Pencarian

Manusia Bumi Mesti Enyah 2

Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah Bagian 2


dengan sebuah laptop di atasnya, tempat tidur dengan penutup warna biru pucat.
"Ini tampak asing," kataku padanya "Aku masih berpikir kalau ini rumahku, tapi "
Suaraku melemah. Aku melihat setumpuk majalah di rak kayu pendek. "Mungkin ada beberapa
petunjuk dalam majalah-majalah itu," kataku.
Aku bergegas masuk kamar dan tersandung. Sebuah jendulan dalam karpet.
"Owww!" aku berteriak sewaktu dahiku membentur rak buku.
Kurentangkan satu tangan untuk mendapatkan keseimbanganku, sembari
kugosok kepalaku yang sakit dengan tangan satunya. "Wuah"
Aku melihat kilatan terang cahaya putih berkilauan.
Aku berkedip. Sekali. Dua kali.
"Hey, Arlene," ujarku dengan gemetar. "Aku baru mendapat sebuah kilasan.
Aku baru saja ingat sesuatu."
Ia memicingkan matanya ke arahku. "Apa itu?" Kuelus dahiku. "Aku berasal
dari Wisconsin," kataku padanya. "Muncul kembali begitu saja dalam kepalaku.
Kurasa akibat membentur rak tadi. Aku berasal dari Madison, Wisconsin."
Arlene ternganga. "Apa lagi, Jacob" Berpikirlah keras. Kau ingat yang
lainnya?" Kugelengkan kepalaku. "Tidak. Cuma itu saja."
Aku merenggut setumpuk majalah dan membolak-baliknya dengan cepat.
Semuanya majalah seni, menampilkan artis-artis yang belum pernah kudengar.
Majalah itu tidak ditulis dalam bahasa Inggris, tapi dalam garis lekuk-lekuk,
alfabet bergelombang yang kami lihat di perpustakaan.
"Majalah ini pasti bukan punyaku," kataku dengan mendesah. Kutaruh lagi
majalah-majalah itu di lantai.
Arlene merosot pada pinggiran penutup tempat tidur biru. Ia menggelengkan
kepalanya dengan sedih. "Kita tidak mendapatkan hasil apa-apa."
Kuelus-elus kepalaku yang berdenyut Bisa kurasakan benjolan di situ
"Setidaknya aku ingat dari mana asalku. Itu sudah bagus."
"Kau lebih beruntung dariku," kata Arlene, menundukkan kepalanya. "Aku
tidak ingat apa-apa. Sepertinya aku hampa. Aku tidak punya masa lalu. Aku tak
punya... identitas."
Aku menatapnya. "Barangkah kita ini robot," kataku. "Aku pernah membaca
cerita tentang robot- robot yang programnya kacau-balau. Barangkali saja kita
seperti itu. Mungkin kita semacam manusia robot yang dikomputerisasi, dan
program ingatannya gagal."
Arlene mernutar-mutar matanya.
"Yah, benar," gumamnya
Ia mencubit lengannya. "Ini kulit, Jacob. Aku tidak tahu bagaimana denganmu,
tapi aku sih bukan robot. Aku manusia."
Benjolan di dahiku masih berdenyut. "Kau benar. Teori tobotku memang
payah." Aku berpaling ke arah rak buku "Mungkin kalau kau membenturkan kepalamu
Arlene, beberapa ingatanmu akan kembali."
Ia memberengut padaku. "Pasti ada cara yang lebih baik."
Tiba-tiba aku punya gagasan.
"Sekolah," kataku sekenanya.
Ia menyipitkan mata padaku dari tempat tidur. "Ada apa dengan sekolah?"
"Kita pasti punya catatan sekolah, kan" Sekolah pasti memiliki arsip tentang
kita. Barangkali arsip itu berbahasa Inggris. Barangkali arsip-arsip itu bisa
memberitahu kita tentang diri kita. Ayo. Kita cari."
Ia keberatan. "Maksudmu... mencari dengan mencuri-curi?"
Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi aku mendengar bunyi dari lantai
bawah. Pintu depan menutup"
Arlene bangkit berdiri, wajahnya meringis ketakutan. "Siapa itu?" bisiknya.
Aku mendengar langkah-langkah kaki berat. Pintu dibanting di ruang bawah.
Aku berjingkat-jingkat ke arah pintu kamar tidur. Dan mendengarkan. Lorong itu
tak ada jendelanya. Gelap sekali. Aku tak bisa melihat apa pun.
Kudengar bunyi keriat-keriut tangga di bawah pijakan sepatu seseorang.
"Hei... dia naik," bisikku.
"Sembunyi," Arlene balik berbisik "Cepat. Lemari dinding itu."
Kami berdua lari ke arah lemari kamar tidur.
Bunyi GEDEBUK keras langkah kaki di puncak tangga.
Kurenggutkan pegangan pintu, kuputar dan kutarik.
Macet. Pintu ini macet - atau terkunci.
Dengan kalut kutarik lagi.
Tidak. Pintu itu tak mau membuka.
Kami terperangkap. Aku menoleh ketika sebuah bayangan tinggi menyeruak masuk ke ambang
pintu. Si lelaki berambut hitam dengan jas hujan kotor.
Laki-laki yang tampak menyeramkan, yang mengejar kami dari perpustakaan.
Ia melangkah dengan berat ke dalam kamar, menghalangi jalan keluar kami.
Seulas seringai mengembang di. wajahnya yang gemuk. "Kena kau!" teriaknya.
16 Ia menutup pintu di belakangnya. Matanya bergerak dari Arlene ke arahku.
Kami berdiri berimpitan, dengan punggung menekan pintu lemari.
Kerongkonganku tercekat ngeri.
Siapa dia" Mau apa dia"
Apa dia sudah mengetahui rahasia kami - bahwa kami berbeda" Apa dia
datang untuk menangkap kami"
Laki-laki itu melangkah maju perlahan-lahan. Jas hujannya yang terbuka
menampakkan sweat suit kelabu di baliknya.
"Tolong." Arlene berbisik.
Laki-laki itu berhenti di tengah ruangan.
Senyumnya meredup. "Hei kalian tidak mengenali aku?" tanyanya. "Kenapa kalian tampak begitu
ketakutan?" Aku menatapnya lekat-lekat. Apa seharusnya aku mengenali dia"
"Hei, ayolah jangan begitu," katanya "Aku kan ayah kalian!"
Arlene dan aku terengah..
"K-kami berdua?" Arlene bergumam.
Ia mengangguk "Ya. Aku ayah kalian."
Kepalaku terasa pening. "Maksud Anda... Arlene dan aku adalah adik-kakak?"
Laki-laki itu mengangguk lagi. Lalu ia mengamati kami. "Kalian benar-benar tidak
ingat?" "Ingatan kami...," kataku, "kacau sekali."
"Kami hampir tidak ingat apa pun," Arlene menambahkan.
Ia mengerutkan dahi. "Aku juga."
Ia melangkah maju untuk memeluk kami.
Aku mundur. "Buktikan," kataku.
Ia berhenti terkejut. "Apa?"
"Buktikan," aku mengulangi "Kami tidak ingat Anda. Kami bahkan tidak saling
mengingat. Kalau benar Anda ayah kami, buktikan."
Arlene mengangguk setuju.
Ia mengerjap. Kemudia ia melepaskan jas hujannya yang kotor. Menarik ke atas
lengan kemejanya. Dan memperlihatkan ketiaknya pada kami. "Lihat" Aku
seperti kalian, bukan seperti mereka."
"Tapi...," kataku.
"Kau harus mempercayaiku, Jakie," katanya.
Aku menahan napas. "Anda tahu nama panggilanku" Anda benar-benar ayah kami?"
Ia merengkuh kami dalam pelukannya. Kami bertiga berdiri di sana sambil
saling merangkul erat-erat untuk waktu yang lama.
Aku mundur lebih dulu. "Kenapa kami tidak ingat apa pun?" aku bertanya pada
ayahku. Ia menggelengkan kepalanya dengan sedih "Aku tidak bisa menjawabnya. Aku
tidak tahu." "Di mana kami" Bagaimana kami bisa berada di sini?" tanyaku.
"Jakie, aku tidak tahu," sahutnya. Ia mengusap rambutnya yang tebal hitam.
"Aku terus berusaha mengingat. Tapi lenyap... semuanya lenyap."
Ia melemparkan jas hujannya ke tempat tidur. Aku sudah mencari kalian berdua ke
mana-mana," katanya. "Aku menemukanmu di sekolah. Tapi kau malah
lari." "Aku tidak tahu siapa Dad," aku menjelaskan.
"Apakah ini rumah kami" Apa kami punya ibu?" tanya Arlene, suaranya
bergetar. "Aku tidak bisa menjawabnya, juga," ujar Dad. " Aku minta maaf. Sungguh-sungguh
minta maaf. Aku hanya tahu satu hal."
"Apa itu?" tanyaku.
"Kata bertiga... kita berada dalam bahaya mengerikan."
17 KAMI turun ke ruang baca, untuk bicara. Dad mengintip lewat jendela,
memastikan tidak ada seorang pun di luar sana. Lalu ia menutup tirai-tirai.
Ia menjatuhkan diri ke kursi di seberang kami. Ia mencondongkan tubuh dengan
tegang, kedua tangannya mengepal dan membuka. "Kalian sudah lihat berita
TV?" tanyanya Arlene dan aku mengangguk. "Baru saja kami melihatnya. Apakah kita Manusia Aneh
dari Bumi yang mereka bicarakan?"
Ia mengernyitkan dahi dengan serius. "Kurasa ya."
"Kenapa mereka ingin membunuh kita?" tanya Arlene. "Bagaimana kita bisa sampai
di sini" Apa kita berada di planet lain?"
Dad tak bisa menjawab pertanyaan kami. Ingatannya sama kosongnya dengan
ingatan kami. Dapat kulihat setiap pertanyaan itu menyiksanya. Ia ingin
melindungi kami. Ia ingin menyelamatkan kami.
Tapi ia tidak tahu caranya.
"Mereka semua ingin menangkap Manusia Aneh dari Bumi," katanya. "Tapi
mereka tidak tahu siapa Manusia Aneh dari Bumi itu. Kita aman sampai mereka
mengetahuinya." "Kita harus pergi dan sini - sekarang juga!" kata Arlene. Ia melompat berdiri
dan bergerak ke arah pintu depan.
Dad bergerak cepat untuk menghentikannya. "Jangan dulu. Kita harus yakin
bahwa kita bisa melarikan diri dengan selamat. Kita perlu merencanakan
pelarian kita dengan hati-hati. Aku butuh waktu untuk berpikir, Arlene."
"Tapi... di mana kita bersembunyi sementara ini?" tanya Arlene.
"Kita aman di sini malam ini," Dad menyahut. "Besok kalian akan aman di
sekolah." "Maaf, pendapatku berbeda!" teriakku. "Kami tidak bisa kembali ke sana.
Kami..." "Ya. Kalian pergi ke sekolah besok. Itulah tempat yang paling baik untuk
sembunyi. Di tempat terbuka. Sewaktu kalian di sana, aku akan berkeliling
memeriksa. Menyusun rencana melarikan diri."
Ia merangkul kami lagi. "Jangan membuat seorang pun curiga di sekolah," ia
memperingatkan. "Cuma untuk sehari-dua hari. Cobalah bersikap Seakan-akan kalian
salah seorang dari mereka. Bisa kalian melakukannya?"
Aku terbelalak menatapnya. Bisakah kami melakukannya"
Bisakah" Jawabannya, sayang sekali, tidak.
18 PAGI itu berlalu tanpa ada persoalan.
Ini tidak gampang. Aku tidak mengerti rumus persamaan matematika, dan aku tak
bisa membaca tugas geografi.
Aku mencoba bersembunyi di belakang anak di depanku, berdoa supaya Mr.
Kray tidak memanggilku. Tanganku dingin dan berkeringat. Aku waspada terhadap setiap bunyi.
Tapi tak seorang pun memperhatikanku - sampai pada kelas senam.
Ketika kami berbaris masuk ke dalam kelas senam, aku hampir lumpuh karena takut.
Haruskah kami berganti pakaian senam" Kalau kami ganti, anak-anak lain di
ruangan loker akan melihat aku tidak punya lubang makanan di ketiakku.
Mereka akan tahu akulah Manusia Aneh dari Bumi.
Untunglah, Mr. Grody, guru senam, tidak menyuruh kami ganti pakaian. Ia
menyuruh kami berjejer di depan salah satu dinding ruang senam.
Kami menunggu sampai kelas trelth yang satunya masuk. Kedua kelas bersenam
bersama. Aku mencari Arlene. Ia anak yang paling akhir masuk dari kelasnya. Ia tidak mau
maju, bersembunyi di belakang grup anak-anak yang lain.
"Kelas lawan kelas," Mr. Grody memberitahu. Ia mengangkat sebuah benda
persegi hitam, seukuran panggangan roti. "Siapa yang mau blett pertama?"
Kuarahkan menunduk ke lantai. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ada
yang melihatku gemetaran.
Tolong jangan pilih aku, aku berdoa. Tolong, jangan berikan barang itu padaku.
Betapa ngerinya aku, ketika tangan Mr. Grody menyentuh pundakku. Sewaktu
aku menengadah, ia mendorong benda itu ke tanganku. "Blett pertama," ia
mengumumkan "Semuanya, siap!"
Benda hitam berbentuk kubus itu ternyata lebih ringan dan halus daripada yang
kubayangkan. Rasanya elastis.
Aku menatapnya, mencoba keras agar tanganku tidak gemetaran.
Apa yang harus kulakukan dengan benda ini" Apa"
Aku mendongak, dan kulihat semua mata mengawasiku.
Anggota timku telah menyebar di belakangku. Anak-anak dari tim lain
mendoyongkan tubuh ke depan, dengan tangan di lutut. Mereka menyebar
memenuhi separuh ruang senam.
Kulihat Arlene kelihatan bingung, tak sanggup mengenyahkan rasa takut di
wajahnya. Ia melotot memandangku. Aku tahu ia bertanya-tanya apa yang akan
kulakukan dengan benda di tanganku.
Mestikah kulemparkan" Atau kutendang"
Atau kugunakan untuk memukul sesuatu" Mengopernya pada seseorang"
Mr. Grody meniup peluitnya.
Sorak-sorai meledak. Kuangkat kubus itu di atas kepala.
Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa bernapas.
Mereka semua menunggu Semuanya mengawasi.
Apa yang mesti kulakukan"
Apa" 19 AKU berdiri terpaku, dengan kubus itu terangkat di atas kepalaku.
Di luar sorak-sorai dan teriakan, aku mendengar peluit Mr. Grody lagi.
"Itu throll, Jacob" teriaknya. "Satu throll."
Bunyi peluit lagi. Aku tak dapat bergerak. Aku tak bisa berpikir jernih.
Kulempar kubus itu menyeberangi ruang senam. Aku hanya ingin bebas
darinya. Aku terkesiap ketika kulihat benda itu melayang tepat ke arah Arlene.
Ia menangkapnya dengan kedua tangan.
Anak-anak dalam timnya berteriak marah. "Jangan! Tidak throll!"
"Lepaskan, Arlene! Lepaskan!"
Bisa kulihat air mata berkilauan di pipi Arlene. Ia berdiri dengan bimbang,
wajahnya memerah, sambil memegang kubus itu di depannya.
Peluit berbunyi lagi. Mr. Grody mengisyaratkan Arlene untuk datang kepadanya. Lalu ia melambai
padaku agar maju. Dengan dingin matanya bergerak dan Arlene, lalu kepadaku "Kenapa kau tidak
melemparnya, Jacob" Kau mendapat blett pertama."
Aku menelan dengan susah payah. Aku merasa semua orang bisa melihat
kakiku gemetar. Gigiku juga sebenarnya mulai gemeletuk.
"Aku... aku tidak tahu peraturannya," kataku tanpa pikir.
Salah sekali jawabanku. Salah besar.
Anak-anak mengerubungi kami. Mereka berdiri kaku, mengawasi kami dalam
keheningan. Kutatap air muka mereka yang dingin dan curiga.
Mr. Grody mendekatkan wajahnya padaku. "Kau tidak tahu peraturannya?"
Terlambat untuk menarik kembali ucapanku. Kugelengkan kepalaku.
"Bagaimana denganmu?" tanyanya pada Arlene. "Apa kau tahu peraturan
permainan yang mulai dimainkan setiap orang sejak umur throo?"
Arlene menurunkan tatapan matanya ke lantai. "Memang tidak," ia mengakui.
Anak-anak itu mulai melantunkan. "Manusia Aneh dan Bumi... Manusia Aneh dari
Bumi... Manusia Aneh dari Bumi..."
Lingkaran anak-anak itu semakin mer?pat. Sementara nyanyian jelek mereka
makin keras. "Manusia Aneh dari Bumi... Manusia Aneh dari Bumi... Manusia Aneh dari Bumi.. . "


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mr. Grody menggeleng-gelengkan kepala. Senyuman cemooh terpilin di
bibirnya. "Kalian pikir kalian bisa lolos dengan ini" Apa kalian pikir kami
takkan menemukan kalian?"
Aku berpikir untuk berlari. Saat menoleh, kulihat lingkaran itu semakin rapat
saja. Tak ada jalan untuk menerobosnya.
Tak ada jalan untuk kabur.
Lingkaran anak-anak itu mulai bergerak, memaksa kami maju. Memaksa kami
sampai ke pintu ruang senam.
Mereka menggiring kami menuju gang, sambil terus menyanyi. "Manusia Aneh dari
Bumi... Manusia Aneh dari Bumi... Manusia Aneh dari Bumi... "
"Biarkan kami pergi!" aku menjerit.
"Kalian membuat kesalahan besar" Arlene berteriak "Ke mana kalian akan
membawa kami?" Nyanyian tersebut menenggelamkan protes ketakutan kami.
Mereka memaksa kami ke kantor kepala sekolah. Nyanyian itu tidak berhenti sampai
Mr. Trager membawa kami ke bagian kantornya yang lebih dalam lagi.
Ia menutup pintu dan mengancing gerendelnya.
Wajahnya suram. Matanya tampak tanpa emosi sama sekali.
Ia memberi isyarat dengan kedua tangannya pada kami agar duduk di kursi yang
berhadapan dengan meja metalnya yang berwarna abu-abu.
Ia tak bicara sepatah pun sampai aku dan Arlene duduk. Kami berdua
gemetaran. Kami berdua mencengkeram lengan kursi begitu erat, hingga tangan kami
putih pucat. Lalu ia mengembuskan napas dalam-dalam. Ia mencondongkan tubuh di meja,
sementara tangannya mencengkeram daun meja.
"Apakah kalian Manusia Aneh dari Bumi?" tanyanya pelan, tenang.
"Tentu saja bukan." kataku.
"Mereka semua membuat kesalahan yang bodoh." Arlene menambahkan "Kami tidak tahu
apa yang mereka bicarakan."
Mr. Trager menaikkan alis matanya dengan curiga. "Kalian tidak tahu apa itu
Manusia Aneh dari Bumi?"
"Uh... iya. Tentu saja kami tahu siapa mereka," balasku, suaraku bergetar "Tapi
kami bukanlah mereka."
"Tidak mungkin," kata Arlene sambil menggelengkan kepala Arlene balas
menatapnya, mencoba meyakinkannya bahwa ia tidak takut.
Mr. Trager tak berkedip. Ia mengamati kami dengan dingin dan serius. Ia
mengambil sebatang pensil dan mengetukkannya dengan cepat di atas daun
meja. "Kalian benar-benar bukan Manusia Aneh dari Bumi?" akhirnya ia bertanya.
"Yang kalian tuturkan itu benar?"
Aku merasakan secercah harapan.
Barangkali ia mulai mempercayai kami. Barangkali jika kami terus berbohong,
terus memprotes, ia akan melepaskan kami.
"Mereka membuat kesalahan," aku mengulangi "Kami tidak begitu pandai
berolah raga. Tapi itu bukan berarti..."
Mr. Trager mengangkat tangan untuk menghentikanku.
Kuamati wajahnya. Apa ia mempercayai kami" Apakah ia akan melepaskan
kami" "Akan kuberikan kalian tes yang gampang," ujarnya.
Tes" Pupuslah semangatku. Tiba-tiba aku merasa mual. "Aku akan mengajukan
beberapa pertanyaan yang betul-betul sederhana," tuturnya, sambil mengetuk-
ngetukkan pensilnya lebih cepat lagi di meja, matanya bergantian memandangi
kami. "Akan mudah bagiku untuk melihat, apakah kalian berkata benar."
Ia menunggu, seakan-akan mengharapkan Arlene dan aku menyerah untuk
mengaku. Tapi kami tetap membisu. "Jacob, sebutkan tujuh benua," pintanya. Ia berhenti mengetuk, memegang pensil
itu di udara. "Akan kuberikan dua di antaranya - Plosia dan Andrigia."
Aku mengerang lemah. "Ayo," katanya berbisik "Sebutkan lima yang lain."
Aku menank napas dalam-dalam "Eh..."
"Jacob, tahukah kau bahwa ada tujuh benua?" tanyanya.
"Tentu saja," sahutku. Aku merasa keringat berjatuhan di pipiku yang panas.
"Tentu aku tahu ada tujuh."
Mr. Trager mengernyit lagi "Hmm, bukannya tujuh, Jacob. Kau tidak lulus tes ini.
Tujuh adalah angka Bumi. Yang benar ada gleventeen benua. Kami mengajarkan itu
di kelas firth." "Oh," kataku lemah. Aku merosot kembali di kursi, kepalaku serasa berputar,
pusing dan hampir tak bisa bernapas.
Mr. Trager menoleh ke Arlene. "Kau tahu ada gleventeen benua, kan?"
Arlene memandang sekilas dengan gugup ke arahku, lalu kembali pada kepala
sekolah itu. Dagunya bergetar. "Benar," katanya pelan.
"Baiklah kalau begitu, Arlene, aku yakin kau bisa menyebutkan grelve terakhir
para gubernur walikota kita," kata Mr. Trager dengan pensil bergantung di udara,
seperti sebuah tongkat dirigen.
Arlene mengerjap. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Ayo, silakan," kepala sekolah itu mendesak. "Sebutkan gubernur-walikota kita
yang sekarang." Arlene merundukkan kepala Bahunya gemetar, naik-turun.
Mr. Trager meraih telepon. Ia memencet tiga angka. Menunggu sejenak.
Lalu ia bicara dengan si penerima. "Kirim seseorang kemari segera. Kita telah
menangkap Manusia Aneh dari Bumi."
20 KETIKA Kepala Sekolah sedang menelepon, aku menoleh dan memandang
sepintas ke pintu kantor. Bisakah kami keluar pintu sebelum ia sempat
menghentikan kami" Tidak. Gerendel. Gerendel itu dikunci.
Saat aku mendorong membukanya, Mr. Trager akan menangkap kami.
"Ya , ya. Kau sebaiknya memberitahu GubernurWalikota," kata Kepala Sekolah di
telepon. Aku berpaling pada Arlene, memberi isyarat dengan mataku.
Ia mengangguk. Ia mengerti.
Kami berdua melompat ke jendela yang terbuka pada waktu bersamaan.
Mr. Trager berteriak dan menjatuhkan telepon. Kulihat ia melompat dari
kursinya. Tapi sudah terlambat. Arlene dan aku terjun dengan kepala lebih dulu keluar jendela.
Lututku membentur birai jendela saat meluncur keluar. Rasa sakit menyergap
tubuhku. Aku mendarat keras di rumput. Tapi aku berjuang untuk berdiri.
Kutarik Arlene bangun, dan kami mulai lari. Kami melompat melewati dinding yang
rendah di luar lapangan parkir, dan bergegas menuju taman bermain.
Aku mendengar bunyi alarm di dalam gedung.
Teriakan. Seseorang melambai dan menunjuk ke arah kami dari jendela ruang kelas
tingkat atas. Kami memotong jalan, menyeberangi taman bermain, berlari dengan kecepatan penuh.
"Kita pergi ke mana?" teriak Arlene.
"Menjauh!" jawabku.
Aku terkesiap sewaktu mendengar sirene dari ujung jalan. Keras dan pelan
bergantian, datang mendekat.
Kini sirene meraung-raung di sekeliling kami.
Polisi" Tiga orang laki-laki dengan jas hitam lari dari arah sekolah. Para guru" Seorang
di antaranya menunjuk ke arah kami, lalu mereka mengejar kami.
Kami menyeberangi jalan, melompati pagar, berlari cepat ke kebun depan milik
seseorang, lalu mengelilingi rumah menuju bagian belakang. Kebun belakang
dikelilingi pagar. Kami melompati pagar itu, berjuang memanjat dengan lengan dan
kaki kami. Kami masuk ke sebuah lorong. Sepatu kami menapaki aspal.
Aku terengah-engah mengambil napas ketika kami berbelok di sebuah pojokan, dan
tiba di sebuah kebun belakang lain.
"Wuah. Tunggu sebentar," teriakku megap-megap. Aku berhenti, terengah-
engah, dadaku terangkat naik-turun.
Arlene mengelap keringat dari dahinya dengan satu tangan. Matanya
membelalak ketakutan ketika terdengar langkah kaki cepat di lorong.
Di mana kami harus sembunyi" Di mana" Sebelum kami dapat bergerak, sebuah sosok
bergegas ke arah kami Jas hujannya mengibas berisik di belakangnya. Ia melambai-
lambai cepat dengan kedua tangannya.
"Dad!" teriakku.
"Apa yang terjadi?" tanyanya. "Sirene itu. "
"Kami tertangkap," aku memberitahukan. "Mereka datang mencari kami."
Dad memandang ke arah lorong. "Tak ada tempat untuk bersembunyi di sana.
Ayo pergi." Ia menarik kami ke jalanan. Sirene meraung di dekat kami. Teriakan-teriakan
marah di belakang kami. "Kita akan mencuri mobil," kata Dad, memandang sekilas ke kedua ujung jalan.
"Kita pergi dengan mobil. Kita akan keluar dari sini, dan memikirkan apa yang
akan kita lakukan selanjutnya."
Lusinan mobil kecil persegi diparkir sepanjang jalan. Kami berlari ke mobil yang
paling dekat, mobil hijau dengan ban kuning terang.
Dad menarik-narik pintu pengemudi "Terkunci."
Raungan sirene makin keras, mulai mendekati kami.
Kami lari ke mobil berikutnya, mobil hitam dengan jendela terbuka.
Dad meraih ke dalam, menarik pegangan pintu, dan pintu terayun membuka. Ia masuk
ke tempat duduk sopir, sedangkan aku naik ke depan Arlene masuk ke
tempat duduk belakang. Aku membanting pintu samping dan berpaling pada Dad. Ia memandangi
setirnya. Itu bukan setir, melainkan sebuah papan persegi dengan lusinan tombol merah di
tengahnya. "Apakah ini setir?" gumamnya. Ia menundukkan kepala dan
mencan-cari kontaknya "Aku seharusnya tahu, mobil-mobil di sini aneh. Aku tidak
berpikir jernih." "Tidak apa-apa. Dad pasti bisa mengemudikannya. Cepat" desakku. Aku
mengintip ke luar jendela dan melihat tiga mobil hitam berputar ke arah jalanan,
ban-ban mendecit. "Tapi bagaimana menstaternya?" Dad berteriak.
Kalang kabut ia mulai memencet tombol-tombol di tengah papan persegi itu.
Kami semua berteriak kaget ketika mesin menderu hidup
"Ganti gigi!" Dad berteriak sambil meraba-raba dengan tangan kanan "Ganti gigi!
Bagaimana menggantinya" Di mana giginya" Di mana?"
Ia tak bisa menemukannya. Dengan keras ia menekan tombol lain pada papan.
"Wuah" Aku berteriak ketika mobil meluncur tiba-tiba dari tepi jalan.
Ban-ban mendecit sewaktu kami menderu ke jalan.
"Tak ada pedal rem!" Dad berteriak sembari memegang erat papan persegi itu
dengan kedua tangannya. "Bagaimana aku mengurangi kecepatannya?"
Raungan sirene makin memekakkan telinga. Kujulurkan kepalaku keluar
jendela yang terbuka, dan melihat barisan dari empat mobil mengejar kami.
"Cepat melaju, Dad" tenakku "Mereka melihat kita!"
"Aku aku tidak tahu caranya!" teriak Dad. Ia mengempaskan tangannya pada
tombol-tombol di atas papan.
Mobil mendecit berhenti mendadak, meluncur di aspal, ban-bannya menggesek
jalanan. Aku tersentak ke depan. Kepalaku membentur kaca depan.
Dad memukul tombol-tombol lagi. Kami menderu ke depan lagi.
"Mereka makin dekat!" jerit Arlene "Tak bisa lebih cepat, Dad?"
Dad menghantam tombol-tombol itu dengan berang. "Kalau saja aku tahu
bagaimana mengendarai benda ini! Ini tak masuk akal! Tak ada pedal gas! Tak ada
rem!" "Mereka akan menangkap kita! Mereka akan menangkap kita!" Arlene
memekik. Bunyi sirene mendenging di telingaku.
Mobil kami meraung di jalan. Dad berjuang untuk mengendahkannya.
"Lebih cepat!" Arlene berteriak "Kita akan lepas dari mereka!"
Kulihat dinding batu bata merah tinggi di depan sana.
Napasku tertahan di kerongkongan.
Kucoba berteriak! Tapi tak bisa bersuara.
Dad memukul tombol-tombol dengan tinjunya. Ia mencoba memutar panelnya.
Ia tak bisa mengontrol mobil yang melesat pesat.
Dinding batu bata di depan kami.
Dan kemudian batu bata merah itu memenuhi kaca depan mobil.
Kudengar bunyi KRAAAAK yang mengerikan, bunyi pecahan gelas dan metal.
Kemudian hening. Segalanya jadi merah menyala... kemudian hitam.
21 AKU bangun dalam kegelapan. Kucoba mengenyahkan kegelapan itu dengan
mengerjap-ngerjapkan mata.
Bintik-bintik kelabu mulai terbentuk. Kulihat bayangan hitam naik-turun pada
cahaya suram kelabu. Sebuah jendela.
Jeruji di jendela. Sebuah dinding batu masuk ke dalam pandanganku. Aku meregangkan lengan.
Terasa sakit. Bahuku sakit.
Aku mengerjapkan mata lagi, mencoba menjernihkan kepalaku yang berdenyut.
Aku membersihkan kerongkonganku dengan berisik. Dan memandang ke
sekelilingku. Perlu waktu lama untuk menyadari bahwa aku sedang duduk di sebuah bangku
kayu, di sel penjara kecil.
Dalam sinar suram, kulihat sebuah sosok di lantai.
Dad" Kepalanya diperban. Arlene duduk membungkuk di sebuah dipan pendek yang
menempel di dinding. Satu lengannya terbalut gips yang berat.
Ia mengerjap-ngerjap dan meregangkan tubuh, membuka dan mengatupkan
mulutnya, seolah-olah mengetes rahangnya. Ia mengangkat tatapannya ke
arahku. "Jacob" Apa kita di dalam penjara?" Suaranya kedengaran serak dan lemah.
"Apa kita... baik-baik saja?" tanyaku.
Dad bergerak. Ia duduk tegak. Meraba perban di kepalanya dengan kedua
tangan. "Dinding bata..." gumamnya "Mobilnya...."
"Apa kita baik-baik saja?" aku mengulangi. Suaraku sendiri kedengaran asing.
"Lenganku..." Arlene terengah "Apa lenganku patah?" Ia memandang ke
sekeliling sel yang kecil. "Siapa yang membawa kita kemari"
Kami tak punya waktu untuk bicara.
Aku mendengar langkah-langkah kaki yang berat. Gemerincing metal. Pintu sel
mengayun terbuka. Dua penjaga berseragam hitam melangkah masuk ke dalam sel. Yang seorang
menarik Dad untuk berdiri. Temannya memberi isyarat pada Arlene dan aku.
"Ayo." "Di mana kami?" tanya Dad "Kenapa kalian membawa kami kemari?"
Para penjaga berwajah seram itu tidak menjawab. Yang seorang memandu jalan
melewati gang panjang beratap rendah, dan yang satunya lagi berjalan di
belakang kami, tangannya diletakkan di atas sarung pistolnya .
"Apakah ini penjara?" tanya Dad.
"Kami tidak melakukan kesalahan apa pun!" kataku pada mereka.
Para penjaga itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kami berjalan dalam
keheningan, yang terdengar hanya bunyi langkah sepatu kami di lantai beton.
Sepertinya kami berjalan berkilo-kilo meter. Kepalaku berdenyut. Bahuku sakit.
Kami berbelok di sebuah sudut, dan menyusuri sebuah gang panjang lain yang
seakan tak berujung, dengan pintu-pintu dari logam yang tertutup di kedua
sisinya. Akhirnya kami berhenti di depan sebuah ruangan berlantai kuning.
Salah satu penjaga membuka pintu. "Masuk ke dalam," temannya
memerintahkan. "Kami mau dibawa ke mana?" tanya Dad.
Penjaga itu mendorong punggung Dad. Dad terhuyung melewati pintu. Aku dan Arlene
mengikuti - masuk ke dalam kantor berpapan kayu, dengan rak buku
pada tiga dindingnya. Lantainya dialasi karpet berwarna marun. Cahaya terang
dari plafon besar berbentuk kerucut menyinari sebuah meja kayu gelap.
Laki-laki di belakang meja itu bangkit berdiri ketika kami masuk. Ia tampak
berumur sekitar lima puluh tahun atau lebih, dengan rambut kelabu yang mulai
menipis, wajah bulat pucat, dan mata kelabu yang menyorot dingin. Ia


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenakan jas biru laut, dengan semacam hiasan merah-kuning di bagian atas
kelepaknya. "Tiga orang narapidana, Gubernur-Walikota," salah seorang penjaga
memberitahu. Gubernur-Walikota itu mengamati kami sambil berjalan memutari meja besar.
"Tutup pintu dan tetap berjaga," ia memerintahkan para penjaga itu. "Para
narapidana ini mungkin berbahaya."
"Kami tidak berbahaya!" protesku.
Ia menatapku sejenak dengan mata kelabunya yang dingin. Lalu ia berbalik
kepada penjaga. "jika mereka coba kabur, bunuh mereka."
"Apa yang Anda inginkan?" teriakku. "Kenapa kami dibawa ke sini?"
Ia tidak menggubris pertanyaanku, dan melangkah ke arah ayahku Ia mengamati
perban yang membungkus seputar kepala ayahku. "Anda perlu belajar
mengemudi," katanya. Senyuman kejam mengembang di wajahnya.
"Saya Gubernur-Walikota Dermar," ia memberitahu Dad. "Sebutkan nama
Anda." "Eric Miller," sahut Dad. "Ini anak-anak saya, Arlene dan Jacob."
Kami berdiri kikuk di tengah-tengah ruangan, dengan dua penjaga berjaga-jaga di
belakang kami, di pintu. Kulihat empat kursi di depan meja, tapi
GubernurWalikota tidak mempersilakan kami duduk.
"Kenapa Anda datang ke sini?" ia bertanya pada Dad, dengan seringai sinis di
bibirnya "Saya... saya benar-benar tidak tahu," Dad tergagap.
"Akan saya ulangi pertanyaannya," kata Dermar dengan dingin, dengan gigi
dikatupkan. "Kenapa Anda datang ke sini?"
"Saya tidak tahu," ayah berkeras. "Kami bahkan tidak tahu di mana kami."
"Anda bohong," kata Dermar pelan. Wajahnya yang pucat memerah.
"Kami tidak bohong!" Arlene menjerit. "Kami kehilangan ingatan kami!"
Dermar tidak mengacuhkannya, ia mengarahkan tatapannya pada Dad "Kenapa
Anda datang ke sini?"
"Putri saya mengatakan yang sebenarnya," balas Dad. "Kami bertiga tidak
ingat. Ingatan kami hilang."
"Cerita itu takkan membantu kalian," kata Dermar. Ia bicara pelan, tapi dapat
kulihat giginya gemeretak, dan wajahnya tampak lebih keruh lagi.
"Kami tahu kenapa kalian datang, Mr. Miller. Kami tahu kalian memiliki
senjata." "Senjata apa?" kataku tiba-tiba, seraya menoleh ke arah Dad.
Dad angkat bahu. Di bawah perban yang berat, matanya menampakkan
kebingungan. "Saya tidak tahu apa-apa mengenai senjata," katanya pada
Dermar. Dermar mendekatkan wajahnya pada Dad dengan gaya mengancam. "Tidak ada
gunanya kalian berbohong ataupun pura-pura tidak ingat," katanya dengan
sangat berang. "Kami tahu kalian memiliki senjata, Mr. Miller"
"Tapi dengar dulu." Dad tergagap.
"Kami bicara benar." aku berkeras.
"Di mana senjatanya?" pinta Gubernur-Walikota dengan marah "Kami tahu
kalian datang untuk menghancurkan kami."
"Menghancurkan kalian?" Dad mengulangi. "Kami bahkan tidak tahu siapa
kalian. Atau di mana kami. Bagaimana kami bisa sampai di sini."
Dad mengeluarkan desahan putus asa. "Anda harus mempercayai kami. Saya
berkata benar." Dermar menatap dingin pada Dad, sambil menegangkan rahangnya, kemudian
mengendurkannya lagi. Percayakah ia pada Dad" aku bertanya-tanya dalam hati. Ia harus mempercayai Dad.
Dad berkata jujur. "Serahkan senjata itu sekarang," Dermar bersikeras.
Ia tidak mempercayai Dad sama sekali.
"Serahkan senjata itu sekarang," kata Dermar lagi. "Jika Anda ingin
menyelamatkan diri Anda dan anak-anak Anda dan banyak deraan rasa sakit."
"Rasa sakit?" Arlene berbisik.
"Jika kalian tidak memberikan senjata itu padaku atas kehendak kalian sendiri,"
Dermar mengancam, "saya tak punya pilihan lagi kecuali menyiksa kalian."
Dad terperangah. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Wajahnya pucat
pasi. "Dad," bisikku, "Dad mengerti maksud orang itu" Dad punya senjata?"
Dad menggelengkan kepala. "Tidak... aku tidak. mengerti sama sekali."
"Kami harus meyakinkan kalian agar bicara," ujar Dermar pelan. Ia memberi
isyarat kepada para penjaga.
Mereka memaksa kami berjalan menempuh gang yang panjang. Jantungku
muiai berdegup cepat. Kerongkonganku begitu kering, sampai ak? tak bisa
menelan. Apa mereka benar-benar akan menyiksa kami" Para penjaga itu membuka sebuah pintu
metal yang berat. Mereka mendorong kami masuk ke dalam ruangan yang beratap tinggi,
seukuran ruangan senam. Aku memandang sebuah benda di tengah ruangan.
Kemudian aku mulai menjerit.
22 BEBERAPA menit kemudian, kami tergantung-gantung dengan kaki di atas,
kepala di bawah, tali tebal erat mengikat seputar pergelangan kaki kami.
Darah mengalir cepat ke kepalaku. Aku merasa pusing. Mual.
Pergelangan kakiku berdenyut sakit. Tali itu sangat erat... erat sekali.
Aku membuka mulut dan menghirup napas dalam-dalam. Jantungku berdegup
keras sekali, sampai dadaku sakit.
Aku tergantung di tengah-tengah, di antara Arlene dan Dad.
Tanganku terkulai lemas. Tali itu bergoyang sedikit, membuatku berayun ke arah
Arlene. Menatap ke bawah, aku disergap. kengerian.
Kulihat kuali hitam yang sangat besar, tepat di bawah kami.
Seperti belanga besar dan salah satu film lama tentang hutan dengan manusia
kanibalnya. Semacam belanga bundar untuk merebus manusia.
Sesuatu bergelembung di dalamnya.
Aku memandang nyalang ke bawah, gemetar ngeri, berusaha memfokuskan
pandangan, untuk melihat apa yang bergelembung di dalam kuali itu.
Kau akan segera mengetahuinya, Jacob, kataku dalam hati jika Dad tidak
mengatakan pada mereka apa yang mereka inginkan, kau akan segera
mengetahui apa yang ada di dalam belanga itu.
"Kalian akan serahkan senjata itu?" aku mendengar suara Dermar, entah di
mana di belakang kami. "Apakah kalian akan menyelamatkan diri dan
menyerahkannya?" "Saya... tidak bisa!" Dad mengerang. Wajahnya merah menyala. Roman
mukanya terpilin kesakitan. "Saya... tidak tahu... apa yang... Anda maksud."
"Kami tidak tahu apa-apa!" Arlene memekik, suaranya tinggi karena ketakutan.
"Lepaskan kami! Kami tidak punya senjata apa pun"
Aku mendengar desahan Dermar. "Saya sudah memberikan kesempatan pada
kalian." Tali itu meluncur. Kuali yang menggelegak tampak makin mendekat.
Aku menyadari bahwa mereka menurunkan talinya. Menurunkan kami masuk
ke dalam belanga besar. Makin turun... makin turun...
23 "JANGAN! Tolong!" Arlene memekik.
"Hentikan! Hentikan!" Dad berteriak.
Aku mendengar roda gigi berkeriat-keriut ketika tali itu membawa kami lebih
turun lagi. Aku merenggut tangan Dad sewaktu belanga itu tampak siap
menelan kami. Dan di dalam belanga itu...
Teraduk, bergelembung di dalam belanga itu.. .. Kulihat serangga-serangga
Splatter. Jutaan serangga bulat berbulu.
Jutaan... Mereka bergelembung seperti sop kental dan keruh. Mendengkur dan
mengerang: Serangga-serangga Splatter bergolak di dalam belanga.
Tanganku tercelup ke dalam kuali. Splatter-Splatter mengerumuni. Ke seluruh
tangan dan pergelangan tanganku. Lengket dan hangat, bulu hitam tajam
mereka menusuk kulitku. Mereka melekat ke tanganku, lenganku.
Makin turun... Mereka merubung seluruh bahuku.
"Oh, .. tolong," kudengar Arlene mengerang. "Memuakkan sekali..."
Makin turun... Kucoba bersiul. Aku ingat bahwa siulan bisa membikin para Splatter itu lemas.
Tapi napasku tersangkut di kerongkongan.
Makhluk-makhluk berbentuk gelembung dan berbulu itu melekat padaku.
Memanjati tubuhku. Mendengkur ketika mengerubungi aku.
Kusadari bahwa kami akan tenggelam.
Kami akan tenggelam dalam serangga-serangga Splatter.
Semakin turun... Kepalaku membentur pinggiran belanga, lalu masuk ke dalam.
Kubuka mulutku untuk mencoba bersiul lagi dan seekor Splatter berguling ke
lidahku. Splatter-Splatter lain ada di rambutku kini. Mereka melekat di wajahku.
Aku memejamkan mata... ...dan mendengar mereka! Ya. Mereka bicara padaku. Dalam hati. Aku dapat membaca pikiran mereka!
Ini sungguh luar biasa. "Kami. .. takkan... menyakiti... mu." Kata-kata mereka berdenging di telingaku.
Apa aku sudah gila" aku bertanya dalam hati. Apa aku cuma bermimpi dan
mengharapkan ini" Atau mereka betul-betul berkomunikasi denganku Aku tenggelam
lebih dalam... Bahuku masuk ke tengah-tengah serangga-serangga gendut itu.
Aku tak bisa melihat Dad atau Arlene sekarang. Kepalaku terkubur di dalam
serangga-serangga lengket berbulu
"Kami takkan menyakitimu. Berpura-puralah bekerja sama dengan Dermar.
Aku bisa mendengar suara mereka dalam pikiranku. Benar-benar bisa!
Apa aku harus mempercayai mereka"
Apa aku punya pilihan lain"
"Dad ," kucoba memanggil Dalam hati aku bertanya, apakah ia bisa mendengar
mereka juga. Tapi aku tak bisa bersuara. Aku tercekik dalam lautan tebal para Splatter.
Mereka merangkak ke atas dahiku, di atas kelopak mataku, ke dalam telingaku.
"Berpura-puralah bekerja sama dengan Dermar"
Tapi sudah terlambat, pikirku.
Aku merasakan tali mengendur dan menggeser dan pergelangan kakiku.
Aku terjun lebih dalam lagi ke dalam serangga-serangga gendut yang lengket.
Aku tenggelam. Aku tak bisa bernapas... tak bisa bernapas sama sekali.
24 AKU jatuh ke dalam kehangatan yang lengket. Begitu gelap.... begitu gelap
kini... lebih gelap daripada gelapnya malam.
Kubuka mulutku, berjuang untuk mengambil napas. Tapi para Splatter mengalir ke
dalam lidahku. Dengkuran mereka yang pelan dan pendek memenuhi telingaku.
Dadaku terasa sakit. Tak dapat bernapas... tak dapat bernapas. Dan kemudian, dari suatu tempat yang
jauh, aku mendengar suara Dad. "Oke, akan saya berikan senjatanya!"
Hening. Kemudian suara Dad lagi. "Lepaskan kami! Akan saya berikan senjata itu pada
kalian!" "Dad...," bisikku. "Dad benar-benar punya senjata?"
"Tidak," jawabnya.. "Aku cuma berdalih."
Kurasakan kuali itu mulai miring.
Aku meluncur... meluncur bersama serangga-serangga. Jatuh berguling di atas,
melewati mereka. Kami miring lebih keras. Seseorang memiringkan belanga itu sepenuhnya, sehingga kami tumpah keluar.
Kepalaku muncul dari selimut tebal serangga-serangga. Aku menghirup napas yang
dalam dan melegakan. Aku merasa begitu lega. Terengah-engah seperti anjing, aku mulai bernapas lagi.
Kami semua keluar dari kuali.
Punggungku mendarat keras di lantai.
Kami bertiga merangkak di lantai, dipenuhi serangga-serangga lengket. Kuseka
mereka dari mataku. Kupukul mereka dari rambutku. Aku mencoba bersiul, tapi
mulutku terlalu kering. Aku melihat Arlene mengibaskan Splatter-Splatter dari balutan gipsnya.
Menarik mereka dari telinganya. Ia menarik seekor serangga gendut berbulu dari
lidahnya. Kutarik mereka dari dalam kemejaku. Terdengar suara PLOP pelan ketika aku
mencabut mereka dari dadaku.
Aku berguling ke samping. Memandang Dad. "Apa yang akan Dad lakukan?"
bisikku. "Apa, Dad berkata benar tentang senjata itu" Apa Dad memilikinya?"
Dad duduk tegak dan menatap balik ke arahku. "Tidak. Aku tidak tahu apa pun
tentang senjata itu," bisiknya.
Aku menoleh. Kulihat kuali itu miring ke samping. Longsoran para Splatter
membanjir dari sana. Seperti ombak laut, jutaan serangga mendengkur
bergulung di lantai. Dermar melangkah ke depan, diikuti oleh dua penjaganya.
Ia mengulurkan tangannya. "Senjatanya... sekarang !" perintahnya.
Arlene dan aku menatap Dad. Apa yang akan ia lakukan"
Kami tak punya kesempatan untuk mengetahui lebih lanjut.
Dermar melontarkan teriakan ketika ombak Splatter menyerangnya.
Serangga-serangga gendut berbentuk gelembung mengerubuhgi Dermar dan
penjaga-penjaganya. Lautan serangga itu menutupi tiga lelaki tersebut dengan cepat. Dalam beberapa
detik, aku tak dapat melihat wajah mereka, seragam mereka.
Dermar dan penjaga-penjaganya roboh di bawah tekanan beratnya serangga-
serangga. Dan lenyap dari pandangan.
Dan kemudian, ketika aku melotot dengan penuh keheranan, kulihat Dermar
berdiri terhuyung. Dengan dipenuhi serangga-serangga lengket, Dermar dan
para penjaga bangkit berdiri. Mereka terhuyung ke depan beberapa langkah.
Berbalik. Dan lari. Splatter-Splatter berjatuhan dari tubuh mereka sewaktu mereka lari ke pintu dan
lenyap ke luar. Dad, Arlene, dan aku berdiri berjejer, masih megap-megap, masih terpaku
kaget. Gigiku gemeretak. Kakiku nyeri dan gatal.
"Kita... baik-baik saja," Arlene berbisik tak pasti. "Mereka sudah pergi."
Kutarik seekor Splatter dari tengkukku dan kujatuhkan ke lantai.
"Mungkin kita bisa pergi dari sini," kata Dad, suaranya serak dan kering.
"Tapi... ke mana kita bisa pergi?" tanyaku.
Sebelum siapa pun dapat menjawab, Splatter- Splatter itu bangkit.
Kulihat mereka berguhng-guling, seperti ombak bergulung dan pantai.
Mereka berputar menghadapi kami.
Mereka saling mengerubungi, memanjat, dan menjulang untuk menghalangi
jalan kami. Mereka akan menyerang kami sekarang, aku tersadar.
Kami... celaka. 25 KAMI terperangkap. Splatter-Splatter menghalangi jalan ke arah pintu.
Mereka saling memanjat, membangun sebuah piramida. Sebuah piramida yang
lebih tinggi daripada kami.
Dad, Arlene, dan aku melangkah mundur. Kakiku gemetaran sekarang. Gigiku
masih gemeletuk. Punggungku membentur dinding.
Piramida serangga itu bergerak mendekati kami.
Arlene menempelkan satu tangan pada wajahnya.
Kuambil napas dalam-dalam, siap-siap dikerubungi serangga-serangga itu.
Tapi aku terkejut melihat piramida yang menggelegak dan berombak-ombak itu
berhenti beberapa meter di depan kami.


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Splatter yang paling atas bicara pada kami - tanpa suara - bicara dalam
pikiran kami. "Jangan takut," aku mendengar kata-katanya dengan jelas, meskipun ia tidak
bersuara. "Namaku Grolff, pemimpin yang ditunjuk," katanya "Kami membawa kalian
kemari dari bumi. Kami menghapus ingatan kalian. Kami ingin memastikan
kalian memilki senjata itu."
"Senjata?" Dad berteriak "Senjata apa?"
"Senjata yang akan membantu kami menghancurkan mereka," jawab Grolff.
"Kau mau memusnahkan orang-orang itu?" tanya Dad "Kenapa?"
"Mereka memperlakukan kami seperti serangga." Grolff menyatakan dengan berang.
"Kami lebih hebat dibanding mereka dalam segala hal. Kami punya
inteligensi lebih tinggi. Kami lebih pintar daripada mereka sampai kapan pun.
Tapi, karena rupa kami, mereka memperlakukan kami seperti serangga yang tak
berarti." Aku mengawasi Groiff berdenyut di puncak piramida hidup itu. Aku mendengar kata-
katanya berdenging dalam pikiranku, dan kurasakan kemarahannya yang
amat hebat. "Mereka membunuh kami tanpa alasan." jerit Grolff. "Mereka menggencet
kami di antara tangan mereka, untuk kesenangan belaka. Setiap hari mereka
mengambil hidup kami, dan mereka pikir itu lucu. Mereka membunuh kami dan
tertawa." Aku memejamkan mata. Kemurkaannya membuat kepalaku sakit.
Ketika aku membuka mata lagi, Grolff masih berdenyut di atas kami, di puncak
piramida Splatter. "Serahkan senjata itu sekarang" kudengar ia berkata pada Dad. "Kalian telah
membawa senjata dari bumi yang akan membuat kami berkuasa dan mengakhiri
semua penjagalan." "Tapi senjata apa?" tanya Dad. "Aku bersumpah. Aku benar-benar tidak tahu apa
yang kaubicarakan." "Arlojimu," sahut Grolff "Berikan pada kami sekarang."
"Hah?" Dad mengangkat pergelangan tangannya, dan ternganga menatap
arlojinya. "Arlojiku" Bagaimana ini bisa membantumu?"
"Kami memasang bom yang sangat kuat di dalamnya," Grolff menjelaskan.
"Sewaktu masih di bumi. Sebelum kami membawa kalian kemari. Sebelum
kami menghapus ingatan kalian. Kami memasang bom di arlojimu."
Dad melotot memandangi arloji itu. "Tapi... tapi.. ," ia tergagap.
"Kami menanam bom itu di tempat yang takkan terpikir untuk diperiksa oleh musuh
kami," kata Grolff. Dad mernandangi arloji itu. Seluruh lengannya mulai gemetar.
"Serahkan saja itu pada kami," Grolff mendesak. "Dan kalian akan menjadi
pahlawan untuk kami semua. Kami akan selalu ingat pada kalian. Kami akan
selalu ingat kalian sebagai pahlawan. Serahkan arloji itu, dan kami akan bebas.
Kami akan dapat mengalahkan mereka, musuh-rnusuh kami."
Dad mengangkat pergelangan tangannya. Ia meraih arlojinya.
"Terima kasih untuk keberanianmu," kata Groiff "Terima kasih kami untuk
kalian bertiga" Piramida Splatter yang tinggi dan lengket itu menggelegak dan bergelembung
karena gembira. Terdengar ocehan melengking nyaring.
Dad melepaskan arlojinya Ia mengamatinya sekali lagi, kemudian
memberikannya pada Grolff.
Dad terengah ketika aku merenggutkan arloji itu dan tangannya.
Aku bergerak cepat. Tak kuberikan kesempatan pada seorang pun untuk
beraksi. Kuempaskan arloji itu ke dinding.
Kuempaskan. Kuempaskan sampai knstalnya hancur.
Lalu kuempaskan lagi. "Jacob... jangan" Dad terengah "Kenapa kaulakukan itu" Kenapa?"
26 AKU bernapas dengan susah payah. Jantungku berdebam-debam seperti pahat
beton terpantek di dadaku.
Tanganku menggigil ketika kupegang arloji yang pecah itu.
Arloji itu bergetar di tanganku.
Bergetar lebih keras. Lengkingan nyaring keluar dari dalamnya.
"Kau menyalakan alarmnya" Grolff menjerit. "Oh, tidaaaaak! Matikan itu!
Matikan alarmnya! Kau goblooook!"
Raungan itu memekakkan telinga, lebih tinggi dan lebih keras daripada sirene
mana pun. Tidak kupedulikan teriakan panik Grolff. Kujatuhkan arloji yang mendengung itu
ke lantai, dan kutekankan tanganku menutupi telinga.
Arlene dan Dad dengan kalut menutupi telinga mereka.
Tapi bunyi itu terlalu melengking, terlalu keras. Menusuk-nusuk telinga.
Lengkingan itu menikamkan rasa sakit di kepalaku.
Kutekankan lagi tanganku lebih keras ke telinga.
Makin keras bunyi itu makin keras, meraung lebih tinggi, lebih keras.
Aku menoleh dan melihat kawanan Splatter mulai meletus.
TUS TUS TUS TUS Ratusan Splatter meletus sekaligus,
menyemburkan cairan kuning pekat di udara.
Raungan nyaring alarm jam membuat para Splatter meletus.
Setiap TUS membuat cairan kuning lain muncrat beterbangan.
Dalam beberapa detik, lantai dikotori oleh tubuh Splatter-Splatter gendut dan
berbulu yang mati. Tubuh-tubuh itu terkapar dalam genangan kuning kental.
"Hei!" aku berteriak ketika cairan kuning memercik ke wajahku. Kututupi
mataku, kucoba mengelap cairan panas itu dari kulitku.
TUSTUSTUSTUS Kawanan Splatter mati. Meletus. Menyembur.
Piramida itu ambruk. Gelombang cairan kuning pekat menyembur ke arah Dad, Arlene, dan aku.
Cairan kental menyebar seperti danau di lantai.
Hanya dalam beberapa menit.
Semua Splatter meletus. Hening kini. Bunyi tubuh yang meletus sudah berhenti.
Lengkingan dari arloji itu mulai mereda.
Kuseka percikan cairan kuning pekat dari dahiku. Tanganku berlepotan dan
lengket. Bajuku basah kuyup.
Aku melangkahi arloji itu. Dad dan Arlene hergerak sempoyongan menjauhi
dinding. Kami semua basah kuyup, linglung, dan pusing. Raungan dan arloji telah
berhenti total, tapi telingaku masih saja berdenging.
Kami terhuyung ke arah ke pintu. Tak seorang pun bicara.
Yang terdengar cuma bunyi KREEEK dan tubuh para Splatter yang terinjak sepatu
kami. Kami tergelincir dan meluncur ke pintu.
"Kenapa?" tanya Dad berbisik. "Kenapa, Jakie" Aku akan memberikan arloji itu
kepada para Splatter. Kenapa kau menghancurkannya dan menyalakan
alarmnya?" "Aku tahu mereka jahat," aku menjelaskan. "Aku bisa mendengar suara Grolff dalam
pikiranku. Lalu, dengan tiba-tiba, aku bisa membaca pikirannya juga.
Setelah kita berikan jam itu, mereka berencana meletuskan kita!"
"Mungkin kita bisa menyelinap keluar dari sini," Dad berbisik. "Mungkin kita
dapat menemukan tempat untuk bersembunyi. Tempat untuk berpikir."
Ia meraih pintu. Tapi pintu itu terbuka sebelum ia dapat menyentuhnya.
Dermar menyerbu masuk, diikuti oleh empat penjaga berseragam.
"Memangnya kalian mau ke mana?" katanya dengan suara menggelegar.
27 "OHHHH!" Erangan ngeri terloncat dan kerongkonganku.
Aku mundur. Kakiku gemetaran. Sekonyong-konyong aku merasa pusing dan lemas.
Arlene merenggutkan tanganku. Jemarinya sedingin es.
Sebuah seringai tersungging di bibir Dermar ketika ia memandangi karpet yang
dipenuhi tubuh-tubuh Splatter yang mati dan cairan kuning. Ia mengamati
pemandangan mengerikan itu selama beberapa saat, lalu matanya yang kelabu dan
aneh itu menatap kami lagi.
"Kalian tidak akan pergi ke mana-mana,"katanya, "sebelum kita merayakan
ini." Kami terperangah menatapnya. Aku ternganga. Aku berusaha mengatur
napasku. "Merayakan?" Arlene tercekat.
Dermar mengangguk. Senyuman mengembang di wajahnya.
"Kalian telah menghancurkan musuh kami dengan menyalakan alarm itu,"
katanya. Keempat penjaga bersorak. "Kalian pahiawan nasional kami!" salah seorang
dari mereka berseru. "Pahlawan" Kami?" kataku.
"Pahlawan!" para penjaga yang lain setuju.
"Splatter-Splatter itu jahat," Dermar menjelaskan. "Kami tak pernah merasa aman
bila mereka ada di sini. Mereka selalu berencana untuk mengambil alih.
Kami mencoba berdamai dengan mereka. Tapi mereka selalu berencana
menghancurkan kami."
Dermar menyeka segumpal cairan kuning dari bahu Dad. Ia menyalami tangan
Dad. Kemudian ia dengan sangat gembira menyalami Arlene dan aku.
"Berturut-turut para Splatter membawa Manusia Aneh dari Bumi ke sini untuk
menghancurkan kami," lanjutnya. "Mereka memasang senjata pada Manusia
Aneh dari Bumi dan menghapus ingatan mereka. Itulah sebabnya kami begitu
ingin menemukan kalian. Kami tahu mereka memasang semacam bom pada
kalian, Manusia Aneh."
"Uh, Sir?" kataku. "Kami tidak terlalu suka dipanggil Manusia Aneh. Itu suatu
hinaan kalau di Bumi."
Wajah Dermar memerah "Oh, saya sungguh menyesal," katanya. "Di planet
kami, itu suatu pujian. Aku tidak bermaksud begitu. Aku tak pernah bermaksud
menghina kalian." Ia bergerak ke arah pintu. "Ayo. Kita ambil baju bersih untuk kalian. Lalu kita
akan merayakan. Kita akan mengadakan perayaan akbar di aula, mengundang
semua orang untuk bersulang atas kemenangan kita, dan salut untuk keberanian
kalian." Aku tersenyum lebar sambil mengikuti Dermar.
Dad dan Arlene juga tersenyum.
Kami merasa cukup bangga atas diri kami.
Kami merasa sangat lega. Kami merasa seperti pahlawan.
Kami tak pernah menyangka bahwa berita paling buruk masih akan datang.
28 PERAYAAN itu berlangsung dua hari.
Ribuan orang yang gembira datang ke aula megah di kediaman Gubernur-
Walikota. Mereka makan dan minum, serta menari dan memberi penghormatan
pada kami. Ratusan kelompok musik yang berbeda tampil. Orang-orang menari sampai
kecapekan - tarian aneh yang belum pernah kulihat.
Meja makan yang panjang telah kosong oleh para pengurijung yang kelaparan
- tapi terus diisi lagi.
Belum pernah kulihat begitu banyak makanan dan sampanye masuk ke dalam
ketiak orang. Dad, Arlene, dan aku memakai seragam warna hitam dan emas seperti milik
Dermar. Seragamku terasa gatal dan ketat. Tapi masih lebih baik daripada jins dan
Tshirt- ku yang kotor dengan cairan- pekat.
Kami berpesta dan berdansa, serta makan bersama setiap orang. Belum pernah
kulihat pesta liar seperti ini. Tak bisa kupercaya ini adalah kehormatan untuk
kami! Setiap beberapa jam sekali, Dermar menghentikan musik dan menyuruh semua
orang untuk diam, agar ia bisa berpidato. Dalam pidatonya, ia mendoakan kami dan
memberitahu semua orang betapa beraninya kami melawan para Splatter. Ia bilang
pada semua orang bahwa akulah yang paling berani dan paling arif,
karena akuiah satu-satunya yang membanting arloji itu dan menyalakan
alarmnya. Begitu pidatonya selesai, musik dan pesta dimulai lagi, seakan-akan takkan
pernah selesai. Setelah dua hari, pesta masih tampak semarak. Tapi kami kehabisan tenaga.
Dengan lengan saling merangkul, kami menemui Dermar yang sedang duduk di
pojokan. Ia memasukkan sepotong kue cokelat ke dalam ketiaknya.
Dua pengawal berdiri di sampingnya. Yang seorang memegang minumannya,
yang lain memegang piring dengan potongan kue cokelat lain.
"Senang dengan pestanya?" tanya Dermar. Ketiaknya membuat bunyi isapan
ketika selesai menghabiskan kue. Ia menurunkan lengannya.
"Luar biasa!" aku menjawab.
Arlene menguap. "Luar biasa," ia mengulang dengan letih.
"Pesta yang sangat bagus, Dermar," ujar Dad. "Kami ingin berterima kasih pada
Anda. Kami tidak akan melupakannya."
"Tentu saja tidak," Dermar mengulangi, sambil meraih sepotong kue lagi.
"Kami ingin minta tolong," kata Dad.
Dermar mendorong sebongkah kue ke dalam ketiaknya. "Minta tolong?"
tanyanya, mengatasi bunyi kunyahan yang keras.
Dad mengangguk. "Anak-anak saya dan saya sangat rindu pulang. Kami ingin
kembali ke Bumi sekarang."
Dermar memandang Dad. Dahinya berkerut berlipat. "Kembali ke Bumi?" Ia
menurunkan lengannya. "Ya," kata Dad. "Kami siap untuk pulang ke Bumi."
Kerutan di dahi Dermar semakin dalam. "Maafkan aku," katanya pelan. "Aku
punya kabar buruk untuk kalian."
"K-kabar buruk?" aku tergagap.
"Kami tak dapat mengirim kalian kembali," ujarnya. "Kami tidak punya
pesawat luar angkasa."
"Tapi... tapi... bagaimana kami bisa sampai kemari?" aku berteriak.
"Kaum Splatter memiliki pesawat luar angkasa. Hanya mereka yang tahu
bagaimana membawa kalian kemari. Mereka sedikit lebih maju dari kami di
bidang itu." "Tapi kami harus pulang ke rumah!" Arlene berteriak.
Dermar bangkit berdiri. Ia meletakkan tangannya di bahu Arlene. "Jangan
kuatir," katanya. "Kami akan membuatkan rumah untuk kalian di sini."
Ia menoleh pada Dad. "Kami memiliki ahli bedah yang bisa membuat pipa
makanan di dalam ketiak kalian," kata Dermar "Dengan begitu, kalian akan
merasa seperti kami."
Dermar mendorong kami ke arah pintu
"Ayo," ujarnya "Aku akan membawa kalian ke ahli bedah sekarang."
29 SALAH seorang penjaga menghentikan Dermar. "Saya punya ide," katanya
"Ingat Phil Tua Gila" Dia telah bereksperimen dengan pesawat luar angkasa."
Dermar menggelengkan kepala. "Terlalu berbahaya," ia bergumam "Kita tidak bisa
mempercayakan mereka pada Phil Tua Gila. Kita tidak bisa mengambil
resiko membahayakan keselamatan para pahlawan nasional kita ini."
"Tapi dapatkah pesawat luar angkasanya membawa kami kembali ke Bumi?"
tanyaku "Kami menghargai kebaikan Anda, tapi kami benar-benar ingin pulang ke
rumah." "Phil sangat cemerlang, tapi sinting," kata Dermar "Tak ada satu pun ciptaannya
yang berfungsi. Menurutku kahan tidak akan aman di pesawat luar angkasanya"
"Tapi itu pantas dicoba!" aku bersikeras.
Dad dan Arlene setuju. "Tolong, biarkan kami melihatnya," Dad memohon "Kita lihat saja, apakah
menurut Phil dia dapat mengirim kami pulang"
Dermar angkat bahu. "Kalian pahiawan nasional," katanya "Jika kalian ingin
mempertaruhkan hidup kalian, aku tak bisa bilang tidak. Tapi kuharap kalian
tidak menjadi pahlawan nasional yang mati."
Aku juga, pikirku, seraya menelan dengan susah. Aku juga.
*** Phil seorang lelaki kecil kurus, dengan lengan dan kaki bagaikan tongkat dan
kepala panjang dan kurus. Cara ia mencondongkan tubuh sewaktu bicara,
sembari menggosokkan kedua tangannya yang ramping, membuat ia lebih
kehhatan seperti seekor belalang daripada manusia.


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia memiliki rambut tebal berwarna cokelat yang berdiri tegak di kepalanya, dan
mata hijau kecil yang bergerak dan kiri ke kanan. Dan sering ia membuka
mulutnya lebar-lebar dalam ringkikan tawa kuda yang menampakkan semulut
penuh gigi panjang dan bengkok.
Untuk alasan tertentu, meskipun ia bekerja di tempat terbuka di kebun
belakangnya, Phil mengenakan celemek putih panjang di atas baju kerja dan kemeja
flanelnya yang kuning. "Apa yang kalian tahu. Apa yang kalian tahu," ia terus mengulang ketika Dad,
Arlene, dan aku melihat-lihat pesawat luar angkasanya.
Pesawatnya sangat besar, berdiri tegak di tengah-tengah kebunnya, dua kali lebih
tinggi dari tiang bendera di dekat pagar. Dibuat dari semacam metal berkilat-
kilat dan bentuknya seperti pesawat jet, hanya saja benda ini berdiri pada
ekornya..l "Apa yang kalian tahu. Apa yang kalian tahu," Phil bergumam. Ia berhenti
untuk mengencangkan baut dekat pintu roket.
"Apakah ini bisa?" tanya Dad. "Pernahkah kau mencobanya" Apakah ini akan
membawa kami kembali ke Bumi?"
Phil mengelus dagunya yang runcing. "Hanya, satu cara untuk mengujinya," ia
berkata dalam logat khasnya, dengan suara pelan dan parau.
"Apakah aman?" tanya Arlene.
Phil menggangguk. "Seharusnya aman. Kami tidak ketinggalan terlalu jauh dari
kaum Splatter. Mereka tidak sepintar yang mereka pikir. Aku memakai rencana
mereka. Dan membuat beberapa perbaikan. Pesawat ini pasti bisa membawa
kalian dengan aman ke Bumi."
Dad, Arlene, dan aku berdempetan di dekat pagar.
Kami tahu kami tak punya pilihan lagi. Kami tidak mau tinggal di sini. Kami
tidak mau ketiak kami dibor untuk membuat lubang makanan.
Kami ingin pulang. Kami harus mencoba pesawat luar angkasa Phil.
*** Hari berikutnya, ribuan orang berkumpul di kebun belakang Phil, untuk
mengelu-elukan keberangkatan kami.
Dermar berdiri di podium kecil dan menyampaikan pidato lagi. Ia berharap
penerbangan kami aman. "Penerbangan yang aman!" ribuan orang berteriak.
Lalu, sambil mereka semua menyoraki kami, Phil menarik lubang palka
pesawat luar angkasa itu.
Aku berjalan paling depan, menaiki tangga pesawat yang terbuat dari metal.
Kami melangkah ke dalam pesawat dan mengambil tempat pada papan
pengontrol. Kami mengikat diri kami sendiri, seperti yang diinstruksikan Phil
kemarin. Papan pengontrol menyala, berbunyi klik dan tiit.
Suara sorakan dan kerumunan lenyap ketika lubang palka pesawat luar angkasa
ditutup dari luar. Kupegang lengan kursi kokpit dengan erat. "Apa segalanya akan baik-baik
saja?" tanyaku berbisik.
"Phil bilang, pesawat ini aman," Dad menjawab. "Kita harus percaya pada Phil.
Dia bilang dia akan mengembalikan kita ke Bumi."
Kata-kata Dad terdengar berani, tapi kulihat dagunya gemetar. Ia menatap lurus
ke depan, pada papan pengontrol yang berkedip-kedip.
Kami menunggu Phil memencet pengontrol di luar, yang akan menembakkan
kami ke luar angkasa. Dan kami menunggu. Dan menunggu. Apa yang terjadi" aku bertanya-tanya. Kenapa begitu lama"
Dan kemudian aku mendengar bunyi gemuruh pelan.
Yang berkembang menjadi deruman.
Pesawat luar angkasa mulai bergoyang. Makin keras. Makin keras.
Dan kemudian meledak. 30 AKU memejamkan mata. Menunggu rasa sakit yang amat sangat itu tiba.
Menantikan kegelapan yang tiada akhirnya.
Tapi tidak ada apa-apa. Pesawat angkasa itu bergemuruh di sekelilingku. Kubuka mataku dan kulihat cahaya
berkilat di atas papan kontrol.
Dad dan Arlene tersenyum.
"Bukan ledakan," gumamku. Aku balas meringis pada mereka. "Kupikir
pesawatnya meledak."
"Aku juga," Dad mengaku. "Ternyata cuma lepas landas."
"Kita dalam perjalanan pulang!" Arlene berteriak gembira. "Dan jika Phil
melakukan semuanya dengan benar, kita seharusnya segera tiba di rumah."
Kemarin, Phil mengatakan pada kami bahwa ia menggunakan sistem rangkaian
kesatuan waktu angkasa. Aku tidak begitu mengerti tentang itu. Tapi itu berarti
kami seharusnya bisa tiba kembali di Bumi dalam waktu sangat singkat.
Aku menatap alat pengontrol yang berkedip-kedip, dan aku bersantai sebentar.
Suatu sentakan keras membuat kami bertiga berteriak.
Pesawat berguncang keras, bergoyang dan meletup.
Kepalaku tersentak ke depan. Lalu aku merasa seluruh tubuhku ditarik ke
belakang. Kami duduk dalam keheningan selama beberapa detik.
"Kurasa kurasa kita sudah mendarat," Dad bergumam.
Pintu pesawat terbuka. Sinar matahari terang mengalir masuk ke dalam pesawat.
"Inikah matahari kita?" tanya Arlene, melepaskan sabuk pengamannya.
"Apakah kita benar-benar kembali ke Bumi?"
Jantungku berdegup kencang saat kuikuti Dad dan Arlene keluar dari pesawat.
Aku memandang lingkungan sekitar yang tersiram sinar matahari. Angin sepoi-sepoi
lembut mengipas-ngipas pepohonan.
Aku begitu bahagia, aku ingin mencium tanah!
Rumput. Rumput hijau yang indah. Di lapangan rumput yang cantik.
Dan di bawah langit biru - rumah-rumah. Rumah berderet di belakang
pepohonan dan pagar. Rumah-rumah yang normal.
Lingkungan yang normal. Kami tidak tahu kota apa yang kami datangi ini. Atau di negara bagian atau di
negeri mana. Tapi kami bahagia. Kami berlari sambil melompat-lompat di jalan, saling
bergandengan. Kami berhenti ketika berpapasan dengan seorang pria dan wanita yang sedang
mencabuti rumput liar di kebun depan.
"Selamat pagi!" aku berseru senang pada mereka.
"Han yang indah, bukan?" Dad menambahkan seraya tersenyum lebar.
Pria dan wanita itu balas tersenyum pada kami. Kemudian mereka menarik
kepala mereka dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
Ketakutan aku memandang ternganga ketika kepala kadal ungu yang bersisik
menyembul dari leher mereka yang terbuka.
"Ya, hari yang indah," seekor kepala kadal menyahut. "Kalian berasal dari
sekitar sini?" END Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Raja Pedang 2 Pendekar Rajawali Sakti 77 Misteri Naga Laut Kuda Besi 4
^