Pencarian

Pembalasan Dimalam Halloween 1

Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween Bagian 1


Chapter 1 "MAU ke mana, Kurcaci?" Dad berseru dari ruang baca.
"Jangan panggil aku Kurcaci!" sahutku. "Namaku Drew!"
Aku benci julukan yang diberikan Dad padaku. Ia memanggilku
begitu karena aku termasuk kecil untuk anak berumur dua belas tahun.
Juga karena ia menganggap tampangku mirip makhluk dongeng itu.
Coba, seandainya tampang kalian mirip kurcaci, apa kalian
senang dijuluki begitu" Tentu saja tidak, kan"
Suatu hari sahabat karibku, Walker Parkes, mendengar Dad
memanggilku Kurcaci. Lalu Walker sok ikut-ikutan. "Hei, Kurcaci!"
panggilnya. Aku langsung menginjak kaki Walker dengan sekuat tenaga,
dan sejak itu ia tak pernah lagi memanggilku begitu.
"Mau ke mana, Drew?" Dad berseru lagi dari ruang baca.
"Keluar!" jawabku, lalu membanting pintu depan. Aku suka membuat orangtuaku
bertanya-tanya. Aku selalu berusaha memberi jawaban samar-samar.
Dalam hal ini aku memang iseng seperti kurcaci. Tapi awas
kalau kau memanggilku begitu. Nanti kakimu kuinjak sekalian, lho!
Aku terkenal jagoan. Boleh tanya siapa saja. Mereka pasti akan bilang bahwa Drew
Brockman memang jagoan. Sebagai cewek paling kecil di kelas, aku memang harus
bersikap begitu supaya tidak
dianggap remeh. Sebenarnya sih, aku tidak pergi ke mana-mana. Aku sedang
menunggu teman-temanku yang mau main ke rumah. Aku cuma ke
trotoar untuk melihat apakah mereka sudah muncul.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku melihat asap putih
keluar dari cerobong asap di atap rumah di ujung jalan. Bau kayu perapian.
Baunya begitu harum dan manis.
Aku paling suka musim gugur. Musim gugur berarti perayaan
Halloween akan segera tiba.
Halloween adalah hari raya kesukaanku. Sebab pada malam itu
kita punya kesempatan untuk tampil lain dari biasanya.
Hanya pada malam Halloween saja aku tidak perlu jadi kurcaci.
Tapi Halloween bukannya tanpa masalah. Malah ada dua
masalah yang mengusikku, yaitu Tabitha Weiss dan Lee Winston, dua teman
sekelasku. Sudah dua tahun berturut-turut Tabby dan Lee merusak suasana
Halloween-ku dan Walker Aku kesal sekali. Begitu juga Walker. Hari raya kesukaan kami
jadi tidak berkesan gara-gara dua anak sombong. Mereka pikir mereka boleh
berbuat seenaknya. Huh! Kalau teringat kejadian itu, aku jadi ingin memukul seseorang.
Teman-temanku yang lain, Shane dan Shana Martin, juga sebal.
Mereka cowok dan cewek kembar, dan sebaya denganku. Mereka
tinggal di rumah sebelah, kami sering bermain bersama.
Penampilan Shane dan Shana berbeda dari anak-anak lain yang
kukenal. Mereka sama-sama bermuka bulat, dan berambut pirang ikal.
Mereka sama-sama berpipi merah, punya senyum ceria, juga sama-
sama bertubuh pendek dan agak gendut.
Dad menjuluki mereka si kembar pet-bun, alias pendek-buntek.
Dad selalu punya ejekan untuk siapa pun!
Tapi yang jelas, si kembar juga kesal pada Tabby dan Lee, sama seperti Walker
dan aku. Dan pada Halloween kali ini, kami berniat membuat perhitungan dengan
mereka. Barangkali kalian ingin tahu, apa sebetulnya persoalan kami
dengan Tabby dan Lee. Hmm, untuk itu aku akan menjelaskan
kejadian dua tahun yang lalu itu.
Kejadiannya masih kuingat dengan jelas.
Saat itu Walker dan aku berumur sepuluh tahun. Kami sedang
bermain di halaman depan rumahku. Sepeda Walker tergeletak di
rumput, dan ia sedang asyik mengotak-atik ruji-ruji rodanya.
Waktu itu musim gugur, dan cuacanya nyaman sekali.
Seseorang sedang membakar setumpuk daun kering di ujung jalan.
Sebenarnya dilarang membakar daun kering di Riverdale. Dan Dad selalu mengancam
akan memanggil polisi kalau ada yang melanggar larangan itu. Tapi aku suka
baunya. Aku mengamati Walker mengotak-atik sepeda. Aku lupa apa
yang kami bicarakan waktu itu. Kemudian aku menoleh - dan tahu-
tahu Tabby dan Lee sudah berdiri di depanku.
Tabby berpenampilan sempurna, seperti biasa. "Putri yang
Sempurna." Itu julukan yang diberikan Dad padanya - dan kali ini, julukannya
tepat. Angin bertiup cukup kencang. Tapi rambut Tabby yang pirang
dan panjang tetap rapi, tidak berkibar-kibar seperti rambutku.
Tabby punya kulit putih mulus dan mata hijau yang bersinar-
sinar. Ia cantik sekali, dan ia sadar benar akan hal itu.
Kadang-kadang aku harus menahan diri untuk tidak mengacak-
acak rambutnya! Lee jangkung dan bertampang keren. Matanya cokelat tua, dan
senyumnya sangat menawan. Ia berkulit hitam, karena ia memang
keturunan Afrika. Gayanya persis para penyanyi rap yang sering tampil di video
klip MTV. Semua cewek di sekolah terpesona padanya. Tapi aku tak
pernah mengerti sepatah kata pun yang ia ucapkan. Soalnya, Lee selalu sibuk
mengunyah permen karet berwarna hijau apel.
"Mmmmmmmmbbb mmmmmmmmbbb." Lee mengamati
sepeda Walker dan bergumam tak jelas.
"Hei," aku menyapa mereka. "Apa kabar?"
Tabby tiba-tiba meringis dan menunjuk wajahku. "Ya ampun, Drew, ada yang
menggelantung dari hidungmu," katanya.
"Oh...!" Aku langsung bereaksi dengan menggosok-gosok hidung. Ternyata tidak ada
apa-apa. "Sori," ujar Tabby sambil nyengir. "Rupanya aku salah lihat."
Ia dan Lee tertawa. Tabby selalu bersikap iseng padaku. Ia tahu aku gampang salah
tingkah. Dan karena itu aku jadi sasaran empuk ulah jailnya.
"Sepedamu bagus," gumam Lee pada Walker. "Giginya berapa?"
"Dua belas," jawab Walker.
Lee tersenyum mengejek. "Sepedaku giginya empat puluh dua!"
"Hah?" Walker berdiri. "Mana ada sepeda seperti itu!" ia memprotes.
"Ada," Lee berkeras, masih sambil cengar-cengir. "Sepedaku dibikin khusus
untukku." Ia membuat balon besar dengan permen karetnya. Dan itu tidak
mudah kalau sambil tersenyum mengejek.
Rasanya aku ingin meletuskan balon itu. Tapi Lee keburu
mundur dan meletuskannya sendiri.
"Kau habis potong rambut?" tanya Tabby sambil mengamati rambutku yang tertiup
angin. "Tidak," sahutku.
"Oh, pantas," ujarnya sambil mengusap rambutnya yang rapi dengan sebelah tangan.
"Grrrr!" Aku tidak tahan. Aku mengepalkan tangan dan menggeram dengan kesal.
Aku sering menggeram seperti itu. Kadang-kadang bahkan
tanpa sadar. "Mummmmmmb mmmmmmbb." Lee mengatakan sesuatu.
Aku melihat air liur menetes di dagunya.
"Apa?" tanyaku.
"Aku bikin pesta Halloween," ia mengulangi.
Jantungku mulai berdegup-degup. "Pesta Halloween
sungguhan?" aku kembali bertanya. "Yang datang pakai kostum semua" Terus ada jus
apel, permainan, dan cerita-cerita seram?"
Lee mengangguk. "Ya. Pesta Halloween sungguhan. Tepat pada malam Halloween, di
rumahku. Kalian mau datang?"
"Pasti!" Walker dan aku menyahut berbarengan. Kami tidak sadar bahwa kami telah
melakukan kesalahan. Kesalahan besar.
Chapter 2 PESTA Halloween di rumah Lee sudah ramai ketika Walker
dan aku datang. Orangtua Lee telah memasang pita hiasan berwarna jingga dan
hitam di ruang tamu. Tiga buah jack-o'-lantern - lentera yang dibuat dari labu
besar, yang diukir berbentuk wajah
menyeramkan - di ambang jendela depan menatap kami sambil
nyengir. Orang pertama yang kujumpai tentu saja Tabby. Biarpun
memakai kostum, ia langsung bisa kukenali. Habis, ia berkostum putri kerajaan.
Tabby mengenakan gaun berwarna pink dengan lengan panjang
dan kerah renda yang tinggi. Rambutnya yang pirang disisir ke atas, dan dihiasi
mahkota berkilauan. Ia menyambutku sambil tersenyum dengan bibirnya yang
dipoles lipstik. "Eh, Drew, ya?" ia bertanya sambil berlagak tidak mengenaliku.
"Kau jadi apa, sih" Tikus, ya?"
"Bukan!" semburku. "Aku bukan tikus. Aku orang Klingon.
Kau tidak pernah nonton Star Trek di TV, ya?"
Tabby terkekeh-kekeh. "Kau yakin kau bukan tikus?"
Lalu ia berbalik dan meninggalkanku sambil tersenyum-
senyum. Tampaknya ia senang sekali telah berhasil mengejekku.
Aku menggeram tertahan, lalu memandang berkeliling untuk
mencari teman mengobrol. Aku melihat Shane dan Shana di depan
perapian. Mereka mudah dikenali. Mereka sama-sama berkostum
orang-orangan salju. "Kostum kalian bagus sekali!" kataku kepada mereka.
Mereka memakai dua bola salju berwarna putih. Satu bola salju
besar untuk menutupi badan, dan satu lagi yang lebih kecil untuk menutupi
kepala. Bola salju yang lebih kecil diberi lubang untuk mata. Tapi aku tidak tahu yang
mana Shane, dan yang mana Shana. "Bola saljunya terbuat dari apa?" tanyaku.
" Styrofoam," jawab Shana. Suaranya kecil melengking, dan aku langsung
mengenalinya. "Kami menghabiskan dua blok besar styrofoam untuk kostum ini."
"Wow, keren," ujarku.
"Pestanya ramai, ya?" kata Shane. "Semua teman sekelas kita datang. Sudah lihat
kostum Bryna Morse" Dia menyemprot seluruh badannya dengan cat semprot warna
perak. Muka dan rambutnya
juga!" "Jadi apa dia?" aku bertanya sa nibil memandang berkeliling untuk mencarinya.
"Silver surfer?"
"Bukan. Menurutku dia jadi Patung Liberty," sahut Shane.
"Soalnya, dia bawa obor dari plastik."
Suara berderak dari perapian membuatku tersentak kaget.
Sebagian besar lampu dipadamkan, sehingga suasananya jadi remang-remang, cocok
sekali untuk pesta Halloween. Api di tempat perapian menghasilkan bayangan-
bayangan yang menari-nari di lantai.
Aku membalik dan melihat Walker menghampiri kami. Seluruh
tubuhnya terbungkus perban dan kain kasa. Kelihatannya ia jadi mumi.
"Aku ada masalah," katanya.
"Masalah apa?" tanya Shane.
"Ibuku kurang rapi sewaktu membungkusku tadi," Walker menggerutu. "Perbannya
sudah mulai terlepas." Ia berusaha mengencangkan perban yang tampak mengendur di
sekeliling lehernya. "Aaaagh!" ia berseru kesal. "Semuanya sudah mau copot."
"Tapi kau pakai baju, kan?" tanya Shana.
Shane dan aku tertawa. Aku membayangkan Walker berdiri di
tengah pesta cuma dengan pakaian dalam, sementara di kakinya
bergulung-gulung tumpukan perban.
"Ya, tentu saja pakai baju," jawab Walker. "Tapi kalau perban ini copot semua,
aku bakal terpelanting."
"Hei - ada apa?" Lee menyela percakapan kami. Ia memakai kostum Batman, tapi aku
mengenali matanya yang gelap di balik
topeng. Dan aku juga mengenali suaranya.
"Pestanya ramai ya," ujar Shana.
"Yeah, memang," aku mengulangi.
Lee hendak menyahut. Tapi bunyi gubrak yang sangat, keras
membuat semua anak memekik kaget.
Semua berdiri seperti patung. "Apa itu?" seru Lee.
Suasana jadi hening. Bunyi itu terdengar lagi. Disusul bunyi benturan. Dan suara
orang berbisik-bisik. "K-kedengarannya dari ruang bawah tanah!" kata Lee tergagap-gagap. Ia melepaskan
topeng Batman. Aku segera melihat ekspresi ngeri yang tercermin di wajahnya.
Kami semua menoleh ke pintu terbuka di ujung ruang tamu.
Aku bisa melihat tangga yang menuju ke ruang bawah tanah.
"Oh...!" Lee berseru tertahan ketika bunyi benturan kembali terdengar.
Lalu menyusul suara langkah berat - menaiki tangga.
"Ada orang masuk!" Lee menjerit ketakutan. "Ada perampok!
Perampok!" Chapter 3 "MOM! Dad!" teriak Lee. Suaranya terdengar melengking di ruang tamu yang
mendadak sunyi. Semua anak seakan-akan terpaku di tempat.
Aku merinding ketika mendengar suara langkah yang menaiki
tangga itu. "Mom! Dad! Tolong!" Lee kembali berteriak sambil
membelalakkan mata karena ngeri.
Tak ada jawaban. Ia berlari ke arah kamar orangtuanya di bagian belakang rumah.
"Mom" Dad?"
Aku hendak mengikutinya. Tapi beberapa detik kemudian ia
sudah kembali ke ruang tamu. Seluruh tubuhnya gemetaran.
"Orangtuaku - mereka hilang!"
"Panggil polisi!"
"Ya! Telepon sembilan-satu-satu!" teriak Walker.
Lee bergegas ke pesawat telepon di samping sofa. Kakinya
menyenggol kaleng Pepsi yang ditaruh di karpet. Tapi ia tidak
menghiraukannya. Ia menyambar gagang telepon dan langsung menempelkannya
ke telinga. Aku memperhatikannya menekan nomor untuk keadaan
darurat. Tapi kemudian ia berpaling ke arah kami, dan membiarkan gagang telepon
terlepas dari tangannya. "Teleponnya mati!"
Beberapa anak memekik tertahan.
Aku berpaling ke arah Walker dan membuka mulut untuk
mengatakan sesuatu. Tapi sebelum aku sempat bicara, dua sosok besar muncul dari
pintu ruang bawah tanah. "Ahhhh!" Lee meraung ketakutan. Tabby mundur selangkah dan setengah bersembunyi
di belakang Lee. Matanya yang bermake-up tebal terbelalak karena ngeri.
Kedua sosok tak dikenal itu cepat-cepat melintasi ruang tamu
dan menghalangi pintu keluar. Salah satu memakai topi rajut biru yang ditarik
sampai menutupi wajah, sedang rekannya memakai
topeng gorila yang terbuat dari karet.
Keduanya memakai jaket kulit hitam dan celana jeans hitam.
"Waktunya berpesta!" si gorila berseru dengan suara parau. Ia tertawa. Tawanya
terdengar kejam. "Ayo, mari berpesta semuanya!"
Beberapa anak memekik ketakutan. Jantungku mulai berdegup-
degup. Tiba-tiba saja aku jadi panas-dingin.
"Siapa kalian?" tanya Lee di tengah hiruk-piruk. "Bagaimana kalian bisa masuk"
Di mana orangtuaku?"
"Orangtua?" balas orang yang memakai topi rajut. Matanya biru cerah, hampir sama
birunya dengan topi yang menyelubungi
wajahnya. "Memangnya kau punya orangtua?"
Keduanya tertawa. "Di mana mereka?" seru Lee.


Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin mereka kabur sewaktu melihat kami datang!" jawab si topi rajut.
Lee menelan ludah. Tabby maju sedikit. "Kalian tidak boleh seenaknya masuk ke sini!" ia menghardik
kedua orang tak dikenal itu. "Kami sedang berpesta!"
Si gorila berpaling kepada temannya dan tertawa. Keduanya
tertawa terpingkal-pingkal sambil menengadah.
"Sekarang giliran kami yang pesta!" seru si gorila. "Pesta ini kami ambil alih!"
Di sekeliling ruangan terdengar bisik-bisik. Kakiku mendadak
lemas. Aku terpaksa berpegangan pada pundak Walker agar jangan sampai ambruk.
"M-mau apa kalian?" tanya Tabby tergagap-gagap.
Chapter 4 "AYO, semuanya tiarap di lantai!" si topi rajut memerintahkan.
"Kalian tidak boleh berbuat begini!" teriak Tabby.
"Kami masih anak-anak!" seseorang berseru. "Kalian mau merampok kami" Kami tidak
punya uang!" Aku melihat Shane dan Shana berdiri di depan perapian. Wajah
mereka tersembunyi di balik kostum orang-orangan salju. Tapi aku tahu mereka
juga ketakutan. "Tiarap!" kedua orang tak dikenal itu menghardik. Suasana jadi ramai ketika kami
semua tiarap di lantai. "Kalian juga!" si gorila membentak Shane dan Shana.
"Tapi mana mungkin!" seru Shana. "Kami tidak bisa tiarap dengan bola-bola salju
ini!" "Jangan banyak omong!" bentak si gorila.
"Cepat tiarap - atau kami akan memaksa kalian," si topi rajut mengancam.
Aku memperhatikan Shane dan Shana menuruti perintah itu.
Mereka terpaksa membuka bola salju sebelah bawah agar bisa
berlutut. Bola salju Shana terbelah dua ketika ia berusaha
melepaskannya. "Oke, sekarang push-up semuanya!" perintah si gorila.
"Hah?" Di sekelilingku terdengar seruan-seruan bingung.
"Push-up!" si gorila mengulangi. "Kalian tahu bagaimana caranya, bukan?"
"B-berapa kali?" tanya Walker. Ia berlutut di sampingku, di depan meja.
"Cukup dua jam saja," sahut si topi rajut.
"Hah" Dua jam?" beberapa anak memekik.
"Dan itu baru pemanasan," kata si gorila. "Setelah itu kami akan memikirkan
sesuatu yang lebih berat untuk kalian!"
"Yeah. Jauh lebih berat!" rekannya menambahkan. Lalu keduanya kembali terbahak-
bahak. "Kalian tidak boleh menyuruh kami seenaknya!" aku menjerit.
Suaraku terdengar kecil melengking, persis seperti cicit tikus.
Anak-anak lain juga memprotes. Aku berpaling ke pintu. Si topi rajut telah
bergerak ke tengah ruangan. Tapi si gorila masih
menghalangi jalan keluar.
"Ayo, mulai!" si gorila memerintahkan.
"Atau kalian harus push-up selama tiga jam!" kawannya menimpali.
Banyak anak yang mengomel dan menggerutu. Tapi tak ada
yang berani membantah. Semuanya tiarap di lantai dan mulai
melakukan push-up. Habis, apa lagi yang bisa kami lakukan"
"Kita tidak mungkin push-up selama dua jam!" Walker
memprotes sambil terengah-engah. "Kita bakal pingsan!"
Badannya bergerak naik-turun, naik-turun. Semakin lama
kostum mumi-nya semakin berantakan.
"Lebih cepat!" si gorila berseru. "Ayo, lebih cepat!"
Aku baru melakukan empat atau lima gerakan push-up, tapi
lenganku sudah mulai pegal. Aku memang jarang berolahraga, kecuali naik sepeda
dan berenang di musim panas.
Mana aku sanggup push-up lebih dari sepuluh sampai lima
belas menit" Aku menegakkan kepala dan memandang ke depan - dan
melihat sesuatu yang membuatku memekik kaget.
Chapter 5 "WALKER - lihat, tuh!" aku berbisik.
"Apa, sih?" Walker menggerung.
Aku menyikut tulang rusuknya.
Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai. "Aduh! Hei, Drew - apa-apaan sih
kau?" Kami sama-sama menoleh ke arah pintu.
Dan apa yang kami lihat benar-benar mengagetkan. Ternyata
Tabby dan Lee tidak tiarap di lantai seperti anak-anak lain. Mereka berdiri di
depan pintu bersama kedua orang tak dikenal itu.
Dan keduanya sedang nyengir lebar.
Aku berhenti push-up, dan menegakkan badan sambil tetap
berlutut. Aku melihat Lee mulai tertawa.
Tabby juga ikut tertawa. Saking kerasnya, mahkota di
kepalanya sampai terguncang-guncang. Mereka berhigh-five!
Anak-anak di sekelilingku masih sibuk mendorong badan
mereka naik, lalu turun lagi, naik, lalu turun lagi. Mereka sibuk push-up sambil
mengerang-erang dan menggerung-gerung.
Tapi Walker dan aku telah berhenti. Kami sama-sama berlutut
dan memperhatikan Tabby dan Lee. Kedua anak brengsek itu sedang tertawa-tawa,
menikmati keberhasilan mereka.
Aku hendak berseru marah, ketika kedua orang tak dikenal itu
melepaskan topeng masing-masing.
Aku segera mengenali orang yang memakai topeng gorila. Ia
Todd Jeffrey, anak SMU yang tinggal di sebelah rumah Lee.
Orang yang memakai topi rajut juga kukenal. Namanya Joe.
Entah apa nama belakangnya. Ia teman Todd.
Todd mengusap rambut yang menutupi keningnya. Rambutnya
basah, wajahnya merah, dan ia bermandikan keringat. Rupanya ia kepanasan gara-
gara topeng karet itu. Joe membuang topi rajutnya ke lantai. Ia menggelengkan kepala
sambil menertawakan kami semua. "Hei, ini cuma main-main!"
serunya. "Happy Halloween!"
Anak-anak segera berhenti push-up. Tapi tak ada yang bangkit
dari lantai. Rupanya kami semua terlalu kaget hingga tak sanggup untuk berdiri.
"Cuma permainan pesta!" Lee menimpali sambil nyengir.
"Kenapa sih" Kalian pada ngeri, ya?" tanya Tabby dengan lagak tak berdosa.
"Grrrrr!" Aku menggeram lebih keras dari biasanya. Rasanya aku ingin berdiri,
merebut mahkota di kepala Tabby, dan
melilitkannya ke leher cewek brengsek itu!
Todd dan Joe berhigh-five. Masing-masing meraih sekaleng
Pepsi dan langsung mereguk isinya.
"Kalian sudah boleh berdiri sekarang!" Lee mengumumkan sambil terkekeh-kekeh.
"Wow! Kalian sampai pucat semua!" seru Tabby puas. "Tipuan kami benar-benar
berhasil!" "Dasar brengsek," Walker bergumam sambil geleng-geleng kepala. Kain kasa yang
semula menutupi kepalanya sudah copot
semua. Lilitan perban menggelantung dari pundaknya. "Brengsek.
Benar-benar keterlaluan."
Aku bangkit dengan susah payah dan membantu Walker berdiri.
Aku mendengar Shane dan Shana mengomel di belakang kami.
Kostum mereka sudah rusak total.
Anak-anak lain juga mengomel dan menggerutu. Hanya Tabby
dan Lee yang tertawa. Selain mereka, tak ada yang menganggap
kejadian itu lucu. Sebenarnya aku hendak menghampiri kedua anak brengsek itu
untuk mendamprat mereka. Tapi orangtua Lee keburu datang.
"Kami baru saja berkunjung ke rumah keluarga Jeffrey di
sebelah," ibu Lee mengumumkan. Kemudian ia melihat Todd. "Oh, halo, Todd. Kami
baru saja dari rumahmu, mengunjungi orangtuamu.
Sedang apa kau di sini" Membantu Lee mengurus pesta?"
"Begitulah," sahut Todd sambil cengar-cengir.
"Bagaimana pestanya?" ayah Lee bertanya. "Ramai," jawab Lee. "Ramai sekaliii."
**********************************
Begitulah Tabby dan Lee mengacaukan perayaan Halloween
dua tahun lalu. Aku dan Walker - Shane dan Shana juga - benar-benar kesal.
Bukan. Kami bukan cuma kesal. Kami benar-benar marah.
Halloween adalah perayaan kesukaan kami. Dan kami
keberatan kalau ada yang mengacaukannya dengan lelucon konyol
seperti itu. Jadi, tahun lalu kami memutuskan untuk membuat perhitungan.
Chapter 6 "KITA perlu dekor istimewa," ujar Shana. "Jangan hanya labu dan kerangka tulang.
Itu sudah biasa." "Yeah, kita perlu sesuatu yang lebih menyeramkan," usul Shane.
"Kurasa Jack-o'-lantern cukup menakutkan," aku berkeras.
"Terutama kalau kita pasang lilin di dalamnya. Tampangnya yang gelap kan jadi
menyala-nyala, dan senyumnya tampak bengis."
"Ah, Jack-o'-lantern terlalu kekanak-kanakan," Walker membantah. "Mana ada yang
takut pada Jack-o'-lantern. Shana benar.
Kita butuh sesuatu yang lebih menyeramkan untuk menakut-nakuti Tabby dan Lee."
Waktu itu seminggu sebelum Halloween. Kami berempat
sedang bekerja keras di rumahku. Kami sedang mempersiapkan pesta Halloweenku.
Ya. Tahun lalu aku mengadakan pesta Halloween. Kenapa aku
memutuskan untuk membuat pesta" Alasannya cuma satu.
Untuk membalas dendam. Untuk membalas dendam pada Tabby dan Lee.
Walker, Shane, Shana, dan aku telah menghabiskan satu tahun
untuk berunding dan menyusun rencana. Kami hendak membuat
kejutan paling mengerikan bagi mereka.
Kami tidak ingin membuat lelucon kejam seperti orang yang
berlagak jadi perampok. Itu terlalu kejam. Dan terlalu menakutkan.
Sampai sekarang masih ada beberapa temanku yang bermimpi
buruk tentang orang-orang dengan topi rajut dan topeng gorila.
Kami berempat tidak bermaksud menakut-nakuti semua tamu.
Kami cuma ingin mempermalukan Tabby dan Lee - dan membuat
mereka ngeri setengah mati.
Dan sekarang, seminggu sebelum malam yang ditunggu-tunggu,
kami berempat sedang berkumpul di ruang duduk di rumahku sehabis makan malam.
Seharusnya kami mengerjakan PR. Tapi Halloween
sudah di ambang pintu. Kami tidak punya waktu untuk memikirkan PR. Seluruh waktu
kami habis tersita untuk menyusun rencana.
Shane dan Shana ternyata punya banyak ide menyeramkan.
Padahal tampang mereka begitu manis dan lugu. Tapi itu cuma kesan dari luar
saja. Kalau kita sudah mengenal mereka, kita akan tahu bahwa mereka sebenarnya
sangat jail. Walker dan aku cenderung memilih ide yang sederhana. Makin
sederhana, makin menyeramkan. Begitulah jalan pikiran kami berdua.
Aku hendak menjatuhkan sarang labah-labah tiruan dari atas
tangga, untuk menjerat Tabby dan Lee. Aku tahu toko yang menjual sarang labah-
labah tiruan yang sangat lengket.
Walker punya labah-labah tarantula yang dipeliharanya di
dalam kandang kaca di rumahnya. Itu tarantula sungguhan. Ia
mengusulkan untuk menempelkan tarantula itu ke sarang labah-labah, lalu
menjatuhkannya ke rambut Tabby.
Asyik juga idenya. Walker juga ingin membuat pintu kolong di lantai ruang duduk.
Begitu Tabby dan Lee menginjak pintu kolong itu, kami akan
membukanya dan mereka akan terperosok ke ruang bawah tanah.
Sebenarnya sih aku suka ide itu. Tapi dengan berat hati aku
terpaksa menolaknya. Aku tidak yakin Mom dan Dad akan
mengizinkan kami menggergaji lantai ruang duduk.
Lagi pula, aku cuma ingin menakut-nakuti kedua anak brengsek
itu. Aku tidak ingin mereka sampai patah leher.
"Genangan darah palsunya mau kita taruh di mana?" tanya Shane.
Ia memegang genangan darah plastik berwarna merah di kedua
tangan. Bersama Shana, ia telah membeli selusin genangan seperti itu di sebuah
toko kostum. Ukurannya berbeda-beda, dan darahnya persis seperti darah
sungguhan. "Dan jangan lupa lendir hijau ini," Shana mengingatkan kami.
Di sampingnya ada tiga kantong plastik berisi lendir hijau.
Walker dan aku membuka satu kantong, lalu meraba-raba lendir
kenyal dan lengket di dalamnya. "Di mana kalian beli lendir ini?"
tanyaku. "Di toko yang sama?"
"Bukan. Ini keluar dari hidung Shana!" Shane berkelakar.
Shana langsung memprotes dan meraih salah satu kantong
plastik. Ia mengayun-ayunkan kantong plastik itu, seakan-akan
hendak memukul saudara kembarnya.
Shane tertawa dan langsung melompat dari sofa. "Hei! Hati-hati!" aku berseru.
"Kalau kantong itu sampai pecah..."
"Lendirnya mungkin bisa kita tempel ke langit-langit," Walker mengusulkan.
"Yeah! Ide bagus!" ujar Shane. "Biar Tabby dan Lee terkena tetesan dari atas."
"Bagaimana kalau kita oleskan sekalian ke tubuh mereka!"
Walker menambahkan dengan penuh semangat. "Biar mereka jadi monster lendir
hijau!" "Blub blub blub!" Shana mengayun-ayunkan tangan sambil berlagak tenggelam dalam
genangan lendir. "Memangnya lendir ini bisa menempel di langit-langit?" aku bertanya. "Bagaimana
caranya supaya lendirnya menempel cukup lama di atas" Dan bagaimana cara kita
menggiring mereka supaya berdiri persis di bawahnya?"
Akulah yang selalu memikirkan urusan pelaksanaan. Kawan-
kawanku memang punya banyak ide gila. Tapi mereka tak pernah tahu cara
melaksanakannya. Itu sudah jadi tugasku. "Mana aku tahu," jawab Walker. Ia bangkit dari kursinya. "Aku mau ambil minum
dulu." "Bagaimana kalau lendirnya tersembur dari Jack-o'-lantern?"
Shane mengusulkan. "Cukup seram, kan?"
"Bagaimana kalau ada darah palsu yang tersembur dari Jack-o'-
lantern?" ujar Shana. "Itu lebih seram lagi."
"Kita harus bisa menjebak Tabby dan Lee," kata Shane sambil berpikir keras.
"Lendir, sarang labah-labah, dan darah palsu ini memang seru. Tapi kita harus
bisa membuat mereka menyangka diri mereka benar-benar terancam bahaya. Kita
harus bisa membuat mereka percaya bahwa mereka akan mengalami sesuatu yang benar-
benar mengerikan." Aku baru saja hendak menyetujui pendapat Shane ketika lampu-
lampu mendadak padam. "Oh...!" aku berseru kaget. Mataku berkedip-kedip dalam gelap.
"Ada apa ini?" Shane dan Shana tidak menyahut.
Tirai jendela sudah ditutup semua, sehingga cahaya dari luar
tidak bisa masuk. Saking gelapnya, aku tidak bisa melihat kedua temanku yang
duduk persis di depanku! Dan kemudian aku mendengar suara parau berbisik-bisik, dekat
sekali di telingaku: "Kalian harus ikut aku.
Kalian harus pulang bersamaku sekarang. Pulanglah ke tempat
asal kalian. Pulanglah - ke kuburan."
Chapter 7 BISIKAN yang terdengar dalam gelap itu membuatku
merinding. "Kalian harus ikut aku.
Kalian harus pulang bersamaku sekarang.
Pulanglah ke tempat asal kalian.


Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pulanglah ke kuburan, Tabby dan Lee.
Aku datang untuk menjemput kalian.
Ayo, Tabby dan Lee. Kalian harus ikut aku sekarang."
"Bagus! Bagus sekali!" aku berseru.
Lampu-lampu kembali menyala. Shane dan Shana bertepuk
tangan sambil bersorak-sorai.
"Bagus, Walker!" Aku berpaling untuk memberi selamat padanya.
Ia meletakkan tape player-nya di atas meja tamu dan
menggulung kasetnya. "Kurasa ini cukup untuk menakut-nakuti mereka," ujarnya.
"Aku saja sempat merinding!" kataku. "Padahal aku sudah tahu itu ulahmu."
"Saat lampu padam dan suara itu mulai berbisik-bisik, semua anak bakal menjerit
ketakutan!" seru Shana. "Terutama kalau tape-nya ditaruh di bawah sofa."
"Siapa yang merekam suara itu?" Shane bertanya pada Walker.
"Kau?" Walker mengangguk. "Hebat," Shane memuji. Ia berpaling padaku. "Tapi, Drew, Shana dan aku juga
harus dapat bagian untuk mengerjai Tabby dan Lee."
"Berbagai rencana kalian lebih baik disimpan sebagai cadangan, siapa tahu kita
memerlukannya," sahutku.
Aku membungkuk dan membuka salah satu kantong plastik.
Aku memasukkan tangan ke dalam kantong dan mengeluarkan
segumpal lendir hijau. Lendir itu terasa dingin dan lengket.
Aku meremas-remasnya, lalu membentuknya menjadi bola.
"Apakah lendir ini cukup lengket untuk ditempel di langit-langit?" tanyaku.
"Mungkin bagus juga kalau lendirnya bisa mengalir di dinding. Mungkin..."
"Tunggu. Aku punya ide yang lebih bagus," Walker memotong.
"Lampunya padam - ya, kan" Lalu suara seram itu mulai berbisik-bisik. Dan tepat
ketika suara itu membisikkan nama-nama mereka -
'Pulanglah ke kuburan, Tabby dan Lee' - ada orang yang menghampiri mereka dari
belakang dan menaruh gumpalan lendir di kepala
mereka." "Yeah, benar!" seru Shane. Kami semua tertawa dan bersorak-sorai.
Kami telah berhasil mengumpulkan ide-ide bagus. Tapi kami
membutuhkan ide lebih banyak lagi. Aku tidak mau membuat
kesalahan. Tabby dan Lee tidak boleh tahu bahwa semuanya cuma
lelucon. Aku ingin mereka NGERI - benar-benar N-G-E-R-I.
Karena itu kami terus mencari ide-ide mengerikan.
Kami membanting tulang sepanjang minggu. Mulai dari pulang
sekolah sampai larut malam. Kami membuat jebakan-jebakan.
Menyembunyikan kejutan-kejutan seram di seluruh ruang duduk.
Kami membuat Jack-o'-lantern paling mengerikan yang pernah
ada. Dan semuanya kami isi dengan kecoak-kecoak plastik yang
sangat mirip kecoak sungguhan.
Kami membuat monster setinggi hampir dua setengah meter
dari bubur kertas. Kami memasangnya sedemikian rupa sehingga akan jatuh dari
lemari mantel kalau kami menarik seutas tali.
Kami membeli berbagai mainan karet berbentuk ular, cacing,
dan labah-labah, dan menyembunyikan semuanya di berbagai tempat di dalam rumah.
Kami tidak bisa makan maupun tidur. Kami memaksakan diri
untuk mengikuti pelajaran di sekolah, tapi otak kami sibuk
memikirkan cara-cara baru untuk menakut-nakuti kedua tamu
istimewa kami. Akhirnya Halloween tiba. Kami berempat berkumpul di rumahku. Kami terlalu tegang
untuk berdiri diam, apalagi duduk.
Kami berjalan mondar-mandir, dan nyaris tidak bicara satu
sama lain. Dengan gelisah kami memeriksa semua jebakan dan siasat yang telah
kami siapkan. Seumur hidup aku belum pernah bekerja sekeras ini. Betul lho!
Aku menghabiskan begitu banyak waktu untuk mempersiapkan
pesta - dan rencana balas dendam kami - sehingga aku tidak sempat
memikirkan kostumku. Akhirnya aku terpaksa memakai kostum Klingon yang telah
kukenakan tahun lalu. Walker menyamar sebagai bajak laut. Ia menutup sebelah mata
dengan sepotong kain, dan memakai baju bergaris-garis dengan
burung nuri di pundaknya.
Shane dan Shana memakai kostum makhluk bergumpal-
gumpal. Aku tidak tahu makhluk apa mereka sebenarnya.
Tapi kami tidak peduli soal kostum. Yang kami pikirkan
hanyalah bahwa kami harus bisa menakut-nakuti Tabby dan Lee.
Kemudian, ketika kami mondar-mandir dengan gelisah di ruang
duduk, satu jam sebelum pesta dimulai, pesawat telepon berdering.
Dan kami menerima telepon yang membuat kami semua
terperangah. Chapter 8 AKU berdiri persis di samping pesawat telepon ketika telepon
itu berdering. Suara mendadak itu membuatku tersentak kaget.
Apakah aku agak tegang" YA!
Aku langsung menyambar gagang telepon. "Halo?"
Kemudian aku mendengar suara yang akrab di telingaku. "Hai, Drew. Ini Tabby."
"Tabby!" seruku. Aku menyangka ia hendak menanyakan jam berapa pestanya dimulai.
"Pestanya dimulai jam delapan," ujarku.
"Tapi kalau kau dan Lee..."
"Justru karena itu aku meneleponmu," Tabby memotong. "Lee dan aku tidak bisa
datang nanti malam."
"Hah?" Gagang telepon itu sampai terlepas dari tanganku dan jatuh ke
lantai. Aku segera membungkuk untuk memungutnya. Tapi karena
terburu-buru, aku hampir membuat mejanya terbalik.
"Apa" Apa katamu?" aku bertanya cepat-cepat, takut salah dengar.
"Lee dan aku tidak bisa datang," Tabby mengulangi. "Kami mau ke rumah saudara
sepupu Lee. Sepupunya boleh keliling sampai tengah malam untuk mengumpulkan
permen. Dia akan mendatangi
empat daerah berbeda, dan dia bilang kami bakal dapat berkantong-kantong permen.
Sori." "Tapi, Tabby..." aku mencoba memprotes.
"Sori," katanya. "Sampai ketemu, ya. Bye."
Ia menutup telepon. Aku meraung dengan suara parau, lalu jatuh berlutut di lantai.
"Ada apa, sih?" tanya Walker.
"Mereka - mereka - mereka..." Aku tidak sanggup
menyampaikan kabar buruk itu.
Teman-temanku berkerumun di sekelilingku. Walker berusaha
membantuku berdiri. Tapi kepalaku serasa berputar-putar. Aku tidak ingin bangkit
dari lantai. "Mereka tidak jadi datang!" aku akhirnya mampu berkata.
Suaraku parau. "Mereka tidak jadi datang."
"Oh," Walker mengeluh dengan lesu. Shane dan Shana
menggeleng-gelengkan kepala, tapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kami semua terpaku di tempat. Kami benar-benar patah
semangat. Segala kerja keras kami ternyata percuma.
Satu tahun kerja keras ternyata sia-sia.
Aku tidak akan menangis, kataku pada diriku sendiri. Rasanya
aku ingin menangis, tapi aku menahannya.
Aku bangkit dengan tubuh gemetaran. Dan menoleh ke arah
sofa. "Astaga, apa itu?" aku memekik.
Semua menoleh, dan mengikuti pandanganku. Sebuah lubang
besar tampak di salah satu sofa yang terbuat dari kulit cokelat.
"Aduh!" Shana meratap. "Tadi aku sempat main-main dengan bola lendir. Rupanya
bolanya jatuh ke sofa waktu aku berdiri tadi.
Dan sekarang sofanya berlubang!"
"Cepat - tutup lubang itu sebelum Mom dan Dad tahu...,"
kataku. Tapi tentu saja tepat pada detik itulah Mom dan Dad muncul di
ruang duduk. "Bagaimana" Sudah siap menyambut tamu-tamu
kalian?" tanya Dad. Aku menyilangkan jari sambil berharap mereka tidak melihat
lubang menganga di jok sofa.
"Astaga! Kalian apakan sofanya?" Mom memekik.
**********************************
Baru lama kemudian Mom dan Dad bisa melupakan sofa yang
rusak itu. Sementara aku bahkan butuh waktu lebih lama lagi untuk
melupakan pestaku yang gagal total.
Begitulah kejadian pada malam Halloween tahun lalu. Jadi, dua
tahun berturut-turut perayaan Halloweenku kacau balau.
Sekarang sudah satu tahun berlalu.
Dan Halloween tahun ini sudah di ambang pintu. Tahun ini,
kami punya alasan dua kali lebih banyak untuk membalas dendam
pada Tabby dan Lee. Kalau saja kami punya rencana....
Chapter 9 "TAHUN ini aku jadi putri ruang angkasa," Tabby
mengumumkan. Rambutnya yang pirang disisir ke atas lagi, dan ia pun kembali mengenakan tiara
dengan permata tiruan. Ia juga memakai gaun
panjang berenda yang sama.
Kostum yang sama seperti dua tahun lalu. Tapi supaya punya
penampilan ruang angkasa, Tabby mencat wajahnya dengan warna
hijau terang. Ia selalu mau jadi putri, pikirku dengan getir. Hijau atau tidak hijau, ia mesti
jadi putri. Lee muncul dengan jubah dan celana ketat, dan mengaku
sebagai Superman. Ia bilang ia meminjam kostum adiknya. Ia juga menjelaskan
kenapa ia tidak sempat mencari kostum sendiri. Tapi aku tidak mengerti apa yang
dikatakannya sebab, seperti biasanya, ia bicara sambil mengunyah permen karet.
Walker dan aku jadi hantu. Kami memakai seprai, yang
kemudian kami beri lubang untuk mata dan lengan.
Bagian belakang seprai yang kupakai terseret-seret di tanah
berumput. Seharusnya aku memotongnya lebih pendek. Tapi sekarang sudah
terlambat. Kami sudah mau berangkat untuk acara trick-or-treat.
"Mana Shane dan Shana?" tanya Lee.
"Nanti juga ketemu," sahutku. "Ayo, kita jalan saja."
Udara cukup dingin, dan langit tampak cerah. Bulan sabit
melayang pucat di atas atap-atap rumah. Rumput berkilau kelabu karena
diselubungi lapisan tipis embun es.
Kami berhenti di ujung pekaranganku. Sebuah minivan lewat.
Aku melihat sepasang anjing mengintip lewat jendela belakang.
Pengemudi mobil itu sempat mengurangi kecepatan untuk mengamati kami.
"Enaknya kita mulai dari mana?" tanya Tabby. Lee bergumam tak jelas.
"Rasanya aku ingin keliling sepanjang malam untuk
mengumpulkan permen!" seru Walker. "Bisa jadi ini terakhir kali kita ikut acara
trick-or-treat." "Lho, memangnya kenapa?" tanya Tabby seraya memalingkan wajahnya yang hijau ke
arah Walker. "Tahun depan kita kan sudah remaja," Walker menjelaskan.
"Tahun depan kita sudah terlalu besar untuk acara seperti ini."
Aku langsung agak sedih mendengarnya.
Aku berusaha menarik napas dalam-dalam. Tapi aku lupa
membuat lubang untuk hidung atau mulut di sepraiku. Kami belum keluar dari
halaman rumahku, tapi aku sudah mulai gerah!
"Bagaimana kalau kita mulai dari The Willows saja?" aku mengusulkan.
The Willows daerah rumah-rumah kecil. Daerah itu terletak di
balik sebuah hutan kecil, hanya dua blok dari rumahku.
"Kenapa dari situ?" tanya Tabby sambil mengatur letak tiaranya.
"Karena rumah-rumah di situ berdempetan," aku menjelaskan.
"Kita bisa mengumpulkan banyak permen tanpa harus jalan terlalu jauh."
"Boleh juga usulnya," kata Lee.
Kami mulai menyusuri trotoar. Di seberang jalan aku melihat
dua monster dan satu hantu melintasi halaman depan sebuah rumah.
Mereka anak-anak kecil yang ditemani ayah mereka.
Kostumku berkibar-kibar tertiup angin ketika kami jalan. Daun-
daun gugur yang terselubung es bekersak-kersak terinjak sepatuku.
Langit seakan-akan bertambah hitam ketika kami melewati pohon-
pohon gelap di hutan kecil.
Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di The Willows.
Lampu-lampu jalanan memancarkan cahaya kuning yang hangat.
Banyak rumah dihiasi lampu-lampu berwarna jingga dan hijau, kertas yang dipotong
agar menyerupai siluet tukang sihir, dan Jack-o'-
lantern - labu Halloween - yang berkerlap-kerlip.
Kami berempat berjalan dari rumah ke rumah, dan di setiap
rumah kami berseru "Trick or treat!"
Dalam waktu singkat kami telah berhasil mengumpulkan cukup
banyak permen. Orang-orang terkagum-kagum melihat kostum putri raja yang
dikenakan Tabby. Ia satu-satunya dalam kelompok kami yang
memakai kostum sungguhan, dan karena itu ia jadi tampak mencolok.
Kami berpapasan dengan banyak anak lain ketika kami berjalan
ke ujung blok. Hampir semuanya kelihatan lebih kecil dari kami. Ada satu anak
yang jadi karton susu. Di pinggir kostumnya bahkan ada keterangan mengenai
kandungan gizi segala. Kami memerlukan waktu setengah jam untuk mendatangi
semua rumah di kedua sisi jalan. The Willows berakhir pada suatu jalan buntu.
"Sekarang kita ke mana?" tanya Tabby.
"Hei, tunggu. Masih ada satu rumah lagi," ujar Walker. Ia menunjuk rumah kecil
yang setengah tersembunyi di antara
pepohonan. "Aku tidak melihatnya tadi," kataku. "Mungkin karena letaknya tidak di tepi
jalan." "Lampunya menyala, dan di jendela ada labu," kata Walker.
"Ayo, kita ke sana."
Kami berjalan ke pintu depan dan menekan bel. Pintunya
langsung membuka. Seorang wanita kecil berambut putih muncul di hadapan kami. Ia
menatap kami sambil memicingkan mata di balik kacamata tebalnya.
"Trick or treatt" kami berempat berseru serempak. "Oh, ya ampun!" seru wanita
itu. Ia menempelkan tangan ke pipi. "Betapa bagusnya kostum kalian!"
Hah" Apanya yang bagus" pikirku. Dua seprai tua dan baju
Superman pinjaman bekas tahun lalu"
Wanita tua itu berbalik. "Forrest, coba lihat ini!" ia memanggil.
"Kau harus lihat kostum-kostum ini."
Aku mendengar seorang pria terbatuk-batuk di dalam rumah.
"Masuklah. Ayo, masuk," wanita tua itu memohon. "Aku ingin suamiku bisa melihat
kalian." Ia mundur sedikit agar kami bisa lewat.
Kami berempat ragu-ragu. "Masuklah!" desak wanita itu. "Forrest harus melihat kostum kalian. Tapi dia
sulit bangun. Mari!"
Tabby yang masuk lebih dulu. Kami melangkah ke ruang duduk
kecil yang remang-remang. Api tampak menari-nari di perapian kecil yang menempel
di salah satu dinding. Panasnya minta ampun!
Wanita tua itu menutup pintu depan. "Forrest! Forrest!" ia memanggil-manggil.
Kemudian ia berpaling kepada kami dan
tersenyum. "Dia ada di kamar belakang. Ikuti aku."
Ia membuka pintu dan membiarkan kami masuk. Di luar
dugaanku, kamar belakang luas sekali.
Dan penuh sesak dengan anak-anak berkostum. "Hei!" aku berseru kaget. Cepat-
cepat aku memandang berkeliling.


Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagian besar anak telah melepaskan topeng masing-masing.
Beberapa anak menangis. Ada juga yang berwajah merah dan marah.
Sejumlah anak duduk bersilang kaki di lantai sambil pasang tampang suntuk.
"Ada apa ini?" tanya Tabby dengan suara melengking. Matanya terbelalak lebar
karena ngeri. Seorang pria bertubuh kecil dengan wajah merah dan rambut
putih acak-acakan muncul dari sudut ruangan. Langkahnya pincang, dan ia berjalan
dengan menggunakan tongkat. "Aku suka kostum kalian," katanya sambil
menyeringai. "K-kami harus pulang sekarang," Tabby tergagap-gagap.
Kami semua berpaling ke pintu. Tapi wanita tua itu telah
menutupnya. Aku kembali memperhatikan anak-anak berkostum di sekeliling
kami. Paling tidak ada dua lusin anak. Dan semuanya tampak
ketakutan. "Kami harus pulang," ulang Tabby dengan suara melengking.
"Yeah. Biarkan kami pergi," Lee berkeras.
Pria tua itu meringis. Wanita tadi menghampirinya. "Kalian harus tinggal di
sini," katanya. "Kami suka melihat kostum kalian."
"Kalian tidak boleh pergi," suaminya menambahkan seraya bersandar pada
tongkatnya. "Kami harus melihat kostum kalian."
"Hah" Apa maksudnya" Berapa lama kami harus tinggal di
sini?" seru Tabby. "Untuk selama-lamanya," pasangan tua itu menyahut
berbarengan. Chapter 10 BEGITULAH khayalanku. Aku sedang berdiri di tepi jalan di depan rumahku, menunggu
kedatangan teman-temanku. Dan sambil menunggu, aku berkhayal
bahwa Tabby dan Lee dijebak oleh dua orang tua yang suka
menyekap anak-anak berkostum untuk selama-lamanya.
Dalam khayalanku itu, Walker dan aku berhasil lolos melalui
sebuah pintu samping. Tapi Tabby dan Lee tertangkap sebelum mereka sempat kabur.
Dan setelah itu mereka tak pernah terlihat lagi.
Seru, kan" Aku masih asyik membayang-bayangkan kejadian itu ketika
Walker, Shane, dan Shana akhirnya tiba. Langsung saja kami masuk ke rumah dan
naik ke kamarku. "Kenapa sih kau senyum-senyum terus, Drew?" tanya Shana sambil duduk di tepi
tempat tidurku. "Aku baru saja membayangkan sesuatu yang lucu," sahutku.
"Tentang Tabby dan Lee."
"Kalau mengenai mereka, apanya yang lucu?" tanya Walker. Ia memungut bola tenis
dari lantai dan melemparkannya kepada Shane.
Keduanya mulai bermain oper-operan di kamarku.
"Kejadiannya lucu sekali," kataku sambil duduk tegak dan meregangkan otot.
"Terutama bagian akhirnya.
Aku menceritakan khayalanku kepada teman, temanku. Mereka
semua tertawa senang. Tapi kemudian Shana menegurku. "Kita tidak punya waktu
untuk bermimpi, Drew. Kita perlu rencana nyata. Sebentar lagi
Halloween akan tiba."
Walker melempar bola terlalu tinggi. Bola itu menghantam
lampu baca di meja belajarku, hingga terbalik.
Shane melesat ke arah lampu dan menangkapnya sebelum
membentur lantai. "Wah, hebat!" seru Walker. "Gerakan paling cekatan bulan ini!"
Ia menepuk punggung Shane. Saking kerasnya, hampir saja lampu
yang dipegang Shane terlepas.
"Grrrr!" Aku melotot pada Walker sambil menggeram, lalu menunjuk kursi
belajarku. "Duduk di situ. Kita harus memeras otak sekarang."
"Drew benar," ujar Shana. "Tahun ini kita harus berhasil menakut-nakuti Tabby
dan Lee. Kita harus membuat perhitungan
untuk membalas dua Halloween yang kacau. Harus!"
"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Walker sambil menjatuhkan badannya
yang jangkung kurus ke kursi belajarku.
"Bersembunyi di balik semak-semak lalu mengagetkan mereka?"
Sikapnya benar-benar tidak mendukung.
"Aku punya beberapa ide seram untuk acara pesta," ujarku.
"Menurutku..." "Jangan! Jangan bikin pesta lagi!" sela Shana.
"Betul. Jangan bikin pesta," saudara kembarnya menimpali.
"Tahun lalu kita sudah bekerja begitu keras untuk mempersiapkan pesta itu. Dan
tahu-tahu Tabby dan Lee tidak jadi datang."
"Grrrrr." Aku langsung menggeram ketika teringat peristiwa tahun lalu itu.
"Tapi, kalau kita tidak bikin pesta, bagaimana cara kita
menakut-nakuti mereka?" tanya Walker sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja
belajar. "Shane dan aku punya beberapa ide seru," kata Shana.
"Yeah. Tahun ini kalian harus mendengarkan Shana dan aku,"
ujar Shane. "Kami punya rencana yang bagus sekali. Percayalah, Tabby dan Lee
bakal gemeteran sepanjang tahun. Sungguh!"
Walker menggeser kursinya lebih dekat. Shane duduk di
sampingnya. Aku mencondongkan badan ke arah Shana di tempat
tidur. Sambil berbisik-bisik, Shana menceritakan rencana mereka
kepada Walker dan aku. Rencana mereka ternyata memang sangat
menyeramkan. Cuma mendengarkan penjelasan Shana saja sudah membuatku
merinding. "Gampang, kan?" Shana mengakhiri penjelasannya. "Dan pasti berhasil. Aku jamin
deh." "Kita akan membuat Halloween paling berkesan untuk Tabby
dan Lee!" Shane berkoar.
"Wow, jahat sekaliii," Walker bergumam.
Aku menatap si kembar yang gendut dan berpipi kemerahan.
Tampang mereka begitu polos. Begitu manis dan lugu. Tapi otak
mereka, bukan main! Rencana yang telah mereka siapkan untuk
menakut-nakuti Tabby dan Lee benar-benar mengerikan!
"Rencana kalian memang jahat," aku membenarkan. "Dan kejam, dan seram, dan
menakutkan." Aku menyeringai lebar. "Dan aku suka!"
Kami semua tertawa. "Jadi bagaimana" Semuanya setuju?" tanya Shane. Kami semua mengangguk, lalu
bersalaman. "Bagus," kata Shana. "Nah, Drew, tugasmu adalah mengajak mereka ikut acara trick
or treat alias berkeliling untuk mengumpulkan permen bersamamu. Selebihnya biar
Shane dan aku yang urus."
"Beres," aku menyahut, masih sambil tersenyum lebar. "Tenang saja."
Kemudian kami bersorak-sorai dan saling memberi selamat.
Kami tahu bahwa inilah saat yang kami tunggu-tunggu - saat
kemenangan kami. Shana hendak mengatakan sesuatu - tapi tiba-tiba Mom
mengintip dari pintu. "Wah, kelihatannya kalian serius sekali. Apa sih yang sedang kalian bicarakan?"
"Ehm... tidak penting kok," jawab Walker cepat-cepat.
"Kami lagi bikin rencana untuk Halloween, Mom," ujarku.
Mom menggigit bibir. Roman mukanya jadi serius. "Begini,
Drew," katanya sambil menggelengkan kepala, "rasanya lebih baik kalau tahun ini
kau tetap di rumah pada malam Halloween."
Chapter 11 "MOM - aku harus ikut acara trick-or-treat! Harus! Kalau tidak, rencana kami untuk
balas dendam bakal gagal total!"
Hampir saja kata-kata itu tersembur dari mulutku. Tapi untung
aku masih bisa menguasai diri. Aku menahan lidah sambil mengamati Mom untuk
mengetahui apakah ia serius atau cuma bercanda.
Ternyata ia memang serius.
"Aduh, Mom - memang kenapa, sih?" aku berseru. "Apa salahku" Kenapa aku dihukum
tidak boleh keluar rumah?"
"Drew, ini bukan hukuman." Mom tertawa. "Cuma menurut Mom tahun ini lebih baik
kau jangan ikut trick-or-treat. Jangan keluar malam-malam. Masak kau belum
membaca berita-berita di koran"
Banyak orang hilang di kota ini."
"Hah" Hilang?"
Aku teringat pada khayalanku. Aku kembali membayangkan
pasangan orang tua yang menyekap anak-anak di ruang belakang
rumah mereka. "Ada anak-anak yang hilang?" aku bertanya.
Mom menggelengkan kepala. "Bukan. Bukan anak-anak. Orang
dewasa. Kemarin ada satu orang lagi yang hilang. Ini sudah yang keempat. Nih,
lihatlah." Mom sedang mengepit gulungan koran. Ia membuka koran itu
dan mengangkatnya agar kami semua bisa melihat halaman depan.
Judul berita utamanya ditulis dengan huruf-huruf besar dan
tebal: KEJADIAN MISTERIUS: 4 ORANG MENGHILANG
Aku turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Mom.
Shane dan Shana bertukar pandang dengan cemas. Roman muka
Walker juga kelihatan waswas. Dengan gelisah ia mengetuk-
ngetukkan jari ke meja belajarku.
Aku mengambil koran dari tangan Mom dan mengamati foto
keempat orang yang hilang. Tiga pria dan seorang wanita.
"Polisi memperingatkan warga kota untuk berhati-hati," Mom berkata pelan-pelan.
Walker menghampiriku dan mengambil koran dari tanganku.
Sejenak ia mengamati foto-foto yang terpampang. "Hei - orang-orang ini semuanya
gendut!" serunya. Kini kami semua berkerumun di sekeliling Walker dan menatap
foto-foto hitam-putih itu. Walker benar. Keempat orang yang hilang memang
gendut-gendut. Salah satunya, seorang pria gendut berkepala botak yang memakai
sweter, mempunyai paling tidak enam lipatan lemak di bawah dagunya!
"Aneh," aku bergumam.
Shane dan Shana membisu. Mungkin karena terlalu takut.
"Kenapa empat orang gemuk mendadak hilang tanpa bekas?"
tanya Walker. Mom menghela napas. "Polisi juga bingung," ujar Mom.
"Tapi, Mom, kalau hanya orang dewasa yang hilang, kenapa
aku tidak boleh keluar untuk ikut trick-or-treat?" tanyaku.
"Drew boleh ikut, ya?" Shana memohon. "Ini kesempatan terakhir kami untuk keluar
pada malam Halloween."
"Sori. Lebih baik jangan," sahut Mom. Ia menggigit bibir.
"Tapi kami akan sangat sangat sangat hati-hati!" aku berjanji.
"Mom keberatan," Mom menegaskan.
Dan dengan demikian acara Halloween kami sekali lagi rusak
total. Chapter 12 TAPI akhirnya Dad bilang aku boleh keluar pada malam
Halloween. Waktu itu sudah dua hari berlalu. Dan selama itu Dad dan Mom
terus membahas masalah itu.
"Kau boleh ikut kalau kau pergi beramai-ramai," kata Dad.
"Jangan pergi jauh-jauh. Dan jangan berpisah dari teman-temanmu.
Oke, Kurcaci?" "Thanks, Dad!" aku berseru. Saking gembiranya, aku tidak keberatan dijuluki
Kurcaci! Aku malah mengejutkan Dad dengan
memeluknya erat-erat. "Kau yakin Drew akan baik-baik saja?" tanya Mom pada Dad.
"Tentu saja Dad yakin!" seruku.
Pokoknya aku takkan membiarkan mereka berubah pikiran.
Cepat-cepat aku menuju ke pesawat telepon untuk memberitahu
Walker bahwa rencana kami tidak jadi batal!
"Pada malam Halloween akan ada seribu anak yang berkeliling dari rumah ke
rumah," kata Dad pada Mom. "Lagi pula, Drew dan teman-temannya sudah cukup besar
dan cukup pintar untuk menjaga diri."
"Thanks, Dad!" aku berseru sekali lagi.
Mom sebenarnya masih ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku
keburu kabur dari dapur dan berlari ke kamarku sebelum ia sempat mengucapkan
sepatah kata pun. Aku menelepon Walker untuk menyampaikan kabar baik ini. Ia
akan menghubungi Shane dan Shana, untuk meminta mereka bersiap-siap pada malam
Halloween. Semuanya sudah siap. Sekarang tinggal satu masalah kecil saja.
Aku harus bisa membujuk Tabby dan Lee untuk ikut bersama
kami. Aku menarik napas dalam-dalam dan menelepon Tabby. Ibunya
mengatakan ia sedang di rumah Lee, untuk membantu Lee
mempersiapkan kostum Halloween.
Jadi aku bergegas ke rumah Lee. Waktu itu hari Sabtu sore yang kelabu. Sepanjang
pagi turun hujan, dan awan-awan badai masih
menyelubungi langit. Rumput di pekarangan rumah-rumah yang kulewati tampak
berkilau-kilau karena basah. Aku melompati genangan-genangan air hujan di
trotoar. Aku mengenakan sweter abu-abu yang tebal. Tapi udara terasa dingin dan
lembap, sehingga aku menyesal tidak
melapisinya dengan jaket.
Blok terakhir menjelang rumah Lee kulewati sambil berlari
kecil, antara lain agar aku tidak kedinginan. Aku berhenti di depan pintu rumah
Lee dan mengatur napas. Kemudian aku menekan bel
pintu. Beberapa detik kemudian Lee membuka pintu.
"Wah!" aku berseru ketika melihat kostumnya. Di kepalanya berayun-ayun sepasang
antena. Ia mengenakan rompi kuning berbulu di atas baju renang cewek bergaris
hitam-kuning. "K-kau jadi lebah?" aku tergagap-gagap.
Lee mengangguk. "Tabby dan aku masih sibuk menyiapkan
kostum ini. Tadi pagi kami membeli celana ketat hitam untuk kakiku."
"Keren lho," kataku. Padahal penampilannya benar-benar konyol.
Tapi untuk apa aku memberitahunya"
Tabby menyapaku ketika aku masuk ke ruang baca. Ia baru saja
mengeluarkan celana ketat Lee dari kotak dan sedang menarik-
nariknya. "Eh, Drew - kayaknya kau tambah kurus, ya?" ia bertanya.
"Hah" Masa, sih?"
"Oh. Jadi kau suka pakai sweter yang kedodoran begitu, ya?"
Jailnya memang tak ada habis-habisnya.
Ia memalingkan muka. Tapi aku sempat melihatnya cengar-
cengir sendiri. Ia pikir dirinya lucu sekali. "Atau itu kostummu, ya?"
ia bertanya. Aku tidak menggubris leluconnya yang konyol. "Bukan. Kali ini aku jadi pahlawan
super," sahutku. "Aku akan memakai jubah dan celana ketat. Kau sendiri mau jadi
apa?" "Balerina," jawabnya. Ia menyerahkan celana ketat kepada Lee.
"Ini kaki lebahmu," katanya. "Kau punya kertas karton tebal?"
"Untuk apa?" tanya Lee.
"Kita perlu bikin sengat. Untuk ditempel di belakang
celanamu." "Tidak usah!" Lee memprotes. "Aku tidak mau pakai sengat.
Aku tidak butuh. Paling-paling juga patah karena kududuki."
Aku membiarkan mereka berdebat selama beberapa menit. Aku
sendiri tidak ikut campur.
Akhirnya Lee yang menang. Ia tidak sudi pakai sengat.


Goosebumps - Pembalasan Di Malam Halloween di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tabby pasang tampang cemberut. Ia paling sebal kalau
keinginannya tidak terpenuhi. Tapi Lee bahkan lebih keras kepala lagi daripada
Tabby. "Begini," aku angkat bicara. "Walker, Shane, Shana, dan aku mau keliling
bersama-sama pada malam Halloween nanti." Aku menarik napas dalam-dalam sebelum
mengajukan pertanyaan. "Kalian mau ikut?"
"Boleh saja," jawab Lee.
"Oke," kata Tabby.
Dan dengan demikian selesailah tugasku. Perangkap sudah
terpasang. Tabby dan Lee bakal mengalami Halloween paling menakutkan
seumur hidup mereka. Masalahnya, hal yang sama juga terjadi pada kami.
Chapter 13 WAKTU berjalan dengan lambat. Padahal aku sudah tak sabar
menanti Halloween. Akhirnya, malam yang kutunggu-tunggu pun tiba. Saking
gugupnya, aku nyaris tidak sanggup menyiapkan kostum pahlawan
super yang akan kukenakan.
Kostumku seadanya saja. Aku memakai celana ketat berwarna
biru cerah dan kaus biru. Ditambah celana pendek berwarna merah.
Untuk jubahku, aku memotong taplak meja bekas berwarna
merah dan mengikatnya ke leherku. Selain itu aku mengenakan sepatu bot putih
dari bahan vinil. Dan untuk penutup muka, aku memakai topeng merah yang kubuat
dari karton. "Super Drew!" aku berseru sambil berkaca di cermin.
Aku tahu kostumku kurang bagus. Tapi aku tidak peduli.
Malam ini kostum tidak penting. Malam ini adalah malam teror.
Malam untuk menakut-nakuti dua anak brengsek, sampai mereka
ngeri setengah mati! Aku mengambil dua kantong belanja dari lemari untuk
menampung permen yang bakal kami dapat. Lalu aku bergegas
menuruni tangga. Aku berharap bisa menyusup keluar dari rumah
sebelum kepergok orangtuaku. Aku ingin menghindari ceramah
panjang-lebar bahwa aku harus berhati-hati di luar.
Ternyata aku kurang beruntung.
Dad mencegatku di kaki tangga. "Wow! Kostummu bagus
sekali, Kurcaci!" ia berseru. "Kau jadi apa, sih?"
"Tolong jangan panggil aku Kurcaci," aku bergumam. Aku berusaha menyelinap di
sampingnya dan berlari ke pintu depan, tapi Dad menghalang-halangi langkahku.
"Tunggu sebentar!" katanya. "Kita bikin foto dulu."
"Aku sudah terlambat," ujarku. Aku telah berjanji pada Walker untuk menemuinya
di pojok jalan pukul setengah delapan tepat. Dan sekarang sudah jam delapan
kurang seperempat. "Hati-hati, ya!" Mom memperingatkanku dari ruang baca.
Dad berbalik untuk mengambil kamera. Aku menunggu di kaki
tangga sambil mengetuk-ngetukkan jari ke pagar tangga.
"Jangan bicara dengan orang yang tidak kaukenal!" Mom berseru lagi.
Itu sih aku sudah tahu dari zaman Taman Kanak-kanak!
"Oke. Satu foto saja," kata Dad sambil membidikku dengan kameranya. "Coba
berdiri di depan pintu, Drew. Kau jadi Wonder Woman, ya?"
"Cuma pahlawan super," aku bergumam. "Aku harus berangkat, nih."
Ia terus membidikkan kamera. "Senyum, dong!"
Aku meringis. Ia menekan tombol. "Oh. Tunggu. Lampu kilatnya tidak menyala, ya?" ia bertanya.
"Sepertinya Dad lupa menghidupkan lampu kilat." Ia memeriksa kameranya.
"Dad...!" aku mulai memprotes. Aku membayangkan Walker berdiri sendirian di
pojok jalan. Ia paling sebal kalau harus menunggu.
Ia pasti uring-uringan. Aku juga begitu. "Dad, teman-temanku sudah menunggu."
"Kalau ada orang yang mencurigakan, kau harus segera lari,"
Mom kembali memperingatkanku dari ruang baca.
"Ayo, sekali lagi, Kurcaci." Dad kembali membidikkan kamera.
"Senyum." Ia menekan tombol. Lampu kilatnya tetap tidak menyala.
"Ya ampun..." Sekali lagi Dad memeriksa kameranya.
"Ayo dong, Dad..." aku memohon.
"Oh, pantas," Dad bergumam. "Filmnya belum dipasang." Ia menggelengkan kepala.
"Tunggu sebentar. Dad mau ambil film dulu di atas. Cuma sebentar, kok."
"Dad...!" aku berseru.
Bel pintu berdering. Kami berdua tersentak kaget.
"Pasti anak-anak yang mau minta permen," ujar Dad.
Aku bergegas ke pintu dan membukanya. Seorang anak laki-
laki berdiri di depanku. Pakaiannya serbahitam. Ia mengenakan sweter hitam dan
celana hitam. Kepalanya tertutup topi rajut berwarna hitam.
Wajahnya diberi make-up hitam. Dan ia juga memakai sarung tangan hitam.
"Kostum bagus," puji Dad. "Coba ambilkan permen untuknya, Drew."
Aku mengerang. "Dad, dia tidak mau minta permen. Ini kan
Walker." Aku membuka pintu kasa agar Walker bisa masuk.
"Katanya kita mau ketemu di pojok jalan," Walker bersungut-sungut.
Dad mengamati kostum Walker yang serba hitam. "Wah, kau
jadi apa, sih?" "Malam gelap yang dihantam badai," jawab Walker.
"Badai" Mana badainya?" tanyaku.
"Ini," sahut Walker. Ia membidikkan pistol air berwarna hitam dan menyemprot
wajahku. Dad langsung tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap tingkah
Walker lucu sekali. Ia memanggil Mom dari ruang baca agar melihat kostum kami.
"Kalau begini terus, kita tak bakal bisa keluar," aku berbisik kepada Walker.
"Kita pasti terlambat untuk menemui Tabby dan Lee."
Kami telah merencanakan segala sesuatu dengan cermat. Tapi
sekarang rencana kami terancam gagal total.
Perutku serasa diaduk-aduk. Leherku mendadak seperti tercekik
jubahku sendiri. Mom dan Dad masih mengagumi kostum Walker. "Malam
gelap yang dihantam badai. Bagus sekali," kata Mom. "Tapi bagaimana orang lain
bisa melihatmu dalam gelap" Sebaiknya kau berhati-hati kalau menyeberang jalan."
Bukan main! Malam ini Mom tak bosan-bosannya memberi
nasihat kepada semua orang.
Aku tidak tahan lagi. "Kami harus berangkat. Sampai nanti,"
kataku. Aku mendorong Walker keluar pintu dan segera menyusulnya.
Mom masih menyerukan sesuatu untuk memperingatkan kami,
tapi aku sudah tidak mendengarkannya. Aku menyeret Walker ke
trotoar, dan kami pun bergegas ke pojok jalan. Di situlah kami seharusnya
menunggu Tabby dan Lee. Kedua korban kami. "Mestinya kau tetap menunggu di sini," aku menegur Walker.
"Jangan-jangan Tabby dan Lee kemari tadi dan sekarang sudah pergi lagi."
"Habis, kau telat, sih," Walker memprotes. "Kupikir ada yang tidak beres."
Jantungku berdegup kencang. Aku semakin gelisah. "Oke, oke,"
ujarku. "Kita harus tetap tenang."
Udara malam terasa dingin. Langit bertaburan bintang. Embun
es membuat rumput di pekarangan tampak berkilau-kilau. Bulan sabit seakan-akan
melayang di atas atap-atap rumah.
Lampu-lampu di sebagian besar rumah menyala terang. Aku
melihat dua kelompok anak kecil di seberang jalan. Mereka bergegas ke rumah yang
sama. Seekor anjing menggonggong di rumah sebelah.
Aku menoleh ke pojok jalan, tempat kami seharusnya
menunggu Tabby dan Lee. Tak ada siapa-siapa.
Walker dan aku berhenti di bawah lampu penerangan jalan. Aku
mengendurkan jubah yang terikat di leherku. Jubah itu benar-benar membuatku
tercekik. Ternyata aku kurang pendek memotongnya.
Bagian bawahnya basah karena terseret-seret di trotoar.
"Di mana mereka?" tanyaku.
"Kau kan tahu sendiri, mereka selalu telat," sahut Walker.
Ia benar. Tabby dan Lee paling senang membuat orang lain
menunggu. "Mereka pasti akan segera datang," ujar Walker.
Pekarangan di pojok jalan dibatasi pagar hidup. Walker dan aku mulai mondar-
mandir di antara tepi pagar dan tepi jalan. Saking gelapnya kostum Walker, ia
sama sekali tak kelihatan kalau berdiri di bayangan pagar.
"Jangan mondar-mandir terus...!" aku hendak berkata.
Tapi suaraku tersangkut di tenggorokan ketika aku mendengar
bunyi batuk. Dari balik pagar hidup. Bunyinya aneh sekali.
Bukan seperti batuk manusia, melainkan lebih mirip geraman
binatang. Aku menoleh dan melihat Walker juga mendengarnya. Ia
berhenti mondar-mandir dan menatap pagar.
Aku mendengar bunyi berkeresak. Pagar hidup itu seakan-akan
Tangan Berbisa 7 Tokoh Besar Karya Khu Lung Sang Pembantai 2
^