Pencarian

Si Raja Cacing 2

Goosebumps - Si Raja Cacing Bagian 2


katanya dalam hati. Kalau begitu aku bisa bangun diiringi musik, bukannya
"Bangun, Todd, bangun!"
"Ayo, cepat sedikit!" Mrs. Barstow mendesak-desak.
"Aku sudah bangun! Aku sudah bangun, Mom!" Todd
menyahut dengan suara parau.
Cahaya terang masuk melalui jendela kamar tidurnya. Todd
memicingkan mata. Langit di luar tampak biru.
Cuacanya bagus, katanya dalam hati.
Hari apa ini" dia bertanya-tanya sambil berdiri dan kembali
meregangkan otot. Kamis" Yeah. Kamis.
Bagus, pikirnya. Hari Kamis ada pelajaran olah raga. Mudah-
mudahan nanti main softball.
Pelajaran olahraga adalah pelajaran kegemaran Todd - apalagi
pada hari-hari di mana pelajarannya diadakan di lapangan.
Celana piama Todd telah terpilin-pilin selama tidur. Dia
meluruskannya sambil menuju ke kamar mandi untuk menggosok
gigi. Wah, kuis matematikanya hari ini apa besok" dia bertanya-
tanya sambil mengamati wajahnya yang masih terkantuk-kantuk di
cermin pintu lemari obat. Mudah-mudahan besok. Semalam aku lupa
belajar. Dia menjulurkan lidah pada bayangannya sendiri.
Todd mendengar suara Regina di bawah. Adiknya itu sedang
berdebat dengan ibu mereka. Regina suka berdebat pagi-pagi. Itulah caranya
memaksa otaknya agar mulai bekerja.
Dia berdebat mengenai baju mana yang harus dikenakannya.
Atau apa yang akan dimakannya untuk sarapan. Salah satu topik
favoritnya adalah apakah cuacanya terlalu hangat untuk memakai
jaket. Ibu Todd tidak jera-jera. Dia selalu meladeni perdebatan
Regina. Akibatnya, pagi-pagi suasana sudah hiruk-piruk.
Todd selalu tidur selama mungkin. Kemudian dia
menghabiskan waktu banyak untuk berpakaian. Saat dia akhirnya
muncul di dapur, Regina biasanya sudah selesai berdebat.
Todd menggosok gigi sambil memikirkan kuis matematika.
Kemudian dia kembali ke kamarnya dan mengenakan celana jeans
belel serta T-shirt biru laut yang panjangnya hampir selutut.
Kali ini Regina dan Mrs. Barstow ternyata masih berdebat
ketika Todd memasuki dapur. Regina telah mengepang rambutnya
yang berwarna gelap. Dia duduk di meja dapur dan sedang
menghabiskan sarapannya. Ibu mereka, yang sudah siap berangkat
kerja, berdiri di seberang meja sambil memegang secangkir kopi.
"Tapi aku bakal kepanasan pakai jaket itu!" Regina ngotot.
"Kalau begitu, kenapa tidak pakai sweter saja?" Mrs. Barstow mengusulkan dengan
sabar. "Aku tidak punya sweter," balas Regina.
"Kau punya satu laci penuh!" protes Mrs. Barstow.
"Ya, tapi yang itu aku tidak suka!" Regina berseru dengan nada tinggi.
Todd meraih gelasnya yang berisi sari jeruk dan menghabiskan
isinya sekali teguk. "Todd, duduk dan habiskan sarapanmu," perintah ibunya.
"Mana sempat" Aku sudah telat, nih," sahut Todd sambil mengusap bibir. "Aku
harus berangkat." "Tapi rambutmu belum disisir!" seru Mrs. Barstow.
Regina, yang sedang mengunyah roti panggang, tertawa.
"Memangnya ada bedanya?"
Todd tidak menghiraukan komentar itu. "Rambutku tidak perlu disisir," dia
memberitahu ibunya, "soalnya aku pakai topi Raiders-ku."
Dia melirik ke kaitan jaket di ruang depan, di mana topinya biasa tergantung.
Tapi kali ini topinya tidak kelihatan.
"Aku tidak mengerti mengapa guru-guru kalian membiarkan
kalian memakai topi sepanjang hari," gumam Mrs. Barstow sambil kembali menuang
kopi ke cangkirnya. "Mereka tidak peduli," ujar Todd.
"Hanya anak-anak berandal yang pakai topi pet di sekolah,"
Regina melaporkan. "Apakah kakakmu termasuk anak berandal?" tanya Mrs.
Barstow sambil menghirup kopinya.
"Eh, ada yang lihat topi Raiders-ku?" Todd cepat-cepat bertanya sebelum Regina
sempat menjawab. "Biasanya kan tergantung di ruang depan," ujar Mrs. Barstow sambil melirik ke
arah gantungan jaket. Todd menggelengkan kepala. "Barangkali ketinggalan di
kamarku." Dia berbalik dan bergegas ke tangga.
"Mau ke mana kau" Ayo, habiskan serealmu dulu! Nanti keburu melempem!" ibunya
berseru. Todd berpegangan pada pagar tangga dan melewati dua anak
tangga setiap kali melangkah. Setelah sampai di ambang pintu
kamarnya dia berhenti dan memandang ke tempat tidur. Lalu ke meja tulis.
Topinya tidak kelihatan. Dia sedang menghampiri lemari pakaian ketika melihat topinya
tergeletak di lantai. Dia membungkuk dan memungut topinya, lalu segera
memakainya. Segera Todd sadar, ada yang tidak beres.
Ada yang aneh. Sewaktu mengatur posisi topi, dia merasakan sesuatu bergerak-
gerak di rambutnya. Sesuatu yang lembap. Sepertinya rambutnya mendadak bernyawa dan merayap-rayap
di bawah topi. Todd segera menghampiri cermin, melepaskan topinya, dan
menahan napas. Matanya terbelalak ketika dia melihat cacing-cacing gemuk
berwarna cokelat merayap-rayap di rambutnya.
Chapter 15 TODD langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
merinding. Salah seekor cacing merosot lewat kening Todd, lalu jatuh ke
meja. "Brengsek!" Todd berseru dengan suara tertahan. Dia
mencampakkan topinya ke lantai. Kemudian mulai melepaskan semua
cacing dari rambutnya. "Regina!" teriaknya geram. "Awas kau!"
Dia menarik tiga cacing dari rambutnya, lalu memungut cacing
keempat dari meja. "Idih." Dia menyeringai di depan cermin.
Rambutnya terasa lembap dan lengket.
"Oke, Reggie! Aku datang!" Todd berseru sambil berlari menuruni tangga. Cacing-
cacing tadi digenggamnya erat-erat.
Regina menoleh seakan-akan tidak tahu apa-apa, ketika Todd
menghambur ke dapur. "Serealmu sudah melempem," ibunya berkata dari tempat cuci piring. "Sebaiknya
kau..." Dia terdiam waktu melihat cacing-cacing di tangan Todd.
"Hei, Regina, kau menantangku, ya?" Todd berseru dengan jengkel. Dia menyodorkan
cacing-cacing tadi ke depan muka adiknya.
"Ih! Jangan macam-macam!" pekik Regina.
"Todd... cacing-cacingmu jangan dibawa ke meja makan!" Mrs.
Barstow menegurnya dengan keras. "Ada apa sih denganmu" Kau seharusnya tahu
bahwa itu tidak pantas!"
"Bukan aku yang perlu dimarahi, tapi dia!" balas Todd ketus sambil menuding
adiknya. "Aku?" Regina membelalakkan mata karena heran. "Apa salahku?" tanyanya tanpa
dosa. Todd menggeram lalu berpaling pada ibunya. "Dia
memasukkan cacing-cacing ini ke topiku!" lapornya sambil
memperlihatkan cacing-cacing di tangannya.
"Hah?" Regina memekik. "Bohong!"
Todd dan Regina langsung saling menuduh dan menyalahkan.
Mrs. Barstow melerai mereka. "Diam!" serunya. "Ayo, jangan teriak-teriak!"
"Tapi... tapi..." Todd tergagap-gagap.
"Todd, cacing-cacingmu akan mati kalau diremas-remas seperti itu!" ujar Mrs.
Barstow. "Ayo, taruh semuanya di akuariummu di bawah. Lalu tarik napas dalam-
dalam, hitung sampai sepuluh, dan
kembali ke sini." Todd menggerutu. Tapi dengan patuh dia menuju ke ruang
bawah tanah. Ketika Todd kembali satu menit kemudian, Regina tetap
menyangkal bahwa dia yang memasukkan cacing-cacing itu ke topi
kakaknya. Sambil pasang tampang serius, dia berpaling kepada Todd.
"Sumpah, Todd," katanya, "bukan aku yang menaruh cacing-cacing itu."
"Siapa lagi kalau bukan kau?" Todd bergumam. "Daddy"
Kaukira Daddy mengisi topiku dengan cacing sebelum berangkat ke
kantor tadi?" Ide itu begitu konyol, sehingga membuat ketiga-tiganya
terbahak-bahak. Mrs. Barstow menggenggam pundak Todd dan menggiringnya
ke meja makan. "Serealmu," katanya lembut. "Habiskan serealmu.
Nanti kau terlambat."
"Pokoknya jangan ganggu cacing-cacingku," bisik Todd kepada adiknya. Dia
menggeser kursi dan meraih sendok. "Aku serius, Reggie. Lelucon konyolmu sama
sekali tidak lucu. Dan aku paling
tidak suka kalau ada orang mengganggu cacing-cacingku."
Regina menghela napas. "Untuk apa aku mengambil cacing-
cacingmu yang menjijikkan itu?" balasnya. "Aku sudah bilang...
bukan aku yang melakukannya."
"Sudah, jangan bertengkar terus, oke?" Mrs. Barstow
memohon. "Lihat, sudah jam berapa sekarang."
"Tapi kenapa dia tidak dihukum, Mom?" Todd bertanya dengan nada ngotot. "Kenapa
dia boleh..." "Soalnya bukan aku yang melakukannya!" potong Regina.
"Pasti kau!" Todd membentak.
"Kurasa kau sendiri yang melakukannya," ujar Regina sambil meringis. "Kurasa kau
sendiri yang menaruh cacing-cacing itu di topimu."
"Oh, bagus! Bagus!" seru Todd sinis. "Untuk apa, Regina"
Untuk apa?" "Biar aku kena marah," sahut Regina.
Todd menatapnya sambil melongo.
"Kalian berdua akan kena marah kalau kalian tidak segera
berhenti... sekarang juga," ujar ibu mereka.
"Oke. Aku takkan bilang apa-apa lagi," ujar Todd sambil memelototi adiknya.
Dia mulai menyendok serealnya. "Huh, sudah melempem
semua," omelnya. "Bagaimana aku bisa..."
Jeritan Regina mengalahkan keluhan Todd.
Todd mengikuti pandangan adiknya ke mangkuk di
hadapannya... dan melihat seekor cacing gendut mengambang di
tengah susu. Chapter 16 SELAMA di sekolah Todd berusaha memusatkan perhatian
kepada penjelasan para guru, namun pikirannya selalu beralih kepada cacing-
cacing di rumahnya. Pasti Regina yang menaruh cacing di topi dan mangkuk
serealnya. Tapi adiknya itu kelihatan kaget sekali. Dan berulang kali
menegaskan bahwa dia tidak tahu-menahu soal urusan itu.
Todd teringat bagaimana dia membelah cacing di ruang bawah
tanah. Dia teringat bagaimana cacing-cacing yang lain memperhatikan tindak-
tanduknya dari dalam akuarium.
"Mereka mengawasimu," Regina sempat berkata dengan suara pelan dan ketakutan.
"Dan sekarang mereka merencanakan balas dendam."
Omong kosong, pikir Todd, sambil berlagak membaca buku
pelajaran IPS. Omong kosong. Namun dia tetap merinding ketika memikirkan ucapan Regina
itu. Membayangkan cacing-cacing yang tadi menggeliat-geliut di
rambutnya membuatnya mual.
Pada waktu makan siang dia menceritakan semuanya kepada
Danny. Mereka duduk berseberangan di kantin yang bising. Danny
mengeluarkan makan siangnya, membuka kertas pembungkus, lalu
mengamati sandwich buatan ibunya. "Lagi-lagi ham dan keju,"
keluhnya. "Setiap hari ibuku membuatkan roti berisi ham dan keju."
"Kenapa kau tidak minta yang lain saja?" Todd mengusulkan.
"Soalnya cuma itu yang kusuka," jawab Danny. Dia mengambil sebungkus keripik
kentang dari tasnya. Todd juga mengeluarkan makan siangnya. Tapi makanan itu
sama sekali tidak disentuhnya selama dia menceritakan kejadian tadi pagi kepada
Danny. Mula-mula Danny menanggapinya dengan tertawa. "Adikmu
memang brengsek," sahutnya sambil mengunyah keripik.
"Aku jadi bingung, nih," Todd bergumam. Dia menggelenggelengkan kepala. "Biang
keladinya pasti Regina. Tapi dia
kelihatannya kaget sekali. Bayangkan saja, dia sampai menjerit waktu
,melihat cacing yang mengambang di tengah mangkuk."
"Kurasa dia sudah berlatih sepanjang hari kemarin," ujar Danny. Dengan lahap dia
menggigit sandwich-nya. Todd membuka kertas aluminium yang membungkus sandwich-
nya. Isinya selai kacang. "Yeah, mungkin juga," katanya sambil mengerutkan
kening. "Coba kaupikir, Todd," ujar Danny, sementara mustard menetes dari dagunya.
"Akuariummu cukup dalam. Cacing-cacing itu tidak mungkin keluar sendiri. Dan
mana mungkin mereka naik tangga ke
kamarmu dan bersembunyi di topi dan mangkuk serealmu?"
"Benar juga," ujar Todd masih sambil mengernyitkan dahi. Dia mencopot topi
Raiders-nya dan menggaruk-garuk kepala. "Tapi cacing-cacing itu... semuanya
menatapku dan..." "Cacing tidak punya mata!" kata Danny yakin. "Dan mereka juga tidak punya muka.
Dan yang paling penting, mereka tidak punya otak!"
Todd tertawa. Danny seratus persen benar, dia menyadari.
Gagasan bahwa cacing merencanakan balas dendam sama
sekali tidak masuk akal. Todd merasa lebih tenang. Dia merosot di kursinya dan mulai
makan. "Kita bicara soal lain saja," katanya sambil menyedot sari jeruknya.
Kemudian dia menggigit roti selai kacangnya.
"Kaulihat Dawkins jatuh dari kursinya tadi pagi?" Danny bertanya sambil
terkekeh-kekeh. Todd nyengir lebar. "Yeah. Miss Grant kaget setengah mati.
Dia melompat begitu tinggi sampai kepalanya nyaris membentur
langit-langit! Masih bagus gigi palsunya tidak ikut copot!"
"Untung saja Dawkins mendarat dengan kepala lebih dulu!"
Danny berseru. Dengan punggung tangan dia menyeka mustard yang
menempel di dagunya. "Dawkins memang tidak bisa duduk di kursi.
Dia tidak punya keseimbangan. Setiap hari dia..."
Danny terdiam ketika melihat Todd menyeringai. "Hei, Todd...
ada apa, sih?" "Ro... rotiku ini," Todd tergagap-gagap. "Rasanya... agak aneh."
"Hah?" Danny menatap sisa roti di tangan Todd. Dengan
waswas Todd membuka roti itu untuk memeriksa isinya.
Dia dan Danny termual-mual ketika melihat potongan cacing
yang melingkar di tengah-tengah selai kacang.
Chapter 17

Goosebumps - Si Raja Cacing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"KALIAN lihat adikku?" Todd bertanya kepada sekelompok anak yang bergerombol di
pintu yang menuju lapangan bermain.
Mereka menggelengkan kepala.
Todd sedang kesal sekali. Setelah membuang sandwich-nya ke
tempat sampah, dia langsung meninggalkan kantin untuk mencari
Regina. Adiknya itu harus diberitahu bahwa ulahnya sudah kelewatan.
Menaruh cacing di dalam roti selai kacang sama sekali tidak
lucu. Itu menjijikkan. Todd bergegas menyusuri lorong-lorong dan mengintip ke
setiap ruangan yang dilewatinya. Rasa keasam-asaman cacing tadi
masih melekat di lidah. Dan dia juga masih bisa merasakan tubuh
cacing yang lunak terjepit di antara giginya.
Giginya sampai ngilu. Dan bulu kuduknya berdiri.
Regina, kau takkan bisa lolos! Todd bersumpah dalam hati.
Ketika sampai di ujung lorong, darahnya sudah serasa
mendidih. Dia melewati anak-anak di pintu, membuka pintu, dan
menghambur ke luar. Sinar matahari sore yang menyilaukan
memaksanya menarik topi lebih ke bawah.
Todd mencari-cari adiknya di lapangan bermain.
Beberapa teman sekelasnya sedang bermain sepak bola di
lapangan baseball. Jerry Dawkins dan beberapa anak lain mengajak Todd bergabung.
Tapi Todd cuma melambaikan tangan dan terus berlari. Dia
sedang tidak berminat bermain.
Regina... di mana kau"
Todd menelusuri seluruh lapangan bermain dan tempat parkir
kendaraan para guru sebelum akhirnya menyerah, Dengan lesu dia
kembali ke gedung sekolah.
Perutnya serasa diaduk-aduk.
Dia membayangkan bagaimana potongan cacing yang sudah
sempat ditelan sedang menggeliat-geliut di perutnya.
Anak-anak di sekelilingnya sedang berseru-seru sambil tertawa-
tawa dan bergembira ria. Coba kalau mereka merasakan makan cacing untuk makan
siang, pikir Todd getir. Mereka tidak punya adik yang jahat dan keji, yang
berusaha menghancurkan hidup mereka.
Todd sudah hampir sampai di pintu, melangkah pelan dengan
kepala tertunduk, ketika ia melihat Regina berdiri di pojok bangunan.
Todd langsung berhenti dan memperhatikannya. Regina sedang
berbicara dengan seseorang. Kemudian mereka mulai tertawa.
Sambil merapat ke dinding, Todd maju selangkah demi
selangkah. Dia melihat dua orang bersama Regina.
Beth dan Patrick. Ketiga-tiganya sedang tertawa.
Apa yang begitu lucu"
Darah Todd mulai naik ke kepala. Dia maju sambil mengendap-
endap dan berusaha mendengarkan percakapan mereka. Kedua tangan
dikepalkannya keras-keras.
Todd berhenti dan memasang telinga.
Regina mengatakan sesuatu, namun Todd tidak jelas mendengar
apa yang dikatakannya. Dia kembali maju selangkah. Lalu selangkah lagi.
Dan kemudian dia mendengar Beth tertawa dan berkata, "Jadi
Todd tidak tahu bahwa kau yang melakukannya?"
Patrick terdengar menyahut, "Tidak. Todd tidak tahu apa-apa.
Dia tidak tahu bahwa aku pelakunya."
Chapter 18 TODD terbengong-bengong. Dia merapatkan punggungnya ke
dinding. Patrick" Bagaimana mungkin" Todd bertanya-tanya. Bagaimana
mungkin Patrick yang melakukannya" Mustahil! Kecuali kalau...
Todd tak sanggup lagi menahan diri. Dengan kesal dia
melangkah maju. Kemarahannya sudah sampai di ubun-ubun.
Regina, Beth, dan Patrick menoleh terkejut.
"Jadi kau biang keladinya?" Todd mendamprat Patrick. "Kau yang memberi cacing
pada adikku?" "Hah" Cacing?" Patrick terbengong-bengong. Dia sedang
memegang gulungan kertas tebal di tangannya. Begitu melihat Todd, gulungan itu
langsung disembunyikannya di balik punggung.
"Yeah. Cacing," Todd menegaskan dengan geram. "Kudengar seluruh ceritamu,
Patrick." "Patrick tidak memberikan cacing padaku," Regina angkat bicara. "Kenapa sih kau
ini, Todd" Untuk apa aku perlu cacing?"
"Kau minta cacing darinya!" Todd berkeras. "Kudengar pembicaraan kalian tadi!
Kudengar semuanya!" Ketiga anak itu saling berpandangan dengan bingung.
"Aku sudah bosan dengan cacing," ujar Patrick.
"Semua cacingku sudah kubuang ke pekarangan ayahku."
"Pembohong," Todd menuduhnya sambil menggerutu.
"Dia tidak bohong. Aku membantunya waktu dia membuang
cacing-cacing itu," kata Beth.
"Aku bosan memelihara cacing," Patrick menjelaskan. "Aku sudah punya hobi
baru... gambar komik."
"Hah" Gambar komik?" Todd menatap Patrick dengan curiga.
Regina dan Beth mulai nyengir.
"Yeah. Aku membuat gambar komik," ujar Patrick. "Aku bisa menggambar."
Dia cuma berusaha mengelabuiku, pikir Todd gusar.
"Sudahlah, Patrick, akui saja," gumam Todd. "Kau tidak berbakat bohong. Aku
dengar yang kau katakan tadi, dan..."
Dengan gerakan secepat kilat Todd merampas gulungan kertas
dari tangan Patrick. "Hei... kembalikan!" Patrick hendak merebutnya kembali. Tapi Todd segera
menjauhkannya. "Hah" Gambar komik"!" Todd berseru. Dia mengamati gambar itu dari dekat.
PETUALANGAN TODD SI CACING
Judul itu ditulis dengan huruf-huruf cetak berukuran besar.
Dan gambar pertama menampilkan seekor cacing yang sedang
tersenyum. Seekor cacing dengan rambut cokelat berombak. Dengan
topi Raiders berwarna perak-hitam.
"Todd si Cacing?" Todd membaca dengan lesu. Dia menatap gambar itu seakan-akan
tidak percaya pada penglihatannya.
Regina, Beth, dan Patrick tertawa lagi.
"Itu yang kami tertawakan tadi," Regina memberitahu Todd sambil geleng-geleng
kepala. "Gambar buatan Patrick cukup bagus, bukan?"
Todd tidak menyahut. Sambil merengut dia mengamati gambar
komik itu. Todd si Cacing. Seekor cacing dengan topi Raiders.
Huh, Patrick pikir dia orang paling lucu di dunia, pikir Todd
getir. "Ha-ha, lucu sekali," dia bergumam. Lembaran kertas itu dikembalikannya
kepada Patrick. Bel di sisi bangunan berdering keras di atas kepala mereka.
Todd langsung menutup telinga. Semua anak di lapangan bermain
bergegas ke pintu. Beth dan Regina berlari mendului Todd.
"Jadi bagaimana dengan cacing di sandwich-ku?" serunya sambil mengejar Regina.
Dengan kasar dia menarik pundak adiknya
itu. "Bagaimana dengan cacing tadi?"
"Todd... lepaskan aku!" Regina berkelit untuk membebaskan diri. "Cacing mana"
Kau masih penasaran soal sarapan tadi?"
"Bukan. Ini soal makan siang," Todd berseru dengan kesal.
"Kau tahu apa yang kumaksud, Reggie. Jangan pura-pura."
Regina menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apa-apa, Todd."
Dia berpaling ke pintu. "Sudah deh, Todd. Nanti kita terlambat."
"Kau menaruh cacing di sandwich-ku!" Todd menghardik
sambil memelototi adiknya.
Regina meringis. "Idih! Cacing di dalam sandwich?" Dia membelalakkan mata. "Ih,
jijik!" "Regina..." "Tapi roti itu tidak kaumakan, kan?" tanya Regina sambil menutup mulut dengan
sebelah tangan. "Ehm... tidak. Mana mungkin!" Todd berbohong.
"Uh! Aku jadi mual!" seru Regina. Dia berbalik dan, masih sambil menutup mulut,
berlari masuk ke gedung sekolah.
Todd memperhatikannya pergi. Sepertinya Regina kaget sekali,
Todd berkata dalam hati. Mungkinkah Regina tidak bersalah"
Mungkinkah dia tidak tahu-menahu"
Tapi kalau begitu, kalau bukan Regina pelakunya... berarti..."
Chapter 19 "KAU belum kapok juga berurusan dengan cacing" Untuk apa sih kita harus cari
cacing lagi?" tanya Danny.
Todd menancapkan sekopnya ke tanah lembek di belakang base
kedua. "Aku perlu lebih banyak lagi," gumamnya. Dia menarik seekor cacing
panjang berwarna cokelat. Cacing itu menggeliat-geliut. "Hei, Danny, mana
embernya?" Dengan patuh Danny menggeser ember. Todd menjatuhkan
cacing itu ke dalam ember lalu kembali menggali. "Cacing-cacingku menghilang,"
dia berkata sambil berkonsentrasi pada pekerjaannya.
"Sepertinya mereka melarikan diri. Jadi aku perlu cari tambahan baru."
"Tapi mana mungkin mereka melarikan diri?" Danny
menyanggah. Todd melemparkan seekor cacing pendek gendut ke dalam
ember. Tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh. Todd dan Danny saling
berpandangan. Tanah di belakang base kedua mulai bergetar. Danny
membelalakkan mata dengan ngeri. "Todd... ada gempa lagi?"
Todd memasang telinga sambil memiringkan kepala. Dia
menaruh sekopnya dan menempelkan kedua tangannya ke tanah.
"Tanahnya... tanahnya bergetar sedikit," lapornya.
"Ayo, kita pergi dari sini!" seru Danny. Langsung saja dia bangkit. "Kita harus
memberitahu yang lain."
"Percuma, tak bakal ada yang percaya," balas Todd tanpa beranjak dari tempat.
"Dan lihat, tuh... getarannya cuma di sini.
Lapangan di sebelah sana sama sekali tidak bergerak."
Tanah di bawah kaki mereka berderak-derak. Todd cepat-cepat
berdiri dan menyambar embernya.
"Barangkali lebih baik kalau kita cari tempat lain untuk
menggali cacing," Danny mengusulkan sambil melangkah mundur.
Pandangannya tertuju ke tanah yang bergoyang.
"Tapi ini tempat yang paling baik!" sahut Todd.
"Barangkali ada gua bawah tanah yang ambruk!" seru Danny ketika mereka bergegas
meninggalkan lapangan bermain. "Kaulihat lubang besar dalam siaran berita di TV"
Lubang itu terus bertambah besar, dan beberapa orang jatuh ke dalamnya dan
ditelan bumi." "Jangan bercanda saja!" Todd menegur sahabatnya. "Tanpa gua bawah tanah pun
kepalaku sudah pusing, nih!"
Ketika tiba di sekolah pada hari Jumat, Todd menemukan tiga
ekor cacing di dalam ranselnya. Dengan tenang dia membawa cacing-cacing itu
keluar, dan menaruh semuanya di tanah, di bawah pagar tanaman yang tumbuh di
sepanjang gedung sekolah.
Aku tidak boleh panik, Todd berkata dalam hati. Aku harus
tetap tenang. Cuma cacing, kok. Dan aku suka cacing. Aku kolektor cacing.
Aku ahli cacing. Dia kembali ke gedung sekolah sambil mengerutkan kening.
Kalau aku memang ahli, dia bertanya pada dirinya sendiri,
kenapa aku tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya cacing-cacing itu
mengikutiku ke mana-mana"
Satu jam kemudian, ketika mengeluarkan buku matematikanya,
dia menemukan cacing-cacing panjang berwarna ungu terselip di
antara halaman-halaman buku itu.
Anak-anak yang duduk di dekat Todd juga melihatnya, dan
mereka mulai berseru-seru sambil menunjuk-nunjuk.
"Todd," Mr. Hargrove, guru matematika Todd, berkata dengan tegas. "Saya rasa
kita semua sudah puas melihat cacing-cacingmu di Pameran IPA. Saya tahu kau
menyayangi mereka. Tapi haruskah kau
membawa mereka ke dalam kelas?"
Semuanya tertawa. Telinga Todd terasa panas sekali.
"Itu makan siangnya Todd!" ujar Danny dari belakang.
Tawa teman-teman Todd bertambah keras.
Terima kasih banyak, Danny, pikir Todd sambil mendongkol.
Dia mengambil cacing-cacing itu, membawa semuanya ke jendela,
dan menurunkan mereka ke tanah.
Belakangan, di kantin sekolah, Todd membuka kertas
aluminium yang membungkus sandwich-nya dengan hati-hati sekali.
Lagi-lagi selai kacang. Danny duduk di seberang meja. Dia mencondongkan badan ke
depan dan mengamati roti di tangan Todd.
"Ayo, buka saja," gumamnya.
Todd ragu-ragu. Sandwich itu dipegangnya dengan kedua
tangan. Berapa banyak cacing yang akan ditemukannya kali ini" Dua"
Tiga" Sepuluh" "Ayo, dong," desak Danny. "Apa lagi yang kautunggu?"
Todd menarik napas panjang. Kemudian, perlahan-lahan, dia
membuka rotinya. Chapter 20 "TAK ada cacing!" ujar Todd.
Dia dan Danny menarik napas lega.
Danny kembali duduk dan meraih sisa sandwich-nya.
Todd tidak makan. Sambil merenung dia menatap selai kacang
yang bercampur dengan selai anggur. "Aku bisa gila kalau begini terus," dia
bergumam. "Apa?" tanya Danny sambil mengunyah.
"Tidak apa-apa," sahut Todd. Kepalanya gatal. Dia melepaskan topi untuk
menggaruk-garuk kepala, dan takkan heran seandainya ada cacing di rambutnya.
Tapi ternyata tidak ada. Setiap kali membuka ransel, dia sudah siap menemukan cacing.
Setiap kali makan, dia sudah siap melihat cacing menggeliat-geliut atau melata
atau berenang dalam makanannya.
Dia mulai melihat cacing di mana-mana. Betul-betul di mana-
mana. Malam itu Todd diajak makan malam di rumah Danny. Ibu
sahabatnya itu menghidangkan ayam goreng dan pure kentang.
Kemudian ibu dan ayah Danny berdebat panjang-lebar tentang
kemana mereka harus berlibur, atau apakah lebih baik kalau uangnya disimpan saja
dan dibelikan sofa baru. Danny tampak salah tingkah karena perdebatan orangtuanya
yang telah menjurus ke arah pertengkaran.
Tapi Todd tidak ambil pusing. Dia lega sekali karena bisa
bersantai dan makan dengan tenang, tanpa perlu takut menemukan
cacing panjang berwarna ungu di piring atau gelasnya.
Seusai makan dia dan Danny naik ke kamar Danny dan bermain
video game selama beberapa jam. Danny punya permainan berjudul
Serangan Cacing. Todd langsung menyuruh Danny menyimpannya di
dalam lemari pakaian. Ayah Danny mengantarkan Todd pulang sekitar pukul sepuluh.
Orangtua Todd sudah siap tidur. "Dad dan Mom capek sekali hari ini,"
Mr. Barstow memberitahu Todd. "Kami mau langsung tidur saja.


Goosebumps - Si Raja Cacing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau kau belum mengantuk, kau bisa nonton TV."
Todd memang belum mengantuk. Jadi dia pergi ke ruang baca
dan menyalakan TV, lalu menonton salah satu episode Star Trek yang sudah pernah
ditontonnya. Ketika film itu selesai sekitar pukul sebelas, mata Todd sudah
terasa berat, dan dia menguap lebar. Setelah mematikan semua lampu, dia naik ke
kamarnya. Dia merasa gembira. Dari tadi aku sama sekali tidak
memikirkan urusan cacing, katanya dalam hati.
Dia menanggalkan baju, melemparkan semuanya ke lantai, lalu
mengenakan piama. Angin sejuk menggoyang-goyang gorden di
jendela. Todd melihat bulan sabit yang pucat di langit malam yang gelap.
Setelah mematikan lampu baca di samping tempat tidur, Todd
menyingkap selimut dan naik ke tempat tidur.
Dia menguap lebar dan memejamkan mata. Hmm, besok sudah
hari Sabtu, pikirnya gembira. Tidak usah ke sekolah.
Todd menengkurap dan membenamkan wajahnya ke bantal.
Tiba-tiba dia merasakan sesuatu yang lembap dan hangat
menggelitik pipinya. Lalu ada sesuatu yang bergerak-gerak di bawah dadanya.
"Oh!" Todd langsung mengangkat badan dengan gerakan push-up.
Seekor cacing panjang menempel di mukanya. Todd segera
menyingkirkan binatang itu.
Dia melompat turun dari tempat tidur. Karena gelap, Todd
terpaksa meraba-raba untuk mencari sakelar lampu baca. Akhirnya dia berhasil
menyalakan lampu itu. Todd mengedip-ngedipkan mata karena silau. Kemudian dia
melihat seekor cacing menempel di piamanya. Tiga cacing lain
tergeletak di tempat tidur. Dan dua lagi sedang menggeliat-geliut di atas
bantal. "Oh! Sudah! Sudah!"
Baru beberapa saat kemudian Todd sadar bahwa teriakan-
teriakan melengking itu keluar dari mulutnya sendiri.
"Aku tidak tahan lagi!" pekiknya tanpa sanggup mengendalikan diri.
Dia melepaskan cacing yang menempel pada piamanya dan
melemparkannya ke atas tempat tidur.
"Regina! Regina... jangan macam-macam lagi!" Todd berseru.
Dia langsung berbalik ketika mendengar suara langkah di pintu
kamarnya. "Mom!" Todd meratap. "Mom, lihat, tuh!" Sambil kalang kabut dia menunjuk-nunjuk
bantal dan seprainya. Mrs. Barstow terbengong-bengong.
"Mom... Regina harus dilarang!" Todd memohon. "Mom harus menyuruh dia berhenti!
Coba lihat apa yang dilakukannya! Coba lihat apa yang ditaruhnya di tempat
tidurku!" Mrs. Barstow segera menghampiri Todd dan merangkulnya.
"Tapi Regina tidak ada di rumah, Todd," dia berkata dengan lembut.
"Hah?" Todd menatap ibunya sambil melongo. "Regina menginap di rumah Beth,"
ibunya menjelaskan. "Dia sedang pergi!"
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 21 "BESOK pagi kita bahas kejadian ini sampai tuntas," ujar Mrs.
Barstow. Tangannya masih merangkul pundak Todd. "Barangkali cacing-cacingmu
lolos dari akuarium di bawah."
"Mungkin juga," jawab Todd, meskipun dia sendiri
meragukannya. Pandangan ibunya beralih ke tempat tidur. "Iih. Tolong bawa cacing-cacingmu
kembali ke bawah, Todd. Biar aku mengganti
sepraimu." Dengan patuh Todd mengangkat semua cacing. Dua di antara
mereka telah gepeng. Yang lainnya memberontak dan menggeliat-
geliut. Mereka mau balas dendam, pikir Todd sambil merinding, ketika
membawa binatang-binatang itu ke luar kamar.
Regina benar. Cacing-cacingku mau balas dendam.
Cacing-cacing di tangannya menggelantung lemas ketika Todd
membawa mereka ke ruang bawah tanah. Semuanya dikembalikan ke
dalam akuarium. Kemudian Todd membungkuk dan mengamati tanah
yang lembap. Sebagian besar cacing berada di bawah permukaan tanah. Tapi
ada juga yang sedang merayap di luar.
"Hei, kalian," Todd memanggil mereka. "Hei, kalian bisa mendengarku?"
Belum pernah Todd mengajak cacing-cacingnya bicara. Dan
sekarang pun dia merasa kikuk sekali. Tapi saat ini Todd sudah
kehabisan akal. "Begini, kawan-kawan, aku mau minta maaf," Todd berkata pelan. Dia tidak mau
suaranya sampai terdengar ke atas. Kalau ayah atau ibunya mendengarnya bicara
dengan cacing, mereka pasti
menyangka dia sudah tidak waras.
"Aku mau minta maaf soal kejadian waktu itu," bisiknya.
"Maksudnya, waktu aku membelah teman kalian. Aku janji itu takkan terjadi lagi."
Dia terus membungkuk sambil mengamati permukaan tanah di
dalam akuarium. Sepertinya cacing-cacing itu sama sekali tidak
memperhatikannya. Dua di antara mereka berusaha memanjat dinding kaca. Satu lagi
sedang menggali lubang di tanah.
"Jadi bagaimana kalau kalian berhenti menguntitku ke mana-
mana?" lanjut Todd. "Sebenarnya aku tidak mau membuang kalian.
Aku sudah lama mengumpulkan cacing. Tapi kalau kalian masih terus membuat ulah,
ehm... terpaksa deh, kalian kusingkirkan."
Todd kembali berdiri tegak. Ya ampun, apa-apaan sih aku ini"
dia bertanya dalam hati. Jangan-jangan aku memang sudah gila"
Todd segera memandang berkeliling, seakan-akan takut Regina
dan orangtuanya akan muncul dari balik tungku dan mengolok-
oloknya. Tapi ternyata tidak ada siapa-siapa. Tak ada yang melihatnya
berbicara dengan cacing-cacing. Untung saja!
Dengan langkah gontai Todd kembali ke kamarnya. Dia
bingung dan seperti orang bodoh. Ibunya telah menunggu di selasar.
"Kok lama betul?"
Todd tersipu-sipu tapi tidak mengatakan apa-apa.
Kepalanya dibelai-belai. "Aku tak pernah lagi bisa melihat
rambutmu," ibunya berkata sambil tersenyum. "Habis, kau selalu pakai topi."
"Yeah." Todd menguap.
"Ayo, ganti piama dulu," perintah ibunya. "Nanti badanmu gatal-gatal. Aku akan
menyiapkan air panas untuk mandi."
"Tidak usah. Aku tidak mau mandi," Todd menolak dengan tegas. "Aku terlalu
capek." "Kau tidak mau mandi, padahal kau habis menindih cacing?"
Mrs. Barstow bertanya dengan heran.
"Besok pagi saja. Oke?" Todd memohon.
"Baiklah. Tapi jangan lupa ganti piama. Selamat tidur."
Todd memperhatikan ibunya menuruni tangga. Kemudian dia
masuk ke kamarnya dan berganti baju. Dengan saksama dia
memeriksa tempat tidur, biarpun seprainya baru saja diganti. Lalu dia mengamati
bantalnya. Setelah yakin tidak ada cacing, dia memadamkan lampu dan
naik ke tempat tidur. Sambil berbaring, dia memandang bulan sabit yang tampak di
luar jendela... dan memikirkan cacing-cacingnya.
Regina sedang menginap di rumah Beth... tapi tempat tidur
Todd penuh cacing. Bagaimana mungkin" Bagaimana mungkin binatang-binatang itu bisa masuk ke
ranselnya" Menyelinap ke buku catatannya" Menyusup ke
sarapannya" Ke makan siangnya"
Kamar Todd serasa berputar-putar. Todd mulai pusing. Dia
mulai mengantuk. Mengantuk sekali...
Tapi cacing-cacing itu tetap menimbulkan tanda tanya dalam
dirinya. Semuanya begitu misterius.
Langit malam bertambah gelap. Bulan pun bergerak naik,
sehingga tak lagi kelihatan dari jendela.
Malam sudah larut, pikir Todd, tapi aku belum juga bisa tidur.
Mungkin ada baiknya kalau aku mandi air panas, dia berkata
dalam hati. Dia turun dari tempat tidur. Berendam dalam air hangat selalu
membuatnya tenang. Sambil mengendap-endap dia keluar kamar dan menuju ke
kamar mandi. Dia tidak mau membangunkan orangtuanya. Setelah
masuk ke kamar mandi dan menutup pintu, dia menyalakan lampu,
kemudian membuka keran air dan mengisi bak mandi dengan air
panas. Ketika baknya sudah penuh, Todd membuka piama, lalu masuk
ke air dan duduk pelan-pelan. "Ahhh, nikmatnya," gumamnya sambil berendam
sebatas leher. Rasanya nyaman sekali.
Todd menyandarkan kepala ke tepi bak. Dengan puas dia
memejamkan mata dan tersenyum. Yeah, ini yang kubutuhkan, dia
berkata dalam hati. Bunyi percikan air membuat Todd membuka mata dan menatap
keran air. Apakah dia lupa menutupnya"
Tuh, bunyi itu terdengar lagi.
"Ohh," Todd mengerang tertahan ketika seekor cacing gendut berwarna ungu keluar
dari keran dan jatuh ke air. "Oh. Ya, ampun!"
Sekali lagi terdengar bunyi air memercik.
Satu cacing lagi keluar dari keran air. Lalu dua lagi. Semuanya
langsung tenggelam ke dasar bak, di ujung kaki Todd.
"Hei... Todd menarik kakinya dan duduk tegak. "Ada apa ini"!"
Todd membelalakkan mata ketika cacing-cacing berwarna
cokelat dan ungu berjatuhan dari keran air... tiga, empat ekor
sekaligus. Todd menengadah dan melihat lebih banyak cacing - ada
yang merosot lewat dinding berlapis keramik, ada pula yang jatuh ke air, ke
kakinya, ke pundaknya. "Aduh...!" Kalang kabut Todd berusaha bangkit. Tapi dasar bak telah
penuh cacing yang menggeliat-geliut dan berenang-renang kian
kemari. Todd tergelincir terus.
"Tolong...!" Napasnya terengah-engah ketika akhirnya dia berhasil berlutut.
Dia merasakan cacing-cacing menempel di punggungnya, di
pundaknya. Dia merasakan mereka merayap pada kulitnya yang panas dan basah.
Semakin banyak cacing berjatuhan dari langit-langit dan
menghujani Todd. Dan keran air pun terus memuntahkan cacing.
Bak mandi telah berubah menjadi lautan cacing berwarna
cokelat dan ungu yang bergolak hebat.
"Tolong! Tolong!" Todd berseru-seru.
Cacing-cacing itu mulai menariknya ke bawah air. Mereka naik
ke kepalanya, bergelantungan di pundaknya yang gemetaran.
Seluruh tubuh Todd telah terbungkus cacing. Dan hujan cacing
dari langit-langit belum juga berhenti. Todd semakin terbenam dalam lautan
cacing yang menggeliat-geliut.
Chapter 22 "TOLONG! Tolooong!"
Todd meronta-ronta. Dia berputar-putar, berusaha
membebaskan tangannya. Tapi cacing-cacing itu tidak mau melepaskannya. Mereka
menarik Todd ke dalam air yang cokelat dan berlendir. Seluruh tubuh anak itu
seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Dan semakin banyak
cacing berjatuhan dari langit-langit, merosot di dinding, dan tumpah dari keran
air. "Oh!" Todd berseru kaget ketika berhasil kembali ke posisi duduk. Dia
mengayun-ayunkan tangan, sehingga membuat air di bak bercipratan ke segala arah.
Dia mengedip-ngedipkan mata. Satu kali. Dua kali.
Dan cacing-cacing itu lenyap. Semuanya.
"Hah?" Todd terbengong-bengong ketika menatap bak mandi.
Bayangan lampu di langit-langit tampak jelas pada permukaan air
yang bening. Dengan waswas Todd menggerak-gerakkan jari kakinya.
Kemudian dia mengaduk-aduk air dengan kedua kakinya.
Bening. Bening dan jernih.
"Wow," Todd bergumam sambil geleng-geleng kepala. "Wow."
Cacing-cacing yang menggeliat-geliut tadi masih jelas
terbayang dalam benaknya. Meskipun sedang berendam air panas,
Todd merinding. Dia keluar dari bak mandi, lalu membungkus tubuhnya dengan
handuk besar berwarna hijau. Cuma mimpi. Ternyata semuanya cuma
mimpi. Rupanya dia tertidur di dalam bak mandi dan bermimpi
tentang cacing-cacing. Todd kembali menggigil. Tubuhnya kembali seperti ditusuk-
tusuk. Todd cepat-cepat mengeringkan badannya, membiarkan
handuknya jatuh ke lantai, lalu mengenakan piama. Kemudian ketika dia bergegas
ke kamarnya - karena ingin segera bersembunyi di balik selimut - dia mendapat ide.
Ide untuk memecahkan misteri cacing itu.
Sebenarnya mudah sekali, dia menyadari. Rencanaku ini pasti
berhasil. Todd yakin sekali dia akan mengetahui bagaimana cacing-
cacing itu bisa lolos dari akuarium dan naik dari ruang bawah tanah.
"Yes!" dia berseru tertahan. "Yes!"
Akhirnya, setelah sekian lama terombang-ambing dalam
kebingungan, dia tahu apa yang harus dilakukannya.
Aku terpaksa menunggu sampai malam Minggu, pikirnya
sambil naik ke tempat tidur dan menarik selimut. Tapi setelah itu semuanya akan
beres. Tidak lama kemudian Todd sudah tertidur sambil tersenyum.
**** Sabtu sore Todd dan Danny pergi ke bioskop dan menonton
film komedi mengenai sekelompok makhluk luar angkasa yang
mencoba menjalankan usaha cuci mobil. Tapi karena bingung mereka selalu
melakukan kesalahan, dan akhirnya seluruh planet meledak.
Danny menganggap film itu lucu sekali. Todd menganggapnya
lucu, tapi konyol. Hari Minggunya, Regina pulang dari rumah Beth. Kemudian
Todd sekeluarga pergi keluar kota untuk mengunjungi saudara
mereka. "Sepanjang akhir pekan tidak ada masalah dengan cacing,"
Todd memberitahu Danny melalui telepon pada hari Minggu, seusai
makan malam. "Yeah!" Danny menanggapinya penuh semangat.
"Tak ada satu cacing pun," Todd menegaskan sambil memilin-milin kabel telepon.
"Jadi, bagaimana dengan rencanamu?" tanya Danny.
"Oh, rencanaku jalan terus," balas Todd. "Aku tidak punya pilihan lain. Kurasa
cacing-cacing itu ikut berlibur selama akhir pekan. Tapi besok sudah hari
sekolah lagi. Berarti ranselku, buku-bukuku, dan makan siangku bakal penuh
cacing lagi." "Idih," gumam Danny.
"Aku harus bisa memecahkan teka-teki ini," ujar Todd. "Harus bisa."
"Hmm, semoga berhasil," sahut Danny. "Oke, deh! Sampai ketemu besok pagi. Di
depan kelas Miss Grant, ya" Kalau bisa
datanglah lebih pagi, supaya masih ada waktu untuk menceritakan


Goosebumps - Si Raja Cacing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya." "Oke," kata Todd. "Sampai besok." Dia meletakkan gagang telepon. Todd merasa
gembira, gugup, tidak sabar, dan ngeri
sekaligus. Dia mencoba bermain Nintendo untuk mengisi waktu. Tapi dia
begitu gugup dan selalu salah menekan tombol pengendali, sehingga kalah telak.
Kemudian dia berjalan mondar-mandir di kamarnya, sambil
memperhatikan jarum jam bergeser dari angka ke angka.
Pukul setengah sepuluh dia dan Regina naik ke kamar masing-
masing. Todd berganti baju tidur, memadamkan lampu, lalu
menunggu sambil duduk di tepi tempat tidur.
Dia menunggu orangtuanya masuk ke kamar mereka.
Sekitar pukul sebelas lewat lima belas dia mendengar pintu
kamar mereka menutup. Dia menunggu seperempat jam lagi sambil
duduk dalam kegelapan, dan mendengarkan keheningan mencekam
yang sesekali diselingi bunyi berderak.
Beberapa menit setelah pukul setengah dua belas Todd turun
dari tempat tidur dan keluar kamar sambil mengendap-endap.
Sudah waktunya, dia berkata dalam hati. Perlahan-lahan dia
menyusuri selasar ke arah tangga. Sudah waktunya aku mendapatkan jawaban.
Sudah waktunya misteri cacing ini diusut sampai tuntas.
Chapter 23 TANGGA kayu berderak-derak ketika Todd turun ke ruang
bawah tanah. Tapi Todd tak dapat berbuat apa-apa.
Dia sudah berusaha melangkah tanpa menimbulkan suara. Dia
tidak ingin orangtua atau adiknya tahu bahwa dia masih bangun. Dia berpegangan
pada dinding untuk menjaga keseimbangannya.
Sambil menarik napas dalam-dalam Todd berhenti dan pasang
telinga. Adakah yang mendengarnya"
Hening. Tangga kayu itu cukup curam, tapi Todd tidak berani
menyalakan lampu karena ia tidak ingin terpergok.
Termasuk oleh cacing-cacingnya.
Cahaya bulan masuk melalui jendela kecil di dekat langit-langit
ruang bawah tanah. Todd sengaja menghindari berkas sinar itu dan berjalan di
tempat yang gelap. Jantungnya berdentum-dentum ketika melintasi ruangan. "Oh!"
Dia mengerang tertahan ketika pinggangnya membentur pojok meja
pingpong. Cepat-cepat dia menutup mulutnya dengan sebelah tangan,
sebelum sempat mengaduh lagi.
Pelan-pelan rasa sakitnya mereda. Sambil menggosok-gosok
pinggang, Todd meraih sebuah kursi tinggi dan membawanya ke salah satu tiang
beton yang menopang rumah mereka.
Dengan hati-hati dia menaruh kursi itu. Dia mengintip dari balik tiang, dan
melihat akuarium berisi cacing di atas meja. Dinding
kacanya memantulkan cahaya bulan yang masuk lewat jendela.
Tanpa bersuara Todd menduduki kursinya. Dari balik tiang
beton dia bisa memperhatikan cacing-cacingnya, tapi mereka tidak bisa melihat
dia. Todd memegang tiang beton dengan kedua tangannya, lalu
bergeser-geser sampai mendapatkan posisi yang nyaman. Kemudian
dia melirik ke arah jendela. Cahaya bulan yang masuk menimbulkan bayangan-
bayangan menyeramkan di seluruh ruang bawah tanah.
Todd berusaha mengatur napas.
Jangan tegang, dia berkata dalam hati. Mungkin saja aku harus
menunggu cukup lama. Kalau perlu, aku akan terus duduk di sini dan mengawasi
akuariumku sepanjang malam.
Todd sendiri tidak tahu apa yang dinantikannya. Dia hanya tahu
bahwa akan terjadi sesuatu, sesuatu yang dapat memecahkan misteri cacing.
Todd menatap akuariumnya sambil bersandar pada tiang beton.
Mungkinkah cacing-cacing itu sedang menyusun rencana"
Mungkinkah mereka sedang menentukan siapa di antara mereka yang
akan merayap ke atas dan bersembunyi di dalam barang-barang Todd"
Sekonyong-konyong sebuah kemungkinan lain terbayang dalam
benak Todd. Pandangannya kembali beralih pada jendela di dekat
langit-langit. Dia membayangkan jendela itu membuka. Kemudian
sebuah sosok gelap menyusup ke dalam ruang bawah tanah. Patrick.
Patrick melompat ke lantai ruang bawah tanah lalu melintasi ruangan dan
menghampiri akuarium. Dia membayangkan Patrick mengambil beberapa cacing dari
akuarium, lalu mengendap-endap ke atas. Patrick tersenyum lebar
ketika memasukkan cacing-cacing ke dalam ransel Todd, menyelipkan seekor ke
dalam kotak cornflakes, dan menyembunyikan seekor lagi di sepatu Todd.
Bisa jadi ini semua ulah Patrick, pikir Todd, sambil
mengalihkan perhatiannya kembali kepada cacing-cacing di dalam
akuarium. Kedengarannya memang konyol, tapi masih lebih masuk
akal ketimbang sekelompok cacing yang merencanakan balas
dendam.... Dia menguap sambil menutup mulut dengan sebelah tangan,
agar suaranya tidak terdengar oleh cacing-cacingnya.
Sampai kapan aku harus duduk di sini" dia bertanya-tanya. Bulu
kuduknya berdiri. Suasana di ruang bawah tanah memang cukup
seram. Eh, suara apa itu" Tikus" Todd tidak sempat memikirkannya. Bunyi krak yang keras di
belakangnya membuat Todd membelalakkan mata.
Dia menggenggam tiang beton erat-erat.
Tangga mulai berderak-derak.
Todd mendengar suara langkah. Langkah itu menuruni tangga
dan semakin mendekatinya.
Todd turun dari kursi. Dia merapatkan tubuhnya ke tiang beton
berusaha bersembunyi. Suara langkah itu berhenti di kaki tangga. Todd memandang ke
kegelapan. Siapa itu" Siapa yang turun ke ruang bawah tanah"
Siapa yang menghampiri akuarium"
Siapa" Ebukulawas.blogspot.com Chapter 24 TODD nyaris memekik ketika lampu di langit-langit mendadak menyala. Dia
memerlukan beberapa detik sebelum matanya terbiasa
dengan cahaya neon yang terang.
Kemudian dia melihat sosok yang berdiri di sakelar lampu.
"Dad!" Todd berseru.
Mr. Barstow tersentak kaget. Dia mengenakan jubah mandi
berwarna kuning. Tangannya menggenggam salah satu tongkat
pemukul baseball Todd erat-erat.
"Dad... kenapa Dad ada di sini?" seru Todd dengan suara melengking.
Ayah Todd mengendurkan genggamannya. Dia sampai
melongo ketika melihat ke seberang ruangan. "Kenapa kau ada di sini?" dia balik
bertanya. "Aku... ehm... mengawasi cacing-cacingku," aku Todd.
Mr. Barstow menurunkan pemukul baseball yang dipegangnya.
Kemudian dia mengelilingi meja pingpong dan menghampiri
putranya. "Aku mendengar tangga berderak-derak," ayahnya menjelaskan kepada Todd. "Lalu
ada suara benturan di bawah sini, seperti seseorang menabrak meja pingpong.
Aku... kukira ada maling. Jadi kuambil tongkatmu ini dan turun untuk melihat ada
apa." "Cuma aku, kok, Dad," kata Todd. "Aku penasaran bagaimana cacing-cacingku bisa
lolos dari akuarium dan naik ke atas. Jadi aku bertekad mengawasi mereka
sepanjang malam. Siapa tahu..."
"Cacing-cacing itu bikin kacau saja!" Mr. Barstow berseru dengan jengkel.
"Tapi, Dad..." Todd memprotes.
"Ada apa sih di bawah sana" Kalian tidak apa-apa?" Mrs.
Barstow memanggil dari puncak tangga.
"Tidak ada apa-apa, Sayang," ayah Todd menyahut. "Masalah cacing lagi."
"Lagi-lagi cacing-cacing menjijikkan itu" Ayo, naiklah dan
tidur lagi," Mrs. Barstow memerintahkan. Todd mendengar ibunya kembali ke
kamarnya. "Besok cacing-cacing itu sudah harus keluar dari rumah ini,"
kata Mr. Barstow tegas. "Apa?" Todd berseru. "Dad, jangan..."
"Jangan membantah, Todd. Aku tidak tahu ada apa dengan
cacing-cacingmu," ayahnya berkata sambil mengerutkan kening dan bertolak
pinggang. "Tapi aku takkan membiarkanmu membuat kaget seisi rumah,
berkeliaran di tengah malam buta, dan duduk-duduk dalam gelap
sambil menatap akuarium berisi cacing. Seharusnya kau sedang tidur sekarang."
"Tapi... tapi..." Todd tergagap-gagap.
Mr. Barstow menggelengkan kepala. "Sudah, aku tidak mau
berdebat lagi. Cacing-cacing itu harus keluar dari sini. Besok sore, kaubawa
mereka keluar dan buang semuanya di pekarangan."
"Tapi, Dad..." Mr. Barstow mengangkat sebelah tangan untuk menyuruh Todd
diam. "Aku serius. Di pekarangan. Besok sore. Kau pasti bisa mencari sesuatu
yang lebih patut dikoleksi daripada cacing."
Dia menggenggam pundak Todd dan menggiring putranya ke
tangga. Todd menghela napas namun tidak mengatakan apa-apa lagi.
Dia tahu betul bahwa berdebat dengan ayahnya tak ada gunanya.
Kalau ayahnya sudah mengambil keputusan, dia takkan berubah
pikiran lagi. Todd menaiki tangga sambil membisu. Dia merasa kesal dan
kecewa. Ketika menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menarik selimut,
dia masih menggerutu mengenai hal yang paling mengecewakannya,
yaitu bahwa dia belum berhasil memecahkan misteri itu.
Seluruh rencananya berantakan.
Tadinya dia berharap bisa mengusut semuanya sampai tuntas.
Tapi ternyata dia gagal total.
Dia bukan saja bakal kehilangan semua cacingnya; dia juga
takkan pernah tahu bagaimana cacing-cacing itu bisa menyusup ke
dalam barang-barangnya. Aku tidak peduli pada cacing-cacing konyol itu! Todd berkata
dalam hati. Aku tidak peduli bahwa semuanya harus kubuang!
Yang paling penting bagiku adalah memecahkan misteri ini!
Dengan kesal Todd membalik dan mulai memukul-mukul
bantalnya. Keras-keras. Dengan kedua kepalan tangan. Berulang kali.
Dia tidak sadar bahwa misteri itu akan terungkap dengan
sendirinya - secara kebetulan - dalam waktu beberapa jam saja.
Chapter 25 KEESOKAN paginya hujan turun. Todd tidak menyadarinya
ketika dia berjalan ke sekolah. Pikirannya lebih suram daripada awan badai yang
menggumpal di langit. Dia menggantungkan jaketnya dalam locker dan mengeluarkan
Trapper-Keeper. Ketika memasukkannya ke dalam ransel yang telah
basah karena hujan, dia melihat Danny.
Sesuai rencana Danny menunggu di depan kelas. Dia ingin
segera tahu bagaimana Todd memecahkan misteri cacing-cacingnya.
Hmm, apa boleh buat. Kelihatannya Danny terpaksa ikut
kecewa, pikir Todd muram. Dia meluruskan topi Raiders-nya dan,
sambil memanggul ranselnya yang basah, menyusuri lorong dan
menghampiri sahabatnya. Rambut Danny yang merah juga basah. Karena menempel di
kepalanya, rambutnya lebih mirip helm daripada rambut.
Todd menerobos kerumunan anak yang sedang tertawa-tawa
dan bersenda gurau. Air hujan menetes dari jaket mereka dan
menggenang di lantai. "Nah" Bagaimana hasilnya?" seru Danny penuh semangat
ketika Todd menghampirinya.
Todd sudah membuka mulut untuk menyampaikan kabar buruk
yang dibawanya, tapi tiba-tiba dia berhenti karena mendengar suara yang sangat
dikenalnya. Regina! Di balik belokan selasar, tak terlihat oleh Todd dan Danny,
Regina sedang tertawa-tawa bersama Beth.
"Nah, hari ini, semua cacingnya yang menjijikkan itu harus
dibuang!" Regina sedang memberitahu Beth. "Hebat, kan?"
"Yeah!" Kedua gadis itu tertawa. "Todd memang bodoh!" seru Beth. "Masa sih dia menyangka cacing-cacingnya itu
bisa naik sendiri dari ruang bawah tanah" Masa sih dia percaya bahwa mereka
benar-benar mau balas dendam?"
"Ya. Kelihatannya begitu!" sahut Regina sambil tertawa mengejek.
Danny dan Todd mendengarkan percakapan itu sambil
membelalakkan mata. Kedua-duanya seperti terpaku di tempat. Todd sampai melongo.
Kupingnya terasa panas sekali.
"Jadi hari ini hari terakhir?" ujar Beth. "Kau masih menaruh cacing ke barang-
barangnya hari ini?"
"Cuma dua," balas Regina. "Todd membawa termos berisi sup ayam panas buatan
ibuku, soalnya cuaca hari ini kan jelek betul. Nah, satu cacing kutaruh di dalam
termos itu. Yang satu lagi kumasukkan ke dalam kantong jaketnya. Todd pasti
sudah dalam perjalanan ke
sekolah. Dan mestinya dia sudah memasukkan tangannya ke kantong
jaket dan menemukan kejutanku."
Kedua gadis itu kembali tertawa.
"Dan dia sama sekali tidak mengira bahwa kau yang
menjailinya selama ini?" Beth bertanya kepada Regina.
"Dia memang sempat curiga," sahut Regina. "Tapi aku pandai bersandiwara. Aku
berlagak kaget. Dan semakin lama dia semakin
bingung!" Mereka tertawa lagi. Kemudian Todd mendengar mereka
menjauh. Dia berpaling kepada Danny, yang sedang menatapnya dengan
mata terbelalak. "Ya ampun, Todd... kau dengar itu" Ternyata adikmu biang
keladinya!" "Aku sudah tahu," Todd mengaku. Dia berlagak tidak terkejut.
"Dari pertama aku sudah tahu bahwa Regina pelakunya."
"Terus, apa yang akan kaulakukan sekarang?" desak Danny sambil menatap Todd.
"Aku akan balas dendam, tentu saja," ujar Todd tanpa pikir panjang.
"Balas dendam" Bagaimana caranya?" tanya Danny.
"Aku belum tahu," ujar Todd. "Tapi yang jelas, aku butuh cacing banyak sekali!"
Chapter 26 HUJAN berhenti tidak lama setelah jam makan siang. Awan-
awan gelap menyingkir dan matahari bersinar cerah dari langit yang biru.
Dengan gembira Todd memperhatikan perubahan cuaca itu dari
balik jendela kelasnya. Dia memang mengharapkan sinar matahari.
Ini berarti cacing-cacing akan naik ke permukaan tanah, dia
berkata dalam hati. Belasan, bahkan puluhan cacing.
Dia sudah tak sabar meninggalkan ruangan dan berlari keluar
untuk mengumpulkan cacing sebanyak mungkin. Dia membutuhkan
satu ton cacing untuk membalas ulah adiknya.
Masalahnya, sesaat sebelum bel terakhir berdering, dia dan
Danny terpergok mengadakan perang lem dalam jam pelajaran
kesenian. Miss Travianti, guru kesenian mereka, tentu saja
menghukum mereka. Todd dan Danny disuruh membersihkan semua
kuas yang habis dipakai.

Goosebumps - Si Raja Cacing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru sekitar pukul empat sore Todd mengajak Danny ke tempat
favoritnya untuk mengumpulkan cacing di belakang base kedua.
Lapangan bermain tampak lengang. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua.
Todd dan Danny masing-masing membawa kaleng kosong yang
mereka pinjam dari ruang kesenian. Tanpa berkata apa-apa mereka
membungkuk dan mulai bekerja. Dalam sekejap saja mereka sudah
mendapatkan sejumlah cacing panjang berwarna ungu atau cokelat.
Semuanya dimasukkan ke dalam kaleng-kaleng kosong tadi.
"Berapa banyak yang harus kita kumpulkan?" tanya Danny. Dia sedang mencungkil-
cungkil tanah yang becek dan menemukan seekor
cacing gendut. "Sebanyak mungkin," Todd menegaskan. Dia belum tahu persis bagaimana dia akan
membalas dendam. Tapi yang jelas rencananya
bakal seru sekali dan sepenuhnya menjijikkan.
"Mestinya kau juga membuat perhitungan dengan Beth," Danny menyarankan. Dia
menggali lubang dengan tangannya dan
menemukan tiga cacing besar.
"Yeah. Benar juga," Todd membenarkan. "Mungkin ada baiknya kalau kita simpan
beberapa untuk Beth."
Todd berdiri dan membuka jaket. Meski sudah menjelang senja
matahari masih bersinar dengan cerah. Todd sudah mulai bermandi
keringat. "Hei, coba lihat yang ini!" seru Danny. Dia memperlihatkan cacing pendek
berwarna pink. "Ah, dia masih bayi," ujar Todd. "Tapi masukkan saja ke kaleng. Aku butuh
sebanyak mungkin. Kecil atau besar tak jadi soal."
Todd menemukan cacing yang panjang sekali.
Dengan hati-hati dia menariknya dari tanah, membersihkannya,
lalu memasukkannya ke kaleng. "Habis hujan selalu banyak cacing besar," dia
memberitahu Danny. Tanah bergetar. Mula-mula Todd tidak memperhatikannya.
"Eh, apa itu?" tanya Danny.
"Apa maksudmu?"
Tanah kembali bergetar. Todd mendengar bunyi gemuruh bagaikan guntur di kejauhan.
"Hei...!" Danny berseru kaget. Dia langsung berhenti menggali.
"Memang sering begini," ujar Todd. "Tidak ada apa-apa, kok.
Ayo, kerja lagi." Danny kembali membenamkan tangan dalam lumpur. Tapi dia
segera menarik tangannya ketika tanah kembali bergetar, kali ini lebih keras.
"Hei... kenapa ini?" serunya.
"Aku kan sudah bilang, tidak kenapa-kenapa," Todd berkeras.
Tapi suara berderak yang tiba-tiba terdengar membuat mereka
memekik. Sepertinya seluruh lapangan bermain ikut bergetar. Gemuruh
tadi bertambah keras, bertambah dekat.
Tanah terguncang-guncang. Sekali lagi terdengar bunyi
berderak. Todd hendak berdiri. Tapi guncangannya begitu keras, sehingga
dia jatuh berlutut lagi. Kraaaak. "Oh, ya Tuhan!" seru Danny.
Mereka melihat tanah di antara mereka retak, lalu terbelah.
Kelihatannya seperti luka yang menganga.
Tanah terguncang-guncang dengan hebat. Retakan tadi semakin
lebar. Semakin lebar. Lalu ada sesuatu yang menyembul dari dalam tanah.
Mula-mula Todd menyangka ada batang pohon yang roboh.
Warnanya cokelat seperti batang pohon. Dan bulat memanjang
seperti batang pohon. Tapi benda itu terlalu cepat timbul dari lubang di tengah
lumpur. Bunyi gemuruh semakin keras, sampai memekakkan telinga.
Todd dan Danny membelalakkan mata dengan ngeri ketika mereka
sadar bahwa mereka berhadapan dengan cacing raksasa.
Seekor cacing sebesar batang pohon.
Cacing itu menjulang tinggi sambil menggerak-gerakkan
kepalanya yang besar. Todd memekik ketakutan dan segera membalikkan tubuh untuk
menyelamatkan diri. Tapi kakinya terpeleset di lumpur yang licin. Dia jatuh
berdebam. Dan sebelum dia sempat berdiri lagi cacing raksasa itu telah
melilitnya dan membelitnya dengan keras.
"Ohhh!" Todd berteriak panik.
Pikiran ganjil terlintas dalam benaknya: Ini induk segala cacing.
Dia datang untuk melindungi anak-anaknya.
Pikiran itu disusul pikiran yang lebih gila lagi: Kali ini mereka betul-betul
membalas dendam! Setelah itu Todd tidak sempat berpikir apa-apa lagi.
Sebab cacing raksasa tersebut mengencangkan lilitannya dan
mulai mencekik Todd. Todd hendak ditariknya ke dalam lumpur, ke dalam lubang
yang menganga. Todd berusaha minta tolong.
Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dia tidak
sanggup berteriak. Dia tak sanggup menarik napas.
Cacing raksasa itu seakan-akan hendak meremukkan tubuh
Todd, lalu menariknya ke bawah.
Kemudian sebuah bayangan gelap melintasi Todd. Dan
semuanya berubah menjadi hitam.
Chapter 27 DANNY meraih kaki Todd, berusaha membebaskan sahabatnya
itu. Tapi cacing raksasa itu membelit Todd dengan kencang. Danny
menarik-narik mata kaki Todd. Dia menarik dengan keras.
Namun usahanya sia-sia. Dia tidak berhasil membebaskan
sahabatnya. Dan kini cacing itu kembali masuk ke lubang menganga di
tanah dan Todd ikut terseret bersamanya.
Tiba-tiba mereka tertimpa sebuah bayangan. "Hah?" Danny memekik kaget.
Langsung saja dia menoleh untuk melihat dari mana asal
bayangan tersebut. Dia melihat seekor burung raksasa melintasi lapangan rumput.
"Hei!" dia berseru sambil kalang kabut. "Regina! Beth!"
Kedua gadis itu sedang menggotong patung burung dari bubur
kertas yang hendak mereka bawa pulang dari sekolah. Danny tidak
bisa melihat wajah keduanya karena mereka berada di balik burung raksasa itu.
"Regina! Tolong!"
Dan kemudian bayangan burung itu mengenai Danny dan Todd.
Cacing raksasa tadi langsung menegakkan badan. Dan mulai
gemetaran. Apakah dia melihat bayangan burung" Serta-merta cacing itu
melepaskan Todd dari lilitannya.
Todd tergeletak di tengah lumpur. Dan cacing yang gemetaran
itu cepat-cepat masuk ke dalam tanah. Dalam sekejap saja binatang itu sudah
menghilang di dalam lumpur.
Todd langsung kabur sambil merangkak. Napas nya terengah-
engah. Cacing itu mengira Christopher Robin burung sungguhan! Todd
menyadari. Dia menoleh ke belakang tapi cacing tadi sudah tak kelihatan.
"Regina! Beth!" Todd dan Danny memanggil berbarengan.
Kedua gadis itu menurunkan burung mereka. "Ada apa" Sedang
apa kalian di sini?" tanya Regina, sambil mengintip dari balik burung raksasa.
"Kalian melihatnya?" Todd berseru sambil tersengal-sengal.
"Kalian lihat cacingnya?"
"Cacingmya besar sekali!" Danny menambahkan.
Dia membantu Todd berdiri. "Sebesar rumah!"
"Ha-ha," Beth berkomentar dengan sinis. "Kalian pikir kami ini bodoh?"
"Kami tidak percaya kalian menangkap cacing raksasa!" Regina menimpali sambil
menggelengkan kepala. "Kalian tidak melihatnya?" Todd berseru dengan nada memelas.
"Kalian betul-betul tidak melihatnya?"
"Kami tidak mengada-ada!" seru Danny gusar. "Cacing itu melilit Todd tadi.
Cacingnya besar, cokelat, dan berlendir! Dia mau menarik Todd ke dalam tanah."
"Huh, yang benar saja," Beth menanggapinya sambil
mendengus. "Sana, makanlah cacing kalian," ujar Regina. Mereka kembali menggotong
Christopher Robin, bergegas menuju ke jalanan.
Todd memperhatikan bayangan burung itu melintasi rumput.
Bayangan yang telah menyelamatkan nyawanya.
Kemudian dia berpaling kepada Danny dan mengangkat bahu.
"Ayo, deh, kita pulang saja," katanya pelan. "Aku sendiri juga takkan percaya
cerita seperti ini."
Sore itu Todd membuang semua cacingnya di pekarangan
belakang. Dia telah memberitahu semua orang bahwa dia tidak mau
berurusan lagi dengan binatang-binatang itu.
Ketika Danny main ke rumah Todd beberapa minggu kemudian
dia menemukan Todd di ruang bawah tanah. Todd sedang asyik
dengan hobinya yang baru. "Sedang apa kau?" tanya Danny.
Pandangan Todd tidak beralih dari makhluk yang sedang
mengepak-ngepakkan sayap di dalam stoples di meja kerjanya. "Aku mau membius
kupu-kupu ini," dia memberitahu sahabatnya.
"Hah" Apa maksudmu?" tanya Danny.
"Aku mencelupkan kapas ke dalam kloroform, dan kapasnya
kumasukkan ke dalam stoples. Sebentar lagi kupu-kupu ini akan mati.
Lihat saja." Tidak lama kemudian kupu-kupu bersayap emas dan hitam itu
berhenti mengepak-ngepak. Todd membuka stoples lalu
mengeluarkan kupu-kupu itu dengan menggunakan pinset panjang.
Dia merentangkan sayapnya dan menancapkan jarum panjang ke
badan serangga itu. "Jadi sekarang kau mengumpulkan kupu-kupu?" tanya Danny heran.
Todd mengangguk. "Kupu-kupu begitu lembut, begitu indah,"
dia menyahut sambil berkonsentrasi pada pekerjaannya.
"Todd sudah berubah," ujar Regina yang baru muncul di kaki tangga. "Sekarang dia
suka hal-hal yang lembut dan indah."
"Sini deh, Danny," Todd mengajak sahabatnya. "Kau sudah lihat kupu-kupuku yang
paling bagus" Ini dia, kupu-kupu Monarch.
Bagus sekali, kan?" **** Semua orang merasa senang karena Todd telah memiliki hobi
yang baru. Terutama Regina. Tak ada lagi lelucon-lelucon konyol di rumah
keluarga Barstow. Lalu, suatu malam, Todd menoleh dari meja kerjanya... dan
berseru ngeri ketika melihat makhluk besar itu terbang ke arahnya.
Seekor kupu-kupu raksasa.
Sebesar seprai! Kupu-kupu itu membawa jarum berukuran raksasa.
"Hei," seru Todd waswas. "Kau ini mau apaaa...?" END
Ebukulawas.blogspot.com Geger Topeng Sang Pendekar 3 Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu Senopati Pamungkas I 10
^