Legenda Yang Hilang 2
Goosebumps - Legenda Yang Hilang Bagian 2
hening. Tak ada suara langkah. Tak ada suara menggeram. Yang
terdengar cuma suara daun yang berdesir-desir karena tertiup angin.
"Tapi bagaimana mungkin dia lari begitu saja?" aku berseru.
"Seharusnya dia kan jadi pemandu kita!"
"Tampaknya dia benar-benar ngotot untuk menangkap tupai
itu," sahut Marissa.
"Tapi - tapi..." aku tergagap-gagap. "Dia tidak bisa pergi begitu saja dan
meninggalkan kita berdua di sini."
Marissa menghela napas. "Nyatanya bisa, tuh."
"Kita harus mencarinya!" seruku. "Ayo. Kita harus jalan terus.
Kita tidak boleh membiarkan dia..."
Marissa menggeleng. "Mana mungkin kita bisa menemukannya,
Justin" Di mana kita harus mulai mencari?"
"Kita bisa melacak jejak kakinya," jawabku. Aku menunduk.
Tanah di dasar hutan tertutup daun-daun kering.
Tak ada jejak sama sekali.
"Kurasa dia lari ke sana tadi," kataku sambil menunjuk ke arah pepohonan.
Marissa menggelengkan kepala. "Menurutku tidak." Ia berdiri tegak. "Dia sudah
kabur, Justin." Aku berbalik dan mencari-cari Luka. Mencari tanda-tanda yang
mungkin bisa menunjukkan di mana dia berada.
"Hei - apa itu?" Marissa tiba-tiba bertanya.
"Hah?" Aku langsung menoleh.
"Itu, di kantong belakang celanamu," katanya seraya menunjuk.
"Apa itu?" Dengan kening berkerut karena heran, aku merogoh kantong
belakang celana jeans-ku - dan menarik secarik kertas yang terlipat-
lipat. Tanganku berkeringat dan menempel pada kertas itu. Tapi aku
segera membuka lipatannya.
"Kelihatannya seperti pesan," aku memberitahu Marissa.
"Hurufnya kecil-kecil."
"Ayo, baca dong!" ia mendesakku.
Pandanganku beralih ke bagian bawah kertas itu. "P-pesan ini
dari Ivanna," aku tergagap-gagap.
"Apa katanya?" Marissa bertanya tidak sabar.
Aku memegang kertas itu dengan kedua tangan dan membaca
pesan yang tertulis keraskeras:
"ANAK-ANAK YANG BAIK,
PASTIKAN BAHWA LUKA SELALU BERSAMA KALIAN
DENGAN BEGITU KALIAN AKAN LULUS UJIAN.
JANGAN SAMPAI KALIAN TERPISAH DARI DIA - ATAU
KALIAN AKAN CELAKA."
Chapter 17 MARISSA dan aku berjalan lambat-lambat kembali ke
lapangan. Rumput bergoyang-goyang tertiup angin. Sepatu bot kami
menginjak-injak buah kenari raksasa yang berserakan di rumput.
Aku masih menggenggam pesan Ivanna. Aku mengamatinya
sekali lagi, sambil berharap aku salah baca tadi. Tapi ternyata tidak.
Akhirnya aku meremasnya dengan kesal dan mencampakkannya ke
semak belukar. Marissa berjalan di sampingku. Sinar matahari sangat terik.
Kami berdua bercucuran keringat.
"Kalau kita menunggu, barangkali Luka akan kembali," ujar Marissa.
"Dia takkan kembali," sahutku lesu. "Dia pasti sudah bermil-mil dari sini, dan
masih mengejar-ngejar tupai itu."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Marissa. "Bagaimana
cara kita bisa lulus ujian?"
Aku mengembuskan napas. "Kita pasti tidak lulus.
Kaubaca sendiri kan apa yang ditulis Ivanna. Kita bakal
celaka." "Hmm, paling tidak kita bisa mencoba," balas Marissa. Ia
melintasi lapangan. Aku mengikutinya.
Kami baru berjalan enam atau tujuh langkah ketika aku
mendengar suara yang mengagetkan. Bunyinya snap, bagaikan pensil
patah. Menyusul suara krak - mula-mula pelan, lalu lebih keras.
Aku berhenti dan langsung berbalik. Semula aku menduga akan
melihat Luka keluar dari hutan.
Tapi yang tampak cuma pohon-pohon tinggi berkulit putih. Tak
ada siapa-siapa. Sekali lagi terdengar bunyi snap. Lalu sekali lagi. Dan sekali
lagi. Dan akhirnya bunyi itu terdengar di mana-mana. Bumi bakal
terbelah! Itulah pikiran pertama yang terlintas dalam benakku. Aku
membayangkan bumi tiba-tiba retak. Sebuah lubang gelap menganga.
Dan Marissa dan aku jatuh ke dalamnya.
Sumur Tanpa Dasar! Seharusnya Dad jangan menceritakan kisah itu padaku.
Marissa mencengkeram pundakku dan menunjuk ke bawah.
"Justin! Lihat, tuh!"
Aku menoleh ke bawah. Tanah di bawah kaki kami tetap padat
dan kokoh seperti semula. Tapi bunyi snap dan krak itu tetap bergema di
sekeliling kami. Semakin keras. Semakin keras.
"Ohh!" Aku memekik tertahan ketika menyadari rumput di
hadapan kami bergerak-gerak.
Aku bahkan bisa merasakannya bergerak-gerak di bawah
kakiku. "Ada apa ini?" Marissa menjerit sambil tetap berpegangan
padaku. "Bunyi itu..."
Suara itu bertambah keras. Kini seakan-akan semua pohon
mendadak terbelah. Rumput di seluruh lapangan bergoyang-goyang dan berayun-
ayun. "B-buah kenari itu!" aku berseru kepada Marissa. "Lihat!
Semuanya membuka!" Aku menutup telinga untuk menghalau bunyi tersebut.
Tanpa berkedip aku menatap buah-buah kenari yang tampak
menari-nari di sekeliling kami. Semuanya mendadak retak. Semuanya
membelah. Ratusan. Bahkan ribuan. Seluruh lapangan sampai ikut
bergetar. Buah-buah kenari pecah berantakan di mana-mana.
Dengan tercengang kami mengamati kejadian itu. Lalu Marissa
dan aku memekik kaget ketika melihat apa yang keluar dari buah-buah kenari itu.
Chapter 18 AKU mengamati buah kenari yang membelah di hadapanku,
dan melihat gigi yang menggerogoti kulitnya dari dalam. Lalu muncul hidung hitam
yang berkedut-kedut. Dan sepasang mata mungil yang
juga berwarna hitam. Makhluk itu merangkak keluar. Aku melihat sepasang kaki
depan yang kecil. Disusul tubuh panjang kelabu.
Dan gigi itu. Mengertak-ngertak. Menyambar-nyambar.
"Tikus!" aku memekik.
"Ratusan!" jerit Marissa.
Semua buah kenari yang berserakan di tanah terbelah. Saking
banyaknya, rumput di lapangan ikut bergoyang dan tanah seakan-akan
bergetar. Aku berdiri seperti patung memperhatikan tikus-tikus menetas
di sekelilingku. Binatang-binatang pengerat itu keluar pelan-pelan, dengan
menyembulkan kepala lebih dulu. Mereka mengendus-endus.
Mencoba gigi mereka yang runcing.
Buah-buah kenari bergerak-gerak. Membelah. Tubuh-tubuh
kelabu menyelinap keluar, terdorong oleh kaki-kaki belakang yang
kurus. "Ternyata bukan kenari - tapi telur!" seru Marissa. "Tapi tikus kan tidak berasal
dari telur!" aku memprotes.
Marissa menoleh ke arahku. Wajahnya berkerut-kerut.
"Rupanya tak ada yang memberitahu tikus-tikus ini!"
Seekor tikus melintasi sepatuku. Puluhan, bahkan ratusan tikus,
berlari kian kemari di rumput yang tinggi, sehingga rumput berdesirdesir seperti
sedang berbisik-bisik. Seekor tikus sekali lagi melewati sepatuku.
"Ayo, kita pergi dari sini!" teriakku kepada Marissa. Aku meraih lengannya dan
menariknya. Tapi saking banyaknya tikus yang berkeliaran di sekeliling
kami, saking banyaknya yang mondar-mandir di depan kaki Marissa
dan aku, kami sama sekali tidak bisa bergerak.
Cicit-cicit melengking membahana ketika makhluk-makhluk itu
mulai bersuara. "Eee eee eee eee!" Bunyi itu terdengar dari segala arah. Semakin
lama semakin keras. Hingga mengalahkan suara
rumput yang berbisik-bisik. Hingga memaksa Marissa dan aku
menutup telinga. "Eee eee eee eee!"
"Kita harus pergi!" aku menjerit.
"Tapi mereka ada di mana-mana!" Marissa memekik. "Kalau kita lari..."
"AUWWWW!" aku berteriak ketika seekor tikus menyusup ke
sepatu bot-ku. Cakarnya yang mungil menembus kaus kakiku dan
menggores-gores kulitku. Aku membungkuk untuk menariknya keluar - dan melihat dua
tikus lagi bergelantungan di celanaku.
"Hei...!" Aku berusaha menepis binatang-binatang pengerat itu.
Tapi akibatnya aku malah kehilangan keseimbangan.
Aku jatuh berlutut. Huh, dasar payah! Tikus-tikus berlari melewati tanganku. Seekor bahkan
memanjat lewat lengan sweterku dan naik ke punggungku.
"Tolooong!" Marissa dan aku menjerit bersamaan.
Aku menoleh dan melihat adikku berdiri membungkuk. Kalang-
kabut ia berusaha menyingkirkan dua ekor tikus dari rambutnya.
Seekor tikus lain sedang menggerogoti bagian bawah sweter
Marissa. Dua ekor lagi sedang memanjat kaki celananya. Dan di
ranselnya pun tikus-tikus bergelantungan.
"Tolooong aku! Ohhh - tolooong!"
Aku berusaha bangkit. Tapi seekor tikus menyelinap ke balik
sweterku. Kurasakan cakarnya yang tajam melintas di dadaku. Tiba-
tiba punggungku serasa seperti disengat.
Apakah mereka menggigitku"
Tikus-tikus melompat ke pundakku. Merangkak di tengkukku.
Mondar-mandir di ranselku.
Aku mengayun-ayunkan tangan untuk mengusir binatang-
binatang itu. Tapi jumlahnya terlalu banyak.
Mereka bercicit-cicit tanpa henti. Mengertak-ngertakkan gigi.
Bergelantungan di bajuku. Di pergelangan tanganku. Di rambutku.
"Tolooong! Tolooong!"
Aku menarik seekor tikus dari telingaku. Serta merta aku
mencampakkannya ke rumput.
Kurasakan segerombolan tikus merayap-rayap di balik
sweterku. Sekali lagi aku seperti digigit. Aku memekik kesakitan dan jatuh
terjerembap - menimpa lebih banyak tikus lagi!
Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengusir tikus-tikus itu. Aku
berusaha menepis semuanya.
Tapi jumlahnya terlalu banyak. Sangat terlalu banyak.
Aku menoleh dan melihat Marissa juga sedang dikeroyok. Ia
berputar-putar sambil menjerit-jerit.
Sebenarnya aku ingin menolongnya. Tapi aku tidak sanggup
berdiri. Seluruh tubuhku terasa gatal.
Tikus-tikus yang bercicit-cicit dan berceloteh tanpa henti itu
membuatku tak mampu berbuat apa-apa. Aku digelitik, dicakar,
digigit - sampai aku tak bisa bergerak, sampai aku tak bisa bernapas.
Chapter 19 "PERGI! Pergi!" aku menjerit dengan suara parau.
Aku menampar wajahku sendiri dan menepis dua tikus yang
menempel di pipiku. Seekor lagi kutarik dari rambutku. Dan satu lagi dari
keningku. Aku menendang-nendang dan mengayun-ayunkan tangan untuk
membebaskan diri dari binatang-binatang menjijikkan itu.
"Aduh!" aku memekik ketika seekor tikus kelabu yang gemuk mencakar telingaku.
Aku mengangkat tangan. Meraih tikus itu. Dan
mencengkeramnya erat-erat.
Tikus itu mengerang tertahan - lalu mendadak lemas di
tanganku. "Hah?" Kurasakan sebuah benda keras menonjol di perutnya.
Aku menepis dua tikus lain, lalu mengamati tikus yang sedang
kupegang. Kutekan tonjolan keras di perutnya yang tadi teraba olehku.
Seketika tikus itu menggeliat-geliut lagi.
Tonjolan itu kutekan kembali. Dan langsung saja tikus itu
kembali diam. "Ada sakelarnya!" aku berseru.
Aku berpaling pada Marissa. Ia telah jatuh berlutut. Lusinan
tikus sedang mengerubunginya. Mereka bergelayutan di sweternya.
Mondar-mandir di atas kepalanya.
"Ada sakelarnya!" aku berseru lagi. "Marissa... tekan tonjolan yang ada di perut
tikus-tikus itu. Mereka bisa dimatikan!"
Aku menarik seekor tikus dari leherku. Begitu kutekan tombol
di perutnya, tikus itu langsung diam.
"Ini bukan tikus sungguhan!" aku bersorak gembira. "Ini cuma tikus mainan! Cuma
mesin!" Marissa berdiri. Dengan panik ia menepis tikus-tikus yang
menempel di bajunya. Menekan perut mereka dan mematikannya.
"Aneh!" ia berseru. "Justin - ini benar-benar aneh!"
"Kita harus pergi dari sini," kataku padanya. "Kita harus mencari Luka."
Marissa melepaskan seekor tikus dari tengkuk dan
mematikannya. "Apakah kita sudah lulus ujian?" ia bertanya. "Apakah kita
berhasil?" "Entahlah," sahutku. Aku mengamati pepohonan di sekeliling lapangan. "Dan aku
juga tidak peduli soal ujian ini. Aku cuma ingin pergi dari sini."
Aku menepis dua tikus lagi dari celanaku sebelum meraih
tangan Marissa. Aku melepaskan seekor tikus dari pundaknya,
mematikannya, dan melemparnya ke rumput.
Setelah itu kami mulai berlari ke arah pepohonan.
Tikus-tikus masih berkeliaran di mana-mana. Suara mereka
bergema di sekeliling kami.
Ketika berlari kami menginjak makhluk-makhluk itu. Tapi kami
tidak peduli. Kami sudah tahu tikus-tikus itu bukan tikus sungguhan.
Kami sudah tahu tikus-tikus itu hanya tikus mainan.
Kami sudah hampir sampai di tepi hutan ketika aku berhenti
mendadak. Aku baru saja dapat ide.
Aku membungkuk dan mulai mengumpulkan tikus-tikus. "Hei,
tunggu sebentar!" seruku pada Marissa.
Tapi ia tidak mendengarku. Ia terus berlari ke arah pepohonan.
"Tunggu! Tunggu sebentar!" aku berseru. Aku meraih sejumlah tikus. Semuanya
kumatikan dan kumasukkan ke dalam ransel.
Tikus-tikus ini bakal berguna untuk menjaili teman-temanku disekolah! aku berkata dalam hati. Tikus-tikus ini sangat mirip tikus sungguhan,
benar-benar tampak hidup. Coba bayangkan, betapa
serunya kalau kulepaskan seekor di ruang kelas Miss Olsen.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku memasukkan delapan atau sembilan tikus lagi, lalu
menutup ransel. Kemudian aku bangkit dan berlari mengejar adikku.
Sambil berlari aku menoleh ke belakang - dan melihat ribuan
tikus berkeliaran di lapangan rumput.
Aku terus berlari, menyusul Marissa ke tempat yang aman di
tengah pohon-pohon berkulit putih.
Aku berlari sekencang mungkin. Tanpa memperhatikan
sekelilingku. Aku ingin secepat mungkin menjauhi lapangan rumput yang
dipenuhi tikus-tikus yang mencicit-cicit itu.
"Marissa - tunggu!" aku memanggil.
Ia sudah jauh di depan, dan masih terus berlari cepat.
"Tunggu aku!" aku berseru.
Sejurus kemudian aku memekik kaget ketika aku menabrak
pohon - tanpa sempat mengurangi kecepatan.
"Aduuuh!" Udara di paru-paruku langsung terdorong keluar. Pandanganku
berkunang-kunang. Aku melihat bintang-bintang merah dan kuning
menari-nari di langit yang putih bersih.
Dengan napas megap-megap, aku berpegangan pada batang
pohon di hadapanku. Tahu-tahu terdengar bunyi berderak.
Keras sekali. Dan begitu dekat.
Pohon itu! Pohon yang kutabrak - pohon itu mulai roboh! "Awas...!" aku berseru pada adikku.
Tapi terlambat. Aku tak dapat berbuat apa-apa ketika pohon besar berkulit putih
itu tumbang di depan mataku.
Marissa masih sempat mengangkat tangan ketika pohon itu
menimpanya. Sedetik kemudian ia telah lenyap dari pandangan.
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 20 "MARISSAAAA!" aku menjerit ngeri. Dengan mata terbelalak
aku menatap tempat adikku berdiri beberapa detik lalu.
Marissa tergeletak di tanah dalam posisi telungkup. Punggung
dan pundaknya tertindih pohon putih yang tumbang itu.
Apakah ia masih bernapas"
Aku tidak bisa memastikannya.
"Marissa...!" aku memanggil dengan suara parau, lalu berlutut di sisinya. "A-
aku...!" Aku mengguncang-guncang tubuhnya.
Ia mengangkat kepala dan menatapku dengan mata terpicing.
"Apa yang terjadi?" Suaranya pelan sekali.
"Kau sakit?" tanyaku.
Ia mengerutkan kening, seakan-akan pertanyaanku perlu
direnungkan dulu. "Tidak. Aku tidak merasakan apa-apa." Ia membalikkan tubuh.
Tangannya terulur ke atas - dan dengan mudah
mendorong batang pohon itu ke samping.
"Hah?" Aku memekik kaget.
Adikku juga kelihatan bingung. "Ternyata pohon ini juga bukan
pohon sungguhan," ia bergumam.
Ia mengulurkan tangan dan menyobek sepotong kulit pohon.
"Tampaknya dibuat dari gips," ia berkomentar. "Coba kauperiksa, Justin."
Dengan gemetar aku menyobek sepotong kulit pohon. Aku
masih kaget karena melihat Marissa tertimpa pohon.
Kulit pohon itu langsung hancur ketika kuremas dengan sebelah
tangan. Berubah menjadi serbuk gips.
Marissa bangkit pelan-pelan. Ia membersihkan debu gips yang
menempel di bajunya. "Pohon ini palsu," ia bergumam.
"Jangan-jangan semua pohon di sini palsu!" seruku. "Jangan-jangan seluruh hutan
ini palsu!" Aku berdiri. Mengambil ancang-ancang. Menjulurkan kedua
tangan lurus ke depan... dan menerjang pohon terdekat.
Pohon itu langsung retak. Aku tercengang menyaksikan pohon
itu roboh, menabrak pohon lain, dan pohon itu pun ikut ambruk.
Serpihan-serpihan gips beterbangan ke segala arah ketika kedua pohon tersebut
terempas ke tanah. "Palsu. Semuanya palsu!" ujar Marissa. Ia mengembangkan
senyum. "Wah, asyik juga, nih."
Ia mengambil ancang-ancang dan menerjang pohon yang
berdiri agak terpisah. "Jangan! Jangan yang itu!" aku memekik.
Tapi Marissa tidak sempat berhenti atau mengelak.
Pundaknya menghantam pohon itu. "Yeah!" Ia mengacungkan
kedua kepalan tangannya ketika pohon itu tumbang.
Tapi kegembiraannya tidak bertahan lama.
Ketika pohon itu jatuh, aku mendengar bunyi kepak sayap.
Dan dengan mata terbelalak karena ngeri aku melihat sosok-
sosok gelap beterbangan dari dahan-dahan pohon.
Aku memang sudah melihat kawanan kelelawar itu. Lusinan
kelelawar hitam. Semuanya bergelantungan dalam posisi terbalik dari dahan-dahan
pohon. Aku sudah melihat binatang-binatang itu. Tapi aku terlambat
memperingatkan Marissa. Dan sekarang kelelawar-kelelawar itu beterbangan kian kemari,
sambil berceloteh dengan marah karena tidur mereka terganggu.
Makhluk-makhluk menyeramkan itu mendesis-desis sambil
terbang mengelilingi kami. Sayap mereka berkepak-kepak,
mengembuskan angin ke tubuhku.
Mereka berputar dan berputar. Semakin lama semakin cepat.
"Paling-paling mereka juga palsu," ujar Marissa. Tapi nada suaranya sama sekali
tidak yakin. "Ra-rasanya sih tidak," aku tergagap-gagap, ketika beberapa kelelawar menukik,
siap menghabisi kami. Chapter 21 MARISSA dan aku langsung merunduk ketika kawanan
kelelawar itu mulai menyambar-nyambar.
Aku memejamkan mata dan melindungi kepala dengan kedua
tangan. Lalu aku menunggu. Bunyi boom yang menggelegar terdengar di sela-sela cicit
kelelawar yang melengking tinggi.
Tanah bergetar. Guntur" Bunyi itu terdengar lagi, mula-mula pelan, kemudian keras
bagaikan ledakan. Aku menoleh dan melihat pohon-pohon putih terguncang-
guncang dengan hebat. Kawanan kelelawar segera membisu. Binatang-binatang itu
merentangkan sayap lebar-lebar.
Bunyi boom berikutnya membuat mereka terbang tinggi ke
angkasa. Aku memperhatikan kelelawar-kelelawar terbang menanjak,
melewati puncak pohon-pohon. Semakin lama semakin tinggi, sampai
akhirnya hampir tak terlihat lagi.
Marissa menarik napas lega. "Kita selamat." Perlahan-lahan ia menegakkan badan.
"Tapi suara apa itu?" tanyaku sambil pasang telinga.
Sekali lagi terdengar bunyi boom. Kali ini lebih dekat.
Salah satu pohon bergetar, lalu tumbang dan menghantam
tanah. "Pasti bukan guntur," Marissa berkata pelan-pelan. Ia menunjuk langit yang biru
cerah. "Tidak ada awan sama sekali."
Boom. Semakin dekat. "A-aku tidak tahu suara apa itu," aku tergagap-gagap.
Marissa berpaling padaku. Pohon-pohon kembali terguncang
keras. "Langkah kaki," aku bergumam. "Itu pasti bunyi langkah kaki.
Dan agaknya menuju kemari."
Marissa melongo mendengar kata-kataku. "Justin - kenapa sih
kau berkhayal terus?"
"Aku serius," ujarku. "Itu memang bunyi langkah kaki."
Adikku menatapku, matanya menyipit. "Yang benar saja!
Makhluk apa yang suara langkahnya sekeras ini" Paling tidak..." Ia terdiam.
Sekali lagi terdengar bunyi boom yang membuat segala sesuatu
bergetar. Daya khayalku langsung beraksi. Aku tak sanggup
menghalaunya. Aku membayangkan seekor dinosaurus. Seekor
Tyrannosaurus rex yang berjalan di antara pohon-pohon. Atau
mungkin dinosaurus gemuk dengan leher panjang dan kurus.
Booom. Booom. Atau jangan-jangan malah dua dinosaurus!
"Apa pun yang menghas ilkan suara itu, dia semakin dekat,"
bisik Marissa. Ia menggelengkan kepala. "Ivanna memang sudah
bilang bahwa ini ujian bertahan hidup, tapi...!"
Sejauh ini, yang teruji cuma kemampuan kami untuk berlari!
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak berminat menunggu di sini
sampai makhluk raksasa itu muncul.
Ketika Marissa dan aku berbalik dan berlari ke arah
berlawanan, sebuah bayangan mendadak menyelubungi kami.
Aku memandang ke atas untuk melihat apakah matahari
tertutup awan. Tapi ternyata tidak ada awan sama sekali.
Itu bayangan makhluk yang datang dari belakang dan setiap
detik bertambah dekat. Aku mendengar pohon-pohon patah karena terinjak. Tanah
bergetar setiap kali makhluk itu melangkah.
Ya ampun, seberapa besar sih makhluk itu"
Aku menoleh ke belakang - tapi hanya melihat pohon-pohon
yang bergetar. Boooom. Boooom. Lututku ikut gemetar ketika tanah yang kuinjak terguncang
keras. Marissa dan aku berlari berdampingan. Secepat mungkin kami
menyelinap di antara pohon-pohon. Kami berdua terengah-engah.
Tapi kami tidak berhasil menjauhi bayangan itu. Meskipun
kami berlari dengan sekuat tenaga, bayangan tersebut tetap melayang-layang di
atas kami, dingin dan gelap.
Boooom. Boooom. Begitu dekat sekarang. Setiap kali bunyi itu terdengar, aku
terpental ke udara. Jantungku berdegup kencang. Pelipisku berdenyut-denyut.
Marissa dan aku memaksakan diri untuk terus berlari. Kami
ingin meloloskan diri, ingin terlepas dari bayangan gelap yang seakan-akan
hendak menelan kami. Kami berlari hingga kami tiba di sungai yang lebar.
Marissa dan aku berhenti selangkah dari tepi sungai yang
berlumpur, dan menatap air biru yang mengalir deras.
"Sekarang bagaimana?" ujarku tersengal-sengal. "Sekarang bagaimana?"
Bayangan yang mengikuti kami semakin gelap. Makhluk itu
semakin dekat. Marissa menarik-narik lengan sweterku. "Lihat, tuh. Dasar
sungainya kelihatan. Berarti airnya tidak dalam. Barangkali kita bisa jalan kaki
ke seberang. Atau berenang, kalau perlu."
Booom.Booom. Bayangan itu bertambah pekat.
"Ayo!" seruku. Tanpa pikir panjang kami melangkah ke air yang dingin dan
bening. Chapter 22 ARUS sungai ternyata lebih deras dari yang kuduga. Aku
menjejakkan kaki di dasar sungai yang lembek berlumpur - dan nyaris
kehilangan keseimbangan karena dorongan arus.
Aku sampai harus berpegangan pada pundak Marissa supaya
tidak jatuh. Sejenak kami cuma berdiri sambil saling menopang.
"Ihhh." Aku menggigil. Airnya dingin bagaikan es.
Tapi ternyata sungai itu memang dangkal, seperti dikatakan
Marissa. Airnya tak sampai ke lututku.
Aku maju selangkah sambil mencondongkan badan ke depan
untuk menghadapi arus sungai yang deras.
Satu langkah lagi. Kami sudah sampai di tengah sungai.
"Ohh...!" aku memekik ketika sadar aku tidak bisa mengangkat kaki untuk
melangkah. "Hei...!" Marissa berseru. Kulihat ia menghadapi kesulitan yang sama. "Kakiku
tersangkut!" "Dasar sungainya terlalu lembek!" sahutku. Aku berusaha keras melepaskan kakiku
dari cengkeraman lumpur. Tapi sia-sia. Sepatu bot-ku telah terbenam dalam-dalam.
Aku membungkuk. Dan menarik kakiku ke atas. Percuma.
Kakiku tidak terangkat sedikit pun. Aduh.
"K-kita tenggelam!" Marissa meraung. "Justin - lihat! Kita tenggelam."
Aku menelan ludah. Ia benar. Aku pun seperti diisap ke bawah.
Masuk ke dalam air yang dingin, masuk ke lumpur yang lembek dan
lengket. Airnya sudah mencapai lututku sekarang. Dan tampaknya terus
bertambah tinggi. Tapi aku tahu bukan airnya yang naik. Akulah yang sedang
merosot. "Copot sepatumu dan berenang ke seberang!" aku berseru
kepada Marissa. Kami membungkuk dan berusaha meraih sepatu bot masing-
masing. Tapi sepatu kami telah terbenam terlalu dalam.
Dalam sekejap saja airnya sudah melewati pinggangku. Kalau
terus begini, dalam beberapa menit aku bakal tenggelam.
Booom. Booom. Langkah yang berdebam-debam itu menimbulkan riak di
permukaan air. Bayangan gelap tadi mulai menyelubungi sungai. "Justin -
lihat!" Marissa memekik. Ia menunjuk ke tepi seberang.
Aku menoleh. Tepi sungai itu begitu dekat - tapi sekaligus
begitu jauh. Aku memicingkan mata agar dapat melihat apa yang ditunjuk
Marissa. "Ada apa, sih?" seruku.
"Ada sumbat besar," Marissa menjelaskan "Di dasar sungai.
Seperti sumbat bak mandi. Ini bukan sungai sungguhan. Ini cuma
sungai buatan." "Tapi airnya asli!" balasku. Aku terbenam semakin dalam. "Kau bisa meraih sumbat
itu, Marissa" Kalau kau bisa mencabutnya,
mungkin airnya akan terisap semua."
Marissa membungkuk. Ia mengulurkan kedua tangan agar dapat
meraih gelang logam di bagian atas sumbat. "Sedikit lagi... sedikit lagi..." ia
mengerang. "Kalau saja..."
Booom. Booom. Marissa mendesah. "Aku tidak bisa meraihnya. Tanganku tidak
sampai. Jaraknya terlalu jauh."
Air sungai yang dingin sudah sampai di dadaku. Aku terperosok
semakin dalam ke dasar sungai yang berlumpur.
"Kayaknya kita tidak jadi lulus ujian," aku bergumam.
"Aku tidak mau tenggelam!" Marissa meraung-raung. Ia
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memukul-mukul air dengan kedua tangan sambil memutar-mutar
badan. Bayangan gelap itu telah menutupi kami.
Aku menoleh dan memandang ke tepi.
Aku melihat makhluk-makhluk yang sedang menghampiri
kami. Dan aku menjerit sejadi-jadinya.
Chapter 23 AWALNYA kusangka aku melihat awan-awan gelap yang
melayang rendah di atas pohon-pohon.
Tapi kemudian aku sadar awan tidak mungkin segelap itu.
Sosok-sosok itu terlalu gelap dan juga terlalu pekat.
Setelah itu aku melihat dua pasang mata berwarna kuning.
Lalu aku mengenali bentuk kepala-kepala yang tampak di
hadapanku. Dan barulah aku sadar aku sedang menatap kucing.
Kucing! Kucing-kucing hitam. Kepala mereka berada jauh di atas
puncak pohon-pohon. Ekor mereka menjulang tinggi bagaikan asap
dari cerobong asap. Dua kucing hitam berukuran raksasa. Tanah dan pohon-pohon
bergetar setiap kali mereka menjejakkan kaki. Kedua kucing itu
menatap Marissa dan aku dengan mata mereka yang kuning.
"Kucing palsu!" Marissa bergumam. "Pasti bukan kucing sungguhan... pasti bukan."
Ia sudah berhenti memukul-mukul air, dan menatap kedua makhluk raksasa itu. Ia
berdiri kaku seperti patung.
Pohon-pohon berderak-derak dan bertumbangan. Kedua kucing
itu semakin dekat ke tepi sungai.
"Jangaaan..." Marissa meratap.
Napasku terengah-engah. Dadaku terasa sesak. Kepalaku seperti
berputar-putar. Kedua kucing itu menyeringai sambil mendesis-desis.
Aku melihat deretan gigi runcing. Kedua kucing itu menatap
kami sambil memicingkan mata.
Sambil mendesis, mereka menyentakkan kepala dan
melengkungkan punggung. Bulu-bulu hitam di punggung mereka
berdiri tegak. "M-mau apa mereka?" Marissa tergagap-gagap. Aku membuka
mulut untuk menjawab, tapi suaraku tidak mau keluar.
Pundakku sudah terbenam air. Aku mengangkat tangan dari air
dan berusaha tidak tenggelam lebih dalam lagi.
"Justin - mau apa mereka?" tanya Marissa lagi, suaranya
melengking tinggi. Kami tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui
jawabannya. Sebelum Marissa dan aku sempat berteriak, kepala kedua
kucing itu telah menyambar ke arah kami. Keduanya membuka mulut
lebar-lebar. Aku membalik dan menggeliat-geliut untuk membebaskan diri.
Tapi aku tidak bisa bergerak. Wajahku terkena percikan air.
Kemudian kurasakan gigi-gigi runcing mencengkeram punggung
sweterku. Aku megap-megap, berusaha menarik napas. Kurasakan
tubuhku terangkat. Sepatu bot-ku berbunyi plop ketika tertarik keluar dari
lumpur. Embusan napas yang panas menerpa tengkuk dan bagian
belakang kepalaku. Gigi-gigi itu mencengkeramku kuat-kuat, dan
menarikku keluar dari sungai.
"Ohhh!" Akhirnya suaraku keluar juga.
Kucing itu mengangkatku tinggi-tinggi.
Tangan dan kakiku menggapai-gapai. Kucing itu menggerak-
gerakkan kepala, sehingga aku terlempar ke kiri-kanan.
"Tolooong! Ohhh, tolong!" terdengar adikku memekik. Aku
menoleh dan melihat Marissa diangkat oleh kucing yang satu lagi.
Kucing itu pun menggigit punggung sweter adikku dan
mengangkatnya tinggi-tinggi.
Aku hendak memanggilnya. Tapi embusan napas yang panas
membuatku nyaris tak bisa bernapas.
Aku terangkat lebih tinggi lagi ketika kucing itu berdiri dengan
kedua kaki belakangnya. Sebelah cakarnya menampar-namparku
dengan keras. Cakarnya yang satu lagi memukul-mukul dari arah
berlawanan. Jangan-jangan aku disangka mainan" kataku dalam hati.
Aku tidak sempat memikirkannya.
Kepalaku serasa berputar-putar karena kucing itu terus
mempermainkanku. Kemudian, tiba-tiba saja, aku diturunkan lagi.
Kucing itu membuka mulut.
Dan aku pun terjatuh. Ke sungai" Bukan. Aku terempas di tepinya. Saking kerasnya, aku sampai
terpental lagi. Sakitnya bukan main.
Aku memaksakan diri untuk bangkit, tanpa menghiraukan rasa
sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku. Jantungku berdegup kencang
dan seluruh tubuhku gemetaran ketika aku berusaha lari.
Tapi kucing itu kembali memungutku, dan kali ini pundakku
yang sebelah kanan yang dijepitnya.
Ketika aku terangkat ke atas, kulihat Marissa melayang jatuh.
Aku mendengarnya memekik ketika ia terempas ke tanah. Lalu kulihat
kucing hitam itu merundukkan kepala, membuka mulut, dan kembali
mengangkat Marissa. Naik - lalu turun. Sekali lagi aku mendarat di tepi sungai. Aku
megap-megap dan berusaha bangkit. Tapi sebelum aku sempat
bergerak, aku sudah diangkat lagi dan kembali melayang-layang di
atas air. Kami berdua menggelantung di atas air sungai. Setelah itu,
untuk kesekian kalinya, kami dijatuhkan ke tanah.
"Aduh!" Tanpa dapat berbuat apa-apa, aku menyaksikan kucing raksasa itu merunduk
kembali untuk mengangkatku.
"Mau apa mereka sebenarnya?" jerit Marissa. "Kenapa mereka bertingkah seperti
ini?" "Aku tahu sebabnya. Kucing kan selalu bertingkah begini!"
seruku sambil merinding karena ngeri. "Kucing selalu bermain-main dulu dengan
makanan mereka!" Chapter 24 "AHHHHH!" Perutku serasa diaduk-aduk ketika aku diangkat lagi. Kucing
raksasa itu kembali menamparku dan membuatku terayun-ayun tak
terkendali. "K-kita mau dimakan?" Marissa memekik. "Mereka pasti menganggap kita tikus!"
sahutku. Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
Kucing itu menyentakkan kepala, dan aku pun berjumpalitan di
udara. Lalu aku ditangkap dengan kedua cakarnya yang besar. Kedua
cakar itu menekanku, begitu keras, hingga aku takut kepalaku copot!
Tapi ide yang baru muncul dalam benakku memberi harapan
baru padaku. Apakah masih ada waktu" aku bertanya-tanya. Apakah aku
sempat melakukannya - sebelum aku ditelan bulat-bulat oleh kucing
ini" Kucing itu kembali melemparku, kemudian menangkapku
dengan giginya. Rasa sakit menjalar di punggungku. Seluruh tubuhku
seakan-akan remuk. Sambil mengerang aku berusaha membalikkan badan. Aku
mengulurkan tangan ke belakang dan mencoba meraih ranselku.
Kalau ritsletingnya bisa kubuka, kataku dalam hati, mungkin
aku bisa mengambil tikus-tikus mainan yang kumasukkan tadi. Dan
mungkin aku bisa menghidupkan satu atau dua ekor. Dan mungkin
tikus-tikus itu bisa menarik perhatian kedua kucing. Dan mungkin
Marissa dan aku bisa meloloskan diri.
Mungkin, mungkin, mungkin.
Tapi aku harus mencoba. Kalau tidak, dalam beberapa. detik
Marissa dan aku bakal jadi pengganjal perut kucing.
Lidah kucing itu menjilat-jilat tengkukku. Aku memekik
kesakitan. Lidah itu kasar bagaikan ampelas! Embusan napas panas
menyengat kulitku. Aku mencengkeram ranselku dengan sebelah tangan, dan
menariknya ke depan. Tapi kucing itu membuka mulut. Lidahnya yang kasar
mendorongku dari belakang. Dan aku kembali terempas di tanah.
Aku mendarat dalam posisi berlutut. Untuk kesekian kali rasa
sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Rasanya tak ada tulang di tubuhku yang tidak
patah. Tapi aku tahu aku tidak boleh menyerah.
Kucing itu membungkuk di atasku. Setiap tarikan napasnya
diiringi bunyi mendesis. Matanya yang kuning memancarkan rasa
lapar. Tanpa memedulikan tubuhku yang babak-belur, aku meraih
ransel. Kulepaskan talinya dari pundakku, lalu kutarik ke depan dan kugenggam
erat-erat dengan kedua tangan.
"Cepat keluarkan tikus-tikus itu," aku bergumam. "Kucing ini butuh mainan baru."
Tapi tanganku bergetar begitu keras sehingga aku tidak bisa
membuka ritsleting ransel.
"Aduuuh!" aku berteriak kesal - tepat ketika kucing itu kembali mengayunkan
cakarnya. Aku berusaha memanggil Marissa. Aku ingin memberitahunya
bahwa aku punya rencana, bahwa masih ada harapan.
Jauh di atas permukaan tanah aku menggenggam ransel dengan
tangan kanan. Dan berusaha menarik ritsletingnya dengan tangan kiri.
Moga-moga berhasil! aku berdoa dalam hati. Moga-moga tikus-
tikusnya bisa kukeluarkan. Moga-moga bisa kuhidupkan.
"Ini satu-satunya kesempatanku," gumamku sambil menarik-
narik ritsleting ransel. "Satu-satunya kesempatan..."
Embusan napas panas membuatku merinding. Sekali lagi aku
merasakan sapuan lidah yang kering dan kasar di tengkukku.
"Yessss!" aku bersorak ketika aku akhirnya berhasil membuka ransel itu.
"Yessss!" Penuh semangat aku merogoh isinya. Meraba-raba makhluk-
makhluk berbulu yang ada di dalamnya.
Berusaha meraih salah satu....
Tapi kucing itu kembali mengayunkan kepala, dan aku pun
kembali terlempar ke udara.
"Ahhhh!" aku menjerit ketika ranselku terlepas dari
genggamanku. "Ahhhh!" Kalang-kabut aku berusaha menangkapnya. Aku
menjulurkan kedua tangan. Tapi meleset. Lalu aku berusaha
mengaitnya dengan sebelah kaki.
"Ahhhh!" Aku menyaksikan ranselku jatuh ke tanah.
Ransel itu terpental satu kali. Dua kali. Lalu tergeletak di tepi
sungai. Kucing itu menangkapku dengan giginya. Kurasakan ujung
giginya yang runcing menekan kulitku.
Kemudian rahangnya membuka lagi. Dan aku mulai meluncur.
Meluncur melewati lidah yang kasar. Meluncur ke dalam mulut yang
terbuka lebar bagaikan gua.
"Sori, Marissa," aku bergumam dengan panik. "Tamatlah riwayat kita."
Chapter 25 DUNIA luar berangsur-angsur hilang dari pandanganku ketika
aku meluncur masuk dalam posisi telungkup. Cepat-cepat aku
menjulurkan tangan. Aku berpegangan pada dua gigi taring sebelah bawah. Gigi-gigi
itu terasa hangat dan lengket di tanganku.
Aku mengerahkan segenap tenaga untuk menarik tubuhku ke
atas. Kemudian aku merangkak menyusuri lidah yang kasar. Dalam
sekejap saja kepalaku sudah menyembul dari mulut kucing itu.
Aku mencari-cari Marissa, tapi aku tak bisa melihatnya.
Jangan-jangan ia sudah ditelan"
Lidah kucing itu bergerak-gerak di bawahku. Kucing itu
memaksaku masuk ke kerongkongannya.
Tapi aku tetap berpegangan pada kedua gigi taring. Dan
menatap permukaan tanah yang berada jauh di bawahku.
Dengan mata terbelalak kulihat tiga tikus keluar dari ranselku.
Rupanya tikus-tikus itu menyala sendiri ketika ranselku
terempas ke tanah! Apakah kedua kucing akan melihat tikus-tikus itu" Dan apakah
mereka akan terkecoh"
Kucing itu mengertak-ngertakkan gigi. Aku memekik kesakitan,
dan melepaskan gigi taring yang kupegang.
Lidah di bawahku kembali bergerak-gerak. Dan aku kembali
meluncur masuk. Kucing itu menutup mulutnya, dan aku mendadak diselubungi
kegelapan. "Ohhh!" Keadaannya begitu panas dan lembap. Aku nyaris tak dapat
bernapas. Terdengar bunyi berdeguk-deguk dari perut kucing yang berada
jauh di bawah. "Jangan!" aku memekik. "Jangan jangan jangan jangan!"
Suaraku terdengar lemah di dalam mulut kucing itu.
Dan tiba-tiba, di luar dugaan, sinar matahari menerpa diriku
ketika kucing itu kembali membuka mulut.
Lidahnya mendorongku ke depan. Melewati deretan gigi.
Melewati bibir. Aku menghirup udara yang sejuk dan segar.
Dan sedetik kemudian aku terlempar dari mulut kucing itu.
Aku terempas ke tanah dan jatuh di samping Marissa. Ia
menatapku dengan mata terbelalak. Rambutnya yang merah tampak
basah dan melekat di keningnya.
Cepat-cepat kami berdiri - dan melihat kedua kucing raksasa itu
melompat. Keduanya berusaha menangkap tikus mainan yang sama.
Sambil mendesis-desis dan saling cakar, mereka
memperebutkan tikus itu. "Ayo, Marissa, kita pergi!" seruku dengan susah payah.
Ia tercengang menyaksikan kedua kucing raksasa itu berkelahi
sampai berguling-guling, terperosok ke sungai, dan melompat keluar
lagi. "Ayo! Cepat!" aku berseru lagi. Aku menyeret Marissa. "Kalau mereka sadar tikus-
tikus itu cuma mainan, mereka pasti akan
mengejar kita lagi."
"Memangnya kucing-kucing itu kucing sungguhan?" Marissa
bertanya tanpa mengalihkan pandangan. "Memangnya mereka kucing asli" Bukan
kucing palsu?" "Apa bedanya!" aku memekik. "Pokoknya kita harus segera kabur dari sini!"
Sekali lagi kami berlari menerobos hutan. Aku tidak tahu ke
arah mana kami berlari. Dan aku juga tidak peduli. Aku cuma ingin
secepat mungkin menjauhi kedua kucing mengerikan itu.
Bajuku basah dan lengket oleh ludah kucing. Tapi udara yang
sejuk dan segar terasa nyaman di kulitku, dan tak lama kemudian
bajuku sudah kering kembali.
Bayangan kami mendahului kami, seakan-akan hendak
menunjukkan jalan. Aku mendengar suara-suara binatang yang
menyerupai tawa melengking. Dan bunyi kepak sayap di atas pohon-
pohon. Tapi Marissa dan aku tidak menghiraukan semua bunyi itu.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami terus berlari, menerobos semak-semak dan alang-alang,
membuka jalan bagi kami. Kami tidak mengucapkan sepatah kata pun. Saling lirik pun
tidak. Kami berlari berdampingan dan saling membantu agar bisa
menerobos hutan yang lebat.
Dengan terengah-engah kami tiba di sebuah lapangan rumput.
Kupu-kupu berwarna putih dan kuning tampak beterbangan.
"Marissa - lihat!" aku memekik sambil menunjuk ke seberang
lapangan. Sebuah pondok kecil berdiri di tepi hutan. Sebuah pondok yang
sangat akrab di mata kami.
"Itu pondok milik Ivanna!" seru Marissa gembira. "Justin - kita berhasil! Kita
sudah kembali!" Aku menarik napas dalam-dalam dan berlari melintasi rumput.
Marissa menyusul tepat di belakangku.
"Ivanna! Ivanna!" Kami memanggil namanya sambil berlari
menghampiri pondok. Ia tidak keluar. Karena itu aku meraih pintu dan membukanya.
"Ivanna - kami sudah kembali!" seruku gembira. Aku segera
memandang berkeliling sambil menunggu mataku terbiasa dengan
cahaya yang remang-remang.
Marissa mendorongku ke samping ketika ia menyerbu masuk.
"Kami selamat!" ia mengumumkan. "Ivanna - apakah ujiannya sudah selesai" Apakah
kami lulus" Justin dan aku..."
Kami melihat Ivanna duduk di meja kecil yang terbuat dari
kayu. Ia duduk membungkuk, dengan kepala tersandar di meja.
Helmnya yang bertanduk telah dibuka dan kini tergeletak di
atas meja. Rambut pirangnya yang semula dikepang kini terurai acak-
acakan. "Ivanna" Ivanna?" aku memanggil. Aku berpaling kepada
adikku. "Kelihatannya dia lagi tidur."
"Ivanna!" seru Marissa. "Kami sudah kembali!" Wanita itu tidak bergerak sedikit
pun. Aku mendengar rintihan dari bagian belakang ruangan. Aku
memicingkan mata, dan melihat Silverdog terbaring di tempat gelap.
Anjing itu merapat ke dinding dengan kepala menggeletak di lantai, di antara
kedua kaki depannya. Sekali lagi ia merintih.
"Justin - ada yang tidak beres, nih," Marissa berbisik.
"Ivanna! Ivanna!" aku memanggil lagi. Tapi ia tetap tidak bergerak.
Silverdog merintih-rintih dengan sedih.
"Apakah dia tidur?" tanya Marissa. "Ada apa sih dengan dia?"
"Coba kita lihat," aku bergumam.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan melintasi dapur.
Marissa mengamati sambil menempelkan tangan ke pipi. Ia tidak
beranjak dari tempatnya. Aku sudah hampir sampai di meja kayu ketika aku berhenti
mendadak. "A-ada apa?" Marissa tergagap-gagap.
"Ada sesuatu yang menancap di punggungnya!" kataku dengan suara parau.
Chapter 26 "HAH?" Marissa tercengang ngeri. "Benda apa itu, Justin?"
Aku menelan ludah. Lututku mulai gemetaran. Aku
berpegangan pada punggung salah satu kursi. "Lihat itu," kataku seraya menunjuk.
Ia maju beberapa langkah. Matanya terbelalak lebar karena
takut. Kami menatap benda logam yang menyembul dari bagian
belakang baju Ivanna. Sebuah kunci besar yang terbuat dari logam.
Dengan mengerahkan segenap keberanian, aku berjalan ke
belakang Ivanna. Jantungku serasa mau copot ketika aku
membungkuk dan memeriksa kunci besar itu.
"I-ini kunci untuk memutar pegas!" aku tergagap-gagap.
Marissa membuka mulut, seakan-akan hendak bicara. Tapi ia
tak sanggup berkata apa-apa.
Aku memutar kunci itu satu kali.
Kepala Ivanna terangkat sejenak, lalu kembali jatuh ke meja.
"Ya. Ini kunc i untuk memutar pegas," aku memberitahu adikku.
Kedua tangan Ivanna menggantung lemas di sisi tubuhnya. Aku
membungkuk dan meraih salah satu.
Tangannya empuk seperti karet busa. Seakan-akan berisi kapuk.
Kulepaskan tangannya dan kembali berpaling pada Marissa.
"Ivanna bukan manusia," ujarku pelan. Sekali lagi aku menelan ludah.
"Dia semacam boneka. Dia bukan manusia sungguhan!"
"Kalau begitu, apa dong yang sungguhan di sini?" bisik
Marissa, hampir tak terdengar. "Ini sangat menyeramkan, Justin.
Apakah ini juga bagian dari ujian" Bagaimana cara kita meninggalkan tempat ini"
Bagaimana cara kita menemukan Dad" Kalau Ivanna juga
cuma boneka, siapa yang benar-benar manusia di sini?"
Aku menggelengkan kepala. Aku tak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Aku sama ngerinya dengan adikku.
Pandanganku beralih pada Silverdog yang masih berbaring di
pojok. Anjing itu menutupi kepala dengan kedua kaki depannya. Ia
merintih tanpa henti. Lalu, tiba-tiba saja, ia menegakkan telinga. Ia mengangkat
kepala, dan matanya tampak bersinar-sinar. .
Di belakangku terdengar suara menggeram. Suara itu berasal
dari arah pintu. "Hei...!" Serta-merta aku membalik.
Pintu pondok terbuka - dan sesosok makhluk yang menggeram-
geram menyerbu masuk. Luka! Ia menatap Marissa dan aku seakan-akan kelaparan, lalu
mengembangkan senyum. "Jangan!" Marissa memekik sambil menjauhinya. Luka
menyibakkan rambutnya yang panjang. Ia membuka mulut dan
melolong panjang. Kemudian ia melompat ke tengah ruangan. "Luka - berhenti!"
aku memohon. "Jangan serang kami!"
Chapter 27 SENYUM di wajah Luka mendadak lenyap. Ia menurunkan
tangan, dan mengamatiku sambil memicingkan matanya yang gelap.
"Aku takkan menyakiti kalian," ia berkata lembut. Marissa dan aku menatapnya
kaget. "K-kau bisa bicara?" aku tergagap-gagap.
Ia mengangguk. "Ya. Aku bisa bicara. Dan hal pertama yang
ingin kukatakan adalah, selamat!" Ia kembali tersenyum.
Ia melintasi ruangan dengan berjalan tegak seperti manusia. Ia
menyalami Marissa, lalu aku. "Selamat untuk kalian berdua," Luka berkata dengan
ramah. "Kalian telah lulus ujian."
"Tapi - tapi..." Sekarang justru aku yang mendadak tidak bisa bicara.
Luka mencabut bulu-bulu dari tangannya. Lalu ia melepaskan
bulu-bulu dari lehernya. "Syukurlah semuanya sudah bisa dibuka sekarang,"
katanya. "Penyamaran ini benar-benar bikin gatal -
terutama kalau kita harus berlari menerobos hutan seperti orang gila."
"Aku benar-benar bingung," aku mengakui.
Marissa mengangguk-angguk. "Ivanna bukan manusia," ia
bergumam. Ia menunjuk ke arah Ivanna, yang duduk membungkuk di
meja di belakang kami. Luka menggelengkan kepala. "Memang, dia cuma boneka. Aku
sendiri yang membuatnya. Sama halnya dengan semua makhluk yang
sempat kalian temui di Hutan Fantasi."
"Tapi - kenapa?" tanyaku. "Kenapa kau membuat semua ini?"
"Sebagai ujian," sahut Luka pendek. Ia melangkah ke belakang Ivanna dan
menariknya sampai duduk tegak. Dirapikannya rambut
boneka itu, dan dipasangnya helmnya.
"Begitu banyak orang yang datang ke hutan ini," Luka
menjelaskan sambil berpaling ke arah Marissa dan aku. "Semuanya ingin mencari
harta. Sama seperti kalian.
"Keluargaku sudah ratusan tahun tinggal di hutan ini," ia melanjutkan. "Telah
menjadi tugas kami untuk menjaga sebagian
harta yang ada di sini. Karena itu kami membuat hutan ujian, untuk
menghalau orang-orang yang tidak memenuhi syarat. Untuk
menghalau orang-orang yang tidak patut memperoleh harta luar biasa
yang terpendam di sini."
"Kalian membuat seluruh hutan ini?" tanya Marissa.
Luka menggeleng. "Tidak semuanya. Sebagian memang hutan
sungguhan." "Dan apa yang membuat kami bisa lulus ujian?" tanyaku.
"Kalian berhasil menentukan mana yang asli dan mana yang
bukan," sahut Luka. "Dan kalian berhasil lolos dari semua rintangan yang tidak
asli." Marissa mengamati Ivanna. Boneka itu membalas tatapannya
dengan mata redup. "Untuk apa kau membuat Ivanna?" ia bertanya.
Luka tersenyum bangga. "Dialah ciptaanku yang paling
berhasil. Berkat Ivanna, tak seorang pun menduga bahwa akulah yang
pegang kendali di sini. Tak ada yang percaya bahwa manusia serigala mengatur
Hutan Fantasi. Karena itu aku lebih mudah mengawasi
semuanya dan memantau bagaimana mereka mengikuti ujianku."
Semuanya terasa serba misterius bagiku. Tapi aku terlalu
gembira untuk berdebat dengan Luka.
"Dan sekarang aku akan menyerahkan harta yang kalian cari,"
Luka mengumumkan. Ia langsung berbalik dan menghilang ke
belakang ruangan. Marissa dan aku berpandangan. "Wah, ini dia!" aku berbisik.
"Kita akan diberi peti perak berisi Legenda yang Hilang! Dad pasti bakal
terkagum-kagum!" "Kita akan kaya dan terkenal!" Marissa berseru. "Dan Dad takkan bisa lagi
menuduh kita kurang membantunya!"
Beberapa detik kemudian Luka kembali sambil membawa
sebuah peti perak. "Sekali lagi, selamat," ia berkata dengan sungguh-sungguh.
"Dengan senang hati kuserahkan harta kuno yang kalian cari. Dan aku berharap
kalian akan mendapat banyak keberuntungan."
Ia meletakkan peti perak itu ke tanganku. Peti itu lebih ringan
dari yang kuduga. Permukaan peraknya berkilauan terkena pantulan
cahaya lilin di atas meja.
Jantungku berdegup kencang. Tanganku gemetaran.
Saking senangnya hatiku, peti perak itu nyaris terjatuh dari
tanganku! Bayangkan saja, aku sedang memegang Legenda yang
Hilang! "Terima kasih," kataku dengan suara parau.
"Ya, terima kasih," Marissa menambahkan. "Nah, sekarang bagaimana kami bisa
menemukan ayah kami?"
Luka menjentikkan jari. Silverdog langsung bangkit.
"Silverdog akan mengantar kalian sampai ke perkemahan
kalian," ujar Luka. "Jangan sampai kalian terpisah dari dia, dan dia akan
melindungi kalian." "Ehm... melindungi kami?" tanyaku sambil memegang peti itu erat-erat.
Luka mengangguk. "Di hutan ini banyak pencuri. Ada yang
sungguhan, ada yang bukan. Tapi semuanya pasti mengincar harta
kalian." "Kami akan selalu berada di dekat Silverdog," aku berjanji.
Kami kembali mengucapkan terima kasih kepada Luka.
Kemudian kami mengikuti anjing putih besar itu keluar dari pondok,
dan masuk ke hutan. Matahari sore sudah mulai menghilang di balik pepohonan.
Tanah bermandikan cahaya jingga. Udara pun mulai bertambah
dingin. Ekor Silverdog yang lebat terangkat tinggi-tinggi ketika ia
menuntun kami, bagaikan bendera yang harus kami ikuti. Aku
memegang peti perak dengan kedua tangan, dan terus memperhatikan
langkah anjing itu. Marissa berjalan tepat di belakangku.
Kami menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemudian
kami berjalan mengelilingi semak belukar yang tinggi.
Sampai di balik semak-semak, Silverdog membawa kami ke
jalan setapak yang tertutup dedaunan. Sepatu bot kami menimbulkan
bunyi bekersak-kersak ketika kami bergegas agar tidak ketinggalan.
Peti perak itu kupegang erat-erat. Aku sudah tak sabar ingin
segera membuka peti itu dan melihat Legenda yang Hilang. Aku
sudah tak sabar untuk mengambil dan membaca naskah kuno tersebut.
Apa sih isi legenda itu"
Siapa yang menulisnya" Dan kapan tulisan itu dibuat"
Begitu banyak pertanyaan. Dan aku tahu semuanya akan
terjawab begitu kami membuka peti dan mengeluarkan naskah di
dalamnya, dari tempat penyimpanannya selama lima ratus tahun.
Matahari semakin rendah. Bayangan kami bertambah panjang.
Daun-daun kering bekersak-kersak karena terinjak sepatu kami.
"Oh - tunggu!" aku berseru ketika aku mendengar bunyi daun
kering yang diinjak di belakang kami. "Tunggu...!"
Silverdog maju terus. Tapi Marissa dan aku berhenti.
Dan pasang telinga. Kami mendengar langkah-langkah kaki yang melangkah cepat
dari pohon-pohon di belakang kami. Aku langsung merinding.
"Marissa - ada yang mengikuti kita," bisikku.
Chapter 28 "LUKA kan sudah bilang bahwa di sini banyak pencuri,"
Marissa balas berbisik. Suara langkah itu semakin dekat. Aku mengepit peti perak itu
dengan sebelah tangan, seakan-akan sedang melindungi bola kaki.
Leherku jadi tegang. Aku hampir tidak bisa bernapas.
Aku menoleh dan melihat Silverdog berjalan jauh di depan.
Ekornya masih terangkat tinggi-tinggi. Anjing itu menghilang di balik semak-
semak yang tinggi. "Kita harus melakukan sesuatu," Marissa berbisik.
Suara langkah itu bertambah cepat. Sebentar lagi seorang
pencuri - atau segerombolan pencuri - akan muncul dari balik
pepohonan dan merampas peti perak dari tangan kami.
Aku berpaling ke arah semak-semak yang tinggi. Tapi
Silverdog sama sekali tidak kelihatan.
"Kita harus lari," bisik Marissa.
Aku mendengarkan langkah-langkah yang terus mendekat itu.
"Kita tidak mungkin lolos," ujarku. "Aku tidak bisa lari kencang. Aku harus
hati-hati dengan peti ini."
Marissa membelalakkan mata karena panik. Kemudian raut
mukanya berubah. "Aku punya ide, Justin. Kita bisa bersembunyi di balik pohon-
pohon itu." Ia menunjuk. "Pencuri itu akan melewati kita.
Setelah itu kita tunggu sampai dia tidak kelihatan lagi."
Apakah ide Marissa ide yang baik"
Atau ide buruk" Aku tidak sempat memikirkannya. Kami harus segera
bertindak. Kami berpaling dan berlari ke arah pepohonan. Berlari
menghampiri suara langkah itu.
Apakah kami berhasil mencapai tempat yang aman" Apakah
kami sempat bersembunyi sebelum pencuri itu muncul"
Aku tak pernah tahu jawabannya.
Di tengah jalan kakiku tersandung dahan patah. "Ohhh!" aku memekik.
Dan tahu-tahu aku sudah kehilangan keseimbangan.
Peti perak itu terlepas dari tanganku.
"Aduuuh!" Dengan panik aku berusaha menangkapnya. Tapi meleset.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lututku membentur tanah. Aku menyaksikan peti itu melayang-layang di udara.
Dan dengan mata terbelalak aku melihat seorang pria bertubuh
besar muncul dari bayang-bayang gelap pepohonan, mengangkat
tangan, dan menangkap peti itu dengan mudah.
Chapter 29 PANDANGANKU mengikuti peti perak itu. Kulihat pria itu
merapatkannya ke dada dan mendekapnya erat-erat.
Peti kami. Legenda yang Hilang milik kami.
Kami telah menempuh begitu banyak bahaya untuk
mendapatkannya. Dan sekarang orang lain merampasnya begitu saja.
Aku menatap peti yang dipegang begitu erat oleh pria itu.
Kemudian aku mengalihkan perhatian ke wajahnya yang berjanggut.
"Dad!" aku berseru.
"Dad!" Marissa mengulangi. "Ya, ampun!"
Dad langsung mengembangkan senyum. "Astaga!" katanya.
"Dari mana saja kalian" Kenapa kalian meninggalkan tenda" Aku
sudah mencari kalian di seluruh hutan. Ke mana kalian selama ini?"
"Ceritanya panjang sekali," kata Marissa sambil bergegas maju.
"Ya. Marissa dan aku punya legenda sendiri," ujarku.
Dad menaruh peti itu di tanah, dan kami berdua langsung
merangkulnya. Saking senangnya melihat kami, Dad sampai
menitikkan air mata. Setelah kami selesai merangkulnya, giliran ia
yang memeluk kami. "Akhirnya ketemu juga!" serunya dengan gembira.
"Dan coba lihat apa yang kami temukan!" kataku sambil
menunjuk peti di hadapannya.
Dad tercengang. Rupanya ia tidak sadar apa yang ditangkapnya
tadi. "S-sebuah peti perak!" katanya.
"Peti perak yang kita cari!" aku meralatnya. "Peti perak yang membawa kita ke
Brovania!" "T-tapi, bagaimana mungkin?"
Belum pernah aku melihat Dad sebingung sekarang. Atau
segembira sekarang. "Legenda yang Hilang," ia bergumam. Dengan hati-hati ia
mengangkat peti itu. "Ini saat paling mendebarkan dalam hidupku,"
ujarnya. "Bagaimana cara kalian mendapatkannya" Bagaimana kalian bisa
menemukannya" Bagaimana kalian...?"
Suaranya terputus. Tampaknya ia terlalu gembira untuk
berbicara dengan tenang. "Aku kan sudah bilang, Dad. Ceritanya panjang sekali," aku menegaskan.
"Dan sekarang Dad tidak bisa menuduh bahwa kami kurang
membantu," Marissa menimpali.
Kami bertiga tertawa. "Kalian sadar apa artinya ini?" tanya Dad. Suaranya begitu pelan sehingga nyaris
tak terdengar. "Kalian sadar betapa penting temuan ini?"
Ia berlutut untuk mengamati peti itu. Dengan hati-hati ia
mengusap tutupnya yang licin.
"Indah, indah sekali," katanya sambil tersenyum lebar.
"Bisa dibuka sekarang?" Marissa bertanya sambil berjongkok di samping Dad. "Aku
sudah tak sabar ingin melihat Legenda yang
Hilang." "Yeah, kita harus melihatnya!" seruku penuh semangat.
"Harus!" Dad mengangguk. "Ya, kita memang harus melihatnya!" Ia
tertawa. "Percayalah, aku bahkan lebih tak sabar lagi dibandingkan kalian
berdua." Ia membungkuk di atas peti. Aku melihat kedua tangannya
gemetar ketika ia menggeser gerendel yang terbuat dari perak.
"Indah. Indah sekali," ia kembali bergumam. Perlahan-lahan ia mengangkat tutup
peti perak. Kami bertiga membungkuk dan
memandang ke dalam peti itu.
Chapter 30 KAMI membungkuk begitu rendah sehingga kepala kami saling
beradu. "A-astaga!" aku berseru.
"Apa-apaan ini?" Marissa memekik.
Dad tercengang. Ia memicingkan mata dan menatap ke dalam
peti. Ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"S-sebutir telur!" aku tergagap-gagap.
Kami bertiga sedang memandang sebutir telur besar dengan
bercak-bercak cokelat. "Tapi - mana Legenda yang Hilang?" Marissa bertanya. "Pasti bukan ini, kan?"
Dad menghela napas dan menggelengkan kepala. "Ini bukan
peti perak yang kita cari," katanya pelan.
Ia meraih ke dalam peti dan mengangkat telur itu dengan hati-
hati. Lalu dirabanya dasar peti dengan tangannya yang lain. "Tak ada apa-apa
lagi. Isinya cuma telur ini."
Diamatinya telur itu dari segala sudut. Kemudian
dikembalikannya ke dalam peti. "Cuma telur," ia berkata dengan kecewa.
Aku menjerit parau. "Tapi Marissa dan aku kan sudah lulus
ujian!" aku meratap. "Luka bilang dia akan memberikan harta yang kami cari!"
"Siapa Luka?" tanya Dad. Dengan hati-hati ia menutup kembali peti perak di
hadapan kami. Kemudian ia bangkit sambil mendesah.
"Di mana kita bisa menemui dia?"
Sebelum aku sempat menjawab, aku mendengar bunyi
gemeresak dari seberang lapangan. Aku menoleh dan melihat
Silverdog muncul dari balik semak-semak.
"Silverdog!" aku berseru. Aku bergegas menghampiri anjing itu dan membelai-belai
kepala dan bulu di sekeliling lehernya. "Antar kami ke tempat Luka!" aku
memerintahkan. "Luka! Bawa kami ke tempat Luka!"
Silverdog mengibas-ngibaskan ekor. Apakah itu berarti ia
mengerti" "Luka!" aku mengulangi. "Bawa kami ke tempat Luka!"
Sambil tetap mengibas-ngibaskan ekor, anjing besar itu
melewati kami dan menuju ke pepohonan. Dad segera memungut peti
perak dari tanah. Dan kemudian kami bertiga mengikuti Silverdog
menembus hutan. Marissa dan aku ternyata belum berjalan jauh. Dalam beberapa
menit saja kami sudah melihat pondok kecil di tepi hutan. Luka
bergegas menyambut kami. Wajahnya berkerut-kerut karena heran.
"Aku tidak menyangka kalian akan kembali ke sini," katanya sambil geleng-geleng
kepala. "Apakah kalian tersesat?"
"Tidak. Kami tidak tersesat," sahut Marissa.
"Ini ayah kami," aku memberitahu Luka. "Kami akhirnya bertemu kembali
dengannya." Dad dan Luka bersalaman. "Nah, kenapa kalian kembali ke sini?" tanya Luka.
Pandangannya beralih ke peti perak di tangan Dad. "Aku kan sudah memberikan apa
yang kalian cari." "Tidak juga," jawab Dad. "Peti ini berisi telur."
"Ya, aku tahu," Luka berkata sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi kami kemari bukan karena telur ini!" aku memprotes.
Luka menatap kami sambil memicingkan mata.
"Jadi yang kalian cari bukan Telur Kebenaran Abadi?"
"Bukan," ujarku. "Dad mengajak kami ke sini untuk mencari Legenda yang Hilang."
"Oh-oh!" Luka tersipu-sipu. "Agaknya aku telah membuat kesalahan." Ia jadi salah
tingkah. "Tidak apa-apa," kata Dad. "Semua orang bisa membuat kesalahan."
Luka menggelengkan kepala. "Aku minta maaf. Biasanya tidak
begini. Aku benar-benar menyangka kalian mencari Telur Kebenaran
Abadi." Masih sambil geleng-geleng kepala, ia mengambil peti perak
dari tangan Dad. Ia membawanya masuk ke pondok. Beberapa detik
kemudian ia keluar lagi. "Seribu maaf," ujarnya.
"Tapi bisakah kau membantu kami mencari Legenda yang
Hilang?" tanyaku. "Apakah legenda itu ada di sini?"
"Di sini?" Luka tampak terkejut mendengar pertanyaanku.
"Tidak. Legenda itu tidak ada di sini. Dan kurasa kalian akan sukar
memperolehnya." "Kenapa?" tanya Dad. "Kau tahu di mana legenda itu berada?"
Luka mengangguk. "Ya, aku bisa menunjukkan jalan ke tempat
orang-orang yang menyimpannya. Tapi kurasa mereka takkan mau
menyerahkannya. Sudah lima ratus tahun mereka berkelana di hutan
ini. Menurutku mereka takkan menyerahkannya pada kalian - dengan
imbalan apa pun." "A-aku hanya ingin bicara dengan mereka!" Dad berseru penuh semangat. "Aku hanya
ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri."
"Pergilah ke arah sana," Luka berkata sambil menunjuk.
"Setelah dua kali menyeberang sungai, kalian mungkin akan
menemukan mereka di sebuah lapangan luas yang berbatu-batu.
Mereka selalu berkelana di hutan. Mereka tidak pernah berlama-lama
di satu tempat. Tapi kalau kalian bergegas, kalian mungkin masih bisa menemukan
mereka di tempat itu."
"Terima kasih," seru Dad sambil menyalami Luka.
Kami semua mengucapkan terima kasih kepada Luka.
Kemudian kami bergegas melangkah ke arah yang ditunjuknya. Kami
begitu menggebu-gebu, sehingga kami bertiga bicara berbarengan.
"Apakah mereka akan menyambut kita dengan ramah?"
"Apakah mereka akan mengizinkan kita melihat Legenda yang
Hilang?" "Apakah mereka akan mengizinkan kita meminjamnya?" Dad
bertanya. "Seandainya kita bisa meminjamnya selama beberapa
minggu..." "Luka bilang mereka mungkin kurang ramah." "Dia bilang mereka takkan menyerahkan
legenda itu - dengan imbalan apa pun."
Kedua sungai yang diceritakan Luka ternyata tidak sulit
diseberangi. Kami berjalan sekitar satu jam.
Kami masih asyik berbincang-bincang ketika mendekati
perkemahan para pengembara. Kami berhenti di atas bukit rendah
yang menghadap ke lapangan luas penuh batu.
Itu lapangan yang dimaksud Luka.
Kami melihat beberapa deret tenda kecil yang terbuat dari kulit
hewan. Beberapa orang berjubah cokelat sedang sibuk membuat api
unggun di tengah lapangan. Sekelompok anjing kelabu tampak
bermain-main di pinggir perkemahan.
"Astaga," Dad berseru sambil mengamati desa kecil itu. "Sukar dipercaya Legenda
yang Hilang ada di tangan para pengembara ini."
"Tapi, apakah mereka akan mengizinkan kita melihatnya?" aku bertanya.
"Hanya ada satu cara untuk memastikannya," jawab Dad. Ia
mulai menuruni bukit. "Halo!" ia berseru kepada para pengembara.
"Halo!" Chapter 31 "HALO! Halo!" Anjing-anjing kelabu tadi langsung berhenti bermain ketika
melihat kami datang. Mereka menggonggong keras-keras, dan berlari
menyambut kami. Semuanya merundukkan kepala, memperlihatkan
gigi-gigi yang runcing, dan menggeram.
Marissa, Dad, dan aku berhenti melangkah. Kulihat tiga orang
berjubah cokelat bergegas keluar dari tenda. Mereka segera mengusir anjing-
anjing itu. "Halo," Dad menyapa mereka dengan ramah. "Saya Profesor Richard Clarke, dan ini
Justin dan Marissa."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Tapi mereka tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
Dua dari mereka berkepala botak. Yang satu lagi berambut
panjang dan berkumis lebat. Rambut dan kumisnya sama-sama putih.
Marissa dan aku berpandangan.
Aku tahu Marissa sama ngerinya dengan aku. Para pengembara
berjubah cokelat ini sama sekali tidak tampak ramah.
Si pengembara berambut putih angkat bicara. "Bagaimana cara
kalian menemukan kami?" ia bertanya dengan nada tidak bersahabat.
"Ada, yang memberitahukan arahnya," sahut Dad.
"Kenapa kau kemari, Profesor Clarke?" si pengembara kembali bertanya.
"Kami sedang mencari Legenda yang Hilang," Dad
memberitahunya. Ketiga orang itu memekik tertahan. Mereka segera merapatkan
kepala dan mulai berbisik-bisik.
Setelah selesai berunding, mereka kembali memandang kami.
Tapi mereka diam saja. "Apakah Legenda itu ada di sini?" Dad bertanya. "Apakah Legenda itu ada di
tempat kalian?" "Ya," jawab pengembara berambut putih. "Legenda itu ada di sini."
Ia membisikkan sesuatu kepada kedua kawannya. Mereka
berbalik dan bergegas pergi. Jubah panjang mereka tampak melambai-
lambai. Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali. Salah satu
dari mereka membawa peti perak berukuran kecil.
"Oh, astaga!" Dad bergumam sambil membelalakkan mata. "Ini dia" Betulkah ini
Legenda yang Hilang?"
"Ya," balas si pengembara berambut putih. "Kalian
menginginkannya?" "Hah?" Marissa, Dad, dan aku kaget.
Para pengembara menyerahkan peti itu padaku. Saking
kagetnya, aku nyaris tak kuat memegangnya.
"Ambillah!" kata si pengembara berambut putih. Ia segera
melangkah mundur. Dad menelan ludah. "Kalian sungguh-sungguh?" ia bertanya.
"Kalian sungguh-sungguh memberikannya kepada kami?"
"Ya. Ambillah," sahut orang itu cepat-cepat. "Selamat tinggal."
Ia dan kedua rekannya berbalik dan kembali masuk ke tenda
mereka. Di luar dugaan kami, mereka mulai membongkar
perkemahan. Puluhan pengembara mulai merobohkan tenda, mengemas
perlengkapan, memadamkan api unggun. Dan dalam waktu beberapa
menit saja mereka telah menghilang.
Lapangan itu jadi kosong. Tak ada tanda-tanda bahwa para
pengembara pernah ada di situ. "Aneh," Dad bergumam. "Aneh sekali."
Kami pun meninggalkan lapangan itu. Kami bertiga benar-
benar terkejut dan bingung.
"Mereka menyerahkan harta ini begitu saja," kata Dad sambil mengusap-usap
janggut. "Kenapa mereka berbuat begitu" Kenapa
mereka menyerahkan harta ini tanpa minta imbalan apa pun" Ini
benar-benar tidak masuk akal."
Peti itu masih kudekap erat-erat. Setelah berjalan agak lama,
aku berhenti. "Mau ke mana kita sekarang?" tanyaku. "Bagaimana kalau petinya
kita buka dulu" Coba kita lihat apa isinya."
"Ya!" ujar Dad. "Aku juga sudah tak sabar."
Ia mengambil peti itu dari tanganku. Dengan hati-hati ia
meletakkannya di tanah. "Coba kita lihat."
Perlahan-lahan ia mengangkat tutupnya. Lalu ia meraih ke
dalam - dan mengeluarkan setumpuk kertas yang sudah menguning
dengan tulisan kecil berwarna hitam.
"Yes!" Dad berbisik dengan gembira. "Yes!"
Ia memegang legenda kuno itu dengan kedua tangan, lalu
membentangkannya supaya Marissa dan aku bisa ikut melihatnya.
"Wow!" Marissa berseru. "Kelihatannya memang sudah tua sekali - ya, kan?"
"Dad, apa yang tertulis di halaman pertama?" aku bertanya sambil memicingkan
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata agar dapat membaca huruf-huruf kecil itu.
"Ehm... coba kulihat," Dad bergumam. Ia mendekatkan kertas itu ke wajahnya,
mengerutkan kening, lalu membaca keras-keras:
"BARANGSIAPA MENGUASAI LEGENDA YANG
HILANG AKAN TERSESAT UNTUK SELAMA?LAMANYA."
"Hah" Apa maksudnya?" aku berseru.
Dad angkat bahu. "Tak berarti apa-apa. Itu hanya bagian dari
legenda." "Dad yakin?" Marissa bertanya dengan suara gemetar.
Dad mengamati naskah itu. "'Tersesat untuk selama-
lamanya...," ia bergumam. "'BARANGSIAPA MENGUASAI
LEGENDA YANG HILANG AKAN TERSESAT UNTUK
SELAMA-LAMANYA." "Hei - di mana kita?"
Kami bertiga memandang berkeliling dan melihat pohon-pohon
gelap yang terasa asing. Kami telah berjalan menjauhi lapangan berbatu. Tak ada lagi
yang kami kenali. "Di mana kita?" Dad bertanya sekali lagi.
"K-kita tersesat," aku berbisik. END
Ebukulawas.blogspot.com Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 16 Wiro Sableng 101 Gerhana Di Gajahmungkur Pelangi Di Majapahit 1
hening. Tak ada suara langkah. Tak ada suara menggeram. Yang
terdengar cuma suara daun yang berdesir-desir karena tertiup angin.
"Tapi bagaimana mungkin dia lari begitu saja?" aku berseru.
"Seharusnya dia kan jadi pemandu kita!"
"Tampaknya dia benar-benar ngotot untuk menangkap tupai
itu," sahut Marissa.
"Tapi - tapi..." aku tergagap-gagap. "Dia tidak bisa pergi begitu saja dan
meninggalkan kita berdua di sini."
Marissa menghela napas. "Nyatanya bisa, tuh."
"Kita harus mencarinya!" seruku. "Ayo. Kita harus jalan terus.
Kita tidak boleh membiarkan dia..."
Marissa menggeleng. "Mana mungkin kita bisa menemukannya,
Justin" Di mana kita harus mulai mencari?"
"Kita bisa melacak jejak kakinya," jawabku. Aku menunduk.
Tanah di dasar hutan tertutup daun-daun kering.
Tak ada jejak sama sekali.
"Kurasa dia lari ke sana tadi," kataku sambil menunjuk ke arah pepohonan.
Marissa menggelengkan kepala. "Menurutku tidak." Ia berdiri tegak. "Dia sudah
kabur, Justin." Aku berbalik dan mencari-cari Luka. Mencari tanda-tanda yang
mungkin bisa menunjukkan di mana dia berada.
"Hei - apa itu?" Marissa tiba-tiba bertanya.
"Hah?" Aku langsung menoleh.
"Itu, di kantong belakang celanamu," katanya seraya menunjuk.
"Apa itu?" Dengan kening berkerut karena heran, aku merogoh kantong
belakang celana jeans-ku - dan menarik secarik kertas yang terlipat-
lipat. Tanganku berkeringat dan menempel pada kertas itu. Tapi aku
segera membuka lipatannya.
"Kelihatannya seperti pesan," aku memberitahu Marissa.
"Hurufnya kecil-kecil."
"Ayo, baca dong!" ia mendesakku.
Pandanganku beralih ke bagian bawah kertas itu. "P-pesan ini
dari Ivanna," aku tergagap-gagap.
"Apa katanya?" Marissa bertanya tidak sabar.
Aku memegang kertas itu dengan kedua tangan dan membaca
pesan yang tertulis keraskeras:
"ANAK-ANAK YANG BAIK,
PASTIKAN BAHWA LUKA SELALU BERSAMA KALIAN
DENGAN BEGITU KALIAN AKAN LULUS UJIAN.
JANGAN SAMPAI KALIAN TERPISAH DARI DIA - ATAU
KALIAN AKAN CELAKA."
Chapter 17 MARISSA dan aku berjalan lambat-lambat kembali ke
lapangan. Rumput bergoyang-goyang tertiup angin. Sepatu bot kami
menginjak-injak buah kenari raksasa yang berserakan di rumput.
Aku masih menggenggam pesan Ivanna. Aku mengamatinya
sekali lagi, sambil berharap aku salah baca tadi. Tapi ternyata tidak.
Akhirnya aku meremasnya dengan kesal dan mencampakkannya ke
semak belukar. Marissa berjalan di sampingku. Sinar matahari sangat terik.
Kami berdua bercucuran keringat.
"Kalau kita menunggu, barangkali Luka akan kembali," ujar Marissa.
"Dia takkan kembali," sahutku lesu. "Dia pasti sudah bermil-mil dari sini, dan
masih mengejar-ngejar tupai itu."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Marissa. "Bagaimana
cara kita bisa lulus ujian?"
Aku mengembuskan napas. "Kita pasti tidak lulus.
Kaubaca sendiri kan apa yang ditulis Ivanna. Kita bakal
celaka." "Hmm, paling tidak kita bisa mencoba," balas Marissa. Ia
melintasi lapangan. Aku mengikutinya.
Kami baru berjalan enam atau tujuh langkah ketika aku
mendengar suara yang mengagetkan. Bunyinya snap, bagaikan pensil
patah. Menyusul suara krak - mula-mula pelan, lalu lebih keras.
Aku berhenti dan langsung berbalik. Semula aku menduga akan
melihat Luka keluar dari hutan.
Tapi yang tampak cuma pohon-pohon tinggi berkulit putih. Tak
ada siapa-siapa. Sekali lagi terdengar bunyi snap. Lalu sekali lagi. Dan sekali
lagi. Dan akhirnya bunyi itu terdengar di mana-mana. Bumi bakal
terbelah! Itulah pikiran pertama yang terlintas dalam benakku. Aku
membayangkan bumi tiba-tiba retak. Sebuah lubang gelap menganga.
Dan Marissa dan aku jatuh ke dalamnya.
Sumur Tanpa Dasar! Seharusnya Dad jangan menceritakan kisah itu padaku.
Marissa mencengkeram pundakku dan menunjuk ke bawah.
"Justin! Lihat, tuh!"
Aku menoleh ke bawah. Tanah di bawah kaki kami tetap padat
dan kokoh seperti semula. Tapi bunyi snap dan krak itu tetap bergema di
sekeliling kami. Semakin keras. Semakin keras.
"Ohh!" Aku memekik tertahan ketika menyadari rumput di
hadapan kami bergerak-gerak.
Aku bahkan bisa merasakannya bergerak-gerak di bawah
kakiku. "Ada apa ini?" Marissa menjerit sambil tetap berpegangan
padaku. "Bunyi itu..."
Suara itu bertambah keras. Kini seakan-akan semua pohon
mendadak terbelah. Rumput di seluruh lapangan bergoyang-goyang dan berayun-
ayun. "B-buah kenari itu!" aku berseru kepada Marissa. "Lihat!
Semuanya membuka!" Aku menutup telinga untuk menghalau bunyi tersebut.
Tanpa berkedip aku menatap buah-buah kenari yang tampak
menari-nari di sekeliling kami. Semuanya mendadak retak. Semuanya
membelah. Ratusan. Bahkan ribuan. Seluruh lapangan sampai ikut
bergetar. Buah-buah kenari pecah berantakan di mana-mana.
Dengan tercengang kami mengamati kejadian itu. Lalu Marissa
dan aku memekik kaget ketika melihat apa yang keluar dari buah-buah kenari itu.
Chapter 18 AKU mengamati buah kenari yang membelah di hadapanku,
dan melihat gigi yang menggerogoti kulitnya dari dalam. Lalu muncul hidung hitam
yang berkedut-kedut. Dan sepasang mata mungil yang
juga berwarna hitam. Makhluk itu merangkak keluar. Aku melihat sepasang kaki
depan yang kecil. Disusul tubuh panjang kelabu.
Dan gigi itu. Mengertak-ngertak. Menyambar-nyambar.
"Tikus!" aku memekik.
"Ratusan!" jerit Marissa.
Semua buah kenari yang berserakan di tanah terbelah. Saking
banyaknya, rumput di lapangan ikut bergoyang dan tanah seakan-akan
bergetar. Aku berdiri seperti patung memperhatikan tikus-tikus menetas
di sekelilingku. Binatang-binatang pengerat itu keluar pelan-pelan, dengan
menyembulkan kepala lebih dulu. Mereka mengendus-endus.
Mencoba gigi mereka yang runcing.
Buah-buah kenari bergerak-gerak. Membelah. Tubuh-tubuh
kelabu menyelinap keluar, terdorong oleh kaki-kaki belakang yang
kurus. "Ternyata bukan kenari - tapi telur!" seru Marissa. "Tapi tikus kan tidak berasal
dari telur!" aku memprotes.
Marissa menoleh ke arahku. Wajahnya berkerut-kerut.
"Rupanya tak ada yang memberitahu tikus-tikus ini!"
Seekor tikus melintasi sepatuku. Puluhan, bahkan ratusan tikus,
berlari kian kemari di rumput yang tinggi, sehingga rumput berdesirdesir seperti
sedang berbisik-bisik. Seekor tikus sekali lagi melewati sepatuku.
"Ayo, kita pergi dari sini!" teriakku kepada Marissa. Aku meraih lengannya dan
menariknya. Tapi saking banyaknya tikus yang berkeliaran di sekeliling
kami, saking banyaknya yang mondar-mandir di depan kaki Marissa
dan aku, kami sama sekali tidak bisa bergerak.
Cicit-cicit melengking membahana ketika makhluk-makhluk itu
mulai bersuara. "Eee eee eee eee!" Bunyi itu terdengar dari segala arah. Semakin
lama semakin keras. Hingga mengalahkan suara
rumput yang berbisik-bisik. Hingga memaksa Marissa dan aku
menutup telinga. "Eee eee eee eee!"
"Kita harus pergi!" aku menjerit.
"Tapi mereka ada di mana-mana!" Marissa memekik. "Kalau kita lari..."
"AUWWWW!" aku berteriak ketika seekor tikus menyusup ke
sepatu bot-ku. Cakarnya yang mungil menembus kaus kakiku dan
menggores-gores kulitku. Aku membungkuk untuk menariknya keluar - dan melihat dua
tikus lagi bergelantungan di celanaku.
"Hei...!" Aku berusaha menepis binatang-binatang pengerat itu.
Tapi akibatnya aku malah kehilangan keseimbangan.
Aku jatuh berlutut. Huh, dasar payah! Tikus-tikus berlari melewati tanganku. Seekor bahkan
memanjat lewat lengan sweterku dan naik ke punggungku.
"Tolooong!" Marissa dan aku menjerit bersamaan.
Aku menoleh dan melihat adikku berdiri membungkuk. Kalang-
kabut ia berusaha menyingkirkan dua ekor tikus dari rambutnya.
Seekor tikus lain sedang menggerogoti bagian bawah sweter
Marissa. Dua ekor lagi sedang memanjat kaki celananya. Dan di
ranselnya pun tikus-tikus bergelantungan.
"Tolooong aku! Ohhh - tolooong!"
Aku berusaha bangkit. Tapi seekor tikus menyelinap ke balik
sweterku. Kurasakan cakarnya yang tajam melintas di dadaku. Tiba-
tiba punggungku serasa seperti disengat.
Apakah mereka menggigitku"
Tikus-tikus melompat ke pundakku. Merangkak di tengkukku.
Mondar-mandir di ranselku.
Aku mengayun-ayunkan tangan untuk mengusir binatang-
binatang itu. Tapi jumlahnya terlalu banyak.
Mereka bercicit-cicit tanpa henti. Mengertak-ngertakkan gigi.
Bergelantungan di bajuku. Di pergelangan tanganku. Di rambutku.
"Tolooong! Tolooong!"
Aku menarik seekor tikus dari telingaku. Serta merta aku
mencampakkannya ke rumput.
Kurasakan segerombolan tikus merayap-rayap di balik
sweterku. Sekali lagi aku seperti digigit. Aku memekik kesakitan dan jatuh
terjerembap - menimpa lebih banyak tikus lagi!
Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengusir tikus-tikus itu. Aku
berusaha menepis semuanya.
Tapi jumlahnya terlalu banyak. Sangat terlalu banyak.
Aku menoleh dan melihat Marissa juga sedang dikeroyok. Ia
berputar-putar sambil menjerit-jerit.
Sebenarnya aku ingin menolongnya. Tapi aku tidak sanggup
berdiri. Seluruh tubuhku terasa gatal.
Tikus-tikus yang bercicit-cicit dan berceloteh tanpa henti itu
membuatku tak mampu berbuat apa-apa. Aku digelitik, dicakar,
digigit - sampai aku tak bisa bergerak, sampai aku tak bisa bernapas.
Chapter 19 "PERGI! Pergi!" aku menjerit dengan suara parau.
Aku menampar wajahku sendiri dan menepis dua tikus yang
menempel di pipiku. Seekor lagi kutarik dari rambutku. Dan satu lagi dari
keningku. Aku menendang-nendang dan mengayun-ayunkan tangan untuk
membebaskan diri dari binatang-binatang menjijikkan itu.
"Aduh!" aku memekik ketika seekor tikus kelabu yang gemuk mencakar telingaku.
Aku mengangkat tangan. Meraih tikus itu. Dan
mencengkeramnya erat-erat.
Tikus itu mengerang tertahan - lalu mendadak lemas di
tanganku. "Hah?" Kurasakan sebuah benda keras menonjol di perutnya.
Aku menepis dua tikus lain, lalu mengamati tikus yang sedang
kupegang. Kutekan tonjolan keras di perutnya yang tadi teraba olehku.
Seketika tikus itu menggeliat-geliut lagi.
Tonjolan itu kutekan kembali. Dan langsung saja tikus itu
kembali diam. "Ada sakelarnya!" aku berseru.
Aku berpaling pada Marissa. Ia telah jatuh berlutut. Lusinan
tikus sedang mengerubunginya. Mereka bergelayutan di sweternya.
Mondar-mandir di atas kepalanya.
"Ada sakelarnya!" aku berseru lagi. "Marissa... tekan tonjolan yang ada di perut
tikus-tikus itu. Mereka bisa dimatikan!"
Aku menarik seekor tikus dari leherku. Begitu kutekan tombol
di perutnya, tikus itu langsung diam.
"Ini bukan tikus sungguhan!" aku bersorak gembira. "Ini cuma tikus mainan! Cuma
mesin!" Marissa berdiri. Dengan panik ia menepis tikus-tikus yang
menempel di bajunya. Menekan perut mereka dan mematikannya.
"Aneh!" ia berseru. "Justin - ini benar-benar aneh!"
"Kita harus pergi dari sini," kataku padanya. "Kita harus mencari Luka."
Marissa melepaskan seekor tikus dari tengkuk dan
mematikannya. "Apakah kita sudah lulus ujian?" ia bertanya. "Apakah kita
berhasil?" "Entahlah," sahutku. Aku mengamati pepohonan di sekeliling lapangan. "Dan aku
juga tidak peduli soal ujian ini. Aku cuma ingin pergi dari sini."
Aku menepis dua tikus lagi dari celanaku sebelum meraih
tangan Marissa. Aku melepaskan seekor tikus dari pundaknya,
mematikannya, dan melemparnya ke rumput.
Setelah itu kami mulai berlari ke arah pepohonan.
Tikus-tikus masih berkeliaran di mana-mana. Suara mereka
bergema di sekeliling kami.
Ketika berlari kami menginjak makhluk-makhluk itu. Tapi kami
tidak peduli. Kami sudah tahu tikus-tikus itu bukan tikus sungguhan.
Kami sudah tahu tikus-tikus itu hanya tikus mainan.
Kami sudah hampir sampai di tepi hutan ketika aku berhenti
mendadak. Aku baru saja dapat ide.
Aku membungkuk dan mulai mengumpulkan tikus-tikus. "Hei,
tunggu sebentar!" seruku pada Marissa.
Tapi ia tidak mendengarku. Ia terus berlari ke arah pepohonan.
"Tunggu! Tunggu sebentar!" aku berseru. Aku meraih sejumlah tikus. Semuanya
kumatikan dan kumasukkan ke dalam ransel.
Tikus-tikus ini bakal berguna untuk menjaili teman-temanku disekolah! aku berkata dalam hati. Tikus-tikus ini sangat mirip tikus sungguhan,
benar-benar tampak hidup. Coba bayangkan, betapa
serunya kalau kulepaskan seekor di ruang kelas Miss Olsen.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku memasukkan delapan atau sembilan tikus lagi, lalu
menutup ransel. Kemudian aku bangkit dan berlari mengejar adikku.
Sambil berlari aku menoleh ke belakang - dan melihat ribuan
tikus berkeliaran di lapangan rumput.
Aku terus berlari, menyusul Marissa ke tempat yang aman di
tengah pohon-pohon berkulit putih.
Aku berlari sekencang mungkin. Tanpa memperhatikan
sekelilingku. Aku ingin secepat mungkin menjauhi lapangan rumput yang
dipenuhi tikus-tikus yang mencicit-cicit itu.
"Marissa - tunggu!" aku memanggil.
Ia sudah jauh di depan, dan masih terus berlari cepat.
"Tunggu aku!" aku berseru.
Sejurus kemudian aku memekik kaget ketika aku menabrak
pohon - tanpa sempat mengurangi kecepatan.
"Aduuuh!" Udara di paru-paruku langsung terdorong keluar. Pandanganku
berkunang-kunang. Aku melihat bintang-bintang merah dan kuning
menari-nari di langit yang putih bersih.
Dengan napas megap-megap, aku berpegangan pada batang
pohon di hadapanku. Tahu-tahu terdengar bunyi berderak.
Keras sekali. Dan begitu dekat.
Pohon itu! Pohon yang kutabrak - pohon itu mulai roboh! "Awas...!" aku berseru pada adikku.
Tapi terlambat. Aku tak dapat berbuat apa-apa ketika pohon besar berkulit putih
itu tumbang di depan mataku.
Marissa masih sempat mengangkat tangan ketika pohon itu
menimpanya. Sedetik kemudian ia telah lenyap dari pandangan.
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 20 "MARISSAAAA!" aku menjerit ngeri. Dengan mata terbelalak
aku menatap tempat adikku berdiri beberapa detik lalu.
Marissa tergeletak di tanah dalam posisi telungkup. Punggung
dan pundaknya tertindih pohon putih yang tumbang itu.
Apakah ia masih bernapas"
Aku tidak bisa memastikannya.
"Marissa...!" aku memanggil dengan suara parau, lalu berlutut di sisinya. "A-
aku...!" Aku mengguncang-guncang tubuhnya.
Ia mengangkat kepala dan menatapku dengan mata terpicing.
"Apa yang terjadi?" Suaranya pelan sekali.
"Kau sakit?" tanyaku.
Ia mengerutkan kening, seakan-akan pertanyaanku perlu
direnungkan dulu. "Tidak. Aku tidak merasakan apa-apa." Ia membalikkan tubuh.
Tangannya terulur ke atas - dan dengan mudah
mendorong batang pohon itu ke samping.
"Hah?" Aku memekik kaget.
Adikku juga kelihatan bingung. "Ternyata pohon ini juga bukan
pohon sungguhan," ia bergumam.
Ia mengulurkan tangan dan menyobek sepotong kulit pohon.
"Tampaknya dibuat dari gips," ia berkomentar. "Coba kauperiksa, Justin."
Dengan gemetar aku menyobek sepotong kulit pohon. Aku
masih kaget karena melihat Marissa tertimpa pohon.
Kulit pohon itu langsung hancur ketika kuremas dengan sebelah
tangan. Berubah menjadi serbuk gips.
Marissa bangkit pelan-pelan. Ia membersihkan debu gips yang
menempel di bajunya. "Pohon ini palsu," ia bergumam.
"Jangan-jangan semua pohon di sini palsu!" seruku. "Jangan-jangan seluruh hutan
ini palsu!" Aku berdiri. Mengambil ancang-ancang. Menjulurkan kedua
tangan lurus ke depan... dan menerjang pohon terdekat.
Pohon itu langsung retak. Aku tercengang menyaksikan pohon
itu roboh, menabrak pohon lain, dan pohon itu pun ikut ambruk.
Serpihan-serpihan gips beterbangan ke segala arah ketika kedua pohon tersebut
terempas ke tanah. "Palsu. Semuanya palsu!" ujar Marissa. Ia mengembangkan
senyum. "Wah, asyik juga, nih."
Ia mengambil ancang-ancang dan menerjang pohon yang
berdiri agak terpisah. "Jangan! Jangan yang itu!" aku memekik.
Tapi Marissa tidak sempat berhenti atau mengelak.
Pundaknya menghantam pohon itu. "Yeah!" Ia mengacungkan
kedua kepalan tangannya ketika pohon itu tumbang.
Tapi kegembiraannya tidak bertahan lama.
Ketika pohon itu jatuh, aku mendengar bunyi kepak sayap.
Dan dengan mata terbelalak karena ngeri aku melihat sosok-
sosok gelap beterbangan dari dahan-dahan pohon.
Aku memang sudah melihat kawanan kelelawar itu. Lusinan
kelelawar hitam. Semuanya bergelantungan dalam posisi terbalik dari dahan-dahan
pohon. Aku sudah melihat binatang-binatang itu. Tapi aku terlambat
memperingatkan Marissa. Dan sekarang kelelawar-kelelawar itu beterbangan kian kemari,
sambil berceloteh dengan marah karena tidur mereka terganggu.
Makhluk-makhluk menyeramkan itu mendesis-desis sambil
terbang mengelilingi kami. Sayap mereka berkepak-kepak,
mengembuskan angin ke tubuhku.
Mereka berputar dan berputar. Semakin lama semakin cepat.
"Paling-paling mereka juga palsu," ujar Marissa. Tapi nada suaranya sama sekali
tidak yakin. "Ra-rasanya sih tidak," aku tergagap-gagap, ketika beberapa kelelawar menukik,
siap menghabisi kami. Chapter 21 MARISSA dan aku langsung merunduk ketika kawanan
kelelawar itu mulai menyambar-nyambar.
Aku memejamkan mata dan melindungi kepala dengan kedua
tangan. Lalu aku menunggu. Bunyi boom yang menggelegar terdengar di sela-sela cicit
kelelawar yang melengking tinggi.
Tanah bergetar. Guntur" Bunyi itu terdengar lagi, mula-mula pelan, kemudian keras
bagaikan ledakan. Aku menoleh dan melihat pohon-pohon putih terguncang-
guncang dengan hebat. Kawanan kelelawar segera membisu. Binatang-binatang itu
merentangkan sayap lebar-lebar.
Bunyi boom berikutnya membuat mereka terbang tinggi ke
angkasa. Aku memperhatikan kelelawar-kelelawar terbang menanjak,
melewati puncak pohon-pohon. Semakin lama semakin tinggi, sampai
akhirnya hampir tak terlihat lagi.
Marissa menarik napas lega. "Kita selamat." Perlahan-lahan ia menegakkan badan.
"Tapi suara apa itu?" tanyaku sambil pasang telinga.
Sekali lagi terdengar bunyi boom. Kali ini lebih dekat.
Salah satu pohon bergetar, lalu tumbang dan menghantam
tanah. "Pasti bukan guntur," Marissa berkata pelan-pelan. Ia menunjuk langit yang biru
cerah. "Tidak ada awan sama sekali."
Boom. Semakin dekat. "A-aku tidak tahu suara apa itu," aku tergagap-gagap.
Marissa berpaling padaku. Pohon-pohon kembali terguncang
keras. "Langkah kaki," aku bergumam. "Itu pasti bunyi langkah kaki.
Dan agaknya menuju kemari."
Marissa melongo mendengar kata-kataku. "Justin - kenapa sih
kau berkhayal terus?"
"Aku serius," ujarku. "Itu memang bunyi langkah kaki."
Adikku menatapku, matanya menyipit. "Yang benar saja!
Makhluk apa yang suara langkahnya sekeras ini" Paling tidak..." Ia terdiam.
Sekali lagi terdengar bunyi boom yang membuat segala sesuatu
bergetar. Daya khayalku langsung beraksi. Aku tak sanggup
menghalaunya. Aku membayangkan seekor dinosaurus. Seekor
Tyrannosaurus rex yang berjalan di antara pohon-pohon. Atau
mungkin dinosaurus gemuk dengan leher panjang dan kurus.
Booom. Booom. Atau jangan-jangan malah dua dinosaurus!
"Apa pun yang menghas ilkan suara itu, dia semakin dekat,"
bisik Marissa. Ia menggelengkan kepala. "Ivanna memang sudah
bilang bahwa ini ujian bertahan hidup, tapi...!"
Sejauh ini, yang teruji cuma kemampuan kami untuk berlari!
Tapi aku tidak peduli. Aku tidak berminat menunggu di sini
sampai makhluk raksasa itu muncul.
Ketika Marissa dan aku berbalik dan berlari ke arah
berlawanan, sebuah bayangan mendadak menyelubungi kami.
Aku memandang ke atas untuk melihat apakah matahari
tertutup awan. Tapi ternyata tidak ada awan sama sekali.
Itu bayangan makhluk yang datang dari belakang dan setiap
detik bertambah dekat. Aku mendengar pohon-pohon patah karena terinjak. Tanah
bergetar setiap kali makhluk itu melangkah.
Ya ampun, seberapa besar sih makhluk itu"
Aku menoleh ke belakang - tapi hanya melihat pohon-pohon
yang bergetar. Boooom. Boooom. Lututku ikut gemetar ketika tanah yang kuinjak terguncang
keras. Marissa dan aku berlari berdampingan. Secepat mungkin kami
menyelinap di antara pohon-pohon. Kami berdua terengah-engah.
Tapi kami tidak berhasil menjauhi bayangan itu. Meskipun
kami berlari dengan sekuat tenaga, bayangan tersebut tetap melayang-layang di
atas kami, dingin dan gelap.
Boooom. Boooom. Begitu dekat sekarang. Setiap kali bunyi itu terdengar, aku
terpental ke udara. Jantungku berdegup kencang. Pelipisku berdenyut-denyut.
Marissa dan aku memaksakan diri untuk terus berlari. Kami
ingin meloloskan diri, ingin terlepas dari bayangan gelap yang seakan-akan
hendak menelan kami. Kami berlari hingga kami tiba di sungai yang lebar.
Marissa dan aku berhenti selangkah dari tepi sungai yang
berlumpur, dan menatap air biru yang mengalir deras.
"Sekarang bagaimana?" ujarku tersengal-sengal. "Sekarang bagaimana?"
Bayangan yang mengikuti kami semakin gelap. Makhluk itu
semakin dekat. Marissa menarik-narik lengan sweterku. "Lihat, tuh. Dasar
sungainya kelihatan. Berarti airnya tidak dalam. Barangkali kita bisa jalan kaki
ke seberang. Atau berenang, kalau perlu."
Booom.Booom. Bayangan itu bertambah pekat.
"Ayo!" seruku. Tanpa pikir panjang kami melangkah ke air yang dingin dan
bening. Chapter 22 ARUS sungai ternyata lebih deras dari yang kuduga. Aku
menjejakkan kaki di dasar sungai yang lembek berlumpur - dan nyaris
kehilangan keseimbangan karena dorongan arus.
Aku sampai harus berpegangan pada pundak Marissa supaya
tidak jatuh. Sejenak kami cuma berdiri sambil saling menopang.
"Ihhh." Aku menggigil. Airnya dingin bagaikan es.
Tapi ternyata sungai itu memang dangkal, seperti dikatakan
Marissa. Airnya tak sampai ke lututku.
Aku maju selangkah sambil mencondongkan badan ke depan
untuk menghadapi arus sungai yang deras.
Satu langkah lagi. Kami sudah sampai di tengah sungai.
"Ohh...!" aku memekik ketika sadar aku tidak bisa mengangkat kaki untuk
melangkah. "Hei...!" Marissa berseru. Kulihat ia menghadapi kesulitan yang sama. "Kakiku
tersangkut!" "Dasar sungainya terlalu lembek!" sahutku. Aku berusaha keras melepaskan kakiku
dari cengkeraman lumpur. Tapi sia-sia. Sepatu bot-ku telah terbenam dalam-dalam.
Aku membungkuk. Dan menarik kakiku ke atas. Percuma.
Kakiku tidak terangkat sedikit pun. Aduh.
"K-kita tenggelam!" Marissa meraung. "Justin - lihat! Kita tenggelam."
Aku menelan ludah. Ia benar. Aku pun seperti diisap ke bawah.
Masuk ke dalam air yang dingin, masuk ke lumpur yang lembek dan
lengket. Airnya sudah mencapai lututku sekarang. Dan tampaknya terus
bertambah tinggi. Tapi aku tahu bukan airnya yang naik. Akulah yang sedang
merosot. "Copot sepatumu dan berenang ke seberang!" aku berseru
kepada Marissa. Kami membungkuk dan berusaha meraih sepatu bot masing-
masing. Tapi sepatu kami telah terbenam terlalu dalam.
Dalam sekejap saja airnya sudah melewati pinggangku. Kalau
terus begini, dalam beberapa menit aku bakal tenggelam.
Booom. Booom. Langkah yang berdebam-debam itu menimbulkan riak di
permukaan air. Bayangan gelap tadi mulai menyelubungi sungai. "Justin -
lihat!" Marissa memekik. Ia menunjuk ke tepi seberang.
Aku menoleh. Tepi sungai itu begitu dekat - tapi sekaligus
begitu jauh. Aku memicingkan mata agar dapat melihat apa yang ditunjuk
Marissa. "Ada apa, sih?" seruku.
"Ada sumbat besar," Marissa menjelaskan "Di dasar sungai.
Seperti sumbat bak mandi. Ini bukan sungai sungguhan. Ini cuma
sungai buatan." "Tapi airnya asli!" balasku. Aku terbenam semakin dalam. "Kau bisa meraih sumbat
itu, Marissa" Kalau kau bisa mencabutnya,
mungkin airnya akan terisap semua."
Marissa membungkuk. Ia mengulurkan kedua tangan agar dapat
meraih gelang logam di bagian atas sumbat. "Sedikit lagi... sedikit lagi..." ia
mengerang. "Kalau saja..."
Booom. Booom. Marissa mendesah. "Aku tidak bisa meraihnya. Tanganku tidak
sampai. Jaraknya terlalu jauh."
Air sungai yang dingin sudah sampai di dadaku. Aku terperosok
semakin dalam ke dasar sungai yang berlumpur.
"Kayaknya kita tidak jadi lulus ujian," aku bergumam.
"Aku tidak mau tenggelam!" Marissa meraung-raung. Ia
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memukul-mukul air dengan kedua tangan sambil memutar-mutar
badan. Bayangan gelap itu telah menutupi kami.
Aku menoleh dan memandang ke tepi.
Aku melihat makhluk-makhluk yang sedang menghampiri
kami. Dan aku menjerit sejadi-jadinya.
Chapter 23 AWALNYA kusangka aku melihat awan-awan gelap yang
melayang rendah di atas pohon-pohon.
Tapi kemudian aku sadar awan tidak mungkin segelap itu.
Sosok-sosok itu terlalu gelap dan juga terlalu pekat.
Setelah itu aku melihat dua pasang mata berwarna kuning.
Lalu aku mengenali bentuk kepala-kepala yang tampak di
hadapanku. Dan barulah aku sadar aku sedang menatap kucing.
Kucing! Kucing-kucing hitam. Kepala mereka berada jauh di atas
puncak pohon-pohon. Ekor mereka menjulang tinggi bagaikan asap
dari cerobong asap. Dua kucing hitam berukuran raksasa. Tanah dan pohon-pohon
bergetar setiap kali mereka menjejakkan kaki. Kedua kucing itu
menatap Marissa dan aku dengan mata mereka yang kuning.
"Kucing palsu!" Marissa bergumam. "Pasti bukan kucing sungguhan... pasti bukan."
Ia sudah berhenti memukul-mukul air, dan menatap kedua makhluk raksasa itu. Ia
berdiri kaku seperti patung.
Pohon-pohon berderak-derak dan bertumbangan. Kedua kucing
itu semakin dekat ke tepi sungai.
"Jangaaan..." Marissa meratap.
Napasku terengah-engah. Dadaku terasa sesak. Kepalaku seperti
berputar-putar. Kedua kucing itu menyeringai sambil mendesis-desis.
Aku melihat deretan gigi runcing. Kedua kucing itu menatap
kami sambil memicingkan mata.
Sambil mendesis, mereka menyentakkan kepala dan
melengkungkan punggung. Bulu-bulu hitam di punggung mereka
berdiri tegak. "M-mau apa mereka?" Marissa tergagap-gagap. Aku membuka
mulut untuk menjawab, tapi suaraku tidak mau keluar.
Pundakku sudah terbenam air. Aku mengangkat tangan dari air
dan berusaha tidak tenggelam lebih dalam lagi.
"Justin - mau apa mereka?" tanya Marissa lagi, suaranya
melengking tinggi. Kami tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui
jawabannya. Sebelum Marissa dan aku sempat berteriak, kepala kedua
kucing itu telah menyambar ke arah kami. Keduanya membuka mulut
lebar-lebar. Aku membalik dan menggeliat-geliut untuk membebaskan diri.
Tapi aku tidak bisa bergerak. Wajahku terkena percikan air.
Kemudian kurasakan gigi-gigi runcing mencengkeram punggung
sweterku. Aku megap-megap, berusaha menarik napas. Kurasakan
tubuhku terangkat. Sepatu bot-ku berbunyi plop ketika tertarik keluar dari
lumpur. Embusan napas yang panas menerpa tengkuk dan bagian
belakang kepalaku. Gigi-gigi itu mencengkeramku kuat-kuat, dan
menarikku keluar dari sungai.
"Ohhh!" Akhirnya suaraku keluar juga.
Kucing itu mengangkatku tinggi-tinggi.
Tangan dan kakiku menggapai-gapai. Kucing itu menggerak-
gerakkan kepala, sehingga aku terlempar ke kiri-kanan.
"Tolooong! Ohhh, tolong!" terdengar adikku memekik. Aku
menoleh dan melihat Marissa diangkat oleh kucing yang satu lagi.
Kucing itu pun menggigit punggung sweter adikku dan
mengangkatnya tinggi-tinggi.
Aku hendak memanggilnya. Tapi embusan napas yang panas
membuatku nyaris tak bisa bernapas.
Aku terangkat lebih tinggi lagi ketika kucing itu berdiri dengan
kedua kaki belakangnya. Sebelah cakarnya menampar-namparku
dengan keras. Cakarnya yang satu lagi memukul-mukul dari arah
berlawanan. Jangan-jangan aku disangka mainan" kataku dalam hati.
Aku tidak sempat memikirkannya.
Kepalaku serasa berputar-putar karena kucing itu terus
mempermainkanku. Kemudian, tiba-tiba saja, aku diturunkan lagi.
Kucing itu membuka mulut.
Dan aku pun terjatuh. Ke sungai" Bukan. Aku terempas di tepinya. Saking kerasnya, aku sampai
terpental lagi. Sakitnya bukan main.
Aku memaksakan diri untuk bangkit, tanpa menghiraukan rasa
sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku. Jantungku berdegup kencang
dan seluruh tubuhku gemetaran ketika aku berusaha lari.
Tapi kucing itu kembali memungutku, dan kali ini pundakku
yang sebelah kanan yang dijepitnya.
Ketika aku terangkat ke atas, kulihat Marissa melayang jatuh.
Aku mendengarnya memekik ketika ia terempas ke tanah. Lalu kulihat
kucing hitam itu merundukkan kepala, membuka mulut, dan kembali
mengangkat Marissa. Naik - lalu turun. Sekali lagi aku mendarat di tepi sungai. Aku
megap-megap dan berusaha bangkit. Tapi sebelum aku sempat
bergerak, aku sudah diangkat lagi dan kembali melayang-layang di
atas air. Kami berdua menggelantung di atas air sungai. Setelah itu,
untuk kesekian kalinya, kami dijatuhkan ke tanah.
"Aduh!" Tanpa dapat berbuat apa-apa, aku menyaksikan kucing raksasa itu merunduk
kembali untuk mengangkatku.
"Mau apa mereka sebenarnya?" jerit Marissa. "Kenapa mereka bertingkah seperti
ini?" "Aku tahu sebabnya. Kucing kan selalu bertingkah begini!"
seruku sambil merinding karena ngeri. "Kucing selalu bermain-main dulu dengan
makanan mereka!" Chapter 24 "AHHHHH!" Perutku serasa diaduk-aduk ketika aku diangkat lagi. Kucing
raksasa itu kembali menamparku dan membuatku terayun-ayun tak
terkendali. "K-kita mau dimakan?" Marissa memekik. "Mereka pasti menganggap kita tikus!"
sahutku. Dan tiba-tiba aku mendapat ide.
Kucing itu menyentakkan kepala, dan aku pun berjumpalitan di
udara. Lalu aku ditangkap dengan kedua cakarnya yang besar. Kedua
cakar itu menekanku, begitu keras, hingga aku takut kepalaku copot!
Tapi ide yang baru muncul dalam benakku memberi harapan
baru padaku. Apakah masih ada waktu" aku bertanya-tanya. Apakah aku
sempat melakukannya - sebelum aku ditelan bulat-bulat oleh kucing
ini" Kucing itu kembali melemparku, kemudian menangkapku
dengan giginya. Rasa sakit menjalar di punggungku. Seluruh tubuhku
seakan-akan remuk. Sambil mengerang aku berusaha membalikkan badan. Aku
mengulurkan tangan ke belakang dan mencoba meraih ranselku.
Kalau ritsletingnya bisa kubuka, kataku dalam hati, mungkin
aku bisa mengambil tikus-tikus mainan yang kumasukkan tadi. Dan
mungkin aku bisa menghidupkan satu atau dua ekor. Dan mungkin
tikus-tikus itu bisa menarik perhatian kedua kucing. Dan mungkin
Marissa dan aku bisa meloloskan diri.
Mungkin, mungkin, mungkin.
Tapi aku harus mencoba. Kalau tidak, dalam beberapa. detik
Marissa dan aku bakal jadi pengganjal perut kucing.
Lidah kucing itu menjilat-jilat tengkukku. Aku memekik
kesakitan. Lidah itu kasar bagaikan ampelas! Embusan napas panas
menyengat kulitku. Aku mencengkeram ranselku dengan sebelah tangan, dan
menariknya ke depan. Tapi kucing itu membuka mulut. Lidahnya yang kasar
mendorongku dari belakang. Dan aku kembali terempas di tanah.
Aku mendarat dalam posisi berlutut. Untuk kesekian kali rasa
sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Rasanya tak ada tulang di tubuhku yang tidak
patah. Tapi aku tahu aku tidak boleh menyerah.
Kucing itu membungkuk di atasku. Setiap tarikan napasnya
diiringi bunyi mendesis. Matanya yang kuning memancarkan rasa
lapar. Tanpa memedulikan tubuhku yang babak-belur, aku meraih
ransel. Kulepaskan talinya dari pundakku, lalu kutarik ke depan dan kugenggam
erat-erat dengan kedua tangan.
"Cepat keluarkan tikus-tikus itu," aku bergumam. "Kucing ini butuh mainan baru."
Tapi tanganku bergetar begitu keras sehingga aku tidak bisa
membuka ritsleting ransel.
"Aduuuh!" aku berteriak kesal - tepat ketika kucing itu kembali mengayunkan
cakarnya. Aku berusaha memanggil Marissa. Aku ingin memberitahunya
bahwa aku punya rencana, bahwa masih ada harapan.
Jauh di atas permukaan tanah aku menggenggam ransel dengan
tangan kanan. Dan berusaha menarik ritsletingnya dengan tangan kiri.
Moga-moga berhasil! aku berdoa dalam hati. Moga-moga tikus-
tikusnya bisa kukeluarkan. Moga-moga bisa kuhidupkan.
"Ini satu-satunya kesempatanku," gumamku sambil menarik-
narik ritsleting ransel. "Satu-satunya kesempatan..."
Embusan napas panas membuatku merinding. Sekali lagi aku
merasakan sapuan lidah yang kering dan kasar di tengkukku.
"Yessss!" aku bersorak ketika aku akhirnya berhasil membuka ransel itu.
"Yessss!" Penuh semangat aku merogoh isinya. Meraba-raba makhluk-
makhluk berbulu yang ada di dalamnya.
Berusaha meraih salah satu....
Tapi kucing itu kembali mengayunkan kepala, dan aku pun
kembali terlempar ke udara.
"Ahhhh!" aku menjerit ketika ranselku terlepas dari
genggamanku. "Ahhhh!" Kalang-kabut aku berusaha menangkapnya. Aku
menjulurkan kedua tangan. Tapi meleset. Lalu aku berusaha
mengaitnya dengan sebelah kaki.
"Ahhhh!" Aku menyaksikan ranselku jatuh ke tanah.
Ransel itu terpental satu kali. Dua kali. Lalu tergeletak di tepi
sungai. Kucing itu menangkapku dengan giginya. Kurasakan ujung
giginya yang runcing menekan kulitku.
Kemudian rahangnya membuka lagi. Dan aku mulai meluncur.
Meluncur melewati lidah yang kasar. Meluncur ke dalam mulut yang
terbuka lebar bagaikan gua.
"Sori, Marissa," aku bergumam dengan panik. "Tamatlah riwayat kita."
Chapter 25 DUNIA luar berangsur-angsur hilang dari pandanganku ketika
aku meluncur masuk dalam posisi telungkup. Cepat-cepat aku
menjulurkan tangan. Aku berpegangan pada dua gigi taring sebelah bawah. Gigi-gigi
itu terasa hangat dan lengket di tanganku.
Aku mengerahkan segenap tenaga untuk menarik tubuhku ke
atas. Kemudian aku merangkak menyusuri lidah yang kasar. Dalam
sekejap saja kepalaku sudah menyembul dari mulut kucing itu.
Aku mencari-cari Marissa, tapi aku tak bisa melihatnya.
Jangan-jangan ia sudah ditelan"
Lidah kucing itu bergerak-gerak di bawahku. Kucing itu
memaksaku masuk ke kerongkongannya.
Tapi aku tetap berpegangan pada kedua gigi taring. Dan
menatap permukaan tanah yang berada jauh di bawahku.
Dengan mata terbelalak kulihat tiga tikus keluar dari ranselku.
Rupanya tikus-tikus itu menyala sendiri ketika ranselku
terempas ke tanah! Apakah kedua kucing akan melihat tikus-tikus itu" Dan apakah
mereka akan terkecoh"
Kucing itu mengertak-ngertakkan gigi. Aku memekik kesakitan,
dan melepaskan gigi taring yang kupegang.
Lidah di bawahku kembali bergerak-gerak. Dan aku kembali
meluncur masuk. Kucing itu menutup mulutnya, dan aku mendadak diselubungi
kegelapan. "Ohhh!" Keadaannya begitu panas dan lembap. Aku nyaris tak dapat
bernapas. Terdengar bunyi berdeguk-deguk dari perut kucing yang berada
jauh di bawah. "Jangan!" aku memekik. "Jangan jangan jangan jangan!"
Suaraku terdengar lemah di dalam mulut kucing itu.
Dan tiba-tiba, di luar dugaan, sinar matahari menerpa diriku
ketika kucing itu kembali membuka mulut.
Lidahnya mendorongku ke depan. Melewati deretan gigi.
Melewati bibir. Aku menghirup udara yang sejuk dan segar.
Dan sedetik kemudian aku terlempar dari mulut kucing itu.
Aku terempas ke tanah dan jatuh di samping Marissa. Ia
menatapku dengan mata terbelalak. Rambutnya yang merah tampak
basah dan melekat di keningnya.
Cepat-cepat kami berdiri - dan melihat kedua kucing raksasa itu
melompat. Keduanya berusaha menangkap tikus mainan yang sama.
Sambil mendesis-desis dan saling cakar, mereka
memperebutkan tikus itu. "Ayo, Marissa, kita pergi!" seruku dengan susah payah.
Ia tercengang menyaksikan kedua kucing raksasa itu berkelahi
sampai berguling-guling, terperosok ke sungai, dan melompat keluar
lagi. "Ayo! Cepat!" aku berseru lagi. Aku menyeret Marissa. "Kalau mereka sadar tikus-
tikus itu cuma mainan, mereka pasti akan
mengejar kita lagi."
"Memangnya kucing-kucing itu kucing sungguhan?" Marissa
bertanya tanpa mengalihkan pandangan. "Memangnya mereka kucing asli" Bukan
kucing palsu?" "Apa bedanya!" aku memekik. "Pokoknya kita harus segera kabur dari sini!"
Sekali lagi kami berlari menerobos hutan. Aku tidak tahu ke
arah mana kami berlari. Dan aku juga tidak peduli. Aku cuma ingin
secepat mungkin menjauhi kedua kucing mengerikan itu.
Bajuku basah dan lengket oleh ludah kucing. Tapi udara yang
sejuk dan segar terasa nyaman di kulitku, dan tak lama kemudian
bajuku sudah kering kembali.
Bayangan kami mendahului kami, seakan-akan hendak
menunjukkan jalan. Aku mendengar suara-suara binatang yang
menyerupai tawa melengking. Dan bunyi kepak sayap di atas pohon-
pohon. Tapi Marissa dan aku tidak menghiraukan semua bunyi itu.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami terus berlari, menerobos semak-semak dan alang-alang,
membuka jalan bagi kami. Kami tidak mengucapkan sepatah kata pun. Saling lirik pun
tidak. Kami berlari berdampingan dan saling membantu agar bisa
menerobos hutan yang lebat.
Dengan terengah-engah kami tiba di sebuah lapangan rumput.
Kupu-kupu berwarna putih dan kuning tampak beterbangan.
"Marissa - lihat!" aku memekik sambil menunjuk ke seberang
lapangan. Sebuah pondok kecil berdiri di tepi hutan. Sebuah pondok yang
sangat akrab di mata kami.
"Itu pondok milik Ivanna!" seru Marissa gembira. "Justin - kita berhasil! Kita
sudah kembali!" Aku menarik napas dalam-dalam dan berlari melintasi rumput.
Marissa menyusul tepat di belakangku.
"Ivanna! Ivanna!" Kami memanggil namanya sambil berlari
menghampiri pondok. Ia tidak keluar. Karena itu aku meraih pintu dan membukanya.
"Ivanna - kami sudah kembali!" seruku gembira. Aku segera
memandang berkeliling sambil menunggu mataku terbiasa dengan
cahaya yang remang-remang.
Marissa mendorongku ke samping ketika ia menyerbu masuk.
"Kami selamat!" ia mengumumkan. "Ivanna - apakah ujiannya sudah selesai" Apakah
kami lulus" Justin dan aku..."
Kami melihat Ivanna duduk di meja kecil yang terbuat dari
kayu. Ia duduk membungkuk, dengan kepala tersandar di meja.
Helmnya yang bertanduk telah dibuka dan kini tergeletak di
atas meja. Rambut pirangnya yang semula dikepang kini terurai acak-
acakan. "Ivanna" Ivanna?" aku memanggil. Aku berpaling kepada
adikku. "Kelihatannya dia lagi tidur."
"Ivanna!" seru Marissa. "Kami sudah kembali!" Wanita itu tidak bergerak sedikit
pun. Aku mendengar rintihan dari bagian belakang ruangan. Aku
memicingkan mata, dan melihat Silverdog terbaring di tempat gelap.
Anjing itu merapat ke dinding dengan kepala menggeletak di lantai, di antara
kedua kaki depannya. Sekali lagi ia merintih.
"Justin - ada yang tidak beres, nih," Marissa berbisik.
"Ivanna! Ivanna!" aku memanggil lagi. Tapi ia tetap tidak bergerak.
Silverdog merintih-rintih dengan sedih.
"Apakah dia tidur?" tanya Marissa. "Ada apa sih dengan dia?"
"Coba kita lihat," aku bergumam.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan melintasi dapur.
Marissa mengamati sambil menempelkan tangan ke pipi. Ia tidak
beranjak dari tempatnya. Aku sudah hampir sampai di meja kayu ketika aku berhenti
mendadak. "A-ada apa?" Marissa tergagap-gagap.
"Ada sesuatu yang menancap di punggungnya!" kataku dengan suara parau.
Chapter 26 "HAH?" Marissa tercengang ngeri. "Benda apa itu, Justin?"
Aku menelan ludah. Lututku mulai gemetaran. Aku
berpegangan pada punggung salah satu kursi. "Lihat itu," kataku seraya menunjuk.
Ia maju beberapa langkah. Matanya terbelalak lebar karena
takut. Kami menatap benda logam yang menyembul dari bagian
belakang baju Ivanna. Sebuah kunci besar yang terbuat dari logam.
Dengan mengerahkan segenap keberanian, aku berjalan ke
belakang Ivanna. Jantungku serasa mau copot ketika aku
membungkuk dan memeriksa kunci besar itu.
"I-ini kunci untuk memutar pegas!" aku tergagap-gagap.
Marissa membuka mulut, seakan-akan hendak bicara. Tapi ia
tak sanggup berkata apa-apa.
Aku memutar kunci itu satu kali.
Kepala Ivanna terangkat sejenak, lalu kembali jatuh ke meja.
"Ya. Ini kunc i untuk memutar pegas," aku memberitahu adikku.
Kedua tangan Ivanna menggantung lemas di sisi tubuhnya. Aku
membungkuk dan meraih salah satu.
Tangannya empuk seperti karet busa. Seakan-akan berisi kapuk.
Kulepaskan tangannya dan kembali berpaling pada Marissa.
"Ivanna bukan manusia," ujarku pelan. Sekali lagi aku menelan ludah.
"Dia semacam boneka. Dia bukan manusia sungguhan!"
"Kalau begitu, apa dong yang sungguhan di sini?" bisik
Marissa, hampir tak terdengar. "Ini sangat menyeramkan, Justin.
Apakah ini juga bagian dari ujian" Bagaimana cara kita meninggalkan tempat ini"
Bagaimana cara kita menemukan Dad" Kalau Ivanna juga
cuma boneka, siapa yang benar-benar manusia di sini?"
Aku menggelengkan kepala. Aku tak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Aku sama ngerinya dengan adikku.
Pandanganku beralih pada Silverdog yang masih berbaring di
pojok. Anjing itu menutupi kepala dengan kedua kaki depannya. Ia
merintih tanpa henti. Lalu, tiba-tiba saja, ia menegakkan telinga. Ia mengangkat
kepala, dan matanya tampak bersinar-sinar. .
Di belakangku terdengar suara menggeram. Suara itu berasal
dari arah pintu. "Hei...!" Serta-merta aku membalik.
Pintu pondok terbuka - dan sesosok makhluk yang menggeram-
geram menyerbu masuk. Luka! Ia menatap Marissa dan aku seakan-akan kelaparan, lalu
mengembangkan senyum. "Jangan!" Marissa memekik sambil menjauhinya. Luka
menyibakkan rambutnya yang panjang. Ia membuka mulut dan
melolong panjang. Kemudian ia melompat ke tengah ruangan. "Luka - berhenti!"
aku memohon. "Jangan serang kami!"
Chapter 27 SENYUM di wajah Luka mendadak lenyap. Ia menurunkan
tangan, dan mengamatiku sambil memicingkan matanya yang gelap.
"Aku takkan menyakiti kalian," ia berkata lembut. Marissa dan aku menatapnya
kaget. "K-kau bisa bicara?" aku tergagap-gagap.
Ia mengangguk. "Ya. Aku bisa bicara. Dan hal pertama yang
ingin kukatakan adalah, selamat!" Ia kembali tersenyum.
Ia melintasi ruangan dengan berjalan tegak seperti manusia. Ia
menyalami Marissa, lalu aku. "Selamat untuk kalian berdua," Luka berkata dengan
ramah. "Kalian telah lulus ujian."
"Tapi - tapi..." Sekarang justru aku yang mendadak tidak bisa bicara.
Luka mencabut bulu-bulu dari tangannya. Lalu ia melepaskan
bulu-bulu dari lehernya. "Syukurlah semuanya sudah bisa dibuka sekarang,"
katanya. "Penyamaran ini benar-benar bikin gatal -
terutama kalau kita harus berlari menerobos hutan seperti orang gila."
"Aku benar-benar bingung," aku mengakui.
Marissa mengangguk-angguk. "Ivanna bukan manusia," ia
bergumam. Ia menunjuk ke arah Ivanna, yang duduk membungkuk di
meja di belakang kami. Luka menggelengkan kepala. "Memang, dia cuma boneka. Aku
sendiri yang membuatnya. Sama halnya dengan semua makhluk yang
sempat kalian temui di Hutan Fantasi."
"Tapi - kenapa?" tanyaku. "Kenapa kau membuat semua ini?"
"Sebagai ujian," sahut Luka pendek. Ia melangkah ke belakang Ivanna dan
menariknya sampai duduk tegak. Dirapikannya rambut
boneka itu, dan dipasangnya helmnya.
"Begitu banyak orang yang datang ke hutan ini," Luka
menjelaskan sambil berpaling ke arah Marissa dan aku. "Semuanya ingin mencari
harta. Sama seperti kalian.
"Keluargaku sudah ratusan tahun tinggal di hutan ini," ia melanjutkan. "Telah
menjadi tugas kami untuk menjaga sebagian
harta yang ada di sini. Karena itu kami membuat hutan ujian, untuk
menghalau orang-orang yang tidak memenuhi syarat. Untuk
menghalau orang-orang yang tidak patut memperoleh harta luar biasa
yang terpendam di sini."
"Kalian membuat seluruh hutan ini?" tanya Marissa.
Luka menggeleng. "Tidak semuanya. Sebagian memang hutan
sungguhan." "Dan apa yang membuat kami bisa lulus ujian?" tanyaku.
"Kalian berhasil menentukan mana yang asli dan mana yang
bukan," sahut Luka. "Dan kalian berhasil lolos dari semua rintangan yang tidak
asli." Marissa mengamati Ivanna. Boneka itu membalas tatapannya
dengan mata redup. "Untuk apa kau membuat Ivanna?" ia bertanya.
Luka tersenyum bangga. "Dialah ciptaanku yang paling
berhasil. Berkat Ivanna, tak seorang pun menduga bahwa akulah yang
pegang kendali di sini. Tak ada yang percaya bahwa manusia serigala mengatur
Hutan Fantasi. Karena itu aku lebih mudah mengawasi
semuanya dan memantau bagaimana mereka mengikuti ujianku."
Semuanya terasa serba misterius bagiku. Tapi aku terlalu
gembira untuk berdebat dengan Luka.
"Dan sekarang aku akan menyerahkan harta yang kalian cari,"
Luka mengumumkan. Ia langsung berbalik dan menghilang ke
belakang ruangan. Marissa dan aku berpandangan. "Wah, ini dia!" aku berbisik.
"Kita akan diberi peti perak berisi Legenda yang Hilang! Dad pasti bakal
terkagum-kagum!" "Kita akan kaya dan terkenal!" Marissa berseru. "Dan Dad takkan bisa lagi
menuduh kita kurang membantunya!"
Beberapa detik kemudian Luka kembali sambil membawa
sebuah peti perak. "Sekali lagi, selamat," ia berkata dengan sungguh-sungguh.
"Dengan senang hati kuserahkan harta kuno yang kalian cari. Dan aku berharap
kalian akan mendapat banyak keberuntungan."
Ia meletakkan peti perak itu ke tanganku. Peti itu lebih ringan
dari yang kuduga. Permukaan peraknya berkilauan terkena pantulan
cahaya lilin di atas meja.
Jantungku berdegup kencang. Tanganku gemetaran.
Saking senangnya hatiku, peti perak itu nyaris terjatuh dari
tanganku! Bayangkan saja, aku sedang memegang Legenda yang
Hilang! "Terima kasih," kataku dengan suara parau.
"Ya, terima kasih," Marissa menambahkan. "Nah, sekarang bagaimana kami bisa
menemukan ayah kami?"
Luka menjentikkan jari. Silverdog langsung bangkit.
"Silverdog akan mengantar kalian sampai ke perkemahan
kalian," ujar Luka. "Jangan sampai kalian terpisah dari dia, dan dia akan
melindungi kalian." "Ehm... melindungi kami?" tanyaku sambil memegang peti itu erat-erat.
Luka mengangguk. "Di hutan ini banyak pencuri. Ada yang
sungguhan, ada yang bukan. Tapi semuanya pasti mengincar harta
kalian." "Kami akan selalu berada di dekat Silverdog," aku berjanji.
Kami kembali mengucapkan terima kasih kepada Luka.
Kemudian kami mengikuti anjing putih besar itu keluar dari pondok,
dan masuk ke hutan. Matahari sore sudah mulai menghilang di balik pepohonan.
Tanah bermandikan cahaya jingga. Udara pun mulai bertambah
dingin. Ekor Silverdog yang lebat terangkat tinggi-tinggi ketika ia
menuntun kami, bagaikan bendera yang harus kami ikuti. Aku
memegang peti perak dengan kedua tangan, dan terus memperhatikan
langkah anjing itu. Marissa berjalan tepat di belakangku.
Kami menyusuri jalan setapak yang berkelok-kelok. Kemudian
kami berjalan mengelilingi semak belukar yang tinggi.
Sampai di balik semak-semak, Silverdog membawa kami ke
jalan setapak yang tertutup dedaunan. Sepatu bot kami menimbulkan
bunyi bekersak-kersak ketika kami bergegas agar tidak ketinggalan.
Peti perak itu kupegang erat-erat. Aku sudah tak sabar ingin
segera membuka peti itu dan melihat Legenda yang Hilang. Aku
sudah tak sabar untuk mengambil dan membaca naskah kuno tersebut.
Apa sih isi legenda itu"
Siapa yang menulisnya" Dan kapan tulisan itu dibuat"
Begitu banyak pertanyaan. Dan aku tahu semuanya akan
terjawab begitu kami membuka peti dan mengeluarkan naskah di
dalamnya, dari tempat penyimpanannya selama lima ratus tahun.
Matahari semakin rendah. Bayangan kami bertambah panjang.
Daun-daun kering bekersak-kersak karena terinjak sepatu kami.
"Oh - tunggu!" aku berseru ketika aku mendengar bunyi daun
kering yang diinjak di belakang kami. "Tunggu...!"
Silverdog maju terus. Tapi Marissa dan aku berhenti.
Dan pasang telinga. Kami mendengar langkah-langkah kaki yang melangkah cepat
dari pohon-pohon di belakang kami. Aku langsung merinding.
"Marissa - ada yang mengikuti kita," bisikku.
Chapter 28 "LUKA kan sudah bilang bahwa di sini banyak pencuri,"
Marissa balas berbisik. Suara langkah itu semakin dekat. Aku mengepit peti perak itu
dengan sebelah tangan, seakan-akan sedang melindungi bola kaki.
Leherku jadi tegang. Aku hampir tidak bisa bernapas.
Aku menoleh dan melihat Silverdog berjalan jauh di depan.
Ekornya masih terangkat tinggi-tinggi. Anjing itu menghilang di balik semak-
semak yang tinggi. "Kita harus melakukan sesuatu," Marissa berbisik.
Suara langkah itu bertambah cepat. Sebentar lagi seorang
pencuri - atau segerombolan pencuri - akan muncul dari balik
pepohonan dan merampas peti perak dari tangan kami.
Aku berpaling ke arah semak-semak yang tinggi. Tapi
Silverdog sama sekali tidak kelihatan.
"Kita harus lari," bisik Marissa.
Aku mendengarkan langkah-langkah yang terus mendekat itu.
"Kita tidak mungkin lolos," ujarku. "Aku tidak bisa lari kencang. Aku harus
hati-hati dengan peti ini."
Marissa membelalakkan mata karena panik. Kemudian raut
mukanya berubah. "Aku punya ide, Justin. Kita bisa bersembunyi di balik pohon-
pohon itu." Ia menunjuk. "Pencuri itu akan melewati kita.
Setelah itu kita tunggu sampai dia tidak kelihatan lagi."
Apakah ide Marissa ide yang baik"
Atau ide buruk" Aku tidak sempat memikirkannya. Kami harus segera
bertindak. Kami berpaling dan berlari ke arah pepohonan. Berlari
menghampiri suara langkah itu.
Apakah kami berhasil mencapai tempat yang aman" Apakah
kami sempat bersembunyi sebelum pencuri itu muncul"
Aku tak pernah tahu jawabannya.
Di tengah jalan kakiku tersandung dahan patah. "Ohhh!" aku memekik.
Dan tahu-tahu aku sudah kehilangan keseimbangan.
Peti perak itu terlepas dari tanganku.
"Aduuuh!" Dengan panik aku berusaha menangkapnya. Tapi meleset.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lututku membentur tanah. Aku menyaksikan peti itu melayang-layang di udara.
Dan dengan mata terbelalak aku melihat seorang pria bertubuh
besar muncul dari bayang-bayang gelap pepohonan, mengangkat
tangan, dan menangkap peti itu dengan mudah.
Chapter 29 PANDANGANKU mengikuti peti perak itu. Kulihat pria itu
merapatkannya ke dada dan mendekapnya erat-erat.
Peti kami. Legenda yang Hilang milik kami.
Kami telah menempuh begitu banyak bahaya untuk
mendapatkannya. Dan sekarang orang lain merampasnya begitu saja.
Aku menatap peti yang dipegang begitu erat oleh pria itu.
Kemudian aku mengalihkan perhatian ke wajahnya yang berjanggut.
"Dad!" aku berseru.
"Dad!" Marissa mengulangi. "Ya, ampun!"
Dad langsung mengembangkan senyum. "Astaga!" katanya.
"Dari mana saja kalian" Kenapa kalian meninggalkan tenda" Aku
sudah mencari kalian di seluruh hutan. Ke mana kalian selama ini?"
"Ceritanya panjang sekali," kata Marissa sambil bergegas maju.
"Ya. Marissa dan aku punya legenda sendiri," ujarku.
Dad menaruh peti itu di tanah, dan kami berdua langsung
merangkulnya. Saking senangnya melihat kami, Dad sampai
menitikkan air mata. Setelah kami selesai merangkulnya, giliran ia
yang memeluk kami. "Akhirnya ketemu juga!" serunya dengan gembira.
"Dan coba lihat apa yang kami temukan!" kataku sambil
menunjuk peti di hadapannya.
Dad tercengang. Rupanya ia tidak sadar apa yang ditangkapnya
tadi. "S-sebuah peti perak!" katanya.
"Peti perak yang kita cari!" aku meralatnya. "Peti perak yang membawa kita ke
Brovania!" "T-tapi, bagaimana mungkin?"
Belum pernah aku melihat Dad sebingung sekarang. Atau
segembira sekarang. "Legenda yang Hilang," ia bergumam. Dengan hati-hati ia
mengangkat peti itu. "Ini saat paling mendebarkan dalam hidupku,"
ujarnya. "Bagaimana cara kalian mendapatkannya" Bagaimana kalian bisa
menemukannya" Bagaimana kalian...?"
Suaranya terputus. Tampaknya ia terlalu gembira untuk
berbicara dengan tenang. "Aku kan sudah bilang, Dad. Ceritanya panjang sekali," aku menegaskan.
"Dan sekarang Dad tidak bisa menuduh bahwa kami kurang
membantu," Marissa menimpali.
Kami bertiga tertawa. "Kalian sadar apa artinya ini?" tanya Dad. Suaranya begitu pelan sehingga nyaris
tak terdengar. "Kalian sadar betapa penting temuan ini?"
Ia berlutut untuk mengamati peti itu. Dengan hati-hati ia
mengusap tutupnya yang licin.
"Indah, indah sekali," katanya sambil tersenyum lebar.
"Bisa dibuka sekarang?" Marissa bertanya sambil berjongkok di samping Dad. "Aku
sudah tak sabar ingin melihat Legenda yang
Hilang." "Yeah, kita harus melihatnya!" seruku penuh semangat.
"Harus!" Dad mengangguk. "Ya, kita memang harus melihatnya!" Ia
tertawa. "Percayalah, aku bahkan lebih tak sabar lagi dibandingkan kalian
berdua." Ia membungkuk di atas peti. Aku melihat kedua tangannya
gemetar ketika ia menggeser gerendel yang terbuat dari perak.
"Indah. Indah sekali," ia kembali bergumam. Perlahan-lahan ia mengangkat tutup
peti perak. Kami bertiga membungkuk dan
memandang ke dalam peti itu.
Chapter 30 KAMI membungkuk begitu rendah sehingga kepala kami saling
beradu. "A-astaga!" aku berseru.
"Apa-apaan ini?" Marissa memekik.
Dad tercengang. Ia memicingkan mata dan menatap ke dalam
peti. Ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"S-sebutir telur!" aku tergagap-gagap.
Kami bertiga sedang memandang sebutir telur besar dengan
bercak-bercak cokelat. "Tapi - mana Legenda yang Hilang?" Marissa bertanya. "Pasti bukan ini, kan?"
Dad menghela napas dan menggelengkan kepala. "Ini bukan
peti perak yang kita cari," katanya pelan.
Ia meraih ke dalam peti dan mengangkat telur itu dengan hati-
hati. Lalu dirabanya dasar peti dengan tangannya yang lain. "Tak ada apa-apa
lagi. Isinya cuma telur ini."
Diamatinya telur itu dari segala sudut. Kemudian
dikembalikannya ke dalam peti. "Cuma telur," ia berkata dengan kecewa.
Aku menjerit parau. "Tapi Marissa dan aku kan sudah lulus
ujian!" aku meratap. "Luka bilang dia akan memberikan harta yang kami cari!"
"Siapa Luka?" tanya Dad. Dengan hati-hati ia menutup kembali peti perak di
hadapan kami. Kemudian ia bangkit sambil mendesah.
"Di mana kita bisa menemui dia?"
Sebelum aku sempat menjawab, aku mendengar bunyi
gemeresak dari seberang lapangan. Aku menoleh dan melihat
Silverdog muncul dari balik semak-semak.
"Silverdog!" aku berseru. Aku bergegas menghampiri anjing itu dan membelai-belai
kepala dan bulu di sekeliling lehernya. "Antar kami ke tempat Luka!" aku
memerintahkan. "Luka! Bawa kami ke tempat Luka!"
Silverdog mengibas-ngibaskan ekor. Apakah itu berarti ia
mengerti" "Luka!" aku mengulangi. "Bawa kami ke tempat Luka!"
Sambil tetap mengibas-ngibaskan ekor, anjing besar itu
melewati kami dan menuju ke pepohonan. Dad segera memungut peti
perak dari tanah. Dan kemudian kami bertiga mengikuti Silverdog
menembus hutan. Marissa dan aku ternyata belum berjalan jauh. Dalam beberapa
menit saja kami sudah melihat pondok kecil di tepi hutan. Luka
bergegas menyambut kami. Wajahnya berkerut-kerut karena heran.
"Aku tidak menyangka kalian akan kembali ke sini," katanya sambil geleng-geleng
kepala. "Apakah kalian tersesat?"
"Tidak. Kami tidak tersesat," sahut Marissa.
"Ini ayah kami," aku memberitahu Luka. "Kami akhirnya bertemu kembali
dengannya." Dad dan Luka bersalaman. "Nah, kenapa kalian kembali ke sini?" tanya Luka.
Pandangannya beralih ke peti perak di tangan Dad. "Aku kan sudah memberikan apa
yang kalian cari." "Tidak juga," jawab Dad. "Peti ini berisi telur."
"Ya, aku tahu," Luka berkata sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi kami kemari bukan karena telur ini!" aku memprotes.
Luka menatap kami sambil memicingkan mata.
"Jadi yang kalian cari bukan Telur Kebenaran Abadi?"
"Bukan," ujarku. "Dad mengajak kami ke sini untuk mencari Legenda yang Hilang."
"Oh-oh!" Luka tersipu-sipu. "Agaknya aku telah membuat kesalahan." Ia jadi salah
tingkah. "Tidak apa-apa," kata Dad. "Semua orang bisa membuat kesalahan."
Luka menggelengkan kepala. "Aku minta maaf. Biasanya tidak
begini. Aku benar-benar menyangka kalian mencari Telur Kebenaran
Abadi." Masih sambil geleng-geleng kepala, ia mengambil peti perak
dari tangan Dad. Ia membawanya masuk ke pondok. Beberapa detik
kemudian ia keluar lagi. "Seribu maaf," ujarnya.
"Tapi bisakah kau membantu kami mencari Legenda yang
Hilang?" tanyaku. "Apakah legenda itu ada di sini?"
"Di sini?" Luka tampak terkejut mendengar pertanyaanku.
"Tidak. Legenda itu tidak ada di sini. Dan kurasa kalian akan sukar
memperolehnya." "Kenapa?" tanya Dad. "Kau tahu di mana legenda itu berada?"
Luka mengangguk. "Ya, aku bisa menunjukkan jalan ke tempat
orang-orang yang menyimpannya. Tapi kurasa mereka takkan mau
menyerahkannya. Sudah lima ratus tahun mereka berkelana di hutan
ini. Menurutku mereka takkan menyerahkannya pada kalian - dengan
imbalan apa pun." "A-aku hanya ingin bicara dengan mereka!" Dad berseru penuh semangat. "Aku hanya
ingin melihatnya dengan mata kepala sendiri."
"Pergilah ke arah sana," Luka berkata sambil menunjuk.
"Setelah dua kali menyeberang sungai, kalian mungkin akan
menemukan mereka di sebuah lapangan luas yang berbatu-batu.
Mereka selalu berkelana di hutan. Mereka tidak pernah berlama-lama
di satu tempat. Tapi kalau kalian bergegas, kalian mungkin masih bisa menemukan
mereka di tempat itu."
"Terima kasih," seru Dad sambil menyalami Luka.
Kami semua mengucapkan terima kasih kepada Luka.
Kemudian kami bergegas melangkah ke arah yang ditunjuknya. Kami
begitu menggebu-gebu, sehingga kami bertiga bicara berbarengan.
"Apakah mereka akan menyambut kita dengan ramah?"
"Apakah mereka akan mengizinkan kita melihat Legenda yang
Hilang?" "Apakah mereka akan mengizinkan kita meminjamnya?" Dad
bertanya. "Seandainya kita bisa meminjamnya selama beberapa
minggu..." "Luka bilang mereka mungkin kurang ramah." "Dia bilang mereka takkan menyerahkan
legenda itu - dengan imbalan apa pun."
Kedua sungai yang diceritakan Luka ternyata tidak sulit
diseberangi. Kami berjalan sekitar satu jam.
Kami masih asyik berbincang-bincang ketika mendekati
perkemahan para pengembara. Kami berhenti di atas bukit rendah
yang menghadap ke lapangan luas penuh batu.
Itu lapangan yang dimaksud Luka.
Kami melihat beberapa deret tenda kecil yang terbuat dari kulit
hewan. Beberapa orang berjubah cokelat sedang sibuk membuat api
unggun di tengah lapangan. Sekelompok anjing kelabu tampak
bermain-main di pinggir perkemahan.
"Astaga," Dad berseru sambil mengamati desa kecil itu. "Sukar dipercaya Legenda
yang Hilang ada di tangan para pengembara ini."
"Tapi, apakah mereka akan mengizinkan kita melihatnya?" aku bertanya.
"Hanya ada satu cara untuk memastikannya," jawab Dad. Ia
mulai menuruni bukit. "Halo!" ia berseru kepada para pengembara.
"Halo!" Chapter 31 "HALO! Halo!" Anjing-anjing kelabu tadi langsung berhenti bermain ketika
melihat kami datang. Mereka menggonggong keras-keras, dan berlari
menyambut kami. Semuanya merundukkan kepala, memperlihatkan
gigi-gigi yang runcing, dan menggeram.
Marissa, Dad, dan aku berhenti melangkah. Kulihat tiga orang
berjubah cokelat bergegas keluar dari tenda. Mereka segera mengusir anjing-
anjing itu. "Halo," Dad menyapa mereka dengan ramah. "Saya Profesor Richard Clarke, dan ini
Justin dan Marissa."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Tapi mereka tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
Dua dari mereka berkepala botak. Yang satu lagi berambut
panjang dan berkumis lebat. Rambut dan kumisnya sama-sama putih.
Marissa dan aku berpandangan.
Aku tahu Marissa sama ngerinya dengan aku. Para pengembara
berjubah cokelat ini sama sekali tidak tampak ramah.
Si pengembara berambut putih angkat bicara. "Bagaimana cara
kalian menemukan kami?" ia bertanya dengan nada tidak bersahabat.
"Ada, yang memberitahukan arahnya," sahut Dad.
"Kenapa kau kemari, Profesor Clarke?" si pengembara kembali bertanya.
"Kami sedang mencari Legenda yang Hilang," Dad
memberitahunya. Ketiga orang itu memekik tertahan. Mereka segera merapatkan
kepala dan mulai berbisik-bisik.
Setelah selesai berunding, mereka kembali memandang kami.
Tapi mereka diam saja. "Apakah Legenda itu ada di sini?" Dad bertanya. "Apakah Legenda itu ada di
tempat kalian?" "Ya," jawab pengembara berambut putih. "Legenda itu ada di sini."
Ia membisikkan sesuatu kepada kedua kawannya. Mereka
berbalik dan bergegas pergi. Jubah panjang mereka tampak melambai-
lambai. Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali. Salah satu
dari mereka membawa peti perak berukuran kecil.
"Oh, astaga!" Dad bergumam sambil membelalakkan mata. "Ini dia" Betulkah ini
Legenda yang Hilang?"
"Ya," balas si pengembara berambut putih. "Kalian
menginginkannya?" "Hah?" Marissa, Dad, dan aku kaget.
Para pengembara menyerahkan peti itu padaku. Saking
kagetnya, aku nyaris tak kuat memegangnya.
"Ambillah!" kata si pengembara berambut putih. Ia segera
melangkah mundur. Dad menelan ludah. "Kalian sungguh-sungguh?" ia bertanya.
"Kalian sungguh-sungguh memberikannya kepada kami?"
"Ya. Ambillah," sahut orang itu cepat-cepat. "Selamat tinggal."
Ia dan kedua rekannya berbalik dan kembali masuk ke tenda
mereka. Di luar dugaan kami, mereka mulai membongkar
perkemahan. Puluhan pengembara mulai merobohkan tenda, mengemas
perlengkapan, memadamkan api unggun. Dan dalam waktu beberapa
menit saja mereka telah menghilang.
Lapangan itu jadi kosong. Tak ada tanda-tanda bahwa para
pengembara pernah ada di situ. "Aneh," Dad bergumam. "Aneh sekali."
Kami pun meninggalkan lapangan itu. Kami bertiga benar-
benar terkejut dan bingung.
"Mereka menyerahkan harta ini begitu saja," kata Dad sambil mengusap-usap
janggut. "Kenapa mereka berbuat begitu" Kenapa
mereka menyerahkan harta ini tanpa minta imbalan apa pun" Ini
benar-benar tidak masuk akal."
Peti itu masih kudekap erat-erat. Setelah berjalan agak lama,
aku berhenti. "Mau ke mana kita sekarang?" tanyaku. "Bagaimana kalau petinya
kita buka dulu" Coba kita lihat apa isinya."
"Ya!" ujar Dad. "Aku juga sudah tak sabar."
Ia mengambil peti itu dari tanganku. Dengan hati-hati ia
meletakkannya di tanah. "Coba kita lihat."
Perlahan-lahan ia mengangkat tutupnya. Lalu ia meraih ke
dalam - dan mengeluarkan setumpuk kertas yang sudah menguning
dengan tulisan kecil berwarna hitam.
"Yes!" Dad berbisik dengan gembira. "Yes!"
Ia memegang legenda kuno itu dengan kedua tangan, lalu
membentangkannya supaya Marissa dan aku bisa ikut melihatnya.
"Wow!" Marissa berseru. "Kelihatannya memang sudah tua sekali - ya, kan?"
"Dad, apa yang tertulis di halaman pertama?" aku bertanya sambil memicingkan
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata agar dapat membaca huruf-huruf kecil itu.
"Ehm... coba kulihat," Dad bergumam. Ia mendekatkan kertas itu ke wajahnya,
mengerutkan kening, lalu membaca keras-keras:
"BARANGSIAPA MENGUASAI LEGENDA YANG
HILANG AKAN TERSESAT UNTUK SELAMA?LAMANYA."
"Hah" Apa maksudnya?" aku berseru.
Dad angkat bahu. "Tak berarti apa-apa. Itu hanya bagian dari
legenda." "Dad yakin?" Marissa bertanya dengan suara gemetar.
Dad mengamati naskah itu. "'Tersesat untuk selama-
lamanya...," ia bergumam. "'BARANGSIAPA MENGUASAI
LEGENDA YANG HILANG AKAN TERSESAT UNTUK
SELAMA-LAMANYA." "Hei - di mana kita?"
Kami bertiga memandang berkeliling dan melihat pohon-pohon
gelap yang terasa asing. Kami telah berjalan menjauhi lapangan berbatu. Tak ada lagi
yang kami kenali. "Di mana kita?" Dad bertanya sekali lagi.
"K-kita tersesat," aku berbisik. END
Ebukulawas.blogspot.com Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 16 Wiro Sableng 101 Gerhana Di Gajahmungkur Pelangi Di Majapahit 1