Pencarian

Gara Gara Cermin Ajaib 2

Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib Bagian 2


"Max" Bagaimana kau melakukan tipuan ini?" tuntutnya.
"Ini bukan trik. Ini nyata, "kataku.
"Hei, tunggu ..." Pandangan curiga tampak di wajahnya.
Dia berlari ke bagian belakang cermin. Aku kira dia mengharapkan aku bersembunyi
di belakang sana. Dia tampak sangat kecewa ketika dia tak melihatku.
"Apakah ada pintu rahasia atau semacamnya?" Tanyanya. Dia berjalan kembali ke
depan cermin, berlutut, dan mulai mencari-cari pintu rahasia di lantai.
Aku bersandar ke atasnya dan menarik kaosnya ke atas kepalanya.
"Hei - hentikan itu!" Teriaknya, berdiri marah.
Aku menggelitik perutnya.
"Hentikan, Max." Dia menggeliat menjauh, tangannya meronta-ronta, mencoba untuk
memukulku. Sekarang dia terlihat sangat ketakutan. Dia terengah-engah, dan
wajahnya merah padam. Aku menarik kaosnya lagi.
Dia tersentak ke bawah. "Kau benar-benar tak terlihat?" Suaranya naik begitu tinggi, hanya anjing yang
bisa mendengarnya. "Sungguh?"
"Tipuan yang bagus, ya?" Kataku tepat di telinganya.
Dia melompat dan berputar menjauh. "Seperti apa rasanya" Apa itu terasa aneh" "
Aku tak menjawabnya. Aku bergerak pelan keluar dari ruangan dan mengambil sebuah
kardus karton di luar pintu. Aku membawanya ke cermin. Ini tampak hebat. Sebuah
karton mengambang dengan sendirinya.
"Turunkan," desak Zack. Dia terdengar benar-benar ketakutan.
"Ini benar-benar membuatku takut, Max. Hentikan, oke" Kembalilah jadi aku bisa
melihatmu. " Aku ingin menyiksa dia lagi, tapi aku bisa melihat dia hampir kalah. Selain itu,
aku mulai merasa aneh lagi. Semacam pusing dan pusing. Dan lampu terang itu
menyakiti mataku, aku mulai buta.
"Oke, aku akan kembali," aku mengumumkan. "Perhatikan."
Aku bersandar pada cermin dan menjulurkan tangan ke rantai. Aku tiba-tiba merasa
sangat lelah, sangat lemah. Butuh semua kekuatanku untuk melilitkan tanganku di
sekitar rantai. Aku merasakan sensasi aneh bahwa cermin itu menarikku, menarikku ke arahnya,
memegangiku. Dengan kekuatan penuh yang menentukan, aku menarik rantai.
Lampu padam. Ruangan jadi gelap.
"Dimanakah kau" Aku masih tak bisa melihatmu! "teriak Zack, suaranya
menunjukkan kepanikan. "Tenanglah," kataku. "Butuh beberapa detik. Makin lama tetap tak terlihat, makin
lama waktu yang diperlukan untuk kembali." Lalu aku menambahkan," Aku pikir."
Menatap cermin kosong itu, menunggu bayanganku kembali, aku tiba-tiba menyadari
bahwa aku tak tahu apa-apa tentang cermin ini, tentang mengubah jadi tak
terlihat. Tentang datang kembali.
Pikiranku tiba-tiba berputar dengan segala macam pertanyaan-pertanyaan yang
menakutkan: Apa yang membuatku berpikir bahwa cermin itu otomatis akan memunculkan kembali"
Bagaimana jika kau hanya bisa kembali dua kali" Dan waktu ketiga kau lenyap tak
terlihat,kau terus tak terlihat"
Bagaimana jika cermin itu rusak" Bagaimana jika cermin itu terkunci jauh di
ruangan tersembunyi ini karena tak bekerja dengan benar dan itu membuat orang
tetap tak terlihat selamanya"
Bagaimana jika aku tak pernah kembali.
Tidak, itu tak mungkin, aku memberitahu diriku sendiri.
Tapi detik-detik itu berdetak. Dan tubuhku masih belum kelihatan.
Aku menyentuh cermin, menggosok tangan tak terlihatku ke atas kaca dingin yang
halus itu. "Max, mengapa begitu lama?" Tanya Zack, suaranya bergetar.
"Aku tak tahu," kataku, terdengar seperti ketakutan dan kesal seperti dia.
Dan kemudian tiba-tiba, aku kembali.
Aku menatap bayanganku di cermin, melihat sungguh-sungguh, bersyukur, satu
senyum lebar melintas di wajahku.
"Ta-daaa!" Aku bernyanyi riuh penuh kemenangan, berbalik kepada temanku yang
masih terguncang. "Aku di sini!"
"Wow!" Seru Zack, dan mulutnya tetap ketat terkejut dan heran. "Wow."
"Aku tahu," kataku, sambil nyengir. "Cukup keren, ya?"
Aku merasa sangat goyah, sepertinya seluruh (tubuhku) gemetar. Lututku terasa
lemah semua dan berkeringat. Kau tahu perasaan itu.
Tapi aku mengabaikannya. Aku ingin menikmati saat kebanggaanku ini. Ini tak
sering bahwa aku harus melakukan sesuatu yang Zack tak pernah lakukan sepuluh
kali. "Menakjubkan," kata Zack, menatap tajam cermin itu. "Aku harus mencobanya! "
"Yah ..." Aku tak begitu yakin aku ingin Zack melakukannya. Ini sepertinya
tanggung jawab yang besar. Maksudku, bagaimana jika ada sesuatu yang salah"
"Kau harus membiarkanku melakukannya!" Tegas Zack.
"Hei-mana Lefty?" Tanyaku, melirik cepat sekitar ruangan kecil itu.
"Hah" Lefty" " mata Zack juga mencari-cari.
"Aku sangat sibuk menjadi tak terlihat, aku lupa dia ada di sini," kataku. Dan
kemudian aku memanggil, "Hei, Lefty?"
Tak ada jawaban. "Lefty?" Sunyi. Aku berjalan cepat ke bagian belakang cermin. Dia tak ada. Memanggil namanya,
aku berjalan ke pintu mengintip ke loteng.
Tak ada tanda dari dia. "Dia sedang berdiri di sini. Di depan cermin, " Zack berkata, tiba-tiba pucat.
"Lefty?" Teriakku. "Apakah kau di sini" Bisakah kau mendengarku" "
Diam. "Aneh," kata Zack.
Aku menelan ludah. Perutku tiba-tiba merasa seolah-olah aku menelan batu.
"Dia di sini. Berdiri di sini, "kata Zack, suaranya melengking ketakutan.
"Yah, dia sudah lenyap sekarang," kataku, menatap bayangan gelap di cermin.
"Lefty lenyap."
9 "Mungkin Lefty jadi tak terlihat, juga," saran Zack.
"Lalu mengapa dia tak menjawab kita?" Jeritku. Aku mencoba memanggil saudaraku
lagi. "Lefty - kau di sini" Bisakah kau mendengarku" "
Tak ada jawaban. Aku berjalan ke cermin dengan marah menampar bingkainya. "Cermin bodoh."
"Lefty" Lefty" " Zack menangkupkan tangannya di sekitar mulutnya seperti
pengeras suara. Dia berdiri di pintu ke ruangan kecil, memanggil keluar ke
loteng. "Aku tak percaya ini," kataku pelan. Kakiku begitu gemetar, aku terjatuh ke
lantai. Dan kemudian aku mendengar cekikikan.
"Hah" Lefty " Aku melompat berdiri.
Cekikikan lagi. Datang dari balik kardus yang kubawa ke ruangan kecil itu.
Aku menerjang karton itu saat Lefty muncul dari belakangnya.
"Kena kau!" Teriaknya, dan terjatuh ke atas kardus, membentur lantai, tertawa
kepalanya tertunduk. "Kena kalian! Kalian berdua kena! "
"Kau makhluk kecil!" Teriak Zack.
Dia dan aku sama-sama menerkam Lefty pada waktu yang sama. Aku
menarik lengannya ke belakang sampai ia menjerit. Zack mengacaukan rambutnya ke
atas, lalu menggelitiknya.
Lefty menjerit-jerit, tertawa-tawa, menggeliat dan menangis semua pada waktu
yang sama. Aku memberinya pukulan keras di bahu.
"Jangan pernah berbuat itu lagi," teriakku marah.
Lefty tertawa, jadi aku mendorongnya keras dan berdiri.
Zack dan aku, terengah-engah, dengan wajah memerah, melotot marah pada Lefty.
Dia berguling-guling di lantai, tertutup debu, masih tertawa seperti orang gila.
"Kau membuat kami ketakutan setengah mati. Kau benar-benar!" seruku panas.
"Aku tahu," jawab Lefty gembira.
"Ayo kita memukul dia lagi," saran Zack, mengepalkan tangannya terkepal erat-
erat. "Oke," aku setuju.
"Kalian harus menangkapku dulu!" Teriak Lefty. Dalam sekejap dia berdiri, dan
keluar pintu. Aku mengejarnya, tersandung tumpukan pakaian lama, dan melayang dengan kepala
lebih dulu ke lantai. "Aduh!" Kakiku terbentur keras. Rasa sakit menembus
tubuhku. Menarik diri perlahan-lahan, aku mulai mengejar Lefty lagi.
Tapi suara-suara di tangga loteng membuatku berhenti.
Kepala Erin muncul pertama. Lalu April muncul.
Lefty sedang duduk di ambang jendela di jauh dari loteng, wajahnya memerah dan
berkeringat, napasnya megap-megap.
"Hei, bagaimana kabarmu?" Seruku kepada dua gadis itu, menyikat debu dari celana
jeansku, kemudian meluruskan rambutku dengan satu tangan.
"Ibumu bilang kau ada di sini," jelas Erin, melihat dari Lefty kepadaku.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Tanya April.
"Oh ... hanya nongkrong," kataku, melirik marah pada adikku, yang balas
menjulurkan lidahnya. April mengambil sebuah majalah Life tua dari tumpukan menguning majalah-majalah
itu dan mulai membalik-baliknya.
Tetapi halamannya jadi pecah saat ia melihatnya.
"Yekh," katanya, meletakkannya. "Ini sudah sangat tua."
"Itulah gunanya loteng," kataku, mulai merasa sedikit lebih normal. "Siapa yang
pernah dengar ada orang menyimpan barang-barangnya di loteng" "
"Ha-ha-ha," Lefty tertawa sinis.
"Di mana cermin itu?" Tanya Erin, melangkah ke dalam tengah ruangan. "Itu yang
membuat ilusi optik aneh Sabtu lalu. "
"Itu bukan ilusi optik," tanyaku langsung. Aku tak benar-benar merasa suka
dengan cermin itu lagi. Aku akan sudah cukup takut sore ini. Tapi hanya kata-
kata itu jatuh keluar dariku.
Aku tak bisa menyimpan rahasia. Ini benar-benar sifat kekuranganku.
"Apa maksudmu?" Tanya Erin, sangat tertarik.
Dia berjalan melewatiku, menuju ke pintu yang terbuka dari ruangan kecil.
"Maksudmu minggu lalu itu bukan ilusi optik?" tanya April, mengikutinya.
"Tidak, benar-benar tidak," kataku, sambil melirik Lefty, yang tak beranjak dari
jendela melintasi ruangan besar.
"Cermin itu punya kekuatan aneh. Ini benar-benar dapat mengubahmu jadi tak
terlihat. " April tertawa mengejek. "Ya. Benar, "katanya. "Dan aku akan terbang ke Mars dalam saus terbang
nanti malam setelah makan malam. "
"Yang benar saja," gumamku. Aku memalingkan mataku pada Erin. "Aku serius."
Erin menatap ke arahku, wajahnya penuh dengan keraguan.
"Kau mencoba untuk memberitahu kami bahwa kau telah lenyap di ruangan itu dan
jadi tak terlihat?" "Aku tak mencoba untuk memberitahu kalian," jawabku panas. "Aku memberitahu
kalian! " April tertawa. Erin terus menatapku, mengamati wajahku. "Kau serius," ia memutuskan.
"Ini cermin tipuan," kata April padanya. "Itu saja. Cahaya yang di atasnya
begitu terang, itu membuat matamu jadi aneh. "
"Tunjukkan pada kami," kata Erin kepadaku.
"Ya. Tunjukkan pada mereka! "seru Lefty penuh semangat. Dia melompat dari
jendela dan mulai berjalan ke ruangan kecil. "Aku akan lenyap saat ini! Biarkan
aku melakukannya! " "Tidak," kataku.
"Biar aku mencobanya," celetuk Erin.
"Hei, kau tahu siapa lagi di sini?" Tanyaku, pada para gadis itu, mengikuti
mereka ke kamar. "Zack di sini."
Aku memanggilnya. "Hei, Zack. Erin ingin jadi tak terlihat. Kau pikir kita harus
membiarkannya" "
Aku melangkah ke dalam ruangan. "Zack?"
"Di mana dia bersembunyi?" Tanya Erin.
Aku terkesiap diam. Lampu cermin menyala. Zack sudah lenyap.
10 "Oh, tidak!" Teriakku. "Aku tak percaya ini!"
Lefty tertawa. "Zack tak terlihat," katanya kepada Erin dan
April. "Zack dimana kau?" Tuntutku marah.
Tiba-tiba, bola kasti itu melayang dari tangan Lefty.
"Hei, berikan kembali !" Teriak Lefty, dan meraihnya.
Tapi Zack yang tak terlihat menarik bola keluar dari jangkauan Lefty.
Erin dan April berdua menganga di saat bola melayang di udara, mata mereka
melotot, mulut mereka terbuka lebar.
"Hai, gadis-gadis," panggil Zack menggelegar, suara yang dalam mengapung dari di
depan cermin. April menjerit dan meraih lengan Erin.
"Zack, berhenti bercanda. Berapa lama kau tak terlihat "tanyaku.
"Aku tak tahu." Bola itu melayang kembali ke Lefty, dia menjatuhkannya dan harus
mengejarnya keluar ke loteng.
"Berapa lama, Zack?" ulangku.
"Sekitar lima menit, mungkin," jawabnya.
"Ketika kau mengejar Lefty, aku menyalakan lampu dan jadi tak terlihat. Lalu aku
mendengar kau berbicara dengan Erin dan April.
"Kau sudah tak terlihat sepanjang waktu itu?" Tanyaku, merasa benar-benar gugup
dan kesal. "Ya. Ini mengagumkan! "serunya. Tapi lalu suaranya nada ragu. "Meskipun aku -
aku mulai merasa agak aneh, Max. "
"Aneh?" Tanya Erin, menatap di mana suara Zack tampaknya berasal. "Apa maksudmu
'Aneh'" " "Agak pusing," jawab Zack lemah. "Semuanya semacam putus. Kau tahu. Seperti
gambar TV yang buruk. Maksudku, kau mulai memudar, tampak menjauh. "
"Aku membawamu kembali," kataku. Dan tanpa menunggu jawaban Zack, aku meraih dan
menarik rantai lampu. Lampu itu mati. Kegelapan sepertinya menggulung dalam ruangan itu, mengisi
cermin dengan bayangan abu-abu.
"Di mana dia?" Teriak April. "Ini tak berhasil. Dia tak kembali. "
"Ini perlu waktu," aku menjelaskan.
"Berapa lama?" Tanya April.
"Aku tak tahu," kataku.
"Mengapa aku tak kembali?" Tanya Zack.
Dia berdiri tepat di sampingku. Aku bisa merasakan napasnya di leherku.
"Aku tak bisa melihat diriku." Dia terdengar sangat ketakutan.
"Jangan tegang," kataku, memaksa diri untuk bersuara tenang. "Kau tahu itu butuh
waktu. Terutama karena kau tetap tak terlihat begitu lama. "
"Tapi berapa lama?" Ratap Zack. "Bukankah seharusnya aku kembali oleh sekarang"
Kau kembali sekarang. Aku ingat. "
"Tetap tenang," kataku, meskipun perutku bergolak dan tenggorokanku kering.
"Ini terlalu menakutkan. Aku benci ini!" erang April.
"Sabarlah," ulangku pelan. "Semuanya bersabarlah. "
Kami semua menatap tempat itu yang kami pikir Zack berdiri ke cermin, lalu
kembali lagi. "Zack, bagaimana perasaanmu?" Tanya Erin, suaranya gemetar.
"Aneh," jawab Zack. "Seperti aku tak akan pernah kembali."
"Jangan katakan itu!" Bentakku.
"Tapi itulah perasaanku," kata Zack sedih. "Seperti aku tak akan pernah kembali.
" "Tenanglah," kataku. "Semua orang. Tenanglah. "
Kami berdiri dalam keheningan. Menonton. Menunggu.
Menunggu. Aku tak pernah setakut itu dalam seluruh hidupku.
11 "Lakukan sesuatu!" Pinta Zack masih tak terlihat,. "Max -kau harus melakukan
sesuatu! "

Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku-aku sebaiknya memanggil Ibu," Lefty tergagap. Dia menjatuhkan bola kasti
untuk floorand mulai ke pintu.
"Ibu" Apa yang bisa Ibu lakukan" " teriakku panik.
"Tapi sebaiknya aku memanggil seeseorang!" Kata Lefty.
Pada saat itu, Zack berpendar tampak kembali.
"Wow!" Dia mengeluarkan desahan panjang, terengah-engah lega
dan merosot berlutut di lantai.
"Yaaaay!" teriak Erin gembira, bertepuk tangan saat kami semua berkumpul di
sekitar Zack. "Bagaimana perasaanmu?" Tanyaku, meraih bahunya. Kupikir aku ingin tahu dengan
pasti bahwa dia benar-benar kembali.
"Aku kembali!" Zack memproklamirkan, tersenyum. "Itu saja yang aku peduli."
"Itu benar-benar menakutkan," kata April pelan, tangan masuk ke kantong celana
tenis putihnya. "Maksudku, benar-benar menakutkan. "
"Aku tak takut," kata Zack, tiba-tiba nada suaranya berubah. "Aku tahu ada
masalah." Apa kau percaya orang ini"
Satu detik (yang lalu) dia merengek dan meratap, mengemis agar aku melakukan
sesuatu. Detik berikutnya, dia menganggap dirinya yang punya waktu hidupnya. Tuan Percaya
Diri. "Bagaimana rasanya?" Tanya Erin, meletakkan satu tangannya pada bingkai kayu
cermin. "Mengagumkan," jawab Zack. Dia berdiri goyah. "Benar. Itu benar-benar hebat! Aku
ingin jadi tak terlihat lagi sebelum sekolah di hari Senin sehingga aku bisa
pergi memata-matai di ruangan lemari gadis-gadis '! "
"Zack, kau babi!" Kata Erin jijik.
"Apa gunanya jadi tak terlihat jika kau tak dapat memata-matai gadis-gadis" "
tanya Zack. "Apa kau yakin kau baik-baik saja?" Tanyaku, benar-benar memperhatikan. "Kau
tampaknya seperti gemetar kepadaku."
"Yah, aku mulai merasa sedikit aneh di akhir," aku Zack, menggaruk bagian
belakang kepalanya. "Apa maksudmu?" Tanyaku.
"Yah, seperti aku sedang ditarik. Menjauh dari kamar. Menjauh dari kalian. "
"Ditarik kemana?" tuntutku.
Dia mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Aku hanya tahu satu hal "
Seulas senyum mulai terbentuk di wajahnya, dan mata birunya tampak menyala.
Uh-oh, pikirku. "Aku hanya tahu satu hal," ulang Zack.
"Apa?" Aku harus bertanya.
"Aku juara baru tak terlihat. Aku tetap tak terlihat lebih lama darimu.
Setidaknya lima menit. Lebih lama dari siapa pun. "
"Tapi aku belum dapat giliran!" Protes Erin.
"Aku tak ingin giliran!" Kata April.
"Penakut?" Zack menggodanya.
"Kupikir kau bodoh membuat keributan bermain dengan ini," kata April panas. "Ini
bukan mainan, kau tahu. Kau tak tahu apa-apa tentang hal itu. Kau tak tahu apa
yang benar-benar dilakukannya pada tubuhmu. "
"Aku merasa baik-baik saja!" Kata Zack, dan memukul dadanya dengan kedua tangan
seperti gorila untuk membuktikannya. Dia melirik ke cermin gelap. "Aku siap
untuk kembali-bahkan lebih lama. "
"Aku ingin jadi tak terlihat, pergi keluar dan bermain tipuan pada orang-orang,
"kata Lefty antusias. "Bisakah aku jadi selanjutnya, Max" "
"Aku - aku tak berpikir begitu ...."
Aku sedang memikirkan apa yang dikatakan April. Kami benar-benar
main-main dengan sesuatu yang bisa berbahaya, sesuatu yang kita tak tahu apa-apa
tentangnya. "Max harus pergi lagi," kata Zack, menamparku keras di belakang, hampir-hampir
mengirimku dalam posisi membentang pada cermin. "Untuk mengalahkan rekorku."
Dia menyeringai padaku. "Kecuali kau juga penakut."
"Aku tak takut!" Aku bersikeras. "Aku hanya berpikir-"
"Kau penakut," tuduh Zack, tertawa mencemooh.
Dia mulai berdecak keras, mengepakkan lengannya seperti
ayam. (ayam=kata kiasan untuk penakut).
"Aku tak takut. Biarkan aku pergi, "pinta Lefty. "Aku bisa mematahkan rekor
Zack. " "Sekarang giliranku," desak Erin. "Kalian semua pernah dapat giliran. Aku belum
pernah sama sekali! "
"Oke," kataku sambil mengangkat bahu. "Kau duluan, Erin. Lalu aku. "
Aku lega Erin begitu ingin melakukannya. Aku benar-benar tak merasa suka jadi
tak terlihat lagi, masih belum.
Sejujurnya, aku merasa sangat berdebar dan gugup.
"Aku berikutnya!" Tegas Lefty. "Aku berikutnya! Aku berikutnya! " Dia
mulai terus melantunkan kata-kata itu.
Aku mengatupkan tanganku ke mulutnya.
"Mungkin kita semua harus pergi ke bawah, "usulku.
"Penakut?" goda Zack. "Kau ketakutan keluar?"
"Aku tak tahu, Zack," jawabku jujur. "Kupikir-
Aku melihat Erin menatapku. Apa itu rasa kecewa pada wajahnya" Apa Erin berpikir aku penakut juga"
"Oke," kataku. "Silakan, Erin. Kau pergi. Lalu aku akan pergi. Kemudian Lefty.
Kita semua akan mengalahkan rekor Zack. "
Erin dan Lefty bertepuk tangan. April mengerang dan matanya bergerak-gerak. Zack
nyengir. Ini bukan masalah besar, aku berkata pada diriku sendiri. Aku telah melakukannya
tiga kali. Ini sangat menyakitkan. Dan jika kau hanya tetap tenang dan menunggu
dengan sabar, kau datang tepat kembali ke jalanmu.
"Apakah ada yang punya jam?" Tanya Erin. "Kita perlu mencatat waktu jadi aku
tahu kapan waktunya harus mengalahkan. "
Aku bisa melihat bahwa Erin serius dalam kompetisi ini.
Lefty tampak sangat bersemangat, juga. Dan tentu saja Zack akan bersaing dalam
apa pun. Hanya April tak senang tentang semua hal ini. Dia diam-diam berjalan ke bagian
belakang ruangan dan duduk di lantai, punggungnya bersandar pada dinding,
tangannya dilipat pada lututnya.
"Hei, hanya kau satu-satunya penonton," panggil Erin pada April. "Jadi kau
pencatat waktunya, oke?"
April mengangguk tak antusias. Dia mengangkat pergelangan tangannya dan melihat
jamnya. "Oke. Siap. "
Erin mengambil napas panjang dan melangkah ke cermin. Dia menutup matanya,
mengulurkan tangan, dan menarik pelan rantai lampu.
Lampu menyala dengan kilatan cerah. Erin menghilang.
"Oh, wow!" Teriaknya. "Ini cara yang keren!"
"Bagaimana rasanya?" Panggil April dari belakang kami, matanya melirik dari
cermin ke jamnya. "Aku tak merasa berbeda sama sekali," kata Erin. "Cara yang bagus untuk
menurunkan berat badan! "
"Lima belas detik," April mengumumkan.
Rambut Lefty tiba-tiba berdiri tegak di udara. "Hentikan itu, Erin "teriaknya,
memutar jauh dari tangan tak tampaknya.
Kami mendengar tawa Erin dari suatu tempat dekat Lefty.
Lalu kami mendengar langkah kakinya saat dia berjalan keluar dari ruangan dan
masuk ke loteng. Kami melihat jaket tua naik menari berutar-putar di udara.
Setelah jaket itu dijatuhkan
kembali ke kardus, kami melihat sebuah majalah tua terbang
dan halaman-halamannya tampak berbalik dengan cepat.
"Ini sangat menyenangkan!" Kata Erin pada kami. Majalah itu jatuh kembali ke
tumpukan. "Aku tak sabar untuk pergi ke luar seperti ini dan benar-benar
menakut-nakuti orang!"
"Satu menit," Kata April. Dia belum beranjak dari posisi duduknya di dinding.
Erin bergerak sebentar di sekitar loteng, membuat benda-benda terbang dan
melayang. Lalu ia kembali ke ruangan kecil itu untuk mengagumi dirinya di
cermin. "Aku benar-benar tak terlihat!" Kami mendengar dia menyatakannya dengan penuh
semangat. "Sama seperti dalam film atau semacamnya!"
"Ya. Efek khusus yang hebat," kataku.
"Tiga menit," April mengumumkan.
Erin terus menikmati dirinya sampai sekitar empat menit telah berlalu. Lalu
tiba-tiba suaranya berubah. Dia mulai terdengar ragu, takut.
"Aku-aku tak suka ini," katanya. "Aku merasa agak aneh."
April melompat dan berlari ke arahku. "Bawa dia kembali!" Desaknya. "Cepat!"
Aku ragu-ragu. "Ya. Bawa aku kembali, "kata Erin lemah.
"Tapi kau belum mengalahkan rekorku!" Kata Zack. "Apakah kau yakin-?"
"Ya. Tolong. Aku merasa tak benar." Tiba-tiba suara Erin terdengar menjauh.
Aku melangkah ke cermin itu dan menarik rantai. Lampu itu mati.
Kami menunggu Erin untuk kembali.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanyaku.
"Hanya ... aneh," jawabnya.
Dia berdiri tepat di sampingku, tapi aku masih tak bisa melihatnya.
Butuh waktu hampir tiga menit bagi for untuk muncul kembali.
Tiga menit yang sangat menegangkan.
Ketika dia berpendar kembali kelihatan, ia menggoyang-goyangkan dirinya seperti
anjing menggoyang-goyangkan air setelah mandi.
Lalu ia tersenyum pada kami meyakinkan. "Aku baik-baik. Itu benar-benar hebat.
Kecuali untuk detik-detik terakhir. "
"Kau tak mengalahkan rekorku," Zack memberitakan dengan gembira.
"Kau sudah begitu dekat. Tapi kau gagal. Persis seperti seorang gadis. "
"Hei-" Erin mendorong Zack dengan keras. "Berhentilah bersikap brengsek."
"Tapi kau cuma perlu lima belas detik untuk pergi, dan kau kurang percaya diri,
keluar! "kata Zack padanya.
"Aku tak peduli," desak Erin, merengut marah padanya. "Ini benar-benar bagus.
Lain kali aku akan mengalahkan rekormu, Zack. "
"Aku akan menjadi pemenang," kata Lefty. "Aku akan tetap tak terlihat untuk
sepanjang hari. Mungkin dua hari! "
"Wah!" Jeritku. "Itu bisa berbahaya, Lefty."
"Berikutnya giliran Max," Zack mengumumkan. "Kecuali kau membayar hukuman. "
"Tidak," kataku, sambil melirik Erin. Dengan enggan, aku melangkah ke cermin dan
mengambil napas dalam-dalam.
"Oke, Zack, ucapkan selamat tinggal untuk rekormu," kataku, berusaha tenang dan
percaya diri. Aku tak benar-benar ingin melakukannya, aku mengaku pada diri sendiri. Tapi aku
tak ingin terlihat kelihan penakut di depan lain. Untuk satu hal lagi, jika aku
pengecut, aku tahu bahwa Lefty akan mengingatkanku dua puluh atau tiga puluh
kali sehari selama sisa hidupku.
Jadi aku memutuskan untuk terus maju dan melakukannya.
"Satu hal lagi," kataku pada Zack. "Ketika aku katakan 'siap ', itu berarti aku
ingin kembali. Jadi saat aku mengatakan 'Siap', kau tarik rantai lampu secepat
kau bisa- oke" "
"Baik," jawab Zack, ekspresinya berubah serius. "Jangan khawatir. Aku akan
membawamu langsung kembali." Dia menjentikkan jarinya. "Seperti itu. Ingat, Max,
kau harus mengalahkan lima menit. "
"Oke. Ini dia, "kataku, menatap bayanganku di cermin.
Aku tiba-tiba punya perasaan buruk tentang ini.
Suatu perasaan yang benar-benar buruk.
Tapi aku mengulurkan tangan dan menarik lampu juga.
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com 12 Ketika lampu menyilaukan itu meredup, aku menatap tajam ke dalam cermin.
Bayangan-bayangan itu terang dan jelas. Pada dinding belakang, aku bisa melihat
bulan April, merosot di lantai, menatap tajam pada jamnya.
Lefty berdiri dekat dinding sebelah kanan, menganga di tempat di mana aku
berdiri, tersenyum konyol di wajahnya.
Zack berdiri di sampingnya, kedua lengannya disilangkan di dada, juga menatap ke
cermin. Erin bersandar di dinding sebelah kiri. Matanya (tertuju) pada lampu di atas
bingkai cermin. Dan di mana aku" Berdiri tepat di depan cermin. Tepat di tengah-tengahnya. Menatap bayangan-
bayangan mereka. Menatap tempat dimana bayanganku seharusnya (berada).
Hanya saja bayangan itu tak ada.
Aku merasa normal. Bereksperimen, aku menendang lantai. Sepatu tak terlihatku membuat suara gesekan
biasa. Aku meraih lengan kiriku dengan tangan kananku dan meremasnya. Rasanya normal.
"Hai, semuanya," kataku. Aku terdengar sama seperti sebelumnya.
Hanya aku tak tampak. Aku melirik ke arah lampu, mendapati suatu persegi panjang kuning turun ke
cermin. Apa kekuatan lampu itu" Aku bertanya-tanya.
Apa itu yang melakukan sesuatu pada molekulmu" Membuatnya pecah entah bagaimana
sehingga kau tak bisa dilihat"
Tidak. Itu bukan teori yang baik. Jika molekulmu pecah, kau pasti merasakannya.
Dan kau tak akan mampu menendang lantai, meremas lenganmu atau berbicara.
Jadi, apa yang lampu itu lakukan"
Apa lampu itu menutupi (dengan cara)entah bagaimana"
Apakah lampu itu membentuk semacam selimut" Suatu penutup yang menyembunyikanmu
dari diri sendiri dan semua orang lain"
Misteri! Kurasa aku tak akan bisa mengetahuinya, tak akan pernah tahu jawabannya.
Aku memutar mataku menjauh dari lampu itu. Lampu itu mulai
menyakiti mataku. Aku memejamkan mata, tapi cahaya terang yang menyilaukan tetap bersamaku.
Dua lingkaran putih yang menolak untuk meredup.
"Bagaimana perasaanmu, Max?" Suara Erin memecahkan pikiranku.
"Oke, kurasa," kataku. Suaraku kedengaran aneh bagiku, semacam menjauh.
"Empat menit, tiga puluh detik," April mengumumkan.
"Waktu berlalu begitu cepat," kataku.Setidaknya, kupikir aku mengatakan itu. Aku
sadar aku tak bisa mengatakan apakah aku mengucapkan kata-kata atau cuma
memikirkannya. Lampu kuning terang itu bersinar lebih cerah.
Aku merasa tiba-tiba cahaya lampu itu tertuang padaku, mengelilingiku.
Menarikku. "Aku-aku merasa aneh," kataku.
Tak ada respon. Bisakah mereka mendengarku,
Cahaya itu membungkusku. Aku merasa diriku mulai mengambang.
Ini adalah perasaan yang menakutkan. Seolah-olah aku kehilangan kontrol
pada tubuhku. "Siap-siap!"jeritku. "Zack siap-siap! Bisakah kau mendengarku, Zack" "
Kelihataannya perlu waktu berjam-jam bagi Zack untuk menjawab.
"Oke," aku mendengarnya mengatakan. Suaranya terdengar begitu kecil, begitu
jauh. Bermil-mil dan bermil-mil jauhnya.
"Siap-siap!" Jeritku. "Siap-siap!"
"Oke!" Sekali lagi aku mendengar suara Zack.
Namun cahaya itu begitu terang, begitu cemerlang menyilaukan. Gelombang cahaya
kuning bergulir ke atasku. Lautan gelombang cahaya melandaku menjauh.
"Tarik rantainya, Zack!" jeritku. Setidaknya, kupikir itu adalah jeritan.
Cahaya itu menarikku begitu keras, menyeret menjauh, jauh, menjauh.
Aku tahu aku akan melayang pergi. Melayang selamanya.
Kecuali Zack menarik rantai dan membawaku kembali.
"Tarik! Tarik! Tolong-tariklah!"
"Okay." Aku melihat Zack melangkah ke cermin itu.


Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia jadi kabur dalam bayang-bayang. Dia melangkah melalui bayangan-bayangan
gelap, di sisi lain dari lampu.
Begitu jauh. Aku merasa jadi seringan bulu.
Aku bisa melihat Zack dalam bayang-bayang. Dia melompat berdiri. Dia meraih
rantai lampu. Dia menarik ke bawah dengan keras.
Lampu itu tak mati. Bahkan bersinar lebih cerah.
Dan lalu aku melihat wajah Zack penuh dengan rasa ngeri.
Dia mengangkat tangannya. Dia mencoba untuk menunjukkan sesuatu padaku.
Dia memegangi rantai di tangannya.
"Max, rantainya-" dia tergagap. "Ini putus. Aku tak bisa mematikan lampu!"
13 Melewati dinding yang berkilauan cahaya kuning, Zack mengulurkan tangan
terdengar jelas dalam pandanganku. Rantai gelap itu berjuntai di tangannya
seperti ular mati. "Ini putus!" teriaknya, terdengar sangat khawatir.
Aku menatap melalui lampu di rantai, merasa diriku melayang di samping Zack,
mengambang, memudar. Di suatu tempat berjarak jauh, April menjerit. Aku tak bisa mengerti kata-
katanya. Lefty berdiri membeku di tengah ruangan. Rasanya aneh melihatnya masih tetap
berdiri. Dia selalu bergerak, selalu terpental, berjalan, jatuh. Tapi sekarang
dia juga berdiri menatap rantai itu.
Lampu itu berpendar lebih terang.
Aku tiba-tiba melihat gerakan.
Seseorang sedang melintasi ruangan. Aku bersusah payah untuk fokus.
Itu Erin. Dia menyeret sebuah kotak kardus besar melewati lantai. Suara gesekan
yang dibuatnya tampak begitu jauh.
Merasa diriku menjauh, aku berjuang untuk melihatnya. Dia menarik kotak ke
samping cermin. Lalu ia memanjat ke atasnya.
Aku melihatnya meraih ke lampu itu. Aku melihatnya menatap ke lampu itu.
Aku ingin bertanya apa yang ia perbuat, tapi aku terlalu jauh. Aku melayang. Aku
merasa begitu ringan, seringan bulu.
Dan saat aku melayang, cahaya lampu kuning itu menyebar padaku. Menutupiku.
Menarikku. Dan lalu dengan mengejutkan tiba-tiba itu menghilang.
Dan semua jadi gelap. "Aku melakukannya!" Erin mengumumkan.
Aku mendengarnya menjelaskan pada yang lain. "Ada sedikit rantai yang tersisa di
sana. Aku menariknya dan mematikan lampu. "
Matanya panik bergerak-gerak cepat mencari-cariku di sekeliling ruangan. "Max -
apa kau baik-baik saja" Bisakah kau mendengarku" "
"Ya. Aku baik-baik saja, "jawabku.
Aku merasa lebih baik. Lebih kuat. Lebih dekat.
Aku melangkah ke cermin dan mencari bayanganku.
"Itu menakutkan," kata Lefty dibelakangku.
"Aku bisa merasakan diriku kembali," kataku pada mereka.
"Berapa waktunya?" Tanya Zack pada April.
Roman muka April tegang dengan kekhawatiran. Duduk terhadap
dinding, dia tampak pucat dan tak nyaman.
"Lima menit empat puluh delapan detik, "katanya Zack. Dan kemudian cepat-cepat
menambahkan, "Aku benar-benar berpikir kompetisi bodoh ini adalah kesalahan
besar. " "Kau mengalahkan rekorku!" Erang Zack, beralih ke tempatdi mana ia pikir aku
sedang berdiri. "Aku tak percaya! Hampir enam menit! "
"Aku akan lebih lama dari itu," kata Lefty, mendorong melewati Zack dan
melangkah ke cermin. "Kita harus memperbaiki rantainya dulu," kata Erin padanya. "Terlalu
sulit untuk terus memanjat kotak untuk menarik sedikit potongan rantai."
"Aku merasa cukup aneh di akhir," kataku, masih menunggu untuk muncul kembali.
"Lampu itu jadi lebih terang dan lebih cerah. "
"Apa kau merasa sepertinya kau sedang ditarik?" tanya Erin.
"Ya," jawabku. "Sepertinya aku memudar atau semacamnya."
"Begitulah. Mulai terasa, "teriak Erin.
"Ini jadi begitu berbahaya," kata April, menggelengkan kepalanya.
Aku muncul kembali. Lututku lemas dan aku hampir jatuh ke lantai. Tapi aku meraih cermin itu dan
menahan diriku berdiri. Beberapa
detik kemudian, kakiku terasa kuat lagi. Aku mengambil beberapa langkah dan
mengembalikan keseimbangan.
"Bagaimana jika kita tak bisa mematikan lampu?" tuntut April, berdiri, menyikat
debu di belakang celananya dengan kedua tangan. "Bagaimana jika rantainya benar-
benar putus dan lampunya tetap menyala"
Lalu apa" " Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
"Kau memecahkan rekorku," kata Zack, membuat wajah jijik. "Itu berarti aku harus
dapat giliran lagi."
"Tidak!" Teriak Lefty. "Sekarang giliranku berikutnya!"
"Tak ada dari kalian yang mendengarkanku!" Teriak April.
"Jawab pertanyaanku. Bagaimana jika salah satu dari kalian tak terlihat
dan lampu itu tak mau mati" "
"Itu tak akan terjadi," kata Zack padanya. Dia menarik seutas tali
dari sakunya. "Sini. Aku akan mengikatnya erat-erat pada rantai. "
Dia memanjat ke kotak dan mulai
pekerjaannya. "Tarik tali itu. Lampunya akan padam, "katanya
pada April. "Tak masalah."
"Siapa salah satu dari kita yang akan jadi yang pertama tak kelihatan dan lalu
pergi ke luar" "tanya Erin.
"Aku ingin pergi ke sekolah dan meneror Bu Hawkins," kata Lefty, tertawa
terbahak-bahak. Bu Hawkins adalah guru pelajaran sosialnya.
"Dia sudah menerorku sejak sekolah dimulai. Bukankah itu keren hanya untuk
menyelinap di belakangnya dan berkata, 'Hai, Miss Hawkins"'
Dan dia berbalik dan tak ada orang di sana" "
"Itukah yang terbaik yang dapat kau kerjakan?" Ejek Erin. "Lefty, di mana
imajinasimu" Tidakkah kau ingin membuat kapur terbang keluar dari tangannya,
penghapus kapur papan tulis terbang melintasi ruangan, menumpahkan (isi)
keranjang sampah semuanya di mejanya, dan menerbang susu kentalnya ke wajahnya?"
"Ya! Itu cara yang keren "seru! Lefty.
Aku tertawa. Itu adalah ide yang lucu. Kami berempat bisa pergi berkeliling,
benar-benar tak terlihat, melakukan apa pun yang kami inginkan. Kita bisa
menghancurkan seluruh sekolah dalam sepuluh menit! Semua orang akan menjerit dan
berjalan keluar pintu. Bodoh sekali!
"Kita tak bisa melakukannya sekarang," kata Lefty, menyela pikiranku. "Karena
ini giliranku untuk mengalahkan rekor."
Dia berbalik pada April, yang berdiri tegang di pintu, menarik-narik sehelai
rambut hitamnya, satu kerutan khawatir tampak pada wajahnya. "Siap (menghitung)
waktuku?" "Aku kira," jawabnya, sambil mendesah.
Lefty mendorongku keluar dari jalan. Dia melangkah ke depan cermin, menatap
bayangannya, dan meraih tali itu.
14 "Lefty!" Satu suara berteriak dari belakang kami. "Lefty!"
Terkejut oleh gangguan itu, aku mengeluarkan seruan kaget.
Lefty melangkah mundur dari cermin.
"Lefty, beritahu teman-teman kakakmu harus pulang! Ini saatnya makan malam.
Grammy dan Poppy di sini. Mereka ingin berjumpa kalian! "
Itu Ibu, memanggil dari lantai bawah.
"Baik, Bu. Kami akan segera turun "teriakku cepat-cepat. Aku tak ingin dia
muncul. "Tapi itu tak adil!" Rengek Lefty. "Aku tak mendapatkan giliranku. "
Dia melangkah kembali ke cermin dengan marah meraih tali itu lagi.
"Turunkan," kataku tegas. "Kita harus pergi bawah. Cepat. Kita tak ingin Ibu
atau Ayah datang ke sini dan melihat cermin ini, iya kan" "
"Oke, oke," gerutu Lefty. "Tapi lain kali, aku jadi yang pertama. "
"Lalu aku," kata Zack, menuju tangga.
" Aku dapat kesempatan untuk mengalahkan rekormu, Max."
"Semua orang, berhentilah bicara tentang itu," aku memperingatkan saat kami
semua berjalan menuruni tangga. "Bicarakan sesuatu yang lain. Kita tak ingin
mereka mendengar apa pun. "
"Bisakah kami besok datang lagi?" Tanya Erin. "Kita bisa mulai kontes lagi."
"Aku sibuk besok," kata April.
"Kita tak bisa melakukannya besok," jawabku. "Kami akan mengunjungi saudara
sepupuku di Springfield. "
Aku menyesal mereka akan mengingatkanku. Sepupuku ini punya anjing gembala besar
yang suka berjalan melalui lumpur, lalu melompat padaku dan mengelapkan cakar
berbulunya yang ke pakaianku. Bukan ideku dari waktu yang baik.
"Tak ada sekolah pada hari Rabu," kata Zack. "Kupikir ada rapat guru. Mungkin
kita semua bisa datang di hari Rabu."
"Mungkin," kataku.
Kami melangkah ke lorong. Semua orang berhenti berbicara. Aku bisa melihat bahwa
kakek nenekku dan orang tuaku sudah duduk di meja ruang makan.
Kakek dan Nenek suka makan segera. Jika makan malam mereka terlambat satu menit
saja, itu akan membuat mereka benar-benar rewel di sisa hari itu.
Aku mengantar teman-temanku dengan cepat, mengingatkan mereka untuk tak
memberitahu siapa pun tentang apa yang kami lakukan. Zack bertanya lagi apa jadi
hari Rabu, dan sekali lagi kukatakan kepadanya bahwa aku tak yakin.
Menjadi tak terlihat benar-benar menarik, benar-benar mendebarkan.
Tapi itu juga membuatku gugup. Aku tak yakin aku ingin segera melakukannya lagi.
"Kumohon!" Pinta Zack.
Dia tak bisa menunggu untuk jadi tak terlihat lagi dan mengalahkan rekorku. Dia
tak bisa tahan bahwa ia bukan si juara itu.
Aku menutup pintu depan setelah mereka (pergi) dan bergegas ke ruang makan
untuk menyapa kakek-nenekku. Mereka sudah meneguk sup mereka ketika aku masuk.
"Hai, Grammy. Hai, Poppy." aku berjalan mengelilingi meja dan memberi mereka
masing-masing ciuman di pipi.
Grammy berbau jeruk. Pipinya terasa lembut dan lembek.
Grammy dan Poppy adalah nama yang kuberikan pada mereka saat aku masih kecil.
Ini benar-benar memalukan untuk memanggil mereka (dengan nama itu) sekarang,
tapi aku masih melakukannya. Aku tak punya pilihan. Mereka bahkan memanggil satu
sama lain Grammy dan Poppy!
Mereka tampak sama, hampir seperti adik kakak. Kurasa itulah yang terjadi saat
kau sudah menikah selama seratus tahun. Mereka berdua punya wajah panjang yang
kurus dan rambut putih pendek. Mereka berdua memakai kacamata tebal dengan
bingkai kawat perak. Mereka berdua benar-benar kurus. Dan mereka berdua punya
mata dan ekspresi yang menyedihkan.
Aku tak merasa senang duduk makan malam di sana dan membuat pembicaraan kecil
dengan mereka hari ini. Aku masih benar-benar bergairah tentang apa yang kami
lakukan sepanjang sore. Menjadi tak terlihat benar-benar begitu aneh dan menarik.
Aku ingin sendirian dan berpikir tentang hal itu. Kau tahu. Mencoba untuk
mengingat kembali hal itu, mengingat kembali bagaimana rasanya.
Sering kali setiap kali aku melakukan sesuatu yang sangat mengasyikkan dan
menarik, Aku ingin naik ke kamarku, berbaring di atas tempat tidurku, dan cuma
memikirkan tentang hal ini. Menganalisanya. Memikirkannya secara terpisah.
Ayah bilang aku memiliki pikiran yang sangat ilmiah. Kukira dia benar.
Aku berjalan ke tempatku di meja.
"Kau tampak jauh lebih pendek," kata Poppy, mengelap mulutnya dengan serbet
kainnya. Itu adalah salah satu lelucon standarnya. Dia mengatakannya setiap kali
dia melihatku. Aku terpaksa tertawa dan duduk.
"Supmu pasti sedingin es sekarang," kata Grammy, lidahnya berbunyi. "Tak ada
yang lebih kubenci dari sup yang dingin. Maksudku, apa gunanya punya sup jika
tak mengepul panas" "
"Rasanya baik-baik saja," kataku, mengambil sesendok.
"Kita punya beberapa sup dingin lezat di musim panas lalu," kata Poppy. Dia
menyukai menentang Grammy dan memulai pertengkaran dengannya. "Sup stroberi,
ingat" Kau tak mau itu panas, iya kan" "
"Itu bukan stroberi," kata Grammy padanya, mengerutkan kening. "Itu
bahkan bukan sup. Itu semacam susu kental yang mewah. "
"Tidak, itu tidak," desak Poppy. "Itu benar-benar sup dingin. "
"Kau keliru, seperti biasa," bentak Grammy.
Ini bisa jadi buruk, pikirku.
"Sup jenis apa ini" "tanyaku, mencoba untuk menghentikan perdebatan mereka.
"Bak mie ayam," jawab Ibu dengan cepat. "Apa tak mengenalinya" "
"Poppy dan aku punya sup beberapa minggu lalu yang tak bisa kami kenali, "kata
nenekku, menggelengkan kepalanya. "Aku harus bertanya pada pelayan apa itu. Itu
sama sekali tak tampak seperti apa yang kami pesan. Semacam sup kentang bawang
prei, bukan begitu, Poppy" "
Poppy butuh waktu lama menelan beberapa mie.
"Bukan. Tomat, "jawabnya.
"Di mana adikmu?" Tanya Ayah, menatap kursi kosong di sampingnya kepadaku.
"Hah?" Aku bereaksi terkejut. Aku telah begitu sibuk mendengarkan perdebatan konyol
kakek nenekku tentang sup, aku sama sekali lupa tentang Lefty.
"Supnya semakin dingin," kata Poppy.
"Kau harus memanaskannya untuknya," kata Grammy, berdesas- desus lagi.
"Jadi di mana dia?" Tanya Ayah.
Aku mengangkat bahu. "Dia tepat di belakangku," kataku. Aku berbalik menuju
pintu ruang makan dan berteriak, "Lefty! Lef-teeeee?"!
"Jangan berteriak di meja," omel Ibu. "Bangunlah dan carilah dia. "
"Apa ada lagi sup?" Tanya Poppy. "Aku benar-benar tak dapat cukup."
Aku meletakkan serbetku turun dan mulai untuk bangun. Tapi sebelum aku keluar
dari kursiku, aku melihat mangkuk sup Lefty yang naik ke udara.
Oh, tidak! Pikirku. Aku langsung tahu apa yang terjadi.
Adik bodohku membuat dirinya tak terlihat, dan sekarang dia berpikir dia sedang
melucu, mencoba menakut-nakuti semua orang di meja.
Mangkuk sup itu melayang di atas tempat Lefty.
Aku berdiri dan menyergapnya dan menariknya ke bawah secepat yang aku bisa.
"Keluar!" Aku berbisik keras pada Lefty.
"Apa katamu?" Tanya ibuku, memandangku dengan mulut menganga.
"Aku bilang aku akan keluar dan pergi mencari Lefty," kataku padanya, berpikir
cepat. "Keluar - sekarang!" Bisikku pada Lefty.
"Berhenti berbicara tentang menemukannya. Cukup pergi lakukanlah, " kata ibuku
tak sabar. Aku berdiri saat adik bodohku yang tak terlihat mengangkat gelas airnya. Gelas
itu melayang di atas meja.
Aku terkesiap dan meraihnya.
Tapi aku menyambar terlalu keras. Aku menarik gelas itu, dan airnya tumpah
semua ke atas meja. "Hei!" Teriak Ibu.
Aku menarik gelas ke tempatnya.
Lalu aku mendongak. Ayah menatapku, matanya menyala marah ke arahku.
Dia tahu, pikirku, perasaan berat akan ketakutan melandaku.
Dia melihat apa yang baru saja terjadi, dan dia tahu.
Lefty telah merusaknya bagi setiap orang.
15 Ayah di seberang meja melotot marah.
Aku menunggunya berkata, "Max, mengapa adikmu tak kelihatan?"
Tapi sebaliknya, ia malah berteriak, "Berhentilah bersikap bodoh, Max. Kami tak
menghargai aksi komedimu. Cukup bangun dan temukan adikmu."
Aku begitu lega. Ayah tak menyadari apa yang benar-benar terjadi, setelah itu
semua. Dia pikir aku hanya main-main.
"Apa ada sup kedua?" Aku mendengar Poppy bertanya lagi saat aku dengan bersyukur
menjauh dari meja dan bergegas keluar dari ruang makan.
"Kau sudah cukup (kenyang)," omel Grammy.
"Tidak, aku tidak!"


Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berjalan cepat melalui ruang tamu, mengambil langkah panjang, naik ke lantai
dua, dan berhenti di lorong pada pintu tangga loteng.
"Lefty?" Bisikku. "Aku harap kau mengikutiku."
"Aku di sini," bisik Lefty kembali.
Aku tak bisa melihatnya, tentu saja, tapi dia tepat di sampingku.
"Apa itu gagasan besar?" Tuntutku marah. Aku tak marah. Aku sangat marah. "Apa
kau mencoba untuk memenangkan kejuaraan itu" "
Lefty tak peduli bahwa aku marah. Dia mulai cekikikan.
"Diam!" Bisikku. "Tutup mulut! Kau benar-benar brengsek! "
Aku menyalakan lampu loteng dan berjalan dengan marah menaiki tangga. Aku bisa
mendengar sepatunya berjalan di belakangku.
Dia masih tertawa-tawa di puncak tangga.
"Aku menang!" ia mengumumkan. Aku merasa satu tangan menamparku keras di
belakangku. "Hentikan, brengsek!" Jeritku, menyerbu ke ruangan kecil yang menyimpan cermin.
"Apa kau tak sadar kau hampir merusaknya bagi semua orang" "
"Tapi aku menang!" Ulangnya gembira.
Lampu di atas cermin bersinar terang, memantulkan matahari kuning yang
menyilaukan di cermin. Aku benar-benar tak bisa percaya Lefty. Dia biasanya anak yang cukup
egois. Tapi tak seegois ini!
"Kau tak sadar masalah yang bisa buat bagi kita?" teriakku.
"Aku menang! Aku menang!" Dia bernyanyi-nyanyi.
"Kenapa" Berapa lama kau sudah tak terlihat" "Tanyaku. Aku melangkah ke cermin
dan menarik tali. Lampu itu mati. Cahaya menyilaukan tinggal di mataku.
"Sejak kalian turun," Lefty, tetap tak terlihat, menyombongkan diri.
"Itu hampir sepuluh menit!" Seruku.
"Aku juaranya!" Lefty mengumumkan.
Aku menatap ke cermin, menunggunya untuk tampak kembali.
"Juara kebodohan," ulangku. "Ini hal terbodoh yang pernah kau perbuat."
Dia tak berkata apa-apa. Akhirnya, dia bertanya dengan suara pelan, "Mengapa begitu lama bagiku untuk
kembali?" Sebelum aku bisa menjawab, aku mendengar Ayah memanggil dari bawah: "Max" Apa
kalian berdua atas sana" "
"Ya. Kami akan segera turun," teriakku.
"Apa yang kalian lakukan di atas sana?" tuntut Ayah.
Aku mendengar dia mulai menaiki tangga.
Aku berlari ke puncak tangga untuk menghalanginya.
"Maaf, Yah, "kataku. "Kami datang."
Ayah menatapku di tangga. "Apa sih yang begitu menarik di sini" "
"Cuma barang-barang lama," gumamku. "Tak ada apa-apa, sungguh."
Lefty muncul di belakangku, tampak seperti dirinya yang dulu.
Ayah menghilang kembali ke ruang makan. Lefty dan aku mulai menuruni tangga.
"Wow, itu mengagumkan!" Seru Lefty.
"Bukankah kau mulai merasa aneh setelah beberapa waktu?" tanyaku padanya,
berbisik meskipun kami hanya berdua.
"Tidak" Dia menggelengkan kepalanya. "Aku merasa baik-baik saja. Itu benar-benar
dahsyat! Kau seharusnya melihat ekspresi wajahmu saat aku membuat mangkuk sup
melayang di udara! "
Dia mulai cekikikan lagi, tawa melengking tingginya yang kubenci.
"Dengar, Lefty," aku memperingatkan, berhenti di bagian bawah tangga,
menghalangi jalan ke lorong. "Jadi tak terlihat itu menyenangkan, tetapi bisa
berbahaya. Kau-" "Ini mengagumkan!" Ulangnya. "Dan aku juara baru. "
"Dengarkan aku," kataku panas, menyambar bahunya. "Cukup dengarkan. Kau harus
janji bahwa kau tak akan naik ke sana dan jadi tak terlihat olehmu sendiri lagi.
Aku serius. Kau harus menunggu sampai ada orang lain. Janji" "Aku meremas keras
bahunya. "Oke, oke," katanya, berusaha meronta menjauh. "Aku janji. "
Aku melihat ke bawah. Dia menyilangkan jarinya di kedua
tangan. *** Erin meneleponku malam itu. Saat itu sekitar jam sebelas. Aku dengan piyamaku,
membaca buku di tempat tidur, berpikir untuk pergi ke bawah dan meminta pada
orang tuaku agar membiarkan aku tetap terjaga dan menonton (acara) Sabtu Malam
Liveu. Erin terdengar sangat bersemangat. Dia bahkan tak mengatakan halo. Hanya mulai
berbicara satu mil permenit. Suara tikus mencicitnya begitu cepat, aku kesulitan
memahaminya. "Bagaimana dengan pekan raya ilmu pengetahuan?" Tanyaku, memegang telepon dari
telingaku, berharap itu akan membantuku memahaminya dengan lebih baik..
"Proyek yang menang," kata Erin terengah-engah. "Hadiahnya adalah piala perak
dan hadiah sertifikat dari Video Dunia. Ingat" "
"Ya. Jadi" "Aku masih tak bisa mengikutinya. Kurasa aku lebih mengantuk dari
yang kupikir. Ini adalah hari yang mencemaskan, melelahkan, setelah semuanya.
"Nah, bagaimana kalau kau bawa cermin itu ke sekolah?" tanya Erin
bersemangat. "Kau tahu. Aku akan membuatmu jadi tak terlihat. Lalu aku akan
mengembalikanmu, dan aku akan jadi tak terlihat. Itu bisa jadi proyek kita. "
"Tapi, Erin-" Aku mulai protes.
"Kita akan menang!" Selanya. "Kita pasti menang! Maksudku, apa lagi yang bisa
mengalahkannya" Kita akan memenangkan hadiah pertama. Dan kita akan terkenal! "
"Wah!" Jeritku. "Terkenal?"
"Tentu saja. Terkenal! "serunya. "Foto kita akan (muncul) di majalah People dan
semuanya! " "Erin, aku tak begitu yakin tentang hal ini," kataku pelan, berpikir keras.
"Hah" Tak begitu yakin tentang apa?"
"Tak begitu yakin aku ingin menjadi terkenal," jawabku. "Maksudku, aku benar-
benar tak tahu apakah aku ingin seluruh dunia tahu tentang cermin itu."
"Mengapa tidak?" Tanyanya tak sabar. "Setiap orang ingin menjadi terkenal. Dan
kaya. " "Tapi mereka akan mengambil cermin itu," jelasku. "Ini adalah hal yang
menakjubkan, Erin. Maksudku, apa itu sihir" Apa elektronik" Apa penemuan
seseorang" Apa pun itu, itu luar biasa! Dan mereka tak akan membiarkan anak-anak
menyimpannya." "Tapi itu milikmu!" Ia bersikeras.
"Mereka akan mengambilnya untuk mempelajarinya. Para ilmuwan akan
menginginkannya. Orang Pemerintah akan menginginkannya. Orang militer. Mereka
mungkin ingin menggunakannya untuk membuat tentara jadi tak terlihat atau
semacamnya. " "Menakutkan," gumam Erin berpikir sejenak.
"Ya. Menakutkan, "kataku. "Jadi aku tak tahu. Aku telah berpikir tentang hal
ini. Banyak. Sementara ini, itu biar jadi rahasia kita."
"Ya, aku kira," katanya ragu. "Tapi pikirkan tentang pekan raya ilmu
pengetahuan, Max. Kita bisa memenangkan hadiah. Kita benar-benar bisa menang."
"Aku akan memikirkannya," kataku padanya.
Aku belum memikirkan hal lain! Aku menyadarinya.
"April ingin mencobanya," katanya.
"Hah?" "Aku meyakinkannya. Aku bilang padanya tak sakit atau apa pun. Jadi ia ingin
mencobanya pada hari Rabu. Kita akan untuk melakukannya pada hari Rabu, bukan
begitu, Max" " "Kurasa," jawabku enggan. "Karena setiap orang menginginkannya. "
"Bagus!" Serunya. "Kupikir aku akan mengalahkan rekormu."
"Rekor barunya adalah sepuluh menit," aku menginformasikan padanya. Aku
menjelaskan tentang Lefty dan petualangan makan malamnya.
"Adikmu benar-benar gila," kata Erin.
Aku setuju dengannya, lalu mengucapkan selamat malam.
Aku tak bisa tidur malam itu. Aku mencoba tidur di satu sisi, kemudian sisi yang
lain. Aku mencoba menghitung domba.
Semuanya. Aku tahu aku mengantuk. Tapi hatiku berpacu. Aku hanya tak bisa merasa nyaman.
Aku menatap langit-langit,
berpikir tentang cermin di ruangan kecil itu di atasku.
Saat itu hampir pukul tiga pagi saat aku bergerak pelan-pelan bertelanjang kaki
keluar dari kamarku, terjaga, dan naik menuju ke loteng. Seperti sebelumnya, aku
bersandar pada pegangan tangga. Aku naik, berusaha untuk menjaga tangga kayu
dari musik deritan dan erangannya.
Terburu-buru pergi ke ruang kecil, aku jari kakiku tersandung pada ujung peti
kayu. "Aduh!" Teriakku sepelan mungkin. Aku ingin melompat ke atas dan ke bawah, tapi
aku memaksakan diri untuk berdiri diam, dan menunggu nyerinya memudar.
Begitu aku bisa berjalan lagi, aku berjalan ke dalam ruangan kecil. Aku menarik
kardus di depan cermin dan duduk di atasnya.
Kakiku masih berdenyut-denyut, tapi aku mencoba untuk mengabaikannya. Aku
menatap bayangan gelapku di cermin, meneliti rambutku terlebih dahulu, tentu
saja. Itu benar-benar kacau, tapi aku benar-benar tak peduli.
Lalu aku memandang dengan tajam di luar bayanganku, di balik itu. Kukira aku
mencoba untuk melihat jauh ke dalam kaca. Aku benar-benar tahu apa yang
kulakukan atau kenapa aku di sana.
Aku begitu lelah dan bergairah pada saat yang sama, begitu penasaran dan
bingung, mengantuk dan gugup.
Aku mengusap di sepanjang kaca, terkejut kembali bagaimana dingin rasanya di
ruangan itu yang sedikit panas hampir pengap. Aku mendorongkan tanganku yang
terbuka pada kaca, kemudian menariknya. Ini tak meninggalkan cetakan tangan.
Aku gerakkan tanganku ke bingkai kayu, sekali lagi menggosok kayu halus. Aku
berdiri dan perlahan-lahan berjalan ke bagian belakang cermin. Itu terlalu gelap
di belakang sini untuk benar-benar memeriksanya dengan hati-hati. Tapi tak ada
yang bisa diperiksa. Bagian belakang bingkai itu halus, polos, dan tak menarik.
Aku kembali ke depan dan menatap pada lampu itu. Ini tampak seperti sebuah lampu
biasa. Sama sekali tak ada yang khusus tentang hal itu. Bohlamnya bentuknya
aneh, panjang dan sangat tipis. Tapi itu tampak seperti bola lampu biasa.
Duduk kembali di kardus, aku menyandarkan kepala di tanganku dan menatap ke
cermin mengantuk. Aku menguap pelan.
Aku tahu aku harus kembali ke bawah dan pergi tidur.
Ibu dan Ayah yang membangunkan kami pagi-pagi keesokan harinya untuk pergi ke
Springfield. Tapi ada sesuatu yang menahanku di sana.
Rasa ingin tahuku, kukira.
Aku tak tahu berapa lama aku duduk di sana, masih seperti patung, melihat
bayanganku sendiri tak bergerak. Ini mungkin telah semenit atau menit. Atau
mungkin telah setengah jam.
Tapi setelah beberapa waktu, saat aku menatap ke dalam cermin, bayangan
tampaknya kehilangan ketajaman. Sekarang aku menemukan diriku menatap bentuk
samar-samar, warna kabur, bayangan-bayangan yang mendalam.
Dan kemudian aku mendengar bisikan pelan.
"Maaaaaaaax.?" Seperti angin melalui pepohonan. Goyangan pelan dedaunan.
Bukan suara sama sekali. Bahkan bukan bisikan.
Hanya isyarat dari sebuah bisikan.
"Maaaaaaaaax.?"
Pada awalnya, kupikir itu ada dalam kepalaku sendiri.
Begitu samar. Begitu pelan. Namun begitu dekat.
Aku menahan napas, mendengarkan baik-baik.
Sekarang sunyi. Jadi itu dalam kepalaku, aku berkata pada diriku sendiri. Aku membayangkan hal
itu. Aku menghela napas panjang, membiarkannya keluar perlahan-lahan.
"Maaaaax.?" Bisikan itu lagi. Sekali ini lebih keras. Menyedihkan, entah bagaimana. Mirip permohonan. Suatu
panggilan minta tolong. Dari jauh, jauh.
"Maaaaaaaax.?" Aku mengangkat tanganku di telingaku. Apa aku mencoba untuk menutupinya " Untuk
melihat apakah aku bisa membuatnya pergi"
Di dalam cermin, sebentuk bayangan gelap bergeser perlahan-lahan. Aku menatap
kembali pada diriku sendiri, ekspresi wajahku tegang ketakutan. Aku menyadari
bahwa aku kedingingan dari kepala sampai kaki.
Seluruh tubuhku menggigil kedinginan.
"Maaaaax.?" Bisikan itu, kusadari, itu berasal dari cermin.
Dari bayanganku sendiri" Dari suatu tempat di belakang bayanganku"
Aku melompat berdiri, berbalik, dan berlari. Kaki telanjangku menampar lantai
kayu. Aku terjun ke bawah tangga, terbang melintasi lorong, menukik ke tempat
tidurku. Aku menutup mata rapat-rapat dan berdoa ketakutan.
Bisikan tak mengikutiku. 16 Aku menarik selimut sampai ke daguku. Aku merasa begitu kedinginan. Seluruh
tubuhku gemetar. Aku bernapas keras, mencengkeram bagian atas selimut dengan kedua tangan,
menunggu, mendengarkan. Apakah bisikan-bisikan itu mengikutiku ke kamarku"
Apa mereka itu nyata, hanya di kepalaku"
Siapa yang memanggilku, membisikkan namaku dengan suara sedih, putus asa"
Tiba-tiba aku mendengar suara terengah-engah lebih keras dariku. Aku merasakan
napas panas di wajahku. Berbau asam dan lembab.
Sesuatu itu meraihku. Menangkap wajahku.
Aku membuka mataku ketakutan.
"Whitey!" Jeritku.
Anjing bodoh itu berdiri dengan kaki belakangnya, bersandar di selimut, dengan
bersemangat menjilati wajahku.
"Whitey, anjing yang baik!" teriakku, tertawa. Lidahnya yang kasar menggelitik.
Aku tak pernah sesenang itu melihatnya.
Aku memeluknya dan menariknya naik ke tempat tidur. Dia merintih penuh semangat.
Ekornya bergoyang-goyang seperti gila.
"Whitey, apa yang membuatmu masih bangun?" Tanyaku, memeluknya. "Apa kau juga
mendengar suara-suara?"
Dia menggonggong pelan, seolah-olah menjawab pertanyaan itu.
Kemudian dia melompat dari tempat tidur dan menggoyangkan dirinya. Dia berbalik
tiga kali dalam sebuah lingkaran yang ketat, membuat tempat untuk dirinya di
atas karpet, dan berbaring, menguap keras.
"Kau sungguh-sungguh aneh malam ini," kataku.
Dia meringkukkan dirinya menjadi bola ketat dan mengunyah lembut di ekornya.
Didampingi oleh dengkuran lembut anjing itu, aku akhirnya hanyut dalam tidur
yang tak tenang. *** Ketika aku terbangun, langit pagi hari di jendela luar kamarku masih abu-abu.
Jendela terbuka sedikit, dan tirai yang bergoyang-goyang oleh angin yang kuat.
Aku duduk dengan cepat, langsung waspada. Aku harus berhenti naik ke loteng,
pikirku. Aku harus melupakan cermin bodoh itu.
Aku berdiri dan meregangkan tubuh. Aku harus berhenti. Dan aku harus membuat
orang lain untuk berhenti.
Misteri Pusaka Pedang Gaib 2 Bulu Merak Serial 7 Senjata Qi Zhong Wu Qi Zhi Karya Gu Long Tiga Naga Sakti 4
^