Pencarian

Kemarin Hari Ini Dan Esok 1

Kemarin Hari Ini Dan Esok Karya Risnawati Tambunan Bagian 1


Kemarin, Hari Ini, dan Esok
Penulis: Risnawati Tambunan
Pemenang penghargaan sayembara mengarang cerber femina
2001 Edit & Convert: inzomnia
Mereka bersahabat sejak kecil walaupun kehidupan mereka
bagai langit dan bumi. Sudah lama sebenarnya aku ingin membawamu 'lari'. Sejak kau
masih tinggal di "istana" itu. Sebuah rumah toko bertingkat
tiga dengan pagar besi yang kaku, bisu. Sudah sejak lama. Kala
itu aku selalu mampir di depan rumah itu, melemparkan sebuah
koran lewat pintu pagar. "Koran!" teriakku membelah pagi. Hampir pukul tujuh.
Yang pertama keluar, seperti biasanya, adalah Engkongmu.
Laki-laki tua itu melambaikan tangannya kepadaku. Masih
dengan balutan piyamanya.
Aku memutar sepeda bututku, tapi masih sempat melirik ke
lantai tiga bangunan. Di balkon itu biasa kau berdiri,
mencibirku sekilas dan membuang muka. Kau sudah siap dengan
seragam sekolahmu. Sementara aku masih harus mengantarkan koran pagi kepada
lima rumah lagi. Selesai itu, aku bergegas pulang ke rumah.
Mengganti bajuku dengan seragam sekolah. Sarapan seadanya
dan kembali kukayuh sepeda.
"Hati-hati, Coky!" teriakan Emak dari dapur sering hanya
kudengar sayup-sayup. Aku harus segera ke sekolah, sebelum lonceng berbunyi "SMP
mana?" pernah kutanya kau sekali, saat kita berpapasan.
Sungguh pertanyaan yang biasa saja, sekadar ingin tahu,
mengingat aku juga masih SMP.
"Sutomo Satu," sahutmu pelan.
Sekolahmu termasuk sekolah favorit di Medan. Tidak
sebanding dengan sekolahku yang biasa-biasa saja. Tapi aku
bangga, karena di sekolah biasaku itu, aku selalu jadi juara
kelas. Sama seperti kamu! "Kamu SMP mana?"
Tahun terakhir aku di SMP, kau juga menanyakan hal itu.
Mungkin kau baru tahu kalau aku juga makan sekolahan. Pagi
itu, ujian akhir akan dimulai. Aku takut terlambat ke sekolah,
jadi sebelum kegiatanku mengantar koran pagi ke tempat
langganan, aku lebih dulu memakai seragam sekolahku.
Aku menyebut nama sekolahku sekilas. Kau agak mencibir, tapi
kuyakin, kau tidak bermaksud mengejek. Itu salah satu
kebiasaanmu, sama seperti yang kau lakukan dari atas balkon
sana bila melihat aku datang.
Hei, jangan-jangan kau selalu merindukan kehadiranku"
Meski kita seusia, meski kita berkembang bersama, tapi
kehidupan kita bagai langit dan bumi. Aku Ucok Bonar Siregar,
atau biasa dipanggil Coky, adalah potret kebanyakan orang
pribumi di Medan, pun di Indonesia. Ayahku seorang penarik
becak, sedang emakku tukang cuci pakaian.
Aku lima bersaudara, dan aku pula yang tertua. Untuk bisa
sekolah, aku harus mencari biaya sendiri. Aku mengantar koran
ke rumah-rumah, begitu juga dengan dua adik laki-lakiku yang
lain. Sungguh beda dengan kehidupanmu. Aku kenal papamu. Tuan
Peng Si Tukang Air. Begitu julukannya. Dia yang memberi
julukannya sendiri. Padahal kalau diurut-urut, dia kontraktor
sumur bor yang cukup besar. Dia mempunyai tujuh mesin bor,
beroperasi nyaris di seluruh pulau Sumatra. Perkebunan-
perkebunan swasta maupun instansi pemerintah selalu
memberikan borongan besar pada papamu.
Entah apa yang disembunyikan papamu, dia tetap saja tidak
mau mengaku sebagai kontraktor, pengusaha. Dia hanya mau
dipanggil Tuan Peng Si Tukang Air. Tapi siapa yang tidak
mengenal kedermawanan Tuan Peng" Emakku bilang, kalau kau
tidak punya uang, Coky, jangan pernah meminta kepada
siapapun...kecuali kepada Tuan Peng!
Papamu sangat dermawan. Dia memang jarang berada di kota.
Sebagian besar waktunya habis di luar, di perkebunan dan di
pelosok lainnya. Dia selalu mengawasi pekerjaan anak buahnya.
Bukannya tidak percaya, katanya memberi alasan. Dia hanya
ingin terlibat langsung. Aku tidak tahu apakah memang itu
alasan utamanya, atau dia ingin menghindari antrean orang yang
ingin meminta bantuannya bila ketepatan dia berada di rumah.
Aku juga menikmati saat akah memang itu alasan utamanya,
atau dia ingin menghindari antrean orang yang ingin meminta ba
"Wah...Coky, lu bakal jadi orang hebat nanti kalau sudah besar.
Pagi-pagi lu sudah kerja. Baik itu!"
Dan biasanya tidak pernah tidak terselip recehan di kantongku
dari Tuan Peng Si Tukang Air.
Keluargamu hidup berkecukupan. Aku ingat, kau selalu punya
kegiatan yang padat. Pagi sekolah, siang les piano, sore privat
Inggris. Belum lagi kursus lainnya. Wah....
"Kau akan jadi orang paling pintar," kataku suatu kali
kepadamu. Saat kita sudah sama-sama duduk di bangku SMU.
"Atau jadi gila!"
"Lu ngomong apa"'" matamu yang sipit mendelik. "Enak saja.
Siapa yang gila" Hayo!" Kau mengangkat bukumu, akan ditimpuk
padaku. Aku tertawa, melesat dengan sepeda bututku.
Kau mencibir. Ah, persahabatan yang manis.
Keluargamu memang beda dengan kebanyakan keluarga non
pribumi - keluarga keturunan Cina yang tinggal di Medan. Kalau
mereka biasa hidup berkelompok dengan kaum nonpribumi yang
lain, tinggal di kompleks yang sama, membangun rumah toko
dengan gaya yang sama, pagar besi yang sama, dan bergaul
antara mereka saja. Kehidupan keluargamu memang makmur seperti umumnya kaum
nonpri tersebut. Jiwa dagang pun lekat dalam kehidupan
keluargamu. Tapi ada yang terasa beda. Papamu, Tuan Peng Si
Tukang Air, lebih memilih membeli rumah di lingkungan yang
heterogen. Aku ingat, di sebelah rumahmu adalah rumah Pak
Marzuki, si urang awak, pemilik Zuki Tailor. Masih dalam satu
barisan dengan rumah toko itu, tinggal kelurga Vijay, pemilik
toko kain. Mereka keturunan Tamil. Di sana juga ada grosir
beras Ompung Sinaga, ada Babah Liem dengan toko
elektronikanya, dan masih banyak lagi.
Seperti umumnya kaum nonpri yang selalu menjadikan tempat
usahanya menjadi tempat tinggal pula, maka bisa dikata,
tempat tinggalmu tidak pernah sepi dari kunjungan orang, lagi
pula, selain sebagai kantor kontraktor sumur bor, di lantai satu
rumahmu, mamamu membuka toko kelontong.
Dan rumahmu memang tidak pernah sepi dari kunjungan orang.
Orang kebanyakan yang tinggal di sekitarnya. Apakah ingin
membeli keperluan, sampai yang cuma mau ngebon dan pinjam
uang. Orang-orang begitu dekat dengan keluargamu, seperti
dekatnya persahabatan kita selanjutnya. Kedekatan yang
membuatku tidak akan melupakanmu.
Kini kita telah sama-sama dewasa . Sama-sama kuliah di
Universitas Sumatra Utara. Aku di Teknik Sipil, sedang kau di
Kedokteran Umum. Tapi rupanya, hidup selalu berubah.
Medan, akhir 1998 Kulangkahkan kaki dengan enggan, melewati jalanan kampus
Universitas Sumatra Utara yang tidak terlalu ramai di Sabtu
siang itu. Dari kampus Teknik aku menyusuri Jalan Almamater
dan memotong dari Biro Rektor. Langsung melintasi kampus
FKM dan tembus di Jalan Universitas.
Keluar dari pintu satu kampus, aku tidak langsung menuju
halte, menunggu angkot. Aku duduk di depan Kafe Burger
Mahasiswa di depan kampus Kedokteran Umum.
Aku menunggu Dewi, sahabatku yang siang ini kutahu ada
keperluan ke kampus ini, meskipun dia sudah tidak kuliah lagi.
Entah mengurus apa, tapi aku harus menunggunya, karena
mungkin hanya saat ini kami punya kesempatan bicara.
Setengah jam menunggu sambil menikmati teh botol, tiba-tiba
sosok itu muncul. Badannya tinggi, ramping. Rambut sebahunya yang lurus legam
dimainkan angin siang yang kering. Siang itu kulit putih
mulusnya dibungkus kemeja berwarna krem dan padanan rok
panjang hitam. Dia berjalan tenang. Mata sipitnya langsung
tertuju ke tempatku menunggu.
"Kau sehat?" tanyaku menjejeri langkahnya. Dewi diam saja.
"Mau langsung pulang?" tanyaku ketika sudah sampai di halte.
Gadis itu tidak menjawab juga. Bukan hal baru. Akhir-akhir ini
dia memang sering tidak menjawab pertanyaanku. Enggan.
Malas, atau tidak sudi. Biasanya aku sendirilah yang menjawab pertanyaanku.
Menebak-nebak apa yang ada di pikirannya.
"Aku mau makan siang di tempat biasa. Kau mau ikut?" tanyaku.
"Aku ada urusan," sahut Dewi. "Aku perlu beberapa buku . Tapi
mungkin aku akan ke Titi Gantung saja."
Titi Gantung adalah tempat penjualan buku-buku bekas. Pelajar
atau mahasiswa pas-pasan selalu memburu tempat itu. Tempat
yang unik. Untuk mencapainya jika dari lapangan Merdeka,
Medan kita harus melewati jembatan - titi - gantung dekat
stasiun Kereta api Besar Medan.
"Kau akan ke sana?" tanyaku heran. Untuk apa dia mencari buku
lagi" Bukankah minggu depan dia akan diwisuda"
"Baiklah, pukul berapa?" aku tidak bisa menebak tujuannya.
Dewi diam, tidak menjawab. Kali ini sudah bisa kutebak
jawabannya. Dia tidak ingin kutemani. Dia tidak ingin
bersamaku. Ah...mungkin dia berpikir, buat apa bersama
denganku, kalau toh orang tetap menganggap kami berbeda.
Dewi....tahukah kamu tentang hatiku"
Medan, Mei 1998 Seperti mimpi saja melihat kebrutalan ini terjadi. Mula-mula
aku tidak mengerti. Pagi itu aku pergi ke kampus seperti biasa
dengan ankutan kota Beberapa ruas jalan dijaga ketat polisi.
Rupanya telah terjadi keributan, aksi massa.
Pembakaran dan perusakan terjadi di mana-mana. Penjarahan
juga. Barisan orang dengan hasil jarahan berbondong-bondong.
Sulit dimengerti, mereka membawa berkarung-karung beras,
mi instan dan bahan pokok lainnya. Bahkan springbed pun
kelihatan dibopong ke rumah mereka. Toko-toko di sepanjang
jalan protokol menjadi sasaran massa, terutama toko-toko
milik keturunan Cina. Sehingga tidak heran kalau kaum pribumi
tegas-tegas menulis di pintu toko mereka: "MILIK PRIBUMI!"
Atau "KEPUNYAAN SINAGA!" Atau "JAWA ASLI!" atau
"HAJI IKLAS!" Karena hanya dengan begitu mereka merasa
aman. Situasi Medan pada saat itu benar-benar lumpuh. Aktivitas
masyarakat juga seperti mati. Toko, plasa, swalayan terpaksa
tutup karena takut dengan aksi massa. Jalan-jalan sunyi,
kendaraan pribadi menghindari jalanan, sedangkan kendaraan
umum hanya ada satu-satu. Yang nekat.
Bukan hanya di Medan saja, daerah tingkat dua di Sumatra
Utara umumnya juga mengalami keadaan yang sama. Puluhan
toko dirusak, dibakar, dijarah, termasuk sejumlah mobil. Kota
Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat dan
kota-kota kecil lainnya seperti Indrapura, Perdagangan juga
menjadi lumpuh. T Apa yang terjadi sulit untuk kumengerti. Ada yang
mengatakan bahwa kerusuhan ini merupakan ungkapan dari
kekecewaan masyarakat terhadap masalah-masalah yang tidak
kunjung selesai. Masalah apa" Uh..aku pun tidak mengerti. Aku
tidak sepeka orang lain. Selama ini mungkin aku hanya
mementingkan diri sendiri. Asal bisa membayar uang kuliah,
beli buku, sudah! Aku tidak mau pusing dengan banyak masalah.
Tetapi kali ini aku jadi heran. Kerusuhan ini, kenapa nuansa
diskriminasi begitu kental" Kenapa yang menjadi korban adalah
mereka yang umumnya keturunan Cina" Ruko-ruko milik kaum
nonpri tersebut yang menjadi sasaran.
Saat itu pikiranku melayang kepada keluarga Tuan Peng Si
Tukang Air. Entah kenapa, aku mencemaskan keadaan mereka.
Walau aku juga berkeyakinan kalau mereka akan baik-baik saja.
Bukankah selama ini mereka cukup membaur" Mereka nyaris
tidak beda dengan keluarga pribumi lainnya. Menyatu dengan
masyarakat. Kecuali, tentunya, mereka memang berkulit kuning
dan bermata sipit. Dan hari itu, Rabu, 6 Mei 1998, aku tidak bertemu Dewi di
kampus. Aku cemas. Beberapa temannya kutanyakan tentang
keberadaannya, tapi semua menjawab tidak tahu. Semua orang
gelisah. Kampus juga sedikit sepi dari kegiatan belajar. Tapi
ramai oleh aksi demonstrasi. Beberapa teman dari Fakultas
Teknik dan Sastra menggelar orasi di beberapa jalan di dalam
lingkungan kampus. Aku hanya hadir di sana tidak lebih dari lima belas menit. Aku
teringat lagi akan Dewi. Bingung dan bimbang.
Dalam kebimbangan hati, aku pulang ke rumah. Aku tidak
mendengar kabar apapun, kecuali cerita Togar dan Ronald,
adikku yang menceritakan tentang keributan-keributan yang
terjadi. "Gila, Bang! Tadi banyak sekali beras di sana. Aku mau
mengambil dua karung, tapi kasihan melihat pemiliknya
menangis," Togar bercerita.
"Jangan pernah mengambil apapun!" aku berteriak marah.
"Jangan sempat Abang dengar kalian ikut menjarah, ya!"
"Ya, Bang," kedua adikku mengangguk patuh.
"O ya, rumah Tuan Peng terbakar, Bang," kata Ronald pula.
Ucapannya membuatku melompat dari tempat duduk.
"Terbakar?" tanyaku setengah berteriak.
Belum lagi tanyaku terjawab, tiba-tiba ayahku muncul dengan
keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
"Sudah gila semua orang," kudengar dia marah-marah. "Entah
setan apa yang ada dalam pikiran mereka, sehingga mereka
begitu brutal." "
Ayah, apa yang terjadi?" tanyaku.
"Mereka membakar semuanya, menjarah isinya dan ...ya, Tuhan
...apa yang ada dalam pikiran mereka?" "Rumah Tuan Peng.... "
"Habis...," suara Ayah menggantung. Dia duduk lemas. "Ayah
baru mengantar Engkong ke rumah sakit, kena luka bakar.
Nyonya Peng juga terluka dan.... "
"Dewi dan Willy, Yah?" tanyaku menyebut nama Dewi dan
adiknya. "Ayah tidak melihatnya, Coky. Pergilah...bantu-
bantu...," Ayah mengeleng. Kelelahan dan kekecewaan tampak di
wajahnya. Aku mengayuh sepeda bututku. Jalanan seperti lautan api. Bau
asap tercium di mana-mana. Sampai di rumah Dewi, kulihat


Kemarin Hari Ini Dan Esok Karya Risnawati Tambunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa orang sedang memadamkan api. Tidak kulihat seorang
pun dari keluarga Dewi. Dari Bang Hombing yang ikut
membantu memadamkan api, aku dapat informasi bahwa
keluarga Dewi yang lain mengungsi ke rumah kerabatnya,
sedangkan Engkong dan mamanya di rawat di rumah sakit. Bang
Hombing menyebut nama rumah sakit yang dimaksud.
Di rumah sakit aku hampir melompat kegirangan ketika melihat
Dewi. Wajahnya pucat sekali. Tapi dia mencoba tabah. Dia
tidak bicara apapun. Ingin kupeluk dirinya, kudekap dengan
sepenuh hati. Tapi Johan ada di sana. Dia memeluk bahu Dewi
dan kelihatan terus berbicara kepadanya. Pria tercintanya itu
rupanya sedang menghiburnya.
Sore itu aku pulang ke rumah dengan hati hampa. Bukan karena
Dewi tidak bicara sepatah kata pun kepadaku, tapi karena
sedih. Kenapa kekerasan ini harus terjadi" Apa yang salah"
Seminggu aku tidak bertemu Dewi. Kupikir mereka mungkin
sudah mengungsi jauh. Ke Singapura atau ke Australia,
mungkin. Seperti kebanyakan warga keturunan Cina lainnya,
yang berusaha menyelamatkan diri ke luar negeri.
Sampai akhirnya kudengar kabar pilu itu. Engkong dan mama
Dewi meninggal dunia. Sejak saat itu kehidupan keluarga Dewi berubah. Tuan Peng -
papa Dewi -berusaha bangkit meski tidak mudah. Kepergian
istri dan ayahnya membuat Tuan Peng menjadi lemah. Dia
nyaris tidak meninggalkan warisan apapun ketika wafat setahun
kemudian. Dewi dan adik laki-lakinya dalam asuhan bibi dari pihak
mamanya. Aku pun nyaris tidak pernah melihat Dewi tersenyum,
menikmati cibirannya atau gelak tawanya yang merdu lagi.
Mungkin hanya romantisme sejarah masa remaja kamilah yang
masih menyisakan ikatan diriku kepadanya. Aku masih selalu
bisa bersamanya. Aku ingin selalu menjaga Dewi. Menunjukkan kepadanya bahwa
kejadian yang memnimpa keluarganya pada Mei 1998 itu adalah
sebuah kejadian brutal yang tidak diinginkan siapapun.
Siapapun yang berakal sehat.
Aku juga ingin dia tahu bahwa perasaanku kepadanya tidak
berubah. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki,
saudaraku. Meskipun setidaknya hati kecilku mencibir.
Bagaimana mungkin aku hanya punya rasa sebagai teman dan
saudara saja" Baiklah, Dewi. Harus kukatakan pada dunia, bahwa aku
mencintaimu. Terlau naif ya"
Aku menyimpan rasa khusus ini sejak kelas dua SMU. Saat aku
dan Dewi semakin sering bersama. Tidak sabar rasanya
menunggu pagi tiba, saat aku harus lewat di depan rumahnya,
melemparkan koran dan menanti cibiran si nona cantik itu.
Kami lebih akrab ketika Dewi mulai menawarkan beberapa buku
pelajaran untuk kupinjam. Dia sangat ramah. Dia tidak angkuh
dengan kelebihannya atas diriku. Dia tidak kikuk berbicara
denganku. Kami juga sering berdiskusi di sore hari,
mengerjakan tugas-tugas sekolah, walaupun kami tidak satu
sekolah. Dewi sangat cerdas. Dia memang rajin belajar. Untungnya, aku
juga memiliki otak yang encer. Kalau sudah belajar, kami sering
lupa waktu. Aku sangat senang bila berdekatan dengan Dewi.
Hampir setiap hari kami bersama.
Satu-satunya hari yang tidak bisa kami lalui bersama adalah
hari Sabtu sampai malam Minggu. Dewi biasa menghabiskan
waktunya dengan Johan, pacarnya yang sudah mahasiswa.
Aku sedih dan cemburu tiap kali ingat kebersamaan mereka.
Aku ingin hanya akulah yang berada di sisi Dewi, tidak ada laki-
laki lain. Aku sering uring-uringan dan jengkel sendiri bila
membayangkan kemesraan mereka di malam Minggu.
Kubayangkan tangan Johan yang kekar memeluk bahu Dewi.
Membelai rambutnya yang legam sebahu, meremas jemarinya
yang lentik dan bahkan...menciumnya!
Perasaan itu membuatku tidak bersemangat ketika Senin
sorenya bertemu dengan Dewi. Kalau tidak terlalu ceriwis, ingin
saja aku menanyakan, "Apa yang dilakukan Johan kepadamu?"
Untung aku masih bisa menjaga mulutku. Aku lebih memilih
diam. Dan Dewi akan keheranan melihat kediamanku.
"Kamu kenapa, Coky" Kenapa diam saja?" tanyanya ."Sakit?"
"Tidak," aku menggeleng.
"Kamu murung," dia tersenyum kecil. "Malam Minggumu tidak
sukses, ya?" Aku diam saja. Sukses bagaimana"
"Bagaimana kabar Susi?" tanya Dewi lagi. "Kalian masih akur,
kan?" "Susi sudah pergi," aku mengeluh. Susi, dia cuma sebuah nama
gadis yang pernah kukatakan pada Dewi sebagai pacarku.
Padahal, mana ada seseorang bernama Susi dalam kehidupanku.
"Astaga! Kamu ini bagaimana?" mata Dewi mendelik. Aku suka
dengan reaksinya. Dia tampak menarik sekali. Sangat menarik.
"Selalu saja berganti-ganti pacar. Bulan lalu putus dengan
Niken, sebelumnya Indah...dan sekarang Susi. Kamu tidak
betah dengan satu pacar, ya?"
"Hanya kamu yang betah dengan satu pacar," sahutku asal saja.
"Hanya dengan Johan."
"Dia sangat baik," sahut Dewi. "Ko Johan penuh perhatian dan
dia memang hebat," pujinya pula.
"Tentu saja," dadaku sarat dengan kecemburuan. "Dia tampan
dan kaya," sahutku. "Kalau tidak...mana mau kamu sama dia."
"Ah...Coky bicara apa?" Dewi tertawa. "Bukan itu alasannya."
"Lagi pula dia orang Cina," aku mencibir . "Satu bangsa
denganmu!" "Coky kenapa bicara begitu," Dewi merengut. "Memangnya Coky
tidak satu bangsa denganku?"
"Aku orang Batak," kataku. "Tapi bangsa Indonesia juga, kan?"
tanya Dewi. "Sama dengan aku, sama juga dengan Ko Johan.
Apa Coky pikir selama ini aku tidak sama dengan Coky?"
"Kita tetap beda," kataku bertahan.
"Coky salah," dia tersenyum. "Asal keturunan memang beda,
Coky, tapi intinya, kita sama. Sama-sama lahir di negeri
tercinta ini, sama-sama bangsa Indonesia, lebih dari itu, kita
sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa, iya, kan?"
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau jadi pacarku?" tanyaku
spontan dan naif. Mata sipit Dewi mengerjap. Heran dengan
ucapanku . Aku sendiri begitu menyadari ucapanku jadi malu.
"Maaf," aku jadi gugup. "Aku....tidak bermaksud...." Dewi
tersenyum dan menyentuh tanganku. "Coky adalah saudaraku,
tidakkah itu lebih indah?" matanya menatapku lembut.
Aku mengangguk dengan terharu. Itu lebih dari cukup. Andai
aku menginginkan lebih...sungguh aku tidak tahu diri!
Ya, Dewi dan Coky memang bersaudara.
Setelah lulus, Dewi menghilang. Coky tak tahu harus
mencarinya kemana. Tapi mungkin sebagai saudara, terkadang kami melangkah
terlalu jauh. Kedekatan kami, kepedulian sikap dan
kebersamaan yang penuh kemesraan, sering mewarnai hari-hari
kami. Yang tak jarang justru membuatku makin perasa dan
memendam harap padanya. Pernah suatu malam Minggu, ketika itu kami sudah jadi
mahasiswa. Kami mengikuti acara di kampus dan pulang agak
kemalaman. Ketepatan Dewi juga tidak dijemput Johan, yang
saat itu sedang KKN. Kami berjalan menuju halte.ergandengan
tangan di bawah sinar rembulan yang indah menyusuri jalanan
kampus di antara pohon-pohon sawit. Terbawa oleh rasa
romantis, kugenggam erat jemari Dewi. Dia juga membalas
genggaman itu. Jantungku berdetak keras. Hanyut. Kuhentikan
langkah. Dalam keremangan sinar rembulan kukecup bibirnya.
Dia membalas. Untung hanya di jalanan kampus, sehingga kami
tidak lebih hanyut. Aku menikmati pengalaman paling romantis dalam hidupku. Kami
bisa seleluasa itu tanpa terganggu oleh siapapun. Tanpa takut
siapapun. Meskipun esok harinya sikap kami jadi kaku. Bisu.
"Maaf mengenai malam itu,"aku coba bicara setelah beberapa
hari kami tidak saling sapa.
"Tidak apa-apa,"dia tersenyum kecil. "Itu kesalahan
bersama,"jelasnya. "Aku kangen dengan Ko Johan,"matanya
menerawang jauh. OSehingga aku terhanyut dan... "
"Tidak apa,"aku menggeleng. Sakit dadaku. Dia mau kucium
karena membayangkan aku sebagai Johan"
"Kita masih tetap bersahabat, kan, Coky?" "Tentu,"sahutku.
"Tetap bersaudara?"tanyanya pula.
"Tidak akan berubah,"kupastikan kepadanya.
Duhai, Dewi, tahukah kamu, aku sedang menipu hatiku saat itu"
Dewi saudaraku, Hari-hari telah berubah. Peristiwa di Mei itu menghancurkan
keceriaanmu. Tidak ada lagi senyummu. Nyaris tidak ada. Dewi
seperti menjauhi semua orang. Andai kami tidak pernah
berjanji tetap bersahabat, mungkin dia juga akan menjauhiku.
Dia jadi seperti memusuhi semua orang.
"Apa ini?" matanya mengerjap sedih seolah tidak percaya, tiap
kali dia teringat kejadian yang menimpa keluarganya. " Apa
yang kurang, Coky" Kami adalah kamu, kami menyatu dengan
semua orang. Kami saudara semua orang, tapi kenapa mereka
memperlakukan kami sebagai musuh?"
Dewi, aku tidak punya jawaban. Kalaupun ada, mungkin Dewi
tidak memerlukan jawaban itu.
"Katakan Coky, apa yang kurang?" matanya menatapku ,
memohon. Ya, Tuhan, aku ingin memeluknya, merengkuhnya,
mendekapnya dan membiarkan semua kesedihannya tumpah di
dadaku. Aku ingin mengecup air matanya.
Tapi aku tidak punya nyali. Aku juga tidak punya jawaban. Hati
manusia, kebanyakan seperti lautan yang tidak terduga.
Kemarahan dan rasa benci, sering kali membuat orang lupa
siapa dirinya, Dewi. Ya, mungkin karena lupa itu pula maka rasa
marah dan benci muncul. Mana yang lebih dulu, aku tidak tahu.
Hari memang telah berubah. Setiap detik, setiap menit,
terjadi perubahan. Tapi siapa yang bisa melupakan rasa sakit
yang pernah menimpanya" Sabarlah, terimalah semuanya
sebagai takdir. Aku bisa mengatakan itu beribu kali pada Dewi,
tapi apakah itu cukup" Aku tidak merasakannya, aku tidak
mengalaminya. Aku tidak kehilangan rumah, aku tidak
kehilangan ayah, ibu dan keluarga yang lain. Seberat apapun
aku ingin merasakannya, aku tidak mengalaminya langsung.
Berat mata memandang, lebih berat bahu memikul, begitu kata
peribahasa. Jadi, wajarkah bila Dewi apatis dengan semua orang
pascamusibah yang menimpa keluarganya"
Medan, awal 2000 Silakan benci semua orang, Dewi. Silakan apatis dengan semua
orang, silakan tinggalkan semua orang, tapi jangan aku. Jangan
tinggalkan aku, Saudaraku. Aku bisa mati tanpamu!
"Sudah lama Coky tidak datang," wanita berwajah lembut itu
menyambutku dengan senyum tulus. Dia Bibi Afang, adik mama
Dewi. "Saya kerja, Bibi," sahutku.
"Ooh..." matanya berbinar. "Coky kerja di mana sekarang?"
"Saya pengawas proyek, Bi. Kerja di sebuah perusahaan
kontraktor. Saya ditempatkan di Dumai, Riau. Mengawasi
pembangunan Pabrik Kelapa Sawit. Ketepatan saya ke Medan
untuk mengantar laporan kemajuan pekerjaan, Bi. Saya mampir
dan.. " "Dewi sudah empat bulan tidak pulang ke rumah," Bibi Afang
mengeluh. "Sejak dia selesai kuliah. Pamannya memintanya
untuk buka praktek di Medan saja. Di Jalan Asia, bersebelahan
dengan toko pamannya, tapi dia menolak."
"Sekarang dia ada di mana, Bi?" aku tidak dapat menahan diri.
Aku rindu pada Dewi. "Dia tidak pernah mau menyebutkan tempatnya," Bibi Afang
kembali mengeluh. "Anak itu keras sekali." Aku diam, namun
gusar. "Dia tidak pernah pulang?" tanyaku pula.
"Pernah, dua kali. Tapi empat bulan terakhir ini dia tidak ada
pulang." "Bibi tidak menanyakan di mana tempat tinggalnya?"
"Coky, kamu lebih kenal siapa dia, kan?" wanita itu menggeleng.
"Jika dia ingin, dia akan mengatakannya, tapi jika tidak, Bibi
tidak berani menanyakannya."
Aku mengangguk. "Willy bagaimana?" tiba-tiba aku teringat dengan adik laki-laki
Dewi satu-satunya . "Willy sudah hampir menyelesaikan kuliahnya. Bulan depan dia
akan diwisuda. Sore begini, dia membantu pamannya di toko.
Kalau ingin bertemu dengannya, datang saja ke toko."
"Ya," aku mengangguk. "Saya harus berangkat malam ini, Bi,"
aku menunduk. "Andai Dewi pulang, kapan saja, sampaikan
salam saya." "Ya.Bibi akan sampaikan," Bi Afang tersenyum maklum. Seperti
ada yang ingin diucapkannya, tapi gagal. Aku mohon diri, dan
wanita itu melepasku. "Bibi ingin sekali Coky menjaga Dewi," tiba-tiba wanita itu
terisak. Aku menunda langkahku. Menarik napas dan menyentuh
tangannya. "Bibi. percayalah, Dewi sudah besar, sudah dewasa.
Ingat, sekarang dia seorang dokter. Dia bisa menjaga dirinya,
Bi." "Bibi tahu," wanita itu menyusut air matanya. "Andai dia bisa
menerima semua ini sebagai suratan takdir, andai dia bisa
membuang rasa bencinya, andai."
Aku menatap langit. Pedih. Dewiku membenci semua orang.
Dewiku menyimpan dendam. "Coky.apakah Coky tahu kalau dia.dia..diperkosa?"
Langit seolah runtuh tepat di atas kepalaku. Tiba-tiba wajah
putih mulus itu membayang di mataku. Cibirannya, tawanya,
mata sipitnya yang menarik. Ya, Tuhan, begitu lama waktuku
bersama dia, tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa dia
mengalami hal sejauh itu. Terkutuk! Biadab!
Tinjuku mengepal. Dadaku sakit. Luka.
Inikah yang membuatnya menolak ajakan menikah Johan"
Inikah yang membuatnya membisu dan menjauhi semua orang"
Ayo kita balik hari, Dewi. Ayolah. Lalu biarkan waktu berjalan,
berkejaran, berlari dan sampai ke batas manapun , aku tetap
ada di sampingmu. Tidak ada yang bisa memisahkan ikatan kita.
Tidak ada. Siapapun, di manapun, kapanpun. Kemarin, hari ini,
dan esok! Desa Berombak, pertengahan 2000
"Apakah segalanya baik-baik saja, Bu Dokter?"
Wanita berwajah ayu itu menatapku penuh harap. Kugenggam


Kemarin Hari Ini Dan Esok Karya Risnawati Tambunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jemarinya dan tersenyum. Dia bangkit dari tempat tidur,
menyibakkan tirai dan mengikutiku.
"Kondisi Kak Ida sangat baik," terangku. "Tapi ingat, terus jaga
kesehatan," aku tersenyum sambil melirik perutnya yang
membuncit. Lima bulan usia kandungan wanita ini, anak
pertama. Dia tampak bahagia.
"Terima kasih, Bu Dokter," Kak Ida bangkit, tersenyum. "Nanti
kalau Bang Karyo pulang membawa hasil ikan yang banyak,
untuk Bu Dokter akan saya sisihkan yang paling besar,"
janjinya. "Jangan pikirkan saya," aku tersenyum. "Yang penting Kak Ida.
Jangan makan sembarangan, ingat si kecil."
"Tentu, Bu Dokter." Dia tertawa. Bahagia. "Saya bisa pulang
sekarang kan?" tanyanya pula.
"Ya, hati-hati," pesanku.
Sepeningal Kak Ida aku meneruskan pekerjaanku yang
tertunda karena kedatangannya tadi. Aku membersihkan
ruangan tempat praktekku. Baru pukul sembilan pagi. Aku
tersenyum, mengedarkan ruangan berukuran 6 x 5 meter ini.
Jangan bayangkan aku punya tempat praktek mewah. Dulu aku
memang punya mimpi begitu.
Begitu tamat dari kuliah, dilantik jadi dokter, aku akan punya
tempat praktek nyaman. Besar, punya pendingin ruangan,
peralatan lengkap dan pasien-pasien dari kalangan tertentu.
Tapi semua hanya mimpi lalu. Itu hari kemarin. Sekarang aku
harus berpijak pada hari ini, sebuah kenyataan yang lain dari
impian itu. Aku membuka praktek di pinggiran kota. Pada kampung nelayan
yang miskin. Kampungnya orang-orang yang lebih berpikir apa
yang akan dimakan hari ini ketimbang berpikir, apakah saya
sehat hari ini. Tempat praktekku juga jauh dari yang pernah kubayangkan
dulu. Memang benar, dulu ada rencana untuk membangun
sebuah Puskesmas di desa terpencil ini. Entah apa sebabnya,
maka pembangunannya hanya sebagian saja, tertunda,
terbengkalai, tidak diteruskan. Dan sekarang tempat ini
kusulap menjadi tempat praktek, sekaligus tempat tinggalku.
Kedatanganku ke tempat ini sendiri bukan tanpa masalah.
Penuh rintangan dan tidak mudah. Aku sempat dicurigai.
Bagaimana tidak, aku datang dan ingin buka praktek di sini.
Seorang dokter, mau buka praktek di desa terpencil" Lagipula
aku.. "Utusan dari mana, Bu?" masih kuingat seorang laki-laki
menyambutku dengan kening berkerut. Dia masih sangat muda.
Mungkin usianya tidak lebih dari 25 tahun, atau mungkin masih
lebih muda dariku. Wajahnya ramah.Tulus. Tapi dia jelas
bingung. Kerani kelurahan, pikirku.
Dari mana saja. Ingin kujawab seperti itu. Tapi pasti semua
mimpiku akan buyar, bila itu kulakukan.
"Saya dapat rekomendasi dari sebuah lembaga sosial, Pak,"
kutunjukkan berkas-berkasku. Semua dokumen yang
menyatakan bahwa memang aku seorang dokter. Transkip
akademik, surat pengantar dari sebuah organisasi sosial, atau
apapun yang mungkin diperlukan si penguasa desa ini.
"Maksudnya apa, Bu?" laki-laki itu masih tidak mengerti.
"Saya seorang dokter, Pak," sahutku. "Kalau warga desa ini,
memerlukan bantuan saya, saya bersedia membantu." Tidak
tahu aku jarus memulai dari mana penjelasan ini.
Si laki-laki muda terdiam. Aku yakin dia bingung, atau tidak
mengerti sama sekali. Aku berpikir, apakah dia sebodoh ini"
Dari penampilannya, sepertinya dia orang yang berpendidikan.
"Dan cuma-cuma," aku tersenyum. "Saya tidak memungut
bayaran." Aku berharap dapat sambutan. Senyum puas, lega atau apa
saja. Tapi wajah tulus itu masih tetap diam.
"Oya.saya bisa bertemu dengan kepala desa?" akhirnya aku
kesal dengan aksi diamnya.
"Ya.tentu," dia mengangguk. "Saya kepala desanya," tidak ada
nada sombong di suaranya.
"Oh." aku jadi malu hati.
"Apa yang ingin Ibu jelaskan?" si kepala desa muda itu
membantu kegugupanku. Saya dengar, di sini belum ada dokter, Pak. Paramedis atau
mantri kesehatan juga tidak ada."
"Ya," Kepala Desa mengangguk.
"Saya akan mengabdi di sini, Pak," kataku menjelaskan. "Sekali
lagi, saya tidak memungut bayaran apa pun. "
"Tapi.. " "Sebisa mungkin saya akan menyediakan obat-obatan, gratis
juga, dan." "Ibu orang Cina, ya?"
Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering. Itu rupanya
masalahnya. "Ya," aku menjawab tenang. "Apakah itu merisaukan Bapak?"
tanyaku pula. "Apakah Bapak keberatan kalau saya Cina"
Haruskah saya mengoperasi mata saya agar tidak sipit"
Mengecat kulit saya agar tidak kuning atau menyesali leluhur
saya sebagai orang Cina?"
Dia tertawa. Aku benci mendengar cara dia tertawa. Seperti
mengejek. Aku jadi ingat wajah-wajah yang sama, tertawa,
berteriak. Ada yang memegang lenganku, menjambak
rambutku, menarik bajuku dan ..
"Bu.. " Sentuhan di tanganku membuatku melonjak kaget. "Ibu
sakit?" Kepala Desa itu menatapku cemas.
"Tidak.Maaf," Kubuka tasku dan mencari saputangan. Keringat
telah membanjiri wajah dan keningku. Bajuku juga basah oleh
keringat. "Saya akan ambilkan air," Kepala Desa bangkit. Dua menit
kemudian dia muncul dengan segelas air putih. Disodorkannya
kepadaku. "Ibu, minum saja
dulu." "Terima kasih," tanganku gemetar ketika menerima gelas itu.
Kuteguk sampai habis airnya dan kurasakan perlahan kesejukan
mengalir di dadaku. Meredakan sesuatu yang membara. Rasa
marah. "Saya Ihsan," berapa lama kemudian si kepala desa
mengulurkan tangannya. "Selamat datang didesa Berombak,
buat Bu Dokter." Aku ragu menerima uluran tangannya. Tapi, ketika dia
tersenyum dan mengangguk, aku sambut tangannya.
"Terima kasih telah menerima saya," ucapku.
"Baiklah," Ihsan, sang kepala desa itu, tersenyum. "Saya
terima Ibu, tapi penerimaan saya bukan jaminan bahwa Ibu
juga diterima oleh warga desa ini." Aku menatap Ihsan tidak
mengerti. "Ibu akan tahu sendiri bagaimana mereka,"
terangnya. "Karena saya Cina?" tanyaku terus terang.
Ihsan tertawa. "Itu salah satu dari seribu penyebabnya,"
sahutnya. "Tapi itu pula yang paling mendasar, ya kan?" tanyaku. Ihsan
tersenyum kecil. "Mereka orang yang tingkat pendidikannya
rendah, Bu," terangnya. "Wajarlah kalau mereka masih
menaruh curiga, apalagi...." "Kenapa?" kejarku.
"Bu Dokter mau mendengarnya?" tanya laki-laki itu pula. "Ya,"
aku mengangguk. "O ya, nama saya Dewi. "
"Baiklah, Bu Dewi," Ihsan mengusap pelipisnya sekilas. "Saya
tidak tahu angin apa yang telah membawa Ibu sampai ke sini.
Apalagi saya memang tidak pernah diberi tahu lembaga sosial
yang Ibu katakan tadi. Tapi, angin apa pun itu, saya berharap
Ibu sudah mempelajari keadaan desa ini. Masyarakatnya."
Dia menatapku dan aku terdiam. Satu hal yang aku tahu, desa
ini sangat terpencil, miskin dan minim sarana kesehatan. Inilah
desa terburuk dari sepuluh desa yang ditawarkan kepadaku
ketika aku meminta data dari lembaga swadaya masyarakat di
Medan beberapa waktu yang lalu untuk tempat pengabdianku.
Desa nelayan miskin ini membutuhkan sentuhan, terutama yang
menyangkut kesehatan. Itu yang kutahu. Lebih memang. Aku
tahu juga bahwa desa ini dihuni oleh 200 KK, dan lebih kurang
2000 jiwa. Dengan luas desa kurang dari dua kilometer persegi.
Data itu kupikir sangat komplet. Namun, rupanya ada yang
tidak kuketahui. Dan itulah yang paling utama.
"Maaf, kalau saya katakan bahwa warga di sini sangat
membenci orang Cina," terang Ihsan yang membuat darahku
seolah membeku. "Mata pencarian utama warga, mungkin Ibu
sudah tahu, yaitu nelayan, mencari ikan di laut. Saya lahir di
sini, besar di sini, dan setamat kuliah dari IKIP di Medan, saya
kembali lagi ke sini. "
"Jabatan kepala desa seolah turun temurun dalam keluarga
saya. Kakek saya bekas kepala desa, lalu ayah saya, dan kini
saya," terang Ihsan. "Kami bukan gila jabatan, saya juga
kembali ke desa ini bukan karena ingin jadi kepala desa. Semua
karena panggilan jiwa. Saya ingin membangun desa ini.
Membangun dalam arti yang hakiki, membangun manusianya.
"Di desa saya ini, urusan perut adalah urusan yang paling
utama. Apa pun akan dilakukan warga desa untuk
menyelamatkan perut keluarganya. Jangan heran kalau sesama
warga bisa saling baku hantam hanya karena dua ekor ikan atau
sekilo beras. Apa pun yang terjadi, bagi mereka yang penting
bisa makan enak. Biar rumah mau runtuh, tapi gulai harus
lemak, begitu lah perumpamaannya. "Itu makanya mereka sangat benci ketika kapal penangkap ikan
milik pengusaha dari kota mulai beroperasi di sini. Bagi mereka,
itu sama saja dengan mengambil jatah mereka, mengancam
kelangsungan hidup mereka. Dan Ibu tahu, rata-rata pemilik
kapal besar itu adalah orang bermata sipit."
Ihsan mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang.
Seolah dia sangat puas berhasil memojokkanku.
Aku terhenyak. "Bapak percaya pada peribahasa yang mengatakan bahwa tidak
semua yang berkilau itu emas?" tanyaku seakan membela diri.
"Sangat percaya," Ihsan tersenyum. "Itu juga berarti tidak
semua orang Cina pemilik kapal penangkap ikan, bukan?" Ihsan
masih tersenyum. "Tapi saya bukan mereka, Bu Dewi. Pemikiran
warga sini tidak selalu sama dengan saya."
Aku diam. "Sudahlah," laki-laki itu mengibaskan tangannya. "Ibu sudah
sampai di sini. Tidak salah dicoba, bukan" Saya yakin,
ketulusan, kejujuran, dan niat yang bersih akan mendapat
balasan yang sepadan. Saya akan carikan tempat sementara
untuk Ibu." Sejuk hatiku mendengar kata-katanya. Tapi memang benar,
Ihsan bukanlah warga desa. Jangankan mau mengunjungi
tempatku praktek, warga desa malah mencibirku. Bahkan
mencurigaiku sebagai mata-mata dari kota. Mereka anggap aku
utusan para pengusaha ikan dan pemilik kapal penangkap ikan
dari kota. Berkali teror kuterima. Tempat tinggalku pernah dibakar.
Untunglah Ihsan dan beberapa warga desa yang sedikit peduli
berhasil menjinakkan api. Kalau tidak, aku tidak tahu apa
jadinya. Tapi teror dan ancaman tidak membuat tekadku berubah. Aku
tetap bertahan. Untungnya Ihsan selalu mendukungku, meski
sebagai kepala desa dia juga harus berhati-hati. Serba salah.
Di satu sisi dia ingin membantuku, di sisi lain, dia juga tidak
siap berbantahan dengan warga desanya.
Aku bisa memaklumi sikapnya dan tidak sakit hati bila suatu
hari dia tidak membelaku. Bagiku, dia tetaplah pendukung
utama. Akan tiba saatnya, begitu katanya kepadaku. Akan tiba
saatnya warga desa mengerti dan menerima niat baikku.
Aku coba bertahan. Kalaupun akhirnya aku hampir putus asa
juga, itu bukanlah karena teror dan caci maki para warga. Tapi,
lebih karena rasa frustasiku terhadap ketidakpedulian warga
akan kesehatannya sendiri. Bagiku, mereka seolah lebih rela
keluarganya mati daripada kuberi obat. Haram mendapat
pengobatanku, begitu komentar seram yang pernah kudengar.
Untunglah Tuhan mendengar doaku. Kesempatan pertama itu
kudapat ketika Noval, anak sulung Pak Zulham, terserang diare.
Mulanya mereka memanggil dukun kampung, menganggap
penyakit yang diderita Noval adalah guna-guna.
"Aku tahu, ini perbuatan Si Lokot sekeluarga. Aku tahu. Dia iri
karena aku berhasil membawa ikan lebih banyak. Awaslah, aku
akan balas juga. Kalau anakku mati, anaknya juga harus begitu."
Aku mencoba menerangkan tentang penyakit Noval. Tapi orang
tuanya tidak peduli. Akhirnya, karena tidak tahan melihat
kondisi Noval yang mengalami dehidrasi, aku bertaruh dengan
nyawaku sendiri. "Saya akan mengobati anak Bapak," kataku mendatangi rumah
Pak Zulham. "Jangan sentuh anakku!" Pak Zulham berteriak marah. "Tidak
akan kuizinkan orang Cina menyentuh anakku. Haram jadah!"
"Anak Bapak sudah sangat kritis," kataku. Ya, Noval sudah
banyak kehilangan cairan. Kalau tidak segera ditolong, aku
yakin kondisi bocah lima tahun itu akan lebih parah.
"Kita sama-sama beragama, Pak," terangku. "Soal umur, semua
terserah Yang Mahakuasa. Tapi, izinkan saya menolongnya. Jika
memang dia tidak sembuh, maka nyawa saya jadi taruhannya.
Saya juga rela mati bersama Noval. Sebagai penganut agama
Kristen, aku memohon ampun pada Tuhan Allah, atas
kelancanganku. Aku berdoa, kiranya Dia senantiasa
menyertaiku. Dan Tuhan memang Mahasegalanya. Dia mengabulkan doaku,
permohonanku. Setelah menghabiskan empat botol cairan
melalui infus, perlahan kondisi Noval membaik. Dua hari
kemudian, jabat tangan Pak Zulham membuat air mataku
menetes. Aku menangis. Tapi tidak seperti kemarin-kemarin, hari ini
tangisku adalah tangis bahagia. Dan semoga esok juga penuh
kebahagiaan. Aku masih menyapu ruang praktekku ketika aku mendengar
suara seseorang di luar. Seorang bocah sembilan tahun sedang
menyandarkan sepedanya di bawah pohon kelapa.
"Bu Dokter, ini ada titipan Ayah," bocah itu, Udin,
mengangsurkan sebuah bungkusan kepadaku.
"Wah.terima kasih, ya, Din. Bagaimana kakimu?" kutarik
tangannya untuk masuk. Dia duduk di bangku panjang dan tidak
tampak takut ketika aku memeriksa lukanya. Tiga hari yang lalu
dia jatuh dari sepedanya. Lukanya lumayan besar. Tapi dasar
anak-anak, sekarang dia sudah bersepeda lagi.
"Sudah tidak berdarah lagi, Bu Dokter," sahutnya. "Tapi, kalau
malam, terasa mencubit-cubit. Berdenyut."


Kemarin Hari Ini Dan Esok Karya Risnawati Tambunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan terlalu banyak bersepeda dulu." Kubuka perban yang
membalut luka kakinya. Kubersihkan, kuganti dengan perban
baru dan kukompres. "Kamu akan sembuh," hiburku.
"Terima kasih, Bu Dokter. Emak bilang, saya tidak boleh lama-
lama di sini, nanti mengganggu kerja Ibu Dokter."
Aku tertawa, mengacak rambut ikalnya dan membiarkannya
berlalu. "Katakan kepada Emak dan Ayah, terima kasih untuk
kirimannya," pesanku.
"Baik, Bu Dokter." Udin sudah melesat dengan sepedanya.Ingat
sepeda, aku teringat seseorang. Seseorang yang suka melesat
dengan gaya yang sama dengan Udin. Sepeda bututnya sering
berbunyi, kretak-kretak! Kepalanya akan terangkat ke atas,
melihatku berdiri di balkon. Tersenyum, nyengir kuda, ketika
aku mencibirnya. Aku terhenyak. Seolah baru terbangun dari mimpi panjang.
Sesuatu menetes di hatiku. Kerinduan yang tak bertepi. Ya.aku
memang merindukannya. Sangat merindukannya. Aku suka
gayanya bicara, aku suka cara dia tertawa, tatapan lembutnya
dan semua tentang dia. Aku membuang bayangan itu. Kelebatnya nyata di pelupuk mata.
Tubuh jangkungnya, rambut ikalnya. Susah payah aku mencoba
menghilangkannya dari ingatanku. Kukemasi meja, buku-buku,
termasuk makan siang yang hari ini dikirim oleh ayah Udin.
Kupandangi ruang kerjaku. Sudah rapi. Tapi, ada yang kurang.
Kuperhatikan dindingnya yang muram dan buram. Aku perlu
mengecat ulang ruangan ini, agar kesan bersihnya melekat di
hati para pengunjung dan memberi efek positif bagi yang sakit.
"Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna
putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit."
Seseorang pernah berjanji kepadaku begitu. Mungkin dia
bermaksud bercanda. Tapi aku begitu tersanjung
mendengarnya. "Kau akan jadi dokter yang baik," sambungnya. "Tapi, aku akan
cepat mati karena cemburu kepada pasien-pasienmu."
Kata-katanya spontan, keluar tanpa terpikir lebih dulu. Tapi,
selalu bisa membuatku tersentuh. Bergetar.
Aku mencintai Ko Johan, memujanya karena dia memang pantas
untuk dicintai dan dipuja. Johan tampan, matang dan kaya.
Gadis mana pun akan tertarik kepadanya, akan jatuh cinta
kepadanya. Termasuk aku. Aku sangat bangga saat dia
memilihku sebagai pacarnya. Papa dan mamaku juga sangat
bersukacita dan merestui hubungan kami.
Tapi satu-satunya orang yang ingin kunikahi adalah laki-laki itu.
Si Keparat Coky! Aku ingin menikah dengannya, menjadi
istrinya, mendampingi hidupnya sampai kapan pun. Sampai dunia
berakhir. Aku ingin selalu berada dalam dekapannya,
pelukannya. Aku ingin ketika akan terlelap dia di sampingku,
dan saat terbangun dia masih tetap di sisiku.
Entah dia tahu apa tidak akan rasa hatiku.
Ketidakpeduliannyalah yang membuatku diam-diam memakinya
dengan kata 'keparat'. Seharusnya dia bisa menangkap sinyal-
sinyal yang kukirim lewat sikap dan perhatianku. Uh.dia malah
menjalin hubungan dengan gadis lain. Susi, Niken,
Indah.oh.pening kepalaku ingat nama-nama gadis itu.
Aku benci mendapati dia tidak pernah muncul di rumahku pada
Sabtu sore. Aku ingin selalu bersamanya. Selalu.
Suatu malam, kami pernah berciuman di kampus. Aku bahagia
sekali. Sejak saat itu aku bertekad, aku harus menikah
dengannya. Hanya dia. Tidak ada laki-laki lain. Aku miliknya,
sama seperti dia adalah milikku.
Sampai semuanya terjadi. Kurasakan wajah dan pelipisku banjir keringat. Bajuku basah.
Teringat olehku tangan-tangan kasar itu merenggutku,
memaksaku. Aku terisak sendirian, tidak seorang pun yang tahu
kejadian itu selain Mama. Kutelan pil antihamil, kuyakinkan
semua akan berjalan sebagaimana biasanya. Aku yakin tidak
akan terjadi apa-apa. Aku tahu, aku calon dokter. Aku mencoba
tenang. Yakin. Mama meninggal karena syok. Begitu juga Engkong.
Aku memang tidak hamil. Tapi siapa yang menjamin aku tidak
mengandung semua bibit kebencian dan dendam" Aku trauma
beberapa bulan lamanya, tapi hatiku keras. Yang ada hanya
kebencian, rasa dendam. Aku putus asa, merasa kotor, tercela dan tidak berarti. Ingin
rasanya aku mati saja. Sempat juga terpikir olehku untuk
bunuh diri. Tapi, dendamku harus terbalaskan. Harus.
Aku benci pada semua orang yang menyebabkan aku kehilangan
segala hal yang manis. Aku tidak ingin bicara kepada mereka.
Aku benci. Termasuk kepada Coky. Aku benci kenapa dia masih ada di
sisiku. Aku ingin dia pergi dari kehidupanku. Sebab aku tahu,
aku sangat mencintainya, tidak bisa hidup tanpa dia, tapi aku
juga sadar, aku tidak akan bisa hidup bersamanya setelah
kejadian yang menimpaku. Apa yang dapat kuberikan kepadanya" Apa" Aku tidak sanggup
menceritakan kejadian ini kepadanya. Tidak!
Aku pergi, berlalu. Menghindar darinya.
"Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna
putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit."
Ah..ah...entah di mana dia kini. Aku yakin, dia telah membangun
sebuah rumah. Dengan wanita lain.
Entah warna apa cat rumahnya.
Hiduplah dengan cinta. Papa pernah berkata begitu. Aku senang
kalau Papa sudah bicara tentang kemanusiaan dan kehidupan.
Uraiannya mengalir dengan kata-kata bermakna. Papa selalu
punya banyak cerita, banyak kisah.
Cerita tentang kebaikan dan kasih sayang.
"Jangan pernah membenci sesamamu, siapa pun dia," begitu
kata Papa kepadaku dan Willy, adikku. "Semua manusia sama.
Perbedaan memang ada, dan itu membuat setiap kita jadi
istimewa. Jangan menyayangi orang hanya karena warna
kulitnya sama dengan kita. Dan jangan membenci orang hanya
karena matanya tidak sama dengan kita. Cintailah semua orang,
karena kita sama-sama ciptaan Yang Kuasa."
Papa sangat sederhana. Setelah masuk SMU aku tahu bahwa
Papa bisa jadi orang yang sangat kaya. Bahkan mungkin lebih
kaya dari Om Petrus, papa Johan. Papa punya peluang untuk
mendapatkan untung. Tapi, Papa lebih memilih gaya hidup
sederhana. Lebih memilih sebutan Tukang Air ketimbang
Pengusaha. "Air itu sumber kehidupan yang paling utama," ucapnya suatu
kali. "Entah apa artinya hidup tanpa air. Dan Papa bangga
karena bisa membantu orang-orang mendapatkan air yang
bersih." Sebagai orang Cina, Papa memang tetap mewarisi jiwa dagang
dan ulet. Tapi tidak seperti pengusaha umumnya, Papa lebih
memilih berbaur dengan masyarakat dari kalangan bawah. Dia
lebih senang menghabiskan waktunya di pelosok dan pedalaman,
bersama pekerjanya, ketimbang sibuk bernegosiasi mendapat
proyek. Papa juga sangat dekat dengan para tetangga kami.
Ada saja yang datang apabila Papa di rumah.
Mama suka geleng-geleng kepala dengan ulah Papa. Mama juga
terkadang gondok bila Papa di rumah. Karena pasti ada saja
yang datang untuk membeli beras atau kebutuhan pokok lainnya
di toko kami tanpa membawa uang.
"Tidak apa, tidak apa. Bapak bawa saja dulu berasnya. Nanti
kalau sudah ada uang, boleh antar ke sini," begitu kata Papa.
Terang saja Mama terkadang kesal. Aku suka menebak-nebak
dan pernah berpikir jahil: jangan-jangan Mama tidak senang
Papa ada di rumah . Jadi sungguh aku tidak percaya bahwa orang sebaik Papa,
masih juga dianggap beda dengan para tetangga kami yang
rata-rata memang WNI asli. Aku sungguh benci mendapati
kami tidak dianggap beda dengan keluarga Cina lainnya. Jadi,
untuk apa kami bersusah payah membaur"
"Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi," kata Papa
pula. "Rambut boleh sama, kulit bisa tidak ada beda, tapi hati
manusia, siapa yang tahu?"
Ya, siapa yang tahu" Selama ini aku merasa bahwa keluarga
kami telah diterima sebagai bagian dari kehidupan para
tetangga, tapi kenyataannya, kami tetap dianggap beda.
Dan puncaknya adalah kejadian di bulan Mei itu. Pagi itu, aku
akan berangkat ke kampus ketika suara ribut-ribut terdengar
di depan toko kami. Belum sempat aku turun untuk melihat,
tiba-tiba rumah sudah penuh asap.
Kulihat Mama membantu Engkong turun. Aku mengikuti dari
belakang. Tapi tiba-tiba ada yang menjambak rambutku,
menarikku, dan.. color="#333333">Sebagai dokter ia tidak
akan melayani pasien yang tidak sebangsanya.
Aku membenci semua orang. Semua orang yang bukan Cina
sejak saat itu. Entahlah, selama ini aku tidak pernah
memasalahkan warna kulit. Papa telah mengajariku begitu. Aku
menerima diriku apa adanya dan menganggap bahwa orang juga
menerima diri mereka seperti apa adanya.
Perbedaan pasti ada. Dan perbedaan itu membuat setiap orang
jadi istimewa. Itu kata Papa.
Sayang Papa tidak tahu, bahwa perbedaan membuat orang juga
buta! Kebencian dan dendam itu terus menggunung. Aku tidak ingin
bermanis-manis dengan orang lain. Semua itu juga melahirkan
satu tekad dalam diriku bahwa aku tidak akan peduli kepada
orang lain. Kelak aku jadi dokter, aku tidak akan melayani siapapun yang
tidak sebangsa denganku. Seminggu setelah aku diwisuda, Paman menawariku buka
praktek di Medan, tepatnya di Jalan Asia, tidak jauh dari toko
elektronik yang dikelolanya. Tawaran yang baik. Daerah Jalan
Asia umumnya memang dihuni oleh warga keturunan Cina. Aku
yakin akan banyak mendapat pelanggan.
Tapi aku menolak. Kalau tetap di sana, aku tidak akan dapat
membalaskan dendamku. Aku harus buka praktek di daerah
yang netral. Aku jahat. Mungkin lebih jahat daripada orang-orang yang
telah menghancurkan kehidupanku. Tapi aku harus melakukan
itu. Bukankah yang paling sakit dari rasa benci dan dendam
adalah, apabila dia tidak terbalaskan.
Atas nama dendam dan benci aku pergi ke Tanjung Balai.
Sebuah kota pelabuhan di pantai timur Sumatra, lebih kurang
200 km dari Medan, berbatasan dengan Selat Malaka dengan
Malaysia. Di sana ada seorang pamanku, meskipun masih saudara jauh
dari pihak Papa, tapi dia menerimaku dengan senang hati.
Aku mulai berpraktek. Dua bulan aku membuka praktek, aku menikmati kekejamanku
sendiri. Beberapa orang pribumi kutolak untuk berobat. Aku
jahat. Sampai akhirnya gadis itu muncul di ruang parktekku. Usianya
baru tujuh belas tahun. Dia gadis yang biasa saja, namun
kecantikan khas perempuan pantai begitu menonjol.
Gadis itu bernama Minah. Dia baru kelas dua SMU.
Dia tiba di tempat praktekku hampir pukul delapan malam, saat
aku harus berkemas untuk istirahat. Maryam, perawat yang
membantuku berusaha mencegahnya menemuiku, tapi gadis
kurus berkulit gelap itu memaksa menemuiku.
"Tolong saya, Bu Dokter," matanya sembap. "Dokter harus
melakukannya," dia terisak. "Saya tidak bisa menanggungnya.
Saya malu.saya." "Saya sudah tutup," aku menolaknya tanpa perasaan, dan tanpa
mendengar alasannya. "Silakan berobat ke dokter lain." "Tapi.
dokter.saya.. " Aku melangkah pergi.
Dua hari kemudian aku membaca berita itu di sebuah harian
lokal. SEORANG GADIS TEWAS BUNUH DIRI!
Aku terhenyak ketika membaca isi berita itu. Gadis itu adalah
gadis yang berkunjung ke tempat praktekku dan kutolak
kehadirannya. Aku sangat terpukul ketika membaca berita selanjutnya.
Minah, gadis itu, ternyata adalah korban perkosaan. Yang
menyakitkan adalah, pelakunya ayah kandungnya. Sudah
berulang kali sang ayah bejat itu melakukannya pada Minah dan
ketika dia hamil, sang ayah mengusirnya.
Minah dikenal sebagai gadis yang pendiam. Pintar di sekolah
dan kini. Aku merenung dan mengingat nasibku. Rasa bersalah semakin
terasa di hatiku. Andai..andai.
Ya, Tuhan. "Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi. Rambut
boleh sama, kulit bisa tidak ada beda, tapi hati manusia, siapa
yang tahu?" Ya, Papa benar. Aku kini yakin akan satu hal, bahwa kejahatan
bisa terjadi bukan karena kebencian akan sebuah perbedaan,
tapi karena hati manusia yang tidak lagi memiliki cinta. Ya, hati
manusia memang kebanyakan seperti lautan. Susah diselami.
Perlahan kesadaranku muncul. Aku ingin membunuh semua benci
di hatiku. Aku ingin menganggapnya sebagai takdir. Tapi aku
tidak pernah tahu bagaimana caranya membuang rasa benci dan
dendam di hati. Aku berpikir, aku harus berbuat sesuatu. Tidak akan cukup
dunia ini bila diisi oleh manusia yang hatinya penuh dengan
kebencian, itu kata Papa dulu. Aku ingin menata hatiku. Melihat
sesuatu dengan positif. Semua sudah berlalu, haruskah aku
berbuat sama dengan orang-orang yang telah merenggut
kebahagiaanku" Kutanya hatiku, kenapa aku terus menyimpan benci. Ayo, Dewi,
buanglah! Siapa yang kau benci sebenarnya" Orang-orang itu"
Orang yang mana" Setiap mereka yang bukan Cina" Ah. kau pun
sama seperti mereka yang brutal. Jika kau mau, cintailah
semua orang tanpa memandang ras mereka. Yakinlah, bahwa
semua orang sama, sederajat di mata Yang Kuasa. Ya.betapa
idealisnya. Mampukah aku"
Ingin aku belajar menerima semua yang telah berlalu sebagai
takdir. Termasuk penyesalanku yang tidak pernah menerima
Minah. Kupilih desa Berombak yang miskin sebagai tempatku ujian.
Aku ingin mengenal hatiku. Kutinggalkan kota Medan, termasuk
anganku untuk hidup dengan laki-laki tercintaku.
Johan telah lama berlalu dari hidupku, dari hatiku. Aku
memang menolak menikah dengannya. Aku tidak pernah
sungguh-sungguh mencintainya. Aku hanya bangga menjadi
pilihannya, lebih dari itu, sepertinya tidak ada.


Kemarin Hari Ini Dan Esok Karya Risnawati Tambunan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayangan Coky terus bertahta di hatiku, tidak mau jauh. Tapi
aku berkeras hati untuk tidak bertemu dan menemuinya. Aku
tidak ingin mengetahui bagaimana keadaannya. Biarlah. Aku
mencintainya. Itu pun sudah cukup.
Setahun lebih aku menjauhi keluarga. Mereka tidak pernah
tahu aku ada di mana. Lebih baik begitu. Aku ingin menjauh
dari kehidupan lama yang telah menjeratku dan
memenjarakanku. Kini aku memiliki kehidupan baru. Lebih baik tidak seorangpun
yang tahu aku di mana. Lebih baik aku menjadi milik alam yang
bebas. Aku akan belajar mengenal hidup di tempat yang
mungkin tidak sepenuhnya menerimaku.
Bahkan jika aku harus mati di kampung ini, aku ingin tidak
seorang pun yang kehilangan. Cukuplah alam. Karena aku adalah
milik alam dengan keberagaman isinya.
Senyumnya sering membuatku bertambah kuat. Ihsan, si
kepala desa muda itu tiba di tempat tinggalku.
"Bagaimana kabar Bu Dokter?" tanyanya sambil mengambil
tempat duduk di sebelahku.
"Baik," aku menjawab sambil tersenyum. "Jauh lebih baik dari
kemarin." "Syukurlah," Ihsan bangkit dari duduknya dan berjalan
mengitari ruangan. "Temboknya sudah sangat buram," keluhnya
seolah kepada diri sendiri. "Aku akan mengecat ulang dinding
ruangan ini," tiba-tiba dia membalikkan badannya dan
menatapku dengan mata berbinar.
"Akan kita cat ulang ya. Kita cat dengan warna putih. wah.akan
kelihatan seperti rumah sakit sungguhan!" dia tertawa.
Ucapannya membuat jantungku berdenyut. Dan bayangan
seseorang melintas di pelupuk mataku.
"Kenapa?" tiba-tiba Ihsan menatapku. Lekat. Aku gugup
dibuatnya. "Aku punya rencana yang sama," sahutku sambil mengalihkan
pandangan. "Minggu depan aku akan ke kota untuk membeli
obat- obatan. Aku akan sempatkan mencari cat dan.. "
"Dewi." Ihsan menyentuh tanganku. "Aku yang akan melakukan
itu untukmu. Aku yang akan mengecat ruangan ini. Untukmu."
Tenggorokanku kering. Aku yakin, laki-laki tercintaku nun jauh di mana, juga berkata
begitu kepada kekasihnya kini. Medan, akhir 2000
Aku nyaris tidak mengenal pemuda itu. Di balik kacamata
minusnya, ketampanan pemuda itu makin kentara.
Dia menyambutku dengan senyum hangat.
"Abang Coky...," Willy menjabat tanganku dan memelukku.
"Hebat kau sekarang, Willy," kutepuk bahunya. "Kau nampak
gagah dengan kemeja licin dan dasi keren ini!"
"Jangan menghinaku, Bang," dia tergelak. "Abang juga hebat.
Sukses terus?" "Beginilah," aku menunjuk lenganku. "Aku makin hitam. Maklum,
mengawas proyek terus. Kebagian di tempat panas. Tidak
seperti kau, di gedung full AC."
"Abang bisa saja," Willy tergelak lagi.
"Benar kok. Aku terus di lapangan. Bulan depan mungkin malah
harus ke Kalimantan."
"Wah...jauh sekali," Willy menggeleng. "Beginilah nasibku," aku
tertawa. Aku sengaja menemui Willy siang itu. Dari Bibi Afang aku tahu
bahwa Willy sudah bekerja di bank swasta. Banyak cerita Bibi
Afang, maklum sudah setahun, sejak kunjunganku dulu aku
tidak bertemu lagi. Panjang lebar dia menceritakan keadaan keluarganyanya,
layaknya aku adalah anggota keluarganya juga. Tapi sayang
tidak satu kalimat pun yang menyinggung soal Dewi. Bidadari
yang amat kurindu. Dan Willy juga tidak punya kabar tentang dia.
"Aku kangen dengan Ci Dewi, tapi ya.," Willy menggeleng ketika
menyinggung nama cici-nya, kakaknya. "Aku percaya kepadanya.
Dia pernah berkata, jangan khawatirkan dirinya. Dia akan
menjaga dirinya. Aku yakin dia melakukan apa yang
dikatakannya." Aku tidak berkomentar. Setahun terakhir aku berada di hutan. Aku cuma seorang
bawahan di proyek. Mengambil cuti sangat susah. Jadi aku
tidak punya kesempatan mencari tahu keadaan Dewi. Sekali ini
aku mendapat kesempatan pulang selama seminggu. Aku
berharap ada kabar mengenai Dewi. Apapun itu. Meskipun
kabar yang akan membuatku kecewa, misalnya, Dewi telah
menikah! Tak apalah...asal aku mendengarnya. Tapi"
"Aku sangat rindu kepada Cici," Willy menarik napasnya. "Kami
sangat dekat. Aku tidak tahu apakah dia merindukanku!"
"Dia pasti merindukanmu," aku menatap Willy, meyakinkannya.
"Bang Coky tidak merindukannya?"
Pertanyaan Willy menohokku. Aku tidak menjawab.
"Cici sangat sayang kepada Bang Coky," Willy tersenyum kecil.
"Dia pernah berkata begitu kepadaku."
Ucapan Willy membuat semua aliran darahku seakan berhenti.
"Aku merindukannya," suaraku serak dan bergetar. "Aku juga
sangat menyayanginya. Mencintainya. Sejak kemarin, sampai
hari ini dan selamanya!"
TAMAT Edit & Convert: inzomnia
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Pendekar Setia 3 Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa Kitab Pusaka 5
^