Kutukan Makam Mummy 3
Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy Bagian 3
datang berlari. Mencengkeram erat kotak kecil di tanganku, aku menggerakkan tanganku ke tombol -
dan berteriak panik. Pager itu hancur. Rusak. Remuk.
Tombolnya bahkan tak bisa ditekan.
Aku pasti mendarat di atasnya saat aku jatuh.
Tak ada gunanya. Aku sendirian di sini. Sendirian dengan mumi-mumi kuno, menatapku dengan wajah tak lengkap dengan diam
melalui bayangan-bayangan gelap yang dalam.
14 Sendirian. Aku menatap dengan ngeri pager tak berguna itu.
Senter itu bergetar di tanganku.
Tiba-tiba, semuanya tampak bergerak kepadaku. Dinding-dinding. Langit-langit.
Kegelapan. Mumi-mumi. "Hah?" Aku terhuyung mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Aku sadar bahwa aku mencengkeram senter begitu erat, tanganku terluka.
Cahaya senter bermain-main pada sosok-sosok tubuh berwajah tak lengkap itu.
Mereka tak bergerak. Tentu saja mereka tak bergerak.
Aku mundur selangkah lagi. Bau busuk asam sepertinya semakin kuat, semakin
tebal. Aku menahan napas, tapi bau itu di lubang hidungku, di mulutku. Aku bisa
merasakannya, rasa busuk, aroma rasa kematian empat ribu tahun.
Aku melemparkan pager tak berguna itu di lantai dan melangkah mundur lagi,
menjaga mataku pada mumi-mumi yang berdiri itu.
Apa yang akan kulakukan"
Bau itu membuatku sakit. Aku harus keluar dari sini, harus memanggil Paman Ben.
Melangkah lagi. "Tolong!" Aku mencoba berteriak, tapi suaraku terdengar lemah, teredam oleh udara, berat
yang busuk. "Tolong. Ada yang bisa mendengarku"!" Sedikit lebih keras.
Menyelipkan lampu senter di bawah lenganku, aku melekukkan tanganku di sekitar
mulutku untuk membentuk pengeras suara.
"Ada yang bisa mendengarku?" Aku menjerit.
Aku mendengarkan, putus asa untuk mendapat jawaban.
Sunyi. Di mana Sari dan Paman Ben" Mengapa mereka tak bisa mendengarku" Mengapa mereka
tak mencariku" "Tolong - Siapa pun - kumohon tolonglah!"
Aku menjerit sekeras mungkin, memiringkan kepalaku sampai ke lubang di langit-
langit, lubang tempatku jatuh.
"Tak adakah orang yang mendengarku?" jeritku.
Aku bisa merasakan kepanikan mencengkeram dadaku, membekukan kakiku.
Kepanikan melandaku, gelombang demi gelombang melumpuhkanku.
"Tolong aku! Siapa saja! Aku mohon!"
Aku mundur selangkah lagi.
Dan sesuatu berderak di bawah sepatuku.
Aku mengeluarkan jeritan bernada tinggi dan terhuyung ke depan.
Apa pun itu telah merayap pergi.
Aku mengembuskan napas keras, napas panjang lega.
Dan kemudian aku merasa sesuatu yang menyenggol pergelangan kakiku.
Aku menjerit, dan senter terjatuh dari bawah lenganku. Berdentang berisik ke
lantai. Lampu itu mati. Sekali lagi, sesuatu menggarukku diam-diam .
Sesuatu yang keras. Aku mendengar suara mengais pelan di atas lantai. Sesuatu menggigit pergelangan
kakiku. Aku menendang keras, namun hanya memukul udara.
"Ohh, tolong!" Ada makhluk di sini. Banyak sekali.
Tapi mereka itu apa"
Sekali lagi, sesuatu menampar pergelangan kakiku, dan aku menendang dengan liar.
Dengan panik, aku membungkuk, menyambar senter dalam kegelapan.
Dan menyentuh sesuatu yang keras dan berduri.
"Ohh, tidak!" Aku merengutkan tanganku dengan teriakan kaget.
Dalam kegelapan, meraba-raba mencari senter, aku punya perasaan bahwa seluruh
lantai jadi hidup. Lantainya bergerak bergelombang, menggulung dan melempar,
menggelegak di bawahku. Akhirnya, aku menemukan senter. Aku meraihnya dengan tanganku yang gemetar,
berdiri, dan berjuang untuk menghidupkannya kembali.
Saat aku melangkah mundur, sesuatu tergelincir pada kakiku.
Rasanya keras. Dan berduri.
Aku mendengar suara ceklikan. Suara gemeretak. Makhluk-makhluk yang saling
bertabrakan. Terengah-engah keras, dadaku naik-turun, seluruh tubuhku dicekam ketakutan, aku
melompat, mencoba untuk menjauh saat aku menggerak-kan senter dengan gugup.
Sesuatu berderak keras di bawah sepatuku. Aku menjauh, melompat di atas sesuatu
yang berlari cepat melalui kakiku.
Akhirnya, lampu senter menyala.
Hatiku berdebar, aku menurunkan sinar cahaya kuning ke lantai.
Dan melihat makhluk-makhluk bersuara gemeratak dan menggigit.
Kalajengking-kalajengking!
Aku tersandung ke sarang mereka yang menjijikkan.
"Ohh - tolong!"
Aku tak mengenali suara kecil ketakutanku saat aku berteriak. Aku bahkan tak
sadar kalau aku telah berteriak.
Cahaya melesat di atas makhluk-makhluk merayap itu, ekor-ekor mereka terangkat
seolah-olah siap untuk menyerang, cakar-cakar mereka bergemeretak diam saat
mereka bergerak. Bergerak pelan-pelan satu sama lain. Merayap melewati
pergelangan kakiku. "Siapa pun - tolong!"
Aku berjingkrak mundur saat sepasang cakar mencengkeram kaki celana jeansku - ke
makhluk lain yang ekornya membentur bagian belakang sepatuku.
Berjuang untuk melepaskan diri dari makhluk-makhluk beracun itu, aku tersandung.
"Jangan. kumohon - jangan!"
Aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri.
Aku mulai terjatuh. Tanganku terjulur, tapi tak ada bisa diraih.
Aku akan terjun langsung ke tengah-tengah mereka.
"Tidaaaak!" Aku menjerit panik saat aku menggulingkan maju.
Dan merasakan dua tangan meraih bahuku dari belakang.
15 Satu mumi! Pikirku. Seluruh tubuhku mengejang ketakutan.
Kalajengking-kalajengking itu menggeretak dan mengais-ngais di kakiku.
Tangan-tangan yang kuat mencengkeram bahuku, menarikku dengan keras.
Tangan-tangan kuno diperban.
Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa berpikir.
Akhirnya, aku berhasil berputar.
"Sari!" teriakku.
Dia menarikku satu sentakan lagi. Kami berdua tersandung mundur, cakar-cakar
mengeretak ke arah kami. "Sari - bagaimana -?"
Kami bergerak bersama-sama sekarang, kami berjalan menuju ke tengah ruang yang
luas itu. Aman. Aman dari sarang kalajengking yang bergemertak menjijikkan.
"Hidupnu selamat," bisiknya. "Yuck. Itu menjijikkan!"
"Ceritakan padaku tentang itu," kataku pelan. Aku masih bisa merasakan makhluk
mengerikan itu meluncur di sepanjang pergelangan kakiku, masih merasakan mereka
merayap di antara kakiku, berderak di bawah sepatuku.
Aku tak berpikir bahwa aku akan bisa melupakan suara berderak itu.
"Apa yang kaulakukan di sini?" teriak Sari tak sabar, seakan memarahi anak-anak.
"Ayah dan aku telah mencari ke mana-mana."
Aku menariknya lebih menjauh dari kalajengking, ke tengah ruangan. "Bagaimana
kau bisa ke sini?" teriakku, berjuang untuk menenangkan napasku, berjuang untuk
menghentikan debaran hati di dadaku.
Dia menunjuk dengan senternya ke sebuah terowongan di sudut yang tak kulihat.
"Aku sedang mencarimu. Ayah dan aku terpisah. Apa kau percaya" Dia berhenti
untuk berbicara kepada seorang pekerja, dan aku tak menyadarinya. Saat aku
berbalik, ia sudah tak ada. Lalu aku melihat cahaya bergerak-gerak di dalam
sini. Kupikir itu adalah Ayah. "
"Kau juga tersesat?" tanyaku sambil menyeka butiran keringat dingin dari dahiku
dengan punggung tanganku.
"Aku tak tersesat. Kau yang tersesat," ia bersikeras. "Bagaimana kau bisa
melakukan itu, Gabe. Ayah dan aku benar-benar panik."
"Mengapa kalian tak menungguku?" tuntutku marah. "Aku memanggil kalian. Kalian
menghilang begitu saja."
"Kami tak mendengarmu," jawabnya, sambil menggeleng.
Aku benar-benar senang melihatnya. Tapi aku membenci caranya menatapku, seperti
aku orang tolol tak punya harapan. "Aku kira kami terlibat dalam perdebatan.
Kami pikir kau di belakang kami. Lalu saat kami berbalik, kau tak ada." Dia
mendesah dan menggeleng. "Hari apa ini!"
"Hari apa?" teriakku nyaring. "Hari apa?"
"Gabe, mengapa kau melakukan itu?" tuntut. "Kau tahu kita seharusnya tetap dekat
bersama-sama." "Hei - itu bukan salahku," aku bersikeras marah.
"Ayah begitu marah," kata Sari, menyorotkan cahaya senter ke wajahku.
Aku mengangkat lenganku untuk melindungi mataku. "Hentikan," bentakku. "Dia tak
akan marah saat ia melihat apa yang telah kutemukan. Lihatlah."
Aku menyorotkan senter ke satu mumi yang meringkuk dekat lubang getah, kemudian
berpindah ke mumi lain, yang satu ini berbaring, kemudian ke deretan peti mumi
di dinding. "Wow." Sari mengucapkan kata dengan diam-diam. Matanya terbelalak karena
terkejut. "Ya. Wow," kataku, mulai merasa sedikit lebih dari biasanya. "Ruangan ini penuh
dengan mumi. Dan ada semua jenis alat, kain dan segala yang dibutuhkan untuk
membuat mumi. Ini semua dalam kondisi sempurna, seperti belum tersentuh dalam
ribuan tahun." Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku. "Dan aku menemukan itu
semua," tambahku. "Ini mestinya (ruangan) di mana mereka mempersiapkan mumi untuk penguburan,"
kata Sari, matanya melirik dari satu mumi ke mumi lainnya. "Tapi kenapa beberapa
dari mereka berdiri seperti itu?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
Dia berjalan ke atas mengagumi tumpukan kain linen yang terlipat rapi. "Wow ini.
Menakjubkan, Gabe." "Luarbiasa!" Aku setuju. "Dan jika aku tak berhenti untuk mengikat sepatuku, aku
tak akan pernah menemukannya."
"Kau akan menjadi terkenal," kata Sari, satu senyum terbentang di wajahnya.
"Berterimakasihlah padaku karena menyelamatkan hidupmu."
"Sari -" Aku mulai.
Tapi dia telah pindah ke seberang ruangan dan mengagumi dari jarak dekat salah
satu mumi yang berdiri tegak. "Tunggu sampai Ayah melihat semua ini," katanya,
tiba-tiba terdengar bersemangat seperti aku.
"Kita harus memanggilnya," kataku bersemangat. Aku menoleh ke belakang ke sarang
kalajengking dan merasakan udara dinginnya ketakutan memperketat belakang
leherku. "Orang-orang begitu kecil waktu itu," katanya, memegang senter dekat ke wajah
mumi yang tertutup. "Lihat - Aku lebih tinggi dari yang satu ini."
"Sari, gunakan pagermu," kataku tak sabar, berjalan mendekatinya.
"Yuck. Ada serangga merangkak di wajah yang satu ini,." Katanya, melangkah
mundur dan menurunkan cahaya. Dia membuat wajah jijik. "Menjijikkan."
"Ayo. Gunakan pagermu.. Panggil Paman Ben," kataku. Aku meraih pager di
pinggang, tapi ia menarik diri.
"Oke, oke. Mengapa tak kau gunakan milikmu?" Dia menatapku curiga. "Kau lupa
tentang itu, Gabe. Bukan begitu!" tuduhnya.
"Tidak," jawabku tajam. "punyaku saat ketika aku jatuh ke tempat ini."
Dia menyeringai dan menarik pager itu dari ikat pinggangnya. Aku menyorotkan
senterku di atasnya saat ia menekan tombol. Dia menekan dua kali, hanya untuk
memastikan, kemudian dijepitkan kembali ke celana jeansnya.
Kami berdiri dengan tangan disilangkan, menunggu Paman Ben mengikuti sinyal
radio dan menemukan kami.
"Seharusnya ini tak butuh waktu lama," kata Sari, matanya ke sudut terowongan.
"Dia tak jauh di belakangku."
Benar saja, beberapa detik kemudian, kami mendengar suara seseorang mendekati
dalam terowongan. "Paman Ben!" teriakku penuh semangat. "Lihat apa yang kutemukan!"
Sari dan aku mulai berlari ke terowongan, lampu kami berkelok-kelok di atas
pintu masuk yang rendah. "Yah, kau tak akan percaya -" Sari mulai.
Dia berhenti ketika sosok tubuh yang berhenti membungkuk keluar dari kegelapan
dan berdiri tegak. Kami berdua ternganga ngeri, senter kami membuat wajah berkumisnya bersinar
menakutkan. "Itu Ahmed!" teriak Sari, meraih lenganku.
16 Aku menelan ludah. Sari dan aku saling menatap. Aku melihat wajahnya tegang ketakutan.
Ahmed. Dia telah mencoba untuk menculik kami. Dan sekarang dia mandapati kami sendirian
di sini. Dia melangkah maju, obor pilihannya terangkat tinggi di satu tangan. Rambut
hitamnya bersinar dalam lidah api yang berkelap-kelip. Matanya menyipit
mengancam kami. "Ahmed, apa yang kau lakukan di sini?" kata Sari, menggenggam tanganku begitu
keras, aku meringis. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya pelan, suaranya sedingin matanya.
Memegang obor di depannya, ia melangkah ke dalam ruangan. Matanya berkeliling
ruangan, seolah-olah memeriksa, memastikan bahwa tak ada yang dipindahkan.
"Ayahku akan berada di sini dalam sedetik," kata Sari kepadanya. "Aku
menyerantanya." "Aku telah mencoba untuk memperingatkan ayahmu," kata Ahmed, menatap keras pada
Sari. Kelap-kelip oranye dari lampu obor membuatnya semakin terang, kemudian
memudar menjadi bayangan.
"Memperingatkannya?" tanya Sari.
"Tentang kutukan itu," kata Ahmed tanpa emosi.
"Paman Ben menyebutkan beberapa macam kutukan padaku," kataku, sambil melirik
cemas pada Sari. "Aku tak berpikir ia menganggap hal-hal semacam itu dengan
serius." "Dia harus!" jawab Ahmed, meneriakkan kata-kata, matanya bersinar dengan
kemarahan dalam cahaya obor.
Sari dan aku balas menatapnya dalam keheningan.
Dimana Paman Ben" Aku bertanya-tanya.
Apa yang menahannya"
Cepat, aku diam-diam memohon. Kumohon - cepatlah!
"Kutukan harus dilaksanakan," kata Ahmed lagi, pelan hampir-hampir sedih. "Aku
tak punya pilihan kalian telah melanggar ruangan pendeta wanita itu.."
"Pendeta wanita?" Aku tergagap.
Sari masih meremas lenganku. Aku menariknya menjauh. Shari menyilangkan
tangannya dengan pasti di atas dadanya.
"Ruangan ini milik Pendeta wanita Khala," kata Ahmed, menurunkan obor. "Ini
adalah Kamar Persiapan suci dari Pendeta Khala, dan kalian telah melanggarnya."
"Yah, kami tak tahu," bentak Sari. "Aku benar-benar tak melihat apa masalahnya,
Ahmed."
Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia benar," kataku cepat. "Kami tak menyentuh apa-apa. Kami tak memindahkan
apapun. Aku tak berpikir -.."
"Tutup mulutmu, goblok!" jerit Ahmed. Dia mengayunkan obor dengan marah seolah
mencoba memukul kami. "Ahmed, ayahku akan berada di sini setiap saat," ulang Sari, suaranya gemetar.
Kami berdua memutar mata kami ke terowongan. Gelap dan sunyi.
Tak ada tanda Paman Ben. "Ayahmu orang yang pintar," kata Ahmed. "Sayang sekali ia tidak cukup cerdas
untuk mengindahkan peringatanku."
"Peringatan?" tanya Sari.
Aku menyadari bahwa ia mengulur-ulur waktu, mencoba untuk tetap membuat Ahmed
berbicara sampai Paman Ben tiba.
"Aku menakut-nakuti dua pekerja itu," aku Ahmed pada Sari. "Aku takut mereka
menunjukkan pada ayahmu bahwa kutukan itu masih hidup, bahwa aku siap untuk
melaksanakan keinginan Khala itu."
"Bagaimana kau menakut-nakuti mereka?" Sari menuntut.
Dia tersenyum. "Aku memberi mereka satu demonstrasi kecil. Aku menunjukkan pada
mereka bagaimana rasanya jika direbus hidup-hidup." Lalu matanya beralih ke
lubang getah. "Mereka tak menyukainya," tambahnya pelan.
"Tapi, Ahmed -" Sari mulai.
Dia memotongnya. "Ayahmu seharusnya tahu lebih baik daripada kembali ke sini.
Dia harus percaya padaku. Dia seharusnya percaya pada kutukan Pendeta itu.
Pendeta itu mengutuk semua orang yang melanggar ruangannya."
"Tapi, ayolah, kau tak benar-benar percaya -" aku memulai.
Dia mengangkat obor mengancam. "Itu ditetapkan oleh Pendeta Khala lebih dari
empat ribu tahun yang lalu bahwa ini ruangan yang suci tak boleh dilanggar,"
teriaknya, memberi isyarat dengan obor, meninggalkan jejak cahaya oranye melawan
kegelapan. "Sejak saat itu, dari generasi ke generasi, anak cucu Khala telah
memastikan bahwa perintah Pendeta itu dipatuhi."
"Tapi, Ahmed -" teriak Sari.
"Sampai kepadaku," lanjutnya, mengabaikan, mengabaikan kami berdua, menatap
langit-langit saat ia berbicara, seolah-olah berbicara langsung kepada Pendeta
itu di langit. "Sampai kepadaku sebagai keturunan Khala untuk memastikan kutukan
itu dilaksanakan." Aku menatap melewati Ahmed ke terowongan. Masih tak ada tanda-tanda dari Paman
Ben. Apakah dia akan datang" Apakah pager Sari bekerja"
Apa yang menahannya"
"Aku mengajukan diri untuk bekerja untuk ayahmu untuk memastikan bahwa tempat
suci Khala ini tak dilanggar," lanjut Ahmed, bayangan-bayangan berkelap-kelip di
wajah mengancamnya. "Ketika dia tak mengindahkan peringatanku, aku harus
mengambil tindakan. Aku menakut-nakuti kedua pekerja itu. Lalu aku berencana
untuk membawa pergi kalian, untuk menyembunyikan kalian sampai ia setuju untuk
menghentikan pekerjaannya."
Dia menurunkan obor. Wajahnya dipenuhi dengan kesedihan. "Sekarang, aku tak
punya pilihan. Aku harus melaksanakan tugas yang suciku. Aku harus menjaga janji
kuno untuk Khala." "Tapi apa artinya itu?" teriak Sari. Sinar obor oranye itu mengungkapkan
ekspresi ketakutannya. "Apa artinya?" Ahmed diulang. Dia menunjuk dengan obor. "Lihatlah di sekeliling
kalian." Kami berdua berbalik dan melirik cepat ke seluruh ruangan. Tapi kami tak
mengerti. "Mumi-mumi itu," jelasnya.
Kami masih tak mengerti. "Ada apa dengan mumi-mumi itu?" Aku berhasil bicara terbata-bata.
"Mereka semua pelanggar ruangan Pendeta ini," ungkap Ahmed. Senyum tipis yang
terbentuk di wajahnya hanya bisa digambarkan sebagai senyum bangga.
"Maksudmu - mereka bukan dari Mesir kuno?" teriak Sari, mengangkat tangannya
dengan ngeri ke wajahnya.
"Sebagian dari mereka," jawab Ahmed, masih tersenyum, senyum menakutkan, senyum
dingin. "Beberapa dari mereka penyusup kuno. Beberapa dari mereka baru-baru ini.
Tapi mereka semua memiliki satu kesamaan. Mereka semua menjadi korban kutukan
itu. Dan mereka semua dijadikan mumi hidup-hidup" "
"Tidak!" Aku menjerit tanpa sadar.
Ahmed mengabaikan ledakan ketakutanku.
"Aku melakukan yang satu itu sendirian," katanya, menunjuk ke sebuah mumi yang
berdiri kaku saat memperhatikan di tepi lubang getah.
"Oh, betapa mengerikan!" teriak Sari, suaranya gemetar.
Aku menatap penuh harap pada lubang terowongan belakang Ahmed. Tapi masih belum
ada tanda-tanda Paman Ben.
"Hari ini, aku harus bekerja lagi," Ahmad mengumumkan. Hari ini akan ada mumi
yang baru. Piala baru untuk Khala. "
"Kau tak bisa melakukan itu!" jerit Sari menjerit.
Aku meraih tangannya. Untuk ketakutanku, aku sekarang benar-benar mengerti. Aku mengerti mengapa
beberapa mumi itu masih dalam kondisi baik.
Mereka baru. Semua alat-alat itu, getah, linen - telah digunakan oleh keturunan Khala,
keturunan seperti Ahmed. Sejak jaman Khala, siapa saja yang telah memasuki
ruangan itu - ruangan dimana kami sekarang berdiri - telah dijadikan mumi.
Hidup-hidup. Dan sekarang Sari dan aku juga akan menjadi mumi.
"Ahmed, kau tak bisa!" teriak Sari. Dia melepaskan tanganku dan mengepalkan
tinjunya dengan marah di pinggangnya.
"Ini adalah kehendak Khala," jawabnya pelan, matanya yang gelap bersinar dalam
cahaya obor. Aku melihat sebuah belati berbilah panjang muncul di tangannya yang bebas. Pisau
itu menangkap cahaya dari obor.
Sari dan aku sama-sama mundur selangkah, Ahmad mulai bergerak ke arah kami
dengan cepat, langkah-langkah pasti.
17 Saat Ahmed mendekat, Sari dan aku mundur bersembunyi ke tengah ruangan.
Lari, pikirku. Kita bisa lari darinya. Mataku dengan panik mencari tempat agar kami bisa melarikan diri melaluinya.
Tapi tak ada jalan keluar.
Terowongan di sudut tampak lubangnya saja. Dan kami harus lari tepat melewati
Ahmed untuk sampai ke sana.
Sari, aku lihat, dengan panik menekan pager di pinggangnya. Dia melirik ke
arahku, wajahnya tegang ketakutan.
"Yowwww!" Aku menjerit saat aku tiba-tiba mundur ke seseorang.
Aku berbalik dan menatap ke wajah mumi yang diperban.
Dengan terkesiap keras, aku meluncur menjauhinya.
"Ayo kita lari ke terowongan," bisikku pada Sari, tenggorokanku begitu kering
dan ketat, aku nyaris tak bisa mendengar sendiri (suaraku). "Dia tak bisa
menangkap kita berdua."
Sari menatap ke arahku, bingung. Aku tak tahu apakah ia mendengarku atau tidak.
"Jangan lari," kata Ahmed pelan, seolah-olah membaca pikiranku. "Tidak ada yang
bisa melarikan diri dari kutukan Khala itu."
"Dia - dia akan membunuh kita!" jerit Sari.
"Kalian telah melanggar ruangan sucinya," kata Ahmed, menaikkan tinggi obor,
memegang belati itu di pinggangnya.
Dia melangkah lebih dekat. "Aku melihatmu kemarin naik ke sarkofagus (peti mati
dari batu) suci. Aku melihat kalian berdua bermain-main di ruang suci Khala.
Saat itulah aku tahu aku harus melaksanakan tugas suciku -..."
Sari dan aku sama-sama berteriak saat sesuatu yang turun dari langit-langit
ruangan. Kami bertiga mendongak melihat tangga tali menggantung dari lubang dimana aku
jatuh. Tali berayun berayun bolak-balik saat diturunkan hampir ke lantai.
"Apakah kalian di sana aku" Aku akan turun!" teriak Paman Ben pada kami.
"Paman Ben - jangan!" jeritku.
Tapi dia sudah bergerak menuruni tangga tali, turun dengan cepat, tangga itu
bawah berat badannya. Ditengah, ia berhenti dan mebatap ke dalam ruangan. "Ada apa ini -?" teriaknya,
matanya menjelajahi pemandangan yang menakjubkan.
Dan kemudian ia melihat Ahmed.
"Ahmed, apa yang kau lakukan di sini?" Teriak Paman Ben terkejut. Dia cepat-
cepat menurunkan dirinya ke lantai, melompat menuruni tiga anak tangga terakhir.
"Hanya melaksanakan keinginan Khala," kata Ahmed, wajahnya tanpa ekspresi
sekarang, matanya menyipit mengantisipasi.
"Khala" Pendeta itu?" Paman Ben wajahnya berkerut kebingungan.
"Dia akan membunuh kita!" teriak Sari, bergegas ke ayahnya, melemparkan
lengannya di pinggang ayahnya. "Yah - dia akan membunuh kita. Dan kemudian
mengubah kita menjadi mumi!"
Paman Ben mememegang Sari dan melihat dari balik bahunya menuduh di Ahmed.
"Apakah itu benar?"
"Ruangan ini telah dilanggar. Ini bukan salahku, Dokter, untuk melaksanakan
kutukan." Paman Ben menaruh tangannya di bahu Sari yang gemetar dan dengan pelan
dipindahkan ke samping. Lalu ia mulai berjalan perlahan-lahan, terus, menuju
Ahmed. "Ahmed, mari kita keluar dari sini dan membicarakan hal ini," katanya,
mengangkat tangan kanannya seolah-olah menawarkan persahabatan.
Ahmed mundur selangkah, mengangkat obor sambil mengancam. "Kemauan Pendeta tak
boleh diabaikan." "Ahmed, kau adalah ilmuwan, dan begitu juga aku," kata Paman Ben.
Aku tak percaya betapa tenang suaranya. Aku bertanya-tanya apakah itu suatu
akting. Pemandangan yang menegangkan. Kami benar-benar berada dalam bahaya yang
mengerikan. Tapi aku merasa sedikit lebih tenang mengetahui bahwa pamanku di sini, tahu
bahwa ia akan mampu menangani Ahmed dan membawa kita keluar dari sini - hidup-
hidup. Aku melirik menenangkan Sari, yang sedang menatap tajam, menggigit bibir
bawahnya dalam konsentrasi tegang saat ayahnya mendekati Ahmed.
"Ahmed, letakkan obor itu," desak Paman Ben, tangannya memanjang. "Belatinya,
juga. Kumohon. Mari kita bahas ini antar ilmuwan"
"Apa yang dibahas?"tanya Ahmed pelan, matanya ke arah Paman Ben mempelajari
dengan seksama. "Kehendak Khala harus dilakukan, seperti yang telah ada selama
empat ribu tahun. Itu tidak dapat didiskusikan."
"Antara sesama ilmuwan, " ulang Paman Ben, kembali menatap Ahmed seolah
menantangnya. "Kutukan itu sudah kuno. Khala sudah melakukannya selama
berabad-abad. Mungkin sudah waktunya untuk membiarkannya beristirahat. Turunkan
senjatamu, Ahmed. Ayo kita bicarakan hal ini. Antara sesama ilmuwan."
Ini akan baik-baik saja, pikirku, menarik napas panjang lega. Semuanya akan
baik-baik saja. Kami akan keluar dari sini.
Tapi kemudian Ahmed pindah dengan kecepatan mengejutkan.
Tanpa peringatan, tanpa perkataan, ia memundurkan lengan dan, mencengkeram
pegangan obor dengan kedua tangan, mengayunkan sekeras-kerasnya ke kepala Paman
Ben. Obor itu membuat suara keras saat mengenai sisi wajah Paman Ben.
Api menari-nari sampai oranye.
Satu pusaran berwarna cerah.
Dan kemudian bayangan-bayangan.
Paman Ben mengerang. Matanya melotot lebar terkejut.
Dengan rasa sakit. Obor tak membakarnya. Tapi hembusannya itu merobohkannya.
Dia merosot ke lututnya. Lalu matanya terpejam, dan dia jatuh lemas ke lantai.
Ahmed mengangkat obor tinggi, matanya bersinar gembira, dengan kemenangan.
Dan aku tahu kami tertimpa malapetaka.
18 "Ayah!" Sari bergegas ke ayahnya dan berlutut di sisinya.
Tapi Ahmed bergerak cepat, mengayunkan obor ke arahnya, siap memegang belati,
memaksanya untuk mundur. Setetes darah tipis, bersinar gelap dalam cahaya api, mengalir di sisi wajah
Paman Ben. Dia mengerang, tapi tak bergerak.
Aku melirik cepat pada mumi-muni tersebar di seluruh ruangan. Sulit yang untuk
percaya bahwa kita akan segera menjadi salah satu dari mereka.
Aku berpikir untuk melompati Ahmed, mencoba untuk merobohkannya.. Kubayangkan
meraih obor, mengayunkannya kepadanya, memaksanya ke dinding. Memaksanya untuk
membiarkan kami lolos. Tapi pisau belati itu berpendar, seakan memperingatkan aku untuk tetap mundur.
Aku hanya anak kecil, pikirku.
Pikiran bahwa aku bisa mengalahkan seorang pria dewasa dengan pisau dan obor
adalah gila. Gila. Semua pemandangan ini gila. Dan mengerikan.
Aku tiba-tiba merasa sakit. Perutku menegang, dan rasa mual melandaku.
"Biarkan kami pergi -! Wow" teriak Sari pada Ahmed.
Mengejutkan, Ahmed bereaksi dengan mengayunkan obor kembali dan membuatnya ke
seberang ruangan. Obor itu mendarat dengan suara celepuk pelan di tengah lubang getah. Seketika,
permukaan getah itu terbakar. Kobaran api menyebar, melompat ke arah langit-
langit ruang, sampai seluruh lubang persegi itu terbakar.
Saat aku menatap dengan takjub, getah itu menggelegak dan menggelembung di bawah
kobaran api oranye dan merah yang menutupinya.
"Kita harus menunggunya mendidih," kata Ahmed dengan tenang, bayangan-bayangan
tertangkap oleh api yang berkelap-kelip di wajah dan pakaiannya.
Ruangan menjadi berkabut asap. Sari dan aku sama-sama mulai batuk.
Ahmed membungkuk dan menaruh tangannya di bawah bahu Paman Ben. Dia mulai
menyeretnya di lantai. "Biarkan saja dia!" teriak Sari, berlari dengan panik ke arah Ahmed.
Aku melihat bahwa ia akan mencoba melawannya.
Aku meraih bahunya dan menahannya.
Kami bukan tandingan Ahmed. Dia telah merobohkan Paman Ben hingga tak sadar. Tak
ada yang tahu apa yang akan dilakukannya pada kami.
Sambil memegangi Sari, aku menatap Ahmed. Apa yang rencananya sekarang"
Tak butuh waktu lama untuk mencari tahu.
Dengan kekuatan yang mengejutkan, ia menarik Paman Ben melewati lantai ke salah
satu peti mumi yang terbuka ti dinding. Lalu ia mengangkatnya ke situ dan
mendorongnya ke dalam peti ini. Bahkan tanpa sedikit pun mengeluarkan napas,
Ahmed mendorong tutupnya menutup di atas pamanku yang pingsan.
Lalu ia berpaling kepada kami. "Kalian berdua - ke mumi yang itu." Dia menunjuk
ke sebuah peti mumi yang besar di atas alas tinggi di samping Paman Ben. Peti
itu hampir setinggi aku, dan setidaknya panjangnya sepuluh kaki. Pasti telah
dibangun untuk menahan seorang yang akan dijadikan mumi - dan semua barang
miliknya. "Lepaskan kami!" Sari bersikeras. "Biarkan kami keluar dari sini. Kami tak akan
memberitahu siapa pun apa yang terjadi. Sungguh!"
"Silakan naik ke dalam peti ini," tegas Ahmed tak sabar. "Kita harus menunggu
hingga getah itu siap."
"Kami tak akan ke sana," kataku.
Seluruh tubuhku gemetar. Aku bisa merasakan darah berdenyut di pelipisku. Aku
bahkan tak menyadari aku mengatakan apa yang kukatakan. Aku sangat takut, aku
bahkan tak bisa mendengar diriku sendiri.
Aku melirik Sari. Dia berdiri menantang dengan tangan bersedekap erat di atas
dadanya. Tapi meskipun dia bersikap berani, aku bisa melihat dagunya gemetar dan
matanya mulai berlinang air mata.
"Ke peti," ulang Ahmed, "tunggu nasib kalian. Khala tak akan terus menunggu.
Kutukan kuno akan dilakukan atas namanya."
"Tidak!" Aku berteriak marah.
Aku berjinjit dan menatap ke peti mumi besar itu. Baunya sangat asam di sana,
aku hampir terlempar. Peti ini terbuat dari kayu. Melengkung, kotor dan dalamnya terkelupas. Dalam
cahaya berkedip-kedip, aku yakin aku melihat puluhan serangga merayap di sana.
"Ayo ke dalam peti itu sekarang!" tuntut Ahmed.
19
Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sari naik ke sisi atas dan menurunkan dirinya ke peti mumi kuno itu. Dia selalu
ingin menjadi yang pertama dalam segala hal. Tapi sekali ini adalah salah satu
waktu dimana aku tak keberatan.
Aku ragu-ragu, menyandarkan tanganku di atas kayu yang membusuk di sisi peti.
Aku melirik ke peti berikutnya, peti dengan Paman Ben dalamnya. Peti itu dari
batu berukir, dan tutup batu berat telah menutupinya, menyegelnya dengan kuat.
Apa Paman Ben punya udara di sana" Aku bertanya-tanya, dicekam ketakutan. Apakah
ia bisa bernapas" Dan, lalu, aku berpikir muram, apa bedanya" Kami bertiga akan segera mati. Kami
bertiga akan menjadi mumi, dikurung dalam ruangan tersembunyi ini selamanya.
"Masuk - sekarang!" Ahmed memerintahkan, matanya yang gelap menyala kepadaku.
"Aku - aku hanya anak kecil!" teriakku. Aku tak tahu darimana kata-kata itu
dari. Aku sangat takut, aku benar-benar tak tahu apa yang kukatakan.
Satu cibiran tak menyenangkan terbentuk di wajah Ahmed. "Banyak dari firaun
(raja Mesir) seumurmu saat mati," katanya.
Aku ingin tetap membuatnya berbicara. Aku punya ide putus asa bahwa jika aku
bisa membuat percakapan terjadi, aku bisa membawa kami keluar dari kekacauan
ini. Tapi aku tak bisa memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Otakku membeku.
"Masuk," perintah Ahmed, bergerak ke arahku mengancam.
Merasa benar-benar kalah, aku meluncurkan satu kakiku ke samping peti mati busuk
itu, mengangkat diri, dan kemudian turun di samping Sari.
Dia menundukkan kepalanya, dan matanya tertutup rapat. Kupikir dia sedang
berdoa. Dia tak melirik, bahkan saat aku menyentuh bahunya.
Tutup peti mulai meluncur di atas kami. Hal terakhir yang kulihat adalah nyala
api merah melompat-lompat di atas lubang getah. Kemudian tutupnya menutupi kami
ke dalam kegelapan penuh.
"Gabe..." Sari bisik beberapa detik setelah tutupnya ditutup. "Aku takut."
Untuk beberapa alasan, pengakuannya membuatku tertawa terkekeh. Dia mengatakan
itu dengan terkejut. Seolah-olah takut adalah pengalaman baru yang mengejutkan.
"Aku terlalu takut untuk menjadi takut," bisikku kembali.
Dia meraih tanganku dan meremasnya. Tangannya bahkan lebih dingin dan lebih
basah dariku. "Dia gila," bisiknya.
"Ya aku tahu,." Jawabku, masih memegang tangannya.
"Kupikir ada serangga di sini," katanya dengan gemetar. "Aku bisa merasakan
mereka merayap padaku."
"Aku juga," kataku. Aku menyadari bahwa aku menggertakkan gigi. Aku selalu
melakukan itu saat aku gugup. Dan sekarang aku lebih gugup daripada yang kupikir
mungkin secara manusiawi.
"Kasihan Ayah," kata Sari.
Udara dalam peti mati itu sudah mulai terasa pengap dan panas. Aku mencoba
mengabaikan bau asam menjijikkan, tetapi bau itu telah bergerak perlahan-lahan
ke dalam lubang hidungku, dan aku bahkan bisa mencicipinya. Aku menahan napas
agar tak tersedak. "Kita akan mati lemas di sini," kataku murung.
"Dia akan membunuh kita sebelum kita bisa mati lemas," keluh Sari. "Aduh!" Aku
bisa mendengar menampar seekor serangga di lengannya.
"Mungkin sesuatu akan terjadi," kataku. Cukup bodoh. Tapi aku tak bisa
memikirkan harus berkata apa lagi. Aku tak bisa berpikir. Titik.
"Semua yang terus kupikirkan adalah bagaimana ia akan merogoh otakku dan
menariknya keluar melalui hidungku," keluh Sari. "Mengapa kau harus
memberitahuku, Gabe?"
Aku butuh waktu untuk menjawab. Lalu, aku hanya bisa berkata, "Maaf." Aku mulai
membayangkan hal yang sama, dan gelombang mual lainnya melandaku.
"Kita tak bisa hanya duduk di sini," kataku. "Kita harus melarikan diri." Aku
mencoba mengabaikan bau tebal dan asam.
"Hah" Bagaimana?"
"Mari kita coba mendorong tutupnya," kataku. "Mungkin kalau kita dorong bersama-
sama..." Aku menghitung sampai tiga dalam bisikan pelan, dan kami berdua meluruskan
tangan kami ke bagian atas peti mati dan mendorongnya sekeras yang kami bisa.
Tidak. Tutup itu tak akan bergeming.
"Mungkin dia menguncinya atau menempatkan sesuatu yang berat di atasnya," saran
Sari dengan desahan sedih.
"Mungkin," jawabku, merasa seperti menderita.
Kami duduk dalam keheningan untuk sementara waktu. Aku bisa mendengar napas
Sari. Dia seperti terisak-isak saat dia bernapas. Aku sadar jantungku berpacu.
Aku bisa merasakan pelipisku berdenyut.
Aku membayangkan kait panjang yang akan Ahmed gunakan pada otak kami untuk
menariknya keluar dari kepala kami. Aku mencoba untuk memaksa pikiran itu keluar
dari pikiranku, tetapi tak mau hilang.
Aku teringat satu mumi pada dua Halloweens lalu, dan bagaimana kostum itu
terlepas di depan teman-temanku.
Sedikit yang kuketahui kemudian bahwa aku akan segera memiliki kostum mumi yang
tak akan pernah terlepas.
Waktu pun berlalu. Aku tak tahu berapa lama.
Aku menyadari bahwa aku telah duduk dengan menyilangkan kaki. Sekarang kakiku
mulai kesemutan. Aku meluruskannya dan meregangkannya keluar. Peti mumi ini
begitu besar, Sari dan aku berdua bisa menjatuhkannya jika kami inginkan.
Tapi kita terlalu tegang dan takut untuk berbaring.
Aku adalah yang pertama untuk mendengar suara garukan. Seperti sesuatu yang
memanjat dengan cepat di dalam peti mumi.
Pada awalnya kupikir itu Sari. Tapi dia meraih tanganku dengan tangannya yang
dingin, dan aku sadar, ia tak bergerak dari di depanku.
Kami berdua mendengar suara keras.
Sesuatu di dekat kami, sesuatu tepat di samping kami, menabrak sisi peti.
Sebuah mumi" Apa ada mumi dalam peti ini dengan kami"
Bergerak" Aku mendengar erangan pelan.
Sari meremas tanganku begitu erat, sakit, dan aku menjerit tajam.
Suara lain. Lebih dekat. "Gabe -" bisik Sari, suaranya kecil dan melengking. "Gabe - ada sesuatu di sini
bersama kita!" 20 Ini bukan mumi, aku berkata pada diriku sendiri.
Tidak bisa. Ini serangga. Seekor serangga yang sangat besar. Bergerak di lantai peti mati.
Ini bukan mumi. Ini bukan mumi.
Kata-kata itu berulang-ulang dalam pikiranku.
Aku tak terlalu lama untuk memikirkan benda itu. Apa pun itu merayap mendekat.
"Hei!" bisik sebuah suara.
Sari dan aku sama-sama memjerit.
"Di mana kalian?"
Kami mengenali suara itu segera.
"Paman Ben!" teriakku, menelan ludah, jantungku berdebar-debar.
"Ayah!" Sari menerjang lebih melewatiku untuk mendapatkan ayahnya.
"Tapi bagaimana?" Aku tergagap. "Bagaimana Anda bisa di sini?"
"Mudah," jawabnya, meremas bahuku meyakinkan.
"Ayah - aku tak percaya!" Sari meratap. Aku tak bisa melihat dalam kegelapan
peti tertutup, tapi kupikir dia menangis.
"Aku baik-baik saja. Aku baik-baik," ulangnya beberapa kali, mencoba
menenangkannya. "Bagaimana kau bisa keluar dari peti itu dan ke dalam peti yang satu ini?" Aku
bertanya, benar-benar bingung dan takjub.
"Ada jalan keluar," kata Paman Ben. "Satu lubang kecil dengan jalan keluar.
Orang-orang Mesir membangun pintu keluar tersembunyi dan melarikan diri dari
dalam kebanyakan peti mumi mereka mumi. Untuk jiwa mayat itu agar bisa pergi."
"Wow," kataku. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Ahmed begitu terjebak dalam omong kosong kutukan kuno itu, ia lupa tentang
rincian kecil ini," kata Paman Ben, aku merasakan tangannya di bahuku lagi.
"Ayolah, kalian berdua. Ikuti aku."
"Tapi dia di luar sana -" aku mulai.
"Tidak," jawab Paman Ben cepat. "Dia menyelinap pergi. Ketika aku turun dari
petiku, aku mencarinya. Aku tak melihatnya di mana pun. Mungkin ia pergi ke
tempat lain sementara dia menunggu getah itu untuk mendapatkan panas yang cukup.
Atau mungkin dia memutuskan untuk cukup meninggalkan kita mati lemas dalam peti-
peti mumi itu. " Aku merasa seekor serangga meluncur di kakiku. Aku menamparnya, kemudian mencoba
untuk menariknya keluar dari dalam kaki celana jinsku.
"Kita pergi keluar," kata Paman Ben.
Aku mendengar dia mengerang saat ia berbalik dalam peti mati besar itu. Lalu aku
bisa mendengarnya merangkak ke belakang.
Aku melihat sebuah persegi panjang kecil bercahaya saat ia membuka pintu
tersembunyi di belakang peti ini. Itu adalah lubang pelarian yang sangat kecil,
hanya cukup besar bagi kami untuk melaluinya dengan menekan tubuh.
Aku mengikuti Paman Ben dan Sari keluar dari peti ini, meluruskan diri untuk
merangkak keluar melewati lubang kecil itu, kemudian menjatuhkan diriku ke
posisi merangkak di lantai kamar.
Butuh beberapa saat bagi mataku untuk menyesuaikan diri dengan (cahaya yang)
terang. Api merah masih menari-nari di atas lubang getah yang menggelembung, bayangan-
bayangan biru menakutkan tampak pada ke empat dinding ruangan. Mumi-mumi berdiri
seperti sebelumnya, membeku di tempat di sekeliling ruangan, bayangan-bayangan
berkelap-kelip pada wajah-wajah tak lengkap mereka.
Saat matatu mulai terfokus, aku melihat bahwa Paman Ben terluka memar besar
gelap di sisi kepalanya. Satu koyakan lebar dengan darah yang mengering
mencoreng pipinya. "Ayo keluar dari sini sebelum Ahmed kembali," bisiknya, berdiri antara kita,
satu tangan pada setiap bahu kami.
Sari tampak pucat dan gemetar. Bibir bawahnya berdarah karena kunyahan padanya
begitu keras. Paman Ben mulai menuju tangga tali di tengah ruangan, tapi kemudian berhenti.
"Ini akan butuh waktu terlalu lama," katanya, berpikir keras. "Ayo. Ke
terowongan. Cepat." Kami bertiga mulai berlari menuju terowongan di sudut (ruangan). Melihat ke
bawah, kulihat bahwa tali sepatu bodohku terlepas lagi. Tapi tak mungkin bagiku
untuk berhenti mengikatnya!
Kami akan keluar dari sini!
Beberapa detik sebelumnya, aku telah kehilangan harapan. Tapi sekarang, di sini
kami keluar dari peti mumi dan menuju kebebasan.
Kami hanya beberapa meter di depan pintu masuk terowongan saat terowongan itu
tiba-tiba dipenuhi dengan cahaya oranye.
Kemudian, dari luar terowongan, Ahmed muncul, memegang obor baru di depannya,
nyala api itu menunjukkan wajahnya yang tampak terkejut.
"Tidak!" Sari dan aku berteriak serempak.
Kami bertiga tergelincir berhenti tepat di depannya.
"Kalian tak bisa kabur!"kata Ahmed pelan, cepat mendapatkan kembali
ketenangannya, ekspresinya kagetnya menegang menjadi kemarahan. "Kalian tak bisa
lolos!" Dia mendorongkan obor ke arah Paman Ben, yang dipaksa untuk jatuh ke belakang,
menjauh dari jangkauan api mendesis. Dia mendarat keras di sikunya dan berteriak
kesakitan. Teriakannya menyebabkan senyum muram di bibirAhmed. "Kau telah membuat marah
Khala," katanya, mengangkat obor di atas kepalanya dan meraih ujung sarung
belati di pinggangnya. "Kau tak akan bergabung dengan pelanggar lain dari
ruangan ini." Wah. Aku menarik napas lega.
Ahmed telah berubah pikiran. Dia mempertimbangkan tak akan mengubah kita menjadi
mumi. "Kalian bertiga akan mati di lubang getah," katanya.
Sari dan aku bertukar pandang ngeri. Paman Ben kembali berdiri dan melingkarkan
lengannya di sekeliling kami. "Ahmed, tidak bisakah kita berbicara tentang ini
dengan tenang dan rasional sebagai ilmuwan?" tanyanya.
"Ke lubang getah," perintah Ahmed, dengan marah menyodorkan obor menyala pada
kami. "Ahmed - kumohon!" teriak Paman Ben dengan merengek dengan nada ketakutan yang
tak pernah kudengar darinya sebelumnya.
Ahmed mengabaikan permintaan putus asa Paman Ben. Mendorong obor di punggung
kami dan memberi isyarat dengan belati berbilah panjang, ia memaksa kami untuk
berjalan ke tepi lubang. Getah itu menggelegak ribut sekarang, membuat letupan jelek dan suara menghisap.
Lidah api melintas puncaknya yang rendah dan merah,
Aku mencoba menariknya kembali. Baunya begitu buruk. Dan uapnya begitu panas,
membuat wajahku (serasa) terbakar.
"Satu demi satu, kalian akan melompat," kata Ahmed.
Dia berdiri beberapa kaki di belakang kami saat kami menatap ke dalam getah yang
menggelegak itu. "Jika kalian tak melompat, aku terpaksa mendorong kalian."
"Ahmed -" Paman Ben memulai. Tapi Ahmed menyentuhkan obor ke punggung Paman Ben.
"Telah datang giliranku," kata Ahmed khidmat. "Kehormatan untuk melakukan
keinginan Khala itu."
Uap getah itu begitu luar biasa, kupikir aku akan pingsan. Lubang itu mulai
miring di depanku. Aku merasa sangat pusing.
Aku memasukkan tanganku ke saku celana jeans, kurasa untuk menenangkan diriku
sendiri. Dan tanganku berakhir pada sesuatu yang telah kulupakan.
Summoner (Si Pemanggil). Tangan mumi yang kubawa ke mana-mana.
Aku tak yakin mengapa - aku tak berpikir jernih sama sekali - tetapi aku menarik
tangan mumi kecil itu. Aku berputar cepat. Dan aku menahan tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Aku tak bisa benar-benar menjelaskan apa yang terjadi dalam pikiranku. Aku
begitu takut, begitu penuh dengan rasa takut, aku telah berpikir seratus hal
sekaligus. Mungkin kuberpikir tangan mumi itu akan mengalihkan perhatian Ahmed.
Atau menarik baginya. Atau membingungkan dia. Atau membuatnya takut. Mungkin aku hanya mengulur-ulur waktu.
Atau mungkin aku tanpa sadar mengingat legenda di balik tangan itu yang
diceritakan anak di bengkel lelang padaku.
Legenda mengapa tangan itu disebut Summoner.
Bagaimana tangan itu digunakan untuk memanggil jiwa-jiwa dan roh-roh kuno.
Atau mungkin aku tak berpikir apa-apa.
Tapi aku berbalik dan mencengkeramnya dengan pergelangan tangan yang ramping,
memegang tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Dan menunggu. Ahmed menatapnya. Tapi tak terjadi apa-apa.
21 Aku menunggu, berdiri di sana seperti Patung Liberty dengan tangan kecil itu
terangkat tinggi di atas kepalaku.
Tampaknya seolah-olah aku berdiri seperti itu selama berjam-jam.
Sari dan Paman Ben menatap tangan itu.
Menurunkan obor beberapa inci, Ahmed memicingkan mata di tangan mumi. Kemudian
matanya melebar, dan mulutnya ternganga kaget.
Ia berteriak. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Kata-kata itu dalam bahasa
yang belum pernah kudengar. Mungkin bahasa Mesir Kuno.
Dia melangkah mundur, ekspresi terkejut dengan cepat digantikan oleh pandangan
mata melebar ketakutan. "Tangan Pendeta itu!" teriaknya.
Setidaknya, itulah yang kupikir dia jeritkan - karena aku tiba-tiba terganggu
oleh apa yang terjadi di belakangnya.
Sari menjerit pelan. Kami bertiga menatap melewati bahu Ahmed tak percaya.
Satu mumi yang bersandar di dinding tampaknya condong ke depan.
Mumi lain yang berbaring terlentang, perlahan-lahan duduk, berderit seperti
bangkit sendiri. "Tidak!" teriakku, masih memegangi tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Sari dan Paman Ben ternganga dengan mata melebar saat ruang yang luas itu
Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipenuhi dengan gerakan. Saat mumi-mumi itu berderit dan mengerang hidup.
Udara penuh dengan bau tengik debu kuno dari pembusukan.
Dalam cahaya remang-remang, aku melihat satu mumi, lalu mumi lainnya, berdiri
tegak, berdiri tinggi. Mereka mengulurkan tangan diperban mereka di atas kepala-
kepala tak lengkap mereka. Perlahan-lahan. Menyakitkan.
Berjalan sempoyongan, bergerak kaku, mumi-mumi terhuyung-huyung ke depan.
Aku menyaksikan, membeku dengan takjub, saat mereka keluar dari peti mumi,
bangkit dari lantai, membungkuk ke depan, mengambil langkah lambat pertama
mereka, langkah-langkah berat, otot-otot mereka mengerang, debu beterbangan dari
mayat-mayat kering mereka.
Mereka sudah mati, pikirku.
Mereka semua. Mati. Mati selama bertahun-tahun.
Tapi sekarang mereka bangkit, naik dari peti mati kuno mereka, berjuang dengan
susah payah ke arah kami dengan kaki-kaki mati mereka yang berat.
Kaki diperban mereka menggaruk lantai ruangan saat mereka berkumpul dalam
kelompok. Garuk. Garuk. Garuk. Suatu suara seretan kaki yang aku tahu aku tak akan pernah melupakannya.
Garuk. Garuk. Tentara berwajah tak lengkap itu mendekat. Lengan-lengan diperban terulur,
mereka terhuyung-huyung ke arah kami, berderit dan mengerang. Mengerang lembut
dengan kesakitan kunonya.
Keterkejutan Ahmed tertangkap oleh wajah kami dan ia berputar-putar.
Dia berteriak lagi dalam bahasa yang aneh saat ia melihat mumi-mumi maju kepada
kami, menggesek begitu pelan, begitu tenang dan berhati-hati, melintasi lantai
ruangan. Dan, kemudian, dengan teriakan marah, Ahmed mengangkat obor pada mumi yang
memimpin. Obor itu menghantam dada mumi itu dan terpental ke lantai. Api meledak dari dada
mumi itu, segera menyebar ke lengan dan ke bawah kaki.
Tapi mumi itu terus maju, tak melambat, tak bereaksi sama sekali pada api yang
dengan cepat melalapnya. Menganga denga mulut terbuka ngeri, mengoceh seolah kata-katanya tak ada
habisnya dalam bahasa misterius itu, Ahmed mencoba untuk lari.
Tapi ia terlambat. Mumi terbakar itu menerjang ke arahnya. Sosok tubuh kuno itu menangkap
tenggorokan Ahmed, mengangkatnya tinggi di atas bahunya yang berkobar-kobar.
Ahmed mengucapkan jeritan tinggi bernada ngeri saat mumi lain terhuyung-huyung
ke depan. Mengerang dan meratap melalui perban mereka menguning, mereka bergerak
untuk membantu rekan yang terbakar.
Mereka mengangkat Ahmed tinggi di atas kepala-kepala mereka yang mengerang.
Dan kemudian menahannya di atas lubang getah yang terbakar.
Menggeliat-geliat dan menendang-knendang, Ahmed mengeluarkan jeritan tajam saat
mereka menahannya di atas getah yang mendidih, menggelegak, dan mengepul.
Aku memejamkan mata. Panas dan asap getah itu berputar-putar di sekitarku. Aku
merasa seolah-olah aku sedang ditelan, ditarik ke dalam kegelapan asap.
Ketika aku membuka mata, aku melihat Ahmed melarikan diri ke terowongan, berlari
sempoyongan gedebak gedebuk, menjerit-jerit ketakutan dengan mulut ternganga
saat ia berlari. Mumi-mumi tetap di lubang itu, menikmati kemenangan mereka.
Aku menyadari bahwa aku masih memegang tangan mumi di atas kepalaku. Aku
menurunkannya perlahan-lahan, dan menatap Sari dan Paman Ben. Mereka berdiri di
sampingku, wajah mereka penuh dengan kebingungan. Dan lega.
"Mumi-mumi itu -" Aku berhasil mengucapkannya.
"Lihat," kata Sari, menunjuk.
Aku mengikuti arah tatapannya. Para mumi itu semuanya kembali pada tempatnya.
Sebagian menyandar, sebagian lagi bersandar dengan sudut aneh, sebagian berbaring.
Mereka berada di tempat persis di tempat mereka saat aku memasuki ruangan itu.
"Hah?" Mataku sangat cepat mengitari seluruh ruangan.
Apakah mereka semua bergerak" Apakah mereka bangkit sendiri, berdiri, dan
terhuyung-huyung ke arah kami" Atau apakah kami membayangkan itu semua"
Tidak. Kami tak bisa membayangkan itu.
Ahmed telah pergi. Kami selamat.
"Kita baik-baik saja," kata Paman Ben bersyukur, menaruh tangannya padaku dan
Sari. "Kita baik-baik saja. Kita baik-baik saja.."
"Kita bisa pergi sekarang!" Sari menangis bahagia, memeluk ayahnya. Lalu ia
berpaling ke arahku. "Kau menyelamatkan hidup kami," katanya. Dia serasa
tercekik dengan kata-kata itu. Tapi dia mengucapkannya.
Kemudian Paman Ben memalingkan pandangannya kepadaku dan benda itu masih
kucengkeram erat di depanku. "Trim's untuk pertolongannya," kata Paman Ben.
*** Kami makan malam besar di restoran saat kembali di Kairo. Ini adalah mujizat
masing-masing dari kami makan dalam jumlah besar turun sejak kami semua
berbicara bersamaan, berceloteh penuh semangat, menghidupkan kembali petualangan
kami, mencoba untuk memahami semuanya.
Aku memutar Summoner di sekitar meja.
Paman Ben menyeringai padaku. "Aku tak tahu betapa istimewanya tangan mumi itu!"
Dia mengambilnya dariku dan memeriksa dengan cermat. "Sebaiknya jangan bermain
dengan itu," katanya serius. "Kita harus memperlakukan dengan hati-hati." Dia
menggelengkan kepalanya. "Aku ilmuwan besar luar biasa!" ia berseru mencemooh.
"Saat aku melihatnya, kupikir itu hanya mainan, barang tiruan. Tapi tangan ini
mungkin penemuan terbesarku dari semuanya!."
"Ini jimat keberuntunganku," kataku, memperlakukannya dengan lembut saat aku
mengambilnya kembali. "Kau bisa mengatakan itu lagi!" Sari memberikan penghargaan. Hal terbaik yang
pernah ia katakan kepadaku.
Kembali di hotel, aku terkejut sendiri karena tertidur seketika. Kupikir aku
akan terjaga sampai selama berjam-jam, memikirkan semua yang telah terjadi. Tapi
kurasa semua kehebohan itu menghabiskan tenagaku.
*** Keesokan paginya, Sari, Paman Ben, dan aku sarapan besar di kamar itu. Aku punya
sepiring orak-arik telur dan semangkuk Frosted Flakes. Saat aku makan, aku
bermain-main dengan tangan mumi kecil iti.
Kami bertiga merasa baik, senang bahwa petualangan menakutkan kami telah
berakhir. Kami saling bercanda, menggoda satu sama lain, banyak tertawa.
Setelah aku menyelesaikan serealku, aku mengangkat tangan tinggi mumi kecil. "O,
Summoner," teriak saya dengan suara dalam, "Aku memanggil roh-roh kuno. Ayo
hiduplah. Ayo hiduplah kembali!"
"Hentikan, Gabe," bentak Sari. Dia menyambar tangan itu, tapi aku mengayunkannya
keluar dari jangkauannya.
"Ini tak lucu," katanya. "Kau tak seharusnya bermain-main seperti itu."
"Apakah kau penakut?" tanyaku, menertawakannya. Aku bisa melihat bahwa ia benar-
benar ketakutan, yang membuatku menikmati lelucon kecilku bahkan lebih.
Menjaga tangan itu dari jangkauannya, aku mengangkat tangan itu tinggi-tinggi.
"Aku memanggil kalian, roh-roh mati yang kuno," teriakku. "Datanglah padaku.
Datanglah padaku sekarang!."
Dan ada ketukan keras di pintu.
Kami bertiga terengah-engah.
Paman Ben menjatuhkan gelas jusnya. Gelas itu berdentang di meja dan tumpah.
Aku membeku dengan tangan kecil itu di udara.
Ketukan keras lagi. Kami mendengar garukan di pintu. Suara kuno, jari-jari diperban berusaha
(membuka) kunci. Sari dan aku bertukar pandang ngeri.
Aku perlahan-lahan menurunkan tangannya saat pintu terbuka.
Dua sosok bayangan terhuyung-huyung ke dalam ruangan.
"Ibu dan Ayah!"teriakku.
Aku berani bertaruh mereka terkejut melihat betapa senangnya aku melihat mereka.
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Darah Seratus Bayi 2 Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Keris Pusaka Sang Megatantra 5
datang berlari. Mencengkeram erat kotak kecil di tanganku, aku menggerakkan tanganku ke tombol -
dan berteriak panik. Pager itu hancur. Rusak. Remuk.
Tombolnya bahkan tak bisa ditekan.
Aku pasti mendarat di atasnya saat aku jatuh.
Tak ada gunanya. Aku sendirian di sini. Sendirian dengan mumi-mumi kuno, menatapku dengan wajah tak lengkap dengan diam
melalui bayangan-bayangan gelap yang dalam.
14 Sendirian. Aku menatap dengan ngeri pager tak berguna itu.
Senter itu bergetar di tanganku.
Tiba-tiba, semuanya tampak bergerak kepadaku. Dinding-dinding. Langit-langit.
Kegelapan. Mumi-mumi. "Hah?" Aku terhuyung mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Aku sadar bahwa aku mencengkeram senter begitu erat, tanganku terluka.
Cahaya senter bermain-main pada sosok-sosok tubuh berwajah tak lengkap itu.
Mereka tak bergerak. Tentu saja mereka tak bergerak.
Aku mundur selangkah lagi. Bau busuk asam sepertinya semakin kuat, semakin
tebal. Aku menahan napas, tapi bau itu di lubang hidungku, di mulutku. Aku bisa
merasakannya, rasa busuk, aroma rasa kematian empat ribu tahun.
Aku melemparkan pager tak berguna itu di lantai dan melangkah mundur lagi,
menjaga mataku pada mumi-mumi yang berdiri itu.
Apa yang akan kulakukan"
Bau itu membuatku sakit. Aku harus keluar dari sini, harus memanggil Paman Ben.
Melangkah lagi. "Tolong!" Aku mencoba berteriak, tapi suaraku terdengar lemah, teredam oleh udara, berat
yang busuk. "Tolong. Ada yang bisa mendengarku"!" Sedikit lebih keras.
Menyelipkan lampu senter di bawah lenganku, aku melekukkan tanganku di sekitar
mulutku untuk membentuk pengeras suara.
"Ada yang bisa mendengarku?" Aku menjerit.
Aku mendengarkan, putus asa untuk mendapat jawaban.
Sunyi. Di mana Sari dan Paman Ben" Mengapa mereka tak bisa mendengarku" Mengapa mereka
tak mencariku" "Tolong - Siapa pun - kumohon tolonglah!"
Aku menjerit sekeras mungkin, memiringkan kepalaku sampai ke lubang di langit-
langit, lubang tempatku jatuh.
"Tak adakah orang yang mendengarku?" jeritku.
Aku bisa merasakan kepanikan mencengkeram dadaku, membekukan kakiku.
Kepanikan melandaku, gelombang demi gelombang melumpuhkanku.
"Tolong aku! Siapa saja! Aku mohon!"
Aku mundur selangkah lagi.
Dan sesuatu berderak di bawah sepatuku.
Aku mengeluarkan jeritan bernada tinggi dan terhuyung ke depan.
Apa pun itu telah merayap pergi.
Aku mengembuskan napas keras, napas panjang lega.
Dan kemudian aku merasa sesuatu yang menyenggol pergelangan kakiku.
Aku menjerit, dan senter terjatuh dari bawah lenganku. Berdentang berisik ke
lantai. Lampu itu mati. Sekali lagi, sesuatu menggarukku diam-diam .
Sesuatu yang keras. Aku mendengar suara mengais pelan di atas lantai. Sesuatu menggigit pergelangan
kakiku. Aku menendang keras, namun hanya memukul udara.
"Ohh, tolong!" Ada makhluk di sini. Banyak sekali.
Tapi mereka itu apa"
Sekali lagi, sesuatu menampar pergelangan kakiku, dan aku menendang dengan liar.
Dengan panik, aku membungkuk, menyambar senter dalam kegelapan.
Dan menyentuh sesuatu yang keras dan berduri.
"Ohh, tidak!" Aku merengutkan tanganku dengan teriakan kaget.
Dalam kegelapan, meraba-raba mencari senter, aku punya perasaan bahwa seluruh
lantai jadi hidup. Lantainya bergerak bergelombang, menggulung dan melempar,
menggelegak di bawahku. Akhirnya, aku menemukan senter. Aku meraihnya dengan tanganku yang gemetar,
berdiri, dan berjuang untuk menghidupkannya kembali.
Saat aku melangkah mundur, sesuatu tergelincir pada kakiku.
Rasanya keras. Dan berduri.
Aku mendengar suara ceklikan. Suara gemeretak. Makhluk-makhluk yang saling
bertabrakan. Terengah-engah keras, dadaku naik-turun, seluruh tubuhku dicekam ketakutan, aku
melompat, mencoba untuk menjauh saat aku menggerak-kan senter dengan gugup.
Sesuatu berderak keras di bawah sepatuku. Aku menjauh, melompat di atas sesuatu
yang berlari cepat melalui kakiku.
Akhirnya, lampu senter menyala.
Hatiku berdebar, aku menurunkan sinar cahaya kuning ke lantai.
Dan melihat makhluk-makhluk bersuara gemeratak dan menggigit.
Kalajengking-kalajengking!
Aku tersandung ke sarang mereka yang menjijikkan.
"Ohh - tolong!"
Aku tak mengenali suara kecil ketakutanku saat aku berteriak. Aku bahkan tak
sadar kalau aku telah berteriak.
Cahaya melesat di atas makhluk-makhluk merayap itu, ekor-ekor mereka terangkat
seolah-olah siap untuk menyerang, cakar-cakar mereka bergemeretak diam saat
mereka bergerak. Bergerak pelan-pelan satu sama lain. Merayap melewati
pergelangan kakiku. "Siapa pun - tolong!"
Aku berjingkrak mundur saat sepasang cakar mencengkeram kaki celana jeansku - ke
makhluk lain yang ekornya membentur bagian belakang sepatuku.
Berjuang untuk melepaskan diri dari makhluk-makhluk beracun itu, aku tersandung.
"Jangan. kumohon - jangan!"
Aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri.
Aku mulai terjatuh. Tanganku terjulur, tapi tak ada bisa diraih.
Aku akan terjun langsung ke tengah-tengah mereka.
"Tidaaaak!" Aku menjerit panik saat aku menggulingkan maju.
Dan merasakan dua tangan meraih bahuku dari belakang.
15 Satu mumi! Pikirku. Seluruh tubuhku mengejang ketakutan.
Kalajengking-kalajengking itu menggeretak dan mengais-ngais di kakiku.
Tangan-tangan yang kuat mencengkeram bahuku, menarikku dengan keras.
Tangan-tangan kuno diperban.
Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa berpikir.
Akhirnya, aku berhasil berputar.
"Sari!" teriakku.
Dia menarikku satu sentakan lagi. Kami berdua tersandung mundur, cakar-cakar
mengeretak ke arah kami. "Sari - bagaimana -?"
Kami bergerak bersama-sama sekarang, kami berjalan menuju ke tengah ruang yang
luas itu. Aman. Aman dari sarang kalajengking yang bergemertak menjijikkan.
"Hidupnu selamat," bisiknya. "Yuck. Itu menjijikkan!"
"Ceritakan padaku tentang itu," kataku pelan. Aku masih bisa merasakan makhluk
mengerikan itu meluncur di sepanjang pergelangan kakiku, masih merasakan mereka
merayap di antara kakiku, berderak di bawah sepatuku.
Aku tak berpikir bahwa aku akan bisa melupakan suara berderak itu.
"Apa yang kaulakukan di sini?" teriak Sari tak sabar, seakan memarahi anak-anak.
"Ayah dan aku telah mencari ke mana-mana."
Aku menariknya lebih menjauh dari kalajengking, ke tengah ruangan. "Bagaimana
kau bisa ke sini?" teriakku, berjuang untuk menenangkan napasku, berjuang untuk
menghentikan debaran hati di dadaku.
Dia menunjuk dengan senternya ke sebuah terowongan di sudut yang tak kulihat.
"Aku sedang mencarimu. Ayah dan aku terpisah. Apa kau percaya" Dia berhenti
untuk berbicara kepada seorang pekerja, dan aku tak menyadarinya. Saat aku
berbalik, ia sudah tak ada. Lalu aku melihat cahaya bergerak-gerak di dalam
sini. Kupikir itu adalah Ayah. "
"Kau juga tersesat?" tanyaku sambil menyeka butiran keringat dingin dari dahiku
dengan punggung tanganku.
"Aku tak tersesat. Kau yang tersesat," ia bersikeras. "Bagaimana kau bisa
melakukan itu, Gabe. Ayah dan aku benar-benar panik."
"Mengapa kalian tak menungguku?" tuntutku marah. "Aku memanggil kalian. Kalian
menghilang begitu saja."
"Kami tak mendengarmu," jawabnya, sambil menggeleng.
Aku benar-benar senang melihatnya. Tapi aku membenci caranya menatapku, seperti
aku orang tolol tak punya harapan. "Aku kira kami terlibat dalam perdebatan.
Kami pikir kau di belakang kami. Lalu saat kami berbalik, kau tak ada." Dia
mendesah dan menggeleng. "Hari apa ini!"
"Hari apa?" teriakku nyaring. "Hari apa?"
"Gabe, mengapa kau melakukan itu?" tuntut. "Kau tahu kita seharusnya tetap dekat
bersama-sama." "Hei - itu bukan salahku," aku bersikeras marah.
"Ayah begitu marah," kata Sari, menyorotkan cahaya senter ke wajahku.
Aku mengangkat lenganku untuk melindungi mataku. "Hentikan," bentakku. "Dia tak
akan marah saat ia melihat apa yang telah kutemukan. Lihatlah."
Aku menyorotkan senter ke satu mumi yang meringkuk dekat lubang getah, kemudian
berpindah ke mumi lain, yang satu ini berbaring, kemudian ke deretan peti mumi
di dinding. "Wow." Sari mengucapkan kata dengan diam-diam. Matanya terbelalak karena
terkejut. "Ya. Wow," kataku, mulai merasa sedikit lebih dari biasanya. "Ruangan ini penuh
dengan mumi. Dan ada semua jenis alat, kain dan segala yang dibutuhkan untuk
membuat mumi. Ini semua dalam kondisi sempurna, seperti belum tersentuh dalam
ribuan tahun." Aku tak bisa menyembunyikan kegembiraanku. "Dan aku menemukan itu
semua," tambahku. "Ini mestinya (ruangan) di mana mereka mempersiapkan mumi untuk penguburan,"
kata Sari, matanya melirik dari satu mumi ke mumi lainnya. "Tapi kenapa beberapa
dari mereka berdiri seperti itu?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
Dia berjalan ke atas mengagumi tumpukan kain linen yang terlipat rapi. "Wow ini.
Menakjubkan, Gabe." "Luarbiasa!" Aku setuju. "Dan jika aku tak berhenti untuk mengikat sepatuku, aku
tak akan pernah menemukannya."
"Kau akan menjadi terkenal," kata Sari, satu senyum terbentang di wajahnya.
"Berterimakasihlah padaku karena menyelamatkan hidupmu."
"Sari -" Aku mulai.
Tapi dia telah pindah ke seberang ruangan dan mengagumi dari jarak dekat salah
satu mumi yang berdiri tegak. "Tunggu sampai Ayah melihat semua ini," katanya,
tiba-tiba terdengar bersemangat seperti aku.
"Kita harus memanggilnya," kataku bersemangat. Aku menoleh ke belakang ke sarang
kalajengking dan merasakan udara dinginnya ketakutan memperketat belakang
leherku. "Orang-orang begitu kecil waktu itu," katanya, memegang senter dekat ke wajah
mumi yang tertutup. "Lihat - Aku lebih tinggi dari yang satu ini."
"Sari, gunakan pagermu," kataku tak sabar, berjalan mendekatinya.
"Yuck. Ada serangga merangkak di wajah yang satu ini,." Katanya, melangkah
mundur dan menurunkan cahaya. Dia membuat wajah jijik. "Menjijikkan."
"Ayo. Gunakan pagermu.. Panggil Paman Ben," kataku. Aku meraih pager di
pinggang, tapi ia menarik diri.
"Oke, oke. Mengapa tak kau gunakan milikmu?" Dia menatapku curiga. "Kau lupa
tentang itu, Gabe. Bukan begitu!" tuduhnya.
"Tidak," jawabku tajam. "punyaku saat ketika aku jatuh ke tempat ini."
Dia menyeringai dan menarik pager itu dari ikat pinggangnya. Aku menyorotkan
senterku di atasnya saat ia menekan tombol. Dia menekan dua kali, hanya untuk
memastikan, kemudian dijepitkan kembali ke celana jeansnya.
Kami berdiri dengan tangan disilangkan, menunggu Paman Ben mengikuti sinyal
radio dan menemukan kami.
"Seharusnya ini tak butuh waktu lama," kata Sari, matanya ke sudut terowongan.
"Dia tak jauh di belakangku."
Benar saja, beberapa detik kemudian, kami mendengar suara seseorang mendekati
dalam terowongan. "Paman Ben!" teriakku penuh semangat. "Lihat apa yang kutemukan!"
Sari dan aku mulai berlari ke terowongan, lampu kami berkelok-kelok di atas
pintu masuk yang rendah. "Yah, kau tak akan percaya -" Sari mulai.
Dia berhenti ketika sosok tubuh yang berhenti membungkuk keluar dari kegelapan
dan berdiri tegak. Kami berdua ternganga ngeri, senter kami membuat wajah berkumisnya bersinar
menakutkan. "Itu Ahmed!" teriak Sari, meraih lenganku.
16 Aku menelan ludah. Sari dan aku saling menatap. Aku melihat wajahnya tegang ketakutan.
Ahmed. Dia telah mencoba untuk menculik kami. Dan sekarang dia mandapati kami sendirian
di sini. Dia melangkah maju, obor pilihannya terangkat tinggi di satu tangan. Rambut
hitamnya bersinar dalam lidah api yang berkelap-kelip. Matanya menyipit
mengancam kami. "Ahmed, apa yang kau lakukan di sini?" kata Sari, menggenggam tanganku begitu
keras, aku meringis. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya pelan, suaranya sedingin matanya.
Memegang obor di depannya, ia melangkah ke dalam ruangan. Matanya berkeliling
ruangan, seolah-olah memeriksa, memastikan bahwa tak ada yang dipindahkan.
"Ayahku akan berada di sini dalam sedetik," kata Sari kepadanya. "Aku
menyerantanya." "Aku telah mencoba untuk memperingatkan ayahmu," kata Ahmed, menatap keras pada
Sari. Kelap-kelip oranye dari lampu obor membuatnya semakin terang, kemudian
memudar menjadi bayangan.
"Memperingatkannya?" tanya Sari.
"Tentang kutukan itu," kata Ahmed tanpa emosi.
"Paman Ben menyebutkan beberapa macam kutukan padaku," kataku, sambil melirik
cemas pada Sari. "Aku tak berpikir ia menganggap hal-hal semacam itu dengan
serius." "Dia harus!" jawab Ahmed, meneriakkan kata-kata, matanya bersinar dengan
kemarahan dalam cahaya obor.
Sari dan aku balas menatapnya dalam keheningan.
Dimana Paman Ben" Aku bertanya-tanya.
Apa yang menahannya"
Cepat, aku diam-diam memohon. Kumohon - cepatlah!
"Kutukan harus dilaksanakan," kata Ahmed lagi, pelan hampir-hampir sedih. "Aku
tak punya pilihan kalian telah melanggar ruangan pendeta wanita itu.."
"Pendeta wanita?" Aku tergagap.
Sari masih meremas lenganku. Aku menariknya menjauh. Shari menyilangkan
tangannya dengan pasti di atas dadanya.
"Ruangan ini milik Pendeta wanita Khala," kata Ahmed, menurunkan obor. "Ini
adalah Kamar Persiapan suci dari Pendeta Khala, dan kalian telah melanggarnya."
"Yah, kami tak tahu," bentak Sari. "Aku benar-benar tak melihat apa masalahnya,
Ahmed."
Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia benar," kataku cepat. "Kami tak menyentuh apa-apa. Kami tak memindahkan
apapun. Aku tak berpikir -.."
"Tutup mulutmu, goblok!" jerit Ahmed. Dia mengayunkan obor dengan marah seolah
mencoba memukul kami. "Ahmed, ayahku akan berada di sini setiap saat," ulang Sari, suaranya gemetar.
Kami berdua memutar mata kami ke terowongan. Gelap dan sunyi.
Tak ada tanda Paman Ben. "Ayahmu orang yang pintar," kata Ahmed. "Sayang sekali ia tidak cukup cerdas
untuk mengindahkan peringatanku."
"Peringatan?" tanya Sari.
Aku menyadari bahwa ia mengulur-ulur waktu, mencoba untuk tetap membuat Ahmed
berbicara sampai Paman Ben tiba.
"Aku menakut-nakuti dua pekerja itu," aku Ahmed pada Sari. "Aku takut mereka
menunjukkan pada ayahmu bahwa kutukan itu masih hidup, bahwa aku siap untuk
melaksanakan keinginan Khala itu."
"Bagaimana kau menakut-nakuti mereka?" Sari menuntut.
Dia tersenyum. "Aku memberi mereka satu demonstrasi kecil. Aku menunjukkan pada
mereka bagaimana rasanya jika direbus hidup-hidup." Lalu matanya beralih ke
lubang getah. "Mereka tak menyukainya," tambahnya pelan.
"Tapi, Ahmed -" Sari mulai.
Dia memotongnya. "Ayahmu seharusnya tahu lebih baik daripada kembali ke sini.
Dia harus percaya padaku. Dia seharusnya percaya pada kutukan Pendeta itu.
Pendeta itu mengutuk semua orang yang melanggar ruangannya."
"Tapi, ayolah, kau tak benar-benar percaya -" aku memulai.
Dia mengangkat obor mengancam. "Itu ditetapkan oleh Pendeta Khala lebih dari
empat ribu tahun yang lalu bahwa ini ruangan yang suci tak boleh dilanggar,"
teriaknya, memberi isyarat dengan obor, meninggalkan jejak cahaya oranye melawan
kegelapan. "Sejak saat itu, dari generasi ke generasi, anak cucu Khala telah
memastikan bahwa perintah Pendeta itu dipatuhi."
"Tapi, Ahmed -" teriak Sari.
"Sampai kepadaku," lanjutnya, mengabaikan, mengabaikan kami berdua, menatap
langit-langit saat ia berbicara, seolah-olah berbicara langsung kepada Pendeta
itu di langit. "Sampai kepadaku sebagai keturunan Khala untuk memastikan kutukan
itu dilaksanakan." Aku menatap melewati Ahmed ke terowongan. Masih tak ada tanda-tanda dari Paman
Ben. Apakah dia akan datang" Apakah pager Sari bekerja"
Apa yang menahannya"
"Aku mengajukan diri untuk bekerja untuk ayahmu untuk memastikan bahwa tempat
suci Khala ini tak dilanggar," lanjut Ahmed, bayangan-bayangan berkelap-kelip di
wajah mengancamnya. "Ketika dia tak mengindahkan peringatanku, aku harus
mengambil tindakan. Aku menakut-nakuti kedua pekerja itu. Lalu aku berencana
untuk membawa pergi kalian, untuk menyembunyikan kalian sampai ia setuju untuk
menghentikan pekerjaannya."
Dia menurunkan obor. Wajahnya dipenuhi dengan kesedihan. "Sekarang, aku tak
punya pilihan. Aku harus melaksanakan tugas yang suciku. Aku harus menjaga janji
kuno untuk Khala." "Tapi apa artinya itu?" teriak Sari. Sinar obor oranye itu mengungkapkan
ekspresi ketakutannya. "Apa artinya?" Ahmed diulang. Dia menunjuk dengan obor. "Lihatlah di sekeliling
kalian." Kami berdua berbalik dan melirik cepat ke seluruh ruangan. Tapi kami tak
mengerti. "Mumi-mumi itu," jelasnya.
Kami masih tak mengerti. "Ada apa dengan mumi-mumi itu?" Aku berhasil bicara terbata-bata.
"Mereka semua pelanggar ruangan Pendeta ini," ungkap Ahmed. Senyum tipis yang
terbentuk di wajahnya hanya bisa digambarkan sebagai senyum bangga.
"Maksudmu - mereka bukan dari Mesir kuno?" teriak Sari, mengangkat tangannya
dengan ngeri ke wajahnya.
"Sebagian dari mereka," jawab Ahmed, masih tersenyum, senyum menakutkan, senyum
dingin. "Beberapa dari mereka penyusup kuno. Beberapa dari mereka baru-baru ini.
Tapi mereka semua memiliki satu kesamaan. Mereka semua menjadi korban kutukan
itu. Dan mereka semua dijadikan mumi hidup-hidup" "
"Tidak!" Aku menjerit tanpa sadar.
Ahmed mengabaikan ledakan ketakutanku.
"Aku melakukan yang satu itu sendirian," katanya, menunjuk ke sebuah mumi yang
berdiri kaku saat memperhatikan di tepi lubang getah.
"Oh, betapa mengerikan!" teriak Sari, suaranya gemetar.
Aku menatap penuh harap pada lubang terowongan belakang Ahmed. Tapi masih belum
ada tanda-tanda Paman Ben.
"Hari ini, aku harus bekerja lagi," Ahmad mengumumkan. Hari ini akan ada mumi
yang baru. Piala baru untuk Khala. "
"Kau tak bisa melakukan itu!" jerit Sari menjerit.
Aku meraih tangannya. Untuk ketakutanku, aku sekarang benar-benar mengerti. Aku mengerti mengapa
beberapa mumi itu masih dalam kondisi baik.
Mereka baru. Semua alat-alat itu, getah, linen - telah digunakan oleh keturunan Khala,
keturunan seperti Ahmed. Sejak jaman Khala, siapa saja yang telah memasuki
ruangan itu - ruangan dimana kami sekarang berdiri - telah dijadikan mumi.
Hidup-hidup. Dan sekarang Sari dan aku juga akan menjadi mumi.
"Ahmed, kau tak bisa!" teriak Sari. Dia melepaskan tanganku dan mengepalkan
tinjunya dengan marah di pinggangnya.
"Ini adalah kehendak Khala," jawabnya pelan, matanya yang gelap bersinar dalam
cahaya obor. Aku melihat sebuah belati berbilah panjang muncul di tangannya yang bebas. Pisau
itu menangkap cahaya dari obor.
Sari dan aku sama-sama mundur selangkah, Ahmad mulai bergerak ke arah kami
dengan cepat, langkah-langkah pasti.
17 Saat Ahmed mendekat, Sari dan aku mundur bersembunyi ke tengah ruangan.
Lari, pikirku. Kita bisa lari darinya. Mataku dengan panik mencari tempat agar kami bisa melarikan diri melaluinya.
Tapi tak ada jalan keluar.
Terowongan di sudut tampak lubangnya saja. Dan kami harus lari tepat melewati
Ahmed untuk sampai ke sana.
Sari, aku lihat, dengan panik menekan pager di pinggangnya. Dia melirik ke
arahku, wajahnya tegang ketakutan.
"Yowwww!" Aku menjerit saat aku tiba-tiba mundur ke seseorang.
Aku berbalik dan menatap ke wajah mumi yang diperban.
Dengan terkesiap keras, aku meluncur menjauhinya.
"Ayo kita lari ke terowongan," bisikku pada Sari, tenggorokanku begitu kering
dan ketat, aku nyaris tak bisa mendengar sendiri (suaraku). "Dia tak bisa
menangkap kita berdua."
Sari menatap ke arahku, bingung. Aku tak tahu apakah ia mendengarku atau tidak.
"Jangan lari," kata Ahmed pelan, seolah-olah membaca pikiranku. "Tidak ada yang
bisa melarikan diri dari kutukan Khala itu."
"Dia - dia akan membunuh kita!" jerit Sari.
"Kalian telah melanggar ruangan sucinya," kata Ahmed, menaikkan tinggi obor,
memegang belati itu di pinggangnya.
Dia melangkah lebih dekat. "Aku melihatmu kemarin naik ke sarkofagus (peti mati
dari batu) suci. Aku melihat kalian berdua bermain-main di ruang suci Khala.
Saat itulah aku tahu aku harus melaksanakan tugas suciku -..."
Sari dan aku sama-sama berteriak saat sesuatu yang turun dari langit-langit
ruangan. Kami bertiga mendongak melihat tangga tali menggantung dari lubang dimana aku
jatuh. Tali berayun berayun bolak-balik saat diturunkan hampir ke lantai.
"Apakah kalian di sana aku" Aku akan turun!" teriak Paman Ben pada kami.
"Paman Ben - jangan!" jeritku.
Tapi dia sudah bergerak menuruni tangga tali, turun dengan cepat, tangga itu
bawah berat badannya. Ditengah, ia berhenti dan mebatap ke dalam ruangan. "Ada apa ini -?" teriaknya,
matanya menjelajahi pemandangan yang menakjubkan.
Dan kemudian ia melihat Ahmed.
"Ahmed, apa yang kau lakukan di sini?" Teriak Paman Ben terkejut. Dia cepat-
cepat menurunkan dirinya ke lantai, melompat menuruni tiga anak tangga terakhir.
"Hanya melaksanakan keinginan Khala," kata Ahmed, wajahnya tanpa ekspresi
sekarang, matanya menyipit mengantisipasi.
"Khala" Pendeta itu?" Paman Ben wajahnya berkerut kebingungan.
"Dia akan membunuh kita!" teriak Sari, bergegas ke ayahnya, melemparkan
lengannya di pinggang ayahnya. "Yah - dia akan membunuh kita. Dan kemudian
mengubah kita menjadi mumi!"
Paman Ben mememegang Sari dan melihat dari balik bahunya menuduh di Ahmed.
"Apakah itu benar?"
"Ruangan ini telah dilanggar. Ini bukan salahku, Dokter, untuk melaksanakan
kutukan." Paman Ben menaruh tangannya di bahu Sari yang gemetar dan dengan pelan
dipindahkan ke samping. Lalu ia mulai berjalan perlahan-lahan, terus, menuju
Ahmed. "Ahmed, mari kita keluar dari sini dan membicarakan hal ini," katanya,
mengangkat tangan kanannya seolah-olah menawarkan persahabatan.
Ahmed mundur selangkah, mengangkat obor sambil mengancam. "Kemauan Pendeta tak
boleh diabaikan." "Ahmed, kau adalah ilmuwan, dan begitu juga aku," kata Paman Ben.
Aku tak percaya betapa tenang suaranya. Aku bertanya-tanya apakah itu suatu
akting. Pemandangan yang menegangkan. Kami benar-benar berada dalam bahaya yang
mengerikan. Tapi aku merasa sedikit lebih tenang mengetahui bahwa pamanku di sini, tahu
bahwa ia akan mampu menangani Ahmed dan membawa kita keluar dari sini - hidup-
hidup. Aku melirik menenangkan Sari, yang sedang menatap tajam, menggigit bibir
bawahnya dalam konsentrasi tegang saat ayahnya mendekati Ahmed.
"Ahmed, letakkan obor itu," desak Paman Ben, tangannya memanjang. "Belatinya,
juga. Kumohon. Mari kita bahas ini antar ilmuwan"
"Apa yang dibahas?"tanya Ahmed pelan, matanya ke arah Paman Ben mempelajari
dengan seksama. "Kehendak Khala harus dilakukan, seperti yang telah ada selama
empat ribu tahun. Itu tidak dapat didiskusikan."
"Antara sesama ilmuwan, " ulang Paman Ben, kembali menatap Ahmed seolah
menantangnya. "Kutukan itu sudah kuno. Khala sudah melakukannya selama
berabad-abad. Mungkin sudah waktunya untuk membiarkannya beristirahat. Turunkan
senjatamu, Ahmed. Ayo kita bicarakan hal ini. Antara sesama ilmuwan."
Ini akan baik-baik saja, pikirku, menarik napas panjang lega. Semuanya akan
baik-baik saja. Kami akan keluar dari sini.
Tapi kemudian Ahmed pindah dengan kecepatan mengejutkan.
Tanpa peringatan, tanpa perkataan, ia memundurkan lengan dan, mencengkeram
pegangan obor dengan kedua tangan, mengayunkan sekeras-kerasnya ke kepala Paman
Ben. Obor itu membuat suara keras saat mengenai sisi wajah Paman Ben.
Api menari-nari sampai oranye.
Satu pusaran berwarna cerah.
Dan kemudian bayangan-bayangan.
Paman Ben mengerang. Matanya melotot lebar terkejut.
Dengan rasa sakit. Obor tak membakarnya. Tapi hembusannya itu merobohkannya.
Dia merosot ke lututnya. Lalu matanya terpejam, dan dia jatuh lemas ke lantai.
Ahmed mengangkat obor tinggi, matanya bersinar gembira, dengan kemenangan.
Dan aku tahu kami tertimpa malapetaka.
18 "Ayah!" Sari bergegas ke ayahnya dan berlutut di sisinya.
Tapi Ahmed bergerak cepat, mengayunkan obor ke arahnya, siap memegang belati,
memaksanya untuk mundur. Setetes darah tipis, bersinar gelap dalam cahaya api, mengalir di sisi wajah
Paman Ben. Dia mengerang, tapi tak bergerak.
Aku melirik cepat pada mumi-muni tersebar di seluruh ruangan. Sulit yang untuk
percaya bahwa kita akan segera menjadi salah satu dari mereka.
Aku berpikir untuk melompati Ahmed, mencoba untuk merobohkannya.. Kubayangkan
meraih obor, mengayunkannya kepadanya, memaksanya ke dinding. Memaksanya untuk
membiarkan kami lolos. Tapi pisau belati itu berpendar, seakan memperingatkan aku untuk tetap mundur.
Aku hanya anak kecil, pikirku.
Pikiran bahwa aku bisa mengalahkan seorang pria dewasa dengan pisau dan obor
adalah gila. Gila. Semua pemandangan ini gila. Dan mengerikan.
Aku tiba-tiba merasa sakit. Perutku menegang, dan rasa mual melandaku.
"Biarkan kami pergi -! Wow" teriak Sari pada Ahmed.
Mengejutkan, Ahmed bereaksi dengan mengayunkan obor kembali dan membuatnya ke
seberang ruangan. Obor itu mendarat dengan suara celepuk pelan di tengah lubang getah. Seketika,
permukaan getah itu terbakar. Kobaran api menyebar, melompat ke arah langit-
langit ruang, sampai seluruh lubang persegi itu terbakar.
Saat aku menatap dengan takjub, getah itu menggelegak dan menggelembung di bawah
kobaran api oranye dan merah yang menutupinya.
"Kita harus menunggunya mendidih," kata Ahmed dengan tenang, bayangan-bayangan
tertangkap oleh api yang berkelap-kelip di wajah dan pakaiannya.
Ruangan menjadi berkabut asap. Sari dan aku sama-sama mulai batuk.
Ahmed membungkuk dan menaruh tangannya di bawah bahu Paman Ben. Dia mulai
menyeretnya di lantai. "Biarkan saja dia!" teriak Sari, berlari dengan panik ke arah Ahmed.
Aku melihat bahwa ia akan mencoba melawannya.
Aku meraih bahunya dan menahannya.
Kami bukan tandingan Ahmed. Dia telah merobohkan Paman Ben hingga tak sadar. Tak
ada yang tahu apa yang akan dilakukannya pada kami.
Sambil memegangi Sari, aku menatap Ahmed. Apa yang rencananya sekarang"
Tak butuh waktu lama untuk mencari tahu.
Dengan kekuatan yang mengejutkan, ia menarik Paman Ben melewati lantai ke salah
satu peti mumi yang terbuka ti dinding. Lalu ia mengangkatnya ke situ dan
mendorongnya ke dalam peti ini. Bahkan tanpa sedikit pun mengeluarkan napas,
Ahmed mendorong tutupnya menutup di atas pamanku yang pingsan.
Lalu ia berpaling kepada kami. "Kalian berdua - ke mumi yang itu." Dia menunjuk
ke sebuah peti mumi yang besar di atas alas tinggi di samping Paman Ben. Peti
itu hampir setinggi aku, dan setidaknya panjangnya sepuluh kaki. Pasti telah
dibangun untuk menahan seorang yang akan dijadikan mumi - dan semua barang
miliknya. "Lepaskan kami!" Sari bersikeras. "Biarkan kami keluar dari sini. Kami tak akan
memberitahu siapa pun apa yang terjadi. Sungguh!"
"Silakan naik ke dalam peti ini," tegas Ahmed tak sabar. "Kita harus menunggu
hingga getah itu siap."
"Kami tak akan ke sana," kataku.
Seluruh tubuhku gemetar. Aku bisa merasakan darah berdenyut di pelipisku. Aku
bahkan tak menyadari aku mengatakan apa yang kukatakan. Aku sangat takut, aku
bahkan tak bisa mendengar diriku sendiri.
Aku melirik Sari. Dia berdiri menantang dengan tangan bersedekap erat di atas
dadanya. Tapi meskipun dia bersikap berani, aku bisa melihat dagunya gemetar dan
matanya mulai berlinang air mata.
"Ke peti," ulang Ahmed, "tunggu nasib kalian. Khala tak akan terus menunggu.
Kutukan kuno akan dilakukan atas namanya."
"Tidak!" Aku berteriak marah.
Aku berjinjit dan menatap ke peti mumi besar itu. Baunya sangat asam di sana,
aku hampir terlempar. Peti ini terbuat dari kayu. Melengkung, kotor dan dalamnya terkelupas. Dalam
cahaya berkedip-kedip, aku yakin aku melihat puluhan serangga merayap di sana.
"Ayo ke dalam peti itu sekarang!" tuntut Ahmed.
19
Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sari naik ke sisi atas dan menurunkan dirinya ke peti mumi kuno itu. Dia selalu
ingin menjadi yang pertama dalam segala hal. Tapi sekali ini adalah salah satu
waktu dimana aku tak keberatan.
Aku ragu-ragu, menyandarkan tanganku di atas kayu yang membusuk di sisi peti.
Aku melirik ke peti berikutnya, peti dengan Paman Ben dalamnya. Peti itu dari
batu berukir, dan tutup batu berat telah menutupinya, menyegelnya dengan kuat.
Apa Paman Ben punya udara di sana" Aku bertanya-tanya, dicekam ketakutan. Apakah
ia bisa bernapas" Dan, lalu, aku berpikir muram, apa bedanya" Kami bertiga akan segera mati. Kami
bertiga akan menjadi mumi, dikurung dalam ruangan tersembunyi ini selamanya.
"Masuk - sekarang!" Ahmed memerintahkan, matanya yang gelap menyala kepadaku.
"Aku - aku hanya anak kecil!" teriakku. Aku tak tahu darimana kata-kata itu
dari. Aku sangat takut, aku benar-benar tak tahu apa yang kukatakan.
Satu cibiran tak menyenangkan terbentuk di wajah Ahmed. "Banyak dari firaun
(raja Mesir) seumurmu saat mati," katanya.
Aku ingin tetap membuatnya berbicara. Aku punya ide putus asa bahwa jika aku
bisa membuat percakapan terjadi, aku bisa membawa kami keluar dari kekacauan
ini. Tapi aku tak bisa memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Otakku membeku.
"Masuk," perintah Ahmed, bergerak ke arahku mengancam.
Merasa benar-benar kalah, aku meluncurkan satu kakiku ke samping peti mati busuk
itu, mengangkat diri, dan kemudian turun di samping Sari.
Dia menundukkan kepalanya, dan matanya tertutup rapat. Kupikir dia sedang
berdoa. Dia tak melirik, bahkan saat aku menyentuh bahunya.
Tutup peti mulai meluncur di atas kami. Hal terakhir yang kulihat adalah nyala
api merah melompat-lompat di atas lubang getah. Kemudian tutupnya menutupi kami
ke dalam kegelapan penuh.
"Gabe..." Sari bisik beberapa detik setelah tutupnya ditutup. "Aku takut."
Untuk beberapa alasan, pengakuannya membuatku tertawa terkekeh. Dia mengatakan
itu dengan terkejut. Seolah-olah takut adalah pengalaman baru yang mengejutkan.
"Aku terlalu takut untuk menjadi takut," bisikku kembali.
Dia meraih tanganku dan meremasnya. Tangannya bahkan lebih dingin dan lebih
basah dariku. "Dia gila," bisiknya.
"Ya aku tahu,." Jawabku, masih memegang tangannya.
"Kupikir ada serangga di sini," katanya dengan gemetar. "Aku bisa merasakan
mereka merayap padaku."
"Aku juga," kataku. Aku menyadari bahwa aku menggertakkan gigi. Aku selalu
melakukan itu saat aku gugup. Dan sekarang aku lebih gugup daripada yang kupikir
mungkin secara manusiawi.
"Kasihan Ayah," kata Sari.
Udara dalam peti mati itu sudah mulai terasa pengap dan panas. Aku mencoba
mengabaikan bau asam menjijikkan, tetapi bau itu telah bergerak perlahan-lahan
ke dalam lubang hidungku, dan aku bahkan bisa mencicipinya. Aku menahan napas
agar tak tersedak. "Kita akan mati lemas di sini," kataku murung.
"Dia akan membunuh kita sebelum kita bisa mati lemas," keluh Sari. "Aduh!" Aku
bisa mendengar menampar seekor serangga di lengannya.
"Mungkin sesuatu akan terjadi," kataku. Cukup bodoh. Tapi aku tak bisa
memikirkan harus berkata apa lagi. Aku tak bisa berpikir. Titik.
"Semua yang terus kupikirkan adalah bagaimana ia akan merogoh otakku dan
menariknya keluar melalui hidungku," keluh Sari. "Mengapa kau harus
memberitahuku, Gabe?"
Aku butuh waktu untuk menjawab. Lalu, aku hanya bisa berkata, "Maaf." Aku mulai
membayangkan hal yang sama, dan gelombang mual lainnya melandaku.
"Kita tak bisa hanya duduk di sini," kataku. "Kita harus melarikan diri." Aku
mencoba mengabaikan bau tebal dan asam.
"Hah" Bagaimana?"
"Mari kita coba mendorong tutupnya," kataku. "Mungkin kalau kita dorong bersama-
sama..." Aku menghitung sampai tiga dalam bisikan pelan, dan kami berdua meluruskan
tangan kami ke bagian atas peti mati dan mendorongnya sekeras yang kami bisa.
Tidak. Tutup itu tak akan bergeming.
"Mungkin dia menguncinya atau menempatkan sesuatu yang berat di atasnya," saran
Sari dengan desahan sedih.
"Mungkin," jawabku, merasa seperti menderita.
Kami duduk dalam keheningan untuk sementara waktu. Aku bisa mendengar napas
Sari. Dia seperti terisak-isak saat dia bernapas. Aku sadar jantungku berpacu.
Aku bisa merasakan pelipisku berdenyut.
Aku membayangkan kait panjang yang akan Ahmed gunakan pada otak kami untuk
menariknya keluar dari kepala kami. Aku mencoba untuk memaksa pikiran itu keluar
dari pikiranku, tetapi tak mau hilang.
Aku teringat satu mumi pada dua Halloweens lalu, dan bagaimana kostum itu
terlepas di depan teman-temanku.
Sedikit yang kuketahui kemudian bahwa aku akan segera memiliki kostum mumi yang
tak akan pernah terlepas.
Waktu pun berlalu. Aku tak tahu berapa lama.
Aku menyadari bahwa aku telah duduk dengan menyilangkan kaki. Sekarang kakiku
mulai kesemutan. Aku meluruskannya dan meregangkannya keluar. Peti mumi ini
begitu besar, Sari dan aku berdua bisa menjatuhkannya jika kami inginkan.
Tapi kita terlalu tegang dan takut untuk berbaring.
Aku adalah yang pertama untuk mendengar suara garukan. Seperti sesuatu yang
memanjat dengan cepat di dalam peti mumi.
Pada awalnya kupikir itu Sari. Tapi dia meraih tanganku dengan tangannya yang
dingin, dan aku sadar, ia tak bergerak dari di depanku.
Kami berdua mendengar suara keras.
Sesuatu di dekat kami, sesuatu tepat di samping kami, menabrak sisi peti.
Sebuah mumi" Apa ada mumi dalam peti ini dengan kami"
Bergerak" Aku mendengar erangan pelan.
Sari meremas tanganku begitu erat, sakit, dan aku menjerit tajam.
Suara lain. Lebih dekat. "Gabe -" bisik Sari, suaranya kecil dan melengking. "Gabe - ada sesuatu di sini
bersama kita!" 20 Ini bukan mumi, aku berkata pada diriku sendiri.
Tidak bisa. Ini serangga. Seekor serangga yang sangat besar. Bergerak di lantai peti mati.
Ini bukan mumi. Ini bukan mumi.
Kata-kata itu berulang-ulang dalam pikiranku.
Aku tak terlalu lama untuk memikirkan benda itu. Apa pun itu merayap mendekat.
"Hei!" bisik sebuah suara.
Sari dan aku sama-sama memjerit.
"Di mana kalian?"
Kami mengenali suara itu segera.
"Paman Ben!" teriakku, menelan ludah, jantungku berdebar-debar.
"Ayah!" Sari menerjang lebih melewatiku untuk mendapatkan ayahnya.
"Tapi bagaimana?" Aku tergagap. "Bagaimana Anda bisa di sini?"
"Mudah," jawabnya, meremas bahuku meyakinkan.
"Ayah - aku tak percaya!" Sari meratap. Aku tak bisa melihat dalam kegelapan
peti tertutup, tapi kupikir dia menangis.
"Aku baik-baik saja. Aku baik-baik," ulangnya beberapa kali, mencoba
menenangkannya. "Bagaimana kau bisa keluar dari peti itu dan ke dalam peti yang satu ini?" Aku
bertanya, benar-benar bingung dan takjub.
"Ada jalan keluar," kata Paman Ben. "Satu lubang kecil dengan jalan keluar.
Orang-orang Mesir membangun pintu keluar tersembunyi dan melarikan diri dari
dalam kebanyakan peti mumi mereka mumi. Untuk jiwa mayat itu agar bisa pergi."
"Wow," kataku. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Ahmed begitu terjebak dalam omong kosong kutukan kuno itu, ia lupa tentang
rincian kecil ini," kata Paman Ben, aku merasakan tangannya di bahuku lagi.
"Ayolah, kalian berdua. Ikuti aku."
"Tapi dia di luar sana -" aku mulai.
"Tidak," jawab Paman Ben cepat. "Dia menyelinap pergi. Ketika aku turun dari
petiku, aku mencarinya. Aku tak melihatnya di mana pun. Mungkin ia pergi ke
tempat lain sementara dia menunggu getah itu untuk mendapatkan panas yang cukup.
Atau mungkin dia memutuskan untuk cukup meninggalkan kita mati lemas dalam peti-
peti mumi itu. " Aku merasa seekor serangga meluncur di kakiku. Aku menamparnya, kemudian mencoba
untuk menariknya keluar dari dalam kaki celana jinsku.
"Kita pergi keluar," kata Paman Ben.
Aku mendengar dia mengerang saat ia berbalik dalam peti mati besar itu. Lalu aku
bisa mendengarnya merangkak ke belakang.
Aku melihat sebuah persegi panjang kecil bercahaya saat ia membuka pintu
tersembunyi di belakang peti ini. Itu adalah lubang pelarian yang sangat kecil,
hanya cukup besar bagi kami untuk melaluinya dengan menekan tubuh.
Aku mengikuti Paman Ben dan Sari keluar dari peti ini, meluruskan diri untuk
merangkak keluar melewati lubang kecil itu, kemudian menjatuhkan diriku ke
posisi merangkak di lantai kamar.
Butuh beberapa saat bagi mataku untuk menyesuaikan diri dengan (cahaya yang)
terang. Api merah masih menari-nari di atas lubang getah yang menggelembung, bayangan-
bayangan biru menakutkan tampak pada ke empat dinding ruangan. Mumi-mumi berdiri
seperti sebelumnya, membeku di tempat di sekeliling ruangan, bayangan-bayangan
berkelap-kelip pada wajah-wajah tak lengkap mereka.
Saat matatu mulai terfokus, aku melihat bahwa Paman Ben terluka memar besar
gelap di sisi kepalanya. Satu koyakan lebar dengan darah yang mengering
mencoreng pipinya. "Ayo keluar dari sini sebelum Ahmed kembali," bisiknya, berdiri antara kita,
satu tangan pada setiap bahu kami.
Sari tampak pucat dan gemetar. Bibir bawahnya berdarah karena kunyahan padanya
begitu keras. Paman Ben mulai menuju tangga tali di tengah ruangan, tapi kemudian berhenti.
"Ini akan butuh waktu terlalu lama," katanya, berpikir keras. "Ayo. Ke
terowongan. Cepat." Kami bertiga mulai berlari menuju terowongan di sudut (ruangan). Melihat ke
bawah, kulihat bahwa tali sepatu bodohku terlepas lagi. Tapi tak mungkin bagiku
untuk berhenti mengikatnya!
Kami akan keluar dari sini!
Beberapa detik sebelumnya, aku telah kehilangan harapan. Tapi sekarang, di sini
kami keluar dari peti mumi dan menuju kebebasan.
Kami hanya beberapa meter di depan pintu masuk terowongan saat terowongan itu
tiba-tiba dipenuhi dengan cahaya oranye.
Kemudian, dari luar terowongan, Ahmed muncul, memegang obor baru di depannya,
nyala api itu menunjukkan wajahnya yang tampak terkejut.
"Tidak!" Sari dan aku berteriak serempak.
Kami bertiga tergelincir berhenti tepat di depannya.
"Kalian tak bisa kabur!"kata Ahmed pelan, cepat mendapatkan kembali
ketenangannya, ekspresinya kagetnya menegang menjadi kemarahan. "Kalian tak bisa
lolos!" Dia mendorongkan obor ke arah Paman Ben, yang dipaksa untuk jatuh ke belakang,
menjauh dari jangkauan api mendesis. Dia mendarat keras di sikunya dan berteriak
kesakitan. Teriakannya menyebabkan senyum muram di bibirAhmed. "Kau telah membuat marah
Khala," katanya, mengangkat obor di atas kepalanya dan meraih ujung sarung
belati di pinggangnya. "Kau tak akan bergabung dengan pelanggar lain dari
ruangan ini." Wah. Aku menarik napas lega.
Ahmed telah berubah pikiran. Dia mempertimbangkan tak akan mengubah kita menjadi
mumi. "Kalian bertiga akan mati di lubang getah," katanya.
Sari dan aku bertukar pandang ngeri. Paman Ben kembali berdiri dan melingkarkan
lengannya di sekeliling kami. "Ahmed, tidak bisakah kita berbicara tentang ini
dengan tenang dan rasional sebagai ilmuwan?" tanyanya.
"Ke lubang getah," perintah Ahmed, dengan marah menyodorkan obor menyala pada
kami. "Ahmed - kumohon!" teriak Paman Ben dengan merengek dengan nada ketakutan yang
tak pernah kudengar darinya sebelumnya.
Ahmed mengabaikan permintaan putus asa Paman Ben. Mendorong obor di punggung
kami dan memberi isyarat dengan belati berbilah panjang, ia memaksa kami untuk
berjalan ke tepi lubang. Getah itu menggelegak ribut sekarang, membuat letupan jelek dan suara menghisap.
Lidah api melintas puncaknya yang rendah dan merah,
Aku mencoba menariknya kembali. Baunya begitu buruk. Dan uapnya begitu panas,
membuat wajahku (serasa) terbakar.
"Satu demi satu, kalian akan melompat," kata Ahmed.
Dia berdiri beberapa kaki di belakang kami saat kami menatap ke dalam getah yang
menggelegak itu. "Jika kalian tak melompat, aku terpaksa mendorong kalian."
"Ahmed -" Paman Ben memulai. Tapi Ahmed menyentuhkan obor ke punggung Paman Ben.
"Telah datang giliranku," kata Ahmed khidmat. "Kehormatan untuk melakukan
keinginan Khala itu."
Uap getah itu begitu luar biasa, kupikir aku akan pingsan. Lubang itu mulai
miring di depanku. Aku merasa sangat pusing.
Aku memasukkan tanganku ke saku celana jeans, kurasa untuk menenangkan diriku
sendiri. Dan tanganku berakhir pada sesuatu yang telah kulupakan.
Summoner (Si Pemanggil). Tangan mumi yang kubawa ke mana-mana.
Aku tak yakin mengapa - aku tak berpikir jernih sama sekali - tetapi aku menarik
tangan mumi kecil itu. Aku berputar cepat. Dan aku menahan tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Aku tak bisa benar-benar menjelaskan apa yang terjadi dalam pikiranku. Aku
begitu takut, begitu penuh dengan rasa takut, aku telah berpikir seratus hal
sekaligus. Mungkin kuberpikir tangan mumi itu akan mengalihkan perhatian Ahmed.
Atau menarik baginya. Atau membingungkan dia. Atau membuatnya takut. Mungkin aku hanya mengulur-ulur waktu.
Atau mungkin aku tanpa sadar mengingat legenda di balik tangan itu yang
diceritakan anak di bengkel lelang padaku.
Legenda mengapa tangan itu disebut Summoner.
Bagaimana tangan itu digunakan untuk memanggil jiwa-jiwa dan roh-roh kuno.
Atau mungkin aku tak berpikir apa-apa.
Tapi aku berbalik dan mencengkeramnya dengan pergelangan tangan yang ramping,
memegang tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Dan menunggu. Ahmed menatapnya. Tapi tak terjadi apa-apa.
21 Aku menunggu, berdiri di sana seperti Patung Liberty dengan tangan kecil itu
terangkat tinggi di atas kepalaku.
Tampaknya seolah-olah aku berdiri seperti itu selama berjam-jam.
Sari dan Paman Ben menatap tangan itu.
Menurunkan obor beberapa inci, Ahmed memicingkan mata di tangan mumi. Kemudian
matanya melebar, dan mulutnya ternganga kaget.
Ia berteriak. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Kata-kata itu dalam bahasa
yang belum pernah kudengar. Mungkin bahasa Mesir Kuno.
Dia melangkah mundur, ekspresi terkejut dengan cepat digantikan oleh pandangan
mata melebar ketakutan. "Tangan Pendeta itu!" teriaknya.
Setidaknya, itulah yang kupikir dia jeritkan - karena aku tiba-tiba terganggu
oleh apa yang terjadi di belakangnya.
Sari menjerit pelan. Kami bertiga menatap melewati bahu Ahmed tak percaya.
Satu mumi yang bersandar di dinding tampaknya condong ke depan.
Mumi lain yang berbaring terlentang, perlahan-lahan duduk, berderit seperti
bangkit sendiri. "Tidak!" teriakku, masih memegangi tangan mumi itu tinggi-tinggi.
Sari dan Paman Ben ternganga dengan mata melebar saat ruang yang luas itu
Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipenuhi dengan gerakan. Saat mumi-mumi itu berderit dan mengerang hidup.
Udara penuh dengan bau tengik debu kuno dari pembusukan.
Dalam cahaya remang-remang, aku melihat satu mumi, lalu mumi lainnya, berdiri
tegak, berdiri tinggi. Mereka mengulurkan tangan diperban mereka di atas kepala-
kepala tak lengkap mereka. Perlahan-lahan. Menyakitkan.
Berjalan sempoyongan, bergerak kaku, mumi-mumi terhuyung-huyung ke depan.
Aku menyaksikan, membeku dengan takjub, saat mereka keluar dari peti mumi,
bangkit dari lantai, membungkuk ke depan, mengambil langkah lambat pertama
mereka, langkah-langkah berat, otot-otot mereka mengerang, debu beterbangan dari
mayat-mayat kering mereka.
Mereka sudah mati, pikirku.
Mereka semua. Mati. Mati selama bertahun-tahun.
Tapi sekarang mereka bangkit, naik dari peti mati kuno mereka, berjuang dengan
susah payah ke arah kami dengan kaki-kaki mati mereka yang berat.
Kaki diperban mereka menggaruk lantai ruangan saat mereka berkumpul dalam
kelompok. Garuk. Garuk. Garuk. Suatu suara seretan kaki yang aku tahu aku tak akan pernah melupakannya.
Garuk. Garuk. Tentara berwajah tak lengkap itu mendekat. Lengan-lengan diperban terulur,
mereka terhuyung-huyung ke arah kami, berderit dan mengerang. Mengerang lembut
dengan kesakitan kunonya.
Keterkejutan Ahmed tertangkap oleh wajah kami dan ia berputar-putar.
Dia berteriak lagi dalam bahasa yang aneh saat ia melihat mumi-mumi maju kepada
kami, menggesek begitu pelan, begitu tenang dan berhati-hati, melintasi lantai
ruangan. Dan, kemudian, dengan teriakan marah, Ahmed mengangkat obor pada mumi yang
memimpin. Obor itu menghantam dada mumi itu dan terpental ke lantai. Api meledak dari dada
mumi itu, segera menyebar ke lengan dan ke bawah kaki.
Tapi mumi itu terus maju, tak melambat, tak bereaksi sama sekali pada api yang
dengan cepat melalapnya. Menganga denga mulut terbuka ngeri, mengoceh seolah kata-katanya tak ada
habisnya dalam bahasa misterius itu, Ahmed mencoba untuk lari.
Tapi ia terlambat. Mumi terbakar itu menerjang ke arahnya. Sosok tubuh kuno itu menangkap
tenggorokan Ahmed, mengangkatnya tinggi di atas bahunya yang berkobar-kobar.
Ahmed mengucapkan jeritan tinggi bernada ngeri saat mumi lain terhuyung-huyung
ke depan. Mengerang dan meratap melalui perban mereka menguning, mereka bergerak
untuk membantu rekan yang terbakar.
Mereka mengangkat Ahmed tinggi di atas kepala-kepala mereka yang mengerang.
Dan kemudian menahannya di atas lubang getah yang terbakar.
Menggeliat-geliat dan menendang-knendang, Ahmed mengeluarkan jeritan tajam saat
mereka menahannya di atas getah yang mendidih, menggelegak, dan mengepul.
Aku memejamkan mata. Panas dan asap getah itu berputar-putar di sekitarku. Aku
merasa seolah-olah aku sedang ditelan, ditarik ke dalam kegelapan asap.
Ketika aku membuka mata, aku melihat Ahmed melarikan diri ke terowongan, berlari
sempoyongan gedebak gedebuk, menjerit-jerit ketakutan dengan mulut ternganga
saat ia berlari. Mumi-mumi tetap di lubang itu, menikmati kemenangan mereka.
Aku menyadari bahwa aku masih memegang tangan mumi di atas kepalaku. Aku
menurunkannya perlahan-lahan, dan menatap Sari dan Paman Ben. Mereka berdiri di
sampingku, wajah mereka penuh dengan kebingungan. Dan lega.
"Mumi-mumi itu -" Aku berhasil mengucapkannya.
"Lihat," kata Sari, menunjuk.
Aku mengikuti arah tatapannya. Para mumi itu semuanya kembali pada tempatnya.
Sebagian menyandar, sebagian lagi bersandar dengan sudut aneh, sebagian berbaring.
Mereka berada di tempat persis di tempat mereka saat aku memasuki ruangan itu.
"Hah?" Mataku sangat cepat mengitari seluruh ruangan.
Apakah mereka semua bergerak" Apakah mereka bangkit sendiri, berdiri, dan
terhuyung-huyung ke arah kami" Atau apakah kami membayangkan itu semua"
Tidak. Kami tak bisa membayangkan itu.
Ahmed telah pergi. Kami selamat.
"Kita baik-baik saja," kata Paman Ben bersyukur, menaruh tangannya padaku dan
Sari. "Kita baik-baik saja. Kita baik-baik saja.."
"Kita bisa pergi sekarang!" Sari menangis bahagia, memeluk ayahnya. Lalu ia
berpaling ke arahku. "Kau menyelamatkan hidup kami," katanya. Dia serasa
tercekik dengan kata-kata itu. Tapi dia mengucapkannya.
Kemudian Paman Ben memalingkan pandangannya kepadaku dan benda itu masih
kucengkeram erat di depanku. "Trim's untuk pertolongannya," kata Paman Ben.
*** Kami makan malam besar di restoran saat kembali di Kairo. Ini adalah mujizat
masing-masing dari kami makan dalam jumlah besar turun sejak kami semua
berbicara bersamaan, berceloteh penuh semangat, menghidupkan kembali petualangan
kami, mencoba untuk memahami semuanya.
Aku memutar Summoner di sekitar meja.
Paman Ben menyeringai padaku. "Aku tak tahu betapa istimewanya tangan mumi itu!"
Dia mengambilnya dariku dan memeriksa dengan cermat. "Sebaiknya jangan bermain
dengan itu," katanya serius. "Kita harus memperlakukan dengan hati-hati." Dia
menggelengkan kepalanya. "Aku ilmuwan besar luar biasa!" ia berseru mencemooh.
"Saat aku melihatnya, kupikir itu hanya mainan, barang tiruan. Tapi tangan ini
mungkin penemuan terbesarku dari semuanya!."
"Ini jimat keberuntunganku," kataku, memperlakukannya dengan lembut saat aku
mengambilnya kembali. "Kau bisa mengatakan itu lagi!" Sari memberikan penghargaan. Hal terbaik yang
pernah ia katakan kepadaku.
Kembali di hotel, aku terkejut sendiri karena tertidur seketika. Kupikir aku
akan terjaga sampai selama berjam-jam, memikirkan semua yang telah terjadi. Tapi
kurasa semua kehebohan itu menghabiskan tenagaku.
*** Keesokan paginya, Sari, Paman Ben, dan aku sarapan besar di kamar itu. Aku punya
sepiring orak-arik telur dan semangkuk Frosted Flakes. Saat aku makan, aku
bermain-main dengan tangan mumi kecil iti.
Kami bertiga merasa baik, senang bahwa petualangan menakutkan kami telah
berakhir. Kami saling bercanda, menggoda satu sama lain, banyak tertawa.
Setelah aku menyelesaikan serealku, aku mengangkat tangan tinggi mumi kecil. "O,
Summoner," teriak saya dengan suara dalam, "Aku memanggil roh-roh kuno. Ayo
hiduplah. Ayo hiduplah kembali!"
"Hentikan, Gabe," bentak Sari. Dia menyambar tangan itu, tapi aku mengayunkannya
keluar dari jangkauannya.
"Ini tak lucu," katanya. "Kau tak seharusnya bermain-main seperti itu."
"Apakah kau penakut?" tanyaku, menertawakannya. Aku bisa melihat bahwa ia benar-
benar ketakutan, yang membuatku menikmati lelucon kecilku bahkan lebih.
Menjaga tangan itu dari jangkauannya, aku mengangkat tangan itu tinggi-tinggi.
"Aku memanggil kalian, roh-roh mati yang kuno," teriakku. "Datanglah padaku.
Datanglah padaku sekarang!."
Dan ada ketukan keras di pintu.
Kami bertiga terengah-engah.
Paman Ben menjatuhkan gelas jusnya. Gelas itu berdentang di meja dan tumpah.
Aku membeku dengan tangan kecil itu di udara.
Ketukan keras lagi. Kami mendengar garukan di pintu. Suara kuno, jari-jari diperban berusaha
(membuka) kunci. Sari dan aku bertukar pandang ngeri.
Aku perlahan-lahan menurunkan tangannya saat pintu terbuka.
Dua sosok bayangan terhuyung-huyung ke dalam ruangan.
"Ibu dan Ayah!"teriakku.
Aku berani bertaruh mereka terkejut melihat betapa senangnya aku melihat mereka.
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Darah Seratus Bayi 2 Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Keris Pusaka Sang Megatantra 5