Sejengkal Tanah Sepercik Darah 4
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Tidak salah, ia pasti Wulansari......., tapi sikap dan pandang matanya demikian dingin dan...... dan demikian ganasnya...."
Bagaimanapun juga, yang dibunuh oleh gadis itu adalah lima orang bajak yang jahat dan kejam, yang telah membunuh petani ubi, dan bahkan hampir membunuhnya tanpa sebab, padahal dia dan petani itu tidak membawa barang berharga. Walaupun demikian, cara gadis itu membunuh mereka, sungguh ganas, tanpa memberi kesempatan mereka melawan sama sekali. Gadis yang tak lain adalah Wulansari itu ternyata kini telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, baik ilmu di dalam air maupun ilmu pukulan yang dahsyat yang menggiriskan. Teringatlah Nurseta akan kakek yang sakti mandraguna itu, yang menurut gurunya bernama Cucut Kalasekti, kakek yang mukanya biru seperti muka ikan cucut, jubahnya kuning dan bersisik, datuk sesat dari Blambangan yang telah melarikan Wulansari itu. Benarkah gadis itu cucu kakek sakti mandraguna itu dan kini telah mewarisi ilmu-ilmunya"
Akan tetapi, teringat akan perubahan yang terjadi pada sikap Wulansari, yang dulu merupakan seorang gadis manis sederhana yang lemah lembut, kini berubah menjadi seorang gadis yang masih cantik manis, akan tetapi yang sikapnya dingin dan wataknya demikian ganas.
Setelah beberapa lamanya duduk termenung di tepi sungai, Nurseta lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya, kini ia jalan melalui darat dan menyusuri pantai Sungai Brantas. Terlalu berbahaya melanjutkan perjalanannya dengan perahu, apa lagi petani ubi tadi sudah mengatakan bahwa banyak bajak di sungai itu. Kalau hanya perampok di daratan, dia sama sekaii tidak takut menghadapi gangguan mereka.
Di sepanjang perjalanan, ketika melalui hutan, dia memperhatikan keadaan sekelilingnya, dengan harapan kalau-kalau gadis berpakaian serba hijau itu akan muncul kembali. Dia masih merasa penasaran. Kalau gadis itu benar Wulansari, mengapa ia tidak mau menjumpainya" Tidaklah mungkin Wulansari sudah melupakannya, walaupun sudah empat tahun mereka saling berpisah.
Tidak tampak bayangan gadis itu kembali, diam-diam Nurseta merasa kecewa. ia sendiri merasa heran, mengapa ia tidak dapat melupakan gadis itu. Setelah lewat beberapa hari, masih saja bayangan gadis itu tak pernah meninggalkan relung hatinya.
*** Nurseta sudah meninggalkan Sungai Brantas dan kini dia menuju ke timur, meninggalkan daerah Kediri. Gunung Kelud tampak menjulang tinggi di depannya ketika dia sudah melewati dusun Wates yang ramai. Ketika Nurseta tiba di kaki Gunung Kelud, ia melihat belasan orang mengiringi jenazah yang agaknya hendak dikubur. Seorang kakek ikut mengiringi jenazah sambil memegangi bambu pikulan jenazah dan ia menangis sesenggukan. Mereka yang memikul jenazah dan yang mengiringi dari belakang, kesemuanya adalah pria, tidak ada seorangpun yang menangis, seperti menangisnya kakek itu, tetapi mereka semua berwajah muram dan keruh. Pada wajah mereka terbayang kedukaan, penasaran dan juga ketakutan. Melihat hal ini, Nurseta kemudian tertarik, apa lagi ketika ia mendengar keluh kesah kakek itu, di antara tangisnya.
"Huk-huk....... Oh, anakku Dirun........ kenapa kau tidak menurut nasehat orang tua" Sudah berulangkali aku nasehatkan, jangan dekati siluman itu, tapi kau agaknya memang nekat dan, akhirnya begini jadinya, huk-huk"
Nurseta lalu membayangi rombongan itu dari jauh. Dia mengamati ketika jenazah itu dikubur. Ia melihat pula para pengiring tadi satu demi satu meninggalkan tempat itu setelah jenazah dikubur, akan tetapi kakek itu masih saja duduk bersila di depan makam baru itu, Ia menolak ketika beberapa orang berusaha untuk membujuknya pulang. Bahkan dia marah-marah sehingga akhirnya orang terakhir pergi meninggalkan kakek itu sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Sunyi lengang di tanah kuburan itu setelah semua orang pergi, hanya tinggal kakek itu yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya di depan makam puteranya.
Nurseta memperhatikan dari dekat, setelah menyusup dan kini berada tidak jauh dari kakek yang usianya kira-kira sudah ada enampuluh tahun, mukanya penuh garis-garis penderitaan hidup. Nurseta melihat betapa wajahnya itu pucat dan matanya membendul merah, ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu tidak makan dan tidak tidur serta banyak menangis.
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri dan berkata dengan suara keras, "Jangan kbawatir, anakku. Ayahmu inilah yang akan membalaskan dendam ini. Aku yang akan membunuh siluman betina itu" tiba-tiba kakek itu mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya dan memutar-mutar senjata itu seolah-oiah dia dikeroyok oleh banyak lawan.
Setelah napasnya terengah-engah, baru ia menghentikan amukannya, kemudian dengan langkah lebar ia meninggalkan tanah kuburan itu.
Nurseta merasa khawatir akan keadaan kakek itu. Apakah ia sudah menjadi gila karena himpitan duka" Ataukah ia benar-benar hendak pergi mencari siluman betina dan hendak dibunuhnya untuk membalas kematian puteranya" Nurseta tetap membayangi dari belakang dan ternyata kakek itu memasuki sebuah hutan di lereng Gunung Kelud, sebuah hutan yang lebat dan liar.
Di sekitar tempat itu tidak nampak ada pedusunan. Melihat betapa hutan itu masih liar, mudah diduga bahwa jarang ada orang memasuki hutan itu.
Dengan langkah yang tidak ragu-ragu, dengan muka merah dan mata masih yang beringas, kakek itu terus masuk ke dalam hutan dan akhirnya tibalah dia di depan sebuah goa yang gelap. Di depan goa itu nampak banyak semak-semak dan alang-alang. Kakek itu membabat alang-alang dengan goloknya sambil berteriak-teriak marah.
"Siiuman betina, keluarlah untuk menerima kematian! Aku datang untuk membunuhmu sebagai pembalasan dendam kematian puteraku, Dirun"
Kakek itu menantang sambil mengacung-acungkan goloknya ke arah pintu goa. Sementara itu, dari balik semak-semak yang berhadapan dengan goa itu, Nurseta memandang ke arah dalam goa. Matanya yang terlatih dapat melihat sampai ke dalam dan jantungnya berdebar. Dia melihat seorang wanita duduk bersila di dalam goa dan wanita itu usianya sekitarnya tigapuluh tahun, wajahnya cantik menggairahkan dan yang lebih hebat lagi, wanita itu telanjang bulat tanpa selembarpun pakaian yang menutupi tubuhnya yang padat dan indah. Hanya rambutnya yang hitam panjang ituulah yang menutupi tubuh bagian depan, turun dari leher kiri, menutupi sebagian dadanya dan terus ke pangkuannya.
Ketika kakek itu mengeluarkan tantangan sambil mengacungkan goloknya, wanita yang tadinya duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, kini ia membuka matanya.
Nurseta melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan. Dan wanita itu tersenyum mengejek, Begitu ia tersenyum, baru mengertilah Nurseta, mengapa wanita itu disebut siluman betina. Senyumnya itu sungguh mengandung daya tarik, manis sekaii. Akan tetapi senyuman itu mengandung ejekan, bahkan mengandung ancamnn maut.
"Tua bangka," terdengar suaranya, halus lembut namun kasar "Sebentar lagi kau juga akan mampus, kalau kau ingin mati, mengapa harus mencari aku. Aku akan membuatmu lebih cepat masuk neraka. He, orang tua. Apakah kau sudah gila?"
"Siluman betina. Aku adalah ayah dari Dirun, pemuda yang menjadi korbanmu, yang kau bunuh dengan racun. Sekarang aku datang untuk membalas dendam"
"Hemm, terlalu banyak pemuda tolol yang datang ke sini, dan aku tidak ingat lagi mama mereka satu persatu. Mungkin juga ada yang bernama Dirun diantara mereka yang tolol itu. Akan tetapi, mereka itu mampus karena salah mereka sendiri, kenapa kau ribut-ribut di sini" Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan mengirim nyawamu ke neraka menyusul nyawa anakmu"
"Siluman perempuan, iblis betina, mampuslah!" Kakek itu menerjang ke dalam goa sambil mengangkat goloknya di atas kepala.
Tiba-tiba dari dalam goa menyambar angin dan sinar hitam menangkis golok itu.
"Trakkk........ auhhk.......!" Golok itu patah menjadi dua dan tubuh kakek itu terjengkang ke belakang. Dari balik semak-semak, Nurseta terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita telanjang bulat itu sedemikian saktinya, tanpa bangkit dari duduknya, ia hanya mempergunakan sebuah benda kecil, mungkin batu kerikil, telah berbasil mematahkan golok dan membuat tubuh kakek itu terjengkang oleh hawa pukulannya.
Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak menjadi jerih. Dia merangkak bangun kembali, dipandanginya gagang golok yang tinggal sepotong itu.
"Huhh!" bentaknya dan dia membuang potongan golok, lalu hendak nekat menyerbu ke dalam goa dengan tangan kosong.
"Jangan, kek, jangan berbuat bodoh, sebaiknya kakek pergi saja" Tiba-tiba Nurseta sudah berada di belakang kakek itu dan menangkap pinggangnya, lalu ditariknya ke belakang.
Kakek itu hendak meronta, namun sekali pijat saja di punggungnya, Nurseta berhasil membuat kakek itu menjadi lemas dan menurut saja ketika dia digandeng dan dibawa oleh Nurseta. Mereka pergi dan diikuti oleh suara ketawa yang menyeramkan dari wanita itu. Suara ketawa yang halus merdu, namun bukan seperti suara manusia lagi, terkekeh kadang terbahak dan seperti ringkik kuda.
Kakek itu masih mencoba untuk melepaskan diri, tetap tidak berhasil, akhirnya kakek itu bertanya. "Orang muda, siapakah kau dan kenapa kau menghalangi aku membunuh siluman perempuan itu" Apakah kau ini kaki tangannya?"
Nurseta berhenti di dalam hutan itu, cukup jauh dari goa yang menyeramkan tadi dan diapun melepaskan pengaruh pijatan tangannya yang membuat kakek itu seperti lumpuh.
"Maafkan aku, paman. Aku tidak menghalangi paman membunuhnya, sebaliknya mencegah agar ia tidak membunuh paman. Kenapa paman demikian nekat" Tidak tahukah paman bahwa wanita itu amat kejam dan amat sakti" Paman takkan menang melawannya"
"Biarkan saja, aku tidak takut. Lebih baik aku mati dari pada tidak dapat membunuh iblis itu!" Kakek itu hendak lari kembali, akan tetapi Nurseta memegang lengannya.
"Paman, maafkan. Bukan aku hendak menghalangi niat paman membalas dendam, akan tetapi aku harap paman suka mempergunakan pikiran dan akal sehat. Sudah jelas bahwa paman bukanlah lawannya, dan usaha paman itu bukan lain hanya merupakan bunuh diri yang sia sia belaka, Kalau sudah mati, apa artinya" Paman akan tewas dan dendam sakit hati putera paman tidak akan dapat terbalas. Bagaimana kalau paman menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi" Kalau memang wanita itu sejahat seperti yang paman katakan, percayalah, aku tidak akan tinggal diam dan akan kutantang wanita itu"
Mendengar ucapan ini, kakek itu agaknya sadar akan kebenaran kata-kata Nurseta. Dia berhenti meronta dan mengamati wajah pemuda itu. Baru sekaranglah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Timbul kepercayaannya karena pemuda ini jelas bukan seorang yang jahat. Diapun menjadi lemas dan dia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menarik napas panjing berulang-ulang. Agaknya sukar baginya untuk mulai bercerita, karena hal itu mengingatkan dia akan puteranya yang sudah tiada. Berulang kali dia hendak membuka mulut, akan tetapi yang keluar hanyalah keluhan panjang dan helaan napas. Nurseta mengerti akan kesukaran kakek itu, maka diapun menuntunnya dengan pertanyaan.
"Siapakah wanita di dalam goa itu, paman?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Tidak ada seorangpun yang tahu. Entah siapa namanya dan dari mana ia datang, entah berapa lamanya ia berada di dalam goa itu. Pertama kali kami sedusun dan para penduduk dusun lain di sekitar kaki Gunung Kelud ini mengetahui keadaannya adalah ketika korban pertama jatuh"
"Korban bagaimana yang paman maksudkan" Dan mengapa pula ia suka membunuh pemuda-pemuda?"
"Setelah banyak pemuda tewas, kami mendengar bahwa wanita itu seperti siluman, seperti iblis yang suka menggoda laki-laki muda. Ia cantik menarik dan tak pernah berpakaian, karena itu, para pemuda mudah sekali jatuh ke tangannya. Para pemuda yang jatuh oleh kecantikannya dan tinggal bersamanya di dalam goa itu, sewaktu pulang, mereka dalam keadaan pusing dan sakit hebat yang akhirnya tewas. Mereka tidak pernah dapat menjelaskan mengapa" kakek itu berhenti lagi dan termenung dengan sedih.
"Dan putera paman juga menjadi korban?"
Kakek itu mengangguk dan air matanya kembali menetes di atas kedua pipinya yang berkeriput. "Dirun sudah aku peringatkan agar jangan mendckati goa itu, jangan menurutkan hati ingin tahu melihat iblis betina itu. Dirun adalah milikku satu-satunya di dunia ini sejak ibunya meninggal dunia. Anakku hanya satu itu dan kini aku tidak punya apa-apa lagi......."
Kakek itu menangis.
Nurseta mengangguk-angguk, dia maklum bahwa kakek ini, seperti para penduduk Iain, tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi ketika para pemuda itu terpikat oleh kecantikan wanita dalam goa. Tahu-tahu, para pemuda itu pulang dalam keadaan sakit parah lalu tewas.
"Paman, sekarang paman pulanglah. Mati atau hidup berada di tangan Hyang Widhi, dan kalau sampai puteramu itu meninggal dunia, maka hal itu berarti sudah dikehendaki Hyang Widhi. Paman tidak boleh putus asa, karena sekarang juga aku sendiri yang akan ke sana, menemui wanita itu dan menuntut keterangan dan tanggung jawabnya mengenai kematian para pemuda itu"
"Kau.......?" Kakek itu kini terbelalak memandang wajah Nurseta, "Kau masih muda dan tampan lagi, bukan pemuda dusun pula, kau hanya akan pulang dalam keadaan sakit dan tewas, seperti para pemuda yang lain. Janganlah orang muda, lebih baik aku mengerahkan seluruh penduduk untuk beramai-ramai menyerbu ke gua itu dan membunuh siluman itu. Ya, itulah caranya. Mengerahkan semua orang dan mengeroyoknya"
"Jangan paman. Akan jatuh korban terlalu banyak sebelum kalian berhasil membasminya. Biarkan aku yang menemuinya. Nah, sekarang aku akan pergi, paman"
Tiba-tiba pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depan kakek itu. Kakek itu terkejut dan terbelalak, mencari-cari dengan pandang matanya, lalu menggosok-gosok matanya, akan tetapi pemuda itu sudah lenyap. Dia menjadi ketakutan dan mengira bahwa pemuda itupun sebangsa wanita dalam goa itu, bukan manusia biasa melainkan sebangsa jin atau siluman. Maka diapun lari keluar dari dalam hutan itu untuk pulang dan mengumpulkan kawan-kawan dari dusunnya dan dusun tetangga, untuk beramai-ramai mengeroyok dan membasmi siluman wanita yang sudah mengambil korban banyak pemuda itu.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saia Nurseta telah tiba di depan goa tadi. Matahari sudah naik tinggi sehingga keadaan di dalam goa tidaklah segelap tadi dan dia dapat melihat lebih jelas lagi. Wanita itu masih duduk bersila, tubuhnya ditutupi oleh rambutnya sendiri yang hitam panjang. Agaknya wanita itu menyadari kedatangan Nursela yang sudah berada di depan goa. Terdengar suaranya yang halus merdu, berbeda dengan suara ketawanya ketka ia menyerang kakek tua tadi.
"Siapakah andika, ki sanak" Dan ada keperluan apakah mengganggu aku yang sedang bertapa?"
Nurseta merasa lega. Pertanyaan itu menunjukkan bahwa wanita telanjang itu tidak mengenalnva sebagai orang yang menyelamatkan ayah Dirun tadi. Diapun maju mendekat sampai di depan goa.
"Aku bernama Nurseta dan hanya kebetulan saja lewat di sini. Aku tertarik melihat andika, seorang wanita muda yang cantik, bertapa di tempat ini, tanpa busana pula serta mengurai rambut. Siapakah andika dan mengapa pula andika bertapa seperti ini?"
Sejenak sepasang mata yang tajam dan indah bentuknya itu mengamati Nurseta dengan penuh perhatian. Mata yang tajam itu agaknya mengenal bahwa pemuda sederhana yang datang ini bukanlah sembarangan pemuda, jauh berbeda dengan para pemuda dusun yang bodoh itu.
Tiba-tiba saja iapun menjawab pertanyaan Nurseta dengan tangis. Pemuda itu hanya memandang saja, memperhatikan dan melihat apakah tangis itu tangis buatan ataukah ia benar-benar menangis.
Ternyata, wanita itu memang benar-benar menangis sedih, bukan tangis buatan. Maka, Nursetapun menjadi semakin tertarik dan menanti sampai wanita itu berhenti menangis.
Akhirnya wanita itu menghapus air matanya dengan gumpalan rambutnya sehingga tersingkaplah bagian dadanya, memperlihatkan bukit dada yang montok. Nurseta menundukkan pandang matanya agar tidak melihat dada itu terlalu lama.
Nurseta tidak mengetahui, bahwa wanita itupun memperhatikannya dengan sepasang mata yang bersinar gembira melihat betapa pemuda itu menundukkan pandang mata dan tidak melotot memandang dadanya seperti yang dilakukan oleh para pemuda lain. Memang pemuda ini lain dan pada yang lain. Sehingga wanita itu tertarik sekali kepada Nurseta.
"Ki sanak, aku bertapa di sini karena dendam dan sakit hati setinggi langit dan sedalam laut Kidul. Dan aku bersumpah, takkan memperkenalkan nama, takkan berpakaian dan takkan menyanggul rambut sebelum dendam ini terbalas"
---ooo0dw0ooo--
Jilid 6 - Rahasia Besar Nurseta
Nurseta memandang heran. Wanita ini mengatakan bertapa seperti itu karena dendam, akan tetapi mengapa banyak pemuda yang tewas di tangannya"
"Apakah yang telah terjadi?" tanyanya memancing.
"Aku seorang janda yang malang" wanita itu mulai dengan ceritanya, suaranya gemetar penuh kedukaan "Tadinya aku hidup bersama suamiku tercinta. Kami belum mempunyai anak. Tetapi pada suatu hari, suamiku itu tewas. Dibunuh seorang laki-laki yang menginginkan diriku, akan tetapi aku menolaknya. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi setelah suamiku tewas, maka aku kemudian bersumpah untuk bertapa di dalam goa ini sampai dendam suamiku terbalas"
Nurseta menjadi semakin tertarik "Akan tetapi, kanapa andika hanya duduk bertapa seperti ini, bagaimana dendam itu dapat terbalas?"
"Aku menanti datangnya dewa penolong. Aku menanti datangnya seorang pria yang cukup jantan untuk membantu seorang wanita yang sengsara seperti aku ini, untuk menantang laki-laki biadab itu dan membunuhnya. Dan kepada pria yang berhasil melaksanakan dendamku itu, aku akan menyerahkan segala-galanya, diriku, cintaku, kesetiaanku dan selama hidupku akan abdikan kepadanya" ia berhenti sebentarl, lalu "Ki sanak, aku melihat bahwa kau bukan seorang pemuda sembarangan. Aku memohon kepadamu, ki sanak. Sudilah kiranya kau membebaskan aku dari kesengsaraan ini. Bunuhlah laki-laki jahanam itu, dan aku akan menghambakan diri kepadamu dengan seluruh penyerahan jiwa ragaku"
Wanita itu mengangkat kedua lengannya ke depan, seperti orang memohon, gayanya orang mengajak atau memikat, siap menerima pemuda itu dalam pelukannya.
Nurseta mengerutkan alisnya, lalu bertanya "Lalu mengapa banyak pemuda dari dusun-dusun di sekitar kaki Gunung Kelud ini mati dalam keadaan terluka parah, kabar yang tersebar, mereka menjadi korbanmu?" Ucapan ini dikeluarkan dengan nada menuduh, sedangkan sepasang mata pemuda itu memandang penuh seiidik.
"Aahhh....... mereka itu hanyalah pemuda-pemuda dusun yang bodoh, yang hanya menginginkan diriku, akan tetapi tidak memiliki kepandaian sedikitpun juga sehingga ketika mereka mencoba untuk membunuh jahanam itu, mereka sendiri yang menderita luka parah dan akhirnya tewas. Bukan salahku, melainkan kesalahan mereka sendiri yang bodoh dan lemah"
Nurseta tertegun, kiranya para pemuda itu tewas karena dilukai musuh wanita ini. Benarkah itu" ia harus menyelidikinya. Kemudian ia berkata "Siapakah laki-laki itu dan di mana tempat tinggalnya?"
Sepasang mata yang indah itu kini berkilat dan wajah yang ayu manis itu berseri. "Apakah kau sudi menolongku?"
"Kita lihat saja nanti, akan tetapi aku ingin menjumpainya"
"Ah, Raden Nurseta. Terima kasih sebelumnya. Aku merasa yakin bahwa kalau kau yang maju, akhirnya dendam sakit hati ini pasti akan terbalas, dan aku akan bebas dari tempat ini. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menghambakan diri kepadamu, Raden"
"Hemm, aku melakukan sesuatu tanpa pamrih atau menyenangkan diriku sendiri, dan aku belum yakin akan mampu mengalahkan laki-laki yang agaknya sakti itu. Katakanlah, siapa dia dan di mana tempat tinggalnya?"
"Namanya Lembu Petak, dan ia tinggal di lereng Gunung Kelud sebelah selatan, tidak jauh dari sini. Kalau kau terus mendaki gunung ini, berjalankah lurus saja, setelah melewati dusun Lahar, kau akan tiba di padepokan yang berada di luar dusun itu. Nah, di sanalah dia berada, Raden Nurseta"
"Baik, aku akan pergi mencarinya"
"Nanti dulu, Raden. Masuklah dulu ke sini, aku perlu menjamumu untuk membesarkan semangat dan sebagai tanda terima kasihku" Wanita itu kembali mengembangkan kedua lengannya dan tersenyum manis sekali, dengan pandang mata penuh daya pikat.
Nurseta menggeleng kepalanya. "Sudah aku katakan bahwa aku melakukan sesuatu tanpa pamrih. Sekarang aku pergi" sambil berkata demikian, Nurseta meloncat dan sekali berkelebat iapun lenyap dari depan goa.
Wanita itu terbelalak kagum, lalu tersenyum lebar, matanya berkilat, lalu ia memukul telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanannya.
"Ah, ia benar seorang sakti. Sekali ini engkau akan mampus, Lembu Petak!"
Sementara itu, Nurseta melakukan pendakian dengan cepat sambil mengerahkan kepandaiannya dan sebentar saja diapun sudah tiba di dusun Lahar. Di situ Nurseta mendaki terus. Dan benar saja, di luar dusun itu, Nurseta melihat sebuah pondok yang sedang besarnya, Pondok itu berdiri terpencil di luar dusun, kelihatan sunyi dan tenteram. Di luar rumah terdapat dua sangkar burung perkutut yang digantung di ujung batang bambu yang tinggi.
Dari jauh sudah terdengar nyanyian perkutut itu yang saling bersahutan. Suara perkutut menambah suasana yang tenteram dan tenang. Namun Hati Nurseta tidak bisa menikmati nyayian merdu suara perkutut itu, karena kedatangannya untuk menganggu dan mengacaukan suasana yang tenang dan damai itu.
Baru saja Nurseta tiba di luar pondok, dari dalam muncul seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, seorang pria yang gagah perkasa, bertubuh tinggi besar, wajahnya gagah seperti Arya Sena, kulitnya bersih dan kumis serta jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana saja, dengan haju hitam yang terbuka bagian dadanya, memperlihatkan dada yang bidang dan kokoh kuat.
Akan tetapi, wajah yang gagah itu kini nampak muram, kemerahan dan matanya bersinar tajam, tanda bahwa dia sedang marah.
"Hemm, orang muda, apakah kau seorang diantara para pemuda tolol yang tergila-gila oleh kecantikan iblis betina itu, dan mau saja diperintah untuk membunuhku?"
Disambut dengan pertanyaan seperti itu, Nurseta tetap tenang, bahkan dia tersenyum. "Maaf Ki Sanak, apakah benar Ki Sanak ini yang bernama Ki Lembu Petak?"
Laki-laki gagah itu memang Lembu Petak dan ia agak heran melihat sikap Nurseta yang tenang dan sopan, tidak seperti para pemuda-pemuda sebelumnya yang datang-datang bersikap keras hendak membunuhnya, padahal tak seorangpun diantara mereka itu yang memiliki kepandaian yang berarti.
"Benar, akulah Ki Lembu Petak. Dan siapakah kau orang muda" Apa maksudmu datang berkunjung" Benarkah dugaanku bahwa kau datang karena diutus wanita yang bertapa telanjang di dalam goa itu untuk membunuhku?"
Dihujani pertanyaan itu, Nurseta kembali tersenyum. "Harap Ki Sanak tenang dan biarkan aku bercerita. Namaku Nurseta, seorang pengembara dan ketika aku lewat di kaki Gunung Kelud, aku mendengar akan kematian banyak pemuda dusun yang katanya menjad korban seorang wanita yang bertapa di dalam goa. Karena tertarik, aku lalu datang mengunjungi wanita itu. Ia menceritakan bahwa ia mendendam kepada seorang musuhnya bernama Lembu Petak yang katanya telah membunuh suaminya yang tercinta. Kemudian, berturut-turut para pemuda dusun datang untuk membantunya membalas dendam, akan tetapi para pemuda itu semua kalah olehmu dan menderita luka parah sampai kemudian tewas. Nah, kedatanganku ini sama sekali bukan karena diutus oleh wanita yang tidak mau menyebutkan namanya itu, melainkan untuk menyelidiki kebenaran ceritanya"
"Hemm, kalau benar bagaimana?"
Nurseta memandang tajam dan Lembu Petak yang diam-diam terkejut, karena pemuda ini yang sikapnya lembut dan sopan, tiba-tiba saja sepasang matanya dapat mencorong penuh wibawa dan menakutkan.
"Kalau cerita itu benar, terpaksa aku harus turun tangan. Sudah menjadi tugas setiap orang yang menjujung kebenaran dan keadilan untuk turun tangan menentang kejahatan dan membela kebenaran, yang melingungi yang lemah dan tertindas. Tetapi sekali lagi, apakah benar semua cerita yang dikatakan wanita itu?"
"Dan bagaimana jika cerita itu tidak benar?"
"Kalau tidak benar, aku akan melakukan penyelidikan sampai mendapatkan kenyataan yang sebenarnya. Siapa pembunuh para pemuda-pemuda itu dan mengapa" Barulah aku akan turun tangan menentang mereka yang bersalah"
Ki Lembu Petak tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Sikapmu memang mengesankan sekali, ha-ha-ha" Ia berhenti sebentar, lalu "Kau terlihat sopan dan lembut, juga pemberani. Akan tetapi kau bicara seolah-olah kau sudah pasti dapat membereskan persoalan ini, dan mampu menandingi siapa saja yang menjadi lawanmu. Sikapmu membangkitkan keinginanku untuk menguji sampai di mana kepandaianmu. Kau yang masih begini muda sudah mempunyai keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi" ia berhenti sebentar, lalu "Nah, sambutlah seranganku, orang muda"
Pria tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu sudah menerjang maju dengan pukulan lurus ke arah dada Nurseta, sedangkan tangan kirinya mengirim serangan lain. Melihat datangnya pukulan yang kuat itu, Nurseta mengelak dengan mudahnya. Tangan kiri Lembu Petak menyusulkan tamparan ke arah pundak, akan tetapi kembali Nurseta mengelak dengan muda saja, hanya dengan memiringkan tubuhnya. Sedangkan kalau saja Nurseta mau, tentu saja dia dapat membalas secara kontan, akan tetapi Nurseta tidak mau menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa orang gagah ini hanya mengujinya saja, tidak bermaksud ingin mencelakainya.
Setelah kedua serangannya dapat dielakkan lawan secara mudah, Ki Lembu Petak mulai maklum bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan. Gerakannya demikian ringan dan sikapnya demikian tenang. Sehingga ia merasa penasaran. Kini, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Pria tinggi besar itupun menghujamkan pukulan dan tendangan yang cukup dahsyat kearah Nurseta. Namun semua pukulan dan tendangan yang ia lancarkan itu tetap saja tidak menggunakan tenaga penuh. Agaknya akan segera ia tarik kembali kalau pukulannya mengenai sasaran.
Nurseta maklum akan hal itu, maka iapun terus berloncatan dan mengelak.
Hal ini membuat Lembu Petak menjadi penasaran bukan main. Bagaimanapun juga, nama Ki Lembu Petak dari Gunung Kelud, adalah nama yang sangat terkenal sebagai seorang jagoan yang sukar dicari bandingnya. Kalau ia sampai dikalahkan orang, hal itu dapat diterimanya, karena ia maklum bahwa di permukaan bumi ini terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi, selamanya ia belum pernah menemukan lawan seorang yang masih amat muda, akan tetapi yang dapat menghindarkan diri dari semua serangannya dengan mudahnya. Ia merasa seperti menyerang seekor burung srikatan atau burung walet saja, atau bahkan menyerang bayangan. Maka, iapun kini menyerang sambil mengerahkan tambahan tenaganya dan mempercepat gerakannya.
Melihat perubahan gerakan ini, Nurseta juga maklum bahwa lawannya menjadi penasaran, maka iapun tidak ingin mempermainkannya lebih lama lagi, Begitu melihat lawannya menyerangnya dengan dorongan kedua tangannya, mengarah dada dan wajahnya, maka, iapun menyambut dengan kedua tangannya.
Akibat dari pertemuan dua pasang telapak tangan itu membuat Ki Lembu Petak terjengkang ke belakang dan terguling-guling seperti baru saja dilanda angin lesus.
Akhirnya, dapat juga ia bangkit dengan tubuh babak bundas dan ia berdiri memandang Nurseta dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
Nurseta cepat melangkah maju menghampiri dan berkata dengan sikap hormat "Paman Lembu Petak, harap suka maafkan aku, karena sungguh bukan maksudku untuk mengalahkan atau membunuh orang. Aku hanya ingm menyelidiki sebab kematian para pemuda dusun itu"
Kekaguman membayang dalam pandang mata Ki Lembu Petak. Jelaslah baginya bahwa pemuda ini memiliki kesaktian yang luar biasa dan ia bukanlah lawannya, akan tetapi, setelah mengalahkannya, pemuda ini tidak bersikap sombong, bahkan meminta maaf, maka iapun mengangguk-angguk.
"Bagus, kini aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kau akan mampu mempertahankan diri dari gangguannya, tidak seperti para pemuda lainnya yang mati konyol itu"
"Gangguan siapa, paman?"
"Marilah, kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam, Raden Nurseta"
"Aku bukan Raden, paman"
Kini pria yang gagah itu tersenyum. "Aku tahu bahwa kau bukan pemuda dusun biasa, Raden Nurseta. Mari, silakan masuk"
Nurseta tidak mau berbantah lagi dan diapun ikut masuk. Ruangan dalam pondok itu cukup luas dan sinar matahari masuk melalui celah jendela yang terbuka lebar. Sebuah pondok yang sehat dan bersih. Di sudut ruangan terdapat sebatang tombak dan beberapa macam senjata lain. Jelaslah bahwa jagoan ini suka berlatih silat dengan menggunakan senjata. Tidak nampak orang lain di situ, dan kesunyian semakin terasa.
Ki Lembu Petak mengambil satu sisir pisang raja dan meletakkannya di atas meja, sedangkan Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di atas tikar.
"Maaf, hanya inilah yang dapat aku suguhkan, Raden" katanya sambil mempersilahkan tamunya makan pisang.
Nurseta tidak sungkan lagi dan bersama tuan rumah, iapun memakan pisang raja yang sudah matang pohon dan rasanya manis dan sedap itu.
Ki Lembu Petak mulai bercerita. "Wanita yang kau lihat bertapa telanjang bulat di dalam goa itu bernama Jumirah. Dua ahun yang lalu ia itu masih menjadi isteriku"
"Isterimu, paman" Tapi ia bilang, bahwa suaminya dibunuh oleh Paman"
Lembu Petak tersenyum getir dan menarik nafas panjang, dan berkata "Ia telah berubah, seolah-olah ada iblis yang memasuki tubuhnya semenjak ia bertemu dengan mendiang Gagak ljo"
"Siapakah Gagak Ijo itu, paman?"
"Begini Raden. Kami sudah menjadi suami isteri dan hidup rukun selama hampir sepuluh tahun, walaupun kami masih belum mempunyai seorang keturunan. Pada suatu hari, kami kedatangan seorang tamu yang bernama Gagak Ijo. Sesungguhnya, dia hanya kenalan biasa saja, walaupun ia bukan seorang penjahat, namun cara hidupnya yang liar, dan wataknya yang mata keranjang dan suka mempermainkan wanita mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, tidak cocok dengan watakku. Akan tetapi sebagai seorang tamu, dia harus kami terima dengan ramah. Dan apa yang tak terelakkanpun terjadilah. Entah mengapa, tiba-tiba saja watak isteriku, berubah dan agaknya ia tergila-gila kepada Gagak Ijo, atau membalas cumbu rayuan keparat itu. Mungkin juga terkena pengaruh aji japamantra dan guna guna. Sehingga terjadilah hubungan yang tidak sewajarnya diantara mereka...." ia berhenti dan menarik nafas panjang.
Nurseta mendengarkan dan diam saja, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap orang ini, dia condong untuk lebih percaya kepada Ki Lembu Petak dari pada Jumirah, wanita yang bertapa telanjang itu.
"Aku masih memaafkan mereka dan dengan tulus aku menasehati kepada Gagak Ijo agar dia menghentikan perbuatannya itu dan pergi dengan damai. Juga kuperingatkan isteriku dengan tulus. Aku sayang dan cinta padanya, bahkan sampai sekarangpun aku tidak membencinya. dan siap untuk menerimanya kembali dengan senang hati. Kumaafkan semua kesalahannya terhadap diriku. Akan tetapi........" Lembu Petak kembali menarik nafas panjang dan terlihat menyesal sekali.
"Gagak Ijo bukannya mundur, bahkan agaknya ia ingin menguasai isteriku sepenuhnya, dan mereka agaknya sudah sepakat untuk menyingkirkan aku, membunuhku. Mungkin karena mereka merasa lalu sendiri melihat aku memaafkan mereka, atau mungkin juga karena mereka tidak percaya kepadaku dan ingin melihat aku mati agar mereka tidak akan terganggu lagi. Malam itu, mereka menyerang aku dalam kamarku. Tentu saja aku membela diri dan dalam perkelahian itu, aku berhasil merobohkan Gagak Ijo. Dia tewas dan biarpun aku bersedia memaafkan isteriku, akan tetapi agaknya isteriku demikian sakit hati karena kematian kekasihnya dan iapun pergi bertapa telanjang dan bersumpah hendak membalas kematian Gagak Ijo"
Nurseta mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa iba kepada Lembu Petak, dan dan bergidik mengingat akan kecurangan dan kepalsuan Jumirah yang pernah menjadi isteri orang ini.
"Akan tetapi, para pemuda dusun itu......?"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Raden. Percayakah kau, bahwa aku telah membunuh para pemuda itu karena cemburu, padahal ketika pertama kali isteriku bermain gila dengan Gagak Ijo saja aku dapat mengalahkan perasaan cemburu" Para pemuda itu terpikat oleh kecantikan dan rayuan Jumirah. Ia menjanjikan akan menyerahkan dirinya kepada para pemuda itu kalau mereka mampu membunuh aku. Mereka memang datang ke sini ada yang menantangku, dan ada pula yang mencoba membohongi Jumirah. Yang menantangku, aku layani, dan aku kalahkan tanpa melukai mereka. Aku akan merasa malu sendiri harus melukai pemuda-pemuda yang hijau dan tidak memiliki kepandaian apapun. Setelah mereka kembali kepada Jumirah, ada yang diterimanya di dalam goanya selama satu dua malam, ada yang langsung dibunuhnya dengan melukai mereka. Jumirah memiliki ilmu pukulan yang amat berbahaya, tidak terasa berat bagi yang dipukulnya, akan tetapi dapat mematikan, karena pukulan itu beracun"
Nurseta percaya akan semua cerita Lembu Petak. "Akan tetapi, paman Lembu Petak. Kenapa paman mendiamkan saja isteri paman melakukan perbuatan jahat itu, dan paman tidak turun tangan mencegahnya?"
"Apa yang dapat kulakukan" Sudah berkali-kali aku mencoba untuk membujuknya, akan tetapi ia malah menghinaku dan bahkan selalu merimaku dengan serangan-serangan yang mematian, sehingga terpaksa aku menghindar" Ia berhenti sebentar, lalu "Raden, kau seorang yang bijaksana dan sakti mandraguna, biarpun kau masih muda, oleh karena itu, kiranya hanya kau yang dapat menolongku untuk menundukkan dan membujuk ia agar ia kembali ke jalan yang benar"
"Baiklah kalau begitu, sungguh ia merupakan seorang sangat berbahaya dan perlu dibimbing, paman. Marilah kita ke sana dan aku akan berusaha untuk membujuknya ataupun menundukkannya, kemudian terserah kepada paman setelah ia dapat kukalahkan. Mudah-mudahan aku mampu mengatasinya"
"Kau pasti bisa, Raden, karena tingkat kepandaiannya hanya sama dengan tingkatku, Bahkan aku masih lebih kuat darinya. Marilah Raden, mari kita berusaha agar ia sembuh dan tidak mendatangkan korban pemuda yang tidak berrdosa lagi"
Mereka berdua lalu menuruni lereng itu menuju ke hutan di mana Jumirah, bekas isteri Ki Lembu Petak bertapa dalam goa yang menyeramkan.
Sementara itu matahari sudah condong ke barat, cuaca tidak begitu panas, bahkan ketika mereka memasuki hutan itu, suasana di dalam hutan sudah mulai agak gelap.
Tiba-tiba Nurseta mendengar suara ribut-ribut seperti banyak orang berteriak-teriak dan datangnya dari arah goa itu. Nurseta terkejut dan cepat ia meloncat dan lari dengan cepat. Betapapun Ki Lembu Petak mengejarnya, tetap saja Lembu Petak tertinggal jauh.
Ketika Nurseta tiba di tempat itu, ia makin terkejut melihat sedikitnya ada tiga puluh orang laki-laki tua dan muda yang membawa segala macam senjata. Ada yang membawa tombak, golok, linggis bahkan ada pula yang membawa pacul. Sambil berteriak-teriak mereka menyerbu ke dalam goa. Diantara suara teriakan penduduk itu, terdengar suara ketawa melengking yang menyeramkan.
Nurseta melihat korban dari para penduduk sudah jatuh empat orang. Sedangkan wanita yang telanjang bulat itu masih berada di dalam goa, ia hanya menggunakan kedua tangannya saja menyambit-nyambitkan batu untuk membendung serbuan para petani itu, bahkan bahkan merobohkan empat orang.
Melihat hal ini, Nurseta cepat berseru kepada para petani itu. "Saudara sekalian harap mundur dan jangan menyerbu ke dalam goa"
Akan tetapi, para petani tidak mau mendengar perkataannya. Mereka sebagian adalah saudara atau keluarga dari pemuda pemuda yang telah menjadi korban iblis wanita yang telanjang itu dan kini mereka yang sedang dipenuhi dendam. Mereka adalah orang-orang yang diminta oleh ayah Dirun, dan sekarang mereka beramai-ramai datang menyerbu. Setakut-takutnya manusia, kalau sudah maju bersama kawan-kawan, maka keberaniannya menjadi berlipat ganda.
"Ha, ini pemuda itu. Lihatlah, iapun tidak berhasil, mungkin ia malah terpikat oleh siluman itu. Hanya kita yang mampu membasminya" berkata ayah Dirun ketika ia melihat Nurseta.
Kawan-kawannya menjadi semakin marah dan semakin nekat, mereka menyerbu ke mulut goa. Akan tetapi, batu-batu kecil menyambar dari dalam goa dan dua orang lagi roboh.
Iblis wanita itu kini sudah bangkit berdiri di mulut goa, rambutnya riap-riapan panjang sampai ke paha, menutupi sebagian payudara dan perut ke bawah. Kulitnya nampak kuning langsat dan mulus di balik rambut yang hitam itu. Wajahnya yang ayu dan manis kini nampak menyeramkan, karena ia sudah mulai marah. Kemudian ia melihat Nurseta hadir disitu, iapun terkekeh genit.
"Ah, kau telah kembali, Raden, bagaimana", apakah kau sudah berhasil membunuh Ki Lembu Petak". Mari, bantulah aku mengusir petani-petani busuk ini Raden. Setelah itu, baru akan aku serahkan segala yang aku miliki ini kepadamu, hi-hi-hik"
Akan tetapi, Nurseta yang khawatir sekali kalau diantara para petani ada yang terkena pukulan beracun, cepat ia melompat mendorong para petani yang paling depan. Maka petani yang berada paling depan terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang.
Akibat perbuatan Nurseta tersebut, maka, marahlah para petani itu terhadap Nurseta. mereka mengira bahwa pemuda itu benar-benar membantu siluman betina yang sedang mereka serbu. Kini senjata-senjata para petani diarahkan kepada Nurseta.
Nurseta hanya mengelak dan menangkis, ia juga maklum bahwa para petani sudah salah paham terhadapnya.
Sementara itu, Ki Lembu Petak telah tiba di tempat kejadian, dan melihat bahwa para petani berusaha mengeroyok Nurseta yang mencoba menghalangi mereka menyerbu ke dalam goa.
Tiba-tiba terdengar suara Nurseta menggelegar "Saudara-saudara sekalian, harap mundur dulu dan biarkan aku bicara dengan wanita itu"
Namun para petani yang sudah terlanjur salah paham, mereka mengira bahwa Nurseta adalah teman wanita iblis itu dan membantunya, mereka tidak mau mendengarkan seruannya.
Sementara itu, Jumirah yang tadinya terkekeh girang melihat Nurseta dikeroyok oleh penduduk dusun itu, dianggapnya pemuda itu benar-benar membelanya, tiba-tiba menjadi merah mukanya dan matanya mengeluarkan sinar kemerahan ketika ia melihat munculnya Ki Lembu Petak. Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba nampak bayangan hijau berkelebat dan tahu-tahu seorang wanita muda yang berwajah cantik dan bermuka dingin telah berdiri di depan Jumirah.
Gadis berpakaian serba hijau itu mendengus, suaranya lirih namun dingin dan menyeramkan. "Siluman betina tak tahu malu, kau tak layak hidup" cepat sekali gadis berpakaian hijau menerjang Jumirah dengan sebatang keris kecil melengkung yang mengeluarkan sinar kuning.
Jumirah terkejut, akan tetapi bebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tidak menjadi gentar. Karena ia mengenal pusaka ampuh, ia tidak berani menangkis dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas tanah, kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar hitam berkelebatan ketika beberapa butir kerikil menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian hijau itu.
Gadis itu ternyata memiliki kesaktian juga, ia berloncatan dengan gesit mengelak, dan kerisnya menangkis runtuh beberapa butir kerikil.
Ketika Jumirah meloncat bangun, gadis itu tiba-tiba mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular berbisa dan akibatnya sungguh hebat, Jumirah merasa tubuhnya kaku dan tidak mampu bergerak.
Pada saat itu, gadis berpakaian hijau telah menubruk ke depan, keris kuning yang kecil itu menusuk dada, lalu robohlah Jumirah. Ketika wanita yang telanjang bulat itu roboh, gadis berpakaian hijau itu lalu melompat dan lenyap diantara pohon-pohon.
Nurseta merasa tertegun melihat munculnya gadis berpakaian hijau yang sudah pernah dilihatnya. Gadis itu adalah gadis yang muncul ketika ia dan petani ketela dibajak dan perahunya digulingkan. Waktu itu, gadis itu membunuh lima orang bajak sungai, lalu melarikan diri dengan menyelam. Dan kini gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, tanpa ada kesempatan untuk dapat mencegahnya. Karena selain ia sendiri dikeroyok oleh puluhan orang petani. Juga kecepatan bergerak dari gadis berpakaian hijau itu sangat cepat, sama seperti ketika gadis itu membunuh para bajak.
Setelah dua kali pertemuan, Nurseta kini dapat memastikan, bahwa gadis itu bukan lain adalah Wulansari. Akan tetapi, kalau benar ia Wulansari, mengapa ia diam saja ketika Nurseta memanggilnya. Dan mengapa pula sikapnya demikian dingin dan menyeramkan. Padahal, Wulansari yang pernah dikenalnya di tempat padepokan Panembahan Sidik Danasura, adalah seorang gadis yang manis dan sederhana, juga lemah lembut. Apakah gadis berpakaian serba hijau ini hanya mirip saja dengan Wulansari".
Sementara itu, melihat setan betina yang bernama Jumirah itu roboh, perkelahian itupun berhenti dengan sendirinya. Para Petani hanya memandang ke arah tubuh wanita telanjang yang menggeletak di depan goa, kemudian terdengar seseorang diantara mereka bersorak. Sorakan ini segera disusul oleh yang lain. Terdengarlah saura yang riuh rendah para penduduk dusun itu karena bersorak sorai gembira.
"Iblis wanita itu sudah mati"
"Siluman perempuan itu sudah mati. Para pemuda kita selamat"
Sementara para penduduk berteriak kegirangan, Ki Lembu Petakpun menghampiri tubuh bekas isterinya itu, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan iapun berseru dengan suara yang panjang penuh getaran.
"Jumirah........"
Ki Lembu Petakpun tak kuasa menahan kesedihannya, lalu ia menubruk tubuh wanita yang bermandikan darah itu.
Disangkanya Jumirah sudah meninggal, ternyata tiba-tiba wanita iblis itu membuka kedua matanya, memandang kepada Lembu Petak yang merangkul dan memangkunya, kemudian terdengar suara Jumirah yang lemah bercampur isak tertahan, "Kakang......., kau....... kau..... harap kau maafkan aku kakang" kini leher itu terkulai dan nyawa itu meninggalkan tubuh yang telanjang dan mandi darah.
"Jumirah......!" Ki Lembu Petak mendekap tubuh itu sambil menangis.
Melihat kejadian ini, para penduduk dusun saling pandang dan agaknya mereka merasa tidak enak sendiri, karena tadi mereka bersorak-sorak gembira atas kematian wanita yang sedang ditangisi pria gagah itu. Seperti komando saja, mereka lalu perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
"Jumirah, oh isteriku, betapa buruk nasibmu" Ki Lembu Petak menangis.
"Paman, kenapa paman tidak mengejar pembunuhnya tadi berkata Nurseta untuk mengalihkan pikiran Ki Lembu Petak dari kedukaannya.
Ternyata usabanya berhasil. Ki Lembu Petak mengangkat wajahnya memandang kepadanya, lalu ia menarik nafas panjang, sadar betapa ia telah menurutkan hati yang berduka dan iapun menjawab "Raden Nurseta, kenapa aku harus mengejarnya" Untuk apa" Isteriku Jumirah telah melakukan banyak perbuatan sesat, telah melakukan banyak penyelewengan sehingga membunuh banyak orang, maka, kalau kini ia dibunuh orang, aku sama sekali tidak merasa penasaran. Lagipula, pembunuhnya itu tentu orang yang berilmu tinggi, sehingga ia mampu membunuh Jumirah dalam waktu yang sedemikian cepatnya. Aku bukanlah lawannya dan akupun tidak merasa harus menuntus balas atas kematian Jumirah"
Nurseta memandang heran dan berkata "Akan tetapai, kalau andika tidak merasa dendam, mengapa kini paman menangisi kematiannya?"
Ki Lembu Petak menatap wajah pemuda dan kini suaranya terdengar tegas dan tenang, agaknya dia sudah mampu menguasai perasaannya, "Aku sama sekali tidak menangisi kematiannya, aku hanya menangis karena ia di dalam keadaan sesat dan jahat, Raden" Setelah berkata demikian, Ki Lembu Petak lalu menggali sebuah lubang di depan goa itu dengan mempergunakan sebuah cangkul yang ditinggalkan oleh para petani ketika mereka tadi jatuh bangun dihajar olehnya dan Nurseta dalam usaha mencegah mereka mengeroyok Jumirah.
Dengan sederhana namun penuh khidmat Ki Lembu Petak mengubur jenazah bekas isterinya itu dan meletakkan sebuah batu besar sebagai nisan di atas kuburan Jumirah.
Sementara itu, hari telah berganti malam, Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di dalam goa bekas tempat pertapaan Jumirah, mereka membuat api unggun dan duduk bercakap-cakap. Goa itu bersih dan terawat.
"Paman, aku masih merasa heran dan kurang mengerti akan sikapmu tadi. Paman tadi mengatakan, bahwa paman tidak menangisi kematian isteri paman, melainkan menangisi kematianya yang dalam keadaan sesat dan jahat. Apa yang paman maksudkan dengan itu?"
Ki Lembu Petak menarik nafas panjang panjang, orang yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu nampak seperti orang yang menyesal dan sedih.
"Ahh, aku dan isteriku adalah orang-orang yang penuh dosa, pernah malang melintang mengandalkan kepandaian kami, kadang-kadang kami memaksakan keinginan kami kepada orang lain dengan mengandalkan kekuatan. Ya, kami telah bergelimang dengan dosa. Akhirnya aku menyadari kekeliruan jalan hidup ini dan aku mengajak isteriku untuk mengasingkan dan membersihkan diri dari perbuatan jahat, hidup sebagai petani di pondok kecil. Kemudian terjadilah malapetaka bersama munculnya Gigak Ijo itu" Ki Lembu Petik menghela nafas panjang. Sedangkan Nurseta hanya mendengarkan saja penuh dengan penuh perhatian, karena ia emang tertarik untuk mengenal orang ini yang baru saja kehilangan isterinya dan berubah menjadi seorang iblis betina yang amat jahat.
"Semenjak mengajak isteriku pindah, aku bersama isteriku selalu berusaha untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Akan tetapi sayangnya, perbuatan jahat di masa lalu tidak dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik. Setiap perbuatan jahat pasti akan ada hukumannya, seperti yang kami berdua rasakan" kembali Ki Lembu Petak menghela nafas panjang.
"Raden, kalau boleh aku mengetahui, sebetulnya siapakah Raden ini, dari mana dan hendak ke mana" Sehingga Raden dapat bertemu dengan isteriku, sehingga kau bertemu denganku?"
"Aku hanya seorang pemuda pengelana yang sedang mencari ayahku, paman" Nurseta berhenti sebentar, lalu "Ah, benar juga. Siapa tahu paman mengenal ayahku yang sedang aku cari-cari"
"Siapakah nama ayahmu, Raden Nurseta?"
"Ayahku bernama Ki Baka dan......"
"Lha-dalah........!" Ki Lembu Petak berseru kaget dan iapun memandang wajah pemuda itu. "Kiranya kau ini putera Ki Baka" Pantas........, pantas kalau begitu, kiranya kau putera seorang tokoh sakti mandraguna. Kebetulan sekali, Raden. Beberapa bulan yang lalu aku bertemu dengan Ki Baka"
Tentu saja berita itu sangat menggirangkan ahti Nurseta, agaknya Hyang Maha wihdi sendirilah yang telah menuntunnya sehingga ia bertemu dengan Jumirah dan suaminya ini, sehingga akhirnya ia dapat juga mendengar berita tentang ayah kandungnya.
"Di mana ia sekarang, paman?"
"Ketika itu, aku sedang menuju ke puncak gunung Kelud ini, dan tanpa aku sengaja, aku lewat di depan sebuah gubuk terpencil. Karena sebelumnya aku tidak pernah melihat gubuk itu, hatiku tertarik dan akupun singgah untuk melihat, siapakah penghuni gubuk itu. Aku melihat ke dalam gubuk itu dan aku melihat Ki Baka duduk bersila. Aku segera mengenalnya karena beberapa belas tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan satria yang gagah perkasa itu. Aku masuk dan menyalaminya, ternyata iapun masih mengenalku, akan tetapi ia minta agar aku tidak bercerita dengan siapapun juga tentang pertemuan dengannya, dan merahasiakan tempat tinggalnya itu" Ki Lembu Petak berhenti sebentar, kemudian ia menarik nafas panjang, lalu "Raden, Ki Baka dalam keadaan Sakit"
"Sakit" Paman, di mana tempat itu?"
"Di dekat puncak, kalau dari sini Raden terus mendaki kearah puncak, Nanti Raden akan menemukan gubuk itu".."
"Terima kasih, paman" Nurseta memotong keterangan Lembu Petak dan sekali berkelebat, Nurseta sudah lenyap dari hadapan orang yang tinggi besar itu. Ki Lembu Petak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala penuh kagum dan diapun pergi meninggalkan goa dan makam isterinya, setelah melihat sekali lagi kearah makam itu untuk terakhir kalinya. Dengan langkah tegap dan lapang dada dan dengan harapan baru serta dengan pandang mata baru, seolah-olah cahaya matahari lebih terang dari pada biasanya, Ki Lembu Petak meninggalkan Gunung Kelud, untuk memulai hidup baru.
*** Sementara itu di puncak Gunung Kelud terdapat sebuah gubuk kecil sederhana dan di dalam gubuk inilah Ki Baka tinggal. Semenjak ia dilukai oleh Wiku Bayunirada, seorang kakek sakti seperti iblis itu yang telah menipunya dan berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, Kini Ki Baka menjadi seorang yang lemah kesehatan jasmaninya. Usahanya untuk mengobati dirinya selalu gagal karena pengobatan itu memerlukan hawa murni yang sakti untuk melawan pukulan beracun itu, namun setiap kali ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sakti itu, ia merasa dadanya sesak dan roboh pingsan. Akhirnya Ki Baka menghentikan usahanya, lalu mencoba untuk mencari puteranya, Nurseta yang sepengetahuannya bertapa di Goa Kantong Bolong.
Dalam keadaan tubuh lemah, amat sukarlah baginya untuk memasuki goa di tebing yang curam itu. Akan tetapi ia tidak berputus asa, dengan susah payah akhirnya Ki Baka berhasil tiba di Goa Kantong Bolong. Tetapi apa daya, ia hanya mendapatkan kekecewaan dan kegelisahan yang sangat, karena ia tidak menemukan puteranya di tempat itu. Nurseta telah lenyap tanpa jejak.
Hilangnya Nurseta ini merupakan pukulan berat bagi Ki Baka, jauh lebih berat dari pada kehilangan tombak pusaka Ki Tejanirmala, lebih berat dari pada keadaan dirinya yang menderita luka pukulan beracun. Dalam keadaan yang lemah itu ia mencoba untuk mencari, namun sekian lama ia mencari, semua usahanya itu sia-sia belaka.
Bertahun-tahun Ki Baka hidup merana, dalam keadaan lemah dan makin lama menjadi semakin parah, kedukaannya semakin mendalam karena memikirkan tentang Nurseta. Akhirnya ia seperti orang berputus asa. Ia telah kehilangan Nurseta dan kehilangan tombak pusaka dan ia tidak berdaya untuk medapatkan keduanya.
Dalam keputus-asannya, Ki Baka mendaki Gunung Kelud, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk bertapa tempat itu sampai maut merenggut nyawanya, mungkin melalui letusan gunung yang selalu mengeluarkan asap panas itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika pada suatu hari, di gubuknya muncul seorang laki-laki gagah perkasa yang mengenalnya. Dan iapun mengenal laki-laki itu, yang bukan lain adalah Ki Lembu Petak. Ia sudah merasa jemu untuk berlari dan bersembunyi lagi. Biarlah, ia tidak akan sembunyi lagi akan tetapi dia memesan kepada Lembu Petak agar merahasiakan tempat tinggalnya, karena selain ia sedang menderita sakit, juga Ki Baka tidak ingin terganggu oleh urusan di luar dirinya.
Agaknya Hyang Maha Agung belum ingin mencabut nyawanya, karena dalam keadaan mengasingkan diri itu, ia bertemu dengan seorang gadis serta ayahnya yang sudah menduda. Mereka tinggal di dusun dekat puncak, di dusun terpencil, dan pada suatu waktu, Ki Baka berjalan-jalan lewat dusun itu, ia mendengar gadis itu menangis dengan amat sedihnya, Ki Baka menghampiri rumah mereka dan mendapat kenyataan bahwa ayah gadis itu sedang menderita sakit panas yang parah. Dengan pengetahuannya yang cukup mengenai jamu-jamuan, Ki Baka yang selalu mengulurkan tangan untuk menolong, segera ia menyuruh gadis itu untuk mencari daun-daun jamu di dalam hutan dan memberitahu cara mengobati ayahnya dengan jamu itu, Akhirya, petani itupun sembuh.
Setelah sembuh ayah dan anak itu lalu mencari Ki Baka. Ketika melihat bahwa penolong mereka itu tinggal seorang diri di dalam gubuk dekat puncak tidak jauh dari tempapt tinggalnya, maka hampir setiap hari gadis itu atau ayahnya datang mengantar makanan dan minumin sekedarnya. Biarpun Ki Baka sudah melarang agar mereka itu jangan menyusahkan diri, namun mereka tetap saja sering datang berkunjung dan membawa sayur-sayuran, buah-buahan dan bersikap baik sekali atasnya.
Pada suatu pagi, ketika Ki Baka baru saja kembali dari sumber air di mana setiap pagi dan sore ia membersihkan diri. Ketika ia hendak duduk bersila untuk memulai dengan semedinya di pagi hari itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang di luar gubuknya.
"Kulonuwun...........!"
Suara orang laki-laki muda, pikirnya. Bukan suara Ki Lembu Petak. Beberapa detik jantung Ki Baka berdetak keras karena tegang, akan tetapi ia lalu bersikap tenang kembali. Mengapa harus takut, pikirnya. Setelah keadaannya seperti sekarang ini, ancaman maut yang datang dari manapm tidak membuatnya menjadi takut. Bahkan kematian agaknya akan membebeskan dia dari pada kedukaannya.
"Siapakah Ki Sanak yang berada di luar?" tanyanya dengan suara tenang.
"Ayah.....! Ini aku, Nurseta anakmu .... "
Pintu gubuk didorong terbuka dari luar, seorang pemuda berjalan masuk, langsung menubruk Ki Baka yang duduk bersila di atas dipan bambu. Pemuda itu merangkul Ki Baka dan memeluknya.
Ki Baka terbelalak, wajahnya pucat sekal. Kemunculan Nurseta demikian mengejutkannya, tak disangka-sangka sehingga hampir saja ia jatuh pingsan kalau tidak cepat-cepat dia merangkul pundak pemuda itu dan menangis.
"Nurseta...... ! Aku bersukur kepada Hyang Widhi. Benarkah kau Nurseta" Apakah kau ini kulup Nurseta" Duh Gusti........terima kasih........terima kasih...."
Mereka berangkulan dan keduanya tak dapat menahan rasa haru hati mereka, merekapun bertangis-tangisan.
Nursetalah yang dapat menguasai hatinya terlebih dahulu. "Ayah, sungguh bahagianya rasa hatiku ketika mendengar dari paman Lembu Petak. bahwa Ayah berada di tempat ini"
"Ah, angger, kiranya Ki Lembu Petak ya menunjukkan tempat ini kepadamu. Aku sangat berterima kasih kepadanya" Diusapnya rambut pemuda itu, ditatapnya wajah Nurseta. Ki Baka merasa kagum, juga bangga sekali. Puteranya telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan terihat dewasa dan matang.
"Anakku, kulup Nurseta, cepat ceritakan apa yang telah terjadi denganmu. Oh, betapa selama bertahun tahun ini hatiku menderita penuh dengan kerinduan, penuh kegelisah karena memikirkan dirimu, anakku. Betapa dengan susah payah aku menuruni Goa Kantong Bolong untuk mencarimu, namun engkau tidak berada di sana. Oh, betapa aku sudah hampir putus harapan untuk dapat berjumpa kembali denganmu. Namun siapa sangka, hari ini engkau muncul secara tiba-tiba di sini"
Tentu saja Nurseta juga ingin sekali segera mendengar apa yang telah terjadi dengan ayahnya ini setelah ayahnya diserbu oleh gerombolan tokoh jahat yang sakti, kemudian rumah mereka diobrak-abrik dan kabarnya ayahnya diculik gerombolan jahat itu. Akan tetapi, ia menahan keingin-tahunya itu, ia maklum, betapa ayahnya juga ingin sekali mendengar ceritanya tentang apa yang terjadi pada dirinya selama ini.
Dengan singkat namun jelas, Nurseta lalu Menceritakan pengalamannya. Dimulai ketika ia sedang bertapa di Goa Kantong Bolong, tiba-tiba saja muncul Gagak Wulung dan Dedeh Sawitri yang mengatakan bahwa ayahnya terluka dan mereka diutus oleh ayahnya untuk meminta tombak pusaka Tejanirmala. Ketika ia di atas, ia dipaksa oleh kedua iblis itu untuk mengaku di mana adanya tombak pusaka itu.
"Aku mengatakan tidak tahu dan mereka mulai menyerangku. Aku terpaksa melawan dengan sekuat tenagku, akan tetapi, mereka terlalu sakti bagiku. Lalu kemudian muncullah seorang kakek yang menolongku, dengan ilmu kesaktiannya yang hehat sehingga kedua orang jahat itu melarikan diri. Kakek itu adalah Eyang Panembahan Sidik Danasura yang kemudian menjadi guruku"
Ki Baka terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Tentu saja dia pernah mendengar nama pertapa sakti mandraguna itu.
"Sebelum aku ikut dengan Eyang Panembahan kami terlebih dahulu menengok dusun kita, dan aku terkejut mendengar betapa dusun Kelinting diserbu orang-orang jahat. Aku sangat gelisah sekali melihat rumah kita hancur dan porak poranda dan beberapa orang penduduk dusun juga tewas secara menyedihkan. Kemudian, aku ikut Eyang Panembahan ke Teluk Prigi Segoro Wedi dan mempelajari ilmu selama ini"
Ayahnya mengangguk-angguk gembira. "Jadi, selama empat tahun kau menjadi murid pendeta yang bijaksana dan sakti mandraguna itu" Duh Gusti, terima kasih atas anugerah yang Paduka limpahkan kepada Nurseta" katanya sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Kemudian ia merangkul pemuda itu da berkata, "Lalu bagaimana kau dapat tiba di Gunung Kelud ini dan bertemu dengan Ki Lembu Petak sehingga dari dia kau memperoleh keterangan tentang aku, angger?"
Nurseta menceritakan tentang perjalanannya meninggalkan padepokan Panembahan Sidik Danasura untuk melakukan kelana brata, memenuhi tugasnya sebagai seorang satria, berdarma bakti kepada nusa bangsa berdasarkan kebenaran dan keadilan. Diceritakannya pula pertemuannya dengan Padasgunung dan Pragalbo yang memberi tahu kepadanya tentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah, didukung pula oleh Ki Buyut Pranamaya yang tersohor kesaktiannya. Kemudian Nurseta bercerita tentang pertemuannya dengan Jumirah sehingga ia berkenalan dengan Ki Lembu Petak dan akhirnya ia mendengar tentang ayahnya dari orang gagah itu.
Ki Baka mendengarkan cerita puteranya dengan penuh perhatian, nampaknya ia gembira sekali melihat puteranya telah menjadi seorang pemuda dewasa yang memiliki kepandaian tinggi. "Syukurlah, anakku, bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, sehat, bahkan menemukan seorang guru yang bijaksana dan sakti. Terobatilah rasanya semua penderitaan yang kurasakan selama ini setelah kini dapat bertemu kembali denganmu, angger.''
"Ayah, apakah yang telah terjadi dengan ayah" Apa yang terjadi di dusun Kelinting kita dan siapa yang telah merusak rumah kita dan mengapa pula mereka itu menyerbu dan memusuhi ayah?"
Ki Baka menarik nafas panjang. "Banyak diantara mereka itu adalah orang-orang jahat yang memusuhi aku dengan dua alasan. Pertama, karena aku tidak membantu pemberontakan kakakku, mendiang Ki Baya, dan ke dua karena tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Tombak pusaka" Mengapa?"
"Tentu saja karena mereka ingin merampas pusaka itu"
"Ayah, harap suka ceritakan semua yang terjadi di sana ketika itu" Nurseta ingin sekali mendengar apa yang terjadi dengan ayahnya ketika itu.
Ki Baka lalu menceritakan dengan sejelasnya tentang kemunculan orang-orang itu "Aku sudah menduga akan hal itu, anakku. Oleh karena itu, maka aku sengaja menyuruh kau menyingkir dan bertapa di Goa Kantong Bolong. Siapa duga, Gagak Wulung di Ni Dedeh Sawitri memaksa para penduduk dusun untuk menunjukkan dimana kau berada" Ki Baka lalu bercerita betapa orang-orang itu mengeroyoknya dan dalam keadaan terluka parah, ia ditolong oleh seorang kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada. Semua orang dapat dikalahkan oleh kakek itu dan membawanya pergi, kemudian dengan dalih. menyelamatkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, kakek itu meminta keterangan di mana ia menyimpan pusaka itu. Dalam keadaan terluka parah dan percaya karena ia ditolong oleh kakek sakti itu, maka ia memberitahukan tempat pusaka agar dapat diselamatkan.
"Wiku Bayunirada berhasil mengambil pusaka itu sehingga tidak sampai terjatuh ke tangan para penyerbu itu. Akan tetapi, ternyata kakek yang sakti itu bukanlah orang baik-baik. Ia ternyata seorang penipu yang jahat dan kejam sekali"
"Aah!" Nuseta berseru kaget, ia sama sekali tidak menyangka bahwa kakek yang sakti dan telah menyelamatkan ayahnya dari tangan maut penyerbu itu ternyata seorang penjahat yang kejam. "Apa yang telah ia lakukan terhadap ayah?"
"Pertama ia mengobati luka-luka beracun yang berada di tubuhku dengan hawa saktinya. Memang racun ditubuhku berhasil dilenyapkan, akan tetapi sebagai gantinya, ternyata hawa sakti yang dimasukkan ke tubuhku mengandung racun pula. Racun itu mengakibatkan aku kehilangan semua kekuatan hawa sakti yang ada di tubuhku, Kalau aku mencoba mengerahkan tenaga sakti, maka tenaga itu memukul diriku sendiri dari arah dalam"
"Aaah......" Nurseta berseru kaget dan penasaran.
"Kakek sakti itu lalu membawa pergi tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ternyata, ia menolongku hanya untuk dapat merampas pusaka itu. Aku tertipu dan selama bertahun-tahun ini aku hidup dalam keadaan sakit akibat racun itu"
"Ayah, biarkan aku memeriksa keadaanmu, mudah-mudahan aku dapat mengobati ayah sampai sembuh" Nurseta cepat mendekati ayahnya dan memeriksa sakitnya.
"Di punggung terasa amat nyeri kalau aku mengerahkan tenaga dalam, dan rasa nyeri itu melemahkan seluruh persendian tubuhku"
Nurseta cepat memeriksa dan dia menahan seruan marah, ketika ia melihat betapa pungggung ayahnya itu nampak kehitaman. Tubuhnya yang tadinya besar dan kokoh kuat, kini nampak kurus dan ringkih, kulitnya berkerut dan kering, otot-ototnya layu. Dengan telapak tangannya yang disalurkan dengan tenaga saktinya, ia mencoba untuk mendorong keluar hawa beracun yang menguasai tubuh ayahnya. Tetapi ayahnya tidak kuat menahan rasa sakit dan terkulai pingsan.
Nurseta segera menghentikan usahanya, dengan sabar ia mencoba menyadarkan ayahnya yang sedang pingsan. Ia maklum bahwa ia tidak mampu mengobati penyakit ayahnya. Satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan mampu menyembuhkan ayahnya hanyalah Panembahan Sidik Danasura.
Beberapa saat kemudian Ki Baka siuman, terdengar suaranya mengeluh tertahan dan ia mencoba bangkit untuk duduk.
"Maaf, ayah, aku telah membuat ayah kesakitan dan pingsan"
"Tidak mengapa, aku sudah seringkali aku merasakan kesakitan dan pingsan setiap kali aku mencoba untuk mengerahkan tenaga dalam. Anakku, bagaimana menurutku penyakitku ini?"
"Sayang sekali ayah, bahwa aku hanya mempelajari ilmu kedigdayaan, Akan tetapi aku yakin bahwa Eyang Panembahan Sidik Danasura akan dapat menyembuhkanmu. Marilah ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan"
"Tidak, anakku. Aku sudah tahu di mana padepokan Sang Panembahan, seperti yang aku ceritakan tadi. Aku dapat pergi sendiri menghadap beliau dan mohon pertolongannya. Kau tidak perlu mengantarku, karena kau sendiri mempunyai banyak tugas yang penting. Pertama, demi keamanan negeri, kau harus berusaha mencari dan merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kedua, sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Mahesa Rangkah itu, membela Singosari. Sekarang, dengarkan aku dulu, anakku. Telah lama aku menyimpan rahasia ini dan sekarang, setelah kau menjadi seorang pemuda dewasa, apalagi sekarang kau telah memiliki kepandaian yang tinggi, sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui rahasia tentang dirimu. Bersiaplah kau mendengarkan dengan tekun dan tenang"
Ki Baka menarik nafas panjang, lalu ia berkata lagi kepada Nurseta "Anakku, aku akan membuka rahasia besar tentang dirimu" Ki Baka berhenti lagi dan kembali menarik nafas panjang, panjang sekali.
Nurseta menatap wajah ayahnya dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan biarpun pada lahirnya ia nampak tenang, namun jantungnya berdebar-debar tegang karena melihat sikap ayahnya yang demikian sungguh-sungguh. Rahasia apa gerangan yang hendak diceritaka ayahnya kepadanya" Akan tetapi dengan sikap tenang iapun bertanya "Ayah, rahasia apakah itu" Dan apa sangkut pautnya dengan diriku?"
"Nurseta anakku, coba kau mengingat-ingat lagi, masihkah kau ingat kepada ibamu?"
Nurseta terbelalak dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak pernah dapat membayangkan bagaimana wajah ibunya, walaupun samar-samar seperti dalam dongeng saja yang pernah didengarnya, ia seperti dapat melihat seorang wanita berpakaian indah sekali, entah bagaimana rupa wajahnya, wanita itu sedang menggendongnya.
"Ayah, bukankah sejak dahulu aku seringkali mengatakan bahwa aku tidak dapat mengingat wajah ibu" Bukankah menurut cerita ayah, ibu telah meninggal dunia sejak aku masih kecil" Ayah, siapakah nama ibu dan bagaimana rupa ibu" Dan kapankah ia meninggal dunia?"
Ki Baka menggeleng kepala dan tersenyum pahit. "Aku belum pernah menikah, anakku. Dengarlah dan janganlah terkejut, Kau bukanlah anak kandungku, kulup Nurseta"
Biarpun Nurseta nampak tenang, namun wajahnya agak pucat dan terjadi guncangan yang cukup hebat dalam dadanya.
"Ayah, harap suka jelaskan" katanya.
Ki Baka kembali memandang kagum pemuda yang memang hebat, ia dapat mengendalikan perasaan dan menguasai batinnya.
"Aku hanya menerimamu sebagai titipan dari mendiang kakakku, yaitu Ki Baya atau yang kemudian ia menamakan dirinya Bayaraja. Ketika itu, kau berusia delapan tahun. Engkau tentu masih ingat kepada Ki Baya"
Nurseta mengangguk. "Aku masih ingat, ayah. Sejak kecil aku bersama Ayah Baya, kemudian aku diserahkan kepadamu. Ayah sendiri dan ayah Baya mengatakan bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung ayah. Mengapa baru sekarang ayah mengatakan bahwa aku bukanlah anak kandung ayah. Dan apakah dengan begitu Ayah Baya itu adalah ayah kandungku?"
Ki Baka menggeleng-gelengkan kepalanya, katanya "Juga bukan anakku. Baiklah akan aku ceritakan dari awal semua kejadian tentang dirimu. Kerajaan Daha, Kediri, terdapat seorang pangeran yang bernama Pangeran Panji Hardoko. Nah, pangeran itulah yang pada suatu hari datang kepada Ki Baya, memondong seorang bayi yang baru berusia tiga bulan. Pangeran Panji Hardoko memberikan bayi itu kepada Ki Baya bersama harta yang banyak sebagai hadiah. Ia mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya, namanya Nurseta dan ia memberikan anak bersama harta yang cukup banyak itu kepada Ki Baya dengan permintaan agar Ki Baya mengaku sebagai ayah kandung anak itu. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya, anakku"
Tentu saja keterangan tentang dirinya itu amat mengguncang perasaan Nurseta, sesaat ia termenung. Ternyata ia bukan anak kandung Ki Baka, bukan pula anak kandung Ki Baya, melainkan anak seorang pangerab dari Daha. Dia seorang putera pangeran, orang berdarah bangsawan. Teringatlah Nurseta, betapa beberapa orang menyebutnya Raden agaknya hatinya tidak menolak, walaupun tadinya merasa geli dan canggung menerima sebutan itu. Dan ternyata ia benar-benar seorang Raden. Akan tetapi, benarkah semua cerita itu. Sunggug sukar baginya untuk menerima kenyataan, karena selama ini, ia menganggap Ki Baka sebagai ayah kandungnya, dan ia merasa gembira ketika Ki Baya menyerahkan dia ke Ki Baka dan mereka berdua itu menyatakan bahwa ia sesungguhnya anak kandung Ki Baka. Bagaimanapun juga, ia masih ingat akan watak Ki Baya yang keras dan kasar, jauh berbeda dengan watak Ki Baka, maka ia amat senang dan bangga menjadi anak angkat Ki Baka.
"Tetapi, ayah. Mengapa Ki Baya menyerahkan aku kepadamu?"
"Ki Baya memiliki cita-cita yang tinggi dan ia pemimpin gerakan pemberontakan terhadap kerajaan Singosari. Tentu saja aku tidak sudi membantunya. Aku bukan pemberontak. Ia lalu menyerahkan kau kepadaku karena ia merasa tidak sempat lagi menyediakan waktu bagimu di dalam kesibukannya menjadi seorang pemimpin pemberontak. Sewaktu aku melihatmu, aku langsung suka kepadamu, aku mau menerimamu dengan syarat, bahwa ia tidak boleh memintamu kembali, dan untuk itu kami membohongimu, dengan mengatakan bahwa akulah ayah kandungmu, bukan Ki Baya. Tentu saja hal ini merupakan rahasia yang akan aku simpan sampai kau menjadi dewasa. Dan sekarang aku lihat kau sudah dewasa dan cukup matang, maka aku buka semua rahasia ini. Maafkanlah bahwa selama bertahun-tahun ini aku telah membohongimu, Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar sebutan itu. Orang yang selama ini amat dihormatinya, amat dicintainya, yang dianggapnya sebagai ayah kandungnya, kini menyebutnya Raden.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah. Janganlah menyebut seperti itu kepadaku. Aku tetap anakmu Nurseta" kemudian Nurseta memeluk ayahnya.
Akan tetapi Ki Baka yang juga balas merangkul, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku adalah seorang yang tahu akan aturan Raden Nurseta. Selama ini, karena kita hidup pedusunan sebagai petani, maka terpaksa aku perlakukan kau sebagai anak petani. Kau menyebut ayah kepadaku dan aku menyebut kulup atau angger, jarang menyebut namamu, karena namamu bukanlah nama rakyat biasa. Nah, marilah kita menghadapi kenyataan dengan tabah, Raden. Hatiku terasa lapang, karena sudah membuka rahasia ini padamu"
Nurseta menenangkan hatinya dan ia berhasil mencegah turunnya air mata dari kedua matanya. Ia merasa terharu sekali, akan tetapa sama sekali tidak merasa girang atau bangga akan kenyataan bahwa dia putera seorang pangeran. Bahkan ia merasa penasaran bukan main mendengar, bahwa oleh ayah kandungnya yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu, telah menyerahkan ia kepada orang lain, yaitu kepada Ki Baya, seorang pemberontak.
"Akan tetapi ayah, aku sungguh merasa penasaran sekali. Kalau aku ini adalah anak seorang pangeran, kenapa pangeran itu menyerahkan aku kepada Ayah Baya" Dan siapa ibu kandungku dan dimana ia berada" Juga dimana adanya pangeran itu sekarang?" Berkata demikian, Nurseta teringat pernah melihat dalam bayangan samar-samar seorang wanita berpakaian indah, seorang wanita bangsawan. Sayang ia tidak pernah dapat membayangkan wajah ibunya itu.
Ki Baka menggelengkan kepalanya. "Hal itupun aku tidak tahu, Raden. Mendiang kakang Baya tidak pernah menceritakan mengapa pangeran itu menyerahkan kau kepadanya. Ki Bayapun tidak tahu siapa ibu kandungmu. Kini ia telah tiadam sehingga kita tidak dapat bertanva kepadanya. Aku kira, seandainya ia masih hidup sekalipun, ia tidak akan dapat menjawabnya"
"Akan tetapi masih ada Pangeran Panji Hardoko itu! Aku akan mencarinya di Daha, dan akan kutanya kepadanya mengapa dia menyerahkan aku kepada Ayah Baya, kalau memang aku ini putera kandungnya. Dan akan mencari di mana ibu kandungku berada"
Nurseta berkata dengan penuh semangat karena ia merasa penasaran kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu, yang telah menyerahkan da kepada orang lain.
Akan tetapi kembali Ki Baka menggelengkan kepalanya dan memandang dengan sedih kepada pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu. "Satu lagi yang kau harus ketahui Raden, menurut Kakang Baya bahwa, Pangeran Panji Hardoko itu sudah meninggal dunia, tidak lama setelah menyerahkan kau kepadanya"
Nurseta merasa terpukul. Baru saja ia menemukan ayah kandungnya yang sebenarnya, ternyata ayah kandungnya telah meninggal dunia.
"Sudahlah, Raden Nurseta. Selain ayahmu sudah meninggal, juga kenyataan bahwa sejak bayi kau telah diserahkan kepada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa mereka sebagai orang tuamu itu, tidak menghendaki dirimu. Untuk itu, kau tidak perlu bersusah payah hendak mencari mereka, karena merekalah yang tidak menghendaki dirimu. Sekarang, yang penting bagimu adalah mencari tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Aku sebagai seorang yang menganggapmu sebagai anak sendiri, meminta bahkan aku memohon kepadamu agar kau suka mewakili aku mencari pusaka itu. Anggaplah saja hal itu sebagai balasan kepadaku yang sudah memeliharamu sejak kau kecil"
"Ah, ayah, tidak perlu begitu. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencari tombak pusaka itu, akan tetapi, ke manakah aku harus mencarinya" Aku tidak mengenal siapa kakek yang bernama Wiku Bayunirada itu, dan tidak tahu mana dia berada"
Aku rasa namanya itupun nama palsu, Raden. Aku sudah mengenal banyak tokoh besar dunia ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar nama Wiku Bayunirada. Akan tetapi, biarlah kau ketahui bahwa, dia seorang kakek yang usianya sekarang mendekati delapan puluh tahun, pada waktu empat tahun yang lalu, rambut, jenggot dan kumisnya sudah hampir putih semua. Pakaian dan ikat kepalanya serba putih, dan mukanya pucat seperti muka mayat dan keriput. Bicaranya halus. Akan tetapi, kalau ia bicara dan ketawa, bibirnya tidak ikut bergerak. Bentuk tubuhnya sedang-sedang saja dan ada suatu ciri yang tak dapat ia sembunyikan, yaitu kedua kakinya hanya berjari empat. Tidak terdapat ibu jari di masing-masing kaki itu"
Nurseta mencatat semua itu dalam ingatannya. "Aku memperhatikan semua yang ayah katakan itu, dan akan aku cari dia, kalau bertemu, akan aku minta kembali tombak pusaka itu"
"Aku girang sekali, Raden Nurseta. Berhati-hatilah terhadap kakek itu yang berwatak palsu dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Tombak pusaka itu harus dapat kau rampas kembali, karena amat berbahaya kalau terjatuh ke tangan orang yang bermaksud jahat"
"Baik, ayah. Akan aku usahakan sampai aku berhasil merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Ada satu hal lagi, Raden. Aku minta kau suka memperhatikan benar-benar. Kini kau sudah tahu bahwa, kau berdarah bangsawan. Ayah kandungmu bahkan seorang pangeran di Kerajaan Daha. Akan tetapi kau harus selalu ingat bahwa, kesetiaan seseorang terhadap negara, bukan ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oleh tempat di mana ia tinggal dan hidup. Sejak kecil kau tinggal di daerah Singosari, menghirup udara Singosari, meminum air Singosari dan makan dari hasil tanah Singosari. Lebih dari, hendaknya kau selalu ingat, Raden, bahwa aku sebagai pengganti orang tua dan juga pengasuhmu, Aku adalah seorang laki-laki sejati yang akan membela tanah air Singosari, siap mempertahankan setiap jengkal tanah dengan sepercik darah. Selain aku, juga aku sudah mendengar bahwa Sang Panembahan Sidik Danasura juga seorang yang sakti mandraguna dan seorang yang setia pula kepada Keraja Singosari"
Nurseta mengangguk-angguk. "Tidak keliru, ayah. Aku pernah mendengarkan persiapan antara Eyang Panembahan dan Paman Jembros, dan mereka berdua itu adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Singosari"
"Ki Jembros. Ah, aku mengenalnya, karena itulah, Raden. Maka sudah sepatutnya kalau kau juga berjiwa patriot terhadap Kerajaan Singosari. Sudah menjadi tugas kewajibanmu sebagai seorang ksatria untuk bersama para ksatria lainnya, menentang gerakan pemberontak seperti yang sedang dipimpin oleh Mahesa Rangkah. Kalau kau bertemu dengan para ksatria itu, maka, akan lebih mudah bagimu untuk meneliti dan menyelidiki di mana adanya Wiku Bayunirada yang melarikan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Baik, ayah. Harap jangan khawatir. Aku kan melaksanakan semua perintahmu, yaitu mencari sampai dapat tombak pusaka itu, dan membantu Kerajaan Singosari menentang pemberontakan Mahesa Rangkah. Akan tetapi sebelumnya, biar ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan agar penyakit ayah dapat disembuhkan"
"Tidak, Raden. Jangan membuang banyak waktu, aku dapat pergi sendiri menghadap kesana. Akupun ingin sekali cepat sembuh agar aku dapat membantu penumpasan gerombolan pemberontak itu"
Tiba-tiba terdengar langkah lembut di luar gubuk. Nurseta segera mendengarnya sebelum Ki Baka mendengar langkah itu.
"Ada orang di luar" bisik Nurseta.
Akan tetapi, Ki Baka tersenyum. "Kebetulan sekali ia datang. Ah, aku ingin memperkenalkan kau kepada seorang dewi yang menjelma dalam tubuh seorang dara yang sederhana, Raden"
Terdengar daun pintu gubuk itu diketuk dari luar dan terdengar pula suara yang lembut "Paman Baka, ini aku Pertiwi yang datang. Bolehkah aku masuk?"
Suara itu lembut dan merdu, juga mengandung kesopanan.
"Pertiwi. Masuklah masuklah, lihatlah siapa yang berada di sini bersamaku" kata Ki Baka dengan suara gembira sekali.
"Ooh. Ada tamu......." Gadis itu berbisik lirih.
Sejenak suasana menjadi sunyi, agaknya gadis itu merasa ragu untuk membuka daun pintu, setelah mendengar bahwa Ki Baya kedatangan tamu.
"Jangan takut. Masuklah, di sini ada orang yang sudah lama kau kenal" kata pula Ki Baka.
Daun pintu gubuk bambu itu berderit ketika dibuka dari luar dan seorang dara yang bertubuh ramping melangkah masuk dengan ragu-ragu. Nurseta memandang kearah gadis itu. Ia membenarkan perkataan Ki Baka. Gadis dusun yang berpakaian sangat sederhana, juga gelung rambutnya. Akan tetapi gadis ini memiliki aura yang mengesankan. Ada aura keagungan pada wajah yang tidak dirias itu, terutama sekali sepasang matanya terang dan lembut. Kembennya yang sudah tidak baru lagi, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang ramping dan padat. Langkahnya satu-satu, ketika ia memasuki pondok itu, matanya yang lebar memandang ke arah Nurseta. Akan tetapi, ketika ia merasa tidak mengenal wajah tampan pemuda itu, tiba-tiba kedua pipinya menjadi kemerahan, iapun menundukkan wajahnya.
"Ternyata Paman Baka sedang bergurau" pikirnya. "Ia tidak pernah mengenal pemuda itu. Tentulah ia pemuda priyayi, mudah dikenal dari sikap dan wajahnya, walaupun pakaian pemuda itu juga sederhana seperti pakaian pemuda petani biasa.
Ki Baka tertawa melihat keragu-raguan atas gadis itu untuk mendekat, "Ha-ha, Pertiwi, majulah mendekat dan jangan malu-malu. Ia sudah lama kau kenal, karena ia adalah Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar orang yang selama ini dianggap ayahnya itu memperkenalkan dirinya sebagai Raden Nurseta.
Ketika Pertiwi mendengar nama itu disebutkan oleh Ki Baya, gadis itu mengangkat wajahnya, ia memandang kepada Nurseta dengan penuh perhatian.
"Ah, Paman Baka, kiranya ia ini adalah putera angkat paman itu. Raden Nurseta. Sudah lama aku mendengar Paman Baka menceritakan tentang dirimu, Raden" berkata Pertiwi dengan malu-malu.
Sikap Pertiwi sungguh membuat hati Nurseta terkagum-kagum, karena gadis itu sangat ramah dan sama sekali tidak pemalu Seperti kebanyakan perawan gunung.
"Raden, ini adalah Pertiwi. Ia dan ayahnya merupakan keluarga yang amat baik dan mereka adalah sahabat sahabatku. Mereka yang selama ini bersikap ramah dan selalu memberikan pertolongan kepadaku dan aku berhutang budi yang besar sekali kepada nini Pertiwi dan orang tuanya"
"Ah, harap jangan mempercayai pujian Paman Baka yang berlebihan itu, Raden Nurseta"
Pertiwi, gadis yang usianya baru enam belas tahun itu tersenyum. Nampak deretan giginya yang putih bersih, sepasang bibir itu merekah merah. "Kami hanya bersikap ramah, karena kami merasa iba melihat Paman Baka hidup menyendiri dan kadang-kadang kelihatan lemah. Akan tetapi, kalau bicara tentang pertolongan, kamilah yang berhutang budi kepadanya, karena Paman Baka pernah menyelamatkan dusun kami dari serbuan kaum penjahat"
Nurseta memandang kepada ayahnya dengan heran. Orang tua itu jelas dalam keadaan tak berdaya, lemah dan tidak mampu mengerahkan tenaga saktinya. Bagaimana mungkin mampu menyelamatkan dusun dari serbuan kawanan penjahat.
Agaknya Ki Baka dapat mengerti keheranan pemuda itu, maka iapun tertawa. Katanya "Tidak aneh, Raden. Pemimpin perampok itu mengenalku, oleh karena itu, ketika ia melihat aku berada di dusun ini, ia lalu mengajak anak buahnya melarikan diri ketakutan, tanpa aku menggerakkan sebuah jari tanganpun"
Gadis itu kini mendekati Ki Baka. Ketika ia datang, tangan kanannya membawa sebuah ikul dan tangan kirinya membawa sebuah kendi hitam. Dengan hati-hati, diletakkannya bakul dan kendi itu di atas tikar di depan Ki Baka.
"Hari ini aku hanya membuat lauk botok manding dan tempe bakar. Maaf paman, karena kami tidak tahu, bahwa putera angkat paman berada di sini, maka nasi dan lauknya kurang. Biarlah untuk sore nanti akan kembali lagi dan membawa yang lebih banyak"
"Tidak usah, Pertiwi. Ini saja sudah cukup. Lihat, Raden. Beginilah setiap hari, ia selalu mengirim makanan untukku. Sudah aku larang agar mereka menghentikan kerepotan ini, akan tetapi Pertiwi tidak mau mendengar laranganku. Setiap hari ia selalu datang kembali" ia berhenti sebentar lalu "Bagaimana menurutmu Raden", bukankah ia baik dan manis sekali?"
Kembali gadis itu menundukkan wajahnya yang berubah kemerahan, yang membuat ia semakin manis. Mulutnya tersenyum malu-malu, kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar.
"Ah, Paman Baka, jangan memuji-muji terus. Akukan jadi malu"
---ooo0dw0ooo--
Jilid 7 - Pergerakan Dimulai
"Tidak, nini, aku tidak memuji kosong. Bahkan, aku akan merasa berbahagia sekali kalau Raden Nurseta, anak angkatku ini, suka mengambilmu sebagai isterinya. Di bawah kolong langit ini sukar ditemukan keduanya perawan seperti engkau, nini Pertiwi" Ki Baja berhenti sejenak,lalu "Bagaimana, nini" maukah kau menjadi isteri Raden Nurseta ini?"
Nurseta sendiri terkejut mendengar ucapan Ki Baka itu. Dia mengenal Ki Baka sebagai ayahnya, sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, jantan dan pantang mundur, terbuka dan jujur. Sungguhpun tidak mengherankan melihat sikapnya demikian bebas terbuka membicarakan tentang perjodohan di depan gadis itu begitu saja, namun keputusan ayah angkatnya itu sungguh mengejutkan hatinya, karena sama sekali tidak disangka-sangkanya. Memang Ki Baka, biarpun pernah menjadi seorang senopati, menjadi seorang pendekar di sepanjang Lembah Brantas, namun ia tetap sederhana dan terbuka, sehingga anak angkatnya sendiripun disuruhnya memanggil ayah kepadanya, seperti keluarga petani dusun biasa.
Sementara itu, wajah Pertiwi yang kemerahan kini menjadi merah sekali, sepasang mata dara itu terbelalak memandang kepada Ki Baka, seperti seekor kelinci ketakutan dan juga malu-malu, ia lalu berlari keluar dari gubuk itu sambil berteriak kecil, "Aih, paman membikin aku menjadi malu sekali.......!" tanpa pamit lagi, Pertiwi lari diiringi dengan suara ketawa Ki Baka.
Setelah gadis dusun itu pergi jauh, Ki Baka bertanya kepada Nurseta, "Bagaimana pendapatmu tentang nini Pertiwi itu" Bukankah ia seorang dara yang ayu dan manis merak-ati. Ia juga seorang yang lemah lembut dan berhati emas?"
Nurseta harus mengakui bahwa Pertiwi walaupun ia seorang perawan gunung, namun ia memang cantik sekali, ia memiliki daya tarik yang luar biasa, maka iapun mengangguk membenarkan dengan jujur. "Ya, Pertiwi adalah seorang gadis yang sangat cantik, ayah"
"Sejujurnya, aku seringkali membayangkan ketika mengingatmu, setiap kali nini Pertiwi datang, aku membayangkan, betapa akan bahagia rasa hatiku kalau melihat ia bersanding denganmu, sebagai isterimu. Kalau kau tidak berkeberatan dan ingin menyenangkan hatiku, maka, aku akan segera menemui orang tuanya untuk mengajukan pinangan. Percayalah, biarpun aku belum pernah menikah, namun mataku cukup awas untuk dapat mengenal seorang gadis yang baik, seorang calon isteri pilihan dan sukar dicari keduanya"
Nurseta termenung. Mendengar ucapan itu, tanpa disengaja, segera terbayanglah di depan matanya wajah seorang gadis lain. Seorang gadis yang berkulit kuning berwajah manis, dengan sepasang, mata seperti bintang, hidung kecil mancung dan bibir merah basah, ada lesung pipit di sebelah kiri pipinya dan tahi lalat kecil di pipi kanannya, dengan senyum menghias wajahnya. Sepasang matanya bagaikan bintang, kadang-kadang redup, dan dapat pula menyala dengan aneh. Seorang gadis sederhana yang kini muncul sebagai seorang wanita sakti yang aneh berpakaian serba hijau. Wulansari.
"Bagaimana" Apakah kau sudah memikirkannya?"
"Maaf, ayah. Aku belum memikirkannya, karena menganggap bahwa aku belum memikirkan tentang jodoh. Bukankah di depan masih terdapat tugas-tugas penting menanti" Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus aku dapatkan, dan keamanan negara terancam oleh pemberontakan Mahesa Rangkah. Nanti sajalah, ayah, kalau semua tugas telah selesai dengan baik, baru kita bicara lagi tentang perjodohan"
"Ya, ya, kau benar, kulup. Beginilah kalau seorang tua ingin sekali menimang cucu. Kau benar Nurseta, memang tugas itu lebih penting dari pada urusan pribadi. Kedua tugas itu memang teramat penting dan berbahaya" ia berhenti sejenak, lalu " Nurseta. Kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada itu, mempunyai kesaktiannya seperti iblis. Terhadapnya, kau harus berhati-hati. Adapun si pemberontak Mahesa Rangkah itupun bukan orang sembarangan. Ia adalah putera pemberontak yang bernama Linggapati. Ayahnya seorang pemberontak besar yang sakti, tentu puteranya juga tidak boleh dipandang ringan. Ketika ayahnya memberontak, aku masih membantu Sang Prabu Wisnuwardhana sebagai seorang diantara para senopati dan aku ikut membasmi gerombolannya di Mahibit. Sekarang, anaknya juga memberontak dan betapa gembira hatiku kalau kau sebagai anak angkatku, maju membantu pemerintah dan ikut membasmi gerombolan Mahesa Rangkah" Ia berhenti lagi, lalu "Kau benar, setelah semua tugas selesai, barulah seorang laki-laki boleh beristirahat dan memikirkan kesenangan pribadinya"
Nurseta bermalam di gubuk ayah angkatnya malam itu dan pada keesokan harinya, mereka saling berpisah lagi setelah semalam suntuk mereka hampir tidak tidur, karena waktu dihabiskan untuk melepas kerinduan dan bercakap-cakap panjang lebar menceritakan semua pengalaman masing-masing selama lebih dari empat tahun mereka saling berpisah.
Pada keesokan harinya, seperti telah mereka rundingkan semalam, Ki Baka pergi menuju ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi di pantai Laut Kidui. Sedangkan Nurseta memulai dengan perjalanannya untuk menyelidiki tentang gerakan gerombolan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah, sekalian menyelidiki kakek bernama Wiku Bayunirada yang merampas dan melarikan tombak pusaka Tejanirmala.
** Sementara itu, Mahesa Rangkah sudah siap untuk melakukan penyerbuan ke Singosari. Ia sudah menghimpun pasukan yang dianggapnya cukup kuat karena memperoleh dukungan secara diam-diam oleh Kerajaan Kediri. Tentu saja Sang Prabu Jayakatwang tidak berani secara terang-terangan mendukung pemberontakan Mahesa Rangkah, karena pada lahirnya dia merupakan raja taklukan, juga menjadi besan dari Sang Prabu Kertanagara. Hanya di dalam batinnya sajalah Sang Prabu Jayakatwang membenci dan mendendam kepada Sang Prabu Kertanagara karena dia merasa dirinya lebih patut menjadi raja di raja, menguasai Singosari dan Kediri.
Untuk memulai pemberontakannya, Mahesa Rangkah menyebar para pembantunya, dengan membawa pasukan kecil, untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun besar atau kecil yang berada di sekitar daerah pinggiran Singosari. Gerakan ini dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan, juga mengacaukan keamanan Singosari, dan terutama untuk menarik perhatian pasukan Singosari agar meninggalkan kota raja dan berpencaran untuk menanggulangi pengacauan yang dilakukan serentak di daerah pinggiran.
*** Malam bulan bersinar terang, hampir bulat penuh. Dusun Tarutug yang terletak di perbatasan antara daerah Kediri dan Singosari, nampak tenang. Para penduduk dusun itu banyak yang tinggal di luar rumah, menikmati sinar bulan yang sejuk. Akan tetapi, semakin malam, hawa menjadi semakin dingin sehingga mereka merasa lebih enak untuk tinggal di dalam rumah. Belum juga tiba tengah malam, suasana sudah sunyi sekali di dusun Tarutug yang bermandi sinar bulan dan diselimuti hawa yang dingin itu.
Suasana malam terang bulan yang dingin dan sunyi itu menjadi semakin indah dan hening ketika sayup-sayup sampai terdengar suara suling melengking naik turun dengan halus dan merdu sekali. Suling merupakan alat musik, yang seperti alat musik tiup lainnya, amat peka terhadap getaran perasaan peniupnya. mencurahkan isi batin melalui tiupan suling akan amat terasa, melengking dan menggetar menurut keadaan batin peniupnya.
Suara suling yang mengalun dan menyusup-nyusup di malam terang bulan itu datang dari sebuah bukit dekat dusun Tarutug itu. Bukit gundul yang sunyi. Bukit yang hanya ditumbuhi rumput dan alang-alang, tempat yang amat menyenangkan bagi para anak penggembala lembu dan domba, karena tempat itu selain dipenuhi rumput yang subur, juga di sebelah barat lereng bukit itu mengeluarkan air jernih dari sebuah sumber yang tak pernah kering sepanjang musim, baik musim kemarau apa lagi di musim hujan. Para penggembala di waktu pagi dan sore, membiarkan ternak mereka makan rumput dengan santai, dan minum dari genangan air dari sumber itu. Akan tetapi di waktu malam, keadaan di situ sunyi bukan main, tak nampak seorangpun manusia. Dan dari puncak bukit sunyi itulah datangnya suara suling malam itu.
Penyuling itu seorang pria muda yang duduk di atas sebuah batu di puncak bukit itu, menghadap ke barat. Usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan berbentuk bulat telur, tubuhnya sedang namun kokoh kuat. Suling yang ditiupnya itu sebatang suling yang berwarna hitam, tidak jelas terbuat dari apa, kayu ataukah bambu. Tiba-tiba, dari kaki bukit itu sebelah barat, terdengar suara suitan melengking tiga kali. Mendengar ini, peniup suling itu menurunkan nada suara sulingnya, makin merendah sampai akhirnya berhenti dan diapun bangkit berdiri, memandang ke arah sesosok bayangan yang berlari naik ke atas bukit dengan cepat dari arah barat.
Kini orang yang berlari naik itu tiba di depan si pemegang suling yang segera menyambutnya dengan pertanyaan, "Adi Pragalbo, bagaimana" Berhasilkah kau bertemu dengan para senopati Singosari?"
"Aku sudah berjumpa dengan para senopati, kakang Padasgunung, bahkan Kanjeng Senopati Ronggolawe sendiri yang menerima laporanku. Mereka sudah mempersiapkan pasukan. Dan bagaimana dengan persiapan kita, kakang" Apakah para pemuda dusun sudah siap pula untuk sewaktu-waktu Kita gerakkan menggempur para pemberontak?"
Padasgunung si penyuling tadi, mengangguk. "Mereka sudah siap dan suara sulingku yang akan menjadi tanda bagi mereka untuk berkumpul di sini. Dari tiga buah dusun di sekitar bukit ini telah berhasil aku kumpulkan dua ratus prang. Dan mereka sudah siap bertempur membela tanah air dengan senjata seadanya namun dengan tekad membaja. Mereka tahu apa artinya perjuangan membasmi para pemberontak. Pengalaman yang lalu ketika Bayaraja memberontak membuat mereka tidak sudi mendiamkan saja para pemberontak itu menyerbu dusun mereka. Mereka maklum bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan. Kalau para pemberontak itu menduduki dusun, tentu semua milik mereka lenyap, bahkan nyawa merekapun tidak terjamin, sedangkan para wanitanya tentu akan dirusak"
"Bagus sekali kalau begitu, kakang Padasgunung" kata Pragalbo, satria muda gagah perkasa yang berkulit hitam namun berwajah persegi, dengan watak jenaka itu, "Karena sekarang juga mereka itu kita perlukan"
"Eh, apa maksudmu, Adi Pragalbo ?"
"Begini, kakang. Ketika aku pulang menuju ke bukit ini, aku melihat betapa banyak sudah dusun-dusun yang dilanda bencana dengan penyerbuan pasukan pemberontak. Mereka itu agaknya bergerak serentak di dusun-dusun sekitar perbatasan, dengan kelompok-kelompok kecil, Tentu saja para penduduk dusun itu tidak berdaya menghadapi para pemberontak yang menjadi perampok itu, Banyak yang lari mengungsi. Dan yang terpenting, siang tadi aku melihat gerombolan pemberontak yang jumlahnya lebih dari seratus orang menuju ke timur dan aku rasa, selambatnya besuk pagi, gerombolan itu sudah sampai di sini. Karena itu, aku cepat-cepat lari mendahului untuk memberiiahukan kepadamu, kakang"
Padasgunung mengepal tinju kiri dan mengacungkan suling di tangan kanannya sambil memandang marah ke arah barat. "Biarkan mereka datang adi Pragalbo. Dan malam ini juga kita harus mengumpulkan mereka itu dan mengatur siasat untuk menyambut musuh. Kalau sampai terjadi pertempuran, kau pimpin pasukan menurut siasat barisan yang aku atur dengan suara sulingku. Para penduduk sudah aku latih selama beberapa hari ini dan mereka tahu cara merubah barisan berdasarkan petunjuk suara sulingku, Aku akan menonton dari tempat tinggi di sini agar lebih mudah mengamati keadaan dan merubah barisan sesuai dengan perkembangan pertempuran"
Pragalbo sudah maklum akan keunggulan kakak seperguruan itu dalam hal ilmu perang, maka iapun mengangguk. Tak lama kemudian, terdengar pula lengking suling itu ditiup Padasgunung. Akan tetapi kini suara suling itu terdengar lain, penuh semangat dan suara melengking tinggi itu menembus keheningan malam menyusup ke dalam tiga buah dusun yang berada di kaki bukit. Segera terdengar suara kentungan bertalu-talu menyambut suara suling ini dan mulai nampaklah bayangan banyak orang berlarian naik ke atas bukit. Itulah para lelaki muda dari tiga buah dusun yang segera mendaki bukit setelah mendengar isarat berkumpul melalui lengking suling yang ditiup Padasgunung tadi.
Melihat ini, Pragalbo merasa kagum kepada kakak seperguruannya. Dalam waktu kurang dari setengah jam, di puncak bukit itu telah berkumpul kurang lebih duaratus orang. Mereka semua memegang bermacam senjata yang biasa dipergunakan para petani. Linggis, arit, cangkul, ada pula yang membawa tombak, golok atau semacam parang, dan keris.
Setelah semua orang berkumpul, membentuk lingkaran mengelilingi batu besar di mana Padasgunung dan Pragalbo berdiri, Padasgunung lalu berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa. "Saudara-saudara, baru saja kami mendengar bahwa gerombolan pemberontak sudah mulai melakukan serbuan kedusun-dusun di barat. Ada segerombolan penjahat yang sedang menuju ke sini dan agaknya pada hari esok pagi-pagi mereka sudah tiba di kaki bukit ini. Dusun-dusun kita di sekitar ini terancam. Oleh karena itu, saudara-saudara kami kumpulkan, Kita harus segera membentuk pasukan pendam untuk menanti mereka dan sebelum mereka sempat menyerbu dusun, kita serbu mereka lebih dahulu dari semua jurusan. Ingat, kalau terjadi pertempuran, kalian akan dipimpin langsung oleh Adi Pragalbo, dan bentuklah pasukan-pasukan dengan perubahan menurut suara sulingku seperti yang pernah andika sekalian pelajari"
Para anggota pasukan rakyat itu mengangguk dan mereka tidak merasa gentar karena sebelumnya, Padasgunung telah menanam pengertian dalam hati mereka bahwa mereka semua berjuang demi keselamatan keluarga mereka, dan mereka hendak mempertahankan setiap jengkal tanah dengan percikan darah mereka. Bahkan kalau perlu mereka siap mengorbankan nyawa demi membela tanah air dan keluarga.
Selama beberapa jam, mereka sibuk melaksanakan siasat yang diatur oleh Padasgunung dan Pragalbo, mempersiapkan barisan pendam, bersembunyi di lubang-lubang yang mereka gali, di belakang alang-alang dan pohon-pohon dikaki bukit. Ada pula yang bersembunyi di dalam pohon, diantara daun-daun pohon yang lebat. Sementara itu, di dusun-dusun mereka terjadi pula kesibukan. Sesuai dengan siasat yang sudah mereka pelajari sebelumnya, mereka itu, para wanita, juga siap menanak nasi dan lauk pauk sekedarnya, semacam "dapur umum" untuk memberi ransum kepada anak atau suami mereka yang sedang bertugas jaga untuk mempertahankan dusun mereka dari serbuan para pemberontak jahat.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Laskar rakyat yang dipimpin oleh Padasgunung dan Pragalbo itu tidur dalam tempat persembunyian mereka, dan penjagaan diadakan secara bergilir. Ini perintah Padasgunung yang tidak menghendaki pasukannya menjadi mengantuk dan lemah pada hari esok. Suasana di bukit itu sunyi dan yang terdengar hanya suara suling Padasgunung yang dimainkan perlahan-lahan, sayup sampai dengan lagu-lagu yang terdengar sedih. Semenjak kegagalannya menikah dengan Sriyati, memang pemuda ini lebih sering memainkan lagu sedih dalam tiupan sulingnya sehingga Pragalbo kadang-kadang merasa kasihan kepnda kakak seperguruannya itu.
Pada keesokan harinya, ketika mendengar bunyi kokok ayam jantan, tanda bahwa fajar mulai menyingsing, Padasgunung meniup sulingnya. dengan lagu isyarat agar semua pasukannya bangun dan bersiap siaga karena lima orang yang semalam diutusnya untuk, menjadii penyelidik dan melihat gerak gerik musuh di barat, telah datang kembali dan melaporkam bahwa pihak musuh sudah mulai bergerak ke timur pada lewat tengah malam tadi. Agaknya pihak musuh memperhitungkan bahwa mereka akan tiba di dusun-dusun yang berada dii kaki bukit itu pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi.
Tak lama kemudian, setelah matahari pagi mulai menyinarkan cahayanya di permukaam bumi, terdengarlah bunyi derap kaki dan ke bisingan suara pasukan musuh yang sudah mendekati bukit. Di dalam dada setiap anggota pasukan rakyat itu terjadi ketegangan dan jantung mereka berdetak keras. Biarpum mereka sudah bertekad mempertahankan kampung halaman mereka dengan taruhan nyawa, namun mereka adalah para petani yang sama sekali tidak pernah mengalami menjadi perajurit. Hanya mengingat akan keselamatan keluarga mereka dan kampung halaman mereka sajalah yang membuat mereka mengambil keputusan nekat untuk bertempur mati-matian dalam usaha mereka mempertahankan semua yang mereka cinta itu.
Padasgunung sudah berdiri di lereng bukit, sedangkan Pragalbo dengan gagahnya, dengan keris di tangan, sudah siap memimpin pasukannya untuk menyergap pasukan musuh dengan tiba-tiba begitu ada aba-aba dari suara suling kakak seperguruannya.
Kini nampak debu tipis mengepul di bagian barat dan tepat seperti yang diperhitungkan oleh Padasgunung dan Pragalbo, pasukan pemberontak itu melewati jalan di kaki bukit menuju ke dusun terdekat. Mereka nampak gembira, kasar dan kuat, memegang tombaki yang sama bentuknya, dan sebatang golok atau parang tergantung di pinggang. Seperti biasa, mereka yang terdiri dari orang-orang kasar dan anak buah tokoh-tokoh sesat ini, merasa gembira apa bila pasukan sudah dekat dengan dusun karena memasuki dusun bagi mereka berarti pesta pora, membunuh dan merampok sesuka hati tanpa mendapat perlawanan berarti, dan terutama sekali mereka dapat mempermainkan dan memperkosa wanita dusun yang mana saja, dari yang masih remaja dan kanak-kanak sampai yang paling tua. Ada pula yang bergembira membayangkan bahwa dia akan menemukan harta yang dirampas dan menjadi miliknya, dan ada pula yang membayangkan akan segera dapat menyembelih ayam atau domba rampasan dan makan sepuasnya.
Setelah pasukan pemberontak itu tiba tepat di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara suling memecah kesunyian pagi hari yang cerah itu, Kiranya Padasgunung yang mengintai dari lereng bukit, diam-diam membenarkan perhitungan Pragalbo. JumJah musuh kurang lebih seratus orang, dipimpin oleh beberapa orang yang menunggang kuda dan tidak dapat dikenal karena wajah mereka tidak jelas dilihat dari atas itu. Jumlah anak buahnya kurang lebih dua kali lebih banyak dari lawan, maka tenanglah rasa hati Padasgunung. Dia maklum bahwa anak buah pemberontak itu tentu merupakan orang-orang yang sudah terlatih dalam pertempuran, merupakan lawan berat dibandingkan dengan anak buahnya yang terdiri dari para petani yang tidak terlatih, walaupun para petani itu tentu saja memiliki tenaga kuat karena setiap hari biasa bekerja berat. Namun pihaknya mempunyai dua hal yang boleh diandalkan. Pertama sekali adalah semangat. Laskar rakyat tidak mempunyai pamrih untuk mencari kesenangan pribadi, tidak berpamrih mencari kemenangan agar memperoleh pahala, tidak mempunyai pamrih lain kecuali ingin melindungi keluarga mereka, membela tanah air mereka dan menyelamatkan kampung halaman mereka. Dan kedua adalah karena jumlah para petani itu lebih besar, hampir dua kali jumlah perusuh.
Padasgunung menanti sampai pasukan musuh itu tiba di kaki bukit, tepat dalam keadaan terkepung oleh anak buahnya yang sudah bersembunyi mengepung jalan itu. Setelah itu iapun segera mengeluarkan sulingnya dan meniupkan isarat penyerangan.
Suara suling ini dapat ditangkap dengan jelas oleh semua laskar petani yang memang sejak iadi menunggu dan memperhatikan, akan tetapi agaknya sama seknli tidak menarik perhatian pasukan pomberontak. Mereka ini membayangkan hasil perampokan mereka, maka ketika ada suara suling, mereka menganggap bahwa itu tentu permainan seorang bocah penggembala saja. Oleh karena itu, betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan bermunculanlah para petani muda dari semua jurusan dan mereka itu langsung menyerang pasukan pemberontak dengan senjata-senjata mereka yang sederhana.
Biarpun dapat dilihat dengan mudah bahwa mereka itu hanyalah petani-petani muda, dapat dikenal dari pakaian mereka dan keadaan senjata mereka yang sebagian besar terdiri dari cangkul, linggis, kapak dan arit, namun mereka menyerbu sambil berteriak-teriak dan sikap mereka penuh keberanian dan kemarahan. Apa lagi diantara para petani itu terdapat seorang pemuda yang bersenjata keris yang agaknya memimpin laskar petani itu. Sepak terjang pemuda ini hebat bukan main. Setiap kali kakinya menendang atau tangan kirinya menampar atau kerisnya menyambar, sudah pasti ada seorang anak buah pemberontak yang roboh dan tak mampu bangkit kembali. Hal ini membuat para pemberontak itu panik.
Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dari dua orang berkuda yang menjadi pemimpin pemberontak. Teriakan dan bentakan mereka ini membangkitkan semangat para anak buahnya. Terjadilah pertempuran mati-matian yang seru karena biarpun jumlah para pemberontak itu hanya setengahnya. namun mereka adalah orang-orang kasar dan kuat yang biasa berkelahi, sehingga mereka dapat mengimbangi para petani yang jumlahnya dua kali lebih banyak mereka.
Sementara itu, dua orang pimpinan pemberontak yang menunggang kuda, begitu melihat sepak terjang Pragalbo yang dahsyat, mereka cepat berloncatan turun dari atas kuda mereka dan menghadang Pragalbo yang tadinya mengamuk dengan keris di tangan.
'"Babo-babo, kiranya si PragaIbo yang memimpin pasukan petani ini" bentak seorang diantara mereka yang kepalanya botak dan pungungnya berpunuk. Pragalbo segera memandang dua orang itu dan mengenal mereka. Yang menegurnya itu bukan lain adalah seorang jagoan dari Blitar, termasuk seorang yang condong berkelompok dengan golongan hitam dan tidak mengherankan kalau orang ini menjadi seorang diantara para pemberontak.
"Hemm, aku tidak heran melihat kau menjadi pemimpin serombolan pemberontak dan perampok ini, Ki Kalakatung. Memang orang-orang macam akau ini sudah biasa menjadi pengkhianat dan penjahat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan untuk menyenangkan diri sendiri"
"Heh-heh, keparat Pragalbo. Besar sekali suaramu, tidak sesuai dengan sikapmu yang sederhana dan seperti orang gagah. Kau sudah gila barangkali, mengerahkan para petani hanya untuk menjadi korban pembantaian pasukan kami. Apakah perbuatan itu tidak lebih jahat, menjerumuskan para petani dusun" Ha-ha-ha"
Melihat orang tinggi kurus berwajah tampan ini, yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada Ki Kalakatung, Pragalbo tersenyum mengejek, hatinya merasa muak karena diapun sudah mengenal orang ini. Si tinggi kurus berwajah tampan ini adalah seorang yang dikenal sebagai Iblis Gunung Gajahmungkur, masih berdarah bangsawan dan namanya Raden Galinggangjati. Sakti mandraguna, akan tetapi juga terkenal mempunyai kesukaan bermain cinta dengan pemuda-pemuda tampan. Tokoh sesat ini tidak suka mendekati wanita, akan tetapi suka sekali menculik orang-orang muda yang tampan untuk dipaksa menjadi kekasihnya.
"Heh, Raden Galinggangjati, kejahatanmu sudah sampai ke ubun-ubunmu, sudah berapa banyak pemuda yang menjadi korbanmu, aku dengar mereka banyak yang sudah menjadi gila, selebihnya mati di tanganmu. Tanganmu sudah berlumur darah orang-orang tidak berdosa dan kini kau ingin melengkapi dosa-dosamu dengan bersekutu dalam pemberontakan. Kalian berdua orang-orang jahat, hari ini takkan terlepas diri tanganku"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat melompati puncak Gunung Semeru, Pragalbo. Akan aku hancurkan kepalamu dengan senjataku Rujakpolo ini" bentak Ki Kalakatung yang sudah menyerang dengan senjatanya yang menggiriskan. Senjata di tangan Ki Kalakatung ini berupa sebuah penggada yang panjangnya sedepa, besar dan berat, berwarna hitam dan terbuat dari galih-asem yang sudah tua dan keras bukan main. Agaknya dia menamakan penggada ini Rujakpolo, meniru nama penggada yang biasa dipergunakan oleh Sang Bima, tokoh pewayangan, orang ke dua dari Pandawa Lima.
Pukulan Si Kuda Binal 5 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Tujuh Pedang Tiga Ruyung 13
"Tidak salah, ia pasti Wulansari......., tapi sikap dan pandang matanya demikian dingin dan...... dan demikian ganasnya...."
Bagaimanapun juga, yang dibunuh oleh gadis itu adalah lima orang bajak yang jahat dan kejam, yang telah membunuh petani ubi, dan bahkan hampir membunuhnya tanpa sebab, padahal dia dan petani itu tidak membawa barang berharga. Walaupun demikian, cara gadis itu membunuh mereka, sungguh ganas, tanpa memberi kesempatan mereka melawan sama sekali. Gadis yang tak lain adalah Wulansari itu ternyata kini telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, baik ilmu di dalam air maupun ilmu pukulan yang dahsyat yang menggiriskan. Teringatlah Nurseta akan kakek yang sakti mandraguna itu, yang menurut gurunya bernama Cucut Kalasekti, kakek yang mukanya biru seperti muka ikan cucut, jubahnya kuning dan bersisik, datuk sesat dari Blambangan yang telah melarikan Wulansari itu. Benarkah gadis itu cucu kakek sakti mandraguna itu dan kini telah mewarisi ilmu-ilmunya"
Akan tetapi, teringat akan perubahan yang terjadi pada sikap Wulansari, yang dulu merupakan seorang gadis manis sederhana yang lemah lembut, kini berubah menjadi seorang gadis yang masih cantik manis, akan tetapi yang sikapnya dingin dan wataknya demikian ganas.
Setelah beberapa lamanya duduk termenung di tepi sungai, Nurseta lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya, kini ia jalan melalui darat dan menyusuri pantai Sungai Brantas. Terlalu berbahaya melanjutkan perjalanannya dengan perahu, apa lagi petani ubi tadi sudah mengatakan bahwa banyak bajak di sungai itu. Kalau hanya perampok di daratan, dia sama sekaii tidak takut menghadapi gangguan mereka.
Di sepanjang perjalanan, ketika melalui hutan, dia memperhatikan keadaan sekelilingnya, dengan harapan kalau-kalau gadis berpakaian serba hijau itu akan muncul kembali. Dia masih merasa penasaran. Kalau gadis itu benar Wulansari, mengapa ia tidak mau menjumpainya" Tidaklah mungkin Wulansari sudah melupakannya, walaupun sudah empat tahun mereka saling berpisah.
Tidak tampak bayangan gadis itu kembali, diam-diam Nurseta merasa kecewa. ia sendiri merasa heran, mengapa ia tidak dapat melupakan gadis itu. Setelah lewat beberapa hari, masih saja bayangan gadis itu tak pernah meninggalkan relung hatinya.
*** Nurseta sudah meninggalkan Sungai Brantas dan kini dia menuju ke timur, meninggalkan daerah Kediri. Gunung Kelud tampak menjulang tinggi di depannya ketika dia sudah melewati dusun Wates yang ramai. Ketika Nurseta tiba di kaki Gunung Kelud, ia melihat belasan orang mengiringi jenazah yang agaknya hendak dikubur. Seorang kakek ikut mengiringi jenazah sambil memegangi bambu pikulan jenazah dan ia menangis sesenggukan. Mereka yang memikul jenazah dan yang mengiringi dari belakang, kesemuanya adalah pria, tidak ada seorangpun yang menangis, seperti menangisnya kakek itu, tetapi mereka semua berwajah muram dan keruh. Pada wajah mereka terbayang kedukaan, penasaran dan juga ketakutan. Melihat hal ini, Nurseta kemudian tertarik, apa lagi ketika ia mendengar keluh kesah kakek itu, di antara tangisnya.
"Huk-huk....... Oh, anakku Dirun........ kenapa kau tidak menurut nasehat orang tua" Sudah berulangkali aku nasehatkan, jangan dekati siluman itu, tapi kau agaknya memang nekat dan, akhirnya begini jadinya, huk-huk"
Nurseta lalu membayangi rombongan itu dari jauh. Dia mengamati ketika jenazah itu dikubur. Ia melihat pula para pengiring tadi satu demi satu meninggalkan tempat itu setelah jenazah dikubur, akan tetapi kakek itu masih saja duduk bersila di depan makam baru itu, Ia menolak ketika beberapa orang berusaha untuk membujuknya pulang. Bahkan dia marah-marah sehingga akhirnya orang terakhir pergi meninggalkan kakek itu sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Sunyi lengang di tanah kuburan itu setelah semua orang pergi, hanya tinggal kakek itu yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya di depan makam puteranya.
Nurseta memperhatikan dari dekat, setelah menyusup dan kini berada tidak jauh dari kakek yang usianya kira-kira sudah ada enampuluh tahun, mukanya penuh garis-garis penderitaan hidup. Nurseta melihat betapa wajahnya itu pucat dan matanya membendul merah, ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu tidak makan dan tidak tidur serta banyak menangis.
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri dan berkata dengan suara keras, "Jangan kbawatir, anakku. Ayahmu inilah yang akan membalaskan dendam ini. Aku yang akan membunuh siluman betina itu" tiba-tiba kakek itu mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya dan memutar-mutar senjata itu seolah-oiah dia dikeroyok oleh banyak lawan.
Setelah napasnya terengah-engah, baru ia menghentikan amukannya, kemudian dengan langkah lebar ia meninggalkan tanah kuburan itu.
Nurseta merasa khawatir akan keadaan kakek itu. Apakah ia sudah menjadi gila karena himpitan duka" Ataukah ia benar-benar hendak pergi mencari siluman betina dan hendak dibunuhnya untuk membalas kematian puteranya" Nurseta tetap membayangi dari belakang dan ternyata kakek itu memasuki sebuah hutan di lereng Gunung Kelud, sebuah hutan yang lebat dan liar.
Di sekitar tempat itu tidak nampak ada pedusunan. Melihat betapa hutan itu masih liar, mudah diduga bahwa jarang ada orang memasuki hutan itu.
Dengan langkah yang tidak ragu-ragu, dengan muka merah dan mata masih yang beringas, kakek itu terus masuk ke dalam hutan dan akhirnya tibalah dia di depan sebuah goa yang gelap. Di depan goa itu nampak banyak semak-semak dan alang-alang. Kakek itu membabat alang-alang dengan goloknya sambil berteriak-teriak marah.
"Siiuman betina, keluarlah untuk menerima kematian! Aku datang untuk membunuhmu sebagai pembalasan dendam kematian puteraku, Dirun"
Kakek itu menantang sambil mengacung-acungkan goloknya ke arah pintu goa. Sementara itu, dari balik semak-semak yang berhadapan dengan goa itu, Nurseta memandang ke arah dalam goa. Matanya yang terlatih dapat melihat sampai ke dalam dan jantungnya berdebar. Dia melihat seorang wanita duduk bersila di dalam goa dan wanita itu usianya sekitarnya tigapuluh tahun, wajahnya cantik menggairahkan dan yang lebih hebat lagi, wanita itu telanjang bulat tanpa selembarpun pakaian yang menutupi tubuhnya yang padat dan indah. Hanya rambutnya yang hitam panjang ituulah yang menutupi tubuh bagian depan, turun dari leher kiri, menutupi sebagian dadanya dan terus ke pangkuannya.
Ketika kakek itu mengeluarkan tantangan sambil mengacungkan goloknya, wanita yang tadinya duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, kini ia membuka matanya.
Nurseta melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan. Dan wanita itu tersenyum mengejek, Begitu ia tersenyum, baru mengertilah Nurseta, mengapa wanita itu disebut siluman betina. Senyumnya itu sungguh mengandung daya tarik, manis sekaii. Akan tetapi senyuman itu mengandung ejekan, bahkan mengandung ancamnn maut.
"Tua bangka," terdengar suaranya, halus lembut namun kasar "Sebentar lagi kau juga akan mampus, kalau kau ingin mati, mengapa harus mencari aku. Aku akan membuatmu lebih cepat masuk neraka. He, orang tua. Apakah kau sudah gila?"
"Siluman betina. Aku adalah ayah dari Dirun, pemuda yang menjadi korbanmu, yang kau bunuh dengan racun. Sekarang aku datang untuk membalas dendam"
"Hemm, terlalu banyak pemuda tolol yang datang ke sini, dan aku tidak ingat lagi mama mereka satu persatu. Mungkin juga ada yang bernama Dirun diantara mereka yang tolol itu. Akan tetapi, mereka itu mampus karena salah mereka sendiri, kenapa kau ribut-ribut di sini" Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan mengirim nyawamu ke neraka menyusul nyawa anakmu"
"Siluman perempuan, iblis betina, mampuslah!" Kakek itu menerjang ke dalam goa sambil mengangkat goloknya di atas kepala.
Tiba-tiba dari dalam goa menyambar angin dan sinar hitam menangkis golok itu.
"Trakkk........ auhhk.......!" Golok itu patah menjadi dua dan tubuh kakek itu terjengkang ke belakang. Dari balik semak-semak, Nurseta terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita telanjang bulat itu sedemikian saktinya, tanpa bangkit dari duduknya, ia hanya mempergunakan sebuah benda kecil, mungkin batu kerikil, telah berbasil mematahkan golok dan membuat tubuh kakek itu terjengkang oleh hawa pukulannya.
Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak menjadi jerih. Dia merangkak bangun kembali, dipandanginya gagang golok yang tinggal sepotong itu.
"Huhh!" bentaknya dan dia membuang potongan golok, lalu hendak nekat menyerbu ke dalam goa dengan tangan kosong.
"Jangan, kek, jangan berbuat bodoh, sebaiknya kakek pergi saja" Tiba-tiba Nurseta sudah berada di belakang kakek itu dan menangkap pinggangnya, lalu ditariknya ke belakang.
Kakek itu hendak meronta, namun sekali pijat saja di punggungnya, Nurseta berhasil membuat kakek itu menjadi lemas dan menurut saja ketika dia digandeng dan dibawa oleh Nurseta. Mereka pergi dan diikuti oleh suara ketawa yang menyeramkan dari wanita itu. Suara ketawa yang halus merdu, namun bukan seperti suara manusia lagi, terkekeh kadang terbahak dan seperti ringkik kuda.
Kakek itu masih mencoba untuk melepaskan diri, tetap tidak berhasil, akhirnya kakek itu bertanya. "Orang muda, siapakah kau dan kenapa kau menghalangi aku membunuh siluman perempuan itu" Apakah kau ini kaki tangannya?"
Nurseta berhenti di dalam hutan itu, cukup jauh dari goa yang menyeramkan tadi dan diapun melepaskan pengaruh pijatan tangannya yang membuat kakek itu seperti lumpuh.
"Maafkan aku, paman. Aku tidak menghalangi paman membunuhnya, sebaliknya mencegah agar ia tidak membunuh paman. Kenapa paman demikian nekat" Tidak tahukah paman bahwa wanita itu amat kejam dan amat sakti" Paman takkan menang melawannya"
"Biarkan saja, aku tidak takut. Lebih baik aku mati dari pada tidak dapat membunuh iblis itu!" Kakek itu hendak lari kembali, akan tetapi Nurseta memegang lengannya.
"Paman, maafkan. Bukan aku hendak menghalangi niat paman membalas dendam, akan tetapi aku harap paman suka mempergunakan pikiran dan akal sehat. Sudah jelas bahwa paman bukanlah lawannya, dan usaha paman itu bukan lain hanya merupakan bunuh diri yang sia sia belaka, Kalau sudah mati, apa artinya" Paman akan tewas dan dendam sakit hati putera paman tidak akan dapat terbalas. Bagaimana kalau paman menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi" Kalau memang wanita itu sejahat seperti yang paman katakan, percayalah, aku tidak akan tinggal diam dan akan kutantang wanita itu"
Mendengar ucapan ini, kakek itu agaknya sadar akan kebenaran kata-kata Nurseta. Dia berhenti meronta dan mengamati wajah pemuda itu. Baru sekaranglah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Timbul kepercayaannya karena pemuda ini jelas bukan seorang yang jahat. Diapun menjadi lemas dan dia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menarik napas panjing berulang-ulang. Agaknya sukar baginya untuk mulai bercerita, karena hal itu mengingatkan dia akan puteranya yang sudah tiada. Berulang kali dia hendak membuka mulut, akan tetapi yang keluar hanyalah keluhan panjang dan helaan napas. Nurseta mengerti akan kesukaran kakek itu, maka diapun menuntunnya dengan pertanyaan.
"Siapakah wanita di dalam goa itu, paman?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Tidak ada seorangpun yang tahu. Entah siapa namanya dan dari mana ia datang, entah berapa lamanya ia berada di dalam goa itu. Pertama kali kami sedusun dan para penduduk dusun lain di sekitar kaki Gunung Kelud ini mengetahui keadaannya adalah ketika korban pertama jatuh"
"Korban bagaimana yang paman maksudkan" Dan mengapa pula ia suka membunuh pemuda-pemuda?"
"Setelah banyak pemuda tewas, kami mendengar bahwa wanita itu seperti siluman, seperti iblis yang suka menggoda laki-laki muda. Ia cantik menarik dan tak pernah berpakaian, karena itu, para pemuda mudah sekali jatuh ke tangannya. Para pemuda yang jatuh oleh kecantikannya dan tinggal bersamanya di dalam goa itu, sewaktu pulang, mereka dalam keadaan pusing dan sakit hebat yang akhirnya tewas. Mereka tidak pernah dapat menjelaskan mengapa" kakek itu berhenti lagi dan termenung dengan sedih.
"Dan putera paman juga menjadi korban?"
Kakek itu mengangguk dan air matanya kembali menetes di atas kedua pipinya yang berkeriput. "Dirun sudah aku peringatkan agar jangan mendckati goa itu, jangan menurutkan hati ingin tahu melihat iblis betina itu. Dirun adalah milikku satu-satunya di dunia ini sejak ibunya meninggal dunia. Anakku hanya satu itu dan kini aku tidak punya apa-apa lagi......."
Kakek itu menangis.
Nurseta mengangguk-angguk, dia maklum bahwa kakek ini, seperti para penduduk Iain, tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi ketika para pemuda itu terpikat oleh kecantikan wanita dalam goa. Tahu-tahu, para pemuda itu pulang dalam keadaan sakit parah lalu tewas.
"Paman, sekarang paman pulanglah. Mati atau hidup berada di tangan Hyang Widhi, dan kalau sampai puteramu itu meninggal dunia, maka hal itu berarti sudah dikehendaki Hyang Widhi. Paman tidak boleh putus asa, karena sekarang juga aku sendiri yang akan ke sana, menemui wanita itu dan menuntut keterangan dan tanggung jawabnya mengenai kematian para pemuda itu"
"Kau.......?" Kakek itu kini terbelalak memandang wajah Nurseta, "Kau masih muda dan tampan lagi, bukan pemuda dusun pula, kau hanya akan pulang dalam keadaan sakit dan tewas, seperti para pemuda yang lain. Janganlah orang muda, lebih baik aku mengerahkan seluruh penduduk untuk beramai-ramai menyerbu ke gua itu dan membunuh siluman itu. Ya, itulah caranya. Mengerahkan semua orang dan mengeroyoknya"
"Jangan paman. Akan jatuh korban terlalu banyak sebelum kalian berhasil membasminya. Biarkan aku yang menemuinya. Nah, sekarang aku akan pergi, paman"
Tiba-tiba pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depan kakek itu. Kakek itu terkejut dan terbelalak, mencari-cari dengan pandang matanya, lalu menggosok-gosok matanya, akan tetapi pemuda itu sudah lenyap. Dia menjadi ketakutan dan mengira bahwa pemuda itupun sebangsa wanita dalam goa itu, bukan manusia biasa melainkan sebangsa jin atau siluman. Maka diapun lari keluar dari dalam hutan itu untuk pulang dan mengumpulkan kawan-kawan dari dusunnya dan dusun tetangga, untuk beramai-ramai mengeroyok dan membasmi siluman wanita yang sudah mengambil korban banyak pemuda itu.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saia Nurseta telah tiba di depan goa tadi. Matahari sudah naik tinggi sehingga keadaan di dalam goa tidaklah segelap tadi dan dia dapat melihat lebih jelas lagi. Wanita itu masih duduk bersila, tubuhnya ditutupi oleh rambutnya sendiri yang hitam panjang. Agaknya wanita itu menyadari kedatangan Nursela yang sudah berada di depan goa. Terdengar suaranya yang halus merdu, berbeda dengan suara ketawanya ketka ia menyerang kakek tua tadi.
"Siapakah andika, ki sanak" Dan ada keperluan apakah mengganggu aku yang sedang bertapa?"
Nurseta merasa lega. Pertanyaan itu menunjukkan bahwa wanita telanjang itu tidak mengenalnva sebagai orang yang menyelamatkan ayah Dirun tadi. Diapun maju mendekat sampai di depan goa.
"Aku bernama Nurseta dan hanya kebetulan saja lewat di sini. Aku tertarik melihat andika, seorang wanita muda yang cantik, bertapa di tempat ini, tanpa busana pula serta mengurai rambut. Siapakah andika dan mengapa pula andika bertapa seperti ini?"
Sejenak sepasang mata yang tajam dan indah bentuknya itu mengamati Nurseta dengan penuh perhatian. Mata yang tajam itu agaknya mengenal bahwa pemuda sederhana yang datang ini bukanlah sembarangan pemuda, jauh berbeda dengan para pemuda dusun yang bodoh itu.
Tiba-tiba saja iapun menjawab pertanyaan Nurseta dengan tangis. Pemuda itu hanya memandang saja, memperhatikan dan melihat apakah tangis itu tangis buatan ataukah ia benar-benar menangis.
Ternyata, wanita itu memang benar-benar menangis sedih, bukan tangis buatan. Maka, Nursetapun menjadi semakin tertarik dan menanti sampai wanita itu berhenti menangis.
Akhirnya wanita itu menghapus air matanya dengan gumpalan rambutnya sehingga tersingkaplah bagian dadanya, memperlihatkan bukit dada yang montok. Nurseta menundukkan pandang matanya agar tidak melihat dada itu terlalu lama.
Nurseta tidak mengetahui, bahwa wanita itupun memperhatikannya dengan sepasang mata yang bersinar gembira melihat betapa pemuda itu menundukkan pandang mata dan tidak melotot memandang dadanya seperti yang dilakukan oleh para pemuda lain. Memang pemuda ini lain dan pada yang lain. Sehingga wanita itu tertarik sekali kepada Nurseta.
"Ki sanak, aku bertapa di sini karena dendam dan sakit hati setinggi langit dan sedalam laut Kidul. Dan aku bersumpah, takkan memperkenalkan nama, takkan berpakaian dan takkan menyanggul rambut sebelum dendam ini terbalas"
---ooo0dw0ooo--
Jilid 6 - Rahasia Besar Nurseta
Nurseta memandang heran. Wanita ini mengatakan bertapa seperti itu karena dendam, akan tetapi mengapa banyak pemuda yang tewas di tangannya"
"Apakah yang telah terjadi?" tanyanya memancing.
"Aku seorang janda yang malang" wanita itu mulai dengan ceritanya, suaranya gemetar penuh kedukaan "Tadinya aku hidup bersama suamiku tercinta. Kami belum mempunyai anak. Tetapi pada suatu hari, suamiku itu tewas. Dibunuh seorang laki-laki yang menginginkan diriku, akan tetapi aku menolaknya. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi setelah suamiku tewas, maka aku kemudian bersumpah untuk bertapa di dalam goa ini sampai dendam suamiku terbalas"
Nurseta menjadi semakin tertarik "Akan tetapi, kanapa andika hanya duduk bertapa seperti ini, bagaimana dendam itu dapat terbalas?"
"Aku menanti datangnya dewa penolong. Aku menanti datangnya seorang pria yang cukup jantan untuk membantu seorang wanita yang sengsara seperti aku ini, untuk menantang laki-laki biadab itu dan membunuhnya. Dan kepada pria yang berhasil melaksanakan dendamku itu, aku akan menyerahkan segala-galanya, diriku, cintaku, kesetiaanku dan selama hidupku akan abdikan kepadanya" ia berhenti sebentarl, lalu "Ki sanak, aku melihat bahwa kau bukan seorang pemuda sembarangan. Aku memohon kepadamu, ki sanak. Sudilah kiranya kau membebaskan aku dari kesengsaraan ini. Bunuhlah laki-laki jahanam itu, dan aku akan menghambakan diri kepadamu dengan seluruh penyerahan jiwa ragaku"
Wanita itu mengangkat kedua lengannya ke depan, seperti orang memohon, gayanya orang mengajak atau memikat, siap menerima pemuda itu dalam pelukannya.
Nurseta mengerutkan alisnya, lalu bertanya "Lalu mengapa banyak pemuda dari dusun-dusun di sekitar kaki Gunung Kelud ini mati dalam keadaan terluka parah, kabar yang tersebar, mereka menjadi korbanmu?" Ucapan ini dikeluarkan dengan nada menuduh, sedangkan sepasang mata pemuda itu memandang penuh seiidik.
"Aahhh....... mereka itu hanyalah pemuda-pemuda dusun yang bodoh, yang hanya menginginkan diriku, akan tetapi tidak memiliki kepandaian sedikitpun juga sehingga ketika mereka mencoba untuk membunuh jahanam itu, mereka sendiri yang menderita luka parah dan akhirnya tewas. Bukan salahku, melainkan kesalahan mereka sendiri yang bodoh dan lemah"
Nurseta tertegun, kiranya para pemuda itu tewas karena dilukai musuh wanita ini. Benarkah itu" ia harus menyelidikinya. Kemudian ia berkata "Siapakah laki-laki itu dan di mana tempat tinggalnya?"
Sepasang mata yang indah itu kini berkilat dan wajah yang ayu manis itu berseri. "Apakah kau sudi menolongku?"
"Kita lihat saja nanti, akan tetapi aku ingin menjumpainya"
"Ah, Raden Nurseta. Terima kasih sebelumnya. Aku merasa yakin bahwa kalau kau yang maju, akhirnya dendam sakit hati ini pasti akan terbalas, dan aku akan bebas dari tempat ini. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menghambakan diri kepadamu, Raden"
"Hemm, aku melakukan sesuatu tanpa pamrih atau menyenangkan diriku sendiri, dan aku belum yakin akan mampu mengalahkan laki-laki yang agaknya sakti itu. Katakanlah, siapa dia dan di mana tempat tinggalnya?"
"Namanya Lembu Petak, dan ia tinggal di lereng Gunung Kelud sebelah selatan, tidak jauh dari sini. Kalau kau terus mendaki gunung ini, berjalankah lurus saja, setelah melewati dusun Lahar, kau akan tiba di padepokan yang berada di luar dusun itu. Nah, di sanalah dia berada, Raden Nurseta"
"Baik, aku akan pergi mencarinya"
"Nanti dulu, Raden. Masuklah dulu ke sini, aku perlu menjamumu untuk membesarkan semangat dan sebagai tanda terima kasihku" Wanita itu kembali mengembangkan kedua lengannya dan tersenyum manis sekali, dengan pandang mata penuh daya pikat.
Nurseta menggeleng kepalanya. "Sudah aku katakan bahwa aku melakukan sesuatu tanpa pamrih. Sekarang aku pergi" sambil berkata demikian, Nurseta meloncat dan sekali berkelebat iapun lenyap dari depan goa.
Wanita itu terbelalak kagum, lalu tersenyum lebar, matanya berkilat, lalu ia memukul telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanannya.
"Ah, ia benar seorang sakti. Sekali ini engkau akan mampus, Lembu Petak!"
Sementara itu, Nurseta melakukan pendakian dengan cepat sambil mengerahkan kepandaiannya dan sebentar saja diapun sudah tiba di dusun Lahar. Di situ Nurseta mendaki terus. Dan benar saja, di luar dusun itu, Nurseta melihat sebuah pondok yang sedang besarnya, Pondok itu berdiri terpencil di luar dusun, kelihatan sunyi dan tenteram. Di luar rumah terdapat dua sangkar burung perkutut yang digantung di ujung batang bambu yang tinggi.
Dari jauh sudah terdengar nyanyian perkutut itu yang saling bersahutan. Suara perkutut menambah suasana yang tenteram dan tenang. Namun Hati Nurseta tidak bisa menikmati nyayian merdu suara perkutut itu, karena kedatangannya untuk menganggu dan mengacaukan suasana yang tenang dan damai itu.
Baru saja Nurseta tiba di luar pondok, dari dalam muncul seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, seorang pria yang gagah perkasa, bertubuh tinggi besar, wajahnya gagah seperti Arya Sena, kulitnya bersih dan kumis serta jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana saja, dengan haju hitam yang terbuka bagian dadanya, memperlihatkan dada yang bidang dan kokoh kuat.
Akan tetapi, wajah yang gagah itu kini nampak muram, kemerahan dan matanya bersinar tajam, tanda bahwa dia sedang marah.
"Hemm, orang muda, apakah kau seorang diantara para pemuda tolol yang tergila-gila oleh kecantikan iblis betina itu, dan mau saja diperintah untuk membunuhku?"
Disambut dengan pertanyaan seperti itu, Nurseta tetap tenang, bahkan dia tersenyum. "Maaf Ki Sanak, apakah benar Ki Sanak ini yang bernama Ki Lembu Petak?"
Laki-laki gagah itu memang Lembu Petak dan ia agak heran melihat sikap Nurseta yang tenang dan sopan, tidak seperti para pemuda-pemuda sebelumnya yang datang-datang bersikap keras hendak membunuhnya, padahal tak seorangpun diantara mereka itu yang memiliki kepandaian yang berarti.
"Benar, akulah Ki Lembu Petak. Dan siapakah kau orang muda" Apa maksudmu datang berkunjung" Benarkah dugaanku bahwa kau datang karena diutus wanita yang bertapa telanjang di dalam goa itu untuk membunuhku?"
Dihujani pertanyaan itu, Nurseta kembali tersenyum. "Harap Ki Sanak tenang dan biarkan aku bercerita. Namaku Nurseta, seorang pengembara dan ketika aku lewat di kaki Gunung Kelud, aku mendengar akan kematian banyak pemuda dusun yang katanya menjad korban seorang wanita yang bertapa di dalam goa. Karena tertarik, aku lalu datang mengunjungi wanita itu. Ia menceritakan bahwa ia mendendam kepada seorang musuhnya bernama Lembu Petak yang katanya telah membunuh suaminya yang tercinta. Kemudian, berturut-turut para pemuda dusun datang untuk membantunya membalas dendam, akan tetapi para pemuda itu semua kalah olehmu dan menderita luka parah sampai kemudian tewas. Nah, kedatanganku ini sama sekali bukan karena diutus oleh wanita yang tidak mau menyebutkan namanya itu, melainkan untuk menyelidiki kebenaran ceritanya"
"Hemm, kalau benar bagaimana?"
Nurseta memandang tajam dan Lembu Petak yang diam-diam terkejut, karena pemuda ini yang sikapnya lembut dan sopan, tiba-tiba saja sepasang matanya dapat mencorong penuh wibawa dan menakutkan.
"Kalau cerita itu benar, terpaksa aku harus turun tangan. Sudah menjadi tugas setiap orang yang menjujung kebenaran dan keadilan untuk turun tangan menentang kejahatan dan membela kebenaran, yang melingungi yang lemah dan tertindas. Tetapi sekali lagi, apakah benar semua cerita yang dikatakan wanita itu?"
"Dan bagaimana jika cerita itu tidak benar?"
"Kalau tidak benar, aku akan melakukan penyelidikan sampai mendapatkan kenyataan yang sebenarnya. Siapa pembunuh para pemuda-pemuda itu dan mengapa" Barulah aku akan turun tangan menentang mereka yang bersalah"
Ki Lembu Petak tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Sikapmu memang mengesankan sekali, ha-ha-ha" Ia berhenti sebentar, lalu "Kau terlihat sopan dan lembut, juga pemberani. Akan tetapi kau bicara seolah-olah kau sudah pasti dapat membereskan persoalan ini, dan mampu menandingi siapa saja yang menjadi lawanmu. Sikapmu membangkitkan keinginanku untuk menguji sampai di mana kepandaianmu. Kau yang masih begini muda sudah mempunyai keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi" ia berhenti sebentar, lalu "Nah, sambutlah seranganku, orang muda"
Pria tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu sudah menerjang maju dengan pukulan lurus ke arah dada Nurseta, sedangkan tangan kirinya mengirim serangan lain. Melihat datangnya pukulan yang kuat itu, Nurseta mengelak dengan mudahnya. Tangan kiri Lembu Petak menyusulkan tamparan ke arah pundak, akan tetapi kembali Nurseta mengelak dengan muda saja, hanya dengan memiringkan tubuhnya. Sedangkan kalau saja Nurseta mau, tentu saja dia dapat membalas secara kontan, akan tetapi Nurseta tidak mau menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa orang gagah ini hanya mengujinya saja, tidak bermaksud ingin mencelakainya.
Setelah kedua serangannya dapat dielakkan lawan secara mudah, Ki Lembu Petak mulai maklum bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan. Gerakannya demikian ringan dan sikapnya demikian tenang. Sehingga ia merasa penasaran. Kini, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Pria tinggi besar itupun menghujamkan pukulan dan tendangan yang cukup dahsyat kearah Nurseta. Namun semua pukulan dan tendangan yang ia lancarkan itu tetap saja tidak menggunakan tenaga penuh. Agaknya akan segera ia tarik kembali kalau pukulannya mengenai sasaran.
Nurseta maklum akan hal itu, maka iapun terus berloncatan dan mengelak.
Hal ini membuat Lembu Petak menjadi penasaran bukan main. Bagaimanapun juga, nama Ki Lembu Petak dari Gunung Kelud, adalah nama yang sangat terkenal sebagai seorang jagoan yang sukar dicari bandingnya. Kalau ia sampai dikalahkan orang, hal itu dapat diterimanya, karena ia maklum bahwa di permukaan bumi ini terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi, selamanya ia belum pernah menemukan lawan seorang yang masih amat muda, akan tetapi yang dapat menghindarkan diri dari semua serangannya dengan mudahnya. Ia merasa seperti menyerang seekor burung srikatan atau burung walet saja, atau bahkan menyerang bayangan. Maka, iapun kini menyerang sambil mengerahkan tambahan tenaganya dan mempercepat gerakannya.
Melihat perubahan gerakan ini, Nurseta juga maklum bahwa lawannya menjadi penasaran, maka iapun tidak ingin mempermainkannya lebih lama lagi, Begitu melihat lawannya menyerangnya dengan dorongan kedua tangannya, mengarah dada dan wajahnya, maka, iapun menyambut dengan kedua tangannya.
Akibat dari pertemuan dua pasang telapak tangan itu membuat Ki Lembu Petak terjengkang ke belakang dan terguling-guling seperti baru saja dilanda angin lesus.
Akhirnya, dapat juga ia bangkit dengan tubuh babak bundas dan ia berdiri memandang Nurseta dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
Nurseta cepat melangkah maju menghampiri dan berkata dengan sikap hormat "Paman Lembu Petak, harap suka maafkan aku, karena sungguh bukan maksudku untuk mengalahkan atau membunuh orang. Aku hanya ingm menyelidiki sebab kematian para pemuda dusun itu"
Kekaguman membayang dalam pandang mata Ki Lembu Petak. Jelaslah baginya bahwa pemuda ini memiliki kesaktian yang luar biasa dan ia bukanlah lawannya, akan tetapi, setelah mengalahkannya, pemuda ini tidak bersikap sombong, bahkan meminta maaf, maka iapun mengangguk-angguk.
"Bagus, kini aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kau akan mampu mempertahankan diri dari gangguannya, tidak seperti para pemuda lainnya yang mati konyol itu"
"Gangguan siapa, paman?"
"Marilah, kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam, Raden Nurseta"
"Aku bukan Raden, paman"
Kini pria yang gagah itu tersenyum. "Aku tahu bahwa kau bukan pemuda dusun biasa, Raden Nurseta. Mari, silakan masuk"
Nurseta tidak mau berbantah lagi dan diapun ikut masuk. Ruangan dalam pondok itu cukup luas dan sinar matahari masuk melalui celah jendela yang terbuka lebar. Sebuah pondok yang sehat dan bersih. Di sudut ruangan terdapat sebatang tombak dan beberapa macam senjata lain. Jelaslah bahwa jagoan ini suka berlatih silat dengan menggunakan senjata. Tidak nampak orang lain di situ, dan kesunyian semakin terasa.
Ki Lembu Petak mengambil satu sisir pisang raja dan meletakkannya di atas meja, sedangkan Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di atas tikar.
"Maaf, hanya inilah yang dapat aku suguhkan, Raden" katanya sambil mempersilahkan tamunya makan pisang.
Nurseta tidak sungkan lagi dan bersama tuan rumah, iapun memakan pisang raja yang sudah matang pohon dan rasanya manis dan sedap itu.
Ki Lembu Petak mulai bercerita. "Wanita yang kau lihat bertapa telanjang bulat di dalam goa itu bernama Jumirah. Dua ahun yang lalu ia itu masih menjadi isteriku"
"Isterimu, paman" Tapi ia bilang, bahwa suaminya dibunuh oleh Paman"
Lembu Petak tersenyum getir dan menarik nafas panjang, dan berkata "Ia telah berubah, seolah-olah ada iblis yang memasuki tubuhnya semenjak ia bertemu dengan mendiang Gagak ljo"
"Siapakah Gagak Ijo itu, paman?"
"Begini Raden. Kami sudah menjadi suami isteri dan hidup rukun selama hampir sepuluh tahun, walaupun kami masih belum mempunyai seorang keturunan. Pada suatu hari, kami kedatangan seorang tamu yang bernama Gagak Ijo. Sesungguhnya, dia hanya kenalan biasa saja, walaupun ia bukan seorang penjahat, namun cara hidupnya yang liar, dan wataknya yang mata keranjang dan suka mempermainkan wanita mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, tidak cocok dengan watakku. Akan tetapi sebagai seorang tamu, dia harus kami terima dengan ramah. Dan apa yang tak terelakkanpun terjadilah. Entah mengapa, tiba-tiba saja watak isteriku, berubah dan agaknya ia tergila-gila kepada Gagak Ijo, atau membalas cumbu rayuan keparat itu. Mungkin juga terkena pengaruh aji japamantra dan guna guna. Sehingga terjadilah hubungan yang tidak sewajarnya diantara mereka...." ia berhenti dan menarik nafas panjang.
Nurseta mendengarkan dan diam saja, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap orang ini, dia condong untuk lebih percaya kepada Ki Lembu Petak dari pada Jumirah, wanita yang bertapa telanjang itu.
"Aku masih memaafkan mereka dan dengan tulus aku menasehati kepada Gagak Ijo agar dia menghentikan perbuatannya itu dan pergi dengan damai. Juga kuperingatkan isteriku dengan tulus. Aku sayang dan cinta padanya, bahkan sampai sekarangpun aku tidak membencinya. dan siap untuk menerimanya kembali dengan senang hati. Kumaafkan semua kesalahannya terhadap diriku. Akan tetapi........" Lembu Petak kembali menarik nafas panjang dan terlihat menyesal sekali.
"Gagak Ijo bukannya mundur, bahkan agaknya ia ingin menguasai isteriku sepenuhnya, dan mereka agaknya sudah sepakat untuk menyingkirkan aku, membunuhku. Mungkin karena mereka merasa lalu sendiri melihat aku memaafkan mereka, atau mungkin juga karena mereka tidak percaya kepadaku dan ingin melihat aku mati agar mereka tidak akan terganggu lagi. Malam itu, mereka menyerang aku dalam kamarku. Tentu saja aku membela diri dan dalam perkelahian itu, aku berhasil merobohkan Gagak Ijo. Dia tewas dan biarpun aku bersedia memaafkan isteriku, akan tetapi agaknya isteriku demikian sakit hati karena kematian kekasihnya dan iapun pergi bertapa telanjang dan bersumpah hendak membalas kematian Gagak Ijo"
Nurseta mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa iba kepada Lembu Petak, dan dan bergidik mengingat akan kecurangan dan kepalsuan Jumirah yang pernah menjadi isteri orang ini.
"Akan tetapi, para pemuda dusun itu......?"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Raden. Percayakah kau, bahwa aku telah membunuh para pemuda itu karena cemburu, padahal ketika pertama kali isteriku bermain gila dengan Gagak Ijo saja aku dapat mengalahkan perasaan cemburu" Para pemuda itu terpikat oleh kecantikan dan rayuan Jumirah. Ia menjanjikan akan menyerahkan dirinya kepada para pemuda itu kalau mereka mampu membunuh aku. Mereka memang datang ke sini ada yang menantangku, dan ada pula yang mencoba membohongi Jumirah. Yang menantangku, aku layani, dan aku kalahkan tanpa melukai mereka. Aku akan merasa malu sendiri harus melukai pemuda-pemuda yang hijau dan tidak memiliki kepandaian apapun. Setelah mereka kembali kepada Jumirah, ada yang diterimanya di dalam goanya selama satu dua malam, ada yang langsung dibunuhnya dengan melukai mereka. Jumirah memiliki ilmu pukulan yang amat berbahaya, tidak terasa berat bagi yang dipukulnya, akan tetapi dapat mematikan, karena pukulan itu beracun"
Nurseta percaya akan semua cerita Lembu Petak. "Akan tetapi, paman Lembu Petak. Kenapa paman mendiamkan saja isteri paman melakukan perbuatan jahat itu, dan paman tidak turun tangan mencegahnya?"
"Apa yang dapat kulakukan" Sudah berkali-kali aku mencoba untuk membujuknya, akan tetapi ia malah menghinaku dan bahkan selalu merimaku dengan serangan-serangan yang mematian, sehingga terpaksa aku menghindar" Ia berhenti sebentar, lalu "Raden, kau seorang yang bijaksana dan sakti mandraguna, biarpun kau masih muda, oleh karena itu, kiranya hanya kau yang dapat menolongku untuk menundukkan dan membujuk ia agar ia kembali ke jalan yang benar"
"Baiklah kalau begitu, sungguh ia merupakan seorang sangat berbahaya dan perlu dibimbing, paman. Marilah kita ke sana dan aku akan berusaha untuk membujuknya ataupun menundukkannya, kemudian terserah kepada paman setelah ia dapat kukalahkan. Mudah-mudahan aku mampu mengatasinya"
"Kau pasti bisa, Raden, karena tingkat kepandaiannya hanya sama dengan tingkatku, Bahkan aku masih lebih kuat darinya. Marilah Raden, mari kita berusaha agar ia sembuh dan tidak mendatangkan korban pemuda yang tidak berrdosa lagi"
Mereka berdua lalu menuruni lereng itu menuju ke hutan di mana Jumirah, bekas isteri Ki Lembu Petak bertapa dalam goa yang menyeramkan.
Sementara itu matahari sudah condong ke barat, cuaca tidak begitu panas, bahkan ketika mereka memasuki hutan itu, suasana di dalam hutan sudah mulai agak gelap.
Tiba-tiba Nurseta mendengar suara ribut-ribut seperti banyak orang berteriak-teriak dan datangnya dari arah goa itu. Nurseta terkejut dan cepat ia meloncat dan lari dengan cepat. Betapapun Ki Lembu Petak mengejarnya, tetap saja Lembu Petak tertinggal jauh.
Ketika Nurseta tiba di tempat itu, ia makin terkejut melihat sedikitnya ada tiga puluh orang laki-laki tua dan muda yang membawa segala macam senjata. Ada yang membawa tombak, golok, linggis bahkan ada pula yang membawa pacul. Sambil berteriak-teriak mereka menyerbu ke dalam goa. Diantara suara teriakan penduduk itu, terdengar suara ketawa melengking yang menyeramkan.
Nurseta melihat korban dari para penduduk sudah jatuh empat orang. Sedangkan wanita yang telanjang bulat itu masih berada di dalam goa, ia hanya menggunakan kedua tangannya saja menyambit-nyambitkan batu untuk membendung serbuan para petani itu, bahkan bahkan merobohkan empat orang.
Melihat hal ini, Nurseta cepat berseru kepada para petani itu. "Saudara sekalian harap mundur dan jangan menyerbu ke dalam goa"
Akan tetapi, para petani tidak mau mendengar perkataannya. Mereka sebagian adalah saudara atau keluarga dari pemuda pemuda yang telah menjadi korban iblis wanita yang telanjang itu dan kini mereka yang sedang dipenuhi dendam. Mereka adalah orang-orang yang diminta oleh ayah Dirun, dan sekarang mereka beramai-ramai datang menyerbu. Setakut-takutnya manusia, kalau sudah maju bersama kawan-kawan, maka keberaniannya menjadi berlipat ganda.
"Ha, ini pemuda itu. Lihatlah, iapun tidak berhasil, mungkin ia malah terpikat oleh siluman itu. Hanya kita yang mampu membasminya" berkata ayah Dirun ketika ia melihat Nurseta.
Kawan-kawannya menjadi semakin marah dan semakin nekat, mereka menyerbu ke mulut goa. Akan tetapi, batu-batu kecil menyambar dari dalam goa dan dua orang lagi roboh.
Iblis wanita itu kini sudah bangkit berdiri di mulut goa, rambutnya riap-riapan panjang sampai ke paha, menutupi sebagian payudara dan perut ke bawah. Kulitnya nampak kuning langsat dan mulus di balik rambut yang hitam itu. Wajahnya yang ayu dan manis kini nampak menyeramkan, karena ia sudah mulai marah. Kemudian ia melihat Nurseta hadir disitu, iapun terkekeh genit.
"Ah, kau telah kembali, Raden, bagaimana", apakah kau sudah berhasil membunuh Ki Lembu Petak". Mari, bantulah aku mengusir petani-petani busuk ini Raden. Setelah itu, baru akan aku serahkan segala yang aku miliki ini kepadamu, hi-hi-hik"
Akan tetapi, Nurseta yang khawatir sekali kalau diantara para petani ada yang terkena pukulan beracun, cepat ia melompat mendorong para petani yang paling depan. Maka petani yang berada paling depan terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang.
Akibat perbuatan Nurseta tersebut, maka, marahlah para petani itu terhadap Nurseta. mereka mengira bahwa pemuda itu benar-benar membantu siluman betina yang sedang mereka serbu. Kini senjata-senjata para petani diarahkan kepada Nurseta.
Nurseta hanya mengelak dan menangkis, ia juga maklum bahwa para petani sudah salah paham terhadapnya.
Sementara itu, Ki Lembu Petak telah tiba di tempat kejadian, dan melihat bahwa para petani berusaha mengeroyok Nurseta yang mencoba menghalangi mereka menyerbu ke dalam goa.
Tiba-tiba terdengar suara Nurseta menggelegar "Saudara-saudara sekalian, harap mundur dulu dan biarkan aku bicara dengan wanita itu"
Namun para petani yang sudah terlanjur salah paham, mereka mengira bahwa Nurseta adalah teman wanita iblis itu dan membantunya, mereka tidak mau mendengarkan seruannya.
Sementara itu, Jumirah yang tadinya terkekeh girang melihat Nurseta dikeroyok oleh penduduk dusun itu, dianggapnya pemuda itu benar-benar membelanya, tiba-tiba menjadi merah mukanya dan matanya mengeluarkan sinar kemerahan ketika ia melihat munculnya Ki Lembu Petak. Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba nampak bayangan hijau berkelebat dan tahu-tahu seorang wanita muda yang berwajah cantik dan bermuka dingin telah berdiri di depan Jumirah.
Gadis berpakaian serba hijau itu mendengus, suaranya lirih namun dingin dan menyeramkan. "Siluman betina tak tahu malu, kau tak layak hidup" cepat sekali gadis berpakaian hijau menerjang Jumirah dengan sebatang keris kecil melengkung yang mengeluarkan sinar kuning.
Jumirah terkejut, akan tetapi bebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tidak menjadi gentar. Karena ia mengenal pusaka ampuh, ia tidak berani menangkis dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas tanah, kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar hitam berkelebatan ketika beberapa butir kerikil menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian hijau itu.
Gadis itu ternyata memiliki kesaktian juga, ia berloncatan dengan gesit mengelak, dan kerisnya menangkis runtuh beberapa butir kerikil.
Ketika Jumirah meloncat bangun, gadis itu tiba-tiba mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular berbisa dan akibatnya sungguh hebat, Jumirah merasa tubuhnya kaku dan tidak mampu bergerak.
Pada saat itu, gadis berpakaian hijau telah menubruk ke depan, keris kuning yang kecil itu menusuk dada, lalu robohlah Jumirah. Ketika wanita yang telanjang bulat itu roboh, gadis berpakaian hijau itu lalu melompat dan lenyap diantara pohon-pohon.
Nurseta merasa tertegun melihat munculnya gadis berpakaian hijau yang sudah pernah dilihatnya. Gadis itu adalah gadis yang muncul ketika ia dan petani ketela dibajak dan perahunya digulingkan. Waktu itu, gadis itu membunuh lima orang bajak sungai, lalu melarikan diri dengan menyelam. Dan kini gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, tanpa ada kesempatan untuk dapat mencegahnya. Karena selain ia sendiri dikeroyok oleh puluhan orang petani. Juga kecepatan bergerak dari gadis berpakaian hijau itu sangat cepat, sama seperti ketika gadis itu membunuh para bajak.
Setelah dua kali pertemuan, Nurseta kini dapat memastikan, bahwa gadis itu bukan lain adalah Wulansari. Akan tetapi, kalau benar ia Wulansari, mengapa ia diam saja ketika Nurseta memanggilnya. Dan mengapa pula sikapnya demikian dingin dan menyeramkan. Padahal, Wulansari yang pernah dikenalnya di tempat padepokan Panembahan Sidik Danasura, adalah seorang gadis yang manis dan sederhana, juga lemah lembut. Apakah gadis berpakaian serba hijau ini hanya mirip saja dengan Wulansari".
Sementara itu, melihat setan betina yang bernama Jumirah itu roboh, perkelahian itupun berhenti dengan sendirinya. Para Petani hanya memandang ke arah tubuh wanita telanjang yang menggeletak di depan goa, kemudian terdengar seseorang diantara mereka bersorak. Sorakan ini segera disusul oleh yang lain. Terdengarlah saura yang riuh rendah para penduduk dusun itu karena bersorak sorai gembira.
"Iblis wanita itu sudah mati"
"Siluman perempuan itu sudah mati. Para pemuda kita selamat"
Sementara para penduduk berteriak kegirangan, Ki Lembu Petakpun menghampiri tubuh bekas isterinya itu, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan iapun berseru dengan suara yang panjang penuh getaran.
"Jumirah........"
Ki Lembu Petakpun tak kuasa menahan kesedihannya, lalu ia menubruk tubuh wanita yang bermandikan darah itu.
Disangkanya Jumirah sudah meninggal, ternyata tiba-tiba wanita iblis itu membuka kedua matanya, memandang kepada Lembu Petak yang merangkul dan memangkunya, kemudian terdengar suara Jumirah yang lemah bercampur isak tertahan, "Kakang......., kau....... kau..... harap kau maafkan aku kakang" kini leher itu terkulai dan nyawa itu meninggalkan tubuh yang telanjang dan mandi darah.
"Jumirah......!" Ki Lembu Petak mendekap tubuh itu sambil menangis.
Melihat kejadian ini, para penduduk dusun saling pandang dan agaknya mereka merasa tidak enak sendiri, karena tadi mereka bersorak-sorak gembira atas kematian wanita yang sedang ditangisi pria gagah itu. Seperti komando saja, mereka lalu perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
"Jumirah, oh isteriku, betapa buruk nasibmu" Ki Lembu Petak menangis.
"Paman, kenapa paman tidak mengejar pembunuhnya tadi berkata Nurseta untuk mengalihkan pikiran Ki Lembu Petak dari kedukaannya.
Ternyata usabanya berhasil. Ki Lembu Petak mengangkat wajahnya memandang kepadanya, lalu ia menarik nafas panjang, sadar betapa ia telah menurutkan hati yang berduka dan iapun menjawab "Raden Nurseta, kenapa aku harus mengejarnya" Untuk apa" Isteriku Jumirah telah melakukan banyak perbuatan sesat, telah melakukan banyak penyelewengan sehingga membunuh banyak orang, maka, kalau kini ia dibunuh orang, aku sama sekali tidak merasa penasaran. Lagipula, pembunuhnya itu tentu orang yang berilmu tinggi, sehingga ia mampu membunuh Jumirah dalam waktu yang sedemikian cepatnya. Aku bukanlah lawannya dan akupun tidak merasa harus menuntus balas atas kematian Jumirah"
Nurseta memandang heran dan berkata "Akan tetapai, kalau andika tidak merasa dendam, mengapa kini paman menangisi kematiannya?"
Ki Lembu Petak menatap wajah pemuda dan kini suaranya terdengar tegas dan tenang, agaknya dia sudah mampu menguasai perasaannya, "Aku sama sekali tidak menangisi kematiannya, aku hanya menangis karena ia di dalam keadaan sesat dan jahat, Raden" Setelah berkata demikian, Ki Lembu Petak lalu menggali sebuah lubang di depan goa itu dengan mempergunakan sebuah cangkul yang ditinggalkan oleh para petani ketika mereka tadi jatuh bangun dihajar olehnya dan Nurseta dalam usaha mencegah mereka mengeroyok Jumirah.
Dengan sederhana namun penuh khidmat Ki Lembu Petak mengubur jenazah bekas isterinya itu dan meletakkan sebuah batu besar sebagai nisan di atas kuburan Jumirah.
Sementara itu, hari telah berganti malam, Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di dalam goa bekas tempat pertapaan Jumirah, mereka membuat api unggun dan duduk bercakap-cakap. Goa itu bersih dan terawat.
"Paman, aku masih merasa heran dan kurang mengerti akan sikapmu tadi. Paman tadi mengatakan, bahwa paman tidak menangisi kematian isteri paman, melainkan menangisi kematianya yang dalam keadaan sesat dan jahat. Apa yang paman maksudkan dengan itu?"
Ki Lembu Petak menarik nafas panjang panjang, orang yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu nampak seperti orang yang menyesal dan sedih.
"Ahh, aku dan isteriku adalah orang-orang yang penuh dosa, pernah malang melintang mengandalkan kepandaian kami, kadang-kadang kami memaksakan keinginan kami kepada orang lain dengan mengandalkan kekuatan. Ya, kami telah bergelimang dengan dosa. Akhirnya aku menyadari kekeliruan jalan hidup ini dan aku mengajak isteriku untuk mengasingkan dan membersihkan diri dari perbuatan jahat, hidup sebagai petani di pondok kecil. Kemudian terjadilah malapetaka bersama munculnya Gigak Ijo itu" Ki Lembu Petik menghela nafas panjang. Sedangkan Nurseta hanya mendengarkan saja penuh dengan penuh perhatian, karena ia emang tertarik untuk mengenal orang ini yang baru saja kehilangan isterinya dan berubah menjadi seorang iblis betina yang amat jahat.
"Semenjak mengajak isteriku pindah, aku bersama isteriku selalu berusaha untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Akan tetapi sayangnya, perbuatan jahat di masa lalu tidak dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik. Setiap perbuatan jahat pasti akan ada hukumannya, seperti yang kami berdua rasakan" kembali Ki Lembu Petak menghela nafas panjang.
"Raden, kalau boleh aku mengetahui, sebetulnya siapakah Raden ini, dari mana dan hendak ke mana" Sehingga Raden dapat bertemu dengan isteriku, sehingga kau bertemu denganku?"
"Aku hanya seorang pemuda pengelana yang sedang mencari ayahku, paman" Nurseta berhenti sebentar, lalu "Ah, benar juga. Siapa tahu paman mengenal ayahku yang sedang aku cari-cari"
"Siapakah nama ayahmu, Raden Nurseta?"
"Ayahku bernama Ki Baka dan......"
"Lha-dalah........!" Ki Lembu Petak berseru kaget dan iapun memandang wajah pemuda itu. "Kiranya kau ini putera Ki Baka" Pantas........, pantas kalau begitu, kiranya kau putera seorang tokoh sakti mandraguna. Kebetulan sekali, Raden. Beberapa bulan yang lalu aku bertemu dengan Ki Baka"
Tentu saja berita itu sangat menggirangkan ahti Nurseta, agaknya Hyang Maha wihdi sendirilah yang telah menuntunnya sehingga ia bertemu dengan Jumirah dan suaminya ini, sehingga akhirnya ia dapat juga mendengar berita tentang ayah kandungnya.
"Di mana ia sekarang, paman?"
"Ketika itu, aku sedang menuju ke puncak gunung Kelud ini, dan tanpa aku sengaja, aku lewat di depan sebuah gubuk terpencil. Karena sebelumnya aku tidak pernah melihat gubuk itu, hatiku tertarik dan akupun singgah untuk melihat, siapakah penghuni gubuk itu. Aku melihat ke dalam gubuk itu dan aku melihat Ki Baka duduk bersila. Aku segera mengenalnya karena beberapa belas tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan satria yang gagah perkasa itu. Aku masuk dan menyalaminya, ternyata iapun masih mengenalku, akan tetapi ia minta agar aku tidak bercerita dengan siapapun juga tentang pertemuan dengannya, dan merahasiakan tempat tinggalnya itu" Ki Lembu Petak berhenti sebentar, kemudian ia menarik nafas panjang, lalu "Raden, Ki Baka dalam keadaan Sakit"
"Sakit" Paman, di mana tempat itu?"
"Di dekat puncak, kalau dari sini Raden terus mendaki kearah puncak, Nanti Raden akan menemukan gubuk itu".."
"Terima kasih, paman" Nurseta memotong keterangan Lembu Petak dan sekali berkelebat, Nurseta sudah lenyap dari hadapan orang yang tinggi besar itu. Ki Lembu Petak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala penuh kagum dan diapun pergi meninggalkan goa dan makam isterinya, setelah melihat sekali lagi kearah makam itu untuk terakhir kalinya. Dengan langkah tegap dan lapang dada dan dengan harapan baru serta dengan pandang mata baru, seolah-olah cahaya matahari lebih terang dari pada biasanya, Ki Lembu Petak meninggalkan Gunung Kelud, untuk memulai hidup baru.
*** Sementara itu di puncak Gunung Kelud terdapat sebuah gubuk kecil sederhana dan di dalam gubuk inilah Ki Baka tinggal. Semenjak ia dilukai oleh Wiku Bayunirada, seorang kakek sakti seperti iblis itu yang telah menipunya dan berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, Kini Ki Baka menjadi seorang yang lemah kesehatan jasmaninya. Usahanya untuk mengobati dirinya selalu gagal karena pengobatan itu memerlukan hawa murni yang sakti untuk melawan pukulan beracun itu, namun setiap kali ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sakti itu, ia merasa dadanya sesak dan roboh pingsan. Akhirnya Ki Baka menghentikan usahanya, lalu mencoba untuk mencari puteranya, Nurseta yang sepengetahuannya bertapa di Goa Kantong Bolong.
Dalam keadaan tubuh lemah, amat sukarlah baginya untuk memasuki goa di tebing yang curam itu. Akan tetapi ia tidak berputus asa, dengan susah payah akhirnya Ki Baka berhasil tiba di Goa Kantong Bolong. Tetapi apa daya, ia hanya mendapatkan kekecewaan dan kegelisahan yang sangat, karena ia tidak menemukan puteranya di tempat itu. Nurseta telah lenyap tanpa jejak.
Hilangnya Nurseta ini merupakan pukulan berat bagi Ki Baka, jauh lebih berat dari pada kehilangan tombak pusaka Ki Tejanirmala, lebih berat dari pada keadaan dirinya yang menderita luka pukulan beracun. Dalam keadaan yang lemah itu ia mencoba untuk mencari, namun sekian lama ia mencari, semua usahanya itu sia-sia belaka.
Bertahun-tahun Ki Baka hidup merana, dalam keadaan lemah dan makin lama menjadi semakin parah, kedukaannya semakin mendalam karena memikirkan tentang Nurseta. Akhirnya ia seperti orang berputus asa. Ia telah kehilangan Nurseta dan kehilangan tombak pusaka dan ia tidak berdaya untuk medapatkan keduanya.
Dalam keputus-asannya, Ki Baka mendaki Gunung Kelud, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk bertapa tempat itu sampai maut merenggut nyawanya, mungkin melalui letusan gunung yang selalu mengeluarkan asap panas itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika pada suatu hari, di gubuknya muncul seorang laki-laki gagah perkasa yang mengenalnya. Dan iapun mengenal laki-laki itu, yang bukan lain adalah Ki Lembu Petak. Ia sudah merasa jemu untuk berlari dan bersembunyi lagi. Biarlah, ia tidak akan sembunyi lagi akan tetapi dia memesan kepada Lembu Petak agar merahasiakan tempat tinggalnya, karena selain ia sedang menderita sakit, juga Ki Baka tidak ingin terganggu oleh urusan di luar dirinya.
Agaknya Hyang Maha Agung belum ingin mencabut nyawanya, karena dalam keadaan mengasingkan diri itu, ia bertemu dengan seorang gadis serta ayahnya yang sudah menduda. Mereka tinggal di dusun dekat puncak, di dusun terpencil, dan pada suatu waktu, Ki Baka berjalan-jalan lewat dusun itu, ia mendengar gadis itu menangis dengan amat sedihnya, Ki Baka menghampiri rumah mereka dan mendapat kenyataan bahwa ayah gadis itu sedang menderita sakit panas yang parah. Dengan pengetahuannya yang cukup mengenai jamu-jamuan, Ki Baka yang selalu mengulurkan tangan untuk menolong, segera ia menyuruh gadis itu untuk mencari daun-daun jamu di dalam hutan dan memberitahu cara mengobati ayahnya dengan jamu itu, Akhirya, petani itupun sembuh.
Setelah sembuh ayah dan anak itu lalu mencari Ki Baka. Ketika melihat bahwa penolong mereka itu tinggal seorang diri di dalam gubuk dekat puncak tidak jauh dari tempapt tinggalnya, maka hampir setiap hari gadis itu atau ayahnya datang mengantar makanan dan minumin sekedarnya. Biarpun Ki Baka sudah melarang agar mereka itu jangan menyusahkan diri, namun mereka tetap saja sering datang berkunjung dan membawa sayur-sayuran, buah-buahan dan bersikap baik sekali atasnya.
Pada suatu pagi, ketika Ki Baka baru saja kembali dari sumber air di mana setiap pagi dan sore ia membersihkan diri. Ketika ia hendak duduk bersila untuk memulai dengan semedinya di pagi hari itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang di luar gubuknya.
"Kulonuwun...........!"
Suara orang laki-laki muda, pikirnya. Bukan suara Ki Lembu Petak. Beberapa detik jantung Ki Baka berdetak keras karena tegang, akan tetapi ia lalu bersikap tenang kembali. Mengapa harus takut, pikirnya. Setelah keadaannya seperti sekarang ini, ancaman maut yang datang dari manapm tidak membuatnya menjadi takut. Bahkan kematian agaknya akan membebeskan dia dari pada kedukaannya.
"Siapakah Ki Sanak yang berada di luar?" tanyanya dengan suara tenang.
"Ayah.....! Ini aku, Nurseta anakmu .... "
Pintu gubuk didorong terbuka dari luar, seorang pemuda berjalan masuk, langsung menubruk Ki Baka yang duduk bersila di atas dipan bambu. Pemuda itu merangkul Ki Baka dan memeluknya.
Ki Baka terbelalak, wajahnya pucat sekal. Kemunculan Nurseta demikian mengejutkannya, tak disangka-sangka sehingga hampir saja ia jatuh pingsan kalau tidak cepat-cepat dia merangkul pundak pemuda itu dan menangis.
"Nurseta...... ! Aku bersukur kepada Hyang Widhi. Benarkah kau Nurseta" Apakah kau ini kulup Nurseta" Duh Gusti........terima kasih........terima kasih...."
Mereka berangkulan dan keduanya tak dapat menahan rasa haru hati mereka, merekapun bertangis-tangisan.
Nursetalah yang dapat menguasai hatinya terlebih dahulu. "Ayah, sungguh bahagianya rasa hatiku ketika mendengar dari paman Lembu Petak. bahwa Ayah berada di tempat ini"
"Ah, angger, kiranya Ki Lembu Petak ya menunjukkan tempat ini kepadamu. Aku sangat berterima kasih kepadanya" Diusapnya rambut pemuda itu, ditatapnya wajah Nurseta. Ki Baka merasa kagum, juga bangga sekali. Puteranya telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan terihat dewasa dan matang.
"Anakku, kulup Nurseta, cepat ceritakan apa yang telah terjadi denganmu. Oh, betapa selama bertahun tahun ini hatiku menderita penuh dengan kerinduan, penuh kegelisah karena memikirkan dirimu, anakku. Betapa dengan susah payah aku menuruni Goa Kantong Bolong untuk mencarimu, namun engkau tidak berada di sana. Oh, betapa aku sudah hampir putus harapan untuk dapat berjumpa kembali denganmu. Namun siapa sangka, hari ini engkau muncul secara tiba-tiba di sini"
Tentu saja Nurseta juga ingin sekali segera mendengar apa yang telah terjadi dengan ayahnya ini setelah ayahnya diserbu oleh gerombolan tokoh jahat yang sakti, kemudian rumah mereka diobrak-abrik dan kabarnya ayahnya diculik gerombolan jahat itu. Akan tetapi, ia menahan keingin-tahunya itu, ia maklum, betapa ayahnya juga ingin sekali mendengar ceritanya tentang apa yang terjadi pada dirinya selama ini.
Dengan singkat namun jelas, Nurseta lalu Menceritakan pengalamannya. Dimulai ketika ia sedang bertapa di Goa Kantong Bolong, tiba-tiba saja muncul Gagak Wulung dan Dedeh Sawitri yang mengatakan bahwa ayahnya terluka dan mereka diutus oleh ayahnya untuk meminta tombak pusaka Tejanirmala. Ketika ia di atas, ia dipaksa oleh kedua iblis itu untuk mengaku di mana adanya tombak pusaka itu.
"Aku mengatakan tidak tahu dan mereka mulai menyerangku. Aku terpaksa melawan dengan sekuat tenagku, akan tetapi, mereka terlalu sakti bagiku. Lalu kemudian muncullah seorang kakek yang menolongku, dengan ilmu kesaktiannya yang hehat sehingga kedua orang jahat itu melarikan diri. Kakek itu adalah Eyang Panembahan Sidik Danasura yang kemudian menjadi guruku"
Ki Baka terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Tentu saja dia pernah mendengar nama pertapa sakti mandraguna itu.
"Sebelum aku ikut dengan Eyang Panembahan kami terlebih dahulu menengok dusun kita, dan aku terkejut mendengar betapa dusun Kelinting diserbu orang-orang jahat. Aku sangat gelisah sekali melihat rumah kita hancur dan porak poranda dan beberapa orang penduduk dusun juga tewas secara menyedihkan. Kemudian, aku ikut Eyang Panembahan ke Teluk Prigi Segoro Wedi dan mempelajari ilmu selama ini"
Ayahnya mengangguk-angguk gembira. "Jadi, selama empat tahun kau menjadi murid pendeta yang bijaksana dan sakti mandraguna itu" Duh Gusti, terima kasih atas anugerah yang Paduka limpahkan kepada Nurseta" katanya sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Kemudian ia merangkul pemuda itu da berkata, "Lalu bagaimana kau dapat tiba di Gunung Kelud ini dan bertemu dengan Ki Lembu Petak sehingga dari dia kau memperoleh keterangan tentang aku, angger?"
Nurseta menceritakan tentang perjalanannya meninggalkan padepokan Panembahan Sidik Danasura untuk melakukan kelana brata, memenuhi tugasnya sebagai seorang satria, berdarma bakti kepada nusa bangsa berdasarkan kebenaran dan keadilan. Diceritakannya pula pertemuannya dengan Padasgunung dan Pragalbo yang memberi tahu kepadanya tentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah, didukung pula oleh Ki Buyut Pranamaya yang tersohor kesaktiannya. Kemudian Nurseta bercerita tentang pertemuannya dengan Jumirah sehingga ia berkenalan dengan Ki Lembu Petak dan akhirnya ia mendengar tentang ayahnya dari orang gagah itu.
Ki Baka mendengarkan cerita puteranya dengan penuh perhatian, nampaknya ia gembira sekali melihat puteranya telah menjadi seorang pemuda dewasa yang memiliki kepandaian tinggi. "Syukurlah, anakku, bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, sehat, bahkan menemukan seorang guru yang bijaksana dan sakti. Terobatilah rasanya semua penderitaan yang kurasakan selama ini setelah kini dapat bertemu kembali denganmu, angger.''
"Ayah, apakah yang telah terjadi dengan ayah" Apa yang terjadi di dusun Kelinting kita dan siapa yang telah merusak rumah kita dan mengapa pula mereka itu menyerbu dan memusuhi ayah?"
Ki Baka menarik nafas panjang. "Banyak diantara mereka itu adalah orang-orang jahat yang memusuhi aku dengan dua alasan. Pertama, karena aku tidak membantu pemberontakan kakakku, mendiang Ki Baya, dan ke dua karena tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Tombak pusaka" Mengapa?"
"Tentu saja karena mereka ingin merampas pusaka itu"
"Ayah, harap suka ceritakan semua yang terjadi di sana ketika itu" Nurseta ingin sekali mendengar apa yang terjadi dengan ayahnya ketika itu.
Ki Baka lalu menceritakan dengan sejelasnya tentang kemunculan orang-orang itu "Aku sudah menduga akan hal itu, anakku. Oleh karena itu, maka aku sengaja menyuruh kau menyingkir dan bertapa di Goa Kantong Bolong. Siapa duga, Gagak Wulung di Ni Dedeh Sawitri memaksa para penduduk dusun untuk menunjukkan dimana kau berada" Ki Baka lalu bercerita betapa orang-orang itu mengeroyoknya dan dalam keadaan terluka parah, ia ditolong oleh seorang kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada. Semua orang dapat dikalahkan oleh kakek itu dan membawanya pergi, kemudian dengan dalih. menyelamatkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, kakek itu meminta keterangan di mana ia menyimpan pusaka itu. Dalam keadaan terluka parah dan percaya karena ia ditolong oleh kakek sakti itu, maka ia memberitahukan tempat pusaka agar dapat diselamatkan.
"Wiku Bayunirada berhasil mengambil pusaka itu sehingga tidak sampai terjatuh ke tangan para penyerbu itu. Akan tetapi, ternyata kakek yang sakti itu bukanlah orang baik-baik. Ia ternyata seorang penipu yang jahat dan kejam sekali"
"Aah!" Nuseta berseru kaget, ia sama sekali tidak menyangka bahwa kakek yang sakti dan telah menyelamatkan ayahnya dari tangan maut penyerbu itu ternyata seorang penjahat yang kejam. "Apa yang telah ia lakukan terhadap ayah?"
"Pertama ia mengobati luka-luka beracun yang berada di tubuhku dengan hawa saktinya. Memang racun ditubuhku berhasil dilenyapkan, akan tetapi sebagai gantinya, ternyata hawa sakti yang dimasukkan ke tubuhku mengandung racun pula. Racun itu mengakibatkan aku kehilangan semua kekuatan hawa sakti yang ada di tubuhku, Kalau aku mencoba mengerahkan tenaga sakti, maka tenaga itu memukul diriku sendiri dari arah dalam"
"Aaah......" Nurseta berseru kaget dan penasaran.
"Kakek sakti itu lalu membawa pergi tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ternyata, ia menolongku hanya untuk dapat merampas pusaka itu. Aku tertipu dan selama bertahun-tahun ini aku hidup dalam keadaan sakit akibat racun itu"
"Ayah, biarkan aku memeriksa keadaanmu, mudah-mudahan aku dapat mengobati ayah sampai sembuh" Nurseta cepat mendekati ayahnya dan memeriksa sakitnya.
"Di punggung terasa amat nyeri kalau aku mengerahkan tenaga dalam, dan rasa nyeri itu melemahkan seluruh persendian tubuhku"
Nurseta cepat memeriksa dan dia menahan seruan marah, ketika ia melihat betapa pungggung ayahnya itu nampak kehitaman. Tubuhnya yang tadinya besar dan kokoh kuat, kini nampak kurus dan ringkih, kulitnya berkerut dan kering, otot-ototnya layu. Dengan telapak tangannya yang disalurkan dengan tenaga saktinya, ia mencoba untuk mendorong keluar hawa beracun yang menguasai tubuh ayahnya. Tetapi ayahnya tidak kuat menahan rasa sakit dan terkulai pingsan.
Nurseta segera menghentikan usahanya, dengan sabar ia mencoba menyadarkan ayahnya yang sedang pingsan. Ia maklum bahwa ia tidak mampu mengobati penyakit ayahnya. Satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan mampu menyembuhkan ayahnya hanyalah Panembahan Sidik Danasura.
Beberapa saat kemudian Ki Baka siuman, terdengar suaranya mengeluh tertahan dan ia mencoba bangkit untuk duduk.
"Maaf, ayah, aku telah membuat ayah kesakitan dan pingsan"
"Tidak mengapa, aku sudah seringkali aku merasakan kesakitan dan pingsan setiap kali aku mencoba untuk mengerahkan tenaga dalam. Anakku, bagaimana menurutku penyakitku ini?"
"Sayang sekali ayah, bahwa aku hanya mempelajari ilmu kedigdayaan, Akan tetapi aku yakin bahwa Eyang Panembahan Sidik Danasura akan dapat menyembuhkanmu. Marilah ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan"
"Tidak, anakku. Aku sudah tahu di mana padepokan Sang Panembahan, seperti yang aku ceritakan tadi. Aku dapat pergi sendiri menghadap beliau dan mohon pertolongannya. Kau tidak perlu mengantarku, karena kau sendiri mempunyai banyak tugas yang penting. Pertama, demi keamanan negeri, kau harus berusaha mencari dan merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kedua, sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Mahesa Rangkah itu, membela Singosari. Sekarang, dengarkan aku dulu, anakku. Telah lama aku menyimpan rahasia ini dan sekarang, setelah kau menjadi seorang pemuda dewasa, apalagi sekarang kau telah memiliki kepandaian yang tinggi, sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui rahasia tentang dirimu. Bersiaplah kau mendengarkan dengan tekun dan tenang"
Ki Baka menarik nafas panjang, lalu ia berkata lagi kepada Nurseta "Anakku, aku akan membuka rahasia besar tentang dirimu" Ki Baka berhenti lagi dan kembali menarik nafas panjang, panjang sekali.
Nurseta menatap wajah ayahnya dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan biarpun pada lahirnya ia nampak tenang, namun jantungnya berdebar-debar tegang karena melihat sikap ayahnya yang demikian sungguh-sungguh. Rahasia apa gerangan yang hendak diceritaka ayahnya kepadanya" Akan tetapi dengan sikap tenang iapun bertanya "Ayah, rahasia apakah itu" Dan apa sangkut pautnya dengan diriku?"
"Nurseta anakku, coba kau mengingat-ingat lagi, masihkah kau ingat kepada ibamu?"
Nurseta terbelalak dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak pernah dapat membayangkan bagaimana wajah ibunya, walaupun samar-samar seperti dalam dongeng saja yang pernah didengarnya, ia seperti dapat melihat seorang wanita berpakaian indah sekali, entah bagaimana rupa wajahnya, wanita itu sedang menggendongnya.
"Ayah, bukankah sejak dahulu aku seringkali mengatakan bahwa aku tidak dapat mengingat wajah ibu" Bukankah menurut cerita ayah, ibu telah meninggal dunia sejak aku masih kecil" Ayah, siapakah nama ibu dan bagaimana rupa ibu" Dan kapankah ia meninggal dunia?"
Ki Baka menggeleng kepala dan tersenyum pahit. "Aku belum pernah menikah, anakku. Dengarlah dan janganlah terkejut, Kau bukanlah anak kandungku, kulup Nurseta"
Biarpun Nurseta nampak tenang, namun wajahnya agak pucat dan terjadi guncangan yang cukup hebat dalam dadanya.
"Ayah, harap suka jelaskan" katanya.
Ki Baka kembali memandang kagum pemuda yang memang hebat, ia dapat mengendalikan perasaan dan menguasai batinnya.
"Aku hanya menerimamu sebagai titipan dari mendiang kakakku, yaitu Ki Baya atau yang kemudian ia menamakan dirinya Bayaraja. Ketika itu, kau berusia delapan tahun. Engkau tentu masih ingat kepada Ki Baya"
Nurseta mengangguk. "Aku masih ingat, ayah. Sejak kecil aku bersama Ayah Baya, kemudian aku diserahkan kepadamu. Ayah sendiri dan ayah Baya mengatakan bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung ayah. Mengapa baru sekarang ayah mengatakan bahwa aku bukanlah anak kandung ayah. Dan apakah dengan begitu Ayah Baya itu adalah ayah kandungku?"
Ki Baka menggeleng-gelengkan kepalanya, katanya "Juga bukan anakku. Baiklah akan aku ceritakan dari awal semua kejadian tentang dirimu. Kerajaan Daha, Kediri, terdapat seorang pangeran yang bernama Pangeran Panji Hardoko. Nah, pangeran itulah yang pada suatu hari datang kepada Ki Baya, memondong seorang bayi yang baru berusia tiga bulan. Pangeran Panji Hardoko memberikan bayi itu kepada Ki Baya bersama harta yang banyak sebagai hadiah. Ia mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya, namanya Nurseta dan ia memberikan anak bersama harta yang cukup banyak itu kepada Ki Baya dengan permintaan agar Ki Baya mengaku sebagai ayah kandung anak itu. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya, anakku"
Tentu saja keterangan tentang dirinya itu amat mengguncang perasaan Nurseta, sesaat ia termenung. Ternyata ia bukan anak kandung Ki Baka, bukan pula anak kandung Ki Baya, melainkan anak seorang pangerab dari Daha. Dia seorang putera pangeran, orang berdarah bangsawan. Teringatlah Nurseta, betapa beberapa orang menyebutnya Raden agaknya hatinya tidak menolak, walaupun tadinya merasa geli dan canggung menerima sebutan itu. Dan ternyata ia benar-benar seorang Raden. Akan tetapi, benarkah semua cerita itu. Sunggug sukar baginya untuk menerima kenyataan, karena selama ini, ia menganggap Ki Baka sebagai ayah kandungnya, dan ia merasa gembira ketika Ki Baya menyerahkan dia ke Ki Baka dan mereka berdua itu menyatakan bahwa ia sesungguhnya anak kandung Ki Baka. Bagaimanapun juga, ia masih ingat akan watak Ki Baya yang keras dan kasar, jauh berbeda dengan watak Ki Baka, maka ia amat senang dan bangga menjadi anak angkat Ki Baka.
"Tetapi, ayah. Mengapa Ki Baya menyerahkan aku kepadamu?"
"Ki Baya memiliki cita-cita yang tinggi dan ia pemimpin gerakan pemberontakan terhadap kerajaan Singosari. Tentu saja aku tidak sudi membantunya. Aku bukan pemberontak. Ia lalu menyerahkan kau kepadaku karena ia merasa tidak sempat lagi menyediakan waktu bagimu di dalam kesibukannya menjadi seorang pemimpin pemberontak. Sewaktu aku melihatmu, aku langsung suka kepadamu, aku mau menerimamu dengan syarat, bahwa ia tidak boleh memintamu kembali, dan untuk itu kami membohongimu, dengan mengatakan bahwa akulah ayah kandungmu, bukan Ki Baya. Tentu saja hal ini merupakan rahasia yang akan aku simpan sampai kau menjadi dewasa. Dan sekarang aku lihat kau sudah dewasa dan cukup matang, maka aku buka semua rahasia ini. Maafkanlah bahwa selama bertahun-tahun ini aku telah membohongimu, Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar sebutan itu. Orang yang selama ini amat dihormatinya, amat dicintainya, yang dianggapnya sebagai ayah kandungnya, kini menyebutnya Raden.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayah. Janganlah menyebut seperti itu kepadaku. Aku tetap anakmu Nurseta" kemudian Nurseta memeluk ayahnya.
Akan tetapi Ki Baka yang juga balas merangkul, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku adalah seorang yang tahu akan aturan Raden Nurseta. Selama ini, karena kita hidup pedusunan sebagai petani, maka terpaksa aku perlakukan kau sebagai anak petani. Kau menyebut ayah kepadaku dan aku menyebut kulup atau angger, jarang menyebut namamu, karena namamu bukanlah nama rakyat biasa. Nah, marilah kita menghadapi kenyataan dengan tabah, Raden. Hatiku terasa lapang, karena sudah membuka rahasia ini padamu"
Nurseta menenangkan hatinya dan ia berhasil mencegah turunnya air mata dari kedua matanya. Ia merasa terharu sekali, akan tetapa sama sekali tidak merasa girang atau bangga akan kenyataan bahwa dia putera seorang pangeran. Bahkan ia merasa penasaran bukan main mendengar, bahwa oleh ayah kandungnya yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu, telah menyerahkan ia kepada orang lain, yaitu kepada Ki Baya, seorang pemberontak.
"Akan tetapi ayah, aku sungguh merasa penasaran sekali. Kalau aku ini adalah anak seorang pangeran, kenapa pangeran itu menyerahkan aku kepada Ayah Baya" Dan siapa ibu kandungku dan dimana ia berada" Juga dimana adanya pangeran itu sekarang?" Berkata demikian, Nurseta teringat pernah melihat dalam bayangan samar-samar seorang wanita berpakaian indah, seorang wanita bangsawan. Sayang ia tidak pernah dapat membayangkan wajah ibunya itu.
Ki Baka menggelengkan kepalanya. "Hal itupun aku tidak tahu, Raden. Mendiang kakang Baya tidak pernah menceritakan mengapa pangeran itu menyerahkan kau kepadanya. Ki Bayapun tidak tahu siapa ibu kandungmu. Kini ia telah tiadam sehingga kita tidak dapat bertanva kepadanya. Aku kira, seandainya ia masih hidup sekalipun, ia tidak akan dapat menjawabnya"
"Akan tetapi masih ada Pangeran Panji Hardoko itu! Aku akan mencarinya di Daha, dan akan kutanya kepadanya mengapa dia menyerahkan aku kepada Ayah Baya, kalau memang aku ini putera kandungnya. Dan akan mencari di mana ibu kandungku berada"
Nurseta berkata dengan penuh semangat karena ia merasa penasaran kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu, yang telah menyerahkan da kepada orang lain.
Akan tetapi kembali Ki Baka menggelengkan kepalanya dan memandang dengan sedih kepada pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu. "Satu lagi yang kau harus ketahui Raden, menurut Kakang Baya bahwa, Pangeran Panji Hardoko itu sudah meninggal dunia, tidak lama setelah menyerahkan kau kepadanya"
Nurseta merasa terpukul. Baru saja ia menemukan ayah kandungnya yang sebenarnya, ternyata ayah kandungnya telah meninggal dunia.
"Sudahlah, Raden Nurseta. Selain ayahmu sudah meninggal, juga kenyataan bahwa sejak bayi kau telah diserahkan kepada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa mereka sebagai orang tuamu itu, tidak menghendaki dirimu. Untuk itu, kau tidak perlu bersusah payah hendak mencari mereka, karena merekalah yang tidak menghendaki dirimu. Sekarang, yang penting bagimu adalah mencari tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Aku sebagai seorang yang menganggapmu sebagai anak sendiri, meminta bahkan aku memohon kepadamu agar kau suka mewakili aku mencari pusaka itu. Anggaplah saja hal itu sebagai balasan kepadaku yang sudah memeliharamu sejak kau kecil"
"Ah, ayah, tidak perlu begitu. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencari tombak pusaka itu, akan tetapi, ke manakah aku harus mencarinya" Aku tidak mengenal siapa kakek yang bernama Wiku Bayunirada itu, dan tidak tahu mana dia berada"
Aku rasa namanya itupun nama palsu, Raden. Aku sudah mengenal banyak tokoh besar dunia ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar nama Wiku Bayunirada. Akan tetapi, biarlah kau ketahui bahwa, dia seorang kakek yang usianya sekarang mendekati delapan puluh tahun, pada waktu empat tahun yang lalu, rambut, jenggot dan kumisnya sudah hampir putih semua. Pakaian dan ikat kepalanya serba putih, dan mukanya pucat seperti muka mayat dan keriput. Bicaranya halus. Akan tetapi, kalau ia bicara dan ketawa, bibirnya tidak ikut bergerak. Bentuk tubuhnya sedang-sedang saja dan ada suatu ciri yang tak dapat ia sembunyikan, yaitu kedua kakinya hanya berjari empat. Tidak terdapat ibu jari di masing-masing kaki itu"
Nurseta mencatat semua itu dalam ingatannya. "Aku memperhatikan semua yang ayah katakan itu, dan akan aku cari dia, kalau bertemu, akan aku minta kembali tombak pusaka itu"
"Aku girang sekali, Raden Nurseta. Berhati-hatilah terhadap kakek itu yang berwatak palsu dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Tombak pusaka itu harus dapat kau rampas kembali, karena amat berbahaya kalau terjatuh ke tangan orang yang bermaksud jahat"
"Baik, ayah. Akan aku usahakan sampai aku berhasil merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Ada satu hal lagi, Raden. Aku minta kau suka memperhatikan benar-benar. Kini kau sudah tahu bahwa, kau berdarah bangsawan. Ayah kandungmu bahkan seorang pangeran di Kerajaan Daha. Akan tetapi kau harus selalu ingat bahwa, kesetiaan seseorang terhadap negara, bukan ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oleh tempat di mana ia tinggal dan hidup. Sejak kecil kau tinggal di daerah Singosari, menghirup udara Singosari, meminum air Singosari dan makan dari hasil tanah Singosari. Lebih dari, hendaknya kau selalu ingat, Raden, bahwa aku sebagai pengganti orang tua dan juga pengasuhmu, Aku adalah seorang laki-laki sejati yang akan membela tanah air Singosari, siap mempertahankan setiap jengkal tanah dengan sepercik darah. Selain aku, juga aku sudah mendengar bahwa Sang Panembahan Sidik Danasura juga seorang yang sakti mandraguna dan seorang yang setia pula kepada Keraja Singosari"
Nurseta mengangguk-angguk. "Tidak keliru, ayah. Aku pernah mendengarkan persiapan antara Eyang Panembahan dan Paman Jembros, dan mereka berdua itu adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Singosari"
"Ki Jembros. Ah, aku mengenalnya, karena itulah, Raden. Maka sudah sepatutnya kalau kau juga berjiwa patriot terhadap Kerajaan Singosari. Sudah menjadi tugas kewajibanmu sebagai seorang ksatria untuk bersama para ksatria lainnya, menentang gerakan pemberontak seperti yang sedang dipimpin oleh Mahesa Rangkah. Kalau kau bertemu dengan para ksatria itu, maka, akan lebih mudah bagimu untuk meneliti dan menyelidiki di mana adanya Wiku Bayunirada yang melarikan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Baik, ayah. Harap jangan khawatir. Aku kan melaksanakan semua perintahmu, yaitu mencari sampai dapat tombak pusaka itu, dan membantu Kerajaan Singosari menentang pemberontakan Mahesa Rangkah. Akan tetapi sebelumnya, biar ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan agar penyakit ayah dapat disembuhkan"
"Tidak, Raden. Jangan membuang banyak waktu, aku dapat pergi sendiri menghadap kesana. Akupun ingin sekali cepat sembuh agar aku dapat membantu penumpasan gerombolan pemberontak itu"
Tiba-tiba terdengar langkah lembut di luar gubuk. Nurseta segera mendengarnya sebelum Ki Baka mendengar langkah itu.
"Ada orang di luar" bisik Nurseta.
Akan tetapi, Ki Baka tersenyum. "Kebetulan sekali ia datang. Ah, aku ingin memperkenalkan kau kepada seorang dewi yang menjelma dalam tubuh seorang dara yang sederhana, Raden"
Terdengar daun pintu gubuk itu diketuk dari luar dan terdengar pula suara yang lembut "Paman Baka, ini aku Pertiwi yang datang. Bolehkah aku masuk?"
Suara itu lembut dan merdu, juga mengandung kesopanan.
"Pertiwi. Masuklah masuklah, lihatlah siapa yang berada di sini bersamaku" kata Ki Baka dengan suara gembira sekali.
"Ooh. Ada tamu......." Gadis itu berbisik lirih.
Sejenak suasana menjadi sunyi, agaknya gadis itu merasa ragu untuk membuka daun pintu, setelah mendengar bahwa Ki Baya kedatangan tamu.
"Jangan takut. Masuklah, di sini ada orang yang sudah lama kau kenal" kata pula Ki Baka.
Daun pintu gubuk bambu itu berderit ketika dibuka dari luar dan seorang dara yang bertubuh ramping melangkah masuk dengan ragu-ragu. Nurseta memandang kearah gadis itu. Ia membenarkan perkataan Ki Baka. Gadis dusun yang berpakaian sangat sederhana, juga gelung rambutnya. Akan tetapi gadis ini memiliki aura yang mengesankan. Ada aura keagungan pada wajah yang tidak dirias itu, terutama sekali sepasang matanya terang dan lembut. Kembennya yang sudah tidak baru lagi, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang ramping dan padat. Langkahnya satu-satu, ketika ia memasuki pondok itu, matanya yang lebar memandang ke arah Nurseta. Akan tetapi, ketika ia merasa tidak mengenal wajah tampan pemuda itu, tiba-tiba kedua pipinya menjadi kemerahan, iapun menundukkan wajahnya.
"Ternyata Paman Baka sedang bergurau" pikirnya. "Ia tidak pernah mengenal pemuda itu. Tentulah ia pemuda priyayi, mudah dikenal dari sikap dan wajahnya, walaupun pakaian pemuda itu juga sederhana seperti pakaian pemuda petani biasa.
Ki Baka tertawa melihat keragu-raguan atas gadis itu untuk mendekat, "Ha-ha, Pertiwi, majulah mendekat dan jangan malu-malu. Ia sudah lama kau kenal, karena ia adalah Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar orang yang selama ini dianggap ayahnya itu memperkenalkan dirinya sebagai Raden Nurseta.
Ketika Pertiwi mendengar nama itu disebutkan oleh Ki Baya, gadis itu mengangkat wajahnya, ia memandang kepada Nurseta dengan penuh perhatian.
"Ah, Paman Baka, kiranya ia ini adalah putera angkat paman itu. Raden Nurseta. Sudah lama aku mendengar Paman Baka menceritakan tentang dirimu, Raden" berkata Pertiwi dengan malu-malu.
Sikap Pertiwi sungguh membuat hati Nurseta terkagum-kagum, karena gadis itu sangat ramah dan sama sekali tidak pemalu Seperti kebanyakan perawan gunung.
"Raden, ini adalah Pertiwi. Ia dan ayahnya merupakan keluarga yang amat baik dan mereka adalah sahabat sahabatku. Mereka yang selama ini bersikap ramah dan selalu memberikan pertolongan kepadaku dan aku berhutang budi yang besar sekali kepada nini Pertiwi dan orang tuanya"
"Ah, harap jangan mempercayai pujian Paman Baka yang berlebihan itu, Raden Nurseta"
Pertiwi, gadis yang usianya baru enam belas tahun itu tersenyum. Nampak deretan giginya yang putih bersih, sepasang bibir itu merekah merah. "Kami hanya bersikap ramah, karena kami merasa iba melihat Paman Baka hidup menyendiri dan kadang-kadang kelihatan lemah. Akan tetapi, kalau bicara tentang pertolongan, kamilah yang berhutang budi kepadanya, karena Paman Baka pernah menyelamatkan dusun kami dari serbuan kaum penjahat"
Nurseta memandang kepada ayahnya dengan heran. Orang tua itu jelas dalam keadaan tak berdaya, lemah dan tidak mampu mengerahkan tenaga saktinya. Bagaimana mungkin mampu menyelamatkan dusun dari serbuan kawanan penjahat.
Agaknya Ki Baka dapat mengerti keheranan pemuda itu, maka iapun tertawa. Katanya "Tidak aneh, Raden. Pemimpin perampok itu mengenalku, oleh karena itu, ketika ia melihat aku berada di dusun ini, ia lalu mengajak anak buahnya melarikan diri ketakutan, tanpa aku menggerakkan sebuah jari tanganpun"
Gadis itu kini mendekati Ki Baka. Ketika ia datang, tangan kanannya membawa sebuah ikul dan tangan kirinya membawa sebuah kendi hitam. Dengan hati-hati, diletakkannya bakul dan kendi itu di atas tikar di depan Ki Baka.
"Hari ini aku hanya membuat lauk botok manding dan tempe bakar. Maaf paman, karena kami tidak tahu, bahwa putera angkat paman berada di sini, maka nasi dan lauknya kurang. Biarlah untuk sore nanti akan kembali lagi dan membawa yang lebih banyak"
"Tidak usah, Pertiwi. Ini saja sudah cukup. Lihat, Raden. Beginilah setiap hari, ia selalu mengirim makanan untukku. Sudah aku larang agar mereka menghentikan kerepotan ini, akan tetapi Pertiwi tidak mau mendengar laranganku. Setiap hari ia selalu datang kembali" ia berhenti sebentar lalu "Bagaimana menurutmu Raden", bukankah ia baik dan manis sekali?"
Kembali gadis itu menundukkan wajahnya yang berubah kemerahan, yang membuat ia semakin manis. Mulutnya tersenyum malu-malu, kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar.
"Ah, Paman Baka, jangan memuji-muji terus. Akukan jadi malu"
---ooo0dw0ooo--
Jilid 7 - Pergerakan Dimulai
"Tidak, nini, aku tidak memuji kosong. Bahkan, aku akan merasa berbahagia sekali kalau Raden Nurseta, anak angkatku ini, suka mengambilmu sebagai isterinya. Di bawah kolong langit ini sukar ditemukan keduanya perawan seperti engkau, nini Pertiwi" Ki Baja berhenti sejenak,lalu "Bagaimana, nini" maukah kau menjadi isteri Raden Nurseta ini?"
Nurseta sendiri terkejut mendengar ucapan Ki Baka itu. Dia mengenal Ki Baka sebagai ayahnya, sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, jantan dan pantang mundur, terbuka dan jujur. Sungguhpun tidak mengherankan melihat sikapnya demikian bebas terbuka membicarakan tentang perjodohan di depan gadis itu begitu saja, namun keputusan ayah angkatnya itu sungguh mengejutkan hatinya, karena sama sekali tidak disangka-sangkanya. Memang Ki Baka, biarpun pernah menjadi seorang senopati, menjadi seorang pendekar di sepanjang Lembah Brantas, namun ia tetap sederhana dan terbuka, sehingga anak angkatnya sendiripun disuruhnya memanggil ayah kepadanya, seperti keluarga petani dusun biasa.
Sementara itu, wajah Pertiwi yang kemerahan kini menjadi merah sekali, sepasang mata dara itu terbelalak memandang kepada Ki Baka, seperti seekor kelinci ketakutan dan juga malu-malu, ia lalu berlari keluar dari gubuk itu sambil berteriak kecil, "Aih, paman membikin aku menjadi malu sekali.......!" tanpa pamit lagi, Pertiwi lari diiringi dengan suara ketawa Ki Baka.
Setelah gadis dusun itu pergi jauh, Ki Baka bertanya kepada Nurseta, "Bagaimana pendapatmu tentang nini Pertiwi itu" Bukankah ia seorang dara yang ayu dan manis merak-ati. Ia juga seorang yang lemah lembut dan berhati emas?"
Nurseta harus mengakui bahwa Pertiwi walaupun ia seorang perawan gunung, namun ia memang cantik sekali, ia memiliki daya tarik yang luar biasa, maka iapun mengangguk membenarkan dengan jujur. "Ya, Pertiwi adalah seorang gadis yang sangat cantik, ayah"
"Sejujurnya, aku seringkali membayangkan ketika mengingatmu, setiap kali nini Pertiwi datang, aku membayangkan, betapa akan bahagia rasa hatiku kalau melihat ia bersanding denganmu, sebagai isterimu. Kalau kau tidak berkeberatan dan ingin menyenangkan hatiku, maka, aku akan segera menemui orang tuanya untuk mengajukan pinangan. Percayalah, biarpun aku belum pernah menikah, namun mataku cukup awas untuk dapat mengenal seorang gadis yang baik, seorang calon isteri pilihan dan sukar dicari keduanya"
Nurseta termenung. Mendengar ucapan itu, tanpa disengaja, segera terbayanglah di depan matanya wajah seorang gadis lain. Seorang gadis yang berkulit kuning berwajah manis, dengan sepasang, mata seperti bintang, hidung kecil mancung dan bibir merah basah, ada lesung pipit di sebelah kiri pipinya dan tahi lalat kecil di pipi kanannya, dengan senyum menghias wajahnya. Sepasang matanya bagaikan bintang, kadang-kadang redup, dan dapat pula menyala dengan aneh. Seorang gadis sederhana yang kini muncul sebagai seorang wanita sakti yang aneh berpakaian serba hijau. Wulansari.
"Bagaimana" Apakah kau sudah memikirkannya?"
"Maaf, ayah. Aku belum memikirkannya, karena menganggap bahwa aku belum memikirkan tentang jodoh. Bukankah di depan masih terdapat tugas-tugas penting menanti" Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus aku dapatkan, dan keamanan negara terancam oleh pemberontakan Mahesa Rangkah. Nanti sajalah, ayah, kalau semua tugas telah selesai dengan baik, baru kita bicara lagi tentang perjodohan"
"Ya, ya, kau benar, kulup. Beginilah kalau seorang tua ingin sekali menimang cucu. Kau benar Nurseta, memang tugas itu lebih penting dari pada urusan pribadi. Kedua tugas itu memang teramat penting dan berbahaya" ia berhenti sejenak, lalu " Nurseta. Kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada itu, mempunyai kesaktiannya seperti iblis. Terhadapnya, kau harus berhati-hati. Adapun si pemberontak Mahesa Rangkah itupun bukan orang sembarangan. Ia adalah putera pemberontak yang bernama Linggapati. Ayahnya seorang pemberontak besar yang sakti, tentu puteranya juga tidak boleh dipandang ringan. Ketika ayahnya memberontak, aku masih membantu Sang Prabu Wisnuwardhana sebagai seorang diantara para senopati dan aku ikut membasmi gerombolannya di Mahibit. Sekarang, anaknya juga memberontak dan betapa gembira hatiku kalau kau sebagai anak angkatku, maju membantu pemerintah dan ikut membasmi gerombolan Mahesa Rangkah" Ia berhenti lagi, lalu "Kau benar, setelah semua tugas selesai, barulah seorang laki-laki boleh beristirahat dan memikirkan kesenangan pribadinya"
Nurseta bermalam di gubuk ayah angkatnya malam itu dan pada keesokan harinya, mereka saling berpisah lagi setelah semalam suntuk mereka hampir tidak tidur, karena waktu dihabiskan untuk melepas kerinduan dan bercakap-cakap panjang lebar menceritakan semua pengalaman masing-masing selama lebih dari empat tahun mereka saling berpisah.
Pada keesokan harinya, seperti telah mereka rundingkan semalam, Ki Baka pergi menuju ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi di pantai Laut Kidui. Sedangkan Nurseta memulai dengan perjalanannya untuk menyelidiki tentang gerakan gerombolan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah, sekalian menyelidiki kakek bernama Wiku Bayunirada yang merampas dan melarikan tombak pusaka Tejanirmala.
** Sementara itu, Mahesa Rangkah sudah siap untuk melakukan penyerbuan ke Singosari. Ia sudah menghimpun pasukan yang dianggapnya cukup kuat karena memperoleh dukungan secara diam-diam oleh Kerajaan Kediri. Tentu saja Sang Prabu Jayakatwang tidak berani secara terang-terangan mendukung pemberontakan Mahesa Rangkah, karena pada lahirnya dia merupakan raja taklukan, juga menjadi besan dari Sang Prabu Kertanagara. Hanya di dalam batinnya sajalah Sang Prabu Jayakatwang membenci dan mendendam kepada Sang Prabu Kertanagara karena dia merasa dirinya lebih patut menjadi raja di raja, menguasai Singosari dan Kediri.
Untuk memulai pemberontakannya, Mahesa Rangkah menyebar para pembantunya, dengan membawa pasukan kecil, untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun besar atau kecil yang berada di sekitar daerah pinggiran Singosari. Gerakan ini dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan, juga mengacaukan keamanan Singosari, dan terutama untuk menarik perhatian pasukan Singosari agar meninggalkan kota raja dan berpencaran untuk menanggulangi pengacauan yang dilakukan serentak di daerah pinggiran.
*** Malam bulan bersinar terang, hampir bulat penuh. Dusun Tarutug yang terletak di perbatasan antara daerah Kediri dan Singosari, nampak tenang. Para penduduk dusun itu banyak yang tinggal di luar rumah, menikmati sinar bulan yang sejuk. Akan tetapi, semakin malam, hawa menjadi semakin dingin sehingga mereka merasa lebih enak untuk tinggal di dalam rumah. Belum juga tiba tengah malam, suasana sudah sunyi sekali di dusun Tarutug yang bermandi sinar bulan dan diselimuti hawa yang dingin itu.
Suasana malam terang bulan yang dingin dan sunyi itu menjadi semakin indah dan hening ketika sayup-sayup sampai terdengar suara suling melengking naik turun dengan halus dan merdu sekali. Suling merupakan alat musik, yang seperti alat musik tiup lainnya, amat peka terhadap getaran perasaan peniupnya. mencurahkan isi batin melalui tiupan suling akan amat terasa, melengking dan menggetar menurut keadaan batin peniupnya.
Suara suling yang mengalun dan menyusup-nyusup di malam terang bulan itu datang dari sebuah bukit dekat dusun Tarutug itu. Bukit gundul yang sunyi. Bukit yang hanya ditumbuhi rumput dan alang-alang, tempat yang amat menyenangkan bagi para anak penggembala lembu dan domba, karena tempat itu selain dipenuhi rumput yang subur, juga di sebelah barat lereng bukit itu mengeluarkan air jernih dari sebuah sumber yang tak pernah kering sepanjang musim, baik musim kemarau apa lagi di musim hujan. Para penggembala di waktu pagi dan sore, membiarkan ternak mereka makan rumput dengan santai, dan minum dari genangan air dari sumber itu. Akan tetapi di waktu malam, keadaan di situ sunyi bukan main, tak nampak seorangpun manusia. Dan dari puncak bukit sunyi itulah datangnya suara suling malam itu.
Penyuling itu seorang pria muda yang duduk di atas sebuah batu di puncak bukit itu, menghadap ke barat. Usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan berbentuk bulat telur, tubuhnya sedang namun kokoh kuat. Suling yang ditiupnya itu sebatang suling yang berwarna hitam, tidak jelas terbuat dari apa, kayu ataukah bambu. Tiba-tiba, dari kaki bukit itu sebelah barat, terdengar suara suitan melengking tiga kali. Mendengar ini, peniup suling itu menurunkan nada suara sulingnya, makin merendah sampai akhirnya berhenti dan diapun bangkit berdiri, memandang ke arah sesosok bayangan yang berlari naik ke atas bukit dengan cepat dari arah barat.
Kini orang yang berlari naik itu tiba di depan si pemegang suling yang segera menyambutnya dengan pertanyaan, "Adi Pragalbo, bagaimana" Berhasilkah kau bertemu dengan para senopati Singosari?"
"Aku sudah berjumpa dengan para senopati, kakang Padasgunung, bahkan Kanjeng Senopati Ronggolawe sendiri yang menerima laporanku. Mereka sudah mempersiapkan pasukan. Dan bagaimana dengan persiapan kita, kakang" Apakah para pemuda dusun sudah siap pula untuk sewaktu-waktu Kita gerakkan menggempur para pemberontak?"
Padasgunung si penyuling tadi, mengangguk. "Mereka sudah siap dan suara sulingku yang akan menjadi tanda bagi mereka untuk berkumpul di sini. Dari tiga buah dusun di sekitar bukit ini telah berhasil aku kumpulkan dua ratus prang. Dan mereka sudah siap bertempur membela tanah air dengan senjata seadanya namun dengan tekad membaja. Mereka tahu apa artinya perjuangan membasmi para pemberontak. Pengalaman yang lalu ketika Bayaraja memberontak membuat mereka tidak sudi mendiamkan saja para pemberontak itu menyerbu dusun mereka. Mereka maklum bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan. Kalau para pemberontak itu menduduki dusun, tentu semua milik mereka lenyap, bahkan nyawa merekapun tidak terjamin, sedangkan para wanitanya tentu akan dirusak"
"Bagus sekali kalau begitu, kakang Padasgunung" kata Pragalbo, satria muda gagah perkasa yang berkulit hitam namun berwajah persegi, dengan watak jenaka itu, "Karena sekarang juga mereka itu kita perlukan"
"Eh, apa maksudmu, Adi Pragalbo ?"
"Begini, kakang. Ketika aku pulang menuju ke bukit ini, aku melihat betapa banyak sudah dusun-dusun yang dilanda bencana dengan penyerbuan pasukan pemberontak. Mereka itu agaknya bergerak serentak di dusun-dusun sekitar perbatasan, dengan kelompok-kelompok kecil, Tentu saja para penduduk dusun itu tidak berdaya menghadapi para pemberontak yang menjadi perampok itu, Banyak yang lari mengungsi. Dan yang terpenting, siang tadi aku melihat gerombolan pemberontak yang jumlahnya lebih dari seratus orang menuju ke timur dan aku rasa, selambatnya besuk pagi, gerombolan itu sudah sampai di sini. Karena itu, aku cepat-cepat lari mendahului untuk memberiiahukan kepadamu, kakang"
Padasgunung mengepal tinju kiri dan mengacungkan suling di tangan kanannya sambil memandang marah ke arah barat. "Biarkan mereka datang adi Pragalbo. Dan malam ini juga kita harus mengumpulkan mereka itu dan mengatur siasat untuk menyambut musuh. Kalau sampai terjadi pertempuran, kau pimpin pasukan menurut siasat barisan yang aku atur dengan suara sulingku. Para penduduk sudah aku latih selama beberapa hari ini dan mereka tahu cara merubah barisan berdasarkan petunjuk suara sulingku, Aku akan menonton dari tempat tinggi di sini agar lebih mudah mengamati keadaan dan merubah barisan sesuai dengan perkembangan pertempuran"
Pragalbo sudah maklum akan keunggulan kakak seperguruan itu dalam hal ilmu perang, maka iapun mengangguk. Tak lama kemudian, terdengar pula lengking suling itu ditiup Padasgunung. Akan tetapi kini suara suling itu terdengar lain, penuh semangat dan suara melengking tinggi itu menembus keheningan malam menyusup ke dalam tiga buah dusun yang berada di kaki bukit. Segera terdengar suara kentungan bertalu-talu menyambut suara suling ini dan mulai nampaklah bayangan banyak orang berlarian naik ke atas bukit. Itulah para lelaki muda dari tiga buah dusun yang segera mendaki bukit setelah mendengar isarat berkumpul melalui lengking suling yang ditiup Padasgunung tadi.
Melihat ini, Pragalbo merasa kagum kepada kakak seperguruannya. Dalam waktu kurang dari setengah jam, di puncak bukit itu telah berkumpul kurang lebih duaratus orang. Mereka semua memegang bermacam senjata yang biasa dipergunakan para petani. Linggis, arit, cangkul, ada pula yang membawa tombak, golok atau semacam parang, dan keris.
Setelah semua orang berkumpul, membentuk lingkaran mengelilingi batu besar di mana Padasgunung dan Pragalbo berdiri, Padasgunung lalu berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa. "Saudara-saudara, baru saja kami mendengar bahwa gerombolan pemberontak sudah mulai melakukan serbuan kedusun-dusun di barat. Ada segerombolan penjahat yang sedang menuju ke sini dan agaknya pada hari esok pagi-pagi mereka sudah tiba di kaki bukit ini. Dusun-dusun kita di sekitar ini terancam. Oleh karena itu, saudara-saudara kami kumpulkan, Kita harus segera membentuk pasukan pendam untuk menanti mereka dan sebelum mereka sempat menyerbu dusun, kita serbu mereka lebih dahulu dari semua jurusan. Ingat, kalau terjadi pertempuran, kalian akan dipimpin langsung oleh Adi Pragalbo, dan bentuklah pasukan-pasukan dengan perubahan menurut suara sulingku seperti yang pernah andika sekalian pelajari"
Para anggota pasukan rakyat itu mengangguk dan mereka tidak merasa gentar karena sebelumnya, Padasgunung telah menanam pengertian dalam hati mereka bahwa mereka semua berjuang demi keselamatan keluarga mereka, dan mereka hendak mempertahankan setiap jengkal tanah dengan percikan darah mereka. Bahkan kalau perlu mereka siap mengorbankan nyawa demi membela tanah air dan keluarga.
Selama beberapa jam, mereka sibuk melaksanakan siasat yang diatur oleh Padasgunung dan Pragalbo, mempersiapkan barisan pendam, bersembunyi di lubang-lubang yang mereka gali, di belakang alang-alang dan pohon-pohon dikaki bukit. Ada pula yang bersembunyi di dalam pohon, diantara daun-daun pohon yang lebat. Sementara itu, di dusun-dusun mereka terjadi pula kesibukan. Sesuai dengan siasat yang sudah mereka pelajari sebelumnya, mereka itu, para wanita, juga siap menanak nasi dan lauk pauk sekedarnya, semacam "dapur umum" untuk memberi ransum kepada anak atau suami mereka yang sedang bertugas jaga untuk mempertahankan dusun mereka dari serbuan para pemberontak jahat.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Laskar rakyat yang dipimpin oleh Padasgunung dan Pragalbo itu tidur dalam tempat persembunyian mereka, dan penjagaan diadakan secara bergilir. Ini perintah Padasgunung yang tidak menghendaki pasukannya menjadi mengantuk dan lemah pada hari esok. Suasana di bukit itu sunyi dan yang terdengar hanya suara suling Padasgunung yang dimainkan perlahan-lahan, sayup sampai dengan lagu-lagu yang terdengar sedih. Semenjak kegagalannya menikah dengan Sriyati, memang pemuda ini lebih sering memainkan lagu sedih dalam tiupan sulingnya sehingga Pragalbo kadang-kadang merasa kasihan kepnda kakak seperguruannya itu.
Pada keesokan harinya, ketika mendengar bunyi kokok ayam jantan, tanda bahwa fajar mulai menyingsing, Padasgunung meniup sulingnya. dengan lagu isyarat agar semua pasukannya bangun dan bersiap siaga karena lima orang yang semalam diutusnya untuk, menjadii penyelidik dan melihat gerak gerik musuh di barat, telah datang kembali dan melaporkam bahwa pihak musuh sudah mulai bergerak ke timur pada lewat tengah malam tadi. Agaknya pihak musuh memperhitungkan bahwa mereka akan tiba di dusun-dusun yang berada dii kaki bukit itu pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi.
Tak lama kemudian, setelah matahari pagi mulai menyinarkan cahayanya di permukaam bumi, terdengarlah bunyi derap kaki dan ke bisingan suara pasukan musuh yang sudah mendekati bukit. Di dalam dada setiap anggota pasukan rakyat itu terjadi ketegangan dan jantung mereka berdetak keras. Biarpum mereka sudah bertekad mempertahankan kampung halaman mereka dengan taruhan nyawa, namun mereka adalah para petani yang sama sekali tidak pernah mengalami menjadi perajurit. Hanya mengingat akan keselamatan keluarga mereka dan kampung halaman mereka sajalah yang membuat mereka mengambil keputusan nekat untuk bertempur mati-matian dalam usaha mereka mempertahankan semua yang mereka cinta itu.
Padasgunung sudah berdiri di lereng bukit, sedangkan Pragalbo dengan gagahnya, dengan keris di tangan, sudah siap memimpin pasukannya untuk menyergap pasukan musuh dengan tiba-tiba begitu ada aba-aba dari suara suling kakak seperguruannya.
Kini nampak debu tipis mengepul di bagian barat dan tepat seperti yang diperhitungkan oleh Padasgunung dan Pragalbo, pasukan pemberontak itu melewati jalan di kaki bukit menuju ke dusun terdekat. Mereka nampak gembira, kasar dan kuat, memegang tombaki yang sama bentuknya, dan sebatang golok atau parang tergantung di pinggang. Seperti biasa, mereka yang terdiri dari orang-orang kasar dan anak buah tokoh-tokoh sesat ini, merasa gembira apa bila pasukan sudah dekat dengan dusun karena memasuki dusun bagi mereka berarti pesta pora, membunuh dan merampok sesuka hati tanpa mendapat perlawanan berarti, dan terutama sekali mereka dapat mempermainkan dan memperkosa wanita dusun yang mana saja, dari yang masih remaja dan kanak-kanak sampai yang paling tua. Ada pula yang bergembira membayangkan bahwa dia akan menemukan harta yang dirampas dan menjadi miliknya, dan ada pula yang membayangkan akan segera dapat menyembelih ayam atau domba rampasan dan makan sepuasnya.
Setelah pasukan pemberontak itu tiba tepat di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara suling memecah kesunyian pagi hari yang cerah itu, Kiranya Padasgunung yang mengintai dari lereng bukit, diam-diam membenarkan perhitungan Pragalbo. JumJah musuh kurang lebih seratus orang, dipimpin oleh beberapa orang yang menunggang kuda dan tidak dapat dikenal karena wajah mereka tidak jelas dilihat dari atas itu. Jumlah anak buahnya kurang lebih dua kali lebih banyak dari lawan, maka tenanglah rasa hati Padasgunung. Dia maklum bahwa anak buah pemberontak itu tentu merupakan orang-orang yang sudah terlatih dalam pertempuran, merupakan lawan berat dibandingkan dengan anak buahnya yang terdiri dari para petani yang tidak terlatih, walaupun para petani itu tentu saja memiliki tenaga kuat karena setiap hari biasa bekerja berat. Namun pihaknya mempunyai dua hal yang boleh diandalkan. Pertama sekali adalah semangat. Laskar rakyat tidak mempunyai pamrih untuk mencari kesenangan pribadi, tidak berpamrih mencari kemenangan agar memperoleh pahala, tidak mempunyai pamrih lain kecuali ingin melindungi keluarga mereka, membela tanah air mereka dan menyelamatkan kampung halaman mereka. Dan kedua adalah karena jumlah para petani itu lebih besar, hampir dua kali jumlah perusuh.
Padasgunung menanti sampai pasukan musuh itu tiba di kaki bukit, tepat dalam keadaan terkepung oleh anak buahnya yang sudah bersembunyi mengepung jalan itu. Setelah itu iapun segera mengeluarkan sulingnya dan meniupkan isarat penyerangan.
Suara suling ini dapat ditangkap dengan jelas oleh semua laskar petani yang memang sejak iadi menunggu dan memperhatikan, akan tetapi agaknya sama seknli tidak menarik perhatian pasukan pomberontak. Mereka ini membayangkan hasil perampokan mereka, maka ketika ada suara suling, mereka menganggap bahwa itu tentu permainan seorang bocah penggembala saja. Oleh karena itu, betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan bermunculanlah para petani muda dari semua jurusan dan mereka itu langsung menyerang pasukan pemberontak dengan senjata-senjata mereka yang sederhana.
Biarpun dapat dilihat dengan mudah bahwa mereka itu hanyalah petani-petani muda, dapat dikenal dari pakaian mereka dan keadaan senjata mereka yang sebagian besar terdiri dari cangkul, linggis, kapak dan arit, namun mereka menyerbu sambil berteriak-teriak dan sikap mereka penuh keberanian dan kemarahan. Apa lagi diantara para petani itu terdapat seorang pemuda yang bersenjata keris yang agaknya memimpin laskar petani itu. Sepak terjang pemuda ini hebat bukan main. Setiap kali kakinya menendang atau tangan kirinya menampar atau kerisnya menyambar, sudah pasti ada seorang anak buah pemberontak yang roboh dan tak mampu bangkit kembali. Hal ini membuat para pemberontak itu panik.
Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dari dua orang berkuda yang menjadi pemimpin pemberontak. Teriakan dan bentakan mereka ini membangkitkan semangat para anak buahnya. Terjadilah pertempuran mati-matian yang seru karena biarpun jumlah para pemberontak itu hanya setengahnya. namun mereka adalah orang-orang kasar dan kuat yang biasa berkelahi, sehingga mereka dapat mengimbangi para petani yang jumlahnya dua kali lebih banyak mereka.
Sementara itu, dua orang pimpinan pemberontak yang menunggang kuda, begitu melihat sepak terjang Pragalbo yang dahsyat, mereka cepat berloncatan turun dari atas kuda mereka dan menghadang Pragalbo yang tadinya mengamuk dengan keris di tangan.
'"Babo-babo, kiranya si PragaIbo yang memimpin pasukan petani ini" bentak seorang diantara mereka yang kepalanya botak dan pungungnya berpunuk. Pragalbo segera memandang dua orang itu dan mengenal mereka. Yang menegurnya itu bukan lain adalah seorang jagoan dari Blitar, termasuk seorang yang condong berkelompok dengan golongan hitam dan tidak mengherankan kalau orang ini menjadi seorang diantara para pemberontak.
"Hemm, aku tidak heran melihat kau menjadi pemimpin serombolan pemberontak dan perampok ini, Ki Kalakatung. Memang orang-orang macam akau ini sudah biasa menjadi pengkhianat dan penjahat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan untuk menyenangkan diri sendiri"
"Heh-heh, keparat Pragalbo. Besar sekali suaramu, tidak sesuai dengan sikapmu yang sederhana dan seperti orang gagah. Kau sudah gila barangkali, mengerahkan para petani hanya untuk menjadi korban pembantaian pasukan kami. Apakah perbuatan itu tidak lebih jahat, menjerumuskan para petani dusun" Ha-ha-ha"
Melihat orang tinggi kurus berwajah tampan ini, yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada Ki Kalakatung, Pragalbo tersenyum mengejek, hatinya merasa muak karena diapun sudah mengenal orang ini. Si tinggi kurus berwajah tampan ini adalah seorang yang dikenal sebagai Iblis Gunung Gajahmungkur, masih berdarah bangsawan dan namanya Raden Galinggangjati. Sakti mandraguna, akan tetapi juga terkenal mempunyai kesukaan bermain cinta dengan pemuda-pemuda tampan. Tokoh sesat ini tidak suka mendekati wanita, akan tetapi suka sekali menculik orang-orang muda yang tampan untuk dipaksa menjadi kekasihnya.
"Heh, Raden Galinggangjati, kejahatanmu sudah sampai ke ubun-ubunmu, sudah berapa banyak pemuda yang menjadi korbanmu, aku dengar mereka banyak yang sudah menjadi gila, selebihnya mati di tanganmu. Tanganmu sudah berlumur darah orang-orang tidak berdosa dan kini kau ingin melengkapi dosa-dosamu dengan bersekutu dalam pemberontakan. Kalian berdua orang-orang jahat, hari ini takkan terlepas diri tanganku"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat melompati puncak Gunung Semeru, Pragalbo. Akan aku hancurkan kepalamu dengan senjataku Rujakpolo ini" bentak Ki Kalakatung yang sudah menyerang dengan senjatanya yang menggiriskan. Senjata di tangan Ki Kalakatung ini berupa sebuah penggada yang panjangnya sedepa, besar dan berat, berwarna hitam dan terbuat dari galih-asem yang sudah tua dan keras bukan main. Agaknya dia menamakan penggada ini Rujakpolo, meniru nama penggada yang biasa dipergunakan oleh Sang Bima, tokoh pewayangan, orang ke dua dari Pandawa Lima.
Pukulan Si Kuda Binal 5 Misteri Bayangan Setan Karya Khu Lung Tujuh Pedang Tiga Ruyung 13