Monster Dari Timur 2
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur Bagian 2
Chapter 17 AKU tidak mau menyerah. Aku semakin keras menggelitik pohon yang menyekap
adikku. Batangnya mulai menggeliat.
Daun-daun gugur dan melayang ke bawah. Beberapa helai jatuh ke rambut dan
tanganku ketika aku menggaruk-garuk kulit pohon itu.
Aku semakin seru menggaruk dan menggelitik. Dahan-dahan pohon mulai
bergoyang-goyang. Seluruh rantingnya berayun-ayun.
Yes! pikirku dengan gembira. Ternyata berhasil! Rupanya pohon ini memang
gelian! Pohon ini akan kubuat roboh karena tertawa! Aku menggelitik semakin keras.
Batangnya menggeliat-geliut di hadapanku.
Aku memandang ke atas. Sepatu Nat tampak menyembul dari balik daun-daun.
Kemudian muncul kakinya. Tangannya. Wajahnya. Semua dahan pohon
bergoyang-goyang. Menggeliat-geliut dan berayun-ayun.
Nat melepaskan diri dari cengkeraman dahan-dahan itu. Dengan gesit ia bergerak
dari dahan ke dahan. Keterampilan memanjat yang ia miliki akhirnya berguna
juga! "Cepat!" aku berseru padanya. "Tanganku sudah mulai pegal, nih! Ayo, turun!"
Nat merosot lewat batang pohon.
"Awas, aku mau lompat!" Nat berseru. Ia melepaskan pegangannya dan melompat ke
bawah. Ia mendarat persis di depanku. "Wah, terima kasih, Ginger!"
Aku langsung meraih tangannya. Terburu-buru kami berlari menjauhi pohon itu.
Nat menepis ranting-ranting dan daun-daun yang menempel di rambutnya. "Aku
sempat melihat beberapa makhluk!"
Aku menggigit bibir. Saking sibuknya menyelamatkan adikku, aku sama sekali
lupa bahwa kami sedang terlibat permainan yang mematikan.
"Aku melihat tiga makhluk," Nat melaporkan. "Fleg, Spork, dan satu lagi yang
ekornya remuk. Di sebelah sana." Ia menunjuk ke kanan.
"Sedang apa mereka?" tanyaku.
"Mereka semua bersembunyi di balik batu besar berwarna kelabu. Kau bisa
mendekati mereka tanpa ketahuan. Gampang, kok."
"Hah, apanya yang gampang?"
"Kau pasti bisa." Nat menatapku dengan matanya yang gelap. "Aku yakin kau pasti
bisa, Ginger." Nat berjalan di depan. Perlahan-lahan kami menembus hutan, menuju ke arah batu
besar itu. Langit di atas bertambah gelap, dan udara pun semakin dingin. Aku
tahu malam sudah menjelang. Sebentar lagi matahari akan menghilang di balik
pohon Gulla Willow. Moga-moga masih ada waktu.
"Itu batunya!" bisik Nat.
Aku melihat lapangan kecil di tengah pepohonan. Di tengah-tengahnya terdapat
batu besar kelabu, persis seperti yang dikatakan Nat.
Batu itu cukup besar untuk melindungi setengah lusin makhluk.
Jantungku mulai berdegup-degup.
"Aku akan bersembunyi di balik tumbuhan kol ini," ujar Nat. Ia berlutut di balik
tumbuhan itu. Aku mengikutinya. Aku belum siap menghadapi makhluk-makhluk itu seorang
diri. Aku membungkuk dan mengencangkan tali sepatuku. Perutku serasa diaduk-aduk,
tapi aku berusaha tidak menghiraukannya.
"Maju saja pelan-pelan," bisik Nat.
"Temani aku, dong," aku memohon.
Nat menggelengkap kepala. "Kalau berdua terlalu ribut, katanya. "Lebih aman
kalau kau sendiri saja."
Aku tahu ia benar. Lagi pula, aku berkata dalam hati, tugasku cukup mudah. Makhluk-makhluk di
balik batu itu sama sekali tidak menyangka aku akan mendatangi tempat
persembunyian mereka. Aku tinggal menepuk salah satu dari mereka.
Semangatku bangkit kembali. Ya, aku pasti sanggup melakukannya. Dan setelah
itu permainan ini selesai. Kami akan aman.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Awas, aku datang," bisikku.
Aku mengendap-endap ke arah batu itu. Aku berhenti sebentar dan menoleh ke
belakang. Kepala Nat menyembul dari balik tumbuhan kol. Ia mengacungkan
jempol padaku. Beberapa langkah lagi, dan aku akan sampai di sana. Aku menahan napas.
Batu kelabu itu menjulang tinggi di hadapanku. Aku mengambil ancang-ancang.
Saking tegangnya, jariku sampai gemetaran.
Aku melompat maju. "Hah, kena!" teriakku. "Sekarang giliranmu!"
Chapter 18 "LHO?" Tanganku menepuk angin. Tak ada siapa-siapa!
Makhluk-makhluk itu tidak kelihatan. Yang ada cuma setumpuk labu remuk.
Aku mengedip-ngedipkan mata karena kaget. Lalu berlari mengelilingi batu itu.
Tak ada siapa-siapa. Rupanya makhluk-makhluk itu telah berpindah tempat.
"Nat!" aku memanggil. "Nat!"
Adikku bergegas menghampiriku. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa di sini. Mereka sudah pergi," jawabku. "Bagaimana sekarang?"
"Hei," balas Nat dengan ketus. "Ini bukan salahku!"
Aku menatapnya dengan kecewa. Dadaku sesak karena panik. Angin mendadak
bertiup kencang. Aku memandang ke langit. Warnanya sudah berubah menjadi
pink. Matahari sudah mulai terbenam. Perasaan takut yang menyelimutiku semakin
menjadi-menjadi. "Tak ada harapan," aku bergumam.
Nat menggelengkan kepala. "Kau tahu apa yang kita perlukan?" ia bertanya.
"Tidak. Apa?" sahutku.
"Kita perlu rencana baru," katanya.
Mau tidak mau aku tertawa. Ia memang konyol sekali!
Adikku bersandar pada batu besar itu dan mengerut-ngerutkan hidung. "Batu apa
sih ini?" "Batu yang menyeramkan," jawabku.
Nat mengamati batu raksasa itu. "Ada sesuatu yang tumbuh di sini," katanya.
"Jangan disentuh," aku segera memperingatkannya.
Tapi Nat selalu bertambah nekat kalau dilarang melakukan sesuatu.
Nat memasukkan jarinya ke lubang di batu itu.
Batu besar itu langsung bergetar. Puncaknya retak dan retakannya segera
menyebar. Cepat-cepat Nat mencabut jarinya.
"Ada apa ini?" aku memekik.
Awan asap kelabu menyembur dari dalam batu.
JEDOOOR! Nat dan aku merunduk sambil menutup telinga dengan kedua tangan.
Ledakan itu membahana bagaikan sejuta petasan meletus bersamaan.
Semakin banyak asap kelabu menyembur dari dalam batu.
Nat nyaris tidak kelihatan karena terselubung asap. Aku mulai terbatuk-batuk.
Mataku perih sekali. Asap itu memenuhi seluruh lapangan, dan melayang-layang di atas pepohonan.
Beberapa detik kemudian, asap itu lenyap dengan sendirinya.
Dan aku melihat Fleg berdiri di lapangan.
Spork muncul di belakangnya, seperti biasa menggaruk-garuk lubang matanya
yang kosong. Satu makhluk lain menyusul. Lalu satu lagi. Semuanya menatap Nat
dan aku. "Kau menyentuh Batu Hukuman!" seru Fleg.
Nat melangkah ke belakangku. "Apa maksudnya?"
Fleg mengangguk kepada makhluk yang berekor remuk. "Tangkap dia, Gleeb,"
Moncong Gleeb berkedut-kedut. Ia membelalakkan mata dan berusaha meraih
lengan Nat. "Tunggu! Tunggu dulu!" aku berseru. "Nat tidak tahu batu itu tidak boleh
dipegang." "Ini tidak adil! Tidak adil!" Nat menimpali.
Makhluk-makhluk itu tidak menghiraukan protes kami.
Gleeb meraih Nat dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ayo, kita pergi," Gleeb
menggerung. Gleeb memegang Nat dengan kedua tangannya. Kemudian ia berlagak hendak
mengempaskannya ke bawah.
Nat memekik. Gleeb dan gerombolannya tertawa terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan.
"Berhenti!" aku menjerit. "Lepaskan dia."
"Ayo, jalan!" makhluk-makhluk lainnya berseru. Tepuk tangan mereka semakin
bersemangat. "Ayo jalan! Ayo jalan!" mereka bersorak-sorai.
Aku menatap Fleg sambil mendelik. "Suruh dia melepaskan adikku."
"Dia telah memegang Batu Hukuman," Fleg menjelaskan. "Berarti dia harus
dihukum." "Tapi kami kan tidak tahu itu dilarang!" aku memprotes. "Kami tidak tahu
peraturan konyol kalian. Ini tidak adil."
Aku berusaha meraih kaki Nat yang menggelantung di udara.
"Coba kulihat tanganmu," Fleg berkata dengan nada memaksa.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menyambar tanganku dan mengamati
telapaknya. "Warna Nubloff!" serunya. Ia memandangku sambil memicingkan mata. "Nilainya lima
puluh poin. Kau tidak bisa membohongiku. Kau pasti sudah pernah ikut
permainan ini. Kau sudah tahu peraturannya."
Aku menatap tanganku. Getah kuning dari batang kayu. Biru dari daun tumbuhan
payung. Dan jingga dari batu tadi. Warna Nubloff"
"Tapi... tapi..." aku tergagap-gagap. "Aku tidak sengaja mendapatkan warna-warna
ini. Semuanya cuma kebetulan."
Fleg dan Spork saling pandang.
"Ayo," Fleg memberi perintah sambil melambaikan tangan kepada Gleeb.
Gleeb memanggul Nat dan mengikuti Fleg ke hutan. Makhluk-makhluk lainnya
segera menyusul. "Ginger!" Nat meratap ketika ia dibawa pergi.
Aku berlari mengejar, tapi aku tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong adikku.
"Berhenti! Mau dibawa ke mana dia?" aku memekik. "Apa yang akan kalian lakukan?"
Chapter 19 AKU mengejar mereka. Aku berlari menyusuri jalan setapak yang diapit batu-batu
besar. Jangan-jangan itu batu hukuman juga"
Aku berlari di tengah-tengah jalan setapak. Jangan sampai aku menyentuh batu-
batu itu, pikirku. Makhluk-makhluk itu berhenti di mulut terowongan. Lubang menganga itu berada
di sisi batu paling besar. Mereka merunduk dan segera masuk.
Aku menyusul. Jantungku berdegup kencang.
"Ginger!" Jeritan Nat menggema dari dinding terowongan.
Gerombolan makhluk itu menggeram dan menggerung dengan gembira. Bahkan
ada yang berjalan sambil memukul-mukul langit-langit.
Terowongan itu bergetar. Dindingnya. Langit-langitnya.
Dasarnya. Aku terus mengikuti makhluk-makhluk itu ketika mereka keluar dari terowongan
dan memasuki sebuah lapangan luas.
"Hei - apa itu?" aku berseru tertahan.
Di tengah-tengah lapangan ada kotak kayu besar tergantung pada sebatang pohon.
Kelihatannya seperti kandang burung raksasa.
Di salah satu sisinya terdapat pintu kecil.
Tanda di atas pintu itu bertulisan: KERANGKENG HUKUMAN.
Gleeb mengangkat Nat tinggi-tinggi, supaya semua makhluk bisa melihat dengan
jelas, lalu memutarnya kencang-kencang.
Nat menjerit. Spork dan makhluk-makhluk lainnya mengentak-entakkan kaki sambil bertepuk
tangan. "JANGAN!" teriakku. "Kalian tidak boleh berbuat begitu!"
"Dia harus masuk kerangkeng," Fleg berkata dengan tegas. "Dia telah memegang
Batu Hukuman. Peraturannya memang begitu."
Gleeb memasukkan Nat ke Kerangkeng Hukuman, kemudian membanting
pintunya. Fleg menyelipkan ranting untuk menggerendel pintu.
Nat menjulurkan tangan di antara batang-batang kayu.
"Ginger!" ia memanggil. "Keluarkan aku dari sini." Kotak kayu itu berayun-ayun
di udara. "Jangan takut, Nat!" sahutku. "Aku akan membebaskanmu."
Aku merinding. Ia kelihatan begitu kecil dan tak berdaya.
"Kalian tidak bisa terus menyekapnya," ujarku kepada Fleg. "Kapan dia boleh
keluar?" "Kalau kami akan memakannya," jawab Fleg pelan.
Chapter 20 "Tapi akulah Monster dari Timur!" aku memprotes. "Tadi kaubilang aku yang bakal
kalian makan." Aku maju selangkah ke arahnya.
"Pemain yang masuk Kerangkeng Hukuman juga dimakan," Fleg mendengus
kesal. "Jangan berlagak lupa. Semua orang tahu itu. Itu salah satu peraturan
dasar." "Tapi pasti ada cara lain supaya dia bisa bebas," ujarku sambil terus mendekat.
"Dia memang bisa bebas, tapi dengan syarat dia mau makan Tarantula Penebus
Hukuman," Fleg menjelaskan. Lipatan-lipatan kulit di bawah dagunya berayun-ayun.
"Hah" Dia harus makan labah-labah?" aku berseru, kembali melangkah maju.
Fleg memicingkan mata. "Jangan pura-pura bodoh," katanya, lalu berpaling dariku.
Seketika aku menerjang dadanya yang berbulu tebal. Aku menepuknya keras-
keras. "Sekarang giliranmu!" aku berseru. Aku mengepalkan tangan dan
mengacungkannya sebagai tanda kemenangan. "Sekarang giliranmu! Aku berhasil
menepukmu!" Fleg mengangkat alis. "Sori," katanya dengan tenang. "Permainannya kuhentikan
sejenak. Jadi, tepukan itu tidak masuk hitungan."
"Hah?" aku memekik. "Enak saja. Kau tidak boleh mengubah-ubah peraturan sesuka
hatimu!" "Siapa yang mengubah peraturan" Memang begitu peraturannya." Fleg
mengangkat tangan dan memeriksa gerendel pintu kerangkeng. Gerendelnya kokoh
sekali. "Coba lagi," Spork menggerung. "Masih ada waktu untuk mencoba lagi."
Makhluk-makhluk lainnya mengangguk-angguk. Mereka mendengus-dengus
dengan gembira. Sepertinya mereka benar-benar menikmati permainan ini. Setelah
itu mereka meninggalkan lapangan dan kembali ke hutan.
"Ginger!" seru Nat. Ia menggedor-gedor kerangkeng. "Keluarkan aku dari sini!"
Aku menatapnya dengan tak berdaya. Kerangkeng itu terlalu tinggi. Aku tidak bisa
menjangkaunya. Nat menatapku dari balik kurungannya. Rambutnya yang cokelat jatuh ke depan,
sehingga menutupi matanya. "Lakukanlah sesuatu," ia memohon.
"Aku akan coba lagi," ujarku.
Itu satu-satunya hal yang bisa kukerjakan.
"Kau bisa melihat mereka?" aku bertanya padanya. "Ke mana mereka pergi?"
Nat menunjuk. "Ada beberapa yang bersembunyi di sebelah sana."
"Aku akan segera kembali," aku berjanji. "Setelah aku menepuk salah satu dari
mereka." Aku berlagak yakin aku akan berhasil. Tapi sebenarnya aku sendiri ragu.
"Cepatlah!" Nat berseru padaku.
Angin kencang mendadak berembus dan mengayun-ayunkan kerangkeng itu. Nat
segera duduk sambil memeluk lutut.
Aku menoleh sekali lagi sebelum pergi. Bayangan-bayangan di sekelilingku
semakin panjang. Aku memandang ke langit. Warna jingganya berubah menjadi
pink. Matahari sudah hampir terbenam.
Aku memasuki hutan yang gelap.
Di sekitarku terdengar suara binatang-binatang kecil berlarian melintasi daun-
daun kering yang berserakan di tanah. Seakan-akan mereka semua ingin segera
pulang sebelum gelap. Pulang ke tempat yang aman.
Angin menderu-deru di antara pepohonan. Aku nyaris jatuh karena tersandung
tunggul pohon yang sudah membusuk. Hutan semakin lebat. Waktu semakin
mendesak.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan tiba-tiba aku melihat salah satu makhluk bersembunyi di balik semak berdaun
payung. Pundaknya turun. Kepalanya berayun maju-mundur. Tampaknya ia
tertidur lelap. Inilah kesempatanku, kataku dalam hati.
Perlahan-lahan aku mendekatinya.
Makhluk itu bergeser sedikit dan mengubah posisi.
Aku berhenti. Menahan napas.
Ia kembali tenang. Rupanya ia sedang bermimpi.
Ini dia, pikirku. Ini kesempatan emas. Sedetik lagi ia yang bakal jadi Monster
dari Timur. Aku bergegas maju. Dan memekik tertahan.
Tanah di bawah kakiku mendadak amblas.
Tak ada apa-apa di bawahku.
Tak ada apa-apa selain udara.
Aku langsung jatuh. Melayang... melayang... melayang...
Aku menjerit tanpa henti.
Chapter 21 AKU terempas dengan keras.
Dadaku langsung terasa nyeri.
Bahuku membentur batu yang tajam.
Aku memekik seraya menggosok-gosok lenganku. Megap-megap aku
memaksakan diri untuk bangkit. Kemudian aku memandang berkeliling.
Terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Habislah sudah, pikirku. Tamatlah
riwayatku. "Hei - ada siapa di atas sana?" aku berseru. "Ada yang bisa mendengarku?"
Hening. Aku harus berusaha keras untuk tetap berdiri tegak. Pundakku berdenyut-denyut.
Aku menggerak-gerakkannya beberapa kali agar tidak kaku.
Lalu aku mengangkat tangan dan meraba-raba dinding di sekelilingku. Tanahnya
keras. Aku berada di semacam lubang yang dalam. Lubang yang biasa digali orang
untuk menangkap binatang.
Tapi sekarang aku yang menjadi binatang yang terperangkap.
Tanganku terus meraba-raba. Barangkali ada sesuatu yang bisa kujadikan
pegangan. Sesuatu yang bisa kumanfaatkan untuk memanjat keluar.
Ih! Apa itu" Tanganku menyentuh sesuatu yang menyembul dari dinding lubang. Sesuatu yang
dingin. Aku mengertakkan gigi dan memaksakan diri untuk menyentuhnya sekali lagi.
Benda itu tidak bergerak.
Cuma akar, pikirku dengan lega.
Bukan sesuatu yang hidup.
Tanganku kembali meraba-raba. Akar-akar itu melintang di mana-mana. Bagus!
Aku mengangkat sebelah kaki dan menginjak akar paling bawah. Akarnya ternyata
cukup kuat untuk menahan berat badanku.
Yeah! Berarti aku bisa memanjat keluar.
Tanganku meraih akar paling tinggi yang bisa kugapai. Pelan-pelan aku menarik
badanku ke atas. Tiba-tiba terdengar suara tanah berjatuhan.
Aku merapat ke dinding lubang ketika semakin banyak tanah longsor dan
menghujani wajahku. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Menunggu hujan tanah itu berhenti. Setelah
beberapa saat barulah aku meraih akar berikutnya dan mulai memanjat lagi.
Berapa banyak waktu yang masih tersisa
erapa lama lagi matahari terbenam"
Pundakku terasa nyeri. Tapi aku masih harus memanjat cukup tinggi. Sejenak aku
beristirahat sambil bersandar ke dinding lubang.
Kemudian aku bergerak kembali.
Krekk Akar yang sedang kuinjak dengan kaki kanan mendadak patah.
Kakiku menggelantung di udara.
Krekk! Akar di tangan kananku juga putus.
"Hei!" aku menjerit ketika tubuhku melayang jatuh.
Aku terempas ke dasar lubang. Keras sekali. Aku tergeletak dengan napas
terengah-engah. Aku memandang ke atas. Langit berwarna pink tua. Sinar matahari semakin redup.
Aku memandang berkeliling.
Aku melihat akar-akar tak berguna di dinding lubang yang dalam.
Aku menoleh ke bawah. Oh, ya ampun! Dalam cahaya remang-remang aku masih bisa melihat dasar lubang tempat aku
berdiri. Warnanya cokelat. Dan bentuknya kotak. Kotak Makan Siang Gratis.
Aku terperangkap. Terperangkap di Kotak Makan Siang Gratis.
Makhluk-makhluk itu bisa melahapku - kapan saja mereka mau.
Aku berdiri seperti patung. Lalu aku mendengar suara langkah bergemuruh di
atasku. Aku merapatkan badan ke sudut lubang. Menempelkan punggung ke dinding
tanah. "Cepat kalian kemari!" aku mendengar Fleg berseru. "Dia ada di bawah sini!"
Chapter 22 FLEG muncul di mulut lubang. Dagunya yang berlipat-lipat menggelantung.
Matanya menatapku tanpa berkedip.
"Hah, kena kau!" serunya.
Spork muncul di samping Fleg. Ia memandangku sambil nyengir. Air liurnya yang
kuning menetes-netes dan jatuh di samping sepatuku.
"Di bawah ada makanan lezat!" kata Spork. "Oh, aku lapar sekali."
Gleeb menerobos di antara Fleg dan Spork. Ia berdecap-decap.
Aku mendengar perutnya berkeruyuk.
"Akhirnya tiba saatnya," kata Spork. "Ayo, angkat dia. Sudah waktunya makan!"
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. "Jangan! Jangan sakiti aku!" pintaku.
"Aku tidak bersalah."
Fleg angkat bahu. "Kau ikut bermain. Kadang-kadang kau menang. Kadang-
kadang kau kalah." Spork dan Gleeb meraih ke dalam lubang. Mereka berusaha menyambarku dengan
tangan mereka yang besar.
Aku semakin merapat ke dinding. "Jangan," aku memohon. "Pergilah dan jangan
ganggu aku. Kalian menang, oke" Kalian boleh ambil semua poin yang telah
kuperoleh." "Poin tidak bisa dioper," Fleg menggerutu. "Kau tahu itu."
Yang lain menggerung-gerung sebagai tanda setuju. Mereka terus mencoba
menangkapku. Dengan kalang kabut aku memandang berkeliling.
Aku perlu senjata. Akar-akar itu" Aku mencabut sebuah akar besar.
"Awas! Mundur!" aku membentak sambil mengayun-ayunkan akar itu.
Makhluk-makhluk itu saling menepuk punggung dan memperdengarkan tawa
mereka yang mengerikan. "Kalian akan menyesal," aku mengancam.
Menyesal" Yang benar saja! Akar konyol itu tidak berarti apa-apa bagi mereka.
Dan mereka pun menyadarinya. Akulah Monster dari Timur. Akulah makan
malam mereka. Fleg membungkuk ke dalam lubang dan menggeram. Cakarnya hanya berjarak
sejengkal dari wajahku. Aku merunduk. Cakarnya menggores tengkukku.
Cepat-cepat aku menghindar. Bulu kudukku berdiri tegak.
Kalau saja aku bisa menghilang ke dalam tanah seperti seekor tikus, pikirku.
Cakar Fleg melintas di depan wajahku. "Jangan mengelak terus!" ia berseru. "Kau
membuatku semakin lapar."
"Ini tidak adil!" aku menjerit.
Ia berpaling kepada Spork dan Gleeb. "Aku sudah bosan," ia mengeluh. "Kita sudah
terlalu banyak membuang-buang waktu."
Matanya yang bulat tampak berbinar-binar ketika ia menatapku.
"Angkat dia!" serunya dengan garang.
Spork mengulurkan tangan ke dalam lubang dan meraih lenganku. Aku merasakan
cakarnya menggores kulitku. Dengan mudah ia menarikku ke atas.
Tamatlah riwayatku, pikirku sedih. Permainan ini telah usai.
Chapter 23 SEGUMPAL awan melintas di langit sehingga lubang perangkap itu gelap gulita.
Fleg meraung-raung. Ia menepuk keningnya yang lebar.
"Terlindung Bayangan!" serunya.
Spork mengendurkan cengkeramannya dan melepaskanku.
Aku kembali jatuh ke dasar lubang.
"Terlindung Bayangan!" seru Spork.
"Terlindung Bayangan!" Gleeb membeo.
Dengan susah payah aku berdiri lagi. Suara makhluk-makhluk yang sedang marah
itu membuat kepalaku berdenyut-denyut.
Mereka mengentak-entakkan kaki.
"Ada apa, sih?" tanyaku.
"Kau aman," Spork menyahut sambil mencibir kesal. "Untuk kali ini."
"Tapi... kenapa?" Aku terbengong-bengong.
"Kau Terlindung Bayangan," Fleg menjelaskan.
"Kami tidak boleh menyentuhmu. Ini tiket khusus untuk membebaskan diri dari
bahaya. Tapi tiket ini hanya bisa dipakai satu kali."
Satu kali sudah cukup, aku berharap dalam hati. Aku tidak berminat ikut
permainan ini untuk selama-lamanya.
"Kali ini kami terpaksa melepaskanmu," Fleg menggeram. "Tapi kau masih tetap
Monster dari Timur."
"Kau tetap harus menepuk salah satu dari kami sebelum matahari terbenam," Spork
menimpali. Gleeb menghela napas. Ketiga makhluk itu berbalik ke arah hutan.
"Kami pergi sekarang," kata Fleg.
"Tunggu!" seruku. "Bagaimana aku bisa keluar dari sini" Bagaimana aku bisa
menepuk salah satu dari kalian kalau aku terperangkap di sini?"
Fleg menggeleng-gelengkan kepala. Ia meraih ke bawah dan menekan sebongkah
batu ungu di dasar lubang.
Seketika dasar lubang mulai berderak-derak.
Dan tiba-tiba seluruh dasar lubang terangkat ke atas. Semakin lama semakin
tinggi, sampai akhirnya berhenti beberapa jengkal lebih rendah dari permukaan
tanah. Aku bisa melihat mata kaki makhluk-makhluk itu. Aku bisa melihat serangga-
serangga mengilap yang merayap-rayap di antara bulu-bulu mereka.
Dengan gugup aku menelan ludah. Apakah ini semacam tipuan"
Ataukah aku benar-benar aman"
"Aku, tetap perlu bantuan untuk keluar dari sini," kataku kepada Fleg.
Sekali lagi ia menekan batu ungu di sampingku. Dasar lubang kembali bergerak,
dan kali ini berhenti sejajar dengan permukaan tanah.
Aku melompat dari kotak Makan Siang Gratis.
Ketiga makhluk itu langsung mengepungku. "Matahari sudah hampir terbenam,"
Fleg memperingatkanku. Permainan sudah hampir selesai."
"Waktumu tinggal sedikit, Spork menambahkan.
Fleg mendengus. Lalu ia berbalik dan melangkah pergi.
"Semoga beruntung," kata Spork ketika ia bergegas menyusul Fleg. Gleeb
mengikutinya. Ketiganya menuju ke terowongan batu.
"Tunggu!" Aku mengejar mereka secepat mungkin.
Aku berlari masuk ke terowongan batu. Bisa kudengar suara mereka di depan.
Mereka menggeram dan menggerung sambil menggores dinding dan langit-langit
dengan cakar masing-masing.
Aku melihat mereka keluar dari terowongan, berpencar dan berlari ke arah
berlainan. Yang mana yang harus kuikuti" Aku sadar aku tidak boleh membuang-buang
waktu. Tanpa pikir panjang aku mengikuti Fleg.
Ia keluar-masuk pepohonan. Berulang kali ia melompati semak belukar.
Aku berusaha keras untuk tidak ketinggalan. Napasku terengah-engah.
Fleg mempercepat langkahnya.
Semakin lama semakin cepat.
Aku nyaris tak sanggup mengimbangi kecepatannya. Napasku sampai megap-
megap. "Tunggu!" seruku. "Tunggu!"
Fleg menoleh ke belakang. Dan tiba-tiba ia menghilang di antara pepohonan. Aku
berhenti mengejarnya. Langit di atas telah berwarna ungu. Sebentar lagi hari akan gelap.
Aku berbalik, mencari-cari makhluk yang bisa kutepuk.
"Yoo-hoo! Sebelah sini!" aku mendengar seruan lantang.
Aku segera membalik lagi. Spork. Ia berdiri di antara dua pohon tinggi dan
melambaikan tangan padaku.
Aku berlari menghampirinya.
Spork bergegas menyusuri jalan setapak yang berliku-liku. Aku mengikutinya.
Apa lagi yang bisa kulakukan"
Tiba-tiba kakiku tersandung batu. Serta-merta aku jatuh terjerembap.
Aku memaksakan diri untuk bangkit. Hutan di sekelilingku sunyi senyap.
Tak ada satu makhluk pun.
Rasanya aku ingin menjerit! Dan itulah yang kulakukan.
"Fleg! Spork! Gleeb! Di mana kalian?" aku memanggil-manggil. Bagaimana mungkin
aku bisa menepuk mereka"
Menemukan mereka pun aku tak sanggup.
Aku memandang berkeliling.
Hei - apa itu" Aku memicingkan mata.
Ya! Sebuah kepala berbulu biru! Kepala itu menyembul dari balik semak belukar.
Kesempatanku yang terakhir.
Aku mengerahkan segenap tenaga dan berlari ke semak itu.
Aku mengambil ancang-ancang.
"Kena!" seruku. "Kau..."
Chapter 24 "GURRAUGH!" Makhluk mungil itu mengayunkan cakarnya.
Si bayi! Satu-satunya makhluk yang tingginya tak sampai satu meter. Ia terlalu
pendek untuk ikut bermain.
Dasar curang! pikirku. Segala harapanku sirna. Untuk kesekian kalinya. Aku memungut sebongkah batu
dan melemparnya ke tengah hutan.
"Di mana semuanya?" aku memekik. "Keluarlah kalau kalian memang mau main!"
Makhluk mungil itu bertepuk tangan dan berdeguk-deguk dengan riang.
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Kenapa ia sendirian di sini"
Kemudian aku paham. Tentu saja.
Pasti ada makhluk lain di sekitar tempat ini. Makhluk dewasa yang mengawasi si
kecil. Makhluk yang tingginya lebih dari satu meter.
Makhluk yang bisa kutepuk.
Aku mengamati daerah sekitarku. Pohon-pohon dan batu-batu besar. Semua itu
harus kuperiksa satu per satu.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mengendap-endap di antara pohon-pohon.
Setiap kali melewati sebongkah batu, aku berhenti sejenak untuk mengintip ke
baliknya. Keresak. Sepatuku menginjak timbunan ranting kering.
Aku langsung berdiri seperti patung. Dan menunggu sambil menahan napas.
Hening. Aku maju lagi. Terus pasang telinga. Hening. Dengan hati-hati aku kembali berjalan. Pasti ada satu makhluk di sekitar sini.
Tapi di mana" Tiba-tiba aku mendengar sesuatu.
Kedengarannya seperti suara bergumam.
Aku keluar dari semak-semak dan mendekati sumber bunyi itu. Suara tersebut
berasal dari balik batu besar.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengintip dengan hati-hati.
Spork! Ya! Spork sedang berdiri di balik batu dan berbicara sendiri. Ia menggaruk-garuk
bekas luka di hidungnya. Aku bisa menepuknya dengan mudah.
Tapi, jangan-jangan batu itu juga batu hukuman"
Jangan-jangan batu itu juga akan meletus"
Aku tidak mau dikurung dalam kerangkeng yang tergantung di dahan pohon.
Seperti Nat. Nat yang malang.
Aku kembali menarik napas panjang, sebelum maju mengendap-endap.
Spork membalik dan mengamati hutan di belakangnya.
"Makhluk kecil," ia memanggil. "Kaukah itu?"
Aku langsung rebah ke tanah dan diam menunggu. Jantungku berdegup kencang.
Aku memaksakan diri untuk tetap tenang.
Spork tidak beranjak dari tempatnya. Ia mendesah dan mulai menggumam-gumam
lagi. Tiga langkah lagi aku akan bisa menepuknya. Dua langkah lagi.
Aku menyeka keringat di keningku. Satu langkah lagi.
Aku nyaris tidak percaya bahwa keberuntungan akhirnya ada di pihakku. Spork
sama sekali tidak sadar aku sudah berdiri di belakangnya.
Aku menepuknya dengan keras.
"Hah, sekarang giliranmu!" aku memekik.
Spork nyaris tersedak karena kaget. Ia langsung mengangkat kedua tangannya
yang besar. Sepertinya ia mau pingsan!
"Berhasil! Aku berhasil!" seruku gembira.
Aku bebas! Nat juga bebas! Spork menggerung dan berdiri pelan-pelan. Tubuhnya menjulang tinggi di
hadapanku. Tapi tampaknya ia tenang-tenang saja.
Padahal aku baru saja menepuknya.
"Sekarang giliranmu!" aku mengulangi. "Sekarang kau yang jadi Monster dari
Timur! Dengan santai Spork mengangkat sebelah tangan dan menggaruk-garuk lubang
matanya. Aku merinding. Bagaimana kalau Spork tidak mau menaati peraturan"
"Sori," ia berkata pelan. "Tapi kau keliru."
"Hei...!" aku berseru dengan gusar. "Kau harus menaati peraturan! Aku berhasil
menepukmu!" Spork menatapku seakan-akan aku sedang melawak.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Tapi apa" Apa yang tidak beres"
Kenapa ia diam saja"
Spork malah mengembangkan senyum mengejek.
Chapter 25 "KAU menepukku dari arah barat," Spork berbisik. "Berarti itu tidak sah."
Wajahku langsung seperti terbakar. "Curang! Aku sudah menepukmu! Aku sudah
menepukmu!" aku meratap-ratap.
Spork angkat bahu. "Kau harus menepukku dari arah timur. Kan kau sudah diberitahu." Mata Spork yang
kecil nyaris lenyap ketika wajahnya berkerut-kerut karena geli. "Kau tetap
Monster dari Timur!"
Aku mengerang. Bagaimana mungkin aku sampai lupa" Itulah peraturan yang paling penting.
Tapi, bagaimana mungkin aku tahu di sebelah mana arah timur itu" Matahari sudah
tidak kelihatan! Kepalaku berdenyut-denyut.
Seluruh tubuhku terasa pegal. Aku benar-benar capek dan lapar.
Spork berdiri di hadapanku sambil tertawa tanpa suara.
Aku memandang langit yang semakin gelap. Tunggu dulu!
Cepat-cepat aku naik ke atas batu. Matahari sedang terbenam di belakangku.
Berarti itu arah barat. Berarti arah timur di depanku.
Aku menatap Spork. Tanpa Fleg di dekatnya, ia tidak terlalu menyeramkan.
Bagaimanapun juga, seharusnya ia bertugas menjaga si bayi.
Dan apa yang terjadi" Ia kehilangan makhluk mungil itu.
Dan sekarang ia begitu sibuk menertawakan kesalahanku, sehingga hampir lupa
kalau aku masih di situ. "Hei, Spork," aku memanggilnya. "Bagaimana kalau kita memainkan permainanku?"
"Tapi permainan yang ini kan belum selesai." Mata Spork berkedip-kedip karena
heran. "Kita hentikan saja sejenak. Kau pasti juga sudah mulai bosan, ya kan?" tanyaku.
"Permainanku jauh lebih seru."
Spork menggaruk-garuk lubang yang seharusnya berisi matanya. Ia mencabut
seekor serangga besar berwarna hitam, dan mencampakkannya ke tanah.
"Apa nama permainanmu?"
"Freeze Frame," aku menjawab cepat-cepat. Nat dan Pat paling suka permainan itu.
"Kita berputar-putar dan kalau aku bilang stop, kita harus langsung berhenti -
lalu kita lihat siapa yang lebih lama bisa menjaga keseimbangan. Yang jatuh
duluan kalah." "Kedengarannya seru juga," ujar Spork. "Hmm, kenapa tidak?"
"Oke, kalau begitu," kataku. "Kita coba saja. Ayo, berputarlah!" aku berseru.
Kami sama-sama mulai berputar.
Aku melirik ke arah Spork. Tangannya terentang lebar ketika berputar.
"Lebih kencang!" aku berseru padanya. "Lebih kencang!"
Spork semakin bersemangat. Ekornya menyabet-nyabet semak belukar.
Aku segera mundur untuk menghindar.
Spork mulai sempoyongan. "Permainan - dimulai lagi!" teriakku.
Tampaknya Spork tidak mendengarku. Ia terhuyung-huyung dan menabrak pohon.
"Stop!" seruku.
Spork berdiri seperti patung.
Aku segera menerjang maju dan menepuknya. Keras sekali. Dari arah timur.
"Sekarang giliranmu!" aku berseru, lalu mundur beberapa langkah. "Aku menepukmu
dari arah timur! Kali ini kau tidak bisa mengelak!"
Spork menempelkan kedua tangan ke kepala dan memejamkan mata. Rupanya ia
masih pusing. Ia merentangkan kaki dan bersandar pada batang pohon. Ia
menampar-nampar wajahnya sendiri.
"Kau berhasil," ia membenarkan. Ia menjilat-jilat bibirnya, lalu menarik napas
panjang. "Sekarang aku yang jadi Monster dari Timur," ia mengakui.
"Yes. Yes. Yes!" aku bersorak-sorai. Aku melompat-lompat dengan gembira.
Spork duduk dan bersandar pada batu besar. "Aku bebas!" aku memekik.
"Permainan sudah selesai." Aku mengepalkan tangan dan mengacungkannya tinggi-
tinggi. "Sekarang aku akan menyelamatkan Nat," ujarku. "Di sebelah mana dia ditawan?"
Spork menunjuk ke kanan. "Kami akan pergi dari sini!" seruku.
Seumur hidup aku belum pernah segembira sekarang.
"Oke, Spork kawan lama," aku berkata dengan wajah berseri-seri. "Sampai ketemu!"
"Jangan terburu-buru," balas Spork. "Kau belum boleh pergi."
Chapter 26 "HEI jangan ngomong sembarangan!" kataku. "Peraturannya jangan diubah-ubah
terus, dong." "Kau belum boleh pergi," katanya sekali lagi. "Permainan berlanjut sampai
matahari terbenam." Ia menatapku dengan mata mendelik.
Aku memandang ke atas. Warna ungu di langit sudah mulai berganti kelabu.
Waktunya tidak banyak. Tapi masih cukup.
Aku tidak berminat jadi Monster dari Timur lagi. Sebaiknya aku bersembunyi saja
sambil menunggu gelap. Tapi di mana"
"Jangan bengong," Spork memperingatkanku. "Kau bisa kena tepuk lagi."
"Tidak mungkin," aku membantah. "Itu tak bakal terjadi."
Sebelum aku sempat bergerak, Fleg muncul dari balik pohon. Lipatan-lipatan kulit
di bawah dagunya berayun-ayun ke kiri-kanan.
Di belakangnya Gleeb menyusul.
"Dia berhasil menepukku!" Spork melaporkan.
"Hah, apa kubilang!" Fleg langsung memelototiku. "Dari pertama aku sudah tahu
kau pernah ikut permainan ini."
Aku mengepalkan tangan. Aku benar-benar marah. Benar-benar muak dengan
permainan mereka. Mereka telah memaksaku ikut bermain. Tapi sekarang aku tak
bakal membiarkan mereka menang.
Fleg memberi isyarat agar aku pergi. "Aku akan berhitung sampai trel," katanya.
"Setelah itu kami akan mengejarmu lagi."
Ia berbalik dan menutup mata. "Gling... proo... zee... freen... trel," ia
berhitung. Aku tidak punya pilihan. Serta-merta aku kabur menjauhi mereka.
Jangan berhenti, aku berkata dalam hati. Jangan pikirkan apa pun. Pokoknya lari.
Cari tempat untuk bersembunyi.
"Awas - kami datang!" aku mendengar Fleg berseru.
Makhluk-makhluk itu menggeram-geram dan menggerung-gerung.
Aku meninggalkan jalan setapak dan menerobos alang-alang yang tumbuh di
antara pohon-pohon. Tanpa mengurangi kecepatan aku melompati tumbuhan kol
yang menghalangi jalanku. Paha dan betisku semakin pegal. Telapak kakiku serasa
terbakar. Tapi aku tidak boleh berhenti.
Aku harus terus berlari sampai aku menemukan tempat untuk bersembunyi.
Aku berhenti mendadak ketika mendengar gemercik air.
Hampir saja aku terjatuh ke sungai. Seekor ikan besar berwarna biru meloncat
dari air dan berusaha menyambar mata kakiku.
Ini bukan tempat yang cocok untuk bersembunyi. Aku kembali ke hutan. Angin
dingin menerpa wajahku. "Awas, aku datang!" Spork berseru dari sebelah kiri.
Aku menambah kecepatan. Aku tidak sudi ditepuk lagi. Sambil berlari aku
memandang berkeliling. Lari ke mana sekarang"
Terowongan batu! Ternyata aku sudah sampai di depan mulut terowongan batu.
Aku berlari ke dalam lubang gelap itu. Tanpa makhluk-makhluk yang berisik,
suasananya benar-benar sepi dan menyeramkan.
Aku memperlambat langkahku dan mengendap-endap menyusuri terowongan.
Setelah keluar di sisi seberang, aku langsung menyelinap di antara pohon-pohon
yang tumbuh rapat. Aku bersandar pada sebatang pohon dan menunggu, berusaha tidak bersuara. Tapi
bunyi napasku begitu keras, sehingga aku takut makhluk-makhluk itu
mendengarnya! Beberapa detik berlalu. Bumi bergetar, pertanda Fleg dan kawan-kawannya sedang mendekat.
Aku menahan napas dan bersembunyi di balik tumbuhan berdaun payung.
Beberapa detik kemudian, Fleg, Spork, dan Gleeb keluar dari terowongan dan
berlari menyusuri jalan setapak. Empat makhluk lainnya menyusul. Semuanya
melewati semak-semak tempat aku bersembunyi. Lalu menerobos ke hutan. Dan
terus berlari. Aku menunggu sampai yakin mereka telah pergi.
Hening. Aku menarik napas lega. Aku bangkit pelan-pelan dan meregangkan otot-ototku.
Tiba-tiba sesuatu menerjangku dari belakang.
"Jangan!" aku memekik ngeri.
Sepasang lengan merangkul pinggangku. Dan mendorongku sampai jatuh.
Chapter 27 AKU meronta-ronta dan menendang-nendang.
"Hei, berhenti! Jangan main tendang, dong!" ujar suara yang sangat kukenal.
"Nat!" aku berseru. Serta-merta aku berbalik. "Nat! Kau selamat! Bagaimana kau
bisa keluar dari kerangkeng?"
"Kerangkeng" Kerangkeng apa?" Adikku menatapku sambil memicingkan mata.
"Kerangkeng Hukuman," sahutku. "Nat - bagaimana kau bisa lolos" Apakah mereka
melepaskanmu?" "Aku bukan Nat. Ini aku. Pat."
"Pat?" Aku menatapnya dengan tercengang. Kemudian aku merangkulnya. Seumur hidup
aku belum pernah segembira sekarang karena bertemu dengannya.
"Ke mana saja kau?" tanyaku.
"Aku?" balas Pat. "Kau yang ke mana saja" Kalian sudah kucari ke mana-mana.
Hutan ini benar-benar seram."
Ia memandang berkeliling.
"Mana Nat?" "Terperangkap." Aku mulai menjelaskan duduk perkaranya. "Begini, dia ditangkap
gerombolan makhluk. Setelah kau kabur ke hutan, kami dipaksa ikut permainan
dan..." "Permainan?" seru Pat. Ia menggeleng-gelengkan kepala seakan tidak percaya
dengan apa yang didengarnya. "Aku tersesat di hutan - dan kalian berdua malah
bermain-main?" "Bukan begitu," aku langsung membela diri.
Aku memandang berkeliling untuk memastikan tidak ada makhluk lain di sekitar
kami. "Kami dipaksa ikut," aku berbisik pada Pat. "Permainannya seperti main tangkap-
tangkapan - tapi ini jauh lebih serius. Aku jadi Monster dari Timur dan..."
"Jangan mengada-ada," Pat menyela sambil geleng-geleng.
"Aku tidak main-main," aku berkeras. "Permainan ini benar-benar maut. Kau harus
percaya." "Kenapa?" Pat angkat bahu. "Kau sendiri tak pernah percaya kalau aku cerita.
Jadi, kenapa aku harus percaya sekarang?"
"Soalnya kalau kita kalah, kita bakal dimakan!"
Pat langsung terbahak-bahak.
"Aku serius!" Aku menyentuh pundak Pat dan mengguncangnya keras-keras. "Aku
tidak bohong! Tempat ini berbahaya. Aku lagi dikejar-kejar Fleg dan Spork."
Pat melepaskan diri. "Yeah. Fleg dan Spork. Guk guk!" ia menyalak.
"Ssst!" aku rnendesis. "Jangan ribut!" Aku menariknya ke balik tumbuhan berdaun
payung. "Pat, kau harus percaya. Mereka ada di mana-mana. Kita bisa tertangkap
kalau kita tidak hati-hati." "Dan permainan ini tentu ide mereka?" ia bertanya.
"Ya," jawabku. "Dan tentu saja mereka juga bisa berbicara," Pat kembali berkata. "Dalam bahasa
Inggris." "Ya. Ya. Ya," aku berkeras.
"Ternyata kau lebih ajaib dari yang kuduga selama ini," ujar Pat sambil
menggelengkan kepala. "Jadi, di mana Nat" Dan jangan bercanda lagi!"
"Grrraugggh!" Suara menggeram itu memantul dari batu-batu di dekat kami.
"Lewat sini!" salah satu makhluk berseru. "Dekat terowongan!"
Pat langsung membelalakkan mata. Ia meraih lenganku.
"Itu mereka!" aku memekik. "Sekarang kau percaya?"
Pat menelan ludah dan mengangguk. "Ya, aku percaya," sahutnya dengan susah
payah. "Dia di sini!" seekor makhluk berseru.
"Dia mendengar kita," aku berbisik ke telinga Pat. "Ayo, lari!"
Pat dan aku segera mengambil langkah seribu. Kami berlari menerobos hutan,
melompati pohon-pohon tumbang, menyingkirkan ranting-ranting yang
menghalangi jalan. "Lewat sini!" aku berseru. Aku meraih tangan Pat. "Merunduklah!"
Kami menyelinap ke tengah pepohonan yang tumbuh lebat.
Spork melesat melewati kami.
Aku mendengarnya mengendus-endus.
"Apakah dia bisa mencium bau kita?" tanya Pat.
"Ssst!" Aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. Kami menerobos semak belukar
sambil mengendap-endap. Fleg muncul. Ia menuju ke arah kami.
Aku langsung tiarap dan menarik Pat ke bawah. Fleg pun berlari melewati kami.
Aku tahu kami abelum aman. Masih ada makhluk lain yang akan muncul. Dan
salah satu dari mereka mungkin saja berhasil menemukan kami.
Aku memberi isyarat pada Pat agar ia mengikutiku. Kami semakin jauh masuk ke
hutan. Pohon-pohon semakin rapat. Semak belukarnya begitu lebat sehingga sepenuhnya
menghalangi pandangan. Aku mengulurkan tangan untuk meraba-raba.
Tanganku membentur sesuatu.
Sesuatu yang sangat besar.
Hangat. Dan berbulu.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chapter 28 AKU melompat mundur. Dan menabrak Pat.
Apa yang tersentuh tanganku tadi"
Semak belukar membelah, dan seekor makhluk aneh muncul.
Belum pernah aku melihat makhluk seperti itu. Badannya seperti anjing, kira-kira
sebesar anjing herder, tapi kepalanya seperti tupai.
Apa-apaan ini" pikirku.
Makhluk itu juga bisa bicara. "Kemari! Cepat!" katanya dengan suara melengking
tinggi. Hidung tupainya berkedut-kedut. Ekor anjingnya yang berbulu lebat
mengibas-ngibas ke kiri-kanan. Apakah makhluk itu bisa dipercaya"
"Masuk ke sini!" katanya sekali lagi.
Ia melambai-lambaikan tangan, lalu menunjuk semak-semak dengan daun-daun
besar berwarna jingga. Pat masih ragu-ragu, tapi aku langsung merangkak maju. Aku melihat mulut gua
yang tersembunyi di balik dedaunan.
"Ini tempat yang baik untuk bersembunyi," aku memberitahu Pat.
"Ini Gua Persembunyian," tupai-anjing itu menimpali. "Gua Persembunyian tempat
paling cocok untuk bersembunyi. Cepat!"
Makhluk itu menyingkirkan daun-daun untuk memudahkan kami masuk.
Bumi bergetar. Aku menoleh dan melihat makhluk-makhluk berbulu biru di
kejauhan. Mereka bergerak cepat ke arah kami.
"Ayo, Pat. Sebaiknya kau segera masuk," ujarku.
Pat masih ragu-ragu. Aku menyambar tangannya dan menariknya. Aku
membungkuk untuk memasuki Gua Persembunyian.
Sekonyong-konyong aku teringat apa yang terjadi waktu Nat menyentuh batu
hukuman. Aku langsung merinding. Betulkah kami aman di dalam Gua
Persembunyian" Gedebak. Gedebuk. Gerombolan makhluk itu semakin dekat.
"Di mana mereka?" salah satu makhluk berseru. Aku mengenali suara Fleg.
"Mereka pasti di sekitar sini," sahut Spork.
Si tupai-anjing tetap di luar. Ia melepaskan daun-daun jingga yang dipegangnya,
yang segera kembali ke tempat semula sehingga menutupi mulut gua.
Pat dan aku meringkuk di dalam, terlindung dari pandangan makhluk-makhluk itu.
Kami berdesak-desakan. Udara terasa lembap di dalam gua. Baunya agak masam,
tapi aku tidak menghiraukannya.
Aku bersandar ke dinding gua, menyeka keringat yang membasahi keningku. Lalu
aku duduk sambil menyilangkan kaki.
"Carilah posisi yang nyaman," aku berbisik kepada Pat. "Kita mungkin harus
meringkuk cukup lama di sini."
Tiba-tiba tengkukku mulai gatal. Aku berusaha menggaruknya. Telingaku ikut
gatal. Aku jadi merinding. Aku menggosok telingaku dan merasakan sesuatu merayap ke pipiku.
"Aduh!" aku memekik ketika bahuku digigit.
Aku berpaling kepada Pat. Ia sedang menepuk-nepuk telinga dan pundaknya.
Sesuatu mendengung-dengung di dekat telingaku. Sesuatu merayap di rambutku.
Aku langsung menggoyang-goyangkan kepala.
Sekarang seluruh tubuhku terasa gatal.
Pat menggeliat-geliut di sampingku. Ia terus menggaruk dan menepuk badannya
sendiri. Aku langsung bangkit. "Tolong!" seruku. "Ada apa ini" Ada apa di gua ini?"
Chapter 29 "TOLONG!" aku memekik. "Tolong!"
Kepala si tupai-anjing muncul di mulut gua.
"Ada apa ini?" aku berseru sambil menggeliat-geliut dan menggaruk-garuk.
"O ya, aku lupa memberitahu kalian," makhluk ajaib itu berbisik. "Gua
Persembunyian juga tempat persembunyian serangga!"
Serangga! "Ohhh!" Pat langsung mengerang tertahan. Ia menggosok-gosokkan punggungnya ke
dinding gua. Dan menggaruk-garuk kepala.
Serangga-serangga itu ada di mana-mana. Merayap di dinding-dinding.
Beterbangan kian kemari. Mendengung-dengung.
Mereka merayap di lengan dan kakiku. Di wajahku. Di rambutku.
Aku menarik serangga berbentuk cacing dari pipiku. Aku menepis-nepis serangga
yang menempel di lengan dan kakiku.
Semuanya berjatuhan ke dasar gua.
Pat menggeliat-geliut di sampingku.
"Tolong aku, Ginger!" ia meratap.
"Ssst!" Si tupai-anjing kembali menyembulkan kepala ke dalam gua.. "Jangan
ribut! Si Monster dari Timur datang. Jangan bersuara, atau dia akan menemukan
kalian!" Pat dan aku merapatkan diri ke dinding gua.
Aku menahan napas dan berusaha tidak bergerak. Aku menghitung sampai
sepuluh. Tapi dalam hati.
Aku pura-pura tidak tahu ada serangga berkeliaran di mana-mana.
Aku memejamkan mata dan membayangkan kamarku. Poster-poster yang
kutempel di dinding. Tempat tidurku yang nyaman.
Kubayangkan diriku berbaring di balik selimut. Bersiap-siap tidur. Tapi kemudian
aku teringat pada kutu busuk!
Aku tidak sanggup mengabaikan serangga-serangga yang merayap di tubuhku.
Aku tidak sanggup tidak memikirkan binatang-binatang itu.
Aku tidak tahan lagi. Aku harus menggaruk. Gatalnya minta ampun. Rasanya aku
ingin menjerit! Aku tidak tahan lagi meringkuk di tempat itu. Sementara itu di
depan mulut gua terdengar suara langkah kaki.
Aku mengenali suara Spork. "Hei...!" ia menghardik si tupai-anjing. "Kau melihat
makhluk asing di sini?"
Mungkinkah Spork mengenal si tupai-anjing" Jangan-jangan mereka malah
berteman. "Jawab pertanyaanku," perintah Spork dengan nada memaksa.
Aku menunggu jawaban si tupai-anjing. Jangan beritahu dia bahwa kami
bersembunyi di sini, aku berdoa dalam hati. Tolong, jangan beritahu dia.
Seekor serangga besar mendarat di wajahku. Aku berusaha menepisnya, tapi
binatang itu seakan-akan melekat. Aku tidak bisa melepaskannya.
Aku benar-benar tidak tahan lagi.
Aku harus menjerit. Harus!
Chapter 30 "TO..." Cepat-cepat kubungkam mulutku.
Aku memekik tertahan. Daun-daun jingga di depan gua berdesir. Tangan Fleg muncul di mulut gua.
Aku langsung terdiam. Pat menahan napas.
"Ada apa di dalam situ?" aku mendengar Fleg bertanya pada si tupai-anjing.
"Serangga," jawab makhluk itu. "Ribuan serangga."
Jutaan! pikirku dengan getir. Serangga-serangga itu merayap di wajahku, di
tanganku, di kakiku. Malah ada yang mendengung-dengung di telingaku.
Hidung Fleg muncul di mulut gua. Aku langsung menahan napas.
Fleg mengendus-endus. "Uh, bau apa ini?" ia menggerutu.
"Serangga," jawab si tupai-anjing.
"Huh, baunya!" Fleg bergumam. Ia melepaskan daun-daun di mulut gua yang langsung
menutup kembali, "Cuma ada serangga di sini," Fleg berkata kepada Spork. "Tidak
ada manusia." "Tentu saja tidak ada," si tupai-anjing berkata dengan tenang. "Mereka pergi ke
arah sana." "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Fleg membentak.
Spork berseru pada kawan-kawannya. "Mereka tidak di sini! Ayo, ke sana, cepat!
Waktunya tinggal trel menit."
"Aku harus menemukannya," kudengar Spork berkata kepada makhluk-makhluk lain.
"Aku harus menepuknya lagi. Masa aku jadi Monster dari Timur gara-gara manusia!"
Suara langkah mereka terdengar menjauh ke arah berlawanan. Tinggal trel menit!
Aku sebenarnya tidak tahu arti kata trel.
Tapi aku tahu permainan sudah hampir berakhir. Jika Spork gagal menepukku
kembali, maka si kembar dan aku akan bebas!
Masalahnya cuma satu; aku tidak tahan menunggu lebih lama lagi di dalam gua
penuh serangga itu. Dengan kaki gemetaran aku menuju ke mulut gua. Saking gatalnya badanku, aku
nyaris tak sanggup mengayunkan kaki.
Aku mengintip ke luar. "Mereka sudah pergi?" aku berbisik kepada si tupai-
anjing. "Untuk sementara," sahutnya.
"Ayo, kita keluar dari sini," ujarku kepada Pat.
Langsung saja aku melompat keluar. Adikku segera menyusul. Kalang kabut kami
menepis serangga-serangga yang menempel di kulit dan pakaian kami. Aku
menggaruk-garuk kepala dan menggosok-gosokkan punggung ke sebatang pohon.
Pat mengentak-entakkan kaki. "Aduh, di sepatuku juga ada serangga!" serunya.
Cepat-cepat ia mencopot sepatu, membaliknya dan mengguncang-guncangnya.
Seratus serangga hitam jatuh ke tanah dan kabur ke segala arah.
"Oh, gatalnya minta ampun!" aku meratap.
"Sebaiknya kalian bersembunyi lagi," si tupai-anjing memperingatkan. "Mereka
mungkin akan kembali. Dan Gua Persembunyian hanya boleh dipakai satu kali
untuk setiap permainan."
Pat dan aku mengucapkan terima kasih kepada makhluk ajaib itu. Dan kami
kembali masuk ke hutan. Bagian hutan ini belum pernah kudatangi. Pat dan aku berjalan menerobos semak
belukar yang tumbuh lebat. Kemudian aku berhenti.
Sebuah pohon willow yang besar berdiri di hadapan kami. Dahan-dahannya
merunduk dan nyaris menyentuh tanah.
Inikah pohon Gulla Willow"
Ya, pasti. Aku memandang berkeliling, mencari-cari tempat untuk bersembunyi. Di balik
pohon ada batu besar yang memanjang.
Waktunya tinggal beberapa menit lagi.
"Cepat," aku berbisik sambil menarik Pat ke balik batu itu.
"Pasti ini pohon Gulla Willow yang selalu mereka sebut-sebut," kataku. "Begitu
matahari terbenam di balik pohon ini, kita aman."
Pat mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa. Napasnya terengah-engah. Ia
menggaruk-garuk pipi. Rupanya masih gatal-gatal.
Begitu juga aku. "Merunduklah," aku memperingatkannya. "Dan jangan sentuh batu ini."
Kami meringkuk berdampingan sambil membisu. Dan menunggu.
Jantungku berdegup-degup. Kulitku serasa ditusuk-tusuk. Aku mendekam di
samping adikku dan pasang telinga.
Hening. Hanya ada suara angin yang mendesir di antara pohon-pohon.
Selain itu tak ada bunyi apa pun.
"Apakah kita sudah aman sekarang?" Pat bertanya dengan suara gemetaran.
"Belum," sahutku. Aku menoleh ke langit yang berwarna kelabu tua. Masih ada
sedikit sinar matahari yang menerangi puncak pohon willow.
Cepat! aku mendesak matahari. Turunlah! Apa lagi yang kautunggu"
Langit bertambah gelap. Warnanya yang ungu semakin redup di balik pohon Gulla
Willow. Kini tinggal warna kelabu. Malam telah tiba. Matahari telah terbenam.
"Kita aman!" aku bersorak dan bangkit. Aku berbalik dan memeluk Pat. "Selamat!
Kita berhasil!" Aku melangkah keluar dari balik batu.
Sebuah tangan berat menepukku dengan keras. Tepat di bahuku.
"Sekarang giliranmu lagi!" Spork berseru dengan lantang. "Kau jadi Monster dari
Timur!" Chapter 31 "HAH?" Aku memekik kaget. Pundakku masih terasa nyeri karena ditepuk begitu keras.
"Curang!" teriak Pat. "Curang!" Ia membelalakkan mata ketika melihat makhluk-
makhluk yang mengepung kami. Pat belum pernah melihat mereka dari dekat.
"Sekarang sudah gelap! Matahari sudah terbenam!" aku memprotes. "Kau tidak boleh
menepukku sekarang!"
"Game Over! Game Over!" Fleg mengumumkan. Ia melangkah keluar dari hutan dan
bergegas mendekati gerombolan makhluk yang mengelilingi kami.
Dengan gusar aku menunjuk-menunjuk pohon Gulla Willow. "Matahari sudah
terbenam di balik pohon itu. Kau tidak boleh menepukku!"
"Permainannya belum resmi berakhir," Spork berkata tenang. "Kau tahu
peraturannya. Fleg harus berseru 'Game Over' dulu agar permainan benar-benar
usai." Makhluk-makhluk lainnya bergumam-gumam sambil mengangguk-angguk.
Aku mengepalkan tangan. "Tapi... tapi..." aku tergagap-gagap.
Aku menundukkan kepala. Aku tahu mereka takkan menghiraukan protesku.
Pat menelan ludah. "Apa yang akan mereka lakukan sekarang, Ginger?" ia berbisik
pelan. "Apakah mereka akan menyakiti kita"
"Aku kan sudah bilang," sahutku, juga sambil berbisik. "Kita bakal dimakan."
Pat memekik tertahan. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tak sempat membuka
mulut. Fleg keburu melangkah maju. Ia mengangkatku dan menaruhku di pundaknya.
Aku langsung pusing karena gamang. Rasanya aku begitu jauh dari permukaan
tanah! Spork memanggul Pat. "Hei - nanti dulu!" aku memprotes. "Turunkan adikku!"
"Dia pembantumu," balas Spork. "Pembantu selalu ikut dimakan!"
"Turunkan aku!" Pat menjerit. "Turunkan aku!"
Tapi teriakannya tidak dihiraukan makhluk raksasa itu.
Kami dibawa ke lapangan kecil.
Di tengah-tengahnya terdapat lingkaran batu. Dan di dalam lingkaran batu itu api
berkobar-kobar. Lidah api berwarna kuning dan biru menari-nari.
Fleg menurunkan aku di sebuah tunggul pohon. Sedang Spork menempatkan Pat di
sampingku. Gerombolan makhluk itu mengelilingi kami. Beberapa meneteskan air liur. Ada
juga yang menjilat-jilat bibir.
Sepertinya aku mendengar gemuruh guntur. Tapi kemudian aku sadar itu cuma
bunyi perut mereka yang keroncongan.
"Sekarang Flelday," Spork berkata sambil tersenyum, "dan setiap Flelday kita
selalu bikin barbecue."
Aku menelan ludah. Dan menatap api yang menari-nari di hadapanku. Aku melipat
tangan dan mendekap diriku sendiri.
Spork menusuk-nusuk api dengan tongkat logam panjang. Lalu diarahkannya
tongkat itu padaku. "Nyam nyam." Ia tersenyum lebar sambil mengusap-usap perut.
Perasaanku semakin tak karuan.
Gleeb menggotong panci besar ke perapian. Ia menaruhnya di tengah-tengah api.
Fleg memetik beberapa labu dari pohon. Ia membuka semuanya, dan menuangkan
sari labu berwarna kuning itu ke dalam panci. Ia juga mengumpulkan ranting-
ranting dan daun-daun, dan memasukkannya ke dalam panci.
Gleeb terus mengaduk. Bau masam dan busuk mulai menyebar dari panci.
"Kaldunya sudah siap," Gleeb mengumumkan.
Aku berpaling kepada Pat. "Maafkan aku," ujarku dengan suara gemetar. "Aku
menyesal aku kalah."
"Aku juga menyesal," ia berbisik tanpa sanggup mengalihkan pandangan dari api
yang menari-nari. Makhluk-makhluk itu mulai bersenandung.
"Flelday. Flelday. Flelday."
"Siapa yang bawa saus tomat?" tanya Spork. "Aku sudah kelaparan nih!"
Fleg langsung mengangkatku. Lalu membawaku ke panci berisi kaldu mendidih.
Chapter 32 "HEI! Tunggu! Berhenti!"
Suara yang akrab di telingaku berseru-seru dengan lantang dari seberang
lapangan. Aku segera menoleh. "Nat!" teriakku.
"Ginger!" ia memanggil. Ia berlari menghampiri kami sambil melambai-lambaikan
tangan. "Ada apa ini" Sedang apa mereka?"
Fleg menurunkanku ke tanah.
"Nat...!" aku menjerit. "Lari! Cari bantuan! Cepat!"
Ia berhenti di ujung lapangan. "Tapi, Ginger..."
"Nanti kau dimakan juga!" aku memekik. "Lari!"
"Tangkap dia!" Spork berseru pada kawan-kawannya.
Gleeb dan beberapa makhluk lainnya langsung mulai mengejar Nat.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nat berbalik. Ia berlari ke arah hutan, lalu menghilang di balik pepohonan.
Tanpa daya aku menyaksikan makhluk-makhluk itu menyusulnya.
Jangan sampai ia tertangkap, aku berdoa dalam hati.
Nat bakal lolos, pikirku. Ia akan memanjat pohon. Ia akan lolos dari kejaran
mereka. Setelah itu ia akan lari dan memanggil bantuan.
Pat dan aku memandang ke arah hutan yang gelap. Kami menunggu dan
menunggu. "Oh, aduh!" aku meratap ketika gerombolan makhluk itu kembali. Salah satu dari
mereka berjalan sambil menggotong Nat di pundaknya.
Nat menendang-nendang dan memukul-mukul. Tapi ia tidak berhasil
membebaskan diri. Makhluk itu menaruh Nat di samping Pat dan aku. Nat terjerembap di tanah.
Sekarang, kami bertiga tertangkap. Makhluk-makhluk itu akan pesta besar!
Aku duduk di samping Nat. "Bagaimana kau bisa keluar dari kerangkeng itu?" aku
bertanya padanya. Nat berguling dan duduk tegak. "Gampang, kok," katanya. "Kayunya sudah lapuk.
Aku terus menendang sampai berhasil menjebol salah satu papan. Lalu aku
menyelinap keluar." "Seharusnya kau tetap di situ," kataku padanya. "Seharusnya kau kabur saja.
Sekarang kau malah bakal ikut dimakan."
Nat menoleh ke arah panci dan api yang menari-nari. "A-aku tidak mau main lagi,"
ia tergagap-gagap. "Nat," bisikku dengan sedih. "Kurasa permainannya memang sudah usai."
Chapter 33 "JANGAN ribut!" seru Fleg. "Ini waktu makan malam - jangan bicara!" Ia menatap Nat
sambil mendelik. Fleg memicingkan mata. Ia memiringkan kepala, berbisik-bisik kepada Spork dan
Gleeb. Makhluk-makhluk lainnya juga mendekat. Semuanya menatap Pat dan Nat.
Mereka mulai menggumam-gumam dan menggeleng-gelengkan kepala. Moncong
mereka bergerak naik-turun ketika bicara.
"Kau membelah!" Spork berkata kepada Pat. "Kau melakukan Classic Clone!"
Aku menatap gerombolan makhluk itu. Aku mengamati wajah mereka yang
tampak kaget. Masa mereka belum pernah melihat anak kembar"
"Kau membelah dua!" seru Fleg. "Itu siasat Classic Clone. Kenapa kalian tidak
memberitahu kami?" "Ehm... apa yang harus kami beritahukan?" tanyaku.
Fleg melotot ke arahku. "Kenapa kalian tidak memberitahu kami bahwa kalian
pemain Level Tiga?" Adikku dan aku berpandang-pandangan dengan bingung.
"Kalian salah ikut permainan," Spork berkata sambil menggelengkan kepala.
"Kalau kau bisa rnembelah dua, berarti kau sudah masuk Level Tiga," ujar Fleg.
Ia menepuk keningnya yang berbulu lebat. "Aduh, ini benar-benar memalukan!
Kenapa kalian tidak memberitahu kami sejak awal?"
"Hmm, aku kan sudah bilang bahwa kami tidak mau ikut main," sahutku dengan
ketus. "Tapi kau tidak mau mendengar."
"Aku menyesal sekali," Fleg minta maaf. "Kami baru Level Satu. Kami masih
pemula. Kami bukan pemain jagoan seperti kalian."
"Pemain jagoan?" Pat bergumam. Ia berpaling padaku dan mengerutkan kening.
"Karena itulah kami harus bermain pada siang hari," Fleg menjelaskan. "Kami
belum siap untuk bermain setelah gelap."
Makhluk-makhluk di sekitar kami terus menggumam sambil menggelengkan
kepala. "Tentu saja kami akan melepaskan kalian sekarang," kata Fleg. Ia menggaruk
dagunya yang berlipat-lipat.
"Tentu saja," seruku.
Rasanya aku ingin langsung berdiri dan melompat-lompat sambil bersorak-sorai.
Tapi aku masih bisa mengendalikan diri.
"Jadi, kami bebas?" Nat berseru kepada Fleg. "Begitu saja?"
"Ya. Selamat jalan." Fleg merengut. Ia mengusap-usap perutnya yang
keroncongan. "Jangan tanya-tanya lagi," aku mewanti-wanti Nat. "Lebih baik kita langsung
pergi saja!" "Selamat jalan," Fleg berkata sekali lagi. Ia melambaikan tangannya seakan-akan
hendak mengusir kami. Aku segera bangkit. Tiba-tiba saja aku tak lagi letih, ngeri, atau gatal-gatal.
Kali ini permainannya benar-benar telah berakhir!
"Bagaimana kami bisa menemukan orangtua kami?" aku bertanya.
"Gampang," sahut Fleg. "Ikuti saja jalan setapak itu." Ia menunjuk. "Ikuti terus
sampai menembus hutan. Jalan setapak itu menuju ke dunia kalian."
Kami menyerukan selamat tinggal - dan langsung berangkat.
Jalan setapak yang sempit itu meliuk-liuk di antara pepohonan.
Cahaya bulan berwarna keperakan tampak menari-nari di tanah.
"Untung saja kalian anak kembar!" aku berseru.
Aku belum pernah berkata begitu!
Tapi aku sungguh-sungguh. Kekembaran mereka telah menyelamatkan nyawa
kami. Pohon-pohon semakin jarang. Aku melihat bulan purnama melayang di atas pucuk
pepohonan yang gelap. Kami serasa berlari menuju bulan, menuju ke cahayanya yang putih dan hangat.
"Mom dan Dad takkan percaya kalau mendengar pengalaman kita," kataku.
Aku bertekad untuk menceritakan semuanya, sampai ke detail-detail yang paling
mengerikan. "Mereka harus percaya," ujar Nat. "Kan semuanya benar."
Aku mempercepat langkahku. Kedua adikku harus berusaha keras agar tidak
ketinggalan. Aku sudah tak sabar untuk kembali ke duniaku sendiri. Ayah dan ibuku pasti
kuatir sekali. "Oh!" aku memekik dan berhenti mendadak.
Pat dan Nat menabrakku dari belakang. Kami bertiga nyaris terjatuh.
Seekor makhluk raksasa muncul dari balik pohon dan menghalangi jalan kami.
Ia menyilangkan tangannya yang berbulu lebat di depan dadanya yang bidang.
Hidungnya kembang-kempis ketika ia menatap kami dengan mata kelerengnya
yang menyorot dingin. Ia membuka mulut dan menggeram, memperlihatkan satu
gigi taring yang panjang.
Tapi aku tidak gentar. "Menyingkirlah," aku berkata dengan tegas. "Kau harus membiarkan kami lewat.
Aku dan kedua adikku adalah pemain Level Tiga."
"Kalian pemain Level Tiga" Hei - kebetulan! Aku juga!" seru makhluk itu. "Nah,
kena! Sekarang giliranmu untuk jadi Monster dari Timur!"
End Pedang Berkarat Pena Beraksara 8 Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam Matahari Esok Pagi 15
Chapter 17 AKU tidak mau menyerah. Aku semakin keras menggelitik pohon yang menyekap
adikku. Batangnya mulai menggeliat.
Daun-daun gugur dan melayang ke bawah. Beberapa helai jatuh ke rambut dan
tanganku ketika aku menggaruk-garuk kulit pohon itu.
Aku semakin seru menggaruk dan menggelitik. Dahan-dahan pohon mulai
bergoyang-goyang. Seluruh rantingnya berayun-ayun.
Yes! pikirku dengan gembira. Ternyata berhasil! Rupanya pohon ini memang
gelian! Pohon ini akan kubuat roboh karena tertawa! Aku menggelitik semakin keras.
Batangnya menggeliat-geliut di hadapanku.
Aku memandang ke atas. Sepatu Nat tampak menyembul dari balik daun-daun.
Kemudian muncul kakinya. Tangannya. Wajahnya. Semua dahan pohon
bergoyang-goyang. Menggeliat-geliut dan berayun-ayun.
Nat melepaskan diri dari cengkeraman dahan-dahan itu. Dengan gesit ia bergerak
dari dahan ke dahan. Keterampilan memanjat yang ia miliki akhirnya berguna
juga! "Cepat!" aku berseru padanya. "Tanganku sudah mulai pegal, nih! Ayo, turun!"
Nat merosot lewat batang pohon.
"Awas, aku mau lompat!" Nat berseru. Ia melepaskan pegangannya dan melompat ke
bawah. Ia mendarat persis di depanku. "Wah, terima kasih, Ginger!"
Aku langsung meraih tangannya. Terburu-buru kami berlari menjauhi pohon itu.
Nat menepis ranting-ranting dan daun-daun yang menempel di rambutnya. "Aku
sempat melihat beberapa makhluk!"
Aku menggigit bibir. Saking sibuknya menyelamatkan adikku, aku sama sekali
lupa bahwa kami sedang terlibat permainan yang mematikan.
"Aku melihat tiga makhluk," Nat melaporkan. "Fleg, Spork, dan satu lagi yang
ekornya remuk. Di sebelah sana." Ia menunjuk ke kanan.
"Sedang apa mereka?" tanyaku.
"Mereka semua bersembunyi di balik batu besar berwarna kelabu. Kau bisa
mendekati mereka tanpa ketahuan. Gampang, kok."
"Hah, apanya yang gampang?"
"Kau pasti bisa." Nat menatapku dengan matanya yang gelap. "Aku yakin kau pasti
bisa, Ginger." Nat berjalan di depan. Perlahan-lahan kami menembus hutan, menuju ke arah batu
besar itu. Langit di atas bertambah gelap, dan udara pun semakin dingin. Aku
tahu malam sudah menjelang. Sebentar lagi matahari akan menghilang di balik
pohon Gulla Willow. Moga-moga masih ada waktu.
"Itu batunya!" bisik Nat.
Aku melihat lapangan kecil di tengah pepohonan. Di tengah-tengahnya terdapat
batu besar kelabu, persis seperti yang dikatakan Nat.
Batu itu cukup besar untuk melindungi setengah lusin makhluk.
Jantungku mulai berdegup-degup.
"Aku akan bersembunyi di balik tumbuhan kol ini," ujar Nat. Ia berlutut di balik
tumbuhan itu. Aku mengikutinya. Aku belum siap menghadapi makhluk-makhluk itu seorang
diri. Aku membungkuk dan mengencangkan tali sepatuku. Perutku serasa diaduk-aduk,
tapi aku berusaha tidak menghiraukannya.
"Maju saja pelan-pelan," bisik Nat.
"Temani aku, dong," aku memohon.
Nat menggelengkap kepala. "Kalau berdua terlalu ribut, katanya. "Lebih aman
kalau kau sendiri saja."
Aku tahu ia benar. Lagi pula, aku berkata dalam hati, tugasku cukup mudah. Makhluk-makhluk di
balik batu itu sama sekali tidak menyangka aku akan mendatangi tempat
persembunyian mereka. Aku tinggal menepuk salah satu dari mereka.
Semangatku bangkit kembali. Ya, aku pasti sanggup melakukannya. Dan setelah
itu permainan ini selesai. Kami akan aman.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Awas, aku datang," bisikku.
Aku mengendap-endap ke arah batu itu. Aku berhenti sebentar dan menoleh ke
belakang. Kepala Nat menyembul dari balik tumbuhan kol. Ia mengacungkan
jempol padaku. Beberapa langkah lagi, dan aku akan sampai di sana. Aku menahan napas.
Batu kelabu itu menjulang tinggi di hadapanku. Aku mengambil ancang-ancang.
Saking tegangnya, jariku sampai gemetaran.
Aku melompat maju. "Hah, kena!" teriakku. "Sekarang giliranmu!"
Chapter 18 "LHO?" Tanganku menepuk angin. Tak ada siapa-siapa!
Makhluk-makhluk itu tidak kelihatan. Yang ada cuma setumpuk labu remuk.
Aku mengedip-ngedipkan mata karena kaget. Lalu berlari mengelilingi batu itu.
Tak ada siapa-siapa. Rupanya makhluk-makhluk itu telah berpindah tempat.
"Nat!" aku memanggil. "Nat!"
Adikku bergegas menghampiriku. "Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa di sini. Mereka sudah pergi," jawabku. "Bagaimana sekarang?"
"Hei," balas Nat dengan ketus. "Ini bukan salahku!"
Aku menatapnya dengan kecewa. Dadaku sesak karena panik. Angin mendadak
bertiup kencang. Aku memandang ke langit. Warnanya sudah berubah menjadi
pink. Matahari sudah mulai terbenam. Perasaan takut yang menyelimutiku semakin
menjadi-menjadi. "Tak ada harapan," aku bergumam.
Nat menggelengkan kepala. "Kau tahu apa yang kita perlukan?" ia bertanya.
"Tidak. Apa?" sahutku.
"Kita perlu rencana baru," katanya.
Mau tidak mau aku tertawa. Ia memang konyol sekali!
Adikku bersandar pada batu besar itu dan mengerut-ngerutkan hidung. "Batu apa
sih ini?" "Batu yang menyeramkan," jawabku.
Nat mengamati batu raksasa itu. "Ada sesuatu yang tumbuh di sini," katanya.
"Jangan disentuh," aku segera memperingatkannya.
Tapi Nat selalu bertambah nekat kalau dilarang melakukan sesuatu.
Nat memasukkan jarinya ke lubang di batu itu.
Batu besar itu langsung bergetar. Puncaknya retak dan retakannya segera
menyebar. Cepat-cepat Nat mencabut jarinya.
"Ada apa ini?" aku memekik.
Awan asap kelabu menyembur dari dalam batu.
JEDOOOR! Nat dan aku merunduk sambil menutup telinga dengan kedua tangan.
Ledakan itu membahana bagaikan sejuta petasan meletus bersamaan.
Semakin banyak asap kelabu menyembur dari dalam batu.
Nat nyaris tidak kelihatan karena terselubung asap. Aku mulai terbatuk-batuk.
Mataku perih sekali. Asap itu memenuhi seluruh lapangan, dan melayang-layang di atas pepohonan.
Beberapa detik kemudian, asap itu lenyap dengan sendirinya.
Dan aku melihat Fleg berdiri di lapangan.
Spork muncul di belakangnya, seperti biasa menggaruk-garuk lubang matanya
yang kosong. Satu makhluk lain menyusul. Lalu satu lagi. Semuanya menatap Nat
dan aku. "Kau menyentuh Batu Hukuman!" seru Fleg.
Nat melangkah ke belakangku. "Apa maksudnya?"
Fleg mengangguk kepada makhluk yang berekor remuk. "Tangkap dia, Gleeb,"
Moncong Gleeb berkedut-kedut. Ia membelalakkan mata dan berusaha meraih
lengan Nat. "Tunggu! Tunggu dulu!" aku berseru. "Nat tidak tahu batu itu tidak boleh
dipegang." "Ini tidak adil! Tidak adil!" Nat menimpali.
Makhluk-makhluk itu tidak menghiraukan protes kami.
Gleeb meraih Nat dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Ayo, kita pergi," Gleeb
menggerung. Gleeb memegang Nat dengan kedua tangannya. Kemudian ia berlagak hendak
mengempaskannya ke bawah.
Nat memekik. Gleeb dan gerombolannya tertawa terkekeh-kekeh sambil bertepuk tangan.
"Berhenti!" aku menjerit. "Lepaskan dia."
"Ayo, jalan!" makhluk-makhluk lainnya berseru. Tepuk tangan mereka semakin
bersemangat. "Ayo jalan! Ayo jalan!" mereka bersorak-sorai.
Aku menatap Fleg sambil mendelik. "Suruh dia melepaskan adikku."
"Dia telah memegang Batu Hukuman," Fleg menjelaskan. "Berarti dia harus
dihukum." "Tapi kami kan tidak tahu itu dilarang!" aku memprotes. "Kami tidak tahu
peraturan konyol kalian. Ini tidak adil."
Aku berusaha meraih kaki Nat yang menggelantung di udara.
"Coba kulihat tanganmu," Fleg berkata dengan nada memaksa.
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menyambar tanganku dan mengamati
telapaknya. "Warna Nubloff!" serunya. Ia memandangku sambil memicingkan mata. "Nilainya lima
puluh poin. Kau tidak bisa membohongiku. Kau pasti sudah pernah ikut
permainan ini. Kau sudah tahu peraturannya."
Aku menatap tanganku. Getah kuning dari batang kayu. Biru dari daun tumbuhan
payung. Dan jingga dari batu tadi. Warna Nubloff"
"Tapi... tapi..." aku tergagap-gagap. "Aku tidak sengaja mendapatkan warna-warna
ini. Semuanya cuma kebetulan."
Fleg dan Spork saling pandang.
"Ayo," Fleg memberi perintah sambil melambaikan tangan kepada Gleeb.
Gleeb memanggul Nat dan mengikuti Fleg ke hutan. Makhluk-makhluk lainnya
segera menyusul. "Ginger!" Nat meratap ketika ia dibawa pergi.
Aku berlari mengejar, tapi aku tak dapat berbuat apa-apa untuk menolong adikku.
"Berhenti! Mau dibawa ke mana dia?" aku memekik. "Apa yang akan kalian lakukan?"
Chapter 19 AKU mengejar mereka. Aku berlari menyusuri jalan setapak yang diapit batu-batu
besar. Jangan-jangan itu batu hukuman juga"
Aku berlari di tengah-tengah jalan setapak. Jangan sampai aku menyentuh batu-
batu itu, pikirku. Makhluk-makhluk itu berhenti di mulut terowongan. Lubang menganga itu berada
di sisi batu paling besar. Mereka merunduk dan segera masuk.
Aku menyusul. Jantungku berdegup kencang.
"Ginger!" Jeritan Nat menggema dari dinding terowongan.
Gerombolan makhluk itu menggeram dan menggerung dengan gembira. Bahkan
ada yang berjalan sambil memukul-mukul langit-langit.
Terowongan itu bergetar. Dindingnya. Langit-langitnya.
Dasarnya. Aku terus mengikuti makhluk-makhluk itu ketika mereka keluar dari terowongan
dan memasuki sebuah lapangan luas.
"Hei - apa itu?" aku berseru tertahan.
Di tengah-tengah lapangan ada kotak kayu besar tergantung pada sebatang pohon.
Kelihatannya seperti kandang burung raksasa.
Di salah satu sisinya terdapat pintu kecil.
Tanda di atas pintu itu bertulisan: KERANGKENG HUKUMAN.
Gleeb mengangkat Nat tinggi-tinggi, supaya semua makhluk bisa melihat dengan
jelas, lalu memutarnya kencang-kencang.
Nat menjerit. Spork dan makhluk-makhluk lainnya mengentak-entakkan kaki sambil bertepuk
tangan. "JANGAN!" teriakku. "Kalian tidak boleh berbuat begitu!"
"Dia harus masuk kerangkeng," Fleg berkata dengan tegas. "Dia telah memegang
Batu Hukuman. Peraturannya memang begitu."
Gleeb memasukkan Nat ke Kerangkeng Hukuman, kemudian membanting
pintunya. Fleg menyelipkan ranting untuk menggerendel pintu.
Nat menjulurkan tangan di antara batang-batang kayu.
"Ginger!" ia memanggil. "Keluarkan aku dari sini." Kotak kayu itu berayun-ayun
di udara. "Jangan takut, Nat!" sahutku. "Aku akan membebaskanmu."
Aku merinding. Ia kelihatan begitu kecil dan tak berdaya.
"Kalian tidak bisa terus menyekapnya," ujarku kepada Fleg. "Kapan dia boleh
keluar?" "Kalau kami akan memakannya," jawab Fleg pelan.
Chapter 20 "Tapi akulah Monster dari Timur!" aku memprotes. "Tadi kaubilang aku yang bakal
kalian makan." Aku maju selangkah ke arahnya.
"Pemain yang masuk Kerangkeng Hukuman juga dimakan," Fleg mendengus
kesal. "Jangan berlagak lupa. Semua orang tahu itu. Itu salah satu peraturan
dasar." "Tapi pasti ada cara lain supaya dia bisa bebas," ujarku sambil terus mendekat.
"Dia memang bisa bebas, tapi dengan syarat dia mau makan Tarantula Penebus
Hukuman," Fleg menjelaskan. Lipatan-lipatan kulit di bawah dagunya berayun-ayun.
"Hah" Dia harus makan labah-labah?" aku berseru, kembali melangkah maju.
Fleg memicingkan mata. "Jangan pura-pura bodoh," katanya, lalu berpaling dariku.
Seketika aku menerjang dadanya yang berbulu tebal. Aku menepuknya keras-
keras. "Sekarang giliranmu!" aku berseru. Aku mengepalkan tangan dan
mengacungkannya sebagai tanda kemenangan. "Sekarang giliranmu! Aku berhasil
menepukmu!" Fleg mengangkat alis. "Sori," katanya dengan tenang. "Permainannya kuhentikan
sejenak. Jadi, tepukan itu tidak masuk hitungan."
"Hah?" aku memekik. "Enak saja. Kau tidak boleh mengubah-ubah peraturan sesuka
hatimu!" "Siapa yang mengubah peraturan" Memang begitu peraturannya." Fleg
mengangkat tangan dan memeriksa gerendel pintu kerangkeng. Gerendelnya kokoh
sekali. "Coba lagi," Spork menggerung. "Masih ada waktu untuk mencoba lagi."
Makhluk-makhluk lainnya mengangguk-angguk. Mereka mendengus-dengus
dengan gembira. Sepertinya mereka benar-benar menikmati permainan ini. Setelah
itu mereka meninggalkan lapangan dan kembali ke hutan.
"Ginger!" seru Nat. Ia menggedor-gedor kerangkeng. "Keluarkan aku dari sini!"
Aku menatapnya dengan tak berdaya. Kerangkeng itu terlalu tinggi. Aku tidak bisa
menjangkaunya. Nat menatapku dari balik kurungannya. Rambutnya yang cokelat jatuh ke depan,
sehingga menutupi matanya. "Lakukanlah sesuatu," ia memohon.
"Aku akan coba lagi," ujarku.
Itu satu-satunya hal yang bisa kukerjakan.
"Kau bisa melihat mereka?" aku bertanya padanya. "Ke mana mereka pergi?"
Nat menunjuk. "Ada beberapa yang bersembunyi di sebelah sana."
"Aku akan segera kembali," aku berjanji. "Setelah aku menepuk salah satu dari
mereka." Aku berlagak yakin aku akan berhasil. Tapi sebenarnya aku sendiri ragu.
"Cepatlah!" Nat berseru padaku.
Angin kencang mendadak berembus dan mengayun-ayunkan kerangkeng itu. Nat
segera duduk sambil memeluk lutut.
Aku menoleh sekali lagi sebelum pergi. Bayangan-bayangan di sekelilingku
semakin panjang. Aku memandang ke langit. Warna jingganya berubah menjadi
pink. Matahari sudah hampir terbenam.
Aku memasuki hutan yang gelap.
Di sekitarku terdengar suara binatang-binatang kecil berlarian melintasi daun-
daun kering yang berserakan di tanah. Seakan-akan mereka semua ingin segera
pulang sebelum gelap. Pulang ke tempat yang aman.
Angin menderu-deru di antara pepohonan. Aku nyaris jatuh karena tersandung
tunggul pohon yang sudah membusuk. Hutan semakin lebat. Waktu semakin
mendesak.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan tiba-tiba aku melihat salah satu makhluk bersembunyi di balik semak berdaun
payung. Pundaknya turun. Kepalanya berayun maju-mundur. Tampaknya ia
tertidur lelap. Inilah kesempatanku, kataku dalam hati.
Perlahan-lahan aku mendekatinya.
Makhluk itu bergeser sedikit dan mengubah posisi.
Aku berhenti. Menahan napas.
Ia kembali tenang. Rupanya ia sedang bermimpi.
Ini dia, pikirku. Ini kesempatan emas. Sedetik lagi ia yang bakal jadi Monster
dari Timur. Aku bergegas maju. Dan memekik tertahan.
Tanah di bawah kakiku mendadak amblas.
Tak ada apa-apa di bawahku.
Tak ada apa-apa selain udara.
Aku langsung jatuh. Melayang... melayang... melayang...
Aku menjerit tanpa henti.
Chapter 21 AKU terempas dengan keras.
Dadaku langsung terasa nyeri.
Bahuku membentur batu yang tajam.
Aku memekik seraya menggosok-gosok lenganku. Megap-megap aku
memaksakan diri untuk bangkit. Kemudian aku memandang berkeliling.
Terlalu gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Habislah sudah, pikirku. Tamatlah
riwayatku. "Hei - ada siapa di atas sana?" aku berseru. "Ada yang bisa mendengarku?"
Hening. Aku harus berusaha keras untuk tetap berdiri tegak. Pundakku berdenyut-denyut.
Aku menggerak-gerakkannya beberapa kali agar tidak kaku.
Lalu aku mengangkat tangan dan meraba-raba dinding di sekelilingku. Tanahnya
keras. Aku berada di semacam lubang yang dalam. Lubang yang biasa digali orang
untuk menangkap binatang.
Tapi sekarang aku yang menjadi binatang yang terperangkap.
Tanganku terus meraba-raba. Barangkali ada sesuatu yang bisa kujadikan
pegangan. Sesuatu yang bisa kumanfaatkan untuk memanjat keluar.
Ih! Apa itu" Tanganku menyentuh sesuatu yang menyembul dari dinding lubang. Sesuatu yang
dingin. Aku mengertakkan gigi dan memaksakan diri untuk menyentuhnya sekali lagi.
Benda itu tidak bergerak.
Cuma akar, pikirku dengan lega.
Bukan sesuatu yang hidup.
Tanganku kembali meraba-raba. Akar-akar itu melintang di mana-mana. Bagus!
Aku mengangkat sebelah kaki dan menginjak akar paling bawah. Akarnya ternyata
cukup kuat untuk menahan berat badanku.
Yeah! Berarti aku bisa memanjat keluar.
Tanganku meraih akar paling tinggi yang bisa kugapai. Pelan-pelan aku menarik
badanku ke atas. Tiba-tiba terdengar suara tanah berjatuhan.
Aku merapat ke dinding lubang ketika semakin banyak tanah longsor dan
menghujani wajahku. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Menunggu hujan tanah itu berhenti. Setelah
beberapa saat barulah aku meraih akar berikutnya dan mulai memanjat lagi.
Berapa banyak waktu yang masih tersisa
erapa lama lagi matahari terbenam"
Pundakku terasa nyeri. Tapi aku masih harus memanjat cukup tinggi. Sejenak aku
beristirahat sambil bersandar ke dinding lubang.
Kemudian aku bergerak kembali.
Krekk Akar yang sedang kuinjak dengan kaki kanan mendadak patah.
Kakiku menggelantung di udara.
Krekk! Akar di tangan kananku juga putus.
"Hei!" aku menjerit ketika tubuhku melayang jatuh.
Aku terempas ke dasar lubang. Keras sekali. Aku tergeletak dengan napas
terengah-engah. Aku memandang ke atas. Langit berwarna pink tua. Sinar matahari semakin redup.
Aku memandang berkeliling.
Aku melihat akar-akar tak berguna di dinding lubang yang dalam.
Aku menoleh ke bawah. Oh, ya ampun! Dalam cahaya remang-remang aku masih bisa melihat dasar lubang tempat aku
berdiri. Warnanya cokelat. Dan bentuknya kotak. Kotak Makan Siang Gratis.
Aku terperangkap. Terperangkap di Kotak Makan Siang Gratis.
Makhluk-makhluk itu bisa melahapku - kapan saja mereka mau.
Aku berdiri seperti patung. Lalu aku mendengar suara langkah bergemuruh di
atasku. Aku merapatkan badan ke sudut lubang. Menempelkan punggung ke dinding
tanah. "Cepat kalian kemari!" aku mendengar Fleg berseru. "Dia ada di bawah sini!"
Chapter 22 FLEG muncul di mulut lubang. Dagunya yang berlipat-lipat menggelantung.
Matanya menatapku tanpa berkedip.
"Hah, kena kau!" serunya.
Spork muncul di samping Fleg. Ia memandangku sambil nyengir. Air liurnya yang
kuning menetes-netes dan jatuh di samping sepatuku.
"Di bawah ada makanan lezat!" kata Spork. "Oh, aku lapar sekali."
Gleeb menerobos di antara Fleg dan Spork. Ia berdecap-decap.
Aku mendengar perutnya berkeruyuk.
"Akhirnya tiba saatnya," kata Spork. "Ayo, angkat dia. Sudah waktunya makan!"
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. "Jangan! Jangan sakiti aku!" pintaku.
"Aku tidak bersalah."
Fleg angkat bahu. "Kau ikut bermain. Kadang-kadang kau menang. Kadang-
kadang kau kalah." Spork dan Gleeb meraih ke dalam lubang. Mereka berusaha menyambarku dengan
tangan mereka yang besar.
Aku semakin merapat ke dinding. "Jangan," aku memohon. "Pergilah dan jangan
ganggu aku. Kalian menang, oke" Kalian boleh ambil semua poin yang telah
kuperoleh." "Poin tidak bisa dioper," Fleg menggerutu. "Kau tahu itu."
Yang lain menggerung-gerung sebagai tanda setuju. Mereka terus mencoba
menangkapku. Dengan kalang kabut aku memandang berkeliling.
Aku perlu senjata. Akar-akar itu" Aku mencabut sebuah akar besar.
"Awas! Mundur!" aku membentak sambil mengayun-ayunkan akar itu.
Makhluk-makhluk itu saling menepuk punggung dan memperdengarkan tawa
mereka yang mengerikan. "Kalian akan menyesal," aku mengancam.
Menyesal" Yang benar saja! Akar konyol itu tidak berarti apa-apa bagi mereka.
Dan mereka pun menyadarinya. Akulah Monster dari Timur. Akulah makan
malam mereka. Fleg membungkuk ke dalam lubang dan menggeram. Cakarnya hanya berjarak
sejengkal dari wajahku. Aku merunduk. Cakarnya menggores tengkukku.
Cepat-cepat aku menghindar. Bulu kudukku berdiri tegak.
Kalau saja aku bisa menghilang ke dalam tanah seperti seekor tikus, pikirku.
Cakar Fleg melintas di depan wajahku. "Jangan mengelak terus!" ia berseru. "Kau
membuatku semakin lapar."
"Ini tidak adil!" aku menjerit.
Ia berpaling kepada Spork dan Gleeb. "Aku sudah bosan," ia mengeluh. "Kita sudah
terlalu banyak membuang-buang waktu."
Matanya yang bulat tampak berbinar-binar ketika ia menatapku.
"Angkat dia!" serunya dengan garang.
Spork mengulurkan tangan ke dalam lubang dan meraih lenganku. Aku merasakan
cakarnya menggores kulitku. Dengan mudah ia menarikku ke atas.
Tamatlah riwayatku, pikirku sedih. Permainan ini telah usai.
Chapter 23 SEGUMPAL awan melintas di langit sehingga lubang perangkap itu gelap gulita.
Fleg meraung-raung. Ia menepuk keningnya yang lebar.
"Terlindung Bayangan!" serunya.
Spork mengendurkan cengkeramannya dan melepaskanku.
Aku kembali jatuh ke dasar lubang.
"Terlindung Bayangan!" seru Spork.
"Terlindung Bayangan!" Gleeb membeo.
Dengan susah payah aku berdiri lagi. Suara makhluk-makhluk yang sedang marah
itu membuat kepalaku berdenyut-denyut.
Mereka mengentak-entakkan kaki.
"Ada apa, sih?" tanyaku.
"Kau aman," Spork menyahut sambil mencibir kesal. "Untuk kali ini."
"Tapi... kenapa?" Aku terbengong-bengong.
"Kau Terlindung Bayangan," Fleg menjelaskan.
"Kami tidak boleh menyentuhmu. Ini tiket khusus untuk membebaskan diri dari
bahaya. Tapi tiket ini hanya bisa dipakai satu kali."
Satu kali sudah cukup, aku berharap dalam hati. Aku tidak berminat ikut
permainan ini untuk selama-lamanya.
"Kali ini kami terpaksa melepaskanmu," Fleg menggeram. "Tapi kau masih tetap
Monster dari Timur."
"Kau tetap harus menepuk salah satu dari kami sebelum matahari terbenam," Spork
menimpali. Gleeb menghela napas. Ketiga makhluk itu berbalik ke arah hutan.
"Kami pergi sekarang," kata Fleg.
"Tunggu!" seruku. "Bagaimana aku bisa keluar dari sini" Bagaimana aku bisa
menepuk salah satu dari kalian kalau aku terperangkap di sini?"
Fleg menggeleng-gelengkan kepala. Ia meraih ke bawah dan menekan sebongkah
batu ungu di dasar lubang.
Seketika dasar lubang mulai berderak-derak.
Dan tiba-tiba seluruh dasar lubang terangkat ke atas. Semakin lama semakin
tinggi, sampai akhirnya berhenti beberapa jengkal lebih rendah dari permukaan
tanah. Aku bisa melihat mata kaki makhluk-makhluk itu. Aku bisa melihat serangga-
serangga mengilap yang merayap-rayap di antara bulu-bulu mereka.
Dengan gugup aku menelan ludah. Apakah ini semacam tipuan"
Ataukah aku benar-benar aman"
"Aku, tetap perlu bantuan untuk keluar dari sini," kataku kepada Fleg.
Sekali lagi ia menekan batu ungu di sampingku. Dasar lubang kembali bergerak,
dan kali ini berhenti sejajar dengan permukaan tanah.
Aku melompat dari kotak Makan Siang Gratis.
Ketiga makhluk itu langsung mengepungku. "Matahari sudah hampir terbenam,"
Fleg memperingatkanku. Permainan sudah hampir selesai."
"Waktumu tinggal sedikit, Spork menambahkan.
Fleg mendengus. Lalu ia berbalik dan melangkah pergi.
"Semoga beruntung," kata Spork ketika ia bergegas menyusul Fleg. Gleeb
mengikutinya. Ketiganya menuju ke terowongan batu.
"Tunggu!" Aku mengejar mereka secepat mungkin.
Aku berlari masuk ke terowongan batu. Bisa kudengar suara mereka di depan.
Mereka menggeram dan menggerung sambil menggores dinding dan langit-langit
dengan cakar masing-masing.
Aku melihat mereka keluar dari terowongan, berpencar dan berlari ke arah
berlainan. Yang mana yang harus kuikuti" Aku sadar aku tidak boleh membuang-buang
waktu. Tanpa pikir panjang aku mengikuti Fleg.
Ia keluar-masuk pepohonan. Berulang kali ia melompati semak belukar.
Aku berusaha keras untuk tidak ketinggalan. Napasku terengah-engah.
Fleg mempercepat langkahnya.
Semakin lama semakin cepat.
Aku nyaris tak sanggup mengimbangi kecepatannya. Napasku sampai megap-
megap. "Tunggu!" seruku. "Tunggu!"
Fleg menoleh ke belakang. Dan tiba-tiba ia menghilang di antara pepohonan. Aku
berhenti mengejarnya. Langit di atas telah berwarna ungu. Sebentar lagi hari akan gelap.
Aku berbalik, mencari-cari makhluk yang bisa kutepuk.
"Yoo-hoo! Sebelah sini!" aku mendengar seruan lantang.
Aku segera membalik lagi. Spork. Ia berdiri di antara dua pohon tinggi dan
melambaikan tangan padaku.
Aku berlari menghampirinya.
Spork bergegas menyusuri jalan setapak yang berliku-liku. Aku mengikutinya.
Apa lagi yang bisa kulakukan"
Tiba-tiba kakiku tersandung batu. Serta-merta aku jatuh terjerembap.
Aku memaksakan diri untuk bangkit. Hutan di sekelilingku sunyi senyap.
Tak ada satu makhluk pun.
Rasanya aku ingin menjerit! Dan itulah yang kulakukan.
"Fleg! Spork! Gleeb! Di mana kalian?" aku memanggil-manggil. Bagaimana mungkin
aku bisa menepuk mereka"
Menemukan mereka pun aku tak sanggup.
Aku memandang berkeliling.
Hei - apa itu" Aku memicingkan mata.
Ya! Sebuah kepala berbulu biru! Kepala itu menyembul dari balik semak belukar.
Kesempatanku yang terakhir.
Aku mengerahkan segenap tenaga dan berlari ke semak itu.
Aku mengambil ancang-ancang.
"Kena!" seruku. "Kau..."
Chapter 24 "GURRAUGH!" Makhluk mungil itu mengayunkan cakarnya.
Si bayi! Satu-satunya makhluk yang tingginya tak sampai satu meter. Ia terlalu
pendek untuk ikut bermain.
Dasar curang! pikirku. Segala harapanku sirna. Untuk kesekian kalinya. Aku memungut sebongkah batu
dan melemparnya ke tengah hutan.
"Di mana semuanya?" aku memekik. "Keluarlah kalau kalian memang mau main!"
Makhluk mungil itu bertepuk tangan dan berdeguk-deguk dengan riang.
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. Kenapa ia sendirian di sini"
Kemudian aku paham. Tentu saja.
Pasti ada makhluk lain di sekitar tempat ini. Makhluk dewasa yang mengawasi si
kecil. Makhluk yang tingginya lebih dari satu meter.
Makhluk yang bisa kutepuk.
Aku mengamati daerah sekitarku. Pohon-pohon dan batu-batu besar. Semua itu
harus kuperiksa satu per satu.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mengendap-endap di antara pohon-pohon.
Setiap kali melewati sebongkah batu, aku berhenti sejenak untuk mengintip ke
baliknya. Keresak. Sepatuku menginjak timbunan ranting kering.
Aku langsung berdiri seperti patung. Dan menunggu sambil menahan napas.
Hening. Aku maju lagi. Terus pasang telinga. Hening. Dengan hati-hati aku kembali berjalan. Pasti ada satu makhluk di sekitar sini.
Tapi di mana" Tiba-tiba aku mendengar sesuatu.
Kedengarannya seperti suara bergumam.
Aku keluar dari semak-semak dan mendekati sumber bunyi itu. Suara tersebut
berasal dari balik batu besar.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mengintip dengan hati-hati.
Spork! Ya! Spork sedang berdiri di balik batu dan berbicara sendiri. Ia menggaruk-garuk
bekas luka di hidungnya. Aku bisa menepuknya dengan mudah.
Tapi, jangan-jangan batu itu juga batu hukuman"
Jangan-jangan batu itu juga akan meletus"
Aku tidak mau dikurung dalam kerangkeng yang tergantung di dahan pohon.
Seperti Nat. Nat yang malang.
Aku kembali menarik napas panjang, sebelum maju mengendap-endap.
Spork membalik dan mengamati hutan di belakangnya.
"Makhluk kecil," ia memanggil. "Kaukah itu?"
Aku langsung rebah ke tanah dan diam menunggu. Jantungku berdegup kencang.
Aku memaksakan diri untuk tetap tenang.
Spork tidak beranjak dari tempatnya. Ia mendesah dan mulai menggumam-gumam
lagi. Tiga langkah lagi aku akan bisa menepuknya. Dua langkah lagi.
Aku menyeka keringat di keningku. Satu langkah lagi.
Aku nyaris tidak percaya bahwa keberuntungan akhirnya ada di pihakku. Spork
sama sekali tidak sadar aku sudah berdiri di belakangnya.
Aku menepuknya dengan keras.
"Hah, sekarang giliranmu!" aku memekik.
Spork nyaris tersedak karena kaget. Ia langsung mengangkat kedua tangannya
yang besar. Sepertinya ia mau pingsan!
"Berhasil! Aku berhasil!" seruku gembira.
Aku bebas! Nat juga bebas! Spork menggerung dan berdiri pelan-pelan. Tubuhnya menjulang tinggi di
hadapanku. Tapi tampaknya ia tenang-tenang saja.
Padahal aku baru saja menepuknya.
"Sekarang giliranmu!" aku mengulangi. "Sekarang kau yang jadi Monster dari
Timur! Dengan santai Spork mengangkat sebelah tangan dan menggaruk-garuk lubang
matanya. Aku merinding. Bagaimana kalau Spork tidak mau menaati peraturan"
"Sori," ia berkata pelan. "Tapi kau keliru."
"Hei...!" aku berseru dengan gusar. "Kau harus menaati peraturan! Aku berhasil
menepukmu!" Spork menatapku seakan-akan aku sedang melawak.
Ada sesuatu yang tidak beres.
Tapi apa" Apa yang tidak beres"
Kenapa ia diam saja"
Spork malah mengembangkan senyum mengejek.
Chapter 25 "KAU menepukku dari arah barat," Spork berbisik. "Berarti itu tidak sah."
Wajahku langsung seperti terbakar. "Curang! Aku sudah menepukmu! Aku sudah
menepukmu!" aku meratap-ratap.
Spork angkat bahu. "Kau harus menepukku dari arah timur. Kan kau sudah diberitahu." Mata Spork yang
kecil nyaris lenyap ketika wajahnya berkerut-kerut karena geli. "Kau tetap
Monster dari Timur!"
Aku mengerang. Bagaimana mungkin aku sampai lupa" Itulah peraturan yang paling penting.
Tapi, bagaimana mungkin aku tahu di sebelah mana arah timur itu" Matahari sudah
tidak kelihatan! Kepalaku berdenyut-denyut.
Seluruh tubuhku terasa pegal. Aku benar-benar capek dan lapar.
Spork berdiri di hadapanku sambil tertawa tanpa suara.
Aku memandang langit yang semakin gelap. Tunggu dulu!
Cepat-cepat aku naik ke atas batu. Matahari sedang terbenam di belakangku.
Berarti itu arah barat. Berarti arah timur di depanku.
Aku menatap Spork. Tanpa Fleg di dekatnya, ia tidak terlalu menyeramkan.
Bagaimanapun juga, seharusnya ia bertugas menjaga si bayi.
Dan apa yang terjadi" Ia kehilangan makhluk mungil itu.
Dan sekarang ia begitu sibuk menertawakan kesalahanku, sehingga hampir lupa
kalau aku masih di situ. "Hei, Spork," aku memanggilnya. "Bagaimana kalau kita memainkan permainanku?"
"Tapi permainan yang ini kan belum selesai." Mata Spork berkedip-kedip karena
heran. "Kita hentikan saja sejenak. Kau pasti juga sudah mulai bosan, ya kan?" tanyaku.
"Permainanku jauh lebih seru."
Spork menggaruk-garuk lubang yang seharusnya berisi matanya. Ia mencabut
seekor serangga besar berwarna hitam, dan mencampakkannya ke tanah.
"Apa nama permainanmu?"
"Freeze Frame," aku menjawab cepat-cepat. Nat dan Pat paling suka permainan itu.
"Kita berputar-putar dan kalau aku bilang stop, kita harus langsung berhenti -
lalu kita lihat siapa yang lebih lama bisa menjaga keseimbangan. Yang jatuh
duluan kalah." "Kedengarannya seru juga," ujar Spork. "Hmm, kenapa tidak?"
"Oke, kalau begitu," kataku. "Kita coba saja. Ayo, berputarlah!" aku berseru.
Kami sama-sama mulai berputar.
Aku melirik ke arah Spork. Tangannya terentang lebar ketika berputar.
"Lebih kencang!" aku berseru padanya. "Lebih kencang!"
Spork semakin bersemangat. Ekornya menyabet-nyabet semak belukar.
Aku segera mundur untuk menghindar.
Spork mulai sempoyongan. "Permainan - dimulai lagi!" teriakku.
Tampaknya Spork tidak mendengarku. Ia terhuyung-huyung dan menabrak pohon.
"Stop!" seruku.
Spork berdiri seperti patung.
Aku segera menerjang maju dan menepuknya. Keras sekali. Dari arah timur.
"Sekarang giliranmu!" aku berseru, lalu mundur beberapa langkah. "Aku menepukmu
dari arah timur! Kali ini kau tidak bisa mengelak!"
Spork menempelkan kedua tangan ke kepala dan memejamkan mata. Rupanya ia
masih pusing. Ia merentangkan kaki dan bersandar pada batang pohon. Ia
menampar-nampar wajahnya sendiri.
"Kau berhasil," ia membenarkan. Ia menjilat-jilat bibirnya, lalu menarik napas
panjang. "Sekarang aku yang jadi Monster dari Timur," ia mengakui.
"Yes. Yes. Yes!" aku bersorak-sorai. Aku melompat-lompat dengan gembira.
Spork duduk dan bersandar pada batu besar. "Aku bebas!" aku memekik.
"Permainan sudah selesai." Aku mengepalkan tangan dan mengacungkannya tinggi-
tinggi. "Sekarang aku akan menyelamatkan Nat," ujarku. "Di sebelah mana dia ditawan?"
Spork menunjuk ke kanan. "Kami akan pergi dari sini!" seruku.
Seumur hidup aku belum pernah segembira sekarang.
"Oke, Spork kawan lama," aku berkata dengan wajah berseri-seri. "Sampai ketemu!"
"Jangan terburu-buru," balas Spork. "Kau belum boleh pergi."
Chapter 26 "HEI jangan ngomong sembarangan!" kataku. "Peraturannya jangan diubah-ubah
terus, dong." "Kau belum boleh pergi," katanya sekali lagi. "Permainan berlanjut sampai
matahari terbenam." Ia menatapku dengan mata mendelik.
Aku memandang ke atas. Warna ungu di langit sudah mulai berganti kelabu.
Waktunya tidak banyak. Tapi masih cukup.
Aku tidak berminat jadi Monster dari Timur lagi. Sebaiknya aku bersembunyi saja
sambil menunggu gelap. Tapi di mana"
"Jangan bengong," Spork memperingatkanku. "Kau bisa kena tepuk lagi."
"Tidak mungkin," aku membantah. "Itu tak bakal terjadi."
Sebelum aku sempat bergerak, Fleg muncul dari balik pohon. Lipatan-lipatan kulit
di bawah dagunya berayun-ayun ke kiri-kanan.
Di belakangnya Gleeb menyusul.
"Dia berhasil menepukku!" Spork melaporkan.
"Hah, apa kubilang!" Fleg langsung memelototiku. "Dari pertama aku sudah tahu
kau pernah ikut permainan ini."
Aku mengepalkan tangan. Aku benar-benar marah. Benar-benar muak dengan
permainan mereka. Mereka telah memaksaku ikut bermain. Tapi sekarang aku tak
bakal membiarkan mereka menang.
Fleg memberi isyarat agar aku pergi. "Aku akan berhitung sampai trel," katanya.
"Setelah itu kami akan mengejarmu lagi."
Ia berbalik dan menutup mata. "Gling... proo... zee... freen... trel," ia
berhitung. Aku tidak punya pilihan. Serta-merta aku kabur menjauhi mereka.
Jangan berhenti, aku berkata dalam hati. Jangan pikirkan apa pun. Pokoknya lari.
Cari tempat untuk bersembunyi.
"Awas - kami datang!" aku mendengar Fleg berseru.
Makhluk-makhluk itu menggeram-geram dan menggerung-gerung.
Aku meninggalkan jalan setapak dan menerobos alang-alang yang tumbuh di
antara pohon-pohon. Tanpa mengurangi kecepatan aku melompati tumbuhan kol
yang menghalangi jalanku. Paha dan betisku semakin pegal. Telapak kakiku serasa
terbakar. Tapi aku tidak boleh berhenti.
Aku harus terus berlari sampai aku menemukan tempat untuk bersembunyi.
Aku berhenti mendadak ketika mendengar gemercik air.
Hampir saja aku terjatuh ke sungai. Seekor ikan besar berwarna biru meloncat
dari air dan berusaha menyambar mata kakiku.
Ini bukan tempat yang cocok untuk bersembunyi. Aku kembali ke hutan. Angin
dingin menerpa wajahku. "Awas, aku datang!" Spork berseru dari sebelah kiri.
Aku menambah kecepatan. Aku tidak sudi ditepuk lagi. Sambil berlari aku
memandang berkeliling. Lari ke mana sekarang"
Terowongan batu! Ternyata aku sudah sampai di depan mulut terowongan batu.
Aku berlari ke dalam lubang gelap itu. Tanpa makhluk-makhluk yang berisik,
suasananya benar-benar sepi dan menyeramkan.
Aku memperlambat langkahku dan mengendap-endap menyusuri terowongan.
Setelah keluar di sisi seberang, aku langsung menyelinap di antara pohon-pohon
yang tumbuh rapat. Aku bersandar pada sebatang pohon dan menunggu, berusaha tidak bersuara. Tapi
bunyi napasku begitu keras, sehingga aku takut makhluk-makhluk itu
mendengarnya! Beberapa detik berlalu. Bumi bergetar, pertanda Fleg dan kawan-kawannya sedang mendekat.
Aku menahan napas dan bersembunyi di balik tumbuhan berdaun payung.
Beberapa detik kemudian, Fleg, Spork, dan Gleeb keluar dari terowongan dan
berlari menyusuri jalan setapak. Empat makhluk lainnya menyusul. Semuanya
melewati semak-semak tempat aku bersembunyi. Lalu menerobos ke hutan. Dan
terus berlari. Aku menunggu sampai yakin mereka telah pergi.
Hening. Aku menarik napas lega. Aku bangkit pelan-pelan dan meregangkan otot-ototku.
Tiba-tiba sesuatu menerjangku dari belakang.
"Jangan!" aku memekik ngeri.
Sepasang lengan merangkul pinggangku. Dan mendorongku sampai jatuh.
Chapter 27 AKU meronta-ronta dan menendang-nendang.
"Hei, berhenti! Jangan main tendang, dong!" ujar suara yang sangat kukenal.
"Nat!" aku berseru. Serta-merta aku berbalik. "Nat! Kau selamat! Bagaimana kau
bisa keluar dari kerangkeng?"
"Kerangkeng" Kerangkeng apa?" Adikku menatapku sambil memicingkan mata.
"Kerangkeng Hukuman," sahutku. "Nat - bagaimana kau bisa lolos" Apakah mereka
melepaskanmu?" "Aku bukan Nat. Ini aku. Pat."
"Pat?" Aku menatapnya dengan tercengang. Kemudian aku merangkulnya. Seumur hidup
aku belum pernah segembira sekarang karena bertemu dengannya.
"Ke mana saja kau?" tanyaku.
"Aku?" balas Pat. "Kau yang ke mana saja" Kalian sudah kucari ke mana-mana.
Hutan ini benar-benar seram."
Ia memandang berkeliling.
"Mana Nat?" "Terperangkap." Aku mulai menjelaskan duduk perkaranya. "Begini, dia ditangkap
gerombolan makhluk. Setelah kau kabur ke hutan, kami dipaksa ikut permainan
dan..." "Permainan?" seru Pat. Ia menggeleng-gelengkan kepala seakan tidak percaya
dengan apa yang didengarnya. "Aku tersesat di hutan - dan kalian berdua malah
bermain-main?" "Bukan begitu," aku langsung membela diri.
Aku memandang berkeliling untuk memastikan tidak ada makhluk lain di sekitar
kami. "Kami dipaksa ikut," aku berbisik pada Pat. "Permainannya seperti main tangkap-
tangkapan - tapi ini jauh lebih serius. Aku jadi Monster dari Timur dan..."
"Jangan mengada-ada," Pat menyela sambil geleng-geleng.
"Aku tidak main-main," aku berkeras. "Permainan ini benar-benar maut. Kau harus
percaya." "Kenapa?" Pat angkat bahu. "Kau sendiri tak pernah percaya kalau aku cerita.
Jadi, kenapa aku harus percaya sekarang?"
"Soalnya kalau kita kalah, kita bakal dimakan!"
Pat langsung terbahak-bahak.
"Aku serius!" Aku menyentuh pundak Pat dan mengguncangnya keras-keras. "Aku
tidak bohong! Tempat ini berbahaya. Aku lagi dikejar-kejar Fleg dan Spork."
Pat melepaskan diri. "Yeah. Fleg dan Spork. Guk guk!" ia menyalak.
"Ssst!" aku rnendesis. "Jangan ribut!" Aku menariknya ke balik tumbuhan berdaun
payung. "Pat, kau harus percaya. Mereka ada di mana-mana. Kita bisa tertangkap
kalau kita tidak hati-hati." "Dan permainan ini tentu ide mereka?" ia bertanya.
"Ya," jawabku. "Dan tentu saja mereka juga bisa berbicara," Pat kembali berkata. "Dalam bahasa
Inggris." "Ya. Ya. Ya," aku berkeras.
"Ternyata kau lebih ajaib dari yang kuduga selama ini," ujar Pat sambil
menggelengkan kepala. "Jadi, di mana Nat" Dan jangan bercanda lagi!"
"Grrraugggh!" Suara menggeram itu memantul dari batu-batu di dekat kami.
"Lewat sini!" salah satu makhluk berseru. "Dekat terowongan!"
Pat langsung membelalakkan mata. Ia meraih lenganku.
"Itu mereka!" aku memekik. "Sekarang kau percaya?"
Pat menelan ludah dan mengangguk. "Ya, aku percaya," sahutnya dengan susah
payah. "Dia di sini!" seekor makhluk berseru.
"Dia mendengar kita," aku berbisik ke telinga Pat. "Ayo, lari!"
Pat dan aku segera mengambil langkah seribu. Kami berlari menerobos hutan,
melompati pohon-pohon tumbang, menyingkirkan ranting-ranting yang
menghalangi jalan. "Lewat sini!" aku berseru. Aku meraih tangan Pat. "Merunduklah!"
Kami menyelinap ke tengah pepohonan yang tumbuh lebat.
Spork melesat melewati kami.
Aku mendengarnya mengendus-endus.
"Apakah dia bisa mencium bau kita?" tanya Pat.
"Ssst!" Aku menempelkan jari telunjuk ke bibir. Kami menerobos semak belukar
sambil mengendap-endap. Fleg muncul. Ia menuju ke arah kami.
Aku langsung tiarap dan menarik Pat ke bawah. Fleg pun berlari melewati kami.
Aku tahu kami abelum aman. Masih ada makhluk lain yang akan muncul. Dan
salah satu dari mereka mungkin saja berhasil menemukan kami.
Aku memberi isyarat pada Pat agar ia mengikutiku. Kami semakin jauh masuk ke
hutan. Pohon-pohon semakin rapat. Semak belukarnya begitu lebat sehingga sepenuhnya
menghalangi pandangan. Aku mengulurkan tangan untuk meraba-raba.
Tanganku membentur sesuatu.
Sesuatu yang sangat besar.
Hangat. Dan berbulu.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chapter 28 AKU melompat mundur. Dan menabrak Pat.
Apa yang tersentuh tanganku tadi"
Semak belukar membelah, dan seekor makhluk aneh muncul.
Belum pernah aku melihat makhluk seperti itu. Badannya seperti anjing, kira-kira
sebesar anjing herder, tapi kepalanya seperti tupai.
Apa-apaan ini" pikirku.
Makhluk itu juga bisa bicara. "Kemari! Cepat!" katanya dengan suara melengking
tinggi. Hidung tupainya berkedut-kedut. Ekor anjingnya yang berbulu lebat
mengibas-ngibas ke kiri-kanan. Apakah makhluk itu bisa dipercaya"
"Masuk ke sini!" katanya sekali lagi.
Ia melambai-lambaikan tangan, lalu menunjuk semak-semak dengan daun-daun
besar berwarna jingga. Pat masih ragu-ragu, tapi aku langsung merangkak maju. Aku melihat mulut gua
yang tersembunyi di balik dedaunan.
"Ini tempat yang baik untuk bersembunyi," aku memberitahu Pat.
"Ini Gua Persembunyian," tupai-anjing itu menimpali. "Gua Persembunyian tempat
paling cocok untuk bersembunyi. Cepat!"
Makhluk itu menyingkirkan daun-daun untuk memudahkan kami masuk.
Bumi bergetar. Aku menoleh dan melihat makhluk-makhluk berbulu biru di
kejauhan. Mereka bergerak cepat ke arah kami.
"Ayo, Pat. Sebaiknya kau segera masuk," ujarku.
Pat masih ragu-ragu. Aku menyambar tangannya dan menariknya. Aku
membungkuk untuk memasuki Gua Persembunyian.
Sekonyong-konyong aku teringat apa yang terjadi waktu Nat menyentuh batu
hukuman. Aku langsung merinding. Betulkah kami aman di dalam Gua
Persembunyian" Gedebak. Gedebuk. Gerombolan makhluk itu semakin dekat.
"Di mana mereka?" salah satu makhluk berseru. Aku mengenali suara Fleg.
"Mereka pasti di sekitar sini," sahut Spork.
Si tupai-anjing tetap di luar. Ia melepaskan daun-daun jingga yang dipegangnya,
yang segera kembali ke tempat semula sehingga menutupi mulut gua.
Pat dan aku meringkuk di dalam, terlindung dari pandangan makhluk-makhluk itu.
Kami berdesak-desakan. Udara terasa lembap di dalam gua. Baunya agak masam,
tapi aku tidak menghiraukannya.
Aku bersandar ke dinding gua, menyeka keringat yang membasahi keningku. Lalu
aku duduk sambil menyilangkan kaki.
"Carilah posisi yang nyaman," aku berbisik kepada Pat. "Kita mungkin harus
meringkuk cukup lama di sini."
Tiba-tiba tengkukku mulai gatal. Aku berusaha menggaruknya. Telingaku ikut
gatal. Aku jadi merinding. Aku menggosok telingaku dan merasakan sesuatu merayap ke pipiku.
"Aduh!" aku memekik ketika bahuku digigit.
Aku berpaling kepada Pat. Ia sedang menepuk-nepuk telinga dan pundaknya.
Sesuatu mendengung-dengung di dekat telingaku. Sesuatu merayap di rambutku.
Aku langsung menggoyang-goyangkan kepala.
Sekarang seluruh tubuhku terasa gatal.
Pat menggeliat-geliut di sampingku. Ia terus menggaruk dan menepuk badannya
sendiri. Aku langsung bangkit. "Tolong!" seruku. "Ada apa ini" Ada apa di gua ini?"
Chapter 29 "TOLONG!" aku memekik. "Tolong!"
Kepala si tupai-anjing muncul di mulut gua.
"Ada apa ini?" aku berseru sambil menggeliat-geliut dan menggaruk-garuk.
"O ya, aku lupa memberitahu kalian," makhluk ajaib itu berbisik. "Gua
Persembunyian juga tempat persembunyian serangga!"
Serangga! "Ohhh!" Pat langsung mengerang tertahan. Ia menggosok-gosokkan punggungnya ke
dinding gua. Dan menggaruk-garuk kepala.
Serangga-serangga itu ada di mana-mana. Merayap di dinding-dinding.
Beterbangan kian kemari. Mendengung-dengung.
Mereka merayap di lengan dan kakiku. Di wajahku. Di rambutku.
Aku menarik serangga berbentuk cacing dari pipiku. Aku menepis-nepis serangga
yang menempel di lengan dan kakiku.
Semuanya berjatuhan ke dasar gua.
Pat menggeliat-geliut di sampingku.
"Tolong aku, Ginger!" ia meratap.
"Ssst!" Si tupai-anjing kembali menyembulkan kepala ke dalam gua.. "Jangan
ribut! Si Monster dari Timur datang. Jangan bersuara, atau dia akan menemukan
kalian!" Pat dan aku merapatkan diri ke dinding gua.
Aku menahan napas dan berusaha tidak bergerak. Aku menghitung sampai
sepuluh. Tapi dalam hati.
Aku pura-pura tidak tahu ada serangga berkeliaran di mana-mana.
Aku memejamkan mata dan membayangkan kamarku. Poster-poster yang
kutempel di dinding. Tempat tidurku yang nyaman.
Kubayangkan diriku berbaring di balik selimut. Bersiap-siap tidur. Tapi kemudian
aku teringat pada kutu busuk!
Aku tidak sanggup mengabaikan serangga-serangga yang merayap di tubuhku.
Aku tidak sanggup tidak memikirkan binatang-binatang itu.
Aku tidak tahan lagi. Aku harus menggaruk. Gatalnya minta ampun. Rasanya aku
ingin menjerit! Aku tidak tahan lagi meringkuk di tempat itu. Sementara itu di
depan mulut gua terdengar suara langkah kaki.
Aku mengenali suara Spork. "Hei...!" ia menghardik si tupai-anjing. "Kau melihat
makhluk asing di sini?"
Mungkinkah Spork mengenal si tupai-anjing" Jangan-jangan mereka malah
berteman. "Jawab pertanyaanku," perintah Spork dengan nada memaksa.
Aku menunggu jawaban si tupai-anjing. Jangan beritahu dia bahwa kami
bersembunyi di sini, aku berdoa dalam hati. Tolong, jangan beritahu dia.
Seekor serangga besar mendarat di wajahku. Aku berusaha menepisnya, tapi
binatang itu seakan-akan melekat. Aku tidak bisa melepaskannya.
Aku benar-benar tidak tahan lagi.
Aku harus menjerit. Harus!
Chapter 30 "TO..." Cepat-cepat kubungkam mulutku.
Aku memekik tertahan. Daun-daun jingga di depan gua berdesir. Tangan Fleg muncul di mulut gua.
Aku langsung terdiam. Pat menahan napas.
"Ada apa di dalam situ?" aku mendengar Fleg bertanya pada si tupai-anjing.
"Serangga," jawab makhluk itu. "Ribuan serangga."
Jutaan! pikirku dengan getir. Serangga-serangga itu merayap di wajahku, di
tanganku, di kakiku. Malah ada yang mendengung-dengung di telingaku.
Hidung Fleg muncul di mulut gua. Aku langsung menahan napas.
Fleg mengendus-endus. "Uh, bau apa ini?" ia menggerutu.
"Serangga," jawab si tupai-anjing.
"Huh, baunya!" Fleg bergumam. Ia melepaskan daun-daun di mulut gua yang langsung
menutup kembali, "Cuma ada serangga di sini," Fleg berkata kepada Spork. "Tidak
ada manusia." "Tentu saja tidak ada," si tupai-anjing berkata dengan tenang. "Mereka pergi ke
arah sana." "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Fleg membentak.
Spork berseru pada kawan-kawannya. "Mereka tidak di sini! Ayo, ke sana, cepat!
Waktunya tinggal trel menit."
"Aku harus menemukannya," kudengar Spork berkata kepada makhluk-makhluk lain.
"Aku harus menepuknya lagi. Masa aku jadi Monster dari Timur gara-gara manusia!"
Suara langkah mereka terdengar menjauh ke arah berlawanan. Tinggal trel menit!
Aku sebenarnya tidak tahu arti kata trel.
Tapi aku tahu permainan sudah hampir berakhir. Jika Spork gagal menepukku
kembali, maka si kembar dan aku akan bebas!
Masalahnya cuma satu; aku tidak tahan menunggu lebih lama lagi di dalam gua
penuh serangga itu. Dengan kaki gemetaran aku menuju ke mulut gua. Saking gatalnya badanku, aku
nyaris tak sanggup mengayunkan kaki.
Aku mengintip ke luar. "Mereka sudah pergi?" aku berbisik kepada si tupai-
anjing. "Untuk sementara," sahutnya.
"Ayo, kita keluar dari sini," ujarku kepada Pat.
Langsung saja aku melompat keluar. Adikku segera menyusul. Kalang kabut kami
menepis serangga-serangga yang menempel di kulit dan pakaian kami. Aku
menggaruk-garuk kepala dan menggosok-gosokkan punggung ke sebatang pohon.
Pat mengentak-entakkan kaki. "Aduh, di sepatuku juga ada serangga!" serunya.
Cepat-cepat ia mencopot sepatu, membaliknya dan mengguncang-guncangnya.
Seratus serangga hitam jatuh ke tanah dan kabur ke segala arah.
"Oh, gatalnya minta ampun!" aku meratap.
"Sebaiknya kalian bersembunyi lagi," si tupai-anjing memperingatkan. "Mereka
mungkin akan kembali. Dan Gua Persembunyian hanya boleh dipakai satu kali
untuk setiap permainan."
Pat dan aku mengucapkan terima kasih kepada makhluk ajaib itu. Dan kami
kembali masuk ke hutan. Bagian hutan ini belum pernah kudatangi. Pat dan aku berjalan menerobos semak
belukar yang tumbuh lebat. Kemudian aku berhenti.
Sebuah pohon willow yang besar berdiri di hadapan kami. Dahan-dahannya
merunduk dan nyaris menyentuh tanah.
Inikah pohon Gulla Willow"
Ya, pasti. Aku memandang berkeliling, mencari-cari tempat untuk bersembunyi. Di balik
pohon ada batu besar yang memanjang.
Waktunya tinggal beberapa menit lagi.
"Cepat," aku berbisik sambil menarik Pat ke balik batu itu.
"Pasti ini pohon Gulla Willow yang selalu mereka sebut-sebut," kataku. "Begitu
matahari terbenam di balik pohon ini, kita aman."
Pat mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa. Napasnya terengah-engah. Ia
menggaruk-garuk pipi. Rupanya masih gatal-gatal.
Begitu juga aku. "Merunduklah," aku memperingatkannya. "Dan jangan sentuh batu ini."
Kami meringkuk berdampingan sambil membisu. Dan menunggu.
Jantungku berdegup-degup. Kulitku serasa ditusuk-tusuk. Aku mendekam di
samping adikku dan pasang telinga.
Hening. Hanya ada suara angin yang mendesir di antara pohon-pohon.
Selain itu tak ada bunyi apa pun.
"Apakah kita sudah aman sekarang?" Pat bertanya dengan suara gemetaran.
"Belum," sahutku. Aku menoleh ke langit yang berwarna kelabu tua. Masih ada
sedikit sinar matahari yang menerangi puncak pohon willow.
Cepat! aku mendesak matahari. Turunlah! Apa lagi yang kautunggu"
Langit bertambah gelap. Warnanya yang ungu semakin redup di balik pohon Gulla
Willow. Kini tinggal warna kelabu. Malam telah tiba. Matahari telah terbenam.
"Kita aman!" aku bersorak dan bangkit. Aku berbalik dan memeluk Pat. "Selamat!
Kita berhasil!" Aku melangkah keluar dari balik batu.
Sebuah tangan berat menepukku dengan keras. Tepat di bahuku.
"Sekarang giliranmu lagi!" Spork berseru dengan lantang. "Kau jadi Monster dari
Timur!" Chapter 31 "HAH?" Aku memekik kaget. Pundakku masih terasa nyeri karena ditepuk begitu keras.
"Curang!" teriak Pat. "Curang!" Ia membelalakkan mata ketika melihat makhluk-
makhluk yang mengepung kami. Pat belum pernah melihat mereka dari dekat.
"Sekarang sudah gelap! Matahari sudah terbenam!" aku memprotes. "Kau tidak boleh
menepukku sekarang!"
"Game Over! Game Over!" Fleg mengumumkan. Ia melangkah keluar dari hutan dan
bergegas mendekati gerombolan makhluk yang mengelilingi kami.
Dengan gusar aku menunjuk-menunjuk pohon Gulla Willow. "Matahari sudah
terbenam di balik pohon itu. Kau tidak boleh menepukku!"
"Permainannya belum resmi berakhir," Spork berkata tenang. "Kau tahu
peraturannya. Fleg harus berseru 'Game Over' dulu agar permainan benar-benar
usai." Makhluk-makhluk lainnya bergumam-gumam sambil mengangguk-angguk.
Aku mengepalkan tangan. "Tapi... tapi..." aku tergagap-gagap.
Aku menundukkan kepala. Aku tahu mereka takkan menghiraukan protesku.
Pat menelan ludah. "Apa yang akan mereka lakukan sekarang, Ginger?" ia berbisik
pelan. "Apakah mereka akan menyakiti kita"
"Aku kan sudah bilang," sahutku, juga sambil berbisik. "Kita bakal dimakan."
Pat memekik tertahan. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tak sempat membuka
mulut. Fleg keburu melangkah maju. Ia mengangkatku dan menaruhku di pundaknya.
Aku langsung pusing karena gamang. Rasanya aku begitu jauh dari permukaan
tanah! Spork memanggul Pat. "Hei - nanti dulu!" aku memprotes. "Turunkan adikku!"
"Dia pembantumu," balas Spork. "Pembantu selalu ikut dimakan!"
"Turunkan aku!" Pat menjerit. "Turunkan aku!"
Tapi teriakannya tidak dihiraukan makhluk raksasa itu.
Kami dibawa ke lapangan kecil.
Di tengah-tengahnya terdapat lingkaran batu. Dan di dalam lingkaran batu itu api
berkobar-kobar. Lidah api berwarna kuning dan biru menari-nari.
Fleg menurunkan aku di sebuah tunggul pohon. Sedang Spork menempatkan Pat di
sampingku. Gerombolan makhluk itu mengelilingi kami. Beberapa meneteskan air liur. Ada
juga yang menjilat-jilat bibir.
Sepertinya aku mendengar gemuruh guntur. Tapi kemudian aku sadar itu cuma
bunyi perut mereka yang keroncongan.
"Sekarang Flelday," Spork berkata sambil tersenyum, "dan setiap Flelday kita
selalu bikin barbecue."
Aku menelan ludah. Dan menatap api yang menari-nari di hadapanku. Aku melipat
tangan dan mendekap diriku sendiri.
Spork menusuk-nusuk api dengan tongkat logam panjang. Lalu diarahkannya
tongkat itu padaku. "Nyam nyam." Ia tersenyum lebar sambil mengusap-usap perut.
Perasaanku semakin tak karuan.
Gleeb menggotong panci besar ke perapian. Ia menaruhnya di tengah-tengah api.
Fleg memetik beberapa labu dari pohon. Ia membuka semuanya, dan menuangkan
sari labu berwarna kuning itu ke dalam panci. Ia juga mengumpulkan ranting-
ranting dan daun-daun, dan memasukkannya ke dalam panci.
Gleeb terus mengaduk. Bau masam dan busuk mulai menyebar dari panci.
"Kaldunya sudah siap," Gleeb mengumumkan.
Aku berpaling kepada Pat. "Maafkan aku," ujarku dengan suara gemetar. "Aku
menyesal aku kalah."
"Aku juga menyesal," ia berbisik tanpa sanggup mengalihkan pandangan dari api
yang menari-nari. Makhluk-makhluk itu mulai bersenandung.
"Flelday. Flelday. Flelday."
"Siapa yang bawa saus tomat?" tanya Spork. "Aku sudah kelaparan nih!"
Fleg langsung mengangkatku. Lalu membawaku ke panci berisi kaldu mendidih.
Chapter 32 "HEI! Tunggu! Berhenti!"
Suara yang akrab di telingaku berseru-seru dengan lantang dari seberang
lapangan. Aku segera menoleh. "Nat!" teriakku.
"Ginger!" ia memanggil. Ia berlari menghampiri kami sambil melambai-lambaikan
tangan. "Ada apa ini" Sedang apa mereka?"
Fleg menurunkanku ke tanah.
"Nat...!" aku menjerit. "Lari! Cari bantuan! Cepat!"
Ia berhenti di ujung lapangan. "Tapi, Ginger..."
"Nanti kau dimakan juga!" aku memekik. "Lari!"
"Tangkap dia!" Spork berseru pada kawan-kawannya.
Gleeb dan beberapa makhluk lainnya langsung mulai mengejar Nat.
Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nat berbalik. Ia berlari ke arah hutan, lalu menghilang di balik pepohonan.
Tanpa daya aku menyaksikan makhluk-makhluk itu menyusulnya.
Jangan sampai ia tertangkap, aku berdoa dalam hati.
Nat bakal lolos, pikirku. Ia akan memanjat pohon. Ia akan lolos dari kejaran
mereka. Setelah itu ia akan lari dan memanggil bantuan.
Pat dan aku memandang ke arah hutan yang gelap. Kami menunggu dan
menunggu. "Oh, aduh!" aku meratap ketika gerombolan makhluk itu kembali. Salah satu dari
mereka berjalan sambil menggotong Nat di pundaknya.
Nat menendang-nendang dan memukul-mukul. Tapi ia tidak berhasil
membebaskan diri. Makhluk itu menaruh Nat di samping Pat dan aku. Nat terjerembap di tanah.
Sekarang, kami bertiga tertangkap. Makhluk-makhluk itu akan pesta besar!
Aku duduk di samping Nat. "Bagaimana kau bisa keluar dari kerangkeng itu?" aku
bertanya padanya. Nat berguling dan duduk tegak. "Gampang, kok," katanya. "Kayunya sudah lapuk.
Aku terus menendang sampai berhasil menjebol salah satu papan. Lalu aku
menyelinap keluar." "Seharusnya kau tetap di situ," kataku padanya. "Seharusnya kau kabur saja.
Sekarang kau malah bakal ikut dimakan."
Nat menoleh ke arah panci dan api yang menari-nari. "A-aku tidak mau main lagi,"
ia tergagap-gagap. "Nat," bisikku dengan sedih. "Kurasa permainannya memang sudah usai."
Chapter 33 "JANGAN ribut!" seru Fleg. "Ini waktu makan malam - jangan bicara!" Ia menatap Nat
sambil mendelik. Fleg memicingkan mata. Ia memiringkan kepala, berbisik-bisik kepada Spork dan
Gleeb. Makhluk-makhluk lainnya juga mendekat. Semuanya menatap Pat dan Nat.
Mereka mulai menggumam-gumam dan menggeleng-gelengkan kepala. Moncong
mereka bergerak naik-turun ketika bicara.
"Kau membelah!" Spork berkata kepada Pat. "Kau melakukan Classic Clone!"
Aku menatap gerombolan makhluk itu. Aku mengamati wajah mereka yang
tampak kaget. Masa mereka belum pernah melihat anak kembar"
"Kau membelah dua!" seru Fleg. "Itu siasat Classic Clone. Kenapa kalian tidak
memberitahu kami?" "Ehm... apa yang harus kami beritahukan?" tanyaku.
Fleg melotot ke arahku. "Kenapa kalian tidak memberitahu kami bahwa kalian
pemain Level Tiga?" Adikku dan aku berpandang-pandangan dengan bingung.
"Kalian salah ikut permainan," Spork berkata sambil menggelengkan kepala.
"Kalau kau bisa rnembelah dua, berarti kau sudah masuk Level Tiga," ujar Fleg.
Ia menepuk keningnya yang berbulu lebat. "Aduh, ini benar-benar memalukan!
Kenapa kalian tidak memberitahu kami sejak awal?"
"Hmm, aku kan sudah bilang bahwa kami tidak mau ikut main," sahutku dengan
ketus. "Tapi kau tidak mau mendengar."
"Aku menyesal sekali," Fleg minta maaf. "Kami baru Level Satu. Kami masih
pemula. Kami bukan pemain jagoan seperti kalian."
"Pemain jagoan?" Pat bergumam. Ia berpaling padaku dan mengerutkan kening.
"Karena itulah kami harus bermain pada siang hari," Fleg menjelaskan. "Kami
belum siap untuk bermain setelah gelap."
Makhluk-makhluk di sekitar kami terus menggumam sambil menggelengkan
kepala. "Tentu saja kami akan melepaskan kalian sekarang," kata Fleg. Ia menggaruk
dagunya yang berlipat-lipat.
"Tentu saja," seruku.
Rasanya aku ingin langsung berdiri dan melompat-lompat sambil bersorak-sorai.
Tapi aku masih bisa mengendalikan diri.
"Jadi, kami bebas?" Nat berseru kepada Fleg. "Begitu saja?"
"Ya. Selamat jalan." Fleg merengut. Ia mengusap-usap perutnya yang
keroncongan. "Jangan tanya-tanya lagi," aku mewanti-wanti Nat. "Lebih baik kita langsung
pergi saja!" "Selamat jalan," Fleg berkata sekali lagi. Ia melambaikan tangannya seakan-akan
hendak mengusir kami. Aku segera bangkit. Tiba-tiba saja aku tak lagi letih, ngeri, atau gatal-gatal.
Kali ini permainannya benar-benar telah berakhir!
"Bagaimana kami bisa menemukan orangtua kami?" aku bertanya.
"Gampang," sahut Fleg. "Ikuti saja jalan setapak itu." Ia menunjuk. "Ikuti terus
sampai menembus hutan. Jalan setapak itu menuju ke dunia kalian."
Kami menyerukan selamat tinggal - dan langsung berangkat.
Jalan setapak yang sempit itu meliuk-liuk di antara pepohonan.
Cahaya bulan berwarna keperakan tampak menari-nari di tanah.
"Untung saja kalian anak kembar!" aku berseru.
Aku belum pernah berkata begitu!
Tapi aku sungguh-sungguh. Kekembaran mereka telah menyelamatkan nyawa
kami. Pohon-pohon semakin jarang. Aku melihat bulan purnama melayang di atas pucuk
pepohonan yang gelap. Kami serasa berlari menuju bulan, menuju ke cahayanya yang putih dan hangat.
"Mom dan Dad takkan percaya kalau mendengar pengalaman kita," kataku.
Aku bertekad untuk menceritakan semuanya, sampai ke detail-detail yang paling
mengerikan. "Mereka harus percaya," ujar Nat. "Kan semuanya benar."
Aku mempercepat langkahku. Kedua adikku harus berusaha keras agar tidak
ketinggalan. Aku sudah tak sabar untuk kembali ke duniaku sendiri. Ayah dan ibuku pasti
kuatir sekali. "Oh!" aku memekik dan berhenti mendadak.
Pat dan Nat menabrakku dari belakang. Kami bertiga nyaris terjatuh.
Seekor makhluk raksasa muncul dari balik pohon dan menghalangi jalan kami.
Ia menyilangkan tangannya yang berbulu lebat di depan dadanya yang bidang.
Hidungnya kembang-kempis ketika ia menatap kami dengan mata kelerengnya
yang menyorot dingin. Ia membuka mulut dan menggeram, memperlihatkan satu
gigi taring yang panjang.
Tapi aku tidak gentar. "Menyingkirlah," aku berkata dengan tegas. "Kau harus membiarkan kami lewat.
Aku dan kedua adikku adalah pemain Level Tiga."
"Kalian pemain Level Tiga" Hei - kebetulan! Aku juga!" seru makhluk itu. "Nah,
kena! Sekarang giliranmu untuk jadi Monster dari Timur!"
End Pedang Berkarat Pena Beraksara 8 Pendekar Rajawali Sakti 116 Datuk Muka Hitam Matahari Esok Pagi 15