Pencarian

Petualang Malam 2

Goosebumps - Petualang Malam Bagian 2


melakukan sesuatu yang benar-benar buruk."
"Ia telah mendapat banyak masalah di sekolah," Cassie mengiyakan.
"Ya," sahutku. "Sesuatu yang berbeda setiap hari." Aku mendorong piringku. "Tapi
aku tahu, Lenny itu cowok yang baik. Kalau saja seseorang memberi dia sebuah
kesempatan...." Kami duduk berdiam diri beberapa saat.
Cassie menyantap pizanya. Aku menyesap Coca-Cola-ku. Kemudian kami
mengobrol tentang Petualangan Malam.
"Spencer telah berubah banyak dalam setahun," kata Cassie.
"Ia masih memakai kausnya di luar," aku bercanda.
"Tapi segala sesuatu yang lain dalam dirinya telah berubah," Cassie berkeras.
"Ia dulu... well... pengecut. Sekarang ia tampak percaya diri sekali, begitu
yakin akan dirinya."
"Ia lebih menyenangkan," aku mengakui. "Walaupun terkadang menakutkan.
Maksudku, aku punya perasaan bahwa ia akan melakukan apa saja, maksudku
dalam Petualangan Malam. Hm - "
Aku berhenti ketika kulihat Lenny menghambur masuk ke restoran. Ia terhuyung-
huyung di pintu, menabrak meja pertama. Kemudian, melihat kami, ia berjalan
cepat ke depan. "Lenny...?" panggilku.
Wajahnya merah sekali, tampak berkerut kesakitan.. Ketika ia berjalan dengan
cepat menghampiri kami, ia mengangkat tangan kanannya.
"Oh!" aku berteriak ketika kulihat darah menetes-netes dari tangannya.
"Lenny - " teriakku. "Lenny - ada apa?"
Chapter 11 "DIANE, aku... aku..."
Lenny menjatuhkan diri ke bangku di sampingku. Ia mengambil segenggam serbet
kertas dari dispenser, menggulungnya, dan menekan-nekan di tangannya yang
berlumuran darah. "Kenapa tanganmu?" desakku nyaring.
"Mr. Crowell yang menyebabkan tanganku begini," jawabnya dengan marah.
"Hah" Apa katamu?" tanya Cassie.
"Kau tidak memukul Mr. Crowell, kan?" tanyaku menyelidik.
Lenny menggelengkan kepalanya dengan tidak sabar. "Tidak. Aku berharap aku
memukulnya! Tanganku sobek kena lokerku."
Rasa lega membanjiriku. "Kau memukul lokermu?" Aku menebak.
"Yeah," jawabnya dengan pahit. "Aku sangat marah, aku tak bisa berpikir lurus."
"Apa yang dilakukan Crowell kali ini?" bisikku.
"Ia mengeluarkan aku dari tim basket," jawab Lenny sambil menekan-nekan
tangannya yang luka. "Oh, tidak!" Aku tahu betapa berartinya tim bola basket bagi Lenny. "Kenapa?"
"Karena nilaiku," gumamnya. "Cerita lama yang sama. Ia benci aku. Ia selalu
berusaha menghancurkan segalanya untukku. Ia pergi ke pelatih dan
memberitahukan bahwa aku gagal di aljabar."
"Oh, wow," gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Cassie berdecak. "Aku tak bisa membiarkan dia melakukan ini padaku," kata Lenny panas. "Aku tak
bisa membiarkan dia menghancurkan hidupku. Maksudku, musim bahkan belum
mulai, dan ia membuatku ditendang dari tim!"
"Kenapa kau tidak menghadap dia besok dan mencoba bicara dengannya?"
saranku. Mimik wajahnya menunjukkan rasa jijik. "Kau tidak mengerti, Diane. Crowell tidak
ingin bicara denganku, yang ia inginkan aku dilempar ke luar oleh sekolah."
"Tidak seburuk itu," protesku.
"Hei, guys!" Aku mendongak melihat Jordan sekilas menyelinap di samping Cassie, merapikan
rambutnya yang gelap dan berombak, kemudian menyendok ke loyang piza.
"Nasib sial, Lenny," katanya. "Kudengar Crowell pergi ke pelatih itu hari ini."
"Kabar menyebar cepat," Lenny bergumam pahit.
"Sekarang seluruh tim tahu," Jordan melaporkan. Ia memperhatikan potongan
pizanya dengan cemberut. Diliriknya Cassie. "Kau memesan ini, kan?"
"Apa salahnya?" tanyanya.
"Kenapa kau tidak memesan plain old pepperoni sekali-sekali?" tanyanya. "Kenapa
piza selalu harus bertopping kental dan aneh?"
Ia memegang potongan itu untuk diperiksa Lenny. "Lihat itu?" katanya sambil
menunjuk artichoke heart. "Topping makanan mutant."
Lenny mendorong potongan piza itu dengan marah. "Beri aku kesempatan,
Jordan," bentaknya. "Hei - beri aku kesempatan!" Jordan membentak balik.
"Sabar dong," aku memperingatkan.
"Ya... sabar dong," Jordan setuju sambil menatap Lenny. "Ngomongin yang lain aja
deh, oke?" "Ide yang bagus," kata Cassie dengan cepat.
"Apakah kita akan menyelinap keluar nanti malam?" tanya Jordan. "Apakah kita
akan bertemu Spencer setelah tengah malam?"
"Aku...aku rasa begitu," jawabku dengan tidak yakin. Aku menoleh ke Lenny.
Ekspresi wajahnya sangat aneh.
"Ya. Nanti malam," katanya penuh perhatian. "Kita akan menyelinap setelah tengah
malam. Nanti malam... tidak menghancurkan lampu-lampu atau dekorasi.
Nanti malam kita benar-benar akan menangkap Mr. Crowell."
Chapter 12 AKU tahu, aku tahu. Aku Diane Browne. Kukira aku adalah orang yang berpikiran sehat dan praktis di
grup kami. Jadi kenapa aku mengikuti Petualangan Malam Spencer"
Kenapa aku tidak mendebat Lenny ketika ia mengatakan bahwa ia ingin kami
kembali ke rumah Mr. Crowell dan menuntut balas padanya"
Sulit untuk dijelaskan. Rasanya aku menikmati Petualangan Malam itu seperti yang lainnya. Petualangan
itu semacam horor untuk menyelinap keluar rumah, berjalan berkeliling ke
lingkungan sekitar ketika tak seorang pun yang lain terjaga. Dan bisa pergi ke
mana saja yang kita senangi tanpa terlihat oleh orang lain.
Kebebasan. Itulah alasannya. Semacam kebebasan - yang menyenangkan yang
membuat kulit kami bergelenyar, membuat perasaan kami lebih peka, membuat
jantung kami berdegup lebih kencang.
Kami tidak punya banyak kebebasan selama siang hari. Selalu ada seseorang di
sekitar kami yang mengatur ke mana kami harus berada dan apa yang harus kami
lakukan. Selalu ada seseorang yang mengatakan, "Pergilah ke sekolah. Kerjakan PR-mu,
bantu adikmu. Lakukan tugas-tugasmu. Tolong belikan ini. Pergilah tidur."
Selepas tengah malam, berjalan di pinggir jalan yang sepi dan halaman-halaman di
Shadyside, kamilah yang berkuasa.
Tak ada yang menyuruh kami belok ke kiri, belok ke kanan, menyeberang jalan.
Dunia ini milik kami. Itu merupakan bagian dari petualangan kami. Bagian lain adalah Spencer.
Ia telah berubah banyak sekali dalam setahun. Bukan hanya penampilannya.
Ya, badannya langsing. Sekarang wajahnya kurus dan bersemangat. Tubuhnya
tidak gemuk lagi dan tidak loyo, tapi atletis dan lincah.
Sesuatu di matanya...... Aku tidak dapat benar-benar menjelaskannya. Spencer selalu menjadi cowok yang
manis, penakut, bukan cowok idola. Tipe cowok yang tidak menarik, tidak dapat
diandalkan, dan tidak mantap.
Tapi sekarang ia bisa membuat kami mengikutinya dengan hanya sebuah
senyuman atau sepatah kata. Kukira entah bagaimana ia telah menjadi seorang
pemimpin. Tapi ia tidak sok berkuasa atau ambisius. Ia tak pernah berusaha
menekan kami. Ia hanya tampak begitu... percaya diri.
Seakan-akan ia tahu persis apa yang sedang dikerjakannya. Seakan ia tahu persis
apa yang diinginkannya. Dan ia ingin memiliki petualangan di larut malam. Tak
punya tugas berat. Tak ada yang jahat.
Hanya petualangan. Paling tidak, itulah apa yang kupikirkan - sampai pada malam Lenny berkeras
agar kami kembali ke rumah Mr. Crowell. Malam itu, semuanya jadi di luar
kendali. Malam itu kami gagal. Untuk selama-lamanya.
Malam di bulan November yang dingin dan buruk. Salju mengeras di tanah dan
membuat halaman rumput berkilauan seperti perak.
Aku menyelinap dari pintu belakang beberapa menit setelah tengah malam,
kemudian bergegas ke tempat pertemuan kami di halaman belakang rumah
Spencer. Napasku mengepul di atasku ketika aku berlari-lari kecil menyeberangi halaman.
Aku tidak menghiraukan untuk mengancingkan ritsleting mantelku yang berat.
Mantel itu menggelepak berisik di belakangku ketika aku lari.
Aku yang pertama kali datang. Aku merunduk di belakang semak-semak belukar
evergreen yang rendah dan melihat ke atas ke jendela kamar tidur Spencer. Hitam
pekat. Seluruh rumah itu gelap gulita.
Beberapa saat kemudian, Cassie dan Jordan muncul. Mereka tampak sedang
berdebat - seperti biasanya. Aku tak dapat menangkap apa yang sedang mereka
ributkan. Mereka berhenti begitu melihat aku.
"Di mana Spencer?" Jordan bertanya tidak sabar.
Aku mengangkat bahu. "Ia belum keluar."
Aku berpaling kepada Cassie. Rambutnya yang berwarna tembaga tersembunyi di
bawah topi wol hitam. "Apa kabar?"
Ia menggigil dan menggosok-gosok lengan bajunya. "Dingin."
"Apakah Lenny benar-benar akan membawa kita ke rumah Crowell?" tanya Jordan
ingin tahu. "Ya. Kenapa?" sebuah suara yang tak asing lagi menyela.
Lenny membungkuk di samping kami. Ia mengenakan jaket tim basket Shadyside
Tigers yang berwarna merah tua dan abu-abu.
Aku menelan ludah. Aku ingin memeluknya. Aku tahu betapa sedihnya Lenny
dikeluarkan dari tim. "Di mana Spencer" Ia terlambat," Lenny mengeluh. Ia melihat arlojinya dengan
tegang. "Sudah hampir jam setengah satu."
Kami semua menatap ke atas ke jendela yang gelap. Tak ada tanda-tanda seseorang
atau apa pun. "Aku membawa telepon genggam," kata Jordan sambil merogoh sakunya. "Ayo kita
telepon dia dan - " "Singkirkan benda itu!" teriak Cassie. "Kau akan membangunkan orangtuanya!"
"Oh. Baik." Jordan memasukkan handphone kecil itu ke dalam sakunya kembali.
"Kita bisa melemparkan kerikil ke jendelanya," aku menyarankan. "Itu yang selalu
mereka lakukan di film-film."
"Terlalu berbahaya," kata Cassie. "Kalau kita memecahkan sebuah jendela..."
"Mungkin ia lupa pada kita," kata Jordan sambil cemberut.
"Bagaimana ia bisa melupakan Petualangan Malam?" bentak Lenny. "Itu idenya."
"Kau tidak harus memarahiku, Lenny!" teriak Jordan.
"Shhhh." Aku melangkah di antara dua orang cowok itu. "Kau akan membangunkan
semua tetangga di sekitar sini."
"Well terlalu dingin menunggu di luar sini lebih lama lagi," kata Cassie sambil
menggigil. "Ayo pergi."
"Kita harus menunggu dia," Lenny berkeras.
"Mungkin kau harus menunggu. Tapi aku tidak!" Cassie menembak balik.
"Kau menyebalkan," kata Jordan sambil memutar bola matanya dengan kasar.
"Kumohon!" bisikku. "Semuanya berhenti." Aku menatap ke jendela Spencer.
"Beri dia waktu dua menit lagi. Lalu..."
Spencer melangkah keluar dari sisi rumah dan memberi isyarat kepada kami
dengan melambaikan tangan. Kami berempat bergegas keluar dari balik semak-
semak untuk menyambutnya.
Sekali lagi, ia memakai kaus bedengan panjang hitam di atas jins denim hitam. Ia
memakai topi ski hitam yang ditarik ke bawah di atas rambut pirangnya.
"Ke mana saja kau?"
"Kami pikir kau melupakan kami."
"Dingin sekali. Kita akan berangkat."
Ia menggerakkan kedua tangannya agar kami tenang. "Sori. Aku tertidur." Ia
mengangkat bahu. "Aku sedang belajar, dan aku tertidur."
Ia memandang kami satu per satu. "Ada apa?"
"Aku ingin kembali ke rumah Crowell," Lenny memberitahu dia dengan antusias.
Mata Lenny yang gelap bersinar senang. "Malam ini aku ingin melakukan
perusakan. Perusakan yang sebenarnya."
"Astaga!" teriak Spencer. "Tenang, Lenny."
"Yah. Tenanglah," sela Cassie. "Kita ingin bersenang-senang. Kita tak ingin
mendapat masalah." Lenny mengerang. "Aku benar-benar ingin menangkap laki-laki ini, Spencer," ia
memohon. "Malam ini, ayo kita hancurkan sisa lampu-lampunya. Ayo - "
Spencer mencengkeram bahu Lenny. "Astaga. Astaga."
"Hei - mundur!" Lenny melepaskan diri dengan marah. Ia memberengut. "Semua ini
idemu, tahu. Sekarang kau akan menyerah."
"Tidak," Spencer berkeras. "Tapi Petualangan Malam ini bukanlah untuk
pembalasan, Lenny. Petualangan ini untuk bersenang-senang."
"Itu maksudku," sahut Lenny sambil menarik napas kuat-kuat. "Ayo bersenang-
senang dengan mengadakan pembalasan!"
Lenny begitu bersungguh-sungguh, begitu seriusnya, sehingga kami semua
tertawa. Bahkan Spencer pun tertawa.
Raut wajah Lenny tetap tegang. "Hei, aku tahu kau dan aku tidak selalu
sependapat," katanya kepada Spencer sambil menatap tanah. "Aku tahu, kita
mengalami saat-saat yang tidak mengenakkan beberapa kali. Aku ingat. Tapi itu
terjadi sudah lama sekali - benar, kan" Dan sekarang kau bersama aku - benar,
kan?" Spencer memandangku sekilas, lalu memandang Cassie. Kemudian ia berbalik
menuju ke jalan tanpa menjawab Lenny.
"Ayo berangkat, guys," kata Spencer pelan. "Hari sudah malam sekali."
Ketika kami berjalan mengikuti dia, aku bertanya-tanya apa yang sedang
dipikirkan Spencer. Apakah ia menyesal telah mengundang kami untuk ikut dalam Petualangan
Malam-nya" Apakah kami menghancurkan semuanya"
Apakah ia ingin membantu Lenny membalas dendam pada Mr. Crowell"
Spencer dan Jordan telah menjadi sahabat baik selama ini. Tapi Lenny dan Spencer
tidak pernah akur sama sekali. Apakah Spencer lupa semua soal masa lalu"
Ia tampak begitu berubah. Aku bertaruh ia telah melupakan semua
ketidakbahagiaannya di masa lalu.
Kami berhenti di seberang jalan rumah Mr. Crowell. Yang mengejutkan kami,
semua lampu di halaman depannya telah padam.
Kegelapan menaungi rumah dan halaman itu. Rusa dari metal dan kereta salju
berkilauan pudar dalam cahaya bulan yang pucat.
Tak ada lampu di rumah itu.
"Aneh," gumam Lenny. "Crowell biasanya terjaga hingga larut malam."
Kami menyeberangi jalan dan berjalan cepat-cepat menuju jalan masuk sambil
berdiam diri. Spencer mengintip ke garasi yang terbuka.
"Mobilnya tidak ada," ia melaporkan. "Mr. Crowell pasti sedang keluar."
"Aneh," ulang Lenny. "Pada sebuah sekolah malam?"
Spencer mengintip ke jendela di samping.
Jordan memegang birai jendela yang terbuat dari batu dan mengangkat dirinya
sendiri untuk mengintip lewat ruang tamu.
"Tak ada orang di rumah," bisik Spencer. Senyuman mengembang di wajahnya. Ia
menepuk bahu Lenny. "Malam keberuntunganmu, Kawan."
Lenny balas menyeringai. "Apa yang akan kita lakukan?" Ia bergerak ke halaman
depan. "Mulai bekerja di dekorasi Natal?"
"Jangan," tukas Spencer. Ia berpaling melihat rumah di sampingnya. Gelap gulita
juga. Kemudian ia menoleh ke belakang ke jendela samping.
Apa yang ada di otak Spencer" Aku bertanya dalam hati.
Kenapa ia menyeringai seperti itu" Kenapa ia tampak begitu bergairah"
Ia mengangkat kedua tangannya ke bingkai di samping jendela. Ia mendorongnya
dengan keras. Jendela itu terdorong ke atas dengan mudahnya.
"Ayolah," bisik Spencer sambil naik ke jendela. "Kita masuk."
Chapter 13 "SPENCER!" desis Cassie. "Sedang apa kau?"
Ia (Spencer) telah menghilang ke dalam rumah. Jadi ia menoleh padaku.


Goosebumps - Petualang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita tidak bisa melakukan ini, Diane," erangnya. "Bagaimana seandainya kita
tertangkap?" "Kalau kita tertangkap, kita katakan saja bahwa kita mampir mau menanyakan
pelajaran," gurau Lenny. Dengan menggerutu, ia mengangkat dirinya melalui
jendela yang terbuka itu.
"Diane!" bisik Cassie dengan panik. "Ini gila! Ini benar-benar gila!"
Aku tahu Cassie benar. Aku juga tahu kami bisa mendapat kesulitan besar. Tapi
seperti yang kukatakan, aku merasa terlalu bergairah sehingga tak bisa berpikir
waras. Aku hanya tertarik pada semua ini. Tertarik oleh kesintingan petualangan
ini. "Cassie, tinggallah di luar kalau kau maunya begitu," gumamku, dan mengikuti
kedua cowok itu masuk. Cassie berdiri diam selama semenit sebelum ikut masuk di belakang kami. "Ini
kesalahan yang sangat besar," ia mengulangi dengan suara gemetar. "Kesalahan
besar." Jordan menyelinap di belakangnya sambil mengerjap-ngerjapkan matanya,
menunggu matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan.
"Ayo kita lakukan perusakan!" Lenny berteriak dengan gembira. Ia menemukan
tombol di dinding dan menyalakan lampu.
"Jangan!" teriak Spencer. Ditekannya tombol itu. "Apa kau gila?" geramnya.
"Bagaimana kalau seorang tetangga melihat lampu itu" Bagaimana kalau Crowell
pulang dan melihat ada lampu yang menyala?"
"Yah. Kau benar. Sori," gumam Lenny.
Kami diam-diam berkeliling di rumah Mr. Crowell selama beberapa menit. Lantai
kayu berdecit dan berkeriat-keriut di bawah sepatu kami.
Cahaya bulan bersinar lewat jendela ruang tamu, memantul ke perabot. Ruang
tamu itu berantakan, penuh dengan benda elektronik.
Aku melihat sebuah komputer dan printer, sebuah televisi yang besar. Stereo yang
bagus. CD yang banyak. "Spencer, apakah kita hanya akan berjalan-jalan di sini" Apa yang akan kita
lakukan?" tanyaku dengan berbisik parau. "Sudah malam. Mr. Crowell bisa pulang
kapan saja." "Ayo kita hancurkan tempat ini," saran Lenny.
Jordan terengah-engah dan berputar. "Jangan!" teriaknya. "Kita tak boleh merusak
tempat ini. Ini adalah kejahatan yang serius, Lenny."
"Aku punya ide yang lebih bagus," Spencer mengumumkan. "Ayo kita pindahkan saja
beberapa barang ini."
"Hah" Apa bagusnya ide itu?" desak Lenny.
"Itu adalah ide yang hebat!" Aku menyela. "Kalau kita hanya memindahkan barang-
barang, Mr. Crowell akan tahu seseorang ada di sini. Ia bakal heboh!"
"Ya. Ia akan heboh," Spencer setuju. "Tapi ia tidak akan punya alasan yang
sebenarnya untuk memanggil polisi."
Kedengarannya tidak mengganggu bagiku. Bahkan Cassie pun setuju.
Spencer menyeberangi ruangan itu menuju pohon Natal. Ia melepaskan bintang
dari puncak pohon dan memasangnya di rak di atas tungku.
Lenny terkekeh. Ia memegang lengan sofa dan menarik sofa itu berkeliling sampai
menghadap dinding. Jordan memutar beberapa lukisan di koridor. Ia menggantungnya terbalik.
Sambil tertawa geli, Cassie mengikat sepasang tirai jendela menjadi satu.
Kemudian ia menyalakan komputer.
Aku tidak menyentuh apa pun. Sebaliknya, aku menjelajahi rumah itu.
Mr. Crowell punya selera bagus. Dapur penuh dengan peralatan rumah tangga
yang bersinar. Wajan-wajan dan panci-panci yang kelihatan mahal tergantung di
cantelan-cantelan di atap. Sebuah vas tinggi berisi bunga-bunga sutra diletakkan
di atas meja dapur. Aku berjalan di koridor yang pendek untuk memeriksa kamar mandi. Kamar ini
tidak punya jendela, jadi aku punya kesempatan untuk menyalakan lampu di dekat
lemari obat. Tirai shower-nya bergambar Bugs Bunny dan Daffy Duck.
Tawaku meledak. Mr. Crowell yang buruk itu adalah penonton closet cartoon"
Aku tak percaya. Aku meninggalkan lampu menyala dan menutup pintu di belakangku. Itu akan
membuatnya berpikir! Di luar gang, satu-satunya cahaya datang dari bulan yang bersinar lewat jendela
ruang tamu. Jari-jariku meraba-raba sepanjang dinding ketika aku berjalan,
membiarkan mataku terbiasa dengan bayang-bayang.
Begitu gelap. Dan sunyi. Aku berjalan di sepanjang dinding belakang. Menemukan diriku berada di sebuah
kamar tidur kecil di bagian belakang rumah itu.
Sebaiknya aku kembali, pikirku. Kenapa aku berkelana ke belakang sini"
Aku tak bisa mendengar teman-temanku.
Aku mulai berjalan menuju pintu - ketika kulihat sosok tubuh yang gelap
tertelentang di atas ranjang.
Pertama aku melihat kaki panjang. Kemudian lengan, tertelentang di sisinya.
Tidak bergerak. Tidak bergerak sama sekali.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku kuat-kuat, berusaha memaksa bayangan itu
pergi. Tapi bayangan itu tidak lenyap. Sosok itu tetap tinggal, hitam di atas seprai
yang berwarna abu-abu gelap.
Sosok tubuh manusia. Tubuh Mr. Crowell. Telentang tidak bergerak di atas
ranjang. "Ohh - !"
Aku hanya punya waktu untuk berteriak sebelum dua buah tangan memegangku
dari belakang. Chapter 14 "LEPASKAAAN!" teriakku.
Aku berontak membebaskan diri. Berputar - dan menatap Spencer.
"Sori," bisiknya. "Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu. Kupikir kau mendengar
aku datang. Aku - " "Spencer... di atas ranjang!" Aku tercekik. "Mr. Crowell - ia...ia..."
Spencer segera menghampiri ranjang. Ia mengangkat tubuh itu dengan dua
tangannya - dengan mudah. Dan menyerahkannya padaku.
"Hah?" Aku terengah-engah. Perlu waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa aku
tidak mengangkat tubuh manusia.
"Piama," gumam Spencer. Ia menggulungnya dan melemparkannya kembali ke atas
seprei. "Crowell memakai piama hitam."
"Dan ia membentangkannya di atas ranjang?" teriakku menahan napas. Aku merasa
seperti orang sinting. Kusambar lengan Spencer.
Aku butuh sesuatu untuk berpegangan sebentar. Sesuatu yang kuat. Aku
berpegangan pada tangannya ketika ia membimbing aku kembali ke ruang depan.
"Di mana Cassie, Jordan, dan Lenny?" tanyaku.
Spencer tidak menjawab. Ia bergerak ke rak buku yang menyandar di dinding.
Cahaya lampu depan mobil memenuhi jendela depan, kemudian berputar di
dinding. Aku melihat wajah Spencer berkilauan dalam pekatnya malam.
Suara tabrakan keras dari belakang membuatku terloncat.
Jordan dan Cassie bergegas berjalan di ruangan itu menghampiri kami.
"Itu Mr. Crowell!" teriak Jordan nyaring. "Ia pulang. Mobilnya di jalan masuk!"
"Kita harus keluar dari sini!" pekik Cassie. "Sekarang!"
Aku berjalan menuju pintu masuk. Cassie dan Jordan sudah berlari ke ruang
belakang. Aku meraih tangan Spencer, tapi jari-jariku menyapu sesuatu yang keras
dan dingin. Aku memicingkan mata melihatnya di kegelapan.
Ia sedang membawa CD player Mr. Crowell!
"Spencer - jangan!" Aku terengah-engah. "Itu bukan rencana kita! Kita kan tidak
akan mencuri - ingat?"
Terdengar pintu mobil dibanting dengan keras di luar. Dalam sedetik, Mr. Crowell
akan menyerbu masuk dan menemukan kami.
Kami bergegas pergi dalam kegelapan ke jendela samping tempat kami tadi masuk.
"Jendela-jendela itu tertutup!" teriakku.
Aku memegangnya dengan dua buah tangan. Menekan kuat-kuat. Jendela itu tidak
bergerak. Pintu depan ditutup dengan keras.
"Ia ada di dalam!" desis Cassie.
Aku dan Lenny berdua mendorong bingkai jendela dengan sekuat tenaga.
Tapi jendela itu terkunci.
Kudengar langkah kaki Mr. Crowell yang ringan di ruangan itu.
Dan tahu kami tertangkap.
Chapter 15 APAKAH Crowell di luar ruangan"
Kalau kami berlari ke koridor, apakah kami akan menabrak dia"
Kami tidak punya pilihan. Kami harus mengambil kesempatan itu.
Tempat kami kabur lewat samping rumah telah diblokir. Kami harus berusaha
lewat pintu dapur. "Ayo pergi!" teriak Spencer.
Kami berlari di belakangnya.
Aku berusaha mendengar langkah kaki Mr. Crowell dengan sungguh-sungguh.
Suaranya. Batuknya. Apa pun.
Tapi satu-satunya suara yang bisa kudengar adalah jantungku yang berdegup
kencang dan suara sepatu kami yang berdebam di atas lantai ketika kami berlari
ke dapur. Beberapa saat kemudian, kami keluar dari pintu ke udara malam. Angin dingin
mengejutkan wajahku yang panas. Aku terengah-engah. Kupaksa diriku untuk lari
lebih jauh menembus kegelapan.
Apakah Mr. Crowell sedang berteriak di belakang kami"
Atau apakah itu seekor anjing yang sedang melolong"
Aku terus mencari jawabannya.
Kami lari melewati halaman yang gelap dan kosong. Kami tidak memperlambat
langkah meskipun kami tahu bahwa kami selamat.
Kami tahu, kami telah lolos.
Ketika kami menyeberangi jalan yang menuju blok Spencer,
Lenny berteriak kegirangan. Itu tanda bagi kami untuk menjerit, berteriak, dan
bersorak merayakan kemenangan kami.
Kami masih berlari. Apakah aku akan pernah melupakan Spencer" Rambutnya yang pirang melambai-
lambai ketika lari amat cepat dengan kaki diangkat tinggi-tinggi... yang
menggenggam erat CD Player Mr. Crowell dengan kedua tangannya...
Tidak. Kupikir aku tidak akan pernah melupakan pemandangan itu.
Aku tahu, aku tidak akan pernah melupakan seringainya, matanya yang berputar
liar, ekspresi kegembiraannya yang gila, kemenangannya.
Spencer..,Spencer... Aku masih memikirkan dia beberapa menit lagi ketika aku menyelinap masuk
kembali ke rumahku, terus naik tangga ke kamarku, dan menutup pintu.
Selanjutnya aku melepaskan pakaianku dalam kamar yang gelap.
"Diane?" Suara Mom nyaris membuatku kaget setengah mati.
"Diane?" Pintu diketuk dua kali, kemudian pintu dibuka.
Aku menyelinap ke ranjangku. Entah bagaimana aku bisa menyusup - dengan
berpakaian lengkap - di bawah seprei sebelum ia melongokkan kepalanya ke
dalam kamar. "Diane" Apakah semuanya oke" Kupikir aku mendengar sesuatu?"
Aku menguap dan pura-pura sedang tertidur. "Mom?" Aku tercekik. "Ada apa?"
"Rasanya Mom mendengar seseorang sedang berjalan," jawabnya. Dalam kegelapan,
aku bisa melihat Mom sedang mengawasi sekeliling kamar.
"Aku - aku baik-baik saja," bisikku. "Hanya... ngantuk sekali."
"Sori, Sayang." Beberapa detik kemudian, pintu tertutup lagi.
Kudengar langkah kakinya yang pelan menuju kamarnya.
Aku menunggu beberapa detik lebih lama, jantungku berdegup kencang.
Kemudian aku turun dari ranjangku.
Kejutan, aku tahu. Kami telah mendapat beberapa kejutan malam ini.
Kutukar pakaianku dengan gaun tidur panjang. Tapi aku tahu, aku terlalu kusut
untuk tidur. Kubawa telepon cordless-ku ke ranjang dan menekan nomor telepon
Cassie. Deringan pertama belum selesai Cassie langsung menyahut.
"Ini aku," kataku.
"Aku tak bisa tidur juga," kata Cassie sebelum aku mengucapkan kata yang lain.
"Aku senewen bener."
"Ini seperti hura-hura saja," kataku. "Maksudku, petualangan itu tidak
membosankan!" Kami berdua tertawa. "Tidak menghancurkan rumah Crowell itu ide yang bagus," kata Cassie. "Tapi
hampir tertangkap benar-benar ide yang buruk!"
"Dan sekali lagi Spencer bertindak terlampau jauh," keluhku.
Cassie diam sebentar. "Memangnya ada apa dengan cowok itu?" tanyanya akhirnya.
"Sepertinya ia selalu bertindak selangkah lebih jauh daripada kita.
Sepertinya ia selalu harus di atas kita."
"Ya. Aku tahu," aku mengiyakan dengan cepat. "Sepertinya Spencer tidak cukup
puas membuat orang ketakutan. Ia tidak puas kalau tidak melakukan sesuatu yang
benar-benar berbahaya."
"Aneh," ujar Cassie pelan. "Cerita tentang Spencer begitu aneh. Dulu ia pemalu
sekali. Dulu kita sering menjadikan dia bulan-bulanan. Sekarang, bahkan Lenny
dan Jordan pun menganggapnya hebat."
"Itulah yang kukhawatirkan," aku mengakui. "Kalau mereka melihat Spencer mencuri
CD player, kuharap mereka tidak kepengin mencuri juga."
"Hei - Lenny seharusnya senang," kata Cassie. "Ia telah membalas dendam kepada Mr.
Crowell. Itu kan yang diinginkannya."
"Ya kuharap juga begitu," jawabku.
Aku dan Cassie mengobrol selama beberapa menit lagi. Kemudian aku sadar, aku
mulai mengantuk, jadi aku mengucapkan selamat malam dan menutup telepon.
Aku membawa telepon itu kembali ke mejaku. Telepon itu berdering lagi. Dengan
terkejut, aku mengangkat gagang telepon itu.
"Cassie" Ada yang kelupaan?" kataku. Cassie tak pernah bisa bicara sekali saja,
selalu ada saja yang kelupaan, ia selalu menelepon kembali paling tidak sekali
atau dua kali lagi. "Aku melihat apa yang kaulakukan malam ini," sebuah suara berbisik parau, kasar,
dan mengancam di telingaku.
"Hah" Cassie?" aku tak bisa bernapas.
"Aku tahu tentang Petualangan Malammu, Diane."
Hei. Ini bukan Cassie. "Bryan?" teriakku. "Bryan - ini kau lagi?"
"Aku tahu apa yang kaucuri malam ini. Aku tahu tentang pembalasan kecilmu."
"Bryan - kau tidak sedang menakut-nakuti aku!" bentakku dengan mengertakkan gigi.
"Kau sebaiknya menyerah."
Aku sadar sedang mencengkeram telepon itu erat-erat. Dengan hati-hati
kukendorkan cengkeramanku.
Sekarang kudengar suara napas yang berat. Pelan dan tetap.
"Bryan - apakah ini kau?" desakku. "Kaukah itu?"
"Kau akan membayar, Diane," terdengar jawaban yang parau. "Kau akan membayar
untuk apa yang telah kaulakukan."
Chapter 16 LAMPU kumatikan. Aku meringkuk di bawah selimut. Kutatap langit-langit. Lalu
dinding. Kutatap telepon. Aku tidak bisa tidur sepanjang malam.
Hari berikutnya aku berjalan keliling sekolahan seperti zombie.
Tapi bel pelajaran keempat tiba-tiba membangunkanku.
Pelajaran keempat. Pelajaran Mr. Crowell. Aku berjalan menuju ruanganku.
Waswas dan ketakutan. Kupikir aku akan pergi ke ruang UKS dan pura-pura jatuh sakit.
Tapi aku tidak bertemu dengan Jordan, Cassie, dan Lenny.
Aku sampai di kelas ketika bel terakhir berbunyi. Murid-murid yang lain telah
duduk di bangkunya. Aku memeluk buku-bukuku di dadaku dan cepat-cepat
mencari tempat duduk. Mata hitam Mr. Crowell yang kecil terpaku menatapku. Setiap saat aku berharap
dia meneriakkan namaku. Menuduhku, di depan semua orang, karena merusak
rumahnya. Menuduh kami berempat.
Tapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menatapku dengan dingin.
Tanganku gemetar ketika kubuka buku catatanku dan menatap papan. Mr. Crowell
berbalik ke papan. Ia mulai menulis sebuah persamaan aljabar dengan marah
sekali. Kapur itu menimbulkan suara menggarut yang membuatku merinding.
Kupandang Cassie sekilas. Ia mengigit-gigit bagian atas bolpennya. Kemudian ia
menoleh kepadaku. Tanpa membuat suara, mulutnya membentuk kata-kata,
"Kayaknya dia tahu, ya?"


Goosebumps - Petualang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengangkat bahu. Baru kemudian, Mr. Crowell berputar dan menatap Cassie.
"Beri aku langkah selanjutnya atas persamaan ini," katanya bernada menuntut.
Cassie berdiri di bangkunya. Dibersihkannya tenggorokannya.
"Well" Kita tak punya waktu sepanjang hari," bentak Crowell.
Casie menggumamkan beberapa angka dan Crowell menuliskannya di atas papan.
"Tapi aku hampir menangkapmu," katanya kepada Cassie. "Benar, kan?"
Cassie bahkan duduk lebih tegak lagi. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, tapi
tidak menjawab. Kemudian Crowell menatapku lagi dengan mata hitamnya yang dingin. Aku
merasa seperti seekor serangga yang dijepit di atas sebuah baki pembedahan.
Perutku melilit-lilit seperti simpul yang kuat.
Akhirnya, tatapannya beralih kepada Lenny.
Lenny menatap balik kepadaku. Lengannya disilangkan di dadanya. Rahangnya
mengeras. Ia tidak terlihat gugup sama sekali.
Hanya aku yang tahu ia benar-benar senewen. Lenny punya kebiasaan
menyilangkan tungkainya dan menggoyang-goyangkan kakinya saat sedang
gugup. Kakinya bergoyang-goyang begitu cepat sehingga mejanya bergetar.
Crowell berjalan ke depan Lenny. Bibirnya ditekuk membentuk senyuman yang
kejam. Kemudian ia menanyakan penyelesaian persamaan aljabar itu pada Lenny.
Aku dan Cassie saling berpandangan.
Apakah Crowell sedang menyerang Lenny" Hanya untuk bersenang-senang
sampai akhirnya menuduh Lenny membobol rumahnya"
Lenny menatap papan berlama-lama.
Crowell maju lebih dekat lagi. Ia menunduk menatap Lenny dengan matanya yang
seperti burung gagak. Akhirnya, Lenny bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan benar.
Crowell berbalik pergi. Apa yang sedang dipikirkan Mr. Crowell" tanyaku dalam hati.
Apakah ia melihat kami di dalam rumahnya"
Apakah ia tahu siapa yang mencuri CD playernya"
Apakah ia tahu siapa yang memindah-mindahkan barang-barangnya"
Mungkin ia sedang menunggu sampai pelajaran selesai untuk memojokkan kami.
Apa yang akan dilakukannya" Aku tak bisa duduk tenang di bangkuku. Kulihat
jam besar di atas pintu. Setiap menit pelajaran itu terasa seperti satu jam.
Diam-diam kupandang Jordan, Cassie, dan Lenny. Crowell bicara membosankan
sambil memberi soal aljabar lebih banyak lagi.
Akhirnya, bel berbunyi. Aku berdiri pelan-pelan, lututku lemah. Kukumpulkan buku-bukuku. Semua orang
lari melewatiku dan menghambur keluar pintu.
Mata Mr. Crowell bertautan dengan mataku.
Aku menjatuhkan buku matematikaku.
Aku biasa menjejalkan kertas-kertas ulanganku di sela-sela halaman. Kertas-
kertas itu berhamburan keluar dari buku dan bertebaran di lantai.
Aku membungkuk. Kuraup kertas-kertas itu dengan gugup. Aku tidak berani
mendongak untuk melihat apakah Mr. Crowell sedang mengawasi aku. Tanganku
gemetar ketika memunguti kertas-kertas itu. Kemudian buku ilmiahku jatuh,
kertas-kertas yang berhamburan di atas lantai lebih banyak lagi.
Crowell menghampiriku untuk membantu.
"Diane, maukah kau tinggal selama beberapa menit?" tanyanya. "Aku ingin bicara
denganmu." Jantungku berhenti berdetak. Aku tak bisa mengatakan apa-apa.
Mr. Crowell menyerahkan hasil ulanganku, dan segera kumasukkan ke dalam
bukuku. Kami tinggal sendirian.
Ini dia. Saat yang menegangkan! Ia telah melihatku di rumahnya. Ia hampir
menuduhku. Mr. Crowell berjalan balik ke mejanya. Ia mencondongkan tubuhnya di atas meja
seperti kebiasaannya. "Kau adalah murid yang baik, Diane."
Aku menatapnya seakan-akan ia telah menjadi sinting. Kuusap keringat di atas
bibirku dengan satu jari.
"Te-terima kasih, Mr. Crowell," gumamku. Kapan ia akan ke pokok pembicaraan"
"Aku sedang bertanya-tanya bagaimana kau akan melakukan proyek midterm-mu,"
ia melanjutkan. "Apakah kau perlu bantuan?"
Proyek midterm" Aku bahkan tak ingat apa proyekku. Rasa lega membanjiri diriku.
"Tidak, Mr. Crowell," kataku mencoba untuk menjaga suaraku agar tidak gemetar.
"Semuanya baik-baik saja. Saya hampir selesai."
Ia tersenyum. "Bagus sekali. Kau memilih topik yang sulit. Aku ingin meyakinkan
apakah kau jelas mengenai itu. Kalau kau punya pertanyaan-pertanyaan, jangan
ragu untuk bertanya. Itulah sebabnya aku ada di sini."
Aku hampir tidak bisa mempercayainya. Sejak kapan Mr. Crowell begitu penuh
perhatian" Apakah karena semangat Natal-nya atau sesuatu" Apakah mungkin ia
tidak mengenali kami"
"Saya berjanji akan menemui Anda kalau saya punya masalah," aku berjanji.
"Bolehkah saya pergi sekarang?"
Ia mengawasi aku sebentar, kemudian mengangguk. "Sampai jumpa besok pagi."
Aku berjalan cepat-cepat ke pintu.
Teman-temanku menungguku di lokerku. Mereka tampak cemas ketika aku
bergegas menghampiri mereka.
Lenny mengulurkan tangannya memelukku.
"Apakah Crowell menyetrapmu?" tanya Lenny. "Aku mencari-carimu berkeliling dan
kau tidak di belakangku."
"Bukuku jatuh," sahutku. "Kalian lari keluar kelas begitu cepat, aku jadi
tinggal berdua sama dia."
"Apa katanya?" tanya Cassie. Ia menggigit bibir bawahnya. "Apa dia tahu?"
"Apakah ia mengatakan sesuatu tentang tadi malam?" desak Jordan.
"Tidak sepatah kata pun." Aku menggelengkan kepala. "Ia ingin tahu bagaimana
proyek midterm-ku yang akan datang."
Cassie menghela napas panjang. Jordan terkekeh gugup.
"Kukira Petualangan Malam harus dihentikan," kataku.
"Kenapa?" tanya Lenny. "Crowell tidak tahu siapa yang masuk ke dalam rumahnya.
Ia akan menghampiri kita kalau ia tahu."
"Mungkin ia tidak tahu sekarang," jawabku, "tapi aku khawatir ia akan
mengetahuinya." "Diane benar," ujar Cassie. "Ia menatap kita terus selama pelajaran. Ini bukan
kesenangan lagi. Aku ingin berhenti juga."
"Dasar penakut, kalian berdua," Jordan mengejek. "Ia tidak punya petunjuk."
"Benar," Lenny mengiyakan. "Semua anak di sekolah membencinya. Bisa saja
seseorang yang melakukannya. Ia begitu pemarah, bisa saja ibunya!"
Jordan tertawa tertahan. Cassie tersenyum.
Kupikir itu tidak lucu sama sekali.
Petualangan-petualangan Malam ini dimulai dengan kesenangan yang tidak
berbahaya. Sesuatu yang berbeda.
Menggairahkan. Tapi sekarang aku tidak tahu ke mana kami menuju.
"Ayolah, Diane. Cerialah," kata Lenny sambil menekan lenganku. Kemudian ia
menatap Jordan sekilas. Aku tahu mereka berpikir aku bersikap seperti seorang
pengecut. Tapi aku tidak suka dengan apa yang sedang terjadi. Sambil menggelengkan
kepala, aku berbalik ke lokerku. Kurenggut pintunya hingga terbuka.
"Seseorang meneleponku tadi malam setelah aku pulang," kataku pada mereka.
Senyuman Lenny lenyap. Matanya menyipit. "Siapa yang meneleponmu?"
desaknya dengan cemburu. "Aku tak tahu. Tapi seseorang tahu apa yang kita lakukan di rumah Mr. Crowell.
Orang itu mengancamku."
Aku tidak yakin mengapa aku melakukannya. Tapi otomatis aku memandang
Jordan. Ia cemberut. Kemudian wajahnya merah.
Aneh. Jordan merah padam"
Ia tidak pernah begitu. Ia membuang muka. "Siapa yang mengancammu?" tanya Lenny.
Aku mengangkat bahu. Suara itu kedengarannya begitu tidak asing lagi. Namun, aku
tidak bisa mengenali suara siapa itu. Bryan muncul di benakku. Tapi aku tidak
menyebut namanya. Aku tahu kalau kusebutkan namanya, Lenny akan mengajaknya berkelahi.
"Ini serius, Diane," kata Lenny. "Kalau kau punya seorang tamu liar, sebaiknya
kau mengatakannya." "Aku tahu ini serius!" teriakku. Aku berkelit melepaskan diri darinya. "Itulah
kenapa kita harus berhenti. Benar-benar bodoh untuk tetap melakukannya.
Bagaimana kalau penelepon itu polisi?"
Lenny cemberut. "Yah, kukira kau benar," ia mengakui. "Kalau seseorang sedang
mengawasi kita, kita harus berhenti."
"Kupikir kalian semua tidak punya nyali," Jordan mengejek.
"Diane diteror," sahut Lenny dengan suara kaku. "Aku tidak menelepon untuk
sesuatu yang percuma."
"Aku juga setuju berhenti," kata Cassie dengan antusias.
"Well, kita perlu memberitahu Spencer," ujarku.
Jordan memutar bola matanya. "Bagus. Ia akan berpikir kita semua ini pengecut
betulan." "Dewasalah, Jordan!" bentak Cassie. "Siapa yang peduli apa yang dipikirkannya"
Kita adalah orang-orang yang harus menghadapi Crowell setiap hari."
"Baik," jawab Jordan. "Ayo kita pergi ke rumahnya sepulang sekolah."
*** Aku bertemu dengan teman-temanku di tempat parkir setelah pelajaran terakhir.
Kemudian kami pergi ke rumah Spencer bersama-sama.
Lenny mengetuk pintu depan dan membunyikan bel. Tidak ada jawaban.
"Kelihatannya ia belum pulang dari sekolah," kata Jordan.
"Barangkali ia jalan-jalan sama seseorang yang menarik di St. Ann," kata Jordan.
"Maksudmu seseorang itu cewek?" Lenny mencemooh. "Spencer" Beri aku kesempatan!"
"Hei, itu bisa saja terjadi," jawab Cassie tersenyum. "Spencer sekarang agak
lumayan - tidak seperti dulu."
Jordan tertawa tertahan. "Well, ia tidak gemuk lagi. Tapi ia masih kelihatan
aneh." "Ia seorang pesolek yang buruk," Lenny mengiyakan dengan tertawa parau.
Cassie mencebik pada mereka.
"Kukira kita tak bisa bicara dengan Spencer sekarang," kataku. "Kita beritahu
dia besok saja." *** Aku makan malam di rumah Cassie dan belajar untuk ulangan vocab bersama. Saat
aku pulang, jam menunjukkan hampir pukul sembilan.
Cuaca dingin dan mendung. Setelah gelap, kabut dari sungai mengapung ke kota.
Salju pun turun. Aku pulang dari rumah Cassie dengan berjalan kaki. Biasanya aku tidak takut
berjalan sendirian di luar pada malam hari. Tapimalam ini, aku merasa gugup.
Aku memikirkan tentang telepon itu. Suara yang parau. Seseorang yang
mengikutiku. Mengawasiku ketika aku bahkan tidak menyadarinya.
Apakah seseorang sedang mengawasiku sekarang"
Aku melirik lewat bahuku dengan cepat. Dari sudut mataku, aku melihat sesuatu -
atau seseorang - yang sedang bergerak keluar dari bayang-bayang.
Kemudian aku sadar, itu hanyalah kotak surat yang miring tertiup angin.
Kuasailah dirimu, Diane, aku membentak diriku sendiri. Kau ketakutan pada
sebuah kotak surat. Aku menghela napas dalam-dalam dan tetap berjalan. Berjalan dua blok lagi, lalu
berhenti di rambu pemberhentian. Aku berkata pada diriku sendiri, aku sedang
bersikap bodoh. Tapi aku tidak dapat menghapus perasaan sedang diawasi.
Aku merasa seseorang berada dekat di belakangku. Sedang bersembunyi di
bayang-bayang yang berkabut.
Aku membelok ke jalan menuju rumahku. Rumahku sudah kelihatan. Lampu
kuning yang hangat bersinar di jendela depan.
Aku bergegas melewati halaman tetangga kami. Pagar tanaman yang tebal
memagari trotoar. Aku ingat bagaimana aku bersembunyi di pagar itu ketika masih
kecil. Tanaman itu tebal sekali, tak ada orang yang bisa menemukanku.
Ketika aku berjalan melewatinya, sebuah tangan terulur dengan tiba-tiba dari
pagar tanaman itu dan menangkap pergelangan tanganku dengan cengkeraman yang
kuat. Jari-jari itu menusuk keras ke kulitku.
Aku menjerit. Buku-bukuku berhamburan dari tanganku ketika aku berusaha
melepaskan cengkeramannya.
Cengkeraman tangan itu makin keras, memutar lenganku di belakang punggungku.
Aku tak bisa bergerak. Aku membuka mulut untuk menjerit tapi sebuah tangan
membungkam mulutku. "Diane, ada apa?" teriak penyerang itu. "Ini aku!"
Bryan" Aku menghirup udara. Cuma Bryan. Akhirnya cengkeraman di pergelangan tanganku mengendor.
Aku menarik lenganku dan berputar menghadap dia. Bryan mengusapkan
tangannya dengan gugup di rambut cokelatnya yang tebal.
Ketakutanku pelan-pelan menyusut. Berganti dengan kemarahan.
"Apakah kau gila?" bentakku.
"Aku ingin bicara," jawabnya. "Please."
"Kenapa kau mengikuti aku?"
Ia mengalihkan pandangannya, lalu kembali memandangku.
"Ya," gumamnya. "Aku melihatmu ke rumah Cassie malam ini. Aku ke sini untuk
menunggumu." "Pertama teleponmu, dan sekarang ini?" tanyaku. "Apa masalahmu?"
Ia menunduk. "Kenapa kau tidak memberiku kesempatan" Aku menunggu di sini, di
tempat bersalju ini, sepanjang malam, hanya untuk menemuimu."
"Well, aku minta maaf banget kau harus berada di sini," jawabku dengan tidak
enak. Aku berbalik. Tapi ia mengikutiku.
"Aku tidak akan pergi sampai kau bicara padaku," ia berkeras.
"Pergilah, Bryan," aku menghardik. "Aku tak ingin keluar denganmu. Berapa kali
harus kukatakan itu?"
"Kita bisa mencoba lagi," ia memohon. Bryan melangkah menghampiriku, dan
mengangkat tangannya. "Oh, ayolah, aku tidak akan menyakitimu," katanya. "Kau
harus tahu itu." "Pergilah!" aku berkeras.
"Kau layak mendapat cowok yang lebih baik daripada Lenny," rengeknya.
"Jadi kaulah orang yang kubutuhkan?"
"Kau butuh seseorang untuk melindungimu," ia berkeras.
Aku menatapnya dengan shock. "Melindungi aku" Dari apa?"
"Lenny itu lekas naik darah. Ia akan membuatmu bingung dalam keadaan yang buruk.
Percayalah padaku, Diane."
Berapa banyak yang ia ketahui" Apakah ia seseorang yang mengikuti kami tadi
malam" "Kau tidak tahu apa-apa, Bryan," hardikku. "Kenapa kau tidak membiarkan aku
sendirian" Aku tidak akan kembali pacaran denganmu. Aku telah cukup dengan
telepon ancamanmu itu."
Wajah Bryan tampak bingung. Ia menggelengkan kepalanya.
"Apa" Telepon ancaman?" tanyanya.
"Berhentilah berbohong!" pekikku. "Kau memata-matai aku! Kau mengawasi aku dan
teman-temanku! Kau menelepon aku dan mengancamku!"
"Apa yang sedang kaubicarakan?" teriaknya. "Aku hanya meneleponmu sekali.
Aku tidak mengancammu, Diane. Apa yang membuatmu begitu marah?"
"Lupakanlah, Bryan," kataku. "Menjauhlah dariku." Aku berbalik untuk lari.
Tapi tangannya yang kuat mencengkeram lenganku dan memaksa aku berbalik
menghadapinya dengan kasar. "Aku ingin bicara," ia berkeras dengan suara yang
mengancam. "Kenapa kau tidak mau bicara denganku?"
Kemarahanku sirna. Ketakutan merayapiku.
Cengkeramannya terasa kuat sekali. Seperti sebuah tang.
Napasku sesak dan aku berusaha melepaskan diri.
Ia mencengkeram lebih keras.
"Lepaskan, Bryan," aku memohon. "Kau menyakiti aku. Lepaskan aku. Apa yang
kaulakukan?" Chapter 17 "BRYAN, lepaskan aku!" teriakku.
Cahaya terang dari lampu besar mobil yang lewat menerpa kami. Bryan melompat,
dan pegangannya di tanganku lepas.
Aku melompat menjauhi dia. "Menjauhlah dariku dan teman-temanku," kataku.
Bryan menatapku selama sedetik. Kemudian ia berbalik dan lari ke blok.


Goosebumps - Petualang Malam di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengawasi dia menghilang dalam kegelapan. Jantungku berdegup kencang.
Aku melangkah gontai dan berbelok ke jalan masuk rumahku.
Aku menyelinap ke balik pintu, lalu melangkah masuk ke dapur. Rumah tampak
sepi sekali. Aku menemukan sebuah catatan di atas meja dapur dari orangtuaku. Mereka
sedang menghadiri acara pencarian dana malam ini.
Yes! pikirku. Rumah ini hanya milikku! Setelah semua kejadian beberapa hari
terakhir ini, aku perlu waktu untuk sendirian.
Aku ingin santai. Kuambil sekaleng soda diet, lalu berjalan ke ruang baca. Aku
berselonjor di sofa. Kuraih remote TV.
Tapi sebelum aku menyalakan TV, kudengar ketukan keras di pintu depan.
Aku membeku. Bryan lagi" Apakah ia tidak bisa memahami dan menyerah"
Ketukan lagi. Lebih keras. Aku menghambur ke pintu.
"Apa yang kauinginkan?" pekikku.
"Diane, ini aku. Buka pintu," kudengar Lenny memanggil.
Aku membentangkan pintu. Lenny balas menatapku. Bisa kukatakan bahwa ia
bingung. "Aku perlu bicara denganmu, Di," katanya dengan tidak bernapas.
Aku menariknya ke dalam rumah. "Ada apa?" tanyaku.
Ia menatap ke sekeliling sekilas. "Aku tidak melihat mobil ayahmu. Apakah
orangtuamu di rumah?"
"Tidak. Mereka menghadiri makan malam," sahutku. "Masuk dan duduklah. Kau
kelihatan mengerikan."
Ia mengikutiku masuk ke dalam ruang baca dengan berdiam diri. Kami duduk di
atas sofa. Kusentuh lengannya. Aku merasakan bahwa dia gemetar.
"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara rendah.
Ia membungkukkan tubuhnya dan mengucek-ngucek wajahnya.
"Crowell memanggil orangtuaku dan memberitahu mereka kenapa aku dikeluarkan dari
tim." "Oh, Lenny! Kenapa?"
"Kata ayahku ia melakukan itu untuk menolongku agar belajar bertanggung jawab,"
jawabnya. "Apakah kau percaya itu?"
"Kabar buruk bagi orangtuamu?" tanyaku.
"Yang terburuk," ia mengakui. "Aku mengalami kesulitan besar. Mom berkeras
mengatakan bahwa aku tidak dapat masuk ke perguruan tinggi dengan nilai
jelekku." "Mereka mencemaskanmu," ujarku lembut.
Lenny mengangguk. "Aku tahu. Aku tidak marah terhadap mereka. Aku hanya berharap
Crowell memberiku kesempatan untuk bicara kepada mereka dulu.
Sekarang mereka tidak akan mendengarkan apa yang kukatakan. Mereka bahkan
tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Bajingan itu - " Lenny
mengambil sebuah bantal dari sofa dan meninjunya. "Aku mengalami kesulitan
sekarang. Saat-saat yang berat. Semuanya karena dia."
Aku mencoba menenangkan dia. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.
Sebelumnya aku sudah pernah melihat Lenny marah - karena problem dengan
keluarganya. Tapi tidak pernah seburuk ini.
Lenny duduk dan mengamati aku selama sedetik. "Aku mau menceritakan sesuatu
padamu, Diane," bisiknya. "Sesuatu yang tak diketahui orang lain."
"Apa?" tanyaku.
Ia menunduk menatap bantal sofa di tangannya. Ia meletakkannya di sampingnya.
Kemudian ia bicara dengan cepat.
"Aku tetap menyimpan lamunan ini. Fantasi yang mengerikan. Aku melihat diriku
sendiri memukul Mr. Crowell. Dalam perjalanan ke sini, aku membayangkan
melindasnya dengan mobilku."
Aku menelan ludah kuat-kuat.
Suara itu tidak kedengaran seperti Lenny. Ya, yang pasti ia punya sifat yang
jelek. Tapi apakah ia benar-benar memukul seorang guru"
Tidak mungkin. "Lenny, kau harus mencoba bicara dengan Mr. Crowell," kataku kepadanya.
"Besok. Keadaan akan bertambah buruk kalau kau tidak bicara. Kita masih harus
menjalani sekolah satu semester lagi."
Ia cemberut kepadaku, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Mungkin ia akan dapat menerima alasanmu," aku melanjutkan. "Ia tidak seburuk
itu." Sejenak kupikir Lenny akan menjawab. Tapi kemudian ia cemberut lagi dan
pandangannya menjadi kosong. Aku tahu ia tidak mendengar sepatah kata pun
yang kuucapkan. Jadi aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kupikirkan:
Kucium dia. Pertama-tama ia tidak bereaksi.
Kemudian lengannya memeluk punggungku. Ia menarikku mendekat. Memelukku.
Memelukku erat-erat. Aku merasakan dia gemetar. Hatiku ingin sekali menolong dia.
Tapi aku tidak melakukan apa-apa - kecuali menjadi seseorang yang menerima dia apa
adanya. Lenny menciumku lagi. Aku merasa dia agak santai. Kemudian suara yang keras
menggema di ruangan itu. Ketukan di pintu depan. Aku terlompat kaget. Lenny menarik diri. "Siapa yang ke sini larut malam
begini?" tanyanya salah tingkah. Aku menggelengkan kepalaku dan melepaskan diri.
"Aku akan segera kembali." Kutempelkan tubuhku ke pintu.
"Siapa di sana?" teriakku.
Tak ada jawaban. Bryan, pikirku. "Siapa itu?" aku mengulangi dengan tajam. Masih tidak ada jawaban.
Gelombang kemarahan memenuhi diriku. Aku betul-betul bisa jadi gila karena
ketakutan. Dan pintu pun kubuka. Chapter 18 CASSIE berdiri di serambi depan. Rambutnya yang biasanya rapi awut-awutan.
Matanya liar. "Oh, Diane!" teriaknya. "Kau tidak akan percaya ini."
"Ada apa?" tanyaku sambil menutup pintu di belakangnya.
Ia mengaduk-aduk dompetnya dan menarik keluar secarik kertas.
"Lihat apa yang kutemukan di tasku," jawabnya. Ia membuka kertas itu dan
membaca: "Aku tahu tentang Petualangan Malammu. Kau akan menjadi
pecundang." Ia mengangkat wajahnya memandangku. "Aku tidak mengenali tulisan tangan ini."
Jantungku berdegup kencang. "Siapa yang melakukan ini pada kita?" teriakku.
Lenny muncul di ruang depan. "Ada apa, Cass" Apa kau baik-baik saja?".
Cassie menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tak satu pun di antara kita yang baik-
baik saja." Cassie menyodorkan kertas itu kepadanya dan bergegas ke ruang baca. Cassie
menjatuhkan dirinya ke sofa sambil menghela napas dalam-dalam. Aku duduk di
sampingnya. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Lenny menyerahkan catatan itu kepada Cassie lagi.
"Ini Mr. Crowell," katanya.
"Mr. Crowell?" tanya Cassie. "Menurutmu ia menulis catatan-catatan itu dan
menelepon Diane di tengah malam?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?" jawabnya.
Cassie memandangku. "Diane, pacarmu ini imut. Tapi dia sinting."
"Memang betul," jawabku. Aku tersenyum pada Lenny, tapi ia tidak balas
tersenyum. "Itu pasti Mr. Crowell," Lenny berkeras. Ia berjalan mondar-mandir di depan
kami. "Laki-laki itu benar-benar sinting. Betapa teganya ia menyiksa kita. Aku
teringat bagaimana ia menendang kita. Benar-benar membuat hidup kita menderita."
"Tapi ia tak akan bertindak sejauh itu," Cassie mendebat. "Kau menuduhnya karena
kau membencinya." "Hanya dia satu-satunya orang yang melihat kita," Lenny berkeras. "Kau lihat
bagaimana ia menatap kita dengan marah di kelas, iya kan?"
"Ya," sahut Cassie. "Tapi kenapa ia menyelipkan catatan ini ke dalam dompetku"
Ia dapat menelepon polisi dan menjerumuskan kita ke dalam kesulitan yang
sebenarnya." Aku menggelengkan kepalaku pada Lenny. "Kupikir itu bukan Mr. Crowell. Ia boleh
tidak menyukai kita, tapi meletakkan catatan di tas Cassie" Sudahlah!"
"Yeah," Cassie mengiyakan. "Diane benar."
"Menurutku itu Bryan," kataku.
"Bryan?" tanya Lenny. Ia menatapku dengan rasa ingin tahu.
"Apa hubungan masalah ini dengan si brengsek itu?"
Aku ragu. Aku tidak ingin Lenny berkelahi lagi dengan Bryan.
"Diane," desaknya dengan tidak sabar, "apa yang terjadi?"
Aku memutuskan untuk menceritakan kepadanya. "Tak ada yang terjadi," kataku
kaku. "Bryan ingin kembali padaku. Ia menguntit aku. Sikapnya juga benar-benar
aneh. Kukatakan padanya agar pergi dan meninggalkan aku sendirian."
"Well, kalau ia mencoba bicara denganmu lagi," kata Lenny, "katakan padaku.
Aku akan membereskan ini."
"Jangan, Lenny - " kataku segera.
"Jangan khawatir," ia meyakinkan aku. "Aku tidak akan memukul dia. Masalahku
dengan Mr. Crowell saja belum selesai, aku tak akan menjerumuskan diriku ke
dalam perkelahian lagi."
Aku duduk di samping Lenny. Ia menyampirkan lengannya di sekeliling
pundakku. "Well, kita agaknya kehabisan orang yang harus dicurigai," Lenny berkata tidak
berbelit-belit. "Ini pasti Bryan."
"Mungkin bukan," kata Cassie. "Bagaimana dengan Spencer?"
Aku dan Lenny berdua menatapnya. "Kenapa Spencer?" tanya Lenny.
"Tidakkah kauperhatikan?" sahut Cassie. "Ia begitu berbeda sekarang."
Lenny mendengus. "Jadi menurutmu aku gila menuduh Mr. Crowell, karena semua ini
ide Spencer. Kenapa ia mencoba menakut-nakuti kita?"
Cassie cemberut. "Aku tidak tahu. Tapi aku telah berpikir - rasa humor Spencer
begitu sesat sekarang. Ia benar-benar menjadi pemimpin dengan menakut-nakuti
pasangan di dalam mobil. Dan ia senang menghancurkan hiasan Natal Mr.
Crowell." Aku ingat suara tawa liar Spencer ketika kami lari di jalan. "Ia mencuri CD
player juga," aku menambahkan.
"Jadi ia senang yang menggairahkan," Lenny mengejek. "Apanya yang buruk dengan
itu?" "Jenis kesenangan yang tidak wajar," aku mengutarakan.
"Tapi Spencer senang memainkan Petualangan Malam," Lenny mendebat. "Tidak masuk
akal kalau ia mencoba menghentikan petualangan itu."
"Tak ada yang mengatakan itu tidak masuk akal," tukasku.
"Kita tidak bertemu Spencer selama setahun. Bisa saja ia pergi dengan semua
bentuk perubahan selama kurun waktu itu."
"Ia tampak benar-benar... berbeda," aku setuju. "Apakah kau tidak pernah
memperhatikan itu - "
Seseorang mengetuk pintu.
Aku berhenti bicara dan menatap teman-temanku.
Cassie menjilat bibirnya dengan gugup.
Ketukan lagi. Aku menghela napas dalam-dalam.
"Kenapa semua orang datang ke rumahku?" aku bergumam.
Aku berjalan ke pintu depan.
"Siapa itu?" teriakku.
"Ini aku," Spencer balas berteriak. "Bukalah."
Aku membuka pintu. Spencer menatapku dengan cemberut sambil menggigit bibir bawahnya. "Aku tak bisa
mempercayai ini, Diane!" katanya akhirnya.
Suaranya gemetar. Ia merogoh saku jeans-nya dan mengeluarkan secarik kertas.
"Lihat ini." Aku melihatnya sekilas - tulisan tangan yang sama seperti di kertas Cassie.
"Cassie juga punya," kataku kepadanya. "Ia dan Lenny sudah di sini. Masuklah."
Ia mengikutiku ke ruang baca. Ia mengangguk kepada Lenny dan Cassie.
"Spencer juga dapat surat," kataku. "Tampaknya sama persis seperti milik
Cassie." "Aku menemukannya tersangkut di bawah wiper kaca depan mobilku," Spencer
melaporkan. "Apa katanya?" tanya Lenny.
Spencer menunduk melihat surat itu dan membacanya keras-keras.
"Petualangan Malam bisa berbahaya. Terkadang orang bisa mati."
MUSIM DINGIN YANG LALU Chapter 19 WAKTU Spencer bangun, salju yang tebal telah menempel di jendela. Ia berguling
dari ranjang dan berjalan sempoyongan ke dapur.
Ia membuat secangkir cokelat panas, kemudian keluar ke dek kabin.
Sunyi di sini. Spencer menghela napas dalam-dalam. Ia suka salju. Dan kesunyian yang
menyertainya. Kalau saja aku memiliki seseorang untuk berbagi, pikirnya. Seseorang seperti
Diane. Ia melihat ke jendela kamar Diane. Mungkin ia akan bangun sebelum yang
lainnya. Mungkin Diane akan bergabung dengannya.
"Hei, Spence!" Ia berbalik melihat Cassie. Ia mengenakan celana ski biru neon
dan jaket biru cerah. Diane mengikuti Cassie keluar ke dek. Rambutnya yang pirang dan panjang
dikepang. Ia menarik topi rajutan biru rendah di dahinya dan memberi Spencer
senyuman. Jantung Spencer bergelora. Ia ingat bagaimana rasanya mencium gadis itu. Tapi
kemudian ia membayangkan pukulan Lenny.
Spencer menyentuh mulutnya. Masih sakit.
"Kita akan keluar bermain salju," kata Diane dengan ceria. "Lenny dan Jordan
sedang bersiap-siap sekarang. Ikutlah kami, Spencer?"
"Biar kuambil mantelku," sahutnya. Ia mengikuti cewek-cewek itu melewati kabin
dan keluar. Cassie membentuk sebuah lingkaran di salju dan menjatuhkan diri telentang. Ia
menggesekkan lengannya ke atas dan ke bawah.
"Ngapain kau?" tanya Spencer.
"Membuat boneka salju, tentu saja!" teriaknya.
Diane menyambar tangan Spencer dan menjatuhkannya ke salju. Mereka jatuh
telentang sambil terkekeh dan membuat boneka-boneka salju sampai Lenny dan
Jordan muncul. Spencer mendongak melihat mereka. Ekspresi wajah Lenny membuatnya takut.
Ia belum memaafkan aku karena mencium Diane, Spencer menyadari hal itu.
"Lihat itu, Len," kata Jordan. "Spencer sedang mendekati pacar-pacar kita."
"Hei - ia jauh lebih menyenangkan daripada kalian!" goda Cassie.
Lenny mendengus sebagai jawabannya. "Kalau begitu kau boleh berada di pihak
Spencer," bentaknya.
"Apa maksudmu?" tanya Diane.
"Perang bola salju!" ungkap Lenny. "Jordan dan aku melawan kau, Cassie dan
Spencer." Diane cekikikan. "Oke"
Ia mengulurkan tangannya kepada Lenny untuk membantunya berdiri.
Diane menjauh dan menyepak-nyepak salju. "Ayo!" teriaknya.
Cassie berlari di belakangnya sambil tertawa. Spencer mengikuti dengan pelan. Ia
tidak dapat menghapus perasaan bahwa Lenny punya sebuah rencana yang kotor.
Lebih daripada sekadar perang bola salju.
Cewek-cewek memulai pertempuran. Mereka melemparkan beberapa bola salju ke
kepala Lenny. Lenny menghindar.
Cassie memekik. Jordan melempari dia. Ia jatuh kembali ke salju.
Spencer melihat Lenny menatapnya dengan penuh kemarahan.
Aku benci cowok itu. Aku tak percaya ia mau datang ke kabin pamanku walaupun aku
tidak mengundang dia, pikir Spencer pahit.
Diane dan Cassie melemparkan segenggam salju.
Spencer menunduk dan mulai membuat bola-bola saljunya - dengan usaha keras.
Kemudian ia meremas-remas dengan tangannya membentuk bongkahan es. Ia
Iblis Pemburu Perawan 1 Pendekar Rajawali Sakti 95 Pangeran Iblis Panji Wulung 7
^