Pencarian

Manusia Bumi Mesti Enyah 1

Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah Bagian 1


R.L. Stine Manusia Bumi Mesti Enyah (Goosebumps 2000 # 24) Selamat Datang di Abad Baru
Dunia Horor Goosebumps Series 2000 Aku mengganti-ganti saluran. Kami melihat satu demi satu acara aneh. Tak satu
pun yang kami kenali. Dalam acara memancing, dua laki-laki di atas perahu motor menarik ikan
berkepala dua yang aneh dari air. Di acara permainan yang lain, para peserta
dikenai sengatan listrik.
Aku memencet remote TV lagi, dan kami melihat sebuah program berita
"Manusia Aneh dari Bumi telah mendarat." kata sang reporter. "Semua orang harus
berhati-hati. Gubernur-Walikota Dermar mengumumkan negara dalam
keadaan darurat." Aku menoleh ke arah Arlene. Bisa kulihat dari wajahnya bahwa ia punya
pikiran yang sama denganku.
"Mungkin kitalah Manusia Aneh dari Bumi itu - dan mereka ingin membunuh kami!"
2000 kali lebih syereeem Alih bahasa: Agnes Sofia Verityastuti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6
Jakarta Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 NAMAKU Jacob Miller, dan aku anak normal.
Setidaknya, aku selalu menganggap diriku anak normal, dengan keluarga
normal dan teman-teman yang juga normal. Hidupku tidak pernah
menghebohkan atau spesial.
Kurasa kalian juga akan bilang tak ada yang istimewa pada diriku. Tinggiku rata-
rata, untuk ukuran anak kelas enam, dan beratku juga rata-rata. Rasanya aku
cukup ganteng. Aku memiliki rambut pendek hitam dan mata cokelat.
Beberapa orang bilang senyumku menawan.
Minatku juga biasa-biasa saja. Aku menyukai olah raga. Aku main sepak bola dan
sofbol. Aku perenang yang cukup andal. Aku menyukai film laga, dan suka membaca
buku-buku tentang bisbol dan tentang orang-orang yang memiliki
pengalaman luar biasa. Misalnya orang-orang yang menghabiskan enam bulan
naik rakit di tengah lautan, atau orang-orang yang mendaki Mount Everest dan
hampir tewas. Nilai-nilaiku cukup bagus - tidak sempurna sih, tapi kebanyakan A dan B.
Kurasa kalau aku belajar lebih tekun, nilai-nilaiku bisa lebih bagus lagi. Tapi
aku sudah cukup senang dengan prestasiku saat ini.
Aku punya beberapa teman karib. Mereka anak-anak yang ramah dan normal.
Kami suka keluyuran bersama-sama atau nonton film di mal sepulang sekolah, atau
pada akhir pekan. Kegiatan-kegiatan biasa.
Sifatku tidak macam-macam. Aku hampir tidak pernah merasa depresi, marah, atau
benci pada diriku sendiri. Mom dan Dad bilang aku anak yang "santai", apa pun
itu artinya. Kalian bisa membayangkan, kan, seperti apa aku ini.
Aku anak yang normal. Benar-benar normal Lalu kenapa tiba-tiba hidupku berubah jadi begitu aneh" Kenapa segalanya jadi
tidak keruan" Kenapa hidupku jadi bergantung pada seseorang yang oleh semua orang
dijuluki Phil Tua Gila"
Kenapa hidupku jadi tidak normal lagi"
Adakah yang bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi"
Mungkin sebaiknya aku mulai dari awal.
2 AKU duduk di kelasku yang baru di sekolah. Ini hari pertama masuk sekolah lagi.
Rasanya seperti hari pertama masuk sekolah.
Banyak ocehan gugup. Tawa terkekeh-kekeh dan melengking.
Kedengarannya seperti hari pertama masuk sekolah.
Kursi-kursi bergesekan. Pintu-pintu loker dibanting. Anak-anak berteriak dan
saling menyapa. Semua orang mengajukan pertanyaan - sejuta pertanyaan
sewaktu mereka mencoba menemukan kelas baru mereka, mencari tahu ke
mana harus menuju, dan di mana mesti duduk.
Aku merasa gugup juga, sangat gelisah, perutku terasa berat. Bagiku perasaan ini
begitu aneh, karena biasanya aku lumayan tenang, biarpun pada hari pertama
sekolah. Aku duduk di meja baris ketiga di gang. Aku memandang setumpuk buku di
mejaku. Buku-buku teks. Sangat mengilap dan baru.
Kubuka buku paling atas, dan terdengar bunyi gemeretak. Buku ini belum
pernah dibuka rupanya. Baunya juga bau buku baru.
Guru masuk. Ia seorang laki-laki pendek gempal, dengan rambut merah tebal di
atas wajahnya yang kurus dan serius. Kacamatanya berbingkai persegi yang
tampak berat. Ia memakai celana panjang longgar warna cokelat, dan kemeja putih
lengan pendek yang memperlihatkan lengan-lengannya yang gemuk
kemerahan. Sewaktu berjalan, tubuhnya bungkuk ke depan, seolah-olah kena tiupan angin
kencang. Rambut merahnya melambai-lambai di belakang kepalanya yang naik-turun.
Air mukanya tegang dan serius.
Ia tidak mengarahkan pandangan kepada anak-anak yang tengah duduk, masih
sambil tertawa dan mengobrol. Dengan langkah mengentak keras ia menuju
meja kecilnya yang kelabu di depan kelas, dan menjatuhkan setumpuk kertas di
atasnya. Lalu ia melepaskan kacamatanya yang berat dan hitam, dan
mengelapnya dengan saputangan.
Bel berdering dengan kerasnya. Dengungan elektronik itu menggema dari
jendela-jendela tinggi. Sepanjang samping ruangan.
Beberapa anak tetap saja mengobrol. Lainnya berhenti bicara dan mengarahkan
wajah pada sang guru. "Namaku Mr. Kray," ia mengumumkan. Suaranya berat. Mengejutkan. Suara
yang lebih pantas untuk orang yang lebih jangkung.
Aku masih merasa gugup dan gelisah Aku memandang berkeliling.
Aku memfokuskan pandanganku pada anak-anak di seputarku.
Wuah. Hei... tunggu dulu.
Mataku melirik dari wajah yang satu ke wajah yang lain.
Ada perasaan dingin di tengkukku.
Siapakah anak-anak ini"
Kenapa aku tidak mengenali satu pun di antara mereka"
Setiap tahun, ada sejumlah anak baru di sekolah. Tapi aku tahu beberapa
temanku semestinya ada di sini. Sekolah ini cuma punya dua kelas untuk kelas
enam. Tak mungkin semua temanku ada di kelas lain. Tidak masuk akal.
Dan tak mungkin semua anak ini adalah anakkanak baru di sekolah. Tapi aku terus
saja memperhatikan mereka - semuanya orang asing, semuanya orang
asing. Apakah aku berada di kelas yang salah" Rasa panik membuat tengkukku
merinding lagi. Kutarik kartu tugas kelasku dari saku JACOB MILLER KELAS
ENAM, dengan guru MR. KRAY.
Tidak. Aku berada di kelas yang benar.
Lega rasanya Aku tak perlu berdiri di depan semua anak ini dan bilang,
"Permisi. Saya di ruang yang salah."
Itu akan sangat memalukan. Terlalu memalukan untuk diucapkan.
Jadi, kenapa aku tidak mengenali satu pun anak-anak ini" Tak satu pun.
Aku memandang ke arah deretan depan, pada seorang cewek berambut pirang
dan lurus. Ia sangat cantik. Sinar matahari dan jendela membuat rambutnya
bercahaya seperti emas. Ia menundukkan kepalanya. Kelihatannya ia sedang
menulis catatan dengan tergesa-gesa untuk seseorang.
Di sebelahnya, seorang anak laki-laki jangkung, bertubuh atletis, dengan topi
bisbol merah yang dipakai miring di kepalanya, menyeringai padaku.
Apa aku kenal dia" Apa ia menyeringai kepada anak di sebelahku"
Aku menoleh dan memeriksa anak-anak di barisan belakang. Apa aku kenal
salah seorang di antaranya" Akan menyenangkan melihat wajah yang akrab.
Tapi, tidak. Mereka semua asing juga.
"Selamat datang kembali di sekolah," suara Mr. Kray menggelegar. Ia berdiri di
belakang meja tulis pendek, mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangan
terkepal di atas daun meja.
Aku tertawa tertahan. Sekilas ia kelihatan seperti gorila, berdiri bungkuk
seperti itu. Seekor gorila berbulu merah.
"Kuharap musim panas kalian menyenangkan," ia melanjutkan. Di balik kaca
matanya, matanya bergerak dan wajah ke wajah. "Dan kuharap kalian siap
duduk dan memulai kelas trelth."
Apa" Kelas apa" Aku mengangkat tangan "Apa kata Anda?" tanyaku. "Kelas apa?"
3 SEORANG anak laki-laki di barisan depan tersedak permen karet atau apa. Ia
terbatuk dan tergagap, sehingga menenggelamkan pertanyaanku.
Kulihat beberapa anak berpaling memandangku. Tapi Mr. Kray sibuk menepuki
punggung anak yang tersedak tadi.
"Bisa kulihat kalian semua terharu kembali lagi ke sekolah," canda guru itu.
Beberapa anak tertawa. Sebagian besar tidak. Wajah anak laki-laki itu semerah
tomat, tapi ia tidak apa-apa. Ia duduk kembali di kursinya, malu, dan pura-pura
mengamati lantai. Baru kusadari bahwa aku menggenggam pinggiran mejaku erat-erat dengan
kedua tangan. Kukendurkan genggamanku sambil mengembuskan napas
panjang, mencoba santai. Kenapa aku merasa begitu tertekan"
Jacob, tak ada yang perlu dikhawatirkan, kataku dalam hati.
Mr. Kray membalikkan badan dan mulai menulis di papan tulis. Kapurnya
berdecit, membuat banyak anak berteriak. Ia menulis dengan cepat, membuat
tusukan-tusukan pendek dengan kapur. Setiap tusukan mengeluarkan bunyi
mendecit. Apa sih yang ia tulis"
Aku mencondongkan badan dan menajamkan pandangan di antara dua anak di
depanku. Tunggu dulu. Tunggu... tunggu..
Aku tak bisa membaca apa pun.
Apa ia menulis dengan alfabet asing" Di mataku semuanya kelihatan seperti garis
berlekuk-lekuk. Ia mengarang bahasa baru atau apa sih" Apa ini semacam permainan"
Aku mengerjap-ngerjap beberapa kali, memikirkan mungkin garis berlekuk-
lekuk itu bisa terfokus olehku. Mencoba membuatnya mempunyai arti.
Tapi aku benar-benar tidak tahu, apakah Mr. Kray sedang menulis huruf-huruf atau
angka-angka. Jantungku berdebar-debar. Bisa kurasakan darah berdenyut-denyut di pelipisku.
Lilitan di perutku makin kuat saja. Aku berpaling untuk memperhatikan anak-anak lain. Kelihatannya mereka
semua dapat membaca apa yang ada di papan tulis. Beberapa anak sedang
menyalinnya ke dalam buku catatan mereka.
Bagaimana mungkin mereka dapat membaca tulisan cakar ayam yang aneh itu,
sedangkan aku tidak"
Mr. Kray berhenti. Ia menghapus bagian terakhir tulisannya. Ia memeriksa
selembar kertas di mejanya, kembali ke papan tulis, dan mulai menulis lagi
dengan tergesa-gesa. MENDECIT-DECIT Decit demi decit kapur membuat aku menggigil sepanjang punggungku.
Kenapa aku tak bisa membaca apa yang ia tulis"
Apa aku bermimpi" Ya. Hanya itulah penjelasannya, aku menyimpulkan.
Ini mimpi. Kucubit diriku. Seperti di film kartun. Kucubit belakang tanganku dengan
sangat keras. Sakit. Aku tidak terbangun.
Aku tidak bermimpi. Aku masih tidak dapat membaca apa pun yang ada di papan tulis.
Mr. Kray berhenti menulis dan membalikkan tubuh. Digosoknya debu kapur
dan bagian depan kemejanya dengan tangannya yang gemuk kemerahan. Ia
memandang sekilas pada kertas di mejanya. Lalu ia menoleh ke arah kami.
Ia menatap tepat ke arahku. "Jacob Miller," ia berkata dengan suara berat dan
berdenging. "Bisakah kau maju kemari dan menyelesaikan soal ini untuk
kami?" 4 AKU terceguk keras Bisa kurasakan wajahku memerah.
Sekali lagi aku menatap huruf-huruf dan angka-angka aneh itu, berdoa agar mereka
masuk ke dalam fokus pandanganku.
"Silakan ," Mr. Kray mengulurkan tangannya yang memegang kapur
"Selesaikan persamaan ini untuk kami, Jacob."
"Uh... aduh... "Seluruh tubuhku gemetaran. Hari pertama sekolah, dan semua anak
akan mengira aku tolol. "Aku tidak bisa mengerjakan itu," kataku, mencoba menjaga suaraku agar tidak
bergetar. "Kami tidak belajar itu di kelas Mrs. Palmer."
"Siapa?" bisik seorang gadis di belakangku.
Beberapa anak tertawa. Aku melihat si cewek cantik berambut pirang
memperhatikanku dengan heran.
"Siapa mau coba?" Mr. Kray mengayunkan tangannya yang memegang kapur
dengan gerakan lebar. "Ada yang mau menyelesaikan soal ini" Kupikir kita
akan memulai dengan soal yang gampang."
Soal yang gampang" Apa ia bercanda"
Soal yang gampang mestinya ditulis dalam angka betulan.
Seorang cewek berambut keriting cokelat di baris depan mengangkat tangan. Ia
mengambil kapur dan tangan guru itu, lalu melangkah ke papan tulis, dan mulai
mengoretkan garis berlekuk-lekuk di bawah garis berlekuk-lekuk Mr. Kray.
Ia menulis tiga baris garis lekuk-lekuk, lalu mengembalikan kapur pada guru.
Mr. Kray mengangguk, sebuah senyuman mengembang di wajahnya yang
bundar dan serius. "Bagus sekali, Myrna." Ia memandang sepintas padaku, dan
senyumnya memudar. Kulihat anak-anak lain memandang ke arahku.
Aku tersipu malu. Apa yang salah pada diriku" aku bertanya dalam hati. Mestikah aku tahu
bagaimana membaca soal itu"
Apakah ia benar-benar bilang kelas trelth"
Apa aku salah mendengarnya"
Aku begitu sibuk memikirkan keanehan semua ini, sampai-sampai aku tidak
mendengar apa yang dikatakan Mr. Kray.
Sekonyong-konyong, anak-anak melompat bangkit. Mereka keluar dari tempat
duduk dan pergi ke komputer yang berjejer di meja panjang di dinding
belakang. "Memang ini topik yang membosankan," ujar Mr. Kray. "Tapi tulis sajalah. Ini
latihan pemanasan yang bagus."
Menulis apa" Aku tidak mendengar tugas tersebut.
Aku bangkit berdiri dengan sempoyongan. Kakiku gemetar.
Baru hari pertama sudah begini, pikirku.
Tenangkan dirimu, Jacob, kataku pada diri sendiri.
Biasanya aku tidak menghadapi masalah serumit ini. Biasanya aku oke-oke saja.
Aku sudah berminggu-minggu menunggu sekolah dimulai kembali. Tapi
kenapa semuanya berjalan begitu buruk"
Tak sengaja lidahku tergigit sewaktu aku berjalan ke arah komputer yang tidak
dipakai di meja terakhir.
"Aduh!" teriakku.
Beberapa anak berpaling dan komputer mereka untuk memandangku. Aku pura-
pura tidak melihat. Sungguh sakit bila lidahmu tergigit. Seluruh mulutku terasa perih ketika aku


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk di depan komputer. Aku menoleh ke arah anak laki-laki di sebelahku. Ia sedang asyik mengetik dengan
kedua tangannya. "Kita mesti menulis apa sih?" bisikku.
Ia tidak menurunkan tangannya dari papan ketik. Ia menoleh padaku. "Hal
paling menyenangkan yang kaualami pada liburan musim panas lalu," katanya.
Ia mendesah "Itu-itu saja setiap tahun. Apa mereka tidak bisa memikirkan topik
baru?" Aku tertawa kecil. "Bagaimana kalau musim panasmu benar-benar
membosankan?" Tapi ia sudah mulai mengetik lagi, seraya memandangi layar monitor.
Aku berpaling ke layarku. Kucoba memikirkan peristiwa menyenangkan yang
kualami pada musim panas lalu. Rasanya tidak ada.
Berpikirlah, Jacob - berpikirlah!
Sekilas aku memandang papan ketik... dan nyaris jatuh dari kursi!
Huruf-huruf itu... huruf-huruf di atas tuts...
Aku tidak mengenalinya. Aku belum pernah melihat alfabet semacam itu.
Segitiga-segitiga dan garis-garis melengkung, serta barisan titik-titik besar
dan kecil. Aku memandangi tuts itu. Mulutku melongo. Tiba-tiba aku jadi susah bernapas.
Anak-anak lainnya terus saja mengetik.
Aku terengah ketika merasakan sebuah tangan menekan bahuku.
Ketika berpaling, kulihat Mr. Kray di belakangku. Ia menatap layar monitorku
yang kosong, lalu memberengut padaku. "Ada masalah, Jacob?" tanyanya
pelan. "Uh... yah," aku tercekat. "Aku... uh..."
"Tak punya ide mau menulis apa, ya?" tanyanya. "Apa kau pergi liburan
keluarga musim panas ini?"
Aku mengangguk "Ya, kami pergi. Tapi..."
"Ke mana kau pergi?" tanyanya.
Sebelum aku dapat menjawab, tangannya terulur melewati kepalaku, menarik ke
bawah sebuah peta dinding yang besar. "Tunjukkan padaku ke mana kau pergi,
Jacob" Aku membelalakkan mataku ke arah peta.
"Oh, tidak..." Peta macam apa ini" Tak satu pun negara yang kukenal. Di mana Amerika Utara" Di mana Amerika
Selatan" Eropa"
Begitu banyak lautan... Apa petanya miring" Kumiringkan kepalaku. Tidak. Tidak menolong.
Peta ini pasti salah. Tidak seperti peta mana pun yang pernah kulihat.
Mr. Kray menyipitkan matanya ke arahku di balik bingkai hitam kacamatanya.
"Ada apa, Jacob?"
Mestikah kuberitahu dia"
Mestikah kuberitahu dia tentang masalahku"
Akankah ia mengerti" Atau ia akan mengira aku benar-benar sinting"
Akhirnya kusemburkan rahasiaku. "Mr. Kray, kurasa aku sudah gila. Tidak ada satu
pun yang beres." Bel berbunyi. Tepat di atas kepalaku. Aku terlompat kaget.
"Makan siang, semuanya!" seru Mr. Kray. "Kita bertemu lagi di sini sehabis makan
siang." Kursi-kursi bergesekan. Gelak tawa. Suara-suara bising.
Mr. Kray tidak mendengarku. Ia berbalik dan berjalan kembali ke mejanya.
Aku berdiri, merasa goyah dan pusing, seperti kalau habis berenang terlalu lama.
Kupandang sepintas garis lekuk-lekuk yang aneh di papan tulis untuk terakhir
kalinya. Lalu aku ngeluyur ke aula.
Apa yang terjadi pada diriku" tanyaku dalam hati.
Akankah seseorang membantuku memecahkan semua ini"
05 AKU tidak merasa lapar Tapi kuambil kantong kertas berisi makan siangku, dan
berjalan ke arah ruang makan.
Ketika menyusuri aula yang panjang, kusadari bahwa aula itu tampak asing
sekali. Apa sejak dulu dinding-dindingnya selalu hijau" Di mana loker-
lokernya" Bukankah ruang musik semestinya di sebelah lab bahasa"
Aku yakin aku berada di sekolah yang benar. Tak mungkin aku ngeluyur ke
gedung yang salah. Tapi kenapa kelihatannya begitu berbeda hari ini"
Di ruang makan, aku mencari-cari teman-temanku dengan putus asa. Tapi aku tidak
dapat menemukan mereka. Anak-anak yang lain tertawa dan mengobrol dengan senang. Mereka sepertinya
saling kenal. Tapi bagiku mereka semua orang asing.
Aku juga tidak dapat menemukan wajah yang kukenal di ruang makan.
Aku duduk di meja bagian belakang, menatap kantong makan siangku tanpa
membukanya. Di meja sebelah, tiga cewek berseragam pemandu sorak menyanyikan lagu yang tidak
kukenal. Di seberangku, dua cowok saling bertukar makan siang.
Aku terus membayangkan peta aneh itu - semua negara dan lautannya asing.
Dan aku memikirkan papan ketik dengan alfabet asing di atasnya.
Perutku berbunyi. Aku memutuskan sebaiknya aku makan.
Kuambil sandwich dari kantongku dan membukanya. Isinya semacam daging ham. Tidak
memancing selera. Tapi kuambil juga setengah sandwich itu dan kuangkat ke mulutku.
Aku akan menggigitnya tapi kulihat sejumlah anak memandangku. Ekspresi
mereka tampak sangat kaget.
Aku menurunkan sandwich itu ke meja dan memandang sepintas dari meja ke meja
Hei apa yang terjadi"
Dengan terkejut kulihat anak-anak itu menggulung lengan kemeja mereka ke
atas Dan mereka memasukkan makanan ke dalam KETIAK mereka!
6 AKU mengerjapkan mata. Dan mengerjap lagi. Tak mungkin ini terjadi.
Tak mungkin. Aku mencoba untuk tidak melihat mereka. Malahan aku mengangkat lagi
sandwich itu ke mulutku. "Oooh, jorok!" aku mendengar seorang cewek berseru.
Sekali lagi aku menurunkan sandwich itu. Jantungku berdebar-debar Aku mulai
merasa mual. Dua cewek di ujung mejaku memandangku dengan jijik. "Apa kau benar- benar akan
memasukkan sandwich- mu ke dalam mulut?" salah seorang dari mereka bertanya.
"Astaga," satunya lagi menambahkan "Benar-benar jorok."
Aku memaksakan senyuman di wajahku. Ini tidak gampang. Aku merasa ingin
muntah. Atau bersembunyi. " Uh. . cuma bercanda kok," aku berusaha bicara
"Ha ha. Konyol, ya?"
"Cuma jorok," seorang dari mereka membalas, sambil menyeringai "Kenapa sih cowok
suka menganggap 'cool' kalau bertingkah jorok?"
Cewek-cewek itu kembali ke makan siang mereka. Mereka mengangkat lengan
mereka, dan aku dapat melihat lubang besar di ketiak mereka. Gigi-gigi putih
tajam melingkar di dalam lubang itu.
Seorang cewek mendorong sebutir apel ke dalam lubang ketiaknya.
Aku mendengar bunyi kunyahan yang mengerikan.
Kini aku benar-benar mual.
Temannya mendorong seikat anggur ke dalam ketiaknya. KRES. KRES.
Di seluruh ruangan, anak-anak menggulung lengan kemeja mereka ke atas dan
mendorong makanan ke dalam ketiak mereka.
Seorang anak laki-laki gemuk yang memakai Tshirt kuning menyala
menuangkan sekotak yogurt ke dalam ketiaknya. Seorang anak laki-laki di
seberangnya memegang sekarton susu dengan sedotan menjulur ke dalam
ketiaknya. Ketiaknya mengepit sedotan itu, dan aku mendengar bunyi seruput yang
keras ketika ia minum. Di meja dekat jendela, seorang anak laki-laki menyuapi keripik kentang pada
seorang cewek. Ia menyorongkannya seiris demi seiris ke dalam ketiak cewek itu.
Mereka tertawa dan mengobrol sambil makan.
Beberapa anak laki-laki membuka T-shirt mereka dan duduk bertelanjang dada di
meja. Seorang anak laki-laki makan dengan dua tangan, mendorong makanan ke dalam
kedua ketiaknya. Anak-anak tertawa dan menunjuk-nunjuk padanya.
"Kayak babi! Kayak babi!" seseorang mulai menyanyi dan anak-anak yang lain
mengikutinya. Anak laki-laki itu kelihatan tak peduli. Ia terus saja memasukkan
salad tuna ke dalam kedua lubang ketiaknya.
Aku menelan dengan susah payah, supaya tidak muntah.
Di meja sebelah, kulihat seorang cewek memperhatikanku. Ia memiliki mata
kecokelatan dan rambut coklat gelap yang digunting sangat pendek dan lurus,
dengan barisan poni di keningnya.
Kenapa ia memandangku seperti itu" tanyaku dalam hati.
Apakah ia merasa aku berbeda"
Apakah ia menganggapku aneh karena aku tidak menggulung kemejaku"
Karena aku tidak memasukkan makan siangku ke dalam ketiakku"
Tiba-tiba, aku sadar, aku tidak mau anak-anak lain tahu. Aku tidak mau mereka
melihat aku berbeda Tidak sebelum aku memahami ini.
Aku berpaling dari cewek itu Aku mendorong jauh-jauh makan siangku dan
bangkit berdiri. Aku tidak tahan lagi. Aku bisa sinting. Hanya itulah jawabannya.
Aku kehilangan akal sehatku. Aku benar-benar sudah sinting.
Kursiku terjatuh ketika aku bergerak tiba-tiba dari meja. Aku melihat anak-anak
lain memandangiku, tapi aku tak peduli.
Aku mulai berlari. Kakiku gemetar. Perutku teraduk-aduk.
Kututupi mulutku dengan tangan dan terus berlari.
Seperti dalam mimpi, aku melihat wajah-wajah melayang-layang di
sekelilingku, mengawasiku, menatapku sewaktu aku berlari.
Aku melihat lengan-lengan terangkat tinggi. Ketiak-ketiak terbuka. Ketiak-ketiak
yang mengunyah. Mengunyah... mengunyah...
Aku meluruk masuk ke lorong, masih tetap menutupi mulut dengan tangan. Aku
berbelok dan nyaris menabrak dua orang guru yang tengah mengobrol sambil
saling menepuk-nepuk pundak.
Mereka terkejut ketika aku berlari lewat. "Hei...," salah satu dari mereka
memanggil. Tapi aku terus berlari, sepatuku berdentam di lantai yang keras.
Aku sampai ke belakang bangunan sekolah, dan mendorong pintunya dengan
dua tangan. Aku berada di udara segar kini. Hari cerah, hangat, lebih seperti musim panas
daripada musim gugur. Aku terus berlari. Melewati tempat parkir para guru. Melewati lapangan latihan.
Masuk ke dalam hutan di belakang pekarangan sekolah.
Tanpa memperhatikan apa pun, aku menerobos melintasi rumput liar dan
semak-semak, di antara berbagai macam pepohonan tua. Aku mesti pergi dari sini.
Mesti menemukan tempat untuk berpikir. Tempat aku bisa memecahkan
semua ini. Aku melewati segerumbul ilalang tinggi yang berkeriat-keriut dan meliuk-liuk
dalam angin sepoi- sepoi. Di ujung seberang rumpunan ilalang, aku berhenti untuk
mengumpulkan napasku. Aku mendengar bunyi gesekan langkah-langkah kaki di belakangku.
Dan sadar bahwa aku sedang diikuti.
7 SIAPA yang mengejarku"
Guru-guru" Anak-anak yang tahu bahwa aku bukan seperti mereka, bukan termasuk
kelompok mereka" Mau apa mereka" Kenapa mereka mengejarku"
Jantungku berdegup kencang, aku berbalik dan coba memandang tajam melalui
ilalang yang tinggi. Tapi tumbuhan ini begitu lebat. Aku tak bisa melihat.
Langkah-langkah kaki itu cepat dan mantap. Sudah di ujung rumpun ilalang
sekarang. Aku menghirup napas dalam-dalam - dan mengembuskannya.
Sepatuku kemasukan lumpur halus.
Pinggangku sakit karena berlari
Aku berbalik arah, masuk ke dalam barisan pohon-pohon cemara. Aku
menunduk di bawah ranting-ranting yang rendah, menjulurkan kedua lenganku
sebagai perisai. Aku tersandung selapis gundukan buah cemara.
Kakiku terpeleset. Aku terjatuh. "Wuah!" Aku mencekal sebatang pohon yang kasar berbonggol-
bonggol. Dan mendengar langkah-langkah kaki mantap itu datang. Makin dekat...
Makin dekat. Lewat pohon-pohon cemara, kulihat gundukan batu-batu kelabu. Aku cepat
merunduk di belakangnya dan mendengarkan.
Pohon-pohon cemara bergoyang ketika seseorang meluncur melewatinya,
bergerak cepat. Aku perlu menemukan tempat yang lebih baik untuk bersembunyi.
Tapi di mana" Aku melihat lapangan yang ditumbuhi rumput tinggi, meretih dan meliuk
lunglai ditiup angin. Langkah-langkah kaki itu semakin dekat.
Aku merunduk dan berlari ketakutan di antara rumpunan rumput tinggi Di
dalam lindungan rumput dingin yang gelap.
Terengah-engah seperti binatang, aku menurunkan tanganku ke lutut dan
berusaha mengatur napasku.
Aku memasang telinga. Hening kini. GAOKAN burung dan pohon yang dekat. Bisikan angin di antara rerumputan.
Tapi tak ada bunyi sepatu menapaki tanah.
Aku berhasil! Siapa pun yang mengejarku itu kehilangan jejakku!
Tapi ada yang tidak beres.
Kakiku sekonyong-konyong gatal.
Aku membungkuk. Menarik jeans-ku ke atas untuk menggaruk.
Dan terkesiap ngeri. 8 AKU melongo ke arah serangga-serangga yang naik-turun di kakiku. Lekat di
kulitku. Menempel di tubuhku. Serangga-serangga gendut dan bundar. Lusinan banyaknya. Lengket di kakiku.
Naik ke lututku. Serangga-serangga tak berwajah. Tak berkaki.
"Ohhh." Erangan kesakitan terlontar dan mulutku. Mereka seperti gelembung,
gelembung-gelembung berukuran seperempat inci - gelembung-gelembung
yang penuh dengan bulu hitam tajam. Aku menatap mereka. Mereka berdenyut
dan bergetar. Mereka mengeluarkan bunyi dengkuran pelan. Seperti babi-babi di palung.
Mereka meminum darahku! Aku menangkap seekor. Meremasnya di antara jari-jariku.
Lalu kutarik dia. Bulunya lengket dan basah. Terdengar bunyi KECIPAK ketika aku coba mencabutnya
dari kulitku. Ia tak mau lepas sedikit pun!
Aku mencabutnya lebih keras lagi.
Kakiku berdenyut-denyut dan gatal! .Rasa gatal itu menyebar ke seluruh
tubuhku. Aku tidak tahan lagi. Kubuka mulutku... dan berteriak.
Teriakan ngeri yang melengking.
Lalu aku membungkuk dan mencabuti serangga-serangga yang lengket dan
bergelembung itu dengan dua tangan. Menyentakkannya dengan perasaan
panik. Mereka terlepas dengan bunyi isapan menjijikkan.
Kulemparkan mereka ke pohon dengan ganas.
Aku bekerja kalang kabut dengan terengah-engah, pohon-pohon berputar-putar di


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan mataku yang pusing.
Tinggal beberapa ekor lagi sekarang. Aku menarik seekor serangga dan lututku dan
mencampakkannya ke tanah. Terdengar bunyi CEPROT yang menjijikkan ketika
serangga itu membentur tanah.
Kemudian aku berjalan. Kakiku masih gatal-gatal, seluruh tubuhku berkeringat dingin, dan aku berlari
melewati pepohonan. Kembali ke sekolah" Atau menjauh dari sekolah"
Aku tak tahu. Aku telah sepenuhnya kehilangan akal kini.
Aku hanya berlari. Mencoba melepaskan bayangan serangga-serangga gendut
penuh bulu itu. Mencoba melenyapkan perasaan ketika mereka menusuk
kulitku. Aku berlari... berlari jauh dari segalanya yang terjadi pagi ini, pagi pertama
di sekolah. Dan aku berlari tepat ke arah pengejarku.
Kami bertubrukan. Kepalaku yang menunduk menabrak bahunya. Lengannya
melayang ke atas. Kerasnya benturan kami menyebabkan cewek itu jatuh tergeletak di tanah.
Kami berdua berteriak. Aku jatuh di sampingnya, di atas rumput.
Ia bangkit berdiri lebih dulu. Ia menggosok bagian belakang tank top- nya yang
berwarna merah dan putih serta jeans- nya yang hitam.
Ia berdiri di samping tubuhku yang masih terbujur.
Aku berusaha berdiri. "Hei" aku berteriak saat mengenalinya.
Cewek di ruang makan itu. Cewek berambut hitam pendek yang terus
memperhatikanku dengan sungguh-sungguh.
Matanya menyipit dengan dingin "Aku telah mengamatimu, Jacob."
Aku memandang sekilas ke kanan dan ke kin, mencari rute untuk melarikan
diri. "Kenapa" aku berteriak "Apa maumu" Apa maumu?"
9 IA menggoyang-goyangkan kepala untuk meluruskan poninya yang hitam
pendek. Matanya yang cokelat menatapku dengan tajam.
"Aku... aku tidak tahu apa mauku!" ia tergagap. Ia melepaskan desahan
panjang. Suatu tikaman rasa sakit membuatku berteriak. Aku menarik kaki jeans-ku ke atas
dan menemukan seekor lagi serangga gendut berbulu melekat di
pergelangan kakiku. Dengan menggeram, aku mencabutnya dan
melemparkannya jauh-jauh.
Aku menoleh kembali pada cewek itu. "Siapa namamu" Kenapa kau
membuntutiku" Kenapa kau mengawasiku?"
"Tenang," ujarnya tajam "Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kenapa kau
begitu takut?" "Karena ," jawabku - cemerlang -" aku punya banyak alasan," aku
menambahkan. "Namaku Arlene," katanya.
"Jawab semua pertanyaanku," kataku "Kenapa kau mengawasiku?"
"Karena kau berbeda dari yang lain," sahutnya.
Ia mengetahuinya, aku tersadar. Aku tertangkap.
"Dan aku juga berbeda," ia melanjutkan "Aku seperti kau, Jacob."
Apa ia berbohong" Apa ia coba menjebakku"
Aku menyilangkan lenganku di depan dada Thirt-kubasah karena keringat.
"Buktikan," kataku "Buktikan kalau kau seperti aku."
Ia tidak ragu-ragu. "Oke. Lihat nih." Ia menggulung lengan sweater-nya ke atas.
Mengangkat lengannya. Tak ada lubang makanan di ketiaknya.
"Aku tidak seperti mereka," Arlene berkata pelan, masih menahan lengannya di
atas kepala. "Aku makan dengan mulutku. Seperti kau."
Aku masih tidak mempercayainya. "Mungkin aku tidak makan dengan
mulutku," kataku "Mungkin aku menganggap itu kotor dan menjijikkan."
"Aku melihatmu," ia bersikeras "Kau mulai menaruh sandwich itu ke dalam mulutmu,
tapi cewek tadi menghentikanmu."
Kumasukkan tanganku ke saku jeans- ku. "Aku belum pernah melihatmu di sekolah,
Arlene. Dari mana asalmu?" tanyaku
Ia menurunkan tatapan matanya ke tanah. "Aku... aku tidak ingat." Ia mengatakan
ini dengan berbisik. Aku menatapnya tajam. "Kau bercanda, kan" Kau harus ingat dari mana asalmu."
"T-tidak," ia tergagap. Ia mengangkat matanya ke arahku. Kulihat air mata
berkilauan di matanya. "Aku benar-benar tidak ingat. Aku bahkan tidak ingat nama
belakangku." "Hah?" aku terus menatapnya.
Setetes air mata mengalir di pipinya "Apa kau dari sini?" ia bertanya, menyeka
air matanya dengan satu jari.
"Aku... aku... "Mulutku melongo. Aku tidak ingat dari mana asalku.
Apa yang terjadi" Kenapa aku tidak bisa ingat dari mana asalku"
"Aku... aku juga tidak tahu," kataku.
Kakiku gemetar begitu keras, hingga tak sanggup menopang tubuhku. Aku tiba-tiba
merasa sangat pusing. Aku jatuh ke rumput. Kusandarkan punggungku
pada sebatang pohon. Dan kupejamkan mataku, mencoba mengingat.
Di mana aku tinggal" Dari mana asalku"
Kenapa aku tidak bisa ingat"
"Ini menakutkan sekali," kata Arlene. "Aku tidak kenal satu pun anak-anak di
sekolah. Dan aku tidak memahami bahasa mereka."
"Aku juga tidak," bisikku.
"Tapi aku datang ke sekolah seperti biasanya pagi ini," ia melanjutkan "Semua
kelihatan sama. Tapi kemudian sekolah itu jadi benar-benar berbeda. Semua
gurunya berbeda, begitu pula anak-anak. Dan... dan... " Kata-katanya tertahan di
kerongkongan. Kaupikir hanya kita berdua" tanyaku.
Sebelum ia dapat menjawab, aku mendengar suara CEPROT keras. Arlene memekik. Ia
meraih rambutnya, menarik seekor serangga gendut berbulu. "Iiih.
Apa ini?" "Serangga-serangga yang mengerikan Mereka..." Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Bunyi CEPROT lain. Gelembung berbulu mendarat di pundakku. CEPROT lain di
kepalaku. Aku menariknya. Ia melekat di rambutku. Seekor lagi menur?ni punggungku.
Yang lainnya... Pohon itu menjatuhkan serangga-serangga.
Serangga-serangga menempel di rambutku, keningku, pipiku, turun ke
punggungku. Mereka mendengkur berdenyut-denyut bergetar ke seluruh kulitku.
Arlene memukul mereka. Menarik mereka dari rambutnya dengan kedua
tangan. Ia membuka mulutnya untuk menjerit... dan seekor serangga berbulu jatuh di
lidahnya. Ia menamparnya keluar, sambil muntah dan tersedak.
Mereka terlalu banyak. Terlalu banyak...
Mereka mengerubungi kami... menenggelamkan kami. Mendengkur dan
mengisap, menempel di wajah kami, punggung kami, dada kami...
Kami berdua menjerit. Menjerit keras sekali.
"Tolong kami! Siapa saja tolong! Tolong kami"
10 AKU mendengar suara-suara. Teriakan-teriakan. Bunyi entakan kaki-kaki yang
berlari. Muncul lima atau enam orang anak, dengan wajah merah habis berlari, rambut
mereka acak-acakan. Aku mengenali cewek bernama Myrna dan cowok dari
kelasku, yang memakai topi bisbol warna merah.
Mereka mengelilingi kami dengan cepat.
Arlene dan aku memukul-mukul serangga-serangga itu, menarik-narik mereka
dari rambut kami, kulit kami.
"Splatter" Myrna berkata.
"Splatter" anak-anak lain mengulangi.
Rupanya itulah sebutan untuk serangga-serangga menjijikkan itu. Splatter.
"Tolong kami... ," Arlene memohon
"Apa yang bisa kami lakukan?" tanyaku, merenggutkan seekor Splatter dari alis
mataku "Tolong."
Myrna menyapu seekor serangga berbulu dan pundak T-shirt-nya yang hijau.
Ia memonyongkan bibirnya dan mulai bersiul.
Anak-anak lain juga mulai bersiul. Nadanya tinggi melengking. Bukan nada
musik. Aku menyadari bahwa mereka bersiul sekeras mungkin.
Serangga-serangga di lenganku gemetar dan bergoyang. Kutatap mereka dengan tak
berdaya, mengawasi mereka bergetar. Aku bisa merasakan serangga-serangga itu
gemetar di rambutku. Aku melihat seekor Splatter jatuh dari pundak Arlene. Serangga lain jatuh dari
keningnya. Sambil mengambil napas dalam-dalam, anak-anak itu bersiul lebih keras, lebih
tinggi. Bunyinya begitu melengking, hingga telingaku nyeri. Kepalaku serasa mau
meledak. Makin keras ... Splatter-Splatter itu gemetaran, lalu rontok ke tanah. Bunyinya BERKETEPUK
ketika mendarat. Seperti bunyi air hujan besar jatuh di lumpur.
Anak-anak itu terus bersiul, sampai semua serangga berjatuhan.
Aku menggaruk kepalaku, dan belakang leherku. Serangga-serangga itu sudah pergi,
tapi kulitku masih merinding.
Terima kasih, aku tergagap.
"Kenapa kau tidak bersiul?" Myrna bertanya, memandang aku dan Arlene dengan
curiga. "Kau kan tahu, itu satu-satunya cara untuk terbebas dari
Splatter." "Semua orang tahu itu," gumam seorang anak laki-laki.
"Eh.. kurasa Jacob dan aku cuma panik," ujar Arlene.
Si anak lelaki bertopi merah meraih ke bawah dan memungut salah seekor
serangga berbulu, berbentuk gelembung itu. Ia mencekal serangga itu dengan kedua
tangannya. Terdengar bunyi LETUSAN keras, seperti balon meletup.
Dan cairan kuning yang menjijikkan menyembur keluar.
Anak laki-lak itu tertawa dan memungut yang lain lagi.
Ia meletuskan serangga itu lagi dan menyemburkan cairan kuning pekat dan
lengket ke arah anak laki-laki di sebelahnya.
Mulailah perang Splatter. Tertawa-tawa dan berteriak-teriak, anak-anak itu
memungut serangga dan meletuskannya di antara kedua tangan, saling
menyemburkan cairan kuning yang kental.
Arlene dan aku bertukar pandang skilas. Mestikah kami bergabung"
Anak-anak di sini rupanya suka bermain-main dengan serangga-serangga ini.
Tapi aku ingat bagaimana rasanya mereka di rambutku, menempel di kulitku,
lengket di wajahku. Aku merinding. Aku benar-benar tak mau menyentuh
mereka lagi. Setelah semenit atau lebih, perang Splatter berakhir. Aku tersadar bahwa semua
anak memandangi Arlene dan aku.
Mereka mengerubungi kami sekali lagi. Air muka mereka berubah serius.
"Kenapa kau ada di luar sini?" tanya Myrna "Kau kan tahu, tidak semestinya kabur
selama jam sekolah."
"Kami... cuma ingin ngobrol, kok," kataku sambil memandang Arlene sekilas dengan
gugup. "Tapi kau tahu betapa berbahayanya hutan ini," ujar seorang anak laki-laki
"Kau tahu peraturannya."
Tidak, kami tidak tahu, pikirku. Kami tidak tahu apa pun tentang sekolah ini.
Kami bahkan tidak tahu apa pun tentang DIRI KAMI.
Anak-anak itu mendekati kami, membuat lingkaran semakin rapat. Seorang
anak laki-laki menginjak seekor Splatter, dan cairan kuning pekat dan lengket
merembes di sekeliling sepatunya.
"Kami mendengar kalian berteriak, jadi kami segera datang," ujar si anak lelaki
bertopi merah. "Tapi kau akan membuat kami semua terlibat kesulitan," kata seorang cewek dengan
pelan. "Jika mereka melihat kita ada di sini... " Ia menurunkan tatapan matanya.
Suaranya menjadi lemah. "Kami tak punya pilihan," kata Myrna. "Ikut kami!"
Rasa panik mencengkeram kerongkonganku. "Hah" Kami mau dibawa ke
mana?" "Ke kepala sekolah," sahut Myrna "Ke Mr. Trager. Kita harus menjelaskan." .
"Tapi ," aku mulai berkata lagi.
"Kau tidak mau, kan, membuat kami semua terlibat kesulitan di hari pertama?"
kata seorang anak laki-laki.
Arlene dan aku tak punya pilihan lagi. Kami mengikuti mereka ke belakang
gedung sekolah. Mereka membawa kami ke kantor dekat pintu masuk depan.
Seorang laki-laki dengan jas abu-abu dan rompi muncul. Umurnya sekitar
empat puluh tahunan, dengan pipi cokelat kemerahan, mata biru terang, dan rambut
abu-abu licin dibelah tengah. Mr. Trager.
Ia membawa Arlene dan aku ke kantor belakang, dan menutup pintu. Kami
berdiri dengan kikuk di depan meja abu-abunya yang panjang.
Ia mengawasi kami sejenak, memicingkan matanya yang biru bercahaya ke arah kami.
Rambutnya sangat berminyak, berkilat-kilat di bawah cahaya lampu pijar.
Ia bukan kepala sekolah di sini tahun lalu, pikirku.
Miss Robinson-lah kepala sekolahnya. Kepala Sekolah abadi!
Tapi apakah ini sekolah yang sama"
Kenapa aku tidak ingat"
Mr. Trager mengusap-usap dagunya yang cokelat kemerahan dan rnenoleh ke
arahku. "Kau ditemukan di dalam hutan?"
Aku mengangguk. "Ya."
Jantungku berdegup kencang di dalam dadaku. Tanganku tiba-tiba sedingin es.
Aku memasukkannya ke saku jeans- ku .
"Kalian berdua diam-diam masuk ke hutan?" tanya Kepala Sekolah, seraya menoleh
ke Arlene. Arlene ragu-ragu. "Well... ya."
Mr. Trager menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kalian berdua telah melakukan
kesalahan fatal," ia berkata dengan tegang. "Kau tahu hukumannya. Apa kalian
punya kata-kata terakhir?"
11 LUTUTKU mulai lemas. Kusambar tepi meja untuk menahan tubuhku agar
tidak jatuh. Suatu teriakan pendek terlontar dari bibir Arlene.
Mr. Trager tertawa terbahak-bahak. Mulutnya penuh dengan tambalan emas.
"Jangan ditanggapi serius," katanya. Ia menepuk pundakku. "Kau kan tahu aku
bercanda." Bercanda. Aku mendesah lega, dan mulai bernapas lagi. Ia cuma bercanda.
Lelucon hebat. Ia mengernyitkan dahi pada kami. "Tapi kalian berdua kan tahu bahwa kalian tidak
diizinkan masuk ke hutan. sepanjang pelajaran sekolah. Apa yang kalian lakukan
di sana?" Aku terdorong untuk mengatakan yang sebenarnya.
Kami tidak tahu dari mana asal kami, Mr. Trager. Dan kami tidak kenal seorang
pun di sekolah ini. Kami juga tidak dapat menulis dan membaca bahasa Anda.
Tapi itu terlalu dibesar-besarkan, bukan"
"Kami merasa melihat semacam binatang di dalam hutan," aku berbohong
"Jadi, kami mengikutinya. Kami tidak bermaksud pergi terlalu jauh."
Mata biru Mr. Trager mengunci mataku "Banyak binatang di hutan sana,"
katanya pelan. "Itu sebabnya kita punya peraturan."
"Ini hari pertama sekolah. Kami cuma lupa," Arlene menyela.
Mr. Trager menjatuhkan diri dengan berat ke kursinya. Terdengar bunyi
WHOOSH keras sewaktu ia duduk. Ia mengetuk-ngetukkan sebatang pensil di daun
meja yang terbuat dari logam, sambil memandangi kami.
"Jacob, aku juga dengar kau memasukkan makanan ke dalam mulutmu di ruang
makan" Aku menelan ludah. Tiba-tiba kerongkonganku terasa kering. "Eh..."
"Jangan berbuat tidak sopan begitu, Jacob," ia mengomel "Itu tidak lucu Kau kan
tahu itu sangat menjijikkan, sementara orang-orang lain sedang
makan." "Maaf," bisikku, menunduk ke arah karpet


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi aku tidak punya lubang makanan di dalam ketiakku, pikirku.
Kupikir mendorong makanan ke dalam ketiak juga menjijikkan.
Tiba-tiba aku berharap dapat menanyakan macam-macam hal padanya:
Sekolah apa ini" Kota apa yang kita tinggali ini" Bahasa apa yang ditulis Mr.
Kray di papan tulis"
Kenapa Arlene tidak ingat nama belakangnya" Kenapa aku tidak ingat di mana aku
tinggal" Begitu banyak pertanyaan...
Memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu membuatku mulai gemetaran. Untuk
pertama kalinya kusadari betapa ngerinya aku.
"Lebih baik kalian masuk kelas sekarang," ujar Mr. Trager, mengantar kami keluar
dan kantor. "Jangan bikin masalah lagi, oke" Kalian kelas trelth sekarang.
Kalian harus memberikan contoh yang baik."
Trelth" Arlene dan aku keluar ke lorong. Pintu-pintu loker dibanting. Anak-anak
mengambil buku dan perbekalan mereka, dan buru-buru masuk ke kelas.
Arlene berhenti di depan lokernya Ia menggigit bibir bawahnya. Dagunya
bergetar. "Ini mengerikan sekali," bisiknya.
Lalu ia menepuk-nepuk punggungnya "Aduh."
Ia meraih ke belakang dan menarik seekor serangga Splatter berbulu dan
punggungnya. "Aduh. Aduh.
Benar-benar nyeri. Serangga ini bersembunyi di dalam kulitku."
"Berikan padaku." Aku mengambil serangga menjijikan itu dirinya. Kutaruh
serangga itu di telapak tanganku dan kuangkat tanganku untuk memukulnya.
Arlene merenggutkan tanganku ketika aku hendak menghantam serangga itu.
"Jangan," katanya.
"Kenapa sih kau ini?" tanyaku.
"Dia makhluk hidup, Jacob Jangan dibunuh."
"Hah?" Aku memandangi makhluk itu. Serangga itu mendengkur. Ia bergetar di
tanganku, gelembung yang penuh dengan bulu.
"Tidak baik membunuh makhluk hidup," kata Arlene. Ia menggoyangkan
kepala untuk meluruskan poninya.
Sambil memegangi serangga itu di telapak tangan, aku berbalik dan berjalan
melewati kantor Kepala Sekolah, menyusuri lorong, menuju pintu samping.
Kubuka pintu itu dan kubawa serangga itu keluar.
Kulihat dinding batu bata yang rendah di samping tempat parkir. Di luar
dinding sana ada taman bermain.
Kubawa serangga itu ke rumput dan kuletakkan dengan hati-hati. Aku benar-
benar tergoda untuk menginjak dan meletuskannya.
Tapi Arlene mengawasiku dari pintu.
Jadi, aku berbalik dan mulai kembali ke gedung sekolah.
Aku mengambil beberapa langkah, dan mendengar suara berbisik. "Hei, Nak...
ke sini." Dari belakang dinding bata.
Terkejut, aku berpaling dan kulihat seorang laki-laki yang tampangnya
berantakan. Sejumput janggut tebal bertengger di wajahnya. Rambut hitam
jarang jatuh menutupi matanya.
"Cepat... ke sini."
Aku merinding ngeri. Siapa dia" Apa maunya"
Kenapa dia bersembunyi di belakang sana" Aku mulai berlari. Aku tidak merasa
aman sampai aku kembali ke sekolah dan menutup pintu di belakangku.
Tapi apa aku benar-benar aman"
12 SISA hari itu bergulir dengan sangat lambat. Aku mencoba bersembunyi di
belakang anak yang duduk di depanku Aku tidak mau dipanggil, karena aku
tidak mengerti apa pun yang dibicarakan Mr. Kray.
Ia memberikan pelajaran geografi tentang Benua Plosia.
Kemudian ia menugasi kami membaca tiga bab pertama novel Thomas Maroon.
Aku merasa bingung, benar-benar bingung.
Kepalaku berdenyut-denyut. Aku berusaha berpikir jernih. Tapi aku bgitu
ketakutan. Dan begitu lapar. Perutku berbunyi begitu keras, hingga cewek di sebelahku
tertawa. Aku tidak sempat makan apa pun waktu makan siang tadi. Aku sadar bahwa
kalau aku benar-benar ingin makan, aku mesti melakukannya dengan
sembunyi-sembunyi. Aku memandang ke arah jam, tapi sepertinya jam itu malah bergerak mundur.
Dan aku tak bisa membaca angka-angka aneh di atasnya. Kenapa di sana ada
empat belas angka, bukannya dua belas"
Aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan Arlene sekarang. Ia tidak berada di
kelasku. Ia berada di kelas enam yang lain. Atau mestikah aku bilang, di kelas
trelth yang lain" Kurasakan suatu tikaman rasa takut Bagaimana jika Arlene menjebakku"
Bagaimana kalau ia benar-benar bukan seperti aku" Bagaimana kalau ia membuat
jebakan untukku" Dapatkah aku mempercayainya"
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menahannya. Jangan panik, Jacob, kataku
dalam hati. Arlene sama takutnya denganmu. Ia tidak punya mulut di ketiaknya.
Kau dapat mempercayainya.
Kau harus mempercayai seseorang.
Aku bernapas lega ketika akhirnya bel berdering.
Semua orang buru-buru keluar. Mereka tertawa-tawa sambil bercanda dan
gembira. Aku merasa sangat letih. Benar-benar stres. Aku tahu aku tak bisa
menghabiskan satu hari lagi di sekolah ini dan berusaha menyembunyikan
kenyataan bahwa aku berbeda, bukan termasuk kelompok mereka.
Tapi apa yang bisa kulakukan"
Arlene menungguku di depan lokerku. Ia tampak pucat, dan air mukanya
tampak kacau. "Kita mesti bicara," bisiknya.
Kulemparkan buku-bukuku ke dalam loker dan kutarik jaketku keluar. "Aku
tahu," kataku. "Bagaimana kabarnya siang ini?"
"Bencana," Arlene menjawab, suaranya bergetar. "Aku tidak dapat mengerti apa-
apa. Miss Blinn menyuruhku membaca paragraf di buku dengan keras.
Tentu saja aku tidak bisa membaca huruf-huruf aneh itu."
"Apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Aku pura-pura saja terserang batuk hebat." Ia mengeluarkan desahan. "Tapi aku
tak bisa melakukan itu setiap hari."
Kami melewati taman bermain, dan melihat anak-anak sepertinya sedang
berolah raga. Dua tim bergantian melemparkan disket keperakan seukuran CD.
Pemain-pemain tersebut menangkap disket dengan sarung tangan besar berjari tiga.
Terdengar sorak sorai dan teriakan setiap ada tangkapan yang berhasil.
"Masuk!" Seorang anak laki-laki berteriak "Masuk dobel!"
"Masuk dobel! Itu tadi dua kali!"
"Itu keluar! Bukan masuk!" seorang gadis mendebat.
"Tapi dia melewati garis batas"
Perdebatan besar memghentikan permainan. Dua orang anak melemparkan
disket di atas kepala mereka, menangkapnya dengan sarung tangan, sambil
menunggu perdebatan selesai.
"Bukan masuk namanya kalau melewati garis batas."
"Tapi itu peraturanmu"
"Tidak - peraturan diubah. Itu peraturanmu."
Arlene dan aku berhenti sebentar untuk menonton. Kulihat si anak lelaki bertopi
merah melambaikan tangan ke arahku. "Hei, Jacob! Jacob, kau masuk tim k?mi!
Ayo sini!" "Tidak. . ." aku memprotes. "Aku tidak bisa."
Karena aku tidak mengerti bagaimana caranya bermain permainan kalian yang aneh!
pikirku. "Temanmu bisa bermain juga," ujar anak laki-laki itu. "Ayo dong. Kami baru mulai
babak pertama kok." "Maaf," kataku. "Kami ada urusan lain."
Arlene dan aku menyeberangi jalan dan buru-buru menjauh. Aku masih bisa
mendengar suara perdebatan mereka.
"Tadi itu masuk! Kau curang!"
"Lempar krill-nya! Ayo dong, lempar krill-nya!"
Sewaktu kami jalan terburu-buru di trotoar, aku berpalrng pada Arlene dan
melihat air mata di matanya. "Apa yang mesti kita lakukan, Jacob?" bisiknya:
"Semua ini begitu... aneh."
Kami berjalan beberapa blok, melewati rumah-rumah indah berbentuk kotak
dengan lapangan rumput yang terpotong rapi. Seekor anjing menggonggongi
kami dari dalam rumah. Senang sekali rasanya mendengar ada bunyi yang normal.
Kami menyeberangi jalan lain dan memasuki sebuah taman hijau yang kecil.
Aku menunjuk sebuah bangku yang setengah tersembunyi oleh bunga-bungaan,
dan kami duduk di sana. "Apa yang mesti kita lakukan?" Arlene mengulangi. Ia mengatupkan kedua
tangannya erat-erat di pangkuan, sambil menggigit bibir bawahnya.
Aku bersandar pada bangku kayu itu, sembari menatap pepohonan rindang di
atas, membayangkan ada serangga-serangga Splatter di atas sana, menunggu
untuk jatuh ke bawah "Mari kita berusaha keras mengingat semuanya," aku mengusulkan.
Arlene mengangguk. "Oke"
"Coba ingat-ingat nama belakangmu," ujarku "Pejamkan matamu dan
berpikirlah dengan keras."
Ia mengikuti saranku. Ia diam untuk waktu lama. Ketika ia membuka matanya,
tepiannya tampak merah dan kuyu.
"Tidak," katanya. "Aku tidak ingat Aku Arlene. Arlene kosong. Arlene tak ada
nama. Ini... ini sungguh mengerikan."
Kuremas tangannya. Sedingin es.
"Kita lihat apa yang bisa kuingat," kataku. Aku berpikir keras. Sebuah gambar
lambat-lambat masuk ke dalam fokus pikiranku. Gambar sebuah rumah mungil.
"Rasanya aku ingat di mana aku tinggal," ujarku pelan. "Kurasa di suatu tempat
di sebelah sana." Aku menunjuk.
"Benarkah?" ia berteriak. "Hebat" Berapa lama kau tinggal di sana" Apa kau
ingat?" Aku memejamkan mata dan berkonsentrasi. Kerongkonganku tersekat. "Tidak,"
kataku. "Aku... tidak ingat."
"Apa kau tinggal di sana untuk waktu lama atau sebentar, Jacob" Berpikirlah."
"Aku benar-benar tidak ingat."
"Apa kau punya saudara laki-laki atau perempuan?"
Aku menggelengkan kepala "Aku tidak ingat, Arlene." Aku mulai merasa mual.
Taman mulai tampak berputar.
Aku berdiri. "Ayo kita pergi dari sini, dan kita coba menemukan rumahku.
Mungkin saja ibu dan ayahku ada di sana. Mungkin mereka bisa menjelaskan
apa yang terjadi." Arlene tidak beranjak dan bangku. Ia menatapku dengan sedih. "Kau ingat ibu dan
ayahmu?" Aku balas menatapnya. Kucoba menggambarkan orangtuaku. "Tidak: Tidak,
aku tidak ingat." "Kita... kita dalam kesulitan, Jacob," kata Arlene pelan.
Ia bangkit berdiri, dan kami mulai berjalan dalam keheningan. Kami tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Kurasa kami tengah memikirkan persoalan
kami, dan mencoba mengingat satu hal tentang hidup kami.
Lingkungan sekitar tidak tampak akrab sama sekali. Kami berhenti di depan sebuah
bangunan batu kecil Ada sebuah tanda bergambar buku-buku di atas
pintu, lusinan buku-buku berwarna cerah yang tumpah ruah dari rak buku.
"Mungkin ini perpustakaan," ujarku
Aku mau pulang ke rumah. Aku ingin melihat, seperti apa ibu dan ayahku.
Aku ingin jawaban untuk semua pertanyaanku.
Tapi Arlene merenggutkan lenganku dan menarikku menaiki tangga
perpustakaan. "Masuk, yuk. Kita bisa mempelajari sesuatu di dalam Aku
yakin." Perpustakaan itu terang benderang dan berbau segar dan bersih. Rak-rak buku di
keempat sisi tembok menjulang dan lantai hingga ke langit-langit. Seekor
kucing hitam tidur meringkuk di atas rak di sebelah meja depan.
Petugas perpustakaan itu adalah seorang wanita muda yang cantik, dengan
rambut dikuncir kuda dan memiliki senyum ramah "Ada yang bisa saya bantu?"
tanyanya "Saya Miss Nash. Saya belum pernah melihat kalian berdua."
"Kami anak baru," kata Arlene.
"Apa Anda punya buku-buku tentang tempat ini?" tanyaku.
Miss Nash memicingkan matanya padaku. "Makudmu sejarah lokal?"
Aku mengangguk. "Ya. Dan geografi. Peta dan sebagainya"
"Terus saja melewati pintu itu, ke arah ruang baca utama ' Ia menunjuk ke arah
pintu sempit di belakangnya. "Rak terakhir sebelah kanan, di dinding
belakang." Kami berterima kasih kepadanya dan berjalan ke arah pintu.
"Kalau kalian ada pertanyaan, tanya saja," ujarnya.
Aku punya sejuta pertanyaan, pikirku.
Tapi mungkin - hanya mungkin - aku akan menemukan beberapa jawaban
sekarang juga. Ruang baca utama itu panjang dan sempit. Di tengah ruangan ada sebuah meja yang
sangat panjang. Sejumlah orang duduk di kedua sisi meja, membaca buku-buku dan
koran-koran. Arlene dan aku melewati mereka dan berjalan ke arah dinding belakang. Kami
menemukan rak terakhir di sebelah kanan. Kami tidak berhenti untuk membaca
judul-judulnya. Kami malahan mulai menarik buku-buku keluar.
Buku-buku itu kami bawa ke meja. Dua tempat duduk paling ujung kosong.
Kami duduk bersebelahan. Aku tersenyum pada Arlene. "Mungkin akhirnya kita akan tahu di mana kita
berada, dan apa yang terjadi pada kita."
Ia melihat dari balik bahuku ketika aku mehgambil buku pertama yang berat dari
tumpukan. Kubuka sampulnya. Mulai membalikkan halaman-halamannya.
Dan kami berdua terkesiap ngeri.
"Kita seharusnya sudah tahu," Arlene berbisik. Kami memandangi alfabet-
alfabet aneh yang tak bisa dibaca.
Tentu saja. Tentu saja. Buku-buku itu bukan dalam bahasa Inggris.
Buku-buku itu bukan dalam alfabet mana pun yang pernah kami lihat. Tidak
pula sama dengan yang kami lihat di sekolah.
Kututup buku pertama keras-keras, dan kucoba membuka buku berikutnya Dan
berikutnya, dan berikutnya.
Satu buku berisi peta-peta. Tak satu pun negara yang kami kenal. Dan kami tidak
bisa membaca nama mereka, karena kata-katanya cuma dalam garis lekuk-lekuk.
"Percuma saja." Arlene mendesah.
Kusapukan tanganku ke atas halaman itu. Bergelombang. Huruf-hurufnya
menonjol di halaman, seperti huruf braille
Aku berpaling dan memandang sekelthng meja panjang.
Orang-orang asyik dengan buku-buku mereka. Mata mereka terpejam. Kepala
mereka bergerak dan kiri ke kanan ketika mereka menyapukan lidah di atas
halaman-halaman itu. Mereka membaca bahasa bergelombang itu dengan lidah mereka.
"Arlene, kau benar. Percuma saja," bisikku. "Ayo kita pergi dari sini."
Kututup buku itu dan mulai menjauh dari meja. Tapi mataku melihat sesuatu di
belakang rak ruku tinggi di seberang kami.
Ada seseorang di belakang rak. Seorang laki-laki.
Ia merunduk ketika sadar aku melihatnya.
Tapi aku mengenalinya. Aku mengenali pangkal janggut pendek itu, dan rambut yang
jatuh menutupi matanya. Itulah laki-laki menyeramkan yang memanggilku dari belakang dinding taman
bermain. Apa ia mengikutiku" Kurenggutkan lengan Arlene dan kutarik ke pintu. "Lekas. Lari."
Ia ragu-ragu sesaat, kemudian kami berdua lari.
"Hei ," Miss Nash memanggil dengan terkejut sewaktu kami buru-buru
melewatinya. Keluar pintu. Kembali ke jalan.
Aku berbalik, jantungku berdebar keras di dadaku.
Apa laki-laki aneh itu di belakang kami"
Ya . 13 "AYO" aku berteriak.
Kutarik lengan Arlene. Kami lari menyeberangi jalan. Aku mendengar raungan tajam
klakson mobil. Mendengar decitan rem.
Tapi kami tidak berhenti untuk melihat apa yang nyaris saja menabrak kami.


Goosebumps - 2000 24 Manusia Bumi Mesti Enyah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami berlari ke dalam taman kecil. Kuseret Arlene ke belakang semak-semak tinggi
berbunga. "Siapa... siapa orang tadi itu?" ia tergagap terengah.
Aku kehabisan napas untuk menjawab. "Aku tidak tahu," kataku akhirnya.
"Dia... dia membuntuti aku. Dia mencoba menangkapku... di sekolah pagi."
Aku mengintip di sekitar samping semak. Kulihat laki-laki itu lari ke dalam
taman. Ia mengenakan jas hujan kotor. Pinggiran topinya yang lebar ditarik ke
bawah, menutupi rambutnya.
Seraya menudungi matanya dengan satu tangan dari terik sinar matahari, ia ke
sana kemari mencari-cari kami, berputar-putar.
Tolong, aku berdoa dalam hati, jangan datang ke arah sini.
Tolong jangan lewati semak-semak ini.
Laki-laki itu terpaku. Dan menatap tepat ke depan.
Kepalaku kutarik lagi ke belakang semak-semak.
"Bisakah kau melihatnya" Apa kau mengenalinya" Apa dia datang ke arah
sini?" Arlene berbisik di telingaku.
Aku tidak menjawab. Aku mengintip lagi.
Laki-laki itu telah menghilang.
"Nyaris saja," bisikku. Kami menunggu sejenak untuk memastikan ia sudah
pergi. Aku sadar seluruh tubuhku gemetaran.
"Sekarang mau apa kita?" tanya Arlene.
"Ayo kita pergi ke rumahku," kataku.
Arlene memandang sepintas dengan gugup ke sekeliling taman. "Apa kita akan aman
di sana?" tanyanya. "Aku tidak tahu," sahutku.
14 RUMAH itu berbentuk panjang dan rendah. Bagian depannya adalah sirap
kelabu, dengan kerai-kerai hijau gelap di jendelanya.
Kami berhenti di ujung jalan masuk mobil.
"Bagaimana kau tahu ini rumahmu?" tanya Arlene.
Aku memandang ke jendela-jendela yang gelap, berusaha mengingat. "Aku
tidak tahu. Hanya perasaanku saja." Aku melangkah ke jalan mobil, dan
mengintip ke dalam garasi lewat jendela di pintu. Kosong. Tak ada mobil di
dalam. Aku berjalan ke arah serambi muka. Pintu depan dicat hijau, disesuaikan
dengan warna kerai-kerainva. Pintunya tidak dikunci. Aku mendorongnya dan kami
masuk ke dalam. "Spada?" panggilku dengan suara takut-takut.
Hening. Bunyi yang terdengar cuma dari jam kayu tinggi yang berdetik di atas
tungku. Apa ibu dan ayahmu sudah pulang sepagi ini?" tanya Arlene sambil melihat-
lihat ke sekeliling ruangan dengan tegang. "Apa kau mengenali ruangan ini"
Apa kau mengingatnya?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak juga, sih. Aku punya perasaan pernah
berada di sini sebelumnya. Tapi cuma itu."
Aku menggeledah meja-meja untuk mencari foto-foto berbingkai. Tak ada satu pun.
Tak ada petunjuk. Tak satu pun.
Aku menerobos ruang duduk, sambil menarik laci-laci meja. Tak ada foto-foto.
Tak ada informasi. Arlene berdiri di ambang pintu dengan kedua lengan tersilang di dada. "Apa ada
ingatan yang muncul?"
"Tidak,"balasku sedih.
Kulihat ruang baca kecil di belakang ruang duduk. Kuisyaratkan Arlene agar
mengikutiku ke sana. Di ruangan itu ada sebuah kursi dan sofa kulit berwarna cokelat, sebuah meja dan
kayu yang gelap... Tak ada foto. Tak ada buku atau majalah.
Arlene masih di belakangku, tetap dengan lengan-lengan disilangkan di dada,
seakan-akan melindungi dirinya. "Jacob, ruangan ini..." Suaranya melemah.
Aku menoleh kepadanya. "Ada apa sih?"
"Ini... tampaknya tak asing bagiku," katanya dengan ragu-ragu. Matanya
bergerak mengelilingi ruangan, mengamati kertas dinding yang gelap, lalu
bergerak ke sebuah meja. "Rasanya aku ingat pernah berada di sini."
"Aneh," kataku. "Apa kau ingat yang lain?"
Ia mengernyitkan dahi, lalu menggoyang-goyangkan kepalanya. "Menurutmu,
apa kita sudah gila, Jacob" Atau..." Bisa kulihat ia berpikir keras. "Apa
kaupikir ini semacam tes?"
Aku menatapnya lekat-lekat. "Tes?"
"Ya. Aku pernah membaca buku tentang anak-anak yang ketika bangun tidur
menemukan diri mereka di dalam dunia aneh dan mengerikan. Mereka tidak
tahu di mana mereka berada, atau apa yang seharusnya mereka lakukan. Mereka cuma
tahu harus mencoba bertahan hidup."
Ia menelan ludah. "Ternyata anak-anak itu berada dalam semacam laboratorium ilmu
pengetahuan. Ternyata semua itu hanyalah tes yang dipersiapkan oleh para
ilmuwan, untuk melihat apa yang akan dilakukan anak-anak itu untuk tetap
hidup." "Buku aneh," sahutku. -"Dan. kaupikir..."
"Mungkin itulah yang terjadi pada kita," ujarnya. "Mungkin kita berada di dalam
sebuah laboratorium ilmu pengetahuan, dan para ilmuwan mengamati
kita, mengawasi setiap gerak-gerik kita."
Ide itu membuatku merinding.
"Mungkin saja," sahutku. "Jadi, apa yang mesti kita lakukan" Cuma duduk
menunggu mereka menyelesaikan percobaan?"
Jelas tak mungkin. Kami tahu itu.
Bagaimana jika dugaan Arlene salah, dan sebenarnya tidak ada para ilmuwan
mempelajari kami" "Hei, nyalakan TV, yuk," teriak Arlene, menunjuk ke arah TV kecil di rak dinding
di belakangku. "Cepat. Nyalakan. Mungkin kita akan belajar sesuatu tentang
tempat ini." Arlene dan aku duduk bersebelahan di pinggiran sofa kulit untuk menonton.
Film kartun. Dua ekor kucing mengejar seekor anjing. Aku sangat keranjingan film
kartun sewaktu masih kecil. Tapi aku belum pernah melihat yang satu ini.
"Ganti salurannya," kata Arlene tak sabar
Kuambil remote control TV di meja di sebelah sofa, dan memencet tombol saluran.
Kini kami menonton sebuah acara permainan. Pesertanya seorang pria muda
berambut pirang, dengan kemeja terbuka. Bisa kulihat sebuah tato besar
berwarna biru dan merah di dadanya. Lengannya diangkat. Sebuah pipa gelas
panjang telah dimasukkan ke dalam lubang makanan di ketiaknya.
"Rasa apa ini?" tanya pembawa acara permainan itu.
Cairan mengalir lewat pipa, masuk ke dalam ketiak pria itu.
"Ceri?" tanyanya.
Terdengar dengungan serak.
"Oh, maaf sekali!" seru si pembawa acara sambil menggelengkan kepalanya.
"Buah frambus. Maaf, babak penentuan kita sudah selesai. Semoga berhasil lain
waktu di Tebak Rasa."
"Aku tak percaya!" aku berseru.
Aku mengganti-ganti saluran Kami melihat satu demi satu acara aneh. Tak satu pun
acara yang kami kenali. Dalam acara memancing, dua laki-laki di atas perahu motor menarik ikan
berkepala dua yang aneh dari air. Di acara permainan yang lain, para peserta
dikenai sengatan listrik. Kejutan listrik membuat mereka melompat dan menari,
dan para penonton terbahak-bahak.
Aku memencet remote TV lagi, dan kami melihat buah program berita. Seorang laki-
laki muda dengan rambut cokelat licin berombak, mengenakan Nazer hitam dengan
semacam nomor pada kelepaknya menatap ke kamera dengan serius.
"Pemerintah mengeluarkan peringatan menggegerkan," ia memberitahu dengan suara
berat dan empuk. Arlene dan aku mendengarkan dengan saksama.
"Manusia Aneh dari Bumi telah mendarat," reporter itu melanjutkan. "Semua orang
harus berhati-hati. Gubernur-Walikota Dermar mengumumkan negara
dalam keadaan darurat."
Arlene dan aku berpandangan.
Manusia Aneh dan Bumi"
Keadaan darurat" Seorang pria berwajah suram, dalam jas hitam, muncul di layar. Kurasa inilah
Gubernur-Walikota Dermar.
"Manusia Aneh dari Bumi tidak akan bertahan lama jika kita semua waspada dan
melakukan kewajiban kita sebagai warga negara," katanya nyaring.
"Enyahlah Manusia Aneh dari Bumi! Enyahlah Manusia Aneh dari Bumi!"
Kata-katanya menjalarkan rasa dingin di sepanjang punggungku.
Dan aku tak bisa mengenyahkan pikiran menakutkan ini dari otakku.
Apakah ini benar-benar rumahku"
Aku jadi tak yakin lagi. Boleh jadi aku tidak tinggal di sini. Barangkali aku tidak tinggal di mana pun.
Aku menoleh ke arah Arlene. Bisa kulihat dari wajahnya bahwa ia punya
pikiran yang sama denganku.
"Mungkin kitalah Manusia Aneh dari Bumi itu!" kami berdua berkata serentak.
Barangkali kami yang disebut Manusia Aneh dan Bumi itu - dan mereka ingin
membunuh kami! 15 KUMATIKAN TV. Aku tak tahan mendengar apa pun lagi.
Sejuta pertanyaan melayang di kepalaku.
Jika kami adalah Manusia Aneh dari Bumi yang dimaksudkan, apakah itu
artinya kami tidak lagi berada di Bumi" Apakah Arlene dan aku berada di planet
lain" Bagaimana kami bisa berada di sini"
Apa hanya kami berdua Manusia Aneh dari Bumi Itu" Apa kami berdua
sendirian" Bagaimana kami bisa bersembunyi dari mereka, kalau kami tidak tahu siapa
kami ini atau apa yang kami lakukan di sini"
Kenapa mereka ingin membunuh kami"
Aku menoleh pada Arlene. "Kita harus menemukan beberapa petunjuk, kalau
tidak kita akan celaka. Kau tahu di mana kau tinggal" Apa kau punya rumah di
sekitar sini?" Ia memejamkan matanya, berkonsentrasi, berpikir keras. "Aku... tidak tahu.
Aku tidak ingat, Jacob"
Aku bangkit berdiri. "Kita harus cepat menemukan jawabannya," ujarku. "Jika kita
ingin bertahan, kita harus cari tahu apa yang sedang terjadi."
Arlene menatapku dari sofa. "Dari mana kita harus mulai?"
"Ya di sini," kataku padanya. "Kita harus menggeledah rumah ini dari atas sampai
bawah. Pasti ada sesuatu di sirti. Foto, peta, buku. Surat-surat..."
"Orangtuaku pasti benar-benar mencemaskanku," kata Arlene. Kemudian ia
menambahkan dengan pelan, "Di mana pun mereka berada."
"Ayo dong." Kutarik ia bangun, dan kami mulai menggeledah rumah itu.
Kami sudah rnemeriksa ruang tengah tapi kami melakukannya lagi.
Kami tidak menemukan apa-apa.
Aku merneriksa ruang makan, menarik laci-laci, mengamati rak-rak, bahkan
melihat-lihat ke bawah meja kayu ek yang besar.
Tak ada apa pun. Arlene kembali dari dapur, tampak sangat tidak senang. "Ada sejumlah telur di
kulkas, dan sekarton susu," ia melaporkan. "Tidak terlalu membantu."
"Yuk, kita periksa ke atas," kataku.
Kamar pertama sepertinya kamar untuk tamu. Sebah tempat tidur dan lemari
rias kosong. Kami memeriksa semua tempat, bahkan di bawah tempat tidur.
Kami memeriksa lemari seprai. Kamar mandi atas.
"Ini kamarmu?" tanya Arlene ketika kami melangkah ke dalam kamar di ujung
ruangan. Aku memandang berkeliling pada kertas dinding warna biru terang, meja
Peti Mati Dari Jepara 1 Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Badai Di Karang Langit 1
^