang dia. Kau mau kucarikan satu?" Bergaya Wong Lan menunjuk-nunjuk jidat Sie Sie.
"Tidak ada di keluarga itu yang menghargai Sie, termasuk pembantu asli di rumah sekalipun. Sopir, tukang kebun, tukang pel, di belakang Sie sibuk memonyongkan
bibir tanda tidak suka, "Istri belian, wanita murahan, statusnya lebih rendah dibanding kita." Membiarkan gadis usia enam belas itu berjuang sendirian
melakukan penyesuaian. Negeri baru, iklim baru, musim panas, musim dingin, musim semi, mana ada salju di Singkawang" Aksen dan kosakata mandarin yang berbeda,
racikan bumbu masakan yang berbeda, cara berpakaian yang berbeda, semuanya berbeda.
"Dua tahun berlalu, dengan pengalaman mengasuh enam adik dan ibu selama ini, setidaknya Sie cukup tangguh. Wong Lan juga sejauh ini tidak menyakiti Sie
secara fisik, orang-orang di rumah meski tidak respek, tidak berani menunjukkan rasa benci secara terbuka. Dua tahun itu, Sie menyibukkan diri, belajar
menjadi istri yang baik, melakukan apa saja yang bisa dia kerjakan, melayani suami sebaik mungkin, menyiapkan baju kerja, memasangkan dasi, menyemir sepatu,
melepas sepatu, berlarian membawa tas kerja, menyiapkan makanan, merapikan tempat tidur. Memasang wajah riang, tersenyum, tidak peduli meski Wong Lan melempar
piring, mencaci masakannya, tidak peduli walau Wong Lan merenggut dasi yang dipasangkan, menginjak tangannya saat melepas sepatu. Sie sudah berjanji pada
Ibu, dia akan mencintai suaminya apa-adanya.
"Nah, bicara tentang Ibu, persis di penghujung tahun kedua, sepucuk telegram terkirim dari Singkawang, isinya pendek:"Tadi malam kma senin kma tanggal
dua satu bulan lima kma pukul delapan ttk tiga puluh kma Ibu meninggal di RSU ttk tidak perlu dicemaskan kma Ibu akan segera dikebumikan esok pagi kma
peluk sayang dari adik adikmu ttk hbs
Kelu bibir Sie Sie membaca lembaran pesan itu. Uang bayaran pernikahan, kiriman bulanan dari Taiwan, memang berhasil memperpanjang usia Ibu, tetapi penyakit
paru-paru basah itu tidak pernah terkalahkan. Sie ingin pulang ke Singkawang, setidaknya melihat pusara merah Ibunya. Sie rindu enam adik-adiknya. Sie
juga rindu memeluk Ayahnya. Apalah yang bisa dia lakukan" Di rumah besar itu, sepeser uang pun dia tidak pegang, paspor, surat-menyurat terkunci rapat
di lemari besi Wong Lan. Apakah dia akan menunjukkan telegram itu pada suaminya" Mendengar cerita riang Sie setelah pulang kerja saja Wong Lan tidak suka,
menyuruhnya bungkam, tutup mulut. Wong Lan tidak peduli urusan Sie, ekspresi wajahnya selalu sama: menyingkir, urus saja diri kau sendiri.
"Situasi memburuk saat pernikahan memasuki tahun ketiga, bukan karena memang di tahun-tahun itu rasa bosan, masalah, salah-paham lazim muncul bagi kebanyakan
pasangan, tapi karena pabrik tekstil kecil Wong Lan terkena imbas krisis harga minyak tahun 80-an, ekonomi Taiwan mengalami kemunduran. Dan situasi diperburuk
dengan kenyataan Wong Lan tidak becus mengurus pabriknya. Dia lebih suka keluyuran dibanding mengawasi pekerja, lebih suka berkumpul dengan teman-temannya
dibanding kolega bisnis, lebih suka bersenang-senang dibanding memikirkan strategi dagang yang baik. Aliran uang mulai tersendat, hutang menumpuk, tabiat
Wong Lan yang suka marah-marah dan memukul kambuh. Siapa lagi yang bisa dicaci dan dipukul seenak perutnya" Sie Sie.
"Usia gadis itu dua puluh ketika masa-masa siksaan fisik datang. Pagi ditampar, siang dijambak, malam ditendang. Kalian masih ingat, peristiwa Unai yang
tidak sengaja terjatuh ke kolong rumah karena didorong Togar" Itu hanya seujung kuku dibandingkan ringan tangan Wong Lan. Dan situasi terus memburuk dari
hari ke hari. Teman-teman dekat Wong Lan pergi, tak ada uang, tak ada kesenangan, semua menjauh darinya. Pekerja pabrik macam kartu remi dirobohkan, satu
persatu berhenti, termasuk orang-orang kepercayaan orang tua Wong Lan dulu, pembantu di rumah, hanya soal waktu minta berhenti, tidak tahan dengan marah-marah
sepanjang hari. Hanya tersisa Sie Sie sebagai sansak, muara pelampiasan seluruh tabiat buruk suaminya sendiri. Siang-malam Sie tersiksa lahir-batin, macam
di terowongan gelap tanpa titik terang. Bangun pagi hanya untuk menjemput hari menyedihkan berikutnya. Sementara pabrik tekstil Wong Lan mati segan hidup
tak mau, mereka bertahan hidup dari tabungan dan sisa harta benda.
"Dua tahun masa kelam, datang kabar besar, Sie Sie hamil. Dia mengandung buah cinta, kalau memang ada cinta di pernikahan itu. Seharusnya itu kabar baik,
seharusnya harapan Ibu Wong Lan dulu terwujud, Wong Lan akan berubah setelah punya anak dan istri. Jauh langit jauh bumi, Wong Lan malah menuduh Sie dihamili
orang lain, memukuli istrinya yang sedang hamil muda. Itu situasi darurat, tidak mungkin Sie membiarkan kandungannya dalam bahaya, dia akhirnya memutuskan
mengungsi ke kantor perwakilan Indonesia, ditampung oleh keluarga konsulat. Kasus itu menarik perhatian polisi lokal Taiwan, penyidikan dilakukan, Wong
Lan ditahan. Hampir enam bulan dia masuk penjara, lihatlah, tidak seharipun Sie alpa mengunjunginya, membawakan rantang makanan kesukaan, memasang wajah
riang bertanya apa kabar. Dan apa balasan Wong Lan" Acuh tak acuh, menatap benci Sie Sie, mengutuknya sebagai penyebab bala bagi seluruh keluarga, membuat
pabrik bangkrut, "Dasar wanita pembawa sial!" Tidak sehari pun dengusan seperti itu alpa diterima Sie Sie. Wong Lan tidak peduli perut istrinya semakin
membesar, tidak peduli wajah berseri-seri istrinya, yang tetap sungguh-sungguh melayani dan berusaha membatalkan seluruh proses pengadilan.
"Usia bayi mereka satu bulan saat Wong Lan dibebaskan. Setidaknya, dengan kehadiran bayi di rumah, walau mulutnya tetap kotor suka memaki, Wong Lan berpikir
dua kali untuk memukuli Sie Sie. Anak pertama mereka laki-laki, tampan macam Ayahnya, rambutnya lurus hitam legam seperti Ibunya. Wong Lan tidak peduli,
sama tidak pedulinya meski nama anak itu mewarisi nama dan marga kakeknya. Dia jarang ada di rumah, berhari-hari pergi, saat pulang, mulutnya bau alkohol,
pakaiannya kusut, rambutnya berantakan, dan selalu berteriak-teriak. Wong Lan tidak memenuhi kebutuhan Sie dan bayi mereka, dia sendiri saja menjual hampir
seluruh harta benda yang ada di rumah.
Kebiasaan judinya datang tak tertahankan, satu persatu perabotan digadaikan. Tinggallah Sie yang harus menanggung keperluan, makan, susu si kecil, kebutuhan
rumah tangga. Kabar baik, dia pernah melakukannya di Singkawang, waktu usianya enam belas, tidak masalah dia melakukannya sekali lagi di Taiwan, usianya
dua puluh lima. Sie Sie memutuskan menerima pesanan jahitan, membuat selebaran, berkeliling dari pintu ke pintu sambil menggendong si kecil, menawarkan
jasa membuat baju. "Dua tahun susah payah lahir bathin bertahan hidup, Sie hamil lagi, bayi kedua. Percuma, Wong Lan tetap tidak peduli, hatinya tidak tersentuh, dia asyik
dengan dunianya sendiri, terakhir terbetik kabar dia menjual seluruh bangunan dan tanah pabrik. Uang itu sebenarnya cukup banyak bagi keluarga muda mereka,
tapi hanya habis dalam hitungan minggu. Habis di meja judi, penginapan, tempat hura-hura. Wong Lan merasa dunianya kembali, teman-teman seperti laron datang
merubung, dia lupa, saat uangnya habis, dia kembali sendirian di meja-meja minum, sepi di tengah keramaian pub.
"Enam tahun berlalu, bayi ketiga dan keempat lahir, kembar. Lucunya tak terkira, amat menggemaskan melihatnya. Sia-sia, Wong Lan tetap tidak peduli, mengunjungi
Sie di rumah sakit pun tidak. Dia baru saja menggadaikan rumah besar, harta terakhir warisan orang-tuanya. Bersenang-senang dengan tumpukan uang yang dengan
cepat menipis. Tinggal-lah Sie repot mengurus empat anaknya, dua masih merah, berusaha mencari tempat berteduh sementara. Untuk kedua kalinya Sie Sie pergi
ke kantor perwakilan Indonesia, ditampung keluarga konsulat. Berbusa-busa salah-satu staf konsulat menasehati Sie agar menghentikan pernikahan itu, minta
cerai. Semua dokumen bisa disiapkan, paspor pengganti, paspor untuk anak-anaknya. Sie Sie menolak mentah-mentah, menggeleng tegas, dia sambil menahan air-mata
tumpah bilang tentang janji hebat itu. Dia akan mencintai suaminya apa-adanya, dan dia akan memaksa perasaan yang sama muncul di hati suaminya. Itu gila!
Itu benar-benar kalimat paling gila tentang cinta yang pernah kudengar!" Pak Tua menggeleng-gelengkan kepala, mengusap uban.
Aku dan Andi ikut mengusap kepala.
"Siapa Wong Lan sekarang" Tidak lebih seorang laki-laki berusia empat puluhan, tidak punya pekerjaan, pemabuk, penjudi dan ratusan tabiat buruk lainnya.
Kalau dulu Sie bertahan, masuk akal, dia membutuhkan wesel bulanan ke Singkawang agar adik-adiknya bisa makan, bisa sekolah. Sekarang, bahkan untuk membeli
popok si kembar, itu hasil keringat Sie Sie sendiri. Aku tidak bisa mempercayai Sie yang menahan tangis, tersendat, kedat, bilang, "Aku mencintai suamiku
sejak pertama kali naik bus menuju Pontianak. Dan aku akan terus mencintai dia hingga mati." Lantas menciumi si kembar, mati-matian menahan tangis karena
dulu dia pernah bersumpah tidak akan menangis lagi.
"Tiga bulan menumpang di konsulat, Sie Sie mengontrak rumah kecil dekat rumah besar itu. Setelah bertahun-tahun berusaha, keahliannya menjahit pelan-pelan
dikenal banyak orang. Bisnis kecilnya mulai berkembang. Boleh jadi itu rezeki dari bayi-bayinya. Boleh jadi itu buah keteguhan hati Sie Sie. Boleh jadi,
tidak ada yang tahu. Bertahun-tahun berlalu, hingga anak-anaknya mulai sekolah, bisnis kecil Sie Sie tumbuh besar, belasan mesin jahit berdatangan, pekerja
tumbuh jadi puluhan. "Di mana Wong Lan" Tidak ada yang tahu. Dia menghilang lepas menjual rumah besar milik keluarganya, gelap beritanya, sosoknya raib bersama salju yang turun
ketika si kembar lahir, meninggalkan begitu saja istri dan empat anaknya. Lantas apa yang dilakukan Sie Sie atas kepergian suaminya" Setelah seharian sibuk
mengurus anak-anak dan bisnis jahit menjahit, setelah si kembar tidur lelap, Sie Sie mulai melahap semua berita di koran, menandai iklan mencari orang,
bertanya kesana kemari, mengunjungi kantor polisi, mengunjungi pub-pub, tempat berhura-hura, Sie Sie menghabiskan malam untuk mencari suaminya. Dia lakukan
itu tanpa alpa semalam selama enam tahun. Bayangkan, enam tahun. Tidak putus pengharapan. Tidak mundur selangkah pun.
"Saat anak pertama mereka berusia dua belas, kabar baik itu datang, salah-satu orang bayaran, macam agen bayaran pernikahan foto di Singkawang itulah,
yang disuruh mencari Wong Lan, akhirnya melaporkan suaminya ditemukan terlunta-lunta di Hongkong. Usia suaminya lima puluh, lelaki tua yang hidup sendirian,
sakit-sakitan, tanpa teman-teman di masa jayanya, terlupakan dari dunia. Kabar itu membuat hati Sie Sie bungah, dia tidak sabaran, memutuskan berangkat
malam itu juga ke Hongkong, menjemput suaminya, menjemput bapak dari anak-anaknya. Tetapi saat dia menuju bandara, melesat kabar duka dari Singkawang,
telepon dari salah-satu adiknya, Ayah Sie Sie meninggal dunia.
"Lama nian Sie menahan kerinduan pulang. Tahun-tahun terakhir, dengan keleluasaan yang dia miliki, kesempatan itu bisa dilakukan kapan saja, tetapi dia
tidak akan melakukannya tanpa ditemani Wong Lan. Dia ingin pulang, menziarahi makam Ibu, bilang kalau janjinya sudah dipenuhi. Malam itu, kabar kematian
Ayahnya membuat kerinduan datang tak tertahankan. Adik-adiknya yang sudah besar dan berkeluarga di Singkawang bilang, jika Sie bersedia pulang, jasad Ayah
akan menunggu dia. Separuh hatinya ingin pulang ke Indonesia, memenuhi kewajiban terakhir mengantar Ayah ke pemakaman. Tetapi suaminya menunggu di Hongkong,
dirawat di salah-satu rumah sakit. Urusan ini muda ditebak, lima belas menit menatap layar jadwal keberangkatan pesawat di bandara, Sie lebih memilih menjemput
suaminya. Itulah keluarganya sekarang, itulah keluarganya sejak dia memutuskan dibeli suaminya lima belas tahun lalu.
"Tubuh Wong Lan kurus kering saat dibawa kembali ke Taiwan, kebiasaan buruk menggerogoti fisiknya. Dan bukan itu masalah terbesarnya, melainkan anak tertua
Sie Sie menolak mentah-mentah memanggil Ayah pada Wong Lan, usianya dua belas, sudah lebih dari tahu cerita penderitaan Ibunya selama ini. Dia berteriak
marah, mengusir Wong Lan dari kamar perawatan di rumah. Itu bagian menyakitkan ke-sekian yang harus dialami Sie, dia memeluk anaknya, meminta dengan sangat,
sambil menangis, agar si sulung mau memanggil Wong Lan, "Ayah". Si sulung mengibaskan tangan Ibu-nya, menolak. Anaknya yang nomor dua juga tidak peduli,
memilih menjauh dari kamar perawatan itu. Hanya si kembar yang bersedia menemani Ibunya merawat Wong Lan.
"Berbulan-bulan Sie merawat suaminya dengan tulus. Proses rehabilitasi kecanduan. Lelah mengurus bisnis garmen-nya, capai mengurus tingkah anaknya, sering
dia ditemukan jatuh tertidur di ranjang tempat suaminya berbaring lemah. Rambut Sie yang dulu hitam legam, panjang hingga ke pinggang mulai beruban. Wajahnya
yang dulu periang, mata sipit bersinar-sinar, tinggal gurat muka penuh ketabahan dan sorot mata ihklas. Tubuhnya yang dulu ramping, tinggi semampai, sekarang
bungkuk, kaki agak pincang sisa pukulan-pukulan kasar suaminya. Janji itu luar biasa, janji itu macam mercu suar di pinggiran kota Taiwan, dia sungguh
akan mencintai suaminya apa-adanya. Maka bulan-bulan perawatan itu menjadi simbol paling agung rasa cinta Sie. Tidak ada kebencian, tidak ada penyesalan.
Astaga, seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya". Janji itu sungguh luar-biasa." Pak Tua menyeka ujung mata, sedikit terharu.
Andi malah kedat hidung. Aku menyikut Andi pelan, kau tidak akan menangis, kan"
Andi melotot, enak saja. "Kalian tahu, Andi, Borno" Apakah kau bisa memaksa perasaan cinta itu muncul" Bisa, Sie Sie bisa melakukannya. Dia bisa membuat suaminya mencintai dia
apa-adanya, bahkan meski sebelumnya Wong Lan amat membencinya. Di malam kesekian masa-masa rehabilitasi, ketika Wong Lan terjaga, saat dia menatap wajah
lelah istrinya yang jatuh tertidur di pinggir ranjang, perasaan itu mulai tumbuh kecambahnya. Lihatlah, wanita yang selama ini dia sakiti, tega dia beli
lantas dibawa pergi jauh dari rumahnya, tanah kelahirannya, wanita yang dia renggut dari masa remajanya yang indah, begitu tulus merawat dirinya enam bulan
terakhir. Wong Lan tergugu, menyentuh bekas carut luka di kening istrinya, luka itu bekas lemparan asbak darinya.
"Tangan Wong Lan gemetar menyentuh rambut beruban Sie Sie, lihatlah, wajah teduh istrinya, wajah penuh kasih-sayang istrinya. Ini tetap wajah yang sama
meski dulu dia melempar piring masakan, menginjak kakinya, wajah yang sama meski dulu dia mengutuknya wanita pembawa sial. Wong Lan menangis dalam diam,
terisak dalam senyap. Alangkah bodoh dirinya selama ini. Bodoh sekali. Disangka teman-temannya akan selalu ada, itu dusta. Disangka semua kesenangan itu
abadi, itu tipu. Semua tidak hakiki. Adalah cinta Sie Sie yang sejati, cinta wanita yang dia sia-siakan, wanita yang dia aniaya bertahun-tahun. Malam-malam
rehabilitasi itu menjadi saksi saat cinta Wong Lan tumbuh mekar, cinta seorang pemuda Taiwan yang terlambat lima belas tahun". Benar-benar terlambat".
Tetapi tak mengapa, itu tetap berakhir bahagia, tidak mengurangi nilainya."
Pak Tua terdiam lama. Menghela nafas panjang, menatap jalanan depan restoran yang lengang. Pelayan sudah bersiap merapikan meja-meja. Tidak ada lagi pengunjung


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selain kami. "Itulah cinta sederhana amoy Singkawang, Andi, Borno. Cerita hebat yang tidak diketahui sopir sok-tahu tadi siang. Tidak semua amoy yang pergi ke Taiwan
bersama seseorang yang baru dikenalnya sehari dua hari bernasib buruk. Hidup adalah perjuangan, bukan" Kebahagiaan harus direngkuh dengan banyak pengorbanan.
Sie Sie telah membuktikan janjinya."
Andi benar-benar menyeka mata, tidak peduli aku meliriknya.
Pak Tua tersenyum, "Kalian pasti bertanya, lantas apa hubunganku atas kisah ini" Aku ada di konsulat Taiwan itu saat Sie Sie dua kali mengungsi. Akulah
yang berseru, gila! Menilai kalimat Sie Sie berlebihan dan tidak masuk akal. Ah, itu masa-masa saat orang-tua ini melakukan perjalanan ke mana-mana, melihat
banyak hal, belajar banyak hal. Lantas kenapa kita malam ini ada di Singkawang" Karena besok, Sie Sie dan Wong Lam akan menikahkan salah-satu si kembar
di kota ini. Aku turut diundang. Si kembar berjodoh denganamoy"Singkawang saat berkunjung ke sini beberapa tahun lalu. Tentu, pernikahan itu bukan "pernikahan
foto". Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama saat berada di Pekong Surga-Neraka. Nah, besok juga adalah pertama kali Sie Sie pulang ke Singkawang,
dia akan menziarahi makam Ibu dan Ayahnya setelah berpuluh-puluh tahun. Besok, dia akan bilang ke pusara Ibunya, janji itu telah dipenuhi, dia bisa memaksa
perasaan itu tumbuh di hatinya dan di hati suaminya. Janji hebat seorang gadis yang baru berusia enam belas tahun. Ah, bisa apa dia" Dia bisa membuktikannya."
***?" Kami pulang ke Pontianak dua hari kemudian, menumpang bus, duduk bersempit-sempit dua-tiga. Andi jatuh tertidur bahkan sebelum bus bergerak dan angin semilir
nina-bobo masuk lewat jendela buram, dia lelah, tidak berselera menggangguku (dan kuganggu). Pak Tua juga santai bersandar, meletakkan topi pandan di tangan,
meminjam istilah Ijong si penjaga SPBU yang asli Jawa, status mata Pak Tua adalah "merem melek". Bus bergerak cepat meninggalkan gerbang kota, aku menatap
jejeran rumah yang mulai merenggang, pepohonan yang mulai merapat. Selamat tinggal Singkawang, kota dengan penduduk dua pertiga orang China. Di kota ini,
wajah Melayu-ku justeru terlihat berbeda. Sepert saat acara pernikahan si kembar kemarin, tidak banyak tamu yang berkulit gelap.
Aku (malu-malu) dan Andi (malu-maluin) diajak Pak Tua menyalami Sie Sie. Aku sungguh sungkan, gugup, malu, perasaan semacam itulah bertemu dengan seseorang
yang kisah hidupnya begitu menakjubkan. Kupikir apa yang dilakukan almarhum bapak dulu sudah hebat, ternyata ada yang lebih keren. Wajah tua Sie Sie terlihat
riang, bisik Pak Tua, sejak Wong Lan berubah seratus delapan puluh derajat, wajah Sie Sie memang nampak lebih muda sepuluh tahun dibanding umur sebenarnya.
Sedangkan Andi, malu-maluin, justeru sejak tiba di tempat acara membujuk-bujuk Pak Tua agar segera merapat ke kursi depan, menyapa keluarga mereka, "Siapa
tahu ada amoy cantik, Pak. Ayolah, bergegas." Aku menyikut Andi, melotot, tidak bisakah dia punya sopan-santun sedikit, "Apa salahnya?" Andi mengangkat
bahu, "Kau tahu, jangan-jangan malah ada amoy dari Taiwan. Si sendu menawan kau itu bisa putus tak berbilang dibanding artis sana." Aku menatap Andi jengkel.
Pak Tua tersenyum menengahi, akhirnya melangkah mendekati keluarga besar itu"enam adik Sie Sie datang bersama keluarga lengkap, belum terhitung kerabat
dekat. "Kalian tidak diceritakan cerita yang tidak-tidak dari Pak Hidir, bukan?" Sie Sie tersenyum, selintas sisa kecantikan masa lalunya terlihat.
Aku menggeleng, sopan membalas senyum. Andi di belakangku sibuk melirik pendamping mempelai wanita, hampir terpintal jatuh di karpet, nyengir menepuk-nepuk
celana. "Ah, kuceritakan separuh saja, itu sudah berlebihan untuk nalar mereka yang masih hijau sekali, Sie." Pak Tua terkekeh, bergerak menyalami Wong Lan, "Bagaimana
kabar kau, Wong Lan" Kudengar kalian membeli kembali pabrik tekstil dan rumah besar itu?"
"Kabar baik, Pak Hidir," Wong Lan tersenyum, mengangguk, "Pabrik dan rumah itu penuh kenangan, Sie yang memutuskan membelinya."
Aku menelan ludah, ikut menyalami Wong Lan. Ragu-ragu bersitatap dengannya, astaga, kisah kejahatan dia masih mengiang-ngiang di kepalaku, laki-laki inilah
yang dulu melempar asbak, menjambak, menginjak, menghinakan seorang gadis belasan tahun. Aku berusaha bertingkah sama ramahnya seperti Pak Tua yang bersalaman
hangat dengan Wong Lan"bahkan aku tidak mudah memaafkan Wong Lan hanya karena satu jam mendengar cerita tabiat buruknya, lihatlah Sie Sie yang lima belas
tahun hidup dengan cerita itu.
"Dua anak muda keren ini cucu, Pak Tua?" Wong Lan bertanya.
"Benar, Oom." Andi yang menjawab, semangat mendekat, "Kami nih bujangan, belum menikah, Oom. Terima-kasih sudah bilang keren."
"Si-a-pa?" Aku mendesis pelan, mencengkeram lengan Andi.
"Siapa apa?" Andi melotot, balas berbisik.
"Siapa yang bertanya kau sudah menikah atau belum?"
"Mereka bukan cucuku, Wong Lan." Suara Pak Tua meningkahi bisik-bisik kami, "Mereka teman-temanku di Pontianak."
"Alangkah menyenangkan, kalau begitu," Wong Lan tersenyum, ramah memegang lenganku, "Ada banyak ilmu dari Pak Hidir, Nak. Kau bisa belajar kebijakan hidup,
rasa sakit, rasa kehilangan, banyak hal seperti itu dari beliau tanpa perlu mengalaminya sendiri. Jangan sia-siakan. Ah, sayangnya waktu aku muda dulu,
aku tidak seberuntung kau, punya teman sebijak dia."
Aku mengangguk, tersenyum lebih lebar (dan lebih tulus) pada Wong Lan.
Prosesi pernikahan si kembar dilaksanakan dengan tradisi lengkap penduduk China Singkawang. Sama megah, khidmat dan lamanya seperti kebiasaan orang-orang
Melayu, Bugis, Jawa dan sebagainya. Warna merah dan keemasan ada di mana-mana. Makanan tradisional terhampar di meja-meja, Andi sudah sibuk makan tahu
Singkawang (yang kebetulan mejanya dijaga dua amoy). Aku enggan mendekat, memilih berdiri di pojok, sendirian menatap keramaian. Kepalaku memperhatikan
sekaligus berpikir banyak hal: menatap Sie Sie, menatap Wong Lan, usia mereka enam puluh lebih, menatap pasangan pengantin, barongsai, amplop merah angpao,
anak-anak berlarian, pakaian cerah para undangan, anak-anak menangis, pertunjukan seni, suara tepuk-tangan, prosesi pernikahan, gelak-tawa, cerita Pak
Tua tadi malam, pelayan yang sibuk hilir mudik, anak-anak menangis, lampu kristal, dan". Mei.
Aku mengusap peluh di pelipis, hanya soal waktu pikiranku bermuara ke Mei. Apa kabar dia" Sedang apa" Wajah Mei yang riang menaiki sepit terbayang, disusul
tawanya saat belajar mengemudi sepit, senyumnya, cara bicaranya di rumah makan Pasar Ampel, gerakan memperbaiki anak rambut di dahi, menyeka percik air
hujan saat berdiri di depan rumah Fulan-Fulani. Aku mendesah, tidak mengapa mengenang sedikit, tidak mengapa teringat sebentar. Itu sehat dan tidak berbahaya,
apalagi di tengah keramaian macam ini, gadis berwajah China ada di mana-mana. Ah, sudahlah, aku menghela nafas perlahan, sejak sembuh dari sakit aku telah
memutuskan melupakannya. "Woi, kau tidak makan?" Andi tiba-tiba berdiri di depanku.
Aku menggeleng, tidak berselera.
"Ayolah, Kawan. Tampang kusut kau ini tidak pantas berada di ruangan penuh suka-cita, nanti kau membawa"feng shui"buruk bagi pengantin baru, tahu." Andi
tertawa, "Nah, aku tadi berkenalan dengan dua amoy, cantik-cantik, kupikir"kacik"sedikitlah dengan si sendu menawan kau."
Aku tetap menggeleng, tidak tertarik.
"Ye lah, ye lah". Tetap lebih cantik gadis kau itu. Aku pergi lagi, Kawan." Andi nyengir, menghilang di antara tamu undangan.
Aku akhirnya jatuh tertidur di bus yang melaju kencang menuju kota kami, Pontianak.
*** Satu bulan sejak perjalanan dari Singkawang.
"Kau kemana seminggu terakhir, Borno" Macam cerbung di koran, kau ini banyak yangnanyain, Borno. Tidak narik sehari, tak terhitung ibu-ibu, bapak-bapak,
remaja tanggung penggemar sepit kita ini nanyain kau." Jauhari menegurku, menguap, santai mengucek mata, nampaknya tanpa mandi dulu, dia langsung berangkat
narik sepit. Perahu tempel-nya ada di antrian depanku.
"Malas narik, Bang. Sepi penumpang." Aku menjawab sambil menambatkan tali ke tonggak kayu, "Kemarin aku lebih banyak di bengkel bapak Andi, seharian di
sana, bapak Andi sedang banyak"serpis"motor."
"Anak-anak sekolah libur panjang, mau dibilang apa, Borno. Penumpang jadi berkurang separuh. Kemarin saja aku hanya dapat enam rit, separuhnya hanya berisi
dua-tiga penumpang." Jauhari manggut-manggut, "Tetapi tenang saja, hari ini sudah masuk lagi mereka, kau lihat, dermaga kayu ramai, bukan?"
Aku ikut mengangguk, menatap Oom petugastimer"yang sibuk berteriak, celoteh anak-anak sekolahan dengan seragam baru, senang bertemu satu sama lain lepas
libur panjang. Dermaga kayu ramai kembali. Cahaya matahari pagi lembut menerpa permukaan Kapuas, beberapa elang sungai terbang rendah, bersiap mengintip
mangsa, menyambar ikan. "Nggak mau!! DEDE NGGAK MAU!!" Terdengar lengkingan suara.
"Ayolah naik, anak manis." Petugas"timernampak repot membujuk, ada keributan kecil disteher, "Ayolah, tidak apa-apa. Jangan takut."
Anak kecil berseragam TK itu justeru semakin berteriak-teriak, dicengkeram Ibu-nya yang mengantar, berusaha menenangkan. "Dede nggak mau naik sepit! Dede
mau naik oplet!" "Kau lihat, Sayang, itu yang mengemudi sepit namanya Pilot Jupri. Sepitnya bisa terbang, loh" Petugas"timer"yang mulai bingung, kehabisan akal membujuk,
mulai mengarang sekenanya.
"Iya, Ma?" Anak berseragam TK itu menatap Ibunya.
Ibunya yang repot sejak tadi nyengir, mengangguk, berkongsi ikut berbohong.
"Nah, ayo, ayo sini Oom bantu naik ke pesawat terbang sepit kita. Ayo." Petugas"timermemasang wajah lucu, meraih tangan si kecil, "Selamat pagi, Pilot
Jupri. Ada satu penumpang spesial mau naik, awas, hati-hati, ya, loncat, hup, hebat!"
Nampaknya petugas"timer"untuk kesekian kali berhasil menyelesaikan masalah. Anak kecil berseragam TK itu sudah duduk rapi di samping Ibunya. Wajahnya tetap
tegang, masih takut-takut, memegang erat-erat lengan Ibunya, jerih mendengar suara gemeretuk motor tempel, riak sungai Kapuas yang membuat perahu bergoyang-goyang.
Anak kecil itu sepertinya baru pertama kali naik sepit, juga berangkat ke sekolah barunya"ah, jangankan anak kecil, orang dewasa saja ada yang gugup naik
sepit untuk pertama kali. Aku menyeringai, beranjak duduk di buritan perahu, meluruskan kaki, membuka buku tebal yang kubawa, bersiap menunggu antrian
sambil membaca. "Itu buku apa?" Jauhari tertarik, bertanya.
"Biasa, Bang. Buku tentang mesin. Aku pinjam dari perpustakaan daerah."
"Bukan main," Jauhari berdecak kagum, "Rajin sekali kau belajar, Borno."
Aku menyeringai, mengangkat bahu,"daripada bengong menunggu.
Matahari pagi dengan cepat terasa terik, dermaga kayu semakin ramai, sudah lepas pukul tujuh, petugas"timer"meneriaki sepit agar maju dua sekaligus. Biar
antrian penumpang segera menyusut.
"Kau sudah bertemu Bang Togar, Borno?" Jauhari bertanya, memutus bacaanku.
Aku mengangkat kepala,"Bang Togar"
"Iya, dia sudah dibebaskan kemarin siang. Ah, wajahnya cerah sekali, memeluk erat-erat siapa saja yang ditemuinya, bahkan tempel pipi segala." Jauhari
nyengir, "Kau sudah bertemu?"
"Aku justeru baru tahu dari Bang Jau."
"Oh, hati-hati saja, Borno." Jauhari tertawa, "Saking riangnya, kau bisa salah-tingkah bertemu dengannya. Dipeluk-peluk, ditepuk-tepuk, mata dia berkaca-kaca
terharu, bicara ini, bicara itu, tanya ini, tanya itu, minta maaf atas kelakuannya, berkali-kali bilang terima-kasih. Kelakuan Bang Togar macam dibebaskan
dari Nusa Kambangan saja."
Aku menatap Jauhari, menelan ludah.
"Apalagi kau sering bertengkar dengannya selama ini, bukan. Bisa-bisa wajah kau habis diciumi olehnya." Jauhari tergelak.
Aku bergidik, meletakkan buku. Jauhari tidak bergurau, kan"
Satu sepit lagi merapat di antrian.
"Selamat pagi." Suara khas itu terdengar.
Aku dan Jauhari menoleh, Pak Tua mematikan motor tempel sepitnya.
"Alangkah siangnya berangkat, Pak?" Jauhari bertanya, "Teman-teman sudah ada yang dapat satu rit. Pak Tua kesiangan?"
"Aku tidak kesiangan," Pak Tua bersungut-sungut, menambatkan sepit di tonggak kayu, "Tadi aku mampir sebentar di warung Tulani, sungguh celaka, kabar itu
benar, aku bertemu Togar di sana."
"Bang Togar?" Jauhari sudah tertawa lagi, "Pak Tua bertemu Bang Togar?"
"Iya, habis waktuku setengah jam meladeninya. Dia menciumi tanganku berkali-kali, meminta maaf ini-itu, berjanji akan merubah tabiat, diulang lagi, mencium
tanganku berkali-kali, sambil terbungkuk-bungkuk, bilang ini-itu, lagi-lagi menciumi tanganku. Astaga, enam bulan masuk bui, jangan-jangan anak itu kesurupan
jin." "Ah, itu masih mending, Pak Tua." Jauhari kembali tergelak, "Kudengar, Koh Acung sampai kehabisan nafas dipeluk erat Bang Togar, mana cium pipi kiri, cium
pipi kanan di depan pembeli tokonya, disaksikan banyak orang."
"Itu dia." Wajah Pak Tua terlihat masih sebal, "Tadi dia juga hendak mencium wajahku, kupelototi, lantas dia bilang kalau begitu Pak Tua cium ubun-ubunku
saja, bilang Pak Tua sudah kuanggap orang-tua sendiri, restuilah aku yang akan berubah banyak, dia mencengkeram pahaku, macam mau melamar gadis, memaksa.
Mati aku dilihat orang-orang yang sarapan di warung Tulani."
"Pak Tua cium ubun-ubunnya?" Jauhari menahan tawa.
"Enak saja. Kupukul bahunya, lantas kutinggal pergi. Sudahlah, aku mau ke warung pisang, menyeduh kopi kental. Pusing sekali melihat perangai Togar sepagi
ini." Tubuh kurus Pak Tua loncat ke dermaga. Tetapi dia tiba-tiba menoleh, "Dan kau, Borno. Hati-hati bertemu dengannya. Tadi dia bilang mencari kau, mau ke
dermaga kayu secepatnya, mau minta maaf atas banyak dosanya selama ini pada kau."
Jauhari sudah memukul-mukul pinggir perahu, terbahak.
Aku mengusap keringat di dahi, meneguk ludah, astaga"
*** Lima belas menit berlalu, antrian sepitku bergerak maju.
Dermaga semakin ramai oleh penumpang, dengan cepat perahuku penuh. Orang-orang berangkat kerja, anak-anak sekolah (satu-dua diantar orangtua mereka), dan
penumpang biasa lainnya, berebut loncat.
"Cukup, cukup!" Petugas"timer"berseru, menahan penumpang berikutnya yang hendak loncat naik.
"Masih kosong satu, Oom." Aku mengingatkan petugas.
"Justeru itu, cukup, jangan diisi lagi." Petugastimer"menggeleng, menyuruh anak-muda, penumpang yang hendak naik tadi pindah ke sepit di sebelahku.
"Woi" Kenapa sepitku tidak diisi penuh, Oom?" Aku melipat dahi, protes.
"Sabar, Borno. Ada penumpang spesial yang sudah memesan satu kursi khusus di sepit kau ini. Dia sudah"buking." Petugas timer melambaikan tangan, pindah,
sibuk mengatur perahu yang lain.
"Kapan berangkatnya, Bang?" Ibu-ibu yang duduk di sepitku ikut protes, bingung melihat sepit di sebelah jalan duluan.
"Sabar, sabar." Petugas"timer"kembali lagi, "Sepit Borno masih kurang satu penumpang."
"Lah, kalau kurang satu, kenapa penumpang lain dilarang naik?" Bapak-bapak yang duduk di haluan depan berseru sebal, dia terlihat buru-buru.
"Sabar sebentar, Pak. Tak lama, hanya satu menit, tadi penumpang spesialnya ada keperluan sebentar." Petugas"timer"celingak-celinguk ke ujung dermaga kayu.
"Siapa sih yang berani-beraninya melanggar aturang nge-tem sepit?" Penumpang sepitku ramai bersungut-sungut, berbisik satu sama lain.
"Memangnya siapa yang mau naik, Oom?" Aku ragu-ragu bertanya pada petugas"timer, cemas dengan kemungkinan jawabannya.
"Ya siapa lagi?" Petugas"timer"tertawa, "Dia sudah mencari-cari kau."
Astaga, aku berjengit, baiklah, aku segera meraih kemudi sepit, bersiap menekan gas. Aku tidak mau bertemu Bang Togar sekarang, setidaknya sampai kelakuan
dia kembali normal. Mampus aku kalau dicium-cium disteher"ini, disaksikan puluhan penumpang dan pengemudi sepit.
"Woi, sabar, Borno!" Petugas"timer"yang baru sadar apa yang akan kulakukan bergegas memegang ujung perahu kayu. Menahannya.
"Aku berangkat saja, Bang. Tak mengapa tak penuh." Aku berseru panik.
"Sabar, Borno. Kau ini bebal sekali, paling beberapa detik lagi"."
Pendekar Pedang Sakti 16 Goosebumps - Darah Monster 2 Tragedi Sinemata 2
^