Pencarian

Kembalinya Sang Mumi 1

Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi Bagian 1


23. KEMBALINYA SANG MUMI Ebook by Raynold 1 "GABE, sebentar lagi kita akan mendarat," si pramugari berkata sambil "membungkuk sedikit. "Kau dijemput di bandara?"
"Ya. Dan yang menjemputku kemungkinan besar firaun Mesir kuno," jawabku. "Tapi
mungkin- juga mumi tua yang mengerikan." .
Si pramugari memicingkan matanya. "Aku serius, lho," katanya. "Siapa yang akan
menjemputmu setelah kita tiba di Kairo?" .
"Pamanku, Paman Ben," aku menyahut. "Tapi. dia suka membuat lelucon konyol.
Kadang-kadang dia sengaja pakai kostum yang aneh-aneh untuk menakut-nakutiku."
"Kau bilang pamanmu ilmuwan terkenal."
"Memang," aku mengakui. "Tapi dia juga agak aneh."
Si pramugari tertawa. Aku menyukainya. Aku suka rambutnya yang pirang. Dan aku
suka cara dia memiringkan kepalanya ke samping sewaktu berbicara.
Namanya Nancy, dan sepanjang penerbangan dari Amerika ke Mesir dia sangat baik
padaku. Dia tahu ini pertama kali aku terbang tanpa ditemani.
Berulang kali Nancy mendatangiku untuk menanyakan apakah aku memerlukan
"sesuatu. Tapi dia memperlakukanku seperti orang dewasa. Dia tidak membawakan
buku gambar konyol atau pin plastik berbentuk sayap yang biasa diberikan kepada
anak-anak di dalam pesawat terbang. Dan dia terus memberiku camilan kacang
goreng, walaupun itu sebenarnya tidak boleh.
"Dalam rangka apa kau mengunjungi pamanmu?" tanyanya. "Sekadar untuk berlibur?"
Aku mengangguk. "Musim panas tahun lalu aku juga ke Mesir," aku bercerita.
"Asyik sekali, deh! Tapi tahun ini Paman Ben sedang meneliti piramida yang belum
pernah diselidiki. Dia menemukan makam keramat kuno, dan dia mengundangku untuk
hadir waktu makam itu dibuka."
Nancy tertawa dan memiringkan kepala. "Wah, daya khayalmu hebat juga, Gabe,"
komentarnya. Kemudian dia berpaling untuk menjawab pertanyaan penumpang lain.
Aku memang suka berkhayal. Tapi kali ini aku tidak mengada-ada. Pamanku bernama
Ben Hassad. Dia arkeolog terkemuka. Sudah bertahun-tahun ia mengabdikan hidupnya
untuk meneliti berbagai piramida. Aku sudah sering membaca artikel koran tentang
dirinya. Ia bahkan pernah masuk majalah National Geographic.
Musim panas tahun lalu, aku dan orangtuaku juga berlibur ke Kairo. Aku dan Sari
- anak perempuan Paman Ben - sempat mengalami petualangan seru di lorong-lorong
Piramida Agung. Nanti aku bakal ketemu lagi dengan Sari, kataku dalam hati. Aku
memandang ke luar jendela dan mengamati langit yang biru sekali. Moga-moga kali
ini kami bisa lebih akur dari tahun lalu.
Sebenarnya Sari dan aku cukup kompak, hanya saja dia selalu tak mau kalah!
Selalu mau jadi pemenang, yang terkuat, yang terpintar, dan yang terbaik.
Setahuku dia satu-satunya gadis tiga belas tahun yang bisa mengubah acara
sarapan jadi perlombaan! "Awak pesawat dipersilakan bersiap-siap menghadapi pendaratan," terdengar suara
pilot melalui pengeras suara.
Aku langsung duduk tegak,supaya bisa melihat lebih jelas lewat jendela. Ketika
pesawat mulai turun aku bisa melihat kota Kairo di bawah kami.
Sebuah pita biru tampak meliuk-liuk membelah kota. Aku langsung tahu, itu Sungai
Nil. Kota Kairo membentang dari tepi sungai. Aku mengintip ke luar, dan melihat
gedung-gedung pencakar langit yang terbuat dari kaca serta mesjid-mesjid
berkubah. Jauh di pinggir kota kulihat hamparan gurun. Pasir kuning tampak
membentang sampai ke cakrawala.
Mendadak aku agak gelisah. Piramida-piramida itu ada di gurun sana. Satu atau
dua hari lagi aku bakal masuk ke salah satunya, mengikuti pamanku ke sebuah
makam yang tak pernah dibuka selama ribuan tahun.
Apa yang akan kami temukan di sana"
Aku mengeluarkan tangan mumi mungil dari saku T-shirtku. Tangan itu kecil sekali
kira-kira seukuran tangan anak-anak. Aku membelinya waktu ada obral barang
bekas. Harganya cuma dua dolar. Anak yang menjualnya bilang tangan itu dinamakan
"Pemanggil". Katanya, tangan itu bisa memanggil roh-roh jahat yang sudah tua
sekali. Kelihatannya memang seperti tangan mumi. Jari-jemarinya dibalut kain kasa yang
sudah kotor, dan di sela-sela kain terlihat tar berwarna hitam.
Tadinya aku yakin tangan. itu palsu, dan terbuat dari karet atau plastik. Aku
sama sekali tidak percaya tangan itu berasal dari mumi sungguhan.
Tapi musim panas tahun lalu, tangan itu ternyata menyelamatkan nyawa kami semua.
Anak yang menjualnya tidak bohong. Tangan itu benar-benar bisa menghidupkan
mumi-mumi! Hebat, bukan"
Orangtuaku dan teman-temanku di rumah tentu saja tidak percaya waktu mendengar
ceritaku. Dan mereka juga tidak percaya bahwa Pemanggil-ku memang ampuh. Mereka
bilang, tangan itu cuma mainan yang dibuat sebagai cenderamata. Kemungkinan
besar dibuat di Taiwan. Tapi sejak itu, aku selalu membawanya ke mana pun aku pergi. Tangan itu kuanggap
sebagai jimatku. Tapi itu tidak berarti aku percaya takhayul.
Aku tidak percaya bahwa kucing hitam membawa sial dan sebagainya. Angka
keberuntunganku saja tiga belas.
Tapi aku yakin benar bahwa tangan mumi yang mungil itu bisa melindungiku dari
marabahaya. Anehnya, tangan mumi itu selalu terasa hangat. Kalau dipegang-pegang, rasanya
bukan seperti terbuat dari plastik. Tangan itu hangat, persis seperti tangan
manusia. . Sebelum berangkat, aku sempat kalang kabut waktu orangtuaku memasukkan barang-
barangku ke dalam koper. Aku tidak tahu tangan mumi-ku ada di mana. Dan tanpa
tangan mumi itu, aku tidak mungkin berangkat ke Mesir!
Aku lega sekali ketika akhirnya menemukannya. Ternyata tangan itu terselip di
kantong belakang celana jeans-ku yang baru mau dicuci. Kini, ketika pesawat kami
hendak mendarat aku merogoh saku T-shirt-ku untuk meraih tangan itu.
Aku mengeluarkannya-dan memekik tertahan. Tangan itu dingin sekali. Sedingin es!
2 "KENAPA tangan mumi itu mendadak dingin membeku"
" Mungkinkah. itu suatu pertanda buruk" Semacam peringatan bagiku"
Mungkinkah ada bahaya yang sedang menantiku"
Aku tidak sempat memikirkannya lebih lanjut. Pesawat kami sudah menuju ke
terminal bandara. Para penumpang segera berdiri untuk mengambil barang bawaan
masing-masing, lalu mulai mengantre di gang.
Tangan mumi-ku kuselipkan ke kantong celana Jeans-ku. Kemudian aku meraih
ranselku dan berjalan ke pintu depan. Aku berpamitan pada Nancy dan mengucapkan
terima kasih untuk semua camilan yang dihadiahkannya selama penerbangan. Setelah
itu aku mengikuti para penumpang lain melewati belalai terminal yang landai,
masuk ke gedung terminal.
Uih, ternyata ramai sekali!
Dan sepertinya semua orang sedang terburu-buru. Mereka saling menabrak dan
mendesak-desak. Aku melihat pria-pria dengan setelan jas berwarna gelap. Wanita-
wanita dengan jubah longgar, wajah tersembunyi di balik cadar. Gadis-gadis
remaja dengan T-shirt dan celana jeans. Sekelompok pria bertampang serius,
dengan .baju sutra putih yang mirip piyama. Sebuah keluarga dengan tiga anak
kecil, dan ketiga-tiganya sedang merengek dan menangis.
Tiba-tiba aku mulai waswas. Bagaimana aku bisa menemukan Paman Ben di tengah
keramaian seperti ini"
Ranselku seakan-akan bertambah berat. Dengan kalut aku memandang ke sana kemari.
Aku dikelilingi suara-suara asing, dan semuanya bicara begitu keras. Dari sekian
banyak orang, tak seorang pun yang berbahasa Inggris.
"Aduh!" aku memekik ketika ditabrak dari samping.
Aku menoleh, dan melihat seorang wanita yang sedang mendorong kereta barang.
Tenang saja, Gabe, kataku dalam hati. Tenang saja.
Paman Ben pasti ada di sini. Dia pasti sedang mencarimu. Pokoknya, tenang saja,
deh. Tapi bagaimana kalau pamanku lupa bahwa aku mau datang" aku bertanya-tanya.
Bagaimana kalau dia keliru mengingat tanggal kedatanganku" Atau bagaimana kalau
dia begitu sibuk di dalam piramida sehingga lupa waktu"
Asal tahu saja, aku memang cepat kuatir.
Dan saat ini kekuatiranku berlipat ganda!
Kalau Paman Ben tidak ada di sini, aku akan cari te1epon umum dan menelepon dia!
pikirku. Ya, coba saja. Dalam hati aku membayangkan diriku berkata, "Pak Operator, tolong sambungkan "dengan paman saya di piramida, ya?"
Rasanya takkan berhasil. Aku tidak tahu nomor telepon Paman Ben. Aku bahkan tidak tahu apakah dia punya
telepon di tempat tinggalnya. Aku cuma ingat bahwa dia tinggal di dalam tenda di
dekat piramida yang sedang ditelitinya.
Aku semakin bingung. Sambil berharap-harap cemas, aku mengamati kerumunan orang
yang memadati Terminal Kedatangan. Aku sudah mulai panik ketika seorang laki-
laki berbadan besar menghampiriku.
Wajahnya tidak kelihatan. Dia mengenakan jubah bertudung yang panjang dan
berwarna putih, pakaian khas Mesir. Wajahnya tersembunyi di balik kerudung itu.
"Taksi?" ia bertanya dengan suara melengking tinggi. "Taksi" Taksi Amerika?"
Aku langsung tergelak. "Paman Ben!" aku memekik dengan gembira.
"Taksi" Taksi Amerika" Mau pakai taksi?" orang itu terus bertanya.
"Paman Ben! Oh, untung saja kita bisa ketemu!" aku berseru. Tanpa pikir panjang
aku merangkulnya dan mendekapnya erat-erat. Lalu, sambil menertawakan samarannya
yang konyol, aku meraih ke atas dan menarik tudungnya ke belakang.
Laki-laki di balik tudung itu ternyata berkepala botak dan berkumis tebal. Dia
menatapku sambil mendelik.
Dia bukan Paman Ben! Aku belum pernah melihatnya! "3
?"GABE! Gabe! Sebelah. sini!"
"Seseorang memanggil-manggil namaku. Aku mengintip dari. samping laki-laki yang
sedang melototiku itu, dan melihat Paman Ben dan Sari berdiri di depan meja
informasi. Mereka melambaikan tangan padaku.
Wajah laki-laki di hadapanku merah padam, lalu dia marah-marah dalam bahasa
Arab. Aku tidak mengerti yang dikatakannya. Untung saja. Kemudian dia mengenakan
tudungnya kembali, sambil terus menggerutu.
"Maaf!" seruku, lalu cepat-cepat melewatinya dan bergegas ke arah Paman Ben dan
sepupuku. Paman Ben menyalamiku dan berkata, "Selamat datang di Kairo, Gabe." Dia memakai
kaus polo putih berlengan pendek dan celana baggy. .
Sari memakai jeans belel yang kakinya dipotong serta kaus oblong berwarna hijau
menyala. Belum apa-apa dia sudah menertawakanku. Gawat. "Temanmu, ya?" dia
mengolok-olokku sambil memandang ke arah laki-laki tadi.
"Aku-aku keliru," aku mengakui. Aku menoleh ke belakang.. Laki-laki itu masih
melotot. "Masa sih kaupikir dia Daddy?" tanya Sari.
"Aku bergumam tak jelas. Sari dan aku sebaya. Tapi kini dia satu inci lebih
tinggi dariku. Dan rambutnya yang hitam dibiarkan tumbuh panjang, dan dikepang.
Matanya yang besar dan gelap tampak berbinar-binar. Dia memang paling senang
mengolok-olokku. Kami menuju ke tempat pengambilan koper, dan aku bercerita mengenai pengalamanku
selama penerbangan. Aku bercerita bagaimana Nancy,si pramugari, terus memberikan
camilan padaku. "Aku baru minggu lalu ke sini," sahut Sari. Tapi aku diizinkan duduk di kelas
"satu. Kau tahu, di kelas satu kita diberi es krim sundae."
Tidak, aku tidak tahu. Tapi aku langsung sadar bahwa Sari belum berubah sedikit
pun. Dia bersekolah di sekolah berasrama di Chicago karena Paman Ben selalu
berada di Mesir. Tentu saja Sari selalu memperoleh nilai A. Dan dia juga juara
ski dan tenis. Kadang-kadang aku agak kasihan padanya. Ibunya meninggal ketika dia baru berusia
lima tahun. Dan dia ketemu ayahnya hanya saat liburan sekolah dan selama musim
panas. Tapi ketika kami menunggu sampai koperku muncul di ban berjalan, aku sama sekali
tidak kasihan padanya. Dia sibuk menggembar-gemborkan bahwa piramida ini dua
kali lebih besar dari piramida yang kukunjungi tahun lalu. Dia sudah dua kali
masuk ke dalamnya, dan dia menawarkan untuk mengantarku berkeliling-kalau aku
berani. Akhirnya koper biruku yang penuh sesak muncul juga. Aku menyeretnya dari ban "berjalan dan menurunkannya ke lantai. Beratnya minta ampun!
Aku mencoba mengangkatnya, tapi koper itu nyaris tak bergerak.
Sari langsung mendorongku ke samping. "Biar aku saja," katanya. Dia meraih
pegangan koper, mengangkat koperku dari lantai, lalu mulai menghampiri pintu
keluar. "Hei-!" seruku. Dasar tukang pamer!
Paman - Ben menatapku sambil nyengir. "Rupanya Sari sering latihan angkat besi,"
katanya. Dia memegang pundakku dan menggiringku ke pintu.
"Ayo, kita ke mobil saja."
Ternyata Paman Ben masih memakai jip yang sama seperti tahun lalu. Koperku
"segera dinaikkan ke bangku belakang, dan kemudian kami berangkat ke kota.
"Belakangan ini panasnya minta ampun kalau siang," ujar Paman Ben sambil menyeka
keningnya dengan saputangan. "Baru setelah malam udara mulai sejuk."
Lalu lintas merayap perlahan. Suara klakson terdengar dari segala arah. Para
pengemudi terus menekan klakson, tak peduli apakah mereka sedang maju atau
berhenti. Kebisingannya terasa mekakkan telinga.
"Nanti saja," jawab Paman Ben ketika aku bertanya apakah kita akan mampir' dulu
di Kairo. "Kita langsung saja ke AL-Jizah. Kami berkemah di depan piramida di sana, supaya
jangan jauh-jauh dari tempat kerja."
"Mudah-mudahan kau tidak lupa bawa semprotan nyamuk," Sari berkomentar. "Nyamuk
"di sana sebesar kodok lho."
"Jangan mengada-ada," Paman Ben menegurnya. "Gabe tidak takut,nyamuk-ya, kan?"
?"Ah, kalau cuma nyamuk, sih...," aku bergumam pelan-pelan.
"Kalau kalajengking?" Sari langsung bertanya lagi.
Lalu lintas mulai lebih lancar setelah kami meninggalkan kota dan menuju ke
gurun pasir, yang kuning tampak berkilau-kilau. di bawah sinar matahari sore
yang terik. Panasnya minta ampun ketika jip kami. melaju menyusuri jalan dua
arah yang sempit. Tidak lama kemudian sebuah piramida mulai kelihatan. Aku menahan napas. Musim
panas lalu aku memang sudah mengunjungi beberapa piramida, namun pemandangan
tersebut tetap saja menakjubkan.
"Aku belum juga bisa percaya bahwa umur piramida-piramida itu sudah lebih dari
empat ribu tahun!" seruku.
"Yeah. Bayangkan saja, aku pun kalah tua!" Paman berkelakar. Tapi kemudian -
roman mukanya jadi serius. "Setiap kali aku berdiri di hadapan piramida, aku
selalu diliputi perasaan bangga, Gabe," mengakuinya. "Leluhur kita ternyata
cukup cerdas dan terampil untuk membangun keajaiban seperti ini."
Paman Ben benar. Piramida mempunyai tempat khusus di hatiku, sebab keluargaku
memang berasal dari sini. Kakek dan nenekku semuanya orang Mesir. Mereka pindah
ke Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Ayah dan ibuku lahir di Michigan.
Aku sendiri merasa sebagai anak Amerika sejati. Tapi kunjungan ke tanah
leluhurku tetap saja merupakan sesuatu yang istimewa.
Ketika kami mendekat, piramida itu seakan-akan bertambah tinggi di hadapan kami.
Bayangannya menimbulkan segitiga gelap yang panjang pada pasir yang kuning.
Aku melihat pelataran parkir yang dipenuhi mobil dan bis wisata. Di satu sisinya
ada sekelompok unta-unta berpelana. Serombongan turis tampak menyebar. Ada yang
menatap piramida, ada yang sibuk mengambil foto, ada pula yang tengah
berbincang-bincang dengan ramai sambil menunjuk-nunjuk.
Paman Ben membelok ke sebuah jalan kecil. Kami menjauhi rombongan turis tadi,
menuju ke bagian belakang piramida. Ketika kami masuk ke bayangannya, udara
mendadak terasa lebih sejuk.
"Uh, aku mau berbuat apa saja demi semangkuk es krim," Sari mengeluh, "Seumur
hidup aku belum pernah kepanasan seperti sekarang."
Jangan bicara soal panas," Paman Ben menyahut. Aku melihat keringatnya mengalir"dari kening ke alisnya yang tebal. "Lebih baik kaubilang betapa seriangnya kau
melihat ayahmu setelah sekian bulan tak pernah bertemu."
Sari mengerang tertahan. "Aku bakal lebih senang lagi melihatmu, Dad, kalau
kulihat kau menenteng es krim."
Paman Ben tertawa. Seorang penjaga berseragam cokelat mencegat jip kami. Paman Ben memperlihatkan
kartu pengenal berwarna biru, dan si penjaga segera membiarkan kami lewat.
Kami menyusuri jalan di belakang piramida sampai ke deretan tenda kanvas putih.
"Selamat datang di Pyramid Hilton!" Paman Ben bergurau. "Nah, itu kamar
eksklusif kami." Ditunjuknya tenda terdekat.
"Tempatnya lumayan nyaman," katanya lagi sambil memarkir jipnya di samping
tenda. "Tapi layanan kamarnya payah."
"Dan kita harus berhati-hati terhadap kalajengking," Sari memberi peringatan.
Dia tak bosan-bosannya berusaha menakut-nakuti aku.


Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami menurunkan koperku. Kemudian aku diajak Paman Ben ke kaki piramida.
Para kru kamera sedang membereskan perlengkapan. Seorang laki-laki muda yang
berselubung debu muncul dari pintu masuk rendah di antara dua bongkahan batu.
Dia melambaikan tangan kepada pamanku, lalu bergegas ke arah tenda-tenda.
"Salah satu anak buahku," Paman Ben bergumam. Dia menunjuk ke piramida. "Nah,
ini dia, Gabe. Lain sekali dengan Michigan, bukan?"
Aku mengangguk. "Luar biasa," ujarku. Dengan sebelah tangan kulindungi mataku
dari cahaya yang menyilaukan agar bisa melihat puncaknya.
"Aku lupa bahwa piramida bisa sebesar ini kalau dilihat langsung."
"Besok, kalian akan kuajak ke makam di dalamnya," Paman Ben berjanji. "Kau
datang pada waktu yang tepat. Sudah berbulan-bulan kami melakukan penggalian di
sini. Dan sekarang, akhirnya kami siap membuka segel dan masuk ke makam itu."
"Wow!" aku berseru. Sebenarnya aku tidak mau kelihatan terlalu bersemangat di
depan Sari. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku sudah tak sabar menunggu
sampai besok. "Daddy bakal jadi sangat terkenal setelah masuk ke makam, bukan?" tanya Sari.
Dia menepuk seekor lalat yang hinggap di lengannya. "Aduh."
"Aku akan begitu terkenal, sampai lalat-lalat pun takkan berani mengganggumu,"
balas Paman Ben. "Ngomong-ngomong, kalian tahu sebutan untuk lalat di Mesir kuno dulu?"
Sari dan aku menggelengkan kepala.
"Aku juga tidak," Paman Ben menyahut sambil nyengir lebar. Dasar tukang
bercanda. Dia tak pernah kehabisan lelucon. Tiba-tiba roman mukanya berubah. "Oh
ya, sebelum aku lupa, aku punya hadiah untukmu, Gabe."
"Hadiah?" "Tunggu-wah, di mana aku menyimpannya tadi?" Dia merogoh-rogoh kantong
celananya. Sementara dia mencari-cari, aku melihat sesuatu bergerak di belakangnya. Sebuah
bayangan, di pintu masuk ke piramida.
Aku memicingkan mata. Bayangan itu bergerak. Sebuah sosok muncul sambil terseok-seok.
Pertama-tama aku menyangka aku salah lihat. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku
tidak keliru. Sosok itu melangkah keluar dari piramida wajahnya terbungkus kain usang "berwarna kuning. Begitu pula lengannya. Dan kakinya.
Aku hendak berteriak - tapi suaraku tersangkut di tenggorokkan.
Dan sementara aku berusaha menarik perhatian pamanku, mumi itu berjalan dengan
lengan terjulur ke depan, menghampirinya dari belakang.
" 4 Aku melihat Sari membelalakkan mata karena ngeri. Dia memekik tertahan.
"Paman, Ben-!" aku akhirnya menjerit. "Awas! Di belakang! Ada-ada-!"
"Ia menatapku dengan bingung.
Mumi itu semakin dekat. Tangannya seakan-akan hendak meraih tengkuk Paman Ben.
"Ada mumi!" aku berteriak.
Paman Ben membalikkan dan berseru kaget. "Dia bisa jalan! Dengan jari gemetaran
"ia menunjuk mumi itu, lalu mundur selangkah. "Dia bisa jalan!"
"Ohhh!" Sari mengerang.
Aku membalik dan langsung kabur.
Tapi sekonyong-konyong mumi itu mulai tertawa. Dia menurunkan tangannya yang
kuning. "Buu!" seru mumi itu, lalu terbahak-bahak.
Aku menoleh dan melihat bahwa Paman Ben juga tertawa. Matanya yang gelap tampak
berbinar-binar. "Dia bisa jalan! Dia bisa jalan!" katanya sambil geleng-geleng
kepala. Dengan santai Paman merangkul pundak murni itu.
Aku menatap keduanya sambil terheran-heran. Jantungku masih berdegup kencang.
"Ini John," ujar Paman Ben. Sepertinya ia benar-benar menikmati leluconnya. ?"Dia membuat iklan TV di sini. Iklan untuk plester baru dengan perekat 1ebih
kuat." , "Sticky Bird Bandages," kata John. "Cocok untuk mumi Anda."
Ia dan Paman Ben kembali tertawa. Kemudian pamanku menunjuk kru kamera yang
sedang menaikkan peralatan mereka ke truk kecil, "Pekerjaan mereka sebenarnya
sudah selesai. Tapi John bersedia menunggu di sini untuk ikut menakut-nakuti
kalian." Sari tersenyum kecut. "Ha-ha," katanya singkat. "Dad pikir begitu saja aku sudah
takut" Lalu dia menambahkan, "Tapi kasihan Gabe, lho. Dad lihat tampangnya
"tadi" Dia hampir kaku karena ngeri! Aku sudah kuatir dia bakal ambruk seperti
pohon tumbang!" Paman Ben dan John tertawa.
"Hei-enak saja!" aku membantah. Telingaku mulai terasa panas.
Seenaknya saja Sari menudingku. Padahal dia sendiri kaget setengah mati waktu
mumi itu muncul sambil terseok-seok. Dia sama takutnya seperti aku!
"Kau juga menjerit tadi!" ujarku sengit. "Aku dengar kok." .
"Aku sengaja menjerit supaya kau tambah ngeri," dalihnya. Dengan angkuh dia
memindahkan kepangannya yang panjang ke belakang.
"Aku sudah ditunggu, nih," John berkata sambil menatap arlojinya. "Begitu sampai
di hotel, aku langsung mencebur ke kolam renang. Aku bakal berendam selama
seminggu!" Dia melambaikan tangannya yang terbalut kain kusam, lalu bergegas ke
truk kecil tadi. Brengsek, kenapa baru sekarang aku melihat arloji di pergelangan tangannya" Aku
merasa tolol sekali. "Oke," aku. berseru dengan gusar, "mulai sekarang aku
takkan mau ditipu lagi!"
Pamanku tersenyum dan mengedipkan mata. "Berani taruhan?"
"Eh, bagaimana dengan hadiah Gabe?" tanya Sari. "Apa sih hadiahnya?"
Paman Ben mengeluarkan sesuatu dari kantong dan memperlihatkannya padaku. Sebuah
mata kalung yang diikat tali. Terbuat dari kaca tembus pandang berwarna jingga.
Mata kalungnya tampak berkilau-kilau.
Paman Ben menyerahkannya padaku. Aku memegang-megangnya dengan sebelah tangan.
Permukaan mata kalung itu ternyata licin sekali. "Apa ini?" tanyaku. "Jenis kaca
apa ini"'" . "Itu bukan kaca," jawab Paman Ben. "Itu sejenis batu yang dinamakan amber."
Paman menghampiriku, ikut mengamati mata kalung itu. "Coba kauangkat, lalu
perhatikan baik-baik." .
Aku mengangkat mata kalungku, dan melihat seekor serangga besar terperangkap di
dalamnya. "Kelihatannya seperti kumbang," aku berkomentar.
"Betul," ujar Paman Ben. Ia memicingkan sebelah mata agar darat melihat lebih
jelas. "Itu kumbang tanduk purba: Namanya scarab. Kumbang itu terperangkap empat
ribu tahun yang lalu. Tapi kaulihat sendiri, badannya masih utuh sampai
sekarang." "Idih," kata Sari sambil meringis. Dia menepuk punggung ayahnya. "Hadiah.bagus,
Dad. Kumbang mati. Pokoknya, kalau Natal nanti, jangan Daddy yang cari hadiah!"
Paman Ben tertawa, kemudian kembali berpaling padaku. "Scarab sangat penting
bagi orang Mesir di zaman Firaun," katanya menjelaskan. "Mereka menganggap
scarab sebagai lambang kehidupan abadi."
Aku mengamati punggung kumbang, itu, keenam kakinya yang masih utuh.
"Menurut kepercayaan mereka, orang yang memelihara scarab akan hidup selama-
lamanya," pamanku melanjutkan. "Tapi orang yang digigit scarab akan mati
seketika." "Aneh," Sari bergumam.
"Bentuknya bagus juga," aku berkomentar. "Betulkah umurnya sudah empat ribu
tahun?" Paman Ben mengangguk. "Pakai saja sebagai kalung, Gabe. Siapa tahu sisa-sisa
kekuatannya masih ada."
Aku mengenakan kalung itu dan menyelipkannya ke balik T-shirt-ku. "Terima kasih,
Paman," ujarku. Paman menyeka keringat di keningnya dengan saputangan yang telah diremas-remas.
"Oke, sekarang kita balik dulu ke tenda. Kalian pasti mau minuman dingin,
bukan?" Kami berjalan beberapa langkah---lalu berhenti karena melihat Sari.
Seluruh tubuhnya gemetaran. Mulutnya terbuka lebar ketika dia menunjuk-nunjuk
dadaku. "Sari ada apa?" seru Paman Ben.
"S-scarab itu," dia tergagap-gagap. "Dia... terlepas! Aku melihatnya!" Dia
menunjuk ke bawah. "Itu dia!"
"Hah?" Aku langsung membalik dan membungkuk untuk mencari serangga itu.
Aduh!" aku memekik. Betisku seperti disengat. Dan kemudian aku sadar bahwa " "scarab itu telah menggigitku. .
5 "AKU menahan napas. Ucapan Paman Ben,tadi masih terngiang-ngiang di telingaku.
?"Orang yang memelihara scarab akan hidup selama-lamanya, Tapi orang yang digigit
scarab akan mati seketika. "
Mati seketika" "Ahhh!" aku melolong, lalu berbalik.
Dan kemudian aku melihat Sari berlutut. Dia nyengir lebar. Tangannya masih
terjulur ke depan. Seketika aku sadar bahwa dia telah mencubit betisku.
Jantungku masih berdebar-debar ketika aku melihat kalungku dan menatap batu
berwarna jingga itu. Scarab-nya ternyata masih terperangkap di dalam.
"Uuu-huu hh!" aku berseru dengan jengkel. Aku kesal pada diriku sendiri. "Apakah aku akan tertipu setiap kali Paman Ben dan Sari menjailiku" Wah, kalau
begitu, liburan kali ini bakal terasa lama sekali.
Seperti yang sudah kukatakan tadi, aku menyukai sepupuku yang satu ini. Kecuali
kalau dia lagi sok jago dan mau menang sendiri, kami sebenarnya akur-akur saja.
Tapi sekarang aku ingin menonjoknya. Aku ingin menyemprotnya dengan kata-kata
pedas. Sayangnya, aku tidak berhasil menemukan kata-kata yang cukup pedas.
"Kau keterlaluan, Sari," aku bergumam. Sambil mendongkol kalungku kuselipkan
lagi ke balik T-shirt. . Memang - dan kau ketipu lagi," sahutnya sambil nyengir lebar.
?"Malam itu, aku berbaring di ranjang dan menatap langit-langit tenda yang rendah
"sambil mendengarkan suara-suara di sekelilingku. Aku mendengarkan suara angin
yang berembus pelan, suara tiang-tiang tenda yang berderak-derak, suara dinding
tenda yang mengepak-ngepak.
Aku menoleh, dan melihat cahaya bulan yang pucat melalui celah di pintu tenda.
Aku melihat rumput kering yang tumbuh di gundukan-gundukan pasir di luar. Aku
melihat bercak air pada dinding tenda di atas ranjangku.
Aku takkan bisa tidur, pikirku dengan galau.
Untuk kedua puluh kali aku menepuk-nepuk bantalku yang kempis supaya mengembang.
Selimut wol yang kasar terasa gatal di daguku.
Aku sudah sering menginap di tempat orang lain. Tapi aku selalu tidur di dalam
ruangan tertutup. Bukan di tengah gurun pasir yang luas, di dalam tenda kecil
yang mengepak-ngepak dan berderak-derak.
Aku bukannya takut. Pamanku tidur mendengkur di ranjangnya, yang berjarak
"beberapa meter aja dari ranjangku.
"Aku cuma tidak bisa tidur.
Aku mendengar daun-daun palem di luar berdesir-desir. Aku mendengar bunyi ban
mobil-mobil yang berjarak puluhan kilometer dari tendaku.
Dan aku juga mendengar detak jantung ketika ada sesuatu yang bergerak di dadaku.
Aku langsung merasakan gerakan itu.
Rasanya seperti digelitik.
Hanya ada satu jawaban. Scarab di dalam mata kalungku sedang menggeliat-geliat.
Kali ini bukan lelucon. Bukan lelucon. Binatang itu benar-benar bergerak.
Aku meraba-raba dalam kegelapan dan menyingkirkan selimut. Kemudian kuangkat
kalungku menentang cahaya bulan, Aku melihat kumbang gendut yang terperangkap di
dalamnya. "Kamu bergerak, ya?" bisikku. "Kamu habis menggerak-gerakkan kakimu?"
Tiba-tiba aku malu sendiri. Kenapa aku sampai berbisik-bisik kepada serangga
berumur empat ribu tahun" Kenapa aku bisa menyangka bahwa dia masih hidup"
Sambil menggerutu dalam hati kukembalikan kalungku ke balik baju tidurku.
Sama sekali tak terbayang olehku bahwa tak lama lagi kalung itu akan menjadi
sangat penting untukku. Sama sekali tak terbayang olehku bahwa kalung itu menyimpan rahasia yang akan "menyelamatkan nyawaku-atau mencabutnya.
6 "Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com UDARA di tendaku sudah panas ketika aku, terbangun keesokan paginya. Sinar
"matahari yang terang benderang masuk lewat pintu tenda yang terbuka lebar.
Sambil memicing karena si1au aku menggosok-gosok mata dan meregangkan badan.
"Punggungku pegal. Ranjangku ternyata keras sekali!
Tapi aku terlalu bersemangat untuk mengkhawatirkan punggungku. Pagi ini aku akan
masuk ke dalam piramida, ke pintu makam tua di tengah-tengahnya.
Cepat-cepat aku mengenakan T-shirt bersih serta jelana jeans yang kemarin
kupakai. Kemudian kuatur letak kalung di balik T-shirt-ku, dan menyelipkan
tangan mumiku ke kantong belakang celana.
Kalung dan tangan mumi ini sudah cukup melindungiku, kataku dalam hati. Tak
mungkin terjadi apa-apa. Setelah menyisir rambut, aku memakai topi kebanggaanku yang berlambang Michigan
Wolverines, lalu bergegas ke tenda mes untuk ikut sarapan.
Matahari seakan-akan melayang di atas pohon-pohon palem di kejauhan. Hamparan
"pasir yang membentang sampai ke cakrawala tampak berkilau-kilau. Aku menarik
napas dalam-dalam untuk menghirup udara segar.
Uh. Rupanya ada kawanan unta di sekitar perkemahan, aku menyadari. Udaranya
tidak bisa disebut segar.
Sari dan Paman Ben ternyata sudah mulai sarapan. Mereka duduk di meja panjang di
tenda mes. Seperti kemarin, Paman Ben mengenakan celana baggy dan kaus putih.
Tapi pagi ini sudah ada noda kopi di bagian dadanya.
Rambut Sari yang hitam dan panjang disisir ke belakang dan dikuncir. Dia memakai
celana tenis serta kaus oblong berwarna merah cerah.
Mereka menyapaku ketika aku memasuki tenda. Aku menuang segelas air jeruk dan
mengisi mangkukku dengan raisin bran, berhubung tidak ada Frosted Flakes.
Tiga anak buah Paman Ben sedang makan di ujung meja. Mereka asyik membicarakan
pekerjaan mereka. "Hari ini kita bakal masuk," aku mendengar salah satu dari
mereka berkata. "Mungkin perlu waktu berhari-hari untuk membongkar segel di pintu makam,"
seorang wanita muda berkomentar. .
" Aku mengambil tempat di samping Sari. "Tolong ceritakan semuanya tentang makam
itu," aku berkata kepada Paman Ben. "Makam siapa sih itu" Siapa yang dimakamkan
di situ?" Pamanku tertawa. "Kalau boleh, aku ingin mengucapkan selamat pagi dulu sebelum
mulai berceramah." Sari mengintip ke mangkukku. "Eh, coba lihat, nih," dia berkata sambil menunjuk.
"Aku dapat lebih banyak kismis daripada kau!"
Aku kan sudah bilang, dia bisa mengubah acara sarapan jadi perlombaan!
"Ya, tapi aku dapat lebih banyak daging buah dalam air jerukku," aku membalas.
Aku cuma bercanda, tapi dia langsung memperhatikan gelasnya untuk memastikan.
Paman Ben menyeka mulut dengan tisu, lalu menghirup kopi. "Kalau aku tidak
salah," Paman mulai bercerita, "makam yang kami temukan adalah makam seorang
pangeran. Dia masih sepupu Raja Tutankhamen."
"Raja Tut, maksudnya," Sari menyela.
"Aku tahu!" balasku ketus.
"Makam Raja Tut ditemukan tahun 1922," Paman Ben melanjutkan. "Makamnya yang
luas sebagian besar berisi harta firaun itu. Temuan tersebut adalah temuan
arkeologi paling menakjubkan abad ini." Senyumnya terkembang. "Sampai sekarang."
"Jadi temuan Paman akan lebih menakjubkan lagi?" tanyaku. Aku sama sekali belum
menyentuh makananku. Seluruh perhatianku terfokus pada cerita Paman Ben.
Paman mengangkat bahu. "Tak seorang pun bisa memastikan apa yang terdapat di
balik pintu makam itu, Gabe. Kita terpaksa menunggu sampai pintunya berhasil
dibuka. Tapi aku punya firasat bagus. Kurasa makam ini -makam Pangeran Khor-Ru.
Dia sepupu sang firaun. Dan konon hartanya tak kalah banyak."
"Dan menurut Daddy, semua mahkota dan permata dan harta Pangeran Khor-Ru ini
ikut dikubur bersama dia?" tanya Sari.
Paman Ben menghabiskan kopinya, lalu menggeser cangkir yang telah kosong itu.
"Siapa tahu?" ujarnya. "Bisa jadi kita akan menemukan harta karun di sana: Tapi
mungkin juga ruangan itu tak berisi apa-apa."
"Bagaimana mungkin?" aku menyanggah. "Mana ada makam kosong di sebuah piramida?"
"Penjahat," jelas Paman Ben sambil mengerutkan kening. "Jangan lupa, Pangeran
Khor-Ru dimakamkan sekitar 1300 SM. Dalam abad-abad sesudah itu, tidak sedikit
makam kuno dibongkar penjahat, yang lalu menjarah semua harta yang mereka
temukan di sana." Paman bangkit dan menghela napas. "Bukan tidak mungkin jerih payah kita selama
berbulan-bulan tidak membuahkan hasil apa pun selain ruangan kosong. "
"Tidak mungkin!" seruku dengan berapi-api. "Aku yakin kita bakal menemukan mumi


Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang pangeran di sana. Dan permata-permata bernilai jutaan dolar!"
Paman Ben menatapku sambil tersenyum. "Sudahlah, jangan bicara terus," katanya.
"Habiskan dulu sarapanmu, supaya kita bisa segera mulai bekerja."
Tidak lama setelah itu Sari dan aku meninggalkan tenda mes bersama Paman Ben. Ia
melambaikan tangan kepada dua anak muda yang baru keluar dari tenda perlengkapan
sambil membawa alat-alat gali. Kemudian ia menghampiri mereka untuk membicarakan
sesuatu. Sari dan aku menunggu. Dia berpaling kepadaku, dan roman mukanya tampak serius.
"Eh, Gabe," katanya pelan-pelan, "sori kalau aku menyebalkan selama ini."
"Kau" Menyebalkan?" aku menyahut dengan nada menyindir.
Dia tidak tertawa. "Aku agak kuatir;" dia memberitahuku. "Tentang Daddy."
"Ada apa, sih?" tanyaku. "Ayahmu sehat-sehat saja, kan" Dia kelihatan riang
gembira," "Justru itu yang membuatku kuatir," bisik Sari. "Daddy terlalu. riang gembira
dan bersemangat. Dia yakin temuan ini bakal membuatnya terkenal."
"Terus?" aku kembali bertanya.
"Bagaimana kalau ternyata cuma ada ruangan kosong?" balas Sari. Dia menoleh dan
memperhatikan ayahnya. "Bagaimana kalau makam itu sudah dijarah penjahat" Atau
malah bukan makam si pangeran" Bagaimana kalau Dad membongkar segel, membuka
pintu dan cuma menemukan ruangan berdebu yang penuh ular?"
Dia menarik napas panjang. "Dad pasti akan patah semangat. Seluruh tenaga dan
pikirannya dicurahkan pada proyek ini. Aku tidak tahu apakah ia sanggup menahan
kekecewaan yang mungkin bakal dialaminya."
"Kenapa kau jadi pesimis begini, sih?" sahutku. "Bagaimana kalau-"
Aku mendadak terdiam, karena Paman Ben sudah kembali berjalan ke arah kami. ?"Ayo, kita masuk saja," katanya penuh semangat. "Menurut para pekerja, kita
sudah dekat sekali ke pintu ruang makam."
Paman merangkul Sari dan aku, lalu menggiring kami memasuki piramida.
Udara langsung terasa lebih sejuk ketika kami melangkah ke bayangan bangunan
raksasa itu. Aku melihat pintu masuk yang rendah di kaki dinding belakang. Pintunya kecil
sekali, sehingga kami terpaksa mengantre. Aku mengintip ke dalam lubang yang
sempit itu, dan melihat bahwa terowongan di baliknya menurun curam.
Moga-moga aku tidak terpeleset nanti, pikirku waswas. Dalam hati aku
membayangkan diriku jatuh ke lubang gelap tanpa dasar.
Yang paling penting, aku jangan sampai jatuh di depan Sari. Soalnya aku yakin,
sampai kapan pun dia akan terus mengungkit-ungkit kejadian itu.
Paman Ben menyerahkan helm proyek berwarna kuning kepada Sari dan aku. Masing-
masing helm dilengkapi lampu senter, seperti helm yang dipakai di tambang
batubara. "Kalian harus terus mengikuti aku," ia berpesan. "Aku masih ingat
musim panas tahun lalu, kalian memisahkan diri dari rombongan dan membuat repot
semua orang." "Ka-kami takkan merepotkan Paman," aku tergagap-gagap. Sebenarnya aku malu juga
karena ketahuan gugup, tapi bagaimana lagi" Suaraku tidak mau diajak bekerja
sama. Aku melirik ke arah Sari. Dia sedang mengatur letak helmnya, Dia tampak tenang
dan penuh percaya diri, "Aku akan berjalan di depan," ujar Paman Ben.
Ia menarik tali pengikat helmnya ke bawah dagu. Kemudian berbalik hendak
memasuki terowongan. Tapi sebuah teriakan melengking membuat kami Semua berhenti
mendadak dan menoleh ke belakang.
''Jangan! Tunggu! Jangan masuk!"
7 "SEORANG wanita muda bergegas melintasi lapangan di muka piramida. Rambutnya yang
hitam dan panjang melambai-lambai tertiup angin. Ia membawa tas kerja berwarna
cokelat. Kameranya, yang dikalungkannya di leher, tampak berayun-ayun.
Ia berhenti di depan kami dan tersenyum kepada Paman Ben. "Doktor Hassad?" ia
bertanya sambil tersengal-sengal.
Pamanku mengangguk. "Ya?" Ia menunggu sampai napas wanita itu kembali normal.
Wow, ia cantik sekali, aku berkata dalam hati. Rambutnya hitam, panjang, lurus
dan berkilau-kilau. Beberapa helai terurai di keningnya. Matanya berwarna hijau,
dan aku belum pernah melihat mata seindah itu.
Pakaiannya serba putih-jas putih dan blus putih dan celana panjang putih.
Orangnya termasuk pendek, hanya satu atau dua inci lebih tinggi dari Sari. Ia
pasti bintang film atau sebangsanya, pikirku.
Ia meletakkan tas kerjanya di pasir, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang.
"Maaf, saya berteriak-teriak tadi, Doktor Hassad," ia berkata kepada pamanku,
"tapi saya memang perlu bicara dengan Anda. Saya takut Anda keburu masuk ke
dalam piramida sebelum saya sempat menemui Anda."
Paman Ben menatapnya sambil mengerutkan kening. "Bagaimana Anda bisa melewati
pos jaga?" Paman bertanya sambil melepaskan helm proyeknya."
"Saya menunjukkan kartu pers saya, Jawab wanita itu. "Saya wartawati Cairo Sun.
"Nama saya Nila Rahmad. Saya berharap-"
"Nila?" Paman Ben memotong. "Nama yang indah."
Wanita itu tersenyum. ''Ya. Ibu saya mengambil nama saya dari Sungai
Kehidupan.Sungai Nil."
"Hmm, indah sekali," ujar Paman Ben. Matanya berbinar-binar. "Tapi untuk
sementara saya belum bisa mengizinkan wartawan mana pun meliput pekerjaan kami
di sini." Nila mengerutkan kening dan menggigit bibir.
"Beberapa hari lalu saya sempat berbicara dengan Doktor Fielding," katanya.
Pamanku langsung membelalakkan mata. "Oh, ya?"
"Doktor Fielding memberi izin kepada saya untuk menulis tentang temuan Anda,"
Nila berkeras sambil menatap pamanku.
"Hmm, sejauh ini kami belum menemukan apa-apa!" Paman Ben menyahut dengan ketus.
"Mungkin bahkan tidak ada apa-apa untuk ditemukan."
"Informasi yang saya terima dari Doktor Fielding berbeda," balas Nila. "Ia
tampak yakin bahwa temuan Anda akan menggemparkan dunia."
Paman Ben tertawa. "Rekan saya itu kadang-kadang terbawa semangatnya sendiri
"dan terlalu banyak bicara," katanya kepada Nila.
Wanita itu menatap pamanku dengan pandangan memohon. "Bolehkah saya ikut masuk
ke dalam piramida bersama Anda?" Ia melirik Sari dan aku.
"Sepertinya Anda sudah punya tamu lain."
"Putri saya, Sari, dan keponakan saya, Gabe,"
Paman Ben memperkenalkan kami.
"Izinkan saya ikut bersama mereka," Nila mendesak. "Saya berjanji takkan menulis
sepatah kata pun tanpa persetujuan Anda."
Paman Ben menggaruk-garuk dagu. Ia kembali memasang helm. "Dan jangan ambil
foto," gumamnya. "Apakah ini berarti bahwa saya boleh ikut?" Nila bertanya penuh harap.
Paman Ben mengangguk. "Sebagai pengamat."
Paman berusaha menampilkan diri sebagai orang yang keras. Tapi aku langsung tahu
bahwa ia menyukai wanita itu.
Nila tersenyum hangat, "Terima kasih, Doktor Hassad."
Paman Ben meraih ke dalam kotak penyimpan dan menyerahkan helm proyek kepada
Nila. "Jangan berharap terlalu banyak. Takkan ada temuan menakjubkan hari ini.
Tapi kami sudah mulai dekat."
Nila mengenakan helmnya, lalu berpaling kepada Sari dan aku. "Kalian juga baru
pertama kali masuk ke dalam piramida ini?" ia bertanya.
"Oh, tidak. Saya sudah tiga kali masuk," ujar Sari sambil membusungkan dada.
"Pokoknya seru sekali."
"Saya baru tiba kemarin," kataku. "Jadi ini memang pertama kali saya-"
Aku terdiam ketika melihat roman muka Nila mendadak berubah.
Kenapa ia menatapku seperti itu"
Aku menunduk dan menyadari bahwa ia menatap kalungku. Ia sampai terbengong-
bengong. "Oh! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Ini betul-betul aneh!" serunya.
8 "A-ADA apa?" aku tergagap-gagap.
?""Kita kembar!" Nila berseru. Ia meraih ke balik jasnya, dan mengeluarkan kalung
yang melingkar di lehernya.
Mata kalungnya terbuat dari batu transparan berwarna jingga, dan bentuknya
persis seperti mata kalungku.
"Wah, kok bisa sama, ya?" ujar Paman Ben.
Nila meraih mata kalungku dan membungkuk untuk memeriksanya. "Mata kalungmu
berisi scarab," katanya sambil mengamatinya dari segala arah. Kemudian ia
mendekatkan mata kalungnya ke wajahku. "Coba lihat, Gabe. Punyaku tidak ada
isinya." Aku memperhatikan mata kalungnya. Kelihatannya seperti kaca berwarna jingga.
Tidak ada apa-apa di dalamnya.
"Menurut saya, sih, mata kalung Anda lebih bagus," Sari berkata kepada Nila.
"Saya tidak suka kalau ada kumbang mati menggelantung di leher saya."
"Tapi kalau saya tidak salah, kumbang itu semacam lambang keberuntungan," balas
Nila. Ia mengembalikan kalungnya ke balik jas, "Moga-moga mata kalung yang
kosong bukan lambang nasib buruk!"
"Mudah-mudahan saja," Paman Ben menimpali.
Kemudian ia berbalik dan mengajak kami memasuki piramida.
Aku tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, Tapi nyatanya aku tersesat.
Semula Sari dan aku berjalan di belakang Paman Ben dan Nila. Persis di belakang
mereka. Aku mendengar penjelasan pamanku tentang dinding terowongan yang terbuat
dari batu granit dan batu kapur.
Lampu senter di helm masing-masing telah menyala. Berkas sinar yang kekuning-
kuningan menerangi lantai dan dinding terowongan yang berselubung debu, ketika
kami semakin jauh menerobos ke perut piramida itu.
Langit-langitnya rendah, dan kami semua terpaksa berjalan sambil membungkuk.
Terowongannya berkelok-kelok, dan beberapa kali kami menemui titik-titik
percabangan. "Jalan buntu untuk menyesatkan," Paman Ben berkomentar.
Sorot lampu yang berkedap-kedip sebenarnya tidak banyak membantu. Aku sempat
tersandung, dan lenganku lecet karena tergores dinding terowongan yang kasar.
Udara di dalam piramida ternyata lebih dingin dari yang kusangka, dan aku
menyesal tidak membawa sweter atau jaket.
Di depan, Paman Ben sedang bercerita mengenai Raja Tut dan Pangeran Khor-Ru
kepada Nila. Sepertinya pamanku sedang berusaha membuat wanita itu terkesan,
Jangan-jangan Paman menaruh hati padanya"
"Wah, ini benar-benar mengasyikkan!" aku mendengar seruan Nila. '''Doktor
Fielding dan Anda begitu baik sudah mengizinkan saya melihat semua ini."
"Siapa sih Doktor Fielding itu?" aku berbisik kepada Sari.
"Rekan kerja Dad," balas Sari. "Tapi mereka tidak cocok. Dad tidak menyukainya.
Kau pasti akan ketemu dia nanti, Ia selalu ada di sekitar piramida. Aku juga
tidak menyukainya." Aku berhenti untuk mengamati gambar aneh di dinding terowongan. Kelihatannya
seperti kepala binatang. "Hei-Sari!" bisikku. "Ada gambar kuno, nih."
Sari geleng-geleng kepala. "Itu kan Bart Simpson," dia bergumam, "Pasti ada anak
buah Dad yang iseng. "
"Aku juga tahu!" aku berbohong. "Aku cuma mau mengujimu, kok." "Aduh, kenapa sih aku selalu mempermalukan diriku sendiri di depan sepupuku itu"
Aku mengalihkan pandanganku dari gambar di dinding terowongan dan membelalakkan
mataku. Sari telah lenyap. Samar-samar aku melihat berkas cahaya senternya di depan. Tapi kemudian cahaya
itu pun menghilang. Aku mempercepat langkah untuk mengejar Sari.
Tahu-tahu kakiku tersandung lagi.
Topiku membentur dinding terowongan. Dan senternya langsung padam. ?"Hei-Sari" Paman Ben?" aku memanggil sambil bersandar ke dinding, Keadaan di
sekelilingku gelup gulita, sehingga aku tidak berani beranjak.
"Hei-! Ke mana kalian?" Suaraku bergema di terowongan yang sempit.
Namun tak ada yang menyahut,
Aku melepaskan helm proyekku, lalu mengotak-atik lampu senternya. Mula-mula
kuputar untuk mengencangkannya. Kemudian helm itu kuguncang-guncang dengan
keras. Tapi senternya tak mau menyala lagi.
Sambil menarik napas panjang, helmnya kupasang kembali ke kepalaku.
Sekarang bagaimana" aku bertanya dalam hati.
Aku mulai ngeri. Perutku seperti terisi batu besar, dan tenggorokanku mendadak
kering kerontang. "Hei-tolong!" aku berseru. "Aku di sini. Senterku mati. Aku tidak bisa jalan!"
Tak ada jawaban. Ke mana mereka" Masa sih, mereka tidak sadar bahwa aku menghilang"
"Hmm, kalau begitu aku tunggu di sini saja," aku bergumam sendiri.
Aku bersandar ke dinding terowongan. Tahu-tahu dinding itu ambruk, dan aku
langsung terjatuh. Tanganku menggapai-gapai, tapi tidak menemukan tempat berpegang. Tubuhku
meluncur ke bawah, menembus kegelapan yang pekat.
9 "TANGANKU mendayung-dayung selama aku meluncur, mencari-cari tempat untuk
"berpegang. Semuanya, terjadi begitu cepat. Berteriak pun aku tak sempat.
Kemudian aku terempas dengan keras. Seketika rasa nyeri menjalar pada punggung
ke kaki dan lenganku. Mataku sampai berkunang-kunang.
Aku tak bisa bernapas. Sepintas lalu cahaya berwarna merah cerah menari-nari di
depan mataku, kemudian semuanya kembali gelap. Aku megap-megap, tapi paru-paruku
tak kunjung terisi udara. Dadaku sesak. Rasanya persis seperti kalau perut kita
dihantam bola basket, Akhirnya aku berhasil duduk tegak dan menoleh ke kir i-kanan. Perlahan-lahan
"terdengar bunyi gesekan di sekelilingku. Sepertinya ada sesuatu yang bergerak-
gerak di lantai tanah yang keras.
"Hei-ada yang mendengar, tidak?" Sebenarnya aku hendak berteriak lantang, namun
yang keluar dari mulutku hanya bisikan parau.
Kepalaku mulai berdenyut-denyut, tapi, napasku sudah hampir normal kembali.
"Hei-aku ada di bawah sini!" aku memanggil, sedikit lebih keras,
"Tak ada jawaban. Masa mereka belum sadar juga bahwa aku menghilang" Masa mereka belum mulai
mencariku" Aku duduk sambil menyandarkan tanganku ke belakang. Tiba-tiba tangan kananku
terasa gatal. Langsung saja kugaruk. Tanpa sengaja tangan kiriku menepis sesuatu. Kemudian aku
sadar bahwa kakiku juga gatal. Dan aku merasakan sesuatu merayap di pergelangan"tangan kiriku.
Aku segera menggoyang-goyangkan tangan.
"Ada apa ini?" bisikku pelan.
Seluruh tubuhku mulai gatal. Lengan dan kakiku seperti ditusuk-tusuk.
Cepat-cepat aku berdiri dan mengayun-ayunkan lengan. Helmku membentur langit-
langit yang rendah, Dan lampu senternya menyala lagi.
Aku memekik tertahan ketika melihat makhluk-makhluk kecil merayap-rayap di
sekitarku. Labah-labah. Ratusan labah-labah putih berbadan gemuk memadati lantai. Mereka
merayap kian kemari, bertumpang tindih.
Aku menengadah, dan sorot lampu senter di helmku Ikut bergerak ke atas. Ternyata
dinding-dinding batu pun penuh labah-labah. Binatang-binatang itu membuat
dinding tampak seperti bergerak, seolah-olah bernyawa.
Puluhan labah-labah bergelantungan dari benang-benang halus yang menempel di
langit-langit. Mereka seakan-akan sedang melayang di udara.
Aku menepis seekor labah-labah dari kepalaku.
Baru sekarang aku sadar kenapa kakiku terasa gatal. Kakiku penuh labah-labah.
Begitu pula lenganku. Dan punggungku.
"Tolong! Tolong!" aku menjerit. "Hei! Ada yang bisa mendengarku, tidak?"
Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang lebih menakutkan lagi. Jauh lebih menakutkan.
Seekor ular muncul di atas dan meluncur ke arah wajahku.
10 "AKU merunduk dan berusaha melindungi kepalaku ketika ular itu semakin dekat.
?"Tangkap!" aku mendengar seseorang berseru. Tangkap ujungnya!"
"Aku memekik kaget, dan menoleh ke atas. Sorot senter mengikuti gerakan kepalaku.
Dan kemudian aku melihat bahwa yang turun itu bukan ular-melainkan tali tambang.
"Tangkap, Gabe! Cepat!" Sari berseru dari atas.
Sambil menggoyang-goyangkan kaki dan tangan agar semua labah-labah yang menempel
di tubuhku terlepas, aku berusaha meraih ujung tali itu.
Dan kemudian tubuhku mulai terangkat.
Beberapa detik setelah itu, Paman Ben mengulurkan tangannya, lalu mencengkeram
pundakku. Jika dia menarikku naik, aku melihat Sari dan Nila menghela tali dengan sekuat
tenaga. Aku berseru dengan gembira ketika kakiku kembali menginjak lantai yang kokoh.
Tapi kegembiraanku tidak bertahan lama. Seluruh tubuhku serasa terbakar!
Aku kembali menendang-nendang dan menepis-nepis, lalu menginjak-injak semua


Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

labah-labah yang berjatuhan.
Kemudian aku sadar bahwa Sari sedang menertawakanku. "Wah, Gabe, apa sih nama
tarian itu" dia bertanya. "Paman Ben dan Nila ikut tertawa. "Bagaimana kau bisa jatuh ke situ, Gabe?" tanya
pamanku, sambil menatap ke lubang yang penuh labah-labah itu.
"Dindingnya ambruk," aku menyahut sambil menggaruk-garuk:kaki.
"Aku pikir kau masih di belakangku," ujar Sari. "Waktu aku menengok..." suaranya
melemah. Berkas sinar dari lampu senter di helm Paman Ben menyorot ke bawah. "Wah, dalam
juga," Paman berkomentar sambil kembali berpaling padaku. "Kau betul tidak apa-
apa?" Aku mengangguk. "Yeah. Aku cuma sempat tidak bisa napas tadi, Dan kemudian
labah-labah itu-" "Di sini ada ratusan ruang seperti itu," pamanku berkata kepada Nila. "Orang-
orang yang membangun piramida sengaja membuat lorong-lorong buntu dan jebakan-
jebakan untuk mengelabui para penjarah agar mereka tidak dapat menemukan ruang
makam yang sesungguhnya,"
"Idih! Labah-labahnya gemuk sekali!" Sari bergumam sambil mundur selangkah.
"Di bawah sana ada, sejuta," aku bercerita. "Di dinding, di langit-langit-di
mana-mana." "Oh, aku pasti akan bermimpi buruk," ujar Nila pelan-pelan sambil bergeser lebih
dekat ke pamanku. "Kau yakin baik-baik saja?" Paman Ben bertanya sekali lagi.
Aku sudah hendak menjawab, tapi tiba-tiba aku ingat sesuatu. Tangan mumi-ku.
Tangan itu terselip di kantong belakang celanaku.
Jangan-jangan remuk waktu aku terjatuh tadi"
Jantungku hampir copot. Aku tidak mau tangan mungil itu rusak. Tangan mungil itu
jimat keberuntunganku. Aku segera merogoh kantong dan menariknya ke luar. Kemudian aku memeriksanya
dengan saksama sambil mengarahkan berkas sinar dari senterku.
Ternyata masih utuh. Aku menarik napas lega.
Tangan itu ternyata tidak remuk, namun tetap terasa dingin ketika kupegang.
"Apa itu?" Nila bertanya sambil membungkuk sedikit agar dapat melihat lebih
jelas. Ia menyibakkan rambutnya yang panjang. "Kelihatannya seperti Pemanggil."
"Bagaimana Anda tahu itu?" aku balik bertanya.
Nila memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. "Saya tahu banyak tentang Mesir
kuno," sahutnya. "Seumur hidup saya mempelajari sejarah Mesir."
"Ini mungkin benda upacara. yang sudah tua sekali," Paman Ben angkat bicara.
"Atau sekadar cenderamata murahan," Sari menimpali.
"Tangan mumi ini sakti," aku berkata sambil membersihkannya dengan hati-hati.
"Tangannya tertimpa badanku waktu aku jatuh tadi, tapi nyatanya tidak rusak. "
"Mungkin memang jimat keberuntungan," ujar Nila. Ia kembali berpaling pada Paman
Ben. "Kalau begitu, kenapa Gabe bisa sampai jatuh" Sari mempertanyakan dengan nada "menantang.
Sebelum aku sempat menjawab, aku melihat tangan mumi-ku bergerak-gerak. Jari-
jemarinya yang mungil menekuk pelan-pelan, lalu kembali lurus.
Aku memekik kaget. "Gabe-apa lagi sekarang?" Paman Ben bertanya dengan ketus.
"Ehm.. ,tidak ada apa-apa," jawabku.
"Mereka toh takkan percaya.
"Rasanya penjelajahan kita hari ini sudah cukup, kata Paman Ben.
"Tangan mumi-ku kugenggam erat-erat ketika kami menuju pintu keluar.
Aku yakin aku tidak salah lihat tadi. Aku yakin seratus persen. Jari-jemarinya
memang bergerak. Tapi kenapa" Apakah tangan itu hendak memberi tanda padaku" Apakah aku hendak diberi
peringatan" 11 "DUA hari kemudian, anak buah Paman Ben mencapai pintu ruang makam.
"Sari dan aku menghabiskan dua hari itu dengan bermain-main di perkemahan dan
menjelajahi daerah di sekitar piramida, Tapi berhubung, sebagian besar gurun
pasir, maka tidak banyak yang bisa kami jelajahi.
Suatu sore kami terus-menerus bermain scrabble.
Bermain scrabble dengan Sari betul-betul menjemukan. Dia tipe pemain bertahan,
dan dia menghabiskan berjam-jam untuk memikirkan cara memenuhi papan permainan
dan menghalangiku membuat kata-kata yang akan meraih nilai tinggi.
Setiap kali aku menyusun kata yang hebat, Sari lalu berdalih kata itu sebenarnya
tidak ada, dan karena itu tidak boleh dipakai, Dan karena di tenda kami tidak
ada kamus, maka biasanya dia yang keluar sebagai pemenang dalam perdebatan
sengit yang menyusul. Sementara itu, Paman Ben kelihatan tegang sekali. Sepertinya ia merasa gelisah
karena saat untuk membuka ruang makam akhirnya tiba.
Ia jarang berbicara dengan Sari dan aku. Sebagian besar waktunya dihabiskan
untuk menemani orang-orang yang tidak kukenal. Sikap Paman Ben sangat serius. Ia
sama sekali tidak bersenda-gurau dan berkelakar seperti biasanya.
Paman Ben juga sering berbicara dengan Nila. Mula-mula wanita itu hendak membuat
artikel mengenai temuan Paman Ben di dalam piramida. Tapi sekarang dia berubah
pikiran, dan akan menulis tentang Paman Ben sendiri. Hampir setiap ucapan
pamanku dicatatnya dalam buku kecil yang selalu dibawa-bawanya.
Lalu, saat sarapan, Paman tersenyum untuk pertama kali dalam dua hari terakhir
ini. "Inilah hari yang ditunggu-tunggu," dia mengumumkan.
Sari dan aku langsung bersemangat sekali. "Kami juga boleh ikut?" aku bertanya.
Paman Ben mengangguk. Aku ingin kalian hadir," sahutnya. "Barangkali kita akan "membuat sejarah hari ini. Barangkali saja hari ini akan menjadi hari yang akan
kalian kenang seumur hidup.
"Paman mengangkat bahunya seraya menambahkan "Siapa tahu?"
Beberapa menit kemudian, kami bertiga mengikuti sejumlah pekerja ke piramida.
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, langit tampak mendung. Awan tebal tampak
bergumpal-gumpal. Piramida di hadapan kami menjulang tinggi. Puncaknya hampir
menyentuh lapisan awan. Ketika kami mendekati pintu kecil di dinding belakang, Nila berlari menghampiri
kami. Kameranya terayun-ayun di dadanya. Ia mengenakan kemeja denim berlengan
panjang dan celana jeans belel berpotongan longgar.
Paman Ben menyapanya dengan hangat. "Tapi jangan ambil foto dulu!" ia
menambahkan. "Janji?"
Nila menatapnya sambil tersenyum. Matanya nampak berbinar-binar. Ia menempelkan
tangan kanannya ke dada. "Janji."
Semua mengambil helm proyek berwarna kuning dari kotak penyimpanan. Paman Ben
juga membawa palu godam. Ia masuk lebih dulu ke terowongan. Yang lain
menyusulnya satu per satu.
Jantungku berdebar-debar ketika bergegas supaya tidak ketinggalan lagi. Sorot
lampu dari senter-senter kami menyapu lantai dan dinding terowongan yang sepit.
Jauh di depan terdengar suara para pekerja serta bunyi gesekan alat-alat gali
mereka. "Wah, ini benar-benar menegangkan!" aku berkata kepada Sari.
"Mungkin saja ruang makam itu penuh permata," ujar sepupuku itu, ketika kami
melewati sebuah tikungan. "Batu safir dan mirah delima dan zamrud. Siapa tahu
aku bisa mencoba mahkota intan yang pernah dipakai salah satu putri kerajaan."
"Dan barangkali kita akan menemukan mumi di sana," kataku. Terus terang, aku
memang tidak terlalu tertarik pada batu permata. "Siapa tahu kita akan menemukan
mumi Pangeran Khor-Ru yang sudah empat ribu tahun terbaring di sana."
Sari langsung meringis. "Yang kaupikirkan kok mumi melulu, sih?" dia bertanya
dengan nada mengejek. "Habis, ini kan piramida Mesir kuno!" aku membalas dengan sengit.
?"Ruang makam itu mungkin berisi permata dan benda antik bernilai jutaan dolar,"
Sari menggerutu. "Tapi kau malah sibuk memikirkan tubuh bulukan yang terbungkus
tar dap. kain kumal." Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau kau anak umur
delapan atau sembilan tahun, aku masih maklum deh. Tapi kau kan sudah terlalu
besar untuk tergila-gila pada mumi."
"Paman Ben belum bosan meneliti mumi, padahal ia sudah dewasa," sahutku.
Sari langsung terdiam. Sambil membisu kami mengikuti Nila dan Paman Ben. Setelah beberapa saat,
terowongan sempit yang kami telusuri membelok tajam. Udaranya bertambah panas.
Aku melihat cahaya lampu di depan. Dua lampu sorot bertenaga baterai menerangi
dinding di ujung terowongan. Ketika kami mendekat, aku menyadari dinding itu
bukan dinding, melainkan sebuah pintu.
Empat pekerja-dua pria dan dua wanita-tampak berlutut sambil menggali-gali
dengan sekop dan cangkul kecil. Mereka sedang membersihkan sisa-sisa tanah yang
masih melekat di pintu tersebut.
"Oh, betapa indahnya!" seru Paman. Ia bergegas menghampiri para pekerja. Mereka
menoleh dan menyapanya dengan gembira. "Luar biasa!" Paman Ben berkomentar
sambil berdecak-decak kagum.
Nila, Sari, dan aku menyusulnya. Paman Ben benar. Pintu kuno itu memang
mengesankan. Tingginya tidak seberapa. Paman Ben harus menunduk jika ingin melewatinya. Tapi
bentuk pintu itu memang pantas untuk makam seorang pangeran.
Kayu mahoninya-yang kini sudah membatu-pasti diangkut dari tempat yang jauh
sekali. Aku yakin bahwa jenis kayu itu tidak berasal dari pohon-pohon yang
tumbuh di Mesir. Pintu itu dihiasi hieroglif-hieroglif -aksara Mesir kuno - dari atas sampai
bawah. Aku mengenali gambar burung, kucing, dan binatang-binatang lain, semuanya
berupa ukiran pada permukaan kayu.
Tapi yang paling mengesankan adalah segel yang mengunci pintu itu - sebuah
kepala singa yang sedang menyeringai, dan terbuat dari emas. Cahaya lampu sorot
membuat kepala singa itu bersinar-sinar bagaikan matahari.
"Emasnya tidak keras," aku mendengar salah satu pekerja berkata kepada Paman
Ben. "Segel ini takkan sulit dibuka."
Paman Ben menurunkan palu godamnya. Sejenak dia menatap kepala singa yang
berkilau-kilau itu, lalu kembali berpaling kepada kami. "Mereka pikir kepala
singa ini akan menghalau orang-orang dari ruang makam," katanya. "Dan
kelihatannya berhasil. Sampai sekarang."
"Doktor Hassad, saya harus mengabadikan pembukaan segel ini," ujar Nila. Ia
menghampiri Paman Ben. "Anda harus mengizinkan saya mengambil foto, Peristiwa
besar Semacam ini tidak boleh berlalu begitu saja."
Paman Ben menatapnya sambil mengerutkan kening. "Ehm... baiklah," ia akhirnya "setuju.
Nila tersenyum gembira ketika mengangkat kameranya. "Terima kasih, Ben."
Para pekerja mundur. Salah satu dari mereka menyerahkan palu dan sebuah alat
kecil yang menyerupai pisau bedah. "Silakan, Doktor Hassad, katanya.
"Paman Ben menerima alat-alat tersebut, lalu menghampiri pintu. . "Setelah segel
ini saya bongkar, kita akan membuka pintu dan memasuki sebuah ruangan yang
selama empat ribu tahun tak pernah dilihat orang," ia mengumumkan.
Nila mengintip melalui kameranya dan mengatur-atur lensa.
Sari dan aku menepi mendekati para pekerja.
Singa emas itu seakan-akan semakin mengilap ketika Paman Ben mengambil ancang-
ancang untuk mengayunkan palu. Suasana menjadi hening. Ketegangan yang begitu
kental terasa melingkupi kami semua.
Tanpa sengaja aku menahan napas. Ketika sadar udara di paru-paruku langsung
kuembuskan pelan pelan. Kemudian aku menghela napas lagi.
Aku melirik Sari. Dia sedang menggigit-gigit bibir. Kedua tangannya merapat di
pinggangnya. "Ayo, siapa yang lapar" Bagaimana kalau urusan ini kita tunda dan pesan pizza
dulu?" Paman Ben berkelakar.
Kami semua tertawa keras-keras.
Begitulah Paman Ben-di saat yang mungkin paling penting dalam hidupnya, dia
masih juga melontarkan lelucon konyol.
Suasana kembali hening dan tegang. Roman muka Paman Ben berubah menjadi serius
ketika dia berkeling ke segel kuno di pintu. Dia menempelkan pahat dan mulai
mengayunkan palu. S ekonyong-konyong sebuah suara menggelegar, OHIHH-BIARKAN AKU BERISTIRAHAT " "DENGAN TENANG!"
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com AKU memekik kaget. ?"BIARKAN AKU BERISTIRAHAT DENGAN TENANG!" suara itu kembali menggelegar.
Aku melihat Paman Ben menurunkan pahat. Dan membalikkan badan, dan membelalakkan
mata dengan bingung. Kemudian aku sadar bahwa suara itu berasal dari belakang kami. Aku menoleh dan
melihat seorang pria yang sebelumnya belum pernah kulihat setengah tersembunyi
dalam keremangan. Ia menghampiri kami dengan langkah panjang.
Orangnya tinggi kurus, bahkan begitu tinggi sehingga terpaksa membungkuk agar
kepalanya tidak terbentur di langit-langit terowongan. Kepalanya botak, kecuali
di sekitar telinga. Wajahnya sempit, dan tampak merengut.
Ia mengenakan jas safari yang disetrika licin, serta kemeja dan dasi. Matanya
yang kecil dan hitam, yang sepintas lalu mirip kismis, mendelik ke arah pamanku.
Aku menatapnya dengan heran. Sepertinya orang itu tak pernah makan. Ia kurus
sekali, sekurus mumi! "Omar-!" - Paman Ben berseru. "Aku tidak menyangka kau sudah kembali dari
"Kairo!" "Biarkan aku beristirahat dengan tenang," Dr. Fielding mengulangi, kali ini
lebih pelan. "Itulah pesan Pangeran Khor-Ru yang tertulis pada prasasti kuno
yang kita temukan bulan lalu. Itulah kehendak sang Pangeran."
"Omar, kita sudah membahas semua ini," pamanku menyahut sambil menghela napas
panjang. Ia menurunkan pahat dan palu di tangannya.
Dr. Fielding melewati Sari dan aku tanpa menggubris sedikit pun. Ia berhenti di
hadapan pamanku dan mengusap kepalanya yang botak . Hmm, kalau begitu, kenapa
"kau nekat mau membongkar segel ini?" tanyanya dengan ketus. .
"Aku ilmuwan," Paman Ben menjawab dengan tegas. "Aku tidak bisa membiarkan
takhayul menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, Omar."
"Aku juga ilmuwan," balas Dr. Fielding, sambil mengencangkan dasinya dengan
kedua tangan. "Tapi aku tidak mau mencemari makam tua ini. Aku tidak mau
menentang kehendak Pangeran Khor-Ru. Dan aku tidak bersedia menganggap tulisan
hieroglif sebagai takhayul belaka."
"Dan ini merupakan pangkal perselisihan kita," kata Paman Ben. Ia menunjuk
keempat pekerja tadi. "Kita sudah bekerja keras selama berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun. Tidak seharusnya jerih payah kita berakhir di depan pintu ini,
Omar. Usaha kita harus diteruskan sampai tuntas."
Dr. Fielding menggigit-gigit bibir. Ia menunjuk ke bagian atas pintu. "Lihat,
Ben. Hieroglif yang sama seperti yang kita temukan pada prasasti itu. Peringatan
yang sama. Biarkan aku beristirahat dengan tenang."
"Aku tahu, aku tahu," ujar pamanku sambil mengerutkan kening.
"Peringatannya jelas sekali," Dr. Fielding melanjutkan dengan sengit. "Jika ada
yang berani mengganggu istirahat abadi sang Pangeran, jika ada yang nekat
mengucapkan mantra di peti mayatnya sebanyak lima kali maka mumi sang Pangeran
akan hidup kembali. Dan ia akan membalas dendam kepada mereka yang
mengganggunya." Aku langsung merinding ketika mendengar kata-kata itu. Seketika aku menoleh
kepada Paman Ben. Kenapa ia tidak pernah menceritakan ancaman pangeran itu
kepada Sari dan aku" Kenapa peringatan yang mereka temukan pada prasasti kuno
itu tak pernah disinggungnya"
Apakah karena kuatir kami bakal takut"
Ataukah ia sendiri yang gentar"
Tidak mungkin. Mustahil. Paman Ben sama sekali tidak kelihatan takut ketika berdebat dengan Dr. Fielding.
Segera kelihatan bahwa mereka sudah sering membahas persoalan ini. Dan aku
langsung sadar bahwa Dr. Fielding takkan sanggup menghalangi Paman Ben
membongkar segel dan masuk ke ruang makam.
"Ini peringatanku yang terakhir, Ben," ujar Dr. Fielding. Demi keselamatan semua
orang yang ada di sini. Ia menunjuk keempat pekerja yang sejak tadi membisu.
"Takhayul," balas Paman Ben. "Aku tidak mau menghalangi takhayul. Aku ilmuwan."
Ia kembali mengangkat pahat dan palu. "Segel ini akan kubongkar."
Dr. Fielding angkat tangan. "Aku tidak mau ambil bagian," ia berkata dengan
gusar. Serta-merta dia berbalik. Kepalanya nyaris terbentur langit-langit yang
rendah. Lalu, sambil bergumam sendiri, ia bergegas pergi. Dalam sekejap Dr.
Fielding telah lenyap dalam kegelapan yang menyelubungi terowongan,
Paman Ben mencoba mengejarnya. "Omar-" Omar" "Tapi suara langkah Dr. Fielding semakin jauh.
Paman Ben menghela napas panjang. "Orang itu tidak bisa dipercaya," ia
berkomentar. "Sebenarnya ia tidak peduli pada takhayul lama. Ia hanya mau
merebut temuan ini untuk dirinya sendiri. Karena itulah ia berusaha
menghentikanku sebelum pintu ini dibuka."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Ucapan pamanku sungguh mengejutkan. Tadinya
kupikir kaum ilmuwan sudah punya peraturan tentang siapa yang berhak atas suatu
temuan. Paman Ben berbisik kepada Nila. Kemudian ia kembali menghampiri keempat anak


Goosebumps - 23 Kembalinya Sang Mumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buahnya. "Kalau di antara kalian ada yang sependapat dengan Doktor Fielding," ia
berkata kepada mereka, "maka kalian boleh menyusulnya."
Para pekerja berpandangan satu sama lain.
"Kalian sudah dengar tentang peringatan yang tercantum di pintu makam. Saya
tidak mau memaksa kalian melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani
kalian." "Tapi kita sudah bekerja begitu keras," ujar salah satu dari mereka. "Kita "tidak bisa berhenti sekarang. Kita tidak punya pilihan. Kita harus membuka pintu
itu." Pamanku mengembangkan senyum. "Saya setuju," dia berkata, la,lu kembali
berpaling pada kepala singa di pintu.
Aku melirik Sari, tapi ternyata ia sudah lebih dulu menatapku. "Gabe, kalau kau
takut, kau keluar saja. Dad pasti maklum, kok," bisiknya. "Kau tidak perlu,
malu. "Huh, dasar! "Aku sih mau tetap di sini," sahutku, juga sambil berbisik: "Tapi kalau kau mau
kembali ke tenda ayo, kuantar saja sebentar."
Bunyi kling yang keras membuat kami berdua menoleh. Paman Ben sudah mulai
membongkar segel di pintu. Nila telah siap dengan kameranya.
Para pekerja tampak tegang. Tanpa berkedip mereka memperhatikan setiap gerakan
pamanku. Paman Ben bekerja dengan hati-hati. Ia menyorongkan pahat ke balik kepala singa,
dan mengungkitnya pelan-pelan sambil mengetukkan palu.
Beberapa menit kemudian, segel itu sudah terlepas. Dengan cekatan Paman Ben
menangkapnya sebelum Jatuh ke lantai. Nila menjepret-jepret tanpa henti. Paman
Ben menyerahkan segelnya kepada salah satu pekerja. "Ini bukan hadiah Natal,
lho," kelakarnya. "Ini mau saya simpan untuk dipajang di atas perapian."
Semua tertawa. Paman menggenggam tepi pintu dengan kedua tangannya. "Saya masuk pertama," dia
memberi tahu yang lain. "Kalau dalam dua puluh menit saya belum muncul lagi,
tolong beritahu Doktor Fielding bahwa dia benar! Leluconnya kembali disambut
"tawa berderai. Dua pekerja membantu Paman Ben menggeser pintu. Mereka mendorong dengan sekuat
tenaga. Tapi pintu itu tidak bergerak sedikit pun.
"Mungkin perlu dilumuri minyak dulu," Paman Ben bergurau. "Habis, pintu ini
Tawaran Proposal 1 Dewi Sri Tanjung 8 Perjalanan Yang Berbahaya Badai Fitnah Latanahsilam 2
^