Pencarian

Kamp Horor 1

Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor Bagian 1


R.L. Stine Kamp Horor (Goosebumps 2000 # 8) Selamat Datang di Abad Horor
Goobumps Series 2000 Sesuatu terasa melilit pergelangan kakiku. Semula kusangka itu cuma ganggang
air. Tapi benda itu kemudian mencengkeramku.
Aku meronta-ronta sekuat tenaga. Tapi tangan yang tinggal tulang terus
mencengkeramku, menarikku.
Terus... terus... ke dasar danau.
2000 kali lebih syereeem Alih bahasa: Rosi L. Simamora
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta 10270 Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 PEMBALASAN Dr. Cruel... Karnaval Horor yang Menjijikkan... Monster
Kepiting Lawan Manusia Lintah...
Kau suka film-film itu juga"
Adikku, Tyler, dan aku membeli videonya dan kami menontonnya sepanjang
waktu. Kami suka semua film horor. Tapi ketiga film ini dibuat oleh R.B.
Farraday, dan ia sutradara favorit kami.
Kami menonton acara TV-nya - Rumah Angker- setiap minggu: Dan kami menonton
film-filmnya, lalu juga membeli videonya. Kurasa kau tahu - kami ini fans-nya
R.B. Farraday! Pada suatu hari di musim dingin yang lalu, Dad pulang sambil tersenyum lebar.
"Aku punya sesuatu yang mungkin akan membuatmu tertarik, Andrew,"
katanya padaku. Ditariknya selembar brosur yang tergulung dari saku jaketnya,
dan kemudian diberikannya padaku.
Kubuka gulungan kertas itu dan kubaca huruf-huruf berukuran besar di bagian
depannya KAMP HOROR R.B. FARRADAY.
Aku menatapnya dengan shock. "Dia... dia membuka kamp musim panas?"
akhirnya aku mampu berkata.
Dad mengangguk. Aku berseru memanggil Tyler dan kusodorkan brosur itu ke depan wajahnya.
"Hah" Bolehkah kami pergi?" teriaknya. "Bolehkah kami pergi musim panas
ini?" Dad mengangguk lagi. Dan kemudian seluruh rumah keluarga Herman berguncang hebat. Tyler dan
aku melompat-lompat sambil berteriak sekencang-kencangnya. Mom dan Dad
tertawa melihat kami. Benar-benar saat yang menggembirakan.
"Sini, biar kulihat!" seru Tyler. Ia mencoba merebut brosur kamp itu dari
tanganku... tapi brosur itu akhirnya robek menjadi dua bagian.
"Wow! Tenang, anak-anak! Tenang!" Dad mengingatkan.
"Benar-benar sesuatu yang dibutuhkan oleh kamp horor," gumam Mom "Dua
monster tak terkontrol lagi."
Mom selalu menyebut Tyler dan aku monster kalau kami lagi sedikit antusias.
Umurku dua belas dan Tyler sepuluh tahun. Tapi menurut Mom kami harus
bertingkah seperti orang dewasa setiap waktu.
Itu kan membosankan... ya, nggak"
Setelah kami berhenti melompat-lompat di seluruh rumah, berteriak-tenak,
sambil lari simpang-siur dari tembok ke tembok seperti bola ding-dong, Dad
membantu kami merekatkan kedua bagian brosur itu menjadi satu kembali.
"Entahlah, Andrew," ia berkata seraya menyerahkan brosur itu padaku. "Kamp ini
kayaknya cukup menyeramkan. Kau dan Tyler mungkin akan terlalu
ketakutan." Aku memutar bola mataku. "Yeah, pasti."
"Yeah. Aku gemetaran. Aku merinding!" Tyler memekik. Ia berpura-pura
ketakutan, dan dengan sengaja membuat sekujur tubuhnya bergetar seperti agar-
agar. Tyler memang jago dalam hal yang satu itu. Ia kurus seperti cacing dan
tubuhnya lentur. Kami sama-sama berambut cokelat lurus dan mata kami yang
bulat berwarna gelap. Tapi tarnpangku selalu serius. Sedang Tyler hampir selalu
tampak tolol. Ia selalu membuat gerakan-gerakan lucu, memonyong-monyongkan
wajahnya, membuat anak-anak tertawa.
Tapi kami berdua sama-sama serius saat mempelajari brosur kamp itu Saking
bersemangatnya, sampai-sampai kami nggak bisa ngomong.
Kamp itu punya segalanya! Hutan Angker... Danau Zombie Air...
Wow! "Bagaimana mungkin kita sanggup menunggu sampai bulan Juli?" keluhku.
"Kalau saja aku dapat memejamkan mataku dan tiba-tiba sudah musim panas!"
timpal Tyler. Tentu saja, tak ada satu jalan pun hingga kami tahu bahwa kamp itu akan sedikit
berbeda dan yang kami harapkan.
Tak ada satu cara pun hingga kami tahu betapa mengerikannya Kamp Horor itu.
Dan tak ada satu cara pun hingga kami tahu apa yang sedang menunggu kami di
sana, jauh, jauh, di dasar Liang Tak Berujung.
2 "HORRRREEE!!!" Tyler dan aku berteriak gembira saat bus kamp kembali melindas sebuah
gundukan lagi hingga kami semua terpelanting keluar dari kursi kami.
"Apakah menurutmu R.B. Farraday mendesain bus ini?" Meredith Friedman
bertanya. Ia dan adiknya, Elizabeth, duduk di belakang Tyler dan aku. Kami
bertemu dengan mereka waktu naik ke bus tadi.
Mereka lumayan. Hanya saja Elizabeth tak henti-hentinya membuat balon dari
permen karetnya dan memerciki bagian belakang kepalaku dengan air liurnya.
Dan Meredith selalu memanggilku Andy. Tak ada yang memanggilku Andy.
Semua orang memanggilku Andrew.
"Bus Kamp Tak Berujung" ujar Tyler.
"Bukan. Balas Dendam si Jin Ngebut" usul Meredith.
"Monster Bus Kamp dari Luar Angkasa" pekik Elizabeth.
Kami semua menatapnya. R.B. Farraday takkan pernah muncul dengan judul
norak seperti itu. Elizabeth merona malu. Bus itu meliuk dengan ban berdecit di suatu tikungan. Di luar sana cuma ada
hamparan tanah pertanian. Bermil-mil ladang-ladang hijau.
"Kita sudah sampai, belum" Sudah sampai, belum?" Kami semua mulai
mengumandangkan kalimat itu berulang-ulang.
Tak lama kemudian pepohonan yang tinggi menggantikan hamparan ladang.
Jalan raya itu membelok ke dalam hutan yang lebat.
"Setiap malam mereka memutar film-film R.B. Farraday," Meredith berkata.
"Keren, kan?" "Tyler dan aku sudah pernah menonton semua film itu," bualku. "Setidaknya
enam kali." "Tapi aku ingin melihat semuanya lagi," sela Tyler.
Sekonyong-konyong Elizabeth tampak cemas. "Tak seluruhnya menyeramkan...
ya, kan?" ia bertanya. "Maksudku, kita juga akan melakukan kegiatan kamp
yang normal... ya, kan?"
Meredith tertawa gelak-gelak. "Apa yang ingin kaulakukan, Lizzy" Membuat
kalung manik-manik dan binatang origami dalam seni dan ketrampila??"
Lagi-lagi Elizabeth nerona malu. "Yah..."
Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi bus itu tersentak,
berdecit, dan tergelincir dengan keras.
Aku terjatuh ke lorong. Kudengar Tyler menjerit. Anak-anak lain berteriak keras.
Aku terpental ke atas lantai bus saat kendaraan itu tergelincir dan akhirnya
berhenti dengan ban berdecit keras.
Beberapa anak memekik histeris. Yang lain tertawa-tawa.
Aku mulai menghela tubuhku kembali ke kursi.
Dan nyaris saja terjatuh kembali waktu kudengar sopir bus itu mengucapkan
teriakan kemarahan. Aku mendengar suara napas ditahan.
Lalu aku menghadap ke bagian depan bus. Dan kulihat seseorang memaksa
masuk lewat pintu depan bus. Pria itu mengenakan pakaian hitam - dari ujung
kepala sampai ujung kaki - topi hitam berlidah lebar di atas topeng hitam,
sweter hitam di atas celana yang juga hitam.
"Hei kau tak boleh naik" hardik sopir bus dengan penuh kemarahan.
Pria berpakaian serba hitam itu menggeramkan sesuatu. Aku tak dapat
mendengar apa yang dikatakannya.
"Turun... sekarang juga!" perintah sopir itu. Pria itu mengulurkan kedua
tangannya yang mengenakan sarung tangan hitam. Direnggutnya bagian depan
kaus sopir bus itu, lalu diangkatnya sopir itu keluar dari tempat duduknya.
"Hei!" si sopir protes. Sopir itu pendek kurus dan sudah cukup tua. Rambutnya
beruban dan ia mengenakan kacamata tebal.
Tapi ia mulai bergulat dengan pria berpakaian serba hitam, meraung dan
menggeram, berusaha mendorong pria itu ke luar pintu bus lagi.
Beberapa anak menjerit-jerit. Tapi Tyler dan aku menatap dengan keheningan yang
mendirikan bulu kuduk. Jantungku memukul-mukul dadaku. Aku dapat merasakan leherku tercekat.
Apa sebenarnya semua ini"
Kedua pria itu menghantam salah satu sisi bus. Lalu mereka bergulat sampai ke
kaca depan. Wajah sopir itu merah manyala. Pria serba hitam itu berhasil
mencengkeram lehernya erat-erat.
"Minggir, anak-anak" sopir itu kehabisan napas. "Minggir... cepat"
Tak seorang pun bergerak.
Dengan ngeri kutatap saat pria serba hitam itu mengangkat sopir kurus kering itu
dari lantai, dan kemudian melemparnya keluar dari pintu bus
Lewat jendela aku dapat melihat dia berguling keluar dari trotoar ke atas lumpur
di tepi jalan. Ia mendarat dengan wajah mencium lumpur dan tak bergerak
sedikit pun. Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Pria serba hitam itu menyusupkan
tubuhnya ke bangku sopir. Dibantingnya pintu bus hingga menutup.
Dengan ban berdecit bus itu menderu kembali ke jalan raya.
Kami melindas sebuah gundukan lagi. Aku terbang dari bangkuku. Kepalaku
menghantam atap bus. Kulihat Tyler terempas ke bangku di depan kami.
Anak-anak menjerit histeris. Aku bahkan mendengar beberapa anak menangis.
"Berhenti! Hentikan bus ini!" pekik seorang anak cewek.
"Biarkan kami turun!" sergah cewek di sebelahnya.
Bus itu meliuk kencang, hingga beberapa anak terpelanting ke lorong. Sopir baru
kami duduk membungkuk di atas kemudi, tak mengacuhkan semua jeritan
dan teriakan. Kami melaju semakin kencang.
"Siapa dia?" teriak Meredith seraya mencondongkan tubuhnya dari sandaran
bangku kami. "Ke manakah ia akan membawa kita?"
3 SEBUAH truk besar melaju melewati kami sambil membunyikan klaksonnya.
Bus kami kembali meliuk dengan ban berdecit. Anak-anak menjerit dan
berteriak. Tiba-tiba Tyler mulai tertawa.
"Apa yang l-lucu?" Elizabeth tergagap.
"Kau nggak ngerti juga, ya?" pekik Tyler. Ia harus berteriak mengatasi jeritan
anak-anak lain. "Ini cuma
sandiwara." "Hah?" sambil mencengkeram sandaran bangku kami, Elizabeth dan Meredith
menatap Tyler dengan mulut ternganga.
"Benar!" aku berteriak senang sekali. "Yes! Aku mengerti!" Aku menyeringai
kepada adikku. "Ini kan adegan dalam film Vacation of Endless Doom. Sesosok
zombie sinting mencuri sebuah bus yang penuh berisi peserta kamp dan
membawa mereka untuk selamanya. Bus itu terus melaju dan melaju sampai
kiamat - hingga anak-anak itu akhirnya benar-benar menjerit sampai kepala mereka
copot!" "Benar!" Tyler memekik. Kami ber-high five.
"Ini cuma sandiwara," aku memberitahu kedua cewek itu. "Salah satu bagian
dari kesenangan. Mungkin kita sudah dekat ke kamp."
Bus itu kembali menikung kencang. Anak-anak menjerit-jerit dan memohon-
mohon agar sopir itu berhenti.
"Menurutku ini nggak lucu," dengus Meredith.
"Ini kan memang kamp horor... ingat, kan?" Tyler berkata. "Memang sudah
seharusnya mengerikan!"
"Tapi ini sih keterlaluan," Meredith berkeras.
Elizabeth kembali mengempaskan tubuhnya di tempat duduknya, matanya
terpejam, tangannya terlipat erat di depannya.
"Semua ini cuma lelucon," kataku lagi kepada mereka. "Lihat saja. Pria serba
hitam itu akan membawa bus ini ke dalam kamp. Lalu mungkin saja ia akin
merobek topeng hitamnya dan mengucapkan selamat datang kepada kita."
"Hei... coba lihat!" Tyler menunjuk ke luar jendela. Saat kami melaju melewati
pepohonan yang tampak kabur, aku melihat sebuah papan tanda yang tinggi.
Bentuknya setan tanpa kepala. INI JALAN MENUJU LIANG KUBURMU!
begitu bunyi tulisan di atasnya. Sebatang panah hijau, yang digambarkan
menetes-netes seperti lendir, menunjuk lurus ke depan.
"Lihat, kan?" teriakku. "Sopir itu membawa kita langsung ke Kamp Horor. Aku
tahu!" "Kau.. yakin?" Elizabeth tergagap, masih memeluk dirinya sendiri.
"Tentu saja," jawabku. Aku menunjuk ke luar jendela bus yang berguncang-
guncang. "Lihat... itu jalan masuknya."
Kami semua menatap anak panah yang menetes, yang menunjuk ke arah jalan
masuk yang lebar: MASUK DI SINI.
"Yessss!" Tyler dan aku kembali ber -high five.
Bus itu tiba-tiba hening. Setiap orang memandang ke luar jendela,
memperhatikan sopir itu membelok ke dalam kamp.
Panah tanda masuk besar berwarna hijau itu semakin dekat - dan kemudian
meluncur di sisi jendela saat kami ngebut melewatinya!
"Tidddaaakkk!" Erangan yang keras mengatasi deru bus.
"Kau salah jalan!" aku berteriak kepada sopir itu.
"Kembali! Kembali!" beberapa anak menjerit nyaring.
Aku dapat melihat tanda masuk itu semakin kecil dan kecil di jendela belakang.
Bus kami melindas gundukan yang keras dan menderu keras sepanjang jalan
raya. Sambil membungkuk di atas kemudi, sopir itu memasang loudspeaker bus.
Suaranya meledak di seluruh bus, berat dan jahat:
"Duduk, anak-anak. Kita tak akan pergi ke kamp. Aku punya rencana lain untuk
kalian!" 4 JERITAN memenuhi seluruh bus. Jeritan ketakutan.
"Turunkan kami!"
"Hentikan bus ini!"
"Stop! Stop! Ke manakah kita?"
Tyler dan aku saling melemparkan tatapan ngeri. Kami berdua begitu yakin
semua ini cuma pura-pura. Tapi kini bus itu membawa kami semakin jauh dari kamp.
Kami meringkuk dalam-dalam di tempat duduk kami. Jantungku berdebar amat
cepat, hingga aku nyaris dapat bernapas.
"Ke manakah ia akan membawa kita?" gumam Tyler.
Sebelum aku dapat menjawab, bus itu meliuk keras hingga bannya berdecit lagi.
Kami semua terlempar ke sisi kanan saat bus itu menikung tajam ke jalan kecil
beralas batu kerikil. Batu-batu kerikil itu berkeretak dilindas oleh roda bus. Kami melaju sepanjang
jalan itu. Pepohonan yang tinggi dan rapat - sebuah hutan - meluncur di masing-
masing sisi. "Ia... ia membawa kita jauh ke dalam hutan," aku mendengar Elizabeth berkata
tersendat-sendat dengan suara kecil.
Tapi tiba-tiba pepohonan itu habis. Bus kami berguncang-guncang melewati
hamparan padang hijau. Sebuah pagar kayu yang panjang terbentang sepanjang padang itu. Aku dapat
melihat kabin-kabin rendah dan bangunan-bangunan lain di atas punggung bukit di


Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik pagar itu. Lalu tampak pintu gerbang yang lebar. Dan sebuah papan tanda yang dicat yang
diletakkan di atasnya: SELAMAT DATANG DI KAMP HOROR.
"Hah?" dengusku. "Apakah kita benar-benar sudah sampai di kamp?"
Laju bus itu akhirnya bertambah pelan. Lalu berhenti di depan sebuah bangunan
kayu yang panjang, yang kelihatannya seperti sebuah kabin kayu yang besar.
Si sopir menegakkan duduknya dan menghidupkan loudspeaker-nya lagi.
"Selamat datang di Kamp Horor, anak-anak. Apakah aku membuat kalian
ketakutan?" "Ya!" semua berteriak menjawab. Aku mendengar suara embusan napas lega
yang keras. Aku mulai tertawa. Aku tak dapat menahannya. Banyak anak kini
tertawa. Aku memandang ke sekeliling bus. Beberapa anak tampak pucat sekali.
Beberapa anak tampak dengan pipi penuh bekas air mata. Dua anak cewek
malah masih menangis. "Ini adalah pintu masuk kamp yang sesungguhnya," sopir itu mengumumkan.
"Tanda masuk yang tadi kita lihat di jalan besar itu palsu."
Ia melepaskan topeng hitamnya. Rupanya ia seorang pemuda dengan rambut
pirang pendek dan dua gigi yang keluar dari mulutnya. Rupanya seperti kelinci.
"Kuharap aku telah membuat kalian takut." Ia menyeringai. Tentu saja, ini baru
awal dari semuanya." Seringainya semakin lebar. "Nanti segalanya akan
bertambah ngeri lagi."
*** Beberapa pembimbing menunggu untuk menyambut kami. Mereka semua
mengenakan celana pendek hijau dan T-shirt, yang warna hijaunya seperti warna
lumpur. Aku melompat turun dari bus dan meregangkan tangan serta kakiku. Nyaman
rasanya menghirup udara segar. Dan dapat keluar dan bus itu!
Sambil mengikuti yang lain menuju kabin kayu yang besar - yaitu kabin utama -
aku memandang sekelilingku.
Wow! Di kaki bukit aku dapat melihat rel permainan roller-coaster. "Itu pasti
permainan dalam film Karnaval Horor yang Menjijikkan," kataku pada Tyler.
Ia tak mendengar. Ia sedang berbicara dengan dua penumpang bus kami.
Mereka menunjuk-nunjuk dengan penuh semangat ke arah rel kereta mainan di
dekat pepohonan. Itu kan rel dalam film Kereta dan Kerajaan Setan, kataku dalam hati.
Saking bersemangatnya aku sampai-sampai tak dapat berjalan! Berada di sini, di
Kamp Horor, bagaikan hidup di salah satu film R.B. Farraday rasanya!
Sambil memicingkan mata di bawah siraman cahaya matahari yang terik, aku
melihat barisan kabin-kabin kecil dan bangunan-bangunan, berjejeran menuju
pantai berpasir dan danau biru yang berkilauan.
Benarkah itu Danau Zombie Air" pikirku.
"Menurutmu, film apakah yang akan mereka putar malam ini?" seorang anak di
belakangku bertanya. "Apakah kita boleh berenang" Aku merasa gerah."
"Apakah menurutmu R.B. Farraday ada di sini?"
"Seharusnya dia ada di sini. Brosurnya mengatakan begitu."
"Apakah kita bakal bertemu dengannya?"
"Apakah itu gua sungguhan di batu-batu itu?"
Suara-suara semangat terdengar di sekelilingku. Ingin rasanya aku berlari ke
seluruh tempat ini dan melihat dan melakukan semuanya. Tapi para
pembimbing itu menggiring kami ke dalam pondok.
Kami harus mendaftarkan diri kami dan memilih aktifitas mana saja yang ingin
kami ikuti. Aku sih memilih Apresiasi Film, Berenang, dan Seni Poster Horor.
Aku mencari-can Tyler dan menemukannya antre jauh di belakangku. Ia masih
mengobrol dengan dua anak penumpang bus kami itu. Meredith dan Elizabeth
antre di belakangnya. Tampak olehku mereka bertengkar soal aktifitas mana
yang akan mereka pilih. Kami harus menandatangani setumpuk kertas. Lalu kami harus menyebutkan
makanan apa saja yang kami suka pada sebuah daftar yang panjang. Dan kami
masih harus mengisi formulir untuk perawat kamp.
Akhirnya kami dibagi-bagi ke dalam kabin-kabin. Tyler dan aku menempati
Kabin Tiga. Aku menemukannya, kira-kira setengah jalan menuju danau. Kabin itu
kecil, isinya cuma dua tempat tidur bertingkat dan dua lemari kecil.
Tempat tidur bertingkat yang letaknya di dekat jendela sudah ada yang
menempati. Barang-barang mereka ditumpuk di atas tempat tidur dan di atas
lemari kecil di sebelahnya. Siapa ya kira-kira teman-teman sekamar kami itu"
"Hei, Andrew, kapan kita akan melihat-lihat?" Tyler bertanya "Apakah
menurutmu kita dapat menaiki kereta itu kapan saja kita mau?"
Setelah selesai memasuki pakaianku ke dalam lemari, kusorongkan koper
kempingku ke bawah tempat tidur kami. "Yuk, kita lihat-ithat," sahutku, sambil
mengusap keringat dari keningku.
Kami keluar dari kabin dan menabrak seorang pembimbing. Orang itu tinggi -
sangat tinggi - dan kurus sekali. Ia seperti tangkai sapu dengan ijuk berwarna
pirang di ujungnya. "Hei, guys," ia menyapa kami "Aku Gus. Aku pembimbing Kabin Tiga."
Senyumnya bagus. Tyler dan aku memperkenalkan diri.
"Kabin Tiga mengguncang!" Gus berseru penuh antusias. "Kabin Tiga
memimpin! Kalian sudah bertemu Jack dan Chris" Mereka teman sekabin kalian.
Kenapa kalian tidak jelajahi saja tempat ini" Pergi sana melihat-lihat."
Tyler dan aku berteriak kesenangan. Kami mulai menuruni bukit.
"Cuma ada satu hal!" seru Gus. Kami berpaling kepadanya. "Jangan pergi ke
Liang Tak Berujung," katanya mengingatkan. Matanya yang hitam berkilat.
"Tahu kenapa?" Kucoba menebak, "Karena kami takkan pernah menemukan ujungnya dan tak
bisa kembali lagi?" Gus tertawa "Tepat sekali." Lalu senyumnya menghilang. "Kamp ini... yah...
tidak seperti tampaknya."
"Hah" Apa maksudmu?" desak Tyler.
Tapi Gus tak mengatakan apa-apa. Ia berpaling dan berjalan cepat menuju
pondok. Tyler dan aku berbalik, mencoba memutuskan arah mana dulu yang akan kami
ambil. Jauh di antara kabin-kabin tampak anak-anak masih menyeret koper dan peti
mereka. Suara-suara penuh semangat mengapung di udara musim panas
yang hangat. Beberapa anak cowok mulai bermain bola di dekat puncak bukit. Aku melihat
sekelompok cewek ngobrol dan tertawa-tawa di depan pintu kabin mereka.
Tyler dan aku melintasi sebuah jalan kecil yang menuju pepohonan. Aku
menunduk untuk menampar seekor serangga yang menempel di kakiku.
Waktu aku menegakkan tubuhku kembali, aku menyadari bahwa kami berdiri di
depan sebuah papan tangga - anak-anak panah menunjukkan semua arah ke
masing-masing area di kamp itu.
HUTAN ANGKER - LURUS SAJA.
DANAU ZOMBIE AIR - BELOK KANAN
LUBANG JERIT PASIR PENGISAP - BELOK KIRI.
TAMBANG JIWA-JIWA YANG TERSESAT...
GUA TAK BERUJUNG... KABIN HANTU... Anak-anak panah menunjuk ke kiri dan kanan.
"Wow! Semua yang ada di film R.B Farraday!" seru Tyler "Semuanya ada di
sini! Dan kita ada di dalamnya!"
Aku membuka mulutku untuk menjawab - namun suara jeritan yang
melengking nyanng menghentikanku.
Aku memutar tubuhku. Tyler mendengarnya juga.
Jeritan. "Tolong... tolong!" Suara ketakutan seorang anak laki-laki. "Tolong tolong
saya!" 5 KAMI berbalik ke arah pepohonan.
Aku melihat seorang anak cowok berambut merah. Tangannya - terperangkap di dalam
sesuatu. Sesuatu yang bentuknya bulat dan warnanya putih.
"Tolong!" Tyler dan aku berlari menghampirinya.
Anak itu menggeliat-geliat dan meronta-ronta.
Tangannya - terperangkap di sarang tawon!
Aku dapat mendengar dengung marah tawon-tawon itu.
Anak itu memelintir dan menarik tangannya. Tapi tangannya tak lepas-lepas
juga. "Ohhh, tolong! Tolong!" raungnya. "Mereka menyengatku! Mereka
menyengatku!" Tyler dan aku berlari melintasi rerumputan. Aku berlari dan melihat dua anak
lagi berlari di belakang kami. Meredith dan Elizabeth.
Sambil tersengal-sengal kami sampai ke dekat anak itu dalam waktu bersamaan.
"Apa yang terjadi?" teriak Elizabeth. "Bagaimana tangannya sampai
terperangkap di situ?"
"Pokoknya tolong saja aku!" erang anak itu. Ia meronta dan menggeliat lagi.
Keringat bergulir membasahi wajahnya. Rambutnya yang merah menempel
kuyup di atas keningnya. Ia menarik tangannya keras-keras, tapi tetap saja tak mau lepas.
"Tanganku... bengkak karena sengatan-sengatan itu." keluhnya.
"Biar kucoba," usulku. Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu kuangkat kedua
tanganku, dan kucengkeram kedua sisi sarang tawon itu.
"Ayo... tarik tanganmu," kataku memberi instruksi. Di dalam sarang itu tawon-
tawon itu berdengung penuh kemarahan.
Kumohon, jangan menyengatku, pikirku. Kumohon! Dengung itu berubah
menjadi geraman. Tanganku bergetar hebat. Kucengkeram sarang tawon itu
erat-erat, mataku terpejam, setiap ototku terasa tegang.
"Cepat! Tarik!" aku memohon. "Aku memegangnya kuat-kuat."
Senyuman mengembang di wajah anak itu. Ditariknya tangannya dengan mudah
sekali. Lalu diangkatnya. Tak ada bengkak merah. Tak ada sengatan.
Ia melempar kepalanya ke belakang, lalu tertawa.
Kami semua menjerit kaget. Kutarik sarang tawon itu lebih dekat lagi untuk
memeriksanya. Plastik. Aku mengintip ke dalam. Suara dengung yang tak ramah itu berasal dari sebuah
speaker kecil. "Cuma lelucon," anak itu berkata. "Aku dan temanku menemukannya tadi
pagi." "Aaaaagh!" Aku menjerit marah. Kuayunkan sarang tawon itu dengan sekuat
tenaga. Dahan pohon itu ikut bergoyang bersamanya. Sarang plastik itu ternyata
diikat dengan kawat ke pohon itu.
Anak cowok itu memperkenalkan dirinya. Namanya Jack Harding. Ia
mengenakan celana pendek hitam dan T-shirt abu-abu bertulisan KAMP
HOROR dengan huruf merah seperti darah yang menetes.
"Aku dan temanku, Chris, tiba di sini tadi pagi," ia memberitahu kami sambil
merapikan rambut merahnya.
"Kau penghuni Kabin Tiga, ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Kita di kabin yang sama" aku mengumumkan. "Tyler juga."
"Keren," timpal Jack. "Aku sudah mengadakan eksplorasi seharian. Kamp ini
benar-benar hebat - apalagi kalau kau menyukai hal-hal menyeramkan."
"Tentu saja kami menyukai hal-hal menyeramkan," sahut Meredith. "Kalau
tidak, untuk apa kami datang ke kamp horor seperti ini?"
"Tapi benarkah semuanya cuma tiruan belaka?" tegas Elizabeth.
Sebelum Jack menjawabnya, seorang anak cowok lain melangkah keluar dari
pepohonan. Rambut anak itu hitam panjang, dan dikucir kuda. Tubuhnya besar dan
atletis, dan dia juga mengenakan T-shirt Kamp Horor di atas celana pendek baggy.
"Hei," Jack menyapanya "Ini temanku, Christian Kretschmer."
"Kalian boleh memanggilku Chris," ia berkata sambil menarik seekor serangga dari
rambut hitamnya dan menjentikkannya ke arah Jack. Serangga sungguhan.
"Tadi aku membuat lelucon dengan sarang tawon itu," Jack memberitahunya.
"Kena mereka." Chris tertawa lebar. "Keren."
"Aku dan Chris sudah menjelajahi seluruh tempat ini," ujar Jack. Ditariknya
sebatang rumput yang panjang dan tanah dan mulai mengisap-isapnya.
"Jadi semuanya cuma tiruan?" ulang Elizabeth "Semua ini cuma lelucon?"
Senyum Jack lenyap. "Tidak semuanya," ulangnya sambil menggerak-gerakkan
rumput itu di seputar mulutnya
"Itulah yang membuat kamp ini begitu mengerikan," Chris menambahkan
"Soalnya sebagian lagi benar-benar sungguhan."
"Misalnya?" Tyler bertanya
Kedua anak itu tampak ragu. Mereka berpandang-pandangan satu sama lain.
"Mungkin kau harus menemukannya sendiri," ujar Chris pelan.
"Tidak... beritahu kami," desakku "Apa saja yang bukan tiruan?"
"Yah. " Jack menarik batang rumput dan mulutnya dan melemparkannya ke
tanah "Itu, di sana," sahutnya "Itu sungguhan." Ia mengarahkan telunjuknya ke
sana. Aku melihat pasir kuning berbentuk lingkaran besar di tengah-tengah
rerumputan. Sebuah papan tanda dari kayu berdiri di sisinya, tapi aku tak dapat
membaca tulisan di atasnya.
"Oh, itu lubang pasir pengisap," ujar Chris.
"Hah" Jadi, itu sungguhan?" teriakku.
Jack dan Chris sama-sama mengangguk.
"Kami dengar minggu lalu, sebelum kamp dibuka, seorang pembimbing
terperangkap di situ," bisik Chris. Matanya bergerak-gerak cepat sekali.y "Pria
yang malang. Langsung saja ia terisap masuk."
"Kalian bercanda," sergahku.
Kuperhatikan wajah mereka yang sungguh-sungguh.
"Kalian bercanda, ya, kan?" desakku "Itu cuma lelucon, betul, kan?"
Jack menatap pasir pengisap itu dengan gugup. "Kita lihat saja..."
6 TYLER dan aku masih menjelajah beberapa lama lagi. Kami memeriksa pantai
dan danau. Tapi aku tak dapat menahan diri untuk tidak melihat kubangan pasir
pengisap itu lagi. Benarkah Jack cuma bergurau"
Tyler berlari untuk bergabung dengan anak-anak yang dijumpainya di bus. Saat aku
berjalan kembali ke kabin, aku mendengar suara peluit ditiup.
"Pertemuan kamp di pondok!" seorang pembimbing berseragam hijau berseru.
"Para peserta kamp harap berkumpul di pondok."
Anak-anak berlarian dari segala arah Aku melambaikan tangan kepada Jack dan
Chris saat memasuki ambang pintu.
Bagian depan pondok itu dibangun sehingga mirip dengan kabin kayu. Tapi
bangunan itu sebenarnya berlantai dua dan besarnya seluas gudang.
Di sebelah kiri terlihat olehku sebaris kamar-kamar kecil sepanjang sebuah
lorong panjang. Kami digiring ke sebuah ruangan yang luas. Kasau-kasau kayu
melintang di langit-langitnya dan perapian yang tinggi dan terbuat dari batu
berdiri di kedua sisi ruangan. Meja-meja kayu yang panjang memenuhi bagian
tengah ruangan. Ada sebuah papan tanda yang mengumumkan bahwa ruangan
itu adalah: RUANG MAKAN DAN RUANG PERTEMUAN.
Poster-poster film R.B. Farraday tergantung sepanjang satu dinding. Aku
mengenali poster film Monster dengan Tiga Otak dan Kunga, si Vampir Binatang.
Para pembimbing mengisyaratkan agar kami duduk meja-meja panjang itu. Aku
menemukan tempat duduk di meja di baris kedua, di sebelah anak-anak cowok
yang tampangnya lebih tua dariku.
Aku mulai bicara pada mereka. Tapi seorang pembimbing bertubuh jangkung
dan atletis berdiri di depan kami. "Letakkan kedua tangan kalian di atas meja,
guys," ia memerintahkan. "Cepat. Tangan di meja."
"Auw!" aku berteriak terkejut saat ia mengangkat kawat-kawat hitam yang berat
dari bawah meja - dan melilitkannya di sekeliling pergelangan tangan kami.
"Borgol?" salah satu anak menukas.
"Apakah kami ditangkap?" yang lain berteriak.
Kami semua tertawa mendengarnya.
Tapi aku merasa sedikit aneh ketika para pembimbing itu bergerak sepanjang meja-
meja, melilitkan kawat hitam itu di pergelangan tangan setiap anak.
Rasa dingin menggelitik tengkukku saat kurasakan getaran listrik pada kawat yang
meliliti tanganku.

Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa ini?" tanyaku pada anak di sebelahku.
Ia mengangkat bahu. "Aneh sekali," gumamnya.
Kusentakkan kawat itu. Ikatannya erat sekali. Aku tak dapat membebaskan
tanganku. Lagi-lagi kurasakan getaran listrik di sekeliling pergelanganku.
Aku berbalik dan menatap ke belakangku. Kulihat Meredith dan Elizabeth di
meja di belakangku. Pergelangan tangan mereka terikat. Mereka mengobrol
dengan penuh semangat, dua-duanya bicara bersamaan.
Di barisan di belakang mereka, aku melihat Chris bertengkar dengan para
pembimbing. "Tak akan!" ia membentak. "Takkan pernah!"
Ia menyembunyikan tangannya di belakang punggungnya dan melompat
berdiri. "Kalian tak dapat melakukan ini padaku!" sergahnya penuh amarah.
Tapi tiga pembimbing berhasil menaklukkannya. Mereka menarik kedua
tangannya dan mengikat pergelangan tangannya. "Biang kerok," salah satu
pembimbing berkata. "Siapa namamu" Kami akan mengingatmu."
"Aku nggak percaya," gumamku kepada anak yang duduk di sebelahku.
"Kenapa sih Chris ketakutan seperti itu?"
Anak itu mengangkat bahu. "Mengalahkan aku."
Aku tak punya waktu untuk memikirkan ucapan anak itu. Seorang pria tinggi
besar dan galak berpakaian jas lab putih maju ke depan ruangan. Ia mengangkat
kedua tangannya yang besar untuk menyuruh kami diam.
"Selamat datang... para tahanan!" teriaknya.
Kami tertawa. Tawa yang tidak enak.
Dua orang pembimbing buru-buru mendekatinya. Mereka menunjuk ke arah
Chris. Pria berjas putih itu menatap Chris tajam dan lama.
Pria itu memiliki sepasang mata kelabu yang dingin dan sebatang hidung yang
lebar dan bulat, yang kelihatannya seperti sudah pernah berkali-kali patah. Ia
nyaris botak. Sebuah codet hitam mulai dari salah satu alis naik sepanjang
keningnya. Ia mengangkat tangannya sampai ruangan itu hening. "Namaku Alonso," ia
mengumumkan. "Aku adalah asisten sipir."
Sipir" Tahanan"
Ada apa ini" aku bertanya-tanya.
Tapi kemudian kulihat senyuman berkembang di wajah Alonso. Matanya yang
kelabu bersinar-sinar. "Selamat datang di Kamp Horor, semuanya!" ia berkata.
Ia menggosokkan kedua telapak tangannya. "Kami akan melakukan yang
terbaik untuk membuat kalian ketakutan musim panas ini."
"Kenapa tangan kami diikat?" tuntut seorang anak cowok dengan suara marah
dan gemetar. Aku berbalik dan melihat bahwa anak itu adalah Jack.
"Yeah! Lepaskan kami!" hardik Chris marah sekali. "Kalian tak boleh
melakukan ini pada kami! Lepaskan kami!"
Aku merasakan getaran listrik lagi di pergelanganku.
Alonso menatap kedua anak itu. "Siapa nama kalian?" tanyanya.
Jack dan Chris tak menjawab.
"Nama kalian?" ulang Alonso, berjalan susah payah ke arah mereka dengan
sikap penuh ancaman. Kedua anak itu menyebutkan nama mereka masing-masing.
"Dan di kabin mana kalian tidur?" Alonso bertanya.
Mereka ragu. "Kabin Tiga," akhirnya Chris berkata.
Seringai aneh dan menyeramkan menghiasi wajah Alonso. Codet di keningnya
berdenyut-denyut. "Itu akan menjadi kabin keberuntungan kita," ujarnya dingin.
7 ALONSO berbalik dan kembali ke depan ruangan. "Sekarang aku punya
suguhan yang menyenangkan untuk kalian," ia mengumumkan dengan suaranya
yang dalam dan keras "Dengan senang hati aku akan memperkenalkan pemilik
Kamp Horor. Ketiga puluh lima filmnya telah menobatkan dia menjadi Manusia
Paling Menakutkan di Dunia. Mari kita berikan sambutan Kamp Horor paling
gempita untuk R.B. Farraday"
Aku mencoba bertepuk tangan, tapi kawat yang mengikat pergelanganku
menyulitkanku. Jadi aku cuma bersorak-sorai.
Kami semua bersorak dan berteriak-teriak kesenangan saat R.B. Farraday
meluncur ke dalam ruangan. Kudengar beberapa anak menahan napas terkejut.
Ia benar-benar berbeda dengan yang kami bayangkan.
Pertama, dia pendek sekali. Ia cuma sebahu Alonso. Dan bukan cuma itu. Ia
amat mungil. Kepalanya yang kecil dan tipis dihiasi dengan rambut hitam yang
licin dan rapi. Janggutnya yang nyaris rapi dihiasi oleh helai-helai kelabu di
bagian tengahnya. Ia mengenakan T-shirt hitam, celana pendek hitam, dan sandal. Kakinya kurus
seperti tusuk gigi. Tangannya juga.
Aku melihat sesuatu berkilauan di bagian depan T-shirt-nya. Sambil memicingkan
mata, kulihat kerangka keperakan sedang dirantai, matanya merah manyala.
Aku mencondongkan tubuhku ke atas meja, menatapnya lekat-lekat.
Pahlawanku! Sutradara film horor paling terkenal di muka bumi ini. Aku tak
percaya aku berada satu ruangan dengannya.
Mr. Farraday menghela dirinya ke atas bangku kayu yang tinggi. Di tangannya ada
clipboard. Ia menggaruk jenggotnya dengan tangan yang lain, menunggu sampai
sorak-sorai itu berhenti.
"Terima kasih untuk sambutan hangat kalian," akhirnya ia berkata. Aku kembali
mencondongkan tubuhku ke depan, berusaha mendengarkan. Soalnya suaranya
halus sekali, nyaris berbisik.
"Ini musim panas yang mengasyikkan bagiku," lanjutnya. Diletakkannya
clipboard- nya di atas lututnya yang kurus kering. "Seperti yang telah dikatakan
Alonso, aku telah membuat 35 film. Tapi semua itu cuma film. Bayangan
berwarna di atas seluloid. Tapi kamp ini memberiku kesempatan untuk
menghidupkan filmku. Dan sekarang, kalian semua akan menjadi aktornya!"
Kami bersorak kembali. Kawat tebal itu tersentak di pergelanganku. "Kenapa kami mengenakan ini?"
aku berteriak. Beberapa anak lain terdengar berseru setuju. Ruangan yang luas itu dipenuhi gema
suara kami. Alonso mengiyaratkan dengan tegas agar kami tenang.
Tapi Mr. Farraday menggosok jenggotnya dan tersenyum. "Apakah kalian
pernah menonton filmku yang berjudul Balas Dendam Dokter Kejam?" ia bertanya.
Beberapa anak memekik "Sudah!"
"Nah, kalian pasti tahu Meteran Nyali." ujar Mr. Farraday. "Kawat-kawat ini
menghubungkan kalian semua ke Meteran Nyali sungguhan yang digunakan di
dalam film itu." "Tapi apa fungsi benda itu?" seorang anak cewek berseru dari baris depan.
"Akan kutunjukkan pada kalian," jawab Mr. Farraday. Ia turun dan bangku itu dan
berpaling kepada Alonso. "Coba pilih salah satu sukarelawan."
Alonso berjalan ke arah meja-meja itu dengan susah payah. Tangannya
mempermainkan kancing jas lab putihnya. Matanya yang kelabu bergerak-gerak ke
sekeliling ruangan. Ia benar-benar mirip dengan dokter jahat dalam salah satu film R.B. Farraday,
pikirku. Sudah lama aku tak pernah nonton lagi Balas Dendam Dokter Kejam. Aku berpikir
keras untuk mengingat-ingat apa fungsi Meteran Nyali itu.
Alonso mengangkat tangannya yang besar dan menunjuk. "Ayo kita coba pada
anak itu," gelegar Alonso "Salah satu biang keladi itu."
"Jangan!" Aku mendengar Chris berteriak. "jangan... jangan aku?" Ia meronta-
ronta, berusaha melepaskan tangannya dari kabel itu. "Kumohon, jangan aku!"
Kenapa sih ia ketakutan begitu" pikirku.
Anak-anak bergerak dan bergeser-geser. Semua pasang mata kini menatap
Chris. Aku menangkap ekspresi ngeri pada wajah Elizabeth dan Meredith. Di belakang
mereka, Jack memejamkan mata erat-erat.
Aku berpaling ke depan dan melihat Mr. Farraday menekan beberapa tombol
pada panel kontrol. Lalu ia menekan sebuah sakelar di atas dinding.
"Tidddaaaak!" Chris menahan napas.
Aku mendengar desisan listrik.
Chris tersentak kuat-kuat di kursinya.
Kepalanya terlempar ke belakang.
Ia melompat berdiri. Sekujur tubuhnya meliuk-liuk dan menari-nari.
Sengatan listrik yang kuat lagi.
Anak-anak menjerit. Pekikan mengerikan mengguncang ruangan itu.
Aku tertawa. "Ini cuma lelucon," aku memberitahu anak di sebelahku. "ini pasti
cuma banyolan." Tapi kepala Chris tersentak ke satu sisi. Lalu sekujur tubuhnya jatuh.
Dan roboh ke atas meja, tidak bergerak-gerak lagi.
8 "MATIKAN! Matikan!" teriak Mr. Farraday. Dengan panik ia menekan-nekan tombol
kontrol. Alonso mendoyongkan tubuhnya ke arah Chris dan menggoyang-goyangkan
bahunya. Beberapa anak menjerit. Yang lain menatap ngeri. Aku menarik napas dengan
susah payah, jantungku berdegup kencang, mataku mengawasi saat Alonso
mencoba membangunkan Chris.
"Apakah ia baik-baik saja?" desak Mr. Farraday. "Apakah ia masih hidup?"
"Ia akan bertahan," jawab Alonso dingin. Ia memberi isyarat kepada dua orang
pembimbing. "Bawa dia keluar."
Alonso melonggarkan kawat yang melilit tangan Chris. Kedua pembimbing
mengangkat tubuh Chris yang lemas dari kursinya. Sulit sekali mengangkatnya dan
kedua orang itu nyaris menjatuhkannya.
Tak seorang pun mengeluarkan suara waktu kedua pembimbing itu mengangkat
Chris keluar ruangan. Pintu terbanting di belakang mereka.
Mr. Farraday mengusap jenggotnya dan melangkah mondar-mandir di depan
perapian. Ia memberi isyarat agar Alonso menghampirinya.
"Lebih baik kita menurunkan voltasenya kita kurangi;" Mr. Farraday
memberitahu asistennya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Alonso menggosokkan kedua tangannya. Senyum jahat menghiasi wajahnya.
"Tapi begini lebih menyenangkan!" komentarnya.
Mr. Farraday menghentikan langkahnya dan menatap pria itu "Kau terlalu
kejam, Alonso. Jangan membuatku menyesal telah mempekerjakanmu."
Seringai di wajah Alonso semakin lebar "Jangan membuatku menyesal telah
menerima pekerjaan ini," tandasnya tegas.
Mr. Farraday kembali menggelengkan kepala. "Mungkin memang sebaiknya
kubiarkan saja kau membusuk di dalam sel penjara itu. Mungkin kau memang
belum berubah sama sekali."
Hah" Penjara" pikirku. Kubersihkan tenggorokanku dengan susah payah.
Mengapa Mr. Farraday mengatakan. semua ini" Lupakah dia bahwa kami
semua dapat mendengar ucapannya"
"Apakah Chris baik-baik saja?" seru Jack dari bagian belakang ruangan.
"Apakah ia akan baik-baik saja?"
Mr. Farraday dan Alonso saling bertatapan dengan penuh kemarahan dan tak
menjawab pertanyaan itu. "Maukah Anda sekarang melepaskan kawat ini dari pergelengan tangan kami?"
seorang cewek yang duduk jauh dari mejaku bertanya.
Pertanyaannya menyadarkan Mr. Farraday dari pikirannya. Tiba-tiba ia tersadar
bahwa kami semua masih ada di sana. Tapi ia tak mengatakan apa-apa.
"Maaf, Anak-anak," ia malah berkata. "Kamp Hororku ini masih baru. Jadi
kami masih masih punya beberapa masalah di sana-sini." Ia kembali menatap
Alonso dengan mata mengecil. "Masalah seperti kau." tambahnya dengan
dingin. Wajah Alonso berubah merah manyala. Ia menggumamkan eraman penuh
amarah. Codet di atas keningnya menggelap keunguan.
"Ayo bawa tamu istimewa kita," perintah Mr. Farraday.
Ia berbalik memandang kami. "Aneh, bukan?" katanya lembut. "Apa yang
terjadi atas anak bernama Chris itu sama benar dengan yang terjadi dalam Balas
Dendam Dokter Kejam. Benar-benar aneh..."
Ia kembali hanyut dalam pikirannya sendiri, seraya menggeleng-geengkan
kepala. Ia mengingatkan aku pada belalang saat ia memanjat kembali ke bangkunya
yang tinggi. Ia begitu liat dan kurus.
"Banyak anak mengira kamp-ku ini cuma pura-pura," katanya pada kami,
tangannya yang satu menepuk-nepuk clipboard -nya. Ia mendoyongkan
tubuhnya ke arah kami. "Tapi menurutku horor itu harus benar-benar nyata, bukan
pura-pura." Kelihatannya ia menatap lurus ke arahku. Matanya yang gelap membakar
mataku. "Menurutku horor itu harus nyata - kalau tidak, horor itu takkan menakutkan,"
ia berkata sambil berbisik amat pelan.
Aku merinding ketakutan. Benarkah ia berkata begitu hanya untuk menakut-nakuti kami" aku bertanya-
tanya. Atau ia sebenarnya sinting"
9 AKU kembali menatap Mr. Farraday, menunggu ia tersenyum. Menungggu ia
berkata bahwa Chris cuma berakting saja, bahwa aliran listrik tadi cuma pura-
pura, dan semua itu hanya lelucon belaka.
Tapi ekspresi wajahnya tetap serius.
Sebuah suara berat dan bergemuruh. membuatku berpaling ke arah pintu yang
letaknya di belakang ruangan. Kawat yang melilit tanganku terasa tegang.
Daun pintu terayun terbuka.
Pertama-tama aku melihat jeruji besi. Sebuah kandang. Lalu aku melihat
sesosok makhluk besar dan gelap terkurung di dalam kandang itu.
Alonso dan seorang pembimbing lain mendorong kandang itu ke depan
ruangan. Seekor gorila! Mata yang besar dan hitam menonjol keluar dari bulu berwarna cokelat gelap.
Gorila itu mencengkeram ruji besi dengan kedua tangannya, lalu melompat-
lompat, mengeluarkan suara-suara geraman.
Benarkah itu gorila sungguhan"
Itulah pertanyaan pertamaku.
Makhluk itu tampak mirip manusia, mencengkeram jeruji besi dengan
jemarinya yang berbulu. Ia menatap ke arah kami saat kandangnya meluncur ke
depan ruangan Mulut makhluk itu menganga lebar, dan lidahnya yang berwarna ungu terjulur ke
luar. Ia mengeluarkan erangan yang keras, seolah-olah ia mengenali Mr.
Farraday In memang gorila sungguhan, aku tersadar. Bukan cuma orang yang
mengenakan kostum gorila.
Binatang itu bangkit berdiri saat Alonso memutar kandang itu hingga
menghadap ke arah kami. Binatang itu menggeram keras-keras dan
mengguncang-guncangkan jeruji itu dengan kedua tinjunya.
Beberapa anak yang lebih kecil di barisan meja terdepan menjerit ketakutan.
Mr. Farraday tetap duduk di bangku tingginya. Ia menatap binatang yang
menggeram-geram itu dengan waspada. Lalu ia berpaling kepada kami.
"Ini tamu istimewa kita di Kamp Horor," katanya mengumumkan "Kalian
mungkin terkejut melihat seekor gorila di kamp musim panas. Yah, aku
memang merencanakan banyak sekali kejutan untuk kalian."
"Apakah itu Rocko?" teriak Tyler.
Mr. Farraday tersenyum. "Kau mengenalinya! Bagus sekali! Berapa banyak di
antara kalian yang telah menonton filmku yang berjudul Penakluk Planet Gorila?"
Aku mencoba mengangkat tanganku, tapi ikatan Kawat itu menghalangiku.
Gumaman-gumaman bersemangat memenuhi ruangan itu. Soalnya itu salah satu
film R.B. Farraday yang paling populer.
Bulu gorila itu meremang. Kayaknya ia tak menvukai suara-suara itu. Ia
membuka mulutnya dan kembali menggeram marah. Diguncang-
guncangkannya jeruji itu dengan kedua kepalan tangannya.
"Rocko adalah pemeran utama di film itu," sambung Mr. Farraday. "Dia juga aktor
terbaik kami. Kami tak pernah perlu menyuruh dia agar lebih
menyeramkan lagi. Dan upahnya juga sedikit sekali!"
Gorila itu melompat-lompat dan memiringkan kepalanya ke belakang sambil
meraung. Mr. Farraday berpaling kepada Alonso "Berhati-hatilah dengannya," katanya
memerintah. "Rocko itu cukup ganas. Ia mengoyak-ngoyak tubuh pelatihnva
minggu lalu. Sampai-sampai orang yang malang itu masuk rumah sakit."
Gorila itu kembali meraung. "Rocko belum benar-benar terbiasa dikurung," Mr.
Farraday memberitahu kami. "Gorila hanya mengenal..."


Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sutradara film itu menghentikan kalimatnya. Mulutnya menganga lebar-lebar.
Clipboard- nya jatuh dari tangannya. "Hei."
Dengan sekali raungan lagi gorila itu tiba-tiba mengulurkan kedua tangannya ke
depan, dan mengempaskan pintu kandang hingga terbuka.
"Alonso... dasar kau idiot." bentak Mr. Farraday. "Kaubiarkan pintu kandang itu
tak terkunci. Tutup pintu itu! Tutup, kataku!"
Alonso berlari ke pintu kandang itu.
Terlambat. Sambil menggeram-geram dengan galaknya, gorila itu menghambur keluar dari
kandang. Kakinya menghantam lantai dengah kerasnya. Ia ayunkan lengannya
dengan liar di depan tubuhnya, seakanKakan ingin membuka jalan bagi dirinya
sendiri. "Hentikan makhluk itu! Hentikan!" teriakan Mr. Farraday mengatasi lengkingan
jeritan para peserta kamp.
Sambil meraung gorila itu menggerakkan kepalanya dari satu sisi ke sisi lain,
matanya menatap tajam meja panjang itu.
Alonso melompat ke punggung binatang itu. Namun makhluk itu dengan mudah
dapat melepaskannya, seolah-olah pria itu seekor lalat. Alonso jatuh berdebam ke
atas lantai. Mr. Farraday turun dari bangku dan melangkah mundur untuk menyelamatkan
diri, sampai-sampai ia menabrak perapian. "Hentikan! Siapa kek!" teriaknya.
"Makhluk ini pembunuh! Gorila ini... makhluk pembunuh!"
Sebuah jeritan lepas dari leherku. Ruangan itu penuh oleh teriakan dan jeritan.
Aku berusaha bangkit. Kulihat beberapa anak berjuang sekuat tenaga untuk
kabur dari situ. Tapi kami semua terikat kuat-kuat ke meja.
Kami tak dapat bergerak. Gorila itu melangkahi tubuh Alonso. Lalu berjalan mpoyongan ke mejaku.
Mengulurkan kedua taagan raksasanya.
"Tidddaaaak!" Aku menjerit nyaring saat tangannya yang berat merengkuh tubuhku.
10 AKU merunduk dalam-dalam saat gorila itu mengayun-ayunkan kedua
tangannya. Kurasakan angin mendesing di atas kepalaku. Bulu pada salah satu tangan
gorila itu mengusap puncak kepalaku.
"Ohhhhh." Erangan pelan lepas dari leherku.
Aku menengadah dan melihat makhluk besar itu beranjak dengan langkah-
langkahnya yang berat sepanjang meja itu. Ia mengayunkan tangannya ke arah anak
lain. Lalu ia melempar kepalanya ke belakang dan kembali meraung
kencang hingga kasau-kasau pondok itu bergetar hebat.
Aku mendengar suara teriakan. Kuputar kepalaku dan kulihat seorang
pembimbing bertubuh tinggi kurus dan berseragam hijau menghambur dari
mulut pintu. "Semuanya, merunduk!" serunya panik. Diangkatnya sepucuk senapan ke
bahunya. Teriakan. Jeritan ketakutan.
Kaki-kaki kursi menggaruk lantai beton saat kami buru-buru merunduk dalam-
dalam. "Tidak!" Kudengar Mr. Farraday memprotes dengan suara nyaring. "Carl...
jangan tembak dia! Gorila itu amat berharga! Jangan!"
Pembimbing itu membidikkan senapannya. Suara tembakan yang dahsyat
terdengar di antara suara teriakan dan jeritan ketakutan.
Gorila itu mengeluarkan erangan yang mengerikan. Kedua tangan raksasanya
jatuh lemas di sisi tubuhnya. Mulutnya menganga. Matanya yang gelap
menonjol ke luar. Binatang itu mengeluarkan raungan kesakitan. Ia memegangi dadanya. Lalu
tubuhnya yang besar terjerembap ke muka. Roboh dengan suara berdebam yang
amat keras. Menghantam lantai... dan tidak bergerak-gerak lagi.
11 RUANGAN itu sedikit tenang. Beberapa anak masih menjerit histeris. Aku
mendengar beberapa anak lain menangis.
Aku bangkit ke tempat dudukku. Kawat yang melilit tanganku menegang.
Kayaknya masih kurasakan bagaimana tangan gorila itu menyentuh puncak
kepalaku. Punggungku terasa dingin. Aku tak dapat berhenti gemetaran dan seperti
kehabisan napas. Alonso dan dua orang pembimbing merubungi gorila itu. Alonso menarik
sesuatu dari dada gorila itu dan menyerahkannya ke sutradara film itu.
Sebatang anak panah. "Anak panah yang mengandung obat penenang," ujar Mr. Farraday, tangannya
diacungkan tinggi-tinggi agar setiap anak dapat melihatnya. "Kami takkan
pernah melukai aktor terbaik studio kami!"
Ia tertawa. Anak-anak mengerang dan mendesah lega. "Bagus, semuanya," Mr. Farraday
berkata dengan puas. Alonso dan para pembimbing mengangkat gorila itu ke atas kakinya. Kepalanya yang
besar terkulai lemah di bahunya. Mereka mendorong makhluk yang tengah pingsan
itu kembali ke kandangnya.
"Apakah kami telah berhasil membuat kalian takut?" Mr. Farraday menyeringai
"Apakah kami telah berhasil membuat kahan percaya?"
Para pembimbing berjalan dari meja ke meja, melepaskan tangan kami dari
lilitan kawat-kawat itu. Jantungku masih berdentam tak keruan. Keringat
mengalir turun di keningku. T-shirt-ku yang basah menempel di punggungku.
"Percayalah" seru Mr. Farraday, matanya menyorot liar, kedua tangannya bergerak-
gerak "Percayalah pada teror?"
Aku menatapnya dengan saksama. Sejauh mana ia bermaksud menakut-nakuti
kami" pikirku. Senyata apa teror yang akan diciptakannya"
Aku tak perlu menunggu lama untuk mengetahuinya.
*** Tyler dan aku kembali ke kabin kami dan melanjutkan membongkar bawaan
kami. Kurekatkan beberapa poster di dinding di sebelah tempat tidurku. Tapi
semua itu tak berhasil menghiburku.
Aku masih saja merasa ketakutan dan tegang.
Tyler duduk membungkuk di tepi tempat tidurnya, lengannya bersedekap erat di
depan dadanya. Ia belum mengatakan satu kata pun. Ia menggigiti bibir
bawahnya hingga berdarah. Ia sering berbuat begitu kalau sedang ketakutan.
"Mungkin sebaiknya kita pulang saja," katanya akhirnya. "Mungkin tempat ini
memang terlalu mengerikan, Farraday itu kayaknya sinting, ya kan?"
Aku mengangkat bahu. "Kau tahu kita tak bisa pulang. Kau kan tahu, Mom dan Dad
sedang bepergian sampai Agustus nanti. Lagi pula semua ini kan
seharusnya menyenangkan," kilahku. "Kurasa Farraday cuma berakting saja."
"Tapi gorila tadi itu sungguhan," Tyler bersikeras. "Juga aliran listrik yang
mengaliri kawat-kawat itu. Aku merasakan getarannya. Dan aliran listrik itu
akhirnya menyengat Chris."
"Mungkin itu cuma kecelakaan," bujukku lagi.
"Si Alonso sangat mengerikan," gumam adikku.
Aku menatapnya. Tyler tampak begitu kecil dan menyedihkan saat memeluk
dirinya sendiri seperti itu, sampai-sampai aku jadi tertawa melihatnya.
"Hei, ayolah!" seruku. "Ini kan Kamp Horor, ya, kan" Inilah yang akan
kaudapatkan dari R.B. Farraday, Manusia Paling Mehakutkan di Muka Bumi!"
"Ku... kurasa," jawab Tyler tergagap, suaranya nyaris terdengar.
"Kita kan memang tidak mau pergi ke kamp musim panas yang biasa-biasa saja,
ingat" Ini pasti seru," desakku.
Tyler mendesah. Ditopangnya kepalanya dengan kepalan tangannya.
Pintu kabin terempas terbuka. Jack menghambur masuk, napasnya tersengal-
sengal. Ia menghapus keringat dari keningnya dengan punggung tangannya.
Tyler melompat dari tempat tidurnya yang terletak di bawah ."Apakah Chris
baik-baik saja?" ia bertanya.
"Aku.. aku tak yakin," Jack terbata-bata. Ia menelan dengan susah payah dan
berusaha menarik napas dengan sekuat tenaga. "Aku tadi pergi ke pondok
pengobatan untuk melihat keadaannya. Ia kacau sekali."
"Hah?" aku terenyak "Apa maksudmu?"
"Omongannya kacau!" tukas Jack "Entah apa yang diucapkannya. Kurasa
kurasa sengatan listrik itu mengacaukan otaknya."
"Jadi, semua itu sungguhan" sergahku "Bukan cuma pura-pura?"
Jack menggelengkan kepala. "Kuperingatkan kalian Chris dan aku mendengar
beberapa hal saat kami tiba pagi ini. Hal-hal yang menyeramkan."
Ia merendahkan suaranya. Aku dan Tyler mendekat untuk mendengarkan
ucapannya. "Kurasa di sini benar-benar berbahaya," Jack melanjutkan. "Kita harus tetap
bersama-sama. Kita berempat. Mereka mengawasi kita. Mereka mengawasi
Kabin Tiga. Kau tahu, aku dan Chris..."
Ia menghentikan kalimatnya sambil menahan napas.
Matanya menatap lurus ke jendela.
Aku berpaling dan melihat seraut wajah di sana. Alonso.
Alonso menatap kami dengan dingin. Mendengarkan. Memata-matai kami.
Aku kembali berpaling kepada Jack. Sekujur tubuhnya gemetaran. Wajahnya
pucat pasi. "Aku tidak mengatakan apa-apa," Jack berbisik. "Kalau ada yang bertanya,
bilang aku tidak mengatakan apa pun."
Lalu ia berjalan melewatiku dan keluar dari kabin.
Aku kembali berpaling ke jendela.
Alonso telah lenyap dari sana.
Tyler dan aku berpandang-pandangan.
"Aneh," gumam Tyler pelan.
"Yeah. Aneh," timpalku.
Apa sih yang ingin dikatakan Jack tadi" pikirku. Dan kenapa ia begitu takut
terhadap Alonso" Jack amat gemetaran. Ia benar-benar ketakutan setengah mati.
"Aneh," ulangku lagi.
Lalu kudengar suara teriakan.
"Lepaskan aku" seorang anak cowok berseru. "Kumohon, kumohon, biarkan
aku pergi." 12 KAMI berlari ke pintu kabin. Aku sampai lebih dulu dan langsung melompat ke
luar. Aku meluncur ke jalan setapak. Tyler berlari di belakangku.
Kami menatap ke atas bukit dan melihat Chris.
Ia berlari liar melintasi rerumputan. Larinya zigzag. Tangannya diayun-
ayunkan. Meringkik. Kepalanya terlempar jauh ke belakang. Meringkik seperti
kuda. Saat aku terenyak ngeri, kulihat beberapa orang mengejarnya. Dua orang
pembimbing. Dan perawat kamp.
Salah satu pembimbing melompat di udara dan berusaha menangkap Chris dari
belakang. Namun Chris menikung tajam. Sambil terus meringkik ia berbalik dan kembali
berlari mendaki bukit. "Lepaskan aku" pekiknya lagi. "Aku takkan memberitahu siapa pun apa saja
yang telah kulihat! Aku berjanji."
Dua pembimbing berhasil menangkapnya. Mereka menarik dan menyeretnya
pergi. *** Chris kembali ke kabin kami setelah makan malam. Ia tampak baik-baik saja.
Aku dan Tyler bertanya apa yang telah terjadi padanya.
Ia tak mau mernandang kami. "Aku tak mau membicarakannya," ia
menggumam. Kulihat sekujur tubuhnya gemetaran. "Tolonglah, guys. Jangan ingatkan
aku lagi... oke?" Kami tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi semalaman itu sebentar-sebentar aku
memandangnya, dalam benakku bertanya-tanya mengapa mereka tadi
mengejarnya. Dan apa yang telah mereka lakukan padanya setelah mereka
menangkapnya. Setelah lampu-lampu dimatikan, kulihat ia duduk ditempat tidurnya, menatap ke
luar jendela selam berjam-jam. Ia memandangi bulan, ekspresinya suram,
tubuhnya kaku seperti patung.
Keesokan paginya turun hujan. Kami semua menonton salah satu film R.B.
Farraday. Film itu lumayan... hingga sejenak aku dapat melupakan Chris.
Waktu matahari muncul lagi sesaat sebelum makan siang, rerumputan
bercahaya seperti permata. Kamp itu tampak segar dan seperti baru tampaknya,
seolah-olah hujan tadi telah membersihkan segala sesuatu.
Sorenya aku dan Tyler punya Waktu Bebas. Gus, pembimbing kabin kami,
memanggil kami. "Permainan Putar-dan-Jerit sudah siap beroperasi, jika kalian
mau mencobanya," ia memberitahu kami.
Dan ia tak perlu mengatakannya dua kali.
Aku senang naik kereta permainan. Semakin cepat semakin baik. Aku suka
perasaan membubung tinggi dan berputar-putar tak terkendali.
Menurutku roller coaster dan permainan-permainan menegangkan lainnya itu seperti
film horor. Kau merasa dirimu seakan-akan sungguh-sungguh mengdapi bahaya. Tapi
kau tahu dirimu akan baik-baik ia setelah semuanya berakhir.
Tak seperti aku, Tyler tidak begitu menyukai permainan-permainan itu. Ia
mengikutiku menuruni bukit permainan Putar-dan-Jerit. Tapi dari caranya
berjalan tepat di belakangku itu, aku tahu ia agak takut.
"Cepat!" seruku. Aku dapat melihat anak-anak lain berlarian menuju permainan
itu. Kereta-kereta berwarna merah-biru itu mulai terisi. Aku melambai ke arah
Meredith dan Elizabeth, tapi mereka tak melihatku.
Aku dan Tyler duduk di kereta kosong terakhir. Kutarik turun palang
pengamannya hingga ke atas pangkuan kami.
"Apakah menurutmu benda ini akan berputar cepat sekali?" Tyler bertanya dengan
suara kecil. Dicengkeramnya palang pengaman itu erat-erat dengan
kedua tangannya. "Mungkin nggak terlalu kencang," sahutku "Tapi aku bertaruh kereta ini akan
sering sekali berputar." Kuulurkan tanganku meraih sebuah kemudi di sisi
kereta. "Kau lihat" Bila kaugerakkan ini, kereta kita akan berputar."
Ia mendorong tanganku dari kemudi itu. "Jangan bikin kereta ini berputar
terlalu kencang, oke?"
Seorang pemuda bertubuh besar dan berambut merah bernama Duffy akan
menjalankan permainan itu. Tadi pagi aku melihatnya latihan beban di kabin olah
raga. Ototnya yang besar-besar menonjol dari balik kaus ketat berwarna merah. Ia
mengenakan celana pendek ketat yang mempertontonkan kedua
kakinya yang kuat. Kurasa ia bukan salah satu pembimbing, soalnya ia tidak mengenakan seragam
hijau. Kulihat tugasnya cuma menjalankan kereta permainan.
Duffy menghampiri aku dan Tyler untuk mengecek palang pengaman Kulihat
sebuah tato biru merah besar, yang menggambarkan tengkorak yang sedang
menyeringai, menghiasi lengannya.
"Ingat permainan ini saat di film?" suaranya menggelegar.
"Maksudmu Karnaval Horor yang Menjijikkan?" aku bertanya. "Yeah, aku ingat."
"Tahu kenapa ini disebut Putar-dan-Jerit?" tanya Duffy, seraya menyeringai.
Lalu ia tertawa. "Kalian akan tahu."
Kami mengawasinya berjalan ke arah tombol-tombol kontrol. Digenggamnya
sebatang tuas kayu yang panjang dan didorongnya ke depan.
Kereta-kereta itu menjerit dan meraung, lalu mulai bergerak. Kuhitung ada dua
belas, semua terisi oleh peserta kamp. Kami mulai berputar dalam lingkaran
lebar. "Wow,'keren!" komentar Tyler. "Apa ngerinya sih permainan ini?"
"Nggak ada. Cuma menyenangkan saja!" tukasku..
Kami mulai bergerak semakin cepat. Kuputar kemudinya dan kereta kami pun
berputar. Lalu kuangkat tanganku tinggi-tinggi dan berteriak senang.
Angin meniupkan rambutku ke wajahku. Mobil itu mulai berputar semakin
cepat. "Wow! Aku pusing!" seruku.
Tyler mencengkeram palang pengaman dengan kedua tangannya. Seringai
tegang mewarnai wajah. Dapat kulihat bahwa ia sedang berusaha menikmati
permainan ini. Tapi matanya terpejam rapat-rapat, wajahnya mulai memucat.
Semakin cepat. Semakin cepat.
Kereta-kereta itu berputar lebih cepat, menjerit dan meraung. Kabin-kabin,
pepohonan, danau.... Semuanya berubah menjadi bayangan samar yang terang
dan berkilauan. Kami dikocok dan diputar dengan kecepatan tinggi.


Goosebumps - 2000 8 Kamp Horor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhku terempas ke tubuh Tyler. Ia mencengkeram palang pengamannya erat-
erat sambil mengertakkan gigi.
Semakin cepat. Semakin cepat.
Kulihat Duffy mendorong tuas panjang itu sampai ke batas maksimum.
"Wow !" aku menjerit "Sekarang kita terbang! Kita terbang!"
Anak-anak berteriak dan tertawa.
"Wow!" Saat kami berputar berkeliling, kulihat Duffy berbalik dari panel
kontrol. Kutolehkan kepalaku dan kulihat ia berjalan terhuyung-huyung
meninggalkan tombol-tombol itu, menuju bukit yang mengarah ke pondok.
Aku merasa pusing sekali. Semuanya tampak seperti bayangan kabur yang
terang dan tidak jelas. Aku mengedipkan mata. Mengedip lagi.
"Hei!" aku memanggilnya.
Tapi suaraku amat lemah. Tak mungkin mengalahkan teriakan dan pekikan
anak-anak itu. "Hei mau ke mana dia?" desak Tyler, seraya meremas tanganku. Kulihat adikku
mulai panik. "Mau ke mana dia, Andrew" Tidakkah ia akan menghentikan
benda ini?" 13 UDARA terasa mencambuk wajahku. Rambutku berkibar-kibar dengan liar.
Kuturunkan tanganku dan berpegangan pada palang pengaman.
Kami terus berputar, semakin cepat... semakin cepat lagi.
Aku kembali terempas ke tubuh Tyler. Lalu kereta kami mengocokku kuat-kuat ke
sisi lain. "Owww!" Aku menjerit kuat-kuat saat tubuhku menghimpit lenganku. Aku
terlompat. Lalu palang pengaman menahan tubuhku. Aku jatuh kembali tempat
dudukku. Aku mencari-cari Duffy. Tapi ia telah lenyap dalam ruangan hijau-biru yang
berputar-putar. Tak ada siapa pun di sana. Tak ada siapa pun di ruang kontrol.
Anak-anak menjerit nyaring.
"Hentikan benda ini! Hentikan!"
"Ini terlalu cepat!"
"Aku mual!" Aku sendiri mulai merasa mual. Isi perutku berakrobat. Mulutku terasa asam.
Kurasakan makan siangku naik ke leher.
Pusing... amat pusing... "Di mana sih orang itu?"
"Dia tak boleh meninggalkan kita begitu saja, ya, kan?"
Tyler meremas pahaku Matanya terpejam. Mulutnya menganga ketakutan.
Rasanya kami berputar semakin cepat lagi. Kepalaku terempas jauh ke
belakang. Bahuku terbanting ke sisi kereta.
Di antara suara-suara jeritan, sekarang aku dapat mendengar beberapa orang anak
menangis. Kudengar suara erangan yang keras dan kulihat percikan warna kuning.
Seorang anak benar-benar telah mengeluarkan
makan siangnya. Aku menelan ludah dengan susah payah. Sekarang aku benar-benar merasa
mual. Kututup mataku untuk menghilangkan rasa pusing itu, tapi sia-sia.
"Ohhhh." Kubuka mulutku dan mengerang lemah. Erangan ketakutan.
Sampai kapan kami akan berputar seperti ini" Sampai kapan"
Kami berputar lagi. Dan lagi.
Seorang anak lain kembali mengirimkan muncratan muntah berwarna kuning ke
udara. Semakin cepat. Dan kemudian aku melihat sosok samar berwarna merah dan biru. Duffy.
Saat kereta kami terbang berputar lagi, kulihat ia berjalan menuruni bukit.
Jalannya pelan... amat sangat pelan.
Anak-anak meraung dan menjerit.
"Cepat!" seseorang berteriak. "Kumohon... cepat!"
Kami berputar lagi. Duffy menggenggam kaleng soda berwarna merah di tangannya. Ia
memiringkan kepalanya ke belakang dan menenggak minumannya banyak-
banyak. Dan dengan pelan sekali ia kembali berjalan ke arah kami.
Kami berputar. Lagi. Lagi.
Aku menahan napas. Akhirnya! Duffy naik ke ruang kontrol.
Sekali lagi kami berputar. Kepala Tyler berguncang-guncang di atas bahunya.
Matanya terpejam erat-erat.
"Tyler... kau baik-baik saja?" tanyaku waswas.
Ia tak menjawab. Kami berputar lagi. Kulihat Duffy meraih tuas itu.
Akhirnya. Akhirnya... Kulihat ia menarik tuas itu.
"0h, tidak!" Kudengar Duffy berteriak.
Dan kulihat tuas itu patah dalam genggamannya.
14 "TIDDDAAAK!" Erangan ketakutan dan jeritan ngeri berhamburan dari kereta-kereta
yang berputar kencang itu.
Kami berputar sekali lagi.
Kulihat Duffy memegang tuas yang telah patah itu di tangannya. Dengan tangan
yang lain ia menggaruk kepalanya. Matanya menatap tuas itu.
"Matikan! Matikan!"
"Tolong kami!" "Lakukan sesuatu!"
Suara-suara marah dan ketakutan mengatasi suara raungan kereta-kereta yang terus
berputar itu. "Tyler, kau tidak apa-apa?" Kuguncang-guncangkan bahu adikku dengan keras.
Ia membuka mata, lalu kembali memejamkannya. Sambil terguncang hebat di
tempat duduk besi itu, ia membungkuk ke depan.
Tanah tampak miring ke atas. Langit tampak menghantam rerumputan. Rumput
hijau dan langit biru seperti bertukar tempat.
Aku bakal pingsan nih, aku tersadar.
Kepalaku terkulai ke belakang.
Aku memejamkan mata. Dan kurasakan kereta kami melambat.
Deru mesin pun lenyap. Kini kami berputar tanpa tenaga mesin, udara
mendesing lewat, kereta-kereta besi itu berderak-derak.
Semakin pelan... Semakin pelan...
Aku membuka mata. Kulihat Duffy menggenggam kawat tebal. Ia memegang sebuah
steker. Rupanya ia telah mencopot stop kontak permainan itu.
Kami bergerak semakin pelan, hingga akhirnya berhenti.
Tak ada yang bergerak. Tak seorang pun bergerak untuk waktu yang lama.
Lalu anak-anak mulai merangkak keluar.
Beberapa jatuh lemas ke atas rumput. Yang lain berdiri lemas, memegangi
kepala mereka sambil mengerang dan menggumam marah.
Aku membantu menarik Tyler keluar dan kereta. Lututnya mulai gemetaran.
Kutopang ia sampai cukup kuat berdiri.
Lalu kami mencoba berjalan. Tanah seolah-olah miring. Pepohonan bergoyang-
goyang di depanku seolah-olah terbuat dari karet.
Aku menabrak Meredith dan Elizabeth.
"Benar-benar mengerikan! "seru Elizabeth.
Duffy muncul di depan kami, seringai lebar menghias wajahnya. "Kalian
menikmati permainan tadi?" tanyanya, matanya yang biru pucat berkilau
senang. "Aku akan menyampaikan keluhan!" bentak Meredith. "Aku akan
menyampaikan keluhan pada Mr. Farraday!"
"Aku juga!" Elizabeth menimpali.
Duffy menggelengkan kepala. "Kalian nggak nonton filmnya, ya?" ia bertanya.
"Aku tidak peduli filmnya!" raung Elizabeth. "Yang tadi itu keterlaluan! Kau
membuat kami semua sakit!"
"Tapi itulah yang terjadi di film itu!" ujar Duffy. "Ini kan Kamp Horor, ingat"
Nah, film-film itu kini menjadi nyata!"
Kini aku ingat adegan film itu. Permainan Putar-dan-Jerit terus berputar
semakin cepat dan cepat... sampai kulit semua penumpangnya copot! Waktu
permainan itu akhirnya .berhenti, kereta-kereta itu penuh dengan kerangka.
"Setidaknya kita tak kehilangan kulit kita," gerutuku.
Meredith memandangku. "Kau baik-baik saja?"
"Aku masih gemetaran," aku mengaku.
Tyler roboh ke rumput dan menundukkan kepala di antara lututnya. "Aku
merasa mual," raungnya. "Sungguh."
"Kalian nggak punya selera humor, ya?" ejek Duffi. Ia menggelengkan kepala
dengan sikap muak, berbalik, dan mulai berlari kedil mendaki bukit.
"Ini sih bukan bercanda!" sembur Elizabeth. "Ini memuakkan!"
"Yuk, kita sampaikan keluhan pada Mr. Farraday," Meredith mendesak "Aku
berani bertaruh ia bahkan tak tahu apa yang dilakukan monster itu pada kita."
"Oke, yuk kita ke sana," aku setuju. "Kita kan ke sini untuk bersenang-senang.
Tapi sejauh ini, semuanya malah sedikit terlalu menakutkan."
Kubantu Tyler bangkit berdiri. Lalu aku mulai mengikuti Meredith dan
Elizabeth ke pondok. Tapi setelah beberapa langkah aku berhenti. Lalu menengadah menatap
sebatang pohon yang tinggi dan rimbun, yang menjulang di atas kereta
permainan itu. "Apa itu?" seruku. "Kamera?"
Benar. Sekarang kami berempat melihatnya. Sebuah kamera bertengger di
sebatang dahan yang rendah, terarah ke kereta permainan.
"Apakah kita sedang diawasi?" tanyaku. "Apakah menurut kalian seseorang
merekam kejadian tadi?"
"Maksudmu Mr. Farraday mengawasi kita?" ujar Meredith, dahinya berkerut dalam.
"Ia memfilmkan kita?"
"Kita benar-benar harus protes," Elizabeth menandaskan. "Dia tak dapat melakukan
hal seperti itu pada kita. Itu sih gila namanya!"
Kami berjalan mendaki bukit, menuju pondok. Aku menarik napas dalam-dalam
sambil melangkah. Aku mulai merasa lebih kuat. Perasaan pusingku mulai
hilang. Wajah Tyler tak lagi pucat. Ekspresinya tetap suram. Ia mengatupkan
rahangnya. Tapi aku tahu ia sudah lebih baik.
Kami berjalan melewati sederetan tong sampah yang berdiri sepanjang sisi
bangunan. Sesuatu menarik perhatianku. Sebuah kepala"
Sebuah kepala menyembul keluar dari balik tutup sampah"
Aku melompat mundur saat kepala itu bergerak.
Rupanya kepala binatang. Seekor racoon. Ia menatap kami, lalu melompat keluar dari tong sampah dan kabur
ke arah pepohonan. "Wow," gerutuku. "Terlalu banyak kejutan di sini. Semuanya membuatku
melompat kaget!" Kami memasuki pondok dan menunggu sampai mata kami terbiasa dengan
cahaya lampu yang redup. Anak-anak kelompok seni dan kerajinan tampak
bekerja dengan lempung. Saat kami berjalan melewati pintu ruangan mereka,
aku melihat topeng-topeng dan monster-monster jelek yang terbuat dari
lempung. Kami terus melewati ruang pertemuan dan ruang makan yang besar. Di
dalamnya tampak para pekerja masih sibuk bersih-bersih untuk makan siang.
Ruang kerja Mr. Farraday terletak di ujung koridor yang panjang. Sepatu-sepatu
kets kami berdebam keras di atas lantai kayu, saat kami berjalan cepat
menyusuri koridor. Dua orang pembimbing berseragam hijau melewati kami, menuju arah yang
berlawanan. "Bagaimana permainannya?" salah satu dari mereka bertanya
dengan sopan. Kami tidak menjawab. Kami melewati sebuah ruangan yang pintunya ditulisi dengan: ASISTEN
KAMP. Ini pasti ruang kerja Alonso, pikirku.
Ruangan yang lain diberi tulisan JANGAN DEKAT-DEKAT! yang dicetak di
atas pintunya. Pintu ruang kerja Mr. Farraday tertutup rapat.
Meredith dan Elizabeth merasa ragu. Kuangkat tinjuku untuk mengetuk pintu.
Tapi kubiarkan kepalan tanganku tergantung di udara ketika mendengar teriakan
pertama. Jeritan ngeri yang disertai kepanikan. Juga kesakita. Dari dalam ruangan itu.
Diikuti dengan jeritan menyeramkan lagi.
Aku menelan ludah dengan susah payah, lalu berpaling kepada yang lain.
"Jeritan itu... kedengarannya sungguhan," bisikku.
15 SATU jeritan lagi membuatku melompat menjauhi pintu.
Lalu sunyi. Kami berempat berpandang-pandangan. Apa yang mesti kami kerjakan"
Apakah kami sebaiknya kabur saja dan berpura-pura tidak mendengar apa pun"
Atau apakah sebaiknya kami menyelidikinya"
Kuangkat tanganku lagi dan mengetuk pintu.
Sunyi. Aku mengetuk lagi. "Ada orang di dalam," bisik Elizabeth. "Kenapa mereka tidak mengatakan
sesuatu?" Sebelum aku sempat menjawab, daun pintu terbuka dengan bunyi berderit.
"Siapa itu?" sebuah suara bertanya. Suara Mr. Farraday.
Ia mengintip dari balik pintu. Lalu daun pintu itu terbuka beberapa inci lagi.
Mr. Farraday menyembulkan kepalanya.
Mulutku ternganga saat menatapnya. Wajahnya merah menyala. Keringat
membasahi keningnya. Janggutnya basah kuyup oleh keringat. Napasnya
tersengal-sengal. "Mr. Farraday?" aku memulai. "Anda baik-baik saja?"
Ia membutuhkan beberapa waktu sebelum dapat menjawab. Ia memaksakan
dirinya untuk tersenyum dan dengan punggung tangan ia menyeka keringat dari
keningnya. "Cuma sedang... mempersiapkan beberapa trik film," katanya.
"Jeritan-jeritan tadi ?" tanya Elizabeth.
"Efek suara," jawabnya buru-buru. Ia kembali menyeka keringatnya. "Kalian
tahu, aku punya koleksi berbagai jenis jeritan." Ia terkekeh. "Jeritan untuk
berbagai situasi." Ia menatap kami lekat-lekat, seolah-olah ingin memaksa kami mempercayainya.
Tapi aku tak percaya ucapannya. Jeritan-jeritan itu terlalu nyata. Dan sekujur
tubuhnya gemetaran dan mandi keringat.
Apa yang dilakukannya di dalam ruangan itu" Aku harus tahu. Kuulurkan
tanganku... dan kudorong daun pintu itu lebih lebar lagi.
Kami berempat kaget setengah mati saat melihat dua makhluk berjongkok di
bagian belakang ruang kerja itu. Apakah mereka manusia" Atau binatang"
Mereka memiiki kepala bulat botak berwarna hijau melon, sepasang mata hitam
kecil di atas moncong kadal yang panjang, serta tubuh hijau yang gemuk
dengan perut gendut. Mereka menundukkan kepala dan mengeluarkan suara mengendus-endus yang
keras saat pintu terempas terbuka. Apakah mereka menangis"
Aku terenyak waktu melihat bahwa tangan dan kaki mereka dirantai ke tembok.
Mr. Farraday buru-buru menutup pintu. "Seharusnya kau tak melakukannya,
Andrew," katanya dingin.
"Tapi... makhluk apa sebenarnya mereka?" ujarku tercekat.
"Itu cuma monster buatan, tentu saja," jawabnya marah. "Apa kaupikir aku
menyimpan monster sungguhan di dalam ruang kerjaku?"
"Yah..." Kurasakan wajahku merah padam.
Mr. Farraday menyipitkan matanya dengan penuh ancaman. "Aku tidak suka
tukang ngintip dan biang kerok," Mr. Farraday berkata. "Kau penghuni Kabin Tiga,
ya, kan" Bersama-sama dengan dua biang keladi lainnya itu."
Gerhana Di Gajahmungkur 1 Wiro Sableng 022 Siluman Teluk Gonggo Arwah Candi Miring 2
^