Sang Pembantai 2
Gento Guyon 15 Sang Pembantai Bagian 2
satu pukulan. Kulihat pengawal lain berhamburan
mengepung laki-laki itu. Tapi... tapi dari kepala si kakek itu bermunculan sinar
biru. Sinar-sinar maut itu menyambar ke arah mereka, menghantam ubun-ubun.
Batok kepala berlubang, otak bercampur darah ber-
hamburan dan oleh sinar biru dipindah ke kepala ka-
kek itu sendiri. Aku melihat dari tempat tersembunyi bermunculan pengawal yang
lain. Tapi... akh sayang
mereka mengalami nasib yang sama. Sekarang kulihat
si kepala besar tinggalkan tempat itu, lari terhuyung seperti orang mabuk sambil
memegang kepalanya..."
"Pastilah orang yang dilihat Mbah Petir adalah
Perampas Benak Kepala." kata Roro Centil membatin dalam hati.
Di depannya sana tubuh Mbah Petir nampak
berguncang, terkadang oleng ke kiri, kadang ke kanan.
Tidak jarang hampir terlentang seperti orang yang be-
rada di dalam perahu kecil yang dihantam topan dan
ombak. Walaupun begitu si kakek tetap menuturkan
apa yang dilihatnya melalui sambung rasa dalam gaib
itu. "Si kepala besar pergi, tapi kemudian muncul seorang nenek. Nenek itu
celingak-celinguk seperti mal-
ing. Dia berpakaian serba kuning berenda putih. Wa-
jahnya rusak seperti dicacah. Mukanya hancur menye-
ramkan seperti Muka Setan. Nenek ini tertawa melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan. Dia lalu berkelebat ke dalam rumah. Wadow... di dalam rumah
gelap sekali. Agak remang-remang, nah sekarang sudah kulihat.
Dua orang bersenjata pedang menghadang nenek mu-
ka setan. Terjadi pertengkaran mulut. Tapi tak diduga Si Muka Setan menghantam
dua orang itu dengan pukulan ganas. Orang itu roboh... terus...!"
"Tak usah diteruskan Mbah" kata Roro Centil yang memang sudah melihat apa yang
dituturkan Mbah Petir beberapa hari yang lalu bersama Gento.
Untuk lebih jelasnya (Ikuti Gento Guyon Episode Ke-
melut Iblis). Di depan sana si kakek tidak meneruskan apa yang dilihatnya
melalui indera gaibnya itu. Tapi matanya tetap terpejam, sedangkan tubuh
bergetar pertanda dia belum keluar atau melepaskan diri dari
lingkaran tabir gaib. Heran mendengar penuturan si
kakek, Roro Centil akhirnya ajukan pertanyaan.
"Mbah, di halaman depan kulihat sebuah pusara, pada nisan nama tertera nama Si
Muka Setan, Aku jadi cu-riga jangan-jangan Si Muka Setan yang kau lihat
hanya palsu belaka. Atau kalau mbah sanggup, coba
pastikan siapa kiranya yang terkubur dalam pusara
itu!" "Aku akan mencoba memastikan keduanya sekaligus. Akan ku mulai dari nenek
yang menuruni anak tangga ruangan bawah tanah. Nenek itu menye-
bar racun yang merusak pernafasan, dia kemudian
membunuh laki-laki dan perempuan tua. Astaga orang
itu adalah Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seribu
Kepang Lima Belas. Sayang... celaka... aku tak dapat menentukan apakah nenek
Muka Setan itu asli adanya
atau palsu. Ada satu kekuatan yang menghalangi pe-
mandanganku. Kekuatan itu datang dari sekujur tu-
buhnya. Aku tak dapat menembus perisai gaib yang
berasal dari kesaktiannya sendiri." Kata si kakek, dengan wajah pucat, nafas
mengengah dia lanjutkan uca-
pannya. "Di dalam kubur itu kulihat ada sosok mayat
perempuan. Pakaiannya berwarna kuning seperti yang
dipakai nenek Muka Setan yang kulihat di dalam
ruangan bawah. Kepala mayat itu bolong, wajahnya
sudah tak dapat ku kenali, rusak membusuk dipenuhi
belatung." Menerangkan si kakek.
"Cukup Mbah. Segalanya sudah cukup jelas
bagiku. Aku merasa yakin mayat yang terkubur dalam
pusara yang Mbah lihat adalah Mayat Si muka Setan.
Ini berarti ada ketidak beresan yang sedang terjadi.
Aku sekarang baru yakin dengan pengakuan Sriwida-
ri...!" kata si gadis.
Di depannya Mbah Petir nampak membuka ma-
tanya. Wajah orang tua itu nampak letih dibasahi ke-
ringat. Memandang ke arah si kakek Roro Centil sem-
pat dibuat kaget, di mata si gadis mendadak wajah
orang tua itu berubah sepuluh tahun lebih tua dari
usia yang sebenarnya.
Si kakek menarik nafas, lalu memandang ke
pendupaan dengan tatap matanya yang kuyu. Bara di
atas pendupaan padam, bersamaan dengan padamnya
bara maka penyakit budek tuli si Mbah kembali seperti sediakala.
"Aku telah melakukan sesuatu yang sangat ja-
rang kulakukan akhir-akhir ini. Semua itu semata ka-
rena demi mengingat persahabatan kita. Sekarang apa
yang hendak kau lakukan?" tanya Mbah Petir, sedangkan tubuhnya terus bergoyang
tak mau diam seperti
ilalang ditiup angin.
"Kurasa aku harus mencari perempuan itu, ne-
nek Muka Setan yang kau lihat dalam tali sambung ra-
sa antara dunia nyata dengan alam gaib." Sahut Roro Centil. Mbah Petir manggut-
manggut, entah mendengar atau tidak yang jelas ketika dia bicara kemudian
membuat gatal telinga si gadis.
"Tak usah kau bongkar pusara itu. Sebaiknya
kau cari saja nenek berwajah setan itu. Jika bertemu kau harus bisa menotoknya
baru nanti kau bisa memastikan apakah dia Si Muka Setan yang asli atau
palsu adanya. Jika dia yang asli, berarti perempuan
yang berkubur di Kiara Condong itu bukan Si Muka
Setan, mungkin mayat orang lain."
"Ya si Mbah. Budek dipelihara, jadinya seperti
ini." Roro Centil mengomel dalam hati.
"Roro, Sekarang aku ada usul. Bagaimana jika
aku ikut denganmu. Rasanya tidak tega hati ini meli-
hatmu mencari pembunuh itu seorang diri. Bagaimana
pendapatmu?" tanya Mbah Petir penuh harap. Roro Centil dongakkan wajahnya ke
langit-langit pondok,
berfikir sejenak baru kemudian berkata sambil terse-
nyum. "Mbah Petir sebagai teman aku merasa berterima kasih atas bantuan yang
telah kau berikan juga
keinginanmu untuk ikut denganku. Tapi dengan ikut-
nya Mbah Petir, apakah nantinya bukan malah mere-
potkan diriku" Mbah orangnya suka kaget, kalau su-
dah kaget kentut dan kencing tak dapat Mbah tahan.
Aku bisa malu berpergian denganmu, Mbah?"
Mbah Petir tersenyum. "Bagus, aku tahu kau
pasti mau kuikuti. Aku senang. Sudah lama si tua ini mendekam di gunung Sembung.
Sesekali aku juga ingin melihat perkembangan dunia luar. Jadi sekarang
kita berangkat" Kau tunggu disini, aku akan memper-
siapkan bekal juga pakaian ganti yang banyak supaya
nanti jika aku kaget dan kencingku terpancar aku bisa ganti secepatnya. Dasar
gadis nakal yang baik." Kata Mbah Petir.
Roro Centil jadi melongo. "Ya si Mbah, me-
mangnya tadi aku bicara apa Mbah" Aku belum men-
gijinkan kau ikut denganku kau kok malah kegiran-
gan"!" Mbah Petir yang mempunyai gangguan pada telinganya tanpa menunggu lagi
langsung bangkit berdi-
ri. Dia menghampiri gerobak tempat pakaian, menge-
luarkan beberapa helai pakaian dari dalam gerobok itu lalu memasukkannya ke
dalam kantong perbekalan.
Tak lama kemudian Mbah Petir sudah kembali
menghampiri Roro Centil.
"Aku sudah siap, sekarang kita berangkat!" ka-ta Mbah Petir.
"Mbah, mestinya kau tak usah ikut denganku.
Nantinya aku bisa jadi repot!" ujar si gadis masih tetap duduk di depannya.
"Tepat sekali, aku juga berpendapat begitu.
Pergi seorang diri memang tidak enak. Masih bagus
berdua seperti katamu itu. Kita bisa bertukar fikiran, bisa satukan pendapat
untuk menemukan pembunuh
sialan itu!" sahut Mbah Petir.
"Mbah Petir!" teriak Roro Centil jengkel. Di depannya si kakek kerutkan
keningnya. Suara teriakan
si gadis ditelinganya hanya merupakan suara sayup-
sayup yang samar.
"Ada apa" Bicaralah yang keras!"
"Aku sudah berteriak Mbah. Tenggorokanku
mau pecah. Mbah budek, Mbah tuli. Percuma saja kita
bicara. Sekarang kalau mau ikut, ayolah!" kata Roro Centil setengah berteriak.
Mbah Petir tertawa lebar. Dia kemudian mem-
buka pintu, sedangkan si gadis segera mengikuti tak
jauh di belakangnya.
Tidak berselang lama kedua orang ini telah
berkelebat menyusuri lereng gunung Sembung melalui
jalan setapak. *** 7 Di bawah terik matahari bersikap seakan tidak
perduli kakek berpakaian hitam bertopi tinggi yang kedua sisinya dihias dengan
tanduk kerbau ini terus saja menangis. Tangisnya makin lama makin terguguk tidak
perduli wajahnya yang bercelemongan hitam itu
telah basah oleh keringat dan air mata. Yang aneh dan hebatnya lagi saat kakek
ini menangis tanah di sekelilingnya terguncang keras. Tidak hanya itu saja daun
menghijau yang terdapat di pepohonan berguguran.
Sedangkan air yang terdapat di dalam telaga kecil tak jauh di sebelah kirinya
berguncang, muncrat di udara seakan dilanda gempa.
Tangis si kakek tak berlangsung lama, karena
saat itu tiba-tiba dia mendengar ada suara gemuruh
yang disertai dengan terdengarnya suara bergedebu-
kan seperti suara orang berlari cepat yang tengah menuju ke arahnya. Si kakek
seka air mata yang memba-
sahi pipi. Kepala dimiringkan ke kanan mencoba men-
genali suara langkah orang yang datang. Si kakek ke-
mudian mengguman sendiri. "Manusia atau dedemit yang datang kemari. Kalau
manusia mengapa lang-kahnya begitu berat" Dasar celaka. Berani sekali da-
tang mengganggu ketenangan orang yang sedang ber-
duka!" rutuk si kakek.
Siapakah kakek berpakaian hitam bertopi tinggi
ini" Seperti telah dituturkan pada episode sebelumnya.
Kakek bertopi tinggi yang kedua sisinya dihias dengan tanduk kerbau ini memiliki
gelar Gelombang Tangis
Dalam Duka. Dia termasuk salah satu tokoh yang di-
undang untuk menghadiri pertemuan para pendekar di
Kiara Condong. Kakek yang suara tangisnya dapat
mempengaruhi orang lain ini begitu terkejut ketika melihat Malaikat Kuku Seribu
datang bersama Si Burung
Merak dengan membawa mayat Si Muka Setan. Pa-
dahal Si Muka Setan sendiri sesungguhnya adalah
orang yang akan memimpin pertemuan itu. Kematian
si nenek berwajah angker yang masih terhitung saha-
bat kakek ini sendiri sungguh membuat Gelombang
Tangis Dalam Duka menjadi sangat terpukul, diapun
kemudian dengan perasaan marah langsung tinggal-
kan Kiara Condong untuk mencari pembunuh saha-
batnya sambil terus menangis di sepanjang jalan.
Kedukaan yang melanda jiwa si kakek tentu sa-
ja membawa kerugian besar bagi orang lain, karena
pengaruh tangisnya bukan saja membuat orang lain
jadi terhanyut dan ikut menangis, tapi juga akibat tangis itu membuat buah
pepohonan gugur sebelum wak-
tunya, begitu juga ketika si kakek melewati daerah
persawahan penduduk yang luas. Padi yang baru saja
menguning rontok dilanda gelombang tangisnya.
Kini di tempatnya duduk, Gelombang Tangis
Dalam Duka tak perlu menunggu lebih lama karena
pada saat itu pula di belakangnya muncul satu sosok
tinggi besar bertelanjang dada dengan sekujur tubuh
ditumbuhi bulu hitam lebat. Masih dalam keadaan
terduduk orang tua itu memutar badan. Gelombang
Tangis Dalam Duka sempat tercengang begitu melihat
satu sosok manusia raksasa berdiri disana, tegak
mengawasi dengan pandangan terheran-heran. Dalam
kagetnya si kakek membuka mulut ajukan pertanyaan.
"Makhluk besar apa yang kau cari di tempat
ini" Kehadiranmu membuat tangisku jadi terhenti. Ce-
pat katakan siapa dirimu, setelah itu baru kau boleh ikut menangis!"
"Orang tua, aku mencari sahabatku Gento
Guyon. Pendekar Sakti 71. Namaku Rajo Penitis, mo-
hon dimaafkan kalau keasyikan tangismu merasa ter-
ganggu karena kehadiranku!" kata si tinggi besar.
Si kakek terdiam, kening berkerut lalu kepala
digelengkan. "Gento Guyon" Pendekar Sakti 71, baru sekali ini aku mendengar nama
itu. Lalu kau sendiri
bernama Rajo Penitis" Hemm, namamu pernah aku
mendengar. Kau manusia yang selalu gagal dalam du-
nia percintaan, bertenaga besar, badan besar, tapi tolol. Rasanya aku tak suka
kau berlama-lama berdiri di depanku. Masih ada kesempatan buatmu untuk
menyingkir. Saat ini aku sedang berduka atas kematian
sahabatku Si Muka Setan. Dalam keadaan seperti ini,
aku tidak mau melihat seekor kecoak pun mengganggu
ketenanganku!"
Rajo Penitis walau merasa tersinggung men-
dengar ucapan si kakek, tapi dia masih saja berdiri di
tempatnya. Hal ini tentu menimbulkan kemarahan ba-
gi si kakek. "Kau... apakah tak mendengar perintahku"!"
hardik si kakek.
Dengan sikap tenang Rajo Penitis menjawab.
"Orang tua siapapun dirimu aku tidak perduli. Baru saja tadi kau ada menyebut Si
Muka Setan. Malah kau
mengatakan orang tua itu sudah mati. Tapi kurasa
pendapatmu itu keliru. Kalau Si Muka Setan yang kau
maksudkan adalah seorang nenek berpakaian kuning
wajah hancur mengerikan seperti setan. Kurasa orang
itu masih hidup," kata Rajo Penitis.
Gelombang Tangis Dalam Duka tercengang
mendengar ucapan, Rajo Penitis. Seolah tak percaya
dia berucap. "Coba kau ulangi apa yang kau sebutkan tadi?" perintah si kakek.
"Orang tua kurasa kau belum tuli untuk men-
dengar apa yang kukatakan tadi. Sekali lagi kukatakan Si Muka Setan mungkin
masih hidup!"
Si kakek belalakkan mata lebar, wajah tercen-
gang mulutnya ternganga. Sekali lagi dia mengguman
kepala digelengkan. "Bagaimana kau bisa mengetahui sahabatku itu masih hidup,
sedangkan aku menyaksi-kan dengan mata kepala sendiri. Si Muka Setan tewas,
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala berlubang, isi otak lenyap. Dia terbunuh. Malaikat Kuku Seribu yang
membawanya ke Kiara Con-
dong! Manusia besar badan, jangan kau berani mem-
buat pusing kepalaku. Saat ini fikiranku sedang ka-
cau. Kau bisa kubunuh di tempat ini!" geram si kakek.
Orang tua itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dua tangan diangkat siap melepaskan
satu pukulan yang berbahaya.
"Tunggu orang tua!" sergah Rajo Penitis.
"Kau hendak bicara apa, katakan cepat!" bentak Gelombang Tangis Dalam Duka tak
dapat lagi ber-
sabar diri. "Beberapa hari yang lalu, aku baru saja berte-
mu dengan seorang nenek tua yang ciri-cirinya sama
persis dengan Si Muka Setan. Aku tak berani menga-
takan dia sahabatmu atau bukan, cuma segalanya
sama mirip dengan Si Muka Setan."
"Bicaramu ngaco manusia besar, mungkin ada
yang tidak beres dalam otakmu! Sekarang teruskan bi-
caramu yang ngaco belo tak karuan!" kata si kakek.
"Perempuan itu membawa seorang gadis. Dia
kemudian masuk ke dalam pondok dan hendak me-
lampiaskan nafsu kejinya pada gadis malang yang di-
bawanya. Beruntung aku sempat mencegah, sayang
sekali aku hampir celaka dan dia melarikan diri saat mendengar suara siulan!"
"Cukup! Kau bicara tak karuan kejuntrungan-
nya. Lebih dari itu kau fitnah pula dirinya. Sahabatku Muka Setan bukan manusia
gila. Bagaimana kau berani mengatakan dia hendak berbuat keji pada kaum
sejenisnya sendiri?" hardik si kakek sengit juga semakin bertambah merah.
"Orang tua, aku bicara sesuai dengan kenya-
taan yang kulihat. Kalau kau tidak percaya siapa yang memaksamu"!"
"Raksasa tolol jahanam. Jika aku tidak melihat
mayat Si Muka Setan dengan mata kepalaku sendiri
mungkin aku mempercayai segala ucapanmu. Manusia
tengik tega betul kau memfitnah sahabatku yang su-
dah berpulang" Kubunuh kau!" teriak Gelombang Tangis Dalam Duka. Suara
teriakannya belum lagi lenyap
ketika dia keluarkan suara raungan tangis menyayat.
Suara tangisnya demikian keras, sedih memilukan
membuat siapa saja yang mendengarnya ikut terseret,
tenggelam dalam kesedihan si kakek. Rajo Penitis me-
mang sempat merasakan hal itu. Tapi dia segera me-
nutup indera pendengarannya, setelah itu segera ke-
rahkan tenaga dalam untuk kemudian disalurkan ke
arah kaki dan tangannya. Satu raungan laksana mero-
bek langit di tengah panas yang terik membakar. La-
lu... Duk! Duk! Duk! Terdengar suara bergedebukan ketika Rajo Pe-
nitis berlari ke depan menyerbu ke arah lawan sambil lepaskan satu pukulan yang
disusul dengan tendangan
menggeledek ke perut si kakek.
Angin menderu menyertai tendangan dan pu-
kulan yang dilancarkan Rajo Penitis. Si kakek tercekat, namun cepat berkelit ke
samping. Dua tangan segera
didorongkan menangkis dua serangan yang datang da-
lam waktu bersama.
Plak! Plak! Benturan keras yang terjadi membuat si kakek
keluarkan jeritan tertahan. Tubuhnya terdorong mun-
dur sejauh satu langkah. Ketika dia melihat kedua
tangannya yang terasa sakit, tangan itu nampak me-
mar. Di depannya sana Rajo Penitis terhuyung bebe-
rapa tindak, jika dia tidak cepat memperbaiki keseimbangan tubuhnya niscaya si
raksasa jatuh terjeng-
kang. Rajo Penitis menggerung, tanpa memperdulikan
tangan dan kakinya yang mendenyut sakit dia lang-
sung lakukan satu gerakan berputar. Sambil berputar
sedemikian rupa tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.
Gerakannya sangat ringan seakan tubuh yang sangat
besar itu tidak memiliki bobot sama sekali.
Masih dalam keadaan melesat sambil berputar,
Rajo Penitis menghantam lawan dengan mendorong-
kan kedua tangan dengan gerakan melingkar. Wuuut!
Satu gelombang angin berputar dahsyat menyambar
apa saja yang dilaluinya. Membuat batu dan pasir ber-lesatan di udara membubung
tinggi ke angkasa. Lebih
hebatnya lagi, tanah yang dilalui pusaran angin aneh itu berlubang dalam
berkelok-kelok tidak ubahnya seperti bekas jejak ular besar yang berjalan di
atas tanah lembek. Gelombang Tangis Dalam Duka sempat dibuat
tercekat, tapi hanya sesaat. Dia cepat melompat mun-
dur sambil mengumbar tangisnya.
"Manusia salah kaprah, tukang fitnah sahabat
orang. Kau rupanya memiliki pukulan Pusaran Topan
Prahara" Apa yang telah kau perlihatkan padaku itu
hanya akan mempercepat kematianmu. Kau akan ma-
ti, huk huk huk. Betapa aku semakin sedih kare-
nanya!" teriak si kakek. Masih sambil melompat mundur sambil hindari terjangan
pusaran angin yang ber-
sumber dari pukulan lawan. Gelombang Tangis Dalam
Duka siapkan dua pukulan mautnya. Di tangan kiri
dia mempersiapkan pukulan 'Duka Dalam Penyesalan'
sedangkan di tangan kanan dia siap melepaskan puku-
lan 'Gelombang Sakratul Maut'.
Sambil berteriak keras si kakek melesat ke de-
pan. Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah pu-
saran angin yang menggulung bagaikan puting be-
liung. Cahaya hitam berkiblat dari tangan kiri si kakek, sedangkan dari tangan
kanan menderu bahaya
putih berkilauan laksana perak.
Bumm! Satu ledakan keras berdentum ketika masing-
masing serangan bertemu di udara, bersamaan dengan
itu pula satu jeritan terdengar seolah menenggelamkan suara ledakan itu.
Kemudian ada suara jatuhnya satu
sosok yang berat di atas tanah. Beberapa saat kegela-
pan menyelimuti daerah disekitar situ. Si kakek ter-
huyung-huyung dan mencoba menjauh dari kegelapan
akibat debu. Ketika kegelapan sirna dan suasana jadi terang kembali, si kakek
pun memandang ke depan. Di
depannya sana sosok manusia Raksasa Rajo Penitis
nampak terkapar. Dari sekujur tubuhnya mengucur-
kan darah. Laki-laki itu diam tak berkutik, mungkin
juga tewas terkena pukulan lawannya yang sangat ga-
nas itu. Si kakek tercengang, seolah baru tersadar dengan apa yang dilakukannya
dia pandangi kedua tan-
gannya sendiri. Wajah si orang tua berubah pucat ke-
tika melihat telapak tangannya masih membiaskan si-
nar putih dan hitam.
"Aku... aku... telah membunuhnya" Dua tan-
ganku telah melakukan suatu perbuatan keji" Huk
huk huk! Mengapa aku jadi pembunuh, mengapa aku
harus membunuh" Gusti, Gusti... dia mati. Dia mati
aku berdosa"!" desis Gelombang Tangis Dalam Duka seakan tak percaya dengan apa
yang telah dilakukannya sendiri. Orang tua itu kemudian menangis tersedu.
Selagi si kakek tenggelam dalam tangisnya. Pada saat itu pula terdengar suara
bentakan sekaligus seruan
kaget seseorang.
"Astaga! Orang tua, betapa kejinya perbuatan-
mu ini. Kau telah membunuh sahabatku!"
Bentakan itu membuat tangis si kakek terhenti
seketika. Dalam keadaan terkejut dia memandang ke
arah datangnya suara bentakan tadi.
*** 8 Dua bayangan berkelebat, satu langsung menu-
ju ke arah Rajo Penitis, sedangkan satunya lagi jejakkan kakinya tak jauh dari
hadapan Gelombang Tangis
Dalam Duka. Si kakek dengan mata masih berurai
tangis dan hati diamuk kesedihan memandang ke arah
orang yang datang. Ternyata sosok berpakaian ungu
yang berdiri tegak di depannya adalah seorang gadis
cantik berkulit putih mulus dengan bentuk dagu se-
perti pinang terbelah. Sedangkan yang satunya lagi
adalah seorang pemuda tampan rambut gondrong se-
bahu, bertelanjang dada bercelana hitam. Di lehernya melingkar sebuah kalung.
Mata kalung berasal dari ba-tu, berwarna putih buram, kuning kecoklatan. Gelom-
bang Tangis Dalam Duka memperhatikan keduanya
sejenak. Dia gelengkan kepala karena sama sekali tak mengenal siapa adanya
pemuda dan gadis itu.
Si gondrong Pendekar Sakti Gento Guyon yang
saat itu berada di samping Rajo Penitis dapat melihat betapa sahabatnya yang
bermandikan darah akibat
terkena pukulan. Si kakek masih bernafas, tapi mung-
kin jiwanya tak mungkin dapat diselamatkan lagi.
"Sobatku kurcaca, ini aku sahabatmu kurcaci
kecil. Bicaralah, apa yang kau lakukan kepadanya
hingga orang tua itu menjatuhkan tangan begini kejam terhadapmu?" tanya Gento,
lalu raih tangan besar Rajo Penitis yang besar luar biasa namun telah berubah
menjadi dingin laksana es.
Sepasang pelupuk mata yang menggembung
bengkak nampak bergerak-gerak. Lalu mata itu terbu-
ka sedikit. Rajo Penitis mencoba memaksakan se-
nyumnya begitu melihat seraut wajah yang sangat dia
kenal. "Sahabatku kurcaci jelek. Engkaukah ini..."!
tanya Rajo Penitis seakan tak percaya dengan pengli-
hatannya sendiri.
"Benar. Ini aku, diriku kurcaci kecil." Jawab Gento, merasa terharu juga sedih.
Dia semakin mempererat genggaman tangannya pada tangan Rajo Peni-
tis. Betapa tangan sang sahabatnya itu kini bertambah dingin. Sepasang mata si
raksasa memandang kosong
pada Gento. Si gondrong menyadari tak ada harapan
lagi bagi Rajo Penitis untuk dapat bertahan lebih lama.
"Sahabatku...!" kata Rajo Penitis. Suaranya per-lahan tercekat, nampak benar
bahwa sang sahabat
nampak bersusah payah ketika hendak bicara. Dalam
keadaan semakin bertambah payah pula dia mene-
ruskan ucapannya. "Di dunia ini hidupku hanya sebatang kara. Beruntung aku punya
seorang sahabat di
akhir hidupku. Walau otakmu agak sedikit miring, tapi kau baik. Karenamu aku
jadi sadar, hingga kini aku
tak mengejar perempuan untuk kujadikan istri. Kurca-
ci kecil, tolong kau sampaikan salam maafku pada
Sriwidari. Aku pernah bersalah membunuh orang tua-
nya! Aku juga pernah bersalah hendak memperistri di-
rinya...!"
"Kau memang bersalah, kau memang layak di-
bunuh seribu kali!" satu suara menimpali disertai ber-kelebatnya satu bayangan
ungu yang langsung mele-
paskan satu pukulan mematikan ke arah Rajo Penitis.
Tanpa menoleh Gento yang sempat kaget men-
dengar teriakan itu sudah dapat menduga orang yang
kirimkan pukulan ke arah raksasa sahabatnya itu pas-
tilah Sriwidari gadis yang datang bersamanya.
Diapun berseru sambil menghantam ke bela-
kang. "Widari jangan!"
Buuum! Benturan keras disertai dengan terdengarnya
suara jeritan. Sriwidari yang pukulannya dimentahkan oleh Gento jatuh terbanting
dengan jatuh punggung
menghantam tanah.
Merasa serangannya digagalkan Gento si gadis
jadi marah. Dia melompat bangkit sambil membentak.
"Mengapa kau membelanya, Gento! Kau hendak
melindungi penjahat itu?" Tanpa menoleh dia menjawab. "Apakah kau mau menjadi
seorang pengecut, membunuh orang yang sudah tak berdaya" Lagipula
dia sudah bertobat. Tidakkah kau ikut mendengarnya"
Lebih baik kau urus kakek tengik itu, jangan sampai
kabur!" ujar Gento.
Meskipun hatinya masih merasa kecewa na-
mun Sriwidari tetap lakukan apa yang diperintahkan
oleh Gento. Sementara sang pendekar sendiri kemu-
dian kembali memandang ke arah Rajo Penitis.
"Mengapa kau cegah dia dari keinginannya un-
tuk membunuhku" Aku akan lebih senang mati di
tangannya. Tapi sebelum itu kurcaci, aku akan kata-
kan padamu. Kalaupun aku mati, tapi rohku tetap
akan hidup. Kita bisa terus bersahabat. Kurcaci, satu permintaanku tolong kau
carikan anakku...!"
"Anakmu" Siapa nama anakmu?" tanya Gento.
Pertanyaan Gento agaknya tidak berjawab ka-
rena pada saat itu kepala Rajo Penitis terkulai. Melihat kematian Rajo Penitis
pemuda itu jadi tercekat. Wajah tertunduk, sedangkan genggamannya pada tangan
manusia raksasa itu jadi terlepas.
"Sahabatku, mengapa kau pergi secepat itu?"
desis Gento seakan menyesali. Kemudian dia pandangi
tubuh besar yang terbujur diam di depannya. Tubuh
yang berlumuran darahnya sendiri. Gento tahu, Rajo
Penitis tidak berilmu rendah, jika dia sampai terbunuh di tangan kakek itu
berarti siapapun adanya si kakek pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sementara itu di depan sana si kakek sudah
bangkit berdiri, sambil menangis terguguk dia memu-
tar langkah siap hendak pergi.
"Orang tua kau hendak kemana" Menghindar
dari tanggung jawab?" hardik Sriwidari. Dia kemudian melompat ke depan si kakek
sambil hunuskan pedang
hingga gerakan orang tua itu jadi terhalangi.
Langkah si kakek jadi tertahan, orang tua itu
memandang ke depannya. "Aku hendak pergi, jangan kau halangi!" kata si kakek.
"Kau telah membunuh Rajo Penitis sekarang
hendak pergi begitu saja" Orang tua kau harus serah-
kan kepalamu, atau paling ringan harus bisa memberi
penjelasan padaku mengapa kau membunuh saha-
batku itu"!" satu suara berucap, satu bayangan berkelebat ke arah si kakek.
Kemudian tak jauh dari depan Gelombang Tangis Dalam Duka si gondrong Gento
berdiri di situ. Wajahnya jelas menyimpan kemarahan
pada si kakek juga duka atas kematian Rajo Penitis.
"Engkau ini siapa bocah gondrong" Kau kerabat
manusia tolol raksasa itu?" si kakek ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada
Pendekar Sakti
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gento Guyon dengan matanya yang merah karena ter-
lalu banyak menangis.
"Dia sahabatku!"
Si kakek tersenyum sinis. "Bukan sanak bukan
kadangmu. Cuma seorang sahabat. Lalu gadis ini
apamukah" Adikmu, kekasihmu atau mungkin istri-
mu"!" tanya si kakek lagi, dia melirik ke arah Sriwidari
dengan sudut matanya.
"Dia juga sahabatku!"
"Rupanya cuma seorang sahabat juga". Gelombang Tangis Dalam Duka tersenyum
mengejek. "Jika kalian berdua sahabat manusia itu, ketahuilah aku tak punya
waktu banyak untuk memberi penjelasan. Tapi
perlu kalian tahu satu hal, aku terpaksa melakukan
pembunuhan karena dia telah memfitnah sahabatku
Si Muka Setan."
"Fitnah... fitnah apa?" tanya Gento.
"Dia mengatakan sahabatku Si Muka Setan
masih hidup, bahkan lebih keji lagi dia mengaku Si
Muka Setan hendak berlaku keji terhadap seorang ga-
dis. Bagaimana dia berani lancang bicara seperti itu"
Sedangkan sahabatku Si Muka Setan telah berkubur
di Kiara Condong sehari sebelum pertemuan. Aku
bahkan melihat mayatnya dengan mata kepalaku sen-
diri!" Penjelasan itu bukan saja membuat Sriwidari jadi melengak tercekat,
begitu pula halnya dengan murid si gendut Gentong Ketawa. "Kakek ini melihat
mayat Si Muka Setan. Pantas mayat orang tua itu tak
kami temukan di dalam ruangan pertemuan. Semula
aku dan Roro Centil menduga nenek itu yang bertang-
gung jawab atas kematian para pendekar. Tidak ta-
hunya orang yang terkubur dalam pusara di halaman
rumah itu memang Si Muka Setan adanya." Selagi
Gento tenggelam dalam fikirannya sendiri mendengar
penjelasan si kakek yang tidak terduga ini. Sebaliknya Sriwidari berteriak
dengan suara lantang. "Orang tua, siapapun dirimu ini yang sebenarnya aku tak
perduli. Tapi terus-terang adapun gadis yang dimaksudkan
oleh Rajo Penitis itu akulah orangnya. Dia datang
mencoba menyelamatkan diriku. Jika dia mengatakan
seperti apa yang kukatakan ini, berarti dia tidak ber-dusta, tidak pula
memfitnah. Karena apa yang dikata-
kannya itu memang benar adanya. Si Muka Setan
memang hendak berbuat mesum padaku!"
Laksana mendengar suara petir, sekujur tubuh
si kakek bergetar, mata melotot, mulut ternganga se-
dangkan wajah nampak pucat bagaikan mayat. Bebe-
rapa saat lamanya si kakek tak mampu keluarkan su-
ara atau berucap barang sepatah katapun. Hanya ma-
tanya memandang kepada Gento dan Sriwidari silih
berganti. "Dia yang mengalami kejadian itu. Dia sak-
sinya, apakah kau masih tidak percaya?" suara Gento memecah keheningan.
Dengan mulut bergetar suara tercekat si kakek
menyahuti. "Jika apa yang dikatakan sahabatmu itu benar, berarti telah terjadi
sesuatu yang tidak beres.
Aku berani bersumpah Si Muka Setan telah mati, aku
sendiri yang melihat mayatnya. Aku melihat kepalanya yang berlubang besar,
sedangkan isi kepala lenyap
sama sekali! Aku yakin ada seseorang yang berusaha
mengelabuhi kita untuk mencapai sesuatu yang men-
jadi tujuannya. Karena aku tahu jika seandainyapun
Si Muka Setan memang masih hidup, dia tak mungkin
melakukan perbuatan sekeji itu. Kuakui wajahnya
memang angker seperti setan. Tapi aku tahu pasti ha-
tinya sangat baik sekali!" jelas Gelombang Tangis Dalam Duka.
"Sekarang apa yang harus kau lakukan" Kau
telah membunuh sahabatku Rajo Penitis. Kau mem-
bunuhnya karena kau anggap dia telah memfitnah Si
Muka Setan, padahal dia mengatakan yang sebenar-
nya. Apa tanggung jawabmu?"
Pertanyaan Gento membuat si kakek sadar ba-
gaimana pun dia tidak mungkin menghindar dari dosa
yang telah dilakukannya.
"Aku tak akan mungkir dan tidak bakal lari dari segala apa yang telah kulakukan.
Jika dia terbunuh di tanganku tanpa rasa bersalah. Berarti aku harus
mempertanggung jawabkan kesalahanku. Tapi aku
minta waktu, karena saat ini aku ingin mengetahui
yang sebenarnya apakah Si Muka Setan masih hidup
sebagaimana yang kau katakan atau sudah mati seba-
gaimana yang kulihat?" ujar si kakek.
Gento tersenyum, dia melirik ke arah jenazah
Rajo Penitis sekilas, baru kemudian beralih pada Sriwidari untuk selanjutnya
kembali menatap si kakek.
"Orang tua, katakan kapan kau bersedia mene-
rima hukuman dariku?"
"Aku minta waktu sampai aku bisa bertemu
dengan Muka Setan. Setelah itu kau baru boleh mem-
bunuhku!" kata si kakek dengan mata berkaca-kaca penuh kesadaran dia
melanjutkan. "Aku tak akan lari.
Kau tak perlu takut. Aku hanya ingin membuktikan
kebenaran pengakuan sahabatmu itu."
"Engkaupun tak usah takut, orang tua, juga
tak usah menangis. Karena aku hanya akan meminta
kedua tanganmu yang kau pergunakan untuk mem-
bunuh Rajo Penitis. Bukan nyawamu!" ujar Gento pu-la.
"Tidak, aku telah berhutang nyawa padanya.
Maka kau nanti harus mengambil nyawaku, bukan
tanganku!"
"Aku cuma minta tangan!"
"Kubilang kau harus mengambil nyawaku!" teriak si kakek lalu menangis tersedu-
sedu. Sriwidari tertegun mendengar tangis si kakek yang serasa meng-getarkan
jiwa menyentuh perasaan.
"Kakek aneh, dia bisa berlaku kejam dalam se-
saat saja, tap mengapa begini cengeng?" fikir si gadis.
Sedangkan Gento saat itu sambil tersenyum se-
gera berkata. "Baiklah, kau tak usah menangis lagi.
Biar nanti kuambil tangan dan nyawamu sekaligus!"
Si kakek tercengang, mata yang berurai tangis
memandang ke depannya dengan tatap seakan tak
percaya. "Pemuda edan... sinting. Huk huk huk. Biar aku menyingkir dulu dari
hadapanmu, meneruskan
tangis di tempat lain sambil mencari Si Muka Setan!"
Si kakek dengan terbungkuk-bungkuk sambil menyeka
air matanya segera tinggalkan Gento dan Sriwidari.
Murid Gentong Ketawa pandangi kepergian kakek itu.
Kepala menggeleng, mulut mengurai senyum. "Bagus, menangislah terus sampai tua.
Mudah-mudahan kau
cepat menemukan nenek itu agar tidak melakukan
pembunuhan lagi secara membabi buta!" kata Gento.
"Kau percaya dia mau menebus kesalahannya
Gento?" tanya Sriwidari yang ikut memperhatikan kepergian si kakek.
"Ha ha ha. Mana aku tahu, manusia yang per-
nah melakukan pembunuhan seribu kalipun kalau
masih punya kesempatan untuk menyelamatkan diri
pasti dilakukannya. Sudahlah, sebaiknya kita pergi!"
kata pemuda itu.
*** 9 Ayu Seruni atau yang sering disebut Puteri Pe-
malu duduk di bawah satu pohon besar tak jauh dari
tepi sebuah telaga. Matanya tak henti mengawasi tela-
ga itu dimana tadi dilihatnya satu bayangan masuk ke dalam telaga itu, lenyap
lalu tidak muncul-muncul la-gi. Seakan tak percaya dia kerjabkan matanya bebera-
pa kali, mulutnya yang selalu sunggingkan senyum
baik dirinya sedang berada dalam kesedihan maupun
dalam kegembiraan melongo besar. Dia tidak terse-
nyum, tidak pula tertawa. Malah wajah gadis yang
mengalami gangguan ingatan ini nampak pucat dalam
ketegangan yang luar biasa.
Setengah jam berlalu, sosok yang melenyapkan
diri ke dalam air telaga masih belum juga muncul atau menyembul ke permukaan
air. Si gadis sinting mulai
berprasangka yang bukan-bukan. "Orang tadi seperti hendak bunuh diri. Datang
langsung menceburkan diri
ke tengah telaga lalu tidak timbul lagi. Manusia edan sekalipun tidak mungkin
melakukan perbuatan sene-kad itu." Kata Puteri Pemalu. Sebagaimana kebiasaan-nya
dia langsung tertawa sambil tutupi wajahnya den-
gan ujung jubah birunya. Ketika dia berkata seperti itu sikapnya seolah tidak
menyadari bahwa saat itu sesungguhnya memiliki gangguan ingatan.
Sekali lagi Puteri Pemalu layangkan pandang ke
tengah telaga. Telaga tetap sunyi, air telaga tetap pula tenang, tidak beriak
tidak pula bergelombang. "Manusia atau silumankah yang kulihat tadi. Jika
manusia mengapa sudah selama ini masih belum muncul juga"
Tidak ada manusia yang mampu menyelam lalu berada
di dalam air selama itu?" ujar si gadis. Dia kemudian kitarkan pandangan matanya
ke sekeliling telaga. Kening berkerut seakan berusaha mengingat dan menge-
nali daerah itu. Dia melihat tiga pohon kapuk besar.
Masing-masing dari ketiga pohon kapuk itu terdapat
sebuah lubang besar. Di dalam lubang besar itu me-
nyumpal satu tengkorak kepala manusia yang sudah
sangat tua ditumbuhi lumut.
Melihat pada tiga pohon kapuk ini Puteri Pema-
lu keluarkan satu seruan kaget, dua matanya terpen-
tang lebar. Mulut bergetar menyebut satu nama. "Bukankah telaga ini yang bernama
Telaga Tengkorak
Hantu" Tempat yang paling angker dimana para hantu
dedemit dan makhluk halus sering gentayangan dis-
ini?" gumam Puteri Pemalu. Tanpa sadar dia bangkit berdiri, mata memandang lurus
ke tengah telaga yang
bening. Ketika dia hendak memutar badan siap me-
ninggalkan tempat itu. Pada waktu bersamaan pula
matanya sempat menangkap adanya satu gerakan di
tengah telaga. Terkejut, heran juga tegang membuat
Puteri Pemalu urungkan niatnya. Dia lalu melompat ke atas pohon, kemudian
mendekam di pohon itu sambil
mengintai ke telaga, menunggu apa yang akan terjadi
dengan dada berdebar.
Gadis sakit ingatan ini tak perlu menunggu ter-
lalu lama, karena begitu dia berada di atas pohon, air ditengah telaga mengalami
pergolakan hebat. Bersamaan dengan terjadinya pergolakan di tengah telaga,
dari bagian bawahnya terdengar seperti ada pintu batu yang terhempas. Gelembung-
Gelembung air bermunculan. Satu sosok nampak bergerak dari bagian dasar
telaga menuju ke permukaan.
Wuuut! Wuutt! Satu sosok tubuh terlempar di udara dalam
keadaan polos terlanjang. Di belakangnya menyusul
satu sosok bayangan serba kuning. Bayangan itu ber-
gerak ke arah jatuhnya sosok telanjang berambut pan-
jang. Walaupun Puteri Pemalu tak melihat bagaimana
rupa sosok polos bugil ini namun melihat dari rambutnya yang panjang, kulit
serta dadanya yang menonjol
jelas sosok yang terjatuh di tepi telaga itu adalah seo-
rang gadis. Mungkin satu kekejian mengerikan telah
terjadi atas dirinya.
Dengan malu-malu gadis sinting ini tutupi wa-
jahnya. Tak berselang lama ujung jubah diturunkan,
mata memandang ke arah sosok berpakaian kuning
yang berdiri tak jauh dari sosok gadis telanjang yang agaknya sudah tak bernyawa
lagi. Untuk yang kesekian kalinya Puteri Pemalu
kembali dibuat tercengang. Sosok berpakaian kuning
berenda putih yang baru munculkan diri dari dasar telaga sambil membawa sosok
mayat seorang bukannya
dedemit ataupun siluman sebagaimana yang dia sang-
ka. Melainkan seseorang, sosok nenek berwajah ang-
ker seperti setan yang sangat dikenalnya.
"Kakak... kakak Muka Setan" Benarkah dia
adanya" Mengapa dia semakin jauh dalam kesesatan.
Kemana kebaikan-kebaikan yang dia miliki selama
ini?" tanya Puteri Pemalu pada dirinya sendiri.
Sekali lagi Puteri Pemalu memandang ke tepi
telaga. Saat itu nenek Muka Setan yang muncul dari
dasar telaga nampaknya sudah siap tinggalkan tempat
itu. Tapi dia jadi terkejut ketika mendengar satu seruan. "Kakak... Muka Setan
tunggu!" Seruan itu disusul dengan tersibaknya rerant-
ing dan dedaunan pohon yang kemudian disusul oleh
munculnya satu kepala. Satu sosok berpakaian jubah
biru melesat ke arah si nenek yang belum lagi hilang rasa kagetnya.
"Kakak... hik hik hik. Sungguh tak kusangka
dirimu telah jauh berada dalam kesesatan. Mengapa
kau membunuhnya, mengapa gadis itu kau perlaku-
kan secara keji. Kau perempuan dia perempuan, lalu
apanya yang...!" Puteri Pemalu tidak lanjutkan uca-
pannya, melainkan malah tutupi wajahnya.
Beberapa saat lamanya nenek Muka Setan se-
perti bingung melihat kehadiran si gadis dan menden-
gar segala apa yang diucapkannya. Tapi karena otak-
nya yang cerdik dia segera menyadari apa yang harus
dia lakukan. "Gadis gila, kau tahu siapa diriku ini" Hayo jawab?" hardik si nenek dengan mata
mencorong me- mandang penuh teguran.
"Kakak, kau adalah Si Muka Setan, yang sebe-
narnya masih terhitung guruku sendiri. Aku hanya in-
gin mengatakan apa yang kau lakukan beberapa hari
belakangan telah jauh menyimpang dari segala yang
pernah kau tunjukkan padaku selama ini kakak!"
"Kalau kau sudah tahu dan dapat membedakan
kedudukan antara murid dan guru, mengapa kau tak
cepat memberi hormat dan minta maaf kepadaku?"
dengus Si Muka Setan.
Si gadis tertawa mengikik.
"Hik hik hik. Kakak ini bagaimana, selama ini
aku tak pernah melakukan seperti yang kau ucapkan!"
jawab gadis itu.
Kening Si Muka Setan berkerut dalam mem-
buat wajahnya yang angker bertambah menyeramkan.
"Kau tak melakukan selama ini. Tapi sekarang
kau harus mau menghormat dan minta maaf padaku!
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jika kau menolak, aku pasti menganggapmu sebagai
murid gila yang tidak tahu aturan."
Ucapan si nenek malah membuat tawa Puteri
Pemalu makin bertambah keras.
"Hik hik hik! Kakak ini bagaimana, bukankah
kau sudah tahu sejak dulu aku sudah gila, kewarasan
terganggu sedangkan kesadaran timbul tenggelam.
Agaknya kau sendiri mulai ikutan menjadi gila ya"!"
Si Muka Setan dibuat tercekat. Kembali otak-
nya berfikir, kembali seribu muslihat muncul dibenaknya. Diapun kemudian
menyeringai. Si nenek pun mu-
lai mempergunakan muslihatnya.
"Kau benar, sekarang ini fikiranku memang se-
lalu kalut, sering pula kacau. Mungkin aku juga kehilangan kewarasan seperti
dirimu." Kata nenek Muka Setan unjukkan muka sedih.
"Hik hik hik. Kau pasti kualat karena sering
menghina aku dulu. Tapi mengapa sekarang setelah
menjadi gila kau bisa mempunyai kebiasaan jelek ter-
kutuk, kakak" Apakah kau melakukan semua itu di
luar kesadaranmu?" tanya Puteri Pemalu, dengan ma-lu-malu dia tutupi wajahnya.
"I... iya, kau betul. Mengapa aku melakukan
semua itu. Oh, betapa terkutuknya diriku ini" Huk
huk huk!" Nenek Muka Setan dekap wajahnya yang
cacat mengerikan, dia menangis tersedu sedu sambil
memukul kepalanya kanan kiri.
"Betapa memalukan diriku ini, lebih baik kau
bunuh saja aku. Bunuh...!" jerit nenek itu.
"Tidak begitu kakak. Mana mungkin aku tega
membunuhmu, setelah seluruh kaum kerabatmu di-
bunuh orang. Aku maklum telah terjadi kegoncangan
batin yang hebat dalam jiwamu. Tapi kau tak perlu risau, aku pernah mendengar
seorang dukun hebat,
namanya Mbah Petir. Aku bisa minta tolong kepadanya
untuk membantu menyembuhkan penyakit gilamu itu.
Agar kau tidak lagi berbuat mesum pada kaum sendiri.
Hik hik hik!"
Diam-diam Si Muka Setan terkejut. Semua
yang diucapkan Puteri Pemalu merupakan sesuatu
yang membuatnya menjadi faham dengan keadaan
yang sebenarnya. Diam-diam dia melirik ke arah gadis
di depannya. "Gadis gila ini sangat berbahaya. Jika dia tak kubunuh sekarang,
dia bisa menghancurkan segala rencanaku. Tapi...!" Si Muka Setan terdiam,
berfikir sejenak lalu menyeringai begitu terlintas satu akal di benaknya.
"Tidak! Kematiannya bisa ku perpanjang.
Aku akan memanfaatkan tenaganya. Dia akan kusu-
ruh mencari pemuda jahanam bergelar Pendekar Sakti
Gento Guyon. Rasanya aku tidak mungkin bisa hidup
tenteram jika pemuda itu masih gentayangan di rimba
persilatan."
"Kakak... apakah kau mau ikut denganku" Aku
akan membawamu untuk menemui Mbah Petir. Dia
pasti bisa menyembuhkan penyakitmu."
"Kau... ah namamu pun aku lupa!" kata si nenek yang memang tidak tahu siapa nama
gadis berju- bah hijau itu. "Hik hik hik! Begitulah kalau orang gila, nama
saudara sendiri juga lupa, apalagi kalau gilanya masih baru. Namaku Puteri
Pemalu, bukankah dulu kakak
yang memberikan nama itu?" ujar si gadis. Seandainya saja Puteri Pemalu bukan
gadis yang sakit ingatan.
Tentu pertanyaan Si Muka Setan menimbulkan kecuri-
gaan dihatinya. Tapi karena pada dasarnya fikiran gadis itu memang kurang waras,
maka segala kejangga-
lan yang dilihatnya dia anggap sebagai sesuatu yang
biasa saja. "Kau benar Puteri Pemalu. Setelah bertemu
denganmu fikiranku jadi tambah kacau, apalagi seka-
rang aku teringat pada sanak keluargaku yang dibu-
nuh orang. Aku merasa berterima kasih atas perha-
tianmu. Tapi aku tak bisa ikut denganmu karena diri-
ku kini dalam keadaan terancam?" berkata begitu dengan sangat sempurna sekali si
nenek unjukkan mimik
ketakutan. Puteri Pemalu menjadi iba sehingga dia meme-
luk Si Muka Setan dengan sikap seakan melindungi.
"Selama ada aku kau tak boleh takut. Ah, tubuhmu gemetar, keringat bercucuran.
Siapakah orangnya yang telah membuatmu jadi begini?"
"Orang itu... masih sangat muda, rambut gon-
drong bertelanjang dada. Di leher pemuda itu terdapat sebuah kalung bermata
batu, namanya Kalung Batu
Raja Langit. Kalung itu sangat berbahaya, dan benda
laknat itu pula yang membuat aku jadi kurang waras
begini. Andai saja kau bisa membawa pemuda itu pa-
daku, atau membunuhnya dan merampas kalung itu
sekaligus. Tentu aku tidak menghabiskan waktu den-
gan segala penderitaan yang mendera diriku di dalam
telaga itu. Aku takut, aku takut muridku!" kata si nenek sambil menyembunyikan
wajahnya di celah dada
Puteri Pemalu. Ketika wajah si nenek menyentuh celah dada si gadis sinting,
nafasnya mengengah darah ber-gemuruh sedangkan jantung berdetak lebih cepat.
Namun dia mencoba menahan diri dari segala macam
rangsangan yang selalu bergelora di dalam jiwanya.
"Kakak, kau sangat ketakutan sekali." Kata Puteri Pemalu semakin mempererat
pelukannya, hingga
wajah buruk si nenek semakin terbenam di dada si ga-
dis. "Kau... kau betul. Aku sangat ketakutan sekali.
Kumohon kau cari pemuda keparat itu. Tolong ba-
laskan dendamku kepadanya." Pinta si nenek Muka Setan. Sambil mengangguk Puteri
Pemalu lepaskan pelukannya pada si nenek. Dia surut dua langkah sekali lagi dia
pandangi wajah si nenek seakan ingin memastikan bahwa perempuan yang baru
dipeluknya Si Mu-
ka Setan gurunya, bukan orang lain. Si nenek mena-
han nafas, dia baru merasa lega ketika mendengar Pu-
teri Pemalu berkata.
"Baiklah kakak. Jika menurut kenyataan yang
sebenarnya sudah pantas sebagai murid aku membela
kepentingan gurunya. Cuma ciri-ciri pemuda yang kau
sebutkan itu membuatku heran?"
"Heran, apa yang membuatmu merasa seperti
itu?" tanya si nenek dengan tatapan penuh selidik.
"Aku... aku...!" Puteri Pemalu, tutupkan ujung jubah ke wajahnya. *
"Katakan saja tak usah malu-malu.!"
Masih dengan malu-malu, si gadis sinting
membuka mulut berucap. "Orang yang baru engkau
sebutkan ciri-cirinya hampir sama dengan seseorang
yang pernah kukenal. Rambut gondrong, tampan, ber-
telanjang dada juga memakai kalung batu. Cuma aku
tak tahu, batu mata kalung itu apakah batu kuburan
atau batu kali."
"Hem, siapa nama pemuda itu?"
"Namanya... kalau tak salah adalah Bagus
Awan Peteng!"
Kening Si Muka Setan kembali berkerut. "Cela-
ka, jika sampai gadis gila ini ternyata jatuh cinta kepada pemuda itu." Batin si
nenek dalam hati. Sambil tersenyum dan penuh ketenangan dia berkata. "Mungkin
pemuda yang kau sebutkan itu hanya kebetulan saja
mempunyai ciri-ciri mirip dengan Pendekar Sakti Gen-
to Guyon. Apakah kau jatuh cinta pada Bagus Awan
Peteng?" berkata begitu si nenek melirik ke arah si gadis.
Puteri Pemalu tertawa sambil tutupi wajahnya
dengan ujung kain jubah yang lebar. Dengan malu-
malu dia menjawab. "Terus-terang aku memang jatuh cinta padanya sejak pandangan
pertama. Tapi kakak
tak perlu risau, kalau ternyata nanti Bagus Awan Pe-
teng itu cuma nama samaran, aku tetap berketat akan
membawanya kepadamu!"
Semakin bertambah legalah perasaan si nenek.
Dia lalu tersenyum. "Puteri Pemalu, kau memang sau-daraku yang baik. Kelak aku
pasti akan membalas se-
gala kebaikanmu ini dengan satu imbalan besar yang
tak akan pernah kau lupakan sepanjang hidupmu. Hik
hik hik!" "Tak usah basa-basi kakak. Aku tidak mengha-
rapkan apa-apa. Kau jangan membuat aku malu. Se-
karang aku mohon pamit!" kata si gadis. Sambil berkelebat tinggalkan tempat itu
Puteri Pemalu sempat
berpesan. "Kakak, aku akan kembali secepatnya. Jaga dirimu baik-baik!"
Si nenek Muka Setan sunggingkan seringai si-
nis. "Satu lagi gadis gila tolol kena kuperdaya. Hik hik hik. Ternyata tidak
sulit untuk menjalankan segala
rencana dan cita-citaku!" gumam si nenek. Tak berselang lama setelah perginya
Puteri Pemalu, maka nenek Muka Setan itupun berkelebat pergi tinggalkan telaga.
*** 10 Sapa berdiri tegak mematung di depan pusara
Si Muka Setan. Nyana yang duduk di atas bahunya ju-
stru pada saat itu memandang dengan tercengang ke
arah bangunan rumah besar yang kini telah sama rata
dengan tanah. Bangunan itu bukan hanya hancur, ta-
pi telah berubah menjadi kepingan debu yang tidak berarti. Bagaimana mungkin
rumah besar yang baru
beberapa hari lalu ketika dia meninggalkannya masih
dalam keadaan utuh, kini menjadi seperti itu. Siapa
yang telah membakarnya" Apa yang dilihat Nyana ma-
sih belum seberapa bila dibandingkan dengan rasa ka-
getnya ketika melihat ke halaman dan ke sekeliling
rumah yang terbakar. Dua hari yang lalu, ketika dia, Gento dan Roro Centil
tinggalkan tempat itu banyak
mayat-mayat para pengawal pertemuan bergeletakan
disana. Tapi kali ini tak satupun mayat yang terlihat.
Seolah mayat-mayat itu raib ditelan bumi.
"Aneh, apakah mungkin ada seseorang yang
begitu baik hati menguburkan semua mayat pengawal
di suatu tempat, dimana?" batin Nyana tidak habis memikir.
"Sejak tadi kau diam, nafasmu tersengal. Ge-
rangan apa yang sebenarnya yang kau lihat!" satu suara menyadarkan Nyana dari
lamunannya. Dan orang
yang baru bicara adalah si buta Sapa yang mendu-
kungnya kemanapun mereka pergi.
"Mayat-mayat para pengawal itu, Sapa."
"Mengapa mayat para pengawal yang kau bica-
rakan. Kita tidak datang kesini jika bukan untuk me-
menuhi permintaan Gento untuk membongkar pusara
Si Muka Setan!" kata Sapa seolah mengingatkan.
"Kau benar. Tapi telah terjadi ketidak beresan
disini. Mayat-mayat itu lenyap. Seolah mereka hidup
kembali, kemudian pergi berbondong-bondong ke sua-
tu tempat entah kemana!"
"Nyana kau jangan menakut-nakuti aku!" ujar Sapa, suaranya pelan hampir tak
terdengar. "Aku bicara yang sebenarnya. Bahkan rumah
besar itu sekarang sudah menjadi abu."
"Mungkinkah orang yang sudah mati, kepala
bolong malah kehilangan otak dapat hidup kembali?"
Nyana terdiam, sedangkan matanya meman-
dang kesetiap sudut. Dan entah mengapa dia tiba-tiba merasa berpasang-pasang
mata seperti tengah mengawasi gerak-geriknya.
Nyana gelengkan kepala mencoba menghilang-
kan segala bayangan menyeramkan yang menyelimuti
jiwanya. "Pernah mendengar ilmu Pembangkit Arwah
Pemindah Jasad?" lirih Nyana ajukan pertanyaan.
Sepasang mata buta Sapa dan cuma merupa-
kan bola mata memutih berkedip. Dia lalu mengang-
guk. "Itu adalah ilmu langka milik salah seorang pen-tolan golongan sesat cabang
atas. Konon pemilik dan
ilmunya sendiri telah punah." Sahut Sapa.
"Sulit untuk dapat memastikannya. Tapi entah
mengapa tempat ini dalam pandanganku berubah
menjadi suatu tempat yang angker!" ketika berkata begitu Nyana memandang ke arah
pusara. Dia melihat
gundukan tanah pusara sudah tidak utuh lagi, batu
nisannya yang bertuliskan nama Si Muka Setan juga
nampak miring. Pusara itu seperti habis dibongkar, la-lu ditimbun kembali.
"Nyana, kita tak usah berlama-lama disini. Se-
baiknya makam Si Muka Setan kita bongkar. Nanti se-
telah kita dapat memastikan bahwa nenek itu yang
memang telah dikuburkan disini baru kita timbun
kembali." "Tunggu...!"
"Ada apa lagi?" tanya Sapa tampak tidak sabar.
Nyana sebenarnya ingin mengatakan ketidak
wajaran yang dilihatnya. Tapi entah mengapa lidahnya terasa berat untuk
digerakkan. "Ah, tidak apa-apa. Sekarang mari kita gali pu-
sara ini!"
Nyana lalu melompat dari bahu Sapa. Dengan
menggunakan batu nisan juga potongan bamboo yang
ditemukan di sekitar makam, kedua orang cacat ini
mulai melakukan penggalian.
Tanah pusara itu ternyata sangat empuk. Hing-
ga dalam waktu yang tidak berapa lama penggalian
yang dilakukan sudah cukup dalam. Mungkin tidak
sampai satu meter lagi mereka pasti sudah sampai di
dasar makam. Selagi kedua laki-laki cacat yang biasa dipanggil dengan julukan
Sepasang Dewa Berwajah
Ganda sibuk melakukan tugasnya. Maka pada saat itu
pula di angkasa terlihat kilat menyambar disertai gelegar petir di samping
mereka. Nyana terlonjak kaget,
sedangkan Sapa melompat ke samping sebelah kiri
kubur sambil menubruk saudaranya.
"Apa yang terjadi" Aku seperti mendengar suara
gelegar petir. Nyana apakah kau melihat mendung di
langit?" tanya Sapa dengan suara bergetar, tubuh menggigil ketakutan.
Dalam kagetnya Nyana dongakkan wajahnya ke
langit. Dia tidak melihat tanda-tanda akan turunnya
hujan. Langit tetap bersih, matahari bersinar terang, tapi yang aneh kegelapan
menyelimuti sekitar tempat
itu.
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semoga ini bukan awal dari datangnya mala-
petaka"!" Nyana menggumam dalam hati. Dugaan laki-laki berkaki buntung itu
agaknya meleset karena pada detik itu juga angin tiba-tiba berhembus menerbang-
kan kabut yang seolah datang dari segenap penjuru
arah. Nyana tercekat, dalam takutnya dia berpelukan
dengan saudaranya yang buta. Kemudian kilat kembali
menyambar. Suara petir berdentum menghantam pe-
pohonan disekitarnya juga membuat tanah makan di-
mana kedua orang itu berada jadi rengkah terbelah,
menimbulkan lubang memanjang yang sangat dalam.
"Saudaraku apa yang terjadi?"
"Celaka, cepat keluar dari lubang ini!" teriak Nyana. Suara teriakan Nyana serta
merta berubah menjadi jerit mengerikan. Dia dan saudaranya bukan
saja tak mampu keluar menyelamatkan diri dari lu-
bang kubur bersama saudaranya. Tapi juga ketika dia
hendak melompat keluar tinggalkan lubang kubur
yang belum selesai digali, di bagian dasar makam seca-ra tak terduga tanah
terkuak lebar menyeret keduanya hingga terperosok ke dalam dasar lubang yang
baru ternganga akibat sambaran petir.
Sapa dan Nyana berusaha menggapai sisi ka-
nan kiri lubang dalam usaha menyelamatkan diri. Tapi usaha mereka sia-sia. Dalam
tiupan angin keras yang
diselingi dengan suara petir, kembali terdengar suara jerit menyayat disertai
suara gemuruh bertautnya tanah yang sempat terbelah.
Blam! Tanah bertaut, suara jeritan lenyap. Lubang
kubur ikut pula lenyap rata dengan tanah. Suara petir terhenti, hembusan angin
aneh yang sempat mempo-rak porandakan daerah itu juga mereda.
Kabut putih yang tadinya memenuhi daerah itu
juga ikut pula lenyap berubah jadi kepulan asap yang membubung tinggi ke
angkasa. *** Laki-laki tua berambut kelimis berpakaian rapi
warna kuning namun diwarnai tambal-tambalan ini
duduk diam termenung di atas batu. Dua tangan di-
pergunakan untuk mendekap lutut. Udara di senjata
itu memang terasa dingin menusuk, apalagi saat itu
dia berada di kaki gunung Salak sementara matahari
sudah tenggelam dibalik bukit beberapa waktu yang la-lu. Dalam diamnya si kakek
berfikir kemana dia harus mencari muridnya yang telah melarikan jimat sakti Li-
sus Sukmo yang merupakan warisan keluarga sejak
turun temurun. Berkat kehebatan jimat sakti itu dia
diangkat menjadi Raja Pengemis oleh seluruh kaum
pengemis di delapan penjuru angin. Tapi kini tanpa jimat itu kedudukannya
sebagai raja pengemis juga bisa runtuh. Karena hanya orang yang memegang jimat
Li-sus Sukmo sajalah yang dianggap memiliki kekuatan
paling hebat dan juga dianggap paling mampu melin-
dungi keamanan para kaum pengemis.
Diam berlama ditempat sesunyi itu ternyata
membuat perasaan si orang tua jadi tidak enak. Dia
memandang ke sekelilingnya. Saat itu kegelapan mulai menyelimuti daerah
sekitarnya. Si orang tua menarik nafas lalu menghem-
buskannya kembali.
"Persoalanku dengan murid murtad itu me-
mang menyangkut masalah yang tidak bisa dianggap
sepele. Tapi aku sendiri sudah berjanji pada Gento untuk membantu mencarikan
pembunuh para pendekar
yang ikut pertemuan di Kiara Condong. Kurasa ini bu-
kan masalah yang gampang. Walaupun berat namun
aku tak mau menyalahi janji. Kurasa untuk sekarang
ini alangkah baiknya jika aku mencari pembunuh ke-
parat itu. Jika nanti persoalan ini telah selesai baru kemudian kucari pula
muridku. Menak Sangaji, kau
bakal menerima hukuman berat dariku. Bersusah
payah aku mendidikmu tidak pernah kusangka setelah
besar malah banyak menyusahkan aku!" rutuk Raja Pengemis Tangan Akherat geram.
Laki-laki tua itu baru saja hendak melompat
turun dari atas batu ketika sayup-sayup dia menden-
gar suara langkah kaki yang diselingi dengan suara
orang bicara. Timbul keinginan di hati laki-laki itu untuk
bersembunyi. Akan tetapi belum lagi niatnya terlaksa-na di tempat itu muncul
seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Laki-laki itu berwajah angker
mengerikan, berkepala besar luar biasa, sedangkan matanya
hanya merupakan dua buah garis mendatar. Mata
hampir lenyap karena pelupuk mata seolah terdesak
cairan yang terdapat di bagian atas kepalanya.
Walaupun Raja Pengemis merasa belum pernah
bertemu dengan sosok berkepala besar berpakaian
serba hitam ini. Paling tidak dia sudah dapat menduga siapa gerangan adanya
sosok manusia aneh berkepala
besar ini. "Makhluk jahanam salah kaprah. Melihat ujud-
nya aku menjadi muak. Aku yakin sekali dialah orang-
nya yang telah membantai para pengawal pertemuan di
Kiara Condong." Membatin Raja Pengemis dalam hati.
"Manusia berpakaian kuning. Melihat penampi-
lanmu aku sudah dapat menduga siapa kiranya dirimu
ini. Kau pasti Raja Pengemis Tangan Akherat" Kebetu-
lan sekali, malam ini aku akan mendapat tambahan
otak segar. Ha ha ha. Kudengar kau mempunyai fiki-
ran dan pengalaman luas. Jika otakmu tergabung den-
gan otakku, kurasa bagiku akan terbuka jalan lain untuk melakukan suatu
pembalasan!"
"Manusia gila salah kaprah, bicara tak karuan
kejuntrungannya. Bukankah dirimu ini yang dikenal
dengan julukan Perampas Benak Kepala" Kau pula
manusianya yang telah membunuh para pengawal per-
temuan" Apakah ini berarti kau juga yang telah mem-
bantai para pendekar juga beberapa tokoh cabang atas
di dalam ruangan pertemuan?" hardik laki-laki itu sengit. Perampas Benak Kepala
dongakkan wajahnya
ke langit. Saat itu bulan mulai memancarkan ca-
hayanya yang kuning keemasan. Tawa sosok berkepala
besar itu bergema merobek kesunyian.
"Tidak layak kau ajukan pertanyaan seperti itu
kepadaku. Kelak kau akan mendapatkan jawaban per-
tanyaanmu setelah berada di neraka!" dengus Perampas Benak Kepala.
Raja Pengemis pada dasarnya adalah manusia
yang paling tidak suka banyak bicara. Mendengar uca-
pan Perampas Benak Kepala darahnya laksana mendi-
dih, tubuhnya bergetar. Seumur hidup baru kali ini ra-sanya dia merasa tidak
dipandang sebelah mata oleh
orang lain, "Agaknya inilah saatnya aku memenuhi janjiku
pada Gento. Aku yakin dia adalah pembunuh tengik
yang telah membunuh banyak tokoh di Kiara Condong.
Jika tidak kubereskan dia sekarang, kelak pasti akan menimbulkan bencana lebih
besar lagi!" rutuk Raja Pengemis dalam hati. Sambil memandang sosok di depannya
dengan tatapan dingin Raja Pengemis berkata.
"Kau bicara tentang neraka" Seolah kau sudah mengetahui seluk-beluk tempat
terkutuk itu. Apakah kau
yakin kau dapat mengirimkan ke sana?"
Perampas Benak Kepala tertawa terbahak-
bahak. Setiap tawanya bergema di udara, maka kepa-
lanya yang besar berkerenyutan tak mau diam tidak
ubahnya seperti denyut jantung.
*** 11 Raja Pengemis diam-diam memperhatikan kea-
nehan itu. Hingga dia berkesimpulan agaknya bagian
kepala itu selain merupakan ancaman yang berbahaya
bagi lawannya juga adalah titik kelemahan Perampas
Benak Kepala. "Bagiku walaupun kau seorang raja, ta-pi tetap tak memiliki arti
apapun dihadapanku. Apa
susahnya mengirimkan ke sana" Sekarang juga aku
akan melakukannya!" berkata begitu Perampas Benak Kepala melompat mundur. Kepala
digelengkan siap
menyerang dengan menggunakan kekuatan kepalanya.
Di depan sana walaupun Raja Pengemis belum pernah
berhadapan dengan manusia aneh ini namun sudah
dapat menduga apa kiranya yang hendak dilakukan
oleh lawan. Sehingga sambil keluarkan teriakan keras dia melesat ke depan,
menyerbu sambil hantamkan
kedua tangannya sekaligus. Satu tangan menghantam
dada sedangkan tangan kirinya menghantam kepala,
masing-masing dengan pengerahan tenaga dalam pe-
nuh. Perampas Benak Kepala tercekat tercekat, kon-
sentrasinya buyar namun dia melompat ke samping.
Hantaman di bagian dada luput, tapi tangan kiri lawan tetap menghantam bagian
atas kepalanya.
Duuuk! Begitu tangan membentur kepala lawan, Raja
Pengemis tercekat. Kepala yang semula dikiranya me-
rupakan bagian titik kelemahan lawan ternyata keras-
nya melebihi batu. Bukan hanya itu saja, tangan Raja Pengemis yang dipergunakan
untuk menghantam kepala terasa sakit luar biasa. Yang lebih mengejutkan lagi
tubuh Raja Pengemis terlempar ke belakang seolah
ada satu kekuatan hebat yang telah mencampakkan-
nya. Dalam keadaan meluncur jungkir balik, Raja
Pengemis sambil memaki berusaha agar dia dapat ja-
tuh dengan kaki menyentuh tanah terlebih dahulu.
Walau goyah dan terhuyung, laki-laki itu memang da-
pat melakukan apa yang dia harapkan. Tapi pada saat
itu Perampas Benak Kepala telah menyerbu ke arah-
nya sambil menghantam Raja Pengemis dengan se-
rangkaian pukulan beruntun.
Deru angin yang ditumbulkan akibat pukulan
lawannya membuat Raja Pengemis yang baru berusaha
memperbaiki kuda-kudanya jadi terpelanting, jatuh
bergulingan, namun laksana kilat masih dalam kea-
daan menelungkup laki-laki itu melepaskan pukulan
yang tak kalah dahsyatnya.
Wuuut! Wut! Saat Raja Pengemis mendorong kedua tangan-
nya menanggapi serangan lawan, maka detik itu pula
dari telapak tangan si orang tua memancarkan cahaya
kuning menyilaukan, berbentuk bulat seperti lingka-
ran. Perampas Benak Kepala jadi tercekat ketika merasakan seluruh pukulan yang
dilepaskannya tersedot ke dalam cahaya lingkaran kuning yang semakin lama
bergerak maju ke arah lawannya. Sosok penyedot otak
tergontai, dia kembali hantamkan kedua tangannya ke
depan. Angin panas menderu, tapi seperti tadi pukulan susulan yang dilepaskan
lawan amblas tidak berbekas.
Malah kini tubuh Perampas Benak Kepala ikut terseret mendekati lingkaran maut.
"Ilmu Penyedot Raga"!" Perampas Benak Kepala keluarkan satu seruan. Wajahnya
mendadak berubah
pucat. Tak bisa dia bayangkan bagaimana andai tu-
buhnya masuk dalam lingkaran cahaya kuning itu.
Bukan hanya tubuhnya saja yang amblas, tapi jiwanya
sendiri pasti tidak ketolongan.
Manusia cerdik seribu akal ini cepat alirkan te-
naga dalam ke bagian kaki. Setelah itu dua tangan di dorong, bukan ke arah
lingkaran cahaya yang mena-riknya. Tapi ke arah tanah.
Wuuut! Buuum! Satu ledakan berdentum, tubuh Perampas Be-
nak Kepala melesat ke udara terdorong oleh tenaga
pukulannya sendiri juga gerakkan kaki yang menjejak
ke tanah. Selagi tubuhnya mengapung di udara. Maka
Perampas Benak Kepala kerahkan seluruh tenaga sakti
yang dia miliki ke bagian kepalanya. Ketika tubuhnya meluncur ke bawah, kaki
menjejak tanah. Maka pada
saat itu pula maka dari bagian depan maupun kedua
sisi atas telinganya membersih cahaya biru terang
yang semakin memanjang, berkelok-kelok seperti ular, lalu menyerbu ke arah Raja
Pengemis. Buuum! Satu ledakan menggelegar mengguncang tem-
pat itu saat salah satu sinar biru menghantam lingkaran sinar kuning yang
terpancar dari pukulan Raja
Pengemis. Lingkaran sinar maut lenyap, sinar biru
yang menembusnya terus bergerak ke arah Raja Peni-
tis. Masih dalam keadaan terhuyung-huyung akibat
benturan yang terjadi, Raja Pengemis selamatkan diri dari serangan tiga sinar
yang mengejarnya dengan melompat ke belakang. Sadar akan bahaya yang mengan-
camnya, Raja Penitis secepat kilat meraih cermin batu segitiga yang terselip di
bagian pinggang. Tangan yang memegang cermin bergerak, cermin batu segitiga
berkiblat menangkis tiga cahaya yang kini bergerak ke
atas hendak menembus kepalanya.
Angin menderu, hawa aneh dari cermin berta-
bur di udara, cahaya putih yang memancar dari cermin menyambar tiga sinar biru
yang keluar dari kepala lawan. Tes! Tes! Tes!
Terjadi benturan hebat, Raja Pengemis menda-
dak menjerit. Cermin batu segitiga yang dipergunakan untuk menangkis jatuh
terlepas dari genggamannya.
Sedangkan tangan Raja Pengemis mengepulkan asap
disertai terciumnya bau kulit hangus terbakar. Laki-
laki itu melihat bukan hanya tangannya saja yang
hangus, tapi senjata saktinya juga mengepulkan asap.
Di udara saat terjadi benturan antara ketiga sinar dengan cermin tadi sempat
membuat ketiga sinar biru itu bergetar, kemudian berbelok arah tapi kemudian
kembali meluncur menyerang Raja Pengemis.
"Jahanam tengik, celaka!" desis laki-laki itu.
Cepat sekali dia jatuhkan diri bergulingan hindari terjangan sinar yang
menghantam ke bagian kepalanya.
"Celaka. Andai jimat sakti itu ada ditanganku,"
desis Raja Pengemis putus asa ketika melihat ketiga
sinar terus memburunya kemanapun dia menghindar
selamatkan diri.
Agaknya laki-laki itu tak mungkin dapat melo-
loskan diri dari ancaman maut yang bersumber dari
serangan kepala lawannya itu. Beruntung pada saat
yang menegangkan itu dari arah belakang Raja Penge-
mis terdengar suara teriakan yang disertai dengan ber-kelebatnya dua sosok
bayangan ke arah laki-laki itu.
"Berani membuat sahabatku celaka, kubunuh
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau!" bersamaan dengan itu pula sinar merah dan sinar putih berkiblat. Bukan
menghantam tiga sinar
maut tadi tapi melesat menghantam Perampas Benak
Kepala. Si kepala besar tercekat, dalam keadaan ber-
konsentrasi seperti itu dia tak mungkin menangkis
pukulan yang datangnya tidak terduga ini. Walaupun
begitu dengan gugup dia dorongkan kedua tangannya
menyambuti. Glaar! Wuaaak! Perampas Benak Kepala jatuh bergulingan, ter-
lempar sejauh tiga tombak. Tiga sinar maut yang me-
nyerang Raja Pengemis lenyap. Di depan sana si kepala besar berusaha bangkit
sambil merintih. Sedangkan
sekujur tubuhnya hitam gosong, namun dia masih da-
pat berdiri tegak sambil memandang ke depannya den-
gan wajah pucat hati tercekat.
Dia melihat di depan sana berdiri tegak seorang
pemuda berambut gondrong bertelanjang dada berce-
lana hitam. Seuntai kalung melingkar dilehernya. Di
samping si gondrong, disebelah kiri tak jauh dari Raja Pengemis nampak seorang
gadis cantik berpakaian
ungu memandang ke arahnya dengan tatap penuh ke-
bencian. Di tangan gadis itu tergenggam sebilah pe-
dang yang dilintangkan ke depan dada.
"Hampir saja nyawaku amblas ditangan keparat
kepala besar itu. Untung kau cepat datang Gento. Aku berhutang nyawa padamu!"
kata Raja Pengemis sambil memungut kaca batu segitiga sambil memeriksa senjata
sakti itu. Ternyata cermin batu tidak mengalami ke-rusakan walaupun tadi
dipergunakan untuk menang-
kis benturan ketiga sinar sakti lawannya.
Gento tersenyum, namun tetap matanya tetap
tertuju lurus ke depan. Sesaat Pendekar Sakti Gento Guyon dan Perampas Benak
Kepala saling berpandan-gan. "Hati-hati, manusia itu sangat berbahaya!" Raja
Pengemis yang telah berdiri di belakang Gento membe-
ri bisikan. "Inilah bangsatnya yang telah banyak melaku-
kan pembunuhan. Kejahatannya tak mungkin untuk
diampuni. Hem... kepala besar begitu rupa. Apakah
isinya benar-benar otak sungguhan atau cuma ampas
kotoran. Kepala di atas besar bukan main apakah ke-
pala yang dibawah juga besar" Ha ha ha!" kata Gento disertai tawa tergelak-
gelak. Perampas Benak Kepala menggeram. Ucapan
pemuda itu membuat wajahnya menjadi merah padam.
"Pemuda edan! Diantara sekian banyak orang
yang kucari, kaulah yang paling kuinginkan. Jiwa bu-
sukmu yang kuanggap paling berharga saat ini. Seka-
rang lebih baik kau menyerah untuk kubawa ke satu
tempat!" hardik Perampas Benak Kepala tegas.
"Jangan ikuti apa yang dimintanya!" kata Sriwidari pelan.
Gento tertawa bergelak. "Walaupun edan, tapi
aku belum gila untuk mengikuti apa yang dimintanya.
Malah malam ini aku seharusnya menagih hutang jiwa
orang-orang yang tidak berdosa yang telah terbunuh
ditangannya!" sahut Gento. Lalu dia bicara ditujukan pada Perampas Benak Kepala.
"Perampas Benak Kepala. Kulihat kepalamu sudah penuh, melar hingga tu-
buhmu jadi tak seimbang. Atas nama kemanusiaan,
aku akan memecahkan kepala itu sekarang juga. Tapi
sebelum satu kebaikan ini kulakukan untukmu, kau
harus menjawab pertanyaanku, kau melakukan segala
kejahatan ini untuk siapa?" tanya si pemuda.
Perampas Benak Kepala menanggapi perta-
nyaan Gento dengan tawa panjang. "Nantinya kau pasti akan tahu jawaban yang kau
minta bila otakmu te-
lah menyatu dalam kepalaku!" jawab laki-laki itu sing-
kat. "Begitu. Mengingat otakku besar, mana mung-
kin dapat memasuki kepalamu. Karena itu aku harus
membelahnya dulu!" sahut Gento. Dalam hati dia berkata. "Dia tidak mau
mengatakan apa yang kuinginkan. Sekarang tinggal memastikan jika ternyata nanti
dia tidak memiliki ilmu pukulan Beracun berarti selain dia masih ada orang lain
yang bertanggung jawab dalam pembunuhan itu!"
"Pemuda edan, kau diam. Apakah ini berarti
kau telah siap menyerahkan kepalamu?" teriak Perampas Benak Kepala. Dalam hati
pula dia berkata. "Aku akan mengacaukan perhatian pemuda ini. Akan kuse-rang
mereka bertiga sekaligus, terlebih-lebih gadis itu.
Dari sinar matanya aku melihat gadis berbaju ungu itu menaruh rasa kasih yang
begitu besar pada Gento.
Hmm." "Aku telah siap, kepala besar. Mengapa kau tidak segera bertindak!" sahut
Gento. Perampas Benak Kepala keluarkan suara
menggerung. Laksana kilat tubuhnya melesat ke de-
pan, lancarkan satu serangan menggeledek ke arah
pemuda itu sambil lepaskan tendangan beruntun.
Dengan mengandalkan jurus Congcorang Mabuk, Gen-
to hindari serangan lawan, sementara tubuhnya nam-
pak menghuyung tak karuan, dua tangan digerakkan
ke depan menangkis serangan lawan. Perampas Benak
Kepala menemui satu kenyataan tak satupun serangan
ganas yang dilancarkannya mengenai sasaran yang dia
harapkan. Si banyak akal ini kemudian melompat ke
udara. Begitu tubuhnya mengambang kakinya berpu-
tar menyapu kepala Gento. Gento cepat tundukkan
kepalanya, kemudian melompat mundur seperti orang
mau jatuh, tapi cepat menghantam ke atas dengan pu-
kulan Dewa Menangis Iblis Tertawa. Pukulan ini ada-
lah warisan gurunya Gentong Ketawa. Sinar merah
berkiblat, menderu di udara lalu menghantam kaki la-
wannya. Hantaman keras dibagian kaki membuat la-
wannya terpental, menjerit, lalu jatuh terbanting sejauh dua tombak. Perampas
Benak Kepala meringis
kesakitan, kedua kakinya terasa panas seperti ter-
panggang. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang men-
deranya dia berjumpalitan begitu rupa, sehingga kini dia dapat berdiri tegak dan
langsung kerahkan tenaga saktinya ke bagian kepala siap melancarkan serangan
mautnya. "Gento, hati-hati. Dia hendak mengerahkan si-
nar penyedot otak dari kepalanya." Satu suara berseru memperingatkan. Dan yang
baru bicara tadi adalah
sahabatnya Raja Pengemis.
Gento maklum betapa berbahayanya jika lawan
menggunakan kekuatan kepalanya. Masih dengan
menggunakan rangkaian jurus Congcorang Mabuk
pemuda itu segera lakukan satu gerakan yang mem-
buat tubuhnya melesat ke arah lawan. Dua tangan lalu dihantamkan ke bagian
kepala Buuuk! Hantaman keras tidak membuat lawannya ja-
tuh, kepala itu juga tidak bergeming. Malah Gento merasakan tangannya seperti
menghantam batu, sedang-
kan tubuhnya seperti dilemparkan ke belakang.
Pendekar Sakti Gento Guyon jatuh terduduk.
Seolah tak merasakan suatu akibat apapun dia bang-
kit berdiri, memandang ke depan dengan mata mende-
lik tapi siap melancarkan pukulan Dewa Awan Menge-
jar Iblis. Ilmu pukulan ini didapatnya dari Tabib Setan.
Sekejab saja kedua tangan Gento telah berubah me-
mutih laksana perak hingga kebagian pangkal lengan.
Laksana kilat didahului dengan teriakan keras si pe-
muda melompat sekaligus hantamkan dua pukulannya
ke arah lawan. Cahaya putih menyilaukan menyambar di uda-
ra, melesat deras ke arah Perampas Benak Kepala. Ta-
pi sinar itu begitu hampir menyentuh tubuh lawannya
sekonyong-konyong terhenti seakan ada tembok gaib
yang menahannya. Sejalan dengan tertahannya puku-
lan Gento dari kepala lawan membersit keluar sinar bi-ru. Sinar itu bukan sana
membuat pukulan Gento ter-
sedot lenyap dalam kepala lawan tapi juga kini menyerang Gento, Sriwidari dan
Raja Pengemis yang berjaga-jaga tak jauh di belakangnya. Raja Pengemis yang su-
dah mengetahui kehebatan ilmu lawannya ini dengan
pengerahan tenaga dalam penuh langsung kiblatkan
cermin batu segitiga ditangannya. Sehingga sinar maut yang hendak menjebol batok
kepalanya itu membelok
ke arah kiri menghantam pohon besar mengeluarkan
suara berdentum. Pohon hangus roboh mengeluarkan
suara berisik. Sedangkan Sriwidari sendiri begitu melihat si-
nar biru yang memancar dari kepala lawan segera kib-
latkan pedangnya menangkis, tapi dia terkejut ketika melihat kenyataan pedang
yang dipergunakan untuk
menangkis langsung meleleh. Malah sebagian sinar te-
rus menyerbu ke arah kepalanya. Si gadis tercekat,
mencoba selamatkan diri dari jangkauan sinar dengan
melompat ke belakang. Sayang gerakannya kalah ce-
pat. Dilain saat terdengar suara letupan mengerikan
yang disertai jeritan Sriwidari. Raja Pengemis yang
hendak menolong gadis itu tak dapat lakukan niatnya
karena pada saat itu sinar biru yang datang kemudian kembali menyerangnya. Tak
tertolong lagi Sriwidari
terbanting roboh, kepala hancur mengerikan, isi otak-
nya bertaburan.
Gento yang melihat semua itu keluarkan suara
raungan marah. Tapi dia sendiri saat itu juga sedang berada dalam posisi yang
sulit, apalagi sedikitnya ada enam sinar maut yang menyerangnya dari enam
jurusan. Kalang kabut sambil keluarkan keringat dingin
Gento jatuhkan diri ke tanah, bergulingan lalu mele-
paskan pukulan saktinya secara bertubi-tubi ke arah
lawan. Seperti tadi pukulan yang dilepaskannya hanya sia-sia, tersedot amblas ke
dalam sinar biru. Dalam
keadaan diri terancam, bahaya besar begitu rupa ada
keinginan di hati si pemuda untuk menggunakan gada
saktinya. Tapi semua itu akan memakan waktu. Tak
ada jalan lain, dia teringat pada kalung Batu Raja Langit pemberian Manusia
Seribu Tahun. Dia pun lalu sa-
lurkan tenaga ke dada, setelah itu dia mengusap mata kalung tiga kali sambil
membayangkan wajah Manusia
Seribu Tahun. Gento berteriak. "Hantam bagian titik kelema-
han manusia jahanam itu!" Batu bergetar, sinar putih menyilaukan mata membersit,
berkiblat di udara memancar laksana seterang sinar matahari lalu menderu
laksana gelombang kilat menghantam sisi kepala Pe-
rampas Benak Kepala.
Blaaam! Jeeees!
Satu ledakan berdentum terdengar disertai
dengan bunyi sesuatu seperti kulit kepala yang bocor ditembus mata pedang. Di
depan sana terdengar suara
jeritan menyayat. Lawan terpelanting roboh, sisi atas telinga kirinya robek
besar. Dari bagian yang robek itulah darah dan cairan otak menyembur keluar.
Roboh- nya Perampas Benak Kepala membuat sinar maut-
maut yang menyerang Gento lenyap, begitu pula sinar
yang menyerang Raja Pengemis.
Di depan sana lawan merintih, semburan otak
semakin bertambah banyak seolah bendungan anak
sungai yang jebol. Dengan menyemburnya cairan otak
maka kepala Perampas Benak Kepala berangsur men-
gecil menyusut dan kembali ke ukuran normal.
Gento tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia se-
gera melompat ke arah lawan, satu tangan ditekankan
ke arah leher. Dari mulutnya keluar satu pertanyaan
disela-sela dengus nafas dan erangan marah. "Katakan siapa yang telah menyuruhmu
melakukan semua ini?"
Sosok laki-laki itu mengerang, kepalanya yang
keriput mengecil menggeleng. Gento memperkeras ce-
kikannya pada leher lawan.
"Cepat katakan siapa orang itu?" hardik Gento sengit. Sekali lagi lawan
gelengkan kepala. Cekikan
Gento yang keras membuat kematian Perampas Benak
Kepala semakin bertambah cepat.
"Katakan... katakan...!" teriak pemuda itu lagi.
Percuma saja dia berteriak. Karena nyawa lawannya
telah amblas dalam cengkeraman maut.
"Gento sahabatku sudahlah. Agaknya kau ha-
rus berusaha lebih keras lagi untuk memecahkan mis-
teri pembunuhan ini. Sekarang sebaiknya kita urus
mayat sahabatmu." Kata Raja Pengemis.
Ucapan orang tua itu mengingatkan Gento pada
Sriwidari. Dia bangkit berdiri. Masih dengan perasaan marah dan kecewa Gento
hampiri Sriwidari. Pemuda
itu tercengang, mata membelalak melihat betapa kepa-
la sahabatnya hancur mengerikan sedangkan benak-
nya bertaburan.
"Sri... walah... Sriwidari, mengapa segalanya
berakhir begini?" desis Gento dengan perasaan sedih, tanpa sadar dia teteskan
air mata. "Jahanam itu telah pun binasa, tapi aku yakin masih ada yang lain.
Saha- batku aku bersumpah akan mencari bangsat itu. Akan
kubunuh dia agar arwahmu tidak penasaran!" desis Gento kemudian. Melihat bagian
kepala si gadis kemarahan Gento makin meluap, untuk pertama kalinya
dalam hidup dia seolah merasa kehilangan, kehilangan sesuatu yang sulit
diungkapkan dengan kata-kata.
"Sebaiknya kita kuburkan dia!" kata Raja Pengemis yang diam-diam merasa
berterima kasih pada
pemuda itu karena telah menyelamatkan dirinya.
"Baiklah paman. Tolong bantu aku!" sahut Gento. Dengan tubuh terasa lunglai dia
membantu Raja Pengemis mengangkat jenazah Sriwidari. Perlahan ke-
duanya lalu tinggalkan tempat itu.
TAMAT SEGERA TERBIT !!!
MBAH PETE Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Kunang Kunang 7 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Perjodohan Busur Kumala 11
satu pukulan. Kulihat pengawal lain berhamburan
mengepung laki-laki itu. Tapi... tapi dari kepala si kakek itu bermunculan sinar
biru. Sinar-sinar maut itu menyambar ke arah mereka, menghantam ubun-ubun.
Batok kepala berlubang, otak bercampur darah ber-
hamburan dan oleh sinar biru dipindah ke kepala ka-
kek itu sendiri. Aku melihat dari tempat tersembunyi bermunculan pengawal yang
lain. Tapi... akh sayang
mereka mengalami nasib yang sama. Sekarang kulihat
si kepala besar tinggalkan tempat itu, lari terhuyung seperti orang mabuk sambil
memegang kepalanya..."
"Pastilah orang yang dilihat Mbah Petir adalah
Perampas Benak Kepala." kata Roro Centil membatin dalam hati.
Di depannya sana tubuh Mbah Petir nampak
berguncang, terkadang oleng ke kiri, kadang ke kanan.
Tidak jarang hampir terlentang seperti orang yang be-
rada di dalam perahu kecil yang dihantam topan dan
ombak. Walaupun begitu si kakek tetap menuturkan
apa yang dilihatnya melalui sambung rasa dalam gaib
itu. "Si kepala besar pergi, tapi kemudian muncul seorang nenek. Nenek itu
celingak-celinguk seperti mal-
ing. Dia berpakaian serba kuning berenda putih. Wa-
jahnya rusak seperti dicacah. Mukanya hancur menye-
ramkan seperti Muka Setan. Nenek ini tertawa melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan. Dia lalu berkelebat ke dalam rumah. Wadow... di dalam rumah
gelap sekali. Agak remang-remang, nah sekarang sudah kulihat.
Dua orang bersenjata pedang menghadang nenek mu-
ka setan. Terjadi pertengkaran mulut. Tapi tak diduga Si Muka Setan menghantam
dua orang itu dengan pukulan ganas. Orang itu roboh... terus...!"
"Tak usah diteruskan Mbah" kata Roro Centil yang memang sudah melihat apa yang
dituturkan Mbah Petir beberapa hari yang lalu bersama Gento.
Untuk lebih jelasnya (Ikuti Gento Guyon Episode Ke-
melut Iblis). Di depan sana si kakek tidak meneruskan apa yang dilihatnya
melalui indera gaibnya itu. Tapi matanya tetap terpejam, sedangkan tubuh
bergetar pertanda dia belum keluar atau melepaskan diri dari
lingkaran tabir gaib. Heran mendengar penuturan si
kakek, Roro Centil akhirnya ajukan pertanyaan.
"Mbah, di halaman depan kulihat sebuah pusara, pada nisan nama tertera nama Si
Muka Setan, Aku jadi cu-riga jangan-jangan Si Muka Setan yang kau lihat
hanya palsu belaka. Atau kalau mbah sanggup, coba
pastikan siapa kiranya yang terkubur dalam pusara
itu!" "Aku akan mencoba memastikan keduanya sekaligus. Akan ku mulai dari nenek
yang menuruni anak tangga ruangan bawah tanah. Nenek itu menye-
bar racun yang merusak pernafasan, dia kemudian
membunuh laki-laki dan perempuan tua. Astaga orang
itu adalah Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seribu
Kepang Lima Belas. Sayang... celaka... aku tak dapat menentukan apakah nenek
Muka Setan itu asli adanya
atau palsu. Ada satu kekuatan yang menghalangi pe-
mandanganku. Kekuatan itu datang dari sekujur tu-
buhnya. Aku tak dapat menembus perisai gaib yang
berasal dari kesaktiannya sendiri." Kata si kakek, dengan wajah pucat, nafas
mengengah dia lanjutkan uca-
pannya. "Di dalam kubur itu kulihat ada sosok mayat
perempuan. Pakaiannya berwarna kuning seperti yang
dipakai nenek Muka Setan yang kulihat di dalam
ruangan bawah. Kepala mayat itu bolong, wajahnya
sudah tak dapat ku kenali, rusak membusuk dipenuhi
belatung." Menerangkan si kakek.
"Cukup Mbah. Segalanya sudah cukup jelas
bagiku. Aku merasa yakin mayat yang terkubur dalam
pusara yang Mbah lihat adalah Mayat Si muka Setan.
Ini berarti ada ketidak beresan yang sedang terjadi.
Aku sekarang baru yakin dengan pengakuan Sriwida-
ri...!" kata si gadis.
Di depannya Mbah Petir nampak membuka ma-
tanya. Wajah orang tua itu nampak letih dibasahi ke-
ringat. Memandang ke arah si kakek Roro Centil sem-
pat dibuat kaget, di mata si gadis mendadak wajah
orang tua itu berubah sepuluh tahun lebih tua dari
usia yang sebenarnya.
Si kakek menarik nafas, lalu memandang ke
pendupaan dengan tatap matanya yang kuyu. Bara di
atas pendupaan padam, bersamaan dengan padamnya
bara maka penyakit budek tuli si Mbah kembali seperti sediakala.
"Aku telah melakukan sesuatu yang sangat ja-
rang kulakukan akhir-akhir ini. Semua itu semata ka-
rena demi mengingat persahabatan kita. Sekarang apa
yang hendak kau lakukan?" tanya Mbah Petir, sedangkan tubuhnya terus bergoyang
tak mau diam seperti
ilalang ditiup angin.
"Kurasa aku harus mencari perempuan itu, ne-
nek Muka Setan yang kau lihat dalam tali sambung ra-
sa antara dunia nyata dengan alam gaib." Sahut Roro Centil. Mbah Petir manggut-
manggut, entah mendengar atau tidak yang jelas ketika dia bicara kemudian
membuat gatal telinga si gadis.
"Tak usah kau bongkar pusara itu. Sebaiknya
kau cari saja nenek berwajah setan itu. Jika bertemu kau harus bisa menotoknya
baru nanti kau bisa memastikan apakah dia Si Muka Setan yang asli atau
palsu adanya. Jika dia yang asli, berarti perempuan
yang berkubur di Kiara Condong itu bukan Si Muka
Setan, mungkin mayat orang lain."
"Ya si Mbah. Budek dipelihara, jadinya seperti
ini." Roro Centil mengomel dalam hati.
"Roro, Sekarang aku ada usul. Bagaimana jika
aku ikut denganmu. Rasanya tidak tega hati ini meli-
hatmu mencari pembunuh itu seorang diri. Bagaimana
pendapatmu?" tanya Mbah Petir penuh harap. Roro Centil dongakkan wajahnya ke
langit-langit pondok,
berfikir sejenak baru kemudian berkata sambil terse-
nyum. "Mbah Petir sebagai teman aku merasa berterima kasih atas bantuan yang
telah kau berikan juga
keinginanmu untuk ikut denganku. Tapi dengan ikut-
nya Mbah Petir, apakah nantinya bukan malah mere-
potkan diriku" Mbah orangnya suka kaget, kalau su-
dah kaget kentut dan kencing tak dapat Mbah tahan.
Aku bisa malu berpergian denganmu, Mbah?"
Mbah Petir tersenyum. "Bagus, aku tahu kau
pasti mau kuikuti. Aku senang. Sudah lama si tua ini mendekam di gunung Sembung.
Sesekali aku juga ingin melihat perkembangan dunia luar. Jadi sekarang
kita berangkat" Kau tunggu disini, aku akan memper-
siapkan bekal juga pakaian ganti yang banyak supaya
nanti jika aku kaget dan kencingku terpancar aku bisa ganti secepatnya. Dasar
gadis nakal yang baik." Kata Mbah Petir.
Roro Centil jadi melongo. "Ya si Mbah, me-
mangnya tadi aku bicara apa Mbah" Aku belum men-
gijinkan kau ikut denganku kau kok malah kegiran-
gan"!" Mbah Petir yang mempunyai gangguan pada telinganya tanpa menunggu lagi
langsung bangkit berdi-
ri. Dia menghampiri gerobak tempat pakaian, menge-
luarkan beberapa helai pakaian dari dalam gerobok itu lalu memasukkannya ke
dalam kantong perbekalan.
Tak lama kemudian Mbah Petir sudah kembali
menghampiri Roro Centil.
"Aku sudah siap, sekarang kita berangkat!" ka-ta Mbah Petir.
"Mbah, mestinya kau tak usah ikut denganku.
Nantinya aku bisa jadi repot!" ujar si gadis masih tetap duduk di depannya.
"Tepat sekali, aku juga berpendapat begitu.
Pergi seorang diri memang tidak enak. Masih bagus
berdua seperti katamu itu. Kita bisa bertukar fikiran, bisa satukan pendapat
untuk menemukan pembunuh
sialan itu!" sahut Mbah Petir.
"Mbah Petir!" teriak Roro Centil jengkel. Di depannya si kakek kerutkan
keningnya. Suara teriakan
si gadis ditelinganya hanya merupakan suara sayup-
sayup yang samar.
"Ada apa" Bicaralah yang keras!"
"Aku sudah berteriak Mbah. Tenggorokanku
mau pecah. Mbah budek, Mbah tuli. Percuma saja kita
bicara. Sekarang kalau mau ikut, ayolah!" kata Roro Centil setengah berteriak.
Mbah Petir tertawa lebar. Dia kemudian mem-
buka pintu, sedangkan si gadis segera mengikuti tak
jauh di belakangnya.
Tidak berselang lama kedua orang ini telah
berkelebat menyusuri lereng gunung Sembung melalui
jalan setapak. *** 7 Di bawah terik matahari bersikap seakan tidak
perduli kakek berpakaian hitam bertopi tinggi yang kedua sisinya dihias dengan
tanduk kerbau ini terus saja menangis. Tangisnya makin lama makin terguguk tidak
perduli wajahnya yang bercelemongan hitam itu
telah basah oleh keringat dan air mata. Yang aneh dan hebatnya lagi saat kakek
ini menangis tanah di sekelilingnya terguncang keras. Tidak hanya itu saja daun
menghijau yang terdapat di pepohonan berguguran.
Sedangkan air yang terdapat di dalam telaga kecil tak jauh di sebelah kirinya
berguncang, muncrat di udara seakan dilanda gempa.
Tangis si kakek tak berlangsung lama, karena
saat itu tiba-tiba dia mendengar ada suara gemuruh
yang disertai dengan terdengarnya suara bergedebu-
kan seperti suara orang berlari cepat yang tengah menuju ke arahnya. Si kakek
seka air mata yang memba-
sahi pipi. Kepala dimiringkan ke kanan mencoba men-
genali suara langkah orang yang datang. Si kakek ke-
mudian mengguman sendiri. "Manusia atau dedemit yang datang kemari. Kalau
manusia mengapa lang-kahnya begitu berat" Dasar celaka. Berani sekali da-
tang mengganggu ketenangan orang yang sedang ber-
duka!" rutuk si kakek.
Siapakah kakek berpakaian hitam bertopi tinggi
ini" Seperti telah dituturkan pada episode sebelumnya.
Kakek bertopi tinggi yang kedua sisinya dihias dengan tanduk kerbau ini memiliki
gelar Gelombang Tangis
Dalam Duka. Dia termasuk salah satu tokoh yang di-
undang untuk menghadiri pertemuan para pendekar di
Kiara Condong. Kakek yang suara tangisnya dapat
mempengaruhi orang lain ini begitu terkejut ketika melihat Malaikat Kuku Seribu
datang bersama Si Burung
Merak dengan membawa mayat Si Muka Setan. Pa-
dahal Si Muka Setan sendiri sesungguhnya adalah
orang yang akan memimpin pertemuan itu. Kematian
si nenek berwajah angker yang masih terhitung saha-
bat kakek ini sendiri sungguh membuat Gelombang
Tangis Dalam Duka menjadi sangat terpukul, diapun
kemudian dengan perasaan marah langsung tinggal-
kan Kiara Condong untuk mencari pembunuh saha-
batnya sambil terus menangis di sepanjang jalan.
Kedukaan yang melanda jiwa si kakek tentu sa-
ja membawa kerugian besar bagi orang lain, karena
pengaruh tangisnya bukan saja membuat orang lain
jadi terhanyut dan ikut menangis, tapi juga akibat tangis itu membuat buah
pepohonan gugur sebelum wak-
tunya, begitu juga ketika si kakek melewati daerah
persawahan penduduk yang luas. Padi yang baru saja
menguning rontok dilanda gelombang tangisnya.
Kini di tempatnya duduk, Gelombang Tangis
Dalam Duka tak perlu menunggu lebih lama karena
pada saat itu pula di belakangnya muncul satu sosok
tinggi besar bertelanjang dada dengan sekujur tubuh
ditumbuhi bulu hitam lebat. Masih dalam keadaan
terduduk orang tua itu memutar badan. Gelombang
Tangis Dalam Duka sempat tercengang begitu melihat
satu sosok manusia raksasa berdiri disana, tegak
mengawasi dengan pandangan terheran-heran. Dalam
kagetnya si kakek membuka mulut ajukan pertanyaan.
"Makhluk besar apa yang kau cari di tempat
ini" Kehadiranmu membuat tangisku jadi terhenti. Ce-
pat katakan siapa dirimu, setelah itu baru kau boleh ikut menangis!"
"Orang tua, aku mencari sahabatku Gento
Guyon. Pendekar Sakti 71. Namaku Rajo Penitis, mo-
hon dimaafkan kalau keasyikan tangismu merasa ter-
ganggu karena kehadiranku!" kata si tinggi besar.
Si kakek terdiam, kening berkerut lalu kepala
digelengkan. "Gento Guyon" Pendekar Sakti 71, baru sekali ini aku mendengar nama
itu. Lalu kau sendiri
bernama Rajo Penitis" Hemm, namamu pernah aku
mendengar. Kau manusia yang selalu gagal dalam du-
nia percintaan, bertenaga besar, badan besar, tapi tolol. Rasanya aku tak suka
kau berlama-lama berdiri di depanku. Masih ada kesempatan buatmu untuk
menyingkir. Saat ini aku sedang berduka atas kematian
sahabatku Si Muka Setan. Dalam keadaan seperti ini,
aku tidak mau melihat seekor kecoak pun mengganggu
ketenanganku!"
Rajo Penitis walau merasa tersinggung men-
dengar ucapan si kakek, tapi dia masih saja berdiri di
tempatnya. Hal ini tentu menimbulkan kemarahan ba-
gi si kakek. "Kau... apakah tak mendengar perintahku"!"
hardik si kakek.
Dengan sikap tenang Rajo Penitis menjawab.
"Orang tua siapapun dirimu aku tidak perduli. Baru saja tadi kau ada menyebut Si
Muka Setan. Malah kau
mengatakan orang tua itu sudah mati. Tapi kurasa
pendapatmu itu keliru. Kalau Si Muka Setan yang kau
maksudkan adalah seorang nenek berpakaian kuning
wajah hancur mengerikan seperti setan. Kurasa orang
itu masih hidup," kata Rajo Penitis.
Gelombang Tangis Dalam Duka tercengang
mendengar ucapan, Rajo Penitis. Seolah tak percaya
dia berucap. "Coba kau ulangi apa yang kau sebutkan tadi?" perintah si kakek.
"Orang tua kurasa kau belum tuli untuk men-
dengar apa yang kukatakan tadi. Sekali lagi kukatakan Si Muka Setan mungkin
masih hidup!"
Si kakek belalakkan mata lebar, wajah tercen-
gang mulutnya ternganga. Sekali lagi dia mengguman
kepala digelengkan. "Bagaimana kau bisa mengetahui sahabatku itu masih hidup,
sedangkan aku menyaksi-kan dengan mata kepala sendiri. Si Muka Setan tewas,
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala berlubang, isi otak lenyap. Dia terbunuh. Malaikat Kuku Seribu yang
membawanya ke Kiara Con-
dong! Manusia besar badan, jangan kau berani mem-
buat pusing kepalaku. Saat ini fikiranku sedang ka-
cau. Kau bisa kubunuh di tempat ini!" geram si kakek.
Orang tua itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dua tangan diangkat siap melepaskan
satu pukulan yang berbahaya.
"Tunggu orang tua!" sergah Rajo Penitis.
"Kau hendak bicara apa, katakan cepat!" bentak Gelombang Tangis Dalam Duka tak
dapat lagi ber-
sabar diri. "Beberapa hari yang lalu, aku baru saja berte-
mu dengan seorang nenek tua yang ciri-cirinya sama
persis dengan Si Muka Setan. Aku tak berani menga-
takan dia sahabatmu atau bukan, cuma segalanya
sama mirip dengan Si Muka Setan."
"Bicaramu ngaco manusia besar, mungkin ada
yang tidak beres dalam otakmu! Sekarang teruskan bi-
caramu yang ngaco belo tak karuan!" kata si kakek.
"Perempuan itu membawa seorang gadis. Dia
kemudian masuk ke dalam pondok dan hendak me-
lampiaskan nafsu kejinya pada gadis malang yang di-
bawanya. Beruntung aku sempat mencegah, sayang
sekali aku hampir celaka dan dia melarikan diri saat mendengar suara siulan!"
"Cukup! Kau bicara tak karuan kejuntrungan-
nya. Lebih dari itu kau fitnah pula dirinya. Sahabatku Muka Setan bukan manusia
gila. Bagaimana kau berani mengatakan dia hendak berbuat keji pada kaum
sejenisnya sendiri?" hardik si kakek sengit juga semakin bertambah merah.
"Orang tua, aku bicara sesuai dengan kenya-
taan yang kulihat. Kalau kau tidak percaya siapa yang memaksamu"!"
"Raksasa tolol jahanam. Jika aku tidak melihat
mayat Si Muka Setan dengan mata kepalaku sendiri
mungkin aku mempercayai segala ucapanmu. Manusia
tengik tega betul kau memfitnah sahabatku yang su-
dah berpulang" Kubunuh kau!" teriak Gelombang Tangis Dalam Duka. Suara
teriakannya belum lagi lenyap
ketika dia keluarkan suara raungan tangis menyayat.
Suara tangisnya demikian keras, sedih memilukan
membuat siapa saja yang mendengarnya ikut terseret,
tenggelam dalam kesedihan si kakek. Rajo Penitis me-
mang sempat merasakan hal itu. Tapi dia segera me-
nutup indera pendengarannya, setelah itu segera ke-
rahkan tenaga dalam untuk kemudian disalurkan ke
arah kaki dan tangannya. Satu raungan laksana mero-
bek langit di tengah panas yang terik membakar. La-
lu... Duk! Duk! Duk! Terdengar suara bergedebukan ketika Rajo Pe-
nitis berlari ke depan menyerbu ke arah lawan sambil lepaskan satu pukulan yang
disusul dengan tendangan
menggeledek ke perut si kakek.
Angin menderu menyertai tendangan dan pu-
kulan yang dilancarkan Rajo Penitis. Si kakek tercekat, namun cepat berkelit ke
samping. Dua tangan segera
didorongkan menangkis dua serangan yang datang da-
lam waktu bersama.
Plak! Plak! Benturan keras yang terjadi membuat si kakek
keluarkan jeritan tertahan. Tubuhnya terdorong mun-
dur sejauh satu langkah. Ketika dia melihat kedua
tangannya yang terasa sakit, tangan itu nampak me-
mar. Di depannya sana Rajo Penitis terhuyung bebe-
rapa tindak, jika dia tidak cepat memperbaiki keseimbangan tubuhnya niscaya si
raksasa jatuh terjeng-
kang. Rajo Penitis menggerung, tanpa memperdulikan
tangan dan kakinya yang mendenyut sakit dia lang-
sung lakukan satu gerakan berputar. Sambil berputar
sedemikian rupa tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.
Gerakannya sangat ringan seakan tubuh yang sangat
besar itu tidak memiliki bobot sama sekali.
Masih dalam keadaan melesat sambil berputar,
Rajo Penitis menghantam lawan dengan mendorong-
kan kedua tangan dengan gerakan melingkar. Wuuut!
Satu gelombang angin berputar dahsyat menyambar
apa saja yang dilaluinya. Membuat batu dan pasir ber-lesatan di udara membubung
tinggi ke angkasa. Lebih
hebatnya lagi, tanah yang dilalui pusaran angin aneh itu berlubang dalam
berkelok-kelok tidak ubahnya seperti bekas jejak ular besar yang berjalan di
atas tanah lembek. Gelombang Tangis Dalam Duka sempat dibuat
tercekat, tapi hanya sesaat. Dia cepat melompat mun-
dur sambil mengumbar tangisnya.
"Manusia salah kaprah, tukang fitnah sahabat
orang. Kau rupanya memiliki pukulan Pusaran Topan
Prahara" Apa yang telah kau perlihatkan padaku itu
hanya akan mempercepat kematianmu. Kau akan ma-
ti, huk huk huk. Betapa aku semakin sedih kare-
nanya!" teriak si kakek. Masih sambil melompat mundur sambil hindari terjangan
pusaran angin yang ber-
sumber dari pukulan lawan. Gelombang Tangis Dalam
Duka siapkan dua pukulan mautnya. Di tangan kiri
dia mempersiapkan pukulan 'Duka Dalam Penyesalan'
sedangkan di tangan kanan dia siap melepaskan puku-
lan 'Gelombang Sakratul Maut'.
Sambil berteriak keras si kakek melesat ke de-
pan. Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah pu-
saran angin yang menggulung bagaikan puting be-
liung. Cahaya hitam berkiblat dari tangan kiri si kakek, sedangkan dari tangan
kanan menderu bahaya
putih berkilauan laksana perak.
Bumm! Satu ledakan keras berdentum ketika masing-
masing serangan bertemu di udara, bersamaan dengan
itu pula satu jeritan terdengar seolah menenggelamkan suara ledakan itu.
Kemudian ada suara jatuhnya satu
sosok yang berat di atas tanah. Beberapa saat kegela-
pan menyelimuti daerah disekitar situ. Si kakek ter-
huyung-huyung dan mencoba menjauh dari kegelapan
akibat debu. Ketika kegelapan sirna dan suasana jadi terang kembali, si kakek
pun memandang ke depan. Di
depannya sana sosok manusia Raksasa Rajo Penitis
nampak terkapar. Dari sekujur tubuhnya mengucur-
kan darah. Laki-laki itu diam tak berkutik, mungkin
juga tewas terkena pukulan lawannya yang sangat ga-
nas itu. Si kakek tercengang, seolah baru tersadar dengan apa yang dilakukannya
dia pandangi kedua tan-
gannya sendiri. Wajah si orang tua berubah pucat ke-
tika melihat telapak tangannya masih membiaskan si-
nar putih dan hitam.
"Aku... aku... telah membunuhnya" Dua tan-
ganku telah melakukan suatu perbuatan keji" Huk
huk huk! Mengapa aku jadi pembunuh, mengapa aku
harus membunuh" Gusti, Gusti... dia mati. Dia mati
aku berdosa"!" desis Gelombang Tangis Dalam Duka seakan tak percaya dengan apa
yang telah dilakukannya sendiri. Orang tua itu kemudian menangis tersedu.
Selagi si kakek tenggelam dalam tangisnya. Pada saat itu pula terdengar suara
bentakan sekaligus seruan
kaget seseorang.
"Astaga! Orang tua, betapa kejinya perbuatan-
mu ini. Kau telah membunuh sahabatku!"
Bentakan itu membuat tangis si kakek terhenti
seketika. Dalam keadaan terkejut dia memandang ke
arah datangnya suara bentakan tadi.
*** 8 Dua bayangan berkelebat, satu langsung menu-
ju ke arah Rajo Penitis, sedangkan satunya lagi jejakkan kakinya tak jauh dari
hadapan Gelombang Tangis
Dalam Duka. Si kakek dengan mata masih berurai
tangis dan hati diamuk kesedihan memandang ke arah
orang yang datang. Ternyata sosok berpakaian ungu
yang berdiri tegak di depannya adalah seorang gadis
cantik berkulit putih mulus dengan bentuk dagu se-
perti pinang terbelah. Sedangkan yang satunya lagi
adalah seorang pemuda tampan rambut gondrong se-
bahu, bertelanjang dada bercelana hitam. Di lehernya melingkar sebuah kalung.
Mata kalung berasal dari ba-tu, berwarna putih buram, kuning kecoklatan. Gelom-
bang Tangis Dalam Duka memperhatikan keduanya
sejenak. Dia gelengkan kepala karena sama sekali tak mengenal siapa adanya
pemuda dan gadis itu.
Si gondrong Pendekar Sakti Gento Guyon yang
saat itu berada di samping Rajo Penitis dapat melihat betapa sahabatnya yang
bermandikan darah akibat
terkena pukulan. Si kakek masih bernafas, tapi mung-
kin jiwanya tak mungkin dapat diselamatkan lagi.
"Sobatku kurcaca, ini aku sahabatmu kurcaci
kecil. Bicaralah, apa yang kau lakukan kepadanya
hingga orang tua itu menjatuhkan tangan begini kejam terhadapmu?" tanya Gento,
lalu raih tangan besar Rajo Penitis yang besar luar biasa namun telah berubah
menjadi dingin laksana es.
Sepasang pelupuk mata yang menggembung
bengkak nampak bergerak-gerak. Lalu mata itu terbu-
ka sedikit. Rajo Penitis mencoba memaksakan se-
nyumnya begitu melihat seraut wajah yang sangat dia
kenal. "Sahabatku kurcaci jelek. Engkaukah ini..."!
tanya Rajo Penitis seakan tak percaya dengan pengli-
hatannya sendiri.
"Benar. Ini aku, diriku kurcaci kecil." Jawab Gento, merasa terharu juga sedih.
Dia semakin mempererat genggaman tangannya pada tangan Rajo Peni-
tis. Betapa tangan sang sahabatnya itu kini bertambah dingin. Sepasang mata si
raksasa memandang kosong
pada Gento. Si gondrong menyadari tak ada harapan
lagi bagi Rajo Penitis untuk dapat bertahan lebih lama.
"Sahabatku...!" kata Rajo Penitis. Suaranya per-lahan tercekat, nampak benar
bahwa sang sahabat
nampak bersusah payah ketika hendak bicara. Dalam
keadaan semakin bertambah payah pula dia mene-
ruskan ucapannya. "Di dunia ini hidupku hanya sebatang kara. Beruntung aku punya
seorang sahabat di
akhir hidupku. Walau otakmu agak sedikit miring, tapi kau baik. Karenamu aku
jadi sadar, hingga kini aku
tak mengejar perempuan untuk kujadikan istri. Kurca-
ci kecil, tolong kau sampaikan salam maafku pada
Sriwidari. Aku pernah bersalah membunuh orang tua-
nya! Aku juga pernah bersalah hendak memperistri di-
rinya...!"
"Kau memang bersalah, kau memang layak di-
bunuh seribu kali!" satu suara menimpali disertai ber-kelebatnya satu bayangan
ungu yang langsung mele-
paskan satu pukulan mematikan ke arah Rajo Penitis.
Tanpa menoleh Gento yang sempat kaget men-
dengar teriakan itu sudah dapat menduga orang yang
kirimkan pukulan ke arah raksasa sahabatnya itu pas-
tilah Sriwidari gadis yang datang bersamanya.
Diapun berseru sambil menghantam ke bela-
kang. "Widari jangan!"
Buuum! Benturan keras disertai dengan terdengarnya
suara jeritan. Sriwidari yang pukulannya dimentahkan oleh Gento jatuh terbanting
dengan jatuh punggung
menghantam tanah.
Merasa serangannya digagalkan Gento si gadis
jadi marah. Dia melompat bangkit sambil membentak.
"Mengapa kau membelanya, Gento! Kau hendak
melindungi penjahat itu?" Tanpa menoleh dia menjawab. "Apakah kau mau menjadi
seorang pengecut, membunuh orang yang sudah tak berdaya" Lagipula
dia sudah bertobat. Tidakkah kau ikut mendengarnya"
Lebih baik kau urus kakek tengik itu, jangan sampai
kabur!" ujar Gento.
Meskipun hatinya masih merasa kecewa na-
mun Sriwidari tetap lakukan apa yang diperintahkan
oleh Gento. Sementara sang pendekar sendiri kemu-
dian kembali memandang ke arah Rajo Penitis.
"Mengapa kau cegah dia dari keinginannya un-
tuk membunuhku" Aku akan lebih senang mati di
tangannya. Tapi sebelum itu kurcaci, aku akan kata-
kan padamu. Kalaupun aku mati, tapi rohku tetap
akan hidup. Kita bisa terus bersahabat. Kurcaci, satu permintaanku tolong kau
carikan anakku...!"
"Anakmu" Siapa nama anakmu?" tanya Gento.
Pertanyaan Gento agaknya tidak berjawab ka-
rena pada saat itu kepala Rajo Penitis terkulai. Melihat kematian Rajo Penitis
pemuda itu jadi tercekat. Wajah tertunduk, sedangkan genggamannya pada tangan
manusia raksasa itu jadi terlepas.
"Sahabatku, mengapa kau pergi secepat itu?"
desis Gento seakan menyesali. Kemudian dia pandangi
tubuh besar yang terbujur diam di depannya. Tubuh
yang berlumuran darahnya sendiri. Gento tahu, Rajo
Penitis tidak berilmu rendah, jika dia sampai terbunuh di tangan kakek itu
berarti siapapun adanya si kakek pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sementara itu di depan sana si kakek sudah
bangkit berdiri, sambil menangis terguguk dia memu-
tar langkah siap hendak pergi.
"Orang tua kau hendak kemana" Menghindar
dari tanggung jawab?" hardik Sriwidari. Dia kemudian melompat ke depan si kakek
sambil hunuskan pedang
hingga gerakan orang tua itu jadi terhalangi.
Langkah si kakek jadi tertahan, orang tua itu
memandang ke depannya. "Aku hendak pergi, jangan kau halangi!" kata si kakek.
"Kau telah membunuh Rajo Penitis sekarang
hendak pergi begitu saja" Orang tua kau harus serah-
kan kepalamu, atau paling ringan harus bisa memberi
penjelasan padaku mengapa kau membunuh saha-
batku itu"!" satu suara berucap, satu bayangan berkelebat ke arah si kakek.
Kemudian tak jauh dari depan Gelombang Tangis Dalam Duka si gondrong Gento
berdiri di situ. Wajahnya jelas menyimpan kemarahan
pada si kakek juga duka atas kematian Rajo Penitis.
"Engkau ini siapa bocah gondrong" Kau kerabat
manusia tolol raksasa itu?" si kakek ajukan pertanyaan sambil menatap tajam pada
Pendekar Sakti
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gento Guyon dengan matanya yang merah karena ter-
lalu banyak menangis.
"Dia sahabatku!"
Si kakek tersenyum sinis. "Bukan sanak bukan
kadangmu. Cuma seorang sahabat. Lalu gadis ini
apamukah" Adikmu, kekasihmu atau mungkin istri-
mu"!" tanya si kakek lagi, dia melirik ke arah Sriwidari
dengan sudut matanya.
"Dia juga sahabatku!"
"Rupanya cuma seorang sahabat juga". Gelombang Tangis Dalam Duka tersenyum
mengejek. "Jika kalian berdua sahabat manusia itu, ketahuilah aku tak punya
waktu banyak untuk memberi penjelasan. Tapi
perlu kalian tahu satu hal, aku terpaksa melakukan
pembunuhan karena dia telah memfitnah sahabatku
Si Muka Setan."
"Fitnah... fitnah apa?" tanya Gento.
"Dia mengatakan sahabatku Si Muka Setan
masih hidup, bahkan lebih keji lagi dia mengaku Si
Muka Setan hendak berlaku keji terhadap seorang ga-
dis. Bagaimana dia berani lancang bicara seperti itu"
Sedangkan sahabatku Si Muka Setan telah berkubur
di Kiara Condong sehari sebelum pertemuan. Aku
bahkan melihat mayatnya dengan mata kepalaku sen-
diri!" Penjelasan itu bukan saja membuat Sriwidari jadi melengak tercekat,
begitu pula halnya dengan murid si gendut Gentong Ketawa. "Kakek ini melihat
mayat Si Muka Setan. Pantas mayat orang tua itu tak
kami temukan di dalam ruangan pertemuan. Semula
aku dan Roro Centil menduga nenek itu yang bertang-
gung jawab atas kematian para pendekar. Tidak ta-
hunya orang yang terkubur dalam pusara di halaman
rumah itu memang Si Muka Setan adanya." Selagi
Gento tenggelam dalam fikirannya sendiri mendengar
penjelasan si kakek yang tidak terduga ini. Sebaliknya Sriwidari berteriak
dengan suara lantang. "Orang tua, siapapun dirimu ini yang sebenarnya aku tak
perduli. Tapi terus-terang adapun gadis yang dimaksudkan
oleh Rajo Penitis itu akulah orangnya. Dia datang
mencoba menyelamatkan diriku. Jika dia mengatakan
seperti apa yang kukatakan ini, berarti dia tidak ber-dusta, tidak pula
memfitnah. Karena apa yang dikata-
kannya itu memang benar adanya. Si Muka Setan
memang hendak berbuat mesum padaku!"
Laksana mendengar suara petir, sekujur tubuh
si kakek bergetar, mata melotot, mulut ternganga se-
dangkan wajah nampak pucat bagaikan mayat. Bebe-
rapa saat lamanya si kakek tak mampu keluarkan su-
ara atau berucap barang sepatah katapun. Hanya ma-
tanya memandang kepada Gento dan Sriwidari silih
berganti. "Dia yang mengalami kejadian itu. Dia sak-
sinya, apakah kau masih tidak percaya?" suara Gento memecah keheningan.
Dengan mulut bergetar suara tercekat si kakek
menyahuti. "Jika apa yang dikatakan sahabatmu itu benar, berarti telah terjadi
sesuatu yang tidak beres.
Aku berani bersumpah Si Muka Setan telah mati, aku
sendiri yang melihat mayatnya. Aku melihat kepalanya yang berlubang besar,
sedangkan isi kepala lenyap
sama sekali! Aku yakin ada seseorang yang berusaha
mengelabuhi kita untuk mencapai sesuatu yang men-
jadi tujuannya. Karena aku tahu jika seandainyapun
Si Muka Setan memang masih hidup, dia tak mungkin
melakukan perbuatan sekeji itu. Kuakui wajahnya
memang angker seperti setan. Tapi aku tahu pasti ha-
tinya sangat baik sekali!" jelas Gelombang Tangis Dalam Duka.
"Sekarang apa yang harus kau lakukan" Kau
telah membunuh sahabatku Rajo Penitis. Kau mem-
bunuhnya karena kau anggap dia telah memfitnah Si
Muka Setan, padahal dia mengatakan yang sebenar-
nya. Apa tanggung jawabmu?"
Pertanyaan Gento membuat si kakek sadar ba-
gaimana pun dia tidak mungkin menghindar dari dosa
yang telah dilakukannya.
"Aku tak akan mungkir dan tidak bakal lari dari segala apa yang telah kulakukan.
Jika dia terbunuh di tanganku tanpa rasa bersalah. Berarti aku harus
mempertanggung jawabkan kesalahanku. Tapi aku
minta waktu, karena saat ini aku ingin mengetahui
yang sebenarnya apakah Si Muka Setan masih hidup
sebagaimana yang kau katakan atau sudah mati seba-
gaimana yang kulihat?" ujar si kakek.
Gento tersenyum, dia melirik ke arah jenazah
Rajo Penitis sekilas, baru kemudian beralih pada Sriwidari untuk selanjutnya
kembali menatap si kakek.
"Orang tua, katakan kapan kau bersedia mene-
rima hukuman dariku?"
"Aku minta waktu sampai aku bisa bertemu
dengan Muka Setan. Setelah itu kau baru boleh mem-
bunuhku!" kata si kakek dengan mata berkaca-kaca penuh kesadaran dia
melanjutkan. "Aku tak akan lari.
Kau tak perlu takut. Aku hanya ingin membuktikan
kebenaran pengakuan sahabatmu itu."
"Engkaupun tak usah takut, orang tua, juga
tak usah menangis. Karena aku hanya akan meminta
kedua tanganmu yang kau pergunakan untuk mem-
bunuh Rajo Penitis. Bukan nyawamu!" ujar Gento pu-la.
"Tidak, aku telah berhutang nyawa padanya.
Maka kau nanti harus mengambil nyawaku, bukan
tanganku!"
"Aku cuma minta tangan!"
"Kubilang kau harus mengambil nyawaku!" teriak si kakek lalu menangis tersedu-
sedu. Sriwidari tertegun mendengar tangis si kakek yang serasa meng-getarkan
jiwa menyentuh perasaan.
"Kakek aneh, dia bisa berlaku kejam dalam se-
saat saja, tap mengapa begini cengeng?" fikir si gadis.
Sedangkan Gento saat itu sambil tersenyum se-
gera berkata. "Baiklah, kau tak usah menangis lagi.
Biar nanti kuambil tangan dan nyawamu sekaligus!"
Si kakek tercengang, mata yang berurai tangis
memandang ke depannya dengan tatap seakan tak
percaya. "Pemuda edan... sinting. Huk huk huk. Biar aku menyingkir dulu dari
hadapanmu, meneruskan
tangis di tempat lain sambil mencari Si Muka Setan!"
Si kakek dengan terbungkuk-bungkuk sambil menyeka
air matanya segera tinggalkan Gento dan Sriwidari.
Murid Gentong Ketawa pandangi kepergian kakek itu.
Kepala menggeleng, mulut mengurai senyum. "Bagus, menangislah terus sampai tua.
Mudah-mudahan kau
cepat menemukan nenek itu agar tidak melakukan
pembunuhan lagi secara membabi buta!" kata Gento.
"Kau percaya dia mau menebus kesalahannya
Gento?" tanya Sriwidari yang ikut memperhatikan kepergian si kakek.
"Ha ha ha. Mana aku tahu, manusia yang per-
nah melakukan pembunuhan seribu kalipun kalau
masih punya kesempatan untuk menyelamatkan diri
pasti dilakukannya. Sudahlah, sebaiknya kita pergi!"
kata pemuda itu.
*** 9 Ayu Seruni atau yang sering disebut Puteri Pe-
malu duduk di bawah satu pohon besar tak jauh dari
tepi sebuah telaga. Matanya tak henti mengawasi tela-
ga itu dimana tadi dilihatnya satu bayangan masuk ke dalam telaga itu, lenyap
lalu tidak muncul-muncul la-gi. Seakan tak percaya dia kerjabkan matanya bebera-
pa kali, mulutnya yang selalu sunggingkan senyum
baik dirinya sedang berada dalam kesedihan maupun
dalam kegembiraan melongo besar. Dia tidak terse-
nyum, tidak pula tertawa. Malah wajah gadis yang
mengalami gangguan ingatan ini nampak pucat dalam
ketegangan yang luar biasa.
Setengah jam berlalu, sosok yang melenyapkan
diri ke dalam air telaga masih belum juga muncul atau menyembul ke permukaan
air. Si gadis sinting mulai
berprasangka yang bukan-bukan. "Orang tadi seperti hendak bunuh diri. Datang
langsung menceburkan diri
ke tengah telaga lalu tidak timbul lagi. Manusia edan sekalipun tidak mungkin
melakukan perbuatan sene-kad itu." Kata Puteri Pemalu. Sebagaimana kebiasaan-nya
dia langsung tertawa sambil tutupi wajahnya den-
gan ujung jubah birunya. Ketika dia berkata seperti itu sikapnya seolah tidak
menyadari bahwa saat itu sesungguhnya memiliki gangguan ingatan.
Sekali lagi Puteri Pemalu layangkan pandang ke
tengah telaga. Telaga tetap sunyi, air telaga tetap pula tenang, tidak beriak
tidak pula bergelombang. "Manusia atau silumankah yang kulihat tadi. Jika
manusia mengapa sudah selama ini masih belum muncul juga"
Tidak ada manusia yang mampu menyelam lalu berada
di dalam air selama itu?" ujar si gadis. Dia kemudian kitarkan pandangan matanya
ke sekeliling telaga. Kening berkerut seakan berusaha mengingat dan menge-
nali daerah itu. Dia melihat tiga pohon kapuk besar.
Masing-masing dari ketiga pohon kapuk itu terdapat
sebuah lubang besar. Di dalam lubang besar itu me-
nyumpal satu tengkorak kepala manusia yang sudah
sangat tua ditumbuhi lumut.
Melihat pada tiga pohon kapuk ini Puteri Pema-
lu keluarkan satu seruan kaget, dua matanya terpen-
tang lebar. Mulut bergetar menyebut satu nama. "Bukankah telaga ini yang bernama
Telaga Tengkorak
Hantu" Tempat yang paling angker dimana para hantu
dedemit dan makhluk halus sering gentayangan dis-
ini?" gumam Puteri Pemalu. Tanpa sadar dia bangkit berdiri, mata memandang lurus
ke tengah telaga yang
bening. Ketika dia hendak memutar badan siap me-
ninggalkan tempat itu. Pada waktu bersamaan pula
matanya sempat menangkap adanya satu gerakan di
tengah telaga. Terkejut, heran juga tegang membuat
Puteri Pemalu urungkan niatnya. Dia lalu melompat ke atas pohon, kemudian
mendekam di pohon itu sambil
mengintai ke telaga, menunggu apa yang akan terjadi
dengan dada berdebar.
Gadis sakit ingatan ini tak perlu menunggu ter-
lalu lama, karena begitu dia berada di atas pohon, air ditengah telaga mengalami
pergolakan hebat. Bersamaan dengan terjadinya pergolakan di tengah telaga,
dari bagian bawahnya terdengar seperti ada pintu batu yang terhempas. Gelembung-
Gelembung air bermunculan. Satu sosok nampak bergerak dari bagian dasar
telaga menuju ke permukaan.
Wuuut! Wuutt! Satu sosok tubuh terlempar di udara dalam
keadaan polos terlanjang. Di belakangnya menyusul
satu sosok bayangan serba kuning. Bayangan itu ber-
gerak ke arah jatuhnya sosok telanjang berambut pan-
jang. Walaupun Puteri Pemalu tak melihat bagaimana
rupa sosok polos bugil ini namun melihat dari rambutnya yang panjang, kulit
serta dadanya yang menonjol
jelas sosok yang terjatuh di tepi telaga itu adalah seo-
rang gadis. Mungkin satu kekejian mengerikan telah
terjadi atas dirinya.
Dengan malu-malu gadis sinting ini tutupi wa-
jahnya. Tak berselang lama ujung jubah diturunkan,
mata memandang ke arah sosok berpakaian kuning
yang berdiri tak jauh dari sosok gadis telanjang yang agaknya sudah tak bernyawa
lagi. Untuk yang kesekian kalinya Puteri Pemalu
kembali dibuat tercengang. Sosok berpakaian kuning
berenda putih yang baru munculkan diri dari dasar telaga sambil membawa sosok
mayat seorang bukannya
dedemit ataupun siluman sebagaimana yang dia sang-
ka. Melainkan seseorang, sosok nenek berwajah ang-
ker seperti setan yang sangat dikenalnya.
"Kakak... kakak Muka Setan" Benarkah dia
adanya" Mengapa dia semakin jauh dalam kesesatan.
Kemana kebaikan-kebaikan yang dia miliki selama
ini?" tanya Puteri Pemalu pada dirinya sendiri.
Sekali lagi Puteri Pemalu memandang ke tepi
telaga. Saat itu nenek Muka Setan yang muncul dari
dasar telaga nampaknya sudah siap tinggalkan tempat
itu. Tapi dia jadi terkejut ketika mendengar satu seruan. "Kakak... Muka Setan
tunggu!" Seruan itu disusul dengan tersibaknya rerant-
ing dan dedaunan pohon yang kemudian disusul oleh
munculnya satu kepala. Satu sosok berpakaian jubah
biru melesat ke arah si nenek yang belum lagi hilang rasa kagetnya.
"Kakak... hik hik hik. Sungguh tak kusangka
dirimu telah jauh berada dalam kesesatan. Mengapa
kau membunuhnya, mengapa gadis itu kau perlaku-
kan secara keji. Kau perempuan dia perempuan, lalu
apanya yang...!" Puteri Pemalu tidak lanjutkan uca-
pannya, melainkan malah tutupi wajahnya.
Beberapa saat lamanya nenek Muka Setan se-
perti bingung melihat kehadiran si gadis dan menden-
gar segala apa yang diucapkannya. Tapi karena otak-
nya yang cerdik dia segera menyadari apa yang harus
dia lakukan. "Gadis gila, kau tahu siapa diriku ini" Hayo jawab?" hardik si nenek dengan mata
mencorong me- mandang penuh teguran.
"Kakak, kau adalah Si Muka Setan, yang sebe-
narnya masih terhitung guruku sendiri. Aku hanya in-
gin mengatakan apa yang kau lakukan beberapa hari
belakangan telah jauh menyimpang dari segala yang
pernah kau tunjukkan padaku selama ini kakak!"
"Kalau kau sudah tahu dan dapat membedakan
kedudukan antara murid dan guru, mengapa kau tak
cepat memberi hormat dan minta maaf kepadaku?"
dengus Si Muka Setan.
Si gadis tertawa mengikik.
"Hik hik hik. Kakak ini bagaimana, selama ini
aku tak pernah melakukan seperti yang kau ucapkan!"
jawab gadis itu.
Kening Si Muka Setan berkerut dalam mem-
buat wajahnya yang angker bertambah menyeramkan.
"Kau tak melakukan selama ini. Tapi sekarang
kau harus mau menghormat dan minta maaf padaku!
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jika kau menolak, aku pasti menganggapmu sebagai
murid gila yang tidak tahu aturan."
Ucapan si nenek malah membuat tawa Puteri
Pemalu makin bertambah keras.
"Hik hik hik! Kakak ini bagaimana, bukankah
kau sudah tahu sejak dulu aku sudah gila, kewarasan
terganggu sedangkan kesadaran timbul tenggelam.
Agaknya kau sendiri mulai ikutan menjadi gila ya"!"
Si Muka Setan dibuat tercekat. Kembali otak-
nya berfikir, kembali seribu muslihat muncul dibenaknya. Diapun kemudian
menyeringai. Si nenek pun mu-
lai mempergunakan muslihatnya.
"Kau benar, sekarang ini fikiranku memang se-
lalu kalut, sering pula kacau. Mungkin aku juga kehilangan kewarasan seperti
dirimu." Kata nenek Muka Setan unjukkan muka sedih.
"Hik hik hik. Kau pasti kualat karena sering
menghina aku dulu. Tapi mengapa sekarang setelah
menjadi gila kau bisa mempunyai kebiasaan jelek ter-
kutuk, kakak" Apakah kau melakukan semua itu di
luar kesadaranmu?" tanya Puteri Pemalu, dengan ma-lu-malu dia tutupi wajahnya.
"I... iya, kau betul. Mengapa aku melakukan
semua itu. Oh, betapa terkutuknya diriku ini" Huk
huk huk!" Nenek Muka Setan dekap wajahnya yang
cacat mengerikan, dia menangis tersedu sedu sambil
memukul kepalanya kanan kiri.
"Betapa memalukan diriku ini, lebih baik kau
bunuh saja aku. Bunuh...!" jerit nenek itu.
"Tidak begitu kakak. Mana mungkin aku tega
membunuhmu, setelah seluruh kaum kerabatmu di-
bunuh orang. Aku maklum telah terjadi kegoncangan
batin yang hebat dalam jiwamu. Tapi kau tak perlu risau, aku pernah mendengar
seorang dukun hebat,
namanya Mbah Petir. Aku bisa minta tolong kepadanya
untuk membantu menyembuhkan penyakit gilamu itu.
Agar kau tidak lagi berbuat mesum pada kaum sendiri.
Hik hik hik!"
Diam-diam Si Muka Setan terkejut. Semua
yang diucapkan Puteri Pemalu merupakan sesuatu
yang membuatnya menjadi faham dengan keadaan
yang sebenarnya. Diam-diam dia melirik ke arah gadis
di depannya. "Gadis gila ini sangat berbahaya. Jika dia tak kubunuh sekarang,
dia bisa menghancurkan segala rencanaku. Tapi...!" Si Muka Setan terdiam,
berfikir sejenak lalu menyeringai begitu terlintas satu akal di benaknya.
"Tidak! Kematiannya bisa ku perpanjang.
Aku akan memanfaatkan tenaganya. Dia akan kusu-
ruh mencari pemuda jahanam bergelar Pendekar Sakti
Gento Guyon. Rasanya aku tidak mungkin bisa hidup
tenteram jika pemuda itu masih gentayangan di rimba
persilatan."
"Kakak... apakah kau mau ikut denganku" Aku
akan membawamu untuk menemui Mbah Petir. Dia
pasti bisa menyembuhkan penyakitmu."
"Kau... ah namamu pun aku lupa!" kata si nenek yang memang tidak tahu siapa nama
gadis berju- bah hijau itu. "Hik hik hik! Begitulah kalau orang gila, nama
saudara sendiri juga lupa, apalagi kalau gilanya masih baru. Namaku Puteri
Pemalu, bukankah dulu kakak
yang memberikan nama itu?" ujar si gadis. Seandainya saja Puteri Pemalu bukan
gadis yang sakit ingatan.
Tentu pertanyaan Si Muka Setan menimbulkan kecuri-
gaan dihatinya. Tapi karena pada dasarnya fikiran gadis itu memang kurang waras,
maka segala kejangga-
lan yang dilihatnya dia anggap sebagai sesuatu yang
biasa saja. "Kau benar Puteri Pemalu. Setelah bertemu
denganmu fikiranku jadi tambah kacau, apalagi seka-
rang aku teringat pada sanak keluargaku yang dibu-
nuh orang. Aku merasa berterima kasih atas perha-
tianmu. Tapi aku tak bisa ikut denganmu karena diri-
ku kini dalam keadaan terancam?" berkata begitu dengan sangat sempurna sekali si
nenek unjukkan mimik
ketakutan. Puteri Pemalu menjadi iba sehingga dia meme-
luk Si Muka Setan dengan sikap seakan melindungi.
"Selama ada aku kau tak boleh takut. Ah, tubuhmu gemetar, keringat bercucuran.
Siapakah orangnya yang telah membuatmu jadi begini?"
"Orang itu... masih sangat muda, rambut gon-
drong bertelanjang dada. Di leher pemuda itu terdapat sebuah kalung bermata
batu, namanya Kalung Batu
Raja Langit. Kalung itu sangat berbahaya, dan benda
laknat itu pula yang membuat aku jadi kurang waras
begini. Andai saja kau bisa membawa pemuda itu pa-
daku, atau membunuhnya dan merampas kalung itu
sekaligus. Tentu aku tidak menghabiskan waktu den-
gan segala penderitaan yang mendera diriku di dalam
telaga itu. Aku takut, aku takut muridku!" kata si nenek sambil menyembunyikan
wajahnya di celah dada
Puteri Pemalu. Ketika wajah si nenek menyentuh celah dada si gadis sinting,
nafasnya mengengah darah ber-gemuruh sedangkan jantung berdetak lebih cepat.
Namun dia mencoba menahan diri dari segala macam
rangsangan yang selalu bergelora di dalam jiwanya.
"Kakak, kau sangat ketakutan sekali." Kata Puteri Pemalu semakin mempererat
pelukannya, hingga
wajah buruk si nenek semakin terbenam di dada si ga-
dis. "Kau... kau betul. Aku sangat ketakutan sekali.
Kumohon kau cari pemuda keparat itu. Tolong ba-
laskan dendamku kepadanya." Pinta si nenek Muka Setan. Sambil mengangguk Puteri
Pemalu lepaskan pelukannya pada si nenek. Dia surut dua langkah sekali lagi dia
pandangi wajah si nenek seakan ingin memastikan bahwa perempuan yang baru
dipeluknya Si Mu-
ka Setan gurunya, bukan orang lain. Si nenek mena-
han nafas, dia baru merasa lega ketika mendengar Pu-
teri Pemalu berkata.
"Baiklah kakak. Jika menurut kenyataan yang
sebenarnya sudah pantas sebagai murid aku membela
kepentingan gurunya. Cuma ciri-ciri pemuda yang kau
sebutkan itu membuatku heran?"
"Heran, apa yang membuatmu merasa seperti
itu?" tanya si nenek dengan tatapan penuh selidik.
"Aku... aku...!" Puteri Pemalu, tutupkan ujung jubah ke wajahnya. *
"Katakan saja tak usah malu-malu.!"
Masih dengan malu-malu, si gadis sinting
membuka mulut berucap. "Orang yang baru engkau
sebutkan ciri-cirinya hampir sama dengan seseorang
yang pernah kukenal. Rambut gondrong, tampan, ber-
telanjang dada juga memakai kalung batu. Cuma aku
tak tahu, batu mata kalung itu apakah batu kuburan
atau batu kali."
"Hem, siapa nama pemuda itu?"
"Namanya... kalau tak salah adalah Bagus
Awan Peteng!"
Kening Si Muka Setan kembali berkerut. "Cela-
ka, jika sampai gadis gila ini ternyata jatuh cinta kepada pemuda itu." Batin si
nenek dalam hati. Sambil tersenyum dan penuh ketenangan dia berkata. "Mungkin
pemuda yang kau sebutkan itu hanya kebetulan saja
mempunyai ciri-ciri mirip dengan Pendekar Sakti Gen-
to Guyon. Apakah kau jatuh cinta pada Bagus Awan
Peteng?" berkata begitu si nenek melirik ke arah si gadis.
Puteri Pemalu tertawa sambil tutupi wajahnya
dengan ujung kain jubah yang lebar. Dengan malu-
malu dia menjawab. "Terus-terang aku memang jatuh cinta padanya sejak pandangan
pertama. Tapi kakak
tak perlu risau, kalau ternyata nanti Bagus Awan Pe-
teng itu cuma nama samaran, aku tetap berketat akan
membawanya kepadamu!"
Semakin bertambah legalah perasaan si nenek.
Dia lalu tersenyum. "Puteri Pemalu, kau memang sau-daraku yang baik. Kelak aku
pasti akan membalas se-
gala kebaikanmu ini dengan satu imbalan besar yang
tak akan pernah kau lupakan sepanjang hidupmu. Hik
hik hik!" "Tak usah basa-basi kakak. Aku tidak mengha-
rapkan apa-apa. Kau jangan membuat aku malu. Se-
karang aku mohon pamit!" kata si gadis. Sambil berkelebat tinggalkan tempat itu
Puteri Pemalu sempat
berpesan. "Kakak, aku akan kembali secepatnya. Jaga dirimu baik-baik!"
Si nenek Muka Setan sunggingkan seringai si-
nis. "Satu lagi gadis gila tolol kena kuperdaya. Hik hik hik. Ternyata tidak
sulit untuk menjalankan segala
rencana dan cita-citaku!" gumam si nenek. Tak berselang lama setelah perginya
Puteri Pemalu, maka nenek Muka Setan itupun berkelebat pergi tinggalkan telaga.
*** 10 Sapa berdiri tegak mematung di depan pusara
Si Muka Setan. Nyana yang duduk di atas bahunya ju-
stru pada saat itu memandang dengan tercengang ke
arah bangunan rumah besar yang kini telah sama rata
dengan tanah. Bangunan itu bukan hanya hancur, ta-
pi telah berubah menjadi kepingan debu yang tidak berarti. Bagaimana mungkin
rumah besar yang baru
beberapa hari lalu ketika dia meninggalkannya masih
dalam keadaan utuh, kini menjadi seperti itu. Siapa
yang telah membakarnya" Apa yang dilihat Nyana ma-
sih belum seberapa bila dibandingkan dengan rasa ka-
getnya ketika melihat ke halaman dan ke sekeliling
rumah yang terbakar. Dua hari yang lalu, ketika dia, Gento dan Roro Centil
tinggalkan tempat itu banyak
mayat-mayat para pengawal pertemuan bergeletakan
disana. Tapi kali ini tak satupun mayat yang terlihat.
Seolah mayat-mayat itu raib ditelan bumi.
"Aneh, apakah mungkin ada seseorang yang
begitu baik hati menguburkan semua mayat pengawal
di suatu tempat, dimana?" batin Nyana tidak habis memikir.
"Sejak tadi kau diam, nafasmu tersengal. Ge-
rangan apa yang sebenarnya yang kau lihat!" satu suara menyadarkan Nyana dari
lamunannya. Dan orang
yang baru bicara adalah si buta Sapa yang mendu-
kungnya kemanapun mereka pergi.
"Mayat-mayat para pengawal itu, Sapa."
"Mengapa mayat para pengawal yang kau bica-
rakan. Kita tidak datang kesini jika bukan untuk me-
menuhi permintaan Gento untuk membongkar pusara
Si Muka Setan!" kata Sapa seolah mengingatkan.
"Kau benar. Tapi telah terjadi ketidak beresan
disini. Mayat-mayat itu lenyap. Seolah mereka hidup
kembali, kemudian pergi berbondong-bondong ke sua-
tu tempat entah kemana!"
"Nyana kau jangan menakut-nakuti aku!" ujar Sapa, suaranya pelan hampir tak
terdengar. "Aku bicara yang sebenarnya. Bahkan rumah
besar itu sekarang sudah menjadi abu."
"Mungkinkah orang yang sudah mati, kepala
bolong malah kehilangan otak dapat hidup kembali?"
Nyana terdiam, sedangkan matanya meman-
dang kesetiap sudut. Dan entah mengapa dia tiba-tiba merasa berpasang-pasang
mata seperti tengah mengawasi gerak-geriknya.
Nyana gelengkan kepala mencoba menghilang-
kan segala bayangan menyeramkan yang menyelimuti
jiwanya. "Pernah mendengar ilmu Pembangkit Arwah
Pemindah Jasad?" lirih Nyana ajukan pertanyaan.
Sepasang mata buta Sapa dan cuma merupa-
kan bola mata memutih berkedip. Dia lalu mengang-
guk. "Itu adalah ilmu langka milik salah seorang pen-tolan golongan sesat cabang
atas. Konon pemilik dan
ilmunya sendiri telah punah." Sahut Sapa.
"Sulit untuk dapat memastikannya. Tapi entah
mengapa tempat ini dalam pandanganku berubah
menjadi suatu tempat yang angker!" ketika berkata begitu Nyana memandang ke arah
pusara. Dia melihat
gundukan tanah pusara sudah tidak utuh lagi, batu
nisannya yang bertuliskan nama Si Muka Setan juga
nampak miring. Pusara itu seperti habis dibongkar, la-lu ditimbun kembali.
"Nyana, kita tak usah berlama-lama disini. Se-
baiknya makam Si Muka Setan kita bongkar. Nanti se-
telah kita dapat memastikan bahwa nenek itu yang
memang telah dikuburkan disini baru kita timbun
kembali." "Tunggu...!"
"Ada apa lagi?" tanya Sapa tampak tidak sabar.
Nyana sebenarnya ingin mengatakan ketidak
wajaran yang dilihatnya. Tapi entah mengapa lidahnya terasa berat untuk
digerakkan. "Ah, tidak apa-apa. Sekarang mari kita gali pu-
sara ini!"
Nyana lalu melompat dari bahu Sapa. Dengan
menggunakan batu nisan juga potongan bamboo yang
ditemukan di sekitar makam, kedua orang cacat ini
mulai melakukan penggalian.
Tanah pusara itu ternyata sangat empuk. Hing-
ga dalam waktu yang tidak berapa lama penggalian
yang dilakukan sudah cukup dalam. Mungkin tidak
sampai satu meter lagi mereka pasti sudah sampai di
dasar makam. Selagi kedua laki-laki cacat yang biasa dipanggil dengan julukan
Sepasang Dewa Berwajah
Ganda sibuk melakukan tugasnya. Maka pada saat itu
pula di angkasa terlihat kilat menyambar disertai gelegar petir di samping
mereka. Nyana terlonjak kaget,
sedangkan Sapa melompat ke samping sebelah kiri
kubur sambil menubruk saudaranya.
"Apa yang terjadi" Aku seperti mendengar suara
gelegar petir. Nyana apakah kau melihat mendung di
langit?" tanya Sapa dengan suara bergetar, tubuh menggigil ketakutan.
Dalam kagetnya Nyana dongakkan wajahnya ke
langit. Dia tidak melihat tanda-tanda akan turunnya
hujan. Langit tetap bersih, matahari bersinar terang, tapi yang aneh kegelapan
menyelimuti sekitar tempat
itu.
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semoga ini bukan awal dari datangnya mala-
petaka"!" Nyana menggumam dalam hati. Dugaan laki-laki berkaki buntung itu
agaknya meleset karena pada detik itu juga angin tiba-tiba berhembus menerbang-
kan kabut yang seolah datang dari segenap penjuru
arah. Nyana tercekat, dalam takutnya dia berpelukan
dengan saudaranya yang buta. Kemudian kilat kembali
menyambar. Suara petir berdentum menghantam pe-
pohonan disekitarnya juga membuat tanah makan di-
mana kedua orang itu berada jadi rengkah terbelah,
menimbulkan lubang memanjang yang sangat dalam.
"Saudaraku apa yang terjadi?"
"Celaka, cepat keluar dari lubang ini!" teriak Nyana. Suara teriakan Nyana serta
merta berubah menjadi jerit mengerikan. Dia dan saudaranya bukan
saja tak mampu keluar menyelamatkan diri dari lu-
bang kubur bersama saudaranya. Tapi juga ketika dia
hendak melompat keluar tinggalkan lubang kubur
yang belum selesai digali, di bagian dasar makam seca-ra tak terduga tanah
terkuak lebar menyeret keduanya hingga terperosok ke dalam dasar lubang yang
baru ternganga akibat sambaran petir.
Sapa dan Nyana berusaha menggapai sisi ka-
nan kiri lubang dalam usaha menyelamatkan diri. Tapi usaha mereka sia-sia. Dalam
tiupan angin keras yang
diselingi dengan suara petir, kembali terdengar suara jerit menyayat disertai
suara gemuruh bertautnya tanah yang sempat terbelah.
Blam! Tanah bertaut, suara jeritan lenyap. Lubang
kubur ikut pula lenyap rata dengan tanah. Suara petir terhenti, hembusan angin
aneh yang sempat mempo-rak porandakan daerah itu juga mereda.
Kabut putih yang tadinya memenuhi daerah itu
juga ikut pula lenyap berubah jadi kepulan asap yang membubung tinggi ke
angkasa. *** Laki-laki tua berambut kelimis berpakaian rapi
warna kuning namun diwarnai tambal-tambalan ini
duduk diam termenung di atas batu. Dua tangan di-
pergunakan untuk mendekap lutut. Udara di senjata
itu memang terasa dingin menusuk, apalagi saat itu
dia berada di kaki gunung Salak sementara matahari
sudah tenggelam dibalik bukit beberapa waktu yang la-lu. Dalam diamnya si kakek
berfikir kemana dia harus mencari muridnya yang telah melarikan jimat sakti Li-
sus Sukmo yang merupakan warisan keluarga sejak
turun temurun. Berkat kehebatan jimat sakti itu dia
diangkat menjadi Raja Pengemis oleh seluruh kaum
pengemis di delapan penjuru angin. Tapi kini tanpa jimat itu kedudukannya
sebagai raja pengemis juga bisa runtuh. Karena hanya orang yang memegang jimat
Li-sus Sukmo sajalah yang dianggap memiliki kekuatan
paling hebat dan juga dianggap paling mampu melin-
dungi keamanan para kaum pengemis.
Diam berlama ditempat sesunyi itu ternyata
membuat perasaan si orang tua jadi tidak enak. Dia
memandang ke sekelilingnya. Saat itu kegelapan mulai menyelimuti daerah
sekitarnya. Si orang tua menarik nafas lalu menghem-
buskannya kembali.
"Persoalanku dengan murid murtad itu me-
mang menyangkut masalah yang tidak bisa dianggap
sepele. Tapi aku sendiri sudah berjanji pada Gento untuk membantu mencarikan
pembunuh para pendekar
yang ikut pertemuan di Kiara Condong. Kurasa ini bu-
kan masalah yang gampang. Walaupun berat namun
aku tak mau menyalahi janji. Kurasa untuk sekarang
ini alangkah baiknya jika aku mencari pembunuh ke-
parat itu. Jika nanti persoalan ini telah selesai baru kemudian kucari pula
muridku. Menak Sangaji, kau
bakal menerima hukuman berat dariku. Bersusah
payah aku mendidikmu tidak pernah kusangka setelah
besar malah banyak menyusahkan aku!" rutuk Raja Pengemis Tangan Akherat geram.
Laki-laki tua itu baru saja hendak melompat
turun dari atas batu ketika sayup-sayup dia menden-
gar suara langkah kaki yang diselingi dengan suara
orang bicara. Timbul keinginan di hati laki-laki itu untuk
bersembunyi. Akan tetapi belum lagi niatnya terlaksa-na di tempat itu muncul
seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Laki-laki itu berwajah angker
mengerikan, berkepala besar luar biasa, sedangkan matanya
hanya merupakan dua buah garis mendatar. Mata
hampir lenyap karena pelupuk mata seolah terdesak
cairan yang terdapat di bagian atas kepalanya.
Walaupun Raja Pengemis merasa belum pernah
bertemu dengan sosok berkepala besar berpakaian
serba hitam ini. Paling tidak dia sudah dapat menduga siapa gerangan adanya
sosok manusia aneh berkepala
besar ini. "Makhluk jahanam salah kaprah. Melihat ujud-
nya aku menjadi muak. Aku yakin sekali dialah orang-
nya yang telah membantai para pengawal pertemuan di
Kiara Condong." Membatin Raja Pengemis dalam hati.
"Manusia berpakaian kuning. Melihat penampi-
lanmu aku sudah dapat menduga siapa kiranya dirimu
ini. Kau pasti Raja Pengemis Tangan Akherat" Kebetu-
lan sekali, malam ini aku akan mendapat tambahan
otak segar. Ha ha ha. Kudengar kau mempunyai fiki-
ran dan pengalaman luas. Jika otakmu tergabung den-
gan otakku, kurasa bagiku akan terbuka jalan lain untuk melakukan suatu
pembalasan!"
"Manusia gila salah kaprah, bicara tak karuan
kejuntrungannya. Bukankah dirimu ini yang dikenal
dengan julukan Perampas Benak Kepala" Kau pula
manusianya yang telah membunuh para pengawal per-
temuan" Apakah ini berarti kau juga yang telah mem-
bantai para pendekar juga beberapa tokoh cabang atas
di dalam ruangan pertemuan?" hardik laki-laki itu sengit. Perampas Benak Kepala
dongakkan wajahnya
ke langit. Saat itu bulan mulai memancarkan ca-
hayanya yang kuning keemasan. Tawa sosok berkepala
besar itu bergema merobek kesunyian.
"Tidak layak kau ajukan pertanyaan seperti itu
kepadaku. Kelak kau akan mendapatkan jawaban per-
tanyaanmu setelah berada di neraka!" dengus Perampas Benak Kepala.
Raja Pengemis pada dasarnya adalah manusia
yang paling tidak suka banyak bicara. Mendengar uca-
pan Perampas Benak Kepala darahnya laksana mendi-
dih, tubuhnya bergetar. Seumur hidup baru kali ini ra-sanya dia merasa tidak
dipandang sebelah mata oleh
orang lain, "Agaknya inilah saatnya aku memenuhi janjiku
pada Gento. Aku yakin dia adalah pembunuh tengik
yang telah membunuh banyak tokoh di Kiara Condong.
Jika tidak kubereskan dia sekarang, kelak pasti akan menimbulkan bencana lebih
besar lagi!" rutuk Raja Pengemis dalam hati. Sambil memandang sosok di depannya
dengan tatapan dingin Raja Pengemis berkata.
"Kau bicara tentang neraka" Seolah kau sudah mengetahui seluk-beluk tempat
terkutuk itu. Apakah kau
yakin kau dapat mengirimkan ke sana?"
Perampas Benak Kepala tertawa terbahak-
bahak. Setiap tawanya bergema di udara, maka kepa-
lanya yang besar berkerenyutan tak mau diam tidak
ubahnya seperti denyut jantung.
*** 11 Raja Pengemis diam-diam memperhatikan kea-
nehan itu. Hingga dia berkesimpulan agaknya bagian
kepala itu selain merupakan ancaman yang berbahaya
bagi lawannya juga adalah titik kelemahan Perampas
Benak Kepala. "Bagiku walaupun kau seorang raja, ta-pi tetap tak memiliki arti
apapun dihadapanku. Apa
susahnya mengirimkan ke sana" Sekarang juga aku
akan melakukannya!" berkata begitu Perampas Benak Kepala melompat mundur. Kepala
digelengkan siap
menyerang dengan menggunakan kekuatan kepalanya.
Di depan sana walaupun Raja Pengemis belum pernah
berhadapan dengan manusia aneh ini namun sudah
dapat menduga apa kiranya yang hendak dilakukan
oleh lawan. Sehingga sambil keluarkan teriakan keras dia melesat ke depan,
menyerbu sambil hantamkan
kedua tangannya sekaligus. Satu tangan menghantam
dada sedangkan tangan kirinya menghantam kepala,
masing-masing dengan pengerahan tenaga dalam pe-
nuh. Perampas Benak Kepala tercekat tercekat, kon-
sentrasinya buyar namun dia melompat ke samping.
Hantaman di bagian dada luput, tapi tangan kiri lawan tetap menghantam bagian
atas kepalanya.
Duuuk! Begitu tangan membentur kepala lawan, Raja
Pengemis tercekat. Kepala yang semula dikiranya me-
rupakan bagian titik kelemahan lawan ternyata keras-
nya melebihi batu. Bukan hanya itu saja, tangan Raja Pengemis yang dipergunakan
untuk menghantam kepala terasa sakit luar biasa. Yang lebih mengejutkan lagi
tubuh Raja Pengemis terlempar ke belakang seolah
ada satu kekuatan hebat yang telah mencampakkan-
nya. Dalam keadaan meluncur jungkir balik, Raja
Pengemis sambil memaki berusaha agar dia dapat ja-
tuh dengan kaki menyentuh tanah terlebih dahulu.
Walau goyah dan terhuyung, laki-laki itu memang da-
pat melakukan apa yang dia harapkan. Tapi pada saat
itu Perampas Benak Kepala telah menyerbu ke arah-
nya sambil menghantam Raja Pengemis dengan se-
rangkaian pukulan beruntun.
Deru angin yang ditumbulkan akibat pukulan
lawannya membuat Raja Pengemis yang baru berusaha
memperbaiki kuda-kudanya jadi terpelanting, jatuh
bergulingan, namun laksana kilat masih dalam kea-
daan menelungkup laki-laki itu melepaskan pukulan
yang tak kalah dahsyatnya.
Wuuut! Wut! Saat Raja Pengemis mendorong kedua tangan-
nya menanggapi serangan lawan, maka detik itu pula
dari telapak tangan si orang tua memancarkan cahaya
kuning menyilaukan, berbentuk bulat seperti lingka-
ran. Perampas Benak Kepala jadi tercekat ketika merasakan seluruh pukulan yang
dilepaskannya tersedot ke dalam cahaya lingkaran kuning yang semakin lama
bergerak maju ke arah lawannya. Sosok penyedot otak
tergontai, dia kembali hantamkan kedua tangannya ke
depan. Angin panas menderu, tapi seperti tadi pukulan susulan yang dilepaskan
lawan amblas tidak berbekas.
Malah kini tubuh Perampas Benak Kepala ikut terseret mendekati lingkaran maut.
"Ilmu Penyedot Raga"!" Perampas Benak Kepala keluarkan satu seruan. Wajahnya
mendadak berubah
pucat. Tak bisa dia bayangkan bagaimana andai tu-
buhnya masuk dalam lingkaran cahaya kuning itu.
Bukan hanya tubuhnya saja yang amblas, tapi jiwanya
sendiri pasti tidak ketolongan.
Manusia cerdik seribu akal ini cepat alirkan te-
naga dalam ke bagian kaki. Setelah itu dua tangan di dorong, bukan ke arah
lingkaran cahaya yang mena-riknya. Tapi ke arah tanah.
Wuuut! Buuum! Satu ledakan berdentum, tubuh Perampas Be-
nak Kepala melesat ke udara terdorong oleh tenaga
pukulannya sendiri juga gerakkan kaki yang menjejak
ke tanah. Selagi tubuhnya mengapung di udara. Maka
Perampas Benak Kepala kerahkan seluruh tenaga sakti
yang dia miliki ke bagian kepalanya. Ketika tubuhnya meluncur ke bawah, kaki
menjejak tanah. Maka pada
saat itu pula maka dari bagian depan maupun kedua
sisi atas telinganya membersih cahaya biru terang
yang semakin memanjang, berkelok-kelok seperti ular, lalu menyerbu ke arah Raja
Pengemis. Buuum! Satu ledakan menggelegar mengguncang tem-
pat itu saat salah satu sinar biru menghantam lingkaran sinar kuning yang
terpancar dari pukulan Raja
Pengemis. Lingkaran sinar maut lenyap, sinar biru
yang menembusnya terus bergerak ke arah Raja Peni-
tis. Masih dalam keadaan terhuyung-huyung akibat
benturan yang terjadi, Raja Pengemis selamatkan diri dari serangan tiga sinar
yang mengejarnya dengan melompat ke belakang. Sadar akan bahaya yang mengan-
camnya, Raja Penitis secepat kilat meraih cermin batu segitiga yang terselip di
bagian pinggang. Tangan yang memegang cermin bergerak, cermin batu segitiga
berkiblat menangkis tiga cahaya yang kini bergerak ke
atas hendak menembus kepalanya.
Angin menderu, hawa aneh dari cermin berta-
bur di udara, cahaya putih yang memancar dari cermin menyambar tiga sinar biru
yang keluar dari kepala lawan. Tes! Tes! Tes!
Terjadi benturan hebat, Raja Pengemis menda-
dak menjerit. Cermin batu segitiga yang dipergunakan untuk menangkis jatuh
terlepas dari genggamannya.
Sedangkan tangan Raja Pengemis mengepulkan asap
disertai terciumnya bau kulit hangus terbakar. Laki-
laki itu melihat bukan hanya tangannya saja yang
hangus, tapi senjata saktinya juga mengepulkan asap.
Di udara saat terjadi benturan antara ketiga sinar dengan cermin tadi sempat
membuat ketiga sinar biru itu bergetar, kemudian berbelok arah tapi kemudian
kembali meluncur menyerang Raja Pengemis.
"Jahanam tengik, celaka!" desis laki-laki itu.
Cepat sekali dia jatuhkan diri bergulingan hindari terjangan sinar yang
menghantam ke bagian kepalanya.
"Celaka. Andai jimat sakti itu ada ditanganku,"
desis Raja Pengemis putus asa ketika melihat ketiga
sinar terus memburunya kemanapun dia menghindar
selamatkan diri.
Agaknya laki-laki itu tak mungkin dapat melo-
loskan diri dari ancaman maut yang bersumber dari
serangan kepala lawannya itu. Beruntung pada saat
yang menegangkan itu dari arah belakang Raja Penge-
mis terdengar suara teriakan yang disertai dengan ber-kelebatnya dua sosok
bayangan ke arah laki-laki itu.
"Berani membuat sahabatku celaka, kubunuh
Gento Guyon 15 Sang Pembantai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau!" bersamaan dengan itu pula sinar merah dan sinar putih berkiblat. Bukan
menghantam tiga sinar
maut tadi tapi melesat menghantam Perampas Benak
Kepala. Si kepala besar tercekat, dalam keadaan ber-
konsentrasi seperti itu dia tak mungkin menangkis
pukulan yang datangnya tidak terduga ini. Walaupun
begitu dengan gugup dia dorongkan kedua tangannya
menyambuti. Glaar! Wuaaak! Perampas Benak Kepala jatuh bergulingan, ter-
lempar sejauh tiga tombak. Tiga sinar maut yang me-
nyerang Raja Pengemis lenyap. Di depan sana si kepala besar berusaha bangkit
sambil merintih. Sedangkan
sekujur tubuhnya hitam gosong, namun dia masih da-
pat berdiri tegak sambil memandang ke depannya den-
gan wajah pucat hati tercekat.
Dia melihat di depan sana berdiri tegak seorang
pemuda berambut gondrong bertelanjang dada berce-
lana hitam. Seuntai kalung melingkar dilehernya. Di
samping si gondrong, disebelah kiri tak jauh dari Raja Pengemis nampak seorang
gadis cantik berpakaian
ungu memandang ke arahnya dengan tatap penuh ke-
bencian. Di tangan gadis itu tergenggam sebilah pe-
dang yang dilintangkan ke depan dada.
"Hampir saja nyawaku amblas ditangan keparat
kepala besar itu. Untung kau cepat datang Gento. Aku berhutang nyawa padamu!"
kata Raja Pengemis sambil memungut kaca batu segitiga sambil memeriksa senjata
sakti itu. Ternyata cermin batu tidak mengalami ke-rusakan walaupun tadi
dipergunakan untuk menang-
kis benturan ketiga sinar sakti lawannya.
Gento tersenyum, namun tetap matanya tetap
tertuju lurus ke depan. Sesaat Pendekar Sakti Gento Guyon dan Perampas Benak
Kepala saling berpandan-gan. "Hati-hati, manusia itu sangat berbahaya!" Raja
Pengemis yang telah berdiri di belakang Gento membe-
ri bisikan. "Inilah bangsatnya yang telah banyak melaku-
kan pembunuhan. Kejahatannya tak mungkin untuk
diampuni. Hem... kepala besar begitu rupa. Apakah
isinya benar-benar otak sungguhan atau cuma ampas
kotoran. Kepala di atas besar bukan main apakah ke-
pala yang dibawah juga besar" Ha ha ha!" kata Gento disertai tawa tergelak-
gelak. Perampas Benak Kepala menggeram. Ucapan
pemuda itu membuat wajahnya menjadi merah padam.
"Pemuda edan! Diantara sekian banyak orang
yang kucari, kaulah yang paling kuinginkan. Jiwa bu-
sukmu yang kuanggap paling berharga saat ini. Seka-
rang lebih baik kau menyerah untuk kubawa ke satu
tempat!" hardik Perampas Benak Kepala tegas.
"Jangan ikuti apa yang dimintanya!" kata Sriwidari pelan.
Gento tertawa bergelak. "Walaupun edan, tapi
aku belum gila untuk mengikuti apa yang dimintanya.
Malah malam ini aku seharusnya menagih hutang jiwa
orang-orang yang tidak berdosa yang telah terbunuh
ditangannya!" sahut Gento. Lalu dia bicara ditujukan pada Perampas Benak Kepala.
"Perampas Benak Kepala. Kulihat kepalamu sudah penuh, melar hingga tu-
buhmu jadi tak seimbang. Atas nama kemanusiaan,
aku akan memecahkan kepala itu sekarang juga. Tapi
sebelum satu kebaikan ini kulakukan untukmu, kau
harus menjawab pertanyaanku, kau melakukan segala
kejahatan ini untuk siapa?" tanya si pemuda.
Perampas Benak Kepala menanggapi perta-
nyaan Gento dengan tawa panjang. "Nantinya kau pasti akan tahu jawaban yang kau
minta bila otakmu te-
lah menyatu dalam kepalaku!" jawab laki-laki itu sing-
kat. "Begitu. Mengingat otakku besar, mana mung-
kin dapat memasuki kepalamu. Karena itu aku harus
membelahnya dulu!" sahut Gento. Dalam hati dia berkata. "Dia tidak mau
mengatakan apa yang kuinginkan. Sekarang tinggal memastikan jika ternyata nanti
dia tidak memiliki ilmu pukulan Beracun berarti selain dia masih ada orang lain
yang bertanggung jawab dalam pembunuhan itu!"
"Pemuda edan, kau diam. Apakah ini berarti
kau telah siap menyerahkan kepalamu?" teriak Perampas Benak Kepala. Dalam hati
pula dia berkata. "Aku akan mengacaukan perhatian pemuda ini. Akan kuse-rang
mereka bertiga sekaligus, terlebih-lebih gadis itu.
Dari sinar matanya aku melihat gadis berbaju ungu itu menaruh rasa kasih yang
begitu besar pada Gento.
Hmm." "Aku telah siap, kepala besar. Mengapa kau tidak segera bertindak!" sahut
Gento. Perampas Benak Kepala keluarkan suara
menggerung. Laksana kilat tubuhnya melesat ke de-
pan, lancarkan satu serangan menggeledek ke arah
pemuda itu sambil lepaskan tendangan beruntun.
Dengan mengandalkan jurus Congcorang Mabuk, Gen-
to hindari serangan lawan, sementara tubuhnya nam-
pak menghuyung tak karuan, dua tangan digerakkan
ke depan menangkis serangan lawan. Perampas Benak
Kepala menemui satu kenyataan tak satupun serangan
ganas yang dilancarkannya mengenai sasaran yang dia
harapkan. Si banyak akal ini kemudian melompat ke
udara. Begitu tubuhnya mengambang kakinya berpu-
tar menyapu kepala Gento. Gento cepat tundukkan
kepalanya, kemudian melompat mundur seperti orang
mau jatuh, tapi cepat menghantam ke atas dengan pu-
kulan Dewa Menangis Iblis Tertawa. Pukulan ini ada-
lah warisan gurunya Gentong Ketawa. Sinar merah
berkiblat, menderu di udara lalu menghantam kaki la-
wannya. Hantaman keras dibagian kaki membuat la-
wannya terpental, menjerit, lalu jatuh terbanting sejauh dua tombak. Perampas
Benak Kepala meringis
kesakitan, kedua kakinya terasa panas seperti ter-
panggang. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang men-
deranya dia berjumpalitan begitu rupa, sehingga kini dia dapat berdiri tegak dan
langsung kerahkan tenaga saktinya ke bagian kepala siap melancarkan serangan
mautnya. "Gento, hati-hati. Dia hendak mengerahkan si-
nar penyedot otak dari kepalanya." Satu suara berseru memperingatkan. Dan yang
baru bicara tadi adalah
sahabatnya Raja Pengemis.
Gento maklum betapa berbahayanya jika lawan
menggunakan kekuatan kepalanya. Masih dengan
menggunakan rangkaian jurus Congcorang Mabuk
pemuda itu segera lakukan satu gerakan yang mem-
buat tubuhnya melesat ke arah lawan. Dua tangan lalu dihantamkan ke bagian
kepala Buuuk! Hantaman keras tidak membuat lawannya ja-
tuh, kepala itu juga tidak bergeming. Malah Gento merasakan tangannya seperti
menghantam batu, sedang-
kan tubuhnya seperti dilemparkan ke belakang.
Pendekar Sakti Gento Guyon jatuh terduduk.
Seolah tak merasakan suatu akibat apapun dia bang-
kit berdiri, memandang ke depan dengan mata mende-
lik tapi siap melancarkan pukulan Dewa Awan Menge-
jar Iblis. Ilmu pukulan ini didapatnya dari Tabib Setan.
Sekejab saja kedua tangan Gento telah berubah me-
mutih laksana perak hingga kebagian pangkal lengan.
Laksana kilat didahului dengan teriakan keras si pe-
muda melompat sekaligus hantamkan dua pukulannya
ke arah lawan. Cahaya putih menyilaukan menyambar di uda-
ra, melesat deras ke arah Perampas Benak Kepala. Ta-
pi sinar itu begitu hampir menyentuh tubuh lawannya
sekonyong-konyong terhenti seakan ada tembok gaib
yang menahannya. Sejalan dengan tertahannya puku-
lan Gento dari kepala lawan membersit keluar sinar bi-ru. Sinar itu bukan sana
membuat pukulan Gento ter-
sedot lenyap dalam kepala lawan tapi juga kini menyerang Gento, Sriwidari dan
Raja Pengemis yang berjaga-jaga tak jauh di belakangnya. Raja Pengemis yang su-
dah mengetahui kehebatan ilmu lawannya ini dengan
pengerahan tenaga dalam penuh langsung kiblatkan
cermin batu segitiga ditangannya. Sehingga sinar maut yang hendak menjebol batok
kepalanya itu membelok
ke arah kiri menghantam pohon besar mengeluarkan
suara berdentum. Pohon hangus roboh mengeluarkan
suara berisik. Sedangkan Sriwidari sendiri begitu melihat si-
nar biru yang memancar dari kepala lawan segera kib-
latkan pedangnya menangkis, tapi dia terkejut ketika melihat kenyataan pedang
yang dipergunakan untuk
menangkis langsung meleleh. Malah sebagian sinar te-
rus menyerbu ke arah kepalanya. Si gadis tercekat,
mencoba selamatkan diri dari jangkauan sinar dengan
melompat ke belakang. Sayang gerakannya kalah ce-
pat. Dilain saat terdengar suara letupan mengerikan
yang disertai jeritan Sriwidari. Raja Pengemis yang
hendak menolong gadis itu tak dapat lakukan niatnya
karena pada saat itu sinar biru yang datang kemudian kembali menyerangnya. Tak
tertolong lagi Sriwidari
terbanting roboh, kepala hancur mengerikan, isi otak-
nya bertaburan.
Gento yang melihat semua itu keluarkan suara
raungan marah. Tapi dia sendiri saat itu juga sedang berada dalam posisi yang
sulit, apalagi sedikitnya ada enam sinar maut yang menyerangnya dari enam
jurusan. Kalang kabut sambil keluarkan keringat dingin
Gento jatuhkan diri ke tanah, bergulingan lalu mele-
paskan pukulan saktinya secara bertubi-tubi ke arah
lawan. Seperti tadi pukulan yang dilepaskannya hanya sia-sia, tersedot amblas ke
dalam sinar biru. Dalam
keadaan diri terancam, bahaya besar begitu rupa ada
keinginan di hati si pemuda untuk menggunakan gada
saktinya. Tapi semua itu akan memakan waktu. Tak
ada jalan lain, dia teringat pada kalung Batu Raja Langit pemberian Manusia
Seribu Tahun. Dia pun lalu sa-
lurkan tenaga ke dada, setelah itu dia mengusap mata kalung tiga kali sambil
membayangkan wajah Manusia
Seribu Tahun. Gento berteriak. "Hantam bagian titik kelema-
han manusia jahanam itu!" Batu bergetar, sinar putih menyilaukan mata membersit,
berkiblat di udara memancar laksana seterang sinar matahari lalu menderu
laksana gelombang kilat menghantam sisi kepala Pe-
rampas Benak Kepala.
Blaaam! Jeeees!
Satu ledakan berdentum terdengar disertai
dengan bunyi sesuatu seperti kulit kepala yang bocor ditembus mata pedang. Di
depan sana terdengar suara
jeritan menyayat. Lawan terpelanting roboh, sisi atas telinga kirinya robek
besar. Dari bagian yang robek itulah darah dan cairan otak menyembur keluar.
Roboh- nya Perampas Benak Kepala membuat sinar maut-
maut yang menyerang Gento lenyap, begitu pula sinar
yang menyerang Raja Pengemis.
Di depan sana lawan merintih, semburan otak
semakin bertambah banyak seolah bendungan anak
sungai yang jebol. Dengan menyemburnya cairan otak
maka kepala Perampas Benak Kepala berangsur men-
gecil menyusut dan kembali ke ukuran normal.
Gento tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia se-
gera melompat ke arah lawan, satu tangan ditekankan
ke arah leher. Dari mulutnya keluar satu pertanyaan
disela-sela dengus nafas dan erangan marah. "Katakan siapa yang telah menyuruhmu
melakukan semua ini?"
Sosok laki-laki itu mengerang, kepalanya yang
keriput mengecil menggeleng. Gento memperkeras ce-
kikannya pada leher lawan.
"Cepat katakan siapa orang itu?" hardik Gento sengit. Sekali lagi lawan
gelengkan kepala. Cekikan
Gento yang keras membuat kematian Perampas Benak
Kepala semakin bertambah cepat.
"Katakan... katakan...!" teriak pemuda itu lagi.
Percuma saja dia berteriak. Karena nyawa lawannya
telah amblas dalam cengkeraman maut.
"Gento sahabatku sudahlah. Agaknya kau ha-
rus berusaha lebih keras lagi untuk memecahkan mis-
teri pembunuhan ini. Sekarang sebaiknya kita urus
mayat sahabatmu." Kata Raja Pengemis.
Ucapan orang tua itu mengingatkan Gento pada
Sriwidari. Dia bangkit berdiri. Masih dengan perasaan marah dan kecewa Gento
hampiri Sriwidari. Pemuda
itu tercengang, mata membelalak melihat betapa kepa-
la sahabatnya hancur mengerikan sedangkan benak-
nya bertaburan.
"Sri... walah... Sriwidari, mengapa segalanya
berakhir begini?" desis Gento dengan perasaan sedih, tanpa sadar dia teteskan
air mata. "Jahanam itu telah pun binasa, tapi aku yakin masih ada yang lain.
Saha- batku aku bersumpah akan mencari bangsat itu. Akan
kubunuh dia agar arwahmu tidak penasaran!" desis Gento kemudian. Melihat bagian
kepala si gadis kemarahan Gento makin meluap, untuk pertama kalinya
dalam hidup dia seolah merasa kehilangan, kehilangan sesuatu yang sulit
diungkapkan dengan kata-kata.
"Sebaiknya kita kuburkan dia!" kata Raja Pengemis yang diam-diam merasa
berterima kasih pada
pemuda itu karena telah menyelamatkan dirinya.
"Baiklah paman. Tolong bantu aku!" sahut Gento. Dengan tubuh terasa lunglai dia
membantu Raja Pengemis mengangkat jenazah Sriwidari. Perlahan ke-
duanya lalu tinggalkan tempat itu.
TAMAT SEGERA TERBIT !!!
MBAH PETE Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Kunang Kunang 7 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Perjodohan Busur Kumala 11