Pencarian

Burung Gagak Bertuah 2

Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah Bagian 2


"Aku mau pergi," katanya kemudian. "Silakan duduk di bak itu sepanjang malam.
Aku punya kegiatan yang lebih menarik."
Ia mematikan lampu kamar mandi, padahal aku masih duduk di bak. Lalu
didorongnya aku keras-keras ke dalam bak.
"Kau perlu mandi, Wade," katanya.
"Hei!" protesku. "Dasar jelek!"
Aku keluar dari bak dan mengikutinya turun tangga. Kupandangi ia masuk ke
mobil Dad, lalu pergi. Senang-senanglah, Micah, pikirku. Sayang sekali kau tidak bawa topi, atau
kantong kertas untuk menyimpan rambutmu!
Aku ingin tertawa rasanya. Aku punya film, tidak, ya, di dalam kameraku"
Akan kutunggu dia pulang, lalu kupotret begitu dia masuk. Aku perlu foto
kepalanya yang besar dan botak untuk kusimpan.
Kubawa kameraku ke bawah dan aku duduk di depan TV dengan agak kecewa.
Sayang sekali rambut Micah tidak mulai rontok sebelum ia keluar dari rumah.
Malam ini akan sangat menyenangkan bagikul kalau mantera itu bekerja.
Lucu juga membayangkan Micah dan Sophie. Kubayangkan Sophie menyentuh
rambut Micah, dan tahu-tahu sejumput rambut lepas di tangannya.
Mungkin ia akan menjerit!
Bagus sekali. Aku pergi ke dapur, membuat semangkuk besar popcorn. Lain aku kembali ke dekat
TV. Dengan setengah melamun aku nonton acara dunia binatang, tentang penguin-
penguin paling lucu di dunia. Pikiranku separuh melayang pada Micah, sambil
asyik memasukkan popcorn ke mulutku.
Baru beberapa saat kemudian aku merasa ada yang aneh.
Kumasukkan tanganku ke mangkuk popcorn. "Hei!" Popcorn itu melekat di tanganku.
"Ada apa ini?" Kupandangi tanganku. Terus memandangi. Terus...
Lalu aku menjerit nyaring karena ngeri.
15 AKU membungkuk di kursi. Mangkuk itu jatuh dan isinya berantakan ke lantai
Aku tidak peduli. Kucengkeram tanganku dan kucabuti butir-butir popcorn yang melekat, lalu
kudekatkan ke wajahku dan kuamati dengan ngeri.
"Tidak ini aneh sekali." protesku.
Di punggung tanganku mendadak tumbuh helai-helai rambut hitam pendek. Di
kedua tanganku malah. Masih pendek, seperti janggut laki-laki.
Kugosok-gosok rambut itu. Rasanya kaku dan tajam.
Kusibakkan lengan kemejaku.
"Tidaaaak!" teriakku ngeri. Lenganku juga penuh rambut
"Tidak, oh, tidak!" seruku
Dengan berdebar-debar aku lari ke cermin di lorong.
Aku bukan serigala jadi-jadian, kataku pada diri sendiri. Dan ini kan bukan
bulan purnama. Kerah kemejaku mendadak membuat leherku gatal. Aku membalikkan tubuh di
depan cermin. "Oh, tidaaak!" Rambut hitam tebal juga tumbuh di belakang leherku.
Bayang-bayang apa itu di bawah daguku"
Tidak! Ada rambut juga di situ.
Dengan ternganga kuangkat kedua tanganku di depan cermin. Sementara aku
bercermin, rambut-rambut hitam kaku itu terus tumbuh, semakin panjang dan
tebal, seperti bulu beruang.
"Aaaah!" teriakku lagi ketika di dahiku juga tumbuh rambut.
Perutku bergolak dan makan malamku rasanya akan keluar lagi.
Dari dalam telingaku juga mencuat helai-helai rambut hitam.
"Iris!" seruku. "Ini gara-gara Iris lagi."
Bagaimana ini bisa terjadi" Kenapa ia gagal lagi"
Rambut hitam lurus itu menutupi mataku, seperti poni. Rambut di kedua lenganku
mencuat di bawah bagian lengan kemejaku.
Aku mengenakan celana pendek waktu itu. Aku menunduk dan melihat kakiku
Sudah berbulu seperti kaki gorila.
Tanganku! Tanganku tampak seperti cakar. Cakar binatang yang hitam berbulu.
Rambut-rambut ini tumbuh cepat sekali. Bayanganku di cermin sama sekali tidak
tampak seperti aku tagi Aku tidak lagi tampak seperti manusia.
"Aku aku sudah jadi semacam... makhluk aneh" seruku.
Aku berbalik dari cermrn, tidak tahan untuk melihat lebih lanjut.
"Iris," gerutuku. "Aku mesti mendatanginya."
Aku mulai berlari. Kedua kakiku bergesekan. "Ohhh." Memuakkan sekali rasanya.
Bulu bergesekan dengan bulu.
Mom dan Dad sedang duduk di patio belakang sambil minum es teh. "Aku mau jalan-
jalan," seruku pada mereka. "Tidak lama"
Aku lari ke garasi sebelum mereka sempat menoleh padaku. Aku melompat ke
sepeda Mom dan mencoba mengayuh.
"OWWW!" Bulu-bulu tebal itu tersangkut di jeruji sepeda.
Aku jatuh dan mendarat telentang.
Aku tidak bisa naik sepeda.
Aku bangkit berdiri. Sepatuku penuh bulu. Kusibakkan bulu tebal yang menutupi
mataku dan aku mulai berjalan kaki kerumah Carl.
Ketika menyeberangi jalan menuju blok berikutnya, kudengar suara gonggongan
anjing. Mulanya jauh, tapi lalu terdengar suara langkah kaki anjing di rumput.
Aku menoleh. Seekor Labrador hitam yang besar menggonggong ribut dan
mengitariku dengan gerakan hendak menggigit.
"Pulang sana!" perintahku. "Anjing nakal! Pergi! Pulang!"
Kucoba mengusirnya dengan kedua lenganku yang berbulu.
Tapi anjing itu malah semakin bersemangat. Ia menggonggong keras dan terus
mengitariku. Kucoba berlari. Tapi kakiku berat oleh bulu-bulu panjang itu. Seluruh tubuhku
seolah beratnya ribuan kilo.
Seekor anjing lain lari ke arahku, mengendus-endus kakiku yang berbulu, lalu
mulai menggonggong nyaring dan marah.
"Pulang! Pulang sana!" ratapku.
Dua ekor anjing lagi muncul. Menggonggong berisik dan mengitariku.
Kembali aku mencoba berlari.
Seluruhnya ada enam anjing sekarang Galak, menggonggong, dan menggeram.
Apa yang akan mereka lakukan" Apa mereka akan menyerangku"
Aku benar-benar panik. "Aku bukan binatang!" teriakku. "Aku manusia. Pergi
sana! Pergi!" Kulihat rumah Carl sudah tampak di sebelah sana.
Tapi kelihatannya seperti jauh sekali.
Sekarang anjing-anjing itu menggeram Beberapa sudah menundukkan kepala dan
melengkungkan punggung, bersiap-siap menyerang.
Mereka mengira aku beruang rupanya.
Tentu saja, aku memang mirip beruang.
"Pergi! Pulang!" pintaku.
Anjing Labrador itu menggeram nyaring, lalu melompat.
Cakar depannya menghantam bahuku yang berbulu dan tubuhnya yang berat
membentur tubuhku. Sambil menjerit, aku jatuh ke tanah, tertindih anjing itu.
"Tidak! Stop! Pergi! Pergi!" teriakku.
Terdengar geraman dan lolongan di sekelilingku. Aku berusaha bangkit berdiri,
tap seekor anjing herder menundukkan kepala dan menyerudukku jatuh ke rumput.
Lalu, sambil menggeram dan mengendus, semua anjing itu menyerbuku.
Aku merasakan embusan napas panas di wajahku dan gigi-gigi yang menarik-narik
buluku. Mereka terus menyerangku.., terus...
Tahulah aku bahwa riwayatku akan tamat.
16 Di tengah geraman anjing-anjing itu kudengar suara teriakan nyaring.
Anjing-anjing itu juga mendengar Mereka berhenti menggonggong dan
menggeram. Beberapa melepaskan gigitan mereka dan memiringkan kepala untuk
mendengarkan. Cahaya kuning menyorot di rumput.
"Pergi! Pergi! Husss!" teriak seseorang.
Anjing-anjing itu ragu. Mereka menoleh ke arah cahaya tersebut.
"Pergi! Cepat!"
Ya. Semua anjing itu akhirnya berbalik dariku dan pergi, menyebar ke segala
arah. Dengan kepala pusing dan jantung berdebar-debar aku bangkit dengan bertelekan
pada satu sikuku yang berbulu. Kulihat Carl melompat dari beranda dan
mendekatiku perlahan-lahan.
"Wah!" katanya.
Lalu kulihat ia mengambil penggaruk rumput dan mengacungkannya untuk
dijadikan senjata. Aku berlutut dan mengibaskan rumput serta dedaunan yang melekat di bulu-
buluku. Carl terus memandangiku sambil berjalan mendekat. Penggaruk itu tampak tegang di
tangannya, siap untuk diayunkan.
"Tenang, tenang," katanya padaku "Kau lepas dari bonbin, ya?"
Aku ingin menjawab, tapi tersedak.
Aku berdeham dulu, dan mengibaskan bulu di mataku.
"Tenang, tenang," kata Carl takut-takut.
"Tidak usah bilang tenang, tenang!" bentakku. "Kau ini kenapa, sih" Ini aku!"
"Hah?" Penggaruk di tangannya terjatuh dan menimpa kakinya. Ia mengernyit
kesakitan, tapi matanya tetap terarah padaku.
"Kau... kau bisa bicara?" tanyanya terbata-bata.
"Ini aku! Wade!" kataku.
Carl terkesiap lagi, matanya seperti akan melompat keluar dari balik kacamatanya
"Wade?" "Ini gara-gara Iris," kataku sambil menunjuk tubuhku yang berbulu.
Aku bangkit berdiri. Tidak mudah. Bulu-bulu ini sudah semakin panjang. Aku jadi
tampak seperti tumpukan jerami berwarna hitam.
"Kau.... kau... kau..."
"Iris gagal lagi," aku menjelaskan. "Mestinya dia membuat Micah menjadi botak."
"Anjing-anjing itu." kata Carl.
"Mereka mengira aku beruang," kataku, "atau mungkin seekor anjing yang sangat
jelek." "Kita mesti bagaimana?" seru Carl
"Tebak saja," kataku ketus "Kita kembali ke tempat Iris."
*** Tapi itu tidak mudah. Kami berjalan dalam bayang-bayang yang paling gelap. Kucoba menyembunyikan
diriku dari semua orang. Banyak sekali anjing yang mengikuti kami sambil mengendus-endus dan menarik-
narik buluku. Carl mencoba mengusir mereka, tapi tidak begitu berhasil.
Di luar batas kota, beberapa remaja yang naik van mulai mengikuti kami sambil
berseru-seru dari jendela, tertawa-tawa dan melemparkan gurauan konyol tentang
aku. Ketika Carl membentak mereka, semuanya tertawa, lalu melaju pergi.
Lalu terdengar sirene mobil polisi di jalan.
"Pasti ada yang melaporkan melihat makhluk aneh," seruku. "Sembunyikan aku!
Di mana aku bisa bersembunyi ?"
"Kau terlalu besar untuk bersembunyi," kata Carl.
Ia benar. Buluku yang panjang dan tebal membuatku tampak sebesar beruang
raksasa. Dua mobil polisi melaju ke arah kami dengan sirene meraung-raung.
Tak ada waktu untuk lari ataupun bersembunyi.
Aku terpaku, menunggu mereka berhenti.
Menunggu.. terus menunggu.
Tapi mobil-mobil itu melaju melewati kami.
Dengan berdebar-debar kupandangi lampu sirene itu sampai kedua mobil tersebut
tidak tampak lagi. "Kita mesti cepat," kataku pada Carl. Bulu-bulu itu masih terus tumbuh Berat
sekali rasanya. Tidak lama lagi aku tidak akan bisa jalan lagi.
Akhirnya kami berhasil mencapai taman trailer itu dalam dua puluh menit. Kali
ini aku ingat persis di mana Iris tinggal.
Aku terengah-engah dan berkeringat Aku harus terus menyibakkan bulu tebal yang
menutupi mataku, supaya aku bisa melihat.
Carl mengetuk pintu trailer .
Pintu itu membuka Di dalam hanya ada kegelapan.
"Iris?" panggilku "Iris" Kau ada di rumah?"
"Awwwk" terdengar suara Maggie. Satu-satunya jawaban
Aku melongok ke dalam. "Ada orang, tidak?" panggilku lagi.
Tak ada jawaban. "Kita masuk saja," saran Carl.
Aku ragu. "Kita tidak bisa masuk kalau Iris tidak ada di rumah," kataku.
Kutarik seekor lalat dari lenganku yang berbulu "Iih, Carl... kurasa aku mulai
kena kutu." "Ayo kita masuk saja," ajak Carl lagi "Kita gunakan Maggie. Kita bisa
membuatmu kembali normal, tanpa bantuan Iris."
"Mungkin...," kataku pelan.
Carl masuk ke trailer yang gelap itu. "Ayo, tidak usah takut."
Tidak usah takut" Lalu kenapa perasaanku sangat tidak enak"
17 "0H!" Aku menubruk sisi pintu trailer. Bulu-buluku s?dah tebal sekali, hingga
aku tampak seperti bola berbulu raksasa. Terlalu besar untuk mendesak masuk ke
trailer Iris. Dengan mengerang aku memaksakan maju, dan lagi-lagi tertumbuk kerangka
pintu. Seluruh trailer itu berguncang.
"Carl, aku terlalu besar. Aku tidak bisa masuk" teriakku.
Carl melongok padaku dari ambang pintu yang gelap. "Miring saja," perintahnya,
"Coba berjalan miring"
Dengan susah payah aku memiringkan tubuh, lalu memaksakan diri masuk.
"CAAAAAW!" Miaggie mengeluarkan teniakan nyaring yang menyeramkan,
seolah memperingatkan kami untuk menjauh. Suara itu membuat bulu-buluku
berdiri. "Mana lampunya?" tanya Carl. Ia kedengaran tegang dan takut. "Cari lampu atau
apalah." Aku menabrak meja. Sesuatu yang berat jatuh ke lantai dengan suara keras.
Carl dan aku menjerit. "Tenang! Tenang!" kata kami berbarengan.
"CAAAAW!" Lagi-lagi teriakan nyaring dan Maggie di kegelapan.
"Kenapa burung itu kedengarannya seperti manusia?" tanya Carl pelan.
"Iris?" panggilku "Iris" Kau ada di kamar?"
Tidak ada jawaban. Aku menabrak entah sofa atau kursi. "Aduh" Saat aku menjerit, kegelapan pekat
menyelubungiku. Ruangan yang sudah gelap itu semakin gelap.
"Carl, aku tidak bisa melihat" seruku.
Baru beberapa saat kemudian kusadari bahwa bulu-buluku yang berat
menyelubungi mataku. Kusibakkan dengan cakarku yang juga berbulu.
"Aku... aku tidak tahan lagi, nih," kataku terbata-bata.
Cahaya kuning menyiram seisi ruangan. Carl sudah menemukan lampu meja
rupanya. Maggie melompat-lompat penuh semangat di tempat bertengger dari kayu di
kandangnya. "Kita mesti cepat," kataku pada Carl. Suaraku teredam oleh bulu tebal di
wajahku. "Aku berat sekali hampir tak bisa napas."
Carl melintasi ruangan yang penuh sesak itu dan menyambar pegangan kandang
Maggie. Burung itu melompat-lompat dan berbunyi terus, seperti memprotes.
"Cepat," kataku "Aku aku kehabisan napas di sini."
Carl menaruh kandang itu di meja, lalu membuka pintunya dan mengeluarkan si
burung gagak. Diletakkannya gagak itu di telapak tanganku yang berbulu.


Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ucapkan permintaanmu," kata Carl. "Lalu gosok-gosok burung itu. Kau sudah
tahu caranya. Kau pasti bisa melakukannya."
"Mudah-mudahan," gumamku pelan.
Kupejamkan mataku. Dengan jantung berdebar kencang kucoba memikirkan, apa
yang akan kuminta. Hilanglah, pikirku. Bulu-bulu, hilanglah.
Kugosok-gosokkan tanganku yang berat di punggung Maggie. Sekali, dua kali...
tiga kali. Lalu aku membuka mata. Maggie memiringkan kepala dan memandangiku dengan
satu mata hitam berbinar-binar. Ia mengamatiku dengan saksama, matanya
gemerlapan seperti permata hitam.
Kupaksakan diri mengalihkan pandang. "Tidak terjadi apa-apa," keluhku.
"Tunggulah sebentar," kata Carl.
Dibawanya kembali gagak itu ke kandangnya, diletakkan di tempat bertenggernya,
lalu ditutupnya kembali pintu kandang.
"Aku tidak punya banyak waktu," kataku berbisik. "Terlalu berat... aku terlalu
berat." Lututku gemetar, kakiku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Aku merasa seperti
terbenam di bawah gunungan bulu hitam. Terbenam ke lantai.
"Kenapa tidak terjadi apa-apa" Kenapa?" ratapku.
Carl menelan ludah "Tunggu sebentar, Wade. Baru beberapa detik, kan?"
"Ambilkan gagak itu lagi," perintahku "Akan kucoba lagi. Akan kuucapkan
permintaan yang berbeda. Sepuluh permintaan yang berbeda"
Carl tidak menjawab. Juga tidak beranjak.
"Carl?" seruku. "Ada-apa?"
Kusibakkan bulu tebal di depan mataku. Carl sedang menunduk. Apa sih yang
dipandanginya" "Carl!" teriakku "Kau sedang apa" Ada apa sih?"
"Ini. " Matanya tampak terbelalak di balik kacamatanya. Bahkan dalam cahaya
lampu yang remang-remang itu aku bisa melihat ekspresi ketakutan di wajahnya.
"Wade," gumamnya sambil menyodorkan kedua tangannya padaku.
"Aduh, tidak!" Aku terkesiap.
Kupandangi rambut hitam tebal yang tumbuh di punggung tangan Carl.
18 "BULU-BULU ini... tumbuh terus," kata Carl. Ia menurunkan tangannya dan
menatapku dengan marah. "Kenapa, Wade" Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Bukan aku!" protesku. "Ada yang tidak beres. Mungkin gara-gara gagak konyol
itu. Mungkin..." Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku.
Teriakan keras dari pintu yang terbuka di belakang kami membuat kami terlompat.
Aku berusaha memutar tubuh, tapi terlalu berat. Aku tak bisa bergerak.
"Itu Iris," kata Carl ketakutan.
Iris masuk dengan marah ke dalam trailer. Gaun ungunya yang panjang menyapu
lantai di belakangnya. "Siapa kalian" Sedang apa kalian di sini?" tuntutnya.
"Ini aku," erangku "Wade"
"Kami ditumbuhi bulu," seru Carl sambil mengangkat kedua tangannya yang
berbulu. "Kau mesti menolong kami"
Iris ternganga. Ia mencengkeram sejumput bulu di tubuhku dan menariknya.
"Aduh" teriakku.
"Astaga!" gumam Iris. Ia mundur selangkah, memandangi aku dan Carl
bergantian. "Aku tidak bisa bernapas gara-gara bulu ini," kataku susah payah. "Dan rasanya
panas sekali. Tolong dong!"
"Ya, tolong," kata Carl. Di belakang lehernya sudah tumbuh bulu panjang, dan
dari bawah hidungnya juga mulai bermunculan bulu-bulu hitam.
"Lagi-lagi aku membuat kesalahan," kata Iris sambil geleng-geleng kepala.
"Itulah susahnya kalau baru membuka usaha. Perlu waktu untuk memahirkan diri,
biar kutu-kutunya keluar dulu semuanya."
"Jangan sebut-sebut kutu," gumamku. Aku tahu bulu-buluku penuh dengan kutu.
Mendadak lututku tidak tahan lagi. Aku terperenyak ke lantai.
"Aku tidak bisa napas... ," erangku. "Bulu-bulu ini membuatku sesak napas. Aku
tidak bisa melihat."
Kudengar Iris melintasi ruangan, sementara Maggie berkoak nyaring.
"Aku akan mencoba mantra lain," kata Iris. "Yang bisa bekerja cepat."
"Tadi aku sudah mencoba" kataku.
Iris terperanjat. "Mestinya kau tidak main-main dengan Maggie, Wade.
Kuperingatkan Bisa berbahaya. Tidak semudah kelihatannya. Ada peraturannya..."
"Tolong," kataku. "Cepat."
Hening sejenak. Kudengar derit pintu kandang yang dibuka, lalu kepak sayap Maggie.
Lalu hening lagi. Dan aku mulai gatal. Aduh, tidak, pikirku. Iris membuatku kegatalan lagi, padahal aku penuh bulu
begini. Aku bisa mati kegatalan.
Tapi... tidak. Bulu-bulu itu tertarik ke atas, terangkat dari mataku.
Mendadak aku merasa lebih ringan. Aku duduk tegak.
Kedua lenganku gatal. Kakiku juga. Seluruh tubuhku.
Sebab bulu-bulu itu terserap masuk KE DALAM kulitku.
Aku duduk di lantai dengan sangat bingung. Kurasakan bulu-bulu itu masuk semua
ke dalam tubuhku, semakin kecil dan semakin kecil, seolah-olah ada orang yang
me-rewind video tentang bulu yang tumbuh.
Tak lama kemudian Carl dan aku saling pandang. Kami sudah kembali normal.
Kugosok-gosok lenganku. Mulus. Kugosok-gosok belakang leherku. Bebas dari
bulu. Aku merasa sangat ringan. Seringan kapas.
Carl menarikku berdiri. Kami bersorak gembira.
Masih sambil memegang Maggie di tangannya, Iris rnenggelengkan kepala dengan
prihatin "Maaf," gumamnya. "Aku menyesal sekali."
"Apa ini berarti Micah tidak jadi botak malam ini?" tanyaku.
"Aku gagal," desah Iris. "Aku berutang satu percobaan lagi padamu."
Aku ragu-ragu. Sejauh ini pembalasan dendamku selalu gagal. Apa sebaiknya
kubatalkan saja gagasan ini"
"Kurasa aku tahu masalahnya," kata Iris dengan serius. Ditaruhnya Maggie di
bahunya. "Kurasa kau mesti pulang. Kalau kau tidak ada di sini, mantra itu akan
bekerja pada kakakmu... bukan padamu"
"Baiklah," aku setuju. "Kurasa kita mesti mencoba satu kali lagi."
Sayang sekali kalau aku sudah begitu menderita, tapi belum juga berhasil
membalas dendam pada Micah.
"Tapi, apa yang akan kaulakukan padanya?" tanyaku.
Seulas senyum misterius terkembang di bibir Iris yang hitam "Aku akan membuat
segala kesulitanmu lenyap," katanya.
"Apa?" seruku "Apa maksudmu?"
"Jangan dipikirkan," sahut Iris, masih tersenyum. Pulang saja dan tenanglah.
Kali ini kau akan senang, Wade. Aku janji."
Tak lama kemudian, Carl dan aku memulai perjalanan panjang kami untuk pulang.
Aku senang sekali sudah kembali normal, tidak diberati oleh sekian kilo bulu.
Tapi aku masih tetap cemas.
Lenyap" pikirku. Apa maksud Iris mengatakan akan melenyapkan semua kesulitanku"
19 "JANGAN cemas, Wade" Mom mengecup dahiku. "Micah akan mengurusmu. Iya, kan,
Micah?" "Ya," sahut. Micah Ia mengacak-acak rambutku, pura-pura sayang padaku.
Saat itu satu hari sesudah bulu-buluku hilang. Mom dan Dad masuk ke dapur
dengan membawa koper, dan mengatakan mereka akan pergi semalaman.
"Menginap romantis di tepi pantai," kata Dad. "Hanya ibumu dan aku"
"Manis sekali, bukan?" kata Mom senang.
Ya, manis sekali, pikirku sebal.
Aku tidak keberatan mereka pergi semalaman, tapi aku tidak suka ditinggalkan
bersama Micah. Berada di bawah belas kasihannya. Tanpa ada yang bisa mencegah
kalau ia mulai menyiksaku.
"Senang-senanglah." Micah tersenyum. Aku yakin ia sudah tak sabar ingin
memonopoli rumah. "Akan kupastikan Wade tidak membakar habis rumah ini."
Mom mengecup pipinya. Perutku mual melihatnya
"Kami sudah membuat daftar tugas untuk kalian." Dad menunjuk sepotong kertas
di atas meja. "Masing-masing melakukan setengahnya. Jangan sampai tidak. Akan
kuperiksa kalau aku pulang nanti."
Aku melihat daftar itu. Panjang sekali.
"Tidak boleh ada pesta," kata Mom sambil mengangkat kopernya. "Micah, kau
boleh pakai mobilku kalau perlu. Tapi jangan pulang terlalu malam. Dan jangan
lupakan adikmu." "Kalau aku punya mobil sendiri," kata Micah.
"Jangan dimulai, Micah," Dad mengingatkan "Sampai besok. Kami akan pulang
pagi-pagi sekali." Kupandangi mereka pergi. Kenapa mereka melakukan ini padalu" Kenapa mereka
meninggalkan. aku di sini bersama Micah si J-A-H-A-T?"
Ah, tapi mungkin lebih baik kalau mereka pergi, pikirku, sehingga mereka tidak
melihat pembalasanku terhadap Micah... apa pun bentuknya.
Aku bertanya-tanya, mantra apa yang dilemparkan Iris padanya" Kapan mantra itu
mulai bekerja" Sejauh ini Micah tampak normal-normal saja, seperti biasa.
Tahu-tahu ia mencekal leherku. "Sudah siap bersenang-senang, Wade?"
Dieratkannya cengkeramannya, hingga aku nyaris tersedak.
"L-lepaskan," kataku.
Ia menggelitik bawah lenganku. Aku benci digelitik.
"Hentikan" teriakku. Aku meliuk menjauh.
Micah mengambil daftar tugas itu dan mengacungkannya di depanku.
"Sebaiknya kau mulal mengerjakan tugas-tugasmu. Jangan lupa, Dad akan
memeriksa hasilnya besok."
"Tugas-tugasku?" seruku "Kenapa semua mesti aku yang mengerjakan?"
"Aku terlalu sibuk," sahut Micah.
"Aku tidak mau," kataku sambil mendorong daftar itu kepadanya "Kau tidak bisa
memaksaku." "Bisa saja," katanya jahat.
"Bagaimana caranya?" tanyaku nyaring.
"Dengan foto kecil ini." Micah melambaikan. Sebuah foto Polaroid di depan
wajahku. "Sini kulihat" kataku "Foto apa itu?"
Ia memegang foto itu tinggi-tinggi di atas kepalaku. "Apa kau tidak mendengar
aku menyelinap masuk ke kamarmu tadi pagi?" Micah tersenyum lebar,hingga aku
ingin menonjoknya. "Hah" Apa?" teriakku.
"Kau sedang tidur nyenyak," kata Micah "Sambil mendengkur. Cuma pakai celana
dalam. Sambil ngiler. Lalu kau kufoto."
Aku gemetar karena marah. Tak kukira ada orang sejahat dia.
"Yang benar saja!" teriakku.
"Sungguh!" Micah memperlihatkan foto itu sejenak. Sekali lihat sudah cukup
untuk membuatku terpana. Benar, itu fotoku, sedang tidur dengan mulut terbuka dan meneteskan air liur di
dagu. Dan aku cuma pakai celana dalam.
"Berikan padaku!" teriakku sambil mencoba menyambar foto itu. Sambil tertawa,
Micah menjauhkannya dari jangkauanku.
"Sebaiknya kau mulai bekerja. Kalau tugas-tugas itu tidak selesai nanti malam,
Steve Wilson akan mendapat kiriman foto yang indah ini besok."
"Dasar monster" teriakku "Aku benci padamu! Benci! Semoga kau lenyap dan
tidak pernah kembali lagi."
Malam itu permintaanku terkabul.
20 SESUDAH makan malam, Micah melompat bangkit. "Cuci piring," perintahnya
"Aku mau pergi."
"Pergi?" seruku "Ke mana?"
Ia memasang tampang mengejek padaku. "Memangnya itu urusanmu" Tidak usyah
ya." Disambarnya kunci mobil Mom, lalu ia beranjak ke pintu "Tidak usah
menungguku." Tak lama kemudian kudengar mobilnya melaju pergi.
Carl datang setelah aku selesai memasukkan piring-piring kotor ke mesin cuci
piring. "Bagaimana Micah?" tanyanya "Apa dia punya lengan tambahan" Atau
bulu hidungnya tumbuh sampai ke dagu?"
"Tidak terjadi apa-apa padanya," sahutku. "Dia kesandung tadi siang. Cuma itu."
Carl mencoba menghiburku. "Mungkin mantranya belum bekerja. Aku yakin dia
akan tertimpa sesuatu yang hebat malam ini."
"Mudah-mudahan," desahku "Kuharap demikian."
*** Setelah Carl pulang, kucoba menunggu Micah.
Tapi pukul sebelas malam aku sudah sangat mengantuk.
Aku mengganti-ganti saluran TV dan memaksakan mataku untuk tetap terbuka.
Tapi pada tengah malam aku menyerah dan pergi tidur.
Kumatikan semua lampu. Biar saja. Mudah-mudahan Micah jatuh atau terbentur
dalam gelap. Aku tidur dengan gelisah, setengah terjaga untuk mendengarkan Micah pulang.
Suatu saat, aku bermimpi aneh.
Dalam mimpiku aku melihat Maggie. Sebersit cahaya merah darah bersinar di
bulu-bulunya yang hitam. Ia mengepak-ngepakkan sayapnya. Sekali, dua kali, tiga kali dan berubah menjadi
seorang gadis. Aku tidak mengenalinya. Aku belum pernah melihatnya.
Gadis itu berputar tiga kali... dan berubah menjadi Iris!
Dalam mimpiku aku memanggil-manggil Iris. Iris! Tolong aku! Iris mengulurkan
tangan... lalu berhenti. Ia menggosok-gosok rambut hitamnya yang panjang mengilap tiga kali... dan
berubah menjadi si burung gagak! Burung itu membuka paruhnya lebar-lebar dan
mengeluarkan tiga jeritan memekakkan telinga.
"YAAAIII!" Aku terbangun sambil menjerit. Aku duduk tegak dan mereguk udara banyak-
banyak. Wah! "Mimpi yang aneh sekali," gumamku.
Cahaya matahari pagi memancar masuk dan jendela kamarku. Aku pasti
kesiangan. Apa Micah masih tidur"
Aku turun dari ranjang, cepat-cepat berpakaian, dan berjalan ke kamar Micah.
Pintunya tertutup. Aku mengetuk.
Tidak ada jawaban. Aku mengetuk lebih keras.
Tetap tidak ada jawaban. Kubuka pintu itu. Kamarnya gelap. Aku menyalakan lampu.
Ranjangnya kosong. Masih rapi.
Ia tidak tidur di situ semalam. Tidak pulang.
Apa ia begadang dengan salah satu temannya" Apa ia pergi semalaman tanpa
menelepon" Ia tidak akan berani berbuat begitu kalau Mom dan Dad ada di rumah.
Kuambil buku alamat Micah, lalu aku turun dan menelepon semua temannya.
Tidak ada yang melihatnya semalam.
Akhirnya aku menelepon teman baik Micah, Ryan. "Ini Wade. Apa Micah
menginap denganmu semalam?" tanyaku.
"Tidak," sahut Ryan. "Mestinya kami bertemu di rumahku. Tapi Micah tidak
muncul." Tidak muncul" Rasa takut mencekam hatiku.
Sekonyong-konyong aku tahu apa yang terjadi.
Iris. Iris telah melenyapkan semua kesulitanku.
Iris membuat kakakku lenyap.
Aku berdiri di tengah dapur dengan gemetar, masih memegang telepon.
Micah sudah lenyap. Selamanya.
Dan semua itu kesalahanku.
Aku merasa mual. Lalu kudengar suara dari arah jalan masuk.
Suara mobil. Aku bergegas ke jendela. Mom dan Dad sudah pulang.
Apa yang akan kukatakan pada mereka" Apa"
21 MOM dan Dad menaruh koper mereka di pintu belakang dan mengecupku.


Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana Micah?" tanya Dad.
"Dia... eh... dia."
Aku mesti bilang apa" Mengatakan yang sebenarnya"
Tidak, aku tak bisa. "Kurasa dia pergi kerja lebih awal," dustaku. Aku mesti mencuri waktu. Mungkin
aku bisa mencari cara untuk mengembalikan Micah sebelum orangtuaku tahu.
Dad melipat kedua lengannya. "Ini hari Sabtu, Wade," katanya tegas "Micah tidak
kerja pada hari Sabtu."
"Oh, wow." Jantungku berdebar kencang sekali, hingga aku tak bisa berpikir
jernih. "Uh dia pergi pagi-pagi, mungkin ingin membuat kejutan untuk Mom dan
Dad." Mom melotot padaku. "Jangan coba-coba melindungi dia, Wade. Dia tidak pulang
semalam, bukan?" Aku menunduk menatap lantai. "Yah..."
Dad tertawa. "Tidak pulang semalaman" Wah wah wah! Dia mirip aku dulu, ya?"
Mom mendorongnya dengan bercanda. "Tidak lucu. Micah mestinya tetap di
rumah, menjaga Wade."
"Aku... tidak apa-apa," kataku. Berbohong lagi.
"Tunggu sampai anak itu pulang," kata Mom dengan tegas. "Akan kuberi dia
teguran keras." Yeah, pikirku. Tunggu saja sampai dia pulang.... Mungkin akan sangat lama
Sangat lama. Aku hendak beranjak ke pintu.
"Wade, kau mau ke mana?" panggil Mom.
"Eh... aku mesti menemui seseorang," sahutku.
*** "Kau mesti mengembalikan Micah... sekarang juga!" kataku pada Iris. Aku
mondar-mandir di trailer kecil itu dengan jantung berdebar-debar, sambil
bertolak pinggang. Iris menyibakkan rambut panjangnya. "Mengembalikan dia" Kenapa?"
"Sebab... sebab...," aku terbata-bata marah.
"Kupikir kau akan senang," katanya.
"Senang?" teriakku. "Bagaimana dengan orangtuaku" Teman-teman Micah"
Seluruh keluarga kami" Semua orang akan sangat sedih. Keluarga kami akan
hancur. Tidak akan ada lagi yang sama seperti semula."
Iris memandangiku, lalu menggeleng. "Maaf, kau datang minta aku melakukan
pembalasan, dan aku sudah memberikan pembalasan yang sempurna."
"Sempurna apa?" ratapku. "Mengerikan! Apa kau tidak sadar akan apa yang
kaulakukan" Kakakku lenyap selamanya, dan semua itu gara-gara aku. Aku tidak
akan pernah bisa melupakan itu. Sepanjang sisa hidupku...'
"Lalu aku mesti bagaimana?" tanya Iris. "Mengembalikannya?"
"Ya, tentu saja!" teriakku "Kembalikan dia!"
Iris menyilangkan lengan di depan gaun ungunya "Maaf, aku tidak bisa."
"Tidak bisa?" teriakku lemah.
"Terlalu sulit," Iris menjelaskan. "Mantra itu sangat rumit. Perlu waktu berjam-
jam. Aku tidak yakin bisa membatalkannya."
"Tapi kau mesti mencoba," pintaku.
"Maaf sekali," kata Iris "Aku tidak bisa. Kau mesti pergi. Aku banyak urusan."
"Aku tidak mau pergi," sergahku. Aku duduk di kursi ungu besar di dekat tembok.
"Aku tidak akan pergi sebelum kau mengembalikan Micah"
"Itu tidak mungkin," kata Iris dengan tegas. "Tidak bisa gratis. Aku sudah
berbuat sebisanya untukmu, Wade Dengan gratis."
Kupandangi ia lekat-lekat "Maksudmu..."
Mata Iris berkilat-kilat. "Aku bisa mengembalikan kakakmu dengan selamat,
tapi... ada harganya." Aku menelan ludah. Aku sudah tahu akan seperti ini. Iris sudah memperingatkan bahwa cepat atau
lambat aku mesti membayar untuk mantra-mantranya.
"Apa kau benar-benar ingin kakakmu kembali?" tanya Iris sambil mendekatkan
tubuh, matanya mendadak berbinar-binar senang. "Apa kau siap membayar
harganya?" Aku tak punya pilihan. "Baiklah" desahku. "Apa yang mesti kulakukan, Iris?"
22 "AKU tidak akan membohongimu Apa yang kuminta kaulakukan ini sangat
berbahaya," kata Iris "Kau bisa berakhir seperti... kakakmu."
Aku terkesiap. "Maksudmu aku bisa lenyap juga?"
Ia mengangguk. Di belakangnya, Maggie melompat-lompat di tempat bertenggernya. Tapi
kemudian burung itu mendengarkan dalam diam.
"Kau pulang saja," kata Iris dengan lembut "Kau tak perlu membahayakan
hidupmu." "Tidak," sahutku, sambil berusaha menghentikan gemetar kakiku. Kusilangkan
kedua kaki rapat-rapat, lalu kucengkeram pegangan kursi erat-erat. "Aku mesti
mendapatkan Micah kembali. Katakan, apa yang mesti kulakukan."
Iris mendesah. "Kau sendiri yang meminta ini. Ingat-ingat itu."
Ia berdeham. "Aku punya saudara kembar," katanya. "Namanya Paula. Dia tinggal di
sebuah rumah kosong di bagian lain kota. Di daerah yang bagus, di ujung
Andover Street. Mungkin kau tahu rumah itu?"
Hah" Aku tahu rumah yang dimaksud Iris. Rumah itu terletak di dekat rumahku.
Aku melewatinya setiap hari, dalam perjalanan ke sekolah. Rumah itu gelap dan
sangat menakutkan. Carl menyebutnya Rumah Mati. Bukan karena rumah itu penuh dengan hantu -
meski kelihatannya memang begitu - tapi karena rumah itu sendiri tampak mati...
kelabu, rusak, dan membusuk seperti mayat.
"Saudaramu tinggal di rumah itu?" tanyaku "Kupikir tidak ada orang tinggal di
situ." "Dia tinggal di situ," kata Iris. "Aku sudah bertahun-tahun tidak bicara
dengannya, sebab dia jahat. Tapi aku selalu mengikuti jejaknya. Aku tahu dia
tinggal di rumah itu."
"Saudaramu itu jahat?" kataku.
Iris mengangguk serius "Dia juga punya kekuatan sihir seperti aku, tapi dia
tidak menggunakannya untuk tujuan yang baik. Dia memakai kekuatannya untuk
mencelakakan orang, mengubah orang menjadi benda mati, binatang, monster...
sekadar untuk senang-senang saja."
Aku merinding ngeri. "Kenapa kau menceritakan tentang dia padaku?" tanyaku.
Iris tidak mengacuhkan pertanyaanku. Ia memejamkan mata dan melanjutk?n
ceritanya. "Dulu aku punya dua burung gagak. Maggie dan Minnie. Minnie-lah yang bertuah,
yang punya kekuatan. Itu sebabnya saudaraku mencurinya."
Di kandangnya, Maggie berkaok-kaok dengan suara keras, seolah-olah mengerti
cerita Iris. Iris mendekatkan tubuh padaku. "Kalau kau ingin kakakmu kembali, Wade, kau
mesti melakukan tugas berbahaya untukku. Kau mesti menyelinap masuk ke rumah
saudaraku. Gunakan akal dan semua kecerdikanmu. sebelum Paula menggunakan
kekuatan jahatnya padamu. Ambilkan Minnie untukku."
"Tapi... kalau aku tidak bisa?" tanyaku dengan suara gemetar ketakutan.
Iris menjawab dengan berbisik, "Tanpa Minnie, aku tak bisa mengembalikan
kakakmu" "Tapi, kapan?" Aku tak bisa melanjutkan.
Iris menarikku dari kursi dan mendorongku ke pintu. "Pergilah sekarang juga,"
katanya. "Pergi sekarang , Wade. Saudaraku biasanya tidur sepanjang siang,
supaya bisa menggunakan kekuatan jahatnya sepanjang malam."
Aku melangkah keluar "Tapi, Iris," kataku, "kalau aku tertangkap."
"Semoga berhasil."
Iris menutup pintu trailer- nya .
23 AKU berhenti di rumah Carl. Aku hendak memintanya ikut denganku ke rumah
seram itu. Tapi Carl tidak ada di rumah. Ibunya mengingatkanku bahwa setiap Sabtu pagi
Carl punya kegiatan dengan Little League.
Jadi, aku mesti pergi sendirian.
Saat berjalan menyusuri dua blok, jantungku berdebar kencang dan kakiku
gemetar, seolah terbuat dari karet.
"Kau tidak bisa mundur," kataku pada diriku sendiri. "Kau mesti melakukannya.
Mesti." Kupaksakan diriku melangkah ke tanaman pagar yang tinggi di depan rumah tua
itu. Pagi itu cerah, tapi pepohonan tinggi dan tua yang menjulang di sekeliling rumah
itu menimbulkan bayang-bayang gelap. Sebatang pohon raksasa melintang di
tengah pekarangan, cabang-cabangnya sudah membusuk dan kulit pohonnya
terkelupas, seperti sosok mayat yang mulai mengurai.
Sebuah kerai yang robek memukul-mukul salah satu sisi samping rumah. Di
sepanjang tembok depan, semua jendelanya sudah pecah. Atap rumah melesak di
tengah-tengah. Setumpuk koran tua tertumpuk di beranda.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu aku berjalan melintasi pekarangan yang
penuh rumput tinggi, bersembunyi dalam bayang-bayang yang panjang, menuju
beranda depan. Sekumpulan semut hitam merayap di lantai beton yang retak-retak. Aku
melangkah dengan hati-hati, memutari tumpukan koran tua itu, terus menuju pintu.
Bagaimana caranya masuk ke dalam"
Tak mungkin aku membunyikan bel.
Kepalaku serasa berputar. Mendadak aku merasa pening karena ketakutan.
Kusandarkan kedua tanganku di pintu, supaya tidak terjatuh. Tapi pintu itu
berderit membuka. Di dalam gelap. Pepohonan tinggi di situ membuat sinar matahari tak bisa
menembus masuk. Aku melongok ke lorong depan. Tak ada siapa-siapa.
Bau asam debu dan jamur menyambutku. Sangat memuakkan... begitu pekat,
hingga aku tersedak. Sambil menahan napas, aku melangkah masuk.
Sesuatu yang lengket menutupi wajahku.
"Ohhh" aku terkesiap. Sarang labah-labahkah ini"
Ya, benar. Kutarik sarang itu dari wajahku, dengan dua tangan.
Aku melayangkan pandang. Di semua tembok menempel sarang labah-labah.
Aku maju selangkah. Lalu selangkah lagi. Lantai papan berderit di bawah injakan
sepatuku. Aku tidak sanggup melakukan ini.
Aku terlalu ketakutan, hampir-hampir tak bisa bergerak.
Tak mungkin aku bisa mencuri burung gagak itu dan keluar dari sini tanpa
tertangkap. "Paula suka mengubah orang menjadi binatang," begitulah kata Iris. "Atau
monster." Di mana Paula" pikirku.
Kupeluk tubuhku supaya tidak gemetar. Aku menarik napas panjang. Sekali lagi
tarik napas. Lalu aku melangkah ke lorong yang panjang dan gelap itu.
Sarang labah-labah menyapu wajah dan lenganku. Tidak kuacuhkan. Aku terus
menatap ke depan, membiarkan mataku menyesuaikan diri dalam kegelapan.
Di kedua sisi lorong ada pintu-pintu, semuanya gelap. Di ujung sana ada sebersit
cahaya pucat yang memancar dari sebuah pintu yang terbuka.
Masih sambil memeluk diriku sendiri, kupaksakan kakiku yang berat untuk
melangkah. Aku maju perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Setengah jalan,
aku berhenti. Dan mendengarkan.
Di mana kau, Minnie" tanyaku pelan.
Kepakkan sayapmu. Berkaoklah untukku. Tolong, beri aku petunjuk.
Hening. Yang terdengar hanya suara napasku yang pendek-pendek.
Dengan mendesah aku maju lagi.
Aku melangkah ke pancaran cahaya di lantai itu.
Dan berhenti lagi. Aku melongok ke balik pintu yang terbuka. Sarang labah-labah yang keperakan
menggantung di pintu. Aku membungkuk untuk melihat ke balik sarang tebal itu, tapi tak banyak yang
bisa kulihat. Hanya tampak tirai-tirai gelap yang menutupi jendela berdebu.
Kertas dinding kelabu yang sudah mengelupas.
Kau ada di dalam sana, Minnie"
Berkaoklah! Berbunyilah! Tak ada suara. Aku menarik napas panjang lagi. Dan siap-siap melangkah masuk.
Kubungkukkan tubuhku di bawah sarang labah-labah itu. Dan aku pun masuk ke
dalam. Lalu terperanjat. 24 MATAKU menyapu ke arah perabotan yang sudah rusak, karpet bernoda yang
tebal oleh debu, serta bola lampu yang bergantung di seutas kabel panjang dan
langit-langit yang retak.
Lalu aku menatap kandang burung di atas perapian, di tembok sebelah sana.
Minnie! Burung itu berayun-ayun di dalam kandang kecilnya, memiringkan kepala ketika
aku masuk, dan terus berayun.
Ya, aku langsung gembira melihat burung itu. Harapanku muncul kembali.
Begitu dekat. Burung itu begitu dekat. Aku bisa menyambarnya dan langsung lari.
Sebuah suara batuk yang keras membuatku menjerit.
Kututupi mulutku dengan dua tangan lalu aku menoleh ke arah suara itu.
Ada sebuah kursi hitam di depan perapian. Kursi kulit yang isinya sudah
menguning dan mencuat keluar.
Dan di kursi itu... seseorang sedang tidur.
Tidurkah dia" Aku tidak yakin. Rambut hitamnya yang panjang menutupi
wajahnya. Paula. Ia mengenakan gaun ungu juga, seperti Iris. Satu lengannya bergantung di sisi
kursi, kepalanya jatuh ke muka, mengangguk-angguk teratur.
Ia mendengkur. Ia memang tidur. Aku memicingkan mata, berusaha melihat wajahnya, tapi helai-helai rambut
panjang yang hitam itu menutupinya seperti tirai tebal.
Sejenak aku berdiri diam, memandangi kepalanya yang terangguk-angguk pelan
dan mendengarkan suara dengkurannya yang halus.
Oke, Wade, dia tidur. Tentu tidak akan terlalu sulit untuk melintasi ruangan, menyambar kandang burung
itu, dan keluar dari rumah ini secepat mungkin.
Ya, kedengarannya mudah. Tapi, saat aku berjalan ke arah perapian, kandang
burung itu mendadak terasa sangat jauh.
Aku maju selangkah. Lalu selangkah lagi.
Lantai papan di bawah kakiku berderit ribut.
Di kursinya, Paula bergerak. Mengerang.
Lututku mulai lemas. Aku hampir jatuh ke lantai.
Tenang perintahku pada diri sendiri.
Kuamati kepala Paula yang terangguk-angguk. Ia sudah nyenyak lagi.
Aku akan meluncur di lantai, pikirku. Mungkin dengan begitu lantainya tidak akan
berderit. Aku beringsut-ingsut pelan melintasi ruangan. Ketika sampai di depan kandang,
aku gemetar hebat, hingga mesti berpegangan pada tembok perapian.
Mendadak tembok itu seperti akan runtuh!
Tidak. Kutahan tembok itu dan kutekan dengan bahuku.
Tembok itu tetap di tempatnya.
Si burung gagak memiringkan kepala, memandangiku dengan mata hitamnya yang
berkilat-kilat, lalu ia mengepakkan sayapnya.
"Sssh," bisikku.
Kuangkat kandang itu dari perapian. Lebih berat dari yang kukira.
Kupegang dengan dua tangan.
Aku membalikkan badan tanpa suara, dan mulai beringsut-ingsut menjauh.
Hampir sampai, pikirku, mataku terarah ke ambang pintu.
Hampir berhasil keluar dari sini.
Ketika baru setengah jalan, terdengar suara gemeresik di belakangku. Suara
batuk. Aku menoleh dan melihat Paula melompat bangkit dari kursinya.
Ia lari ke depanku untuk menghalangi jalanku.
"Kau mau ke mana?" serunya.


Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

25 AKU menjerit. Kandang itu terlepas dari tanganku, jatuh ke lantai, melambung dua kali.
Si burung gagak berkaok-kaok dan mengepakkan sayap dengan panik.
Lalu kandang itu tergeletak miring.
"Siapa kau?" teriak Paula dengan nyaring.
"Aku... aku... aku... "Aku tak sanggup berbicara.
Paula melangkah mendekatiku, lalu mengangkat kedua tangannya ke rambut hitam
panjang yang menutupi wajahnya. Dengan satu gerakan cepat disibakkannya rambut itu, seperti menyibakkan tirai-
tirai yang berat. Aku ternganga menatapnya. Ternganga kaget dan tak percaya... dan menjerit lagi
"Micah" teriakku "Micah! Ternyata kau! Kau... kau... "
Rasa ngeriku dengan cepat berubah menjadi amarah. Lelucon konyol apa pula ini"
Micah tertawa terbahak-bahak, sampai terbungkuk-bungkuk dan menepuk-nepuk
lutuinya di bawah gaun ungunya.
Lalu Ia menyentakkan rambut hitam itu dan kepalanya... dan melemparkannya
padaku. Rambut palsu itu terlontar dari dadaku dan mendarat di samping kandang burung.
Si burung gagak berkaok keras.
"Apa... kau sedang apa di sini?" Akhirnya aku bertanya dengan suara nyaring
bernada tinggi. "Menunggumu," sahut Micah sambil nyengir penuh kemenangan.
"Aku... aku kemari untuk menyelamatkanmu!" seruku.
"Aku tahu," katanya, masih tetap nyengir. "Itulah yang paling asyik."
Aku terisak. "Maksudmu..." Maksudmu...?"
Kutatap wajahnya yang tersenyum lebar. Ingin aku menonjoknya, terus dan terus,
sampai cengiran itu lenyap dari wajahnya.
Kenapa ia ada di sini" Siapa yang memberikan gagak, rambut palsu, dan gaun
ungu itu padanya" "Apa Iris... " Tapi aku terlalu marah dan tak bisa melanjutkan.
"Iris yang mengatur semuanya," Micah menjelaskan, cengirannya mulai memudar.
Ia menarik-narik bagian depan gaunnya. "Dia yang memberikan semua
perlengkapan ini padaku."
"Dan dia juga menyuruhku kemari supaya kau bisa menakut-nakutiku?" tanyaku.
Micah mengangguk "Ya. Semua ini pembalasan dendamku."
Aku ternganga, seluruh tubuhku gemetar. "Apa?"
"Belum mengerti juga, Wade?" katanya. "Semua ini pembalasan dendamku ."
Aku cuma melongo menatapnya. Tak bisa berpikir. Tak bisa bicara.
Pembalasan dendamnya" Bagaimana bisa"
"Aku melihat iklan itu di meja riasmu," Micah menjelaskan. "Untunglah aku
kebetulan sedang mengacak-acak kamarmu. Aku melihat iklan itu, dan aku tahu
kau pasti akan menggunakannya terhadapku. Jadi, aku mendahuluimu menemui
Iris." "Kau... kau..." Kuacungkan tinjuku padanya.
Tak mungkin ini sungguhan. Tak mungkin!
"Ingat peristiwa gatal-gatal itu, Wade?" kata Micah. "Ingat rambut yang terus
tumbuh itu?" "Mana mungkin aku lupa?" erangku.
"Nah, itu bukan karena Iris salah mengucapkan mantra," kata Micah dengan
senang "Dia memang sengaja melontarkan mantra-mantra itu padamu."
"Oh, tidaak" ratapku.
Micah tertawa "Kau mengira sedang melakukan pembalasan dendam padaku, tapi
sebenarnya akulah yang membalas dendam padamu."
"Dan Minnie?" tanyaku lemah, menunjuk gagak itu. "Paula dan Minnie?"
"Cuma cerita bohong," ejek Micah "Paula tidak pernah ada. Dan burung itu hanya
burung biasa dari toko binatang. Tidak bertuah sedikit pun. Tapi bisa
mengecohmu, kan?" "Ya," kuakui dengan sedih.
Mendadak aku merasa begitu lemah. Lemah dan lelah.
Dan kalah. "Kenapa?" tanyaku dengan suara g?metar. "Kenapa Iris melakukan ini padaku?"
Lagi-lagi Micah memasang tampang mengejek. "Karena aku membayarnya. Tiga
ratus dolar.Setengah dari seluruh penghasilanku musim panas ini."
Aku mendesah panjang dan lemah. "Kau menang," gumamku sedih. "Kau menang,
Micah." "Tentu saja," serunya. Ia memiringkan kepala dan menyerukan teriakan
kemenangan yang panjang. "Aku memang hebat. Iya, kan" Aku senang sekali. Ingin rasanya aku jungkir
balik!" serunya Tapi ia tidak jungkir balik. Ia malah menghantam punggungku dengan keras, lalu
lari keluar. Kudengar ia tertawa dan bersorak-sorak sepanjang jalan di lorong,
dan terus hingga ke luar.
Dia memang pantas segembira itu, pikirku.
Aku kalah. Kalah total. Kuambil kandang itu dari lantai. Si burung gagak berkaok-kaok dan mengepakkan
sayapnya. "Kalah," gumamku.
Benarkah aku sudah kalah"
Mendadak aku punya gagasan.
Satu gagasan terakhir. Yang sangat bagus.
26 "MICAH" Kau ada di bawah" Bisa kemari Sebentar, tidak?" Waktu itu dua hari
setelah peristiwa di rumah tua tersebut. Mom dan Dad sedang pegi, dan sekali
lagi Micah yang berkuasa di rumah.
Aku berlutut di puncak tangga, memegang burung gagak itu di tanganku. Dan aku
berseru memanggil kakakku.
"Micah" Bisa kemari, tidak?"
Kudengar ia berjalan di bawah sana. Kubelai gagak itu, dan menunggu.
Tak lama kemudian, Micah muncul di bawah tangga, menatapku dengan marah.
"Mau apa, Wade" Aku lagi sibuk."
"Aku cuma ingin menunjukkan sesuatu," kataku.
"Menunjukkan apa" Bahwa kau sudah bisa melambai?"
Ia tertawa dengan lelucon konyolnya sendini. Tapi ekspresi wajahnya berubah
ketika ia melihat burung gagak di tanganku.
Ia merengut. "Mau apa. kau dengan burung konyol itu" Apa Mom dan Dad tahu
kau membawa burung itu ke rumah?"
"Tidak, tapi..."
"Mereka tidak akan mengizinkanmu memeliharanya," katanya jahat "Akan
kuadukan pada mereka, bahwa kau menyembunyikan burung itu di atas."
"Aku cuma ingin menunjukkan sesuatu," kataku "Ingat dua hari yang lalu" Di
rumah tua itu?" Ia tertawa "Tentu saja ingat. Hari paling hebat dalam hidupku."
"Nah, ingat tidak kaubilang ingin jungkir balik?"
Ia mengangguk "Yeah. Lalu kenapa?"
Aku memejamkan mata dan menggosok punggung burung di tanganku tiga kali.
"Ayo, Micah," kataku "Jungkir baliklah."
Micah tertawa lagi dan menggeleng-geleng dengan tampang mengejek
"Apa-apaan ini, Wade" Mau main-main" Burung konyol itu tidak akan bisa
menolongmu..." "AWWWK" Ia menjerit tertahan dengan mata melotot. Kedua lengannya terulur.
Ia jungkir balik ke belakang dengan canggung. Kedua kakinya goyah ketika
mendarat, tapi ia bisa mempertahankan keseimbangannya.
"Hah?" Micah ternganga kaget. Ia menggeleng keras-keras.
"Lagi," kataku "Terus jungkir balik sepanjang hari."
"Tidak Tunggu" protesnya.
Tangannya terangkat dan punggungnya melengkung lagi.
WH000P! Micah berjungkir balik lagi.
Sekali lagi ia mendarat dengan gemetar. Wajahnya sangat shock. Seluruh kepalanya
merah padam. "Tunggu... ," katanya.
Tapi ia berjungkir balik lagi.
Dan lagi. Sekarang aku tertawa. Akhirnya giliranku untuk tertawa
"Tahu, tidak, Micah?" seruku. Kutunggu ia selesai berjungkir balik, lalu
kupaparkan yang berikut ini.
"Kemarin diam-diam aku mendatangi tempat Iris lagi. Ketika dia pergi, aku masuk
dan menukar burung gagaknya. Aku punya gagak yang asli sekarang. Maggie."
"Kumohon ," pinta Micah.
Ia jungkir balik lagi. Dan lagi.
Lalu bel pintu berbunyi. 27 AKU bergegas turun untuk membuka pintu.
"Biarkan aku berhenti" pinta Micah. "Kau sudah membalaskan dendammu
Kumohon, Wade." Ia berjungkir balik di depan pintu, menghalangi jalanku.
Bel pintu berbunyi lagi. Kudorong Micah ke ruang tamu dan kubuka pintu.
"Hai, Carl." kataku "Masuklah."
"Apa kabar?" tanya Carl. Ia masuk ke dalam, dan ternganga melihat Micah jungkir
balik. Micah mendarat sambil mengeluh keras. "Tolong, Wade," katanya.
Ia berjungkir balik lagi.
"Kenapa dia begitu?" tanya Carl sambil membetulkan kacamatanya. Mungkin ia
mengira salah lihat. Kutunjukkan burung gagak itu. "Ini Maggie," kataku. "Akhirnya aku bisa balas
dendam sedikit." "Hebat," kata Carl.
Micah berjungkir balik lagi, menabrak meja kopi dan menjatuhkan vas porselen di
atasnya. "Hati-hati!" bentakku "Jangan teledor."
Carl dan aku tertawa. Memang jahat, tapi ini lucu sekali.
Dan tidak sejahat apa-apa yang telah dilakukan Micah padaku.
"Bagaimana k?u bisa mendapatkan burung itu?" tanya Carl
"Aku mencurinya," sahutku. "Sebenarnya, aku menukarnya dengan burung lain."
Senyum Carl memudar "Apa Iris tidak mengejarmu?"
"Tidak akan bisa," kataku "Dia tidak tahu aku tinggal di mana. Aku tidak pernah
menyebutkan alamatku."
Kami memandangi Micah berjungkir balik beberapa kali lagi. Wajahnya sudah
merah padam dan basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah, dan ia
mengerang setiap berjungkir balik.
"Lama-lama membosankan juga," desahku. "Ayo kita coba yang lain."
"Yeah, boleh juga," kata Carl "Apa ya?"
Kuangkat Maggie di depanku. "Hmmm." Aku berpikir keras.
Mataku melayang ke luar jendela, ke kebun Mom.
"Bisa, tidak, ya, aku mengubah Micah menjadi makhluk lain?" kataku.
"Maksudmu menjadi binatang atau semacamnya?" tanya Carl.
Micah mengerang dan berjungkir balik lagi.
"Bagaimana kalau dia dijadikan serangga?" kataku dengan senyum lebar. "Atau
cacing kebun. Kau tahu, kan" Cacing gendut berlendir di kebun Mom itu?"
"Ya, coba saja," Carl mendukung.
"Tidak!" sergah Micah dengan terengah-engah. "Wade.. jangan."
Aku memejamkan mata dan menggosok punggung Maggie sekali, dua kali, tiga
kali. Ketika aku membuka mata, Micah sudah lenyap. Aku mengerjap-ngerjap.
"Oh wow!" seruku. "Dia sudah tidak ada."
"Tidak! Lihat!" Carl lari ke ruang tamu dan menunjuk penuh semangat ke karpet.
"Kau berhasil, Wade! Lihat!"
Aku melihat sebuah titik cerah di karpet. Tidak, bukan titik.
Tapi cacing. Micah, alias si C-A-C-I-N-G, merayap pelan, meninggalkan jejak lendir putih di
belakangnya. "Wow" Aku melihatnya, tapi tidak percaya akan apa yang kulihat.
Sudah lama aku menunggu pembalasan dendam ini. Aku mesti mengalami hal-hal
yang tidak menyenangkan dulu, tapi akhirnya aku berhasil juga.
Kuberikan Maggie pada Carl, lalu aku berlutut dan mendekatkan wajahku ke
cacing itu. "Bagaimana rasanya, Micah?"kataku padanya "Bagaimana rasanya punya tubuh
basah dan berlendir?"
Kupandangi dia, berharap ia akan menjawab.
Tapi tentu saja ia tak bisa bersuara. Ia cuma seekor cacing.
"Kau jelek sekali sekarang," kataku. "Kau pasti kehilangan rambutmu, ya?"
Micah terus merayap di karpet.
"Pasti kau kesal tidak menjadi bos lagi, ya?" kataku. "Yah, biasakanlah.
Sekarang aku yang berkuasa di sini, cacing. Gagak itu ada di tanganku. Itu
berarti mulai sekarang kau ada di bawah kekuasaanku"
Bisakah Micah mendengarku" Apa dia mengerti bahasa manusia"
Aku berdiri lagi. Carl memandangi Micah sambil geleng-geleng kepala. "Mungkin
sebaiknya kauubah dia jadi manusia lagi," gumamnya "Ini terlalu jahat, dan agak
berbahaya, bukan?" ".Berbahaya?" sahutku. "Maksudmu, dia bisa terinjak tak sengaja oleh kita?"
Carl mengangguk. "Baiklah," aku sependapat. Kuambil kembali Maggie dan Carl. "Kita ubah dia jadi
makhluk lain. Sesuatu yang lebih mengasyikkan. Kau yang pilih. Sekarang
giliranmu." "Bagaimana kalau kodok?" saran Carl.
"Oke. Bagus. Kodok!" seruku. "Kita suruh dia melompati anak tangga."
"Yeah, dan kita suruh dia makan lalat," tambah Carl.
"Asyik sekali, ya?" kataku. "Aku senang bisa membalas dendam."
Kuangkat Maggie di hadapanku dan kupejamkan mataku. Kuminta Micah diubah
menjadi seekor kodok hijau, lalu kugosok punggung Maggie tiga kali.
Carl dan aku memandangi cacing gemuk di karpet itu. Cacing itu mulai membesar.
Dalam beberapa saat saja Micah berubah menjadi kodok. Lidahnya yang panjang
terjulur, dan ia memandangi kami dengan mata kodoknya yang basah dan
menonjol. "Dia kelihatan sedih sekali." seruku, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Kodok paling sedih yang pernah kulihat," kata Carl.
"Jangan sedih," kataku pada Micah "Atau kuubah kau menjadi makhluk yang lebih
jelek" Kudorong dia sedikit "Ayo lompat!"
"Wee-beep, wee-beep" Ia memprotes keras, tapi lalu melompat pendek beberapa
kali. Aku hendak mendorongnya lagi, tapi bel pintu berbunyi.
"Siapa itu?" seruku. Aku berdiri dan menuju pintu, membukanya.
"Iris" Aku terkesiap.
Iris memandangku dengan marah dan menyibakkan rambut hitamnya. "Wade...
aku yakin kau mengambil sesuatu dari rumahku," geramnya.
Kucoba membanting pintu. Tapi Iris menahannya dengan bahu dan mendesak masuk ke dalam rumah.
Napasnya terengah-engah. Wajahnya yang biasanya pucat sekarang merah oleh
amarah. Matanya yang gelap berkilat-kilat.
"Bagaimana... bagaimana kau bisa menemukan aku?" kataku ketakutan. "Aku
tidak pernah memberitahukan alamatku."
"Kakakmu membayarku dengan selembar cek," ia menjelaskan. "Alamatmu
tercantum di situ." Ia mendekatkan wajahnya ke Maggie.
Burung itu berkaok-kaok keras dan mengepakkan sayapnya.
"Di mana kakakmu, Wade?" tuntut Iris.
"Dia..." Aku menunjuk kodok di karpet itu.
"Kau sudah kuperingatkan, jangan main-main, dengan Maggie," kata Iris.
Aku mengangguk. "Ya, tapi aku ingin balas dendam. Kau menipuku, Iris. Kau..."
Wajah Iris menegang. Ia menatapku dengan dingin dan jahat.
"Mencuri adalah kejahatan yang sangat serius, Wade," katanya. "Berikan burung
itu padaku. Aku mesti memberi pelajaran berat padamu."
"Tidak, jangan!" seruku.
Tapi Iris bergerak cepat. Dengan satu seruan keras ia menyerbu ke depan dan
menyambar Maggie dari tanganku.
28

Goosebumps - 2000 7 Burung Gagak Bertuah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

IRIS mengangkat Maggie di depan wajahnya "Kau sudah kuperingatkan, Wade,"
katanya lagi dengan dingin "Mestinya kau tidak main-main dengan kekuatan yang
tidak kaupahami" "Kumohon, Iris," pintaku. "Aku menyesal telah mengambil Maggie. Tapi aku
mesti mengambilnya. Aku..."
"Diam" bentak Iris.
Carl dan aku sama-sama mundur selangkah.
"Kau mesti diberi pelajaran, bahwa mencuri itu tidak baik," kata Iris. Ia
memandangi Micah "Begini saja. Akan kubuat kau bergabung dengan kakakmu di
karpet itu." Aku terkesiap. "Maksudmu... aku akan dijadikan kodok."
Iris mengangguk "Kau dan temanmu itu. Aku tidak mau kau kesepian."
"He" teriak Carl. "Aku salah apa" Bukan aku yang mencuri gagakmu."
"Jangan ganggu Carl." seruku "Dia tidak berbuat apa-apa. Sungguh!"
"Kuharap kalian semua sudah mendapat pelajaran tentang membalas dendam,"
kata Iris. "Dan pelajaran itu adalah... pembalasan dendam memang manis, tapi
sebaiknya tidak dicoba di rumah. Serahkan saja pada ahlinya."
"Iris... jangan! Jangan!" pintaku lagi.
"Tolong jangan ubah kami jadi kodok!" Carl memohon.
Tapi Iris memejamkan mata. Dan mulai menggosok punggung Maggie.
29 KUPANDANGI Iris yang menggosok Maggie satu kali, dua kali... lalu aku
melompat dan menyambar burung itu dari tangannya.
Iris menjerit kaget dan membuka mata. Ia mengayunkan tangan, berusaha merebut
Maggie kembali. Tapi aku menghindar dan memegangi burung itu erat-erat
"Maaf, Iris," kataku "Aku tak bisa membiarkanmu mengubah kami menjadi
kodok." Kuangkat gagak itu. Iris mengangkat kedua tangannya ke pipinya. "Kau mau melakukan apa?"
tanyanya. "Kurasa aku juga akan membalas dendam padamu," kataku
"Wade kuperingatkan ," kata Iris. "Jangan..."
Tapi aku tak ingin memberinya kesempatan untuk merebut Maggie kembali.
Kupejamkan mataku dan kuminta Iris diubah menjadi kodok.
Lalu kugosok punggung Maggie satu kali, dua kali... tiga kali.
Ketika aku membuka mata, kulihat Iris memandangiku dengan ngeri. "Apa yang
telah kaulakukan?" serunya.
"Mengubahmu menjadi kodok," sahutku.
"Tapi kau tidak tahu peraturannya," protesnya. "Kau sudah kuperingatkan. Ada
peraturannya." "Peraturan apa?" ejekku.
"Apa kau tidak tahu bahwa kau hanya bisa mengucapkan tiga permintaan dalam
sehari pada Maggie" Apa kau tahu bahwa kalau kau mengucapkan permintaan
keempat, maka kaulah yang akan terkena akibatnya?"
"Hah?" Aku terkesiap. "Hanya tiga permintaan?"
"Berapa permintaan yang sudah kauucapkan hari ini, Wade?" tanya Iris.
Aku menhitung dalam hati.
1) Micah berjungkir balik.
2) Micah menjadi cacing. 3) Micah menjadi kodok. "Berapa banyak?" tanya Iris lagi. "Katakan, Wade, berapa permintaan yang sudah
kaubuat hari ini?" Mendadak suaranya terdengar sangat jauh.
"Wee-beep," sahutku. "Wee-beep, we-beeeep. " Dan aku pun melompat di atas
karpet, untuk bergabung dengan kakakku.
Mungkin pada akhirnya aku tidak ingin membalas dendam pada Iris, pikirku.
Kulihat seekor lalat lezat di dinding, di samping sofa. Hmmm.
Lalat itu jauh lebih asyik daripada pembalasan dendam apa pun.
END Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Dendam Para Pengemis 1 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Payung Sengkala 2
^