Pencarian

Pembalasan Kurcaci Ajaib 2

Goosebumps - Pembalasan Kurcaci Ajaib Bagian 2


Mom segera berpaling dari komputernya.
"Ada apa ?" "Kurcaci-kurcaci itu!" seruku. "Ada cat hitam di tangan mereka. Dan mereka tidak
nyengir lagi. Coba Mom ikut keluar. Agar bisa lihat sendiri!"
Pelan-pelan Mom mendorong kursinya menjauhi komputer. "Awas Joe, kalau ini
lelucon lagi..." "Cepat, Mom. Sebentar saja. Ini bukan lelucon. Sungguh!"
-Mom menuruni tangga. la berhenti di ambang pintu depan dan memandang ke arah
kedua kurcaci!. "Tuh, kan!" seruku sambil berdiri di belakangnya. "Apa kubilang! Coba lihat
tampang mereka. Mereka kelihatan seperti lagi menjerit!"
Mom memicingkan mata. "Joe, jangan macam-macam. Kenapa k-u menggangguku yang
sedang kerja" Mereka tetap tersenyum seperti biasa."
"Masa?" aku memekik tak percaya, lalu berlari keluar dan menatap kedua kurcaci.
Mereka membalas tatapanku. Sambil nyengir lebar.
"Joe, kalau bercanda jangan keterusan," Mom berkata ketus. "Lama-lama semua
orang jadi bosan. Lelucon kurcaci itu tidak lucu. Sama sekali tidak lucu."
"Tapi bagaimana dengan cat di jari mereka?"
"Itu cuma noda," sahut Mom dengan jengkel. "Ayo, lebih baik kau baca buku saja.
Atau bereskan kamarmu. Cari kesibukan lain untuk mengisi waktu. Mom jadi pusing
kalau begini terus!"
Aku duduk di rumput. Sendirian. Aku perlu berpikir.
Aku memikirkan biji casaba di bibir kurcaci. Aku teringat pertama kali mereka
meringis ketakutan, yaitu saat Buster pertama kali menjilat-jilat mereka.
Dan sekarang ada cat di jari mereka.
Bukti-bukti itu tidak bisa disangkal.
-Mereka hidup. Dan merekalah yang mengacak-acak kebun Mr. McCall.
Kurcaci-kurcaci itu" Mengacak-acak kebun" Aduh, rupanya aku benar-benar sudah
mulai sinting! Tiba-tiba aku merasa kurang sehat. Semuanya tidak masuk akal.
Aku bangkit untuk masuk ke rumah.
Saat itulah kudengar bisikan pelan.
Bisikan yang pelan dan parau. Dari dekat kakiku.
"Tidak lucu, Joe," bisik Hap.
"Sama sekali tidak lucu," Chip menimpali dengan suara serak.
-13 PERLUKAH aku memberi tahu Mom dan Dad tentang kejadian tadi" aku bertanya-tanya
ketika kami makan malam. "Apa saja yang kalian kerjakan hari ini?" Dad bertanya dengan riang sambil
mengambil kentang. Mereka takkan percaya. "Heidi dan aku naik sepeda ke kolam renang," jawab Mindy. Ia menyusun potongan
ikan -tuna panggang menjadi bujur sangkar yang rapi di piringnya. Kemudian ia
menggeser kacang polong yang kesasar. "Tapi kaki Heidi kram, jadi kami lebih banyak berjemur saja."
Aku harus menceritakannya.
"Aku mendengar sesuatu yang aneh tadi sore," ujarku menyela. "Benar-benar aneh."
"Hei, aku belum selesai!" Mindy memprotes. Ia menyeka mulutnya dengan serbet.
"Tapi ini lebih penting!" seruku. Saking gugupnya, aku mulai merobek-robek
serbet kertas. "Aku sedang di pekarangan depan, sendirian, ketika tiba-tiba ada
yang berbisik-bisik."
Kurendahkan suaraku supaya parau dan berat.
"Suara-suara itu bilang, 'Tidak lueu, Joe. Tidak lucu.' Aku tidak tahu siapa
yang ngomong. Selain aku, tidak ada siapa pun di sana. Tapi... ehm... sepertinya
kurcaci-kurcaci itu, deh."
Mom langsung menaruh gelasnya ke meja. Keras sekali. "Aku tidak mau mendengar
lelucon kurcaci lagi!" katanya. "Lelucon itu tidak lucu, Joe."
"Tapi ini benar!" seruku sambil meremas-remas serbet sampai berbentuk bola.
"Mereka jelas-jelas berbisik. "
Mindy ketawa mengejek. "Huh, bosan," ujarnya. "Dad, tolong rotinya, dong."
"Silakan, Sayang," sahut Dad sambil menyerahkan baki kayu berisi potongan-
potongan roti. Setelah itu Mindy meneruskan ceritanya yang terpotong tadi.
-Sehabis makan malam Dad mengajak kami menyiram tomat-tomatnya.
"Oke," kataku sambil angkat bahu. Sebenarnya aku tidak terlalu berminat, tapi
yang penting aku bisa keluar rumah.
"Perlu kuambilkan Bug Be Gone?" tanyaku ketika kami melangkah keluar.
"Oh! Oh!" Dad mendadak memekik. Wajahnya langsung pucat pasi.
"Ada apa, Dad" Ada apa?"
Dia menunjuk tanaman-tanaman tomat di hadapan kami tanpa sanggup berkata-kata.
"Aduh " gumamku. "Kok bisa begini?"
-Tomat-tomat kami yang merah dan ranum sudah gepeng, remuk, hancur lebur-biji
dan daging buahnya yang merah berserakan di mana-mana.
Dad sampai terbengong-bengong. Dengan geram ia mengepal-ngepalkan tangan. "Ya
ampun siapa yang tega berbuat begini?" gumamnya.
Jantungku langsung berdegup-degup.
Aku tahu apa yang telah terjadi. Dan sekarang semua orang pasti akan percaya.
"Pasti kurcaci-kurcaci itu, Dad!" Aku menarik lengan bajunya, mencoba
menyeretnya ke pekarangan depan. "Aku punya bukti! Dad bisa lihat sendiri!"
"Joe, jangan tarik-tarik bajuku. Ini bukan waktu untuk bercanda. Tidak sadarkah
kau, kita terpaksa batal ikut pameran perkebunan. Kita kehilangan kesempatan
untuk memenangkan hadiah pertama! Oh, jangankan hadiah pertama, hadiah hiburan
juga tak bakal kita dapa!."
"Dad harus percaya. Ayo, kita lihat ke sana!"
Aku tetap mencengkeram lengan bajunya. Sambil menariknya, aku bertanya-tanya apa
yang akan kami temukan di situ.
Sari tomat berwarna merah darah mengotori wajah mereka yang jelek"
Daging buah melumuri tangan mereka"
Ratusan biji tomat menempel pada kaki mereka"
Kami menghampiri kedua kurcaci. Aku menatap mereka sambil memicingkan mata. Dan
akhirnya kami berhenti di hadapan keduanya.
Dan aku seakan-akan tidak percaya pada mataku.
-14 TERNYATA tidak ada apa-apa.
Tak ada sari tomat. Tak ada daging buah. Tak ada biji. Tak satu pun.
Kuperiksa seluruh tubuh kedua kurcaci Perasaanku kacau-balau. Dari wajah mereka
yang nyengir jelek sampai ke kaki mereka yang kecil.
Tak ada apa-apa. Sama sekali.
Bagaimana mungkin aku keliru" Perutku serasa diaduk-aduk ketika aku berbalik
menghadap Dad. "Dad..." suaraku bergetar.
Ia segera memotongku dengan lambaian tangan.
"Tak ada yang perlu dilihat di sini, Joe," gumamnya. "Dan mulai sekarang aku tak
mau dengar cerita kurcaci lagi. Mengerti" Aku sudah bosan."
Matanya yang cokelat menyala-nyala karena marah. "Aku tahu siapa yang
bertanggung jawab!" katanya dengan getir. "Dan ia tidak bakal lolos begitu
saja!" Seketika ia berbalik, menuju ke pekarangan belakang. Dipungutnya sepotong tomat
yang sudah hancur. Air menetes-netes dari sela jarinya ketika ia kembali ke
depan dan bergegas ke rumah Mr. McCall.
-Aku mengamati Dad berhenti di depan pintu keluarga McCall, dan menekan bel.
Sebelum pintu terbuka, ia sudah berteriak-teriak. "Hei, Bill! Cepat keluar kau!
Sekarang juga!" Aku terus mengamati. Seumur hidup aku belum pernah melihatnya semarah ini.
Terdengar bunyi kunci diputar. Pintu membuka. Lalu muncullah Mr. McCall,
mengenakan baju joging putih, menggenggam iga sapi yang tengah dimakannya.
"Jeffrey, ada apa, sih" Ribut-ribut begini, bikin pencernaanku terganggu saja."
Ia tertawa sendiri. "Hah, coba kaucerna ini!" teriak Dad. Dia mengayunkan tangan dan melemparkan
tomatnya. Tomat itu menghantam T-shirt Mr. McCall yang putih, menetes-netes ke celananya.
Bahkan menetes ke sepatunya yang putih bersih.
Dengan terbengong-bengong Mr. McCall menatap bajunya. "Kau sudah gila?" serunya
lantang. "Bukan aku, tapi KAU!" teriak Dad. "Bisa-bisanya kau berbuat begini" Cuma demi
kejuaraan yang konyol!"
"Apa maksudmu?"
"Oh, kau pura-pura bodoh, ya. Kau berlagak tidak tahu apa-apa. Hah, pokoknya
urusan ini takkan kubiarkan begitu saja."
Mr. McCall melangkah maju dan berdiri persis di depan Dad. Sambil bertolak pinggang ia membusungkan dadanya yang bidang.
"Aku tidak menyentuh sama sekali tomatmu yang brengsek itu!" teriaknya dengan
suara menggelegar. "Berani-beraninya kau menuduhku! Jangan-jangan tomatmu yang
menang tahun lalu sebenarnya kau beli!"
Dad mengacung-acungkan kepalan tinju di depan hidung Mr. McCall. "Tomatku memang
yang terbaik di pameran itu! Tomatmu kelihatan seperti kismis dibandingkan
tomatku! Lagi pula, mana ada yang menanam casaba di Minnesota" Kau bakal jadi
bahan tertawaan di pameran nanti!"
Seluruh tubuhku gemetar. Gawat, pikirku. Mereka bisa berkelahi kalau begini. Dan
aku yakin Dad bakal babak belur.
"Bahan tertawaan?" Mr. McCall menggeram. "Kau yang patut ditertawakan. Kau dan
tomat-tomatmu yang masam. Dan hiasan tamanmu yang konyol! Pergilah sebelum aku
lupa diri!" Mr. McCall kembali ke pintu rumahnya, lalu berbalik dan berkata, "Mulai sekarang
aku melarang anakku bergaul dengan Joe! Paling-paling ia yang merusak tomatmu..
Kan ia juga yang merusak melon-melonku!"
Ia melangkah masuk dan membanting pintu. Saking kerasnya seluruh beranda depan
ikut bergetar. -Malam itu aku tidak bisa tidur. Selama berjam-jam aku cuma berguling-guling di
tempat tidur Melon-melon bergambar wajah. Tomat-tomat yang remuk. Kurcaci-kurcaci yang
berbisik. Semua itu tak mau hilang dari benakku.
-Aku melirik weker. Sudah lewat tengah malam, tapi aku belum juga terlelap.
Kurcaci-kurcaci itu seakan menari-nari di depan mataku. Mereka tersenyum
mengejek. Dan tertawa. Menertawakan aku.
Tiba-tiba kamarku terasa panas dan pengap. Kusingkirkan selimut tipis yang
membungkus kakiku. Tapi aku tetap saja kepanasan.
Aku melompat turun dari tempat tidur dan melangkah menuju ke jendela. Langsung
saja kubuka jendela lebar-lebar. Udara hangat dan lembab mengalir masuk.
Kusandarkan tangan ke ambang jendela dan kupandang kegelapan di luar. Kabut
tebal menyelubungi pekarangan depan. Meskipun sedang kepanasan aku merinding.
Belum pernah aku melihat kabut seperti ini.
Kabut menipis sedikit. Samar-samar aku bisa melihat patung malaikat di
pekarangan. Patung anjing. Dan keluarga sigung. Kawanan angsa. Bayangan berwarna pink-
kawanan flamingo. Lalu aku melihat Deer-lilah, si rusa.
Sendirian. Tanpa teman. Kedua kurcaci telah lenyap.
-15 "MOM! Dad!" seruku. Terburu-buru aku berlari ke kamar mereka. "Bangun, Dad!
Bangun, Mom! Kurcacinya hilang!"
Mom langsung duduk tegak. "Ada apa" Apa yang hilang?"
Dad tidak bergerak sedikit pun.
"Kurcacinya!" aku berseru sambil mengguncang-guncangkan bahu Dad. "Bangun, Dad!"
Dad membuka sebelah mata, menatap sambil mengerutkan kening. "Jam berapa
sekarang?" ia bergumam.
"Bangun, dong!" aku memohon.
Sambil mendesah Mom menyalakan lampu bacanya. "Joe. Ini sudah tengah malam.
Kenapa kau membangunkan kami?"
"Mereka-mereka kabur!" aku tergagap-gagap. "Hilang! Aku tidak bercanda. Aku
serius." Orang tuaku berpandangan, lalu menatapku dengan tajam. "Cukup!" seru Mom. "Kami
sudah bosan mendengar lelucon-leluconmu. Apalagi tengah malam buta seperti
sekarang. Ayo, kembali ke kamarmu!"
-"Sekarang juga!" Dad menimpali. "Kami sudah cukup sabar selama ini. Besok pagi
kita akan bicara serius."
"Tapi-tapi-tapi..." aku tergagap-gagap.
"Kembali ke kamarmu!" seru Dad.
Pelan-pelan aku keluar dari kamar mereka.
Seharusnya sejak awal aku sudah tahu mereka takkan percaya. Tapi aku harus bisa
meyakinkan seseorang. Aku berlari menyusuri koridor yang gelap, menuju kamar Mindy. Ketika aku
mendekati tempat tidurnya, aku mendengar suara mirip siulan, seperti biasa kalau
ia tidur telentang. Ia asyik bermimpi. Sejenak aku menatapnya dengan bimbang. Perlukah aku membangunkannya" Apakah ia
akan percaya" Kutepuk-tepuk pipinya. "Mindy Bangun," bisikku.
Tak ada reaksi. Sekali lagi kupanggil namanya. Sedikit lebih keras.
Dengan enggan Mindy membuka mata. "Joe?" ia bertanya dengan suara mengantuk.
"Bangun. Cepat!" bisikku dengan nada mendesak. "Kau harus lihat ini!"
"Lihat apa?" ia mengerang.
"Kurcaci. Kurcacinya hilang! Kurasa mereka kabur. Ayo, bangun! Cepat, dong!"
"Kurcaci?" -"Ayo, Mindy. Bangun. Ada keadaan darurat!"
Mata Mindy langsung terbelalak lebar. "Hah" Darurat" Apanya yang darurat?"
"Kurcacinya. Mereka hilang. Kau harus ikut keluar denganku."
"Itu yang kau bilang darurat?" ia memekik. "Yang benar saja! Aku tidak mau ikut
denganmu. Kau sudah gila, Joe. Betul-betul gila."
"Tapi.." "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Aku mau tidur."
Dia memejamkan mata dan menarik selimut sampai menutupi kepala.
Aku berdiri di kamarnya yang hening dan gelap.
Tak ada yang mau percaya padaku. Tak ada yang mau ikut denganku. Apa yang harus
kulakukan sekarang" Kubayangkan kurcaci-kurcaci itu mencabik-cabik semua tanaman di kebun kami.
Mencabut ubi jalar, meremukkan labu. Dan sebagai penutup, menginjak-injak melon
Mr. McCall yang masih tersisa!
Aku harus bertindak. Sekarang juga!
Aku berlari keluar dari kamar Mindy, bergegas menuruni tangga. Terburu-buru aku
membuka pintu depan dan menghambur keluar.
Kabut tebal menyambutku. Aku langsung tertelan kabut. Aku hampir tidak bisa melihat apa-apa. Semua
kelihatan hitam dan kelabu. Penuh bayang-bayang. Tak ada apa pun selain
bayangan-bayangan gelap. Perlahan-lahan aku melangkah maju. Gerakanku -seperti sedang di bawah air.
Rumputnya begitu basah. Aku menunduk, tapi saking tebalnya kabut, kakiku sendiri
tidak kelihatan. Seperti dalam mimpi. Mimpi yang gelap dan menakutkan. Begitu sunyi. Begitu
seram. Jantungku berdegup-degup.
Aku kehilangan arah. Apakah aku sedang menuju ke jalanan"
"Ohhh!" aku memekik ketika ada sesuatu yang mencengkeram mata kakiku.
Dengan kalang-kabut aku mengayun-ayunkan kaki. Berusaha membebaskannya.
Tapi cengkeraman itu tak mau lepas.
Dan menarikku ke bawah. Ke kegelapan yang berputar-putar.
Ularkah" Bukan. Bukan ular. Ternyata cuma slang air. Slang air yang lupa kugulung lagi
sehabis menyiram tanaman tadi malam.
Tenang, Joe, kataku dalam hati. Jangan panik.


Goosebumps - Pembalasan Kurcaci Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bangkit dan maju terhuyung-huyung. Kabut tebal sekali. Aku harus memicingkan
mata agar bisa melihat lebih jelas. Sosok-sosok gelap seakan berusaha
menjangkauku, menangkap tubuhku.
Rasanya aku ingin kembali saja. Masuk ke rumah. Dan naik ke tempat tidur yang
hangat dan nyaman. Ya. Itu yang harus kulakukan.
Perlahan-lahan aku membalik.
Saat i tulah kudengar suara. Suara langkah. Di dekatku.
Aku pasang telinga. -Sekali lagi aku mendengarnya. Suara langkah ringan seolah melayang.
Napasku terengah-engah. Jantungku berdegup kencang. Kakiku yang telanjang dingin
dan basah. Aku merinding. Seluruh tubuhku gemetaran.
Sayup-sayup kudengar tawa terkekeh-kekeh. Salah satu Kurcaci"
Aku mencoba berbalik. Mencoba melihat dalam kegelapan yang pekat.
Tapi tiba-tiba aku disergap dari belakang. Pinggangku dicengkeram erat.
Dan kudengar tawa bengis ketika aku terempas ke tanah.
16 -TAWA bengis itu terdengar kembali ketika aku tergeletak di rumput.
Tapi kali ini aku mengenalinya.
"Moose?" "Kau pasti sudah ketakutan setengah mati!" gumamnya. la membantuku berdiri. Di
tengah kabut tebal pun aku bisa melihatnya nyengir lebar.
"Moose-kenapa kau ada di sini?" seruku dengan heran.
"Aku tidak bisa tidur. Sepertinya aku terus mendengar suara-suara aneh. Lalu
kubuka jendela kamar tidurku - dan aku melihatmu. Kau sedang apa sih, Joe" Mau
bikin masalah lagi?"
Kutepis rumput basah yang menempel di tanganku. "Bukan aku yang bikin masalah,"
ujarku. "Kau harus percaya. Lihat tuh-kedua kurcaci-mereka hilang."
Aku menunjuk ke arah rusa. Moose segera melihat bahwa Hap dan Chip tidak ada di
tempat seharusnya Lama ia memandang tanpa berkedip. "Ini pasti lelucon konyol lagi - ya, kan?"
-"Bukan. Ini sungguh-sungguh. Aku harus menemukan mereka."
Moose menatapku sambil mengerutkan kening. "Kau apakan mereka" Kausembunyikan,
ya" Di mana mereka" Ayo, mengaku saja!"
"Aku tidak menyembunyikan mereka."
"Cepat, bilang saja," ia mendesak sambil merapatkan wajahnya ke wajahku. "Atau
kau ingin merasakan Sepuluh Siksaan dariku?"
Moose mendorong dadaku dengan tangannya yang besar. Aku jatuh, kembali
tergeletak di rumput yang basah. Moose langsung menduduki perutku dan menahan
lenganku dengan sikunya. "Ayo, buka mulut!" ia mengancam. "Katakan di mana mereka!" Lalu ia mulai.
bergoyang-goyang. "Berhenti!" ujarku sambil terengah. "Sudah, berhenti!"
Ia berhenti karena lampu mendadak menyala di rumah kami.
"Wah, gawat," bisikku. "Kita bakal dimarahi habis-habisan."
Aku mendengar pintu rumahku membuka. Disusul kemudian pintu rumah Moose.
Moose dan aku terdiam. "Jangan ribut," bisikku.
"Barangkali mereka tidak melihat kita."
"Siapa itu?" Dad memanggil dari beranda.
"Ada apa ini, Jeffrey?" kudengar Mr. McCall berseru. "Siapa yang ribut-ribut di
luar?" "Entahlah," sahut Dad. "Tadinya kupikir si Joe..."
Uh, selamat, pikirku. Kami terlindung oleh kabut.
Kemudian aku mendengar bunyi klik. Berkas sinar senter yang panjang dan sempit
menyapu pekarangan. Lalu berhenti ketika menerangi Moose dan aku.
"Joe!" teriak Dad. "Sedang apa kau di situ" Kenapa kau tidak menjawab tadi?"
"Moose!" Mr. McCall berseru dengan geram.
"Ayo, masuk! Cepat!"
Moose berdiri dan berlari ke rumahnya. Untuk kedua kalinya malam itu aku bangkit
dari rumput yang basah. Pelan-pelan aku masuk ke rumah.
Dad menyilangkan tangan di depan dada. "Dua kali dalam semalam kau membangunkan
kami! Dan kau berkeliaran di luar saat tengah malam. Ada apa sih denganmu?"
"Begini, Dad, aku keluar cuma karena kurcaci-kurcaci itu hilang. Coba lihat
sendiri," aku memohon.
Dad menatapku sambil memicingkan mata. "Aku sudah capek mendengar cerita-cerita
kurcaci ini!" hardiknya. "Ini sudah kelewatan! Cepat naik ke kamarmu. Sebelum
kau kuhukum sampai akhir musim panas!"
"Aduh, Dad. Aku tidak mengada-ada. Coba lihat dulu, deh," aku merengek. "Coba,
deh. Coba." Lalu aku menambahkan, "Aku takkan minta apa-apa lagi setelah ini."
Kelihatannya janji itu berhasil meyakinkannya.
-"Oke," ia berkata sambil mendesah. "Tapi kalau ini lelucon lagi..."
Dad menghampiri jendela ruang duduk dan memandang ke luar.
Semoga kurcaci-kurcaci itu masih hilang! aku berdoa dalam hati. Semoga Dad tahu
bahwa aku tidak mengarang-ngarang cerita. Semoga...
-17 -"JOE kau benar! Hap dan Chip tidak ada!"
Ia percaya! Akhirnya ia percaya padaku! Aku langsung berdiri dan mengacungkan
tinju. "Yes!" Dad menyapu kaca jendela yang berembun dengan lengan piama, lalu kembali
memandang ke luar. "Betul kan, Dad! Betul kan!" seruku gembira. "Aku tidak bohong. Aku tidak
bercanda." "Hmmm. Deer-lilah juga tidak kelihatan," ujarnya pelan.
"Apa?" aku memekik. Perutku serasa diaduk-aduk. "Ia ada di situ, kok! Tadi aku
masih melihatnya!" "Tunggu sebentar," Dad bergumam. "Ahhh. Itu dia. Tadi dia tertutup kabut. Dan
kurcacinya! Itu mereka! Mereka masih ada! Mereka juga tertutup kabut. Lihat,
tuh!" Aku memandang ke luar jendela. Dua topi runcing menyembul dari balik kabut.
Kedua kurcaci itu berdiri di tempat semula, di samping rusa.
"Aduuuuh!" aku mengerang. "Mereka tidak ada tadi. Aku tidak bercanda, Dad Aku
serius!" "Kabut memang bisa menipu pandangan kita" Dad menjelaskan. "Suatu hari aku
pernah naik mobil di tengah kabut yang amat tebal. Tiba-tiba aku melihat sesuatu
di depan. Berbentuk bulat mengilap. Kelihatannya seperti melayang-layang di udara. Ya
ampun, pikirku saat itu. Ada UFO! Piring terbang! Aku sendiri hampir tidak
percaya!" Ia menepuk-nepuk pundakku. "Nah, UFO yang kulihat ternyata cuma balon perak yang
diikat ke tiang lampu. Oke, Joe. Kembali ke soal kurcaci," tampang Dad berubah
jadi serius, "aku tidak mau mendengar cerita konyol lagi. Kurcaci-kurcaci itu
cuma hiasan taman. Cuma itu. Oke. Jangan kausinggung-singgung lagi. Janji?"
Aku tidak punya pilihan. "Aku berjanji," ujarku sambil menundukkan kepala.
Lalu aku naik ke kamarku.
Aku telah mengalami satu hari-plus satu malam-yang betul-betul brengsek. Dad
menganggapku pembohong. Tomat-tomat kami hancur. Dan Moose tak boleh lagi
bermain denganku. Lengkaplah sudah penderitaanku. Takkan ada yang lebih buruk
dari ini. Perasaanku tidak enak ketika aku terbangun keesokan pagi. Perutku teras a berat,
seolah aku baru saja makan semangkuk semen. Kurcaci-kurcaci itu tak bisa
kusingkirkan dari pikiranku.
Mereka telah merusak liburan musim panasku. Mereka telah merusak seluruh
hidupku! -Lupakan mereka, Joe, kataku dalam hati. Lupakan mereka.
Aku agak terhibur karena yakin hari ini pasti lebih baik dan kemarin. Tak
mungkin ada yang lebih parah dari yang kualami kemarin.
Aku memandang ke luar jendela kamarku. Kabut semalam tak tersisa sedikit pun,
matahari bersinar cerah dan hangat. Buster masih tidur di rumput. Tali
pengikatnya yang panjang meliuk-liuk di pekarangan.
Aku melirik ke rumah keluarga McCall. Barangkali Moose sedang membantu ayahnya
di kebun, pikirku. Aku melongok dari jendela supaya bisa melihat lebih jelas.
"Oh, ya ampun!" aku mengerang. "Kok jadi begini?"
-18 -MOBIL Jeep kuning Mr. McCall berlepotan cat putih! Atapnya! Kap mesinnya!
Jendelanya! Seluruh mobil itu berlumuran cat.
Aku langsung tahu bakal ada masalah besar.
Cepat-cepat kupakai celana jeans dan T-shirt-ku yang kemarin. Lalu bergegas
keluar. Moose sudah ada di depan garasi. Tampangnya tegang sekali. Ia mengelilingi mobil
sambil geleng-geleng kepala.
"Gila, hmm?" katanya, berpaling padaku. "Ayahku langsung mengamuk melihat ini!"
"Kenapa ia tidak parkir di garasi?" tanyaku. Mr. McCall biasa memarkir Jeep-nya
di garasi mereka. Moose angkat bahu. "Ibuku baru saja membereskan ruang bawah tanah dan gudang di
bawah atap. Barang-barang yang sudah tidak terpakai, akan dijualnya. Mungkin ada
sejuta kardus yang ia letakkan di garasi. Jadi ayahku terpaksa parkir di luar
semalam." Moose menepuk-nepuk atap Jeep. "Catnya masih basah. Coba pegang."
Aku menyentuhnya. Cat itu lengket di tanganku.
"Ayahku marah sekali," ujar Moose. "Mula-mula -ia pikir ini perbuatan ayahmu,
yang membalas dendam gara-gara urusan tomat semalam. Tapi ibuku bilang itu tidak
masuk akal. Jadi ayahku menelepon polisi. Ia bilang ia takkan diam sebelum orang
yang melakukan perbuatan ini masuk penjara."
"Ia bilang begitu?" tanyaku. Mulutku mendadak kering. "Moose, begitu polisi
mulai mengusut peristiwa ini, yang dituduh adalah kau dan aku!"
"Kita" Yang benar saja" Kenapa mereka menuduh kita?"
"Soalnya kita sama-sama ada di luar semalam!" sahutku. "Dan semua orang tahu!"
Moose langsung ketakutan. "Wah, benar juga," katanya. "Apa yang harus kita
lakukan sekarang?" "Aku sendiri tidak tahu," sahutku lesu. Sambil berpikir keras aku mondar-mandir
di depan garasi Moose. Aspal di bawah kakiku yang telanjang terasa hangat dan
lengket. Aku pindah ke bagian yang ditumbuhi rumput. Dan di situ kulihat tetes-tetes cat
putih yang membentuk garis.
"Hei, apa ini?" seruku.
Jejak itu kuikuti melintasi rumput. Melewati bunga-bunga petunia. Sampai ke
pojok pekaranganku. Tetes-tetes cat itu berakhir di tempat kedua kurcaci berdiri sambil nyengir.
"Apa kubilang! Apa kubilang!" aku berseru-seru. "Moose, coba lihat jejak ini.
Kurcaci-kurcaci ini yang mencorat-coret mobil kalian. Mereka yang membuat
kekacauan di sini." "K-kurcaci hiasan taman?" Moose tergagap-gagap. "Sudah deh, Joe. Mana ada yang
percaya" Jangan mengada-ada."
"Tapi coba lihat bukti-buktinya!" aku mendesak. "Biji melon di bibir si kurcaci.
Tetes-tetes cat putih. Aku bahkan sempat melihat cat hitam di jari mereka.
Persis setelah ayahmu menemukan gambar wajah tersenyum di melon casaba-nya!"
"Aneh," Moose bergumam. "Ini benar-benar aneh. Tapi kurcaci-kurcaci ini cuma
hiasan taman, Joe. Mereka tidak mungkin mondar-mandir berbuat iseng."
"Bagaimana kalau aku bisa membuktikan bahwa mereka yang bersalah?"
"Hah" Bagaimana caranya?"
"Kita harus menangkap basah mereka," sahutku.
"Hah" Ini tidak masuk akal, Joe."
"Ayo, Moose. Nanti malam kita pasang jebakan. Kita keluar diam-diam, terus kita
sembunyi di samping rumah, mengawasi mereka."
Moose menggelengkan kepala. "Sori," katanya. "Aku sudah kenyang dimarahi gara-
gara kejadian semalam "
"Itu belum apa-apa ketimbang yang bakal terjadi kalau polisi sudah mulai
mengusut kejadian ini."
Aku melirik ke mobilnya. "Oke. Oke. Aku ikut. Tapi aku yakin kita cuma buang-buang waktu."
-"Kurcaci-kurcaci itu akan kita jebak, Moose," ujar- ku dengan geram. "Biarpun
kita harus begadang semalam suntuk."
Ahhh! Wekerku! Wekerku tidak bunyi!
Dan sekarang sudah hampir tengah malam. Aku terlambat. Aku sudah janji bertemu
Moose di luar, pukul setengah dua belas tepat.
Serta-merta aku melompat dari tempat tidur. Aku masih memakai jeans dan T-shirt.
Terburu-buru kusambar sepatu ketsku lalu berlari keluar.
Tak ada bulan. Tak ada bintang. Pekarangan depan terselubung kegelapan yang
hitam pekat. Suasananya hening. Terlalu hening.
Aku memandang berkeliling, mencari-cari Moose. Tapi sosoknya tidak kelihatan.
Mungkin ia sudah masuk lagi karena terlalu lama menungguku.
Apa yang harus kulakukan sekarang" Tinggal sendirian di luar" Atau kembali ke
tempat tidur" Semak-semak di dekatku berdesir. Aku menahan napas.
"Joe. Joe. Sebelah sini," Moose berseru dengan suara tertahan.
Kepalanya menyembul dari balik semak-semak di depan rumahku. Ia melambai-
lambaikan tangan. Aku segera menghampirinya.
Moose menonjok lenganku. "Kupikir kau tidak berani keluar."
-"Enak saja," sahutku. "Kan aku yang punya ide ini!"
"Yeah, ide gila," balas Moose. "Coba pikir, kita bersembunyi di balik semak-
semak. Di tengah malam buta. Untuk mengintai hiasan taman."
"Aku tahu kedengarannya tidak masuk akal, tapi.."
"Sst. Bunyi apa itu?" ia memotong.
Aku juga mendengarnya. Bunyi gesekan.
Aku menjulurkan tubuh, membelah ranting-ranting berdaun lebat yang menghalangi
pandanganku. Tangan dan lenganku tertusuk duri. Cepat-cepat kutarik tanganku.
Darah menetes dari luka di ujung jariku.
Bunyi itu semakin dekat. Jantungku mulai berdegup kencang.
Moose dan aku saling merapat. Kami bertukar pandang. Kurasa ia sama ngerinya
denganku. Tapi aku harus mengintip. Aku harus tahu dari mana bunyi itu berasal.
Sekali lagi kubelah ranting-ranting di hadapan kami. Dan mengintip lewat sela
daun-daun. Sepasang mata menyala membalas tatapanku!
"Tangkap dia, Moose! Tangkap!" aku memekik.
Moose langsung menerjang maju-dan melihat sosok gelap berlari menjauh.
"Berang-berang! Ya ampun, ternyata cuma berang-berang..."
Aku menghela napas. "Sori, Moose."
Kami kembali menunggu. Setiap beberapa menit kami membelah ranting-ranting untuk
mengintai kedua kurcaci. Lenganku sudah penuh luka goresan.
Tapi Chip dan Hap tidak beranjak sedikit pun. Keduanya tetap berdiri di tempat
semula sambil nyengir lebar.
Aku mengerang. Kakiku kaku dan mulai kram.
Moose melirik arlojinya. "Sudah lebih dari dua jam kita di sini," bisiknya.
"Kurcaci-kurcaci itu sama sekali tak bergerak. Aku mau pulang saja."
"Sebentar lagi, deh," aku memohon. "Kita akan menangkap mereka. Aku yakin kita
akan berhasil." "Kau betul-betul teman yang baik," kata Moose sambil membelah semak-semak untuk
kesejuta kali. "Sebenarnya aku tidak tega bilang begini, Joe, tapi kau benar-benar sinting
dan..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya menganga lebar, matanya nyaris copot
dari kepalanya. Aku ikut mengintip-dan melihat kedua kurcaci mulai bergerak. Mereka meregangkan
tangan ke atas. Mengusap-usap dagu.
Mereka menggoyang-goyangkan kaki. Lalu merapikan baju masing-masing.
"M-mereka bergerak!" seru Moose.
Seruannya terlalu keras. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tengah semak-semak.
Sekarang mereka tahu kami sedang mengintip, pikirku.
Selanjutnya apa yang akan terjadi"


Goosebumps - Pembalasan Kurcaci Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-19 -OH! Bagaimana ini" Bagaimana ini?" bisik Moose dengan panik. Ia menarikku
berdiri. "Mereka.. mereka benar-benar bergerak!"
Moose dan aku mengamati Hap dan Chip dari balik semak-semak. Kami sama-sama
membelalakkan mata karena ngeri.
Kedua kurcaci itu menekuk lutut, lalu kembali berdiri tegak. Kemudian mereka
mulai melangkah dengan kaku. Satu langkah. Dua langkah.
Ternyata aku benar. Mereka memang hidup, pikirku.
Dan sekarang mereka hendak menangkap Moose dan aku.
Kami harus lari! kataku dalam hati. Kami harus kabur dari sini!
Tapi Moose dan aku tidak bisa melepaskan pandangan dari kedua kurcaci ajaib itu!
Bulan tiba-tiba muncul di atas pepohonan. Pekarangan depan menjadi terang,
seakan ada yang menyalakan lampu. Kedua sosok buncit itu mengayunkan tangan
mereka yang pendek gemuk dan mulai berlari. Tangan mereka membelah udara seperti
sirip hiu membelah air. Mereka bergegas ke arah kami. Moose dan aku langsung berlutut dan mencoba
bersembunyi. Tubuhku gemetar. Saking kerasnya, semak-semak di hadapan kami ikut
bergetar! Kedua kurcaci semakin dekat. Begitu dekat sampai aku bisa melihat mata mereka
yang menyala merah dan gigi mereka yang putih mengilap.
Kukepalkan tanganku hingga terasa pegal.
Apa yang akan mereka lakukan terhadap kami"
Aku memejamkan mata-dan mendengar mereka berlari melewati tempat kami
bersembunyi. Langkah mereka berdebam-debam. Napas mereka mendesis-desis.
Aku membuka mata dan melihat mereka berlari menyusuri jalan setapak di samping
rumah. "Moose-mereka tidak melihat kita!" aku berbisik lega.
Kami saling membantu berdiri. Kepalaku pening. Tanah di bawah kakiku seakan-akan
oleng. Kakiku terasa lembek seperti agar-agar.
Moose mengusap alisnya yang basah karena keringat. "Mau ke mana mereka?"
bisiknya. Aku menggelengkan ke.pala. "Entahlah. Tapi kita harus mengikuti mereka. Ayo!"
Kami saling mengacungkan jempol dan keluar dari tempat persembunyian. Aku
berjalan di depan. Kami menyusuri jalan setapak, bergegas melewati beranda,
menuju ke bagian samping rumahku
Aku berhenti ketika mendengar suara bisik-bisik parau. Persis di depan kami.
Moose meraih pundakku. Matanya terbelalak lebar. "Aku mau pulang saja. Sekarang
juga!" Aku berbalik. "Jangan! Kau harus tetap di sini dan membantuku menangkap mereka.
Kita harus memberi tahu orang tua kita siapa biang keladi sesungguhnya."
Moose menghela napas. Aku merasa lebih enak setelah tahu bahwa anak sebesar
Moose ternyata juga bisa takut seperti aku. Akhirnya ia mengangguk. "Oke. Ayo,
kita tangkap mereka."
Kami mengendap-endap dalam bayang-bayang rumah, menuju ke pekarangan belakang.
Aku. melihat Buster sedang tidur lelap di samping rumah-rumahannya di tengah
pekarangan. Dan kemudian kulihat kedua kurcaci. Mereka berdiri di depan tumpukan cat dan
kuas yang ditinggalkan para tukang cat di samping garasi.
Moose dan aku mundur ketika Hap dan Chip mengambil dua kaleng cat hitam. Mereka
membuka kaleng-kaleng itu dengan jari mereka yang gemuk.
Sambil tertawa cekikikan, kedua kurcaci mengambil ancang-ancang dan menyiramkan
cat ke sisi rumahku. Dinding yang baru dicat putih itu langsung berlumuran cat
hitam. Cepat-cepat aku menutup mulut dengan sebelah tangan, supaya tidak berteriak Apa
kataku. Sejak awal aku sudah tahu. Tapi tak
ada yang mau percaya padaku. Kurcaci-kurcaci itulah biang keladi semua kekacauan
di sini Mereka kembali ke tumpukan untuk mengambil cat lagi "Kita harus
menghentikan mereka" bisikku pada Moose. "Tapi bagaimana caranya?"
"Kenapa tidak kita sergap saja" Kita sergap mereka dari belakang, terus kita
duduki." Kedengarannya mudah. Badan mereka kan kecil. Lebih kecil dari kami. "Oke,"
bisikku dengan gugup. "Setelah itu kita seret mereka ke dalam rumah, dan kita
tunjukkan pada orang tuaku."
Aku menarik napas panjang dan menahannya. Lalu bersama Moose beringsut-ingsut
maju. Sedikit demi sedikit. Kalau saja kakiku tidak gemetar begitu keras!
Lebih dekat lagi. Lalu aku melihat Moose jatuh.
Ia jatuh ke depan-dan menghantam tanah dengan suara berdebam sambil memekik,
"Aduuuh'" Baru aku sadar bahwa kakinya tersandung tali pengikat Buster.
Cepat-cepat ia bangkit. Tapi kakinya terlilit tali. Diraihnya tali itu dengan
kedua tangan, dan ditariknya keras-keras.
Gerakan itu membangunkan Buster!
"Guk! Guk! Gukgukguk!" Rupanya Buster melihat kedua kurcaci itu, sebab ia
langsung menyalak sekeras-kerasnya.
Hap dan Chip berbalik. Dan menatap kami dengan mata mereka yang merah. Dalam cahaya bulan yang terang,
wajah mereka tampak mengerikan.
"Tangkap mereka!" Chip menggeram. "Jangan biarkan mereka lolos!"
-20 -"LARI!" teriakku.
Moose dan aku melesat ke bagian depan rumah. Buster masih menggonggong terus.
Tapi selain gonggongan Buster, aku juga mendengar tawa cekikikan yang melengking
tinggi. Kurcaci-kurcaci itu cekikikan sambil mengejar kami.
Langkah mereka berdebam-debam. Aku melirik ke belakang, dan melihat kaki mereka
yang pendek bergerak cepat sekali.
Kupercepat langkahku. Tersengal-sengal aku berlari lewat samping rumah.
Tawa cekikikan kedua kurcaci terdengar begitu dekat di belakang kami.
"Tolong!" teriak Moose. "Tolooong!"
Mulutku menganga lebar. Aku sampai megap-megap menarik napas. Mereka terus
mendekat. Aku tahu aku harus berlari lebih kencang. Tapi kakiku mendadak terasa berat
sekali, seakan terbuat dari besi.
"Tolooong!" Moose memekik.
Aku melirik ke rumah. Kenapa tidak ada yang terbangun"
Kami tiba di depan, dan terus berlari.
Kenapa Hap dan Chip cekikikan seperti itu"
Karena mereka tahu Moose dan aku akan tertangkap"
Pinggangku serasa ditusuk-tusuk. "Wah gawat!" Aku nyaris kram.
Moose menarikku. "Jangan berhenti, Joe. Lari terus!"
Rasa nyeri di pinggangku semakin parah. Rasanya seperti disayat-sayat. "Tidak
bisa..." ujarku dengan susah payah. .
"Joe-jangan berhenti! Jangan berhenti!" seru Moose sambil menarik tanganku.
Tapi aku tidak sanggup lagi. Aku membungkuk sambil bertolak pinggang.
Tamat deh riwayatku kataku dalam hati. Aku takkan bisa lolos.
Lalu pintu depan terbuka. Lampu teras menyala.
"Ada apa ini?" terdengar suara yang sangat kukenal.
Mindy! Ia melangkah keluar sambil mengencangkan tali kimono pinknya Aku melihatnya
memicingkan mata ke arah kegelapan malam.
"Mindy!" aku bersern. "Mindy-awas!"
Terlambat. Kedua kurcaci itu sudah menyergapnya.
Sambil tertawa cekikikan, mereka menekan tangan Mindy di punggungnya dan
menyeretnya dari beranda. Mindy diseret ke jalanan.
-21 -MINDY mengayun-ayunkan tangan. Kakinya menendang-nendang, mencoba
melepaskan diri. Tapi kurcaci-kurcaci yang gemar cekikikan itu ternyata sangat
kuat sekali. "Tolong!" Mindy berteriak pada Moose dan aku "Jangan diam saja-tolong aku!"
Aku menelan ludah. Rasa nyeri di pinggangku tak kuhiraukan lagi.
Moose dan aku langsung mengejar mereka. Mindy sudah diseret sampai ke jalan.
Langkah para kurcaci berdebam-debam di aspal. Di bawah cahaya lampu jalanan,
kulihat Mindy meronta-ronta untuk membebaskan diri.
Moose dan aku berlari ke trotoar. "Lepaskan dia!" teriakku terengah. "Lepaskan
kakakku! Sekarang juga!" Hap dan Chip malah cekikikan lagi. Mereka bergegas melewati rumah Moose.
Melewati dua rumah berikutnya.
Moose dan aku terus mengejar. Kami berseru-seru, memohon mereka berhenti.
Lalu, di luar dugaan, mereka berhenti.
Mereka melepaskan Mindy di bawah pagar tanaman yang tinggi, lalu berpaling pada
Moose dan aku. "Kami tidak bermaksud jahat," ujar Chip.
Raut muka kedua kurcaci tampak serius sekarang. Mata mereka yang merah bersinar
dalam kegelapan. "Ini pasti cuma mimpi!" seru Mindy sambil merapikan kimononya. "Ini tidak masuk
akal! Tidak masuk aka!!"
"Memang benar," sahutku.
"Dengarkan kami," Hap berkata dengan suara parau.
"Kami tidak bermaksud jahat," Chip mengulangi.
"Tidak bermaksud jahat"!" Mindy memekik. "Tidak bermaksud jahat"! Ka-kalian baru
saja menculikku dari rumahku sendiri! Kalian... kalian..."
"Kami hanya ingin menarik perhatian kalian," sahut Hap pelan-pelan.
"Dan sekarang kalian sudah mendapatkannya!" seru Mindy dengan gusar.
"Kami tidak bermaksud jahat," Chip berkata sekali lagi. "Percayalah."
"Bagaimana kami bisa percaya?" sergahku. "Lihat semua kekacauan yang kalian
buat. Kalian menghancurkan kebun! Kalian mencipratkan cat ke mana-mana ! Kalian..."
"Kami terpaksa," Hap memotong.
"Sungguh, kami terpaksa," Chip menimpali.
"Soalnya, kami ini Kurcaci Pembuat Onar"
"Apa?" seru Mindy.
-"Kurcaci Pembuat Onar. Kami membuat onar. Itulah tujuan hidup kami," Hap
menjelaskan. "Di mana ada onar di dunia, di situlah kami berada," Chip menambahkan. "Membuat
onar adalah tugas kami. Kami tidak bisa berbuat lain."
Ia membungkuk dan mematahkan sepotong beton dari pinggiran trotoar. Kemudian ia
membuka kotak surat di seberang jalan dan menyelipkan potongan beton itu.
"Tuh! Aku tidak bisa menahan diri. Aku harus membuat onar ke mana pun aku
pergi." Hap cekikikan. "Tanpa kami, dunia ini pasti membosankan sekali-ya, kan?"
"Justru dunia akan lebih baik," Mindy berkeras sambil menyilangkan tangan di
depan dada. Sejak tadi Moose belum mengucapkan sepatah kata pun. Ia cuma berdiri sambil
menatap kedua kurcaci yang bisa bicara.
Hap dan Chip cemberut. "Tolong jangan menyakiti hati kami," Chip berkata parau.
"Hidup kami tidak mudah."
"Kami butuh bantuan kalian," Hap menambahkan.
"Kalian minta bantuan untuk membuat onar?" seruku. "Enak saja! Aku sudah cukup
mendapat banyak masalah gara-gara kalian."
"Bukan. Kami butuh bantuan kalian untuk memperoleh kebebasan," Chip berkata
sungguh-sungguh. "Kumohon-dengarkanlah ceritaku dan percayalah kata-kataku."
-"Dengar dan percaya" Hap membeo.
"Dulu kami tinggal di negeri yang jauh sekali dari sini," Chip mulai bercerita.
"Di hutan yang lebat dan hijau. Kami menjaga tambang-tambang dan melindungi
pepohonan. Sesekali kami memang berbuat jail, tapi kami juga banyak berbuat baik."
"Bangsa kami bekerja keras," Hap melanjutkan sambil garuk-garuk kepala. "Dan
kami hidup bahagia di tengah hutan."
"Tapi kemudian tambang-tambang ditutup dan pohon-pohon ditebang," Chip kembali
bicara. "Kami ditawan. Diculik. Dibawa pergi dari rumah kami. Kami dibawa ke
negeri kalian dan dipaksa bekerja sebagai hiasan taman."
"Sebagai budak," ujar Hap sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih. "Kami
dipaksa berdiri siang dan malam."
"Keterlaluan!" seru Mindy. "Apa kalian tidak bosan" Bagaimana kalian tahan
berdiri begitu lama tanpa bergerak?"
"Kami disihir," Chip menjelaskan. "Waktu berjalan tanpa kami sadari. Baru
setelah malam kami terbangun dan melakukan tugas."
"Maksudnya, membuat onar!" kataku.
Mereka mengangguk. "Tapi kami ingin bebas," Hap meneruskan. "Kami ingin bisa pergi ke mana pun kami
mau. Kami ingin tinggal di tempat yang kami pilih sendiri. Kami ingin mencari
hutan lain tempat kami bisa hidup bebas." Dua butir air mata kurcaci mengalir di
pipinya yang gemuk. Chip menghela napas dan menatapku. "Maukah kalian membantu kami?"
"Membantu apa?" tanyaku.
"Membantu kami dan teman-teman kami melarikan diri," jawab Chip.
"Masih ada enam kawan kami," Hap menjelaskan. "Mereka disekap di ruang bawah
tanah. Di Lawn Lovely. Kami butuh bantuan kalian untuk membebaskan mereka."
"sebetulnya kami bisa masuk lewat jendela ruang bawah tanah," sambung Chip.
"Tapi kami terlalu pendek untuk memanjat keluar lagi. Dan terlalu pendek untuk
meraih gagang pintu supaya bisa keluar .lewat pintu."
"Maukah kalian membantu kami melarikan diri?" Hap memohon sambil menarik-narik
bajuku. "Kalian cuma perlu masuk lewat jendela. setelah itu kalian bantu keenam
kawan kami keluar lewat pintu."
"Tolonglah kami," Chip meratap, air matanya bercucuran. "setelah itu kami akan
pergi. Ke hutan yang lebat. Kami takkan pernah membuat onar lagi."
"Kedengarannya cukup menarik!" seru Mindy.
"Jadi kalian mau?" Hap memekik.
Mereka menarik-narik kami sambil berceloteh
"Bantulah kami! Bantulah kami!"
Moose, Mindy, dan aku berpandangan dengan gelisah.
Apa yang harus kami lakukan"
-22 -"BANTULAH kami! Bantulah kami!"
"Ayo, kita bantu mereka," ajak Moose, akhirnya bisa bicara lagi.
Aku berpaling pada Mindy. sebenarnya aku enggan meminta saran padanya, tapi
bagaimanapun juga dialah yang tertua di antara kami. "Bagaimana menurutmu?"
Mindy menggigit bibir. "Hmm, kau tahu sendiri bahwa Buster paling tidak senang
diikat," katanya. "Ia selalu ingin bebas. Kurasa semua makhluk berhak hidup
bebas. Termasuk kurcaci hiasan taman."
Aku kembali berpaling pada Chip dan Hap.
"Oke!" kataku. "Kami akan membantu kalian!"
"Oh, terima kasih! Terima kasih! Terima kasih!"
Chip berseru-seru gembira. Saking senangnya ia melompat dan mengayunkan kedua
kakinya, sehingga tumit sepatunya beradu. "Ayo! Cepat!"
"sekarang?" Mindy memekik. "sekarang sudah tengah malam! Apa tidak bisa ditunda
sampai besok?" "Tidak. Ayo, sekarang," Hap berkeras.
-"Selagi gelap," Chip menambahkan. "Selagi tokonya tutup. Ayo. Kita harus cepat-
cepat." "Aku belum berpakaian," sahut Mindy: "Dan kurasa kita tidak bisa pergi sekarang.
Kurasa..." "Kalau kalian tidak berangkat sekarang juga, kami terpaksa membuat onar lagi"
Chip berkata sambil mengedipkan mata.
Aku tentu saja keberatan. "Ayo, kita berangkat sekarang saja!" ujarku.
Maka kami berlima menyusuri jalan yang gelap, mendaki bukit ke Lawn Lovely. Wow,
rasanya aneh sekali! Berjalan-jalan di tengah malam buta bersama sepasang hiasan
taman! Dan kami berniat menyusup ke toko untuk membebaskan enam hiasan taman
lainnya! Pada siang hari pun, rumah tua berwarna pink itu sudah cukup aneh. Tapi malam-
malam begini kesannya benar-benar seram. Semua hiasan taman menatap kami dengan


Goosebumps - Pembalasan Kurcaci Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangan kosong dalam kegelapan malam. Rusa, anjing laut, dan kawanan flamingo.
Jangan-jangan mereka sebenarnya juga hidup" aku bertanya-tanya.
Pikiranku itu seakan-akan terbaca oleh Hap. "Mereka cuma hiasan," katanya
mencibir. Kedua kurcaci langsung melintasi pekarangan depan yang lebar, lalu menyusuri
bagian samping rumah Mrs. Anderson. Moose, Mindy dan aku mengikuti mereka.
Mindy berpegangan pada lenganku. Tangannya sedingin es. Kakiku juga masih
gemetaran. Tapi jantungku berdegup-degup karena senang-bukan karena ngeri.
Hap dan Chip menunjuk jendela rendah yang menuju ke ruang bawah tanah. Aku
berlutut dan mengintip ke dalam. Keadaannya gelap gulita.
"Kalian yakin kawan-kawan kalian ada di bawah sana?" aku bertanya.
"Oh, ya," sahut Chip berapi-api. "Semuanya berenam. Mereka menunggu diselamatkan
oleh kalian." "Cepatlah," Hap memohon sambil mendorongku ke jendela. "Sebelum perempuan tua
itu mendengar kita, dan bangun."
Aku menyelinap lewat jendela yang terbuka. Lalu berpaling pada Moose dan Mindy
di belakangku. "Kami segera menyusul," bisik Moose.
"Cepat selamatkan mereka," Mindy mendesak, "biar kita bisa segera pergi dari
sini." "Oke, bersiap-siaplah," ujarku pelan-pelan.
Aku menyilangkan jari dan merosot ke dalam kegelapan.
-23 AKU melepaskan peganganku pada kusen jendela dan mendarat dalam posisi berdiri.
Beberapa detik setelah itu aku mendengar Moose dan Mindy menyusul.
Sambil memicingkan mata aku memandang berkeliling dalam kegelapan yang
menyelubungi ruangan. Aku tidak bisa melihat apa pun. Aku mengendus-endus sambil
menjilati bibirku yang kering. Bau menyengat memenuhi ruang bawah tanah yang
panas dan lembab itu. Baunya seperti cuka. Bau keringat, pikirku. Keringat
kurcaci. Aku mendengar tawa cekikikan dari luar. Chip dan Hap menerobos lewat lubang
jendela dan melompat turun.
"Hei..." bisikku.
Tapi mereka sudah menghilang dalam kegelapan.
"Ada apa ini?" tanya Moose.
"Kita harus cari sakelar lampu," bisik Mindy
Tapi sebelum kami sempat bergerak, lampu di langit-langit sudah menyala. Aku
berkedip-kedip karena silau oleh cahaya yang terang-benderang.
Kemudian aku memekik tertahan ketika melihat isi ruang bawah tanah yang luas
itu. Di hadapanku terbentang lautan kurcaci!
Bukan enam! Tapi enam ratus! Baris demi baris, berdesakan, dan semuanya menatap
kami. "Wah!" seru Moose. "Mereka segerombolan!"
"Kita dibohongi! Hap dan Chip bohong!" teriakku.
Warna baju mereka berbeda-beda. Tapi tampang mereka persis sama. Semua memakai
topi runcing dan ikat pinggang hitam. Semua bermata merah dan berhidung pesek.
Semua nyengir lebar, dan semua bertelinga besar dan lancip.
Saking kagetnya melihat makhluk-makhluk jelek itu, aku tidak segera menemukan
Hap dan Chip. Akhirnya kulihat mereka berdiri di sisi ruangan.
Hap bertepuk tangan tiga kali. Lalu tiga kali lagi. Tepukannya pendek dan keras,
memantul dari dinding-dinding.
Gerombolan kurcaci itu mendadak hidup. Mereka membungkuk dan meregangkan otot
cengar-cengir dan cekikikan, berceloteh dengan suara yang melengking tinggi.
Mindy meraih tanganku. "Aduh, bagaimana ini" Kita harus keluar dari sini."
Suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk yang mengelilingi kami. Aku
melirik ke jendela. Tiba-tiba jendela itu tampak begitu tinggi, begitu jauh.
Ketika aku berbalik lagi Hap dan Chip sudah berdiri di hadapan kami. Mereka
bertepuk tangan, meminta perhatian rekan-rekan mereka.
-Ratusan kurcaci lainnya segera diam.
"Kami membawa tiga manusia muda!" Hap mengumumkan sambil nyengir gembira.
"Kami menepati janji!" seru Chip.
Ucapan itu disambut sorak-sorai dan tawa cekikikan.
Aku membelalakkan mata karena ngeri ketika semua kurcaci itu mulai bergerak
maju. Mata mereka tampak berbinar-binar. Tangan mereka terulur untuk meraih kami. Topi
mereka yang runcing berayun dan merosot ke depan, seperti ikan hiu yang hendak
menyerang. Mindy, Moose, dan aku melangkah mundur, sampai membentur dinding.
Gerombolan kurcaci itu mendesak kami dari segala arah. Tangan mereka yang kecil
menarik-narik bajuku menampar-nampar wajahku, menjambak-jambak rambutku.
"Stop!" aku menjerit. "Pergi! Pergi!"
"Kami datang untuk membantu kalian!" kudengar Mindy memekik. "Kami datang untuk
membantu kalian melarikan diri!"
Semua kurcaci tertawa cekikikan.
"Tapi kami tidak mau melarikan diri," salah satu dari mereka berkata sambil
nyengir "Dengan kalian di sini kami akan bersenang-senang!"
-24 -BERSENANG-SENANG" Apa maksudnya dengan bersenang-senang"
Hap dan Chip menerobos kerumunan rekan-rekan mereka dan melangkah ke samping
kami. Sekali lagi mereka bertepuk tangan sebagai isyarat diam bagi kawan-kawan
mereka yang terus berceloteh sambil cekikikan.
Seketika ruang bawah tanah jadi sunyi.
"Kalian menipu kami!" Mindy menghardik kedua kurcaci itu. "Kalian bohong!"
Mereka malah tertawa cekikikan dan saling menepuk pundak.
"Aku sendiri heran kalian percaya kisah sedih yang kami ceritakan," Hap berkata
sambil geleng-geleng. "Kami kan sudah bilang kami Kurcaci Pembuat Onar," Chip mengejek. "Seharusnya
kalian tahu bahwa kami bakal menipu kalian!"
"Lelucon yang bagus," ujarku sambil memaksakan tawa serak. "Kalian berhasil
menipu kami. Hebat. Tapi sekarang biarkan kami pulang, oke?"
"Yeah. Biarkan kami pulang!" Moose mendesak.
-Tawa mereka langsung meledak.
Hap menggelengkan kepala. "Tapi keisengan kami baru mulai!" ujarnya.
Sorak-sorai dan tawa cekikikan kembali membahana.
Chip berpaling pada kawan-kawannya. "Jadi apa yang harus kita lakukan dengan
tawanan kita yang lucu-lucu ini" Ada usul?"
"Coba lihat apakah mereka bisa membal!" salah satu kurcaci berseru dari
belakang. "Yeah. Kita pakai mereka untuk dribble."
"Kita bikin kontes dribble."
"Jangan-lemparkan mereka ke dinding. Kita main lempar dan tangkap!"
Sorak sorai lagi. "Jangan! Lebih seru mereka dilipat-lipat sampai jadi bujur sangkar kecil! Aku
paling suka melipat-lipat manusia!"
"Ya! Kontes lipat!" kurcaci lain menimpali.
"Lipat mereka! Lipat mereka! Lipat mereka!" berapa kurcaci berseru-seru.
"Bagaimana kalau mereka kita gelitik saja?" kurcaci di depan mengusulkan.
"Gelitik mereka sampai mati!"
"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"
Seluruh mangan bergema oleh seruan-seruan yang berapi-api.
"Lipat mereka! Lipat mereka! Lipat mereka!"
"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"
"Dribble! Dribble! Dribble! Dribble!"
-Aku berpaling pada Moose. Dia menatap kerumunan kurcaci yang hiruk-pikuk,
tampak sangat ketakutan. Matanya terbelalak lebar dan dagunya gemetaran.
Mindy merapatkan punggung ke dinding ruang bawah tanah. Rambutnya yang pirang
melekat di keningnya. Kedua tangan diselipkannya dalam kantong kimono.
"Aduh, kita harus bagaimana, nih?" tanyanya di tengah sorak-sorai yang
mengelilingi kami. Tiba-tiba aku dapat ide. Tanganku kuangkat tinggi-tinggi. "Diam!" aku memekik.
Semua kurcaci langsung terdiam. Ratusan pasang mata merah menatapku sambil
mendelik "Lepaskan kami!" aku menuntut. "Atau kami bertiga akan berteriak-teriak dengan
sekuat tenaga. Teriakan kami akan membangunkan Mrs. Anderson. Dan ia langsung
akan turun untuk menyelamatkan kami!"
Hening. Berhasilkah aku menggertak mereka"
Tidak. Mereka tertawa berbahak-bahak, mengejek. Mereka saling menepuk pundak,
menyoraki kami sambil cekikikan.
"Kalian harus cari ide yang lebih bagus dari itu!" ujar Hap, menyunggingkan
senyum lebar. "Kami tahu Mrs. Anderson tidak bisa mendengar apa-apa."
"Ayo, teriaklah," Chip mendesak. "Teriaklah sampai puas. Kami suka mendengar
manusia berteriak-teriak." Ia berpaling pada Hap. Mereka pun saling menepuk
pundak, berguling di lantai tertawa cekikikan sambil menendang-nendang.
Sorak-sorai kembali riuh.
"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"
"Lipat mereka! Lipat mereka! Lipat mereka!"
" Dribble! Dribble! Dribble!"
Sambil menghela napas aku berpaling pada kakaku dan sahabatku yang sama-sama
ketakutan. "Celakalah kita," aku bergumam. "Kita tidak bisa berbuat apa-apa."
-25 "T ARIK tambang! Tarik tambang!"
Seman lain terdengar di bagian belakang dan segera menyebar sampai ke depan.
"Yes!" Hap dan Chip berseru dengan gembira.
"Ini baru asyik!" sorak Hap.
"Kita pakai mereka untuk tambang! Biar melar!" Chip menimpali.
"Biar melar! Biar melar!"
"Tarik tambang! Tarik tambang!"
"Joe-kita harus bagaimana?" aku mendengar suara Mindy yang ketakutan di tengah
sorak-sorai yang membahana.
Cepat cari ide, Joe, kataku dalam hati. Berpikirlah! Pasti ada jalan keluar dari
ruang bawah tanah ini. Tapi otakku mendadak tumpul. Sorak-sorai itu mengiang-ngiang di telingaku. Ke
mana pun aku memandang, yang kulihat hanyalah wajah-wajah yang' tersenyum
mengejek. Pikiranku jadi kacau-balau.
"Biar melar! Biar melar!"
"Lipat mereka! Lipat mereka!"
"Gelitik! Gelitik!"
-Tiba-tiba, di tengah teriakan para kurcaci yang melengking tinggi aku mendengar
bunyi yang akrab di telingaku.
Gonggongan anjing. Gonggongan Buster. "Buster!" seru Mindy. "Aku mendengar gonggongannya!"
"A-aku juga!" ujarku. Aku berbalik dan memandang ke jendela di atas kami. "Ia
mengikuti kita! Sepertinya ia di depan jendela!"
Coba Buster bisa bicara. Coba ia berlari pulang dan memberitahu Mom dan Dad
bahwa kami sedang dalam kesulitan.
Tapi ia cuma bisa menggonggong. Atau... barangkali ada lagi yang bisa
dilakukannya" Sekonyong-konyong aku teringat betapa ngeri tampang Hap dan Chip setiap kali
Buster muncul. Aku teringat raut wajah mereka yang ketakutan. Aku seolah
mendapat harapan baru. Barangkali kurcaci-kurcaci itu takut anjing. Barangkali
Buster bisa menakut-nakuti, supaya mereka mau melepaskan kami. Barangkali ia
bahkan bisa membuat mereka begitu takut, hingga mereka kembali tersihir dan
tidak sadar. Dengan punggung menempel ke dinding aku bergeser mendekati kakakku. "Mindy
kurcaci-kurcaci ini sepertinya takut pada Buster. Kalau Buster bisa kita panggil
ke sini barangkali ia bisa menyelamatkan kita."
Kami tidak membuang-buang waktu. Bersama-sama kami memanggil-manggil ke
jendela. "Buster! Buster! Ayo, kemari!"
Bisakah Buster mendengar seruan kami di tengah hiruk-piruk ini"
Ya! Kepalanya yang besar muncul di jendela.
"Anjing pintar!" aku memujinya. "Ayo, turun ke sini. Turun ke sini, Buster!"
Buster membuka mulut. Ia menjulurkan lidahnya yang berwarna pink dan mulai
terengah-engah. "Anjing pintar," aku merayunya. "Anjing pintar. Ayo, turun. Cepat! Ayo, Buster!
Ayo!" Buster menyembulkan kepala lewat lubang jendela. Lalu menguap lebar.
"Turun, Buster!" perintah Mindy: "Ayo, turun ke sini!"
-Buster malah menarik kepalanya keluar. Dan berbaring di depan jendela. Aku bisa
melihatnya berbaring sambil menaruh kepala pada kaki depannya.
"Jangan, Buster!" aku berteriak untuk mengalahkan suara-suara di sekelilingku.
"Turun ke sini! Jangan tidur! Turun, Buster! Turun!"
"Guk?" Ia kembali menyembulkan kepala lewat lubang jendela. Semakin dekat.
Semakin dekat. "Begitu, dong! Ayo, lagi!" aku memohon-mohon. "Sedikit lagi... sedikit lagi...
Kalau kau mau turun ke sini, kau akan kuberi biskuit kesukaanmu lima kali
sehari" Buster memiringkan kepala, mengendus-endus udara yang lembab dan berbau keringat
di mang bawah tanah. Aku merentangkan tangan. " Ayo, Buster. Hanya kau yang bisa menyelamatkan kami.
Ayo, dong-cepat! Turun ke sini!"
Tapi Buster malah menarik kepalanya lagi.
Ia berbalik. Dan melangkah pergi. -26 -MINDY dan Moose langsung mendesah kecewa.
"Buster meninggalkan kita," ujar Mindy pelan. Tampangnya berkerut-kerut. Moose
jatuh berlutut sambil menggelengkan kepala, seakan-akan tidak percaya.
"Trampolin! Trampolin!"
Seman para kurcaci berubah lagi.
Hap menatap kami sambil nyengir. "Mungkin kalian akan kami pakai sebagai
trampolin! Untuk main lompat-lompatan! Rasanya asyik juga!"
"Sudah tiba waktunya untuk memungut suara!"
Chip menambahkan. Ia menggosok-gosok tangan dengan gembira.
"Trampolin! Trampolin!"
"Tarik tambang! Tarik tambang!"
Kututup telingaku dengan kedua tangan untuk menghalau suara-suara mereka yang
melengking. Aku butuh ketenangan, pikirku. Ketenangan!
Aku tidak mau mendengar suara apa pun.
Tiba-tiba aku mendapat ide.
Peluit anjingku! Seketika aku tahu bagaimana cara memanggil Buster kembali.
-"Mindy!" aku berseru. "Peluit anjing! Buster selalu datang kalau peluitnya
kutiup!" Mindy menoleh ke arahku. Wajahnya jadi cerah.
"Benar!" katanya. "Cepat, Joe!"
Aku meraih peluit logam di balik T-shirt-ku. Peluitnya basah oleh keringat. Ini
pasti berhasil, ujarku dalam hati. Buster pasti datang kalau mendengarnya.
Kutarik peluit keluar. "Peluit!" beberapa kurcaci memekik.
Seketika semua terdiam. Kutempelkan peluit itu ke bibirku.
"Cepat-tiup!" jerit Mindy
Tiba-tiba Hap dan Chip menerjang tubuhku. Mereka melompat-lompat, berusaha
menepis peluitku. Peluit terlepas dari tanganku.
"Aduh!" aku memekik.
Tergopoh-gopoh aku berusaha meraihnya kembali. Tapi peluit itu malah terdorong
dan terpental melintasi lantai ruang bawah tanah.


Goosebumps - Pembalasan Kurcaci Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-27 MINDY, Moose, dan aku serentak melompat maju untuk meraih peluitku.
Tapi kurcaci-kurcaci itu lebih gesit Kurcaci berbaju biru cerah mengangkat
peluit yang tergenggam di tangannya. "Aku dapat!"
"Siapa bilang?" seru Moose. Secepat kilat ia menerjang kurcaci itu.
Kurcaci itu memekik kaget, tubuh gendutnya terempas ke lantai.
Peluitku terlepas dari tangannya.
Dan menggelincir ke arahku.
Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Langsung saja aku memungutnya dan
menempelkannya ke bibir. Tiga kurcaci melompat ke pundakku sambil cekikikan dan mendengus-dengus.
"Ohhh!" seruku ketika mereka berhasil merebut peluit itu. Aku terjatuh ke lantai
ditindih tiga kurcaci. Dengan susah payah aku berhasil menyingkirkan mereka. Lalu aku berdiri, kalang-
kabut mencari peluitku. Aku melihat beberapa kurcaci berusaha memungutnya dari lantai. Tidak jauh dari
situ, Moose sedang melawan empat atau lima kurcaci yang membentuk barisan untuk
menghalaunya. Mindy berjuang melawan sekelompok kurcaci lain, yang menahannya
dengan memeluk kaki dan pinggangnya.
Kemudian kulihat Hap menaruh peluitku di lantai. Diangkatnya kakinya tinggi-
tinggi. Ia hendak menginjaknya sampai remuk!
"Jangaaaan!" aku menjerit. Tanpa pikir panjang aku berjibaku untuk menyelamatkan
peluitku-setengah merangkak, setengah menerjang.
Aku mengulurkan tangan persis ketika kaki Hap yang berat mulai bergerak ke
bawah. Tanganku menggapai-gapai.
Menyambar peluitku. Terburu-buru aku berguling ke samping sebelum kaki si kurcaci menghantam lantai,
hanya beberapa senti dan kepalaku.
Aku duduk tegak. Kutempelkan peluit ke bibir. Dan meniup dengan sekuat tenaga.
Sekarang bagaimana" Apakah usahaku akan berhasil"
Apakah Buster akan kembali dan menyelamatkan kami"
-28 -SEKALI lagi kutiup peluit yang tak bersuara itu.
Kemudian aku berpaling ke jendela. Ayo dong, Buster. Kenapa kau belum muncul
juga" Rupanya para kurcaci juga berpikir sama. Karena mereka pun berdiri seperti
patung. Segala coleteh, tawa cekikikan, dan sorak-sorai mendadak berhenti.
Satu-satunya bunyi yang terdengar adalah helaan napasku. .
Aku menatap jendela. Buster belum kelihatan.
"Hei...!'" Aku berpaling ketika mendengar seruan Moose.
"Lihat mereka!" suara Moose bergema dalam keheningan.
"Lihat-semua tiba-tiba diam!" ujar Mindy. Ia menempelkan kedua tangan pada topi
merah salah satu kurcaci-dan mendorongnya sampai terbalik.
Kurcaci itu jatuh ke lantai. Tidak bergerak.
"Ada apa ini?" tanya Moose sambil garuk-garuk kepala.
Aku berjalan ke sana ke mari sambil menggenggam peluitku. Setiap kurcaci yang
kulewati kuamati dengan saksama, lalu kudorong hingga terbalik.
-Aku betul-betul menikmati suasana yang mendadak sunyi.
"Mereka tersihir lagi" Mindy bergumam.
"Tap kenapa?" tanya Moose. "Kan, Buster tidak muncul. Kalau mereka tidak takut
anjing, kenapa mereka tiba-tiba jadi patung lagi?"
Sekonyong-konyong aku mendapatkan jawabannya. Kuangkat peluitku dan kutiup
sekali lagi. "Karena peluit ini," aku menjelaskan. "Bukan karena Buster. Aku
keliru. Mereka tidak takut anjing. Mereka takut peluit ini."
"Ayo, kita pulang saja," ujar Mindy pelan. "Seumur hidup aku tidak mau melihat
kurcaci lagi." "Tunggu sampai kuceritakan semuanya ini pada orang tuaku!" kata Moose dengan
berapi-api. "Wah!" seruku sambil meraih bahunya. "Kita tidak boleh menceritakan ini pada
siapa pun. Jangan!" "Kenapa tidak?" tanya Moose.
"Soalnya takkan ada yang percaya," sahutku.
Moose menatapku agak lama. "Hmm, benar juga," akhirnya ia bergumam. "Benar
juga." Mindy menghampiri dinding dan memandang ke jendela. "Bagaimana cara kita keluar
dari sini?" "Aku tahu," ujarku. Aku mengangkat Hap dan Chip, menegakkan keduanya di bawah
jendela. Kemudian aku naik ke topi mereka, meraih ambang jendela, dan memanjat
keluar. "Terima kasih atas bantuannya!" seruku.
Mereka diam saja. -Dalam hati aku berharap mereka tetap jadi patung untuk selama-lamanya.
Mindy clan Moose segera menyusul. Buster tentu saja sudah menunggu di
pekarangan. Ekornya yang pendek langsung bergoyang-goyang ketika melihat kami datang. Ia
berlari menghampiri dan menjilat-jilat wajahku sampai basah dan lengket.
"Sori, Buster. Kau agak terlambat," kataku padanya. "Kau tidak banyak membantu!"
Ia kembali menjilat-jilat. Sesudah itu ia menyambut Mindy dan Moose.
"Hore! Kita bebas! Kita bebas!" Moose bersorak-sorai sambil menepuk pundakku.
Saking kerasnya, serasa gigiku rontok semua.
Aku berpaling pada Mindy "Gelitik! Gelitik! Gelitik!"
"Jangan macam-macam!" seru Mindy sambil memutar-mutar bola mata untuk keseribu
kalinya hari itu. "Gelitik! Gelitik! Gelitik!" Aku berlagak mau menggelitiknya, mengejarnya sampai
ke jalanan. "Joe-sudah! Jangan gelitiki aku! Awas kau!"
"Gelitik! Gelitik! Gelitik!"
Aku tahu aku takkan pernah bisa melupakan sorak-sorai yang melengking-lengking
itu. Aku tahu aku akan terus mendengarnya dalam mimpi, sampai waktu yang sangat lama.
-Malam berikutnya Mindy dan aku sedang menonton MTV di ruang baca ketika Dad
pulang dari kantor. "Kalian harus bersikap manis pada Dad," Mom sempat berpesan sebelumnya. "Dad
marah sekali karena kedua kurcacinya dicuri orang."
Ya, Hap dan Chip memang tidak ada lagi di tempat, sewaktu Dad bangun.
Tentu saja. Saking gembiranya, Mindy dan aku tak sekali pun bertengkar hari itu.
Dan kini kami gembira karena Dad sudah pulang - hanya saja - parasnya kelihatan
agak aneh. "Ehm... ada kejutan kecil yang kubawa pulang," katanya sambil melirik ke arah
Mom, seakan merasa bersalah.
"Apa lagi sekarang?" Mom segera mengeluh.
"Ayo, lihat sendiri, deh." Dad mengajak kami ke pekarangan depan.
Matahari sudah mulai terbenam di balik pepohonan, dan langit tampak kelabu. Tapi
aku masih bisa melihat dengan jelas apa yang dibeli Dad di Lawn' Lovely kali
ini. Patung gorila raksasa berwarna cokelat!
Tingginya paling tidak dua setengah meter. Matanya hitam dan besar sekali
dadanya ungu. Tangan gorila itu sebesar sarung tangan baseball, kepalanya
sebesar bola basket. "Ini benda paling jelek yang pernah kulihat!" seru Mom. "Kau tidak bermaksud
menaruh monster mengerikan ini di pekarangan kita, bukan?"
-Apa sajalah, asal jangan kurcaci-kureaei pikirku.
Apa pun lebih baik dari kurcaci-kurcaci yang selalu membuat onar itu.
Aku melirik ke arah Mindy. Sepertinya kami berpikiran sama.
"Menurutku patung ini bagus sekali, Dad," kataku. "Ini patung gorila paling
bagus yang pernah kulihat."
"Ya, bagus sekali, Dad," Mindy membenarkan.
Dad tersenyum. Mom berbalik, masuk ke rumah sambil geleng-geleng kepala.
Kutatap wajah gorila yang dicat cokelat dan ungu itu. "Jangan nakal, ya,"
gumamku. "Jangan seperti kurcaci-kurcaci brengsek itu."
Aku hendak membalik, dan saat itulah sang gorila mengedipkan sebelah matanya
padaku. - Selesai - PDF & ePub by fotoselebriti.net
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 4 Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 4
^