Pencarian

Geger Topeng Sang Pendekar 3

Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Bagian 3


hendak memperkosanya"!"
"Siapa menuduh"! Kau memang melakukan-
nya!" Dewi Seribu Bunga sudah menyahut.
"Kau dengar, Kek"!" tanya Joko dengan tertawa pendek.
"Kau akan heran berlipat-lipat, Kek! Karena
aku yakin benar jika baru kali ini bertemu dengannya.
Tapi dia mengatakan aku...."
"Mataku tidak buta!" tukas Dewi Seribu Bunga.
"Aku tak mungkin salah menyangka orang lain sebagai dirimu! Lagi pula apa
untungnya bagiku mengada-ada
kalau kau sudah tahu bahwa kepergianku semata-
mata mencarimu"!" Mungkin karena tidak tahan, kembali Dewi Seribu Bunga
perdengarkan isakan.
Murid Pendeta Sinting terdiam mendengar uca-
pan Dewi Seribu Bunga. Sementara Datuk Wahing
tampak mendengarkan dengan seksama.
"Mendengar ucapan-ucapan kalian, meski uru-
san ini tampak pelik, tapi aku tidak merasa heran sa-ma sekali...," ujar Datuk
Wahing. "Dalam hal ini yang pasti ada satu kemungkinan. Yaitu, ada orang yang
melakonkan sebagai dirimu tapi bukan kau, Anak Mu-
da! Dan yang lebih pasti lagi, orang itu punya maksud
tertentu yang justru di sini aku mulai heran. Apa mak-sudnya..."!"
Mendengar ucapan Datuk Wahing membuat
murid Pendeta Sinting teringat kembali akan keterangan Kiai Laras yang
mengatakan pernah melihatnya
bersama seorang gadis cantik di kedai. Padahal dia tidak pernah bertemu dengan
gadis di kedai.
"Ah.... Rasanya ucapanmu ada benarnya,
Kek...!" kata Joko pada akhirnya.
Sementara itu mendengar kata-kata Datuk
Wahing dan murid Pendeta Sinting, Dewi Seribu Bunga menyahut. "Kek! Aku tidak
sekali dua kali bertemu dengannya! Aku mengenal betul siapa dia! Dan yang
kutemui di kedai serta hendak melakukan perbuatan
terkutuk itu memang dia orangnya!"
"Aku tidak mengatakan kau salah, Anak Can-
tik! Tapi adalah mengherankan kalau aku mengatakan
kau benar!" Datuk Wahing berpaling pada murid Pendeta Sinting. "Anak muda,
kudengar kau tadi sebut-sebut seorang nenek begitu keluar dari kedai! Urusan ini
akan jadi terang kalau kau bisa menemukan nenek itu dan membawanya pada gadis
cantik itu!"
"Orang bisa saja bersekongkol!" Dewi Seribu Bunga menimpali. "Karana siapa tahu
nenek itu adalah sahabatnya yang ingin melindungi"! Kalau memang ingin sakai,
dan orang itu pasti tidak bisa diajak bersekongkol aku tahu orangnya!"
"Siapa"!" tanya Pendekar 131 dengan suara agak keras karena jengkel melihat Dewi
Seribu Bunga masih juga tidak mau menerima apa yang dikatakan
Datuk Wahing. "Si orang tua pemilik kedai!" jawab Dewi Seribu Bunga tak kalah kerasnya.
"Sekarang katakanlah aku memang salah melihat orang, tapi apa mungkin orang
tua pemilik kedai itu juga salah melihat orang"! Dia tahu bahwa kaulah orang
yang balik lagi setelah membawa pergi si nenek! Kau datang lagi untuk mengambil
imbalan yang dijanjikannya! Apa mungkin orang itu
mau memberikan imbalan pada orang lain"!"
Mendengar ucapan Dewi Seribu Bunga, murid
Pendeta Sinting jadi terdiam. Sementara melihat orang seperti terpojok, Dewi
Seribu Bunga lanjutkan ucapannya.
"Bagi orang tua pemilik kedai, memberi imbalan bukanlah sesuatu yang enak. Jadi
tak mungkin orang
tua itu gegabah memberikan imbalan pada orang yang
tidak pantas diberi! Bukankah begitu, Kek..."!"
"Orang akan heran kalau aku mengatakan kau
salah, Anak Cantik! Tapi orang akan lebih heran jika aku mengatakan kau benar!"
"Kau bisa katakan di mana salah dan benar-
nya"!" tanya Dewi Seribu Bunga.
"Aku bisa mengatakannya!" Tiba-tiba satu suara menyeruak. Bukan dari mulut Joko
atau Datuk Wahing. Pendekar 131 cepat berpaling ke arah sumber
suara yang baru terdengar. Sementara Datuk Wahing
tarik kepalanya ke belakang. Di lain saat orang tua ini telah perdengarkan
bersin tiga kali berturut-turut. Di seberang depan, Dewi Seribu Bunga kernyitkan
dahi lalu perlahan-lahan gerakkan kepala dengan mata
mementang. * * * SEMBILAN MEMANDANG ke samping kanan, Dewi Seribu
Bunga melihat seorang nenek berambut putih dike-
pang dua yang pada ujungnya diberi pita. Rambut de-
pannya diponi dan digersikan menutup keningnya. Pipi dan bibirnya dipoles merah.
Nenek ini mengenakan ba-ju warna merah tanpa lengan dan amat cingkrang,
hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara pa-
kaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut.
Nenek ini berkulit gelap, hingga polesan merah di pipi dan bibirnya membuat
wajahnya tidak bertambah cantik, melainkan terlihat makin angker! Dia adalah
Dayang Sepuh! Kalau semula murid Pendeta Sinting berusaha
pisahkan diri dan berlari jauh-jauh dari Dayang Se-
puh, apalagi setelah mendengar keterangan dari Kiai Laras tentang siapa adanya
Dayang Sepuh, kini keinginan semula murid Pendeta Sinting seakan lenyap.
Bahkan dia merasa lega melihat kemunculan si nenek
di tempat itu. Di lain pihak, meski belum pernah bertemu, namun Dewi Seribu
Bunga sepertinya sudah bi-
sa menduga siapa adanya nenek yang tiba-tiba mun-
cul. "Nek...! Kebetulan kau datang. Harap kau mau
jelaskan semuanya pada gadis itu!" kata Joko lalu melangkah hendak mendekat.
Tapi gerakan langkah murid Pendeta Sinting
tertahan tatkala mendadak si nenek pentangkan mata
dengan kedua tangan berkacak pinggang. Walau mu-
lutnya terkancing rapat, dari sikapnya jelas kalau
orang ini sedang marah.
"Ada apa dengan nenek ini"! Apa dia marah ka-
rena ku tinggalkan"!" Joko membatin. Lalu berkata.
"Nek.... Bukan maksudku meninggalkan mu. Aku...."
"Jangan banyak mulut!" hardik Dayang Sepuh.
"Kau lupa apa yang pernah kukatakan, hah"!"
"Nek! Aku selalu ingat apa yang pernah kau ka-
takan! Tapi yang kau maksud yang mana"!"
Dayang Sepuh tidak segera menjawab. Dia
pandang sejenak Datuk Wahing yang gerak-gerakkan
kepalanya pulang balik ke depan ke belakang. Lalu
melirik pada Dewi Seribu Bunga. Saat lain nenek ini telah arahkan pandang
matanya pada Joko. Lalu berkata dengan suara tetap keras.
"Kau mengatakan selalu ingat. Tapi kau tanya
yang mana!"
"Brusss! Brusss! Brusss!"
"Harap tidak heran, sahabatku Dayang Sepuh!"
Datuk Wahing buka suara. "Anak muda ini sedang kalut! Hingga tak heran jika dia
mengatakan ingat tapi masih bertanya...."
"Itu berarti tak ada bedanya dengan lupa!" sahut Dayang Sepuh. "Nek...."
"Diam!" bentak Dayang Sepuh sebelum Joko
lanjutkan ucapannya. Tapi Joko tidak hiraukan bentakan si nenek, dia kembali
buka suara. "Nek...!"
"Kau buka suara lagi, berarti urusanmu ini ti-
dak akan selesai!" Dayang Sepuh sudah menukas
kembali sebelum murid Pendeta Sinting lanjutkan
ucapannya. Pendekar 131 tegak dengan mulut terkancing.
"Apa kemauan orang tua menor ini sebenarnya"! Dia seolah tidak memberi ku
kesempatan untuk bicara...."
Joko tengadahkan kepala. Sekonyong-konyong murid
Pendeta Sinting tertawa. Lalu tepuk jidatnya sendiri.
"Aku tahu.... Aku tahu sekarang...," gumamnya seraya senyum-senyum.
"Apa yang lucu"! Kau kira aku tertarik dengan
senyum itu, hah"!" Dayang Sepuh membentak.
"Bibi Cantik...," ujar Joko dengan sikap menjura hormat. "Sekarang aku ingat apa
yang pernah kau katakan! Harap maafkan kealpaan ku tadi...."
Mendengar murid Pendeta Sinting memanggil
dengan Bibi Cantik, mendadak sikap Dayang Sepuh
berubah. Perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan
dari pinggang. Bibirnya sunggingkan senyum. Sepa-
sang matanya melirik pada Dewi Seribu Bunga yang
masih terheran-heran dengan sikap si nenek. Rona wajah si nenek yang tadinya
angker perlahan-lahan me-
rona merah, meski hal itu membuat paras kulit wajahnya makin gelap!
"Brusss! Brusss!"
"Heran. Bagaimana bisa begini"!" gumam Datuk Wahing dengan mata setengah
terpejam pandangi
Dayang Sepuh. Dayang Sepuh ambil kepangan rambutnya. Se-
raya bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata dengan wajah dihadapkan pada Datuk
Wahing. "Sahabatku, Datuk Wahing. Harap tidak terlalu heran dengan apa
yang baru saja terjadi! Itu hanya sebuah hal yang tak perlu banyak
dipersoalkan...."
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh hadapkan
wajahnya pada Dewi Seribu Bunga.
"Anak gadis! Kau hanya akan memperoleh ja-
waban membingungkan kalau ajukan tanya pada sa-
habatku kakek yang suka bersin itu! Sebagai wakilnya, aku akan jawab semua
pertanyaanmu...."
"Aku tak akan bertanya pada orang yang belum
ku kenal!" Dewi Seribu Bunga berkata dengan suara
agak ketus. "Aku.... Hem.... Yang Ingin kau ketahui gelar
atau namaku"!" tanya Dayang Sepuh.
"Keduanya!" jawab Dewi Seribu Bunga.
Murid Pendeta Sinting sudah jengkel melihat
sikap dan jawaban ketus Dewi Seribu Bunga. Namun
melihat isyarat yang diberikan si nenek, murid Pendeta Sinting jadi urungkan
niat untuk buka suara menegur.
"Anak gadis.... Gelaranku Dayang Sepuh. Nama
ku Dayang Sepuh!" kata Dayang Sepuh. "Ingin tahu juga tempat tinggalku?"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini
coba menahan geram dan rasa geli ingin tertawa. Setelah dapat kuasai diri, dia
bertanya. "Apa benar kau bertemu dengan pemuda itu di
kedai"!" Dayang Sepuh tertawa dahulu sebelum berkata. "Kau tadi mengatakan tak
akan bertanya pada orang yang belum kau kenal. Sekarang bagaimana
mungkin aku akan jawab pertanyaan orang yang be-
lum ku tahu siapa namanya dan di mana alamatnya"!"
"Aku Dewi Seribu Bunga!" Dewi Seribu Bunga langsung berkata.
"Itu gelar atau nama asli"!" tanya Dayang Sepuh. "Kau bisa tebak sendiri!" jawab
Dewi Seribu Bunga. "Aku menebak itu tadi nama aslimu! Sekarang boleh tahu
gelarmu"!"
Dewi Seribu Bunga tidak menyahut. Hanya wa-
jahnya mulai berubah merah padam. Dayang Sepuh
gelengkan kepala. Lalu buka suara lagi. "Tak apa kau tak mau sebutkan gelarmu.
Sekarang boleh tahu di
mana alamat mu"!"
"Nek! Kalau kau terus bercanda, kusarankan
untuk segera angkat kaki dari sini!" bentak Dewi Seribu Bunga sudah tidak kuasa
lagi menahan rasa jeng-
kel. Dayang Sepuh tidak tunjukkan wajah marah.
Malah nenek itu tersenyum-senyum. Bahkan sesekali
matanya mengerling pada murid Pendeta Sinting yang
melihat dengan kepala menggeleng-geleng.
"Baik. Tak apa kau tidak mau sebutkan alamat.
Sekarang apa yang perlu kau tanyakan..."!"
Meski makin jengkel, namun akhirnya Dewi Se-
ribu Bunga berkata juga. "Apa benar kau bertemu dengan pemuda itu di kedai"!"
"Menurut pengakuannya bagaimana"!" Dayang Sepuh bukannya menjawab melainkan
balik bertanya.
"Dia mengatakan bertemu kau di kedai itu!" ka-ta Dewi Seribu Bunga.
"Betul!" sahut Dayang Sepuh sambil mainkan kepangan rambutnya, sementara tangan
satunya menata poni di depan keningnya.
Dewi Seribu Bunga pandangi si nenek dengan
seksama. Lalu bertanya lagi.
"Apa benar setelah keluar dari kedai pemuda
itu tidak balik lagi"!"
Dayang Sepuh berpaling dahulu pada murid
Pendeta Sinting. Dada Pendekar 131 jadi waswas.
"Urusan ini akan makin runyam kalau nenek menor ini menjawab dengan bercanda....
Apalagi sampai memutar balik kenyataan...."
Dayang Sepuh tidak berkata apa-apa pada mu-
rid Pendeta Sinting. Dia hanya memandang sekilas lalu palingkan kepala lagi
menghadap Dewi Seribu Bunga
dengan buka suara. "Bagaimana yang dikatakan pemuda itu padamu"!"
"Dia mengatakan tidak kembali lagi ke kedai!"
jawab Dewi Seribu Bunga.
"Hem.... itu juga betul!"
Dewi Seribu Bunga kerutkan dahi. Sementara
Joko mengambil napas lega. Malah saat itu juga dia
menyahut ucapan Dayang Sepuh. "Setelah itu kita pergi ke sendang. Bukankah
begitu, Bibi..."!"
"Aku belum memberimu kesempatan untuk
bertanya!" kata Dayang Sepuh dengan mata mendelik ke arah murid Pendeta Sinting.
Karena tidak habis pikir dengan jawaban
Dayang Sepuh yang dikiranya mustahil, Dewi Seribu
Bunga akhirnya bertanya. "Nek! Kau tidak berdusta"!"
"Menurutmu bagaimana"!" Dayang Sepuh balik bertanya.
"Kau bersekongkol dengannya untuk menutupi
perbuatannya!"
"Hem.... itu baru tidak betul!"
"Bagaimana ini"!" gumam Dewi Seribu Bunga tampak bingung.
"Kau bertanya padaku"!" tanya Dayang Sepuh.
Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak menjawab.
Dayang Sepuh seolah tidak pedulikan kebingungan
orang, dia kembali buka suara bertanya.
"Masih ada lagi yang hendak kau tanyakan,
Anak Gadis"!"
"Bruss! Bruss!" Terdengar bersinan. Lalu Datuk Wahing sudah berkata.
"Dia tidak bertanya lagi. Tapi aku sekarang
yang heran. Herannya, lalu siapa pemuda yang menu-
rut gadis itu adalah Anak Muda itu"!"
"Sahabatku! Kali ini rasanya bukan kau saja
yang harus heran. Aku pun jadi merasa aneh dan ya-


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kin ada yang tak betul dalam urusan ini!" ujar Dayang
Sepuh. Lalu berpaling pada Dewi Seribu Bunga sambil bertanya. "Apa kau juga
merasakan demikian, Anak Gadis"!"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Dia me-
mandang pada Dayang Sepuh, lalu beralih pada Datuk
Wahing. Terakhir dia arahkan pandangannya pada
murid Pendeta Sinting. Agak lama Dewi Seribu Bunga
pandangi sosok Pendekar 131. Dan tanpa berkata apa-
apa lagi, gadis berparas cantik ini balikkan tubuh lalu tinggalkan tempat itu.
"Dewi! Tunggu!" seru Joko seraya berkelebat mengejar. Namun Dayang Sepuh telah
melompat dan memotong gerakan murid Pendeta Sinting sambil ber-
kata. "Urusanmu dengan gadis itu telah selesai. Sekarang kita selesaikan urusan
kita, Cucu!"
"Kita tidak punya urusan, Nek! Eh.... Bibi!"
"Hem.... Setelah urusan dengan gadis cantik selesai, kau mengatakan tidak ada
urusan denganku!
Enak betul bicaramu!"
"Bibi.... Setelah berpisah denganmu, aku ber-
hasil menemukan kakekku yang kuceritakan tidak pu-
lang itu! Kini kakekku sudah pulang. Bukankah den-
gan demikian urusan kita selesai"!" kata Joko berbo-hong karena sebenarnya dia
ingin segera mengejar
Dewi Seribu Bunga. "Hem... Begitu" Jadi kau benar-benar sudah
merasa tidak punya urusan lagi denganku"!"
"Begitulah, Bibi.... Dan aku hanya bisa mengu-
capkan terima kasih atas keteranganmu tadi! Sekarang aku harus segera pergi...."
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting
berkelebat tinggalkan tempat itu. Dayang Sepuh pan-
dangi kelebatan sosok Pendekar 131 dengan bibir
sunggingkan senyum. Lalu sekali gerakkan kaki, sosok si nenek pun melesat pergi.
"Bruss! Bruss! Brusss!"
"Heran. Tidak seorang pun dari mereka yang
berpamitan padaku! Apa dikira aku ini orang tua yang mengherankan"!" gumam Datuk
Wahing. Lalu tertawa gelak-gelak! Namun laksana direnggut setan, gelakan tawanya
terputus. Yang terdengar kini adalah suara bersinan tak putus-putus. Hebatnya,
suara bersinan itu laksana pantul memantul dari satu sudut ke sudut lain di delapan penjuru
mata angin, padahal sosok Datuk Wahing sudah melangkah jauh dari tempat itu!
Bahkan dia sendiri sudah tidak perdengarkan bersi-
nan! * * * SEPULUH KITA tinggalkan dahulu Pendekar 131 yang
berkelebat mengejar Dewi Seribu Bunga. Juga Dayang
Sepuh serta Datuk Wahing. Kita kembali sejenak pada Setan Liang Makam. Seperti
diketahui, pada waktu
yang ditentukan, Maladewa yang terpendam dalam
makam batu berhasil keluar dengan bantuan seorang
pemuda. Namun keluarnya Maladewa harus ditebus
dengan beralihnya senjata dahsyat yang dikenal den-
gan nama Kembang Darah Setan ke tangan si pemuda.
Maladewa yang begitu keluar dari makam batu meng-
gelari dirinya dengan Setan Liang Makam berusaha
mencari jejak si pemuda. Dia sempat bertemu dengan
Kiai Laras. Dari orang tua ini pula Setan Liang Makam tahu banyak tentang siapa
adanya Pendekar 131 serta Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Kembang Darah Setan").
Setan Liang Makam berkelebat laksana angin.
Dalam beberapa saat saja sosoknya yang hanya tinggal kerangka tanpa daging itu
sudah mencapai sebuah
kawasan hutan belantara.
Begitu memasuki kawasan hutan, Setan Liang
Makam hentikan kelebatannya. Lalu tegak dengan ke-
pala berpaling ke samping kanan kiri. Saat lain kembali dia melesat dan tahu-
tahu sosoknya telah bergerak di antara jajaran pohon dan semak di dalam hutan.
Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan
langkah. Memandang ke depan tampak tanah yang ti-
dak ditumbuhi pohon maupun semak. Tanah itu
hanya lima tombak berkeliling. Di tengah tanah itu
tampak berdiri sebuah gubuk reot yang pintunya ter-
tutup. Tidak terdengar suara. Tidak pula terlihat
adanya gerakan orang di dalam gubuk.
Setan Liang Makam pentangkan mata meman-
dang pada gubuk. Cuma sesaat. Kejap lain tulang mu-
lutnya bergerak membuka.
"Dadaka! Aku tahu kau ada di dalam! Kau pun
tahu aku datang! Mengapa tidak cepat keluar me-
nyambut ku"!"
Belum habis seruan Setan Liang Makam, pintu
gubuk berderit membuka. Saat yang sama satu bayan-
gan putih melesat keluar. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak hanya sejarak
lima langkah di hadapan Setan Liang Makam. Orang ini ternyata seorang laki-laki
berusia lanjut. Rambutnya putih sepinggang dan tampak kumal awut-awutan.
Sepasang matanya besar ter-
puruk masuk dalam rongga yang amat dalam. Kumis
dan jambangnya juga putih lebat dan merangas tak te-rawat. Meski orang yang baru
muncul bertampang
angker, namun orang ini sempat unjukkan rasa kaget
saat melihat sosok orang di hadapannya.
"Selama malang melintang, baru hari ini aku
melihat manusia yang tampangnya begini rupa! Setan
dari mana ini"! Anehnya dia tahu siapa aku! Berarti aku pernah mengenalnya! Tapi
rasanya aku tak pernah bertemu dengan setan ini!" Diam-diam orang yang tadi di
panggil Dadaka oleh Setan Liang Makam membatin. Namun karena tak mau orang tahu
rasa kaget- nya, Dadaka cepat alihkan pandangan. Lalu berkata.
"Kau sebut namaku dengan benar! Berarti kau
memang datang untuk menemuiku! Katakan siapa kau
dan apa perlumu!"
Sambil berkata sepasang mata Dadaka me-
mandang dan melirik berkeliling. "Dia datang sendirian...," bisik Dadaka dalam
hati. Setan Liang Makam dongakkan kepala. "Tak
usah khawatir, Dadaka! Aku datang tanpa pasukan!"
kata Setan Liang Makam seakan bisa menangkap apa
yang ada dalam benak orang. "Dan kau tak usah heran bila aku tahu siapa kau!"
Setan Liang Makam tertawa bergelak.
"Lihat baik-baik, Dadaka! Siapa yang saat ini
berdiri di hadapanmu!" Setan Liang Makam telah berucap kembali setelah sejenak
puaskan tertawa.
Dadaka tidak gerakkan kepala memandang pa-
da Setan Liang Makam. Bibirnya menyeringai. Lalu
berkata. "Aku tak biasa lihat tampang orang yang da-
tang untuk cari mampus!"
"Hem.... Begitu"! Bagaimana kau bisa mengata-
kan begitu jika tidak dapat membuatku mampus pada
tiga puluh enam tahun yang lalu"!"
"Aku tak pernah meninggalkan urusan dengan
masih sisakan nyawa pada orang! Jadi Jangan menga-
da-ada!" ujar Dadaka sambil tertawa pendek.
"Kau terlalu membual, Dadaka! Buktinya kau
lihat sendiri! Aku masih bernyawa! Bahkan akan ganti mengambil selembar
nyawamu!" Sesaat Dadaka terdiam seolah berpikir. Setan
Liang Makam tertawa bergelak-gelak. Lalu berkata lagi.
"Agar kau tak penasaran, aku akan membuat
ingatanmu segar! Kau masih ingat dengan manusia
bernama Kigali"!"
Dadaka tidak menyahut. Setan Liang Makam
tak peduli karena dia tahu, Dadaka pasti ingat siapa adanya Kigali. "Buka
telingamu lebar-lebar, Dadaka!
Kau masih ingat persekongkolan dengan Kigali untuk
membunuh seorang di Kampung Setan"!"
"Maladewa!" desis Dadaka. Laksana disentak setan kepalanya langsung berpaling ke
arah Setan Liang Makam. "Salah! Aku Setan Liang Makam!" ujar Setan Liang Makam. "Maladewa telah terkubur
tiga puluh enam tahun silam di Kampung Setan! Yang muncul
dan sekarang di hadapanmu adalah Setan Liang Ma-
kam!" "Apakah manusia setan ini benar-benar perwu-judan dari Maladewa"!
Bagaimana bisa dia keluar dan masih hidup"! Aku tidak percaya!"
Dadaka tersenyum dingin. "Kalau kau benar-
benar manusia di Kampung Setan, keluarkan tanda
yang kau miliki!"
"Setan Liang Makam tidak usah tunjukkan
tanda kalau hanya ingin cabut nyawamu!"
"Berarti kau bukan manusia dari Kampung Se-
tan!" "Terserah kau mau bilang apa! Yang jelas aku muncul dari Kampung Setan dan
datang untuk men-jemput nyawamu!"
"Hem.... Kalau kau benar-benar Maladewa, apa
kau kira bisa cabut nyawaku tanpa Kembang Darah
Setan"!"
"Kembang Darah Setan memang lolos dari tan-
ganku, Dadaka! Tapi jangan lupa.... Aku bisa bertahan selama tiga puluh enam
tahun di ruangan celaka itu!
Apakah hal itu tidak membuatmu yakin kalau aku
mampu membedol nyawamu tanpa Kembang Darah
Setan"!"
Sosok Dadaka tampak bergetar. Bukan karena
ucapan Setan Liang Makam, melainkan diam-diam
orang ini telah kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Meski dia masih belum percaya penuh dengan ucapan
Setan Liang Makam, namun dia sudah merasa mak-
lum, siapa pun adanya orang yang dihadapi saat ini
bukan orang berilmu rendah. Dalam keadaan yang
tinggal tulang-belulang tanpa daging, bukan saja
mampu dan dapat menemuinya, namun juga berani
keluarkan ancaman! Padahal kalangan dunia persila-
tan telah mengenal siapa adanya Dadaka!
"Dadaka!" kata Setan Liang Makam. "Membetot selembar nyawamu bukan pekerjaan
sulit bagiku! Tapi aku masih mau berbaik hati! Katakan padaku di mana
si jahanam Kigali! Maka nyawamu akan selamat!"
"Hem.... Apa dikira aku manusia bodoh" Apa
pikirnya aku tak tahu apa yang ada dalam benaknya"!"
Dadaka membatin dan tertawa sendiri dalam hati
mendengar ucapan Setan Liang Makam. Lalu berujar.
"Aku akan tunjukkan padamu dl mana Kigali!
Tapi setelah kerangka tubuhmu tidak dihinggapi nya-
wa! Ha.... Ha.... Ha...! Kalau tiga puluh enam tahun silam tanganku mampu
membuatmu menghuni kamar
gelap serta meratakan Kampung Setan, masakan seka-
rang tanganku tidak bisa mencabut nyawa dari ke-
rangka tubuhmu"!"
"Kau lupa, Dadaka! Tanpa berlaku licik, mana
bisa kau ratakan Kampung Setan"!"
Dadaka tertawa bergelak-gelak. "Dalam meng-
hadapi hidup, pergunakan akal, pergunakan kelicikan!
Jika tidak, akibatnya telah kau rasakan!"
Sekujur kerangka Setan Liang Makam berge-
rak-gerak. Jelas kalau orang ini telah dibungkus hawa amarah menggelegak.
"Dadaka! Aku masih memberimu kesempatan!"
"Aku telah punya kesempatan hidup hampir tu-
juh puluh tahun lebih! Adalah aneh kalau kau saat ini memberi ku kesempatan!
Tanpa kau beri kesempatan,
aku percaya akan hidup lebih lama lagi tanpa harus
memberimu keterangan apa pun!"
Belum sampai ucapan Dadaka selesai, Setan
Liang Makam telah melompat ke depan. Kedua tan-
gannya yang hanya berupa kerangka berkelebat.
Dadaka yang sudah waspada cepat tekuk sedi-
kit lutut. Saat yang sama kedua tangannya dihantam-
kan membendung kelebatan tangan Setan Liang Ma-
kam. Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan beradu keras. Dadaka sedi-
kit tersentak. Dia sama sekali tidak menyangka kalau kedua tangannya yang baru
saja bentrok dengan kerangka tangan Setan Liang Makam mental balik dan
bergetar keras. Malah kalau saja dia tidak segera lipat gandakan tenaga dalam,
niscaya kedua kakinya akan
bergerak mundur!
Di depannya, Setan Liang Makam cepat tarik
pulang kedua tangannya yang sejenak tadi juga mental balik. Meski sosoknya
tinggal kerangka, namun ben-trokan begitu dahsyat yang telah dialiri tenaga
dalam kuat tidak membuat kakinya goyah! Malah begitu tangannya mental, orang ini
cepat himpun tenaga dalam
tambahan. Di lain saat, sosoknya merangsek ke depan.
Sejarak dua langkah tubuhnya melenting setengah
tombak ke udara. Bersamaan dengan itu tubuhnya
berputar. Kedua kakinya membuat gerakan menen-
dang beruntun! Dadaka tidak tinggal diam. Begitu sosok Setan
Liang Makam melenting ke udara, dia jejakkan kaki.
Sosoknya melesat pula ke udara sejajar dengan Setan Liang Makam. Tatkala Setan
Liang Makam putar tubuh untuk kemudian membuat tendangan beruntun,
Dadaka cepat pula putar tubuh. Lalu seperti halnya
Setan Liang Makam, dia lakukan tendangan benturan
di atas udara menghadang tendangan beruntun Setan
Liang Makam. Terdengar suara beradunya kaki tak putus-
putusnya. Suara itu baru mereda ketika sosok Setan
Liang Makam dan Dadaka sama terpental dan masing-
masing orang jatuh terduduk dengan kaki melipat!
Namun Setan Liang Makam tampaknya tidak
mau beri kesempatan. Begitu tubuhnya terduduk, ke-
dua tangannya bergerak lepas pukulan jarak jauh.
Di seberang depan, Dadaka cepat pula angkat
kedua tangannya. Lalu didorong ke depan. Dua gelom-
bang angin dahsyat segera melesat menghadang ge-
lombang yang mencuat dari gerakan kedua tangan Se-
tan Liang Makam.
Blammm! Satu ledakan membuncah dl tempat itu. Tanah
di sekitar tempat itu bergetar keras. Sosok keduanya mental terseret. Beruntung
Setan Liang Makam terseret agak jauh baru menghantam pohon. Hingga meski
tidak dapat selamatkan tubuhnya dari menubruk ba-
tangan pohon, namun karena daya lesatnya sudah


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agak berkurang, maka hantaman tubuhnya ke batan-
gan pohon tidak begitu keras. Lain halnya dengan Dadaka. Hanya sejarak tiga
langkah di belakangnya
menghadang batangan pohon besar. Hingga begitu tu-
buhnya mental langsung menyambut batangan pohon
di belakangnya. Saat lain sosoknya mencelat lagi ke depan setelah menghantam
batangan pohon!
Dari mulut Dadaka tampak mengalir darah se-
gar. Sementara kedua tangannya menggapai-gapai. Je-
las pertanda kalau orang ini sedang atur aliran darah pada kedua tangannya yang
laksana tersentak-sentak.
Sepasang matanya memejam terbuka. Orang ini coba
menahan agar seruannya tidak terdengar.
Di seberang sana, meski dari tulang mulutnya
tidak alirkan darah, namun dari sikapnya jelas jika Setan Liang Makam juga
mengalami cedera dalam.
Begitu sama-sama dapat kuasai diri, hampir
berbarengan kedua orang ini bangkit berdiri. Dadaka sudah angkat kedua
tangannya. Sepasang matanya
memejam rapat. Perlahan-lahan tampak kedua kaki
orang ini bergerak-gerak masuk amblas ke dalam ta-
nah yang dipijak. Pertanda kalau Dadaka berusaha
agar sosoknya tidak lagi mental apalagi terjadi bentrok pukulan.
Di sebelah depan, Setan Liang Makam mem-
perhatikan sejurus. Saat lain mendadak orang ini gerakkan kedua tangannya
diputar-putar ke belakang ke depan. Wusss! Wusss!
Dari putaran kedua tangan Setan Liang Makam
tampak berkiblat gelombang angin bergulung-gulung.
Dadaka segera turunkan tangan diletakkan di
depan dada dengan telapak terbuka. Begitu gulungan
gelombang datang, kedua tangannya segera mengge-
brak. Begitu gelombang telah melesat ke depan, kem-
bali kedua tangannya ditarik ke depan dada lalu didorong lagi. Begitu terus
menerus hingga dari kedua tangannya tak henti-hentinya melesat gelombang angin.
Hal ini sengaja dilakukan oleh Dadaka untuk mengha-
dang gelombang bergulung-gulung yang datang susul
menyusul seiring putaran kedua tangan Setan Liang
Makam. Tempat itu berubah menjadi pekat dan dibun-
cah ledakan dahsyat beruntun. Batangan pohon yang
berderak tumbang menambah hingar bingarnya kea-
daan. Dan semua itu baru sirna tatkala sosok Dadaka dan Setan Liang Makam sama
terkapar. Pukulan yang dilepas Dadaka dan Setan Liang
Makam adalah pukulan bertenaga dalam tinggi. Dan
karena keduanya sama lepaskan pukulan beruntun,
yang tentu sangat menguras tenaga, maka akibat yang ditimbulkannya pun fatal.
Sekujur tubuh Dadaka basah kuyup oleh keringat bercampur darah yang keluar dari
hidung dan mulutnya. Sepasang matanya mendelik besar. Wajahnya putih kehabisan
darah. Meski orang ini masih bisa bernapas, namun sulit untuk bertahan lama. Malah meski
tangannya tampak bergerak-
gerak, namun di saat lain telah terkulai lagi, jelas tenaga luar dan dalamnya
telah habis. Sementara di pihak Setan Liang Makam, ter-
nyata orang ini memiliki ketahanan luar biasa. Ter-
pendam dalam makam batu membuat tubuhnya masih
mampu bertahan dari gempuran bentroknya pukulan.
Hingga walau sosoknya terkapar, tapi dia seakan tidak mengalami cedera terlalu
parah. Hingga dalam beberapa saat dia bisa bergerak bangkit. Dan begitu melihat
Dadaka tak berdaya, dia cepat membuat satu lompatan yang serta-merta membawa
tubuhnya tahu-tahu
telah tegak hanya dua langkah di samping terkaparnya tubuh Dadaka.
"Kau sekarang tahu, Dadaka! Tanpa Kembang
Darah Setan, tanganku mampu kalau hanya membe-
dol selembar nyawa anjingmu!"
Tahu gelagat mengancam jiwanya, meski sudah
dalam keadaan kehabisan tenaga luar dan dalam, tapi Dadaka coba menghimpunnya.
Namun orang ini harus
pasrah. Karena dia gagal.
"Percuma, Dadaka! Nyawa anjingmu sudah be-
rada di ujung jariku! Tapi, aku masih akan tinggalkan nyawamu kalau kau katakan
di mana jahanam Kigali
berada!" Walau nyawanya sudah di ujung tanduk, na-
mun bukan berarti nyali Dadaka menjadi leleh. Men-
dengar ucapan Setan Liang Makam, masih terkapar di
atas tanah dan tanpa buka kelopak matanya, dia berujar.
"Kalau kukatakan di mana beradanya, percuma
saja! Kau tidak mungkin dapat menghadapinya tanpa
Kembang Darah Setan!"
"Kembang Darah Setan akan segera kembali ke
tanganku!"
"Itu belum cukup! Karena aku tak akan berk-
hianat untuk mengatakannya padamu!"
"Hem.... Ternyata kau seorang yang teguh pe-
gang janji, Dadaka! Tapi apakah itu ada artinya kalau harus kau tebus dengan
nyawamu"!" Setan Liang Makam masih coba melunakkan keteguhan Dadaka.
"Aku bukan orang yang seperti kau sangka,
Maladewa! Kalaupun aku punya kesempatan, aku pun
tak segan membunuh Kigali!"
"Begitu"! Lalu apa yang membuatmu tak mau
mengatakan padaku"! Padahal dengan keteranganmu,
nyawamu akan selamat!"
Dadaka masih sempat perdengarkan suara ta-
wa perlahan sebelum akhirnya berkata.
"Aku tahu apa yang ada dalam benakmu, Mala-
dewa! Kukatakan atau tidak di mana beradanya Kigali, nyawaku tidak akan bertahan
lama! Dan perlu kau ta-hu, sebenarnya bukan hanya kau, aku pun terkecoh
dengan Kigali!"
"Hem.... Terkecoh bagaimana maksudmu"!"
"Kigali bukanlah tokoh golongan hitam seperti
yang beredar di kalangan dunia persilatan! Kalau selama ini dia berpihak pada
golongan hitam, dia punya tujuan tertentu!"
"Hem.... Kau tahu, Dadaka! Bagiku tak ada be-
danya dia dari golongan hitam apa putih! Orang golongan hitam atau putih bagiku
musuh besar kalau bera-
ni merambah Kampung Setan!"
"Kau masih juga mengagulkan Kampung Setan!
Apa saat ini dunia persilatan memandang sebelah ma-
ta pada kampung mu itu"! Cerita Kampung Setan su-
dah hilang, Maladewa! Apalagi kini Kembang Darah Setan sudah pindah ke tangan
orang!" "Kau salah, Dadaka! Dengan masih hidupnya
Setan Liang Makam setelah terpendam berpuluh tahun
satu tanda bahwa Kampung Setan masih ada! Sayang
sekali nyawamu sudah tinggal menunggu waktu. Kalau
tidak matamu akan lihat bagaimana Kampung Setan
akan kembali berdiri!"
"Itu hanya impian besar, Maladewa! Dan kau
akan terkubur dalam impian besarmu!"
Setan Liang Makam tidak lagi menyambut uca-
pan Dadaka. Dia maju dua tindak. Sosoknya kini cepat tegak di samping tubuh
Dadaka. "Aku masih tawarkan keselamatan nyawamu.
Bahkan aku masih bersedia memberi obat padamu,
Dadaka!" ujar Setan Liang Makam.
"Kalau aku tahu di mana Kigali berada, aku ti-
dak berada di sini, Maladewa! Dan tanpa menunggu-
mu, akan kuselesaikan sendiri jahanam Kigali itu!"
"Kalau begitu, hidup pun kau tidak ada gu-
nanya lagi!"
Belum sampai ucapan Setan Liang Makam se-
lesai, kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan
sambil bungkukkan tubuh.
Rupanya Dadaka sudah maklum. Dalam kea-
daan begitu rupa, dengan luar biasa sekali Dadaka
masih sempat sentakkan tangan kanannya meski ge-
rakan tangan itu hanya mengandalkan tenaga luar.
Hebatnya lagi, sentakan tangan kanannya mendahului
gerakan kedua tangan Setan Liang Makam yang hen-
dak menghantam batok kepalanya!
Bukkk! Kaki kiri Setan Liang Makam bergetar dan ber-
gerak. Hal ini membuat hantaman kedua tangannya
melenceng dari kepala Dadaka.
Dadaka tidak menunggu, dia cepat bergulingan.
Lalu kaki kanannya bergerak hendak susuli sentakan
tangan kanannya. Dia masih arahkan tendangan pada
kaki kanan Setan Liang Makam, karena dia tahu, da-
lam keadaan berada di atas angin melihat lawan sudah tak berdaya, seorang akan
lupa pada pertahanan bawahnya.
Namun Setan Liang Makam rupanya tidak mau
mengulangi kelengahan. Begitu kaki Dadaka bergerak
lakukan tendangan, Setan Liang Makam cepat sambuti
dengan putar tubuh setengah lingkaran lalu ayunkan kakinya.
Prakkk! Dadaka menjerit tinggi. Karena tendangan ka-
kinya hanya mengandalkan tenaga luar maka tak am-
pun lagi bukan hanya kakinya yang mencelat mental,
namun sosoknya pun melayang sampai satu setengah
tombak! Setan Liang Makam tidak memberi kesempatan
lagi. Bersamaan dengan melayangnya tubuh Dadaka,
sosoknya melesat. Begitu berada di udara dan hanya
sejarak lima jengkal, kedua tangannya dihantamkan
ke dada Dadaka!
Bukkk! Bukkk! Dadaka tidak kuasa lagi perdengarkan suara.
Sosoknya langsung terbanting di atas tanah dengan
dada rengkah! Setan Liang Makam sesaat pandangi sosok tu-
buh Dadaka yang sudah tak bernyawa lagi. Lalu kepa-
lanya mendongak. Entah apa yang sedang dipikirkan
manusia ini. Karena dia mendongak dalam waktu la-
ma. Kalaupun dia gerakkan kembali kepalanya, itu
bersamaan dengan gerakan kakinya yang menghentak
hingga sosoknya pun melesat tinggalkan tempat itu.
* * * SEBELAS DALAM ketemaraman suasana dan dinginnya
udara menjelang penghujung malam itu, penunggang
kuda yang berlari laksana dikejar setan itu tarik tali kekang kuda tunggangannya
ketika sepasang matanya
menangkap lobang menganga hitam sepuluh tombak
di depan sana. Binatang tunggangan itu angkat kaki depannya
tinggi dengan moncong perdengarkan ringkihan keras.
Saat kaki depannya menghentak kembali ke atas ta-
nah, si penunggang sudah tidak tampak lagi di atas
pelananya! Dan tahu-tahu di dekat lobang menganga
hitam yang ternyata adalah sebuah jurang yang sangat curam, telah tegak satu
sosok tubuh. Dia adalah seorang perempuan. Meski wajah-
nya sudah tidak muda lagi, tapi paras mukanya masih membayangkan kecantikan.
Bahkan sepasang matanya tampak tajam. Orang ini sejenak arahkan pan-
dangan matanya ke seberang jurang. Karena suasana
masih agak gelap, dia hanya melihat rimbun kehita-
man dan batu-batu yang juga berwarna hitam. Me-
mandang sekeliling pun orang ini masih melihat
bayangan hitam. Namun bukan untuk melihat warna-
warna hitam orang ini memandang berkeliling. Dia ingin yakinkan diri bahwa di
tempat itu tidak ada orang lain! Jelas pertanda kalau kedatangannya tidak ingin
diketahui orang dan pasti punya maksud tertentu.
Setelah yakin dia berada sendirian, dia arahkan
pandangannya ke jurang di depannya. "Hem.... Aku harus menunggu sampai suasana
terang! Aku baru
pertama kali ini datang kemari! Aku tidak boleh bertindak gegabah!" bisiknya
lalu setelah memandang
berkeliling sekali lagi, dia perlahan-lahan melangkah dan dudukkan diri pada
sebuah lamping batu. Sepasang matanya sudah memejam. Namun bukan berarti
perempuan ini tertidur. Karena meski sepasang ma-
tanya terpejam rapat, sesekali kepalanya bergerak.
Tidak berapa lama, dari arah timur perlahan-
lahan sinar terang menebar, pertanda tak lama lagi
sang surya akan muncul. Si perempuan masih belum
beranjak. Dia baru bangkit setelah cahaya sang surya mampu menerangi tempat di
mana dia berada.
Perlahan-lahan si perempuan melangkah ke
arah pinggir jurang. Matanya memandang ke bawah.
Meski masih agak gelap, tapi dia kini dapat melihat keadaan di bagian lamping
jurang. "Hem.... Aku tidak bisa langsung melihat ke dasar jurang. Pertanda jurang ini
sangat dalam. Bagaimana bisa betah Pendeta Sinting hidup bertahun-
tahun di dalamnya"!" gumam si perempuan. Dari gumaman si perempuan jelas
menunjukkan kalau jurang
di hadapannya adalah Jurang Tlatah Perak, tempat
kediaman Pendeta Sinting, Eyang Guru Pendekar Pe-
dang Tumpul 131 Joko Sableng.
SI perempuan pandangi lebih seksama bagian
samping jurang. "Hem.... Tumbuhan yang banyak dl bagian samping itu kiranya
dapat kubuat sebagai jem-batan untuk sampai ke dasar jurang. Dan dengan ja-
lan turun sedikit demi sedikit, aku akan lebih leluasa melihat keadaan di
bawah!" Memikir sampai di situ, akhirnya si perempuan
kerahkan tenaga dalam. Dalam beberapa saat, sosok-
nya telah melesat turun ke dalam jurang. Mula-
mula dia hentikan layangan tubuhnya pada sebuah
pohon yang merambat di lamping jurang. Lalu melesat
turun lagi dan berhenti pada pohon dl bawahnya sam-
bil melihat keadaan di bawah. Hal itu dilakukan si perempuan sampai pada
akhirnya dia dapat melihat da-
sar jurang. Si perempuan agak lama menunggu. Sepasang
matanya terus mengawasi bagian bawah jurang yang
hanya sejarak delapan tombak di bawahnya. Namun
hingga lama memperhatikan, dia tidak menangkap ge-
rakan orang.

Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa tempat ini telah ditinggal penghuninya"!
Tapi Kiai Lidah Wetan tak mungkin menunjukkan
tempat yang sudah tidak berpenghuni!! Atau barang-
kali dia tahu kedatangan ku..." Hem.... Persetan! Dia tahu atau tidak, yang
pasti aku harus bertemu dengannya!"
Si perempuan gerakkan kedua tangannya. Tu-
buhnya meluncur lalu tegak di dasar jurang. Kepala si perempuan cepat bergerak
berputar. Sepasang matanya liar memperhatikan. Namun sejauh ini tidak melihat
siapa-siapa! Si perempuan mulai melangkah dengan sikap
waspada. Namun hingga dia mondar-mandir beberapa
kali, tetap saja tidak melihat orang. Si perempuan mulai khawatir.
"Hem.... Jangan-jangan tempat ini memang su-
dah kosong! Dan melihat keadaannya, ada orang lain
yang datang ke tempat ini sebelum aku!" Si perempuan meneliti tempat di mana dia
berada. "Apa yang harus kulakukan sekarang"! Mencarinya di luar sana"!
Hem.... Itu mungkin satu-satunya jalan terbaik. Sambil mencari Pendeta Sinting,
aku akan menemui Saraswa-ti...." Habis menggumam begitu, mendadak wajah si
perempuan berubah. Tanpa sadar mulutnya berkata.
"Anakku.... Dalam masa tuaku ini, sebenarnya aku ingin habiskan untuk hidup
bersamamu.... Tapi, nya-
tanya hatiku masih belum bisa tenang sebelum semua
kekecewaan hati ini terbalaskan! Kuharap nantinya
kau bisa mengerti perasaan ibumu ini.... Ini semua kulakukan demi ketenangan
hidup kita berdua! Kalau-
pun saat ini aku harus kembali pada Kiai Lidah Wetan, itu hanya untuk sementara.
Begitu semuanya selesai...." Si perempuan tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya
dia mendongak. Beberapa pohon yang me-
rambat di samping jurang tampak bergerak-gerak.
"Ada orang...," desisnya lalu berkelebat dan menyelinap sembunyi.
Baru saja si perempuan mendekam sembunyi,
satu sosok tubuh melesat turun dan tegak di dasar jurang. Dari gerakan orang,
siapa pun dia adanya pasti memiliki kepandaian tinggi.
"Mungkinkah dia"!" kata si perempuan dari tempat persembunyiannya. Lalu
perlahan-lahan dia
arahkan pandang matanya pada sosok yang baru
muncul. Si perempuan seketika pentang matanya besar-
besar. Malah kalau saja dia tidak tekap mulut, niscaya akan terdengar seruan.
"Menuruti keterangan Kiai Lidah Wetan, aku
yakin bukan ini manusianya yang kucari! Tapi bagai-
mana manusia ini bisa muncul di sini"! Apa dia juga mencari Pendeta Sinting"!
Apa aku harus menemuinya..."!"
Selagi si perempuan membatin, tiba-tiba orang
yang baru muncul sudah perdengarkan ucapan.
"Pendeta Sinting! Keluarlah! Kita perlu bicara!"
"Hem.... Dari ucapannya, dugaanku tidak mele-
set! Aku akan menunggu dahulu. Siapa tahu Pendeta
Sinting masih sembunyikan diri!" kata si perempuan seraya memperhatikan orang dl
depan sana. Orang ini ternyata adalah seorang laki-laki. Namun paras dan
sekujur tubuhnya tidak saja mengerikan, namun juga
angker! Karena orang ini hanya merupakan susunan
dari kerangka tanpa daging!
Mendapati teriakannya tidak mendapat sambu-
tan, atau tidak ada tanda-tanda akan munculnya
orang, orang yang baru muncul dan bukan lain adalah Setan Liang Makam berteriak
lagi. "Pendeta Sinting! Aku hanya akan ulangi sekali lagi ucapanku! Keluarlah!"
Setan Liang Makam menunggu. Maklum tidak
ada suara sahutan atau tanda-tanda gerakan, Setan
Liang Makam putar kepala dengan mata dibelalakkan.
Di balik tempat persembunyiannya, dada si pe-
rempuan berdebar. Karena mendadak kepala Setan
Liang Makam berhenti tepat menghadap ke tempat
mana dia sembunyikan diri. "Apakah dia tahu kebera-daanku di sini"!"
Baru saja si perempuan membatin begitu, Se-
tan Liang Makam telah buka suara.
"Keluarlah! Atau kuhancurkan tempat persem-
bunyianmu itu!"
"Dia sudah tahu, tak ada gunanya sembunyi-
kan diri!" Berpikir begitu akhirnya si perempuan berkelebat keluar dan tegak
sepuluh langkah di hadapan Setan Liang Makam.
Sesaat Setan Liang Makam memperhatikan so-
sok yang tegak di depan sana. "Dari yang kudengar, Pendeta Sinting adalah
seorang laki-laki! Mengapa
yang muncul makhluk lain"!"
Namun Setan Liang Makam tak mau berpikir
terlalu lama. Begitu tahu yang muncul seorang perempuan, dia cepat membentak.
"Di mana Pendeta Sinting"!"
Si perempuan tidak segera menjawab. Diam-
diam dia membatin. "Apakah Kiai Lidah Wetan sengaja menyuruhku ke tempat ini
untuk bertemu dengan
manusia ini"! Apakah dia masih memendam dendam
akibat sakit hati di masa lalu itu"! Kalau betul.... Mengapa dia melakukan
dengan cara ini"! Tapi dari uca-
pan-ucapannya, kurasa tidak mungkin! Tapi hati
orang siapa tahu"! Bukankah saat ini dia juga sedang melakukan sesuatu dengan
jalan licik...."
Dari cara membatin si perempuan menunjuk-
kan kalau si perempuan bukan lain adalah Lasmini.
Kekasih Kiai Lidah Wetan waktu masih muda.
"Perempuan! Di mana Pendeta Sinting"!" Setan Liang Makam membentak lagi.
"Kau tak akan mendapat jawaban apa-apa da-
riku, karena aku pun datang perlu mencari orang yang kau tanyakan!"
"Hem.... Sebutkan siapa dirimu, Perempuan!"
"Namaku tidak ada artinya bagi orang lain!" Tulang wajah Setan Liang Makam
tampak bergerak-gerak. Na-
mun sebelum orang ini buka mulut lagi, Lasmini telah mendahului.
"Orang yang sama kita cari tidak ada! Bukan-
kah lebih baik kita segera tinggalkan tempat ini"!"
Sambil berkata, Lasmini tampak sunggingkan senyum.
Perempuan ini rupanya berpikir panjang. Dia merasa
yakin, orang di hadapannya bukan orang sembaran-
gan. Sementara dirinya saat ini tengah berusaha mem-balaskan sakit hatinya.
Dia sudah paham siapa-siapa saja yang mung-
kin akan dihadapi. Kalau saja dia bisa bersahabat se-
tidaknya tidak membuka perselisihan dengan orang,
tentu apa yang tengah dilakukan akan berjalan dengan sesuai rencana. Bahkan
kalau bisa bersahabat, maka
hal itu akan membuatnya punya kekuatan tambahan.
Untuk itulah, Lasmini berusaha mengubah sikap ter-
hadap Setan Liang Makam.
Mendapati orang yang diajak bicara belum juga
menyahut, Lasmini kembali buka mulut.
"Harap kau tidak berprasangka buruk padaku!
Aku bukan teman Pendeta Sinting! Dan saat aku da-
tang, tempat ini sudah kosong!"
"Apa tujuanmu mencari manusia sinting itu"!"
bertanya Setan Liang Makam.
"Seperti halnya dirimu, aku ingin bicara den-
gannya!" "Urusannya"!"
"Nyawa..!"
"Dengar, Perempuan! Jangan berani menyentuh
manusia itu kalau kau tidak ingin berurusan dengan
Setan Liang Makam! Kau dengar itu"!"
Lasmini tersentak mendengar Setan Liang Ma-
kam sebutkan siapa dirinya. "Jadi inikah manusia yang pernah diceritakan Kiai
Lidah Wetan"! Manusia
yang katanya sebagai pemegang senjata dahsyat Kem-
bang Darah Setan itu"! Hem.... Tak disangka kalau
aku bertemu dengannya di sini! Berarti keterangan
Kiai Lidah Wetan benar... Dia telah termakan berita kalau si pemegang Kembang
Darah Setan sekarang
adalah Pendekar 131 murid Pendeta Sinting! Hem....
Aku sekarang bisa menduga mengapa dia mencari
Pendeta Sinting...."
Berpikir begitu, akhirnya Lasmini berkata.
"Kalau tidak salah, bukankah kedatanganmu
masih ada hubungannya dengan Kembang Darah Se-
tan"!" "Aku tidak akan jawab pertanyaanmu!"
Lasmini tersenyum. "Aku tahu siapa dirimu,
Sahabat! Kau telah lama menghilang dari rimba persilatan! Saat ini kau butuh
seseorang yang tahu banyak tentang seluk beluk dunia persilatan! Kalau tidak,
ilmu tinggi yang kau miliki tidak akan ada artinya apa-apa!"
"Kau jangan menggurui ku!"
"Aku menawarkan diri sebagai sahabat! Kita
saling membantu tanpa mencampuri urusan masing-
masing!" "Bantuan apa yang bisa kau berikan padaku,
hah"!" "Aku memang tidak memiliki ilmu setinggi yang kau miliki! Tapi aku tahu
banyak tentang tokoh-tokoh dunia persilatan! Saat ini tentu kau butuh keterangan
banyak, karena kau harus mencari orang-orang yang
belum kau kenal betul! Tanpa adanya orang yang
memberi keterangan, tidak tertutup kemungkinan kau
salah sasaran! Bahkan mungkin saja kau menduga
musuhmu telah mampus, padahal dia masih enak-
anakan!" "Hem.... Ada benarnya juga ucapan perempuan
ini!" kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu berkata.
"Kita bersahabat! Tapi kalau kau berani berk-
hianat, taruhan mu adalah nyawa!"
Lasmini lagi-lagi sunggingkan senyum. "Persa-
habatan di antara kita hanya untuk saling membantu.
Jadi bukankah tidak ada untungnya kalau di antara
kita berkhianat?"
"Bagus! Sekarang kau bisa menduga ke mana
kira-kira Pendeta Sinting"!"
"Ada beberapa tempat! Itu kita bicarakan sam-
bil jalan!"
Habis berkata begitu, Lasmini melangkah den-
gan kepala mendongak. Tempat di mana mereka ber-
dua berada telah terang benderang meski udaranya
lembab. "Kita sekarang keluar dari sini!"
"Tunggu!" tahan Setan Liang Makam tatkala melihat Lasmini hendak melesat ke
atas. "Kau belum katakan siapa dirimu!"
Tanpa menoleh pada Setan Liang Makam, Las-
mini menyahut. "Namaku Lasmini!"
"Apa sebenarnya urusanmu dengan Pendeta
Sinting"!"
"Kita masih punya banyak waktu untuk bica-
ra.... Lagi pula udara di tempat ini membuat perutku mual!" "Lasmini...." Setan
Liang Makam sebut nama itu berulang-ulang. "Setan! Mendekam di tempat celaka itu
membuatku lupa dengan manusia-manusia
yang pernah kukenal!" Akhirnya Setan Liang Makam memaki sendiri begitu tidak
bisa mengingat orang.
Sementara mendengar umpatan Setan Liang
Makam, Lasmini tampak tersenyum. Lalu berujar.
"Itulah mengapa kukatakan kau butuh seorang
sahabat! Sambil jalan, nanti akan ku jelaskan siapa diriku dan orang-orang yang
kini dikenal dalam rimba
persilatan!"
Habis berkata begitu, Lasmini jejakkan sepa-
sang kakinya. Sosoknya melesat ke atas. Seperti halnya waktu turun, dia naik ke
atas dengan jalan menapak dari satu pohon ke pohon lain di samping jurang.
Setan Liang Makam pandangi sejenak sosok
Lasmini yang sudah berada di atas sana. Lalu meman-
dang berkeliling seolah belum percaya kalau tempat di mana dia berada sudah
ditinggal penghuninya. Saat
lain manusia dari Kampung Setan ini telah ikuti jejak Lasmini melesat ke atas
dengan jalan menapak dari
pohon ke pohon lain yang banyak merambat di lamp-
ing Jurang Tlatah Perak.
* * * DUA BELAS BARU saja Lasmini dan Setan Liang Makam je-
jakkan kaki masing-masing di bagian atas Jurang Tlatah Perak, gerakan mereka
berdua tertahan. Meman-
dang ke depan, kedua orang ini sama kerutkan dahi
masing-masing. "Kalau memang sembunyi mengapa kepalanya
masih digerak-gerakkan sepertinya seolah menunjuk-
kan, kalau tidak sembunyi mengapa berada di bela-
kang pohon"!" Lasmini membatin.
Dari tempat masing-masing, kedua orang ini
melihat sebuah kepala milik seorang laki-laki yang bergerak-gerak di balik
sebatang pohon. Karena ditunggu agak lama tak juga ada tanda-tanda orang di
balik pohon akan muncul, Lasmini dan Setan Liang
Makam segera berkelebat dan tahu-tahu keduanya te-
lah berada d! balik pohon mana terlihat gerakan-
gerakan kepala orang.
Sesaat Lasmini dan Setan Liang Makam sama
saling pandang. Lalu memandang lagi ke depan. Ter-
nyata di balik pohon itu duduk berlutut seorang laki-laki berusia lanjut.
Rambutnya putih tipis. Mengenakan pakaian lusuh berwarna putih. Tangan kanannya
memegang tongkat kayu butut. Tangan kiri diletakkan
di atas paha. Dan ternyata gerakan kepala orang ini semata-mata karena orang ini
ingin bersin. "Siapa orang tua ini"!" kata Lasmini dalam hati karena setelah agak lama
memperhatikan, dia tidak bi-sa mengenali siapa adanya orang.
Belum sampai dia membatin lebih lama, Setan
Liang Makam telah mendekat dan berbisik. "Siapa gerangan manusia itu"!"
Terus terang, yang satu ini baru kuketahui saat
ini! Tapi apa peduli kita..." Dia tampaknya bukan
orang yang dikenal dalam rimba persilatan! Kita segera tinggalkan tempat ini!"
"Jangan tolol, Perempuan! Justru orang yang
tidak begitu dikenal namanya dalam dunia persilatan biasanya yang sangat
membahayakan! Kau lihat, dia
seolah acuh dengan kehadiran kita! Dan kalau dia berada di dekat sini, pasti
masih ada sangkut pautnya dengan Pendeta Sinting!"
Lasmini memandang sejenak pada orang yang
duduk berlutut. Lalu melangkah maju.
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Orang di depan sana tiba-tiba sudah perden-
garkan bersinan. Lasmini tersentak kaget. Karena merasakan dirinya dilanggar
gelombang angin luar biasa dahsyat, hingga kalau dia tidak buru-buru lipat
gandakan tenaga dalam, niscaya bukan saja langkahnya
akan tertahan, namun tidak mustahil tubuhnya akan
tersapu ke belakang! Lasmini cepat maklum akan kea-


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daan. Kalau tadi dia mendekat dengan melangkah, kini dia langsung melompat dan
tahu-tahu tegak di depan
orang yang baru perdengarkan bersinan dan bukan
lain adalah Datuk Wahing.
"Orang asing! Siapa kau"!" Lasmini sudah
membentak garang.
"Heran. Mengapa setiap orang yang kutemui
tanya siapa diriku"! Apa yang mengherankan pada di-
riku"!" Pengalaman selama bertahun-tahun dalam kancah rimba persilatan membuat
Lasmini sadar, kalau orang yang dihadapinya saat ini tidak mungkin
mau katakan siapa dirinya. Maka masih dengan mem-
bentak, dia lanjutkan ucapan.
"Orang tua! Apa hubunganmu dengan Pendeta
Sinting"!"
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya
yang pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik meringis persis dengan orang
yang ingin bersin.
"Heran. Baru sekali ini dengar nama Pendeta
Sinting. Adalah mengherankan kalau orang sudah me-
nanyakan apa hubungan ku dengannya!" Datuk Wahing seolah bicara sendiri lalu
luruskan kepala dengan mata memandang ke arah Lasmini. Lalu saat lain beralih
pada Satan Liang Makam yang tegak agak jauh.
"Maaf.... Bukankah terlalu mengherankan ka-
lau kau tanya hubungan ku dengan orang yang belum
kukenal"! Yang tidak mengherankan justru bila aku
tanya, dari mana kalian berdua"! Dan apa saja yang
baru kalian kerjakan di dalam jurang sana"! Adalah aneh dan mengherankan kalau
dua orang keluar dari
dalam jurang tanpa mengerjakan apa-apa di bawah
sana... Bruss! Brusss!"
"Itu urusan kami berdua!" hardik Lasmini. Lalu perempuan ini memberi isyarat
pada Setan Liang Makam untuk segera tinggalkan tempat itu dan tidak melayani
orang. Namun Setan Liang Makam tidak tang-
gapi isyarat Lasmini. Dia melompat dan tegak di samping Lasmini sambil berkata.
"Aku yakin, manusia ini pasti ada kaitannya
dengan Pendeta Sinting!"
"Tapi apa peduli kita! Kita tak butuh orang ini!
Kita mencari Pendeta Sinting!" ujar Lasmini dengan suara pelan.
Namun Setan Liang Makam rupanya tidak
acuhkan ucapan Lasmini. Dia segera maju dua tindak.
"Manusia! Kalau kau tidak ada hubungan dengan Pendeta Sinting, lekas enyah dari
tempat ini!" Setan Liang Makam sengaja membuat orang panas.
"Bruss! Brusss!"
"Heran.... Apa dikira ini tanah milik moyang-
nya"!" gumam Datuk Wahing. Lalu perlahan-lahan orang tua ini bergerak bangkit.
Memandang satu persatu pada orang di hadapannya. Saat lain dia bersin ti-ga
kali. Lalu balikkan tubuh sambil berkata.
"Padahal aku tahu dan tidak heran, kalau ta-
nah ini milik sahabatku!"
"Kau dengar?" tanya Setan Liang Makam pada Lasmini. "Ucapannya menunjukkan kalau
manusia itu ada hubungannya dengan Pendeta Sinting!"
Lasmini tidak menyahut ucapan Setan Liang
Makam. Sebaliknya dia segera melompat dan mengha-
dang di depan Datuk Wahing.
"Siapa pun kau adanya, kau harus memberi ke-
terangan!"
"Heran. Keterangan apa yang bisa kuberikan
padamu"! Mengherankan sekali! Aku datang jauh-jauh
perlu keterangan, malah di sini diminta keterangan!
Mengapa aku selalu menemui hal-hal yang membua-
tku terus terheran-heran...."
"Hem.... Kau cari keterangan Pendeta Sinting"!"
"Brusss! Brusss!"
"Kau pintar menebak! Tapi aku tak heran kalau
tebakanmu kali ini salah!"
"Hem.... Lalu keterangan apa yang kau butuh-
kan?" Lasmini coba mengorek keterangan dari Datuk Wahing.
"Kalau kukatakan, apa kau nanti tidak heran"!"
Lasmini agak jengkel. Namun dia masih bisa
menindih perasaan. Dia segera menyahut. "Katakan saja!" "Aku heran ketika
melihat kau bersama te-manmu itu keluar dari jurang. Itulah keterangan yang
kubutuhkan.... Bisa hilangkan keheranan ku ini"!"
"Jahanam! Kau rupanya tidak mau dibuat
sungguh-sungguh!" Lasmini tak sabar. Dia cepat melompat ke depan dengan kedua
tangan berkelebat la-
kukan gebukan pada Datuk Wahing.
"Tunggul" tahan Datuk Wahing sambil angkat tongkat kayu bututnya dilintangkan di
depan dada. "Aku heran kau marah-marah begitu rupa
mengetahui apa yang kukatakan! Aku datang bukan
cari musuh.... Kalau kalian tidak suka kehadiranku di sini, apa bagiku
mengherankan kalau lebih baik pergi dari sini?"
Habis berkata begitu, Datuk Wahing balikkan
tubuh lalu perlahan-lahan melangkah. Lasmini hendak mengejar, namun tahu-tahu
Setan Liang Makam telah
tegak di sampingnya dengan lintangkan tangan mem-
beri isyarat agar Lasmini tahan niat.
Sejarak kira-kira dua belas langkah, Datuk
Wahing berhenti. Kepalanya ditengadahkan. Saat lain tiba-tiba orang ini
perdengarkan bersin beberapa kali.
Lasmini dan Setan Liang Makam terkesiap. Su-
ara bersinan orang kali ini mampu membuat gendang
telinga masing-masing orang laksana ditusuk! Bukan hanya itu saja. Suara
bersinan itu terus tak henti-hentinya dan memantul ke delapan penjuru mata an-
gin. Begitu suara bersinan lenyap, sosok Datuk
Wahing sudah tidak kelihatan lagi. Setan Liang Makam dan Lasmini saling pandang.
Tiba-tiba Setan Liang
Makam pentangkan mata memandang berkeliling.
"Jahanam! Dia orang yang kucari!"
"Hai! Dia bukan Pendeta Sinting!" ujar Lasmini.
"Benar! Tapi dia orang yang kucari! Pantulan
suara yang dimilikinya...." Setan Liang Makam tidak lanjutkan ucapannya. Dia
cepat berkelebat. Lasmini
sejenak tampak bingung. Namun saat lain dia menge-
jar Setan Liang Makam meski tidak mengerti apa mak-
sud ucapan kawan barunya itu.
SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!! Serial
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng dalam epi-
sode : RAHASIA KAMPUNG SETAN
E-Book by Abu Keisel Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7 Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Pedang Angin Berbisik 15
^