Pencarian

Gerombolan Bidadari Sadis 1

Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis Bagian 1


GEROMBOLAN BIDADARI SADIS Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode: Gerombolan Bidadari Sadis
128 hal. 1 PERJALANAN ke Gua Mulut Iblis bukan perja-
lanan yang mudah. Untuk mencapai gua yang ada di
lereng Gunung Tambak Petir itu harus melalui hutan
yang ganas dan penuh dengan binatang buas. Selain
hutan ganas juga tebing curam, ngarai, sungai berarus besar, dan yang paling
berbahaya adalah melalui lumpur hidup di sebuah rawa yang luas. Itulah sebabnya
jarang orang yang bisa sampai ke lereng Gunung Tam-
bak Petir dan masuk ke Gua Mulut Iblis.
Tetapi buat Pendekar Rajawali Merah, hal se-
perti itu bukanlah sesuatu yang sulit, dan bukan pula dianggapnya sebagai
rintangan yang berbahaya. Karena saat itu, perjalanan Yoga ke Gua Mulut Iblis
didampingi oleh seekor burung rajawali besar warna merah
yang menjadi sahabat setianya. Burung rajawali merah
itu oleh Yoga sering dipanggilnya dengan sebutan si
Merah. Di atas punggung burung besar itulah Yoga
menungganginya dan dibawanya terbang ke Gunung
Tambak Petir. Mereka melintasi hutan, sungai, ngarai, tebing, dan lembah-lembah
liar. Sekalipun tangan Yoga yang kiri buntung sebatas siku, tetapi ia masih
kelihatan gagah dan tegar dengan mengendarai burung raja-
wali merahnya itu. Rambutnya yang panjang meriap-
riap ke belakang bagai menambah keperkasaannya.
Pada kejap berikutnya, tiba-tiba burung rajawa-
li merah itu terbang menukik turun. Gerakan menukik
itu sangat di luar dugaan Yoga, sehingga Yoga yang sejak tadi merasa heran
mendengar suara kecil yang mi-
rip rintihan dari mulut si Merah itu, sekarang menjadi bertambah heran lagi.
"Mengapa kita turun di hutan itu" Bukankah
Gunung Tambak Petir masih agak jauh lagi?" seru Yo-ga mengajak bicara burungnya.
"Keeaak...! Kreeaak...!" burung itu bukan ber-suara kecil lagi, melainkan
berteriak keras dua kali.
Yoga yang sangat paham dengan bahasa burung itu
segera menjawab,
"Baru sekarang kau merasa lelah dalam perja-
lanan yang belum seberapa jauh, Merah! Ada apa den-
gan diri mu sebenarnya?"
Burung itu tidak mengeluarkan suaranya lagi,
melainkan tetap terbang menukik, dan akhirnya men-
darat di salah satu tempat yang tidak terlalu rapat pe-pohonannya. Sepasang
cakarnya yang kokoh itu men-
darat di atas gundukan tanah berumput yang lega mi-
rip tanah lapang. Tempat itu bergunduk-gunduk tak
rata, memiliki bebatuan yang sudah berlumut hijau.
Yoga segera melompat turun dan berdiri meng-
hadap si Merah. Ia memandang sekeliling sebentar,
ternyata keadaan di sekeliling terasa sangat sepi, tanpa suara satwa satu pun.
Kemudian Yoga pun serukan
kata kepada si Merah,
"Apa maksudmu mengajakku turun ke sini" Ini
bukan lereng Gunung Tambak Petir! Mestinya kita
mendarat di lereng gunung itu, di dekat Gua Mulut Ib-
lis, karena aku harus masuk ke dalamnya dan mencari
Telaga Bangkai tempat bunga Teratai Hitam berada!
Aku harus segera membawa bunga itu untuk me-
nyembuhkan Mahligai."
Burung itu mengangguk-angguk mendengar
Yoga bicara bagai orang mengomel itu. Kemudian ia
diam, memandangi tangan Yoga yang buntung. Pan-
dangan mata burung itu sedikit sayu. Agaknya ia ma-
sih terharu melihat majikannya mengalami nasib se-
malang itu. Kepala si Merah segera didekatkan dan di-
gosok gosokkan ke lengan yang buntung itu, seolah-
olah mengusap-usap lengan itu dengan sedih.
"Kraaakk...!" suaranya tak terlalu keras, tapi Yoga tahu si Merah sedang
menyatakan rasa ibanya
kepada nasib Yoga.
"Sudahlah! Aku bisa menerima keadaanku se-
perti ini! Tak apa, Merah! Kau jangan ikut-ikutan se-
perti gadis-gadis cengeng itu."
"Kreeeak...! Keeekkk...! Krrreeaak...!"
Burung itu mengajaknya bicara, dan Yoga yang
menguasai bahasa isyarat burung itu segera mengerti
maksudnya, bahwa si Merah tidak mau dikatakan se-
bagai burung yang cengeng. Dia hanya merasa iba me-
lihat ketabahan hati Yoga dalam menghadapi cacat
tangannya itu, namun dia juga merasa bangga terha-
dap kegigihan majikannya.
"Kaaaek...! Kaaeek...!"
Setelah berseru dua kali begitu, burung rajawa-
li merah yang besar itu melompat dalam keadaan ter-
bang rendah. Ia hinggap di bawah sebuah pohon jati
yang tumbuh dengan lurus ke atas itu, dahan dan ca-
bangnya pendek-pendek serta daunnya hanya tumbuh
di bagian pucuknya saja. Melihat burung itu bergerak
ke sana, Yoga sedikit bingung mengartikan maksud si
Merah. Tetapi ia segera ikut ke bawah pohon itu dalam jarak sekitar tiga tombak
dari si Merah. "Kraaeek...!" satu kali burung itu berseru, kemudian kedua kakinya melompat ke
sana-sini dengan
satu sayap bergerak-gerak, membentang ataupun
mengibas ke sana-sini. Sayap kanan yang bergerak,
sedangkan sayap yang kiri tetap terkatup diam.
Wees...! Weess...! Zraak...!
Sayap kanan itu bergerak dengan cepat dan
menghantam pohon jati tersebut. Kulit pohon menjadi
koyak hingga serat-serat batangnya pun tampak putus
berhamburan. Kemudian si Merah melompat dan ber-
putar berkeliling dengan cepat, setelah itu kedua cakar kakinya itu menjejak
batang pohon jati tersebut secara beruntun. Gerakan cakarnya begitu cepat dan
tertuju hanya satu tempat. Tempat yang di cakarnya dengan
beruntun itu pun menjadi koyak dan hampir menum-
bangkan pohon jati itu. Kemudian kepala si Merah me-
rendah hampir menyentuh tanah, tapi sayap kanannya
membentang dengan sentakan keras tak sampai me-
nyentuh batang pohon tersebut. Angin yang ditimbul-
kan dari sentakan sayap itu sangat besar dan mem-
buat pohon jati itu akhirnya tumbang terhempas hem-
busan sayap yang di kepakkan satu kali.
Bruuuss...! "Edan burung ini!" pikir Yoga dalam kekagu-
mannya. "Hanya tiga helaan napas ia mampu tum-
bangkan pohon jati itu! Rupanya dia ajarkan jurus ba-
ru padaku. Dan jurus barunya itu hanya mengguna-
kan satu sayap, berarti dia ajarkan jurus baru padaku dengan gunakan satu
tangan." "Kaaakk... kreeahk...!"
"Kau minta aku mencoba jurus itu?" "Kaaak...!"
si Merah mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baik. Tapi lebih dulu aku ingin tahu, dari ma-
na kau bisa mainkan jurus itu?"
"Kak, kak, kak, kaaaaak...!"
"O, dari Eyang Guru Dewa Geledek"! Jadi pada
saat mendiang Dewa Geledek berlatih menggunakan
jurus itu, kau memperhatikannya?"
"Kaaak...!" si Merah kembali anggukkan kepalanya. Yoga tersenyum bangga. "Kau
memang burung yang cerdas, Merah! Banyak sekali jurus-jurus milik
Guru Dewa Geledek bisa kau tirukan! Kalau kau seo-
rang manusia, kau pasti lebih hebat dariku!"
"Keaak.. keaak...!" si Merah gelengkan kepala.
Yoga memberi nama jurus itu sebagai jurus
'Kepak Sayap Tunggal'. Ketika ia mencobanya, terbukti kehebatan dari jurus
'Kepak Sayap Tunggal' tersebut.
Selanjutnya, si Merah ternyata banyak berikan jurus-
jurus yang belum dimiliki oleh Yoga, yaitu jurus yang gunakan satu sayap alias
satu tangan. Rupanya si Merah sengaja membawa Yoga
mendarat di tempat itu untuk ajarkan jurus baru yang
menggunakan satu tangan. Burung cerdik itu ternyata
tahu betul tentang kebutuhan majikannya dalam kea-
daan bertangan satu. Sedangkan sang Majikan ternya-
ta amat menggemari jurus-jurus si Merah, sehingga
mereka pun akhirnya bermalam di hutan itu hanya
untuk pelajari jurus-jurus baru bertangan satu.
Pada waktu istirahat dan tidur, burung rajawali
besar itu merendahkan badannya ke tanah, lalu satu
sayapnya sedikit mengembang. Sayap itulah yang di-
pakai bernaung oleh Yoga. Pendekar tampan bertangan
buntung itu tidur berselimutkan sayap sang rajawali.
Seolah-olah burung besar itu menjaga dan melindungi
majikannya yang sedang tidur dengan nyenyak, agar
jangan sampai ada yang mengganggunya.
Di ujung pagi, Yoga dikejutkan oleh suara lem-
but yang bernada mendesis. Ia terbangun dari tidur-
nya, dan ternyata seekor ular sebesar betis yang cukup panjang sedang merayap
mendekatinya. Baru kini Yo-ga temukan suara satwa di hutan yang sepi itu, dan
satwa itu sekarang sedang mengincar serta ingin me-
mangsanya. Tetapi Rajawali Merah berparuh besar itu men-
gerang panjang dan menampakkan wajah marahnya.
Ketika Yoga keluar dari bawah sayapnya, si Merah se-
gera melompat menyerang ular sebesar betis itu. Gera-
kannya begitu cepat, paruhnya seakan ingin menyam-
bar kepala ular itu, tapi ternyata si Merah berjungkir balik dan menghantamkan
kedua kakinya secara beruntun di kepala ular tersebut. Pada waktu itu, sang
ular bermaksud ingin melompat untuk mematuk leher
rajawali. Tapi ular itu kecele, ternyata justru kepalanya yang kena dua kali
hantaman cakar tajam si rajawali
dengan kuat. Crak, craak...!
Zzzrrr...! Pada saat ular terpental dalam keadaan kepa-
lanya hampir remuk, Yoga menggumam kata dalam
hatinya, "Hmm...! Jurus 'Rajawali Menipu Naga'! Kurasa
nama jurus itu sangat cocok dengan gerakan si Merah
tadi..!" Yoga ingin melanjutkan ucapan batinnya, tapi ia terbungkam seketika
ketika melihat ular berkepala
hampir remuk itu masih bisa menyambar ke arah si
Merah. Tetapi si Merah segera kibaskan sayap kanan-
nya yang membentang dengan sentakan keras dan ular
itu terpental akibat angin kibasan tersebut. Bahkan
kepalanya menjadi hancur sebelum jatuh di bawah se-
buah pohon. "Hebat!" kata Yoga pelan, seperti ditujukan pa-da diri sendiri. "Jurus yang
terakhir itu lebih pantas dinamakan jurus 'Sayap Gempur'!"
"Kaaak...! Kreaaak...!" si Merah bentangkan sayap kanannya lebar-lebar dan
bergerak-gerak kecil
seakan merasa bangga atas kemenangannya. Yoga pun
tertawa sambil mendekatinya dan segera mengusap-
usap dada si Merah sambil berkata,
"Hebat, hebat...! Aku pun akan mempelajari ke-
dua jurusmu itu!"
"Kaak...!" si Merah mengangguk-angguk seolah mendukung niat Yoga yang akan
mempelajari kedua
jurus tersebut. Dan ternyata si Merah benar-benar
membimbing majikannya untuk pelajari kedua jurus
itu dengan sesekali menggeram jengkel jika Yoga laku-
kan kesalahan. Pagi mulai merayap menuju siang, dan mataha-
ri pancarkan sinar panasnya yang cukup menyengat
kulit. Memang belum seberapa tinggi, namun sinar
panas matahari yang baik untuk kesehatan tubuh itu
sudah terasa menyengat. Sebenarnya Yoga belum ingin
berhenti mempelajari jurus-jurus dari si Merah, tetapi agaknya memang ada
sesuatu yang membuatnya terpaksa berhenti.
Di kejauhan sana, Yoga melihat sesosok tubuh
manusia berlari dalam keadaan limbung sana limbung
sini. Orang tersebut bahkan sesekali tampak jatuh tersungkur, lalu bangkit lagi
dan berlari kembali. Lari
orang itu tak terlalu cepat, bahkan berkesan lemah.
Hal itulah yang mengundang perhatian Yoga, sehingga
Yoga berkata kepada si Merah,
"Merah, pergilah dulu! Aku ingin mendekati
orang itu! Kelihatannya ia diburu oleh sesuatu yang
amat ditakuti!"
"Kaaak...!" si Merah mengangguk, kejap berikutnya ia melompat terbang dengan
menyibakkan de-
daunan pohon akibat kepak sayapnya.
Orang yang berlari itu agaknya tidak menghi-
raukan bahwa dalam jarak tak seberapa jauh darinya
itu ada orang lain yang memandanginya. Orang terse-
but juga tidak tahu kalau Yoga berlari memotong arah
melalui kerimbunan semak yang diterabasnya. Karena
itu, orang tersebut terpekik kaget dan berhenti lang-
kahnya ketika tahu Yoga sudah berada di depannya,
bagaikan menghadang langkahnya.
"Aam... ammm... ampuuun...! Jangan pakai
saya lagi! Ampun!" ratap lelaki kurus itu sambil bersujud di tanah di depan
Yoga. "Apa maksud kata-katamu itu, Sobat"!" tanya Yoga dengan dahi berkerut heran.
Orang itu menunduk dengan kaki bersimpuh
dan tubuh gemetar. Wajahnya pucat pasi, bibirnya se-
dikit membiru. Ia masih dilanda ketakutan yang begitu men cekam jiwanya.
"Ssa... saya sudah tak mampu lagi! Saya tidak
kuat, Nyai!" ucapnya sambil menunduk dengan napas terengah-engah. Ia bagaikan
tak berani dongakkan kepala menatap Yoga.
Mendengar orang itu menyebutnya Nyai, Yoga
semakin berkerut dahi dan merasa heran. Segera ia


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui bahwa orang itu salah sangka terhadap-
nya. Maka, Yoga pun membungkuk dan memegang
lengan orang berpakaian abu-abu itu,
"Bangun! Berdirilah...! Aku bukan Nyai. Aku
seorang lelaki, sama sepertimu juga!"
Orang itu segera mendongakkan wajah, dan
memandangi Yoga yang mengenakan baju selempang
dari kulit beruang coklat yang membungkus baju putih
lengan panjang di dalamnya dengan mata sedikit me-
nyipit dan dahi berkerut tajam. Beberapa saat kemu-
dian, agaknya ia segera menyadari bahwa yang ada di
depannya itu memang seorang pemuda, bukan seorang
wanita seperti sangkanya tadi. Maka orang tersebut
segera bangkit dengan tubuh lemas dan sedikit sem-
poyongan. Ketika ia ingin limbung jatuh, Yoga segera
menangkapnya dan membimbingnya berjalan ke ba-
wah sebuah pohon. Di sana ada batu yang bisa dipakai
untuk duduk berukuran setinggi paha. Di sanalah Yo-
ga menyuruh orang itu duduk dan menenangkan diri.
"Tenangkan dulu dirimu. Istirahatlah dulu. Na-
fasmu sangat memburu begitu, jika tak kau tenangkan
bisa putus mendadak!"
Orang itu sesekali memandang cemas ke arah
tempat datangnya. Yoga mengerti, pasti ada orang yang mengejar si lelaki kurus
itu. Karenanya, Yoga segera
bertanya kepada lelaki yang juga berwajah pucat pasi
itu, "Siapa namamu, Sobat?"
"Nnna... na... namaku; Tayon!"
"Kau dikejar seseorang?"
Tayon mengangguk. Yoga memandanginya lebih
cermat lagi. Ia baru tahu bahwa pergelangan tangan
orang itu terluka bagaikan robek dalam bentuk me-
lingkar. "Mengapa tanganmu, Tayon?" tanya Yoga sambil meraih tangan itu dan
memandangi luka di perge-
langannya Tayon tidak menjawab, namun ia segera mem-
buka bajunya, dan Yoga terkejut melihat punggung
Tayon menderita banyak luka membiru bagaikan be-
kas cambukan keji. Luka membiru itu ada yang mem-
buat kulit tubuh koyak dan berdarah, namun sudah
kering. Luka yang berdarah kering itu ada yang melilit sampai ke perut dan
pinggang, bahkan ada luka memar menggores di dada kanannya.
Mata Yoga tak berkedip memandangi bilur-bilur
di tubuh Tayon. Dalam hatinya, Yoga hanya berkata
dalam nada keluh,
"Kasihan sekali dia! Rupanya dia habis dicam-
buk oleh seseorang. Entah siapa orang yang begitu keji terhadapnya, dan entah
mengapa ia dicambuk! Tapi
agaknya, keadaan tubuhnya menjadi rusak akibat
cambuk itu beracun. Bilur-bilur birunya membentuk
warna memecah lebar, seakan tiap cambukan punya
racun yang meresap ke darah dan bergerak menyebar
di bawah kulit."
Lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun
itu berkata di sela sisa engahan nafasnya yang masih
belum terkendali,
"Mereka menyiksaku! Mereka mencambuk ku
tanpa belas kasihan lagi. Dan ketika aku berhasil me-
larikan diri, salah satu mengejarku! Aku sempat ber-
temu dengannya, lalu dicambuknya lagi. Aku menang-
kis dengan tanganku, tapi cambuknya merobek perge-
langan tangan ku ini!"
"Siapa mereka itu?"
"Para bidadari!"
Mata Yoga terkesiap. Mata itu makin tajam
memandang Tayon. Tanpa diminta, Tayon sudah men-
gerti maksud Yoga dan segera ia jelaskan jawabannya
tadi, "Mereka para wanita sadis dan liar! Aku dicu-liknya ketika kapal ku
merapat di pantai sebelah uta-
ra. Dulu, badanku tak sekurus ini...," suaranya mendadak menjadi pelan dan
lemah. Matanya mulai sayu
seperti orang mengantuk. Tapi ia tetap bicara,
"Dulu... badanku segar... kuat dan berotot se-
perti... kamu. Tapi sejak aku disekap di dalam gua itu oleh para bidadari sadis,
badanku menjadi kurus begini dan... dan... tubuhku sangat lemah. Mereka menye-
kapku di dalam gua itu hampir satu bulan penuh.
Dan... baru sekarang aku... punya kesempatan untuk
lari...." "Tayon...!" sergah Yoga dengan satu sentakan, karena wajah Tayon
semakin memutih, suaranya kian
lemah dan matanya bertambah kecil, seakan tak kuat
lagi untuk terbuka lebih lebar lagi. Tapi orang berambut pendek itu masih
teruskan bicaranya,
"Jika kau... bertemu dengan mereka... cepatlah
lari. Jang... jangan... jangan sampai kau dibawanya ke gua itu. Kau akan menjadi
seperti... aku ini...."
"Gua apa maksudmu?"
"Gua.... Gua.... Bidadari!"
Yoga makin berkerut dahi ketika menggumam-
kan kata, "Gua Bidadari?" Sebab, sepertinya ia pernah mendengar nama itu.
Setelah diingatnya sejenak, barulah ia tahu bahwa Gua Bidadari dulu pernah dis-
ebutkan oleh Sendang Suci, si Tabib Perawan itu, yang dikatakan sebagai gua
tempat bersarangnya wanita-wanita liar. Menurut penjelasan Sendang Suci, gua
tersebut diisi oleh banyak wanita cantik yang berilmu tinggi dan berjiwa sadis
(Baca episode: "Misteri Topeng Merah").
Terdengar kembali suara Tayon yang semakin
lirih dengan tubuh bersandar pada batang pohon, le-
mah dan tak bertenaga lagi,
"Salah seorang... dari mereka... sedang menge-
jar ku. Ia bernama... Dewi Sukesi! Ganas... kej... kejam dan...." Hanya sampai
di situ Tayon bicara. Mata Yoga kembali terkesiap curiga. Ia memanggil orang
kurus itu. Tapi tidak ada jawaban. Ia mengguncang-guncang
tubuhnya, tapi tidak ada gerakan lain. Tayon pejam-
kan mata dengan mulut sedikit ternganga. Setelah Yo-
ga memeriksanya, ternyata mulut itulah yang tadi di-
pakai menghembuskan napas terakhir. Tayon mati da-
lam keadaan lemas. Yoga berkata heran di hati,
"Begitu beratkah penderitaannya, sehingga
membuat jiwanya tak tertolong lagi" Oh, tapi... bilur-bilur di perut dan dadanya
itu telah melebar. Tadi tidak sebegini lebar"!"
Yoga penasaran, maka diperiksanya bagian
punggung Tayon, ternyata sekujur punggung menjadi
biru akibat pelebaran luka dan bilur-bilur bekas cam-
bukan. Tak salah, bahwa cambuk orang yang bernama
Dewi Sukesi itu memang beracun membahayakan.
Tayon sendiri bukan orang berilmu tinggi. Bahkan
mungkin pula ia tidak berilmu, sehingga tubuhnya tak
kuat menerima racun cambuk tersebut.
"Kasihan sekali orang ini! Seharusnya aku tadi
jangan dengarkan dulu ceritanya, melainkan cepat
mencoba sembuhkan dia dengan menggunakan hawa
murni ku dulu, setelah itu baru mendengarkan ceri-
tanya! Ah, salah aku! Mestinya aku tadi segera meno-
long dia!"
Yoga menyesal dalam hatinya. Namun sekarang
keadaan sudah telanjur seperti itu. Pendekar Rajawali Merah hanya bisa pandangi
jenazah Tayon yang terkulai bersandar di batang pohon.
Namun tiba-tiba, Pendekar Rajawali Merah se-
gera lompat dan berguling ke tanah ketika ia merasa-
kan ada angin aneh bergerak mendekati bagian bela-
kangnya. Wuuust...! Yoga berguling dengan langsung
sentakkan pinggulnya, sehingga ia tahu-tahu sudah
berdiri lagi dan memandang ke arah belakangnya. Ter-
nyata di sana sudah berdiri seorang gadis cantik ber-
pakaian merah dengan pedang di pinggang.
"Ooo... orang ini yang bernama Dewi Sukesi"!"
pikir Yoga. * * * 2 MATA bening gadis berpakaian merah yang
mengenakan kain semacam jubah tanpa lengan ber-
warna kuning dan panjangnya sampai lutut itu, me-
mandang tajam kepada Yoga. Ia agak curiga dalam ta-
tapan matanya, setelah itu baru menatap mayat
Tayon. Kini pandangan matanya menjadi sedikit me-
nyipit heran. "Tayon..."!" gumamnya lirih sekali.
Yoga tak mau diserang lebih dulu, karena ia in-
gat pesan Tayon, bahwa wanita yang mengejarnya itu
kejam dan ganas. Karena itu, Yoga segera sentakkan
kakinya ke tanah dan melentinglah tubuhnya ke udara
dan bersalto satu kali. Kakinya menendang wajah ga-
dis cantik berhidung mancung itu dengan gerakan ce-
pat. Wuuut...! Plaaak...!
Gadis itu mampu menangkis tendangan kaki
Pendekar Rajawali Merah. Tapi setelah itu ia ter-
huyung-huyung ke belakang dan menggenggam lengan
kirinya yang dipakai menangkis. Dalam hati gadis itu
ia berkata penuh gerutuan,
"Sial! Kurang ajar betul dia! Tendangannya
membuat tulangku bagaikan tertindih besi besar dan
mungkin luka bagian dalamnya! Tendangan ringan be-
gitu sudah bisa membuat tulangku terasa sakit, jika
bukan yang berilmu tinggi, tak mungkin aku merasa-
kan sakitnya sampai ke tulang belakang!"
Pendekar Rajawali Merah tidak menyerangnya
lagi, karena ketika ia pancing dengan berdiri tegak dan diam saja, ternyata
gadis itu tidak membalas seran-gannya. Gadis itu bahkan bertanya dengan suara
ber- nada menghardik,
"Mengapa kau menyerangku. hah"!"
"Karena aku tak ingin kau serang aku seperti
Tayon, Dewi Sukesi!" jawab Yoga, sengaja sambil tersenyum supaya kelihatan
tenang dan meremehkan ga-
dis itu. "Siapa Dewi Sukesi itu" Apakah dia kekasihmu?" "Hmm...! Jangan berlagak
bodoh, Dewi Sukesi!"
Tampak alis mata yang tebal tapi tak terlalu le-
bar dan berbentuk sangat indah itu mengernyit sedikit.
Gadis itu kelihatan heran mendengar kata-kata Pende-
kar Rajawali Merah. Dalam hatinya ia berkata dengan
mata tetap memandang Yoga,
"Tampan sekali dia! Sayang dia tak menunjuk-
kan sikap ramah padaku"! Padahal dia punya senyum
yang ramah dan bisa menjadi lebih menarik lagi jika
tidak memusuhi ku! Hmm... siapa orang bertangan
buntung sebelah itu" Mengapa tangannya yang hanya
satu itu tidak membuatnya berkurang dari ketampa-
nannya" Ia bahkan kelihatan gagah!"
Yoga tahu bahwa gadis itu sedang membatin
perihal dirinya. Yoga sengaja biarkan beberapa saat,
setelah itu baru berkata dengan nada tegas,
"Kau tak akan bisa membuatku seperti Tayon,
Dewi Sukesi!"
"Aku bukan Dewi Sukesi, Bodoh!" bentak gadis itu dengan mata indahnya yang
dilebarkan. "Namaku Kencana Ratih! Aku tak kenal siapa itu Dewi Sukesi!
Jangan sebut-sebut nama kekasihmu di depanku!"
Wajah ketus gadis itu dipamerkan di depan Yo-
ga. Pendekar Rajawali Merah hanya tertegun beberapa
saat. Hasrat memusuhinya mulai mengendur, dan ia
pun bertanya, "Betulkah namamu Kencana Ratih"!"
"Ya!"jawabnya tegas. Ia melangkah dua tindak.
Wajahnya tampak berani menentang pandangan mata
Yoga yang masih kurang percaya itu. Kemudian ia ber-
kata sambil melirik Tayon,
"Aku memang kenal dengan orang itu! Dia seo-
rang awak kapal yang sering memuat rempah-rempah.
Tapi aku tidak tahu kalau dia ada di sini. Setahuku dia sudah ikut berlayar
kembali dengan kapalnya beberapa waktu yang lalu!"
"Dia sudah mati!" kata Yoga singkat.
Kencana Ratih terkesiap, lalu melangkah men-
dekati mayat Tayon dan memeriksanya. Setelah yakin
betul bahwa Tayon sudah tidak bernapas lagi, Kencana
Ratih berpaling memandang Yoga dan bertanya dengan
nada menuduh, "Mengapa kau membunuhnya?"
"Bukan aku yang membunuhnya!" jawab Yoga.
"Dia datang kemari dalam keadaan sudah terluka
cambuk yang beracun. Dia menceritakan pelariannya
dari Gua Bidadari dan..."
"Gua Bidadari"!" sergah Kencana Ratih sambil maju dekati Yoga dua tindak.
Matanya lebih tajam
memandang mata Yoga.
"Menurut pengakuannya, dia dihukum cambuk
di sana! Hampir satu bulan dia ada di dalam gua itu
dan baru sekarang bisa melarikan diri, walau tetap dalam pengejaran...."
"Pantas!" ucap Kencana Ratih sambil meman-
dang mayat Tayon. "Pantas sekali tubuhnya menjadi sekurus itu!"
"Dan dia sebutkan nama pengejarnya adalah
Dewi Sukesi! Kusangka kaulah orangnya yang berna-
ma Dewi Sukesi!"
"Matamu terlalu buta untuk memandang seseo-
rang, dan tak bisa bedakan mana orang jahat dan ma-
na orang baik!"
"Maafkan aku!"
"Justru aku sedang mencari tempat itu! Aku in-
gin datang ke Gua Bidadari dan membantai habis me-
reka jika memang itu perlu!" kata Kencana Ratih dengan air muka penuh
kesungguhan. Pandangan ma-
tanya yang menyipit itu tampak mencerminkan se-
genggam dendam yang sedang ditahannya. Bibirnya
yang tidak terlalu kecil namun berbentuk indah me-
nyegarkan itu tampak cemberut keras karena hawa
murkanya tertahan.
Kesungguhan yang terbentang di wajah cantik
bertubuh sekal itu membuat Yoga percaya dengan apa
yang dikatakan Kencana Ratih, kemudian Yoga pun
berkata dengan tanpa nada permusuhan lagi,


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau boleh ku ingatkan, jangan datang ke
Gua Bidadari. Penghuni gua itu rata-rata berilmu ting-gi. Seorang sahabatku
pernah mengatakan hal itu, ju-
ga menurut keterangan Tayon sebelum ia meninggal,
juga begitu!"
"Aku tak peduli apakah mereka berilmu tinggi
atau tidak, tapi aku tetap harus ke sana!" "Mengapa harus?" "Karena mereka telah
menculik kakakku yang bernama Aditya!"
"Apa kau melihatnya sendiri bahwa orang-orang
penghuni gua itu yang menculiknya" Jangan-jangan
bukan mereka, sehingga kau hanya cari mati saja da-
tang ke sana!"
Kencana Ratih memandang dengan sedikit ma-
ta menyipit. Rupanya ia tak suka direndahkan dan di-
anggap sebagai orang yang tidak cermat dalam bertin-
dak. Dengan nada sedikit ketus ia bertanya,
"Siapa kau sebenarnya, sehingga berani-
beraninya menganggapku sebagai orang bodoh?"
Yoga sunggingkan senyumnya dengan tenang.
"Maaf, aku tidak menganggapmu bodoh. Hmmm... na-
maku Yoga, dan aku orang yang paling menyayangkan
tindakan gegabah seseorang yang sebenarnya kua-
nggap cantik di mataku!"
"Jangan bicara soal cantik!" sergah Kencana Ratih, karena hatinya berdebar
gelisah ketika disebut cantik. Yoga semakin sunggingkan senyumannya, dan
hati Kencana Ratih bertambah berdebar-debar.
"Ku sarankan agar niatmu datang ke sana be-
nar-benar diperhitungkan! Jangan sampai kau tetap
kehilangan kakakmu, namun nyawamu sendiri jadi
ikut hilang juga!"
"Pertimbangan ku tidak sedangkal pertimban-
gan mu, Yoga! Kau tak perlu memberi ku saran begitu,
karena kau bukan penasihat ku!"
"Baik. Itu terserah kamu!" kata Yoga sambil mengangkat kedua pundaknya tanda
pasrah. Sementara itu, Kencana Ratih masih tetap memandangnya
dengan mulut membisu. Kejap berikutnya ia melengos
dan mulai melangkah meninggalkan Yoga tanpa ragu-
ragu. Baru mendapat empat langkah, tiba-tiba Yoga
dan Kencana Ratih sama-sama melihat sekelebat
bayangan berwarna hitam, berlari meninggalkan se-
mak-semak. Dalam pikiran Kencana Ratih langsung
menduga bayangan hitam itu tak lain adalah pakaian
dari seorang mata-mata dari Gua Bidadari yang ru-
panya sejak tadi mengintai percakapannya dengan Yo-
ga. Maka, Kencana Ratih pun berseru,
"Hei, berhenti!" dan ia pun berlari mengejar orang berpakaian hitam itu.
Pada dasarnya Yoga hanya ingin tahu, siapa
yang dikejar Kencana Ratih itu. Karenanya, Yoga pun
cepat larikan diri memburu Kencana Ratih namun ti-
dak mau mendahului langkah gadis cantik itu.
Orang berpakaian serba hitam dan mengena-
kan ikat kepala kuning itu tiba-tiba terjungkal dari la-rinya ketika Kencana
Ratih berhenti melangkah dan
sentakkan satu tangannya ke depan. Orang berpa-
kaian serba hitam itu terkena pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh Kencana
Ratih. Tubuhnya menukik
mencium tanah dengan berguling-guling beberapa kali
dan akhirnya tersandar di akar pohon besar.
"Uuhg...!" orang itu mengeluh kesakitan, wajahnya berlumur tanah basah. Ia
berusaha bangkit ke-
tika Kencana Ratih tiba di tempatnya, tak lama kemu-
dian Yoga pun sampai di situ. Kencana Ratih segera
cabut pedang nya. Sraaang...! Dan pedang itu siap di-
kibaskan memenggal kepala orang berpakaian hitam.
Taab...! Ternyata tangan Yoga menahan gerakan tan-
gan Kencana Ratih yang ingin lepaskan tebasan pe-
dang. "Lepaskan tanganmu!" sentak Kencana Ratih kepada Yoga.
"Jangan mudah memenggal orang! Tanya dulu
salahnya!"
Geram dan gemas hati Kencana Ratih terhadap
lagak Yoga yang sering menasihatinya itu. Ia hanya
mengeluarkan gumam menyentak satu kali, lalu men-
gendurkan urat tangannya.
Orang berpakaian hitam itu ternyata seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya
kurus dan matanya agak sipit. Orang itu mempunyai
kumis sedikit melengkung ke bawah dan hidungnya
agak pesek. Ia menyandang golok di pinggangnya, dan
mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Rambut-
nya lurus, panjang sepundak, diikat dengan kain war-
na kuning. Orang itu menangis sambil memegangi ping-
gangnya. Sesekali ia menyapu wajahnya yang terkena
tanah basah. Tangisnya terisak-isak seperti anak kecil yang jatuh tersungkur.
Yoga dan Kencana Ratih sama-sama memendam keheranan melihat orang berkumis
itu menangis sungguh-sungguh.
Dengan suara pelan Yoga bertanya kepada
Kencana Ratih, "Mengapa kau ingin membunuhnya?"
Dengan suara keras Kencana Ratih menjawab,
"Karena dia ternyata sejak tadi mencuri dengar percakapan kita! Aku yakin dia
pasti mata-mata dari pihak
Partai Gadis Pujaan!"
Orang itu menyahut, "Bukan! Aku bukan mata-
mata!" sambil suara tangisnya terdengar meraung lirih.
Ia mengusap air matanya dengan lengan, namun ma-
sih menampakkan wajah jengkel kepada Kencana Ra-
tih. "Jangan seenaknya menuduhku sebagai mata-
mata! Huk, huk, huk...! Aku orang baik-baik! Aku bu-
kan mata-matanya Partai Gadis Pujaan! Kalian jahat!
Kalian menyerang orang tak bersalah! Kejam! Oh, ke-
jamnya kalian...! Huuu... huuu...!" tangisnya makin bertambah keras lagi. Dalam
hati Kencana Ratih dan
Yoga sebenarnya sama-sama ingin tertawa melihat
orang berkumis menangis sekeras itu.
Kencana Ratih menyarungkan kembali pedang-
nya pada saat Pendekar Rajawali Merah mendekati
orang itu dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Sudahlah! Maafkan temanku ini yang tadi me-
nyerangmu! Diamlah, jangan menangis begitu, seperti
anak kecil saja! Malu kalau dilihat orang lain!"
"Biar saja!" sentaknya di sela tangis. "Aku menangis pakai mulutku sendiri,
pakai air mataku sendi-
ri, pakai perasaanku sendiri, mengapa kau melarang-
ku"!" Orang itu kibaskan pundaknya. Ia bergerak menjauhi Yoga.
Suara keras terdengar dari mulut Kencana Ra-
tih, "Kalau kau bukan mata-mata dari Gua Bidadari itu, mengapa kau mengintip
kami"!"
"Aku tidak mengintip!" sanggahnya lagi di sela tangis. "Aku hanya ingin melihat
orang bermesraan!"
"Kami tidak bermesraan!" kata Yoga.
"Ya sudah! Aku juga tidak salahkan kalian!"
sentak orang berpakaian hitam itu.
Kencana Ratih berkata, "Kurasa dia hanya pu-
ra-pura menangis! Kepura-puraannya itu dimaksud-
kan agar kita tidak curiga padanya, bahwa dia adalah
mata-mata Partai Gadis Pujaan yang bersarang di Gua
Bidadari itu!"
"Bohong! Bohong!" sanggahnya, benar-benar
seperti bocah kecil yang sedang bertengkar dengan te-
mannya. Suara raung tangis masih memenuhi hutan
sepi itu. Yoga mendekati Kencana Ratih dan bicara pe-
lan dengan gadis itu,
"Biarkan dia berhenti dulu dari tangisnya, sete-
lah itu baru kita selidiki kebenaran tentang dirinya.
Kurasa dia orang aneh!"
"Dia hanya berlagak aneh!" kata Kencana Ratih dengan ketus.
"Kalau dia berlagak aneh, kita bisa tahu juga
nantinya! Karena itu, jangan dulu kau ajak bertengkar!
Biarkan dia beberkan sendiri kepura-puraannya den-
gan sikap baik kita, kalau toh memang dia hanya ber-
pura-pura aneh!"
"Lama-lama aku muak padamu! Terlalu banyak
memberi nasihat seperti nenek cerewet!"
Yoga tertawa pelan. Kemudian ia berpaling
memandang orang berikat kepala kuning itu,
"Siapa namamu, Sobat?"
Orang itu reda dari tangisnya setelah Yoga me-
nyapa dengan ramah. Tapi sisa isaknya masih ada.
Beberapa saat kemudian, orang itu menjawab dengan
suara pelan, "Namaku Bujang Lola!"
"Apakah tidak sebaiknya diganti: Manusia Cen-
geng saja"!" sela Kencana Ratih. Orang yang mengaku bernama Bujang Lola itu
membentak sambil mau menangis lagi,
"Tidak! Aku tidak mau punya nama Manusia
Cengeng! Aku bukan manusia cengeng!" Padahal wak-tu itu ia ingin menangis lagi.
Tapi oleh Yoga segera di-
hibur dengan kalimat kata sanjungan,
"Namamu itu bagus sekali, Bujang Lola! Tak
pantas nama sebagus itu dimiliki oleh orang yang suka menangis."
"Aku tidak menangis!" sanggahnya lagi dengan tangis yang tertahan. "Aku hanya
merasa sedih, mengapa ada orang yang menganggapku cengeng! Padahal
aku terpilih menjadi pengawal Eyang Guru. Itu berarti aku orang perkasa! Pantas
dengan nama Bujang Lola,
sebab aku sampai sekarang masih bujangan, belum
pernah menikah dan belum pernah bercinta!"
"Siapa gurumu?"
"Leak Parang!"
"Apa..."!" Kencana Ratih terkejut, ia mendekati Bujang Lola dan berkata dengan
nada keras, "Jangan lagi kau mengaku-aku murid Leak Parang! Dia adalah
paman ku!"
"Aku memang murid Leak Parang!" sentak Bu-
jang Lola dengan nada memelas. "Bohong!"
"Betul...! Betul...!" Bujang Lola mencucurkan air mata lagi. "Aku betul murid
Leak Parang, kenapa kau tidak percaya..." Jahat sekali kau, Perempuan Je-lek!
Huuu... huuu...!"
Yoga menarik napas, tapi tangannya juga me-
narik lengan Kencana Ratih agar mundur dari hada-
pan Bujang Lola. Yoga tampak menahan jengkel kepa-
da Kencana Ratih. Gadis itu hanya menatapnya, lalu
cepat melengos sambil sentakkan lengan yang digeng-
gam Yoga, dan ia berkata dengan memunggungi Yoga
serta Bujang Lola,
"Paman Leak Parang tidak punya murid secen-
geng dia! Beliau hanya mempunyai sepasang murid,
yang sekarang sudah berkelana entah ke mana! Paman
ku tidak pernah mengangkat murid lagi sejak sepasang
muridnya itu selesaikan pelajarannya!"
"Tapi... tapi... kalau ke mana-mana, Leak Pa-
rang selalu mengajakku! Kalau butuh apa-apa, Leak
Parang selalu menyuruhku! Kalau tak percaya, tanya-
kan saja pada Guru Leak Parang di pertapaannya!" ka-ta Bujang Lola sambil
sesenggukan. "Itu namanya kau pelayannya!" bentak Kencana Ratih. "Aku muridnya!" Bujang Lola
ganti membentak.
"Pelayan!"
"Murid!" seru Bujang Lola. "Aku muridnya Eyang Guru Leak Parang! Muridnya...!
Muridnya...! Huuu... huuu...!"
"Ya, ya, ya... muridnya! Kau muridnya!" seru Yoga dengan nada kesal hati. Ia
membujuk Bujang Lo-la agar berhenti menangis. Setelah orang aneh itu berhenti
menangis dan Kencana Ratih tidak ajukan sang-
gahan apa pun, Yoga bertanya kepada Bujang Lola,
"Lalu, apa maksudmu tadi mengintai kami dari
semak-semak?"
"Sudah kubilang, aku tadi menyangka kalian
sedang bermesraan! Aku kepingin melihatnya. Ternya-
ta kalian bukan bermesraan. Maka aku pun pergi!" Bujang Lola berkata dengan
bersungut-sungut, mulutnya
cemberut seperti anak kecil yang sedang sewot.
"Bujang Lola, aku percaya kau murid Leak Pa-
rang," kata Yoga. "Tapi tentunya sebagai murid Leak Parang, kau pasti harus
mempunyai kejujuran. Aku
merasa jawabanmu itu belum jujur. Ayo, bicaralah ju-
jur supaya gurumu tidak malu kepada dunia karena
memiliki murid yang tidak jujur. Bicaralah jujur su-
paya gurumu bangga terhadap siapa saja, Bujang Lo-
la." Orang itu diam sebentar, matanya melirik Ken-
cana Ratih dengan curiga, kemudian menundukkan
wajah dan berkata pelan,
"Aku ingin membunuh perempuan itu!"
Kencana Ratih terkejut. "Apa..."! Kau ingin
membunuhku"!"
Kencana Ratih mau mencabut pedangnya, tapi
Yoga memberi isyarat dengan tangan dan berkata ke-
pada Bujang Lola,
"Mengapa kau ingin membunuhnya?"
"Karena... karena dia orang Partai Gadis Pu-
jaan! Dia salah satu penghuni Gua Bidadari itu!"
"Jahanam kau! Menyebar fitnah seenaknya!"
Sret...! Pedang dicabut oleh Kencana Ratih yang
wajahnya menjadi merah padam karena marah. Bu-
jang Lola pun mencabut goloknya dari pinggang.
Sreet...! "Kau memang orang dari sana!" tuduh Bujang Lola dengan keras.
Tangannya memegang golok, siap
untuk melakukan serangan, tapi matanya masih ba-
sah dan mencucurkan air mata.
"Kubunuh kau berani memfitnahku begitu, Bu-
jang Cengeng! Heah!"
"Tahan!" bentak Yoga yang segera berdiri di depan Kencana Ratih.
Tapi gadis itu semakin geram dan matanya
mendelik ketika berkata keras kepada Yoga,
"Dia memfitnahku! Dia menuduhku orang Par-
tai Gadis Pujaan! Aku tidak terima dan sakit hati dengan fitnahan itu. Yoga!"
"Tenanglah," bisik Yoga dengan memberi isyarat kedipan mata.
Kencana Ratih geram dan denguskan napas ke-
salnya. Pedang yang sudah diangkat diturunkan dalam


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu sentakan dongkol. Lagi-lagi ia tak sampai hati untuk menyerang ataupun
menampar wajah pendekar
tampan itu. Gemas ia pada dirinya sendiri.
Bujang Lola mulai mau menangis lagi karena
merasa mau dibunuh. Ia pun siap menghadapi seran-
gan Kencana Ratih walau air matanya sudah mencu-
cur dan bibirnya mulai bergerak-gerak.
Yoga bertanya kepada Bujang Lola, "Dari mana
kau tahu kalau Kencana Ratih adalah orang Gua Bi-
dadari?" "Empat bulan aku... aku tersekap di sana! Aku
kenal betul wajah-wajah mereka yang memeras darah-
ku, memeras keringat ku, dan menghisap madu ku
seenaknya sendiri! Aku benci sekali dengan mereka!
Maka aku bertekad ingin membunuh mereka kapan
saja aku bertemu!" Bujang Lola mengisak dalam tangi-san. Yoga dalam kebimbangan
yang meragukan.
* * * 3 SATU bulan yang lalu, Bujang Lola berhasil me-
larikan diri dari sekapan para bidadari liar itu. Selama empat bulan lamanya
Bujang Lola dijadikan sapi pera-han dan budak nafsu para bidadari sadis. Rupanya
pe- rempuan-perempuan di dalam gua itu menganut satu
ilmu beraliran sesat. Mereka memperkuat ketahanan
tubuhnya, memperbesar tenaganya, dan mempertinggi
ilmunya dengan menggunakan cara menyerap tenaga
lelaki yang di cumbunya.
Menurut penuturan Bujang Lola yang mengaku
belum pernah bercinta dengan perempuan mana pun
itu, para bidadari liar tersebut mempunyai aliran ke-
percayaan yang disebut ilmu 'Karang Jantan'. Ilmu itu akan membuat tubuh mereka
menjadi alot, kuat seper-
ti lelaki dan bertenaga besar melebihi raksasa pria. Tenaga dalam yang dihimpun
dari ilmu 'Karang Jantan'
mampu membuat setiap sentakan anggota tubuh apa
pun dapat menghancurkan benda sekeras baja. Satu-
satunya orang yang telah menguasai ilmu 'Karang Jan-
tan' adalah Ketua Partai Gadis Pujaan yang bergelar
Bidadari Manja.
"Kekuatan lelaki yang terhisap oleh mereka pa-
da saat bercinta, membuat satu kumpulan tenaga inti
yang ditampung dalam hawa murni mereka. Semakin
banyak tenaga inti yang tertampung, semakin besar
getaran tenaga dalam yang dipadatkan dalam tiap de-
nyut nadi dan darah mereka," tutur Bujang Lola, kali ini tidak sambil menangis.
"Mereka memeras ku setiap saat, dan hampir-
hampir aku tidak punya waktu untuk beristirahat! Me-
reka mencekoki ku dengan semacam obat yang dila-
rutkan dalam minuman, membuatku tetap bisa digu-
nakan oleh mereka sewaktu-waktu! Badan ku dulu ti-
dak sekurus ini. Badanku sekekar kamu, Yoga! Tapi
akibat diperas terus oleh mereka, kekuatanku, tenaga-
ku, raga ku, bagaikan dikikis habis dalam waktu em-
pat bulan! Aku baru bisa tegak berdiri kira-kira dua
pekan ini! Pada mulanya aku tak bisa tegak berdiri dan lutut ku selalu
gemetaran, urat-urat ku terasa lemas
semua. Aku... aku sangat menderita selama di sana...,"
Bujang Lola mulai bergenang air mata lagi, mau me-
nangis. Katanya lagi,
"Salah satu orang yang sering menyerap tena-
gaku habis-habisan, baik siang maupun malam adalah
dia!" Bujang Lola menuding Kencana Ratih. Wajah gadis itu kian memerah dan
geramnya terdengar kuat.
"Bujang Cengeng, kalau memang benar kau
menganggapku adalah salah satu dari mereka, baik-
lah...! Kita tentukan siapa yang mati, kau atau aku!
Dan aku tak akan gentar walau Yoga ada di pihakmu!
Lebih baik aku mati daripada harus menerima tudu-
han seperti itu! Selain merendahkan martabat ku, har-
ga diriku pun tidak ada di mata kalian! Lekas cabut
senjata kalian!" sentak Kencana Ratih yang tak bisa menahan kesabarannya lagi.
"Baik!" jawab Bujang Lola, kemudian ia sentakkan tangan kanannya dan seberkas
sinar merah kecil
melesat menghantam tubuh Kencana Ratih. Wuuut...!
Draas...! Kencana Ratih mengadu sinar merah itu den-
gan sinar birunya yang keluar dari telapak tangan kiri.
Ledakannya tak seberapa besar, tapi benturan itu tim-
bulkan gelombang angin yang cukup kuat dan mem-
buat Bujang Lola terpental jauh dengan cepat dan
membentur pohon.
Bruuss...! "Uuuhhg...!" rintihnya dari kejauhan sana. Tak ada yang menolong dan tak ada
yang menghiraukan,
karena pada saat itu Yoga menatap Kencana Ratih da-
lam kebimbangan sikap. Kencana Ratih memandang-
nya dengan berani dan berkata,
"Seranglah aku jika kau juga menganggapku
orang Gua Bidadari!"
Pendekar Rajawali Merah diam saja dan tetap
memandanginya dengan tenang. Kencana Ratih sema-
kin penasaran dan membentak,
"Ayo, serang aku!"
Terdengar suara tangis Bujang Lola yang ter-
nyata berlari dari tempatnya jatuh ke arah Kencana
Ratih. Ia menyerang lawannya sambil meraung dalam
tangisnya. Goloknya ditebaskan ketika ia melompat
dan bersalto. Pada saat ia selesai bersalto, saat itu juga golok ditebaskan.
Wuuut...! Trang...!
Kencana Ratih menangkis golok tersebut, ka-
kinya berkelebat menendang ke arah rusuk Bujang Lo-
la. Buuhg...! "Uuhhg...!" Bujang Lola memekik kesakitan, tubuhnya terpental jauh lagi karena
tendangan bertena-
ga dalam tinggi itu. Bruuk...! Ia jatuh ke tanah dan
menggeliat-geliat sambil mulutnya tercengap-cengap
tak bisa bernapas. Tangannya memegangi tulang ru-
suk yang terkena tendangan dan goloknya lepas dari
tangan. Kencana Ratih melompat dengan cepat, lalu ti-
ba di samping Bujang Lola. Seet...! Pedangnya diarah-
kan ke leher Bujang Lola yang terkapar dengan beru-
saha untuk bisa bernapas. Ujung pedang yang sudah
menempel di leher Bujang Lola itu tinggal ditekan satu kali sudah bisa membuat
nyawa Bujang Lola melayang. Tapi rupanya Kencana Ratih tidak segera me-
lakukannya, melainkan berkata dengan geram,
"Membunuh jahanam macam kau sangat mu-
dah, Bujang Cengeng! Lihat ujung pedangku sudah di
ujung nyawamu, tahu"!"
Dengan mencucurkan air mata dan tersengal-
sengal, Bujang Lola berkata, "Lak... lakukan...! Lakukanlah kalau kau tega
padaku...!"
"Bukan soal tega ataupun tak tega!" bentak
Kencana Ratih. "Tapi aku sakit hati mendengar tudu-hanmu itu, Bujang Laknat!"
"Kencana...," sapa Pendekar Rajawali Merah
yang melangkah mendekatinya dengan tenang. Sapaan
itu membuat Kencana Ratih melirik galak pada Yoga.
Napasnya tampak terengah-engah karena menahan
luapan amarah. "Lepaskan dia, Kencana Ratih!" kata Yoga dengan kalem namun punya nada wibawa
tersendiri. Kencana Ratih denguskan napas sambil jauh-
kan pedang dari leher Bujang Lola. Lelaki yang terka-
par itu masih menangis terisak-isak sambil bangkit
dan duduk di tempat. Pedangnya jauh dari jangkauan.
"Kalau aku orang dari gua itu, pasti sudah ku-
bunuh dia di depan matamu, supaya kau sendiri ciut
nyali melihat kesadisan ku!" kata Kencana Ratih kepada Pendekar Rajawali Merah.
"Nyali ku tak pernah ciut melihat dan mengha-
dapi apa pun, Kencana! Harap kau tahu hal itu!" kata Yoga. Kejap berikutnya,
Pendekar Rajawali Merah itu
mendekati Bujang Lola dan ikut jongkok di samping
pria cengeng itu.
"Apakah kau tak salah lihat dengan wajah wa-
nita yang kau anggap sering memerasmu siang malam
itu?" "Tid... tidak! Aku tidak salah lihat!" jawab Bujang Lola dengan tersengal-
sengal. "Aku masih ingat wajah itu yang selalu memaksaku menjadi budaknya,
yang selalu menyerap kekuatan dan tenagaku untuk
dijadikan gumpalan 'Karang Jantan' dalam hawa mur-
ninya!" "Apakah namanya Kencana Ratih?"
Bujang Lola menggeleng. "Namanya Pinjung
Dara!" "Namaku Kencana Ratih, dari lahir hingga sekarang!" bentak Kencana Ratih
dengan mata melebar.
"Apakah kau punya ciri-ciri yang bisa memper-
kuat dugaanmu, bahwa Kencana Ratih itu Pinjung Da-
ra?" Bujang Lola diam dalam isakan-isakan tangisnya.
Beberapa saat kemudian, Bujang Lola berkata,
"Yang ku tahu... diiia... dia punya tompel kecil di belakang telinganya, seperti
tahi lalat. Tompel itu sebesar biji sawo!"
Yoga bangkit berdiri dari jongkoknya. Ia mena-
tap Kencana Ratih. Yang ditatap tahu maksudnya, ke-
mudian ia berbalik arah, memunggungi Yoga seraya
berkata, "Periksalah supaya kalian lega!" sambil ia menyingkapkan rambutnya yang panjang
sepunggung itu.
Yoga pun terpaksa melakukan pemeriksaan. Bagian
belakang telinga Kencana Ratih diperhatikan. Daun te-
linga itu sempat dipegang Yoga, tapi Kencana Ratih
mengibaskan sambil menyentak,
"Cukup kau lihat saja! Jangan sekali-kali me-
nyentuh ku!"
"Baik, baik...!" Yoga menenangkan bentakan
Kencana Ratih, kemudian mengulang meneliti bagian
belakang telinga gadis itu. Ternyata di kedua bagian
belakang telinga Kencana Ratih, tidak ada tompel hi-
tam seperti yang dikatakan Bujang Lola.
"Kau salah duga, Bujang Lola! Kencana Ratih
tidak mempunyai tompel hitam seperti yang dimiliki
oleh Pinjung Dara!"
"Tid... tidak... tidak mempunyai tompel di daun
telinganya yang kiri?" Bujang Lola hentikan isak tangisnya. "Tidak ada! Mungkin
memang dia punya wajah yang mirip dengan Pinjung Dara!"
"Jika... jika dia memang bukan Pinjung Dara,
berarti ini suatu keanehan alam! Ada orang yang
punya wajah kembar tapi bukan saudara sedarah!" ka-ta Bujang Lola mulai reda
isak tangisnya karena dili-
puti perasaan heran.
"Hmm...!" Kencana Ratih yang merasa di pihak yang menang itu mendengus dengan
bibir indahnya sedikit mencibir sinis. "Pendekar tampan seperti kamu masih bisa dipengaruhi
oleh kebodohan orang gila, Yo-ga! Aku tak habis pikir, siapa yang mendidikmu
men- jadi sedungu itu"!"
"Jaga bicaramu, Kencana! Jangan bawa-bawa
Guru yang mendidikku! Ini hanya kewaspadaan, bu-
kan kebodohan!"
"Terlalu lama bersama kalian di sini, lama-lama
aku bisa muak! Ada baiknya kalau aku segera pergi
mencari tempat Gua Bidadari!"
Kencana Ratih melesat pergi, tapi kembali ter-
tahan karena mendengar suara Bujang Lola berkata
agak keras, "Tak semudah kau duga bisa menemukan gua
itu!" Dalam hati Kencana Ratih membatin, "Benar juga kata si Cengeng Bodoh itu"!
Sudah dua hari aku
berkeliling di sekitar sini tapi tak kutemukan sebuah gua yang dipakai bersarang
oleh para bidadari sadis
itu! Agaknya aku bisa memanfaatkan Bujang Cengeng
tersebut sebagai penunjuk jalan!"
Maka, Kencana Ratih pun kembali ke tempat
asal dan kini ia mendekati Bujang Lola dengan berkata ketus, "Tunjukkan di mana
letak gua itu, supaya aku tidak mengulangi niat membunuhmu!"
"Aku tidak suka diancam!" seru Bujang Lola
sambil melangkah mundur dan mulai mau menangis
lagi. "Aku bukan tawanan, aku tak pantas diancam oleh siapa pun!"
"Aku tidak mengancam mu! Tapi jika kau tak
mau menunjukkan di mana letak Gua Bidadari itu,
aku benar-benar akan membunuhmu!"
"Aku tidak mau!" Bujang Lola terisak-isak dan akhirnya meraung kecil dalam
tangisnya. Wajahnya je-lek sekali jika sedang menangis begitu. Yoga menjadi
kesal hatinya melihat lelaki yang mudah menangis dan
gampang disentuh oleh kesedihan. Ia segera mendekati
Bujang Lola dan berkata tanpa sentakan,
"Sekali lagi kau menangis, kutampar kau saat
itu juga!"
Bujang Lola bahkan mengeraskan tangisnya
dan berseru, "Kau ikut-ikutan mengancamku! Kau jahat! Kau juga jahat seperti
dia!" Ploook...! Tamparan keras itu bukan datang dari Pende-
kar Rajawali Merah, melainkan dari telapak tangan
Kencana Ratih. Tamparan itu membuat Bujang Lola
menjerit kesakitan dan tambah meraung-raung setelah
dia terpental ke samping dan membentur pohon.
"Kenapa kau benar-benar menamparnya?" har-
dik Yoga kepada Kencana Ratih. Dengan ketus dan
masih jengkel gadis itu menjawab,
"Aku lebih banyak bertindak daripada hanya
banyak bicara!"
"Tapi bukan begitu cara membujuknya!"
"Aku tak bisa membujuk siapa pun dengan ke-
lembutan!"
"Kau seorang gadis, mestinya lebih lembut da-
riku!" "Lakukanlah sendiri! Itu bukan caraku membujuk orang! Kekerasan yang
kupakai membujuk orang!"
lalu Kencana Ratih berpaling muka, dan dari hidung-
nya keluar dengusan kesal yang menyentak.
Tepat pada saat suara dengusan itu terdengar,
hembusan angin panas menyambar dari belakang Yoga


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menghantam punggungnya.
Bluuhg...! Wuuut...!
Tubuh Yoga terlempar ke depan, tersungkur
dan terguling-guling. Hal itu membuat Kencana Ratih
dan Bujang Lola terperanjat heran. Lebih heran lagi
mereka melihat mulut Yoga menjadi berdarah, seper-
tinya meleleh dari dalam.
"Yo..."!" Kencana Ratih tak sadar tampakkan kecemasannya. Ia segera mendekati
Yoga, bermaksud
menolong pemuda berlengan buntung itu. Tapi baru
saja ia mau melangkah, tiba-tiba tubuh Yoga kembali
terpental bagal ada yang menendang bagian dadanya.
Duuhhg...! Suara itu pun didengar oleh Kencana Ratih, tapi ia tidak melihat
bentuk manusia yang menyerang
Yoga. Tenaga kuat yang sepertinya menendang dada
itu membuat tubuh Yoga terkapar jauh. Bahkan ketika
Yoga bergegas bangkit, ia memuntahkan darah segar
dari mulutnya. "Ada apa orang itu"! Mengapa tiba-tiba berjum-
palitan begitu"!" pikir Kencana Ratih sambil berlari mendekati Yoga dengan rasa
kasihan dan tak rela dalam hatinya melihat Yoga diperlakukan dengan kasar
oleh seseorang.
"Kencana...! Menjauh! Jangan dekati aku!" seru Yoga sambil mencoba bertahan
untuk bisa berdiri walau sempoyongan.
"Yo, kenapa kau"!" Kencana Ratih kian tam-
pakkan kecemasannya.
"Seseorang yang tak terlihat telah menyerang-
ku!" jawab Yoga dalam seruan keras, namun ia segera terbatuk-batuk dan
memuntahkan darah merah segar
lagi dari mulutnya
"Sii... siapa yang menyerangmu, Yoga"!"
Yoga tidak menjawab, karena ia merasakan da-
tangnya hembusan angin kencang tadi dari arah sisi
kanannya. Dengan cepat ia mencabut pedang pusaka
di punggungnya. Blaaar...!
Petir menggelegar ketika pedang itu di lolos dari
sarungnya. Itulah tandanya bahwa pedang itu adalah
pusaka Pedang Lidah Geledek. Pedang tersebut menya-
la merah terang dan mempunyai loncatan-loncatan
bunga api di sekelilingnya yang pendek-pendek seperti seekor cacing kurus
berlarian mengitari tepian pedang.
Mata Kencana Ratih dan Bujang Lola tertegun diam
dan terbelalak lebar memandangi pedang pusaka yang
pada gagangnya itu terdapat ukiran kepala burung sal-
ing bertolak belakang.
Dengan gunakan satu tangan Yoga mengi-
baskan pedangnya itu ke arah samping tempat da-
tangnya angin panas yang berhembus ke arahnya itu.
Rupanya kibasan pedang tersebut dapat melepaskan
sinar merah yang segera menghantam angin panas.
Blaaar...! Tiba-tiba tampak sesosok tubuh besar yang ter-
lempar ke belakang dengan kerasnya. Tubuh besar itu
berambut botak separo dan sisanya berambut panjang
sebatas pundak. Kepala orang besar dan gemuk itu di-
lilit kain merah bergambar swastika kuning emas.
Orang tersebut kenakan pakaian abu-abu dengan ju-
bah hitam bertepian kain satin merah. Alis matanya
tebal ke atas, kumisnya tebal ke bawah sampai sebatas jenggotnya yang pendek.
Dengan mata lebar, orang itu
mempunyai wajah berkesan angker dan menyeramkan.
Kencana Ratih terbelalak kaget sekali melihat
orang besar itu, dan tak sadar mulutnya mengucap ka-
ta, "Malaikat Gelang Emas..."!"
Siapa orang yang tidak mengenal Malaikat Ge-
lang Emas, tokoh sesat yang namanya kondang ke
mana-mana dan membuat bulu kuduk setiap orang
yang mendengar namanya menjadi merinding. Malai-
kat Gelang Emas dengan ilmu 'Bayang Siluman'-nya
dapat menghilang dari pandangan mata seseorang,
namun baru sekarang Kencana Ratih melihat ada
orang yang mampu memaksa Malaikat Gelang Emas
keluar dari bayang silumannya itu. Orang tersebut
adalah Yoga yang menggunakan pedang pusaka me-
nakjubkan itu. Terdengar suara Malaikat Gelang Emas yang
menggeram dari kejauhan tempatnya jatuh. Ia berseru
dari sana dan membuat Bujang Lola menangis karena
merasa ngeri melihat Yoga terancam mati oleh kegana-
san Malaikat Gelang Emas itu,
"Jangan merasa bangga dulu kalau kau bisa
memaksaku keluar dari ilmu 'Bayang Siluman'-ku,
Pendekar Rajawali Merah! Karena sebentar lagi aku
akan menuntut balas atas kematian adikku, si Mata
Neraka!" "Tak ku ingkari, memang akulah yang membu-
nuhnya!" seru Yoga dengan suara agak serak akibat luka tendangan lawan tadi.
"Kapan pun kau ingin menuntut balas, aku sudah siap, Malaikat Gelang Emas!"
Kencana Ratih kian terbengong mendengar per-
cakapan mereka. Dalam hatinya ia segera membatin,
"Ternyata Yoga itulah orang yang berjuluk Pen-
dekar Rajawali Merah" Ya, ampuuun... mengapa baru
sekarang kusadari bahwa dialah orangnya! Pantas dia
punya wajah setampan itu dan membuat hatiku sering
berdebar-debar"! Rupanya memang dialah orang yang
dikenal sebagai pendekar tampan pemikat hati wanita
itu"! Oh, terlalu berani dan gegabahnya aku tadi di depan Pendekar Rajawali
Merah itu. Padahal selain tam-
pan, ia juga dikenal sebagai orang berilmu tinggi yang mewarisi ilmu-ilmunya Ki
Dirgantara atau si Dewa Geledek, sahabat guruku itu"!"
Jleg... jleg... jleg...! Malaikat Gelang Emas me-
langkah dekati Yoga dengan wajah bengisnya yang
seakan ingin menelan Yoga bulat-bulat. Ia berhenti
melangkah dalam jarak empat tombak dari depan Pen-
dekar Rajawali Merah yang masih memegangi pedang-
nya dan siap ditebaskan sewaktu-waktu.
"Bocah bangsat! Mana pasangan mu, si Pende-
kar Rajawali Putih itu"! Aku ingin mengulitinya sampai mati karena dialah yang
telah melompati kuburan ka-
kekku dengan menyamar sebagai Topeng Merah!"
"Topeng Merah bukan Pendekar Rajawali Putih,
Bodoh!" sentak Yoga.
"Kalau begitu, berarti kaulah si Topeng Merah
itu!" "Juga bukan! Tapi kalau kau ingin menganggap akulah si Topeng Merah,
silakan saja! Majulah kalau
kau ingin balas dendam dan curahkan murka mu pa-
daku! Aku sudah siap! Karena aku pun punya tugas
untuk membunuhmu dari guruku!"
"Jahanam busuk! Heaaah...!"
Malaikat Gelang Emas sentakkan tangan ki-
rinya ke depan dalam bentuk satu pukulan. Selain dari genggamannya keluar sinar
hijau berkelebat ke arah
Yoga, juga dari lengannya keluar sinar kuning keema-
san berupa gelang-gelang yang jumlahnya tiga lingka-
ran. Wuut...! Clap, clap, clap...!
Yoga cepat kibaskan pedangnya membentuk
lingkaran besar satu kali. Wuuut...! Dan sinar merah
yang menyala-nyala dari ujung pedang itu membentuk
lingkaran besar di udara tanpa bergerak. Kini sinar hijau dari genggaman tangan
Malaikat Gelang Emas dan
sinar kuning emas bergelang-gelang dari lengannya,
meluncur hendak memasuki lingkaran besar sinar me-
rahnya Yoga. Tetapi ketika sinar-sinar itu menembus masuk
lingkaran, tiba-tiba sinar itu jatuh ke tanah bagai daun layu. Pluk...!
Jooos...! Sinar hijau itu padam dengan timbulkan suara keras. Demikian pula
sinar kuning bergelang-gelang, juga jatuh bagai bunga layu dan kering setelah menembus masuk
lingkaran besar sinar
merah tersebut.
Mata Malaikat Gelang Emas mendelik. Tak
sangka sama sekali kalau jurus gelang emasnya dapat
dilumpuhkan oleh pemuda bertangan buntung sebelah
itu. Maka dengan geram Malaikat Gelang Emas le-
paskan sentakan dari telapak kakinya yang mengha-
dirkan gelombang angin besar di luar dugaan Yoga.
Wuuut! Wooosss...!
Brruush...! Yoga terlempar dan jatuh terbenam
di semak-semak. Malaikat Gelang Emas ingin menye-
rang dengan satu lompatan, tapi tiba-tiba terdengar
suara Kencana Ratih berseru,
"Jangaaan...!" Gadis itu cepat berdiri menghadang di depan Yoga, dan Malaikat
Gelang Emas terke-
jut dengan wajah menjadi ketakutan melihat Kencana
Ratih. Yoga merasa heran, mengapa tokoh sesat itu ta-
kut dan mundur melihat Kencana Ratih" Ada hubun-
gan apa antara Malaikat Gelang Emas dan Kencana
Ratih" * * * 4 YOGA masih ingat sepatah kata yang di-
ucapkan oleh Malaikat Gelang Emas sebelum pergi.
Dengan mata yang membelalak lebar dan kaki melang-
kah mundur pelan-pelan, Malaikat Gelang Emas men-
gucapkan kata bernada heran, "Asmarani..."!"
Mata lebar itu menatap nanar pada Kencana
Ratih beberapa saat, kemudian Malaikat Gelang Emas
cepat sentakkan kakinya ke tanah dan melesat pergi
dengan satu lompatan cukup jauh. Wuuus...! Pada
saat itu Yoga hanya bisa memandang dengan dahi ber-
kerut karena merasa heran sekali. Sementara itu, Ken-
cana Ratih merasa lega melihat tokoh sesat berilmu
tinggi itu tak jadi menghabisi nyawa Yoga, sedangkan
Bujang Lola hanya memandangi kepergian tokoh sesat
itu dengan mulut melompong karena bengong.
Pendekar Rajawali Merah memasukkan pe-
dangnya kembali ke dalam sarung pedangnya, tepat
pada saat Kencana Ratih membalikkan badan dan me-
natap ke arah Yoga. Perempuan cantik itu pun berka-
ta, "Syukurlah dia lekas pergi. Aku tadi khawatir
sekali kalau kau menjadi celaka karena murkanya itu!
Dan... maafkan sikapku tadi kepadamu yang agak ka-
sar dan gegabah. Sungguh aku tidak tahu kalau kau
adalah Pendekar Rajawali Merah, murid dari Empu
Dirgantara. Gurumu adalah sahabat baik guruku, Yo!"
Bujang Lola mendekati mereka, ingin ikut bica-
ra. Tetapi Yoga sudah lebih dulu berkata kepada Ken-
cana Ratih, "Malaikat Gelang Emas tak pernah mundur dari
pertarungan. Mengapa sekarang hal itu ia lakukan se-
telah tahu akan berhadapan denganmu, Kencana Ra-
tih" Ada hubungan apa antara kau dan dia sebenar-
nya?" "Tidak ada hubungan apa-apa!" jawab Kencana Ratih dengan tegas.
"Tetapi mengapa dia tadi kelihatannya sangat
ketakutan padamu?"
Bujang Lola menyahut, "Kudengar tadi, dia me-
nyebutkan nama Asmarani!"
Yoga membenarkan, "Ya. Aku juga mendengar-
nya. Apakah nama aslimu Asmarani, Kencana Ratih?"
"Bukan. Kencana Ratih adalah nama asli ku se-
jak kecil."
Kemudian, Pendekar Rajawali Merah menggu-
mam dalam nada keheranannya, "Aneh! Pasti ada sesuatu pada dirimu, sehingga
Malaikat Gelang Emas la-
ri terbirit-birit begitu kau tampil di depanku."
Kencana Ratih sentakkan pundak satu kali
sambil berkata, "Entahlah! Itu urusan dia pribadi.
Yang jelas aku tidak punya hubungan apa-apa dengan
Malaikat Gelang Emas. Dan, sebaiknya kita lupakan
dulu masalah itu. Barangkali sudah waktunya kita ha-
rus berpisah untuk sementara waktu, Pendekar Raja-
wali Merah. Aku harus segera pergi ke Gua Bidadari
itu untuk membebaskan kakakku!"
Bujang Lola menyahut, "Aku juga akan ke sana!
Sebaiknya kita pergi bersama-sama saja, Kencana Ra-
tih!" "Tidak. Aku akan pergi sendiri."
"Kau butuh pemandu untuk menuju ke sana!"
"Tidak. Aku bisa mencari gua maksiat itu! Tak
perlu bantuanmu!"
"Tapi di sana banyak jebakan dan kau tak tahu
di mana letak jebakan maut itu, Kencana Ratih!"
"Aku akan pergi sendiri!" bentak Kencana Ratih.
"Bodoh amat kau! Aku cuma ingin bantu kamu
supaya berhasil menyapu bersih perempuan-
perempuan sesat itu!" Bujang Lola mulai ngotot.
"Kataku, tidak!" bentak Kencana Ratih dengan tegas. "Aku tidak mau kau dampingi!
Salah-salah kau sendiri yang akan menjebakku ke dalam perangkap
mereka! Karena aku belum yakin betul, siapa kau se-
benarnya dan di pihak mana kau sesungguhnya!"
"Aku bukan di pihak mereka! Bukan! Jangan
mencurigaiku begitu!" Bujang Lola mulai bernada
sumbang karena mau menangis lagi.
Pendekar Rajawali Merah sengaja tidak peduli-
kan perdebatan kedua orang itu. Benaknya masih si-
buk berkecamuk sendiri memikirkan keanehan sikap
Malaikat Gelang Emas. Dalam renungannya, Yoga ber-
kata di dalam hatinya,
"Aku jadi curiga dengan Kencana Ratih. Dia se-
Misteri Lukisan Tengkorak 1 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Pedang Medali Naga 22
^