Pencarian

Gadis Pecinta Monster 1

Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster Bagian 1


RL Stine: Gadis Pecinta Monster (Goosebumps # 8) Novel Goosebump ke-8 ini judul aslinya adalah The Girl Who Cried Monster (Gadis
Yang Berteriak Monster) yang dalam terbitan novel Indonesianya berjudul Gadis
Pecinta Monster. Saya mohon maaf, penerjemahannya agak lama, karena ditengah-
tengah prosesnya saya sibuk mengedit ebook Trio Detektif, Twilight dan ebook
lainnya. Cerita dalam novel ini juga tentang seorang gadis yang senang bercerita tentang
monster dan menakut-nakuti orang lain dengannya. Hingga akhirnya ia bertemu
dengan monster yang asli. Kisahnya cukup menegangkan dan dengan akhir yang
cerita yang sangat tak terduga. Bagaimana kisahnya, saya persilahkan membaca
sendiri dan menikmati ketegangannya.
Cepu, 9 Februari 2013 Farid ZE Blog Pecinta Buku PP Assalam Cepu"Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com RL Stine: Gadis Pecinta Monster (Goosebumps # 8) 1 Aku suka menakut-nakuti adikku, Randy. Aku menceritakan kepadanya kisah yang
menakutkan tentang monster sampai ia memohonku untuk berhenti. Dan aku selalu
menggodanya dengan berpura-pura melihat monster-monster di mana-mana.
Kurasa itulah sebabnya tak ada yang percaya padaku pada hari aku melihat monster
asli. Kurasa itulah sebabnya tak ada yang percaya padaku sampai sudah terlambat, dan
monster itu tepat di rumahku sendiri.
Tapi lebih baik aku tak menceritakan akhir dari kisahku di permulaan.
Namaku Lucy Dark. Aku berumur dua belas tahun. Aku tinggal dengan adikku, Randy,
enam tahun, dan orang tuaku di sebuah rumah menengah di sebuah kota berukuran
sedang yang disebut Timberland Falls.
(Timberland=tanah kayu, Land = daratan,tanah atau negeri Falls=jatuh)
Aku tak tahu mengapa kota ini disebut Timberland Falls. Ada beberapa hutan di
luar kota, tapi tak ada yang menebang pohon-pohon untuk kayu. Dan di sana tak
ada yang jatuh. Jadi, mengapa (namanya) Timberland Falls"
Ini misteri. Kami memiliki sebuah rumah dari bata merah di ujung jalan kami. Ada pagar
tanaman yang tumbuh tinggi berbaris di sepanjang sisi rumah kami dan memisahkan
halaman kami dari halaman Killeens tetangga sebelah. Ayah selalu berbicara
tentang bagaimana ia harus memangkas pagar itu, tapi dia tak pernah
mengerjakannya. Kami memiliki halaman depan kecil dan halaman belakang yang cukup besar dengan
banyak pohon-pohon tua yang tinggi di dalamnya. Ada sebuah pohon sassafras tua
di tengah halaman. Dingin dan teduh di bawah pohon itu. Di situlah aku suka
duduk dengan Randy saat tak ada yang lebih baik lagi untuk dilakukan, dan
melihat apa aku dapat benar-benar menakut-nakutinya!
(Sassafras= pohon kayu kuning dengan kayu yang rapuh, dedaunan dan kulit kayu
yang beraroma) Hal ini tak terlalu sulit. Randy gampang takut.
Dia kelihatan banyak sepertiku, meskipun dia anak laki-laki. Dia punya rambut
lurus hitam sepertiku, hanya punyaku lebih panjang. Dia pendek untuk anak
seusianya, seperti aku, dan sedikit agak gemuk.
Dia berwajah bulat, lebih bulat dariku, dan mata hitam besar, yang benar-benar
menonjol karena kami berdua memiliki kulit yang benar-benar putih pucat.
Kata Ibu, Randy punya bulu mata lebih panjang dariku, yang membuatku semacam
cemburu. Tetapi hidungku tegak, dan gigiku tak menonjol banyak saat aku
tersenyum. Jadi kurasa aku seharusnya tak mengeluh.
Bagaimanapun, pada suatu siang yang panas beberapa minggu lalu, Randy dan aku
duduk di bawah pohon sassafras tua itu, dan aku sedang bersiap-siap untuk
menakut-nakutinya sampai mati.
Aku benar-benar tak punya apa-apa yang lebih baik untuk dilakukan. Begitu musim
panas tahun ini datang mendekat dan sekolah libur, sebagian besar teman-temaku
yang benar-benar baik pergi untuk musim panas. Aku terjebak di rumah, dan jadi
aku cukup kesepian. Randy biasanya benar-benar menyedihkan. Tapi setidaknya dia adalah seseorang
untuk diajak bicara. Dan seseorang bisa aku takut-takuti.
Aku punya imajinasi yang benar-benar menggairahkan. Aku bisa menciptakan monster
yang paling menakjubkan. Dan aku bisa membuat suara mereka benar-benar nyata.
Ibu berkata dengan imajinasiku, mungkin aku akan menjadi penulis saat aku
dewasa. Aku benar-benar tak tahu tentang itu.
Yang aku tahu bahwa itu tak perlu banyak imajinasi untuk menakut-nakuti Randy.
Biasanya yang kulakukan adalah memberitahu dia ada raksasa mencoba pakaiannya di
atas, di lemarinya, dan Randy jadi lebih putih dari biasanya dan seluruh
tubuhnya mulai gemetar. Anak malang. Aku bahkan bisa membuat giginya menggigil. Sulit dipercaya.
Aku menyandarkan punggungku pada bagian yang halus dari batang pohon dan
meletakkan tangantu di atas rumput, dan memejamkan mata. Aku membuat sebuah
cerita yang bagus untuk memberitahu saudaraku.
Rumput terasa lembut dan lembab pada kakiku yang telanjang. Aku menusukkan jari-
jari kakiku ke dalam tanah.
Randy mengenakan celana pendek denim dan kaos putih polos tanpa lengan-. Dia
berbaring miring, memetik sehelai rumput dengan satu tangan.
"Apakah kau pernah mendengar tentang Si Penggigit Jari Kaki Timberland Falls?"
tanyaku padanya, menyikat seekor laba-laba dari celana tenis putihku.
"Hah?" Dia terus menarik sampai sebilah rumput satu per satu, membuat gundukan
kecil. "Ada monster yang disebut Penggigit Jari Kaki Timberland Falls," kataku pada
Randy. "Ah, tolong, Lucy," rengeknya. "Kau bilang kau tak akan membuat cerita monster
lagi." "Tidak, aku tidak!" Aku mengatakan padanya. "Cerita ini tak dikarang. Ini
sungguhan." Dia menatapku dan nyengir. "Ya. Tentu."
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras, menatap tajam ke mata hitam bundarnya,
sehingga dia tahu aku bersungguh-sungguh. "Ini adalah kisah nyata. Ini benar-
benar terjadi. Di sini. Di Timberland Falls."
Randy menarik dirinya ke posisi duduk. "Kupikir aku akan masuk dan membaca buku
komik," katanya, melempar ke bawah segenggam rumput.
Randy memiliki koleksi besar buku komik. Tapi semuanya itu komik Disney dan
komik Archie karena komik superhero terlalu menakutkan baginya.
"Si Penggigit Jari Kaki muncul suatu hari tepat di tetangga sebelah," kataku
pada Randy. Aku tahu begitu aku mulai cerita, ia tak akan pergi.
"Keluarga Killeens?" tanyanya, matanya semakin lebar.
"Ya. Dia tiba di tengah siang hari. Si Penggigit Kaki bukan monster malam, kau
lihat. Dia monster sepanjang hari. Dia menyerang ketika matahari tinggi di
langit. Persis seperti sekarang."
Aku menunjuk ke atas melalui dedaunan pohon yang berkilauan dengan matahari, di
atas kepala yang tinggi di langit biru musim panas yang cerah.
"Monster se-sepanjang hari?" tanya Randy. Dia memutar kepalanya untuk melihat
rumah keluarga Killeens menjulang tinggi di sisi lain dari pagar.
"Jangan takut. Ini terjadi beberapa musim panas lalu," lanjutku. "Becky dan
Lilah di atas sana. Mereka berenang. Kau tahu. Dalam kolam renang plastik yang
ibu mereka memompanya untuk mereka. Salah satu yang separuh airnya yang selalu
tumpah keluar." "Dan satu monster datang?" tanya Randy.
"Si Penggigit Jari Kaki," kataku, menjaga ekspresiku sangat serius dan
menurunkan suaraku nyaris menjadi bisikan. "Si Penggigit Jari Kaki datang
merangkak di halaman belakang mereka."
"Dari mana asalnya?" tanya Randy, bersandar ke depan.
Aku mengangkat bahu. "Tak ada yang tahu. Kau lihat, satu hal tentang Penggigit
Kaki adalah mereka sangat sulit untuk dilihat saat mereka merangkak di rumput.
Karena mereka membuat dirinya sama persis sama dengan warna rumput."
"Maksudmu mereka hijau?" tanya Randy, mengusap hidung gemuknya.
Aku menggeleng. "Mereka hanya hijau saat mereka merayap dan merangkak di atas
rumput," jawabku. "Mereka merubah warna mereka untuk mencocokkan dengan apa yang
mereka berjalan di atasnya. Jadi kau tak dapat melihat mereka."
"Nah, seberapa besar itu?" Randy bertanya serius.
"Besar," kataku. "Lebih besar dari seekor anjing." Aku melihat semut merangkak
naik ke kakiku, lalu menjentikkannya mati. "Tak ada yang benar-benar tahu
seberapa besarnya karena monster ini menyatu dengan baik."
"Jadi apa yang terjadi?" tanya Randy, terdengar sedikit terengah-engah.
"Maksudku untuk Becky dan Lilah." Sekali lagi ia melirik ke arah atap sirap abu-
abu rumah Killeens '. "Yah, mereka berada di kolam kecil plastik mereka," aku melanjutkan. "Kau tahu.
Cebar cebur. Dan kurasa Becky berbaring telentang dan kakinya menggantung di
sisi kolam renang. Dan monster yang berlari di atas rumput itu hampir-hampir tak
terlihat Dan ia melihat jari-jari kaki Becky tergantung di udara."
"Dan - dan Becky tak melihat monster itu?" tanya Randy.
Aku bisa melihat dia mulai jadi benar-benar pucat dan gemetar.
"Penggigit Jari Kaki benar-benar begitu sulit untuk dilihat," kataku, menjaga
mataku terkunci pada Randy, menjaga wajahku sangat bersungguh-sungguh dan
serius. Aku menarik napas dalam-dalam dan membiarkan keluar perlahan-lahan. Hanya untuk
membangun ketegangan. Lalu aku melanjutkan cerita.
"Becky tak melihat apa-apa pada awalnya. Lalu ia merasakan tanah menggelitiknya.
Dia pikir itu anjing menjilati kakinya. Dia menendang sedikit dan berkata kepada
anjing untuk pergi. "Tapi kemudian itu tak menggelitik begitu banyak. Itu mulai sakit. Becky
berteriak pada anjing untuk berhenti. Tapi rasa sakit itu bertambah buruk.
Rasanya sepertinya anjing itu mengunyah jari-jari kakinya, dengan gigi yang
sangat tajam. "Ini mulai sakit seluruhnya. Jadi, Becky duduk dan menarik kakinya ke kolam..
Dan... Ketika ia menunduk menatap kaki kirinya, ia melihat hal itu."
Aku berhenti dan menunggu Randy bertanya.
"A-apa?" akhirnya ia bertanya dengan suara gemetar. "Apa yang dia lihat?"
Aku membungkuk dan membawa mulutku dekat ke telinganya. "Semua jari-jari kaki
kirinya hilang," bisikku.
"Tidak!" jerit Randy. Dia melompat berdiri. Dia sepucat hantu, dan ia tampak
benar-benar ketakutan. "Itu tak benar!"
Aku menggeleng serius. Aku memaksa diri untuk tak tersenyum. "Mintalah Becky
melepas sepatu kirinya," kataku. "Kau akan melihat."
"Tidak! Kau bohong!" Randy meratap.
"Tanya dia," kataku pelan.
Dan kemudian aku melirik ke kakiku, dan mataku melebar muncul dengan kengerian.
"R-R-Randy - lihat!" Aku tergagap dan menunjuk dengan tangan gemetar ke kakiku.
Randy menjerit memekakkan telinga saat ia melihat apa yang kutunjuk.
Semua jari kaki pada kaki kiriku hilang.
2 "Aaaaa!" Randy mengeluarkan raungan ketakutan lagi. Lalu ia pergi, berjalan dengan
kecepatan penuh ke rumah, menangis pada Ibu.
Aku mengejarnya. Aku tak ingin mendapat kesulitan karena menakut-nakutinya lagi.
"Randy - tunggu! Tunggu! Aku baik-baik saja!" teriakku, tertawa.
Tentu saja aku membenamkan jari-jariku di tanah.
Dia seharusnya sudah bisa mengetahuinya. Tapi ia terlalu takut untuk berpikir
jernih. "Tunggu!" Aku memanggilnya. "Aku belum menunjukkan padamu monster di pohon!"
Dia mendengarnya. Dia berhenti dan berbalik, wajahnya masih tegang ketakutan.
"Hah?" "Ada monster di pohon," kataku, menunjuk ke pohon sassafras dimana kami baru
saja duduk di bawahnya. "Satu monster pohon. Aku melihatnya!."
"Tak mungkin!" teriaknya, dan mulai berjalan lagi ke rumah.
"Aku akan menunjukkan kepadamu!" Aku memanggil, menangkupkan tangan di sekitar
mulutku jadi dia akan mendengarku.
Dia tak melihat ke belakang. Aku melihatnya tersandung menaiki tangga ke beranda
belakang dan menghilang ke dalam rumah. Pintu kasa terbanting keras di
belakangnya. Aku berdiri menatap bagian belakang rumah, menunggu Randy melongokkan kepala
ketakutannya keluar lagi. Tapi dia tak melakukannya.
Aku tertawa terbahak-bahak. Maksudku, penggigit jari kaki adalah salah satu
ciptaan terbaikku. Dan kemudian jari kakiku menggali ke dalam tanah dan juga
berpura-pura monster itu mendapatkanku - lelucon yang lucu sekali!
Randy yang malang. Dia benar-benar terlalu mudah jadi korban.
Dan sekarang ia mungkin di dapur, menjerit mengadukanku pada Ibu. Itu berarti
dalam waktu dekat aku akan dapat kuliah lain tentang bagaimana hal itu tak bagus
untuk menakut-nakuti adikku dan memenuhinya dengan cerita-cerita monster yang
menakutkan. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan"
Aku berdiri di sana menatap rumah, menunggu salah satu dari mereka untuk
memanggilku masuk. Tiba-tiba satu tangan meraih bahuku keras dari belakang.
"Kena kau!" satu suara menggeram.
"Oh!" Aku menjerit dan hampir melompat keluar dari kulitku (maksudnya sangat
kaget-pen). Monster! Aku berbalik - dan menatap wajah tertawa dari temanku Aaron Messer.
Aaron tertawa terkikik bernada tinggi sampai dia meneteskan air matanya.
Aku menggelengkan kepala, mengerutkan kening. "Kau tak membuatku takut," aku
bersikeras. "Oh. Tentu," jawabnya sambil memutar bola mata birunya. "Itu sebabnya kau
berteriak minta tolong!"
"Aku tak berteriak minta tolong," protesku. "Aku hanya sedikit berteriak.
Terkejut. Itu saja."
Aaron terkekeh. "Kau pikir itu adalah monster. Akuilah."
"Monster?" kataku, mencibir. "Mengapa aku berpikir begitu?"
"Karena itu yang kaupikirkan," katanya puas. "Kau terobsesi."
"Oooh. Omong kosong!." Aku menggodanya.
Aaron adalah satu-satunya temanku yang terjebak di sekitar musim panas ini
(dalam ebook inggrisnya rammer, mungkin yang benar summer, karena rammer adalah
nama peralatan hidrolis -pen) . Orang tuanya akan membawanya di suatu tempat ke
barat dalam beberapa bulan. Tapi sementara ini dia terjebak seperti aku, cuma
nongkrong, mencoba untuk mengisi waktu.
Aaron sekitar satu kaki lebih tinggi dariku. Dia memiliki rambut merah keriting
dan bintik-bintik di seluruh wajahnya. Dia sangat kurus, dan ia memakai celana
kolor longgar panjang yang membuatnya tampak lebih kurus.
"Aku baru saja melihat Randy lari ke rumah. Mengapa dia menangis seperti itu?"
tanya Harun, melirik ke rumah.
Aku bisa melihat Randy di jendela dapur, menatap kami.
"Kupikir dia melihat monster," kataku pada Harun.
"Hah" Jangan monster lagi!" teriak Aaron. Dia memberiku dorongan main-main.
"Pergi dari sini, Lucy!"
"Ada satu di atas pohon itu," kataku serius, menunjuk.
Aaron berbalik untuk melihat. "Kau begitu dungu," katanya, sambil menyeringai.
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras. "Ada satu monster asli yang jelek. Kurasa ia
terjebak di sana di pohon itu."
"Lucy, hentikanlah," kata Aaron.
"Itulah yang Randy lihat," aku lanjutkan. "Itulah yang membuatnya lari berteriak
ke dalam rumah." "Kau melihat monster di mana-mana," kata Aaron. "Apakah kau tak pernah lelah
akan itu?" "Aku tak bercanda kali ini," kataku.
Daguku gemetar, dan ekspresi wajahku berubah menjadi rasa takut saat aku menatap
langsung melewati bahu Aaron di pohon sassafras besar berdaun itu. "Aku akan
membuktikan kepadamu."
"Ya. Tentu," jawab Harun dengan kesinisan yang biasa.
"Sungguh. Ambillah sapu." Aku menunjuk ke sapu yang bersandar di belakang rumah.


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hah" Apa?" tanya Aaron.
"Ambillah sapu," aku bersikeras. "Kita akan melihat apakah kita bisa membuat
monster itu turun dari pohon."
"Eh.. Mengapa kita perlu melakukan itu?" tanya Aaron. Dia terdengar sangat ragu-
ragu. Aku bisa melihat bahwa ia mulai bertanya-tanya apakah aku sedang serius
atau tidak. "Jadi kau akan percaya padaku," kataku serius.
"Aku tak percaya pada monster," jawab Aaron. "Kau tahu itu, Lucy. Simpan cerita
monstermu untuk Randy Dia cuma anak-anak."
"Apakah kau percaya padaku jika salah satunya jatuh keluar dari pohon itu?"
tanyaku. "Tak ada yang akan jatuh keluar dari pohon itu. Kecuali mungkin beberapa daun,"
kata Aaron. "Pergilah ambil sapu dan kita akan lihat," kataku.
"Oke. Baik." Ia pergi berlari menuju rumah.
Aku meraih sapu keluar dari tangannya ketika ia membawanya di atas. "Ayo,"
kataku, memimpin jalan ke pohon. "Kuharap monster itu belum naik lagi."
Aaron memutar matanya. "Aku tak percaya aku akan sejauh ini, Lucy. Aku pasti
benar-benar bosan!."
"Kau tak akan bosan dalam satu detik," aku berjanji. "Jika monster pohon itu
masih di atas sana."
Kami melangkah ke bayangan pohon. Aku bergerak mendekat ke batang pohon dan
mendongak menatap cabang-cabang berdaun yang hijau. "Wah. Masih di sana." Aku
meletakkan tanganku di dada Harun, menahannya. "Ini bisa berbahaya."
"Yang benar saja," gumamnya pelan.
"Aku akan mencoba mengguncang cabang itu dan membawanya turun," kataku.
"Ayo kita luruskan ini," kata Aaron. "Kau berharap aku untuk percaya bahwa kau
akan mengambil sapu, mengguncang cabang pohon, dan monster itu akan jatuh dari
atas sana?" "He-eh." Aku bisa melihat bahwa gagang sapu itu tak cukup panjang untuk
mencapai. "Aku harus memanjat sedikit," kataku Harun.
"Cuma hati-hati, oke?"
"Ooh, aku gemetar. Aku begitu takut.!" teriak Aaron, mengolok-olokku.
Aku menggesek atas batang pohon dan menarik diriku ke dahan terendah. Butuh
waktu karena aku membawa sapu di satu tangan.
"Kau lihat ada monster menakutkan di atas sana?" tanya Harun dengan puas.
"Itu di sana," aku turun, ketakutan merayap ke dalam suaraku. "Itu terjebak di
sana. Ia.... kurasa sangat marah."
Aaron mencibir. "Kau begitu bodoh."
Aku menarik diri ke posisi berlutut di ujung dahan. Lalu aku mengangkat sapu di
depanku. Aku mengangkatnya ke cabang berikutnya. Lebih tinggi. Lebih tinggi.
Kemudian, sambil memegang erat-erat pada batang dengan tangan yang bebas, aku
mengangkat sapu sejauh-jauhny - dan mendorongnya ke dahan pohon.
Sukses! Aku menurunkan mataku segera untuk menonton Aaron.
Dia menjerit memekakkan telinga ngeri saat monster itu jatuh dari pohon dan
mendarat tepat di dadanya.
3 Yah, sebenarnya itu bukan monster yang mendarat dengan suara berdebum, gemeretak
lembut di dada Aaron. Itu adalah sarang burung tua lusuh yang dibuat burung jay biru dua musim semi
yang lalu. (burung jay = burung kecil berjambul dengan warna bulu yang terang. Habitatnya
daerah pepohonan. Termasuk hewan omnivora, memakan biji-bijian, amfibi kecil,
serangga, dan terkadang memakan telur dan anak burung lainnya)
Tapi Aaron tak menduganya. Jadi membuatnya benar-benar ketakutan.
"Kena kau!" Aku memproklamirkan setelah turun dari pohon.
Dia merengut padaku. Wajahnya berwarna agak ungu, yang membuat bintik-bintiknya
itu terlihat benar-benar aneh. "Kau dan monstermu," gumamnya.
Itulah persisnya yang dikatakan ibuku sekitar sepuluh menit kemudian. Aaron
sudah pulang, dan aku datang ke dapur dan menarik kotak jus keluar dari kulkas.
Benar saja, Ibu muncul di ambang pintu, matanya tajam dan dingin, ekspresi
wajahnya cemberut. Aku bisa melihat langsung bahwa ia siap untuk memberikan
ceramah "Jangan Menakuti Randy".
Aku bersandar meja dan pura-pura mendengarkan. Ide dasar dari ceramah itu adalah
bahwa cerita-ceritaku membuat gangguan permanen pada adik kecilku yang lembut.
Bahwa aku harusnya mendorong Randy jadi pemberani, bukan membuatnya takut bahwa
monster mengintai di setiap sudut.
"Tapi, Bu - aku melihat monster asli di bawah pagar pagi ini!" Kataku.
Aku benar-benar tak tahu mengapa aku mengatakan itu. Kurasa aku hanya ingin
mengganggu ceramahnya. Ibu jadi benar-benar jengkel. Dia mengangkat tangannya dan mendesah. Dia
memiliki rambut hitam mengilap lurus, seperti Randy dan aku, dan dia memiliki
mata hijau, mata kucing, dan hidung kecil kucing. Setiap kali Ibu mulai padaku
dengan salah satu ceramahnya, aku selalu membayangkannya dengan kucing menerkam.
Jangan salah. Dia sangat cantik. Dan dia juga ibu yang baik.
"Aku akan membicarakan hal ini dengan ayahmu malam ini," katanya. "Ayahmu
berpikir obsesi monster ini hanya satu tahap yang sedang kau alami. Tapi aku tak
begitu yakin." "Hidup hanyalah satu tahap yang kualami," kataku pelan.
Kurasa itu cukup pintar. Tapi dia hanya menatapku.
Lalu dia mengingatkanku bahwa jika aku tak terburu-buru, aku akan terlambat
untuk pertemuan Reading Rangers-ku.
Aku melirik jam. Dia benar. Janjiku adalah jam 04:00.
Reading Rangers adalah program membaca musim panas di perpustakaan kota yang Ibu
dan Ayah membuatku masuk mendaftarkan diri. Mereka mengatakan bahwa mereka tak
ingin aku menyia-nyiakan seluruh musim panas. Dan jika aku bergabung dengan hal
ini di perpustakaan, setidaknya aku pernah membaca beberapa buku bagus.
Cara kerja Reading Rangers adalah aku harus pergi menemui Pak Mortman,
pustakawan, seminggu sekali. Dan aku harus memberikan laporan singkat dan
menjawab beberapa pertanyaan tentang buku yang kubaca minggu itu. Aku mendapat
satu bintang emas untuk setiap buku yang kulaporkan.
Jika aku mendapatkan enam bintang emas, aku mendapatkan hadiah. Kupikir
hadiahnya adalah sebuah buku. Hebat, kan" Tapi itu cuma cara untuk membuatmu
membaca. Kupikir aku akan membaca beberapa novel misteri menakutkan yang dibaca semua
teman-temanku. Tapi tidak. Pak Mortman menekankan pada semua orang membaca buku
"klasik." Maksudnya buku-buku lama.
"Aku akan meluncur ke atas," kataku pada ibuku, dan bergegas ke kamarku untuk
mengambil sepatu rodaku. "Sebaiknya kau terbang di atas!" teriak ibuku padaku. "Hei," ia menambahkan
beberapa detik kemudian, " Tampaknya seperti hujan!"
Dia selalu memberiku laporan cuaca.
Aku melewati kamar Randy. Dia di sana dalam kegelapan, tanpa cahaya, bayangan-
bayangan yang tertarik. Bermain Super Nintendo, seperti biasa.
Pada saat aku memasang sepatu roda dan mengikatnya, aku hanya punya waktu lima
menit untuk sampai ke perpustakaan itu. Untungnya, itu hanya enam atau tujuh
blok jauhnya Bagaimanapun juga aku berada dalam kesulitan besar. Aku hanya berhasil membaca
empat bab dari Huckleberry Finn, bukuku selama seminggu. Itu berarti aku harus
menipu Pak Mortman. Aku mengambil buku itu dari rakku. Buku ini bersampulkan kertas tipis yang baru.
Aku mengusutkan beberapa halaman dekat bagian belakang agar terlihat seolah-olah
aku membaca sejauh itu. Aku memasukkannya ke dalam ranselku, bersama dengan
sepasang sepatu kets. Lalu aku berjalan menuruni tangga - tak mudah dengan
bersepatu roda - dan menuju ke perpustakaan kota Timberland Falls.
Perpustakaan berada di rumah tua bobrok di tepi hutan Timberland. Rumah itu
milik salah seorang pertapa tua yang eksentrik. Dan saat dia meninggal, dia tak
punya keluarga, jadi dia menyumbangkan rumah itu ke kota. Mereka merubahnya jadi
perpustakaan. Beberapa anak mengatakan rumah itu berhantu. Tapi anak-anak mengatakan hal itu
hampir pada setiap rumah tua yang menyeramkan. Perpustakaan itu memang lebih
tampak seperti rumah berhantu yang sempurna.
Rumah itu bertingkat tiga tinggi, bersirap gelap, dengan atap gelap runcing di
antara dua menara batu kecil. Rumah itu terletak dibelakang pepohonan, seolah-
olah bersembunyi di sana. Selalu di tempat teduh, selalu gelap dan dingin.
Di dalam, papan lantai tua berderit di bawah karpet tipis yang telah diletakkan
(pegawai) kota. Jendela-jendela yang tinggi membiarkan cahaya yang masuk sangat
sedikit. Dan lemari-lemari buku kayu tua mencapai hampir ke langit-langit.
Ketika aku berjalan melalui gang-gang sempit di antara, rak-rak tinggi gelap,
aku selalu merasa seolah-olah mereka akan menyelimutiku.
Aku punya perasaan menakutkan bahwa rak-rak itu akan bersandar padaku, menutupi
tubuhku, dan aku akan terkubur di sana dalam kegelapan selamanya. Terkubur di
bawah seribu pon debu buku-buku tua yang berjamur.
Tapi tentu saja itu konyol.
Ini hanya satu rumah yang sangat tua. Sangat gelap dan lembab. Sangat berderit-
derit. Tak sebersih seperti perpustakaan yang seharusnya. Banyak sarang laba-
laba dan debu. Mr Mortman melakukan yang terbaik yang ia bisa, kurasa. Tapi dia agak
menyeramkan juga. Hal yang paling dibenci kami semua -anak-anak- tentangnya adalah tangannya yang
selalu tampak basah. Dia akan tersenyum padamu dengan mata bulat hitam kecil di
kepala botak gemuknya yang mengkilap. Dia akan mengulurkan tangan dan menjabat
tanganmu. Dan tangannya selalu basah!
Ketika ia membalik halaman-halaman buku, dia akan meninggalkan sidik jari basah
di sudut-sudutnya. Mejanya selalu memiliki genangan air kecil di atasnya,
cetakan-cetakan tangan basah di atas pelindung meja kulitnya.
Tubuhnya pendek dan bulat. Dengan kepala botak mengkilap dan mata hitam kecil,
ia tampak sangat mirip tikus mondok. Seekor tikus mondok basah-mencakar.
Dia berbicara dengan suara tinggi kasar. Hampir selalu berbisik. Dia bukanlah
orang jahat, sungguh. Dia tampaknya menyukai anak-anak. Dia tak buruk atau apa
pun. Dan dia benar-benar menyukai buku.
Dia hanya aneh, itu saja. Dia duduk di bangku kayu tinggi yang membuatnya
melayang-layang di atas meja yang besarnya. Dia menyimpan satu panci aluminium
yang dalam di samping mejanya. Di dalam panci itu beberapa kura-kura kecil,
bergerak berputar-putar dalam air yang kira-kira seinci. "Teman-temanku yang
pemalu," kudengar dia memanggil mereka suatu kali.
Terkadang ia akan mengambil salah satu dari mereka dan menahannya di jari-jari
gemuk, tinggi di udara, sampai kura-kura itu memasukkan dirinya ke cangkangnya.
Lalu ia dengan lembut akan meletakkannya, tersenyum senang di wajah pucatnya
yang kendur. Dia begitu mencintai kura-kuranya. Kukira mereka baik-baik saja sebagai hewan
peliharaan. Tapi mereka adalah jenis yang berbau. Aku selalu berusaha untuk
duduk di sisi lain meja, sejauh mungkin yang aku bisa dari panci kura-kuranya.
Yah, aku meluncur ke perpustakaan secepat yang aku bisa. Aku hanya terlambat
beberapa menit aku aku meluncur ke bayangan jalanan masuk perpustakaan yang
dingin. Langit berawan. Aku duduk di tangga batu dan melepas sepatu roda. Lalu
aku cepat-cepat memasang sepatuku dan membawa sepatu rodaku, aku berjalan
melalui pintu depan. Berjalan melalui tumpukan-tumpukan rak tinggi yang sempit di bagian belakang
ruang baca utama - Aku menjatuhkan sepatu luncur ke dinding. Lalu dengan cepat
aku berjalan melalui gang ke meja Mr Mortman di dinding belakang.
Ia mendengar langkah-langkah kakiku dan segera mendongak dari tumpukan buku yang
dia cap dengan cap besar. Lampu langit-langit membuat kepalanya yang botak
bersinar seperti lampu. Dia tersenyum.
"Hai, Lucy," katanya dengan suara melengking itu. "Jadi benar kau."
Aku menyapanya dan duduk di kursi lipat di depan mejanya. Aku mengawasinya
mencap buku-buku itu. Ia memakai sweater abu-abu berleher kura-kura yang
membuatnya terlihat sangat mirip kura-kura peliharaannya.
Akhirnya, setelah melirik jam besar yang berdetak keras di dinding, dia berbalik
ke arahku. "Dan apa yang kau baca untuk Reading Rangers minggu ini, Lucy?" Dia bersandar di
atas meja itu ke arahku. Aku bisa melihat sidik jari basah pada meja gelap itu.
"Eh... Huckleberry Finn." Aku menarik buku itu dari ranselku dan menjatuhkannya
ke pangkuanku. "Ya, ya. Satu buku yang indah," kata Mr Mortman, sambil melirik buku bersampul
kertas tipis di pangkuanku. "Apakah kau tak setuju?"
"Ya," kataku cepat. "Saya benar-benar menikmatinya aku.... Tidak bisa
meletakkannya." Itu semacam kebenaran. Aku tak pernah mengangkatnya - jadi bagaimana aku bisa
meletakkannya" "Apa yang kau sukai tentang Huckleberry Finn?" Mr Mortman bertanya, tersenyum
menatapku penuh harap. "Eh... deskripsinya (penggambarannya)," kataku.
Aku mendapat bintang emas Reader Rangers bintang emas di saku bajuku. Dan aku
punya sebuah buku baru dalam ranselku - Frankenstein, oleh Mary Shelley.
Mungkin aku akan membaca Frankenstein dengan lantang untuk Randy, pikirku keji.
Itu mungkin akan membuat giginya gemeretak selamanya!
Matahari sore tersembunyi di balik awan-awan hujan menyebar. Aku telah berjalan
hampir sepanjang perjalanan pulang saat aku sadar bahwa aku telah melupakan
sepatu rodaku. Maka aku pun berbalik dan kembali. Aku tak yakin berapa lama perpustakaan tetap
buka. Mr Mortman tampaknya sepenuhnya sendirian di sana, aku berharap dia tak
memutuskan untuk menutup toko lebih awal. Aku benar-benar tak ingin meninggalkan
sepatu roda baruku di sana semalaman.
Aku berhenti dan menatap perpustakaan tua itu. Jauh dalam gelapnya malam, rumah
itu tampaknya menatap kembali ke arahku, jendela-jendela gelapnya seperti mata-
mata hitam tak berkedip. Aku menaiki tangga batu, kemudian ragu-ragu dengan tanganku di pintu. Aku tiba-
tiba kedinginan. Apa itu hanya karena melangkah ke kegelapan malam"
Tidak. Ini sesuatu yang lain.
Aku punya perasaan aneh. Perasaan buruk.
Aku kadang-kadang mendapatkan itu. Satu sinyal. Saat gelisah.
Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi.
Menghilangkan perasaan itu, aku membuka pintu tua yang berderit dan melangkah ke
dalam kegelapan perpustakaan yang pengap.
4 Bayangan menari-nari di dinding saat aku berjalan menuju ruang utama. Satu
cabang pohon membentur berisik pada kaca yang tertutup debu dari jendela yang
tinggi. Perpustakaan ini sunyi kecuali deritan papan lantai di bawah sepatuku. Saat aku
memasuki ruang utama, aku bisa mendengar (bunyi) tetap tik-tik-tik dari jam
dinding. Semua lampu telah dipadamkan.
Kupikir aku merasakan sesuatu yang berlari cepat di sepatuku.
Seekor tikus" Aku berhenti dan melirik ke bawah.
Hanya bola debu yang menempel ke dasar rak buku.
Wah, Lucy, aku memarahi diriku sendiri. Ini hanya perpustakaan tua berdebu. Tak
ada yang aneh tentangnya. Jangan biarkan imajinasi liarmu mengambil alih dan
membawamu ke dalam kesulitan
Masalah" Aku masih punya perasaan aneh. Setahap demi setahap tetapi terus-menerus membuat
perih perut. Satu sentakan di dadaku.
Ada sesuatu yang tak benar. Sesuatu yang buruk akan terjadi.
Orang-orang menyebutnya firasat. Itu satu kosa kata yang pas untuk apa yang
kurasakan saat ini. Aku menemukan sepatu rodaku tempat dimana kutinggalkan, pada dinding belakang
dalam tumpukan-tumpukan. Aku menyambarnya, ingin segera keluar dari tempat gelap
menyeramkan itu. Aku melangkah cepat-cepat kembali ke arah pintu masuk, berjingkat untuk suatu
alasan. Tapi suatu suara membuatku berhenti.
Aku menahan napasku. Dan mendengarkan.
Itu hanya batuk. Mengintip menyusuri gang sempit itu, aku bisa melihat Mr Mortman melayang di
atas mejanya. Yah, sebenarnya, aku hanya bisa melihat bagian dari dirinya - satu
lengan, dan sebagian wajahnya saat ia membungkuk ke kiri.
Aku masih menahan napasku.


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tik-tik tik, jam berdetak ribut dari seberang ruangan. Di belakang mejanya, dari
wajah Mr Mortman bergerak-gerak masuk dan keluar bayangan biru-ungu.
Sepatu roda ini tiba-tiba terasa berat. Aku pelan-pelan menurunkannya ke lantai.
Lalu rasa ingin tahuku mengalahkanku, dan aku mengambil beberapa langkah ke arah
depan. Mr Mortman mulai bersenandung untuk dirinya sendiri. Aku tak mengenali lagu itu.
Bayang-bayang jadi lebih dalam saat aku mendekat. Mengintip lorong gelap, aku
melihatnya memegang stoples kaca besar antara tangan-tangannya yang gemuk. Aku
cukup dekat untuk melihat bahwa wajahnya tersenyum senang.
Menjaga dalam bayang-bayang, aku begerak lebih dekat.
Aku suka memata-matai orang. Itu menggairahkan, bahkan saat mereka tak melakukan
sesuatu yang sangat menarik.
Hanya mengetahui bahwa kau sedang melihat mereka dan mereka tak tahu bahwa
mereka sedang diawasi itu menarik.
Bersenandung pada dirinya sendiri, Mr Mortman menahan stoples itu di depan
dadanya dan mulai membuka tutup atas. "Lalat-lalat buah, teman-teman pemaluku,"
katanya dalam nada tinggi suaranya.
Jadi. Toples itu penuh dengan lalat.
Tiba-tiba, ruangan itu jadi lebih gelap saat awan bergulung di atas matahari
sore. Cahaya dari jendela meredup. Bayangan-bayangan abu-abu berputar di atas Mr
Mortman dan meja besarnya, seolah-olah menyelimuti dirinya dalam kegelapan.
Dari tempat persembunyianku di antara rak-rak, aku melihat dia mempersiapkan
untuk memberi makan kura-kura itu.
Tapi tunggu dulu. Ada sesuatu yang salah. Firasatku jadi nyata. Sesuatu yang aneh sedang terjadi!
Saat dia berusaha untuk membuka tutup stoples, wajah Mr Mortman mulai berubah.
Kepalanya melayang naik dari kerah bajunya yang melipat ke bawah dan mulai
mengembang, seperti balon yang digelembungkan.
Aku mengeluarkan satu hembusan napas pelan saat aku melihat matanya yang kecil
mencuat dari kepalanya. Mata menonjol membesar dan lebih besar, sampai sebesar
gagang pintu. Cahaya dari jendela jadi lebih redup.
Seluruh ruangan memproyeksikan dalam bayang-bayang tebal. Bayang-bayang itu
berayun dan bergeser. Aku tak bisa melihat dengan baik. Rasanya aku seperti melihat segala sesuatu
melalui kabut gelap. Mr Mortman terus bersenandung, bahkan saat kepalanya bergerak-gerak dan
berdenyut-denyut di atas bahunya dan matanya menonjol keluar seperti pada
tangkai (bunga), mengulur ke atas seperti antena serangga.
Dan kemudian mulutnya mulai berputar dan tumbuh. Terbuka lebar, seperti sebuah
lubang hitam menganga di kepala besar yang mengangguk-angguk.
Mr Mortman sekarang bernyanyi lebih keras. Satu suara ngeri yang menakutkan,
lebih mirip lolongan binatang daripada nyanyian.
Dia melepas tutup stoples dan membiarkannya jatuh ke meja. Stoples itu
berdentang keras saat membentur bagian atas meja.
Aku mencondongkan tubuh ke depan, berusah untuk melihat. (Dengan) menyipitkan
mata tajam, aku melihat Mr Mortman memasukkan tangan gemuknya ke dalam botol
itu. Aku bisa mendengar dengungan keras dari botol itu. Dia mengeluarkan
beberapa lalat. Aku bisa melihat mata menonjolnya jadi lebih lebar.
Aku bisa melihat lubang hitam menganga yang mulutnya.
Dia menahan tangannya sebentar di kandang kura-kura kecil. Aku bisa melihat
lalat-lalat itu, titik-titik hitam di seluruh tangannya. Di telapak tangannya.
Pada jari-jari gemuknya yang pendek .
Kupikir dia akan menurunkan tangannya ke lubang aluminium itu. Kupikir dia akan
memberi makan kura-kura. Tapi, sebaliknya, ia menjejalkan lalat-lalat itu ke mulutnya sendiri.
Aku menutup mata dan menahan tanganku ke mulutku untuk menahan muntah.
Atau teriakan. Aku menahan napas, tapi hatiku terus berpacu.
Bayang-bayang itu bergerak tiba-tiba dan melompat. Kegelapan seolah-olah
mengapung di sekelilingku.
Aku membuka mataku. Dia sedang makan segenggam lalat lainnya, mendorongnya ke
dalam mulut menganganya dengan jari-jarinya, menelan mereka semuanya.
Aku ingin berteriak. Aku ingin lari. Mr Mortman, kusadari, adalah monster.
5 Bayang-bayang itu tampak menarik diri. Langit di luar jendela cerah, dan
segitiga abu-abu cahaya jatuh di atas meja Mr Mortman itu.
Membuka mataku, aku menyadari bahwa aku telah menahan napas. Dadaku terasa
seolah-olah akan meledak. Aku membiarkan udara keluar perlahan dan menarik napas
dalam-dalam lainnya. Kemudian, tanpa melirik lagi ke depan ruangan, aku berbalik dan berlari.
Sepatuku berdebam di lantai berderit, tapi aku tak peduli.
Aku harus keluar dari sini secepat yang aku bisa.
Aku meloncat keluar pintu depan perpustakaan ke tangga batu, kemudian menyusuri
jalan kerikil. Aku berlari secepat aku bisa, lenganku terbang liar di
pinggangku, rambut hitamku bertiup di belakangku.
Aku tak berhenti sampai aku satu blok jauhnya.
Lalu aku jatuh ke tepi jalan dan menunggu hatiku untuk berhenti berdebar seperti
genderang . Awan hujan padat menggulung matahari lagi. Langit menjadi menakutkan kuning-
hitam. Sebuah mobil station wagon bergemuruh lewat. Beberapa anak-anak di
belakang itu memanggilku, tapi aku tak mengangkat kepalaku.
Aku terus melihat adegan bayangan itu di perpustakaan lagi dan lagi.
Mr Mortman adalah monster.
Kata-kata berulang-ulang tanpa henti dalam pikiranku.
Ini tak bisa, pikirku, menatap awan hitam yang sangat rendah di atas kepala.
Aku telah melihat benda-benda. Pasti itu.
Semua bayangan di perpustakaan gelap itu. Semua kegelapan yang berputar-putar.
Itu adalah ilusi optik. Itu adalah imajinasi liarku.
Itu adalah lamunan, satu fantasi konyol.
Tidak! Teriak satu suara yang nyaring di kepalaku.
Tidak, Lucy, kau melihat kepala Mr Mortman yang menonjol itu. Kau melihat
matanya menonjol keluar dan tumbuh seperti jamur payung mengerikan di wajah
balonnya. Kau melihatnya meraih lalat dalam stoples. Kau mendengarnya bersenandung begitu
bahagia, begitu. . . lapar.
Kau melihatnya menjejalkan lalat-lalat itu ke dalam mulutnya. Tidak segenggam
penuh, tapi dua genggam. Dan mungkin dia masih di sana, makan kenyang.
Saat itu gelap, Lucy. Di sana ada bayangan-bayangan. Tapi kau melihat apa yang
kau lihat. Kau melihat semua itu.
Mr Mortman adalah monster.
Aku berdiri. Aku merasa setetes hujan dingin di atas kepalaku.
"Mr Mortman itu monster." Aku berkata dengan keras.
Aku tahu aku harus memberitahu Ibu dan Ayah secepat yang aku bisa.
"Pustakawan itu monster." Itulah yang akan aku beritahukan pada mereka.
Tentu saja, mereka akan terkejut. Siapa yang tidak"
Merasa tetesan hujan lain di kepalaku, lalu satu lagi di bahuku, aku mulai
berlari-lari kecil ke rumah. Aku sudah berlari sekitar setengah blok saat aku
berhenti. Sepatu roda bodoh itu! Aku telah meninggalkannya di perpustakaan lagi.
Aku berputar kembali. Hembusan angin keras meniup rambutku di depan wajahku. Aku
mendorongnya kebelakang dengan kedua tangan. Aku berpikir keras, mencoba untuk
mencari tahu apa yang harus dilakukan.
Hujan berderai-derai lembut di trotoar jalan. Air hujan yang dingin terasa
nyaman di dahiku yang panas.
Kuputuskan untuk kembali ke perpustakaan dan mengambil sepatu rodaku. Kali ini,
aku akan membuat banyak suara. Memastikan Mr Mortman tahu ada orang di sana.
Jika ia mendengar aku datang, aku yakin ia akan bersikap normal. Dia tak akan
makan lalat di depanku. Dia tak akan membiarkan matanya menonjol dan kepalanya
tumbuh seperti itu. Dia akan begitu kan"
Aku berhenti saat perpustakaan kembali lagi ke tampak. Aku ragu-ragu, menatap
melalui hujan gerimis di gedung tua itu.
Mungkin aku seharusnya menunggu dan kembali besok dengan ayahku.
Bukankah itu lebih pintar"
Tidak, aku memutuskan aku ingin sepatu rodaku. Dan aku akan mendapatkannya. Aku
selalu cukup berani. Waktu itu seekor kelelawar terbang masuk ke dalam rumah kami, akulah orang yang
memekik, berteriak dan mengejar keluar dengan jaring kupu-kupu.
Aku tak takut kelelawar. Atau ular. Atau serangga.
"Atau monster," kataku keras-keras.
Saat aku berjalan ke bagian depan perpustakaan, hujan berderai-derai lembut di
sekelilingku, aku terus berkata pada diriku sendiri untuk membuat banyak suara.
Memastikan Mr Mortman tahu kau ada di sana, Lucy. Memanggilnya. Katakan padanya
kau datang kembali karena kau meninggalkan sepatu rodamu.
Ia tak akan membiarkanmu melihat bahwa dia monster jika dia tahu kau berada di
sana. Dia tak akan menyakitimu atau apa pun jika kau memberinya beberapa peringatan.
Aku terus meyakinkan diriku sendiri sepanjang jalan sampai ke gedung, gelap tua
itu. Aku menaiki tangga batu ragu-ragu.
Lalu, sambil mengambil napas dalam-dalam, aku meraih pegangan pintu dan mulai
masuk. 6 Aku memutar kenop dan mendorong, tapi pintu tak mau terbuka. Aku mencoba lagi.
Aku perlu waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa pintu itu terkunci.
Perpustakaan telah tutup.
Hujan berderai lembut di rumput saat aku berjalan ke jendela depan. Jendela itu
tinggi dari tanah. Aku harus menarik diriku di kusen jendela untuk melihat ke
dalam. Gelap. Benar-benar gelap.
Aku merasa lega dan kecewa pada saat yang sama.
Aku ingin sepatu rodaku, tetapi aku benar-benar tak ingin kembali di sana.
"Aku akan mengambilnya besok," kataku keras-keras.
Aku merendahkan diri ke tanah. Hujan mulai turun semakin deras, dan angin
beliung meniup hujan dalam lembaran-lembaran.
Aku mulai berlari, sepatuku berlumpur di atas rumput basah. Aku berlari
sepanjang perjalanan pulang. Aku benar-benar basah kuyup saat aku berjalan
melalui pintu depan. Rambutku jadi kusut di atas kepalaku. Bajuku basah kuyup.
"Ibu! Ayah"! Apa kalian di rumah?" teriakku.
Aku berlari melalui lorong, hampir tergelincir di lantai halus, dan mendadak
muncul ke dapur. "Monster!" teriakku.
"Hah?" Randy duduk di atas meja dapur, memisah-misahkan tumpukan besar kacang
panjang untuk Ibu. Dia satu-satunya yang mendongak.
Ibu dan Ayah sedang berdiri di meja, menggulung bakso-bakso kecil di tangan
mereka. Mereka bahkan tak berbalik.
"Monster!" Aku menjerit lagi.
"Dimana?" teriak Randy.
"Apa kehujanan?" tanya Ibu.
"Bukankah kau (seharusnya) berkata: hai?" tanya Ayah. "Apa kau pantas meledak
ke satu ruangan berteriak-teriak" Bukankah aku (harusnya) mendapatkan 'Hai,
Ayah," atau apa" "
"Hai, Ayah," teriakku terengah-engah. "Ada monster di perpustakaan!"
"Lucy, tolong -" Ibu mulai tak sabar.
"Monster macam apa ?" tanya Randy. Dia berhenti memisahkan-misahkan ujung kacang
dan menatap tajam ke arahku.
Ibu akhirnya berbalik. "Kau basah kuyup!" teriaknya. "Kau membanjiri seluruh
lantai. Naiklah dan ganti dengan pakaian kering."
Ayah berbalik, juga, wajahnya berkerut. "Ibumu baru saja mengepel
lantai,''gumamnya. "Aku coba untuk memberitahu kalian sesuatu!" jeritku, mengacungkan kepalan
tanganku di udara. "Tak perlu berteriak," hardik Ibu. "Ganti baju. Lalu katakan pada kami."
"Tapi Mr Mortman itu monster!" teriakku.
"Tak bisakah kau simpan masalah monster sampai nanti" Aku baru pulang, dan aku
punya sakit kepala yang paling buruk," keluh Ayah. Matanya menatap lantai dapur.
Genangan air kecil yang terbentuk sekitarku di lantai linoleum putih.
"Aku serius!" Aku bersikeras. "Mr Mortman - dia benar-benar monster!"
Randy tertawa. "Dia kelihatan lucu."
"Randy, tak bagus mengolok-olok penampilan orang," kata Ibu dengan jengkel. Dia
berbalik padaku. "Lihat apa yang kau ajarkan pada adik kecilmu" Tak bisakah kau
memberi contoh yang baik?"
"Tapi, Bu!" "Lucy, silakan ganti pakaian kering," pinta Ayah. "Lalu turun dan mengatur meja,
oke?" Aku sangat frustrasi! Aku memiringkan kepalaku ke belakang dan mengeluarkan
geraman marah. "Apa tak ada orang di sini yang percaya padaku?" teriakku.
"Ini benar-benar bukan waktunya untuk cerita monstermu," kata Ibu, berbalik
kembali ke baksonya. "Larry, kamu membuatnya terlalu besar," tegurnya pada ayahku. "Itu seharusnya
kecil dan halus." "Tapi aku suka bakso besar," Ayah bersikeras.
Tak ada yang menaruh perhatian kepadaku. Aku berbalik dan berjalan marah keluar
dari dapur. "Apakah Mr Mortman benar-benar monster?" panggil Randy setelahku.
"Aku tak tahu, dan aku tak peduli - tentang apa pun!" jeritku kembali. Aku
begitu marah dan kesal. Mereka tak seharusnya mengabaikanku seperti itu. Yang mereka pedulikan hanyalah
bakso-bakso bodoh mereka.
Sampai di kamarku, aku melepas pakaianku yang basah dan melemparkannya ke
lantai. Aku ganti dengan celana jeans dan kaos ketat.
Apa Mr Mortman itu benar-benar monster"
Pertanyaan terulang dalam kepalaku.
Apa aku membayangkan semuanya"
Apa aku hanya memiliki monster di pikiran"
Begitu gelap dan remang-remang di perpustakaan dengan semua lampu dimatikan.
Mungkin Mr Mortman tak makan lalat. Mungkin ia menariknya keluar dari toples dan
menjadikannya makanan untuk kura-kura peliharaannya.
Mungkin aku membayangkan bahwa ia memakannya.
Mungkin kepalanya tak mengembang seperti balon. Mungkin matanya tak menonjol.
Mungkin itu hanya tipuan kegelapan, bayang-bayang yang menari, lampu abu-abu
yang redup. Mungkin aku perlu kacamata.
Mungkin aku gila dan aneh.
"Lucy - segera turun dan atur meja," panggil ayahku menaiki tangga.
"Oke. Segera datang." Saat aku berjalan ke lantai bawah, aku merasa campur aduk
semua. Aku tak menyebut Mr Mortman saat makan malam. Sebenarnya, Ibu yang
mengajukannya. "Buku apa yang kau memilih untuk dibaca minggu ini?" dia
tanyanya. "Frankenstein," kataku.
Ayah mengerang. "Monster lagi!" serunya, sambil menggeleng. "Apa kau tak pernah
cukup dengan monster" Kau melihat mereka di mana pun kau pergi! Apa kau harus
membaca tentang monster, juga?"
Ayah punya suara menggelegar besar. Segala sesuatu tentang ayahku adalah besar.
Dia terlihat sangat tangguh, dengan dada yang luas dan lengan yang terlihat
kuat. Saat dia berteriak, seluruh rumah bergetar.
"Randy, kau melakukan pekerjaan bagus dengan buncis," kata Ibu, cepat mengubah
topik pembicaraan. Setelah makan malam, aku membantu Ayah (mencuci) piring. Lalu aku naik ke
kamarku untuk mulai membaca Frankenstein. Aku pernah melihat film Frankenstein


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama di TV, jadi aku tahu tentang apa itu. Ini tentang seorang ilmuwan yang
membuat monster, dan monster itu jadi hidup.
Ini kedengarannya seperti semacam ceritaku.
Aku bertanya-tanya apakah itu benar.
Mengejutkan, aku mendapati Randy di kamarku, duduk di tempat tidur, menungguku.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku. Aku benar-benar tidak menyukai dia bermain-
main di kamarku. "Ceritakan tentang Mr Mortman," katanya. Aku bisa tahu dari wajahnya bahwa dia
ketakutan dan bersemangat pada saat yang bersamaan.
Aku duduk di tepi tempat tidur. Aku sadar aku ingin mengatakan kepada seseorang
tentang apa yang terjadi di perpustakaan. Jadi, aku bercerita pada Randy seluruh
kisah itu, dimulai dengan bagaimana aku harus kembali ke sana karena aku
meninggalkan sepatu rodaku.
Randy meremas bantal ke dadanya dan bernapas benar-benar keras. Kurasa, cerita
itu membuatnya sangat ketakutan.
Aku baru saja menyelesaikan bagian mana Mr Mortman menjejalkan segenggam lalat
ke dalam mulutnya. Randy terkesiap. Dia tampak sakit.
"Lucy!" Ayahku tiba-tiba muncul dengan marah ke dalam ruangan. "Apa masalahmu?"
"Tak ada, Yah, aku -"
"Berapa kali kami harus memberitahumu untuk tak menakut-nakuti Randy dengan
cerita konyol monstermu?"
"Konyol?" jeritku. "Tapi, Ayah - yang satu ini benar!"
Dia membuat wajah jijik dan berdiri di sana memelototiku. Aku berharap api
terlepas keluar dari lubang hidungnya setiap saat.
"Aku - aku tak takut. Sungguh!" protes Randy, membelaku. Tapi adikku yang malang
itu (wajahnya) seputih bantal yang dipegangnya, dan (tubuhnya) gemetaran semua.
"Ini peringatan terakhirmu," kata Ayah. "Maksudku, Lucy, aku benar-benar
marah.." Dia menghilang kembali ke bawah.
Aku menatap pintu tempat ia berdiri.
Aku benar-benar marah, pikirku.
Aku benar-benar marah bahwa tak ada seorang pun di keluarga ini percayaku saat
aku sedang serius. Aku tahu saat itu bahwa aku tak punya pilihan.
Aku harus membuktikan bahwa aku bukan pembohong. Aku harus membuktikan bahwa aku
tidak gila. Aku harus membuktikan kepada Ibu dan Ayah bahwa Mr Mortman adalah monster.
7 "Apa itu?" Aku bertanya pada Aaron.
Ini adalah seminggu kemudian. Aku harus melewati rumahnya untuk sampai ke
perpustakaan untuk pertemuan Reading Rangers-ku. Aku berhenti saat melihat Aaron
di halaman depan. Dia melemparkan sebuah cakram biru, lalu menangkapnya saat
benda itu bergerak dengan bersuara ke arahnya.
"Ini semacam Frisbee pada karet gelang panjang," katanya. Dia melemparkan cakram
itu dan langsung kembali dengan cepat. Dia meleset dan cakram itu terbang di
belakangnya, lalu bergerak kembali lagi - dan memukul bagian belakang kepalanya.
"Ini tak persis sebagaimana harusnya bekerja," katanya, tersipu. Dia mulai
melepaskan simpul pada pita karet tebal itu.
"Bisakah aku bermain denganmu?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Ini untuk satu orang, lihat."
"Ini Frisbee untuk satu orang?" tanyaku.
"Ya. Apa kau tak melihat iklan di TV" Kau memainkannya sendiri. Kau melemparnya
dan lalu kau menangkapnya."
"Tapi bagaimana jika seseorang ingin bermain denganmu?" tuntutku.
"Kau tak bisa," jawab Aaron. "Ini tak bekerja seperti itu."
Kupikir itu cukup bodoh. Tapi Aaron tampaknya bersenang-senang. Jadi aku
mengucapkan selamat tinggal dan melanjutkan perjalanan ke perpustakaan.
Ini adalah hari yang cerah yang indah. Semuanya tampak terang dan ceria,
keemasan dan hijau musim panas.
Perpustakaan, seperti biasa, bermandikan bayang-bayang biru. Aku cuma pernah
kembali sekali sejak hari itu. Sekali dengan sangat cepat, untuk mengambil
sepatu rodaku. Aku berhenti di pinggir jalan, menatapnya. Aku tiba-tiba merasa
kedinginan. Seluruh dunia tampaknya jadi lebih gelap di sini. Lebih gelap dan lebih dingin.
Cuma imajinasiku" Kita akan lihat, pikirku. Kita akan lihat hari ini, apa yang nyata dan apa yang
tidak. Aku menarik ranselku dari bahuku, dan berayun di talinya, berjalan ke pintu
depan. Sambil mengambil napas dalam-dalam, aku membuka pintu dan melangkah
masuk. Bertengger di atas meja di ruang baca utama, Mr Mortman baru saja selesai dengan
anggota Reading Rangers lainnya. Itu gadis yang kukenal di sekolah, Ellen
Borders. Aku menyaksikan dari ujung deretan panjang buku. Mr Mortman mengatakan selamat
tinggal. Dia menyerahkan sebuah bintang emas. Lalu ia menjabat tangan Ellen, dan
aku bisa melihat Ellen mencoba untuk tak membuat wajah jijik. Tangannya mungkin
basah kuyup, seperti biasa.
Ellen mengatakan sesuatu, dan mereka berdua tertawa. Sangat gembira.
Ellen berkata selamat tinggal dan menuju pintu. Aku melangkah keluar untuk
menyambutnya. "Buku apa yang kau dapatkan?" Tanyaku setelah kami telah saling menyapa.
Dia mengangkatnya untukku. "Ini disebut White Fang," katanya.
"Ini tentang monster?" tebakku.
Dia tertawa. "Tidak, Lucy. Ini tentang anjing."
Kupikir aku melihat kepala Mr Mortman terangkat ketika aku mengatakan kata
monster. Tapi mungkin aku hanya membayangkannya.
Aku mengobrol sebentar lagi dengan Ellen, yang telah (membaca) tiga buku lebih
banyak dariku di musim panas ini. Dia hanya perlu satu buku lagi yang dibaca
untuk mendapatkan hadiahnya. Pamer sekali.
Aku mendengar pintu depan ditutup di belakangnya saat aku duduk di samping meja
Mr Mortman dan menariknya buku Frankenstein dari kantong bukuku.
"Apakah kau menikmatinya?" tanya Mr Mortman. Dia sedang mempelajari kura-
kuranya, tapi ia berbalik ke arahku, wajahnya tersenyum ramah.
Dia mengenakan baju berkerah lainnya, kuning cerah saat ini. Aku melihat bahwa
ia mengenakan cincin besar ungu di salah satu jari gemuknya yang berwarna merah
jambu. Dia memutar-mutar cincin itu saat ia tersenyum padaku.
"Ini agak sulit," kataku. "Tapi aku berkorban (untuk) itu."
Aku telah membaca lebih dari setengah yang satu ini. Aku akan menyelesaikannya
jika ia tak punya tipe kecil yang serupa.
"Apakah kau menikmati deskripsi dalam buku ini, juga?" tanya Mr Mortman,
mendekatiku di atas meja.
Mataku menangkap stoples besar lalat di rak di belakangnya. Stoples itu sangat
penuh. "Well, ya," kataku. "Aku agak mengharapkan lebih banyak aksi."
"Apa bagian favoritmu dari buku itu?" tanya Mr Mortman.
"Monster!" Aku langsung menjawab.
Aku mengamati wajahnya untuk melihat apakah ia bereaksi terhadap kata itu. Tapi
dia bahkan tak berkedip. Mata yang kecil hitam tetap terkunci padaku.
"Monster itu benar-benar hebat," kataku. Aku putuskan untuk mengujinya.
"Bukankah akan sangat bagus jika ada monster yang asli, Mr Mortman?"
Sekali lagi dia tak berkedip.
"Kebanyakan orang tak akan terlalu senang tentang itu," katanya pelan, memutar-
mutar cincin ungunya. "Kebanyakan orang suka mendapatkan ketakutan mereka dalam
buku atau di film Mereka tak ingin mereka menjadi takut dalam kehidupan nyata.."
Dia terkekeh. Aku memaksakan diri untuk tertawa juga.
Aku menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan tes kecilku. Aku mencoba untuk
membuatnya berbuat satu kesalahan, untuk mengungkapkan bahwa ia bukan manusia
asli. "Apakah Anda percaya bahwa monster asli itu ada?" tanyaku.
Tak sangat halus. Aku akui. Tapi dia tak memperhatikannya.
"Apakah aku percaya bahwa seorang ilmuwan seperti Dr Frankenstein bisa membuat
monster hidup?" tanya Mr Mortman. Ia menggelengkan kepala botak bulatnya. "Kita
bisa membuat robot, namun bukan hidup makhluk."
Itu bukan apa yang kumaksud.
Beberapa orang lain datang ke perpustakaan. Seorang gadis kecil dengan neneknya
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 3 Wiro Sableng 042 Badai Di Parangtritis Gerombolan Bidadari Sadis 1
^