Pencarian

Kutukan Makam Mummy 2

Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy Bagian 2


Tutupnya terangkat sedikit lagi.
Dan aku mendengar suara mendesis datang dari dalam peti mati besar itu, seperti
udara yang keluar dari teko kopi baru saat pertama kali kau membukanya.
Dengan mengeluarkan teriakan pelan lainnya, aku mundur selangkah lagi.
Tutup itu terangkat beberapa inci lagi.
Aku mundur selangkah lagi.
Dan menjatuhkan senter. Aku mengambilnya dengan tangan gemetar dan menyoroti lagi peti mumi itu.
Tutup itu sekarang telah terbuka hampir satu kaki.
Aku menarik napas dari udara dalam-dalam dan menahannya.
Aku ingin lari, tapi rasa takutku membuatku membeku di tempat.
Aku ingin berteriak, tapi aku tahu aku tak akan mampu mengeluarkan suara.
Tutup itu berderit dan membuka seinci lagi.
Seinci lagi. Aku merendahkan senter ke lubang itu, cahayanya bergetar dengan tanganku.
Dari kedalaman yang gelap dari peti kuno itu, aku melihat dua mata menatap ke
arahku. 6 Aku terkesiap diam. Aku membeku. Aku merasakan hawa udara dingin zigzag (berliku-liku) ke punggungku.
Tutup itu perlahan-lahan terbuka seinci lagi.
Mata itu menatap ke arahku. Mata yang dingin. Mata yang jahat.
Mata yang kuno. Mulutku ternganga. Dan bahkan sebelum aku menyadarinya, aku mulai menjerit.
Teriakan di bagian atas paru-paruku.
Saat aku berteriak, aku tak bisa berpaling, tak mampu berlari, tak bisa
bergerak, tutup itu bergeser terbuka seluruhnya.
Perlahan-lahan, seolah-olah dalam mimpi, satu sosok gelap bangkit sendiri dari
dalam peti mumi itu dan keluar.
"Sari!" Suatu senyum lebar melintas di wajahnya. Matanya bersinar gembira.
"Sari - itu tak lucu!" Aku berhasil berteriak dengan suara bernada tinggi yang
memantul ke dinding batu.
Tapi sekarang dia tertawa terlalu keras untuk mendengarku.
Tawa keras, mengejek. Aku begitu marah, dengan kalut aku mencari sesuatu untuk kulemparkan padanya.
Tapi ada tak apa-apa, bahkan tak ada sebutir kerikil pun di lantai.
Menatapnya, dadaku masih sesak karena ketakutanku, aku benar-benar membencinya
setelah itu. Dia telah membuatku benar-benar bodoh. Aku telah berteriak seperti
bayi. Aku tahu ia tak akan membiarkan hidupku beruntung.
Tak pernah. "Wajahmu!" serunya ketika akhirnya dia berhenti tertawa. "Kuharap aku punya
kamera." Aku terlalu marah untuk menjawab. Aku hanya menggeram padanya.
Aku menarik tangan mumi kecil dari saku belakangku dan mulai menggulungnya di
dalam tanganku. Aku selalu bermain-main dengan tangan itu saat aku marah. Ini
biasanya membantu menenangkanku.
Tapi sekarang aku merasa seolah-olah aku tak akan pernah tenang.
"Aku bilang padamu bahwa kemarin aku telah menemukan satu peti mumi yang
kosong," katanya, menyikat rambut ke belakang wajahnya. "Apa kau tak ingat?"
Aku menggeram lagi. Aku merasa seperti benar-benar bodoh.
Pertama aku tertipu kostum mumi bodoh ayahnya. Dan sekarang ini.
Diam-diam aku bersumpah pada diriku sendiri akan membayarnya kembali. Meskipun
itu adalah hal terakhir yang aku lakukan.
Dia masih tertawa tentang lelucon besarnya. "Ekspresi wajahmu," katanya lagi,
sambil menggeleng kepalanya. Menggosok-gosoknya.
"Kau juga tak akan suka kalau aku menakut-nakutimu," gumamku marah.
"Kau tak akan bisa menakut-nakutiku," jawabnya. "Aku tak akan begitu mudah
ketakutan." "Hah!" Itu jawaban terbaik yang bisa kupikirkan. Aku tahu tak terlalu pintar. Tapi aku
terlalu marah untuk menjadi pintar.
Aku membayangkan diriku mengangkat Sari dan melemparkannya kembali ke dalam peti
mumi, merobohkan tutupnya, dan menguncinya - ketika aku mendengar langkah-
langkah kaki mendekat di dalam terowongan.
Melirik Sari, aku melihat ekspresi wajahnya berubah. Dia juga mendengarnya.
Beberapa detik kemudian, Paman Ben menghambur masuk ke ruangan kecil itu. Aku
bisa melihat langsung, bahkan dalam cahaya redup, bahwa ia benar-benar marah.
"Kupikir aku bisa mempercayai kalian berdua," katanya, berbicara dengan gigi
terkatup. "Ayah -" Sari mulai.
Tapi ia memotongnya tajam. "Aku mempercayaimu untuk tak berkeliaran tanpa
memberitahuku. Apa kau tahu bagaimana mudahnya untuk tersesat di tempat ini"
Tersesat selamanya?"
"Ayah," Sari mulai lagi. "Aku hanya menunjukkan Gabe ruangan ini yang kutemukan
kemarin. Kami akan segera kembali. Sungguh."
"Ada ratusan terowongan," kata Paman Ben panas, mengabaikan penjelasan Sari itu.
"Mungkin ribuan .Banyak dari terowongan-terowongan itu belum pernah dijelajahi.
Tak seorang pun pernah berada di bagian piramida ini. Kita tak tahu bahaya apa
yang ada di sana. Kalian berdua tak bisa berkeliaran begitu saja sendirian. Apa
kalian tahu bagaimana paniknya aku ketika aku berbalik dan kalian sudah tak ada"
" "Maaf," kata Sari dan aku sama-sama serempak.
"Ayo pergi," kata Paman Ben, menunjuk ke pintu dengan senternya. "Kunjungan
piramida kalian sudah berakhir untuk hari ini."
Kami mengikutinya ke dalam terowongan. Aku merasa benar-benar buruk. Aku tak
hanya terkena lelucon bodoh Sari, tapi aku telah membuat paman favoritku benar-
benar marah. Sari selalu membuatku kesulitan, pikirku pahit. Sejak kami masih anak kecil.
Sekarang ia berjalan di depanku, bergandengan tangan dengan ayahnya,
menceritakan sesuatu kepadanya, wajahnya dekat telinga. Tiba-tiba mereka berdua
tertawa terbahak-bahak dan berbalik untuk menatapku.
Aku bisa merasakan wajahku mulai panas.
Aku tahu apa yang diceritakannya kepadanya.
Dia bercerita tentang bersembunyi dalam peti mumi dan membuat aku menjerit
ketakutan seperti bayi. Dan sekarang mereka berdua tertawa tentang betapa
brengseknya aku. "Selamat Natal juga kepada kalian!"teriakku pahit.
Dan itu membuat mereka tertawa bahkan lebih keras.
*** Kami menghabiskan malam kembali di hotel di Kairo. Aku mengalahkan Sari dalam
dua game Scrabble secara langsung, tapi itu tak membuatku merasa lebih baik.
(Scrabble = permainan menyusun kata dari biji-biji huruf pada papan permainan
berkotak-kotak, 15 baris 15 kolom-pen)
Dia terus mengeluh bahwa ia hanya dapat vokal saja, sehingga permainan itu tak
adil. Akhirnya, aku menempatkan perlengkapan Scrabbleku kembali di kamarku, dan
kami duduk dan menatap TV.
*** Keesokan paginya, kami sarapan di dalam kamar. Aku memesan kue dadar, tetapi tak
terasa seperti kue dadar manapun yang pernah kumakan. Kue itu alot dan kasar,
seolah-olah terbuat dari kulit sapi atau sesuatu lainnya.
"Apa yang kita lakukan hari ini?" tanya Sari kepada Paman Ben, yang masih
menguap dan meregang setelah dua cangkir kopi hitam.
"Aku ada janji di Museum Kairo," katanya kepada kami, melirik arlojinya. "Ini
hanya beberapa blok jauhnya Kupikir kalian mungkin ingin berkeliling museum
sementara aku mengadakan pertemuanku.."
"Ooh, betapa menggairahkan dan mengerikan," kata Sari sinis. Dia menghirup
sesendok lagi Frosted Flakes.
(Frosted Flake = sereal untuk sarapan yang diproduksi perusahaan Kellog
berkomposisi dari gula dan jagung. Maskotnya adalah macan bernama Tony)
Kotak Frosted Flakes kecil itu ada tulisan bahasa Arab di atasnya, dan Tony si
Macan mengatakan sesuatu dalam bahasa Arab. Aku ingin menyimpannya dan
membawanya pulang untuk menunjukkannya kepada teman-temanku. Tapi aku tahu Sari
akan mengolok-olokku jika aku meminta kotak itu kepadanya, jadi aku tak
melakukannya. "Museum ini memiliki koleksi mumi yang menarik, Gabe," kata Paman Ben kepadaku.
Dia mencoba untuk menuangkan secangkir kopi ketiga, namun teko itu kosong. "Kau
akan menyukainya." "Kecuali mereka keluar dari peti-peti mereka," kata Sari.
Bodoh. Benar-benar bodoh.
Aku menjulurkan lidahku padanya. Dia melemparkan Frosted Flake basah itu
kepadaku menyeberangi meja.
"Kapan ibu dan ayahku kembali?" tanyaku pada Paman Ben. Tiba-tiba aku menyadari
bahwa aku merindukan mereka.
Dia mulai menjawab, tapi telepon berdering. Dia berjalan ke kamar tidur dan
mengangkatnya. Itu adalah telepon hitam model kuno dengan putaran angka bukan
tombol. Saat dia berbicara, wajahnya penuh dengan keprihatinan.
"Perubahan rencana," katanya beberapa detik kemudian, menggantung gagang telepon
dan kembali ke ruang tamu.
"Ada apa, Ayah?" tanya Sari, mendorong mangkuk sereal pergi.
"Ini sangat aneh," jawabnya, menggaruk belakang kepalanya. "Dua pekerjaku jatuh
sakit semalam. Semacam penyakit misterius." Ekspresinya jadi berpikir, khawatir.
"Mereka membawa keduanya ke sebuah rumah sakit di Kairo."
Dia mulai mengumpulkan dompet dan beberapa barang-barang lain. "Kupikir lebih
baik aku segera ke sana," katanya.
"Tapi bagaimana dengan Gabe dan aku?" tanya Sari, melirikku.
"Aku hanya akan pergi satu jam atau lebih," jawab ayahnya. "Tinggallah di sini
dalam ruangan, oke?"
"Di dalam ruangan?" teriak Sari, membuatnya terdengar seperti hukuman.
"Yah, baiklah. Kalian bisa pergi ke lobi, jika kalian ingin. Tapi jangan
meninggalkan hotel."
Beberapa menit kemudian, ia menarik jaket safari cokelatnya, memeriksa untuk
terakhir kali untuk memastikan bahwa dompet dan kuncinya ada, dan bergegas
keluar pintu. Sari dan aku saling menatap muram sat sama lainnya.
"Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku, menusuk kue dadar dingin yang tak dimakan
di piringku dengan garpu.
Sari mengangkat bahu. "Apakah panas di sini?"
Aku mengangguk. "Ya. Ini sekitar seratus dua puluh derajat."
"Kita harus keluar dari sini," katanya, berdiri dan meregang.
"Maksudmu turun ke lobi?" Tanyaku, masih menusuk kue dadar, menariknya menjadi
potongan-potongan dengan garpu.
"Tidak. Maksudku keluar dari sini," jawabnya. Dia berjalan ke cermin di pintu
masuk dan mulai menyikat lurus, rambut hitam.
"Tapi Paman Ben berkata -" aku mulai.
"Kita tak akan pergi jauh," katanya, dan kemudian cepat-cepat menambahkan, "jika
kau takut." Aku menyeringai padanya. Aku tak berpikir dia melihatku. Dia sedang sibuk
mengagumi dirinya di cermin.
"Oke," kataku. "Kita bisa pergi ke museum. Ayahmu mengatakan itu hanya satu blok
jauhnya." Aku bertekad untuk tak menjadi pengecut lagi. Jika dia tak ingin mematuhi
ayahnya dan pergi keluar, tak apa-apa bagiku. Mulai sekarang, aku memutuskan,
aku akan menjadi pria macho. Tak mengulangi (peristiwa) kemarin lagi.
"Museum itu?" Dia menyeringai. "Yah... Oke," katanya, berbalik untuk menatapku.
"Ingat kita sudah dua belas tahun. Tak seperti saat kita masih bayi. Kita bisa
pergi keluar kalau kita mau."
"Ya, kita bisa," kataku. "Aku akan menulis Paman Ben catatan dan mengatakan
padanya di mana kita akan pergi, jika dia kembali sebelum kita." Aku pergi ke
meja dan mengambil sebuah pena dan sebuah buku kecil dari kertas.
"Jika kau takut, Gabey, kita bisa berjalan saja di sekitar blok ini," katanya
dengan suara menggoda, menatapku, menunggu untuk melihat bagaimana reaksiku.
"Tidak," kataku. "Kita akan ke museum Kecuali kau takut.."
"Tidak," katanya, meniruku.
"Dan jangan panggil aku Gabey," tambahku.
"Gabey, Gabey, Gabey," gumamnya, hanya untuk mengganggu.
Aku menulis catatan ke Paman Ben. Kemudian kami pergi ke lift turun ke lobi.
Kami bertanya wanita muda yang ada di belakang meja di mana Museum Kairo. Dia
berkata untuk berbelok ke kanan di luar hotel dan berjalan dua blok.
Sari ragu-ragu saat kami melangkah keluar di bawah sinar matahari cerah. "Kau
yakin kau siap untuk ini?"
"Apa yang salah?" jawabku.
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com 7 "Ayo kita pergi. Ke arah sini," kataku, melindungi mataku dari terangnya sinar
matahari dengan tanganku.
"Panas sekali," keluh Sari.
Jalan itu penuh sesak dan berisik. Aku tak bisa mendengar apa-apa di atas suara
klakson mobil. Sopir-sopir di sini bersandar pada klakson di menit mereka memulai mobilnya, dan
mereka tak berhenti membunyikan klakson sampai mereka tiba di tujuannya.
Sari dan aku tetap dekat bersama-sama, kami berjalan melalui kerumunan orang di
trotoar. Semua macam orang lewat.
Ada orang-orang di setelan bisnis gaya Amerika berjalan berdampingan dengan pria
yang tampak mengenakan piyama longgar putih.
Kami melihat wanita-wanita yang akan terlihat tepat di rumah pada setiap jalan
di Amerika, memakai pembalut kaki berwarna-warni, rok bergaya dan celana
panjang. Wanita-wanita bercelana jeans. Diikuti oleh wanita-wanita bergaun hitam
panjang yang melambai-lambai, wajah mereka tertutup oleh kerudung hitam yang
tebal. "Pastinya ini tak terlihat seperti pulang ke rumah!" seruku, berteriak di atas
bunyi klakson mobil. Aku begitu terpesona oleh semua hal yang tampak menarik, melihat orang-orang
yang berkerumun di trotoar sempit sehingga aku lupa untuk melihat gedung-gedung.
Sebelum aku tahu itu, kami telah berdiri di depan museum, satu bangunan batu
tinggi yang menjulang di atas jalan di belakang menara beranak tangga landai
(miring). Kami menaiki tangga dan memasuki pintu putar museum.
"Wow, begitu sunyi di sini!" Aku berseru, berbisik. Menyenangkan untuk menjauh
dari klakson-klakson yang berbunyi, trotoar yang penuh sesak, dan orang-orang
yang berteriak. "Kau pikir apa sebabnya mereka membunyikan klakson begitu sering?" tanya Sari,
memegang telinganya. "Kukira itu cuma kebiasaan," jawabku.
Kami berhenti dan memandang berkeliling.
Kami berdiri di tengah-tengah lobi terbuka yang sangat besar. Tangga marmer
tinggi berdiri di ujung kiri dan ujung kanan. Tiang putih kembar berbingkai satu
pintu lebar yang membawa langsung kembali. Satu lukisan besar di dinding ke
kanan menunjukkan pemandangan piramida dan Sungai Nil dari udara. Kami berdiri
di tengah-tengah lantai, mengagumi lukisan itu untuk sementara waktu. Kemudian
kami berjalan ke dinding belakang dan bertanya pada seorang wanita di meja
informasi untuk ruang mumi. Dia tersenyum manis sekilas pada kami dan mengatakan
kepada kami dalam bahasa Inggris yang sempurna untuk ke tangga sebelah kanan.
Sepatu kami berdebam keras di lantai marmer yang mengkilap. Tangga itu
kelihatannya akan naik selamanya.
"Ini seperti mendaki gunung," keluhku, setengah jalan.
"Ayo balapan ke atas," kata Sari, menyeringai, dan pergi sebelum aku sempat
menjawab. Tentu saja ia mengalahkanku sekitar sepuluh langkah.
Aku menunggunya memanggilku "orang yang lamban" atau "wajah siput" atau lainnya.
Tapi dia sudah berpaling untuk melihat apa yang ada di depan kami.
Suatu ruangan gelap berlangit-langit tinggi tampak untuk meregangkan selamanya.
Satu peti kaca berdiri di tengah jalan masuk. Di dalamnya ada konstruksi rinci
dari kayu dan tanah liat.
Aku mendekat agar bisa melihat dengan baik. Konstruksi itu menunjukkan ribuan


Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekerja menyeret balok-balok besar batu kapur di pasir menuju sebuah piramida
yang baru dibangun sebagian.
Di ruang belakang pameran aku bisa melihat patung-patung batu besar, peti mumi
besar, pameran dari kaca dan tembikar, dan peti demi peti artefak dan
peninggalan. "Kurasa inilah tempatnya!" Aku berseru gembira, bergegas ke peti pertama
ditampilkan. "Ooh, apa itu " Semacam anjing raksasa?" tanya Sari, menunjuk ke patung besar di
dinding. Makhluk itu tampaknya memiliki kepala anjing yang galak dan tubuh singa. Matanya
menatap lurus ke depan, dan tampaknya siap menerkam siapa saja yang datang
mendekatinya. "Mereka menempatkan makhluk-makhluk seperti itu di depan makam," kataku pada
Sari. "Kau tahu. Untuk melindungi tempat itu. Menakut-nakuti perampok kuburan."
"Seperti anjing penjaga," kata Sari, melangkah ke dekat patung kuno itu.
"Hei - ada mumi dalam peti ini!" seruku, bersandar di atas peti mati batu kuno.
"Lihat!" Masih menatap kembali pada patung besar, Sari berjalan ke sampingku. "Ya. Ini
adalah mumi, oke," katanya, tak terkesan. Kurasa dia melihat mereka lebih banyak
dariku. "Mumi ini sangat kecil," kataku, menatap kain pembungkus yang menguning begitu
erat di sekitar kepala dan tubuh kurus.
"Nenek moyang kita cebol," jawab Sari. "Pikirkanlah itu pria atau wanita?"
Aku melirik plat logam di sisi peti mati. "Dikatakan ia seorang pria."
"Kurasa mereka tak bekerja di hari-hari ini," katanya dan tertawa mendengar
komentarnya sendiri. "Mereka melakukan satu pekerjaan membungkus yang bagus," kataku, memeriksa
dengan hati-hati bungkusan jari-jari pada tangan, yang disilangkan di atas dada
mumi. "Aku jadi mumi pada Hallowen sebelum (Hallowen) terakhir, dan kostumku
benar-benar tak bisa lepas setelah sepuluh menit!" kata Sari.
"Apakah kau tahu bagaimana mereka membuat mumi?" tanyaku sambil bergerak di
sekitarnya untuk melihatnya dari sisi lain. "Apakah kau tahu hal pertama yang
mereka lakukan" Mereka mengeluarkan otaknya."
"Yuck. Hentikan," katanya, menjulurkan lidah dan membuat wajah jijik.
"Tidakkah kau tahu tentang ini?" tanyaku, aku sangat senang punya beberapa
informasi benar-benar mengerikan dan dia tidak.
"Tolong - cukup," katanya, sambil mengangkat satu tangan seolah-olah untuk
menangkisku. "Tidak, ini menarik," aku bersikeras. "Otak itu harus dikeluarkan terlebih
dahulu. Mereka punya alat khusus. Alat itu seperti pengait panjang kurus. Mereka
akan mendorongnya ke atas hidung mayat itu sampai mencapai otak dan kemudian
menggoyang-goyangkannya maju mundurdan bolak-balik, sampai otak itu menjadi
bubur. " "Hentikan!" Sari memohon, menutupi telinganya.
"Kemudian mereka mengambil sendok panjang," aku melanjutkan dengan gembira, "dan
menyendok otak itu keluar sedikit pada satu waktu."
Aku membuat gerakan menyendok dengan tanganku. "Sendok, sendok. Mereka menyendok
otak keluar melalui hidung. Atau kadang-kadang mereka memekarkan bola mata dan
menyendok otak keluar melalui rongga bola mata."
"Gabe - Aku serius!" teriak Sari. Dia benar-benar tampak sepertinya kesakitan.
Dia pucat! Aku menyukainya. Aku tak pernah tahu bahwa Sari punya tulang mual dalam tubuhnya. Tapi aku benar-
benar membuatnya sakit. Luar biasa! Pikirku. Aku pastinya harus ingat teknik ini.
"Ini semua benar," kataku, tak mampu menahan senyum yang lebar.
"Tutup mulutmu," gumamnya.
"Tentu saja kadang-kadang mereka tak menarik otak keluar dari hidung. Kadang-
kadang mereka cukup mengiris kepalanya. Lalu mereka menguras otaknya keluar
melalui leher dan menempatkan kepalanya ke belakang pada tubuh. Kukira mereka
cukup membalutnya kembali. "
"Gabe -" Aku menatapnya sepanjang waktu, memeriksa reaksinya. Dia tampak lebih sakit dan
lebih sakit. Napasnya benar-benar berat. Dadanya sesak. Kupikir dia benar-benar
akan kehilangan sarapannya.
Jika ia melakukannya, aku takkan pernah membiarkannya melupakannya.
"Itu benar-benar kotor," katanya. Suaranya terdengar lucu, seperti itu datang
dari bawah laut atau (tempat) lainnya.
"Tapi itu benar," kataku. "Bukankah ayahmu pernah bercerita tentang bagaimana
cara mereka membuat mumi?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Dia tahu aku tak suka -"
"Dan kau tahu apa yang mereka lakukan dengan ususnya?" tanyaku, menikmati
keterkejutan di wajahnya. "Mereka menempatkannya dalam stoples dan -"
Aku tiba-tiba menyadari pandangan kaget Sari bukanlah untukku.
Dia sebenarnya menatap ke atas bahuku.
"Hah?" Aku berbalik dan melihat mengapa ia tiba-tiba tampak begitu terkejut.
Seorang pria telah memasuki ruangan itu dan berdiri persis di depan peti pertama
dipamerkan. Aku butuh beberapa detik untuk mengenalinya.
Itu adalah Ahmed, orang Mesir aneh yang pendiam dengan (rambut) ekor kuda
hitamnya yang telah menyambut kami dengan cara yang sedemikian tak bersahabat di
dalam piramida. Dia berpakaian sama, celana panjang putih longgar dan kemeja
dengan syal merah di lehernya. Dan ekspresi wajahnya tak ramah. Bahkan marah.
Sari dan aku sama-sama mundur dari peti mumi, dan Ahmed, matanya melirik satu
dari kami kepada yang lain, melangkah ke arah kami.
"Gabe, dia datang pada kita!" Sari berbisik. Dia meraih lenganku. Tangannya
sedingin es. "Ayo keluar dari sini!" teriak Shari.
Aku ragu-ragu. Bukankah seharusnya kami berhenti dan menyapanya dulu"
Tapi sesuatu tentang pandangan tekad keras di wajah Ahmed mengatakan kepadaku
bahwa Sari benar. Kami berbalik dan mulai berjalan sangat cepat menjauh darinya ke ruang yang
luas, Sari beberapa langkah di depanku.
Aku berbalik dan melihat bahwa Ahmed berlari kecil setelah kami.
Dia meneriakkan sesuatu kepada kami, suaranya marah, mengancam. Aku tak bisa
bersuara. "Lari!" teriak Sari.
Dan sekarang kami berdua berlari dengan kecepatan penuh, sepatu kami bersuara
keras di lantai marmer yang mengkilat.
Kami berlari di sekitar suatu peti pameran kaca besar yang berisi tiga peti mumi
yang berdiri. Lalu kami berlari lurus ke bawah lorong yang lebar antara patung
dan rak-rak berisi tembikar-tembikar kuno dan barang-barang peninggalan
piramida. Di belakang kami, aku bisa mendengar Ahmed berteriak dengan marah, "Kembali!
Kembali!" Dia terdengar benar-benar marah.
Sepatunya berkeletak-keletak di lantai saat ia berlari, suaranya bergema di
dalam ruangan museum besar yang kosong.
"Dia mendekati kita!" teriakku pada Sari, yang masih beberapa langkah di depan.
"Mestinya ada satu jalan keluar dari sini!" jawabnya terengah-engah.
Tapi segera kulihat tak ada jalan keluar. Kami hampir sampai ke dinding
belakang. Kami melewati Sphinx (patung berkepala manusia) raksasa, lalu
berhenti. Tak ada tempat untuk pergi.
Tak ada pintu. Tak ada pintu keluar.
Satu dinding granit yang tebal.
Kami berdua berbalik dan melihat mata Ahmed melebar penuh kemenangan.
Dia membuat kami terpojok.
8 Ahmed berhenti beberapa meter di depan kami. Dia terengah-engah seperti anjing,
megap-megap, dan memegangi pinggangnya. Dia menatap kami dengan marah.
Sari melirik ke arahku. Dia tampak pucat, benar-benar ketakutan. Punggung kami
berdua menempel dinding. Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kencang dan kering.
Apa yang akan ia lakukan pada kami"
"Kenapa kalian lari?" Ahmed akhirnya berhasil berkata, masih memegangi
pinggangnya seolah-olah kram. "Kenapa?"
Kami tak menjawab. Kami berdua balas menatapnya, menunggu untuk melihat apa yang
akan ia lakukan. "Aku datang dengan pesan dari ayahmu," katanya kepada Sari, terengah-engah. Dia
mengangkat syal merah dari leher dan mengusap keningnya yang berkeringat
dengannya. "Kenapa kalian lari?"
"Sebuah pesan?" Sari tergagap.
"Ya," kata Ahmed. "Kau kenal aku. Kita kemarin bertemu lagi. Aku tak mengerti
mengapa kalian berlari."
"Maafkan aku," kata Sari cepat, sambil memandangku sekilas dengan rasa bersalah.
"Kami tak berpikir jernih," kataku. "Sari membuatku takut, dan aku
mengikutinya." "Gabe menceritakan semua hal yang menakutkan," katanya, mendorongku dengan keras
di pinggang dengan sikunya. "Itu salahnya. Dia menakut-nakutiku dengan semua hal
tentang mumi. Jadi, ketika aku melihat Anda, aku tak berpikir jernih, dan..."
Kami berdua mengoceh. Kami berdua merasa sangat lega bahwa ia tak mengejar kami
- dan sangat malu bahwa kami telah melarikan diri darinya.
"Ayahmu mengirimku untuk menjemput kalian," kata Ahmed, matanya yang gelap terarah padaku. "Tak kupikir aku harus mengejar kalian melalui seluruh museum."
"Maaf," kataku dan Sari bersamaan..
Aku merasa seperti orang tolol. Aku yakin Sari juga begitu.
"Ayah kembali ke hotel dan melihat catatan Gabe?" tanya Sari, meluruskan rambut
dengan tangannya saat dia menjauh dari dinding.
"Ya." Ahmed mengangguk.
"Dia pulang dari rumah sakit cepat sekali," kata Sari, melirik jam tangannya.
"Ya," jawab Ahmed lagi. "Ayo. Aku akan membawa kalian kembali ke hotel. Dia
menunggu kalian di sana."
Kami mengikutinya dalam keheningan, Sari dan aku berjalan berdampingan beberapa
langkah di belakangnya. Saat kami berjalan menuruni tangga panjang, kami saling melirik malu-malu satu
sama lain. Kami berdua merasa sangat tolol karena telah melarikan diri seperti
itu. Beberapa saat kemudian, kami kembali di trotoar yang ramai berisik, satu bunyi
klakson mobil lewat tanpa henti, semua bergerak maju dan berhenti, sopir-sopir
yang tetap di jendela-jendela mobil, berteriak dan mengacungkan tinju mereka.
Ahmed memeriksa untuk memastikan kami bersamanya, lalu berbelok ke kanan dan
mulai memimpin betjalan melewati kerumunan. Matahari sekarang naik tinggi di
atas bangunan. Udara panas dan lembab.
"Hei, tunggu -" panggilku.
Ahmed kembali, namun terus berjalan.
"Kita salah jalan," seruku padanya, berteriak melebihi teriakan seorang penjual
jalanan di belakang gerobak sayuran. "Hotelnya di belakang jalan itu." Aku
menunjuk. Ahmed menggeleng. "Mobilku ada di sana."
"Kita kembali ke hotel naik mobil?" tanya Sari, suaranya tampak terkejut.
"Itu hanya dua blok," kataku pada Ahmed. "Sari dan aku bisa berjalan kembali
sendiri jika Anda inginkan. Anda tak benar-benar harus mengantar kami."
"Tak masalah," jawab Ahmed, dan dia meletakkan tangannya dengan kuat, satu di
bahuku, yang satu lagi di Sari, dan terus membimbing kami ke mobilnya.
Kami menyeberangi jalan dan terus berjalan. Trotoar bahkan jadi lebih ramai.
Seorang pria mengayunkan sebuah tas kulit tanpa sengaja mengenai bahuku. Aku
berteriak kesakitan. Sari tertawa. "Kau punya selera humor yang bagus," gumamku sinis.
"Aku tahu," jawabnya.
"Kalau kita berjalan, kita sudah sampai di hotel," kataku.
Ahmed pasti mendengar, karena dia berkata, "Mobilku di blok berikutnya."
Kami berjalan cepat melalui orang banyak. Beberapa saat kemudian, Ahmed berhenti
di suatu mobil stationwagon kecil empat pintu. Mobil itu tertutup debu, dan
spatbor di sisi pengemudi telah merekah.
Dia membuka pintu belakang, Sari dan aku berjejalan masuk.
"Aduh," keluhku. Kursi kulit itu terbakar panas.
"Setirnya juga panas," kata Ahmed, naik dan memasang sabuk pengaman. Dia
menyentuh roda kemudi beberapa kali dengan kedua tangan, berusaha untuk
menjadikannya hangat. "Mereka harusnya menciptakan sebuah mobil yang tetap
dingin saat diparkir."
Mesin dihidupkan pada percobaan kedua, dan dia keluar dari trotoar dan ke garis
lalu lintas. Dengan segera, ia mulai mengklakson mobil di depan kami. Kami bergerak perlahan,
berhenti setiap beberapa detik, melewati jalan yang sempit.
"Aku heran mengapa Ayah tak datang menjemput kami," kata Sari kepadaku, matanya
tertuju pada orang banyak lewat jendela mobil yang berdebu.
"Dia berkata bahwa dia akan menunggu kalian di hotel," jawab Ahmed dari kursi
depan. Dia tiba-tiba berbelok tajam ke jalan raya yang lebih luas dan mulai menambah
kecepatan. Aku butuh waktu lama untuk menyadari bahwa kami sedang menuju ke arah yang salah
- jauh dari hotel kami. "Eh... Ahmed. Aku. Pikir hotelnya di belakang jalan
itu,." Kataku, menunjuk ke arah jendela belakang.
"Aku percaya kau keliru," jawabnya pelan, menatap lurus ke depan melalui kaca
depan. "Kita akan ke sana segera."
"Tidak. Sungguh," aku bersikeras.
Satu hal tentang diriku adalah aku memiliki perasaan yang benar-benar baik
tentang arah. Ibu dan Ayah selalu mengatakan bahwa mereka tak perlu peta saat
aku ada. Aku hampir selalu tahu kapan aku menuju jalan yang salah.
Sari berbalik melirikku, ekspresi gelisah mulai mengencang di wajahnya.
"Tenanglah dan nikmati perjalanan," kata Ahmed, menatapku melalui kaca spion.
"Apa kalian memasang sabuk pengaman" Lebih baik kalian melakukannya sekarang."
Ada satu senyum di wajahnya, tapi suaranya dingin. Kata-katanya terdengar
seperti ancaman. "Ahmed, kita sudah terlalu jauh," aku bersikeras, mulai merasa benar-benar
takut. Di luar jendela, bangunan-banunan lebih rendah, lebih kumuh. Kami tampaknya
menjauh dari pusat kota. "Tetap tenanglah," jawabnya, mulai tak sabar. "Aku tahu di mana aku pergi."
Sari dan aku bertukar pandang. Dia tampak sekhawatir aku. Kami berdua menyadari
bahwa Ahmed berbohong kepada kami. Dia tak membawa kami ke hotel. Dia membawa
kami ke luar kota. Kami sedang diculik. 9 Melihat mata Ahmed memperhatikanku di kaca spion, aku bermain-main dengan sabuk
pengaman, berpura-pura untuk memasangnya. Saat aku melakukan ini, aku membungkuk
dekat Sari dan berbisik di telinganya, "Lain kali saat dia berhenti."
Pada awalnya ia tak mengerti maksudku. Tapi kemudian aku melihat bahwa ia
mengerti. Kami berdua duduk tegang, mata pada pegangan pintu, menunggu dalam keheningan.
"Ayahmu orang yang sangat cerdas," kata Ahmed, menatap Sari di cermin.
"Aku tahu," jawab Sari dengan suara kecil.
Lalu lintas melambat, lalu berhenti.
"Sekarang!" teriakku.
Kami berdua meraih pegangan pintu.
Aku mendorong pintu terbuka dan diriku lari dengan cepat keluar dari mobil.
Klakson-klakson berbunyi di depan dan di belakangku. Aku bisa mendengar teriakan
terkejut Ahmed. Membiarkan pintu mobil terbuka, aku berpaling untuk melihat Sari yang ada ke
jalan juga. Dia menoleh padaku saat membanting menutup pintu, matanya melebar
ketakutan. Tanpa sepatah kata pun, kami mulai berlari.
Klakson-klakson mobil tampak semakin keras saat kami menuju ke sisi jalan yang
sempit. Kami berjalan berdampingan, mengikuti jalan batu bata sempit saat jalan
itu membelok di antara dua barisan bangunan-bangunan semen putih yang tinggi.
Aku merasa seperti tikus dalam labirin, pikirku.
Jalanan menjadi lebih sempit. Kemudian menjadi kosong ke bundaran lebar yang
diisi kios-kios buah dan sayuran suatu pasar kecil.
"Apakah dia mengikuti kita?" teriak Sari, sekarang beberapa langkah di


Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakangku. Aku berbalik dan mencarinya, mataku bergerak cepat kekerumunan kecil orang yang
ada pasar. Aku melihat beberapa orang berjubah putih. Dua wanita memasuki pasar, berpakaian
hitam-hitam, membawa satu keranjang yang dipenuhi timbunan pisang yang tinggi.
Seorang anak yang bersepeda yang membanting setir agar berjalan terus ke mereka.
"Aku tak melihatnya," teriakku ke Sari.
Tapi kami terus berlari hanya untuk memastikan.
Aku belum pernah setakut ini dalam hidupku.
Tolong, tolong, aku memohon diam-diam, jangan biarkan dia akan mengikuti kami.
Jangan biarkan dia menangkap kami!
Berputar ke simpang kami menemukan diri kami berada di jalan raya lebar yang
sibuk. Sebuah truk lewat terpantul-pantul menarik trailer yang dipenuhi dengan
kuda-kuda. Trotoar penuh sesak dengan orang-orang yang belanja dan para
pebisnis. Sari dan aku memaksakan jalan kami melalui mereka, mencoba untuk menghilangkan
diri kami dalam kerumunan.
Akhirnya, kami sampai di tempat perhentian di dekat pintu masuk dari bangunan
yang tampaknya seperti sebuah toko swalayan besar. Terengah-engah, aku
mengistirahatkan tangan pada lututku, mencondongkan tubuh ke depan, dan mencoba
untuk menarik napas. "Kita sudah kehilangan dia," kata Sari, menatap kembali ke arah dari mana kita
datang. "Ya. Kita baik-baik saja,." Kataku gembira. Aku tersenyum padanya, tapi dia tak
membalas senyuman itu. Wajahnya dipenuhi rasa takut. Matanya terus menatap ke arah kerumunan. Satu
tangan menarik gugup pada helai rambutnya.
"Kita baik-baik saja," ulangku. "Kita berhasil lolos."
"Hanya ada satu masalah," katanya pelan, matanya masih pada kerumunan ramai di
depan kami di seberang trotoar.
"Hah" Masalah?"
"Sekarang kita tersesat," jawabnya, akhirnya berbalik menghadap ke arahku. "Kita
tersesat, Gabe. Kita tak tahu di mana kita berada."
Tiba-tiba aku punya perasaan berat di perutku. Aku mulai akan mengeluarkan
teriakan ketakutan. Tapi aku memaksa diri untuk menahannya.
Aku memaksa diriku untuk berpura-pura bahwa aku tak takut.
Sari selalu menjadi orang yang pemberani, pemenang dan jagoan. Dan aku selalu
pengecut. Tapi sekarang aku bisa melihat bahwa ia benar-benar takut. Ini adalah
kesempatanku untuk menjadi orang keren, kesempatanku untuk menunjukkan kepadanya
siapa yang benar-benar jagoan itu.
"Tak masalah," kataku, menatap kaca bangunan beton yang tinggi. "Yah cukuplah
bertanya pada seseorang untuk menunjukkan kita arah ke hotel."
"Tapi tak ada yang berbicara bahasa Inggris!" teriaknya, terdengar seakan ia
hendak menangis. "Eh... Tak ada masalah," kataku, sedikit kurang riang. "Aku yakin seseorang..."
"Kita tersesat ," ulangnya sedih, menggelengkan kepala. "Benar-benar tersesat."
Dan kemudian aku melihat jawaban untuk masalah kami parkir di pinggir jalan.
Taksi, sebuah taksi kosong.
"Ayo," kataku, menarik lengannya. Aku menariknya ke taksi. Sopirnya seorang pria
kurus muda dengan kumis hitam yang lebar dan rambut hitam berserabut keluar dari
topi abu-abu kecil, berbalik terkejut saat Sari dan aku naik ke kursi belakang.
"The Cairo Center Hotel," kataku, sambil menenangkan Sari.
Sopir itu menatap kosong ke arahku, seolah-olah dia tak mengerti.
"Tolong bawa kami ke The Cairo Center Hotel," ulangku pelan dan jelas.
Dan kemudian ia menggoyangkan kepalanya ke belakang, membuka mulutnya, dan mulai
tertawa. 10 Sopir itu tertawa sampai air mata terbentuk di sudut-sudut matanya.
Sari meraih lenganku. "Dia bekerja untuk Ahmed," bisiknya, meremas pergelangan
tanganku. "Kita berjalan tepat memasuki jebakan!"
"Hah?" Aku merasakan tikaman ketakutan di dadaku.
Aku tak berpikir dia benar.
Dia tak mungkin benar! Tapi aku tak tahu berpikir apa lagi.
Aku meraih pegangan pintu dan mulai melompat keluar dari taksi. Tapi sopir
mengangkat tangan, memberi isyarat bagiku untuk berhenti.
"Gabe - pergi!" Sari mendorongku dengan keras dari belakang.
"Cairo Center Hotel?" tanya si sopir tiba-tiba, menyeka air matanya dengan
jarinya. Lalu ia menunjuk ke kaca depan. "Cairo Center Hotel?"
Sari dan aku sama-sama mengikuti jarinya.
Di sana ada hotel. Tepat di seberang jalan.
Dia mulai tertawa lagi, menggelengkan kepala.
"Terima kasih," teriakku dan keluar.
Sari bergegas keluar di belakangku, satu senyum lega yang lebar tampak di
wajahnya. "Aku tak berpikir itu lucu," kataku. "Para sopir taksi punya selera humor yang
aneh." Aku berbalik. Sopir itu masih menatap kita dengan senyum lebar di wajahnya.
"Ayolah," desaknya, menarik-narik lenganku. "Kita harus memberitahu Ayah tentang
Ahmed." Tetapi kami terkejut, kamar hotel kami kosong. Catatanku masih di meja tempat
aku meninggalkannya. Tak dipindahkan atau disentuh.
"Dia tak pernah kembali ke sini," kata Sari, mengambil catatanku dan meremasnya
menjadi bola di tangannya. "Ahmed berbohong - tentang segala hal."
Aku menjatuhkan diri di sofa sambil mendesah keras. "Aku ingin tahu apa yang
terjadi," kataku sedih. "Aku tak mengerti ini."
Sari dan aku sama-sama menjerit saat pintu kamar terbuka.
"Ayah!" teriak Sari, berlari memeluknya.
Aku sungguh-sungguh lega itu Paman Ben, dan bukan Ahmed.
"Yah, ada yang aneh -" Sari mulai.
Paman Ben melingkarkan lengannya ke bahunya. Saat ia membimbing menyeberangi
ruangan menuju sofa, aku bisa melihat ekspresi kebingungan yang sungguh-sungguh
di wajahnya. "Ya, ini aneh," gumamnya, sambil menggeleng. "Kedua pekerjaku...."
"Hah" Apa mereka baik-baik?" tanya Sari.
"Tidak. Tak benar-benar baik," jawab Paman Ben, menjatuhkan dirinya ke lengan
kursi, menatap keras tetapi tak benar-benar berfokus padaku. "Mereka berdua...
dalam keadaan shock. Aku rasa itulah bagaimana caranya untuk menggambarkannya."
"Mereka kecelakaan" Dalam piramida?" tanyaku.
Paman Ben menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya. "Aku benar-benar
tak tahu. Mereka tak bisa bicara. Mereka berdua... diam. Kupikir sesuatu -......
Atau seseorang -... Membuat mereka takut. Menakuti mereka sampai tak bisa
bicara. Para dokter benar-benar bingung. Mereka mengatakan bahwa -"
"Ayah, Ahmed mencoba menculik kami!" sela Sari, meremas tangan atahnya.
"Apa Ahmed?"" Dia menyipitkan mata, dahinya berkerut kebingungan. "Apa
maksudmu?" "Ahmed. Pria di piramida. Orang yang memakai pakaian putih dengan syal merah dan
selalu membawa papan tulis," jelas Sari.
"Dia mengatakan kepada kami bahwa Anda mengirimnya untuk menjemput kami,"
kataku. "Dia datang ke museum -"
"Museum?" Paman Ben berdiri "Apa yang kalian lakukan di museum, kupikir aku
bilang pada kalian-"
"Kami harus keluar dari sini," kata Sari, meletakkan tangan di bahu ayahnya,
mencoba menenangkannya. "Gabe ingin melihat mumi, jadi kami pergi ke museum.
Tapi Ahmed datang dan membawa kami ke mobilnya. Dia berkata bahwa dia membawa
kami padamu ke hotel."
"Tapi dia mengemudi je jalan yang keliru," aku melanjutkan cerita. "Jadi kami
melompat keluar dan lari."
"Ahmed?" Paman Ben terus mengulang-ulang nama itu, seolah-olah dia tak dapat
percaya. "Dia datang kepadaku dengan mandat (surat kepercayaan) dan referensi
yang sangat baik," katanya. "Dia kriptografer (ahli membaca sandi, tulisan atau
angka rahasia). Ia meneliti orang Mesir kuno. Dia terutama tertarik dengan
tulisan-tulisan di dinding dan simbol-simbol yang kita temukan."
"Jadi mengapa dia menjemput kami?" tanyaku.
"Di mana dia akan membawa kami?" tanya Sari.
"Aku tak tahu," kata Paman Ben. "Tapi pastinya aku bermaksud untuk mencari tahu.
Dia memeluk Sari. "Misteri apa ini, "lanjutnya." Kalian berdua baik-baik saja" "
"Ya. Kami baik-baik saja," Jawabku.
"Aku harus pergi ke piramida," katanya, melepaskan Sari dan berjalan ke jendela.
"Aku meliburkan pekerjaku. Tapi aku harus ke bagian bawah itu."
Awan bergulung-gulung (menutupi)matahari. Ruangan tiba-tiba semakin gelap.
"Aku akan memesan beberapa layanan kamar untuk kalian," kata Paman Ben, dengan
ekspresi berpikir di wajahnya. "Apakah kalian berdua baik-baik saja di sini
sampai aku kembali malam ini?"
"Tidak!" teriak Sari. "Kau tak bisa meninggalkan kami di sini!"
"Mengapa kami tak bisa ikut bersama Anda?" tanyaku.
"Ya! Kami ikut denganmu!" seru Sari sebelum Paman Ben kesempatan untuk menjawab.
Dia menggelengkan kepalanya. "Terlalu berbahaya," katanya, matanya menyipit saat
ia melirik ke arahku pertama, kemudian di Sari. "Sampai aku bisa mengetahui apa
yang terjadi kepada dua pekerjaku di sana -"
"Tapi, Ayah, bagaimana jika Ahmed datang kembali?" teriak Sari, terdengar benar-
benar ketakutan. "Bagaimana kalau dia datang ke sini?"
Paman Ben cemberut. "Ahmed," gumamnya. "Ahmed."
"Kau tak bisa meninggalkan kami di sini!" ulang Sari.
Paman Ben menatap keluar jendela di langit yang mulai gelap. "Kurasa kau benar,"
katanya akhirnya. "Kukira aku harus membawa kalian bersamaku."
"Ya!" Sari dan aku sama-sama berseru lega.
"Tapi kalian harus berjanji untuk tetap berdekatan," kata Paman Ben tegas,
menunjukkan jari pada Sari. "Aku bersungguh-sungguh. Tak keluyuran. Tak ada
lelucon." Aku menyadari bahwa aku melihat sisi baru dari pamanku. Meskipun ia adalah
seorang ilmuwan terkenal, ia hampir selalu menjadi pelawak riang keluarga.
Tapi sekarang dia khawatir.
Benar-benar khawatir. Tak ada lelucon lagi sampai misteri menakutkan ini terpecahkan.
Kami makan sandwich di restoran hotel lantai bawah, lalu berkendaraan melewati
padang pasir ke piramida.
Awan tebal bergulung-gulung di matahari saat kami melaju, membuat bayangan-
bayangan di atas pasir, mewarnai gurun gelap berkilauan dalam nuansa biru dan
abu-abu. Tidak begitu lama, piramida besar itu tampak menjulang di cakrawala semakin
besar saat kami mendekati di jalan raya yang hampir kosong.
Aku ingat saat pertama kali aku melihatnya, hanya beberapa hari sebelum. Seperti
satu pemandangan yang menakjubkan.
Tapi sekarang, melihat melalui kaca depan mobil, aku hanya merasakan ketakutan.
Paman Ben memarkir mobil di dekat pintu masuk yang rendah yang ia temukan di
belakang piramida. Saat kami melangkah keluar, angin menerpa tanah, melemparkan
pasir ke atas, berputar-putar di sekitar kaki kami.
Paman Ben mengangkat tangan untuk menghentikan kami di pintu masuk terowongan.
"Ini," katanya. Dia merogoh ransel perlengkapan dan mengeluarkan peralatan
untukku dan Sari. "Jepitkan ini."
Dia menyerahkan pada kami masing-masing sebuah penyeranta (pager). "Cukup tekan
tombol ini, dan akan berbunyi padaku," katanya, membantuku mengaitkan punyaku ke
sabuk celana jeansku. "Ini seperti sebuah alat pelacak. Jika kalian menekan
tombol, ia akan mengirimkan sinyal elektronik ke unit kupakai. Lalu aku dapat
melacak kalian ke bawah dengan mengikuti tingkat suaranya. Tentu saja, aku tak
mengharapkan kalian untuk menggunakannya karena kuharap kalian untuk tetap dekat
denganku. " Dia memberi kami senter. "Hati-hati," perintahnya. "Tetap arahkan senter di
bawah kaki kalian, beberapa meter di depan kalian di lantai."
"Kami tahu, Yah," kata Sari. "Kami telah melakukan ini sebelumnya, ingat?"
"Ikuti saja perintah," katanya tajam, dan berbalik ke lubang piramida yang
gelap. Aku berhenti di pintu masuk dan menarik tangan mumi kecilku, hanya untuk
memastikan aku membawanya.
"Apa yang kau lakukan dengan itu?" tanya Sari, menyeringai.
"Jimat keberuntunganku," kataku, memasukkannya kembali ke dalam sakuku.
Dia mengerang dan dengan main-main mendorongku ke pintu masuk piramida.
Beberapa menit kemudian, kami sekali lagi berjalan hati-hati menuruni tangga
tali panjang dan ke dalam terowongan sempit pertama.
Paman Ben memimpin jalan, lingkaran cahaya yang lebar dari senter menyapu bolak-
balik melintasi terowongan di depannya. Sari beberapa langkah di belakangnya,
dan aku berjalan beberapa langkah di belakang Sari.
Terowongan tampak sempit dan lebih rendah saat ini. Kukira itu hanya suasana
hatiku. Mencengkeram erat senter, menjaga cahayanya tertuju ke bawah, aku menurunkan
kepalaku menjaganya dari benturan langit-langit rendah yang melengkung.
Terowongan itu berbelok ke kiri, kemudian miring menurun dan terpisah menjadi
dua jalur. Kami mengikuti terowongan yang ke kanan. Satu-satunya suara adalah
sepatu kami yang bergesekan dengan lantai berpasir kering.
Paman Ben terbatuk. Sari mengatakan sesuatu. Aku tak bisa mendengar apa itu.
Aku harus berhenti untuk menyorotkan senterku pada sekelompok laba-laba di
langit-langit, dan mereka berdua berjalan beberapa kaki di depanku.
Mengikuti senterku saat bergerak di lantai, aku melihat sepatuku jadi tak
terikat lagi. "Oh, - tidak lagi"
Aku membungkuk untuk mengikatnya, mengatur senter di atas tanah di sampingku.
"Hei - tunggu dulu!" teriakku.
Tapi mereka mulai berdebat tentang sesuatu, dan aku tak berpikir mereka
mendengarku. Aku bisa mendengar suara mereka menggema lantang turun dengan
panjang di terowongan yang berlikiu-liku, tapi aku tak bisa mengerti kata-kata
mereka. Aku buru-buru menyimpulkan ganda tali sepatu, menyambar senter, dan berdiri.
"Hei, tunggu dulu!" teriakku cemas.
Ke mana mereka pergi"
Aku menyadari bahwa aku tak bisa mendengar suara mereka lagi.
Hal ini tak dapat terjadi padaku lagi! Pikirku.
"Hei!" Aku berteriak, menangkupkan tangan ke mulutku. Suaraku bergema di
terowongan. Tapi tak ada suara jawaban.
"Tunggu!" Khas, pikirku. Begitu mereka terlibat dalam perdebatan, mereka melupakan aku.
Aku menyadari bahwa aku lebih marah daripada takut. Paman Ben telah membuat
kesepakatan besar pada kami untuk tetap berdekatan. Dan kemudian dia berjalan
pergi dan meninggalkanku sendirian di terowongan.
"Hei, kalian di mana?" Aku berteriak.
Tak ada jawaban. 11 Menyorotkan senter ke arah depanku di lantai, aku menundukkan kepala dan mulai
berlari, mengikuti terowongan yang saat itu melengkung tajam ke kanan.
Lantai mulai melandai ke atas. Udara menjadi panas dan berbau pengap. Aku
menemukan diriku terengah-engah.
"Paman Ben!" panggilku. "Sari!"
Mereka harusnya berada di sekitar tikungan berikutnya dalam terowongan, aku
berkata pada diriku sendiri. Tak butuh waktu lama bahwa lama untuk mengikat tali
sepatuku. Mereka tak dapat begitu jauh ke depan.
Mendengar suatu suara, aku berhenti.
Dan mendengarkan. Sekarang sunyi. Apa aku mulai mendengar benda-benda"
Tiba-tiba terlintas (di pikiranku). Apa ini berarti lelucon yang lain" Apakah
Sari dan Paman Ben bersembunyi, menunggu untuk melihat apa yang akan kulakukan"
Apakah ini trik bodoh lain dari mereka untuk menakut-nakutiku"
Itu bisa jadi. Paman Ben, aku tahu, tak pernah bisa menolak lelucon praktis. Dia
tertawa seperti hyena (hewan semacam singa) ketika Sari berkata kepadanya
bagaimana dia bersembunyi dalam peti mumi dan menakut-nakuti sepuluh tahun dari
hidupku.

Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa mereka berdua sekarang bersembunyi di peti mumi, menungguku tersandung"
Jantungku berdegup di dadaku. Meskipun terowongan kuno itu panas, aku merasa
dingin. Tidak, aku memutuskan. Ini bukan lelucon praktis.
Paman Ben terlalu serius hari ini, terlalu khawatir tentang (sesuatu) yang
melanda pekerjanya. Terlalu khawatir tentang apa yang kita akan ceritakan
tentang Ahmed. Dia tidak dalam suasana untuk lelucon praktis.
Aku mulai berjalan melalui terowongan lagi. Saat aku berlari, tanganku
menyenggol pager di pinggangku.
Haruskah aku menekannya"
Tidak, aku memutuskan. Itu hanya akan memberi Sari bahan tertawaan yang bagus. Dia akan bersemangat
untuk memberitahu semua orang betapa aku sudah mulai menekan tombol untuk
mencari bantuan setelah dalam piramida dalam dua menit!
Aku berbelok ke tikungan. Dinding-dinding terowongan sepertinya menutupiku saat
terowongan menyempit. "Sari" Paman Ben?"
Tak ada gema. Mungkin terowongan itu terlalu sempit untuk gema.
Lantai jadi lebih keras, kurang berpasir. Dalam cahaya kuning yang redup, aku
bisa melihat bahwa dinding-dinding granit itu berbaris dengan gerigi-gerigi yang
retak. Dinding-dinding itu tampak seperti petir gelap turun dari langit-langit.
"Hei -" Di mana yang kalian" teriakku.
Aku berhenti ketika terowongan bercabang dalam dua arah.
Aku tiba-tiba menyadari betapa takutnya aku.
Kemana mereka menghilang" Mereka harusnya sekarang menyadari bahwa aku tak
bersama mereka. Aku menatap dua lubang itu, menyorotkan senterku ke terowongan yang satu, lalu
yang lain. Yang mana yang mereka masuki"
Yang mana" Hatiku berdebar, aku berlari ke dalam terowongan di sebelah kiri dan meneriakkan
nama mereka. Tak ada jawaban. Aku mundur dengan cepat, cahaya senterku melesat liar di lantai, dan melangkah
ke dalam terowongan yang kanan.
Terowongan ini lebih luas dan lebih tinggi. Sedikit demi sedikit menikung ke
kanan. Sebuah labirin terowongan. Begitulah caranya Paman Ben menggambarkan piramida.
Mungkin ribuan terowongan, katanya padaku.
Ribuan. Terus bergerak, aku menyemangati diriku sendiri.
Terus bergerak, Gabe. Mereka tepat di depan. Mereka harus!
Aku mengambil beberapa langkah dan kemudian memanggil mereka.
Aku mendengar sesuatu. Suara-suara" Aku berhenti. Sekarang begitu hening. Begitu hening, aku bisa mendengar
jantungku berdebar di dadaku.
Suara itu lagi. Aku berusaha keras mendengarkan, menahan napas.
Itu suara gemeretak. Suatu kekacauan pelan. Bukan suara manusia. Mungkin
serangga. Atau tikus. "Paman Ben" Sari?"
Sunyi. Aku mengambil beberapa langkah ke dalam terowongan. Kemudian beberapa langkah
lagi. Kuputuskan lebih baik aku melupakan kebanggaanku dan menekan tombol.
Jadi bagaimana jika Sari menggodaku tentang hal ini"
Aku terlalu takut untuk peduli.
Jika aku menekannya, mereka akan di sana untuk menemukanku dalam beberapa detik.
Tapi saat aku menggapai ke pinggangku untuk menekan pager, aku dikejutkan oleh
suara keras. Bunyi gemeretak serangga itu menjadi bunyi deritan pelan.
Aku berhenti untuk mendengarkan, rasa takut naik ke tenggorokanku.
Deritan pelan semakin keras.
Kedengarannya seperti seseorang memecah saltine (biskuit tipis garing yang
ditaburi garam) menjadi dua.
Hanya lebih keras. Lebih keras.
Lebih keras. Tepat di bawah kakiku. Aku memalingkan mataku ke lantai.
Aku menyorotkan senter di sepatuku.
Cukup lama bagiku untuk menyadari apa yang terjadi.
Lantai terowongan kuno itu retak terpisah di bawahku.
Retakan itu semakin keras, sepertinya datang dari segala arah, mengelilingiku.
Pada saat aku menyadari apa yang terjadi, sudah terlambat.
Aku merasa seolah-olah aku sedang ditarik ke bawah, tenggelam oleh kekuatan yang
kuat. Lantai di bawahku ambruk dan aku jatuh.
Jatuh ke bawah, ke bawah, ke bawah sebuah lubang hitam tak berujung.
Aku membuka mulut untuk berteriak, tapi tak ada suara yang keluar.
Tanganku mencari-cari dan meraih-raih - tak ada apa-apa!
Aku memejamkan mata dan jatuh.
Ke bawah, ke dalam pusaran kegelapan.
12 Aku mendengar dentang senter di lantai.
Lalu aku terbentur. Keras.
Aku mendarat di pinggangku. Rasa nyeri menyerang menembus tubuhku, dan aku
melihat sesuatu berwarna merah. Satu kilatan merah terang yang semakin terang
dan terang sampai aku harus menutup mataku. Kupikir kekuatan benturan itu
merobohkankanku untuk sementara waktu.
Ketika aku membuka mata, segalanya tampak kabur, abu-abu kuning. Pinggangku
sakit. Siku kananku berdenyut dengan rasa sakit.
Aku mencoba sikuku. Tampaknya baik-baik saja untuk bergerak.
Aku duduk. Kabut perlahan-lahan mulai terkuak, seperti tirai yang perlahan-lahan
naik. Dimana aku" Bau asam menyerbu lubang hidungku. Bau busuk. Bau debu kuno. Bau kematian.
Senter itu mendarat di sampingku di lantai beton. Aku mengikuti sorotan cahaya
senter ke arah dinding. Dan tersentak. Lampu itu berhenti di tangan.
Sebuah tangan manusia. Atau apa itu" Tangan itu melekat pada satu lengan. Lengan itu tergantung kaku dari satu badan
yang tegak. Tanganku gemetar, aku menyambar senter dan mencoba memantapkan nyalanya pada
sosok tubuh itu. Itu adalah mumi, aku menyadarinya. Berdiri di atas kaki di dekat dinding yang
jauh. Tanpa mata, tanpa mulut, wajah diperban itu tampak menatap kembali ke arahku,
keras dan siap sedia, seolah menungguku untuk membuat langkah pertama.
13 Satu mumi" Cahaya melesat ke wajah yang tak lengkap itu. Aku tak bisa memantapkan tanganku.
Seluruh tubuhku gemetar. Membeku di tempat, tak mampu bergerak dari lantai yang keras, aku ternganga
melihat sosok menakutkan itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku terengah-engah
keras. Mencoba untuk menenangkan diri, aku menarik napas dalam-dalam dari udara yang
tengik, dan menahannya. Mumi buta itu menatap ke arahku.
Ia berdiri kaku, lengannya menggantung di pinggangnya.
Mengapa ia berdiri di sana seperti itu" Aku bertanya-tanya, mengambil napas
dalam-dalam. Bangsa Mesir kuno tak akan meninggalkan mumi mereka berdiri menjadi perhatian.
Menyadari bahwa mumi itu tak bergerak maju untuk menyerangku, aku mulai merasa
sedikit lebih tenang. "Tenang, Gabe. Tenang," kataku keras-keras, berusaha memantapkan posisi senter
yang kucengkeram begitu erat di tanganku.
Aku terbatuk. Udaranya begitu busuk. Begitu tua.
Sambil mengerang karena rasa sakit di pinggangku, aku bangkit dan mulai dengan
cepat menyorotkan senter kesana kemari di depan mumi diam tak berwajah itu.
Aku berada di sebuah ruangan besar berlangit-langit tinggi. Jauh lebih besar
daripada ruangan dimana para pekerja Paman Ben menggali
Dan lebih berantakan. "Wow." Aku menjerit pelan saat cahaya pucat dari lampu senter menampakkan suatu
pemandangan yang menakjubkan. Sosok-sosok tubuh yang gelap diperban semuanya
berdiri di sekelilingku. Ruangan besar itu penuh dengan mumi!
Dalam cahaya yang tak stabil, bayangan-bayangan mereka tampaknya berusaha
mencapai ke arahku. Dengan ngeri, aku mundur selangkah. Aku menggerakkan senter perlahan-lahan atas
pemandangan aneh yang mengerikan itu.
Nyala senter melalui bayangan-bayangan itu, menampakkan lengan-lengan yang
diperban, tubuh-tubuh, kaki-kaki, wajah yang tertutup.
Ada begitu banyak mumi. Ada mumi-mumi yang bersandar di dinding. Mumi-mumi yang berbaring di lempengan
batu, lengan-lengan mereka disilangkan di atas dadanya. Mumi-mumi yang bersandar
dengan sudut yang aneh, berjongkok rendah atau berdiri tegak, lengan mereka
lurus ke depan mereka seperti monster Frankenstein.
Di salah satu dinding berdiri sederetan peti mumi, tutup-tutupnya disangga
terbuka. Aku berbalik, mengikuti pancaran cahaya senterku. Aku menyadari bahwa
jatuhku telah menurunkan aku ke tengah ruangan.
Di belakangku, aku bisa melihat suatu pameran peralatan yang menakjubkan. Alat-
alat aneh seperti bergarpu, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tumpukan
tinggi kain. Pot-pot dan guci-guci raksasa dari tanah liat.
Tenang, Gabe. Tenang. Wah. Bernapaslah perlahan.
Dengan enggan aku melangkah mendekat, mencoba memantapkan senter.
Beberapa langkah lagi. Aku berjalan ke salah satu tumpukan kain yang tinggi itu. Lebih mirip linen.
Bahan utama yang digunakan untuk membuat mumi.
Mengumpulkan keberanianku, aku memeriksa beberapa peralatan itu. Tak menyentuh
apapun. Hanya memandanginya dalam kelap-kelip cahaya senter.
Alat pembuat mumi. Alat kuno pembuat mumi.
Aku melangkah pergi. Berbalik menuju kerumunan sosok-sosok tubuh tak bergerak.
Cahaya senterku melintasi ruangan dan sampai ke suatu wilayah lantai persegi
yang gelap. Dengan penasaran, aku mendekat, melangkah di sekitar mumi kembar,
yang berbaring di punggung mereka, lengan-lengan mereka menyilang di dada
mereka. Wah. Tenang, Gabe. Sepatuku berbunyi berisik di sepanjang lantai saat aku berjalan dengan ragu-ragu
di ruangan yang luas itu.
Persegi empat yang gelap di lantai itu hampir seukuran kolam renang. Aku
membungkuk di tepinya untuk memeriksanya lebih dekat.
Permukaannya lunak dan lengket. Seperti getah.
Apakah ini sebuah lubang getah kuno" Apakah getah ini yang digunakan dalam
pembuatan mumi-mumi yang berdiri begitu mengancam di sekililing ruangan"
Aku tiba-tiba kedinginan yang memuatku membeku di tempat.
Bagaimana mungkin lubang getah ini tetap lunak setelah empat ribu tahun"
Mengapa segala sesuatu di ruangan ini - alat-alat, mumi-muni, kain-kain linen -
diawetkan begitu baik"
Dan mengapa mumi-mumi ini - setidaknya dua lusin dari mereka - dibiarkan keluar
seperti ini, tersebar di sekitar ruangan dengan posisi aneh seperti itu"
Aku menyadari bahwa aku telah membuat penemuan luar biasa di sini. Dengan jatuh
melalui lantai, aku telah menemukan sebuah ruangan tersembunyi, ruang di mana
mumi-mumi itu dibuat. Aku telah menemukan semua alat-alat dan semua bahan yang
digunakan untuk membuat mumi empat ribu tahun yang lalu.
Sekali lagi, bau asam menyerbu hidungku. Aku menahan napasku untuk menjaga diri
agar tak tersedak. Ini adalah bau tubuh berusia empat ribu tahun, aku
menyadarinya. Bau yang ditahan ruangan kuno tersembunyi ini - sampai sekarang.
Menatap bayangan sosok-sosok tubuh yang diperban yang menatapku kembali
menatapku dengan wajah tak lengkap yang mengerikan, aku meraih pager.
Paman Ben, kau harus cepat datang, pikirku.
Aku tak ingin sendirian di sini lagi lebih lama lagi.
Kau harus datang ke sini sekarang!
Aku menarik pager itu dari sabukku dan mendekatkannya ke cahaya.
Aku sadar yang harus kulakukan adalah menekan tombol, Paman Ben dan Sari akan
Hantu Bersayap 1 Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 14
^