Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 9
Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Bagian 9
berakhir jika Mei tetap pergi, tidak peduli. Semua usaha pengejaranku sia-sia, jika Mei tetap menyerahkan boarding pass-nya pada petugas.
Aku dibawa ke ruangan keamanan bandara, aku tidak bisa melihat Mei lagi, dinding kaca ruang tunggu bergantikan tembok beton."
Aku mengeluh amat dalam."
*** Adalah satu jam aku di-interogasi.
Aku bilang aku mengejar seseorang yang amat berarti dalam hidupku. Dia akan pergi. Aku terpaksa melakukan semua pelanggaran tadi. Petugas saling lirik,
setengah tidak percaya. Petugas memeriksa dompetku, berserak KTP, uang receh, pesanan spare-part, catatan kecil tentang jadwal pelatihan bengkel, bukti
hutang Juned, dan kertas kecil, lecek, bertuliskan, "Maafkan Mei, abang. Seharusnya Mei tidak pernah menemui abang sebelumnya." Itu pesan Mei yang selalu
kusimpan di dompet. Petugas tercenung membacanya. Melipatnya lagi.
Tidak puas memeriksa dompetku, mereka memeriksa saku celana, baju, mengeluarkan uang receh, dan juga menemukan satu kertas kecil, lecek, bertuliskan, "Maafkan
Mei, abang. Mei pergi." Pesan Mei yang dititipkan lewat Bibi tadi.
Petugas terdiam membacanya. Mereka menatapku.
"Cerita kau sungguhan?"
Aku menunduk, tidak menjawab. Aku jauh lebih terkendali, tidak berontak, teriak marah, lepaskan, bilang Mei pergi sedangkan kalian sibuk menangkapku. Apalagi"
Pesawat itu sudah berangkat satu jam lalu, mau marah, mau mengamuk, tidak akan merubah situasi.
Petugas berbisik-bisik, berdiskusi. Aku akhirnya dilepaskan.
Aku gontai mendorong pintu ruangan keamanan. Menghela nafas, selesai sudah, semua urusan ini berakhir tanpa sempat mendengar penjelasan. Sudah pukul tujuh
malam, sebaiknya aku pulang. Istirahat"walaupun prospek aku bisa tertidur cepat rendah sekali setelah semua kejadian.
"Abang." Suara itu memanggilku.
Aku mengangkat kepala."
"Abang baik-baik saja?"
Aku sungguh seperti mendapatkan kejutan hadiah terbaik seumur hidupku.
*** Kami berdiri di depan ruangan petugas keamanan yang lengang, hanya ada satu petugas kebersihan yang sibuk mengepel lantai.
"Kau, kau tidak jadi naik pesawat?" Aku meneguhkan diri, memulai percakapan.
Mei mengangguk. Aku bersorak riang dalam hati. Hore! Dia batal pergi.
"Tapi aku tetap pergi, abang." Mei berkata pelan, menunduk.
Sorakanku terhenti, menatap bingung.
"Aku sudah membeli tiket baru. Pesawat terakhir hari ini yang menuju Surabaya." Mei tetap menunduk.
Aku menelan ludah, dengan cepat paham situasinya. Dia membatalkan naik pesawat pukul enam tadi hanya semata-mata untuk memastikan aku baik-baik saja, tidak
ditahan petugas. "Kenapa, eh, kenapa kau pergi mendadak sekali, Mei?" Aku bertanya gugup, "Maksudku, eh, kalau kau masih sempat bilang dua atau tiga hari lalu, mungkin
aku bisa membelikan ole-ole, durian Pontianak, pisang goreng, atau apalah yang kau sukai."
Mei tertawa pelan (getir).
Kami terdiam lagi. "Berapa lama kau ke Surabaya" Tiga hari?"
Mei menggeleng. "Satu minggu?" Mei menggeleng. "Dua minggu" Satu bulan?" Suaraku bergetar.
Mei menggeleng, "Aku tidak tahu abang, boleh jadi selamanya."
Oh Ibu, kalimat terakhirnya membuatku membeku.
Petugas kebersihan masih sibuk mengepel lantai.
"Tapi, tapi kenapa Mei?" Akhirnya pertanyaan itu berhasil kukeluarkan langsung di hadapannya. Setelah berminggu-minggu penasaran.
Mei diam, menunduk dalam-dalam, "Aku juga tidak tahu persis apa alasannya, abang. Aku tidak tahu. Mungkin ini lebih baik buat kita."
Aku menggigit bibir, tanganku terasa kebas. Aku tidak tahu apakah aku sekarang sedih, gugup, cemas, atau boleh jadi marah, dengarlah, setelah semua yang
terjadi, Mei bilang dia tidak tahu kenapa dia melakukannya.
"Ini tidak lebih baik buat siapapun, Mei." Aku berseru setengah putus asa, "Kau seharusnya tahu persis, kepergian kau yang tiba-tiba ini bisa membuat hidupku
jadi terbalik.?" Aku menghembuskan nafas, berusaha mengendalikan diri.
Mei menunduk dalam-dalam.
"Tidak tahukah kau, kalau, kalau," Aku meremas jemari, memaksa kakiku tetap kokoh berdiri, harus kukatakan, aku tidak bisa mundur lagi, "Tidak tahukah
kau, kalau aku" kalau aku amat menyukai kau, Mei. Aku, aku menyukai kau."
Depan ruangan interogasi lengang.
Petugas kebersihan masih asyik mengepel, tidak peduli.
Wajah sendu itu terangkat, menatapku lamat-lamat dengan mata hitam beningnya yang berkaca-kaca, "Maafkan Mei, abang."
"Astaga, Bbrhentilah meminta maaf, Mei. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada kesalahan, kekeliruan apalagi dosa dalam sebuah perasaan, bukan?" Aku
menyela kalimat perlahannya, aku butuh penjelasan sekarang, bukan permintaan maaf.
Mei menunduk lagi, "Maafkan Mei, abang, karena" karena Mei sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kedekatan kita, hubungan kita, semuanya. Minggu-minggu
terakhir ini membingungkan. Bahkan sebenarnya, sejak pertama kali kita bertemu di atas sepit, semua sudah rumit."
Aku menyisir rambut dengan jari, rumit apanya"
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Entah kenapa, aku justeru mengeluarkan pertanyaan itu untuk membuat semua kerumitan menjadi lebih sederhana. Berpikiran
pendek, kalau Mei bisa menjawab pertanyaan itu dengan "ya" atau "tidak", maka sudah jelaslah semuanya. Itu sungguh bukan jalan pintas yang baik dalam sebuah
percakapan seperti ini. Mei terdiam"tentu saja dia akan terdiam.
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Aku (justeru) mendesaknya.
"Mei tidak tahu abang. Mei sungguh tidak tahu lagi apa yang sedang Mei lakukan. Berdiri di sini, menunda pesawat tadi, menghindari abang berminggu-minggu,
menolak bertemu. Semua ini membingungkan, bahkan bagiku sendiri." Suara gadis itu bergetar.
Aku gregetan, gemas mendengar jawabannya."
Suara pengumuman di langit-langit ruangan memanggil penumpang penerbangan terakhir menuju Surabaya terdengar.
"Itu, itu pesawatku, abang." Mei berkata pelan.
Aku diam, mendongak menatap langit-langit ruangan.
"Maafkan Mei, abang. Mungkin ini lebih baik bagi kita"." Mei menatapku lamat-lamat, dia menyentuh lenganku, tangannya gemetar, "Biarkan Mei pergi, abang"
satu bulan, enam bulan, satu tahun, hingga semua menjadi lebih jelas. Biarkan waktu yang membuatnya menjadi lebih terang."
"Satu tahun?" Aku mengeluh, itu bukan waktu yang sebentar.
"Mei tidak tahu kapan persisnya, abang". Boleh jadi lebih dari setahun" Dan hingga penjelasan itu datang, semua menjadi lebih jernih, kita akan menyibukkan
diri dengan kehidupan baru, berjanjilah, abang akan terus mengurus bengkel itu. Aku berjanji akan terus menjadi guru yang baik"." Gadis itu tersenyum getir,
"Berjanjilah, abang juga akan memulai kesempatan baru, bertemu dengan gadis baik lain misalnya. Abang berhak mendapatkan yang lebih baik, bukan seseorang
yang dibebani masa lalu.?"
Gadis itu memegang lenganku erat-erat, matanya semakin berkaca-kaca, "Abang sudah mengenal dokter gigi itu, bukan" Sarah. Dia sungguh gadis yang baik.
Dia tumbuh menjadi gadis periang, ringan hati, selalu suka melakukan hal-hal yang seru, wajahnya menyenangkan, dia sungguh tumbuh dengan segala kebaikan
setelah kejadian menyakitkan itu. Berbeda denganku, wajahku selalu terlihat sedih, pendiam, lebih banyak mengurung diri di kamar, selalu ragu-ragu dan
pemalu." Aku menelan ludah, apa yang sedang dibicarakan Mei" Apa hubungannya dengan Sarah"
"Maafkan Mei, abang". kita hanya saling menyakiti jika terus bertemu. Semua perasaan ini bukan untuk main-main. Bahkan untuk sebuah hubungan yang sungguh-sungguh
sekalipun bisa gagal. Apalagi jika dia tidak pasti, tidak meyakinkan, tidak jelas, terbebani masa lalu, kedekatan kita cepat atau lambat akan berakhir,
dan itu boleh jadi terlanjur menyakitkan. Mei sungguh tidak mau membuat abang sedih."
Pengumuman di langit-langit ruangan terdengar sekali lagi, final call untuk penumpang penerbangan terakhir menuju Surabaya.
"Berjanjilah, abang" hingga hari itu tiba, baik atau buruk akhirnya, sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari,
terus menjadi anak muda dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas". Mei harus pergi abang, selamat tinggal."
Gadis itu sudah balik kanan, satu tetes air-matanya terpercik ke lantai, dia berlari-lari kecil menuju pintu ruang tunggu.
Aku berdiri mematung."
Percakapan telah selesai.
*** "Umpannya dimakan, umpannya dimakan, Pak Tua!" Andi berseru-seru.
Semua kepala kami tertoleh."
"Lantas memangnya kenapa kalau umpannya dimakan?" Aku yang duduk disebelah Andi bersungut-sungut, gara-gara teriakan dia, sepertinya ikan yang mau menangkap
mata kail-ku malah kabur."
"Umpannya dimakan, Pak Tua! Bagaimana ini?" Andi tidak peduli, dia meneriaki lagi Pak Tua yang mancing paling ujung, dekat buritan kapal.
"Tarik, Andi. Gulung senarnya!" Pak Tua mengapresiasi lebih baik, dia menyikutku menyuruh minggir, jongkok di belakang Andi yang saking antusiasnya malah
terlihat panik. "Sudah aku tarik Pak Tua, ikannya melawan."
"Ye lah, pasti melawan, masa" ikannya malah pasrah kau tarik. Mana ada ikan yang pasrah mau berakhir di penggorengan." Aku menepuk dahi pelan, setengah
tertawa. Tetapi tidak ada yang memperhatikan kalimat jahilku, Bang Togar, Cik Tulani, dan Koh Acung lebih asyik melihat Andi yang sudah berdiri, dibantu instruksi
Pak Tua, berusaha menarik senar pancing secepat yang dia bisa."
"Astaga, dia semakin melawan, Pak Tua." Joran ditangan Andi sempurna melengkung, bergetar malah, tali pancing meregang amat kencang. Sepuluh meter di depan
kami, ikan yang memakan kail Andi berontak, berenang kesana-kemari. Permukaan sungai Kapuas yang tenang jadi beriak.
"Itu ikan besar, Andi." Bang Togar berdiri, wajahnya ikut tegang.
"Tidak salah lagi," Cik Tulani mengangguk, "Boleh jadi baung raksasa sungai Kapuas."
Demi mendengar kemungkinan itu, wajah Andi yang panik terlihat berbinar-binar. Dia mencibirkan mulutnya padaku, lihat, tangkapanku jauh lebih besar dibanding
baung (alias patin) kau barusan.
Aku cuma nyengir. Belum tentu juga dia berhasil menarik ikan itu naik ke atas perahu.
"Ulur dulu, Andi, ulur sedikit, jangan kau paksakan." Pak Tua gemas, memberi perintah.
"Baik, Pak." Andi melepas putaran senar.
"Nah, gulung sekarang, satu, dua, tiga, empat."
"Ya ulur lagi, satu, dua " tarik lagi! Satu, dua, tiga, empat". Ulur! Satu, dua"." Pak Tua berseru-seru sudah macam instruktur aerobik di fitness center
murahan dekat gang sempit"hanya kacik soal gerakan tangan dan kaki saja. Andi menurut, fokus sangat dengan joran pancingnya.
Adalah lima menit Andi berjuang menaklukkan ikan itu, semua orang yang ada di kapal ikut tegang menonton, Sarah, Kak Nay, dua anak Kak Nay dan Bang Togar
yang masih enam dan sembilan tahun berkerumun di dekat kami. Aku cemas, jangan-jangan perahu akan terbalik gara-gara semua orang pindah ke satu sisi, apalagi
gerakan Andi semakin heboh.
"Semangat, Oom Andi! SEMANGAT!!" Anak Kak Nay yang paling bungsu berseru senang"dia sejak tadi memang paling riang setiap kali kami berhasil menangkap
ikan. "Kalau ikannya besar, yang ini buat aku ya, Oom."
"Enak saja, buat aku Oom!" Kakak-nya tidak mau kalah.
"Haiya, kalian berdo"a dulu semoga senarnya tidak terlanjur putus." Koh Acung cemas, memegangi dua anak Kak Nay yang saking antusiasnya, melongok ke arah
permukaan sungai. Perlawanan ikan itu mencapai klimaksnya ketika badannya tertarik keluar dari permukaan sungai. Ikan yang aneh, ia justeru tidak menggelepar-gelepar. Dan
aku, bukannya langsung ber-waah besarnya, atau waah hebatnya, aku justeru tertawa terpingka-pingkal saat "ikan" itu berhasil ditarik keluar. Bang Togar,
Cik Tulani dan Koh Acung juga nyengir, tertawa pelan, semuanya jadi antiklimaks, lihatlah, yang didapat pancing Andi adalah labi-labi besar"sejenis kura-kura
sungai, alih-alih baung raksasa."
Andi terlihat kecewa sekali, merutuk dalam hati. Sudah hampir setengah hari kami mancing, hanya dia yang belum dapat ikan, jadi aib rombongan sejak tadi"disindir-sindir
Bang Togar sebagai membawa sial."
"Boleh aku pelihara, Pak Tua." Anak sulung Kak Nay bertanya, memegang kura-kura sebesar nampan kecil itu, yang meski di dalam air lincah sekali melawan,
tapi di lantai papan perahu hanya bisa merangkak pelan, kepala dan kakinya mengkerut ke dalam tempurung.
"Tidak boleh, Yosh. Usia labi-labi ini bahkan boleh jadi lebih tua dibanding bapak kau, Nak. Bahkan dibanding usiaku. Ayo, kau bantu melepaskan." Pak Tua
menggeleng. Dua anak Kak Nay berseru kecewa"meski tetap lebih kecewa Andi.
Labi-labi itu berdebum, dilempar kembali ke permukaan sungai Kapuas. Semua kembali konsentrasi pada kail masing-masing.
Lama sekali kami merencanakan perjalanan mancing ramai-ramai ini, hampir sebulan. Tadi pagi, kami berangkat saat dermaga sepit masih remang, lampu rumah
penduduk di tepian sungai masih menyala. Kami bertujuh patungan menyewa kapal perahu besar seharian (termasuk menyewa peralatan mancing), lantas berhuluan
menelusuri sungai Kapuas, mencari lokasi paling baik untuk mancing. Ini ide Sarah, dia bilang, ingin mancing di hulu Kapuas, Pak Tua meng-amini, Koh Acung
dan Cik Tulani tertarik ikut, Bang Togar malah mengajak istri dan dua anaknya. Maka kami berembug, mencari waktu yang baik, hari libur, toko kelontong,
warung makan itu terpaksa tutup"meski bengkel tetap buka, bapak Andi memutuskan tidak ikut, menjaga bengkel.
Dari muara Kapuas, butuh dua jam berhuluan untuk sampai di bagian sungai yang tenang, lebar, dengan pohon dan semak menutupi tepi-tepinya, hutan lebat
menggantikan tepian rumah penduduk. Suara burung terdengar nyaring, monyet yang kejar-kejaran, derik serangga, lenguh binatang liar, ini perjalanan yang
menyenangkan. Sarah membawa tustel bagus, Kak Nay membawa banyak makanan kecil, logistik, maka perjalanan dua jam berlalu tanpa terasa. Dua anak Kak Nay
ribut berkejaran di perahu kayu dengan ruangan kabin terbuka, cukup lega untuk bermain sekaligus beristirahat. Aku, dan Bang Togar bergantian menyetir
kemudi perahu"Sarah sekali dua mencobanya. Mudah saja mengemudikan perahu besar ini kalau kalian sudah bisa membawa sepit. Pak Tua, Koh Acung dan Cik Tulani
duduk di buritan perahu, ngobrol bebas, menatap pemandangan.
Tiba di lokasi yang baik, Bang Togar melempar jangkar, aku membagikan joran pancing dan umpan, maka mulailah acara memancing bersama, kami duduk dengan
kaki menjuntai di sisi perahu. Permukaan sungai yang keruh terlihat tenang, hutan lebat sejauh mata memandang, udara terasa segar. Dengan makanan kecil
menumpuk, obrolan ringan, saling mengolok, tertawa, sibuk mendekat setiap kali ada yang berteriak umpannya dimakan, tidak terasa hari sudah siang.
"Ikan gorengnya siap! Ikan gorengnya siap!" Kak Nay berseru riang, memukul kuali yang dipegangnya, teng, teng, teng, kepalanya muncul dari dalam kabin
terbuka. "Akhirnya." Bang Togar meletakkan joran pancing, terlihat paling bersemangat, "Perutku sudah berbunyi sejak aroma ikan gorengnya tercium."
"Makan, makan, makan." Cik Tulani ikut berdiri.
Pukul satu, jadwalnya makan siang. Di kabin perahu kayu tersedia peralatan masak sederhana, itulah kenapa Bang Togar menyuruh Kak Nay ikut.
Kami duduk di atas tikar pandan, mengelilingi piring-piring.
"Nampaknya lezat sekali, Nay." Pak Tua terkekeh, membasuh tangannya di baskom.
"Ini bukan Nay yang masak, Pak Tua. Sarah yang masak." Kak Nay tersenyum, mengedipkan mata, "Nah, termasuk yang dipiring Borno, itu spesial sekali buatan
Sarah." Kabin perahu dipenuhi tawa. Wajah Sarah merah padam, menyikut Kak Nay, "Aduh, harusnya Kakak nggak bilang-bilang."
Wajahku juga sudah seperti kepiting rebus. Melotot pada Kak Nay.
"Kau mau ambil apa, Andi?" Bang Togar tiba-tiba menahan tangan Andi.
"Ambil ikan goreng, Bang?" Gerakan Andi membungkuk meraih piring besar tertahan, bingung menatap wajah galak Bang Togar.
"Enak saja. Kau kan sama sekali tidak dapat ikan sejak tadi pagi. Peraturan adalah peraturan di perahu ini, yang tidak dapat ikan, kunyah saja nasi putih."
Andi menelan ludah, wajahnya terlihat nelangsa.
Kabin perahu kembali dipenuhi tawa"setidaknya bukan aku yang ditertawai.
"Ambil saja, Andi." Pak Tua menengahi, menyeringai kasihan, "Sudahlah, Togar. Ini bukan dermaga sepit. Tidak ada peraturan-peraturan konyol kau itu."
Sepertinya tidak ada yang mengalahkan situasi makan siang kami, bukan" Menghabiskan ikan goreng hasil pancingan sendiri. Belum lagi dengan pemandangan
di sekitar perahu yang kami sewa, satu dua perahu kayu kecil melintas, penduduk setempat yang hendak pergi ke kebun atau berburu. Bang Togar menyapa mereka
dengan bahasa Dayak pedalaman yang tidak kumengerti, melambaikan tangan. Setengah jam, piring-piring kami habis tandas.
Acara memancing dilanjutkan.
Malang nian nasib Andi, hingga pukul empat sore, hingga jadwal kami kembali berhiliran, pulang ke kota Pontianak, pancing Andi tetap tidak dimakan ikan
manapun. Wajahnya kusut, dia sepertinya menjadi orang paling tidak berbahagia di perjalanan yang berbahagia itu.
"Tenang saja, Andi. Kalau hanya soal malu ditertawakan bapak kau karena pulang dengan tangan kosong, kau bawa saja ikan yang kudapat. Orang tua ini tidak
perlu ikan banyak-banyak." Pak Tua menghibur"seharian memancing, Pak Tua yang paling bertuah, dapat ikan paling banyak.
Andi bersungut-sungut, meski mengangguk.
Perjalanan pulang, suara mesin dan gelembung air di permukaan sungai terdengar berirama. Aku yang memegang kemudi, kecepatan rata-rata, perahu besar itu
meluncur anggun. Bang Togar sedang bermain bersama anaknya di kabin terbuka. Menunjuk-nunjuk" tepian Kapuas, terkadang ada saja binatang hutan yang terlihat"paling
sering babi atau monyet. Atau burung besar warna-warni macam enggang terbang rendah, melintasi perahu kayu, membuat dua anak itu berteriak-teriak senang.
Cik Tulani, Koh Acung dan Andi duduk-duduk di buritan, bicara santai, ber-hah menghabiskan pisang goreng panas. Sarah dan Kak Nay sibuk membereskan peralatan
dapur. "Menyenangkan, bukan?" Pak Tua sudah berdiri di belakangku.
Aku menoleh, tertawa, "Benar, ini perjalanan yang menyenangkan."
"Bukan perjalanan ini, Borno." Pak Tua nyengir.
Dahiku terlipat, tanganku kokoh memegang kemudi, lantas apa yang menyenangkan"
"Tadi setelah makan siang, orang tua ini melihat kau dan Sarah duduk berdua di anjungan kapal. Menyenangkan, bukan?" Pak Tua mengedipkan mata.
Aku mengeluarkan puuh, pelan. Ternyata soal itu.
"Kalian membicarakan apa?" Pak Tua sepertinya akan terus menggangguku, berdiri dengan bersandar di dinding ruang kemudi.
"Aku mengajari dia mancing, Pak Tua. Tidak lebih, tidak kurang." Aku memutuskan menjawab lurus, tidak pakai rahasia-rahasia segala, nanti Pak Tua malah
tambah jahil. "Ohya?" Pak Tua menyelidik, tertawa.
"Astaga, apalagi?" Aku berseru sebal.
Pak Tua malah terkekeh, "Kenapa kau harus marah, Borno. Kan kau bilang hanya itu, tidak lebih, tidak kurang, jadi ya hanya itu. Justeru dengan marah atau
kesal orang lain tambah curiga."
"Jangan ganggu aku dulu, Pak Tua. Nanti kapal ini jadi salah belok." Aku menyeringai jahat, mengusir Pak Tua dengan seringai wajah.
"Ye lah, ye lah". Kau ini sejak ditinggal pergi si sendu menawan itu ke Surabaya kenapa jadi menyebalkan sekali." Pak Tua bersungut-sungut, "Orang tua
ini kan hanya bertanya" ya selain, asal kau tahu, Borno, orang tua ini juga paling senang kalau kalian berdua bisa dekat. Kalian cocok sekali." Pak Tua
tertawa, pura-pura membayangkan.
"Pergi, Pak Tua." Aku melotot.
Pak Tua terkekeh lagi, meninggalkanku sebelum aku menimpuknya dengan kain lap.
*** Dari perjalanan mancing bersama kami itu, sudah terhitung enam bulan Mei pergi.
Selama itu pula, aku berusaha memegang penuh permintaannya, dia minta aku berjanji akan terus mengisi hari-hari dengan baik. Aku lakukan. Tidak ada lagi
yang bisa kulakukan selain itu, bukan?"
Meski terus terang, satu bulan pertama berjalan tidak mudah, semua kenangan itu seperti berebut kembali di kepalaku, membuat duniaku menjadi terbalik.
Wajah Mei saat hujan-hujanan bertamu di rumah Fulan dan Fulani, wajah Mei saat bertanya apakah "abang sudah dapat ang pao?" di dermaga, wajah Mei saat
makan bersama di atas restoran terapung. Semuanya berebut kembali. Membuatku tidak semangat mengurus bengkel, tidak semangat mengurus diri-sendiri, lebih
sering diomeli Ibu, yang kesal melihatku malas-malasan di rumah, Andi juga selalu mengeluh setiap melihatku di bengkel, bilang aku macam anak kecil cacingan,
menjadi pendiam dan suka lemas sendiri. Itu sungguh hari-hari yang sulit, kurang tidur, tidak selera makan, mudah marah, sensitif.
Kabar baiknya, memasuki bulan kedua, situasinya membaik. Bengkel kami berlari kencang, dengan peralatan baru yang dibeli di Surabaya, lebih banyak mobil
dan jenis pekerjaan yang bisa kami terima, pekerjaan lebih cepat dan lebih efisien. Pegawai bengkel sudah bertambah dua, salah-satunya membantu urusan
administrasi. Andi yang pelajaran akuntansi SMA-nya dulu cuma dapat ponten lima, mulai kewalahan mengurus catatan pengeluaran dan pemasukan bengkel. Kami
memutuskan merekrut staf buat dia. Dan aku sedikit menyesal menyetujui kalau siapa yang diterima adalah hak preogratif Andi. Bayangkan, kawan baikku yang
tak laku-laku itu, bujang lapuk, sengaja benar hanya mau mewawancari pelamar perempuan. Dan dia mencak-mencak saat bapaknya justeru memutuskan menerima
lulusan D3 akuntansi laki-laki. Pegawai baru lainnya adalah montir berpengalaman, terbiasa menggunakan peralatan bengkel canggih, gajinya mahal, tapi itu
kebutuhan, kami bisa sekalian belajar dengannya. Kesibukan bengkel membuatku bisa sedikit mengusir resah.
Belum lagi Bang Togar sering berkunjung ke rumah, menjenguk Ibu, dan meski dia rese, kunjungan Bang Togar setidaknya menjadi penyela bengongku yang efektif.
Dia teman bertengkar yang hebat. Cik Tulani sebulan terakhir lebih sering mengirimkan "sisa" makanan dari warung makannya, dan dia tetap tega menyuruh-nyuruhku
membawa rantang. Sementara Koh Acung selalu riang menyambutku belanja keperluan sehari-hari, mengajaknya ngobrol sebentar, begurau satu sama lain, tertawa.
Kalian tahu, jangan pernah bilang, "semoga kau beruntung, Borno" padaku, karena aku sungguh sudah beruntung dengan memiliki mereka. Kawan yang baik, kerabat
yang baik, ditambah tetangga yang selalu peduli"meski peduli kadang identik dengan selalu ingin tahu. Dan itu belum terhitung Pak Tua. Aku tahu, meski
dia selalu mengolok-olokku soal perasaan, pak Tua adalah kawan bicara yang selalu bisa membuatku tenteram. Membuatku menyadari banyak hal.
Karena Pak Tualah, memasuki bulan kedua, semangatku sempurna kembali."
Aku akan sungguh-sungguh menunaikan permintaan kau, Mei. Terus menjadi bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Kau tahu, hanya itulah
yang kumiliki setelah kau pergi. Sepotong hatiku yang tersisa. Kalimat bijak Pak Tua selalu benar, satu bulan setelah kau pergi, Mei, dia datang menemuiku
di kamar, menatapku prihatin, menghela nafas panjang. Lihatlah, Borno yang tidak mandi-mandi, rambut berantakan, mata merah kurang tidur, diomeli pula
oleh Ibu sepanjang hari, Borno yang lemas, sakit pilek. Pak Tua menyentuh bahuku, dia bilang, "Camkan ini, anakku". Ketika situasi memburuk, ketika semua
terasa berat dan membebani, maka jangan pernah merusak diri sendiri. Orang tua ini tahu persis, boleh jadi ketika seseorang yang kita sayangi pergi, maka
separuh hati kita seolah tercabik ikut pergi. Kau tanyakan pada Ibu kau, itulah yang dia rasakan saat Bapak kau dibelah dadanya, diambil jantungnya, pergi
selamanya. Tetapi kau masih memilik separuh hati yang tersisa, bukan" Maka jangan ikut merusaknya pula. Itulah yang kau punya sekarang. Satu-satunya yang
tersisa, paling berharga. Sekarang, ayo mandi, Borno, kau akan lebih segar setelah air dingin menyiram badan."
Dalam ceritaku ini, jangan pernah membantah Pak Tua, untuk orang yang hampir mengelilingi separuh dunia, dia selalu benar. "
Aku menyeka ingus, mengangguk, menurut.
Kau tahu, Mei. Sejak hari itu aku memegang teguh permintaan kau. Mengurus bengkel, menjadi bujang dengan hati paling lurus.
Hanya satu permintaan kau yang tidak kupenuhi. Kesempatan baru. Sarah. Gadis itu baik sekali pada Ibu, dia sering menjenguk ibu, membawakan makanan buat
Ibu, bertanya kabar. Dia juga baik sekali padaku, mengajak bicara, selalu riang, menghiburku dengan mengeluarkan cerita-cerita lucu, tebakan-tebakan ganjil,
bahkan kau tahu Mei, dia memberikan Piala kemenangan lomba balap sepit padaku. Dia-lah yang memenangkan final lomba 17an itu, dengan cara yang fantastis.
Sore itu, petugas timer menunggu lima belas menit, menyuruh siapa saja mengejarku, menyuruh pulang, seret kembali Borno sialan itu, demikian omel petugas
timer. Sia-sia, aku sudah naik ojek, mengejar kau di bandara."
Pertandingan adalah pertandingan, harus dilanjutkan, kasihan walikota Pontianak yang sejak tadi pegang pistol tapi tak nembak-nembak. Kasihan penonton
yang saking tegangnya ada yang kecebur sungai Kapuas tidak sengaja. Dan beberapa detik sebelum pertandingan dimulai, tiba-tiba Sarah loncat dari sepit
hijaunya, pindah ke sepitku. Sarah meminta berganti sepit. Bang Togar langsung protes, panitia lomba kembali rusuh, penonton semakin antusias.
Tidak ada yang melarang berganti sepit sepanjang lomba, tidak ada satu kalimat pun di protap lomba yang bilang begitu, demikian bantah Sarah berapi-api,
dia memutuskan memakai sepitku, biar setidaknya meski Borno pergi tiba-tiba, Borno tetap ikut lomba bersama kita, Borno tetap bersama seluruh penonton
Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan pendukungnya. Itu alasan melankolik dan heroik, Bang Togar kehabisan kata-kata untuk menolak, terdiam di bawah tatapan galak ibu-ibu penduduk gang
sempit penggemar setiaku. Maka pertandingan dilanjutkan. Kau tahu, Mei, Sarah jelas-jelas bohong, alasan sebenarnya kenapa dia tiba-tiba berganti sepit,
karena motor tempel sepit hasil modifikasiku adalah yang terbaik dalam perlombaan itu. Dia tahu persis itu, jadi dia sengaja memakai sepit uzur Pak Tua
bertanding di final. Soal kecepatan dan akselerasi, PETIR memang nomor satu, juga soal skill mengemudi, Bang Togar nomor wahid, belum habis suara letusan pistol di udara, sepit
Bang Togar sudah memimpin separuh badan perahu. Cepat sekali. Tetapi dengan dua rit bolak-balik, harus berputar 180 derajat di tiang jembatan Kapuas, Sarah
bisa menyusul sepit merah bergambar halilintar itu. Bang Togar kedodoran saat menikung, sepitnya bergetar hebat, tidak bisa dipaksa cepat, maka keunggulannya
tergerus. Sarah menyalipnya di tikungan terakhir, lantas memenangkan perlombaan, membuat meriah dermaga kayu hingga malam hari. Piala itu dibawa pulang
ke rumahku, Sarah bilang, sejatinya akulah yang memenangkan lomba. Dia sungguh gadis cantik, pintar, dari keluarga baik, dan jelas amat berhati emas.
Tetapi aku tidak menyukainya, Mei. Maksudku, aku tidak menyukainya seperti aku menyukai kau"lagipula kalaupun aku suka, dia belum tentu suka, bukan. Aku
menyukai Sarah tidak lebih hanya sebatas teman baik. Dan Sarah tahu persis itu. Kami teman baik yang saling berterus-terang, kedekatan kami selama enam
bulan terakhir, membuatku bercerita banyak padanya, termasuk tentang kau. Ajaib bukan" Aku mudah sekali terbuka dengan Sarah, dibanding terbuka pada kau.
Sarah tahu kalau aku menyukai kau, dan dia senang sekali saat tahu itu. Matanya berbinar-binar, wajahnya riang"meski jadi ikut sedih saat tahu kau justeru
pergi gara-gara rasa suka itu. Sarah sungguh berharap kita berjodoh."
Enam bulan ini, Sarah banyak sekali bercerita tentang masa kecil kau, dia dan teman geng, si Madammoiselle itu. Favorit dia adalah mengulang kisah dikejar
penduduk gara-gara mencuri buah mangga, dan si Madammoiselle nekad kembali untuk mengambil sendal jepit milik kau, semata-mata agar kau berhenti menangis.
Aku sampai hafal detail kejadian itu. Sarah bilang, kau pergi tiba-tiba saat usia kalian tiga belas tahun, tanpa pamit, tanpa kabar, tanpa berita. Seluruh
keluarga besar kalian pindah ke Surabaya. Kalian baru bertemu kembali saat kau magang di sekolah milik yayasan itu.
Jadi maafkan aku, Mei, itulah satu-satunya yang tidak bisa kupenuhi. Sarah bukan kesempatan baru bagiku, kau adalah satu-satunya kesempatan yang pernah
kumiliki, dan aku tidak akan pernah mau menggantinya dengan?"
"WOI, kau jangan melamun saat mengemudi perahu! Nanti oleng. Bisa celaka." Pak Tua memukul dinding kapal.
Aku menelan ludah, sedikit pias, menoleh. Pak Tua nyengir di belakangku.
"Atau jangan-jangan kau sedang memikirkan gadis itu, Borno."
"Dia sudah jauh di Surabaya, Pak Tua. Siapa pula memikirkannya. Dan tolong berhentilah menggangguku. Kita sebentar lagi masuk kota Pontianak, banyak sepit
hilir mudik." Aku berseru ketus.
Pak Tua menyeringai, tertawa jahil, "Bukan yang di Surabaya, Borno. Tapi yang di kapal ini, lihat, sedang duduk di anjungan depan dia."
Sarah sejak tadi memang duduk di sana, sendirian menikmati senja, semilir angin memainkan anak rambut, memotret elang yang satu-dua meluncur ke permukaan
Kapuas, menangkap ikan. Aku melotot, hendak mengusir Pak Tua pergi.
"Ye lah, ye lah" Borno, borno, kau ini galak sekali pada orang tua yatim-piatu ini". Jangan terlalu kaku-lah, kau. Cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan,
hanya butuh sedikit membuka hati. Dokter gigi itu misalnya, entah kenapa dalam beberapa hal cocok sekali dengan kau" tadi sewaktu aku menemaninya duduk,
dia sempat bertanya, tahukah Pak Tua berapa panjang sungai Kapuas" Astaga, hanya kau yang pernah bertanya padaku pertanyaan aneh itu. Bukankah itu pertanda?"
POOONGG!! Aku menekan klakson perahu"pemilik rental kapal sengaja memasangnya. Memotong kalimat Pak Tua.
Pak Tua nyengir, tertawa, kembali keluar dari ruangan kemudi.
Andi kaget, hampir terjengkang di buritan belakang, dipegangi oleh Cik Tulani dan Koh Acung.
Sarah yang berdiri di anjungan depan juga kaget, menoleh, meletakkan tustel, tertawa.
"WOI! Siapa tadi yang menekan klakson?" Bang Togar yang berteriak marah-marah, kepalanya muncul di balik pintu ruang kemudi, "Anakku bangun semua, tahu!
Sudah susah-susah menyuruh mereka tidur, malah kau ganggu dengan klakson."
Aku nyengir lebar. Maaf."
*** "Bangun, Andi." Pak Tua menyikut Andi, membangunkan.
"Sudah sampai, Pak?" Andi tergagap, menyeka mata, melihat sekeliling.
Pak Tua tertawa, "Bahkan kita belum meninggalkan Indonesia, Andi. Selamat datang di perbatasan Entikong. Pintu perlintasan antar negara. Siapkan paspor
kau." Andi mengangguk, wajah mengantuknya berubah semangat. Ini momen pembalasan yang selalu dia kicaukan selama sebulan terakhir. Akhirnya bisa ke luar negeri
secara legal. Aku sudah bangun seperempat jam terakhir, dibangunkan Sarah, sudah menyiapkan pasporku dan paspor Ibu. Sarah dan Pak Tua malah sudah berdiri, merapikan
jaket, membawa tas pinggang masing-masing. Kondektur bus di lorong depan terdengar menjelaskan sesuatu, prosedur melintasi pintu imigrasi, menunjukkan
dokumen yang disebut borang isian, bagaimana cara mengisinya, terlihat sekali dia bukan orang Pontianak, dia kondektur dari Kuching. Beberapa penumpang
mendengarkan takjim, yang sudah terbiasa langsung bergerak turun. Aku tidak terlalu hirau, dengan Pak Tua bersama kami, kami tinggal ikut Pak Tua saja,
dia jauh lebih berpengalaman melakukan jalan-jalan melintasi negara.
Ini perjalanan besar kedua yang kami lakukan berama-ramai, tiga bulan setelah perjalanan mancing berhuluan sungai Kapuas. Ini ide Andi, setelah mendaftar
banyak kemungkinan tujuan, Andi nyeletuk kenapa tidak pergi ke Malaysia saja. Aku langsung mengangguk, sepakat. Sarah tertawa renyah, bilang, "Ide keren.
Saya belum pernah ke Kuching. Beramai-ramai, itu pasti menyenangkan."
"Astaga, kau sungguh belum pernah ke sana, Sarah" Padahal jaraknya hanya sejengkal dari Pontianak?" Demikian Andi menanggapi, terkejut.
Aku menyikut Andi, "Seringai kau ini, macam sarapan di sana setiap hari."
"Eh, maksudku, wajar saja kalau kita tidak pernah, atau dulu ditolak gara-gara pakai paspor orang lain, tapi Sarah, tidak mungkin dia belum pernah ke luar
negeri, bukan?" Sarah tertawa renyah, tidak berkomentar.
Aku menepuk dahi pelan, "Yang bilang dia belum pernah ke luar negeri siapa" Dia liburan sekolah paling sial ke Eropa, Hongkong, atau Singapura, tidak macam
kita, liburan SMA pergi ke tugu khatulistiwa sudah paling pol. ?"
Andi terdiam, benar juga.
Maka kami merencanakan perjalanan itu. Menghitung biayanya, menentukan jadwal, dan sebagainya. Pak Tua menawarkan diri menjadi guide, "Ada banyak kawan
orang-tua ini di sana. Dan semoga jalanan Kuching Serawak tidak berubah sepuluh tahun terakhir, aku sudah lama sekali tidak pergi ke sana.?"
Sarah mengajak Ibu, "Ayolah, Bu, ikut. Kapan lagi jalan-jalan dibayari bengkel Borno?"
Aku melotot pada Sarah. Mana ada bengkel yang membayari, perjalanan ini patungan, siapa mau ikut, harus bayar"tetapi karena Ibu tanggung-jawabku, jadinya
ya aku juga yang membayari."
Bang Togar, tidak tertarik, "Dua hari kau bilang" Siapa yang narik sepitku" Anak-anakku juga harus sekolah, Borno. Libur sehari saja mereka sudah dikirimi
surat oleh gurunya." Koh Acung juga menolak, alasannya sama, "Haiya, kalau hanya satu hari macam tiga bulan lalu aku bisa ikut, Borno. Toko kelontongku
siapa yang jaga?" Cik Tulani menggeleng, sibuk mengoseng sayur kangkung, "Tidak ada yang istimewa di sana, Borno. Malah lebih bagus kota kita ini. Kalau
cuma keren-kerenan pernah ke luar negeri, aku tidak tertarik." Aku dan Andi manyun mendengar jawaban Cik Tulani. Maka akhirnya kami hanya berangkat berlima,
tapi itu tetap lebih dari memadai. Bengkel diurus Bapak Andi.
Mudah saja ke Kuching. Dari Pontianak kami memutuskan menumpang bus malam. Bus-nya besar, dengan toilet, reclining seat, televisi, pendingin, selimut,
bantal dan semua kenyamanan yang bisa dibayangkan. Model kursi dan cara mereka meletakkan toilet berbeda dengan bus lintas Sumatera atau Jawa. Lantai bus
dinaikkan sedemikian rupa, ada undakan tangga, sedangkan toilet persis di tengah bus, separuhnya terbenam di bawah lantai bus. Penjaga loket menawarkan
tiket langsung ke Bandar Seri Begawan, Brunei"karena bus itu memang melintasi tiga negara, dengan tiga operator, dan tiga kali berganti bus. Pak Tua menggeleng,
kami hanya menuju Kuching, menginap semalam."
Bus berangkat pukul sembilan dari Pontianak, melintasi jalanan trans Kalimantan menuju perbatasan, terus ke arah utara, tiba di Entikong pukul setengah
lima shubuh. Saat kami tiba, di luar bus masih gelap, gerbang perbatasan Entikong-Tebedu masih terkunci, baru pukul lima nanti petugas imigrasi siap di
loket. Antrian mobil yang akan melintasi perbatasan terlihat ramai. "
"Ayo, Andi. Kau menunggu apalagi" Semua sudah turun." Pak Tua meneriaki Andi yang masih sibuk mengaduk-aduk saku celana, tas, dan tempat duduknya.
"Pasporku, Pak Tua." Andi mengeluh, suaranya cemas.
"Paspor apanya?" Pak Tua tidak mengerti.
"Pasporku tidak ada." Suara Andi mencicit.
"Bagaimana mungkin tidak ada?" Pak Tua mendekat.
"Tidak ada, Pak Tua. Sungguh. Sudah kucari di mana-mana." Andi mulai panik.
Sarah yang bersiap menemani Ibu turun, urung, kembali mendekati bangku Andi.
"Tadi kau letakkan di mana?" Pak Tua menghela nafas pelan, "Bukankah sudah kubilang berkali-kali, jaga paspor kau. Itu dokumen paling penting dalam perjalanan."
"Di tas pinggang, Pak Tua. Saya melakukan persis yang disuruh Pak Tua. Tapi tidak ada. Aku sungguh yakin tadi masih ada di sana." Andi membuka tas pinggang
kecil miliknya, menunjukkannya, di sana ada beberapa lembar uang ringgit Malaysia, tiket bus, kertas-kertas, tapi tidak ada paspor, wajah Andi resah."
Pak Tua membantu mencari, memeriksa kolong bangku, mengomel, "Pasti kau ceroboh meletakkanya, Andi. Mana ada paspor yang punya kaki, bisa jalan-jalan sendiri."
Sarah ikut mencari, memeriksa lorong bus.
"Kau tadi pergi ke toilet, tidak?" Pak Tua bertanya.
"Tidak. Aku hanya di bangku." Suara Andi terdengar kelu.
"Bagaimanalah coba" Kau tidak bisa melewati gerbang perbatasan kalau tidak punya paspor. Perjalanan ini bisa batal. Tidak mungkin kami berempat lewat,
kau tertinggal di Entikong" Astaga, sampai berbusa mulutku mengingatkan, jaga paspor kau, jaga. Aku baru kali ini punya teman bugis amat ceroboh."
Andi diam saja, terus memeriksa kesana-kemari, bahkan dia membuka tempat sampah di lorong bus"berpikiran pendek, siapa tahu tidak sengaja membuangnya.
Lima menit berlalu, wajah paniknya mulai bercampur dengan takut. Tertunduk takut mendengar omelan Pak Tua. Padahal paspor itu sudah disiapkan dua bulan
lalu. Kami beramai-ramai ke kantor imigrasi Pontianak, ditemani Sarah dan Pak Tua"yang sudah punya paspor dan masih berlaku.
"Woi, Pak Cik, Mak Cik" Turunlah, antri di pintu emigresen sana. Sekejap lagi pintu dibuka, kami tak akan tunggu penumpang yang lambat." Kondektur naik
ke atas bus, berteriak. "Sebentar." Pak Tua balas berteriak.
"Bagaimana, Pak Tua?" Andi cemas, takut-takut menatap Pak Tua.
"Bagaimana lagi?" Pak Tua melotot, menghela nafas sebal, "Kita pulang ke Pontianak."
Andi mengeluh dalam-dalam. Perjalanan yang sudah direncanakan berbulan-bulan gagal hanya karena paspor.
Sarah ikut menghela nafas, memperbaiki anak rambut di dahi.
Aku cengegesan. "Kenapa wajah kau malah senang, Borno?" Pak Tua menyergahku, sebal, "Dari tadi kau hanya menonton, tidak sibuk bantu mencari."
"Eh," Aku menggaruk rambut, nyengir lebar, "Karena sebenarnya paspor Andi ada di tas pinggangku, Pak Tua. Di loket bus Pontianak dia menitipkan tas pinggang
sebentar, jadi kuambil saja paspornya." Aku tertawa, mengangkat paspor bersampul hijau milik Andi.
"Kau" Kau yang mengambilnya?" Wajah cemas Andi dengan segera berganti marah. Dia berseru ketus, loncat berusaha memukulku.
Aku menghindar, menunduk.
"Astaga, Borno. Ini bukan saatnya iseng." Pak Tua menahan tangan Andi.
"Maaf, Pak Tua. Maaf." Aku nyengir, berusaha menghentikan tawa, "Aku tadi sudah mau memberitahu, tapi lucu sekali melihat wajah cemas Andi, Pak Tua. Itu
pemandangan yang amat berharga."
"Tutup mulut kau, Borno." Andi tidak terima, masih berusaha memukulku.
"Woi, Pak Cik, Mak Cik." Kondektur memukul pintu bus, memotong pertengkeran.
"Iya, kami turun." Pak Tua menjawab sekilas teriakan kondektur, bersungut-sungut padaku, melangkah menuruni anak tangga bus.
"Awas saja kau, kubalas nanti." Andi melotot, melangkah di belakang Pak Tua.
Aku tertawa, memonyongkan mulut.
Sarah nyengir, menatapku sejenak, tertawa pelan, "Abang memang selalu iseng. Untunglah abang tidak pernah menjahili saya."
Aku nyengir, buru-buru menatap keluar bus"mana mungkinlah aku menjahili Sarah. Menatap wajahnya yang tertawa renyah saja aku tidak kuasa, apalagi menatap
wajah cemasnya. *** Setelah proses cop-menge-cop paspor beres, kami kembali naik bus. Wajah sebal Andi sudah terlihat riang. Dia mematut-matut riang stempel pertama yang dia
dapatkan di paspornya."
"Alangkah lama kau melihatnya, Kawan." Aku nyengir, "Baru juga satu stempel."
"Punya kau juga baru satu stempel." Andi balas nyengir, tidak peduli.
Cahaya matahari pagi menyiram jalanan. Kabut mengambang di hutan lebat kiri-kanan bus."
"Pak Tua sudah berapa kali berganti paspor?" Sarah bertanya ke kursi depan, mencari topik pembicaraan lebih baik, bosan melihatku dan Andi saling ganggu.
"Sepuluh kali."
"Sungguh?" Wajah Sarah antusias.
"Sungguh. Aku bawa semuanya." Pak Tua terkekeh, mengeluarkan setumpuk paspor tua miliknya dari tas pinggang.
Kami berebut melihat paspor Pak Tua. Itu koleksi paspor yang amat menakjubkan. Melihat paspor seseorang adalah cara tercepat untuk memvalidasi perjalanan
hebat yang pernah dia lakukan. Sepuluh paspor Pak Tua penuh dengan stempel perbatasan antar-negara"rata-rata habis karena terlalu penuh, bukan karena masa
berlakunya kadaluarsa. Dan yang lebih mengesankan, hampir sebagian besar stempel yang dimiliki paspor Pak Tua adalah stempel gerbang perbatasan darat,
laut, bukan gerbang imigrasi bandara.
"Uni Soviet, lihat, ada stempel melintasi perbatasan Uni Soviet dari China." Andi berseru.
Aku tidak tertarik seruan Andi, Uni Soviet, negara itu juga sudah bubar. Aku sedang takjim menelusuri halaman demi halaman paspor lama Pak Tua lainnya
yang kupegang, menelan ludah, dengan melihat stempel yang ada, aku bisa merangkai cerita sendiri, tiga puluh tahun silam, selama lima tahun, Pak Tua berpindah-pindah
melintasi Amerika Latin. "
Bus besar menuju Kuching jadi sedikit meriah, beberapa penumpang lain, sebagian adalah turis dengan ransel, ikut tertarik melihat paspor-paspor itu, mereka
bergabung, mendekat. Aku belum pernah melihat tatapan respek sehebat itu dari teman seperjalanan, lihatlah, beberapa turis bule itu bahkan menyanjung Pak
Tua. Bilang, mereka ingin sekali suatu saat kelak menyamai catatan perjalanan Mister Hidir. Meminta berfoto bersama. Pak Tua terkekeh, mengangguk, rambut
berubannya bergerak-gerak.
"Kau tahu, Borno." Pak Tua duduk kembali, sesi foto bersama selesai, berbisik padaku, "Semakin jauh bule-bule ini berkeliling dunia, maka sejatinya mereka
hanya akan kembali pada tempatnya dilahirkan. Mereka pada akhirnya akan paham, tempat terbaik adalah kota mereka sendiri. Seperti orang tua ini, kembali
ke Pontianak, kota kita. Tempat semua bermula."
Aku mengangguk, percaya pada kalimat itu"meski aku jelas tidak sebijak Pak Tua, dan tidak pernah melakukan perjalanan jauh seperti dia."
Bus terus melaju cepat, jalanan lengang. Penumpang mulai tertidur.
Kami tiba di Kuching pukul setengah dua belas.
"Selamat datang, Hidir." Langsung disambut seseorang di terminal bus Kuching. Wajahnya sama tuanya dengan Pak Tua, tetapi perawakannya lebih gagah, tangannya
terentang lebar. Pak Tua terkekeh, mereka berdua berpelukan erat. Menilik dari gesture wajah, gerakan tubuh, mereka pastilah kawan lama yang amat dekat. Tun Badawi, demikian
kami disuruh memanggilnya."
"Selamat datang di Kuching, Nak." Tun Badawi mengangguk pada kami, "Inilah kota terbesar di seluruh Kalimantan. Kota Indonesia kalian, Pontianak, Samarinda,
Banjarmasin, Balikpapan, apalagi Palangkaraya, tidak ada apa-apanya, jauh tertinggal. Kota kalian itu kecil sekali dibanding kotaku ini, macam kampung
saja, hah." "Astaga, perangai kau tetap tidak berubah, Badawi. Berhentilah bergurau soal itu. Sekarang, anak muda kami terkadang terlalu sensitif." Pak Tua ikut tertawa,
"Borno, Andi, Tun Badawi ini sebenarnya orang Pontianak, kedua orang-tuanya dari sana, tapi dia lahir di Kuching, maka otomatis memperoleh warga negara
Malaysia." Kami mengangguk-angguk. Tun Badawi meneriaki sopirnya.
Perjalanan keliling kota dimulai. Kami menumpang mini-van yang dibawa sopir Tun Badawi, tujuan pertama adalah Kuching Waterfront. Tuan rumah bilang, tak
lengkap ke Kuching jika tidak datang ke waterfront. Tempat yang kami datangi itu adalah tempat paling terkenal untuk melakukan pertemuan, jalan-jalan santai,
atau hanya melihat-lihat kota Kuching, terletak persis di tepian sungai Serawak menuju muaranya. Dari sana kalian bisa melihat Astana (Istana yang di-pertua
Negeri) dan Fort Margherita. Dulunya waterfront merupakan barisan gudang tua, sekarang berganti menjadi pedestrian pejalan kaki yang luas, dengan kios-kios
wisata. Saat kami tiba di sana, ramai oleh pelancong lokal maupun turis asing.
"Kalian tahu kenapa kota elok kami ini di beri nama Kuching?" Tun Badawi mengajak kami makan siang di salah-satu kios waterfront"masakan Melayu, "Karena
begitulah muasalnya, sangat harfiah, city of cat, kota kucing. Elok sekali, bukan?"
"Oh," Andi mengangguk-angguk, sok-paham, "Kalau begitu, orang sini pastilah menyebut anjing dengan anjhing, atau kerbau dengan kerbhau". Saphi, gajhah.
Orang sini boros benar dengan huruf h.?"
Kami tertawa. Andi sengaja melakukannya.
Muka Tun Badawi terlihat masam, "Kau jangan menghina kotaku. Nama kota kalian juga aneh. Pontianak, mana ada kota diberi nama hantu. Ponti-anak, kuntil-anak,
kalian kenal itu" Dan kau tahu, hanya separuh saja penduduk Indonesia yang paham arti nama kota mereka sendiri, Jakarta, Bandung, Surabaya, Palembang"
Kalian tahu kenapa disebut demikian. Tidak ada yang tahu, bukan?"
"Sudahlah, Badawi. Kau ini sepertinya terlalu sering membaca koran atau menonton televisi yang menjelek-jelekkan satu sama lain." Pak Tua menengahi tertawa.
Andi nyengir, menyikutku, berbisik, "Ternyata Tun ini galak. Tadi dia bilang kota kita tidak ada apa-apanya dibanding kota dia. Sekarang dia malah marah
kuajak bergurau." Aku balas nyengir, lebih semangat menghabiskan laksa-ku.
Mungkin karena sebal dengan gurauan Andi, lepas dari waterfront, Tun Badawi menyuruh sopirnya menuju Museum Kucing. Astaga, itu benar-benar kucing semua
isinya, mulai dari foto, benda seni, patung, bingkai, fosil, semua berbentuk kucing. Sampai mual melihatnya"mengingatkanku ketika ditawari bekerja di sarang
burung walet yang isinya (tentu saja) burung semua.
"Kalian usulkan pada mayor kota kalian, suruh dia buat Museum Ponti-anak, si kuntil-anak, pasti seru melihat hantu di setiap sudut museum. Bisa tidak orang
kalian buat demikian seperti kami punya museum kucing?" Tun Badawi menyeringai, sengaja bilang pada Andi.
Andi terdiam. Cengengesan.
Terlepas dari selera humornya yang kadang mengancam persahabatan antar negara, Tun Badawi adalah guide yang menyenangkan. Seharian penuh dia mengajak kami
berkeliling kota Kuching, mengunjungi Tua Pek Kong, kuil tertua China yang persis di seberang Museum China"kurang lebih macam pekong di Singkawang; mengunjungi
Mesjid Kota Kuching"kurang lebih seperti Masjid Agung dekat Istana Kadariah Pontianak; melihat Sunday Market alias Pasar Minggu"kami memang datang pas
pasarnya buka; Tun Badawi bahkan menyiapkan kapal untuk menelusuri dan menyeberangi Sungai Serawak yang membelah kota Kuching, berfoto di Astana, bergaya
di Fort Margherita, berpose di Orchid Garden, termasuk di dermaga sampannya, astaga, jauh-jauh ke kota orang kami tetap bergaya di dermaga sampan yang
apalah istimewanya dibanding dermaga sepit. Tujuan terakhir kami adalah Little India, pedestarian panjang yang khas sekali dengan aroma, pernak-pernik,
dan warna India. Tun sengaja mengajak kami ke setiap jengkal kota, membanggakan tradisi dan budaya mereka, hingga matahari mulai jingga, bersiap tenggelam,
hingga Ibu mulai terlihat kelelahan"meski antusias."
Aku pikir kalimat pongah Tun Badawi dalam banyak hal ada benarnya. Kota Kuching, meski bentuknya tidak berbeda jauh dengan Pontianak, sama-sama kota dibelah
sungai besar, jauh lebih istimewa soal keanekaragaman penduduk. Di sini etnis China paling banyak, menyusul Melayu, orang Dayak Iban, pendatang dari Bugis,
Kalimantan dan ditambah orang-orang India"etnis yang hidup rukun satu sama lain, membentuk kota begitu berwarna setiap sudutnya. Dan meski Andi bersungut-sungut
tidak mau mengakuinya, Kuching jelas lebih maju, lebih bersih, dan lebih tertib dibanding Pontianak."
Malam turun membungkus kota, gemerlap cahaya lampu terlihat indah, lepas makan ikan dan kepiting di restoran elit bilangan Padungan, Tun Badawi mengantar
kami ke hotel yang sudah dia pesankan. Mini-van meluncur ke lobi sebuah hotel mewah.
"Aku bilang cukup penginapan sederhana, Badawi. Kau berlebihan." Pak Tua menggelengkan kepalanya, turun dari mobil.
"Ini tidak berlebihan, Hidir. Kau tidak mau bermalam di rumahku. Sedangkan kalian butuh tempat istirahat yang baik. Bagaimanalh aku akan membiarkan teman
baikku tidur di sembarang tempat. Nah, kawanku dari Indonesia, selamat bermalam di Crowne Plaza Kuching. Aku kira, di kota kalian tidak ada hotel bintang
lima, bukan?" Dia sengaja nyinyir bilang itu pada Andi.
"Terim-ha kas-hih." Andi menyeringai.
Tun Badawi terdiam sejenak, melotot, tapi lantas tertawa panjang, "Kalau saja kalian cukup lama di sini, aku bisa berteman baik dengan anak-anak kau ini,
Hidir. Mereka tidak takut denganku." Tun Badawi menepuk-nepuk bahu Andi, "Sayangnya, bahkan besok pagi-pagi aku harus melihat perkebunan. Kalian akan diantar
salah-seorang cucuku kembali ke terminal bus. Semua tiket sudah diurus. Termasuk hotel, kalian besok tinggal chek-out. Selamat beristirahat, Hidir."
Tun Badawi memeluk erat Pak Tua"pelukan yang sepertinya enggan dilepas. Menjabat tangan Sarah, Ibu, aku, dan terakhir tertawa menyuruh Andi mencium tangannya"Andi
tentu saja menolak. Dia pamit pulang sambil terkekeh."
"Aku tidak punya uang untuk membayar hotel ini, Pak Tua." Aku menyikut lengan Pak Tua, saat punggung dan suara tawa Tun Badawi hilang dibalik pintu mobilnya.
"Aku juga tidak." Pak Tua mengangkat bahu, tapi dia melangkah melintasi lobi, menuju meja panjang penerima tamu yang mewah, "Badawi yang punya. Dia pemilik
perkebunan sawit terluas di Serawak, Borno. Jadi kau tenang saja."
*** Waterfront Kuching, malam minggu, tidak ada bedanya dengan tempat berkumpul massal di kota kalian"seperti alun-alun kota. Dipenuhi ribuan orang, sebagian
berjalan-jalan santai bersama teman, pasangan, keluarga, menatap kerlip lampu sepanjang tepian Kapuas, gedung-gedung tinggi, sebagian lagi duduk di kios-kios,
pelataran jalan, sebagian lagi bergaya, bermain skateboard, sepeda, dan "pertunjukan" lainnya. Tempat ini terkenal sekali sebagai lokasi "pacaran". Anak-anak
muda lokal, pasangan turis, memenuhi setiap jengkalnya, mengobrol riang, tertawa, saling timpuk, berkejaran." "
Tetapi di antara sekian banyak yang pergi berdua atau lebih, ada saja yang sendirian menghabiskan malam di waterfront. Duduk bengong menatap keramaian.
Merasa sepi di tengah meriahnya kota. Menatap bulan bundar menghias langit bersih tanpa awan. Perahu besar, sedang, kecil perlahan melintasi Sungai Serawak,
kesibukan kota di malam hari.
Salah-satunya itu adalah aku.
Tun Badawi memsan dua kamar yang lebih dari istimewa, luas, kasur busa besar, di lantai paling tinggi, dan persis menghadap gemerlap kota. Satu kamar untuk
Sarah dan Ibu, satu kamar lagi untuk aku, Andi dan Pak Tua. Setelah mandi, berganti pakaian, pukul sembilan malam, Pak Tua memutuskan hanya menghabiskan
waktu di kamar, lelah, hendak beristirahat. Andi malas kuajak jalan-jalan lagi, dia sedang euforia cetak-cetik-cetok memainkan remote televisi, nyengir,
"Keren, Kawan. Teve-nya punya 149 saluran, beda dengan televisi di rumah, belasan saluran sudah mentok, nonton saja-lah malam ini.?"
Aku menepuk dahi kecewa, menatap Andi setengah tidak percaya, dia jauh-jauh ke negeri orang hanya untuk menonton teve dengan 149 saluran. "Kecilkan suaranya,
Andi. Orang-tua ini mau tidur." Pak Tua mengingatkan. "Ye lah, ye lah, kukecilkan, Pak." Andi menurut. Aku sudah melangkah menuju pintu kamar, membawa
kunci kamar. Aku tidak tahu mau kemana. Ini kota orang.
Aku hanya ingin jalan-jalan. Petugas lobi hotel"yang ternyata orang Indonesia, asal Semarang, berbaik hati menjelaskan arah ke waterfront. Aku mengangguk,
tidak terlalu jauh berjalan kaki. Melenggang di trotoar yang ramai, lampu jalanan terang, lalu-lalang penduduk lokal dan turis. Senyap di tengah keramaian,
otakku hanya memikirkan satu hal.
Kau tahu, Mei, ini sudah hampir sepuluh bulan kau tidak ada kabarnya.
Apakah kau baik-baik saja" Sehat"
Apakah kau rindu padaku?"
Jangan tanya apakah aku rindu pada kau, itu tidak bisa kujawab dengan kata-kata. Itu hanya bisa kujawab dengan lukisan atau lagu"meski aku tidak bisa melukis
apalagi menyanyi. Kau tahu, Mei, aku tetap memegang janjiku padamu. Mengurus bengkel dengan baik, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas.
Bengkel itu semakin hebat sekarang, sebulan lalu kami membicarakan kemungkinan membuka cabang baru. Kami merekrut tiga montir baru, satu orang pegawai
kantor"yang lagi-lagi membuat Andi kecewa karena cowok, ditambah dua orang seksi sibuk, sapu jagat. Aku tidak punya ambisi berlebihan atas bengkel itu,
aku hanya mengurusnya sebaik mungkin. Tapi petuah Pak Tua benar, seorang pekerja yang baik adalah ketika dia hanya bekerja sebaik mungkin, memberikan yang
terbaik, maka uang, sukses, terkenal, akan datang dengan sendirinya. Bengkel itu punya reputasi yang hebat, Mei, beberapa minggu lalu, pernah ada bapak-bapak
berpakaian kasual membawa mobil klasiknya. Sial, Andi masih saja bergaya, bergurau, nyinyir dengan pelanggan itu, bilang, "Tenang saja, Oom, sesuai semboyan
bengkel ini, "becus dalam segala urusan", tidak ada keluhan mesin yang tidak bisa kami tangani. Tidak seperti pemimpin propinsi inilah, mengurus orang
miskin, pengangguran saja tidak becus. Apalagi macam bencana banjir besar di Mempawah minggu lalu, lebih tidak becus dia." Andi sama sekali tidak punya
ide kalau bapak-bapak yang datang itu adalah gubernur Kalimantan Barat, yang santai menghabiskan sore di hari minggu, membawa mobilnya ke bengkel. Kena
skak-mat dia, untung pak gubernur hanya tertawa, bilang kalau Andi mau jadi penasehat ahlinya, jangan sungkan-sungkan mengirimkan saran.
Ohiya, aku pernah bilang pada kau, bekerja serabutan untuk mengumpulkan uang, agar bisa melanjutkan kuliah, sekarang kesempatan itu datang, Mei. Beberapa
bulan lagi tahun pelajaran baru, aku akan mendaftar kelas ekstensi jurusan Teknik Mesin di universitas Pontianak, pasti lelah, bekerja sepanjang hari,
lantas belajar pula di malam hari, tapi itu pasti menyenangkan, aku tidak sabar untuk mulai belajar mesin sesungguhnya, tidak belajar sendiri. Usiaku sekarang
Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir dua puluh lima, seperempat abad, dengan rencana-rencana, aku pikir hidupku berjalan di jalur yang benar"astaga, dengan bilang ini, jangan-jangan
aku semakin mirip dengan Pak Tua.
Hanya satu yang tidak berada di trek lurus. Tentang perasaan.
Kau apa kabar, Mei" Apakah kau terus menjadi guru yang baik" Menjadi guru yang mencintai dan dicintai anak-anak muridnya" Tetap bersahaja" Masih suka naik
angkutan umum" Boleh, bolehkah aku bertanya tentang itu, Mei" Apakah sekarang semuanya mulai jelas" Apakah sekarang kau mulai yakin atas hubungan ini" Apakah, apakah
kau sudah punya jawabannya, Mei" Kalau sudah, bisakah kau segera memberitahuku" Kemajuan sedikit saja di hati kau akan memberikan rasa tenteram yang luar
biasa bagiku. Bukan sebaliknya, hingga hari ini aku hanya berkutat dengan harapan-harapan"karena itulah yang tersisa. Selalu teringat kau dalam setiap
kesempatan. Sebuah perahu besar melintas, Nahkodanya iseng menekan klakson, mengeluarkan suara lenguh panjang, poooong. Pengunjung waterfront tertawa, bertepuk-tangan.
Waterfront tetap tidak berkurang ramai meski hampir pukul sepuluh malam. Kios-kios makanan masih semarak. Satu rombongan turis lokal lewat di depanku,
anak muda belasan tahun, tertawa-tawa dengan bahasa Melayu Serawak.
Aku menghela nafas, mengusap dahi.
Kau tahu Mei, tidak terhitung berapa kali aku gemas ingin menghubungi kau di Surabaya, bahkan meniatkan datang ke sana ketika bengkel membeli peralatan
baru. Tidak terhitung berapa lembar surat yang kutulis untuk kau, bercerita tentang kota kita, Pontianak, sekarang musim buah, Mei, harga durian di pasar
induk lagi murah-murahnya. Satu durian bangkok kualitas terbaik, bisa ditawar lima belas ribu, kau mau berapa" Tetapi surat-surat itu tidak pernah berani
kukirimkan, karena itu akan melanggar janjiku pada kau. Aku hanya berani bermimpi, sungguh tidak terhitung berapa kali aku bermimpi tentang kau, Mei. Berjalan
berdua menghabiskan sore di dermaga pelampung, berdua menelusuri sungai Kapuas dengan sepit Borneo"aku lupa memberitahu, aku sudah membeli sepit lagi;
atau macam sekarang, hanya duduk bengong berdua menatap keramaian waterfront. Tidak perlu banyak bicara, tidak perlu banyak bergaya macam anak muda yang
sibuk pacaran di sini. Itu pasti lebih dari menyenangkan"karena dalam mimpi saja sudah menyenangkan.
Apakah kau sudah punya jawabannya Mei"
Apakah urusan perasaan ini sudah terang-benderang"
Aku sungguh selalu menunggu.
*** Kami sarapan di restoran hotel.
"Semalam kau balik kamar jam berapa?" Pak Tua bertanya padaku.
"Aku tidak tahu persis, Pak Tua." Aku nyengir, "Yang aku tahu, saat masuk kamar, ada orang yang mendengkur, ileran, di depan televisi yang menyala, tertidur
lelap di lantai kamar dengan remote terkulai di tangan."
Andi tidak menjawab, dia asyik menghabiskan Mi Sapi.
Pak Tua manggut-manggut, tangannya sibuk menyobek menu Manok Pansoh. Sedangkan Sarah sibuk membantu Ibu mengambil makanan. Kupikir selama perjalanan ini,
Ibu nyaman sekali dibantu Sarah, bahkan tadi waktu bertemu di lift, turun menuju restoran, Ibu bilang dia semalam sempat dipijat Sarah, "Gadis itu baik
sekali, Borno." Ibu berbisik, "Hanya pijat sebentar, abang. Kasihan Ibu kelelahan setelah seharian keliling kota." Wajah Sarah memerah, memotong. Pak Tua
berdehem penuh maksud, sengaja mengangguku.
Pukul sembilan, setelah berbenah, memasukkan pakaian kotor dalam ransel, check-out, salah-satu cucu Tun Badawi sudah menunggu di lobi hotel. Ditilik dari
penampilannya, dia baru dua puluh tahun, dan kejutan, gadis itu pandai sekali berbahasa Indonesia, sama sekali tidak kentara aksen Melayu Serawak-nya,
dia berseru senang saat tahu Sarah adalah dokter gigi. "Aku kuliah kedokteran di Jakarta, Kak Sarah. Semester enam." Dan Andi melupakan "pertikaiannya"
dengan Tun Badawi sepanjang hari kemarin, mulai cengar-cengir tidak jelas, cari-cari perhatian.
Karena jadwal bus masih lama, kami sempat mampir di Sarawak State Library, menghabiskan waktu satu jam di sana, termasuk memberi ikan di danau kecilnya,
satu jam berikutnya mengunjungi lokasi Traditional Batik-Making. Pak Tua tertawa dengan pilihan lokasi wisata cucu Tun Badawi, "Kau pastilah disuruh kakek
tua itu mengajak kami ke sini, bukan" Dia lupa, tingkahnya yang provokatif ini bisa membuat dia besok-lusa kesulitan pulang kampung ke Pontianak." Cucu
Tun Badawi tertawa, "Kakek juga menyuruhku membelikan bang Andi batik-batik ini, Pak Tua. Nah, bang Andi mau yang mana?"
Si Bugis itu seperti baru saja dapat hadiah undian sabun colek berhadiah mobil.
Satu jam berlalu, mini van akhirnya menuju loket bus."
Pukul sebelas kurang lima, bus siap menuju Pontianak. Cucu Tun Badawi memeluk Sarah dan Ibu. Mencium tangan Pak Tua, menyalamiku, dan takut-takut menyalami
Andi." Pukul sebelas tepat, bus berangkat, kami pulang menuju kota tercinta, Pontianak. Kali ini lancar melintasi perbatasan Tebedu-Entikong, Andi menjaga paspornya
dengan baik, dan aku lebih banyak tertidur karena semalaman berjaga di waterfront hingga dini hari, kehilangan selera jahil.
Aku tertidur tanpa mimpi. Lelap. Tanpa tahu, kalau kejutan besar telah menungguku di Pontianak.
Persis ketika bus merapat di loket kota kami, tengah malam. Saat penumpang beranjak turun satu per-satu. Saat aku menjejakkan kakiku di pelataran jalan,
seseorang itu telah menunggu"bukan hanya bapak Andi yang berbaik hati membawa mobil bengkel menjemput kami.
Jawaban itu telah tiba. Apakah perasaan itu semakin jelas" Iya.
Meski itu diluar harapanku, jelas di sisi sebaliknya.
*** Adalah Bibi yang menungguku di loket bus Pontianak-Kuching.
Dia cemas, wajahnya penat, jelas sudah sejak sore dia menungguku di loket.
"Mei, Mei akan menikah, Nak Borno." Bibi langsung ke topik pembicaraan.
Dan aku yang sejak tutun sudah menduga pasti ada "kabar buruk", terdiam, seketika. Awalnya aku memikirkan kemungkinan lain, Mei sakit, ada musibah, atau
apalah. Tapi yang ini" Sungguh "kabar baik" yang terdengar "musibah" bagiku."
"Menikah?" Aku memegang dinding loket, berusaha tetap berdiri.
Andi, Ibu, dan Sarah sedang memindahkan ole-ole ke mobil bengkel yang dibawa bapak Andi." Pak Tua berdiri lima langkah di belakangku, menatapku prihatin"meski
dia tidak mendengar jelas pembicaraan kami karena loket ramai oleh orang-orang turun dan menyambut.
"Menikah dengan siapa?" Aku menelan ludah, bertanya"terima-kasih Tuhan, suara bising loket menyamarkan suara bergetarku.
"Bibi kurang tahu, Nak."
"Kapan" Kapan menikahnya?"
"Bibi belum tahu, Nak. Beritanya baru tiba tadi pagi, ada telepon dari Surabaya, meminta Bibi berangkat ke sana untuk bantu-bantu keluarga besar, itu pasti
tidak lama lagi. Kau jangan-jangan" eh, tidak ada yang memberitahu, Nak Borno?" Bibi menatapku prihatin. Wajahnya terlihat sedih.
Aku menggeleng. Bagaimana aku akan tahu?"
"Maafkan kami, Nak. Sungguh maafkan, Bibi"." Bibi menunduk.
Aku berusaha mengendalikan diri, menggeleng."
Loket bus terasa lengang.
*** Aku memutuskan berangkat ke Surabaya besok pagi-pagi, penerbangan pertama.
"Perasaan adalah perasaan, Kawan. Dan semua gadis di Pontianak ini harus tahu, tidak ada yang berhak mempermainkan hati kawan baikku. Kau harus berangkat,
bertanya, meminta penjelasan." Demikian saran Andi semalam, menepuk bahuku.
Pak Tua hanya menghela nafas panjang. Tidak banyak berkomentar, tapi dia memutuskan ikut mengantarku ke bandara."
Beberapa detik sebelum aku masuk ke ruang tunggu, final call untuk penumpang menuju Surabaya, Pak Tua memelukku erat-erat, bilang begini, "Kau mau tahu
bagaimana aku bertahan hidup setelah kejadian menyakitkan itu, anakku" Kau mau tahu bagaimana orang tua ini bisa menghabiskan sisa umur dengan seluruh
kenangan, kesedihan setelah kejadian di sungai Kapuas?"
Aku mengangguk, "Katakan, Pak Tua. Katakan" Aku sungguh membutuhkan semua kebijaksanaan Pak Tua dalam situasi ini."
Pak Tua tersenyum getir, "Karena orang tua ini mempercayai kalimat sederhana itu, Borno, apapun yang terjadi, itulah yang terbaik bagi kita". Itulah tingkat
tertinggi seorang pertapa. Mempercayai kalimat itu segenap hatinya". Sesuatu yang amat kita benci misalnya, boleh jadi itu baik bagi kita. Dan sebaliknya,
sesuatu yang amat kita sukai, inginkan, harapkan, boleh jadi itu buruk bagi kita. Berangkatlah, anakku, dan ingatlah kalimat itu, apapun yang terjadi,
itu sungguh yang terbaik bagi kita. Tuhan tidak akan pernah menipu, karena dia sungguh bukan penipu."
Aku menyeka ujung mata, menahan sesak perasaan.
Pak Tua mencium ubun-ubunku"sesuatu yang tidak pernah dia lakukan padaku.
Andi ikut memelukku, tertawa kebas, "Selamat jalan, Kawan. Ingatlah, apapun yang terjadi di Surabaya nanti, percayalah, kau selalu punya aku. Teman paling
ember, lamban, menyebalkan dan sok-tahu.?"
Aku ikut tertawa. Andi (sengaja) pura-pura hendak mencium ubun-ubunku.
Aku memukul bahunya. Enak saja. Bergegas, berlari-lari kecil menuju pintu garbarata."
Pesawat menuju Surabaya berangkat.
*** Sepuluh bulan menunggu, masalah ini telah tiba di penghujungnya."
Mei sudah memiliki penjelasan terbaiknya. Dia memutuskan menikah.
Hamparan laut biru terlihat indah. Awan putih menggumpal. Seandainya aku melakukan perjalanan udara ini dalam kondisi lebih baik, ini sungguh pengalaman
terbang pertama kali yang hebat. Apa kata Ujang, tukang ojek perempatan, jangan-jangan abang orang pertama di seluruh gang sempit tepian Kapuas yang pernah
naik pesawat." Aku tersenyum kecut, mengusap dahi"gurau Ujang berlebihan, bahkan Pak Tua berpuluh tahun lalu sudah terbiasa melakukannya.
*** Bibi tidak memberitahu alamat rumah Mei. Bibi juga menolak memberikan nomor telepon rumah"karena dia takut melanggar janji dengan Mei. Aku tentu saja tahu
rumah Mei, aku pernah mengantar Mei ke rumahnya sepulang dari plesir keliling Surabaya bersama Pak Tua. Tetapi Bibi punya saran lebih baik, dia bilang,
dua minggu sekali, Mei mengantar Oma berobat ke klinik alternatif yang pernah aku kunjungi. Klinik tempat aku dulu bertemu dengannya setelah menghabiskan
berkantong-kantong koin uang logam. Itulah cara terbaik bertemu dengan Mei"tidak mungkin aku tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya, situasi bisa jadi kacau
bahkan sebelum pembicaraan dilakukan.
Dari bandara Juanda, Surabaya, aku menumpang taksi meluncur ke klinik itu. Petugas sibuk membuka klinik saat aku tiba. Halaman parkir terhitung lengang.
Baru pukul setengah sembilan, aku memutuskan menunggu di kantin klinik. Ruangan luas, terbuka, dengan meja bundar kecil, bangku-bangku stainless steel
berwarna merah tersusun rapi. Aku melirik untuk kesekian kali jam di dinding kantin, jadwal Mei mengantar Oma pukul sepuluh, masih satu setengah jam lagi."
Salah-seorang karyawan kantin mendekat, memberikan daftar menu, menawarkan sarapan, aku menggeleng, sejak semalam aku tidak lapar. Mungkin minum" Karyawan
itu tidak menyerah, tersenyum. Aku menggeleng, juga tidak haus. Karyawan itu melipat daftar menu, meninggalkanku sendirian. Suara televisi terdengar kencang,
acara musik pagi. Pembawa acaranya bertingkah macam orang paling bahagia di seluruh dunia.
Aku tidak peduli sekeliling. Aku sedang memikirkan banyak hal.
Apa yang pertama kali akan kukatakan pada Mei"
Apa reaksinya saat melihatku"
Aku mendesah, entahlah. Aku lelah berpikir, sejak semalam. Lelah menduga-duga siapa calon mempelai laki-laki itu. Lelah menduga alasan Mei kenapa tiba-tiba
menikah. Pertemuan ini, aku akan sekadar bertanya lurus padanya, jika Mei menolak menjelaskan, maka urusan ini selesai, aku akan pulang ke Pontianak. Melanjutkan
hari-hariku di kota tercinta kami.
*** Lima menit menunggu. Seseorang menghampiriku. "Kau pastilah, Borno." Dia menyapa hangat, sehangat matahari pagi yang menerabas tiang-tiang, membuat siluet indah di lantai kantin.
Aku mengangkat kepala, mendongak. Sedikit terkejut, siapa pula yang menyebut namaku di kota yang baru kukunjungi dua kali"
"Perkenalkan, aku Madammoiselle." Tersenyum bersahabat.
Aku menelan ludah, Madammoiselle" Astaga" Bukankah nama itu familiar sekali sepuluh bulan terakhir. Bukankah itu teman satu geng Sarah dan Mei sewaktu
kecil. "Kenapa" Kau kaget melihatku." Dia tertawa renyah.
Aku menatapnya lamat-lamat, menyelidik, "Bukankah, eh maksudku, bukankah Madammoiselle itu perempuan?"
Dia tertawa lebar, "Awalnya mereka hanya mengolok-olok namaku dengan sebutan Madam. Masa kanak-kanak, aku dulu ringkih dan kurus, Borno. Tidak jago bermain
bola, tidak berani ikut-ikutan berkelahi dengan anak sekolah lain, hanya berteman dengan anak-anak perempuan, jadilah teman sekelas memanggil demikian,
Madam, Madam. Tapi itu tidak buruk, gurauan anak-anak, Mei dan Sarah bahkan tega menambahinya, memanggilku Madammoiselle. Semua temanku akhirnya memanggil
Madammoiselle, Madammoiselle. Mereka, Mei dan Sarah itu, teman baik yang jahat, memang."
Aku terdiam, menatap lamat-lamat lawan bicara di depanku, pemuda ini, sepantaran denganku, berpakaian rapi, kemeja lengan pendek, celana panjang, bersepatu,
tertawa lebar." "Boleh aku duduk, Borno?"
"Eh, silahkan." Aku (mencoba) tersenyum"setelah serangkaian kaget.
"Kau naik penerbangan pertama dari Pontianak, bukan" Bagaimana" Penerbangannya lancar?" Pemuda itu duduk, dua tangannya di atas meja.
Aku mengangguk. "Bibi yang memberitahuku." Pemuda itu menjawab, sebelum aku sempat membuka mulut, bertanya, dia tersenyum, "Bibi bilang kau menunggu Mei di sini, Bibi
juga bilang padaku, tidak ada lagi yang lebih baik menjelaskan semua urusan ini selain aku. Bukan Mei, Papa Mei apalagi, jadilah aku berangkat menemui
kau, menjadi si pembawa pesan. Kita akhirnya bertemu di kantin ini, Borno."
Aku menelan ludah, mencoba memahami kalimat cepatnya."
"Kau pasti sudah tahu Mei akan menikah, bukan?" Pemuda itu tersenyum.
Aku mengangguk. "Itu kabar yang hebat sekali." Lawan bicaraku mengusap rambut rapinya perlahan, "Eh, maksudku, siapa yang menduga dia akhirnya berani mengambil keputusan
itu." Lawan bicaraku berusaha memperbaiki kalimatnya, takut menyinggung perasaan, "Maksudku, setelah berbulan-bulan tanpa kepastian, berbulan-bulan gamang,
dia akhirnya memberitahu kabar itu padaku. Kau terkejut, apalagi aku. Sangat mengejutkan. Mei memutuskan menikah. Bukan main, aku masih antara percaya
dan tidak, masih sering mencubit lengan sendiri untuk memastikannya."
Aku diam"meski banyak pertanyaan yang menjejali kepalaku, aku memutuskan diam, menunggu. Lawan bicaraku ini, siapapun dia, dilihat dari caranya bicara,
gesture muka, intonasi suara, pasti datang untuk menjelaskan seluruh urusan dengan baik.
"Kau pastilah tahu, kami berteman baik sejak kecil, tiga anak nakal, Mei, Sarah, Madammoiselle. Di sekolah, di kelas kursus, di taman bermain, di mana-mana.
Hingga usia tiga belas, saat Mei dan keluarga besarnya pindah ke Surabaya, persahabatan kami bubar. Sarah tertinggal di Pontianak, sedangkan aku, setahun
kemudian, Papaku ditugaskan ke Surabaya, dia pegawai pajak, sering berpindah kantor, jadilah aku kembali bertemu dengan Mei."
"Aku dan Mei adalah kawan dekat, Borno. Teman sejati, soul-mate, meminjam istilah anak-anak remaja saat ini. Kami satu sekolah, SMP, SMA, bahkan hingga
kuliah, kami sama-sama memilih jurusan keguruan, hobi kami sama, cita-cita kami sama. Aku juga guru SD, sama seperti Mei, hari ini aku bolos untuk menemui
kau." Lawan bicaraku tertawa, nyengir, "Tetapi itu bisa dimaafkan, ada guru pengganti, lagipula urusan kita penting sekali, murid-muridku pasti mengerti."
Televisi yang disetel kencang-kencang sedang menyiarkan iklan. Aku mengangguk, penampilan lawan bicaraku ini memang mirip guru SD yang baik-hati.
"Belasan tahun dekat dengannya, aku tahu semua hal yang terkait dengannya, Borno, tahu kebiasaannya, hafal kesukaannya, semuanya. Dia bahkan menjadikan
Madammoiselle ini seperti radio butut, yang bisa diajak bicara kapan saja, atau seperti buku diary besar, tempat dia meletakkan semua catatan kesehariannya.
Aku bahkan tahu Mei hampir jatuh terjengkang di sungai Kapuas, saat belajar mengemudi sepit bersama kau. Dia bilang, itu salah-satu kejadian seru dalam
hidupnya. Kau lihat, aku bahkan tahu detail itu. Bisa kau bayangkan, kalau diibaratkan, aku punya harta karun pengetahuan tentang Mei, bisa kubuatkan kelas
khususnya: kursus mengenal Mei". Sialnya, itu juga termasuk tahu keluh-kesahnya, duka-citanya, kesedihan, gelisah, sesak, semua satu paket dalam layanan
sebagai sahabat sejati, pendengar yang baik. Aku tahu semuanya"."
Lawan bicaraku diam sejenak, menghela nafas.
"Kau pernah melihat seekor sapi disembelih, Borno?"
Eh" Aku menggeleng, apa hubungannya dengan pembicaraan ini" Kenapa tiba-tiba dia loncat ke sana"
"Aku juga belum." Lawan bicaraku tertawa prihatin, "Tetapi ada yang bahkan pernah melihat seekor sapi besar, dibelah dadanya hidup-hidup. Itu mengerikan.
Sapi itu dibius, lantas diikat kaki-kakinya, kemudian" dibelah dadanya."
Aku mematung, mulai menebak-nebak arah pembicaraan.
"Hidup ini kadang rumit sekali untuk seorang guru SD sepertiku, Borno." Lawan bicaraku menghela nafas, tertawa getir, "Aku seharusnya belajar banyak dari
kau. Lebih dari ratusan kali Mei bilang padaku, Borno adalah seseorang yang paling sederhana memahami hidupnya. Mengalir begitu saja seperti sungai Kapuas,
tanpa kebencian, tanpa ambisi, tanpa pretensi, lurus perangainya, lapang hatinya. Bahkan untuk kejadian yang paling menyakitkan dalam hidupnya, tetap saja
dia tulus. Borno tidak sebanding denganku, begitu kata Mei, aku merusaknya, aku menjadi orang jahat dalam hidupnya, dan itu celakanya, untuk yang kedua
kali keluarga kami lakukan."
Kantin lengang. Salah-satu karyawannya sedang mengelap meja bundar di pojok.
Aku menahan nafas. Apa maksud kalimat itu"
"Kau pernah memuji Mama Mei cantik, bukan" Mei cerita itu padaku, amat detail ceritanya. Termasuk cerita tentang hadiah cokelat yang ditolaknya, yang membuat
dia cemas sepanjang malam, apakah penolakan itu menyinggung perasaan kau atau tidak. Bayangkan, Mei tidak bisa tidur semalaman, hanya untuk mengkhawatirkan
sebatang cokelat. Takut telah membuat kau berkecil hati, sungguh takut." Lawan bicaraku tertawa kecil, "Kau pernah memuji Mama-nya cantik, bukan" Di atas
sepit yang menyeberangi sungai, apa jawaban Mei" Cantik. Karena memang cantik sekali Mama-nya itu."
"Semasa kami kecil, adalah Mama Mei, ibu-ibu berusia empat puluh yang dikenal orang-orang, Ketua Yayasan yang memiliki sekolah ternama di Pontianak. Adalah
Mama Mei, seseorang yang baik hati, memiliki kolega dan pergaulan luas hingga Surabaya dan Jakarta, berpendidikan tinggi, rajin mengikuti kegiatan sosial,
dan begitu banyak aktivitas yang membuatnya terhormat dan terpadang."
"Kau memujinya cantik, Borno, kau memuji seseorang yang bahkan belum pernah kau temui"." Lawan bicaraku menarik nafas panjang, "Kau memuji seseorang"."
Dia diam lagi, menatapku lamat-lamat.
Aku tidak sabaran, hampir mendesak.
"Kau memuji seseorang yang telah membelah dada bapak kau, Borno. Adalah tangannya yang mengambil jantung itu, darah mengalir kemana-mana, luka besar menganga".
Aku sungguh tidak pernah bisa membayangkan kejadian dini hari itu.?"
Lawan bicaraku terdiam. Aku mematung. Nafasku tertahan.
"Iya, itulah rahasia kecil semua cerita ini". Adalah Mama Mei, dokter yang melakukan operasi itu. Yang yakin sekali bahwa bapak kau telah mati secara medis,
tidak ada lagi aktivitas otak. Dialah yang bertanggung-jawab penuh atas kejadian dini hari itu. Puncak dari reputasinya sebagai dokter, tinta emas bersejarah
baginya. Begitu dingin, begitu taktis, penuh perhitungan. Operasi berhasil, Papa Sarah terselamatkan, dan bapak kau menunaikan dengan sempurna seluruh
kebaikan yang dimilikinya, kebaikan yang telah terwariskan pada kau, Borno."
Ruangan kantin sempurna lengang.
Aku menelan ludah. Jemariku sedikit gemetar."
"Sayangnya, dalam cerita kita ini, ternyata Mama Mei tidaklah sedingin itu." Suara lawan bicaraku terdengar lamat-lamat, "Dia tidak setangguh yang dia
kira, dia tetaplah manusia biasa, lupakan reputasinya sebagai dokter hebat. Lepas operasi sukses itu, melihat kau menangis di lorong rumah sakit, melihat
Sarah yang berdiri menatap kau, keyakinan atas keputusan itu mulai berguguran, awalnya hanya sepotong, tapi lama-lama runtuh sungguhan. Sehari setelah
operasi, entah apa pasalnya, Mama Mei mulai mencemaskan banyak hal. Apakah dia sungguh telah yakin seratus persen bapak kau memang telah mati saat itu,
jangan-jangan dia berbohong, terburu-buru, ambisi pribadinya telah mengabaikan boleh jadi masih tersisa keajaiban. Apakah keputusan yang dia ambil benar.
Apakah dia berhak "membunuh" seseorang, lantas memberikan kehidupan itu pada orang lain. Apakah dia berhak membuat seorang anak kehilangan Ayah, dan seorang
istri kehilangan suaminya. Apakah dia berhak merubah nasib sebuah keluarga, kau menjadi yatim."
"Dan perlahan tapi pasti, keteguhan hati Mama Mei semakin luntur, seminggu kemudian, puteri semata wayangnya, Mei, justeru sakit keras, demam. Bermalam-malam
menunggui Mei kecil, terbaring lemah di atas dipan, menggigil kesakitan, membuat semuanya semakin runyam. Mama Mei sering ditemukan sedang kalap memeluki
Mei, menangis. Dokter hebat itu telah tumbang, menjadi manusia biasa, penuh perasaan, penuh kecemasan, penuh penyesalan. Dalam diary-nya yang ditemukan
bertahun-tahun kemudian, tertulis besar-besar, keputusan dini-hari itu bohong, dia tahu persis nyawa bapak kau masih bisa diselamatkan."
"Tetapi semua telah terjadi, bukan" Bapak kau telah mati, bahkan sebelum dadanya dibelah, berwasiat menolak menerima pembayaran, menolak dihubungkan dengan
keluarga Sarah. Situasi yang membuat Mama Mei semakin menyesal. Tanpa kau ketahui, lebih dari tiga kali dia mengunjungi rumah panggung kalian di tepian
Kapuas, dan setiap kali pulang dari sana, kondisinya semakin parah. Dia depresi, pekerjaannya mulai terbelengkalai, kondisi fisiknya menurun drastis."
"Setahun berlalu, situasinya semakin memburuk. Tidak ada lagi Mama Mei yang cantik, yang ada hanya ibu-ibu dengan wajah kusut, menua lebih cepat. Dan demi
situasi itu, Papa Mei memutuskan membawa seluruh keluarga mereka ke Surabaya. Kota baru, lingkungan baru, tetangga baru, pekerjaan baru, kehidupan baru,
semoga dengan itu seluruh penyesalan berkurang. Mereka pergi". Itulah kenapa usia tiga belas, setahun setelah kejadian itu, Mei pergi dari Pontianak. Geng
kami bubar.?" Lawan bicaraku terdiam sebentar, menghela nafas panjang..
Aku masih mematung. Kenangan kejadian belasan tahun lalu itu melesat kembali ke kepalaku.
"Secara klinis sudah meninggal." Itu penjelasan singkat dokter beberapa detik setelah melihat garis lurus di mesin, mendesah resah, memerintahkan tim operasi
mulai bekerja." Ya Tuhan" Dokter itu" Dokter itu adalah Mama Mei"
"Sarah tidak tahu tentang ini semua. Sarah hanya tahu, keluarga Mei pindah karena Papa Mei memiliki bisnis baru di Surabaya. Tidak banyak yang tahu, karena
Papa Mei menutup akses pada keluarga mereka, merahasiakan depresi itu. Aku juga awalnya tidak tahu. Aku baru tahu setelah pindah ke Surabaya, bertemu kembali
dengannya. Mei yang berubah banyak, tidak ada lagi Mei yang riang yang mengajakku mencuri mangga tetangga, tidak ada lagi Mei yang semangat mengajakku
melempari sesuatu, dia telah berubah, menjadi lebih pendiam, wajahnya terlihat sendu, misterius. Bagaimana tidak" Mamanya depresi berat di rumah, membentak
Mei, berteriak-teriak, tidak terkendali, tidak dikenali lagi. Mei tumbuh dengan seluruh kesedihan atas peristiwa itu, bahkan lima tahun kemudian, saat
Mamanya meninggal, kesedihan itu tidak berkurang satu bongkah pun, semakin menggunung."
"Akulah yang mendengar segala keluh-kesah itu. Menjadi tempatnya bercerita. Menjadi teman yang bisa diandalkan, jam tiga dinihari sekalipun, saat dia menelepon,
aku setengah terkantuk pura-pura mendengarkan. Dia cerita baru saja menemukan buku catatan Mama-nya setahun terakhir sebelum pindah ke Surabaya. Buku itu
ditemukan bersama peninggalan Mama-nya yang lain. Halaman-halaman yang penuh dengan penyesalan. Rasa bersalah. Pengakuan kalau dialah yang membunuh bapak
kau. Pertemuan dengan Ibu kau yang justeru menolak bicara. Dari catatan itu Mei akhirnya mengenal nama kau, Borno. Mengenal keluarga kau yang bersahaja.
Bisa membayangkan betapa hidup kalian semakin sulit setelah kepergian tulang punggung keluarga. Anak nelayan yang yatim. Penyesalan itu terwariskan sudah".
Mei memutuskan berangkat ke Pontianak, menemui kau.?"
"Waktu itu, kami di penghujung kuliah, masa-masa magang, praktek lapangan. Mudah saja bagi Mei mendapatkan tempat magang di sekolah terbaik milik Yayasan
itu, dia diterima magang tiga bulan tanpa proses administrasi panjang. Yang sulit adalah "menyapa" kau, Borno. Itu sulit sekali, dia cerita padaku, dia
selalu gemetar setiap kali hendak menyapa kau. Dia sengaja menumpang sepit setiap berangkat ke sekolah, beberapa kali naik sepit kau, tapi dia tidak kuasa
melakukannya. Aku menyarankan pada Mei agar menulis sepucuk surat perkenalan, dia menurut, menjatuhkan amplop merah di sepit kau. Tetapi sepertinya surat
itu tidak pernah sampai pada kau."
Aku terdiam, amplop merah" Ang pao itu" Itu surat dari Mei. Astaga, aku bahkan tidak pernah membuka surat itu sekalipun"kupikir itu memang hanya amplop
ang-pao biasa. Masih tersimpan di lemari rumah.
"Beberapa hari setelah amplop surat itu dijatuhkan, dia tetap tidak berani menemui kau secara langsung, ternyata kesempatan menyapa itu tiba sendiri, saat
dia mengajak anak-anak didiknya melakukan kegiatan sosial, merayakan perayaan China, dia berhasil menyapa kau di dermaga sepit. Kau tahu, Borno, Mei riang
sekali menceritakan kejadian itu, semalaman, membuatku macam batang pisang saja, mendengar tanpa bisa menyela."
"Maka dimulailah pertemanan kalian". Pertemanan?" Lawan bicaraku diam sejenak, menggeleng perlahan, "Pertemanan" Astaga, itu sungguh "pertemanan" yang
berjalan diluar dugaan Mei. Itu bukan pertemanan biasa, itu pertemanan yang diskenariokan. Dia-lah yang sengaja mengatur jadwal berangkat yang sama persis
setiap hari, dan dia bersorak senang saat tahu kau akhirnya selalu memarkir sepit diantrian nomor 13. Apa kata Mei setelah kalian bertemu berkali-kali,
dia bilang, Borno itu amat menyenangkan, Madammoiselle, amat menyenangkan. Orangnya lucu, sok-tahu, dan seru. Bahkan dia "menghina" namaku, nama bulan,
Madammoiselle". Malam itu aku kembali menjadi kambing congek, mendengar cerita panjang lebar darinya lewat telepon hingga pukul tiga."
"Aku bilang padanya, tidakkah kau khawatir kedekatan kalian yang terjadi tiba-tiba dam bergerak terlalu cepat akan membuat Borno salah-paham" Mei hanya
tertawa, bilang kalian hanya berteman. Lagipula, setelah magang tiga bulan, aku akan kembali ke Surabaya. Urusan selesai. Aku hanya ingin mengenal keluarga
Borno, setelah itu misi terselesaikan. Maka tiga bulan berlalu, dia pulang ke Surabaya. Kau sempat menemuinya di rumahnya bukan" Ada salah paham kecil,
sehari sebelumnya kalian janjian mau belajar sepit, bukan" Kau tidak datang. Kau berusaha menjelaskan hingga ke rumahnya, tapi dia justeru persis hendak
berangkat ke Surabaya."
Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi Mei tidak bisa berbohong, tiga bulan itu penting baginya. Tidak sekadar misi terselesaikan. Saat aku bertemu dengan Mei di sini, setelah dia kembali
dari Pontianak, kami bersama-sama membuat laporan magang, entah kenapa aku pikir ada yang berbeda dengannya. Dia selalu cerita tentang kau, Borno. Topik
pembicaraan kami selalu, Borno, Borno dan Borno. Dan dia pernah bilang begini, "Madammoiselle, aku merasakan, sepertinya aku akan bertemu dengan Borno
di Surabaya." Astaga, itu sungguhan terjadi. Kau datang bersama Pak Tua, berobat di klinik ini. Dan kalian bertemu, pertemuan yang kikuk, malu-malu dan
serba tanggung. Malam itu, Mei riang sekali menceritakan semua kejadian. Bilang semuanya seru."
"Aku mengingatkannya, situasi akan rumit kalau ternyata di antara kalian ada perasaan suka. Mei tertawa, tidak mungkin, Borno tidak akan pernah menyukainya
kalau tahu siapa dia sebenarnya. Aku bilang, jangan-jangan justeru kau yang menyukai Borno. Mei menimpukku dengan sendal jepit. Dan kau tahu, Borno, Pak
Tua justeru mengajak kalian ke rumah Fulan dan Fulani, mendengar cerita cinta hebat milik mereka. Cerita cinta yang membuat Mei berubah pikiran. Kenapa
tidak" Mei memutuskan kembali ke Pontianak, mengajar di sekolah milik Yayasan Ibu-nya."
"Papa Mei melarangnya, mengingatkan kalian hanya akan saling menyakiti. Mei keras kepala, meyakinkan kalian hanya berteman. Tidak akan terjadi apapun.
Papa Mei kehabisan argumen, bilang terserah Mei, maka berangkatlah dia ke Pontianak."
"Itu keputusan besar, dan semua ternyata berakhir buruk. Sesuai yang diduga oleh dirinya sendiri, kalian semakin dekat, meski maksudku hanya kedekatan
di atas sepit, tapi itu bisa berharga dan bermakna sekali. Mei tiba-tiba meneleponku, bilang Borno mengajakku jalan-jalan berkeliling Pontianak, Madammoiselle.
Suaranya ragu-ragu, dia bilang, mengkhawatirkan hubungan kalian menjadi rumit. Aku tertawa, bukankah aku sudah mengingatkannya. Apa yang harus kulakukan,
Madammoiselle" Mei bertanya. Aku menyarankan agar dia tetap datang di dermaga sepit, dia tidak bisa membatalkan janji hanya karena tiba-tiba merasa ragu.
Esok paginya, Mei ternyata tidak datang."
"Itulah fase hubungan maju-mundur kalian. Kau mendesak memintanya bertemu, Mei menolak, mulai membangun benteng. Satu minggu berlalu, dua minggu terlewati,
satu bulan terbetik kabar kau menjual sepit, Mei cemas, bertanya pada Pak Tua. Malam itu kalian bertemu di sana. Malam itu juga, Mei meneleponku, bilang
padaku, kau mengantarnya pulang ke rumah. Kalian diam-diaman di atas angkot sepanjang perjalanan. Apa yang harus kulakukan, Madammoiselle" Mei meminta
nasehatku." "Kau tahu, Borno. Aku amat menyayangi Mei, amat menyukainya. Dia teman baikku sejak kecil, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku. Maka aku menyarankan,
jalani saja semuanya seperti air sungai yang mengalir. Bukankah Borno juga seperti itu" Bujang dengan hati paling lurus sepanjang Kapuas. Dari cerita-cerita
Mei yang kudengar, teleponnya bermalam-malam, aku tidak akan keliru, kau pastilah pemuda yang baik, calon pemilik bengkel besar kota Pontianak, pemuda
yang bisa menjaga Mei. Apalagi yang harus kucemaskan?" Lawan bicaraku terdiam sejenak. Menunduk, menghela nafas panjang.
Ruangan kantin hanya menyisakan suara berisik televisi.
"Mei sepertinya menuruti saranku. Tetapi sayangnya, setelah sekian kali menemui kau di bengkel, membawakan makan siang, Mei yang terus membawa catatan
kesedihan milik Mama-nya tiba-tiba kembali cemas saat membaca ulang diary itu. Dia takut, dia hanya akan menyakiti kau, Borno. Dia mulai bingung dengan
perasaannya, apakah dia sungguh menyayangi kau, atau jangan-jangan karena kaitan masa lalu itu saja. Jangan-jangan dia melakukan ini karena perasaan bersalah.
Dia juga cemas, karena sebaliknya, jangan-jangan, saat kau tahu dia adalah puteri dari dokter yang membelah dada bapak kau, maka kau seketika akan membencinya.
Membuat perasaan suka itu bergantikan kebencian. Semua hubungan kalian berakhir saling menyakiti."
"Apa yang harus kulakukan, Madammoiselle" Apa yang harus kulakukan" Astaga, setiap malam, gadis itu bertanya hal sama. Mana aku tahu. Semua keputusan di
tangannya, dia yang memulainya. Dan ternyata, setelah berminggu-minggu kau mendesaknya, meminta penjelasan, Mei memutuskan pergi, dia kembali ke Surabaya.
Kalian berpisah." "Itulah yang terjadi di Pontianak, yang kupikir sebagian besar kau juga sudah tahu, Borno, kecuali kaitan masa lalu itu." Lawan bicaraku menatapku lamat-lamat,
"Yang tidak kau ketahui, kejadian sepuluh bulan terakhir di Surabaya ini.?"
Ruangan kantin lengang. Aku mengusap wajah kebasku. Menelan ludah.
"Sepuluh bulan terakhir, Mei memegang teguh janjinya pada kau: menjadi guru yang baik. Dia menyibukkan diri, berbuat banyak hal, melakukan banyak aktivitas
hingga tidak punya waktu sedetik pun untuk mengingat kau. Itulah kenyataannya."
"Sekolahku dan sekolahnya dekat, jadi kami sering bertemu. Aku pernah bertanya padanya, apakah kau menyukai Borno" Tidak tahu. Apakah kau ingin melupakan
Borno" Tidak tahu. Tetapi itu jawaban bohong, kenyataannya, itulah yang mati-matian berusaha dia lakukan sepuluh bulan terakhir. Episode hubungan kami
sudah tamat, Madammoiselle, aku hanya akan menyakiti Borno. Jangan dibahas lagi, Madammoiselle. Titik. Maka aku tidak berselera lagi membahasnya. Kami
berdua mengisi hari-hari dengan kesibukan. Aku selalu menemaninya kemana pun, menjadi teman bicara dalam topik apapun, membantunya, mendukungnya."
"Hingga sebulan lalu dia memutuskan untuk menikah. Itu sungguh keputusan yang amat mengejutkan, semua serba cepat, seperti mobil balap berebut menuju garis
finish. Aku bahkan masih seperti setengah bermimpi, apakah dia telah yakin seratus persen atas keputusan itu" Tidak maukah dia menunggu untuk membuatnya
lebih terang benderang. Mei bilang padaku, itu sudah dipikirkannya matang-matang. Dia bersedia menikah."
Ruangan kantin mulai ramai, satu-dua kerabat yang mengantar pasien duduk di meja bundar kosong. Karyawan kantin lewat di dekat meja kami.
"Kapan?" Aku bertanya dengan suara bergetar.
"Minggu depan."
Aku mengeluh dalam. Minggu depan"
"Tetapi kau tidak perlu putus-asa, Borno." Lawan bicaraku tersenyum bersahabat, "Satu minggu lebih dari cukup untuk merubah situasi."
Aku menggeleng, apanya yang bisa kurubah" Bahkan tiga tahun mengenal Mei, tidak ada satupun yang bisa kurubah.
"Baiklah," Madammoiselle mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, "Aku selalu percaya, apapun bisa terjadi dalam urusan perasaan. Aku amat menyayangi Mei,
Borno. Seperti yang berkali-kali kubilang dalam cerita ini, aku teman dekatnya sejak kecil, kami soul-mate, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku. Dan tidak
hanya itu, kesedihan dia adalah kesedihanku. Kau sudah datang jauh-jauh dari Pontianak, meminta penjelasan itu padanya beberapa menit lagi. Ini pertemuan
yang bisa merubah seluruh cerita Borno. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kau bertemu dengannya. Boleh jadi semua akan berbelok arah. Maka,
ijinkanlah aku membantu kau. Karena setelah berpikir lama, setelah mendengar penjelasan Bibi panjang lebar, maka kau sama berhaknya, kau masih punya kesempatan.?"
Lawan bicaraku diam, lantas menjulurkan sepotong kertas yang penuh tulisan tangan.
Tanganku gemetar menerimanya.
"Aku sudah menuliskannya. Semua. Ini daftar hal yang paling disukai dan paling tidak disukai, Mei. Daftar ini pasti akan berguna sekali untuk kau." Lawan
bicaraku menjelaskan. Aku bingung, untuk apa"
"Mana aku tahu," Dia tertawa pelan, getir, "Jika ada yang bertanya, siapa orang yang paling mengenal Mei, maka akulah orangnya. Bukankah sudah kubilang,
aku bisa memberikan kursus tentang Mei. Nah, dengan catatan ini, kau telah kuberikan harta karun pertemanan kami selama belasan tahun, Borno, baca sajalah."
Aku menurut, membaca catatan itu.
"Dia menyukai warna kuning lebih dari apapun."
Lawan bicaraku mengangguk.
"Dia paling suka memberikan hadiah buku. Memilihkan buku terbaik."
Lawan bicaraku mengangkat bahunya, tersenyum.
"Dia tidak menyukai cokelat, apapun bentuk dan jenisnya. Itu mengingatkannya pada Mamanya."
Lawan bicaraku tertawa, "Karena itulah dia reflek menolak hadiah dari kau, mengarang-ngaran alasan demi murid didiknya."
Aku menelan ludah, terus membaca daftar itu hingga selesai. Kertas itu bahkan mendaftar makanan yang mencetuskan alergi Mei, kebiasaan sehari-harinya,
mimpi-mimpinya, pesta pernikahan yang dia cita-citakan, kehidupan keluarga bagaimana yang dia inginkan, semuanya.
"Aku harus pergi, Borno. Sebentar lagi Mei akan datang dengan Oma. Kau akan berkesempatan bertemu dengannya. Sapalah dia dengan baik, bertanya kabar. Mulailah
pembicaraan dengan memuji betapa bagusnya syal yang dia kenakan, itu ada di nomor sembilan, bukan" Kupikir semua sudah kujelaskan. Semua sudah kuberikan.
Selamat tinggal, Borno." Lawan bicaraku berdiri.
Aku patah-patah ikut berdiri. Masih kebas dengan banyak hal.
"Semoga sukses, Kawan." Lawan bicaraku menyalami.
Aku mengangguk, bilang terima-kasih pelan dengan suara bergetar.
Dia beranjak meninggalkan kantin, punggungnya hilang di jalanan depan klinik.
Satu menit senyap. Aku mengeluh, hei, aku lupa bertanya siapa nama calon suami Mei"
Dengan siapa Mei akan menikah" Tidak mungkin itu kutanyakan pada Mei nanti.
Kertas catatan itu masih di tanganku. Aku membalik kertas itu, boleh jadi masih ada catatan dia di baliknya. Mataku membesar, bukankah ini kertas undangan
pernikahan" Dia tidak merobek sembarang kertas untuk menuliskan seluruh daftar, ini sungguhan kertas undangan.
Dan aku terdiam seketika. Jelas sekali tertulis di balik kertas itu: Mei & Adam.
Epilog "MAJU SATU SEPIT LAGI!!" Petugas timer macam rocker kelas kampung berteriak lantang, "WOI, BORNO!! Majulah sepit kau itu."
Jauhari yang antriannya persis di sebelahku, memukul dinding perahu kayuku, ikut mengingatkan.
Aku nyengir, meletakkan buku tebal di samping"tanggung sekali, tinggal dua paragraf, baiklah, aku menarik tuas mesin, kipas propeler berputar cepat, gelembung
air muncrat ke permukaan sungai, sepitku melaju anggun, merapat ke bibir steher.
"Kapan kau ujian akhir, Borno?"
"Minggu depan, Oom."
"Buat apalagi kau belajar" Bukankah kau sudah tahu semua tentang mesin?"
Aku nyengir, tidak menjawab.
"Woi, antri yang benar, Dik. Jangan menyalip." Petugas timer melotot pada tiga anak SMP yang grasa-grusu langsung berdiri di depan. Tiga anak SMP itu nyengir,
saling dorong, kembali ke belakang barisan.
"Di mana bengkel ketiga kau itu, Borno?" Petugas timer kembali menoleh padaku, mengajak ngobrol, sambil menunggu penumpang selesai duduk rapi di sepitku.
"Di dekat perempatan jalan Sudirman, Oom."
"Astaga." Petugas timer menepuk dinding perahu kayu, "Itu jalan paling besar di kota Pontianak, Borno. Maju sekali bisnis kau sekarang". Bukan main, bangga
sekali aku, masih bisa meneriaki pemilik bengkel dari atas dermaga kayu ini."
Aku tertawa, menunjuk deretan papan melintang di perahu yang sudah penuh.
"Nah, Borno. Sepit kau sudah penuh. Jalanlah." Petugas timer mengangguk, berdiri, "WOI, JAU, MAJU SEPIT KAU, jangan kebanyakan mengupil kau."
Aku menekan pedal gas. Sepitku meninggalkan dermaga kayu. Matahari pagi bersinar hangat, payung-payung yang dibawa gadis-gadis di atas sepit terkembang
lebar, membuat meriah pemandangan. Ini pagi yang indah, di kota yang indah, pagi kesekian puluh ribu kali sejak hantu pontianak ditaklukkan.
Aku tersenyum lebar. Sepitku melaju cepat, membelah sungai Kapuas.
*** Setelah semua penjelasan itu, apakah aku menemui Mei"
Jawabannya: "Iya" dan "Tidak".
Setiap hari kita selalu menemukan pertanyaan itu, bukan" Apakah akan berangkat" Apakah akan mendaftar" Apakah akan membeli" Apakah akan tidur lebih cepat"
Apakah akan ini, akan itu. Maka aku memutuskan meneladani petuah bijak Pak Tua. Dalam cerita ini, kebijaksanaan Pak Tua selalu benar. Dan kali ini, Pak
Tua sungguh berkali-kali benar."
*** Epilog "MAJU SATU SEPIT LAGI!!" Petugas timer macam rocker kelas kampung berteriak lantang, "WOI, BORNO!! Majulah sepit kau itu."
Jauhari yang antriannya persis di sebelahku, memukul dinding perahu kayuku, ikut mengingatkan.
Aku nyengir, meletakkan buku tebal di samping"tanggung sekali, tinggal dua paragraf, baiklah, aku menarik tuas mesin, kipas propeler berputar cepat, gelembung
air muncrat ke permukaan sungai, sepitku melaju anggun, merapat ke bibir steher.
"Kapan kau ujian akhir, Borno?"
"Minggu depan, Oom."
"Buat apalagi kau belajar" Bukankah kau sudah tahu semua tentang mesin?"
Aku nyengir, tidak menjawab.
"Woi, antri yang benar, Dik. Jangan menyalip." Petugas timer melotot pada tiga anak SMP yang grasa-grusu langsung berdiri di depan. Tiga anak SMP itu nyengir,
saling dorong, kembali ke belakang barisan.
"Di mana bengkel ketiga kau itu, Borno?" Petugas timer kembali menoleh padaku, mengajak ngobrol, sambil menunggu penumpang selesai duduk rapi di sepitku.
"Di dekat perempatan jalan Sudirman, Oom."
"Astaga." Petugas timer menepuk dinding perahu kayu, "Itu jalan paling besar di kota Pontianak, Borno. Maju sekali bisnis kau sekarang". Bukan main, bangga
sekali aku, masih bisa meneriaki pemilik bengkel dari atas dermaga kayu ini."
Aku tertawa, menunjuk deretan papan melintang di perahu yang sudah penuh.
"Nah, Borno. Sepit kau sudah penuh. Jalanlah." Petugas timer mengangguk, berdiri, "WOI, JAU, MAJU SEPIT KAU, jangan kebanyakan mengupil kau."
Aku menekan pedal gas. Sepitku meninggalkan dermaga kayu. Matahari pagi bersinar hangat, payung-payung yang dibawa gadis-gadis di atas sepit terkembang
lebar, membuat meriah pemandangan. Ini pagi yang indah, di kota yang indah, pagi kesekian puluh ribu kali sejak hantu pontianak ditaklukkan.
Aku tersenyum lebar. Sepitku melaju cepat, membelah sungai Kapuas.
*** Setelah semua penjelasan itu, apakah aku menemui Mei"
Jawabannya: "Iya" dan "Tidak".
Setiap hari kita selalu menemukan pertanyaan itu, bukan" Apakah akan berangkat" Apakah akan mendaftar" Apakah akan membeli" Apakah akan tidur lebih cepat"
Apakah akan ini, akan itu. Maka aku memutuskan meneladani petuah bijak Pak Tua. Dalam cerita ini, kebijaksanaan Pak Tua selalu benar. Dan kali ini, Pak
Tua sungguh berkali-kali benar.
*** Dewi Dua Musim 3 Si Penakluk Dewa Iblis Karya Lovely Dear Kucing Siluman 1
berakhir jika Mei tetap pergi, tidak peduli. Semua usaha pengejaranku sia-sia, jika Mei tetap menyerahkan boarding pass-nya pada petugas.
Aku dibawa ke ruangan keamanan bandara, aku tidak bisa melihat Mei lagi, dinding kaca ruang tunggu bergantikan tembok beton."
Aku mengeluh amat dalam."
*** Adalah satu jam aku di-interogasi.
Aku bilang aku mengejar seseorang yang amat berarti dalam hidupku. Dia akan pergi. Aku terpaksa melakukan semua pelanggaran tadi. Petugas saling lirik,
setengah tidak percaya. Petugas memeriksa dompetku, berserak KTP, uang receh, pesanan spare-part, catatan kecil tentang jadwal pelatihan bengkel, bukti
hutang Juned, dan kertas kecil, lecek, bertuliskan, "Maafkan Mei, abang. Seharusnya Mei tidak pernah menemui abang sebelumnya." Itu pesan Mei yang selalu
kusimpan di dompet. Petugas tercenung membacanya. Melipatnya lagi.
Tidak puas memeriksa dompetku, mereka memeriksa saku celana, baju, mengeluarkan uang receh, dan juga menemukan satu kertas kecil, lecek, bertuliskan, "Maafkan
Mei, abang. Mei pergi." Pesan Mei yang dititipkan lewat Bibi tadi.
Petugas terdiam membacanya. Mereka menatapku.
"Cerita kau sungguhan?"
Aku menunduk, tidak menjawab. Aku jauh lebih terkendali, tidak berontak, teriak marah, lepaskan, bilang Mei pergi sedangkan kalian sibuk menangkapku. Apalagi"
Pesawat itu sudah berangkat satu jam lalu, mau marah, mau mengamuk, tidak akan merubah situasi.
Petugas berbisik-bisik, berdiskusi. Aku akhirnya dilepaskan.
Aku gontai mendorong pintu ruangan keamanan. Menghela nafas, selesai sudah, semua urusan ini berakhir tanpa sempat mendengar penjelasan. Sudah pukul tujuh
malam, sebaiknya aku pulang. Istirahat"walaupun prospek aku bisa tertidur cepat rendah sekali setelah semua kejadian.
"Abang." Suara itu memanggilku.
Aku mengangkat kepala."
"Abang baik-baik saja?"
Aku sungguh seperti mendapatkan kejutan hadiah terbaik seumur hidupku.
*** Kami berdiri di depan ruangan petugas keamanan yang lengang, hanya ada satu petugas kebersihan yang sibuk mengepel lantai.
"Kau, kau tidak jadi naik pesawat?" Aku meneguhkan diri, memulai percakapan.
Mei mengangguk. Aku bersorak riang dalam hati. Hore! Dia batal pergi.
"Tapi aku tetap pergi, abang." Mei berkata pelan, menunduk.
Sorakanku terhenti, menatap bingung.
"Aku sudah membeli tiket baru. Pesawat terakhir hari ini yang menuju Surabaya." Mei tetap menunduk.
Aku menelan ludah, dengan cepat paham situasinya. Dia membatalkan naik pesawat pukul enam tadi hanya semata-mata untuk memastikan aku baik-baik saja, tidak
ditahan petugas. "Kenapa, eh, kenapa kau pergi mendadak sekali, Mei?" Aku bertanya gugup, "Maksudku, eh, kalau kau masih sempat bilang dua atau tiga hari lalu, mungkin
aku bisa membelikan ole-ole, durian Pontianak, pisang goreng, atau apalah yang kau sukai."
Mei tertawa pelan (getir).
Kami terdiam lagi. "Berapa lama kau ke Surabaya" Tiga hari?"
Mei menggeleng. "Satu minggu?" Mei menggeleng. "Dua minggu" Satu bulan?" Suaraku bergetar.
Mei menggeleng, "Aku tidak tahu abang, boleh jadi selamanya."
Oh Ibu, kalimat terakhirnya membuatku membeku.
Petugas kebersihan masih sibuk mengepel lantai.
"Tapi, tapi kenapa Mei?" Akhirnya pertanyaan itu berhasil kukeluarkan langsung di hadapannya. Setelah berminggu-minggu penasaran.
Mei diam, menunduk dalam-dalam, "Aku juga tidak tahu persis apa alasannya, abang. Aku tidak tahu. Mungkin ini lebih baik buat kita."
Aku menggigit bibir, tanganku terasa kebas. Aku tidak tahu apakah aku sekarang sedih, gugup, cemas, atau boleh jadi marah, dengarlah, setelah semua yang
terjadi, Mei bilang dia tidak tahu kenapa dia melakukannya.
"Ini tidak lebih baik buat siapapun, Mei." Aku berseru setengah putus asa, "Kau seharusnya tahu persis, kepergian kau yang tiba-tiba ini bisa membuat hidupku
jadi terbalik.?" Aku menghembuskan nafas, berusaha mengendalikan diri.
Mei menunduk dalam-dalam.
"Tidak tahukah kau, kalau, kalau," Aku meremas jemari, memaksa kakiku tetap kokoh berdiri, harus kukatakan, aku tidak bisa mundur lagi, "Tidak tahukah
kau, kalau aku" kalau aku amat menyukai kau, Mei. Aku, aku menyukai kau."
Depan ruangan interogasi lengang.
Petugas kebersihan masih asyik mengepel, tidak peduli.
Wajah sendu itu terangkat, menatapku lamat-lamat dengan mata hitam beningnya yang berkaca-kaca, "Maafkan Mei, abang."
"Astaga, Bbrhentilah meminta maaf, Mei. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada kesalahan, kekeliruan apalagi dosa dalam sebuah perasaan, bukan?" Aku
menyela kalimat perlahannya, aku butuh penjelasan sekarang, bukan permintaan maaf.
Mei menunduk lagi, "Maafkan Mei, abang, karena" karena Mei sungguh tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kedekatan kita, hubungan kita, semuanya. Minggu-minggu
terakhir ini membingungkan. Bahkan sebenarnya, sejak pertama kali kita bertemu di atas sepit, semua sudah rumit."
Aku menyisir rambut dengan jari, rumit apanya"
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Entah kenapa, aku justeru mengeluarkan pertanyaan itu untuk membuat semua kerumitan menjadi lebih sederhana. Berpikiran
pendek, kalau Mei bisa menjawab pertanyaan itu dengan "ya" atau "tidak", maka sudah jelaslah semuanya. Itu sungguh bukan jalan pintas yang baik dalam sebuah
percakapan seperti ini. Mei terdiam"tentu saja dia akan terdiam.
"Apakah, apakah kau menyukaiku?" Aku (justeru) mendesaknya.
"Mei tidak tahu abang. Mei sungguh tidak tahu lagi apa yang sedang Mei lakukan. Berdiri di sini, menunda pesawat tadi, menghindari abang berminggu-minggu,
menolak bertemu. Semua ini membingungkan, bahkan bagiku sendiri." Suara gadis itu bergetar.
Aku gregetan, gemas mendengar jawabannya."
Suara pengumuman di langit-langit ruangan memanggil penumpang penerbangan terakhir menuju Surabaya terdengar.
"Itu, itu pesawatku, abang." Mei berkata pelan.
Aku diam, mendongak menatap langit-langit ruangan.
"Maafkan Mei, abang. Mungkin ini lebih baik bagi kita"." Mei menatapku lamat-lamat, dia menyentuh lenganku, tangannya gemetar, "Biarkan Mei pergi, abang"
satu bulan, enam bulan, satu tahun, hingga semua menjadi lebih jelas. Biarkan waktu yang membuatnya menjadi lebih terang."
"Satu tahun?" Aku mengeluh, itu bukan waktu yang sebentar.
"Mei tidak tahu kapan persisnya, abang". Boleh jadi lebih dari setahun" Dan hingga penjelasan itu datang, semua menjadi lebih jernih, kita akan menyibukkan
diri dengan kehidupan baru, berjanjilah, abang akan terus mengurus bengkel itu. Aku berjanji akan terus menjadi guru yang baik"." Gadis itu tersenyum getir,
"Berjanjilah, abang juga akan memulai kesempatan baru, bertemu dengan gadis baik lain misalnya. Abang berhak mendapatkan yang lebih baik, bukan seseorang
yang dibebani masa lalu.?"
Gadis itu memegang lenganku erat-erat, matanya semakin berkaca-kaca, "Abang sudah mengenal dokter gigi itu, bukan" Sarah. Dia sungguh gadis yang baik.
Dia tumbuh menjadi gadis periang, ringan hati, selalu suka melakukan hal-hal yang seru, wajahnya menyenangkan, dia sungguh tumbuh dengan segala kebaikan
setelah kejadian menyakitkan itu. Berbeda denganku, wajahku selalu terlihat sedih, pendiam, lebih banyak mengurung diri di kamar, selalu ragu-ragu dan
pemalu." Aku menelan ludah, apa yang sedang dibicarakan Mei" Apa hubungannya dengan Sarah"
"Maafkan Mei, abang". kita hanya saling menyakiti jika terus bertemu. Semua perasaan ini bukan untuk main-main. Bahkan untuk sebuah hubungan yang sungguh-sungguh
sekalipun bisa gagal. Apalagi jika dia tidak pasti, tidak meyakinkan, tidak jelas, terbebani masa lalu, kedekatan kita cepat atau lambat akan berakhir,
dan itu boleh jadi terlanjur menyakitkan. Mei sungguh tidak mau membuat abang sedih."
Pengumuman di langit-langit ruangan terdengar sekali lagi, final call untuk penumpang penerbangan terakhir menuju Surabaya.
"Berjanjilah, abang" hingga hari itu tiba, baik atau buruk akhirnya, sesuai atau tidak sesuai dengan harapan, abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari,
terus menjadi anak muda dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas". Mei harus pergi abang, selamat tinggal."
Gadis itu sudah balik kanan, satu tetes air-matanya terpercik ke lantai, dia berlari-lari kecil menuju pintu ruang tunggu.
Aku berdiri mematung."
Percakapan telah selesai.
*** "Umpannya dimakan, umpannya dimakan, Pak Tua!" Andi berseru-seru.
Semua kepala kami tertoleh."
"Lantas memangnya kenapa kalau umpannya dimakan?" Aku yang duduk disebelah Andi bersungut-sungut, gara-gara teriakan dia, sepertinya ikan yang mau menangkap
mata kail-ku malah kabur."
"Umpannya dimakan, Pak Tua! Bagaimana ini?" Andi tidak peduli, dia meneriaki lagi Pak Tua yang mancing paling ujung, dekat buritan kapal.
"Tarik, Andi. Gulung senarnya!" Pak Tua mengapresiasi lebih baik, dia menyikutku menyuruh minggir, jongkok di belakang Andi yang saking antusiasnya malah
terlihat panik. "Sudah aku tarik Pak Tua, ikannya melawan."
"Ye lah, pasti melawan, masa" ikannya malah pasrah kau tarik. Mana ada ikan yang pasrah mau berakhir di penggorengan." Aku menepuk dahi pelan, setengah
tertawa. Tetapi tidak ada yang memperhatikan kalimat jahilku, Bang Togar, Cik Tulani, dan Koh Acung lebih asyik melihat Andi yang sudah berdiri, dibantu instruksi
Pak Tua, berusaha menarik senar pancing secepat yang dia bisa."
"Astaga, dia semakin melawan, Pak Tua." Joran ditangan Andi sempurna melengkung, bergetar malah, tali pancing meregang amat kencang. Sepuluh meter di depan
kami, ikan yang memakan kail Andi berontak, berenang kesana-kemari. Permukaan sungai Kapuas yang tenang jadi beriak.
"Itu ikan besar, Andi." Bang Togar berdiri, wajahnya ikut tegang.
"Tidak salah lagi," Cik Tulani mengangguk, "Boleh jadi baung raksasa sungai Kapuas."
Demi mendengar kemungkinan itu, wajah Andi yang panik terlihat berbinar-binar. Dia mencibirkan mulutnya padaku, lihat, tangkapanku jauh lebih besar dibanding
baung (alias patin) kau barusan.
Aku cuma nyengir. Belum tentu juga dia berhasil menarik ikan itu naik ke atas perahu.
"Ulur dulu, Andi, ulur sedikit, jangan kau paksakan." Pak Tua gemas, memberi perintah.
"Baik, Pak." Andi melepas putaran senar.
"Nah, gulung sekarang, satu, dua, tiga, empat."
"Ya ulur lagi, satu, dua " tarik lagi! Satu, dua, tiga, empat". Ulur! Satu, dua"." Pak Tua berseru-seru sudah macam instruktur aerobik di fitness center
murahan dekat gang sempit"hanya kacik soal gerakan tangan dan kaki saja. Andi menurut, fokus sangat dengan joran pancingnya.
Adalah lima menit Andi berjuang menaklukkan ikan itu, semua orang yang ada di kapal ikut tegang menonton, Sarah, Kak Nay, dua anak Kak Nay dan Bang Togar
yang masih enam dan sembilan tahun berkerumun di dekat kami. Aku cemas, jangan-jangan perahu akan terbalik gara-gara semua orang pindah ke satu sisi, apalagi
gerakan Andi semakin heboh.
"Semangat, Oom Andi! SEMANGAT!!" Anak Kak Nay yang paling bungsu berseru senang"dia sejak tadi memang paling riang setiap kali kami berhasil menangkap
ikan. "Kalau ikannya besar, yang ini buat aku ya, Oom."
"Enak saja, buat aku Oom!" Kakak-nya tidak mau kalah.
"Haiya, kalian berdo"a dulu semoga senarnya tidak terlanjur putus." Koh Acung cemas, memegangi dua anak Kak Nay yang saking antusiasnya, melongok ke arah
permukaan sungai. Perlawanan ikan itu mencapai klimaksnya ketika badannya tertarik keluar dari permukaan sungai. Ikan yang aneh, ia justeru tidak menggelepar-gelepar. Dan
aku, bukannya langsung ber-waah besarnya, atau waah hebatnya, aku justeru tertawa terpingka-pingkal saat "ikan" itu berhasil ditarik keluar. Bang Togar,
Cik Tulani dan Koh Acung juga nyengir, tertawa pelan, semuanya jadi antiklimaks, lihatlah, yang didapat pancing Andi adalah labi-labi besar"sejenis kura-kura
sungai, alih-alih baung raksasa."
Andi terlihat kecewa sekali, merutuk dalam hati. Sudah hampir setengah hari kami mancing, hanya dia yang belum dapat ikan, jadi aib rombongan sejak tadi"disindir-sindir
Bang Togar sebagai membawa sial."
"Boleh aku pelihara, Pak Tua." Anak sulung Kak Nay bertanya, memegang kura-kura sebesar nampan kecil itu, yang meski di dalam air lincah sekali melawan,
tapi di lantai papan perahu hanya bisa merangkak pelan, kepala dan kakinya mengkerut ke dalam tempurung.
"Tidak boleh, Yosh. Usia labi-labi ini bahkan boleh jadi lebih tua dibanding bapak kau, Nak. Bahkan dibanding usiaku. Ayo, kau bantu melepaskan." Pak Tua
menggeleng. Dua anak Kak Nay berseru kecewa"meski tetap lebih kecewa Andi.
Labi-labi itu berdebum, dilempar kembali ke permukaan sungai Kapuas. Semua kembali konsentrasi pada kail masing-masing.
Lama sekali kami merencanakan perjalanan mancing ramai-ramai ini, hampir sebulan. Tadi pagi, kami berangkat saat dermaga sepit masih remang, lampu rumah
penduduk di tepian sungai masih menyala. Kami bertujuh patungan menyewa kapal perahu besar seharian (termasuk menyewa peralatan mancing), lantas berhuluan
menelusuri sungai Kapuas, mencari lokasi paling baik untuk mancing. Ini ide Sarah, dia bilang, ingin mancing di hulu Kapuas, Pak Tua meng-amini, Koh Acung
dan Cik Tulani tertarik ikut, Bang Togar malah mengajak istri dan dua anaknya. Maka kami berembug, mencari waktu yang baik, hari libur, toko kelontong,
warung makan itu terpaksa tutup"meski bengkel tetap buka, bapak Andi memutuskan tidak ikut, menjaga bengkel.
Dari muara Kapuas, butuh dua jam berhuluan untuk sampai di bagian sungai yang tenang, lebar, dengan pohon dan semak menutupi tepi-tepinya, hutan lebat
menggantikan tepian rumah penduduk. Suara burung terdengar nyaring, monyet yang kejar-kejaran, derik serangga, lenguh binatang liar, ini perjalanan yang
menyenangkan. Sarah membawa tustel bagus, Kak Nay membawa banyak makanan kecil, logistik, maka perjalanan dua jam berlalu tanpa terasa. Dua anak Kak Nay
ribut berkejaran di perahu kayu dengan ruangan kabin terbuka, cukup lega untuk bermain sekaligus beristirahat. Aku, dan Bang Togar bergantian menyetir
kemudi perahu"Sarah sekali dua mencobanya. Mudah saja mengemudikan perahu besar ini kalau kalian sudah bisa membawa sepit. Pak Tua, Koh Acung dan Cik Tulani
duduk di buritan perahu, ngobrol bebas, menatap pemandangan.
Tiba di lokasi yang baik, Bang Togar melempar jangkar, aku membagikan joran pancing dan umpan, maka mulailah acara memancing bersama, kami duduk dengan
kaki menjuntai di sisi perahu. Permukaan sungai yang keruh terlihat tenang, hutan lebat sejauh mata memandang, udara terasa segar. Dengan makanan kecil
menumpuk, obrolan ringan, saling mengolok, tertawa, sibuk mendekat setiap kali ada yang berteriak umpannya dimakan, tidak terasa hari sudah siang.
"Ikan gorengnya siap! Ikan gorengnya siap!" Kak Nay berseru riang, memukul kuali yang dipegangnya, teng, teng, teng, kepalanya muncul dari dalam kabin
terbuka. "Akhirnya." Bang Togar meletakkan joran pancing, terlihat paling bersemangat, "Perutku sudah berbunyi sejak aroma ikan gorengnya tercium."
"Makan, makan, makan." Cik Tulani ikut berdiri.
Pukul satu, jadwalnya makan siang. Di kabin perahu kayu tersedia peralatan masak sederhana, itulah kenapa Bang Togar menyuruh Kak Nay ikut.
Kami duduk di atas tikar pandan, mengelilingi piring-piring.
"Nampaknya lezat sekali, Nay." Pak Tua terkekeh, membasuh tangannya di baskom.
"Ini bukan Nay yang masak, Pak Tua. Sarah yang masak." Kak Nay tersenyum, mengedipkan mata, "Nah, termasuk yang dipiring Borno, itu spesial sekali buatan
Sarah." Kabin perahu dipenuhi tawa. Wajah Sarah merah padam, menyikut Kak Nay, "Aduh, harusnya Kakak nggak bilang-bilang."
Wajahku juga sudah seperti kepiting rebus. Melotot pada Kak Nay.
"Kau mau ambil apa, Andi?" Bang Togar tiba-tiba menahan tangan Andi.
"Ambil ikan goreng, Bang?" Gerakan Andi membungkuk meraih piring besar tertahan, bingung menatap wajah galak Bang Togar.
"Enak saja. Kau kan sama sekali tidak dapat ikan sejak tadi pagi. Peraturan adalah peraturan di perahu ini, yang tidak dapat ikan, kunyah saja nasi putih."
Andi menelan ludah, wajahnya terlihat nelangsa.
Kabin perahu kembali dipenuhi tawa"setidaknya bukan aku yang ditertawai.
"Ambil saja, Andi." Pak Tua menengahi, menyeringai kasihan, "Sudahlah, Togar. Ini bukan dermaga sepit. Tidak ada peraturan-peraturan konyol kau itu."
Sepertinya tidak ada yang mengalahkan situasi makan siang kami, bukan" Menghabiskan ikan goreng hasil pancingan sendiri. Belum lagi dengan pemandangan
di sekitar perahu yang kami sewa, satu dua perahu kayu kecil melintas, penduduk setempat yang hendak pergi ke kebun atau berburu. Bang Togar menyapa mereka
dengan bahasa Dayak pedalaman yang tidak kumengerti, melambaikan tangan. Setengah jam, piring-piring kami habis tandas.
Acara memancing dilanjutkan.
Malang nian nasib Andi, hingga pukul empat sore, hingga jadwal kami kembali berhiliran, pulang ke kota Pontianak, pancing Andi tetap tidak dimakan ikan
manapun. Wajahnya kusut, dia sepertinya menjadi orang paling tidak berbahagia di perjalanan yang berbahagia itu.
"Tenang saja, Andi. Kalau hanya soal malu ditertawakan bapak kau karena pulang dengan tangan kosong, kau bawa saja ikan yang kudapat. Orang tua ini tidak
perlu ikan banyak-banyak." Pak Tua menghibur"seharian memancing, Pak Tua yang paling bertuah, dapat ikan paling banyak.
Andi bersungut-sungut, meski mengangguk.
Perjalanan pulang, suara mesin dan gelembung air di permukaan sungai terdengar berirama. Aku yang memegang kemudi, kecepatan rata-rata, perahu besar itu
meluncur anggun. Bang Togar sedang bermain bersama anaknya di kabin terbuka. Menunjuk-nunjuk" tepian Kapuas, terkadang ada saja binatang hutan yang terlihat"paling
sering babi atau monyet. Atau burung besar warna-warni macam enggang terbang rendah, melintasi perahu kayu, membuat dua anak itu berteriak-teriak senang.
Cik Tulani, Koh Acung dan Andi duduk-duduk di buritan, bicara santai, ber-hah menghabiskan pisang goreng panas. Sarah dan Kak Nay sibuk membereskan peralatan
dapur. "Menyenangkan, bukan?" Pak Tua sudah berdiri di belakangku.
Aku menoleh, tertawa, "Benar, ini perjalanan yang menyenangkan."
"Bukan perjalanan ini, Borno." Pak Tua nyengir.
Dahiku terlipat, tanganku kokoh memegang kemudi, lantas apa yang menyenangkan"
"Tadi setelah makan siang, orang tua ini melihat kau dan Sarah duduk berdua di anjungan kapal. Menyenangkan, bukan?" Pak Tua mengedipkan mata.
Aku mengeluarkan puuh, pelan. Ternyata soal itu.
"Kalian membicarakan apa?" Pak Tua sepertinya akan terus menggangguku, berdiri dengan bersandar di dinding ruang kemudi.
"Aku mengajari dia mancing, Pak Tua. Tidak lebih, tidak kurang." Aku memutuskan menjawab lurus, tidak pakai rahasia-rahasia segala, nanti Pak Tua malah
tambah jahil. "Ohya?" Pak Tua menyelidik, tertawa.
"Astaga, apalagi?" Aku berseru sebal.
Pak Tua malah terkekeh, "Kenapa kau harus marah, Borno. Kan kau bilang hanya itu, tidak lebih, tidak kurang, jadi ya hanya itu. Justeru dengan marah atau
kesal orang lain tambah curiga."
"Jangan ganggu aku dulu, Pak Tua. Nanti kapal ini jadi salah belok." Aku menyeringai jahat, mengusir Pak Tua dengan seringai wajah.
"Ye lah, ye lah". Kau ini sejak ditinggal pergi si sendu menawan itu ke Surabaya kenapa jadi menyebalkan sekali." Pak Tua bersungut-sungut, "Orang tua
ini kan hanya bertanya" ya selain, asal kau tahu, Borno, orang tua ini juga paling senang kalau kalian berdua bisa dekat. Kalian cocok sekali." Pak Tua
tertawa, pura-pura membayangkan.
"Pergi, Pak Tua." Aku melotot.
Pak Tua terkekeh lagi, meninggalkanku sebelum aku menimpuknya dengan kain lap.
*** Dari perjalanan mancing bersama kami itu, sudah terhitung enam bulan Mei pergi.
Selama itu pula, aku berusaha memegang penuh permintaannya, dia minta aku berjanji akan terus mengisi hari-hari dengan baik. Aku lakukan. Tidak ada lagi
yang bisa kulakukan selain itu, bukan?"
Meski terus terang, satu bulan pertama berjalan tidak mudah, semua kenangan itu seperti berebut kembali di kepalaku, membuat duniaku menjadi terbalik.
Wajah Mei saat hujan-hujanan bertamu di rumah Fulan dan Fulani, wajah Mei saat bertanya apakah "abang sudah dapat ang pao?" di dermaga, wajah Mei saat
makan bersama di atas restoran terapung. Semuanya berebut kembali. Membuatku tidak semangat mengurus bengkel, tidak semangat mengurus diri-sendiri, lebih
sering diomeli Ibu, yang kesal melihatku malas-malasan di rumah, Andi juga selalu mengeluh setiap melihatku di bengkel, bilang aku macam anak kecil cacingan,
menjadi pendiam dan suka lemas sendiri. Itu sungguh hari-hari yang sulit, kurang tidur, tidak selera makan, mudah marah, sensitif.
Kabar baiknya, memasuki bulan kedua, situasinya membaik. Bengkel kami berlari kencang, dengan peralatan baru yang dibeli di Surabaya, lebih banyak mobil
dan jenis pekerjaan yang bisa kami terima, pekerjaan lebih cepat dan lebih efisien. Pegawai bengkel sudah bertambah dua, salah-satunya membantu urusan
administrasi. Andi yang pelajaran akuntansi SMA-nya dulu cuma dapat ponten lima, mulai kewalahan mengurus catatan pengeluaran dan pemasukan bengkel. Kami
memutuskan merekrut staf buat dia. Dan aku sedikit menyesal menyetujui kalau siapa yang diterima adalah hak preogratif Andi. Bayangkan, kawan baikku yang
tak laku-laku itu, bujang lapuk, sengaja benar hanya mau mewawancari pelamar perempuan. Dan dia mencak-mencak saat bapaknya justeru memutuskan menerima
lulusan D3 akuntansi laki-laki. Pegawai baru lainnya adalah montir berpengalaman, terbiasa menggunakan peralatan bengkel canggih, gajinya mahal, tapi itu
kebutuhan, kami bisa sekalian belajar dengannya. Kesibukan bengkel membuatku bisa sedikit mengusir resah.
Belum lagi Bang Togar sering berkunjung ke rumah, menjenguk Ibu, dan meski dia rese, kunjungan Bang Togar setidaknya menjadi penyela bengongku yang efektif.
Dia teman bertengkar yang hebat. Cik Tulani sebulan terakhir lebih sering mengirimkan "sisa" makanan dari warung makannya, dan dia tetap tega menyuruh-nyuruhku
membawa rantang. Sementara Koh Acung selalu riang menyambutku belanja keperluan sehari-hari, mengajaknya ngobrol sebentar, begurau satu sama lain, tertawa.
Kalian tahu, jangan pernah bilang, "semoga kau beruntung, Borno" padaku, karena aku sungguh sudah beruntung dengan memiliki mereka. Kawan yang baik, kerabat
yang baik, ditambah tetangga yang selalu peduli"meski peduli kadang identik dengan selalu ingin tahu. Dan itu belum terhitung Pak Tua. Aku tahu, meski
dia selalu mengolok-olokku soal perasaan, pak Tua adalah kawan bicara yang selalu bisa membuatku tenteram. Membuatku menyadari banyak hal.
Karena Pak Tualah, memasuki bulan kedua, semangatku sempurna kembali."
Aku akan sungguh-sungguh menunaikan permintaan kau, Mei. Terus menjadi bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas. Kau tahu, hanya itulah
yang kumiliki setelah kau pergi. Sepotong hatiku yang tersisa. Kalimat bijak Pak Tua selalu benar, satu bulan setelah kau pergi, Mei, dia datang menemuiku
di kamar, menatapku prihatin, menghela nafas panjang. Lihatlah, Borno yang tidak mandi-mandi, rambut berantakan, mata merah kurang tidur, diomeli pula
oleh Ibu sepanjang hari, Borno yang lemas, sakit pilek. Pak Tua menyentuh bahuku, dia bilang, "Camkan ini, anakku". Ketika situasi memburuk, ketika semua
terasa berat dan membebani, maka jangan pernah merusak diri sendiri. Orang tua ini tahu persis, boleh jadi ketika seseorang yang kita sayangi pergi, maka
separuh hati kita seolah tercabik ikut pergi. Kau tanyakan pada Ibu kau, itulah yang dia rasakan saat Bapak kau dibelah dadanya, diambil jantungnya, pergi
selamanya. Tetapi kau masih memilik separuh hati yang tersisa, bukan" Maka jangan ikut merusaknya pula. Itulah yang kau punya sekarang. Satu-satunya yang
tersisa, paling berharga. Sekarang, ayo mandi, Borno, kau akan lebih segar setelah air dingin menyiram badan."
Dalam ceritaku ini, jangan pernah membantah Pak Tua, untuk orang yang hampir mengelilingi separuh dunia, dia selalu benar. "
Aku menyeka ingus, mengangguk, menurut.
Kau tahu, Mei. Sejak hari itu aku memegang teguh permintaan kau. Mengurus bengkel, menjadi bujang dengan hati paling lurus.
Hanya satu permintaan kau yang tidak kupenuhi. Kesempatan baru. Sarah. Gadis itu baik sekali pada Ibu, dia sering menjenguk ibu, membawakan makanan buat
Ibu, bertanya kabar. Dia juga baik sekali padaku, mengajak bicara, selalu riang, menghiburku dengan mengeluarkan cerita-cerita lucu, tebakan-tebakan ganjil,
bahkan kau tahu Mei, dia memberikan Piala kemenangan lomba balap sepit padaku. Dia-lah yang memenangkan final lomba 17an itu, dengan cara yang fantastis.
Sore itu, petugas timer menunggu lima belas menit, menyuruh siapa saja mengejarku, menyuruh pulang, seret kembali Borno sialan itu, demikian omel petugas
timer. Sia-sia, aku sudah naik ojek, mengejar kau di bandara."
Pertandingan adalah pertandingan, harus dilanjutkan, kasihan walikota Pontianak yang sejak tadi pegang pistol tapi tak nembak-nembak. Kasihan penonton
yang saking tegangnya ada yang kecebur sungai Kapuas tidak sengaja. Dan beberapa detik sebelum pertandingan dimulai, tiba-tiba Sarah loncat dari sepit
hijaunya, pindah ke sepitku. Sarah meminta berganti sepit. Bang Togar langsung protes, panitia lomba kembali rusuh, penonton semakin antusias.
Tidak ada yang melarang berganti sepit sepanjang lomba, tidak ada satu kalimat pun di protap lomba yang bilang begitu, demikian bantah Sarah berapi-api,
dia memutuskan memakai sepitku, biar setidaknya meski Borno pergi tiba-tiba, Borno tetap ikut lomba bersama kita, Borno tetap bersama seluruh penonton
Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan pendukungnya. Itu alasan melankolik dan heroik, Bang Togar kehabisan kata-kata untuk menolak, terdiam di bawah tatapan galak ibu-ibu penduduk gang
sempit penggemar setiaku. Maka pertandingan dilanjutkan. Kau tahu, Mei, Sarah jelas-jelas bohong, alasan sebenarnya kenapa dia tiba-tiba berganti sepit,
karena motor tempel sepit hasil modifikasiku adalah yang terbaik dalam perlombaan itu. Dia tahu persis itu, jadi dia sengaja memakai sepit uzur Pak Tua
bertanding di final. Soal kecepatan dan akselerasi, PETIR memang nomor satu, juga soal skill mengemudi, Bang Togar nomor wahid, belum habis suara letusan pistol di udara, sepit
Bang Togar sudah memimpin separuh badan perahu. Cepat sekali. Tetapi dengan dua rit bolak-balik, harus berputar 180 derajat di tiang jembatan Kapuas, Sarah
bisa menyusul sepit merah bergambar halilintar itu. Bang Togar kedodoran saat menikung, sepitnya bergetar hebat, tidak bisa dipaksa cepat, maka keunggulannya
tergerus. Sarah menyalipnya di tikungan terakhir, lantas memenangkan perlombaan, membuat meriah dermaga kayu hingga malam hari. Piala itu dibawa pulang
ke rumahku, Sarah bilang, sejatinya akulah yang memenangkan lomba. Dia sungguh gadis cantik, pintar, dari keluarga baik, dan jelas amat berhati emas.
Tetapi aku tidak menyukainya, Mei. Maksudku, aku tidak menyukainya seperti aku menyukai kau"lagipula kalaupun aku suka, dia belum tentu suka, bukan. Aku
menyukai Sarah tidak lebih hanya sebatas teman baik. Dan Sarah tahu persis itu. Kami teman baik yang saling berterus-terang, kedekatan kami selama enam
bulan terakhir, membuatku bercerita banyak padanya, termasuk tentang kau. Ajaib bukan" Aku mudah sekali terbuka dengan Sarah, dibanding terbuka pada kau.
Sarah tahu kalau aku menyukai kau, dan dia senang sekali saat tahu itu. Matanya berbinar-binar, wajahnya riang"meski jadi ikut sedih saat tahu kau justeru
pergi gara-gara rasa suka itu. Sarah sungguh berharap kita berjodoh."
Enam bulan ini, Sarah banyak sekali bercerita tentang masa kecil kau, dia dan teman geng, si Madammoiselle itu. Favorit dia adalah mengulang kisah dikejar
penduduk gara-gara mencuri buah mangga, dan si Madammoiselle nekad kembali untuk mengambil sendal jepit milik kau, semata-mata agar kau berhenti menangis.
Aku sampai hafal detail kejadian itu. Sarah bilang, kau pergi tiba-tiba saat usia kalian tiga belas tahun, tanpa pamit, tanpa kabar, tanpa berita. Seluruh
keluarga besar kalian pindah ke Surabaya. Kalian baru bertemu kembali saat kau magang di sekolah milik yayasan itu.
Jadi maafkan aku, Mei, itulah satu-satunya yang tidak bisa kupenuhi. Sarah bukan kesempatan baru bagiku, kau adalah satu-satunya kesempatan yang pernah
kumiliki, dan aku tidak akan pernah mau menggantinya dengan?"
"WOI, kau jangan melamun saat mengemudi perahu! Nanti oleng. Bisa celaka." Pak Tua memukul dinding kapal.
Aku menelan ludah, sedikit pias, menoleh. Pak Tua nyengir di belakangku.
"Atau jangan-jangan kau sedang memikirkan gadis itu, Borno."
"Dia sudah jauh di Surabaya, Pak Tua. Siapa pula memikirkannya. Dan tolong berhentilah menggangguku. Kita sebentar lagi masuk kota Pontianak, banyak sepit
hilir mudik." Aku berseru ketus.
Pak Tua menyeringai, tertawa jahil, "Bukan yang di Surabaya, Borno. Tapi yang di kapal ini, lihat, sedang duduk di anjungan depan dia."
Sarah sejak tadi memang duduk di sana, sendirian menikmati senja, semilir angin memainkan anak rambut, memotret elang yang satu-dua meluncur ke permukaan
Kapuas, menangkap ikan. Aku melotot, hendak mengusir Pak Tua pergi.
"Ye lah, ye lah" Borno, borno, kau ini galak sekali pada orang tua yatim-piatu ini". Jangan terlalu kaku-lah, kau. Cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan,
hanya butuh sedikit membuka hati. Dokter gigi itu misalnya, entah kenapa dalam beberapa hal cocok sekali dengan kau" tadi sewaktu aku menemaninya duduk,
dia sempat bertanya, tahukah Pak Tua berapa panjang sungai Kapuas" Astaga, hanya kau yang pernah bertanya padaku pertanyaan aneh itu. Bukankah itu pertanda?"
POOONGG!! Aku menekan klakson perahu"pemilik rental kapal sengaja memasangnya. Memotong kalimat Pak Tua.
Pak Tua nyengir, tertawa, kembali keluar dari ruangan kemudi.
Andi kaget, hampir terjengkang di buritan belakang, dipegangi oleh Cik Tulani dan Koh Acung.
Sarah yang berdiri di anjungan depan juga kaget, menoleh, meletakkan tustel, tertawa.
"WOI! Siapa tadi yang menekan klakson?" Bang Togar yang berteriak marah-marah, kepalanya muncul di balik pintu ruang kemudi, "Anakku bangun semua, tahu!
Sudah susah-susah menyuruh mereka tidur, malah kau ganggu dengan klakson."
Aku nyengir lebar. Maaf."
*** "Bangun, Andi." Pak Tua menyikut Andi, membangunkan.
"Sudah sampai, Pak?" Andi tergagap, menyeka mata, melihat sekeliling.
Pak Tua tertawa, "Bahkan kita belum meninggalkan Indonesia, Andi. Selamat datang di perbatasan Entikong. Pintu perlintasan antar negara. Siapkan paspor
kau." Andi mengangguk, wajah mengantuknya berubah semangat. Ini momen pembalasan yang selalu dia kicaukan selama sebulan terakhir. Akhirnya bisa ke luar negeri
secara legal. Aku sudah bangun seperempat jam terakhir, dibangunkan Sarah, sudah menyiapkan pasporku dan paspor Ibu. Sarah dan Pak Tua malah sudah berdiri, merapikan
jaket, membawa tas pinggang masing-masing. Kondektur bus di lorong depan terdengar menjelaskan sesuatu, prosedur melintasi pintu imigrasi, menunjukkan
dokumen yang disebut borang isian, bagaimana cara mengisinya, terlihat sekali dia bukan orang Pontianak, dia kondektur dari Kuching. Beberapa penumpang
mendengarkan takjim, yang sudah terbiasa langsung bergerak turun. Aku tidak terlalu hirau, dengan Pak Tua bersama kami, kami tinggal ikut Pak Tua saja,
dia jauh lebih berpengalaman melakukan jalan-jalan melintasi negara.
Ini perjalanan besar kedua yang kami lakukan berama-ramai, tiga bulan setelah perjalanan mancing berhuluan sungai Kapuas. Ini ide Andi, setelah mendaftar
banyak kemungkinan tujuan, Andi nyeletuk kenapa tidak pergi ke Malaysia saja. Aku langsung mengangguk, sepakat. Sarah tertawa renyah, bilang, "Ide keren.
Saya belum pernah ke Kuching. Beramai-ramai, itu pasti menyenangkan."
"Astaga, kau sungguh belum pernah ke sana, Sarah" Padahal jaraknya hanya sejengkal dari Pontianak?" Demikian Andi menanggapi, terkejut.
Aku menyikut Andi, "Seringai kau ini, macam sarapan di sana setiap hari."
"Eh, maksudku, wajar saja kalau kita tidak pernah, atau dulu ditolak gara-gara pakai paspor orang lain, tapi Sarah, tidak mungkin dia belum pernah ke luar
negeri, bukan?" Sarah tertawa renyah, tidak berkomentar.
Aku menepuk dahi pelan, "Yang bilang dia belum pernah ke luar negeri siapa" Dia liburan sekolah paling sial ke Eropa, Hongkong, atau Singapura, tidak macam
kita, liburan SMA pergi ke tugu khatulistiwa sudah paling pol. ?"
Andi terdiam, benar juga.
Maka kami merencanakan perjalanan itu. Menghitung biayanya, menentukan jadwal, dan sebagainya. Pak Tua menawarkan diri menjadi guide, "Ada banyak kawan
orang-tua ini di sana. Dan semoga jalanan Kuching Serawak tidak berubah sepuluh tahun terakhir, aku sudah lama sekali tidak pergi ke sana.?"
Sarah mengajak Ibu, "Ayolah, Bu, ikut. Kapan lagi jalan-jalan dibayari bengkel Borno?"
Aku melotot pada Sarah. Mana ada bengkel yang membayari, perjalanan ini patungan, siapa mau ikut, harus bayar"tetapi karena Ibu tanggung-jawabku, jadinya
ya aku juga yang membayari."
Bang Togar, tidak tertarik, "Dua hari kau bilang" Siapa yang narik sepitku" Anak-anakku juga harus sekolah, Borno. Libur sehari saja mereka sudah dikirimi
surat oleh gurunya." Koh Acung juga menolak, alasannya sama, "Haiya, kalau hanya satu hari macam tiga bulan lalu aku bisa ikut, Borno. Toko kelontongku
siapa yang jaga?" Cik Tulani menggeleng, sibuk mengoseng sayur kangkung, "Tidak ada yang istimewa di sana, Borno. Malah lebih bagus kota kita ini. Kalau
cuma keren-kerenan pernah ke luar negeri, aku tidak tertarik." Aku dan Andi manyun mendengar jawaban Cik Tulani. Maka akhirnya kami hanya berangkat berlima,
tapi itu tetap lebih dari memadai. Bengkel diurus Bapak Andi.
Mudah saja ke Kuching. Dari Pontianak kami memutuskan menumpang bus malam. Bus-nya besar, dengan toilet, reclining seat, televisi, pendingin, selimut,
bantal dan semua kenyamanan yang bisa dibayangkan. Model kursi dan cara mereka meletakkan toilet berbeda dengan bus lintas Sumatera atau Jawa. Lantai bus
dinaikkan sedemikian rupa, ada undakan tangga, sedangkan toilet persis di tengah bus, separuhnya terbenam di bawah lantai bus. Penjaga loket menawarkan
tiket langsung ke Bandar Seri Begawan, Brunei"karena bus itu memang melintasi tiga negara, dengan tiga operator, dan tiga kali berganti bus. Pak Tua menggeleng,
kami hanya menuju Kuching, menginap semalam."
Bus berangkat pukul sembilan dari Pontianak, melintasi jalanan trans Kalimantan menuju perbatasan, terus ke arah utara, tiba di Entikong pukul setengah
lima shubuh. Saat kami tiba, di luar bus masih gelap, gerbang perbatasan Entikong-Tebedu masih terkunci, baru pukul lima nanti petugas imigrasi siap di
loket. Antrian mobil yang akan melintasi perbatasan terlihat ramai. "
"Ayo, Andi. Kau menunggu apalagi" Semua sudah turun." Pak Tua meneriaki Andi yang masih sibuk mengaduk-aduk saku celana, tas, dan tempat duduknya.
"Pasporku, Pak Tua." Andi mengeluh, suaranya cemas.
"Paspor apanya?" Pak Tua tidak mengerti.
"Pasporku tidak ada." Suara Andi mencicit.
"Bagaimana mungkin tidak ada?" Pak Tua mendekat.
"Tidak ada, Pak Tua. Sungguh. Sudah kucari di mana-mana." Andi mulai panik.
Sarah yang bersiap menemani Ibu turun, urung, kembali mendekati bangku Andi.
"Tadi kau letakkan di mana?" Pak Tua menghela nafas pelan, "Bukankah sudah kubilang berkali-kali, jaga paspor kau. Itu dokumen paling penting dalam perjalanan."
"Di tas pinggang, Pak Tua. Saya melakukan persis yang disuruh Pak Tua. Tapi tidak ada. Aku sungguh yakin tadi masih ada di sana." Andi membuka tas pinggang
kecil miliknya, menunjukkannya, di sana ada beberapa lembar uang ringgit Malaysia, tiket bus, kertas-kertas, tapi tidak ada paspor, wajah Andi resah."
Pak Tua membantu mencari, memeriksa kolong bangku, mengomel, "Pasti kau ceroboh meletakkanya, Andi. Mana ada paspor yang punya kaki, bisa jalan-jalan sendiri."
Sarah ikut mencari, memeriksa lorong bus.
"Kau tadi pergi ke toilet, tidak?" Pak Tua bertanya.
"Tidak. Aku hanya di bangku." Suara Andi terdengar kelu.
"Bagaimanalah coba" Kau tidak bisa melewati gerbang perbatasan kalau tidak punya paspor. Perjalanan ini bisa batal. Tidak mungkin kami berempat lewat,
kau tertinggal di Entikong" Astaga, sampai berbusa mulutku mengingatkan, jaga paspor kau, jaga. Aku baru kali ini punya teman bugis amat ceroboh."
Andi diam saja, terus memeriksa kesana-kemari, bahkan dia membuka tempat sampah di lorong bus"berpikiran pendek, siapa tahu tidak sengaja membuangnya.
Lima menit berlalu, wajah paniknya mulai bercampur dengan takut. Tertunduk takut mendengar omelan Pak Tua. Padahal paspor itu sudah disiapkan dua bulan
lalu. Kami beramai-ramai ke kantor imigrasi Pontianak, ditemani Sarah dan Pak Tua"yang sudah punya paspor dan masih berlaku.
"Woi, Pak Cik, Mak Cik" Turunlah, antri di pintu emigresen sana. Sekejap lagi pintu dibuka, kami tak akan tunggu penumpang yang lambat." Kondektur naik
ke atas bus, berteriak. "Sebentar." Pak Tua balas berteriak.
"Bagaimana, Pak Tua?" Andi cemas, takut-takut menatap Pak Tua.
"Bagaimana lagi?" Pak Tua melotot, menghela nafas sebal, "Kita pulang ke Pontianak."
Andi mengeluh dalam-dalam. Perjalanan yang sudah direncanakan berbulan-bulan gagal hanya karena paspor.
Sarah ikut menghela nafas, memperbaiki anak rambut di dahi.
Aku cengegesan. "Kenapa wajah kau malah senang, Borno?" Pak Tua menyergahku, sebal, "Dari tadi kau hanya menonton, tidak sibuk bantu mencari."
"Eh," Aku menggaruk rambut, nyengir lebar, "Karena sebenarnya paspor Andi ada di tas pinggangku, Pak Tua. Di loket bus Pontianak dia menitipkan tas pinggang
sebentar, jadi kuambil saja paspornya." Aku tertawa, mengangkat paspor bersampul hijau milik Andi.
"Kau" Kau yang mengambilnya?" Wajah cemas Andi dengan segera berganti marah. Dia berseru ketus, loncat berusaha memukulku.
Aku menghindar, menunduk.
"Astaga, Borno. Ini bukan saatnya iseng." Pak Tua menahan tangan Andi.
"Maaf, Pak Tua. Maaf." Aku nyengir, berusaha menghentikan tawa, "Aku tadi sudah mau memberitahu, tapi lucu sekali melihat wajah cemas Andi, Pak Tua. Itu
pemandangan yang amat berharga."
"Tutup mulut kau, Borno." Andi tidak terima, masih berusaha memukulku.
"Woi, Pak Cik, Mak Cik." Kondektur memukul pintu bus, memotong pertengkeran.
"Iya, kami turun." Pak Tua menjawab sekilas teriakan kondektur, bersungut-sungut padaku, melangkah menuruni anak tangga bus.
"Awas saja kau, kubalas nanti." Andi melotot, melangkah di belakang Pak Tua.
Aku tertawa, memonyongkan mulut.
Sarah nyengir, menatapku sejenak, tertawa pelan, "Abang memang selalu iseng. Untunglah abang tidak pernah menjahili saya."
Aku nyengir, buru-buru menatap keluar bus"mana mungkinlah aku menjahili Sarah. Menatap wajahnya yang tertawa renyah saja aku tidak kuasa, apalagi menatap
wajah cemasnya. *** Setelah proses cop-menge-cop paspor beres, kami kembali naik bus. Wajah sebal Andi sudah terlihat riang. Dia mematut-matut riang stempel pertama yang dia
dapatkan di paspornya."
"Alangkah lama kau melihatnya, Kawan." Aku nyengir, "Baru juga satu stempel."
"Punya kau juga baru satu stempel." Andi balas nyengir, tidak peduli.
Cahaya matahari pagi menyiram jalanan. Kabut mengambang di hutan lebat kiri-kanan bus."
"Pak Tua sudah berapa kali berganti paspor?" Sarah bertanya ke kursi depan, mencari topik pembicaraan lebih baik, bosan melihatku dan Andi saling ganggu.
"Sepuluh kali."
"Sungguh?" Wajah Sarah antusias.
"Sungguh. Aku bawa semuanya." Pak Tua terkekeh, mengeluarkan setumpuk paspor tua miliknya dari tas pinggang.
Kami berebut melihat paspor Pak Tua. Itu koleksi paspor yang amat menakjubkan. Melihat paspor seseorang adalah cara tercepat untuk memvalidasi perjalanan
hebat yang pernah dia lakukan. Sepuluh paspor Pak Tua penuh dengan stempel perbatasan antar-negara"rata-rata habis karena terlalu penuh, bukan karena masa
berlakunya kadaluarsa. Dan yang lebih mengesankan, hampir sebagian besar stempel yang dimiliki paspor Pak Tua adalah stempel gerbang perbatasan darat,
laut, bukan gerbang imigrasi bandara.
"Uni Soviet, lihat, ada stempel melintasi perbatasan Uni Soviet dari China." Andi berseru.
Aku tidak tertarik seruan Andi, Uni Soviet, negara itu juga sudah bubar. Aku sedang takjim menelusuri halaman demi halaman paspor lama Pak Tua lainnya
yang kupegang, menelan ludah, dengan melihat stempel yang ada, aku bisa merangkai cerita sendiri, tiga puluh tahun silam, selama lima tahun, Pak Tua berpindah-pindah
melintasi Amerika Latin. "
Bus besar menuju Kuching jadi sedikit meriah, beberapa penumpang lain, sebagian adalah turis dengan ransel, ikut tertarik melihat paspor-paspor itu, mereka
bergabung, mendekat. Aku belum pernah melihat tatapan respek sehebat itu dari teman seperjalanan, lihatlah, beberapa turis bule itu bahkan menyanjung Pak
Tua. Bilang, mereka ingin sekali suatu saat kelak menyamai catatan perjalanan Mister Hidir. Meminta berfoto bersama. Pak Tua terkekeh, mengangguk, rambut
berubannya bergerak-gerak.
"Kau tahu, Borno." Pak Tua duduk kembali, sesi foto bersama selesai, berbisik padaku, "Semakin jauh bule-bule ini berkeliling dunia, maka sejatinya mereka
hanya akan kembali pada tempatnya dilahirkan. Mereka pada akhirnya akan paham, tempat terbaik adalah kota mereka sendiri. Seperti orang tua ini, kembali
ke Pontianak, kota kita. Tempat semua bermula."
Aku mengangguk, percaya pada kalimat itu"meski aku jelas tidak sebijak Pak Tua, dan tidak pernah melakukan perjalanan jauh seperti dia."
Bus terus melaju cepat, jalanan lengang. Penumpang mulai tertidur.
Kami tiba di Kuching pukul setengah dua belas.
"Selamat datang, Hidir." Langsung disambut seseorang di terminal bus Kuching. Wajahnya sama tuanya dengan Pak Tua, tetapi perawakannya lebih gagah, tangannya
terentang lebar. Pak Tua terkekeh, mereka berdua berpelukan erat. Menilik dari gesture wajah, gerakan tubuh, mereka pastilah kawan lama yang amat dekat. Tun Badawi, demikian
kami disuruh memanggilnya."
"Selamat datang di Kuching, Nak." Tun Badawi mengangguk pada kami, "Inilah kota terbesar di seluruh Kalimantan. Kota Indonesia kalian, Pontianak, Samarinda,
Banjarmasin, Balikpapan, apalagi Palangkaraya, tidak ada apa-apanya, jauh tertinggal. Kota kalian itu kecil sekali dibanding kotaku ini, macam kampung
saja, hah." "Astaga, perangai kau tetap tidak berubah, Badawi. Berhentilah bergurau soal itu. Sekarang, anak muda kami terkadang terlalu sensitif." Pak Tua ikut tertawa,
"Borno, Andi, Tun Badawi ini sebenarnya orang Pontianak, kedua orang-tuanya dari sana, tapi dia lahir di Kuching, maka otomatis memperoleh warga negara
Malaysia." Kami mengangguk-angguk. Tun Badawi meneriaki sopirnya.
Perjalanan keliling kota dimulai. Kami menumpang mini-van yang dibawa sopir Tun Badawi, tujuan pertama adalah Kuching Waterfront. Tuan rumah bilang, tak
lengkap ke Kuching jika tidak datang ke waterfront. Tempat yang kami datangi itu adalah tempat paling terkenal untuk melakukan pertemuan, jalan-jalan santai,
atau hanya melihat-lihat kota Kuching, terletak persis di tepian sungai Serawak menuju muaranya. Dari sana kalian bisa melihat Astana (Istana yang di-pertua
Negeri) dan Fort Margherita. Dulunya waterfront merupakan barisan gudang tua, sekarang berganti menjadi pedestrian pejalan kaki yang luas, dengan kios-kios
wisata. Saat kami tiba di sana, ramai oleh pelancong lokal maupun turis asing.
"Kalian tahu kenapa kota elok kami ini di beri nama Kuching?" Tun Badawi mengajak kami makan siang di salah-satu kios waterfront"masakan Melayu, "Karena
begitulah muasalnya, sangat harfiah, city of cat, kota kucing. Elok sekali, bukan?"
"Oh," Andi mengangguk-angguk, sok-paham, "Kalau begitu, orang sini pastilah menyebut anjing dengan anjhing, atau kerbau dengan kerbhau". Saphi, gajhah.
Orang sini boros benar dengan huruf h.?"
Kami tertawa. Andi sengaja melakukannya.
Muka Tun Badawi terlihat masam, "Kau jangan menghina kotaku. Nama kota kalian juga aneh. Pontianak, mana ada kota diberi nama hantu. Ponti-anak, kuntil-anak,
kalian kenal itu" Dan kau tahu, hanya separuh saja penduduk Indonesia yang paham arti nama kota mereka sendiri, Jakarta, Bandung, Surabaya, Palembang"
Kalian tahu kenapa disebut demikian. Tidak ada yang tahu, bukan?"
"Sudahlah, Badawi. Kau ini sepertinya terlalu sering membaca koran atau menonton televisi yang menjelek-jelekkan satu sama lain." Pak Tua menengahi tertawa.
Andi nyengir, menyikutku, berbisik, "Ternyata Tun ini galak. Tadi dia bilang kota kita tidak ada apa-apanya dibanding kota dia. Sekarang dia malah marah
kuajak bergurau." Aku balas nyengir, lebih semangat menghabiskan laksa-ku.
Mungkin karena sebal dengan gurauan Andi, lepas dari waterfront, Tun Badawi menyuruh sopirnya menuju Museum Kucing. Astaga, itu benar-benar kucing semua
isinya, mulai dari foto, benda seni, patung, bingkai, fosil, semua berbentuk kucing. Sampai mual melihatnya"mengingatkanku ketika ditawari bekerja di sarang
burung walet yang isinya (tentu saja) burung semua.
"Kalian usulkan pada mayor kota kalian, suruh dia buat Museum Ponti-anak, si kuntil-anak, pasti seru melihat hantu di setiap sudut museum. Bisa tidak orang
kalian buat demikian seperti kami punya museum kucing?" Tun Badawi menyeringai, sengaja bilang pada Andi.
Andi terdiam. Cengengesan.
Terlepas dari selera humornya yang kadang mengancam persahabatan antar negara, Tun Badawi adalah guide yang menyenangkan. Seharian penuh dia mengajak kami
berkeliling kota Kuching, mengunjungi Tua Pek Kong, kuil tertua China yang persis di seberang Museum China"kurang lebih macam pekong di Singkawang; mengunjungi
Mesjid Kota Kuching"kurang lebih seperti Masjid Agung dekat Istana Kadariah Pontianak; melihat Sunday Market alias Pasar Minggu"kami memang datang pas
pasarnya buka; Tun Badawi bahkan menyiapkan kapal untuk menelusuri dan menyeberangi Sungai Serawak yang membelah kota Kuching, berfoto di Astana, bergaya
di Fort Margherita, berpose di Orchid Garden, termasuk di dermaga sampannya, astaga, jauh-jauh ke kota orang kami tetap bergaya di dermaga sampan yang
apalah istimewanya dibanding dermaga sepit. Tujuan terakhir kami adalah Little India, pedestarian panjang yang khas sekali dengan aroma, pernak-pernik,
dan warna India. Tun sengaja mengajak kami ke setiap jengkal kota, membanggakan tradisi dan budaya mereka, hingga matahari mulai jingga, bersiap tenggelam,
hingga Ibu mulai terlihat kelelahan"meski antusias."
Aku pikir kalimat pongah Tun Badawi dalam banyak hal ada benarnya. Kota Kuching, meski bentuknya tidak berbeda jauh dengan Pontianak, sama-sama kota dibelah
sungai besar, jauh lebih istimewa soal keanekaragaman penduduk. Di sini etnis China paling banyak, menyusul Melayu, orang Dayak Iban, pendatang dari Bugis,
Kalimantan dan ditambah orang-orang India"etnis yang hidup rukun satu sama lain, membentuk kota begitu berwarna setiap sudutnya. Dan meski Andi bersungut-sungut
tidak mau mengakuinya, Kuching jelas lebih maju, lebih bersih, dan lebih tertib dibanding Pontianak."
Malam turun membungkus kota, gemerlap cahaya lampu terlihat indah, lepas makan ikan dan kepiting di restoran elit bilangan Padungan, Tun Badawi mengantar
kami ke hotel yang sudah dia pesankan. Mini-van meluncur ke lobi sebuah hotel mewah.
"Aku bilang cukup penginapan sederhana, Badawi. Kau berlebihan." Pak Tua menggelengkan kepalanya, turun dari mobil.
"Ini tidak berlebihan, Hidir. Kau tidak mau bermalam di rumahku. Sedangkan kalian butuh tempat istirahat yang baik. Bagaimanalh aku akan membiarkan teman
baikku tidur di sembarang tempat. Nah, kawanku dari Indonesia, selamat bermalam di Crowne Plaza Kuching. Aku kira, di kota kalian tidak ada hotel bintang
lima, bukan?" Dia sengaja nyinyir bilang itu pada Andi.
"Terim-ha kas-hih." Andi menyeringai.
Tun Badawi terdiam sejenak, melotot, tapi lantas tertawa panjang, "Kalau saja kalian cukup lama di sini, aku bisa berteman baik dengan anak-anak kau ini,
Hidir. Mereka tidak takut denganku." Tun Badawi menepuk-nepuk bahu Andi, "Sayangnya, bahkan besok pagi-pagi aku harus melihat perkebunan. Kalian akan diantar
salah-seorang cucuku kembali ke terminal bus. Semua tiket sudah diurus. Termasuk hotel, kalian besok tinggal chek-out. Selamat beristirahat, Hidir."
Tun Badawi memeluk erat Pak Tua"pelukan yang sepertinya enggan dilepas. Menjabat tangan Sarah, Ibu, aku, dan terakhir tertawa menyuruh Andi mencium tangannya"Andi
tentu saja menolak. Dia pamit pulang sambil terkekeh."
"Aku tidak punya uang untuk membayar hotel ini, Pak Tua." Aku menyikut lengan Pak Tua, saat punggung dan suara tawa Tun Badawi hilang dibalik pintu mobilnya.
"Aku juga tidak." Pak Tua mengangkat bahu, tapi dia melangkah melintasi lobi, menuju meja panjang penerima tamu yang mewah, "Badawi yang punya. Dia pemilik
perkebunan sawit terluas di Serawak, Borno. Jadi kau tenang saja."
*** Waterfront Kuching, malam minggu, tidak ada bedanya dengan tempat berkumpul massal di kota kalian"seperti alun-alun kota. Dipenuhi ribuan orang, sebagian
berjalan-jalan santai bersama teman, pasangan, keluarga, menatap kerlip lampu sepanjang tepian Kapuas, gedung-gedung tinggi, sebagian lagi duduk di kios-kios,
pelataran jalan, sebagian lagi bergaya, bermain skateboard, sepeda, dan "pertunjukan" lainnya. Tempat ini terkenal sekali sebagai lokasi "pacaran". Anak-anak
muda lokal, pasangan turis, memenuhi setiap jengkalnya, mengobrol riang, tertawa, saling timpuk, berkejaran." "
Tetapi di antara sekian banyak yang pergi berdua atau lebih, ada saja yang sendirian menghabiskan malam di waterfront. Duduk bengong menatap keramaian.
Merasa sepi di tengah meriahnya kota. Menatap bulan bundar menghias langit bersih tanpa awan. Perahu besar, sedang, kecil perlahan melintasi Sungai Serawak,
kesibukan kota di malam hari.
Salah-satunya itu adalah aku.
Tun Badawi memsan dua kamar yang lebih dari istimewa, luas, kasur busa besar, di lantai paling tinggi, dan persis menghadap gemerlap kota. Satu kamar untuk
Sarah dan Ibu, satu kamar lagi untuk aku, Andi dan Pak Tua. Setelah mandi, berganti pakaian, pukul sembilan malam, Pak Tua memutuskan hanya menghabiskan
waktu di kamar, lelah, hendak beristirahat. Andi malas kuajak jalan-jalan lagi, dia sedang euforia cetak-cetik-cetok memainkan remote televisi, nyengir,
"Keren, Kawan. Teve-nya punya 149 saluran, beda dengan televisi di rumah, belasan saluran sudah mentok, nonton saja-lah malam ini.?"
Aku menepuk dahi kecewa, menatap Andi setengah tidak percaya, dia jauh-jauh ke negeri orang hanya untuk menonton teve dengan 149 saluran. "Kecilkan suaranya,
Andi. Orang-tua ini mau tidur." Pak Tua mengingatkan. "Ye lah, ye lah, kukecilkan, Pak." Andi menurut. Aku sudah melangkah menuju pintu kamar, membawa
kunci kamar. Aku tidak tahu mau kemana. Ini kota orang.
Aku hanya ingin jalan-jalan. Petugas lobi hotel"yang ternyata orang Indonesia, asal Semarang, berbaik hati menjelaskan arah ke waterfront. Aku mengangguk,
tidak terlalu jauh berjalan kaki. Melenggang di trotoar yang ramai, lampu jalanan terang, lalu-lalang penduduk lokal dan turis. Senyap di tengah keramaian,
otakku hanya memikirkan satu hal.
Kau tahu, Mei, ini sudah hampir sepuluh bulan kau tidak ada kabarnya.
Apakah kau baik-baik saja" Sehat"
Apakah kau rindu padaku?"
Jangan tanya apakah aku rindu pada kau, itu tidak bisa kujawab dengan kata-kata. Itu hanya bisa kujawab dengan lukisan atau lagu"meski aku tidak bisa melukis
apalagi menyanyi. Kau tahu, Mei, aku tetap memegang janjiku padamu. Mengurus bengkel dengan baik, terus menjadi bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas.
Bengkel itu semakin hebat sekarang, sebulan lalu kami membicarakan kemungkinan membuka cabang baru. Kami merekrut tiga montir baru, satu orang pegawai
kantor"yang lagi-lagi membuat Andi kecewa karena cowok, ditambah dua orang seksi sibuk, sapu jagat. Aku tidak punya ambisi berlebihan atas bengkel itu,
aku hanya mengurusnya sebaik mungkin. Tapi petuah Pak Tua benar, seorang pekerja yang baik adalah ketika dia hanya bekerja sebaik mungkin, memberikan yang
terbaik, maka uang, sukses, terkenal, akan datang dengan sendirinya. Bengkel itu punya reputasi yang hebat, Mei, beberapa minggu lalu, pernah ada bapak-bapak
berpakaian kasual membawa mobil klasiknya. Sial, Andi masih saja bergaya, bergurau, nyinyir dengan pelanggan itu, bilang, "Tenang saja, Oom, sesuai semboyan
bengkel ini, "becus dalam segala urusan", tidak ada keluhan mesin yang tidak bisa kami tangani. Tidak seperti pemimpin propinsi inilah, mengurus orang
miskin, pengangguran saja tidak becus. Apalagi macam bencana banjir besar di Mempawah minggu lalu, lebih tidak becus dia." Andi sama sekali tidak punya
ide kalau bapak-bapak yang datang itu adalah gubernur Kalimantan Barat, yang santai menghabiskan sore di hari minggu, membawa mobilnya ke bengkel. Kena
skak-mat dia, untung pak gubernur hanya tertawa, bilang kalau Andi mau jadi penasehat ahlinya, jangan sungkan-sungkan mengirimkan saran.
Ohiya, aku pernah bilang pada kau, bekerja serabutan untuk mengumpulkan uang, agar bisa melanjutkan kuliah, sekarang kesempatan itu datang, Mei. Beberapa
bulan lagi tahun pelajaran baru, aku akan mendaftar kelas ekstensi jurusan Teknik Mesin di universitas Pontianak, pasti lelah, bekerja sepanjang hari,
lantas belajar pula di malam hari, tapi itu pasti menyenangkan, aku tidak sabar untuk mulai belajar mesin sesungguhnya, tidak belajar sendiri. Usiaku sekarang
Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir dua puluh lima, seperempat abad, dengan rencana-rencana, aku pikir hidupku berjalan di jalur yang benar"astaga, dengan bilang ini, jangan-jangan
aku semakin mirip dengan Pak Tua.
Hanya satu yang tidak berada di trek lurus. Tentang perasaan.
Kau apa kabar, Mei" Apakah kau terus menjadi guru yang baik" Menjadi guru yang mencintai dan dicintai anak-anak muridnya" Tetap bersahaja" Masih suka naik
angkutan umum" Boleh, bolehkah aku bertanya tentang itu, Mei" Apakah sekarang semuanya mulai jelas" Apakah sekarang kau mulai yakin atas hubungan ini" Apakah, apakah
kau sudah punya jawabannya, Mei" Kalau sudah, bisakah kau segera memberitahuku" Kemajuan sedikit saja di hati kau akan memberikan rasa tenteram yang luar
biasa bagiku. Bukan sebaliknya, hingga hari ini aku hanya berkutat dengan harapan-harapan"karena itulah yang tersisa. Selalu teringat kau dalam setiap
kesempatan. Sebuah perahu besar melintas, Nahkodanya iseng menekan klakson, mengeluarkan suara lenguh panjang, poooong. Pengunjung waterfront tertawa, bertepuk-tangan.
Waterfront tetap tidak berkurang ramai meski hampir pukul sepuluh malam. Kios-kios makanan masih semarak. Satu rombongan turis lokal lewat di depanku,
anak muda belasan tahun, tertawa-tawa dengan bahasa Melayu Serawak.
Aku menghela nafas, mengusap dahi.
Kau tahu Mei, tidak terhitung berapa kali aku gemas ingin menghubungi kau di Surabaya, bahkan meniatkan datang ke sana ketika bengkel membeli peralatan
baru. Tidak terhitung berapa lembar surat yang kutulis untuk kau, bercerita tentang kota kita, Pontianak, sekarang musim buah, Mei, harga durian di pasar
induk lagi murah-murahnya. Satu durian bangkok kualitas terbaik, bisa ditawar lima belas ribu, kau mau berapa" Tetapi surat-surat itu tidak pernah berani
kukirimkan, karena itu akan melanggar janjiku pada kau. Aku hanya berani bermimpi, sungguh tidak terhitung berapa kali aku bermimpi tentang kau, Mei. Berjalan
berdua menghabiskan sore di dermaga pelampung, berdua menelusuri sungai Kapuas dengan sepit Borneo"aku lupa memberitahu, aku sudah membeli sepit lagi;
atau macam sekarang, hanya duduk bengong berdua menatap keramaian waterfront. Tidak perlu banyak bicara, tidak perlu banyak bergaya macam anak muda yang
sibuk pacaran di sini. Itu pasti lebih dari menyenangkan"karena dalam mimpi saja sudah menyenangkan.
Apakah kau sudah punya jawabannya Mei"
Apakah urusan perasaan ini sudah terang-benderang"
Aku sungguh selalu menunggu.
*** Kami sarapan di restoran hotel.
"Semalam kau balik kamar jam berapa?" Pak Tua bertanya padaku.
"Aku tidak tahu persis, Pak Tua." Aku nyengir, "Yang aku tahu, saat masuk kamar, ada orang yang mendengkur, ileran, di depan televisi yang menyala, tertidur
lelap di lantai kamar dengan remote terkulai di tangan."
Andi tidak menjawab, dia asyik menghabiskan Mi Sapi.
Pak Tua manggut-manggut, tangannya sibuk menyobek menu Manok Pansoh. Sedangkan Sarah sibuk membantu Ibu mengambil makanan. Kupikir selama perjalanan ini,
Ibu nyaman sekali dibantu Sarah, bahkan tadi waktu bertemu di lift, turun menuju restoran, Ibu bilang dia semalam sempat dipijat Sarah, "Gadis itu baik
sekali, Borno." Ibu berbisik, "Hanya pijat sebentar, abang. Kasihan Ibu kelelahan setelah seharian keliling kota." Wajah Sarah memerah, memotong. Pak Tua
berdehem penuh maksud, sengaja mengangguku.
Pukul sembilan, setelah berbenah, memasukkan pakaian kotor dalam ransel, check-out, salah-satu cucu Tun Badawi sudah menunggu di lobi hotel. Ditilik dari
penampilannya, dia baru dua puluh tahun, dan kejutan, gadis itu pandai sekali berbahasa Indonesia, sama sekali tidak kentara aksen Melayu Serawak-nya,
dia berseru senang saat tahu Sarah adalah dokter gigi. "Aku kuliah kedokteran di Jakarta, Kak Sarah. Semester enam." Dan Andi melupakan "pertikaiannya"
dengan Tun Badawi sepanjang hari kemarin, mulai cengar-cengir tidak jelas, cari-cari perhatian.
Karena jadwal bus masih lama, kami sempat mampir di Sarawak State Library, menghabiskan waktu satu jam di sana, termasuk memberi ikan di danau kecilnya,
satu jam berikutnya mengunjungi lokasi Traditional Batik-Making. Pak Tua tertawa dengan pilihan lokasi wisata cucu Tun Badawi, "Kau pastilah disuruh kakek
tua itu mengajak kami ke sini, bukan" Dia lupa, tingkahnya yang provokatif ini bisa membuat dia besok-lusa kesulitan pulang kampung ke Pontianak." Cucu
Tun Badawi tertawa, "Kakek juga menyuruhku membelikan bang Andi batik-batik ini, Pak Tua. Nah, bang Andi mau yang mana?"
Si Bugis itu seperti baru saja dapat hadiah undian sabun colek berhadiah mobil.
Satu jam berlalu, mini van akhirnya menuju loket bus."
Pukul sebelas kurang lima, bus siap menuju Pontianak. Cucu Tun Badawi memeluk Sarah dan Ibu. Mencium tangan Pak Tua, menyalamiku, dan takut-takut menyalami
Andi." Pukul sebelas tepat, bus berangkat, kami pulang menuju kota tercinta, Pontianak. Kali ini lancar melintasi perbatasan Tebedu-Entikong, Andi menjaga paspornya
dengan baik, dan aku lebih banyak tertidur karena semalaman berjaga di waterfront hingga dini hari, kehilangan selera jahil.
Aku tertidur tanpa mimpi. Lelap. Tanpa tahu, kalau kejutan besar telah menungguku di Pontianak.
Persis ketika bus merapat di loket kota kami, tengah malam. Saat penumpang beranjak turun satu per-satu. Saat aku menjejakkan kakiku di pelataran jalan,
seseorang itu telah menunggu"bukan hanya bapak Andi yang berbaik hati membawa mobil bengkel menjemput kami.
Jawaban itu telah tiba. Apakah perasaan itu semakin jelas" Iya.
Meski itu diluar harapanku, jelas di sisi sebaliknya.
*** Adalah Bibi yang menungguku di loket bus Pontianak-Kuching.
Dia cemas, wajahnya penat, jelas sudah sejak sore dia menungguku di loket.
"Mei, Mei akan menikah, Nak Borno." Bibi langsung ke topik pembicaraan.
Dan aku yang sejak tutun sudah menduga pasti ada "kabar buruk", terdiam, seketika. Awalnya aku memikirkan kemungkinan lain, Mei sakit, ada musibah, atau
apalah. Tapi yang ini" Sungguh "kabar baik" yang terdengar "musibah" bagiku."
"Menikah?" Aku memegang dinding loket, berusaha tetap berdiri.
Andi, Ibu, dan Sarah sedang memindahkan ole-ole ke mobil bengkel yang dibawa bapak Andi." Pak Tua berdiri lima langkah di belakangku, menatapku prihatin"meski
dia tidak mendengar jelas pembicaraan kami karena loket ramai oleh orang-orang turun dan menyambut.
"Menikah dengan siapa?" Aku menelan ludah, bertanya"terima-kasih Tuhan, suara bising loket menyamarkan suara bergetarku.
"Bibi kurang tahu, Nak."
"Kapan" Kapan menikahnya?"
"Bibi belum tahu, Nak. Beritanya baru tiba tadi pagi, ada telepon dari Surabaya, meminta Bibi berangkat ke sana untuk bantu-bantu keluarga besar, itu pasti
tidak lama lagi. Kau jangan-jangan" eh, tidak ada yang memberitahu, Nak Borno?" Bibi menatapku prihatin. Wajahnya terlihat sedih.
Aku menggeleng. Bagaimana aku akan tahu?"
"Maafkan kami, Nak. Sungguh maafkan, Bibi"." Bibi menunduk.
Aku berusaha mengendalikan diri, menggeleng."
Loket bus terasa lengang.
*** Aku memutuskan berangkat ke Surabaya besok pagi-pagi, penerbangan pertama.
"Perasaan adalah perasaan, Kawan. Dan semua gadis di Pontianak ini harus tahu, tidak ada yang berhak mempermainkan hati kawan baikku. Kau harus berangkat,
bertanya, meminta penjelasan." Demikian saran Andi semalam, menepuk bahuku.
Pak Tua hanya menghela nafas panjang. Tidak banyak berkomentar, tapi dia memutuskan ikut mengantarku ke bandara."
Beberapa detik sebelum aku masuk ke ruang tunggu, final call untuk penumpang menuju Surabaya, Pak Tua memelukku erat-erat, bilang begini, "Kau mau tahu
bagaimana aku bertahan hidup setelah kejadian menyakitkan itu, anakku" Kau mau tahu bagaimana orang tua ini bisa menghabiskan sisa umur dengan seluruh
kenangan, kesedihan setelah kejadian di sungai Kapuas?"
Aku mengangguk, "Katakan, Pak Tua. Katakan" Aku sungguh membutuhkan semua kebijaksanaan Pak Tua dalam situasi ini."
Pak Tua tersenyum getir, "Karena orang tua ini mempercayai kalimat sederhana itu, Borno, apapun yang terjadi, itulah yang terbaik bagi kita". Itulah tingkat
tertinggi seorang pertapa. Mempercayai kalimat itu segenap hatinya". Sesuatu yang amat kita benci misalnya, boleh jadi itu baik bagi kita. Dan sebaliknya,
sesuatu yang amat kita sukai, inginkan, harapkan, boleh jadi itu buruk bagi kita. Berangkatlah, anakku, dan ingatlah kalimat itu, apapun yang terjadi,
itu sungguh yang terbaik bagi kita. Tuhan tidak akan pernah menipu, karena dia sungguh bukan penipu."
Aku menyeka ujung mata, menahan sesak perasaan.
Pak Tua mencium ubun-ubunku"sesuatu yang tidak pernah dia lakukan padaku.
Andi ikut memelukku, tertawa kebas, "Selamat jalan, Kawan. Ingatlah, apapun yang terjadi di Surabaya nanti, percayalah, kau selalu punya aku. Teman paling
ember, lamban, menyebalkan dan sok-tahu.?"
Aku ikut tertawa. Andi (sengaja) pura-pura hendak mencium ubun-ubunku.
Aku memukul bahunya. Enak saja. Bergegas, berlari-lari kecil menuju pintu garbarata."
Pesawat menuju Surabaya berangkat.
*** Sepuluh bulan menunggu, masalah ini telah tiba di penghujungnya."
Mei sudah memiliki penjelasan terbaiknya. Dia memutuskan menikah.
Hamparan laut biru terlihat indah. Awan putih menggumpal. Seandainya aku melakukan perjalanan udara ini dalam kondisi lebih baik, ini sungguh pengalaman
terbang pertama kali yang hebat. Apa kata Ujang, tukang ojek perempatan, jangan-jangan abang orang pertama di seluruh gang sempit tepian Kapuas yang pernah
naik pesawat." Aku tersenyum kecut, mengusap dahi"gurau Ujang berlebihan, bahkan Pak Tua berpuluh tahun lalu sudah terbiasa melakukannya.
*** Bibi tidak memberitahu alamat rumah Mei. Bibi juga menolak memberikan nomor telepon rumah"karena dia takut melanggar janji dengan Mei. Aku tentu saja tahu
rumah Mei, aku pernah mengantar Mei ke rumahnya sepulang dari plesir keliling Surabaya bersama Pak Tua. Tetapi Bibi punya saran lebih baik, dia bilang,
dua minggu sekali, Mei mengantar Oma berobat ke klinik alternatif yang pernah aku kunjungi. Klinik tempat aku dulu bertemu dengannya setelah menghabiskan
berkantong-kantong koin uang logam. Itulah cara terbaik bertemu dengan Mei"tidak mungkin aku tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya, situasi bisa jadi kacau
bahkan sebelum pembicaraan dilakukan.
Dari bandara Juanda, Surabaya, aku menumpang taksi meluncur ke klinik itu. Petugas sibuk membuka klinik saat aku tiba. Halaman parkir terhitung lengang.
Baru pukul setengah sembilan, aku memutuskan menunggu di kantin klinik. Ruangan luas, terbuka, dengan meja bundar kecil, bangku-bangku stainless steel
berwarna merah tersusun rapi. Aku melirik untuk kesekian kali jam di dinding kantin, jadwal Mei mengantar Oma pukul sepuluh, masih satu setengah jam lagi."
Salah-seorang karyawan kantin mendekat, memberikan daftar menu, menawarkan sarapan, aku menggeleng, sejak semalam aku tidak lapar. Mungkin minum" Karyawan
itu tidak menyerah, tersenyum. Aku menggeleng, juga tidak haus. Karyawan itu melipat daftar menu, meninggalkanku sendirian. Suara televisi terdengar kencang,
acara musik pagi. Pembawa acaranya bertingkah macam orang paling bahagia di seluruh dunia.
Aku tidak peduli sekeliling. Aku sedang memikirkan banyak hal.
Apa yang pertama kali akan kukatakan pada Mei"
Apa reaksinya saat melihatku"
Aku mendesah, entahlah. Aku lelah berpikir, sejak semalam. Lelah menduga-duga siapa calon mempelai laki-laki itu. Lelah menduga alasan Mei kenapa tiba-tiba
menikah. Pertemuan ini, aku akan sekadar bertanya lurus padanya, jika Mei menolak menjelaskan, maka urusan ini selesai, aku akan pulang ke Pontianak. Melanjutkan
hari-hariku di kota tercinta kami.
*** Lima menit menunggu. Seseorang menghampiriku. "Kau pastilah, Borno." Dia menyapa hangat, sehangat matahari pagi yang menerabas tiang-tiang, membuat siluet indah di lantai kantin.
Aku mengangkat kepala, mendongak. Sedikit terkejut, siapa pula yang menyebut namaku di kota yang baru kukunjungi dua kali"
"Perkenalkan, aku Madammoiselle." Tersenyum bersahabat.
Aku menelan ludah, Madammoiselle" Astaga" Bukankah nama itu familiar sekali sepuluh bulan terakhir. Bukankah itu teman satu geng Sarah dan Mei sewaktu
kecil. "Kenapa" Kau kaget melihatku." Dia tertawa renyah.
Aku menatapnya lamat-lamat, menyelidik, "Bukankah, eh maksudku, bukankah Madammoiselle itu perempuan?"
Dia tertawa lebar, "Awalnya mereka hanya mengolok-olok namaku dengan sebutan Madam. Masa kanak-kanak, aku dulu ringkih dan kurus, Borno. Tidak jago bermain
bola, tidak berani ikut-ikutan berkelahi dengan anak sekolah lain, hanya berteman dengan anak-anak perempuan, jadilah teman sekelas memanggil demikian,
Madam, Madam. Tapi itu tidak buruk, gurauan anak-anak, Mei dan Sarah bahkan tega menambahinya, memanggilku Madammoiselle. Semua temanku akhirnya memanggil
Madammoiselle, Madammoiselle. Mereka, Mei dan Sarah itu, teman baik yang jahat, memang."
Aku terdiam, menatap lamat-lamat lawan bicara di depanku, pemuda ini, sepantaran denganku, berpakaian rapi, kemeja lengan pendek, celana panjang, bersepatu,
tertawa lebar." "Boleh aku duduk, Borno?"
"Eh, silahkan." Aku (mencoba) tersenyum"setelah serangkaian kaget.
"Kau naik penerbangan pertama dari Pontianak, bukan" Bagaimana" Penerbangannya lancar?" Pemuda itu duduk, dua tangannya di atas meja.
Aku mengangguk. "Bibi yang memberitahuku." Pemuda itu menjawab, sebelum aku sempat membuka mulut, bertanya, dia tersenyum, "Bibi bilang kau menunggu Mei di sini, Bibi
juga bilang padaku, tidak ada lagi yang lebih baik menjelaskan semua urusan ini selain aku. Bukan Mei, Papa Mei apalagi, jadilah aku berangkat menemui
kau, menjadi si pembawa pesan. Kita akhirnya bertemu di kantin ini, Borno."
Aku menelan ludah, mencoba memahami kalimat cepatnya."
"Kau pasti sudah tahu Mei akan menikah, bukan?" Pemuda itu tersenyum.
Aku mengangguk. "Itu kabar yang hebat sekali." Lawan bicaraku mengusap rambut rapinya perlahan, "Eh, maksudku, siapa yang menduga dia akhirnya berani mengambil keputusan
itu." Lawan bicaraku berusaha memperbaiki kalimatnya, takut menyinggung perasaan, "Maksudku, setelah berbulan-bulan tanpa kepastian, berbulan-bulan gamang,
dia akhirnya memberitahu kabar itu padaku. Kau terkejut, apalagi aku. Sangat mengejutkan. Mei memutuskan menikah. Bukan main, aku masih antara percaya
dan tidak, masih sering mencubit lengan sendiri untuk memastikannya."
Aku diam"meski banyak pertanyaan yang menjejali kepalaku, aku memutuskan diam, menunggu. Lawan bicaraku ini, siapapun dia, dilihat dari caranya bicara,
gesture muka, intonasi suara, pasti datang untuk menjelaskan seluruh urusan dengan baik.
"Kau pastilah tahu, kami berteman baik sejak kecil, tiga anak nakal, Mei, Sarah, Madammoiselle. Di sekolah, di kelas kursus, di taman bermain, di mana-mana.
Hingga usia tiga belas, saat Mei dan keluarga besarnya pindah ke Surabaya, persahabatan kami bubar. Sarah tertinggal di Pontianak, sedangkan aku, setahun
kemudian, Papaku ditugaskan ke Surabaya, dia pegawai pajak, sering berpindah kantor, jadilah aku kembali bertemu dengan Mei."
"Aku dan Mei adalah kawan dekat, Borno. Teman sejati, soul-mate, meminjam istilah anak-anak remaja saat ini. Kami satu sekolah, SMP, SMA, bahkan hingga
kuliah, kami sama-sama memilih jurusan keguruan, hobi kami sama, cita-cita kami sama. Aku juga guru SD, sama seperti Mei, hari ini aku bolos untuk menemui
kau." Lawan bicaraku tertawa, nyengir, "Tetapi itu bisa dimaafkan, ada guru pengganti, lagipula urusan kita penting sekali, murid-muridku pasti mengerti."
Televisi yang disetel kencang-kencang sedang menyiarkan iklan. Aku mengangguk, penampilan lawan bicaraku ini memang mirip guru SD yang baik-hati.
"Belasan tahun dekat dengannya, aku tahu semua hal yang terkait dengannya, Borno, tahu kebiasaannya, hafal kesukaannya, semuanya. Dia bahkan menjadikan
Madammoiselle ini seperti radio butut, yang bisa diajak bicara kapan saja, atau seperti buku diary besar, tempat dia meletakkan semua catatan kesehariannya.
Aku bahkan tahu Mei hampir jatuh terjengkang di sungai Kapuas, saat belajar mengemudi sepit bersama kau. Dia bilang, itu salah-satu kejadian seru dalam
hidupnya. Kau lihat, aku bahkan tahu detail itu. Bisa kau bayangkan, kalau diibaratkan, aku punya harta karun pengetahuan tentang Mei, bisa kubuatkan kelas
khususnya: kursus mengenal Mei". Sialnya, itu juga termasuk tahu keluh-kesahnya, duka-citanya, kesedihan, gelisah, sesak, semua satu paket dalam layanan
sebagai sahabat sejati, pendengar yang baik. Aku tahu semuanya"."
Lawan bicaraku diam sejenak, menghela nafas.
"Kau pernah melihat seekor sapi disembelih, Borno?"
Eh" Aku menggeleng, apa hubungannya dengan pembicaraan ini" Kenapa tiba-tiba dia loncat ke sana"
"Aku juga belum." Lawan bicaraku tertawa prihatin, "Tetapi ada yang bahkan pernah melihat seekor sapi besar, dibelah dadanya hidup-hidup. Itu mengerikan.
Sapi itu dibius, lantas diikat kaki-kakinya, kemudian" dibelah dadanya."
Aku mematung, mulai menebak-nebak arah pembicaraan.
"Hidup ini kadang rumit sekali untuk seorang guru SD sepertiku, Borno." Lawan bicaraku menghela nafas, tertawa getir, "Aku seharusnya belajar banyak dari
kau. Lebih dari ratusan kali Mei bilang padaku, Borno adalah seseorang yang paling sederhana memahami hidupnya. Mengalir begitu saja seperti sungai Kapuas,
tanpa kebencian, tanpa ambisi, tanpa pretensi, lurus perangainya, lapang hatinya. Bahkan untuk kejadian yang paling menyakitkan dalam hidupnya, tetap saja
dia tulus. Borno tidak sebanding denganku, begitu kata Mei, aku merusaknya, aku menjadi orang jahat dalam hidupnya, dan itu celakanya, untuk yang kedua
kali keluarga kami lakukan."
Kantin lengang. Salah-satu karyawannya sedang mengelap meja bundar di pojok.
Aku menahan nafas. Apa maksud kalimat itu"
"Kau pernah memuji Mama Mei cantik, bukan" Mei cerita itu padaku, amat detail ceritanya. Termasuk cerita tentang hadiah cokelat yang ditolaknya, yang membuat
dia cemas sepanjang malam, apakah penolakan itu menyinggung perasaan kau atau tidak. Bayangkan, Mei tidak bisa tidur semalaman, hanya untuk mengkhawatirkan
sebatang cokelat. Takut telah membuat kau berkecil hati, sungguh takut." Lawan bicaraku tertawa kecil, "Kau pernah memuji Mama-nya cantik, bukan" Di atas
sepit yang menyeberangi sungai, apa jawaban Mei" Cantik. Karena memang cantik sekali Mama-nya itu."
"Semasa kami kecil, adalah Mama Mei, ibu-ibu berusia empat puluh yang dikenal orang-orang, Ketua Yayasan yang memiliki sekolah ternama di Pontianak. Adalah
Mama Mei, seseorang yang baik hati, memiliki kolega dan pergaulan luas hingga Surabaya dan Jakarta, berpendidikan tinggi, rajin mengikuti kegiatan sosial,
dan begitu banyak aktivitas yang membuatnya terhormat dan terpadang."
"Kau memujinya cantik, Borno, kau memuji seseorang yang bahkan belum pernah kau temui"." Lawan bicaraku menarik nafas panjang, "Kau memuji seseorang"."
Dia diam lagi, menatapku lamat-lamat.
Aku tidak sabaran, hampir mendesak.
"Kau memuji seseorang yang telah membelah dada bapak kau, Borno. Adalah tangannya yang mengambil jantung itu, darah mengalir kemana-mana, luka besar menganga".
Aku sungguh tidak pernah bisa membayangkan kejadian dini hari itu.?"
Lawan bicaraku terdiam. Aku mematung. Nafasku tertahan.
"Iya, itulah rahasia kecil semua cerita ini". Adalah Mama Mei, dokter yang melakukan operasi itu. Yang yakin sekali bahwa bapak kau telah mati secara medis,
tidak ada lagi aktivitas otak. Dialah yang bertanggung-jawab penuh atas kejadian dini hari itu. Puncak dari reputasinya sebagai dokter, tinta emas bersejarah
baginya. Begitu dingin, begitu taktis, penuh perhitungan. Operasi berhasil, Papa Sarah terselamatkan, dan bapak kau menunaikan dengan sempurna seluruh
kebaikan yang dimilikinya, kebaikan yang telah terwariskan pada kau, Borno."
Ruangan kantin sempurna lengang.
Aku menelan ludah. Jemariku sedikit gemetar."
"Sayangnya, dalam cerita kita ini, ternyata Mama Mei tidaklah sedingin itu." Suara lawan bicaraku terdengar lamat-lamat, "Dia tidak setangguh yang dia
kira, dia tetaplah manusia biasa, lupakan reputasinya sebagai dokter hebat. Lepas operasi sukses itu, melihat kau menangis di lorong rumah sakit, melihat
Sarah yang berdiri menatap kau, keyakinan atas keputusan itu mulai berguguran, awalnya hanya sepotong, tapi lama-lama runtuh sungguhan. Sehari setelah
operasi, entah apa pasalnya, Mama Mei mulai mencemaskan banyak hal. Apakah dia sungguh telah yakin seratus persen bapak kau memang telah mati saat itu,
jangan-jangan dia berbohong, terburu-buru, ambisi pribadinya telah mengabaikan boleh jadi masih tersisa keajaiban. Apakah keputusan yang dia ambil benar.
Apakah dia berhak "membunuh" seseorang, lantas memberikan kehidupan itu pada orang lain. Apakah dia berhak membuat seorang anak kehilangan Ayah, dan seorang
istri kehilangan suaminya. Apakah dia berhak merubah nasib sebuah keluarga, kau menjadi yatim."
"Dan perlahan tapi pasti, keteguhan hati Mama Mei semakin luntur, seminggu kemudian, puteri semata wayangnya, Mei, justeru sakit keras, demam. Bermalam-malam
menunggui Mei kecil, terbaring lemah di atas dipan, menggigil kesakitan, membuat semuanya semakin runyam. Mama Mei sering ditemukan sedang kalap memeluki
Mei, menangis. Dokter hebat itu telah tumbang, menjadi manusia biasa, penuh perasaan, penuh kecemasan, penuh penyesalan. Dalam diary-nya yang ditemukan
bertahun-tahun kemudian, tertulis besar-besar, keputusan dini-hari itu bohong, dia tahu persis nyawa bapak kau masih bisa diselamatkan."
"Tetapi semua telah terjadi, bukan" Bapak kau telah mati, bahkan sebelum dadanya dibelah, berwasiat menolak menerima pembayaran, menolak dihubungkan dengan
keluarga Sarah. Situasi yang membuat Mama Mei semakin menyesal. Tanpa kau ketahui, lebih dari tiga kali dia mengunjungi rumah panggung kalian di tepian
Kapuas, dan setiap kali pulang dari sana, kondisinya semakin parah. Dia depresi, pekerjaannya mulai terbelengkalai, kondisi fisiknya menurun drastis."
"Setahun berlalu, situasinya semakin memburuk. Tidak ada lagi Mama Mei yang cantik, yang ada hanya ibu-ibu dengan wajah kusut, menua lebih cepat. Dan demi
situasi itu, Papa Mei memutuskan membawa seluruh keluarga mereka ke Surabaya. Kota baru, lingkungan baru, tetangga baru, pekerjaan baru, kehidupan baru,
semoga dengan itu seluruh penyesalan berkurang. Mereka pergi". Itulah kenapa usia tiga belas, setahun setelah kejadian itu, Mei pergi dari Pontianak. Geng
kami bubar.?" Lawan bicaraku terdiam sebentar, menghela nafas panjang..
Aku masih mematung. Kenangan kejadian belasan tahun lalu itu melesat kembali ke kepalaku.
"Secara klinis sudah meninggal." Itu penjelasan singkat dokter beberapa detik setelah melihat garis lurus di mesin, mendesah resah, memerintahkan tim operasi
mulai bekerja." Ya Tuhan" Dokter itu" Dokter itu adalah Mama Mei"
"Sarah tidak tahu tentang ini semua. Sarah hanya tahu, keluarga Mei pindah karena Papa Mei memiliki bisnis baru di Surabaya. Tidak banyak yang tahu, karena
Papa Mei menutup akses pada keluarga mereka, merahasiakan depresi itu. Aku juga awalnya tidak tahu. Aku baru tahu setelah pindah ke Surabaya, bertemu kembali
dengannya. Mei yang berubah banyak, tidak ada lagi Mei yang riang yang mengajakku mencuri mangga tetangga, tidak ada lagi Mei yang semangat mengajakku
melempari sesuatu, dia telah berubah, menjadi lebih pendiam, wajahnya terlihat sendu, misterius. Bagaimana tidak" Mamanya depresi berat di rumah, membentak
Mei, berteriak-teriak, tidak terkendali, tidak dikenali lagi. Mei tumbuh dengan seluruh kesedihan atas peristiwa itu, bahkan lima tahun kemudian, saat
Mamanya meninggal, kesedihan itu tidak berkurang satu bongkah pun, semakin menggunung."
"Akulah yang mendengar segala keluh-kesah itu. Menjadi tempatnya bercerita. Menjadi teman yang bisa diandalkan, jam tiga dinihari sekalipun, saat dia menelepon,
aku setengah terkantuk pura-pura mendengarkan. Dia cerita baru saja menemukan buku catatan Mama-nya setahun terakhir sebelum pindah ke Surabaya. Buku itu
ditemukan bersama peninggalan Mama-nya yang lain. Halaman-halaman yang penuh dengan penyesalan. Rasa bersalah. Pengakuan kalau dialah yang membunuh bapak
kau. Pertemuan dengan Ibu kau yang justeru menolak bicara. Dari catatan itu Mei akhirnya mengenal nama kau, Borno. Mengenal keluarga kau yang bersahaja.
Bisa membayangkan betapa hidup kalian semakin sulit setelah kepergian tulang punggung keluarga. Anak nelayan yang yatim. Penyesalan itu terwariskan sudah".
Mei memutuskan berangkat ke Pontianak, menemui kau.?"
"Waktu itu, kami di penghujung kuliah, masa-masa magang, praktek lapangan. Mudah saja bagi Mei mendapatkan tempat magang di sekolah terbaik milik Yayasan
itu, dia diterima magang tiga bulan tanpa proses administrasi panjang. Yang sulit adalah "menyapa" kau, Borno. Itu sulit sekali, dia cerita padaku, dia
selalu gemetar setiap kali hendak menyapa kau. Dia sengaja menumpang sepit setiap berangkat ke sekolah, beberapa kali naik sepit kau, tapi dia tidak kuasa
melakukannya. Aku menyarankan pada Mei agar menulis sepucuk surat perkenalan, dia menurut, menjatuhkan amplop merah di sepit kau. Tetapi sepertinya surat
itu tidak pernah sampai pada kau."
Aku terdiam, amplop merah" Ang pao itu" Itu surat dari Mei. Astaga, aku bahkan tidak pernah membuka surat itu sekalipun"kupikir itu memang hanya amplop
ang-pao biasa. Masih tersimpan di lemari rumah.
"Beberapa hari setelah amplop surat itu dijatuhkan, dia tetap tidak berani menemui kau secara langsung, ternyata kesempatan menyapa itu tiba sendiri, saat
dia mengajak anak-anak didiknya melakukan kegiatan sosial, merayakan perayaan China, dia berhasil menyapa kau di dermaga sepit. Kau tahu, Borno, Mei riang
sekali menceritakan kejadian itu, semalaman, membuatku macam batang pisang saja, mendengar tanpa bisa menyela."
"Maka dimulailah pertemanan kalian". Pertemanan?" Lawan bicaraku diam sejenak, menggeleng perlahan, "Pertemanan" Astaga, itu sungguh "pertemanan" yang
berjalan diluar dugaan Mei. Itu bukan pertemanan biasa, itu pertemanan yang diskenariokan. Dia-lah yang sengaja mengatur jadwal berangkat yang sama persis
setiap hari, dan dia bersorak senang saat tahu kau akhirnya selalu memarkir sepit diantrian nomor 13. Apa kata Mei setelah kalian bertemu berkali-kali,
dia bilang, Borno itu amat menyenangkan, Madammoiselle, amat menyenangkan. Orangnya lucu, sok-tahu, dan seru. Bahkan dia "menghina" namaku, nama bulan,
Madammoiselle". Malam itu aku kembali menjadi kambing congek, mendengar cerita panjang lebar darinya lewat telepon hingga pukul tiga."
"Aku bilang padanya, tidakkah kau khawatir kedekatan kalian yang terjadi tiba-tiba dam bergerak terlalu cepat akan membuat Borno salah-paham" Mei hanya
tertawa, bilang kalian hanya berteman. Lagipula, setelah magang tiga bulan, aku akan kembali ke Surabaya. Urusan selesai. Aku hanya ingin mengenal keluarga
Borno, setelah itu misi terselesaikan. Maka tiga bulan berlalu, dia pulang ke Surabaya. Kau sempat menemuinya di rumahnya bukan" Ada salah paham kecil,
sehari sebelumnya kalian janjian mau belajar sepit, bukan" Kau tidak datang. Kau berusaha menjelaskan hingga ke rumahnya, tapi dia justeru persis hendak
berangkat ke Surabaya."
Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi Mei tidak bisa berbohong, tiga bulan itu penting baginya. Tidak sekadar misi terselesaikan. Saat aku bertemu dengan Mei di sini, setelah dia kembali
dari Pontianak, kami bersama-sama membuat laporan magang, entah kenapa aku pikir ada yang berbeda dengannya. Dia selalu cerita tentang kau, Borno. Topik
pembicaraan kami selalu, Borno, Borno dan Borno. Dan dia pernah bilang begini, "Madammoiselle, aku merasakan, sepertinya aku akan bertemu dengan Borno
di Surabaya." Astaga, itu sungguhan terjadi. Kau datang bersama Pak Tua, berobat di klinik ini. Dan kalian bertemu, pertemuan yang kikuk, malu-malu dan
serba tanggung. Malam itu, Mei riang sekali menceritakan semua kejadian. Bilang semuanya seru."
"Aku mengingatkannya, situasi akan rumit kalau ternyata di antara kalian ada perasaan suka. Mei tertawa, tidak mungkin, Borno tidak akan pernah menyukainya
kalau tahu siapa dia sebenarnya. Aku bilang, jangan-jangan justeru kau yang menyukai Borno. Mei menimpukku dengan sendal jepit. Dan kau tahu, Borno, Pak
Tua justeru mengajak kalian ke rumah Fulan dan Fulani, mendengar cerita cinta hebat milik mereka. Cerita cinta yang membuat Mei berubah pikiran. Kenapa
tidak" Mei memutuskan kembali ke Pontianak, mengajar di sekolah milik Yayasan Ibu-nya."
"Papa Mei melarangnya, mengingatkan kalian hanya akan saling menyakiti. Mei keras kepala, meyakinkan kalian hanya berteman. Tidak akan terjadi apapun.
Papa Mei kehabisan argumen, bilang terserah Mei, maka berangkatlah dia ke Pontianak."
"Itu keputusan besar, dan semua ternyata berakhir buruk. Sesuai yang diduga oleh dirinya sendiri, kalian semakin dekat, meski maksudku hanya kedekatan
di atas sepit, tapi itu bisa berharga dan bermakna sekali. Mei tiba-tiba meneleponku, bilang Borno mengajakku jalan-jalan berkeliling Pontianak, Madammoiselle.
Suaranya ragu-ragu, dia bilang, mengkhawatirkan hubungan kalian menjadi rumit. Aku tertawa, bukankah aku sudah mengingatkannya. Apa yang harus kulakukan,
Madammoiselle" Mei bertanya. Aku menyarankan agar dia tetap datang di dermaga sepit, dia tidak bisa membatalkan janji hanya karena tiba-tiba merasa ragu.
Esok paginya, Mei ternyata tidak datang."
"Itulah fase hubungan maju-mundur kalian. Kau mendesak memintanya bertemu, Mei menolak, mulai membangun benteng. Satu minggu berlalu, dua minggu terlewati,
satu bulan terbetik kabar kau menjual sepit, Mei cemas, bertanya pada Pak Tua. Malam itu kalian bertemu di sana. Malam itu juga, Mei meneleponku, bilang
padaku, kau mengantarnya pulang ke rumah. Kalian diam-diaman di atas angkot sepanjang perjalanan. Apa yang harus kulakukan, Madammoiselle" Mei meminta
nasehatku." "Kau tahu, Borno. Aku amat menyayangi Mei, amat menyukainya. Dia teman baikku sejak kecil, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku. Maka aku menyarankan,
jalani saja semuanya seperti air sungai yang mengalir. Bukankah Borno juga seperti itu" Bujang dengan hati paling lurus sepanjang Kapuas. Dari cerita-cerita
Mei yang kudengar, teleponnya bermalam-malam, aku tidak akan keliru, kau pastilah pemuda yang baik, calon pemilik bengkel besar kota Pontianak, pemuda
yang bisa menjaga Mei. Apalagi yang harus kucemaskan?" Lawan bicaraku terdiam sejenak. Menunduk, menghela nafas panjang.
Ruangan kantin hanya menyisakan suara berisik televisi.
"Mei sepertinya menuruti saranku. Tetapi sayangnya, setelah sekian kali menemui kau di bengkel, membawakan makan siang, Mei yang terus membawa catatan
kesedihan milik Mama-nya tiba-tiba kembali cemas saat membaca ulang diary itu. Dia takut, dia hanya akan menyakiti kau, Borno. Dia mulai bingung dengan
perasaannya, apakah dia sungguh menyayangi kau, atau jangan-jangan karena kaitan masa lalu itu saja. Jangan-jangan dia melakukan ini karena perasaan bersalah.
Dia juga cemas, karena sebaliknya, jangan-jangan, saat kau tahu dia adalah puteri dari dokter yang membelah dada bapak kau, maka kau seketika akan membencinya.
Membuat perasaan suka itu bergantikan kebencian. Semua hubungan kalian berakhir saling menyakiti."
"Apa yang harus kulakukan, Madammoiselle" Apa yang harus kulakukan" Astaga, setiap malam, gadis itu bertanya hal sama. Mana aku tahu. Semua keputusan di
tangannya, dia yang memulainya. Dan ternyata, setelah berminggu-minggu kau mendesaknya, meminta penjelasan, Mei memutuskan pergi, dia kembali ke Surabaya.
Kalian berpisah." "Itulah yang terjadi di Pontianak, yang kupikir sebagian besar kau juga sudah tahu, Borno, kecuali kaitan masa lalu itu." Lawan bicaraku menatapku lamat-lamat,
"Yang tidak kau ketahui, kejadian sepuluh bulan terakhir di Surabaya ini.?"
Ruangan kantin lengang. Aku mengusap wajah kebasku. Menelan ludah.
"Sepuluh bulan terakhir, Mei memegang teguh janjinya pada kau: menjadi guru yang baik. Dia menyibukkan diri, berbuat banyak hal, melakukan banyak aktivitas
hingga tidak punya waktu sedetik pun untuk mengingat kau. Itulah kenyataannya."
"Sekolahku dan sekolahnya dekat, jadi kami sering bertemu. Aku pernah bertanya padanya, apakah kau menyukai Borno" Tidak tahu. Apakah kau ingin melupakan
Borno" Tidak tahu. Tetapi itu jawaban bohong, kenyataannya, itulah yang mati-matian berusaha dia lakukan sepuluh bulan terakhir. Episode hubungan kami
sudah tamat, Madammoiselle, aku hanya akan menyakiti Borno. Jangan dibahas lagi, Madammoiselle. Titik. Maka aku tidak berselera lagi membahasnya. Kami
berdua mengisi hari-hari dengan kesibukan. Aku selalu menemaninya kemana pun, menjadi teman bicara dalam topik apapun, membantunya, mendukungnya."
"Hingga sebulan lalu dia memutuskan untuk menikah. Itu sungguh keputusan yang amat mengejutkan, semua serba cepat, seperti mobil balap berebut menuju garis
finish. Aku bahkan masih seperti setengah bermimpi, apakah dia telah yakin seratus persen atas keputusan itu" Tidak maukah dia menunggu untuk membuatnya
lebih terang benderang. Mei bilang padaku, itu sudah dipikirkannya matang-matang. Dia bersedia menikah."
Ruangan kantin mulai ramai, satu-dua kerabat yang mengantar pasien duduk di meja bundar kosong. Karyawan kantin lewat di dekat meja kami.
"Kapan?" Aku bertanya dengan suara bergetar.
"Minggu depan."
Aku mengeluh dalam. Minggu depan"
"Tetapi kau tidak perlu putus-asa, Borno." Lawan bicaraku tersenyum bersahabat, "Satu minggu lebih dari cukup untuk merubah situasi."
Aku menggeleng, apanya yang bisa kurubah" Bahkan tiga tahun mengenal Mei, tidak ada satupun yang bisa kurubah.
"Baiklah," Madammoiselle mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, "Aku selalu percaya, apapun bisa terjadi dalam urusan perasaan. Aku amat menyayangi Mei,
Borno. Seperti yang berkali-kali kubilang dalam cerita ini, aku teman dekatnya sejak kecil, kami soul-mate, kebahagiaan dia adalah kebahagiaanku. Dan tidak
hanya itu, kesedihan dia adalah kesedihanku. Kau sudah datang jauh-jauh dari Pontianak, meminta penjelasan itu padanya beberapa menit lagi. Ini pertemuan
yang bisa merubah seluruh cerita Borno. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kau bertemu dengannya. Boleh jadi semua akan berbelok arah. Maka,
ijinkanlah aku membantu kau. Karena setelah berpikir lama, setelah mendengar penjelasan Bibi panjang lebar, maka kau sama berhaknya, kau masih punya kesempatan.?"
Lawan bicaraku diam, lantas menjulurkan sepotong kertas yang penuh tulisan tangan.
Tanganku gemetar menerimanya.
"Aku sudah menuliskannya. Semua. Ini daftar hal yang paling disukai dan paling tidak disukai, Mei. Daftar ini pasti akan berguna sekali untuk kau." Lawan
bicaraku menjelaskan. Aku bingung, untuk apa"
"Mana aku tahu," Dia tertawa pelan, getir, "Jika ada yang bertanya, siapa orang yang paling mengenal Mei, maka akulah orangnya. Bukankah sudah kubilang,
aku bisa memberikan kursus tentang Mei. Nah, dengan catatan ini, kau telah kuberikan harta karun pertemanan kami selama belasan tahun, Borno, baca sajalah."
Aku menurut, membaca catatan itu.
"Dia menyukai warna kuning lebih dari apapun."
Lawan bicaraku mengangguk.
"Dia paling suka memberikan hadiah buku. Memilihkan buku terbaik."
Lawan bicaraku mengangkat bahunya, tersenyum.
"Dia tidak menyukai cokelat, apapun bentuk dan jenisnya. Itu mengingatkannya pada Mamanya."
Lawan bicaraku tertawa, "Karena itulah dia reflek menolak hadiah dari kau, mengarang-ngaran alasan demi murid didiknya."
Aku menelan ludah, terus membaca daftar itu hingga selesai. Kertas itu bahkan mendaftar makanan yang mencetuskan alergi Mei, kebiasaan sehari-harinya,
mimpi-mimpinya, pesta pernikahan yang dia cita-citakan, kehidupan keluarga bagaimana yang dia inginkan, semuanya.
"Aku harus pergi, Borno. Sebentar lagi Mei akan datang dengan Oma. Kau akan berkesempatan bertemu dengannya. Sapalah dia dengan baik, bertanya kabar. Mulailah
pembicaraan dengan memuji betapa bagusnya syal yang dia kenakan, itu ada di nomor sembilan, bukan" Kupikir semua sudah kujelaskan. Semua sudah kuberikan.
Selamat tinggal, Borno." Lawan bicaraku berdiri.
Aku patah-patah ikut berdiri. Masih kebas dengan banyak hal.
"Semoga sukses, Kawan." Lawan bicaraku menyalami.
Aku mengangguk, bilang terima-kasih pelan dengan suara bergetar.
Dia beranjak meninggalkan kantin, punggungnya hilang di jalanan depan klinik.
Satu menit senyap. Aku mengeluh, hei, aku lupa bertanya siapa nama calon suami Mei"
Dengan siapa Mei akan menikah" Tidak mungkin itu kutanyakan pada Mei nanti.
Kertas catatan itu masih di tanganku. Aku membalik kertas itu, boleh jadi masih ada catatan dia di baliknya. Mataku membesar, bukankah ini kertas undangan
pernikahan" Dia tidak merobek sembarang kertas untuk menuliskan seluruh daftar, ini sungguhan kertas undangan.
Dan aku terdiam seketika. Jelas sekali tertulis di balik kertas itu: Mei & Adam.
Epilog "MAJU SATU SEPIT LAGI!!" Petugas timer macam rocker kelas kampung berteriak lantang, "WOI, BORNO!! Majulah sepit kau itu."
Jauhari yang antriannya persis di sebelahku, memukul dinding perahu kayuku, ikut mengingatkan.
Aku nyengir, meletakkan buku tebal di samping"tanggung sekali, tinggal dua paragraf, baiklah, aku menarik tuas mesin, kipas propeler berputar cepat, gelembung
air muncrat ke permukaan sungai, sepitku melaju anggun, merapat ke bibir steher.
"Kapan kau ujian akhir, Borno?"
"Minggu depan, Oom."
"Buat apalagi kau belajar" Bukankah kau sudah tahu semua tentang mesin?"
Aku nyengir, tidak menjawab.
"Woi, antri yang benar, Dik. Jangan menyalip." Petugas timer melotot pada tiga anak SMP yang grasa-grusu langsung berdiri di depan. Tiga anak SMP itu nyengir,
saling dorong, kembali ke belakang barisan.
"Di mana bengkel ketiga kau itu, Borno?" Petugas timer kembali menoleh padaku, mengajak ngobrol, sambil menunggu penumpang selesai duduk rapi di sepitku.
"Di dekat perempatan jalan Sudirman, Oom."
"Astaga." Petugas timer menepuk dinding perahu kayu, "Itu jalan paling besar di kota Pontianak, Borno. Maju sekali bisnis kau sekarang". Bukan main, bangga
sekali aku, masih bisa meneriaki pemilik bengkel dari atas dermaga kayu ini."
Aku tertawa, menunjuk deretan papan melintang di perahu yang sudah penuh.
"Nah, Borno. Sepit kau sudah penuh. Jalanlah." Petugas timer mengangguk, berdiri, "WOI, JAU, MAJU SEPIT KAU, jangan kebanyakan mengupil kau."
Aku menekan pedal gas. Sepitku meninggalkan dermaga kayu. Matahari pagi bersinar hangat, payung-payung yang dibawa gadis-gadis di atas sepit terkembang
lebar, membuat meriah pemandangan. Ini pagi yang indah, di kota yang indah, pagi kesekian puluh ribu kali sejak hantu pontianak ditaklukkan.
Aku tersenyum lebar. Sepitku melaju cepat, membelah sungai Kapuas.
*** Setelah semua penjelasan itu, apakah aku menemui Mei"
Jawabannya: "Iya" dan "Tidak".
Setiap hari kita selalu menemukan pertanyaan itu, bukan" Apakah akan berangkat" Apakah akan mendaftar" Apakah akan membeli" Apakah akan tidur lebih cepat"
Apakah akan ini, akan itu. Maka aku memutuskan meneladani petuah bijak Pak Tua. Dalam cerita ini, kebijaksanaan Pak Tua selalu benar. Dan kali ini, Pak
Tua sungguh berkali-kali benar."
*** Epilog "MAJU SATU SEPIT LAGI!!" Petugas timer macam rocker kelas kampung berteriak lantang, "WOI, BORNO!! Majulah sepit kau itu."
Jauhari yang antriannya persis di sebelahku, memukul dinding perahu kayuku, ikut mengingatkan.
Aku nyengir, meletakkan buku tebal di samping"tanggung sekali, tinggal dua paragraf, baiklah, aku menarik tuas mesin, kipas propeler berputar cepat, gelembung
air muncrat ke permukaan sungai, sepitku melaju anggun, merapat ke bibir steher.
"Kapan kau ujian akhir, Borno?"
"Minggu depan, Oom."
"Buat apalagi kau belajar" Bukankah kau sudah tahu semua tentang mesin?"
Aku nyengir, tidak menjawab.
"Woi, antri yang benar, Dik. Jangan menyalip." Petugas timer melotot pada tiga anak SMP yang grasa-grusu langsung berdiri di depan. Tiga anak SMP itu nyengir,
saling dorong, kembali ke belakang barisan.
"Di mana bengkel ketiga kau itu, Borno?" Petugas timer kembali menoleh padaku, mengajak ngobrol, sambil menunggu penumpang selesai duduk rapi di sepitku.
"Di dekat perempatan jalan Sudirman, Oom."
"Astaga." Petugas timer menepuk dinding perahu kayu, "Itu jalan paling besar di kota Pontianak, Borno. Maju sekali bisnis kau sekarang". Bukan main, bangga
sekali aku, masih bisa meneriaki pemilik bengkel dari atas dermaga kayu ini."
Aku tertawa, menunjuk deretan papan melintang di perahu yang sudah penuh.
"Nah, Borno. Sepit kau sudah penuh. Jalanlah." Petugas timer mengangguk, berdiri, "WOI, JAU, MAJU SEPIT KAU, jangan kebanyakan mengupil kau."
Aku menekan pedal gas. Sepitku meninggalkan dermaga kayu. Matahari pagi bersinar hangat, payung-payung yang dibawa gadis-gadis di atas sepit terkembang
lebar, membuat meriah pemandangan. Ini pagi yang indah, di kota yang indah, pagi kesekian puluh ribu kali sejak hantu pontianak ditaklukkan.
Aku tersenyum lebar. Sepitku melaju cepat, membelah sungai Kapuas.
*** Setelah semua penjelasan itu, apakah aku menemui Mei"
Jawabannya: "Iya" dan "Tidak".
Setiap hari kita selalu menemukan pertanyaan itu, bukan" Apakah akan berangkat" Apakah akan mendaftar" Apakah akan membeli" Apakah akan tidur lebih cepat"
Apakah akan ini, akan itu. Maka aku memutuskan meneladani petuah bijak Pak Tua. Dalam cerita ini, kebijaksanaan Pak Tua selalu benar. Dan kali ini, Pak
Tua sungguh berkali-kali benar.
*** Dewi Dua Musim 3 Si Penakluk Dewa Iblis Karya Lovely Dear Kucing Siluman 1